BAB II KAJIAN PUSTAKA
|
|
- Deddy Johan
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pendidikan Inklusif Ada beberapa pandangan mengenai definisi dari pendidikan inklusif. UNESCO (2009) menuliskan bahwa inclusive education is a process of strengthening the capacity of the education system to reach out to all learners and can thus be understood as a key strategy to achieve EFA, (pendidikan inklusif adalah proses penguatan kapasitas sistem pendidikan untuk menjangkau semua siswa dan dengan demikian dapat dipahami sebagai strategi utama untuk mencapai Pendidikan Untuk Semua). Sementara itu, Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education pasal 2 (1994 dalam Direktorat Pembinaan PKLK Pendidikan Dasar 2012) berbunyi bahwa sekolah reguler dengan orientasi inklusif tersebut merupakan alat yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminasi, menciptakan masyarakat yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif dan mencapai Pendidikan untuk Semua;.... Dalam Deklarasi Bukittinggi (2005 dalam Direktorat Pembinaan PKLK Pendidikan Dasar 2012), pendidikan inklusif disebutkan sebagai sebuah pendekatan terhadap peningkatan kualitas sekolah secara menyeluruh yang akan menjamin bahwa strategi nasional untuk PUS adalah benar-benar untuk semua. Berdasarkan ketiga definisi tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa 9
2 pendidikan inklusi merupakan program layanan Pendidikan Untuk Semua (PUS), dimana siswa normal dan siswa berkebutuhan khusus dapat belajar bersama dalam satu kelas yang sama atau kelas reguler. Pendidikan inklusif tidak hanya berkaitan dengan layanan PUS bagi ABK untuk belajar bersama siswa reguler di kelas umum. Lebih dari itu, pendidikan inklusif diberikan kepada ABK dengan jenis kebutuhan khusus atau kelainan yang bervariasi. Direktorat Pembinaan PKLK Dikdas (2012) menyebutkan bahwa pendidikan inklusif diberikan kepada semua anak terlepas dari kemampuan ataupun ketidakmampuan mereka, jenis kelamin, status sosial-ekonomi, suku, latar belakang budaya atau bahasa dan agama menyatu dalam komunitas sekolah yang sama. Sedangkan, salah satu landasan filosofis dari penerapan pendidikan inklusif menjelaskan bahwa pendidikan inklusif merupakan pelaksanaan pendidikan multikultural sehingga membantu peserta didik untuk bisa mengerti, menerima, dan menghargai sesama manusia yang berbeda suku, budaya, nilai, kepribadian, dan keberfungsian fisik atau psikologis. Sementara, Ahsan (2014) mendefenisikan, dalam terjemahan bahasa Indonesia, bahwa pendidikan inklusif sekarang dianggap sebagai strategi yang layak untuk menciptakan pembelajaran lingkungan yang ramah untuk anak-anak/penyandang cacat, anak-anak dari etnis yang berbeda dan keragaman bahasa, anak-anak yang berasal dari latar belakang yang kurang beruntung secara sosial dan juga isu-isu gender. Dengan 10
3 demikian, definisi ini memperkuat kedua definisi sebelumnya dimana pendidikan inklusif diberikan kepada siswa yang memiliki kasus atau hambatan yang bervariasi baik dari segi cacat fisik, etnografis, lingkungan/sosial budaya, latar belakang, maupun gender. Penerapan pendidikan inklusif memberikan dampak yang baik bagi semua pihak, terkhususnya bagi ABK. Rallis & Anderson (1994 dalam Devi & Andrews 2007) mendefinisikan, dalam terjemahan bahasa Indonesia, bahwa pendidikan inklusif adalah praktek yang menjamin bahwa setiap anak naik ke potensinya penuh sementara memvalidasi keunikan mereka. Melalui pendidikan inklusif, dalam Deklarasi Bandung (2004 dalam Direktorat Pembinaan PKLK Pendidikan Dasar 2012), ABK mendapatkan kesempatan akses dalam segala aspek kehidupan sehingga menjadi generasi penerus yang handal, mendapatkan perlakuan yang manusiawi, mendapatkan pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat serta mampu mengembangkan keunikan potensi secara optimal. Oleh karena itu, pendidikan inklusif dikatakan sebagai program pendidikan dalam rangka upaya mengembangkan kemampuan ABK dalam ranah kognitif, psikomotorik, soft skills, dan karakter. Dengan demikian, ABK akan hidup semakin bermakna setelah memperoleh pendidikan (Mudjito dkk. 2012). Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 31 menjamin bahwa ayat (1) setiap warga negara berhak 11
4 mendapat pendidikan dan ayat (2) setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Pemerintah di sini adalah Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten atau Kota. Dalam hal ini, pendidikan diberikan untuk semua orang termasuk untuk ABK. Hal ini sejalan dengan seruan International Education for All (EFA) yang dikumandangkan UNESCO sebagai kesepakatan global yaitu World Education Forum di Dakar, Sinegal tahun 2000 bahwa penuntasan EFA diharapkan tercapai pada tahun 2015 lalu. Untuk itu, kebijakan pemerintah dalam penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun yang dijabarkan dalam UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 32 telah mengatur Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus. Implementasinya dijabarkan melalui Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 yaitu dengan memberikan kesempatan atau peluang kepada ABK untuk memperoleh pendidikan di sekolah reguler baik SD, SMP, dan SMA/SMK terdekat. Terkait implementasi dari penuntasan wajar dikdas 9 tahun bagi ABK, maka salah satu upaya yang dilakukan Pemerintah Kota melalui Disdikpora adalah melalui piloting/model pendidikan inklusif. Dengan pencanangan Palangka Raya sebagai Kota Pendidikan Inklusif, Disdikpora menunjuk sekolah-sekolah piloting/model sekolah inklusif sebagai percontohan di sekolah lain khususnya di lingkungan Disdikpora Kota Palangka Raya. Penunjukkan sekolah piloting/model sekolah inklusif ditetapkan dengan Keputusan Kepala 12
5 Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Kota Palangka Raya. 2.2 Evaluasi Program Pengertian Evaluasi Program Pengertian evaluasi mengalami perkembangan sesuai dengan masanya. Pada masa awal, evaluasi sering diartikan sebagai upaya untuk menilai hasil belajar, berdasarkan bahwa pendidikan merupakan upaya memberikan suatu perlakuan pembelajaran kepada peserta didik. Namun seiring dengan perkembangannya, evaluasi bukan hanya menilai hasil belajar saja melainkan penilaian terhadap proses dan hasil belajar karena terdapat faktor-faktor lain yang mendukung keberhasilan pencapaian hasil belajar siswa, seperti kondisi fisik dan psikis siswa, kapasitas guru, sarana prasarana penunjang, serta lingkungan pembentuk sekitarnya. Evaluasi berasal dari kata evaluation artinya nilai atau penilaian. Definisi dari Oxford AS, evaluasi adalah suatu upaya untuk menentukan nilai atau jumlah. Sedangkan menurut Suchman (1995 dalam Arikunto 2008), evaluasi adalah sebuah proses dalam menentukan hasil yang telah dicapai dalam beberapa kegiatan yang direncanakan untuk mendukung tercapainya tujuan. Lebih lanjut, Stufflebeam dan Shinkfield (2007) menjelaskan pengertian evaluasi adalah proses penggambaran, pencarian, dan pemberian informasi yang sangat bermanfaat bagi pengambil keputusan dalam menentukan alternatif 13
6 keputusan. Dari ketiga definisi tersebut, evaluasi dapat disimpulkan sebagai upaya untuk menentukan hasil dari pelaksanaan suatu kegiatan dan pencapaian suatu tujuan, hingga pada akhirnya hasil tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi suatu alternatif keputusan. Sugiyo (2011) menyatakan bahwa evaluasi program merupakan sebuah proses penilaian terhadap penyusunan program, pelaksanaan program, penilaian dan analisis hasil serta tindak lanjut kegiatan yang dilaksanakan. Melalui evaluasi program, sejauh mana ketercapaian berjalannya suatu rangkaian program dapat dinilai dan tindak lanjut program dapat diputuskan oleh pembuat keputusan (Arikunto 2012). Menurut Arikunto (2012), tindak lanjut yang bisa diambil terhadap suatu keputusan kebijakan program terdiri dari empat macam. Pertama, program tetap dilanjutkan, dengan alasan bahwa program sangat bermanfaat. Kedua, program tetap dilanjutkan namun dengan penyempurnaan, dengan alasan bahwa dalam pelaksanaan program kurang baik/lancar. Ketiga, program dimodifikasi ulang, dengan alasan bahwa manfaat program kurang tinggi. Dan keempat, program dihentikan, dengan alasan bahwa berdasarkan data yang dikumpulkan ternyata hasil evaluasi tidak menunjukkan adanya manfaat dari program. Sementara itu, program dapat diartikan sebagai rencana atau dalam pengertian yang lebih praktis program adalah suatu unit atau satuan kegiatan. Dengan demikian, program merupakan sebuah sistem, yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan bukan hanya 14
7 satu kali tetapi berkesinambungan. Dengan demikian, dari beberapa definisi evaluasi dan program maka evaluasi program adalah upaya menentukan hasil dari pelaksanaan serangkaian kegiatan sehingga pencapaian tujuan dari kegiatan tersebut dapat dinilai, hingga pada akhirnya hasil tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi suatu alternatif keputusan bagi kegiatan selanjutnya Model Evaluasi CIPP Dalam penelitian ini, model evaluasi yang digunakan adalah model CIPP yang dikembangkan oleh Stufflebeam. CIPP merupakan sebuah singkatan dari context, input, process, dan product. Model CIPP adalah model evaluasi yang memandang program yang dievaluasi sebagai sebuah sistem. Stufflebeam (1983) mengemukakan bahwa model evaluasi CIPP adalah sebuah pendekatan evaluasi yang berorientasi pada pengambil keputusan (a decision oriented evaluation approach structured) untuk memberikan bantuan kepada administrator atau leader pengambil keputusan. Hasil evaluasi akan memberikan alternatif pemecahan masalah bagi para pengambil keputusan. Model evaluasi CIPP menurut Stufflebeam (1983) diuraikan sebagai berikut: Evaluasi konteks berkaitan dengan merencanakan keputusan, mengidentifikasi kebutuhan, dan merumuskan tujuan program; segala sesuatu yang berpengaruh terhadap proses pelaksanaan evaluasi harus disiapkan dengan benar. Input evaluasi ini akan memberikan bantuan agar dapat menata keputusan, menentukan sumber-sumber yang dibutuhkan, mencari berbagai alternatif yang akan dilakukan, 15
8 menentukan rencana yang matang, membuat strategi yang akan dilakukan dan memperhatikan prosedur kerja dalam mencapainya; evaluasi proses berkaitan dengan implementasi suatu program. proses pelaksanaan program dapat dimonitor, diawasi, atau bahkan diperbaiki; evaluasi hasil digunakan untuk menentukan keputusan apa yang akan dikerjakan berikutnya, berkaitan dengan manfaat dan dampak suatu program setelah dilakukan evaluasi secara seksama. Stufflebeam dan Shinkfield (2007) menjelaskan substansi dari evaluasi konteks adalah menilai kebutuhan, masalah, aset dan peluang, mengidentifikasi target populasi, dan mendiagnosa permasalahan dalam suatu lingkungan umum. Evaluasi masukan menilai pendekatan alternatif, rencana kerja, rencana kepegawaian, dan angggaran untuk kelayakan dan potensi efektivitas biaya untuk memenuhi kebutuhan sasaran dan mencapai tujuan. Evaluasi proses bertujuan untuk memberikan sebuah penilaian dalam implementasi kegiatan, serta memberikan umpan balik bagi kinerja staff. Evaluasi produk bertujuan untuk mengukur, menginterpretasikan dan menilai hasil pencapaian suatu program. Pendapat Stufflebeam memiliki kesamaan dengan pendapat Wirawan (2012). Substansi komponen CIPP dijelaskan bahwa evaluasi konteks berupaya mengidentifikasi kebutuhan yang mendasar pembuatan program; evaluasi input mengidentifikasi program, SDM, sarpras, pembiayaan, prosedur kerja, dan perencanaan; evaluasi proses menilai wujud program, pelaksana, waktu pelaksanaan dan anggaran; dan evaluasi produk menilai dampak program. 16
9 Evaluasi terhadap program PI membutuhkan jenis model yang cocok untuk melakukan kegiatan evaluasi tersebut. Model CIPP dianggap sesuai dengan kajian evaluasi penyelenggaraan program PI dengan beberapa pertimbangan. Pertama, model ini memiliki langkahlangkah yang jelas dalam pengungkapan setiap urutan program. Kedua, penulis dapat menganalisa secara detail mulai dari hal yang melatarbelakangi penyelenggaraan program (context), bentuk perencanaan program (input), pelaksanaan program (process) dan produk yang dihasilkan dari penyelenggaraan program (product). Ketiga, model ini sudah banyak dikenal dan diterapkan oleh para evaluator. Akhir dari evaluasi akan memberikan rekomendasi atas keberadaan program. Oleh karena itu, penyelenggaraan program pendidikan inklusif di kota Palangka Raya dievaluasi dengan menggunakan model CIPP. 2.3 Hasil Penelitian Relevan Penelitian tentang evaluasi penyelenggaraan program PI ini relevan dengan beberapa penelitian terdahulu. Penelitian dikaji dari sisi yang berbeda namun tetap pada lingkup topik yang sama yakni implementasi program pendidikan inklusi. Terkait dengan topik tersebut, Nono (2013) sudah melakukan penelitian dengan judul penelitian Studi Evaluasi Program Pendidikan Inklusif Bagi ABK di Sekolah Dasar Kabupaten Pontianak. Penelitian ini menggunakan model evaluasi CIPP. Hasil yang ditemukan adalah evaluasi komponen konteks 17
10 menunjukkan konteks landasan hukum penyelenggaraan pendidikan inklusif secara jelas dan tegas belum tertuang dan ditemukan dalam UU Sistem Pendidikan Negara kita. Evaluasi komponen input menunjukkan input ABK yang bersekolah jumlahnya cukup besar dibanding populasi seluruh siswa yang ada. komponen proses menunjukkan kegiatan perencanaan, proses dan evaluasi pembelajaran untuk setiap aspek dinilai masuk dalam katagori baik dan cukup baik. Evaluasi komponen produk menunjukkan produk perkembangan aspek akademik ABK berdasarkan nilai UAS dan UN dinilai cukup menggembirakan. Penelitian terhadap evaluasi implementasi program PI juga dilakukan oleh Isabella dkk. (2014) dengan judul Evaluasi Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus di SDN- 131/IV Kota Jambi. Model CIPP adalah model evaluasi yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun hasil temuan menunjukkan bahwa SDN-131/IV kota Jambi memiliki kriteria baik/bagus dengan prosentasi 68,35 sub-indikator implementasi PI di sekolah yang sudah sesuai dengan standar. Dari temuan ini, saran yang disampaikan adalah program dilanjutkan atas dasar revisi melalui penyesuaian dan perbaikan di beberapa komponen yang belum sesuai, demi mendapatkan kualitas program yang lebih baik. Penelitian lain dilakukan oleh Maftuhatin (2014) dengan judul penelitian Evaluasi Pembelajaran ABK di Kelas Inklusif (Studi Pelaksanaan Evaluasi 18
11 Pembelajaran ABK di SD Plus Darul Ulum Jombang). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa evaluasi pembelajaran sudah cukup bagus karena guru sudah menerapkan dua metode dalam evaluasi yaitu dengan soal yang disamakan dengan reguler dan yang kedua dengan soal sesuai dengan kebutuhan mereka, disertai dengan portofolio yang mencatat perkembangan mereka selama pembelajaran. Selain itu, penelitian yang dilakukan Mitiku et al. (2014) dengan judul Challenges and Opportunities to Implement Inclusive Education, menemukan bahwa ada beberapa peluang yang mendukung pendidikan inklusif tidak dapat diambil sebagai jaminan karena kurangnya kesadaran, komitmen, dan kolaborasi serta ada tantangan nyata yang menghambat implementasi penuh dari pendidikan inklusif. Secara umum dapat disimpulkan bahwa tantangan lebih besar daripada kesempatan pada implementasi penuh dari pendidikan inklusif dan harus ada kerjasama yang kuat di antara para pemangku kepentingan, LSM, dan badan-badan yang bersangkutan dalam rangka mewujudkan perjalanan menuju pendidikan inklusif. Penelitian lain dilakukan oleh Akinyi et al. (2015) dengan judul penelitian Challenges Facing Implementation of Inclusive Education in Public Secondary Schools in Rongo-Sub County, Migori County, Kenya. Hasil temuan menunjukkan bahwa sumber daya secara fisik dan kritis/penting untuk belajar mengajar tidak memadai atau cukup bobrok. Guru khusus tidak memadai, untuk menangani 19
12 kurikulum pendidikan kebutuhan khusus. Ada beberapa variabel sosial-ekonomi dan budaya yang menjadi kendala/membatasi pengajaran & pembelajaran yang efektif di sekolah-sekolah tercontoh/percontohan. Peneliti menganjurkan agar pemerintah Kenya melalui departemen pendidikan harus meletakkan/menempatkan di tempat yg memadai dan sumber daya fisik dan manusia yang sesuai untuk meningkatkan pelaksanaan SNE, tidak hanya di dalam lokal studi tetapi semua daerah lain yang mengalami kendala yang sama. Sementara itu, Mohammed (2014) dalam penelitian yang berjudul Implementation of Inclusive Education in Ghanaian Primary Schools: A Look at Teachers Attitudes, menemukan bahwa guru bersikap positif terhadap inklusi, tetapi memiliki sedikit pengetahuan tentang praktek inklusif. Hal ini terbukti dalam penggunaan adaptasi pembelajaran yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan individu. Oleh karena itu, SD di Ghana yang mengimplementasikan program inklusi menitikberatkan pada perilaku/sikap guru yang berbeda dalam memperlakukan ABK. Penelitian yang dilakukan oleh Irenewaty dan Aman (2010) dengan judul Evaluasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta, menunjukkan bahwa tidak ada standar/kriteria khusus dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pelaksanaan pendidikan inklusif tergantung dari kesediaan sekolah itu sendiri. Kendalakendala dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif 20
13 ada empat. Pertama, kendala-kendala yang sifatnya praktis sebagai contoh kondisi geografis, saranaprasarana, dan kondisi keuangan. Kedua, yaitu psikologi baik dari masyarakat maupun guru. Ketiga, value yaitu penilaian/persepsi negatif masyarakat terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Keempat, power yaitu hambatan-hambatan dari penguasa, misalnya penguasa membuat kebijakan dimana sekolah hanya menerima siswa-siswa normal bukan siswa yang memiliki kelainan atau kecerdasan luar biasa. Penelitian yang dilakukan oleh Nurjanah (2013) dengan judul Sekolah Inklusi Sebagai Perwujudan Pendidikan Tanpa Diskriminasi (Studi Kasus Pelaksanaan Sistem Pendidikan Inklusi di SMK Negeri 9 Surakarta), menunjukkan bahwa pelaksanaan sistem pendidikan inklusi di sekolah tersebut masih banyak terdapat kelemahan. Dari segi pelaksanaan proses pembelajaran di kelas, sekolah tidak mempunyai GPK dan kurang mendapat perhatian pemerintah. Selain itu, keberadaan sekolah PI sangat baik karena semua ABK yang mendaftar dapat diterima, namun sekolah belum maksimal dalam memenuhi kebutuhan ABK yang dikarenakan keterbatasan sarpras penunjang dan sistem penilaian diberlakukan sama dengan kelas normatif. Beberapa hasil penelitian yang relevan di atas memberikan gambaran terhadap pelaksanaan program PI. Sebagian sekolah sudah menjalankan program dengan maksimal. Sementara itu, beberapa sekolah terbukti belum maksimal menjalankan program PI yang 21
14 disebabkan oleh beberapa kendala yang dihadapi. Oleh karena itu, hasil temuan-temuan ini dapat memberikan saran atau rekomendasi terhadap perbaikan pelaksanaan program PI di sekolah, dinas atau pemerintahan terkait. Terkait dengan beberapa penelitian yang relevan ini, penelitian dari evaluasi terhadap penyelenggaraan program PI di kota Palangka Raya ini dapat menunjukkan dan menggambarkan sejauh mana pelaksanaan program. Dengan demikian, hasil evaluasi dapat memberikan manfaat dan rekomendasi bagi perbaikan terhadap keberlanjutan pelaksanaan program. 2.4 Kerangka Pikir Kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk Peraturan Walikota Kota Palangka Raya Nomor 26 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Khusus, Pendidikan Inklusif dan Pusat Sumber di kota Palangka Raya, mendorong Disdikpora untuk membentuk kelompok kerja (Pokja) PI. Pokja PI kota Palangka Raya berupaya intensif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian program-program pembangunan PI. Pencanangan kota Palangka Raya sebagai Kota Pendidikan Inklusif mewajibkan semua sekolah se-kota Palangka Raya untuk menjalankan program tersebut. Dalam penelitian ini, sekolah yang diteliti adalah SD Negeri 6 Bukit Tunggal, SMP Negeri 3 dan SMA Negeri 4. Fokus penelitian pada ketiga sekolah ini dikarenakan sekolah tersebut merupakan sekolah 22
15 penyelenggara program PI. Penelitian melihat dan mengumpulkan informasi terhadap evaluasi pelaksanaan program PI berdasarkan komponen CIPP. Sejauh ini, program sudah berjalan sesuai dengan perencanaan yang dibuat dalam kalender atau agenda tahunan Pokja PI yaitu agenda tahun Namun pelaksanaan program ini belum pernah dievaluasi oleh peneliti sebelumnya. Oleh karena itu, penulis berupaya melakukan evaluasi terhadap penyelenggaraan program di beberapa lokasi penelitian. Adapun model evaluasi yang digunakan adalah model CIPP dimana penulis menilai evaluasi penyelenggaraan program dari segi context, input, process dan product. Secara rinci, substansi yang dievaluasi pada komponen context meliputi penilaian terhadap kebutuhan yang belum terpenuhi, populasi yang dilayani, dan peluang/manfaat dari pelaksanaan program. Sementara itu, substansi evaluasi dari komponen input meliputi kemampuan sekolah, keterlibatan berbagai pihak, anggaran, dan ketersediaan SDM. Sementara, substansi yang dievaluasi pada komponen process meliputi monitoring dan evaluasi, kompetensi SDM dalam penyusunan rencana pembelajaran, pelaksanan kegiatan, efektivitas sarpras dan kendala yang dihadapi. Evaluasi pada komponen product menilai dampak dari penerapan program terhadap perkembangan/prestasi ABK dan jumlah siswa yang terlayani oleh sekolah. Hasil dari keempat komponen evaluasi nantinya akan disimpulkan dan menjadi rekomendasi bagi sekolah 23
16 penyelenggara program PI dan Dinas terkait perihal perbaikan pelaksanaan program. KEBIJAKAN PEMERINTAH DAERAH/KOTA MELALUI PERWALI NO. 26 TAHUN 2014 PENCANANGAN KOTA SEBAGAI KOTA PENDIDIKAN INKLUSIF PELAKSANAAN PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF DI SEKOLAH-SEKOLAH SE-KOTA PALANGKA RAYA SD Negeri 6 Bukit Tunggal SMP Negeri 3 SMA Negeri 4 EVALUASI CIPP HASIL EVALUASI 24 KESIMPULAN SEBAGAI REKOMENDASI/ PERBAIKAN Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbicara tentang pemerataan akses pendidikan di Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) baik yang diselenggarakan oleh
Lebih terperinciEVALUASI PENYELENGGARAAN PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA PALANGKA RAYA 1 ABSTRACT
Kelola Jurnal Manajemen Pendidikan Magister Manajemen Pendidikan ISSN 2443-0544 FKIP Universitas Kristen Satya Wacana Volume: 3, No. 1, Januari-Juni 2016 jurnalkelola@gmail.com Halaman: 49-66 EVALUASI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian dari hak asasi manusia dan hak setiap warga negara yang usaha pemenuhannya harus direncanakan dan dijalankan dan dievaluasi
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendidikan Inklusi Pendidikan inklusi merupakan konsep pendidikan yang tidak membeda-bedakan latar belakang kehidupan anak kerena keterbatasan fisik maupun mental (Ilahi, 2013:
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dijamin dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun. nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk bekal mengarungi samudera kehidupan yang semakin penuh dengan persaingan. Oleh karena itu pendidikan menjadi
Lebih terperinci1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan, karena dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang sudah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik yang terjadi pada peradaban umat manusia sebagian besar disebabkan oleh ketidakmampuan manusia untuk dapat menerima perbedaan yang terjadi diantara umat manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penddikan adalah hak setiap warga negara. Negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan untuk semua warga negaranya tanpa diskriminasi. Pendidikan untuk semua diwujudkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Agar keberlangsungan hidup setiap manusia terjamin maka kebutuhan dasar akan pendidikan harus terpenuhi sehingga lebih bermartabat dan percaya diri. Oleh karena itu
Lebih terperinciINOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO
INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO agung_hastomo@uny.ac.id
Lebih terperinciINOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO
INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO agung_hastomo@uny.ac.id Abstrak Artikel dengan judul Model penanganan Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah akan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam lini kehidupan. Semua orang membutuhkan pendidikan untuk memberikan gambaran dan bimbingan dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sepenuhnya dijamin pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Hak setiap warga Negara untuk memperoleh pendidikan yang layak sepenuhnya dijamin pemerintah sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945 tentang hak setiap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai upaya meningkatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berkebutuhan khusus. Permasalahan pendidikan sebenarnya sudah lama
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Masalah difabel atau penyandang ketunaan merupakan satu masalah yang kompleks karena menyangkut berbagai aspek. Salah satu hal yang masih menjadi polemik adalah
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan nasional yang secara tegas dikemukakan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Tujuan tersebut berlaku bagi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal (1) dinyatakan bahwa : Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menjadi kebutuhan paling dasar untuk membangun kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan sumber daya manusia. Bangsa Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Oleh karena itu negara memiliki kewajiban untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak pada umumnya adalah suatu anugerah Tuhan yang sangat berharga dan harus dijaga dengan baik agar mampu melewati setiap fase tumbuh kembang dalam kehidupannya.
Lebih terperinciKata Kunci : Pendidikan Inklusi, Sekolah Inklusi, Anak Berkebutuhan Khusus.
SEKOLAH INKLUSI SEBAGAI PERWUJUDAN PENDIDIKAN TANPA DISKRIMINASI (Studi Kasus Pelaksanaan Sistem Pendidikan Inklusi di SMK Negeri 9 Surakarta) Nurjanah K8409047 Pendidikan Sosiologi Antropologi ABSTRAK
Lebih terperinciEVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM INKLUSI SEKOLAH DASAR
K e l o l a Jurnal Manajemen Pendidikan Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017 Halaman: 109-120 EVALUASI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu ;
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 ayat 1 s.d 4 menyatakan bahwa ; Setiap warga Negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
Lebih terperinciGURU PEMBIMBING KHUSUS (GPK): PILAR PENDIDIKAN INKLUSI
GURU PEMBIMBING KHUSUS (GPK): PILAR PENDIDIKAN INKLUSI Dieni Laylatul Zakia Program Magister Pendidikan Luar Biasa UNS dienizuhri@gmail.com ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui optimalisasiperan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan warga negara yang handal
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan warga negara yang handal profesional dan berdaya saing
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Gambaran Umum Subyek Penelitian
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Subyek Penelitian 4.1.1 SDN 6 Bukit Tunggal SDN 6 Bukit Tunggal merupakan sekolah negeri yang pada awalnya berdiri pada tahun 1995. Pada tahun 1995-2002, sekolah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah sebuah proses yang melekat pada setiap kehidupan bersama dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa pendidikan tidak
Lebih terperinciA. Perspektif Historis
A. Perspektif Historis Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Indonesia dimulai ketika Belanda masuk ke Indonesia. Mereka memperkenalkan system persekolahan dengan orientasi Barat. Untuk pendidikan bagi anak-anak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kasus yang akan dieksplorasi. SD Negeri 2 Bendan merupakan salah satu sekolah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ini ditujukan untuk mengekesplorasi praktik pelaksanaan dan pengembangan sekolah inklusif. Penelitian dilakukan dengan menjadikan SD Negeri 2 Bendan, Kecamatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada diri setiap warga dari suatu negara. Rumusan pendidikan sebagai bagian dari HAM itu terlihat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. internasional. Dalam konteks praktis pendidikan terjadi pada lembaga-lembaga formal
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Pendidikan telah menjadi bagian kehidupan yang diamanatkan secara nasional maupun internasional. Dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. harus dapat merasakan upaya pemerintah ini, dengan tidak memandang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Upaya pemerataan pendidikan oleh pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar yang berkualitas memiliki makna yang sangat strategis untuk mencerdaskan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program akselerasi merupakan sebuah terobosan dalam dunia pendidikan. Program kelas akselerasi bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan kualitas sumberdaya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya manusia unggul dan kompetitif dalam upaya menghadapi tantangan perubahan dan perkembangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang telah ditetapkan, yaitu untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia. Hal
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan sebagai suatu usaha sadar yang direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, yaitu untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia. Hal
Lebih terperinciBAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. Bagian ini merupakan bab penutup, terdiri dari 1) Simpulan 2) Implikasi 3) Saran.
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN Bagian ini merupakan bab penutup, terdiri dari 1) Simpulan 2) Implikasi 3) Saran. Simpulan yang diambil berdasarkan paparan data dan pembahasan pada bab sebelumnya.
Lebih terperinciP 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta
P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta Risti Fiyana Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Matematika Dr.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak berhak mendapat pendidikan, hal ini telah tercantum dalam deklarasi universal 1948 yang menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak atas pendidikan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif merupakan paradigma baru pendidikan kita dan merupakan strategi untuk mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah
Lebih terperinciSIKAP GURU TERHADAP PENDIDIKAN INKLUSI
Seminar Nasional Kedua Pendidikan Berkemajuan dan Menggembirakan SIKAP GURU TERHADAP PENDIDIKAN INKLUSI ISBN: 978-602-361-102-7 Erna Fitriatun, Nopita Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP Mataram)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pembukaan, alinea 4 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa tujuan dibentuknya negara Indonesia di antaranya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tesis ini bertujuan untuk menganalisis pelayanan pendidikan inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) 1. Dengan mengambil lokus pada Sekolah Menengah Pertama Negeri
Lebih terperinciPENDIDIKAN INKLUSIF. Kata Kunci : Konsep, Sejarah, Tujuan, Landasan Pendidikan Inklusi
PENDIDIKAN INKLUSIF Nenden Ineu Herawati ABSTRAK Uraian singkat tentang pendidikan inklusif adalah pendidikan yang ramah untuk semua anak, dengan sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan
Lebih terperinciUpaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pendidikan merupakan salah satu cara yang strategis, karena dengan pendidikan anak-anak bangsa ini
Upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia, pendidikan merupakan salah satu cara yang strategis, karena dengan pendidikan anak-anak bangsa ini akan secara sistematis mendapatkan layanan untuk menumbuhkembangkan
Lebih terperinciBab I Pendahuluan. A. Latar Belakang
A. Latar Belakang Bab I Pendahuluan Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni telah membawa perubahan hampir disemua bidang kehidupan manusia, termasuk bidang pendidikan. Perubahan pada bidang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hak asasi hidup setiap manusia. Oleh karena itu,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hak asasi hidup setiap manusia. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu sesuai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. setiap manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda tergantung pada usia
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Belajar merupakan suatu proses yang dilalui dan dilakukan oleh setiap manusia dalam rangka memahami sesuatu. Dalam belajar, setiap manusia akan melewati tahapan
Lebih terperinciKesiapan Guru dalam Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun di Sekolah Inklusi
Kesiapan Guru dalam Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun di Sekolah Inklusi Nurul Hidayati Rofiah 1*, Muhammad Ragil Kurniawan 2 1,2 PGSD UAD *Email: nurulhidayati@pgsd.uad.ac.id Keywords: Wajib belajar
Lebih terperincipada saat ini muncullah paradigma baru pendidikan, dimana anak berkebutuhan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dahulu sebatas penyediaan layanan pendidikan dengan sistem segregrasi, hingga akhirnya pada saat ini muncullah
Lebih terperinciSekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler
Sekolah Inklusif: Dasar Pemikiran dan Gagasan Baru untuk Menginklusikan Pendidikan Anak Penyandang Kebutuhan Khusus Di Sekolah Reguler Drs. Didi Tarsidi I. Pendahuluan 1.1. Hak setiap anak atas pendidikan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. dilakukan diantara karya-karya tersebut antara lain :
8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka Sepanjang pengamatan, kajian yang mencoba meneliti evaluasi kurikulum TPA di TPA Masjid Pangeran Diponegoro Balaikota Yogyakarta belum ada.
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Pancasila, dan dituntut untuk menjunjung tinggi norma Bhinneka Tuggal Ika,
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara filosofi bangsa Indonesia ini merupakan bangsa yang berlandaskan Pancasila, dan dituntut untuk menjunjung tinggi norma Bhinneka Tuggal Ika, secara tekstual maupun
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah mencerdaskan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak semua anak, terbuka untuk semuatanpa memandang latar belakang setiap individudikarenakan mereka tumbuh dari lingkungan dan budaya yang berbeda-beda
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang khusus agar memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan
Lebih terperinciMENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART
MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART GUNAWAN WIRATNO, S.Pd SLB N Taliwang Jl Banjar No 7 Taliwang Sumbawa Barat Email. gun.wiratno@gmail.com A. PENGANTAR Pemerataan kesempatan untuk memperoleh
Lebih terperinciE-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS)
PENDIDIKAN INKLUSIF DISEKOLAH DASAR KOTA PADANG Oleh: Afrina Devi Marti Abstrak: Penelitian ini di latarbelakangi oleh Permendiknas No.20 tahun 2009 tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif. Tujuan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan penting dalam perkembangan anak karena, pendidikan merupakan salah satu wahana untuk membebaskan anak dari keterbelakangan, kebodohan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Berdasarkan temuan penelitian dan pembahasan yang dikemukakan pada bab sebelum ini, selanjutnya penulis menyimpulkan hal-hal sebagai berikut.
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri Klero 02 merupakan sekolah negeri yang pada awalnya berdiri pada tahun 1977. Sekolah ini mulai menyelenggarakan
Lebih terperinci2015 PENGEMBANGAN PROGRAM PUSAT SUMBER (RESOURCE CENTER) SLBN DEPOK DALAM MENDUKUNG IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA DEPOK
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan memiliki arti yang cukup penting dalam membangun karakter suatu bangsa. Pendidikan yang merata diberbagai wilayah di Indonesia diharapkan mampu
Lebih terperinciIMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No MEDAN MARELAN
Prosiding Seminar Nasional Multidisiplin Ilmu UNA 2017 1119 IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No. 067261 MEDAN MARELAN Dahniar Harahap* 1 dan Nina Hastina 2 1,2) Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan,
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian tentang indeks inklusi ini berdasarkan pada kajian aspek
144 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Penelitian tentang indeks inklusi ini berdasarkan pada kajian aspek budaya, aspek kebijakan, dan aspek praktik yang digunakan sebagai tolak ukur keterlaksanannya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengendalian diri, keperibadian, kecerdasan ahlak mulia, serta keterampilan yang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyediaan tenaga yang bermutu adalah produk dari proses pendidikan di suatu lembaga pendidikan seperti Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Untuk menghasilkan tenaga terdidik
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sesuai Undang-Undang (UU) Republik Indonesia (RI) Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Lebih terperinciLandasan Pendidikan Inklusif
Bahan Bacaan 3 Landasan Pendidikan Inklusif A. Landasan Filosofis 1) Landasan filosofis utama penerapan pendidikan inklusif di Indonesia adalah Pancasila yang merupakan lima pilar sekaligus cita-cita yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Adapun pengertian pendidikan menurut UU RI No. 20 Tahun 2003: melimpah, Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki potensi-potensi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Peranan pendidikan dalam kehidupan manusia sangatlah penting. Pendidikan merupakan langkah awal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dengan pendidikan manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Bab 2 pasal 3 UU Sisdiknas berisi pernyataan sebagaimana tercantum
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus
Lebih terperinci2016 PELAKSANAAN AKOMODASI KURIKULUM BAHASA INDONESIA BAGI PESERTA DIDIK TUNAGRAHITA OLEH GURU DI SD NEGERI CIBAREGBEG KABUPATEN SUKABUMI
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak yang harus didapatkan oleh setiap individu. Sejalan dengan itu, upaya pemberian pendidikan bagi setiap warga Negara sudah di atur dalam Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Persaingan global memberikan pengaruh besar terhadap sekolah kejuruan dalam mempersiapkan persaingan tenaga kerja. Persaingan tenaga kerja yang sangat ketat,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak asasi yang paling mendasar bagi setiap manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam UUD 1945 dijelaskan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986, pemerintah telah merintis
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah dalam upaya pemerataan layanan pendidikan untuk menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang berkualitas bagi semua anak di Indonesia mempunyai
Lebih terperinciGLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21
Forum Dunia tentang HAM di Kota tahun 2011 GLOBALISASI HAK ASASI MANUSIA DARI BAWAH: TANTANGAN HAM DI KOTA PADA ABAD KE-21 16-17 Mei 2011 Gwangju, Korea Selatan Deklarasi Gwangju tentang HAM di Kota 1
Lebih terperinciDAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR SINGKATAN... viii DAFTAR LAMPIRAN... ABSTRAK... ABSTRACT...
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... i iii vi vii DAFTAR
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang dicanangkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah Indonesia pada tahun 1994 (Amuda, 2005) mewajibkan setiap anak berusia enam sampai
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Dengan semakin maju ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta kemajuan
Tinjauan Pustaka BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN Dengan semakin maju ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta kemajuan masyarakat, tantangan yang akan kita hadapi adalah bagaimana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class merupakan salah satu terobosan besar yang dicetuskan di dunia pendidikan. Hal ini karena
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus telah dicantumkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masalah pendidikan Indonesia ibarat benang kusut yang terus bertambah.
1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. A. Latar Belakang Masalah Masalah pendidikan Indonesia ibarat benang kusut yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Selama ini pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus lebih banyak diselenggarakan secara segregasi di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB).
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan sesungguhnya bersifat terbuka, demokratis, tidak diskriminatif, dan menjangkau semua warga negara tanpa kecuali. Dalam konteks pendidikan untuk
Lebih terperinciCIPP (Context, Input, Process, Product) Oleh : Hasim Asngari NIM :
CIPP (Context, Input, Process, Product) Oleh : Hasim Asngari NIM : 2015082087 The CIPP Evaluasi Model ini dikembangkan oleh Daniel L. Stufflebeam pada tahun 1966, dan selanjutnya diperbarui sepanjang tahun,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. skills) sehingga mendorong tegaknya pembangunan seutuhnya serta masyarakat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia dan setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ema Rahmawati, 2014 Kompetensi guru reguler dalam melayani anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945, Amandemen IV Pembukaan, alinea IV yaitu dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) seperti anak dengan hambatan penglihatan, anak
Lebih terperinciINSTRUMEN PENELITIAN EVALUASI TERHADAP PENYELENGGARAAN PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA PALANGKA RAYA MENGGUNAKAN MODEL CIPP
108 L A M P I R A N Lampiran 1: INSTRUMEN PENELITIAN EVALUASI TERHADAP PENYELENGGARAAN PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA PALANGKA RAYA MENGGUNAKAN MODEL CIPP Komponen Substansi Pertanyaan Sumber Evaluasi
Lebih terperincipeningkatan SDM berkualitas menjadi sangat penting, Terutama dengan dua hal (teori dan praktek) harus berjalan seiring dan saling melengkapi.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Globalisasi, menuntut kemampuan kompetitif dalam berbagai aspek, termasuk dalam Sumberdaya Manusia (SDM). Sehubungan dengan itu, upaya peningkatan kualitas
Lebih terperinciIII. METODE PENELITIAN. pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologik, yaitu
79 III. METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Penelitian dan Desain Desain kegiatan evaluasi program dalam bahasan ini menggunakan model CIPP dengan rancangan penelitian evaluasi kualitatif yang bersifat deskriptif,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Efektivitas proses..., Hani Khotijah Susilowati, FISIP UI, Universitas Indonesia
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada awal abad XXI, dunia pendidikan di Indonesia menghadapi tiga tantangan besar. Tantangan pertama, sebagai akibat dari krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut
Lebih terperinciIDENTIFIKASI HAMBATAN-HAMBATAN GURU DALAM PEMBELAJARAN DI KELAS III A SEKOLAH INKLUSI SDN GIWANGAN YOGYAKARTA
IDENTIFIKASI HAMBATAN-HAMBATAN GURU DALAM PEMBELAJARAN DI KELAS III A SEKOLAH INKLUSI SDN GIWANGAN YOGYAKARTA IDENTIFICATION OF OBSTACLES IN LEARNING TEACHER IN CLASS III A SCHOOL INCLUSION SDN GIWANGAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan upaya yang dapat mengembangkan potensi manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena hanya manusia yang dapat
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 4.1. Profil SD Negeri 1 Tegorejo Penelitian Evaluasi Program Supervisi Akademik ini mengambil lokasi di SD Negeri 1 Tegorejo Kecamatan Pegandon Kabupaten Kendal yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manajemen program bimbingan dan konseling merupakan siklus yang meliputi perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi. Siklus tersebut senantiasa saling berkaitan
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Umum Penelitian ini sesuai dengan rumusan masalahnya yaitu untuk mengungkap strategi internalisasi nilai-nilai kebersamaan pada peserta didik di SDN inklusif
Lebih terperinciANALISIS DAMPAK AKREDITASI SEKOLAH DALAM PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN (Studi Kasus Di SD Negeri Donohudan 3 Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali)
ANALISIS DAMPAK AKREDITASI SEKOLAH DALAM PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN (Studi Kasus Di SD Negeri Donohudan 3 Kecamatan Ngemplak Kabupaten Boyolali) TESIS Diajukan Kepada Program Pasca Sarjana Universitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Adanya perubahan paradigma baru tentang pendidikan, yaitu pendidikan untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas usia, tingkat
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. dimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat dan
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan sangat berperan penting di dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Terutama dalam menghadapi arus globalisasi saat ini, dimana perkembangan
Lebih terperinciPROSES PEMBELAJARAN INKLUSI UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS KELAS XI DKV DI SMK NEGERI 4 PADANG JURNAL
PROSES PEMBELAJARAN INKLUSI UNTUK ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS KELAS XI DKV DI SMK NEGERI 4 PADANG JURNAL Oleh : MARDIANSYAH NIM. 11060308 PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN
Lebih terperinci