BAB I PENDAHULUAN. kasus yang akan dieksplorasi. SD Negeri 2 Bendan merupakan salah satu sekolah

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ini ditujukan untuk mengekesplorasi praktik pelaksanaan dan pengembangan sekolah inklusif. Penelitian dilakukan dengan menjadikan SD Negeri 2 Bendan, Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali, sebagai lokasi ataupun studi kasus yang akan dieksplorasi. SD Negeri 2 Bendan merupakan salah satu sekolah inklusif di Kecamatan Banyudono, Kabupaten Boyolali yang mendapatkan predikat sekolah percontohan. Sekolah tersebut memiliki jumlah siswa difabel pada tahun ajaran 2011/2012 sebanyak 21 anak (27,72%), dengan dua orang guru pembimbing khusus (GPK). Tabel 1 Daftar Siswa SD Negeri 2 Bendan, Tahun Pelajaran 2011/2012 No Kelas L P Jumlah Siswa Jumlah ABK 1 I II III IV V VI Jumlah Sumber : data diolah dari profil sekolah SD N 2 Bendan 1

2 Pendidikan inklusif merupakan perwujudan dari HAM (Hak Asasi Manusia). The World Convention on Education for All di Jamtien, Thailand (1990) 1, telah menegaskan bahwa perlunya memperluas akses pendidikan kepada semua anak, remaja, dan dewasa, serta memberikan kesempatan yang sama kepada siswa perempuan. Deklarasi Jamtien ini diperkuat lagi dengan The Salamanca Statement and Framework for Action on Special Needs Education 2 pada tahun 1994, yang secara lebih tegas menuntut agar pendidikan bagi anak difabel 3 bersifat inklusif. Kecenderungan dunia dalam memberikan perhatian terhadap hak-hak anak khususnya di bidang pendidikan terus bergulir dalam The World Education Forum tahun 2000 di Dakar. 4 Forum tersebut menegaskan kembali perlunya memberikan perhatian terhadap anak difabel melalui pendidikan inklusi, yaitu pendidikan yang melayani semua anak temasuk yang memerlukan pendidikan khusus. Sekolah Inklusif sendiri merupakan paradigma baru dalam pendidikan di Indonesia, yang mulai merebak mulai beberapa tahun terakhir ini. Sebenarnya sudah sejak lama muncul di negara-negara maju, dan pemahaman tentang kesetaraan untuk difabel sudah masuk sejak tahun 1990-an. Di Indonesia untuk pendidikan inklusif 1 Monica dalen, idpnorway : Pendidikan Pendidikan Kebutuhan Khusus dalam (akses 3 Mei 2012) 2 Ibid. 3 Difabel (different abilities) merupakan individu yang memiliki perbedaan kemampuan tertentu dari individu pada umumnya, atau dalam istilah Indonesia sering disebut anak berkebutuhan khusus. 4 Ibid. 2

3 baru mulai sekitar tahun 2000-an, dimana paradigma ini digunakan untuk tujuan education for all dalam MDG s (Millenium Development Goals). Hakekatnya tujuan dari pendidikan yang bersifat inklusif tidak hanya pada aspek akademik, melainkan juga terhadap aspek sosial. Terdapat upaya untuk menciptakan kesetaraan, keterbukaan terhadap perbedaan yang ada untuk menumbuhkan sikap yang anti diskriminasi. Adanya kecenderungan masyarakat yang masih diskriminatif terhadap orang-orang difabel, menjadikan perilaku diskriminasi sebagai masalah yang penting. Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menunjukkan, mayoritas publik tidak suka akan perilaku diskriminasi. 5 Hasil survei tersebut lemah, karena pada faktanya praktik diskriminasi masih sering dijumpai. Mengingat adanya HAM yang menentang sikap diskriminasi terhadap orang lain, sehingga masalah diskriminasi sendiri merupakan masalah publik, yang sudah seharusnya dilakukan penanggulangan. Di Indonesia sendiri praktik diskriminasi juga berlawanan dengan Pancasila dan UUD 1945, yang secara lebih spesifik berbenturan dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Selain itu, dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa setiap warga Indonesia adalah merdeka, sehingga dalam hal ini juga termasuk berhak atas 5 Asril sabrina. LSI: Publik Tak Suka Perilaku Diskriminasi, kompas.com (editor : hindra) dalam (akses 23 Desember 2012) 3

4 keadilan dan anti diskriminasi. Pendidikan inklusif di Indonesia juga telah memiliki dasar hukum yang kuat, antara lain yang ada di Indonesia seperti: UUD 1945 (amandemen) pasal 31 ayat 1: setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan ; UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat; UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional; Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. 6 Sebagaimana juga tertuang juga secara legal dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009, mengenai Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa. Dalam pasal 2, ayat 2 disebutkan bahwa mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik, sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 bahwa pendidikan inklusif: memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. 6 Inti Restuningtyas, Pendidikan Inklusif dalam (akses 3 Mei 2012, hal. 1.) 4

5 Dengan dasar yuridis yang kuat tersebut, maka semestinya pendidikan inklusif tidak bisa dilaksanakan dengan setengah hati. Dalam Profil Implementasi Pendidikan Inklusif Sekolah Dasar Di Kota Bandung oleh Juang Sunanto beserta kawan-kawannya 7, mengungkapkan bahwa strategi, metode, atau cara mengimplementasikan pendidikan inklusif di masingmasing negara sangat bervariasi. Keberagaman implementasi ini disebabkan karena tiap-tiap negara memiliki budaya dan tradisi yang berbeda. Perbedaan implementasi ini juga terjadi di tingkat provinsi, kota, bahkan sekolah, sehingga kemudian banyak sekolah inklusif yang memiliki track record yang unik 8 Hasil penelitian oleh Istiningsih 9 yang mengambil lokasi di SD N 1 Klego, Boyolali, menyimpulkan bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif masih belum ideal. Kondisi yang menjadi dasar penyimpulan yaitu sekolah masih belum bisa melaksanakan proses pendidikan yang benar-benar inklusif. Kondisi tersebut terjadi karena dipengaruhi oleh berbagai faktor. Kedua penelitian tersebut menunjukkan adanya sekolah inklusif yang masih belum ideal, dan pelaksanaanya juga berbedabeda. 7 Juang sunarto, dkk. Profil Implementasi Pendidikan Inklusif Sekolah Dasar Di Kota Bandung. (Universitas pendidikan Indonesia, 2008) Halaman 2 8 ibid. 9 Istiningsih. Manajemen Pendidikan Inklusi Di Sekolah Dasar Negeri Klego 1 Kabupaten Boyolali. (Tesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2005). 5

6 Penelitian ini bertujuan memapaparkan kemungkinan adanya keberadaan sekolah inklusif yang nyata tersebut juga benar ada, dan mungkin bisa dijadikan sebagai sebuah best practice pengembangan model sekolah inklusif di lokasi lainya. Dalam pra-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya diperoleh informasi sementara mengenai pelaksanaan sekolah inklusif. Seperti yang memperlakukan siswanya secara customize, dan ada interaksi yang wajar antara siswa difabel dan normal lainya. Baik dalam proses belajar di dalam kelas, maupun saat istirahat diluar kelas. Adanya siswa-siswa difabel yang cenderung lebih percaya diri, yang mengindikasikan adanya proses pembentukan sikap anti diskriminasi. Penelitian akan dilakukan di SDN 2 Bendan, Banyudono, Boyolali, yang merupakan sekolah inklusif percontohan. Penulis memilih sekolah percontohan ini, karena penulis melihat adanya indikasi anti diskriminasi dalam pra-penelitian sebelumnya. Berdasarkan identifikasi dan assesment sementara penulis, terdapat kesadaran sosial oleh guru, orang tua, dalam melihat perbedaan yang ada, dan memahami hak dan kewajibanya. Hal tersebut tidak ataupun jarang dimiliki oleh sekolah lainya. Selain itu lokasi penelitian ini memiliki berbagai keunikan fenomena yang terlihat dalam pra penelitian. Diantaranya adalah besarnya komitmen, dan perhatian yang diberikan oleh GPK kepada anak didiknya. GPK yang mau menemani anak difabel yang memiliki kursus keterampilan diluar sekolah, dan di luar jam sekolah, 6

7 tanpa bayaran. Hal tersebut jarang sekali ditemui, dan mungkin sulit untuk ditemukan di daerah lainya. Pada tahun 2008 sekolah mendapatkan predikat percontohan nasional dari AUSAID, karena dianggap memiliki pelayan yang baik dan ramah terhadap pembelajaran. Kemudian mulai berdatangan kunjungan dari sekolah lain untuk studi banding. Predikat tersebut tidak mengeluarkan sertifikat secara resmi, hanya menjadikan sekolah tersebut sebagai tempat pembuatan video dokumenter sekolah percontohan nasional. Sekolah inklusif SD N 2 Bendan kemudian dikenal sebagai sekolah inklusif yang menerapakan pendidikan ramah, hal tersebut berdampak pada popularitas sekolah tersebut. Beberapa sekolah ataupun Kabupaten tercatat pernah melakukan studi banding terhadap sekolah tersebut. Sekolah tersebut antara lain adalah 1. Kabupaten Rembang 2. Musi Banyuasin, Sumatra Selatan 3. Kabupaten Kebumen 4. Kabupaten Jepara 5. Kabupaten Temanggung 6. Kabupaten Wonosobo (SD N Rogojati, Sukoharjo, Wonosobo) 7

8 Adapun alasan lain mengapa dipilih lokasi tersebut karena keterjangkauan akses oleh peneliti. Dimana sekolah tersebut bukanlah merupakan lingkungan asing bagi peneliti Rumusan Masalah Bagaimana pengembangan pendidikan yang inklusif menentukan keberhasilan dalam melembagakan nilai-nilai anti diskriminasi terhadap difabel di SD Negeri 2 Bendan? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui cara pengembangan pendidikan yang di terapkan di SD Negeri 2 Bendan. 2. Mengetahui upaya yang dilakukan guna melembagakan nilai anti diskriminasi di SD N 2 Bendan Manfaat Penelitian 1. Bagi Pemerintah: memberi saran terhadap proses pembuatan kebijakan publik yang mengatur pelaksanaan pendidikan inklusif agar dapat dilakukan secara lebih baik. 2. Bagi Lingkungan Akademik: memberi tambahan konseptual mengenai analisis deskriptif dari pelaksanaan pendidikan inklusif. 8

9 3. Bagi Masyarakat: memberi perspektif yang tepat dalam melihat kemajemukan, keberagaman, pluralisme kehidupan sehari-hari agar dapat bertindak secara bijaksana. 9