BAB II KAJIAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pendidikan Inklusi Pendidikan inklusi merupakan konsep pendidikan yang tidak membeda-bedakan latar belakang kehidupan anak kerena keterbatasan fisik maupun mental (Ilahi, 2013: 23). Menurut Kustawan (2012: 7) pendidikan inklusi adalah sistem pendidikan yang terbuka bagi semua individu serta mengakomodasi semua kebutuhan sesuai dengan kondisi masing-masing individu. Konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah (Smith, 2006: 45). Mengutip dari Permendiknas nomor 70 tahun 2009 pendidikan inklusi adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pendidikan inklusi merupakan suatu pendekatan pendidikan yang inovatif dan strategis untuk memperluas akses pendidikan bagi semua anak berkebutuhan khusus termasuk anak penyandang cacat. Dalam konteks yang lebih luas, pendidikan inklusif juga 7

2 dapat dimaknai sebagai satu bentuk reformasi pendidikan yang menekankan sikap anti diskriminasi, perjuangan persamaan hak dan kesempatan, keadilan dan perluasan akses pendidikan bagi semua, peningkatan mutu pendidikan, upaya strategis dalam menuntaskan wajib belajar 9 tahun, serta upaya mengubah sikap masyarakat terhadap anak berkebutuhan khusus (Ilahi, 2013: 25). Pendidikan inklusi dinilai dapat menjadi jembatan untuk mewujudkan pendidikan untuk semua (education for all), tanpa ada seorangpun yang tertinggal dari layanan pendidikan (Kemendikbud, 2012: 70). Tujuan dari pendidikan inklusi adalah agar semua anak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuanya serta untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman dan diskriminatif bagi semua anak (Kustawan, 2012: 9). Pendidikan inklusi merupakan suatu sistem pendidikan yang terbuka yang tidak membeda-bedakan latar belakang kehidupan anak sesuai dengan kondisi individu. Sistem pendidikan inklusi memberikan pemahaman tentang pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki keterbatasan fisik maupun metal. Konsep pendidikan inklusi memberi kesempatan kepada peserta didik tanpa diskriminasi untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun. Dari uraian diatas pendidikan inklusi merujuk pada suatu sistem pendidikan yang memberikan kesempatan 8

3 kepada semua anak tanpa membeda-bedakan latar belakang anak karena keterbatasan fisik ataupun mental untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan pada umumnya. Jadi, pendidikan inklusi adalah sistem pendidikan yang mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus untuk belajar di sekolah-sekolah umum agar dapat belajar bersama teman seusianya. Anak berkebutuhan khusus yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu anak-anak yang mengalami kekurangan atau ketunaan dalam fisik ataupun mental pada kategori ringan, bukan anak yang berkebutuhan khusus yang cerdas istimewa. Mutu pendidikan sangat dipengaruhi oleh mutu proses belajar mengajar, sementara itu mutu proses belajar mengajar sangatlah ditentukan oleh berbagai faktor (komponen) yang saling terkait satu sama lain, yaitu: a. Kurikulum (Bahan Ajar) Kurikulum memiliki kedudukan yang sangat strategis, karena kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi pada dasarnya menggunakan kurikulum standar nasional yang berlaku di sekolah umum (kemendikbud, 2013: 42). Kurikulum pendidikan inklusif menggunakan kurikulum sekolah regular (Kurikulum Nasional) yang dimodifikasi (diimprovisasi) sesuai dengan tahap perkembangan anak berkebutuhan khusus dengan mempertimbangkan 9

4 karakteristik (ciri-ciri) dan tingkat kecerdasannya (Ilahi, 2013; 171). Kurikulum hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan anak, yang selama ini anak dipaksakan mengikuti kurikulum. Oleh sebab itu hendaknya memberikan kesempatan untuk menyesuaikan kurikulum dengan anak. Menurut Tarmansyah (2007: 154) untuk modifikasi kurikulum merupakan model kurikulum dalam sekolah inklusi. Modifikasi pertama adalah mengenai pemahaman bahwa teori model itu selalu merupakan representasi yang disederhanakan dari realitas yang kompleks. Modifikasi kedua adalah mengenai aspek kurikulum yang secara khusus difokuskan dalam pembelajaran yang akan dibahas lebih banyak dalam praktek pembelajaran. Modifikasi kurikulum dilakukan oleh tim pengembang kurikulum di sekolah. Tim pengembang kurikulum sekolah terdiri dari; kepala sekolah, guru kelas, guru mata pelajaran, guru pendidikan khusus, konselor, psikolog, dan ahli lain yang terkait (Kemendikbud, 2013: 42). Kurikulum yang digunakan di sekolah inklusi adalah kurikulum anak normal (regular) yang disesuaikan (dimodifikasi sesuai) dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa. b. Tenaga Pendidik (Guru) Setiap sekolah penyelengara pendidikan inklusi seyogyanya mempunyai pendidik dan tenaga pendidikan 10

5 yang memenuhi standar kualifikasi akademik dan kompetensi yang diisyaratkan (Kustawan, 2012: 73). Menurut kemendikbud (2012: 43) Secara umum tenaga pendidik (guru) di sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif meliputi guru kelas, guru mata pelajaran (Pendidikan Agama serta Pendidikan Jasmani dan Kesehatan), dan Guru Pendidikan Khusus (GPK). 1) Guru Kelas Guru kelas adalah pendidik atau pengajar pada suatu kelas tertentu di sekolah dasar yang sesuai dengan kualifikasi yang dipersyaratkan, bertanggung jawab atas pengelolaan pembelajaran dan administrasi kelasnya. Guru kelas berkedudukan disekolah dasar yang ditetapkan berdasarkan kualifikasi sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh sekolah (Kemendikbud, 2012: 45). 2) Guru Mata Pelajaran Guru mata pelajaran atau bidang studi adalah Guru yang mengajar mata pelajaran tertentu sesuai kualifikasi yang dipersyaratkan di sekolah (Kemendikbud, 2012: 45). Di sekolah dasar biasanya untuk mata pelajaran Pendidikan Agama serta mata pelajaran Pendidikan Jasmani dan Kesehatan diajarkan oleh guru mata pelajaran, sedangkan mata pelajaran lain oleh guru kelas. 11

6 3) Guru Pembimbing Khusus Guru pembimbing khusus adalah guru yang mempunyai latar belakang pendidikan luar biasa atau yang pernah mendapat pelatihan khusus tentang pendidikan luar biasa. Tugas guru pembimbing khusus antara lain: a) Menyusun instrumen assessment pendidikan bersama-sama dengan guru kelas dan guru mata pelajaran. b) Membangun sistem koordinasi antara guru, pihak sekolah dengan orang tua siswa. c) Memberikan bimbingan kepada anak berkelainan, sehingga anak mampu mengatasi hambatan/kesulitannya dalam belajar. d) Memberi bantuan kepada guru kelas dan guru mata pelajaran agar dapat memberikan pelayanan pendidikan khusus kepada anak luar biasa yang membutuhkan. c. Peserta Didik Sasaran pendidikan inklusi secara umum adalah semua peserta didik yang ada di sekolah regular. Secara khusus sasaran pendidikan inklusi adalah setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, social, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa (Kemendikbud, 2012: 40). Maka tentulah peserta didiknya juga terdiri dari anak normal dan anak 12

7 berkelainan atau anak berkebutuhan khusus yang mana anak berkebutuhan khusus tersebut meliputi: 1) Anak tunanetra 2) Anak tunarungu 3) Anak tunagrahita 4) Anak tunadaksa 5) Anak tunalaras 6) Anak berkesulitan belajar 7) Anak lamban belajar 8) Anak autis 9) Anak yang memiliki gangguan motorik 10) Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya 11) Anak tunaganda 12) Anak yang memiliki kelainan lainnya (Kustawan, 2012: 31). d. Sarana-Prasarana Sekolah inklusi menyediakan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai dan menjamin kelancaran program pendidikan. Sarana dan prasarana di sekolah penyelenggara pendidikan inklusi harus aksesibel bagi semua peserta didik khususnya peserta didik berkebutuhan khusus (Kustawan, 2012: 80). e. Keuangan/Dana Komponen keuangan sekolah merupakan komponen produksi yang menentukan terlaksananya kegiatan belajar mengajar bersama komponenkomponen lain. Dengan kata lain, setiap kegiatan yang dilakukan sekolah memerlukan biaya. Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan inklusif, perlu dialokasikan dana khusus, yang antara lain untuk keperluan: 13

8 1) Kegiatan identifikasi input siswa. 2) Modifikasi kurikulum. 3) Insentif bagi tenaga kependidikan yang terlibat. 4) Pengadaan sarana-prasarana. 5) Pemberdayaan peran serta masyarakat. 6) Pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar. f. Lingkungan (Hubungan Sekolah dengan Masyarakat) Penyelenggaraan pendidikan inklusi memerlukan partisipasi anggota masyarakat dan pihak ketiga yang tidak mengikat. Masyarakat selaku mitra sekolah penyelenggara pendidikan inklusi memiliki peran yang strategis dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi dan pembangunan pendidikan, baik sebagai pelaku, penyelenggara, pengelola, penyandang dana, pengawas, maupun tenaga kependidikan (Kustawan, 2012: 100). Oleh karena itu, masyarakat hendaknya selalu dilibatkan dalam pembangunan sekolah. Sehingga bukan hanya Kepala Sekolah dan Dewan Guru tetapi masyarakat setempat terlibat pula. Pendidikan inklusi merupakan sistem pendidikan yang tidak membeda-bedakan dan memberikan kesempatan kepada anak yang memiliki kelainan untuk mengikuti pembelajaran pada umumnya. Pendidikan inklusi menempatkan siswa berkelainan kedalam kelas regular untuk belajar dalam lingkungan belajar siswa normal. Konsep pendidikan ini untuk menjangkau semua individu agar dapat belajar tanpa kecuali. Pendidikan inklusi diharapkan dapat menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan partisipasi anak 14

9 bersekolah dalam rangka pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan. Pendidikan inklusi diharapkan dapat menjawab kesenjangan yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan pemenuhan hak warga negara dalam bidang pendidikan. Semua anak mendapat kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhanya sehingga dapat mengembangkan potensinya secara maksimal. Dalam sekolah inklusi terdapat banyak komponen yang perlu dimodifikasi untuk mengimplementasikan pendidikan inklusi. Kurikulum pada pendidikan inklusi pada dasarnya menggunakan kurikulum standar nasional yang berlaku disekolah umum. Namun karena keragaman peserta didik maka dilakukan modifikasi terhadap kurikulum tersebut. Modifikasi dilakukan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Pada sekolah yang melaksanakan pendidkan inklusi harus memiliki tenaga pendidik yang berkompetensi dalam melaksanakan pembelajaran bagi peserta didik yang mempunyai kebutuhan khusus. Penerimaan peserta didik pada sekolah inklusi harus mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah. Dimana peserta didik yang diterima harus disesuaikan dengan guru yang mempunyai kompetensi khusus. Sekolah inklusi harus menyediakan sarana dan prasarana yang memadai dan menjamin kelancaran 15

10 program sekolah inklusi. Sarana dan prasarana di sekolah inklusi harus aksesibel bagi semua peserta didik terutama yang berkebutuhan khusus. Dalam hal pendanaan sekolah inklusi memerlukan biaya yang dialokasikan untuk kegiatan khusus demi kelancaran penyelenggaraan pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi menjadi tangung jawab bersama antara sekolah, masyarakat dan pemerintah. Pelaksana pendidikan inklusi diharapkan mampu memberdayakan masyarakat dalam penyelengaraan pendidikan inklusi agar berjalan secara optimal. Masyarakat selaku mitra sekolah memiliki peran yang strategis dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi. B. Evaluasi Program a. Pengertian evaluasi program Pada hakikatnya evaluasi adalah suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas (nilai dan arti) dari sesuatau, berdasarkan pertimbangan dan kriteria tertentu dalam rangka pembuatan keputusan (Arifin, 2012: 2). Sukardi (2008: 1) menambahkan evaluasi merupakan proses memahami, member arti, mendapatkan, dan mengomunikasikan suatu informasi bagi keperluan pengambilan keputusan. Menurut Arikunto (2010: 2) Evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tetang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut 16

11 digunakan untuk menentukan alternatif yang tetap dalam mengambil sebuah keputusan. Evaluasi merupakan proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk mengumpulkan, mendeskripsikan, menginterpretasikan dan menyajkan informasi tentang suatu program untuk dapat digunakan sebagai dasar membuat keputusan, menyusun kebijakan maupun menyusun program selanjutnya (Widoyoko, 2014: 6). Menurut Stufflebeam (2007: 326), evaluasi merupakan proses untuk menggambarkan, mendapatkan, melaporkan dan menerapkan informasi deskriptif dan pertimbangan mengenai nilai/manfaat beberapa obyek, nilai, sifat penting dan kejujuran beberapa obyek guna memandu proses pengambilan keputusan, mendukung akuntabilitas, menyebarluaskan praktek-praktek yang efektif, dan meningkatkan pemahaman mengenai fenomena yang ada. Informasi dari program yang dievaluasi haruslah jelas dan berdasarkan kondisi sebenarnya sehingga evaluasi dapat berjalan sesuai tujuan dan mendapatkan hasil yang maksimal. Evaluasi merupakan proses sistemtis yang bekelanjutan untuk mengumpulkan informasi yang digunakan dalam menentukan alternatif untuk mengambil keputusan. Evaluasi dilakukan untuk menggambarkan serta menerapkan informasi deskriptif tentang nilai/manfaat terhadap suatu obyek. Proses 17

12 evaluasi harus sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai dengan cara sistematis dan berkelanjutan. Dari uraian diatas bahwa evaluasi merujuk pada suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menyajikan informasi yang dapat digunakan untuk mengambil keputusan, menyusun kebijakan program selanjutnya. Kegiatan evaluasi harus dilakukan berdasarkan kondisi sebenarnya sehingga evaluasi dapat berjalan sesuai tujuan dan mendapatkan hasil yang maksimal. Widoyoko (2014:8) program diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang direncanakan dengan seksama dan dalam pelaksanaanya berlangsung dalam proses yang berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan bnyak orang. Arikunto (2010: 4) program adalah suatu unit atau kesatuan kegiatan maka program merupakan suatu sistem yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan bukan hanya satu kali tetapi berkesinambungan. Wirawan (2012: 17) program adalah kegiatan atau aktifitas yang dirancang untuk melaksanakan kebijakan dan dilaksanakan untuk waktu yang tidak terbatas. Program merupakan suatu kegiatan atau aktifitas yang direncanakan dan pelaksanaanya berlangsung secara berkesinambungan. Kegiatan ini bukan hanya satu kali namun dilakukan untuk waktu yang tidak terbatas. Kegiatan harus direncanakan dengan seksama dan 18

13 pelaksanaannya terjadi dalam suatu organisasi yang melibatkan banyak orang. Menurut Widoyoko (2014: 10) evaluasi program merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja dan secara cermat untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan atau keberhasilan suatu program dengan cara mengetahui efektifitas masing-masing komponennya, baik terhadap program yang sedang berjalan maupun program yang telah berlalu. Selanjutnya Suharsimi Arikunto (2004: 14) menambahkan evaluasi program adalah proses penetapan secara sistematis tentang nilai, tujuan, efektivitas atau kecocokan sesuatu sesuai dengan kriteria dan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Evaluasi program adalah upaya untuk mengetahui tingkat keterlaksanaan suatu kebijaksanaan secara cermat dengan cara mengetahui efektivitas masingmasing komponennya (Arikunto, 2010: 18). Evaluasi program dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan yang sudah tercapai, dan bagian mana yang belum tercapai serta apa penyebabnya. Menurut Wirawan (2012: 15), mengungkapkan evaluasi program adalah evaluasi dengan objeknya program pendidikan, yaitu aktivitas yang dilaksanakan untuk waktu yang tidak terbatas. Evaluasi dilakukan untuk mengevaluasi berbagai aspek pendidikan misalnya, kurikulum, proses dan metode pembelajaran mata pelajaran, layanan pendidikan, tenaga pendidik, dan 19

14 sebagainya. Tayibnapis (2008) menjelaskan suatu evaluasi program harus mengumpulkan informasi yang valid, informasi yang dapat dipercaya, informasi yang berguna untuk program yang dievaluasi. Informasi dari program yang ingin dievaluasi haruslah jelas dan berdasarkan kondisi nyata sehingga evaluasi dapat berjalan sesuai dengan tujuan dan mendapatkan hasil yang maksimal. Evaluasi program adalah proses penetapan secara sistematis tentang nilai, tujuan, yang dilakukan secara sengaja dan cermat untuk mengetahui tingkat keberhasilan suatu program. Proses evaluasi dilakukan dengan mencari informasi yang valid sesuai fakta dilapangan. Evaluasi program berguna untuk meneliti, menilai, dan menentukan apakah program telah berjalan sesuai dengan tujuan. Dari uraian diatas bahwa evaluasi program merujuk pada suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengumpulkan informasi terhadap jalannya suatu program guna mengetahui efektivitas masing-masing komponennya. Evaluasi program berguna untuk mengetahui tujuan yang sudah tercapai, dan bagian mana yang belum tercapai serta apa penyebabnya. Dari hasil evaluasi dapat sebagi bahan pertimbangan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan. 20

15 b. Tujuan evaluasi program Arikunto (2010: 18) menjelaskan bahwa tujuan diadakannya evaluasi adalah untuk mengetahui keterlaksanaan kegiatan program, karena evaluator program ingin mengetahui bagian mana dari komponen dan subkomponen program yang belum terlaksana dan apa sebabnya. Secara umum penelitian evaluasi diperlukan untuk merancang, menyempurnakan, dan menguji pelaksanaan suatu praktik pendidikan (Sukmadinata, 2010: 121). Secara lebih rinci tujuan evaluasi program adalah: 1) Membantu perencanaan untuk melaksanakan program. 2) Membantu dalam penentuan keputusan penyempurnaan atau perubahan program. 3) Membantu dalam penentuan keputusan keberlanjutan atau penghentian program. 4) Menemukan fakta-fakta dukungan dan penolakan terhadap program. 5) Memberikan sumbangan dalam pemahaman proses psikologis, sosial, politik, dalam pelaksanaan program serta faktor yang mempengaruhi program. Sudjana (2006: 48), tujuan khusus Evaluasi Program terdapat 6 (enam) hal, yaitu untuk: 1) Memberikan masukan bagi perencanaan program. 2) Menyajikan masukan bagi pengambil keputusan yang berkaitan dengan tindak lanjut, perluasan atau penghentian program. 3) Memberikan masukan bagi pengambilan keputusan tentang modifikasi atau perbaikan program. 21

16 4) Memberikan masukan yang berkenaan dengan faktor pendukung dan penghambat program. 5) Memberi masukan untuk kegiatan motivasi dan pembinaan (pengawasan, supervisi dan monitoring) bagi penyelenggara, pengelola dan pelaksana program. 6) Menyajikan data tentang landasan keilmuan bagi evaluasi program pendidikan luar sekolah. Menurut Endang Mulyatiningsih (2011: ), evaluasi program dilakukan dengan tujuan untuk: 1) Menunjukkan sumbangan program terhadap pencapaian tujuan organisasi. Hasil evaluasi ini penting untuk mengembangkan program yang sama ditempat lain. 2) Mengambil keputusan tentang keberlanjutan sebuah program, apakah program perlu diteruskan, diperbaiki atau dihentikan Evaluasi program mempunyai tujuan membantu memberikan masukan bagi perencanan dan pelaksanaan suatu program. Evaluasi program dilakukan untuk penyempurnaan suatu program, perubahan program atau penghentian program. Selain itu evaluasi program juga memberikan masukan untuk memodifikasi perbaikan program, menemukan pendukung dan penghambat program. Evaluasi program juga dapat memberikan masukan untuk kegiatan motivasi dan pembinaan bagi penyelengara dan pelaksana program. Dari uraian di atas dapat didefinisikan bahwa tujuan evaluasi program adalah untuk membantu menemukan kendala dan dukungan terkait proses pelaksanaan program hingga membuat kebijakan dan keputusan. 22

17 Maka dari itu evaluasi program sangat penting dilakukan dalam rangka menilai keterlaksanaan program. c. Faktor pendukung dan penghambat evaluasi program Evaluasi program memerlukan pemahaman bagaimana sebuah program dijalankan, serta apa saja yang menjadi faktor pendukung dan penghambat program tersebut. Menurut Muh. Mujab (2005: 40) beberapa faktor pendukung dan penghambat evaluasi program yaitu 1) faktor pendukung a) Adanya dukungan dana dari pemerintah b) Adanya dukungan manajemen umum c) Adanya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis d) Adanya dukungan dari masyarakat 2) faktor penghambat a) Pemahaman program masih kurang b) Kurangnya sumberdaya manusia yang betul-betul mengetahui program c) Adanya dominasi pemerintah dalam penentuan lokasi dan alokasi penerima program d) Petunjuk teksnis dan petunjuk pelaksana kadang kurang sesuai dengan kondisi realita e) Masih besarnya dominasi aparat untuk memutuskan kebijakan Donald P.Warwieck, (1988;17) mengatakan bahwa dalam tahap implemetasi program terdapat dua faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu proyek yaitu : Faktor pendorong (Facilitating conditions), dan Faktor penghambat (Impeding conditions). Adapun faktor-faktor pendorong adalah: 1) Faktor pendorong (Facilitating conditions) a. Komitmen pimpinan politik b. Kemampuan organisasi 23

18 c. Komitmen para pelaksana (Implementer) d. Dukungan dari kelompok kepentingan 2) Faktor penghambat (Impeding conditions) a. Banyaknya pemain (actor) yang terlibat b. Terdapatnya komitmen atau loyalitas ganda c. Kerumitan yang melekat pada program itu sendiri d. Jenjang pengambilan keputusan yang terlalu banyak e. Faktor lain: Waktu dan perubahan kepemimpinan Dari uraian diatas dapat didefinisikan bahwa dalam pelaksanaan suatu program pasti ada faktor pendukung dan faktor penghambat. Untuk itu dalam melaksanakan suatu program tentu harus dapat mengelola sumber daya yang ada secara maksimal. Selain itu juga harus dapat meminimalisir faktor penghambat yang ada. d. Manfaat evaluasi program Evaluasi program sangat penting dan bermanfaat terutama bagi pengambil keputusan. Alasannya adalah dengan masukan hasil evaluasi program itulah para pengambil keputusan akan menentukan tindak lanjut dari program yang sedang atau telah dilaksanakan. Arifin (2009: 4) menguraikan manfaat evaluasi program yaitu dapat memberikan informasi yang akurat dan objektif bagi pembuat kebijakan untuk mengambil keputusan. Keputusan yang diambil yaitu: 1) menghentikan program, 2) merevisi program, 3) melanjutkan program, 4) menyebarluaskan program. Pendapat senada juga dikemukakan Arikunto (2010: 22) menyebutkan bahwa 24

19 kegiatan evaluasi program dimaksudkan untuk mengambil keputusan atau melakukan tindak lanjut dari program yang telah dilaksanakan. Manfaat dari evaluasi program dapat berupa penghentian program, merevisi program, melanjutkan program, dan menyebarluaskan program. Evaluasi program sangat bermanfaat untuk memberikan berbagai informasi tetang keterlaksanaan suatu program. Hasil evaluasi program dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan. Keputusan tersebut dapat berupa penghentian program, merevisi program, melanjutkan program, dan menyebarluaskan program. Dari uraian diatas evaluasi program bermanfaat untuk memberikan informasi yang akurat dan obyektif dalam mengambil sebuah keputusan. Hasil evaluasi program dapat digunakan untuk penghentian, merevisi, melanjutkan, dan menyebarluaskan program. Ada beberapa model evaluasi yang dikenal dan digunakan untuk mengevaluasi di bidang pendidikan. Model evaluasi muncul karena adanya usaha eksplanasi secara kontinu yang diturunkan dari perkembangan pengukuran dan keinginan manusia untuk berusaha menerapkan prinsip-prinsip evaluasi pada cakupan yang lebih abstrak pada bidang ilmu pendidikan, perilaku dan seni (Sukardi, 2010). Model model evaluasi menurut Arikunto (2009: 48) yang banyak digunakan yaitu Goal 25

20 Oriented Model dikembangkan oleh Tyler, Goal Free Evaluation Model dikembangkan oleh Scriven, Formatif Sumatif Evaluation Model dikembangkan oleh Michael Schiven, Responsive Evaluation Model dikembangkan oleh Stake, CSE-UNCLA Evaluation Model, CIPP Evaluation Model dikembangkan Stufflebeam dan Discrepancy Evaluation Model dikembangkan oleh Prevus. C. Model Evaluasi CIPP (Context, Input, Process, dan Product) Arikunto dan Cepi (2010) model CIPP adalah model evaluasi yang memandang program yang dievaluasi sebagai sebuah sistem. Dengan demikian, jika tim elevator sudah menentukan model CIPP sebagai model yang akan digunakan untuk mengevaluasi program maka harus dianalisis terlebih dahulu berdasarkan komponenkomponennya. Evaluasi model CIPP dapat diterapkan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, manajemen, perusahaan, dan sebagainya serta dalam berbagai jenjang baik itu proyek, program maupun institusi. Model CIPP yang dikenalkan oleh Stufflebeam ini meliputi hal-hal sebagai berikut: a) Evaluasi Konteks (Context Evaluation), merupakan penggambaran dan spesifikasi tentang lingkungan program, kebutuhan yang belum dipenuhi, karakteristik populasi dan sampel dari individu yang dilayani dan tujuan program. Evaluasi konteks membantu merencanakan keputusan, menentukan 26

21 kebutuhan yang akan dicapai oleh program dan merumuskan tujuan program. b) Evaluasi Masukan (Input Evaluation), membantu mengatur keputusan, menentukan sumbersumber yang ada, alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai tujuan, bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya. Informasi yang terkumpul selama tahap penilaian hendaknya digunakan untuk menentukan sumber dan strategi di dalam keterbatasan dan hambatan yang ada. c) Evaluasi Proses (Process Evaluation) digunakan untuk mendeteksi atau memprediksi rancangan prosedur atau rancangan implementasi selama tahap implementasi, menyediakan informasi untuk keputusan program dan sebagai rekaman atau arsip prosedur yang telah terjadi. Pada dasarnya evaluasi proses untuk mengetahui sampai sejauh mana rencana telah diterapkan dan komponen apa yang perlu diperbaiki. d) Evaluasi Produk/Hasil (Product Evaluation), merupakan penilaian yang dilakukan untuk mengukur keberhasilan dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Dari hasil evaluasi proses diharapkan dapat membantu untuk membuat keputusan yang berkenaan dengan kelanjutan, akhir maupun modifikasi program, karena data yang dihasilkan akan sangat menentukan apakah program diteruskan, dimodifikasi, atau dihentikan (Widoyoko, 2011: ). Arikunto (2008: 47) menjelaskan secara rinci terkait evaluasi model CIPP, evaluasi context adalah upaya untuk menggambarkan dan merinci lingkungan, kebutuhan yang tidak terpenuhi, populasi dan sampel yang dilayani, dan tujuan. Evaluasi masukan (input), merupakan evaluasi yang bertujuan menyediakan informasi untuk 27

22 menentukan bagaimana menggunakan sumber daya yang tersedia dalam mencapai tujuan program. Evaluasi process menunjuk pada apa kegiatan yang dilakukan dalam program, siapa orang yang ditunjuk sebagai penanggungjawab program, kapan kegiatan akan selesai dilksanakan. Evaluasi product merupakan kumpulan deskripsi dan jugement outcomes dalam hubungannya dengan context, input, dan process, terkait dengan perencanaan, pelaksanaan, dan keberhasilan program sekolah inklusi. Berikut ini akan dibahas komponen atau dimensi model CIPP yang meliputi, context, input, process, product. Berikut adalah indikator yang akan dievaluasi dalam penelitian ini: a. Context Evaluasi conteks pada penelitian ini menyajikan keadaaan lingkungan pembelajaran yang dilihat dari karakteristik peserta didik yang dilayani di SD Negeri Klero 02. b. Input Evaluasi input berfokus pada pengumpulan informasi tentang kebijakan program sekolah inklusi terkait sarana prasarana dan sumber daya manusia di SD Negeri Klero 02. c. Process 28

23 Evaluasi process terkait dengan ketrampilan guru dalam merencanakan, melaksanakan, dan evaluasi di SD Negeri Klero 02. d. Product Evaluasi product yakni evaluasi keluaran (output). Evaluasi keluaran terarah pada prestasi akademik dan non akademik peserta didik dari pelaksanaan program sekolah inklusi di SD Negeri Klero 02. Penelitian ini merupakan studi evaluatif dengan menggunakan model CIPP (Conteks, Input, Process dan Product). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pelaksanaan program sekolah inklusi di SDN Klero 02. Dengan demikian evaluasi mencakup evaluasi konteks dan evaluasi input pada tahap perencanaan program, evaluasi proses pada tahap implementasi program, evaluasi produk yang mencakup evaluasi keluaran pada tahap akhir pelaksanaan program. Pada akhirnya hasil tersebut dapat menjadi pertimbangan bagi suatu alternative keputusan kegiatan selanjutnya. D. Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan Berikut ini merupakan beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian evaluasi program pelaksanaan sekolah inklusi, antara lain: 1. Penelitian Sunardi (2011) dengan judul The Implementation of Inclusive Education for Students with Special Needs in Indonesia Hasil penelitian menunjukkan, dalam hal manajemen institusi, 29

24 mayoritas sekolah-sekolah ini telah mengembangkan rencana strategis (untuk program inklusif), secara sah mengangkat para koordinator, melibatkan beberapa kelompok terkait, dan menyelenggarakan serangkaian rapat koordinasi rutin. Namun, masih banyak sekolah yang belum merestrukturisasi organisasi mereka. 2. Hartanti Sulihandari (2013), penelitiannya yang berjudul Pendidikan Agama Islam Berbasis Inklusi Bagi Siswa Tunanetra Di SMA Negeri 1 sewon Bantul menghasilkan (1)Sekolah yang ditunjuk mengadakan layanan pendidikan inklusi berhak melakukan berbagai modifikasi atau penyesuaian, baik alam hal kurikulum, sarana dan prasarana, tenaga pendidikan, sistem pembelajaran serta sistem penilaiannya. Pelaksanaan pendidikan agama Islam berbasis inklusi tidak terlepas dari komponenkomponen pembelajaran, yaitu kurikulum, pendidik, anak didik, materi, metode, media dan evaluasi. Kurikulum yang dipakai di SMA Negeri 1 Sewon adalah KTSP dengan modifikasi. (2) Kendala guru PAI alam menerapkan PAI berbasis inklusi bagi siswa tunanetra yaitu kurangnya ketrampilan guru dalam mengajar kelas inklusi, perhatian guru yang terbagi menjadi dua, keterbatasan waktu, dan keterbatasan media yang dimiliki sekolah serta perlunya sikap hati- 30

25 hati dalam menyampaikan materi pelajaran untuk menjaga perasaan tunanetra. 3. Winda (2012), dalam penelitiannya yang berjudul Pelaksanaan Inklusi di Sekolah Dasar Negeri 14 Pakan Sinayan Payakumbuh. Penelitiannya menyimpulkan pelaksanaan inklusi di SD Negeri 14 Pakan Sinayan Payakumbuh tidak berjalan sebagai mana mestinya. Dalam mengidentifikasi, asesmen, RPP, PPI, tanggung jawab dan peranan guru, sarana dan prasarana. Padahal hal itu tersebut penting dilakukan serta menjadi penentu keberhasilan program inklusi di SD Negeri 14 pakan Sinayan Payakumbuh. 4. Mohammed (2014) dalam penelitiannya yang berjudul Implementation of Inclusive Education in Ghanaian Primary Schools: A Look at Teachers Attitudes, menemukan bahwa guru bersikap positif terhadap inklusi tetapi memiliki sedikit pengetahuan tentang praktek inklusi. Hal ini terbukti dalam pengunaan adaptasi pembelajaran yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan individu. Oleh karena itu SD di Ghana yang mengimplementasikan program inklusi menitikberatkan pada perilaku/sikap guru yang berbeda dalam memperlakukan ABK. 5. Mitiku et all. (2014) dengan judul Challenges and Opportunities to Implement Inclusive Education, menemukan bahwa ada beberapa peluang yang 31

26 mendukung penddidikan inklusif tidak dapat diambil sebagai jaminan karena kurangnya kesadaran, komitmen, dan kolaborasi serta ada tantangan nyata yang menghambat implementasi penuh dari pendidikan inklusi. Secara umum dapat disimpulkan bahwa tantangan lebih besar daripada kesempatan pada implementasi penuh dari pendidikan inklusi dan harus ada kerjasama yang kuat diantara pemangku kepentingan, LSM, dan badan-badan yang bersangkutan dalam rangka mewujudkan perjalanan menuju pendidikan inklusi. Berdasarkan penelitian Sunardi (2011) menunjukkan dalam hal manajemen institusi, mayoritas sekolah-sekolah ini telah mengembangkan rencana strategis (untuk program inklusif), secara sah mengangkat para koordinator, melibatkan beberapa kelompok terkait, dan menyelenggarakan serangkaian rapat koordinasi rutin. Sulihandari (2013), penelitian ini menghasilkan Sekolah yang ditunjuk mengadakan layanan pendidikan inklusi berhak melakukan berbagai modifikasi atau penyesuaian, baik dalam hal kurikulum, sarana dan prasarana, tenaga pendidikan, sistem pembelajaran serta sistem penilaiannya. Kemudian Winda (2012), dalam penelitiannya menyimpulkan pelaksanaan inklusi di SD Negeri 14 Pakan Sinayan Payakumbuh tidak berjalan sebagai mana mestinya. 32

27 Mohammed (2014) dalam penelitiannya menemukan bahwa guru bersikap positif terhadap inklusi tetapi memiliki sedikit pengetahuan tentang praktek inklusi. Mitiku et all. (2014) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa ada beberapa peluang yang mendukung penddidikan inklusif tidak dapat diambil sebagai jaminan karena kurangnya kesadaran, komitmen, dan kolaborasi serta ada tantangan nyata yang menghambat implementasi penuh dari pendidikan inklusi Penelitian diatas menyatakan bahwa sekolah yang menyelenggaraan pendidikan inklusi telah mengembangkan rencana strategis untuk program inklusi dengan memodifikasi berbagai komponen seperti kurikulum dan pembelajaran. Namun dalam pelaksanaannya banyak mengalami kendala. Sekolah tidak mampu menyediakan tenaga pendidik yang trampil sesuai dengan kebutuhan. Sarana dan prasarana sekolah tidak dapat menyediakan pelayanan kepada semua siswa yang memiliki kebutuhan khusus. Dari penelitian diatas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang pendidikan inklusi. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti memiliki perbedaan dengan penelitian yang terdapat di atas. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan model evaluasi. Dimana penelitian ini menggunakan menggunakan suatu model evaluasi yaitu menggunakan model CIPP. 33

28 Model CIPP memiliki kelebihan lebih komprehensif karena mencakup konteks, input, proses dan produk. Model CIPP memiliki langkah-langkah yang jelas dalam mengungkapkan setiap urutan program. Selain itu model ini telah dikenal dan diterapkan oleh para evaluator. Akhir dari evaluasi ini bermanfaat untuk memberikan rekomendasi terhadap keberadaan program. Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan inklusi di SD Negeri Klero 02 dievaluasi dengan menggunakan model CIPP. E. Kerangka berfikir Evaluasi terhadap pelaksanaan program sekolah inklusi di SD Negeri Klero 02, bertujuan untuk mengevaluasi program tersebut. Model evaluasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah model evaluasi CIPP (context, input, process dan product). Kegiatan evaluasi terhadap komponen konteks dalam pelaksanaan program sekolah inklusi terkait karakteristik peserta didik yang ada. komponen input meliputi sarana dan prasarana dan sumberdaya manusia. Komponen proses meliputi pelaksanaan kegiatan pembelajaran dalam pelaksanaan program ini. Komponen produk adalah prestasi akademik dan non akademik peserta didik dari pelaksanaan program sekolah inklusi. Berdasarkan tujuan penelitian ini, bahwa kegiatan evaluasi terhadap pelaksanaan program sekolah inklusi berupaya untuk menganalisis program layanan tersebut melalui keempat komponen dalam model CIPP. Hasil dari 34

29 analisis keempat komponen tersebut, nantinya akan menghasilkan sebuah kesimpulan terhadap hasil evaluasi pelaksanaan program sekolah inklusi di SD Negeri Klero 02. Pada akhirnya kesimpulan tersebut dapat dijadikan rekomendasi untuk keberlanjutan program. Gambar Kerangka berfikir penelitian 35

30 36

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam lini kehidupan. Semua orang membutuhkan pendidikan untuk memberikan gambaran dan bimbingan dalam

Lebih terperinci

PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK YANG MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA

PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK YANG MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2009 1 TENTANG: PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK YANG MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2009

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2009 PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2009 TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK YANG MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA

Lebih terperinci

EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM INKLUSI SEKOLAH DASAR

EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM INKLUSI SEKOLAH DASAR K e l o l a Jurnal Manajemen Pendidikan Magister Manajemen Pendidikan FKIP Universitas Kristen Satya Wacana jurnalkelola@gmail.com ISSN 2549-9661 Volume: 4, No. 1, Januari-Juni 2017 Halaman: 109-120 EVALUASI

Lebih terperinci

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO agung_hastomo@uny.ac.id

Lebih terperinci

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO agung_hastomo@uny.ac.id Abstrak Artikel dengan judul Model penanganan Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah akan

Lebih terperinci

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS 1 BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai upaya meningkatkan

Lebih terperinci

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang : bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu negara memiliki kewajiban untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang khusus agar memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan dapat meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia serta untuk menyiapkan generasi masa kini sekaligus yang akan datang. Pendidikan

Lebih terperinci

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010 AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010 SIAPAKAH? ANAK LUAR BIASA ANAK PENYANDANG CACAT ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS PENDIDIKAN INKLUSIF Pendidikan inklusif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Agar keberlangsungan hidup setiap manusia terjamin maka kebutuhan dasar akan pendidikan harus terpenuhi sehingga lebih bermartabat dan percaya diri. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 68 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF KABUPATEN BANYUWANGI

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 68 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF KABUPATEN BANYUWANGI BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 68 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI, Menimbang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pendidikan Inklusif Ada beberapa pandangan mengenai definisi dari pendidikan inklusif. UNESCO (2009) menuliskan bahwa inclusive education is a process of strengthening the capacity

Lebih terperinci

A. Pengertian Evaluasi Program

A. Pengertian Evaluasi Program A. Pengertian Evaluasi Program Pemahaman mengenai pengertian evaluasi program dapat berbeda-beda sesuai dengan pengertian evaluasi yang bervariatif oleh para pakar evaluasi. Pengertian evaluasi menurut

Lebih terperinci

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 46 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA TASIKMALAYA Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA,

Lebih terperinci

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA PAREPARE

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA PAREPARE WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA PAREPARE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PAREPARE, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik yang terjadi pada peradaban umat manusia sebagian besar disebabkan oleh ketidakmampuan manusia untuk dapat menerima perbedaan yang terjadi diantara umat manusia

Lebih terperinci

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF SALINAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program akselerasi merupakan sebuah terobosan dalam dunia pendidikan. Program kelas akselerasi bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan kualitas sumberdaya

Lebih terperinci

penyelenggaraan pendidikan khusus, pendidikan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 tentang Pembentukan Provinsi Bengkulu (Lembaran Negara

penyelenggaraan pendidikan khusus, pendidikan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 tentang Pembentukan Provinsi Bengkulu (Lembaran Negara GUBERNUR BENGKULU PERATURAN GUBERNUR PROVINSI BENGKULU NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEI{YELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF PROVINSI BENGKULU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BENGKULU, Menimbang

Lebih terperinci

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN 2016

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN 2016 BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN 2016 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hakikat semua manusia yang ada dimuka bumi ini adalah sama. Semua manusia

BAB I PENDAHULUAN. Hakikat semua manusia yang ada dimuka bumi ini adalah sama. Semua manusia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hakikat semua manusia yang ada dimuka bumi ini adalah sama. Semua manusia sama-sama memiliki kebutuhan, keinginan dan harapan serta potensi untuk mewujudkanya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam upaya mewujudkan tujuan nasional.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Adanya perubahan paradigma baru tentang pendidikan, yaitu pendidikan untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas usia, tingkat

Lebih terperinci

WALIKOTA PROBOLINGGO

WALIKOTA PROBOLINGGO WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAN PENDIDIKAN KHUSUS DAN PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986, pemerintah telah merintis

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dan Kebudayaan No. 002/U/1986, pemerintah telah merintis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah dalam upaya pemerataan layanan pendidikan untuk menuntaskan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang berkualitas bagi semua anak di Indonesia mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan untuk membangun Negara yang merdeka adalah dengan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan tersebut telah diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah terdekat.

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah terdekat. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif menghargai keberagaman apapun perbedaannya. Pendidikan inklusif berkeyakinan bahwa setiap individu dapat berkembang sesuai dengan potensi yang

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 157 TAHUN 2014 TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 157 TAHUN 2014 TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 157 TAHUN 2014 TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK

Lebih terperinci

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF PROVINSI JAWA TIMUR

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan mempunyai peranan sangat strategis dalam pembangunan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan mempunyai peranan sangat strategis dalam pembangunan suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan mempunyai peranan sangat strategis dalam pembangunan suatu bangsa. Banyak kajian mengatakan tentang besarnya suatu bangsa dikarenakan pendidikan. Terdapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. Ramadhon (2013) dalam skripsinya yang berjudul Efektivitas Program

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI. Ramadhon (2013) dalam skripsinya yang berjudul Efektivitas Program BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI A. Tinjauan Pustaka Dari hasil pencarian dan penelusuran, ada beberapa penelitian yang hampir sama dengan penelitian ini, beberapa skripsi yaitu sebagai berikut:

Lebih terperinci

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No MEDAN MARELAN

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No MEDAN MARELAN Prosiding Seminar Nasional Multidisiplin Ilmu UNA 2017 1119 IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No. 067261 MEDAN MARELAN Dahniar Harahap* 1 dan Nina Hastina 2 1,2) Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah sebuah proses yang melekat pada setiap kehidupan bersama dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa pendidikan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Oleh karena itu negara memiliki kewajiban untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya manusia unggul dan kompetitif dalam upaya menghadapi tantangan perubahan dan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tesis ini bertujuan untuk menganalisis pelayanan pendidikan inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) 1. Dengan mengambil lokus pada Sekolah Menengah Pertama Negeri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak pada umumnya adalah suatu anugerah Tuhan yang sangat berharga dan harus dijaga dengan baik agar mampu melewati setiap fase tumbuh kembang dalam kehidupannya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan penting dalam perkembangan anak karena, pendidikan merupakan salah satu wahana untuk membebaskan anak dari keterbelakangan, kebodohan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI PROVINSI BANTEN

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI PROVINSI BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI PROVINSI BANTEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BANTEN, Menimbang : a. bahwa pembangunan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN 2016 Oleh SRI DELVINA,S.Pd NIP. 198601162010012024 SLB NEGERI PELALAWAN KEC. PANGKALAN KERINCI KAB. PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN

Lebih terperinci

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PADANG, Menimbang : a. bahwa dalam upaya memberikan

Lebih terperinci

TINJAUAN MATA KULIAH...

TINJAUAN MATA KULIAH... iii Daftar Isi TINJAUAN MATA KULIAH... xi MODUL 1: HAKIKAT PENDIDIKAN KHUSUS 1.1 Definisi dan Jenis Kebutuhan Khusus... 1.3 Latihan... 1.15 Rangkuman... 1.16 Tes Formatif 1..... 1.17 Penyebab dan Dampak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hak semua anak, tanpa terkecuali. Baik yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hak semua anak, tanpa terkecuali. Baik yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hak semua anak, tanpa terkecuali. Baik yang berkebutuhan khusus (tunanetra, tunarungu, tunagrahita ringan, autisme, lambat belajar dan tunalaras),

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan

Bab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan Bab I Pendahuluan 1.1. Latar belakang 1.1.1 Judul Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan Karakteristik Pengguna 1.1.2 Definisi dan Pemahaman Judul Perancangan : Berasal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kinerja Guru BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dilihat dari arti kata, kinerja berasal dari kata performance. Kata performance memberikan tiga arti, yaitu: (1) prestasi seperti dalam konteks atau kalimat high

Lebih terperinci

BAB II TELAAH PUSTAKA

BAB II TELAAH PUSTAKA BAB II TELAAH PUSTAKA 2.1 Definisi Evaluasi Terdapat beberapa definisi tentang evaluasi berdasarkan para ahli, Menurut Ralph W.Tyler dalam (Wirawan 2012:80) mendefinisikan evaluasi sebagai process of determining

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan upaya sadar untuk mengembangkan kemampuan peserta didik baik di dalam maupun di luar sekolah yang berlangsung seumur hidup. Melalui pernyataan tersebut

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH TENTANG PERATURAN GUBERNURACEH NOMOR 92 TAHUN 2012 PENYELENGGARAANPENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT ALLAHYANG MARA KUASA

GUBERNUR ACEH TENTANG PERATURAN GUBERNURACEH NOMOR 92 TAHUN 2012 PENYELENGGARAANPENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT ALLAHYANG MARA KUASA f, b~.,( (/ GUBERNUR ACEH '--..--- L Menimbang Mengingat PERATURAN GUBERNURACEH NOMOR 92 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAANPENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT ALLAHYANG MARA KUASA GUBERNURACEH, a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah berkewajiban memenuhi dan melindungi hak asasi tersebut dengan memberikan kesempatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manajemen program bimbingan dan konseling merupakan siklus yang meliputi perencanaan, pelaksanaan serta evaluasi. Siklus tersebut senantiasa saling berkaitan

Lebih terperinci

E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS)

E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS) Volume 5 Nomor 1 Maret 2016 http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu E-JUPEKhu (JURNAL ILMIAH PENDIDIKAN KHUSUS) Pelaksanaan Tugas Pokok Guru Pendidik Khusus di Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian dari hak asasi manusia dan hak setiap warga negara yang usaha pemenuhannya harus direncanakan dan dijalankan dan dievaluasi

Lebih terperinci

SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri

SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri PENINGKATAN HASIL BELAJAR PENGUKURAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) RINGAN MELALUI PEMBELAJARAAN KOOPERATIF SETTING INKLUSIF SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri Abstrak: Salah satu masalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbicara tentang pemerataan akses pendidikan di Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) baik yang diselenggarakan oleh

Lebih terperinci

Adaptif. Adaptif dapat diartikan sebagai, penyesuaian, modifikasi, khusus, terbatas, korektif, dan remedial.

Adaptif. Adaptif dapat diartikan sebagai, penyesuaian, modifikasi, khusus, terbatas, korektif, dan remedial. Adaptif Adaptif dapat diartikan sebagai, penyesuaian, modifikasi, khusus, terbatas, korektif, dan remedial. Pelatihan Adaptif Program latihan yang disesuaikan dengan kebutuhan perorangan yang dikarenakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. harus dapat merasakan upaya pemerintah ini, dengan tidak memandang

BAB I PENDAHULUAN. harus dapat merasakan upaya pemerintah ini, dengan tidak memandang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Upaya pemerataan pendidikan oleh pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar yang berkualitas memiliki makna yang sangat strategis untuk mencerdaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu alat merubah suatu pola pikir ataupun tingkah laku manusia dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak memiliki pengetahuan atau keterampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) seperti anak dengan hambatan penglihatan, anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class merupakan salah satu terobosan besar yang dicetuskan di dunia pendidikan. Hal ini karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga Negara dengan negaranya begitu juga sebaliknya. Hak dan kewajiban ini diatur dalam undang-undang

Lebih terperinci

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, maka peneliti

BAB V SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, maka peneliti BAB V SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, maka peneliti dapat mengemukakan beberapa simpulan sebagai berikut : A. Simpulan 1. Identitas, pengalaman dan pemahaman

Lebih terperinci

PROFIL PELAKSANAAN PEMBELAJARAN IPA BAGI ANAK TUNARUNGU DI SLB KABUPATEN SUKOHARJO

PROFIL PELAKSANAAN PEMBELAJARAN IPA BAGI ANAK TUNARUNGU DI SLB KABUPATEN SUKOHARJO PROFIL PELAKSANAAN PEMBELAJARAN IPA BAGI ANAK TUNARUNGU DI SLB KABUPATEN SUKOHARJO Dieni Laylatul Zakia, Sunardi, Sri Yamtinah Magister Pendidikan Luar Biasa, Pascasarjana UNS Jl. Ir. Sutami No. 36A, Surakarta,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

BAB I PENDAHULUAN. emosional, mental sosial, tapi memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan Luar Biasa merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses penbelajaran karena kelainan fisik,

Lebih terperinci

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

1 Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Semua orang berhak untuk mendapatkan pendidikan, karena dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 yang sudah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

BAB I PENDAHULUAN. segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara, 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pendidikan sangatlah penting bagi setiap manusia dalam rangka mengembangkan segala potensinya. Oleh sebab itu pendidikan harus diterima olah setiap warga negara,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Saat ini permasalahan pendidikan di Indonesia sangatlah penting dan ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Saat ini permasalahan pendidikan di Indonesia sangatlah penting dan ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Saat ini permasalahan pendidikan di Indonesia sangatlah penting dan ini merupakan sebuah kewajiban negara dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.

BAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pembukaan, alinea 4 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa tujuan dibentuknya negara Indonesia di antaranya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih terperinci

PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS

PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS PENDIDIKAN KHUSUS & PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS HERRY WIDYASTONO Kepala Bidang Kurikulum Pendidikan Khusus PUSAT KURIKULUM BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL 6/9/2010 Herry

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ai Nuraeni, 2014 Pembelajaran PAI Untuk Siswa Tunarungu Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.

BAB I PENDAHULUAN. Ai Nuraeni, 2014 Pembelajaran PAI Untuk Siswa Tunarungu Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta didik dalam hal perkembangan potensinya dalam semua aspek. Sejalan dengan perkataan A.

Lebih terperinci

A. Perspektif Historis

A. Perspektif Historis A. Perspektif Historis Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Indonesia dimulai ketika Belanda masuk ke Indonesia. Mereka memperkenalkan system persekolahan dengan orientasi Barat. Untuk pendidikan bagi anak-anak

Lebih terperinci

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Anak Berkebutuhan Khusus (Children with special needs) atau yang sering disingkat ABK adalah anak yang memiliki perbedaan dalam keadaan dimensi penting dari

Lebih terperinci

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART

MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART MENUJU SEKOLAH INKLUSI BERSAMA SI GURUKU SMART GUNAWAN WIRATNO, S.Pd SLB N Taliwang Jl Banjar No 7 Taliwang Sumbawa Barat Email. gun.wiratno@gmail.com A. PENGANTAR Pemerataan kesempatan untuk memperoleh

Lebih terperinci

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 100 TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN DAN KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA UNIT PELAKSANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat telah banyak mengangap bahwa anak yang dilahirkan karena suatu

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat telah banyak mengangap bahwa anak yang dilahirkan karena suatu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap menusia yang terlahir di dunia ini mempunyai hak dan kewajiban yang sama, dan kita menyadari bahwasanya setiap anak yang terlahir pastilah ada yang

Lebih terperinci

GUBERNUR ACEH PERA TURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang Mengingat a. Bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 065 TAHUN T 9 TAHUN 2006 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 065 TAHUN T 9 TAHUN 2006 TENTANG PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 065 TAHUN 2012 2 T 9 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KHUSUS, PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS, PENDIDIKAN INKLUSIF, PENDIDIKAN ANAK CERDAS ISTIMEWA DAN/ATAU

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia tidak hanya diperuntukkan bagi anak- anak yang normal saja, tetapi juga untuk anak yang berkebutuhan khusus. Oleh karena itu pemerintah

Lebih terperinci

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 24 TAHUN

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 24 TAHUN SALINAN WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 24 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BATU, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan nasional yang secara tegas dikemukakan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Tujuan tersebut berlaku bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Iding Tarsidi, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Iding Tarsidi, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang mandiri... (UURI No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pendidikan menjadi hak bagi setiap individu, bukan hanya individu dengan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pendidikan menjadi hak bagi setiap individu, bukan hanya individu dengan BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Tinjauan mengenai Pendidikan Inklusi a. Pengertian Pendidikan Inklusi Pendidikan menjadi hak bagi setiap individu, bukan hanya individu dengan keadaan normal saja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi setiap manusia, tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (SUSENAS) Tahun 2004 adalah : Tunanetra jiwa, Tunadaksa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (SUSENAS) Tahun 2004 adalah : Tunanetra jiwa, Tunadaksa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak berkebutuhan khusus di Indonesia bila dilihat dari data statistik jumlah Penyandang Cacat sesuai hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2004 adalah

Lebih terperinci

EVALUASI menurut Suharsimi Arikunto menyebutkan bahwa: Evaluasi merupakan kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang

EVALUASI menurut Suharsimi Arikunto menyebutkan bahwa: Evaluasi merupakan kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang EVALUASI menurut Suharsimi Arikunto menyebutkan bahwa: Evaluasi merupakan kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan

Lebih terperinci

STUDI DESKRIPTIF PELAKSANAAN TUGAS POKOK GURU PEMBIMBING KHUSUS PADA SEKOLAH INKLUSIF DI KECAMATAN GEDANGAN SIDOARJO

STUDI DESKRIPTIF PELAKSANAAN TUGAS POKOK GURU PEMBIMBING KHUSUS PADA SEKOLAH INKLUSIF DI KECAMATAN GEDANGAN SIDOARJO STUDI DESKRIPTIF PELAKSANAAN TUGAS POKOK GURU PEMBIMBING KHUSUS PADA SEKOLAH INKLUSIF DI KECAMATAN GEDANGAN SIDOARJO Dewi Ferlina Mart Diana dan Drs. Sujarwanto, M. Pd (Pendidikan Luar Biasa, Fakultas

Lebih terperinci

CIPP (Context, Input, Process, Product) Oleh : Hasim Asngari NIM :

CIPP (Context, Input, Process, Product) Oleh : Hasim Asngari NIM : CIPP (Context, Input, Process, Product) Oleh : Hasim Asngari NIM : 2015082087 The CIPP Evaluasi Model ini dikembangkan oleh Daniel L. Stufflebeam pada tahun 1966, dan selanjutnya diperbarui sepanjang tahun,

Lebih terperinci

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP

PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP PERUBAHAN PARADIGMA PENDIDIKAN KHUSUS/PLB KE PENDIDIKAN KEBUTUHAN KHUSUS DRS. ZULKIFLI SIDIQ M.PD NIP. 131 755 068 PENDIDIKAN KHUSUS/PLB (SPECIAL EDUCATION) Konsep special education (PLB/Pendidikan Khusus):

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkebutuhan khusus. Permasalahan pendidikan sebenarnya sudah lama

BAB I PENDAHULUAN. berkebutuhan khusus. Permasalahan pendidikan sebenarnya sudah lama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Masalah difabel atau penyandang ketunaan merupakan satu masalah yang kompleks karena menyangkut berbagai aspek. Salah satu hal yang masih menjadi polemik adalah

Lebih terperinci

Seminar Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN

Seminar Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini menjelaskan mengenai latar belakang permasalahan yang menjadi acuan dari penulisan laporan ini. Dari latar belakang permasalahan tersebut maka dapat diuraikan pokok-pokok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan

BAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak berhak mendapat pendidikan, hal ini telah tercantum dalam deklarasi universal 1948 yang menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak atas pendidikan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Dalam konteks praktis pendidikan terjadi pada lembaga-lembaga formal

BAB I PENDAHULUAN. internasional. Dalam konteks praktis pendidikan terjadi pada lembaga-lembaga formal 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Pendidikan telah menjadi bagian kehidupan yang diamanatkan secara nasional maupun internasional. Dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris.

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penddikan adalah hak setiap warga negara. Negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan untuk semua warga negaranya tanpa diskriminasi. Pendidikan untuk semua diwujudkan

Lebih terperinci