BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class
|
|
- Ivan Darmali
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan inklusif atau yang sering disebut dengan inclusive class merupakan salah satu terobosan besar yang dicetuskan di dunia pendidikan. Hal ini karena pendidikan inklusif merupakan suatu sistem pendidikan dimana anak berkebutuhan khusus (ABK) dapat mengikuti proses belajarmengajar dengan anak pada umumnya dalam satu ruang lingkup yang sama pada sekolah reguler. Pendidikan inklusif dirancang untuk menghargai persamaan hak masyarakat atas pendidikan tanpa membedakan usia, gender, etnik, bahasa, kekurangan, dan keterbatasan lainya yang dimiliki seseorang. Pendidikan inklusif juga disebut-sebut sebagai salah satu komitmen yang dilakukan untuk mencapai target dari kebijakan global yakni Education For All yang diprakarsai oleh UNESCO. Kebijakan Education for All sendiri merupakan upaya untuk mewujudkan hak asasi manusia dalam pendidikan yang disebutkan dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia. Seperti yang tertera pada pasal 26 ayat 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948 menyatakan bahwa: Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan kepantasan. Istilah pendidikan inklusif pertama kali muncul dalam dokumen kebijakan internasional: The Salamanca Statement, The World Conference on Special Needs Education, Spanyol 1994 bekerjasama dengan UNESCO. 1
2 2 Dalam konferensi yang dihadiri lebih dari 300 peserta yang mewakili 92 pemerintahan di dunia tersebut mempromosikan tentang kebijakan pendidikan inklusif yang memungkinkan setiap sekolah untuk melayani semua anak, terutama mereka dengan kebutuhan pendidikan khusus. Hadirnya pendidikan inklusif di dunia juga sebagai upaya untuk mengatasi masalah pemerataan pendidikan, khususnya pelayanan pendidikan bagi penyandang disabilitas yang jumlahnya tidak sedikit. Menurut data dari PBB seperti dikutip oleh Hikmawati dan Rusmiyati (2011) dalam Sulistyadi (2014:2) menyatakan bahwa pada tahun 2010 terdapat 12% penyandang disabilitas dari jumlah populasi penduduk di dunia atau sekitar 650 juta jiwa adalah penyandang disabilitas, dimana hampir 25% dari jumlah tersebut atau sekitar 163 juta orang adalah kelompok anak usia sekolah. Sistem pendidikan berbasis inklusif juga turut merubah paradigma masyarakat bahwa anak berkebutuhan khusus harusnya disekolahkan di lembaga-lembaga tertentu seperti di Sekolah Luar Biasa (SLB). Pendidikan inklusif pun dapat mengurangi segala bentuk diskriminasi dan pengucilan dari masyarakat bagi anak berkebutuhan khusus karena mereka dapat bersekolah di sekolah reguler bercampur dengan anak pada umumnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif di berbagai negara menunjukan hal yang positif. Pendidikan inklusif dapat diterima dan berjalan normal sesuai dengan tujuan pemerintah maupun sekolah penyelenggara. Tahun 1997, model pendidikan inklusif telah diterapkan di Taiwan, sejak saat itu departemen pendidikan secara khusus menerbitkan peraturan tentang Taiwan Special Education Act (TWSE). Regulasi tersebut mengatur terkait
3 3 pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang diikutsertakan dalam kelas umum dan diberikan jadwal yang sesuai dengan kurikulum pendidikan umum di Taiwan. Melalui regulasi tersebut, di tahun ajaran 2012 sebanyak 84% anak dengan kebutuhan khusus (ABK) menerima pendidikan di kelas umum dan berbaur dengan siswa normal lainya (Chen dan Chiu, 2015: ). Pendidikan inklusif juga dikembangkan di Australia dengan menggunakan bahasa lokal yang diberikan dari guru di masing-masing sekolah yang meliputi precision teaching, task analysis, baselines dan ecological analysis. Mereka meyakini bahwa kontribusi sekecil apapun dari guru akan berpengaruh terhadap kelas inklusif yang dijalaninya. Bentuk dukungan dari orang tua dan masyarakat setempat juga diperlukan dalam model pendidikan inklusif tersebut. Yang terpenting ialah tidak perlu membeda-bedakan dan meragukan seorang siswa dengan jenis kekuranganya layak untuk masuk ke dalam sekolah tertentu (Jenkinson, 2000: 5-6). Negara-negara di Eropa timur, pendidikan inklusif dikembangkan dengan metode pendekatan berbasis kompetensi. Dimana kesiapan guru menjadi prioritas utama dalam menentukan tingkat keberhasilan pendidikan inklusif. Adapun pendekatan berbasis kompetensi yang dimaksudkan terbagi ke dalam tiga hal; (a) akademik, dimana pendekatan ini mengadopsi nilai-nilai pendidikan inklusif, pengetahuan tentang Konvensi Hak Penyandang Disabilitas dan sebagainya. (b) profesional, pendekatan ini lebih merujuk pada ketrampilan yang dimiliki guru meliputi kemampuan menganalisis, membentuk model pembelajaran inklusif, dan kemampuan melihat kepribadian anak. (c) kepribadian sosial, sedangkan pendekatan ini meliputi
4 4 sikap seorang guru dalam menghadapi berbagai situasi sosial di lingkungan pendidikan inklusif (Hitryuk, 2013: 72-73). Dari beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan inklusif diatas, pendidikan inklusif menjadi sangat esensial keberadaanya di dunia pendidikan. Namun tentunya juga dipengaruhi oleh beberapa hal yakni adanya kebijakan yang dikeluarkan oleh negara yang mendukung pendidikan inklusif, kontribusi dari sekolah penyelenggara (meliputi guru, orang tua murid, masyarakat) dan sistem pendidikan berbasis inklusif yang mendukung proses belajar-mengajar di sekolah. Konsep pendidikan inklusif yang juga muncul ialah Convention on the Rights of Person with Disabilities and Optional Protocol yang dikeluarkan oleh PBB Pada tanggal 13 Desember Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani konvensi tersebut pada Maret 2007 di New York. Konvensi ini secara keseluruhan membahas tentang hak-hak kaum difabel di seluruh dunia. Salah satu isi konvensi yang menyinggung tentang pendidikan inklusif ialah pada pasal 24 disebutkan bahwa setiap negara berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan inklusif di setiap tingkatan pendidikan. ( diakses 22 september 2015) Di Indonesia berdasarkan survey yang dilakukan dari tahun ke tahun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) jumlah penyandang difabilitas cenderung mengalami peningkatan. Data terakhir yang diperoleh pada tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah penyandang difabilitas di Indonesia mencapai sekitar 2% dari
5 5 total jiwa penduduk Indonesia, atau sebesar jiwa. Sedangkan di tahun yang sama, jumlah penyandang difabilitas usia sekolah di Indonesia sebesar jiwa, atau sekitar 14,56% dari total penduduk penyandang difabilitas di Indonesia. Sebagai salah satu negara yang turut dalam konvensi dunia, Indonesia juga berperan cukup aktif untuk mendukung terselenggaranya pendidikan inklusif. Pada tanggal 8-14 Agustus 2004, Deklarasi Bandung dengan komitmen Indonesia menuju Pendidikan Inklusif menjadi langkah awal tumbuhnya pendidikan inklusif di negara ini. Dari hasil deklarasi tersebut berisi tentang himbauan kepada pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri serta masyarakat untuk dapat menjamin dan menyelenggarakan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dengan akses dan kesempatan yang sama dengan anak pada umumnya. Sebagai tindak lanjut dari Deklarasi Bandung, pemerintah melalui Permendiknas No. 70 Tahun 2009 menerbitkan kebijakan pendidikan inklusif untuk diselenggarakan disetiap kabupaten/ kota. Pengertian dari pendidikan inklusif sendiri sesuai dengan Permendiknas No. 70 Tahun 2009 Pasal 1 ialah: Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya Adapun peserta didik yang dimaksudkan sesuai Permendiknas No. 70 Tahun 2009 Pasal 3 ialah :
6 6 1. Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusiff pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. 2. Peserta didik yang memiliki kelainan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas: Tunanetra; Tunarungu; Tunawicara; Tunagrahita; Tunadaksa; Tunalaras; Berkesulitan belajar; Lamban belajar; Autis; Memiliki gangguan motorik; Menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya; Memiliki kelainan lainnya; Tunaganda. Kehadiran pendidikan inklusif di Indonesia merupakan salah satu bentuk tindak lanjut pemerintah dalam upaya memberikan kesamaan dan kesetaraan akses pendidikan bagi masyarakat. Meskipun dalam praktiknya, tentu masih terdapat banyak kekurangan. Di tahun 2013 jumlah anak berkebutuhan khusus yang yang telah tertangani dan masuk dalam pendidikan inklusif baru berjumlah anak dari total anak. ( com/berita, diakses 24 September 2015). Pendidikan inklusif memiliki tingkat kesulitan yang cukup rumit. Hal ini disebabkan perlunya peran dan partisipasi dari banyak pihak, mulai dari orang tua, sekolah dan tentunya masyarakat sekitar. Penyelenggaraan pendidikan inklusif merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan tatanan masyarakat inklusif (inclusive society). Yakni sebuah tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman dan tidak memandang suatu perbedaan sebagai masalah yang kompleks. Pemerintah melalui PP.No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 41 ayat 1 telah mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusif dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga pendidik yang
7 7 mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus. Sebagai kelanjutan dari regulasi-regulasi yang telah diterbitkan pemerintah, banyak daerah-daerah di Indonesia yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai kota inklusif. Namun penyelenggaraan kebijakan pendidikan inklusif di Indonesia tidak selalu membuahkan hasil sesuai dengan tujuan. Di Surakarta, implementasi pendidikan inklusif pada tiga sekolah menengah pertama (SMP) mendapatkan hasil bahwa masih banyak komponen yang belum terpenuhi dalam rangka kesiapan sekolah menyelenggarakan pendidikan inklusif (Septianingrum, 2012: ). Sedangkan kajian lainya yang mengambil sampel di salah satu sekolah menengah atas (SMA), menyebutkan bahwa peran dari guru pendamping khusus (GPK) masih sekitar 60%. Dengan kata lain, peran GPK dalam membantu penyelenggaraan pendidikan inklusif di SMA di Surakarta masih belum optimal (Prawesti, 2013: 77-78). Di daerah lainnya, yakni Kabupaten Wonogiri implementasi penyelenggaraan pendidikan inklusif di salah satu SMP Negeri dapat dikatakan kurang berhasil. Hal ini ditengarai oleh beberapa hal seperti kurangnya kemampuan guru reguler dalam mengajar siswa ABK, tidak tersedianya GPK dalam sekolah tersebut, serta kurangnya anggaran untuk memberikan sarana prasarana guna memfasilitasi ABK yang ada di sekolah tersebut (Wulanningsih, 2013: 89-90). Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Sidoarjo, sebagai salah satu kabupaten yang memiliki jumlah sekolah inklusif paling banyak di Jawa
8 8 Timur tentunya juga menghadapi berbagai kendala dalam implementasinya. Diantaranya ialah kurangnya pemahaman bagi sekolah-sekolah yang ditunjuk terhadap isi pedoman umum dan khusus penyelenggaraan pendidikan inklusif. Selain itu juga kualitas dari GPK yang disediakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo yang kurang optimal dalam proses belajar mengajar, dan yang terakhir terkait minimnya anggaran yang disediakan pemerintah yang berakibat pada sekolah-sekolah penyelenggara tidak dapat memberikan sarana dan prasarana yang sesuai standar kebutuhan (Sulistyadi, 2014: 8-9). Melihat masih banyaknya daerah-daerah penyelenggara pendidikan inklusif yang kurang berhasil dalam implementasinya, menjadikan penulis tertarik untuk mengkaji salah satu daerah yang juga menyelenggarakan pendidikan inklusif di Provinsi Jawa Timur, yakni Kabupaten Pacitan. Kabupaten Pacitan merupakan salah satu daerah yang memiliki peraturan khusus tentang pendidikan inklusif. Melalui Peraturan Bupati Nomor 38 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Pacitan, telah ditunjuk dan ditetapkan 90 sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dibawah Keputusan Kepala Dinas Kabupaten Pacitan baik formal maupun non formal dan Keputusan Kepala Kantor Kementrian Agama Kabupaten Pacitan yang terdiri dari pendidikan anak usia dini (PAUD), sekolah dasar (SD), dan sekolah menengah pertama (SMP). Kabupaten Pacitan juga merupakan salah satu dari enam kota di Provinsi Jawa Timur yang meraih predikat Inclusive Award yaitu penghargaan bagi pelopor pembudayaan pendidikan inklusif di Indonesia yang diberikan oleh
9 9 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI di tahun 2013 ( tribunnews.com, diakses pada 2 Oktober 2015). Hal ini tentunya menimbulkan banyak spekulasi apakah implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kabupaten Pacitan juga mengalami ketidakberhasilan seperti daerah yang telah disebutkan diatas, atau justru Kabupaten Pacitan dapat memberikan perubahan yang positif khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia. Dibandingkan 6 Kabupaten di Jawa Timur yang memperoleh predikat Inclusive Award yakni Kota Malang, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Gresik, Kabupaten Bojonegoro, dan Kabupaten Trenggalek, di tahun Kabupaten Pacitan memiliki peringkat cukup rendah perihal pendidikan yakni dalam Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Partisipasi Murni (APM), dan Angka Partisipasi Sekolah (APS). Pada tahun 2013 di kelompok usia 7-12 tahun APK Kabupaten Pacitan menduduki peringkat ketiga setelah Kabupaten Trenggalek dan Kota Malang dengan angka 103,08. Sedangkan di kelompok usia tahun Kabupaten Pacitan menduduki peringkat keempat sebelum Kabupaten Trenggalek dan Kota Malang yakni diangka 91,58. Untuk APS sendiri pada tahun 2013, di kelompok usia 7-12 tahun Kabupaten Pacitan menduduki peringkat keempat sebelum Kabupaten Blitar dan Kota Malang dengan angka 99,14. Dan di kelompok usia tahun, Kabupaten Pacitan menduduki peringkat kelima sebelum Kota Malang dengan angka 93,62. Sedangkan untuk APM pada tahun 2013 di kelompok usia 7-12 tahun Kabupaten Pacitan menduduki peringkat ketiga setelah Kabupaten Trenggalek dan Kota Malang dengan angka 93,93 dan di kelompok usia 13-
10 10 15 tahun Kabupaten Pacitan menduduki peringkat keempat sebelum Kabupaten Bojonegoro dan Kota Malang dengan angka 74,33. Berikut merupakan APK, APM, dan APS Kabupaten Pacitan pada tahun Tabel 1.1 Angka Partisipasi Menurut Kelompok Usia Sekolah di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur Kelompok Usia APK (Angka Partisipasi Kasar) APM (Angka Partisipasi Murni) APS (Angka Partisipasi Sekolah ) Sekolah (Dalam Persen) Usia 7-12 Thn (SD) 102,29 103,08 92,54 93,93 98,68 99,14 Usia Thn (SMP) 95,60 91,58 76,29 76,19 90,34 93,62 Usia Thn (SMA) 67,49 51,28 50,81 37,21 61,05 48,19 Sumber: Badan Pusat Statistik, Provinsi Jawa Timur, 2015 Sebagai salah satu daerah yang menyandang predikat Inclusive Award namun masih memiliki angka partisipasi pendidikan yang cukup rendah di Provinsi Jawa Timur, tentunya menimbulkan berbagai macam dugaan. Sebab pendidikan formal non inklusif yang semestinya menjadi prioritas pemerintah daerah pada faktanya masih di posisi rendah, namun bagaimana mungkin pendidikan inklusif yang baru saja ditetapkan justru meraih penghargaan dari Provinsi Jawa Timur. Hal ini yang menjadi salah satu daya tarik untuk melakukan kajian penelitian di Kabupaten Pacitan. Menurut data dari WHO (2005) terdapat sekitar 7 10 % anak berkebutuhan khusus dari total populasi anak di suatu wilayah. Ini berarti terdapat sekitar 14 ribu anak berkebutuhan khusus dari jiwa anak di
11 11 Kabupaten Pacitan. Di tahun 2014, jumlah ABK yang mengenyam bangku pendidikan di sekolah inklusi hanya sekitar anak. Dengan demikian dapat dikatakan ABK yang mendapatkan pelayanan pendidikan inklusif di Kabupaten Pacitan belum ada sepertiganya. Adapun jumlah siswa inklusif di Kabupaten Pacitan sesuai dengan jenjang pendidikan ialah sebagai berikut : Tabel 1.2 Rekapitulasi Pendataan ABK Tahun 2014 Di Kabupaten Pacitan Jenjang Jumlah TK 307 SD 798 SMP 31 SMA /SMK 2 JUMLAH Sumber : Pokja Pendidikan Inklusif Kab. Pacitan, diolah Melihat dari kondisi di atas Kabupaten Pacitan yang telah memiliki peraturan khusus pendidikan inklusif dan menjadi salah satu kota dengan predikat Inclusive Award, namun belum merangkul seluruh ABK untuk menikmati bangku pendidikan menjadikan penulis tertarik untuk melihat bagaimana proses implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kabupaten Pacitan khususnya pada sekolah-sekolah penyelenggara. Dalam hal ini penulis memfokuskan pada studi implementasi, sebab implementasi merupakan sebuah tahap perealisasian suatu kebijakan sehingga dapat diketahui apa saja yang dilakukan oleh pelaksana kebijakan untuk mencapai tujuan dari kebijakan yang telah ditetapkan. Chief J. O. Udoji, 1981 dalam Leo Agustino (2008: 140) menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan hanya akan berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip
12 12 apabila tidak diimplementasikan. Hal serupa juga dipertegas oleh pernyataan Nugroho (2011: 119) : Rencana adalah 20% keberhasilan, implementasi adalah 60%, 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat karena disini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. selain itu ancaman utama adalah konsistensi implementasi. Dengan demikian dapat disimpulkan betapa pentingnya sebuah studi implementasi kebijakan guna mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan dari program atau kebijakan yang telah dijalankan tersebut. Dengan merujuk atas dasar pemikiran tersebut peneliti merumuskan penelitian dengan judul Analisis Kebijakan Pendidikan Inklusif Di Kabupaten Pacitan (Studi Implementasi Peraturan Bupati Pacitan Nomor 38 Tahun 2012 Pada Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif). 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis dapat merumuskan masalah yang akan diteliti, sebagai berikut : 1. Bagaimana implementasi Peraturan Bupati Pacitan Nomor 38 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Pacitan Pada Sekolah Penyelenggara? 2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi implementasi Peraturan Bupati Pacitan Nomor 38 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Pacitan Pada Sekolah Penyelenggara? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun Tujuan dari penelitian ini adalah:
13 13 1. Untuk menganalisa implementasi Peraturan Bupati Pacitan Nomor 38 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Pacitan Pada Sekolah Penyelenggara. 2. Untuk mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi Peraturan Bupati Pacitan Nomor 38 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Pacitan Pada Sekolah Penyelenggara. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah 1. Manfaat Teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk mengaplikasikan ilmu kebijakan publik khususnya studi implementasi kebijakan dengan praktik lapangan dalam hal ini adalah kebijakan pendidikan inklusif di Kabupaten Pacitan. 2. Manfaat Praktis a. Penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pembuat dan pengambil keputusan bagi pemerintah Kabupaten Pacitan dalam Pengimplementasian Peraturan Bupati Pacitan Nomor 38 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kabupaten Pacitan. b. Penulisan ini diharapkan agar masyarakat peka terhadap pendidikan khusunya bagi anak berkebutuhan khusus, sehingga turut mendukung kegiatan pemerintah mengimplementasikan kebijakan.
BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu negara memiliki kewajiban untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan dapat meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia serta untuk menyiapkan generasi masa kini sekaligus yang akan datang. Pendidikan
Lebih terperinciGUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF
GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA
Lebih terperinciAHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010
AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010 SIAPAKAH? ANAK LUAR BIASA ANAK PENYANDANG CACAT ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS PENDIDIKAN INKLUSIF Pendidikan inklusif
Lebih terperinciBUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF
BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang : bahwa
Lebih terperinciBUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS
1 BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS Menimbang DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI CIAMIS,
Lebih terperinciBUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI GARUT, Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga Negara dengan negaranya begitu juga sebaliknya. Hak dan kewajiban ini diatur dalam undang-undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik yang terjadi pada peradaban umat manusia sebagian besar disebabkan oleh ketidakmampuan manusia untuk dapat menerima perbedaan yang terjadi diantara umat manusia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kejadian diskriminasi terhadap anak berkebutuhan khusus sering kali terjadi di Indonesia. Menurut Komnas HAM, anak berkebutuhan khusus yang merupakan bagian
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah sebuah proses yang melekat pada setiap kehidupan bersama dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa pendidikan tidak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang berusaha menjangkau semua orang termasuk anak berkebutuhan khusus, hal ini dapat pula diartikan sebagai upaya meningkatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu tujuan untuk membangun Negara yang merdeka adalah dengan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan tersebut telah diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pendidikan yang bermutu merupakan ukuran keadilan, pemerataan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada dasarnya merupakan bagian dari hak asasi manusia dan hak setiap warga negara yang usaha pemenuhannya harus direncanakan dan dijalankan dan dievaluasi
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2009
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2009 TENTANG PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK YANG MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting dalam lini kehidupan. Semua orang membutuhkan pendidikan untuk memberikan gambaran dan bimbingan dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penddikan adalah hak setiap warga negara. Negara berkewajiban menyelenggarakan pendidikan untuk semua warga negaranya tanpa diskriminasi. Pendidikan untuk semua diwujudkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang khusus agar memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan
Lebih terperinciPENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK YANG MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA
PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2009 1 TENTANG: PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK YANG MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan penting dalam perkembangan anak karena, pendidikan merupakan salah satu wahana untuk membebaskan anak dari keterbelakangan, kebodohan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. atas pendidikan. Unesco Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencanangkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap anak berhak mendapat pendidikan, hal ini telah tercantum dalam deklarasi universal 1948 yang menegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak atas pendidikan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dijamin dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum internasional maupun. nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk bekal mengarungi samudera kehidupan yang semakin penuh dengan persaingan. Oleh karena itu pendidikan menjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tesis ini bertujuan untuk menganalisis pelayanan pendidikan inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) 1. Dengan mengambil lokus pada Sekolah Menengah Pertama Negeri
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya manusia unggul dan kompetitif dalam upaya menghadapi tantangan perubahan dan perkembangan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah sebuah hak asasi sekaligus sebuah sarana untuk merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan sangat strategis
Lebih terperinciWALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA PAREPARE
WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA PAREPARE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PAREPARE, Menimbang : a. bahwa
Lebih terperincipenyelenggaraan pendidikan khusus, pendidikan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 tentang Pembentukan Provinsi Bengkulu (Lembaran Negara
GUBERNUR BENGKULU PERATURAN GUBERNUR PROVINSI BENGKULU NOMOR 50 TAHUN 2015 TENTANG PEI{YELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF PROVINSI BENGKULU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BENGKULU, Menimbang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menjadi kebutuhan paling dasar untuk membangun kehidupan suatu bangsa karena menjadi modal utama dalam pengembangan sumber daya manusia. Bangsa Indonesia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ema Rahmawati, 2014 Kompetensi guru reguler dalam melayani anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik 1945, Amandemen IV Pembukaan, alinea IV yaitu dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. harus dapat merasakan upaya pemerintah ini, dengan tidak memandang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Upaya pemerataan pendidikan oleh pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar yang berkualitas memiliki makna yang sangat strategis untuk mencerdaskan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu hak asasi manusia yang melekat pada diri setiap warga dari suatu negara. Rumusan pendidikan sebagai bagian dari HAM itu terlihat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berkembang sesuai dengan kodrat kemanusiaannya.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam pembukaan, alinea 4 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa tujuan dibentuknya negara Indonesia di antaranya adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Lebih terperinciPROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF
SALINAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN BUPATI BELITUNG TIMUR NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BELITUNG TIMUR, Menimbang
Lebih terperinciKata Kunci : Pendidikan Inklusi, Sekolah Inklusi, Anak Berkebutuhan Khusus.
SEKOLAH INKLUSI SEBAGAI PERWUJUDAN PENDIDIKAN TANPA DISKRIMINASI (Studi Kasus Pelaksanaan Sistem Pendidikan Inklusi di SMK Negeri 9 Surakarta) Nurjanah K8409047 Pendidikan Sosiologi Antropologi ABSTRAK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. (SUSENAS) Tahun 2004 adalah : Tunanetra jiwa, Tunadaksa
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anak berkebutuhan khusus di Indonesia bila dilihat dari data statistik jumlah Penyandang Cacat sesuai hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2004 adalah
Lebih terperinciBERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN 2016
BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN 2016 PERATURAN GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kasus yang akan dieksplorasi. SD Negeri 2 Bendan merupakan salah satu sekolah
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ini ditujukan untuk mengekesplorasi praktik pelaksanaan dan pengembangan sekolah inklusif. Penelitian dilakukan dengan menjadikan SD Negeri 2 Bendan, Kecamatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hak asasi hidup setiap manusia. Oleh karena itu,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hak asasi hidup setiap manusia. Oleh karena itu, setiap manusia memiliki hak untuk memperoleh pendidikan yang layak dan bermutu sesuai
Lebih terperinciA. Perspektif Historis
A. Perspektif Historis Pendidikan Luar Biasa (PLB) di Indonesia dimulai ketika Belanda masuk ke Indonesia. Mereka memperkenalkan system persekolahan dengan orientasi Barat. Untuk pendidikan bagi anak-anak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Adanya perubahan paradigma baru tentang pendidikan, yaitu pendidikan untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas usia, tingkat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. internasional. Dalam konteks praktis pendidikan terjadi pada lembaga-lembaga formal
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan hak bagi setiap warga negara tanpa kecuali. Pendidikan telah menjadi bagian kehidupan yang diamanatkan secara nasional maupun internasional. Dalam
Lebih terperinci37 PELAKSANAAN SEKOLAH INKLUSI DI INDONESIA
37 PELAKSANAAN SEKOLAH INKLUSI DI INDONESIA Oleh: Indah Permata Darma, & Binahayati Rusyidi E-mail: (indahpermatadarma@gmail.com; titi.rusyidi06@gmail.com) ABSTRAK Sekolah inklusi merupakan salah satu
Lebih terperinciBUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 68 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF KABUPATEN BANYUWANGI
BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 68 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF KABUPATEN BANYUWANGI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI, Menimbang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Terkait dengan isu Social Development: Eradication of Poverty, Creation of
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terkait dengan isu Social Development: Eradication of Poverty, Creation of Productive Employement and Social Integrationyaitu Promote equal access to all levels of
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF PROVINSI JAWA TIMUR
GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF PROVINSI JAWA TIMUR GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 157 TAHUN 2014 TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS
SALINAN PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 157 TAHUN 2014 TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif merupakan paradigma baru pendidikan kita dan merupakan strategi untuk mempromosikan pendidikan universal yang efektif karena dapat menciptakan sekolah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan warga negara yang handal
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan diyakini merupakan salah satu aspek pembangunan bangsa yang sangat penting untuk mewujudkan warga negara yang handal profesional dan berdaya saing
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Saat ini permasalahan pendidikan di Indonesia sangatlah penting dan ini
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Saat ini permasalahan pendidikan di Indonesia sangatlah penting dan ini merupakan sebuah kewajiban negara dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, pendidikan
Lebih terperinciGUBERNUR ACEH TENTANG PERATURAN GUBERNURACEH NOMOR 92 TAHUN 2012 PENYELENGGARAANPENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT ALLAHYANG MARA KUASA
f, b~.,( (/ GUBERNUR ACEH '--..--- L Menimbang Mengingat PERATURAN GUBERNURACEH NOMOR 92 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAANPENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT ALLAHYANG MARA KUASA GUBERNURACEH, a. bahwa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Bentuk, Bidang, dan Perkembangan Usaha. merespon perubahan perubahan yang terkait secara cepat, tepat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Bentuk, Bidang, dan Perkembangan Usaha 1.1.1 Bentuk Usaha Sebagai dampak berkembangnya suatu organisasi dan teknologi, menyebabkan pekerjaan manajemen pendidikan semakin kompleks.
Lebih terperinciPendidikan Inklusif. Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia
Pendidikan Inklusif Latar Belakang, Sejarah, dan Konsep Pendidikan Inklusif dengan Fokus pada Sistem Pendidikan Indonesia Perkembangan SLB di Dunia 1770: Charles-Michel de l Epee mendirikan SLB pertama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbicara tentang pemerataan akses pendidikan di Indonesia, tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) baik yang diselenggarakan oleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak pada umumnya adalah suatu anugerah Tuhan yang sangat berharga dan harus dijaga dengan baik agar mampu melewati setiap fase tumbuh kembang dalam kehidupannya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang dicanangkan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah Indonesia pada tahun 1994 (Amuda, 2005) mewajibkan setiap anak berusia enam sampai
Lebih terperinciBAB I LATAR BELAKANG. dari anak kebanyakan lainnya. Setiap anak yang lahir di dunia dilengkapi dengan
BAB I LATAR BELAKANG 1.1 Latar Belakang Masa kanak-kanak adalah masa yang terindah dalam hidup dimana semua terasa menyenangkan serta tiada beban. Namun tidak semua anak dapat memiliki kesempatan untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah terdekat.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan inklusif menghargai keberagaman apapun perbedaannya. Pendidikan inklusif berkeyakinan bahwa setiap individu dapat berkembang sesuai dengan potensi yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berkebutuhan khusus. Permasalahan pendidikan sebenarnya sudah lama
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang masalah Masalah difabel atau penyandang ketunaan merupakan satu masalah yang kompleks karena menyangkut berbagai aspek. Salah satu hal yang masih menjadi polemik adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai pribadi, anggota masyarakat,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Dalam proses perkembangannya, setiap individu terkadang mengalami suatu hambatan. Hambatan yang terjadi pada suatu individu beragam jenisnya. Beberapa jenis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pendidikan mereka dapat menggenggam dunia. mental. Semua orang berhak mendapatkan pendidikan yang layak serta sama,
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu alat merubah suatu pola pikir ataupun tingkah laku manusia dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari yang tidak memiliki pengetahuan atau keterampilan
Lebih terperinciP 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta
P 37 Analisis Proses Pembelajaran Matematika Pada Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) Tunanetra Kelas X Inklusi SMA Muhammadiyah 4 Yogyakarta Risti Fiyana Mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Matematika Dr.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan upaya yang dapat mengembangkan potensi manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena hanya manusia yang dapat
Lebih terperincijtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt
jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA NOMOR 46 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA TASIKMALAYA Menimbang : DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TASIKMALAYA,
Lebih terperinciBUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TRENGGALEK, Menimbang : a. bahwa pendidikan merupakan suatu
Lebih terperinciINOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO
INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO agung_hastomo@uny.ac.id
Lebih terperinciSeminar Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini menjelaskan mengenai latar belakang permasalahan yang menjadi acuan dari penulisan laporan ini. Dari latar belakang permasalahan tersebut maka dapat diuraikan pokok-pokok
Lebih terperinciSUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri
PENINGKATAN HASIL BELAJAR PENGUKURAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) RINGAN MELALUI PEMBELAJARAAN KOOPERATIF SETTING INKLUSIF SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri Abstrak: Salah satu masalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Hakikat semua manusia yang ada dimuka bumi ini adalah sama. Semua manusia
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hakikat semua manusia yang ada dimuka bumi ini adalah sama. Semua manusia sama-sama memiliki kebutuhan, keinginan dan harapan serta potensi untuk mewujudkanya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari model pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) seperti anak dengan hambatan penglihatan, anak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus telah dicantumkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Lebih terperinciKesiapan Guru dalam Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun di Sekolah Inklusi
Kesiapan Guru dalam Pelaksanaan Wajib Belajar 12 Tahun di Sekolah Inklusi Nurul Hidayati Rofiah 1*, Muhammad Ragil Kurniawan 2 1,2 PGSD UAD *Email: nurulhidayati@pgsd.uad.ac.id Keywords: Wajib belajar
Lebih terperincipada saat ini muncullah paradigma baru pendidikan, dimana anak berkebutuhan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dahulu sebatas penyediaan layanan pendidikan dengan sistem segregrasi, hingga akhirnya pada saat ini muncullah
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Disabilitas dan interaksi sosial
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Disabilitas dan interaksi sosial Gambar 1. 1 Difabel dan interaksi sosial Sumber : Unesco Disabilitas. pdf Disabilitas adalah payung terminology untuk gangguan,
Lebih terperinciINOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO
INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO agung_hastomo@uny.ac.id Abstrak Artikel dengan judul Model penanganan Anak Berkebutuhan Khusus di sekolah akan
Lebih terperinciGUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG
GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG NOMOR 100 TAHUN 2017 TENTANG PEMBENTUKAN DAN KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI, SERTA TATA KERJA UNIT PELAKSANA
Lebih terperinciSISTEM JARINGAN PENGIMBAS TERIMBAS DALAM MENGOPTIMALKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI TAHUN 2016
SISTEM JARINGAN PENGIMBAS TERIMBAS DALAM MENGOPTIMALKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI TAHUN 2016 OLEH NAMA : AGUS JUNAEDI, S.Pd. NUPTK : 7151760662200013 KABUPATEN : BANYUASIN PROPINSI : SUMATERA
Lebih terperinci2017, No Tahun 2014 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5500); 3. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2015 tentang Kement
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.926, 2017 KEMENRISTEK-DIKTI. Pendidikan Khusus. Pendidikan Layanan Khusus. PT. PERATURAN MENTERI RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Menurut Undang-Undang Sisdiknas Nomor : 20 Tahun 2003 Bab 1 pasal (1) dinyatakan bahwa : Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan zaman membuat manusia menyesuaikan diri dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari bahwa setiap individu memiliki hak untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mencapai tujuan dalam pembangunan. Salah satu cara untuk meningkatkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan pra syarat untuk mencapai tujuan dalam pembangunan. Salah satu cara untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah
Lebih terperinciLaporan Eksekutif Pendidikan Provinsi Jawa Timur 2013 Berdasarkan Data Susenas 2013 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI JAWA TIMUR Laporan Eksekutif Pendidikan Provinsi Jawa Timur 2013 Nomor Publikasi : 35522.1402
Lebih terperinciBUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF
BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BADUNG, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciIMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No MEDAN MARELAN
Prosiding Seminar Nasional Multidisiplin Ilmu UNA 2017 1119 IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF SDN No. 067261 MEDAN MARELAN Dahniar Harahap* 1 dan Nina Hastina 2 1,2) Fakultas Ilmu Pendidikan dan Keguruan,
Lebih terperinciBab I Pendahuluan. Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan
Bab I Pendahuluan 1.1. Latar belakang 1.1.1 Judul Sekolah Luar Biasa Tunagrahita di Bontang, Kalimantan Timur dengan Penekanan Karakteristik Pengguna 1.1.2 Definisi dan Pemahaman Judul Perancangan : Berasal
Lebih terperinciEducational Psychology Journal
EPJ 1 (1) (2012) Educational Psychology Journal http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/epj TINJAUAN PSIKOLOGIS KESIAPAN GURU DALAM MENANGANI PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS PADA PROGRAM INKLUSI (STUDI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan berperan penting dalam usaha menciptakan masyarakat yang beriman, berakhlak mulia, berilmu serta demokratis dan bertanggungjawab. Pendidikan merupakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada umumnya sekolah-sekolah regular dimana siswa-siswanya adalah anak-anak normal yang tidak mengalami kebutuhan khusus dalam pendidikannya. Hal ini sudah berjalan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan nasional yang secara tegas dikemukakan dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Tujuan tersebut berlaku bagi
Lebih terperinciWALIKOTA PROBOLINGGO
WALIKOTA PROBOLINGGO SALINAN PERATURAN WALIKOTA PROBOLINGGO NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAN PENDIDIKAN KHUSUS DAN PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA PROBOLINGGO,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masih tanggung jawab orang tua. Kewajiban orang tua terhadap anak yaitu membesarkan,
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Anak adalah anugrah dan titipan dari tuhan yang harus di jaga dan di pelihara dengan baik. Seseorang yang masih dikategorikan sebagai seorang anak adalah sepenuhnya
Lebih terperinciBUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 58 TAHUN 2011 TENTANG
BUPATI BLORA PERATURAN BUPATI BLORA NOMOR 58 TAHUN 2011 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PENERIMAAN PESERTA DIDIK PADA SATUAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN BLORA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BLORA,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pendidikan. Memasuki akhir milenium kedua, pertanyaan tentang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sekolah Luar Biasa (SLB) merupakan salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Sejak tahun 1901, Indonesia telah menyelenggarakan
Lebih terperinciGUBERNUR ACEH PERA TURAN GUBERNUR ACEH NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA GUBERNUR ACEH, Menimbang Mengingat a. Bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 065 TAHUN T 9 TAHUN 2006 TENTANG
PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 065 TAHUN 2012 2 T 9 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KHUSUS, PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS, PENDIDIKAN INKLUSIF, PENDIDIKAN ANAK CERDAS ISTIMEWA DAN/ATAU
Lebih terperinciBAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang. Kasus kekerasan seksual pada anak (KSA) semakin marak menjadi sorotan
BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Kasus kekerasan seksual pada anak (KSA) semakin marak menjadi sorotan di berbagai macam media cetak maupun elektronik. Usia pelaku dan korban pun bervariasi, mulai dari
Lebih terperinciAnak Berkebutuhan Khusus (ABK), Siapakah?
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Siapakah? Anak Berkebutuhan Khusus yang sering disebut anak ABK adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau perkembangannya mengalami kelainan atau penyimpangan apakah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN I.1
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.1.1 Latar Belakang Pengadaan Proyek Pendidikan adalah hak bagi setiap anak, termasuk anak dengan disabilitas atau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pendidikan bagi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. meningkat 400% menjadi 1 banding 625 (Mash & Wolfe, 2005). Tahun 2006,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Angka pertumbuhan anak autis di dunia dalam dekade terakhir sungguh mengkhawatirkan, lihat saja pada awal tahun 2000 prevalensi penyandang autis masih 1:2.500 (Tanguay,
Lebih terperinciPROFIL PELAKSANAAN PEMBELAJARAN IPA BAGI ANAK TUNARUNGU DI SLB KABUPATEN SUKOHARJO
PROFIL PELAKSANAAN PEMBELAJARAN IPA BAGI ANAK TUNARUNGU DI SLB KABUPATEN SUKOHARJO Dieni Laylatul Zakia, Sunardi, Sri Yamtinah Magister Pendidikan Luar Biasa, Pascasarjana UNS Jl. Ir. Sutami No. 36A, Surakarta,
Lebih terperinci