BAB 5 PENUTUP. Simpulan hasil penelitian ini mencakup: 1. Ekspresi emosional negatif pemimpin berpengaruh secara negatif signifikan

Transkripsi

1 BAB 5 PENUTUP A. Simpulan Simpulan hasil penelitian ini mencakup: 1. Ekspresi emosional negatif pemimpin berpengaruh secara negatif signifikan pada kinerja tugas bawahan. Penularan emosi menjadi bentuk respon dasar seseorang yang muncul seketika saat menghadapi suatu peristiwa emosional, salah satunya yang disebabkan oleh ekspresi emosional negatif pemimpin. Emosi negatif yang diekspresikan, cenderung mendapat perhatian lebih dibandingkan emosi positif, dan dapat memicu penularan emosional yang lebih cepat dan kuat (Barsade, 2002). Oleh karena itu, ibarat efek riak, ketika pemimpin mengekspresikan emosi negatif berupa amarah pada bawahannya, maka hal ini mengakibatkan munculnya proses penularan emosi yang berdampak pada penurunan kinerja tugas bawahan 2. Conscientiousness bawahan tidak berperan sebagai variabel pemoderasi dalam pengaruh ekspresi emosional negatif pemimpin terhadap kinerja tugas bawahan. Consecientiousness dikenal sebagai kepribadian yang dengan self-efficacy dan keuletan, serta mampu memproses informasi. Namun, hal lain yang melekat pada kepribadian ini adalah keengganan untuk berubah dan tidak suka berada dalam situasi yang tidak terkendali (Hermann & Nadkarni, 2014). Sementara, amarah pemimpin dianggap sebagai sinyal adanya masalah dan situasi yang sulit dikendalikan (Miron- iii

2 Spektor & Rafaeli, 2009). Kondisi tersebut mengakibatkan conscientiousness bawahan tidak memoderasi pengaruh ekspresi emosional negatif pemimpin terhadap kinerja tugas bawahan. 3. Kestabilan emosional/ neuroticism bawahan berperan sebagai variabel pemoderasi dalam pengaruh ekspresi emosional negatif pemimpin terhadap kinerja tugas bawahan. Kepercayaan diri dan ketenangan yang dimiliki oleh bawahan dengan emosi yang stabil (Judge & Bono, 2001), membuatnya mampu untuk melakukan proses inferensial ketika menghadapi ekspresi emosional negatif pemimpin. Sebaliknya, bawahan dengan emosi yang tidak stabil atau neuroticism, cenderung kesulitan untuk mencerna informasi dan mudah terpengaruh emosi sesaat. Hal ini menyebabkan bawahan dengan neuroticism lebih menggunakan reaksi afektif, dibanding proses inferensial, ketika menghadapi ekspresi emosional negatif pemimpin. 4. Kekuasaan pemimpin persepsian berperan sebagai variabel pemoderasi dalam pengaruh ekspresi emosional negatif pemimpin terhadap kinerja tugas bawahan. Ketika pemimpin dengan kekuasaan persepsian tinggi mengekpresikan amarahnya, maka hal ini akan dianggap sebagai hal yang wajar dan dapat dimaklumi oleh bawahan. Rasa segan dan ketergantungan bawahan pada pemimpin dengan kekuasaan persepsian tinggi membuat amarah pemimpin tersebut justru meningkatkan kinerja tugas bawahan. Sementara, jika seorang pemimpin dianggap lemah dan tidak berkuasa, maka ekspresi emosional negatif yang ditunjukkannya dianggap tidak iv

3 pantas dan sulit diterima oleh bawahan. Ketika pemimpin yang dianggap lemah mengekspresikan amarahnya, maka proses penularan emosi sangat mungkin terjadi, dan berujung pada penurunan kinerja bawahan. B. Saran untuk Para Praktisi Penelitian ini melibatkan praktisi dalam perusahaan dan organisasi, yang terdiri dari pemimpin dan bawahan. Berdasarkan pada hasil penelitian, diberikan beberapa saran yang mungkin bermanfaat bagi praktisi, terutama bagi tim manajerial atau pemimpin dalam organisasi. Ada baiknya, pemimpin mengetahui betul kapan saat yang tepat untuk mengekspresikan amarah mereka dengan tujuan untuk mempengaruhi bawahan. Penelitian ini menemukan bahwa ekspresi emosional negatif pemimpin tidak selamanya hanya menimbulkan dampak negatif, melainkan juga positif. Hal ini bergantung pada faktor-faktor individual dan sosial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa bawahan kestabilan emosional yang baik, mampu bertahan menghadapi tekanan dari ekspresi emosional negatif pemimpin, dan memiliki kinerja yang lebih baik dibanding bawahan yang tidak stabil emosinya. Sementara, pemimpin perlu mewaspadai bawahan dengan kepribadian conscientiousness, karena ketika mereka dihadapkan dengan ekspresi emosional negatif, ekspresi tersebut justru menjadi bentuk ancaman yang bisa membuat kinerja mereka terganggu. Di faktor sosial, kekuasaan pemimpin menjadi hal yang sangat penting dalam interaksi antar pemimpin dan bawahan. Kekuasaan pemimpin yang dipersepsikan oleh v

4 bawahan mempengaruhi bagaimana mereka merespon perilaku bawahan. Hal ini berlaku terutama saat menghadapi ekspresi emosional negatif pemimpin yang cenderung lebih mendapat perhatian. Oleh karena itu, memahami kepribadian bawahan dan persepsi mereka terhadap perilaku pemimpin, perlu menjadi perhatian bagi tim manajerial dalam organisasi. Selain itu, karena amarah merupakan bentuk ekspresi negatif yang mudah sekali diperhatikan dan berpengaruh pada perilaku orang lain, maka perlu pengendalian agar tidak ditunjukkan dengan porsi yang berlebihan. C. Keterbatasan Penelitian Keterbatasan penelitian ini antara lain: 1. Penelitian ini berbentuk penelitian cross-section, dengan metode pengumpulan data dilakukan menggunakan pendekatan survei kuesioner. Penelitian cross-section hanya dilakukan sekali dan merepresentasikan fenomena di satu titik waktu (Cooper & Schindler, 2014). Karena penelitian sejenis ini hanya menangkap fenomena di satu titik waktu, maka hal-hal yang terjadi sebelum dan sesudah kejadian tersebut menjadi luput dari perhatian. Hal ini menjadi kelemahan tersendiri, sebab bisa saja hal-hal yang luput dari perhatian tersebut memiliki peran penting dalam mempengaruhi fenomena yang menjadi fokus penelitian. Selain itu, penelitian ini tidak dapat menguji hubungan kausal (causal-effect). 2. Penelitian ini dilakukan di Indonesia, negara dengan budaya kolektivis, yang menghormati kepentingan bersama dan menjunjung tinggi vi

5 keharmonisan kelompok (Triandis, et al., 1988). Budaya kolektivis bisa saja menjadi penghalang seseorang, yang dalam hal ini adalah pemimpin, untuk mengekspresikan emosinya, karena keinginan untuk menghindari konflik. Hal ini yang mungkin menjadi penyebab rendahnya rata-rata respon variabel ekspresi emosional negatif pemimpin pada penelitian ini (lihat Tabel 4.7). Sayangnya potensi pengaruh budaya tersebut luput dari perhatian penelitian ini. 3. Survei yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan kuesioner yang sebagian diisi secara self-report. Isu yang melekat pada jenis pengisian kuesioner ini adalah common method bias. Meskipun demikian, penelitian ini sudah berusaha meminimalkan bias tersebut, mengikuti saran Podsakoff, et al. (2012), yakni dengan mengumpulkan data di lebih dari satu periode waktu dan lebih dari satu sumber data. 4. Pengambilan sampel penelitian ini tidak dilakukan dengan probability sampling (acak), karena tidak memberikan kesempatan yang sama bagi setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Oleh karena itu, generalisasi harus dilakukan secara hati-hati. D. Rekomendasi untuk Penelitian Selanjutnya 1. Untuk menjawab keterbatasan penelitian ini, ada baiknya mempertimbangkan untuk melakukan penelitian longitudinal terkait ekspresi emosional dalam lingkungan organisasi. Penelitian longitudinal memiliki keunggulan dalam menelurusi perubahan yang mungkin terjadi vii

6 dari waktu ke waktu (Cooper & Schindler, 2014). Desain penelitian ini diharapkan mampu menggali informasi yang lebih dalam terkait ekspresi emosional dalam lingkungan organisasi, yang tidak bisa ditangkap di satu titik waktu. 2. Penelitan selanjutnya dapat mempertimbangkan untuk menggunakan faktor individual dan sosial lain yang belum digunakan dalam penelitian ini. Salah satu faktor yang direkomendasikan adalah faktor budaya. Seperti yang telah dijelaskan sekilas dalam keterbatasan penelitian, faktor budaya bisa jadi berperan dalam pengaruh ekspresi emosional di organisasi. Terlebih di Indonesia, yang selain berbudaya kolektivis, tapi juga memiliki keragaman suku dan etnis yang masing-masing memiliki nilai dan adat istiadat tersendiri. Akan menjadi sangat menarik untuk menelusuri peran faktor budaya dalam pengaruh ekspresi emosional di lingkungan organisasi. viii