KUANTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KARANG BERDASARKAN KUAT HAMBUR BALIK MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK SINGLE BEAM BAIGO HAMUNA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KUANTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KARANG BERDASARKAN KUAT HAMBUR BALIK MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK SINGLE BEAM BAIGO HAMUNA"

Transkripsi

1 15 KUANTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KARANG BERDASARKAN KUAT HAMBUR BALIK MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK SINGLE BEAM BAIGO HAMUNA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2 16

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA 17 Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kuantifikasi dan Klasifikasi Karang Berdasarkan Kuat Hambur Balik Menggunakan Metode Akustik Single Beam adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkam dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2013 Baigo Hamuna NRP. C

4 18 RINGKASAN BAIGO HAMUNA. Kuantifikasi dan Klasifikasi Karang Berdasarkan Kuat Hambur Balik Menggunakan Metode Akustik Single Beam. Dibimbing oleh SRI PUJIYATI dan TOTOK HESTIRIANOTO. Teknologi hidroakustik telah banyak digunakan untuk memetakan dan mengklasifikasikan dasar perairan, tipe substrat dan biota bentik. Beberapa teknik pengukuran backscattering strength dengan menggunakan echosounder single beam, seperti CruzPro PcFF80 telah digunakan untuk membedakan energi backscatter sedimen dasar perairan seperti pasir, lumpur dan lempung. Penelitian ini bertujuan untuk kuantifikasi nilai surface backscattering strength (SS) dan volume backscattering strength (SV) dari beberapa tipe karang menggunakan echosounder single beam CruzPro PcFF80 dan mengklasifikasikannya berdasarkan nilai SV dari echo pertama (E1) dan echo kedua (E2). Pengambilan data lapangan dilakukan pada bulan Mei 2013 yang berlokasi di Kepulauan Seribu. Perekaman data akustik dilakukan stasioner, waktu untuk merekam data adalah sekitar 10 sampai 15 menit untuk setiap jenis karang dengan menggunakan frekuensi 200 dan 50 khz. Camera underwater digunakan untuk validasi data hasil perekaman akustik. Hasil penelitian menunjukkan frekuensi 200 khz mengalami absorpsi yang lebih besar dalam kolom air dan karenanya tidak mengirimkan banyak energi ke dasar laut sehingga penetrasi berkurang, sedangkan frekuensi 50 khz menunjukkan absorpsi yang kecil, transmisi lebih banyak energi ke dasar laut, menyebabkan sinyal untuk menembus lebih dalam ke dasar laut dan membawa informasi lebih kembali ke transduser. Nilai rata-rata surface backscattering strength (SS) pada frekuensi 200 khz bervariasi antara db sampai db. Nilai rata-rata E1 bervariasi antara db sampai db, sedangkan nilai rata-rata E2 bervariasi antara db sampai db. Pada frekuensi 50 khz, nilai rata-rata surface backscattering strength (SS) bervariasi antara db sampai db. Nilai rata-rata E1 bervariasi antara db sampai db, sedangkan nilai rata-rata E2 bervariasi antara db sampai db. Hasil klasifikasi menggambarkan tiga kelompok kategori (lunak-halus, lunakkasar dan keras-kasar). Pada frekuensi 200 khz, kategori lunak-halus terdiri dari Acropora branching, kategori lunak-kasar terdiri dari Coral massive, Coral massive mati, Coral mushroom, rubble, pasir, dan kategori keras-kasar terdiri dari Acropora tabulate. Pada frekuensi 50 khz, kategori lunak-halus terdiri dari Acropora branching, kategori lunak-kasar terdiri dari Coral massive, Coral massive mati, dan kategori keras-kasar terdiri dari Acropora tabulate, Coral mushroom, rubble, pasir. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SBES CruzPro PcFF80 dapat digunakan untuk membedakan kuat hambur balik akustik beberapa tipe karang dan pasir. Kata kunci: echosounder single beam, hambur balik, klasifikasi, kuantifikasi

5 19 SUMMARY BAIGO HAMUNA. Quantification and Classification of Coral Based on Backscattering Strength Using Single Beam Acoustics Method. Supervised by SRI PUJIYATI and TOTOK HESTIRIANOTO. Hydroacoustic technology has been widely used to mapping and classify of the seabed, types of substrate and benthic biota. Several techniques of backscattering strength measurements using a single beam echosounder, as a CruzPro PcFF80 has been used to distinguish energy backscatter of bottom sediments such as sand, silt and clay. The objectives of this research are to quantify the value of surface backscattering strength (SS) and volume backscattering strength (SV) of several types of coral using single beam echosounder CruzPro PcFF80 and classify based on SV value of the first echo (E1) and second echo (E2). Collection of field data was conducted on May 2013, which located in the Seribu Islands. Recording of acoustic data done stationary, time for recording data is about 10 up to 15 minutes for each type of coral by using a frequency of 200 and 50 khz. An underwater camera was used to validation of the acoustic recording data. The results of this research show frequency of 200 khz to experience greater absorption in the water column and therefore does not send a lot of energy to the seabed so that the penetration is reduced, while the frequency of 50 khz shows a small absorption, transmitting more energy into the seabed, causing the signal to penetrate deeper into the seabed and carry more information to the transducer. Average value of surface backscattering strength (SS) at 200 khz varied between db up to db. The average value of E1 varied between db up to db, while E2 varied between db up to db. At 50 khz, surface backscattering strength (SS) varied between db up to db. The average value of E1 varied between db up to db, while E2 varied between db up to db. Classification show there are three classes of category (soft-smooth, soft-rough and hard-rough). At 200 khz, soft-smooth category consist of Acropora branching, soft-rough category consist of Coral massive, dead Coral massive, Coral mushroom, rubble, sand, and hard-rough category consist of Acropora tabulate. At 50 khz, softsmooth category consist of Acropora branching, soft-rough category consist of Coral massive, dead Coral massive, and hard-rough category consist of Acropora tabulate, Coral mushroom, rubble, sand. Overall, the results of this research indicate that SBES CruzPro PcFF80 can be used to distinguish of acoustic backscattering strength from several types of coral and sand. Keywords: backscattering, classification, single beam echosounder, quantification

6 20 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 21 KUANTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KARANG BERDASARKAN KUAT HAMBUR BALIK MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK SINGLE BEAM BAIGO HAMUNA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

8 22 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Bonar P. Pasaribu, MSc

9 23 Judul Penelitian Nama NRP Program Studi : Kuantifikasi dan Klasifikasi Karang Berdasarkan Kuat Hambur Balik Menggunakan Metode Akustik Single Beam : Baigo Hamuna : C : Teknologi Kelautan Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Ir Sri Pujiyati, MSi Ketua Dr Ir Totok Hestirianoto, MSc Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Tanggal Ujian: 5 September 2013 Tanggal Lulus:

10 24 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah hidroakustik, dengan judul Kuantifikasi dan Klasifikasi Karang Berdasarkan Kuat Hambur Balik Menggunakan Metode Akustik Single Beam. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Dr Ir Sri Pujiyati, MSi dan Bapak Dr Ir Totok Hestirianoto, MSc selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan motivasi sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah ini. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas bantuan Beasiswa Magister melalui program Beasiswa Unggulan (BU) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) dan Kementerian Keuangan atas bantuan Beasiswa Tesis melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) serta Yayasan Toyota dan Astra (YTA) Jakarta atas bantuan dana penelitian yang diberikan kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis, Ibunda Hj. Wanuru dan Ayahanda H. Hamuna serta seluruh keluarga, atas doa, kasih sayang, nasehat dan dukungan motivasi kepada penulis. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan atas bantuan, saran dan masukan selama pengambilan data dan penyusunan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2013 Baigo Hamuna

11 25 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Rumusan Masalah 2 Kerangka Pemikiran 3 Tujuan Penelitian 4 Manfaat Penelitian 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 6 Ekosistem Terumbu Karang 6 Bentuk Pertumbuhan Karang 6 Backscattering Dasar Perairan 8 Aplikasi Metode Akustik untuk Dasar Perairan 10 3 METODE PENELITIAN 13 Waktu dan Lokasi Penelitian 13 Alat dan Bahan Penelitian 13 Metode Pengambilan Data 15 Observasi Visual 15 Perekaman Data Akustik 15 Pemrosesan dan Analisis Data Akustik 17 Surface Backscattering Strength (SS) 18 Volume Backscattering Strength (SV) 19 Analisis Statistik 19 Uji ragam pantulan akustik 19 Klasifikasi E1 dan E HASIL DAN PEMBAHASAN 21 Identifikasi Visual 21 Data Akustik 22 Kuantifikasisi Nilai Surface Backscattering Strength (SS) 25 Energi dan Bentuk Echo Volume Backscattering Strength (SV) 29 Kuantifikasi Nilai E1 dan E2 34 Rasio E1 dan E2 39 Uji Ragam E1 dan E2 40 Klasifikasi E1 dan E2 41 xi xi xii

12 26 DAFTAR ISI (lanjutan) 5 SIMPULAN DAN SARAN 49 Simpulan 49 Saran 49 DAFTAR PUSTAKA 50 LAMPIRAN 54 RIWAYAT HIDUP 65

13 27 DAFTAR TABEL 1 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian 14 2 Spesifikasi echosounder single beam CruzPro PcFF Parameter dan setingan alat CruzPro PcFF80 untuk perekaman data akustik 16 4 Hasil pengukuran dimensi karang dan pasir yang diamati 21 5 Nilai rata-rata surface backscattering strength (SS) karang dan pasir frekuensi 200 khz 26 6 Nilai rata-rata surface backscattering strength (SS) karang dan pasir frekuensi 50 khz 27 7 Hasil uji Tukey HSD nilai rata-rata SS (α = 0.05) 29 8 Nilai rata-rata E1 karang dan pasir frekuensi 200 khz 35 9 Nilai rata-rata E2 karang dan pasir frekuensi 200 khz Nilai rata-rata E1 karang dan pasir frekuensi 50 khz Nilai rata-rata E2 karang dan pasir frekuensi 50 khz Rasio E2 dan E1 pantulan akustik karang dan pasir Hasil uji Tukey HSD nilai rata-rata E1 dan E2 (α = 0.05) Matriks klasifikasi pantulan E1 dan E Matriks klasifikasi kelas kategori pantulan E1 dan E2 46 DAFTAR GAMBAR 1 Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian 5 2 Bentuk-bentuk pertumbuhan karang 8 3 Proses deteksi dua dasar perairan yang berbeda 9 4 Refleksi dan scattering gelombang datang pada permukaan yang kasar (atas) dan specular refleksi dan bidang scattering dengan tingkat kekasaran permukaan yang berbeda (bawah) 10 5 Bentuk kurva dasar perairan yang keras dan lunak; (a) amplitudo sinyal echo dan (b) kurva energi kumulatif 11 6 Bentuk echo pantulan substrat pasir menggunakan CruzPro PcFF Lokasi penelitian 14 8 Diagram alir proses perekaman data akustik 17 9 Bentuk tipe karang dan substrat dasar perairan; a. ACB, b. CM, c. ACT, d. CM, e. RB, f. DC dan g. SD Echogram hasil perekaman akustik Acropora branching; frekuensi 200 khz (kiri) dan frekuensi 50 khz (kanan) Echogram hasil perekaman akustik Coral massive, Acropora tabulate, dan Coral mushroom; frekuensi 200 khz (kiri) dan frekuensi 50 khz (kanan) Echogram hasil perekaman akustik rubble/patahan karang, pasir dan Coral massive mati/karang mati; frekuensi 200 khz (kiri) dan frekuensi 50 khz (kanan) Nilai SS karang dan pasir beberapa hasil penelitian (pengolahan data RT = program Rick Towler; Qu = hasil kuantifikasi) 28

14 28 DAFTAR GAMBAR (lanjutan) 14 Bentuk Echo envelope SV Coral mushroom (CMR); frekuensi 200 khz (biru) dan frekuensi 50 khz (merah) Bentuk Echo envelope SV pasir (SD); frekuensi 200 khz (biru) dan frekuensi 50 khz (merah) Bentuk Echo envelope SV rubble (RB); frekuensi 200 khz (biru) dan frekuensi 50 khz (merah) Bentuk Echo envelope SV Coral massive (CM); frekuensi 200 khz (biru) dan frekuensi 50 khz (merah) Bentuk Echo envelope SV Acropora tabulate (ACT); frekuensi 200 khz (biru) dan frekuensi 50 khz (merah) Bentuk Echo envelope SV Coral massive mati (DC); frekuensi 200 khz (biru) dan frekuensi 50 khz (merah) Bentuk Echo envelope SV Acropora branching (ACB); frekuensi 200 khz (biru) dan frekuensi 50 khz (merah) Boxplot nilai E1 (atas) dan E2 (bawah) frekuensi 200 khz Boxplot nilai E1 (atas) dan E2 (bawah) frekuensi 50 khz Dendrogram cluster tipe karang dan pasir berdasarkan nilai E1 dan E2 frekuensi 200 khz Dendrogram cluster tipe karang dan pasir berdasarkan nilai E1 dan E2 frekuensi 50 khz Scatterplot pantulan E1 dan E2; (a) frekuensi 200 khz dan (b) frekuensi 50 khz Pengelompokkan pantulan E1 dan E2 karang dalam kelas kategori berdasarkan analisis cluster pantulan E1 dan E2; (a) frekuensi 200 khz dan (b) frekuensi 50 khz 48 DAFTAR LAMPIRAN 1 Transduser yang digunakan pada penelitian 54 2 Dokumentasi pengambilan data penelitian 55 3 Sintax program (m-file) MATLAB 56 4 Hasil analisis statistik (Tukey HSD) nilai SS 58 5 Hasil analisis statistik (Tukey HSD) nilai SV (E1 dan E2) 60 6 Hasil analisis cluster data akustik E1 dan E2 64

15 29 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagai Negara kepulauan dengan wilayah laut yang sangat luas, Indonesia memiliki sumberdaya alam hayati laut yang besar. Salah satu sumber daya alam tersebut adalah ekosistem terumbu karang. Terumbu karang Indonesia juga termasuk dalam wilayah segitiga karang dunia (coral triangel) yang merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia. Mengingat wilayah perairan Indonesia yang sangat luas dengan keindahan laut berupa ekosistem terumbu karang yang memiliki peranan yang sangat penting bagi organisme lainnya, maka perlu dilakukan pemantauan dan kajian terhadap ekosistem terumbu karang secara terus-menerus dan berkesinambungan. Pemantauan dan pengamatan terumbu karang yang merupakan salah satu komponen dalam pengelolaan sebuah kawasan perlu dilakukan untuk mengetahui penurunan atau peningkatan kualitas kondisi terumbu karang. Pengamatan dan monitoring kondisi terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai metode tergantung pada tujuan survei, waktu yang tersedia, tingkat keahlian peneliti, dan ketersediaan sarana dan prasarana. Meskipun telah banyak metode monitoring pada saat ini, namun masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dapat dikatakan belum ada suatu metode yang memuaskan sehingga menyebabkan sulitnya menggambarkan suatu kondisi terumbu karang. Masalah ini disebabkan antara lain terumbu karang yang tumbuh ditempat geografis yang berbeda mempunyai tipe dan bentuk yang berbeda dan mencakup skala spasial yang luas hingga kedalaman. Teknologi hidroakustik memanfaatkan pencarian bawah laut dengan suara yang kuat untuk mendeteksi, mengamati dan menghitung parameter fisik dan biologi. Teknologi hidroakustik merupakan metode yang populer digunakan selama bertahun-tahun dalam survei sumber daya perikanan. Penelitian di bidang hidroakustik terus mengalami perkembangan yang signifikan. Berdasarkan teori dan formula hidroakustik, teknik ini sekarang sedang diadopsi untuk melakukan survei terumbu karang. Adanya kebutuhan yang terus meningkat untuk mengklasifikasi dan memetakan ekosistem laut di berbagai skala spasial dalam mendukung ilmu pengetahuan berbasis ekosistem untuk pengelolaan laut (Anderson et al. 2008). Teknologi hidroakustik telah banyak digunakan untuk memetakan dan mengklasifikasikan dasar perairan dan kandungan sumberdaya hewan bentik yang ada di dasar perairan, tipe substrat dan biota bentik. Perkembangan dalam mengklasifikasikan substrat dasar perairan dan vegetasi bawah air membuat hidroakustik sebagai alat yang efektif untuk memantau dan pemetaan parameter habitat di ekosistem air. Selain itu, dengan menggunakan teknologi hidroakustik dapat membedakan dan mengelompokkan berbagai tipe substrat dasar perairan. Perbedaan tipe dasar perairan dapat digambarkan melalui tingkat kekasaran (roughness) dan kekerasan (hardness) dasar perairan seperti batu, pasir, lumpur atau campurannya (Siwabessy 2001; Penrose et al. 2005). Metode hidroakustik dengan menggunakan echosounder single beam, echosounder multibeam dan side scan sonar merupakan teknologi yang dapat

16 30 2 memberikan solusi untuk pendeteksian dan pemetaan habitat dasar laut (Anderson et al. 2008). Berbagai penelitian untuk mengklasifikasikan dan memetakan substrat dasar perairan menggunakan metode akustik dengan penggunaan berbagai tipe instrumen yang berbeda telah dilakukan. Gleason et al. (2008) memetakan dasar perairan dengan menggunakan alat QTC series V system, Demer et al. (2009) dapat membedakan echo ikan, zooplankton dan dasar perairan dengan menggunakan echosounder multy frequency Simrad EK60 dan Schimel et al. (2010) memetakan habitat bentik dengan menggunakan echosounder single beam, echosounder multy beam dan sidescan sonar. Penerapan teknologi hidroakustik di Indonesia dalam kegiatan penelitian dan pengembangan kelautan telah berjalan, namun tak dapat dipungkiri bahwa penerapan teknologi akustik masih sangat terbatas. Misalnya, dalam dunia perikanan baru sampai tahap inventarisasi sumberdaya ikan. Penerapan metode akustik oleh peneliti Indonesia untuk pemantauan dan klasifikasi dasar perairan (Pujiyati 2008; Manik 2012), vegetasi perairan (Deswanti 2009) dan terumbu karang sudah mulai dilakukan. Manuhutu (2010) dan Bemba (2011) telah melakukan identifikasi dan klasifikasi beberapa tipe karang dengan menggunakan instrumen echosounder split beam SIMRAD EY 60. Dibandingkan penerapan di bidang survei perikanan, penerapan teknologi hidroakustik pada ekosistem terumbu karang sampai saat ini masih sangat sedikit dilakukan. Echosounder single beam merupakan instrumen akustik yang paling sederhana yang hanya memiliki beam tunggal untuk mendeteksi target masuk dalam cakupan pancarannya. Dibandingkan dengan teknologi echosounder split beam, dimana echosounder split beam menggunakan receiving transducer yang dibagi menjadi empat kuadran. Pemancaran gelombang suara dilakukan dengan full beam dan sinyal dari target diterima oleh masing-masing kuadran serta outputnya merupakan gabungan dari keempat kuadran yang membentuk suatu full beam, namun menurut Anderson et al. (2008) terdapat beberapa kelebihan penggunaan echosounder single beam untuk survei substrat dasar perairan yang meliputi ketersediaan alat dan telah digunakan secara luas, efisiensi dan prosedur pengolahan data yang standar, pengoperasian alat yang relatif mudah serta tingkat akurasi tinggi baik dalam resolusi maupun presisi hasil. Pada penelitian ini akan digunakan echosounder single beam CruzPro PcFF80 dual frekuensi (200 dan 50 khz) untuk mendeteksi sinyal pantulan akustik dari beberapa tipe karang dan substrat dasar perairan. Penggunaan dual frekuensi akustik dengan tujuan untuk mengetahui respon target terhadap frekuensi yang digunakan. Rumusan Masalah Selama bertahun-tahun, teknik survei karang sangat tergantung pada pengukuran langsung dan melalui sensus dengan metode SCUBA diving. Teknik survei SCUBA diving masih yang paling dapat diandalkan untuk saat ini, karena memungkinkan pengumpulan data secara langsung. Namun, hampir tidak mungkin untuk menghasilkan peta skala luas dengan metode SCUBA diving dan dapat menimbulkan risiko tinggi untuk penyelam serta memakan waktu dan biaya yang mahal. Metode ini juga dibatasi oleh kedalaman air, arus pasang surut, cuaca buruk dan jarak pandang. Seiring berjalannya waktu, teknik penginderaan jauh

17 diperkenalkan sebagai alat survei baru. Melalui teknik interpretasi GIS berbagai jenis citra satelit, peta tematik karakteristik fisik dari perairan dapat diperoleh, termasuk memetakan terumbu karang. Namun, penginderaan jauh pada terumbu karang hanya terbatas pada identifikasi fitur karang umum di perairan dangkal, belum bisa membedakan terumbu karang sampai tingkatan yang lebih detail, bahkan tidak ada citra sistem satellite remote sensing yang mampu membedakan spesies karang dan membedakan tingkat kekasaran (roughness) substrat perairan dangkal (Mumby et al. 2004). Kemajuan teknik pemetaan dasar perairan menggunakan sistem hidroakustik yang dikombinasikan dengan data sampling lapangan (ground truth) memberikan potensi untuk pemetaan dan monitoring ekosistem dasar laut (Brown et al. 2005). Dibandingkan dengan teknik monitoring karang lainnya, selain sifat non-intrusif, metode hidroakustik memiliki keuntungan pada pengumpulan data yang dapat dilakukan hampir secara terus-menerus. Salah satu metode untuk mendapatkan informasi mengenai tipe dasar laut termasuk tipe substrat terumbu karang dapat dilakukan dengan menggunakan metode hidroakustik echosounder single beam. Parameter fisik dasar perairan yang bervariasi akan mempengaruhi pantulan sinyal akustik, seperti tingkat kekasaran dan kekerasan dasar perairan, ukuran butiran sedimen dan relief dasar (Thermo et al. 1988; Demer et al. 2009; Pujiyati et al. 2010) dapat mempengaruhi proses hamburan balik sinyal akustik. Klasifikasi dasar perairan menggunakan metode akustik single beam telah mengungkapkan kemampuannya untuk membedakan berbagai jenis dasar perairan dan mengelompokkannya dengan sifat akustik yang berbeda (Freitas et al. 2008). Hasil ini menunjukkan bahwa respon akustik tergantung pada kekasaran permukaan, ukuran butir sedimen, ada atau tidak adanya puing-puing kerang dan beberapa spesies infauna, sifat tekstur dan porositas sedimen. Ekosistem terumbu karang yang terdiri dari berbagai bentuk pertumbuhan, tipe karang (hard coral, soft coral) dan substrat yang tentunya akan memiliki karakteristik yang berbeda pula antara tipe karang dan substrat yang satu dengan lainnya. Perbedaan karakteristik antar tipe tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kuat hambur balik sinyal akustik yang akan diterima transduser. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan: (1) kemampuan instrumen hidroakustik yang akan digunakan untuk membedakan karakteristik pantulan akustik berbagai tipe karang, dan (2) tingkat keakuratan hasil yang diperoleh untuk mengklasifikasikan pantulan akustik (E1 dan E2) berbagai tipe karang Kerangka Pemikiran Informasi mengenai identifikasi dan klasifikasi berbagai tipe dasar perairan selama ini masih mengalami kendala, terutama pada ekosistem terumbu karang yang masih belum banyak dikaji. Penentuan klasifikasi karang dengan akurasi tinggi sangat dibutuhkan untuk proses klasifikasi tiap tipe karang dan substrat. Metode akustik merupakan solusi yang efektif untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi tipe karang dan substrat secara cepat dan akurat. Identifikasi dan klasifikasi tipe karang didasarkan pada nilai kuat pantulan balik, karakter dan

18 32 4 bentuk echo yang diperoleh dapat digunakan untuk klasifikasi tipe karang dan dasar perairan secara langsung. Kemajuan teknologi akustik untuk kuantifikasi dan klasifikasi pantulan akustik dasar perairan sudah banyak dikembangkan dengan kemampuan dan keunggulan masing-masing berdasarkan metode yang digunakan. Berbagai teknik dan metode pengukuran kuat pantulan balik dengan menggunakan echosounder single beam telah dilakukan, seperti echosounder single beam CruzPro PcFF80 telah digunakan untuk membedakan energi hambur balik sedimen dasar perairan seperti pasir, lumpur dan lempung (Manik 2012). Hasil penelitian oleh Foster et al. (2009) menunjukkan bahwa data akustik single beam Biosonics DT-X dapat digunakan untuk mengkategorikan habitat bentik terumbu karang. Transduser yang digunakan untuk perekaman data dapat ditempatkan pada sebuah rangka yang telah dimodifikasi untuk menghindari pengaruh gelombang. Pada penelitian ini akan digunakan dua frekuensi akustik. Hasil yang diperoleh dengan metode akustik dapat dikombinasikan dengan hasil observasi visual melalui pengambilan foto atau gambar. Kombinasi hasil metode akustik dan teknik visual akan memberikan hasil yang lebih baik dalam identifikasi dan klasifikasi tipe karang dan substrat selain karang serta dapat memudahkan dalam melakukan evaluasi. Klasifikasi dan pengelompokkan tipe karang dan pasir kedalam kelas atau kategori tertentu didasarkan pada perbandingan nilai volume backscattering strength (SV) yang diperoleh dari nilai kekasaran (E1) dan nilai kekerasan (E2). Secara skematik diagram alir kerangka pemikiran dan pencapaian tujuan pada penelitian ini dideskripsikan pada Gambar 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi, menganalisis karakteristik dan mengklasifikasikan tipe karang dan substrat dasar perairan berdasarkan energi backscattering strength atau pantulan balik akustik yang terdiri dari surface backscattering strength (SS) dan volume backscattering strength (SV) menggunakan instrumen echosounder single beam CruzPro PcFF80 frekuensi 50 dan 200 khz. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa gambaran karakteristik pantulan akustik yang dihasilkan oleh berbagai tipe karang dan substrat dasar lainnya. Karakteristik pantulan akustik tiap karang dan substrat yang dihasilkan dalam penelitian ini nantinya dapat dijadikan sebagai acuan untuk kegiatan pengklasifikasian dan pemetaan ekosistem terumbu karang dengan metode hidroakustik.

19 33 5 Identifikasi dan klasifikasi tipe karang dan substrat Metode Hidroakustik Observasi visual Echosounder single beam (CruzPro) - 50 khz khz Penyelaman Raw data: - 50 khz khz Identifikasi visual Foto/gambar Post-processing Kuantifikasi energi backscattering strength karang dan substrat Validasi E1 (kekasaran): - 50 khz khz E2 (kekerasan): - 50 khz khz Klasifikasi Tipe karang dan substrat Gambar 1 Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian

20 TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO3) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermartipik) dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxantellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat (Bengen 2002). Organisme-organisme yang dominan hidup adalah binatang-binatang karang yang mempunyai kerangka kapur dan algae yang banyak diantaranya juga mengandung kapur. Berkaitan dengan terumbu karang diatas dibedakan antara binatang karang atau karang (reef coral) sebagai individu organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang (coral reef) sebagai suatu ekosistem (Sorokin 1993). Pembentukan terumbu karang merupakan proses yang lama dan kompleks. Berkaitan dengan pembentukan terumbu, karang terbagi atas dua kelompok yaitu karang yang membentuk terumbu (hermatipik) dan karang yang tidak dapat membentuk terumbu (ahermatipik). Menurut Dahuri (2003), kemampuan menghasilkan terumbu disebabkan oleh adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis di dalam jaringan karang hermatipik yang dinamakan zooxanthellae. Sel-sel yang merupakan sejenis algae tersebut hidup dalam jaringan-jaringan polip karang, serta melaksanakan fotosintesa. Hasil samping dari aktivitas fotosintesa tersebut adalah endapan kalsium karbonat (CaCO3) yang struktur dan bentuk bangunannya khas. Ciri ini akhirnya digunakan untuk menentukan jenis atau spesies binatang karang. Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem pesisir yang berperan penting dalam kelangsungan hidup biota perairan yaitu sebagai sumber makanan dan habitat bagi makhluk hidup yang kehidupannya berasosiasi dengan lingkungan perairan, sebagai habitat berbagai jenis biota komersial, menyokong industri pariwisata, menyediakan pasir untuk pantai, dan sebagai penghalang terjangan ombak dan erosi pantai (Westmacott et al. 2000). Menurut Dahuri (2003) bahwa tingginya produktivitas primer di perairan terumbu karang memungkinkan perairan ini sering dijadikan sebagai tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground) dan mencari makan (feeding ground) dari kebanyakan ikan. Oleh karena itu secara otomatis produksi ikan di daerah terumbu karang sangat tinggi. Bentuk Pertumbuhan Karang Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan (Gambar 2). Berbagai jenis bentuk pertumbuhan karang dapat dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari, hydrodinamis (gelombang dan arus), ketersediaan bahan makanan, sedimen dan faktor genetik. Berdasarkan bentuk pertumbuhannya karang batu terbagi atas karang Acropora dan non-acropora (English et.al. 1994). Perbedaan karang Acropora dengan karang non-acropora terletak pada struktur skeletonnya. Karang Acropora

21 memiliki bagian yang disebut axial koralit dan radial koralit, sedangkan karang non-acropora hanya memiliki radial koralit. Bentuk pertumbuhan karang non-acropora terdiri atas: 1) Bentuk Bercabang (branching), memiliki cabang lebih panjang daripada diameter yang dimiliki, banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, terutama yang terlindungi atau setengah terbuka. Bersifat banyak memberikan tempat perlindungan bagi ikan dan invertebrata tertentu. 2) Bentuk Padat (massive), dengan ukuran bervariasi serta beberapa bentuk seperti bongkahan batu. Permukaan karang ini halus dan padat, biasanya ditemukan di sepanjang tepi terumbu karang dan bagian atas lereng terumbu karang. 3) Bentuk Kerak (encrusting), tumbuh menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras serta berlubang-lubang kecil, banyak terdapat pada lokasi yang terbuka dan berbatu-batu, terutama mendominasi sepanjang tepi lereng terumbu. Bersifat memberikan tempat berlindung untuk hewanhewan kecil yang sebagian tubuhnya tertutup cangkang. 4) Bentuk lembaran (foliose), merupakan lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau melingkar, terutama pada lereng terumbu dan daerah-daerah yang terlindung. Bersifat memberikan perlindungan bagi ikan dan hewan lain. 5) Bentuk jamur (mushroom), karang yang berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut. 6) Bentuk submasif (submassive), bentuk kokoh dengan tonjolan-tonjolan atau kolom-kolom kecil 7) Karang api (Millepora), semua jenis karang api yang dapat dikenali dengan adanya warna kuning di ujung koloni dan rasa panas seperti terbakar bila disentuh 8) Karang biru (Heliopora), dapat dikenali dengan adanya warna biru pada rangkanya Bentuk pertumbuhan karang Acropora sebagai berikut: 1) Acropora bentuk cabang (Acropora branching), bentuk bercabang seperti ranting pohon. 2) Acropora meja (Acropora tabulate), bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja. Karang ini ditopang dengan batang yang berpusat atau bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar. 3) Acropora merayap (Acropora encrusting), bentuk merayap, biasanya terjadi pada Acropora yang belum sempurna. 4) Acropora Submasif (Acropora submassive), percabangan bentuk gada atau lempeng dan kokoh. 5) Acropora berjari (Acropora digitate), bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti jari-jari tangan 357

22 36 8 Gambar 2 Bentuk-bentuk pertumbuhan karang (English et al. 1994) Backscattering Dasar Perairan Metode hidroakustik mampu melakukan pengukuran terhadap besar kecilnya pantulan dasar perairan dari berbagai tipe partikel. Gelombang akustik yang terjadi pada permukaan antara kolom air dan dasar laut yang mencakup pantulan dan pembauran pada daerah tersebut dan transmisi pada medium kedua. Proses ini secara umum ditentukan oleh beda impedansi akustik antara kedua medium (Siwabessy 2001). Dasar perairan memiliki karakteristik dalam memantulkan dan menghamburkan kembali gelombang suara seperti halnya pada permukaan perairan. Efek pantulan dan backscattering yang dihasilkan dasar perairan lebih kompleks karena sifat dasar laut yang tersusun dari berbagai unsur mulai dari

23 lapisan bebatuan yang kasar hingga lempung dan tersusun atas lapisan-lapisan yang memiliki komposisi yang berbeda (Urick 1983). Keras atau lunaknya dasar perairan akan memberikan pengaruh terhadap intensitas pantulan yang dikembalikan (Gambar 3). Dasar perairan yang keras memiliki pantulan yang lebih besar dari dasar perairan yang halus dan seterusnya (Siwabessy 2001). 379 Gambar 3 Proses deteksi dua dasar perairan yang berbeda (Hamouda dan Abdel-Salam 2010) Besarnya tingkat penetrasi dan pantulan (refleksi) dasar perairan juga dipengaruhi oleh jenis sedimen. Dasar perairan atau sedimen yang memiliki sifat yang lebih keras akan memberikan pantulan dengan nilai amplitudo yang lebih besar (Hamilton 2001). Nilai backscattering strength dipengaruhi oleh perbedaan impedansi akustik sebagai faktor utama, selain itu juga dipengaruhi oleh tingkat kekasaran (roughness) permukaan sedimen dan volume heterogenitas sedimen (Fonseca dan Mayer 2007). Gelombang akustik yang dihamburkan secara acak karena ketidakteraturan dari dasar perairan mencakup kekasaran dari permukaan sedimen dasar perairan, variasi ruang dalam sifat fisis sedimen dan masukan oleh kulit karang atau gelembung. Pada frekuensi tinggi, semua dasar perairan memiliki banyak ketidakteraturan pada skala gelombang akustik (Jackson dan Richardson 2006). Pengaruh relief dasar perairan pada gelombang akustik yang datang sangat dipengaruhi oleh penggunaan frekuensi akustik, sudut insiden dan karakteristik relief dasar perairan itu sendiri, karena bentuk geometrinya, perbedaan relief dasar perairan (kekasaran) akan menyebarkan gelombang insiden di segala penjuru. Kekasaran permukaan dasar perairan yang rendah akan menyebabkan komponen specular relatif lebih besar dan hamburan yang rendah. Sebaliknya, kekasaran permukaan yang tinggi akan sangat melemahkan komponen specular dan hamburan yang tinggi serta menyebar ke segala arah (Lurton 2002). Proses backscattering dasar perairan dapat dilihat pada Gambar 4.

24 38 10 Gambar 4 Refleksi dan scattering gelombang datang pada permukaan yang kasar (atas) dan specular refleksi dan bidang scattering dengan tingkat kekasaran permukaan yang berbeda (bawah) (Lurton 2002) Aplikasi Metode Akustik untuk Dasar Perairan Klasifikasi dasar perairan memerlukan sistem akuisisi data akustik dan algoritma untuk menganalisis data dan untuk menentukan jenis dasar laut. Penggunaan sistem klasifikasi dasar laut telah terintegrasi dengan kombinasi perangkat keras dan perangkat lunak. Pengolahan data tergantung pada ekstraksi fitur karakteristik dari echo dasar laut. Proses verifikasi hasil dapat dilakukan dengan pengambilan sampling substrat dasar perairan dan pengamatan dapat dilakukan oleh penyelam atau penggunaan kamera bawah air serta data yang diperoleh harus dicatat sebagai data akustik. Setelah diverifikasi, hasil disimpan sehingga jenis dasar perairan dapat diketahui dan dapat dibandingkan dengan data dari sinyal echo (Burczynski 2002). Kemampuan teknologi akustik untuk mengklasifikasikan substrat dasar perairan dan vegetasi bawah air pada dasarnya adalah kemampuan untuk mengumpulkan data akustik berdasarkan kedalaman, tipe substrat, tutupan dan tinggi vegetasi, kelimpahan serta distribusi vegetasi (Hoffman et al. 2002). Kekuatan energi akustik yang dipantulkan dari dasar perairan dengan echosounder single beam telah digunakan untuk mengklasifikasikan jenis dasar perairan dalam Acoustics Discrimination System (ADS). Dasar teknik ini adalah bahwa jumlah energi yang berbeda akan terpantulkan atau tersebar dari dasar laut berdasarkan perbedaan impedansi akustik antara jenis dasar dan kolom air. Misalnya, dasar laut yang lembut seperti lumpur akan memiliki reflektansi pantulan yang berbeda dengan dasar laut yang keras seperti batu. Sistem akustik echosounder single beam komersil telah dikembangkan dan diterapkan untuk klasifikasi dasar perairan. Beragam fitur atau bentuk hasil akustik dapat digunakan untuk mengklasifikasikan dasar perairan dengan sistem

25 single beam echosounder. Contoh fitur hasil SBES seperti: energi echo pertama (E1) dan kedua (E2) dasar perairan (Siwabessy et al. 2000) atau parameter untuk menggambarkan spektrum, echo envelope atau amplitudo echo pertama (E1) (Anderson et al. 2002; Ellingsen et al. 2002). Amplitudo dan bentuk sinyal akustik yang dipantulkan dari dasar perairan ditentukan oleh kekasaran dasar perairan, perbedaan densitas antara air dengan dasar perairan dan reverberasi yang terjadi di dalam substrat. Klasifikasi dasar perairan memerlukan sistem akuisisi data akustik dan suatu algoritma yang menganalisis data, menentukan jenis dasar perairan dan menghubungkannya dengan hasil klasifikasi akustik terhadap sifat fisik sedimen perairan. Gambar 5 memperlihatkan contoh echo dari dasar perairan yang keras dan lunak. Nilai amplitudo dari echo dikuadratkan, melalui pengintegrasian echo dan kemudian kurva kumulatif dari echo dasar perairan. Perbedaan yang nyata akan terlihat dari bentuk yang berbeda antara energi kumulatif dari sinyal dasar perairan yang keras dan lunak. Dasar perairan yang keras akan menghasilkan kurva dengan peningkatan yang tajam sementara bagian dasar perairan yang lunak akan menghasilkan kurva yang meningkat dengan kemiringan yang relatif rendah. Echo yang berasal dari dasar perairan yang ditampilkan dalam bentuk energi kumulatif dapat disimpan dalam database (Burczynski 1999) Gambar 5 Bentuk kurva dasar perairan yang keras dan lunak; (a) amplitudo sinyal echo dan (b) kurva energi kumulatif (Burczynski 1999) Pada saat gelombang akustik mengenai permukaan dasar perairan, sebagian energi akan menembus dasar perairan dan sebagian kembali ke transduser. Pada normal incidence, echo pertama (E1) memberikan pentulan lebih kuat karena reflektifitas dari permukaan laut dan bagian ekor E1 adalah backscatter dari substrat dekat permukaan (Gambar 6). E1 disebut sebagai tingkat kekasaran (roughness) dasar laut. E1 berkorelasi dengan topografi, ukuran butiran

26 40 12 substrat dan redaman dari bagian dekat permukaan dasar laut. Misalnya, kekasaran dasar laut atau ukuran butiran besar memberikan hasil hamburan (scattering) yang lebih kompleks, seperti yang ditunjukkan oleh echo envelope E1 yang luas dengan amplitudo rendah, dibandingkan dengan dasar permukaan yang datar. Pada envelope pantulan E1 yang sempit akan memiliki amplitudo yang lebih tinggi. Pada echo kedua (E2), pantulan terutama berasal dari hamburan yang kompleks yang disebabkan oleh pembiasan dari permukaan laut dan substrat (Gambar 6). E2 disebut sebagai tingkat kekerasan (hardness) dasar laut. E2 bervariasi ketika gelombang suara menembus permukaan dasar laut dan dipantulkan oleh lapisan substrat dengan kepadatan yang berbeda. Intensitas backscatter yang dihasilkan dari dasar laut yang terdiri dari batuan secara signifikan lebih besar daripada substrat berpasir. Tanggapan sudut dari dasar laut dapat bervariasi dalam footprint akustik dan reflektifitas tinggi diharapkan pada titik nadir. Oleh karena itu, lebar footprint dan sudut insiden sangat penting untuk klasifikasi dasar perairan. Respon sudut dari dasar laut meningkatkan kemampuan untuk membedakan kategori ukuran butir dasar laut (pasir, kerikil, dan batu bulat). Aplikasi scientific echosounder sejauh ini telah digunakan untuk kuantifikasi dasar perairan. Hasil penelitian Manik (2012), menunjukkan adanya perbedaan energi backscattering strength beberapa sedimen dasar perairan seperti pasir (sand), lumpur (silk) dan lempung (clay) menggunakan echosounder single beam model CruzPro PcFF80. Echosounder single beam CruzPro PcFF80 dapat pula digunakan untuk membedakan pantulan pertama (E1) dan pantulan kedua (E2) substrat. Gambar 6 menampilkan bentuk dan intensitas echo substrat pasir menggunakan echosounder single beam CruzPro PcFF80. Gambar 6 Bentuk echo pantulan substrat pasir menggunakan CruzPro PcFF80 (Manik 2012)

27 Echo pantulan pertama (E1) secara langsung berasal dari dasar perairan dan echo pantulan kedua (E2) direfleksikan dua kali, yaitu dari dasar laut dan sekali oleh permukaan laut dan lambung kapal. Interaksi ganda pada echo kedua sangat kuat dipengaruhi oleh tingkat kekerasan dari dasar perairan, kemudian efek kekasaran menjadi sekunder. Bentuk dan energi echo sangat tergantung pada jenis dasar perairan, khususnya berkaitan dengan tingkat kekasaran dan kekerasan dasar perairan. Bentuk echo juga dapat dipengaruhi oleh karakteristik echosounder, reflector pada sub-surface melalui volume reverberasi. Akuisisi dan klasifikasi echo envelope memungkinkan tipe dasar untuk disimpulkan dari karakteristik energi dan bentuk echo (Penrose et al. 2005). Hamilton (2001) menyebutkan bahwa pada beberapa kasus terkadang nilai second echo tidak didapatkan pada daerah dasar perairan berbatu yang umumnya memiliki struktur yang lebih kasar. Kasus yang sama juga dapat terjadi pada dasar pasir yang bergelombang, karena adanya energi yang hilang akibat hamburan yang disebabkan oleh bentuk dasar perairan. Menurut Demer et al. (2009) bahwa suara yang dipantulkan dari dasar perairan tergantung pada panjang gelombang akustik, reflektifitas dasar laut, kekasaran, dan kemiringan (slope). Relief dasar perairan juga dapat menentukan echo akustik dasar laut karena suara yang dipancarkan dapat menembus ke dalam sedimen dan sub-bottom dasar perairan (Manik 2012) METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2012 hingga Agustus 2013 yang meliputi tahapan persiapan, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data hingga penulisan tesis. Pengambilan data lapangan berlokasi di Pulau Panggang, Pulau Karangberas dan gugus karang Pramuka, Kepulauan Seribu (Gambar 7). Pengolahan dan analisis data dilaksanakan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK-IPB. Alat dan Bahan Penelitian Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan data lapangan, baik yang digunakan pada observasi visual maupun pada perekaman data akustik disajikan pada Tabel 1. Spesifikasi echosounder single beam yang digunakan untuk perekaman data akustik pada Tabel 2. Adapun gambar dan ukuran dimensi transduser yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 1.

28 42 14 Gambar 7 Lokasi penelitian Tabel 1 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian Alat dan bahan Tipe Kegunaan Echosounder Single beam, Scientific Echosounder (CruzPro Perekaman data akustik karang dan pasir PcFF80) Laptop HP dan Compaq Perekaman, penyimpanan, pemrosesan dan pengolahan data perekaman akustik Penentuan posisi dalam pengambilan data Global Positioning Garmin System (GPS) Alat penyelaman SCUBA/snorkeling Alat bantu observasi visual dan klasifikasi jenis karang Underwater camera Canon Dokumentasi penelitian Meteran/transek - Pemasangan transduser, pengukuran luas permukaan karang Kapal Kapal nelayan Sarana atau tempat pemasangan alat survei akustik

29 Spesifikasi Tabel 2 Spesifikasi echosounder single beam CruzPro PcFF80 Besaran Tipe transduser THDT-5 Long Stem Bronze Thru Hull Transducer Frekuensi transduser Dual frekuensi, 50 khz dan 200 khz Operating voltase 9.5 to 16.0 VDC, 0.05 amps nominal, 4.7 amps peak at max power Output power 2560 watts peak-to-peak (320W RMS) 24KW DSP processed power (3200 WRMS) Kedalaman 1000 feet atau lebih (200 khz) 1500 feet atau lebih (50 khz) Temperatur 0 to 50 o C ( 32 to 122 o F) Kotak interface 100 x 80 x 50 mm (4 x 3.2 x 2 inch). Powder Coated Aluminum Extrusion Interface RS-232, 115 KBaud, serial data and USB Source level 163 db (200 khz), 156 db (50 khz) Receiving sensitivity -185 db (200 khz), -173 db (50 khz) Beam width 11 o (200 khz), 45 o (50 khz) Diameter transduser 6 cm Sumber: Cruzpro Metode Pengambilan Data Pengambilan data pada penelitian ini dilaksanakan dengan dua cara, yaitu dengan observasi visual (pengamatan langsung) dan menggunakan metode akustik. Pengambilan data dengan kedua metode tersebut dilakukan secara stasioner (stasiun tetap). Kriteria penentuan titik stasiun pengambilan data yaitu dengan menitik-beratkan pada tipe karang yang memiliki tutupan permukaan yang tinggi (homogen) untuk tiap tipe karang. Observasi Visual Observai visual dilakukan untuk menentukan lokasi atau titik stasiun pengambilan data substrat yang menjadi objek penelitian. Tujuan observasi visual adalah untuk mengidentifikasi tipe karang, pengukuran luasan tutupan permukaan karang dan pengambilan dokumentasi karang dengan menggunakan underwater camera. Hasil observasi visual nantinya akan digunakan untuk memvalidasi data yang diperoleh dengan metode akustik. Observasi visual akan dilakukan dengan cara penyelaman SCUBA atau snorkeling pada stasiun pengamatan sebelum proses pengambilan data akustik. Perekaman Data Akustik Alat yang digunakan untuk perekaman data akustik adalah echosounder single beam CruzPro PcFF80 dengan tipe transduser THDT-5 Long Stem Bronze Thru Hull yang digunakan sebagai alat proses sounding dasar perairan untuk mengidentifikasi pantulan tiap tipe substrat dasar perairan (karang dan pasir).

30 44 16 Sebelum melakukan proses sounding akustik, terlebih dahulu dilakukan proses setingan alat (Tabel 3). Prinsip kerja instrumen ini adalah pemancaran gelombang suara melalui transmitting transducer ke dasar perairan dan echo pantulan dari dasar perairan akan diterima oleh receiver transducer. Transmitter power yang digunakan pada saat pengambilan data akustik adalah 320 watt. Instrumen CruzPro PcFF80 dilengkapi dengan dual frekuensi dan digunakan secara bergantian untuk perekaman data akustik yang bertujuan untuk melihat respon pantulan akustik setiap target. Tabel 3 Parameter Parameter dan setingan alat CruzPro PcFF80 pada saat perekaman data akustik Nilai Frekuensi yang digunakan 200 khz 50 khz Transmitter power (W) Near field (m) Kecepatan suara (m/s) Durasi pulsa (ms) Ping rate (s) Surface gain Change rate Amplifier gain (db) TS sphere (db) Proses pengambilan data akustik dilakukan dengan mengarahkan transduser pada setiap tipe karang dan substrat yang menjadi target dalam penelitian yang sebelumnya telah ditandai pada saat observasi visual pada tiap stasiun pengamatan. Transduser ditempatkan pada sebuah rangka yang terbuat dari pipa paralon untuk memudahkan perekaman data dan untuk menghindarkan transduser dari pengaruh gelombang (Lampiran 2). Metode ini dapat lebih efektif dan efisien bila dibandingkan dengan menempatkan transduser di sisi kapal untuk pengambilan data secara stasioner. Pada saat perekaman data, posisi orientasi transduser adalah downward looking (90 o ) atau secara vertikal tegak lurus terhadap target (terumbu karang). Proses perekaman data akustik dilakukan selama 10 menit pada tiap tipe karang. Data hasil perekaman akustik selanjutnya disimpan dalam hard disk dan posisi pengambilan setiap target dicatat menggunakan GPS (Global Positioning System). Diagram alir proses perekaman data akustik dapat dilihat pada Gambar 8.

31 17 45 Gambar 8 Diagram alir proses perekaman data akustik menggunakan Cruzpro PcFF80 Pemrosesan dan Analisis Data Akustik Pemrosesan sinyal hasil perekaman akustik dilakukan menggunakan perangkat lunak Misrosoft Excel dan Matlab R2010a. Data yang diperoleh dalam bentuk raw data (data mentah) selanjutnya diekstrak dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Nilai-nilai amplitudo yang dihasilkan menggambarkan kekuatan echo atau gelombang suara yang dipantulkan oleh karang dan pasir. Nilai-nilai amplitudo tersebut kemudian disimpan dalam format *txt dan ditampilkan pada Matlab melalui workspace Matlab untuk pengolahan data selanjutnya. Pengolahan data pada program Matlab dilakukan dengan menggunakan sintax program (Lampiran 3). Echo pantulan dapat ditampilkan dalam bentuk echogram dan echo envelope untuk melihat pola perambatan sinyal akustik pada tiap tipe karang dan pasir. Satuan dasar pencuplikan (Elementary Sampling Unit, ESU) yang digunakan pada proses pengolahan data untuk mengetahui nilai pantulan akustik tiap tipe karang adalah berdasarkan waktu perekaman selama 5 detik.

32 46 18 Surface Backscattering Strength (SS) Proses kuantifikasi sinyal echo pantulan karang dan substrat pasir dilakukan untuk menghasilkan data berdasarkan nilai rata-rata yang diperoleh dengan tujuan untuk membedakan pantulan echo dari berbagai tipe karang dan substrat. Pada penelitian ini, nilai yang diperoleh (peak intensity atau nilai maksimum) dianggap sebagai nilai surface backscattering strength (SS) yang dihasilkan oleh permukaan tiap tipe karang dan substrat. Proses kuantifikasi dilakukan dengan mengadopsi persamaan yang digunakan oleh Chakraborty et al. 2007; Haris et al. 2012: SS [db] = RS SL + VR AVG + AG + 40log 10 R + 2αR 10log 10 A... (1) Dimana, RS = Receiving Sensitivity (db) SL = Source Level (db) VG = Amplitudo (db) AVG = Array Voltase Gain (db) AG = Amplifier Gain (db) α = Koefisien absorpsi (dbkm -1 ) R = Jarak target ke transduser (m) A = Beam-insonified area (m 2 ) Koefisien absorpsi (α) dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut (Francois dan Garrison 1982 dalam MacLennan dan Simmonds 2005): α = A 1P 1 f 1 f 2 f 2 + f A 2P 2 f 2 f 2 f 2 + f A 3P 3 f (2) Dimana, A 1, P 1, f 1 = Komponen asam boric di air laut A 1 = (8.86/c)10 (0.7pH-5) P 1 = 1 f 1 = 2.8(S/35) [4-1245/(T+273)] A 2, P 2, f 2 = Komponen magnesium sulfate di air laut A 2 = 21.44(S/c)( T) P 2 = x 10-4 z x 10-9 z 2 f 2 = 8.17 x 10 [8-1990/(T+273)] / [ (S-35) A 3, P 3, f 3 = Komponen viskositas untuk T > 20 o C A 3 = x x 10-5 T x 10-7 T x T 3 P 3 = x 10-5 z x z 2 S = Salinitas (ppt) c = Kecepatan suara (m/s) T = Temperatur/suhu ( o C) z = Kedalaman (m) f = Frekuensi (khz) Parameter perairan seperti salinitas dan ph diperoleh dari data sekunder hasil penelitian Sanchoemar (2008), sedangkan suhu dan kecepatan suara diperoleh berdasarkan hasil pendeteksian transduser.

33 Pada penelitian ini, posisi orientasi transduser terhadap target adalah normal incident atau secara vertikal tegak lurus, sehingga untuk mengetahui nilai beam-insonified area (A) pada normal incident dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan: A = π (R tan(θ)) (3) Volume Backscattering Strength (SV) Selain nilai surface backscattering strength (SS), juga dapat dihasilkan nilai volume backscattering strength (SV) dapat diturunkan dari nilai surface backscattering strength (SS). Dalam proses membedakan echo dari beberapa tipe karang maka dilakukan dengan kuantifikasi sinyal gema untuk menghasilkan suatu data berdasarkan nilai rata-rata yang diperoleh. Nilai SV dari tipe karang di ekstrak dari pantulan pertama (E1) yang mengindikasikan tingkat kekasaran (roughness) dan pantulan kedua (E2) yang mengindikasikan tingkat kekerasan (hardness). Nilai SV diperoleh dengan menghubungkan nilai surface backscattering coefficient (Ss) dan bottom volume backscattering coefficient (Sv) sesuai persamaan (Manik et al. 2006): Sv = SsΦ Ψ cτ (4) Dimana, Φ = Instantaneous equivalent beam angle for surface scattering Ψ = Equivalent beam angle for volume scattering c = Kecepatan suara τ = Panjang pulsa Pada puncak echo dasar perairan, nilai integrasi Ψ Φ sehingga persamaan (4) menjadi: Sv = Ss cτ (5) SV db = SS 10log 10 cτ (6) Analisis Statistik Uji Ragam Pantulan Akustik Analisis atau uji ragam digunakan untuk menyelidiki hubungan antara variabel respons (dependen) dengan satu atau beberapa variabel prediktor (independen) atau untuk menguji rataan populasi. Uji ragam digunakan untuk menguji k buah rataan populasi (k > 2). Uji ragam pada penelitian ini bertujuan untuk melihat keragaman nilai rata-rata surface backscattering strength (SS) dan

34 48 20 volume backscattering strength (SV) berupa nilai E1 dan E2 yang diperoleh melalui perekaman dua frekuensi akustik. Uji ragam yang digunakan pada penelitian ini adalah uji ragam satu arah (one way) dengan menggunakan software SPSS Statistics Adapun metode uji keragaman nilai rata-rata antar tipe karang menggunakan pengujian Tukey HSD (Honestly Significant Difference) dengan selang kepercayaan 0.05 (α = 0.05). Secara matematis, persamaan uji ragam satu arah sebagai berikut: yij i ij, i i dan k i 1 0 i... (7) Dimana, k i i 1 k µ menyatakan rataan keseluruhan (grand mean) dan α i sebagai efek atau pengaruh perlakuan ke-i. Melalui uji ragam kita dapat mengetahui nilai rata-rata pantulan akustik tiap tipe karang relatif sama atau tidak. Hipotesis yang digunakan adalah: H 0 : 1 = 2 = = k H 1 : sekurang-kurangnya dua nilai rataan yang tidak sama Klasifikasi E1 dan E2 Metode yang digunakan adalah analisis clustering dan plotting nilai E1 dan E2 untuk menentukan kategori kelas. Analisis clustering dilakukan dengan menggunakan software Minitab 11. Metode clustering yang digunakan adalah clustering dengan pendekatan hirarki yang bertujuan untuk menentukan tingkat kemiripan nilai volume backscattering strength (SV) antara tipe karang dan substrat berdasarkan nilai rata-rata E1 dan E2 pada tiap frekuensi akustik yang digunakan. Tingkat kemiripan dapat ditentukan dengan menggunakan metode Euclidean Distance, dimana data yang mirip akan ditempatkan pada hirarki yang berdekatan dan yang tidak mirip pada hirarki yang berjauhan. Proses selanjutnya adalah mengelompokkan karang dan pasir ke dalam kelas kategori. Tujuannya untuk mencari kombinasi antara tipe karang dan pasir yang akan memaksimalkan perbedaan antara kelas dan meminimalkan variasi dalam kelas. Penentuan kelas kategori didasarkan pada nilai E1 dan E2 serta hasil analisis cluster. Pada penelitian ini, dimana hanya terdapat dua atribut data yang tersedia yaitu nilai E1 dan E2, maka untuk mengelompokkannya dapat dilakukan hanya dengan memplot atau menentukan titik perpotongan tiap pantulan (scatterplot) E1 dan E2 dalam ruang dua dimensi (XY).

35 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Visual Substrat dasar perairan memiliki tipe yang beranekaragam, termasuk salah satunya adalah karang. Karang memiliki bentuk dan pola pertumbuhan yang sangat bervariasi dan berkaitan erat dengan kondisi perairannya. Berdasarkan hasil pengamatan dan identifikasi visual dengan penyelaman di lokasi penelitian, ditemukan 6 bentuk pertumbuhan karang dengan ukuran dan bentuk yang bervariasi, yang meliputi bentuk pertumbuhan karang Acropora dan non- Acropora serta substrat dasar perairan selain karang. Bentuk pertumbuhan karang hidup yang akan dikuantifikasi energi pantulan balik akustiknya antara lain Acropora branching (ACB), Acropora tabulate (ACT), Coral massive (CM) dan Coral mushroom (CMR). Karang mati antara lain Coral massive mati (DC) dan patahan karang atau rubble (RB) serta substrat selain karang, pasir (SD). Adapun hasil pengukuran luasan target yang menjadi objek penelitian dan cakupan beam dapat dilihat pada Tabel 4 serta bentuk tipe karang dan substrat pasir pada Gambar 9. Tabel 4 Hasil pengukuran dimensi karang dan pasir yang diamati Tipe karang Luas (m 2 ) Jarak Luas area cakupan beam (m 2 ) transdusertarget (m) 200 khz 50 khz ACB a ACT a CM CMR DC RB a SD a a = sesuai ukuran kuadran (panjang 1.2 m dan lebar 1.2 m)

36 50 22 Gambar 9 Bentuk tipe karang dan substrat dasar penelitian; a. ACB, b. CM, c. ACT, d. CM, e. RB, f. DC dan g. SD Data Akustik Setiap pulsa akustik (echo) yang dipancarkan dan dipantulkan oleh target mengandung berbagai informasi. Masing-masing pantulan akan memberikan informasi yang berbeda sesuai dengan bentuk morfologi karang (target). Hasil perekaman akustik secara umum dapat ditampilkan dalam bentuk echogram yang mengandung informasi mengenai karakteristik dari target yang terdeteksi dan berguna untuk klasifikasi dasar perairan (Preston et al. 2000). Echogram adalah tampilan grafis rekaman yang dihasilkan oleh echosounder, sebagai fungsi waktu, kekuatan echo dan waktu yang dibutuhkan echo untuk kembali. Echogram dapat berbentuk penampang melintang hasil rekaman menggunakan instrumen akustik, dimana sumbu x adalah jumlah ping yang terekam dan sumbu y adalah kedalaman target dari transduser. Intensitas dari tiap variable dinotasikan sebagai warna dari setiap piksel. Skala warna menunjukkan sebaran nilai pantulan balik akustik target yang terkandung dalam echogram yang diperoleh dari raw data yang terekam. Nilai piksel yang tinggi akan menunjukkan pemantulan dari target yang keras, sedangkan pengembalian yang lemah menunjukkan dan pembelokkan sinyal akustik untuk target yang halus atau lembut (Nasby-Lucas et al. 2002).

37 Depth (m) Depth (m) Berdasarkan echo pantulan akustik yang terekam oleh transduser, terlihat adanya pola perambatan sinyal akustik yang menggambarkan adanya pantulan yang berasal dari dasar perairan yang berupa first echo dan second echo dari setiap target. First echo merupakan gema yang berasal dari dasar perairan yang langsung diterima transduser, sedangkan second echo merupakan gema yang berasal dari dasar perairan kemudian kembali ke transduser tetapi dipantulkan oleh permukaan perairan atau kapal dan kembali ke dasar perairan dan kemudian dipantulkan kembali lagi ke transduser (Penrose et al. 2005). Keras atau lunaknya dasar perairan akan memberikan pengaruh terhadap intensitas pantulan yang dikembalikan. Puncak echo mengindikasikan pantulan dari dasar perairan (substrat pasir dan karang) sebagai nilai surface backscattering strength (SS). Pola perambatan sinyal volume backscattering strength (SV) yang diperoleh cenderung mengikuti SS. Bentuk echogram hasil perekaman akustik ditampilkan pada Gambar 10 sampai 12. Terlihat pada echogram bahwa echo pantulan yang pertama (E1) lebih tinggi dari echo pantulan yang kedua (E2), perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain berkurangnya energi pantulan karena pengaruh jarak, penyerapan energi oleh medium serta penyebaran energi pada medium. E1 terbentuk dari satu kali pantulan sedangkan E2 dapat terbentuk lebih dari satu kali pantulan (permukaan perairan dan dasar perairan) sehingga menyebabkan kehilangan energi lebih banyak akibat absorpsi pada E2. Selain pengaruh absorpsi, penggunaan frekuensi akan berpengaruh terhadap tingkat penetrasi sinyal akustik ke dalam dasar perairan. Frekuensi 50 khz akan memiliki kemampuan penetrasi yang lebih dalam dibandingkan frekuensi 200 khz, dimana frekuensi yang rendah memiliki panjang gelombang yang lebih panjang dan akan lebih dalam menembus dasar perairan serta memberikan informasi yang lebih bila dibandingkan dengan panjang gelombang yang pendek dimana sinyal akustik akan terpantul pada permukaan dasar perairan. Komponen energi yang lebih besar akan memiliki kemampuan untuk menembus ke dalam lapisan sedimen (Saleh 2010) khz Ping Number 50 khz Ping Number Acropora branching Gambar 10 Echogram hasil perekaman akustik Acropora branching; frekuensi 200 khz (kiri) dan frekuensi 50 khz (kanan)

38 Depth (m) Depth (m) Depth (m) Depth (m) Depth (m) Depth (m) khz khz Ping Number Ping Number Coral massive khz Ping Number 50 khz Ping Number Acropora tabulate khz Ping Number 50 khz Ping Number Coral mushroom Gambar 11 Echogram hasil perekaman akustik Coral massive, Acropora tabulate dan Coral mushroom; frekuensi 200 khz (kiri) dan frekuensi 50 khz (kanan)

39 Depth (m) Depth (m) Depth (m) Depth (m) Depth (m) Depth (m) khz Ping Number 50 khz Ping Number Rubble atau patahan karang khz khz Ping Number Ping Number Pasir khz Ping Number 50 khz Ping Number Coral massive mati/karang mati Gambar 12 Echogram hasil perekaman akustik Rubble atau patahan karang, pasir dan Coral massive mati/karang mati; frekuensi 200 khz (kiri) dan frekuensi 50 khz (kanan)

40 54 26 Kuantifikasi Nilai Surface Backscattering Strength (SS) Konsep scattering strength dimunculkan untuk mengkuantifikasi scattering yang berasal dari dasar laut maupun permukaan laut, sedangkan backscattering strength merujuk pada bagian dari gelombang akustik yang dipantulkan kembali ke arah pemancar pada sistem sonar monostatik (Urick 1983). Surface backscattering strength (SS) merupakan perbandingan antara kekuatan intensitas suara yang dipantulkan dengan intensitas suara yang mengenai permukaan dasar perairan. Nilai SS diperoleh dari puncak nilai echo pantulan permukaan dasar perairan. Hasil kuantifikasi menunjukkan bahwa nilai rata-rata surface backscattering strength (SS) berkisar antara db sampai db (frekuensi 200 khz) dan db sampai db (frekuensi 50 khz). Keras atau lunaknya dasar perairan akan memberikan pengaruh terhadap intensitas pantulan yang dikembalikan. Tabel 5 dan 6 menunjukkan nilai intensitas surface backscattering strength (SS) yang dihasilkan oleh beberapa tipe karang, patahan karang serta substrat pasir. Nilai SS rata-rata yang diperoleh berbeda antar tipe karang. Pada frekuensi 200 khz, nilai SS (rata-rata) tertinggi pada Coral mushroom (CMR) sebesar db, kemudian pasir (SD), rubble atau patahan karang (RB), Coral massive (CM), Acropora tabulate (ACT), Coral massive mati atau karang mati (DC) dan nilai terendah Acropora branching (ACB) db. Frekuensi 50 khz memiliki nilai SS yang lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi 200 khz. Nilai SS (rata-rata) tertinggi untuk frekuensi 50 khz adalah Rubble (RB) sebesar db, kemudian pasir (SD), Coral mushroom (CMR), Acropora tabulate (ACT), Coral massive (CM), Coral massive mati/karang mati (DC) dan nilai terendah Acropora branching (ACB) db. Sama halnya dengan hasil penelitian Bemba (2011) bahwa Coral mushroom (CMR) cenderung memiliki nilai pantulan akustik yang tinggi baik, pada frekuensi 200 khz maupun 50 khz, hal ini dapat dipengaruhi oleh bentuk pertumbuhan Coral mushroom (CMR) yang sangat padat dan keras. Hasil tersebut didukung oleh pernyataan English et al. (1994) bahwa Coral mushroom merupakan salah satu tipe karang yang memiliki bentuk dan komposisi pertumbuhan yang lebih padat dan keras dibandingkan bentuk pertumbuhan karang lainnya. sebaliknya, Acropora branching (ACB) memiliki nilai pantulan akustik yang rendah (frekuensi 200 dan 50 khz) diduga karena bentuknya yang bercabang-cabang sehingga dapat menghamburkan sinyal akustik yang mengenainya dan melemahkan sinyal pantulan ke transduser. Tabel 5 Nilai rata-rata SS karang dan pasir frekuensi 200 khz Tipe karang Kode Mean Std. Dev Coral mushroom CMR * Pasir SD Rubble RB Coral massive CM * Acropora tabulate ACT Coral massive mati DC Acropora branching ACB * Nilai tertinggi

41 55 27 Tabel 6 Nilai rata-rata SS karang dan pasir frekuensi 50 khz Tipe karang Kode Mean Std. Dev Rubble RB -8.41* Coral mushroom CMR Pasir SD Acropora tabulate ACT Coral massive CM Coral massive mati DC * Acropora branching ACB * Nilai tertinggi Perbedaan nilai SS antara frekuensi tinggi 200 khz dan frekuensi rendah 50 khz dapat disebabkan karena sinyal echo yang diterima dari dasar perairan tergantung dari jenisnya akan memiliki respon akustik yang berbeda terhadap frekuensi tertentu. Menurut Jackson dan Richardson (2006) bahwa pengaruh relief dasar perairan pada gelombang akustik yang datang sangat dipengaruhi oleh penggunaan frekuensi akustik. Penggunaan berbagai frekuensi yang berbeda pada instrumen akustik akan didapatkan hasil yang berbeda pula. Penggunaan frekuensi akan berhubungan langsung dengan absorpsi dalam medium (ait laut). Absorpsi dapat memberikan pengaruh terhadap kuat lemahnya pantulan akustik dari target. Frekuensi yang lebih tinggi akan memiliki tingkat absorpsi yang lebih tinggi, sehingga energi pantulan dari dasar perairan lebih sedikit dibandingkan energi pantulan pada frekuensi rendah dengan tingkat absorpsi yang lebih kecil (Saleh 2010). Hasil penelitian Chakraborty et al. (2007) menunjukkan bahwa penggunaan dual frekuensi instrumen akustik akan memberikan hasil yang berbeda, frekuensi yang rendah akan memberikan nilai pantulan akustik yang lebih tinggi dibandingkan frekuensi yang tinggi pada dasar perairan yang sama. Kuat pantulan balik akustik beberapa tipe karang yang sama pada penelitian sebelumnya memiliki nilai SS yang berbeda dengan penelitian ini. Manuhutu (2010) nilai ACB, CM, ACT dan CMR masing-masing adalah db, db, db dan db, sedangkan Bemba (2011) memperoleh nilai ACB ( db), CM ( db), ACT ( db), CMR ( db), RB ( db) dan SD ( db) dengan menggunakan listing program Rick Towler. Hasil penelitian Bemba (2011) memiliki trend perbedaan nilai antar tipe karang karang dan substrat hampir sama dengan hasil frekuensi 200 khz pada penelitian ini, dimana nilai SS tertinggi CMR dan terendah ACB (Gambar 13). Perbedaan nilai surface backscattering strength (SS) dengan penelitian ini disebabkan karena penggunaan alat yang berbeda, dimana kedua penelitian sebelumnya menggunakan echosounder Simrad EY 60 frekuensi 120 khz. Pada dasarnya bahwa penggunaan instrumen akustik yang berbeda akan memberikan hasil yang berbeda. Selain itu, penggunaan algoritma yang berbeda pada data akustik yang sama terkadang akan memberikan hasil yang berbeda pula (Bemba 2011). Faktor lain yang diduga dapat menyebabkan perbedaan nilai SS adalah kondisi karang seperti usia, ketebalan dan luasan karang. Karang yang berusia lebih tua akan memberikan nilai pantulan yang lebih kuat dibandingkan usia karang yang lebih muda dan karang yang lebih tebal dan diameter yang luas akan memberikan nilai pantulan yang kuat dibanding kondisi sebaliknya.

42 Surface Backscattering Strength [db] ACB CM ACT CMR RB SD Tipe Karang Hamuna (2013), single beam Cruzpro PcFF80 frekuensi 200 khz Bemba (2011), split beam Simrad EY 60 frekuensi 120 khz; RT Bemba (2011), split beam Simrad EY 60 frekuensi 120 khz; Qu Manuhutu (2010), split beam Simrad EY 60 frekuensi 120 khz; RT Gambar 13 Nilai SS karang dan pasir beberapa hasil penelitian (pengolahan data RT = program Rick Towler; Qu = kuantifikasi) Berdasarkan Tabel 5 dan 6 terlihat bahwa nilai SS tiap tipe karang dan pasir pada kedua frekuensi akustik memiliki perbedaan nilai yang sangat kecil sehingga perlu dilakukan pengujian statistik untuk mengetahui ragam nilai ratarata yang diperoleh. Tabel 7 dan Lampiran 4 menunjukkan hasil pengujian statistik menggunakan metode analisis Tukey HSD. Hasil uji ragam menunjukkan bahwa perbedaan nilai rata-rata SS antar tipe karang dan pasir pada frekuensi 200 khz berbeda signifikan 100%, dimana nilai hasil uji (sig) lebih kecil dari nilai taraf uji (sig < 0.05). Hasil uji pada frekuensi 50 khz menunjukkan perbedaan nilai rata-rata SS sebesar 95.2%. Artinya bahwa terdapat nilai rata-rata SS yang tidak berbeda nyata pada beberapa tipe karang. Hasil uji antara Coral mushroom (CMR) dan pasir (SD) memiliki ragam yang relatif sama dengan nilai hasil uji (sig > 0.05). Tingginya perbedaan nilai rata-rata SS (100% dan 95.2%) menandakan bahwa respon akustik antar tipe karang dan pasir yang berbeda antara satu dan lainnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen echosounder single beam CruzPro PcFF80 dapat digunakan untuk membedakan nilai akustik berbagai tipe karang dan pasir.

43 Tabel 7 Hasil uji Tukey HSD nilai rata-rata SS (α = 0.05) 200 khz n khz n Tipe ACB CM ACT CMR RB SD DC 200 khz ACB 50 khz CM ACT CMR = RB SD DC Keterangan: nilai rata-rata berbeda nyata = nilai rata-rata tidak berbeda nyata Energi dan Bentuk Echo Volume Backscattering Strength (SV) Pada dasarnya bahwa subsrat dasar perairan yang keras akan menghasilkan intensitas echo dengan nilai amplitudo yang tinggi, sementara bagian dasar perairan yang lunak akan menghasilkan gema yang lemah yang ditandai dengan rendahnya nilai respon amplitudo yang dihasilkan (Hamilton 2001). Amplitudo dan bentuk sinyal akustik yang dipantulkan dari dasar perairan ditentukan oleh kekasaran dasar perairan. Dasar perairan memiliki karakteristik yang kompleks sehingga intensitas sinyal akustik yang dipantulkan akan berbeda antara substrat yang satu dengan lainnya. Volume backscattering strength (SV) merupakan perbandingan antara kekuatan intensitas suara yang dipantulkan dengan intensitas suara yang mengenai dasar perairan yang terintegrasi pada volume tertentu (ketebalan dasar perairan). Pada penelitian ini, nilai SV diperoleh dengan menggunakan persamaan logaritma yang menghubungkan antara nilai surface backscattering strength (SS) permukaan dasar perairan, kecepatan suara (c) dan panjang pulsa akustik (τ) (Manik 2012). Berdasarkan kurva perambatan sinyal akustik (echo envelope) SV pada Gambar 14 sampai 20 terlihat adanya pola perambatan sinyal akustik yang dipantulkan berasal dari first bottom (E1) dan second bottom (E2). Terlihat pada kurva SV frekuensi 50 khz memiliki energi second bottom (E2) yang lebih tinggi, dimana kurva E2 pada frekuensi 50 khz lebih menonjol dibanding E2 frekuensi 200 khz. Hal ini dapat dipengaruhi oleh tingkat absopsi yang lebih tinggi pada frekuensi 200 khz dibanding frekuensi 50 khz. Bentuk kurva SV yang diperoleh cenderung mengikuti bentuk kurva SS dengan bentuk kurva yang berbeda, baik bentuk pertumbuhan karang maupun substrat pasir memperlihatkan bentuk echo yang berbeda. Dasar perairan yang keras akan menghasilkan kurva dengan peningkatan yang tajam sementara bagian

44 SV (db) dasar perairan yang lunak akan menghasilkan kurva yang meningkat dengan kemiringan yang relatif rendah. Perbedaan bentuk echo yang dihasilkan berupa bentuk puncak, banyaknya dan tinggi puncak yang terbentuk serta panjang ekor (penjalaran) dari sinyal. Boulton dan Wyness (2001) menyatakan bahwa permukaan dasar perairan yang keras akan menghasilkan energi pantulan yang kuat, sedangkan permukaan yang lunak akan menghasilkan energi pantulan yang lemah. Permukaan yang kasar akan menyebabkan echo meluruh dengan perlahan sedangkan pada permukaan yang datar akan meluruh dengan cepat. Akuisisi dan klasifikasi echo envelope memungkinkan tipe dasar untuk disimpulkan dari karakteristik energi dan bentuk echo. Bentuk kurva, nilai puncak dan panjang ekor sinyal akustik yang dihasilkan berbeda antara frekuensi 200 khz dan 50 khz pada tipe dasar perairan yang sama. -10 Energy from 1st bottom Coral mushroom -15 Energy from 1st bottom Energy from 2nd bottom Energy from 2nd bottom Time (ms) Gambar 14 Bentuk echo envelope SV Coral mushroom (CMR); frekuensi 200 khz (biru) dan frekuensi 50 khz (merah)

45 SV (db) SV (db) Pasir Time (ms) Gambar 15 Bentuk echo envelope SV pasir (SD); frekuensi 200 khz (biru) dan frekuensi 50 khz (merah) -10 Rubble/patahan karang Time (ms) Gambar 16 Bentuk echo envelope SV rubble (RB); frekuensi 200 khz (biru) dan frekuensi 50 khz (merah)

46 SV (db) SV (db) Coral massive Time (ms) Gambar 17 Bentuk echo envelope SV Coral massive (CM); frekuensi 200 khz (biru) dan frekuensi 50 khz (merah) -10 Acropora tabulate Time (ms) Gambar 18 Bentuk echo envelope SV Acropora tabulate (ACT); frekuensi 200 khz (biru) dan frekuensi 50 khz (merah)

47 SV (db) SV (db) Coral massive mati Time (ms) Gambar 19 Bentuk echo envelope SV Coral massive mati (DC); frekuensi 200 khz (biru) dan frekuensi 50 khz (merah) -10 Acropora branching Time (ms) Gambar 20 Bentuk echo envelope SV Acropora branching (ACB); frekuensi 200 khz (biru) dan frekuensi 50 khz (merah)

48 62 34 Kuantifikasi Nilai E1 dan E2 Kekasaran dan kekerasan dasar perairan akan memberikan pengaruh terhadap intensitas pantulan yang dikembalikan (Pujiyati et al. 2010). Intesitas pantulan dapat diindikasikan dari nilai E1 dan E2. Penrose et al. (2005) menyatakan bahwa panjang ekor dan energi dari penjalaran sinyal mampu mengukur secara langsung tingkat kekasaran akustik permukaan dasar sedimen. Berdasarkan Gambar 14 sampai 20 terlihat bahwa terdapat perbedaan tinggi puncak E2 pada kedua frekuensi akustik, dimana puncak E2 pada frekuensi 50 khz lebih tinggi dan lebih menonjol dibandingkan frekuensi 200 khz. Perbedaan tersebut disebabkan karena kehilangan energi (absorpsi) pada sinyal frekuensi 50 khz lebih sedikit dalam proses propagasi sinyal dalam medium sehingga energi pada puncak E2 frekuensi 50 khz lebih tinggi. Selain itu, kemampuan penetrasi sinyal akustik pada kedua frekuensi berbeda berdasarkan panjang gelombangnya. Frekuensi 50 khz memiliki kemampuan untuk menembus permukaan dasar perairan dan memiliki penetrasi yang lebih dalam sehingga memberikan pantulan yang lebih kuat dibandingkan frekuensi 200 khz yang hanya mengenai permukaan dasar perairan. Hasil kuantifikasi nilai volume backscattering strength (SV) yang terdiri dari nilai rata-rata E1 dan E2 dapat dilihat pada Tabel 8 sampai 11. Variasi nilai E1 dan E2 yang terdeteksi pada tiap tipe karang dan substrat pasir mengindikasikan bahwa masing-masing nilai dapat memberikan informasi tingkat kekasaran dan kekerasan yang berbeda antar tipe karang dan spasir. Hasil kuantifikasi menunjukkan bahwa nilai SV bervariasi, dimana nilai E1 dan E2 pada frekuensi 50 khz lebih tinggi dibanding frekuensi 200 khz. Berdasarkan nilai rata-rata E1 frekuensi 200 khz pada Tabel 8, nilai E1 tertinggi adalah db pada tipe karang CMR, SD ( db) dan RB ( db), sedangkan nilai E1 terendah db pada tipe karang ACB. Bentuk pertumbuhan karang akan sangat berpengaruh terhadap besarnya nilai pantulan akustik E1. Coral mushroom (CMR) memiliki nilai E1 yang tinggi karena dapat dipengaruhi oleh bentuk pertumbuhan CMR yang padat dan keras, adapun pasir diduga dapat dipengaruhi oleh kerapatan pasir yang padat. Acropora branching (ACB) memiliki E1 yang rendah diduga karena bentuknya yang bercabang yang dapat menghamburkan sinyal pantulan akustik sedangkan Acropora tabulate (ACT) dipengaruhi oleh bentuknya yang tipis. Standar deviasi dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan range atau kisaran pantulan akustik sebuah objek. Semakin rendah standar deviasi, maka semakin rendah variasi nilai pantulannya. Coral massive (CM) mempunyai standar deviasi yang tinggi (0.5730) dari tipe karang lainnya. Hal ini menandakan bahwa variasi (range) nilai pantulan E1 CM yang tinggi pada setiap ping. Berbeda dengan RB dan SD yang memiliki nilai E1 yang tinggi namun memiliki variasi nilai E1 yang rendah.

49 35 63 Tabel 8 Nilai rata-rata E1 karang dan pasir frekuensi 200 khz Tipe karang E1 (db) Std. Deviasi Coral mushroom (CMR) * Pasir (SD) Rubble (RB) Coral massive (CM) * Acropora tabulate (ACT) Coral massive mati (DC) Acropora branching (ACB) * Nilai tertinggi Tingginya nilai E1 tidak selalu diikuti dengan nilai E2 yang tinggi pula. Pada Tabel 9 terlihat bahwa nilai rata-rata E2 ACT ( db) lebih tinggi dari nilai E2 CMR ( db), SD ( db) dan RB ( db) yang memiliki nilai E1 yang lebih tinggi. Tingginya nilai E2 ACT diduga dapat disebabkan karena bentuknya yang datar dan keras sehingga energi pada pantulan E2 lebih banyak. Sedangkan butiran pasir yang rapat dan padat dapat menyebabkan pasir tersebut bersifat keras. Rendahnya nilai E2 pada CM dan DC diduga disebabkan karena sebagian permukaan CM tertutup oleh alga dan dapat memberikan nilai E2 yang rendah dan struktur kapur pada DC yang mulai rapuh. Siwabessy (2001) bahwa terdapatnya singkapan vegetasi yang tumbuh di atas objek (dasar laut) sehingga nilai pantulan vegetasi tersebut dapat menunjukkan kekerasan (nilai E2) dasar laut. Tingkat variasi pantulan E2 RB lebih tinggi dari tipe karang lainnya dengan nilai standar deviasi sedangkan standar deviasi E2 terendah adalah DC (0.6089). Standar deviasi E2 frekuensi 200 khz lebih tinggi dari E1 sehingga variasi nilai pantulan E1 tiap ping lebih tinggi. Standar deviasi E1 berkisar antara sampai , sedangkan pada E sampai Tabel 9 Nilai rata-rata E2 karang dan pasir frekuensi 200 khz Tipe karang E2 (db) Std. Deviasi Acropora tabulate (ACT) * Pasir (SD) Coral mushroom (CMR) Rubble (RB) * Acropora branching (ACB) Coral massive mati (DC) Coral massive (CM) * Nilai tertinggi Nilai rata-rata E1 tertinggi frekuensi 50 khz adalah pada tipe karang yang hampir sama dengan nilai E1 frekuensi 200 khz. Pada Tabel 10, E1 tertinggi pada RB ( db), CMR (12.77 db) dan SD (12.89 db) serta E1 terendah adalah DC dan ACB dengan nilai masing-masing db dan db. Rubble (RB) memiliki nilai E1 yang tinggi diduga dipengaruhi oleh bentul patahan karang yang

50 64 36 padat dan ukuran yang besar, adapaun Coral mushroom (CMR) memiliki bentuk pertumbuhan yang padat dan keras. Acropora tabulate (ACT) dipengaruhi oleh bentuknya yang tipis dan Acropora branching (ACB) memiliki E1 yang rendah diduga karena bentuknya yang bercabang-cabang. Meskipun memiliki nilai E1 yang rendah, standar deviasi tertinggi pada pantulan E1 adalah DC dengan kisaran nilai standar deviasi , hal ini menandakan bahwa variasi (range) nilai pantulan E1 DC frekuensi 50 khz yang tinggi pada setiap ping, sedangkan variasi nilai pantulan E1 terendah adalah SD dan ACT. Tabel 10 Nilai rata-rata E1 karang dan pasir frekuensi 50 khz Tipe karang E1 (db) Std. Deviasi Rubble (RB) * Coral mushroom (CMR) Pasir (SD) Acropora tabulate (ACT) Coral massive (CM) Coral massive mati (DC) * Acropora branching (ACB) * Nilai tertinggi Pasir (SD) memiliki memiliki nilai E2 yang lebih tinggi dari RB (Tabel 11). Respon akustik SD pada frekuensi 50 khz lebih tinggi dapat dipengaruhi oleh butiran pasir yang rapat dan padat dapat menyebabkan pasir tersebut bersifat keras. Secara umum, urutan nilai E2 tertinggi hampir sama dengan E1 yang didominasi oleh SD, RB dan CMR, sedangkan E2 terendah ACB, DC dan CM. Rendahnya nilai E2 pada CM dan DC dipengaruhi oleh faktor yang sama seperti pada frekuensi 200 khz, yaitu adanya tutupan alga dan kondisi karang yang mulai rapuh. Tingkat variasi pantulan E2 DC lebih tinggi dari tipe karang lainnya dengan nilai standar deviasi sama halnya pada frekuensi 200 khz, mayoritas standar deviasi E2 frekuensi 50 khz juga lebih tinggi dari E1 sehingga variasi nilai pantulan E2 tiap ping lebih tinggi dari E1. Tabel 11 Nilai rata-rata E2 karang dan pasir frekuensi 50 khz Tipe karang E2 (db) Std. Deviasi Pasir (SD) * Rubble (RB) Coral mushroom (CMR) Acropora tabulate (ACT) Acropora branching (ACB) Coral massive mati (DC) * Coral massive (CM) * Nilai tertinggi

51 Secara keseluruhan, hasil yang diperoleh pada penelitian ini bahwa Coral mushroom (CMR), rubble (RB) dan pasir (SD) cenderung memiliki nilai E1 dan E2 yang tinggi, sedangkan Acropora branching (ACB), Coral massive (CM) dan Coral massive mati (DC) memiliki nilai E1 dan E2 yang rendah pada kedua frekuensi akustik yang digunakan. Hasil kuantifikasi menunjukkan bahwa standar deviasi pada frekuensi 200 khz lebih rendah dari frekuensi 50 khz. Semakin rendah standar deviasi nilai pantulan karang atau pasir, maka semakin stabil nilai pantulan akustik yang diperoleh. Sebaliknya, semakin tinggi standar deviasi maka pantulan akustik semakin tidak stabil. Perbedaan standar deviasi pantulan akustik menandakan bahwa tiap tipe karang yang sama akan memiliki respon akustik yang berbeda-beda terhadap penggunaan frekuensi akustik yang berbeda. Misalnya, nilai E1 tertinggi pada 200 khz adalah CMR dan SD sedangkan pada frekuensi 50 khz adalah RB dan SD. Pada frekuensi 200 khz, E1 CMR dan RB lebih tinggi dari E1 ACT dan SD, tetapi sebaliknya pada E2 dimana E2 ACT dan SD lebih tinggi dari CMR dan RB. Begitupun nilai E1 RB pada frekuensi 50 khz yang lebih tinggi dari E1 SD, sebaliknya E2 SD lebih tinggi dari E2 RB. Gambar 21 menunjukkan sebaran nilai pantulan akustik E1 dan E2 pada frekuensi 200 khz sedangkan Gambar 22 menunjukkan sebaran nilai pantulan E1 dan E2 frekuensi 50 khz. Informasi yang dapat diperoleh dari boxplot antara lain kesimetrisan data, nilai rata-rata dan sebaran nilai pantulan akustik. Kotak boxplot merupakan nilai-nilai kuartil yang terdiri dari Q1, Q2 dan Q3. Garis tengah merupakan nilai rata-rata (kuartil 2 atau Q2). Persegi panjang merupakan kuartil 1 (Q1) dimana pada bagian bawah adalah nilai data yang menyekat kumpulan data yang telah diurutkan sehingga banyaknya data yang lebih rendah dari Q1 adalah 25% dan lebih tinggi dari Q1 adalah 75%. Bagian atas merupakan kuartil 3 (Q3) merupakan nilai data yang menyekat kumpulan data yang telah diurutkan sehingga banyaknya data yang lebih rendah dari Q1 adalah 75% dan lebih tinggi dari Q1 adalah 25%. Garis tegak lurus merupakan garis penghubung antara Q1 dengan data terkecil bukan pencilan sedangkan nilai yang berada diluar garis tegak lurus merupakan nilai pencilan

52 E2 [db] E1 [db] E2 [db] E1 [db] Boxplot Frekuensi 200 khz ACB CM ACT CMR RB SD DC ACB CM ACT CMR RB SD DC Gambar 21 Boxplot nilai E1 (atas) dan E2 (bawah) frekuensi 200 khz -10 Boxplot Frekuensi 50 khz ACB CM ACT CMR RB SD DC ACB CM ACT CMR RB SD DC Gambar 22 Boxplot nilai E1 (atas) dan E2 (bawah) frekuensi 50 khz

53 Nilai volume backscattering strength (SV) yang dilaporkan oleh Bemba (2011) dengan munggunakan split beam Simrad EY 60 frekuensi 120 khz menunjukkan perbedaan nilai hasil kuantifikasi E1 dan E2 pada tipe karang dan substrat yang sama dengan penelitian ini. Nilai E1 tertinggi adalah CMR ( db) dan terendah RB ( db), sedangkan untuk nilai E2 tertinggi CM ( db) dan terendah ACT ( db). Pada penelitian ini (frekuensi 200 khz), nilai E1 tertinggi adalah CMR ( db) dan terendah ACB ( db), sedangkan untuk nilai E2 tertinggi adalah ACT (-32.69) dan terendah CM ( db), berbanding terbalik dengan nilai E2 yang dilaporkan oleh Bemba (2011). Begitupun dengan Nilai E1 dan E2 substrat pasir yang dilaporkan Pujiyati et al. (2010) dengan menggunakan Simrad EK 500, dimana nilai E1 pasir berkisar antara db sampai db dan nilai E2 berkisar antara db sampai db. Perbedaan nilai-nilai E1 an E2 yang diperoleh pada berbagai penelitian dapat saja terjadi. Penyebab utama kemungkinan dapat disebabkan karena penggunaan instrumen hidroakustik dan algoritma yang berbeda, dimana setiap instrumen hidroakustik akan memiliki metode pendeteksian yang berbeda dengan instrumen hidroakustik lainnya. Faktor lain yang diduga dapat menyebabkan perbedaan nilai E1 dan E2 adalah kondisi karang dan substrat itu sendiri. Pada penelitian ini, sebagian permukaan Coral massive (CM) tertutup oleh alga sehingga dapat memberikan nilai E2 yang lebih rendah dari tipe karang lainnya, sedangkan pada kondisi karang (Coral massive) pada penelitian Bemba (2011) yang tidak tertutup alga atau vegetasi lainnya akan diperoleh nilai E2 yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Siwabessy (2001) sebelumnya bahwa apabila terdapat singkapan vegetasi yang tumbuh di atas dasar perairan, maka dapat diasumsikan bahwa vegetasi tersebut membutuhkan substrat yang keras untuk mendukung pertumbuhannya sehingga nilai pantulan vegetasi tersebut menunjukkan kekerasan dasar perairan. Pasir dengan komposisi dan ukuran butiran yang berbeda akan memberikan nilai E1 dan E2 yang berbeda, dimana butiran yang lebih besar dapat memberikan nilai pantulan yang lebih tinggi Rasio E1 dan E2 Rasio atau nisbah pantulan E1 dan E2 adalah angka yang menunjukkan hubungan atau perbandingan antara nilai E1 dan E2 yang bertujuan untuk mengetahui kemungkinan selisih jumlah atau besarnya energi yang diterima oleh transduser pada pantulan pertama dan kedua atau sisa energi yang diterima transduser pada pantulan kedua setelah pantulan pertama. Tabel 12 menunjukkan rasio pantulan E1 dan E2 tiap tipe karang dan pasir yang diperoleh pada frekuensi 200 dan 50 khz. Semakin tinggi rasio E1 dan E2 maka semakin kecil selisih atau perbedaan nilai antara E1 dan E2. Artinya bahwa energi pada pantulan kedua yang diterima transduser cukup besar. Sebaliknya, semakin rendah maka semakin besar selisih E1 dan E2. Rasio antara E1 dan E2 dapat dipengaruhi oleh tinggi-rendahnya nilai E1 atau E2 yang diperoleh. Pada frekuensi 200 khz, rasio E1 dan E2 tertinggi adalah Acropora tabulate (ACT) dengan rasio sebesar db dan pasir (SD) db. Rasio terendah adalah tipe karang Coral massive (CM) dengan rasio db dan Coral massive mati atau karang mati (DC) db. Sedangkan pada frekuenssi 50 khz, rasio E1 dan E2 tertinggi adalah pasir (SD) sebesar db

54 68 40 dan rubble (RB) db. Rasio terendah adalah tipe karang Coral massive (CM) dengan rasio db dan Coral massive mati/karang mati (DC) db. Hal ini disebakan kerena nilai E2 yang tinggi pada tipe karang ACT dan SD frekuensi 200 khz yang dihasilkan bila dibandingkan nilai E2 pada CM dan DC. Adapun pengaruh E1 pada frekuensi 200 khz sangat kecil karena perbedaan nilai E1 tiap tipe karang tidak begitu besar. Tabel 12 Rasio pantulan akustik E1 dan E2 karang dan pasir Tipe Karang Frekuensi 200 khz Frekuensi 50 khz Linier db Linier db ACB ACT * CM CMR DC RB SD * * Nilai tertinggi Uji Ragam E1 dan E2 Uji ragam nilai pantulan rata-rata E1 dan E2 bertujuan untuk menguji perbedaan nilai E1 dan E2 dengan menilai kekuatan diskriminasi relatif dari tiap tipe karang dan pasir. Selain itu uji diskriminan berguna untuk mengetahui apakah terdapat nilai E1 dan E2 yang sama antar tipe karang. Berdasarkan Tabel 8 sampai 11 terlihat bahwa nilai E1 dan E2 tiap tipe karang dan pasir pada kedua frekuensi akustik memiliki perbedaan nilai yang sangat kecil. Pada frekuensi 200 khz, perbedaan nilai E1 antar tipe karang tidak terlalu besar. Nilai E1 SD, RB dan CM relatif mirip satu sama lainnya dengan nilai masing-masing db, db dan db, artinya bahwa tidak ada tipe karang yang terdeteksi memiliki nilai E1 (kekasaran) yang berbeda lebih tinggi antara satu dan lainnya, sedangkan perbedaan nilai E2 frekuensi 200 khz sangat besar antara nilai tertinggi ACT dengan tipe karang lainnya. Pada frekuensi 50 khz, perbedaan nilai E1 dan E2 pada tipe CMR dan SD sangat kecil, tetapi memiliki perbedaan yang cukup besar dengan tipe karang lainnya. Untuk mengetahui perbedaan nilai rata-rata E1 dan E2 tiap tipe karang dan pasir, maka perlu dilakukan pengujian statistik untuk mengetahui ragam nilai rata-rata yang diperoleh. Hasil uji ragam nilai rata-rata E1 dan E2 dengan metode analisis Tukey HSD dapat dilihat pada Tabel 13 dan Lampiran 5. Perbedaan nilai rata-rata E1 antar tipe karang dan pasir pada frekuensi 200 khz dan 50 khz sama dengan perbedaan nilai rata-rata SS, dimana pada frekuensi 200 khz berbeda signifikan 100% dan 95.2% pada frekuensi 50 khz (hasil uji antara nilai E1 Coral mushroom (CMR) dan pasir (SD) memiliki varians nilai rata-rata E1 yang tidak berbeda nyata dengan nilai hasil uji 0.995). Perbedaan nilai rata-rata E2 frekuensi 200 khz berbeda signifikan 100% sedangkan pada frekuensi 50 khz perbedaan antar tipe karang dan pasir adalah 90.5%. Artinya bahwa terdapat nilai rata-rata E2 yang

55 tidak berbeda nyata pada beberapa tipe karang pada frekuensi 50 khz. Hasil uji antara Acropora tabulate (ACT) dan Coral mushroom (CMR) memiliki ragam yang relatif sama dengan nilai hasil uji (sig > 0.05), sedangkan Coral massive (CM) dan Coral massive mati (DC) sebesar (sig > 0.05). Tingginya perbedaan nilai rata-rata E1 dan E2 menandakan bahwa tiap tipe karang dan pasir memiliki tingkat kekasaran dan kekerasan yang relatif berbeda satu dengan lainnya khz n 50 khz n Tabel 13 Hasil uji Tukey HSD nilai rata-rata E1 dan E2 (α = 0.05) Tipe ACB CM ACT CMR RB SD DC 200E1 50E1 ACB 200E2 50E2 CM = ACT = = CMR RB SD DC Keterangan: nilai rata-rata berbeda nyata = nilai rata-rata tidak berbeda nyata Klasifikasi E1 dan E2 Klasifikasi merupakan pengelompokkan objek berdasarkan informasi yang diperoleh dari data yang menjelaskan hubungan antar objek tersebut. Metode klasifikasi yang digunakan adalah metode clustering dengan pendekatan hirarki yang bertujuan untuk menentukan atau melihat tingkat kemiripan nilai backscattering strength di dalam dan antara tipe karang dan substrat pasir berdasarkan nilai rata-rata E1 dan E2 pada frekuensi instrumen yang digunakan. Clustering atau pengelompokan merupakan prosedur eksplorasi yang akan mencari struktur alami dalam kumpulan data. Clustering berguna untuk mengembangkan skema klasifikasi. Analisis cluster akan mengklasifikasi objek sehingga setiap objek yang paling dekat kesamaannya dengan objek lain berada dalam cluster yang sama. Cluster yang terbentuk merefleksikan struktur yang melekat pada data seperti yang didefinisikan oleh variabel-variabel. Analisis pengelompokkan (clusterring) bentuk pertumbuhan karang dalam penelitian ini didasarkan pada tingkat kemiripan nilai rata-rata E1 dan E2. Dari

56 70 42 hasil clustering diperoleh 3 (dua) cluster utama pada kedua frekuensi 200 khz (Gambar 23) dan 2 cluster utama pada frekuensi 50 khz (Gambar 24). Tingkat kemiripan maksimal antar tipe dasar perairan yang diperoleh adalah 24.03% (frekuensi 200 khz) dan 23.93% (frekuensi 50 khz). Semakin besar persentase kemiripan antar dua objek atau lebih, maka semakin dekat tingkat kemiripannya (Lampiran 6). Pada frekuensi 200 khz, karang Acropora yang terdiri dari ACB dan ACT membentuk cluster masing-masing (cluster 1 dan 3) dan terpisah dari tipe karang non-acropora dan tipe lainnya, sedangkan cluster 2 terdiri dari CM, RB, DC, CMR dan SD. Cluster 2 terdiri dari 2 subcluster yaitu: (1) CM dan RB dengan tingkat kemiripan 80.35%, (2) CMR dan SD dengan tingkat kemiripan 63.99%, (3) subcluster CM-RB-DC dan subcluster CMR-SD dengan tingkat kemiripan 49.85%. Pada frekuensi 50 khz, cluster 1 terdiri dari ACB, DC dan CM, sedangkan cluster 2 terdiri dari ACT, CMR, RB dan SD. Setiap cluster utama terdiri atas beberapa subcluster. Cluster 1 terdiri atas subcluster CM dan DC memiliki tingkat kemiripan 91.65% dan memiliki tingkat kemiripan 67.11% dengan ACB. Cluster 2 terbagi atas 2 subcluster: (1) ACT dan CMR dengan tingkat kemiripan 86.88%, (2) RB dan SD dengan tingkat kemiripan 81.71% dan (3) subcluster ACT-CMR memiliki tingkat kemiripan 63.89% dengan subcluster RB-SD. Cluster 2 yang terdiri dari 3 tipe karang memiliki jarak kemiripan yang lebih dekat dibanding cluster 1 yang terdiri dari 4. Coral massive (CM) dan Coral massive mati (DC) serta Coral mushroom (CMR), rubble (RB) dan pasir (SD) memiliki tingkat kemiripan yang dekat sehingga berada pada cluster atau subcluster yang sama pada kedua frekuensi akustik yang digunakan. Similarity ACB CM RB DC CMR SD ACT Tipe Karang Gambar 23 Dendrogram cluster karang dan pasir berdasarkan nilai rata-rata E1 dan E2 frekuensi 200 khz

57 71 43 Similarity ACB CM DC ACT CMR RB SD Tipe Karang Gambar 24 Dendrogram cluster karang dan pasir berdasarkan nilai rata-rata E1 dan E2 frekuensi 50 khz Gambar 25 menunjukkan scatterplot pantulan akustik E1 dan E2 setiap ping. Tingkat asosiasi klasifikasi diperkirakan untuk mengetahui pencampuran atau tumpang tindih pantulan antar tipe karang (Tabel 14). Pada frekuensi 200 khz, tingkat diskriminasi pantulan E1 dan E2 adalah 94.1% sedangkan pada frekuensi 50 khz yaitu 73.03%. Hasil ini sejalan dengan hasil yang diperoleh Foster et al. (2009) bahwa hasil yang diperoleh pada scatterplot pada frekuensi tinggi (418 khz) kurang bercampur (tumpang tindih) bila dibandingkan dengan frekuensi rendah (38 khz). Hal ini dapat saja disebabkan karena panjang gelombang yang lebih pendek akan lebih sensitif terhadap perbedaan habitat atau target. Perihal terpenting yang sangat berpengaruh pada penelitian ini adalah luas area cakupan beam. Luas area cakupan beam pada frekuensi 200 khz lebih kecil dari luas tutupan karang, sehingga pantulan akustik yang diperoleh berasal dari karang (pantulan homogen). Pada frekuensi 50 khz, luas area cakupan beam lebih besar dari luas target, sehingga sinyal yang dipancarkan oleh transduser mengenai target lain dan dipantulkan kembali ke transduser sebagai pantulan target dan substrat lainnya (pantulan heterogen). Pencampuran pantulan akustik target dengan substrat tersebut terjadi tipe karang CM, CMR dan DC yang memiliki luas yang lebih kecil dari luas area cakupan beam. Hal ini dapat terlihat dari pola pantulan E1 dan E2 yang lebih menyebar dan cenderung menempati dan tumpang tindih dengan pantulan akustik tipe karang lainnya.

58 72 44 Frekuensi Tabel 14 Matriks klasifikasi pantulan E1 dan E2 Tipe karang Prediksi anggota kelompok ACB CM ACT CMR RB SD DC Total 200 khz ACB CM ACT CMR RB SD DC khz ACB CM ACT CMR RB SD DC Perbedaan pantulan berdasarkan scatterplot E1 dan E2 dapat disimpulkan bahwa pada frekuensi 200 khz lebih mudah untuk dilakukan diskriminasi atau membedakan pantulan akustik antar tipe karang dibandingkan frekuensi 50 khz. Hal ini dapat dilihat dari tingginya tingkat diskriminasi pantulan akustik pada frekuensi 200 khz sebesar 94.1%. Hal ini menandakan bahwa tingkat perbedaan nilai pantulan akustik tiap tipe karang yang berbeda dan memiliki jarak yang jauh antara tipe karang satu dan lainnya dengan tingkat pencampuran yang lebih sedikit dan hanya terjadi pada tipe karang CM yang memiliki pantulan yang menyebar ke tipe karang DC. Sedangkan pada frekuensi 50 khz, tingkat diskriminasi hanya sebesar 73.03%. Berdasarkan Tabel 14, terjadi tumpang tindih antara tipe karang yang satu dengan tipe karang lainnya pada frekuensi 50 khz. Tingginya tingkat pencampuran atau tumpang tindih pantulan E1 dan E2 frekuensi 50 khz menyebabkan tingkat diskriminasi yang lebih rendah sehingga menyulitkan dalam membedakan pantulan akustik yang diperoleh.

59 E1 [db] E1 [db] ACB CM ACT -22 CMR RB SD DC Mean E2 [db] (a) E2 [db] ACB CM ACT CMR RB SD DC Mean (b) Gambar 25 Scatterplot pantulan E1 dan E2; (a) frekuensi 200 khz dan (b) frekuensi 50 khz

60 74 46 Pengelompokkan pantulan akustik berdasarkan kategori tingkat kekasaran (E1) dan kekerasan (E2) substrat dasar perairan dapat pula diketahui dengan menentukan perpotongan pantulan akustik E1 dan E2 tiap tipe karang dan substrat pasir dalam ruang dua dimensi untuk mendefinisikan kategori kelas yang berbeda (ICES 2007). Hasil plot nilai E1 terhadap nilai E2 (Heald dan Pace 1996) dan analisis cluster (Siwabessy 2001) dapat menentukan variasi tipe dasar perairan yang berbeda secara akustik. Tabel 15 merupakan pengelompokkan kelas kategori pada masing-masing frekuensi yang ditentukan berdasarkan nilai E1 dan E2 serta jarak Euclidean pada analisis cluster. Gambar 26 menunjukkan hasil pengelompokkan karang dan pasir dalam beberapa kelas kategori pada tiap frekuensi akustik berdasarkan kedekatan nilai pantulan (scatterplot) E1 dan E2 setiap ping melalui analisis cluster. Frekuensi Tabel 15 Matriks klasifikasi kelas kategori pantulan E1 dan E2 Kelas kategori Kecenderungan anggota kelompok Soft-Smooth Soft-Rough Hard-Rough Total 200 khz Soft-Smooth Soft-Rough Hard-Rough khz Soft-Smooth Soft-Rough Hard-Rough Tingkat asosiasi klasifikasi pada Tabel 15 menunjukkan bahwa adanya kecenderungan terjadi tumpang tindih antara kelas kategori. Tingkat keberhasilan diskriminasi antar kelas kategori adalah 99.71% pada frekuensi 200 khz dan 96.41% pada frekuensi 50 khz. Pada frekuensi 200 khz, kecenderungan tumpang tindih hanya terjadi pada kategori soft-smooth dan soft-rough, sedangkan pada frekuensi 50 khz terjadi tumpang tindih pada semua kategori. Pada tiap frekuensi akustik diperoleh tiga kelas kategori yang mewakili pantulan akustik E1 dan E2 tiap tipe karang dan pasir pada penelitian ini. Ketiga kelas kategori terebut dapat dijabarkan sebagai berikut: Frekuensi 200 khz - Kategori 1, lunak dan halus (soft-smooth) yang memiliki nilai E1 dan E2 yang rendah yaitu Acropora branching (ACB) - Kategori 2, lunak dan kasar (soft-rough) yang memiliki nilai E1 yang tinggi dan nilai E2 yang rendah antara lain pasir (SD), Coral massive (CM), rubble (RB), Coral massive (CM) dan Coral massive mati (DC) - Kategori 3, keras dan kasar (hard-rough) yang memiliki nilai E1 dan E2 yang tinggi yaitu Acropora tabulate (ACT) Frekuensi 50 khz - Kategori 1, lunak dan halus (soft-smooth) yang memiliki nilai E1 dan E2 yang rendah yaitu Acropora branching (ACB)

61 - Kategori 2, lunak dan kasar (soft-rough) yang memiliki nilai E1 yang tinggi dan nilai E2 yang rendah antara lain Coral massive (CM) dan Coral massive mati (DC) - Kategori 3, keras dan kasar (hard-rough) yang memiliki nilai E1 dan E2 yang tinggi antara lain Coral mushroom (CMR), pasir (SD), Acropora tabulate (ACT) dan rubble (RB) Pada frekuensi 200 khz, walaupun memiliki jarak kemiripan yang jauh antara CM, DC, CMR, RB dan DC, namun cenderung memiliki nilai E1 yang tinggi dan E2 yang tergolong rendah sehingga dikelompokkan dalam kelas kategori yang sama (soft-rough). Sebaliknya ACB pada frekuensi 50 khz yang memiliki nilai E1 yang rendah membentuk kelompok sendiri (soft-smooth) dan terpisah dari CM dan DC walaupun menempati subcluster yang sama pada analisis cluster. Dekatnya jarak kemiripan antar beberapa tipe karang pada frekuensi 50 khz dapat memudahkan pengelompokkan dalam kelas kategori yang semula menyebabkan tumpang tindih yang tinggi pada scatterplot pantulan akustik E1 dan E2. Penggunaan frekuensi akan sangat berpengaruh terhadap nilai pantulan akustik dan klasifikasi. Perbedaan kelas kategori antara frekuensi 200 dan 50 khz menunjukkan respon target terhadap frekuensi akustik berbeda. Tipe karang Coral mushroom (CMR), rubble (RB) dan pasir (SD) pada frekuensi 200 khz menempati kategori lunak dan kasar (soft-rough), sedangkan pada frekuensi 50 khz menempati kelas kategori keras dan kasar (hard-rough). Selain itu perbandingan luas area cakupan beam dengan luas tutupan karang dapat berpengaruh terhadap pantulan akustik yang diterima oleh transduser. Pada frekuensi 50 khz, luas area cakupan beam pada tipe karang Coral massive (CM), Coral mushroom (CMR) dan Coral massive mati (DC) lebih luas dari tutupan karang, sehingga pantulan akustik yang dihasilkan dapat bercampur dengan pantulan akustik dari target lainnya. Secara keseluruhan, hasil yang diperoleh pada penelitian ini cenderung sama dengan hasil penelitian Freitas et al. (2008) mengenai klasifikasi dasar perairan menggunakan dua frekuensi akustik yang berbeda. Frekuensi 50 khz menunjukkan kehilangan energi yang sedikit dalam kolom air, transmisi energi yang lebih banyak ke dasar perairan sehingga menyebabkan penetrasi sinyal akustik akan lebih dalam (puluhan sentimeter) ke dasar perairan. Frekuensi 200 khz akan mengalami kehilangan energi yang lebih besar dalam kolom air dan karenanya tidak mengirimkan banyak energi ke dasar perairan sehingga mengurangi penetrasi ke dalam dasar perairan dan bahkan langsung dipantulkan ketika mengenai permukaan dasar perairan. Schlagintweit (1993) juga melaporkan bahwa penetrasi pada frekuensi 40 khz lebih dalam dari pada frekuensi 208 khz, dan Greenstreet et al. (1997) berpendapat bahwa sinyal frekuensi 38 khz bisa menembus sedimen sejauh 1 m ke dasar perairan, tergantung pada kepadatan sedimen itu sendiri. Bagaimanapun juga, menurut Kloser et al. (2001) bahwa echo pantulan akustik yang dipantulkan oleh dasar perairan akan berhubungan dengan kombinasi kekerasan dasar perairan dan atribut kekasaran, termasuk biota epibentik serta frekuensi akustik yang digunakan

62 E1 [db] E1 [db] E2 [db] (a) E2 [db] (b) Gambar 26 Pengelompokkan pantulan E1 dan E2 karang dalam kelas kategori berdasarkan analisis cluster pantulan E1 dan E2; (a) frekuensi 200 khz dan (b) frekuensi 50 khz

63 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil kuantifikasi dan klasifikasi kekuatan pantulan balik akustik (backscattering strength) pada tipe karang Acropora branching (ACB), Coral massive (CM), Acropora tabulate (ACT), Coral mushroom (CMR), rubble (RB), Coral massive mati (DC) dan substrat pasir (SD) menunjukkan bahwa: o Nilai surface backscattering strength (SS) dan volume backscattering strength (SV) karang dan substrat pasir pada frekuensi 50 khz lebih tinggi dari frekuensi 200 khz. o Bentuk tipe karang berpengaruh terhadap backscattering strength dan memiliki respon frekuensi akustik yang berbeda. o Nilai SS tertinggi pada frekuensi 200 khz adalah CMR ( db) dan terendah ACB ( db), sedangkan pada frekuensi 50 khz tertinggi adalah RB (-8.41 db) dan terendah DC (13.13). E1 tertinggi pada frekuensi 200 khz adalah CMR ( db) dan terendah ACB ( db) sedangkan E2 tertinggi adalah ACT ( db) dan terendah CM ( db). E1 tertinggi pada frekuensi 50 khz adalah RB ( db) dan terendah DC ( db) sedangkan E2 tertinggi adalah SD ( db) dan terendah CM ( db). Hal ini menunjukkan bahwa tiap tipe karang dan pasir memiliki respon frekuensi akustik yang berbeda. o Hasil pengelompokkan nilai pantulan (scatterplot) E1 dan E2 memperoleh 3 kategori pada kedua frekuensi akustik dengan komposisi yang berbeda, yaitu keras dan kasar (hard-rough), lunak dan kasar (soft-rough) serta lunak dan halus (soft-smooth). o Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa echosounder single beam CruzPro PcFF80 dapat digunakan untuk mengukur pantulan balik akustik karang dan substrat selain karang (pasir). Saran 1) Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang mencakup keseluruhan tipe karang dan dasar perairan lainnya dengan frekuensi perekaman akustik yang lebih banyak sehingga diperoleh nilai pantulan akustik yang sebenarnya, serta memperhatikan tipe karang atau substrat di sekitarnya (terutama pada instrumen dengan beam width yang lebar). 2) Penggunaan multi frekuensi dan multi beam untuk pendeteksian backscattering strength. 3) Tracking perekaman untuk memetakan kelas kategori pantulan akustik dasar perairan secara umum.

64 78 50 DAFTAR PUSTAKA Anderson JT, Gregory RS, Collins WT Acoustic classification of marine habitats in coastal Newfoundland. ICES Journal of Marine Science, 59: Anderson JT, Holliday DV, Kloser R, Reid DG, Simard Y Acoustic seabed classification: current practice and future directions. ICES Journal of Marine Science, 65: Bemba J Identifikasi dan klasifikasi lifeform karang menggunakan metode akustik [tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Bengen DG Sinopsis Ekosistem Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Bogor (ID): Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Boulton B, Wyness R Annual Report: Sangachal Seabed Mapping Survey. London (GB). BP. Brown CJ, Mitchell A, Limpenny DS, Robertson MK, Service M, Golding N Mapping seabed habitats in the Firth of Lorn off the west coast of Scotland: Evaluation and comparison of habitat maps produced using the Acoustic Ground Discrimination System, RoxAnn, and Side Scan Sonar. ICES Journal of Marine Science. 62: Burczynski J Bottom classification. BioSonics Inc: [Internet]. [diunduh 2012 Des 24] 14 pp. Tersedia pada: Burke L, Selig E, Spalding M Reefs At Risk in Southeast Asia. Washington DC (US): World Resources Institute. Chakraborty B, Mahale V, Navelkar G, Rao BR, Prabhudesai RG, Ingole B, Janakiraman G Acoustic characterization of seafloor habitats on the western continental shelf of India. ICES Journal of Marine Science, 64: CruzPro CruzPro PC fishfinder for Win98, WinXp, Win2000 & Vista. PcFF80 user s manual. Auckland (NZ): Cruzpro Ltd. Dahuri R Keanekragaman Hayati Laut. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama. Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta (ID): PT. Pradnya Paramita. Demer DA, Cutter GR, Renfree JS, Butler JL A statistical-spectral method for echo classification. ICES Journal of Marine Science, 66: Deswanti SR Evaluasi metode akustik untuk pemantauan padang lamun [tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Ellingsen KE, Gray JS, Bjørnbom E Acoustic classification of seabed habitats using the QTC VIEW TM system. ICES Journal of Marine Science, 59: English S, Wilkinson C, Baker V Survey Manual for Tropical Marine Resources. 2 nd edition. Townsville (AU): Australian Institute of Marine Science.

65 Fonseca L, Mayer L Remote estimation of surficial seafloor properties throught the application angular analysis to multibeam sonar data. Mar Geophys Res 28: Foster G, Walker BK, Reigl BM Interpretation of single-beam acoustics backscatter using lidar-derived topographic complexity and benthic habitat classifications in a coral reef environment. Journal of Coastal Research, Special Issue No. 53. Freitas R, Rodrigues AM, Morris E, Perez-Llorens JL, Quintino V Singlebeam acoustic ground discrimination of shallow water habitats: 50 khz or 200 khz frequency survey? Estuarine, Coastal and Shelf Science 78: Gleason ACR, Reid RP, Kellison GT Single-beam acoustics remote sensing for coral reef mapping. Proceedings of the 11 th International Coral Reef Symposium; Ft. Lauderdale, Florida, 7-11 July Greenstreet SPR, Tuck ID, Grewar GN, Armstrong E, Reid DG, Wright PJ An assessment of the acoustic survey technique, RoxAnn, as a means of mapping seabed habitat. ICES Journal of Marine Science, 54(5), Hamilton LJ Acoustics Seabed Classification System. Fishermans Bend, Victoria (AU): DSTO Aeronautical and Maritime Research Laboratory. Hamouda AZ, Abdel-Salam KM Acoustic seabed classification of marine habitats: studies in the Abu-Qir Bay, Eqypt. Journal of Oceanography and Marine Sciense, Vol. 1(1). pp Haris K, Chakraborty B, Ingole B, Menezes A, Srivastava R Seabed habitat mapping employing single and multi-beam backscatter data: A case study from the western continental shelf of India. Cont. Shelf Res., Vol. 48: Heald GJ, Pace NG An Analysis of the 1 st and 2 nd backscatter for seabed classification. Proceedings 3 rd European conference on underwater acoustic; Heraklion, Crete, June : Hoffman JC, Burczynski J, Sabol B, Heilman M Digital acoustic system for ecosystem monitoring and mapping: assessment of fish, plankton, submersed aquatic vegetation, and bottom substrata classification. [Internet]. [diunduh 2012 Des 26] 6 pp. Tersedia pada: [ICES] International Council for the Exploration of the Sea Acoustic Seabed Classification of Marine Physical and Biological Landscapes. ICES Cooperative Research Report No pp. Jackson DR, Richardson MD High-Frequency Seafloor Acoustics. New York (US): Springer Science Business Media, LLC. Kloser RJ, Bax NJ, Ryan T, Williams A, Barker BA Remote sensing of seabed types in the Australian South East Fishery; development and application of normal incident acoustic techniques and associated ground truthing. Marine and Freshwater Research, 52(4), Lurton X An introduction to Underwater Acoustics. Principles and Application. London (GB): Springer. MacLennan DN, Simmonds EJ Fisheries Acoustics: Theory and Practice. Second edition. Oxford (GB): Blackwell Science Ltd

66 80 52 Manik HM Seabed identification and characterization using sonar. Advances in acoustics and vibration. Hindawi Publishing Corporation. Volume 2012, Article ID pages. Manik HM, Furusawa M, Amakasu K Measurement of sea bottom surface backscattering strength by quantitative echosounder. Fisheries Science 2006, 72: Manuhutu JF Klasifikasi lifeform terumbu karang menggunakan instrumen hidroakustik SIMRAD EY 60 di Pulau Pari, Kepulauan Seribu [tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Mumby PJ, Skirving W, Strong AE, Hardy JT, LeDrew EF, Hochberg EJ, Stumpf, RP, David LT Remote sensing of coral reefs and their physical environment. Marine Pollution Bulletin 48 (2004), Nasby-Lucas NM, Merle SG, Embley BW, Tissot BN, Hixon MA, Wright DJ Integration of submersible transect data and high-resolution sonar imagery for a habitat-based groundfish assessment of Heceta Bank, Oregon. Fishery Bulletin 100: Penrose JD, Siwabessy PJW, Gavrilov A, Parnum I, Hamilton LJ, Bickers A, Brooke B, Ryan DA, Kennedy P Acoustics Techniques for Seabed Classification. Technical Report 32, September Cooperative Research Centre for Coastal Zone Estuary and Waterway Management. Preston JM, Rosenberger A, Collins WT Bottom classification in very shallow water. OCEANS 2000 MTS/IEEE Conference and Exhibition, Vol. 3, pp Pujiyati S Pendekatan metode hidroakustik untuk analisis keterkaitan antara tipe substrat dasar perairan dengan komunitas ikan demersal [disertasi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Pujiyati S, Hartati S, Priyono W Efek ukuran butiran, kekasaran, dan kekerasan dasar perairan terhadap nilai hambur balik hasil deteksi hydroakustik. E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2 (Juni 2010), No. 1, Hal Saleh M Seabed classification using sub-bottom profiler [thesis]. Delft (ND). Delft University of Technology. Sanchoemar SI Karakteristik lingkungan perairan Kepulauan Seribu. JAI, Vol. 4, No. 2, Hal Schimel ACG, Healy TR, Johnson D, Immenga D Quantitative experimental comparison of single-beam, sidescan, and multibeam benthic habitat maps. ICES Journal of Marine Science, 67: Schlagintweit GEO Real-time acoustic bottom classification: a field evaluation of RoxAnn. Oceans 93 (Victoria, British Columbia, IEEE), pp Siwabessy PJW An investigation of the relationship between seabed type and benthic and bentho-pelagic biota using acoustic techniques [dissertation]. Australia (AU). The Curtin University of Technology. Siwabessy PJW, Penrose JD, Fox DR, Kloser RJ Bottom classification in the continental shelf: a case study for the North-West and South-East shelf of Australia. Australian Acoustical Society Conference, Joondalup, Australia November pp.

67 Sorokin YI Coral Reef Ecology. Ecological Studies 102. Heidelberg, Berlin (DE): Springer-Verlag. Thermo PD, Pace NG, Al-Hamdani ZKS Laboratory measurements of backscattering from marine sediments. J. Acoust. Soc. Am. 84: Urick RJ Principles of Underwater Sound. 3 rd edition. New York (US): McGraw-Hill Publishing. Westmacott S, Teleki K, Wells S, West JM Pengelolaan Terumbu Karang Yang Telah Memutih dan Rusak Kritis. Steffen JH, penerjemah. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. vii+36 pp. Terjemahan dari: Management of bleached and severely damaged coral reefs

68 82 54 Lampiran 1 Transduser yang digunakan pada penelitian Transduser tipe THDT-5 Long Stem Bronze Thru Hull Ukuran dimensi transduser tipe THDT-5 Long Stem Bronze Thru Hull

69 83 55 Lampiran 2 Dokumentasi pengambilan data penelitian Proses perekaman data akustik Contoh tampilan hasil pada saat perekaman

70 84 56 Lampiran 3 Sintax program (m-file) pengolahan data pada MATLAB %% %% %% Program Matlab %% %% MARINE SCIENCE AND TECHNOLOGY - IPB %% %% %% %% instrument parameter %% BW=11 % Beam width 200 khz (derajat) BW2=45 % Beam width 50 khz (derajat) SL=163; % Source Level 200 khz SL2=156; % Source Level 50 khz RS=-185; % Receiving sensitivity 200 khz RS2=-173; % Receiving sensitivity 50 khz AVG=0; % array voltage gain AG=-20.83; % amplifier gain %% %% C=1516; % Kecepatan suara ph=8; % ph laut T=30; % Suhu ( o C) R=(input); % Jarak target dari permukaan transducer (m) S=33; % Salinitas ( o / oo ) P1=1; F=200; F2=50; A1=(8.86/C)*10^((0.78*pH)-5); f1=(2.8*((s/35)^0.5))*(10^(4-1245/(t+273))); A2=21.44*(S/C)*(1+(0.025*T)); P2=1-(1.37*(10^-4)*R)+(6.2*(10^-9)*(R^2)); f2=(8.17*(10^(8-1990/(t+273))))/( *(s-35)); P3=1-(3.83*(10^-5)*R)+(4.9*(10^-10)*(R^2)); A3=(3.964*(10^-4))-(1.146*(10^-5)*T)+(1.45*(10^-7)*(T^2))- (6.5*(10^-10)*(T^3)); alpha=((a1*p1*f1*(f^2))/((f^2)+(f1^2)))+((a2*p2*f2*(f^2))/((f^2)+( f2^2)))+(a3*p3*(f^2)); % koefisien absorpsi makscount=255; phi=3.14; tau=0.003; % panjang pulsa sdt=11/2; % 200 khz sdt2=45/2; % 50 khz AA=phi*(R*tan(sdt))^2; % beam-insonofied area A=10*log10(AA); %% %% %% load data %% xx=igodata_f200_acb; aa=xx(1:size(xx,1),18:size(xx,2)); %% %% %% surface scattering strength (Ss) %% aaa=rot90(aa); VR=20*(log10((aaa)/makscount)); SS=VR-AVG+AG-RS-SL+(40*log10(R))+2*alpha/1000*R-A; %% rata-rata surface scattering strength (SS) %% NN=size(aa,2); NNN=NN-11;

71 85 57 Lampiran 3 (lanjutan) ff=aa(:,1:nnn); hh=mean(ff); VR1=20*(log10((hh)/makscount)); SS1=VR1-AVG+AG-RS-SL+(40*log10(R))+2*alpha/1000*R-A; %% rata-rata volume scattering strength (SV) %% SV1=SS1-10*log10(C*tau/2); %% %% %% Matrik Kedalaman %% range=([1:size(aaa,1)]); N=length(range); dpt=(0.01:0.05:length(aaa))'; Y=dpt(1:N); YX=Y+1; YY=sort(YX,1,'descend'); X=[1:1:length(aaa)]; XX=[1:1:length(ff)]; N1=length(hh); dpt1=(0.01:0.05:length(hh))'; Y1=dpt1(1:N1); YX1=Y1+1; YY1=sort(YX1,1,'ascend'); X1=[1:1:length(hh)]; time=x(1:1:length(hh)); %% %% %% Figure 1 %% figure('name','time Series of Scattering Strength','NumberTitle','on') imagesc(x,yy,ss); colorbar('xticklabel',{'ss (db)'},'xtick',[0.5],'xaxislocation','top'); % propertis % Title ('Echogram') ylabel('depth (m)') xlabel('ping Number') %% %% %% figure 2 %% figure('name','scattering Strength Vs Depth') plot(ss1,yy1,'-r') % propertis % Title ('Backscattering Strength') ylabel('depth (m)') xlabel('intensitas Backscattering Strength (db)') grid on hold on plot(sv1,yy1,'-b') legend ('SS','SV') %% %% %% figure 3 %% figure('name','scattering Strength Vs Depth') plot(sv1,'-b') % propertis % Title ('Acropora branching 200 khz') ylabel('sv (db)') xlabel('time (ms)') grid on %% %%

72 86 58 Lampiran 4 Hasil analisis statistik (Tukey HSD) nilai SS a. Uji Tukey HSD nilai SS frekuensi 200 khz Tukey HSD (I) Karang (J) Karang Mean Difference (I-J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound ACB CM * * ACT * * CMR * * RB * * SD * * DC * * CM ACB * * ACT * * CMR * * RB * * SD * * DC * * ACT ACB * * CM * * CMR * * RB * * SD * * DC * * CMR ACB * * CM * * ACT * * RB * * SD * * DC * * RB ACB * * CM * * ACT * * CMR * * SD * * DC * * SD ACB * * CM * * ACT * * CMR * * RB * * DC * * DC ACB * * CM * * ACT * * CMR * * RB * * SD * * *. The mean difference is significant at the 0.05 level.

73 87 59 Lampiran 4 (lanjutan) b. Uji Tukey HSD nilai SS frekuensi 50 khz Tukey HSD (I) Karang (J) Karang Mean Difference (I-J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound ACB CM * * ACT * * CMR * * RB * * SD * * DC * * CM ACB * * ACT * * CMR * * RB * * SD * * DC * * ACT ACB * * CM * * CMR * * RB * * SD * * DC * * CMR ACB * * CM * * ACT * * RB * * SD DC * * RB ACB * * CM * * ACT * * CMR * * SD * * DC * * SD ACB * * CM * * ACT * * CMR RB * * DC * * DC ACB * * CM * * ACT * * CMR * * RB * * SD * * *. The mean difference is significant at the 0.05 level.

74 88 60 Lampiran 5 Hasil analisis statistik (Tukey HSD) nilai SV (E1 dan E2) a. Uji Tukey HSD nilai E1 frekuensi 200 khz Tukey HSD (I) Karang (J) Karang Mean Difference (I-J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound ACB CM * * ACT * * CMR * * RB * * SD * * DC * * CM ACB * * ACT * * CMR * * RB * * SD * * DC * * ACT ACB * * CM * * CMR * * RB * * SD * * DC * * CMR ACB * * CM * * ACT * * RB * * SD * * DC * * RB ACB * * CM * * ACT * * CMR * * SD * * DC * * SD ACB * * CM * * ACT * * CMR * * RB * * DC * * DC ACB * * CM * * ACT * * CMR * * RB * * SD * * *. The mean difference is significant at the 0.05 level.

75 89 61 Lampiran 5 (lanjutan) b. Uji Tukey HSD nilai E2 frekuensi 200 khz Tukey HSD (I) Karang (J) Karang Mean Difference (I-J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound ACB CM * ACT E1* CMR * * RB * * SD * * DC * * CM ACB * * ACT E1* CMR * RB * SD * DC * * ACT ACB * * CM * * CMR * * RB * * SD * * DC * * CMR ACB * * CM * * ACT * * RB * * SD * * DC * * RB ACB * * CM * * ACT E1* CMR * * SD * * DC * * SD ACB * * CM * * ACT * * CMR * * RB * * DC * * DC ACB * * CM * * ACT E1* CMR * * RB * * SD * * *. The mean difference is significant at the 0.05 level.

76 62 90 Lampiran 5 (lanjutan) c. Uji Tukey HSD nilai E1 frekuensi 50 khz Tukey HSD (I) Karang (J) Karang Mean Difference (I-J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound ACB CM * * ACT * * CMR * * RB * * SD * * DC * * CM ACB * * ACT * * CMR * * RB * * SD * * DC * * ACT ACB * * CM * * CMR * * RB * * SD * * DC * * CMR ACB * * CM * * ACT * * RB * * SD DC * * RB ACB * * CM * * ACT * * CMR * * SD * * DC * * SD ACB * * CM * * ACT * * CMR RB * * DC * * DC ACB * * CM * * ACT * * CMR * * RB * * SD * * *. The mean difference is significant at the 0.05 level.

77 91 63 Lampiran 5 (lanjutan) d. Uji Tukey HSD nilai E2 frekuensi 50 khz Tukey HSD (I) Karang (J) Karang Mean Difference (I-J) Std. Error Sig. 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound ACB CM * * ACT * * CMR * * RB * * SD * * DC * * CM ACB * * ACT * * CMR * * RB * * SD E1* DC ACT ACB * * CM * * CMR RB * * SD * * DC * * CMR ACB * * CM * * ACT RB * * SD * * DC * * RB ACB * * CM * * ACT * * CMR * * SD * * DC * * SD ACB * * CM * * ACT * * CMR * * RB * * DC * * DC ACB * * CM ACT * * CMR * * RB * * SD * * *. The mean difference is significant at the 0.05 level.

78 64 92 Lampiran 6 Hasil Cluster Analysis data akustik E1 dan E2 a. Frekuensi 200 khz Hierarchical Cluster Analysis of Observations: E1 and E2 200 khz Standardized Variables, Euclidean Distance, Average Linkage Amalgamation Steps Step Number of Similarity Distance Clusters New Number of Obs clusters level level joined cluster in new cluster Final Partition Number of clusters: 1 Number of Within cluster Average distance Maximum distance observations sum of squares from centroid from centroid Cluster b. Frekuensi 50 khz Hierarchical Cluster Analysis of Observations: E1 and E2 50 khz Standardized Variables, Euclidean Distance, Average Linkage Amalgamation Steps Step Number of Similarity Distance Clusters New Number of Obs clusters level level joined cluster in new cluster Final Partition Number of clusters: 1 Number of Within cluster Average distance Maximum distance observations sum of squares from centroid from centroid Cluster

79 65 93 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pongo (Wakatobi) pada tanggal 26 Januari 1983 sebagai anak ketujuh dari tujuh bersaudara dari pasangan H. Hamuna dan Hj. Wanuru. Pendidikan sarjana (S1) ditempuh di Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua (UNIPA) Manokwari, lulus pada tahun Pada tahun 2011, penulis melanjutkan pendidikan ke program magister (S2), Program Studi Teknologi Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB). Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari program Beasiswa Unggulan (BU) DIKTI tahun Selama menempuh program magister, penulis pernah mengikuti beberapa pelatihan sebagai peserta antara lain Pelatihan Pemetaan Habitat Dasar Perairan Dangkal pada tahun 2011 yang diselenggarakan oleh Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology, SEAMEO BIOTROP. Selain itu, dua buah artikel yang merupakan bagian dari tesis telah diajukan untuk diterbitkan yaitu Kuantifikasi dan Klasifikasi Hambur Balik Akustik Karang pada Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis serta Karakterisasi Pantulan Akustik Karang Menggunakan Echosounder Single Beam pada Jurnal Segara.

KELOMPOK 2 JUWITA AMELIA MILYAN U. LATUE DICKY STELLA L. TOBING

KELOMPOK 2 JUWITA AMELIA MILYAN U. LATUE DICKY STELLA L. TOBING SISTEM SONAR KELOMPOK 2 JUWITA AMELIA 2012-64-0 MILYAN U. LATUE 2013-64-0 DICKY 2013-64-0 STELLA L. TOBING 2013-64-047 KARAKTERISASI PANTULAN AKUSTIK KARANG MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER SINGLE BEAM Baigo Hamuna,

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Lifeform Karang Secara Visual Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Berdasarkan hasil identifikasi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen Dasar Laut Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal maupun secara

Lebih terperinci

Karakterisasi Pantulan Akustik Karang Menggunakan Echosounder Single Beam

Karakterisasi Pantulan Akustik Karang Menggunakan Echosounder Single Beam Karakterisasi Pantulan Akustik Karang Menggunakan Echosounder Single Beam Characterization of Coral Acoustics Backscattering Using Single Beam Echosounder Baigo Hamuna 1, Sri Pujiyati 2, Totok Hestirianoto

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Bentuk Pertumbuhan Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Bentuk Pertumbuhan Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang merupakan satu kesatuan dari berbagai jenis karang. Terumbu karang adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam makhluk hidup yang kehidupannya berasosiasi dengan lingkungan perairan.

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2010 Juli 2011 yang meliputi tahapan persiapan, pengukuran data lapangan, pengolahan dan analisis

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut Sedimen yang merupakan partikel lepas (unconsolidated) yang terhampar di daratan, di pesisir dan di laut itu berasal dari batuan atau material yang mengalami

Lebih terperinci

Gambar 8. Lokasi penelitian

Gambar 8. Lokasi penelitian 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Januari-3 Februari 2011 yang di perairan Pulau Gosong, Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang, Kabupaten

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapang dilakukan pada tanggal 16-18 Mei 2008 di perairan gugusan pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 11). Lokasi ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji

2. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji (1987), paparan Arafura (diberi nama oleh Krummel, 1897) ini terdiri dari tiga

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kajian dasar perairan dapat digunakan secara luas, dimana para ahli sumberdaya kelautan membutuhkannya sebagai kajian terhadap habitat bagi hewan bentik (Friedlander et

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data akustik dilakukan pada tanggal 29 Januari sampai 3 Februari 2011 di perairan Kepulauan Seribu. Wilayah penelitian mencakup di

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, diperoleh data yang diuraikan pada Tabel 4. Lokasi penelitian berada

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º - 138 º BT (Gambar 2), pada bulan November 2006 di Perairan Laut Arafura, dengan kedalaman

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI LIFEFORM KARANG MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK JEFRY BEMBA

IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI LIFEFORM KARANG MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK JEFRY BEMBA IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI LIFEFORM KARANG MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK JEFRY BEMBA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna. Mikrofauna berperan

Lebih terperinci

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU Oleh: Arief Wijaksana C64102055 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengambilan Contoh Dasar Gambar 16 merupakan hasil dari plot bottom sampling dari beberapa titik yang dilakukan secara acak untuk mengetahui dimana posisi target yang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Peta Batimetri Laut Arafura Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori perairan dangkal dimana kedalaman mencapai 100 meter. Berdasarkan data

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif

3. METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, yang berlangsung selama 9 bulan, dimulai

Lebih terperinci

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH P. Ika Wahyuningrum AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH Suatu teknologi pendeteksian obyek dibawah air dengan menggunakan instrumen akustik yang memanfaatkan suara dengan gelombang tertentu Secara

Lebih terperinci

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI SANTI OKTAVIA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan 4. HASIL PEMBAHASAN 4.1 Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, ditemukan 3 jenis spesies lamun yakni Enhalus acoroides, Cymodocea

Lebih terperinci

PENGUKURAN HAMBUR BALIK AKUSTIK DASAR LAUT DI SEKITAR KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN SPLIT BEAM ECHOSOUNDER

PENGUKURAN HAMBUR BALIK AKUSTIK DASAR LAUT DI SEKITAR KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN SPLIT BEAM ECHOSOUNDER PENGUKURAN HAMBUR BALIK AKUSTIK DASAR LAUT DI SEKITAR KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN SPLIT BEAM ECHOSOUNDER KORSUES LUMBAN GAOL SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

Scientific Echosounders

Scientific Echosounders Scientific Echosounders Namun secara secara elektronik didesain dengan amplitudo pancaran gelombang yang stabil, perhitungan waktu yang lebih akuran dan berbagai menu dan software tambahan. Contoh scientific

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian dimulai pada bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2010 dan bulan Juli sampai bulan Agustus 2010 bertempat di Water Tank Labotarium

Lebih terperinci

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG Pendugaan Kelimpahan dan Sebaran Ikan... Metode Akustik di Perairan Belitung (Fahmi, Z.) PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG ABSTRAK Zulkarnaen

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sedimen Dasar Laut

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sedimen Dasar Laut 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sedimen Dasar Laut Seluruh permukaan dasar laut ditutupi oleh partikel-partikel sedimen yang telah diendapkan secara perlahan-lahan dalam jangka waktu berjuta-juta tahun. Sedimen

Lebih terperinci

KUANTIFIKASI DAN KARAKTERISASI ACOUSTIC BACKSCATTERING DASAR PERAIRAN DI KEPULAUAN SERIBU JAKARTA OBED AGTAPURA TARUK ALLO

KUANTIFIKASI DAN KARAKTERISASI ACOUSTIC BACKSCATTERING DASAR PERAIRAN DI KEPULAUAN SERIBU JAKARTA OBED AGTAPURA TARUK ALLO KUANTIFIKASI DAN KARAKTERISASI ACOUSTIC BACKSCATTERING DASAR PERAIRAN DI KEPULAUAN SERIBU JAKARTA OBED AGTAPURA TARUK ALLO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

EFEK UKURAN BUTIRAN, KEKASARAN, DAN KEKERASAN DASAR PERAIRAN TERHADAP NILAI HAMBUR BALIK HASIL DETEKSI HYDROAKUSTIK ABSTRACT

EFEK UKURAN BUTIRAN, KEKASARAN, DAN KEKERASAN DASAR PERAIRAN TERHADAP NILAI HAMBUR BALIK HASIL DETEKSI HYDROAKUSTIK ABSTRACT P P Staf P P Peneliti E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 1, Hal. 59-67, Juni 2010 EFEK UKURAN BUTIRAN, KEKASARAN, DAN KEKERASAN DASAR PERAIRAN TERHADAP NILAI HAMBUR BALIK HASIL DETEKSI

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Side Scan Sonar merupakan peralatan observasi dasar laut yang dapat

2. TINJAUAN PUSTAKA. Side Scan Sonar merupakan peralatan observasi dasar laut yang dapat 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Side Scan Sonar Side Scan Sonar merupakan peralatan observasi dasar laut yang dapat memancarkan beam pada kedua sisi bagiannya secara horizontal. Side scan sonar memancarkan pulsa

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL JACKSON PADA SEDIMEN BERPASIR MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI GUGUSAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU SYAHRUL PURNAWAN

ANALISIS MODEL JACKSON PADA SEDIMEN BERPASIR MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI GUGUSAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU SYAHRUL PURNAWAN ANALISIS MODEL JACKSON PADA SEDIMEN BERPASIR MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI GUGUSAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU SYAHRUL PURNAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DATA SINGLE BEAM ECHOSOUNDER. Septian Nanda dan Aprillina Idha Geomatics Engineering

PENGOLAHAN DATA SINGLE BEAM ECHOSOUNDER. Septian Nanda dan Aprillina Idha Geomatics Engineering PENGOLAHAN DATA SINGLE BEAM ECHOSOUNDER Septian Nanda - 3311401055 dan Aprillina Idha - 3311401056 Geomatics Engineering Marine Acoustic, Batam State Politechnic Email : prillyaprillina@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Pengambilan data dengan menggunakan side scan sonar dilakukan selama

3. METODOLOGI. Pengambilan data dengan menggunakan side scan sonar dilakukan selama 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data dengan menggunakan side scan sonar dilakukan selama dua hari, yaitu pada 19-20 November 2008 di perairan Aceh, Lhokseumawe (Gambar 3). Sesuai

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol. 4. No. 1 Mei 2013: 31-39 ISSNN 2087-4871 HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 (THE RELATION

Lebih terperinci

DETEKSI NILAI HAMBUR BALIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.) MENGGUNAKAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK CRUZPRO FISHFINDER PCFF-80

DETEKSI NILAI HAMBUR BALIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.) MENGGUNAKAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK CRUZPRO FISHFINDER PCFF-80 DETEKSI NILAI HAMBUR BALIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.) MENGGUNAKAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK CRUZPRO FISHFINDER PCFF-80 Muhammad Zainuddin Lubis 1, 2, Sri Pujiyati 2 Pratiwi Dwi Wulandari 2 1 Corresponding

Lebih terperinci

Citra akustik Ikan Uji. Matriks Data Akustik. Hitungan Deskriptor. 15 Desk. teridentifikasi. 8 Desk. utama. Rancangan awal JSTPB JSTPB1

Citra akustik Ikan Uji. Matriks Data Akustik. Hitungan Deskriptor. 15 Desk. teridentifikasi. 8 Desk. utama. Rancangan awal JSTPB JSTPB1 3 METODOLOGI Secara garis besar metode penelitian dalam disertasi ini berkaitan dengan permasalahan identifikasi kawanan ikan secara hidroakustik yang berkaitan dengan pengukuran dan pemrosesan data hidroakustik,

Lebih terperinci

Sumber : Mckenzie (2009) Gambar 2. Morfologi Lamun

Sumber : Mckenzie (2009) Gambar 2. Morfologi Lamun 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Lamun Lamun merupakan tumbuhan laut yang hidup di perairan jernih pada kedalaman berkisar antara 2 12 m dengan sirkulasi air yang baik. Hampir semua tipe substrat dapat

Lebih terperinci

PENGUKURAN ACOUSTIC BACKSCATTERING STRENGTH DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN SINGLE DAN MULTI BEAM ECHO SOUNDER BAMBANG SUPARTONO

PENGUKURAN ACOUSTIC BACKSCATTERING STRENGTH DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN SINGLE DAN MULTI BEAM ECHO SOUNDER BAMBANG SUPARTONO PENGUKURAN ACOUSTIC BACKSCATTERING STRENGTH DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN SINGLE DAN MULTI BEAM ECHO SOUNDER BAMBANG SUPARTONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PENGUKURAN ACOUSTIC

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Terumbu Karang 6 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA Terumbu karang merupakan kumpulan organisme karang yang hidup diperairan laut dangkal terutama di daerah tropis. Ekosistim terumbu karang komponen utamanya disusun

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN KARANG JENIS Lobophyllia hemprichii YANG DITRANSPLANTASIKAN DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA Oleh: WIDYARTO MARGONO C64103076 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

Model integrasi echo dasar laut Blok diagram scientific echosounder ditampilkan pada Gambar I. echo pada pre-amplifier, ERB :

Model integrasi echo dasar laut Blok diagram scientific echosounder ditampilkan pada Gambar I. echo pada pre-amplifier, ERB : N AWSTIK SCATTERINGSTRENGTH DASAR LAUT DAN IDENTIFIKASI WABIcrAT I DENGAN ECHOSOUNDER (Measurement of Acoustic ScatGering Strength of Sea Bottom and Identification of Fish Habitat Using Echosounder) Oleh:

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Gambar 10. Lokasi penelitian

3. METODOLOGI. Gambar 10. Lokasi penelitian 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 29 Januari 2 Februari 2011 yang berlokasi di sekitar perairan Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Karya dan Pulau

Lebih terperinci

JAKARTA (22/5/2015)

JAKARTA (22/5/2015) 2015/05/22 14:36 WIB - Kategori : Artikel Penyuluhan SELAMATKAN TERUMBU KARANG JAKARTA (22/5/2015) www.pusluh.kkp.go.id Istilah terumbu karang sangat sering kita dengar, namun belum banyak yang memahami

Lebih terperinci

DETEKSI NILAI HAMBUR BALIK KARANG MASSIVE MENGGUNAKAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK CRUZPRO FISHFINDER PCFF-80 MUHAMAD YUDHA ASMARA

DETEKSI NILAI HAMBUR BALIK KARANG MASSIVE MENGGUNAKAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK CRUZPRO FISHFINDER PCFF-80 MUHAMAD YUDHA ASMARA DETEKSI NILAI HAMBUR BALIK KARANG MASSIVE MENGGUNAKAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK CRUZPRO FISHFINDER PCFF-80 MUHAMAD YUDHA ASMARA DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

Pendahuluan. Peralatan. Sari. Abstract. Subarsyah dan M. Yusuf

Pendahuluan. Peralatan. Sari. Abstract. Subarsyah dan M. Yusuf PENGARUH FREKUENSI GELOMBANG TERHADAP RESOLUSI DAN DELINEASI PERLAPISAN SEDIMEN BAWAH PERMUKAAN DARI DUA INSTRUMEN AKUSTIK YANG BERBEDA DI SUNGAI SAGULING Subarsyah dan M. Yusuf Pusat Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini menggunakan data side scan sonar yang berasal dari survei lapang untuk kegiatan pemasangan kabel PLN yang telah dilakukan oleh Pusat

Lebih terperinci

INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU

INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU Oleh: Munawir C64102020 PR AN TEKNOLOGI KELAUTAN AN DAN I Lm KELAUTAN INSTITUT PERTANLAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 39 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Profil Kecepatan Suara Profil kecepatan suara (SVP) di lokasi penelitian diukur secara detail untuk mengurangi pengaruh kesalahan terhadap data multibeam pada

Lebih terperinci

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. *

METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * METODE SURVEI TERUMBU KARANG INDONESIA Oleh OFRI JOHAN, M.Si. * Survei kondisi terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai metode tergantung pada tujuan survei, waktu yang tersedia, tingkat keahlian

Lebih terperinci

METODE KERJA. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Oktober Lokasi

METODE KERJA. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Oktober Lokasi III. METODE KERJA A. Waktu dan Tempat Pelaksaan Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Oktober 2012. Lokasi penelitian berada di perairan Pulau Rakata, Pulau Panjang, dan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Wilayah Penelitian Wilayah tempat substrat batu berada bersampingan dengan rumah makan Nusa Resto dan juga pabrik industri dimana kondisi fisik dan kimia perairan sekitar

Lebih terperinci

STUDI KARAKTER SUARA BEBERAPA SPESIES ODONTOCETI DI PERAIRAN LAUT SAWU, NUSA TENGGARA TIMUR

STUDI KARAKTER SUARA BEBERAPA SPESIES ODONTOCETI DI PERAIRAN LAUT SAWU, NUSA TENGGARA TIMUR STUDI KARAKTER SUARA BEBERAPA SPESIES ODONTOCETI DI PERAIRAN LAUT SAWU, NUSA TENGGARA TIMUR Oleh: Ayu Destari C64102022 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dimulai pada tanggal 20 Januari 2011 dan menggunakan data hasil survei Balai Riset Perikanan Laut (BRPL). Survei ini dilakukan mulai

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK HAMBUR BALIK VOLUME KARANG BERCABANG BESERTA SUBSTRAT DASARNYA MENGGUNAKAN INSTRUMEN AKUSTIK CRUZPRO NORSYAMIMI BINTI WASLI

KARAKTERISTIK HAMBUR BALIK VOLUME KARANG BERCABANG BESERTA SUBSTRAT DASARNYA MENGGUNAKAN INSTRUMEN AKUSTIK CRUZPRO NORSYAMIMI BINTI WASLI KARAKTERISTIK HAMBUR BALIK VOLUME KARANG BERCABANG BESERTA SUBSTRAT DASARNYA MENGGUNAKAN INSTRUMEN AKUSTIK CRUZPRO NORSYAMIMI BINTI WASLI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret September 2011 dengan menggunakan data berupa data echogram dimana pengambilan data secara in situ dilakukan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan lanjutan yang dilakukan dari bulan Juli sampai bulan Agustus menggunakan data hasil olahan dalam bentuk format *raw.dg yang

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September 2011 hingga Desember 2011 bertempat di Gosong Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta dengan koordinat

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA Oleh Riza Aitiando Pasaribu C64103058 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

DETEKSI DAN INTERPRETASI TARGET DI DASAR LAUT MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIDE SCAN SONAR

DETEKSI DAN INTERPRETASI TARGET DI DASAR LAUT MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIDE SCAN SONAR DETEKSI DAN INTERPRETASI TARGET DI DASAR LAUT MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIDE SCAN SONAR 1) Soetjie Poernama Sari 2) Henry M. Manik 1) Alumni Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK IPB 2) Dosen Bagian

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 17 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 211, sedangkan survei data dilakukan oleh pihak Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) Departemen

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

II BAHAN DAN METODE. II.1 Faktor yang Mengontrol Pergerakan Sedimen

II BAHAN DAN METODE. II.1 Faktor yang Mengontrol Pergerakan Sedimen II BAHAN DAN METODE Sedimen merupakan fragmentasi material yang berasal dari pemecahan batuan akibat proses fisis dan kimiawi (van Rijn, 1993). Di kawasan pesisir, pasokan sedimen terutama berasal dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pulau Bintan Timur, Kepulauan Riau dengan tiga titik stasiun pengamatan pada bulan Januari-Mei 2013. Pengolahan data dilakukan

Lebih terperinci

PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DELTA MAHAKAM

PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DELTA MAHAKAM Pengukuran dan Analisis Nilai Hambur. Klasifikasi Dasar Perairan Delta Mahakam (Ningsih E.N., et al) PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DELTA MAHAKAM ACOUSTIC

Lebih terperinci

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan waktu Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April 2013. Lokasi penelitian dilakukan di Perairan Nusa Lembongan, Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi

Lebih terperinci

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN Evaluasi Reef Check Yang Dilakukan Unit Selam Universitas Gadjah Mada 2002-2003 BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN 1 BAB I PENDAHULUAN a. Latar Belakang Keanekaragaman tipe ekosistem yang ada dalam kawasan Taman

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Waduk Ir. H. Djuanda dan Laboratorium Akustik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor. Kegiatan penelitian ini terbagi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ilustrasi morfologi lamun yang membedakan tiap spesies. (Lanyon, 1986, diacu dalam McKenzie and Campbell, 2002)

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ilustrasi morfologi lamun yang membedakan tiap spesies. (Lanyon, 1986, diacu dalam McKenzie and Campbell, 2002) TINJAUAN PUSTAKA Lamun Bagi Ekosistem Pesisir Lamun (seagrass) merupakan tumbuhan berbunga (angiospermae) dan mempunyai akar rimpang, daun, bunga dan buah (Gambar 2). Lamun hidup di sedimen dasar laut,

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ Oleh : Ganjar Saefurahman C64103081 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT

PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT PENDUGAAN KONSENTRASI KLOROFIL-a DAN TRANSPARANSI PERAIRAN TELUK JAKARTA DENGAN CITRA SATELIT LANDSAT DESSY NOVITASARI ROMAULI SIDABUTAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

TEKNOLOGI AKUSTIK BAWAH AIR: SOLUSI DATA PERIKANAN LAUT INDONESIA

TEKNOLOGI AKUSTIK BAWAH AIR: SOLUSI DATA PERIKANAN LAUT INDONESIA Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 1 No. 3, Desember 2014: 181-186 ISSN : 2355-6226 TEKNOLOGI AKUSTIK BAWAH AIR: SOLUSI DATA PERIKANAN LAUT INDONESIA Henry M. Manik Departemen Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA

KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA KERUSAKAN TERUMBU KARANG KARIMUNJAWA AKIBAT AKTIVITAS TRANSPORTASI BATUBARA Mei 2018 Pendahuluan Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem utama pesisir dan laut yang dibangun terutama oleh biota laut

Lebih terperinci

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK 5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK Pendahuluan Sumberdaya perikanan LCS merupakan kontribusi utama yang sangat penting di tingkat lokal, regional dan internasional untuk makanan

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

PEMAlUIAN DUAL FREKUENSI DALAM PENDUGAAN DISTRIBUSI IKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK (FURUNO FQ 80) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN.

PEMAlUIAN DUAL FREKUENSI DALAM PENDUGAAN DISTRIBUSI IKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK (FURUNO FQ 80) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN. as-' PEMAlUIAN DUAL FREKUENSI DALAM PENDUGAAN DISTRIBUSI IKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK (FURUNO FQ 80) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN Oleh : Natalia Trita Agnilta C64102012 PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

Gambar 3. Peta lokasi penelitian

Gambar 3. Peta lokasi penelitian 15 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2009 di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten, lokasi penelitian mempunyai

Lebih terperinci

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan STUDI TENTANG ARAH DAN KECEPATAN RENANG IKAN PELAGIS DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TEmAGI (SPLIT-BEAM ACOUSTIC SYSTEM ) DI PERAIRAN TELUK TOMINI PADA BULAN JULI-AGUSTUS 2003 Oleh : PAHMI PARHANI

Lebih terperinci

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO

APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO APLIKASI CONTINGENT CHOICE MODELLING (CCM) DALAM VALUASI EKONOMI TERUMBU KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA FAZRI PUTRANTOMO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA PERKEMBANGAN GAMET KARANG LUNAK Sinularia dura HASIL TRANSPLANTASI DI PULAU PRAMUKA, KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA Oleh: Edy Setyawan C64104005 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN

3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN 3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN Pendahuluan Keberadaan sumberdaya ikan, baik ikan pelagis maupun demersal dapat diduga dengan menggunakan metode hidroakustik (Mitson 1983). Beberapa keuntungan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Perairan umum daratan Indonesia memiliki keanekaragaman jenis ikan yang tinggi, sehingga tercatat sebagai salah satu perairan dengan mega biodiversity di Indonesia. Komisi

Lebih terperinci

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang Konfigurasi Survei Hidrografi 1. Penentuan posisi (1) dan penggunaan sistem referensi (7) 2. Pengukuran kedalaman (pemeruman)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan Secara umum kondisi perairan di Pulau Sawah dan Lintea memiliki karakteristik yang mirip dari 8 stasiun yang diukur saat melakukan pengamatan

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

MIGRASI HARIAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) SECARA VERTIKAL DENGAN PENDEKATAN AKUSTIK

MIGRASI HARIAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) SECARA VERTIKAL DENGAN PENDEKATAN AKUSTIK MIGRASI HARIAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) SECARA VERTIKAL DENGAN PENDEKATAN AKUSTIK MUHAMMAD FAHRUL RIZA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

HUBUNGAN TOPOGRAFI DASAR PERAIRAN DENGAN SEBARAN IKAN DI SELAT MALAKA

HUBUNGAN TOPOGRAFI DASAR PERAIRAN DENGAN SEBARAN IKAN DI SELAT MALAKA HUBUNGAN TOPOGRAFI DASAR PERAIRAN DENGAN SEBARAN IKAN DI SELAT MALAKA Oleh: Syahrul Purnawan C64101022 PROGRAM STUD1 ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara)

SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara) SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara) SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara) Reflection and Refraction Ketika gelombang suara merambat dalam medium, terjadi sebuah pertemuan antara kedua medium dengan kepadatan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten 16 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura (Gambar 6). Kabupaten Sumenep berada di ujung timur Pulau Madura,

Lebih terperinci