BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisik dan Kimia Perairan Secara umum kondisi perairan di Pulau Sawah dan Lintea memiliki karakteristik yang mirip dari 8 stasiun yang diukur saat melakukan pengamatan mega bentos dan terumbu karang. Pengamatan dilakukan pada pagi maupun sore hari. Hasil pengukuran parameter fisik dan kimia perairan tersaji pada tabel 4. Tabel 4. Parameter fisik dan kimia perairan dari seluruh stasiun Stasiun Parameter Pengamatan Suhu Salinitas Kecepatan Arus ( 0 C) (ppt) Permukaan (m/s) Kecerahan (%) ,2 0, ,4 0, , ,6 0, , ,6 0, ,2 0, ,5 0, Suhu Suhu permukaan air di masing-masing stasiun berkisar antara C. Suhu tersebut tergantung pada kondisi cuaca dan waktu pengambilan data suhu. Menurut Kleine et al (2009) karang-karang pembentuk terumbu hidup di dalam kisaran suhu yang sempit antara C. Sedangkan menurut Nybakken (1992) menyatakan terumbu karang dapat mentoleransi suhu permukaan laut antara C. Berdasarkan data yang diperoleh menunjukan suhu perairan pulau Sawah dan Lintea berada dalam suhu yang optimum untuk pertumbuhan terumbu karang. 29

2 Kecepatan Arus Permukaan Laut Kecepatan arus permukaan laut di perairan Pulau Sawah dan Lintea berdasarkan hasil pengamatan mempunyai kecepatan yang berkisar 0,03-0,18 m.(detik -1 ). Kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun 1 yaitu 0,18 m.(detik -1 ), hal ini diduga karena pada saat pengambilan data terjadi hujan dan dipengaruhi oleh angin pada saat pengamatan. Arus permukaan terrendah terdapat di stasiun 7 yaitu 0,03 m.(detik -1 ). Stasiun 7,2,3 dan 6 merupakan daerah laguna yang merupakan daerah terlindung ketika musim teduh, namun apabila terjadi hujan disertai angin arus permukaan di dalam laguna berpengaruh terhadap arus yang berasal dari luar laguna Salinitas Hasil pengukuran lapangan diperoleh kisaran salinitas antara 32,6-31 ppt. Di stasiun 3 mempunyai salinitas yang rendah (31 ppt) dibandingkan dengan stasiun lainnya (31-32,6 ppt). Kisaran yang didapatkan masih sesuai untuk pertumbuhan terumbu karang yaitu kisaran ppt (Kordi 2010) Kecerahan Kecerahan diukur dari kemampuan cahaya untuk menembus kolom air menentukan intensitas cahaya yang diterima oleh zooxanthellae. Kecerahan perairan rata-rata 100%, namun untuk stasiun 6 hanya 40% yang disebabkan pada saat pengambilan data terjadi hujan dan gelombang, sehingga sustrat pasir yang berada di dalam laguna terangkat yang menyebabkan kekeruhan.

3 Kondisi Terumbu Karang Kondisi Terumbu Karang Kedalaman 3 meter Presentase penutupan karang keras hidup pada kedalaman 3 meter dari seluruh stasiun berkisar diantara 20-51%. Presentase tutupan soft coral berkisar antara 0-40% sedangkan presentase tutupan karang mati (dead coral) di masingmasing stasiun pengamatan berkisar antara 0-26%. Presentase tutupan macroalgae berkisar antara 0-17% dan komponen other fauna (lili laut, kima, sea fan, dan anemon) berkisar antara 1-5% sedangkan komponen abiotic berada dikisaran 4-44%. Presentase tutupan karang keras hidup yang tertinggi berada di stasiun 6 sementara presentase tutupan terrendah berada di stasiun 8. Kondisi karang keras hidup disemua stasiun dapat dikategorikan buruk hingga baik. Stasiun yang memiliki kondisi terumbu karang terbaik terdapat pada stasiun 6 yang didominasi oleh coral branching yang terdapat di dalam laguna, sedangkan untuk stasiun 8 merupakan daerah tubir yang membentuk wall (reef wall). Histogram kondisi terumbu karang pada kedalaman 3 meter dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Kondisi terumbu karang kedalaman 3 meter % Cover Substrat Indeks Stasiun HC DC MA OT Abiotic SC Mortalitas

4 32 Soft Coral, 22.13% Abiotic, 26.00% Hard Coral, 32.38% Hard Coral Death Coral Algae Other Fauna Abiotic Soft Coral Other Fauna, 2.50% Algae, 5.63% Death Coral, 11.38% Gambar 9. Presentase rata-rata kondisi terumbu karang 3 meter Kondisi terumbu karang di perairan Pulau Sawah dan Lintea secara rata- Transect rata masuk dalam kondisi sedang. Berdasarkan metode Point Intercept (PIT) presentase karang keras (hard coral) yakni sebesar 32,38%, karang mati (dead coral) sebesar 11,38%, Komponen macroalgae sebesar 5,63%, komponen soft coral, abiotic, dan other fauna berturut-turut sebesar 22,13% %, 26% dan 2,5% (Gambar 9). Besarnya perubahan karang hidup menjadi karang mati ditunjukan oleh indeks mortalitas. Berdasarkan nilai indeks mortalitas pada kedalaman 3 meter diperoleh hasil 0-0,59. Indeks mortalitas pada stasiun 4 yaitu nol yang menunjukan sangat rendah artinya pada stasiun tersebut tingkat kesehatan karangnya sangat tinggi dibandingkan dengan stasiun lain atau dengan kata lain rasio kematian karang pada stasiun tersebut tidak ada. Stasiun yang tingkat kematiannya termasuk tinggi yaitu stasiun 1 dan 7 yang mempunyai indikasi bahwa tingkat kesehatan karang yaitu sedang hal ini menunjukann bahwa tekanan lingkungan yang berada di stasiun tersebut dapat ditolerir oleh ekosistem terumbu karang pada stasiun tersebut. Hasil indeks mortalitas yang diperoleh pada seluruh stasiun di kedalaman 3 meter menunjukan nilai indeks mortalitas rendah (Tabel 5). Hasil pengamatann menunjukan bahwa kondisi terumbu karang yang paling

5 33 baik berdasarkan tipe penutupan substrat yaitu stasiun 6 yang mempunyai tutupan karang keras hidup sebesar 51% dan indeks mortalitas yang rendah yaitu sebesar 0, Kondisi Terumbu Karang Kedalaman 10 meter Kondisi terumbu karang keras hidup pada kedalam 10 meter dari seluruh stasiun berkisar antara 33-45%. Stasiun yang memiliki tutupan karang keras paling tinggi berada di stasiun 4 sedangkan presentase tutupan karang keras paling rendah berada di stasiun 5 (Tabel 6). Kedua stasiun tersebut mempunyai karakteristik reef wall, yang berada pada kategori sedang, sedangkan presentase tutupan karang mati (dead coral) di seluruh stasiun pengamatan berkisar antara 0-29%. Presentase tutupan alga (macroalgae dan Turf algae) berkisar antara 0-9% dan presentase tutupan soft coral berkisar antara 0-31%. Kompenen other fauna yang ditemukan yaitu (spons, kima, lili laut, sea fan, dan anemon ) berkisar antara 0-37%, dan komponen abiotic (sand, rubble, dan rock) berkisar antara 16-35%. Tabel 6. Kondisi terumbu karang kedalaman 10 meter % Cover Substrat Indeks Stasiun HC DC MA OT Abiotic SC Mortalitas Kondisi terumbu karang di perairan pulau Sawah dan Lintea dari semua stasiun pengamatan memiliki kategori sedang. Berdasarkan hasil pengamatan dengan metode PIT mempunyai rata-rata tutupan karang keras hidup sebesar 38,88%, sedangkan karang mati (dead coral) sebesar 13,63%. Rata-rata tutupan makroalgae yakni sebesar 3,13%, soft coral sebesar 9,75% dan komponen abiotic 26%. (Gambar 10).

6 34 Soft Coral, 9.75% Abiotic, 26.00% Hard Coral, 38.88% Hard Coral Death Coral Algae Other Fauna Abiotic Soft Coral Death Coral, 13.63% Other Fauna, 8.63% Algae, 3.13% Gambar 10. Presentase rata-rata kondisi terumbu karang 10 meter Besarnya rasio kematian karang keras hidup menjadi karang mati digunakan indeks mortalitas. Indeks mortalitas pada kedalaman 10 meter dari semua stasiun menunjukan kisaran 0-0,42 (Tabel 6). Nilai indeks mortalitas mempunyai kisaran 0-1 yang berarti apabila nilai indeks mortalitas mendekati 0 maka kondisi terumbu karang dikatakan memiliki rasio kematian karang yang kecil atau tingkat kesehatan karang tinggi, begitu juga sebaliknya jika mendekati nilai 1 maka kondisi terumbu karang dikatakan memiliki rasio kematian rendah (Fachrul 2008). Berdasarkan nilai indeks mortalitas, stasiun 4 dan 8 memiliki nilai 0 yang artinya tidak ada karang yang mati atau secara spesifik menjelaskan bahwa tekanan lingkungan ditolerir. Indeks mortalitas yang termasuk tinggi dibandingkan dengan stasiun lain berada di stasiun 1, tersebut dapat mengindikasikan bahwa tekanan lingkungan pada a stasiun tersebut masih bisa ditolerir yang menyebabkan matinya terumbu karang masih dapat 2, 3, 5, 6 dan 7 masuk dalam kategori sedang. Kategori untuk keberlangsungan hidup ekosistem terumbu karang. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui kondisi terumbu karang di kedalaman 10 meter yang paling baik berada di stasiun 4 dengan presentasee tutupan karang keras hidup sebesar 45% yang tidak ditemukan karang mati.

7 Distribusi Mega Bentos Dilindungi Berdasarkan 8 stasiun yang diamati, dari 12 species mega bentos dilindungi hanya 3 species yang ditemukan yaitu Tridacna crocea, Tridacna maxima, dan Tridacna squamosa yang berada di pulau sawah dan lintea. Hasil tersebut diperoleh dari 2 kedalaman yaitu kedalaman 3 dan 10 meter Distibusi Mega Bentos Dilindungi pada kedalaman 3 meter Kondisi distribusi mega bentos dilindungi pada kedalaman 3 meter secara keseluruhan hanya ditemukan 3 species kima, jika ditinjau berdasarkan stasiun pengamatannya stasiun 7 yang merupakan daerah laguna/gobah mempunyai kelimpahan yang paling tinggi yaitu 229 individu.(100 m 2 ) -1 untuk Tridacna crocea yang mempunyai habitat menempel pada karang masif dan seluruh cangkangnya terbenam dalam substrat yang keras (Gambar 11). Tridacna maxima stasiun yang mempunyai kelimpahan yang paling tinggi yaitu stasiun 2 dengan kelimpahan 26 individu.(100 m) 2-1 (Gambar 12). Tridacna squamosa stasiun 3 mempunyai kelimpahan yang paling tinggi yaitu 4 individu.(100 m 2 ) -1 (Gambar 13).

8 36 Gambar 11. Peta distribusi spasial kelimpahan T.crocea pada kedalaman 3 meter Gambar 12. Peta distribusi spasial kelimpahan T.maxima pada kedalaman 3 meter

9 37 Gambar 13. Peta Distribusi Spasial kelimpahan T.squamosa pada kedalaman 3 meter Rata-rata kelimpahan individu tertinggi berada di dalam gobah, karena menurut Nybakken 1992 di dalam gobah atol di kepulauan Tuamotu, Michael pada tahun 1972 mencatat pada umumnya kepadatan kima 1 individu.(m 2 ) -1 atau kurang dari itu. Selain itu menurut Panggabean (1991) menyatakan di lingkungan terumbu yang masih perawan atau yang belum terjamah, kima yang sejenis biasanya hidup membentuk kelompok-kelompok sehingga memungkinkan terjadinya pembuahan secara optimal (Gambar 14). Gambar 14. Kima berkelompok

10 38 Keanekaragaman untuk semua stasiun berkisar antara 0-0,655 secara umum keanekaragaman jenis mega bentos dilindungi pada perairan pulau Sawah dan Lintea termasuk dalam kategori rendah (Tabel 7). Pada stasiun 3 mempunyai keanekaragaman jenis yang paling tinggi dibandingkan dengan stasiun lainnya, sementara untuk stasiun 6 memiliki keanekaragaman nol, karena hanya ditemukan 1 jenis kima dengan jumlah individu yang sangat rendah. Berdasarkan Brower (1998), keanekaragaman spesies merupakan pengukuran dari stabilitas komunitas. Stabilitas komunitas berhubungan dengan jumlah dan tingkat jalur energi dan nutrisi. Komunitas yang stabil memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi. Keanekaragaman yang rendah dipengaruhi oleh ketersediaan makanan serta kondisi yang sesuai dengan habitat dari berbagai macam spesies mega bentos. Tabel 7. Indeks keanekaragaman jenis pada kedalaman 3 meter Stasiun Indeks Distribusi mega bentos dilindungi pada kedalaman 10 meter Distribusi mega bentos dilindungi pada kedalaman 10 meter hanya ditemukan 3 jenis species kima dari 12 species yang berada dalam list IUCN, akan tetapi pada kedalaman 10 meter kelimpahannya lebih rendah dibandingkan dengan kedalaman 3 meter. Stasiun yang memiliki kelimpahan yang paling tinggi tercatat pada stasiun 3 yang merupakan daerah gobah, untuk daerah yang memiliki karakteristik reef wall memiliki kepadatan 0-16 individu.(100 m 2 ) -1 terdiri dari Tridacna crocea dengan kelimpahan 0-16 individu.(100 m 2 ) -1 yang terletak pada stasiun 3 untuk kelimpahan tertinggi (Gambar 15). Tridacna maxima mempunyai kepadatan individu 0-2 individu.(100 m 2 ) -1 dengan kelimpahan tertinggi berada di stasiun 3 (Gambar 16). Tridacna squamosa mempunyai kepadatan 0-4 individu.(100 m 2 ) -1 yang mempunyai kelimpahan tertinggi berada di stasiun 3 (Gambar 17) merupakan jumlah yang sangat rendah dibandingkan dengan kedalaman 3 meter, hal ini diduga pada karakteristik substrat dasar

11 39 perairan pada kedalaman 10 meter rata-rata ditemukan coral brancing, rubble dan sand yang kurang cocok dengan habitat dari mega bentos yang ditemukan. Selain itu kondisi fisik dan kimia perairan turut mempengaruhi dari distribusi kima itu sendiri, menurut Isamu (2008) mengatakan habitat dari seluruh jenis kima, rata-rata mempunyai perairan yang bersih, jernih dan mempunyai salinitas yang optimal di perairan dengan suhu perairan yang belum diketahui secara tepat, namun berada dalam kisaran C. Gambar 15. Peta Distribusi Spasial kelimpahan T.crocea pada kedalaman 10 meter

12 40 Gambar 16. Peta distribusi spasial kelimpahan T.maxima pada kedalaman 10 meter Gambar 17. Peta Distribusi Spasial kelimpahan T.squamosa pada kedalaman 10 meter

13 41 Berdasarkan indeks keanekaragaman mega bentos dilindungi pada seluruh stasiun pengamatan yang berkisar antara 0-0,76 secara umum dapat dikatakan bahwa kenakearagaman jenis mega bentos dilindungi di perairan pulau Sawah dan Lintea termasuk dalam kategori rendah (Tabel 8). Salah satu faktor yang mempengaruhi keanekaragaman jenis mega bentos dilindungi yaitu habitat dari masing-masing species, kondisi ekosistem terumbu karang, serta ketersediaan makanan dari setiap species mega bentos dilindungi. Tabel 8. Indeks keanekaragaman jenis pada kedalaman 10 meter Stasiun Indeks Pengelompokann Habitat Ekosistem Terumbu Karang Indeks similaritas Bray Curtis digunakan untuk melihat pola pengelompokan habitat substrat dasar. Pengelompokan habitat bertujuan untuk melihat tingkat kesamaan (similarity) antar stasiun pengamatan. Semakin kecil indeks disimilaritas maka, tingkat kesamaannya semakin tinggi, dimana indeks similaritas bray curtis = (1-B) x 100% ; B = Indeks disimilaritas Bray Curtis Pengelompokan Habitat Terumbu Karang kedalaman 3 Meter Pengelompokan habitat terumbu karang pada kedalaman 3 meter dengan skala dendogram 40,,5% yang merupakan nilai rata-rata dari indeks disimilaritas antar stasiun diperoleh 4 kelompok habitat (Gambar 18). Gambar 18. Dendogram pengelompokan habitat pada kedalaman 3 meter.

14 42 Kelompok habitat ke-1 adalah stasiun 1, 5 dan 8 merupakan lokasi yang terletak di luar sisi gobah yang mempunyai karakteristik karang Reef Wall, kelompok habitat ke 2 adalah stasiun 4 yang berada di utara pulau Lintea, kelompok habitat ke 3 adalah stasiun 2, 3, dan 7 merupakan daerah di dalam gobah dimana mempunyai kemiripan habitat. Kelompok 4 yaitu stasiun 6 yang merupakan daerah gobah dimana tutupan substrat yang mendominasi yaitu Acropora Brancing (Gambar 19). Gambar 19. Peta pengelompokan habitat kedalaman 3 meter Pengelompokan Habitat Terumbu Karang Kedalaman 10 Meter Pengelompokan habitat pada kedalaman 10 meter, rata-rata memiliki indeks disimilaritas antar stasiun sebesar 44,3% dan nilai ini digunakan sebagai titik potong pengelompokan habitat substrat dasar terumbuu karang. Pada kedalaman 10 meter diperoleh 4 kelompok habitat (Gambar 20). Gambar 20. Dendogram pengelompokan habitat pada kedalaman 10 meter.

15 43 Kelompok habitat ke 1 yaitu stasiun 8 yang merupakan bagian timur pulau tenggara pulau lintea, kelompok habitat ke 2 yaitu stasiun 4 dan 5, kelompok habitat ke 3 yaitu stasiun 2,3,7, dan 6 yang berada di dalam gobah, sedangkan untuk kelompok habitat ke 4 yaitu stasiun 1 yang berada di utara pulau sawah (Gambar 21). Gambar 21. Peta pengelompokan habitat kedalaman 10 meter 4.5. Hubungan Kelimpahan dan Keanekaragaman Mega Bentos Dengan Kondisi Terumbu Karang Analisis korelasi digunakan untuk mencari hubungan antara kelimpahan dan keanekaragaman mega bentos dengan presentase tutupan karang hidup atau mati dan parameter fisik kimia perairan, selain itu dilakukan pengujian Durbin- Watson yang berguna untuk melihat ada atau tidaknya auto korelasi sebagai syarat dapat dilanjutkannya proses pengolahan data regresi (lampiran 4). Dari tabel Durbin-Watson diketahui dengan jumlah koefisien k = 4 didapatkan nilai (dl) 0,685 dan (du ) 1,997. Hasil statistik antara kelimpahan, karang hidup atau karang mati dan parameter fisik-kimia perairan didapatkan nilai Durbin-Watson untuk karang hidup DW sebesar 2,708 dan untuk karang mati memiliki nilai sebesar 2,688 oleh karena nilai DW lebih besar daripada batas atas (du) 1,997 maka dapat disimpulkan tidak terdapat autokorelasi positif pada model regresi. Untuk melihat besarnya peluang melakukan kesalahan maka dapat dilihat P-value pada hasil penghitungan statistik yang terlampir pada lampiran 4. Pada umumnya, p-value

16 44 dibandingkan dengan suatu taraf nyata α tertentu, biasanya 0,05 atau 5% (Kurniawan 2008). Korelasi antara kelimpahan, karang hidup dan parameter fisik-kimia perairan diperoleh nilai R square sebesar 0,594 yang artinya pengaruh variable independen (hard coral, salinitas, kedalaman dan suhu) mempengaruhi sebesar KD = 59,4 % sementara 40,6% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain. Untuk nilai signifikansi di dapat nilai sebesar 0,044 yang berarti adanya pengaruh signifikan antara kelimpahan, karang keras dan parameter fisik-kimia perairan. Sementara analisis statistik antara keanekaragaman, karang hidup atau mati dan parameter fisik-kimia perairan didapatkan nilai Durbin-Watson untuk karang hidup sebesar 2,022 dan karang mati sebesar 2,418 yang memiliki nilai DW lebih besar dari batar atas (du) 1,997 maka dapat disimpulkan tidak memiliki auto korelasi positif. Korelasi antara keanekaragaman, karang hidup atau mati dan parameter fisik-kimia perairan diperoleh nilai 0,365 untuk karang hidup yang artinya pengaruh variable independen sebesar KD = 36,5 % sementara 63,5% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain. Untuk karang mati diperoleh nilai 0,335 yang artinya pengaruh variable independen KD = 33,5% namun 66,5% lainnya dipengaruhi oleh faktor lain. Nilai signifikansi yang diperoleh dari karang hidup dan karang mati masing-masing memiliki nilai 0,291 dan 0,348 yang berarti tidak ada pengaruh signifikan antara keanekaragaman, karang hidup atau karang mati dan parameter fisik-kimia perairan. Analisis regresi linier digunakan untuk mengetahui pengaruh kondisi terumbu karang dan parameter fisik-kimia perairan terhadap kelimpahan atau keanekaragaman mega bentos. Variabel independen yang digunakan dalam analisis regresi yaitu (x1) Salinitas, (x2) Kedalaman, (x3) Suhu dan (x4) hard coral atau dead coral, sedangkan untuk variabel dependen digunakan kelimpahan atau keanekaragaman mega bentos yang ditemukan.

17 45 Untuk melihat sejauh mana pengaruh variabel koefisien independen terhadap dependen dapat dilihat berdasarkan koefisien determinasi. Berdasarkan uji anova didapat hubungan keanekaragaman, persen tutupan karang hidup dan parameter fisik-kimia perairan tidak memberi pengaruh yang signifikan, sementara hubungan kelimpahan, persen tutupan karang hidup dan parameter fisik-kimia perairan memberi pengaruh yang signifikan dengan nilai 0,044. Hubungan kelimpahan mega bentos dengan hard coral dan parameter fisik kimia perairan yaitu : Y = -1,78 + 0,03x1 0,707x2-0,472 x3 0,189 x4 Keterangan : Y = Kelimpahan Jenis mega bentos a = Slope b = Koefisien Regresi X 1 X 2 X 3 X 4 = karang hidup = Salinitas = Kedalaman = Suhu Pada model hubungan kelimpahan, karang hidup dan parameter fisikkimia perairan didapat hubungan jika tutupan karang hidup (x 1 ) bertambah 1% maka kelimpahan mega bentos bertambah 0,03 individu, jika salinitas bertambah 1 ppt (x 2 ) maka kelimpahan mega bentos berkurang 0,707 individu, semakin bertambahnya kedalaman 1 meter (x 3 ) maka kelimpahan berkurang sebanyak 0,472 individu sementara semakin bertambahnya suhu sebesar 1 0 C (x 4 ) maka berdampak negatif terhadap kelimpahan sebesar 0,189 individu.

18 46 Hasil analisis antara keanekaragaman, karang hidup dan parameter fisikkimia didapat nilai signifikansi (p value) sebesar sebesar 0,291 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan, terdiri dari variabel independen (karang hidup, salinitas, kedalaman dan suhu) dan variabel dependen yaitu keanekaragaman yang dimodelkan dengan persamaan : = -1,438-0,396x1 0,331x2-0,153x3 +0,242x4 Keterangan : Y = Keanekaragaman Jenis megabentos a = Slope b = Koefisien regresi X 1 X 2 X 3 X 4 = karang hidup = Salinitas = Kedalaman = Suhu Pada model regresi linier antara keanekaragaman, karang hidup dan parameter fisik-kimia tidak mempunyai hubungan yang signinifikan sehingga dapat dikatakan model tidak valid. Maka dari itu dilakukan pengujian hasil regresi linier antara keanekaragaman, karang mati dan parameter fisik kimia perairan yang ternyata mempunyai nilai signifikansi (p value) sebesar 0,335 yang berarti model tersebut tidak mempunyai hubungan yang signifikan yang dimodelkan dengan persamaan : Y = -1,532-0,376x1 0,510x2-0,258x3 +0,159x4 Keterangan : Y = Keanekaragaman Jenis megabentos a = Slope b = Koefisien regresi X 1 X 2 X 3 X 4 = karang mati = Salinitas = Kedalaman = Suhu

19 47 Hasil persamaan dari model persamaan yang didapat antara variabel independen terhadap dependen tidak mempunyai hubungan yang signifikan sehingga dapat dikatakan model tidak berlaku pada keadaan sebenarnya atau model kurang baik.

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan dari bulan Januari sampai Juli 2013 yang terdiri dari beberapa tahap seperti terlampir pada lampiran 3. Lokasi penelitian berada di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian dilaksanakan di wilayah perairan Pulau Bira Besar TNKpS. Pulau Bira Besar terbagi menjadi 2 Zona, yaitu Zona Inti III pada bagian utara dan Zona

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Wilayah Penelitian Wilayah tempat substrat batu berada bersampingan dengan rumah makan Nusa Resto dan juga pabrik industri dimana kondisi fisik dan kimia perairan sekitar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 39 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Terumbu Karang di Lokasi Penelitian 5.1.1 Kondisi Terumbu Karang Pulau Belanda Kondisi terumbu karang di Pulau Belanda berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan

Lebih terperinci

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH

KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI KEPULAUAN TOGEAN SULAWESI TENGAH Oleh: Livson C64102004 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Tutupan Karang di Pulau Semak Daun Pulau Semak Daun dikelilingi oleh paparan pulau yang cukup luas (island shelf) hingga 20 kali lebih luas dari pulau yang bersangkutan

Lebih terperinci

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU

ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU w h 6 5 ANALISIS KESUKAAN HABITAT IKAN KARANG DI SEKITAR PULAU BATAM, KEPULAUAN RZAU. RICKY TONNY SIBARANI SKRIPSI sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar Sajana Perikanan pada Departemen Ilmu

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka

3. METODE PENELITIAN. Gambar 2. Peta lokasi penelitian dan pengambilan sampel di Pulau Pramuka 21 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan rehabilitasi lamun dan teripang Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB)

Lebih terperinci

LINE INTERCEPT TRANSECT (LIT)

LINE INTERCEPT TRANSECT (LIT) LINE INTERCEPT TRANSECT (LIT) Metode pengamatan ekosistem terumbu karang Metode pengamatan ekosistem terumbu karang yang menggunakan transek berupa meteran dengan prinsip pencatatan substrat dasar yang

Lebih terperinci

Parameter Fisik Kimia Perairan

Parameter Fisik Kimia Perairan Parameter Fisik Kimia Perairan Parameter Alat Kondisi Optimum Karang Literatur Kecerahan Secchi disk

Lebih terperinci

KESESUAIAN EKOWISATA SELAM DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG

KESESUAIAN EKOWISATA SELAM DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG KESESUAIAN EKOWISATA SELAM DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG Firman Farid Muhsoni, S.Pi., M.Sc 1 Dr. HM. Mahfud Efendy, S.Pi, M.Si 1 1) Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif

3. METODOLOGI PENELITIAN. Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di dalam wilayah Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta, yang berlangsung selama 9 bulan, dimulai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Perairan Wilayah Pulau Pramuka Perairan wilayah Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, terdiri dari rataan terumbu yang mengelilingi pulau dengan ukuran yang bervariasi

Lebih terperinci

Pertumbuhan Juvenil Kima Tridacna squamosa pada Kondisi Terumbu Karang Berbeda

Pertumbuhan Juvenil Kima Tridacna squamosa pada Kondisi Terumbu Karang Berbeda Pertumbuhan Juvenil Kima Tridacna squamosa pada Kondisi Terumbu Karang Berbeda F2 10 Imanuel Jacob Emola 1*, Ambariyanto 2, Muslim 2 1 Mahasiswa Magister Ilmu Kelautan, FPIK UNDIP 2 Staf Pengajar Jurusan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati;

TINJAUAN PUSTAKA. Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati; 5 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Pulau Kecil Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km 2 (dua ribu kilometerpersegi) beserta kesatuan Ekosistemnya. Sumberdaya Pesisir dan

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Pulau Pramuka secara administratif termasuk ke dalam wilayah Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Deskriptif Karakteristik Responden Pada bab ini akan membahas semua data yang dikumpulkan dari responden dalam penelitian, sehingga dapat diketahui bagaimana

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten 16 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini berlokasi di habitat lamun Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Madura (Gambar 6). Kabupaten Sumenep berada di ujung timur Pulau Madura,

Lebih terperinci

Oleh : ASEP SOFIAN COG SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Geiar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Oleh : ASEP SOFIAN COG SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Geiar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan STUDI KETERKAITAN KEANEKARAGAMAN BENTUK PERTUMBUHAN TERUMBU KARANG DENGAN IKAN KARANG DI SEKITAR KAWASAN PERAIRAN PULAU RU DAN PULAU KERINGAN WILAYAH BARAT KEPULAUAN BELITUNG Oleh : ASEP SOFIAN COG498084

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian telah dilaksanakan di perairan Pulau Biawak Kabupaten Indramayu dan Laboratorium Manajemen Sumberdaya dan Lingkungan Perairan Fakultas Perikanan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komunitas Fitoplankton Di Pantai Balongan Hasil penelitian di perairan Pantai Balongan, diperoleh data fitoplankton selama empat kali sampling yang terdiri dari kelas Bacillariophyceae,

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder. Ada beberapa data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data angin serta

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut merupakan Statistik Deskriptif variabel dependen dan variabel. Tabel 4.1

BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut merupakan Statistik Deskriptif variabel dependen dan variabel. Tabel 4.1 46 BAB IV ANALISIS HASIL DAN PEMBAHASAN A. Statistik Deskriptif Berikut merupakan Statistik Deskriptif variabel dependen dan variabel independen. Tabel 4.1 Sumber : output SPSS Dari tabel diatas dapat

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang (coral reef) merupakan ekosistem laut dangkal yang terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat (CaCO 3 ) yang dihasilkan terutama

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN

KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN KONDISI TERUMBU KARANG HIDUP BERDASARKAN PERSEN TUTUPAN DI PULAU KARANG PROVINSI SUMATERA UTARA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN Miswar Budi Mulya *) Abstract The research of living coral reef

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pulau Bintan Timur, Kepulauan Riau dengan tiga titik stasiun pengamatan pada bulan Januari-Mei 2013. Pengolahan data dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Pulau Panggang Kepulauan Seribu DKI Jakarta pada bulan Maret 2013. Identifikasi makrozoobentos dan pengukuran

Lebih terperinci

7 PEMBAHASAN UMUM. 7.1 Beragam Pilihan Dalam Penggunaan Metode Transek Foto Bawah Air

7 PEMBAHASAN UMUM. 7.1 Beragam Pilihan Dalam Penggunaan Metode Transek Foto Bawah Air 7 PEMBAHASAN UMUM 7.1 Beragam Pilihan Dalam Penggunaan Metode Transek Foto Bawah Air Berdasarkan uraian pada Bab 4 tentang kajian perbandingan antara metode Transek Sabuk (BT = Belt transect), Transek

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bahasa Gorontalo yaitu Atiolo yang diartikan dalam bahasa Indonesia yakni BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Lokasi Pengamatan Desa Otiola merupakan pemekaran dari Desa Ponelo dimana pemekaran tersebut terjadi pada Bulan Januari tahun 2010. Nama Desa Otiola diambil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terumbu adalah serangkaian struktur kapur yang keras dan padat yang berada di dalam atau dekat permukaan air. Sedangkan karang adalah salah satu organisme laut yang tidak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi komunitas plankton sampai tingkat genus di Pulau Biawak terdiri dari 18 genus plankton yang terbagi kedalam 14 genera

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. laporan keuangan perusahaan transportation services yang terdaftar di Bursa

BAB III METODE PENELITIAN. laporan keuangan perusahaan transportation services yang terdaftar di Bursa BAB III METODE PENELITIAN A. Data dan Sumber Data Jenis data yang dipakai adalah data sekunder, berupa data-data laporan keuangan perusahaan transportation services yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

Lebih terperinci

6 OPTIMALISASI PANJANG TRANSEK PADA PENGGUNAAN METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR

6 OPTIMALISASI PANJANG TRANSEK PADA PENGGUNAAN METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR 6 OPTIMALISASI PANJANG TRANSEK PADA PENGGUNAAN METODE TRANSEK FOTO BAWAH AIR 6.1 Pendahuluan Tahapan selanjutnya dari penggunaan metode Transek Foto Bawah Air (UPT = Underwater Photo Transect) adalah menemukan

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN. Berikut ini letak batas dari Desa Ponelo: : Pulau Saronde, Mohinggito, dan Pulau Lampu BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Ponelo merupakan Desa yang terletak di wilayah administrasi Kecamatan Ponelo Kepulauan, Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.

Lebih terperinci

PERSENTASE TUTUPAN KARANG HIDUP DI PULAU ABANG BATAM PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PERSENTASE TUTUPAN KARANG HIDUP DI PULAU ABANG BATAM PROVINSI KEPULAUAN RIAU PERSENTASE TUTUPAN KARANG HIDUP DI PULAU ABANG BATAM PROVINSI KEPULAUAN RIAU Andri, Mahasiswa Jurusan Ilmu Kelautan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Maritim Raja Ali Haji Ita Karlina,

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor.

DAFTAR PUSTAKA. 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut Buku Tahunan. Bogor. DAFTAR PUSTAKA 1. BAKOSURTANAL, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut. 2006. Buku Tahunan. Bogor. 2. Dahuri, Rokhmin. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis deskriptif kuantitatif dengan pengambilan data primer. Pengambilan data dilakukan dengan pengamatan secara langsung. Perameter

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 41 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Menurut Sugiono, metode penelitian kuantitatif merupakan suatu metode yang digunakan untuk meneliti suatu populasi dan sampel tertentu. Dalam penelitian

Lebih terperinci

KAJIAN POPULASI KIMA (Tridacna sp) DAN KONDISI HABITATNYA DI PERAIRAN PULAU PASUMPAHAN, KOTA PADANG

KAJIAN POPULASI KIMA (Tridacna sp) DAN KONDISI HABITATNYA DI PERAIRAN PULAU PASUMPAHAN, KOTA PADANG KAJIAN POPULASI KIMA (Tridacna sp) DAN KONDISI HABITATNYA DI PERAIRAN PULAU PASUMPAHAN, KOTA PADANG Muhammad Miswandi, Suparno, Yempita Efendi E-mail : muhammadmiswandi@rocketmail.com Jurusan Pemanfaatan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 12 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Juli 2011 dalam selang waktu 1 bulan sekali. Pengambilan contoh dilakukan sebanyak 5 kali (19 Maret

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, yang secara geografis terletak di 106 36 48 BT dan 05 44

Lebih terperinci

PERSENTASE TUTUPAN DAN TIPE LIFE FORM TERUMBU KARANG DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG

PERSENTASE TUTUPAN DAN TIPE LIFE FORM TERUMBU KARANG DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG PERSENTASE TUTUPAN DAN TIPE LIFE FORM TERUMBU KARANG DI PULAU MANDANGIN KABUPATEN SAMPANG Fahror Rosi 1, Insafitri 2, Makhfud Effendy 2 1 Mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura 2 Dosen Program

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis mengadakan penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis mengadakan penelitian 32 BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Untuk mendapatkan beberapa informasi dan sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis mengadakan penelitian perusahaan perbankan di Bursa

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di perairan Kecamatan Pulau Tiga Kabupaten Natuna Propinsi Kepulauan Riau. Lokasi ini sengaja dipilih dengan pertimbangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Penelitian ini akan membahas mengenai pengaruh kesadaran wajib pajak, sanksi pajak dan pengetahuan pajak terhadap kepatuhan wajib pajak orang

Lebih terperinci

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C

ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG. Oleh : Indra Ambalika Syari C ASOSIASI GASTROPODA DI EKOSISTEM PADANG LAMUN PERAIRAN PULAU LEPAR PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Oleh : Indra Ambalika Syari C64101078 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

KONDISI TERUMBU KARANG DI PULAU-PULAU KECIL KABUPATEN SARMI, PROVINSI PAPUA. Laporan Penelitian Kerjasama UNIPA & Pemerintah Kabupaten Sarmi

KONDISI TERUMBU KARANG DI PULAU-PULAU KECIL KABUPATEN SARMI, PROVINSI PAPUA. Laporan Penelitian Kerjasama UNIPA & Pemerintah Kabupaten Sarmi KONDISI TERUMBU KARANG DI PULAU-PULAU KECIL KABUPATEN SARMI, PROVINSI PAPUA Laporan Penelitian Kerjasama UNIPA & Pemerintah Kabupaten Sarmi Oleh THOMAS F. PATTIASINA RANDOLPH HUTAURUK EDDY T. WAMBRAUW

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERUHAN PADA PERAIRAN TELUK AMBON DALAM HBNGAN ANTARA INTENSITAS CAHAYA DENGAN KEKERHAN PADA PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Perkembangan pembangunan yang semakin pesat mengakibatkan kondisi Teluk Ambon, khususnya Teluk Ambon Dalam (TAD)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 40 hari pada tanggal 16 Juni hingga 23 Juli 2013. Penelitian ini dilakukan di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu penelitian Waktu penelitian yaitu pada bulan Maret 2014 sampai dengan bulan Juni 2014 2. Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Bursa

Lebih terperinci

Akuatik- Jurnal Sumberdaya Perairan Volume 10. Nomor. 1. Tahun 2016

Akuatik- Jurnal Sumberdaya Perairan Volume 10. Nomor. 1. Tahun 2016 Akuatik- Jurnal Sumberdaya Perairan Volume 10. Nomor. 1. Tahun 2016 36 ISSN 1978-1652 KEANEKARAGAMAN IKAN KARANG DI PERAIRAN REBO SUNGAILIAT, BANGKA Reef Fish Diversity In The Waters Rebo Sungailiat, Bangka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 11 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu kegiatan penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Masing-masing kegiatan tersebut dilakukan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Teluk Palabuhan Ratu Kecamatan Palabuhan Ratu, Jawa Barat. Studi pendahuluan dilaksanakan pada Bulan September 007 untuk survey

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-2, Januari 2013 ISSN:

Jurnal Ilmiah Platax Vol. I-2, Januari 2013 ISSN: IDENTIFIKASI DAN ASPEK EKOLOGI KERANG TRIDACNINAE DI PERAIRAN SEKITAR PULAU VENU, KABUPATEN KAIMANA, PROVINSI PAPUA BARAT 1 Identification and Ecological Aspects of Tridacninae in the Shallow Waters of

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif yang bersifat sekunder, yaitu data yang berasal dari pihak lain yang telah dikumpulkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN A. Statistik Deskriptif Statistik deskriptif dalam penelitian ini akan memberikan informasi mengenai variabel-variabel yang digunakan, seperti Profitabilitas, Debt to EquityRatio

Lebih terperinci

Keterkaitan Antara Sistem Zonasi dengan Dinamika Status Ekosistem Terumbu Karang di Taman Nasional Wakatobi

Keterkaitan Antara Sistem Zonasi dengan Dinamika Status Ekosistem Terumbu Karang di Taman Nasional Wakatobi Keterkaitan Antara Sistem Zonasi dengan Dinamika Status Ekosistem Terumbu Karang di Taman Nasional Wakatobi Fikri Firmansyah, Adib Mustofa, Estradivari, Adrian Damora, Christian Handayani, Gabby Ahmadia,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Gambaran Umum dan Objek Penelitian Objek penelitian dalam penelitian ini terdiri dari faktor-faktor ekonomi makro seperti Interest Rate dan Foreign Exchange Rate selain itu

Lebih terperinci

Bentuk Pertumbuhan dan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota Gorontalo

Bentuk Pertumbuhan dan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota Gorontalo Bentuk Pertumbuhan dan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Teluk Tomini Kelurahan Leato Selatan Kota Gorontalo 1.2 Sandrianto Djunaidi, 2 Femy M. Sahami, 2 Sri Nuryatin Hamzah 1 dj_shane92@yahoo.com 2 Jurusan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA. tingkat kebenaran hipotesis penelitian yang telah dirumuskan. Dalam analisis data

BAB IV ANALISIS DATA. tingkat kebenaran hipotesis penelitian yang telah dirumuskan. Dalam analisis data BAB IV ANALISIS DATA Analisis data merupakan hasil kegiatan setelah data dari seluruh responden atau sumber data lainnya terkumpul. Hal ini memiliki tujuan untuk mengetahui tingkat kebenaran hipotesis

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 20 BAB III METODE PENELITIAN A. Subyek Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode tahun 2011-2015. Sampel menggunakan metode purposive

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan membahas mengenai hasil penelitian berdasarkan data-data yang diperoleh, sehingga akan didapat gambaran mengenai hubungan dan pengaruh rasio-rasio

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 15 3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di muara Sungai Citepus, Kecamatan Palabuhanratu dan muara Sungai Sukawayana, Kecamatan Cikakak, Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode tahun Pengambilan sampel

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode tahun Pengambilan sampel BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Sampel Penelitian Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah perusahan LQ-45 yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode tahun 2011-2015. Pengambilan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Maret sampai Juni 2014 dan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Maret sampai Juni 2014 dan 41 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Bulan Maret sampai Juni 2014 dan lokasi penelitian di BNI Syariah Cabang Pekanbaru Jalan Jenderal Sudirman No.

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

Berikut sebuah penelitian:

Berikut sebuah penelitian: Berikut sebuah penelitian: pengaruh kesadaran membayar pajak, pengetahuan dan pemahaman tentang peraturan perpajakan, persepsi yang baik atas efektifitas sistem perpajakan dan pelayanan fiskus terhadap

Lebih terperinci

Humas FDC UNHAS Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173)

Humas FDC UNHAS Widad Syammulia (011.XIV.AB.146) Reski Iin (011.XII.AM.173) 1 RANGKUMAN HASIL KEGIATAN Kabupaten Muna Barat merupakan salah satu kabupaten di Sulawesi Tenggara yang sebagian wilayahnya berada di wilayah pesisir dan terdiri dari berbagai pulau-pulau kecil yang tersebar

Lebih terperinci

BAB IV DESAIN DAN METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah dengan penelitian asosiatif kausal.

BAB IV DESAIN DAN METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah dengan penelitian asosiatif kausal. BAB IV DESAIN DAN METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah dengan penelitian asosiatif kausal. Penelitian asosiatif kausal berguna untuk menganalisis hubungan antara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. yang terdaftar dalam LQ-45 di Bursa Efek Indonesia periode

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. yang terdaftar dalam LQ-45 di Bursa Efek Indonesia periode BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Sampel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah perusahaan yang terdaftar dalam LQ-45 di Bursa Efek Indonesia periode 2013-2015. Teknik yang digunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Prima Artha, Sleman. Sedangkan subjek penelitiannya adalah Data

BAB III METODE PENELITIAN. Prima Artha, Sleman. Sedangkan subjek penelitiannya adalah Data BAB III METODE PENELITIAN A. Objek dan Subjek Penelitian Objek dalam penelitian ini adalah Koperasi Jasa Keuangan Syariah Prima Artha, Sleman. Sedangkan subjek penelitiannya adalah Data Tingkat Bagi Hasil

Lebih terperinci

sebuah penelitian tentang: pengaruh laba akuntansi, arus kas opera- sional, ukuran perusahaan, tingkat pertum- buhan perusahaan terhadap harga saham

sebuah penelitian tentang: pengaruh laba akuntansi, arus kas opera- sional, ukuran perusahaan, tingkat pertum- buhan perusahaan terhadap harga saham contoh sebuah penelitian tentang: pengaruh laba akuntansi, arus kas operasional, ukuran perusahaan, tingkat pertumbuhan perusahaan terhadap harga saham kerangka pikir yang diajukan sbb. laba akuntansi

Lebih terperinci

STUDI TUTUPAN KARANG DI PULAU JANGGI KECAMATAN TAPIAN NAULI KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROVINSI SUMATERA UTARA

STUDI TUTUPAN KARANG DI PULAU JANGGI KECAMATAN TAPIAN NAULI KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROVINSI SUMATERA UTARA STUDI TUTUPAN KARANG DI PULAU JANGGI KECAMATAN TAPIAN NAULI KABUPATEN TAPANULI TENGAH PROVINSI SUMATERA UTARA Study of Lifeform Coral in Janggi Island Tapian Nauli Subdistict District of Tapanuli Tengah,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. menganalisis data, penulis menggunakan alat bantu komputer seperti paket

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. menganalisis data, penulis menggunakan alat bantu komputer seperti paket 49 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan penulis adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan metode regresi linier berganda sebagai alat analisis data. Dalam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Sebelum melaksanakan suatu penelitian, seorang peneliti harus

BAB III METODE PENELITIAN. Sebelum melaksanakan suatu penelitian, seorang peneliti harus BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Sebelum melaksanakan suatu penelitian, seorang peneliti harus menentukan metode apa yang akan digunakan dalam penelitiannya karena hal tersebut merupakan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilakukan di kawasan perairan Pulau Biawak, Kabupaten Indramayu. Penelitian ini dilaksanakan selama 1 bulan, dimulai dari bulan

Lebih terperinci

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di :

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di : JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 60-65 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares KAJIAN KELIMPAHAN BULU BABI DAN PENUTUPAN TERUMBU

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 35 BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Agustus 2014 dan mengambil data yang berasal dari situs resmi Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah perairan Kepulauan Karimunjawa. Secara geografis lokasi penelitian terletak antara 5 0 40 39-5 0 55 00 LS dan

Lebih terperinci

Maspari Journal 03 (2011) 42-50

Maspari Journal 03 (2011) 42-50 Maspari Journal 3 (211) 42-5 http://masparijournal.blogspot.com Studi Keterkaitan Komunitas Ikan Karang dengan Kondisi Karang Tipe Acropora di Perairan Sidodadi dan Pulau Tegal, Teluk Lampung Kab. Pesawaran,

Lebih terperinci

ABSTRACT GIYANTO. Evaluation of the Underwater Photo Transect Method for Assessing the Condition of Coral Reefs. Supervised by BUDHI HASCARYO ISKANDAR, DEDI SOEDHARMA, and SUHARSONO. The study to evaluate

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata-rata (mean), standar deviasi, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis 1. Analisis Statistik Deskriptif Statistik deskriptif berfungsi untuk memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang dilihat dari nilai rata-rata (mean),

Lebih terperinci

bentos (Anwar, dkk., 1980).

bentos (Anwar, dkk., 1980). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman jenis adalah keanekaragaman yang ditemukan di antara makhluk hidup yang berbeda jenis. Di dalam suatu daerah terdapat bermacam jenis makhluk hidup baik tumbuhan,

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE. KAWASAN TITIK STASIUN SPOT PENYELAMAN 1 Deudap * 2 Lamteng * 3 Lapeng 4 Leun Balee 1* PULAU ACEH

3 BAHAN DAN METODE. KAWASAN TITIK STASIUN SPOT PENYELAMAN 1 Deudap * 2 Lamteng * 3 Lapeng 4 Leun Balee 1* PULAU ACEH 19 3 BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian di laksanakan pada bulan Februari Maret 2011 yang berlokasi di perairan Pulau Weh dan Pulau Aceh. Survei kondisi terumbu karang dan ikan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. independen dari listrik adalah satuan kilowatt (kwh), untuk minyak adalah

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. independen dari listrik adalah satuan kilowatt (kwh), untuk minyak adalah 36 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengolahan Data Data yang diambil untuk varibel dependen adalah produk domestic bruto di Jakarta period 1995 2005 dalam satuan rupiah. Sedangkan variabel

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pada bab ini menjelaskan tahapan yang dilakukan dalam penelitian dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Pada bab ini menjelaskan tahapan yang dilakukan dalam penelitian dengan BAB III METODE PENELITIAN Pada bab ini menjelaskan tahapan yang dilakukan dalam penelitian dengan melalui 4 tahap yang dapat dilihat pada Gambar 3.1 Gambar 3.1 Tahap Analisa Penelitian 3.1 Tahap Pendahuluan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu

I. PENDAHULUAN. Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia berada tepat di pusat segi tiga karang (Coral Triangle) suatu kawasan terumbu karang dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi dunia. Luas terumbu karang Indonesia

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN A. Objek Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Objek penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Periode waktu yang dipilih

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi dan Variasi Temporal Parameter Fisika-Kimiawi Perairan Kondisi perairan merupakan faktor utama dalam keberhasilan hidup karang. Perubahan kondisi perairan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu pada penelitian ini adalah periode 2010-2012 dan bertempat di Pojok Bursa Universitas Mercu Buana, Indonesia Stock Exchange (IDX), Bank

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada website Bank Indonesia (www.bi.go.id). Bank

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada website Bank Indonesia (www.bi.go.id). Bank 53 BAB III METODE PENELITIAN III.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada website Bank Indonesia (www.bi.go.id). Bank Indonesia selaku bank sentral berdasarkan pasal 4 ayat 1 UU RI No. 23 tahun

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2015 sampai dengan

BAB III METODE PENELITIAN. Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2015 sampai dengan BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2015 sampai dengan selesai. Untuk mendapatkan informasi dan data yang diperlukan, tempat penelitian

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM POLA DISTRIBSI SH DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELK AMBON DALAM PENDAHLAN Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut, waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan

Lebih terperinci