PENGUKURAN ACOUSTIC BACKSCATTERING STRENGTH DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN SINGLE DAN MULTI BEAM ECHO SOUNDER BAMBANG SUPARTONO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGUKURAN ACOUSTIC BACKSCATTERING STRENGTH DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN SINGLE DAN MULTI BEAM ECHO SOUNDER BAMBANG SUPARTONO"

Transkripsi

1 PENGUKURAN ACOUSTIC BACKSCATTERING STRENGTH DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN SINGLE DAN MULTI BEAM ECHO SOUNDER BAMBANG SUPARTONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2 PENGUKURAN ACOUSTIC BACKSCATTERING STRENGTH DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN SINGLE DAN MULTI BEAM ECHO SOUNDER BAMBANG SUPARTONO Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

3

4 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengukuran Acoustic Backscattering Strength Dasar Perairan dengan Instrumen Single dan Multi Beam Echo Sounder adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2013 Bambang Supartono NRP C

5

6 ABSTRACT BAMBANG SUPARTONO. Measurement of Acoustic Backscattering Strength of Sea-Bottom with Single and Multi Beam Echosounder. Under direction of HENRY M. MANIK and IMAM MUDITA. Underwater acoustic instruments has been an indispensable tool to study the ocean. Application of acoustic such as sonar technologies to bottom acoustics study has made significant advances over recent decades. The sonar systems evolved from single beam systems to more sophisticated digital ones like multi beam echo sounder. In this paper, both systems of single beam echo sounder (SBES) and multi beam echo sounder (MBES) were applied to detect and measure acoustic backscattering strength of sea-bottom. Sampling sediment was taken for ground truth data using bottom sampler. For SBES, data collection was carried out in Seribu Islands, Jakarta. Data were collected using CruzPro PcFF80 FishFinder with operating frequency 200 khz. The algorithm to compute underwater signal using this instrument had been developed by Manik (2011). For MBES, data collection was carried out in Buyat Bay, North Sulawesi Province. Data were collected using Elac Seabeam 1050D MBES with operating frequency 180 khz and processed with MBSystem version 5 software. For SBES, the results showed the value of surface backscattering strength (SS) for sand varied from db to db, silty sand db to db, and clayey sand was db. The echo level (EL) for sand varied from db to db, silty sand db to db, and for clayey sand was db (using source level (SL) 163 db). For MBES, the SS for silty sand varied from db to db, and sandy silt db to db. Key words: acoustic backscattering strength, ground truth, multi beam echo sounder, single beam echo sounder, sonar

7 RINGKASAN BAMBANG SUPARTONO. Pengukuran Acoustic Backscattering Strength Dasar Perairan Dengan Instrumen Single dan Multi Beam Echosounder. Dibimbing oleh HENRY M. MANIK dan IMAM MUDITA. Dasar perairan mengandung informasi mengenai berbagai hal yang saling terkait antara abiotik dan biotik yang ada. Sifat-sifat dasar perairan seperti relief dan komposisi material penyusunnya merupakan variabel fisis yang penting dalam pembentukan distribusi habitat-habitat dasar perairan. Pengetahuan akan habitat dasar perairan bersama dengan habitat laut dan lingkungan pesisir bermanfaat untuk membuat perencanaan manajemen yang berkelanjutan bagi perikanan dan untuk kepentingan perlindungan ekosistem laut. Untuk mendeskripsikan habitat dasar perairan digunakan teknik hidro akustik. Sistem akustik untuk klasifikasi sedimen dasar perairan secara tidak langsung mampu memperkirakan jenis-jenis sedimen penyusunnya. Klasifikasi sedimen dasar perairan dapat dilakukan berdasarkan nilai acoustic backscattering strength nya. Pengukuran acoustic backscattering strength (backscatter) dasar perairan dapat dilakukan menggunakan instrumen single beam maupun multi beam echo sounder. Pada sistem single beam, setiap pemancaran pulsa akustik (satu ping) akan dihasilkan sebuah footprint beam akustik pada posisi tepat di bawah badan kapal. Acoustic backscattering strength yang berasal dari beam akustik ini mengandung sejumlah informasi yang berkaitan dengan karakteristik permukaan dasar laut, seperti kekerasan maupun kekasaran. Pada sistem multi beam, setiap pemancaran pulsa akustik (satu ping) akan dihasilkan banyak footprint beam akustik pada posisi melintang di bawah badan kapal. Tiap beam akustik mengandung informasi tentang amplitudo pulsa suara yang dipantulkan oleh dasar laut. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan pengukuran acostic backscattering strength dasar perairan menggunakan dua sistem instrumen yang berbeda yaitu sistem single beam dan multi beam. Untuk sistem single beam, pengambilan data akustik berlokasi di perairan Kepulauan Seribu, menggunakan Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder yang bekerja pada frekuensi 200 khz, transmitted power 80 watt (adjustable), pulse duration 4 ms, serta kecepatan rambat suara dalam medium air laut sebesar m/dtk. Pengambilan sampel sedimen sebagai ground truth data, dilakukan menggunakan pipa paralon 3 inch. Ketebalan lapisan sedimen yang diambil sebesar 10 cm. Analisa terhadap sampel sedimen dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor menggunakan metode ayakan bertingkat dan pemipetan. Untuk sistem multi beam, pengambilan data akustik berlokasi di perairan Teluk Buyat, menggunakan Elac Seabeam 1050D MBES yang bekerja pada frekuensi 180 khz, lebar swath 153, jumlah beam yang dihasilkan sebanyak 126 beam, transmitted power 500 watt, transmitted pulse length 0.15 ms. Data sampling sedimen yang digunakan berasal dari survei P3GL. Pengolahan data akustik single beam menggunakan perangkat lunak Matlab V Untuk mendapatkan nilai acostic bottom backscattering dasar perairan yang meliputi volume backscattering strength (SV), surface

8 backscattering strength (SS), serta echo level (EL), digunakan formula Manik (2012) dan Lurton (2002). Pengolahan data akustik multi beam menggunakan perangkat lunak Caris HIPS & SIPS 6.1 untuk mendapatkan nilai batimetrinya. Untuk memperoleh nilai acostic backscattering strength dasar perairan (dalam hal ini amplitudo) digunakan perangkat lunak MBSystem V.5. Selanjutnya dilakukan konversi dari amplitudo (mv) menjadi backscatter (db). Hasil analisis sedimen menunjukkan bahwa di lokasi penelitian Kepulauan Seribu ditemukan tiga tipe substrat, yaitu pasir, pasir berlanau, dan pasir berliat. Karakteristik fisik sedimen dasar perairan yang terukur seperti tekstur, porositas, dan densitas merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya nilai acoustic backscattering strength dasar perairan. Hasil penelitian menggunakan sistem single beam dengan instrumen Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder di perairan Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa nilai SS dasar perairan untuk substrat pasir berkisar antara db hingga db, substrat pasir berlanau antara db hingga db, dan substrat pasir berliat sebesar db. Hasil perhitungan nilai EL menunjukkan bahwa untuk substrat pasir berkisar antara db hingga db, substrat pasir berlanau antara db hingga db, dan substrat pasir berliat sebesar db (nilai SL pada frekuensi 200 khz sebesar 163 db). Berdasarkan data sampling sedimen dari P3GL, di perairan Teluk Buyat yang menjadi area kajian, ditemukan dua tipe substrat, yaitu pasir lanauan dan lanau pasiran. Hasil penelitian menggunakan sistem multi beam dengan instrumen Elac Seabeam 1050D MBES di perairan Teluk Buyat menunjukkan bahwa nilai SS dasar perairan untuk substrat pasir lanauan berkisar antara db hingga db dan substrat lanau pasiran antara db hingga db. Adanya perbedaan nilai acoustic backscattering strength pada tipe substrat yang sama, yang terletak pada lokasi perairan yang berbeda disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : frekuensi alat yang digunakan, sifat-sifat fisis dasar perairan, komposisi partikel penyusun sedimen dasar perairan, konfigurasi sonar (jarak, beamwidth), kecepatan rambat gelombang akustik dalam kolom air (faktor oseanografis perairan), serta geometri pengukuran. Kata kunci : acoustic backscattering strength, dasar perairan, footprint, multi beam, klasifikasi sedimen, sampling, single beam

9 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

10 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc

11 Judul Tesis Nama NRP : Pengukuran Acoustic Backscattering Strength Dasar Perairan dengan Instrumen Single dan Multi Beam Echo Sounder : Bambang Supartono : C Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T Ketua Dr. Ir. Imam Mudita, M.Eng.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Jonson L. Gaol, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian : 8 Maret 2013 Tanggal Lulus :

12 DAFTAR TABEL Halaman 1 Ukuran partikel sedimen skala Wentworth (1922) Spesifikasi alat Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder Peralatan yang digunakan dalam penelitian akustik dasar perairan Spesifikasi teknis multi beam Elac Seabeam 1050D Alat dan bahan yang digunakan dalam survei multi beam Komposisi fraksi pada setiap stasiun Nilai densitas dan porositas sedimen di lokasi penelitian Nilai SV, dan SS untuk berbagai tipe substrat dasar perairan Beberapa penelitian tentang nilai backscattering strength (BS) dasar perairan Hasil pengukuran dan perhitungan sifat fisis sedimen dasar laut Nilai koordinat variabel untuk setiap sumbu faktor Ketelitian kedalaman Hasil analisis sedimen permukaan di Teluk Buyat Nilai backscatter berbagai jenis sedimen... 85

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran dalam penelitian ini Prinsip hidroakustik Spreading loss Refleksi dan transmisi gelombang akustik pada bidang batas antara dua medium Reverberation yang disebabkan oleh kolom air, dasar perairan dan permukaan air Geometri dari volume scattering Geometri dari surface scattering Pola-pola direksional terhadap gelombang akustik yang mengenai dasar perairan yang memiliki perbedaan kontras acoustic impedance dan tingkat kekasarannya Contoh hipotetik dua dasar perairan dan echo trace yang ditunjukkan. Simbol t melambangkan echo trace dalam waktu Bentuk echo dasar perairan yang keras (hard) dan lunak (soft); a). Amplitudo sinyal echo b). Kurva energi kumulatif Distribusi nilai bottom backscattering strength untuk perairan dangkal Variasi frekuensi pada bottom backscattering strength. Simbol titik untuk grazing angle 30º; simbol huruf untuk grazing angle 10º Kurva bottom backscattering strength sebagai fungsi grazing angle untuk berbagai tipe substrat Lokasi pengambilan data dengan instrumen single beam Lokasi pengkajian data multi beam Batas-batas area survei multi beam Peta transek survei multi beam di Teluk Buyat Pipa paralon ukuran 3 inch panjang 10 cm Transducer Elac Seabeam 1050D (a) Lebar sapuan multibeam Elac Seabeam 1050D pada frekuensi 50 khz dan (b) pada frekuensi 180 khz Diagram alir pengambilan data akustik Diagram alir sistem kerja Multibeam Elac Seabeam 1050D... 34

14 23 Pola ensonifikasi multibeam. Elips pada bagian kiri menunjukkan intensitas dalam beam (grayscale). Elips pada bagian kanan menunjukkan time series traces untuk beam yang sama pada panjang pulsa tertentu Diagram alir pengolahan data backscatter dasar laut Salib sumbu kapal Koreksi terhadap kecepatan kapal Koreksi terhadap attitude kapal Sound velocity profile di area survei multibeam Kurva pasang surut di lokasi penelitian Koreksi swath pada line_ Diagram alir pengolahan data batimetri Diagram segitiga Shepard Persentase sedimen di lokasi penelitian Tipe substrat pada 9 stasiun pengamatan Hubungan antara nilai densitas dan porositas di lokasi penelitian Tampilan echogram SV tipe substrat pasir di lokasi penelitian (a) Stasiun 6, (b) Stasiun Tampilan echogram SV tipe substrat pasir berlanau di lokasi penelitian (a) Stasiun 3, (b) Stasiun Tampilan echogram SV tipe substrat pasir berliat di lokasi penelitian Tampilan echogram SS tipe substrat pasir (a) Stasiun 6, (b) Stasiun Tampilan echogram SS tipe substrat pasir berlanau (a) Stasiun 3, (b) Stasiun Tampilan echogram SS tipe substrat pasir berliat di lokasi penelitian Nilai echo level untuk (a) substrat pasir pada stasiun 9, dan (b) substrat pasir berlanau pada stasiun Pola SV dan SS tipe substrat pasir; (a) stasiun 6, (b) stasiun Pola SV dan SS tipe substrat pasir berlanau (a) Stasiun 3, (b) Stasiun Pola SV dan SS tipe substrat pasir berliat Scatter plot antara (a) substrat pasir dengan SS, (b) substrat lanau dengan SS... 68

15 47 Grafik hubungan antara bottom loss dengan (a) koefisien refleksi, (b) impedansi akustik PCA untuk parameter fisis sedimen dan parameter akustik pada sumbu faktor F1 dan F Sebaran stasiun pengamatan pada sumbu faktor F1 dan F Dendogram parameter fisis sedimen Dendogram parameter akustik Profil batimetri daerah kajian Kondisi topografi dasar laut Teluk Buyat Sebaran nilai amplitudo Visualisasi tingkat kekerasan permukaan dasar laut di area survei Distribusi spasial nilai backscatter dalam db Tumpang susun jenis sedimen dengan amplitudo Tumpang susun antara sebaran nilai amplitudo dan batimetri Tumpang susun antara sebaran nilai backscatter dan batimetri Perbandingan nilai backscattering strength pada beberapa tipe substrat 89

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kapal nelayan yang digunakan untuk pengambilan data akustik pada sistem single beam Konfigurasi instrumen single beam di kapal Alat pengukur parameter fisik sedimen di Laboratorium Fisika Tanah Balai Penelitian Tanah, Bogor Foto tipe substrat dasar perairan di lokasi penelitian Kepulauan Seribu Listing program Matlab untuk menampilkan echogram, acoustic backscattering strength, dan echo level Tampilan echogram volume backscattering strength (lanjutan) Tampilan echogram surface backscattering strength (lanjutan) Tampilan grafik echo level (lanjutan) Tampilan pola SV dan SS pada stasiun pengamatan (lanjutan) Cluster data parameter sedimen Cluster data parameter akustik Hasil analisis contoh fisika tanah Profil KR Baruna Jaya IV

17 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga penyusunan tesis dengan judul : Pengukuran Acoustic Backscattering Strength Dasar Perairan dengan Instrumen Single dan Multi Beam Echo Sounder, dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : 1. Komisi pembimbing Dr. Ir. Henry M. Manik, MT dan Dr. Ir. Imam Mudita, M.Eng. Sc. atas bimbingannya kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 2. Prof. Dr. Ir. Indra Jaya sebagai penguji tamu pada ujian akhir tesis yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis. 3. Ketua Program Studi Mayor Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Jonson L. Gaol, M.Si atas bimbingan selama penulis menempuh ilmu di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB. 4. Kepala Balai Teknologi Survei Kelautan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BTSK BPPT) yang telah memberikan ijin penggunaan data multi beam. 5. Seluruh staf BTSK BPPT atas bantuannya selama penulis melaksanakan pengolahan data multi beam. 6. Kepala PPPGL dan Ir. Catur Purwanto, MT atas bantuan data sampling di Teluk Buyat. 7. Staf pengajar dan staf penunjang pada Program Studi Teknologi Kelautan yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan, pengalaman, dan bantuannya. 8. Kadishidros, Sekdishidros, Kol. Laut (KH) Drs. Dede Yuliadi, M.Sc, Kol. Laut (KH) Drs. Rosyid, M.Si, Kol. Laut (KH) Dwi Santosa, dan Letkol Laut (KH) Drs.Tri Wiyanto, M.Si selaku atasan penulis yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan tugas belajar.

18 9. TNI AL dhi Disdikal yang telah memberikan bantuan beasiswa kepada penulis untuk menempuh pendidikan jenjang S Keluargaku, istriku Fenti Fatimah dan putriku tercinta Filany Zahra Syafiqa atas dukungan, pengorbanan, dan kasih sayangnya. 11. Teman-teman TEK 2010 : Acta, John, Murjat, Elis, Meiske, dan Widi atas kebersamaan serta kerjasamanya, serta Mas Asep atas bantuan teknisnya selama pengumpulan data lapangan. 12. Seluruh pihak yang turut membantu penulis. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat dan berguna. Be good or be gone! Bogor, Maret 2013 Bambang Supartono

19 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purwodadi, Jawa Tengah pada tanggal 13 Agustus 1969 dari ayah Soepardi dan ibu Winarti. Penulis merupakan putera pertama dari empat bersaudara. Tahun 1988 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Purwodadi dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan kuliah di Universitas Gajah Mada. Penulis mengambil Program Studi Geofisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan menyelesaikannya pada tahun1994. Pada tahun 1996 penulis menempuh pendidikan militer di kawah Candradimuka, Akademi Militer Magelang dan selanjutnya bergabung dengan jajaran TNI. Penulis ditempatkan di satuan Dinas Hidro-Oseanografi, Jakarta. Pada tahun 2010 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan umum jenjang S2 melalui program tugas belajar pada Mayor Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Dalam rangka menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana IPB, penulis mengeluarkan tulisan berjudul Pengukuran Acoustic Backscattering Strength Dasar Perairan dengan Instrumen Single dan Multi Beam Echo Sounder.

20 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xvii 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Sedimen Dasar Laut Teknik Hidroakustik Perambatan Gelombang Akustik Geometrical Spreading Loss Absorption Loss Proses-proses Akustik pada Dasar Perairan Refleksi dan Transmisi Reverberation Pendekatan Akustik terhadap Dasar Perairan METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Single Beam Echo Sounder Multi Beam Echo Sounder Perangkat dan Peralatan Penelitian Single Beam Echo Sounder (1) Instrumen Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder (2) Alat Pengambil Contoh Sedimen Multi Beam Echo Sounder (1) Elac Seabeam 1050D (2) Coda Octopus F Metode Pengambilan Data Single Beam Echo Sounder (1) Pengambilan Data Akustik (2) Pengambilan Contoh Sedimen Multi Beam Echo Sounder (1) Pengambilan Data Akustik Metode Pengolahan Data Single Beam Echo Sounder (1) Pengolahan Data Akustik... 34

21 3.4.2 Multi Beam Echo Sounder (1) Pengolahan Data Backscatter (2) Pengolahan Data Batimetri (3) Identifikasi Jenis Sedimen Dasar Laut Metode Analisis Data Single Beam Echo Sounder (1) Komputasi Acoustic Bottom Backscattering (2) Komputasi Acoustic Reflection Sedimen Dasar Perairan (3) Analisis Sedimen (4) Principal Component Analysis (5) Cluster Analysis Multi Beam Echo Sounder (1) Konversi Nilai Amplitudo (mv) ke Backscatter (db) (2) Ketelitian Batimetri HASIL DAN PEMBAHASAN Single Beam Echo Sounder Sedimen Dasar Perairan Densitas dan Porositas Sedimen Dasar Perairan Komputasi Acoustic Backscattering Strength Dasar Perairan (1) Volume Backscattering Strength (SV) Dasar Perairan (2) Surface Backscattering Strength (SS) dan Echo Level (EL) Dasar Perairan Acoustic Reflection (R) dan Bottom Loss (BL) Dasar Perairan Principal Component Analysis Cluster Analysis Multi Beam Echo Sounder Batimetri Daerah Kajian Acoustic Backscattering Strength Dasar Perairan Analisis Sedimen Permukaan Dasar Laut Klasifikasi Jenis Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan Acoustik Backscattering Strength KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 97

22 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lautan beserta seluruh unsur yang terkandung di bawahnya merupakan tempat di planet bumi yang masih menimbulkan rasa keingintahuan bagi umat manusia. Seiring dengan perkembangan teknologi, maka berbagai teknologi eksplorasi lautan juga semakin maju. Lautan merupakan subyek bagi kepentingan komersial yang sangat kuat, seperti industri perikanan, industri minyak dan gas bumi, pertambangan dan lain-lain. Perkembangan yang sangat cepat, memunculkan permintaan akan teknologi pemetaan lautan, bukan hanya untuk eksploitasi lautan itu sendiri namun juga untuk kepentingan perlindungan ekosistem laut serta untuk membuat perencanaan manajemen yang berkelanjutan bagi perikanan. Dengan menggunakan berbagai sistem hidroakustik, maka dasar laut dapat dipetakan dengan resolusi yang sangat tinggi. Dasar perairan merupakan area yang menakjubkan untuk diamati karena begitu unik dengan gambaran relief dasar laut, juga memberikan informasi mengenai berbagai hal yang saling berkait antara abiotik dan biotik yang ada (Pujiyati et al. 2010). Sifat-sifat dasar laut seperti relief dan komposisi material penyusunnya merupakan variabel fisis yang penting dalam pembentukan distribusi habitat-habitat dasar laut (Diaz, 2000). Penelitian mengenai klasifikasi dasar laut dengan menggunakan teknik hidroakustik telah banyak dilakukan. Siwabessy et al. (1999) menggunakan teknik hidroakustik untuk mengklasifikasi dasar laut di Barat laut perairan Australia bagian Barat. Kim et al. (2004) menggunakan teknik hidroakustik untuk menentukan tipe-tipe sedimen di perairan Teluk Mexico bagian Timur laut. Manik et al. (2006) dan Manik (2011) menggunakan qantitative echosounder dan menerapkan model ring surface scattering (RSS) untuk mengkuantifikasi backscattering strength (SS) berbagai substrat dasar laut di perairan Selatan Jawa. Pujiyati et al. (2010) menggunakan split beam Simrad EY 60 scientific echosounder pada frekuensi 120 khz untuk meneliti hubungan antara ukuran butiran, kekasaran dan kekerasan dengan nilai hambur balik dasar laut di perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu. Allo (2011) menggunakan split beam Simrad EY 60

23 2 scientific echosounder pada frekuensi 120 khz untuk kuantifikasi dan karakterisasi dasar laut di perairan Pulau Pramuka Kepulauan Seribu. 1.2 Perumusan Masalah Gelombang elektromagnetik tidak mampu menembus permukaan air laut lebih dari beberapa meter di bawahnya, apalagi bila medium air laut mengandung material-material padat tersuspensi atau biota seperti plankton. Pada sisi lain gelombang suara mampu menempuh jarak yang lebih jauh dalam medium air. Kelebihan ini dimanfaatkan oleh instrumen akustik yang memancarkan dan menerima kembali gelombang akustik untuk mendeteksi ikan maupun obyek lain di dasar laut. Sebagai konsekuensinya, teknologi akustik telah berdampak luas pada bidang perikanan. Dewasa ini, riset-riset dibidang perikanan telah semakin canggih dan bermanfaat (MacLennan & Simmonds 2005). Sistem akustik untuk klasifikasi sedimen dasar laut yang secara tidak langsung mampu memperkirakan tipe sedimen dan sifat-sifat geoteknisnya telah secara luas digunakan dalam berbagai bidang seperti geologi kelautan, teknik sipil, perikanan, dan pertahanan (Kim et al. 2004). Secara konvensional, sifat-sifat sedimen dasar laut diperoleh dari hasil sampel coring dan sedimen grab. Namun cara ini bersifat lambat, mahal, memerlukan banyak tenaga, dan tidak memberikan pengumpulan data yang sifatnya real time atau in situ. Selain itu data yang didapat hanya menggambarkan sifat-sifat sedimen pada lokasi tertentu dan terbatas serta tidak memberikan kuantifikasi terhadap variabel-variabel alamiah pada sedimen dasar perairan. Sementara pada sisi lain, sistem akustik untuk klasifikasi sedimen dasar laut mampu memperkirakan secara akurat, mendekati real time, sifat-sifat akustik (kecepatan suara, impedansi akustik, dan attenuation), tipe sedimen (grain size), dan beberapa sifat geoteknik (bulk density, porosity, shear strength) pada kedalaman beberapa meter dari dasar laut, pada saat survei sedang berlangsung (Kim et al. 2004). Klasifikasi sedimen dasar laut dapat dilakukan berdasarkan nilai acoustic backscattering strength nya. Pengukuran acoustic backscattering strength dasar perairan dapat dilakukan menggunakan instrumen single beam maupun multi beam. Pada sistem single beam, setiap pemancaran pulsa akustik (satu ping) akan dihasilkan sebuah footprint beam akustik pada posisi tepat di bawah badan kapal.

24 3 Acoustic backscattering strength yang berasal dari beam akustik ini mengandung sejumlah informasi yang berkaitan dengan karakteristik permukaan dasar laut, seperti kekerasan maupun kekasaran. Pada sistem multi beam, setiap pemancaran pulsa akustik (satu ping) akan dihasilkan banyak footprint beam akustik pada posisi melintang di bawah badan kapal. Tiap beam akustik mengandung informasi tentang amplitudo pulsa suara yang dipantulkan oleh dasar laut. Dua pendekatan dengan sistem yang berbeda tersebut akan diaplikasikan pada pengukuran acoustic backscattering strength berbagai jenis substrat dasar perairan. Perkembangan dewasa ini dalam bidang klasifikasi substrat dasar perairan dan kuantifikasi vegetasi bawah air, telah menjadikan teknik hidroakustik sebagai piranti yang efektif dalam monitoring dan mapping parameter-parameter habitat dalam ekosistem akuatik (Hoffman et al. 2001). 1.3 Kerangka Pemikiran Karakterisasi sedimen dasar laut menggunakan metode akustik telah menjadi suatu hal yang penting dalam berbagai bidang riset seperti hidrografi, geologi kelautan, biologi kelautan, teknik kelautan, dan perikanan (Chanchal & Chakraborty 2011). Ilmu yang mengaitkan sifat-sifat akustik dengan sedimen dasar laut telah dimulai sejak awal digunakannya marine acoustic (Anderson et al. 2008). Klasifikasi dasar laut secara akustik berkembang dari aplikasi normal incidence pada sistem echosounder beam tunggal (single beam echo sounder) yang digunakan dalam ilmu-ilmu kelautan. Kemudian oblique incidence yang diterapkan pada side scan sonar (SSS) dan multibeam echo sounder digunakan untuk mengklasifikasi dan memetakan landscape dasar laut. Saat ini, teknik akustik yang diterapkan terhadap dasar laut dikaitkan dengan identifikasi, klasifikasi, dan mapping geologi dasar laut dan biotanya (Anderson et al. 2008). Diaz (2000) menyatakan bahwa nilai rata-rata backscatter strength yang diperoleh dari penggunaan instrumen Simrad EM 1000 Multibeam Sonar dapat digunakan untuk memprediksi tipe dasar laut seperti mud, silt, fine sand, medium sand, coarse sand, dan rock.

25 4 Prinsip dari klasifikasi dasar laut secara akustik adalah bersandarkan pada pengamatan awal bahwa echo akustik yang berasal dari specular reflection sistem single beam mengandung informasi yang memiliki keterkaitan dengan sifat-sifat sedimen seperti kekerasan (hardness), kekasaran (roughness) porositas, dan ukuran butir (median grain size). Namun echosounder beam tunggal memiliki keterbatasan dalam hal kecilnya cakupan spasial yang dihasilkan (Penrose et al. 2005). Penggunaan sistem multibeam telah memperluas secara signifikan klasifikasi dan mapping dasar laut hingga mencapai sekala yang halus dan cakupan yang lebih luas dan kontinyu (Anderson et al. 2008). Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian mengenai nilai backscatter strength dasar perairan serta kaitannya dengan sifat-sifat fisis sedimen penyusunnya. Secara diagramatik kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini disajikan pada Gambar Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Menghitung nilai acoustic backscattering strength dasar perairan untuk identifikasi jenis substrat dasar perairan. 2) Mengukur beberapa parameter fisik sedimen (tekstur, densitas dan porositas) yang diduga berpengaruh terhadap nilai backscattering strength dasar perairan. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini dapat memberikan gambaran karakteristik dasar perairan berdasarkan nilai backscattering strength yang dihasilkan oleh beragam tipe substrat yang ada di dasar perairan. Selain itu, penelitian ini juga bisa dimanfaatkan untuk studi habitat ikan dan geologi kelautan.

26 Gambar 1 Kerangka pemikiran dalam penelitian ini. 5

27 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sedimen Dasar Laut Seluruh permukaan dasar laut ditutupi oleh partikel-partikel sedimen yang telah diendapkan secara perlahan-lahan dalam jangka waktu berjuta-juta tahun. Sedimen ini terutama terdiri dari partikel-partikel yang berasal dari hasil pembongkaran batu-batuan dan potongan-potongan kulit (shell) serta sisa rangkarangka dari organisme laut (Hutabarat & Evans 2000). Sedimen dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya maupun ukuran partikelnya. Menurut Thurman (1993) sumber sedimen berkaitan dengan asal mula material sedimen, yaitu batuan, air laut, atmosfer, dan organisme. Sedimen yang berasal dari batuan dinamakan lithogenous, pada umumnya mengandung mineral feromagnesian (seperti olivine, augite, dan biotite) dan nonferomagnesian (seperti quartz, feldspar, dan muscovite). Batuan ini mengalami proses pelapukan (secara kimiawi maupun fisika), partikel-partikelnya dilarutkan dan akhirnya diendapkan di dasar laut. Sedimen lithogenous biasanya berada di sekitar batasbatas benua (continents). Sedimen hydrogenous adalah sedimen yang berasal dari reaksi kimia di dalam air laut, umumnya mengandung mineral mangan, fosfor, dan glauconite. Sedimen cosmogenous adalah sedimen yang berasal dari partikel kosmik yang mengenai permukaan bumi, mengalami suspensi dalam jangka waktu yang lama, dan akhirnya terlarut ke dalam air laut dan terendapkan. Material ini umumnya mengandung unsur besi. Sedimen biogenous adalah sedimen yang terbentuk dari sisa-sisa organisme seperti tulang, gigi dan cangkang, umumnya mengandung unsur calcium carbonat (CaCO 3 ) dan silica (SiO 2 ). Ukuran partikel sedimen merupakan cara yang mudah untuk menentukan klasifikasi sedimen. Berdasarkan ukuran partikel ini, Wentworth (1922) mengelompokkan sedimen ke dalam beberapa nama (Tabel 1). Boulder (bongkah batu) merupakan sedimen dengan ukuran partikel berdiameter lebih dari 256 mm. Sand (pasir) adalah sedimen dengan diameter partikel berukuran mm. Silt (lanau) adalah sedimen dengan diameter partikel berukuran

28 7 mm. Kelompok terakhir adalah clay (lempung) yaitu partikel sedimen dengan ukuran diameter kurang dari mm. Tabel 1 Ukuran partikel sedimen skala Wentworth (1922) Fraksi Sedimen Sand Silt Clay Sumber : Thurman (1993) Jenis Partikel Sedimen Ukuran Diameter (mm) Boulder > 256 Cobble Pebble 4 64 Granule 2 4 Very coarse sand 1 2 Coarse sand Medium sand Fine sand Very fine sand Coarse silt Medium silt Fine silt Very fine silt Coarse clay Medium clay Fine clay Very fine clay Colloid < Ukuran partikel sedimen dasar laut ini sangat ditentukan oleh sifat-sifat fisiknya, sehingga berakibat terjadinya perbedaan sifat-sifat sedimen yang berada di berbagai belahan dunia. Sebagian besar dasar laut yang dalam ditutupi oleh jenis partikel yang kecil yang terdiri dari sedimen halus, sedangkan hampir semua pantai ditutupi oleh jenis partikel berukuran besar yang terdiri dari sedimen kasar. (Hutabarat & Evans 2000). Thurman (1993) menyatakan bahwa ukuran partikel juga mengindikasikan tingkat energi pada saat proses pengendapan deposit sedimen. Deposit yang diendapkan di area yang bergelombang kuat (berenergi tinggi) akan tersusun terutama oleh partikel-partikel berukuran besar, seperti cobble dan boulder. Sedangkan partikel-partikel berukuran clay akan diendapkan di area yang memiliki tingkat energi rendah dan kekuatan arus lautnya minimal.

29 8 2.2 Teknik Hidroakustik Dalam medium air, gelombang akustik memiliki karakteristik transmisi yang lebih baik dibandingkan dalam medium udara. Kecepatan perambatannya mencapai empat hingga lima kali lebih besar dari cepat rambatnya dalam medium udara. Sehingga gelombang akustik mampu menempuh jarak yang jauh bahkan mampu menembus perlapisan batuan yang ada di bawah dasar laut. Berbagai informasi yang berasal dari bawah permukaan air (underwater) bisa diberikan oleh gelombang akustik (Lurton 2002). Berbagai kelebihan gelombang akustik tersebut kemudian dimanfaatkan oleh instrumen akustik bawah air (underwater acoustic instrument) untuk : - Mendeteksi dan melokalisasi target bawah air; hal ini merupakan fungsi utama dari sistem sonar yang banyak diaplikasikan dalam bidang militer dan perikanan. - Mengukur (measure) karakteristik lingkungan laut, seperti topografi dasar laut dan kehidupan organisme bawah laut. - Mentransmisikan sinyal, seperti data yang dibutuhkan oleh instrumentasi saintifik bawah air, serta pengiriman pesan antara submarine dan kapal permukaan (Lurton 2002). Prinsip dasar pengoperasian instrumen akustik bisa dijelaskan sebagai berikut (Gambar 2). Energi gelombang akustik akan dipancarkan ke kolom perairan dalam bentuk pulsa suara melalui transducer. Pulsa suara ini akan merambat dalam medium air dengan kecepatan berkisar 1500 m/s. Ketika pulsa suara mengenai suatu obyek atau target, seperti ikan ataupun dasar perairan, sebagian energinya akan dipantulkan kembali ke transducer dalam bentuk echo. Transducer akan mengubah echo menjadi energi listrik dan diteruskan ke amplifier yang berada dalam echosounder untuk diperkuat. Apabila transducer yang digunakan lebih dari satu, maka digunakan multiplexer. Selanjutnya sinyal echo yang sudah diperkuat ini akan diteruskan ke output device seperti digital recorder, chart recorder ataupun video display ( htisonar.com/ what_are_hydroacoustics.htm).

30 9 Sumber : Hydroacoustic Technology Inc. Gambar 2 Prinsip hidroakustik. 2.3 Perambatan Gelombang Akustik Gelombang akustik berasal dari perambatan gangguan mekanik yang akan menimbulkan kompresi dan dilatasi lokal pada partikel-partikel medium yang dilewatinya dengan adanya sifat-sifat elastik medium. Laju perambatan dari gangguan mekanik pada medium dinamakan kecepatan (velocity) (Lurton 2002).

31 10 Kecepatan gelombang akustik (suara) dalam medium air laut merupakan sebuah variabel oseanografi yang menunjukkan karakteristik perambatan gelombang akustik di lautan. Kecepatan gelombang suara ini nilainya bervariasi dan dipengaruhi oleh suhu, salinitas, dan tekanan (atau kedalaman) medium yang dilaluinya. Nilai kecepatan suara akan meningkat seiring dengan bertambahnya salah satu dari ketiga parameter tersebut (Etter 1996). Formula untuk perhitungan kecepatan suara dikemukakan oleh Medwin (1975) yang diacu dalam Lurton (2002) sebagai berikut : c = t 0.055t t 3 + ( t)(S 35) z... (1) dimana c = kecepatan suara, dalam m/s t = suhu, dalam ºC S = Salinitas, dalam p.s.u (practical salinity unit) z = kedalaman, dalam m. Dalam perambatan gelombang akustik, akan mengalami proses kehilangan intensitas energi akustiknya yang disebabkan oleh geometrical spreading loss (efek divergensi) dan absorption loss. Hal ini dikenal sebagai propagation loss (transmission loss) yang merupakan salah satu parameter sonar yang mengekspresikan satu nilai kuantitatif dari beberapa fenomena yang berkaitan dengan perambatan gelombang akustik di laut (Urick 1983) Geometrical Spreading Loss Dalam proses perambatan gelombang akustik dari sebuah sumber suara yang berada dalam medium homogen, tak terbatas dan tanpa penyerapan (lossless), daya (power) akan diradiasikan sama besar ke segala arah (Gambar 3). Urick (1983) menyatakan bahwa daya yang menembus bola sferis dengan jari-jari yang makin membesar,akan bernilai sama pada permukaan bola sferis manapun. Karena daya (P) sama dengan intensitas (I) dikalikan luas area (A), maka secara matematis dapat dituliskan (2) P = 4πr 1 ²I 1 = 4πr 2 ²I 2 =... = 4πr²I r... Jika r1 = 1 m, maka transmission loss (TL) pada jarak r 2 adalah

32 11 TL = 10 log I 1 / I 2 = 10 log r 2 ² = 20 log r 2... (3) Hal ini dinamakan spherical spreading dimana intensitas berkurang sesuai dengan kuadrat jarak, dan transmission loss bertambah sesuai dengan kuadrat jarak. Gambar 3 Spreading loss (sumber : Urick 1983). Jika sumber suara dibatasi oleh bidang-bidang paralel berjarak H meter (Gambar 3b), maka daya yang menembus permukaan silindris yang mengelilingi sumber suara dengan radius yang makin bertambah, tetap akan bernilai sama (cylindrical spreading), dinyatakan dengan persamaan (4) P = 2πr 1 HI 1 = 2πr 2 HI 2 =... = 2πrHI r... Jika r1 = 1 m, maka transmission loss (TL) pada jarak r 2 adalah TL = 10 log I1/ I 2 = 10 log r 2... (5) Absorption Loss Pada perambatan gelombang akustik dalam medium air laut, sebagian energi akustiknya secara kontinu akan diserap dan diubah menjadi energi panas. Penyerapan ini (absorption loss) terjadi melalui dua mekanisme utama, yaitu viskositas air laut itu sendiri dan molecular relaxation, dimana molekul-molekul

33 12 magnesium sulfat (MgSO 4 ) dalam air laut tereduksi menjadi ion-ion akibat induksi dari tekanan gelombang akustik. Menurut Urick (1983), molecular relaxation merupakan penyebab utama terjadinya absorption loss pada frekuensi akustik di bawah 100 khz. Pada frekuensi tinggi (lebih dari 500 khz), perubahan tekanan akustik terlalu cepat sehingga tidak terjadi molecular relaxation, dan tidak terjadi penyerapan energi akustik. Sedangkan pada frekuensi kurang dari 2 khz, akan terjadi absorption loss yang disebabkan oleh boric acid relaxation (Waite 2002). Penyerapan energi akustik (koefisien absorpsi = α) dipengaruhi oleh frekuensi alat yang digunakan serta suhu perairan, sesuai dengan persamaan yang dikemukakan oleh Schulkin dan Marsh (1962) diacu dalam Urick (1983) α = A db/kyd... (6) dimana S = salinitas, dalam part per thousand (ppt) A = konstanta, yang nilainya 1.86x B = konstanta, yang nilainya 2.68x f = frekuensi, dalam khz f T f T = frekuensi relaksasi yang bergantung pada suhu, besarnya = 21.9 x (khz)... (7) dengan T adalah suhu perairan, dalam derajad Celcius. Penggabungan pengaruh absorption loss dan spherical spreading pada perambatan gelombang akustik akan memberikan nilai transmission loss sesuai dengan persamaan (Urick 1983), TL = 20 log r + αr x... (8) dimana faktor db/kyard). dimasukkan karena α biasa dinyatakan dalam db/km (atau 2.4 Proses-Proses Akustik pada Dasar Perairan Pada saat gelombang akustik yang merambat dalam kolom air mengenai dasar perairan, maka akan terjadi beberapa proses fisis yang akan memberikan kontribusi bagi pembentukan echo akustik bawah air. Proses-proses fisis ini

34 13 meliputi refleksi (pemantulan), transmisi (pembiasan), dan scattering (hamburan) (Lurton 2002) Refleksi dan Transmisi Proses refleksi dan transmisi gelombang akustik yang mengenai dasar perairan mengikuti hukum Snell-Descartes, sin θ₁ / c 1 = sin θ 2 / c 2... (9) dimana besarnya sudut datang sama dengan sudut pantul (θ₁), dan gelombang yang ditransmisikan akan merambat dalam arah yang berbeda dengan gelombang datang (θ2), sesuai dengan perubahan kecepatan suara yang terjadi dari medium pertama (c 1 ) ke medium kedua (c 2 ) (Gambar 4). Sumber : Lurton 2002 Gambar 4 Refleksi dan transmisi gelombang akustik pada bidang batas antara dua medium. Amplitudo dari gelombang refleksi dan transmisi ditunjukkan oleh koefisien refleksi (V) dan koefisien transmisinya (W) yang memiliki keterkaitan W = 1 + V. Menurut Lurton (2002), gelombang akustik yang merambat dengan sudut datang (θ₁) dari medium pertama dengan densitas (ρ 1 ) dan kecepatan suara (c 1 ) menuju medium kedua dengan densitas (ρ 2 ) dan kecepatan suara (c 2 ), akan memiliki nilai V dan W sesuai dengan persamaan, V(θ₁) = W(θ₁) =... (10)

35 14 Pada kasus normal incidence dimana sudut datang vertikal (θ₁ = 0), maka persamaan (10) akan menjadi, V(θ₁ = 0) = W(θ₁ = 0) =... (11) dimana Z (=ρc) adalah besaran impedansi akustik (acoustic impedance) medium yang bersangkutan. Apabila acoustic impedance medium yang kedua nilainya jauh lebih besar atau jauh lebih kecil, bila dibandingkan dengan medium yang pertama, maka praktis tidak terjadi kehilangan energi. Koefisien refleksi akan mendekati nilai V = 1 ( ), atau V = - 1 ( ), tidak terpengaruh oleh besarnya sudut datang. Dalam akustik bawah air, permukaan pada bidang batas air dengan udara dapat dianggap sebagai reflektor yang sempurna, karena kontras impedance antara kedua medium mendekati 3x. Kontras impedance antara air dengan hard sediment ( dan c m/s) hanya sekitar 2.4 sehingga bukan merupakan reflektor yang sempurna. Jackson dan Richardson (2007) menyatakan bahwa refleksi dasar laut pada vertical incidence telah menjadi cara yang penting dalam pengklasifikasian sedimen Reverberation Gelombang akustik yang ditransmisikan ke bawah permukaan laut akan mengalami hamburan (scattering) yang disebabkan oleh organisme laut, materialmaterial yang terdistribusi dalam laut, struktur tidak homogen dalam air laut, seperti halnya refleksi oleh permukaan dan dasar laut. Bagian dari energi akustik awal yang mengenai suatu obyek dan dipantulkan kembali ke sumber dinamakan backscattering (Waite 2002). Dalam bidang akustik bawah air dikenal istilah reverberation, merujuk pada semua energi akustik yang dikembalikan ke sistem sonar, yang berasal dari segala sesuatu selain echo dari target yang diinginkan. Reverberation merupakan salah satu proses penting yang mempengaruhi sinyal akustik bawah air. Backscattering merupakan bagian dari reverberation (Lurton 2002). Gambar 5 menjelaskan tipe-tipe reverberation.

36 15 Sumber : Lurton 2002 Gambar 5 Reverberation yang disebabkan oleh kolom air, dasar perairan dan permukaan air. Menurut Urick (1983), besaran reverberation level (RL) merupakan intensitas dalam unit decibel dari transmisi gelombang bidang yang menghasilkan output yang sama pada hidrofon seperti pada reverberation yang teramati (Gambar 6). Penghambur (scatterer) yang berdimensi volume, akan menghasilkan volume reverberation level (RL v ) sesuai dengan persamaan,... (12) dimana SL = source level (db) = volume backscattering strength = volume backscattering cross section V = volume reverberation c = kecepatan suara (m/s) = panjang pulsa (s) = equivalent ideal solid angle beamwidth r = jarak antara transducer dan scatterer

37 16 Sumber : Urick 1983 Gambar 6 Geometri dari volume scattering. Penghambur yang berdimensi permukaan (surface) seperti pada permukaan dasar laut (Gambar 7), akan menghasilkan surface reverberation level (RL s ) sesuai dengan persamaan,... (13) dimana = surface backscattering strength = surface backscattering cross section A = Area reverberation = beam equivalent aperture in the horizontal plane Parameter backscattering strength pada dasarnya identik dengan parameter target strength untuk target-target sonar (Urick 1983).

38 17 Sumber : Urick 1983 Gambar 7 Geometri dari surface scattering. 2.5 Pendekatan Akustik terhadap Dasar Perairan Dasar perairan merupakan pemantul (reflektor) dan penghambur (scatterer) yang efektif terhadap gelombang akustik yang mengenainya serta bersifat mendistribusikan kembali gelombang yang datang (Urick 1983). Pada permukaan dasar perairan yang halus (smooth) dimana kontras acoustic impedance antara air dengan bottom adalah besar, maka sebagian besar energi gelombang yang datang akan dipantulkan, dan hanya sebagian kecil yang dihamburkan. Pada kasus permukaan dasar perairan yang kasar (rough), maka seluruh energi akustik akan dihamburkan. Untuk kontras acoustic impedance yang kecil antara air dengan bottom, maka energi gelombang akustik yang mengenai dasar perairan mampu menembus ke dalam bottom (Gambar 8). Selain itu, pada saat gelombang akustik mengenai dasar perairan, akan menunjukkan pola jejak gema (echo trace) yang berbeda (Gambar 9). Dasar perairan yang halus dan berlumpur akan menunjukkan echo trace yang memiliki puncak sempit tanpa ekor (narrow peak with no tail) dimana sebagian besar energi akustiknya akan dipantulkan kembali ke transducer, dan juga mengalami absorpsi oleh substrat lumpur. Sedangkan echo trace dari dasar perairan yang kasar, campuran gravel, akan memiliki puncak yang lebar dan berekor (Collins & Lacroix 1997).

39 18 Sumber : Urick 1983 Gambar 8 Pola-pola direksional terhadap gelombang akustik yang mengenai dasar perairan yang memiliki perbedaan kontras acoustic impedance dan tingkat kekasarannya. Sumber : Collins dan Lacroix 1997 Gambar 9 Contoh hipotetik dua dasar perairan dan echo trace yang ditunjukkan. Simbol t melambangkan echo trace dalam waktu. Burczynski (2002) menyatakan bahwa dasar perairan yang keras (hard bottom) akan menghasilkan echo dengan amplitudo yang tajam dan tinggi, sedangkan yang lunak (soft bottom) akan menghasilkan echo dengan amplitudo yang melebar dan rendah (Gambar 10). Bentuk kurva energi kumulatif sinyal yang berasal dari hard bottom dan soft bottom juga menunjukkan adanya perbedaan yang jelas. Hard bottom akan menghasilkan kurva dengan kenaikan yang tajam, sementara pada soft bottom kenaikan kurvanya relatif lebih rendah.

40 19 Sumber : Burczynski 2002 Gambar 10 Bentuk echo dasar perairan yang keras (hard) dan lunak (soft); a). Amplitudo sinyal echo b). Kurva energi kumulatif. Selain kekasaran dan kekerasan dasar laut, perbedaan densitas antara air laut dan dasar laut, amplitudo dan bentuk sinyal akustik yang dipantulkan oleh dasar laut juga dipengaruhi oleh reverberation di dalam substrat (Watt & Eng 1999; Penrose et al. 2005). Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa reverberation level dari dasar perairan yang berbatu adalah lebih besar daripada dasar perairan yang berlumpur. Hal ini menjadi landasan untuk mengaitkan bottom backscattering strength (Sb) dengan jenis material dasar laut seperti lumpur, lanau, pasir, bongkah, rock, meskipun pada kenyataannya ukuran partikel penyusun sedimen dasar laut hanya merupakan indikator secara tidak langsung terhadap acoustic scattering (Urick 1983; Waite 2002). Backscattering strength dasar perairan nilainya bervariasi terhadap grazing angle, frekuensi akustik yang digunakan, serta material penyusun dasar perairan. Namun demikian nilainya dapat dianggap konstan pada frekuensi hingga 10 khz dan grazing angle hingga 10º. Menurut Waite (2002), berdasarkan survei di perairan dangkal UK, nilai bottom backscattering strength bervariasi mulai dari yang rendah ( 45 db) yaitu untuk lumpur, hingga tinggi (- 25 db) untuk batuan (rock) (Gambar 11).

41 20 Sumber : Waite 2002 Gambar 11 Distribusi nilai bottom backscattering strength untuk perairan dangkal. Sumber : Urick 1983 Gambar 12 Variasi frekuensi pada bottom backscattering strength. Simbol titik untuk grazing angle 30º; simbol huruf untuk grazing angle 10º. Urick (1983) mengatakan bahwa berdasarkan kompilasi pengukuran bottom backscattering strength dari berbagai sumber, termasuk memasukkan frekuensi 48 khz dan grazing angle yang rendah, diketahui bahwa tidak terdapat

42 21 ketergantungan yang nyata pada frekensi kisaran khz (Gambar 12 dan 13). Sumber : Urick 1983 Gambar 13 Kurva bottom backscattering strength sebagai fungsi grazing angle untuk berbagai tipe substrat. Pada akhirnya, refleksi dasar laut untuk vertical incidence telah menjadi cara yang penting dalam klasifikasi sedimen (Jackson & Richardson 2007). Echo akustik dari dasar laut ini mengandung informasi tentang backscatter, bottom reverberation dan spectral frequencies yang memiliki keterkaitan langsung dengan karakter dasar laut, seperti roughness, tipe sedimen, distribusi ukuran butir (grain size), porositas, dan densitas material. Klasifikasi dasar laut secara akustik merupakan pengorganisasian dasar laut menjadi tipe-tipe dasar laut berdasarkan karakteristik dari respon akustiknya (Watt & Eng 1999). Namun demikian akan tetap menjadi kenyataan bahwa sinyal akustik yang dipantulkan oleh dasar laut adalah kompleks dan tidak ada hubungan yang sederhana antara sinyal backscatter dan tipe sedimen (Anderson et al. 2008).

43 22 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Single Beam Echo Sounder Penelitian dengan menggunakan instrumen single beam echo sounder dilaksanakan pada tanggal 14 April 15 April 2012, berlokasi di perairan sekitar Pulau Kongsi dan Pulau Burung yang termasuk dalam gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu Jakarta Utara. dengan kedalaman relatif dangkal yang berkisar antara 2 4 m. Pemilihan lokasi diusahakan memiliki tipe sedimen yang berlainan sehingga data akustik yang akan didapat bisa mewakili tipe substrat yang berbeda. Gambar 14 menunjukkan peta lokasi penelitian. Pengolahan data akustik single beam dilakukan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK IPB. Analisis sampel sedimen dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor Multi Beam Echo Sounder Untuk multi beam, penelitian ini mengambil lokasi pengkajian di perairan Teluk Buyat, Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara, yang telah disurvei pada tanggal 17 September 2011 menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya IV milik BPPT. Area survei dibatasi oleh koordinat : 124º º Bujur Timur, dan 0º º Lintang Utara. Gambar 15 dan 16 menunjukkan lokasi pengkajian. Transek survei ditunjukkan pada Gambar 17. Pengolahan data multi beam dilakukan di Balai Teknologi Survei Kelautan, BPPT Jakarta.

44 Gambar 14 Lokasi pengambilan data dengan instrumen single beam. 23

45 24 Gambar 15 Lokasi pengkajian data multibeam. Sumber : citra satelit Google Earth Gambar 16 Batas-batas area survei multi beam.

46 Gambar 17 Peta transek survei multi beam di Teluk Buyat 25

47 Perangkat dan Peralatan Penelitian Single Beam Echo Sounder (1) Instrumen Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder Pengambilan data akustik menggunakan perangkat Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder. Alat ini terdiri dari tiga bagian yaitu interface black box (RS-232 serial data), transduser single beam, dan software yang dijalankan di PC. Frekuensi transduser tersedia dua pilihan yaitu 50 khz dan 200 khz. Data akustik akan terlihat pada layar monitor dalam bentuk grafik analog yang menggambarkan kekuatan sinyal echo dari target. Pada layar monitor juga bisa ditampilkan posisi kapal (lintang bujur) serta kecepatan kapal, dengan syarat interface black box harus terhubung dengan GPS. Spesifikasi alat Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Spesifikasi alat Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder Spesifikasi Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder Operating Voltage Output Power Depth Capability Operating temperature Interface Box Transducer Operation setting 9.5 to 16.0 VDC, 0.05 amps nominal, 4.7 amps peak at max power 2560 watts peak-to-peak (320W RMS). 25KW DSP processed power (3200 WRMS) Minimum Depth - 3 feet (1m) 1000 feet or more at 200kHz for both shallow and deep water high resolution 2500 Feet or more at 50kHz - See screenshot with PcFF80 working at 2750 feet (840 m) and also see screenshot of PcFF80 detecting fish at 680 feet (207 m). 0 to 50 deg Celsius ( 32 to 122 deg Fahrenheit) 100 x 80 x 50 mm (4 x 3.2 x 2 inch). Powder Coated Aluminum Extrusion Dual Frequency 50/200kHz, Depth/Temperature, Glass reinforced nylon thru-hull with 30 foot (9,7m) cable. Transom mount and bronze transducers also available

48 27 Spesifikasi alat Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder (lanjutan) Spesifikasi Signal Processing Operation setting 2 analog and 2 Digital Processing (DSP) modes Analog Mode #1: Fixed gain Analog Mode #2: Time varying gain (TVG) DSP Mode #1: Using correlation DSP Mode #2: Using quadrature correlation (2) Alat Pengambil Contoh Sedimen Pengambilan contoh sedimen dilakukan dengan menggunakan pipa paralon berdiameter 8 cm (3 inch) panjang 10 cm yang ditancapkan tegak lurus ke dasar perairan (Gambar 18). Gambar 18 Pipa paralon ukuran 3 inch panjang 10 cm. Secara garis besar peralatan yang digunakan dalam penelitian akustik dengan menggunakan sistem single beam ini dapat dilihat pada Tabel 3.

49 28 Tabel 3 Peralatan yang digunakan dalam penelitian akustik dasar perairan Alat dan bahan Jenis Kegunaan Fishfinder CruzPro PcFF80 PC Pengambilan data Sonar Fishfinder akustik GPS Garmin 12 XL Penentuan posisi Notebook/Laptop Toshiba A-275 Pemrosesan dan penyimpanan data akustik Kamera bawah air Kodak Waterproof 3 m Dokumentasi obyek bawah air Pipa paralon PVC 3 inch panjang Pengambilan contoh 10 cm sedimen dasar perairan Kapal Kapal nelayan, panjang 7 m lebar 2 m Wahana survei dan tempat pemasangan instrumen akustik Multi Beam Echo Sounder (1) Elac Seabeam 1050D Multi beam Elac Seabeam 1050D adalah sistem peralatan untuk mengumpulkan data batimetri dan data backscatter, merupakan hasil kombinasi dari kinerja sistem Multi beam Seabeam 1180 dan Seabeam 1050; memiliki 126 beam dengan sudut bukaan sebesar 1.5º untuk tiap-tiap beam. Sistem ini dapat dioperasikan pada laut dangkal dan laut dengan kedalaman medium, yaitu tidak lebih dari 3000 meter, memiliki kemampuan untuk memetakan wilayah laut secara luas dengan lebar sapuan mencapai 153. Gambar 19 menunjukkan transducer Elac Seabeam 1050D. Elac Seabeam 1050D hanya memiliki satu unit sonar processor dan memiliki dua frekuensi yang dapat digunakan, yaitu 50 khz dan 180 khz. Kemampuan deteksi menggunakan frekuensi 180 khz mencapai kedalaman 580 meter, sedangkan frekuensi 50 khz bisa mencapai kedalaman 3000 meter. Gambar 20 menunjukkan lebar sapuan (coverage) multibeam Elac Seabeam 1050D pada frekuensi 50 khz dan 180 khz.

50 29 Gambar 19 Transducer Elac Seabeam 1050D (Sumber : L-3 Communications Elac Nautic GmbH). (a). (b). Gambar 20 (a) Lebar sapuan multi beam Elac Seabeam 1050D pada frekuensi 50 khz dan (b) pada frekuensi 180 khz (Sumber : L-3 Communications Elac Nautic GmbH).

51 30 Daya jangkau sapuan alat multi beam Elac Seabeam 1050D dapat disesuaikan dengan sudut pancaran (lebar beam) yang diatur sebesar 153, 131, 108, 86, 63, dan 41, dengan masing-masing jangkauan adalah 8.3 kali kedalaman, 4.4 kali kedalaman, 2.7 kali kedalaman, 1.9 kali kedalaman, 1.2 kali kedalaman, dan 0.7 kali kedalaman. Sebagai contoh, untuk kedalaman 500 meter, sudut pancaran 153, maka jangkauannya adalah sebesar 8.3 x 500 = 4100 meter. Spesifikasi alat dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Spesifikasi teknis multi beam Elac Seabeam 1050D Specifications Frequency 50 khz 180 khz Number of Beams 126 (fewer selectable) 126 (fewer selectable) Beam Width Power Supply 115 / 230 V AC, user selectable 115 / 230V AC, user selectable Max. Pulse Power 3.5 KW per transducer array 500 W per transducer array Max. Source Level 234 db 1 μpa/1 m 220 db 1μPa/1 m Pulse Length 0.3, 1, 3, 10 ms; selectable 0.15, 0.3, 1.3 ms; selectable Bandwidth Sidelobe Suppression Survey Speed 12 khz, 3.3 khz, 1 khz; selectable 36 db (transmission and reception) up to 16 knot for continuous seafloor coverage Sonar Processor Unit (SEE 30) : Dimensions: 480 x 540 x 360 mm Weight: approx. 33 kg Transducer (LSE 237) : Dimensions: 530 x 290 mm each Weight w/ cable: 60 kg Transducer (LSE 307) : Dimensions: 390 x 280 mm each Weight w/o cable: 17 kg Motion : DMS-2, Octans, POS M/V, MRU 5 Heading : NMEA 0183 standard, sentence HDT 12 khz, 3 Hz, 1 khz selectable 36 db (transmission and reception) up to 16 knot for continuous seafloor coverage Position : NMEA 0183 standard, sentence GGA or VTG Sound Velocity : Data input via RS 232 Software Elac HDP 4061, Caris, Coastal Oceanographics, EIVA

52 (2) Coda Octopus F-180 Peralatan ini digunakan untuk menentukan posisi geografis dengan sistem navigasi inersial dimana pengukuran gerakan inersial kapal diintegrasikan dengan arah geografis kapal secara real time, kontinyu dan presisi (BPPT 2010). Sistem ini terdiri dari : Inertial Measurement Unit (IMU) dan receiver GPS dengan dua antena. Fungsi alat ini untuk pengukuran teliti gerakan rotasi kapal (attitude) dan posisi geografis yang cocok digunakan untuk aplikasi survei hidrografi. Secara keseluruhan peralatan yang digunakan dalam survei multi beam ini dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Alat dan bahan yang digunakan dalam survei multi beam Alat dan bahan Jenis Kegunaan MBES (Multi Beam Echo Sounder) Elac Seabeam 1050D Pengambilan data batimetri dan data akustik dasar laut Sistem Navigasi Coda Octopus F-180 Untuk sistem penentuan posisi secara real time Software Navigasi Hypack Untuk mengolah dan menampilkan data navigasi yang berasal dari Coda Octopus F-180 Software Akuisisi data multibeam Software pengolah data batimetri Software pengolah data backscatter Hydrostar Caris HIPS & SIPS 6.1 MBSystem version 5 Untuk mengontrol dan menampilkan sistem multi beam secara realtime Untuk mengolah dan menampilkan data batimetri Untuk mengolah dan menampilkan data backscatter dasar laut Alat penginti comot Grab sampler Untuk mengambil contoh sedimen dasar laut Wahana survei KR.Baruna Jaya (BJ IV) (BPPT) Untuk tempat instalasi peralatan survei dan melaksanakan survei 3.3 Metode Pengambilan Data Single Beam Echo Sounder (1) Pengambilan Data Akustik

53 32 Pengambilan data akustik dilakukan menggunakan instrumen CruzPro PcFF80 PC Sonar Fishfinder. Gelombang suara dipancarkan secara vertikal ke dasar perairan melalui transmitting transducer. Selanjutnya gelombang suara yang dipantulkan oleh dasar perairan akan diterima oleh receiving transducer. Alat ini dioperasikan pada frekuensi 200 khz, power yang ditransmisikan 80 watt (adjustable), source level sebesar 163 db re 1 μpa/1 m, serta kecepatan rambat suara dalam medium air laut sebesar m/dtk. Pada saat pengambilan data akustik, kapal diatur pada posisi stasiun yang telah ditetapkan, kemudian diikat dengan menggunakan jangkar pada bagian haluan dan buritannya, sehingga diharapkan kondisi kapal diam/stasioner. Kondisi seperti ini diharapkan data akustik yang direkam hanya berasal dari tipe substrat dasar perairan. Diagram alir pengambilan data akustik dapat dilihat pada Gambar 21. Gambar 21 Diagram alir pengambilan data akustik.

54 (2) Pengambilan Contoh Sedimen Pengambilan contoh sedimen dilakukan pada 9 stasiun pengamatan yang memiliki data akustik. Lokasi stasiun pengamatan berada di perairan sekitar Pulau Kongsi dan Pulau Burung yang berada dalam gugusan Pulau Pari. Proses pengambilan contoh sedimen dilakukan melalui penyelaman dengan menggunakan pipa paralon panjang 10 cm berdiameter 8 cm (3 inch) yang ditancapkan secara tegak lurus ke dalam dasar perairan. Selanjutnya contoh sedimen dibiarkan berada dalam paralon, kemudian ujung atas dan ujung bawah paralon ditutup dengan penutup paralon. Contoh sedimen dari 9 stasiun pengamatan ini kemudian dibawa ke laboratorium untuk dianalisis, meliputi analisis tekstur, porositas, dan densitas Multi Beam Echo Sounder (1) Pengambilan Data Akustik Pengambilan data akustik yang berupa data kedalaman dan backscatter menggunakan instrumen Elac Seabeam 1050D multi beam echo sounder yang dioperasikan pada frekuensi 180 khz. Data multi beam yang diperoleh merupakan data yang telah terkoreksi terhadap pergerakan kapal seperti pitch, roll, yaw,dan heading. Koreksi tersebut dilakukan menggunakan sensor attitude and positioning Coda Octopus F-180. Koreksi posisi sensor dan transduser (offset correction) yang digunakan terhadap center line kapal BJ IV dilakukan dengan menggunakan DGPS Sea Star 8200 VB. Sistem navigasi yang digunakan dalam kapal BJ IV dikontrol dengan perangkat lunak Hypack yang secara langsung terhubung dengan sistem akuisisi data multi beam. Data navigasi yang berasal dari Coda Octopus F-180 terbaca di Hypack. Parameter geodesi yang digunakan pada saat perencanaan dan pelaksanaan survei meliputi : ellipsoid reference WGS84, projection UTM, zone, 51 N, Northing offset meter, dan Easthing offset meter. Akuisisi data multibeam dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Hydrostar. Output data dalam format XSE. Gambar 22 menunjukkan diagram alir proses pengumpulan data akustik.

55 34 Gambar 22 Diagram alir sistem kerja Multibeam Elac Seabeam 1050D. 3.4 Metode Pengolahan Data Single Beam Echo Sounder (1) Pengolahan Data Akustik Data yang diperoleh dari instrumen CruzPro PcFF80 PC Sonar Fishfinder dalam bentuk raw data (echogram) selanjutnya diekstrak dengan menggunakan software Excel. Nilai-nilai amplitudo yang ditampilkan menggambarkan kekuatan echo atau gelombang suara yang dipantulkan oleh dasar perairan. Nilai-nilai ini kemudian disimpan dalam format *txt untuk selanjutnya ditampilkan dalam workspace Matlab. Kemudian dengan menggunakan program Matlab, data diolah lebih lanjut sehingga bisa didapatkan nilai-nilai untuk beberapa parameter akustik yang berkaitan dengan dasar perairan serta bisa dimunculkan echogram pada tiap tiap stasiun. Parameter parameter akustik ini meliputi Surface Backscattering Strength (SS), Volume Backscattering Strength (SV), dan Echo Level (EL) Multibeam Echo Sounder (1) Pengolahan Data Backscatter Data backscatter diekstrak dari time series traces yang terkandung dalam tiap-tiap beam. Footprint beam yang terletak pada swath bagian terluar (outer swath) dapat mengandung beberapa trace backscatter sebagai fungsi dari panjang pulsa dan dimensi elips across-track seperti terlihat pada Gambar 23 (Diaz 2000).

56 35 Sumber : Diaz 2000 Gambar 23 Pola ensonifikasi multibeam. Elips pada bagian kiri menunjukkan intensitas dalam beam (grayscale). Elips pada bagian kanan menunjukkan time series traces untuk beam yang sama pada panjang pulsa tertentu. Untuk mendapatkan data backscatter dari dasar laut, digunakan perangkat lunak MBSystem yang berbasis lynux Poseidon. Tahapan langkah-langkah pengolahan data backscatter mengacu pada Schmidt et al. (2004). Terhadap raw data.*xse, pertama diterapkan mbclean, yaitu proses filter terhadap beam-beam yang nilainya buruk, berlangsung secara otomatis. Selanjutnya mbedit, yaitu proses identifikasi data batimetri swath sonar yang masih dikategorikan buruk. Beam yang tergolong buruk divisualisasikan berwarna, sehingga bisa dilakukan pengeditan. Pada proses ini dilakukan pengeditan secara manual pada tiap line. Mbnavedit, merupakan proses koreksi terhadap navigasi data swath sonar akibat pengaruh heave, pitch, dan roll, dimana data-data yang outlier bisa dihilangkan. Mbvelocitytool, adalah proses untuk mengalibrasi nilai kecepatan suara sepanjang lintasan survei, dengan cara memeriksa sound velocity profile (SVP) yang didapatkan dari file data swath, CTD atau dari database, dan selanjutnya mengoreksi profil kecepatan suara yang salah, disesuaikan dengan SVP yang benar. Proses mbvelocitytool akan melakukan perhitungan ulang batimetri sesuai dengan raytracing pada model SVP. Mbbackangle, program ini akan membaca file data swath sonar yang mengandung amplitudo beam, dan memunculkan tabel nilai amplitudo rata-rata

57 36 sebagai fungsi dari grazing angle dengan dasar laut. File yang dihasilkan berekstensi.*aga. File ini mengandung tabel sederet amplitudo vs grazing angle. Tahapan terakhir adalah mbprocess, yaitu proses untuk menggabungkan seluruh kalibrasi yang telah dilakukan, meliputi : merging navigation, perhitungan kembali batimetri berdasarkan waktu tempuh dan data sudut raytracing melalui model kecepatan suara pada perlapisan air, perubahan draft kapal, roll bias, pitch bias, pengeditan batimetri, serta koreksi nilai amplitudo beam sehingga dihasilkan keluaran dengan format tertentu. Data awal yang semula berekstensi.*xse berubah menjadi.*mb94. Gambar 24 menunjukkan diagram alir pengolahan data backscatter. Gambar 24 Diagram alir pengolahan data backscatter dasar laut.

58 (2) Pengolahan Data Batimetri Survei multi beam akan menghasilkan permukaan batimetri. Permukaan ini merupakan hasil dari serangkaian proses meliputi kalibrasi, filtering, reduksi, gridding dan smoothing. Pengolahan data batimetri dilakukan dengan menggunakan software Caris HIPS and SIPS versi 6.1. Tahap awal pengolahan data adalah pembuatan file kapal (vessel file) dalam format HVF (HIPS Vessel File). HVF mengandung informasi yang diperlukan (seperti sensor offset yang direferensikan terhadap titik pusat gravitasi kapal) untuk mengkombinasikan semua data sensor sehingga dihasilkan posisi akhir/rekaman kedalaman. Beberapa sensor yang berpengaruh terhadap ketelitian data posisi batimetri antara lain sensor transducer, antena GPS, dan sensor gerak inersial. Ketiga sensor ini memiliki nilai jarak offset terhadap salib sumbu kapal sebagai kerangka acuan (Gambar 25). Dalam koreksi offset, jarak dari masing masing sensor ke salib sumbu dibuat nol sehingga ketiga sensor tersebut diasumsikan berhimpit dalam satu titik yaitu titik RP (Reference Point) yang terletak di tengah tengah salib sumbu. Titik RP berada pada pusat gravitasi kapal, dan digunakan sebagai pusat gerakan rotasi kapal pada saat mengaplikasikan parameter parameter heave, roll, dan pitch. Sumber : Caris Training Manual 2006 Gambar 25 Salib sumbu kapal. Transducer yang terpasang di kapal Baruna Jaya IV ada dua yaitu di lambung kiri dan lambung kanan kapal. Nilai offset transducer yang terdapat dalam ship parameter sebagai berikut.

59 38 TXPOS_P_X = (transducer position port side X axis) TXPOS_P_Y = 3.76 (transducer position port side Y axis) TXPOS_P_Z = 1.30 (transducer position port side Z axis) TXPOS_S_X = (transducer position starboard side X axis) TXPOS_S_Y = 3.76 (transducer position starboard side Y axis) TXPOS_S_Z = 1.30 (transducer position starboard side Z axis) Antena GPS terpasang di atas anjungan kapal. Nilai offset navigasi yang terdapat di dalam ship parameter adalah : NAVPOS_X = 0.0 NAVPOS_Y = 0.0 NAVPOS_Z = -4.6 Sensor gerak inersial memiliki nilai offset sebagai berikut : HRPPOS_X = (heave roll pitch position X axis) HRPPOS_Y = (heave roll pitch position Y axis) HRPPOS_Z = (heave roll pitch position Z axis) Pengaturan tanggal pada pembuatan file kapal ini disesuaikan dengan tanggal pada saat akuisisi data dilaksanakan. Langkah selanjutnya adalah pembuatan proyek baru (create new project), dimana penamaan proyek tidak boleh menggunakan spasi. Berikutnya adalah proses convert raw data dimana file raw data dengan ekstensi.xse yang merupakan hasil akuisisi data lapangan dikonversi menjadi file dengan ekstensi.hsf menggunakan menu conversion wizard. Pada tahap ini data batimetri sudah bisa diolah dengan menggunakan software Caris HIPS & SIPS 6.1. Proses berikutnya adalah clean auxiliary sensor data yaitu untuk mengecek dan membersihkan data navigasi GPS, gyro, dan gerakan sensor data, yang mencakup dua tahap, yaitu navigation editor dan attitude editor. Navigation editor adalah proses untuk menghilangkan pengaruh pergerakan dan kecepatan kapal yang memiliki nilai di luar kisaran, dimana pengamatan posisi tidak tepat bersamaan waktunya dengan pengamatan kedalaman, sehingga diperlukan interpolasi terhadap nilai-nilai yang dihasilkan. Kecepatan kapal yang tidak konstan akan menyebabkan data batimetri yang diperoleh mengalami tumpang

60 39 tindih. Sehingga perlu dikoreksi untuk menjaga kualitas data tetap baik. Gambar 26 menunjukkan contoh koreksi terhadap kecepatan kapal. Attitude editor adalah proses untuk memanipulasi dan memfilter data sensor, yaitu data gyro, data heave, data pitch, dan data roll. Gambar 27 menunjukkan contoh koreksi terhadap attitude kapal yang dilakukan pada menu attitude editor. Setelah proses editing data, langkah selanjutnya adalah memasukkan parameter-parameter yang mempengaruhi nilai kedalaman, yaitu kecepatan gelombang suara dan pasang surut melalui menu sound velocity correction dan load tide. Gambar 26 Koreksi terhadap kecepatan kapal.

61 40 Gambar 27 Koreksi terhadap attitude kapal. Format raw data seperti XSE mengandung dua kali waktu tempuh (two-way travel time) dan sudut pancaran beam (beam launch angle). Untuk menghasilkan posisi sounding dan kedalaman yang memiliki referensi geografis dari data ini, diperlukan dua koreksi, yaitu : koreksi kecepatan suara (sound velocity correction, SVC), adalah prosedur untuk menghitung panjang gelombang suara dan lintasan dari gelombang suara yang melewati kolom air, untuk tiap beam, sehingga diperoleh profil kecepatan suara (sound velocity profile, SVP). Pengukuran Sound Velocity Profile (SVP) dilakukan pada setiap area yang mewakili dengan menggunakan alat CTD Seabird SBE 9 plus. Gambar 28 menunjukkan SVP di lokasi penelitian. Sumbu X merupakan cepat rambat gelombang akustik (m/dtk), sedangkan sumbu Y merupakan kedalaman (m).

62 41 Gambar 28 Sound Velocity Profile di area survei multibeam. Pasang surut merupakan fluktuasi muka air laut yang disebabkan oleh gaya tarik benda benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap masa air laut di bumi. Perubahan permukaan air laut akibat perubahan pasang surut laut diperhitungkan sebagai koreksi pasut. Mengacu pada koreksi pasut ini, semua titik kedalaman diukur terhadap bidang acuan yang sama yaitu Mean Sea Level (MSL). Pengukuran pasang surut di area survei multi beam dilakukan dengan menggunakan instrumen Tide Gauge Valeport 740 selama sepuluh hari, dengan interval waktu pengamatan setiap 10 menit. Gambar 29 menunjukkan kurva pasang surut di lokasi penelitian dimana sumbu x adalah waktu perekaman data, dan sumbu y merupakan level ketinggian permukaan air (m). Gambar 29 Kurva pasang surut di lokasi penelitian.

63 42 Hasilnya berupa kedalaman sepanjang along-track dan across-track untuk tiap beam. Yang kedua adalah proses merge yang akan mengubah kedalaman sepanjang along-track dan across-track untuk tiap beam, menjadi kedalaman berdasarkan posisi lintang bujurnya. Dalam proses merge diperhitungkan offset horisontal dan offset vertikal dalam file HVF, serta parameter-parameter seperti : nilai kedalaman yang teramati, navigasi, gyro, pasang surut, parameter kalibrasi, serta gerakan sensor data (heave, pitch, roll). Selanjutnya adalah mendefinisikan lembar lapangan baru (new field sheet) dimana penamaannya tidak boleh mengandung spasi serta membuat BASE surface (Bathymetry Associated with Statistical Error) di dalam lembar lapangan. BASE surface terdiri dari 3 pilihan yaitu : Swath angle surface, Uncertainty surface, dan CUBE surface (Combined Uncertainty and Bathymetry Estimator). Ketiga tipe surface ini akan menghasilkan smooth surface yang tetap mempertahankan resolusi sonarnya. Berikutnya adalah process swath data dengan menggunakan menu swath editor, yang bertujuan untuk membersihkan data sounding, memfilter data swath, serta menghilangkan artifact refraksi. Kemudian process subset data yaitu dengan membagi-bagi lembar lapangan menjadi beberapa area yang lebih kecil (subset). Proses ini bertujuan untuk pengeditan dan pemeriksaan data kedalaman. Gambar 30 menunjukkan contoh koreksi swath yang dilakukan terhadap line_006. Beam yang berasal dari transducer lambung kanan kapal dilambangkan dengan warna hijau, sedangkan yang berasal dari transducer lambung kiri dilambangkan dengan warna merah. Beam yang berwarna kuning merupakan outlier sehingga harus di Reject untuk menghilangkan pengaruhnya terhadap data secara keseluruhan.

64 43 Gambar 30 Koreksi swath pada line_006. Dilanjutkan dengan proses finalisasi BASE surface, yaitu untuk perhitungan dan pembentukan ulang BASE surface, serta tipe terakhir dari BASE surface yang akan dipilih. Langkah selanjutnya adalah membuat Product Surface yang dibuat melalui Field Sheet Editor sehingga bisa digunakan untuk menghasilkan produk batimetri seperti pembuatan garis kontur yang smooth. Sebagai langkah terakhir adalah melakukan Export data, bisa dalam format ASCII ataupun JPEG. Diagram alir pemrosesan data batimetri ditunjukkan pada Gambar 31.

65 Gambar 31 Diagram alir pengolahan data batimetri. 44

66 (3) Identifikasi Jenis Sedimen Dasar Laut Untuk dapat melakukan identifikasi jenis sedimen dasar laut, diperlukan pengetahuan tentang sebaran nilai amplitudo pada data coring yang ada. Setiap sampel coring memiliki titik koordinat pada saat pengambilan data. Kemudian dari hasil pengolahan data backscatter, diekstrak data yang berupa koordinat, beam, kedalaman, dan amplitudo kemudian disimpan dalam suatu file berekstensi.*txt. Untuk mengetahui jenis sedimen dasar laut, dilakukan pencocokan koordinat pada sampel coring dan hasil ekstrakan. Berdasarkan nilai amplitudo pada titik koordinat yang sama ini, maka dapat ditentukan jenis sedimennya. 3.5 Metode Analisis Data Single Beam Echo Sounder (1) Komputasi Acoustic Bottom Backscattering Konsep scattering strength dimunculkan untuk mengkuantifikasi scattering yang berasal dari dasar laut maupun permukaan laut. Sedangkan backscattering strength merujuk pada bagian dari gelombang akustik yang dipantulkan kembali ke arah pemancar pada sistem sonar monostatik (Urick 1983). Acoustic bottom backscattering terdiri dari beberapa besaran yaitu surface backscattering strength (SS), volume backscattering strength (SV), dan echo level (EL). Nilai SS diperoleh dengan menggunakan persamaan (Manik 2012) : SS = RS SL + 2TL + VR + AG ; VR = 20log A ; A =... (14) dimana RS = Receiving Sensitivity SL = Source Level TL = Transmission Loss VR = Voltage Receiving (db) AG = Amplifier Gain A = Amplitudo

67 46 DN = Digital Number. Untuk nilai SV diperoleh dengan menggunakan formula Manik (2011) S s =... (15) dengan Ss = surface backscattering coefficient, S v = volume backscattering coefficient, c = kecepatan suara (m/s), = pulse length, = instantaneous equivalent beam angle for surface scattering, = equivalent beam angle for volume scattering. Pada peak bottom echo nilai, sehingga persamaan (15) menjadi S v = S s (2 / cτ)... (16) Dalam satuan decibel, persamaan (16) dapat dituliskan sebagai SV = SS 10 log (cτ / 2)... (17) dimana SV = 10 log S v, dan SS = 10 log S s. Kemudian untuk menghitung nilai intensitas echo maksimum (EL) digunakan persamaan (Lurton, 2002) : EL = SL 2TL + SS... (18) (2) Komputasi Acoustic Reflection Sedimen Dasar Perairan. Meskipun dasar laut bukan merupakan permukaan yang rata dan homogen, namun pengidealan kondisi permukaan dasar laut sangat bermanfaat untuk keperluan komputasi, sehingga memungkinkan untuk mendefinisikan besaran koefisien refleksi. Koefisien refleksi (R) merupakan besaran yang tidak berdimensi yang didefinisikan sebagai perbandingan antara energi tekanan gelombang suara yang dipantulkan (P r ) dengan energi tekanan gelombang suara yang datang mengenai dasar perairan (P i ). Secara matematis dinyatakan sebagai (Medwin & Clay 1998)... (19)

68 47 Pada kondisi normal incidence dimana gelombang suara yang datang mengenai dasar perairan adalah tegak lurus terhadap permukaan dasar perairan, maka koefisien refleksi dapat dinyatakan dalam besaran impedansi akustik, sebagai : =... (20) dimana Z 1, ρ 1, c 1 dan Z 2, ρ 2, c 2 masing-masing adalah impedansi akustik, densitas dan kecepatan suara di kolom air dan lapisan sedimen pertama. Kadang-kadang besaran koefisien refleksi dinamakan juga sebagai Bottom Loss (BL) yang dinyatakan dalam decibel (db) sebagai bilangan positif (Medwin & Clay 1998) dalam bentuk logaritma, yaitu : BL = - 20 log 10 R... (21) (3) Analisis Sedimen Contoh sedimen yang berasal dari sembilan stasiun selanjutnya dianalisis sifat fisiknya seperti tekstur, densitas dan porositas dari sedimen tersebut (ruang pori total). Hasil analisis ini akan digunakan sebagai data pembanding dari hasil hidroakustik. Tekstur sedimen adalah susunan relatif dari besar butir sedimen, terdiri dari pasir berukuran mm, lanau berukuran mm dan liat berukuran mm (Thurman 1993). Penetapan tekstur sedimen dilakukan dengan menggunakan metode ayakan bertingkat untuk memisahkan butiran sedimen berdasarkan fraksi ukuran butiran. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut: 1. Contoh sedimen diambil minimal 100 gram basah beratnya. 2. Substrat tersebut kemudian dikeringkan dalam oven dengan suhu 100 ºC sampai benar-benar kering (± 24 jam). 3. Contoh diayak dengan Shieve shaker berukuran 2 mm. 4. Berat kering contoh ditimbang kemudian diambil 10 gram.

69 48 5. Selanjutnya ditambahkan H2O2 30% sebanyak 100 ml dan HCl 0,2 N 100 ml (untuk melarutkan CaCO₃) kemudian dididihkan selama 20 menit untuk menghilangkan bahan organik. 6. Kemudian ditambahkan air sambil diaduk, lalu didiamkan selama satu malam. 7. Fraksi pasir dipisahkan dari lanau dan liat dengan menggunakan ayakan berukuran 325 mesh (mesh = banyaknya lubang (hole) dalam 1 mm²). 8. Hasil ayakan ini kemudian dimasukkan ke dalam Shieve shaker (5 ukuran mata ayakan) untuk kemudian diayak lagi sehingga menghasilkan 5 ukuran besar butir sedimen yang nantinya akan digolongkan ke dalam substrat pasir. 9. Hasil lain dari ayakan berukuran 325 mesh dalam keadaan cair ditambahkan 50 ml larutan Na2P2O7. 10H2O (Natrium-hexametafosfat). Selanjutnya dianalisis untuk mengetahui substrat lanau dan liat yang dilakukan dengan cara pemipetan dengan ukuran pipet 20 cc. 10. Untuk menentukan fraksi lanau, larutan didiamkan selama 1 15 menit. Selanjutnya untuk fraksi liat yang memiliki ukuran sangat kecil, maka larutan tersebut didiamkan selama 6 jam sampai 24 jam untuk selanjutnya ditentukan persentasenya. Selain tekstur sedimen, dilakukan juga analisis ruang pori total (porositas) dan berat isi (densitas) yang terkandung dalam sedimen. Densitas sedimen merupakan berat suatu volume sedimen dalam keadaan utuh yang dinyatakan dalam g/cc. Sedangkan porositas adalah volume seluruh pori-pori dalam suatu volume sedimen dalam keadaan utuh yang dinyatakan dalam persen. Pengukuran densitas sedimen dilakukan dengan menggunakan ring berukuran tinggi 5 cm dengan diameter 5 cm. Jika densitas telah diketahui, maka ruang pori total dapat dihitung dengan menggunakan persamaan: Ruang pori total =... (22) Untuk klasifikasi tipe substrat di lokasi penelitian, digunakan diagram segitiga Shepard (Gambar 32), dimana sedimen dikelompokkan dalam tiga jenis substrat yaitu pasir (sand), lanau (silt), dan liat (clay). Metode segitiga Shepard lebih sesuai digunakan untuk klasifikasi contoh sedimen yang memiliki ukuran butiran lebih kecil.

70 49 Sumber: Shepard 1954 Gambar 32 Diagram segitiga Shepard (4) Principal Component Analysis Principal Component Analysis (PCA) merupakan prosedur matematis yang menggunakan sebuah transformasi ortogonal untuk mengubah variabelvariabel pengamatan yang memiliki korelasi menjadi sekumpulan nilai dari variabel-variabel yang tidak memiliki korelasi secara linear yang dinamakan komponen utama (Principal Component). Banyaknya komponen utama adalah kurang dari atau sama dengan banyaknya variabel awal. Bentuk transformasi ini didefinisikan sedemikian rupa sehingga komponen utama yang pertama memiliki kemungkinan variance yang terbesar, dan tiap-tiap komponen berikutnya secara berurutan memiliki kemungkinan variance tertinggi dengan batasan harus ortogonal terhadap komponen sebelumnya (www//http/principal component analysis PCA.htm). PCA melibatkan sebuah kombinasi linear dari parameter-parameter awal atau dengan kata lain suatu rotasi dari sumbu-sumbu awal ke bentuk sumbusumbu koordinat yang baru yang ortogonal ((Bailey & Gatrell 1995 diacu dalam Siwabessy et al. 1999). PCA juga merupakan metode yang lazim untuk memilih kombinasi yang sesuai dari parameter-parameter klasifikasi (Reed & Hudson 1989 diacu dalam Penrose et al. 2005).

71 50 Teknik analisis komponen utama menganalisa tabel data hasil pengamatan yang digambarkan oleh beberapa variabel terikat kuantitatif yang saling terkorelasi satu sama lain. Pada dasarnya Penggunaan PCA bertujuan untuk menyusutkan dimensi data yang saling berkorelasi satu sama lain dengan cara mengekstrak informasi penting dari tabel dan menggambarkannya dalam bentuk sekumpulan variabel ortogonal baru yang dinamakan komponen utama. Kemudian menampilkan pola kesamaan dari pengamatan dan variabel-variabel sebagai titiktitik di dalam peta (Abdi & Williams 2010). Menurut Bengen (2000), PCA digunakan untuk memudahkan dalam menarik suatu kesimpulan yang lebih representative atau keterwakilan dengan menyederhanakan berbagai faktor dan variabel dari struktur data yang diberikan. Penggunaan PCA dalam penelitian ini bertujuan untuk mengelompokkan parameter-parameter akustik dan sifat fisis sedimen ke dalam kelas-kelas terpisah yang secara akustik homogen berdasarkan metode statistik (5) Cluster Analysis Analisis kluster/kelompok merupakan metode penganalisaan data yang bertujuan untuk mengelompokkan data berdasarkan karakteristik yang dimilikinya. Data yang memiliki karakteristik yang sama akan dikelompokkan dalam satu kelompok, dan data dengan karakteristik yang berbeda akan dimasukkan dalam kelompok yang berbeda. Data-data yang berada dalam satu kelompok akan memiliki banyak kesamaan, dibandingkan dengan data dalam kelompok yang berbeda. Prinsip utamanya adalah memaksimalkan kesamaan antar data yang berada dalam satu kelompok, dan meminimalkan kesamaan antar kelompok. Pada akhirnya, kluster-kluster yang terbentuk memiliki homogenitas internal yang tinggi dan heterogenitas eksternal yang tinggi pula. Hal ini dimaksudkan untuk menyederhanakan data dan menyajikannya dalam bentuk grafik. Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam mengembangkan metode clustering. Dua pendekatan utama adalah clustering dengan pendekatan partisi dan clustering dengan pendekatan hirarki. Clustering dengan pendekatan partisi atau sering disebut dengan partition-based clustering mengelompokkan data dengan memilah-milah data yang dianalisa ke dalam kluster-kluster yang ada.

72 51 Clustering dengan pendekatan hirarki atau sering disebut dengan hierarchical clustering mengelompokkan data dengan membuat suatu hirarki berupa dendogram dimana data yang mirip akan ditempatkan pada hirarki yang berdekatan dan yang tidak pada hirarki yang berjauhan ( 19 Juni 2012). Dalam penelitian ini akan digunakan clustering dengan pendekatan hirarki, yaitu untuk melihat hubungan antara respon akustik dan sifat-sifat fisik sedimen. Clustering dengan pendekatan hirarki mengelompokkan data yang mirip dalam hirarki yang sama dan yang tidak mirip di hirarki yang agak jauh. Ada dua metode yang sering diterapkan yaitu agglomerative hieararchical clustering dan divisive hierarchical clustering. Agglomerative melakukan proses clustering dari N kluster menjadi satu kesatuan kluster, dimana N adalah jumlah data, sedangkan divisive (pemecahan) melakukan proses clustering yang sebaliknya yaitu dari satu kluster menjadi N kluster ( 19 Juni 2012). Hal penting dalam metode hirarkhi adalah bahwa hasil pada tahap sebelumnya selalu bersarang di dalam hasil pada tahap berikutnya, membentuk sebuah pohon. Beberapa metode hierarchical clustering yang sering digunakan dibedakan menurut cara mereka untuk menghitung tingkat kemiripan. Ada yang menggunakan Single Linkage, Complete Linkage, Average Linkage, Average Group Linkage dan lain-lainnya. Salah satu cara untuk mempermudah pengembangan dendogram untuk hierarchical clustering ini adalah dengan membuat similarity matrix yang memuat tingkat kemiripan antar data yang dikelompokkan. Tingkat kemiripan bisa dihitung dengan berbagai macam cara seperti dengan Euclidean Distance Space. Berangkat dari similarity matrix ini, kita bisa memilih lingkage jenis mana yang akan digunakan untuk mengelompokkan data yang dianalisa ( clustering/, 19 Juni 2012) Multi Beam Echo Sounder (1) Konversi Nilai Amplitudo (mv) ke Backscatter (db) Konversi dari nilai amplitudo menjadi backscatter dilakukan menggunakan formula (L-3 Communication Seabeam Instrumen 2000) :

73 52 SS = 20 log dimana SS = nilai acoustic backscattering strength (db) V i V ref 10 = nilai amplitudo (mv) = nilai amplitudo referensi sesuai dengan instrumen multibeam yang digunakan. Pada pemakaian frekuensi 180 khz, nilai V ref sebesar mv (berdasarkan buku Maintenance Manual for Seabeam 1000 Series, 2006) (2) Ketelitian Batimetri Ketelitian batimetri yang dihasilkan dari survei multi beam ini dihitung dengan menggunakan formula yang telah ditetapkan oleh IHO (International Hydrographic Organization) tahun Menurut standar ketelitian survei hidrografi (S 44 IHO, 2008), area survei ini termasuk dalam orde 1a, yaitu area dengan kedalaman hingga 100 m, dimana batas nilai toleransi untuk kesalahan kedalaman dihitung dengan menggunakan formula Keterangan : : nilai batas toleransi ketelitian kedalaman (m) : konstanta kesalahan kedalaman (0.5) : faktor pengganti kesalahan kedalaman (0.013) : kedalaman (m).

74 53

75 53 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Single Beam Echo Sounder Sedimen Dasar Perairan Analisa tekstur yang dilakukan terhadap sampel sedimen di lokasi penelitian menunjukkan adanya 3 tipe sedimen, yaitu : pasir, lanau, dan liat. Secara keseluruhan dari 9 stasiun lokasi pengamatan didominasi oleh pasir dengan persentase rata-rata 70.67%, lanau 18.32%, dan liat 11.33% (Gambar 33). Persentase fraksi sedimen (%) Sta 1 Sta 2 Sta 3 Sta 4 Sta 5 Sta 6 Sta 7 Sta 8 Sta 9 Pasir Lanau Liat Gambar 33 Persentase sedimen di lokasi penelitian. Komposisi fraksi pasir terbesar terdapat pada stasiun 6 sebesar 88% yang berada pada posisi 5º LS 106º BT, dan terkecil pada stasiun 8 sebesar 45% yang berada pada posisi 5º LS 106º Komposisi fraksi lanau terbesar terdapat pada stasiun 8 sebesar 41%, dan terkecil pada stasiun 6 sebesar 6%. Sedangkan untuk komposisi fraksi liat terbesar terdapat pada stasiun 5 sebesar 31% yang berada pada posisi 5º LS 106º BT dan terkecil terdapat pada stasiun 1 pada posisi 5º LS 106º BT dan pada stasiun 6 yaitu sebesar 6% (Tabel 6).

76 54 Tabel 6 Komposisi fraksi pada setiap stasiun Stasiun Posisi Persentase fraksi (%) Lintang (S) Bujur (T) Pasir Lanau Liat Tipe substrat 1 5º51, º35, Pasir 2 5º51, º35, Pasir 3 5º51, º35, Pasir berlanau 4 5º51, º35, Pasir berlanau 5 5º51, º35, Pasir berliat 6 5º51, º35, Pasir 7 5º51, º35, Pasir 8 5º51, º35, Pasir berlanau 9 5º51, º35, Pasir Berdasarkan hasil analisa fraksinasi sedimen pada 9 stasiun lokasi pengamatan, teridentifikasi adanya 3 tipe substrat, yaitu pasir (5 stasiun), pasir berlanau (3 stasiun), dan pasir berliat (1 stasiun) (Tabel 6). Pengelompokan tipe substrat ini ditentukan berdasarkan komposisi substrat di setiap stasiun menggunakan metode segitiga Shepard. Gambar 34 menunjukkan tipe substrat pada tiap stasiun pengamatan. Pengelompokan sedimen berdasarkan teksturnya mencerminkan komposisi sedimen dan peristiwa-peristiwa yang terjadi selama proses erosi, transportasi dan pengendapan. Secara umum, pola-pola pengendapan cenderung merefleksikan jarak dari pantai. Sedimen-sedimen kasar (seperti gravel dan pasir) cenderung terakumulasi di dekat pantai, sementara sedimen yang lebih halus atau memiliki ukuran butir yang lebih kecil (seperti lanau dan liat) akan cenderung terakumulasi pada lokasi yang lebih jauh dari pantai.

77 55 Gambar 34 Tipe substrat pada 9 stasiun pengamatan. Pasir ( ), pasir berlanau ( ), dan pasir berliat ( ) Densitas dan Porositas Sedimen Dasar Perairan Respon sedimen dasar perairan terhadap sinyal akustik yang mengenainya sangat dipengaruhi oleh sifat-sifat fisis sedimen, seperti densitas dan porositas. Parameter densitas berpengaruh terhadap nilai impedansi akustik sedimen, sedangkan parameter porositas memberikan pengaruh terhadap besarnya atenuasi yang terjadi pada gelombang akustik yang merambat dalam sedimen dasar perairan. Hal ini terlihat dari persamaan untuk impedansi akustik (Z) nilainya sama dengan densitas sedimen (ρ) dikalikan kecepatan gelombang suara (c) yang merambat pada sedimen yang bersangkutan. Kenaikan densitas sedimen akan

78 56 meningkatkan nilai impedansi akustik. Pengaruh porositas terhadap atenuasi gelombang akustik ditunjukkan oleh persamaan dimana α adalah koefisien atenuasi (db/m), f adalah frekuensi (khz), n adalah konstanta empiris yang nilainya sama dengan satu untuk pengukuran pada pasir, lanau dan liat. Konstanta empiris k bergantung pada porositas, dengan nilai hampir mendekati 0.5 pada porositas 35 hingga 60 persen (Urick 1983). Terlihat bahwa makin besar porositas, atenuasi yang terjadi juga semakin besar. Hubungan antara densitas dan porositas sedimen ditampilkan pada Gambar 34 yang menunjukkan bahwa semakin besar nilai porositas dari sedimen, maka nilai densitasnya akan semakin kecil (Gambar 35). 1,62 1,6 Densitas (g/cm³) 1,58 1,56 1,54 y = -0,016x + 2,232 R² = 0,854 1, , , , ,5 42 Porositas (%) Gambar 35 Hubungan antara nilai densitas dan porositas di lokasi penelitian. Tabel 7 menunjukkan nilai densitas dan porositas untuk berbagai tipe substrat di lokasi penelitian. Terlihat bahwa substrat pasir memiliki nilai densitas rata-rata sebesar 1556 kg/m³, substrat pasir berlanau sebesar kg/m³, dan substrat pasir berliat sebesar 1600 kg/m³. Untuk parameter porositas, substrat pasir memiliki nilai porositas rata-rata sebesar 40.68%, substrat pasir berlanau sebesar 40%, dan substrat pasir berliat sebesar 38.2%.

79 57 Tabel 7 Nilai densitas dan porositas sedimen di lokasi penelitian Stasiun Kedalaman Densitas Porositas (m) Tipe substrat (kg/m 3 ) (%) Sta Pasir Sta Pasir Sta Pasir berlanau Sta Pasir berlanau Sta Pasir berliat Sta Pasir Sta Pasir Sta Pasir berlanau Sta Pasir Komputasi Acoustic Backscattering Strength Dasar Perairan Volume Backscattering Strength (SV) Dasar Perairan Setelah dilakukan pengolahan menggunakan Matlab, diperoleh nilai SV untuk berbagai tipe substrat dasar perairan. Substrat pasir memiliki nilai SV yang berkisar antara db hingga db, substrat pasir berlanau berkisar antara db hingga db, dan substrat pasir berliat sebesar db. Nilai SV terbesar untuk substrat pasir terdapat pada stasiun 6 sebesar db, dan terkecil pada stasiun 7 yaitu sebesar db. Sedangkan untuk substrat pasir berlanau, nilai SV terbesar terdapat pada stasiun 3 sebesar db dan terkecil pada stasiun 8 yaitu sebesar db (Tabel 8). Nilai SV rata-rata untuk substrat pasir sebesar db dan pasir berlanau sebesar db. Tabel 8 Nilai SV dan SS untuk berbagai tipe substrat dasar perairan Stasiun Tipe substrat SV SS (db) (db) Sta 1 Pasir Sta 2 Pasir Sta 3 Pasir berlanau Sta 4 Pasir berlanau Sta 5 Pasir berliat Sta 6 Pasir Sta 7 Pasir Sta 8 Pasir berlanau Sta 9 Pasir

80 58 Echogram merupakan hasil rekaman dari rangkaian echo yang berasal dari target yang terdeteksi oleh sistem akustik. Tampilan echogram yang merefleksikan nilai volume backscattering strength untuk berbagai tipe substrat yang mewakili stasiun pengamatan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 36, 37, dan 38. (a). (b). Gambar 36 Tampilan echogram SV tipe substrat pasir di lokasi penelitian (a) Stasiun 6, (b) Stasiun 7.

81 59 (a). (b). Gambar 37 Tampilan echogram SV tipe substrat pasir berlanau di lokasi penelitian (a) Stasiun 3, (b) Stasiun 4.

82 60 Gambar 38 Tampilan echogram SV tipe substrat pasir berliat di lokasi penelitian Surface Backscattering Strength (SS) dan Echo Level (EL) Dasar Perairan Hasil kuantifikasi SS echo dasar perairan menunjukkan bahwa nilai SS untuk substrat pasir berkisar antara db hingga db, substrat pasir berlanau berkisar antara db hingga db, dan substrat pasir berliat sebesar db. Nilai SS terbesar untuk substrat pasir terdapat pada stasiun 6 sebesar db, dan terkecil pada stasiun 7 yaitu sebesar db. Sedangkan untuk substrat pasir berlanau, nilai SS terbesar terdapat pada stasiun 3 sebesar db dan terkecil pada stasiun 8 yaitu sebesar db (Tabel 8). Nilai SS rata-rata untuk substrat pasir adalah sebesar db dan pasir berlanau sebesar db. Tampilan echogram yang merefleksikan nilai surface backscattering strength untuk berbagai tipe substrat yang mewakili stasiun pengamatan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 39, 40, dan 41.

83 61 (a). (b) Gambar 39 Tampilan echogram SS tipe substrat pasir (a) Stasiun 6, (b) Stasiun 7.

84 62 (a). (b). Gambar 40 Tampilan echogram SS tipe substrat pasir berlanau (a) Stasiun 3, (b) Stasiun 4.

85 63 Gambar 41 Tampilan echogram SS tipe substrat pasir berliat di lokasi penelitian. Pada penelitian ini juga dilakukan perhitungan nilai echo level untuk berbagai tipe substrat dasar perairan di lokasi penelitian. Beberapa faktor yang mempengaruhi nilai echo level antara lain adalah source level dari tipe transducer yang digunakan, koefisien absorpsi, jarak transducer terhadap dasar perairan, kecepatan rambat gelombang suara dalam perairan, pulse length, serta nilai SS dasar perairan. Nilai echo level terbesar akan diperoleh pada saat transmisi gelombang akustik berada pada posisi tegak lurus terhadap dasar perairan. Berdasarkan perhitungan nilai echo level di lokasi penelitian, diperoleh hasil bahwa untuk substrat pasir berkisar antara db hingga db, substrat pasir berlanau berkisar antara db hingga db, dan substrat pasir berliat sebesar db. Gambar 42 menunjukkan contoh perhitungan nilai echo level untuk tipe substrat pasir dan pasir berlanau.

86 Echo Level(dB) Time (s) 140 (a). 135 Echo Level(dB) Time (s) (b). Gambar 42 Nilai echo level untuk (a) substrat pasir pada stasiun 9, dan (b) substrat pasir berlanau pada stasiun 8. Selanjutnya pada Gambar 43, 44 dan 45 menunjukkan contoh pola perambatan pulsa akustik yang diukur dalam SV dan SS dari dasar perairan untuk berbagai tipe substrat. Puncak nilai SV dan SS diperkirakan sebagai echo dari dasar perairan.

87 65-15 SSr SVr -20 Acoustic Backscattering Strength (db) Depth (m) (a) -15 SSr SVr -20 Acoustic Backscattering Strength (db) Depth (m) (b). Gambar 43 Pola SV dan SS tipe substrat pasir; (a) stasiun 6, (b) stasiun 7.

88 66-15 SSr SVr -20 Acoustic Backscattering Strength (db) Depth (m) (a) SSr SVr Acoustic Backscattering Strength (db) Depth (m) (b) Gambar 44 Pola SV dan SS tipe substrat pasir berlanau (a) stasiun 3, (b) stasiun 4.

89 67-15 SSr SVr -20 Acoustic Backscattering Strength (db) Depth (m) Gambar 45 Pola SV dan SS tipe substrat pasir berliat. Berdasarkan hasil-hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai SS bervariasi untuk berbagai tipe substrat dasar perairan. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh dari densitas, porositas dan impedansi akustik dari sedimen dasar perairan. Secara umum terlihat bahwa substrat dasar perairan yang lebih keras (seperti pasir) memiliki nilai backscattering strength yang lebih besar dibandingkan dengan substrat yang lebih lunak (Gambar 46). Substrat yang lebih keras juga akan menghasilkan intensitas echo yang lebih kuat, dalam bentuk amplitudo yang lebih tinggi, dibandingkan dengan substrat yang lebih lunak. Substrat yang lebih keras juga akan memiliki ukuran butiran partikel yang lebih besar dibandingkan dengan substrat yang lebih lunak. Hal ini sejalan dengan pernyataan Manik (2011) yang menjelaskan bahwa bila ukuran diameter partikel semakin bertambah, maka nilai backscattering strength akan semakin meningkat.

90 68-10 SS (db) y = 0,128x - 28,22 R² = 0,899 Stasiun pengamatan Pasir (%) (a) SS (db) -20 Stasiun pengamatan y = -0,152x - 16,38 R² = 0, Lanau (%) (b). Gambar 46 Scatter plot antara (a) substrat pasir dengan SS, (b) substrat lanau dengan SS. Beberapa peneliti yang melakukan penelitian mengenai nilai backscattering strength di perairan Indonesia antara lain : Allo (2011), Pujiyati et al. (2010), dan Manik et al. (2006) (Tabel 9).

91 69 Tabel 9 Beberapa penelitian tentang nilai backscattering strength (BS) dasar perairan Peneliti Instrumen/ Software Lokasi Nilai BS (db) Penelitian ini Cruzpro PcFF80 Gugusan P.Pari Pasir : (2012) PC Fishfinder/ Matlab Kep. Seribu Pasir berlanau : Pasir berliat : Allo (2011) Simrad EY 60/ P. Pramuka. Pasir : Echoview dan P. Panggang. Pasir berlanau : Matlab P. Karya. P. Semak Daun Kep. Seribu Kep. Seribu Pujiyati et al. Simrad EK 500/ Perairan Pasir : (2010) EP 500 Kep. Pari Pasir berlanau : Manik et al. (2006) Quantitative Echo Sounder/ Matlab Kep. Seribu Samudera Pasir : Hindia Lanau berpasir : Lanau : Acoustic Reflection (R) dan Bottom Loss (BL) Dasar Perairan Hasil pengukuran dan perhitungan beberapa sifat fisis sedimen dasar laut seperti sediment velocity, impedansi akustik, koefisien refleksi, dan bottom loss disajikan dalam Tabel 10. Untuk menghitung nilai impedansi akustik dari beberapa tipe substrat sedimen di lokasi penelitian, diperlukan pengetahuan tentang nilai densitas dan kecepatan rambat gelombang akustik dalam substrat yang bersesuaian. Nilai densitas diperoleh dari hasil analisis sifat fisis sedimen di laboratorium, sedangkan nilai cepat rambat gelombang akustik dalam sedimen mengacu pada Jackson dan Richardson (2007). Perhitungan cepat rambat gelombang suara dalam medium air laut menggunakan formula Medwin, 1975 (diacu dalam Urick, 1983) dengan memperhitungkan faktor suhu, salinitas, dan kedalaman perairan. Berdasarkan hasil perhitungan yang diperoleh, terlihat bahwa substrat pasir memiliki nilai koefisien refleksi yang lebih besar dibandingkan substrat pasir berlanau dan pasir berliat. Sebaliknya substrat pasir memiliki nilai bottom loss yang lebih kecil bila dibandingkan dengan substrat pasir berlanau dan pasir berliat. Hal ini berarti bahwa energi akustik yang mengenai substrat pasir akan

92 70 mengalami kehilangan energinya lebih sedikit dibandingkan kehilangan energi yang terjadi pada substrat pasir berlanau dan pasir berliat. Secara umum berlaku bahwa makin besar nilai koefisien refleksi, maka nilai bottom loss akan makin mengecil. Gambar 47 menjelaskan hubungan antara bottom loss dengan impedansi akustik dan koefisien refleksi. 13,20 Bottom loss (db) 12,80 12,40 12,00 11,60 11,20 y = -35,6x + 20,96 R² = 0,999 0,2 0,21 0,22 0,23 0,24 0,25 0,26 0,27 Koefisien refleksi (R) (a). 13,20 Bottom Loss (db) 12,80 12,40 12,00 11,60 11,20 y = -6,359x + 28,81 R² = 0,996 2,40 2,50 2,60 2,70 2,80 Impedance (10⁶ kg/m² s) (b). Gambar 47 Grafik hubungan antara bottom loss dengan (a) koefisien refleksi, (b) impedansi akustik.

93 Buat tabel 10.[LANDSCAPE] 71

94 Principal Component Analysis Principal Component Analysis merupakan salah satu teknik multivariate statistik yang terkenal dan banyak digunakan dalam berbagai disiplin ilmu. Dalam penelitian ini, analisis komponen utama dilakukan terhadap tabel data yang berisi parameter-parameter fisis sedimen dan parameter akustik untuk melihat keterkaitan antar parameter. Parameter fisis sedimen yang digunakan dalam analisis ini meliputi densitas, porositas, komposisi sedimen (pasir, lanau, liat), koefisien refleksi (R), dan bottom loss (BL). Untuk parameter akustik meliputi SV, SS, dan EL. Salah satu fase terpenting untuk dapat menginterpretasi hasil yang diperoleh adalah menentukan jumlah sumbu yang digunakan. Dalam analisa komponen utama ini digunakan 2 sumbu faktor yaitu sumbu faktor 1 (F1) dan sumbu faktor 2 (F2). Kedua sumbu faktor ini menggambarkan variabel-variabel baru yang menjelaskan komponen utama. Hasil penjumlahan kedua faktor ini sebesar 78.73% menggambarkan keragaman data yang ada di lokasi penelitian (Gambar 48). Gambar 48 PCA untuk parameter fisis sedimen dan parameter akustik. pada sumbu faktor F1 dan F2.

95 73 Keterkaitan antara satu parameter dengan parameter lainnya juga dapat dilihat dari besarnya sudut yang terbentuk antara kedua parameter terkait. Makin kecil sudut yang terbentuk, maka kedua parameter itu akan semakin kuat keterkaitannya. Berdasarkan Gambar 48 terlihat bahwa parameter SS dan SV memiliki keterkaitan kuat dengan koefisien refleksi (R) dimana untuk material dengan nilai R yang besar, maka nilai SS dan SV nya juga akan semakin besar. Parameter lanau terkait erat dengan BL, dimana lanau memiliki nilai BL yang besar. Parameter liat terkait erat dengan parameter densitas. Nilai koordinat variabel untuk setiap sumbu menunjukkan besarnya korelasi antara variabel dan sumbu yang bersangkutan (Tabel 11). Tabel 11 Nilai koordinat variabel untuk setiap sumbu faktor Factor coordinates of the variables, based on correlations Variable Faktor Faktor Faktor Faktor Faktor Faktor Faktor Faktor Pasir Lanau Liat Densitas Porositas R BL SV SS EL Kedekatan variabel terhadap sumbu faktor menunjukkan tingkat korelasi yang terjadi. Makin dekat suatu variabel terhadap sumbu, maka tingkat korelasinya akan semakin besar. Nampak bahwa parameter-parameter seperti Pasir, R, SV, SS dan BL memiliki korelasi yang lebih besar terhadap sumbu faktor 1 dibandingkan dengan parameter lainnya. Hasil yang diperoleh, mengindikasikan koefisien dari setiap variabel dalam persamaan linear sumbu. Komponen sumbu faktor 1 sama dengan pasir lanau liat densitas porositas R BL SV SS EL. Komponen sumbu faktor 2 sama dengan 0.076pasir lanau liat densitas porositas R 0.068BL SV SS EL.

96 74 Selanjutnya berdasarkan penyebaran stasiun pengamatan pada sumbu faktor F1 dan F2 (Gambar 49), maka dihasilkan 3 kelompok sebagai berikut : a. Kelompok 1, yang meliputi stasiun 1, 2, 6, 7, dan 9, merupakan kelompok yang memiliki kandungan fraksi pasir lebih banyak dibanding kelompok lainnya, serta memiliki nilai acoustic backscattering strength yang lebih besar. Juga ditandai oleh nilai koefisien refleksi yang lebih besar dibandingkan kelompok lainnya. b. Kelompok 2, yang meliputi stasiun 3, 4, dan 8, merupakan kelompok yang memiliki kandungan fraksi lanau lebih banyak dibanding kelompok lainnya, serta memiliki nilai bottom loss yang lebih besar. c. Kelompok 3, yaitu stasiun 5 yang memiliki kandungan fraksi liat terbesar di antara 9 stasiun pengamatan, serta memiliki nilai densitas yang lebih besar dibanding stasiun pengamatan lainnya. Gambar 49 Sebaran stasiun pengamatan pada sumbu faktor F1 dan F Cluster Analysis Analisis kelompok adalah analisis statistika yang pada prinsipnya bertujuan untuk menyederhanakan data, yaitu mengelompokkan data sedemikian hingga data yang berada dalam kelompok yang sama mempunyai sifat yang relatif

97 75 homogen daripada data yang berada dalam kelompok yang berbeda, dan selanjutnya menyajikannya dalam bentuk grafik. Konsep kesamaan merupakan hal yang fundamental dalam analisis kelompok. Dalam penelitian ini, untuk menyatakan suatu data menpunyai sifat yang lebih dekat dengan data tertentu daripada dengan data yang lain (memiliki kesamaan) digunakan fungsi yang disebut jarak (distance). Jarak yang pendek antara data menunjukkan banyaknya kesamaan. Beberapa macam jarak yang biasa dipakai dalam analisis kelompok antara lain Euclidean, Manhattan, Pearson. Penentuan jarak antar kelompok menggunakan beberapa metode antara lain single linkage, complete linkage, average linkage, dan median linkage. Dalam penelitian ini digunakan average linkage. Grafik dendogram dari stasiun pengamatan berdasarkan parameter yang diukur dan dihitung dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 50 dan 51. Gambar 50 memperlihatkan pengelompokan stasiun pengamatan berdasarkan data parameter fisis sedimen yang menunjukkan kedekatan antar tipe substrat di lokasi penelitian, yaitu kelompok pasir, pasir berlanau, dan pasir berliat. Nampak bahwa substrat pasir membentuk kelompok tersendiri, ditandai oleh stasiun 1 dan 2 yang memiliki tingkat kesamaan yang terbesar diikuti oleh stasiun 7 dan 9, serta stasiun 1 dan 6. Kemudian substrat pasir berlanau juga membentuk kelompok tersendiri beranggotakan stasiun 3 dan 4. Gambar 51 menggambarkan pengelompokan stasiun pengamatan berdasarkan parameter akustik yang diperoleh. Terlihat bahwa stasiun 1 membentuk kelompok dengan stasiun 2, stasiun 7 dengan stasiun 9, stasiun 6 dengan stasiun 1, serta stasiun 3 dengan stasiun 4. Secara keseluruhan hasil analisis kelompok berdasarkan parameter fisis sedimen dan parameter akustik menunjukkan pola yang serupa, dimana tiap-tiap tipe substrat membentuk kelompok tersendiri. Solusi analisis kluster bersifat tidak unik, anggota kluster untuk tiap penyelesaian/solusi tergantung pada beberapa elemen prosedur dan beberapa solusi yang berbeda dapat diperoleh dengan mengubah satu elemen atau lebih. Solusi kluster secara keseluruhan bergantung pada variabel-variabel yang digunakan sebagai dasar untuk menilai kesamaan. Penambahan atau pengurangan

98 76 variabel-variabel yang relevan dapat mempengaruhi substansi hasil analisis kluster. Gambar 50 Dendogram parameter fisis sedimen Similarity (%) Observations Gambar 51 Dendogram parameter akustik.

99 Multi Beam Echo Sounder Batimetri Daerah Kajian Profil batimetri perairan Teluk Buyat ditampilkan pada Gambar 52. Terlihat bahwa daerah kajian secara umum memiliki batimetri yang relatif bervariasi. Pada daerah yang berdekatan dengan pantai (sisi Utara, Timur, dan Timurlaut) rata-rata memiliki kedalaman yang lebih dangkal dibandingkan dengan bagian tengah dan bagian Selatan. Sisi Utara dan Timur memiliki kedalaman ratarata berkisar antara m, sisi Timurlaut berkisar antara m. Pada bagian Selatan dan Baratdaya memiliki kedalaman rata-rata berkisar antara m. Pada bagian tengah wilayah survei terdapat area yang menyerupai gundukan dengan kedalaman rata-rata 70 m. Lokasi paling dangkal ditemukan pada sisi Timurlaut pada posisi BT LU dengan kedalaman mencapai m. Sedangkan lokasi terdalam berada pada posisi BT LU dengan kedalaman mencapai m. Hasil perhitungan untuk ketelitian kedalaman disajikan dalam Tabel 12. Sebagai contoh untuk kedalaman m, nilai ketelitian yang diperoleh adalah sebesar m. Hal ini berarti pengukuran batimetri pada kedalaman itu memiliki pertambahan ataupun pengurangan sebesar m. Kemudian pada kedalaman m memiliki ketelitian sebesar m. Terlihat bahwa nilai ketelitian akan semakin berkurang dengan makin bertambahnya kedalaman. Kondisi topografi dasar perairan Teluk Buyat ditampilkan dalam Gambar 53.

100 78 Gambar 52 Profil batimetri daerah kajian. [LANSCAPE]

101 79 Gambar 53 Kondisi topografi dasar laut Teluk Buyat. [LANSCAPE]

102 80 Bujur (T) Tabel 12 Ketelitian kedalaman Lintang (U) Kedalaman (m) Ketelitian (m)

103 Acoustik Backscattering Strength Dasar Perairan Data sounding yang dihasilkan dalam survei dengan instrumen multi beam mengandung dua informasi yaitu kedalaman dan kekuatan amplitudo dari energi akustik yang diterima kembali oleh receiver. Informasi mengenai kekuatan amplitudo energi akustik yang berasal dari dasar perairan ini merefleksikan acoustic backscattering strength dasar perairan. Gambar 54 menunjukkan sebaran nilai amplitudo energi akustik yang berasal dari dasar laut. Hasil survei menunjukkan nilai amplitudo energi akustik sangat bervariasi. Nilai amplitudo terendah sebesar 249 terletak di bagian Tenggara area survei, pada posisi BT LU, sedangkan amplitudo tertinggi sebesar 985 terletak di bagian Timurlaut area survei, yaitu pada posisi BT LU. Secara umum area survei yang berdekatan dengan pantai/daratan (sisi Timurlaut, Utara dan Barat) memiliki nilai amplitudo yang lebih besar dibandingkan dengan area yang berdekatan dengan laut terbuka (sisi Selatan dan Tenggara). Visualisasi secara tiga dimensi sebaran nilai amplitudo yang berkaitan dengan tingkat kekerasan permukaan dasar laut di area survei disajikan dalam Gambar 55. Backscatter image yang mencerminkan sebaran nilai backscatter dasar perairan disajikan dalam Gambar 56. Nilai backscatter terendah sebesar db terletak di bagian Tenggara area survei, pada posisi BT LU, sedangkan tertinggi sebesar db terletak di bagian Timurlaut area survei, yaitu pada posisi BT LU. Secara umum area survei yang berdekatan dengan pantai/daratan (sisi Timurlaut, Utara dan Barat) memiliki nilai backscatter yang lebih besar dibandingkan dengan area yang berdekatan dengan laut terbuka (sisi Selatan dan Tenggara).

104 Gambar 54 Sebaran nilai amplitudo. 82

105 83 Gambar 55 Visualisasi tingkat kekerasan permukaan dasar laut di area survei. Gambar 56 Distribusi spasial nilai backscatter dalam db.

106 Analisis Sedimen Permukaan Dasar Laut Analisis sedimen permukaan dasar laut di perairan Teluk Buyat mengacu pada hasil survei yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (P3GL) tahun Pengambilan contoh sedimen dasar laut dilakukan pada 17 titik lokasi/stasiun dengan menggunakan alat penginti comot (grab sampler). Namun hanya 4 lokasi yang bersesuaian dengan daerah pengkajian dalam tesis ini (yaitu stasiun 4, 5, 6 dan 13). Hasil analisis sedimen permukaan disajikan dalam Tabel 13. Tabel 13 Hasil analisis sedimen permukaan di Teluk Buyat No. Posisi Geografis Kedalaman Stasiun Bujur (T) Lintang (U) (m) Jenis sedimen Sta Pasir lanauan Sta Pasir lanauan Sta Pasir lanauan sedikit kerikilan Sta Pasir lanauan Sta Lanau pasiran Sta Lanau pasiran Sta Pasir Sta Lanau pasiran Sta Lanau pasiran Sta Lanau pasiran Sumber : Ilahude (2009)

107 Klasifikasi Jenis Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan Acoustic Backscattering Strength Nilai backscatter sedimen diperoleh dengan mencocokkan posisi koordinat contoh sedimen dengan koordinat nilai backscatter dasar laut (Gambar 57), sehingga diperoleh nilai backscatter untuk tiap-tiap jenis sedimen (Tabel 14). Tabel 14 Nilai backscatter berbagai jenis sedimen Nilai backscatter Stasiun Jenis sedimen Amplitudo Kisaran Decibel Kisaran (mv) (mv) (db) (db) Sta 4 Pasir lanauan Sta 5 Lanau pasiran Sta 6 Lanau pasiran Sta 13 Lanau pasiran Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa di lokasi penelitian hanya ditemukan dua jenis substrat yaitu substrat pasir lanauan (silty sand) dan lanau pasiran (sandy silt). Substrat pasir lanauan memiliki nilai backscatter berkisar antara db hingga db dengan nilai rata-rata sebesar db, sedangkan substrat lanau pasiran berkisar antara db hingga db dengan nilai rata-rata db.

108 86 Gambar 57 Tumpang susun jenis sedimen dengan amplitudo. ( ) pasir lanauan, ( ) lanau pasiran. Tumpang susun antara sebaran nilai amplitudo dan batimetri disajikan dalam Gambar 58, sedangkan tumpang susun antara sebaran nilai backscatter dan batimetri disajikan dalam Gambar 59.

109 Gambar 58 Tumpang susun antara sebaran nilai amplitudo dan batimetri. 87

110 88 Gambar 59 Tumpang susun antara sebaran nilai backscatter dan batimetri. Berdasarkan Gambar 57, 58 dan 59 nampak bahwa tipe substrat lanau pasiran menutupi sebagian besar daerah kajian. Substrat pasir lanauan terletak di bagian Timurlaut dan bagian tengah daerah kajian, ditandai dengan nilai backscatter nya yang lebih besar dibandingkan lokasi lainnya. Semakin ke arah Selatan dan Tenggara, semakin dalam perairannya, pola kecenderungan nilai backscatter nya semakin kecil. Hal ini bersesuaian dengan tipe sedimen yang memiliki ukuran butir lebih kecil seperti lanau, liat dan campuran dari keduanya. Terlihat bahwa dalam satu jenis substrat yang sama bisa memiliki nilai backscatter yang berbeda. Hal ini disebabkan persentase komposisi partikel penyusun substrat tersebut berbeda-beda, sehingga respon terhadap pulsa akustik yang mengenainya akan berbeda pula.

111 89 Sebaran berbagai jenis sedimen di dasar laut ini dipengaruhi oleh faktor arus dan gelombang. Substrat pasir yang memiliki ukuran butir lebih besar, cenderung akan terendapkan pada kondisi arus laut yang lebih kuat dibandingkan dengan lanau dan liat, sehingga pasir akan cenderung berada di area yang berdekatan dengan daratan dan perairan yang lebih dangkal. Gambar 60 menyajikan perbandingan beberapa hasil penelitian mengenai backscatter dasar perairan dengan instrumen MBES yang berbeda. Gambar 60 Perbandingan nilai backscattering strength pada beberapa tipe substrat. Dalam analisa backscatter untuk mengidentifikasi jenis sedimen, terdapat perbedaan yang mendasar antara sistem single beam dan multibeam. Sistem single beam memiliki beberapa keuntungan yaitu sudut datang setiap ping yang dipancarkan konstan, dan ukuran data akustiknya relatif lebih kecil. Kelemahan sistem ini terletak pada cakupan area dasar laut yang diensonifikasi terbatas hanya pada beam tunggal, sehingga resolusinya rendah. Pada sisi lain, sistem multi beam memiliki cakupan area dan tingkat resolusi yang lebih baik daripada single beam, namun pemrosesan datanya lebih komplek.

112 90 Hasil penelitian menggunakan instrumen single beam Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder di perairan Kepulauan Seribu yang beroperasi pada frekuensi 200 khz menunjukkan bahwa nilai rata-rata acoustic backscattering strength untuk substrat pasir lanauan adalah sebesar db. Sedangkan penelitian menggunakan instrumen Elac Seabeam 1050D MBES di perairan Teluk Buyat yang dioperasikan pada frekuensi 180 khz menunjukkan bahwa untuk tipe substrat pasir lanauan memiliki nilai rata-rata sebesar db. Pada sistem single beam maupun multi beam nilai acoustic backscattering strength dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : frekuensi alat yang digunakan, sifat-sifat fisis dasar laut (tipe sedimen), komposisi partikel penyusun sedimen dasar perairan, konfigurasi sonar (jarak, beamwidth), kecepatan rambat gelombang akustik dalam kolom air, serta geometri pengukuran (Oliveira & Clarke 2007). Jenis sedimen yang sama yang terletak pada lokasi perairan yang berlainan dapat memiliki nilai backscatter yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh persentase komposisi material penyusun dasar lautnya berbeda-beda, selain faktor oseanografis kolom air. Dalam hal konfigurasi sonar dan geometri pengukuran, pada sistem single beam, untuk setiap pemancaran pulsa akustik (ping tunggal) hanya akan didapatkan satu set parameter-parameter informasi pada posisi tunggal, yaitu tepat berada di bawah badan kapal. Besar kecilnya ukuran footprint dari beam akustik tidak akan memberikan pengaruh. Sehingga sepanjang lintasan survei akan dihasilkan sebuah garis yang tersusun dari discrete points yang mengandung informasi tentang sejumlah parameter seperti kedalaman, kekerasan (hardness), dan kekasaran (roughness) pada tiap-tiap titik. Pada sistem multi beam untuk setiap pemancaran ping tunggal akan didapatkan lebih dari satu lokasi pada area dasar laut yang mengalami ensonifikasi yang dinamakan beam. Informasi yang terkandung dalam setiap beam berupa kedalaman dan amplitudo atau backscatter dari echo yang kembali. Informasi tentang kedalaman dan amplitudo bersifat co-located (L-3 Communication Seabeam Instrumen 2000), sehingga berdasarkan data multi beam yang diperoleh dari seluruh area survei dapat dilakukan konstruksi backscatter image. Sinyal backscatter dari dasar laut direkam sebagai fungsi waktu dan intensitas tiap sinyal

113 91 backscatter menggambarkan ketidakberaturan dasar laut yang mengalami ensonifikasi (Simons & Snellen 2009).

114 92 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Hasil penelitian menggunakan sistem single beam dengan instrumen Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder di perairan Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa nilai SS untuk substrat pasir berkisar antara db hingga db, substrat pasir berlanau antara db hingga db, dan substrat pasir berliat sebesar db. Hasil perhitungan nilai echo level (EL) pada penggunaan source level (SL) sebesar 163 db menunjukkan bahwa untuk substrat pasir berkisar antara db hingga db, substrat pasir berlanau antara db hingga db, dan substrat pasir berliat sebesar db. Karakteristik fisik sedimen dasar perairan yang terukur seperti tekstur, porositas, dan densitas merupakan faktor yang mempengaruhi besarnya nilai acoustic backscattering strength dasar perairan. Hasil penelitian menggunakan sistem multi beam dengan instrumen Elac Seabeam 1050D MBES di perairan Teluk Buyat menunjukkan bahwa nilai SS dasar perairan untuk substrat pasir lanauan berkisar antara db hingga db dan substrat lanau pasiran antara db hingga db. Adanya perbedaan nilai acoustic backscattering strength pada tipe substrat yang sama, yang terletak pada lokasi perairan yang berbeda disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : frekuensi alat yang digunakan, sifat-sifat fisis dasar perairan, komposisi partikel penyusun sedimen dasar perairan, konfigurasi sonar (jarak, beamwidth), kecepatan rambat gelombang akustik dalam kolom air (faktor oseanografis perairan), serta geometri pengukuran. 5.2 Saran Penelitian ini menggunakan dua sistem instrumen yang berbeda (single beam dan multi beam echo sounder), yang dilakukan pada dua lokasi perairan yang berlainan. Untuk mendapatkan nilai hasil perbandingan yang lebih mendekati kebenaran, disarankan untuk melakukan penelitian pada satu lokasi perairan yang sama, dan dalam waktu yang bersamaan. Pengambilan data sampling sedimen sebagai ground truth perlu diperbanyak, yang bisa mewakili seluruh area penelitian, baik pada penggunaan

115 93 sistem single beam maupun multi beam. Sehingga klasifikasi sedimen yang dilakukan pada area penelitian berdasarkan nilai-nilai acoustic backscattering strength dapat lebih obyektif.

116 94 DAFTAR PUSTAKA Abdi H, Williams LJ Principal Component Analysis. Wiley Interdisciplinary Reviews : Computational Statistics, 2. Allo OAT Kuantifikasi dan karakterisasi acoustic backscattering dasar perairan di Kepulauan Seribu Jakarta [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Anderson JT, Holliday DV, Kloser R, Reid DG, Simard Y Acoustic seabed classification: current practice and future directions. ICES Journal of Marine Science, 65: Bengen DG Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. [BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Pengkajian, Penerapan, dan Pelayanan Jasa Teknologi Survei Kelautan. Laporan Volume 3. Jakarta: Balai Teknologi Survei Kelautan, BPPT. Burczynski J Bottom Classification. USA. BioSonics, Inc. Chanchal D, Chakraborty B Model-Based Acoustic Remote Sensing of Seafloor Characteristics. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, Vol. 49, No. 10 hlm Collins WT, Lacroix P Operational Philosophy of Acoustic Waveform Data Processing for Seabed Classification. Singapore. COSU 97. Oceanology International 97. Diaz JVM Analysis of Multibeam Sonar Data for the Characterization of Seafloor Habitats [Thesis]. The University of New Brunswick. Etter PC Underwater Acoustic Modeling-Principles, techniques and applications Second edition. E & FN SPON, London. Chapman & Hall. Harahap ZA Kuantifikasi hambur balik akustik dasar laut menggunakan instrumen multi beam echosounder [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hoffman JC, Burczynski J, Sabol B, Heilman M Digital Acoustic System for Ecosystem Monitoring and Mapping: Assessment of Fish, Plankton, Submersed Aquatic Vegetation, and Bottom Substrata Classification. The BioSonics Newsletter, Volume 12, Issue 2. Hutabarat S, Evans SM Pengantar Oseanografi. Jakarta, UI Press.

117 95 IHO Standards for Hydrographic Surveys. International Hydrographic Bureau. Monaco. Ilahude D Studi perubahan morfologi dasar laut pada kegiatan penempatan tailing bawah laut Teluk Buyat Sulawesi Utara. PPPGL Bandung. Jackson DR, Richardson MD High Frequency Seafloor Acoustic. Springer Science Business Media. New York. 616 hlm. Kagesten G Geological Seafloor Mapping with Backscatter Data from A Multibeam Echo sounder [Tesis]. Uppsala : Uppsala University. Kenny AJ, Andrulewicz E, Bokuniewicz H, Boyd E An overview of seabed mapping technologies in the context of marine habitat classification. ICES : Theme session on classification and mapping of marine habitats. Kim GY, Richardson MD, Bibee DL, Kim DC, Wilkens RH, Shin SR, Song ST Sediment types determination using acoustic techniques in the Northeastern Gulf of Mexico. Geosciences Journal, 8: L-3 Communications SeaBeam Instruments Multibeam Sonar Theory of Operation. L-3 Communications Elac Nautic Gmbh. Seabeam 1050D-Multibeam Sonar. L-3 Communications Elac Nautic Maintenance Manual for SEABEAM 1000 Series. Technical Manual. TH E. Kiel Germany. Lurton X An Introduction to Underwater Acoustics. Chichester, UK. Praxis Publishing. MacLennan DN, Simmonds E J Fisheries Acoustics. United Kingdom. Blackwell Science. Manik HM Pengukuran akustik Scattering Strength Dasar Laut dan Identifikasi Habitat Ikan dengan Echosounder. Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK-IPB. Bogor. Manik HM Underwater Acoustic Detection and Signal Processing Near the Seabed. Di dalam: Kolev N, editor. Sonar Systems. Ed ke-1. Croatia: Intechweb. hlm Manik HM Seabed Identification and Characterization Using Sonar. Advances in Acoustics and Vibration. Volume Article ID doi: /2012/

118 96 Medwin H, Clay CS Fundamentals of Acoustical Oceanography. London.Academic Press Limited. Penrose JD, Siwabessy PJW, Gavrilov A, Parnum I, Hamilton LJ Acoustic Techniques for Seabed Classification. Cooperative Research Centre for Coastal Zone Estuary and Waterway Management. Technical Report 32. Pujiyati S, Hartati S, Priyono P Efek ukuran butiran, kekasaran, dan kekerasan dasar perairan terhadap nilai hambur balik hasil deteksi hydroakustik. E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 2: Schmidt V, Chayes D, Caress D The MB-System Cookbook. Columbia University. Shepard FP Nomenclature based on sand-silt-clay ratios: Journal of Sedimentary Petrology, v. 24, p Siemes K, Snellen M, Simons DG, Herman JP Using MBES backscatter strength measurements for assessing a shallow water soft sediment environment. IEEE : Simons DG, Snellen M Seafloor mapping. Lecture notes. Delft University of Technology. Siwabessy J, Penrose J, Kloser R, Fox D Seabed habitat classification. Sydney, Australia. Shallow Survey '99 - International Conference on High Resolution Surveys in Shallow Water. Thurman HV Essentials of Oceanography, Fourth Edition, New York. Macmillan Publishing Company. hlm Urick RJ Principles of Underwater Sound, 3 rd ed. New York. Mc-Graw- Hill. Waite AD Sonar for Practising Engineers. Third Edition, Chichester, West Sussex, England. John Wiley & Sons Ltd. Watt JV, Eng P Seabed Classification A New Layer for the Marine GIS. Canada. Quester Tangent Corporation. [5 juni 2012]. component analysis PCA.htm [29 Mei 2012]. [19 juni 2012].

119 97

120 LAMPIRAN 97

121 98 Lampiran 1 Kapal nelayan yang digunakan untuk pengambilan data akustik pada sistem single beam Lampiran 2 Konfigurasi instrumen single beam di kapal

122 99 Lampiran 3 Alat pengukur parameter fisik sedimen di Laboratorium Fisika Tanah Balai Penelitian Tanah, Bogor Shaker (ASTM E-11, USA standart) Oven pengering Timbangan Alat pengukur densitas sedimen Alat pengukur porositas

123 100 Lampiran 4 Foto tipe substrat dasar perairan di lokasi penelitian Kepulauan Seribu Substrat pasir Substrat pasir berlanau Substrat pasir berliat

124 101 Lampiran 5 Listing program Matlab untuk menampilkan echogram, acoustic backscattering strength, dan echo level %% PROGRAM MATLAB %% % PENGOLAHAN DATA AKUSTIK CRUZPRO FISHFINDER % % FPIK ITK IPB 2012 % %% Rumusan Dasar %% % EL=SL-2TL+TS+2DI % EL= SL-2*(20LOG10(RR)-2(alp)(RR))+TS+2DI % SL=10*log10(p) % p=((rho*c*pa*sig*di)/4*phi)) % Pe=v^2/R % k = 2*phi*F/C % V = phi*(r^2)*t %% Memasukan variabel %% % a= 0.045; % Pa = 53.9; %v = 12; %R = v/15; % hambatan %r = 0.5; %t = 1; %phi=3.14; %Sound Speed formula% % C= T-0.04T^2 %% Memasukan variabel %% C=1546.8; F=200000; a=0.045; phi=3.14; ld= C/F; t=0.004; r=r; %rho=1000; %Vreff=6.5043e-004; % beamwidth % Kec. Suara dlm air laut Formula Medwin % Frekwensi Transducer Cruzpro 200 khz % Diameter Lingkaran Transducer % Lamda, panjang gelombang suara % Tau (Pulse Length) % Jarak target dari permukaan transducer pada tiap sta.(m) beamwidth=20*log10(ld/2*phi*a)+7.7;%urick,1983 hal.243 %% Perhitungan Variabel %% %k =2*phi*F/C ; %DI=(k*a)^2; %Pe=v^2/R; %Sig=(Pa/Pe)*0.01; %p=(((rho*c*pa*sig*di)/4*phi)^0.5); %% Perhitungan Variabel Akustik %% %Kecepatan suara medwin %% Parameter Instrumen %% % % AG0=-53.78; % amplifier gain RS=-185; % Receiving sensitivity 200 khz

125 102 SL=163; % Source Level 200 khz RS2=-173; % Receiving sensitivity 50 khz %AGTR=10^(AG0/10); %RSTR=10^(RS/10); %KTRlin=AGTR*RSTR; %KTR=20*log10(KTRlin); alpha= ; % koef absorpsi untuk 200 khz [Formula Schulkin dan Marsh, Urick hal.105] TL=20*log10(r)+alpha*r; % count=12; % contoh count makscount=255; % 8 bit % VR=20*log10((count)/makscount)); jumrec=1; % jumlah receiver AVG=20*log10(jumrec); % array voltage gain %% Perhitungan Parameter Akustik %% %% load data melalui workspace %% %% Surface Backscattering Strength (SS) %% xx=sbst10x28i i0x290x2810x2e780x29; %% inisialisasi data ke variabel aa=xx(1:size(xx,1),18:size(xx,2)); aaa=rot90(aa); VR=20*(log10((aaa)/makscount)); SS=-RS-SL+2*TL+VR-AVG+AG0; %% Reverberation Level RL (Urick 1983) %% RL=SL-2*TL+SS+10*log10(beamwidth)+10*log10(C*t/2)+10*log10(r); %% Volume Backscattering Strength (SV) %% % SV=10*log10(dens)+TS %SV=RL-SL+2*TL-10*log10(beamwidth)-10*log10(C*t/2)-10*log10(r^2); %% SV,Furusawa %% %SV=VR+20*log10(r)+2*r*(alpha/1000)-65-10*log10(C*t/2)+19.1; SV=RL-SL+2*TL-10*log10(beamwidth)-10*log10(C*t/2)-10*log10(r^2); %% Rata-rata Surface Backscattering Strength (SSr)%% NN=size(aa,2); NNN=NN-11; ff=aa(:,1:nnn); hh=mean(ff); VR1=20*(log10((hh)/makscount)); SSr=-RS-SL+2*TL+VR1-AVG+AG0; %% Rata-rata RL %% RLr=SL-2*TL+SSr+10*log10(beamwidth)+10*log10(C*t/2)+10*log10(r); %% Rata-rata Volume Backscattering Strength (SVr) %%

126 103 % SVr=RLr-SL+2*TL-10*log10(beamwidth)-10*log10(C*t/2)- 10*log10(r^2); SVr=SSr-10*log10(C*tau/2) %% Echo Level %% EL=SL-2*TL+SS; ELr=SL-2*TL+SSr; %EL=SL-30*log10(r)-2*alpha*r+10*log10(phi*C*t)+SS; %% Rata rata Echo Level (ELr) %% %ELr=SL-30*log10(r)-2*alpha*r+10*log10(phi*C*t)+SSr; %% Matrik Kedalaman %% lamda=3*(c/f); range=([1:size(aaa,1)]); N=length(range); dpt=(0:lamda:length(aaa))'; Y=dpt(1:N); YX=Y+1; YY=sort(YX,1,'descend'); X=[1:1:length(aaa)]; XX=[1:1:length(ff)]; N1=length(hh); dpt1=(0:lamda:length(hh))'; Y1=dpt1(1:N1); YX1=Y1+1; YY1=sort(YX1,1,'ascend'); X1=[1:1:length(hh)]; time=x(1:1:length(hh)); %% Figure 1 %% figure('name','time Series of Surface Scattering Strength','NumberTitle','on') imagesc(x,yy,ss); colorbar('location','eastoutside') Title ('Grafik Time Series of Surface Backscattering Strength ( SS(dB) ) Stasion 1 ') ylabel('depth (m)') xlabel('time (s)') %% Figure 2 %% figure('name','time Series of Volume Scattering Strength','NumberTitle','on') imagesc(x,yy,sv); colorbar('location','eastoutside') Title ('Grafik Time Series of Volume Backscattering Strength ( SV(dB)) Stasion 1 ') ylabel('depth (m)') xlabel('time (s)')

127 104 %% figure 3 %% figure('name','intensitas Acoustic Backscattering Strength Vs Depth') plot(yy1,ssr,'-r',yy1,svr,'-') h = legend('ssr','svr',2); set(h,'interpreter','none') Title ('Substrat Sta 1') ylabel('intensitas Acoustic Backscattering Strength (db)') xlabel('depth (m)') grid on %% figure 4 %% figure('name','echo Level(dB)Vs Time') plot(time,elr,'-') Title ('Substrat Sta1') ylabel('echo Level(dB)') xlabel('time (s)') grid on %% %%

128 105 Lampiran 6 Tampilan echogram volume backscattering strength (lanjutan) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 8 Stasiun 9

129 106 Lampiran 7 Tampilan echogram surface backscattering strength (lanjutan) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 8 Stasiun 9

130 107 Lampiran 8 Tampilan grafik echo level (lanjutan) Echo Level(dB) Time (s) Stasiun Echo Level(dB) Time (s) Stasiun Echo Level(dB) Time (s) Stasiun Echo Level(dB) Time (s) Stasiun 4

131 108 Lampiran 8 (lanjutan) Echo Level(dB) Time (s) Stasiun Echo Level(dB) Time (s) Stasiun Echo Level(dB) Time (s) Stasiun 7

132 109 Lampiran 9 Tampilan pola SV dan SS pada stasiun pengamatan (lanjutan) -15 SSr SVr -20 Acoustic Backscattering Strength (db) Depth (m) -15 Stasiun 1 SSr SVr -20 Acoustic Backscattering Strength (db) Depth (m) Stasiun 2 SSr SVr Acoustic Backscattering Strength (db) Depth (m) Stasiun 8 SSr SVr Acoustic Backscattering Strength (db) Depth (m) Stasiun 9

133 110 Lampiran 10 Cluster data parameter sedimen Cluster Analysis of Observations: Pasir; Lumpur; Liat; Densitas; Porositas; Pearson Distance, Average Linkage Amalgamation Steps Number Number of obs. of Similarity Distance Clusters New in new Step clusters level level joined cluster cluster ,7826 0, ,4424 0, ,6024 1, ,3915 1, ,9884 2, ,7363 3, ,1782 3, ,5936 5, Final Partition Number of clusters: 1 Within Average Maximum cluster distance distance Number of sum of from from observations squares centroid centroid Cluster ,98 13, ,6198 Lampiran 11 Cluster data parameter akustik Cluster Analysis of Observations: SV; SS; EL Manhattan Distance, Average Linkage Amalgamation Steps Number Number of obs. of Similarity Distance Clusters New in new Step clusters level level joined cluster cluster Final Partition Number of clusters: 1 Within Average Maximum cluster distance distance Number of sum of from from observations squares centroid centroid Cluster

134 Lampiran 12 Hasil analisis contoh fisika tanah 111

135 Lampiran 12 Lanjutan 112

136 113 Lampiran 13 Profil KR Baruna Jaya IV Sumber : BPPT 2010 Spesifikasi Nama Nama panggilan Tahun pembuatan Galangan pembuatan Pemilik Mesin utama Dimensi kapal Draft kapal Berat Kecepatan Jangkauan Kapasitas bahan bakar Air tawar Peralatan penelitian Keterangan Baruna Jaya IV P L I Q 1995 CMN Cherbourg France BPPT 2 x 1100 PS Niigata Pielstick 5 PA5L 60.4 x 12.1 x 4.5 m 4.15 m 1219 T knots 7500 nm liter liter Baruna Jaya IV didesain utama untuk survei perikanan dan oseanografi, dilengkapi dengan peralatan : Fish Finder, Squid Jigger, Bottom and Midwater Trawl Longline, Gill Net Fish Processing, ADCP RDI Broadband 350 khz, CTD Seabird SBE-911, Water Sampler, Current Meter, Sediment Sampler. Peralatan survei multi beam : Elac Seabeam 1050D MBES.

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sedimen Dasar Laut

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sedimen Dasar Laut 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sedimen Dasar Laut Seluruh permukaan dasar laut ditutupi oleh partikel-partikel sedimen yang telah diendapkan secara perlahan-lahan dalam jangka waktu berjuta-juta tahun. Sedimen

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam makhluk hidup yang kehidupannya berasosiasi dengan lingkungan perairan.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen Dasar Laut Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal maupun secara

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut Sedimen yang merupakan partikel lepas (unconsolidated) yang terhampar di daratan, di pesisir dan di laut itu berasal dari batuan atau material yang mengalami

Lebih terperinci

Gambar 8. Lokasi penelitian

Gambar 8. Lokasi penelitian 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Januari-3 Februari 2011 yang di perairan Pulau Gosong, Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang, Kabupaten

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapang dilakukan pada tanggal 16-18 Mei 2008 di perairan gugusan pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 11). Lokasi ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kajian dasar perairan dapat digunakan secara luas, dimana para ahli sumberdaya kelautan membutuhkannya sebagai kajian terhadap habitat bagi hewan bentik (Friedlander et

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Peta Batimetri Laut Arafura Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori perairan dangkal dimana kedalaman mencapai 100 meter. Berdasarkan data

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º - 138 º BT (Gambar 2), pada bulan November 2006 di Perairan Laut Arafura, dengan kedalaman

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL JACKSON PADA SEDIMEN BERPASIR MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI GUGUSAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU SYAHRUL PURNAWAN

ANALISIS MODEL JACKSON PADA SEDIMEN BERPASIR MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI GUGUSAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU SYAHRUL PURNAWAN ANALISIS MODEL JACKSON PADA SEDIMEN BERPASIR MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI GUGUSAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU SYAHRUL PURNAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data akustik dilakukan pada tanggal 29 Januari sampai 3 Februari 2011 di perairan Kepulauan Seribu. Wilayah penelitian mencakup di

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Lifeform Karang Secara Visual Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Berdasarkan hasil identifikasi

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2010 Juli 2011 yang meliputi tahapan persiapan, pengukuran data lapangan, pengolahan dan analisis

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji

2. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji (1987), paparan Arafura (diberi nama oleh Krummel, 1897) ini terdiri dari tiga

Lebih terperinci

SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara)

SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara) SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara) SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara) Reflection and Refraction Ketika gelombang suara merambat dalam medium, terjadi sebuah pertemuan antara kedua medium dengan kepadatan

Lebih terperinci

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI SANTI OKTAVIA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

KELOMPOK 2 JUWITA AMELIA MILYAN U. LATUE DICKY STELLA L. TOBING

KELOMPOK 2 JUWITA AMELIA MILYAN U. LATUE DICKY STELLA L. TOBING SISTEM SONAR KELOMPOK 2 JUWITA AMELIA 2012-64-0 MILYAN U. LATUE 2013-64-0 DICKY 2013-64-0 STELLA L. TOBING 2013-64-047 KARAKTERISASI PANTULAN AKUSTIK KARANG MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER SINGLE BEAM Baigo Hamuna,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengambilan Contoh Dasar Gambar 16 merupakan hasil dari plot bottom sampling dari beberapa titik yang dilakukan secara acak untuk mengetahui dimana posisi target yang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna. Mikrofauna berperan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 39 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Profil Kecepatan Suara Profil kecepatan suara (SVP) di lokasi penelitian diukur secara detail untuk mengurangi pengaruh kesalahan terhadap data multibeam pada

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI AKUSTIK BAWAH AIR

BAB 2 DASAR TEORI AKUSTIK BAWAH AIR BAB 2 DASAR TEORI AKUSTIK BAWAH AIR 2.1 Persamaan Akustik Bawah Air Persamaan akustik bawah air diturunkan dari persamaan state, persamaan kekekalan massa (persamaan kontinuitas) dan persamaan kekekalan

Lebih terperinci

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU Oleh: Arief Wijaksana C64102055 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, diperoleh data yang diuraikan pada Tabel 4. Lokasi penelitian berada

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Gambar 10. Lokasi penelitian

3. METODOLOGI. Gambar 10. Lokasi penelitian 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 29 Januari 2 Februari 2011 yang berlokasi di sekitar perairan Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Karya dan Pulau

Lebih terperinci

PENGUKURAN HAMBUR BALIK AKUSTIK DASAR LAUT DI SEKITAR KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN SPLIT BEAM ECHOSOUNDER

PENGUKURAN HAMBUR BALIK AKUSTIK DASAR LAUT DI SEKITAR KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN SPLIT BEAM ECHOSOUNDER PENGUKURAN HAMBUR BALIK AKUSTIK DASAR LAUT DI SEKITAR KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN SPLIT BEAM ECHOSOUNDER KORSUES LUMBAN GAOL SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

Scientific Echosounders

Scientific Echosounders Scientific Echosounders Namun secara secara elektronik didesain dengan amplitudo pancaran gelombang yang stabil, perhitungan waktu yang lebih akuran dan berbagai menu dan software tambahan. Contoh scientific

Lebih terperinci

KUANTIFIKASI DAN KARAKTERISASI ACOUSTIC BACKSCATTERING DASAR PERAIRAN DI KEPULAUAN SERIBU JAKARTA OBED AGTAPURA TARUK ALLO

KUANTIFIKASI DAN KARAKTERISASI ACOUSTIC BACKSCATTERING DASAR PERAIRAN DI KEPULAUAN SERIBU JAKARTA OBED AGTAPURA TARUK ALLO KUANTIFIKASI DAN KARAKTERISASI ACOUSTIC BACKSCATTERING DASAR PERAIRAN DI KEPULAUAN SERIBU JAKARTA OBED AGTAPURA TARUK ALLO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

EFEK UKURAN BUTIRAN, KEKASARAN, DAN KEKERASAN DASAR PERAIRAN TERHADAP NILAI HAMBUR BALIK HASIL DETEKSI HYDROAKUSTIK ABSTRACT

EFEK UKURAN BUTIRAN, KEKASARAN, DAN KEKERASAN DASAR PERAIRAN TERHADAP NILAI HAMBUR BALIK HASIL DETEKSI HYDROAKUSTIK ABSTRACT P P Staf P P Peneliti E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 1, Hal. 59-67, Juni 2010 EFEK UKURAN BUTIRAN, KEKASARAN, DAN KEKERASAN DASAR PERAIRAN TERHADAP NILAI HAMBUR BALIK HASIL DETEKSI

Lebih terperinci

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan 4. HASIL PEMBAHASAN 4.1 Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, ditemukan 3 jenis spesies lamun yakni Enhalus acoroides, Cymodocea

Lebih terperinci

Model integrasi echo dasar laut Blok diagram scientific echosounder ditampilkan pada Gambar I. echo pada pre-amplifier, ERB :

Model integrasi echo dasar laut Blok diagram scientific echosounder ditampilkan pada Gambar I. echo pada pre-amplifier, ERB : N AWSTIK SCATTERINGSTRENGTH DASAR LAUT DAN IDENTIFIKASI WABIcrAT I DENGAN ECHOSOUNDER (Measurement of Acoustic ScatGering Strength of Sea Bottom and Identification of Fish Habitat Using Echosounder) Oleh:

Lebih terperinci

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH P. Ika Wahyuningrum AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH Suatu teknologi pendeteksian obyek dibawah air dengan menggunakan instrumen akustik yang memanfaatkan suara dengan gelombang tertentu Secara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Gangguan Pada Audio Generator Terhadap Amplitudo Gelombang Audio Yang Dipancarkan Pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan pada berbagai tingkat audio generator

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 22 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Pengambilan data atau akuisisi data kedalaman dasar perairan dilakukan pada tanggal 18-19 Desember 2010 di perairan barat daya Provinsi Bengkulu

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Side Scan Sonar merupakan peralatan observasi dasar laut yang dapat

2. TINJAUAN PUSTAKA. Side Scan Sonar merupakan peralatan observasi dasar laut yang dapat 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Side Scan Sonar Side Scan Sonar merupakan peralatan observasi dasar laut yang dapat memancarkan beam pada kedua sisi bagiannya secara horizontal. Side scan sonar memancarkan pulsa

Lebih terperinci

Sumber : Mckenzie (2009) Gambar 2. Morfologi Lamun

Sumber : Mckenzie (2009) Gambar 2. Morfologi Lamun 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Lamun Lamun merupakan tumbuhan laut yang hidup di perairan jernih pada kedalaman berkisar antara 2 12 m dengan sirkulasi air yang baik. Hampir semua tipe substrat dapat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. (http://id.wikipedia.org/wiki/sonar, 2 April 2009). Berdasarkan sistemnya, ada

2. TINJAUAN PUSTAKA. (http://id.wikipedia.org/wiki/sonar, 2 April 2009). Berdasarkan sistemnya, ada 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sonar Sonar merupakan alat pendeteksian bawah air yang menggunakan gelombang suara untuk mendeteksi kedalaman serta benda-benda di dasar laut (http://id.wikipedia.org/wiki/sonar,

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Pengambilan data dengan menggunakan side scan sonar dilakukan selama

3. METODOLOGI. Pengambilan data dengan menggunakan side scan sonar dilakukan selama 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data dengan menggunakan side scan sonar dilakukan selama dua hari, yaitu pada 19-20 November 2008 di perairan Aceh, Lhokseumawe (Gambar 3). Sesuai

Lebih terperinci

Karakterisasi Pantulan Akustik Karang Menggunakan Echosounder Single Beam

Karakterisasi Pantulan Akustik Karang Menggunakan Echosounder Single Beam Karakterisasi Pantulan Akustik Karang Menggunakan Echosounder Single Beam Characterization of Coral Acoustics Backscattering Using Single Beam Echosounder Baigo Hamuna 1, Sri Pujiyati 2, Totok Hestirianoto

Lebih terperinci

Lampiran 1 Kapal nelayan yang digunakan untuk pengambilan data akustik pada sistem single beam. Lampiran 2 Konfigurasi instrumen single beam di kapal

Lampiran 1 Kapal nelayan yang digunakan untuk pengambilan data akustik pada sistem single beam. Lampiran 2 Konfigurasi instrumen single beam di kapal LAMPIRAN 97 98 Lampiran 1 Kapal nelayan yang digunakan untuk pengambilan data akustik pada sistem single beam Lampiran 2 Konfigurasi instrumen single beam di kapal 99 Lampiran 3 Alat pengukur parameter

Lebih terperinci

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG Pendugaan Kelimpahan dan Sebaran Ikan... Metode Akustik di Perairan Belitung (Fahmi, Z.) PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG ABSTRAK Zulkarnaen

Lebih terperinci

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C64102057 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Sound Velocity Profile (SVP) Pengukuran nilai Sound Velocity Profile (SVP) dilakukan dengan menggunkan sebuah instrumen CTD SBE 19. Instrumen ini memiliki tingkat

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Bentuk Pertumbuhan Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Bentuk Pertumbuhan Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang merupakan satu kesatuan dari berbagai jenis karang. Terumbu karang adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Pengukuran kedalaman laut atau pemeruman pada penelitian ini dilakukan di perairan Selat Sunda yang dimaksudkan untuk mendapatkan data kedalaman

Lebih terperinci

PEMODELAN KANAL KOMUNIKASI AKUSTIK PADA PERAIRAN DANGKAL

PEMODELAN KANAL KOMUNIKASI AKUSTIK PADA PERAIRAN DANGKAL PEMODELAN KANAL KOMUNIKASI AKUSTIK PADA PERAIRAN DANGKAL Taufani Rizal Nofriansyah NRP. 2207 100 004 Dosen Pembimbing : Dr. Ir. Wirawan, DEA Ir. Endang Widjiati, M.Eng.Sc Latar Belakang Kondisi perairan

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DATA SINGLE BEAM ECHOSOUNDER. Septian Nanda dan Aprillina Idha Geomatics Engineering

PENGOLAHAN DATA SINGLE BEAM ECHOSOUNDER. Septian Nanda dan Aprillina Idha Geomatics Engineering PENGOLAHAN DATA SINGLE BEAM ECHOSOUNDER Septian Nanda - 3311401055 dan Aprillina Idha - 3311401056 Geomatics Engineering Marine Acoustic, Batam State Politechnic Email : prillyaprillina@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. kondisinya dipengaruhi oleh karakteristik oseanik Samudra Hindia dan sifat

2. TINJAUAN PUSTAKA. kondisinya dipengaruhi oleh karakteristik oseanik Samudra Hindia dan sifat 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Selat Sunda terletak di antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa serta berhubungan dengan Laut Jawa dan Samudera Hindia. Pada perairan ini terdapat

Lebih terperinci

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol. 4. No. 1 Mei 2013: 31-39 ISSNN 2087-4871 HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 (THE RELATION

Lebih terperinci

DETEKSI DAN INTERPRETASI TARGET DI DASAR LAUT MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIDE SCAN SONAR

DETEKSI DAN INTERPRETASI TARGET DI DASAR LAUT MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIDE SCAN SONAR DETEKSI DAN INTERPRETASI TARGET DI DASAR LAUT MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIDE SCAN SONAR 1) Soetjie Poernama Sari 2) Henry M. Manik 1) Alumni Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK IPB 2) Dosen Bagian

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 22 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.1.1 Single Beam Echo Sounder Penelitian dengan menggunakan instrumen single beam echo sounder dilaksanakan pada tanggal 14 April 15 April 2012,

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Bab 2. Dasar Teori Akustik Bawah Air. Bab 2 Dasar Teori Akustik Bawah Air. 2.1 Persamaan Dasar Akustik

Bab 2. Dasar Teori Akustik Bawah Air. Bab 2 Dasar Teori Akustik Bawah Air. 2.1 Persamaan Dasar Akustik Bab 2 Dasar Teori Akustik Bawah Air 2.1 Persamaan Dasar Akustik Teori dasar akustik menggunakan beberapa asumsi untuk memudahkan penurunan persamaan dasar akustik. Asumsi yang digunakan berupa: 1. Fluida

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pasang Surut Pasang surut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan lanjutan yang dilakukan dari bulan Juli sampai bulan Agustus menggunakan data hasil olahan dalam bentuk format *raw.dg yang

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini menggunakan data side scan sonar yang berasal dari survei lapang untuk kegiatan pemasangan kabel PLN yang telah dilakukan oleh Pusat

Lebih terperinci

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang

PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI. Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang PERTEMUAN IV SURVEI HIDROGRAFI Survei dan Pemetaan Universitas IGM Palembang Konfigurasi Survei Hidrografi 1. Penentuan posisi (1) dan penggunaan sistem referensi (7) 2. Pengukuran kedalaman (pemeruman)

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dimulai pada tanggal 20 Januari 2011 dan menggunakan data hasil survei Balai Riset Perikanan Laut (BRPL). Survei ini dilakukan mulai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pulau Bintan Timur, Kepulauan Riau dengan tiga titik stasiun pengamatan pada bulan Januari-Mei 2013. Pengolahan data dilakukan

Lebih terperinci

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan STUDI TENTANG ARAH DAN KECEPATAN RENANG IKAN PELAGIS DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TEmAGI (SPLIT-BEAM ACOUSTIC SYSTEM ) DI PERAIRAN TELUK TOMINI PADA BULAN JULI-AGUSTUS 2003 Oleh : PAHMI PARHANI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. 1 Latar Belakang Survei batimetri merupakan proses untuk mendapatkan data kedalaman dan kondisi topografi dasar laut, termasuk lokasi obyek-obyek yang mungkin membahayakan. Pembuatan

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

3,15 Very Fine Sand 1,24 Poorlysorted -0,21 Coarse-Skewed. 4,97 Coarse Silt 1,66 Poorlysorted -1,89 Very Coarse-Skewed

3,15 Very Fine Sand 1,24 Poorlysorted -0,21 Coarse-Skewed. 4,97 Coarse Silt 1,66 Poorlysorted -1,89 Very Coarse-Skewed BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil 5.1.1. Sedimen dasar permukaan Hasil analisis sedimen permukaan dari 30 stasiun diringkas dalam parameter statistika sedimen yaitu Mean Size (Mz Ø), Skewness (Sk

Lebih terperinci

Pendahuluan. Peralatan. Sari. Abstract. Subarsyah dan M. Yusuf

Pendahuluan. Peralatan. Sari. Abstract. Subarsyah dan M. Yusuf PENGARUH FREKUENSI GELOMBANG TERHADAP RESOLUSI DAN DELINEASI PERLAPISAN SEDIMEN BAWAH PERMUKAAN DARI DUA INSTRUMEN AKUSTIK YANG BERBEDA DI SUNGAI SAGULING Subarsyah dan M. Yusuf Pusat Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DELTA MAHAKAM

PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DELTA MAHAKAM Pengukuran dan Analisis Nilai Hambur. Klasifikasi Dasar Perairan Delta Mahakam (Ningsih E.N., et al) PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DELTA MAHAKAM ACOUSTIC

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret September 2011 dengan menggunakan data berupa data echogram dimana pengambilan data secara in situ dilakukan

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Waduk Ir. H. Djuanda dan Laboratorium Akustik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor. Kegiatan penelitian ini terbagi

Lebih terperinci

II BAHAN DAN METODE. II.1 Faktor yang Mengontrol Pergerakan Sedimen

II BAHAN DAN METODE. II.1 Faktor yang Mengontrol Pergerakan Sedimen II BAHAN DAN METODE Sedimen merupakan fragmentasi material yang berasal dari pemecahan batuan akibat proses fisis dan kimiawi (van Rijn, 1993). Di kawasan pesisir, pasokan sedimen terutama berasal dari

Lebih terperinci

Oleh : HARDHANI EKO SAPUTRO C SKRIPSI

Oleh : HARDHANI EKO SAPUTRO C SKRIPSI PENGUKURAN NILAI DAN SEBARAN TARGET STRENGTH IKAN PELAGIS DAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TERBAGI (SPLIT BEAM ACOUSTIC SYSTEM) DI LAUT A MFUM PADA BULAN OKTOBER-NOPEMBER 2003 Oleh :

Lebih terperinci

INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU

INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU Oleh: Munawir C64102020 PR AN TEKNOLOGI KELAUTAN AN DAN I Lm KELAUTAN INSTITUT PERTANLAN

Lebih terperinci

DETEKSI DAN INTERPRETASI SINYAL AKUSTIK SIDE SCAN SONAR (STUDI KASUS LAUT MALUKU UTARA)

DETEKSI DAN INTERPRETASI SINYAL AKUSTIK SIDE SCAN SONAR (STUDI KASUS LAUT MALUKU UTARA) (STUDI KASUS LAUT MALUKU UTARA) Sri Suryani Nasution¹, Suwandi², Rita Magdalena³ ¹Teknik Telekomunikasi,, Universitas Telkom Abstrak Sinyal akustik merupakan sinyal suara yang dihasilkan dari alat-alat

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

Lampiran 1. Alat dan Bahan yang digunakan di Lapangan. Scientific Echosounder Simrad EY 60

Lampiran 1. Alat dan Bahan yang digunakan di Lapangan. Scientific Echosounder Simrad EY 60 56 Lampiran 1. Alat dan Bahan yang digunakan di Lapangan Scientific Echosounder Simrad EY 60 Kapal Survei Pipa Paralon berdiameter 7,6 cm (3 inch) dan Sekop Dongle Echoview 57 Lampiran 2. Foto Tipe Substrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

KUANTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KARANG BERDASARKAN KUAT HAMBUR BALIK MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK SINGLE BEAM BAIGO HAMUNA

KUANTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KARANG BERDASARKAN KUAT HAMBUR BALIK MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK SINGLE BEAM BAIGO HAMUNA 15 KUANTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KARANG BERDASARKAN KUAT HAMBUR BALIK MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK SINGLE BEAM BAIGO HAMUNA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 16 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

MUHAMMAD SULAIMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENDEKATAN AKUSTIK DALAM STUDI TINGKAH LAKU IKAN PADA PROSES PENANGKAPAN DENGAN ALAT BANTU CAHAYA (THE ACOUSTIC APPROACH TO FISH BEHAVIOUR STUDY IN CAPTURE PROCESS WITH LIGHT ATTRACTION) MUHAMMAD SULAIMAN

Lebih terperinci

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+

DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ DISTRIBUSI, KERAPATAN DAN PERUBAHAN LUAS VEGETASI MANGROVE GUGUS PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN CITRA FORMOSAT 2 DAN LANDSAT 7/ETM+ Oleh : Ganjar Saefurahman C64103081 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

NILAI KEKUATAN HAMBUR BALIK (BACKSCATTERING STRENGTH VALUE) SUBSTRAT BERPASIR STEVEN SOLIKIN

NILAI KEKUATAN HAMBUR BALIK (BACKSCATTERING STRENGTH VALUE) SUBSTRAT BERPASIR STEVEN SOLIKIN NILAI KEKUATAN HAMBUR BALIK (BACKSCATTERING STRENGTH VALUE) SUBSTRAT BERPASIR STEVEN SOLIKIN DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai 27 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, yaitu pada bulan Maret sampai dengan Juli 2012. Data yang digunakan merupakan data mentah (raw data) dari

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA Oleh Riza Aitiando Pasaribu C64103058 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

STUDI SEBARAN SEDIMEN BERDASARKAN TEKSTUR SEDIMEN DI PERAIRAN SAYUNG, DEMAK

STUDI SEBARAN SEDIMEN BERDASARKAN TEKSTUR SEDIMEN DI PERAIRAN SAYUNG, DEMAK JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 4, Nomor 3, Tahun 2015, Halaman 608-613 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose STUDI SEBARAN SEDIMEN BERDASARKAN TEKSTUR SEDIMEN DI PERAIRAN SAYUNG, DEMAK

Lebih terperinci

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT Oleh: Gading Putra Hasibuan C64104081 PROGRAM STUDI ILMU

Lebih terperinci

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA Oleh; Galih Kurniawan C64104033 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI Lokasi pada lepas pantai yang teridentifikasi memiliki potensi kandungan minyak bumi perlu dieksplorasi lebih lanjut supaya

Lebih terperinci

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK 5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK Pendahuluan Sumberdaya perikanan LCS merupakan kontribusi utama yang sangat penting di tingkat lokal, regional dan internasional untuk makanan

Lebih terperinci

KAITAN AKTIVITAS VULKANIK DENGAN DISTRIBUSI SEDIMEN DAN KANDUNGAN SUSPENSI DI PERAIRAN SELAT SUNDA

KAITAN AKTIVITAS VULKANIK DENGAN DISTRIBUSI SEDIMEN DAN KANDUNGAN SUSPENSI DI PERAIRAN SELAT SUNDA KAITAN AKTIVITAS VULKANIK DENGAN DISTRIBUSI SEDIMEN DAN KANDUNGAN SUSPENSI DI PERAIRAN SELAT SUNDA Oleh : Eko Minarto* 1) Heron Surbakti 2) Elizabeth Vorandra 3) Tjiong Giok Pin 4) Muzilman Musli 5) Eka

Lebih terperinci

3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN

3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN 3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN Pendahuluan Keberadaan sumberdaya ikan, baik ikan pelagis maupun demersal dapat diduga dengan menggunakan metode hidroakustik (Mitson 1983). Beberapa keuntungan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI AKUSTIK BAWAH AIR: SOLUSI DATA PERIKANAN LAUT INDONESIA

TEKNOLOGI AKUSTIK BAWAH AIR: SOLUSI DATA PERIKANAN LAUT INDONESIA Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 1 No. 3, Desember 2014: 181-186 ISSN : 2355-6226 TEKNOLOGI AKUSTIK BAWAH AIR: SOLUSI DATA PERIKANAN LAUT INDONESIA Henry M. Manik Departemen Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI NILAI AMPLITUDO SEDIMEN DASAR LAUT PADA PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER ABSTRAK

IDENTIFIKASI NILAI AMPLITUDO SEDIMEN DASAR LAUT PADA PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER ABSTRAK IDENTIFIKASI NILAI AMPLITUDO SEDIMEN DASAR LAUT PADA PERAIRAN DANGKAL MENGGUNAKAN MULTIBEAM ECHOSOUNDER Lufti Rangga Saputra 1), Moehammad Awaluddin 2), L.M Sabri 3) 1) Program Studi Teknik Geodesi Fakultas

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Gelombang Bunyi Perambatan Gelombang dalam Pipa

2. TINJAUAN PUSTAKA Gelombang Bunyi Perambatan Gelombang dalam Pipa 2 Metode yang sering digunakan untuk menentukan koefisien serap bunyi pada bahan akustik adalah metode ruang gaung dan metode tabung impedansi. Metode tabung impedansi ini masih dibedakan menjadi beberapa

Lebih terperinci

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Alat dan Bahan 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu pengambilan contoh dan analisis contoh. Pengambilan contoh dilaksanakan pada bulan Maret 2011 di perairan

Lebih terperinci

Pemodelan Kanal Komunikasi Akustik pada Perairan Dangkal dengan Kondisi LOS. By: dferyando.wordpress.com

Pemodelan Kanal Komunikasi Akustik pada Perairan Dangkal dengan Kondisi LOS. By: dferyando.wordpress.com Pemodelan Kanal Komunikasi Akustik pada Perairan Dangkal dengan Kondisi LOS By: dferyando.wordpress.com 1/3/2017 1. Pendahuluan Teknik komunikasi di bawah air merupakan teknik bertukar informasi yang dilakukan

Lebih terperinci

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENENTUAN LOKASI SUMBER

PENENTUAN LOKASI SUMBER PENENTUAN LOKASI SUMBER DENGAN MENGGUNAKAN HYDROPHONE TUNGGAL Annisa Firasanti 2207100159 Dosen Pembimbing: Dr. Ir. Wirawan, DEA Ir. Endang Widjiati, M.Eng.Sc LATAR BELAKANG Potensi perairan Indonesia

Lebih terperinci

PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN MAKROZOOBENTOS DI DELTA MAHAKAM

PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN MAKROZOOBENTOS DI DELTA MAHAKAM PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN MAKROZOOBENTOS DI DELTA MAHAKAM ELLIS NURJULIASTI NINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci