KUANTIFIKASI DAN KARAKTERISASI ACOUSTIC BACKSCATTERING DASAR PERAIRAN DI KEPULAUAN SERIBU JAKARTA OBED AGTAPURA TARUK ALLO

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KUANTIFIKASI DAN KARAKTERISASI ACOUSTIC BACKSCATTERING DASAR PERAIRAN DI KEPULAUAN SERIBU JAKARTA OBED AGTAPURA TARUK ALLO"

Transkripsi

1 KUANTIFIKASI DAN KARAKTERISASI ACOUSTIC BACKSCATTERING DASAR PERAIRAN DI KEPULAUAN SERIBU JAKARTA OBED AGTAPURA TARUK ALLO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kuantifikasi dan Karakterisasi Acoustic Backscattering Dasar Perairan di Kepulauan Seribu Jakarta adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2011 Obed Agtapura Taruk Allo NRP C

3 ABSTRACT OBED AGTAPURA TARUK ALLO. Quantification and Characterization of Bottom Acoustic Backscattering In Seribu Islands Jakarta. Under direction of INDRA JAYA and HENRY M. MANIK. Seabed has a very important role as the habitat for various living creatures, and critical part of aquatic environment. Nowadays, new methods to obtain information on bottom types, sediment characteristics and underwater vegetation in shallow water by using echosounder has flourished. In this paper, normal incident of acoustic waves were used to determine values of bottom backscattering strength (volume backscattering strength (Sv), surface backscattering strength (SS) and echo level (EL)). Sediment properties (acoustic impedance, bulk density, porosity, sound speed and sediment composition) were used to explain the acoustic measurement results. Data collection was carried out in Seribu Islands, Jakarta using SIMRAD EY 60 scientific echosounder systems with operating frequency 120 khz. The results show that the average value of volume backscattering strength (Sv) for sand is -13,23 db and silty sand is -21,15 db. The average value of surface backscattering strength (SS) for sand is -23,30 db and silty sand is -31,22 db. The average value of echo level (EL) for sand is 177,94 ± 8,61 db and silty sand is 167,23 ± 6,07 db (Source Level (SL) for split beam transducer ES 120-7C series is 214 db). These acoustics values were then used as input for PCA analysis to cluster seabed characteristics. It s shown that the acoustic technique can be used to identify and classify sediments and map sediment provinces. Key words: sediment properties, volume backscattering strength, surface backscattering strength, echo level.

4 RINGKASAN OBED AGTAPURA TARUK ALLO. Kuantifikasi dan Karakterisasi Acoustic Backscattering Dasar Perairan di Kepulauan Seribu Jakarta. Dibimbing oleh INDRA JAYA dan HENRY M. MANIK. Dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam makhluk hidup yang kehidupannya berasosiasi dengan lingkungan perairan. Hal ini dapat dilihat dari seberapa besarnya dasar perairan tersebut memberikan kontribusi bagi pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup yang berada di dasar perairan. Perkembangan metode baru untuk mendapatkan informasi mengenai tipe dasar, sedimen dasar dan vegetasi bawah air dengan menggunakan echosounder dan pengolahan data secara digital sudah mulai berkembang. Untuk karakterisasi dasar perairan, incidence beam (normal incidence) yang vertikal dari sistem echosounding telah lama diakui sebagai proses pengukuran yang sangat berguna. Parameter seperti ukuran butir sedimen, relief permukaan antar muka air-sedimen dan variasi dalam sedimen secara umum mengendalikan sinyal backscattering dari dasar perairan. Pengukuran sifat akustik dari dasar laut sangat menarik untuk dikaji baik dari segi akustik kelautannya maupun aplikasi geofisiknya. Kecepatan suara akustik dan impedansi dasar laut memiliki kaitan langsung dengan propagasi gelombang akustik dimana nilai-nilai tersebut diperlukan untuk analisis yang lebih lengkap seperti masalah propagasi suara. Berdasarkan dasar pemikirian tersebut, maka penelitian ini melakukan proses kuantifikasi dan karakterisasi dasar perairan melalui nilai volume backscattering strength (Sv), surface backscattering strength (SS) dan echo level (EL) yang dikaitkan dengan parameter fisik sedimen sediment properties menggunakan metode hidroakustik dengan split beam echosounder systems. Pengambilan data akustik dilakukan pada tanggal 29 Januari 2 Februari 2011 yang berlokasi di sekitar perairan Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Karya dan Pulau Semak Daun Kepulauan Seribu, Jakarta. Akuisisi data akustik dengan menggunakan scientific echosounder SIMRAD EY 60 yang bekerja pada frekuensi 120 khz, transmitted power 50 watt, kecepatan suara sebesar 1546,35 m/dtk dan dengan nilai transmitted pulse length 0,128 mdtk. Selain itu, digunakan laptop untuk merekam data secara real time dan juga GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui posisi lintang (latitude) dan bujur (longitude). Pengambilan sampel sedimen diambil sebagai ground truth data menggunakan pipa paralon pipa paralon berdiameter 7,6 cm (3 inch) dengan panjang 10 cm yang ditancapkan ke dalam dasar perairan dengan

5 ketebalan lapisan yang diambil adalah 10 cm. Sampel sedimen ini selanjutnya dianalisa di Laboratorium Fisika Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor. Pengolahan data akustik dilakukan dengan perangkat lunak Echoview 4,00 dan Matlab. Ketebalan integrasi dasar perairan untuk mengekstrak nilai backscattering disesuaikan dengan ketebalan sampel sedimen yaitu 10 cm. Hasil yang diperoleh dari pengolahan data akustik ini berupa nilai volume backscattering strength (Sv) yang selanjutnya digunakan untuk proses komputasi nilai surface backscattering strength (SS) dan echo level (EL). Selain itu, hasil analisis sedimen menunjukkan bahwa di lokasi penelitian ditemukan dua tipe substrat yaitu pasir dan pasir berlumpur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perhitungan nilai volume backscattering strength (Sv) dasar perairan untuk substrat pasir berkisar antara - 10,25 db sampai -17,13 db dan substrat pasir berlumpur berkisar antara -18,25 db sampai -23,60 db, sedangkan nilai surface backscattering strength (SS) dasar perairan untuk substrat pasir memiliki nilai yang berkisar antara -20,32 db sampai -27,20 db dan substrat pasir berlumpur berkisar antara -28,32 db sampai -33,66 db. Hasil perhitungan nilai echo level (EL) menunjukkan bahwa untuk substrat pasir memiliki nilai echo level (EL) sebesar 177,94 ± 8,61 db dan substrat pasir berlumpur sebesar 167,23 ± 6,07 db dengan nilai source level (SL) sebesar 214 db (split beam transducer seri ES 120-7C). Nilai akustik ini kemudian digunakan sebagai masukan analisis PCA untuk cluster karakteristik dasar perairan. Adanya perbedaan nilai backscattering pada tiap jenis dasar perairan salah satunya disebabkan karakteristik fisik sedimen tersebut, dimana sedimen yang memiliki kenampakan makroskopis tentunya akan memberikan nilai backscattering yang lebih besar. Kata kunci: metode hidroakustik, dasar perairan, sedimen, volume backscattering strength, surface backscattering strength, echo level.

6 @ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruhnya karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 KUANTIFIKASI DAN KARAKTERISASI ACOUSTIC BACKSCATTERING DASAR PERAIRAN DI KEPULAUAN SERIBU JAKARTA OBED AGTAPURA TARUK ALLO Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Kelautan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof. Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu, M.Sc

9 Judul Tesis Nama NRP : Kuantifikasi dan Karakterisasi Acoustic Backscattering Dasar Perairan di Sekitar Pulau Pramuka, Teluk Jakarta : Obed Agtapura Taruk Allo : C Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc Ketua Dr. Ir. Henry M. Manik, M.T Anggota Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc Tanggal Ujian: 01 Juli 2011 Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Lulus:

10 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus karena kasih dan karunia yang Dia berikan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis yang berjudul KUANTIFIKASI DAN KARAKTERISASI ACOUSTIC BACKSCATTERING DASAR PERAIRAN DI KEPULAUAN SERIBU JAKARTA diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar- besarnya kepada : 1. Orang tua dan saudara-saudara saya beserta sanak keluarga atas doa, dukungan dan semangat yang tak henti-hentinya diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan S1 dan S2 di Institut Pertanian Bogor. 2. Komisi pembimbing Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc dan Dr. Ir. Henry M. Manik, MT atas bimbingannya kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 3. Ketua Program Studi Mayor Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc atas bimbingan selama penulis menempuh ilmu di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB. 4. Prof. Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu, M.Sc, sebagai penguji tamu pada ujian akhir tesis yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis. 5. Staf pengajar bagian Akustik dan Instrumentasi Kelautan: Prof. Dr. Ir. Bonar P. Pasaribu, M.Sc, Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc, Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc, Dr. Ir. Sri Pujiyati, M.Si, Dr. Ir. Henry M. Manik, MT dan Dr. Ir. I Nyoman Arnaya atas semua pendidikan dan ilmu yang telah diberikan kepada penulis dalam bidang Akustik dan Instrumentasi Kelautan. 6. Staf pengajar dan staf penunjang di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan atas pemberian ilmu dan bantuannya selama penulis menyelesaikan studi di IPB. 7. Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan (P4KSI) KKP atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menggunakan instrumen akustik SIMRAD EY Sondang Juwita atas doa dan dukungan kepada penulis serta kasih sayangnya.

11 9. Teman-teman TEK 2009: Jefry Bemba, Zulkarnaen Fahmi, Dwi Fajriyati Inaku, Laole, Riza Aitiando Pasaribu dan Anggi Afif Muzaki atas kebersamaan dan kerjasamanya. 10. Teman-teman survei dalam rangka pengambilan data hidroakustik di lapangan. Penulis menyadari bahwa tesis ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan tesis ini. Akhir kata penulis berharap agar tesis ini berguna bagi diri sendiri maupun orang lain. Bogor, Juli 2011 Obed Agtapura Taruk Allo

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Palu, Sulawesi Tengah, 8 Agustus 1986 dari Ayah Ruben Taruk Allo dan Ibu Alfrida Andilolo. Penulis merupakan anak ketiga dari tiga bersaudara. Tahun 2004 penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Makale, Tana Toraja Sulawesi Selatan. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan dan menyelesaikannya pada tahun 2008 dengan mendapatkan gelar Sarjana Perikanan. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan jenjang pendidikan Strata 2 melalui Sekolah Pascasarjana pada Mayor Teknologi Kelautan (TEK), Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah di Institut Pertanian Bogor, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Dasar-dasar Akustik Kelautan, Akustik Kelautan, Teknik Deteksi Bawah Air di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, IPB dan Ekologi Perairan di Program Diploma, IPB. Dalam rangkaa menyelesaikan studi di Sekolah Pascasarjana, IPB penulis mengeluarkan tulisan berjudul Kuantifikasi dan Karakterisasi Acoustic Backscattering Dasar Perairan di Kepulauan Seribu Jakarta.

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xv DAFTAR GAMBAR... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xviii 1 PENDAHULUAN Latar belakang Perumusan masalah Kerangka pemikiran Tujuan penelitian Manfaat penelitian TINJAUAN PUSTAKA Sedimen dasar laut Metode hidroakustik Split beam echosounder Backscattering dasar perairan Pendekatan metode hidroakustik terhadap dasar perairan METODOLOGI Waktu dan lokasi penelitian Perangkat dan peralatan penelitian Instrumen SIMRAD EY 60 scientific echosounder system Kapal Alat pengambil contoh sedimen Pengambilan data akustik Pengambilan contoh sedimen Pemrosesan data akustik Analisis data Komputasi acoustic bottom backscattering Komputasi acoustic reflection sedimen dasar perairan Analisis sedimen Principal Component Analysis Clustering analysis HASIL DAN PEMBAHASAN Sedimen dasar perairan Densitas dan porositas sedimen dasar perairan Data akustik dari split beam echosounder Komputasi acoustic backscattering dasar perairan Volume backscattering strength (Sv) dasar perairan... 37

14 Surface backscattering strength (SS) dan echo level (EL) dasar perairan Normalisasi energi echo dasar perairan Acoustic reflection (R) dan bottom loss (BL) dasar perairan Principal Component Analysis (PCA) Analisis Cluster SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 64

15 DAFTAR TABEL Halaman 1. Klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran Spesifikasi SIMRAD EY 60 scientific echosounder system Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian akustik dasar perairan Spesifikasi transducer seri ES 120-7C Komposisi fraksi pada setiap stasiun Nilai densitas dan porositas sedimen di lokasi penelitan Nilai Sv, SS dan EL dasar perairan Beberapa penelitian tentang nilai backscattering strength dasar perairan Penelitian dengan beberapa instrumen akustik untuk dasar perairan Pengukuran dan perhitungan sifat fisik sedimen... 51

16 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian Prinsip hidroakustik Skema transducer split beam Echo dasar perairan Sketsa backscattering akustik dasar perairan yang disebabkan kekasaran dari permukaan dan heterogenitas sedimen Hubungan sudut datang dan pantulan dasar pada berbagai tipe dasar perairan Contoh jejak dasar perairan kasar dan lunak pada perekaman hitam putih Bentuk kurva dasar perairan dari dasar perairan yang keras dan lunak Echo yang menunjukkan jejak dari pulsa yang dikirim dan dipantulkan dari dasar laut Lokasi penelitian Ilustrasi posisi paralon terhadap echogram Diagram alir pengambilan data akustik Bentuk sinyal keluaran echosounder Formasi echo dasar perairan pertama Geometri backscattering dari pantulan 1 st dan 2 nd echo dasar perairan Ilustrasi stuktur sedimen dan kolom air Proses klasifikasi nilai echo Persentase sedimen di lokasi penelitian Peta stasiun sebaran sedimen Tipe bubble dasar perairan Tampilan contoh echogram Tampilan echogram tipe substrat pasir di lokasi penelitian Tampilan echogram tipe substrat pasir berlumpur lokasi penelitian Pola SS dan Sv tipe substrat pasir Pola SS dan Sv tipe substrat pasir berlumpur... 43

17 26. Perbandingan nilai backscattering strength pada tipe substrat pasir, pasir berlumpur, lumpur berpasir dan lumpur Echo envelope yang mengindikasikan tingkat intensitas energi tipe substrat pasir Echo envelope yang mengindikasikan tingkat intensitas energi tipe substrat pasir berlumpur Grafik hubungan densitas, porositas dan velocity terhadap impedansi Sedimen Grafik hubungan antara bottom loss dengan impedansi sedimen PCA untuk parameter fisik sedimen dan nilai hidroakustik pada sumbu F1 dan F Penyebaran stasiun pengamatan pada sumbu F1 dan F Dendogram parameter sedimen Dendogram parameter hidroakustik... 57

18 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Scientific echosounder Simrad EY Alat pengambilan sampel sedimen Kapal survei Echoview 4,00 dan dongle Alat pengukur parameter fisik sedimen Listing program Matlab_Rick Towler Foto tipe substrat dasar perairan di lokasi penelitian Tampilan echogram (lanjutan) Grafik pola Sv dan SS (lanjutan) Grafik intensitas energi acoustic backscattering dasar perairan (lanjutan) Cluster data sedimen Cluster data akustik Hasil olahan fraksi sedimen di Balai Penelitian Tanah Laboratorium Fisika Tanah Bogor... 77

19 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam makhluk hidup yang kehidupannya berasosiasi dengan lingkungan perairan. Hal ini dapat dilihat dari seberapa besarnya dasar perairan tersebut memberikan kontribusi bagi pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup yang berada di dasar perairan. Dewasa ini metode baru untuk mendapatkan informasi mengenai tipe dasar, sedimen dasar dan vegetasi bawah air dengan menggunakan echosounder dan pengolahan data secara digital sudah mulai berkembang. Penelitian untuk melihat hubungan tipe substrat dengan biota bentik, bento-pelagik dengan metode akustik telah dilakukan di perairan Tasmania Australia. Alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah echosounder Simrad EK 500 dengan frekuensi 12, 38, 120 khz. Hasil dari penelitian tersebut adalah diperoleh adanya empat tipe substrat yang diklasifikasikan sebagai substrat lembut halus, keras halus, keras kasar dan lembut kasar (Siwabessy, 2001). Beberapa penelitian mengenai klasifikasi dasar perairan dengan metode hidroakustik di Indonesia sendiri sudah dilakukan melalui pengukuran dasar laut berdasarkan nilai surface backscattering strength dengan teknik integrasi echo dasar dan pengembangan model numerik ring surface scattering menggunakan Quantitative Echo Sounder di perairan selatan Jawa (Manik et al., (2006)). Pujiyati (2008) mengukur nilai backscattering volume (E1 dan E2) dari dasar perairan yang berlokasi di perairan Laut Jawa bagian Timur, perairan Belitung, Kalimantan Timur dan perairan Laut Jawa. Taruk Allo et al., (2009) melakukan penelitian di perairan Sumur, Pandeglang Banten untuk melihat nilai backscattering volume yang dikaitkan dengan komposisi sedimen. Deswati (2009) melakukan penelitian dengan menggunakan teknologi akustik untuk mendeteksi lamun di wilayah Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Berdasarkan penelitian yang disebutkan diatas metode yang digunakan masih terpisah-pisah. Pemahaman akan sinyal suara yang dihasilkan dari dasar perairan akibat transmisi gelombang akustik adalah sangat sulit. Hal ini dikarenakan adanya

20 perbedaan parameter fisik pada skala yang berbeda. Untuk karakterisasi dasar perairan, incidence beam (normal incidence) yang vertikal dari sistem echosounding telah lama diakui sebagai proses pengukuran yang sangat berguna. Parameter seperti ukuran butir sedimen, relief permukaan antar muka air-sedimen, dan variasi dalam sedimen secara umum mengendalikan sinyal backscattering dari dasar perairan. Pengukuran sifat akustik dari dasar laut sangat menarik untuk dikaji baik dari segi akustik kelautannya maupun aplikasi geofisiknya. Kecepatan suara akustik dan impedansi dasar laut memiliki kaitan langsung dengan propagasi gelombang akustik dimana nilai-nilai tersebut diperlukan untuk analisis yang lebih lengkap seperti masalah propagasi suara. Bentuk dasar perairan cukup beragam serta jenis dasar perairan berbeda. Pengetahuan akan jenis dasar perairan sangat berguna untuk kepentingan geoteknik, perikanan dan lingkungan laut Perumusan masalah Penerapan teknologi akustik di Indonesia dalam penelitian dan pengembangan bidang kelautan hingga saat ini masih sangat terbatas. Minimnya sarana dan prasarana menjadi salah satu faktor penghambat perkembangan teknologi akustik di Indonesia. Pada kurun waktu terakhir ini teknik akustik mulai banyak digunakan untuk memetakan dasar perairan dan kandungan sumber daya hewan bentik yang ada di daerah dasar perairan (Siwabessy et al. 1999). Kemajuan teknik pemetaan dasar perairan saat ini yang dipicu oleh perkembangan yang berkesinambungan dari sistem akustik (side scan sonar, multibeam sonar, acoustic discrimination systems) menawarkan potensi untuk pekerjaan pemetaan dan monitoring ekosistem dasar laut (Brown et al. 2005). Beberapa tahun belakangan ini, aplikasi metode pemetaan akustik, khususnya penggunaan Acoustic Ground Discrimination System (ADGS) dikombinasikan dengan data sampling lapangan (ground truth), telah menjadi kegiatan yang biasa dalam pemetaan dan monitoring habitat dasar laut di sejumlah daerah perlindungan laut di pesisir Inggris. Pendekatan ini memiliki keunggulan yang lebih baik dibandingkan cara-cara lama yang menggunakan grab, dimana

21 seringkali peta yang dihasilkan dari cara-cara lama itu dipertanyakan tingkat aksurasinya (Brown et al. 2005). Sistem klasifikasi akustik sedimen dasar laut yang dapat memperkirakan tipe sedimen dan sifat geoteknik dari jarak jauh telah banyak digunakan di berbagai bidang geologi kelautan, teknik sipil, ilmu militer dan perikanan (Lambert et al. 2002; Richardson et al. 2002). Sistem klasifikasi dengan akustik ini telah mampu memprediksi secara akurat dan real time dari sifat akustik (kecepatan suara, akustik impedansi dan atenuasi), tipe sedimen (ukuran butiran), dan sejumlah sifat geoteknik (densitas dan porositas). Metode akustik dianggap mampu memberikan solusi dalam pendugaan karakteristik dasar perairan yang mengakibatkan sejumlah penelitian lanjutan mengenai dasar perairan pun dilakukan. Tingginya variasi yang terjadi pada dasar perairan membuat banyak hal yang masih belum jelas dalam pendugaan karakteristik dasar perairan dengan menggunakan metode akustik. Penambahan persyaratan untuk perekaman data first echo dan second echo dapat memberikan beberapa informasi tentang karakteristik dari dasar perairan. Berbeda halnya dengan echosounder multibeam, yang menyediakan area cakupan spasial yang luas, split beam echosounder memberikan informasi tentang dasar perairan tepat dibawah daerah lokasi tracking (normal incidence) yang ditimbulkan oleh pulsa akustik Kerangka pemikiran Sistem klasifikasi akustik dasar perairan secara luas telah digunakan untuk mempelajari karakteristik dasar perairan. Penentuan nilai backscattering dari dasar perairan dengan akurasi yang tinggi sangat dibutuhkan dalam dunia perikanan. Hal ini berkaitan erat dimana dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting sebagai habitat dari makhluk hidup yang berasosiasi dengan lingkungan perairan. Penentuan jenis substrat dari dasar perairan di suatu perairan dengan metode hidroakustik tentunya memerlukan beberapa parameter-parameter seperti ukuran partikel dari sedimen, kandungan bahan organik dan porositas. Berdasarkan permasalahan di atas, perlu dilakukan pengkajian kuantifikasi dasar perairan dengan metode hidroakustik mengenai nilai backscattering strength

22 dari dasar perairan serta kaitannya dengan parameter fisika dari sedimen yang diduga mempengaruhi nilai backscattering dari dasar perairan. Secara diagramatik kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Masalah identifikasi dasar perairan Split beam echosounder Data akustik Ground truth Kalibrasi Raw data (pengukuran akustik dasar perairan) Underwater camera Sound Pulse length Nilai backscatter dasar Grain Bulk Porosity First echo (Amplitudo, Energi) Second echo (Amplitudo, Energi) Roughness Hardness Clustering analysis Principal Component Analysis Karakteristik dasar perairan Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian

23 1.4. Tujuan penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Menghitung nilai backscattering strength dari dasar perairan dengan menggunakan instrumen hidroakustik split beam echosounder untuk kuantifikasi dan karakterisasi dasar perairan. 2) Mengukur beberapa parameter fisik sedimen (sediment properties) yang diduga mempengaruhi nilai backscattering dasar perairan Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1) Memberikan gambaran karakteristik dasar perairan berdasarkan nilai backscattering strength yang dihasilkan oleh berbagai macam tipe substrat dasar perairan dengan menggunakan split beam echosounder. 2) Pola yang didapatkan diharapkan dapat dijadikan sebagai proses mengklasifikasikan dasar perairan dengan menggunakan instrumen hidroakustik split beam echosounder.

24 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut Sedimen yang merupakan partikel lepas (unconsolidated) yang terhampar di daratan, di pesisir dan di laut itu berasal dari batuan atau material yang mengalami proses pelapukan, peluluhan pengangkutan dan pengendapan. Sedimen itu berasal dari batuan beku, batuan metamorf, batuan sedimen atau dari material biogenik, yang diangkut oleh air, angin dan gaya gravitasi. Batuan sedimen adalah sedimen yang telah mengalami proses pengerasan atau kompak (consolidated) yang meliputi proses pemampatan (compaction), penyemenan (cementation) dan penghabluran atau pengkristalan (recrystallization). Batuan sedimen dicirikan dengan adanya perlapisan, butiran sedimen yang mengalami proses pengangkutan, struktur sedimen dan hadirnya mineral atau fosil. Proses-proses sedimen, seperti pelapukan, pengangkutan dan pengendapan, pada akhirnya menghasilkan sedimen yang berbeda. Ada sedimen yang berbutir kasar, seperti kerikil dan pasir, yang berbutir halus, seperti lanau atau lempung. Sedimen berbutir kasar berupa kerikil-pasir kuarsa akan diendapkan di sekitar pantai atau pesisir, sedangkan sedimen yang lebih halus seperti lanau dan lempung diendapkan di laut. Kerikil-pasir kuarsa, lanau dan lempung hasil proses sedimentasi itu akan membentuk endapan sedimen. Endapan sedimen itu dapat hanya berupa kerikil-pasir, atau campuran sehingga sulit untuk dipisahkan. Endapan sedimen tersebut dikelompokkan sebagai endapan klastik, seperti endapan pasir, lanau, lempung dan endapan campuran pasir dan lanau (Dewi dan Darlan, 2008). Sedimen dicirikan atau dikarakterisasi menurut sifat-sifat alami yang dimilikinya, yaitu misalnya: ukuran butir (grain size), densitas, kecepatan jatuh, komposisi, porositas, bentuk dan sebagainya. Berdasarkan ukuran butirnya, sedimen diklasifikasikan menurut: lumpur (mud), pasir (sand) dan kerikil (gravel) (Poerbondono dan Djunasjah, 2005). Ukuran-ukuran partikel sedimen merupakan salah satu cara yang mudah untuk menetukan klasifikasi sedimen. Klasifikasi berdasarkan ukuran partikelnya

25 menurut Wentworth (1922) in Dale dan William (1989) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi sedimen berdasarkan ukuran Jenis Partikel Diameter Partikel (mm) Boulder > 256 Cobble Pebble 4 64 Granule 2 4 Sand Silt 2.2. Metode hidroakustik 0,062 2 (62 2,000 µm) 0,004 0,062 (4 62 µm) Clay < 0,004 (< 4 µm) Sumber : Dale dan William (1989) Akustik merupakan ilmu yang mempelajari tentang gelombang suara dan perambatannya dalam suatu medium. Prinsip dari pengoperasian alat akustik adalah dengan gelombang suara yang ditransmisikan ke kolom perairan dalam bentuk pulsa yang nantinya akan mengenai target kemudian dilakukan analisa terhadap pantulan yang diberikan oleh target. Prinsip dari pengoperasian metode hidroakustik (Gambar 2) adalah dimulai dari timer yang berfungsi sebagai penanda pulsa listrik untuk mengaktifkan pemancaran pulsa yang akan dipancarkan oleh transmitter melalui transducer. Transducer berfungsi mengubah energi listrik menjadi energi suara ketika suara akan dipancarkan ke medium. Gelombang akustik yang merambat di kolom perairan akan mengenai target seperti ikan atau dasar perairan dimana gelombang akustik ini akan dipantulkan kembali dalam bentuk echo dan akan diterima oleh transducer dan mengubahnya menjadi energi listrik dan diteruskan ke receiver amplifier yang berfungsi untuk menguatkan sinyal listrik sebelum diteruskan ke unit peraga untuk ditampilkan dalam bentuk echogram (MacLennan dan Simmonds, 2005).

26 Gambar 2. Prinsip hidroakustik (MacLennan dan Simmonds, 2005) 2.3. Split beam echosounder Split beam merupakan metode baru yang dikembangkan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan dari metode sebelumnya seperti single beam dan dual beam. Perbedaan split beam dengan metode sebelumnya terdapat pada konstruksi transducerr yang digunakan, dimana pada echosounder ini transducer dibagi dalam empat kuadran. Pemancaran gelombang suara dilakukan dengan full beam yang merupakan penggabungan dari keempat kuadran dalam pemancaran secara simultan. Selanjutnya, sinyal yang memancar kembali dari target diterima oleh masing-masing kuadran secara terpisah, output dari masing-masing lagi untuk membentuk suatu full beam dengan dua set kuadran kemudian digabungkan split beam. Target tunggal diisolasi dengan menggunakan outpu dari full beam sedangkan posisi sudut target dihitung dari kedua set split beam.. Menurut buku manual Simrad (1993), pada prinsipnya tranducer split beam terdiri dari empat kuadran yaitu Fore (bagian depan), Aft (bagian belakang), Port (sisi kiri kapal) dan Starboard (sisi kanan kapal) (Gambar 3).

27 Gambar 3. Skema transducer split beam (Simrad, 1993) Split beam echosounder memiliki fungsi Time Varied Gain (TVG) di dalam sistem perolehan data akustik. TVG ini berfungsi secara otomatis untuk mengeleminir pengaruh atenuasi yang disebabkan baik oleh geometrical spreading dan absorpsi suara ketika merambat ke dalam air. Split beam SIMRAD EY 60 scientific echosounder system merupakan instrumen hidroakustik yang paling baru dan merupakan generasi keenam yang dibuat oleh Simrad. SIMRAD EY 60 disebut sebagai alat hidroakustik pertama yang serba bisa, yang mampu menyediakan sounder tiga frekuensi, target strength analyzer dan echo integrator lanjutan. Sinyal echo diproses secara on-line dan hasilnya ditampilkan dengan echogram. SIMRAD EY 60 disebut sebagai scientific echosounder karena konsep baru yang digunakan pada receiver memungkinkan alat ini mencapai rentang dinamis sampai dengan 160 db. Sounder dapat beroperasi pada tiga frekuensi sebesar 12, 38 dan 120 khz. Keunikan lain dari alat ini adalah kemampuannya untuk mengamati posisi horizontal dari ikan yang berada pada beam, hal ini memungkinkan peneliti untuk mempelajari tingkah laku ikan Backscattering dasar perairan Metode hidroakustik mampu melakukan pengukuran terhadap besar kecilnya pantulan dasar perairan dari berbagai tipe partikel. Secara ringkas, gelombang akustik yang terjadi pada permukaan antara air laut dan dasar laut yang mencakup pantulan dan pembauran pada daerah tersebut dan transmisi di

28 medium kedua. Proses ini secara umum ditentukan oleh beda impedansi akustik (z = ρc) antara kedua media (Siwabessy, 2001). Pada saat gelombang hidroakustik mengenai permukaan dasar perairan, sebagian energi akan menembus dasar perairan dan sebagian kembali ke transducer. Pada frekuensi rendah, pantulan dasar akustik ditentukan oleh sedimen dasar perairan yang berbeda-beda. Dasar perairan yang sangat keras memiliki pantulan dasar yang lebih kuat dari dasar perairan yang lunak. Dasar perairan yang keras memiliki pantulan yang lebih besar dari dasar perairan yang halus dan seterusnya (Siwabessy, 2001). Dasar perairan memiliki karakteristik memantulkan dan menghamburkan kembali gelombang suara seperti halnya pada permukaan perairan laut. Namun efek pantulan dan backscattering yang dihasilkan lebih kompleks karena sifat dasar laut yang tersusun atas beragam unsur mulai dari lapisan bebatuan yang keras hingga lempung yang halus dan tersusun atas lapisan-lapisan yang memiliki komposisi yang berbeda-beda (Urick, 1983). Beberapa kendala yang mempengaruhi sinyal pantul menjadi berbeda dari pulsa akustik yang dihasilkan adalah sebagai berikut (Siwabessy, 2001). 1. Ketidaksesuaian impedansi akustik dari air laut dasar laut menyebabkan pembauran permukaan dari pulsa utama; 2. Parameter akustik dari instrumen; 3. Penetrasi sinyal akustik pada dasar laut menyebabkan besarnya pembauran pulsa utama; 4. Arah pemantulan pada interface air laut dasar laut yang diakibatkan oleh kekasaran dasar laut; 5. Time delay dari hasil oblique karena spherical spreading terhadap perubahan kedalaman; 6. Respon dari scattering yang berasal dari second acoustic bottom pada permukaan air, gelembung pada kolom air dan kapal; 7. Kemiringan dasar laut; 8. Penyerapan akustik air laut; dan 9. Noise.

29 Kloser et al. (2001b) dan Schlagintweit (1993) telah melakukan observasi klasifikasi dasar laut berdasarkan frekuensi akustik. Untuk dasar perairan yang memiliki ciri yang sama, indeks kekasaran (roughness) telah diamati dengan dua frekuensi berbeda yang mereka gunakan. Schlagintweit (1993) menemukan bahwa perbedaan muncul dari data frekuensi 40 dan 208 khz yang disebabkan perbedaan penetrasi dasar perairan dari frekuensi ini pada berbagai macam tipe dasar perairan (Gambar 4). Gambar 4. Echo dasar perairan (Hamouda and Abdel-Salam, 2010) Besarnya tingkat penetrasi dan pantulan (refleksi) dasar perairan juga ditentukan oleh jenis sedimen itu sendiri (Krastel et al. 2006) dimana dasar perairan atau sedimen yang memiliki sifat lebih keras akan memberikan pantulan dengan nilai amplitudo yang lebih besar (Hamilton, 2001). Nilai backscattering strength dipengaruhi oleh impedansi akustik sebagai faktor utama, selain itu juga dipengaruhi oleh kekasaran (roughness) permukaan sedimen dan heterogenitas volume sedimen (Fonsesca dan Mayer, 2007). Gelombang akustik yang dihamburkan secara acak karena ketidakteraturan dari dasar perairan mencakup kekasaran dari permukaan sedimen dasar perairan, variasi ruang dalam sifat fisis sedimen dan masukan oleh kulit karang atau gelembung. Proses backscattering ini dapat dilihat pada Gambar 5. Pada frekuensi tinggi, semua dasar perairan memiliki banyak ketidakteraturan pada skala gelombang akustik (Jackson dan Richardson, 2006).

30 Incident wave Reflected wave Bottom wave Gambar 5. Sketsa backscattering akustik dasar perairan yang disebabkan kekasaran dari permukaan dan heterogenitas sedimen (Jackson dan Richardson, 2006) Adapun hubungan pantulan dasar perairan terhadap tipe dasar perairan yang berbeda (batu, kerikil, pasir dan lumpur) ditunjukkan pada Gambar 6. Gambar 6. Hubungan sudut datang dan pantulan dasar pada berbagai tipe dasar perairan (Siwabessy, 2001)

31 2.5. Pendekatan metode hidroakustik terhadap dasar perairan Informasi tentang jenis lapisan dasar perairan dan vegetasi bawah air disandikan dalam sinyal echo. Sinyal tersebut dapat disimpan dan diperoleh secara bersamaan dengan data GPS. Sinyal yang disandikan dan informasi tentang dasar perairan dapat diproyeksikan ke dalam bentuk grafik digital. Untuk proses verifikasi hasil, sampling fisik dasar perairan harus ada dan pengamatan dilakukan oleh penyelam atau kamera bawah air dan data yang diperoleh harus dicatat sebagai data akustik. Setelah diverifikasi, hasil disimpan sehingga jenis dasar perairan dapat diketahui dan dapat dibandingkan dengan data dari sinyal echo (Burczynski, 2002). Parameter sinyal echo selain tergantung pada jenis dasar perairan (khususnya kekasaran (roughness) dan kekerasan (hardness) juga dipengaruhi oleh parameter dari alat (frekuensi seperti beamwidth transducer dan lain-lain). Oleh karena itu, hasil verifikasi akan sah hanya untuk sistem akustik yang digunakan untuk verifikasi (Burczynski, 2002). Suatu perkiraan bahwa bagian dasar perairan keras akan menghasilkan echo yang tajam dengan amplitudo yang tinggi sementara bagian dasar perairan lunak akan menghasilkan echo yang panjang dengan amplitudo yang lebih rendah. Fenomena ini dapat diamati pada osiloskop yang ada pada echogram di echosounder selama survei (Gambar 7). Gambar 7. Contoh jejak dasar perairan kasar dan lunak pada perekaman hitam putih (Burczynski, 2002)

32 Gambar 8 memperlihatkan contoh echo dari dasar perairan yang keras dan lunak. Nilai amplitudo dari echo dikuadratkan, melalui pengintegrasian echo dan kemudian kurva kumulatif dari echo dasar perairan. Perbedaan yang nyata akan terlihat dari bentuk yang berbeda antara energi kumulatif dari sinyal dasar perairan yang keras dan lunak. Dasar perairan yang keras akan menghasilkan kurva dengan peningkatan yang tajam sementara bagian dasar perairan yang lunak akan menghasilkan kurva yang meningkat dengan kemiringan yang relatif rendah. Echo yang berasal dari dasar perairan yang ditampilkan dalam bentuk energi kumulatif dapat disimpan dalam database. Kemudian untuk jenis yang tidak diketahui dapat diimplementasikan sebagai curve fitness algorithm dan mengenali jenis dasar perairan sesuai dengan bentuk kurva energi kumulatif. Gambar 8. Bentuk kurva dasar perairan dari dasar perairan yang keras dan lunak; (a) Amplitudo sinyal echo dan (b) Kurva energi kumulatif (Burczynski, 2002) Amplitudo dan bentuk sinyal akustik yang dipantulkan dari dasar laut ditentukan oleh kekasaran dasar laut, perbedaan densitas antara air dan dasar laut, dan reverberasi di dalam substrat. Klasifikasi dasar laut memerlukan sistem akuisisi data akustik dan suatu algoritma yang menganalisis data, menentukan jenis dasar laut dan menghubungkannya dengan hasil klasifikasi akustik terhadap sifat fisik sedimen laut (Tsemahman et al. 1997). Penggunaan sistem klasifikasi dasar laut telah terintegrasi dengan kombinasi perangkat keras dan perangkat lunak. Pengolahan data biasanya tergantung pada ekstraksi fitur karakteristik dari echo dasar laut (Gambar 9).

33 Klasifikasi memasukkan semacam teknik penyaringan untuk kelompok echo dengan fitur yang serupa. Gambar 9. Echo yang menunjukkan jejak dari pulsa yang dikirim dan dipantulkan dari dasar laut (Collins dan McConnaughey, 1998) Durasi echo mempengaruhi berbagai macam fitur yang selain tergantung pada bentuk echo, juga tergantung pada jenis sedimen dan kedalaman. Nilai amplitudo backscatter tergantung pada jenis sedimen, grazing angle dan jarak. Ketergantungan pada grazing angle dan jarak harus dikurangi untuk klasifikasi dasar perairan (Preston et al. 2004).

34 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 29 Januari 2 Februari 2011 yang berlokasi di sekitar perairan Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Karya dan Pulau Semak Daun, Kepulauan Seribu Jakarta Utara, yang memiliki kedalaman relatif dangkal yang berkisar pada kedalaman 2 8 m dan diduga memiliki tipe sedimen yang berbeda-beda pada beberapa lokasi. Pengambilan data difokuskan pada beberapa macam tipe substrat yang menjadi fokus kajian pada penelitian ini, dimana penulis terlibat langsung dalam proses pengambilan data di lapangan. Lokasi ditentukan berdasarkan informasi dari nelayan dan masyarakat di sekitar lokasi penelitian serta survei awal yang dilakukan dengan penyelaman. Gambar 10 menunjukkan peta lokasi penelitian. Gambar 10. Lokasi penelitian

35 Pengolahan data akustik dilakukan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK IPB dan Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan (P4KSI) KKP, Jakarta. Analisis sampel sedimen dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor Perangkat dan peralatan penelitian Instrumen SIMRAD EY 60 scientific echosounder system Pengambilan data akustik menggunakan perangkat SIMRAD EY 60 scientific echosounder system. Transducer split beam dioperasikan dengan menggunakan frekuensi 120 khz, transmitted power 50 watt, kecepatan suara sebesar 1546,35 m/dtk dan dengan nilai transmitted pulse length 0,128 mdtk. Selain itu, digunakan laptop untuk merekam data secara real time dan juga GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui posisi lintang (latitude) dan bujur (longitude). Spesifikasi SIMRAD EY 60 dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Spesifikasi SIMRAD EY 60 scientific echosounder system Spesifikasi SIMRAD EY60 Operating frequency Operating modes Transmission power Ping rate Maximum ping rate Data collection range Receiver filtering Receiver noise figure Split-beam Synchronization Bottom detection settings Transmit power Receiver instantenous dynamic range Sumber: Simrad, 1993 Operation setting 120 khz active adjustable in steps 50 watt adjustable 60 m 20 pings/sec 0 to 1500 m matched digital filters 4 db complex digital demodulation internal and external adjustable maximum 4 kw 150 db

36 Kapal Survei pengambilan data akustik dilakukan dengan menggunakan kapal nelayan setempat. Penempatan komponen SIMRAD EY 60 (Laptop dan GPT) harus berada pada tempat yang aman dan mudah dioperasikan. Penempatan posisi transducer harus masuk ke dalam air, sehingga transducer diletakkan di sisi luar kapal tepatnya pada bagian kiri kapal dengan kedalaman transducer 0,5 m. Transducer diletakkan di sebelah kiri karena perputaran baling-baling kapal berlawanan dengan arah jarum jam. Hal ini dilakukan karena noise yang ditimbulkan oleh baling-baling lebih besar pada satu sisi kapal daripada sisi yang lain. Dalam hal ini, sisi kanan kapal memiliki noise yang besar karena balingbaling kapal berputar ke arah kiri. Namun pada saat pengambilan data akustik, lokasi pengambilan data hanya difokuskan pada posisi yang stasioner sehingga mesin kapal dimatikan untuk mengurangi noise yang mungkin saja ditimbulkan oleh baling-baling kapal. Tabel 3. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian akustik dasar perairan Alat dan bahan Jenis Kegunaan Split beam echosounder SIMRAD EY 60 Pengambilan data akustik GPS Garmin Pengambilan data posisi stasiun Notebook/Laptop Hp Compac Pemrosesan dan penyimpanan data akustik Alat selam SCUBA Alat bantu observasi dan Underwater camera Pipa paralon Kapal Sony DCS-W170 10,1 megapixel Diameter 7,6 cm Panjang 10 cm Kapal nelayan (panjang 6 m dan lebar 1,8 m) pengambilan sampel dasar perairan Dokumentasi objek bawah air Alat untuk mengambil sampel dasar perairan Wahana apung dan tempat pemasangan alat survei akustik

37 Spesifikasi transducer dalam sistem echosounder SIMRAD EY 60 adalah sebagai berikut (Tabel 4). Tabel 4. Spesifikasi transducer seri ES 120-7C Spesifikasi Besaran Satuan Resonant frequency 120 khz Circular beamwidth 7 derajat Directivity DI=10 log D 28 db Equivalent two-way beam angle 10 log ψ -21 db re 1 steradian Impedance 19 ohm Transmitting response 185 db re 1 µpa per V Receiving sensitivity, open circuit -190 db re 1 V per µpa Sumber: Simrad, Alat pengambil contoh sedimen Pengambilan contoh sedimen dilakukan pada tiap stasiun pengamatan yang memiliki data akustik. Proses pengambilan sedimen dilakukan melalui penyelaman dengan SCUBA dan menggunakan pipa paralon berdiameter 7,6 cm (3 inch) dengan panjang 10 cm yang ditancapkan ke dalam dasar perairan. Sedimen yang didapatkan dibiarkan berada dalam pipa paralon dalam keadaan tertutup sehingga tidak mengubah struktur sedimen yang terdapat dalam sedimen. Posisi paralon dalam dasar laut dengan kedalaman paralon 10 cm Gambar 11. Ilustrasi posisi paralon terhadap echogram

38 3.3. Pengambilan data akustik Pengambilan data akustik dilakukan dengan menggunakan instrumen split beam echosounder SIMRAD EY 60, dimana prinsip kerja instrumen ini adalah pemancaran gelombang suara melalui transmitting transducer secara vertikal ke dasar perairan. Gelombang suara yang dikirim ke dasar perairan akan dipantulkan lagi dan diterima oleh receiver transducer. Instrumen ini dilengkapi dengan frekuensi 120 khz. Instrumen split beam echosounder SIMRAD EY 60 dioperasikan pada tiap stasiun pengamatan (stasioner). Kondisi kapal dalam keadaan diam dan tetap pada posisi yang telah ditentukan sehingga proses perekaman data diharapakan berasal dari tipe sedimen yang telah ditentukan. Diagram alir pengambilan data akustik dapat dilihat pada Gambar 12. GPT Laptop SIMRAD EY 60 GPS Transducer Seabed Gambar 12. Diagram alir pengambilan data akustik

39 3.4. Pengambilan contoh sedimen Pengambilan contoh sedimen dilakukan pada 9 stasiun pengamatan yang memiliki data akustik. Lokasi pengambilan data sedimen dilakukan disekitar Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Karya dan Pulau Semak Daun yang lokasinya tidak terlalu jauh antar pulau. Proses pengambilan sedimen dilakukan melalui penyelaman dengan menggunakan SCUBA dan menggunakan pipa paralon berdiameter 7,6 cm (3 inch) dengan panjang 10 cm yang ditancapkan ke dalam dasar perairan. Sedimen yang didapatkan dibiarkan berada dalam pipa paralon dalam keadaan tertutup sehingga tidak mengubah struktur sedimen dan kandungan air yang terdapat dalam sedimen yang selanjutnya dibawa untuk dianalisis di laboratorium. Untuk mengetahui jenis/tipe substrat dari tiap sedimen yang diambil dilakukan analisis besar butir (grain size) sedimen melalui proses fraksinasi sedimen, selain itu dilakukan pengukuran porositas (porosity) dari sedimen dan densitas (density) Pemrosesan data akustik Tampilan echo dasar perairan dengan jelas ditampilkan berdasarkan variabilitasnya dari ping ke ping. Proses membedakan echo dasar perairan untuk beberapa kategori dasar perairan dilakukan dengan pengrata-rataan nilai dari sinyal echo dan menghasilkan suatu data berdasarkan rata-rata dari data. Nilai roughness dan hardness dapat di ekstrak dari hamburan echo dasar perairan yang pertama dan kedua. Data dasar perairan yang terbaik dihasilkan oleh specular reflection dari dasar perairan (transmisi yang tegak lurus dasar perairan) (Gambar 13). Energi yang paling tinggi dan echo terendah telah diestimasi pada beberapa penelitian. Ini diasumsikan bahwa echo dengan energi yang tinggi dihasilkan oleh specular reflection dan itu merupakan yang terbaik untuk klasifikasi dasar perairan sedangkan echo dengan energi level terendah dihasilkan oleh oblique reflection dan merupakan yang kurang baik untuk klasifikasi dasar perairan (Burczynski, 2002).

40 Gambar 13. Bentuk sinyal keluaran echosounder (Siwabessy et al. 2005) Bagian awal dari echo dasar perairan yang pertama disebabkan oleh pantulan pertama dasar perairan yang tegak lurus dengan transducer axis. Echo pada bagian pertama ini (specular dan coherent) sangat sensitif terhadap pitch dan roll dari kapal dan transducer. Sisa dari echo pertama dasar dari dasar perairan disebabkan oleh oblique back reflection (non coherent) dan lebih sedikit sensitif terhadap pitch dan roll. Echo pertama dasar perairan sebagian besar dihubungkan dengan nilai kekasaran (roughness) dan kekerasan (hardness) dari dasar perairan akan ditingkatkan dari bagian kedua dari echo pertama dasar perairan (oblique reflection) (Gambar 14). Gambar 14. Formasi echo dasar perairan pertama (Burczynski, 2002)

41 Data yang diperoleh dari instrumen SIMRAD EY 60 split beam echosounder systems dalam bentuk raw data (echogram) selanjutnya diekstrak dengan menggunakan software Echoview dan Matlab. Proses integrasi dasar perairan dilakukan pada kedua pantulan akustik dari dasar perairan (first bottom dan second bottom) untuk melihat respon karakteristik backscattering dari dasar perairan yang diamati (Gambar 15). Respon akustik dari dasar perairan dilihat dengan mengintegrasikan dasar laut dengan ketebalan integrasi 10 cm. Elementary Distance Sampling Unit (EDSU) yang digunakan pada proses integrasi adalah berdasarkan dengan ping number sebesar 20 ping. Nilai threshold yang digunakan untuk energy of the 1 st bottom echo (E1) minimum pada -50 db dan maksimum 0 db, sedangkan threshold minimum untuk energy of the 2 nd bottom echo (E2) sebesar -70 db dan maksimum pada 0 db. Gambar 15. Geometri backscattering dari pantulan 1 st dan 2 nd echo dasar perairan (Penrose et al. 2005)

42 3.6. Analisis data Komputasi acoustic bottom backscattering Nilai acoustic backscattering volume (Sv) dari dasar perairan diperoleh dengan menggunakan software Echoview. Nilai SS diperoleh menggunakan persamaan yang menghubungkan bottom volume backscattering coefficient (Sv) dan surface backscattering coefficient (Ss) (Manik et al. 2006). Sv = ( ). (1) dimana, Φ = instantaneous equivalent beam angle for surface scattering Ψ = equivalent beam angle for volume scattering c = kecepatan suara (m/s) τ = pulse length menjadi : Pada peak bottom echo, nilai integrasi Ψ Φ sehingga persamaan (1) Ss = Sv. (2) SS [db] = 10*log Ss. (3) Selanjutnya untuk beam dengan bukaan lebar beam yang sempit, dimana daerah insonifying terletak pada daerah normal incidence. Daerah permukaan insonified adalah persimpangan dari directivity lobe (diasumsikan vertikal) dan daerah permukaan ini dirumuskan sebagai berikut (Lurton, 2002): A = ψ*h 2. (4) dimana H merupakan tinggi dari sumber ke target dan ψ equivalent beam angle, dalam steradians. Jika beam berbentuk kerucut (conical), daerah permukaan dapat dinyatakan sebagai fungsi dari setengah bukaan sudut konvensional φ (Lurton, 2002): A = π*(h tan φ) 2. (5)

43 Nilai maksimum dari intensitas echo level maka akan sama dengan (Lurton, 2002): EL = SL 40 log H 2αH + 10 log (ψh 2 ) + BSs(0) = SL 20 log H 2αH + 10 log ψ + BSs(0) = SL 20 log H 2αH + 10 log(π tan 2 φ) + BSs(0). (6) dimana, EL = echo level (db) SL = source level (db re 1 µpa) = 197,5 + 10log(50) = 214 db re BSs(0) = backscattering surface strength at normal incidence (db) H = ketinggian dari sumber suara ke target (m) α = koefisien absorpsi (db/m) Model ini menyatakan bahwa sinyal ditransmisikan dalam waktu yang cukup lama untuk jejak beam pada satu daerah insonified. Untuk pulsa pendek, bidang dari dasar perairan yang ter-insonified tidak ditentukan oleh bukaan beam, tapi berdasarkan pulse duration. Proyeksi ini berbentuk lingkaran di atas dasar perairan, radius yang diberikan berupa delay antara tepi dan pusat. Kisaran antara sonar dengan tepian lingkaran adalah R = H + cτ/2. Radius lingkaran kira-kira sama dengan dan areanya adalah A = πhcτ. Pada kasus ini, maksimum echo level menjadi (Lurton, 2002): EL = SL 30 log H 2αH + 10 log(πcτ) + BSs(0). (7) Pada persamaan (6) dan (7) simbol BSs(0) (Lurton, 2002) SS(0) (Manik et al. 2006). Transisi antara rezim pulsa panjang dan pulsa pendek terjadi ketika proyeksi sinyal ke permukaan memotong tepian dari jejak dari beam directivity. Dengan demikian, semuanya tergantung pada bentuk beam itu sendiri. Untuk beam yang berbentuk kerucut (conical) setengah dari bukaan φ, merupakan batas antara dua rezim tersebut yang terjadi pada kedalaman perairan H. H =. (8)

44 Komputasi acoustic reflection sedimen dasar perairan Koefisien refleksi didefinisikan sebagai bagian dari gelombang tekanan suara yang dipantulkan oleh dasar perairan, dibagi dengan gelombang suara yang mengenai dasar perairan, atau dengan kata lain rasio antara gelombang suara yang dipantulkan (Pr) dengan gelombang suara yang mengenai dasar perairan (Pi). Dimana: R =. (9) Untuk gelombang akustik normal incidence, koefisien refleksi berkaitan dengan impedansi akustik yang ditandai melalui hubungan berikut: R = =. (10) dimana Z 1, ρ 1, c 1 dan Z 2, ρ 2, c 2 masing-masing merupakan nilai akustik impedansi, densitas dan kecepatan suara di kolom air dan permukaan sedimen. Parameter sedimen ditunjukkan pada Gambar 16. Gambar 16. Ilustrasi stuktur sedimen dan kolom air (Medwin dan Clay, 1998) Nilai kecepatan suara dan densitas di dalam perairan dan di sebagian sedimen diketahui. Sedimen dasar perairan diasumsikan bertindak sebagai fluida dan oleh karena itu digunakan persamaan (10) untuk menghitung koefisien refleksi dasar perairan. Tekanan fraksional refleksi, R, sering disebut bottom loss. Bottom loss sering dinyatakan dalam db sebagai bilangan positif. BL = -20*log R. (11)

45 Analisis sedimen Contoh sedimen yang diambil dengan menggunakan pipa paralon berdiameter 7,6 cm dengan panjang 10 cm selanjutnya dianalisis sifat fisiknya seperti tekstur sedimen, densitas dan porositas dari sedimen tersebut (Ruang Pori Total) yang nantinya digunakan sebagai data insitu sekaligus sebagai data pembanding dari hasil hidroakustik. Tekstur sedimen adalah susunan relatif dari besar butir sedimen, terdiri dari pasir berukuran 2 mm 50 µ, lumpur berukuran 50 µ 2 µ dan liat berukuran kurang dari 2 µ. Klasifikasi metode analisis tekstur dilakukan dengan menggunakan metode ayakan bertingkat dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Contoh substrat diambil dari lapangan dan diperkirakan beratnya pada waktu kering minimal 100 gram basah. 2. Substrat tersebut dikeringkan dalam oven dengan suhu C sampai benarbenar kering (± 24 jam). 3. Contoh diayak dengan Shieve shaker berukuran 2 mm. 4. Berat asal kering contoh ditimbang dengan berat 10 gram. 5. Selanjutnya ditambahkan H 2 O 2 30% sebanyak 100 ml dan didiamkan selama semalam, setelah itu contoh substrat dimasak untuk menghilangkan bahan organik. 6. Contoh substrat kemudian diayak dengan ayakan berukuran 325 mesh (mesh = banyaknya lubang (hole) dalam 1 mm 2 ). 7. Hasil ayakan ini kemudian dimasukkan ke dalam Shieve shaker (5 ukuran mata ayakan) untuk kemudian diayak sehingga menghasilkan 5 ukuran besar butir sedimen yang nantinya akan digolongkan ke dalam substrat pasir. 8. Hasil lain dari ayakan berukuran 325 mesh yang dalam keadaan cair ditambahkan larutan Na 2 P 2 O 7. 10H 2 O untuk selanjutnya dianalisis untuk mengetahui substrat lumpur dan liat yang dilakukan dengan cara pemipetan dengan ukuran pipet 20 cc. 9. Untuk menentukan fraksi lumpur, larutan didiamkan selama 1 15 menit. Selanjutnya untuk fraksi liat dimana ukurannya sangat kecil, maka larutan tersebut didiamkan selama 3,5 sampai 24 jam untuk selanjutnya ditentukan persentasenya.

46 Proses pengukuran sediment properties selain untuk melihat tekstur, sedimen juga digunakan untuk melihat ruang pori total dan densitas yang terkandung dalam sedimen. Densitas sedimen merupakan berat suatu volume sedimen dalam keadaan utuh yang dinyatakan dalam g/cc. Pengukuran densitas dari sedimen dilakukan dengan menggunakan ring berukuran tinggi 5 cm dengan diameter 5 cm. Jika densitas (berat isi) telah diketahui, maka ruang pori total dihitung dengan menggunakan persamaan: Ruang pori total = 1 x 100%. (12) Untuk klasifikasi tipe substrat di lokasi penelitian, maka dilakukan pengklasifikasian dengan menggunakan diagram segitiga tekstur USDA Principal Component Analysis Principal Component Analysis (PCA) adalah cara untuk mengidentifikasi pola-pola dalam data dan mengungkapkan data sedemikian rupa untuk melihat persamaan dan perbedaan dari data (Smith, 2002). Prosedur PCA pada dasarnya adalah bertujuan untuk menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara menyusutkan (mereduksi) dimensinya. Hal ini dilakukan dengan cara menghilangkan korelasi diantara variabel bebas melalui transformasi variabel bebas asal ke variabel baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau yang biasa disebut dengan principal component (Soemartini, 2008). Principal Component Analysis (PCA) diterapkan pada data untuk menghilang redundansi. Jumlah Principal Component yang dipilih ditentukan oleh banyaknya variasi yang ada. Principal Component Analysis (PCA) ini bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi peubah baru yang mendasari data peubah ganda. 2. Mengurangi banyaknya dimensi himpunan peubah yang biasanya terdiri dari peubah yang banyak dan saling berkorelasi menjadi peubah baru yang tidak berkorelasi dengan mempertahankan sebanyak mungkin keragaman dalam data. 3. Menghilangkan peubah-peubah asal yang mempunyai sumbangan informasi yang kecil.

47 Pada penelitian ini Principal Component Analysis (PCA) digunakan untuk melihat hubungan antar parameter akustik dengan beberapa parameter fisika sedimen yang diduga dapat memberikan gambaran mengenai karakter dari dasar perairan. PCA menghitung suatu set variabel baru yang lebih kecil, variabel linear independen, yang disebut komponen utama (Principal Component) yang memberikan laporan dari sebagian besar perbedaan yang ada dalam data yang sebenarnya (Gambar 17). Principal Component Analysis (PCA) Gambar 17. Proses klasifikasi nilai echo (Preston, 2004) Clustering analysis Clustering adalah operasi analisis multidimensional yang terdiri dari pembagian parameter-parameter (deskriptor) dalam suatu penelitian (Legendre dan Legendre, 1998). Clustering dapat diartikan sebagai proses pengelompokkan objek berdasarkan informasi yang diperoleh dari data yang menjelaskan hubungan antar objek dengan prinsip untuk memaksimalkan kesamaan antar anggota satu kelas dan meminimumkan kesamaan antar kelas/cluster. Ada beberapa pendekatan yang digunakan dalam mengembangkan metode clustering. Dua pendekatan utama adalah clustering dengan pendekatan partisi (K-Means) dan clustering dengan pendekatan hirarki. Clustering dengan pendekatan partisi atau sering disebut dengan partition-based clustering

48 mengelompokkan data dengan memilah-milah data yang dianalisa ke dalam cluster-cluster yang ada. Clustering dengan pendekatan hirarki atau sering disebut dengan hierarchical clustering mengelompokkan data dengan membuat suatu hirarki berupa dendogram dimana data yang mirip akan ditempatkan pada hirarki yang berdekatan dan yang tidak pada hirarki yang berjauhan. Metode clustering yang akan digunakan pada penelitian ini untuk melihat hubungan antara nilai akustik dan sedimen properties yang ada adalah clustering dengan pendekatan hirarki. Metode clustering dengan pendekatan hirarki mengelompokkan data yang mirip dalam hirarki yang sama dan yang tidak mirip di hirarki yang agak jauh. Ada dua metode yang sering diterapkan yaitu agglomerative hieararchical clustering dan divisive hierarchical clustering. Agglomerative melakukan proses clustering dari N cluster menjadi satu kesatuan cluster, dimana N adalah jumlah data, sedangkan divisive melakukan proses clustering yang sebaliknya yaitu dari satu cluster menjadi N cluster. Salah satu cara untuk mempermudah pengembangan dendogram untuk hierarchical clustering ini adalah dengan membuat similarity matrix yang memuat tingkat kemiripan antar data yang dikelompokkan. Tingkat kemiripan bisa dihitung dengan berbagai macam cara seperti dengan Euclidean Distance Space. Berangkat dari similarity matrix ini, kita bisa memilih lingkage jenis mana yang akan digunakan untuk mengelompokkan data yang dianalisa, dimana pada penelitian ini digunakan average lingkage.

49 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen dasar perairan Berdasarkan hasil analisis tekstur sedimen, sedimen permukaan dasar laut di lokasi penelitian dapat dipisahkan menjadi 3 tipe sedimen yaitu: pasir (5 fraksi, ukuran mata ayakan µm, µm, µm, µm, dan µm), lumpur (3 fraksi, ukuran µm, µm, dan 2 10 µm) dan liat (1 fraksi, ukuran 0 2 µm). Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 9 stasiun lokasi pengamatan secara keseluruhan di dominasi oleh fraksi pasir yang memiliki persentase rata-rata sebesar 80,85%. Fraksi lumpur dan liat secara berturut-turut memiliki nilai persentase rata-rata sebesar 18,32% dan 0,83% (Gambar 18). Rendahnya tingkat persentase lumpur dan liat di lokasi penelitian ini salah satunya disebabkan karena tidak adanya daratan utama yang menjadi sumber masukan fraksi lumpur dan liat yang dapat disebabkan oleh proses sedimentasi yang terjadi di daratan yang terbawa oleh aliran sungai yang bermuara di lautan. Wibisono (2005) menyatakan bahwa perairan Kepulauan Seribu merupakan salah satu contoh dimana memiliki sedimen tersortir dengan baik, di daerah tertentu karang dan disampingnya adalah pasir atau lumpur. Wilayah pantai karang, pasir dan lumpur tertata rapih secara alami Persentase sedimen (%) STA 1 STA 2 STA 3 STA 4 STA 5 STA 6 STA 7 STA 8 STA 9 Sand Silt Clay Gambar 18. Persentase sedimen di lokasi penelitiann

50 Fraksi pasir (sand) yang memiliki kenampakan makroskopis akan lebih cepat mengendap dibandingkan dengan fraksi lumpur (silt) dan liat (clay) pada daerah yang mengalami proses turbulensi yang tinggi karena fraksi lumpur dan liat berukuran sangat kecil (mikroskopis) sehingga masih dapat dibawa oleh arus ke tempat lain. Sedimen fraksi lumpur umumnya mudah terbawa oleh arus dan mudah teraduk bila terjadi proses turbulensi atau upwelling. Pengendapan fraksi lumpur sangat lambat, sehingga posisi lumpur selalu di atas dari lapisan permukaan dasar laut. Sedimen fraksi liat merupakan sedimen yang ukurannya paling kecil sehingga butuh waktu yang lebih lama daripada lumpur untuk mengalami proses pengendapan di dasar perairan. Istilah lumpur (silt) biasanya dalam konteks laut diganti dengan istilah yang lebih umum, yakni lanau agar tidak membingungkan dengan pengertian mud. Menurut Wibisono (2005) jenis-jenis partikel tersebut sangat menentukan jenis hewan benthos yang mendiami sedimen tersebut sebagai habitatnya, seperti untuk jenis sedimen pebbles dan granules setidaknya akan ditemui hewan-hewan Gastropoda. Sedangkan untuk jenis sedimen pasir mungkin kita akan mendapati hewan kerang-kerangan (Bivalva) dan untuk jenis sedimen lanau biasanya dapat ditemukan hewan cacing. Persentase komposisi fraksi pasir terbesar terdapat pada Stasiun 7 sebesar 90,26% yang berada pada posisi 5 44,389 LS dan ,953 BT pada kedalaman 2,79 meter dan terendah pada Stasiun 2 sebesar 72,37% pada posisi 5 44,275 LS dan ,538 BT yang berada pada kedalaman 4,07 meter. Persentase komposisi fraksi lumpur terbesar terdapat pada Stasiun 2 sebesar 26,81% dan terendah pada Stasiun 7 sebesar 9,01%, sedangkan untuk fraksi liat tertinggi terdapat pada Stasiun 6 dengan persentase sebesar 1,28% dimana stasiun ini terletak pada posisi 5 43,703 LS dan ,379 BT dengan kedalaman 5,60 meter dan terendah pada Stasiun 7 sebesar 0,24% (Tabel 5).

51 Tabel 5. Komposisi fraksi pada setiap stasiun Stasiun Posisi Persentasi fraksi (%) Lintang Bujur Pasir Lumpur Liat Tipe substrat Sta , ,819 77,18 21,92 0,90 Pasir berlumpur Sta , ,538 72,37 26,81 0,82 Pasir berlumpur Sta , ,587 82,36 16,49 1,15 Pasir berlumpur Sta , ,052 78,36 20,75 0,89 Pasir berlumpur Sta , ,337 82,40 16,52 1,08 Pasir berlumpur Sta , ,379 72,86 25,86 1,28 Pasir berlumpur Sta , ,953 86,98 12,78 0,24 Pasir Sta , ,363 90,26 9,01 0,73 Pasir Sta , ,185 84,89 14,73 0,38 Pasir Hasil analisis fraksinasi sedimen kemudian diklasifikasikan untuk menentukan jenis tipe substrat yang terdapat di setiap stasiun pengamatan. Hasil klasifikasi sedimen menunjukkan bahwa terdapat 2 jenis tipe substrat di lokasi pengamatan yaitu substrat pasir (3 stasiun) dan substrat pasir berlumpur (6 stasiun) (Tabel 5). Pengelompokan atau klasifikasi jenis substrat ini ditentukan berdasarkan komposisi substrat di setiap stasiun (Gambar 19). Gambar 19. Peta stasiun sebaran sedimen

52 4.2. Densitas dan porositas sedimen dasar perairan Pengukuran densitas dan porositas dalam sedimen dasar perairan perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana pengaruh densitas sedimen dan porositas dalam mempengaruhi dasar perairan dalam memberikan respon terhadap sinyal akustik yang diterima. Salah satu contoh pengaruh densitas sedimen terhadap sinyal akustik adalah berkaitan dengan impedansi akustik dari dasar perairan. Selain itu porositas juga berkaitan dengan adanya ruang antar sedimen tentunya memberikan pengaruh selama transmisi sinyal akustik. Adanya ruang antara sedimen tentunya dapat menjadi tempat terperangkapnya bubbles yang timbul akibat adanya pergerakan arus dasar perairan. Gambar 20. Tipe bubble dasar perairan (Jackson dan Richardson, 2006) Semakin tinggi tingkat kerapatan (densitas) dari sedimen, maka ruang pori total yang ada dalam sedimen tentunya akan kecil. Ini dikarenakan ikatan partikel antar partikel dalam sedimen semakin solid. Berdasarkan hasil pengolahan sedimen dasar laut, hasil pengukuran densitas (kg/m 3 ) dan porositas (%) dari substrat pasir dan pasir berlumpur dapat dilihat pada Tabel 6.

53 Tabel 6. Nilai densitas dan porositas sedimen di lokasi penelitan Stasiun Depth Tipe Substrat Densitas Porositas (m) (kg/m 3 ) (%) 1 6,29 Pasir berlumpur ,8 2 4,07 Pasir berlumpur ,26 Pasir berlumpur ,6 4 4,91 Pasir berlumpur ,13 Pasir berlumpur ,9 6 5,60 Pasir berlumpur ,8 7 2,79 Pasir ,7 8 5,01 Pasir ,33 Pasir ,7 Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa substrat pasir memiliki nilai densitas rata-rata sebesar 1536,67 kg/m 3, sedangkan untuk pasir berlumpur memiliki nilai rata-rata densitas sebesar 1388,33 kg/m 3. Adanya hubungan antara densitas dengan nilai porositas, karena nilai densitas diperlukan untuk menghitung nilai porositas yang terdapat dalam tiap tipe substrat. Hasil perhitungan persentase porositas dalam tiap tipe substrat menunjukkan bahwa rata-rata persentase porositas untuk substrat pasir sebesar 40,80% dan substrat pasir berlumpur memiliki rata-rata persentase sebesar 47,52%. Adanya perbedaan nilai densitas dan porositas pada tipe substrat yang sama adalah ukuran butiran dan komposisi substrat tersebut. Selain itu, penyebab lain yang didugan memberi pengaruh kuat terhadap hasil pengukuran densitas dan porositas adalah kondisi sampel dasar perairan pada saat dilakukan pengambilan di lapangan. Untuk pengukuran densitas dan porositas yang ideal, ada baiknya sampel dalam kondisi tidak terganggu (undisturbed) hingga pada saat dilakukan pengukuran. Kondisi ini tentunya memerlukan perlengkapan yang canggih dan memadai dengan tingkat ketelitian yang tinggi. Namun pada penelitian ini hanya digunakan paralon untuk pengambilan contoh sedimen, sehingga dapat dipastikan kondisi sampel sudah berada dalam kondisi terganggu (disturbed) pada saat pengambilan sampel hingga pada saat pengukuran dilakukan.

54 4.3. Data akustik dari split beam echosounder Echogram merupakan hasil rekaman jejak-jejak dari target yang terdeteksi yang dapat dihasilkan dari sistem akustik dimana sumbu x merupakan jumlah ping dan sumbu y merupakan range/kedalaman (m). Skala Gray menunjukkan bahwa nilai raw data dari echogram Sv antara -12 sampai -70 db. Pengembalian yang tinggi secara akustik menunjukkan pemantulan dari sebuah objek atau tipe dasar perairan yang kasar, sementara pengembalian yang lemah menunjukkan pembelokan sinyal akustik yang kembali dan dihubungkan untuk tipe dasar yang halus. Echogram digunakan sebagai fungsi quality control dan analisa data. Intensitas dari tiap variabel dinotasikan sebagai warna pada tiap pixel (Gambar 21). Kolom perairan Permukaan air Dasar perairan (1 st echo) Dasar perairan (2 nd echo) Dasar perairan (3 rd echo) Gambar 21. Tampilan contoh echogram

55 4.4. Komputasi acoustic backscattering dasar perairan Hasil ekstrak data menggunakan program Echoview 4,0 dongle version dan readeyraw Matlab menghasilkan tampilan echogram yang merupakan hasil penjabaran dari setiap ping dari nilai volume backscattering strength (Sv), dengan unit decibel (db). Komputasi nilai backscattering (Sv dan SS) dari beberapa tipe substrat dasar perairan diperoleh melalui komputasi echo dasar perairan yang terekam dalam echogram. Semakin besar nilai backscattering yang diberikan oleh dasar perairan maka diduga semakin kasar dan keras pula jenis dasar perairan tersebut. Hal ini disebabkan karena perbedaan material dasar laut Volume backscattering strength (Sv) dasar perairan Hasil kuantifikasi Sv echo dasar perairan menunjukkan bahwa dari 2 tipe substrat yang ditemukan di lokasi penelitian, substrat pasir memiliki nilai Sv yang berkisar antara -10,25 db sampai -17,13 db dan substrat pasir berlumpur memiliki nilai Sv yang berkisar antara -18,25 db sampai -23,60 db. Nilai ini diperoleh dengan mengintegrasikan dasar perairan dengan ketebalan lapisan 10 cm dengan nilai minimum threshold minimum yang digunakan sebesar -50 db dan maksimum 0 db untuk E1, sedangkan untuk E2 nilai minimum threshold minimum yang digunakan sebesar -70 db dan maksimum 0 db. Nilai Sv rata-rata untuk substrat pasir adalah sebesar -13,23 db dan substrat pasir berlumpur sebesar -21,15 db. Nilai Sv tertinggi untuk substrat pasir terdapat pada Stasiun 7 sebesar -10,25 db dan terendah pada Stasiun 8 sebesar -17,13 db, sedangkan nilai Sv tertinggi untuk substrat pasir berlumpur terdapat pada Stasiun 6 sebesar -18,25 db dan terendah pada Stasiun 3 sebesar -23,60 db (Tabel 7). Adanya perbedaan nilai Sv pada tiap jenis dasar perairan salah satunya disebabkan karakteristik fisik sedimen tersebut, dimana sedimen yg memiliki kenampakan makroskopis tentunya akan memberikan nilai backscattering yang lebih besar. Selain itu, adanya pori-pori/ruang yang terdapat antar sedimen dapat menjadi faktor lainnya yang mempengaruhi jenis sedimen tersebut dalam memberikan respon terhadap nilai akustik. Echogram merupakan rekaman dari rangkaian gema. Gambar 22 memperlihatkan tampilan echogram tipe substrat pasir yang mewakili stasiun pengamatan di lokasi penelitian. Substrat pasir yang cenderung memiliki

56 kenampakan makroskopis memiliki kelebihan untuk memantulkan kembali sinyal akustik yang ditembakkan ke dasar perairan. Hal ini yang mengakibatkan second echo yang dihasilkan dari substrat pasir tentunya akan cenderung lebih kuat jika dibandingkan dengan substrat pasir berlumpur. (a) (b) Gambar 22. Tampilan echogram tipe substrat pasir di lokasi penelitian (a) Stasiun 7, (b) Stasiun 9

57 Gambar 23 memperlihatkan tampilan echogram tipe substrat pasir berlumpur yang mewakili stasiun pengamatan di lokasi penelitian. Substrat pasir berlumpur cenderung memiliki kandungan fraksi lumpur yang lebih banyak jika dibandingkan dengan lumpur yang terdapat pada substrat pasir. (a) (b) Gambar 23. Tampilan echogram tipe substrat pasir berlumpur lokasi penelitian (a) Stasiun 3, (b) Stasiun 4

58 Surface backscattering strength (SS) dan echo level (EL) dasar perairan Nilai Sv yang diperoleh dari echogram melalui software Echoview 4,00 selanjutnya dikuantifikasikan lebih lanjut untuk memperoleh nilai SS. Nilai SS diperoleh menggunakan persamaan yang menghubungkan bottom volume backscattering strength (Sv) dan surface backscattering strength (SS) (Manik et al. 2006). Proses pengolahan SS dilakukan dengan pemilihan data (filtering) untuk menghindari data yang tidak diinginkan. Filtering yang dilakukan ini sama halnya seperti yang dilakukan dalam pengolahan dengan software Echoview 4,00 yaitu melalui pemberian batasan nilai threshold minimum sebesar -50 db dan maksimum pada 0 db. Hasil yang diperoleh dari hasil komputasi nilai Sv untuk memperoleh nilai SS didapatkan bahwa nilai SS untuk substrat pasir berkisar antara -20,32 db sampai -27,20 db dengan nilai rata-rata sebesar -23,30 db. Substrat pasir berlumpur memiliki nilai SS yang berkisar pada -28,32 db sampai -33,66 db dengan rata-rata nilai SS sebesar -31,22 db. Nilai SS pasir tertinggi terletak pada Stasiun 10 sebesar -20,32 db dan terendah pada Stasiun 8 sebesar -27,20 db. Untuk substrat pasir berlumpur, nilai SS tertinggi terdapat pada Stasiun 6 sebesar - 28,32 db dan terendah pada Stasiun 3 sebesar -33,66 db (Tabel 7). Faktor yang mempengaruhi nilai SS dasar perairan, selain kedalaman adalah ukuran butiran. Hal ini dikarenakan masing-masing tipe substrat juga memiliki diameter ukuran butiran yang berbeda. Umumnya pasir sangat halus memiliki tingkat kekasaran lebih tinggi dibandingkan kekasaran dari susbtrat pasir berlumpur. Hal ini terjadi karena komposisi pasir lebih banyak pada substrat pasir dari pada pasir berlumpur. Demikian pula untuk tingkat kekerasan fraksi pasir lebih keras dari pada fraksi lumpur (Pujiyati et al. 2010). Berdasarkan nilai backscattering ini maka dapat disimpulkan bahwa kekasaran, kekerasan dan ukuran butiran substrat sangat mempengaruhi nilai hambur balik dasar perairan. Selain melakukan perhitungan nilai SS, pada penelitian ini dilakukan komputasi nilai echo level dasar perairan dimana nilai echo level berkaitan erat dengan source level dari tipe transducer yang digunakan, sound speed, pulse length, koefisien absorpsi, kedalaman posisi transducer terhadap dasar perairan

59 dan nilai SS dasar perairan. Nilai echo level terbaik dasar perairan dihasilkan oleh transmisi gelombang akustik yang tegak lurus dasar perairan (normal incident). Berdasarkan hasil perhitungan nilai echo level (EL), maka pada penelitian ini didapatkan bahwa nilai EL untuk substrat pasir memiliki nilai rata-rata sebesar 177,94 ± 8,61 db dan untuk pasir berlumpur memiliki nilai rata-rata echo level sebesar 167,23 ± 6,07 db dengan nilai source level (SL) sebesar 214 db (split beam transducer seri ES 120-7C) (Tabel 7). Tabel 7. Nilai Sv, SS, dan EL dasar perairan Stasiun Tipe Substrat Depth (m) Sv (db) E1 E2 SS (db) 1 Pasir berlumpur 6,29-22,74-49,44-32,81 2 Pasir berlumpur 4,07-22,89-53,06-32,97 3 Pasir berlumpur 4,26-23,60-57,05-33,66 4 Pasir berlumpur 4,91-20,57-55,18-30,64 5 Pasir berlumpur 2,13-21,28-50,10-31,34 6 Pasir berlumpur 5,60-18,25-49,08-28,32 7 Pasir 2,79-10,25-46,46-20,32 8 Pasir 5,01-17,13-50,40-27,20 9 Pasir 2,33-15,43-55,13-25,49 EL (db) 167,23 ± 6,07 177,94 ± 8,61 Gambar 24 dan Gambar 25 menunjukkan contoh stasiun yang menunjukkan pola perambatan pulsa akustik yang diukur dalam Sv dan SS dari dasar perairan pada kedua tipe substrat yang di plot berdasarkan hubungan antara kedalaman dan nilai intensitas acoustic backscattering strength. Pada pola perambatan pulsa akustik yang diukur, puncak nilai Sv atau SS dapat diduga sebagai echo dasar (dasar perairan). Puncak yang tertinggi merupakan echo pertama dari dasar perairan sedangkan peak yang selanjutnya (puncak yang lebih rendah) merupakan echo kedua dari dasar perairan dan seterusnya.

60 (a) (b) Gambar 24. Pola SS dan Sv tipe substrat pasir (a) Stasiun 7, (b) Stasiun 9

61 (a) (b) Gambar 25. Pola SS dan Sv tipe substrat pasir berlumpur (a) Stasiun 3, (b) Stasiun 4

62 Nilai SS diperoleh dari puncak nilai Sv echo permukaan. Hasil pengolahan SS dengan menggunakan Matlab terlihat bahwa nilai maksimum dan minimum SS bervariasi untuk beberapa tipe substrat (pasir dan pasir berlumpur). Hal ini diduga bahwa nilai SS dipengaruhi oleh impedansi akustik dan kekasaran (roughness) dari permukaan lapisan dasar perairan. Berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat disimpulkan bahwa hal ini sesuai dengan hasil Siwabessy (2001) yang menjelaskan bahwa nilai backscattering dari dasar yang keras akan lebih besar dibandingkan nilai backsacttering dari dasar perairan yang lunak. Nilai terbesar SS tidak jauh berbeda dengan nilai Sv dasar perairan yang didominasi oleh tipe substrat pasir dan pasir berlumpur. Hal ini sejalan dengan pernyataan Manik et al. (2006) yang menjelaskan bahwa dengan menggunakan nilai SS, nilai backscattering strength substrat pasir lebih besar dari pada nilai SS pada tipe substrat lumpur. Nilai terkecil SS didominasi oleh tipe substrat lumpur berpasir dan lumpur. Menurut Manik et al. (2006), nilai SS meningkat dengan bertambahnya kenaikan diameter partikel dasar laut dan menurun dengan kenaikan frekuensi akustik yang digunakan yang bermanfaat untuk klasifikasi tipe dasar laut. Beberapa penelitian mengenai nilai backscattering strength dasar perairan pada beberapa perairan di Indonesia telah dilakukan. Beberapa diantaranya telah dilakukan oleh Purnawan (2009), Taruk Allo (2008), Pujiyati (2008) dan Manik et al. (2006) dengan menggunakan instrumen scientific echosounder split beam dengan frekuensi 120 khz (Tabel 8).

63 Tabel 8. Beberapa penelitian tentang nilai backscattering strength dasar perairan Peneliti Penelitian ini (2011) Purnawan (2009) Taruk Allo (2008) Pujiyati (2008) Manik et al. (2006) Instrumen/ Software SIMRAD EY 60/Echoview dan Matlab SIMRAD EY 60/Matlab SIMRAD EY 60/Echoview SIMRAD EK 500/EP 500 Quantitative Echo Sounder/Matlab Lokasi P.Pramuka, P.Panggang, P.Karya, P.Semak Daun Kep. Seribu P.Pari Kep. Seribu Perairan Sumur Pandeglang, Banten Perairan Bangka Belitung dan Laut Jawa Samudera Hindia Nilai BS (db) Pasir: -13,23 Pasir berlumpur: -21,15 Pasir: -16,35 Pasir: -18,05 Pasir berlumpur: -21,09 Lumpur berpasir: -27,04 Lumpur: -30,02 Pasir: -20,00 Lumpur: -35,91 Pasir: -18,30 Lumpur berpasir: -23,40 Lumpur: -29, Backscattering strength (db) Lumpur Lumpur berpasir Pasir berlumpur Pasir Gambar 26. Perbandingan nilai backscattering strength pada tipe substrat pasir, pasir berlumpur, lumpur berpasir dan lumpur. ( ) Penelitian ini. ( ) Purnawan. ( ) Taruk Allo. ( ) Pujiyati. ( ) Manik et al.

64 Selain itu, beberapa penelitian tentang nilai backscattering strength dengan menggunakan instrumen yang berbeda diperoleh nilai masing-masing backscattering strength yang berbeda meskipun jenis substrat dasar perairannnya sama. Penggunaan frekuensi yang tinggi dengan panjang pulsa yang pendek akan menghasilkan resolusi yang tinggi namun memiliki daya penetrasi yang rendah karena absorpsi medium air laut sebanding dengan frekuensi yang digunakan (Tabel 9). Tabel 9. Penelitian dengan beberapa instrumen akustik untuk dasar perairan Peneliti Lokasi Instrumen Frekuensi Nilai BS (db) Siemes et al. (2007) Kagesten (2008) Laut Mediterania Storgrundet Teluk Bosnia MBES Simrad EM 3000D Simrad EM 3002D 300 khz 300 khz Silty clay: -33,2 Clay: -30,1 Clayey silt: -27,9 Sand: -14,1 Silt: -17,4 Clay: -25 Kondisi perairan yang berbeda akan mempengaruhi intensitas nilai backscattering karena secara tidak langsung berhubungan dengan kecepatan rambat gelombang suara di perairan yang berkaitan erat dengan kondisi suhu, salinitas dan tekanan (depth). Selain cepat rambat gelombang suara, panjang pulsa juga mempengaruhi intensitas nilai backscattering dan ini berkaitan erat dengan spesifikasi instrumen akustik yang digunakan dalam penelitian Normalisasi energi echo dasar perairan Tingkat energi dasar perairan dapat digambarkan berdasarkan hubungan antara intensitas echo dasar perairan terhadap kedalaman dalam memberikan respon terhadap sinyal akustik yang mengenai dasar perairan. Hal ini ditandai dengan adanya anggapan bahwa dasar perairan yang keras akan menghasilkan intensitas echo yang tajam berupa nilai amplitudo yang tinggi, sementara bagian dasar perairan yang lunak akan menghasilkan echo yang lemah yang ditandai dengan rendahnya nilai respon amplitudo yang dihasilkan. Dasar perairan cenderung memiliki karakteristik memantulkan dan menghamburkan kembali gelombang suara dari sinyal akustik seperti halnya permukaan perairan laut. Efek yang dihasilkan lebih kompleks karena sifat dasar

65 laut yang tersusun atas beragam unsur mulai dari bebatuan yang keras hingga lempung yang halus serta lapisan-lapisan yang memiliki komposisi yang berbedabeda (Urick, 1983). Menurut Pujiyati (2008), selain dipengaruhi oleh ukuran partikel, diduga ada faktor lain yang mempengaruhi nilai backscattering seperti porositas, kandungan zat organik dan biota yang berada dalam substrat. Gambar 27 dan Gambar 28 menunjukkan hasil normalisasi echo dasar perairan yang diperoleh dari data echogram untuk melihat tingkat intensitas energi dari beberapa tipe substrat dasar perairan (pasir dan pasir berlumpur) di lokasi penelitian. Echo envelope dari intensitas energi ini merupakan interpretasi dari dasar perairan dalam meresponi sinyal akustik yang memperlihatkan sinyal echo yang berasal dari first bottom dan second bottom. Echo dasar perairan ini merupakan nilai backscattering volume (Sv) yang merupakan nilai yang menggambarkan nilai Sv tertinggi untuk masing-masing peak echo, dimana peak pertama diindikasikan sebagai echo yang berasal dari noise permukaan yang disebabkan proses transmisi sinyal akustik dan gangguan lainnya seperti angin ataupun gelembung (bubble). Peak kedua merupakan gema yang berasal dari dasar perairan yang langsung diterima transducer, sedangkan peak kedua dan seterusnya merupakan gema yang berasal dari dasar perairan kemudian tidak langsung kembali ke transducer tetapi dipantulkan oleh permukaan perairan atau kapal dan kembali ke dasar perairan dan kemudian kembali ke transducer. Berdasarkan kurva energi tersebut dapat dilihat bahwa substrat pasir cenderung memberikan respon backscattering yang lebih kuat dibandingkan dengan substrat pasir berlumpur yang ditandai dengan nilai amplitudo yang tinggi yang terdapat pada substrat pasir. Rendahnya intensitas energi echo pada substrat pasir berlumpur dikarenakan substrat yang memiliki kandungan lumpur cenderung untuk menyerap gelombang suara yang ditransmisikan ke dasar perairan sehingga echo yang kembali dari dasar akan mengalami pelemahan. Hal ini berbeda dengan pasir, karena pasir akan memantulkan gelombang suara lebih kuat.

66 (a) (b) Gambar 27. Echo envelope yang mengindikasikan tingkat intensitas energi tipe substrat pasir (a) Stasiun 7, (b) Stasiun 9

67 (a) (b) Gambar 28. Echo envelope yang mengindikasikan tingkat intensitas energi tipe substrat pasir berlumpur (a) Stasiun 3, (b) Stasiun 4

68 4.6. Acoustic reflection (R) dan bottom loss (BL) dasar perairan Pengukuran sifat fisik sedimen diperlukan untuk mengetahui beberapa parameter akustik sedimen yang berkaitan langsung dengan sifat fisik sedimen tersebut. Hal ini dilakukan sebagai langkah awal untuk mengetahui nilai impedansi akustik (z) di dasar dan kolom perairan yang selanjutnya digunakan untuk mengetahui koefiesien refleksi (R) antara dasar perairan dengan kolom perairan. Tabel 10 memperlihatkan hasil pengukuran dan perhitungan dari beberapa parameter sifak fisik sedimen. Hasil pengukuran nilai densitas diperlukan untuk menghitung nilai akustik impedansi dari beberapa tipe substrat di lokasi penelitian. Untuk nilai sound speed dalam sedimen, pada penelitian ini digunakan nilai acuan sound speed beberapa tipe substrat yang terdapat dalam Jackson dan Richardson (2006). Adanya perbedaan nilai sound speed di kolom perairan pada setiap stasiun pengamatan disebabkan karena pada proses perhitungannya telah diperhitungkan nilai-nilai yang mempengaruhi sound speed seperti suhu, salinitas, dan kedalaman. Hasil perhitungan koefisien refleksi pada beberapa tipe substrat di lokasi penelitan dapat dilihat juga pada Tabel 10. Jika dilihat pada tabel, untuk substrat pasir berlumpur dari Stasiun 1 sampai Stasiun 4 nilai koefisien refleksi yang diperoleh tidak jauh berbeda dengan kisaran 0,92 sampai 0,94. Namun terdapat perbedaan untuk jenis substrat yang sama pada Stasiun 5 dan Stasiun 6 dimana nilainya cenderung semakin kecil atau dengan kata lain menyerupai nilai koefisien reflektansi dari substrat pasir. Perbedaan ini muncul dikarenakan struktur dari sedimen yang terambil pada saat pengambilan data dimana sedimen telah berada dalam kondisi terganggu (disturbed) sehingga mengakibatkan munculnya perbedaan nilai dari jenis substrat yang sama yang terdapat pada stasiun yang lain. Hasil dari penelitian perhitungan karakteristik sifat fisik sedimen ini kemudian di plot kedalam grafik untuk melihat hubungan antara nilai impedansi sedimen dengan densitas, porositas dan sound speed dari sedimen. Selanjutnya hasil tersebut dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Kim et al. (2004) di Teluk Meksiko. Perbandingan hasil yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 29.

69 Tabel 10. Pengukuran dan perhitungan sifat fisik sedimen Stasiun Metode Tipe Substrat Sediment velocity (m/s) Sediment density (g/cm 3 ) Water velocity (m/s) Water density (g/cm 3 ) Sediment impedance (10 6 kg/m 2 s) Porosity (%) Koefisien refleksi Bottom loss (db) Pasir 1 Core 1, ,84 1,025 1,83 53,80 0,93 22,52 berlumpur Pasir 2 Core 1, ,80 1,025 1,80 54,00 0,94 23,54 berlumpur Pasir 1511,4 3 Core 1, ,22 1,025 1,95 50,60 0,93 19,56 berlumpur ± 4 Core 1, ,81 1,025 2,09 48,00 0,92 17,09 Pasir 5 Core 1, ,19 1,025 2,54 37,90 0,87 12,64 berlumpur Pasir 6 Core 1, ,24 1,025 2,39 40,80 0,89 13,81 berlumpur 7 Core Pasir 1, ,78 1,025 2,64 36,70 0,87 11, ,5 8 Core Pasir 1, ,06 1,025 2,59 43,00 0,89 12,30 (*) 9 Core Pasir 1, ,19 1,025 2,62 42,70 0,88 12,11 (*) Jackson dan Richardson, 2006 Pasir 2, berlumpur (*)

70 2.2 Density (g/cm3) Impedansi (10 6 kg/m 2 s) Penelitian ini (Core) Penelitian Kim et al., 2004 (Core) Penelitian Kim et al., 2004 (ASCS) Porositas (%) Impedansi (10 6 kg/m 2 s) Penelitian ini (Core) Penelitian Kim et al., 2004 (Core) Penelitian Kim et al., 2004 (ASCS) 1750 Velocity (m/s) Impedansi (10 6 kg/m 2 s) Penelitian ini (Core) Penelitian Kim et al., 2004 (Core) Penelitian Kim at al., 2004 (ASCS) Gambar 29. Grafik hubungan densitas, porositas dan velocity terhadap impedansi sedimen

71 Hasil penelitian ini jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kim et al. (2004) dapat dilihat nilai kecenderungan dari kurva cenderung menyerupai penelitian tersebut. Adanya perbedaan kurva hubungan velocity dengan impedansi sedimen dengan penelitian Kim et al. (2004) dikarenakan pada penelitian ini nilai sound speed dalam sedimen pada beberapa tipe substrat dasar perairan di lokasi penelitian hanya mengacu pada hasil penelitian yang terdapat dalam Jackson dan Richardson (2006). Sedikitnya tipe substrat yang diperoleh di lokasi penelitian juga ikut mempengaruhi bentuk kurva berdasarkan perbandingan nilai yang ada. Berdasarkan hasil perhitungan nilai koefisien refleksi, maka nilai ini selanjutnya digunakan untuk menghitung nilai bottom loss (BL) dari tipe substrat dasar perairan di lokasi penelitian. Hasil perhitungan nilai BL menunjukkan bahwa untuk substrat pasir memiliki nilai BL yang berkisar pada 11,96 db sampai 12,30 db, sedangkan untuk substrat pasir berlumpur nilai BL memiliki kisaran sebesar 12,64 db sampai 23,54 db. Grafik gubungan antara nilai impedansi sedimen dengan bottom loss (BL) dapat dilihat pada Gambar Bottom loss (db) BL = 13.67z z Impedansi (10 6 kg/m 2 s) Gambar 30. Grafik hubungan antara bottom loss dengan impedansi sedimen

72 4.7. Principal Component Analysis (PCA) Hubungan antara parameter fisika sedimen dengan nilai akustik dianalisis dengan menggunakan Principal Component Analysis (PCA). Ini dilakukan untuk melihat seberapa besar keterkaitan antara satu parameter dengan parameter yang lain. Parameter fisik sedimen yang digunakan dalam analisis ini meliputi densitas, porositas, komposisi sedimen (pasir, lumpur dan liat), koefisien refleksi (R) dan BL (Bottom Loss), sedangkan untuk parameter akustik meliputi nilai Sv (E1 dan E2), SS dan EL (Echo Level). Matriks korelasi menjelaskan hubungan antar parameter yang ada. Suatu korelasi dinyatakan berhubungan positif atau berbanding lurus jika nilainya 0,50 1,00. Parameter yang dinyatakan berhubungan negatif atau berbanding terbalik jika nilainya berada pada kisaran -0,50 sampai dengan -1,00 dan jika nilainya berada diantara -0,50 hingga 0,50 dianggap tidak mempunyai pengaruh yang nyata baik positif ataupun negatif (Legendre dan Legendre, 1998). Principal Component Analysis (PCA) yang dilakukan terhadap data pengamatan di perairan Kepulauan Seribu dapat menjelaskan keragaman data sampai 81,60% sehingga interpretasi analisis komponen dianggap mewakili keadaan yang terjadi tanpa mengurangi informasi yang banyak dari data (Gambar 31). Sumbu faktor 1 (F1) dan faktor 2 (F2) dipilih untuk menggambarkan peubah-peubah baru yang akan menjelaskan komponen utama karena kontribusi hasil penjumlahan antara keduanya lebih besar bila dibandingkan dengan penjumlahan antara F1 dan F3 atau F2 dan F3. Perlu diketahui bahwa besarnya sudut yang terbentuk dari dua variabel dalam satu sumbu faktor mengindikasikan besarnya perbedaan antara kedua variabel tersebut.

73 Projection of the variables on the factor-plane ( 1 x 2) 1.0 Liat 0.5 Density Lumpur Factor 2 : 13.18% 0.0 R E2 EL SSE1 Pasir BL Porosity Factor 1 : 68.42% Active Gambar 31. PCA untuk parameter fisik sedimen dan nilai hidroakustik pada sumbu F1 dan F Projection of the cases on the factor-plane ( 1 x 2) Cases with sum of cosine square >= 0.00 Kelompok 1 6 Factor 2: 13.18% Kelompok 2 5 Kelompok Factor 1: 68.42% Active Gambar 32. Penyebaran stasiun pengamatan pada sumbu F1 dan F2

74 Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti yang terlihat pada Gambar 32 maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Kelompok 1 yang meliputi Stasiun 5 adalah stasiun yang memiliki nilai densitas tertinggi dan Stasiun 6 yang ditandai dengan komposisi fraksi lumpur dan liat yang tinggi. 2. Kelompok 2 yang meliputi Stasiun 7, 8 dan 9 adalah stasiun yang memiliki kandungan komposisi fraksi pasir yang lebih besar dari stasiun lainnya yang ditandai dengan nilai backscattering strength yang lebih besar. 3. Kelompok 3 diwakili Stasiun 1, 2, 3 dan 4 dengan nilai porositas dan bottom loss yang lebih besar jika dibandingkan dengan stasiun lainnya Analisis Cluster Analisis cluster merupakan teknik multivariat yang mempunyai tujuan utama untuk mengelompokkan objek-objek berdasarkan karakteristik yang dimilikinya dan untuk menyajikannya dalam bentuk grafik. Analisis cluster mengklasifikasi objek sehingga setiap objek yang paling dekat kesamaannya dengan objek lain berada dalam cluster yang sama. Cluster yang terbentuk merefleksikan struktur yang melekat pada data seperti yang didefinisikan oleh variabel-variabel. Variabel-variabel yang dipilih hanyalah variabel yang dapat mencirikan objek yang akan dikelompokkan dan secara spesifik harus sesuai dengan tujuan analisis cluster. Hasil dendogram dari stasiun pengamatan berdasarkan parameter yang diukur dan dihitung pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 33 dan Gambar 34. Adanya kemiripan antar stasiun dicirikan dengan kedekatan/pengelompokkan antar stasiun yang ada. Sebagai contoh, Gambar 33 menggambarkan cluster data parameter fisik sedimen berdasarkan pengukuran dan perhitungan yang memperlihatkan kedekatan antar pengelompokkan tipe substrat di lokasi penelitian yaitu kelompok pasir dan pasir berlumpur. Gambar 34 memperlihatkan pengelompokkan stasiun berdasarkan nilai akustik yang diperoleh. Secara keseluruhan pengelompokkan stasiun berdasarkan nilai akustik dan parameter sedimen tidak jauh berbeda. Hal ini dikarenakan setiap parameter sedimen dan akustik mencirikan kemiripan yang terdapat pada tipa stasiun pengamatan.

75 Gambar 33. Dendogram parameter sedimen Gambar 34. Dendogram parameter hidroakustik

76 5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. Simpulan Penelitian ini dilakukan sebagai langkah awal untuk klasifikasi dasar perairan dengan akurasi yang tinggi dengan menggunakan metode hidroakustik yang dioperasikan secara stasioner. Beberapa hal yang diduga mempengaruhi nilai backscattering dasar perairan seperti densitas, porositas dan komposisi substrat berusaha untuk dipertimbangkan pada penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perhitungan nilai volume backscattering strength (Sv) dasar perairan untuk substrat pasir berkisar antara -10,25 db sampai -17,13 db dan substrat pasir berlumpur berkisar antara -18,25 db sampai -23,60 db, sedangkan nilai surface backscattering strength (SS) dasar perairan untuk substrat pasir memiliki nilai yang berkisar antara -20,32 db sampai -27,20 db dan substrat pasir berlumpur berkisar antara -28,32 db sampai -33,66 db. Hasil perhitungan nilai echo level (EL) menunjukkan bahwa untuk substrat pasir memiliki nilai echo level (EL) sebesar 177,94 ± 8,61 db dan substrat pasir berlumpur sebesar 167,23 ± 6,07 db dengan nilai source level (SL) sebesar 214 db (split beam transducer seri ES 120-7C). Adanya perbedaan nilai backscattering pada tiap jenis dasar perairan salah satunya disebabkan karakteristik fisik sedimen tersebut, dimana sedimen yang memiliki kenampakan makroskopis tentunya akan memberikan nilai backscattering yang lebih besar. Keberadaan cangkang kerang dan pecahan karang di dasar perairan diduga mempengaruhi nilai backscattering dasar perairan, sehingga keberadaannya diduga turut serta dalam memberikan pantulan dasar perairan. Kondisi sampel yang sudah berada dalam keadaan terganggu turut mempengaruhi nilai pengukuran densitas dan porositas sehingga mungkin hasil yang diperoleh di laboratorium tidak sesuai dengan kondisi in situ.

77 5.2. Saran Penelitian ini hanya mendapatkan beberapa tipe substrat di lokasi penelitian (pasir dan pasir berlumpur). Oleh karena itu sebaiknya perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan tipe substrat yang lebih beragam sehingga diperoleh hasil yang akurat. Selain itu, ada baiknya dilakukan perlakuan integrasi dengan ketebalan lapisan dasar perairan yang berbeda-beda yang disertai dengan pengambilan contoh sedimen dengan ketebalan berbeda-beda pula. Kondisi sampel sebaiknya tidak mengalami gangguan sehingga dapat meminimalkan pengaruh yang berasal dari faktor luar sedimen itu sendiri sehingga dapat dihasilkan pengukuran yang akurat terhadap hasil pengukuran sedimen.

78 DAFTAR PUSTAKA Brown CJ et al Mapping seabed habitats in the Firth of Lorn off the west coast of Scotland: Evaluation and comparison of habitat maps produced using the Acoustic Ground Discrimination System, RoxAnn, and Side Scan Sonar. ICES Journal of Marine Science, 62: Burczynski J Bottom Classification. BioSonics, Inc. USA. Collins W, McConnaughey RA Acoustic classification of the sea floor to address essential fish habitat and marine protected area requirements. Proceedings of the Canadian Hydrographic Conference. Victoria, B.C Dale EI, William JW Oceanography: An Introduction. 3th Edition. Wadsworth Publishing Company. Belmart. Dewi KT, Darlan Y Patikel Mikroskopis Dasar Laut Nusantara. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan. Bandung. Deswati SR Evaluasi Metode Akustik Untuk Pemantauan Padang Lamun [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fronsesca L, Mayer L Remote estimation of surficial seafloor properties though the application Angular Range Analysis to multibeam sonar data. Mar Geophys Res, 28: Hamilton LJ Acoustic Seabed Classfication Systems. DSTO-TN DSTO Aeronautical and Maritime Research Laboratory. Australia. Hamouda AZ, Abdel-Salam KM Acoustic seabed classification of marine habitats: Studies in the Abu-Qir Bay, Egypt. Journal of Oceanography and Marine Science, 1: Jackson DR, Richardson MD High Frequency Seafloor Acoustic. Springer Science Business Media. New York. Kagesten G Geological Seafloor Mapping with Backscatter Data from A Multibeam Echosounder. Department of Earth Science, Gothenburg University. Kim GY et al Sediment types determination using acoustic techniques in the Northeastern Gulf of Mexico. Geosciences Journal, 8:

79 Kloser RJ, Bax NJ, Ryan T, Williams A, Baker BA Remote sensing of seabed types in the Australian South East Fishery development and application of normal incident acoustic techniques and associated ground truthing. Journal of Marine and Freshwater Research, 552: Krastel S et al Mapping seabed morphology and shallow sediment structure of the Mauritania continental margin, Northwest Africa: some implications for geohazard potential. Norwegian Journal of Geology, 86: ISSN X. Lambert DN, Kalcic MT, Fass RW Variability in the acoustic response of shallow-water marine sediments determined by normal-incident 30 khz and 50 khz sound. Marine Geology, 182: Legendre L, Legendre L Numerical Ecology, 2 nd. Elsevier Publishing Co. Amsterdam. Lurton X An Introduction to Underwater Acoustics. Praxis Publishing. Chichester. MacLennan DN, Simmonds E J Fisheries Acoustics. Blackwell Science. United Kingdom. Medwin H, Clay CS Fundamentals of Acoustical Oceanography. Academic Press Limited. London. Manik HM, Furusawa M, Amakasu K Measurement of Sea Bottom Surface Backscattering Strength by Quantitative Echo Sounder. Fisheries Science, 72: Penrose JD et al Acoustic Techniques for Seabed Classification. Coastal for Coastal Zone Estuary and Waterway Management. Technical Report. Poerbondono, Djunasjah E Survei Hidrografi. PT. Refika Aditama. Bandung. Preston JM, Christney AC, Beran LS, Collins WT Statistical seabed segmentation from images and echoes to objective clustering. Proceedings of the Seventh European Conference on Underwater Acoustics, ECUA 2004 Delft, The Netherlands. Pujiyati S Pendekatan metode hidroakustik untuk pendugaan klasifikasi tipe substrat dasar perairan dan hubungannya dengan komunitas ikan demersal [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

80 Pujiyati S, Hartati S, Priyono P Efek ukuran butiran, kekasaran, dan kekerasan dasar perairan terhadap nilai hambur balik hasil deteksi hydroakustik. E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, 2: Purnawan S Analisis Model Jackson Pada Sedimen Berpasir Menggunakan Metode Hidroakustik di Gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Richardson MD, Briggs KB, Bently SJ, Walter DJ, Orsi TH The effects of biological and hydrodynamic processes on physical and acoustic properties of sediments off the Eel River, California. Marine Geology, 182: Siemes K, Mirjam S, Simons DG, Hermand JP Using MBES Backscatter Strength Measurements for Assesing A Shallow Water Soft Sediment Environment. IEEE: Schlagintweit GEO Real-time acoustic bottom classification: a field evaluation of RoxAnn. Proceedings of Ocean 93: ( Simrad Simrad EP 500 (Operational Manual). Horten. Siwabessy J, Penrose J, Kloser R, Fox D Seabed habitat classification. Shallow Survey 99 International Conference on High Resolution Surveys in Shallow Water. Sydney. Siwabessy PJW An investigation of the relationship between seabed type and benthic and bentho-pelagic biota using acoustic techniques [thesis]. Australia: Curtin University of Technology. Smith LI A tutorial on Principal Components Analysis. Technical report. USA. Soemartini Principal Component Analysis (PCA) sebagai salah satu metode untuk mengatasi masalah multikolinearitas. Universitas Padjajaran. Bandung. Taruk Allo OA, Pujiyati S, Jaya I Klasifikasi Habitat Dasar Perairan dengan Menggunakan Instrumen Hidroakustik SIMRAD EY-60 di Perairan Sumur, Pandeglang-Banten. Jurnal Kelautan Nasional, 1 (Edisi Khusus): Tsemahman AS, Collins WT, Prager BT Acoustic seabed classification and correlation analysis of sediment properties by QTC VIEW. In: Proceedings of the OCEANS 97 MTS/IEEE Symposium. Halifax.

81 Urick RJ Principles of Underwater Sound, 3 rd ed. Mc-Graw-Hill. New York. Wibisono MS Pengantar Ilmu Kelautan. Grasindo. Jakarta.

82 LAMPIRAN

83 Lampiran 1. Scientific echosounder Simrad EY 60 Kabel Transducer Transducer GPT Laptop GPS Lampiran 2. Alat pengambilan sampel sedimen

84 Lampiran 3. Kapal survei Lampiran 4. Echoview 4,00 dan dongle

85 Lampiran 5. Alat pengukur parameter fisik sedimen Shaker (ASTM E 11. USA Standard) Timbangan Alat pengukur densitas sedimen Alat pengukur porositas

86 Lampiran 6. Listing program Matlab_Rick Untuk menampilkan echo envelope %readekraw_ey60.m % % % Rick Towler % National Oceanic and Atmospheric Administration % Alaska Fisheries Science Center % Midwater Assesment and Conservation Engineering Group % rick.towler@noaa.gov % % %readekraw_chunkexample.m % % define paths to example raw and bot files rawfile = 'nama_file.raw'; botfile = 'nama_file.bot'; ping_awal = input('masukkan ping awal = '); ping_akhir = input('masukkan ping akhir = '); disp('reading.raw file...'); % read in the first chunk of the file using PingRange to define chunk size. % Note that we specify the optional 3rd return argument "rstat" that will % contain the reader state when the function exits. % % also note that we do not read in angle data [header, firstraw, rstat] = readekraw(rawfile, 'Frequencies', ,... 'SampleRange',[1 800],'PingRange',[ping_awal ping_akhir],'angles',false); % extract calibration parameters from the first raw data structure calparms = readekraw_getcalparms(header, firstraw); disp('reading.bot file...'); % read in the.bot file - by passing the optional 3rd argument we force % readekbot to only return data for pings contained in the firstraw structure. % again, we set the rstat return argument. [header, firstbot, rstat] = readekbot(botfile, calparms, firstraw,... 'ReturnRange', true); % convert power to Sv firstraw = readekraw_power2sv(firstraw, calparms); % plot up the two blocks of data disp('plotting...');

87 % plot the first chunk echogram readekraw_simpleechogram(firstraw.pings(1).sv, firstraw.pings(1).number,... firstraw.pings(1).range, 'Threshold', [-70,0], 'Title',... ['Sv']); hold on % plot the bottom plot(firstraw.pings(1).number, firstbot.pings.bottomdepth(1,:), 'c'); hold off % colorbar; colorbar('yticklabel',{'-70 db','-58 db','-47 db','-35 db','-23 db','-12 db'}) xlabel ('Ping') ylabel ('Depth (m)') % plot echo envelope (digunakan setelah selesai menampilkan echogram) Sv1=firstRaw.pings.Sv; Sv1mean=mean(Sv1'); plot(sv1mean); xlabel ('Time (ms)') ylabel ('Intensitas energi backscattering strength Untuk menampilkan grafik Sv dan SS (Purnawan, 2009) % readekraw_ey60.m % % % Rick Towler % National Oceanic and Atmospheric Administration % Alaska Fisheries Science Center % Midwater Assesment and Conservation Engineering Group % rick.towler@noaa.gov % % %readekraw_chunkexample.m % % define paths to example raw and bot files rawfile = 'nama_file.raw'; botfile = 'nama_file.bot'; awal=input('masukkan ping awal = '); akhir=input('masukkan ping akhir = '); % membaca file.raw - hanya pada frekuensi 120 khz disp('membaca.raw file...'); [header, rawdata] = readekraw(rawfile, 'SampleRange', [1 500],... 'PingRange', [awal akhir]); calparms = readekraw_getcalparms(header, rawdata); % membaca file.bot - data yang kembali sebagai range

88 disp('membaca.bot file...'); [header, botdata] = readekbot(botfile, calparms, rawdata,... 'ReturnRange', true); % konversi power ke Sv data = readekraw_power2sv(rawdata, calparms); % konversi sudut electrical ke sudut physical data = readekraw_convertangles(data, calparms); % mensortir kembali data yang digunakan % sehingga mempermudah dalam pengolahan data dasar perairan c= ;%kecepatan suara tau= ;%panjang gelombang x=data.pings.number; y=data.pings.range; Z=data.pings.Sv;% Z= Sv logaritma z=10.^(z/10); ss=z*(c*tau/2);%ini untuk cari ss SS=10*log10(ss);%in untuk cari SS log along=data.pings.alongship; %sudut alongship athw=data.pings.athwartship; % sudut athwartship Svbottom=Z; along1=along; bd=botdata.pings.bottomdepth; [k l]=size(z); % data tbd pada 1 ping terakhir memberikan nilai yang tidak akurat % sehingga perlu dihilangkan l=l-1; for ll=1:l; m=0; for kk=1:k; % mengambil data dasar perairan, dari permukaan hingga 1/2 meter % data yang lainnya diberikan pada kedalaman lain adalah nol if y(kk,1)<(bd(1,ll)+0.05); Svbottom(kk,ll)=-1000; %svbottom(kk+1,ll)=0; along1(kk,ll)=0; elseif y(kk,1)>(bd(1,ll)+0.5); Svbottom(kk,ll)=-1000; along1(kk,ll)=0; else svbottom(kk,ll)=z(kk,ll); along1(kk,ll)=along(kk,ll); % mengambil data hanya pada dasar perairan hingga setengah meter, svbonly m=m+1; Svbottomonly(m,ll)=Z(kk,ll); along2(m,ll)=along(kk,ll); end;end; end; % agar jumlah data tiap kolom sama % ditentukan ketebalan lapisan yang digunakan, hlyr hlyr=0.1; for ll=1:l; for i=1:m;

89 if y(i,1)<=hlyr; Svbonly(i,ll)=Svbottomonly(i,ll); along3(i,ll)=along2(i,ll); end; end; end Svbottommean=mean(mean(Svbonly)); [i l]=size(svbonly); for ll=1:l;zmax(ll)=-999; for ii=1:i; if Svbonly(ii,ll) > Zmax(ll) ; Zmax(ll) = Svbonly(ii,ll); alongmax(ll)=along3(ii,ll); end end end zmax=10.^(zmax/10); % linier func ratazmax=mean(zmax); ssmax=zmax*(c*tau/2); ssmean=mean(ssmax); SSmax=10*log10(ssmean) stdsv=std(zmax); ratazmax=10*log10(ratazmax) stdsv=10*log10(stdsv); % membuat gambar echogram dan anglogram disp('plotting...'); nfreqs = length(data.pings); for n=1:nfreqs % plot echogram readekraw_simpleechogram(ss,x,y, 'Threshold', [-50,0]);% disini ngerubahnya!!!!! % plot the bottom hold on plot(data.pings(n).number, botdata.pings.bottomdepth(n,:), 'c'); hold off % plot anglogram readekraw_simpleanglogram(data.pings(n).alongship,... data.pings(n).athwartship, data.pings(n).number,... data.pings(n).range, 'Title',... ['Angles ' num2str(calparms(n).frequency)]); % plot bottom hold on plot(data.pings(n).number, botdata.pings.bottomdepth(n,:), 'c'); hold off end akhir=akhir-1; %mengembalikan nilai dari 'akhir' di atas %Zmax1=0; alongmax1=0;% untuk merubah kembali pingnya sp=akhir-l; %selisih ping yang dimasukkan dengan untuk looping for ll=awal:akhir; Zmax1(ll)=Zmax(ll-sp);

90 end alongmax1(ll)=alongmax(ll-sp); figure subplot(2,1,1); plot(zmax1); axis([awal akhir -30 0]) xlabel('ping','fontsize',16); ylabel('scattering volume (db)','fontsize',16); legend('sv max (db)') subplot(2,1,2); plot(alongmax1); axis([awal akhir ]) xlabel('ping','fontsize',16); ylabel('sudut (derajat)','fontsize',16); legend('sudut alongship (derajat)') figure plot (SS(:,1),y,'r') hold on plot (Z(:,1),y,'b') legend('ss','sv') xlabel ('Intensitas acoustic backscattering strength (db)') ylabel ('Depth (m)') Lampiran 7. Foto tipe substrat dasar perairan di lokasi penelitian Substrat Pasir Substrat Pasir berlumpur

91 Lampiran 8. Tampilan echogram (Lanjutan) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 8

92 Lampiran 9. Grafik pola Sv dan SS (Lanjutan) Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 5 Stasiun 6 Stasiun 8

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen dasar laut Sedimen yang merupakan partikel lepas (unconsolidated) yang terhampar di daratan, di pesisir dan di laut itu berasal dari batuan atau material yang mengalami

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam makhluk hidup yang kehidupannya berasosiasi dengan lingkungan perairan.

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses

2. TINJAUAN PUSTAKA. Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sedimen Dasar Laut Sedimen adalah kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal maupun secara

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sedimen Dasar Perairan Berdasarkan pengamatan langsung terhadap sampling sedimen dasar perairan di tiap-tiap stasiun pengamatan tipe substrat dikelompokkan menjadi 2, yaitu:

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2010 Juli 2011 yang meliputi tahapan persiapan, pengukuran data lapangan, pengolahan dan analisis

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Gambar 10. Lokasi penelitian

3. METODOLOGI. Gambar 10. Lokasi penelitian 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 29 Januari 2 Februari 2011 yang berlokasi di sekitar perairan Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Pulau Karya dan Pulau

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data akustik dilakukan pada tanggal 29 Januari sampai 3 Februari 2011 di perairan Kepulauan Seribu. Wilayah penelitian mencakup di

Lebih terperinci

Gambar 8. Lokasi penelitian

Gambar 8. Lokasi penelitian 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan lokasi penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 30 Januari-3 Februari 2011 yang di perairan Pulau Gosong, Pulau Semak Daun dan Pulau Panggang, Kabupaten

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan.

METODE PENELITIAN. Tabel 2 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian. No. Alat dan Bahan Type/Sumber Kegunaan. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data lapang dilakukan pada tanggal 16-18 Mei 2008 di perairan gugusan pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta (Gambar 11). Lokasi ditentukan berdasarkan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT

3. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º º BT 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada koordinat 5º - 8 º LS dan 133 º - 138 º BT (Gambar 2), pada bulan November 2006 di Perairan Laut Arafura, dengan kedalaman

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji

2. TINJAUAN PUSTAKA. Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Dasar Laut Arafura merupakan paparan yang sangat luas. Menurut Nontji (1987), paparan Arafura (diberi nama oleh Krummel, 1897) ini terdiri dari tiga

Lebih terperinci

PENGUKURAN HAMBUR BALIK AKUSTIK DASAR LAUT DI SEKITAR KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN SPLIT BEAM ECHOSOUNDER

PENGUKURAN HAMBUR BALIK AKUSTIK DASAR LAUT DI SEKITAR KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN SPLIT BEAM ECHOSOUNDER PENGUKURAN HAMBUR BALIK AKUSTIK DASAR LAUT DI SEKITAR KEPULAUAN SERIBU MENGGUNAKAN SPLIT BEAM ECHOSOUNDER KORSUES LUMBAN GAOL SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Peta Batimetri Laut Arafura Perairan Laut Arafura di lokasi penelitian termasuk ke dalam kategori perairan dangkal dimana kedalaman mencapai 100 meter. Berdasarkan data

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kajian dasar perairan dapat digunakan secara luas, dimana para ahli sumberdaya kelautan membutuhkannya sebagai kajian terhadap habitat bagi hewan bentik (Friedlander et

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Identifikasi Lifeform Karang Secara Visual Karang memiliki variasi bentuk pertumbuhan koloni yang berkaitan dengan kondisi lingkungan perairan. Berdasarkan hasil identifikasi

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Bentuk Pertumbuhan Karang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Bentuk Pertumbuhan Karang 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Terumbu Karang Terumbu karang merupakan satu kesatuan dari berbagai jenis karang. Terumbu karang adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan

Lebih terperinci

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI

PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI PERBEDAAN KETEBALAN INTEGRASI DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN HIDROAKUSTIK SIMRAD EY-60 DI PERAIRAN KEPULAUAN PARI SANTI OKTAVIA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, diperoleh data yang diuraikan pada Tabel 4. Lokasi penelitian berada

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL JACKSON PADA SEDIMEN BERPASIR MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI GUGUSAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU SYAHRUL PURNAWAN

ANALISIS MODEL JACKSON PADA SEDIMEN BERPASIR MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI GUGUSAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU SYAHRUL PURNAWAN ANALISIS MODEL JACKSON PADA SEDIMEN BERPASIR MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK DI GUGUSAN PULAU PARI, KEPULAUAN SERIBU SYAHRUL PURNAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

KELOMPOK 2 JUWITA AMELIA MILYAN U. LATUE DICKY STELLA L. TOBING

KELOMPOK 2 JUWITA AMELIA MILYAN U. LATUE DICKY STELLA L. TOBING SISTEM SONAR KELOMPOK 2 JUWITA AMELIA 2012-64-0 MILYAN U. LATUE 2013-64-0 DICKY 2013-64-0 STELLA L. TOBING 2013-64-047 KARAKTERISASI PANTULAN AKUSTIK KARANG MENGGUNAKAN ECHOSOUNDER SINGLE BEAM Baigo Hamuna,

Lebih terperinci

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan

4. HASIL PEMBAHASAN. Sta Latitude Longitude Spesies Keterangan 4. HASIL PEMBAHASAN 4.1 Data Lapangan Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan dengan melakukan penyelaman di lokasi transek lamun, ditemukan 3 jenis spesies lamun yakni Enhalus acoroides, Cymodocea

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2 Kapal Survei dan Instrumen Penelitian 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini merupakan bagian dari Ekspedisi Selat Makassar 2003 yang diperuntukkan bagi Program Census of Marine Life (CoML) yang dilaksanakan oleh

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Batimetri Selat Sunda Peta batimetri adalah peta yang menggambarkan bentuk konfigurasi dasar laut dinyatakan dengan angka-angka suatu kedalaman dan garis-garis yang mewakili

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Substrat dasar perairan memiliki peranan yang sangat penting yaitu sebagai habitat bagi bermacam-macam biota baik itu mikrofauna maupun makrofauna. Mikrofauna berperan

Lebih terperinci

EFEK UKURAN BUTIRAN, KEKASARAN, DAN KEKERASAN DASAR PERAIRAN TERHADAP NILAI HAMBUR BALIK HASIL DETEKSI HYDROAKUSTIK ABSTRACT

EFEK UKURAN BUTIRAN, KEKASARAN, DAN KEKERASAN DASAR PERAIRAN TERHADAP NILAI HAMBUR BALIK HASIL DETEKSI HYDROAKUSTIK ABSTRACT P P Staf P P Peneliti E-Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 1, Hal. 59-67, Juni 2010 EFEK UKURAN BUTIRAN, KEKASARAN, DAN KEKERASAN DASAR PERAIRAN TERHADAP NILAI HAMBUR BALIK HASIL DETEKSI

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sedimen Dasar Laut

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sedimen Dasar Laut 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sedimen Dasar Laut Seluruh permukaan dasar laut ditutupi oleh partikel-partikel sedimen yang telah diendapkan secara perlahan-lahan dalam jangka waktu berjuta-juta tahun. Sedimen

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengambilan Contoh Dasar Gambar 16 merupakan hasil dari plot bottom sampling dari beberapa titik yang dilakukan secara acak untuk mengetahui dimana posisi target yang

Lebih terperinci

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG

PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG Pendugaan Kelimpahan dan Sebaran Ikan... Metode Akustik di Perairan Belitung (Fahmi, Z.) PENDUGAAN KELIMPAHAN DAN SEBARAN IKAN DEMERSAL DENGAN MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI PERAIRAN BELITUNG ABSTRAK Zulkarnaen

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 17 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Juni 211, sedangkan survei data dilakukan oleh pihak Balai Riset Perikanan Laut (BRPL) Departemen

Lebih terperinci

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU

PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU PENGUKURAN KARAKTERISTIK AKUSTIK SUMBER DAYA PERIKANAN DI LAGUNA GUGUSAN PULAU PARI KEPULAUAN SERIBU Oleh: Arief Wijaksana C64102055 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

Model integrasi echo dasar laut Blok diagram scientific echosounder ditampilkan pada Gambar I. echo pada pre-amplifier, ERB :

Model integrasi echo dasar laut Blok diagram scientific echosounder ditampilkan pada Gambar I. echo pada pre-amplifier, ERB : N AWSTIK SCATTERINGSTRENGTH DASAR LAUT DAN IDENTIFIKASI WABIcrAT I DENGAN ECHOSOUNDER (Measurement of Acoustic ScatGering Strength of Sea Bottom and Identification of Fish Habitat Using Echosounder) Oleh:

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret September 2011 dengan menggunakan data berupa data echogram dimana pengambilan data secara in situ dilakukan

Lebih terperinci

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH

AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH P. Ika Wahyuningrum AKUSTIK REMOTE SENSING/PENGINDERAAN JAUH Suatu teknologi pendeteksian obyek dibawah air dengan menggunakan instrumen akustik yang memanfaatkan suara dengan gelombang tertentu Secara

Lebih terperinci

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. Vol. 4. No. 1 Mei 2013: 31-39 ISSNN 2087-4871 HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN DENGAN DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 (THE RELATION

Lebih terperinci

Sumber : Mckenzie (2009) Gambar 2. Morfologi Lamun

Sumber : Mckenzie (2009) Gambar 2. Morfologi Lamun 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Lamun Lamun merupakan tumbuhan laut yang hidup di perairan jernih pada kedalaman berkisar antara 2 12 m dengan sirkulasi air yang baik. Hampir semua tipe substrat dapat

Lebih terperinci

Scientific Echosounders

Scientific Echosounders Scientific Echosounders Namun secara secara elektronik didesain dengan amplitudo pancaran gelombang yang stabil, perhitungan waktu yang lebih akuran dan berbagai menu dan software tambahan. Contoh scientific

Lebih terperinci

3. METODOLOGI. Pengambilan data dengan menggunakan side scan sonar dilakukan selama

3. METODOLOGI. Pengambilan data dengan menggunakan side scan sonar dilakukan selama 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Pengambilan data dengan menggunakan side scan sonar dilakukan selama dua hari, yaitu pada 19-20 November 2008 di perairan Aceh, Lhokseumawe (Gambar 3). Sesuai

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI LIFEFORM KARANG MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK JEFRY BEMBA

IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI LIFEFORM KARANG MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK JEFRY BEMBA IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI LIFEFORM KARANG MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK JEFRY BEMBA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

Karakterisasi Pantulan Akustik Karang Menggunakan Echosounder Single Beam

Karakterisasi Pantulan Akustik Karang Menggunakan Echosounder Single Beam Karakterisasi Pantulan Akustik Karang Menggunakan Echosounder Single Beam Characterization of Coral Acoustics Backscattering Using Single Beam Echosounder Baigo Hamuna 1, Sri Pujiyati 2, Totok Hestirianoto

Lebih terperinci

NILAI KEKUATAN HAMBUR BALIK (BACKSCATTERING STRENGTH VALUE) SUBSTRAT BERPASIR STEVEN SOLIKIN

NILAI KEKUATAN HAMBUR BALIK (BACKSCATTERING STRENGTH VALUE) SUBSTRAT BERPASIR STEVEN SOLIKIN NILAI KEKUATAN HAMBUR BALIK (BACKSCATTERING STRENGTH VALUE) SUBSTRAT BERPASIR STEVEN SOLIKIN DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

Lebih terperinci

PENGUKURAN ACOUSTIC BACKSCATTERING STRENGTH DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN SINGLE DAN MULTI BEAM ECHO SOUNDER BAMBANG SUPARTONO

PENGUKURAN ACOUSTIC BACKSCATTERING STRENGTH DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN SINGLE DAN MULTI BEAM ECHO SOUNDER BAMBANG SUPARTONO PENGUKURAN ACOUSTIC BACKSCATTERING STRENGTH DASAR PERAIRAN DENGAN INSTRUMEN SINGLE DAN MULTI BEAM ECHO SOUNDER BAMBANG SUPARTONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PENGUKURAN ACOUSTIC

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini menggunakan data side scan sonar yang berasal dari survei lapang untuk kegiatan pemasangan kabel PLN yang telah dilakukan oleh Pusat

Lebih terperinci

PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DELTA MAHAKAM

PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DELTA MAHAKAM Pengukuran dan Analisis Nilai Hambur. Klasifikasi Dasar Perairan Delta Mahakam (Ningsih E.N., et al) PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DELTA MAHAKAM ACOUSTIC

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN

III METODE PENELITIAN III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Waduk Ir. H. Djuanda dan Laboratorium Akustik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor. Kegiatan penelitian ini terbagi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Alat dan Bahan yang digunakan di Lapangan. Scientific Echosounder Simrad EY 60

Lampiran 1. Alat dan Bahan yang digunakan di Lapangan. Scientific Echosounder Simrad EY 60 56 Lampiran 1. Alat dan Bahan yang digunakan di Lapangan Scientific Echosounder Simrad EY 60 Kapal Survei Pipa Paralon berdiameter 7,6 cm (3 inch) dan Sekop Dongle Echoview 57 Lampiran 2. Foto Tipe Substrat

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 39 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Profil Kecepatan Suara Profil kecepatan suara (SVP) di lokasi penelitian diukur secara detail untuk mengurangi pengaruh kesalahan terhadap data multibeam pada

Lebih terperinci

Pendahuluan. Peralatan. Sari. Abstract. Subarsyah dan M. Yusuf

Pendahuluan. Peralatan. Sari. Abstract. Subarsyah dan M. Yusuf PENGARUH FREKUENSI GELOMBANG TERHADAP RESOLUSI DAN DELINEASI PERLAPISAN SEDIMEN BAWAH PERMUKAAN DARI DUA INSTRUMEN AKUSTIK YANG BERBEDA DI SUNGAI SAGULING Subarsyah dan M. Yusuf Pusat Penelitian dan Pengembangan

Lebih terperinci

INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU

INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU INTERPRETASI SEB NILAI TARGET STRENGTH (TS) DAN DENSITAS DEmRSAL DENGAN BlETODE AIE)ROAKUSTIK DI TELUK PELABUWAN RATU Oleh: Munawir C64102020 PR AN TEKNOLOGI KELAUTAN AN DAN I Lm KELAUTAN INSTITUT PERTANLAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini merupakan lanjutan yang dilakukan dari bulan Juli sampai bulan Agustus menggunakan data hasil olahan dalam bentuk format *raw.dg yang

Lebih terperinci

SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara)

SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara) SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara) SOUND PROPAGATION (Perambatan Suara) Reflection and Refraction Ketika gelombang suara merambat dalam medium, terjadi sebuah pertemuan antara kedua medium dengan kepadatan

Lebih terperinci

KUANTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KARANG BERDASARKAN KUAT HAMBUR BALIK MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK SINGLE BEAM BAIGO HAMUNA

KUANTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KARANG BERDASARKAN KUAT HAMBUR BALIK MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK SINGLE BEAM BAIGO HAMUNA 15 KUANTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KARANG BERDASARKAN KUAT HAMBUR BALIK MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK SINGLE BEAM BAIGO HAMUNA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 16 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGUKURAN ACOUSTIC BACKSCATTERING STRENGTH DASAR PERAIRAN SELAT GASPAR DAN SEKITARNYA MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIMRAD EK60

PENGUKURAN ACOUSTIC BACKSCATTERING STRENGTH DASAR PERAIRAN SELAT GASPAR DAN SEKITARNYA MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIMRAD EK60 PENGUKURAN ACOUSTIC BACKSCATTERING STRENGTH DASAR PERAIRAN SELAT GASPAR DAN SEKITARNYA MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIMRAD EK60 ROSHYANA WAHYU NOOR JAYANTIE SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Side Scan Sonar merupakan peralatan observasi dasar laut yang dapat

2. TINJAUAN PUSTAKA. Side Scan Sonar merupakan peralatan observasi dasar laut yang dapat 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Side Scan Sonar Side Scan Sonar merupakan peralatan observasi dasar laut yang dapat memancarkan beam pada kedua sisi bagiannya secara horizontal. Side scan sonar memancarkan pulsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dimulai pada tanggal 20 Januari 2011 dan menggunakan data hasil survei Balai Riset Perikanan Laut (BRPL). Survei ini dilakukan mulai

Lebih terperinci

UJI BEDA KETEBALAN INTEGRASI PADA PANTULAN PERTAMA DAN KEDUA HASIL DETEKSI AKUSTIK MULYANI

UJI BEDA KETEBALAN INTEGRASI PADA PANTULAN PERTAMA DAN KEDUA HASIL DETEKSI AKUSTIK MULYANI UJI BEDA KETEBALAN INTEGRASI PADA PANTULAN PERTAMA DAN KEDUA HASIL DETEKSI AKUSTIK MULYANI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 PERNYATAAN

Lebih terperinci

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Oleh : PAHMI PARHANI C SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan STUDI TENTANG ARAH DAN KECEPATAN RENANG IKAN PELAGIS DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM AKUSTIK BIM TEmAGI (SPLIT-BEAM ACOUSTIC SYSTEM ) DI PERAIRAN TELUK TOMINI PADA BULAN JULI-AGUSTUS 2003 Oleh : PAHMI PARHANI

Lebih terperinci

Lampiran 2. Alat pengambilan sampel sedimen

Lampiran 2. Alat pengambilan sampel sedimen Lampiran 1. Scientific echosounder Simrad EY 60 Kabel Transducer Transducer GPT Laptop GPS Lampiran 2. Alat pengambilan sampel sedimen Lampiran 3. Kapal survei Lampiran 4. Echoview 4,00 dan dongle Lampiran

Lebih terperinci

DETEKSI DAN INTERPRETASI TARGET DI DASAR LAUT MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIDE SCAN SONAR

DETEKSI DAN INTERPRETASI TARGET DI DASAR LAUT MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIDE SCAN SONAR DETEKSI DAN INTERPRETASI TARGET DI DASAR LAUT MENGGUNAKAN INSTRUMEN SIDE SCAN SONAR 1) Soetjie Poernama Sari 2) Henry M. Manik 1) Alumni Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan FPIK IPB 2) Dosen Bagian

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 8 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 8 Peta lokasi penelitian. 30 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini menggunakan data hasil survei akustik yang dilaksanakan oleh Balai Riset Perikanan Laut (BRPL), Dirjen Perikanan Tangkap, KKP RI pada bulan Juni

Lebih terperinci

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN TERHADAP DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011

HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN TERHADAP DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 HUBUNGAN TIPE DASAR PERAIRAN TERHADAP DISTRIBUSI IKAN DEMERSAL DI PERAIRAN PANGKAJENE SULAWESI SELATAN 2011 HIDAYANTO AKBAR SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Gangguan Pada Audio Generator Terhadap Amplitudo Gelombang Audio Yang Dipancarkan Pengukuran amplitudo gelombang audio yang dipancarkan pada berbagai tingkat audio generator

Lebih terperinci

3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN

3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN 3. DISTRIBUSI IKAN DI LAUT CINA SELATAN Pendahuluan Keberadaan sumberdaya ikan, baik ikan pelagis maupun demersal dapat diduga dengan menggunakan metode hidroakustik (Mitson 1983). Beberapa keuntungan

Lebih terperinci

TEKNOLOGI AKUSTIK BAWAH AIR: SOLUSI DATA PERIKANAN LAUT INDONESIA

TEKNOLOGI AKUSTIK BAWAH AIR: SOLUSI DATA PERIKANAN LAUT INDONESIA Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan Vol. 1 No. 3, Desember 2014: 181-186 ISSN : 2355-6226 TEKNOLOGI AKUSTIK BAWAH AIR: SOLUSI DATA PERIKANAN LAUT INDONESIA Henry M. Manik Departemen Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

II BAHAN DAN METODE. II.1 Faktor yang Mengontrol Pergerakan Sedimen

II BAHAN DAN METODE. II.1 Faktor yang Mengontrol Pergerakan Sedimen II BAHAN DAN METODE Sedimen merupakan fragmentasi material yang berasal dari pemecahan batuan akibat proses fisis dan kimiawi (van Rijn, 1993). Di kawasan pesisir, pasokan sedimen terutama berasal dari

Lebih terperinci

DETEKSI SEBARAN IKAN PADA KOLOM PERAIRAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK INTEGRASI KUMULATIF DI KECAMATAN SUMUR, PANDEGLANG BANTEN

DETEKSI SEBARAN IKAN PADA KOLOM PERAIRAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK INTEGRASI KUMULATIF DI KECAMATAN SUMUR, PANDEGLANG BANTEN DETEKSI SEBARAN IKAN PADA KOLOM PERAIRAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK INTEGRASI KUMULATIF DI KECAMATAN SUMUR, PANDEGLANG BANTEN Oleh : Ahmad Parwis Nasution PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

Lebih terperinci

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT

ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT ANALISIS SURUT ASTRONOMIS TERENDAH DI PERAIRAN SABANG, SIBOLGA, PADANG, CILACAP, DAN BENOA MENGGUNAKAN SUPERPOSISI KOMPONEN HARMONIK PASANG SURUT Oleh: Gading Putra Hasibuan C64104081 PROGRAM STUDI ILMU

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA

STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA STUDI PERUBAHAN LUASAN TERUMBU KARANG DENGAN MENGGUNAKAN DATA PENGINDERAAN JAUH DI PERAIRAN BAGIAN BARAT DAYA PULAU MOYO, SUMBAWA Oleh Riza Aitiando Pasaribu C64103058 PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

HUBUNGAN TOPOGRAFI DASAR PERAIRAN DENGAN SEBARAN IKAN DI SELAT MALAKA

HUBUNGAN TOPOGRAFI DASAR PERAIRAN DENGAN SEBARAN IKAN DI SELAT MALAKA HUBUNGAN TOPOGRAFI DASAR PERAIRAN DENGAN SEBARAN IKAN DI SELAT MALAKA Oleh: Syahrul Purnawan C64101022 PROGRAM STUD1 ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Jarak Near Field (R nf ) yang diperoleh pada penelitian ini dengan menggunakan formula (1) adalah 0.2691 m dengan lebar transducer 4.5 cm, kecepatan suara 1505.06

Lebih terperinci

PEMAlUIAN DUAL FREKUENSI DALAM PENDUGAAN DISTRIBUSI IKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK (FURUNO FQ 80) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN.

PEMAlUIAN DUAL FREKUENSI DALAM PENDUGAAN DISTRIBUSI IKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK (FURUNO FQ 80) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN. as-' PEMAlUIAN DUAL FREKUENSI DALAM PENDUGAAN DISTRIBUSI IKAN DENGAN MENGGUNAKAN METODE HIDROAKUSTIK (FURUNO FQ 80) DI PERAIRAN LAUT CINA SELATAN Oleh : Natalia Trita Agnilta C64102012 PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

Lampiran 1 Kapal nelayan yang digunakan untuk pengambilan data akustik pada sistem single beam. Lampiran 2 Konfigurasi instrumen single beam di kapal

Lampiran 1 Kapal nelayan yang digunakan untuk pengambilan data akustik pada sistem single beam. Lampiran 2 Konfigurasi instrumen single beam di kapal LAMPIRAN 97 98 Lampiran 1 Kapal nelayan yang digunakan untuk pengambilan data akustik pada sistem single beam Lampiran 2 Konfigurasi instrumen single beam di kapal 99 Lampiran 3 Alat pengukur parameter

Lebih terperinci

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR

GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR GEOKIMIA Pb, Cr, Cu DALAM SEDIMEN DAN KETERSEDIAANNYA PADA BIOTA BENTIK DI PERAIRAN DELTA BERAU, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Sabam Parsaoran Situmorang C64103011 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS

Lebih terperinci

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C

SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU. Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C SEBARAN MENEGAK KONSENTRASI Pb, Cu, Zn, Cd, DAN Ni DI SEDIMEN PULAU PARI BAGIAN UTARA KEPULAUAN SERIBU Oleh : ACHMAD AULIA RACHMAN C64102057 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. kondisinya dipengaruhi oleh karakteristik oseanik Samudra Hindia dan sifat

2. TINJAUAN PUSTAKA. kondisinya dipengaruhi oleh karakteristik oseanik Samudra Hindia dan sifat 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Selat Sunda terletak di antara Pulau Sumatera dan Pulau Jawa serta berhubungan dengan Laut Jawa dan Samudera Hindia. Pada perairan ini terdapat

Lebih terperinci

PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN MAKROZOOBENTOS DI DELTA MAHAKAM

PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN MAKROZOOBENTOS DI DELTA MAHAKAM PENGUKURAN DAN ANALISIS NILAI HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK KLASIFIKASI DASAR PERAIRAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN MAKROZOOBENTOS DI DELTA MAHAKAM ELLIS NURJULIASTI NINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGOLAHAN DATA SINGLE BEAM ECHOSOUNDER. Septian Nanda dan Aprillina Idha Geomatics Engineering

PENGOLAHAN DATA SINGLE BEAM ECHOSOUNDER. Septian Nanda dan Aprillina Idha Geomatics Engineering PENGOLAHAN DATA SINGLE BEAM ECHOSOUNDER Septian Nanda - 3311401055 dan Aprillina Idha - 3311401056 Geomatics Engineering Marine Acoustic, Batam State Politechnic Email : prillyaprillina@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK IDENTIFIKASI SPESIES LAMUN LA OLE

ANALISIS HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK IDENTIFIKASI SPESIES LAMUN LA OLE ANALISIS HAMBUR BALIK AKUSTIK UNTUK IDENTIFIKASI SPESIES LAMUN LA OLE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

STUDI KARAKTER SUARA BEBERAPA SPESIES ODONTOCETI DI PERAIRAN LAUT SAWU, NUSA TENGGARA TIMUR

STUDI KARAKTER SUARA BEBERAPA SPESIES ODONTOCETI DI PERAIRAN LAUT SAWU, NUSA TENGGARA TIMUR STUDI KARAKTER SUARA BEBERAPA SPESIES ODONTOCETI DI PERAIRAN LAUT SAWU, NUSA TENGGARA TIMUR Oleh: Ayu Destari C64102022 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. 39 Universitas Indonesia

BAB 5 PEMBAHASAN. 39 Universitas Indonesia BAB 5 PEMBAHASAN Dua metode penelitian yaitu simulasi dan eksperimen telah dilakukan sebagaimana telah diuraikan pada dua bab sebelumnya. Pada bab ini akan diuraikan mengenai analisa dan hasil yang diperoleh

Lebih terperinci

Citra akustik Ikan Uji. Matriks Data Akustik. Hitungan Deskriptor. 15 Desk. teridentifikasi. 8 Desk. utama. Rancangan awal JSTPB JSTPB1

Citra akustik Ikan Uji. Matriks Data Akustik. Hitungan Deskriptor. 15 Desk. teridentifikasi. 8 Desk. utama. Rancangan awal JSTPB JSTPB1 3 METODOLOGI Secara garis besar metode penelitian dalam disertasi ini berkaitan dengan permasalahan identifikasi kawanan ikan secara hidroakustik yang berkaitan dengan pengukuran dan pemrosesan data hidroakustik,

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI AKUSTIK BAWAH AIR

BAB 2 DASAR TEORI AKUSTIK BAWAH AIR BAB 2 DASAR TEORI AKUSTIK BAWAH AIR 2.1 Persamaan Akustik Bawah Air Persamaan akustik bawah air diturunkan dari persamaan state, persamaan kekekalan massa (persamaan kontinuitas) dan persamaan kekekalan

Lebih terperinci

PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN

PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN MASPARI JOURNAL Juli 2017, 9(2):77-84 PEMETAAN BATIMETRI MENGGUNAKAN METODE AKUSTIK DI MUARA SUNGAI LUMPUR KABUPATEN OGAN KOMERING ILIR PROVINSI SUMATERA SELATAN BATIMETRY MAPPING USING ACOUSTIC METHOD

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian

BAB III METODOLOGI. Gambar 1. Peta Lokasi penelitian BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di perairan Pulau Bintan Timur, Kepulauan Riau dengan tiga titik stasiun pengamatan pada bulan Januari-Mei 2013. Pengolahan data dilakukan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU

ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU ANALISIS EKOSISTEM TERUMBU KARANG UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA DI KELURAHAN PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRATIF KEPULAUAN SERIBU INDAH HERAWANTY PURWITA DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH CELAH PERMUKAAN BAHAN KAYU LAPIS (PLYWOOD) TERHADAP KOEFISIEN ABSORPSI BUNYI DAN IMPEDANSI AKUSTIK

PENGARUH JUMLAH CELAH PERMUKAAN BAHAN KAYU LAPIS (PLYWOOD) TERHADAP KOEFISIEN ABSORPSI BUNYI DAN IMPEDANSI AKUSTIK PENGARUH JUMLAH CELAH PERMUKAAN BAHAN KAYU LAPIS (PLYWOOD) TERHADAP KOEFISIEN ABSORPSI BUNYI DAN IMPEDANSI AKUSTIK Ade Oktavia, Elvaswer Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas Kampus Unand, Limau Manis,

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN SISTEM INFORMASI DATA HIDROAKUSTIK BERBASIS WEBSITE

RANCANG BANGUN SISTEM INFORMASI DATA HIDROAKUSTIK BERBASIS WEBSITE RANCANG BANGUN SISTEM INFORMASI DATA HIDROAKUSTIK BERBASIS WEBSITE Oleh : Asep Ma mun C64104030 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

MIGRASI HARIAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) SECARA VERTIKAL DENGAN PENDEKATAN AKUSTIK

MIGRASI HARIAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) SECARA VERTIKAL DENGAN PENDEKATAN AKUSTIK MIGRASI HARIAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) SECARA VERTIKAL DENGAN PENDEKATAN AKUSTIK MUHAMMAD FAHRUL RIZA SKRIPSI DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

STUDI ARUS DAN SEBARAN SEDIMEN DASAR DI PERAIRAN PANTAI LARANGAN KABUPATEN TEGAL

STUDI ARUS DAN SEBARAN SEDIMEN DASAR DI PERAIRAN PANTAI LARANGAN KABUPATEN TEGAL JURNAL OSEANOGRAFI. Volume 3, Nomor 2, Tahun 2014, Halaman 277-283 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jose STUDI ARUS DAN SEBARAN SEDIMEN DASAR DI PERAIRAN PANTAI LARANGAN KABUPATEN TEGAL

Lebih terperinci

PENGUKURAN TARGET STRENGTH IKAN MAS DAN IKAN LELE PADA KONDISI TERKONTROL MENGGUNAKAN QUANTIFIED FISH FINDER. Muhammad Hamim

PENGUKURAN TARGET STRENGTH IKAN MAS DAN IKAN LELE PADA KONDISI TERKONTROL MENGGUNAKAN QUANTIFIED FISH FINDER. Muhammad Hamim PENGUKURAN TARGET STRENGTH IKAN MAS DAN IKAN LELE PADA KONDISI TERKONTROL MENGGUNAKAN QUANTIFIED FISH FINDER Muhammad Hamim DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA. TERSEBUT DIAPLIKASIKAN UNTUK PENDETEKSIAN CACAT DALAM PADA MATERIAL BAJA. DENGAN

BAB IV ANALISA. TERSEBUT DIAPLIKASIKAN UNTUK PENDETEKSIAN CACAT DALAM PADA MATERIAL BAJA. DENGAN BAB IV ANALISA. TERSEBUT DIAPLIKASIKAN UNTUK PENDETEKSIAN CACAT DALAM PADA MATERIAL BAJA. DENGAN BAB IV ANALISA 4.1 Analisis Simulasi Salah satu teknik untuk memodelkan perambatan ultrasonik dalam medium

Lebih terperinci

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C

STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA. Oleh; Galih Kurniawan C STUDI EKOLOGI KISTA DINOFLAGELLATA SPESIES PENYEBAB HAB (Harmful Algal Bloom) DI SEDIMEN PADA PERAIRAN TELUK JAKARTA Oleh; Galih Kurniawan C64104033 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER BEBERAPA SEBARAN POISSON CAMPURAN DAN BEBERAPA SEBARAN DISKRET DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITME EM ADE HARIS HIMAWAN

PENDUGAAN PARAMETER BEBERAPA SEBARAN POISSON CAMPURAN DAN BEBERAPA SEBARAN DISKRET DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITME EM ADE HARIS HIMAWAN PENDUGAAN PARAMETER BEBERAPA SEBARAN POISSON CAMPURAN DAN BEBERAPA SEBARAN DISKRET DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITME EM ADE HARIS HIMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB IV PENGUKURAN DAN ANALISIS

BAB IV PENGUKURAN DAN ANALISIS BAB IV PENGUKURAN DAN ANALISIS 4.1 Syarat Pengukuran Pengukuran suatu antena yang ideal adalah dilakukan di suatu ruangan yang bebas pantulan atau ruang tanpa gema (Anechoic Chamber). Pengukuran antena

Lebih terperinci

Arqi Eka Pradana Netro Handaru Fajar Lukman Hakim Muhammad Rizki Nandika Elok Puspa

Arqi Eka Pradana Netro Handaru Fajar Lukman Hakim Muhammad Rizki Nandika Elok Puspa Arqi Eka Pradana 115080201111007 Netro Handaru 115080600111005 Fajar Lukman Hakim 115080600111023 Muhammad Rizki Nandika 115080601111018 Elok Puspa Nirmala 115080213111012 M Rifki Fajarulloh 115080201111035

Lebih terperinci

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK

5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK 5. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN BERDASARKAN METODE HIDROAKUSTIK Pendahuluan Sumberdaya perikanan LCS merupakan kontribusi utama yang sangat penting di tingkat lokal, regional dan internasional untuk makanan

Lebih terperinci