BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan Perkebunan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan Perkebunan"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Perkebunan Berdasarkan Undang-Undang nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJP) bahwa tahun memasuki periode jangka menengah tahap III yang difokuskan dalam memantapkan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan IPTEK yang terus meningkat. Implementasi fokus perencanaan jangka menengah tersebut diakomodir dalam dokumen Rencana Strategis. Rencana Strategis Ditjen. Perkebunan tahun disusun dengan mengacu pada arah dan kebijakan pembangunan nasional sebagaimana tercantum dalam RPJMN sesuai amanat Peraturan Presiden nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun Arah kebijakan umum pembangunan nasional tahun adalah 1) meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan; 2) meningkatkan pengelolaan dan nilai tambah sumber daya alam yang berkelanjutan; 3) mempercepat pembangunan infrastruktur untuk pertumbuhan dan pemerataan; 4) meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mitigasi bencana alam dan penanganan perubahan iklim; 5) penyiapan landasan pembangunan yang kokoh; 6) meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan; dan 7) mengembangkan dan memeratakan pembangunan daerah. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menetapkan 9 Agenda Prioritas NAWACITA sebagai jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Pada tahun , sub sektor perkebunan masih menjadi sub sektor penting dalam peningkatan perekonomian nasional. Peran strategis sub sektor perkebunan baik secara ekonomis, ekologis maupun sosial budaya ini digambarkan melalui kontribusinya dalam penyumbang PDB; nilai investasi yang tinggi dalam membangun perekonomian nasional; 1 P a g e

2 berkontribusi dalam menyeimbangkan neraca perdagangan komoditas pertanian nasional; sumber devisa negara dari komoditas ekspor; berkontribusi dalam peningkatan penerimaan negara dari cukai, pajak ekspor dan bea keluar; penyediaan bahan pangan dan bahan baku industri; penyerap tenaga kerja; sumber utama pendapatan masyarakat pedesaan, daerah perbatasan dan daerah tertinggal; pengentasan kemiskinan; penyedia bahan bakar nabati dan bioenergy yang bersifat terbarukan, berperan dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca serta berkontribusi dalam pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan mengikuti kaidah-kaidah konservasi. Sejalan dengan berbagai kontribusi sub sektor perkebunan tersebut maka segala bentuk usaha budidaya perkebunan harus mengedepankan keseimbangan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia dan alat/sarana prasarana input produksi melalui kegiatan penyelenggaraan perkebunan yang memenuhi kaidah pelestarian lingkungan hidup. Hal tersebut dijelaskan dalam Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan menyatakan bahwa perkebunan adalah segala kegiatan pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, sarana produksi, alat dan mesin, budidaya, panen, pengolahan dan pemasaran terkait tanaman perkebunan. Dengan pengertian yang luas tersebut, penyelenggaraan perkebunan mengemban amanat dalam mendukung pembangunan nasional. Amanat tersebut mengharuskan penyelenggaraan perkebunan ditujukan untuk (1) meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat; (2) meningkatkan sumber devisa negara; (3) menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha; (4) meningkatkan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing dan pangsa pasar; (5) meningkatkan dan memenuhi kebutuhan konsumsi serta bahan baku industri dalam negeri; (6) memberikan perlindungan pada pelaku usaha perkebunan dan masyarakat; (7) mengelola dan mengembangkan sumber daya perkebunan secara optimal, bertanggung jawab dan lestari; dan (8) meningkatkan pemanfaatan jasa perkebunan. Upaya-upaya yang dilakukan untuk memenuhi amanat penyelenggaraan perkebunan harus didasarkan pada asas kedaulatan, kemandirian, kebermanfaatan, keberlanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, efisiensi-berkeadilan, kearifan lokal dan kelestarian 2 P a g e

3 lingkungan hidup. Sejarah panjang penyelenggaraan perkebunan di bumi nusantara yang mengedepankan asas-asas tersebut membuktikan bahwa amanat yang diemban dapat dilaksanakan dengan baik, tepat sasaran, berdaya dan berhasil guna bagi peningkatan kesejahteraan pekebun. Amanat pembangunan nasional dalam 9 Agenda Prioritas NAWACITA yang wajib dilaksanakan Ditjen. Perkebunan dalam pengembangan perkebunan tahun sebagaimana tercantum dalam RPJMN mencakup 2 agenda prioritas diantaranya 1) meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional dengan sub agenda prioritas akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional melalui peningkatan agroindustri berbasis komoditas perkebunan; dan 2) mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik dengan sub agenda peningkatan kedaulatan pangan. Selain itu, agenda prioritas terkait membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah (perbatasan, daerah tertinggal dan daerah kawasan timur Indonesia) dan desa dalam kerangka negara kesatuan menjadi salah satu arah kebijakan yang akan diprioritaskan Ditjen. Perkebunan melalui kegiatan tematik. Sasaran pokok sub agenda prioritas peningkatan agroindustry adalah peningkatan produksi komoditas andalan dan prospektif ekspor perkebunan seperti kelapa sawit, karet, kakao, teh, kopi dan kelapa serta mendorong berkembangnya agroindustri di perdesaan. Sedangkan sasaran pokok sub agenda prioritas peningkatan kedaulatan pangan adalah tercapainya peningkatan ketersediaan pangan dari tebu yang bersumber dari produksi dalam negeri untuk memenuhi konsumsi gula rumah tangga dan industri rumah tangga. Secara umum pengembangan komoditas perkebunan difokuskan pada 16 komoditas unggulan yaitu Tebu, Kelapa Sawit, Karet, Kelapa, Kakao, Kopi, Lada, Teh, Pala, Cengkeh, Jambu Mete, Sagu, Kemiri Sunan, Kapas, Tembakau dan Nilam. Penentuan komoditas tersebut sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006 tentang jenis komoditas tanaman binaan Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Direktorat Jenderal Hortikultura serta Keputusan Menteri Pertanian nomor 3399/Kpts/PD.310/10/2009 tentang perubahan lampiran I dari Keputusan Menteri Pertanian nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006. Arah pengembangan 3 P a g e

4 komoditas-komoditas tersebut dicapai melalui program peningkatan produksi komoditas perkebunan berkelanjutan dengan implementasi kegiatan seperti rehabilitasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi yang didukung oleh penyediaan benih bermutu, pemberdayaan pekebun dan penguatan kelembagaan, pembangunan dan pemeliharaan kebun sumber benih, penanganan pascapanen, pengolahan, fasilitasi pemasaran, standarisasi mutu, pembinaan usaha dan perlindungan perkebunan serta pemberian pelayanan berkualitas dibidang manajemen dan kesekretariatan. Komoditas-komoditas unggulan perkebunan yang masih dalam tahap inisiasi tetap dikembangkan dan difasilitasi Ditjen. Perkebunan yang diarahkan untuk pemenuhan standar pelayanan minimum (SPM) yang meliputi penyediaan benih/ varietas unggul, pembangunan/ pemeliharaan kebun sumber benih (demplot, kebun induk, kebun entres dan lain-lain), pengendalian OPT, penanganan pascapanen, pemberdayaan pekebun, peningkatan kapasitas sumber daya insani (SDI) dan penguatan kelembagaan. Sedangkan dalam tahap penumbuhan/ pengembangan selain penguatan aspek budidaya dan perlindungan perkebunan juga difasilitasi aspek pengolahan, standarisasi mutu dan pemasarannya. Pemerintah Daerah didorong untuk memfasilitasi dan melakukan pembinaan komoditas spesifik dan potensial di wilayahnya masingmasing. Strategi pengembangan komoditas unggulan perkebunan kedepan perlu ditekankan, diintensifkan dan difokuskan pada peningkatan kualitas komoditas unggulan baik pada penerapan teknologi produksi, teknologi pascapanen, efisiensi biaya produksi, standarisasi mutu, pengolahan sampai dengan pemasaran. Pemberdayaan pekebun dengan fokus pembinaan, pendampingan dan pelatihan kelompok tani dalam optimalisasi komoditas unggulan daerah perlu dilakukan dengan melibatkan peran serta masyarakat pekebun secara berjenjang dan berkelanjutan agar terwujud komoditas unggulan nasional yang berkualitas, tangguh dan mampu bersaing dalam era pasar bebas baik pasar global maupun pasar ASEAN. Selain itu aspek penyuluhan akan memegang peranan penting dalam peningkatan kapasitas pengetahuan dan inovasi petani/pekebun. Arah kebijakan pembangunan nasional dalam dokumen RPJMN diimplementasikan dalam 11 (sebelas) sasaran strategis Kementerian Pertanian. Sesuai tugas pokok dan fungsinya, Ditjen. 4 P a g e

5 Perkebunan bertanggungjawab dalam mendukung pencapaian 7 (tujuh) sasaran strategis yang terbagi kedalam 3 (tiga) sasaran strategis utama dan 4 (empat) sasaran strategis pendukung. Sasaran strategis Ditjen. Perkebunan juga mengacu pada Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) yang fokus dalam hal optimalisasi sumber daya alam (sumber daya lahan, sumber daya genetika dan sumber daya iklim); pengembangan sumber daya insani yang kompeten dan berkarakter (insan berkualitas, modal sosial dan modal politik) pertanian; sistem inovasi science and bio-engineering; infrastruktur pertanian/ perkebunan; sistem usaha tani bio/agro industri dan bio/agro-services terpadu; klaster rantai nilai bio-industri; dan lingkungan pemberdayaan bio-bisnis melalui pendekatan Sistem Pertanian-Bioindustri Berkelanjutan. Sasaran strategis utama Ditjen. Perkebunan tahun yang selaras dengan kebijakan Kementerian Pertanian sebagaimana tertuang dalam Renstra Kementerian Pertanian tahun (edisi revisi) adalah mendukung: 1) pemenuhan penyediaan bahan baku tebu dalam rangka peningkatan produksi gula nasional; 2) peningkatan komoditas perkebunan bernilai tambah dan berorientasi ekspor dalam mewujudkan daya saing sub sektor perkebunan yang difokuskan pada pengembangan produk segar dan olahan dari 16 komoditas unggulan perkebunan; 3) pemenuhan penyediaan bahan baku bio-energy dan pengembangan fondasi sistem pertanian bio-industry dengan fokus pengembangan komoditas kelapa sawit baik melalui kegiatan budidaya dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas maupun melalui kegiatan integrasi tanaman perkebunan dengan ternak dan tumpang sari dengan komoditas pertanian lainnya serta penyediaan benih kemiri sunan. Sedangkan sasaran strategis pendukung Ditjen. Perkebunan tahun adalah mendukung: 1) Peningkatan kualitas sumber daya insani perkebunan; 2) Penguatan kelembagaan pekebun dan kemitraan usaha perkebunan; 3) Akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik dengan menerapkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas, efisiensi, supremasi hukum, keadilan, integritas/ komitmen, kejujuran, konsistensi dan bebas KKN di lingkungan organisasi Ditjen. Perkebunan; dan 4) Peningkatan pendapatan keluarga pekebun yang merupakan resultan dari pencapaian sasaran strategis lainnya. Sasaran strategis tersebut, dituangkan dalam dokumen Renstra Direktorat Jenderal Perkebunan tahun edisi revisi yang 5 P a g e

6 substansinya secara garis besar meliputi 1) kondisi umum yang meliputi kinerja pendanaan, makro dan mikro pembangunan perkebunan; 2) potensi dan tantangan; 3) arah kebijakan, sasaran strategis dan strategi Direktorat Jenderal Perkebunan; 4) visi, misi dan tujuan Direktorat Jenderal Perkebunan; 5) program, implementasi agenda prioritas NAWACITA dan kegiatan Direktorat Jenderal Perkebunan; 6) proyeksi kebutuhan investasi dan ketersediaan APBN Direktorat Jenderal Perkebunan tahun dalam ruang lingkup kerangka pendanaan; 7) kerangka regulasi dan kerangka kelembagaan Direktorat Jenderal Perkebunan tahun ; dan 8) dukungan Kementerian/Lembaga dalam pembangunan perkebunan tahun Dokumen Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Perkebunan tahun ini diharapkan dapat menjadi acuan perancangan/ perencanaan dan pedoman pelaksanaan kebijakan di bidang perkebunan secara nasional baik pusat maupun daerah, menjangkau kemitraan lintas bidang, lintas sektor, lintas program, lintas pelaku dan lintas Kementerian/Lembaga dalam membuka ruang solusi yang lebih lapang seiring dengan semakin luasnya rentang potensi, kelemahan, peluang, tantangan dan permasalahan yang melingkupi penyelenggaraan perkebunan saat ini dan kedepan termasuk dalam menghadapi dinamika lingkungan strategis yang berimplikasi terhadap pengembangan sub sektor perkebunan tahun Dasar Hukum Penyusunan Dasar hukum penyusunan Renstra Ditjen. Perkebunan tahun adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; 2. Undang-Undang nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman; 3. Undang-Undang nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara; 4. Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; 5. Undang-Undang nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; 6 P a g e

7 6. Undang-Undang nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah; 7. Undang-Undang nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN); 8. Undang-Undang nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal; 9. Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang; 10. Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; 11. Undang-Undang nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; 12. Undang-Undang 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; 13. Undang-Undang nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial: 14. Undang-Undang nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani; 15. Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa; 16. Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 17. Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan; 18. Undang-Undang nomor 2 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 19. Undang-Undang nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 20. Peraturan Presiden nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional; 21. Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi tahun ; 22. Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK); 23. Peraturan Presiden nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah; 24. Peraturan Presiden nomor 78 tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal; 7 P a g e

8 25. Peraturan Presiden nomor 2 tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun ; 26. Peraturan Presiden nomor 45 tahun 2015 tentang Kementerian Pertanian; 27. Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (CPO Supporting Fund); 28. Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional; 29. Instruksi Presiden RI nomor 3 tahun 2003 tentang e-government; 30. Inpres nomor 1 tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Bio-Fuel) sebagai Bahan Bakar Lain; 31. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah; 32. Peraturan Pemerintah nomor 44 tahun 1995 tentang Perbenihan Tanaman; 33. Peraturan Pemerintah nomor 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan; 34. Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah; 35. Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/ Lembaga; 36. Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 2006 tentang Tatacara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional; 37. Peraturan Pemerintah RI nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; 38. Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPI); 39. Peraturan Pemerintah nomor 46 tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil; 40. Peraturan Pemerintah nomor 65 tahun 2012 tentang Makna Bekerja dan Nilai-Nilai Kementerian Pertanian; 8 P a g e

9 41. Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa; 42. Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2015 tentang Perubahan atas PP nomor 60 tahun 2014 tentang dana Desa yang bersumber dari APBN; 43. Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan; 44. Peraturan Menteri Keuangan nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar; 45. Peraturan Menteri Keuangan nomor 113/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (CPO fund); 46. Permen PPN/Kepala Bappenas nomor 5 tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan dan Penelaahan Renstra K/L tahun ; 47. PermenPAN-RB nomor 1 tahun 2012 tentang Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB); 48. Peraturan Menteri Pertanian nomor 08/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BBP2TP Surabaya; 49. Peraturan Menteri Pertanian nomor 09/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BBP2TP Medan; 50. Peraturan Menteri Pertanian nomor 10/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BBP2TP Ambon; 51. Peraturan Menteri Pertanian nomor 11/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPTP Pontianak; 52. Peraturan Menteri Pertanian nomor 7 tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan; 53. Peraturan Menteri Pertanian nomor 23 tahun 2009 tentang Pedoman Umum SPI; 54. Peraturan Menteri Pertanian nomor 20/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Sistem Jaminan Mutu Pangan Hasil Pertanian; 55. Peraturan Menteri Pertanian nomor 50/Permentan/OT.140/8/2012 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian; 9 P a g e

10 56. Peraturan Menteri Pertanian nomor 79/Permentan/ OT.140/12/2012 tentang Pedoman Pembinaan dan Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A); 57. Peraturan Menteri Pertanian nomor 64 tahun 2013 tentang Sistem Pertanian Organik; 58. Peraturan Menteri Pertanian nomor 98/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan; 59. Peraturan Menteri Pertanian nomor 105/Permentan/PD.300/8/2014 tentang Integrasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit dengan Usaha Budidaya Sapi Potong; 60. Peraturan Menteri Pertanian nomor 14.1/Permentan/OT.140/3/2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System/ISPO); 61. Peraturan Menteri Pertanian nomor 11/Permentan/RC.220/4/2015 tentang Pedoman Upaya Khusus Percepatan Swasembada Pangan dan Peningkatan Produksi Komoditas Strategis melalui APBN-P tahun 2015; 62. Peraturan Menteri Pertanian nomor 11/Permentan/ OT.140/ 3/ 2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System/ ISPO); 63. Peraturan Menteri Pertanian nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian; 64. Peraturan Menteri Pertanian nomor 08/Permentan/KB.400/2/2016 tentang Pedoman Perencanaan Perkebunan Berbasis Spasial; 65. Peraturan BNPP nomor 1 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan Negara tahun ; 66. Keputusan Menteri Pertanian nomor 803/Kpts/OT.210/7/1997 tentang Sertifikasi dan Peredaran Benih Bina; 67. Keputusan Menteri Pertanian nomor 511/Kpts/PD.310/9/2006 tentang Jenis Komoditas Tanaman Binaan Direktorat Jenderal Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Direktorat Jenderal Hortikultura; 68. Keputusan Menteri Pertanian nomor 3599 tahun 2009 tentang Perubahan Lampiran Keputusan Menteri Pertanian nomor 511 Tahun 2006 tentang Jenis Komoditas Tanaman Binaan Direktorat Jenderal 10 P a g e

11 Perkebunan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Direktorat Jenderal Hortikultura; 69. Keputusan Menteri Pertanian nomor 46/Kpts/PD.300/1/2015 tentang Penetapan Kawasan Perkebunan Nasional; 70. Peraturan Direktur Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan nomor PER-3/ AG/ 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Penelitian dan Penelaahan Informasi Kinerja Hasil Penataan Arsitektur dan Informasi Kinerja (ADIK) Kementerian Negara/ Lembaga; 71. SNI 6729:2010 tentang Sistem Pangan Organik; 72. SNI 6729:2013 tentang Sistem Pertanian Organik Kondisi Umum Pembangunan Perkebunan Sub sektor perkebunan sejak berdirinya NKRI bahkan jauh sebelumnya telah memainkan peranan penting dalam pembangunan di Nusantara yang secara garis besar meliputi 3 aspek utama yaitu ekonomi, sosial budaya dan ekologi. Gambaran kontribusi sub sektor perkebunan dalam ketiga aspek dimaksud pada jangka menengah dapat dilihat dari kinerjanya baik secara makro maupun mikro selama periode sebagai berikut: Kinerja Pendanaan Pembangunan Perkebunan Tahun Realisasi pendanaan Direktorat Jenderal Perkebunan melalui APBN untuk pembiayaan pembangunan perkebunan pada Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Perkebunan Berkelanjutan tahun disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Realisasi Penyediaan Dana APBN Untuk Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Perkebunan Berkelanjutan Tahun No. Kegiatan 1. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Semusim 2. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Tahunan 3. Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Rempah dan Penyegar 4. Dukungan Penanganan Pascapanen dan Pembinaan Usaha realisasi APBN (milyar rupiah) per tahun ,78 231,58 779,58 511,36-78,05 218,89 209,87 173, ,55 728,03 354,23 325,71-3,62 25,19 36,14 37,08 11 P a g e

12 5. Dukungan Perlindungan Perkebunan - 25,66 28,70 77,47 76,81 6. Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Ditjen. Perkebunan 7. Dukungan Pengujian dan Pengawasan Mutu Benih serta Penerapan Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan (Surabaya, Medan dan Ambon) - 194,86 183,42 134,49 129,09-73,99 72,95 181,03 66,60 8. Peningkatan Ketahanan Pangan 32, Pengembangan Agribisnis 273, Peningkatan Kesejahteraan Petani 78, Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara 0, Penyelenggaraan Pemerintah yang Baik 70, Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Jumlah 454, , , , , Kinerja Makro Pembangunan Perkebunan Tahun Gambaran kinerja makro pembangunan perkebunan yang telah dicapai selama periode disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kinerja Makro Pembangunan Perkebunan tahun No. Indikator 1. Pertumbuhan PDB a. Harga Berlaku (Rp. Milyar) b. Harga Konstan 2010 (Rp. Milyar) 2. Tenaga Kerja a. Keterlibatan (juta orang) b. Pendapatan Pekebun (US$/KK) 3. Ekspor Capaian 2010 capaian makro per tahun Capaian 2011 Capaian 2012 Capaian 2013 Capaian 2014 Laju Pertumb. (%) , ,99 20,58 20,94 21,12 22,51 22,16 1, ,31 a. Volume (ribu ton) , , , , ,01 8,09 b. Nilai (US$ milyar) 24,73 32,22 29,96 26,77 26,78 3,17 4. Impor a. Volume (ribu ton) 1.704, , , , ,12 26,50 b. Nilai (US$ milyar) 1,51 2,87 4,19 4,13 3,94 32,49 5. Investasi (Rp. Triliun) 6. Neraca Perdagangan Perkebunan 0,45 1,98 1,49 1,77 1,32 77,16 23,23 29,36 25,77 22,63 22,84 0,73 12 P a g e

13 (US$ milyar) 7. NTP Perkebunan Rakyat 106,50 109,58 108, ,38 100,86-1,31 8. Penerimaan Negara Lainnya (Rp. Milyar) : a. Cukai Hasil Tembakau , , , , ,04 *) 11,80 b. Bea Keluar CPO dan turunannya 4.157, , , , ,24 *) 49,66 c. Bea Keluar Biji Kakao 510,37 354,00 123,07 231,48 176,04 *) -7,93 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Keterangan: *) Angka sementara Tabel 2 memperlihatkan bahwa capaian pertumbuhan PDB selama berdasarkan harga berlaku dan harga konstan menunjukkan pola pertumbuhan yang positif. Pola pertumbuhan PDB ini menjelaskan pertumbuhan ekonomi Indonesia dipengaruhi oleh penguatan kondisi perekonomian global. Walaupun terdapat sumber sentimen negatif atas perlambatan ekonomi Tiongkok dan Jepang yang selama ini menjadi mitra dagang utama Indonesia baik ekspor maupun impor tetapi pola ekspor komoditas perkebunan ke negara Uni Eropa, ASEAN dan Amerika Serikat diyakini berpengaruh positif terhadap pola pertumbuhan PDB yang juga berpengaruh terhadap trend positif volume dan ekspor komoditas perkebunan serta peningkatan neraca perdagangan. Faktor lainnya adalah peningkatan produksi dari beberapa komoditas unggulan perkebunan terutama komoditas andalan ekspor seperti komoditas kelapa sawit, karet, kelapa, tebu, kakao dan kopi. Berdasarkan lapangan usaha, keterlibatan tenaga kerja perkebunan masih menunjukkan pertumbuhan positif. Rata-rata penyerapan tenaga kerja selama adalah 21,46 juta orang dengan pertumbuhan sebesar 1,91%. Kemampuan sub sektor perkebunan dalam menarik minat tenaga kerja sebagian besar dipengaruhi penyerapan tenaga kerja dari komoditas kelapa sawit yang memberikan potensi ekonomi yang cukup tinggi bagi masyarakat pekebun. Impor komoditas perkebunan masih membanjiri pasar dalam negeri dengan peningkatan pertumbuhan yang tinggi yaitu 26,50% dari sisi volume dan 32,49% dari sisi nilai. Hal ini menjelaskan bahwa produsen nasional masih belum dapat memenuhi kebutuhan dan ketersediaan produk perkebunan olahan di dalam negeri baik dalam hal volume, kualitas dan daya saing harga. Direktorat Jenderal Perkebunan terus berupaya meningkatkan pengembangan komoditas ekspor perkebunan melalui fasilitasi anggaran dan regulasi tetapi perlu didukung oleh 13 P a g e

14 Kementerian/Lembaga dan pemangku kepentingan perkebunan lainnya. Peran Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian BUMN dan Kementerian/Lembaga terkait lainnya sangat besar terutama dalam hal peningkatan produksi gula nasional di aspek hilir karena impor tebu (molasses) masih mendominasi impor komoditas perkebunan dengan volume impor sampai dengan tahun 2014 mencapai 2,99 juta ton dan nilai impor sebesar US$ 1,33 milyar. Capaian laju pertumbuhan pendapatan pekebun selama menunjukan trend positif dengan persentase pertumbuhan rata-rata mencapai 4,31%. Hal ini membuktikan bahwa komoditas perkebunan baik di pasar internasional maupun dalam negeri mampu menyediakan jaminan harga yang bersaing. Para pekebun sebagian besar sudah mengembangkan sistem budidaya yang baik melalui penerapan Good Agriculture Practice (GAP) serta pengembangan sistem pertanian polikultur, terpadu dan terintegrasi dengan ternak atau tanaman lain sehingga memiliki nilai tambah bagi pendapatan pekebun. Hal yang menggembirakan di sub sektor perkebunan adalah masuknya investasi yang menunjukkan pola positif dengan tumbuh sebesar 77,16% selama 5 tahun, hal ini didukung oleh iklim usaha perkebunan yang mendukung usaha budidaya perkebunan, jaminan pasar dan besarnya dukungan pemerintah dalam hal regulasi terhadap komitmen dunia usaha untuk berinvestasi. Penerimaan negara lainnya seperti cukai hasil tembakau dan bea keluar CPO selama 5 tahun mengalami pola pertumbuhan yang meningkat signifikan. Laju pertumbuhan cukai hasil tembakau sampai dengan tahun 2014 sebesar 11,8%, sedangkan untuk bea keluar CPO dan turunannya sebesar 49,66%. Industri Hasil Tembakau mempunyai peran cukup besar terhadap penerimaan negara melalui pajak dan cukai, penyerapan tenaga kerja, penerimaan ekspor dan perlindungan terhadap petani tembakau dan dampak ganda lainnya. Namun disisi lain, industri hasil tembakau juga memberikan efek negatif bagi aspek kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, setiap kebijakan terhadap industri hasil tembakau sepatutnya mempertimbangkan beberapa aspek yang saling bertolak belakang tersebut. Dalam hal ini, pemerintah telah memiliki Roadmap Industri Hasil Tembakau yang disusun para stakeholder yang berkepentingan. Dalam road map tesebut, arah kebijakan Industri Hasil Tembakau tahun diprioritaskan pada aspek kesehatan masyarakat, tenaga kerja dan penerimaan negara. 14 P a g e

15 Pada tabel 2 menunjukkan peningkatan laju pertumbuhan cukai hasil tembakau mengindikasi semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat Indonesia pada komoditas tembakau (sebagian besar kebutuhan turunannya berupa rokok) baik kebutuhan dalam negeri maupun kebutuhan ekspor. Industri Hasil Tembakau memiliki sumbangan yang besar terhadap penyerapan tenaga kerja yang merupakan salah satu objek sumber penerimaan Pendapatan Asli Daerah yang berkaitan dengan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT). Lebih khusus, Industri Rokok telah memberikan kontribusi terbesar terhadap APBN Indonesia dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 7-10% per tahun dan nilai kontribusi cukai rokok tersebut selama 5 tahun lebih dari Rp. 427 triliun. Realisasi total produksi rokok pada tahun 2013 sebesar 341,9 miliar batang dan di tahun 2014 di proyeksikan mencapai milyar batang (Ditjen. Beacukai, 2014). Dengan jumlah produksi sebesar itu, konsumsi rokok rata-rata masyarakat Indonesia tahun 2013 mencapai 302 milyar batang dan bila dikonversikan dengan jumlah konsumen maka terdapat sekitar 77,8 juta orang (dengan asumsi rata-rata perokok menghabiskan 1 bungkus/hari). Landasan kebijakan pemerintah dalam mengendalikan ekspor minyak sawit adalah dengan mengenakan pajak ekspor dalam bentuk Bea Keluar. Tujuan utamanya untuk menjaga stabilitas harga di pasaran domestik. Kebijakan Bea Keluar mampu mengubah komposisi produksi dan ekspor kelapa sawit Indonesia. Dominasi ekspor produk hulu secara bertahap digantikan produk hilir kelapa sawit sehingga nilai tambah pengolahan produk perlahan dapat dinikmati stakeholder kelapa sawit domestik. Laju pertumbuhan rata-rata BK CPO dan turunannya tahun cenderung meningkat signifikan tetapi jika dilihat pada tabel 2 dari tahun , pertumbuhan BK CPO dan turunannya cenderung menurun. Hal ini diakibatkan oleh sepanjang tahun harga CPO sulit untuk terdongkrak naik karena harga minyak nabati lain seperti kedelai, rapeseed dan biji bunga matahari juga mengalami penurunan karena melimpahnya stok. Sepanjang tahun 2014 negara tujuan ekspor CPO terbesar Indonesia masih diduduki India, negara Uni Eropa dan Tiongkok. Ekspor CPO ke India cenderung menurun karena berbagai faktor seperti melambatnya pertumbuhan ekonomi India akibat inflasi di dalam negeri yang tinggi, lemahnya nilai tukar rupee terhadap dollar AS pada pertengahan hingga akhir tahun. Hal ini juga diperparah dengan jatuhnya harga minyak dunia. 15 P a g e

16 Untuk mengatasi jatuhnya harga CPO dunia, pemerintah menetapkan Bea Keluar minyak sawit mentah (crude palm oil/cpo) untuk ekspor. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, jika harga referensi CPO di bawah US$ 750 per metrik ton (MT) maka tidak dikenai BK (0%), sedangkan jika harga bergerak ke kisaran US$ per MT akan dikenai 7,5% dan ketika harga referensi menyentuh US$ per MT akan dipungut 22,5%. Kebijakan penghapusan Bea Keluar akan mendorong meningkatnya ekspor CPO. Disisi lain, CPO akan semakin unggul dalam persaingan dengan minyak nabati lain di perdagangan global. Kebijakan tarif Bea Keluar untuk hilirisasi industri sawit bersifat eskalatif yang artinya tarif produk hulu dari minyak sawit dikenakan Bea Keluar lebih tinggi dibandingkan produk hilirnya. Hal ini bertujuan memberikan insentif bagi pelaku usaha dalam mengembangkan industri hilir di dalam negeri yang pada gilirannya nilai tambah (value added) pengolahan minyak sawit diharapkan dapat dinikmati ekonomi domestik. Di sisi lain, Pemerintah diharapkan dapat mempertimbangkan kembali struktur tarif Bea Keluar dengan skema baru. Struktur Bea Keluar nantinya didesain untuk memaksa agar produsen berinovasi dalam pengembangan dan penciptaan produk baru dari kelapa sawit yang bernilai tambah tinggi. Melihat anomali iklim di Indonesia, Industri sawit dalam negeri kedepan akan berada pada level yang stagnan dan bahkan cenderung menurun akibat harga CPO yang terus merosot. Namun, dengan mandatori biodiesel 10% (B10) yang diterapkan sejak tahun 2014 dan akan dinaikkan menjadi 20% (B20) pada tahun 2016 hingga B30 pada tahun 2020, maka akan ada peralihan dari bahan baku yang sesungguhnya akan diekspor dipergunakan untuk pasokan dalam negeri dengan tujuan pemenuhan bahan baku bio-diesel. Terkait penerimaan negara lainnya yang sampai dengan tahun 2014 cenderung menurun adalah bea keluar biji kakao dengan laju pertumbuhan selama 5 tahun sebesar -7,93%. Penurunan penerimaan negara dari BK kakao disebabkan oleh melemahnya harga internasional untuk komoditas kakao sehingga ekspor kakao cenderung menurun. Disamping itu kakao Indonesia kurang dapat bersaing di pasar Internasional karena kualitas internasional lebih menginginkan kakao fermentasi, sedangkan pekebun kakao Indonesia masih sulit melakukan pascapanen biji kakao dalam bentuk fermented karena margin harga yang tidak jauh berbeda dengan biji kakao non fermented. Faktor 16 P a g e

17 eksternal yang juga jadi pengaruh besar yaitu Pantai Gading dan Ghana sebagai Negara produsen utama kakao dunia sudah memasuki panen raya sehingga biji coklat dari dua negara ini membanjiri pasar internasional dan harga kakao dunia cenderung turun. Kebijakan Pemerintah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 75/PMK.011/2012 tentang Penetapan Barang Ekspor yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar menetapkan BK biji kakao yaitu mematok tarif Bea Keluar (BK) sebesar 0-15% atas ekspor biji kakao dengan melihat patokan harga referensi biji kakao dunia. Untuk harga referensi sampai dengan US$ tidak dikenakan tarif BK (0%), harga referensi US$ ditetapkan tarif BK sebesar 5%, harga referensi US$ ditetapkan tarif BK sebesar 10% dan harga referensi lebih dari US$ ditetapkan tarif BK sebesar 15%. Kebijakan ini diambil untuk menghambat ekspor biji mentah dan mendorong hilirisasi industri kakao. Dengan demikian diharapkan industri kakao nasional lebih berdaya saing dan memberikan nilai tambah lebih bagi ekonomi nasional Kinerja Mikro Pembangunan Perkebunan Tahun Berikut ini adalah kinerja mikro pembangunan yang telah dicapai dalam upayanya mengembangkan komoditas perkebunan selama tahun yang disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Kinerja Luas Areal Komoditas Perkebunan tahun capaian luas areal (hektar) per tahun Laju No Komoditas Capaian Capaian Capaian Capaian Capaian Pertumb (%) 1. Karet ,15 2. Kelapa Sawit ,45 3. Kelapa ,86 4. Kopi ,42 5. Kakao ,18 6. Jambu Mete ,76 7. Lada ,37 8. Cengkeh ,07 9. Teh , Jarak Pagar , Kemiri Sunan ,73 17 P a g e

18 12. Tebu , Kapas , Tembakau , Nilam ,55 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Tabel capaian luas areal komoditas perkebunan sampai dengan tahun 2014 berfluktuasi tetapi sebagian besar menunjukkan laju pertumbuhan yang positif. Sampai dengan tahun 2014, berdasarkan analisis perhitungan bahwa luas areal 15 komoditas perkebunan rata-rata tumbuh sebesar 2,89%. Trend pertumbuhan luas areal tertinggi di capai oleh komoditas kelapa sawit yang berada di atas 6%. Komoditas kelapa sawit masih menjadi daya tarik pekebun dalam meningkatkan luas areal termasuk bukaan baru, terlebih banyaknya perusahaan perkebunan swasta yang berinvestasi untuk penanaman kelapa sawit. Kontribusi ekonomi cukup menarik pelaku usaha perkebunan kelapa sawit dalam meningkatkan luas areal pengembangannya walaupun fasilitasi Direktorat Jenderal Perkebunan hanya terbatas pada kegiatan sosialisasi penggunaan benih unggul, perluasan areal pada wilayah perbatasan/ daerah tertinggal, pengendalian OPT dan model pengembangan karena adanya pelimpahan tupoksi kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Selain komoditas kelapa sawit, komoditas perkebunan lainnya yang berorientasi ekspor juga menunjukkan pola pertumbuhan positif seperti cengkeh, tebu, karet, kakao, kopi dan tembakau. Sedangkan sampai dengan tahun 2014, komoditas kelapa, jambu mete, lada, teh, jarak pagar dan kapas menunjukkan pola negatif. Berbagai faktor menjadi penyebab terjadinya penurunan luas areal komoditas-komoditas tersebut, salah satu diantaranya adalah konversi ke komoditas lain yang lebih ekonomis. Tabel 4. Kinerja Produksi Komoditas Perkebunan tahun No Komoditas 1. Karet (karet kering) 2. Kelapa Sawit (CPO) 3. Kelapa (kopra) 4. Kopi (kopi berasan) capaian produksi (ton) per tahun Laju Capaian Capaian Capaian Capaian Capaian Pertumb (%) , , , ,44 18 P a g e

19 5. Kakao ,16 (biji kering) 6. Jambu Mete ,48 (gelondong kering) 7. Lada ,17 (lada kering) 8. Cengkeh ,22 (bunga kering) 9. Teh ,28 (daun kering) 10. Jarak Pagar ,43 (biji kering) 11. Kemiri Sunan ,50 (biji kering) 12. Tebu (gula) , Kapas (serat berbiji) 14. Tembakau (daun kering) 15. Nilam (minyak nilam) Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, , , ,49 Tabel capaian produksi komoditas perkebunan sampai dengan tahun 2014 menunjukan pola fluktuatif tetapi sebagian besar menunjukkan laju pertumbuhan yang positif. Berdasarkan analisis perhitungan bahwa pertumbuhan produksi 15 komoditas perkebunan sampai dengan tahun 2014 tumbuh cukup tinggi yaitu rata-rata sebesar 5,60%. Perkembangan produksi komoditas perkebunan umumnya di dorong oleh kondisi pasar yang kondusif, di samping komitmen pemerintah dan pelaku usaha yang turut berkontribusi dalam mengembangkan komoditas tersebut. Usaha perkebunan tembakau didominasi oleh perkebunan rakyat. Tingginya laju produksi rata-rata tembakau menunjukkan besarnya kekuatan sumber daya pekebun dalam mengembangkan suatu komoditas yang dapat memberikan jaminan harga yang remuneratif meskipun dibatasi oleh berbagai peraturan dan tanpa adanya bantuan input produksi dari APBN. Namun demikian, peran Pemerintah dalam upaya peningkatan produksi tembakau, masih tetap dilakukan terutama dalam hal pembinaan dan pengawalan serta pemberdayaan petani baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Adanya alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) kepada daerah penghasil tembakau, memungkinkan Pemerintah Daerah membina para pekebun tembakau di wilayahnya secara lebih intensif. Usaha perkebunan kelapa sawit, meskipun didominasi oleh perusahaan perkebunan besar (±59%) namun kontribusi perkebunan rakyat dalam peningkatan produksi kelapa sawit nasional tidak dapat diabaikan. Laju 19 P a g e

20 peningkatan produksi rata-rata selama periode dapat lebih ditingkatkan apabila berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pekebun kelapa sawit, seperti dominannya tanaman tua di pertanaman dan buruknya infrastruktur, dapat diselesaikan dalam skala yang lebih luas. Fasilitasi Direktorat Jenderal Perkebunan melalui APBN untuk pengembangan komoditas kelapa sawit dilakukan melalui kegiatan demplot model peremajaan kelapa sawit, penanganan OPT, perluasan areal di daerah perbatasan/ daerah tertinggal, pergantian benih tidak bersertifikat dengan benih unggul bermutu dan bersertifikat dalam skala terbatas, serta mendorong lebih banyak pekebun untuk dapat memanfaatkan fasilitas subsidi bunga perbankan yang disalurkan melalui skim kredit program Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) dalam rangka pengembangan usaha perkebunan kelapa sawitnya. Fasilitasi Direktorat Jenderal Perkebunan untuk komoditas cengkeh, karet, jambu mete dan lada selama 5 tahun ini cukup berhasil. Hal ini dibuktikan sampai dengan tahun 2014, laju pertumbuhan produksi ratarata keempat komoditas tersebut mencapai 1-8%. Selama ini kegiatan peremajaan, rehabilitasi, intensifikasi dan perluasan tanaman cengkeh, jambu mete dan lada serta kegiatan peremajaan, intensifikasi dan perluasan tanaman karet di wilayah khusus (perbatasan, daerah tertinggal, pasca bencana dan pasca konflik) cukup mengangkat tingkat produksi tanaman. Dalam usaha perkebunan tebu, selama periode terjadi peningkatan produksi tebu yang cukup signifikan. Rasionalisasi atau penataan varietas tebu untuk mendapatkan komposisi varietas tebu unggul dan penerapan sistem tebangan Manis, Bersih dan Segar (MBS) menjadi salah satu pengungkit peningkatan produksi tebu. Peran pemerintah pusat dalam APBN diwujudkan dalam bentuk penyediaan benih unggul bermutu melalui pembangunan Kebun Benih Induk (KBI) dan Kebun Benih Datar (KBD) menggunakan teknik kultur jaringan, bantuan alat dan mesin pertanian, bongkar ratoon, rawat ratoon dan perluasan areal pada daerah potensial pengembangan tebu. Komoditas kemiri sunan, kapas, jarak pagar, kakao, kopi, kelapa dan teh menunjukkan laju pertumbuhan produksi dengan pola negatif yang cukup tinggi sampai dengan tahun 2014 yaitu berturut-turut sebesar -37,50%, -23,65%, -10,43%, -3,16%, -1,44%, -1,28% dan -0,28%. Untuk Kemiri Sunan, secara umum hal ini disebabkan kegiatan pengembangan Kemiri Sunan selama periode baru dimulai rintisannya tahun P a g e

21 dan diarahkan pada perluasan areal penanaman sehingga diproyeksikan baru berproduksi pada tahun Adapun biji kemiri sunan dari pohonpohon kemiri sunan yang tumbuh secara alami tidak dipanen karena fasilitas unit pengolahannya belum cukup tersedia. Untuk komoditas kapas, rendahnya trend produksi antara lain disebabkan jaminan pasar dan harga yang kurang bersaing untuk menarik minat petani dalam membudidayakan kapas. Untuk komoditas jarak pagar, masih diperlukan penelitian lebih lanjut agar dapat dihasilkan varietas unggul baru, teknik budidaya jarak pagar yang produktivitasnya tinggi dan mekanisme usahanya ditingkat petani yang dapat menghasilkan keuntungan. Pada komoditas kakao, walaupun program Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional (Gernas) Kakao cukup memberikan dampak bagi kinerja komoditas kakao tetapi persoalan serangan OPT dan banyaknya tanaman tua/ rusak menjadi faktor penyebab terbesar dari penurunan produksi. Kendala lahan dan produktivitas masih menjadi simpul kritis pengembangan kopi ditengah meningkatnya permintaan dunia akan biji kopi berkualitas. Untuk komoditas kelapa, banyaknya tanaman tua/ rusak dan rendahnya produktivitas, persoalan lahan cukup berpengaruh terhadap penurunan produksi. Kendala peningkatan produksi komoditas teh sebagian besar disebabkan produktivitas tanaman yang menurun akibat banyaknya tanaman tua/rusak sehingga kedepan perlu adanya kegiatan peremajaan tanaman. Tabel 5. Kinerja Produktivitas Komoditas Perkebunan tahun No Komoditas capaian produktivitas (kg/ha) per tahun Capaian 2010 Capaian 2011 Capaian 2012 Capaian 2013 Capaian 2014 Laju Pertumb. 1. Karet ,72 2. Kelapa Sawit ,12 3. Kelapa ,49 4. Kopi ,23 5. Kakao ,30 6. Jambu Mete ,16 7. Lada ,66 8. Cengkeh ,48 9. Teh , Jarak Pagar ,47 (%) 21 P a g e

22 11. Kemiri Sunan , Tebu , Kapas , Tembakau , Nilam ,96 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Berdasarkan analisis perhitungan bahwa trend pertumbuhan produktivitas rata-rata 15 komoditas perkebunan sampai dengan tahun 2014 mengalami pola negatif sebesar -0,52%. Walaupun demikian, sebagian besar komoditas yang menunjukkan laju pertumbuhan produktivitas yang positif. Komoditas cengkeh, nilam, jambu mete, kakao, teh, tembakau, karet, tebu, lada dan kelapa sawit menunjukkan trend pertumbuhan produktivitas yang positif dengan persentase range antara 0,12-7,48% sampai dengan tahun 2014 sedangkan laju pertumbuhan produktivitas komoditas kapas, jarak pagar, kopi dan kelapa menunjukkan pola negatif. Laju pertumbuhan produksi beberapa komoditas perkebunan diiringi dengan meningkatnya produktivitas tanaman. Hal ini ditunjukkan pada komoditas tembakau, cengkeh, kelapa sawit, karet, jambu mete, tebu, lada dan nilam. Kedelapan komoditas tersebut menunjukkan trend positif yang disebabkan oleh kontribusi kegiatan-kegiatan yang dialokasikan Direktorat Jenderal Perkebunan pada sentra-sentra produksi untuk memacu produktivitas tanaman seperti 1) kegiatan peremajaan dan perluasan areal pada komoditas karet dan jambu mete; 2) intensifikasi dan rehabilitasi pada komoditas cengkeh dan lada, 3) kegiatan pengendalian OPT dan SL-PHT, 4) kegiatan rawat ratoon, bongkar ratoon, perluasan areal dan bantuan peralatan pada komoditas tebu; 5) kegiatan pengembangan komoditas nilam dan tembakau dalam skala terbatas; 6) pengembangan komoditas kelapa sawit yang meliputi pergantian benih bersertifikat, model pengembangan dan perluasan daerah khusus; dan 7) pemberdayaan petani yang secara tidak langsung membina petani untuk meningkatkan produktivitas tanamannya. Laju pertumbuhan produktivitas kapas dan jarak pagar menunjukkan pola negatif yang cukup besar. Rendahnya produktivitas jarak pagar pada dasarnya disebabkan belum adanya varietas tanaman yang dapat menghasilkan produksi yang maksimal dengan rendemen yang layak untuk bahan baku sumber bahan bakar nabati (BBN). Selain itu keterbatasan lahan masih menjadi kendala budidaya. Kedepan, 22 P a g e

23 pengembangan komoditas jarak pagar dititikberatkan pada penelitian untuk menghasilkan varietas-varietas unggul dan peran Badan Litbang Pertanian akan sangat penting dalam menciptakan varietas-varietas unggul komoditas jarak pagar. Berkaitan dengan hal tersebut, komoditas jarak pagar tidak lagi menjadi komoditas perkebunan unggulan nasional pada Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Perkebunan periode Ketidakpastian iklim menjadi salah satu faktor yang turut mempengaruhi penurunan produktivitas tanaman kapas. Disamping itu penurunan animo para pekebun untuk mengusahakan kapas terkait harga jual serat kapas berbiji yang dianggap tidak memberikan keuntungan juga menjadi faktor penyebab penurunan produktivitas kapas Potensi dan Tantangan Sebagai salah satu institusi pelaksana pembangunan perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan harus dapat merumuskan kebijakan, menyusun strategi, program serta kegiatan yang dapat mengoptimalkan potensi dan menjawab tantangan pembangunan perkebunan selama 5 tahun kedepan Potensi Pembangunan Perkebunan Pembangunan perkebunan kedepan akan tetap berfungsi sebagai salah satu pilar ekonomi yang akan memberikan kontribusi yang signifikan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hal ini dimungkinkan apabila kita dapat memanfaatkan peluang-peluang yang ada baik peluang secara umum maupun peluang secara khusus menyangkut kondisi Direktorat Jenderal Perkebunan sebagai berikut: A. Potensi Pembangunan Perkebunan secara umum Berikut ini akan dijabarkan beberapa potensi pembangunan perkebunan yang secara umum berkaitan dengan kondisi sumber daya alam, lahan dan air, sumber daya insani, inovasi teknologi, lingkungan, demografi, bahan baku biologi/ benih, sistem infomasi manajemen, partisipasi masyarakat, semangat desentralisasi, anggaran, kelembagaan, pasar dan aspek kepemerintahan/ reformasi birokrasi dalam membangun perkebunan kedepan. 1) Keanekaragaman hayati melimpah sebagai Negara Tropis 23 P a g e

24 Kondisi alam Indonesia merupakan salah satu keunggulan komparatif yang dapat dieksplorasi untuk menjadi modal penting pembangunan perkebunan. Sebagai negara tropis maka Indonesia secara alami merupakan kawasan dengan efektivitas dan produktivitas yang tinggi dalam pemanenan dan transformasi energi matahari menjadi bio-massa dan feedstock bio-industry. Kondisi ini juga dapat menjadi basis keunggulan kompetitif dalam bio-economic. Bio-economic adalah semua aktivitas ekonomi yang menggunakan sumberdaya hayati untuk menghasilkan bahan kimiawi, material dan bahan bakar nabati untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan. Indonesia merupakan salah satu negara mega biodiversity yang mempunyai jumlah keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Walaupun luas daratannya hanya 1,3% dari seluruh daratan bumi tetapi Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang sangat berlimpah. Sekitar 10% varietas bunga, 12% spesies mamalia, 16% spesies reptil dan amphibia, 17% spesies burung serta 25% spesies ikan terdistribusi di Indonesia. Sebagian spesies bahkan tidak terdapat di belahan bumi lain. Potensi sumber hayati berasal dari tumbuhan ada sekitar yang terdiri dari jenis jamur, 400 jenis tanaman penghasil buah, 370 jenis tanaman penghasil sayuran, 70 jenis tanaman berumbi, 60 jenis tanaman penyegar dan 55 jenis tanaman rempah. Melimpahnya keanekaragaman flora merupakan potensi sumber daya genetik untuk menghasilkan klon/varietas unggul perkebunan disamping dapat dimanfaatkan sebagai bahan bio-fuel, bio-pesticide, bio-fertilizer atau untuk tujuan komersial lainnya. Selain itu, keanekaragaman hayati tersebut merupakan tumpuan hidup manusia karena setiap orang membutuhkannya untuk menopang kehidupan, sebagai sumber pangan, pakan, bahan baku industri, farmasi dan obat-obatan. Salah satu pemanfaatan keanekaragaman hayati adalah melalui perdagangan tanaman obat dengan nilai perdagangan tanaman obat dan produk berasal dari tumbuhan termasuk suplemen. Selain berfungsi untuk menunjang kehidupan manusia, keanekaragaman hayati memiliki peranan dalam mempertahankan keberlanjutan ekosistem. Lebih berkembang lagi, beberapa tanaman merupakan komoditas spesifik perkebunan yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif sehingga sangat berpotensi untuk mengisi pasar baik dalam negeri maupun luar negeri. Dalam bidang pengendalian organisme penganggu tanaman (OPT) perkebunan adanya potensi hayati dari organisme berupa jamur, bakteri, 24 P a g e

25 virus, nematode, mikroplasma, protozoa atau jasad renik lainnya (mikroorganisme antagonistic), serta golongan hewan dan serangga yang bersifat predator (parasitoid). Organisme tersebut keberadaannya di alam memegang peran yang sangat penting dan ikut menentukan keseimbangan alam.oleh karena itu sering disebut musuh alami untuk pengendalian hama, penyakit dan organisme penganggu tanaman perkebunan. Keberadaan musuh alami ini sering mengalami goncangan bahkan hampir menghilang, hal ini sebagai konsekuensi logis dari perubahan bioekosistem, khususnya agroekosistem akibat tindak kelola yang dijalankan manusia atau tata perubahan alami yang terjadi di lingkungan karena pengaruh biotik dan abiotik sehingga potensinya tidak optimal dan jauh tertinggal dari populasi OPT-nya. Hal ini menjadikan sering muncul program OPT dan bumerang bagi manusia itu sendiri. Oleh karena itu dengan adanya Undang-Undang Budidaya Tanaman nomor 12 Tahun 1992 dapat dipakai sebagai landasan, mengingat pada pasal 60 menyebutkan bahwa barang siapa yang merusak sumber daya alam/kelestarian lingkungan akan dikenai pidana dan denda cukup berat (dipidana penjara 5 tahun dan denda 250 juta rupiah). Pada pasal 20 lebih ditegaskan lagi bahwa di dalam usaha perlindungan tanaman agar dilaksanakan melalui Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dimana pemanfaatan musuh alami yang berupa organisme (Agensia Hayati) menjadi prioritas utama. Hal ini terlihat betapa besar perhatian pemerintah dalam upaya melestarikan keanekaragaman hayati serta sekaligus mengoptimalkan potensinya dalam budidaya tanaman. Indonesia juga memiliki sumberdaya biofisik yang cukup beragam untuk mendukung pengembangan pertanian antara lain adalah ketersedian tanah, hara, dataran rendah dan tinggi, curah hujan yang merata di sebagian wilayah, sinar matahari yang terus menyinari sepanjang tahun, kelembaban udara dan organisme-organisme serta setidaknya memiliki 47 ekosistem alami yang berbeda. Kita bisa menjumpai padang es dan padang rumput dataran tinggi di Papua. Beragam hutan basah dataran rendah di Kalimantan dan Sumatera. Adapula ekosistem danau yang dalam dan rawa dangkal. Untuk itu, agar keanekaragaman hayati dan agoekosistem tidak terancam kelestariannya, maka kita harus arif dan bijaksana dalam memanfaatkannya, dengan mempertimbangkan aspek aspek manfaat dan kelestariannya. 2) Pengembangan bio-economic 25 P a g e

26 Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam dan keanekaragaman hayati dalam bentuk komoditas pangan dan perkebunan sebagai sumber pemanfaatan bio-economic. Bio-economic mengacu pada semua aktivitas ekonomi menggunakan sumberdaya hayati untuk menghasilkan bahan kimiawi, material dan bahan bakar nabati untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan. Pengembangan bio-economic dipacu oleh semakin tingginya tuntutan atas produk pangan berkualitas termasuk functional food. Pengembangan bio-economic juga telah berkontribusi nyata pada peningkatan harga komoditas pangan utama dunia selama 5 tahun terakhir. Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO) memperkirakan kedepan era harga bahan pangan murah telah berakhir, dan ini salah satunya dipicu karena makin beragamnya pemanfaatan pangan, termasuk untuk sumber energi dan produk turunan lainnya yang terkait dengan bio-economic. Bio-economic berbasis dari pemanfaatan dan pengembangan pemanenan energi matahari melalui proses hayati. Keunggulan alam tropika dalam penyediaan proses hayati dalam pemanenan energi matahari harus dimanfaatkan sebesar-besarnya. Iklim tropika dan kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia harus dimanfaatkan sebesar-besarnya melalui pengembangan teknologi dan kelembagaan yang mampu mengembangkan bio-economic tropical. Agar tidak tertinggal dari negara lain maka kedepan pembangunan pertanian harus didasarkan pada konsep bio-economic yang membuka peluang pemanfaatan semua bio-massa yang dihasilkan kegiatan pertanian pada produk yang bernilai ekonomi tinggi. 3) Peningkatan permintaan dunia terhadap 4F Crops (Food, Feed, Fiber and Fuel) Indonesia memiliki peluang yang sangat besar karena keunggulan komparatif Indonesia sebagai negara agraris dan memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah, selain itu komoditas unggulan perkebunan yang dapat ditanam diberbagai kondisi. Tetapi, untuk menjadikan komoditas unggulan perkebunan ini unggul secara kompetitif maka diperlukan penanganan yang baik seperti budidaya yang baik dan ramah lingkungan, penanganan pascapanen serta penggunaan benih unggul dan sarana produksi yang berkualitas. Komoditas perkebunan di Indonesia memiliki peluang untuk dimanfaatkan sebagai sumber pangan manusia (food), sumber pakan 26 P a g e

27 ternak (feed), kebutuhan serat pangan (fiber) untuk pupuk organik dan bahan bakar bio-massa dan kebutuhan minyak nabati (fuel) untuk kebutuhan bahan bakar nabati (BBN). Peluang ini perlu dimanfaatkan karena semakin tingginya permintaan dunia akan produk 4F Crops yang ramah lingkungan sebagai implikasi dari menipisnya cadangan fosil didunia. Kedepan pemanfaatan komoditas perkebunan sebagai sumber 4F Crops akan bertransformasi kedalam pemanfaatan komoditas/produk sebagai sumber 4-bio-F Crops (bio-food, bio-feed, bio-fiber and bio-fuel). Berkaitan dengan potensi fuel untuk menggantikan bahan bakar minyak (BMM) dan bahan bakar gas (BBG) yang berasal dari sumber daya fosil yang dari masa ke masa jumlahnya semakin terbatas dan akan habis, karena sumber energi tersebut memiliki sifat irreneweble (tidak dapat diperbaharui) meskipun sampai dengan saat ini dipakai sebagai sumber energi penggerak utama transportasi, industri dan juga pertanian. Sejak dieksploitasi mulai abad 20-an diperkirakan sumberdaya ini fosil semakin langka. Dengan terbatasnya ketersediaan energi dan fosil, maka harus dicarikan sumber energi alternatif lain. Dari hasil penelitian beberapa komoditas pertanian khususnya tanaman perkebunan yang dapat diolah menjadi sumber energi, seperti 1) komoditas kelapa sawit, kelapa, kemiri sunan, jarak pagar, nyamplung dan lain-lain sebagai sumber pemanfaatan bio-disel; 2) komoditas tebu, sagu, aren, nipah dan lain-lain sebagai sumber pemanfaatan bio-ethanol dan 3) limbah/ sisa tanaman dan kotoran ternak dapat diolah menjadi sumber bio-massa. Ketiga sumber energi dari hayati tersebut dapat disebut Bahan Bakar Nabati (BBN) dan dapat dikembangkan dengan baik karena bersifat renewable (dapat diperbaharui). Yang menjadi tantangan kedepan adalah bagaimana pola budidaya yang tepat, menemukan varietas yang dapat meningkatkan produktivitas dan sistem pascapanen yang baik sehingga akan meningkatkan permintaan terhadap BBN dan pada akhirnya akan memberikan peluang pasar baru bagi produk hasil perkebunan bagi pekebun. 4) Kecenderungan baru penghargaan atas jasa lingkungan dan jasa amenity Lahan perkebunan tidak hanya penghasil bahan makanan, serat dan energi tetapi juga mempunyai multifungsi yang menghasilkan jasa lingkungan dan jasa amenity. Jasa lingkungan dan jasa amenity lahan perkebunan antara lain penyedia sumber air tanah dan oksigen, pengendali banjir, pencegah erosi/ longsor dan sedimentasi, mempertahankan suhu udara, mendaur ulang limbah, menjaga kualitas 27 P a g e

28 udara/ purifikasi, pengatur tata air dan menjaga keberadaan sumber daya air, memitigasi perubahan iklim, sumber keindahan dan kenyamanan, pelestari keanekaragaman hayati, pelestari budaya pedesaan, dan sebagainya. Nilai manfaat jasa lingkungan dan amenity lahan perkebunan sudah mempunyai pasar, dan ini dapat dilihat dari berkembangnya beragam eco-tourism atau wisata alam di wilayah perkebunan dengan harga jual yang kompetitif. Berbagai jasa pariwisata ke kawasan sentra perkebunan (misalnya perkebunan teh) yang memberi pengunjung keindahan areal perkebunan serta kesempatan merasakan kehidupan pekebun telah berkembang sebagai paket pariwisata yang ditawarkan berbagai resort wisata. Kedepan dengan makin besarnya kecenderungan urbanisasi maka kebutuhan akan amenity atau kenyamanan lingkungan yang didapat dari wilayah perdesaan dengan lahan pertanian akan semakin besar sehingga nilai tambah dari kegiatan perkebunan akan semakin kompetitif. Seiring dengan berkembangnya sistem nilai dan kelembagaan, di masa datang, jasa-jasa amenity dan lingkungan dari kegiatan perkebunan akan semakin dapat diperdagangkan dan diinternalisasikan dalam mekanisme pasar. Selain itu, jasa-jasa amenity yang lain adalah dipergunakannya sentra-sentra pengembangan komoditas perkebunan baik model pengembangan maupun kawasan budidaya sebagai pusat pendidikan, penelitian dan pelatihan di kalangan pegawai swasta, pelajar sekolah menengah, mahasiswa perguruan tinggi, para peneliti dan stakeholder lainnya. Secara umum, berbagai praktek perkebunan bisa menghasilkan jasa lingkungan dan multifungsi yang negatif (negative externalities), namun sistem perkebunan yang dikelola secara berkelanjutan akan memberikan positive externalities. Sistem perkebunan berbasis pohon/ tanaman tahunan, terutama sistem multistrata seperti agroforestry, cenderung memberikan berbagai jasa lingkungan yang positif. Sebaliknya sistem pertanian lahan kering berbasis tanaman semusim yang dikelola secara intensif di lahan berlereng curam, cenderung memberikan berbagai eksternalitas yang negatif. Kesemuanya tergantung pengelolaan dan strategi untuk mengubah negative externalities menjadi positive externalities atau strategi mempertahankan positive externalities. Pendekatan yang dilakukan dalam peningkatan jasa lingkungan antara lain: 1) pendekatan hukum untuk meningkatkan insentif praktek perkebunan yang memberikan fungsi lingkungan positif dan dis-insentif untuk praktek perkebunan yang berdampak negatif terhadap fungsi 28 P a g e

29 lingkungan; 2) pendekatan sektoral yang aktivitasnya berdampak mengurangi atau menghilangkan kemampuan sektor pertanian dalam menghasilkan jasa lingkungan, seperti Undang-Undang 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan; dan 3) insentif finansial dan bantuan teknis untuk mengembangkan sistem pertanian yang memberikan peningkatan nilai ekonomi dan sekaligus jasa lingkungan. Berikut ini pada Tabel 6 menunjukkan jasa lingkungan sub sektor perkebunan dan strategi peningkatan nilai positif jasa lingkungan. Tabel 6. Jasa Lingkungan Sub Sektor Perkebunan dan Strategi Peningkatan Nilai Positif Jasa Lingkungan No. Jasa Lingkungan Positif 1. Tanaman pohonpohonan: a. Mitigasi perubahan iklim melalui penyerapan CO2 yang relatif tinggi b. Meningkatkan daya infiltrasi tanah dan mengurangi erosi/ tanah longsor 2. Tanaman semusim (annual) dan 2 musim (biennial): a. Penyedia sumber oksigen b. Pengendali banjir c. Eco-tourism jika dikelola dengan baik dan terintegrasi dengan usaha Jasa Lingkungan Negatif Tanaman pohonpohonan: a. Memiliki biodiversitas yang rendah bila dalam bentuk monokultur Tanaman semusim (annual) dan 2 musim (biennial): a. Sumber erosi dan sedimentasi b. Pencemaran oleh residu bahan agrokimia Strategi Peningkatan Nilai Positif Jasa Lingkungan Strategi: a. Memperbanyak keberadaan sistem pertanian berbasis pohon-pohon melalui rehabilitasi lahan terlantar/ sub optimal menjadi sistem pertanian berbasis pohon b. Meningkatkan biodiversitas melalui system multistrata/ agroforestry c. Pemgembangan usaha pertanian polikultur Strategi: a. Penerapan inovasi teknologi konservasi tanah dan agroforestry b. Mendaur ulang sisa tanaman c. Peningkatan efisiensi pemupukan dan penggunaan pestisida organik (pertanian organik) 29 P a g e

30 agribisnis lain berbasis keindahan alam perdesaan d. Sarana pendidikan, pelatihan dan penelitian 3. Pertanian dilahan gambut: a. Sumber keanekaragaman hayati Pertanian dilahan gambut: a. Sumber emisi CO2 melalui GRK dan terganggunya tata air Sumber: Renstra Kementerian Pertanian, d. Integrasi dengan ternak (nilai tambah) e. Penerapan model pengembangan komoditas perkebunan dengan basis penelitian dan pendidikan Strategi: a. Pengaturan tata air dan mengurangi kedalaman saluran drainase b. Intensifikasi pertanian pada areal eksisting di lahan gambut agar tekanan terhadap perluasan areal dapat di kurangi c. Meminimalkan penggunaan lahan gambut untuk perluasan areal pertanian dan mengutamakan penggunaan lahan mineral d. Inovasi dan teknologi pemanfaatan lahan gambut yang diarahkan pada sistem penggunaan dan pengelolaan lahan yang dapat meningkatkan daya adaptabilitas dan ketangguhan (resilience) sistem tersebut dan sekaligus memberikan manfaat ekonomi dan jasa lingkungan yang lebih tinggi 30 P a g e

31 5) Perkembangan inovasi dan ilmu pengetahuan teknologi pertanian/ perkebunan Perkembangan penerapan inovasi teknologi secara umum masih harus dioptimalkan. Perkembangan diseminasi teknologi kepada petani/ pekebun lebih mudah dilakukan karena umumnya petani/ pekebun tertarik kepada hal-hal yang bersifat inovatif, namun tingkat adopsi masih sangat rendah. Hal ini disebabkan karena produk yang dihasilkan dengan mengadopsi teknologi baru tidak mendapatkan insentif atau nilai tambah artinya harga yang diterima tidak berbeda jauh dengan harga produk tanpa teknologi baru. Hal lain adalah tidak adanya jaminan pasar untuk teknologi tersebut berkembang di masyarakat. Contoh adalah produk kakao yang di fermentasi dan tanpa fermentasi dengan selisih harga jual yang sangat kecil. Perkembangan inovasi dan ilmu pengetahuan teknologi pertanian/ perkebunan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan komoditas pertanian/ perkebunan dan bio-industry spesifik lokasi melalui pengembangan sistem budidaya, perbenihan dan pascapanen dengan modal dasar lembaga penelitian dan perguruan tinggi yang tersebar luas di seluruh Indonesia. Kemajuan di bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) pertanian minimal harus dapat menjawab 2 hal, pertama bagaimana teknologi dapat menjawab berbagai hal terkait dengan dampak perubahan iklim, dan yang kedua bagaimana teknologi dapat menjawab berbagai keterbatasan pada sumberdaya yang ada di tengah perkembangan kebutuhan manusia yang tanpa batas. Untuk menjawab kedua hal di atas, diperkirakan ada 3 revolusi di bidang sains yang diperlukan dan saat ini sedang terjadi di dunia, yaitu revolusi di bidang bio-technology, nano-technology dan information-technology. Salah satu ciri pertanian yang berkebudayaan industri adalah adanya pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk pengambilan keputusan, pemakaian kemajuan teknologi sebagai instrumen utama pada pemanfaatan sumber daya dan perekayasaan untuk meningkatkan nilai tambah dan meminimalkan ketergantungan terhadap alam. Oleh karena itu pertanian/ perkebunan di sini sangat terbuka dan responsif terhadap inovasi dan ilmu pengetahuan teknologi tetapi selaras dengan lingkungan lokal. Pada masa depan tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi tinggi dalam bidang bio-technology dan telekomunikasi harus dimanfaatkan seoptimal mungkin guna meningkatkan produktivitas, mutu dan nilai tambah produk pertanian. 31 P a g e

32 Kementerian Pertanian turut mendukung inovasi pengelolaan sumberdaya pertanian/ perkebunan diantaranya pedoman identifikasi dampak dan arahan antisipasi, adaptasi serta mitigasi perubahan iklim pada sektor pertanian; roadmap strategi sektor pertanian menghadapi perubahan iklim; teknologi sistem pertanian terpadu lahan kering iklim kering; teknologi pengelolaan tanah, air dan pupuk untuk mendukung peningkatan produktivitas tanaman; teknologi pengelolaan lahan sub optimal melalui penerapan pengelolaan hara terpadu dan konservasi tanah; teknologi pemberdayaan agens hayati tanah untuk pemulihan kesuburan tanah terdegradasi; teknologi mitigasi Gas Rumah Kaca (GRK) melalui pengelolaan tanaman terpadu; teknologi optimalisasi pemanfaatan lahan rawa; berbagai formula pupuk organik, anorganik, hayati dan pembenah tanah; serta berbagai tools/kit seperti perangkat uji hara tanaman tebu dan sawit, alat pengukur ph, testkit digital perangkat uji pupuk organik, perangkat uji tanah rawa, dan alat analisis residu pestisida. Inovasi dan teknologi pertanian juga berhububungan erat terhadap pengembangan alat dan mesin pertanian. Upaya yang selama ini dilakukan Kementerian Pertanian adalah melalui pengembangan Usaha Pelayanan Jasa Alsintan (UPJA). Pengembangan dengan pendekatan UPJA ini diharapkan akan membantu peredaran alat dan mesin pertanian/ perkebunan di masyarakat. Selama tahun telah dikembangkan UPJA mandiri sebanyak paket dan menyalurkan alat dan mesin pertanian kepada beberapa kelompok masyarakat sebanyak unit. Penyaluran ini lebih berfungsi sebagai stimulan untuk menggerakkan swadaya petani/ pekebun. 6) Ketersediaan sumber daya lahan dan kesesuaian agro-ecosystem Indonesia memiliki potensi ketersediaan lahan yang cukup besar dan belum dimanfaatkan secara optimal. Total luas daratan Indonesia sebesar 192 juta hektar, terbagi atas 123 juta hektar (64,6%) kawasan budidaya dan 67 juta hektar sisanya (35,4%) merupakan kawasan lindung. Dari total luas kawasan budidaya di daratan yang berpotensi untuk areal pertanian seluas 101 juta hektar, meliputi lahan basah 25,6 juta hektar; lahan kering tanaman semusim 25,3 juta hektar dan lahan kering tanaman tahunan 50,9 juta hektar. Sampai saat ini dari areal yang berpotensi untuk pertanian, yang sudah dibudidayakan menjadi areal pertanian sebesar 47 juta hektar sehingga masih tersisa 54 juta hektar yang berpotensi untuk perluasan areal pertanian. 32 P a g e

33 Potensi lahan untuk pengembangan pertanian secara biofisik masih cukup luas sekitar 30 juta hektar, dimana 10 juta hektar di antaranya berada di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) dan 20 juta hektar di kawasan kehutanan (Badan Litbang Pertanian, 2007). Apabila dari 10 juta hektar lahan yang belum dimanfaatkan itu terdapat lahan dengan vegetasi hutan primer dan kawasan gambut maka tukar guling bisa dilakukan dengan kawasan kehutanan yang lahannya sesuai untuk pengembangan pertanian di areal 20 juta hektar. Disisi lain, dalam menyediakan lahan-lahan tersebut perlu juga memperhatikan penerapan Undang-Undang nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang mengamanatkan upaya pengendalian alih fungsi lahan pangan menjadi lahan-lahan non pangan (contoh: perkebunan non pangan/ industry dan permukiman). Selain itu, jumlah luasan dan sebaran hutan, sungai, rawa dan danau serta curah hujan yang cukup tinggi, sesungguhnya merupakan potensi alamiah untuk memenuhi kebutuhan air pertanian apabila dikelola dengan baik. Waduk, bendungan, embung dan air tanah serta air permukaan lainnya sangat potensial untuk mendukung pengembangan usaha pertanian. Potensi ini apabila dapat dimanfaatkan secara optimal merupakan peluang bangsa kita untuk menjadi lebih maju dan sejahtera. Masih tersedia areal pertanian dan lahan potensial belum termanfaatkan secara optimal seperti lahan kering/rawa/lebak/ pasang surut/gambut dan lahan sub optimal lainnya yang merupakan peluang bagi peningkatan produksi tanaman perkebunan. Potensi sumberdaya ini harus dirancang dengan baik pemanfaatannya untuk produksi komoditas tanaman perkebunan dan meningkatkan pendapatan pekebun. Potensi lainnya dalam pembangunan perkebunan adalah kondisi agroecosystem. Komponen agro-ecosystem yang meliputi kondisi geografis, penyinaran matahari, intensitas curah hujan yang hampir merata sepanjang tahun di beberapa wilayah dan keanekaragaman jenis tanah menjadi faktor yang sangat mendukung dan potensial untuk pengembangan komoditas perkebunan. Komponen agro-ecosystem lainnya yaitu tanaman perkebunan selain bernilai ekonomis juga mempunyai potensi ekologis yaitu sebagai pemfiksasi CO2 dan sebagai tanaman yang berfungsi konservasi lahan dan air. Selain itu komoditas perkebunan juga berpotensi menurunkan emisi CO2 terutama bila komoditas perkebunan dikembangkan untuk merehabilitasi lahan semak belukar/alang-alang. 7) Distribusi dan aksesibilitas pemanfaatan sumber daya air 33 P a g e

34 Ketersediaan sumber daya air nasional (annual water resources/awr) masih sangat besar, terutama di wilayah barat, akan tetapi tidak semuanya dapat dimanfaatkan. Sebaliknya di sebagian besar wilayah timur yang radiasinya melimpah dan curah hujan rendah (<1.500 mm per tahun) hanya terdistribusi selama 3-4 bulan. Total pasokan atau ketersediaan air wilayah (air permukaan dan air bumi) di seluruh Indonesia adalah mm per tahun setara dengan m 3 per detik. Indonesia dikategorikan sebagai negara kelompok 3 berdasarkan kebutuhan dan potensi sumber daya airnya yang membutuhkan pengembangan sumberdaya % dibanding kondisi saat ini. Berdasarkan analisis ketersediaan air, dapat diproyeksi bahwa kebutuhan air sampai tahun 2020 untuk Indonesia masih dapat dipenuhi dari air yang tersedia saat ini. Proyeksi permintaan air untuk tahun 2020 hanya sebesar 18% dari total air tersedia, digunakan sebagian besar untuk keperluan irigasi (66%), sisanya 17% untuk rumah tangga, 7% untuk perkotaan dan 9% untuk industri. Oleh karena itu, kedepan perlu ada upaya antisipatif terhadap fenomena kelangkaan sumber daya air yang disebabkan karena kerusakan lingkungan ataupun karena persoalan pengelolaan sumber daya air yang tidak baik. Selain itu perlu terus dikembangkan sumber baku air yang berasal dari air laut atau sumber lain yang selama ini belum dimanfaatkan dengan baik. Pengelolaan sumber daya air dilaksanakan melalui pembangunan sumber daya air, pengembangan/ pembangunan jaringan irigasi, pembangunan/ pembangunan embung dan dam parit serta pengembangan kelembagaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Pengembangan pengelolaan air di tingkat petani melalui P3A didasarkan pada Peraturan Menteri Pertanian nomor 79/Permentan/ OT.140/12/2012 tentang Pedoman Pembinaan dan Pemberdayaan Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Selama tahun telah dilakukan pengembangan kelembagaan P3A sebanyak unit. Selama tahun telah dilakukan pengembangan sumber daya air sebanyak unit dan unit, namun selama tahun 2013 hanya dikembangkan sebanyak 432 unit. Dalam pengembangan jaringan irigasi, selama tahun alokasi anggarannya terbagi pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Pertanian. Sejalan dengan semangat Undang-Undang nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air bahwa pengembangan sistem irigasi primer dan sekunder menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah. 34 P a g e

35 Pengembangan sistem irigasi tersier menjadi tanggung jawab Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A). Pada kenyataannya, tidak semua petani/ P3A mampu untuk memperbaiki sistem irigasi tersier. Oleh karena itu Kementerian Pertanian membantu untuk memperbaiki jaringan irigasi yang rusak. Selama tahun seluas hektar jaringan irigasi telah diperbaiki. Sedangkan untuk pengembangan embung dan dam parit yang meliputi unit pada tahun 2011; unit selama tahun 2012 dan 328 unit pada tahun 2013 serta sebanyak unit pada tahun ) Pengembangan Sumber Daya Insani (SDI) Sebagaimana amanat dari dokumen Strategi Induk Pembanguan Pertanian (SIPP) bahwa pilar penopang yang ditekankan untuk mewujudkan kokohnya fondasi sistem pertanian bio-industry berkelanjutan adalah pengembangan sumber daya insani berkualitas, modal sosial dan modal politik. SDI Indonesia begitu melimpah dan diproyeksikan akan terus bertambah. SDI ini dapat menjadi salah satu keunggulan kompetitif perkebunan Indonesia yang merupakan pelaksana penggerak proses produksi dan pengembangan rantai nilai. Pengembangan SDI perkebunan harus memperhatikan beberapa hal agar mampu meningkatkan daya saing di tataran Internasional diantaranya: 1) pendidikan dan kemampuan/skills; 2) keberadaan usia SDI yang produktif; 3) adopsi inovasi dan teknologi; 4) kreativitas; 5) peluang pelatihan, penelitian, pemberdayaan dan pendidikan; 6) migrasi tenagakerja ke sektor lain; 7) ketimpangan pendapatan dan sosial ekonomi lainnya; 8) sosial budaya dan karakteristik SDI perkebunan; 9) ketersediaan sarana prasarana kerja dan lingkungan kerja; dan 10) aksesibilitas, konektivitas dan minat. SDI juga dapat berupa potensi tenaga kerja yang bekerja di sub sektor perkebunan. Sampai saat ini, lebih dari 22 juta tenaga kerja nasional atau sebesar 1,91% pertumbuhan keterlibatan tenaga kerja yang bekerja di sub sektor perkebunan selama tahun masih menggantungkan hidupnya pada sub sektor perkebunan. Besarnya jumlah tenaga kerja tersebut belum tersebar secara proporsional sesuai dengan sebaran luas potensi lahan serta belum memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup untuk pengembangan pertanian yang berdaya saing. Apabila keberadaan penduduk yang besar di suatu wilayah dapat ditingkatkan pengetahuan dan keterampilannya untuk dapat bekerja dan berusaha di aspek produksi, pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan, maka 35 P a g e

36 dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas produksi aneka komoditas perkebunan bagi pemenuhan kebutuhan pasar nasional dan dunia. Peningkatan kapasitas penduduk dalam hal pengetahuan dan keterampilan pertanian/ perkebunan dapat juga dilakukan melalui penempatan tenaga kerja pertanian/ perkebunan terlatih di daerah yang masih kurang penduduknya dan penyediaan fasilitasi perkebunan dalam bentuk faktor produksi, bimbingan teknologi, permodalan/ kredit usaha serta pemberian jaminan pasar yang baik. 9) Bonus Demografi Indonesia mempunyai peluang untuk dapat menikmati bonus demografi yaitu percepatan pertumbuhan ekonomi akibat berubahnya struktur umur penduduk yang ditandai dengan menurunnya rasio ketergantungan penduduk non usia kerja kepada penduduk usia kerja. Perubahan struktur ini memungkinkan bonus demografi tercipta karena meningkatnya suplai angkatan kerja (labour supply), tabungan (saving) dan kualitas sumber daya insani (human capital). Penduduk usia produktif Indonesia menyumbangkan 38% dari total penduduk produktif di ASEAN. Tingginya jumlah dan proporsi penduduk usia kerja di Indonesia selain meningkatkan angkatan kerja dalam negeri juga membuka peluang untuk mengisi kebutuhan tenaga bagi negaranegara yang proporsi penduduk usia kerja menurun seperti Singapura, Korea, Jepang dan Australia. Bonus demografi akan dapat dirasakan dengan arah kebijakan yang tepat seperti penyiapan sumber daya insani yang akan masuk ke angkatan kerja melalui pelatihan dan pendidikan; menjaga penurunan fertilitas, menyiapkan ketrampilan dan kompetensi tenaga kerja; kebijakan ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja; fleksibilitas pasar tanaga kerja; keterbukaan perdagangan serta dukungan sarana prasarana. Bonus demografi lain yang dirasakan Indonesia yang disertai dengan dinamika penduduk antara lain meningkatnya jumlah penduduk, penuaan penduduk yang ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk lanjut usia, urbanisasi yang ditandai dengan meningkatnya proporsi penduduk perkotaan dan migrasi yang ditandai dengan meningkatnya perpindahan penduduk antar daerah. 10) Perkembangan struktur, perilaku dan kinerja pasar Perdagangan komoditas perkebunan di Indonesia telah berkembang dengan pesat, terutama didorong oleh peningkatan rasio pendapatan 36 P a g e

37 masyarakat, peningkatan jumlah penduduk, adanya dukungan regulasi dan akses pasar yang semakin terbuka. Peningkatan tersebut terutama didominasi oleh perdagangan produk olahan komoditas perkebunan baik yang ditujukan untuk ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Dominasi perusahaan besar dalam perdagangan produk/ komoditas perebunan olahan di Indonesia sulit dihindari. Untuk itu perlu adanya upaya yang sistematis memanfaatkan keberadaan perusahaan multinasional ini dalam membawa produk perkebunan olahan Indonesia ke pasar global contohnya dalam bentuk kerjasama dan kemitraan. Untuk mendorong terjadinya kerjasama dan kemitraan diperlukan kebijakan sistematis untuk memperkuat kelembagaan petani/pekebun sehingga mampu bermitra dengan para pelaku usaha yang lebih kuat. Selain itu, inovasi dan pemanfaatan teknologi perlu terus didorong untuk meningkatkan produktivitas, kualitas dan daya saing usaha tani skala kecil. Beberapa langkah yang diperlukan untuk membangun jejaring pasar diantaranya: 1) meningkatkan akses petani terhadap pasar, baik pasar domestik maupun pasar internasional; 2) kebijakan harga, pemantauan dan tataniaga yang memihak pekebun dalam pengembangan komoditas strategis; 3) pengembangan pasar melalui kegiatan promosi dan sosialisasi; 4) penyediaan sarana prasarana dan pemasaran; 5) penguatan kelembagaan pasar; 6) pengembangan kerjasama dan kemitraan; 7) penguatan aspek distribusi; 8) perlindungan pekebun dari kegiatan persaingan usaha yang tidak sehat; 9) dukungan analisis dan informasi pasar (PIP/pengembangan informasi pasar) yang memberikan nilai tambah bagi pelaku pasar yang berbasis pada teknologi informasi yang maju; 10) pemberdayaan pekebun dan penguatan SDI terkait aspek pemasaran dan advokasi pasar; 11) dukungan pendanaan dan regulasi yang tepat; 12) pembangunan pasar melalui sub terminal agribisnis, pasar tani, unit pemasaran poktan/ gapoktan, pasar lelang, dll; 12) dukungan investasi di sektor hulu dan hilir untuk peluang penguatan pasar ekspor; dan 13) dukungan instansi terkait dalam pengembangan pasar. Sejalan dengan era globalisasi dan pemberlakuan pasar bebas, produk pertanian/ perkebunan Indonesia juga berpeluang untuk dipasarkan ke pasar internasional, baik produk segar maupun olahan. Apabila peluang pasar dalam negeri dan luar negeri dapat dimanfaatkan, maka hal ini akan menjadi pasar yang sangat besar bagi produk pertanian/ perkebunan Indonesia. Pada tahun 2015, kesepakatan ASEAN untuk 37 P a g e

38 mewujudkan integrasi ekonomi ASEAN akan terealisasikan. Pilar utama dalam AEC (Asean Economic Community) adalah mewujudkan ASEAN sebagai pasar tunggal yang didukung dengan aliran barang, jasa, modal, dan tenaga kerja yang lebih bebas. Lebih bebas yang dimaksudkan adalah adanya pengurangan hambatan tarif maupun non tarif dalam perdagangan antar negara ASEAN. AEC akan membuka peluang bagi Indonesia untuk memperluas pangsa pasar, mendorong daya saing serta berpotensi menyerap tenaga kerja Indonesia. Indonesia yang jumlah penduduknya 40% dari total jumlah penduduk kawasan menjadikan Indonesia memiliki potensi untuk menjadi negara yang produktif dalam pasar ASEAN. Dengan jumlah penduduk kurang lebih 247 juta jiwa maka diharapkan dapat menjadi pasar potensial tenaga kerja. Saat ini, tingkat konsumsi aneka produk hasil pertanian/ perkebunan Indonesia, kecuali beras, gula dan minyak goreng, masih relatif rendah. Rendahnya tingkat konsumsi produk pertanian ini, terutama disebabkan masih rendahnya tingkat pendapatan per kapita penduduk Indonesia sehingga mempengaruhi daya beli. Sejalan dengan era globalisasi dan pemberlakuan pasar bebas, produk pertanian/ perkebunan Indonesia juga berpeluang untuk dipasarkan ke pasar internasional, baik produk segar maupun olahan. Apabila peluang pasar dalam negeri dan luar negeri dapat dimanfaatkan, maka hal ini akan menjadi pasar yang sangat besar bagi produk pertanian/ perkebunan Indonesia. Jika dilihat dari sisi potensi ekonomi, Indonesia merupakan salah satu emerging country yang saat ini menjadi salah satu kekuatan ekonomi ASEAN. Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,3% dibandingkan dengan Malaysia 5,4%, Thailand 5%, Singapura 1,2%, Filipina 5,6%, dan Vietnam 5,7%. Prospek Indonesia sebagai negara dengan perekonomian nomor 16 di dunia, nomor 4 di Asia setelah China, Jepang dan India, serta terbesar di Asia Tenggara, semakin menjanjikan karena didukung oleh melimpahnya sumber daya alam dan sumber daya insani, pertumbuhan ekspor komoditas dan iklim investasi yang makin kondusif serta berkembangnya struktur, perilaku dan kinerja pasar domestik. Dengan masyarakat ekonomi ASEAN, Indonesia akan berkesempatan mengenjot pasar ke berbagai negara, di sisi lain bila tidak siap, dunia usaha dalam negeri akan tergulung diterpa produk impor. Selain itu masyarakat ekonomi ASEAN akan membuat pertukaran tenaga kerja, modal dan perdagangan berlangsung terbuka antar negara ASEAN. Dengan 38 P a g e

39 karakter seperti itu, persaingan tidak lagi semata-mata dalam konteks antar negara, tetapi juga antar daerah (region) dan bahkan antar individu. 11) Momentum gerakan desentralisasi pemerintahan Pemanfaatan momentum gerakan desentralisasi pemerintahan dan partisipasi masyarakat dapat menjadi peluang besar bagi pembangunan perkebunan apabila diarahkan untuk pengembangan sistem politik perkebunan yang digerakkan oleh/dan berorientasi pada pekebun/petani kecil. Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah yang dimulai sejak tahun 2000, telah terjadi beberapa perubahan penting yang berkaitan dengan peran pemerintah pusat dan daerah. Peran pemerintah yang sebelumnya sangat dominan, saat ini berubah menjadi fasilitator, stimulator atau promotor pembangunan pertanian/ perkebunan. Pembangunan pertanian/ perkebunan pada era otonomi daerah lebih mengandalkan kreativitas rakyat/ masyarakat pekebun di setiap daerah. Selain itu, proses perumusan kebijakan juga berubah dari pola top down dan sentralistik menjadi pola bottom up dan desentralistik. Perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan perkebunan lebih banyak dilakukan oleh pemerintah daerah. Pemerintah pusat menangani aspek-aspek pembangunan pertanian/ perkebunan yang tidak efektif dan efisien bila ditangani oleh pemerintah daerah. Pada era otonomi daerah, pengelolaan ketahanan pangan menjadi semakin kompleks dimana ketahanan pangan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah pusat bersama-sama dengan pemerintah daerah namun tidak mudah mengkoordinasikannya. Dalam pelaksanaannya saat ini, desentralisasi lebih dominan sebagai kegiatan transfer kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Euforia ini disikapi secara salah oleh beberapa daerah dengan memunculkan penguasaan birokrasi dan juga aset daerah oleh fenomena "putra daerah". Berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah telah berhasil mengatasi fenomena ini. Kedepan proses desentralisasi akan terus menguat dengan pemberian kewenangan yang semakin besar kepada pemerintah desa. Hal ini senada dengan terbitnya Undang- Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa yang mana peraturan perundangan tersebut semakin menguatkan posisi kelembagaan desa yang akan terus berkembang dan dimatangkan serta akan menjadi wadah bagi otonomi pemerintahan desa. 39 P a g e

40 Undang-undang tersebut juga mengamanatkan desa untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan desa, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul dan/ atau hak tradisional dan arah pembangunan yang akan dituju adalah memberdayakan masyarakat desa agar menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga dapat menciptakan landasan yang kuat dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Secara umum, undang-undang ini mengatur materi mengenai asas pengaturan, kedudukan dan jenis desa, penataan desa, kewenangan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa, hak dan kewajiban desa dan masyarakat desa, peraturan desa, keuangan desa dan aset desa, pembangunan desa dan pembangunan kawasan perdesaan, badan usaha milik desa, kerjasama desa, lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga adat desa, serta pembinaan dan pengawasan. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur dengan ketentuan khusus yang hanya berlaku untuk desa adat. Pada undang-undang tersebut, pengaturan desa bertujuan 1) memberikan pengakuan dan penghormatan atas Desa yang sudah ada dengan keberagamannya sebelum dan sesudah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; 2) memberikan kejelasan status dan kepastian hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia; 3) melestarikan dan memajukan adat, tradisi, dan budaya masyarakat Desa; 4) mendorong prakarsa, gerakan, dan partisipasi masyarakat Desa untuk pengembangan potensi dan Aset Desa guna kesejahteraan bersama; 5) membentuk Pemerintahan Desa yang profesional, efisien dan efektif, terbuka, serta bertanggung jawab; 6) meningkatkan pelayanan publik bagi warga masyarakat Desa guna mempercepat perwujudan kesejahteraan umum; 7) meningkatkan ketahanan sosial budaya masyarakat Desa guna mewujudkan masyarakat Desa yang mampu memelihara kesatuan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional; 8) memajukan perekonomian masyarakat Desa serta mengatasi kesenjangan pembangunan nasional; dan 9) memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan. Adapun turunan dari Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa adalah diterbitkannya 2 (dua) buah PP yaitu 1) Peraturan Pemerintah nomor 43 tahun 2014 tentang peraturan pelaksanaan UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa; dan 2) Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2014 tentang dana Desa yang bersumber dari APBN. Tetapi untuk PP nomor 60 tahun 2014 dilakukan revisi melalui Peraturan Pemerintah nomor P a g e

41 tahun 2015 tentang perubahan atas PP nomor 60 tahun 2014 tentang dana Desa yang bersumber dari APBN. Revisi PP ini karena pengaturan dana Desa pada PP nomor 60 tahun 2014 melebihi amanat UU nomor 6 tahun 2014 tentang Desa. Terkait kelembagaan desa terdapat kecenderungan dinamika dan perubahan lingkungan strategis yang menghendaki pergeseran peranan masyarakat desa secara lebih besar. Kecenderungan tersebut menuntut adanya rekonstruksi kelembagaan pemerintahan publik berdasarkan prinsip tata kelola pembangunan yang baik dengan 3 karakteristik utama yaitu kredibilitas, akuntabilitas dan transparansi. Kebijakan pembangunan dirancang secara kredibel melalui debat publik, dilaksanakan secara transparan sedangkan pejabat pelaksana bertanggung jawab penuh atas keberhasilan dari kebijakan tersebut dengan semangat akuntabilitas. Kebijakan pembangunan diharapkan akan lebih berorientasi pada kepentingan masyarakat banyak dan dapat menekan terjadinya praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Demokratisasi kebijakan pembangunan dan pencegahan KKN melalui tata kelola pembangunan yang baik sangat bermanfaat untuk meminimalkan biaya ekonomi tinggi dan distorsi pasar akibat kesalahan kebijakan. Dengan demikian, perekonomian akan lebih efisien dan pertumbuhan kegiatan bisnis sepenuhnya berdasarkan pada keunggulan kompetitif, bukan karena proteksi atau dukungan pemerintah. 12) Partisipasi masyarakat pekebun Pembangunan perkebunan pada dasarnya dilaksanakan oleh masyarakat dan dunia usaha sedangkan fungsi pemerintah lebih bersifat fasilitator, pembinaan dan pendampingan. Terwujudnya peran masyarakat, pekebun dan dunia usaha pada pembangunan perkebunan yang sinergi di semua tingkatan perlu didorong secara maksimal. Untuk itu ditempuh upaya terencana melalui konsultasi, koordinasi dan pengembangan jejaring kerja yang baik dalam suatu sistem yang terintegrasi. Peran serta masyarakat adalah suatu usaha untuk menumbuhkan semangat dan rasa memiliki terhadap berbagai kegiatan pembangunan masyarakat berdasarkan atas keterlibatannya dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pembangunan sedangkan menurut peran serta seseorang/masyarakat diartikan sebagai bentuk penyerahan sebagian peran dalam kegiatan dan tanggung jawab tertentu dari suatu pihak ke pihak lain. Faktor yang mempengaruhi peran serta adalah semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) dan mempunyai 41 P a g e

42 pengaruh terhadap program. Pengaruh disini adalah kewenangan dan kekuasaan yang dimiliki oleh stakeholder atas program berupa kekuatan untuk mengendalikan keputusan yang dibuat dan memfasilitasi pelaksanaan program. Paradigma pembangunan pada era otonomi daerah memposisikan masyarakat sebagai subjek pembangunan yang secara dinamik dan kreatif didorong untuk terlibat dalam proses pembangunan sehingga terjadi perimbangan kekuasaan (power sharing) antara pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini, kontrol dari masyarakat terhadap kebijakan dan implementasi kebijakan menjadi sangat penting untuk mengendalikan hak pemerintah untuk mengatur kehidupan masyarakat yang cenderung berpihak kepada pengusaha dengan anggapan bahwa kelompok pengusaha memiliki kontribusi yang besar dalam meningkatkan pendapatan daerah dan pendapatan nasional. Oleh karena itu perlu dilakukan re-orientasi terhadap strategi pembangunan masyarakat yang lebih mengedepankan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Kaitan partisipasi dengan pembangunan adalah sebagai berikut: 1. Keterlibatan aktif atau partisipasi masyarakat pekebun tersebut dapat berarti keterlibatan dalam proses penentuan arah, strategi dan kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah. 2. Keterlibatan dalam memikul beban dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan pembangunan perkebunan. Hal ini dapat berupa sumbangan dalam memobilisasi sumber-sumber pembiayaan dalam pembangunan perkebunan, kegiatan produktif yang serasi, pengawasan sosial atas jalannya pembangunan dan lain-lain; 3. Keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan secara berkeadilan. Bagian-bagian daerah ataupun golongan-golongan masyarakat tertentu dapat ditingkatkan keterlibatannya dalam bentuk kegiatan produktif melalui perluasan kesempatan-kesempatan kerja dan pembinaan tertentu. Dalam hal partisipasi masyarakat pekebun hendaknya perlu dilibatkan dalam tiap proses pembangunan perkebunan, yaitu: (1) identifikasi permasalahan, dimana masyarakat bersama perencana ataupun pemegang otoritas kebijakan pembangunan perkebunan dalam mengidentifikasi persoalan dalam diskusi kelompok, identifikasi peluang, potensi dan hambatan, (2) proses perencanaan, dimana masyarakat pekebun dilibatkan dalam penyusunan rencana dan strategi dengan berdasar pada hasil identifikasi, (3) pelaksanaan proyek pembangunan 42 P a g e

43 perkebunan, (4) evaluasi yaitu masyarakat dilibatkan untuk menilai hasil pembangunan perkebunan yang telah dilaksanakan, apakah pembangunan memberikan hasil guna bagi masyarakat ataukah justru masyarakat dirugikan dengan proses yang telah dilakukan, (5) mitigasi yakni kelompok masyarakat pekebun dapat terlibat dalam mengukur sekaligus mengurangi dampak negatif pembangunan perkebunan, (6) monitoring, tahap yang dilakukan agar proses pembangunan perkebunan yang dilakukan dapat berkelanjutan. Dalam tahap ini juga dimungkinkan adanya penyesuaian-penyesuaian berkaitan dengan situasi dan informasi terakhir dari program pembangunan perkebunan yang telah dilaksanakan. Pendekatan partisipatif mendorong munculnya partisipasi yang lebih besar dari masyarakat pekebun mulai dari perencanaan sampai implementasi. Selain tentunya, partisipasi juga dapat mengembangkan kemandirian, mengurangi ketergantungan serta mewujudkan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat pekebun. Salah satu teknik upaya peningkatan peran serta masyarakat pekebun dalam perencanaan pembangunan adalah Particapatory Rural Appraisal. Tujuan utama Participatory Rural Appraisal adalah menghasilkan rancangan program yang relevan dengan aspirasi dan keadaan masyarakat. Orientasi Participatory Rural Appraisal adalah untuk memfasilitasi atau meningkatkan kesadaran masyarakat dan kemampuan mereka untuk menangkap isu dan persoalan. Perhatian khusus diberikan agar masyarakat pekebun dapat melakukan analisi secara mandiri serta menyampaikan temuan-temuannya. Peran pihak luar atau peneliti hanya sebagai katalis, bukan sebagai ahli. Peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat pekebun juga ditujukan untuk membantu memberdayakan masyarakat lainnya. Secara umum, strategi yang perlu dilakukan dalam mendorong proses partisipasi menuju good government di Indonesia adalah peningkatan Kesadaran (Awareness Raising), advokasi Kebijakan (Policy Advocacy), pengembangan Institusi (Institution Building) dan pengembangan Kapasitas (Capacity Building). Menyadari bahwa potensi dan kemampuan masyarakat pekebun yang tidak merata maka perlu dirumuskan arah dan kebijakan pembangunan perkebunan dalam kerangka pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui strategi pemberdayaan dan pemihakan masyarakat pekebun menuju masyarakat pekebun yang maju, mandiri, sejahtera dan berkeadilan. Untuk mencapainya maka perlu disusun kebijaksanaan dasar yang memuat beberapa unsur penting yaitu: pertama, penerapan mekanisme pasar yang bersahabat yaitu yang sesuai dengan 43 P a g e

44 pemahaman sosial politik serta tujuan pembangunan nasional; kedua, pemberdayaan masyarakat pekebun sebagai pelaku utama ekonomi baik sebagai produsen maupun konsumen sehingga masyarakatlah yang merasakan langsung dampak pembangunan perkebunan; dan ketiga, penggunaan inovasi, ilmu pengetahuan dan teknologi maju sebagai suatu upaya transformasi sistem produksi dari perilaku tradisional ke perilaku modern yang lebih kompetitif berbasis komoditas perkebunan. Pemberdayaan masyarakat pekebun berarti meningkatkan kemampuan atau meningkatkan kemandirian masyarakat pekebun. Dalam kerangka pembangunan nasional, upaya pemberdayaan masyarakat pekebun dapat dilihat dari beberapa sisi pandang: pertama, menciptakan suasana atau iklim usaha yang memungkinkan masyarakat pekebun berkembang; kedua, meningkatkan kemampuan masyarakat pekebun dalam membangun melalui berbagai pemberian bantuan dana, pelatihan, pembangunan prasarana dan sarana baik fisik maupun sosial serta pengembangan kelembagaan di daerah; ketiga, melindungi melalui keberpihakan kepada yang lemah untuk mencegah berlangsungnya persaingan yang tidak seimbang, namun sebaliknya diupayakan menciptakan kemitraan perkebunan yang saling menguntungkan. 13) Dinamika tata kelola dan reformasi birokrasi Kebijakan reformasi birokrasi secara nasional telah tercantum dalam Undang-Undang nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional yang menyebutkan pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang-bidang lainnya. Beberapa isu dan agenda yang tengah berkembang dalam kaitan dengan reformasi birokrasi adalah (1) modernisasi manajemen kepegawaian, (2) restrukturisasi, downsizing dan rightsizing, perubahan manajemen dan organisasi, (3) rekayasa proses administrasi pemerintahan, (4) anggaran berbasis kinerja dan proses perencanaan yang partisipatif, serta (5) hubungan baru yang sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan dan pemerintahan. Kebijakan reformasi birokrasi yang digariskan pemerintah diharapkan akan menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi serta memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik 44 P a g e

45 aparatur negara. Sasaran ideal yang ingin dicapai adalah terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme, meningkatnya kualitas pelayanan publik kepada masyarakat serta meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. Secara garis besar kebijakan tatakelola pemerintahan yang dijalankan Ditjen. Perkebunan selama ini lebih menekankan pada pengembangan kapasitas institusi yang meliputi 1) pengembangan sumber daya aparatur dan kompetensinya; 2) penguatan organisasi; 3) reformasi penataan kelembagaan; 4) pemberian pelayanan yang berkualitas; 5) pengadaan dan perbaikan sarana prasarana dan lingkungan kerja; dan 6) koordinasi, pendampingan dan pembinaan pembangunan perkebunan di pusat dan daerah. Dengan prioritas tatakelola tersebut diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan transparansi penyelenggaraan organisasi dan pembangunan sub sektor perkebunan yang mengedepankan prinsip clean government dan good governance. B. Potensi Pembangunan Perkebunan secara khusus Berikut ini akan dijabarkan beberapa potensi pembangunan perkebunan yang secara khusus berkaitan dengan kondisi Direktorat Jenderal Perkebunan baik kondisi kebijakan maupun kondisi program dan regulasi dalam membangun perkebunan kedepan. 1) Tersedianya Norma, Standar, Prosedur, Kriteria, Pedoman Umum, Pedoman Teknis, Regulasi dan Kebijakan Pelaksanaan pembangunan perkebunan mempunyai landasan hukum yang kuat berupa Undang-Undang nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman dan Peraturan Perundang-undangan turunannya, Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dan Peraturan Perundang-undangan turunannya yang didukung dengan Peraturan Presiden nomor 45 tahun 2015 tentang Kementerian Pertanian. Landasan hukum tersebut merupakan salah satu potensi yang bisa digali dalam mengembangkan perkebunan secara menyeluruh dan terpadu. Selain itu terdapat peraturan perundangan lainnya tentang pengembangan kawasan, perizinan usaha perkebunan, ISPO dan terkait pembangunan perkebunan lainnya. Agar kegiatan pembangunan perkebunan lebih praktis dan mudah dilaksanakan serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku perlu didukung dengan pedoman umum/teknis dan standar biaya yang diperlukan. Pedoman umum/teknis yang tersedia seperti 45 P a g e

46 pedoman perencanaan program dan anggaran, pedoman perencanaan pengajuan usulan kegiatan pembangunan perkebunan melalui e- proposal, pembakuan statistik perkebunan dan buku saku, pelaksanaan program dan anggaran (Renja dan RKA-KL), satuan biaya pengembangan perkebunan, pedoman teknis kegiatan budidaya dan pedoman lainnya masih dapat diperluas dan berpotensi untuk lebih didayagunakan. 2) Sistem informasi manajemen dan teknis lainnya Semakin berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadikan batas antar daerah maupun antar negara semakin kecil dan jelas. Akses terhadap data dan informasi serta penyebarannya sangat mudah dilaksanakan dan cepat tersebar kepada masyarakat yang membutuhkannya. Perangkat teknologi informatika yang telah dimiliki Direktorat Jenderal Perkebunan adalah website, Sistem Informasi Manajemen Pegawai (SIMPEG), Sistem Akuntansi Instansi (SAI), Sistem Monitoring dan Evaluasi (Simonev) dan Geographic Information System (GIS) merupakan teknologi informasi. Selain informasi yang disajikan dalam bentuk softcopy/maya, informasi juga disajikan dalam bentuk hardcopy/fisik seperti buku statistik perkebunan, majalah media perkebunan, ruang display, pusat informasi perkebunan, rencana strategis dan lainnya. Teknologi informasi dan komunikasi Direktorat Jenderal Perkebunan tersebut sangat berpotensi untuk dikembangkan dalam rangka implementasi Instruksi Presiden RI (Inpres) nomor 3 tahun 2003 tentang e-government dan seiring dengan kemajuan dan perkembangan teknologi informasi. Selain informasi manajemen, pelaksanaan kegiatan pembangunan perkebunan dilaksanakan dengan prinsip sinergi antara pola top down policy dan bottom up planning melalui aplikasi e-proposal. Dengan pola ini sangat diharapkan bahwa kegiatan yang dilakukan benar-benar sesuai dengan tujuan nasional, potensi, kebutuhan dan kesiapan daerah sebagai pelaksananya. Mekanisme pengajuan usulan kegiatan dilaksanakan dalam kerangka pelaksanaan reformasi birokrasi yaitu mewajibkan K/L membangun dan mengembangkan sistem elektronik pemerintah (e-goverment) dengan rencana aksi antara lain pelaksanaan e-office, e-planning, e-budgetting, e-procurement, e-performance dan e- audit. Implementasi pelaksanaan e-planning dalam rangka mengefektifkan dan mengefisienkan pengajuan usulan kegiatan dari daerah adalah dalam bentuk e-proposal (elektronik proposal). 46 P a g e

47 Sebagai amanat dari Peraturan Presiden nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah bahwa setiap instansi pemerintah perlu menerapkan suatu rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas, alat, prosedur yang dirancang untuk tujuan penetapan atau pengukuran, pengumpulan data, pengklasifikasian, pengikhtisaran dan palaporan kinerja pada instansi pemerintah dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan kinerja instansi pemerintah. SAKIP ini memuat 1) perencanaan kinerja (Renstra, Perjanjian Kinerja dan Rencana Kinerja Tahunan); 2) pengukuran kinerja (penetapan Indikator Kinerja Program dan Indikator Kinerja Kegiatan; 3) pengelolaan data kinerja (baseline data, perbandingan realisasi kinerja tahun berjalan dengan target/ sasaran dalam Renstra); 4) pelaporan kinerja (Laporan Kinerja/LAKIN interim dan tahunan); dan 5) reviu dan evaluasi kinerja oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). 3) Tersedianya anggaran pembangunan perkebunan Bila diakumulasikan selama periode , total APBN Ditjen. Perkebunan sekitar Rp. 7,02 triliun. Anggaran tersebut digunakan untuk menjalankan program pembangunan perkebunan dengan prioritas terbesar pada pengembangan kakao (Gernas dan non Gernas) yaitu kurang lebih sebesar Rp. 2,50 triliun atau sebesar 35,66% dari total anggaran Ditjen. Perkebunan selama Anggaran terbesar lainnya adalah anggaran peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman tebu dengan target swasembada gula nasional tahun 2014 yaitu sebesar Rp. 1,75 triliun atau sebesar 24,93% dari total anggaran Ditjen. Perkebunan selama Secara garis besar, proporsi APBN Ditjen. Perkebunan tahun dalam membiayai prioritas kegiatan strategis dapat disajikan pada Gambar 1 berikut ini. 47 P a g e

48 Gambar 1. Proporsi APBN Ditjen. Perkebunan tahun untuk membiayai Prioritas Kegiatan Strategis Selain anggaran yang berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) bahwa dana perbankan dan dana masyarakat lainnya juga tersedia untuk pengembangan perkebunan. Kredit yang tersedia berupa (1) Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) untuk kelompok yang sudah bankable tetapi tidak feasible kalau dengan bunga komersial. Bunga yang dibayarkan petani hanya 7% dan sisanya disubsidi oleh pemerintah; (2) Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) untuk kelompok yang sudah bankable tetapi tidak feasible kalau dengan bunga komersial. Bunga yang dibayarkan petani hanya 7% untuk kelapa sawit dan kakao dan 6% untuk karet serta sisanya disubsidi oleh pemerintah; (3) Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk kelompok yang sudah feasible tetapi tidak bankable. Bunga yang dibayarkan petani maksimum 22% untuk kredit sampai dengan Rp. 5 juta dan maksimum 14% untuk kredit sampai dengan Rp. 500 juta. Persentase yang dijamin oleh LPS (Lembaga Penjamin Simpanan) sebesar 70% dari nilai kredit dan (4) Kredit komersial yang diberikan kepada kelompok yang sudah feasible dan bankable. Tetapi berdasarkan Surat Menteri Keuangan nomor S-5/MK.05/2015 tanggal 6 Januari 2015 perihal Pelaksanaan Kredit Program Skema Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dan Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) bahwa secara umum Kementerian Keuangan mendukung adanya program Revitalisasi 48 P a g e

49 Perkebunan, namun berdasarkan evaluasi pelaksanaannya, skema pembiayaan tersebut harus dilakukan penyempurnaan lebih lanjut sehingga penyaluran kredit KUPS dan KPEN-RP untuk sementara dihentikan per 1 Januari 2015, namun subsidi bunga atas kredit yang telah disalurkan tetap dibayarkan sampai batas waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Terkait potensi penganggaran pengembangan komoditas perkebunan khususnya komoditas kelapa sawit, pemerintah membentuk BADAN PENGELOLA DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (CPO FUND) sesuai Peraturan Menteri Keuangan nomor 113/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (CPO fund) sebagaimana amanat Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (CPO Supporting Fund). Badan tersebut menghimbun dana yang bersumber dari pelaku usaha perkebunan kelapa sawit; dana lembaga pembiayaan; dana masyarakat; dan dana lain yang sah untuk program: a. Replanting kebun sawit yang sudah tidak produktif/peremajaan. b. Pengembangan sumber daya manusia Perkebunan Kelapa Sawit. c. Penelitian dan pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit. d. Promosi Perkebunan Kelapa Sawit. e. Sarana dan prasarana Perkebunan Kelapa Sawit. f. Pangan berasal dari Kelapa Sawit. g. Hilirisasi industri Kelapa Sawit. h. Penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel. Pembiayaan perkebunan dipertegas lagi pada pasal 93 Undang-Undang nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan yang mengatur tentang pembiayaan usaha perkebunan dengan implementasi melalui Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan. Peraturan Pemerintah tersebut bertujuan untuk 1) mendukung keberlanjutan pengembangan perkebunan melalui penyediaan dana bagi pengembangan usaha perkebunan; 2) meningkatkan kapasitas sumber daya manusia perkebunan; 3) mendorong pengembangan industri hilir perkebunan; 4) meningkatkan optimasi penggunaan hasil perkebunan untuk bahan baku industri, energi terbarukan, dan ekspor; 5) meningkatkan dan menjaga stabilitas pendapatan usaha perkebunan 49 P a g e

50 dengan mengoptimalkan harga di tengah fluktuasi harga komoditas Perkebunan dunia; dan 6) mendukung upaya peningkatan kesejahteraan dan keberlanjutan pekebun/perkebunan rakyat dari dampak negatif gejolak harga komoditas dunia. Pengelolaan dana dihimpun dari pelaku usaha perkebunan, dana lembaga pembiayaan, dana masyarakat, dan/atau dana lain yang sah untuk pengembangan komoditas kelapa sawit, kelapa, karet, kopi, kakao, tebu dan tembakau dengan membentuk Badan Pengelola Dana. Badan pengelola dana bertugas melakukan perencanaan dan penganggaran; penghimpunan dana; pengelolaan dana; penyaluran penggunaan dana; penatausahaan dan pertanggungjawaban serta pengawasan. Dana Perkebunan yang dihimpun oleh Badan Pengelola Dana digunakan untuk kepentingan pengembangan sumber daya manusia perkebunan; penelitian dan pengembangan perkebunan; promosi perkebunan, peremajaan perkebunan, dan sarana dan prasarana perkebunan. Disamping itu dana dapat digunakan pula untuk kepentingan pengembangan perkebunan dan pemenuhan hasil perkebunan untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati (biofuel) dan hilirisasi industri perkebunan. Badan Pengelola Dana melakukan pengelolaan dana dari pelaku usaha perkebunan secara hati-hati dan memenuhi aspek akuntabilitas serta dapat melakukan penarikan kewajiban terhadap pungutan atas ekspor komoditas Perkebunan strategis dengan besaran dan tata caranya tertentu serta dari iuran pelaku usaha perkebunan. Dana yang bersumber dari dana lembaga pembiayaan berupa pembiayaan dari perbankan dan/atau lembaga keuangan bukan bank. Dana yang bersumber dari dana masyarakat berupa Dana yang berasal dari perseorangan, asosiasi, dan/atau lembaga masyarakat yang tidak mengikat. Dana yang bersumber dari sumber lain yang sah dapat berupa hibah, bantuan yang tidak mengikat dari pihak lainnya, dan/atau hasil pengelolaan Dana. 4) Penyediaan benih unggul bermutu Selain lahan dan air, dalam aspek budidaya ketersediaan benih unggul merupakan suatu hal yang sangat fundamental. Secara historis peran benih unggul telah dibuktikan melalui keberhasilan peningkatan produksi pada era Revolusi Hijau di tahun 1960-an. Benih merupakan salah satu input dasar dalam kegiatan produksi tanaman dan merupakan salah satu syarat untuk mewujudkan pembangunan perkebunan yang efisien dan berdaya saing tinggi. Seiring dengan semakin meningkatnya tuntutan efisiensi dan daya saing usaha perkebunan maka semakin meningkat pula kebutuhan akan benih unggul dan sarana produksi bermutu. Secara 50 P a g e

51 umum, pengetahuan tentang berbagai aspek mutu benih sangat berperan dalam perkembangan komoditi perkebunan dan akan terus memainkan peran utama dalam peningkatan produksi tanaman perkebunan di masa mendatang. Penggunaan benih yang tidak memenuhi syarat dapat menurunkan hasil produksi, hal ini ditunjukkan oleh kondisi tanaman yang buruk karena rendahnya mutu fisik, genetik, fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap serangan hama dan penyakit pada tanaman. Proses untuk mendapatkan benih unggul, bermutu dan bersertifikat membutuhkan sinergitas antara ketersediaan produksi benih dengan kebutuhan di lapangan yang dikemas dalam manajemen sistem perbenihan. Selain itu, penguatan aspek perbenihan ini perlu diikuti dengan meningkatnya kesadaran konsumen tentang produk ramah lingkungan sehingga kedepan akan membuka peluang terhadap peningkatan permintaan sarana produksi yang bermutu dan berwawasan lingkungan. Di sisi lain dengan semakin berkembangnya dunia usaha perbenihan perkebunan yang dapat menghasilkan beragam produk dengan mutu yang baik, kebutuhan akan penggunaan benih unggul dan sarana produksi bermutu, optimis dapat dipenuhi. Direktorat Jenderal Perkebunan terus berupaya memperbaiki dan memperkuat sistem perbenihan nasional agar para pekebun terhindar dari berbagai kerugian akibat penggunaan benih yang tidak unggul, tidak bermutu dan tidak bersertifikat. Upaya yang dilakukan untuk memudahkan konsumen mendapatkan benih maka telah dibangun sistem usaha perbenihan yang berbentuk kelembagaan usaha perbenihan baik berupa Usaha Pembenih Besar (UPB) maupun Usaha Pembenih Kecil (UPK) yang memproduksi benih berupa biji/kecambah/stek maupun benih siap salur, dengan demikian benih yang dihasilkan merupakan benih yang berkualitas. Sedangkan untuk menjamin kualitas sumber benih, Ditjen. Perkebunan secara operasional mempunyai 3 unit pelaksana teknis pusat (UPT Pusat) untuk mengawasi dan menguji mutu benih di seluruh Indonesia. Ketiga UPT Pusat dimaksud adalah Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Medan, Surabaya dan Ambon. Pada tahun-tahun tertentu terdapat beberapa komoditas yang mengalami kekurangan benih, namun demikian kekurangan tersebut diupayakan untuk dapat ditutupi dengan terus membangun sumber-sumber benih/ kebun sumber bahan tanaman pada tahun berikutnya berupa kebun induk, kebun entres, blok penghasil tinggi, pohon induk terpilih dan kebun 51 P a g e

52 penangkaran. Selain itu dilakukan kegiatan dalam rangka merevitalisasi perbenihan perkebunan antara lain berupa pemeliharaannya serta penguatan kelembagaan perbenihan. Secara umum, kinerja pembangunan industri perbenihan perkebunan selama periode sudah cukup baik. Hal ini ditunjukkan dengan semakin besarnya peran swasta maupun masyarakat dalam mengembangkan usaha perbenihan perkebunan, namun demikian peran pemerintah baik pusat maupun daerah masih diperlukan dalam menfasilitasi pengembangan usaha perbenihan bagi komoditas perkebunan yang kurang diminati oleh swasta. Dukungan penguatan perbenihan melalui pihak swasta juga diatur melalui Undang-Undang nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal dimana pemerintah memberikan fasilitas kepada penanam modal asing yang berbentuk perseroan terbatas untuk memperoleh kemudahan pelayanan dan/atau perizinan berupa 1) hak atas tanah, 2) fasilitas pelayanan keimigrasian dan 3) fasilitas perizinan impor. Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas perizinan impor tersebut, salah satunya dapat diberikan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal/bahan baku untuk kebutuhan produksi sendiri serta mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri. 5) Dukungan rakitan teknologi spesifik komoditas perkebunan Pada dasarnya keberhasilan atau kegagalan inovasi teknologi tergantung kepada beberapa aspek antara lain dukungan permodalan/anggaran, SDI, SDA, kelembagaan dan pengaruh iklim. Sejauh ini, Ditjen. Perkebunan melakukan berbagai upaya pendekatan teknologi didalam setiap kegiatan pembangunan perkebunan. Sesuai pendekatan yang ditempuh, untuk melakukan perubahan tradisi yang sudah bertahuntahun dilaksanakan petani, pada tahap awal dilakukan rintisan sebagai percontohan/ model, yang pada waktunya diharapkan dapat dilakukan petani secara swadaya. Perkembangannya adalah bahwa konsep perubahan sudah semakin dipahami dan upaya meniru sudah mulai ada walaupun secara umum perkembangannya masih harus dioptimalkan. Sistem teknologi budidaya tanaman tahunan mulai dalam tahap rintisan di beberapa daerah termasuk komitmen Ditjen. Perkebunan dalam mendukung terbitnya Peraturan Menteri Pertanian nomor: 105/Permentan/PD.300/8/2014 tentang Integrasi Usaha Perkebunan Kelapa Sawit dengan Usaha Budidaya Sapi Potong. 52 P a g e

53 Selain itu, tersedianya berbagai rakitan teknologi terutama untuk mendukung peningkatan kuantitas dan kualitas hasil serta beberapa varietas benih unggul yang telah dilepas yang sesuai dengan masingmasing lokasi penanaman merupakan salah satu peluang yang dimanfaatkan untuk memfasilitasi pelaksanaan pembangunan perkebunan seperti ketersediaan teknologi budidaya, teknologi panen, pascapanen, pengolahan dan lembaga penyediaan teknologi dalam meningkatkan produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan yang ramah lingkungan. Selain itu didukung oleh hasil-hasil analisis dan kajian inovasi logistik dan distribusi sarana produksi. Hal lain mengenai terapan teknologi yang menjadi acuan pengembangan perkebunan adalah terkait langsung dengan fungsi komoditi perkebunan itu sendiri yaitu sebagai bahan baku industri dan ekspor. Melalui terapan teknologi maka harga jual produk perkebunan pada tingkat petani dapat bersaing walaupun terjadi fluktuasi harga di pasar internasional. Kedepan, perlunya penciptaan teknologi agribisnis perkebunan terkait langsung dengan tantangan global yaitu krisis pangan, krisis energi dan perubahan iklim, akibat pemanasan global yang mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat di dunia. Sebagai bagian pemecahan masalah pembangunan perkebunan dan dalam rangka menuju perkebunan masa depan maka inovasi paket teknologi yang diperlukan tidak sebatas peningkatan produktivitas saja, namun harus ada perubahan terapan teknologi yang substansial. Upayaupaya terapan teknologi yang selama ini telah di capai oleh Ditjen. Perkebunan dalam mendukung tercapainya target kegiatan pembangunan perkebunan diantaranya: a. Inovasi teknologi perbenihan tanaman perkebunan melalui integrasi pengembangan sumber benih dan teknologinya dengan wilayah pengembangan komoditas perkebunan disertai pengembangan sumber daya insani (SDI) perbenihan dan sarana produksi serta adanya dukungan dari pusat penelitian perbenihan dan perguruan tinggi dalam inovasi perbenihan. b. Inovasi teknologi penanganan pascapanen tanaman perkebunan yaitu melalui bimbingan pelatihan kepada petani tentang teknologi dan sarana pascapanen untuk mengatasi permasalahan keterbatasan teknologi pascapanen; sosialisasi penerapan Good Handling Practises (GHP) dengan baik dan benar sehingga pekebun akan lebih memiliki struktur yang jelas tentang teknologi pascapanen dalam budidaya perkebunan; dan memberikan bantuan peralatan 53 P a g e

54 pascapanen, bantuan modal kerja kepada Gapoktan dan menyiapkan pedoman GHP. c. Inovasi teknologi pengendalian OPT tanaman perkebunan melalui 1) alokasi anggaran untuk pengendalian OPT didaerah yang rentan terserang; 2) pemberdayaan perangkat untuk laboratorium lapangan, laboratorium utama pengendali hayati, sub laboratorium hayati dan brigade proteksi tanaman; 3) pemberdayaan petani melalui SLPHT dan petugas pengamat OPT; 4) bekerjasama dengan balai proteksi/ balai penelitian OPT dalam menciptakan alat atau sarana pengendalian OPT, selain itu bagaimana menciptakan varietasvarietas tanaman perkebunan yang tahan terhadap jenis OPT tertentu; 5) kegiatan gerakan massal penanganan OPT dan penerapan GHP yang baik melalui sosialisasi dan bimbingan teknis pengendalian OPT; 6) penggunaan parasitoid tetrastichus brontispae untuk mengendalikan hama kumbang bibit kelapa; 7) penggunaan parasitoid telur leefmansia bicolor untuk mengendalikan hama belalang padang pada tanaman kelapa; 8) Feromon untuk pengendalian hama kopi (Hypothenemus Hampei), penggerek buah kopi (Conopomorpha Cramerella), kumbang sagu/nyiur (Oryctes Rhinoceros/Rynchoporus Ferrugineus), penggerek batang/pucuk tebu. d. Inovasi teknologi antisipasi dampak perubahan iklim dan kebakaran lahan/kebun yang dilakukan melalui: 1) sosialisasi informasi dalam antisipasi perubahan iklim terkait usaha tani perkebunan; 2) bantuan peralatan dalam rangka kegiatan antisipasi dampak perubahan iklim dan kebakaran lahan/kebun; 3) pemberdayaan perangkat terkait brigade kebakaran; 4) pelaksanaan kegiatan sosialisasi PLTB (Pembukaan Lahan Tanpa Bakar), pemantauan kebakaran dan koordinasi pencegahan kebakaran; 5) pengembangan model perkebunan rendah emisi karbon pada perkebunan kopi rakyat; dan 6) pemberdayaan masyarakatnya. e. Inovasi teknologi alat dan mesin-mesin pertanian dengan mendorong peran swasta dan BUMN terkait anggaran dan juga peran Badan Litbang Pertanian, Balai Penelitian dan Perguruan Tinggi untuk menciptakan teknologi alsintan yang tepat guna dan dapat diadopsi mudah oleh petani/pekebun serta efektifitas dan keterjangkauannya dapat membantu petani/pekebun meningkatkan produktivitas tanaman perkebunan. f. Fasilitasi pengawasan dan pengujian mutu benih tanaman perkebunan dan teknologi proteksi tanaman perkebunan melalui 54 P a g e

55 peran BBP2TP (Balai Pengujian, Pengawasan Mutu Benih dan Penerapan Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan) yang berada di Medan, Surabaya dan Ambon serta BPTP (Balai Proteksi Tanaman Perkebunan) di Pontianak. g. Inovasi teknologi budidaya terapan yang baik yang dihasilkan oleh lembaga penyedia teknologi maupun individu praktisi perkebunan telah tersedia untuk dimanfaatkan dalam meningkatkan produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan antara lain teknologi somatic embryogenesis/kultur jaringan, sambung samping, sambung pucuk, pengendalian OPT dengan sistem PHT (Pengendalian Hama Terpadu), pengolahan limbah kebun sebagai pupuk organik dan teknologi budidaya yang adaptif terhadap perubahan iklim. Selain berperan meningkatkan produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan, teknologi terapan tersebut juga bersifat ramah lingkungan. Disamping teknologi budidaya terapan, teknologi pemuliaan tanaman juga telah dihasilkan antara lain melalui rekayasa genetika dalam rangka mendukung pengadaan varietas unggul guna menciptakan komoditas perkebunan berdaya saing tinggi. h. Integrated Farming System melalui pelaksanaan inovasi teknologi yang berbasis sistem pertanian terintegrasi baik dengan ternak maupun dengan tanaman pangan/ perkebunan lainnya dan integrasi dengan cabang-cabang usaha tani lainnya seperti perikanan, dan lain-lain serta mengedepankan tipe sumber daya lahan (beriklim basah, beriklim kering dan lain-lain). Sistem pertanian yang diharapkan bukan sebatas diversifikasi, namun integrated farming system. i. Teknologi pertanian masa depan melalui pengembangan sistem pertanian skala kecil, berkelanjutan dan ramah lingkungan, produktivitas usaha pertanian tinggi, bukan merupakan usaha monokultur tetapi merupakan sistem usaha pertanian aneka/diversifikasi, lentur terhadap ancaman perubahan iklim (adaptasi dan mitigasi) serta fleksibel terhadap kearifan lokal. 6) Tersedianya unit kelembagaan pelaksana teknis perkebunan Tersedianya unit kelembagaan pelaksana teknis perkebunan di seluruh Indonesia membuktikan bahwa dalam bidang penelitian, inovasi dan teknologi, Indonesia memiliki peluang untuk berkembang. Dalam rangka memfasilitasi terlaksananya pengawasan dan pengujian mutu benih, penerapan teknologi proteksi tanaman dan memberikan dukungan pelayanan organisasi yang berkualitas sebagai rujukan daerah telah 55 P a g e

56 dibentuk 4 unit pelayanan teknis (UPT) pusat yang meliputi Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Medan, Surabaya dan Ambon serta Balai Proteksi Tanaman Perkebunan (BPTP) Pontianak. Dukungan pengujian, pengawasan mutu benih dan penerapan teknologi proteksi tanaman perkebunan BBP2TP dimaksudkan untuk memfasilitasi terlaksananya pengawasan dan pengujian mutu benih, penerapan teknologi proteksi tanaman dan memberikan dukungan pelayanan organisasi yang berkualitas sebagai rujukan UPTD. Untuk bidang Proteksi Tanaman Perkebunan Pontianak (BPTP Pontianak) memiliki tugas dalam melaksanakan analisis teknis dan pengembangan proteksi tanaman perkebunan dalam identifikasi dan penanganan OPT Tanaman Perkebunan, pengembangan teknologi agens hayati OPT Perkebunan, eksplorasi dan inventarisasi musuh alami OPT Perkebunan, pengembangan teknologi proteksi perkebunan yang berorientasi pada implementasi pengendalian hama terpadu, pemanfaatan pestisida nabati serta pengelolaan data, informasi dan analisis teknis dalam bidang proteksi tanaman perkebunan. Kedepan, agar pelayanan teknis kepada masyarakat lebih optimal dengan sebaran yang semakin luas maka jumlah dan fungsi UPT sangat berpotensi untuk ditingkatkan dan penyesuaian wilayah binaannya. Tersedianya sarana pendidikan yang kompeten untuk meningkatkan kapasitas sumber daya insani perkebunan sebagai institusi penelitian tanaman perkebunan seperti Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (Puslitbangbun) yang terdiri dari Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas), Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri (Balittri), Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro), Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (Balitka) juga terdapat PT. Riset Perkebunan Nusantara (PT. RPN) yang terdiri dari Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), Pusat Penelitian Karet (PPK), Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK), Puslitkoka (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia) dan unit-unit riset dan pengembangan teknologi pada perusahaan industri berbasis tanaman perkebunan serta sejumlah tenaga peneliti yang sudah berpengalaman merupakan potensi yang dapat ditingkatkan lagi kontribusinya dalam rangka menunjang pembangunan perkebunan. Teknologi budidaya terapan baik yang dihasilkan oleh lembaga penyedia teknologi maupun individu praktisi perkebunan telah tersedia untuk dimanfaatkan dalam meningkatkan produksi, produktivitas dan mutu 56 P a g e

57 tanaman perkebunan antara lain teknologi somatic embryogenesis/kultur jaringan, sambung samping, sambung pucuk, pengendalian OPT dengan sistem PHT (Pengendalian Hama Terpadu), pengolahan limbah kebun sebagai pupuk organik dan teknologi budidaya yang adaptif terhadap perubahan iklim. Selain berperan meningkatkan produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan, teknologi terapan tersebut juga bersifat ramah lingkungan. Disamping teknologi budidaya terapan, teknologi pemuliaan tanaman juga telah dihasilkan antara lain melalui rekayasa genetika dalam rangka mendukung pengadaan varietas unggul guna menciptakan komoditas perkebunan berdaya saing tinggi Tantangan Pembangunan Perkebunan Mencermati isu-isu strategis sebagaimana diungkapkan dalam Rancangan Teknokratik RPJMN yang meliputi bidang ekonomi, sumber daya alam dan lingkungan hidup, kesejahteraan rakyat, kewilayahan dan kedaerahan serta bidang politik, hukum, pertahanan dan keamanan, maka tantangan kedepan yang akan dihadapi dalam membangun perkebunan secara garis besar dikelompokkan menjadi 1) tantangan pembangunan perkebunan dalam ruang lingkup global; 2) tantangan pembangunan perkebunan dalam ruang lingkup sektor pertanian dan 3) tantangan pembangunan perkebunan dalam ruang lingkup sub sektor perkebunan. A. Tantangan Pembangunan Perkebunan dalam Ruang Lingkup Global Berikut ini dapat diklasifikasikan tantangan yang akan dihadapi pembangunan perkebunan kedepan dalam ruang lingkup global terutama berkaitan dengan liberalisasi pasar global. 1. Liberalisasi perdagangan global (implikasi pertemuan WTO, APEC, G20 dan kerjasama bilateral/multilateral/regional lainnya) Tantangan yang perlu diperhatikan dalam pembangunan perkebunan kedepan adalah yang terkait hasil pertemuan WTO-Konferensi Tingkat Menteri ke-9 pada bulan Desember 2013 di Bali yaitu munculnya kesepakatan paket pertanian (proteksi dan subsidi), LDCs (Least Developed Countries/fasilitasi perdagangan bagi negara miskin) dan fasilitasi perdagangan (kapasitas pelayanan, finance dan transfer teknologi). Di bidang keamanan pangan (food security), terdapat pertentangan dari kelompok negara maju dan kelompok grup negara berkembang tentang bagaimana mengatasi hambatan-hambatan 57 P a g e

58 perdagangan bebas di sektor pertanian dan ketahanan pangan seperti penentuan tarif impor dan subsidi ekspor. Sektor pertanian dan ketahanan pangan ini selalu menjadi isu yang paling alot dibicarakan di WTO. Sebagian pihak ingin penghapusan hambatan di sektor itu harus diberlakukan secara merata, namun sebagian lagi ingin pemberlakuan secara proporsional sehingga memenuhi rasa keadilan. Ini yang selalu menjadi pertentangan antara kelompok negara maju dan negara berkembang di WTO. Kesepakatan utama lainnya meliputi penyederhanaan prosedur kepabeanan yang menghambat perdagangan dan fasilitasi perdagangan untuk mempermudah akses ekspor negaranegara miskin ke pasar negara maju. Kesepakatan tentang keamanan pangan memberikan jeda kepada negara berkembang menggelontorkan subsidi pangan melebihi 10% dari output sesuai ketentuan WTO dimana pelonggaran tersebut berlaku untuk 4 tahun. Dengan pelonggaran ini, pemerintah negara berkembang boleh membeli produk pangan dari petani di atas harga pasar dan menjualnya dengan harga terjangkau untuk melindungi penduduk miskin. Selain itu, hasil pertemuan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC Economic Leaders Meeting pada bulan November 2014 di Beijing, Tiongkok, juga menjadi tantangan tersendiri bagi pembangunan pertanian khususnya sub sektor perkebunan di Indonesia. Hasil KTT APEC tersebut antara lain 1) pemberlakuan perjanjian fasilitas perdagangan hasil WTO Bali, sekaligus untuk menghilangkan sifat proteksi dan segala hambatan perdagangan; 2) upaya memberlakukan perjanjian perdagangan bebas pada tingkat bilateral, regional dan plurilateral sebagai pelengkap inisiasi liberalisasi tingkat global; 3) upaya realisasi area perdagangan bebas tingkat Asia Pasifik (Free Trade Area of the Asia-Pasific-FTAAP); 4) merancang konektivitas rantai pasok untuk melancarkan perdagangan bebas, dan 5) standarisasi keamanan pangan dan mengurangi kehilangan kualitas dan kuantitas pangan (food loss) dalam rantai nilai (value chain). Pada pertemuan KTT G20 (G20 Leaders Summit), bulan November 2014 di Brisbane, Australia, terdapat 3 topik utama pembahasan yang akan mewarnai pembangunan perkebunan kedepan, yaitu 1) penguatan sektor swasta untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi global dengan tekanan pada pembukaan lapangan kerja dan perdagangan terbuka, 2) memperkuat posisi ekonomi dunia terhadap tantangan pada masa depan dan 3) bagaimana menopang institusi global. 58 P a g e

59 2. Kondisi perekonomian global yang menimbulkan gejolak harga dunia (implikasi negatif era pasar bebas ASEAN/AEC 2015) Kondisi global semakin meningkatkan persaingan di pasar domestik dan dunia akan mendorong bangkitnya kesadaran regionalisasi dan integrasi ekonomi. Salah satu contoh regionalisasi dan integrasi adalah terbentuknya Komunitas ASEAN yang memiliki 3 pilar utama, yaitu: ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community and ASEAN Socio-Cultural Community. Terbentuknya AEC (Asean Economic Community) mengukuhkan terbentuknya pasar tunggal ASEAN. Manfaat dari peluang dan tantangan adanya AEC sejatinya akan diperoleh secara optimal apabila syarat dasar proses integrasi ekonomi dapat tercapai sehingga butuh kesiapan sub sektor perkebunan menghadapi AEC 2015 atau MEA (Masyarakat Ekonomi Asean). Jika sub sektor perkebunan tidak memiliki kesiapan tersebut maka akan berimplikasi negatif terhadap pembangunan perkebunan. Pelaksanaan MEA 2015 memberikan konsekuensi bagi Indonesia terhadap tingkat persaingan yang semakin terbuka dan tajam, terutama dalam perdagangan barang dan jasa di kawasan ASEAN. Pelaksanaan MEA 2015 telah didahului dengan penerapan ASEAN Free Trade Area (AFTA) pada tahun 1992 yang implementasinya secara bertahap sejak 1 Januari 1993 sampai dengan tahun Tujuan akhir MEA 2015 adalah untuk menjadikan ASEAN sebagai kawasan dengan arus barang, jasa, investasi, pekerja terampil dan arus modal yang lebih bebas, mempunyai daya saing tinggi, dengan tingkat pembangunan ekonomi yang merata, serta terintegrasi dalam ekonomi global. Dengan semakin terbukanya pasar ASEAN bagi para negara anggotanya, tingkat persaingan pun akan semakin tinggi. Terdapat 4 hal yang harus diantisipasi dalam ASEAN Economic Community bagi Indonesia antara lain: a. Implementasi AEC berpotensi menjadikan Indonesia sekedar pemasok energi dan bahan baku bagi industrialisasi di kawasan ASEAN sehingga manfaat yang diperoleh dari kekayaan sumber daya alam kurang optimal. b. Melebarnya defisit perdagangan jasa seiring peningkatan perdagangan barang dan hal ini akan terjadi fluktuasi harga komoditas/produk dalam negeri. c. Implementasi AEC juga akan membebaskan aliran tenaga kerja ke Indonesia sehingga harus mengantisipasi dengan menyiapkan strategi yang tepat karena potensi membanjirnya Tenaga Kerja Asing 59 P a g e

60 (TKA) akan berdampak pada naiknya remitansi TKA yang saat ini pertumbuhannya lebih tinggi daripada remitansi TKI. Akibatnya, ada beban tambahan yaitu dalam menjaga neraca transaksi berjalan dan mengatasi masalah pengangguran. d. Implementasi AEC akan mendorong masuknya investasi ke Indonesia dari dalam dan luar ASEAN. 3. Tuntutan terhadap atribut mutu/kualitas produk (implikasi dari tuntutan daya saing komoditas) Era perdagangan bebas baik secara global maupun dalam skema AEC tahun 2015 akan menuntut persaingan harga dan persaingan kualitas produk/barang. Pada kenyataannya, hasil perkebunan di Indonesia kerapkali kurang mampu bersaing di pasar internasional karena mutu hasil rendah yang disebabkan produk/ komoditas tidak sesuai dengan standar teknis yang dipersyaratkan, adanya kerusakan produk karena penyimpanan dan pengiriman, terkontaminasi dengan kotoran dan benda-benda asing serta proses panen dan pasca panen kurang sempurna (contoh proses pengeringan, dan lain-lain). Kenyataan ini menunjukkan bahwa budidaya tanaman dan penanganan pascapanen produk perkebunan belum dilakukan dengan optimal. Atribut mutu yang menjadi instrumen dalam peningkatan kualitas produk/komoditas pada perdagangan bebas antara lain: a. Atribut keamanan pangan (bebas dari bahan baku yang dapat menganggu kesehatan). b. Atribut halal (bebas dari bahan yang diharamkan untuk dikonsumsi menurut syariat islam). c. Atribut ramah lingkungan (bebas dari produk/komoditas yang selama proses budidaya tanaman sampai dengan pascapanen menggunakan bahan dan sarana produksi yang ramah lingkungan). d. Atribut fisik (bebas dari cacat fisik, kerusakan produk, kontaminasi kotoran dan sesuai standar teknis kualitas fisik). e. Atribut kimia (bebas dari bahan-bahan yang secara kimia mempengaruhi kualitas produk). f. Atribut nutrisi kesehatan (adanya kandungan bahan tertentu yang dibutuhkan untuk kesehatan, daya tahan, metabolisme dan pertumbuhan). g. Atribut mikrobiologi (bebas dari kandungan mikrobiologi tertentu yang mempengaruhi kualitas pangan). 60 P a g e

61 h. Atribut sensoris (berhubungan dengan ukuran, penampakan, rasa dan aroma yang disukai konsumen). i. Atribut budaya (bebas dari bahan-bahan yang secara budaya masyarakat tertentu dilarang untuk dikonsumsi). 4. Perubahan iklim akibat pemanasan global (implikasi terhadap munculnya bencana alam dan peningkatan serangan OPT) Perubahan iklim, El Nino, La Nina dan emisi GRK (Gas Rumah Kaca). Perubahan iklim akibat pemanasan global dihubungkan dengan peningkatan emisi dan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) sehingga terjadi perubahan pola curah hujan, perubahan suhu udara dan diikuti dengan naiknya tinggi permukaan air laut akibat pemuaian dan pencairan es di wilayah kutub. Efek rumah kaca (green house effect) disebabkan naiknya konsentrasi gas CO 2 dan gas-gas lain yang ada di atmosfer (belerang oksida, nitrogen monoksida, nitrogen dioksida, gas metana, klorofluorokarbon/ CFC, dll) yang timbul karena kenaikan pembakaran bahan bakar minyak, batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan, pohon dan laut untuk menyerapnya sehingga energi yang timbul akan dipantulkan kembali dalam bentuk radiasi inframerah oleh awan dan permukaan bumi, tetapi sebagian besar inframerah yang dipancarkan bumi tertahan oleh gas CO2 dan gas lain untuk dikembalikan ke permukaan bumi yang berbentuk seperti atap rumah kaca yang mengkilat. Naiknya tinggi permukaan air laut akan meningkatkan energi yang tersimpan dalam atmosfer sehingga mendorong terjadinya perubahan iklim, antara lain El Nino dan La Nina. Fenomena El Nino dan La Nina sangat berpengaruh terhadap kondisi cuaca/iklim di wilayah Indonesia dengan geografis kepulauan. El Nino adalah gejala gangguan iklim yang disebabkan oleh naiknya suhu permukaan laut Samudera Pasifik sekitar khatulistiwa bagian tengah dan timur yang mengakibatkan pola angin dan curah hujan yang ada diatasnya, sedangkan La Nina adalah gejala gangguan iklim yang diakibatkan suhu permukaan laut Samudera Pasifik dibandingkan dengan daerah sekitarnya sehingga mengakibatkan hujan turun lebih banyak di Samudera Pasifik sebelah barat Australia dan Indonesia. Dampak El Nino berhubungan dengan fenomena alam yang mengakibatkan kekeringan (musim kemarau yang panjang), peningkatan frekuensi dan luas kebakaran hutan serta penurunan ketersediaan air sedangkan La Nina yang banyak dirasakan antara lain fenomena alam 61 P a g e

62 yang mengakibatkan banjir pada sebagian wilayah yang berdataran rendah. Tetapi kedua fenomena tersebut berpengaruh terhadap penurunan produktivitas pertanian/ perkebunan yang mengakibatkan gagal panen. Dampak lanjutan dari perubahan iklim adalah perubahan keanekaragaman hayati, eksplosi hama dan penyakit tanaman dan hewan. Di tingkat lapangan, kemampuan para petugas lapangan dan petani dalam memahami data dan informasi prakiraan iklim masih sangat terbatas sehingga kurang mampu menentukan awal musim tanam serta melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim yang terjadi. Perubahan iklim dan pengaruh indeks pertanaman (IP). Tinggi dan rendahnya intensitas musim hujan akan berpengaruh terhadap upaya meningkatkan indeks pertanaman (IP) apabila tidak tersedia varietas yang berumur lebih pendek dan tanpa rehabilitasi jaringan irigasi. Perubahan iklim dan serangan OPT yang eksplosif. Perubahan iklim dapat juga dilihat terhadap munculnya OPT yang populasinya sulit diproyeksi dan tanaman perkebunan rentan terhadap serangan OPT tersebut. Hal ini karena perubahan iklim mengganggu keseimbangan antara populasi serangga hama, musuh alaminya dan tanaman inangnya. Meski demikian, secara umum pengaruh perubahan iklim dapat dilihat dari tanaman yang mengalami tekanan/ stress. Dampak lainnya adalah serangga hama dan mikroba termofilik lebih diuntungkan dengan makin panjangnya musim panas/kemarau dan meningkatnya temperatur. Di sisi lain, organisme yang saat ini bukan sebagai OPT, suatu saat dapat menjadi OPT yang bisa berekspansi ke wilayah lain. Perubahan iklim dan bencana alam. Secara umum dapat disimpulkan bahwa perubahan iklim akan terjadi bencana alam. Indonesia termasuk wilayah dengan frekuensi bencana alam sangat tinggi dan sering disebut sebagai wilayah rawan bencana. Sejumlah bencana alam kerap terjadi yang meliputi erupsi gunung berapi, gempa bumi, tsunami, banjir, kekeringan, angin kencang dan macam bencana alam lainnya. Semua bencana alam tersebut berpotensi mengganggu aktivitas perekonomian nasional mulai proses produksi, jalur distribusi, rehabilitasi ekonomi, masa panen dan pasca panen, mengakibatkan rusaknya infrastruktur pertanian yang meliputi bangunan bendung, dam, jaringan irigasi, jalan usaha tani/ jalan produksi, kerusakan tanaman dan ternak, hingga penurunan produktivitas dan produksi pertanian/ perkebunan dan akibat bencana lainnya adalah menimbulkan trauma bagi masyarakat korban bencana. Oleh karena itu, kemampuan untuk antisipasi bencana alam, 62 P a g e

63 penanganan korban bencana, serta kemampuan rehabilitasi ekonomi pasca bencana menjadi penting. Perubahan iklim dan bergesernya pola atau kalender tanam. Dari sisi budidaya tanaman perkebunan, perubahan iklim akan lebih banyak berpengaruh terhadap terjadinya penurunan produksi, produktivitas dan berubahnya agro-ecosystem mikro. Disisi lain, naiknya suhu permukaan bumi dan pergeseran pola curah hujan menyebabkan terjadinya pergeseran pola musim yang berdampak pada perubahan pola dan kalender tanam. Cuaca yang tidak menentu sering mengakibatkan petani/ pekebun sulit memperkirakan waktu untuk mengolah lahan dan memanen. Akibat perubahan iklim, tidak kurang dari 50% wilayah pertanian/ perkebunan di Indonesia menghadapi musim hujan yang cenderung mundur dan musim kemarau yang cenderung maju dan lebih panjang sehingga musim tanam menjadi pendek. Kondisi ini akan sangat berdampak buruk terhadap intensitas tanam jika tidak ada terobosan inovasi dan teknologi yang mampu memecahkan masalah tersebut. Disisi lain teknologi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim bagi sub sektor perkebunan belum begitu berkembang dan juga kurang tersosialisasinya informasi dalam antisipasi perubahan iklim terkait usaha tani perkebunan. Hal yang perlu diperhatikan bahwa kerentanan suatu daerah terhadap perubahan iklim atau tingkat ketahanan dan kemampuan beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim, bergantung pada struktur sosialekonomi, besarnya dampak yang timbul, infrastruktur dan teknologi yang tersedia. Perubahan iklim dan penegasan komitmen internasional. Tantangan penyelenggaraan perkebunan kedepan adalah terkait kewajiban Indonesia dalam menyepakati komitmen internasional dalam hal perubahan iklim. KTT Perubahan Iklim atau COP 21 UNFCCC United Nations Framework Convention on Climate Change yang digelar selama 13 hari di Le Bourget, Paris, 30 November--12 Desember akhirnya pada tanggal 12 Desember 2015 mencapai kesepakatan yang disebut dengan paris agreement. Sekitar 195 perwakilan negara menyepakati teks rancangan hasil pembahasan Comitte Paris. Hasil COP21 juga disebut-sebut sebagai langkah awal bagi upaya konversi energi dari bahan bakar fosil. Sedari awal, sesi-sesi perundingan memang berlangsung sangat berat. Forum bahkan nyaris belum mencapai titik temu mengenai definisi negara maju dan berkembang yang akan menjadi dasar dalam pembagian 63 P a g e

64 tanggung jawab mencegah pemanasan global serta menekan emisi karbon. Itu mengapa, meski soal klausul sokongan dana US$ 100 miliar yang sempat hilang dalam rancangan muncul lagi. Namun tak disebutkan, siapa yang harus menanggungnya, juga kapan akan dimulai. Negoisasi berlangsung soal mekanisme pendanaan perubahan iklim. juga berkaitan dengan batasan suhu perubahan iklim. Hasilnya, para pihak mencapai titik kompromi dan menetapkan kenaikan batas suhu di bawah 2 derajat sampai 1,5 derajat Celcius. Hasil kesepakatan atas negosiasi yang dimulai sejak 30 November 2015 ini akan diumumkan langsung oleh pemimpin Prancis hari ini. Dari catatan Tempo, ada sejumlah komitmen dan negoisasi yang telah dirilis sekretariat dan mengambang. Misalnya pengumpulan mobilisasi sumber pendanaan baru dimulai pada 2020 serta mengalir melalui mekanisme keuangan konvensi. Kesepakatan COP21 Paris ini, masih berdasarkan randangan terakhir bakal di tandatangani secara terbuka di New York, Amerika Serikat, dalam rentang waktu 22 April 2016 hingga 21 April Berikut poin-poin penting hasil kesepakatan COP21 UNFCCC: 1. Menyepakati batas kenaikam suhu rata-rata global di bawah dua derajat Celcius untuk pra industri dan berupaya menekannya hingga suhu 1,5 derajat Celcius. Ini dianggap signifikan mengurangi risiko dampak perubahan iklim. 2. Para pihak yang terlibat dalam menekan emisi gas rumah kaca dilakukan secepat mungkin dengan cara mengembangkan tenologi dan menyerap karbon. 3. Isi penting dalam poin kedua juga harus mendung upaya pembangunan berkelanjutan dan pemberantasan kemiskinan. 64 P a g e

65 4. Sebelum pertemuan COP selanjutnya pada 2025 secara kolektif bakal menetapkan pendanaan 100 miliar dolar AS pertahun untuk menekan perubahan iklim. Pertama, perlu dilakukan upaya mitigasi dengan mengurangi emisi karbon dengan cepat, untuk menjaga ambang batas kenaikan suhu bumi di bawah 2 derajat celcius (2C) dan berupaya menekan hingga 1,5 C. Kedua, sistem penghitungan karbon dan pengurangan emisi harus dilakukan secara transparan. Ketiga, upaya adaptasi harus dilakukan dengan memperkuat kemampuan-kemampuan negara-negara di dunia untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Keempat, memperkuat upaya pemulihan akibat perubahan iklim, dari kerusakan. Kelima bantuan, termasuk pendanaan bagi negara-negara untuk membangun ekonomi hijau dan berkelanjutan. Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa 2015, disebut juga dengan COP 21 atau CMP 21, telah diadakan di Paris sejak 30 November sampai 12 Desember Konferensi ini merupakan konferensi tahunan ke 21 anggota UNFCCC sejak UNFCCC berdiri pada tahun 1992, dan konferensi ke 11 sejak Konferensi Protokol Kyoto 1997.[1] Konferensi ini menghasilkan Persetujuan Paris yang diadopsi secara aklamasi oleh negara anggota.[2] Persetujuan ini akan mengikat secara hukum jika setidaknya 55 negara yang mewakili 55 persen emisi gas rumah kaca global tahunan meratifikasi Persetujuan Paris atau mendaftarkan diri di New York dari 22 April 2016 hingga 21 April 2017.[3][4][5] Diharapkan persetujuan ini dapat berlaku efektif 2020.[6] Harapan utama dari COP21 adalah membatasi pemanasan global hingga 65 P a g e

66 maksimum 2 derajat Celcius hingga tahun 2100[3][7] meskipun dalam piagam persetujuan Paris tertulis target utamanya adalah maksimum 1.5 derajat Celcius.[2] Berdasarkan analisis pakar, target 1.5 derajat Celcius dapat dicapai jika antara tahun 2030 hingga 2050 tidak ada emisi gas rumah kaca.[2] Sebelum konferensi dimulai, 146 negara anggota mempresentasikan draf negara masing-masing mengenai kontribusi mereka terhadap iklim. Dari berbagai presentasi, sempat diperkirakan bahwa pembatasan pemanasan global hanya bisa mencapai maksimum 2.7 derajat Celcius pada tahun 2100.[8] Salah satu indikator pesimisme terbesar adalah komitmen Uni Eropa yang hanya menargetkan penurunan emisi hingga 40 persen pada tahun 2030 terhadap emisi 1990.[9] residen Joko Jokowi Widodo memimpin langsung delegasi Indonesia di Konferensi Perubahan Iklim, atau Conference of Parties (COP) 21, di Paris, Perancis, yang dimulai hari ini, Senin, 30 November. Dalam kesempatan ini, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon 29 persen, demi mencapai tujuan bersama, yakni menghentikan suhu pemanasan bumi agar tidak melebihi 2 derajat Celsius. Berikut 4 hal yang perlu kamu ketahui tentang delegasi Indonesia di COP 21: Tugas delegasi Indonesia Memperjuangkan kepentingan negara untuk menjalankan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim (climate resilience). Caranya adalah dengan mengurangi secara signifikan tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim dan kemiskinan. Intended Nationally Determined Contribution (INDC) adalah agenda yang diperjuangkan. 66 P a g e

67 Tugas dilakukan melalui jalur negosiasi, jalur penjangkauan (outreach), dan kampanye (campaign). Indonesia juga memanfaatkan COP 21 di Paris untuk menginformasikan kepada komunitas internasional mengenai program Nawa Cita pemerintahan Jokowi. 5. Dukungan terhadap optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup (implikasi terhadap pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan) Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Akan tetapi, lingkungan hidup di Indonesia mengalami tekanan hebat akibat kegiatan-kegiatan manusia seperti eksploitasi sumber daya alam yang tidak terkontrol dan tidak ramah lingkungan sehingga diperlukan upaya pemanfaatan sumber daya perkebunan secara optimal sesuai dengan daya dukung sehingga pelestariannya dapat tetap terjaga. Munculnya isu pembangunan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan seiring dengan gagasan pembangunan berkelanjutan melalui penetapan strategi pembangunan berkelanjutan (sustainable development) sekitar tahun 1970-an seiring dengan merebaknya masalah lingkungan. Hal ini ditandai dengan paradigma pembangunan ekonomi konvensional dengan mengejar pertumbuhan ekonomi semata, namun melahirkan kerusakan lingkungan dan sumber daya alam. Karena itu, pembangunan berwawasan lingkungan hidup yang berkelanjutan menjadi penting untuk dikaji. Pentingnya pengelolaan lingkungan hidup sebagai upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup. Oleh karena itu, dalam pembangunan berwawasan lingkungan hidup yang berkelanjutan, setidaknya terdapat 3 hal yang perlu diperhatikan, yakni (1) pengelolaan sumber daya alam secara bijaksana; 67 P a g e

68 (2) pembangunan berkesinambungan sepanjang masa; dan (3) peningkatan kualitas hidup generasi. Selama bertahun-tahun Komisi Eropa telah menjalin kerja sama dengan Indonesia di bidang lingkungan hidup. Sektor kehutanan dan sumber daya alam khususnya telah menjadi sektor prioritas dalam kerja sama Komisi Eropa dan Indonesia sejak tahun 1990-an. Tinjauan Tengah Waktu (Mid-Term Review) yang dimuat dalam Country Strategy Paper tahun menekankan pentingnya sektor lingkungan hidup terutama terkait isu perubahan iklim sebagai bagian dari kerja sama bilateral antara Komisi Eropa dan Pemerintah Indonesia. Masyarakat sipil juga merupakan mitra penting dalam kerjasama bidang lingkungan hidup Komisi Eropa di Indonesia dan oleh karena itu sejumlah proyek memperoleh dukungan yang didanai melalui Program Tematik Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam. Isu pembangunan berwawasan lingkungan lainnya telah dicanangkan melalui pencapaian tujuan millennium (Millennium Development Goals/MDGs) yang merupakan Deklarasi Milenium dari hasil kesepakatan kepala negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mulai dijalankan pada bulan September tahun 2000 dan ditandatangani oleh 147 kepala pemerintahan dan kepala negara pada saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium di New York yaitu berupa 8 butir tujuan untuk dicapai pada tahun Target utamanya adalah tercapai kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada tahun Deklarasi ini berisi komitmen negara masing-masing dan komunitas internasional untuk mencapai 8 buah tujuan pembangunan yang meliputi 1) menanggulani kemiskinan dan kelaparan; 2) mencapai pendidikan dasar untuk semua; 3) mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan; 4) menurunkan angka kematian anak; 5) meningkatkan kesehatan ibu; 6) memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya; 7) memastikan kelestarian lingkungan hidup; dan 8) mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan. Dalam pencapaian tujuan millennium memastikan kelestarian lingkungan hidup dijalankan melalui strategi (1) mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan setiap negara dan program serta mengurangi hilangnya sumber daya lingkungan; (2) pada tahun 2015 dengan mengurangi setengah dari jumlah orang yang tidak memiliki akses air minum yang sehat, aman dan berkelanjutan serta fasilitasi sanitasi dasar; (3) mengurangi laju hilangnya keragaman hayati dan mencapai pengurangan yang signifikan; dan (4) pada tahun 2020 mendatang 68 P a g e

69 diharapkan dapat mencapai pengembangan yang signifikan dalam kehidupan untuk sedikitnya 100 juta orang yang tinggal di daerah kumuh. Setelah target pencapaian tujuan millennium (Millennium Development Goals/MDGs) pada tahun 2015, muncullah kesepakatan lanjutan berupa Sustainable Development Goals (SDGs). Konsep SDGs dikemukakan pada tanggal September 2015 di markas besar PBB, New York yang dihadiri perwakilan dari 193 negara dengan mengadopsi konsep transforming our word: the 2030 agenda for sustainable development. SDGs tahun mengedepankan 3 tujuan yaitu 1) mengakhiri segala bentuk kemiskinan; 2) mengakhiri segala bentuk kelaparan melalui penciptaan ketahanan pangan, meningkatkan gizi masyarakat dan mendorong pertanian secara berkelanjutan; dan 3) menjamin adanya kehidupan yang sehat serta mendorong kesejahteraan masyarakat di semua usia. Indikator pencapaian SDGs adalah pembangunan kualitas manusia, peningkatan pendidikan dan kesehatan serta kelestarian lingkungan dengan fondasi meliputi manusia, planet, kesejahteraan, perdamaian dan kemitraan sampai dengan tahun Untuk mencapai target pencapaian SDGs maka disusunlan 17 tujuan global dalam SDGs yaitu: 1) Tanpa kemiskinan dalam bentuk apapun diseluruh dunia; 2) Tanpa kelaparan dalam mencapai ketahanan pangan, perbaikan nutrisi, serta mendorong budidaya pertanian yang berkelanjutan; 3) Kesehatan yang baik dan kesejahteraan dengan menjamin kehidupan yang sehat serta mendorong kesejahteraan hidup untuk seluruh masyarakat di segala umur; 4) Pendidikan berkualitas dengan menjamin pemerataan pendidikan yang berkualitas dan meningkatkan kesempatan belajar untuk semua orang, menjamin pendidikan yang inklusif dan berkeadilan serta mendorong kesempatan belajar seumur hidup bagi semua orang; 5) Kesetaraan gender dan memberdayakan kaum ibu dan perempuan; 6) Air bersih dan sanitasi yang terjamin dan berkelanjutan untuk semua orang; 7) Energi bersih dan terjangkau yang terjamin, terpercaya dan berkelanjutan serta modern untuk semua orang; 8) Pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan yang layak dengan mendukung perkembangan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, 69 P a g e

70 lapangan kerja yang penuh dan produktif, serta pekerjaan yang layak untuk semua orang; 9) Industri, inovasi dan infrastruktur yang dibangun secara berkualitas, mendorong peningkatan industri yang inklusif dan berkelanjutan serta mendorong inovasi; 10) Mengurangi kesenjangan / ketidaksetaraan baik di dalam sebuah negara maupun di antara negara negara di dunia; 11) Keberlanjutan kota dan komunitas serta pemukiman yang dibangun secara inklusif, berkelanjutan, aman, berketahanan dan berkelanjutan; 12) Konsumsi dan produksi bertanggung jawab dengan menjamin keberlangsungan konsumsi dan pola produksi; 13) Aksi terhadap iklim dengan bertindak cepat untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya; 14) Kehidupan bawah laut dengan melestarikan dan menjaga keberlangsungan laut dan kehidupan sumber daya laut untuk perkembangan pembangunan yang berkelanjutan; 15) Kehidupan di darat dengan melindungi, mengembalikan, dan meningkatkan keberlangsungan pemakaian ekosistem darat, mengelola hutan secara berkelanjutan, mengurangi tanah tandus serta tukar guling tanah, memerangi penggurunan, menghentikan dan memulihkan degradasi tanah, serta menghentikan kerugian keanekaragaman hayati; 16) Institusi peradilan yang kuat dan kedamaian dengan meningkatkan perdamaian termasuk masyarakat untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses untuk keadilan bagi semua orang termasuk lembaga dan bertanggung jawab untuk seluruh kalangan, serta membangun institusi yang efektif, akuntabel dan inklusif di seluruh tingkatan; 17) Kemitraan untuk mencapai tujuan dengan memperkuat implementasi dan menghidupkan kembali kemitraan global untuk pembangunan yang berkelanjutan. Strategi pelestarian lingkungan dan sumber daya alam yang selama ini diterapkan belum menunjukkan hasil yang optimal diantaranya penerapan sistem pertanian konservasi pada wilayah perkebunan termasuk lahan kritis, lahan miring, lahan gambut, DAS (Daerah Aliran Sungai) hulu dan pengembangan perkebunan di kawasan penyangga 70 P a g e

71 yang mempunyai nilai konservasi tinggi belum sesuai dengan kaidahkaidah konservasi tanah dan air. Selain itu, kurangnya penerapan paket teknologi ramah lingkungan dan kurangnya kampanye peran perkebunan dalam kontribusi penyerapan karbon dan penyedia oksigen serta peran fungsi hidro-orologis masih menjadi tantangan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup kedepan. Upaya pelestarian lingkungan dan sumber daya alam yang berkelanjutan harus dicapai untuk mewujudkan integritas dan sinergi dalam pelaksanaan pembangunan pada kelestarian ekologi, ekonomi, sosial dan budaya dengan mengintegrasikan semua komponen. Upaya ini juga tidak hanya diperlukan saat pembukaan lahan dan penatagunaan tanah, tetapi selama kegiatan pembudidayaan sampai ke pengolahan hasil. Pelestarian lingkungan pada semua tahapan produksi perlu menjadi tekad masyarakat, terlebih dalam menghadapi semakin besarnya tuntutan pada produksi hijau. Selain itu, tekad masyarakat dalam melestarikan lingkungan dapat menjadi perisai terhadap kecamankecaman tentang kerusakan lingkungan perkebunan. 6. Tingginya tingkat permintaan akibat ledakan jumlah penduduk dan urbanisasi (implikasi terhadap ketersediaan bahan baku) Ketersediaan pangan, energi dan sumber lainnya serta perlindungan pertanian dari gangguan iklim dan lingkungan akan menjadi isu strategis ditengah peningkatan jumlah penduduk dunia yang pada dasarnya tidak hanya menjadi kepentingan nasional, tetapi juga menjadi komitmen global. Untuk itu, penerapan teknologi tepat guna yang progresif menjadi suatu kewajiban dalam pengembangan pertanian/ perkebunan untuk menghasilkan produksi yang optimal dan memenuhi kebutuhan rakyat banyak. Produk dan prosedur yang inovatif dalam dunia usaha juga diharapkan memberi peluang untuk menghasilkan produksi yang berkelanjutan khususnya bagaimana menciptakan produk-produk perkebunan yang bermanfaat, aman, sehat dan bernilai tinggi. Tantangan bagi sub sektor perkebunan adalah bagaimana memanfaatkan dan pengalokasian sumber daya alam perkebunan dan ekosistem yang terbatas secara efektif dan adaptif dalam memproduksi pangan perkebunan serta menjamin keamanannya dan ketersediaan gizi yang cukup bagi penduduk ditengah peningkatan jumlah penduduk. Semakin meningkatnya laju pertumbuhan penduduk di dunia akan berimplikasi pada semakin tingginya tingkat permintaan akan produk/komoditas perkebunan baik kualitas maupun kuantitasnya. Implikasi dari semakin meningkatnya permintaan akan produk 71 P a g e

72 perkebunan baik produk ekspor maupun kebutuhan dalam negeri akan berpengaruh terhadap ketersediaan bahan baku. Walaupun keanekaragaman hayati dan sumber daya alam Indonesia melimpah jika pengelolaan terhadap budidaya tanaman perkebunan tidak optimal maka akan berpengaruh terhadap produksi, produktivitas dan mutu tanaman perkebunan, ditambah kedepan perubahan iklim, bencana alam dan serangan OPT masih menjadi tantangan pembangunan perkebunan. Permasalahan peningkatan jumlah penduduk juga berhubungan dengan laju urbanisasi. Laju urbanisasi yang tinggi dimana generasi muda cenderung meninggalkan perdesaan sebagai sentra pengembangan pertanian/ perkebunan. Sektor pertanian/ sub sektor perkebunan menjadi kurang diminati generasi penerus. Fenomena urbanisasi dipandang sebagai konsekuensi dari berkembangnya sektor industry dan jasa di perkotaan yang memiliki tingkat produktivitas lebih tinggi dibandingkan sektor tradisional perdesaan yang berbasis pertanian atau perkebunan. Kondisi ini mengakibatkan transfer tenaga kerja sektor pertanian/ sub sektor perkebunan perdesaan ke sektor industry dan jasa ke perkotaan. Laju urbanisasi ini juga berdampak pada semakin langkanya ketersediaan tenaga kerja muda di pertanian/ perkebunan karena diserap oleh kegiatan industry dan jasa di perkotaan dan semakin meningkatnya kebutuhan pangan di perkotaan sehingga untuk memenuhi ketersediaan pangan tersebut harus adanya transfer pangan dari perdesaan dan hal ini mengakibatkan tingginya harga pangan karena persoalan distribusi dan transportasi dari desa ke kota. Kondisi ini diperparah oleh makin dominannya petani/ pekebun berusia tua di pedesaan yang mengusahakan budidaya pertanian/ perkebunan. Oleh karena itu tantangan ke depan perlu menciptakan kegiatan pertanian/ perkebunan yang lebih diminati oleh generasi muda. Salah satunya adalah pengembangan agro-industri dan agro-wisata di pedesaan yang berbasis sumber daya/ potensi lokal. 7. Aspek distribusi/ pengangkutan dan pemasaran (implikasi dari globalisasi produksi dan pasar) Aspek distribusi dan pemasaran turut menjadi tantangan pembangunan perkebunan kedepan. Mengingat Indonesia sebagai negara kepulauan diperlukan aksesibilitas, konektivitas dan sarana transportasi yang lebih efisien. Distribusi pangan berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien, sebagai prasyarat untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Untuk menjamin agar 72 P a g e

73 seluruh rumah tangga dapat memperoleh pangan yang cukup dalam jumlah maupun kualitas secara berkelanjutan, merupakan tantangan besar, mengingat masih ada sebagian masyarakat yang tidak mampu mengakses pangan yang cukup, penyebab utamanya adalah kemiskinan dan jangkauan/ keterisoliran. Sebagian besar penduduk miskin adalah petani di perdesaan yang berperan sebagai produsen dan sekaligus sebagai konsumen. Selain itu, Indonesia sebagai negara kepulauan, yang jarak/ jangkauan antar wilayah membutuhkan alat/sarana yang cukup dalam kelancaran distribusi pangan. Manajemen distribusi produk-produk agro-industry perkebunan merupakan bagian yang sangat penting dalam rangkaian usaha pengembangan produk yang bersangkutan maupun dalam pengembangan ekonomi secara keseluruhan, terutama dikaitkan dengan aspek globalisasi produksi dan globalisasi pasar yang akhirnya akan menimbulkan persaingan global. Dalam globalisasi produksi, setiap negara dapat melakukan kegiatan produksi dimana saja yang paling menguntungkan baginya baik untuk seluruh komponen maupun sebagian komponen produknya; atau menurut bentuk agro-industry primer, setengah jadi maupun produk jadi (batasan produk agro-industry disini adalah produk-produk hilir pertanian/ perkebunan). Dalam era globalisasi maka akan terjadi proses integrasi pasar domestik dengan pasar dunia sehingga dengan demikian semua kegiatan harus berwawasan, competitiveness dan efisiensi, termasuk kegiatan distribusinya. Masalah distribusi erat kaitan dengan masalah transportasi yang belum optimal. Masalah infrastruktur distribusi; sarana dan prasarana pasca panen; pemasaran dan distribusi antar dan keluar daerah dan isolasi daerah; sistem informasi pasar; keterbatasan lembaga pemasaran daerah; hambatan distribusi karena pungutan resmi dan tidak resmi; kasus penimbunan komoditas oleh spekulan; dan adanya penurunan akses pangan karena terkena bencana menjadi masalah distribusi yang perlu penanganan tepat dan cepat. Selain itu, tata niaga produk dan komoditas pertanian/ perkebunan domestik masih mengandalkan pada pengiriman jalan darat dan masih memiliki hambatan dibidang transportasi yang belum efisien. Penyebab in-efisiensi masalah transportasi diantaranya: belum memadainya jumlah dan kapasitas alat angkut (truk dan kapal) dan minimnya kualitas sarana angkutan baik truk maupun kapal yang digunakan. Selain itu, belum semua pelabuhan memiliki fasilitas yang memadai untuk distribusi produk dan komoditas pertanian/ perkebunan. Kondisi ini diperburuk lagi dengan adanya retribusi selama proses pengangkutan mulai dari desa, kecamatan, 73 P a g e

74 kabupaten, provinsi sampai ke daerah tujuan. Untuk mengurangi masalah tersebut maka harus melakukan upaya-upaya khusus, salah satunya melalui koordinasi dengan Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, pemerintah daerah dan Kementerian/Lembaga terkait lainnya. Sinergitas dengan Kementerian Perhubungan dalam mengatasi permasalahan distribusi, aksesibilitas dan konektivitas pengangkutan produk/ komoditas pertanian/ perkebunan diantaranya melalui 1) inefisiensi mobilitas usaha pertanian/ perkebunan dapat diatasi melalui fasilitasi moda transportasi khusus sarana produksi di daerah sentra produksi untuk kebutuhan pengadaaan input dan pemasarannya; 2) adanya pungutan liar terhadap angkutan moda transportasi komoditas pertanian/ perkebunan dapat diatasi dengan penghapusan punggutan liar dan pengaturan khusus retribusi melalui label khusus angkutan komoditas/ produk pertanian/ perkebunan; 3) lamanya waktu proses bongkar muat di pelabuhan dan bandar udara dapat diatasi dengan menyusun jalur khusus fast track untuk memperpendek waktu bongkar muat produk pertanian/ perkebunan yang mudah rusak di pelabuhan dan di bandar udara yang ditunjang dengan fasilitas cold storage/ gudang transit; 4) tidak adanya standar kendaraan pengangkut komoditas pertanian/ perkebunan sesuai Good Distribution Practices (GDP) dapat diatasi dengan menyusun regulasi standar kendaraan pengangkut komoditas pertanian/ perkebunan lainnya; 5) tingginya tariff cargo untuk ekspor produk/ komoditas pertanian/ perkebunan dapat diatasi dengan berkoordinasi dengan maskapai untuk menyediakan cargo khusus untuk produk pertanian/ perkebunan dengan tarif yang kompetitif; 6) infrastruktur pelabuhan masih terbatas pada beberapa pelabuhan untuk pengangkutan CPO dapat diatasi dengan menambah infrastruktur pelabuhan yang layak untuk pengangkutan CPO; dan 7) masih terbatasnya sarana perkarantinaan pertanian dapat diatasi dengan pemberian slot di setiap pelabuhan dan bandara untuk kantor Pelayanan Perkarantina Pertanian. Dari sudut pandang produsen pangan dan produk pertanian/ perkebunan, pemasaran merupakan bagian hilir dari segala upaya yang dilakukan dalam kegiatan produksi. Dalam pasar dan pemasaran, faktor kualitas, kontinuitas dan kuantitas menjadi faktor kunci. Tantangan ke depan bagi produsen pertanian/ perkebunan atau petani/ pekebun adalah bagaimana memproduksi hasil pertanian/ perkebunan yang memenuhi standar mutu, kontinuitas pasokan yang terjamin serta dalam skala kuantitas yang memenuhi permintaan pelanggan. Dengan memenuhi syarat pemasaran 74 P a g e

75 tersebut maka daya saing dari suatu produk pertanian/ perkebunan akan lebih baik. Namun sebaliknya, bila produk dalam negeri tidak mampu memenuhi syarat kualitas, kontinuitas dan kuantitas yang diminta maka pasar dalam negeri akan diisi oleh produk sejenis yang berasal dari impor. Aspek pemasaran perlu mendapatkan perhatian agar tingkat keberhasilan agribisnis pertanian/ perkebunan lebih tinggi sehingga keuntungan yang diperoleh akan lebih besar. Strategi pemasaran yang tepat akan memperpendek sistem atau mata rantai perdagangan sehingga lost of benefit atau keuntungan yang hilang akibat panjangnya tataniaga perdagangan bisa dihindari. Kegiatan pemasaran berperan sebagai pembuka jalan bagi produk untuk sampai ke pasar. Bila kegiatan ini sampai terhambat, produk akan tersendat-sendat memasuki pasar. Padahal, produk dari usaha agribisnis pertanian/ perkebunan mempunyai sifat yang mudah sekali rusak atau tidak tahan lama. Strategi pemasaran yang baik harus memahami tentang studi pemasaran, memperkirakan jumlah produksi, mempersiapkan produk, menentukan harga jual, menentukan distribusi dan menentukan kebijakkan promosi. B. Tantangan Pembangunan Perkebunan dalam Ruang Lingkup Sektor Pertanian Berikut ini dapat diklasifikasikan tantangan yang akan dihadapi pembangunan perkebunan kedepan dalam ruang lingkup sektor pertanian terutama berkaitan dengan kondisi pertanian secara umum. 1. Kondisi keberlangsungan kelembagaan petani/ pekebun (implikasi lemahnya posisi tawar lembaga petani/ pekebun) Kelembagaan petani yang kurang mempunyai posisi tawar yang kuat. Jumlah dan kualifikasi sumber daya insani (SDI) yang menangani bidang pertanian/ perkebunan masih sangat terbatas dan kurang memadai ditambah kurangnya pengetahuan/ketrampilan petani dan petugas lapangan pertanian/ perkebunan sehingga akan menghambat perkembangan pertanian/ perkebunan kedepan. Fakta ini didukung oleh pandangan bahwa pertanian/ perkebunan sebagai salah satu sektor/ sub sektor yang kurang menjanjikan bagi peningkatan perekonomian dan kesejahteraan hidup, selain kurangnya sumber daya insani (SDI) yang berkualitas ditambah lahan pertanian/ perkebunan yang semakin berkurang sehingga sangat menentukan dalam memperlemah kelembagaan petani/ pekebun. Lemahnya kelembagaan dan posisi tawar petani/ pekebun berakibat pada panjangnya tataniaga dan belum adilnya 75 P a g e

76 sistem pemasaran. Masalah kelembagaan petani, baik rendahnya kualitas sumber daya insani (SDI) petani/ pekebun maupun tidak ada atau tidak berfungsinya lembaga petani/ pekebun dan lembaga pendukung pertanian/ perkebunan di perdesaan telah melemahkan posisi tawar petani/ pekebun dan mempersulit dukungan pemerintah yang diberikan kepada petani/ pekebun. Lembaga petani/ pekebun yang dapat menjadi alat untuk meningkatkan skala usaha dan memperkuat posisi tawar banyak yang tidak berfungsi. Lembaga pendukung untuk petani/ pekebun terutama lembaga penyuluhan pertanian/ perkebunan kurang berfungsi sehingga menurunkan efektivitas pembinaan serta mengurangi dukungan dan diseminasi teknologi dalam rangka meningkatkan penerapan teknologi dan efisiensi usaha petani/ pekebun. Selain itu, dengan berkembangnya otonomi daerah, semakin banyak peraturan daerah yang menghambat arus pemasaran komoditas, baik input produksi maupun output/hasil produksi. Kelembagaan petani yang kurang mengoptimalkan kemitraan usaha. Masalah kelembagaan juga menjadi tantangan yang serius diantaranya belum optimalnya kemitraan antara perusahaan perkebunan besar dan swasta dengan kelompok petani serta belum sempurnanya infrastruktur yang menunjang sistem distribusi dan transportasi hasil pertanian/ perkebunan rakyat. Kondisi ini kemudian membuat sistem pemasaran akan merugikan bagi petani/ pekebun produsen karena berada pada posisi yang paling lemah. Penguatan kelembagaan petani/ pekebun melalui Penumbuhan dan Penguatan Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani dalam rangkaian program revitalisasi kelembagaan petani/ pekebun bisa menjadi alternatif kebijakan. Kelembagaan petani yang kurang memanfaatkan akses teknologi, permodalan dan peluang pasar. Kondisi lain terkait organisasi petani/ pekebun saat ini lebih bersifat sosial budaya dan sebagian besar berorientasi hanya untuk mendapatkan fasilitas pemerintah, belum sepenuhnya diarahkan untuk memanfaatkan peluang ekonomi melalui pemanfaatan peluang akses terhadap berbagai informasi teknologi, permodalan dan pasar yang diperlukan bagi pengembangan usahatani dan usaha perkebunan. Di sisi lain, kelembagaan ekonomi petani/ pekebun seperti koperasi belum dapat sepenuhnya mengakomodasi kepentingan petani/kelompok tani sebagai wadah pembinaan teknis. Berbagai kelembagaan petani/ pekebun yang sudah ada seperti Kelompok Tani, Gabungan Kelompok Tani, Perhimpunan Petani 76 P a g e

77 Pemakai Air dan Subak dihadapkan pada tantangan untuk merevitalisasi diri dari kelembagaan yang saat ini lebih dominan hanya sebagai wadah pembinaan teknis dan sosial menjadi kelembagaan yang juga berfungsi sebagai wadah pengembangan usaha yang berbadan hukum atau dapat berintegrasi dalam koperasi yang ada di pedesaan. Kelembagaan petani yang kurang berkembang dalam aspek pendampingan dan penyuluhan. Dari sisi sumber daya insani, masih rendahnya kualitas SDI pertanian/ perkebunan merupakan kendala yang serius dalam penguatan kelembagaan petani/ pekebun karena mereka yang berpendidikan rendah pada umumnya adalah petani/ pekebun yang tinggal di daerah pedesaan. Kondisi ini juga semakin diperparah dengan kurangnya pendampingan penyuluhan pertanian/ perkebunan. Kondisi ini dapat ditekan dengan mengembangkan agroindustri pertanian/ perkebunan berbasis pendampingan dan penyuluhan yang kuat dalam sistem kelembagaan petani/ pekebun di pedesaan agar mampu menciptakan lapangan kerja baru dan peluang usaha agroindustri di pedesaan. Dalam hal ini peran dari Badan/ Balai Penyuluhan di tingkat desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi sampai pusat sangat diperlukan dalam memperkuat kelembagaan petani/ pekebun dalam menerima akses informasi, inovasi dan teknologi di bidang pertanian/ perkebunan. Perubahan konstalasi pemerintahan dari sentralistik menuju otonomi daerah tidak serta merta dapat mengaktualisasikan peran kelembagaan petani/ pekebun dan penyuluhan di daerah. Upaya nyata telah dilakukan oleh pemerintah pasca reformasi dan otonomi daerah namun belum dapat menunjukkan hasil yang benar-benar dapat memberikan jaminan berjalannya sistem budidaya dan penerapan teknologi untuk dapat mengakselerasi produksi. Pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah mendorong program peningkatan produksi berbasis penyuluhan pertanian/ perkebunan melalui strategi 1) mengedepankan aspek penyuluhan, pendampingan dan pembinaan kepada petani/ pekebun dalam upaya peningkatan produktivitas pertanian/ perkebunan; 2) perluasan areal tanam produktif dengan melibatkan tenaga kerja petani/ pekebun yang aktif dengan pendampingan intensif; 3) memberikan penyuluhan kepada petani/ pekebun secara intensif dalam hal pengamanan produksi dari gangguan organisme pengganggu tanaman, dampak perubahan iklim dan kehilangan hasil pada saat panen dan pascapanen, dan 4) perbaikan kelembagaan petani/ pekebun dan pembiayaan. 77 P a g e

78 2. Penurunan minat generasi muda terhadap budidaya pertanian/ perkebunan (implikasi terbatasnya sumber daya insani (SDI) pertanian/ perkebunan) Rendahnya minat generasi muda terhadap bidang pertanian/ perkebunan ini menyebabkan senjang regenerasi di sektor pertanian dan sub sektor perkebunan. Bidang pertanian/ perkebunan sebagai pemasok bahan pangan bagi manusia dimungkinkan tidak akan mengalami perkembangan, dan akan berimbas pada menurunnya jumlah bahan pangan yang dihasilkan. Hilangnya minat generasi muda cerdas terdidik dari dunia pertanian/ perkebunan Indonesia akan menyulitkan sektor pertanian/ sub sektor perkebunan dalam melaksanakan mandat menjaga ketahanan pangan yang berkelanjutan. Secara umum, sektor pertanian/ sub sektor perkebunan belum mampu memberikan nilai tambah yang tinggi baik bagi pendapatan, kesejahteaan serta bagi pengembangan karir. Hal ini menjadi alasan bahwa minat generasi muda pada sektor pertanian/ sub sektor perkebunan menjadi sangat terbatas dan sulit bagi mereka untuk menekuninya. Tantangan ke depan adalah bagaimana mengubah pola pikir generasi muda kita terhadap pertanian/ perkebunan bahwa masih banyak potensi pertanian/ perkebunan yang masih belum dimanfaatkan secara optimal. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tarik generasi muda pada sektor pertanian/ sub sektor perkebunan adalah meningkatkan persepsi generasi muda dalam membangun pertanian/ perkebunan lebih maju dan modern berbasis inovasi dan teknologi yang mampu menghasilkan produk yang bernilai ekonomi tinggi yang dibutuhkan pasar. Membangun pertanian/ perkebunan dalam konteks industri yang syarat dengan inovasi dan teknologi yang menangani hulu hingga hilir akan memberikan peluang yang besar dalam menghasilkan aneka produk pertanian/ perkebunan yang bernilai ekonomis tinggi. Pendekatan bioindustri pertanian/ perkebunan menjadi sangat penting dan strategis untuk mewujudkan upaya tersebut. Jika kondisi tersebut dibangun di perdesaan, tentu akan menciptakan kondisi perekonomian yang meningkat dan sangat menarik bagi generasi muda untuk tidak lagi pergi ke kota, bahkan generasi muda yang telah bekerja di perkotaan akan kembali ke perdesaan. Untuk itu beberapa hal penting harus dipersiapkan di perdesaan, yaitu (1) membangun dan memperbaiki infrastruktur pertanian/ perkebunan di perdesaan, (2) membuka seluasluasnya sektor industri pertanian/ perkebunan di desa agar dapat menampung tenaga kerja dengan cara mendorong investasi yang efektif 78 P a g e

79 dan memihak petani/ pekebun; (4) meningkatkan kapasitas SDM generasi muda pertanian/ perkebunan yang lebih baik, dan (5) mendorong kebijakan dan regulasi yang tepat terutama dalam kaitannya dengan kepastian mendapatkan lapangan kerja yang sesuai dengan keahlian dan keterampilan para generasi muda. Langkah konkrit lainnya antara lain menjaring seluas-luasnya dan sebanyak-banyaknya siswa baru di sekolah-sekolah tinggi pertanian/ perkebunan lingkup Kementerian Pertanian, yang diikuti dengan perbaikan kurikulum dan revitalisasi sarana prasarana belajar mengajar termasuk SDM pengajar yang mumpuni. 3. Kondisi permodalan dan akses kredit usaha (implikasi pengembangan usaha agribisnis pertanian/ perkebunan) Permodalan petani/ pekebun merupakan faktor yang mendukung keberhasilan pengembangan usahatani/ usaha perkebunan. Lemahnya permodalan masih merupakan kendala yang dihadapi oleh petani/ pekebun dalam memulai atau mengembangkan usahanya sehingga harus meminjam ke pihak lain. Sulitnya mengakses permodalan kepada perbankan atau lembaga keuangan resmi lainnya menyebabkan petani/ pekebun mencari pinjaman modal kepada para pemilik modal yang umumnya adalah pedagang hasil pertanian/ perkebunan dengan sistem ijon sehingga petani/ pekebun tidak leluasa menjual hasil panennya. Sebagian petani/ pekebun meminjam modal kepada rentenir dengan bunga pinjaman yang tinggi. Meskipun pemerintah telah menyediakan kredit melalui skim kredit program Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E), Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP), Kredit Usaha Rakyat (KUR), maupun kredit komersial namun fasilitas kredit tersebut pada kenyataannya masih sulit diakses oleh petani/ pekebun. Kesulitan mengakses perbankan atau lembaga keuangan resmi lainnya disebabkan: (1) petani/ pekebun belum dapat memenuhi persyaratan administrasi perbankan, (2) resiko agribisnis pertanian/ perkebunan cukup tinggi yang menyebabkan perbankan enggan memberikan kredit, (3) belum tersedianya lembaga keuangan dan perbankan yang khusus bergerak di bidang pertanian/ perkebunan, dan (4) belum tersedianya lembaga penjaminan resiko usaha pertanian/ perkebunan. Berdasarkan Surat Menteri Keuangan nomor S-5/MK.05/2015 tanggal 6 Januari 2015 perihal Pelaksanaan Kredit Program Skema Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) dan Kredit Pengembangan Energi Nabati dan 79 P a g e

80 Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) bahwa secara umum Kementerian Keuangan mendukung adanya program Revitalisasi Perkebunan, namun berdasarkan evaluasi pelaksanaannya, skema pembiayaan tersebut harus dilakukan penyempurnaan lebih lanjut sehingga penyaluran kredit KUPS dan KPEN-RP untuk sementara dihentikan per 1 Januari 2015, namun subsidi bunga atas kredit yang telah disalurkan tetap dibayarkan sampai batas waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Sedangkan program Revitalisasi Perkebunan tetap dilanjutkan dengan skema pembiayaan yang baru, untuk itu untuk mendorong percepatan penyelesaian skema pembiayaan yang baru seiring dengan skema kredit berpenjamin yang telah memperoleh komitmen bersama dari para Menteri terkait maka perlu disusun desain skema kredit baru melalui koordinasi lintas sektoral. Dampak dari penerapan prudential perbankan dirasakan petani/ pekebun seperti sulinya akses permodalan, persyaratan yang dianggap rumit dan waktu yang lama, masih diperlukan jaminan tambahan yang memberatkan petani/ pekebun berupa sertifikat lahan, terbatasnya sosilaisasi dan informasi keberadaan skema kredit serta terbatasnya pendampingan dan pengawalan petani/ pekebun yang membutuhkan permodalan dari perbankan. Kondisi petani/pekebun secara umum memiliki lahan sempit, skala usaha kecil dan letaknya yang menyebar dan lebih banyak sebagai buruh tani/ kebun sehingga lebih mudah dilayani oleh pelepas uang/sumber modal non formal meskipun suku bunga tinggi tetapi waktu perolehannya lebih cepat. Dengan terbatasnya pembinaan, pengawalan dan pendampingan bagi petani/ pekebun yang mengajukan kredit kepada perbankan untuk modal usaha tani/ usaha perkebunan serta tingkat kemauan membayar kembali kredit rendah merupakan salah satu faktor penghambat perbankan dalam menyalurkan kredit kepada petani/ pekebun. Kedepan, seiring dengan terbitnya Undang-Undang nomor 19 tahun 2013 tentang perlindungan dan pemberdayaan petani yang mengamanatkan Pemerintah untuk menugasi BUMN bidang perbankan dan pemerintah daerah untuk menugasi BUMD bidang perbankan agar melayani kebutuhan pembiayaan usahatani/ usaha perkebunan dengan membentuk unit khusus pertanian/ perkebunan sehingga pelayanan kebutuhan pembiayaan dengan prosedur mudah dan persyaratan lunak serta memberikan perlindungan bagi petani/ pekebun dalam menghadapi permasalahan kesulitan memperoleh prasarana dan sarana produksi, masalah kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi dan perubahan iklim. Strategi ini dilakukan melalui 80 P a g e

81 pengadaan prasarana dan sarana produksi pertanian/ perkebunan; dukungan kepastian usaha dan harga komoditas pertanian/ perkebunan yang mampu bersaing; penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi; ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa; pengembangan sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim; dan pembentukan asuransi pertanian (menangani kerugian petani akibat bencana alam; banjir; serangan organisme pengganggu tumbuhan; wabah penyakit hewan menular; dampak perubahan iklim; dan/atau jenis risiko-risiko lain). Kementerian Pertanian juga turut mendukung pembiayaan kegiatan usaha tani dan usaha lanjutannya melalui Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) dan penguatan Lembaga Kredit Mandiri Agribisnis (LKMA) yang pengembangannya sejalan dengan program PUAP. Pelaksanaan PUAP yang berada pada tupoksi Ditjen. Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) telah dirintis sejak 5 tahun terakhir dan dilaksanakan di desa baru sehingga ditargetkan semua desa yang berbasis kegiatan pertanian telah dapat dilayani oleh PUAP. Sementara itu pengembangan LKMA diharapkan dapat membantu penyediaan sumber pembiayaan bagi petani dengan mudah dan murah. Selama tahun telah dikembangkan kegiatan PUAP di desa dari yang ditargetkan. Gapoktan penerima PUAP diharapkan dapat berkembang dan pada tahun kedua gapoktan mendapat LKMA. Untuk periode sudah dilatih 162 gapoktan untuk menjadi LKMA. Selain itu diupayakan menyambungkan petani dengan beragam sumber pembiayaan lainnya seperti dana tanggung jawab sosial BUMN dan perusahaan swasta. Untuk melindungi petani dari kegagalan usaha juga telah diinisiasi pengembangan asuransi pertanian, yang dalam 3 tahun terakhir telah dilakukan dalam bentuk pilot project di berbagai lokasi. 4. Dukungan ketersediaan infrastruktur dan sarana prasarana pertanian/ perkebunan (implikasi terhadap daya dukung usaha agribisnis pertanian/ perkebunan) Untuk menggerakkan proses produksi dan pemasaran komoditas pertanian/ perkebunan diperlukan dukungan ketersediaan infrastruktur dan sarana prasarana pertanian/ perkebunan. Dukungan infrastruktur yang sangat dibutuhkan sektor pertanian/ sub sektor perkebunan yang keberadaannya masih terbatas adalah jalan usahatani, jalan produksi, jaringan irigasi, embung, dam parit, pelabuhan yang dilengkapi dengan pergudangan. Tantangan yang harus dihadapi ke depan adalah bagaimana menyediakan semua prasarana yang dibutuhkan 81 P a g e

82 petani/pekebun ini secara memadai untuk dapat menekan biaya tinggi yang timbul akibat terbatasnya prasarana transportasi dan logistik pada sentra produksi komoditas pertanian/ perkebunan. Salah satu upaya yang telah dilaksanakan Kementerian Pertanian adalah melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk membiayai penyediaan infrastruktur dasar (pembangunan/ perbaikan prasarana dan sarana fisik) di bidang pertanian yang menjadi urusan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang merupakan kegiatan prioritas nasional. Pemanfaatan anggaran DAK digunakan untuk kegiatan pilihan dan dapat dilaksanakan sesuai dengan prioritas dan kebijakan daerah serta ketersediaan pagu anggaran. Untuk sub sektor perkebunan DAK di provinsi digunakan untuk pembangunan/ rehabilitasi/ renovasi UPTD/Balai Perbenihan dan Balai Proteksi Tanaman Perkebunan serta penyediaan sarana pendukung, sedangkan di kabupaten/kota digunakan untuk pembangunan/ rehabilitasi/ renovasi UPTD/Balai Perbenihan Tanaman Perkebunan dan penyediaan sarana pendukung. Perencanaan DAK menggunakan aplikasi e-proposal untuk pengusulan kegiatan dan anggaran serta terdapat kewajiban pengusulan kegiatan untuk melengkapi data teknis untuk menunjang proses perencanaan dan penganggaran yang akuntabel, transparan, efektif dan efisien. 5. Penurunan kehilangan hasil (implikasi penanganan pascapanen yang baik) Usaha untuk meningkatkan produksi beberapa komoditas unggulan pertanian/ perkebunan telah berhasil dilakukan oleh pemerintah melalui program/kebijakan peningkatan produksi dan produktivitas namun belum diikuti dengan penanganan pascapanen dengan baik. Sasaran pembangunan pascapanen diarahkan kepada 3 hal yaitu 1) penurunan kehilangan hasil pascapanen, 2) peningkatan mutu hasil dan daya saing, serta 3) peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani/ pekebun. Disadari bahwa penanganan pascapanen secara tidak tepat dapat menimbulkan susut atau kehilangan hasil produksi sehingga sangat berpengaruh terhadap ketersediaan hasil pertanian/ perkebunan serta pasokan bahan baku ekspor dan industri. Teknologi penekanan kehilangan hasil yang dipilih untuk diterapkan haruslah teknologi yang sesuai dengan spesifik lokasi, tersedia dan mudah penanganan. Teknologi tersebut tidak bertentangan dengan masyarakat pengguna, baik secara teknis, ekonomis maupun sosial budaya masyarakat setempat. 82 P a g e

83 Disisi lain, peningkatan mutu agar sesuai dengan standar mutu internasional adalah tantangan paling besar dalam pascapanen. Persoalan mutu menyangkut aspek yang sangat luas yang dimulai dari varietas, lahan, teknologi budidaya, perlindungan tanaman hingga cara panen dan perlakuan pascapanen berikutnya. Selain itu penanganan pascapanen diharapkan meningkatkan pendapatan petani/ pekebun. Kondisi yang terjadi dari penanganan pascapanen adalah masih kurangnya kesadaran dan pemahaman petani/ pekebun terhadap penanganan pascapanen yang baik (Good Handling Practises) sehingga mengakibatkan masih tingginya kehilangan hasil dan rendahnya mutu produk/komoditas. Selain itu pembinaan yang dilakukan pemerintah kurang intensif dan berkelanjutan; aksesibilitas petani/ pekebun pada teknologi pascapanen kurang optimal, penggunaan mutu peralatan pascapanen dan pemanfaatannya yang kurang optimal; serta kurang berkembangnya kelembagaan pascapanen dan balai penelitian/ pengembangan pascapanen. 6. Kecukupan pangan bergantung impor (implikasi kebijakan ketahanan dan kedaulatan pangan) Indonesia adalah sebuah negara yang memiliki sumber agraria yang melimpah. Hal tersebut menyebabkan sebagian besar penduduk Indonesia terlibat dalam dunia pertanian/ perkebunan. Sekitar 46% penduduk Indonesia adalah petani/ pekebun. Namun ironisnya, sebagai negara agraris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi, saat ini Indonesia bukan saja belum mampu berswasembada pangan tetapi sebaliknya justru sebagian daerah di Indonesia mengalami krisis pangan, ditambah lagi sebagian kebutuhan pangan Indonesia telah tergantung kepada impor. Pola atau paradigma kebijakan pangan yang diterapkan selama ini yang berlandaskan pada konsep ketahanan pangan seharusnya mampu menghindari Indonesia dari ketergantungan impor tetapi kenyataannya masih jauh asap dari api. Krisis pangan dunia dimulai sejak tahun 2005 ketika negara-negara dunia mulai mengkhawatirkan kelangkaan bahan pangan yang menimbulkan kenaikan harga pangan. Laporan FAO menyebutkan bahwa diperkirakan sekitar 36 negara mengalami peningkatan harga pangan yang cukup tajam berkisar yaitu dari %. Dalam 3 tahun terakhir, harga pangan dunia telah meningkat dua kali lipat dan disusul dengan peningkatan jumlah penduduk miskin yang tidak mampu mengakses bahan pangan. Krisis pangan dikhawatirkan terjadinya gejolak sosial dan politik bagi negara-negara yang mengalami krisis pangan. Dalam mengantisipasi 83 P a g e

84 krisis pangan dunia, kebijakan kedepan perlu mempertimbangkan dampak defisit produksi pangan global yang berpotensi menganggu perdagangan dan memicu gejolak harga. Atas dasar situasi dan pertimbangan di atas maka peningkatan produksi pangan menjadi jalan keluar mutlak yang tidak bisa ditawar. Dalam era globalisasi dewasa ini, persaingan pasar antar komoditas pangan semakin ketat termasuk pangan perkebunan. Komoditas impor sering membanjiri pasar dalam negeri dengan harga yang lebih murah. Hal ini dapat menghancurkan pengembangan pangan domestik. Produk impor lebih murah dari produk dalam negeri karena pemerintah negaranegara eksportir melindungi para petaninya secara baik dengan berbagai cara sehingga mampu menghasilkan kualitas yang lebih baik serta kontinuitas pasokan yang lebih terjamin. Konsep ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah ataupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Dalam konsep ketahanan pangan sebagaimana yang dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) nomor 68 tahun 2002 tidak diatur bagaimana pangan itu diproduksi dan dari mana pangan tersebut berasal. Hal ini merupakan titik lemah dari konsep dan kebijakan ketahanan pangan nasional. Untuk mengatasi titik lemah dari konsep ketahanan pangan nasional maka harus ada usaha-usaha perbaikan sistem produksi pangan dan sistem dalam mengontrol masuknya pangan impor ke Indonesia. Tidak diaturnya mengenai dari mana pangan berasal telah pula mengakibatkan berkembangnya industri pangan di perkotaan, terutama investasi dari perusahaan agribisnis pangan trans-nasional. Hal ini kemudian mengakibatkan desa dan petani/ pekebun tidak lagi menjadi produsen pangan, melainkan sekadar penyedia bahan baku yang murah serta pasar bagi industri pangan perkotaan sehingga petani/ pekebun sebagai pemasok sejati bahan pangan tidak menjadi bagian integral dari konsep dan kebijakan ketahanan pangan nasional. Itulah sebabnya perlu adanya payung dan perlindungan hukum untuk menjamin kedaulatan petani/ pekebun dari serbuan impor pangan dari luar maupun kekuatan kapitalisme industri pangan. Padahal tanpa petani yang kuat, ketahanan pangan nasional tidak mungkin bisa diwujudkan. Untuk itu dalam mewujudkan petani/ pekebun yang kuat diperlukan payung perlindungan hukum yang menjamin kedaulatan, nasib dan harkat petani/ pekebun. 84 P a g e

85 Ketahanan pangan merupakan basis utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Ketahanan pangan merupakan sinergi dan interaksi utama dari sub sistem ketersediaan, distribusi dan konsumsi, dimana dalam mencapai ketahanan pangan dapat dilakukan alternatif pilihan apakah swasembada atau kecukupan. Dalam pencapaian swasembada perlu difokuskan pada terwujudnya ketahanan pangan. Dalam pengembangannya, teknologi pangan diharapkan mampu memfasilitasi program pascapanen dan pengolahan hasil pertanian/ perkebunan serta dapat secara efektif mendukung kebijakan strategi ketahanan pangan. Kebijakan ketahanan pangan nasional sangat penting artinya untuk menjamin kecukupan penyediaan pangan secara nasional. Tetapi karena kebijakan ketahanan pangan kurang menaruh perhatian terhadap upaya peningkatan kesejahteraan petani maka kebijakan tersebut belum mencukupi. Sebab, meskipun dalam kebijakan ketahanan pangan nasional petani bukan merupakan pilar satu-satunya bagi ketahanan nasional namun petani merupakan pilar terpenting. Singkatnya, kebijakan ketahanan pangan adalah perlu tetapi tidak cukup. Oleh karena itu sebagai penyempurnaan, untuk tidak mengatakan sebagai pengganti, kebijakan ketahanan pangan perlu dikembangkan dan diterapkan kebijakan kedaulatan pangan seperti yang selama ini didengungkan dalam agenda prioritas NAWACITA dalam peningkatan kedaulatan pangan pertanian seperti komoditas padi, jagung, kedelai, bawang merah, cabai, gula dan daging. Secara konseptual, kedaulatan pangan berarti hak setiap negara atau masyarakat untuk menentukan sendiri kebijakan pangannya, melindungi sistem produksi pertanian dan perdagangan untuk mencapai sistem pertanian yang berkelanjutan dan mandiri. Kedaulatan pangan mengatur produksi dan konsumsi pertanian yang berorientasi kepada kepentingan lokal dan nasional, bukan pasar global dan bukan impor. Kedaulatan pangan mencakup hak untuk memproteksi dan mengatur kebijakan pertanian nasional dan melindungi pasar domestik dari dumping dan kelebihan produksi negara lain yang dijual sangat murah. Oleh karena itu, petani kecil dan buruh tani harus diberikan akses terhadap tanah, air, benih dan sumber-sumber agraria lainnya. Dengan demikian, kedaulatan pangan harus didahulukan di atas kepentingan pasar. 7. Desentralisasi pengembangan pertanian/ perkebunan (implikasi dari pemusatan pembangunan pertanian/ perkebunan di Pulau Jawa) 85 P a g e

86 Saat ini, di Indonesia terjadi konsentrasi kepadatan penduduk yang berpusat di Pulau Jawa. Hampir lebih dari 50% jumlah penduduk Indonesia mendiami Pulau Jawa. Hal ini menjadi masalah apabila pusat pemerintahan, informasi, transportasi, ekonomi dan berbagai fasilitas hanya berada di satu wilayah. Penduduk akan berusaha untuk melakukan migrasi dan akhirnya akan berdampak pada permasalahan pemerataan pembangunan. Dampak yang memiliki pengaruh besar terhadap pembangunan pertanian/ perkebunan yang disebabkan sentralisasi/ pemusatan pembangunan pertanian/ perkebunan di Pulau Jawa adalah kesenjangan ekonomi dan pemerataan pendapatan antara Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa sehingga pada akhirnya akan menimbulkan ketimpangan sosial, kriminalisasi, kemiskinan dan keterbelakangan bahkan mengakibatkan disintegrasi bangsa. Tantangan pembangunan perkebunan kedepan adalah bagaimana menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru untuk sentra pertanian/ perkebunan di luar Pulau Jawa melalui pengembangan kawasan seseuai amanat Peraturan Menteri Pertanian nomor 50 tahun 2012 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian. Untuk itu langkah yang harus diambil pemerintah adalah mengidentifikasi potensi daerah dalam pengembangan pertanian/ perkebunan seperti potensi sumber daya alam, ketersediaan sumber daya insani, penganggaran, dukungan sarana prasarana dan infrastruktur, komitmen daerah dan sarana pendukung lainnya. 8. Tuntutan atas penerapan otonomi daerah (implikasi terhadap pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota) Era otonomi daerah masih akan menjadi tantangan pembangunan perkebunan kedepan. Pelaksanaan otonomi daerah telah membawa konsekuensi logis pada upaya perwujudan kemandirian daerah dalam mengatur rumah tangganya serta menggali berbagai potensi yang dimiliki untuk dapat dikelola secara optimal demi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Otonomi dapat diartikan sebagai penyelenggaraan pemerintah otonom yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi hasil pembangunan. Tuntutan atas penerapan otonomi daerah adalah kesiapan dari pemerintah untuk mengelola dan menata secara baik semua perangkat organisasi dan manajemen yang dimiliki dan kemampuan untuk melakukan penyesuaian terhadap perkembangan dan perubahan lingkungan eksternal baik secara sosial, ekonomi, budaya maupun politik. 86 P a g e

87 Era otonomi daerah memungkinkan kebijakan pemanfaatan lahan dan pembangunan pertanian/ perkebunan berada atas dasar kebijakan pemerintah daerah. Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren dan urusan pemerintahan umum. Urusan pemerintahan absolut yaitu urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat, sedangkan urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/ kota yang sekaligus menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. Sementara, urusan pemerintahan umum adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Pada Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 ini sebagai pengganti Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa urusan pertanian merupakan urusan pemerintahan pilihan yang bersifat konkuren sehingga urusan pertanian yang secara khusus meliputi sub sektor perkebunan dalam pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) akan menjadi tanggungjawab bersama dan didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi dan eksternalitas serta kepentingan strategis nasional. Undang-undang tersebut memasukkan bidang-bidang terkait sub sektor perkebunan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah seperti tenaga kerja, statistik, pemberdayaan masyarakat dan desa, pangan, lingkungan hidup dan pertanahan sebagai urusan wajib yang tidak terkait pelayanan. Implikasi penetapan urusan pertanian sebagai urusan pemerintah bersifat pilihan khususnya sub sektor perkebunan yang memiliki kekhasan komoditas sesuai potensi unggulan daerah adalah akan membuka peluang negosiasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menentukan pembagian kewenangan sub sektor perkebunan yang tepat dan disesuaikan dengan kebijakan program, anggaran dan regulasi yang efektif dan efisien. Hal-hal lain yang diatur dalam Undang-Undang ini terkait pembagian urusan pemerintahan bidang pertanian khususnya terkait sub sektor perkebunan adalah 1) penerapan standarisasi, penerbitan sertifikasi dan pengawasan peredaran benih tanaman pertanian/ perkebunan; 2) pengendalian dan penanggulangan bencana pertanian/ perkebunan; 3) perizinan usaha pertanian/ perkebunan dan 4) penentuan kebutuhan dan penataan prasarana pertanian/ perkebunan. 87 P a g e

88 Terbitnya Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersebut sampai dengan terbitnya dokumen Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Perkebunan tahun ini, belum ada turunan peraturan perundangan yang bersifat lebih teknis dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP). Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menimbulkan sengketa politik khususnya pasal yang mengatur Tugas dan Kewenangan DPRD Provinsi dan Kabupaten/ Kota. Perppu tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang yaitu Undang- Undang nomor 2 tahun 2015 tentang Penetapan Perppu nomor 2 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Tindaklanjut Perppu tersebut berdasarkan persetujuan bersama antara DPR RI dan Presiden RI maka ditetapkanlah Undang-Undang nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang sebagian besar mengubah ketentuan tugas dan wewenang DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dalam mengatur pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Implikasi belum terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) dari Undang- Undang nomor 23 tahun 2014 adalah Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota masih tetap berlaku sepanjang mengatur substansi yang tidak diatur dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 2015 dan Undang-Undang nomor 9 tahun Peraturan Pemerintah (PP) nomor 38 tahun 2007, mempertegas bahwa urusan sub sektor perkebunan merupakan urusan pemerintah pusat yang masuk dalam 31 bidang urusan pemerintah khususnya pada urusan pemerintah bidang pertanian dan ketahanan pangan, namun demikian semua urusan pemerintah terkecuali bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional serta agama dapat dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintah yang disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana serta kepegawaian. Ini artinya Pemerintah Daerah diberikan kesempatan untuk melakukan negosiasi dengan Pemerintah Pusat dalam hal pembagian kewenangan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat. Tentunya, selain urusan Pemerintah Pusat yang sepenuhnya menjadi kewenangannya. 88 P a g e

89 9. Ketidaksinambungan kebijakan/ regulasi serta koordinasi lintas sektoral dan daerah (implikasi tumpang tindih kebijakan/ regulasi lintas sektor) Koordinasi didefinisikan sebagai suatu usaha yang sinkron dan teratur untuk menyediakan jumlah dan waktu yang tepat dan mengarahkan pelaksanaan untuk menghasilkan suatu tindakan yang seragam dan harmonis pada sasaran yang telah ditentukan. Koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan merupakan peluang lain yang bisa dikembangkan dalam rangka mempercepat pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Koordinasi merupakan proses pengintegrasian tujuan dan kegiatan pada satuan yang terpisah untuk mencapai tujuan organisasi secara efisien. Belum optimalnya koordinasi lintas sektor baik internal, institusi terkait maupun dengan daerah merupakan kelemahan yang harus mendapat perhatian serius. Dampak negatif dari otonomi daerah dirasakan oleh pelaku usaha pertanian/ perkebunan terutama kaitannya dengan beberapa kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk peraturan daerah yang kurang selaras dengan kebijakan nasional seperti kebijakan dalam pemanfaatan sumber daya alam. Konsekuensi dari hal tersebut adalah terjadinya kompetisi pemanfaatan sumber daya alam yang kurang menguntungkan bagi pembangunan pertanian/ perkebunan dan adanya ketimpangan antara Kabupaten/Kota yang satu dengan yang lain dalam satu Provinsi. Faktor lain adalah pemberlakuan beberapa peraturan daerah yang membebani pelaku perdagangan dalam negeri/antar daerah dengan berbagai pungutan atau retribusi yang mengakibatkan terjadinya hambatan dalam internal trade (desa-kota, antar daerah dan antar pulau) yang bermuara pada berkurangnya daya saing produk lokal di pasar domestik. Selain itu, lambatnya penyelesaian status aset pusat di daerah, optimalisasi potensi daerah yang belum sesuai dengan sasaran, pelayanan informasi dan pelaporan yang belum cepat dan akurat, belum lengkapnya peraturan perundang-undangan pelaksanaan budidaya pertanian/ perkebunan serta ketidaksesuaian perencanaan kegiatan pusat dan daerah akan menjadi tantangan pembangunan pertanian/ perkebunan kedepan, selain itu koordinasi lintas sektoral dan daerah harus terus dioptimalkan. Pengembangan sektor pertanian dan sub sektor perkebunan yang bersandar pada pengelolaan sumberdaya alam saat ini dihadapkan dengan berbagai macam kebijakan dan regulasi/ peraturan perundangundangan. Untuk mencapai sasaran yang diharapkan perlu kebijakan dan regulasi untuk mensinergikan upaya yang saling mendukung untuk 89 P a g e

90 pencapaian sasaran dimaksud. Oleh karena itu, kebijakan dan regulasi dalam pembangunan perebunan mutlak diperlukan sehingga tidak ada tumpang tindih kewenangan dan peraturan perundangan dari masingmasing Kementerian/Lembaga. Kebijakan dan regulasi juga diperlukan untuk melindungi pengembangan komoditas usaha di bidang pertanian dan perkebunan. Pengembangan pertanian/ perkebunan memerlukan dukungan agar tercipta iklim yang kondusif melalui formulasi kebijakan dan pengamanan kebijakan fiskal dan moneter. Namun pada kenyataannya, beberapa kebijakan Pemerintah yang ditetapkan belum berjalan efektif dan belum berpihak pada sektor pertanian dan sub sektor perkebunan. Langkah strategis yang harus dilakukan saat ini dan kedepan terkait kesinambungan kebijakan pusat-daerah adalah dengan menggerakkan seluruh elemen di daerah melalui peran strategis Pemimpin Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota, sampai ke tingkat Desa) sehingga program peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pertanian/ perkebunan berkelanjutan yang telah didukung dengan fasilitasi teknologi, sarana produksi dan dukungan pembiayaan manajemen dapat menjadi suatu Gerakan Nasional dengan satu komando kebijakan Pusat-Daerah untuk dapat mencapai dan mengawal peningkatan produksi komoditas unggulan pertanian/ perkebunan secara berkelanjutan. Untuk mencapai hal tersebut dalam jangka pendek dan menengah peran Presiden dan pembantu-pembantunya (seperti Menteri Pertanian dan Menteri Dalam Negeri) secara sentral sangat penting dan dibutuhkan dalam menggerakkan Gubernur, Bupati/Walikota beserta seluruh jajarannya mengawal program peningkatan produksi dan produktivitas tanaman pertanian/ perkebunan berkelanjutan. Selain itu diperlukan koordinasi dengan Forum APPSI (Asosiasi Pemerintah Provinsi seluruh Indonesia); APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia), serta keterlibatan aktif dunia usaha secara berkeadilan. Hal ini akan sangat besar perannya dalam membangun integrasi dan sinergi program pembangunan pertanian/ perkebunan. Dalam jangka panjang harus segera dirancang suatu regulasi yang mampu mengaktualisasikan pengembangan pertanian/ perkebunan sebagai kepentingan rakyat, bangsa dan negara serta menumbuhkan rasa nasionalisme seluruh komponen bangsa. C. Tantangan Pembangunan Perkebunan dalam Ruang Lingkup Sub Sektor Perkebunan 90 P a g e

91 Berikut ini dapat diklasifikasikan tantangan yang akan dihadapi pembangunan perkebunan kedepan dalam ruang lingkup sub sektor perkebunan terutama berkaitan dengan kondisi perkebunan secara khusus dari aspek hulu dan hilir. 1. Ketersediaan benih dan sarana produksi (implikasi peningkatan produksi dan produktivitas tanaman perkebunan berkelanjutan) Upaya meningkatkan produksi dan produktivitas komoditas perkebunan tidak terlepas dari kondisi benih yang digunakan dan penggunaan sarana produksi lainnya seperti pupuk dan pestisida. Masalah benih perkebunan menjadi penting, mengingat komoditas perkebunan merupakan investasi jangka panjang pada periode tanaman belum menghasilkan, khususnya tanaman tahunan yang relatif lama. Dengan demikian pengunaan benih unggul akan memberikan dampak yang baik terhadap budidaya tanaman dari resiko kerugian yang cukup tinggi. Selain itu, pengadaan benih belum sesuai dengan musim tanam, biasanya benih sampai dilokasi setelah musim tanam dan kadangkala benih sudah kadaluarsa dan mengalami penurunan kualitas. Kondisi lain adalah persoalan infrastruktur yang menyokong sistem perbenihan sulit berkembang karena memerlukan investasi yang cukup besar. Tidak banyak swasta yang mau menanamkan investasi untuk usaha perbenihan/perbibitan. Di lain pihak, pemerintah kurang berdaya menangani perbenihan karena persoalan ketersediaan anggaran dan kendala di sistem perbenihan itu sendiri. Dalam rangka mengantisipasi permasalahan tersebut dan untuk mencapai sasaran yaitu tersedianya benih unggul yang bermutu (varietas, mutu, waktu, jumlah, lokasi dan harga) harus sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 44 tahun 1995 tentang perbenihan tanaman yang mempersyaratkan benih bina yang diedarkan harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Untuk menjamin mutu benih, produksi benih bina harus melalui Sertifikasi. Dalam Surat Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) nomor 803/Kpts/OT.210/7/1997 tentang Sertifikasi dan Peredaran Benih Bina telah ditetapkan bahwa sertifikasi harus dilakukan terhadap produksi benih, baik melalui perbanyakan secara vegetatif maupun generatif. Masalah perbenihan lainnya adalah adanya keterbatasan sumber benih. Kebutuhan benih bermutu dan bersertifikat yang semakin meningkat ini perlu diikuti ketersediaan sumber benih, namun demikian belum semua wilayah mempunyai sumber benih. Keberadaan industri benih hanya di daerah tertentu dan belum tersebar di wilayah pengembangan komoditas perkebunan. Selain itu, upaya meningkatkan integrasi pengembangan 91 P a g e

92 sumber benih dengan wilayah pengembangan komoditas perkebunan belum dilakukan secara optimal terutama untuk pengembangan sumber daya insani (SDI) perbenihan dan sarana produksi. Dalam sistem perbenihan didukung oleh beberapa sub sistem yang terdiri dari: 1) sub sistem pengembangan varietas untuk mengantisipasi perubahan dan perkembangan selera masyarakat; 2) sub sistem produksi dan distribusi benih; 3) sub sistem perbaikan mutu melalui sertifikasi dan pelabelan; dan 4) sub sistem kelembagaan dan peningkatan SDI. Keberhasilan dalam menggerakkan seluruh komponen sub sistem perbenihan sangat dipengaruhi oleh komponen pendukung antara lain lembaga perbenihan, sumber daya insani, sarana dan prasarana, kebijakan pemerintah, sistem informasi, dan kesadaran konsumen dalam menggunakan benih bermutu. Dengan penerapan sub sistem perbenihan tersebut, berdasarkan penelitian dan praktek di lapangan, penggunaan benih/bibit unggul diakui telah menjadi satu faktor kunci keberhasilan peningkatan produksi komoditas perkebunan. Sarana produksi lain seperti pupuk dan pestisida dapat mempengaruhi keberhasilan budidaya tanaman perkebunan. Pupuk merupakan komoditas yang seringkali menjadi langka pada saat dibutuhkan, terutama pupuk bersubsidi. Sistem distribusi yang belum baik serta margin harga dunia yang relatif tinggi dibandingkan dengan harga pasar domestik mengakibatkan banyak terjadinya praktek penyelundupan pupuk bersubsidi ke luar negeri. Dengan keterbatasan penyediaan pupuk kimia, ternyata pengetahuan dan kesadaran petani untuk menggunakan dan mengembangkan pupuk organik sendiri, sebagai pupuk alternatif juga masih sangat kurang. Langkanya sarana input pupuk dan pestisida dipengaruhi oleh harga, kualitas dan ketersediaan sehingga akan mengakibatkan penurunan produktivitas tanaman. Peningkatan produktivitas tanaman perkebunan melalui penerapan Best Agricultural Practices (BAP) yang ramah lingkungan dirasa kurang lengkap. Untuk itu diperlukan suatu program yang dapat menggalakkan penerapan teknologi pemupukan dan penggunaan pestisida yang efisien dan berimbang. Selain berdampak pada penurunan produktivitas tanaman perkebunan, penggunaan pupuk dan pestisida yang tidak berimbang akan berdampak pada penurunan hasil produk yang drastis termasuk kualitas hasil tanaman perkebunan dan timbulnya hama yang resisten/munculnya eksplosif hama terbaru. Selama ini penerapan teknologi pemupukan, penggunaan pestisida, pengelolaan air dan teknologi budidaya belum berjalan optimal dalam 92 P a g e

93 meredam dampak negatif penggunaan pupuk dan pestisida yang tidak sesuai standar teknis. Upaya penggunaan pupuk organik maupun hayati di Indonesia yang bisa dijadikan alternatif kebijakan diantaranya melalui program SUPRADIN (Sistem Usahatani Perkebunan Rakyat Diversifikasi Integratif). Tantangan untuk mengembangkan sarana produksi pertanian kedepan adalah bagaimana mengembangkan penangkar benih/ bibit unggul dan bermutu, menumbuhkembangkan kelembagaan penyedia jasa alat dan mesin pertanian, mendorong petani memproduksi dan meningkatkan pemakaian pupuk organik, serta mendorong petani untuk menggunakan pestisida dan obat-obatan tanaman/hewan yang ramah lingkungan untuk perlindungan tanaman melalui sistem pengendalian hama terpadu (PHT). 2. Keterbatasan, penurunan kualitas, status kepemilikan, persaingan pemanfaatan, degradasi dan konversi/ alih fungsi lahan (implikasi permasalahan umum sumber daya lahan berkelanjutan) Konversi/alih fungsi lahan. Konversi lahan perkebunan ke non perkebunan merupakan isu sentral pembangunan perkebunan yang dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap produksi, aspek sosial ekonomi dan aspek lingkungan. Fenomena konversi lahan ini pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan dengan sub sektor lain di sektor pertanian seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan yang muncul akibat adanya 3 fenomena ekonomi dan sosial yaitu keterbatasan sumber daya alam, pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, belum optimalnya instrumen pengendalian pemanfaatan ruang yaitu Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), dimana selama ini pemberian izin pemanfaatan ruang hanya mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik RTRW pulau/ kepulauan, nasional, provinsi maupun kabupaten/ kota sehingga kurang operasional sebagai acuan perizinan dan pengendalian alih fungsi lahan. Berbagai kebijakan pengendalian alih fungsi lahan perkebunan dipertanyakan efektivitasnya, hal ini terutama diakibatkan oleh berbagai regulasi yang saling berkaitan tapi tidak berpihak pada petani/ pekebun, antara lain pengaturan tata niaga, kebijakan harga dan tarif ekspor-impor akibatnya, nilai tukar petani semakin kecil dan daya belinya menjadi kian lemah. Dengan kata lain selama mata pencaharian di bidang pertanian/ perkebunn dipandang tidak menguntungkan akan sulit mengendalikan alih fungsi lahan perkebunan. 93 P a g e

94 Dari sudut pandang ekologi, adanya konversi lahan dapat berdampak pada terganggunya ketahanan daya dukung lingkungan yaitu jika dilakukan secara terus menerus tanpa pengendalian dapat menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan seperti longsor, banjir, erosi, penurunan penutupan lahan (vegetasi) dan sedimentasi. Konversi lahan merupakan salah satu penyebab terjadinya kerusakan sumber daya alam dan lingkungan paling besar selain pembukaan lahan dengan pembakaran. Konversi lahan perkebunan sering disebabkan faktor ekonomi pekebun yang memaksa mereka menjual lahan walaupun mengakibatkan hilangnya sumber mata pencaharian. Dampak lain yang akan timbul akibat konversi lahan adalah timbulnya masalah bagi ketahanan pangan, lingkungan, kesempatan kerja dan masalah sosial lainnya. Selama kebijakan pembangunan ditujukan hanya untuk mengejar pertumbuhan ekonomi, maka konversi lahan sulit dicegah. Persoalan konversi lahan ini harus melibatkan regulasi Pusat dan Daerah. Peran aktif pemerintah daerah yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) terutama adalah dalam penyediaan peraturan perlindungan bagi lahan pertanian khususnya lahan perkebunan. Beragam kebijakan dikeluarkan Pemerintah untuk mendorong ketersediaan lahan pertanian berkelanjutan, termasuk memberikan insentif dan perlindungan, atau melarang konversi lahan pertanian produktif agar lahan pertanian tidak terus menerus berkurang tanpa terkendali. Namun pada kenyataannya konversi lahan pertanian/perkebunan ke perumahan dan industri terus berlangsung. Hal ini menjadi tantangan yang cukup berat bagi keberlanjutan produksi pertanian/ perkebunan dan mewujudkan kedaulatan pangan. Oleh karena itu, sistem atau cara perlindungan yang diberikan terhadap petani mulai dari aspek proses produksi sampai aspek pemasaran hasil dan sistem perdagangannya perlu dikembangkan lebih lanjut dengan basis kelembagaan yang kuat. Selain itu peran yang sangat krusial melibatkan antar sektoral perlu terus dikoordinasikan terutama dalam keterlibatan dalam arah kebijakan pengembangan pertanian/ perkebunan pada lahanlahan sub optimal dan kehutanan seperti dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Upaya-upaya yang bisa dilakukan dalam menekan laju konversi lahan pertanian ke depan adalah bagaimana melindungi keberadaan lahan pertanian melalui perencanaan dan pengendalian tata ruang; meningkatkan optimalisasi, rehabilitasi dan ekstensifikasi lahan; meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha pertanian serta pengendalian pertumbuhan penduduk. 94 P a g e

95 Keterbatasan lahan. Keterbatasan lahan untuk pengembangan komoditas unggulan perkebunan juga merupakan kendala kedepan diantaranya banyaknya lahan yang digunakan untuk penanaman kelapa sawit dan tanaman pangan, pembukaan lahan baru sebagai area permukiman karena banyaknya pemekaran wilayah, untuk keperluan industri, banyaknya lahan yang tidak produktif/marginal yang kurang dimanfaatkan serta inovasi dan teknologi yang tidak optimal dalam pemanfaatan lahan. Selain itu, masalah status penguasaan dan kepemilikan lahan akan menjadi tantangan pengembangan perkebunan kedepan. Dalam 10 tahun terakhir, luas lahan pertanian Indonesia tidak banyak berubah, masih sekitar 25 juta hektar. Kenyataan tersebut tidak berimbang dengan proyeksi pertumbuhan penduduk Indonesia tahun 2020 yang akan mencapai 293,88 juta jiwa. Namun, dilakukannya penambahan lahan di darat menimbulkan masalah baru salah satunya yakni laju deforestasi hutan untuk keperluan lahan pertanian semakin meningkat. Hal ini kemudian akan berdampak pada perkembangan produksi pangan. Konsep Agrocoastal's System akan menjadi solusi keterbatasan lahan yang dikembangkan dengan memanfaatkan wilayah perairan di daerah pesisir sebagai daerah produktif pertanian pangan dan perkebunan. Upaya lain untuk mengatasi keterbatasan lahan produktif adalah ekstensifikasi pertanian/ perkebunan yang mengarah pada lahan-lahan marginal. Lahan gambut adalah salah satu jenis lahan marginal yang dipilih, terutama oleh perkebunan besar karena relatif lebih jarang penduduknya sehingga kemungkinan konflik tata guna lahan relatif kecil. Indonesia memiliki lahan gambut terluas di antara negara tropis, yaitu sekitar 21 juta hektar, yang tersebar terutama di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Namun karena variabilitas lahan ini sangat tinggi, baik dari segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian/ perkebunan. Dari total lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya sekitar 6 juta hektar yang layak untuk pertanian/ perkebunan (Badan Litbang Pertanian, 2014). Persaingan pemanfaatan lahan. Dari aspek pemanfaatan lahan, peningkatan jumlah penduduk yang pesat dan distribusinya yang tidak merata mengakibatkan daya dukung lahan terlampaui. Kondisi demikian menimbulkan terjadinya kompetisi pemanfaatan lahan yang kurang sehat bagi kepentingan multi sektor yang sering kali menjadi pemicu terjadinya 95 P a g e

96 kasus Gangguan Usaha Perkebunan (GUP) khususnya untuk komoditas kelapa sawit. Dari sisi lain, sebagian lahan yang digunakan untuk budidaya tanaman perkebunan belum diusahakan dalam usaha dan hamparan yang ekonomis sehingga dapat mengurangi efisiensi dan efektivitas usaha yang pada gilirannya mengurangi nilai tambah bagi petani/ pekebun. Konflik yang ditimbulkan oleh pemerintah dapat terjadi akibat peraturan yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah tidak sejalan dengan kondisi lapangan. Dampaknya, terjadi tumpang tindih kepentingan penggunaan lahan seperti antara perebutan lahan antara perkebunan dengan tambang, perkebunan dengan perkebunan, dan perkebunan dengan hutan. Di daerah, konflik yang terjadi antar perusahaan perkebunan karena arahan yang dikeluarkan pemerintah daerah menunjuk lahan yang sebenarnya sudah dimiliki perusahaan perkebunan lain. Sebagai contoh, pengusaha yang mengajukan permohonan perpanjangan Hak Guna Usaha lahan sawitnya tetapi prosesnya lambat di tingkat Badan Pertanahan Nasional dan lama dikeluarkan. Akibatnya, lahan tersebut berpotensi menjadi rebutan pihak lain dan terancam diokupasi masyarakat setempat, karena status HGU lahan dianggap sudah tidak lagi diperpanjang. Faktor lainnya adalah pengawasan pemerintah terhadap kondisi lapangan sangatlah kurang. Pengawasan ini berkaitan dengan implementasi peraturan yang seringkali bertabrakan dengan regulasi lain. Dengan wewenang lebih besar di pemerintah daerah, idealnya konflik lahan perkebunan sawit dapat ditekan karena pemerintah setempatlah yang mengetahui lebih pasti kondisi di wilayahnya. Selain itu, faktor pemicu konflik diciptakan oleh perusahaan. Semisal ketika membuka lahan tidak mensosialisasikan kegiatan operasionalnya kepada masyarakat setempat. Padahal sosialisasi ini penting supaya perusahaan juga dapat memerhatikan aspek sosial dan lingkungan dengan mendengarkan masukan dari masyarakat sebagai contoh terdapat makam leluhur di lahan itu yang sebaiknya dapat dikonservasi oleh perusahaan. Tak hanya itu, tindakan perusahaan yang mengabaikan alokasi lahan plasma juga mendorong sikap resisten masyarakat terhadap kehadiran perkebunan kelapa sawit. Pemicu konflik juga berasal dari tindakan masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat. Bentuknya seperti kasus penyerobotan areal perusahaan perkebunan sawit dan perusahaan perkebunan lainnya yang dilakukan masyarakat khususnya terhadap lahan yang belum diberikan 96 P a g e

97 perpanjangan HGU. Rendahnya kesejahteraan masyarakat petani ditengarai pula akibat tindakan mereka yang melakukan pemindahtanganan lahan plasma miliknya kepada pihak lain. Modus lain yang dilakukan masyarakat lewat menuntut pengembalian lahan yang telah diberikan ganti rugi. Tuntutan ini dilakukan oleh generasi sekarang padahal perjanjian jual beli lahan telah selesai dilakukan antara perusahaan dengan generasi sebelumnya. Upaya yang harus dilakukan pemerintah supaya memecahkan masalah sengketa lahan adalah dengan memperkuat dan memperjelas regulasi, sebagai contoh penuntasan tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/ kota. Konsistensi dan sinergi peraturan semestinya dijalankan pula mulai dari pemerintah pusat sampai daerah. Untuk perusahaan, solusi nya adalah supaya program kemitraan inti plasma dijalankan sungguhsungguh dan lebih transparan/ akuntabel. Program Corporate Social Responsability (CSR) diprioritaskan kepada masyarakat sekitar perkebunan dan harus menjawab apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Jadi, perusahaan membangun hubungan kemitraan yang saling menguntungkan dengan masyarakat. Dengan masyarakat yang sejahtera secara ekonomi maka konflik pun dapat ditekan. Lebih lanjut lagi, penyelesaian konflik agraria di perkebunan kelapa sawit mesti diselesaikan dengan cara pemerintah mengatur skenario pembangunan road map kedaulatan dan kemandirian petani kelapa sawit. Langkah lain dapat pula membatasi Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan skala besar dengan waktu satu siklus tanaman. Untuk itu, pemerintah diminta lebih tegas kepada perusahaan sawit yang terlibat berkonflik dengan masyarakat. Penurunan kualitas lahan. Sebagian besar lahan pertanian/ perkebunan di Indonesia sudah mengalami penurunan kualitas, bahkan banyak yang termasuk kategori kritis. Penurunan kualitas lahan berhubungan dengan 1) terganggunya fungsi hidrologi DAS (jumlah dan kualitas air); 2) menurunnya kesuburan tanah (rendahnya ketersediaan hara dan kandungan bahan organik tanah); 3) menurunnya kualitas udara akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca (CO2, N2O, CH4) melebihi daya serap daratan dan lautan; 4) berkurangnya tingkat keindahan landsekap; dan 5) berkurangnya tingkat biodiversitas flora dan fauna baik di atas tanah maupun dalam tanah. Penurunan kualitas lahan juga disebabkan oleh pemakaian bahan kimia anorganik berlebihan. Pemakaian pupuk kimia anorganik berlebihan menyebabkan struktur tanah menjadi padat dan daya dukung tanah bagi 97 P a g e

98 pertumbuhan tanaman menurun. Disamping itu, produk-produk kimiawi tersebut, selain mengandung bahan yang diperlukan tanaman, dapat juga mengandung bahan kimiawi yang berbahaya (seperti senyawa klorin dan merkuri) bagi lahan dan makhluk hidup. Pada tahun 1992 kurang lebih 18 juta hektar lahan di Indonesia telah mengalami degradasi atau penurunan kualitas lahan. Pada tahun 2002 luasan tersebut meningkat menjadi 38,6 juta hektar (BPS, 2002). Bila kondisi ini dibiarkan maka dapat menimbulkan kerusakan lahan semakin luas dan berakibat penurunan produktivitas lahan dan tanaman. Selain itu, penyebab terjadinya penurunan sumber daya lahan adalah adanya alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian (intensif) dengan masukan yang berlebihan. Alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian menyebabkan hilangnya beberapa grup fungsional organisme tanah karena berubahnya jenis dan kerapatan tanaman yang tumbuh di atasnya sehingga mengubah tingkat penutupan permukaan tanah yang berdampak pada perubahan iklim mikro, jumlah dan macam masukan bahan organik, dan jenis perakaran yang tumbuh dalam tanah. Pada lahan-lahan pertanian, umumnya ada 4 masalah pokok yang berhubungan dengan penurunan kualitas lahan ini yaitu gangguan siklus atau ketersediaan hara (di tingkat lahan), rusaknya kondisi fisik tanah (porositas dan infiltrasi), gangguan fungsi hidrologi (tingkat DAS) serta serangan hama dan penyakit tanaman. Penurunan kualitas lahan ini mengakibatkan perubahan fungsi ekosistem terutama terjadi melalui penurunan kandungan bahan organik tanah (BOT) dan biodiversitas organisma tanah. Menurunnya fungsi ekosistem tersebut akan menurunkan produksi tanaman dan kualitas lingkungan seperti meningkatnya limpasan permukaan dan erosi, polusi udara, tanah dan air serta peledakan populasi hama. Langkah penanganan untuk mengatasi penurunan kualitas lahan melalui memanfaatkan produk bioteknologi, seperti pupuk dan pestisida hayati yang mengandung mikroba bersifat ramah lingkungan. Penggunaan mikroba sebagai pupuk hayati dapat membantu menyediakan unsur hara yang lengkap bagi tanaman, meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah dan juga sangat penting dalam memperbaiki struktur tanah. Sedangkan pemakaian pestisida hayati diharapkan selain dapat menanggulangi serangan hama dan penyakit dan mampu menjaga lingkungan tetap sehat. Kegiatan pengendalian OPT diharapkan melalui pendekatan Pengendalian Hama Terpadu (PHT). 98 P a g e

99 Degradasi lahan. Degradasi sumber daya air dan kinerja irigasi serta turunnya tingkat kesuburan fisik dan kimia lahan menjadi kendala utama dalam peningkatan ketersediaan pangan menuju kedaulatan pangan. Degradasi tanah di Indonesia yang paling dominan disebabkan oleh erosi. Proses ini sudah berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan pada lahan-lahan pertanian/ perkebunan. Degradasi lahan disebabkan oleh 3 (tiga) aspek, yaitu aspek fisik, kimia dan biologi. Degradasi secara fisik terdiri dari pemadatan, pengerakan, ketidakseimbangan air, terhalangnya aerasi, kebakaran hutan, aktivitas penambangan dan industri, konversi lahan pertanian ke non pertanian, aliran permukaan, dan erosi. Degradasi kimiawi terdiri dari asidifikasi, pengurasan unsur hara, pencucian, ketidakseimbangan unsur hara dan keracunan, salinisasi, dan alkalinisasi. Sedangkan degradasi biologis meliputi penurunan karbon organik tanah, penurunan keanekaragaman hayati tanah dan penurunan karbon biomassa. Faktor-faktor utama penyebab degradasi lahan adalah bahaya alami; perubahan jumlah populasi manusia; marjinalisasi tanah; kemiskinan; status kepemilikan tanah; ketidakstabilan politik dan masalah administrasi; kondisi sosial ekonomi; masalah kesehatan; praktek pertanian yang tidak tepat, serta aktifitas pertambangan dan industri. Erosi merupakan suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah atas, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin. Proses erosi ini dapat menyebabkan merosotnya produktivitas tanah, daya dukung tanah untuk produksi pertanian/ perkebunan dan kualitas lingkungan. Berdasarkan berbagai data yang diperoleh mengenai laju erosi di Indonesia, sekitar m 3 atau ton tanah/hektar lahan tererosi setiap tahun dengan laju peningkatan 7-14% atau 3-28 ton tanah/hektar/tahun. Data menunjukkan bahwa luas lahan kritis di Indonesia terus meningkat, yang diperkirakan telah mencapai 10,9 juta hektar. Penyebab utamanya adalah erosi dan longsor. Tingkat laju erosi tanah pada lahan pertanian di Indonesia yang berlereng 3-15% tergolong tinggi, yaitu berkisar 97,5-423,6 ton/hektar/tahun. Padahal banyak lahan pertanian yang berlereng lebih dari 15%, sehingga laju erosi bisa dipastikan sangat tinggi, terutama daerah yang memiliki curah hujan tinggi. Semakin meningkatnya jumlah tanah yang terdegradasi, bukan tidak mungkin mengakibatkan manusia akan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasar berupa bahan pangan maupun lahan untuk tempat tinggal. Kekhawatiran itu bukanlah hal yang tidak beralasan, karena dalam beberapa tahun terakhir banyak dilaporkan bahwa tanah di 99 P a g e

100 sebagian besar belahan bumi mengalami degradasi akibat erosi dan salinasi (penggaraman) pada tingkat yang mengkhawatirkan. Hal ini menjadikan erosi tanah sebagai salah satu masalah lingkungan yang paling serius di seluruh belahan bumi saat ini terutama di Indonesia. Untuk itulah diperlukan adanya suatu upaya yang mampu menciptakan budidaya pertanian berkelanjutan dengan memperhatikan kondisi tanah pertanian. Salah satu bagian penting dari budidaya pertanian yang sering diabaikan adalah konservasi tanah. Padahal tanpa tindakan konservasi tanah yang efektif dan produktivitas lahan yang tinggi, usaha pertanian sulit dijamin keberlanjutannya. Konservasi tanah penting dilakukan karena bertujuan untuk melindungi tanah dari pengrusakan oleh proses degradasi yang terjadi. Secara umum, konservasi tanah adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Secara lebih khusus, konservasi tanah dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan memperbaiki tanah yang rusak oleh erosi. Tanah merupakan bahan padat yang juga terdiri dari air, bahan organik, bahan mineral dan udara, sehingga perubahan sifat dari air serta udara di dalam tanah akan berpengaruh terhadap tanah tersebut. Apabila tanah terairi oleh air, maka sifat kimia air tersebut akan mempengaruhi sifat tanah. Oleh karena itu, konservasi tanah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan konservasi air. Rendahnya adopsi teknologi konservasi tanah dan air bukan karena keterbatasan teknologi, tetapi lebih utama disebabkan oleh masalah non teknis. Kebijakan dan perhatian pemerintah sangat menentukan efektivitas dan keberhasilan dalam upaya konservasi tanah dan air, baik dari segi kelembagaan maupun pendanaan. Selama ini, prioritas utama pembangunan pertanian lebih kepada peningkatan hasil produksi dan pertumbuhan ekonomi secara makro sehingga aspek keberlanjutan dan kelestarian sumber daya lahan kurang terperhatikan. Padahal aspek tersebut berdampak bagi pembangunan pertanian di masa mendatang dalam jangka panjang. Upaya yang dilakukan untuk konservasi tanah dan air oleh pemerintah hanya mengandalkan pendekatan yuridis yang bersifat larangan. Namun peraturan yang ada tersebut terkesan tumpul karena adanya kelemahan pada peraturan itu sendiri, terutama yang terkait dengan masalah kekuatan hukum dan sanksi pelanggaran. Selain itu, peraturan-peraturan tersebut terkesan bertentangan dengan 100 P a g e

101 fenomena degradasi tanah dan air yang tidak mungkin dihindari selama pertumbuhan ekonomi masih merupakan tujuan pembangunan. Secara umum, proses degradasi lahan dan lingkungan ini mengancam keberhasilan program pembangunan pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani serta menjaga kelestarian sumber daya alam. Strategi yang bisa dilakukan antara lain : 1) meningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya lahan pertanian/ perkebunan; 2) penguatan kelembagaan penyuluhan pertanian/ perkebunan, termasuk pengadaan tenaga khusus konservasi tanah dan air; 3) penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan lahan pertanian/ perkebunan; dan 4) melakukan penyuluhan dan memberikan penjelasan secara intensif kepada masyarakat luas bahwa penyelamatan sumber daya lahan dan lingkungan bukan hanya tanggung jawab pemerintah tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh masyarakat. Status kepemilikan lahan. Luas penguasaan lahan petani/ pekebun semakin sempit sehingga menyulitkan upaya peningkatan kesejahteraan petani/ pekebun. Pada tahun 2012, luas penguasaan lahan per petani yaitu 0,22 hektar dan diperkirakan akan menjadi 0,18 hektar pada tahun Hal ini menyulitkan upaya peningkatan kesejahteraan petani/ pekebun, penyempitan penguasaan lahan mengakibatkan tidak efisien dalam berusaha tani. Berdasarkan Sensus Pertanian tahun 2003, sejak tahun 1993 jumlah rumah tangga petani gurem yang kepemilikan lahannya kurang dari 0,5 hektar meningkat dari 10,9 juta rumah tangga menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun Hasil penelitian Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian tahun 2008, rataan kepemilikan lahan petani di pedesaan sebesar 0,41 hektar dan 0,96 hektar masing-masing di Jawa dan Luar Jawa. Kondisi kepemilikan lahan ini disebabkan oleh: (1) meningkatnya konversi lahan pertanian/ perkebunan untuk keperluan pemukiman dan fasilitas umum, (2) terjadinya fragmentasi lahan karena proses pewarisan, dan (3) terjadinya penjualan tanah/ lahan pangan. Menurunnya rata-rata luas pemilikan lahan diikuti pula dengan meningkatnya ketimpangan distribusi pemilikan lahan terjadi pada agroekosistem di Pulau Jawa. Status penguasaan lahan oleh petani/ pekebun sebagian besar belum bersertifikat sehingga lahan belum bisa dijadikan sebagai jaminan memperoleh kredit perbankan. Pesatnya laju pembangunan ekonomi berbasis sumber daya lahan telah membawa implikasi terhadap pelanggaran tata ruang. Otonomi daerah juga membawa akses peningkatan pemanfaatan lahan multi sektoral. Kondisi 101 P a g e

102 tersebut pada kenyataannya sulit diimbangi dengan penyediaan lahan, baik melalui pemanfaatan lahan pertanian/ perkebunan yang ada maupun pembukaan lahan baru. 3. Pemberdayaan pekebun (implikasi peningkatan kemampuan pekebun dalam usaha agribisnis perkebunan) Pemberdayaan petani dilakukan dengan tujuan meningkatkan kemampuan petani dalam melaksanakan usaha tani yang lebih baik melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian/ perkebunan, penyediaan fasilitas pembiayaan dan permodalan, kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi serta penguatan kelembagaan petani/ pekebun. Kelembagaan dan pemberdayaan pekebun dalam sistem kelembagaan merupakan 2 hal yang saling terkait dan masih menjadi permasalahan dalam proses pembangunan perkebunan kedepan. Pendekatan kelembagaan dalam memberdayakan pekebun telah menjadi strategi penting dalam pembangunan perkebunan. Pengembangan kelembagaan perkebunan dalam ruang lingkup pemberdayaan baik formal maupun informal belum memberikan peran berarti di perdesaan. Hal ini disebabkan oleh peran antar lembaga pendidikan, pelatihan dan penyuluhan belum terkoordinasi dengan baik. Fungsi, keberadaan, koordinasi, kinerja kelembagaan baik kelembagaan pekebun maupun kelembagaan keuangan harus seiring sejalan dengan meningkatnya usaha agribisnis perkebunan di desa. 4. Kondisi pertanaman perkebunan (implikasi banyaknya tanaman tua dan tanaman dengan produktivitas rendah) Berbagai kegiatan pembangunan perkebunan telah berhasil meningkatkan produktivitas dan mutu sebagian besar komoditas unggulan perkebunan. Meskipun demikian, secara umum produktivitas dan mutu komoditas perkebunan tersebut masih di bawah potensi yang seharusnya dicapai ditengah fasilitasi APBN terhadap pembangunan komoditas perkebunan cukup besar. Dalam upaya peningkatan produksi dan mutu tanaman perkebunan menghadapi kendala yaitu kondisi pertanaman yang masih dibudidayakan secara tradisional dan tidak memenuhi syarat penanaman yang baik, intensitas pemeliharaan rendah, usaha tani yang monokultur, 102 P a g e

103 sistem budidaya yang tidak optimal, penanganan pascapanen, kurangnya input produksi, kurang berkembangnya inovasi teknologi baik dalam hal pemanfaatannya, diseminasi maupun aksesbilitasnya, manajemen kelembagaan kurang optimal, infrastruktur kurang memadai, belum optimalnya penggunaan benih unggul dan sarana produksi, adanya serangan Organisme Penganggu Tanaman (OPT), dampak perubahan iklim dan Gangguan Usaha Perkebunan (GUP), belum terpenuhinya standar populasi tanaman per hektar dan didominasinya pertanaman oleh tanaman tua/rusak dan berproduktivitas rendah. Oleh karena itu pengembangan komoditas perkebunan kedepan perlu memperoleh perhatian yang lebih cermat, mengingat luas pertanaman eksisting diproyeksi akan mengalami penurunan yang salah satunya disebabkan oleh keterbatasan, penurunan kualitas, status kepemilikan, persaingan pemanfaatan, degradasi dan konversi/ alih fungsi lahan. Kebijakan pengembangan perkebunan yang ekstensif, sejauh ini telah mengesampingkan produktivitas, efisiensi dan product development. Dengan berbagai upaya pembangunan, secara umum beberapa komoditas mengalami kenaikan produktivitas, namun secara umum produktivitas komoditas perkebunan masih rendah dan masih dapat ditingkatkan. Masih rendahnya produktivitas komoditas perkebunan dan produktivitas lahan itu sendiri merupakan tantangan bagi pengembangan perkebunan kedepan. 5. Tuntutan penerapan konsep pembangunan perkebunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (implikasi dari pemberlakuan ISPO) Hambatan teknis yang menjadi tantangan sub sektor perkebunan ke depan adalah isu lingkungan. Isu lingkungan ini mengakibatkan masingmasing negara/kawasan tujuan ekspor menetapkan sendiri standar untuk ekspor atau impor produk perkebunan yang dikaitkan dengan bagaimana produk yang sampai ke negara tersebut di budidayakan dengan baik tanpa merusak lingkungan mulai dari aspek pembukaan lahan, penanaman, pemeliharaan, penggunaan pestisida/obat sampai penanganan pascapanen dan distribusinya. Sebagai contohnya pada komoditas kelapa sawit yang diekspor bahwa Uni Eropa mengkaitkan impor CPO (Crude Palm Oil) dengan isu pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup berkelanjutan (Roundtable on Sustainable Palm Oil/RSPO) sehingga Indonesia menetapkan RSPO dalam bentuk ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). 103 P a g e

104 ISPO adalah suatu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan. Pelaksanaan ISPO akan dilakukan dengan memegang teguh prinsip pembinaan dan advokasi serta bimbingan kepada pekebun/petani kelapa sawit yang merupakan tugas pemerintah. Oleh karena itu tahap pertama dari pelaksanaan sertifikasi ISPO adalah penilaian usaha perkebunan. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 7 tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan sedangkan sertifikasi merupakan tuntutan perdagangan internasional yang dilaksanakan sesuai ketentuan internasional yang antara lain memenuhi kaedah International Standard Organization (ISO). Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 11/Permentan/ OT.140/ 3/ 2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System/ ISPO) menyatakan bahwa penerapan ISPO dilakukan secara wajib oleh perusahaan perkebunan yang melakukan usaha budidaya perkebunan kelapa sawit (sesuai penetapan kelas kebun: kelas I, kelas II dan kelas III) terintegrasi dengan usaha pengolahannya. Penerapan ISPO secara sukarela dilakukan oleh usaha kebun plasma, usaha kebun swadaya dan preusahaan perkebunan yang memproduksi minyak kelapa sawit untuk energi terbarukan. Lebih lanjut, Ditjen. Perkebunan akan melaksanakan pembinan dan bimbingan untuk penerapan ISPO kepada kebun plasma dan kebun swadaya, sedangkan penilaian untuk sertifikasi ISPO secara transparan dan independen sampai dengan sertifikasi dilakukan oleh Lembaga Sertifikasi yang terakreditasi. Setidaknya ada 7 Prinsip dan Kriteria ISPO Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan meliputi 1) sistem perizinan dan manajemen perkebunan; 2) penerapan pedoman teknis budidaya dan pengolahan kelapa sawit; 3) pengelolaan dan pemantauan lingkungan; 4) memiliki tanggung jawab terhadap pekerja; 5) memiliki tanggung jawab sosial dan komunitas; 6) pemberdayaan kegiatan ekonomi masyarakat; dan 7) peningkatan usaha secara berkelanjutan. Berdasarkan data dari Direktorat Pascapanen dan Pembinaan Usaha, Ditjen. Perkebunan sampai dengan bulan Juni 2015 terdapat 96 perusahaan kelapa sawit di seluruh Indonesia yang sudah mendapatkan sertifikat ISPO dalam usaha budidaya komoditas kelapa sawit. Komitmen ISPO tersebut terus 104 P a g e

105 dilakukan Ditjen. Perkebunan, perusahaan perkebunan kelapa sawit, Lembaga Sertifikasi, pemerintah daerah dan masyarakat pekebun kelapa sawit sebagai bentuk dukungan penerapan budidaya perkebunan berwawasan lingkungan. 6. Tuntutan pengaturan perizinan usaha perkebunan (implikasi reformasi birokrasi perizinan dalam era otonomi daerah) Belum adanya sinergi antara kebijakan Pemerintah Pusat, Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota akan mempengaruhi pelaksanaan perizinan usaha perkebunan sehingga dapat menghambat pembangunan perkebunan di Indonesia. Selain itu masalah banyaknya tumpah tindih izin lokasi usaha perkebunan, reformasi birokrasi perizinan usaha perkebunan belum berjalan sebagaimana mestinya dan otonomi daerah belum sepenuhnya mendukung reformasi birokrasi. Terbitnya Peraturan Menteri Pertanian nomor 98 tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan mengatur beberapa hal penting, pertama adalah keharusan integrasi hulu dan hilir di industri perkebunan. Kedua, pabrik pengolahan harus memenuhi unsur minimal menggunakan bahan baku dari kebun sendiri serta kewajiban melepas saham pabrik pengolahan tersebut minimum 30% kepada masyarakat secara bertahap selama 10 tahun. Ketiga adalah kewajiban membangun kebun plasma bagi petani minimal 20% dari luas lahan kebun milik perusahaan dan keempat, pembatasan luas maksimal lahan perkebunan yang dimiliki oleh satu grup usaha perkebunan yaitu sebesar hektar. Peraturan ini secara umum berdampak positif terutama terkait pembatasan lahan yang pada akhirnya berdampak pada pergerakan harga komoditas. Pengaturan perizinan usaha perkebunan juga berkaitan erat dengan kepentingan nasional kedepan artinya dengan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur izin usaha perkebunan maka penguasaan lahan perkebunan dan besarnya investasi asing masuk kedalam sub sektor perkebunan dapat dikendalikan dan menjadi tantangan yang harus dipikirkan bersama. Kedepan perlu adanya regulasi dan kebijakan yang jelas dan lebih kongkret dalam mengatur besarnya penguasaan lahan perkebunan untuk dimanfaatkan oleh perusahaan asing dan seberapa besarnya investasi yang boleh masuk ke Indonesia dengan pembagian keuntungan yang adil dengan pemerintah (pusat dan daerah) dan masyarakat pekebun. Hal ini penting karena dari penguasaan lahan dan investasi akan meronrong kebijakan 105 P a g e

106 nasional Indonesia terutama yang berhubungan dengan stabilitas politik, ekonomi dan pertahanan keamanan NKRI. 7. Konflik dan gangguan usaha perkebunan (implikasi keamanan, kenyamanan berusaha serta penciptaan minat dan iklim investasi) Pada umumnya yang dimaksud Gangguan Usaha Perkebunan (GUP) adalah suatu keadaan terjadinya gangguan yang dapat mempengaruhi penurunan kinerja usaha di bidang perkebunan. Konflik usaha perkebunan yang sering dan cukup banyak terjadi utamanya yang menyangkut kasus lahan sebanyak 80%, sedangkan non lahan 20% misalnya disebabkan oleh Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Gangguan kasus lahan atau non OPT berkaitan secara langsung dengan aspek sosial dan lingkungan diantaranya: a. Tumpang tindih lahan; b. Okupasi lahan/penyerobotan lahan; c. Tuntutan pengembalian lahan; d. Pembebasan lahan/tuntutan ganti rugi; e. Jual beli lahan/kebun; f. Pola kemitraan (pola yang diterapkan) dan kesepakatan kemitraan; g. Tuntutan masyarakat untuk dipekerjakan sebagai karyawan, maupun sebagai kontraktor dengan alasan sebagai Putra Daerah; h. Pendudukan tanah perkebunan dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan hidup; i. Lahan belum dibebaskan sudah di Land Clearing (LC); j. Kebun kas desa; k. Pencurian/penjarahan (produksi); l. Penolakan salah satu lembaga atau pendirian perusahaan tertentu; m. Isu-isu negatif lain terkait lingkungan hidup tentang komoditas yang akan ditanam (contoh: kelapa sawit); n. Pencemaran dan atau pengrusakan lingkungan hidup; o. Sengketa tanah/lahan HGU lainnya. Dampak dari gangguan usaha perkebunan jika tidak dikelola dan diselesaikan dengan mencari solusi terbaik maka konflik akan meluas menjadi anarkis dan mengganggu aktivitas dan kinerja perusahaan dan 106 P a g e

107 pembangunan perkebunan. Konflik ini juga akan menurunkan minat dan iklim investasi dan yang lebih berbahaya adalah menimbulkan disintegrasi sosial. Peran pemerintah daerah (instansi terkait) selaku pengambil kebijakan/pemberi izin dan pembina perusahaan harus lebih dioptimalkan untuk menjembatani masalah dan memberikan solusi yang saling menguntungkan kepada petani/masyarakat dan perusahaan. Selain itu peran pemerintah pusat dalam hal ini Ditjen. Perkebunan dalam mengidentifikasi, menginventarisasi dan memfasilitasi penanganan gangguan usaha dan konfik usaha perkebunan sangat penting terutama dengan mendahulukan penyelesaian dengan cara kekeluargaan, diplomasi dan musyawarah untuk mufakat. Penyelesaian konfik dan gangguan usaha perkebunan yang sudah terjadi dapat dilakukan melalui koordinasi dengan aparat penegak hukum di wilayah setempat seperti Kepolisian RI dan TNI Angkatan Darat. BAB II ARAH KEBIJAKAN, SASARAN DAN STRATEGI DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN P a g e

108 2.1. Kerangka Berfikir Penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Perkebunan tahun Sebagai dasar dalam mengembangkan perkebunan ke depan, Direktorat Jenderal Perkebunan merumuskan kerangka berfikir yang berbasis perencanaan. Kerangka berfikir ini memuat analisis perencanaan dalam memproyeksi target mikro pembangunan perkebunan kedepan yang meliputi proyeksi luas tanaman menghasilkan (TM), produksi dan produktivitas terhadap pemenuhan program ekstensifikasi, intensifikasi dan peremajaan tanaman. Selain itu memproyeksi kebutuhan investasi dan penyerapan tenaga kerja atas dasar pertumbuhan PDB. Berikut ini adalah kerangka berfikir penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Perkebunan tahun yang disajikan pada Gambar 2. Gambar 2. Kerangka Berfikir Penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Perkebunan tahun Pada gambar 2 dapat dijelaskan bahwa perhitungan target atau sasaran produksi perkebunan tahun dihitung dengan menggunakan pendekatan bahwa pertumbuhan PDB dipengaruhi oleh pertumbuhan PDB tahun sebelumnya, pertumbuhan produksi dan nilai net ekspor komoditas perkebunan. Hasil perhitungan pertumbuhan produksi tersebut diturunkan dari besaran pertumbuhan produksi komoditas perkebunan dan besaran pertumbuhan nilai net ekspor komoditas perkebunan. 108 P a g e

109 Mengingat produksi komoditas perkebunan merupakan perkalian antara luas panen atau luas tanaman menghasilkan dengan produktivitasnya, maka dilakukan proyeksi luas panen atau luas tanaman menghasilkan untuk memperoleh nilai produktivitas. Proyeksi luas tanaman menghasilkan dihitung dengan menggunakan metode analisis regresi deret waktu. Selanjutnya hasil analisis proyeksi tersebut digunakan untuk menghitung proyeksi produktivitas, dengan pendekatan hasil produksi dibagi dengan luas panen atau luas tanaman menghasilkan. Sinergitas TM, TBM dan TTR dapat dijelaskan untuk tanaman tahunan dan rempah penyegar. Sedangkan pada tanaman semusim, luas panen hasil proyeksi digunakan untuk menduga luas tanam berdasarkan rasio antara luas tanam dan luas panen selama periode 1970 hingga 2012 sehingga langsung dapat diperoleh luas panen dan luas tanam hasil proyeksi. Pada tanaman tahunan dan tanaman rempah penyegar, luas total tanaman perkebunan terdiri dari luas tanaman belum menghasilkan (TBM), luas tanaman menghasilkan (TM) menghasilkan dan luas tanaman tua atau rusak (TTR). Proyeksi luas TBM dihitung dengan metode analisis regresi deret waktu, sementara luas TTR dihitung dengan menggunakan pendekatan pertambahan luas TM dikurangi dengan pertambahan luas TBM pada saat umur tanam seharusnya menghasilkan pada masing-masing komoditas. Kelebihan luas TBM pada masing-masing tahun setelah dikurangi TBM pada saat seharusnya tanaman menghasilkan dianggap merupakan tambahan luas tanaman baru. Mengingat tanaman perkebunan terdiri dari Perkebunan Rakyat (PR), Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS), maka perhitungan proyeksi tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan rincian luas TBM, TM dan TTR pada ketiga pelaku usaha tersebut. Penggunaan dana pemerintah/apbn digunakan untuk pembangunan perkebunan rakyat, maka dalam program intensifikasi akan dapat diperkirakan luas areal intensifikasi perkebunan rakyat pada TBM dan TM. Mengingat sumber pendanaan berasal dari petani/rakyat, pemerintah maupun swasta, maka program yang menggunakan dana dari pemerintah disesuaikan dengan kemampuan anggaran. Selebihnya diharapkan bersumber dari petani/rakyat sendiri dan dari swasta melalui program kemitraan usaha. 109 P a g e

110 Luas TTR merupakan penjumlahan dari luas tanaman yang telah memasuki usia habis masa produksinya/tanaman tua (TT) dan tanaman yang rusak karena terkena serangan OPT, tidak terawat atau terkena banjir dan kekeringan (TR). Luas TR merupakan luas TTR dikurangi dengan TT. Dengan pendekatan ini maka dapat diketahui berapa luas tanaman yang harus direhabilitasi sesuai dengan usia habis masa produktif masing-masing jenis tanaman dan berapa luas tanaman yang harus diremajakan serta berapa besaran kebutuhan luas tambahan tanaman baru untuk perluasan areal. Untuk memproyeksi kebutuhan investasi pembangunan perkebunan selama tahun menggunakan pendekatan ICOR (Incremental Capital Output Ratio) sedangkan untuk memperkirakan penyerapan tenaga kerja menggunakan pendekatan ILOR (Incremental Labour Output Ratio). Proyeksi nilai ICOR dihitung berdasarkan rata-rata ICOR periode Porsi anggaran pemerintah, investasi oleh petani dan swasta (PMDN dan PMA, serta non fasilitas) merupakan rata-rata anggaran periode tersebut, dimana proyeksi nilai investasi petani dihitung dengan pendekatan nilai total investasi dikurangi dengan anggaran pemerintah dan swasta. Nilai kebutuhan investasi untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan PDB perkebunan merupakan nilai ICOR dikalikan dengan target pertumbuhan PDB Nilai ILOR juga diproyeksi dengan menggunakan rentang waktu data yang sama dan proyeksi penyerapan tenaga kerja dihitung dengan pendekatan nilai ILOR dikalikan dengan target pertumbuhan PDB Hasil proyeksi PDB dibagi dengan nilai proyeksi penyerapan tenaga kerja merupakan nilai perkiraan pendapatan per kapita perkebunan Arah Kebijakan Direktorat Jenderal Perkebunan Dalam rangka mendukung arah kebijakan Pembangunan Nasional tahun dan kebijakan Kementerian Pertanian tahun , maka Direktorat Jenderal Perkebunan menetapkan arah kebijakan Direktorat Jenderal Perkebunan tahun sebagai dasar pelaksanaan 110 P a g e

111 strategi, program dan kegiatan Direktorat Jenderal Perkebunan tahun Arah kebijakan pembangunan perkebunan 5 tahun mendatang ditetapkan menjadi Arah Kebijakan Umum dan Arah Kebijakan Khusus. Arah kebijakan umum ditetapkan dalam rangka mendukung program Direktorat Jenderal Perkebunan tahun yaitu peningkatan produksi komoditas perkebunan berkelanjutan, sedangkan arah kebijakan khusus adalah arah kebijakan pembangunan perkebunan tahun yang ditetapkan dalam rangka mendukung pencapaian 7 sasaran strategis Kementerian Pertanian tahun baik sasaran strategis utama maupun sasaran strategis pendukung. Implementasi dukungan Ditjen. Perkebunan tahun dalam pencapaian 7 sasaran strategis Kementerian Pertanian tahun diantaranya meliputi: 1. Sasaran Strategis Utama Ditjen. Perkebunan tahun : a. Pemenuhan penyediaan bahan baku tebu dalam rangka peningkatan produksi gula nasional; b. Peningkatan komoditas perkebunan bernilai tambah dan berorientasi ekspor dalam mewujudkan daya saing sub sektor perkebunan yang difokuskan pada pengembangan produk segar dan olahan dari 16 komoditas unggulan perkebunan; c. Pemenuhan penyediaan bahan baku bio-energy dan pengembangan fondasi sistem pertanian bio-industry dengan fokus pengembangan komoditas kelapa sawit baik melalui kegiatan budidaya dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas maupun melalui kegiatan integrasi tanaman perkebunan dengan ternak dan tumpang sari dengan komoditas pertanian lainnya serta penyediaan benih kemiri sunan. 2. Sasaran Strategis Pendukung Ditjen. Perkebunan tahun : a. Peningkatan kualitas sumber daya insani perkebunan; b. Penguatan kelembagaan pekebun dan kemitraan usaha perkebunan; c. Akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik dengan menerapkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas, efisiensi, supremasi hukum, keadilan, integritas/ komitmen, 111 P a g e

112 kejujuran, konsistensi dan bebas KKN di lingkungan organisasi Ditjen. Perkebunan; dan d. Peningkatan pendapatan keluarga pekebun yang merupakan resultan dari pencapaian sasaran strategis lainnya. A. Arah Kebijakan Umum Berikut ini ditetapkan arah kebijakan umum pembangunan perkebunan tahun ) Pengembangan komoditas perkebunan strategis Arah kebijakan ini dimaksudkan untuk memfokuskan pengembangan komoditas unggulan nasional perkebunan yang memiliki manfaat dan fungsi strategis dalam perekonomian nasional dan berkontribusi terhadap sumber penerimaan negara seperti komoditas tebu, kelapa sawit, karet, kelapa, kakao, kopi, teh, pala, lada dan cengkeh. Selain itu juga dikembangkan komoditas lain sesuai potensi lokal seperti nilam, kemiri sunan, kapas, jambu mete, tembakau dan sagu. Pengembangan komoditas unggulan perkebunan tersebut dipilih pada lahan-lahan eksisting dan bukaan baru yang sesuai dengan potensi, kebutuhan dan kesiapan daerah. Fokus pengembangan komoditas unggulan perkebunan yang memiliki manfaat dan fungsi strategis dipersyaratkan layak secara ekonomi, layak bio-fisik/agro-ecosystem, layak sosial, layak pasar dan layak pengembangan atau memiliki potensi keberlanjutan. Pengembangan komoditas tersebut diarahkan pada upaya-upaya untuk meningkatan produksi dan produktivitas tanaman perkebunan melalui kegiatan rehabilitasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi yang didukung oleh penyediaan benih bermutu, pemberdayaan petani dan penguatan kelembagaan, pembangunan dan pemeliharaan kebun sumber benih, penanganan pascapanen, pembinaan usaha dan perlindungan perkebunan serta pemberian pelayanan berkualitas. Selain itu, arah kebijakan ini juga dimaksudkan untuk mendorong usaha agribisnis perkebunan dibudidayakan melalui sistem budidaya perkebunan yang baik dan berkelanjutan agar dihasilkan produksi dan produktivitas tanaman perkebunan yang optimal. Terdapat 5 arah kebijakan yang dibangun melalui sistem budidaya yang baik ini diantaranya 1) akselerasi peningkatan produktivitas tanaman, 2) penerapan budidaya yang baik (GAP, GMP, SPS, dan lain-lain), 3) penerapan budidaya yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, 4) mewujudkan 7 Gema Revitalisasi (revitalisasi lahan, revitalisasi 112 P a g e

113 perbenihan dan perbibitan, revitalisasi infrastruktur pertanian, revitalisasi SDM petani, revitalisasi permodalan petani, revitalisasi kelembagaan petani dan revitalisasi teknologi dan industri hilir); serta 5) mendorong sistem pertanian polikultur, terpadu dan terintegrasi. Berikut ini adalah 8 kelompok fokus pengembangan komoditas unggulan perkebunan yang strategis menurut fungsinya. a. Bahan makanan pokok nasional adalah gula/tebu. b. Bahan makanan pokok lokal adalah sagu. c. Produk pertanian penting pengendali inflasi adalah CPO/minyak goreng. d. Bahan baku industri konvensional yaitu kelapa sawit, karet, kakao, kopi, lada, pala, teh, jambu mete, kapas, tembakau. e. Bahan baku industri lainnya yaitu minyak atsiri (nilam, pala, cengkeh). f. Produk industri pertanian prospektif yaitu pala, lada, cengkeh, sagu. g. Produk energi pertanian prospektif yaitu kemiri sunan, tebu, kelapa, kelapa sawit, sagu. h. Produk pertanian berorientasi ekspor dan substitusi impor yaitu kelapa sawit, karet, kakao, kopi, lada, pala, teh, jambu mete, kapas, tembakau. Khusus untuk komoditas karet, kebijakan pengembangan areal produktif karet kedepan harus memperhatikan kesepakatan perjanjian internasional dalam ITRC (International Tripartie Rubber Council) antar produsen karet dunia yang beranggotakan Indonesia, Thailand dan Malaysia yang dibentuk setelah penandatanganan Bali Declaration pada tanggal 12 Desember 2001 di Bali. Kerjasama ITRC dilaksanakan dalam pendirian IRCo (International Rubber Consortium Limited). Kesepakatan yang tertuang adalah dengan melakukan upaya-upaya pengendalian harga yang selalu berfluktuasi akibat kekurangan pasokan karet alam sehingga komoditas karet mampu memberikan intensif yang wajar kepada petani. Kesepakatan negara ITRC tersebut dilakukan melalui 3 mekanisme yaitu: 1. Supply Management Scheme (SMS) yaitu pengendalian produksi karet di hulu/ditingkat pekebun untuk jangka panjang melalui peremajaan, diversifikasi kebun, peningkatan konsumsi di dalam negeri, menjarangkan frekuensi penyadapan pohon karet dan tidak ada pembukaan/penanaman kebun baru. 113 P a g e

114 2. Agreed Export Tonnage Scheme (AETS) yaitu pengetatan/pengurangan pasokan karet alam (RSS/ crumb rubber termasuk lateks) di pasar dunia pada saat terjadi kelebihan dibanding permintaan, dalam hal ini dilakukan pengendalian ekspor. 3. Strategic Market Operation (SMO) yaitu tindakan di pasar untuk menyerap kelebihan pasokan karet alam. Kedepan diharapkan pengembangan karet selain melalui mekanisme SMS, AETS dan SMO untuk stabilisasi harga maka dilakukan fokus kegiatan pada 1) peningkatan kapasitas melalui pelatihan; 2) memperluas penelitian dan pengembangan dibidang produksi, pemrosesan dan pemasaran; 3) penyusunan standar mutu; 4) penciptaan suatu mekanisme agar harga komoditi dapat stabil pada tingkat yang menguntungkan produsen melalui operation buffer stock dan export control; 5) mempromosikan produk-produk negara anggota melalui pameran-pameran; dan 6) membuka akses pasar (diversifikasi pasar ekspor komoditi). Mengingat pentingnya menjaga kestabilan harga karet dalam rangka memajukan usaha perkebunan karet, dan menimbang fungsi dari organisasi komoditi internasional (ITRC) sebagai stabilitator harga karet. Maka Indonesia menganggap pentingnya meningkatkan peranan dan posisi Indonesia di organisasi ITRC dan IRCo. Dengan kebijakan tersebut diharapkan dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia dan negara produsen karet dalam perdagangan komoditi global serta mampu meningkatkan kesejahteraan petani/ pekebun karet. Untuk komoditas kelapa sawit setelah dibentuknya Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit maka tupoksi Ditjen. Perkebunan dalam pengembangan areal produktif kelapa sawit akan sangat terbatas dan lebih banyak diprioritaskan dalam penyusunan norma, standar, prosedur, kriteria, regulasi dan kebijakan perkelapa sawitan di Indonesia. Kedepan terkait tupoksi perlu dipertegas secara tertulis bagaimana kewenangan Ditjen. Pekebunan karena masih ada beberapa persepsi terkait kegiatan pengembangan kelapa sawit. 2) Pengembangan kawasan berbasis komoditas unggulan perkebunan Arah kebijakan ini dimaksudkan sebagai implementasi dari Peraturan Menteri Pertanian nomor 50/OT.140/8/2012 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian yang mengamanatkan penetapan kawasan pertanian nasional termasuk kawasan perkebunan melalui 114 P a g e

115 pengembangan komoditas unggulan nasional. Adapun 5 butir amanat Permentan ini adalah 1) membentuk Kawasan Pertanian Nasional, Provinsi dan Kabupaten/Kota; 2) Mengembangkan 40 komoditas pertanian unggulan nasional di Kabupaten/Kota melalui: pemanfaatan potensi daerah, pemanfaatan lahan eksisting, pengutuhan kegiatan, penyediaan sarana prasarana, penyediaan data/informasi, promosi dan anggaran serta membangun keterpaduan secara multi years; 3) pengembangan dilakukan dengan sistem polikultur, tumpang sari, rotasi tanam, pola tanam dan pola integrasi antar komoditas; 4) memperhatikan RTRW, kelestarian Lingkungan dan SDA, keselamatan masyarakat dan selaras dengan Renstra; dan 5) SPM pada aspek benih, penyuluhan, litbang, infrastruktur, pengendalian OPT dan karantina. Pengembangan kawasan berbasis komoditas perkebunan harus diupayakan untuk mengembangkan dan membina kawasan-kawasan perkebunan rakyat agar menjadi kawasan perkebunan rakyat yang berwawasan agribisnis; meningkatkan peranan kelembagaan perkebunan, meningkatkan kemampuan usaha agribisnis masyarakat, meningkatkan populasi dan kapasitas produksi di setiap kawasan serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan pekebun. Penanganannya diarahkan kepada usaha-usaha rehabilitasi dan konservasi lahan, pemanfaatan sumber daya alam yang diperlukan oleh masyarakat pekebun, peningkatan pendapatan masyarakat, pemenuhan kebutuhan masyarakat akan protein nabati dan kelestarian lingkungan. Sasaran utamanya adalah mengembangkan wilayah-wilayah yang berpotensi sebagai sentra-sentra perkebunan menjadi kawasan perkebunan rakyat yang berorientasi agribisnis berkelanjutan. Sedangkan strategi operasional pengembangan kawasan meliputi penguatan perencanaan, penguatan sumber daya insani, penguatan kelembagaan, percepatan adopsi teknologi penguatan sarana dan prasarana, penguatan kerjasama dan kemitraan serta penguatan industri hilir. Dasar hukum pelaksanaan pengembangan kawasan berbasis komoditas perkebunan selain Peraturan Menteri Pertanian nomor 50/OT.140/8/2012 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian adalah dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Pertanian nomor 46/Kpts/PD.300/1/2015 tentang Penetapan Kawasan Perkebunan Nasional. Kepmentan ini sebagai dasar pelaksanaan kegiatan Ditjen. Perkebunan dalam menyusun masterplan dan rencana aksi pengembangan kawasan berbasis komoditas perkebunan di daerahdaerah sentra pengembangan perkebunan di 31 provinsi dan P a g e

116 Kabupaten/Kota. Penetapan kawasan perkebunan per komoditas per kabupaten/kota dapat dilihat pada bagian Lampiran. Boks 1. Batang Tubuh Kepmentan nomor 46/Kpts/PD.300/1/2015 tentang Penetapan Kawasan Perkebunan Nasional Amanat Kepmentan nomor 46/Kpts/PD.300/1/2015 tentang Penetapan Kawasan Perkebunan Nasional: 1. Penetapan kawasan perkebunan pada setiap lokasi dikembangkan melalui perencanaan program, kegiatan dan anggaran sesuai dengan kelas dan tahapan pembangunan spesifik lokasi secara berkelanjutan. 2. Perencanaan pembangunan kawasan perkebunan nasional mencakup penyediaan prasarana, sarana penunjang, teknologi, pembiayaan, pengolahan, pemasaran serta kelembagaan dan sumber daya masunia pengelolanya. 3. Eselon 1 yang menangani penelitian dan pengembangan pertanian melakukan pemetaan kawasan perkebunan nasional berdasarkan agroekosistem dan kondisi eksisting kawasan. 4. SKPD yang membidangi pertanian di provinsi wajib menyusun masterplan pengembangan kawasan perkebunan nasional. 5. SKPD yang membidangi pertanian di kabupaten/kota wajib menyusun action plan pengembangan kawasan perkebunan nasional. 6. Pembiayaan pembangunan kawasan perkebunan nasional bersumber dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, PMA, PMDN, Koperasi, masyarakat atau integrasi diantaranya. 7. Direktorat teknis dan eselon 1 lingkup Kementerian Pertanian wajib mengalokasikan anggaran pengembangan kawasan perkebunan nasional. 8. Gubernur dan Bupati/Walikota mensinergikan kegiatan dalam pengembangan kawasan perkebunan nasional melalui APBD dan sumber pembiayaan lainnya. 9. Penetapan kawasan perkebunan berlaku 5 tahun. 3) Pengembangan dan penguatan sistem pembiayaan perkebunan Arah kebijakan ini dimaksudkan mengembangkan sistem pembiayaan yang tepat untuk memudahkan penyerapan oleh masyarakat pekebun dalam kegiatan usaha perkebunan, kemudahan akses, persyaratan lunak dan tersedia dalam bentuk skim kredit program perkebunan untuk membiayai semua aktivitas budidaya perkebunan. Sasaran kedepan kebijakan ini adalah menumbuhkembangkan kelembagaan petani sebagai Channeling Agent lembaga keuangan formal di perdesaan baik perbankan maupun non bank untuk pembiayaan permodalan pekebun seperti Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A), koperasi dan lainlain. Selain itu isu strategis kedepan adalah terkait bimbingan dan pendampingan teknis serta penguatan modal usaha bagi kelompok/gabungan kelompok melalui pemberian bantuan modal, serta memperkuat jaringan kelompok tani dengan penyuluh lapangan. 116 P a g e

117 4) Pengembangan sarana prasarana dan infrastruktur pendukung usaha agribisnis perkebunan Arah kebijakan ini dimaksudkan untuk mendukung penyediaan sarana prasarana dan infrastruktur pendukung usaha agribisnis perkebunan. Keterlibatan Kementerian/Lembaga lain sangat diperlukan dalam pengembangan infrastruktur ini, selain itu adanya dukungan regulasi dan pendanaan akan sangat bermanfaat terhadap pencapaian pengembangan sarana prasarana usaha agribisnis perkebunan. Isu yang penting terkait kebutuhan infrastruktur dasar perkebunan adalah ketersediaan, kelayakan, pemanfaatan dan optimalisasi irigasi teknis, embung/dam/waduk dan jalan produksi. Pembangunan infrastruktur terkait pengembangan perkebunan yang sangat dibutuhkan dewasa ini meliputi jalan usaha tani dan jalan produksi, jaringan irigasi dan sarana prasarana terkait sumber air dan lain-lain. Pembangunan infrastruktur tidak hanya dilakukan oleh Kementerian Pertanian sendiri, tapi juga yang akan dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Perhubungan, Pemerintah Propinsi/Kabupaten/ Kota maupun oleh masyarakat. Untuk itu diperlukan upaya koordinasi yang baik agar tepat lokasi dan sesuai kebutuhan. Secara umum dukungan kementerian/lembaga dalam pembangunan perkebunan tahun dapat dilihat pada Bab VII. 5) Perlindungan, pelestarian, pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan hidup Arah kebijakan ini dimaksudkan agar setiap usaha budidaya perkebunan selalu memperhatikan aspek lingkungan hidup mulai dari pembukaan lahan, penanaman, pemilihan bibit unggul, penggunaan pupuk dan pestisida, pengendalian OPT, penanganan pascapanen sampai pada aspek hilirnya. Kebijakan ini diupayakan agar dalam pemanfaatan sumber daya perkebunan harus dilakukan secara bijaksana dan optimal sesuai dengan kaidah daya dukung lingkungan sehingga kelestarian lingkungan tetap terjaga. Isu lingkungan hidup yang berkaitan dengan pembangunan perkebunan adalah pemanfaatan sumber daya genetik/benih, kebakaran dan pembakaran lahan/kebun, penggunan zat kimia dalam pupuk dan pestisida, pemanfaatan bio-technology modern yang tidak ramah lingkungan, dan lain-lain. 6) Peningkatan upaya adaptasi, mitigasi bencana, perubahan iklim dan perlindungan perkebunan 117 P a g e

118 Arah kebijakan ini dimaksudkan sebagai upaya menghindari kegagalan usaha perkebunan yang disebabkan oleh perubahan iklim akibat pemanasan global sehingga berimplikasi terhadap munculnya berbagai bencana alam dan tingginya serangan OPT. Kebijakan yang mendasar adalah bagaimana penerapan kegiatan adaptasi dan mitigasi bencana/ perubahan iklim melalui peningkatan pemantauan kualitas lingkungan, memperkuat kapasitas mitigasi bencana alam, mempercepat rehabilitasi lahan/kebun yang terkena dampak bencana serta memperkuat kapasitas mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Yang lebih utama adalah menyiapkan SDI termasuk petani/pekebun dan teknologi untuk mencegah terjadinya bencana dan mengantisipasi dampak perubahan iklim pada zonasi daerah tertentu yang berpotensi tinggi/ rawan bencana dan rawan dampak perubahan iklim. Untuk membangun kemampuan petani dalam melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap dampak perubahan iklim, salah satunya melalui Sekolah Lapang Iklim (SLI) serta membangun sistem informasi iklim dan penyesuaian pola dan kalender tanam yang sesuai dengan karakteristik masing-masing wilayah. Disamping itu, inovasi dan teknologi tepat guna sangat penting dan strategis untuk dikembangkan dalam rangka untuk upaya adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim serta penanganan bencana alam. Penciptaan varietas unggul baru (VUB) yang memiliki potensi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) rendah, toleran terhadap suhu tinggi maupun rendah, kekeringan, banjir/genangan dan salinitas menjadi sangat penting. Beberapa hal pokok terkait arah kebijakan dampak perubahan iklim, penanganan bencana alam dan perlindungan perkebunan diantaranya: a. Dalam mengantisipasi perubahan iklim, kebijakan pertanian/ perkebunan seyogyanya lebih mengutamakan prinsip adaptasi tanpa mengabaikan aksi mitigasi sehingga setiap aksi penurunan emisi GRK di sektor pertanian dan sub sektor perkebunan juga harus menjamin mendukung upaya peningkatan produksi dan produktivitas. b. Aksi-aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim harus memberikan manfaat dalam meningkatkan kesejahteraan petani/ pekebun sehingga kegiatan aksi yang akan dipilih harus disesuaikan dengan sistem dan usaha pertanian/ perkebunan rakyat. Aksi adaptasi dan mitigasi secara operasional dijabarkan di tiap-tiap eselon 1 serta di tingkat daerah. Dengan demikian sektor pertanian dan sub sektor perkebunan ikut berkontribusi kepada target nasional dalam penurunan emisi GRK sekitar 26% pada tahun 2020 dengan usaha 118 P a g e

119 sendiri dan penurunan sebesar 41% dengan dukungan Internasional (Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). c. Kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim bersifat spesifik lokasi dengan mempertimbangkan kondisi geografis masing-masing wilayah sehingga teknologi yang akan diterapkan harus bersifat teknologi tepat guna dan spesifik lokasi dengan mengadopsi sebesarbesarnya kearifan lokal. d. Operasionalisasi kegiatan adaptasi dan mitigasi harus melembaga ke dalam sistem perencanaan teknokratis yang didukung dengan basis data dan sistem informasi yang valid dan terverifikasi. e. Pemangku kepentingan yang terlibat dalam penanganan dampak perubahan iklim di lingkup pertanian/ perkebunan perlu melakukan pengarusutamaan penanganan dampak perubahan iklim yang didukung oleh sumber daya insani yang kompeten. Oleh karena itu, perumusan, negosiasi, konsensus dan sosialisasi kebijakan perubahan iklim harus dilakukan secara massif dan berkesinambungan. f. Perlu adanya kebijakan manajemen bencana yang mendorong kemandirian daerah dalam penanganan bencana. Oleh karena itu bentuk intervensi pemerintah dan pemerintah daerah harus didasarkan pada besarnya potensi dampak bencana terhadap penurunan produksi pertanian/ perkebunan sehingga perlu dibangun kriteria besarnya kejadian bencana untuk masing-masing jenis intervensi yang dibutuhkan. g. Pembagian penanggungjawab terhadap bencana alam yang terjadi di skala nasional, skala provinsi dan skala kabupaten/kota. h. Perlindungan dilakukan dengan tetap memperhatikan prinsip ramah lingkungan, efisien dan diupayakan dilakukan dengan menggunakan musuh alami. 7) Dukungan pengelolaan dan pelaksanaan program tematik pembangunan perkebunan Arah kebijakan ini dimaksudkan sebagai bentuk dukungan Ditjen. Perkebunan untuk kegiatan yang secara langsung berimplikasi terhadap pertumbuhan ekonomi sub sektor perkebunan di daerah. Program tematik yang berhubungan dengan sub sektor perkebunan diantaranya adalah: 119 P a g e

120 a. Pangarustamaan gender (PUG) Responsif gender mengarah kepada aspek kesetaraan dan keadilan petani (laki-laki dan perempuan) dengan memperhatikan kebutuhan, permasalahan, aspirasi, pengalaman, peran dan tanggung jawab serta dampaknya pada seluruh pelaku pembangunan. Telah menjadi komitmen Kementerian/Lembaga sejak diterbitkannya Instruksi Presiden nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Kementerian/ Lembaga diwajibkan menerapkan PUG sebagai salah satu strategi dalam pencapaian program kerjanya. Strategi tersebut juga harus dilaksanakan pada kebijakan pembangunan tingkat provinsi maupun kabupaten/kota serta mendorong setiap penyusunan perencanaan kebijakan/program diawali dengan proses analisis gender melalui 4 aspek yaitu partisipasi, akses, kontrol dan manfaat yang diperoleh dari pelaku itu sendiri. Fasilitasi kegiatan Ditjen. Perkebunan dalam mendukung program tematik PUG adalah melalui kegiatan SL-PHT (sekolah lapang pengendali hama terpadu) tanaman perkebunan. SL-PHT merupakan salah satu model pelatihan yang sesuai untuk pemberdayaan petani yang bertujuan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan perilaku petani/kelompok tani agar mau dan mampu secara mandiri menerapkan PHT dalam pengelolaan kebunnya. Pendekatan teknisnya dilakukan dalam kelompok yang terdiri dari 25 petani baik laki-laki maupun perempuan yang mengusahakan komoditas yang sama. Materi yang disampaikan merupakan penjabaran dari 4 prinsip PHT yaitu budidaya tanaman sehat, pemanfaatan dan pelestarian musuh alami, pengamatan secara berkala dan petani menjadi manajer dikebun sendiri. b. Peningkatan penciptaan lapangan kerja dan peningkatan ketrampilan petani (ketenagakerjaan) Program perluasan penciptaan kesempatan kerja dan peningkatan keterampilan pekerja di sektor pertanian merupakan program yang dicetuskan Kantor Staf Presiden (KSP) sebagai implementasi dari 3 agenda prioritas (Nawa Cita) dalam peningkatan sumber daya manusia yaitu: (1) meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan; (2) meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional; dan (3) mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakan sektor sektor strategis ekonomi domestik. Sasaran akhir yang ingin dicapai dari program tematik ketenagakerjaan adalah terwujudnya ketenagakerjaan yang berkualitas dan berdaya saing yang dapat meningkatkan kinerja Kementerian Pertanian dalam mencapai Kedaulatan Pangan. 120 P a g e

121 Ketenagakerjaan diupayakan untuk mendorong pemanfaatan sumber daya manusia dalam perekonomian nasional. Arah kebijakan ketenagakerjaan di sub sektor perkebunan adalah dengan kontribusi tenaga kerja di aspek hulu diharapkan akan meningkatkan produktivitas komoditas perkebunan dan menurunkan jumlah pekebun yang hidup dalam kemiskinan karena aspek pemberdayaan akan meningkatkan ketrampilan pekebun dan aspek keterlibatan tenaga kerja berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan sekaligus penurunan pengangguran. Dengan demikian akan terjadi peningkatan kesejahteraan pekebun dan masyarakat perdesaan, yang akhirnya akan memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif sama dengan sektor industri dan jasa lainnya. Kedepan, Kementerian Pertanian akan merumuskan langkah-langkah proaktif dalam bentuk penyusunan Rencana Aksi Ketenagakerjaan Sektor Pertanian (RA-KSP) tahun Berdasarkan sektor ekonominya, meningkatnya pengangguran disebabkan oleh berkurangnya jumlah pekerja di sektor pertanian secara signifikan. Sektor pertanian, meskipun masih jadi sektor penyumbang tenaga kerja tertinggi, namun perkembangan dalam setahun terakhir, sektor tersebut mengalami penurunan. Pelaku usaha sektor ekonomi yang mengalami penyusutan serapan tenaga kerja perlu menggiatkan hilirisasi. Selain untuk menambah jumlah tenaga kerja, hilirisasi juga akan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Upaya untuk mengembalikan atau setidaknya menahan migrasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor lain menjadi prasyarat penting pengembangan ketenagakerjaan di Indonesia. Dalam hal ini, kebijakan pemerintah perlu menyiapkan insentif tenaga kerja. Pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan konsumsi belum banyak berdampak pada penciptaan lapangan kerja. Pemerintah perlu mendorong pertumbuhan ekonomi dengan menggenjot investasi sampai 5 tahun mendatang. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong terciptanya lapangan kerja dan pengurangan tingkat pengangguran dengan cara mendorong investasi pada sektor-sektor yang membutuhkan tenaga kerja dengan jumlah besar seperti sektor pertanian dan lebih khusus lagi sub sektor perkebunan. Perluasan penciptaan kesempatan kerja dan peningkatan keterampilan pekerja harus dibarengi dengan program-program strategis yang memiliki nilai tambah tinggi. Sudah saatnya beranjak untuk tidak hanya mengandalkan komoditas yang rentan terhadap gejolak harga global. Pada akhirnya selain melalui peningkatan kemampuan dan keterampilan, antisipasi persaingan tenaga 121 P a g e

122 kerja sebagai dampak penerapan MEA tergantung bagaimana respon perbaikan di sektor pertanian itu sendiri. Fasilitasi kegiatan Ditjen. Perkebunan dalam mendukung program tematik ketenagakerjaan adalah 1) kegiatan perluasan tanaman perkebunan di lahan kering (tanaman semusim/ tebu, tanaman rempah penyegar dan tanaman tahunan); dan 2) kegiatan pemberdayaan pekebun (tanaman semusim, tanaman rempah penyegar dan tanaman tahunan). c. Pengembangan kawasan perbatasan Kawasan Perbatasan merupakan kawasan tertentu yang secara nasional di nilai mempunyai dampak penting bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan. Pengelolaan kawasan dilakukan untuk 1) mendorong perkembangan kawasan agar dapat mengikuti perkembangan kawasan di wilayah nasional lainnya; 2) memanfaatkan potensi ekonomi dan sumber daya lainnya melalui kerjasama dengan negara tetangga dan 3) memelihara stabilitas pertahanan dan keamanan negara. Peran strategis kawasan perbatasan sebagai Belt of Security, secara sosial-ekonomi sebagai nasional image dan gateway dan secara lingkungan sebagai buffer zone. Paradigma baru penanganan kawasan perbatasan dari sebatas security approach menjadi lebih integrasi antara security dan prosperity approach. Sedangkan prioritas penanganan perbatasan berada pada perbatasan darat di kawasan Kalimantan-Sarawak-Sabah, NTT-Timor Leste dan Papua-PNG karena permasalahan sosial-ekonomi yang perlu diantisipasi segera. Pengembangan kawasan perbatasan diarahkan dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakatnya yang sebagian besar petani/ pekebun. Dengan demikian akan mengurangi kesenjangan ekonomi yang tinggi antara daerah perbatasan dengan daerah non perbatasan dan dengan negara tetangga sehingga akan mendorong utuhnya NKRI. Upaya-upaya yang dilakukan diantaranya meningkatkan potensi ekonomi di bidang pertanian/ perkebunan, meningkatkan perdagangan eksporimpor, menurunnya kegiatan perdagangan produk pertanian/ perkebunan ilegal, serta memperkuat layanan perkarantinaan di perbatasan. Ditjen. Perkebunan turut mendukung pembangunan daerah perbatasan dengan pengembangan komoditas perkebunan yang spesifik lokasi dan sesuai agroekosistem di wilayah perbatasan seperti karet, kelapa sawit, pala, jambu mete, sagu, kelapa, kopi, lada, cengkeh dan lain-lain melalui fasilitasi kegiatan dan anggaran setiap tahun di lokasi-lokasi prioritas 122 P a g e

123 yang telah ditetapkan BNPP (Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan). Lokasi-lokasi prioritas pengelolaan daerah perbatasan negara tahun sebagaimana ditetapkan melalui Peraturan BNPP nomor 1 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan Negara tahun dapat disajikan pada lampiran. d. Pengembangan daerah tertinggal Pengembangan daerah tertinggal ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan, pemerataan pembangunan dan mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah tertinggal dengan daerah maju. Dalam pendekatan sektor pertanian/ sub sektor perkebunan, tidak terlepas dalam penyediaan sarana dan prasarana produksi yang memadai, mempercepat peningkatan kapasitas petani/ pekebun, pengembangan dan diseminasi teknologi spesifik lokasi, penguatan jaringan pasar produk pertanian/ perkebunan dan promosi potensi pertanian/ perkebunan daerah tertinggal. Untuk Provinsi Papua dan Papua Barat dilakukan dengan lebih memberdayakan Orang Asli Papua di bidang produksi pertanian/ perkebunan. Penetapan kriteria daerah tertinggal dilakukan dengan menggunakan pendekatan relatif berdasarkan pada perhitungan 6 kriteria dasar dari 27 indikator utama yaitu: 1) perekonomian masyarakat (persentase keluarga miskin dan konsumsi per kapita); 2) sumber daya manusia (angka harapan hidup, rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf); 3) prasarana infrastruktur (jumlah jalan aspal/ diperkeras/ beton, pengguna listrik, telepon, dll); 4) kemampuan keuangan daerah (celah fiskal); 5) aksesibilitas (rata-rata jarak ke pusat-pusat pelayanan dan pertumbuhan); dan 6) karakteristik daerah (persentase daerah rawan bencana, lahan kritis, rawan konfilk, kawasan hutan, dll). Pembangunan daerah tertinggal harus diperlakukan khusus sebagai model pembangunan yang mencoba membangun keterkaitan (linkage), keselarasan (harmony) dan kemitraan (partnership). Arah kebijakan pembangunan daerah tertinggal tahun dilakukan dengan mengembangkan perekonomian masyarakat melalui budidaya perkebunan yang sesuai potensi daerah, meningkatkan aksesibilitas, meningkatkan kualitas SDM, melakukan koordinasi lintas sektor dan penguatan regulasi. Ditjen. Perkebunan turut mendukung pembangunan daerah tertinggal dengan pengembangan 16 komoditas perkebunan yang sesuai dengan agroekosistem di daerah tertinggal melalui fasilitasi kegiatan dan anggaran setiap tahun. Isu-isu strategis pembangunan daerah tertinggal 123 P a g e

124 yang akan difokuskan penanganannya dalam 5 tahun kedepan adalah terkait pemenuhan kebutuhan pelayanan dasar (standar pelayanan minimum/spm) dan aksesibilitas daerah tertinggal terhadap pusat-pusat pertumbuhan wilayah, hal ini didukung dengan terbitnya Peraturan Presiden nomor 78 tahun 2014 tentang Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Pada Buku 3 RPJMN (Agenda Pembangunan Wilayah) terdapat 122 Kabupaten yang dikategorikan daerah tertinggal. Jumlah tersebut merupakan hasil dari terentaskannya 70 Kabupaten/Kota dari 183 Kabupaten/Kota tertinggal pada periode RPJMN dan adanya 9 kabupaten tertinggal yang berasal dari Daerah Otonom Baru (DOB). Jumlah kabupaten tertinggal di kawasan timur Indonesia (KTI) mencapai 103 kabupaten (84,42%) dari total 122 kabupaten sedangkan sisanya sebanyak 19 kabupaten tertinggal (15,57%) berada di kawasan barat Indonesia (KBI). Pada akhir RPJMN ditargetkan paling tidak terentaskannya 80 kabupaten tertinggal. Lokasi-lokasi prioritas penanganan daerah tertinggal tahun berjumlah 122 Kabupaten/Kota dan dapat disajikan pada lampiran. e. Pengembangan kegiatan antisipasi dampak perubahan iklim Kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim bersifat spesifik lokasi dengan mempertimbangkan kondisi geografis masing-masing wilayah sehingga teknologi yang akan diterapkan harus bersifat teknologi tepat guna dan spesifik lokasi dengan mengadopsi sebesar-besarnya kearifan lokal. Aksi-aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim harus memberikan manfaat dalam meningkatkan kesejahteraan petani/ pekebun sehingga kegiatan aksi yang akan dipilih harus disesuaikan dengan sistem dan usaha pertanian/ perkebunan rakyat. Ditjen. Perkebunan terus berupaya dalam mendukung kegiatan antisipasi dampak perubahan iklim yang ditargetkan menurunkan GRK hingga 26% (0,008 giga ton CO2e) dengan usaha sendiri dan 41% (0,011 giga ton CO2e) dengan bantuan internasional dari kondisi tanpa adanya rencana aksi (bussines as ussual/bau) sebagaimana amanat dari Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Fasilitasi kegiatan Ditjen. Perkebunan dalam upaya antisipasi dampak perubahan iklim antara lain 1) kesiapsiagaan pencegahan kebakaran lahan dan kebun; 2) mitigasi dan adaptasi perubahan iklim; 3) pengembangan model perkebunan rendah emisi karbon pada perkebunan kopi rakyat; 4) pemberdayaan masyarakat dalam rangka pencegahan dan pengendalian kebakaran 124 P a g e

125 lahan dan kebun; dan 5) pembinaan dan sertifikasi desa pertanian organik berbasis komoditi perkebunan. f. Pengembangan kawasan timur Indonesia (KTI) Program tematik pengembangan kawasan timur Indonesia, pada tahun pernah digagas oleh pemerintahan sebelumnya dengan membentuk UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat) dengan status sebagai lembaga ad hoc di bawah Wakil Presiden sesuai amanat Peraturan Presiden nomor 66 tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Pada kabinet pemerintahan baru tahun , rencananya UP4B akan dijadikan lembaga permanen dengan upaya penguatan 3 unit di bawah Wakil Presiden yaitu selain UP4B, terdapat sekretariat wapres dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Sesuai arahan Agenda Prioritas NAWACITA dalam membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, dijabarkan lagi melalui sub agenda prioritas yaitu pemerataan pembangunan antar wilayah terutama kawasan timur Indonesia. Salah satu tantangan utama pembangunan wilayah nasional saat ini adalah masih besarnya kesenjangan antar wilayah, khususnya kesenjangan pembangunan antara Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Hal ini tercermin salah satunya dari kontribusi PDRB terhadap PDB, yang mana selama 30 tahun ( ), kontribusi PDRB KBI sangat dominan dan tidak pernah berkurang dari 80% terhadap PDB. Arah kebijakan Ditjen. Perkebunan terhadap pengembangan kawasan timur Indonesia adalah difokuskan untuk mempercepat pemerataan pembangunan antar wilayah KTI serta mendorong transformasi dan akselerasi pembangunan wilayah KTI, yaitu Sulawesi, Kalimantan, Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara, Papua Barat dan Papua dengan tetap menjaga momentum pertumbuhan di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera. 8) Penguatan tata kelola kepemerintahan yang baik dan reformasi birokrasi sebagai dasar pelayanan prima Arah kebijakan ini dimaksudkan untuk membangun aparatur negara yang berkualitas, profesional dan berdaya saing melalui sistem tata kelola pemerintahan yang baik, bersih dari KKN, transparan dan akuntabel. Kebijakan reformasi birokrasi yang tercantum dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2007 tentang RPJPN menyebutkan bahwa 125 P a g e

126 pembangunan aparatur negara dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan mewujudkan tata pemerintahan yang baik agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan berbagai bidang. Isu yang berkembang dalam kaitan reformasi birokrasi adalah modernisasi manajemen kepegawaian, restrukturisasi dan perubahan manajemen organisasi, rekayasa proses administrasi pemerintahan, anggaran berbasis kinerja, proses perencanaan partisipatif, pelayanan prima dan tata hubungan birokrasi antara pemerintah dan masyarakat. Kebijakan reformasi birokrasi yang digariskan diharapkan akan menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dari KKN, mampu melayani publik, netral, sejahtera, berdedikasi, memegang teguh nilai dasar dan kode etik aparatur negara. Sasaran idealnya adalah terwujudnya pemerintah yang bersih dan bebas KKN, meningkatnya kualitas pelayanan publik serta meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi. B. Arah Kebijakan Khusus Berikut ini ditetapkan arah kebijakan khusus pembangunan perkebunan tahun ) Pemenuhan penyediaan bahan baku tebu dalam rangka peningkatan produksi gula nasional Arah kebijakan ini dimaksudkan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pangan berbasis tebu (gula) di dalam negeri baik dalam bentuk gula konsumsi langsung rumah tangga/gula kristal putih (GKP) maupun gula konsumsi yang diperuntukkan untuk industri/gula kristal rafinasi (GKR). Sesuai dengan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pembangunan Pertanian tahun 2015 yang dilaksanakan pada tanggal November 2014 di Auditorium Kementerian Pertanian, arah kebijakan pengembangan tebu ditempuh dengan sasaran strategis peningkatan produksi gula nasional untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Kegiatan yang akan dilaksanakan meliputi bongkar ratoon, rawat ratoon, perluasan areal, pembangunan kebun benih induk (KBI) dan kebun benih datar (KBD), penataan varietas, database tebu sistem online, bantuan alat dan mesin pertanian, bantuan alat panen, dukungan pengendalian OPT, SL-PHT tebu dan pemberdayaan petani tebu di sentra-sentra pengembangan tebu. 126 P a g e

127 Komitmen Kementerian Pertanian dalam peningkatan produksi gula nasional ditunjukkan melalui kebijakan Upaya Khusus (UPSUS) dengan terbitnya Peraturan Menteri Pertanian nomor 14.1/ Permentan/ RC.220/4/2015 tentang Pedoman Upaya Khusus Percepatan Swasembada Pangan dan Peningkatan Produksi Komoditas Strategis melalui APBN-P tahun Indikator kinerja UPSUS peningkatan produksi gula adalah pengembangan areal produktif tanaman tebu melalui bantuan benih tebu. Pencapaian program peningkatan produksi gula nasional mengisyaratkan terciptanya kedaulatan pangan bersumber dari tebu sehingga sistem pangan Indonesia berlandaskan kemandirian yang didukung oleh sub sistem yang terintegrasi berupa ketersediaan, distribusi dan konsumsi pangan berbasis tebu (gula). Secara umum pada Tabel 7 disajikan proyeksi mikro pengembangan tebu tahun yang dapat dikendalikan Kementerian Pertanian dalam pemenuhan konsumsi gula Kristal putih (GKP) yang meliputi luas tanam (hektar), produksi (ton) dan produktivitas (kg/hektar). Tabel 7. Proyeksi Mikro Pengembangan Tebu tahun yang dapat dikendalikan oleh Kementerian Pertanian No. Indikator Target per Tahun Laju Pertumb (%) Luas Areal Tanam (Hektar) 2. Produksi (ton) 3. Produktivitas (Kg/Ha) , , Sumber: Roadmap Produksi Gula Nasional Arah kebijakan Ditjen. Perkebunan yang ditujukan untuk peningkatan produksi dan produktivitas tebu antara lain: 1) rasionalisasi atau penataan varietas tebu untuk mendapatkan komposisi varietas tebu unggul pada wilayah tertentu secara proporsional berdasarkan tingkat kemasakan sehingga masa giling optimal dapat dicapai dan pada gilirannya akan dapat meningkatkan rendemen melalui sinkronisasi varietas unggul dengan tipologi lahan pengembangan, komposisi kemasakan yang seimbang antara tebang awal, tengah dan akhir pada suatu wilayah, ketersediaan bahan tanam yang sehat, murni dan tepat waktu pada saat dibutuhkan; 2) penerapan teknologi bududaya tebu yang sesuai GAP, GHP dan memperhatikan kondisi perubahan iklim dari masa tanam dan 127 P a g e

128 masa panen tebu; 3) percepatan kegiatan bongkar ratoon tebu karena pada dasarnya produktivitas tebu setelah 3-4 kali masa panen akan menurun ( 70 ton/ha) sehingga harus diremajakan dengan cara membongkar dan mengganti dengan tanaman baru dengan varietas unggul yang telah di rekomendasikan untuk mencegah rendemen tebu menurun sedangkan untuk percepatan kegiatan rawat ratoon tebu yaitu dengan pemeliharaan tanaman keprasan tebu secara lebih intensif dan efektif dalam penggunaan pupuk secara tepat, sesuai dan seimbang, selain itu dilakukan perluasan tebu pada daerah bukaan baru sesuai dengan kecocokan agroekosistem pengembangan tebu; 4) efisiensi hara dan penggunaan pupuk organik harus dipergunakan 1 kali pemupukan untuk 1 kali masa tanam yang diberikan di awal masa tanam sampai dengan masa panen dengan menggunakan pupuk organik dan pupuk majemuk yang memiliki sifat penguraian lamban dengan formulasi terdiri dari unsur mikro dan unsur makro; 5) suplesi air dengan membuat embung (tampungan air/waduk kecil terutama pada daerah tadah hujan) dan pengoperasionalan pompa air untuk mengangkat air dari sungai/sumur/waduk serta menyalurkannya ke lahan tebu; 6) penyediaan agro input dalam mendukung kegiatan bongkar ratoon dan rawat ratoon baik alat dan mesin pertanian maupun sarana produksi lainnya untuk digunakan dalam pengendalian OPT dengan pendekatan pengendalian hama terpadu/ hayati; 7) dukungan revitalisasi Pabrik Gula (PG) yang sudah ada guna meningkatkan kapasitas produksi dan inisiasi membangun PG baru dengan kapasitas produksi yang tinggi disertai peningkatan alat dan mesin modern serta inovasi teknologi PG; dan 8) penyiapan kebijakan/regulasi Pusat-Daerah dalam mendukung sistem pertebuan nasional terutama persoalan stabilitas harga. 2) Peningkatan komoditas perkebunan bernilai tambah dan berorientasi ekspor dalam mewujudkan daya saing sub sektor perkebunan Arah kebijakan ini dimaksudkan dalam rangka meningkatkan dan memperkuat pengembangan komoditas perkebunan yang termasuk komoditas andalan ekspor dan komoditas perkebunan lainnya yang memiliki potensi dan prospektif untuk pasar ekspor serta peningkatan komoditas perkebunan yang berfungsi atau berorientasi sebagai nilai tambah bagi pekebun. Inti dari arah kebijakan ini adalah daya saing artinya bagaimana membuat, menciptakan dan mengembangkan produk/komoditas yang orientasi di pasar ekspor, berkualitas, harga bersaing dan memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. 128 P a g e

129 Berkembangnya suatu produk di pasar bebas (ekspor) ditandai oleh banyaknya permintaan dan hal ini banyak berimplikasi kepada tingkat promosi, jangkauan pasar, harga dan kualitas. Kualitas produk berdaya saing dapat dilihat dari penerapan standar kualitas yang tinggi seperti sistem jaminan mutu budidaya, pascapanen dan pengolahan (GAP, GHP, GMP dan SPS) serta sistem jaminan mutu produk (HACCP, keamanan pangan dan lain-lain). Kebijakan/regulasi terkait ekspor, faktor iklim, biaya produksi, distribusi dan penyimpanan akan juga mempengaruhi harga pasar. Isu strategis dalam pengembangan komoditas ekspor kedepan adalah bagaimana budidaya perkebunan dijalankan dengan memperhatikan pelestarian lingkungan, untuk itu perlu diterapkan budidaya perkebunan yang baik dan berkelanjutan. Tujuan pengembangan komoditi unggulan perkebunan selain untuk penguatan ekspor di pasar internasional juga bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah, mutu dan daya saing produk/ komoditas dipasar domestik. Hal ini menggambarkan dari segi nilai, mutu dan kuantitas komoditas Indonesia di pasar dalam negeri cukup berperan dalam memenuhi konsumsi dalam negeri dan sumber penerimaan nasional. Upaya peningkatan nilai tambah komoditi perkebunan difokuskan pada 2 hal yakni pertama, peningkatan kualitas dan jumlah olahan produk perkebunan untuk mendukung peningkatan daya saing di pasar dalam negeri. Peningkatan kualitas produk/komoditas perkebunan (bahan mentah dan olahan) diukur dari peningkatan jumlah produk/komoditas perkebunan yang mendapat sertifikasi jaminan mutu. Kedua, upaya pengembangan produk yang punya daya saing di pasar internasional, baik segar maupun olahan, dimana kebutuhan di pasar dalam negeri sudah tercukupi. Pengembangan komoditi ekspor perkebunan menghadapi berbagai tantangan seperti perubahan lingkungan ekonomi regional dan internasional, baik karena pengaruh liberalisasi ekonomi maupun karena perubahan-perubahan fundamental dalam pasar produk pertanian global sebagai tuntutan pasar atas efisiensi usaha. Untuk itu diperlukan adanya upaya adopsi teknologi yang terus mengarah pada efisiensi pada industrialisasi perkebunan dan perdesaan. Tantangan lainnya dari pengembangan ekspor komoditas perkebunan Indonesia adalah kecenderungan penurunan harga dan permintaan pasar internasional akibat krisis keuangan global; dan munculnya negara-negara pesaing (competitors) yang menghasilkan produk-produk hasil perkebunan yang sejenis dan pada musim yang sama serta produk-produk substitusi. 129 P a g e

130 Untuk mengatasi hal tersebut, salah satu kebijakan yang harus dilakukan adalah memperkuat industi hilir. Industri hilir merupakan salah satu kunci sukses dalam meningkatkan daya saing produk perkebunan. Selain itu diperlukan peningkatan efisiensi produksi maupun distribusi produk melalui pengembangan dan penggunaan teknologi budidaya dan input yang lebih efisien, kelembagaan petani/pekebun yang menunjang efisiensi produksi, konsolidasi lahan perkebunan dengan tujuan untuk meningkatkan luas penguasaan lahan perkebunan per individu petani/pekebun. Lebih lanjut diperlukan penghapusan ekonomi biaya tinggi dengan menghilangkan inefisiensi dalam bidang pemasaran seperti pungutan liar dan perbaikan sarana infrastruktur infromasi dan telekomunikasi. Kunci sukses lainnya adalah ketersediaan pasar, sinergitas kebijakan pusat-daerah, kegiatan promosi dan perilaku masyarakat dalam menghadapi era perdagangan bebas (MEA 2015) dengan mempersiapkan kemampuan individu/ skills dan mengobarkan semangat untuk mencintai produk dalam negeri. Yang terpenting adalah perbaikan tata niaga untuk menekan biaya inefisiensi yang timbul. Kebijakan tata niaga tarif/pajak/bk/regulasi ekspor dan impor dilakukan untuk melindungi produk pertanian/ perkebunan dalam negeri. Pengaturan bea masuk bagi produk-produk impor ke dalam negeri merupakan kebijakan sementara dalam jangka pendek sambil dilakukan pembinaan di dalam negeri terhadap produk sejenis agar nantinya memiliki standar kualitas sehingga bisa bersaing dengan kualitas produk impor. Selain itu dapat juga menerapkan kebijakan non tariff barrier yang tidak melanggar konvensi internasional terkait perdagangan. Dalam mendukung kebijakan peningkatan komoditas berorientasi nilai tambah serta komoditas andalan dan potensial/prospektif ekspor dalam mewujudkan daya saing sub sektor perkebunan, Ditjen. Perkebunan tetap berkomitmen menfasilitasi dalam pengembangan komoditas unggulan perkebunan yang berorientasi ekspor, selama ini eksis dan dijadikan sasaran penerimaan negara dari ekspor. Komoditas perkebunan yang sampai tahun 2014 memiliki kontribusi dalam peningkatan ekspor komoditas perkebunan antara lain komoditas 1) kelapa sawit (dalam bentuk CPO dan minyak sawit lainnya) dengan kontribusi 78,59% dari 12 komoditas andalan ekspor perkebunan; 2) karet dengan kontribusi 9% dari 12 komoditas andalan ekspor perkebunan; 3) kelapa dengan kontribusi 5,87% dari 12 komoditas andalan ekspor perkebunan; 4) tebu dengan kontribusi 3,23% dari 12 komoditas andalan ekspor perkebunan; 5) kopi dengan kontribusi 1,32% dari 12 komoditas andalan ekspor perkebunan dan 6) kakao dengan kontribusi 1,14% dari 130 P a g e

131 12 komoditas andalan ekspor perkebunan. Komoditas perkebunan lainnya yang berkontribusi terhadap peningkatan ekspor antara lain teh, jambu mete, kapas, tembakau, lada dan cengkeh dengan kontribusi keenam komoditas tersebut adalah sebesar 0,84% dari 12 komoditas andalan ekspor perkebunan tahun 2014 (Sumber: Ditjen. Perkebunan, 2015). Berikut ini disajikan pada Tabel 8 mengenai aspek-aspek kebijakan Ditjen. Perkebunan tahun dalam rangka peningkatan komoditas perkebunan bernilai tambah dan berorientasi ekspor dalam mewujudkan daya saing sub sektor perkebunan. Tabel 8. Aspek-aspek kebijakan Ditjen. Perkebunan tahun dalam rangka peningkatan komoditas perkebunan bernilai tambah dan berorientasi ekspor dalam mewujudkan daya saing sub sektor perkebunan No. Aspek-Aspek Kebijakan 1. Peningkatan produksi dan produktivitas komoditas unggulan perkebunan yang selama ini berkontribusi dalam penerimaan negara dari ekspor seperti kelapa sawit (dalam bentuk CPO dan minyak sawit lainnya); karet; kelapa; tebu; kopi dan kakao. 2. Peningkatan produksi dan produktivitas melalui aspek penguatan perbenihan, pemberdayaan dan pendekatan standar pelayanan minimum (SPM) untuk komoditas unggulan perkebunan yang memiliki prospek/ potensi dalam meningkatkan ekspor perkebunan seperti teh, jambu mete, kapas, tembakau, lada dan cengkeh. 3. Penerapan sistem budidaya, pascapanen, pengolahan komoditas perkebunan yang baik (GAP, GHP, GMP dan SPS). 4. Pengembangan komoditas perkebunan yang berwawasan lingkungan 5. Pengembangan pasar dengan pendekatan kerjasama di forum-forum internasional, selain itu diperlukan pengayaan aspek promosi dan membangkitkan kesadaran dalam penggunaan produkproduk dalam negeri 6. Upaya pengembangan inovasi dan adopsi teknologi yang terus mengarah pada efisiensi industrialisasi perkebunan dan perdesaan 7. Memperkuat industi hilir dengan mendorong investasi di sub sektor perkebunan 8. Memperkuat aspek kelembagaan petani/pekebun yang menunjang efisiensi produksi dan kemitraan usaha 9. Penghapusan ekonomi biaya tinggi dengan menghilangkan inefisiensi dalam bidang pemasaran 10. Pembangunan dan perbaikan sarana prasarana dan infrastruktur dalam mendukung sistem budidaya, pascapanen, pengolahan dan pemasaran 11. Perbaikan tata niaga untuk menekan biaya inefisiensi yang timbul, selain itu diperlukan pengaturan bea masuk bagi produk-produk impor ke dalam negeri dan melalui kebijakan non tariff barrier 12. Sinergitas kebijakan pusat (antar K/L)-daerah dalam penganggaran dan dukungan regulasi yang kuat terkait ekspor impor 13. Mempersiapkan kemampuan SDI dengan bekal kemampuan, keahlian dan kemandirian yang kuat dibidang pertanian dalam menghadapi globalisasi (MEA) 131 P a g e

132 Sumber: Ditjen. Perkebunan, ) Pemenuhan penyediaan bahan baku bio-energy dan pengembangan fondasi sistem pertanian bio-industry Bio-Industry. Arah kebijakan pengembangan sistem pertanian bioindustry mengarah pada sistem pertanian masa depan yaitu Sistem Pertanian Bioindustri yang tercantum dalam Dokumen Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) Pada dasarnya, grand design SIPP adalah mengembangkan komoditas perkebunan sebagai sumber energi secara terintegrasi, yang menghubungkan kegiatan on farm dan pengolahan dalam satu wilayah (hulu-hilir), terintegrasi dalam sebuah rantai nilai, pendekatan zero waste management dan dalam penyediaan bahan baku tersebut sangat memerlukan dukungan sektor lain. Basis pengembangan bio-industri didasari oleh fungsi komoditas perkebunan. Disamping penghasil utama bahan pangan, perkebunan juga dituntut menjadi penghasil bahan non-pangan pengganti bahan baku hidrokarbon yang berasal dari fosil bagi industri. Era revolusi ekonomi yang digerakkan oleh revolusi teknologi industri dan informasi berbasis bahan fosil akan digantikan era revolusi bio-economic yang digerakkan oleh revolusi bio-technology dan bio-engineering yang mampu menghasilkan bio-massa sebesar-besarnya dan akan diolah menjadi bahan pangan, pakan, pupuk, energi, serat, obat-obatan, bahan kimia dan beragam bio-product lain yang berkelanjutan. Teknologi Revolusi Hijau yang selama ini menjadi basis pertanian harus ditransformasikan menjadi Revolusi Hayati (Biorevolution) yang memuat kesatuan kinerja seperti sub sistem pertanian terpadu hulu, sub sistem tata ruang, sub sistem usaha pertanian agro-ecology, sub sistem pengolahan bio-industry perdesaan, sub sistem pemasaran, sub sistem pembiayaan, sub sistem sumber daya insani (SDI), sub sistem infrastruktur hulu dan hilir serta sub sistem legislasi dan regulasi. Pembangunan bioindustri yang terpadu dengan sumber biomassa sesuai konsep biorefinery merupakan langkah awal strategis untuk meningkatkan nilai tambah hasil perkebunan dan sekaligus mengurangi ketergantungan pengolahan hasil perkebunan dari energi fosil melalui pemanfaatan limbah perkebunan sebagai sumber energi untuk pengolahan. Kegiatan pembangunan perkebunan yang merupakan basis pendekatan pertanian bio-industry adalah integrasi tanaman perkebunan dan ternak 132 P a g e

133 karena pada dasarnya sistem pertanian integrasi ini menganut penggunaan biomassa pertanian dari sampah tanaman perkebunan (pelepah dan daun) sebagai sumber pakan dari ternak hingga pada akhirnya melalui proses kimia dan biologi feses dan urine ternak akan digunakan untuk memupuk tanaman kembali dan sebagai sumber pupuk organik serta penghasil energi (biogas). Tetapi perlu diperhatikan juga sistem budidayanya bahwa ternak harus dikandangkan. Jadi prinsip sistem pertania integrasi tanaman perkebunan dan ternak adalah zero waste management. Keunggulan pembangunan perkebunan Indonesia haruslah didasarkan pada kesadaran diri yang tinggi dalam memahami potensi perkebunan untuk menghasilkan biomassa dan dijadikan sebagai basis keunggulan kompetitif dalam bio-economic. Untuk itu, pendekatan pembangunan perkebunan yang sesuai ialah pembangunan Sistem Pertanian/ Perkebunan-Bioindustri Berkelanjutan berdasarkan paradigma biokultura, yakni kesadaran, semangat, nilai budaya, dan tindakan (sistem produksi, pola konsumsi, kesadaran akan jasa ekosistem) memanfaatkan sumberdaya hayati bagi kesejahteraan manusia dalam suatu ekosistem yang harmonis. Bio-energy. Pengembangan penyediaan bahan baku bio-energy merupakan salah satu upaya-upaya dalam mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri. Pengembangan BBN (bio-energy) ini merupakan upaya perspektif dalam rangka kemandirian bahan bakar cair yaitu penyandingan serasi BBN dengan BBM. Lebih lanjut pengembangan BBN atau bio-energy harus berbasis kepada bahan baku lokal terbarukan untuk memenuhi kebutuhan energi masyarakat khususnya diperdesaan dan mensubstitusi BBM. Berdasarkan Peraturan Presiden nomor 5 tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional bahwa sasaran kebijakan energi nasional melalui bahan bakar nabati (biofuel) adalah terwujudnya energi (primer) mix yang optimal pada tahun 2025 menjadi lebih dari 5%. Kebijakan lainnya diperkuat melalui Inpres nomor 1 tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Bio-Fuel) sebagai Bahan Bakar Lain dimana pengembangan komoditas bahan baku bioindustri dan bioenergi (Bahan Bakar Nabati) menjadi penting dalam memperkuat kebijakan energi nasional. Berdasarkan Inpres tersebut, Menteri Pertanian diamanatkan untuk: a. Mendorong penyediaan tanaman bahan baku bakan bakar nabati (biofuel) termasuk benih dan bibitnya. 133 P a g e

134 b. Melakukan penyuluhan pengembangan tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel). c. Memfasilitasi penyediaan benih dan bibit tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel). d. Mengintegrasikan kegiatan pengembangan dan kegiatan pascapanen tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel). Amanat dari NAWACITA untuk berdikari secara ekonomi antara lain dalam 1) merelokasi sebagian subsidi BBN ke penyediaan biofuel dan 2) menyusun strategi cerdas energi baru terbarukan. Lebih lanjut, arah kebijakan bio-energy dimaksudkan sebagai upaya mencari alternatif sumber energi baru berbasis bio-energy dan bio-massa karena semakin langka dan mahalnya sumber daya fosil sehingga harus ada transformasi berbasis sumber energi serta bahan baku baru dan terbarukan, utamanya bahan hayati asal pertanian/perkebunan. Boks 3. NAWACITA berdikari dalam bidang ekonomi (terkait pengembangan Bahan Bakar Nabati) 1. Merelokasi sebagian subsidi BBM (sebagian besar dari impor) ke penyediaan biofuel (berbasis domestik). Realokasi subsidi ini akan memperbaiki keekonomian dari biofuel yang akan meningkatkan gairah industri biofuel. 2. Menyusun strategi yang cerdas energi baru terbarukan, melalui: a. Strategi Jangka Pendek, kontribusi terhadap pengurangan subsidi energi perlu dimasukan kedalam perhitungan keekonomian melalui penggunaan tenaga panas bumi dan tenaga air, biofuel dan biomassa yang diproduksi melalui pembentukan tata kelola energi terbarukan yang efisien dan efektif dan membentuk badan usaha khusus yg tugasnya memperkuat industri biofuel dan menjamin terjadinya perdagangan biofuel yang efisien melalui pembentukan tata kelola biofuel yang efisien dan efektif. b. Strategi Jangka Panjang, dengan merubah sistem harga beli energi terbarukan sehingga sesuai dengan nilai keekonomian atau sesuai dengan resiko investasi dalam sektor ini. Untuk itu, diperlukan kebijakan jangka pendek berupa penyediaan bahan baku untuk mengembangkan dan mengintensifkan komoditas yang sudah ditanam secara luas. Sampai dengan saat ini, komoditas perkebunan yang dirasa cukup siap dalam hal penyediaan benih, budidaya, produksi, produktivitas, penanganan pascapanen dan pasar adalah kelapa sawit (dalam bentuk CPO) sebagai tanaman bahan baku bahan bakar nabati (biofuel) dengan sasaran mandatory BBN tahun 2020 sebesar 30% (B30). Komoditas lain yang memiliki potensi untuk dijadikan sumber BBN (biofuel) adalah kelapa, kemiri sunan dan jarak pagar. Ketiga komoditas tersebut selama ini tetap difasilitasi oleh Ditjen. 134 P a g e

135 Perkebunan yang diprioritaskan pada peremajaan kelapa rakyat, pengadaan kompor inti biji jarak pagar dan pengembangan tanaman kemiri sunan melalui perluasan areal serta pembangunan dan pemeliharaan kebun sumber bahan tanam (kebun induk dan kebun entres). Namun kendala dilapangan adalah komoditas kemiri sunan dan jarak pagar kurang memiliki aspek ekonomis untuk dibudidayakan, selain itu fakor ketersediaan lahan, banyaknya tanaman tua dan penanganan komoditas untuk dijadikan sumber BBN memerlukan waktu, tenaga dan anggaran yang cukup besar. Faktor varietas tanaman yang menghasilkan rendemen dan produktivitas tinggi sebagai sumber BBN belum dapat dikaji dari sisi efektifitas dan efisiensi ekonomi. Dan hal tersebut menuntut peran Badan Litbang Pertanian. Komoditas perkebunan lainnya yang dicanangkan untuk pengembangan BBN sebagai sumber bioethanol adalah tebu, aren dan sagu dengan sasaran mandatory BBN tahun 2020 sebesar 10% (E10). Dalam jangka menengah diupayakan untuk mengkaji dan mengembangkan komoditas potensial penghasil bioenergi, dan dalam jangka panjang ditekankan pada pemanfaataan biomassa limbah pertanian (generasi kedua). Untuk mendukung kebijakan tersebut yaitu dengan mengedepankan berbagai aspek seperti riset bioteknologi (pengembangan bibit varietas unggul bahan baku Bahan Bakar Nabati untuk menghasilkan jenis BBN biodiesel, bioetanol, biooil dan biogas); dukungan infrastuktur yang meliputi akses dari petani/ pekebun ke industri pengembangan BBN dan pasar; penciptaan pasar domestik yang didukung dengan mengoptimalkan diversifikasi sumber BBN; serta sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat agar beralih mengembangkan dan menggunakan BBN. Kebijakan pengembangan komoditas bahan baku BBN ini menjadi bagian dari kebijakan nasional dalam pengembangan energi baru terbarukan. Berikut ini disajikan pada Tabel 9 mengenai aspek-aspek kebijakan Ditjen. Perkebunan tahun dalam rangka pemenuhan penyediaan bahan baku bio-energy dan pengembangan fondasi sistem pertanian bio-industry. Tabel 9. Aspek-aspek kebijakan Ditjen. Perkebunan tahun dalam rangka pemenuhan penyediaan bahan baku bio-energy dan pengembangan fondasi sistem pertanian bio-industry No. Aspek-Aspek Kebijakan 135 P a g e

136 1. Peningkatan produksi dan produktivitas komoditas kelapa sawit (dalam bentuk CPO dan minyak sawit lainnya) sebagai penghasil bio-fuel melalui kegiatan-kegiatan 4-ASI, perlindungan perkebunan, pascapanen dan pemberdayaan. 2. Peningkatan produksi dan produktivitas komoditas kemiri sunan melalui aspek penguatan perbenihan, pemberdayaan dan pendekatan standar pelayanan minimum (SPM). Selain itu dikembangkan juga komoditas penghasil bio-fuel seperti kelapa, dll serta komoditas penghasil bioethanol seperti tebu, sagu, dll 3. Kegiatan pengembangan integrasi tanaman perkebunan dan ternak serta sistem tumpangsari dengan tanaman lainnya yang merupakan basis pendekatan pertanian bio-industry. 4. Inisiasi pemanfaatan biomassa perkebunan dari sampah/ sisa tanaman perkebunan (pelepah dan daun) sebagai sumber pakan ternak dan sumber energy (biogas dan pupuk organik) dari feses/ urine ternak setelah mengkonsumsi biomassa pakan tersebut (zero waste management) 5. Upaya melakukan perluasan areal, rehabilitasi/ peremajaan, diversifikasi, pengembangan model serta pembangunan dan pemeliharaan kebun sumber bahan tanam (kebun induk dan kebun entres). 6. Menemukembangkan komoditas-komoditas perkebunan lainnya yang spesifik lokal sebagai sumber BBN dan kegiatan bio-industry 7. Penerapan sistem budidaya, pascapanen, pengolahan komoditas perkebunan yang baik (GAP, GHP, GMP dan SPS). 8. Upaya pengembangan inovasi dan adopsi teknologi yang terus mengarah dalam menemukan VUB yang berproduktivitas tinggi dan menghasilkan rendemen tinggi sebagai sumber bio-energy serta analisis ekonomi skala petani/pekebun. 9. Pengembangan komoditas perkebunan sumber BBN dan bio-industry yang berwawasan lingkungan 10. Pembangunan/ perbaikan unit pengolahan hasil, sarana prasarana dan infrastruktur pendukung sistem budidaya, pascapanen, pengolahan dan pemasaran BBN dan bio-industry. 11. Memperkuat aspek kelembagaan petani/pekebun yang menunjang efisiensi produksi dan kemitraan usaha untuk pengembangan BBN dan bio-industry. 12. Mendorong investasi untuk pengembangan BBN dan bio-industry. 13. Sosialisasi, koordinasi, pengawalan, pendampingan, pembinaan dan edukasi kepada masyarakat dalam mengembangkan dan menggunakan BBN 14. Penciptaan pasar domestik dan stabilitas harga yang didukung dengan mengoptimalkan diversifikasi sumber BBN. 15. Penyusunan peta jalan/ masterplan/ road map pengembangan komoditas perkebunan sumber BBN dan bio-industry. 16. Sinergitas kebijakan pusat (antar K/L)-daerah dalam penganggaran dan dukungan regulasi yang kuat terkait pengembangan komoditas perkebunan sumber BBN dan bio-industry. Sumber: Ditjen. Perkebunan, ) Pengembangan sumber daya insani (SDI) perkebunan Arah kebijakan ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa pembangunan perkebunan yang berbasis bio-industry dilaksanakan berorientasi pada kemampuan, kesiapan, kemandirian dan kedaulatan dari pekebun sesuai kapasitas pengetahuannya. Lebih jauh lagi kebijakan ini diharapkan mendukung berlangsungnya proses perubahan pembangunan dan penyelenggaran perkebunan guna terwujudnya sistem dan usaha 136 P a g e

137 agribisnis perkebunan yang bertumpu pada kemandirian dan kemampuan pelaku usaha. Berdasarkan arah kebijakan umum pembangunan nasional tahun dalam RPJMN , lebih menekankan kebijakan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. Sumber daya manusia atau sumber daya insani menekankan pada manusia berkualitas, kompeten dan berkarakter yang memiliki integritas, komitmen, modal sosial dan modal politik pertanian tercermin dari peningkatan kemampuan/ketrampilan, kompetensi bidang dan akses pendidikan, pelayanan dasar dan kesehatan serta lingkungan. Selain itu sumber daya manusia yang berkompeten dan berintegritas tergantung pada ideologi bangsa sebagai penuntun, penggerak, pemersatu dan pengarah sebagaimana perwujudan TRISAKTI yaitu kedaulatan dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan kepribadian dalam kebudayaan. Boks 2. Penjabaran TRISAKTI Penjabaran TRISAKTI dalam RPJMN : 1. Kedaulatan dalam politik diwujudkan dalam pembangunan demokrasi politik yang berdasarkan hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Kedaulatan rakyat menjadi karakter, nilai, dan semangat yang dibangun melalui gotong royong dan persatuan bangsa. 2. Berdikari dalam ekonomi diwujudkan dalam pembangunan demokrasi ekonomi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan dalam pengelolaan keuangan negara dan pelaku utama dalam pembentukan produksi dan distribusi nasional. Negara memiliki karakter kebijakan dan kewibawaan pemimpin yang kuat dan berdaulat dalam mengambil keputusankeputusan ekonomi rakyat melalui penggunaan sumber daya ekonomi nasional dan anggaran negara untuk memenuhi hak dasar warga negara. 3. Kepribadian dalam kebudayaan diwujudkan melalui pembangunan karakter dan kegotongroyongan yang berdasar pada realitas kebhinekaan dan kemaritiman sebagai kekuatan potensi bangsa dalam mewujudkan implementasi demokrasi politik dan demokrasi ekonomi Indonesia masa depan. Prinsip dasar TRISAKTI ini menjadi basis sekaligus arah perubahan berdasarkan pada mandat konstitusi dan menjadi pilihan sadar dalam pengembangan daya hidup kebangsaan Indonesia, yang menolak ketergantungan dan diskriminasi, serta terbuka dan sederajat dalam membangun kerjasama yang produktif dalam tataran pergaulan internasional. 5) Penguatan kelembagaan pekebun dan kemitraan usaha perkebunan Arah kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian kelembagaan pekebun dalam memanfaatkan peluang usaha yang ada dan menjalin kerjasama usaha dengan mitra terkait melalui prinsip saling menguntungkan, saling menghargai, saling 137 P a g e

138 bertanggung jawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan antara petani, pengusaha, karyawan dan masyarakat sekitar perkebunan. Pengembangan kemitraan usaha perkebunan secara terpadu dilaksanakan pada sentra-sentra produksi yang memiliki potensi berkembang dengan ketersediaan bahan baku melalui kemitraan dengan investor baik dalam maupun luar negeri sehingga kedepan kelembagaan pekebun perlu memperluas jenis kelompok tani sesuai bidang usaha. Penguatan kelembagaan pekebun dilakukan melalui kegiatan pemberdayaan pekebun untuk penyelesaian dinamika kelompok dan penguatan kemampuan baik aspek manajemen kelompok, kegiatan budidaya maupun aspek pengolahan dan pemasaran. 6) Akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik Arah kebijakan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan yang baik dalam memberikan kontribusi yang optimal untuk mendukung keberhasilan pembangunan dan peningkatan daya saing nasional/ internasional. Dalam kaitan ini tata kelola yang dimaksud adalah peningkatan integritas, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan publik. Peningkatan akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik ditandai dengan: a. Terwujudnya sistem pelaporan dan kinerja instansi pemerintah. b. Meningkatnya akses publik terhadap informasi kinerja instansi pemerintah. c. Makin efektifnya penerapan e-government untuk mendukung manajemen birokrasi secara modern. d. Meningkatnya implementasi open government pada seluruh instansi pemerintah. Arah kebijakan Ditjen. Perkebunan dalam mewujudkan akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah adalah meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kinerja birokrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi tahun dengan pokok-pokok kebijakan meliputi 1) akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, bersih, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme; 2) akuntabilitas dalam peningkatan kualitas pelayanan publik; 3) akuntabilitas dalam memperkuat kapasitas kinerja birokrasi; dan 4) akuntabilitas dalam hal profesionalisme SDI 138 P a g e

139 aparatur yang didukung oleh sistem rekrutmen dan promosi aparatur yang berbasis kompetensi, transparan dan mampu mendorong mobilitas aparatur antar daerah, antar pusat dan antara pusat dengan daerah, serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan dan kesehatan yang sepadan. Secara umum disajikan pada Tabel 10 mengenai aspek-aspek kebijakan Ditjen. Perkebunan tahun dalam rangka akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik. Tabel 10. Aspek-aspek kebijakan Ditjen. Perkebunan tahun dalam rangka akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik No. Aspek-Aspek Kebijakan 1. Penerapan Sistem Akuntabilitas Kinerja Ditjen. Perkebunan melalui aspek perencanaan kinerja (penyusunan Renstra, perjanjian kinerja/pk dan rencana kinerja tahunan/rkt), pengukuran kinerja (penetapan IKP/IKU dan IKK), pengelolaan data kinerja, pelaporan kinerja (penyusunan Laporan Kinerja/Lakin/ Lakip), evaluasi kinerja (reviu terhadap kinerja oleh APIP) dan capaian kinerja (realisasi kinerja fisik dan keuangan). 2. Pemberian pelayanan yang prima dan berkualitas kepada masyarakat/publik secara konsisten dan berkelanjutan melalui pendekatan kebijakan 1 pintu dan 1 atap dalam bidang pengembangan perkebunan, pelayanan data dan informasi serta dukungan manajemen dan teknis lainnya lingkup Ditjen. Perkebunan (Perencanaan, Keuangan dan Perlengkapan, Umum serta Evaluasi dan Layanan Rekomendasi). Selain itu juga dengan mendorong inovasi pelayanan publik, peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik serta penguatan kapasitas dan efektifitas pengawasan pelayanan publik. 3. Peningkatan penyelenggaran pemerintah yang bersih dan bebas KKN dengan menerapkan sistem keterbukaan dan akuntabilitas informasi publik (semangat WBK). 4. Pembinaan pegawai dalam penerapan prinsip tatanan pengelolaan manajemen keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, supremasi hukum, keadilan dan partisipasi. 5. Melakukan koordinasi lintas sektoral dan bimbingan teknis terkait tata kelola kepemerintahan yang baik, reformasi birokrasi, pelayanan prima dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah seperti dengan KemenPAN-RB dan lain-lain. Sumber: Ditjen. Perkebunan, ) Peningkatan pendapatan keluarga pekebun Arah kebijakan ini merupakan resultan dari pencapaian semua sasaran strategis. Adapun prasyarat tercapainya peningkatan pendapatan keluarga pekebun diantaranya 1) peningkatan produksi dan produktivitas usaha tani pekebun dengan luas kepemilikan lahan yang terbatas melalui penerapan budidaya yang baik; 2) adanya jaminan harga yang bersaing dalam kerangka supply demand; 3) pekebun mampu meningkatkan nilai tambah terhadap usaha agribisnis perkebunan; 4) tersedianya jaminan pasar; 5) konektivitas terhadap ketersediaan infrastruktur; 6) aksesibilitas terhadap sumber pembiayaan; 7) penanganan adaptasi, mitigasi dampak 139 P a g e

140 perubahan iklim, bencana alam dan perlindungan perkebunan; 8) adopsi inovasi teknologi dan informasi yang tinggi; 9) dukungan ketersediaan benih, alsintan dan sarana produksi lainnya dan; 10) dukungan kegiatan penyuluhan, pelatihan dan pemberdayaan Sasaran Makro Pembangunan Perkebunan Secara umum strategi pembangunan nasional ditunjukan kedalam 3 dimensi pembangunan diantaranya 1) dimensi pembangunan manusia dan masyarakat dengan sasaran makro terkait kependudukan, keluarga berencana, pendidikan, kesehatan, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, perlindungan anak dan pembangunan masyarakat; 2) dimensi pembangunan sektor unggulan terkait kedaulatan pangan, energi, maritim dan kelautan, pariwisata dan industri manufaktur serta ketahanan air, infrastruktur dasar dan konektivitas; dan 3) dimensi pemerataan dan kewilayahan yang meliputi penurunan kesenjangan antar kelompok ekonomi, perlindungan sosial, pelayanan dasar, daya saing tenaga kerja, kualitas dan ketrampilan tanaga kerja, pembangunan wilayah pulau dan desa, kawasan perbatasan, daerah tertinggal, pusat pertumbuhan ekonomi luar jawa dan pembangunan kawasan perkotaan. Dari ketiga dimensi tersebut, dimensi pembangunan sektor unggulan terkait kedaulatan pangan menjadi strategi pembangunan nasional yang terkait Ditjen. Perkebunan. Dalam pencapaian strategi pembangunan nasional tersebut dijabarkan lebih lanjut kedalam proyeksi makro pembangunan perkebunan tahun sebagaimana tercantum dalam Renstra Kementerian Pertanian tahun Tabel 11 menyajikan proyeksi makro pembangunan perkebunan tahun Tabel 11. Proyeksi Makro Pembangunan Perkebunan tahun No. Indikator proyeksi makro per tahun Laju Pertumb. (%) 1. Pertumbuhan PDB (%) 5,43 4,85 5,15 5,02 4,90 5,07 2. Neraca Perdagangan ,42 (juta US$) 3. Nlai Ekspor (juta US$) ,00 Sumber: Renstra Kementerian Pertanian tahun Pada tabel 12 dapat dijelaskan bahwa proyeksi rata-rata pertumbuhan PDB perkebunan adalah sebesar 5,07%, sedangkan neraca perdagangan tumbuh sebesar 10,42% dan hal ini diiringi dengan semakin meningkatnya penerimaan ekspor komoditas unggulan perkebunan 140 P a g e

141 dengan rata-rata laju pertumbuhan nilai ekspor sebesar 10% sampai dengan tahun Sasaran Strategis Direktorat Jenderal Perkebunan Dalam RPJMN tahun ditetapkan 9 agenda prioritas NAWACITA yang menunjukkan sasaran prioritas pembangunan nasional dalam mewujudkan jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Perumusan agenda prioritas NAWACITA yang menjadi tupoksi Ditjen. Perkebunan adalah mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor strategis ekonomi domestik melalui peningkatan kedaulatan pangan dengan sasaran produksi gula tahun 2019 mencapai 3,8 juta ton. Selain itu agenda prioritas terkait akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional melalui peningkatan agroindustri berbasis komoditas perkebunan dengan sasaran produksi tahun 2019 untuk komoditas kelapa sawit sebesar 36,42 juta ton CPO; komoditas karet sebesar 3,81 juta ton karet kering; komoditas kakao sebesar 961 ribu ton biji kering; komoditas teh sebesar 162,7 ribu ton daun kering; komoditas kopi sebesar 778 ribu ton kopi berasan; dan komoditas kelapa sebesar 3,49 juta ton setara kopra. Sasaran pokok pembangunan nasional tersebut dijabarkan lebih lanjut kedalam 11 (sebelas) Sasaran Strategis Kementerian Pertanian tahun yang meliputi: 1) Meningkatnya produksi padi, jagung, kedelai, daging dan gula. 2) Terjaminnya distribusi pangan. 3) Meningkatnya akses dan pemanfaatan pangan dan gizi. 4) Meningkatnya konsumsi pangan lokal. 5) Stabilnya produksi cabai dan bawang merah. 6) Berkembangnya komoditas bernilai tambah dan berdaya saing. 7) Tersedianya bahan baku bioindustri dan bioenergy. 8) Meningkatnya kualitas sumber daya insani. 9) Meningkatnya pendapatan keluarga petani. 10) Meningkatnya kualitas aparatur dan layanan kelembagaan pertanian. 11) Meningkatnya akuntabilitas kinerja Kementerian Pertanian. Dari sebelas sasaran strategis tersebut, Ditjen. Perkebunan bertanggungjawab terhadap 7 sasaran strategis yaitu sasaran strategis 141 P a g e

142 yang berkaitan dengan 1) peningkatan produksi gula, 2) pengembangan komoditas bernilai tambah dan berdaya saing, 3) Penyediaan bahan baku bioindustri dan bioenergy; 4) peningkatan kualitas sumber daya insani; 5) peningkatan kualitas aparatur dan layanan kelembagaan pertanian; 6) peningkatan akuntabilitas kinerja Kementerian Pertanian; dan 7) peningkatan pendapatan keluarga petani. Kesemua sasaran strategis Kementerian Pertanian tersebut ditetapkan dengan mempertimbangkan arah pembangunan pertanian sebagaimana tercantum dalam dokumen Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) tahun Untuk mendukung pencapaian sasaran strategis nasional dan sasaran strategis Kementerian Pertanian tahun , sesuai tugas pokok dan fungsinya, Direktorat Jenderal Perkebunan menetapkan sasaran strategisnya untuk periode yang difokuskan pada peningkatan produksi dan produktivitas 16 komoditas strategis yang menjadi unggulan nasional perkebunan dengan target per tahun sebagaimana diuraikan dalam Tabel 12 untuk proyeksi luas tanaman menghasilkan (TM), Tabel 13 untuk proyeksi produksi dan Tabel 15 untuk proyeksi produktivitas. Tabel 12. Proyeksi Luas Tanaman Menghasilkan/TM (hektar) Komoditas Perkebunan tahun No. 1. Tebu Komoditas proyeksi luas TM (hektar) per tahun Laju Pertumb. (%) ,94 2. Kelapa Sawit ,29 3. Karet ,61 4. Kelapa ,40 5. Kakao ,02 6. Kopi ,02 7. Teh ,25 8. Lada ,47 9. Cengkeh , Pala , Jambu Mete , Nilam , Kapas , Tembakau , Kemiri Sunan , Sagu ,00 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, P a g e

143 Hasil analisis laju pertumbuhan rata-rata proyeksi luas tanaman menghasilkan (TM) dari 16 komoditas unggulan perkebunan tahun seperti pada Tabel 12 adalah sebesar 1,33%. Komoditas dengan proyeksi laju pertumbuhan tanaman menghasilkan (TM) yang tertinggi adalah komoditas pala, tebu dan kakao dengan laju pertumbuhan antara 2-4% selama 5 tahun mendatang. Hal ini membuktikan bahwa komoditas kakao masih menjadi primadona dalam pengembangannya setelah era program Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional (Gernas Kakao) yang dicanangkan Direktorat Jenderal Perkebunan selama tahun Komoditas tebu akan terus difasilitasi pengembangannya melalui kegiatan yang ditujukan untuk peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman serta kegiatan pembukaan lahan baru pada daerah yang memiliki potensi pengembangan tebu secara agroekosistem. Sedangkan komoditas pala selama ini telah dibudidayakan oleh masyarakat secara tradisional di beberapa wilayah pengembangan (Provinsi Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat) walaupun begitu, persoalan budidaya yang baik dan penanganan pascapanen masih jadi tantangan kedepan. Komoditas kapas, kemiri sunan dan sagu sampai dengan tahun 2019, diproyeksikan luas tanam (TM) tetap, faktor ketersediaan lahan dan benih akan menjadi masalah utama pengembangan ketiga komoditas tersebut kedepan sehingga arah kebijakan Ditjen. Perkebunan lebih diprioritaskan pada kegiatan dalam rangka peningkatan produktivitas, memperkuat aspek perbenihan, kelembagaan dan pascapanen. Tabel 13. Proyeksi Produksi (ton) Komoditas Perkebunan tahun No. Komoditas proyeksi produksi (ton) per tahun Laju Pertumb. (%) 1. Tebu (gula) ,97 2. Kelapa Sawit (CPO) 3. Karet (karet kering) 4. Kelapa (kopra) 5. Kakao (biji kering) 6. Kopi (kopi berasan) 7. Teh (daun kering) 8. Lada (lada kering) 9. Cengkeh (bunga kering) , , , , , , , , P a g e

144 10. Pala ,79 (biji kering) 11. Jambu Mete ,79 (gelondong kering) 12. Nilam ,81 (minyak nilam) 13. Kapas ,07 (serat berbiji) 14. Tembakau (daun kering) ,90 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Hasil analisis laju pertumbuhan rata-rata proyeksi produksi komoditas unggulan perkebunan tahun seperti pada tabel 13 adalah sebesar 4,15%. Komoditas dengan proyeksi laju pertumbuhan produksi yang tertinggi adalah komoditas tebu, tembakau, kakao, pala, kelapa sawit, kapas dan karet dengan kisaran pertumbuhan antara 3-6% selama 5 tahun mendatang. Untuk komoditas sagu dan kemiri sunan, 5 tahun mendatang belum bisa diproyeksikan angka produksinya. Komoditas sagu selama ini difasilitasi Ditjen. Perkebunan hanya dalam kegiatan penataan varietas, alat pengolahan dan perluasan areal dalam skala terbatas. Yang menjadi kendala adalah sebagian besar areal produktif sagu berada pada wilayah kehutanan sehingga untuk budidaya masih terkendala keterbatasan lahan dan teknologi pascapanen yang belum memenuhi aspek ekonomis pekebun sagu. Sedangkan komoditas kemiri sunan selama ini difasilitasi Ditjen. Perkebunan hanya dalam pengembangan areal dalam skala terbatas, kendala di lapangan adalah terbatasnya Unit Pengolahan Hasil, sempitnya jangkauan pasar dan varietas tanaman yang ada belum mampu menghasilkan produktivitas yang optimal sehingga daya tarik pekebun untuk budidaya kemiri sunan sangat kurang. Hal ini ditambah lagi umur panen kedua komoditas ini secara alami berkisar antara 4-7 tahun sehingga kurang memilki aspek ekonomis untuk dibudidayakan. Kedepan aspek budidaya, pengolahan, pemasaran dan penelitian/ teknologi akan memegang peranan yang penting dalam pengembangan komoditas ini. Tebu sebagai salah satu komoditas unggulan perkebunan memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan secara nasional yaitu Gula. Hal ini sesuai dengan sasaran strategis Kementerian Pertanian dimana gula berbasis komoditas tebu menjadi komoditas strategis untuk pencapaian kedaulatan pangan nasional. Direktorat Jenderal Perkebunan pada periode terus berupaya mengembangkan komoditas tebu di wilayah sentra-sentra pengembangan tebu dan wilayah pengembangan/ bukaan baru melalui 144 P a g e

145 alokasi anggaran dan kegiatan yang ditujukan untuk peningkatan produksi dan produktivitas. Dalam usaha perkebunan tebu, pada 5 tahun mendatang diproyeksikan terjadi peningkatan produksi tebu yang cukup signifikan dengan laju pertumbuhan produksi sebesar 6,97%. Dukungan APBN Direktorat Jenderal Perkebunan untuk mendukung peningkatan produksi tebu diwujudkan dalam bentuk penyediaan benih unggul bermutu melalui pembangunan Kebun Benih Induk (KBI) dan Kebun Benih Datar (KBD) menggunakan teknik kultur jaringan, bantuan alat dan mesin pertanian, penyediaan agro-input, penguatan riset dan kelembagaan usaha tani tebu (KPTR), bongkar ratoon, rawat ratoon dan perluasan areal pada daerah potensial pengembangan tebu dan daerah bukaan baru. Selain itu inisiasi pembangunan dan revitalisasi Pabrik Gula (PG) melalui peningkatan kapasitas giling PG dan fasilitasi pembiayaan menjadi faktor penting dalam mendukung kebijakan pengembangan tebu. Terakhir, upaya keberpihakan kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam pengaturan tata niaga pertebuan, stabilitas harga dan kebijakan pembangunan infrastruktur serta melalui diversifikasi produk akan menjadi faktor pengungkit dalam mendukung pengembangan tebu rakyat kedepan. Usaha perkebunan tembakau didominasi oleh perkebunan rakyat. Tingginya laju proyeksi produksi rata-rata tembakau menunjukkan besarnya kekuatan sumber daya pekebun dalam mengembangkan komoditas tembakau yang dapat memberikan jaminan harga yang remuneratif meskipun dibatasi oleh berbagai peraturan terutama peraturan tentang kesehatan dan intervensi tanpa adanya bantuan input produksi dari APBN. Namun demikian, peran Pemerintah dalam upaya peningkatan produksi tembakau, masih tetap dilakukan terutama dalam pembinaan, pengawalan dan pemberdayaan petani baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. Adanya alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) kepada daerah penghasil tembakau, memungkinkan Pemerintah Daerah membina para pekebun tembakau di wilayahnya secara lebih intensif. Kegiatan Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional (Gernas Kakao) yang dicanangkan Direktorat Jenderal Perkebunan sejak tahun cukup menunjukkan kinerja yang memuaskan baik produksi maupun produktivitas. Semakin meningkatnya peran serta swasta dan pemerintah daerah baik melalui kontribusi anggaran maupun dukungan regulasi sangat membantu petani/pekebun kakao dalam usaha budidaya untuk peningkatan produksi. Kedepan Direktorat Jenderal Perkebunan tetap memfokuskan pengembangan kakao melalui kegiatan 145 P a g e

146 intensifikasi/ rehabilitasi/ peremajaan/ perluasan tanaman, pemberdayaan pekebun, penguatan kelembagaan pekebun, pembangunan/ pemeliharaan kebun sumber bahan tanam, bantuan alat pascapanen dan pengendalian OPT dengan 4 tujuan utama yaitu 1) peningkatan produksi, produktivitas dan mutu kakao nasional; 2) menjadi penghasil biji kakao nomor 1 dunia mengalahkan Ghana dan Pantai Gading; 3) peningkatan sumber devisa negara dari produk ekspor, dan 4) peningkatan kesejahteraan pekebun. Peningkatan luas TM komoditas pala yang diproyeksikan 5 tahun mendatang tumbuh sebesar 4,37% akan diikuti dengan peningkatan produksi sebesar 4,79%. Optimalisasi pemanfaatan lahan eksisting komoditas pala pada daerah sentra pengembangan melalui kegiatan rehabilitasi dan peremajaan diyakini akan mampu mencapai target produksi yang dicanangkan. Selain itu pola budidaya, pemberdayaan pekebun dan teknologi pascapanen harus menjadi kegiatan pengungkit dalam rangka peningkatan produksi komoditas pala pada kawasan pengembangan. Fasilitasi Direktorat Jenderal Perkebunan melalui APBN untuk pengembangan komoditas kelapa sawit tetap dilakukan melalui kegiatan demplot model peremajaan kelapa sawit, pergantian benih tidak bersertifikat dengan benih unggul bermutu dan bersertifikat dalam skala terbatas, serta mendorong lebih banyak pekebun untuk dapat memanfaatkan fasilitas subsidi bunga perbankan yang disalurkan melalui skim kredit program Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) dalam rangka pengembangan usaha perkebunan kelapa sawitnya. Walaupun saat ini telah ditetapkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang secara tupoksi lebih dominan untuk mengembangkan komoditas kelapa sawit melalui kegiatan peremajaan tanaman, pengembangan SDM, penelitian, promosi, sarana prasarana, pemanfaatan BBN sampai hilirisasi industri tetapi dalam skala terbatas Ditjen. Perkebunan tetap berkontribusi dalam pengembangan kelapa sawit nasional seperti melalui dukungan kebijakan dan regulasi. Seiring dengan penetapan proyeksi luas tanam komoditas kapas 5 tahun mendatang lebih difokuskan pada peningkatan produktivitas pada lahanlahan eksisting, maka diikuti dengan peningkatan proyeksi produksi kapas sampai dengan tahun 2019 meskipun anomali iklim dan aspek perbenihan masih menjadi kendala terbesar pengembangan kapas. Ditjen. Perkebunan terus berupaya mengalokasikan kegiatan dan 146 P a g e

147 anggaran di sentra-sentra produksi kapas meliputi penanaman kapas pada lahan-lahan eksisting ditambah melalui pelatihan petani untuk meningkatkan kapabilitas petani dalam memahami teknik budidaya dan pascapanen yang baik pada komoditi kapas dan pelaksanaan pengendalian OPT kapas. Dengan adanya kegiatan ini diharapkan animo para pekebun untuk mengusahakan kapas menjadi tinggi sehingga akan mendongkrak harga jual serat kapas berbiji yang selama ini dianggap kurang memberikan keuntungan. Semakin meningkatnya permintaan dunia pada produk turunan komoditas karet mendorong negara penghasil karet dunia termasuk Indonesia untuk meningkatkan produksi dan produktivitas karet secara nasional walaupun dibatasi oleh perjanjian kerjasama dalam forum ITRC dengan tujuan untuk stabilisasi harga karet dunia. Kebijakan Direktorat Jenderal Perkebunan tahun untuk pengembangan komoditas karet tetap difokuskan pada kegiatan peremajaan tanaman, perluasan areal secara terbatas di daerah tertinggal, perbatasan dan pasca konflik, pemberdayaan petani, penanganan pascapanen, pembangunan/ pemeliharaan kebun sumber bahan tanam dan pengendalian OPT. Tabel 14. Proyeksi Produktivitas (Kg/Ha) Komoditas Perkebunan tahun proyeksi produktivitas (kg/ha) per tahun Laju No. Komoditas Pertumb (%) 1. Tebu ,88 2. Kelapa Sawit ,98 3. Karet ,86 4. Kelapa ,94 5. Kakao ,51 6. Kopi ,75 7. Teh ,24 8. Lada ,66 9. Cengkeh , Pala , Jambu Mete , Nilam , Kapas , Tembakau ,85 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Tabel 14 menunjukkan proyeksi produktivitas yang akan dicapai dalam kurun waktu 5 tahun kedepan. Hasil analisis menunjukkan bahwa laju pertumbuhan rata-rata proyeksi produktivitas komoditas unggulan perkebunan tahun adalah sebesar 2,37%. Komoditas dengan proyeksi laju pertumbuhan produktivitas yang tertinggi adalah komoditas 147 P a g e

148 tembakau, kapas, kakao, kelapa sawit, tebu dan karet yang berada pada kisaran 1-4% selama 5 tahun mendatang. Proyeksi peningkatan produktivitas 14 komoditas unggulan perkebunan diyakini sebagai dampak dari kegiatan-kegiatan yang akan dicanangkan Direktorat Jenderal Perkebunan pada sentra-sentra produksi komoditas perkebunan tahun seperti 1) kegiatan intensifikasi pada tanaman kelapa sawit, kakao, kopi, lada, cengkeh, pala dan teh 2) penggunaan benih unggul bermutu dan bersertifikat serta demplot peremajaan pada kelapa sawit, 3) bongkar ratoon, rawat ratoon dan penataan varietas pada tanaman tebu, 4) peremajaan pada komoditas karet, kelapa, jambu mete, kopi, pala dan kakao, 5) rehabilitasi pada komoditas kelapa, jambu mete, kopi, teh, kakao, lada, pala dan cengkeh, 6) kegiatan penanaman kapas dan tembakau; 7) kegiatan penataan tanaman sagu; 8) kegiatan pengendalian OPT dan SL-PHT, dan 9) pemberdayaan petani yang secara tidak langsung membina petani untuk secara swadaya mengimplementasikan teknik-teknik budidaya tanaman yang benar untuk meningkatkan produktivitas tanamannya Strategi Pembangunan Perkebunan Berikut ini adalah strategi pelaksanaan program dan kegiatan terhadap pencapaian arah dan kebijakan pembangunan perkebunan tahun yang ditetapkan Direktorat Jenderal Perkebunan. Strategi pembangunan perkebunan 5 tahun mendatang dapat dibagi menjadi Strategi Umum dan Strategi Khusus. Strategi umum dirumuskan dalam rangka mendukung program Direktorat Jenderal Perkebunan tahun yaitu peningkatan produksi komoditas perkebunan berkelanjutan, sedangkan strategi khusus adalah strategi pembangunan perkebunan tahun yang dirumuskan dalam rangka mendukung pencapaian 7 sasaran strategis Kementerian Pertanian tahun Strategi Ditjen. Perkebunan tahun dalam pencapaian 7 sasaran strategis Kementerian Pertanian tahun diantaranya meliputi 1) strategi pemenuhan penyediaan bahan baku Tebu dalam rangka peningkatan produksi gula nasional; 2) strategi peningkatan komoditas perkebunan bernilai tambah dan berorientasi ekspor dalam mewujudkan daya saing sub sektor perkebunan; 3) strategi pemenuhan penyediaan bahan baku bio-energy dan pengembangan fondasi sistem pertanian bio-industry; 4) strategi pengembangan sumber daya insani perkebunan (SDI); 5) strategi penguatan kelembagaan pekebun dan kemitraan usaha perkebunan; 6) 148 P a g e

149 strategi akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik; dan 7) strategi peningkatan pendapatan keluarga pekebun. A. Strategi Umum Berikut ini adalah strategi umum pembangunan perkebunan 5 tahun mendatang: 1) Strategi pengembangan komoditas perkebunan strategis Strategi ini mencakup: a. Mengembangkan 16 komoditas unggulan perkebunan seperti tebu, kelapa sawit, karet, kelapa, kakao, kopi, teh, pala, lada, cengkeh jambu mete, kemiri sunan, sagu, nilam, kapas dan tembakau melalui penerapan budidaya yang baik (GAP). b. Mengembangkan komoditas perkebunan berdasarkan manfaatnya seperti sebagai bahan pangan pokok (tebu dan sagu) dan sumber energi prospektif (kemiri sunan, tebu, kelapa, kelapa sawit dan sagu). c. Mengembangkan komoditas perkebunan berdasarkan fungsinya seperti sebagai komoditas pengendali inflasi (minyak goreng/cpo), komoditas bahan baku industri (kelapa sawit, tebu, karet, kakao, kopi, lada, pala, teh, jambu mete, kapas dan tembakau), komoditas industri minyak atsiri (nilam, pala dan cengkeh), komoditas industri pertanian prospektif (pala, lada, cengkeh dan sagu) dan komoditas berorientasi ekspor (kelapa sawit, karet, kakao, kopi, lada, pala, teh, jambu mete, kapas dan tembakau). d. Mengembangkan komoditas unggulan perkebunan pada lahan-lahan (eksisting dan bukaan baru) dan wilayah pengembangan yang sesuai potensi agroekosistemnya. e. Mengembangkan komoditas unggulan perkebunan pada lahan-lahan sesuai dengan kebutuhan kegiatan dan anggarannya seperti peremajaan, rehabilitasi dan lain-lain. f. Mengembangkan komoditas unggulan perkebunan pada lahan-lahan sub optimal, bekas tambang, terlantar, lahan tidur dan lahan sub optimal lainnya melalui introduksi teknologi yang tepat baik terkait aspek kesesuaian lahan/ tanah maupun aspek perbenihan yang cocok/ sesuai dengan kondisi sub optimal. g. Mengembangkan komoditas unggulan perkebunan pada wilayah sentra pengembangan sesuai dengan kesiapan daerah dan petaninya seperti adanya dukungan regulasi kebijakan pemerintah daerah, penetapan CP/CL yang tepat sasaran dan lain-lain. 149 P a g e

150 h. Mengembangkan budidaya 16 komoditas unggulan perkebunan melalui penerapan IPTEK dan 4-ASI (Intensifikasi, Rehabilitasi, Ekstensifikasi dan Diversifikasi), yang didukung dengan sistem penyuluhan, pengawalan, pendampingan yang intensif dan keterkaitan antara aspek penelitian dan pengembangan sehingga teknologi pertanian mudah diakses. i. Mengembangkan komoditas perkebunan lainnya yang masih dalam tahap inisiasi yang diarahkan pada pemenuhan standar pelayanan minimum (SPM) melalui penyediaan benih/ varietas unggul, pembangunan/ pemeliharaan kebun sumber benih (demplot, kebun induk, kebun entres, dan lain-lain), pemberdayaan pekebun, peningkatan kapasitas SDI dan penguatan kelembagaan. j. Mengoptimalkan dukungan penyediaan benih unggul bermutu/ bersertifikat, berpotensi hasil tinggi dan adaptif terhadap perubahan iklim, serangan OPT dan ramah lingkungan serta dukungan ketersediaan sarana produksi, alat dan mesin pertanian dan infrastruktur pendukung lainnya. k. Mengoptimalkan dukungan perlindungan perkebunan dalam mengatasi gangguan OPT perkebunan melalui inovasi teknologi yang ramah lingkungan. l. Memfasilitasi dukungan pembinaan usaha dan penanganan gangguan usaha perkebunan/konflik perkebunan serta dukungan manajemen dan teknis lainnya. m. Mendorong penurunan penggunaan input eksternal sintesis melalui penggunaan input produksi dari bahan hayati atau organik atau penerapan pemakaian input eksternal secara bijaksana dan 5 T (tepat jumlah, tepat cara, tepat waktu, tepat jenis dan tepat tempat). n. Memfasilitasi pengembangan sarana prasarana pendukung seperti irigasi teknis, jalan produksi, alat mesin pertanian, dan lain-lain. o. Menyusun regulasi yang tepat dan pro pekebun terkait pengembangan 16 komoditas perkebunan di daerah seperti sertifikasi IG (Indikasi Geografis), pertanian organik, masterplan dan rencana aksi pengembangan kawasan, perizinan usaha, penerapan sertifikat ISPO dan lain-lain. p. Mendorong pengembangan usaha perkebunan berskala ekonomi dan terintegrasi dengan unit pengolahan dan pasar. q. Memfasilitasi peningkatan produksi komoditas perkebunan melalui akselerasi peningkatan produktivitas sehingga mengurangi tekanan 150 P a g e

151 terhadap penggunaan sumber daya lahan dan air yang semakin terbatas. r. Mengadvokasi petani/pekebun tentang bagaimana sistem budidaya yang baik melalui penerapan GAP (good agriculture practice), GMP (good manufacturing practice), GHP (good handling practice) dan SPS (sanitary and phytosanitary) dalam rangka peningkatan produksi dan produktivitas komoditas perkebunan dengan mengintensifkan peran petugas pusat dan daerah. s. Memfasilitasi penggunaan peralatan budidaya dan pascapanen yang efisien, ramah lingkungan, mudah pengoperasian dan bermanfaat. t. Menyusun pedum/juknis/juklak dengan substansi isi menjelaskan pengembangan sistem budidaya yang baik dan berkelanjutan. u. Mendorong pengembangan sistem pertanian polikultur dan sistem usaha tani terpadu dan terintegrasi. 2) Strategi pengembangan kawasan berbasis komoditas perkebunan unggulan nasional Strategi ini mencakup: a. Mengembangkan komoditas unggulan nasional dan lokal sesuai dengan peluang pasar, karakteristik dan potensi wilayah dengan penerapan teknologi budidaya yang baik. b. Memfasilitasi pemanfaatan sumber daya lahan lainnya seperti lahan pekarangan, lahan pangan, lahan cadangan dan sisa aset lahan lainnya dengan pengembangan cabang usaha tani lain yang sesuai. c. Menumbuhkembangkan kawasan komoditas unggulan berbasis pedesaan dengan pengelolaan dari hulu sampai hilir dalam satu kawasan. d. Mengembangkan usaha budidaya tanaman perkebunan untuk mendukung penumbuhan sentra-sentra kegiatan ekonomi pada wilayah khusus antara lain wilayah perbatasan dan penyangga (buffer zone), wilayah konflik/pasca konflik, wilayah bencana alam serta wilayah pemekaran. e. Mendorong pengembangan aneka produk (products development) perkebunan serta upaya peningkatan mutu untuk memperoleh peningkatan nilai tambah. f. Mendorong penyediaan sarana dan prasarana pendukung pengembangan kawasan perkebunan. 151 P a g e

152 g. Membangun database kawasan baik tabular maupun spasial yang lengkap dan akurat melalui inventarisasi sumber daya lahan perkebunan serta mendorong penyusunan masterplan dan rencana aksi pengembangan kawasan perkebunan. 3) Strategi pengembangan dan penguatan sistem pembiayaan perkebunan Strategi ini mencakup: a. Mendorong penyempurnaan skim kredit program perkebunan untuk memudahkan penyerapan kredit oleh masyarakat pekebun, mudah diakses, prosedur yang sederhana dan persyaratan lunak. b. Menumbuhkembangkan kelembagaan petani sebagai Channeling Agent lembaga keuangan formal di perdesaan baik perbankan maupun non bank untuk pembiayaan permodalan pekebun seperti Lembaga Keuangan Mikro Agribisnis (LKM-A), koperasi dan lain-lain. c. Mendorong pengembangan pola kerjasama petani dan swasta/pengusaha lokal sehingga ada yang menjadi avalis bagi petani dalam meminjam modal usaha perkebunannya. d. Meningkatkan fungsi penyuluh sebagai fasilitator pembiayaan petani. e. Mendukung penguatan kapasitas kelembagaan dan sumber daya aparatur pemerintah dalam mendampingi dan mengawal petani untuk mengakses sumber permodalan yang tersedia, memantau, mengawasi dan melaporkan ketepatan dalam proses pengajuan, pencairan dan penggunaanya. f. Memfasilitasi pembiayaan bagi petani melalui program pengembangan usaha agribisis sesuai potensi wilayah. g. Mendorong pengembangan skim perlindungan usaha perkebunan dan mitigasi resiko usaha melalui asuransi pertanian seperti Bank Pertanian. Hal ini sesuai amanat Undang-Undang nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. h. Mendorong investasi di perdesaan sehingga mampu mendorong tumbuhnya sub sektor perkebunan di pedesaan. i. Mendorong penguatan status legalitas kepemilihan aset petani dan usaha taninya. j. Mengembangkan kegiatan revitalisasi perkebunan untuk komoditas unggulan perkebunan yang efektif, efisien, tepat sasaran dan berkelanjutan. 152 P a g e

153 4) Strategi pengembangan sarana prasarana dan infrastruktur pendukung usaha perkebunan Strategi ini mencakup: a. Mendorong pembangunan, perbaikan dan pemeliharaan infrastruktur pendukung usaha agribisnis perkebunan seperti jalan produksi, irigasi teknis, embung, DAM, waduk, dan lain-lain. b. Mendukung pemanfaatan fungsi jaringan irigasi dan infrastruktur pendukung lainnya secara efektif, efisien dan tepat guna. c. Memfasilitasi pengalokasian anggaran untuk pembangunan, perbaikan, pemeliharaan dan pengelolaan sarana prasarana/infrastruktur pendukung usaha agribisnis perkebunan baik dana APBD, APBN (Tugas Pembantuan) maupun DAK (Dana Alokasi Khusus). d. Mendorong peningkatan koordinasi dengan Kementerian/Lembaga dibidang infrastruktur seperti Kementerian Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat dan Pemerintah Daerah setempat untuk pembangunan, perbaikan, pemeliharaan dan pengelolaan sarana prasarana/infrastruktur pendukung usaha agribisnis perkebunan e. Melibatkan petani/pekebun dalam pengawasan dan pemeliharaan fasilitas infrastruktur pendukung usaha agribisnis perkebunan. 5) Strategi perlindungan, pelestarian, pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan hidup Strategi ini mencakup: a. Meningkatkan kampanye peran perkebunan dalam kontribusi penyerapan karbon, penyedia oksigen dan peningkatan peran serta fungsi hidro-orologis. b. Mendukung penerapan sistem pertanian konservasi pada wilayahwilayah perkebunan termasuk lahan kritis, DAS Hulu dan pengembangan perkebunan di kawasan penyangga sesuai kaidahkaidah konservasi tanah dan air. c. Meningkatkan pemanfaatan pupuk organik, pestisida nabati, agens pengendali hayati serta teknologi pemanfaatan limbah usaha perkebunan yang ramah lingkungan dan penggunaan yang berimbang. d. Meningkatkan penerapan paket teknologi ramah lingkungan. 153 P a g e

154 e. Mengembangkan kegiatan dalam pendekatan skala ekonomi terhadap upaya pelestarian, pemanfaatan dan pengelolaan lingkungan hidup. f. Mengadvokasi petani dalam pengelolaan lahan perkebunan yang berwawasan lingkungan dalam kerangka pemberdayaan pekebun. g. Mendukung upaya pengendalian alih fungsi lahan dan pembukaan lahan baru dengan pembakaran melalui penerapan budidaya yang baik dan penyusunan/ penerapan perangkat peraturan perundangan. h. Memfasiltasi kegiatan dalam rangka pencegahan kebakaran lahan dan kebun serta meningkatkan pemantauan lahan/kebun dengan melibatkan brigade pengendali kebakaran. i. Mendorong optimalisasi pemanfaatan lahan perkebunan yang terlantar dan sub optimal. j. Mendukung kegiatan dalam rangka mempertahankan kesuburan tanah pada lahan-lahan produktif dan intensif serta memperbaiki kondisi lahan marginal dengan melibatkan instansi terkait prasarana, penelitian dan pengembangan pertanian. k. Mendorong upaya reklamasi dan optimasi lahan pada lahan-lahan marginal dan sementara tidak diusahakan atau bernilai Indeks Pertanaman (IP) rendah. l. Mendorong penerapan sistem pertanian polikultur dan penanaman tanaman yang bergantian dalam 1 periode tanam untuk menjaga kesubuhan hara tanah tetap tersedia. m. Menerapkan budidaya tanaman perkebunan yang secara khusus berfungsi sebagai konservasi lingkungan dan penyerap CO2. n. Memfasilitasi penyediaan informasi titik spot kebakaran lahan dan kebun yang didukung data analisis yang baik beserta ketersediaan alat pemantau. o. Mendorong pemanfaatan lahan terlantar, lahan marjinal, lahan di kawasan transmigrasi, bekas lahan pertambangan, serta memanfaatkan tumpangsari. p. Mendorong usaha budidaya perkebunan melalui upaya-upaya dalam rangka peningkatan kualitas air dan udara dari kemungkinan pencemaran, emisi gas rumah kaca dan kerusakan akibat limbah pertanian. 154 P a g e

155 6) Strategi peningkatan upaya adaptasi, mitigasi bencana, perubahan iklim dan perlindungan perkebunan Strategi ini mencakup: a. Mengadvokasi dan mengedukasi petani/pekebun dalam pengelolaan lahan perkebunan terhadap upaya adaptasi dan mitigasi bencana/perubahan iklim serta perlindungan tanaman melalui kegiatan pemberdayaan petani dan penguatan kelembagaan. b. Memfasilitasi penyediaan dan penyaluran bantuan input produksi bagi pekebun yang terkena bencana alam, serangan OPT dan perubahan iklim. c. Mendorong pengembangan instrumen asuransi pertanian untuk pekebun dengan pilot project dalam mengganti kerugian petani karena gagal panen akibat bencana alam, serangan OPT dan perubahan iklim. d. Mendorong pengembangan benih unggul dengan varietas yang adaptif terhadap perubahan iklim dan gangguan OPT serta teknologi budidaya. e. Memfasilitasi penggunaan agens pengendali hayati (APH), musuh alami dan feromon dalam pengendalian OPT. f. Menyusun SOP (standard operating procedure) dan SPM (standar pelayanan minimum) bagi pekebun dalam budidaya perkebunannya untuk mengantisipasi dan mencegah terjadinya bencana terutama untuk wilayah rawan bencana. g. Mendorong penerapan GAP (good agriculture practice) dan GHP (good handling practice) yang baik dan berkelanjutan dalam usaha budidaya perkebunan. h. Mendorong peningkatan koordinasi dengan instansi terkait dalam mengidentifikasi zonasi-zonasi daerah yang memiliki peluang terjadinya bencana yang tinggi sehingga tidak cocok untuk usaha perkebunan. i. Memperkuat kapasitas kelembagaan dan sumber daya insani penanggulangan bencana serta melibatkan brigade proteksi tanaman perkebunan dalam perlindungan tanaman. j. Memfasilitasi penyediaan sarana prasarana mitigasi, kesiap-siagaan, sistem peringatan dini dalam menghadapi bencana alam. 155 P a g e

156 k. Mendorong penerapan budidaya tanaman perkebunan yang secara khusus berfungsi sebagai pencegah erosi dan penahan banjir. l. Mengoptimalkan kebijakan dan regulasi penanggulangan bencana, adaptasi dan perubahan iklim. m. Memfasilitasi penyediaan informasi iklim, kebencanaan yang akurat yang didukung data analisis yang baik beserta ketersediaan alat pemantau adaptasi, mitigasi bencana dan perubahan iklim. n. Mengembangkan kegiatan dalam pendekatan skala ekonomi terhadap upaya adaptasi dan mitigasi bencana/perubahan iklim. 7) Strategi dukungan pengelolaan dan pelaksanaan program tematik pembangunan perkebunan Strategi ini mencakup: a. Mendorong penyusunan perencanaan kebijakan/regulasi/usulan kegiatan di daerah diawali dengan proses analisis gender melalui aspek pasrtisipasi, akses, kontrol dan manfaat. b. Memfasilitasi pengembangan kegiatan SL-PHT di sentra-sentra perlindungan perkebunan dengan pendampingan yang intensif. c. Mendukung penyusunan rencana aksi ketenagakerjaan sektor pertanian tahun d. Mendorong mekanisme koordinasi, sistem penyediaan data/muktahiran data gender serta penguatan lembaga/ jejaring PUG dipusat dan daerah, termasuk dengan perguruan tinggi, pusat studi wanita/ gender dan organisasi masyarakat. e. Mendorong penggunaan tenaga kerja pedesaan yang berada pada usia produktif, memiliki skill dan pengetahunan pada kegiatan budidaya tanaman perkebunan, panen dan pascapanen. f. Mendorong peningkatan kualitas tenaga kerja (pusat dan daerah) melalui kegiatan pelatihan, pendidikan, pemberdayaan dengan sektor/sub sektor terkait lainnya (BPPSDMP, Kementerian Ketenagakerjaan, dll) dalam meningkatkan daya saing tenaga kerja. g. Mendukung terciptanya lapangan-lapangan kerja baru terutama di aspek hilir pengembangan komoditas perkebunan sehingga dapat menahan migrasi tenaga kerja ke sektor lain (sektor jasa, tambang, dll) dan migrasi tenaga kerja ke luar negeri (TKW dan TKI Indonesia). h. Mendukung penyusunan regulasi yang pro terhadap pekerja dan penyiapan insentif bagi tenaga kerja disertai dengan pelayanan 156 P a g e

157 kesehatan, perlindungan dan asuransi pekerja di sub sektor perkebunan. i. Mendorong investasi sub sektor perkebunan di daerah perbatasan/ daerah tertinggal/ KTI. j. Memfasilitasi kegiatan dan anggaran pengembangan komoditas perkebunan di daerah tertinggal, daerah perbatasan dan KTI sesuai dengan potensi daerah. k. Mendorong penguatan aspek pertahanan keamanan, aspek perdagangan dan pembangunan infrastruktur/sarana prasarana, dan memperkuat layanan perkarantinaan di perbatasan/ daerah tertinggal dan KTI. l. Mengembangkan pusat pertumbuhan ekonomi kawasan perbatasan/ daerah tertinggal/ KTI berbasis komoditas perkebunan sebagai penggerak utama pertumbuhan (engine of growth) berdasarkan karakteristik wilayah, potensi lokal, posisi strategis, produk unggulan daerah dan mempertimbangkan peluang pasar dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan keterkaitan antarkawasan yang meliputi aspek infrastruktur, manajemen usaha, akses permodalan dan inovasi. m. Mendorong pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang handal, pembinaan dan penguatan kelembagaan, kapasitas tata kelola kelembagaan pemerintahan serta pemanfaatan pusat informasi, pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dalam memanfaatkan dan mengelola potensi lokal untuk mewujudkan kawasan perbatasan/ daerah tertinggal/ KTI yang berdaya saing dan berwawasan lingkungan. n. Mendukung terciptanya aksesibilitas dan konektivitas baik secara domestik maupun secara internasional (locally integrated, internationally connected) terkait simpul transportasi utama pusat kegiatan strategis nasional dengan pusat-pusat pelayanan dan pertumbuhan, dengan desa-desa di kecamatan lokasi prioritas perbatasan/ daerah tertinggal /KTI dan kecamatan disekitarnya, pusat kegiatan wilayah (ibukota kabupaten), pusat kegiatan nasional (ibukota provinsi), dan menghubungkan dengan negara tetangga/ daerah maju lainnya. o. Memfasilitasi peningkatan kedaulatan pangan berbasis komoditas perkebunan di daerah perbatasan/ daerah tertinggal/ KTI. 157 P a g e

158 p. Mendorong peningkatan arus perdagangan ekspor-impor di perbatasan, kerjasama perdagangan, kerjasama sosial-budaya, dan kerjasama ekonomi lainnya dengan instansi terkait di daerah perbatasan/ daerah tertinggal/ KTI. q. Mendukung peningkatan kualitas pengaturan, pembinaan pemanfaatan, dan pengawasan rencana tata ruang kawasan perbatasan, daerah tertinggal dan KTI yang sesuai untuk budidaya komoditas perkebunan. r. Mendorong penerapan kebijakan desentralisasi asimetris untuk kawasan perbatasan negara/ daerah tertinggal/ KTI dalam memberikan pelayanan publik (infrastruktur dasar wilayah dan sosial dasar). s. Melakukan pengawalan dan pendampingan intensif terhadap program dan kegiatan pengembangan wilayah perbatasan/ daerah tertinggal/ KTI untuk pembangunan perkebunan. t. Memfasillitasi pemenuhan aspek standar pelayanan minimum (SPM) di daerah tertinggal/ perbatasan/ KTI terutama terkait mata pencaharian seperti budidaya perkebunan. u. Melakukan penguatan regulasi serta pemberian insentif kepada pihak swasta dalam pengembangan iklim usaha di daerah perbatasan/ daerah tertinggal/ KTI, salah satunya melalui harmonisasi peraturan perizinan antara pemerintah dan pemerintah daerah. v. Meningkatkan koordinasi dan peran serta lintas sektor dalam upaya mendukung pembangunan di daerah perbatasan/ daerah tertinggal/ KTI melalui pengembangan kawasan perdesaan dan transmigrasi sebagai program pembangunan lintas sektor. w. Memfasilitasi penyiapan SDI dalam penerapan kegiatan adaptasi dan mitigasi bencana/ perubahan iklim melalui peningkatan pemantauan kualitas lingkungan, memperkuat kapasitas mitigasi bencana alam, mempercepat rehabilitasi lahan/kebun yang terkena dampak bencana serta memperkuat kapasitas mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. x. Mendorong pengembangan sistem usaha tani/ model yang adaptif terhadap perubahan iklim beserta penerapan inovasi dan teknologinya. 8) Strategi penguatan tata kelola kepemerintahan yang baik dan reformasi birokrasi sebagai dasar pelayanan prima 158 P a g e

159 Strategi ini mencakup: a. Membina pegawai dalam penerapan prinsip tatanan pengelolaan manajemen keterbukaan, akuntabilitas, efektivitas dan efisiensi, supremasi hukum, keadilan dan partisipasi. b. Mendorong peningkatan penyelenggaran pemerintah yang bersih dan bebas KKN dengan menerapkan sistem keterbukaan dan akuntabilitas informasi publik. c. Meningkatkan kualitas pelayanan publik melalui keterbukaan dengan memberikan akses informasi seluas-luasnya kepada masyarakat seperti pengelolaan website data/informasi dan pengelolaan perizinan lainnya (kebijakan 1 pintu dan 1 atap). d. Meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi melalui penerapan reward and punishment kepada pegawai. e. Mendorong penyusunan regulasi/peraturan yang mengikat dan pedoman teknis terkait tata kelola kepemerintahan yang baik (bersih dari KKN dan akuntabel). f. Menerapkan SAKIP (Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) di lingkungan organisasi dengan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran harus terukur dan sesuai yang ditetapkan dalam dokumen perencanaan seperti rencana strategis (renstra). g. Menerapkan sistem kinerja pegawai dan SOP yang jelas mengenai tugas dan fungsi pegawai dalam menjalankan tugas kegiatan seharihari. h. Menerapkan disiplin pegawai dalam penataan manajemen sumber daya insani (SDI) yang profesional yang berkompentensi. i. Mendukung penataan dan pengawasan akuntabilitas kinerja secara berkala oleh atasan dan auditor. j. Memfasilitasi penyajian data dan informasi publik yang lengkap, akurat dan terpercaya serta didukung pemanfaatan teknologi yang mumpuni. B. Strategi Khusus Berikut ini adalah strategi khusus pembangunan perkebunan 5 tahun mendatang: 159 P a g e

160 1) Strategi pemenuhan penyediaan bahan baku Tebu dalam rangka peningkatan produksi gula nasional Strategi ini mencakup: a. Meningkatkan ketersediaan bahan baku tebu untuk memenuhi konsumsi gula rumah tangga dan konsumsi industri melalui peningkatan produksi dan produktivitas tebu. b. Memfasilitasi pengembangan kegiatan bongkar ratoon, rawat ratoon, perluasan dan intensifikasi melalui kegiatan massal dengan anggaran yang cukup tersedia dan efektif penggunaannya. c. Mendukung pembangunan dan peningkatan infrastruktur per-tebuan yang memadai seperti jalan produksi, pelabuhan, jembatan serta optimalisasi sarana prasarana yang mendukung budidaya per-tebuan seperti ketersediaan sumber air melalui jaringan irigasi teknis, embung dan waduk. d. Mendukung revitalisasi Pabrik Gula (PG) yang sudah ada guna meningkatkan kapasitas produksi dan membangun PG baru dengan kapasitas produksi yang tinggi disertai peningkatan alat dan mesin modern serta inovasi teknologi PG. e. Mendukung pengembangan industri hilir berbasis tebu di sentra pengembangan budidaya tebu serta membantu pengolahan dan pemasaran gula rakyat dalam rangka kemitraan usaha agribisnis perkebunan. f. Mendukung peningkatan link and match antara lembaga riset dengan dunia usaha disertai dengan re-orientasi riset sesuai dengan kebutuhan dunia usaha serta penguatan dan optimalisasi lembaga riset per-tebuan. g. Melakukan fasilitasi pengawalan rendemen guna meningkatkan kualitas/ mutu tebu ditingkat on-farm dan off-farm. h. Penguatan sistem perbenihan nasional untuk varietas tebu yang cocok di lahan kering dan adaptif terhadap perubahan iklim dan gangguan OPT serta didukung pembangunan kebun benih dan kebun tebu giling. i. Mendukung ketersediaan sarana produksi lainnya seperti pupuk dan pestisida dengan penggunaan yang 5 tepat (tepat jenis, tepat dosis, tepat waktu, tepat tempat, tepat cara/metode) serta ramah lingkungan. 160 P a g e

161 j. Mendukung anggaran, fasilitas pendanaan dan sumber pembiayaan/skim kredit bagi petani tebu yang memadai dan dijamin aksesibilitasnya. k. Mendukung kemudahan dan percepatan penerbitan sertifikasi lahan petani dan HGU Perkebunan. l. Penerapan standar mutu komoditas tebu dan gula. m. Mendukung kepastian hukum dan jaminan keamanan berusaha/iklim usaha kondusif. n. Mendorong penerapan kebijakan ekspor, proteksi impor/pembatasan serta pengaturan harga yang kondusif dan bersaing. o. Mendukung pemberdayaan petani tebu dan penguatan kelembagan tebu yang melatih para pekebun tebu memahami budidaya tebu yang sesuai dengan GAP. p. Mendukung pengendalian Organisme Penganggu Tanaman (OPT) tebu dengan memadukan berbagai metode pengendalian yang saling kompatibel, ramah lingkungan dan melakukan rekayasa sosial. q. Mendorong pengembangan inovasi dan teknologi tepat guna dalam mendukung usaha pertebuan seperti teknologi modern, alat dan mesin pertanian, dan lain-lain. r. Mengupayakan bantuan alat dan mesin pertanian yang mengarah kepada mekanisasi pertanian untuk mengefisiensi usaha budidaya tebu seperti traktor dan implement, grab loader, dump truck, alat pengukur rendemen/hand refractometer, alat tebang/harvester, cultivator, fertilizer applicator, alat putus akar, dan lain-lain. s. Mendukung ketersediaan lahan tebu untuk perluasan areal, salah satunya adalah melalui percepatan dan kemudahan pelepasan kawasan hutan. t. Menyiapkan kebijakan/regulasi Pusat-Daerah dalam mendukung sistem pertebuan nasional seperti permasalahan pembukaan lahan tebu dengan kehutanan, masalah HGU, regulasi yang mendorong masuknya dunia usaha/investor, masalah retribusi usaha yang memberatkan petani tebu dan pengusaha. 2) Strategi peningkatan komoditas perkebunan bernilai tambah dan berorientasi ekspor dalam mewujudkan daya saing komoditas perkebunan Strategi ini mencakup: 161 P a g e

162 a. Meningkatkan pengembangan diversifikasi usaha perkebunan secara intensif dan berkelanjutan. b. Mendorong pengembangan komoditas unggulan lokal yang prospektif ekspor. c. Mengupayakan peningkatan produksi komoditas unggulan ekspor perkebunan melalui kegiatan yang dapat meningkatkan produktivitas seperti intensifikasi, peremajaan, pengendalian OPT, pascapanen dan lain-lain. d. Mengupayakan peningkatan mutu komoditas perkebunan melalui penerapan usaha budidaya perkebunan yang baik sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi petani. e. Mendorong berkembangnya industri hilir perkebunan di perdesaan dan unit pengolahan skala ekonomi petani/pekebun agar mampu menghasilkan produk turunan yang memberi nilai tambah. f. Mendorong kerangka regulasi komoditas ekspor perkebunan yang memihak komoditas lokal melalui penerapan kebijakan ekspor, proteksi impor/pembatasan serta pengaturan harga yang kondusif dan bersaing. g. Menginisiasi pengembangan komoditas substitusi impor. h. Mendorong peran Pemerintah Daerah-Swasta-Pusat dalam peningkatan komoditas ekspor perkebunan Indonesia melalui dukungan regulasi/kebijakan dan pendanaan. i. Mendorong promosi komoditas perkebunan yang layak diekspor. 3) Strategi pemenuhan penyediaan bahan baku bio-energy dan pengembangan fondasi sistem pertanian bio-industry Strategi ini mencakup: a. Mendorong peningkatan penyediaan protein hewani melalui integrasi cabang usaha tani ternak yang sesuai pada areal perkebunan. b. Mengidentifikasi komoditas dan cabang-cabang usaha tani perkebunan yang dapat menghasilkan bio-energy dan mendukung sistem pertanian bio-industry. c. Mendorong pengembangan tanaman yang dapat dijadikan sebagai sumber bahan bakar nabati melalui inisiasi sistem perbenihan yang unggul. d. Mendorong penyediaan sumber tanaman bio-energy dan terintegrasi dengan kegiatan pascapanen melalui pola integrated farming. 162 P a g e

163 e. Mendukung penyusunan peta jalan dan road map pengembangan penyediaan bahan baku bio-energy untuk mewujudkan sistem pertanian bio-industry. f. Pengembangan budidaya perkebunan melalui penerapan zero waste management baik sistem intergrasi ternak maupun sistem pengelolaan pascapanen dan pengendalian OPT-nya. g. Mendorong penerapan program massal pengembangan bio-energy dan sistem pertanian bio-industry. h. Mendorong pengembangan bidang pengolahan hasil perkebunan yang berteknologi menengah dan tinggi. i. Mendorong investasi dari dunia usaha dalam mengembangkan bioenergy untuk mewujudkan sistem pertanian bio-industry. j. Mengembangkan kegiatan di perdesaan yang berbasis bio-industry sederhana melalui pemanfaatan komoditas perkebunan lokal sebagai sumber bio-energy. 4) Strategi pengembangan sumber daya insani perkebunan (SDI) Strategi ini mencakup: b. Mengembangkan sistem informasi yang terstruktur mencakup kemampuan menyusun, memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang lengkap mengenai SDI, teknologi, peluang pasar, manajemen, permodalan, usaha perkebunan untuk mendorong dan menumbuhkan minat pelaku usaha, petani dan masyarakat. c. Menyediakan dan mengembangkan insan perkebunan yang kompeten, berkarakter bangsa, berkualitas, memiliki modal sosial dan modal politik. d. Meningkatkan jejaring kerja dengan institusi terkait pembangunan perkebunan baik di dalam maupun luar negeri. e. Mendorong peningkatan kerjasama dengan instansi terkait dalam rangka revitalisasi pendidikan perkebunan melalui: - Peningkatan kegiatan baik apresiasi maupun kerjasama dibidang promosi, pelatihan, pemberdayaan, penelitian dan pengembangan sumber daya insani (SDI). - Peningkatan intensitas penyuluhan bagi petani dan pendidikan pelatihan bagi aparat perkebunan. 163 P a g e

164 - Peningkatan peran Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S). - Penajaman kurikulum pendidikan dan pelatihan petani sesuai dengan kebutuhan pasar kerja termasuk ketrampilan dalam aspek kewirausahaan. - Membangun sistem pendidikan dan pelatihan untuk mewujudkan pekebun yang tangguh. f. Mendorong pemberdayaan petugas pusat dan daerah melalui: - Peningkatan kualitas, moral dan etos kerja petugas. - Peningkatan lingkungan kerja yang kondusif dan membangun sistem pengawasan yang efektif. - Peningkatan penerapan sistem recruitment dan karir yang terprogram serta transparan untuk mewujudkan petugas yang profesional. - Peningkatan dan pengembangan kemampuan dan sikap prakarsa petugas yang pro-aktif dalam mewujudkan pelayanan prima sesuai kebutuhan dunia usaha. - Pemantapan aparatur pemerintah yang produktif, efisien dan berakhlak mulia. g. Mendorong pemberdayaan insani pekebun dan masyarakat melalui: - Peningkatan kemampuan dan kemandirian petani untuk mengoptimasikan usahanya secara berkelanjutan. - Pengembangan kewirausahaan pekebun dan pelaku usaha berdasarkan nilai-nilai dan kearifan luhur bangsa Indonesia. - Fasilitasi kemampuan pekebun untuk dapat mengakses berbagai peluang usaha dan sumberdaya dalam memperkuat/ mempertangguh usaha taninya. - Penumbuhan kebersamaan dan pengembangan kemampuan pekebun dalam mengelola kelembagaan pekebun dan kelembagaan usaha serta menjalin kemitraan usaha. 5) Strategi penguatan kelembagaan pekebun dan kemitraan usaha perkebunan Strategi ini mencakup: 164 P a g e

165 a. Mendorong peningkatan kemampuan dan kemandirian kelembagaan petani untuk menjalin kerjasama usaha dengan mitra terkait serta mengakses berbagai peluang usaha dan sumberdaya yang tersedia. b. Membangun struktur kelembagaan petani dengan kualitas sumber daya insani (SDI) kepengurusan yang baik sesuai dengan bidangnya dan dibekali pengetahuan tentang bagaimana cara berorganisasi yang baik. c. Memperbaiki sistem dan kelembagaan petani berbasis perlindungan usaha yang dipengaruhi olah resiko kegagalan panen akibat bencana alam, serangan OPT dan perubahan iklim. d. Mendorong terbentuknya kelembagaan komoditas yang tumbuh dari bawah dan penumbuhan kelembagaan keuangan pedesaan yang berorientasi pasar. e. Meningkatkan fungsi pendampingan dan pengawalan kepada petani dan kelembagaan usahanya. f. Mendorong kemitraan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggung jawab, saling memperkuat dan saling ketergantungan antara petani, pengusaha, karyawan dan masyarakat sekitar perkebunan. g. Memfasilitasi pengembangan kemitraan usaha terpadu di sentrasentra produksi yang memiliki potensi berkembang dengan ketersediaan bahan baku melalui kemitraan investor. h. Mendorong penguatan kelembagaan usaha pekebun baik usaha perbenihan kecil dan besar serta kelembagaan UPJA (unit pelayanan jasa alsintan) perkebunan. i. Meningkatkan kegiatan pemberdayaan pekebun untuk penyelesaian dinamika kelompok dan penguatan kelembagaan. j. Memberikan bimbingan dan pendampingan teknis untuk memperkuat kemampuan kelompok tani baik aspek manajemen kelompok, kegiatan budidaya maupun aspek pengolahan dan pemasaran. k. Memperluas jenis kelompok tani sesuai bidang usaha dan memperkuat kemitraan dengan swasta seperti kelembagaan perbenihan/penangkar. l. Mendorong penguatan modal usaha bagi kelompok melalui bantuan modal, penguatan jaringan Kelompok Tani dengan penyuluh lapangan dan kemitraan dengan swasta/bumn/pemerintah daerah. 165 P a g e

166 6) Strategi akuntabilitas kinerja aparatur pemerintah yang baik Strategi ini mencakup: a. Mendukung penataan manajemen pembangunan dan tata kelola pemerintahan di institusi Kementerian Pertanian melalui pengembangan sumber daya aparatur, penguatan organisasi dan reformasi kelembagaan sesuai prinsip clean government dan good governance. b. Mendukung identifikasi kesenjangan kapasitas institusi seluruh unit kerja melalui penciptaan keterpaduan antar unit kerja serta penataan unit kerja di pusat dan daerah (UPT). c. Menerapkan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dari aspek perencanaan kinerja (penyusunan Renstra, perjanjian kinerja/pk dan rencana kinerja tahunan/rkt), pengukuran kinerja (penetapan IKP/IKU dan IKK), pengelolaan data kinerja, pelaporan kinerja (penyusunan Laporan Kinerja/Lakin/ Lakip), evaluasi kinerja (reviu terhadap kinerja oleh APIP) dan capaian kinerja (realisasi kinerja fisik dan keuangan). Hal ini sesuai Peraturan Presiden nomor 29 tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. d. Mendukung pembinaan komitmen anti korupsi di tiap eselon 1 lingkup Kementerian Pertanian melalui gerakan WBK (wilayah bebas korupsi). e. Memberikan pemahaman kepada setiap aparatur negara mengenai pembinaan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPI) sesuai amanah Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun f. Memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat/publik secara konsisten dan berkelanjutan dalam bidang pengembangan perkebunan, pelayanan data dan informasi serta dukungan manajemen dan teknis lainnya lingkup Ditjen. Perkebunan. Selain itu juga dengan mendorong inovasi pelayanan publik, peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelayanan publik serta penguatan kapasitas dan efektifitas pengawasan pelayanan publik. Hal ini sesuai amanat Undang-Undang nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. g. Mendukung penciptaan teknologi informasi publik dan kehumasan dalam ruang lingkup e-government baik dalam bentuk web maupun sarana informasi lainnya sebagai amanat dari Undang-Undang 166 P a g e

167 nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik seperti SIMPEG, SIMONEV, e-proposal, dll. h. Menciptakan profesionalisme SDM aparatur yang didukung oleh sistem rekrutmen dan promosi aparatur yang berbasis kompetensi, transparan dan mampu mendorong mobilitas aparatur antar daerah, antar pusat, antar pusat dan daerah serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang sepadan. i. Mendorong perbaikan sarana dan prasarana lingkungan kerja serta penerapan manajemen modern dalam penyelenggaraan kegiatan pembangunan perkebunan. j. Mendukung penyusunan/ pembentukan/ revisi peraturan perundangundangan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. k. Mengembangkan mekanisme kontrol yang tepat, sinergi, realistis, inovatif, terukur, konsisten, efektif dan efisien terhadap sistem manajemen organisasi terhadap simpul-simpul kritis pelaksanaan organisasi dan dalam rangka menghadapi segala permasalahan dalam organisasi. l. Menanamkan mind set dan culture set kepada para aparatur negara (pusat dan daerah) melalui bimbingan teknis dalam berorganisasi untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang professional dengan karakteristik adaptif, berkomitmen, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas KKN, mampu melayani publik dengan baik dan prima, jujur, agamis, netral, sejahtera, berdedikasi dan memegang teguh nilai-nilai dasar dan kode etik aparatur negara. m. Menerapkan reward dan punishment secara konsisten dan berkelanjutan terhadap pelaksanaan kinerja organisasi, pengembangan aparatur negara dan pelaksanaan anggaran/ kegiatan di pusat dan daerah. n. Melaksanakan reformasi birokrasi melalui program dan kegiatan yang berorientasi pada hasil dan penganggaran berbasis kinerja sehingga pencapaian sasaran program, kegiatan dan anggaran yang dapat terserap seluruhnya, memberikan pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi (nasional dan daerah) dan penilaian laporan keuangan yang Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). o. Mendukung penyelesaian dalam menginventarisasi aset-aset pusat didaerah secara transparan dan adil. 167 P a g e

168 p. Mendukung penguatan pengawasan instansi pemerintah berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 23 tahun 2009 tentang Pedoman Umum SPI, terbentuknya satlak SPIP, peningkatan peran Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) sebagai Quality Assurance (QA). q. Mendorong pelaksanaan monev reformasi birokrasi dengan melaksanakan Penilaian Mandiri Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (PMPRB) secara online berdasarkan PermenPAN-RB nomor 1 tahun r. Mendorong penataan sistem manajemen SDM aparatur pada kegiatan pelaksanaan analisis jabatan, analisis beban kerja, SOP kegiatan, evaluasi jabatan, standar dan profil kompetensi jabatan, penilaian prestasi kerja, disiplin pegawai, pendidikan/ pelatihan berbasis kompetensi melalui workshop, seminar dll, pengembangan jabatan fungsional, pengelolaan SIMPEG dan lain-lain. s. Melakukan koordinasi lintas sektoral dan bimbingan teknis terkait tata kelola kepemerintahan yang baik, reformasi birokrasi, pelayanan prima dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah seperti dengan KemenPAN-RB dan lain-lain. 7) Strategi peningkatan pendapatan keluarga pekebun Strategi peningkatan pendapatan keluarga pekebun dapat dijalankan dengan terlebih dahulu melaksanakan strategi-strategi yang ditetapkan dalam pencapaian 5 sasaran strategis Kementerian Pertanian lainnya karena pada dasarnya peningkatan pendapatan keluarga pekebun merupakan kondisi akhir yang diharapkan dalam pelaksanaan visi, misi, tujuan, strategi dan pelaksanaan kinerja kegiatan dari pembangunan perkebunan tahun Indikator-indikator yang dapat memperlihatkan peningkatan pendapatan keluarga pekebun antara lain: a. Pendapatan pekebun per kepala keluarga. b. Peningkatan produksi dan produktivitas komoditas perkebunan yang dibudidayakan pekebun. c. Semakin luasnya pasar, kebijakan harga dan regulasi yang memihak pekebun. d. Aksesibilitas pekebun terhadap sumber pembiayaan, asuransi pertanian dan lembaga keuangan/ perbankan lain. e. Semakin terbukanya industri hilir sub sektor pekebunan karena investasi terus meningkat. 168 P a g e

169 f. Pekebun mampu melakukan kegiatan diversifikasi perkebunan lainnya untuk peningkatan nilai tambah. g. Meningkatnya keterlibatan pekebun dalam usaha budidaya perkebunan di suatu daerah. h. Terciptanya pembangunan perkebunan lintas sektoral melalui pendekatan kawasan. i. Terpenuhinya segala aspek pelayanan dasar bagi pekebun seperti pendidikan, kesehatan, sandang, pangan, papan dan lain-lain. j. Kemudahan dalam mengakses inovasi dan teknologi. k. Dukungan konektivitas dalam pengembangan perkebunan melalui ketersediaan sarana prasarana, bantuan bibit dan sapras lainnya, infrastruktur, dan lain-lain. BAB III VISI, MISI DAN TUJUAN 169 P a g e

170 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN Visi Direktorat Jenderal Perkebunan Dalam rangka mendukung Visi Pembangunan Nasional tahun yaitu Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-Royong dan Visi Kementerian Pertanian tahun yaitu terwujudnya kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani maka Direktorat Jenderal Perkebunan menetapkan Visi Direktorat Jenderal Perkebunan tahun yaitu Menjadi Direktorat Jenderal yang profesional dalam mewujudkan peningkatan produksi komoditas perkebunan secara optimal, berdaya saing dan bernilai tambah tinggi untuk kesejahteraan pekebun. Perwujudan dari Visi Direktorat Jenderal Perkebunan tersebut dijabarkan lebih lanjut kedalam kisi-kisi perumusan visi yang memuat makna-makna dari visi itu sendiri. Tabel 15 menunjukkan kisi-kisi perumusan Visi Direktorat Jenderal Perkebunan tahun Tabel 15. Kisi-Kisi Perumusan Visi Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun No. Pokok-Pokok Visi Makna Visi 1. Profesional Menjadikan sikap/ kepribadian yang cakap untuk melakukan suatu kegiatan/ aktivitas sesuai kemahiran, kemampuan dan keahlian serta mengedepankan integritas dan komitmen berdasarkan tugas pokok dan fungsi organisasi serta peraturan perundang-undangan 2. Peningkatan Produksi Melakukan upaya strategis dalam menambah/ meningkatkan nilai guna tanaman perkebunan dari nilai guna sebelumnya 3. Komoditas Perkebunan Menjadikan barang dagangan utama, benda niaga, hasil bumi setelah melalui pengolahan, dijadikan produk ekspor dalam pengembangannya Menjadikan bahan mentah yang dapat digolongkan menurut mutunya sesuai dengan standar perdagangan nasional berupa tanaman perkebunan (baik semusim maupun tahunan yang ditetapkan sesuai Peraturan Perundangundangan dalam bentuk Kepmentan 511/Kpts/PD.310/9/2006 tentang Jenis Komoditas Tanaman Binaan Ditjen. Perkebunan, Ditjen. Tanaman Pangan dan Ditjen. Hortikultura serta Kepmentan 3399/Kpts/PD.310/10/2009 tentang perubahan Lampiran 1 dari Kepmentan 511/Kpts/PD.310/9/2006) yang unggul untuk dibudidayakan secara intensif pada usaha agribisnis perkebunan dengan persyaratan tertentu baik teknis budidaya maupun teknis non budidaya 170 P a g e

171 5. Optimal Mencapai hasil yang ideal (nilai efektif yang dapat dicapai), efisien dan objektif baik produksi maupun produktivitas tanaman perkebunan 6. Berdaya Saing Mengoptimalkan pemanfaatan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif dari pengembangan tanaman perkebunan yang mencerminkan kesanggupan suatu komoditas untuk memasuki dan memenangkannya pasar ekspor yang ditandai dengan meningkatnya permintaan dan semakin luasnya jangkauan pasar, kontinuitas dan berkelanjutan dalam mempertahankan kualitas komoditas/ produk, selain itu bagaimana komoditas tersebut dapat bertahan terhadap gejolak ekonomi dan memberi kontribusi terhadap peningkatan perekonomian daerah dan nasional 7. Bernilai Tambah Tinggi Menciptakan atau menghasilkan aneka produk perkebunan lain selain produk segarnya/ produk utama dari hasil proses produksi, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan pemasaran melalui penerapan teknologi berwawasan lingkungan menghasilkan bentuk produk olahan, produk turunan, produk samping, produk ikutan dan limbah/by-product 8. Kesejahteraan Pekebun Mewujudkan peningkatan pendapatan pekebun, lebih jauh lagi dalam meningkatkan kemampuan dan kemandirian pekebun dalam memenuhi segala kebutuhannya melalui penerapan budidaya dan pascapanen tanaman perkebunan yang baik berbasis agribisnis berkelanjutan Sumber: Ditjen. Perkebunan, Misi Direktorat Jenderal Perkebunan Dalam RPJMN , pemerintah menetapkan 7 Misi Pembangunan Nasional tahun diantaranya adalah: 1. Mewujudkan keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan, wilayah, menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim dan mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai Negara Kepulauan. 2. Mewujudkan masyarakat maju, berkeseimbangan dan demokratis berlandaskan Negara Hukum. 3. Mewujudkan politik luar negeri bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai Negara Maritim. 4. Mewujudkan kualitas hidup manusia Indonesia yang tinggi, maju dan sejahtera. 5. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing. 6. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan berbasiskan kepentingan nasional. 7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan. 171 P a g e

172 Mengacu pada Misi Pembangunan Nasional tahun , Kementerian Pertanian menetapkan Misi Kementerian Pertanian tahun diantaranya: 1. Mewujudkan ketahanan pangan dan gizi. 2. Meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pertanian. 3. Mewujudkan kesejahteraan petani. 4. Mewujudkan Kementerian Pertanian yang transparan, akuntabel, professional dan berintegritas tinggi. Berkaitan dengan penetapan 7 Misi Pembangunan Nasional tahun dan memperhatikan Misi Kementerian Pertanian dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Pertanian tahun , maka Direktorat Jenderal Perkebunan menetapkan Misi Direktorat Jenderal Perkebunan tahun sebagai berikut : 1) Mewujudkan peningkatan produksi tanaman perkebunan secara berkelanjutan. 2) Mewujudkan pelayanan prima dan berkualitas dibidang manajemen dan kesekretariatan. 3) Mewujudkan peningkatan penyediaan teknologi dan penerapan pascapanen dan pengolahan hasil perkebunan secara berkelanjutan. 4) Menyediakan fasilitasi pembinaan dan penanganan usaha perkebunan berkelanjutan serta penanganan gangguan usaha dan konfik perkebunan. 5) Mewujudkan sistem perlindungan perkebunan dan penanganan dampak perubahan iklim yang terpadu, terintegrasi dan berkelanjutan. 6) Mewujudkan integrasi antar pelaku usaha budidaya tanaman perkebunan dengan pendekatan kawasan. 7) Mendorong upaya pemberdayaan petani dan penumbuhan kelembagaan petani. 8) Mendorong upaya penerapan budidaya tanaman perkebunan dengan baik dan berwawasan lingkungan. 9) Mewujudkan sistem pertanian bio-industry berbasis pengembangan komoditas perkebunan. 10) Mendorong pengembangan pemasaran produk perkebunan di tataran domestik dan internasional yang berkualitas dan berdaya saing Tujuan Direktorat Jenderal Perkebunan 172 P a g e

173 Mengacu pada sasaran utama serta analisis yang hendak dicapai serta mempertimbangkan lingkungan strategis dan tantangan-tantangan yang akan dihadapi bangsa Indonesia kedepan, maka tujuan pembangunan nasional yang diimplementasikan kedalam arah kebijakan umum tahun adalah: 1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan; 2. Meningkatkan pengelolaan dan nilai tambah sumber daya alam yang berkelanjutan. 3. Mempercepat pembangunan infrastruktur untuk pertumbuhan dan pemerataan. 4. Meningkatkan kualitas lingkungan hidup, mitigasi bencana alam dan penanganan perubahan iklim. 5. Penyiapan landasan pembangunan yang kokoh. 6. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan. 7. Mengembangkan dan memeratakan pembangunan daerah. Selanjutnya, sebagai penjabaran dari visi dan misi Kementerian Pertanian, maka tujuan pembangunan pertanian tahun yang ingin dicapai yaitu: 1. Terwujudnya swasembada padi jagung, kedelai serta meningkatnya produksi daging dan gula. 2. Terpenuhinya akses pangan masyarakat. 3. Bergesernya budaya konsumsi pangan. 4. Meningkatnya stabilisasi produksi dalam rangka stabilisasi harga. 5. Meningkatnya nilai tambah dan daya saing produk pertanian dalam memenuhi pasar dalam negeri dan ekspor. 6. Meningkatnya ketersediaan bahan baku bioindustri dan bioenergy. 7. Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani. 8. Terwujudnya reformasi birokrasi Kementerian Pertanian. Untuk mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional dan pembangunan pertanian pada periode jangka menengah tahun , maka Direktorat Jenderal Perkebunan menetapkan tujuan Direktorat Jenderal Perkebunan dalam pembangunan perkebunan tahun 173 P a g e

174 yang akan dicapai sesuai dengan penetapan Visi, Misi serta tugas pokok dan fungsi organisasi sebagai berikut : 1) Meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman perkebunan melalui rehabilitasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi yang didukung oleh penyediaan benih unggul, bermutu dan bersertifikat, sarana produksi dan alat mesin pertanian/pengolahan/pascapanen serta pembangunan kebun sumber benih tanaman perkebunan. 2) Memberikan pelayanan perencanaan, program, anggaran, kerjasama teknis, administrasi keuangan, aset, umum, organisasi, tata laksana, kepegawaian, hukum, humas, administrasi perkantoran, evaluasi pelaksanaan kegiatan, layanan rekomendasi teknis dan penyediaan data serta informasi yang berkualitas. 3) Memfasilitasi penyediaan/ pengadaan alat pascapanen dan alat pengolahan tanaman semusim dan rempah serta tanaman tahunan dan penyegar yang spesifik lokasi dan fungsi yang didukung penyediaan teknologi berkualitas dan aplikatif bagi pekebun. 4) Melakukan upaya strategis dalam memfasilitasi penerapan pembinaan usaha perkebunan berkelanjutan, perizinan usaha pekebunan, penilaian usaha perkebunan serta inventarisasi, identifikasi dan penanganan kasus gangguan usaha dan konflik perkebunan. 5) Memfasilitasi ketersediaan teknologi perlindungan perkebunan, pengamatan, pemantauan dan pengendalian organisme penganggu tanaman (OPT), pencegahan kebakaran lahan/ kebun dan penanganan dampak perubahan iklim. 6) Melakukan pengembangan komoditas unggulan perkebunan pada lahan-lahan eksisting dan lahan bukaan baru sesuai potensi kearifan lokal, kebutuhan pengembangan kawasan dan kesiapan daerah pengembangan melalui pendekatan kawasan yang terintegrasi antar sektor dan memperhatikan kelayakan ekonomi, agroekosistem, sosial, pasar dan pengembangan/ potensi berkelanjutan. 7) Memberikan fasilitasi kegiatan pemberdayaan pekebun dan penguatan kelembagaan kelompok petani tanaman semusim dan rempah, tanaman tahunan dan tanaman rempah penyegar melalui pelatihan penumbuhan kebersamaan/ dinamika kelompok, pelatihan penguatan kelembagaan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana prasarana budidaya, dukungan penyediaan fasilitasi pembiayaan dan permodalan serta kemudahan akses ilmu pengetahuan dan teknologi informasi. 174 P a g e

175 8) Melakukan pembinaan, bimbingan teknis dan pendampingan kepada pekebun dalam mendorong usaha agribisnis perkebunan dibudidayakan melalui sistem budidaya perkebunan yang baik, berkelanjutan dan memperhatikan isu-isu lingkungan terutama dalam penggunaan benih dan sarana produksi (pupuk dan pestisida). 9) Melakukan upaya pengembangan komoditas perkebunan sumber bio-energy, sistem pertanian polikultur serta penerapan integrasi tanaman perkebunan dalam mendukung pengembangan sistem pertanian bio-industry melalui pendekatan zero waste management. 10) Melakukan upaya dalam memfasilitasi pengembangan pemasaran produk unggulan perkebunan yang meliputi bidang informasi, pemantauan dan stabilitas harga, sarana dan kelembagaan pasar, jaringan pemasaran, analisis dan pengembangan ekspor, pemasaran bilateral/regional/ multilateral dan kerjasama komoditas. 175 P a g e

176 BAB IV PROGRAM DAN KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN Program Direktorat Jenderal Perkebunan Pembangunan perkebunan saat ini dan dimasa yang akan datang menghadapi tantangan yang cukup berat baik dalam tataran liberalisasi perdagangan global maupun lingkup regional, terutama memasuki era AEC (Asean Economic Community) tahun Tuntutan pembangunan perkebunan di era AEC adalah bagaimana strategi pengembangan komoditas perkebunan yang berkelanjutan, berdaya saing baik kuantitas maupun kualitas dan ramah lingkungan serta mampu memecahkan masalah kesenjangan ekonomi (kemiskinan dan pengangguran). Selain itu bagaimana masalah pemerataan pembangunan perkebunan dan kesejahteraan pekebun perlu benar-benar menjadi prioritas program dan kegiatan Direktorat Jenderal Perkebunan tahun Keberhasilan pembangunan perkebunan di era AEC yang penuh persaingan ini tidak hanya memerlukan keterpaduan seluruh potensi sumber daya (SDI dan SDA) yang ada untuk mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan tetapi yang justru lebih penting adalah bagaimana kebersamaan dan keterbukaan dari para stakeholder Pusat-Daerah dan masyarakat pekebun dalam menjaga kedaulatan dan kemandirian NKRI ditengah serbuan investasi asing dan produk-produk negara lain sehingga diperlukan pengamanan pasar domestik yang berefisiensi keadilan dan berbasis kearifan lokal untuk meningkatkan daya saing dan penguatan ekspor komoditas perkebunan agar mampu mencapai tujuan kebermanfatan dan keberlanjutan bagi perekonomian nasional dan kelestarian lingkungan hidup. Berdasarkan hasil restrukturisasi program dan kegiatan sesuai surat edaran bersama Menteri Keuangan nomor SE-1848/MK/2009 dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas nomor 0142/M.PPN/06/2009 tanggal 19 Juni 2009, setiap unit Eselon I mempunyai satu program yang mencerminkan nama Eselon I yang bersangkutan dan setiap unit Eselon II hanya mempunyai dan tanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan. Dengan demikian indikator kinerja unit Eselon I adalah outcome dan indikator kinerja unit Eselon II adalah output. 176 P a g e

177 Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 45 tahun 2015 tentang Kementerian Pertanian menyatakan bahwa Direktorat Jenderal Perkebunan mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan produksi tebu dan tanaman perkebunan lainnya. Dalam menjalankan tugas tersebut, Direktorat Jenderal Perkebunan menyelenggarakan fungsi: 1. Perumusan kebijakan di bidang penyediaan perbenihan, penyelenggaraan budidaya, peningkatan pascapanen, pengolahan, dan pemasaran hasil produksi tebu dan tanaman perkebunan lainnya, pengembangan bahan baku bioenergi, pembinaan usaha perkebunan berkelanjutan serta pengendalian hama penyakit dan perlindungan perkebunan; 2. Pelaksanaan kebijakan di bidang penyediaan perbenihan, penyelenggaraan budidaya, peningkatan pascapanen, pengolahan, dan pemasaran hasil produksi tebu dan tanaman perkebunan lainnya, pengembangan bahan baku bioenergi, pembinaan usaha perkebunan berkelanjutan serta pengendalian hama penyakit dan perlindungan perkebunan; 3. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang penyediaan perbenihan, penyelenggaraan budidaya, peningkatan pascapanen, pengolahan, dan pemasaran hasil produksi tebu dan tanaman perkebunan lainnya, pengembangan bahan baku bioenergi, pembinaan usaha perkebunan berkelanjutan serta pengendalian hama penyakit dan perlindungan perkebunan; 4. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi dibidang di bidang penyediaan perbenihan, penyelenggaraan budidaya, peningkatan pascapanen, pengolahan, dan pemasaran hasil produksi tebu dan tanaman perkebunan lainnya, pengembangan bahan baku bioenergi, pembinaan usaha perkebunan berkelanjutan serta pengendalian hama penyakit dan perlindungan perkebunan; 5. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang penyediaan perbenihan, penyelenggaraan budidaya, peningkatan pascapanen, pengolahan, dan pemasaran hasil produksi tebu dan tanaman perkebunan lainnya, pengembangan bahan baku bioenergi, pembinaan usaha perkebunan berkelanjutan serta pengendalian hama penyakit dan perlindungan perkebunan; 6. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Perkebunan; 7. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan Menteri. 177 P a g e

178 Sesuai hasil analisa terhadap potensi, permasalahan, peluang dan tantangan pembangunan perkebunan ditetapkan bahwa program pembangunan perkebunan tahun yang menjadi tanggung jawab Direktorat Jenderal Perkebunan adalah peningkatan produksi komoditas perkebunan berkelanjutan dengan 2 Indikator Kinerja Program (IKP) yaitu 1) Rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Tebu dan 2) Rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Perkebunan Unggulan Lainnya. Adapun proyeksi Indikator Kinerja Program Ditjen. Perkebunan tahun , disajikan pada tabel 16 berikt ini: Tabel 16. Indikator Kinerja Program (IKP) Peningkatan Produksi dan Produktivitas Tanaman Perkebunan Berkelanjutan tahun No. Indikator target IKP per tahun Ratarata 1. Rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Tebu (%) 2. Rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Perkebunan Unggulan Lainnya (%) Sumber: Ditjen. Perkebunan, ,91 10,03 7,03 4,57 4,37 7,78 16,35 2,45 2,90 2,89 2,86 5,49 Pada tabel 17 dapat dijelaskan bahwa rata-rata proyeksi IKP rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Tebu diproyeksikan selama tahun sebesar 7,78%, sedangkan rata-rata proyeksi IKP rata-rata Pertumbuhan Produksi Tanaman Perkebunan Unggulan Lainnya diproyeksikan selama tahun sebesar 5,49%. Untuk mencapai proyeksi tersebut, program Direktorat Jenderal Perkebunan tahun lebih diprioritaskan untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman unggulan perkebunan melalui rehabilitasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi yang didukung oleh penyediaan benih bermutu, pemberdayaan petani dan penguatan kelembagaan, pembangunan/ pemeliharaan kebun sumber benih, penanganan pascapanen, pengolahan, standarisasi mutu, fasilitasi pemasaran, pembinaan usaha dan perlindungan perkebunan serta pemberian pelayanan berkualitas. Fasilitasi dan pembinaan baik dukungan kegiatan, pembinaan/ pengawalan/pendampingan, regulasi dan pendanaan didaerah perlu didukung oleh Pemerintah Daerah setempat melalui SKPD yang membidangi perkebunan di provinsi dan kabupaten/kota terhadap 178 P a g e

179 komoditas spesifik dan potensial di wilayahnya masing-masing selain dukungan terhadap pengembangan 16 komoditas unggulan perkebunan yang ditetapkan dalam Renstra ini yaitu Karet, Kelapa Sawit, Kelapa, Kakao, Kopi, Lada, Teh, Pala, Tebu dan Cengkeh, Jambu Mete, Sagu, Kemiri Sunan, Kapas, Tembakau dan Nilam Implementasi Agenda Prioritas NAWACITA NAWACITA sebagaimana tercantum dalam RPJMN mengamanatkan Kementerian Pertanian untuk berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap pencapaian sasaran pokok sub agenda prioritas peningkatan kedaulatan pangan dan peningkatan agroindustri tahun Adapun implementasi agenda prioritas tersebut dikelompokkan kedalam sasaran per kegiatan seperti disajikan pada tabel 17 berikut ini. Tabel 17. Implementasi Agenda Prioritas NAWACITA Kementerian Pertanian tahun NO. KEGIATAN PRIORITAS PENANGGUNGJAWAB 1. Perluasan 1 juta hektar lahan sawah baru - Ditjen. Prasarana dan Sarana Pertanian 2. Perluasan areal pertanian lahan kering 1 juta hektar di luar Jawa - Ditjen. Tanaman Pangan Ditjen terkait komoditas perkebunan, tanaman pangan, hortikultura dan peternakan 3. Rehabilitasi 3 juta hektar jaringan irigasi yang rusak - Ditjen. Prasarana dan Sarana Pertanian - Ditjen. Tanaman Pangan 4. Pembangunan pasar pertanian Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian 5. Penyediaan kapal pengangkut ternak Ditjen. Peternakan dan Kesehatan Hewan 6. Pengendalian konversi lahan Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian 7. Pemulihan kualitas kesuburan lahan yang airnya tercemar 8. Pengembangan Desa Mandiri Benih dan terintegrasinya dengan SL-Kedaulatan Pangan 9. Pembangunan gudang dengan fasilitas pengolahan pasca panen di tiap sentra produksi - Ditjen. Prasarana dan Sarana Pertanian - Badan Litbang Pertanian - Ditjen. Tanaman Pangan - Badan Litbang Pertanian Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian 10. Bank Pertanian, asuransi pertanian dan UMKM - Ditjen. Prasarana dan Sarana Pertanian 11. Peningkatan kemampuan petani melalui pengembangan 100 Agro Techno Park dan 34 Agro Science Park di 34 Provinsi - Sekretariat Jenderal - Badan Litbang Pertanian - BPPSDMP 179 P a g e

180 12. Pengendalian impor pangan - Sekretariat Jenderal - Ditjen terkait komoditas perkebunan, tanaman pangan, hortikultura dan peternakan - Lintas sektoral 13. Reforma agraria 9 juta hektar - Sekretariat Jenderal - Ditjen. Prasarana dan Sarana Pertanian - Ditjen terkait komoditas perkebunan, tanaman pangan, hortikultura dan peternakan - Lintas sektoral 14. Pengembangan Desa Pertanian Organik Ditjen terkait komoditas perkebunan, tanaman pangan, hortikultura dan peternakan 15. Pengembangan areal pertanian melalui pemanfaatan lahan bekas tambang 16. Peningkatan Kemampuan Petani, Organisasi Petani dan Pola Hubungan Pemerintah 17. Pelibatan Perempuan Petani/Pekerja sebagai tulang punggung kedaulatan pangan 18. Penciptaan Daya Tarik Pertanian bagi Tenaga Kerja Muda 19. Pengembangan Inovasi Teknologi melalui Kerjasama Swasta, Pemerintah dan Perguruan Tinggi 20. Peningkatan Akses dan Aset Petani melalui distribusi _a katas tanah Petani dan Land Reform dan Program Penguasaan Lahan terutama bagi petani gurem dan buruh tani 21. Pengembangan food estate di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimatan Timur dan Kepulauan Aru 22. Pengembangan Kelapa Sawit di Wilayah Perbatasan di Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimatan Timur 23. Pengembangan Tebu dan Pembangunan Pabrik Gula di luar Jawa (Sulawesi, NTB dan lainnya) - Ditjen. Prasarana dan Sarana Pertanian - Ditjen terkait komoditas perkebunan, tanaman pangan, hortikultura dan peternakan - Lintas sektoral BPPSDMP BPPSDMP BPPSDMP Badan Litbang Pertanian - Sekretariat Jenderal - Ditjen. Prasarana dan Sarana Pertanian Ditjen terkait komoditas perkebunan, tanaman pangan, hortikultura dan peternakan Ditjen. Perkebunan Ditjen. Perkebunan 24. Pengembangan sumber air Ditjen. Prasarana dan Sarana Pertanian 25. Peningkatan produksi dan ketersediaan beras, jagung, kedelai, tebu, cabai dan bawang merah Ditjen terkait komoditas perkebunan, tanaman pangan, hortikultura dan peternakan 26. Rehabilitasi 25 bendungan/waduk hingga tahun Ditjen. Prasarana dan Sarana Pertanian 27. Integrasi Tanaman dengan Ternak Sapi Di Lahan Perkebunan Kelapa Sawit, Tanaman Pangan dan di Kawasan Hutan Sumber: Kementerian Pertanian, Lintas sektoral - Ditjen terkait komoditas perkebunan, tanaman pangan, hortikultura dan peternakan - Lintas sektor 180 P a g e

181 Dari Agenda Prioritas NAWACITA sebagaimana tercantum pada tabel 18 yang dijabarkan lebih lanjut kedalam kegiatan prioritas dimana Ditjen. Perkebunan mendapat amanat untuk melaksanakan kegiatan prioritas tahun sebagai berikut: 1. Pengembangan 150 desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan Sasaran kegiatan prioritas ini adalah tercapainya 150 desa pertanian pertanian organik berbasis komoditas perkebunan yang berhasil tersertifikasi sampai dengan tahun 2019 oleh Lembaga Sertifikasi Organik yang terakreditasi. Berdasarkan hal tersebut, mulai tahun 2016, Ditjen. Perkebunan memprioritaskan kegiatan desa organik ini pada tahap awal dengan melakukan pembinaan pada kelompok tani tentang bagaimana melakukan budidaya tanaman perkebunan organik sampai dengan fasilitasi sertifikasi organik berbasis kelompok tani pada lahan perkebunan tertentu. Adapun ruang lingkup kegiatan pengembangan pertanian organik berbasis komoditas perkebunan adalah: Penerapan budidaya tanaman secara organik dengan memenuhi asas keberlanjutan dan GAP organik. Penggunaan input budidaya secara organik (bantuan benih, sarana/sumber air dan sarana produksi lainnya seperti pupuk organik/kompos, pestisida organik dan lain-lain) dan tanpa penggunaan sarana input sintesis serta adanya siklus pengolahan limbah kebun sesuai prinsip zero waste management. Sistem manajemen budidaya organik dengan memenuhi syarat ramah lingkungan. Pengembangan sumber daya manusia (petani dan petugas) dalam memahami konsep pertanian organik. Pengawalan, pendampingan dan pembinaan monitoring pertanian organik. Petunjuk kerja perkebunan berbasis pertanian organik melalui penerapan penggunaan lahan terkonversi baik tanaman tahunan maupun tanaman semusim. Sertifikasi produk perkebunan organik. Kegiatan pertanian organik Ditjen. Perkebunan menjadi tanggungjawab Direktorat Perlindungan Perkebunan dengan Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) adalah pembinaan dan sertifikasi desa pertanian organik berbasis komoditi perkebunan. Pertimbangan pelaksanaan pengembangan 181 P a g e

182 pertanian organik berbasis komoditas perkebunan berada pada kegiatan perlindungan perkebunan adalah: a. Telah membina kelompok-kelompok tani SL-PHT yang pada prinsipnya mengusung kaidah-kaidah pertanian organik dalam menyelenggarakan usaha perkebunannya sehingga pemilihan CP/CL desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan salah satunya berdasarkan lokasi-lokasi eks SL-PHT. b. Telah menginisiasi kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dan model usaha perkebunan rendah emisi karbon pada tanaman kopi yang komponen-komponen kegiatannya bisa menjadi bagian dari pengembangan desa pertanian organik. Komoditas yang akan dikembangkan untuk desa pertanian organik adalah kopi, pala, lada, kakao, kelapa, jambu mete dan komoditaskomoditas lain yang eksisting telah dikembangkan dalam skala kelompok tani. Pembinaan desa pertanian organik sampai dengan sertifikasi organik akan dilaksanakan bertahap dan berkelanjutan dengan sasaran 150 desa sampai dengan tahun 2019 sehingga pelaksanaan kegiatan dilakukan dengan intervensi yang berbeda antara desa dengan kelompok tani yang sudah terlebih dahulu menginisiasi pengembangan desa pertanian organik dan kelompok tani baru. Tahapan pelaksanaan pengembangan desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan sebagai berikut: 1) Tahap persiapan meliputi identifikasi dan penetapan CP/CL. 2) Tahap inisiasi meliputi 1) sosialisasi pelaksanaan kegiatan; 2) penyiapan fasilitator; 3) pemberdayaan petani (penyiapan mentalitas organik) dan 4) pengawalan dan pendampingan (intensif). 3) Tahap pengembangan meliputi 1) implementasi kedalam kegiatan seperti bantuan penyediaan bahan input organik (pupuk dan pestisida) dan sarana pendukung lainnya; 2) aplikasi budidaya organik dengan anggaran tertentu pertahun (continue) dan per provinsi; 3) pemeliharaan tanaman dengan penerapan GAP yang baik (dimungkinkan melaksanakan pertemuan GAP skala nasional); 4) fasilitasi pengujian laboratorium dan analisis organik; dan 5) pengawalan dan pendampingan (semi intensif). 4) Tahap pascapanen dan pemasaran meliputi 1) bantuan pengadaan alat pascapanen; 2) pengembangan unit pengolahan produk dan sarana pendukung lainnya; 3) penyediaan pasar/mendorong mekanisme pasar untuk menyerap produk pertanian bekerjasama 182 P a g e

183 dengan sektor terkait Kemendag, Kemenperin, BKPM dan lain-lain (dimungkinkan melaksanakan pertemuan pemasaran skala nasional); dan 4) pengawalan dan pendampingan (semi intensif). 5) Tahap sertifikasi meliputi penetapan sertifikasi oleh LSO (survey dan audit) disertai pendampingan dan pengawalan dari sub sektor terkait. Kegiatannya meliputi 1) apresiasi dan sosialisasi; 2) penyusunan dokumentasi sistem mutu; 3) penerapan internal control system (ICS); 4) pendampingan di lapang; dan 5) sertifikasi dan surveilan. Secara teknis tahapan ini akan dibahas pada Permentan/ Kepmentan tentang pedoman umum desa pertanian organik yang akan diterbitkan dalam waktu dekat. Sedangkan terkait proyeksi pengembangan 150 desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan tahun ditunjukkan pada lampiran. Dasar-dasar hukum pelaksanaan pengembangan desa pertanian organik ini adalah: a. Peraturan Menteri Pertanian nomor 64 tahun 2013 tentang Sistem Pertanian Organik menyatakan bahwa sistem pertanian organik merupakan sistem manajemen produksi yang holistik untuk mengembangkan agrosistem termasuk keragaman hayati, siklus biologi dan aktivitas biologi tanah serta dapat dicapai dengan penggunaan budaya, metode biologi dan mekanik yang tidak menggunakan bahan kimia sintetis. b. Peraturan Menteri Pertanian nomor 20/Permentan/OT.140/2/2010 tentang Sistem Jaminan Mutu Pangan Hasil Pertanian. c. SNI 6729:2010 tentang Sistem Pangan Organik. d. SNI 6729:2013 tentang Sistem Pertanian Organik. 2. Perluasan areal perkebunan hektar di lahan kering Perluasan areal perkebunan di lahan kering bertujuan untuk mengembangkan komoditas perkebunan dilahan-lahan bukaan baru yang sesuai dengan agroekosistemnya dan dilahan-lahan sub optimal. Komoditas perkebunan yang diproyeksikan sampai dengan tahun 2019 seluas hektar adalah komoditas cengkeh, kakao, kopi, lada, pala, tebu, jambu mete, karet, kelapa, kelapa sawit dan kemiri sunan. Tanggungjawab pelaksanaan perluasan areal perkebunan di lahan kering ini berada pada Direktorat Tanaman Semusim dengan IKK perluasan tanaman tebu dilahan kering, Direktorat Tanaman Tahunan dengan IKK perluasan tanaman tahunan di lahan kering serta Direktorat Tanaman 183 P a g e

184 Rempah dan Penyegar dengan IKK perluasan tanaman rempah penyegar di lahan kering. Adapun target hektar kegiatan perluasan areal perkebunan dilahan kering disajikan pada Lampiran. 3. Pengembangan food estate Pengembangan food estate bertujuan untuk menciptakan pusat-pusat pertumbuhan/ sentra pangan berbasis komoditas pertanian dalam rangka mewujudkan kedaulatan pangan, agar Indonesia sebagai bangsa dapat mengatur dan memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya secara berdaulat. Pengembangan food estate dilaksanakan di daerah yang belum dapat dikategorikan sebagai daerah lumbung-lumbung pangan dan belum secara mandiri memenuhi pangan masyarakatnya. Pelaksanaan food estate bersamaan dalam mendukung kegiatan pengembangan 1 juta hektar kawasan pangan Merauke dan pengembangan rice estate dengan di provinsi Kalimantan Barat (8 Kabupaten/Kota) seluas hektar; provinsi Kalimantan Tengah (14 Kabupaten/Kota) seluas hektar; provinsi Kalimantan Utara (Kabupaten Bulungan) seluas hektar dan provinsi Maluku (Kab. Kepulauan Aru) seluas hektar. Fasilitasi dukungan Ditjen. Perkebunan dalam pengembangan food estate adalah melalui kegiatan yang dapat memacu/ mendorong peningkatan produksi dan produktivitas komoditas perkebunan, kegiatan pascapanen dan perlindungan perkebunan. 4. Pengembangan kelapa sawit di wilayah perbatasan Sasaran kegiatan ini adalah pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat pada areal eksisting dan perluasan areal perkebunan kelapa sawit seluas 1 juta hektar di perbatasan negara terutama di provinsi Kalimantan Barat, provinsi Kalimantan Utara dan provinsi Kalimantan Timur melalui pola PIR (perkebunan inti rakyat). Diharapkan melalui kegiatan ini dapat menarik investor untuk membangun industri hilir kelapa sawit di daerah perbatasan. Yang perlu diperhatikan terkait kegiatan pengembangan kelapa sawit di wilayah perbatasan adalah permasalahan ketersediaan lahan dan tenaga kerja, ketersediaan sarana prasarana dan infrastruktur, kesiapan daerah dalam melaksanakan pola PIR, dukungan BUMN dan instansi terkait lainnya (Kementerian Kehutanan) serta sinergitas pelaksanaan RTRW nasional. Fokus kegiatan sub sektor perkebunan sesuai zonasi RTRW di wilayah perbatasan ditunjukkan pada bagian Lampiran. Langkah-langkah dasar pengembangan perbatasan antara lain: a. Pemetaan potensi umum wilayah perbatasan. 184 P a g e

185 b. Klasifikasi untuk mengelompokkan pilihan arah pengembangan yang sesuai: wilayah hutan tanpa penduduk/belum ada usahatani, ada usahatani sporadis, usahataninya sudah berkembang. c. Penyusunan Kerangka Pendekatan pelaksanaan untuk masingmasing kelompok (rapat-rapat/belum operasional). d. Penyusunan Kerangka Pelaksanaan (operasional): penganggaran dan pelayanan. e. Membangun kesiapan penyelenggaraan pelaksanaan (dibedakan yang bersumber dari APBN, APBD, dan partisipasi sektor dunia usaha). f. Penyiapan rencana kegiatan : - Penetapan paket kegiatan masing-masing kelompok: (APBN dan Pelayanan). - Penentuan bentuk peran serta dunia usaha. - Komponen kegiatan yang meliputi SID (survey identification and design), Bantuan Benih, Bantuan Sarana Produksi Lainnya: Pupuk dan Pestisida/Herbisida, Pemberdayaan petani, Upah kerja, Pengawalan dan pendampingan. Kerangka pendekatan pengembangan wilayah perbatasan berbasis kelapa sawit pada areal baru adalah pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan pola PIR yang dikaitkan dengan program transmigrasi (Pola PIR-TRANS) yang hakekatnya merupakan kegiatan lintas fungsi, lintas sektor dan lintas wilayah (Pusat dan Daerah). Kerangka pelaksanaannya meliputi 1) komponen pembangunan kebun, pengaturan, pembinaan, pelayanan dan pengawasan menjadi tanggungjawab Kementerian Pertanian/Ditjen. Perkebunan; 2) pembangunan komponen pemukiman, termasuk fasilitas umum dan fasilitas sosial, menjadi tanggung jawab Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; 3) pembangunan sarana dan prasarana, seperti jalan poros dll, menjadi tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat; 4) perusahaan inti adalah perusahaan perkebunan yang sudah berhasil dan dipandang akan lebih membantu dan akan lebih mendukung capaian keberhasilan PIR-Trans (Inpres nomor 1 tahun 1986). 5. Pengembangan tebu dan inisiasi pembangunan pabrik gula baru Pengembangan tebu dimaksudkan dalam mendukung pemenuhan bahan baku tebu untuk peningkatan produksi gula nasional 3,82 juta ton pada tahun 2019 (pemenuhan gula Kristal putih/ GKP) melalui perluasan 185 P a g e

186 areal tebu hektar di provinsi Sulawesi Tenggara, sedangkan kegiatan inisiasi pembangunan pabrik gula baru dilakukan dengan merekomendasikan Kementerian/Lembaga terkait (BUMN, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan) dalam hal pemanfaatan lahan pengembangan tebu yang belum dilengkapi pabrik gula dengan target membangun/rehabilitasi 10 PG baru di Jawa & Luar Jawa. 6. Integrasi tanaman perkebunan dengan ternak sapi di lahan perkebunan kelapa sawit dan integrasi tanaman pangan di lahan perkebunan kelapa sawit Tujuan kegiatan ini adalah sebagai upaya dalam 1) mendukung swasembada daging dan pengembangan sapi berkelanjutan; 2) peningkatan produktivitas usahatani kelapa sawit melalui pemanfaatan kotoran padat dan cair ternak sapi sebagai pupuk organik dan 3) mendukung pemenuhan energi dalam bentuk biogas pada wilayah perkebunan kelapa sawit. Pelaksanaan kegiatan integrasi tanaman kelapa sawit dan ternak yang sudah menghasilkan TM seluas 20% dilaksanakan dengan pendekatan pemanfaatan potensi lestari sumber pakan berupa: pelepah dan daun kelapa sawit serta gulma sebagai pakan hijauan; serta bungkil dan solid sebagai bahan pakan konsentrat. Pelaku kegiatan ini adalah pekebun, perusahaan kelapa sawit dan kemitraan. Pengembangan integrasi sawit sapi oleh perkebunan dapat ditempuh dengan memanfaatkan/ mendorong tumbuhnya industri kegiatan pendukung, baik dalam negeri maupun luar negeri, seperti produsen bakalan/indukan, produsen pakan konsentrat, alat pencacah pelepah dan daun (chopper). Adapun komponen bantuan kepada pekebun antara lain bibit ternak sapi, kandang, padang penggembalaan, alat pengolah hasil samping kelapa sawit, alat pengolah limbah ternak dan pendampingan oleh tenaga pendamping dan tenaga ahli. Kegiatan integrasi tanaman pangan di lahan perkebunan kelapa sawit dilaksanakan dengan mengembangkan tanaman kedelai dan jagung sebesar 20% pada lahan kelapa sawit yang belum menghasilkan (TBM). Kebijakan pendukung kegiatan ini adalah memberikan insentif dan kemudahan lain kepada perusahaan kelapa sawit swasta yang melakukan pengembangan tanaman jagung dan kedelai pada lahan tanaman kelapa sawit yang belum menghasilkan secara penuh dan pengembangan integrasi sawit sapi seluas 10% dari areal kebun kelapa sawit yang sudah menghasilkan. Tujuan utama kegiatan ini adalah dalam rangka mendukung sasaran strategis Kementerian Pertanian terhadap 186 P a g e

187 swasembada jagung dan kedelai sekaligus optimalisasi pengembangan kelapa sawit rakyat dalam mendukung pengembangan bio-industri dan bio-energy Kegiatan Direktorat Jenderal Perkebunan Sebagai penjabaran dari program, masing-masing unit Eselon II lingkup Direktorat Jenderal Perkebunan mempunyai 1 (satu) kegiatan utama. Dengan demikian di lingkup Direktorat Jenderal Perkebunan terdapat 9 kegiatan pembangunan perkebunan pada 9 eselon II sesuai Peraturan Menteri Pertanian nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 tanggal 3 Agustus 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, yaitu: (1) Direktorat Tanaman Semusim dan Rempah dengan kegiatan pengembangan tanaman semusim dan rempah; (2) Direktorat Tanaman Tahunan dan Penyegar dengan kegiatan pengembangan tanaman tahunan dan penyegar; (3) Direktorat Pengolahan dan Pemasaran hasil Perkebunan dengan kegiatan dukungan pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan; (4) Direktorat Perlindungan Perkebunan dengan kegiatan dukungan perlindungan perkebunan; (5) Direktorat Perbenihan Perkebunan dengan kegiatan dukungan perbenihan tanaman perkebunan; (6) Sekretariat Ditjen. Perkebunan dengan kegiatan dukungan manajemen dan dukungan teknis lainnya; (7) Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Medan dengan kegiatan dukungan pengujian dan pengawasan mutu benih serta penyiapan teknologi proteksi tanaman perkebunan; (8) Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Surabaya dukungan pengujian dan pengawasan mutu benih serta penyiapan teknologi proteksi tanaman perkebunan; (9) Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Ambon dukungan pengujian dan pengawasan mutu benih serta penyiapan teknologi proteksi tanaman perkebunan Pengembangan Tanaman Semusim dan Rempah 187 P a g e

188 Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 tanggal 3 Agustus 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, Direktorat Tanaman Semusim dan Rempah mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan produksi tanaman tebu, semusim dan rempah lain. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Tanaman Semusim dan Rempah menyelenggarakan fungsi: a) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang peningkatan produksi tanaman tebu dan pemanis lain, serat dan atsiri, lada, pala dan cengkeh serta rempah dan semusim lain; b) Pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan produksi tanaman tebu dan pemanis lain, serat dan atsiri, lada, pala dan cengkeh, serta rempah dan semusim lain; c) Penyusunan norma, standar, prosedur dan kreteria dibidang peningkatan produksi tanaman tebu dan pemanis lain, serat dan atsiri, lada, pala dan cengkeh, serta rempah dan semusim lain; d) Pengembangan bahan baku bio energi tanaman tebu; e) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang peningkatan produksi tanaman tebu dan pemanis lain, serat dan atsiri, lada, pala dan cengkeh, serta rempah dan semusim lain; f) Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan kegiatan di bidang peningkatan produksi tanaman tebu dan pemanis lain, serat dan atsiri, lada, pala dan cengkeh, serta rempah dan semusim lain; dan g) Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat Tanaman Semusim dan Rempah. Prioritas pengembangan tanaman semusim dan rempah difokuskan pada 7 komoditas unggulan perkebunan yaitu Tebu, Lada, Pala, Cengkeh, Kapas, Tembakau dan Nilam. Selain itu difasilitasi pengembangan komoditas spesifik lokal seperti tanaman pemanis lain, tanaman serat, tanaman atsiri, tanaman rempah dan semusim lainnya. Sasaran peningkatan produksi tanaman semusim dan rempah adalah terlaksananya pengembangan tanaman semusim dan rempah dengan fokus kegiatan pengembangan tahun adalah: 1) Pengembangan areal produktif tanaman tebu, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Tanaman Tebu dan Pemanis Lain; 188 P a g e

189 2) Pengembangan areal produktif tanaman rempah (Lada, Pala, Cengkeh, tanaman rempah dan tanaman atsiri lainnya), yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Tanaman Lada, Pala dan Cengkeh; Sub Direktorat Tanaman Rempah dan Semusim Lain; dan Sub Direktorat Tanaman Serat dan Atsiri. 3) Pengembangan areal produktif tanaman semusim lainnya (kapas, tembakau, nilam, tanaman pemanis lain, tanaman serat dan semusim lain); yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Tanaman Tebu dan Pemanis Lain; Sub Direktorat Tanaman Rempah dan Semusim Lain; dan Sub Direktorat Tanaman Serat dan Atsiri. 4) Perluasan tanaman semusim dan rempah di lahan kering; yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Tanaman Tebu dan Pemanis Lain; Sub Direktorat Tanaman Rempah dan Semusim Lain; Sub Direktorat Tanaman Lada, Pala dan Cengkeh; dan Sub Direktorat Tanaman Serat dan Atsiri. 5) Fasilitasi teknis pengembangan tanaman semusim dan rempah, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Tanaman Tebu dan Pemanis Lain; Sub Direktorat Tanaman Rempah dan Semusim Lain; Sub Direktorat Tanaman Lada, Pala dan Cengkeh; Sub Direktorat Tanaman Serat dan Atsiri; dan Sub Bagian Tata Usaha serta kelompok jabatan fungsional. Indikator kinerja kegiatan (IKK) untuk pengembangan tanaman semusim dan rempah tahun disajikan pada tabel 19 sebagai berikut: Tabel 19. Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Pengembangan Tanaman Semusim dan Rempah tahun No. Indikator target IKK per tahun Pengembangan areal produktif tanaman tebu (Hektar) 2. Pengembangan areal produktif tanaman rempah (Hektar) 3. Pengembangan areal produktif tanaman semusim lainnya (Hektar) 4. Perluasan tanaman semusim dan rempah di lahan kering (Hektar) 5. Fasilitasi teknis pengembangan tanaman semusim dan rempah (Bulan) Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Pengembangan Tanaman Tahunan dan Penyegar 189 P a g e

190 Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 tanggal 3 Agustus 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, Direktorat Tanaman Tahunan dan Penyegar mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan produksi tanaman tahunan dan penyegar. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Tanaman Tahunan dan Penyegar menyelenggarakan fungsi: a) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang peningkatan produksi tanaman karet dan tanaman tahunan lain, tanaman kelapa sawit, tanaman kelapa dan palma lain, serta tanaman penyegar; b) Pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan produksi tanaman karet dan tanaman tahunan lain, tanaman kelapa sawit, tanaman kelapa dan palma lain, serta tanaman penyegar; c) Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang peningkatan produksi tanaman karet dan tanaman tahunan lain, tanaman kelapa sawit, tanaman kelapa dan palma lain, serta tanaman penyegar; d) Pengembangan bahan baku bio energi kelapa sawit; e) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang peningkatan produksi tanaman karet dan tanaman tahunan lain, tanaman kelapa sawit, tanaman kelapa dan palma lain, serta tanaman penyegar; dan f) Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat Tanaman Tahunan dan Penyegar. Prioritas pengembangan tanaman tahunan dan penyegar difokuskan pada 9 komoditas unggulan perkebunan yaitu Kelapa Sawit, Karet, Kelapa, Jambu Mete, Kemiri sunan, Sagu, Kakao, Kopi, dan Teh. Selain itu difasilitasi pengembangan komoditas spesifik lokal seperti tanaman palma lain, tanaman penyegar lain, tanaman tahunan lainnya. Sasaran peningkatan produksi tanaman tahunan dan penyegar adalah terlaksananya pengembangan tanaman tahunan penyegar dengan fokus kegiatan pengembangan tahun adalah: 1) Pengembangan areal produktif tanaman kakao; yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Tanaman Penyegar. 2) Pengembangan areal produktif tanaman tahunan (Kelapa Sawit, Karet, Kelapa, Jambu Mete, Kemiri sunan dan Sagu); yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Tanaman Karet dan 190 P a g e

191 Tanaman Tahunan lainnya; Sub Direktorat Tanaman Kelapa Sawit; dan Sub Direktorat Tanaman Kelapa dan Palma lain. 3) Pengembangan areal produktif tanaman penyegar lainnya (Kopi dan Teh); yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Tanaman Penyegar. 4) Perluasan tanaman tahunan dan penyegar di lahan kering; yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Tanaman Karet dan Tanaman Tahunan lainnya; Sub Direktorat Tanaman Kelapa Sawit; Sub Direktorat Tanaman Penyegar dan Sub Direktorat Tanaman Kelapa dan Palma lain. 5) Fasilitasi teknis pengembangan tanaman tahunan dan penyegar, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Tanaman Karet dan Tanaman Tahunan lainnya; Sub Direktorat Tanaman Kelapa Sawit; Sub Direktorat Tanaman Penyegar; Sub Direktorat Tanaman Kelapa dan Palma lain; Sub Bagian Tata Usaha dan Kelompok Jabatan Fungsional. Indikator kinerja kegiatan (IKK) untuk Pengembangan Tanaman Tahunan dan Penyegar tahun disajikan pada tabel 20 sebagai berikut: Tabel 20. Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Pengembangan Tanaman Tahunan dan Penyegar tahun No. Indikator 1. Pengembangan areal produktif tanaman kakao (Hektar) 2. Pengembangan areal produktif tanaman tahunan (Hektar) 3. Pengembangan areal produktif tanaman penyegar lainnya (Hektar) 4. Perluasan tanaman tahunan dan penyegar di lahan kering (Hektar) 5. Fasilitasi teknis pengembangan tanaman tahunan dan penyegar (Bulan) Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, target IKK per tahun Dukungan Perbenihan Tanaman Perkebunan Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 tanggal 3 Agustus 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, Direktorat Perbenihan Perkebunan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan penyediaan benih tebu dan tanaman perkebunan lain. 191 P a g e

192 Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Perbenihan Perkebunan menyelenggarakan fungsi: a) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang penilaian varietas dan pengawasan mutu benih, peningkatan penyediaan benih tanaman semusim dan rempah, tanaman tahunan dan penyegar serta penguatan kelembagaan benih; b) Pelaksanaan kebijakan di bidang penilaian varietas dan pengawasan mutu benih, peningkatan penyediaan benih tanaman semusim dan rempah, tanaman tahunan dan penyegar serta penguatan kelembagaan benih; c) Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang penilaian varietas dan pengawasan mutu benih, peningkatan penyediaan benih tanaman semusim dan rempah, tanaman tahunan dan penyegar serta penguatan kelembagaan benih; d) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang penilaian varietas dan pengawasan mutu benih, peningkatan penyediaan benih tanaman semusim dan rempah, tanaman tahunan dan penyegar serta penguatan kelembagaan benih; e) Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan kegiatan di bidang penilaian varietas dan pengawasan mutu benih, peningkatan penyediaan benih tanaman semusim dan rempah, tanaman tahunan dan penyegar serta penguatan kelembagaan benih; dan f) Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat Perbenihan Perkebunan. Sasaran kegiatan dukungan perbenihan tanaman perkebunan adalah terlaksananya penyediaan benih unggul tanaman perkebunan dengan fokus kegiatan pengembangan tahun adalah; 1) Pengembangan sumber benih unggul tanaman perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Benih Tanaman Semusim dan Rempah; dan Sub Direktorat Benih Tanaman Tahunan dan Penyegar. 2) Pengawasan mutu benih tanaman perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Penilaian Varietas dan Pengawasan Mutu Benih. 3) Pengembangan Kelembagaan Perbenihan Tanaman Perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Kelembagaan Benih. 192 P a g e

193 4) Fasilitasi Teknis Penyediaan Benih Tanaman Perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Benih Tanaman Semusim dan Rempah; Sub Direktorat Benih Tanaman Tahunan dan Penyegar; Sub Direktorat Penilaian Varietas dan Pengawasan Mutu Benih; Sub Direktorat Kelembagaan Benih, Sub Bagian Tata Usaha dan Kelompok Jabatan Fungsional. Indikator kinerja kegiatan (IKK) untuk dukungan perbenihan tanaman perkebunan tahun disajikan pada tabel 21 sebagai berikut: Tabel 21. Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Dukungan Perbenihan Tanaman Perkebunan tahun No Indikator Pengembangan sumber benih unggul tanaman perkebunan (Hektar) Pengawasan mutu benih tanaman perkebunan (Provinsi) Pengembangan Kelembagaan Perbenihan Tanaman Perkebunan (Provinsi) Fasilitasi Teknis Penyediaan Benih Tanaman Perkebunan (Bulan) Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, target IKK per tahun Dukungan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 tanggal 3 Agustus 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan pascapanen, pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan menyelenggarakan fungsi: a) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang peningkatan pascapanen, pengolahan, standardisasi, penerapan standar mutu, dan pembinaan usaha, serta pemasaran hasil perkebunan; b) Pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan pascapanen, pengolahan, standardisasi, penerapan standar mutu, dan pembinaan usaha, serta pemasaran hasil perkebunan; 193 P a g e

194 c) Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang peningkatan pascapanen, pengolahan, standardisasi, penerapan standar mutu, dan pembinaan usaha, serta pemasaran hasil perkebunan; d) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang peningkatan pascapanen, pengolahan, standardisasi, penerapan standar mutu, dan pembinaan usaha, serta pemasaran hasil perkebunan; e) Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan kegiatan di bidang peningkatan pascapanen, pengolahan, standardisasi, penerapan standar mutu, dan pembinaan usaha, serta pemasaran hasil perkebunan; f) Koordinasi perumusan dan harmonisasi standar, serta penerapan standar mutu di bidang perkebunan; dan g) Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan. Sasaran kegiatan dukungan pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan adalah terlaksananya pengembangan pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan dengan fokus kegiatan pengembangan tahun adalah: 1) Pengembangan Pascapanen Komoditas Perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Pascapanen. 2) Pengembangan Pengolahan Hasil Perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Pengolahan. 3) Pembinaan usaha perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Standarisasi, Mutu dan Pembinaan Usaha. 4) Pembinaan penerapan standar dan sistem jaminan mutu keamanan pangan bagi pelaku usaha perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Standarisasi, Mutu dan Pembinaan Usaha. 5) Pengembangan pemasaran hasil perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Pemasaran Hasil. 6) Fasilitasi Teknis Dukungan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Pascapanen; Sub Direktorat Pengolahan; Sub Direktorat Standarisasi, Mutu dan Pembinaan Usaha; Sub Direktorat Pemasaran Hasil; Sub Bagian Tata Usaha dan kelompok jabatan fungsional. 194 P a g e

195 Indikator kinerja kegiatan (IKK) untuk dukungan pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan tahun disajikan pada tabel 22 sebagai berikut: Tabel 22. Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Dukungan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan tahun No. Indikator 1. Pengembangan Pascapanen Komoditas Perkebunan (Kelompok Tani) 2. Pengembangan Pengolahan Hasil Perkebunan (Unit) target IKK per tahun Pembinaan usaha perkebunan (provinsi) Pembinaan penerapan standar dan sistem jaminan mutu keamanan pangan bagi pelaku usaha perkebunan (kegiatan) 5. Pengembangan pemasaran hasil perkebunan (kegiatan) 6. Fasilitasi Teknis Dukungan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (Bulan) Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Dukungan Perlindungan Perkebunan Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 tanggal 3 Agustus 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, Direktorat Perlindungan Perkebunan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian hama penyakit dan perlindungan perkebunan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Direktorat Perlindungan Perkebunan menyelenggarakan fungsi: a) Pengelolaan data dan informasi organisme pengganggu tumbuhan; b) Peningkatan kapasitas kelembagaan pengendalian organisme pengganggu tumbuhan; c) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang pengendalian organisme pengganggu tumbuhan tanaman semusim dan rempah, tanaman tahunan dan penyegar, serta penanggulangan gangguan usaha, dampak perubahan iklim dan pencegahan kebakaran; d) Pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian organisme pengganggu tumbuhan tanaman semusim dan rempah, tanaman 195 P a g e

196 tahunan dan penyegar, serta penanggulangan gangguan usaha, dampak perubahan iklim dan pencegahan kebakaran; e) Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang pengendalian organisme pengganggu tumbuhan tanaman semusim dan rempah, tanaman tahunan dan penyegar, serta penanggulangan gangguan usaha, dampak perubahan iklim dan pencegahan kebakaran; f) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengendalian organisme pengganggu tumbuhan tanaman semusim dan rempah, tanaman tahunan dan penyegar, serta penanggulangan gangguan usaha, dampak perubahan iklim dan pencegahan kebakaran; g) Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan kegiatan di bidang pengendalian organisme pengganggu tumbuhan tanaman semusim dan rempah, tanaman tahunan dan penyegar, serta penanggulangan gangguan usaha, dampak perubahan iklim dan pencegahan kebakaran; dan h) Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat Perlindungan Perkebunan. Sasaran kegiatan dukungan perlindungan perkebunan adalah Menurunnya Luas Areal yang Terserang OPT dan Terfasilitasinya Pencegahan Kebakaran Lahan dan Kebun, Bencana Alam, Dampak Perubahan Iklim dan Gangguan/ Konflik Usaha Perkebunan dengan fokus kegiatan pengembangan tahun adalah: 1) Penanganan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) perkebunan; yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Pengendalian OPT Tanaman Semusim dan Rempah; dan Sub Direktorat Pengendalian OPT Tanaman Tahunan dan Penyegar. 2) Pemberdayaan perangkat perlindungan perkebunan; yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Data dan Kelembagaan Pengendalian OPT. 3) Antisipasi dampak perubahan iklim; yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Gangguan Usaha, Dampak Perubahan Iklim dan Pencegahan Kebakaran. 4) Kesiapsiagaan pencegahan kebakaran lahan dan kebun, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Gangguan Usaha, Dampak Perubahan Iklim dan Pencegahan Kebakaran. 196 P a g e

197 5) SL-PHT tanaman perkebunan; yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Data dan Kelembagaan Pengendalian OPT. 6) Pembinaan dan sertifikasi desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan; yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Data dan Kelembagaan Pengendalian OPT. 7) Penanganan Gangguan Usaha dan Konflik Perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Gangguan Usaha, Dampak Perubahan Iklim dan Pencegahan Kebakaran. 8) Fasilitasi Teknis Dukungan Perlindungan Perkebunan, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Sub Direktorat Data dan Kelembagaan Pengendalian OPT; Sub Direktorat Pengendalian OPT Tanaman Semusim dan Rempah; Sub Direktorat Pengendalian OPT Tanaman Tahunan dan Penyegar; Sub Direktorat Gangguan Usaha, Dampak Perubahan Iklim dan Pencegahan Kebakaran; Sub bagian Tata Usaha dan kelompok jabatan fungsional. Indikator kinerja kegiatan (IKK) untuk dukungan perlindungan perkebunan tahun disajikan pada tabel 23 sebagai berikut: Tabel 23. Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Dukungan Perlindungan Perkebunan tahun No. 197 P a g e Indikator 1. Penanganan organisme penganggu tanaman perkebunan (Hektar) 2. Pemberdayaan perangkat perlindungan perkebunan (unit) target IKK per tahun Antisipasi dampak perubahan iklim (KT) Kesiapsiagaan pencegahan kebakaran lahan dan kebun (dokumen) SL-PHT tanaman perkebunan (KT) Penanganan gangguan usaha dan konflik perkebunan (kasus) 7. Pembinaan dan sertifikasi desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan (desa) 8. Fasilitasi teknis dukungan perlindungan perkebunan (Bulan) Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 tanggal 3 Agustus 2015 tentang

198 Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, Sekretariat Ditjen. Perkebunan mempunyai tugas memberikan pelayanan teknis dan administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan Direktorat Jenderal Perkebunan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Sekretariat Ditjen. Perkebunan menyelenggarakan fungsi: a) Koordinasi, penyusunan rencana dan program, anggaran, serta kerja sama di bidang perkebunan; b) Pengelolaan urusan keuangan dan perlengkapan; c) Evaluasi dan penyempurnaan organisasi, tata laksana, pengelolaan urusan kepegawaian, dan penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan, dan pelaksanaan hubungan masyarakat serta informasi publik; d) Evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kegiatan, serta pemberian layanan rekomendasi di bidang perkebunan; e) Pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga Direktorat Jenderal Perkebunan; dan f) Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Direktur Jenderal Perkebunan. Sasaran kegiatan dukungan manajemen dan dukungan teknis lainnya adalah Terlaksananya Pelayanan Teknis dan Administrasi Seluruh Unit Organisasi di Lingkungan Direktorat Jenderal Perkebunan dengan fokus kegiatan pengembangan tahun adalah: 1) Jumlah Dokumen Perencanaan, Keuangan dan Perlengkapan, Umum, serta Evaluasi dan Layanan Rekomendasi, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Bagian Perencanaan; Bagian Keuangan dan Perlengkapan; Bagian Evaluasi dan Layanan Rekomendasi; dan Bagian Umum. 2) Dukungan kegiatan manajemen dan teknis lainnya, yang menjadi tugas pokok dan fungsi dari Bagian Perencanaan; Bagian Keuangan dan Perlengkapan; Bagian Evaluasi dan Layanan Rekomendasi; dan Bagian Umum. Indikator kinerja kegiatan (IKK) untuk dukungan manajemen dan dukungan teknis lainnya tahun disajikan pada tabel 24 sebagai berikut: 198 P a g e

199 Tabel 24. Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya tahun No. Indikator 1. Jumlah dokumen perencanaan, keuangan, umum, perlengkapan, kepegawaian, hukum dan humas serta evaluasi dan pelaporan (dokumen) 2. Dukungan kegiatan manajemen dan teknis lainnya (bulan) Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, target IKK per tahun Dukungan Pengujian dan Pengawasan Mutu Benih serta Penyiapan Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) Medan, Surabaya dan Ambon Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 08/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BBP2TP Surabaya; Peraturan Menteri Pertanian nomor 09/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BBP2TP Medan; dan Peraturan Menteri Pertanian nomor 10/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BBP2TP Ambon, BBP2TP Medan, Surabaya dan Ambon melaksanakan fungsi dalam memfasilitasi terlaksananya pengawasan dan pengujian mutu benih, penerapan teknologi proteksi tanaman dan memberikan dukungan pelayanan organisasi yang berkualitas sebagai rujukan UPTD. Wilayah kerja BBP2TP Medan di bidang perbenihan meliputi Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Aceh, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Lampung, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Kalimantan Selatan. Sedangkan untuk bidang proteksi meliputi Provinsi Sumatera Utara, Pemerintah Aceh, Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, Provinsi Kepulauan Riau, Provinsi Bangka Belitung, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Lampung. Wilayah kerja BBP2TP Surabaya di bidang perbenihan meliputi Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi D.I Yogyakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Gorontalo, Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Sedangkan untuk bidang proteksi meliputi Provinsi Jawa 199 P a g e

200 Timur, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi D.I Yogyakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Banten, Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Wilayah kerja BBP2TP Ambon di bidang perbenihan meliputi Provinsi Maluku dan Provinsi Maluku Utara sedangkan bidang proteksi meliputi Provinsi Maluku, Provinsi Maluku Utara, Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Tenggara, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Gorontalo. Sasaran kegiatan dukungan pengujian dan pengawasan mutu benih serta penyiapan teknologi proteksi tanaman perkebunan (BBP2TP) Medan, Surabaya dan Ambon adalah terlaksananya pengawasan dan pengujian mutu benih tanaman perkebunan dan penyiapan teknologi proteksi tanaman perkebunan dengan fokus kegiatan pengembangan tahun adalah: 1) Sertifikasi dan pengujian mutu benih tanaman perkebunan; 2) Pembangunan kebun contoh, uji dempot dan uji koleksi tanaman perkebunan; 3) Rakitan teknologi spesifik lokasi proteksi tanaman perkebunan; 4) Eksplorasi, pemanfaatan, pengembangan, pengujian agensia pengendali hayati tanaman perkebunan; 5) Fasilitasi teknis dukungan pengawasan dan pengujian mutu benih dan teknologi proteksi tanaman perkebunan. Indikator kinerja kegiatan (IKK) untuk dukungan pengujian dan pengawasan mutu benih serta penyiapan teknologi proteksi tanaman perkebunan (BBP2TP) Medan, Surabaya dan Ambon tahun disajikan pada tabel 25 sebagai berikut: Tabel 25. Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Dukungan Pengujian dan Pengawasan Mutu Benih serta Penyiapan Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan BBP2TP Medan, Surabaya dan Ambon tahun No. Indikator 1. Sertifikasi dan pengujian mutu benih tanaman perkebunan (juta batang) 2. Pembangunan kebun contoh, uji dempot dan uji koleksi tanaman perkebunan (unit) proyeksi IKK per tahun ,19 147,74 147,74 147,74 147, P a g e

201 3. Rakitan teknologi spesifik lokasi proteksi tanaman perkebunan (paket teknologi) 4. Eksplorasi, pemanfaatan, pengembangan, pengujian agensia pengendali hayati tanaman perkebunan (jenis) 5. Fasilitasi teknis dukungan pengawasan dan pengujian mutu benih dan teknologi proteksi tanaman perkebunan (Bulan) Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 11/Permentan/OT.140/2/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja BPTP Pontianak; BPTP Pontianak melaksanakan fungsi analisis teknis dan pengembangan proteksi tanaman perkebunan dalam identifikasi dan penanganan OPT tanaman perkebunan, pengembangan teknologi agens hayati OPT perkebunan, eksplorasi dan inventarisasi musuh alami OPT perkebunan, pengembangan teknologi proteksi perkebunan yang berorientasi pada implementasi pengendalian hama terpadu, pemanfaatan pestisida nabati serta pengelolaan data, informasi dan analisis teknis dalam bidang proteksi tanaman perkebunan. Wilayah kerja BPTP Pontianak ini meliputi Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Kalimantan Timur. Sasaran kegiatan dukungan penyiapan teknologi proteksi tanaman perkebunan (BPTP) Pontianak adalah terlaksananya penyiapan teknologi proteksi tanaman perkebunan dengan fokus kegiatan pengembangan tahun adalah 1) rakitan teknologi spesifik lokasi proteksi tanaman perkebunan; dan 2) eksplorasi, pemanfaatan, pengembangan, pengujian agensia pengendali hayati tanaman perkebunan. Indikator kinerja kegiatan (IKK) untuk Dukungan Penyiapan Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan tahun disajikan pada tabel 26 sebagai berikut: Tabel 26. Indikator Kinerja Kegiatan (IKK) Dukungan Penyiapan Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan tahun No. Indikator 1. Rakitan teknologi spesifik lokasi proteksi tanaman perkebunan (paket teknologi) Target per tahun P a g e

202 2. Eksplorasi, pemanfaatan, pengembangan, pengujian agensia pengendali hayati (jenis) 3. Fasilitasi teknis dukungan penyiapan teknologi proteksi tanaman perkebunan (Bulan) Sumber: Ditjen. Perkebunan, P a g e

203 BAB V PROYEKSI KEBUTUHAN INVESTASI DAN KETERSEDIAAN APBN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN DALAM RUANG LINGKUP KERANGKA PENDANAAN 5.1. Kerangka Pendanaan Kebijakan anggaran merupakan acuan umum dari rencana kerja pembangunan dan merupakan bagian dari perencanaan operasional anggaran serta alokasi sumber daya. Kerangka pendanaan meliputi kebijakan pada belanja pemerintah pusat, transfer daerah serta kebijakan pembiayaan pembangunan. Pengelolaan Belanja Pusat/ Pendanaan APBN. Pengelolaan Belanja Pusat/APBN diarahkan mengoptimalkan sumber daya yang tersedia melalui penyusunan skala prioritas anggaran baik pada belanja di Kementerian/ Lembaga maupun di luar Kementerian Lembaga. Pada belanja Kementerian/Lembaga, alokasi anggaran difokuskan pada belanja prioritas. Belanja prioritas merupakan bagian belanja yang memegang peran penting dalam pencapaian sasaran prioritas pembangunan, oleh karenanya diarahkan berdasarkan pada strategi pembangunan nasional. Secara keseluruhan, efektivitas dan efisiensi dari belanja prioritas dan belanja aparatur terus didorong sehingga alokasi yang terbatas menjadi lebih berdaya guna. Disisi lain, upaya perkuatan monitoring dan evaluasi diperkuat melalui peningkatan keterkaitan antara hasil monitoring dan evaluasi dengan proses perencanaan dan penganggaran. Monitoring dan evaluasi bukan saja tentang penyerapan anggaran namun juga pada pencapaian sasaran dari program dan kegiatan. Untuk memperkuat efektivitas dan efisiensi belanja perlu dilanjutkan reformasi perencanaan dan penganggaran yang berbasis kinerja (performance based budgeting), berjangka menengah (multi-term expenditure framework/mtef) dan sistem penganggaran terpadu (unified budgeting). Konsep ini mengintegrasikan kebijakan ekonomi makro dan fiskal dalam beberapa tahun anggaran, dan menghubungkan antara kebijakan (policy), perencanaan (planning) dan penganggaran (budgeting) secara komprehensif. 203 P a g e

204 Khusus kewenangan di bidang pertanian yang merupakan kewenangan pilihan yang bersifat konkuren sesuai amanat UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah bahwa urusan pertanian yang secara khusus meliputi sub sektor perkebunan dalam pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota) akan menjadi tanggungjawab bersama dan didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi dan eksternalitas serta kepentingan strategis nasional. Peran pemerintah dapat diberikan melalui regulasi, pelayanan publik dan pendanaan dalam bentuk APBN dana Dekonsentrasi dan dana Tugas Pembantuan. Selain itu pembagian urusan pemerintahan bidang pertanian khususnya terkait sub sektor perkebunan adalah 1) penerapan standarisasi, penerbitan sertifikasi dan pengawasan peredaran benih tanaman; 2) pengendalian dan penanggulangan bencana pertanian; 3) perizinan usaha pertanian dan 4) penentuan kebutuhan dan penataan prasarana pertanian. Pengelolaan Transfer ke Daerah/ Pendanaan APBD. Dalam era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal perencanaan dan penganggaran diamanatkan mengikuti pembagian kewenangan pusat dan daerah sesuai UU nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah pusat dan daerah memiliki kewenangan dan tanggung jawab masing-masing dalam pembangunan. Undang-undang tersebut memasukkan bidang-bidang terkait sub sektor perkebunan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah seperti tenaga kerja, statistik, pemberdayaan masyarakat dan desa, pangan, lingkungan hidup dan pertanahan sebagai urusan wajib yang tidak terkait pelayanan. Implikasi penetapan urusan pertanian sebagai urusan pemerintah bersifat pilihan khususnya sub sektor perkebunan yang memiliki kekhasan komoditas sesuai potensi unggulan daerah adalah akan membuka peluang negosiasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menentukan pembagian kewenangan sub sektor perkebunan yang tepat dan disesuaikan dengan kebijakan program, anggaran dan regulasi yang efektif dan efisien. Dengan terselenggaranya otonomi seluas-luasnya tersebut maka diperlukan suatu pengaturan secara adil dan selaras mengenai hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan antar pemerintah daerah. Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan perlu diatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah 204 P a g e

205 daerah yang merupakan subsistem keuangan negara sebagai konsekuensi pembagian tugas atau sejalan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pendanaan atas penyerahan urusan kepada pemerintahan daerah menganut prinsip money follow function, yang bermakna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan. Keterkaitan keuangan daerah yang melekat dengan APBD merupakan pernyataan bahwa adanya hubungan antara dana daerah dan dana pusat atau dikenal dengan istilah perimbangan keuangan pusat dan daerah. Selanjutnya, perlu untuk diketahui bahwa penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Sumber pendapatan daerah dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Pendapatan asli daerah, yang bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. 2. Dana perimbangan, yang bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah dan pemerintahan daerah dan antarpemerintah daerah. Dana perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). 3. Pendapatan lain-lain yang memberi peluang kepada daerah untuk memperoleh pendapatan selain yang berasal pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan pinjaman daerah. Adapun sumber pembiayaan lain-lain meliputi sisa lebih perhitungan anggaran daerah; penerimaan pinjaman daerah; dana cadangan daerah; dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Permasalahan penganggaran daerah dirasakan sangat berat karena berkaitan dengan fungsi: a. Otorisasi (anggaran daerah menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan). b. Perencanaan (anggaran daerah menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan). c. Pengawasan (anggaran daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan). 205 P a g e

206 d. Alokasi (anggaran daerah harus diarahkan untuk menciptakan lapangan kerja/ mengurangi pengangguran dan pemborosan sumberdaya serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian). e. Distribusi (bahwa kebijakan anggaran daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan). f. Stabilisasi (anggaran pemerintah daerah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian daerah). Disamping itu juga permasalahan penganggaran yaitu berkaitan dengan seringnya mengalami perubahan peraturan perundang-undangan dibidang penganggaran dan kemampuan daerah dalam mengoptimalkan penerimaan dan meminimalisir kesenjangan fiskal anggaran daerah. Kebijakan Pembiayaan Pembangunan Lainnya/ Pendanaan Swasta dan Swadaya Masyarakat. Kontribusi swasta terhadap pembiayaan pembangunan, antara lain melalui pembiayaan oleh perbankan, lembaga keuangan non bank, pasar modal (saham dan obligasi), dana luar negeri, dan lainnya. Selain itu peran investasi masyarakat merupakan sumber utama dalam pendanaan pembangunan. Untuk itu sangat diperlukan sinergi antara kerangka pendanaan dan kerangka regulasi baik Pusat maupun Daerah. Pengembangan potensi pembiayaan pembangunan dilakukan dengan meningkatkan pemanfaatan skema PPP (Public Private Partnership) atau Kerjasama Pemerintah dan Swasta dan CSR (Corporate Social Responsibility). Selain itu melalui pinjaman langsung (direct lending) dari mitra pembangunan kepada BUMN, Municipal Development Fund (MDF), dan penerbitan obligasi daerah untuk pembiayaan infrastruktur daerah. Kerjasama yang dimaksud dilaksanakan dalam rangka mempercepat pencapaian sasaran pembangunan nasional dengan melibatkan Swasta dalam penyediaan infrastruktur publik. Selain itu dari kerjasama tersebut diharapkan agar keahlian dan aset (sumber daya) masing-masing pihak (pemerintah dan swasta) dapat digunakan secara bersama untuk menyediakan jasa dan/atau fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat umum. Disamping itu memberikan keuntungan bagi masing-masing pihak serta risiko yang proporsional. Optimalisasi terhadap sumber-sumber pembiayaan pembangunan lainnya antara lain dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas dan efisiensi pemanfaatan pembiayaan pembangunan melalui 206 P a g e

207 penyempurnaan peraturan perundangan oleh Pemerintah Pusat, peningkatan persiapan perencanaan kegiatan dan penguatan pemantauan dan evaluasi. Dalam rangka optimalisasi, perlu dipertimbangkan karakteristik, keuntungan dan kelemahan (comparative advantage) masing-masing jenis pembiayaan, termasuk pertimbangan terhadap faktor biaya dan resiko. Pertimbangan tersebut diharapkan dapat menghasilkan suatu komposisi pembiayaan pembangunan yang dapat mewujudkan sasaran pembangunan yang lebih optimal Proyeksi Kebutuhan Investasi Pembangunan Perkebunan Investasi pembangunan perkebunan terdiri dari investasi petani/pekebun, pemerintah (APBN dan APBD) dan swasta. Investasi pembangunan perkebunan merupakan penggerak pertumbuhan PDB sub sektor perkebunan dimana makin tinggi investasi maka makin besar pertumbuhan PDB di sub sektor perkebunan. Kontribusi investasi sangat penting untuk keberlangsungan usaha agribisnis perkebunan karena berpengaruh terhadap pembiayaan input produksi pengembangan komoditas perkebunan. Peningkatan nilai investasi pembangunan perkebunan mencerminkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan sub sektor perkebunan. Pada tabel 27 disajikan proyeksi kebutuhan investasi pembangunan perkebunan tahun Pada tabel tersebut 5 tahun kedepan laju pertumbuhan kebutuhan investasi pembangunan perkebunan diproyeksikan sebesar 12,18%. Tabel 27. Proyeksi Kebutuhan Investasi Pembangunan Perkebunan tahun No. Komoditas proyeksi investasi (triliun rupiah) per tahun Laju Pertumb. (%) 1. Investasi 91,26 104,27 117,62 130,90 144,48 12,18 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Proyeksi Ketersediaan APBN Ditjen. Perkebunan Untuk dapat mencapai sasaran pembangunan perkebunan tahun dan menggerakkan semua input produksi melalui program dan kegiatan, Direktorat Jenderal Perkebunan membutuhkan sumber pendanaan yang optimal dan sesuai kebutuhan. Sumber pendanaan yang dibutuhkan selain berasal dari APBN dan APBD, maka sektor swasta pun diharapkan berkontribusi dalam mendorong masuknya 207 P a g e

208 investasi di sub sektor perkebunan dari hulu sampai hilir dan berupa uang, barang dan jasa. Sebagian besar (hampir 95%) kebutuhan investasi tersebut diproyeksikan terpenuhi dari swadaya masyarakat, perbankan dan swasta. Sisanya dipenuhi dari anggaran pemerintah baik melalui APBN maupun APBD. Berdasarkan hasil proyeksi pendanaan Direktorat Jenderal Perkebunan melalui APBN bahwa besaran pembiayaan pembangunan perkebunan yang berasal dari APBN untuk membiayai Program Peningkatan Produksi dan Produktivitas Tanaman Perkebunan Berkelanjutan setiap tahunnya cenderung meningkat. Berikut ini proyeksi penyediaan dana APBN tahun yang disajikan pada Tabel 28. Tabel 28. Proyeksi Penyediaan Dana APBN Direktorat Jenderal Perkebunan tahun No. Kegiatan proyeksi APBN (milyar rupiah) per tahun Pengembangan Tanaman Semusim dan Rempah 2.277,3 120,9 201,4 209,4 217,8 2. Pengembangan Tanaman Tahunan dan Penyegar 3. Dukungan Perbenihan Tanaman Perkebunan 4. Dukungan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan 1.886,0 605,8 473,7 492,6 512,4 11,1 31,9 75,2 78,2 81,3 42,5 84,5 78,0 81,1 84,4 5. Dukungan Perlindungan Perkebunan 179,6 110,2 132,7 137,9 143,5 6. Dukungan Manajemen dan Dukungan Teknis Lainnya Ditjen. Perkebunan 7. Dukungan Pengujian dan Pengawasan Mutu Benih serta Penerapan Teknologi Proteksi Tanaman Perkebunan (Surabaya, Medan dan Ambon) 194,6 151,8 365,7 380,3 395,5 70,4 87,2 93,5 97,3 101,1 Jumlah 4.754, , , , ,1 Sumber: Direktorat Jenderal Perkebunan, Catatan: 1. Kenaikan alokasi anggaran 4% per tahun untuk mengantisipasi laju inflasi yang besarnya diperkirakan sekitar 4%. 2. Alokasi anggaran dapat berubah disesuaikan dengan kebijakan serta dinamika lingkungan strategis. Dengan mempertimbangkan kecilnya anggaran pemerintah dari APBN terhadap keseluruhan kebutuhan investasi untuk pembangunan perkebunan maka APBN hanya dimanfaatkan untuk kegiatan pengungkit yaitu penyediaan benih, sarana produksi, penanganan pascapanen, perlindungan perkebunan, pelayanan, pembinaan, pengawalan, operasional, pengawasan/monitoring, evaluasi dan pelaporan. 208 P a g e

209 BAB VI KERANGKA REGULASI DAN KERANGKA KELEMBAGAAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN Kerangka Regulasi Dinamika proses perencanaan pembangunan nasional berpengaruh sangat signifikan terhadap pembangunan regulasi di semua sektor ekonomi. Fungsi regulasi sebagai alat atau dasar kebijakan yang seharusnya menjadi fokus dalam perencanaan pembangunan di bidang regulasi seakan terlupakan. Bahkan terdapat kecenderungan regulasi menjadi alat bagi masing-masing sektor untuk memperjuangkan kepentingannya. Akibatnya, peraturan perundang-undangan yang terbentuk, khususnya undang-undang seolah-olah hanya menjadi undang-undang bagi sektor tertentu, bukan lagi undang-undang bagi seluruh masyarakat Indonesia. Padahal, regulasi seharusnya justru dapat menjadi faktor integrasi, yang bukan hanya mengintegrasikan wilayah, namun juga mampu mengintegrasikan berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan negara khususnya kebijakan yang memiliki kontribusi terhadap peningkatan perekonomian nasional, salah satunya sub sektor perkebunan. Pembentukan regulasi/ peraturan-perundang-undangan (dalam bentuk UU, Perpres, Inpres, Kepres, PP dan peraturan pimpinan Kementerian/Lembaga lainnya) hanyalah merupakan salah satu alat untuk mengoperasionalkan kebijakan, terutama yang bersifat strategis. Isi regulasi itu sendiri adalah kebijakan-kebijakan yang hendak dioperasionalkan dengan regulasi. Dengan demikian, kesalahan pemilihan atau penuangan kebijakan dalam suatu regulasi akan berakibat timbulnya regulasi-regulasi bermasalah yang pada akhirnya akan menyulitkan pelaksanaannya. Mengingat hubungan kausal antara kebijakan dan regulasi tersebut, maka untuk terciptanya regulasi yang berkualitas, kebijakan-kebijakan yang dimuat dalam regulasi harus berkualitas pula. Berdasarkan gambaran tersebut, maka kualitas kebijakan dan sinergitas antara kebijakan (policy) dengan regulasi menjadi sangat penting guna tercapainya tujuan pembangunan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah 209 P a g e

210 Indonesia.. Untuk itu, dibutuhkan perencanaan regulasi yang sinergis dengan kebijakan yang telah dirumuskan, holistik, futuristik sehingga dapat mengakomodasi kebutuhan berbagai bidang pembangunan secara harmonis, dan disertai indikasi anggaran baik untuk pembentukan maupun pelaksanaannya. Perencanaan regulasi seperti ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan kerangka regulasi dalam dokumen perencanaan pembangunan nasional. Dalam rangka pelaksanaan tugas, fungsi serta kewenangan dan penjabaran peran Ditjen. Perkebunan dalam mencapai sasaran pembangunan perkebunan tahun diperlukan suatu kerangka regulasi baik dalam ruang lingkup regulasi utama yang mengatur kebijakan-kebijakan strategis maupun regulasi pelengkap yang dapat menjelaskan lebih detail atau melengkapi regulasi yang sudah ada. Penyusunan kebutuhan regulasi pembangunan perkebunan dalam kurun waktu 5 tahun kedepan memuat beberapa aspek diantaranya aspek perbenihan, aspek teknis budidaya, aspek pascapanen dan aspek perlindungan perkebunan. Berikut ini adalah beberapa regulasi yang dibutuhkan dalam pembangunan perkebunan kedepan: 1. Rancangan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perbenihan Tanaman Perkebunan sebagai implementasi dari UU nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 2. Rancangan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Budidaya Tanaman Perkebunan sebagai implementasi dari UU nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. 3. Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Produksi, Sertifikasi dan Peredaran Benih Tanaman Perkebunan. 4. Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Pemasukan dan Pengeluaran Benih Tanaman Perkebunan. 5. Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Pengujian, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan Varietas Tanaman Perkebunan. 6. Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Tata Hubungan Kerja antara UPTD Pusat dengan UPTD Perbenihan Perkebunan SKPD yang membidangi perkebunan di Provinsi. 7. Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) tentang Pedoman Budidaya Tanaman Perkebunan yang Baik. 210 P a g e

211 8. Regulasi terkait kegiatan pascapanen diantaranya regulasi yang mengatur tentang tata cara kegiatan panen dan pascapanen yang baik. 9. Regulasi terkait perlindungan perkebunan diantaranya regulasi Revitalisasi Brigade Proteksi Tanaman, regulasi tentang Pestisida dan regulasi tentang Agens Pengendali Hayati (keamanan penggunaan pestisida biologi). 10. Regulasi terkait lainnya antara lain: a. Regulasi dalam bentuk Undang-Undang yang mendorong berkembangnya bioindustri dan pengolahan hasil pertanian. b. Regulasi dalam bentuk Undang-Undang yang mengatur budidaya pertanian organik berbasis komoditas perkebunan. c. Regulasi dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) mengenai implementasi UU nomor 19 tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. d. Peraturan Pemerintah tentang Sistem Peringatan Dini dan Penanganan Dampak Perubahan Iklim. e. Peraturan Pemerintah dan Peraturan Daerah tentang kewajban melindungi usaha tani yang dilakukan petani dalam bentuk Asuransi Pertanian. f. Regulasi yang mendorong terbentuknya Bank bagi petani dan Lembaga Pembiayaan Mikro di bidang pertanian. Secara lengkap kebutuhan kerangka regulasi yang terkait dengan pembangunan perkebunan kedepan disajikan pada Lampiran Matriks Kerangka Regulasi. Kebutuhan regulasi pembangunan perkebunan kedepan seperti yang telah dijelaskan sangat terkait dengan kinerja perencanaan karena dalam penyusunan regulasi harus selaras dengan dokumen-dokumen perencanaan seperti RPJMN, Renstra dan RKP. Untuk itu diperlukan integrasi antara kebutuhan regulasi dengan dokumen-dokumen perencanaan. Dalam RPJMN , urgensi integrasi kerangka regulasi dalam dokumen perencanaan bertujuan untuk: 1) mengarahkan proses perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai kebutuhan pembangunan; 2) meningkatkan kualitas peraturan perundang-undangan dalam rangka mendukung pencapaian prioritas pembangunan; dan 3) meningkatkan efisiensi pengalokasian anggaran untuk keperluan pembentukan peraturan perundang-undangan. Pada 211 P a g e

212 akhirnya, kerangka regulasi dimaksudkan untuk memberi arahan dan landasan (regulasi) dalam melaksanakan kegiatan penyelenggaraan negara dan pembangunan, dengan muatan indikasi atau arahan kebijakan mengenai rancangan peraturan perundang-undangan yang diusulkan dalam kurun waktu tertentu (RPJMN ataupun RKP) Sinergitas Hubungan Kerangka Regulasi dan Kerangka Pendanaan Hubungan kerangka regulasi dan kerangka pendanaan bersifat mutual/ memiliki interaksi kegunaan artinya setiap anggaran yang dikeluarkan harus memiliki payung hukum (regulasi) sebagai bentuk legalitas. Di sisi lain, pembentukan dan pelaksanaan suatu regulasi hanya dapat dilakukan dengan dukungan pendanaan sehingga pada akhirnya hubungan mutual antara regulasi dan pendanaan akan terjadi sinergi antara pendanaan dan regulasi yang saling terkait kegunaannya. Salah satu upaya awal untuk mendorong sinergi antara pendanaan dan regulasi ini adalah dengan integrasi kerangka regulasi dalam dokumen perencanaan pembangunan, yang memuat pagu indikatif anggaran untuk pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah dalam berbagai program pembangunan, termasuk di dalamnya adalah pembangunan regulasi. Integrasi kerangka regulasi dalam dokumen perencanaan pembangunan ini sekaligus menunjukkan telah dilakukannya pengelolaan kerangka regulasi pada tahapan yang sangat awal, yakni tahapan perencanaan pembangunan secara keseluruhan. Dengan mempertimbangkan efisiensi anggaran yang terbatas serta berbagai dampak lain yang sangat signifikan bagi masyarakat dan penyelenggaraan pembangunan, maka proses penanganan kerangka regulasi harus dilakukan dengan baik sejak proses perencanaan. Di samping itu, pengelolaan kerangka regulasi sejak proses perencanaan juga dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas peraturan perundangundangan demi terwujudnya peraturan perundang-undangan nasional yang tertib sehingga memungkinkan setiap tindakan dapat memberikan manfaat yang lebih optimal. Inti dari kerangka regulasi adalah upaya mewujudkan tertib peraturan perundang-undangan sejak tahapan yang sangat awal, yaitu tahapan perencanaan dan penganggaran. 212 P a g e

213 Pada gambar 3 berikut ini disajikan sinergitas hubungan kerangka regulasi dan kerangka pendanaan. Gambar 3. Sinergitas hubungan kerangka regulasi dan kerangka pendanaan (sumber: background study pengintegrasian kerangka regulasi dalam RPJMN , Direktorat Analisa Peraturan Perundang-undangan BAPPENAS, 31 Desember 2013) 6.3. Kerangka Kelembagaan Penguatan kerangka kelembagaan merupakan salah satu amanat agenda reformasi birokrasi dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance). Penguatan kerangka kelembagaan pemerintah dimaksudkan untuk mewujudkan kelembagaan pemerintah yang efektif, efisien, akuntabel dan sinergis agar mampu melaksanakan programprogram pembangunan dengan efektif dan efisien. Kelembagaan merujuk kepada organisasi, pengaturan hubungan inter dan antar organisasi, serta sumber daya manusia aparatur. Organisasi mencakup rumusan tugas, fungsi, kewenangan, peran dan struktur. Pengaturan hubungan inter dan antar-organisasi mencakup aturan main dan/atau tata hubungan kerja inter dan antar-organisasi/lembaga pemerintah, sedangkan sumber daya manusia aparatur negara mencakup para pejabat negara dan aparatur sipil negara yang menjalankan organisasi tersebut. Langkah-langkah strategis perbaikan kepemerintahan yang baik diwujudkan melalui 8 agenda reformasi birokrasi sebagaimana diaur dalam Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi tahun yang meliputi: 1. Aspek kelembagaan dalam melahirkan organisasi yang proporsional, efektif dan efisien. 213 P a g e

KATA PENGANTAR Rencana Strategis Direktorat Jenderal Perkebunan

KATA PENGANTAR Rencana Strategis Direktorat Jenderal Perkebunan KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI iii iv v vi DAFTAR TABEL vii viii DAFTAR GAMBAR ix x DAFTAR LAMPIRAN xi xii 1 PENDAHULUAN xiii xiv I. PENDAHULUAN 2 KONDISI UMUM DIREKTOAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2005-2009

Lebih terperinci

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL Direktur Jenderal Perkebunan disampaikan pada Rapat Kerja Revitalisasi Industri yang Didukung oleh Reformasi Birokrasi 18

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... I. Pendahuluan Latar Belakang Pembangunan Perkebunan... 1

DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... I. Pendahuluan Latar Belakang Pembangunan Perkebunan... 1 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... i iii BAB I. Pendahuluan... 1 Latar Belakang Pembangunan Perkebunan... 1 II. Kontribusi Perkebunan Terhadap Perekonomian Nasional.... 5 2.1. Kinerja Makro Pembangunan

Lebih terperinci

Edisi Revisi. Rencana Strategis (RENSTRA) Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun

Edisi Revisi. Rencana Strategis (RENSTRA) Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun Edisi Revisi 1 2 i ii iii iv v vi vii viii ix x xi xii erdasarkan UndangUndang nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan angka Panjang Nasional RPP) 20052025 bahwa tahun 20152019 memasuki periode

Lebih terperinci

BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA

BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA BAB IV RUJUKAN RENCANA STRATEGIS HORTIKULTURA 2015-2019 Dalam penyusunan Rencana strategis hortikultura 2015 2019, beberapa dokumen yang digunakan sebagai rujukan yaitu Undang-Undang Hortikultura Nomor

Lebih terperinci

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN

BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN BAB III TUJUAN, SASARAN, PROGRAM DAN KEGIATAN 3.1 Telaahan Terhadap Kebijakan Nasional Berdasarkan Renstra Kementerian Pertanian Tahun 2010 2014 (Edisi Revisi Tahun 2011), Kementerian Pertanian mencanangkan

Lebih terperinci

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2011

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2011 LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2011 KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN Jakarta, Maret 2012 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR...

Lebih terperinci

Kementerian Pertanian KATA PENGANTAR Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2016

Kementerian Pertanian KATA PENGANTAR Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2016 KATA PENGANTAR Serangkaian proses restrukturisasi program dan kegiatan pembangunan perkebunan tahun 2015-2019 diawali dari penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Perkebunan, yang selanjutnya

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Ir. Gamal Nasir,MS Nip

KATA PENGANTAR. Ir. Gamal Nasir,MS Nip KATA PENGANTAR Serangkaian proses restrukturisasi program dan kegiatan pembangunan perkebunan tahun 2015-2019 diawali dari penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Perkebunan, yang selanjutnya

Lebih terperinci

RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018

RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018 RENCANA KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2018 Disampaikan pada: MUSYAWARAH PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN NASIONAL Jakarta, 30 Mei 2017 CAPAIAN INDIKATOR MAKRO PEMBANGUNAN PERKEBUNAN NO.

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Rencana Strategis (Renstra) Dinas Provinsi Jawa Barat BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Dinas Dengan memperhatikan Visi dan Misi Pemerintah Provinsi Jawa

Lebih terperinci

Direktorat Jenderal Perkebunan

Direktorat Jenderal Perkebunan KATA PENGANTAR Laporan kinerja Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2013 merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Perkebunan, baik yang pembiayaannya

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Februari 2013 Direktur Jenderal Perkebunan, Ir. Gamal Nasir,MS Nip

KATA PENGANTAR. Jakarta, Februari 2013 Direktur Jenderal Perkebunan, Ir. Gamal Nasir,MS Nip KATA PENGANTAR Serangkaian proses restrukturisasi program dan kegiatan pembangunan perkebunan tahun 2010-2014 diawali dari penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Perkebunan yang kemudian menjadi

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT TANAMAN REMPAH DAN PENYEGAR TAHUN 2015

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT TANAMAN REMPAH DAN PENYEGAR TAHUN 2015 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT TANAMAN REMPAH DAN PENYEGAR TAHUN 2015 DIREKTORAT TANAMAN REMPAH DAN PENYEGAR DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN Jakarta, Maret 2014 BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. DAFTAR ISI... ii. I. Pendahuluan. 1 A. Latar Belakang. 1 B. Maksud dan Tujuan. 2 C. Sasaran... 2 D. Dasar Hukum...

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. DAFTAR ISI... ii. I. Pendahuluan. 1 A. Latar Belakang. 1 B. Maksud dan Tujuan. 2 C. Sasaran... 2 D. Dasar Hukum... DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii Halaman I. Pendahuluan. 1 A. Latar Belakang. 1 B. Maksud dan Tujuan. 2 C. Sasaran...... 2 D. Dasar Hukum... 2 II. Arah Kebijakan Pembangunan 3 A. Visi dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam pengembangan sektor pertanian sehingga sektor pertanian memiliki fungsi strategis dalam penyediaan pangan

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 1 i DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR ISI i ii BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1.2. Maksud dan Tujuan... 1.3. Sasaran... 1.4 Dasar

Lebih terperinci

Disampaikan pada: RAPAT KOORDINASI TEKNIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TAHUN 2018 Jakarta, Januari 2017

Disampaikan pada: RAPAT KOORDINASI TEKNIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TAHUN 2018 Jakarta, Januari 2017 Disampaikan pada: RAPAT KOORDINASI TEKNIS PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERTANIAN TAHUN 2018 Jakarta, 26-27 Januari 2017 Prioritas Nasional KETAHANAN PANGAN dengan 2 Program Prioritas yaitu: 1) PENINGKATAN PRODUKSI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LAKIN DIREKTORAT TANAMAN TAHUNAN DAN PENYEGAR

BAB I PENDAHULUAN LAKIN DIREKTORAT TANAMAN TAHUNAN DAN PENYEGAR DIREKTORAT TANAMAN TAHUNAN DAN PENYEGAR DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN JAKARTA, JANUARI 2017 BAB I PENDAHULUAN LAKIN DIREKTORAT TANAMAN TAHUNAN DAN PENYEGAR BAB II PERENCANAAN DAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian memiliki peran strategis dalam menunjang perekonomian Indonesia. Sektor pertanian berperan sebagai penyedia bahan pangan, pakan ternak, sumber bahan baku

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Ir. Gamal Nasir, MS Nip

KATA PENGANTAR. Ir. Gamal Nasir, MS Nip KATA PENGANTAR Serangkaian proses restrukturisasi program dan kegiatan pembangunan perkebunan tahun 2010-2014 diawali dari penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Perkebunan yang kemudian menjadi

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2013

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2013 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2013 DIREKTORAT TANAMAN SEMUSIM DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 0 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerapan sistem akuntabilitas kinerja instansi

Lebih terperinci

Direktorat Jenderal Perkebunan KATA PENGANTAR

Direktorat Jenderal Perkebunan KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Laporan kinerja Direktorat Jenderal Perkebunan Tahun 2012 merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan Program Peningkatan Produksi, Produktivitas dan Mutu Tanaman Perkebunan, baik yang pembiayaannya

Lebih terperinci

POTENSI DAN PELUANG EKSPOR PRODUK PERKEBUNAN UNGGULAN DI SULAWESI SELATAN

POTENSI DAN PELUANG EKSPOR PRODUK PERKEBUNAN UNGGULAN DI SULAWESI SELATAN POTENSI DAN PELUANG EKSPOR PRODUK PERKEBUNAN UNGGULAN DI SULAWESI SELATAN PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN DINAS PERKEBUNAN Jalan Perkebunan No. 7 Makassar Tujuan Penyelenggaraan Perkebunan 1. Meningkatkan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN STRATEGIS

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN STRATEGIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN STRATEGIS Disampaikan pada Rapat Kerja Akselerasi Industrialisasi dalam Rangka Mendukung Percepatan dan Pembangunan Ekonomi, Hotel Grand Sahid, 1 Pebruari 2012

Lebih terperinci

RANCANGAN PROGRAM DITJEN PERKEBUNAN PERIODE MENDUKUNG PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN ANDALAN

RANCANGAN PROGRAM DITJEN PERKEBUNAN PERIODE MENDUKUNG PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN ANDALAN RANCANGAN PROGRAM DITJEN PERKEBUNAN PERIODE 2015-2019 MENDUKUNG PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN ANDALAN Disampaikan pada : Musrenbangtan Nasional Tahun 2014 Jakarta, 13 Mei 2014 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN

Lebih terperinci

STANDAR BAKU INDIKATOR KINERJA (SBIK) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TERKAIT INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) KEMENTERIAN PERTANIAN TAHUN

STANDAR BAKU INDIKATOR KINERJA (SBIK) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TERKAIT INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) KEMENTERIAN PERTANIAN TAHUN STANDAR BAKU INDIKATOR KINERJA (SBIK) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TERKAIT INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) KEMENTERIAN PERTANIAN TAHUN 2015-2019 MANUAL IKU (INDIKATOR KINERJA UTAMA) KEMENTERIAN PERTANIAN

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Jakarta, Februari 2013 Direktur Tanaman Rempah dan Penyegar. IR. H. AZWAR AB, MSi. NIP

KATA PENGANTAR. Jakarta, Februari 2013 Direktur Tanaman Rempah dan Penyegar. IR. H. AZWAR AB, MSi. NIP KATA PENGANTAR Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) merupakan laporan kinerja tahunan yang berisi pertanggungjawaban kinerja suatu instansi dalam mencapai tujuan atau strategis instansi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN Tahun 2015 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2014 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN TAHUN 2015

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN DI LAHAN GAMBUT

STRATEGI PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN DI LAHAN GAMBUT STRATEGI PENGEMBANGAN KOMODITAS PERKEBUNAN DI LAHAN GAMBUT Oleh : Direktorat Jenderal Perkebunan *) Kementerian Pertanian ---------------------------------------------------------------------------------------

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi nasional abad ke- 21, masih akan tetap berbasis pertanian

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN ii DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI iii I. PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Tujuan... 2 II. TUGAS POKOK DAN FUNGSI... 2

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR ISI...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat secara ekonomi dengan ditunjang oleh faktor-faktor non ekonomi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses perubahan yang dilakukan melalui upaya-upaya terencana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara ekonomi dengan

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2016

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2016 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TAHUN 2016 Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBPPTP) Surabaya Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian 2015 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya perkebunan dalam rangka peningkatan daya saing usaha perkebunan, nilai tambah,

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya perkebunan dalam rangka peningkatan daya saing usaha perkebunan, nilai tambah, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan umum pembangunan perkebunan sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Perkebunan 2010 sd 2014, yaitu mensinergikan seluruh sumber

Lebih terperinci

Program Pembangunan Perkebunan 2018

Program Pembangunan Perkebunan 2018 Program Pembangunan Perkebunan 2018 PENYELENGGARAAN PERKEBUNAN PERKEBUNAN= Segala kegiatan pengelolaan SDA, SDM, sarana produksi, alat dan mesin, budidaya, panen, pengolahan dan pemasaran terkait tanaman

Lebih terperinci

REVITALISASI PERTANIAN

REVITALISASI PERTANIAN REVITALISASI PERTANIAN Pendahuluan 1. Revitalisasi pertanian dan pedesaan, merupakan salah satu strategi yang dipilih oleh Kabinet Indonesia Bersatu dalam upayanya mewujudkan pembangunan masyarakat Indonesia,

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG PERTANIAN UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN PANGAN DAN ENERGI BERBASIS PERTANIAN

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG PERTANIAN UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN PANGAN DAN ENERGI BERBASIS PERTANIAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM BIDANG PERTANIAN UNTUK MEWUJUDKAN KEMANDIRIAN PANGAN DAN ENERGI BERBASIS PERTANIAN Dr. Suswono, MMA Menteri Pertanian Republik Indonesia Disampaikan pada Seminar Nasional Universitas

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN: Upaya Peningkatan Produksi Komoditas Pertanian Strategis 1 Pendahuluan (1) Permintaan terhadap berbagai komoditas pangan akan terus meningkat: Inovasi teknologi dan penerapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan pertanian dewasa ini telah berorientasi bisnis (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut usahatani (on-farm agribusiness)

Lebih terperinci

Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian

Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT} Ilirektorat lenderal Perkebunan Tahun 2013 Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian = :3 =3 ra = g l' ]' It 3 it = =3 =t 5 =t 3 3 I I :t =t I =t g =t =t =t I =t

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Dinas Perkebunan Provinsi Riau Laporan Kinerja A. Tugas Pokok dan Fungsi

PENDAHULUAN. Dinas Perkebunan Provinsi Riau Laporan Kinerja A. Tugas Pokok dan Fungsi PENDAHULUAN A. Tugas Pokok dan Fungsi Berdasarkan Peraturan Gubernur No. 28 Tahun 2015 tentang rincian tugas, fungsi dan tata kerja Dinas Perkebunan Provinsi Riau, pada pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, namun keberadaan tanaman ini telah masuk hampir ke semua sektor kehidupan. Kondisi ini telah mendorong semakin meluasnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di

I. PENDAHULUAN. Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi Daerah dengan sistem desentralisasi diimplementasikan di Indonesia sejak tahun 2001 berdasarkan UU RI Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, yang selanjutnya

Lebih terperinci

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012

Politik Pangan Indonesia - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012 Politik Pangan - Ketahanan Pangan Berbasis Kedaulatan dan Kemandirian Jumat, 28 Desember 2012 Politik Pangan merupakan komitmen pemerintah yang ditujukan untuk mewujudkan ketahanan Pangan nasional yang

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 KAKAO Penyebaran Kakao Nasional Jawa, 104.241 ha Maluku, Papua, 118.449 ha Luas Areal (HA) NTT,NTB,Bali, 79.302 ha Kalimantan, 44.951 ha Maluku,

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan agroindustri suatu daerah diarahkan untuk menjamin pemanfaatan hasil pertanian secara optimal dengan memberikan nilai tambah melalui keterkaitan antara budidaya,

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PEMBIAYAAN PERTANIAN TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii BAB

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN. HIDUP. Sumber Daya Alam. Perkebunan. Pengembangan. Pengolahan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Peranan pertanian antara lain adalah : (1) sektor pertanian masih menyumbang sekitar

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk melaksanakan ketentuan

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS KEDELAI Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan

Lebih terperinci

Direktorat Jenderal Perkebunan KATA PENGANTAR

Direktorat Jenderal Perkebunan KATA PENGANTAR DIREKTORAT PENGOLAHAN DAN PEMASARAN HASIL PERKEBUNAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN JAKARTA, JANUARI 2017 KATA PENGANTAR Laporan Akuntabilitas Kinerja (LAKIN) Direktorat Pengolahan

Lebih terperinci

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN

III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN 3.3. PEMANTAPAN KETAHANAN PANGAN : ALTERNATIF PEMIKIRAN III. RUMUSAN, BAHAN PERTIMBANGAN DAN ADVOKASI ARAH KEBIJAKAN PERTANIAN Pada tahun 2009, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian melakukan kegiatan analisis dan kajian secara spesifik tentang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan pertanian merupakan salah satu tindakan yang mendukung untuk menopang perekonomian nasional. Pembangunan pertanian yang baik untuk Negara Indonesia adalah

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS KEDELAI Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 AGRO INOVASI MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL Dalam Mendukung KEMANDIRIAN PANGAN DAERAH Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Dewan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perkebunan menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL Gamal Nasir Direktorat Jenderal Perkebunan PENDAHULUAN Kelapa memiliki peran strategis bagi penduduk Indonesia, karena selain

Lebih terperinci

BAB II RENCANA STRATEJIK

BAB II RENCANA STRATEJIK Dinas Provinsi Jawa Barat 2016 BAB II RENCANA STRATEJIK 2.1 Rencana Stratejik Tahun 2013 2018 Rencana Stratejik (Renstra) Dinas Provinsi Jawa Barat Tahun 2013-2018 telah dirumuskan pada pertengahan tahun

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR

KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Pelaksanaan lima tahunan pembangunan hortikultura yang diamanahkan kepada Direktorat Jenderal Hortikultura dari tahun 2010-2014 telah memberikan beberapa manfaat dan dampak

Lebih terperinci

R E N S T R A. Draft Revisi Rencana Strategis. Direktorat Jenderal Perkebunan

R E N S T R A. Draft Revisi Rencana Strategis. Direktorat Jenderal Perkebunan R E N S T R A Draft Revisi Rencana Strategis Direktorat Jenderal Perkebunan 2010-2014 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN JAKARTA, 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur kita panjatkan kepada

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Subsektor perkebunan merupakan salah satu bisnis strategis dan andalan dalam perekonomian Indonesia, bahkan pada masa krisis ekonomi. Agribisnis subsektor ini mempunyai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. sektor yang mempunyai peranan yang cukup strategis dalam perekonomian 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu sasaran pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi dengan menitikberatkan pada sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor

Lebih terperinci

FORMULIR 1 : RENCANA PENCAPAIAN SASARAN STRATEGIS PADA KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA TAHUN ANGGARAN : 2015

FORMULIR 1 : RENCANA PENCAPAIAN SASARAN STRATEGIS PADA KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA TAHUN ANGGARAN : 2015 RENCANA KERJA DAN ANGGARAN KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA A. KEMENTRIAN : (18) KEMENTERIAN PERTANIAN FORMULIR 1 : RENCANA PENCAPAIAN SASARAN STRATEGIS PADA KEMENTRIAN NEGARA/LEMBAGA TAHUN ANGGARAN : 215 B.

Lebih terperinci

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005

Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 Prospek dan Arah Pengembangan AGRIBISNIS PADI Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2005 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN Atas perkenan dan ridho

Lebih terperinci

STRATEGI DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN

STRATEGI DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN STRATEGI DAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN 1. Pendahuluan Sektor pertanian merupakan tumpuan ekonomi dan penggerak utama ekonomi nasional dan sebagian besar daerah, melalui perannya dalam pembentukan

Lebih terperinci

REVITALISASI KEHUTANAN

REVITALISASI KEHUTANAN REVITALISASI KEHUTANAN I. PENDAHULUAN 1. Berdasarkan Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional Tahun 2004-2009 ditegaskan bahwa RPJM merupakan

Lebih terperinci

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012

LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012 [Type text] LAMPIRAN PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA KERJA PEMERINTAH TAHUN 2012 BUKU I: Prioritas Pembangunan, serta Kerangka Ekonomi Makro dan Pembiayaan Pembangunan

Lebih terperinci

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN (Dalam miliar Rupiah) Prioritas/ Rencana Prakiraan Rencana.

MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN (Dalam miliar Rupiah) Prioritas/ Rencana Prakiraan Rencana. MATRIKS 2.2.B ALOKASI PENDANAAN PEMBANGUNAN TAHUN 2011 Bidang: SUMBER DAYA ALAM dan LINGKUNGAN HIDUP I Prioritas: Ketahanan Pangan dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan A Fokus Prioritas:

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut. diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting yang patut diperhitungkan dalam meningkatkan perekonomian Indonesia. Negara Indonesia yang merupakan negara

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013 RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT PERLUASAN DAN PENGELOLAAN LAHAN TA. 2013 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2012 RKT DIT. PPL TA. 2013 KATA PENGANTAR Untuk

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN

DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN EVALUASI CAPAIAN KINERJA PROGRAM DAN KEGIATAN DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN TRIWULAN I 2016 KEMENTERIAN PERTANIAN RI DIREKTORAT JENDERAL TANAMAN PANGAN 2015 Evaluasi Capaian Kinerja Pembangunan Tanaman

Lebih terperinci

Jakarta, Januari 2016 Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar. Dr.Ir. Dwi Praptomo Sudjatmiko, MS NIP

Jakarta, Januari 2016 Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar. Dr.Ir. Dwi Praptomo Sudjatmiko, MS NIP DIREKTORAT TANAMAN TAHUNAN DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN JAKARTA, JANUARI 2016 KATA PENGANTAR Laporan Kinerja (LAKIN) Direktorat Tanaman Tahunan Tahun 2015 adalah laporan kinerja

Lebih terperinci

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi Perekonomian Indonesia Peran Pertanian pada pembangunan: Kontribusi Sektor Pertanian: Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Pemasok bahan pangan Fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan global di masa mendatang juga akan selalu berkaitan dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan bagian pokok didalam kehidupan dimana dalam kehidupan sehari-hari manusia membutuhkan pemenuhan sandang, pangan, maupun papan yang harus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia, peran tersebut antara lain adalah bahwa sektor pertanian masih menyumbang sekitar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara produsen dan pengekspor terbesar minyak kelapa sawit di dunia. Kelapa sawit merupakan komoditas perkebunan yang memiliki peran penting bagi perekonomian

Lebih terperinci

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC)

NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC) NASKAH PENJELASAN PENGESAHAN CHARTER OF THE ESTABLISHMENT OF THE COUNCIL OF PALM OIL PRODUCING COUNTRIES (CPOPC) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Memasuki era perdagangan bebas, Indonesia harus membuat strategi yang

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Memasuki era perdagangan bebas, Indonesia harus membuat strategi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah. Memasuki era perdagangan bebas, Indonesia harus membuat strategi yang tepat untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA 1.tE,"P...F.3...1!..7. INDONESIA PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2015 TENTANG PENGHIMPUNAN DANA PERKEBUNAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TA DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN

RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) TA DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN RENCANA KINERJA TAHUNAN (RKT) DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN TA. 2014 DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 KATA PENGANTAR Untuk melaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia karena merupakan tumpuan hidup sebagian besar penduduk Indonesia. Lebih dari setengah angkatan kerja

Lebih terperinci

2

2 1 2 3 4 5 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan aparatur negara mencakup aspek yang luas. Dimulai dari peningkatan fungsi utama pemerintahan, kelembagaan yang efektif dan effisien dengan tata laksana

Lebih terperinci

RANCANGAN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KABUPATEN GARUT TAHUN PEMERINTAH KABUPATEN GARUT

RANCANGAN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KABUPATEN GARUT TAHUN PEMERINTAH KABUPATEN GARUT RANCANGAN RENCANA STRATEGIS (RENSTRA) DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA KABUPATEN GARUT TAHUN 2019-2019 PEMERINTAH KABUPATEN GARUT DINAS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA Jl. PEMBANGUNAN NO. 183 GARUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan.

I. PENDAHULUAN. (BPS 2012), dari pertanian yang terdiri dari subsektor tanaman. bahan makanan, perkebunan, perternakan, kehutanan dan perikanan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang berlimpah, dimana banyak Negara yang melakukan perdagangan internasional, Sumberdaya yang melimpah tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang cukup penting dalam kegiatan perekonomian di Indonesia, hal ini dapat dilihat dari kontribusinya terhadap Produk Domestik Bruto

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 AGRO INOVASI MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL UU NO 7 TH 1996: Pangan = Makanan Dan Minuman Dari Hasil Pertanian, Ternak, Ikan, sbg produk primer atau olahan Ketersediaan Pangan Nasional (2003)=

Lebih terperinci