HASIL DAN PEMBAHASAN. Penggunaan Lahan dan Pola Tanam. Tabel 13 Penggunaan lahan di DAS Sape Lombok Tengah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN. Penggunaan Lahan dan Pola Tanam. Tabel 13 Penggunaan lahan di DAS Sape Lombok Tengah"

Transkripsi

1 39 HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan dan Pola Tanam Secara umum jenis penggunaan lahan yang terdapat di lokasi penelitian meliputi : sawah tadah hujan, tegalan, semak, hutan tanaman, kebun dan badan air (Tabel 13). Tabel 13 Penggunaan lahan di DAS Sape Lombok Tengah Luas Satuan Lahan Persen Penggunaan Lahan Ha (%) Hutan Tanaman 15,16a, 16c, 16f, 16g, 16h,17a 17d, 25f 1.900,2 37,6 Tegalan 25b, 16c, 5b, 17c, 5d, 17b, 11a, 25d, ,3 36,9 Sawah Tadah Hujan 10c, 25a, 5a, 22,5c, 2, 25c, 11b, 6, 10a, 10b 635,2 12,6 Kebun 25e, 16b, 16d, ,3 5,8 Semak 4 83,3 1.6 Badan Air - 277,6 5,5 Total Sumber: BPTP Narmada, NTB Jenis penggunaan lahan yang paling menonjol adalah hutan tanaman yang mencapai 37,6 % dari luas lahan di DAS Sape. Penggunaan lahan ini berada pada wilayah dengan topografi %. Vegetasi yang masih ada dan tumbuh baik adalah pohon jati, sengon, mahoni dan sonokeling (masih berupa tunas). Namun karena adanya tekanan kebutuhan hidup dan pertumbuhan penduduk, telah terjadi perubahan penggunaan lahan di sekitar kawasan hutan. Saat ini banyak masyarakat di sekitar kawasan hutan yang memanfaatkan hutan dengan melakukan pembukaan lahan tegalan baru; masyarakat menanam tanaman pangan (palawija), buah-buahan seperti jambu mete dan mangga serta tanaman hijauan untuk pakan ternak. Jika keadaan ini tidak dikelola dengan memperhatikan aspek konservasi, maka akan mengakibatkan berkurangnya daerah tangkapan air sehingga laju aliran permukaan/erosi akan semakin meningkat. Akibatnya adalah keseimbangan hidrologi terganggu dan produktivitas tanah menurun. Hutan memiliki peranan penting karena memungkinkan penyerapan air melalui infiltrasi sehingga air yang mengalir pada permukaan tanah akan lebih sedikit; akibatnya banjir yang terjadi menjadi lebih sedikit. Oleh sebab itu fungsi tersebut harus tetap dipertahankan karena kerusakan yang ditimbulkan akibat

2 40 rusaknya hutan akan berdampak buruk terhadap lahan pertanian dan kehidupan masyarakat di wilayah suatu DAS. Penggunaan lahan tegalan terdapat pada topografi %; vegetasi utama yang dijumpai pada lahan tegalan adalah padi ladang varietas lokal rau yang umumnya ditanami pada pertengahan bulan Nopember. Setelah padi ladang, tegalan umumnya ditanami palawija yang ditanam di bawah tegakan pohon mahoni, sengon dan jati. Lahan tegalan di daerah ini merupakan lahan hutan yang dikonversi oleh masyarakat yang berada di sekitar kawasan hutan. Sawah tadah hujan umumnya terdapat pada topografi 3-8 %; pola tanam yang diterapkan oleh petani di daerah ini adalah padi tadah hujan palawija bera. Budidaya padi tadah hujan sangat bergantung pada curah hujan, sehingga musim tanam sangat ditentukan oleh awal musim hujan. Pada pengamatan di lapangan, kebun ditanami tanaman tahunan dan semusim seperti jambu mete, pisang, mangga, palawija (ubi kayu) dan pepaya. Tanaman jenis tersebut dipilih petani karena perawatannya lebih mudah, pengolahan tanah tidak dilakukan secara intensif dan harga panen cenderung lebih stabil dibandingkan tanaman semusim. Penggunaan lahan semak didominasi oleh anakan pohon dan alangalang dengan populasi yang jarang. Umumnya penggunaan lahan ini terdapat pada topografi curam (45 %). Pola tanam yang terdapat di DAS sape umumnya adalah pola tanam tanaman pangan (padi dan palawija) yang mencapai 52,9 % dan pola tanam tanaman tahunan (Tabel 14). Tabel 14 Berbagai pola tanam di DAS Sape Lombok Tengah Pola Tanam (%) Petani Penggunaan Lahan Padi tadah hujan palawija (A) 52,9 Sawah tadah hujan dan tegalan Tanaman tahunan + palawija 35,4 Tegalan dan kebun Tanaman tahunan 11,7 Hutan tanaman Sumber: Data Primer Diolah Keterangan: Pola A: tumpangsari bersisipan antara padi + jagung//ubi kayu + kedelai/kacang hijau/kacang tanah (Basa, et.al, 1884); palawija (kedelai, kacang hijau, kacang tanah, jagung dan ubi kayu) Dilihat dari pola tanam selama satu tahun musim tanam pada penggunaan lahan sawah tadah hujan, pola tanam petani umumnya adalah pola tanam A menurut Basa et.al (1984) yaitu tumpang sari bersisipan antara tanaman padi

3 41 dengan palawija (kedelai, kacang hijau, jagung dan kacang tanah). Pola tanam seperti ini telah berlangsung bertahun-tahun. Alasan petani menerapkan pola tanam ini karena ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, selain itu keterbatasan pilihan komoditas juga menjadi kendala dalam menentukan jenis komoditas yang akan ditanam. Pola tanam tanaman tahunan dan palawija dengan sistem tumpang sari dan monokultur juga diterapkan pada penggunaan lahan tegalan. Tanaman pangan (palawija) yang ditanami umumnya adalah kedelai, jagung dan ubi kayu; sedangkan tanaman tahunan yang umum dibudidayakan adalah pisang, jambu mete dan mangga. Usahatani dengan pola tanam seperti ini dari aspek ekonomi lebih menguntungkan dan dari aspek konservasi sangat baik dengan syarat kerapatan dan jenis tanaman yang diusahakan beragam sehingga permukaan tanah relatif tertutup sepanjang tahun, walaupun kenyataannya tujuan utama petani adalah pemenuhan kebutuhan keluarga yang lebih beragam disamping alasan untuk meningkatkan pendapatan petani. Pola tanam tanaman tahunan yang disisipkan dengan tanaman semusim seperti palawija (jagung, kacang tanah, kedelai dan ubi kayu) umumnya terdapat pada penggunaan lahan kebun. Jenis tanaman tahunan yang umum dijumpai adalah kelapa, jambu mete, nangka, pisang dan tanaman keras seperti sengon dan mahoni walaupun tidak dalam jumlah yang banyak. Lahan tegalan dan kebun sebelumnya merupakan hutan negara yang dialihfungsikan menjadi hutan kemasyarakatan dan hak penggunaannya diberikan kepada petani dengan maksud agar tidak terjadi penebangan liar. Untuk pola tanam tanaman tahunan, jenis tanaman yang ada adalah jati, sonokeling dan sebagian kecil mahoni; pola tanam ini berada pada penggunaan lahan hutan tanaman. Lahan hutan tanaman di wilayah DAS Sape merupakan hutan yang direboisasi oleh pemerintah pada tahun 1989 walaupun sering terjadi penebangan, dan pada tahun 2003 dilakukan penghijauan ulang. Evaluasi Kemampuan Lahan Evaluasi kemampuan lahan dimaksudkan untuk mengetahui potensi dan hambatan dalam penggunaan lahan yang ada di DAS Sape untuk kegiatan

4 42 pertanian secara lestari. Penggunaan lahan yang sesuai dengan kelas kemampuan lahannya merupakan salah satu tindakan konservasi yang tepat karena akan menjamin produktivitas dan kelestarian sumberdaya lahan. Hasil evaluasi dan klasifikasi kemampuan lahan di DAS Sape dijumpai kelas kemampuan II, III, IV dan VI (Tabel 15). Tabel 15 Klasifikasi kemampuan lahan dan faktor penghambat di DAS Sape Lombok Tengah Kelas Kemampuan Faktor Penghambat Satuan Lahan Luas (ha) Lahan II l 1 d 2 Lereng landai & drainase agak baik SL 5a, 6, 22, 10b 610,6 III l 2 Lereng bergelombang SL 10c, 16c, 23, 25a 244,6 III l 2 p 2 Lereng bergelombang & permeabilitas SL 5c, 10a, 25c 291,3 agak lambat III l 2 e 2 Lereng bergelombang & erosi sedang SL 5b, 11a, 11b, ,1 IV l 3 Lereng miring SL 5d, 16b, 16e, 17a, 1355,4 17c 25b, 25d, 25e VI l 4 Lereng agak curam SL 4, 15, 16a, 16d, 16f, 16g, 16h, 17b, 17d, 25f 1.791,1 VI l 4 e 4 Lereng agak curam & erosi yang berat SL 2 70,3 Sumber: Data Primer Diolah Karakteristik setiap kelas kemampuan lahan yang terdapat di lokasi pengamatan intensif dapat diuraikan sebagai berikut: lahan dengan kelas kemampuan II l 1 d 2 (SL 5a, 6, 10b dan 22) pada dasarnya tidak mempunyai faktor penghambat yang besar untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian karena kemiringan lerengnya masih tergolong landai ( 8 %). Tingkat erosi yang terjadi masih tergolong ringan, namun demikian faktor drainase dengan kelas agak baik merupakan penghambat yang bisa mengurangi intensitas penggunaan lahan. Hal ini disebabkan pada satuan lahan ini tekstur tanahnya adalah lempung berdebu dan liat berdebu sehingga kemampuan meloloskan air agak sedikit lambat. Satuan lahan ini tetap memerlukan tindakan konservasi untuk dapat digunakan sebagai lahan pertanian yang intensif; daerah ini cocok untuk usaha tanaman pangan dengan menerapkan teknik konservasi tanah berupa pergiliran tanaman, pemakaian tanaman penutup tanah ataupun mulsa, penanaman dalam strip, pembuatan teras ataupun kombinasi dari teknik-teknik konservasi tersebut. Selain

5 43 itu penambahan bahan organik seperti pemberian pupuk kandang, pupuk hijauan lainnya dapat dilakukan agar produktivitas tanah dapat terus dipertahankan. Lahan dengan kelas kemampuan III l 2 p 2 (SL 5c, 10a dan 25c) mempunyai faktor pembatas lereng yang bergelombang (12 13 %) dan permeabilitas agak lambat. Satuan lahan lahan tersebut belum mempunyai hambatan yang terlalu berat dalam pemanfaatannya untuk pertanian tanaman pangan. Hambatan permeabilitas dapat ditekan dengan penambahan bahan organik dan perbaikan drainase melalui pembuatan bedengan terutama pada pola tanam palawija. Pada lahan dengan kelas kemampuan III l 2 (SL 10c, 16c, 23 dan 25a) memiliki faktor pembatas lereng yang bergelombang (10 15 %); dan kelas III l 2 e 2 ( SL 5b, 11a, 11b dan 14), disamping faktor pembatas lereng yang bergelombang (8 22 %), faktor pembatas erosi dengan tingkat sedang juga merupakan hambatan yang cukup berat. Pada satuan lahan 14, erosi terjadi karena pengelolaan lahannya tidak dilakukan secara baik; pada satuan lahan ini tidak dilakukan pembuatan teras atau guludan, tetapi hanya menerapkan sistem konturing dengan penanaman yang jarang. Untuk memanfaatkan lahan ini diperlukan pengelolaan yang baik melalui pembuatan guludan atau teras, pergiliran tanaman, penanaman dalam strip dan penggunaan tanaman penutup tanah. Pada lahan kelas IV l 3 (SL 5d, 16b, 16e, 17a, 17c 25b, 25d, 25e) terdapat kendala pemanfaatan lahan berupa lereng yang miring (22 35 %). Lahan dengan pembatas seperti ini mempunyai penghambat yang berat dan membatasi pilihan tanaman yang diusahakan. Lahan ini memerlukan pengelolaan yang hati-hati karena mempunyai potensi erosi yang cukup besar. Dengan faktor penghambat ini, pilihan penggunaan lahan dan tanaman menjadi terbatas yaitu untuk budidaya tanaman semusim dan tahunan tetapi tidak intensif yang memerlukan tingkat pengelolaan yang tinggi dan bersifat khusus seperti penerapan teras, rotasi tanaman, konturing, penanaman tanaman penutup tanah, makanan ternak, pupuk hijau ataupun kombinasi dari beberapa teknik konservasi tersebut. Lahan kelas VI l 4 (SL 2, 4, 15, 16a, 16d, 16f, 16g, 16h, 17b, 17d, 25f) mempunyai faktor pembatas lereng yang agak curam (30 45%), satuan lahan ini terletak di bagian hulu DAS Sape dengan penggunaan lahan kebun dan hutan tanaman dengan potensi erosi yang besar. Pada satuan lahan ini, penggunaan

6 44 lahan kebun campuran dengan tajuk yang jarang beresiko tinggi terhadap kelestarian produktivitas lahan. Selain itu penggunaan lahan untuk kebun monokultur dan semak tidak memungkinkan karena sangat berisiko tinggi terjadi erosi. Secara umum, lahan dengan kelas ini tidak cocok untuk usaha pertanian intensif maupun sedang. Namun demikian lahan ini dapat diperuntukkan sebagai hutan alami, hutan produksi, hutan tanaman atau agroforestry disertai dengan perlakuan konservasi secara khusus baik sistem pengelolaan tanah maupun pengelolaan tanamannya. Selain itu untuk lebih meningkatkan fungsi ekonomi, dapat dilakukan penanaman rumput untuk tanaman penutup yang produksinya dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak. Hal ini dimungkinkan karena populasi ternak dan kepemilikan ternak khususnya ternak besar cukup banyak di daerah ini. Untuk lahan dengan kelas kemampuan VI l 4 e 4 (SL 2) mempunyai faktor pengambat yang terberat yaitu lereng yang agak curam (40 %) dan erosi dengan tingkat yang sangat berat. Erosi yang berat ini ditandai dengan tipisnya solum tanah di lapangan yang hanya mencapai 40 cm. Dengan faktor pembatas ini, satuan lahan pada kelas kemampuan lahan ini mempunyai pilihan penggunaan lahan yang sangat terbatas. Evaluasi Penggunaan Lahan Untuk mengetahui kesesuaian penggunaan lahan dilakukan evaluasi penggunaan lahan dan dengan berbagai pola tanam yang ada berdasarkan pedoman intensitas faktor pembatas dan arahan penggunaan lahan yang disesuaikan dengan kelas kemampuan lahan yang dimiliki. Hasil evaluasi penggunaan lahan di DAS Sape disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 menunjukkan bahwa lahan dengan kelas kemampuan II yang digunakan untuk sawah tadah hujan (SL 5a, 6, 22 dan 10b) dapat dikatakan sesuai dengan arahan penggunaan lahannya yaitu kegiatan pertanian intensif. Walaupun demikian penggunaan lahan ini tetap memiliki faktor penghambat yang dapat mengurangi pilihan atau alternatif tanaman yang diusahakan seperti lereng yang landai dan drainase yang agak baik.

7 45 Tabel 16 Hasil evaluasi penggunaan lahan aktual dengan kelas kemampuan lahan di DAS Sape Lombok Tengah KKL Penggunaan Lahan Aktual II Sawah tadah hujan III IV VI Pola Tanam EPL Faktor Penghambat Luas (ha) Pola A (padi gogo palawija) Sesuai Lereng landai, drainase agak baik 564,7 Tegalan Pola A (padi gogo + palawija) Sesuai Lereng bergelombang, erosi sedang dan 1.011,3 permeabilitas agak lambat Kebun Tanaman tahunan + palawija Sesuai Lereng bergelombang dan erosi sedang 210,6 Hutan tanaman Tanaman tahunan Sesuai Lereng miring 149 Tanaman tahunan + Palawija Sesuai Lereng miring 452,6 Kebun Tanaman tahunan + Palawija Sesuai Lereng miring 166,9 Tegalan Palawija + Tanaman tahunan sesuai Lereng miring 236,7 Tanaman tahunan + palawija Tidak sesuai Lereng curam 368,4 Kebun Tanaman tahunan (jarang) + semak Tidak sesuai Lereng curam 548,1 Kebun monokultur (jarang) Tidak sesuai Lereng curam 242,4 Hutan tanaman Hutan alami Sesuai Lereng curam 98,1 Semak Semak dan anakan tegakan pohon Tidak sesuai Lereng curam 83,2 Sawah tadah Pola A (padi gogo palawija) Tidak sesuai Lereng curam dan erosi sangat berat 70,3 hujan Sumber: Data Primer Diolah KKL; kelas kemampuan lahan; EPL: evaluasi penggunaan lahan; Pola A: tumpangsari bersisipan antara padi + jagung//ubi kayu + kedelai/kacang hijau/kacang tanah (Basa, et.al, 1884); Palawija (kedelai, kacang hijau, jagung, kacang tanah, ubi kayu), tanaman tahunan (jati, mete, sengon, mahoni, pisang, mangga, nangka).

8 46 Lahan pada kelas kemampuan III dengan penggunaan lahan tegalan (SL 5b, 5c, 5d, 25c dan 14) masih sesuai dengan arahan penggunaan lahan untuk kelas kemampuan lahan yang dimiliki. Walaupun demikian, pada penggunaan lahan ini masih belum diterapkan praktek konservasi yang memadai; hal ini akan memungkinkan terjadinya erosi yang berakibat pada menurunnya produktivitas lahan. Demikian juga penggunaan lahan kebun yang berada pada kelas kemampuan ini secara umum masih sesuai dengan arahan penggunaan lahan dan kelas kemampuan yang dimiliki walaupun erosi yang terjadi berada pada tingkat yang sedang. Pada lahan dengan kelas kemampuan lahan IV, penggunaan lahan yang dijumpai adalah hutan tanaman, kebun dan tegalan. Secara umum bentuk penggunaan lahan ini telah sesuai dengan potensi pada kelas kemampuan lahannya yaitu pertanian dengan intensitas yang tebatas untuk tanaman semusim. Penggunaan lahan seperti sawah tadah hujan, kebun dan semak tidak sesuai dengan arahan penggunaan untuk kelas kemampuan lahan VI; sedangkan untuk penggunaan lahan hutan pada kelas kemampuan ini sesuai dengan arahan penggunaan lahannya. Lahan dengan kelas kemampuan VI tidak disarankan untuk kegiatan pertanian intensitas sedang ataupun intensif; usaha budidaya dengan sistem monokultur dan tajuk yang jarang pada lahan dengan kelas kemampuan VI akan sangat membahayakan keberlanjutan produktivitas lahan. Secara umum sebanyak 54,4 % penggunaan lahan dengan total luas 1.312,4 ha di DAS Sape masih belum sesuai dengan kemampuan lahan yang dimiliki. Oleh sebab itu untuk mencapai tujuan pertanian yang berkelanjutan di DAS Sape maka harus dilakukan perubahan bentuk penggunaan lahan pada lahan yang tidak sesuai dengan kelas kemampuan lahannya. Penggunaan lahan yang perlu dilakukan perubahan adalah sawah tadah hujan, semak, kebun monokultur serta hutan tanaman dengan semak yang berada pada kelas kemampuan lahan VI. Bentuk perubahan penggunaan lahan yang dapat dilakukan yaitu menjadi hutan ataupun hutan campuran yang merupakan kombinasi tanaman bernilai ekonomi tinggi dengan sistem agroforestry.

9 47 Perencanaan Pertanian Berkelanjutan Untuk mewujudkan pertanian yang berkelanjutan, maka harus dilakukan evaluasi dan prediksi erosi serta analisis usahatani pada pola tanam yang ada. Hal ini di lakukan untuk mengetahui apakah pola tanam yang ada menghasilkan erosi yang lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransi (ETol) serta menghasilkan pendapatan yang tinggi dan mampu menjamin kesejahteraan hidup petani. Prediksi Erosi Hasil prediksi erosi menunjukkan bahwa hampir semua jenis pola tanam di DAS Sape menghasilkan erosi yang lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransi (Tabel 17; Lampiran 21). Gambaran pola tanam yang yang dianalisis untuk prediksi erosi disajikan pada Gambar Curah Hujan (mm) Pola tanam A Agu Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Peng. tanah Padi tadah hujan Kedelai/KH/KT Ubi kayu Tanaman tahunan + palawija Tanaman tahunan Peng. tanah Palawija Tanaman tahunan Tanaman tahunan Kebun monokultur Pisang Gambar 3 Berbagai pola tanam petani di DAS Sape Lombok Tengah

10 48 Tabel 17 Hasil prediksi erosi dan perbandingannya dengan ETol pada berbagai pola tanam di DAS Sape Lombok Tengah Pola Tanam Satuan Lahan Prediksi Erosi (ton/ha/th) ETol (ton/ha/th) Pola tanam A 2, 5a, 5b, 6, 5c, 10a, 10b, 10c, 3,9 420,6 40,2 81,1 11b, 16c 22, 23, 25a, 25c, 25b Tanaman tahunan+palawija-bera 5d, 11a, 14, 16b, 16d, 16e, 16g, 17b, 25d 39,3 649,2 20,2 49,5 Tanaman tahunan (jarang)+ 16a, 16f, 16h, 17a, 17c, 17d, 25f 91, ,7 59,7 semak Pisang monokultur (jarang) 25e 1650,6 34,5 Semak dan anakan tegakan 4 pohon 6584,2 50,5 Hutan alami 15 37,4 53,8 Sumber: Data Primer Diolah Pola A: tumpangsari bersisipan antara padi + jagung//ubi kayu + kedelai/kacang hijau/kacang tanah (Basa, et.al, 1884); Palawija (kedelai, kacang hijau, jagung, kacang tanah, ubi kayu), tanaman tahunan (jati, mete, sengon, mahoni, pisang, pepaya). Prediksi erosi pada penggunaan lahan sawah tadah hujan dan tegalan dengan pola tanam tumpang sari bersisipan antara padi + palawija (Pola tanam A) dan palawija + tanaman tahunan menghasilkan erosi yang lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransi, kecuali pada satuan lahan 5a, 22, 10a, 10b dan 25c. Tingginya prediksi erosi pada pola tanam tersebut lebih disebabkan karena penerapan teknik konservasi yang kurang memadai. Di daerah ini awal musim hujan hujan cenderung terlambat dengan intensitas dan distribusi yang tidak merata; untuk menghemat waktu tanam, petani biasanya melakukan pengolahan tanah dengan cara membongkar sebelum musim hujan. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada pertengahan bulan Oktober hingga akhir bulan Nopember, sehingga pada awal musim hujan lahan dapat langsung ditanam dengan sistem gogo rancah. Akan tetapi dalam aplikasinya teknologi ini sangat beresiko. Dengan dilakukannya pembongkaran tanah maka dekomposisi bahan organik tanah akan lebih cepat dan intensif sehingga kadar bahan organik akan menurun, akibatnya kekuatan ikat antar partikel semakin lemah; akibat selanjutnya adalah butir hujan akan mempermudah dispersi partikel tanah sehingga mempercepat terjadinya erosi. Kondisi ini diperparah oleh karakteristik lahan yang berbukit dan curam serta mempunyai kepekaan tanah terhadap erosi yang cukup tinggi. Selain itu, kurangnya pengetahuan dan pemahaman petani tentang pelestarian sumberdaya lahan serta keterbatasan sumber modal untuk menerapkan tindakan

11 49 konservasi juga menjadi faktor yang berperan terhadap permasalahan erosi yang terjadi. Nilai prediksi erosi pada pola tanam palawija + tanaman tahunan yang diberakan setelah palawija (SL 17b dan 25d) jauh lebih besar dibandingkan erosi yang dapat ditoleransi. Permukaan tanah yang terbuka dalam jangka waktu lama menyebabkan energi kinetik hujan lebih besar, sehingga menyebabkan erosi percikan pada permukaan tanah. Selain itu dengan semakin besarnya kemiringan dan panjang lereng mengakibatkan kecepatan aliran permukaan meningkat sehingga kekuatan air membawa partikel tanah semakin besar. Demikian juga dengan pola tanam tanaman tahunan + palawija, secara umum menghasilkan prediksi erosi yang lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransi. Pada pola tanam ini hanya satuan lahan 16g yang masih mempunyai prediksi erosi yang lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransi. Hal ini karena pengelolaan tanaman dan teknik konservasi tanah yang diterapkan cukup baik, dengan demikian prediksi erosi yang diperoleh lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransi. Pola tanam monokultur (SL 25e) juga mengakibatkan erosi yang lebih besar dari erosi yang dapat ditoleransi. Prediksi erosi yang tinggi terjadi disamping karena faktor kemiringan lahan juga disebabkan karena tanaman yang dibudidaya mempunyai tajuk yang jarang serta tanpa penutup tanah sehingga mengakibatkan air hujan yang lolos dari tajuk tanaman lebih banyak, dengan demikian erosi akan lebih besar. Selain itu pada satuan lahan 25e hanya menerapkan konturing dan teras sederhana sehingga efektivitas dalam menekan laju erosi rendah. Pengelolaan yang tidak intensif pada satuan lahan ini disebabkan karena petani tidak mengetahui jenis komoditas yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sehingga tujuan utama penanaman hanya sebagai tanaman sampingan. Oleh karena itu pola tanam dan agroteknologi yang ada dapat dipertahankan jika pengelolaan tanaman berorientasi intensif dan meningkatkan keragaman tanaman yang diusahakan terutama tanaman yang bernilai ekonomi tinggi. Pola tanam tanaman tahunan + semak, semak dan anakan tegakan pohon (SL 16a, 16f, 16h, 17a, 17c,17d, 25f dan 4) mengakibatkan erosi yang jauh di atas erosi yang dapat ditoleransi. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor panjang dan

12 50 kemiringan lereng (LS) sangat berpengaruh terhadap erosi. Secara umum erosi akan meningkat dengan bertambahnya kemiringan lereng, dan peningkatan ini sifatnya eksponensial (Arsyad, 2000). Selain itu faktor CP juga berpengaruh terhadap besarnya erosi yang terjadi, pada satuan lahan tersebut nilai faktor CP yang dimiliki tergolong tinggi oleh karena sistem pengelolaan tanaman dan teknik konservasi tanah yang diterapkan tidak mendukung untuk menekan laju erosi. Kenyataan ini mengindikasikan bahwa sebagian besar pola tanam dan agroteknologi yang diterapkan petani di DAS Sape Lombok Tengah masih belum memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya lahan sehingga erosi yang terjadi lebih besar dibandingkan dengan erosi yang dapat ditoleransi. Erosi yang timbul menyebabkan penurunan kesuburan tanah. Lapisan tanah yang subur dan berada pada lapisan atas (top soil) akan terbawa oleh aliran permukaan sehingga unsur hara dan bahan organik yang terkandung di dalamnya akan hilang. Hal ini mengakibatkan penurunan produktivitas lahan dan meningkatnya lahan kritis. Dengan demikian pola tanam yang ada tidak dapat dipertahankan, oleh karena itu harus dicari alternatif pola tanam dan agroteknologi yang tidak membahayakan kelestarian sumberdaya lahan. Perubahan dan perbaikan pola tanam serta teknik konservasi yang akan diterapkan dalam bentuk agroteknologi harus sesuai dengan kelas kemampuan lahan serta mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial masyarakat; agroteknologi yang akan direkomendasikan harus dapat memberikan keuntungan dan dapat diterima sesuai dengan tingkat pengetahuan petani yang akan menerapkannya. Untuk pola tanam yang mempunyai tingkat erosi yang lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransi dapat dipertahankan dengan perbaikan agroteknologi sehingga produktivitas lahan dan pendapatan petani meningkat. Penerapan teknik konservasi tanah sangat berperan dalam mencegah terjadinya degradasi lahan. Petani di DAS Sape sebagian besar menyatakan belum memahami faktor utama penyebab kerusakan lahan (72 %) walaupun di lahan mereka telah diterapkan teknologi teras sederhana dan pemberian mulsa. Sebagian besar petani tersebut (84 %) menyatakan bahwa penggunaan teras dilakukan karena sudah turun temurun dan hanya 16 % yang menyatakan bahwa penerapan

13 51 tindakan konservasi tersebut bermanfaat untuk menyimpan air hujan bagi kebutuhan air tanaman. Pola Tanam dan Agroteknologi Alternatif Usahatani Lahan Kering Berdasarkan evaluasi kesesuaian penggunaan lahan yang berpedoman pada kelas kemampuan lahan dan prediksi erosi yang telah dilakukan, maka dapat dirancang pola tanam dan agroteknologi alternatif yang akan diterapkan. Berdasarkan hal ini, alternatif pola tanam yang sesuai dengan tingkat kemampuan lahan harus dapat menghasilkan erosi yang lebih kecil dibandingkan dengan erosi yang dapat ditoleransi. Selain itu agroteknologi alternatif harus dapat diterima dan dilaksanakan oleh petani itu sendiri, menghasilkan pendapatan yang tinggi sekaligus menjamin kesejahteraan petani serta mempunyai sifat berkelanjutan. Dengan demikian akan dapat meningkatkan umur guna lahan dan kelestarian sumberdaya lahan itu sendiri. Dalam perencanaan usahatani lahan kering yang berkelanjutan, terlebih dahulu harus memilih jenis tanaman (tanaman semusim dan tanaman tahunan). Pemilihan jenis tanaman ini harus disesuaikan dengan jenis komoditas yang dikembangkan dan masyarakat tidak asing dengan pilihan alternatif tersebut. Jenis-jenis tanaman semusim yang dipilih adalah padi lokal dan palawija (kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan jagung). Untuk komoditas tanaman tahunan, dipilih tanaman jati, sengon, mahoni, pisang, pepaya, jambu mete dan rumput pakan. Disamping itu dalam menentukan alternatif agroteknologi alternatif yang akan direkomendasikan, dimasukkan pula usaha ternak seperti kerbau, sapi, kambing maupun ayam kampung. Hal ini layak dipertimbangkan karena dari 25 KK yang diwawancarai, semuanya mempunyai ternak peliharaan baik ternak besar ataupun unggas. Rinciannya adalah 32% mengusahakan kerbau, 64% mengusahakan sapi, 44% mengusahakan kambing, 92% memelihara ayam dan 48% memelihara itik. Berdasarkan hasil analisa biofisik dan hasil wawancara intensif terhadap petani responden pada saat survei lapang maka alternatif pola tanam dan agroteknologi yang dibuat harus disesuaikan dengan pola tanam yang telah dikembangkan oleh masyarakat dan masyarakat tidak asing dengan alternatif

14 52 tersebut. Adapun hasil prediksi erosi untuk pola tanam dan agroteknologi alternatif pada lokasi pengamatan intensif disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Perbandingan hasil prediksi erosi dengan ETol pada berbagai pola tanam dan agroteknologi alternatif di DAS Sape Lombok Tengah Prediksi Erosi (ton/ha/th) ETol (ton/ha/th) Pola Tanam dan Agroteknologi CP RKLS Tanaman Pangan A1+mulsa+TBp 0, ,7 63,8 A2+mulsa+TBp 0, ,1 47,4 A3+mulsa+TBp 0, ,5 29,4 Kebun Campuran/Agroforestry Tanaman tahunan (T1) + TGp 0, ,5 59,7 Tanaman tahunan (T2) + TGp 0, ,2 36,2 Tanaman tahunan (T3) + TGp 0, ,1 34,5 Hutan Alami ,1 53,8 Keterangan : A1: padi gogo+jagung//ubi kayu+ kacang tanah, A2: padi gogo+jagung kacang tanah+jagung, A3: padi gogo jagung+kacang tanah - kacang hijau, T1: JT+SG+ rumput pakan, T2: MH+JM+PY+ rumput pakan, T3: JT+JM+pisang, TBp: teras bangku ditanami rumput, TGp: teras gulud dengan tanaman penguat legum, dosis mulsa 2 ton/ha. Pola tanam A mengacu pada hasil penelitian Basa, et.al (1984). Tabel 18 menunjukkan bahwa dengan adanya kombinasi pola tanam yang merupakan modifikasi dari pola tanam aktual disertai penerapan teknik konservasi tanah seperti penggunaan teras (teras bangku dan teras gulud) dengan tanaman penguat dan pemberian mulsa akan menghasilkan kerapatan tajuk tanaman yang tinggi sehingga dapat menurunkan volume dan laju aliran permukaan. Dengan menurunnya limpasan maka laju erosi yang mungkin terjadi dapat berada di bawah erosi yang dapat ditoleransi (< ETol). Penggunaan teras bangku yang disempurnakan dengan penanaman tanaman penguat teras selain mampu menekan laju erosi juga dapat memberikan fungsi konservasi air, dengan demikian air hujan dapat lebih banyak diserap oleh tanah, selain itu dapat menjadi sumber pakan bila tanaman penguat teras yang dipilih dari golongan rumput. Nilai prediksi erosi yang lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransi dipengaruhi oleh kerapatan tajuk tanaman, kerapatan tanaman bawah (tanaman penutup tanah atau rumput) serta adanya seresah pada permukaan tanah sehingga dapat memperkecil terjadinya erosi tanah. Air hujan yang jatuh tidak langsung

15 53 mengenai permukaan tanah akan tetapi tertahan oleh tajuk tanaman. Selain itu erosi juga dipengaruhi oleh kandungan bahan organik tanah yang yang berasal dari pelapukan mulsa yang digunakan sebagai penutup permukaan tanah pada perlakuan konservasi yang diterapkan akan berpengaruh terhadap stabilitas struktur tanah yang menentukan kepekaan tanah terhadap erosi. Menurut Morgan (1979) dalam Hardjowigeno, 2003), tanah-tanah yang mengandung cukup bahan organik umumnya menghasilkan struktur tanah yang mantap sehingga lebih tahan terhadap erosi. Tanah dengan kandungan bahan organik kurang dari 2 % umumnya peka terhadap erosi. Berbagai alternatif pola tanam dan agroteknologi di atas dapat diterapkan pada setiap satuan lahan yang ada berdasarkan kelayakan dan persyaratan kelas kemampuan lahan yang mendukung serta mempertimbangkan bentuk pengunaan lahan dan pola tanam yang telah ada sebelumnya. Untuk penggunaan lahan sawah tadah hujan dan tegalan yang berada pada kelas kemampuan lahan II, III dan IV pola tanam alternatif yang dapat diterapkan terdiri dari pola tanam A1, A2 dan A3. Pola tanam untuk kelompok kebun campuran/agroforestry di susun untuk penggunaan lahan yang berupa kebun campuran dan hutan tanaman. Alternatif ini dipertimbangkan untuk kelas kemampuan lahan III, IV dan VI dengan penggunaan lahan aktual di lapangan berupa kebun, hutan tanaman, semak, pola tanam monokultur dan sawah tadah hujan. Untuk hutan alami pada SL 15 tetap dibiarkan menjadi hutan alami, dengan demikian fungsi konservasinya akan tetap terjaga. Analisis Finansial Usahatani Tanaman Pangan Aktual Analisis finansial usahatani tanaman pangan dilakukan karena usahatani ini mempunyai permasalahan yang kompleks ditinjau dari aspek fisik maupun sosial ekonomi. Analisis finansial usahatani tanaman pangan yang dilakukan untuk pola tanam ini meliputi analisis biaya dan pendapatan yang didasarkan pada perhitungan komponen - komponen biaya dan pendapatan. Analisis finansial usahatani tanaman pangan dilakukan untuk satu musim tanam pada masing-masing pola tanam yang diterapkan oleh petani. Hasil wawancara dan pengamatan di lapangan yang dilakukan di DAS Sape Lombok

16 54 Tengah menunjukkan bahwa tanaman pangan semusim yang umum diusahakan oleh petani responden adalah padi lokal dan palawija (kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu dan jagung). Pola tanam yang umum diterapkan oleh petani responden di DAS Sape Lombok Tengah adalah tumpangsari bersisipan antara padi dan palawija bera. Umumnya petani responden mengkombinasikan usahatani tanaman pangan dengan usaha ternak. Diagram pola tanam yang dianalisis pendapatannya ditampilkan pada gambar 4. Untuk mengetahui total biaya dan pendapatan aktual pada masing-masing pola tanam, maka dilakukan perhitungan biaya produksi (lampiran 22 24; 26), sedangkan ringkasan hasil perhitungan biaya dan pendapatan usahatani yang dipadukan dengan usaha ternak disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Analisis finansial berbagai pola tanam usahatani tanaman pangan aktual di DAS Sape Lombok Tengah KPT Pendapatan Kotor (Rp/KK/thn) Total Biaya (Rp/KK/thn) Pendapatan Bersih Usahatani Usaha ternak (Rp/KK/thn) A 1 T A 2 T A 3 T Sumber: Data Primer Diolah Keterangan: KPT : kode pola tanam, A 1 : padi tadah hujan palawija, A 2 : padi tadah hujan + palawija, A 3 : palawija, T 1: ternak kerbau (3 ekor), T 2 ternak sapi (4 ekor). Tabel 19 secara umum menunjukkan bahwa pendapatan bersih petani di DAS Sape berkisar antara Rp Rp /KK/tahun atau rata-rata Rp per tahun. Pendapatan tertinggi diperoleh pada pola tanam A 1 T 1 pada SL 16c (padi tadah hujan kedelai) yang ditunjang oleh usaha ternak kerbau, sedangkan pendapatan terendah diperoleh pada usahatani dengan pola tanam A 3 T 2 pada SL 11a. Dalam menjalankan usahatani tanaman pangan dan ternak, biaya yang harus dikeluarkan petani setiap tahunnya berkisar antara Rp Rp /KK/tahun. Rendahnya pendapatan petani disebabkan oleh penurunan kualitas lahan akibat erosi yang berdampak langsung pada hasil panen, sehingga keuntungan yang mereka peroleh sangat rendah jika dibandingkan dengan biaya yang telah digunakan untuk mengelola usahataninya. Secara umum, biaya usahatani yang

17 55 terbesar digunakan untuk tenaga kerja dibandingkan dengan kebutuhan biaya untuk saprodi lainnya seperti bibit, pupuk dan obat-obatan pertanian; rata rata mencapai 61,7 % dari total biaya produksi. Hal ini disebabkan karena modal yang dimiliki petani terbatas sehingga dosis penggunaan saprodi pertanian terutama pupuk dan obat-obatan rendah. Penggunaan pupuk untuk usahatani berkisar antara kg/ha atau rata-rata 225 kg/ha untuk urea dan hanya 50 kg/ha untuk TSP. Biaya tenaga kerja sebenarnya sangat besar bagi petani dengan modal terbatas namun karena umumnya tenaga kerja yang digunakan hampir setengahnya bersumber dari tenaga kerja keluarga maka petani tidak terlalu memperhitungkannya. Demikian juga benih/bibit yang digunakan petani pada umumnya merupakan benih yang disisihkan dari hasil produksi musim tanam sebelumnya, sehingga kualitas benih/bibit menjadi kurang baik. Selain itu, luas lahan usaha yang dimiliki juga berpengaruh terhadap pendapatan petani. Dengan rata-rata luas lahan 0,83 ha sebenarnya memungkinkan petani memperoleh tingkat pendapatan yang lebih baik, namun demikian karena pilihan agroteknologi dan pola tanam yang terbatas, maka produksi yang diperoleh tidak maksimal. Standar kehidupan layak diperoleh dari penjumlahan dari standar kebutuhan fisik minimum dan kebutuhan tambahan. Kehidupan layak bagi masyarakat di DAS Sape yang diasumsikan terdiri dari 5 anggota keluarga dapat terpenuhi jika memiliki pendapatan bersih minimal Rp /KK/tahun. Berdasarkan hasil perhitungan pendapatan aktual petani di DAS Sape, tingkat pendapatan saat ini belum mampu menciptakan kehidupan yang layak bagi anggota keluarga. Dengan demikian, usahatani yang ada di wilayah ini tidak layak dipertahankan tanpa adanya perbaikan pola tanam dan agroteknologi. Pola tanam dan agroteknologi yang akan diterapkan harus mampu meningkatkan produktivitas lahan dan meningkatkan pendapatan petani. Selain itu Pola tanam dan agroteknologi yang akan diterapkan harus dapat menekan laju erosi sehingga lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransi. Untuk mencapai pembangunan pertanian berkelanjutan di DAS Sape Lombok Tengah diperlukan optimalisasi pemanfaatan lahan dan sarana produksi usahatani. Usahatani ini memerlukan beberapa bentuk alternatif penggunaan lahan

18 56 dan pola tanam yang sesuai dengan kondisi iklim dan secara ekonomi dapat menguntungkan petani. Alternatif pola tanam yang akan diterapkan ditinjau dari aspek ekologi tidak merusak sumberdaya lahan (tanah dan air) dan dapat berlangsung terus-menerus. Selain itu berdasarkan potensi ternak yang ada, maka pola tanam dan agroteknologi yang akan diterapkan bisa dikombinasikan dengan usaha ternak. Disamping itu kegiatan pengolahan hasil pertanian atau usaha lainnya yang dapat meningkatkan pendapatan petani juga dapat diterapkan Curah Hujan (mm) Agu Sep Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Pola tanam A 1T 1 Peng. tanah Padi tadah hujan Palawija Ternak kerbau Pola tanam A 2T 2 Peng. tanah Padi tadah hujan Palawija Ternak sapi Pola tanam A 3T 2 Peng. tanah Ubi kayu Ternak sapi Gambar 4 Pola tanam tanaman pangan di DAS Sape Lombok Tengah

19 57 Analisis Finansial Usahatani Tanaman Pangan Alternatif Kriteria pembangunan pertanian yang berkelanjutan adalah tingkat pendapatan petani tinggi, agroteknologi yang digunakan bersifat acceptable dan replicable serta tidak menimbulkan degradasi terhadap sumberdaya lahan. Agroteknologi di lahan kering yang ada saat ini sudah banyak, tetapi persoalannya agroteknologi yang diterapkan tersebut tidak selalu mendukung atau mempunyai sifat yang tidak berkelanjutan. Ada agroteknologi yang terlalu mahal untuk diterapkan di tingkat masyarakat secara individu, ada pula agroteknologi yang hanya bisa dimiliki oleh masyarakat secara berkelompok (Sinukaban, 2001). Seperti halnya usahatani yang ada di DAS Sape Lombok Tengah, walaupun sudah bisa menghasilkan selisih antara pendapatan bersih dengan biaya produksi yang positif namun belum mampu untuk menjamin kehidupan keluarga dan meningkatkan usahatani yang ada sekarang. Untuk itu perlu direncanakan pola usahatani tanaman semusim yang mampu menjamin diperolehnya pendapatan yang tinggi tanpa menimbulkan degradasi sumberdaya lahan (Erosi ETol) serta secara sosial dapat diterima oleh masyarakat. Dengan demikian agroteknologi yang dirancang dapat dijadikan pedoman untuk menunjang pertanian berkelanjutan di DAS Sape Lombok Tengah. Dalam menyusun agroteknologi yang akan direkomendasikan, pertimbangan kondisi sosial ekonomi masyarakat sangat diperlukan. Karakteristik sosial masyarakat yang dijadikan pedoman dan diharapkan dapat mendukung tercapainya perencanaan yang optimal di wilayah DAS Sape adalah kondisi ketersediaan tenaga kerja, tingkat pendidikan, mata pencaharian utama serta luas dan status kepemilikan lahan yang ada. Ditinjau dari ketersediaan tenaga kerja di tingkat lokal wilayah DAS Sape, penduduk usia kerja (15 th 49 th) yang berpotensi mencapai 53,3 % (jenis kelamin laki-laki dan perempuan). Demikian juga faktor tingkat pendidikan yang berpengaruh terhadap daya serap dan adaptasi agroteknologi, walaupun secara umum penduduk di wilayah DAS Sape mempunyai tingkat pendidikan rata-rata SD SMP namun tidak menutup kemungkinan untuk bisa dilatih dan diberikan arahan tentang agroteknologi yang akan dikembangkan; terlebih mengingat mata pencaharian utama keluarga di

20 58 wilayah ini adalah sektor pertanian sehingga akan menjadi satu faktor pendorong keberhasilan penerapan agroteknologi. Hasil analisis biaya dan produksi untuk pola tanam alternatif tanaman pangan yang direkomendasikan di DAS Sape Lombok Tengah pada lampiran menunjukkan bahwa pola tanam A1 menghasilkan pendapatan usahatani yang tertinggi untuk luas usaha 1 ha yaitu sebesar Rp , kemudian diikuti oleh pola tanam A3 dan A2 sebesar Rp dan Rp Dengan rata-rata luas lahan 0,83 ha maka pendapatan petani dengan pola tanam ini berkisar antara Rp Rp /KK/ha/tahun. Jika pendapatan pola tanam alternatif ini dibandingkan dengan pendapatan pola tanam aktual, maka penerapan pola tanam alternatif ini cukup layak dikembangkan. Selain itu potensi keberhasilan pola tanam alternatif ini dari segi pemasaran cukup besar; hal ini terlihat dari orientasi produksi produk pertanian dimana 71,7 % ditujukan ke pasar, baik dijual kepada pedagang pengumpul maupun di pasar lokal. Untuk mendapatkan tingkat pendapatan usahatani tanaman pangan seperti di atas, maka diperlukan masukan saprodi yang maksimal untuk menghasilkan produksi yang diinginkan. Optimalisasi saprodi ditekankan pada penggunaan pupuk dengan masukan yang tinggi, yaitu 350 kg urea/ha dan 100 kg TSP/ha. Semua pupuk P dan 1/3 N diberikan waktu tanam dan 2/3 N diberikan 45 hari setelah tanam. Sedangkan pengendalian hama dan penyakit dilakukan apabila terdapat gejala serangan pada tanaman dengan dosis yang dianjurkan oleh stakeholder terkait. Dengan semakin tingginya biaya saprodi maka total biaya lebih meningkat menjadi Rp Rp /ha/tahun. Namun demikian, jika mengacu pada standar kehidupan layak di wilayah DAS Sape maka diperlukan usahatani tambahan untuk mencapai tingkat pendapatan yang lebih dari Rp /KK/tahun. Oleh karena itu untuk menguatkan keberlanjutan pertanian di daerah ini juga ditambahkan usaha ternak (kerbau, sapi, dan ayam kampung). Rekomendasi usaha ternak di daerah ini memungkinkan dilakukan. Hal ini didasarkan pada kepemilikan ternak di tingkat petani yang cukup merata, baik ternak besar maupun unggas. Berdasarkan perhitungan biaya dan pendapatan usahatani ternak alternatif pada Lampiran 30 35, maka UT1 (kerbau dan sapi dengan jumlah 2 dan 3 ekor) dan UT2 (sapi dan

21 59 ayam kampung dengan jumlah 4 dan 20 ekor) menghasilkan pendapatan tambahan yang memungkinkan untuk tercapainya pendapatan yang memenuhi standar kehidupan layak. Besarnya pendapatan bersih untuk masing masing kombinasi ternak ini adalah Rp dan Rp per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak yang dibudidayakan, petani dapat memanfaatkan rumput pakan yang ditanam sebagai tanaman penguat teras dan tanaman penutup pada sistem usahatani agroforestry. Hasil kajian Nulik, et.al (1996) melaporkan dengan jarak tanam 0,6 x 0,8 m pada lahan agroforestry sebagai tanaman penutup tanah, dalam satu hektar lahan dapat ditanami rumpun. Produksi bahan segar per rumpun rumput pakan sebesar 23 kg sehingga total bahan segar yang dapat diperoleh sebesar kg bahan/ha. Kebutuhan pakan berkisar antara % berat badan ternak/hari sehingga untuk 4 ekor kerbau dan sapi bakalan dengan berat badan kg dibutuhkan kg/hari dan meningkat menurut pertambahan berat badan. Dengan asumsi dalam satu hektar lahan luas total teras mencapai 400 m 2, maka total rumpun yang bisa ditanam sebanyak 165 rumpun. Produksi bahan segar yang diperoleh dari rumput yang ditanam di teras sebesar kg bahan untuk setiap 2 bulan dengan interval pemotongan rumput 66,25 kg/hari. Dengan demikian maka masih terdapat kekurangan kebutuhan pakan ternak yang cukup besar. Oleh karena itu untuk memenuhi kekurangannya maka petani dapat mencukupi dari lahan agroforestry yang ada; selain itu pemenuhan kebutuhan pakan ternak juga dapat dipenuhi dari tanaman turi dan gamal yang banyak terdapat dan dibudidayakan di daerah ini. Kegiatan pengolahan hasil pertanian yang meliputi pembuatan kripik singkong dan pembuatan gaplek sebagai bahan pembuatan tepung tapioka juga perlu dikembangkan. Disamping itu usaha industri kapur, warung dan usaha kerajinan lainnya yang sudah ada juga dapat dipertahankan untuk mendukung peningkatan pendapatan keluarga petani. Berdasarkan hasil wawancara, rata-rata pendapatan di luar usahatani keluarga petani mencapai Rp /tahun. Dengan alternatif pola tanam dan agroteknologi untuk tanaman pangan dan usaha ternak di atas, maka dapat di rancang suatu pola tanam yang paling menguntungkan untuk dikembangkan di wilayah DAS Sape Lombok Tengah sehingga produktivitas sumberdaya lahan yang dihasilkan meningkat serta mampu

22 60 meningkatkan pendapatan petani secara berkelanjutan. Hasil analisis pola tanam agroteknologi alternatif setelah disertai dengan usaha tambahan berupa ternak dan usaha lainnya, dapat diketahui tingkat pendapatan keluarga petani di DAS Sape Lombok Tengah selama periode satu tahun yang disajikan pada Tabel 20 berikut. Tabel 20 Hasil analisis pendapatan petani pada berbagai agroteknogi untuk luasan 1 ha di DAS Sape Lombok Tengah Pendapatan Kotor (Rp/KK/Th) KPT Usahatani Ternak Lain- Lain (*) Total Biaya(Rp) Pendapatan Bersih (Rp) A1+UT A2+UT A3+UT Keterangan: KPT : kode pola tanam, A1: padi gogo+jagung//ubi kayu + kacang tanah (mulsa 2 ton/ha)+tbp, A2: padi gogo+jagung kacang tanah+jagung (mulsa 2 ton/ha)+tbp, A3: padi gogo jagung+kacang tanah - kacang hijau (mulsa 2 ton/ha)+tbp, UT1 ternak kerbau dan sapi (2 & 3ekor), UT2: ternak sapi & ayam kampung (4 & 20 ekor), (*): rata-rata pendapatan usaha lain Tabel 20 di atas memperlihatkan bahwa pendapatan petani per luasan usaha 1 ha mengalami peningkatan menjadi Rp Rp /KK/tahun. Sedangkan berdasarkan luasan rata-rata lahan yang dimiliki petani di daerah ini sebesar 0,83 ha, maka pendapatan per tahunnya berkisar antara Rp Rp /KK/tahun. Besarnya pendapatan setelah adanya perubahan pola tanam dan agroteknologi yang dirancang mengindikasikan meningkatnya produktivitas dan pendapatan petani yang cukup berarti dibandingkan dengan pendapatan petani sebelumnya. Pola tanam ini merupakan kombinasi dari sistem tumpang sari dan tumpang gilir dengan disertai perbaikan agroteknologi yang berkaitan dengan penerapan teknik konservasi tanah berupa pemberian mulsa dan penerapan teras bangku yang diperkuat oleh tanaman penguat. Analisis Finansial Agroforestry Analisis finansial untuk menentukan kelayakan budidaya tanaman tahunan yang dikelola dengan sistem agroforestry dapat dilakukan dengan menggunakan BC-R (benefit cost ratio) dan NPV (net present value). Analisa finansial ini mencakup identifikasi biaya yang meliputi biaya investasi dan biaya operasional. Dalam usahatani tanaman tahunan dikenal adanya grace periode (gestation/time

23 61 lag) yaitu rentang waktu dari persiapan tanam sampai tanaman tersebut menghasilkan. Dengan demikian semua jenis pengeluaran yang dikeluarkan pada periode sebelum tanaman menghasilkan digolongkan ke dalam biaya investasi, sedangkan biaya setelah tanaman menghasilkan dikelompokkan sebagi biaya operasi. Biaya-biaya yang diperhitungkan dalam analisa finansial ini terdiri dari pengadaan lahan, peralatan, bibit, pengolahan lahan/pembuatan lubang tanam, penanaman, biaya pupuk dan pemupukan, obat-obatan dan biaya pemeliharaan. Di wilayah DAS Sape, tanaman tahunan yang umum dibudidayakan berupa: jati, sengon dan mahoni yang diselingi dengan tanaman jambu mete dengan usia tanaman berkisar antara 4 5 tahun sehingga masih belum berproduksi. Oleh karena itu untuk menghitung kelayakan usahatani ini digunakan asumsi produksi untuk jenis tanaman dan sistem agroforestry yang sama untuk daerah lain. Sistem agroforestry yang dijadikan perbandingan dalam menetapkan analisis finansial usahatani ini adalah agroforestry di wilayah Bima dengan komoditas utama yang dianalisis adalah jati dan jambu mete. Komposisi pola tanam dan nilai kelayakan usahatani untuk agroforestry di sajikan pada Tabel 21, sedangkan analisa ekonomi agroforestry ditampilkan pada lampiran 38 dan 39. Tabel 21 Analisis finansial berbagai alternatif pola tanam agroforestry di DAS Sape Lombok Tengah Pola Tanam dan BC-R (DF NPV (Rp) Agroteknologi Alternatif 18%) Tanaman tahunan (T1) + TGp 10,5** Tanaman tahunan (T2) + TGp 8,1* Tanaman tahunan (T3) + TGp Keterangan : T1: JT+SG+ rumput pakan, T2: MH+JM+PY+ rumput pakan, T3: JT+JM+pisang, TBp: teras bangku ditanami rumput, TGp: teras gulud dengan tanaman penguat legum *: BC-R untuk jambu mete (BPK Bima), **: BC-R Jati super (BPK Bima, 2004), DF: discount faktor untuk suku bunga bank 18%, NPV (net present value). Dari Tabel 21 di atas dapat diketahui bahwa berdasarkan perbandingan dan asumsi dari produksi agroforestry di wilayah Bima, tingkat kelayakan usahatani untuk dua jenis tanaman tahunan yang utama (jati dan jambu mete) pada tingkat suku bunga 18 % diperoleh BC-R sebesar 10,55 dan 8,15. Sehingga dengan asumsi usia ekonomis 20 tahun untuk jambu mete dan 15 tahun untuk jati super, usahatani tersebut dinilai layak untuk diusahakan (BPK Bima, 2004). Demikian juga jika ditinjau dari nilai NPV yang diperhitungkan untuk 20 dan 15

24 62 tahun, diperoleh NPV untuk jambu mete dan jati sebesar Rp dan Rp Artinya jika dirata-ratakan selama periode tanam masing-masing, untuk tiap tahunnya akan menghasilkan pendapatan sebesar Rp dan Rp Hal ini memberi peluang untuk meningkatkan produktivitas lahan sehingga diperoleh hasil yang lebih tinggi antara lain dengan cara memadukan usaha jambu mete dengan tanaman produktif lain seperti rambutan dan mangga dengan mengacu pada prinsip optimalisasi penggunaan sumberdaya alam secara lestari sesuai dengan kondisi alam setempat. Hal ini dipertegas oleh pendapat Iskandar (2000), bahwa tanaman jambu mete dan jati yang dikelola dengan sistem agroforestry sangat berpotensi untuk di kembangkan di Pulau Lombok, dan dari segi agronomi populasi tanaman yang ada masih bisa ditingkatkan pengembangannya karena faktor agroklimatnya cukup mendukung untuk pengembangan komoditas tersebut. Rekomendasi Pola Tanam dan Agroteknologi Sistem pertanian mengacu pada suatu susunan khusus dari kegiatan usahatani, misalnya budidaya tanaman, peternakan dan pengolahan hasil pertanian yang dikelola berdasarkan kemampuan fisik, biologis dan sosioekonomi serta sesuai dengan tujuan dan kemampuan sumberdaya yang dimiliki oleh petani. Petani umumnya telah memahami dengan sebaik-baiknya mengenai pilihan usahatani yang telah disesuaikan dengan keadaan setempat sehingga sistem pertanian yang serasi telah berkembang dan mampu bertahan dari generasi ke generasi. Kondisi biofisik di DAS Sape Lombok Tengah dapat didasarkan pada erosi yang terjadi sehingga dapat ditentukan berbagai arahan untuk tindakan konservasi atau agroteknologi dan pola tanam. Salah satu kriteria yang digunakan untuk menentukan arahan agroteknologi yang akan diterapkan adalah dengan membandingkan besarnya nilai prediksi erosi yang terjadi (A) dengan erosi yang masih dapat ditoleransikan (ETol). Apabila prediksi erosi lebih besar dari nilai ETol, maka harus ditentukan teknik konservasi yang akan diterapkan untuk mengurangi besarnya erosi yang terjadi. Penentuan teknik konservasi untuk berbagai penggunaan lahan dan pola tanam dilakukan dengan mengevaluasi nilai

25 63 faktor erosi khususnya nilai C dan P, dimana dengan adanya perubahan pola tanam dan penutupan lahan serta penerapan teknik konservasi tanah, maka nilai C dan P dapat diperkecil sehingga nilai prediksi erosi (A) tidak akan melebihi nilai ETol. Dengan berdasarkan nilai P, maka teknik konservasi yang akan diterapkan harus dapat menurunkan erosi dan dapat dilaksanakan oleh masyarakat setempat khususnya kegiatan pertanian pada lahan yang curam, selain itu teknik konservasi juga dipilih berdasarkan kemampuan dan kesesuaian lahan. Pada pola tanam tumpangsari padi + palawija pada SL 5a, 22, 10a, 10b, 25c dan pola tanam tanaman tahunan - palawija (SL 16g) yang mempunyai nilai prediksi erosi lebih kecil dari erosi yang dapat ditoleransi, penerapan sistem tumpang sari yang disertai dengan teras bangku dan mulsa tetap dipertahankan. Tabel 22 menyajikan berbagai rekomendasi pola tanam dan teknik konservasi yang dipilih untuk memperbaiki pola tanam dan agroteknologi yang telah ada di lokasi penelitian, baik dari segi erosi dan pendapatan. Nilai prediksi erosi yang terjadi pada masing-masing pola tanam dapat lebih kecil dari nilai erosi yang dapat ditoleransi bila pengelolaan yang dilakukan disertai dengan penerapan teknik konservasi yang tepat. Selain itu tingkat pendapatan petani mengalami peningkatan yang cukup besar sehingga dapat memenuhi kebutuhan standar hidup layak. Tabel 22 Rekomendasi pola tanam dan agroteknologi di DAS Sape Lombok Tengah (luas lahan 1 ha). Pola Tanam Dan Agroteknologi Alternatif/ Pendapatan Bersih (Rp/tahun) Prediksi Erosi (ton/ha/thn) Etol (ton/ha/thn) Tanaman Pangan A1+mulsa+TBp+UT ,7 63,8 A2+mulsa+TBp+UT ,2 47,4 A3+mulsa+TBp+UT ,5 29,4 Kebun Campuran/Agroforestry NPV (Rp) Tanaman tahunan (T1) + TGp ,6 20,2 Tanaman tahunan (T2) + TGp ,5 59,7 Tanaman tahunan (T3) + TGp ,2 36,2 Hutan Alami tidak dianalisis 6,1 53,8 Keterangan : A1: padi gogo+jagung//ubi kayu + kacang tanah (mulsa 2 ton/ha)+tbp, A2: padi gogo+jagung kacang tanah+jagung (mulsa 2 ton/ha)+tbp, A3: padi gogo jagung+kacang tanah - kacang hijau (mulsa 2 ton/ha)+tbp, UT1 ternak kerbau & sapi (2 & 3 ekor), UT2: ternak sapi & ayam kampung (4 & 20 ekor); T1: JT+SG+ rumput pakan, T2: MH+JM+PY+ rumput pakan, T3: JT+JM+pisang, TBp: teras bangku ditanami rumput, TGp: teras gulud dengan tanaman penguat legum, NPV (net present value).

HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan

HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan Lahan DAS Krueng Peutoe yang luasnya 30.258 ha terdiri atas lima jenis penggunaan lahan, yaitu pemukiman, kebun campuran, perkebunan, semak belukar dan hutan primer. Dari

Lebih terperinci

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA

AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PANGAN DAN HORTIKULTURA BAB VI. PERSIAPAN LAHAN Rizka Novi Sesanti KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL

Lebih terperinci

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng Abstrak Sektor pertanian di Indonesia masih mempunyai peran yang penting, khususnya untuk mendukung program ketahanan

Lebih terperinci

POLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING

POLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING POLA TANAM TANAMAN PANGAN DI LAHAN SAWAH DAN KERING TEKNOLOGI BUDIDAYA Pola tanam Varietas Teknik Budidaya: penyiapan lahan; penanaman (populasi tanaman); pemupukan; pengendalian hama, penyakit dan gulma;

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI

BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI BAB II KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gambaran Umum Lahan Kering Tantangan penyediaan pangan semakin hari semakin berat. Degradasi lahan dan lingkungan, baik oleh gangguan manusia maupun

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 35 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Curah Hujan Data curah hujan yang terjadi di lokasi penelitian selama 5 tahun, yaitu Januari 2006 hingga Desember 2010 disajikan dalam Gambar 5.1. CH (mm) 600 500 400

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring. berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan

PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring. berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan yang dihadapi dalam pengusahaan tanah-tanah miring berlereng adalah erosi. Untuk itu dalam usaha pemanfaatan lahan-lahan bertopografi miring diperlukan kajian yang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat 18 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2006 - Agustus 2006 di wilayah daerah aliran sungai (DAS) Dodokan (34.814 ha) dengan plot pengambilan sampel difokuskan

Lebih terperinci

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor

REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN. Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor REKOMENDASI PEMUPUKAN TANAMAN KEDELAI PADA BERBAGAI TIPE PENGGUNAAN LAHAN Disusun oleh: Tim Balai Penelitian Tanah, Bogor Data statistik menunjukkan bahwa dalam kurun waktu lima belas tahun terakhir, rata-rata

Lebih terperinci

MODEL USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI BERBASIS KONSERVASI DI DAERAH HULU SUNGAI CIKAPUNDUNG

MODEL USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI BERBASIS KONSERVASI DI DAERAH HULU SUNGAI CIKAPUNDUNG MODEL USAHATANI SAYURAN DATARAN TINGGI BERBASIS KONSERVASI DI DAERAH HULU SUNGAI CIKAPUNDUNG (Studi Kasus: Lahan Pertanian Berlereng di Hulu Sub DAS Cikapundung, Kawasan Bandung Utara) Hendi Supriyadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu proses produksi untuk menghasilkan barang yang dibutuhkan manusia, dengan cara budidaya usaha tani. Namun pertumbuhan manusia dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bercocok tanam. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang

I. PENDAHULUAN. bercocok tanam. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor penting bagi perekonomian Indonesia. Hal ini dikarenakan kondisi alam dan luas areal lahan pertanian yang memadai untuk bercocok tanam.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan penduduk yang cukup tinggi di negara sedang berkembang termasuk Indonesia menyebabkan kebutuhan pangan dan lahan pertanian semakin besar. Disamping itu, perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan. Kemampuan lahan yang dikelola akan memberikan. produksi yang berbeda-beda tingkat produktivitasnya.

BAB I PENDAHULUAN. lahan. Kemampuan lahan yang dikelola akan memberikan. produksi yang berbeda-beda tingkat produktivitasnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Faktor produksi utama dalam produksi pertanian adalah lahan. Kemampuan lahan yang dikelola akan memberikan produksi yang berbeda-beda tingkat produktivitasnya. Tanaman

Lebih terperinci

PENDAHULLUAN. Latar Belakang

PENDAHULLUAN. Latar Belakang PENDAHULLUAN Latar Belakang Tanaman kakao sebagai salah satu komoditas andalan subsektor perkebunan Propinsi Sulawesi Tenggara banyak dikembangkan pada topografi berlereng. Hal ini sulit dihindari karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan berkelanjutan mengandung makna bahwa pengelolaan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode USLE

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode USLE BAB III LANDASAN TEORI A. Metode USLE Metode Universal Soil Loss Equation (USLE) merupakan model empiris yang dikembangkan di Pusat Data Aliran Permukaan dan Erosi Nasional, Dinas Penelitian Pertanian,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pelaksanaan Penelitian 1. Waktu dan tempat penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2014 sampai September 2014 di Dukuh Kaliwuluh, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang,

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode MUSLE

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode MUSLE BAB III LANDASAN TEORI A. Metode MUSLE Metode MUSLE (Modify Universal Soil Loss Equation) adalah modifikasi dari metode USLE (Soil Loss Equation), yaitu dengan mengganti faktor erosivitas hujan (R) dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penduduk di Indonesia bergantung pada sektor pertanian sebagai sumber. kehidupan utama (Suparyono dan Setyono, 1994).

I. PENDAHULUAN. penduduk di Indonesia bergantung pada sektor pertanian sebagai sumber. kehidupan utama (Suparyono dan Setyono, 1994). I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang menjadikan sektor pertanian sebagai sektor utama dalam pembangunan perekonomian di Indonesia, karena sekitar 70% penduduk di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya alam terutama sumberdaya lahan dan air, mudah mengalami kerusakan atau degradasi. Pengelolaan sumberdaya lahan dan air di dalam sistem DAS (Daerah Aliran Sungai)

Lebih terperinci

Erosi. Rekayasa Hidrologi

Erosi. Rekayasa Hidrologi Erosi Rekayasa Hidrologi Erosi adalah suatu proses atau peristiwa hilangnya lapisan permukaan tanah atas, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin. Erosi merupakan tiga proses yang berurutan, yaitu

Lebih terperinci

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN

TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN TUGAS TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBER DAYA LAHAN Penanggulangan Kerusakan Lahan Akibat Erosi Tanah OLEH: RESTI AMELIA SUSANTI 0810480202 PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penggunaan Lahan Menurut Lillesand dan Kiefer (1997) penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Penggunaan lahan juga diartikan sebagai setiap

Lebih terperinci

Kemampuan hujan dengan energi kinetiknya untuk menimbulkan erosi pada suatu bidang lahan dalam waktu tertentu (Intensitas Hujan = EI30

Kemampuan hujan dengan energi kinetiknya untuk menimbulkan erosi pada suatu bidang lahan dalam waktu tertentu (Intensitas Hujan = EI30 Persamaan Umum Kehilangan Tanah (Universal Soil Loss Equation) (USLE) (Wischmeier & Smith, 1969) A = R. K. L. S. C. P A = Jumlah Tanah Tererosi (Ton/Ha/Th) R = Jumlah Faktor Erosivitas Hujan (Joule) K

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem,

PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, PENDAHULUAN Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor yang sangat penting bagi perekonomian Indonesia. Berdasarkan luas lahan dan keragaman agroekosistem, peluang pengembangannya sangat besar

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Kabupaten Kerinci 5.1.1 Kondisi Geografis Kabupaten Kerinci terletak di sepanjang Bukit Barisan, diantaranya terdapat gunung-gunung antara lain Gunung

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Sistem pertanian lahan kering adalah merupakan suatu bentuk bercocok tanam diatas lahan tanpa irigasi, yang kebutuhan air sangat bergantung pada curah hujan. Bentuk pertanian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Rakyat dan Pengelolaannya Hutan rakyat adalah suatu lapangan yang berada di luar kawasan hutan negara yang bertumbuhan pohon-pohonan sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan ekosistem alami yang sangat kompleks dan juga merupakan salah satu gudang plasma nutfah tumbuhan karena memiliki berbagai spesies tumbuhan. Selain itu,

Lebih terperinci

Tri Fitriani, Tamaluddin Syam & Kuswanta F. Hidayat

Tri Fitriani, Tamaluddin Syam & Kuswanta F. Hidayat J. Agrotek Tropika. ISSN 2337-4993 Fitriani et al.: Evaluasi Kuanlitatif dan Kuantitatif Pertanaman Jagung Vol. 4, No. 1: 93 98, Januari 2016 93 Evaluasi Kesesuaian Lahan Kualitatif dan Kuantitatif Pertanaman

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. dahulu dihitung faktor-faktor bahaya erosi yang terjadi di Sub DAS Bekala.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. dahulu dihitung faktor-faktor bahaya erosi yang terjadi di Sub DAS Bekala. BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Bahaya Erosi di Sub DAS Bekala Untuk menentukan tingkat bahaya erosi yang terjadi di Sub DAS Bekala maka terlebih dahulu dihitung faktor-faktor bahaya erosi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998)

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Adapun pengertian dari FAO (1976) yang dikutip oleh Sitorus (1998) 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah yaitu : Menurut FAO (dalam Arsyad 1989:206) mengenai pengertian lahan, Lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air,

Lebih terperinci

geografi Kelas X PEDOSFER III KTSP & K-13 H. SIFAT KIMIA TANAH a. Derajat Keasaman Tanah (ph)

geografi Kelas X PEDOSFER III KTSP & K-13 H. SIFAT KIMIA TANAH a. Derajat Keasaman Tanah (ph) KTSP & K-13 Kelas X geografi PEDOSFER III Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami sifat kimia tanah. 2. Memahami vegetasi tanah. 3. Memahami

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR ISI. ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR ISI ABSTRAK... i KATA PENGANTAR... ii DAFTAR ISI... v DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xiii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1 B. Rumusan Masalah... 10 C. Tujuan Penelitian... 10

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN 5.1. Lokasi dan Topografi Kabupaten Donggala memiliki 21 kecamatan dan 278 desa, dengan luas wilayah 10 471.71 kilometerpersegi. Wilayah ini

Lebih terperinci

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa

PEMULSAAN ( MULCHING ) Pemulsaan (mulching) merupakan penambahan bahan organik mentah dipermukaan tanah. Dalam usaha konservasi air pemberian mulsa Apakah mulsa itu? Mulsa adalah sisa tanaman, lembaran plastik, atau susunan batu yang disebar di permukaan tanah. Mulsa berguna untuk melindungi permukaan tanah dari terpaan hujan, erosi, dan menjaga kelembaban,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Penelitian Pembangunan sektor pertanian melalui peningkatan kontribusi subsektor tanaman pangan dan hortikultura merupakan salah satu upaya untuk memperkuat perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan,

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pengelolaan dan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan, karakteristik lahan dan kaidah konservasi akan mengakibatkan masalah yang serius seperti

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 41 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Lahan DAS Ketahun Hulu Das Ketahun Hulu seluas 115.998 hektar terdiri beberapa jenis penggunaan lahan yaitu kebun campuran, hutan primer, hutan sekunder, rawa dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya peningkatan produksi tanaman pangan khususnya pada lahan sawah melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang. Pertambahan jumlah penduduk

Lebih terperinci

KONDISI BEBERAPA KOMPONEN HIDROLOGI PADA TEGAKAN SENGON WURI HANDAYANI DAN EDY JUNAIDI

KONDISI BEBERAPA KOMPONEN HIDROLOGI PADA TEGAKAN SENGON WURI HANDAYANI DAN EDY JUNAIDI KONDISI BEBERAPA KOMPONEN HIDROLOGI PADA TEGAKAN SENGON WURI HANDAYANI DAN EDY JUNAIDI Pendahuluan Sengon merupakan jenis tanaman kayu yang banyak dijumpai di Jawa Barat. Sebagai jenis tanaman kayu fast

Lebih terperinci

TEKNOLOGI USAHATANI KONSERVASI TERPADU KONSEP PEMBANGUNAN BERBASIS KESERASIAN LINGKUNGAN

TEKNOLOGI USAHATANI KONSERVASI TERPADU KONSEP PEMBANGUNAN BERBASIS KESERASIAN LINGKUNGAN TEKNOLOGI USAHATANI KONSERVASI TERPADU KONSEP PEMBANGUNAN BERBASIS KESERASIAN LINGKUNGAN Sudaryono *) Abstrak Sebagian besar sumber daya lahan di Indonesia merupakan lahan kering yang memiliki potensi

Lebih terperinci

V HASIL DAN PEMBAHASAN

V HASIL DAN PEMBAHASAN V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Umum Responden Tingkat pendidikan di Desa Babakanreuma masih tergolong rendah karena dari 36 responden sebagian besar hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SD,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air Kondisi Saat ini Perhitungan neraca kebutuhan dan ketersediaan air di DAS Waeruhu dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply

Lebih terperinci

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH : MOCHAMAD HADI LAB EKOLOGI & BIOSISTEMATIK JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNDIP

KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH : MOCHAMAD HADI LAB EKOLOGI & BIOSISTEMATIK JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNDIP KONSERVASI SUMBERDAYA ALAM DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN OLEH : MOCHAMAD HADI LAB EKOLOGI & BIOSISTEMATIK JURUSAN BIOLOGI FMIPA UNDIP Pengertian Konservasi Konservasi sumber daya alam adalah penghematan penggunaan

Lebih terperinci

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati

POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati POLA PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT PADA LAHAN KRITIS (Studi Kasus di Kecamatan Pitu Riawa Kabupaten Sidrap Sulawesi Selatan) Oleh : Nur Hayati Ringkasan Penelitian ini dilakukan terhadap anggota Kelompok Tani

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga

I. PENDAHULUAN. Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman jagung merupakan salah satu jenis tanaman pangan biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan. Berasal dari Amerika yang tersebar ke Asia dan Afrika melalui kegiatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk

I. PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Beras merupakan bahan pangan yang dikonsumsi hampir seluruh penduduk Indonesia. Perkembangan produksi tanaman pada (Oryza sativa L.) baik di Indonesia maupun

Lebih terperinci

POTENSI LAHAN PERTANIAN BAGI PENGEMBANGAN PALAWIJA DI LAMPUNG

POTENSI LAHAN PERTANIAN BAGI PENGEMBANGAN PALAWIJA DI LAMPUNG POTENSI LAHAN PERTANIAN BAGI PENGEMBANGAN PALAWIJA DI LAMPUNG Oleh: Muchjidin Rachmat*) Abstrak Tulisan ini melihat potensi lahan, pengusahaan dan kendala pengembangan palawija di propinsi Lampung. Potensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kacang tanah adalah salah satu jenis palawija yang dapat ditanam di sawah atau di ladang. Budidaya kacang tanah tidak begitu rumit, dan kondisi lingkungan setempat yang

Lebih terperinci

KAJIAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI GOGO MELALUI PEMANFAATAN LAHAN SELA DI ANTARA KARET MUDA DI KABUPATEN KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU

KAJIAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI GOGO MELALUI PEMANFAATAN LAHAN SELA DI ANTARA KARET MUDA DI KABUPATEN KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU KAJIAN PENINGKATAN PRODUKSI PADI GOGO MELALUI PEMANFAATAN LAHAN SELA DI ANTARA KARET MUDA DI KABUPATEN KUANTAN SINGINGI PROVINSI RIAU BPTP RIAU 2012 PENDAHULUAN Kebutuhan beras sebagai sumber kebutuhan

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah)

STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah) JURNAL ILMU LINGKUNGAN Volume 9, Issue 2: 57-61 (2011) ISSN 1829-8907 STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN LAHAN BERDASAR TINGKAT BAHAYA EROSI (TBE) (Studi Kasus Di Sub Das Sani, Das Juwana, Jawa Tengah) Rathna

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Dari hasil pembahasan dan analisa data diperoleh beberapa kesimpulan dan saran adalah sebagai berikut :

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Dari hasil pembahasan dan analisa data diperoleh beberapa kesimpulan dan saran adalah sebagai berikut : BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Dari hasil pembahasan dan analisa data diperoleh beberapa kesimpulan dan saran adalah sebagai berikut : 5.1 Kesimpulan 1. Sedimen pada Embung Tambakboyo dipengaruhi oleh erosi

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Kentang merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak ditanam oleh petani di Kecamatan Pasirwangi. Namun, pengelolaan usahatani kentang di daerah ini banyak memanfaatkan

Lebih terperinci

Tipe struktur. Tabel Lampiran 2. Kode permeabilitas profil tanah

Tipe struktur. Tabel Lampiran 2. Kode permeabilitas profil tanah Tabel Lampiran 1. Penilaian struktur tanah Tipe struktur Kode Granular sangat halus (very fine granular) 1 Granular halus (fine granular) 2 Granular sedang dan kasar (medium, coarse granular) 3 Gumpal,

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE)

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE) BAB III LANDASAN TEORI A. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE) Metode USLE dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan besarnya erosi untuk berbagai macam kondisi tataguna lahan dan kondisi iklim yang

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE)

BAB III LANDASAN TEORI. A. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE) BAB III LANDASAN TEORI A. Metode Universal Soil Loss Equation (USLE) Metode USLE dapat dimanfaatkan untuk memperkirakan besarnya erosi untuk berbagai macam kondisi tataguna lahan dan kondisi iklim yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu tanaman pangan yang mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia, yaitu dalam penyediaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah

II. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertumbuhan Penduduk dan Dampaknya terhadap Perkembangan Suatu Wilayah Pertumbuhan penduduk adalah perubahan jumlah penduduk di suatu wilayah tertentu pada waktu tertentu dibandingkan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pertanaman Sayuran Lahan sayuran merupakan penggunaan lahan dominan di Desa Sukaresmi Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Tanaman sayuran yang diusahakan antara lain

Lebih terperinci

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam

Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam Perkembangan Potensi Lahan Kering Masam ANNY MULYANI Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (sumber : SINAR TANI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada umumnya mata pencaharian penduduk Indonesia bergerak pada sektor pertanian, sektor ini meliputi aktifitas pertanian, perikanan, perkebunan dan peternakan.

Lebih terperinci

Teknologi Sistem Usahatani Konservasi dan Alat Mesin Pertanian; Yogyakarta, Januari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Teknologi Sistem Usahatani Konservasi dan Alat Mesin Pertanian; Yogyakarta, Januari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 70 DAFTAR PUSTAKA Abdurrachman A, Nugroho K, Sumarmo. 2000. Pengembangan Lahan Kering Untuk Menunjang Ketahanan Pangan Nasional Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Sumberdaya Lahan. Buku I; Cisarua-Bogor,

Lebih terperinci

Bab ini berhubungan dengan bab-bab yang terdahulu, khusunya curah hujan dan pengaliran air permukaan (run off).

Bab ini berhubungan dengan bab-bab yang terdahulu, khusunya curah hujan dan pengaliran air permukaan (run off). BAB VII. EROSI DAN SEDIMENTASI A. Pendahuluan Dalam bab ini akan dipelajari pengetahuan dasar tentang erosi pada DAS, Nilai Indeks Erosivitas Hujan, Faktor Erodibilitas Tanah, Faktor Tanaman atau Faktor

Lebih terperinci

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 5.1. Petani Hutan Rakyat 5.1.1. Karakteristik Petani Hutan Rakyat Karakteristik petani hutan rakyat merupakan suatu karakter atau ciri-ciri yang terdapat pada responden.

Lebih terperinci

INTEGRASI TANAMAN KELAPA SAWIT DENGAN TANAMAN PANGAN JAGUNG DAN UBIKAYU DI LAHAN KERING

INTEGRASI TANAMAN KELAPA SAWIT DENGAN TANAMAN PANGAN JAGUNG DAN UBIKAYU DI LAHAN KERING INTEGRASI TANAMAN KELAPA SAWIT DENGAN TANAMAN PANGAN JAGUNG DAN UBIKAYU DI LAHAN KERING SOETJIPTO PARTOHARDJONO Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Jl. Merdeka 147-Bogor 16111 ABSTRAK SOETJIPTO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya lahan merupakan komponen sumberdaya alam yang ketersediaannya sangat terbatas dan secara relatif memiliki luas yang tetap serta sangat bermanfaat

Lebih terperinci

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI NUSA TENGGARA BARAT

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI NUSA TENGGARA BARAT PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI NUSA TENGGARA BARAT A. MUZANI dan MASHUR Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat, PO Box 1017, Mataram ABSTRAK Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)

Lebih terperinci

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS

VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS VII ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAGUNG MANIS Keberhasilan usahatani yang dilakukan petani biasanya diukur dengan menggunakan ukuran pendapatan usahatani yang diperoleh. Semakin besar pendapatan usahatani

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta Penggunaan Lahan DAS Ketahun Hulu

Lampiran 1. Peta Penggunaan Lahan DAS Ketahun Hulu 81 Lampiran 1. Peta Penggunaan Lahan DAS Ketahun Hulu 81 82 Lampiran 2. Peta Kelas Lereng DAS Ketahun Hulu 82 83 Lampiran 3. Peta Jenis Tanah DAS Ketahun Hulu 83 84 Lampiran 4. Peta Kawasan Hutan DAS Ketahun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bermata

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bermata I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani sehingga sektor pertanian memegang peranan penting sebagai penyedia

Lebih terperinci

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH LOKAL SPESIFIK (Studi Kasus pada DAS Cisadane)

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH LOKAL SPESIFIK (Studi Kasus pada DAS Cisadane) PENINGKATAN PRODUKTIVITAS HUTAN RAKYAT MELALUI PENERAPAN TEKNIK KONSERVASI TANAH LOKAL SPESIFIK (Studi Kasus pada DAS Cisadane) Oleh : Edy Junaidi Balai Penelitian Kehutanan Ciamis ABSTRAK Luasan penggunaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian masih merupakan prioritas pembangunan secara nasional maupun regional. Sektor pertanian memiliki peran penting untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk

Lebih terperinci

MANAJEMEN USAHA TANI PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

MANAJEMEN USAHA TANI PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MANAJEMEN USAHA TANI PADA LAHAN KERING DI KABUPATEN GUNUNG KIDUL DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Pujastuti Sulistyaning Dyah Magister Manajemen, Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Yogyakarta,

Lebih terperinci

PERMASALAHAN dan PENGEMBANGAN IRIGASI LAHAN KERING. di NUSA TENGGARA BARAT PENDAHULUAN

PERMASALAHAN dan PENGEMBANGAN IRIGASI LAHAN KERING. di NUSA TENGGARA BARAT PENDAHULUAN PERMASALAHAN dan PENGEMBANGAN IRIGASI LAHAN KERING di NUSA TENGGARA BARAT PENDAHULUAN Sebagian besar lahan di propinsi NTB berupa lahan kering 1.807.463 ha atau 84% dari luas wilayah NTB (Suwardji, 2004).

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan beras di Indonesia meningkat seiring dengan peningkatan laju

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan beras di Indonesia meningkat seiring dengan peningkatan laju 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan beras di Indonesia meningkat seiring dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk, namun hal ini tidak dibarengi dengan peningkatan kuantitas dan

Lebih terperinci

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG

V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG 57 V. EVALUASI KEMAMPUAN LAHAN UNTUK PERTANIAN DI HULU DAS JENEBERANG 5.1. Pendahuluan Pemenuhan kebutuhan manusia untuk kehidupannya dapat dilakukan antara lain dengan memanfaatkan lahan untuk usaha pertanian.

Lebih terperinci

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN :

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN : Usaha tani Padi dan Jagung Manis pada Lahan Tadah Hujan untuk Mendukung Ketahanan Pangan di Kalimantan Selatan ( Kasus di Kec. Landasan Ulin Kotamadya Banjarbaru ) Rismarini Zuraida Balai Pengkajian Teknologi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropis di Indonesia meliputi areal seluas 143 juta hektar dengan berbagai tipe dan peruntukan (Murdiyarso dan Satjaprapdja, 1997). Kerusakan hutan (deforestasi) masih

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengelolaan lahan berkelanjutan (sustainable land management) adalah pengelolaan lahan secara terpadu berbasis ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan akan pangan dan serat

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Lokasi Geografis

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Lokasi Geografis 33 KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI A. Lokasi Geografis Daerah penelitian terletak di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Kecamatan Imogiri berada di sebelah Tenggara dari Ibukota Kabupaten Bantul.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah DAS Biru yang mencakup Kecamatan Bulukerto dan Kecamatan Purwantoro berdasarkan peraturan daerah wonogiri termasuk dalam kawasan lindung, selain itu DAS Biru

Lebih terperinci

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO

PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO PEMETAAN TINGKAT BAHAYA EROSI BERBASIS LAND USE DAN LAND SLOPE DI SUB DAS KRUENG SIMPO Rini Fitri Dosen pada Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Almuslim ABSTRAK Lahan kering di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Pupuk Kompos Pupuk digolongkan menjadi dua, yakni pupuk organik dan pupuk anorganik. Pupuk

Lebih terperinci

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Secara geografis, lokasi penelitian terletak antara mt dan

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Secara geografis, lokasi penelitian terletak antara mt dan IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Keadaan Umum Lokasi Penelitian (1). Kondisi Geografi Secara geografis, lokasi penelitian terletak antara 526.650 mt dan 9.406.450 mu sampai 527.200

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada

I. PENDAHULUAN. terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Peningkatan jumlah penduduk akan terus menuntut pemenuhan kebutuhan dasar terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada krisis

Lebih terperinci

Panduan konservasi tanah dan air untuk penanggulangan degradasi lahan

Panduan konservasi tanah dan air untuk penanggulangan degradasi lahan Standar Nasional Indonesia Panduan konservasi tanah dan air untuk penanggulangan degradasi lahan ICS 13.020 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii Pendahuluan... iii 1 Ruang

Lebih terperinci

PERAN SERTA TERNAK SEBAGAI KOMPONEN USAHATANI PADI UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI

PERAN SERTA TERNAK SEBAGAI KOMPONEN USAHATANI PADI UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI PERAN SERTA TERNAK SEBAGAI KOMPONEN USAHATANI PADI UNTUK PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI MH. Togatorop dan Wayan Sudana Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor ABSTRAK Suatu pengkajian

Lebih terperinci

Tabel 4.1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman

Tabel 4.1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman IV. Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan HPT Jenis, produksi dan mutu hasil suatu tumbuhan yang dapat hidup di suatu daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu: Iklim Tanah Spesies Pengelolaan

Lebih terperinci

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN

AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN AGROFORESTRY : SISTEM PENGGUNAAN LAHAN YANG MAMPU MENINGKATKAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN MENJAGA KEBERLANJUTAN Noviana Khususiyah, Subekti Rahayu, dan S. Suyanto World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast

Lebih terperinci

PENANAMAN TANAMAN JAGUNG/ System JARWO

PENANAMAN TANAMAN JAGUNG/ System JARWO PENANAMAN TANAMAN JAGUNG/ System JARWO Oleh : Sugeng Prayogo BP3K Srengat Penanaman merupakan proses pemindahan benih kedalam tanah dengan tujuan agar tanaman tumbuh dan berkembang dengan baik. Untuk memperoleh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hortikultura merupakan salah satu sektor pertanian yang memiliki peran penting dalam pembangunan perekonomian di Indonesia. Peran tersebut diantaranya adalah mampu memenuhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah

I. PENDAHULUAN. Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan penting di dunia setelah gandum dan padi. Di Indonesia sendiri, jagung dijadikan sebagai sumber karbohidrat kedua

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lingkungan hidup menyediakan sumberdaya alam bagi kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Lingkungan hidup menyediakan sumberdaya alam bagi kelangsungan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lingkungan hidup menyediakan sumberdaya alam bagi kelangsungan hidup manusia, berupa sumberdaya hutan, tanah, dan air. Antara manusia dan lingkungan hidupnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lahan merupakan sumber daya alam yang strategis bagi segala pembangunan. Hampir semua sektor pembangunan fisik memerlukan lahan, seperti sektor pertanian,

Lebih terperinci

Oni Ekalinda, Reni Astarina dan Anita Sofia Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau Abstrak.

Oni Ekalinda, Reni Astarina dan Anita Sofia Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau   Abstrak. Profil Pengembangan Tanaman Palawija dan Kelembagaan Penunjang di Lokasi Eks Primatani Agroekosistem Lahan Pasang Surut Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau Oni Ekalinda, Reni Astarina dan Anita Sofia

Lebih terperinci