BAB V. Berdasarkan temuan dan pembahasan hasil penelitian di bab-bab sebelumnya. menunjukkan terjawabnya rumusan masalah tersebut.

Transkripsi

1 BAB V Kesimpulan Penelitian ini berangkat dari sebuah rumusan masalah mengenai konstruksi diskursif pengetahuan dan praktek keagamaan Islam Wetu Telu di Lombok. Berdasarkan temuan dan pembahasan hasil penelitian di bab-bab sebelumnya menunjukkan terjawabnya rumusan masalah tersebut. Dengan melihat relasi Wetu Telu dengan masa lalu, sekarang dan proyeksi ke depan menunjukkan bahwa Islam adalah hal yang diskursif. Perubahan kontruksi mengenai Wetu Telu serta penemuan bentuk oleh masyarakat Wetu Telu memperkuat argumentasi peneliti bahwasanya Islam itu diskursif. Dengan kata lain penemuan bentuk atau dialektika Islam tidak akan pernah mencapai titik stagnan namun terus akan berkembang dan terkait dengan konteks ruang dan waktu. Melihat definisi Wetu Telu dan praktiknya membuat peneliti menarik kesimpulan bahwa Wetu Telu lebih dekat dengan falsafah hidup atau aspek kebudayaan. Wetu Telu bukan merupakan keyakinana tersendiri apalagi dilepas relasinya dengan Islam. Secara keyakinan Islam merupakan ruh substantif sedangkan adat sejatinya merupakan pengaplikasian dari pemaknaan masyarakat Wetu Telu terhadap Islam. Karena pada masa awal penyebaran Islam masyarakat menginternalisasinya Islam melalui praktik keseharian mereka. Saat ini masyarakat Wetu Telu telah menerima dan mempraktikkan anasir-anasir ortodoks yang disebarkan oleh Waktu Lima. Praktinya ritual yang bersifat ortodoks telah

2 dipraktikkan sepenuhnya. Sehingga tuduhan sholat tiga kali atau sholat yang diwakilkan sudah tidak relevan lagi untuk dituduhkan kepada Wetu Telu. Pada titik inilah kemudian pentingnya melihat Wetu Telu secara diskursif dan sesuai konteks ruang dan waktu serta struktur yang membentuknya. Dengan demikian ia dapat dipahami secara proporsional tanpa dicabut dari konteks yang membentuknya. Hal inilah yang menjadi permasalahan selama ini, seringkali Wetu Telu dipahami sebagai hal yang fix dan tunggal tanpa dilihat relasinya dengan masa lalu. Maka yang muncul kemudian hanya stigmatisasi dan berujung konfilik. Maka pendekatan Islam sebagai tradisi yang diskursif dalam hal ini dapat menjadi alternatif atas cara pandangan yang berkembang selama ini. Selanjutnya kontruksi diskursif mengenai Wetu Telu sangat terkait erat dengan konteks struktural historis yang menarasikannya. Belanda merupakan pihak sangat bertanggung jawab dalam membentuk narasi mengenai Islam di Lombok. Peneliti juga sepakat bahwa Waktu Lima dan Wetu Telu adalah istilah imajinatif yang diciptakan Belanda dan tidak dikenal sebelum kedatangan Belanda. Naming Waktu Lima dan Wetu Telu inilah kemudian yang menjadi permasalahan utama yang membentuk dualisme Islam di Lombok. Dari kedua istilah inilah muncul konflik dan stigmatisasi atas Wetu Telu. Tidak hanya itu diskursus tersebut menjelma menjadi nalar hegominc oleh pemilik kuasa, baik dalam konteks agama, ekonomi maupun politik. Rezim poltik Orde Baru misalnya mewarisi betul kebijakan Belanda ini dengan memunculkan kontestasi Wetu Telu dan Waktu Lima untuk mempertahankan kekuasaanya. Kata sesat yang ditujukan kepada Wetu Telu sejatinya terkait erat dengan ketakutan Orde Baru terhadap komunisme. Kata

3 sesat inilah kemudian digunakan sebagai kontrol terhadap Wetu Telu agar tidak jatuh ke komunisme. Orde Baru juga memanfaatkan para Tuan Guru untuk kepentingan politiknya. Sehingga konversi keagamaan Wetu Telu pada masa Orde Baru bukan saja persoalan agar Wetu Telu semakin ortodoks tapi juga persoalan objek politik. Dengan terkonversinya Wetu Telu ke Waktu Lima maka secara tidak langsung pemilih Golkar akan semakin banyak. Narasi tentang Wetu Telu dan Waktu Lima ini kemudian menjadi semakin dikenal oleh masyarakat luas dengan adanya serangkaian penelitian, khususnya karya Budiwanti. Celakanya karya tersebut menggunakan terma versus sebagai judul dan secara tidak langsung memapankan dan membenarkan wacana kolonial itu sendiri. Dalam melihat dualisme Islam di Lombok, Budiwanti abai terhadap konteks historis yang membentuknya. Ia abai pula terhadap muatan-muatan kolonial, wacana kekuasaan serta konteks struktur sosial masyarakat Sasak. Terlebih pandangannya cendrung biner ketika membandingkan Wetu Telu dan Waktu Lima. Sehinga ia terkesan melihat dualisme Islam di Lombok sebagai suatu yang terjadi begitu saja karena perbedaan tafsir keagamaan semata. Padahal apa yang muncul mengenai kontruksi dualisme Islam di Lombok saat ini adalah berkaitan erat dengan dimensi historis, terlebih kemudian struktur historis ini berkelid-kelindan dengan wacana kekuasaan. Dengan demikian, terdapat urgensi untuk melihat dualisme Islam di Lombok dalam relasinya dengan masa lalu sehingga akan memunculkan pandangan yang lebih holistik dan bukan justru dualistik.pada titik inilah kemudian penelitian ini menjadi anti-tesis atas karya Budiwanti yang selama ini cendrung biner.

4 Saat ini konflik atas dualisme Islam di Lombok sudah hampir usai dalam arti tidak terjadi lagi kontestasi seperti sebelumnya. Hal ini memberikan peluang bagi Wetu Telu untuk mendefisikan diri mereka dan merebut pemakanaan Wetu Telu. Meski anasir ortodoks telah dipraktikan namun bukan berarti Wetu Telu masuk ke dalam pusaran menjadi Islam yang tunggal ataupun menjadi Waktu Lima. Dimensi lokalitasnya dan identitas sebagai Wetu Telu tetap dipertahankan. Upaya counter discourse-pun dilakukan melalu bergai upaya. Mulai dari relasi sosial dengan outsider hingga melalui medan ilmiah yang sudah lama mengukuhkan stigmatisasi atas mereka. Meski kontestasi telah usai bukan berarti tidak akan muncul kontestasi di masa yang akan datang. Terlebih saat ini muncul pemahaman Islam yang lebih kaku dibandingan dengan Waktu Lima. Meski Waktu Lima lama mengusung ide tentang pembaharuan Islam namun tidak sepenuhnya anti terhadap anasir adat. Sedagkan Waktu Lima Baru saat ini jutsru ingin menghilangkan sepenuhnya apa yang dianggap bukan bagian dari Islam termasuk adat itu sendiri. Jika gerakan purifikasi baru ini semakin menguat, peneliti membayangkan di masa yang akan datang bisa jadi akan muncul konflik dengan bentuk dan manifestasi yang berbeda yang jauh lebih kuat dari sebelumnya. Karena persoalannya tidak lagi masalah prakik keagamaan semata namun terkait dengan persoalan dihapus tidaknya adat itu sendiri. Dalam konteks saat ini dan masa yang akan datang pengaruh modernitas membuat kontruksi pengetahuan mengenai Wetu Telu semakin konfleks. Kata sesat yang semula dilekatkan atas mereka berubah menjadi yang unik. Wetu Telu yang

5 semula dibenci pemerintah justru semakin dirangkul bahkan dianak emaskan. Dengan demikian terjadi pergeseran diskursus mengenai Wetu Telu yang semula bersifat keagaman dan politis menjadi lebih ke ranah kapitalistik. Berbicara mengenai Wetu Telu saat ini menjadi hal yang sangat berdimensi ekonomi, sejauh mana kemudian budaya Wetu Telu dapat dijual' untuk kepentingan pariwisata.

6