BAB I PENDAHULUAN. diskursif (Asad, 2009). Dalam perspektif ini, Islam dan praktek Keislaman dalam

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini mengkaji Islam Wetu Telu dalam masyarakat Sasak Lombok, Nusa Tenggara Barat dengan menggunakan perspektif Islam sebagai tradisi diskursif (Asad, 2009). Dalam perspektif ini, Islam dan praktek Keislaman dalam masyarakat Muslim bersumber pada produksi pengetahuan keagamaan (Islam) yang terbuka terhadap tafsir dan reinterpretasi berdasarkan keterikatan dengan konteks sosiologis masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Perspektif Islam Diskursif berbeda bahkan menjadi anti-tesis terhadap cara pandang essensialis yang melekatkan karakteristik-karakteristik yang kaku dan baku terhadap Islam dan cendrung biner (Said, 1978). Penelitian ini penting mengingat selama ini praktik Islam lokal (Wetu Telu) ditempatkan sebagai ekspresi Islam partikular yang dianggap kurang Islam bahkan menyimpang dari garis besar narasi Islam. Semakin terdesaknya masyarakat Wetu Telu dan streotyping yang tidak berkesudahan tidak terlepas dari cara pandang essensialis tentang Islam yang universal. Pelekatan pencirian yang tidak berimbang dan melepaskan relasinya dengan konteks tertentu menyebabkan dualisme Islam di Lombok seringkali dipahami sebagai suatu yang bersifat kodrati dan apolitis yang terjadi karena perbedaan tafsir keagamaan semata.

2 Dalam penelitian ini justru menunjukkan bahwasanya dualisme Islam di Lombok terkait erat dengan relasi kuasa dimana kategorisasi tersebut dipakai. Itulah mengapa memahami dualisme di Lombok tidak bisa kemudian dilepas dari relasinya dengan masa lalu serta struktur yang membentuknya. Konteks struktur juga menjadi penting untuk dilihat karena sejatinya narasi diskursif selalu berkelindan dengan wacana kekuasaan. Dengan memahaminya secara historis dan relasinya dengan struktur yang membentuknya dapat memberikan cara pandang yang lebih holistik dan tidak menjustifikasi Wetu Telu keluar dari narasi besar Islam. Karena bagaimanapun juga peraktik dan ekspresi Keislaman adalah suatu hal yang diskursif. Dalam hal ajaran Islam memang memiliki dasar teologis yang sama. Akan tetapi ketika ajaran ini hadir ditengah kondisi masyarakat ia akan menemukan bentuk baru dan menyesuaikan diri dengan konteks ruang dan waktu ia berkembang. Sebagai fenomena sosial ia selalu terikat dengan lokalitas kultur yang bersifat partikular dan relatif. Itulah mengapa artikulasi dan ekspresi Keislaman tidak pernah berwajah tunggal, termasuk dalam hal ini perbedaan perspektif dan pemahaman dalam menyerap dan menjalankan ajaran-ajaran Islam. Islam pada masing-masing tempat membentuk karakter baru sesuai dengan sistem tata nilai daerah yang bersangkutan. Hal tersebut menegaskan bahwa Islam yang hari ini dipraktekan oleh Muslim telah membaur dengan kontruksi historis dan penafsiran masyarakat. Sehingga terdapat berbagai macam mazhab ataupun ekspresi Keislaman yang lekat dengan lokalitas kultural. Hanya saja kemudian semakin menguatnya universalisasi Islam saat ini. Sehingga fakta Islam yang hidup

3 diesensialisasi menjadi ketunggalan dengan mengingkari adanya kemungkinan diversifiakasi. Hal ini mengakibatkan mereka yang mempraktikkan Islam dengan lokalitas kulturnya dianggap menyimpang dari narasi besar Islam termasuk diantaranya Wetu Telu. Islam Wetu Telu 1 merupakan varian praktek Keislaman awal yang berkembang di Pulau Lombok dan lekat dengan kebudayaan Sasak sehingga dalam hal praktik keagamaan lekat dengan lokalitas. Hal ini membuatnya berbeda dibandingan dengan praktik Islam pada umumnya di Lombok, atau yang sering disebut sebagai Islam Waktu Lima. 2 Oleh karena itu kedua varian Islam tersebut Wetu Telu dan Waktu Lima telah lama bertentangan dan dipertentangkan, bahkan terjadi kontestasi antara keduanya. Waktu Lima melihat dalam berbagai kepercayaan dan peribadatan Wetu Telu terjadi penyimpangan dan pelanggaran yang fundamental. Sebaliknya bagi Wetu Telu praktik Keislaman mereka tidak ada ubahnya dengan praktik Keislaman pada umumnya, hanya saja terdapat penekanan adat di dalamya. Ketika cara pandang universal ini dibawa ke dalam relasi mayoritasminoritas, seringkali minoritas (Wetu Telu) menjadi korban tafsiran dari mayoritas (Waktu Lima). Acapkali sering terjadi streotyping dan prejudice terhadap Wetu 1 penyebutan Islam dalam terma Wetu Telu merupakan problem yang dilematis, karena secara tidak langsung mengukuhkan dualisme Islam di Lombok. Akan tetapi mengingat diskursus yang berkembang selama ini menganggap Wetu Telu sebagai semapalan Islam orotodoks. Maka mau tidak mau peneliti akan menggunakan istilah Islam Wetu Telu (seharusnya Wetu Telu saja) untuk keperluan analisis. 2. Kedua istilah Islam Sasak (Wetu Telu dan Waktu Lima) dirujuk dari Budiwanti (2000). Dalam hal ini tidak jauh berbeda dengan dikotomi Geertz (1960), Wetu Telu lebih mirip dengan Islam abangan yang sinkretik, Waktu Lima dalam hal ini dapat diartikan sebagai Islam mainstream. Namun Waktu Lima tidaklah seperti Islam santri seperti pemahaman Geertz. Terma ini juga dilematis karena tidak jelas merujuk ke kelompok Islam tertentu.

4 Telu oleh Waktu Lima. Klaim kebenaran merupakan hal yang sering dilontarkan oleh kelompok Waktu Lima yang mengklaim sebagai bagian dari Islam yang universal dan murni. Hal inilah yang mendorong pandangan yang cendrung ekslusif dan cendrung melakukan pembedaan terhadap apa yang diluar Waktu Lima untuk menyatakan kebenaran tafsir terhadap ajaran yang lain. Inilah yang mewarnai realita (dualisme) Keislaman di Lombok. Bahkan penafsiran Waktu Lima didukung pula oleh pemerintah. Ketika dominasi tafsir Waktu Lima berkolaborasi dengan pemerintah, maka dengan mudah tercipta frame beragama, terhadap Wetu Telu. Frame yang terbentuk dalam hal ini adalah tuduhan bahwa ajaran Wetu Telu adalah belum sempurna. Bahkan seringkali orang pada umumnya melihat Wetu Telu berdasarkan frame dari Waktu Lima, bukan justru dari tafsir Wetu Telu sendiri. Akibatnya pandangan pada umumnya melihat Wetu Telu sebagai Islam yang tidak sempurna atau bahkan sesat. Stigma teologis Wetu Telu sebagai Islam yang menyimpang, sistem kepercayaan Wetu Telu terus ditekan untuk menyesuaikan diri dengan praktik praktik Islam universal salah satunya melalui dakwah. Dalam kasus Bayan, Budiwanti (2000) mengungkapkan tentang kesesuaian kebijakan pemerintah dengan proyek dakwah yang dikembangkan pesantren melalui transimigrasi lokal di Bayan. 3 Padahal tanah merupakan hal yang sangat krusial bagi masyarakat Wetu Telu, karena berkaitan erat dengan kepercayaan mereka. Para pendatang yang tidak 3 Pemerintah daerah Provinsi NTB pernah melakukan program transimigrasi lokal di daerah Bayan. Namun yang menjadi kontradiksi adalah pemilihan Bayan sebagai daerah transimigrasi mengingat Bayan merupakan daerah yang telah lama didiami oleh penganut Wetu Telu. Di lain sisi Sumbawa jauh lebih memungkinkan untuk dijadikan tempat transimigrasi, mengingat banyak lahan yang masih kosong bila dibandingkan dengan Bayan.

5 terikat secara kultural dengan tanah Bayan, perlakuan serta penghargaan terhadap mitos dan ritus Wetu Telu tentu sangat berbeda. Bahkan hal tersebut dianggap melanggar tauhid. Hal ini menyebabkan secara langsung maupun tidak langsung, adanya transimigrasi menyebabkan banyaknya mitos dan ritus Wetu Telu terancam punah (Umam, et al., 2006). Kenyataan gentir inilah yang dihadapi Wetu Telu, ia tidak hanya terjebak dalam ranah teologis semata, namun ia terjebak secara fisik dengan semakin terpinggirnya wilayah pemukiman mereka karena arus transimigrasi. Sehingga Wetu Tidak secara sosial tidak hanya terjepit dalam hal stigmatisasi namun mereka juga terjepit dalam arti fisik. Adanya peran negara dalam menekan Wetu Telu menunjukkan bahwa dualisme Islam di Lombok memiliki dimensi politis. Artinya kemudian dualisme Islam Sasak bukanlah murni persoalan perbedaan tafsir dan perbedaan praktik keagamaan. Karena bagaimanapun juga baik Wetu Telu maupun Waktu Lima berangkat dari konteks kultural yang sama. Pada Waktu Lima yang mengusung Islam ortodoks sekalipun sejatinya memiliki anasir-anasir lokal yang masih dipercayai dan dijalankan. Baik dalam mitos ataupun praktik keagamaan. Bebera ritual keagamaan misalnya, seperti ngurisang, sunatan, sikir dan lain sebagainya diparktikkan oleh Waktu Lima meski dilakukan dengan cara yang berbeda. Hal yang perlu digaris bawahi kemudian hal tersebut sejatinya bersumber pada lokalitas itu sendiri. Begitu pula dalam Wetu Telu meski sangat bersifat lokal bukan berarti anasir ortodoks tidak ada di dalamnya. Pada praktiknya ada muatan-muatan nilai yang dimiliki Wetu Lima yang juga dianut kalangan Wetu Telu. Penggunaan doadoa berbahasa Arab yang diambil dari al-quran dan para Kiai yang menjalankan

6 peran sebagai imam, merupakan anasir penting keprcayaan Wetu Telu yang diambil dari Islam orotodoks. Dimasukkannya ayat-ayat al-quran dalam praktik-praktik keagamaan Wetu Telu merupakan kualitas esoterik yang bagaimana pun juga, tidak mengubah secara substansial bentuk-bentuk animistik dan antropomorpismenya (Budiwanti, 2000). Raden Gedarip 4 pemangku adat Karangsalah, Bayan juga mengatakan Islam Wetu Telu tidak berbeda dengan Islam yang biasa diamalkan oleh umat Islam di seluruh dunia. Wetu Telu hanya soal ajaran, bagaimana masyarakat Bayan hidup berdasarkan tiga hal, tapi tetap berpegang teguh pada ajaran Al Quran dan Hadis Nabi. Maka dapat dikatakan bahwa diskursus yang terus direproduksi terkait dualisme Islam Sasak selama ini adalah produk kontestasi politik, struktur dan terkait juga dengan wacana kuasa. Jika ditelusuri secara historis, munculnya pembedaan atas Islam di Lombok sejatinya diperkenalkan oleh Belanda ketika menguasai Lombok 5. Belanda tidak hanya datang untuk menguasai sumberdaya Lombok tapi ia juga hadir untuk menuliskan tentang Islam Sasak. Belanda-lah yang pertama kali melakukan serangkain studi tentang fenomena Islam di Lombok serta melakatkan ciri pembeda antar kedua Islam tersebut. Melalui para sarjana 4 Raden Gedarip merupakan Pembekel Karang Salah, Dengan umur yang cukup sepuh dan posisnya yang penting dalam struktur lembaga adat membuatnya selalu menjadi rujukan para peneliti yang melakukan riset di Bayan baik peneliti dalam ataupun luar negeri. Bahkan Raden Gedarip juga mengaku jika lembaga adat mempercayainya untuk menjelaskan Wetu Telu kepada yang menanyakan. Dapat dikatakan bahwa Raden Gedarip sebagai representasi Wetu Telu. Sehingga dalam penelitian ini banyak mengutip pernyataan dari Raden Gedarip. Dengan catatan tidak justru menjadikannya informan tunggal. 5 Hal ini masih menjadi perdebatan oleh para peneliti maupun masyarakat. Barthelomew menggambarkan bahwa perdebatan ini memunculkan saling cemooh dikalangan peneliti. Namun peneliti cendrung sepakat bahwa narasi tentang dualisme Islam di Lombok adalah bagian dari narasi kolonial.

7 Belanda sepakat untuk membedakan apa yang sekarang dianggap sebagai dua perbedaan tipe Islam di Lombok. Mereka mengidentifikasi pengikut sinkretis Wetu Telu dan pengikut Islam ortodoks Waktu Lima yang bertolak belakang satu sama lain (Bartholomew, 2001). Dengan mengukuhkan perbedaan antar Muslim di Lombok jelas akan memunculkan kontestasi antar keduanya, dan menyebabkan konflik yang berkepanjangan. Sehingga hemat peneliti narasi tentang dualisme Islam adalah bagian dari upaya untuk memecah belah Muslim di Lombok dan peneliti juga cendrung sepakat bahwa pembedaan Islam di Lombok sejatinya adalah bagian dari narasi kolonial 6. Narasi ini kemudian berlanjut dalam bentuk dan manifestasi yang berbeda pasca kepergian Belanda. Ada indikasi pula bahwa rezim politik Orde Baru mengadopsi konsep dualisme Islam ini untuk kepentingan politiknya. Namun dewasa ini terjadi pergeseran diskursus mengenai Wetu Telu yang semula lebih kepada ranah teologis berubah ke ranah politik dan ekonomi. Hal ini terlihat jelas dengan dijadikannya Desa Bayan sebagai daerah pariwisata dan baru-baru ini Masjid Bayan Beleq 7 dijadikan sebagai objek wisata halal 8. Suatu yang selama ini dokontruksikan sebagai yang sesat kemudian justru saat ini dikontruksikan menjadi hal yang bernilai ekonomi. Hal ini secara langsung ataupun tidak langsung menggiring mereka kepada pilihan menyesuaikan diri atau tertepikan sebagai 7 Masjid ini merupakan masjid tertua di Lombok dan masih berdiri hingga sekarang. Masjid ini telah lama menjadi kawasan wisata religi. 8 Dalam acara launching Wisata Halal yang dilaksanakan oleh ASITA NTB yang pada waktu itu peneliti hadiri, disebutkan bahwa Masjid Bayan Beleq akan menjadi obyek wisata dalam paket wisata yang mereka sediakan.

8 masyarakat yang tertinggal zaman. Ketiga hal tersebut mengakibatkan masyarakat Wetu Telu secara sosial-kultural semakin tertepikan dari dinamika sosial masyarat Lombok. Mereka yang masih bertahan dengan sistem kepercayaan Wetu Telu kian terpencil dari komunitas besar etnis Sasak ditambah pula adanya stigma sebagai Islam yang sesat atau bahkan dianggap tertinggal zaman. Mereka yang tersisa kini tinggal memusat dibeberapa kawasan pedalaman Lombok Utara, tepatnya di Bayan. Berangkat dari argumentasi di atas maka penelitian ini dimaksudkan untuk melihat diskursus tentang Wetu Telu dengan pendekatan Islam diskursif. Penelitian ini tidak melihat Islam sebagai suatu yang fix ataupun baku, namun melihatnya sebagai suatu yang relasional dengan konteks tertentu. Penelitian ini hendak melihat konteks kelahiran pembedaan Islam di Lombok, serta mengkaji perkembangan diskursus mengenai Wetu Telu dalam konteks terdahulu, konteks sekarang dan dikaitkan dengan masa yang akan datang. Penelitian ini tidak bermaksud untuk mengadili masyarakat Wetu Telu berdasarkan ortodoksi Islam mainstream di Indonesia namun lebih menekankan observasi dan analisis sosiologis tentang Islam di Lombok