BAB II LANDASAN TEORI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI II.A. Kesepian Pada bab sebelumnya, telah diberikan beberapa penjelasan mengenai kesepian. Dikatakan bahwa kesepian dapat dirasakan oleh setiap individu, kapan saja dan dalam keadaan tertentu. Namun tentu saja setiap individu memiliki perbedaan dalam mengungkapkan ataupun mengekspresikan kesepian yang dirasakannya, pada waktu maupun situasi yang berbeda-beda pula. Pada bab ini akan dibahas lebih lanjut mengenai kesepian yang mencakup beberapa hal seperti: pengertian kesepian, penyebab kesepian, tipe-tipe kesepian, perasaan kesepian, karakteristik orang yang kesepian, dan reaksi terhadap kesepian. II.A.1. Pengertian Kesepian Berikut ini ada beberapa teori yang digunakan untuk mendefinisikan kesepian, diantaranya adalah: Menurut Perlman & Peplau (dalam Brehm, 2002): Loneliness defined as a feeling of deprivation and dissatisfaction produced by a discrepancy between the kind of social relations we want and the kind social relations we have. Dalam Baron dan Byrne, (2000) dikatakan bahwa kesepian adalah reaksi emosional dan kognitif untuk mencapai hubungan yang memuaskan. Kesepian terjadi ketika adanya ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan seseorang dan 16

2 kenyataan dari kehidupan interpersonalnya, dimana seseorang menjadi sendiri dan kesepian (Burger, 1995). Selanjutnya, kesepian akan disertai oleh berbagai macam emosi negatif seperti depresi, kecemasan, ketidakbahagiaan, ketidakpuasan, menyalahkan diri sendiri (self blame) (Anderson, 1994) dan malu (Jones, Carpenter dan Quintana, 1985). Deaux, Dane & Wrightsman (1993) menyimpulkan ada tiga elemen dari definisi kesepian yang dikemukakan oleh Peplau dan Perlman, yaitu: 1. Merupakan pengalaman subjektif, yang mana tidak bisa diukur dengan observasi sederhana 2. Kesepian merupakan perasaan yang tidak menyenangkan 3. Secara umum merupakan hasil dari kurangnya/terhambatnya hubungan sosial. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesepian adalah suatu pengalaman subjektif dan perasaan yang tidak menyenangkan disebabkan adanya ketidaksesuaian antara hubungan sosial yang diharapkan dengan kenyataan kehidupannya yang kemudian disertai dengan emosi negatif seperti kecemasan, ketidakbahagian, ketidakpuasan, menyalahkan diri sendiri, malu dan depresi. II.A.2. Penyebab Kesepian Menurut Brehm (2002) ada empat hal yang menyebabkan seseorang mengalami kesepian, yaitu: 17

3 a. Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki seseorang Menurut Brehm (2002) hubungan seseorang yang tidak adekuat akan menyebabkan seseorang tidak puas akan hubungan yang dimiliki. Ada banyak alasan seseorang merasa tidak puas dengan hubungan (relationship) yang tidak adekuat. Rubenstein dan Shaver (1982, dalam Brehm 2002) menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang yang kesepian sebagai berikut: i. Being unattached: tidak memiliki pasangan, tidak memiliki partner seksual, berpisah dengan pasangan atau kekasih. ii. Alienation: merasa berbeda, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan dan tidak memiliki teman dekat. iii. Being alone: pulang ke rumah tanpa ada yang menyambut, selalu sendiri. iv. Forced isolation: dikurung di dalam rumah, dirawat inap di rumah sakit, tidak bisa kemana-mana. v. Dislocation: jauh dari rumah (merantau), memulai pekerjaan atau sekolah baru, sering pindah rumah, sering melakukan perjalanan. Dua kategori pertama dapat dibedakan menurut tipe kesepian dari Weiss yaitu isolasi emosional (being unattached) dan isolasi sosial (alienation). Kelima kategori ini juga dapat dibedakan berdasarkan penyebabnya yaitu being unattached, alienation dan being alone disebabkan oleh karakteristik individu yang kesepian, sedangkan forced isolation dan dislocation disebabkan oleh karakteristik orang-orang yang berada di sekitar lingkungan individu yang merasa kesepian. 18

4 b. Terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan Menurut Brehm (2002) kesepian juga dapat muncul karena terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan. Pada saat tertentu hubungan sosial yang dimiliki seseorang cukup memuaskan, sehingga orang tersebut tidak mengalami kesepian. Tetapi di saat lain hubungan tersebut tidak lagi memuaskan karena orang itu telah merubah apa yang diinginkannya dari hubungan tersebut. Menurut Peplau (dalam Brehm, 2002), perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber, yaitu: i. Perubahan mood. Jenis hubungan yang diinginkan seseorang ketika sedang senang akan berbeda dengan jenis hubungan yang diinginkan ketika sedang sedih. Bagi beberapa orang akan cenderung membutuhkan orangtuanya ketika sedang senang dan akan cenderung membutuhkan teman-temannya ketika sedang sedih. ii. Usia. Seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan seseorang membawa berbagai perubahan yang akan mempengaruhi harapan atau keinginan (desire) orang itu terhadap suatu hubungan. Jenis persahabatan yang cukup memuaskan ketika seseorang berusia 15 tahun mungkin tidak akan memuaskan ketika orang tersebut berusia 25 tahun. iii. Perubahan situasi. Banyak orang tidak mau menjalin hubungan emosional yang dekat dengan orang lain ketika mereka sedang membina karir. Namun, ketika karir sudah mapan orang tersebut akan dihadapkan pada 19

5 kebutuhan yang besar akan suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional. Jadi, menurut Brehm (2002) pemikiran, harapan dan keinginan seseorang terhadap hubungan yang dimiliki dapat berubah. Jika hubungan yang dimiliki orang tersebut tidak ikut berubah sesuai dengan pemikiran, harapan dan keinginannya maka orang itu akan mengalami kesepian. c. Self-esteem dan causal attribution Kesepian berhubungan dengan self-esteem yang rendah. Orang yang memiliki self-esteem yang rendah cenderung merasa tidak nyaman pada situasi yang berisiko secara sosial (misalnya berbicara di depan umum dan berada di kerumunan orang yang tidak dikenal). Dalam keadaan seperti ini orang tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial tertentu secara terus-menerus akibatnya akan mengalami kesepian. Menurut Peplau (Brehm, 2002) bagaimana seseorang mengatribusikan penyebab kesepiannya (causal attribution) dapat membuat kesepian orang tersebut semakin kuat (intens) dan menetap. Orang yang percaya bahwa kesepian yang dialaminya berasal atau disebabkan oleh dirinya sendiri akan membuat kesepian yang dialaminya semakin kuat dan cenderung menetap. Atribusi internal seperti ini akan membuat orang tersebut mengalami depresi, menghambat orang tersebut untuk bertemu dan menjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini akan membuat kesepiannya semakin meningkat. 20

6 d. Perilaku interpersonal Perilaku interpersonal seseorang yang kesepian akan menyelidiki orang itu untuk membangun suatu hubungan dengan orang lain. Dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kesepian, orang yang mengalami kesepian akan menilai orang lain secara negatif, mereka tidak begitu menyukai dan mempercayai orang lain, menginterpretasikan tindakan dan intensi (kecenderungan untuk berperilaku) orang lain secara negatif, dan cenderung memegang sikap-sikap yang bermusuhan (hostile). Orang yang kesepian cenderung terhambat dalam keterampilan sosial, cenderung pasif bila dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kesepian dan ragu-ragu dalam mengekspresikan pendapat di depan umum. Orang yang kesepian cenderung tidak responsif dan tidak sensitif secara sosial. Orang yang kesepian juga cenderung lambat dalam membangun keintiman dalam hubungan yang dimilikinya dengan orang lain. Perilaku ini akan membatasi kesempatan orang itu untuk bersama dengan orang lain dan memiliki kontribusi terhadap pola interaksi yang tidak memuaskan (Peplau & Perlman, Saks & Krupart, dalam Brehm, 1992). Ii.A.3. Tipe-tipe Kesepian Menurut Meer (dalam Newman & Newman, 2006), perasaan kesepian dapat dibagi kedalam 3 kategori yaitu: transient, situational dan chronic. 21

7 a. Transient Loneliness, menghabiskan waktu yang pendek dan fase, seperti ketika mendengarkan sebuah lagu atau ekspresi yang mengingatkan pada seseorang yang dicintai yang telah pergi jauh. b. Situational Loneliness, merupakan perasaan kehilangan yang terjadi tibatiba, seperti pindah ke kota yang baru. c. Chronic Loneliness, menghabiskan waktu yang panjang dan tidak dapat dihubungkan dengan stressor yang spesifik. Orang yang mengalami chronic loneliness bisa saja berada dalam kontak sosial namun mereka tidak memperoleh tingkat intimasi dalam interaksi tersebut dengan orang lain (Berg & Peplau, 1982). Sebaliknya, mereka yang kemampuan sosialnya tinggi, yaitu meliputi mampu bersahabat, kemampuan komunikasi, kesesuaian perilaku nonverbal dan respon terhadap orang lain, memiliki sistem dukungan sosial yang lebih baik dan tingkat kesepian yang rendah (Rokach, Bacanli & Ramberan, 2000). Selanjutnya, Weiss (dalam Brehm & Kassin, 1993) mengatakan bahwa ada dua jenis kesepian: a. Social isolation, dimana seseorang yang menginginkan hubungan sosial tetapi tidak memiliki jaringan teman-teman atau kerabat. b. Emotional isolation, yaitu seseorang yang menginginkan suatu hubungan yang mendalam (intens), tetapi tidak memiliki hubungan dengan sedikit orang atau dengan satu orang secara mendalam. 22

8 II.A.4. Perasaan Kesepian Ketika kesepian individu merasa dissastified (tidak puas), deprived (kehilangan), dan distressed. Namun, hal ini tidak berarti bahwa perasaan ini sama di setiap waktu. Faktanya, orang-orang yang berbeda bisa saja memiliki perasaan kesepian yang berbeda dalam situasi yang berbeda pula (Lopata, 1969 dalam Brehm, 2002). Berdasarkan survey mengenai kesepian yang dilakukan oleh Rubeinstein, Shaver & Peplau (1979, dalam Brehm 2002) menguraikan empat jenis perasaan yang dialami oleh orang yang kesepan, yaitu desperation, impation boredom, selfdeprecation, dan depression. Pembagiannya dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 1 Empat Jenis Perasaan Ketika Kesepian Desperation Impatient Boredom Self-Deprecation Depression Putus asa Tidak sabar Tidak atraktif Sedih Tidak berdaya Bosan Terpuruk Depresi Takut Berada ditempat lain Bodoh Hampa Tidak punya harapan Kesulitan Malu Terisolasi Merasa Ditinggalkan Marah Merasa tidak aman Menyesali diri Mudah mendapat Tidak dapat Melankolis kecaman, kritik berkonsentrasi Mengasingkan diri Berharap memiliki seseorang yang spesial Sumber: Rubeninstein, Shaver & Peplau (dalam Brehm 2002 hal 399) a. Desperation, yaitu perasaan yang sangat menyedihkan, mampu melakukan tindakan yang nekat, disertai dengan indikator perilaku yaitu putus asa, tidak berdaya, takut, tidak punya harapan, merasa ditinggalkan serta mudah mendapat kecaman dari orang lain. 23

9 b. Impatient Boredom, yaitu rasa bosan yang tidak tertahankan, jenuh, tidak suka menunggu lama, dengan indikator perilaku seperti tidak sabar, ingin berada di tempat lain, kesulitan menghadapi suatu keadaan, sering marah, serta tidak dapat berkonsentrasi. c. Self-Deprecation, yaitu perasaan dimana seseorang mengutuk serta menyalahkan diri sendiri, tidak mampu menyelesaikan masalahnya, dengan indikator perilaku seperti tidak atraktif, terpuruk, merasa bodoh, malu, serta merasa tidak aman. d. Depression, menurut Davison (2004) merupakan tahapan emosi yang ditandai dengan kesedihan yang mendalam, perasaan bersalah, menarik diri dari orang lain, kurang tidur, dengan indikator perilaku dari Brehm (2002) yaitu, sedih, tertekan, terisolasi, hampa, menyesali diri, mengasingkan diri, serta berharap memiliki seseorang yang spesial. II.A.5. Karakteristik Orang yang Kesepian Menurut Myers (1999) orang yang kesepian secara kronis kelihatan terjebak di dalam lingkaran setan kegagalan diri dalam kognisi sosial dan perilaku sosial. Orang yang kesepian memiliki penjelasan yang negatif terhadap depresi yang dialami, menyalahkan diri sendiri atas hubungan sosial yang buruk dan berbagai hal yang berada di luar kendali (Anderson & Snodgrass, dalam Myers, 1999). Lebih jauh lagi orang yang kesepian menerima orang lain dalam cara yang negatif (Jones, Wittenberg & Reis, dalam Myers, 1999). Pandangan negatif tersebut akan mempengaruhi keyakinannya dan akan menyebabkan orang yang 24

10 mengalami kesepian kehilangan kepercayaan sosial dan menjadi pesimis terhadap orang lain, yang justru akan menghambatnya dalam mengurangi kesepian mereka (Myers, 1999). Orang yang kesepian cenderung menjadi self-conscious dan memiliki self esteem yang rendah (Cheek, Melcior & Vaux, dalam Myers, 1999). Ketika berbicara dengan orang asing, orang yang kesepian lebih banyak membicarakan diri sendiri dan menaruh sedikit ketertarikan terhadap lawan bicaranya. Setelah pembicaraan selesai biasanya kenalan baru tersebut memberi kesan yang negatif terhadap orang yang kesepian tersebut (Jones, dalam Myers, 1999). Tidak ada orang yang dapat kebal terhadap kesepian, tetapi beberapa orang memiliki risiko yang tinggi untuk mengalami kesepian (Taylor, Peplau & Sears, 2000). II.A.6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesepian Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesepian pada masing-masing individu, yaitu: a. Usia Orang yang berusia tua memiliki stereotipe tertentu di dalam masyarakat. Banyak orang yang menganggap semakin tua seseorang semakin merasa kesepian. Tetapi banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa stereotipe ini keliru. Berdasarkan penelitian Ostrov & Offer (dalam Brehm, 2002) ditemukan bahwa orang yang paling kesepian justru berasal dari orang-orang yang berusia remaja dan dewasa awal. Fenomena ini kemudian diteliti lagi oleh Perlman (1990) dan 25

11 menemukan hasil yang sama bahwa kesepian lebih tinggi di antara remaja dan dewasa muda, sebaliknya lebih rendah di antara orang-orang yang lebih tua. Menurut Brehm (2002) hal ini disebabkan orang-orang yang lebih muda menghadapi banyak transisi sosial yang besar, seperti meninggalkan rumah untuk pertama kali, merantau, memasuki dunia kuliah, atau memasuki dunia kerja full time untuk pertama kalinya, yang mana semuanya ini dapat menyebabkan kesepian. Sejalan dengan bertambahnya usia, kehidupan sosial mereka menjadi semakin stabil. Dengan bertambahnya usia seiring dengan meningkatnya keterampilan sosial, mereka menjadi semakin realistik terhadap hubungan sosial yang mereka harapkan. b. Faktor Sosioekonomi Menurut Weiss (1973, dalam Brehm 2002), rendahnya pendapatan menunjukkan kecenderungan mengalami kesepian. Beberapa studi lainnya juga mendukung pernyataan ini, yaitu survey yang dilakukan Page & Cole (1991, dalam Brehm 2002), terhadap keluarga di Amerika, mereka menyatakan bahwa keluarga dengan pendapatan rendah 4,6 kali lebih merasakan kesepian daripada keluarga dengan pendapatan yang lebih tinggi. Dalam studi ini dikatakan bahwa tingkat pendidikan juga berhubungan dengan kesepian. Menurut Dewi (2006), dengan semakin tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki membuat peluang wanita untuk mendapatkan pekerjaan dengan level dan pendapatan yang lebih tinggi akan lebih terbuka lebar. Selanjutnya, Pegen, Rayen dan Hall (2004) menjelaskan bahwa ibu tunggal yang memiliki pendapatan rendah 26

12 akan berisiko lebih tinggi untuk mengalami low self-esteem, chronic stressors, negative thinking, dan depressive symptoms. Menurut Rubeinstein dan Shaver, depresi merupakan salah satu indikasi adanya perasaan kesepian. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat pendapatan dan pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesepian. c. Lama Perpisahan Perlman & Peplau (1982), menjelaskan bahwa setelah keputusan perceraian diambil seseorang akan mengalami kesepian. Tidak ada waktu yang tepat untuk mengukur kapan waktu berakhirnya kesepian tersebut. Dari hasil penelitian yang dilakukan, kesepian tersebut lebih dirasakan kurang dari enam tahun pertama setelah perpisahan. d. Kehadiran Anak Selain beberapa faktor diatas, faktor kehadiran anak juga menjadi hal yang perlu diperhatikan terutama pada pasangan yang berpisah. Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, menurut Thompson (1994) penghayatan kesepian yang dirasakan oleh wanita dipengaruhi oleh kehadiran anak. Kehadiran anak dapat mengatasi rasa kesepian dengan cara memberikan reaksi positif pada kesepian tersebut. Kemudian Lopata (dalam Brehm, 2002) menjelaskan pentingnya kehadiran anak bagi pasangan bercerai. Semakin banyak anak maka semakin banyak kontak yang dilakukan oleh wanita dengan anak-anaknya sehingga semakin sedikit pengalaman kesepian yang dirasakannya. Hal tersebut disebabkan 27

13 anak dianggap mampu memberikan dukungan secara emosional bagi ibunya melalui kontak komunikasi. Lebih lanjut ditambahkan oleh Hetherington (dalam Dagun, 2002) bahwa pihak ibulah yang paling pahit dalam merasakan akibat dari perceraian tersebut. Kaum ibu yang menjadi orangtua tunggal lebih mengalami kesulitan konkret dalam menangani anak-anak terutama ibu yang mengasuh anak laki-laki daripada mengasuh anak perempuan. e. Tinggal Bersama Orang Lain Pasangan yang tidak menikah namun tinggal dengan bersama biasanya mempunyai hubungan emosional dan seksual (Rice, 2001). Beberapa pasangan yang tinggal bersama disebabkan hal tersebut tidak menyulitkan kedua pihak, dan 70% diantaranya hanya melakukannya untuk aktivitas seksual saja (Morris, 1997). Namun beberapa pasangan menyatakan bahwa tinggal bersama adalah suatu tahap untuk dapat mempersiapkan masa pernikahan (Wu, 1999). Penelitian di Amerika dan Canada, menunjukkan bahwa pasangan yang tinggal bersama sebelum menikah lebih mengarah kepada timbulnya perceraian daripada pasangan yang tidak tinggal bersama sebelum menikah. Menurut Hetherington (1999), wanita yang berpisah dari pasangannya dan berperan sebagai orangtua tunggal yang masih tinggal bersama keluarganya, wanita tersebut akan mendapatkan dukungan sosial dan emosional dari keluarga terutama ibunya. 28

14 f. Karakteristik Latar Belakang yang Lain Rubenstein & Shaver (dalam Brehm, 2002) menemukan satu karakteristik latar belakang seseorang yang kuat sebagai prediktor kesepian. Individu dengan orangtua yang bercerai akan lebih kesepian bila dibandingkan dengan individu dengan orangtua yang tidak bercerai. Semakin muda usia seseorang ketika orangtuanya bercerai semakin tinggi tingkat kesepian yang akan orang dialaminya ketika dewasa. Tetapi, hal ini tidak berlaku pada individu dengan orangtua yang berpisah karena salah satunya meninggal dunia. Individu yang kehilangan orangtua karena meninggal ketika kanak-kanak tidak lebih kesepian ketika dewasa bila dibandingkan dengan individu dengan orangtua yang berpisah semasa kanakkanak atau remaja. Menurut Brehm (2002) proses perceraian meningkatkan potensi anak-anak dengan orangtua yang bercerai untuk mengalami kesepian ketika anak-anak tersebut dewasa. II.A.7. Reaksi Terhadap Kesepian Rubeinstein (dalam Wrightsman, 1993) mengatakan bahwa beberapa orang ada yang menjadi pasif (sad passivity), seperti menangis, tidur, minum, makan, memakan obat penenang, menonton televisi, dan sebagainya. Reaksi lain adalah menjadi aktif. Dalam hal ini orang-orang yang mengalami kesepian akan aktif melakukan kegiatan yang dapat melupakan kesepiannya, misalnya dengan melakukan hobi mereka, belajar, olahraga, dan sebagainya. 29

15 Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Shaver & Rubeinstein (1982, dalam Brehm, 2002) disimpulkan beberapa reaksi terhadap kesepian seperti dalam tabel berikut ini: Tabel 2 Respon Terhadap Kesepian No. Sad Passivity Active Solitude 1. Menangis Belajar atau bekerja 2. Tidur Menulis 3. Duduk dan berpikir Mendengarkan musik 4. Tidak melakukan apapun Memainkan alat musik 5. Makan secara berlebihan Olahraga 6. Menggunakan obat penenang Melakukan hobi 7. Menonton televisi Pergi ke bioskop 8. Mabuk Membaca Social Contact Distractions 1. Menelepon teman Meghabiskan uang 2. Mengunjungi seseorang Berbelanja Sumber: Rubeinstein & Shaver (dalam Brehm, 2002 hal 414). Secara garis besar Shaver & Rubeinstein (1982, dalam Brehm 2002) mengelompokkan reaksi orang terhadap kesepian ke dalam 4 kategori. Dua diantara keempat kategori tersebut bersifat positif karena merupakan strategi coping yang konstruktif, yaitu kategori social contact dan active solitude. Kemudian terdapat satu kategori yang terdiri dari respon yang bersifat negatif karena berpotensi untuk merusak diri, yaitu kategori sad passivity. Selanjutnya respon yang sulit untuk diklasifikasikan ke dalam respon yang positif atau negatif dikategorikan sebagai distractions. 30

16 II.B. Peran Sebagai Orangtua Tunggal Idealnya dalam suatu keluarga, haruslah dilengkapi dengan kedua orangtua. Namun bila dalam suatu keluarga tersebut hanya ada orangtua tunggal, maka akan memberi dampak bagi setiap anggota dalam keluarga, timbulnya berbagai kesulitan dan masalah. Berikut ini akan diuraikan lebih lanjut mengenai pengertian orangtua tunggal, perbedaan keluarga utuh dan keluarga dengan orangtua tunggal, dampak menjadi orangtua tunggal, masalah yang dihadapi orangtua tunggal, dan masalah yang dihadapi wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal. II.B.1 Pengertian Orangtua Tunggal Menurut Perlmutter & Hall (1995), mengartikan orangtua tunggal sebagai orangtua yang tanpa partner (pasangan) secara kontiniu membesarkan anaknya oleh diri mereka sendiri. Lasswell (1987), mengatakan bahwa orangtua tunggal muncul karena kematian pasangan dan putusnya ikatan perkawinan dalam keluarga, yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku dalam suatu negara (Wolf, 2005). Kemudian ditambahkan oleh Duval & Miller (1995), orangtua tunggal adalah orangtua yang secara sendirian membesarkan anak tanpa kehadiran, dukungan atau tanggung jawab pasangannya. Keluarga dengan orangtua tunggal muncul karena kematian salah satu pasangan dan pasangan yang ditinggalkan tersebut tidak menikah lagi, sebahagian besar orangtua tunggal adalah akibat perceraian dalam keluarga (Papalia, 1998). 31

17 Umumnya anak yang tinggal dengan orangtua tunggal adalah akibat perceraian orangtua. Sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa keluarga dengan orangtua tunggal adalah ketiadaan figur ayah atau ibu dalam suatu keluarga yang disebabkan karena perceraian atau kematian salah satu orangtua dan orangtua yang ditinggalkan tidak menikah kembali, sehingga membesarkan anak tanpa dukungan dan tanggungjawab pasangannya. II.B.2. Penyebab Keluarga Dengan Orangtua Tunggal Papalia (1998) telah menjelaskan pengertian keluarga dengan orangtua tunggal, ada dua hal yang umum menjadi penyebab keluarga dengan orangtua tunggal, yaitu perceraian dan meninggalnya pasangan. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai dua penyebab tersebut. II.B.2.a. Perceraian Perceraian adalah kulminasi dari penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian yang dapat memuaskan kedua belah pihak (Hurlock, 1999). Stinson (1991) menjelaskan bahwa, perceraian sebagai gangguan hubungan pernikahan yang dialami oleh orangtua sehingga dapat mempengaruhi hubungan yang terjadi antara anak dan orangtua. Perceraian dapat meningkatkan stres dan menyebabkan berkurangnya waktu, energi dan dukungan emosional yang diberi antara pasangan. 32

18 Brehm (2002), mendefinisikan perceraian sebagai berakhirnya sebuah hubungan pernikahan yang sebenarnya belum saatnya untuk berakhir. Perceraian sering diartikan sebagai sesuatu hal yang dapat menyebabkan kehancuran. Akibat yang ditimbulkan tidak hanya mempengaruhi kehidupan pasangan yang memutuskan untuk bercerai tetapi juga dialami oleh anak. Argyle & Henderso (1995), mengatakan bahwa perceraian diartikan dengan terputusnya perjanjian pernikahan yang resmi oleh kedua pasangan. Gangguan pernikahan yang dialami terjadi secara keseluruhan pada pernikahan yang formal, menyebabkan terputusnya ikatan emosi, seks dan ekonomi. Sebagai akibat yang ditimbulkan adalah perpisahan yang bersifat menetap. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah terputusnya perjanjian pernikahan yang resmi oleh kedua pasangan, dan sebagai akibat dari perpisahan tersebut dapat mempengaruhi kehidupan pasangan maupun anak. II.B.2.b. Meninggalnya Pasangan Meninggalnya pasangan merupakan masa yang penuh dengan tekanan dalam pengalaman hidup individu, dan terjadi pada wanita di masa tengah kehidupan dan masa tua. Sebagian besar wanita yang telah melewati usia 65 tahun akan menghadapi masa-masa menjanda (Fileds & Casper, 2001). Selanjutnya, House, Landis, dkk (1996) menjelaskan bahwa pentingnya dukungan sosial dan kelekatan bagi kesehatan fisik dan mental. Selain itu dikatakan bahwa, kematian pasangan dapat membuat berubahnya perilaku kesehatan seseorang (Umberson, 33

19 1992). Kemudian Kraaij, dkk (2002) mengatakan bahwa, kematian pasangan berhubungan dengan semakin tingginya simptom-simptom depresi yang dirasakan pada individu dewasa tua. Masa setelah kematian pasangan dapat dialami secara berbeda bergantung pada keadaan sosio-historis. Modernisasi masyarakat di Amerika Serikat berakibat pada kehidupan janda yang mandiri, lepas dari kontrol keluarga patriarkal dan mampu untuk mempertahankan diri secara ekonomi melalui uang pensiun dan jaminan sosial. Masa menjanda dapat pula dialami dalam berbagai cara yang berbeda (O Bryant, dalam Santrock, 1995). Beberapa wanita ada yang pasif, menerima perubahan yang disebabkan kematian suaminya, yang lain memperoleh kemampuan-kemampuan pribadi dan barangkali tetap berkembang di masa menjandanya. Beberapa orang masih tinggal dalam tradisi di sekelilingnya, yang lain lebih suka mencari sumber baru dan peranan sosial yang baru. Terkadang inisiatif untuk mengatasi masa kesendiriannya datang dari diri sendiri, pada saat lain datang dari dukungan sosial. Menurut Ollenburger & Moore (1996), wanita yang ditinggal mati oleh pasangannya disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: a. Wanita hidup lebih lama daripada pria b. Wanita umumnya menikahi pria yang lebih tua dari mereka sendiri c. Laki-laki tua lebih mungkin menikah kembali daripada wanita tua d. Adanya norma-norma sosial yang kuat yang menentang wanita tua menikahi pria muda, dan juga norma-norma yang menentang wanita tua menikah lagi. 34

20 e. Wanita yang telah menjanda cenderung tidak menikah lagi karena merasa bahwa mereka tidak akan pernah menemukan lagi orang yang sebaik suaminya dulu (Belsky, 1997). II.B.3. Dampak Menjadi Orangtua Tunggal Ada tiga dampak umum menjadi orangtua tunggal yaitu: multitasking, solo parenting dan issues of self (Egelman, 2004). a. Multitasking yaitu konflik peran yang muncul pada orangtua tunggal karena banyaknya peran yang harus mereka lakukan dalam waktu yang bersamaan. b. Solo parenting yaitu kesulitan orang tua single parent dalam menghadapi perilaku anak karena mereka sudah tidak memiliki pasangan sebagai teman berbagi dalam menyelesaikan masalah keluarga, terutama dalam mengurus anak. Hal yang sangat diharapkan dari orangtua saat ini adalah bahwa semua orangtua harus perfect, sehingga tentunya hal ini menjadi sesuatu yang sulit bagi orangtua baik yang single parent maupun bagi keluarga yang utuh. Mereka harus mampu memberikan dukungan finansial, emosi dan intelektual yang dibutuhkan anak untuk menciptakan emosional yang sehat dan kesuksesan finansial kelak ketika anak menjadi dewasa. c. Issues of self yaitu self image yang dimiliki oleh orangtua single parent yang akan berpengaruh terhadap kualitasnya sebagai orangtua. Issues of self, merupakan keadaan dimana orangtua tunggal akan mengalami stress 35

21 dan kebutuhan pribadinya yang luas tidak dapat dipenuhi. Orangtua tunggal berharap dapat melanjutkan pendidikannya, pekerjaannya dan mempunyai kehidupan sosial yang baik. Namun, hal ini akan menjadi sulit karena mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhannya tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orangtua yang positif berhubungan dengan orangtua yang memiliki self image yang positif. Jika orang dewasa tidak memiliki kesempatan untuk bertumbuh dan mengembangkan pengalaman yang positif pada dirinya, maka kualitasnya sebagai orang tua akan berkurang. II.B.4. Perbedaan Keluarga Utuh dan Keluarga Dengan Orangtua Tunggal Glasser dan Navarre (1999) melihat adanya perbedaan antara keluarga utuh dan keluarga single parent dalam beberapa hal, yaitu: a. Struktur tugas Berbagai tugas utama dalam keluarga merupakan tanggung jawab orangtua. Memenuhi kebutuhan fisik, emosi dan sosial dari seluruh anggota keluarga adalah pekerjaan bagi kedua orangtua. Jira tugas tersebut harus dilakukan oleh satu orangtua, maka orang tersebut harus cukup matang, competen dan memiliki cukup waktu untuk melakukan tugasnya. Walau demikian tetap sulit bagi satu orangtua untuk dapat mengambil alih semua tugas dua orangtua dalam jangka waktu yang panjang. Dukungan kekuatan, pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga merupakan tugas-tugas konkrit yang harus dilakukan oleh orangtua. Jika harus 36

22 dilakukan olae satu orangtua saja, maka ada berbagai keterbatasan yang dimilikinya, yaitu keterbatasan waktu dan tenaga serta keterbatasan sosial, dimana tugas-tugas yang bersifat pria atau wanita harus dilakukan oleh orangtua dari jenis kelamin yang berlawanan. Dengan kata lain orangtua tunggal menjalankan peran ganda, baik sebagai ibu maupun sebagai ayah. b. Struktur Komunikasi Bagi anak, orangtua berperan sebagai saluran komunikasi dengan dunia orang dewasa dalam dua cara, yaitu: 1). Sebagai pembawa nilai-nilai budaya yang sebelumnya telah diinternalisasi oleh orangtua. 2). Sebagai penghubung dan mewakili anak dalam dunia orang dewasa. Berdasarkan asumsi bahwa perbedaan jenis kelamin mempengaruhi cara pandang seseorang tentang dunia, maka seorang anak akan mengalami gangguan dalam saluran komunikasinya jika hanya ada satu orangtua. Tipe dan kualitas pengalaman orangtua cenderung diatur menurut jenis kelaminnya. Dalam keluarga dengan dua orangtua bukan hanya anak yang memperoleh pengalaman yang lebih bervariasi, tetapi orangtua melalui pasangannya dapat mengetahui tipe pengalaman dari lawan jenisnya. c. Struktur Kekuasaan Orangtua punya tanggung jawab penuh dalam keluarga. Oleh karena itu, kehidupan keluarga dengan satu orangtua, dalam setiap situasi ini akan 37

23 dihadapkan pada pilihan untuk bekerjasama atau menentang si anak. Dengan kondisi yang demikian, anak akan melihat otoritas sebagai pribadi daripada kesepakatan bersama. Jika orangtua tunggal tersebut tidak punya pengalaman untuk mengambil keputusan secara demokratis, maka akan mempersulit hubungan dengan anaknya. Pengambilan keputusan menjadi tanggung jawab orangtua dari dua jenis kelamin, baik ayah maupun ibu dalam keluarga utuh. Sedangkan dalam keluarga orangtua tunggal figur otoritas atau pemegang kekuasaan dipegang oleh satu jenis kelamin saja, sehingga bagi anak tiap keputusan yang diambil diidentifikasikan dengan jenis kelamin tersebut. d. Struktur Afeksi Kebutuhan emosional bagi anggota keluarganya merupakan tanggungjawab orangtua untuk memenuhinya. Orangtua harus memiliki kasih sayang dan rasa aman yang diperlukan anak untuk mempertahankan stabilitas emosionalnya dalam keadaan yang menekan (stres) dan dapat menghilangkan perasaan-perasaan negatif yang ada dalam diri anak. Struktur keluarga merupakan elemen penting dalam menyediakan dan mengatur kebutuhan emosional. Pada keluarga dengan orangtua tunggal, terjadi perubahan dalam struktur keluarga yang justru dapat menimbulkan tekanan dan membatasi penyelesaian masalah. Berdasarkan berbagai struktur dalam keluarga tersebut, terlihat bahwa keluarga dengan orangtua tunggal memiliki keterbatasan dan kekurangan bila 38

24 dibandingkan dengan keluarga dengan dua orangtua, sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai kesulitan. II.B.4. Masalah yang Dihadapi Wanita yang Menjadi Orangtua Tunggal II.B.4.a. Masalah yang Dihadapi Wanita yang Menjadi Orangtua Tunggal karena Bercerai Hurlock (1991) mengemukakan bahwa terdapat beberapa masalahmasalah umum pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal karena bercerai yaitu: Masalah ekonomi dirasakan karena inflasi yang terus meningkat, apa yang diterima janda secara turun temurun jauh kurang memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka. Walaupun seorang janda memulai untuk bekerja pada usia madya, biasanya dia tidak dapat memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang biasa dilakukan. Apabila masih mempunyai anak yang tinggal serumah, maka seorang wanita harus memainkan peran ganda yaitu sebagai ayah dan ibu, serta harus menghadapi berbagai masalah yang timbul dalam keluarga tanpa pasangan. Disamping itu wanita juga sering mendapat masalah yang berhubungan dengan anggota keluarga pihak suami, khususnya anggota keluarga yang tidak menyenangi menjadi isteri suaminya. Masalah tempat tinggal menjadi masalah yang harus diperhatikan pula. Dimana seorang janda akan tinggal biasanya bergantung pada dua kondisi, 39

25 pertama; status ekonominya dan kedua; apakah dia mempunyai seseorang yang bisa diajak tinggal bersama. Kehidupan sosial orang-orang yang berusia dewasa awal sama dengan orang berusia dewasa, yaitu berorientasi pada pasangan, seorang janda segera akan menemukan dirinya bahwa tidak ada tempat baginya apabila dia diantara pasangan yang menikah. Masalah-masalah praktis meliputi mencoba untuk menjalankan hidup rumah tangga sendirian, setelah terbiasa dibantu oleh suami, menjadikan banyak masalah rumah tangga yang harus dihidupi oleh seorang janda, terkecuali dia mempunyai anak yang dapat membantu mengatasi berbagai masalah tersebut atau memang mempunyai kemampuan untuk mengatasinya. Masalah seksual juga menjadi sering dialami oleh seorang janda. Karena keinginan seksual tidak terpenuhi selama usia ini, janda yang terbiasa menikmati kenikmatan seksual dalam tahun-tahun perkawinannya, sekarang mereka merasa frustasi dan tidak terpakai. II.B.4.b. Masalah yang Dihadapi Wanita yang Menjadi Orangtua Tunggal karena Meninggalnya Pasangan Ada beberapa dimensi masalah yang dihadapi seorang wanita setelah pasangannya meninggal. Secara finansial kematian pasangan selalu menyebabkan kesulitan ekonomi dalam hal ini pendapatan dan keuangan yang terbatas, merupakan permasalahan utama yang mereka hadapi (Glasser & Navarre, 1999). Karena tidak hadirnya suami sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah bagi 40

26 keluarga, seorang perempuan harus mampu mengambil keputusan dan bertanggung jawab sendiri, termasuk mencari nafkah bagi dirinya dan juga anakanaknya (Suardiman, 2001). Dalam masalah sosial, kematian pasangan dapat menyebabkan seseorang kehilangan suatu hubungan jangka panjangnya. Wanita yang menjadi orangtua tunggal seringkali ditinggal sendiri oleh teman ataupun keluarga, dan dia tidak tahu bagaimana cara untuk mengatasi perasaan kehilangannya. Hal ini akan mengakibatkan mereka tidak hanya kehilangan pasangannya, tetapi juga teman dan keluarga yang merasa tidak nyaman bersama dengan seseorang yang menjanda. Oleh karena itu, wanita yang ditinggalkan cenderung mengurangi partisipasi sosial mereka karena mereka mengalami penurunan dukungan dari keluarga dan teman (Cavanaugh & Filds, 2006). Mereka mungkin akan merasa tidak tertarik ataupun tidak nyaman dalam situasi sosial dimana dulunya diterima. Harus membangun hubungan sosial yang baru dan mencari teman baru dan akan kehilangan kontak dengan teman ataupun keluarga dari suaminya (Barrow, 1996). Hubungan dengan teman mungkin akan rusak atau mengalami perubahan, terutama jika hubungan itu ada karena berkaitan dengan pasangan yang telah meninggal (Belsky, 1990). Secara emosional, terdapat goncangan emosi yang mendalam serta kehilangan, adanya perasaan kesepian dan suatu keharusan untuk mengatur kembali kehidupan, termasuk juga membangan suatu kehidupan sosial yang baru (Kephart & Jedlicka, 1991). Wanita yang telah kehilangan kehilangan suaminya, 41

27 juga kehilangan dukungan dan pelayanan dari orang yang dekat secara intim dengannya (Barrow, 1996). Dalam permasalahan fisik, tidak mengejutkan jika kematian pasangan dihubungkan dengan perasaan depresi, meningkatnya konsultasi medis, kasus rawat inap di rumah sakit, meningkatnya perilaku yang merusak kesehatan, seperti merokok dan minum-minum, serta meningkatnya resiko kematian pasangan yang ditinggalkan (Santrock, 1995). II.C. Masa Dewasa Dini Menurut Hurlock (1999), masa dewasa awal dimulai dari usia 18 tahun hingga sampai kira-kira 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang berkurangnya kemampuan reproduktif. Sementara itu, Dariyo (2003) mengatakan bahwa secara umum mereka yang tergolong dewasa muda (young adultdhood) ialah mereka yang berusia tahun. Kriteria ini yang digunakan peneliti dalam penelitian. Kemudian, menurut Havingurst (dalam Hurlock 1999) masa dewasa dini merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Orang dewasa muda diharapkan memainkan peran baru, seperti peran suami/istri, orangtua dan pencari nafkah, dan mengembangkan sikap-sikap baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru ini. Selanjutnya akan diuraikan mengenai ciri-ciri yang menonjol dalam tahun-tahun masa dewasa dini serta tugas-tugas perkembangannya. 42

28 II.C.1. Ciri-ciri Masa Dewasa Dini a. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Pengaturan Pada generasi terdahulu terdapat pandangan bahwa jika laki-laki dan perempuan telah mencapai usia dewasa, hari-hari kebebasan mereka telah berakhir dan baginya telah tiba untuk menerima tanggung jawab sebagai orang dewasa. Ini berarti bahwa pria muda mulai membentuk bidang pekerjaan yang akan ditanganinya sebagai karir, sedangkan wanita muda diharapkan mulai menerima tanggung jawab sebagai ibu dan pengurus rumah tangga. b. Masa Dewasa Dini sebagai Usia Reproduktif Orangtua (parenthood) merupakan salah satu peran yang paling penting dalam hidup orang dewasa. Orang yang menikah berperan sebagai orangtua pada saat berusia dua puluhan atau pada awal tiga puluhan, beberapa sudah menjadi kakek/nenek sebelum masa dewasa dini berakhir. Orang yang belum menikah hingga menyelesaikan pendidikan atau telah memulai kehidupan karirnya, tidak akan menjadi orangtua sebelum merasa bahwa ia mampu berkeluarga. c. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Kreatif Sebagai orang dewasa, tidak lagi terikat dengan ketentuan dan aturan sehingga mereka lepas dari belenggu ikatan ini untuk berbuat apa yang mereka inginkan. Bentuk kreatifitas yang akan terikat sesudah ia dewasa akan tergantung pada minat dan kemampuan individual, kesempatan mewujudkan keinginan dan kegiatan yang memberikan kepuasan. 43

29 d. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Bermasalah Pada tahun-tahun awal sampai usia tiga puluh tahun, kebanyakan pria dan wanita berupaya menyesuaikan diri dalam kehidupan perkawinan, peran sebagai orangtua, dan karir mereka. Dalam dasawarsa tiga puluh sampai empat puluh, lebih dipusatkan pada kehidupan keluarga. Alasan mengapa penyesuaian diri terhadap masalah masa dewasa begitu sulit karena; pertama, sedikitnya persiapan menghadapi masalah di usia dewasa tersebut; kedua, mencoba menguasai dua atau lebih keterampilan serempak biasanya menyebabkan keduanya kurang berhasil; ketiga, tidak memperoleh bantuan dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya. e. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Ketegangan Emosional Apabila emosi yang bergelora yang merupakan ciri tahun-tahun awal kedewasaan masih tetap kuat pada usia tiga puluhan, maka hal ini merupakan tanda bahwa kehidupan orang dewasa belum terlaksana secara memuaskan. Ketegangan emosi ini berlanjut sampai usia tiga puluhan, hal ini umumnya tampak dalam bentuk keresahan yang biasanya disebabkan penyesuaian dalam pekerjaan, keluarga dan peran sebagai orangtua. f. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Keterasingan Sosial Dengan berakhirnya pendidikan formal dan terjun ke dalam pola kehidupan orang dewasa, yaitu karir, perkawinan dan rumah tangga, hubungan dengan teman-teman kelompok sebaya menjadi renggang, dan keterlibatan dalam kegiatan kelompok di luar rumah akan terus berkurang. Sebagai akibatnya, orang muda akan mengalami krisis keterasingan sosial. 44

30 g. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Komitmen Ketika memasuki masa dewasa, individu menjadi orang dewasa yang mandiri, maka mereka menentukan pola hidup baru, memikul tanggung jawab baru dan membuat komitmen-komitmen baru. h. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Ketergantungan Meskipun telah mencapai status dewasa, dan status ini memberikan kebebasan untuk mandiri, banyak orang muda yang masih agak tergantung pada orang-orang lain selama jangka waktu yang berbeda-beda. i. Masa Dewasa Dini sebagai Masa Perubahan Nilai Ada banyak alasan yang menyebabkan perubahan nilai pada masa dewasa dini. Pertama, jika orang dewasa muda ingin diterima oleh anggota kelompok, mereka harus menerima nilai-nilai kelompok tersebut. Kedua, orang-orang muda itu menyadari bahwa kebanyakan kelompok sosial berpedoman pada nilai-nilai konvensional dalam hal keyakinan dan perilaku serta penampilan. Ketiga, orang-orang muda yang menjadi ayahibu tidak hanya cenderung mengubah nilai-nilai mereka lebih cepat daripada mereka yang tidak kawin atau tidak punya anak, tetapi mereka juga lebih konservatif dan tradisional. j. Masa Penyesuaian Diri dengan Cara Hidup Baru Menyesuaikan diri pada gaya hidup baru memang selalu sulit, terlebih karena persiapan yang diterima sewaktu masih kanak-kanak dan di masa remaja biasanya tidak berkaitan atau bahkan tidak cocok dengan gaya hidup baru. 45

31 II.C.2. Tugas-tugas Perkembangan Masa Dewasa Dini Menurut Hurlock (1999), harapan masyarakat untuk orang dewasa muda cukup jelas digariskan dan telah diketahui oleh mereka bahkan sebelum mereka mencapai kedewasaan secara hukum. Pada usia ini, mereka benar-benar telah mengetahui harapan-harapan yang ditujukan masyarakat pada mereka. Tugas-tugas perkembangan dewasa dini yang dikemukan oleh Hurlock (1999) dapat dilihat sebagai berikut: a. Mulai bekerja b. Memilih pasangan c. Belajar hidup dengan pasangan d. Memulai membina keluarga e. Mengasuh anak f. Mengelola rumah tangga g. Mengambil tanggung jawab sebagai warga negara h. Mencari kelompok sosial yang menyenangkan II.D. Perbedaan Kesepian Pada Wanita yang Berperan Sebagai Orangtua Tunggal Karena Perceraian dan Meninggalnya Pasangan Perlmutter & Hall (1995), mengartikan orangtua tunggal sebagai orangtua yang tanpa partner (pasangan) secara kontiniu membesarkan anaknya oleh diri mereka sendiri. Menurut Smoke (2003), banyak individu yang mampu mengatasinya dengan komitmen antara pasangan dan anak-anak mereka. Namun tidak sedikit pula yang merasa gagal dalam pernikahan dan tidak dapat mengatasi 46

32 masalahnya. Kemudian Baldock (2003) mengatakan bahwa di Inggris keluarga yang menjadi orangtua tunggal paling banyak disebabkan perceraian dan meninggalnya pasangan yaitu 65%. Kedua penyebab yang paling umum ini mempunyai dimensi masalah yang berbeda pula. Ketika wanita bercerai, ia akan berpisah dengan teman dan kerabat yang dulunya dimiliki bersama pasangan. Mereka kehilangan rumah atau bahkan anak-anak. Ditambah lagi masyarakat akan memberi pandangan negatif pada wanita bercerai (Etaugh & Hoehn, 1995). perceraian adalah salah satu pengalaman yang paling membuat tertekan. Depresi dan kemarahan adalah respon yang paling sering ditunjukkan terutama bagi wanita (Kaganoff & Spano, 1995). Penyesuaian terhadap penyesesuaian cukup kompleks dan membutuhkan banyak waktu. Mereka akan menjauh dari suatu hubungan dan menyesali hilangnya ikatan pada pasangan sebelumnya (Kitson, 1992). Kehilangan yang paling sulit adalah kehilangan pasangan hidup (Zisool, dalam Snatrock, 1995). Bagi wanita yang menjadi orangtua tunggal akibat meninggalnya pasangan, penyesuaian mereka terhadap kehilangan suami meliputi perubahan terhadap konsep diri mereka. Peran penting wanita sebagai seorang istri tidak akan ada lagi dalam kehidupan mereka setelah suaminya meninggal dunia, mereka mengalami kesulitan untuk mendefinisikan dirinya sebagai seorang janda. Oleh karena itu, bagi seorang wanita meninggalnya suami berarti kehilangan orang yang mendukung sef-definition yang dimilikinya (Nock, 1987). Selain itu, ada beberapa perempuan yang seolah-olah merasakan simptomsimptom terakhir dari penyakit suaminya, ada yang mengenakan pakaian 47

33 suaminya agar merasa nyaman dan dekat dengan suaminya dan beberapa lainnya tetap memasak dan mengatur meja untuk suaminya walaupun suaminya telah meninggal (Heinemann dalam Nock, 1987). Beberapa wanita mengatakan mereka tetap melihat dan mendengar suaminya selama setahun ataupun segera mengikuti kematian suaminya. Mereka merasa bertentangan dengan suaminya, merasa marah karena telah meninggalkannya, dan mencari-cari atau mengharapkan nasehat dari suaminya selama beberapa waktu (Caine dalam Nock, 1987). Menurut Nock (1987), pada tahun pertama dan kedua mereka akan mengalami masalah fisik seperti sakit kepala, minum minum keras, merokok, kesulitan untuk tidur, dan gugup menghadapi sesuatu, sementara masalah psikologis yang dialami adalah kesepian, depresi dan kelekatan pada mantan pasangan. Selanjutnya ditambahkan oleh Van Hoose & Worth (dalam Kail & Cavanaugh, 2000) penyebab perpisahan dalam keluarga orangtua tunggal karena kematian pasangan menyebabkan perasaan frustasi, merasa gagal, rasa bersalah dan hubungan yang ambivalen antara orang tua dan anak. Frustasi yang muncul disebabkan karena rasa kehilangan dan rasa kesepian. Rasa bersalah muncul karena orang tua merasa sebagai penyebab seorang anak kehilangan ayah. Sikap ambivalen yang ditunjukkan oleh orangtua tunggal pada anaknya merupakan penghalang untuk mengembangkan hubungan yang baru. Menurut Deaux, et al (1993), orang yang kesepian merasakan putus asa (merasa panik dan tidak berdaya) tertekan, rasa bosan yang tidak tertahankan dan mengutuk diri sendiri. Hal ini juga sesuai dengan indikator empat jenis perasaan kesepian yang dikemukakan oleh Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002). 48

34 Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah keluarga sebaiknya dilengkapi oleh kedua orang tua, namun bila harus terjadi keluarga dengan orangtua tunggal yang kebanyakan dijalani oleh wanita, tidak dapat terlepas dari berbagai masalah. Masalah tersebut seharusnya diatasi bersama dengan pasangan namun sebagai wanita yang menjadi orangtua tunggal kini harus melaluinya seorang diri. Salah satu masalah yang dihadapi adalah masalah kesepian. Masalah kesepian ini juga berkaitan dengan kehadiran anak yang dapat memberikan dukungan emosional bagi wanita yang menjadi orangtua tunggal. Sehingga dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui apakah kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal yang meninggal pasangan lebih tinggi daripada yang bercerai dengan menggunakan empat kategori perasaan kesepian dari Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002). Pada halaman berikutnya dapat dilihat kerangka berpikir peneliti mengenai perbedaan kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal bercerai dan meninggalnya pasangan. II.D. Hipotesa Hipotesa yang digunakan pada penelitian ini adalah hipotesa alternatif, yaitu: ada perbedaan kesepian pada wanita yang berperan sebagai orangtua tunggal karena bercerai dan meninggalnya pasangan. 49

35 KERANGKA BERPIKIR PENELITI Keluarga Keluarga Utuh OrangtuaTunggal: Bercerai Meninggal Usia tahun Sosioekonomi Orangtua Tunggal Pria Orangtua Tunggal Wanita Wanita Single Parent Usia Dewasa Dini Lama Perpisahan Kehadiran anak Tinggal Bersama seseorang Bercerai 1. Kehilangan kerabat 2. Stigma negatif 3. Kemarahan dan depresi 4. Penyesuaian kompleks Meninggal pasangan 1. Masalah finansial 2. Masalah sosial 3. Masalah emosional 4. Masalah fisik APAKAH ADA PERBEDAAN KESEPIAN? KESEPIAN Desperation, Impatient Boredom, Self-Deprecation, Depression Keterangan: Terbagi atas Memiliki Dengan Jika tidak terpenuhi akan menyebabkan 50

BAB II LANDASAN TEORI. yang saling mendukung antara yang satu dengan yang lain.

BAB II LANDASAN TEORI. yang saling mendukung antara yang satu dengan yang lain. BAB II LANDASAN TEORI II.1. Kesepian II.1.1. Definisi Kesepian Hampir semua orang, tak terkecuali remaja pernah merasa kesepian. Banyak sekali definisi mengenai kesepian yang dikemukakan oleh beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Gunarsa & Gunarsa (1993) keluarga adalah ikatan yang diikat

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Gunarsa & Gunarsa (1993) keluarga adalah ikatan yang diikat BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Menurut Gunarsa & Gunarsa (1993) keluarga adalah ikatan yang diikat oleh perkawinan atau darah dan biasanya meliputi ayah, ibu, dan anak atau anakanak. Keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. Seorang perempuan dianggap sudah seharusnya menikah ketika dia memasuki usia 21 tahun dan laki-laki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan peristiwa dimana sepasang mempelai atau sepasang

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan peristiwa dimana sepasang mempelai atau sepasang 1 BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan peristiwa dimana sepasang mempelai atau sepasang calon suami-istri dipertemukan secara formal di depan penghulu atau kepala agama tertentu,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB II LANDASAN TEORI. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan BAB II LANDASAN TEORI A. Kesepian 1. Pengertian Kesepian Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang membutuhkan

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang membutuhkan 12 BAB II LANDASAN TEORI II. A. Dukungan Sosial II. A. 1. Pengertian Dukungan Sosial Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang membutuhkan dukungan sosial. Ada beberapa tokoh yang memberikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Loneliness dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa

BAB II LANDASAN TEORI. Loneliness dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa BAB II LANDASAN TEORI II.A. Loneliness Pada Individu yang Melajang II.A.1. Pengertian Loneliness Loneliness dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa dini, dewasa madya, maupun pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Individu dalam tahapan dewasa awal memiliki tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Individu dalam tahapan dewasa awal memiliki tugas perkembangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu dalam tahapan dewasa awal memiliki tugas perkembangan yang salah satunya adalah untuk membentuk hubungan intim dengan orang lain (Santrock, 1992 : 113), maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hubungan antara pria dan wanita yang diakui secara sosial, yang didalamnya mencakup hubungan seksual, pengasuhan anak, serta pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal merupakan awal dari suatu tahap kedewasaan dalam rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja dan akan memasuki

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Kesepian merupakan fenomena yang umum di seluruh dunia. Kesepian

BAB II LANDASAN TEORI. Kesepian merupakan fenomena yang umum di seluruh dunia. Kesepian BAB II LANDASAN TEORI II.A. KESEPIAN Kesepian merupakan fenomena yang umum di seluruh dunia. Kesepian dapat terjadi pada banyak situasi seperti ketika seseorang mencoba mendapatkan teman di sekolah yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebagai perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat adanya

BAB II LANDASAN TEORI. sebagai perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat adanya BAB II LANDASAN TEORI II. A. Kesepian II. A. 1. Pengertian Kesepian Perlman & Peplau (dalam Brehm et al, 2002) mendefinisikan kesepian sebagai perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian. dan terpisah dari mereka yang ada sekitar anda (Beck & Dkk dalam David G.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian. dan terpisah dari mereka yang ada sekitar anda (Beck & Dkk dalam David G. 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesepian 1. Pengertian Kesepian Kesepian adalah dengan merasa terasing dari sebuah kelompok, tidak dicintai oleh sekeliling, tidak mampu untuk berbagi kekhawatiran pribadi,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Loneliness diartikan oleh Peplau & Perlman (dalam Brage, Meredith &

BAB II LANDASAN TEORI. Loneliness diartikan oleh Peplau & Perlman (dalam Brage, Meredith & BAB II LANDASAN TEORI A. Loneliness 1. Pengertian Loneliness Loneliness diartikan oleh Peplau & Perlman (dalam Brage, Meredith & Woodward, 1998) sebagai perasaan dirugikan dan tidak terpuaskan yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat seseorang memasuki usia dewasa awal, ia mengalami perubahan dalam hidupnya. Pada usia ini merupakan transisi terpenting dalam hidup manusia, dimana remaja mulai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Rosenberg (1965) mendefinisikan self esteem sebagai evaluasi yang

BAB II LANDASAN TEORI. Rosenberg (1965) mendefinisikan self esteem sebagai evaluasi yang BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Self Esteem 2.1.1 Pengertian Self Esteem Rosenberg (1965) mendefinisikan self esteem sebagai evaluasi yang dilakukan seseorang baik dalam cara positif maupun negatif terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Empty Nest 1. Definisi Empty Nest Salah satu fase perkembangan yang akan terlewati sejalan dengan proses pertambahan usia adalah middle age atau biasa disebut dewasa madya, terentang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan orang lain. Manusia dianggap sebagai makhluk sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan orang lain. Manusia dianggap sebagai makhluk sosial yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia di dunia ini tidak hidup sendiri, selalu ada bersama-sama dan berinteraksi dengan orang lain. Manusia dianggap sebagai makhluk sosial yang dalam kesehariannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama seperti halnya tahap-tahap perkembangan pada periode sebelumnya, pada periode ini, individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan mengalami masa transisi peran sosial, individu dewasa awal akan menindaklanjuti hubungan dengan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan individu lain sepanjang kehidupannya. Individu tidak pernah dapat hidup

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan unsur penting di dalam penelitian ilmiah, karena metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Penyesuaian Perkawinan 1. Pengertian Penyesuaian Perkawinan Konsep penyesuaian perkawinan menuntut kesediaan dua individu untuk mengakomodasikan berbagai kebutuhan, keinginan,

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Loneliness 2.1.1 Definisi Loneliness Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu

Lebih terperinci

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan relasi antar pribadi pada masa dewasa. Hubungan attachment berkembang melalui

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan yang bisa menumbuhkan peradaban bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja dapat dipandang sebagai suatu masa dimana individu dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai meninggalkan kebiasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kesepian 1. Pengertian Kesepian Menurut Archibald, dkk (dalam Baron, 2005 : 16) berpendapat bahwa kesepian (loneliness) adalah suatu reaksi emosional dan kognitif terhadap dimilikinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mereka kelak. Salah satu bentuk hubungan yang paling kuat tingkat. cinta, kasih sayang, dan saling menghormati (Kertamuda, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. mereka kelak. Salah satu bentuk hubungan yang paling kuat tingkat. cinta, kasih sayang, dan saling menghormati (Kertamuda, 2009). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan untuk selalu menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan dengan orang lain menimbulkan sikap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap pasangan. Saling setia dan tidak terpisahkan merupakan salah satu syarat agar tercipta keluarga

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan 13 BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun kalau ditanyakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan 6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Peran Orang Tua 2.1.1. Definisi Peran Orang Tua Qiami (2003) menjelaskan bahwa orangtua adalah unsur pokok dalam pendidikan dan memainkan peran penting dan terbesar dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal ini di jelaskan dalam Al-Qur an : Kami telah menjadikan kalian berpasang-pasangan (QS.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pernikahan merupakan ikatan yang terbentuk antara pria dan wanita yang di dalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan hasrat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Setiap orang tentu ingin hidup dengan pasangannya selama mungkin, bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu hubungan. Ketika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelompok yang disebut keluarga (Turner & Helmes dalam Sarwono & Weinarno,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelompok yang disebut keluarga (Turner & Helmes dalam Sarwono & Weinarno, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menikah dan memiliki anak adalah salah satu fase yang dialami dalam kehidupan dewasa awal. Alasan utama untuk melakukan pernikahan adalah adanya cinta dan komitmen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menikah merupakan salah satu tujuan hidup bagi setiap orang. Usia dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal tersebut merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri 1 BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri kehidupan. Komitmen laki-laki dan perempuan untuk menjalani sebagian kecil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muda. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi pada setiap tahun ajaran baru, puluhan

BAB I PENDAHULUAN. muda. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi pada setiap tahun ajaran baru, puluhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perguruan tinggi merupakan sarana pendidikan yang penting bagi generasi muda. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi pada setiap tahun ajaran baru, puluhan ribu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan individu di samping siklus kehidupan lainnya seperti kelahiran, perceraian, atau kematian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah

TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah 7 TINJAUAN PUSTAKA Kesiapan menikah Duvall (1971) menyatakan bahwa kesiapan menikah adalah laki-laki maupun perempuan yang telah menyelesaikan masa remajanya dan siap secara fisik, emosi, finansial, tujuan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan wanita yang bertujuan untuk membangun kehidupan rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN. dengan wanita yang bertujuan untuk membangun kehidupan rumah tangga BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pernikahan merupakan ikatan dan janji bersama seumur hidup antara pria dengan wanita yang bertujuan untuk membangun kehidupan rumah tangga bersama. Duvall

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG Kesepian merupakan salah satu masalah psikologis yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Setiap manusia pernah menghadapi situasi yang dapat menyebabkan kesepian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa dewasa muda merupakan masa dimana individu mulai mengemban tugas untuk menikah dan membina keluarga. Sesuai dengan pendapat Havighurst (dalam Santrock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari proses interaksi sosial. Soerjono Soekanto (1986) mengutip

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari proses interaksi sosial. Soerjono Soekanto (1986) mengutip 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap manusia dalam menjalani kehidupan sehari-hari tidak akan terlepas dari proses interaksi sosial. Soerjono Soekanto (1986) mengutip definisi Gillian dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu tugas perkembangan individu dewasa adalah merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis yang akan menimbulkan hubungan interpersonal sebagai bentuk interaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perceraian merupakan kata yang umum dan tidak asing lagi di telinga masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi trend, karena untuk menemukan informasi

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL Oleh: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Yulia Ayriza, Ph.D STABILITAS DAN PERUBAHAN ANAK-DEWASA TEMPERAMEN Stabilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka, digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesepian merupakan salah satu masalah psikologis yang kerap muncul dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis. BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lanjut usia merupakan suatu proses berkelanjutan dalam kehidupan yang ditandai dengan berbagai perubahan ke arah penurunan. Problematika yang harus dihadapi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. PENYESUAN SOSIAL 1. Pengertian Penyesuaian sosial merupakan suatu istilah yang banyak merujuk pada proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perceraian merupakan suatu perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri.

Lebih terperinci

PENGALAMAN KESEPIAN PADA WANITA YANG BERPERAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL DALAM PERIODE EMPTY-NEST. Oleh: MARIA NUGRAHENI MARDI RAHAYU

PENGALAMAN KESEPIAN PADA WANITA YANG BERPERAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL DALAM PERIODE EMPTY-NEST. Oleh: MARIA NUGRAHENI MARDI RAHAYU PENGALAMAN KESEPIAN PADA WANITA YANG BERPERAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL DALAM PERIODE EMPTY-NEST Oleh: MARIA NUGRAHENI MARDI RAHAYU 802008120 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi Psikologi, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia melewati tahap demi tahap perkembangan dalam kehidupannya. Pada setiap tahap perkembangan terdapat tugas-tugas perkembangan yang menurut Havighurst

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II. A. DUKUNGAN SOSIAL II. A. 1. Definisi Dukungan Sosial Menurut Orford (1992), dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan pada saat individu mengalami

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masa dewasa merupakan masa dimana setiap individu sudah mulai matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock (dalam Jahja, 2011), rentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menikah merupakan saat yang penting dalam siklus kehidupan manusia. Pernikahan pada dasarnya menyatukan dua pribadi yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama.

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami dan istri terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami dan istri terhadap BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Definisi Kepuasan Pernikahan Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami dan istri terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah

Lebih terperinci

2015 PENGARUH DATING ANXIETY DAN KESEPIAN TERHADAP ADIKSI INTERNET PADA DEWASA AWAL LAJANG DI KOTA BANDUNG

2015 PENGARUH DATING ANXIETY DAN KESEPIAN TERHADAP ADIKSI INTERNET PADA DEWASA AWAL LAJANG DI KOTA BANDUNG BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah yang mendasari penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan struktur organisasi skripsi. A. Latar

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Setiap makhluk hidup didunia memiliki keinginan untuk saling berinteraksi. Interaksi social yang biasa disebut dengan proses sosial merupakan syarat utama terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal dari keluarga, sifat, kebiasaan dan budaya yang berbeda. Pernikahan juga memerlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal HARGA DIRI PADA WANITA DEWASA AWAL MENIKAH YANG BERSELINGKUH KARTIKA SARI Program Sarjana, Universitas Gunadarma Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran harga diri

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Hampir semua orang, tidak terkecuali laki-laki maupun perempuan pernah

BAB II LANDASAN TEORI. Hampir semua orang, tidak terkecuali laki-laki maupun perempuan pernah BAB II LANDASAN TEORI II.A. Kesepian II.A.1 Definisi Kesepian Hampir semua orang, tidak terkecuali laki-laki maupun perempuan pernah merasakan dan mengalami kesepian. Ada banyak definisi yang dikemukakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkawinan bagi manusia merupakan hal yang penting, karena dengan sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara sosial, biologis maupun

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan jarak jauh (long distance relationship) Pengertian hubungan jarak jauh atau sering disebut dengan long distance relationship adalah dimana pasangan dipisahkan oleh jarak

Lebih terperinci

Proses Keperawatan pada Remaja dan Dewasa. mira asmirajanti

Proses Keperawatan pada Remaja dan Dewasa. mira asmirajanti Proses Keperawatan pada Remaja dan Dewasa Faktor-faktor yang mempengaruhi Tumbuh Kembang 1. Faktor Genetik. 2. Faktor Eksternal a. Keluarga b. Kelompok teman sebaya c. Pengalaman hidup d. Kesehatan e.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan unit sosial terkecil di dalam lingkungan masyarakat. Bagi anak, keluarga merupakan tempat pertama mereka untuk berinteraksi. Keluarga yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Kepuasan Pernikahan 2.1.1. Definisi Kepuasan Pernikahan Kepuasan pernikahan merupakan suatu perasaan yang subjektif akan kebahagiaan, kepuasan dan pengalaman menyenangkan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan membahas tentang landasan teori berupa definisi, dimensi, dan faktor yang berpengaruh dalam variabel yang akan diteliti, yaitu bahasa cinta, gambaran tentang subjek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penerimaan diri dibutuhkan oleh setiap individu untuk mencapai keharmonisan hidup, karena pada dasarnya tidak ada manusia yang diciptakan oleh Allah SWT tanpa kekurangan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki keinginan untuk mencintai dan dicintai oleh lawan jenis. menurut

BAB I PENDAHULUAN. memiliki keinginan untuk mencintai dan dicintai oleh lawan jenis. menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupan manusia terdapat berbagai bentuk hubungan sosial. Salah satunya adalah hubungan intim lawan jenis atau hubungan romantis. Hubungan ini dapat

Lebih terperinci

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian besar mahasiswa strata satu adalah individu yang memasuki masa dewasa awal. Santrock (2002) mengatakan bahwa masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dewasa awal adalah masa dimana seseorang memperoleh pasangan hidup, terutama bagi seorang perempuan. Hal ini sesuai dengan teori Hurlock (2002) bahwa tugas masa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita

BAB 1 PENDAHULUAN. Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berikut kutipan wawancara yang dilakukan peneliti dengan seorang wanita yang bernama Mimi, usia 21 tahun, sudah menikah selama 2 tahun dan memiliki 1 orang anak, mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga usia lanjut. Tahap yang paling panjang

BAB I PENDAHULUAN. bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga usia lanjut. Tahap yang paling panjang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia mengalami perkembangan seumur hidupnya. Perkembangan ini akan dilalui melalui beberapa tahap. Setiap tahap tersebut sangat penting dan kesuksesan di suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam masyarakat, seorang remaja merupakan calon penerus bangsa, yang memiliki potensi besar dengan tingkat produktivitas yang tinggi dalam bidang yang mereka geluti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan bermasyarakat. Pada dasarnya istilah kejahatan ini diberikan kepada suatu jenis perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga merupakan suatu kelompok primer yang sangat erat. Yang dibentuk karena kebutuhan akan kasih sayang antara suami dan istri. (Khairuddin, 1985: 104).Secara historis

Lebih terperinci