BAB II LANDASAN TEORI. Hampir semua orang, tidak terkecuali laki-laki maupun perempuan pernah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. Hampir semua orang, tidak terkecuali laki-laki maupun perempuan pernah"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI II.A. Kesepian II.A.1 Definisi Kesepian Hampir semua orang, tidak terkecuali laki-laki maupun perempuan pernah merasakan dan mengalami kesepian. Ada banyak definisi yang dikemukakan oleh beberapa ahli untuk menjelaskan mengenai kesepian. Peplau dan Perlman (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2000) mengartikan kesepian sebagai ketidaknyamanan subjektif yang dirasakan bila hubungan-hubungan sosial yang dimiliki tidak memiliki arti penting, dimana kesiapan ini dapat bersifat kuantitatif (sedikit atau tidak memiliki teman dari yang diinginkan) dan kualitatif (merasa bahwa hubungan sosial yang dibina hanya bersifat seadanya atau dirasa kurang memuaskan). Baron dan Byrne (2000) mengemukakan bahwa kesepian merupakan keadaan emosional yang berasal dari keinginan untuk memiliki hubungan interpersonal yang dekat, tetapi tidak bisa mendapatkannya. Bruno (1997) mengatakan, kesepian lebih dari sekedar kata. Kesepian adalah suatu pengalaman personal yang sangat menekan. Hidup dalam kesepian sama halnya hidup dipadang gurun yang gersang, dimana kita haus secara emosional dan psikologis. Weiss (dalam Peplau & Perlman, 1982) mengatakan bahwa kesepian tidak disebabkan karena sendiri, tetapi dikarenakan tidak memiliki seseorang yang berarti 8

2 dalam suatu hubungan. Kesepian nampak sebagai respon dari ketidakhadiran suatu hubungan. Perlman dan Peplau (dalam Brehm, 2002) menyatakan bahwa kesepian merupakan suatu perasaan ketidakpuasan atau kehilangan yang dihasilkan dari adanya ketidakseimbangan antara hubungan sosial yang kita inginkan dengan hubungan sosial yang kita alami. Pernyataan ini didukung oleh Gierveld (1989) yang menyatakan bahwa kesepian merupakan suatu keadaan dimana hubungan yang ada lebih sedikit daripada hubungan yang diharapkan, sehingga keintiman yang diharapkan tidak tercapai. Peplau dan Perlman (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2000) mengatakan bahwa kesepian terjadi sebagai akibat berkurangnya hubungan yang berarti dengan orang lain, yang kemudian akan menimbulkan keadaan yang tidak menyenangkan. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Wrightsman (1993) bahwa ada tiga definisi utama dari kesepian, pertama, kesepian merupakan pengalaman subjektif seseorang. Kedua, kesepian secara umum dihasilkan karena berkurangnya hubungan sosial seseorang. Ketiga, kesepian adalah keadaan yang tidak menyenangkan. Taylor, Peplau dan Sears (2000) mengatakan bahwa kesepian dapat berkisar dari perasaan ketidaknyamanan yang ringan sampai yang berat, dan perasaan sedih yang intens dan menetap. Menurut Wrightsman (dalam Dane, Deux & Wrightsman, 1993) kesepian merupakan pengalaman subjektif dan tergantung pada bagaimana interpretasi individu pada suatu kejadian. Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para tokoh diatas, dapat disimpulkan bahwa kesepian adalah perasaan tidak nyaman, dan tidak terpuaskan yang diakibatkan oleh sedikit atau tidak adanya ikatan emosional, hubungan sosial 9

3 dan hubungan yang berarti yang dimiliki individu daripada yang diinginkan oleh individu. Dengan kata lain kesepian adalah suatu keadaan mental dan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain. II.A.2. Karakteristik Kesepian Salah satu atau beberapa keadaan mental dan emosional yang berhubungan dengan kesepian yaitu (Bruno, 1997) : 1. Isolasi Isolasi adalah keadaan dimana seseorang merasa terasing dari tujuan-tujuannya dan nilai-nilai dominan dalam masyarakat. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya isolasi yaitu : keterguncangan yang disebabkan oleh kepindahan, keyakinan bahwa seseorang lebih unggul dibanding rekan yang lainnya, serta pekerjaan seperti robot. 2. Penolakan Penolakan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat diterima, diusir, ata dihalau oleh lingkungannya. Seseorang yang kesepian akan merasa dirinya ditolak dan ditinggalkan walaupun berada ditengah-tengah keramaian. Hal ini dialami oleh kebanyakan laki-laki dan perempuan homoseksual ketika berusaha untuk membuka diri dan menyatakan dirinya sebagai gay atau lesbian kepada keluarga, teman, dan lingkungannya (Savin & Cohen, 1996). 10

4 3. Merasa disalah mengerti Ini merupakan suatu keadaan dimana seseorang seakan-akan dirinya disalahkan dan tidak berguna. Seseorang yang selalu merasa disalah mengerti dapat menimbulkan rasa rendah diri, rasa tidak percaya diri dan merasa tidak mampu untuk bertindak. 4. Tidak mempunyai sahabat Tidak mempunyai sahabat diibaratkan tidak ada seseorang yang berada disampingnya, tidak ada hubungan, tidak dapat berbagi. Orang yang paling tidak berharga adalah orang yang tidak memiliki sahabat. 5. Bosan Bosan merupakan suatu perasaan dimana seseorang merasa jenuh, tidak menyenangkan, tidak menarik, merasa lemah. Orang-orang yang mudah bosan biasanya orang-orang yang tidak pernah menikmati keadaan-keadaan yang ada. 6. Merasa tidak dicintai Merasa tidak dicintai adalah suatu keadaan dimana sesorang tidak mendapatkan kasih sayang, tidak diperlakukan secara lembut dan tidak dihormati. Merasa tidak dicintai menjauhkan seseorang dari persahabatan dan kerjasama. 7. Malas membuka diri Malas membuka diri adalah suatu keadaan dimana seseorang malas menjalin keakraban, takut terluka, senantiasa merasa cemas dan takut, jangan-jangan orang lain akan melukainya. Savin dan Cohen (1996) mengatakan pria homoseksual 11

5 malas membuka diri ketika bertemu dengan orang yang baru dikenal dan selalu merasa cemas jika orang lain mengetahui bahwa dirinya gay. 8. Gelisah Gelisah adalah sautu keadaan dimana seseorang merasa resah, tidak nyaman dan tentram didalam hati atau merasa selalu khawatir, tidak senang, dan perasaan galau dilanda cemas. Kondisi ini dialami sebagian besar pria homoseksual ketika berusaha untuk membuka diri atau memutuskan untuk tetap merahasiakan orientasi seksual mereka. (Savin & Cohen, 1996). II.A.3. Jenis-jenis Kesepian Weiss (dalam De jong Gierveld & Tillburg, 1999) mengemukakan bahwa di dalam perasaan kesepian terdapat dua komponen yaitu kesepian emosional (emotional loneliness) dan kesepian sosial (social loneliness) yaitu : 1. Kesepian Emosional (Emotional loneliness) Merupakan kesepian yang diakibatkan oleh tidak adanya ikatan yang dekat atau intim (intimate attachment) dengan seseorang sehingga tidak dapat bergantung kepada siapapun. Hubungan yang ada kurang memuaskan, atau merasa lingkungan sosial kurang memahaminya. 2. Kesepian Sosial (social loneliness) Merupakan kesepian yang diakibatkan oleh tidak adanya teman, saudara atau orang lain dari jaringan sosial dimana aktivitas-aktivitas dan kepentingankepentingan bisa saling dibagi dan adanya suatu penolakan dari lingkungan sosial. 12

6 Shaver, Furman & Buhrmeister (dalam Wrightsman, 1993), mengemukakan ada dua jenis tipe kesepian yang lain berdasarkan sifat kemenetapannya, yaitu : 1. Kesepian yang disebabkan oleh sifat (trait loneliness) Merupakan kesepian yang cenderung menetap (stable pattern), sedikit berubah, dan biasanya dialami oleh orang yang memiliki harga diri (self esteem) yang rendah, dan sedikit memiliki interaksi sosial yang berarti. 2. Kesepian yang disebabkan oleh keadaan tertentu (state loneliness) Merupakan kesepian yang bersifat temporer, biasanya disebabkan oleh pengalaman-pengalaman dramatis dalam kehidupan seseorang. Berdasarkan penjelasan tipe-tipe kesepian diatas maka kesepian secara emosional dapat dihubungkan dengan kesepian yang disebabkan oleh trait loneliness, kesepian disebabkan karena sedikit memiliki interaksi yang berarti. Sedangkan kesepian secara sosial dihubungkan dengan kesepian yang disebabkan state loneliness, kesepian disebabkan karena adanya keinginan untuk memiliki teman. II.A.4. Penyebab Kesepian Menurut Brehm (2002) ada empat hal yang menyebabkan seseorang mengalami kesepian, yaitu : 1. Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki seseorang Menurut Brehm (2002) hubungan seseorang yang tidak adekuat akan menyebabkan seseorang merasa tidak puas akan hubungan yang dimiliki. Ada banyak alasan seseorang merasa tidak puas dengan hubungan (relationship) yang tidak 13

7 adekuat. Rubeinstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002) menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang yang kesepian sebagai berikut : a. Being untouched : tidak memiliki pasangan, tidak memiliki partner seksual, berpisah dengan pasangannya atau pacarnya. b. Alienation : merasa berbeda, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan dan tidak memiliki teman dekat. Perasaan-perasaan seperti merasa berbeda, dan tidak memiliki teman dekat umumnya dialami oleh pria homoseksual dan membuat pria homoseksual merasa kesepian (Savin & Cohen, 1996). c. Being alone : pulang kerumah tanpa ada yang menyambut, selalu sendiri. d. Forced isolation : dikurung dalam rumah, dirawat inap dirumah sakit, tidak bisa kemana-mana. e. Dislocation : jauh dari rumah (merantau), memulai pekerjaan atau sekolah baru, sering pindah rumah, sering melakukan perjalanan. 2. Terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan. Menurut Brehm (2002) kesepian juga dapat muncul karena terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan seseorang dari suatu hubungan. Pada saat tertentu hubungan sosial yang dimiliki seseorang cukup memuaskan, sehingga orang tersebut tidak mengalami kesepian. Tetapi disaat lain hubungan tersebut tidak lagi memuaskan, karena orang itu telah merubah apa yang diinginkannya dari hubungan tersebut. Menurut Peplau (dalam Brehm, 2002) perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber, yaitu : a. Perubahan mood seseorang. Jenis hubungan yang diinginkan seseorang ketika sedang senang akan berbeda dengan jenis hubungan yang diinginkan ketika 14

8 sedang sedih. Bagi beberapa orang cenderung membutuhkan orangtuanya ketika sedang senang, dan cenderung membutuhkan teman-temannya bila sedang sedih. b. Usia. Seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan seseorang membawa berbagai perubahan yang akan mempengaruhi harapan atau keinginan orang itu (desire) terhadap suatu hubungan. Jenis persahabatan yang cukup memuaskan ketika seseorang berusia 15 tahun mungkin tidak lagi memuaskan ketika orang tersebut berusia 25 tahun. c. Perubahan situasi. Banyak orang yang tidak mau menjalin hubungan emosional yang dekat dengan orang lain ketika mereka sedang membina karir. Namun, ketika karir sudah mapan orang tersebut akan dihadapkan pada kebutuhan yang besar akan suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional. Menurut Brehm (2002) pemikiran, harapan dan keinginan seseorang terhadap hubungan yang dimiliki dapat berubah. Jika hubungan yang dimiliki seseorang tidak ikut berubah sesuai dengan pemikiran, harapan dan keinginannya maka orang tersebut akan mengalami kesepian. 3. Self-esteem dan causal attribution. Kesepian berhubungan dengan self-esteem yang rendah. Orang yang memiliki self-esteem yang rendah cenderung merasa tidak nyaman pada situasi yang berisiko secara sosial (misalnya berbiacara didepan umum dan berada dikerumunan orang yang tidak dikenal). Dalam keadaan seperti ini orang tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial tertentu secara terus menerus, akan mengalami kesepian. Menurut Peplau (dalam Brehm, 2002) bagaimana seseorang mengatribusikan penyebab kesepian (causal attribution) dapat membuat kesepian tersebut semakin 15

9 kuat (intens) dan menetap. Orang yang percaya bahwa kesepian yang dialaminya berasal/disebabkan oleh dirinya sendiri akan membuat kesepian yang dialaminya semakin kuat dan cenderung menetap. Atribusi internal seperti ini akan membuat orang tersebut mengalami depresi, menghambat orang tersebut untuk bertemu dengan orang lain dan menghambat orang tersebut untuk menjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini akan membuat kesepian orang tersebut semakin meningkat. 4. Perilaku interpersonal. Perilaku interpersonal seseorang yang kesepian akan menyulitkan orang tersebut untuk membangun suatu hubungan dengan orang lain. Dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami kesepian, orang yang mengalami kesepian akan menilai orang lain secara negatif, mereka tidak begitu menyukai orang lain, tidak mempercayai orang lain, menginterpretasikan tindakan dan intensi (kecenderungan untuk berperilaku) orang lain secara negatif, dan cenderung memegang sikap-sikap yang bermusuhan (hostile). Orang yang kesepian cenderung terhambat dalam keterampilan sosial, cenderung pasif bila dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami ksesepian dan ragu-ragu dalam mengekspresikan pendapat didepan umum. Orang yang kesepian cenderung tidak responsif dan tidak sensitif secara sosial. Orang yang kesepian juga cenderung lambat dalam membangun keintiman hubungan yang dimilikinya dengan orang lain. Perilaku ini akan membatasi kesempatan orang itu untuk bersama dengan orang lain dan memiliki kontribusi terhadap pola interaksi yang tidak memuaskan (Peplau & Perlman, Saks & Krupart, 1988). 16

10 II.A.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kesepian antara lain: Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kesepian pada seseorang, 1. Usia Banyak orang beranggapan bahwa semakin tua seseorang maka akan semakin merasa kesepian, tetapi telah banyak yang membuktikan bahwa stereotip tersebut adalah keliru. Hasil penelitian oleh Perlman dan Peplau (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2000) menemukan bahwa kesepian lebih tinggi terjadi diantara remaja dan dewasa muda, serta menjadi lebih rendah pada orang-orang yang sudah tua. Pernyataan ini didukung oleh Erikson (dalam Hurlock, 1999) dimana menekankan bahwa masa dewasa dini adalah masa dimana terjadinya krisis keterpencilan dan dalam masa inilah seseorang sering sekali merasa kesepian. 2. Status Perkawinan Secara umum orang yang tidak menikah cenderung lebih merasa kesepian bila dibandingkan dengan orang yang menikah (Page & Cole; Perlman & Peplau; Stack, dalam Brehm, 2002).seperti yang dikemukakan oleh Erikson (dalam Hurlock, 1999) bahwa saat individu memasuki usia dewasa dini, individu dihadapkan kepada tugas perkembangannya, yaitu menemukan pasangan hidup dan membentuk suatu keluarga. Akan tetapi, ketika hal tersebut tidak terlaksana akan menyebabkan terjadilah kesepian pada individu tersebut. Brehm (2002) menyatakan bahwa kurangnya ataupun tidak adanya hubungan intim dengan orang lain, atau pasangan, dapat menyebabkan seseorang mengalami kesepian yang bersifat emosional (emotional loneliness) 17

11 3. Gender Menurut Borys dan Perlman (dalam Wrightman, 1993), laki-laki dan perempuan menunjukkan frekuensi yang sama saat mengalami kesepian. Meskipun demikian, perempuan lebih mudah menunjukkan ekspresi kesepian daripada laki-laki. Sebagian besar laki-laki yang mengalami kesepian menyangkal bahwa dirinya sedang merasa sepi. Borys dan Perlman (dalam Brehm, 2002) menyebutkan lakilaki juga lebih sulit menyatakan loneliness secara tegas dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan adanya stereotip gender yang berlaku dalam masyarakat bahwa laki-laki yang mengalami kesepian lebih sulit untuk diterima secara sosial dan cenderung di tolak dibanding dengan perempuan. Hal ini bukan berarti bahwa laki-laki lebih mudah mengalami kesepian. 4. Karakteristik latar belakang yang lain Hubungan antara orang tua dan anak dalam struktur keluarga erat kaitannya dengan kesepian. Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm, 2002) menemukan individu dengan orang tua yang bercerai akan lebih mengalami kesepian bila dibandingkan dengan individu yang orang tuanya tidak bercerai. Semakin muda usia seseorang ketika orang tuanya bercerai, semakin tinggi tingkat kesepian yang akan dialami saat dewasa. Akan tetapi hal ini tidak berlaku pada individu yang orang tuanya berpisah karena salah satunya meninggal. 5. Faktor sosial ekonomi Weiss (dalam Brehm, 2002) menyatakan bahwa pendapatan yang rendah dari individu cenderung membuat individu tersebut mengalami kesepian bila dibandingkan dengan individu yang memiliki pendapatan yang tinggi. 18

12 II.A.6. Perasaan Kesepian Rubenstein & Shaver (dalam Brehm, 2002) menyatakan ada 4 bentuk perasaan yang dialami oleh individu yang mengalami kesepian, antara lain adalah: a. Desperation Individu merasakan keputusasaan dan ketidakberdayaan dalam dirinya, sehingga dapat menimbulkan keinginan untuk bunuh diri. Adapun desperation ini ditandai dengan perasaan putus asa, tidak berdaya, takut, tidak adanya harapan, merasa dibuang, dan merasa di kecam. b. Tertekan Suatu keadaan dimana individu merasakan kesedihan yang mendalam ataupun dalam kondisi tertekan, sehingga bila tidak dapat mengatasi keadaan tersebut dapat mengarahkannya kedalam perasaan depresi. Depresi pada individu ditandai dengan rasa tidak sabar, membosankan, keinginan untuk berpindah-pindah ketempat lain, gelisah, marah, dan tidak mampu untuk berkonsentrasi. c. Impatient boredom Individu merasakan kebosanan pada dirinya sebagai akibat yang muncul dari ketidaksabarannya terhadap diri sendiri. Impatient boredom ini ditandai dengan merasa diri tidak menarik, benci pada diri sendiri, merasa bodoh, memalukan, dan tidak nyaman. d. Self-deprecation Individu menyalahkan diri sendiri, mencela, dan mengutuk diri terhadap persitiwa atau kejadian yang dialaminya. Self-deprecation ini ditandai dengan perasaan 19

13 sedih, tertekan, kosong, terpencil, tidak memaafkan diri sendiri, melankolis, diasingkan, dan adanya keinginan untuk bersama seseorang yang spesial. II.A.7. Dampak Kesepian Kesepian pada umumnya akan menimbulkan berbagai dampak pada orang yang mengalaminya, antara lain : 1. Tingkat perasaan kesepian yang mendalam akan berhubungan dengan berbagai masalah personal seperti depresi, pemakaian alkohol dan obat-obatan, penyakit fisik dan bahkan berisiko kematian (Taylor, Peplau & Sears, 2000). 2. Kesepian disertai oleh berbagai emosi negatif, seperti depresi, kekhawatiran, ketidakpuasan, dan menyalahkan diri sendiri (Anderson, dalam Baron & Byrne, 2000). 3. Orang yang mengalami kesepian dapat tenggelam dalam kepasifan yang menyedihkan, menangis, tidur, minum, makan, memakai obat penenang dan menonton televisi tanpa tujuan (Deux, Dane& Wrightsman, 1993). II.B. Homoseksual Sebelum membahas tentang homoseksual, penting sekali diketahui beberapa konsep yang berkaitan dengan hal tersebut, yaitu identitas jenis kelamin, peranjenis kelamin, dan orientasi jenis kelamin. 20

14 II.B.1 Identitas Jenis Kelamin Pentingnya peranan identitas jenis kelamin seseorang dalam kehidupan sudah tampak ketika seorang ibu melahirkan bayinya (Sarwono, 1999). Umumnya, pertanyaan pertama yang dilontarkan setelah proses persalinan adalah tentang jenis kelamin anak (Musen, Conger & Huston, 1992). Sejak saat itu perlakuan yang diberikan ayah, ibu, keluarga, tetangga dan sebagainya disesuaikan dengan jenis kelamin anak tersebut. Untuk anak laki-laki ia diberi baju biru, selimut biru dan mobil-mobilan. Begitu pula sebaliknya jika anak perempuan ia akan diberi baju serta selimut merah jambu dan boneka (Musen, Conger & Huston, 1992). Pola perlakuan orang tua ini berpengaruh pada perilaku anak (Sarwono, 1999). Oleh karena perlakuan tersebut, anak memiliki kesadaran dan penerimaan akan sifat biologis dasar seseorang sebagai laki-laki atau perempuan yang dikenal dengan istilah identitas jenis kelamin. (Musen, Conger & Huston, 1992). Identitas jenis kelamin ini sudah berkembang pada saat individu berusia 3 tahun (Hoffman, Paris & Hall, 1997). Pada usia itu umumnya anak sudah mampu menyebut dirinya sebagai laki-laki atau perempuan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Kohlberg (dalam Berk, 1989) bahwa anak usia 2 tahun mampu mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki dan perempuan dengan benar. Hal ini disebabkan karena pada usia tersebut anak telah menjalani kategorisasi diri secara kognitif, yaitu mengenal diri sendiri sebagai laki-laki atau perempuan. Myers (1996) menjelaskan ciri-ciri ideal bagi pria adalah sifat maskulin, seperti perkasa,mandiri, melindungi dan menguasai (wanita). Sedangkan ciri-ciri ideal bagi wanita adalah sifat feminin seperti tampil menari, cantik dan seksi. Dengan adanya dua sifat yang dibentuk dan dipercayai oleh budaya tersebut, yaitu maskulin dan feminin maka Bem (dalam Sarwono, 1999) menjelaskan bahwa 21

15 secara psikologi ada empat kemungkinan tipe jenis kelamin baik pada perempuan maupun laki-laki yaitu : 1. Tipe maskulin, dimana individu mempunyai banyak sifat maskulin dan sedikit sifat feminin, Tipe feminin, dimana individu mempunyai banyak sifat feminin, dan sedikit sifat maskulin, Tipe androgin, dimana individu mempunyai banyak sifat maskulin dan feminin secara berimbang, Tipe tidak tergolongkan, dimana individu mempunyai sedikit sifat feminin dan maskulin. Beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan identitas jenis kelamin : 1. Reaksi dari significant others Dalam usahanya untuk membentuk identitas jenis kelamin, individu terus menerus mendapatkan reaksi dari orang-orang disekitarnya (Kelly, 2001). Apabila individu terus menerus mendapatkan reaksi negatif, ia tidak dapat mengembangkan identitasnya ke tahap-tahap selanjutnya. Sebagai contoh, anak laki-laki oleh masyarakat diharapkan untuk bermain mobil-mobilan karena dianggap mewakili ciri maskulin. Akan tetapi ketika anak laki-laki senang bermain masak-masakan yang cenderung diasosiasikan dengan sifat feminin, maka anak tersebut dimarahi oleh keluarganya terus menerus. Dengan begitu anak tersebut terhambat mengembangkan identitas feminin dan terdorong untuk mengembangkan identitas maskulin. 2. Self-Acceptance Derajat penerimaan diri merupakan salah satu aspek terpenting dalam pembentukan identitas jenis kelamin (Kelly, 2001). Bila individu dapat menerima dirinya secara utuh dan merasa nyaman dengan dirinya sendiri, ia akan dapat mengembangkan 22

16 kepribadian dengan maksimal. Sebagai contoh, Oetomo (2003) mencatat ketika seorang pria menyadari dirinya menyukai sesama jenis, ia di sarankan temannya pergi ke psikolog untuk konsultasi. Akan tetapi ketika mendapati penjelasan bahwa homoseksual bukan penyakit dan tidak perlu diubah, akhirnya ia dapat menerima dirinya sebagai homoseks dan menjalankan hidup dengan baik. Identitas jenis kelamin terkait pula dengan peran jenis kelamin. Misalnya, ketika seorang anak laki-laki tumbuh besar, ia diperbolehkan untuk memanjat pohon atau bermain layang-layang. Begitu pula sebaliknya, ketika anak perempuan tumbuh besar diperbolehkan untuk menjahit atau membantu ibu memasak didapur (Sarwono, 1999). Oleh karena itu, pada bagian selanjutnya akan dibahas mengenai peran jenis kelamin. II.B.2. Peran Jenis Kelamin. Peran jenis kelamin merupakan pola perilaku yang dianggap cocok untuk masing-masing jenis kelamin berdasarkan harapan masyarakat. Nauly (1993) mengatakan sejak seorang anak dilahirkan, lingkungan mulai mempersiapkan anak tersebut untuk berperilaku yang dianggap sesuai bagi jenis kelaminnya oleh lingkungan. Menurut Carroll (2005) peran jenis kelamin merupakan sekumpulan atribut sikap, trait, kepribadian, dan perilaku yang dianggap sesuai oleh masyarakat untuk masing-masing jenis kelamin. Peran jenis kelamin inilah yang kemudian membentuk seseorang menjadi seorang laki-laki maupun perempuan dan yang membedakan seseorang berdasarkan aspek fisiologis dan non fisiologis. Ketika perbedaan itu mulai dirasakan oleh 23

17 individu, maka dalam dirinya akan terbentuk konsep diri secara keseluruhan, sebagai seorang laki-laki maupun perempuan secara biologis maupun secara psikologis (Subroto, 2005). Ketika seseorang sudah dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai laki-laki dan perempuan, ia dihadapkan pada peran jenis kelamin yang terbentuk dalam masyarakat (Carroll, 2005). Adapun peran jenis kelamin seorang laki-laki yang diharapkan oleh masyarakat adalah sebagai kepala keluarga atau sebagai seorang ayah, dan peran jenis kelamin perempuan yang dianggap wajar oleh masyarakat adalah menjadi seorang istri ataupun ibu. Hal ini berhubungan dengan tahap perkembangan yang dikemukakan oleh Erickson, dimana menurut Erickson pada tahap perkembangan keenam (intimacy vs isolation) individu mulai membina kelekatan dengan lawan jenisnya. Hingga akhirnya hubungan tersebut berlanjut ke tahap pernikahan (Erickson, dalam Monks, 2002). Untuk dapat menjadi seorang ayah ataupun kepala keluarga, seorang laki-laki sewajarnya memilih perempuan menjadi pasangannya. Sedangkan seorang perempuan untuk dapat menjadi seorang ibu ataupun istri sewajarnya memilih laki-laki menjadi pasangannya. Dengan begitu peran jenis kelamin dalam masyarakat berpengaruh didalam pembentukan orientasi jenis kelamin seseorang (Sadli, 2004). 24

18 II.B.3 Orientasi Jenis Kelamin Orientasi jenis kelamin adalah minat atau ketertarikan seseorang kepada lawan jenis kelamin yang sama, berbeda, ataupun keduanya. Oleh Carroll (2005) orientasi jenis kelamin dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : Heteroseksual, yaitu ketertarikan atau minat seseorang untuk mengembangkan hubungan romantis dengan individu yang memiliki jenis kelamin berbeda, dimana hal ini dianggap sesuai dengan norma masyarakat, Homoseksual, yaitu ketertarikan atau minat seseorang untuk mengembangkan hubungan romantis dengan individu yang memiliki jenis kelamin yang sama, Biseksual, yaitu ketertarikan atau minat seseorang untuk mengembangkan hubungan romantis dengan individu dari jenis kelamin yang sama maupun berbeda sekaligus. Secara umum laki-laki memang punya kecenderungan untuk lebih menyukai perempuan, dan perempuan lebih menyukai laki-laki sebagai pasangannya, sehingga golongan yang umum ditemui adalah golongan yang berorientasi heteroseksual (Carroll, 2005). Akan tetapi dalam masyarakat mana pun ada sebagian kecil yang berorientasi homoseksual (Oetomo, 2003). Menurut penelitian Beal (dalam Sarwono, 1999) di amerika serikat terdapat 4 10% penduduk berorientasi homoseksual. Orientasi seksual dapat berubah setelah mengalami beberapa pengalaman dengan orang lain dalam konteks hubungan sesama orang dewasa. Sebagai contoh, homoseksual dan biseksual dapat mengalami perubahan orientasi seksual menjadi heteroseksual, jika dituntut untuk menyesuaikan diri dengan norma psikologis yang lebih diinginkan oleh masyarakat (Garnets & Kimmel, dalam Greene, 1994). 25

19 Menurut Negara (2005) ada beberapa faktor yang menyebabkan perubahan orientasi tersebut, antara lain : Semakin terbukanya informasi seksualitas Hal-hal yang berbau seksual, dahulu dianggap sebagai sesuatu yang menimbulkan rasa malu, tabu dan misterius. Akan tetapi dengan adanya media yang membuka informasi tentang seksualitas, membuat hal-hal yang berbau seksual tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang menimbulkan rasa malu, tabu dan misterius. Perubahan peran jenis kelamin Secara tradisional, perempuan diperlukan sebagai mahluk yang pasif dan tidak responsif secara seksual, sedangkan laki-laki dianggap sebagai agressor seksual. Dalam budaya dan adat perempuan hanya dianggap sebagai pihak yang lemah dan hanya menerima saja, sedangkan laki-laki lebih dominan dalam urusan seks dan menentukan segala sesuatu tentang urusan seks. Pandangan ini telah diganti dengan konsep partisipasi, dimana laki-laki dan perempuan saling berpartisipasi dalam membentuk suatu hubungan. II.B.4 Gay Keberadaan homoseksual di Indonesia memang tidak terbuka jika dibandingkan dengan negara lain. Berbicara tentang homoseksual sebenarnya bukanlah hal yang baru, karena homoseksual sebenarnya sudah ada sejak dahulu kala (Spencer, 2004). 26

20 Menurut Spencer (2004) sejak jaman prasejarah homoseksual sudah ada. Dikisahkan pada jaman itu suku Marind dan Kiman dikepulauan Melanesia selalu memperlakukan seorang laki-laki yang sudah mulai remaja untuk tidak lagi tidur bersama ibu, dan mulai tidur dengan ayahnya. Ketika memasuki fase pubertas, anak tersebut diserahkan oleh ayahnya kepada pamannya untuk mendapatkan penetrasi di anus. Perlakuan penetrasi ini dilengkapi dengan sperma, yang mana dipercayai akan membuat anak laki-laki tersebut tumbuh menjadi anak yang kuat dikemudian hari. Setelah tiga tahun kebiasaan tersebut ditinggalkan. Walaupun suku ini mengenal ritus heteroseksual, tetapi kebanyakan diantara penduduk suku ini tetap menjalankan kebiasaan ini pada anak-anaknya. Dalam konteks homoseksual, istilah gay mengacu pada laki-laki yang mempunyai orientasi seksual kepada laki-laki, sedangkan lesbian mengacu pada perempuan yang mempunyai orientasi seksual kepada perempuan (Kelly, 2001). Pada tahun 1969 sempat terjadi kerusuhan Stonewall, di New York. Kejadian yang diawali penangkapan oleh polisi di gay bar ini menyebabkan para homoseksual melakukan pemberontakan melawan polisi dan menimbulkan kerusuhan besar. Pemberontakan yang pertama ini menginspirasikan gerakan homoseksual, dari generasi ke generasi hingga saat ini. Kemudian pada tahun 1978, Asosiasi Internasional Gay dan Lesbian didirikan di Belgia, dan tahun 1996 Afrika Selatan merupakan negara yang pertama melindungi hak-hak para gay (Spencer, 2004). Secara umum, masyarakat sering sekali salah dalam mengartikan istilah homoseksual, homoseksualitas, dan homoseks. Mereka beranggapan bahwa ketiga hal tersebut adalah sama. Istilah homoseksual merujuk pada orientasi seksual yaitu minat atau ketertarikan untuk mengembangkan hubungan yang romantis dengan individu 27

21 yang berjenis kelamin sama. Sementara homoseksualitas adalah aktivitas seksual yang melibatkan pilihan atas individu yang berjenis kelamin sama (Zanden, dalam Subroto, 2005). Seseorang dikatakan sebagai homoseks apabila birahinya untuk melakukan aktivitas seksual bangkit dengan melihat atau berkhayal tentang sesama jenis. II.B.5 Faktor-faktor yang menyebabkan indvidu menjadi gay. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan individu menjadi seorang homoseksual, adalah: Faktor sosial Seseorang bisa menjadi gay karena faktor lingkungan atau sosial. Seorang individu yang awalnya heteroseksual bisa menjadi gay jika ia merasa sensasi yang berbeda dan menyenangkan saat melakukan hubungan homoseksual (Masters, 1992). Menurut Feldmen dan MacCulloch (dalam Masters,1992) jika seseorang mengalami pengalaman heteroseksual yang tidak menyenangkan kemudian mendapatkan pengalaman homoseksualitas yang menyenangkan, ada kemungkinan individu tersebut akan menjadi gay. Faktor trauma pada masa kecil Cameron (dalam Savin-Williams, 1996) menyatakan bahwa seseorang dapat menjadi gay disebabkan trauma pada masa kanak-kanak, dimana selama masa kanakkanak tersebut individu mendapatkan penyiksaan dari saudara kandung, teman bermain maupun orang dewasa. 28

22 Faktor herediter atau genetik Kallman (dalam Masters, 1992) mencatat bahwa kondisi homoseksualitas adalah kondisi yang disebabkan oleh genetika. Kesimpulan ini diambil berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap kembar identik dan kembar fraternal. Penelitian menemukan jika salah satu saudara kembarnya adalah seorang gay, kemungkinan saudara kembarnya adalah seorang gay juga. National Center Institute (dalam Kelly, 2001) melakukan penelitian terhadap 40 gay yang juga memiliki saudara laki-laki gay. Penelitian tersebut menemukan dari 40 gay bersaudara tersebut, ditemukan 33 gay bersaudara memiliki 5 tanda yang sama pada kromosom x. II.B.6 Masalah-masalah yang dialami kaum Gay. Secara umum, kaum gay mengalami masalah-masalah seperti mendapat penolakan dari keluarga dan lingkungan, adanya penyiksaan fisik yang terjadi dirumah, mendapatkan pelecehan secara verbal (Centre Population Options, dalam Savin & Cohen, 1996). Budijanto (2001) mengatakan bahwa secara psikis kaum homoseksual sering merasa tidak disukai, merasa bersalah dan merasa malu. Dari beberapa literatur ditemukan ada beberapa dampak dari masalah-masalah yang dihadapi kaum gay terhadap kondisi kesehatan mental dari kaum gay, yaitu : Keinginan untuk bunuh diri Keinginan untuk bunuh diri dan perilaku self-destructive adalah masalah serius diantara kaum gay. Gibson (dalam Savin & Cohen, 1996) menyatakan bahwa 30% gay lebih memiliki kecenderungan untuk bunuh diri dibandingkan dengan kaum heteroseksual. Hammelman (dalam Robin, Valerian dan Jessica, 29

23 2003) menjelaskan bahwa gay cenderung melakukan bunuh diri karena mereka mendapatkan pengalaman buruk dari orang lain ketika membuka diri sebagai seorang gay. Penyalahgunaan Obat-obatan Remafedi (dalam Savin & Cohen, 1996) menemukan bahwa lebih dari 80% kaum gay yang berusia lebih dari tahun belajar menggunakan obat-obatan terlarang, dan sebanyak 60% dari mereka memenuhi kriteria sebagai pecandu. Savin & Cohen (1996) mencatat bahwa individu gay menggunakan obat-obatan terlarang dan menyalahgunakan pemakaiannya sebagai pelarian dari masalahmasalah yang mereka hadapi. Depresi dan Kecemasan D Augelli (dalam Savin & Cohen, 1996) meneliti mengenai mahasiswa gay,lebih dari 60% melaporkan bahwa memiliki masalah dengan emosi mereka dan mengekspresikan depresi, dan tercatat 77% dari mereka juga mengalami kecemasan. Griffin & Krowinski (dalam Robin dkk, 2003) mengatakan bahwa gay menjadi mudah cemas dan depresi disebabkan oleh internaliasasi homophobia, dan keinginan untuk membuka orientasi seksual mereka atau tidak kepada orang lain. II.B.7 Gambaran Kesepian Gay dikota Medan Perkembangan dan pertumbuhan gay dikota Medan belum seperti yang dapat kita temui dan didapati seperti di beberapa kota besar di Indonesia, misalnya di Jakarta, Bandung, dan Surabaya dimana pada kota-kota tersebut ditemui dan didapati kelompok-kelompok yang didirikan dan ditujukan untuk menampung dan tempat 30

24 untuk berkeluh-kesah bagi orang-orang yang memiliki kecenderungan berorientasi homoseksual. Akan tetapi, menurut sumber Aplaus (edisi 21 Juli 03 Agustus 2007) seperti yang diungkapkan Roy (salah satu gay dikota Medan bukan nama sebenarnya) bahwa sekitar tahun 1997 dikawasan Gatot Subroto Medan ditemukan sebuah diskotik dimana para pengunjungnya adalah gay dan lesbian. Namun karena masyarakat sekitar kurang senang dengan keberadaan diskotik tersebut, akhirnya diskotik tersebut terpaksa ditutup. Adanya diskriminasi terhadapa kaum gay di Indonesia secara umum memberikan rasa ketidaknyamanan secara langsung kepada kaum gay. Ditambah dengan adanya kasus-kasus yang bermunculan seperti mutilasi yang dilakukan oleh Ryan atau pembunuhan terhadap karyawan BPPN oleh dua bersaudara yang juga gay menambah rentetan panjang akan buruknya pandangan masyarakat terhadap kaum gay serta semakin menimbulkan perasaan cemas, malu, merasa tidak disukai, bersalah, depresi dan takut. Seperti halnya yang disampaikan oleh Ridho dalam kutipan pada harian sinar harapan Akibatnya, kaum gay semakin kehilangan ketenangan dan kedamaian menjalani kehidupannya. Dia menjelaskan banyak laki-laki pencinta sesama jenis harus mengalami ketakutan. Bukan hanya takut teror melalui SMS, mereka juga takut pada razia atau penggerebekan oleh masyarakat, aparat kepolisian, dan kelompok agama tertentu (Harian Sinar Harapan, 08 juli 2008). 31

25 Tidak adanya tempat-tempat yang dapat menampung keluh-kesah untuk orang-orang yang memiliki kencenderungan berorientasi homoseksual, sulit untuk mendapatkan teman-teman yang memiliki orientasi seksual sejenis, serta sering mengalami penolakan, merasa berbeda dari orang lain, takut membuka diri, merasa tidak disukai, cemas, merasa tidak disukai orang lain, malu dan depresi menyebabkan gay dikota Medan rentan terhadap kesepian. Isolasi, alienasi, penolakan, merasa disalah mengerti, merasa tidak dicintai, depresi, tidak memiliki sahabat, takut membuka diri, merupakan beberapa keadaan mental dan emosional yang diasosiasikan dengan kesepian (Bruno, 1997) dimana kaum homoseksual sulit untuk membina hubungan-hubungan sosial yang bersifat kuantitatif dan kualitatif sehingga membuat kaum homoseksual mengalami kesepian. KESEPIAN Kurangnya Hub. Sosial dan Emosional yang bersifat kuantitatif dan kualitatif SOSIAL Emosional -Isolasi -Malas membuka diri -Gelisah -Tidak memiliki sahabat - Hub.yang tidak adekuat - Perubahan akan suatu hubungan - Self esteem - Perilaku interpersonal HOMOSEKSUAL -STIGMA -DISKRIMINASI -PENOLAKAN Skema : Gambaran Kesepian pada Gay di Kota Medan 32

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan. Secara biologis manusia dengan mudah dibedakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang saling mendukung antara yang satu dengan yang lain.

BAB II LANDASAN TEORI. yang saling mendukung antara yang satu dengan yang lain. BAB II LANDASAN TEORI II.1. Kesepian II.1.1. Definisi Kesepian Hampir semua orang, tak terkecuali remaja pernah merasa kesepian. Banyak sekali definisi mengenai kesepian yang dikemukakan oleh beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal merupakan awal dari suatu tahap kedewasaan dalam rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja dan akan memasuki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. Seorang perempuan dianggap sudah seharusnya menikah ketika dia memasuki usia 21 tahun dan laki-laki

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Loneliness dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa

BAB II LANDASAN TEORI. Loneliness dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa BAB II LANDASAN TEORI II.A. Loneliness Pada Individu yang Melajang II.A.1. Pengertian Loneliness Loneliness dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa dini, dewasa madya, maupun pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian (loneliness)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian (loneliness) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesepian (loneliness) 1. Pengertian Kesepian Menurut Sullivan (1955), kesepian (loneliness) merupakan pengalaman sangat tidak menyenangkan yang dialami ketika seseorang gagal

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB II LANDASAN TEORI. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan BAB II LANDASAN TEORI A. Kesepian 1. Pengertian Kesepian Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Individu dalam tahapan dewasa awal memiliki tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Individu dalam tahapan dewasa awal memiliki tugas perkembangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu dalam tahapan dewasa awal memiliki tugas perkembangan yang salah satunya adalah untuk membentuk hubungan intim dengan orang lain (Santrock, 1992 : 113), maka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan dunia dalam berbagai aspek menyebabkan mudahnya

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan dunia dalam berbagai aspek menyebabkan mudahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan dunia dalam berbagai aspek menyebabkan mudahnya informasi diterima dan diakses oleh setiap orang, yang berada di belahan bumi berbeda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu adalah makhluk sosial yang memiliki kebutuhan untuk menjalin hubungan dengan individu lain sepanjang kehidupannya. Individu tidak pernah dapat hidup

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja dapat dipandang sebagai suatu masa dimana individu dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai meninggalkan kebiasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hubungan antara pria dan wanita yang diakui secara sosial, yang didalamnya mencakup hubungan seksual, pengasuhan anak, serta pembagian

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Gangguan identitas gender adalah suatu gangguan yang membuat

BAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Gangguan identitas gender adalah suatu gangguan yang membuat BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Gangguan identitas gender adalah suatu gangguan yang membuat pederitanya merasa bahwa identitas gendernya (sebagai laki-laki atau perempuan) tidak sesuai dengan anatomi biologisnya.

Lebih terperinci

Agresivitas. Persahabatan. Kesepian. Penolakan

Agresivitas. Persahabatan. Kesepian. Penolakan HUBUNGAN ANTARA KESEPIAN DENGAN AGRESIVITAS PADA REMAJA MADYA DI SMA X BOGOR LATAR BELAKANG MASALAH Agresivitas Persahabatan Kesepian Penolakan AGRESIVITAS Perilaku merugikan atau menimbulkan korban pihak

Lebih terperinci

B A B I I. kelembutan dan kepercayaan terhadap pasangan. Kemampuan membentuk sebuah. dirinya atau berpura-pura menjadi pribadi yang lain.

B A B I I. kelembutan dan kepercayaan terhadap pasangan. Kemampuan membentuk sebuah. dirinya atau berpura-pura menjadi pribadi yang lain. B A B I I L A N D A S A N T E O RI I. INTIMACY I. A. Pengertian Intimacy Kata intimacy berasal dari bahasa Latin, yaitu intimus, yang memiliki arti innermost, deepest yang artinya paling dalam (Caroll,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka, digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesepian merupakan salah satu masalah psikologis yang kerap muncul dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Kesepian merupakan fenomena yang umum di seluruh dunia. Kesepian

BAB II LANDASAN TEORI. Kesepian merupakan fenomena yang umum di seluruh dunia. Kesepian BAB II LANDASAN TEORI II.A. KESEPIAN Kesepian merupakan fenomena yang umum di seluruh dunia. Kesepian dapat terjadi pada banyak situasi seperti ketika seseorang mencoba mendapatkan teman di sekolah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena gay dan lesbi nampaknya sudah tidak asing lagi di masyarakat luas. Hal yang pada awalnya tabu untuk dibicarakan, kini menjadi seolah-olah bagian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging structured population) karena dari tahun ke tahun, jumlah penduduk Indonesia

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang membutuhkan

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang membutuhkan 12 BAB II LANDASAN TEORI II. A. Dukungan Sosial II. A. 1. Pengertian Dukungan Sosial Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang membutuhkan dukungan sosial. Ada beberapa tokoh yang memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebagai perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat adanya

BAB II LANDASAN TEORI. sebagai perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat adanya BAB II LANDASAN TEORI II. A. Kesepian II. A. 1. Pengertian Kesepian Perlman & Peplau (dalam Brehm et al, 2002) mendefinisikan kesepian sebagai perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Rosenberg (1965) mendefinisikan self esteem sebagai evaluasi yang

BAB II LANDASAN TEORI. Rosenberg (1965) mendefinisikan self esteem sebagai evaluasi yang BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Self Esteem 2.1.1 Pengertian Self Esteem Rosenberg (1965) mendefinisikan self esteem sebagai evaluasi yang dilakukan seseorang baik dalam cara positif maupun negatif terhadap

Lebih terperinci

PERBEDAAN TINGKAT KESEPIAN BERDASARKAN STATUS PADA WANITA DEWASA AWAL. Dwi Rezka Kemala. Ira Puspitawati, SPsi, Msi

PERBEDAAN TINGKAT KESEPIAN BERDASARKAN STATUS PADA WANITA DEWASA AWAL. Dwi Rezka Kemala. Ira Puspitawati, SPsi, Msi PERBEDAAN TINGKAT KESEPIAN BERDASARKAN STATUS PADA WANITA DEWASA AWAL Dwi Rezka Kemala Ira Puspitawati, SPsi, Msi Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Abstraksi Penelitian ini bertujuan untuk menguji

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian. dan terpisah dari mereka yang ada sekitar anda (Beck & Dkk dalam David G.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian. dan terpisah dari mereka yang ada sekitar anda (Beck & Dkk dalam David G. 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesepian 1. Pengertian Kesepian Kesepian adalah dengan merasa terasing dari sebuah kelompok, tidak dicintai oleh sekeliling, tidak mampu untuk berbagi kekhawatiran pribadi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tuhan menciptakan jenis manusia menjadi dua yaitu pria dan wanita. Setiap individu, baik pria maupun wanita memiliki peran masing-masing serta mengalami pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Loneliness 2.1.1 Definisi Loneliness Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu masalah yang paling penting yang dihadapi oleh manusia adalah kebutuhan untuk mendefinisikan diri sendiri, khususnya dalam hubungannya dengan orang

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan oleh : Putri Nurul Falah F 100

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL Oleh: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Yulia Ayriza, Ph.D STABILITAS DAN PERUBAHAN ANAK-DEWASA TEMPERAMEN Stabilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog

BAB I PENDAHULUAN. Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Homoseksual pertama kali ditemukan pada abad ke 19 oleh seorang psikolog Jerman Karoly Maria Benkert. Walaupun istilah ini tergolong baru tetapi diskusi tentang seksualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat seseorang memasuki usia dewasa awal, ia mengalami perubahan dalam hidupnya. Pada usia ini merupakan transisi terpenting dalam hidup manusia, dimana remaja mulai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan orang lain. Manusia dianggap sebagai makhluk sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan orang lain. Manusia dianggap sebagai makhluk sosial yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia di dunia ini tidak hidup sendiri, selalu ada bersama-sama dan berinteraksi dengan orang lain. Manusia dianggap sebagai makhluk sosial yang dalam kesehariannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan individu di samping siklus kehidupan lainnya seperti kelahiran, perceraian, atau kematian

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Setiap individu memiliki harapan untuk bahagia dalam kehidupan perkawinannya. Karena tujuan perkawinan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan yang bisa menumbuhkan peradaban bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah perilaku seksual pada remaja saat ini menjadi masalah yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih menganggap tabu untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang menuntut manusia untuk berpikir dan berperilaku selaras dengan

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang menuntut manusia untuk berpikir dan berperilaku selaras dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di tengah perkembangan jaman yang semakin maju dan sarat perubahan di segala bidang menuntut manusia untuk berpikir dan berperilaku selaras dengan perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah sebuah komitmen legal dengan ikatan emosional antara dua orang untuk saling berbagi keintiman fisik dan emosional, berbagi tanggung jawab,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. I. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penulisan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, dimana manusia tersebut tidak dapat hidup sendiri melainkan membutuhkan orang lain dalam menjalankan kehidupannya. Seseorang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam kehidupan manusia, terutama di kota besar di Indonesia, seperti Jakarta. Sampai saat ini memang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan 13 BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun kalau ditanyakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kesepian 1. Pengertian Kesepian Menurut Archibald, dkk (dalam Baron, 2005 : 16) berpendapat bahwa kesepian (loneliness) adalah suatu reaksi emosional dan kognitif terhadap dimilikinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baik secara fisik maupun psikis. Menurut Paul dan White (dalam Santrock,

BAB I PENDAHULUAN. baik secara fisik maupun psikis. Menurut Paul dan White (dalam Santrock, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk yang tidak pernah berhenti berubah, semenjak pembuahan hingga akhir kehidupan selalu terjadi perubahan baik dalam kemampuan fisik maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Gunarsa & Gunarsa (1993) keluarga adalah ikatan yang diikat

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Gunarsa & Gunarsa (1993) keluarga adalah ikatan yang diikat BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Menurut Gunarsa & Gunarsa (1993) keluarga adalah ikatan yang diikat oleh perkawinan atau darah dan biasanya meliputi ayah, ibu, dan anak atau anakanak. Keluarga

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Homoseksual berasal dari kata Yunani yaitu homo yang berarti sama.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Homoseksual berasal dari kata Yunani yaitu homo yang berarti sama. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Homoseksual 2.1.1 Pengertian Homoseksual berasal dari kata Yunani yaitu homo yang berarti sama. Homoseksual dapat digunakan sebagai kata sifat atau kata benda yang menggambarkan

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Orang tua berperan sebagai figur pemberi kasih sayang dan melakukan asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan berperan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bijaksana. Seiring dengan bergulirnya waktu, kini bermilyar-milyar manusia

BAB I PENDAHULUAN. bijaksana. Seiring dengan bergulirnya waktu, kini bermilyar-milyar manusia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tuhan menciptakan bumi dengan segala isinya, termasuk manusia yang dipercaya Tuhan untuk hidup di dunia dan memanfaatkan segala yang ada dengan bijaksana. Seiring

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Formation. Marcia menyatakan bahwa pembentukan identitas diri dapat digambarkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Formation. Marcia menyatakan bahwa pembentukan identitas diri dapat digambarkan 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Formation 1. Pengertian Identity Formation Marcia (1993) menyatakan bahwa identity formation atau pembentukan identitas diri merupakan: Identity formation involves

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. Dengan terbukanya

Lebih terperinci

Bagan 2. Konflik Internal Subyek. Ketidakmampuan mengelola konflik (E) Berselingkuh

Bagan 2. Konflik Internal Subyek. Ketidakmampuan mengelola konflik (E) Berselingkuh Bagan 2 Kondisi keluarga : penuh tekanan, memandang agama sebagai rutinitas dan aktivitas, ada keluarga besar yang selingkuh, Relasi ayah-ibu : ibu lebih mendominasi dan selalu menyalahkan sedangkan ayah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Orientasi seksual yang dikenal dan diketahui masyarakat Indonesia pada umumnya hanya ada satu jenis saja, yakni heteroseksual atau pasangan yang terdiri dari dua orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu,

BAB I PENDAHULUAN. seksual umumnya dibahas seolah-olah hanya merupakan karakteristik individu, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Orientasi seksual mengacu pada pola abadi emosional, atraksi romantis, dan seksual dengan laki-laki, perempuan, atau kedua jenis kelamin. Orientasi seksual

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian. Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Penelitian Menurut Clarke-Sweart & Friedman (dalam Hendriati 2006) masa remaja merupakan masa transisi atau masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

tersisih ", mengandung pengertian bahwa kaum gay pada akhirnya tetap

tersisih , mengandung pengertian bahwa kaum gay pada akhirnya tetap BABI PENDAHUL UAN 1.1. Latar Belakang Masalah. Pada umumnya, masyarakat di Indonesia mengenal adanya 3 Jems orientasi seksual. Ketiga orientasi tersebut adalah heteroseksual, homoseksual dan biseksual.

Lebih terperinci

Lampiran 1. Data Penunjang dan Kuesioner Self Esteem dan Jealousy. Frekuensi bertemu dengan pasangan : Sering ( setiap hari )

Lampiran 1. Data Penunjang dan Kuesioner Self Esteem dan Jealousy. Frekuensi bertemu dengan pasangan : Sering ( setiap hari ) Lampiran 1. Data Penunjang dan Kuesioner Self Esteem dan Jealousy DATA PRIBADI Nama ( inisial ) : Jenis Kelamin : Usia : Fakultas : Frekuensi bertemu dengan pasangan : Sering ( setiap hari ) Kadang-kadang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.A. Kesepian Pada bab sebelumnya, telah diberikan beberapa penjelasan mengenai kesepian. Dikatakan bahwa kesepian dapat dirasakan oleh setiap individu, kapan saja dan dalam keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini, masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan remaja sering menimbulkan berbagai tantangan bagi para orang dewasa. Banyak hal yang timbul pada masa remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan peristiwa dimana sepasang mempelai atau sepasang

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan peristiwa dimana sepasang mempelai atau sepasang 1 BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan peristiwa dimana sepasang mempelai atau sepasang calon suami-istri dipertemukan secara formal di depan penghulu atau kepala agama tertentu,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan dengan orang lain yang meliputi interaksi di lingkungan sekitarnya. Sepanjang hidup, manusia akan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang tabu bagi beberapa orang. seksualitas mereka. Kemunculan mereka bukannya datang tiba-tiba.

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hal yang tabu bagi beberapa orang. seksualitas mereka. Kemunculan mereka bukannya datang tiba-tiba. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dewasa ini, fenomena homoseksualitas semakin marak. Bukan hanya di luar negeri, tetapi fenomena ini juga berlaku di Indonesia. Baik itu lesbian ataupun gay. Baik

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada tahap perkembangan remaja, individu memiliki tugas perkembangan membangun hubungan intim dengan lawan jenis yang berguna untuk membentuk hubungan berpacaran pada

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap 7 BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap perkembangan khususnya pada tahapan dewasa muda, hubungan romantis, attachment dan tipe attachment. 2.1 Dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial, tentu membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan 6 BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Pernikahan 2.1.1. Pengertian Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan adalah nikah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Sejak lahir sampai dewasa manusia tidak pernah lepas dari suatu ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga, dibesarkan dalam lingkup keluarga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kalangan remaja maupun dewasa tersebut. atau sesama pria.selain itu, seks antar sesama jenis tersebut sekarang bukan

I. PENDAHULUAN. kalangan remaja maupun dewasa tersebut. atau sesama pria.selain itu, seks antar sesama jenis tersebut sekarang bukan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa pemilihan yang akan menentukan masa depan seseorang. Tidak sedikit dari remaja sekarang yang terjerumus dalam berbagai permasalahan.tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Psychological well-being (PWB) atau kesejahteraan psikologis merupakan suatu kondisi yang menjadikan individu dapat mengenali, menggali dan memiliki potensi yang khas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia secara umum menyukai orang yang memiliki karakteristik sama dan tidak menyukai orang yang memiliki karakteristik berbeda dengan mereka (Baron, Byrne

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Wanita merupakan individu yang memiliki keterbukaan dalam membagi permasalahan kehidupan maupun penilaian mereka mengenai sesuatu ataupun tentang orang lain.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Remaja adalah mereka yang berusia diantara 10-24 tahun dan merupakan salah satu kelompok populasi terbesar yang apabila dihitung jumlahnya berkisar 30% dari jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanpa kehadiran orang lain. Dengan adanya kebutuhan untuk mengadakan

BAB I PENDAHULUAN. tanpa kehadiran orang lain. Dengan adanya kebutuhan untuk mengadakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa kehadiran orang lain. Dengan adanya kebutuhan untuk mengadakan hubungan dengan orang lain,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Pada masa ini, individu dituntut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Setiap orang tentu ingin hidup dengan pasangannya selama mungkin, bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu hubungan. Ketika

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Loneliness diartikan oleh Peplau & Perlman (dalam Brage, Meredith &

BAB II LANDASAN TEORI. Loneliness diartikan oleh Peplau & Perlman (dalam Brage, Meredith & BAB II LANDASAN TEORI A. Loneliness 1. Pengertian Loneliness Loneliness diartikan oleh Peplau & Perlman (dalam Brage, Meredith & Woodward, 1998) sebagai perasaan dirugikan dan tidak terpuaskan yang dihasilkan

Lebih terperinci

COPING KAUM GAY DALAM PENYESUAIAN SOSIAL MASYARAKAT DI YOGYAKARTA

COPING KAUM GAY DALAM PENYESUAIAN SOSIAL MASYARAKAT DI YOGYAKARTA COPING KAUM GAY DALAM PENYESUAIAN SOSIAL MASYARAKAT DI YOGYAKARTA SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S1 Psikologi Diajukan oleh : ANDRI SUCI LESTARININGRUM F 100

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Komunikasi Antarbudaya Dalam ilmu sosial, individu merupakan bagian terkecil dalam sebuah masyarakat yang di dalamnya terkandung identitas masing-masing. Identitas tersebut yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa. Di masa ini, remaja mulai mengenal dan tertarik dengan lawan jenis sehingga remaja

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG

BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG BAB I PENGANTAR A. LATAR BELAKANG Kesepian merupakan salah satu masalah psikologis yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Setiap manusia pernah menghadapi situasi yang dapat menyebabkan kesepian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama bagi anak yang memberi dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah satunya adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Perkembangan sosial masa dewasa awal (young adulthood) adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DAN CITRA DIRI

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DAN CITRA DIRI HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DAN CITRA DIRI DENGAN KESEPIAN PARA ISTRI ANGGOTA TNI SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 oleh : DWI BUDI UTAMI F 100 040

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTAR PRIBADI

HUBUNGAN ANTAR PRIBADI HUBUNGAN ANTAR PRIBADI Modul ke: Fakultas Psikologi Macam-macam hubungan antar pribadi, hubungan dengan orang belum dikenal, kerabat, hubungan romantis, pernikahan, masalah-masalah dalam hubungan pribadi

Lebih terperinci

Buku Kesehatan dan Hak Seksual serta Reproduksi GWLmuda. Jadi singkatnya Seks bisa disebut juga sebagai Jenis kelamin biologis.

Buku Kesehatan dan Hak Seksual serta Reproduksi GWLmuda. Jadi singkatnya Seks bisa disebut juga sebagai Jenis kelamin biologis. BAB 2. SEKSUALITAS Apa itu Seks dan Gender? Sebelum kita melangkah ke apa itu seksualitas, pertanyaan mengenai apa itu Seks dan Gender serta istilah lain yang berkaitan dengan nya sering sekali muncul.

Lebih terperinci