BAB II LANDASAN TEORI. Loneliness dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. Loneliness dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI II.A. Loneliness Pada Individu yang Melajang II.A.1. Pengertian Loneliness Loneliness dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa dini, dewasa madya, maupun pada orang yang sudah lanjut usia (Weiten & Lloyd, 2006). Loneliness itu sendiri merupakan pengalaman subjektif dan tergantung pada interpretasi individu, dan setiap orang memiliki pengalaman loneliness yang berbeda-beda (Perlman & Peplau dalam Dane, Deaux, & Wrightsman, 1993). Menurut Peplau dan Perlman, loneliness adalah : As a feeling of deprivation and dissatisfaction produced by discrepancy between the kind of social relations we want and the kind of social relations we have. (Perlman & Peplau dalam Brehm, 2002 : p.394) Loneliness akan muncul ketika individu merasakan kekurangan dalam hubungan sosial yang dimilikinya ataupun individu merasakan ketidakpuasan terhadap hubungan sosial yang sedang dijalaninya. Lebih lanjut lagi, Perlman dan Peplau (dalam Taylor, Peplau, & Sears 2000) menambahkan bahwa loneliness mengacu pada ketidaknyamanan subjektif yang dirasakan sebagai suatu tanda peringatan bagi individu yang memiliki kekurangan dalam hubungan sosial baik secara kualitas ataupun kuantitas. Kekurangan secara kualitas terjadi jika individu merasa bahwa hubungan sosial yang dimilikinya hanya bersifat superficial atau dirasa kurang memuaskan. Kekurangan secara kuantitas terjadi jika individu memiliki sedikit atau tidak memiliki teman yang diinginkannya. 11

2 Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa loneliness adalah perasaan tidak menyenangkan dan tidak nyaman yang muncul sebagai akibat dari kekurangan ataupun ketidakpuasan individu terhadap hubungan sosialnya baik secara kuantitas maupun kualitas. II.A.2. Tipe-Tipe Loneliness Menurut Weiss (Weiten & Llyod, 2006) dalam konteks interaksi sosial ada dua tipe loneliness, yaitu: a. Social loneliness, terjadi ketika individu tidak puas dan merasa lonely karena kurangnya jaringan sosial dengan teman dan kenalan lainnya untuk melakukan kegiatan serta aktivitas yang menarik. Pada tipe ini dapat dikatakan bahwa individu merasakan loneliness secara kuantitas yang terjadi karena individu merasa memiliki sedikit teman. b. Emotional loneliness, terjadi ketika individu tidak puas dan merasa lonely karena kurang atau terbatasnya kedekatan, kelekatan, dan ikatan hubungan yang intim dari orang tertentu (single intense relationship). Disini individu merasakan loneliness secara kualitas sebagai akibat dari hubungan intim yang tidak memuaskan atau tidak memiliki pasangan. Joyner et al (1999) menyatakan bahwa emotional loneliness ini dirasa lebih menyakitkan dan cenderung dianggap sebagai reaksi emosi yang negatif. Kedua keadaan kesepian diatas dapat dirasakan dan dialami oleh setiap individu di dalam kehidupannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya loneliness akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikut. 12

3 II.A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Loneliness Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya loneliness pada seseorang antara lain: a. Usia Banyak orang beranggapan bahwa semakin tua seseorang maka akan semakin merasa lonely, namun banyak penelitian yang membuktikan bahwa stereotip tersebut keliru. Hasil penelitian Perlman dan Peplau (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2000) menemukan bahwa loneliness lebih tinggi terjadi diantara remaja dan dewasa muda, serta menjadi lebih rendah pada orangorang yang sudah tua. Brehm et al (2002) juga menyatakan bahwa orang dewasa muda menghadapi banyak sekali transisi sosial yang besar untuk mendapatkan identitas diri mereka (seperti meninggalkan rumah, merantau, memasuki dunia perkuliahan, dan memasuki dunia kerja yang full time) dimana semua peristiwa tersebut dapat menyebabkan terjadinya loneliness pada seseorang. Erickson (dalam Hurlock, 1999) menjelaskan bahwa dengan terjadinya perubahan dan transisi sosial tersebut maka pada masa dewasa dini inilah masa terjadinya krisis keterpencilan, dan dalam masa ini seseorang sering sekali merasa lonely. Papalia, Olds, dan Feldman (2004) menyatakan bahwa usia dewasa dini ini berkisar dari tahun. b. Status perkawinan Secara umum, orang yang tidak menikah cenderung lebih merasa lonely dibandingkan orang yang menikah (Page & Cole; Perlman & Peplau; Stack 13

4 dalam Brehm et al, 2002). Pernyataan tersebut dipertegas lagi oleh Papalia, Olds, dan Feldman (2004) yang menyatakan bahwa salah satu karakteristik yang terdapat di kalangan individu yang hidup melajang adalah mereka cenderung mengalami tingkat loneliness yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang sudah menikah. Brehm et al (2002) mengelompokkan individu yang melajang ke dalam beberapa sub grup yaitu belum pernah menikah (never married), berpisah atau bercerai (separated or divorced), dan janda (widowed). Ia menyatakan bahwa loneliness yang terjadi pada individu yang berpisah, bercerai, dan janda merupakan reaksi terhadap hilangnya hubungan perkawinan (marital relationship) bukan akibat dari ketidakhadiran dari pasangan seperti pada individu yang belum pernah menikah (never married). Penelitian ini akan lebih difokuskan kepada individu yang belum pernah menikah (never married) dimana seperti yang dikemukakan Myers (1999) bahwa ketidakhadiran pasangan pada individu dapat membuat terjadinya loneliness yang menyakitkan. Heffner (dalam Weiten & Llyod, 2006) juga mengemukakan bahwa retaknya hubungan yang romantis atau tidak memiliki seseorang yang khusus dalam hidup individu, dapat memperkuat perasaan lonely. Papalia, Olds, dan Feldman (2004) menambahkan bahwa bahwa keadaan belum menikah dan belum memiliki pasangan pada individu dewasa dapat menimbulkan loneliness pada dirinya. 14

5 Hurlock (1999) juga mengemukakan bahwa saat individu memasuki usia dewasa dini, dia akan dihadapkan kepada tugas perkembangannya yaitu menemukan pasangan hidup dan membentuk suatu keluarga. Namun, ketika hal tersebut tidak terlaksana maka terjadilah loneliness pada individu. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Erickson (dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2004) bahwa fokus utama dari indvidu dewasa dini adalah membangun sebuah hubungan intim dengan seseorang dan membentuk komitmen dengan pasangannya, apabila tidak terpenuhi maka individu akan mengalami loneliness yang mendalam. Brehm et al (2002) juga menambahkan bahwa kurangnya ataupun tiadanya hubungan intim dengan orang lain, atau pasangan, dapat menyebabkan seseorang mengalami emotional loneliness. Hal ini dipertegas lagi oleh Morris dan Maisto (2005) yang menyatakan bahwa ketiadaan hubungan intim dengan seseorang yang khusus menimbulkan perasaan lonely yang menyakitkan. c. Gender Menurut Borys dan Perlman (dalam Dane, Deaux, & Wrightman, 1993), perempuan dan laki-laki menunjukkan frekuensi yang sama dalam mengalami loneliness. Meskipun demikian, perempuan lebih mudah menunjukkan ekspresi lonely daripada laki-laki dan sebagian besar laki-laki yang mengalami loneliness menyangkal bahwa dirinya sedang merasa lonely. Lebih lanjut, Borys dan Perlman (dalam Brehm et al, 2002) menyebutkan bahwa laki-laki juga lebih sulit menyatakan loneliness secara tegas dibandingkan dengan 15

6 perempuan. Hal ini disebabkan adanya stereotip gender yang berlaku dalam masyarakat bahwa laki-laki yang mengalami loneliness lebih sulit untuk diterima secara sosial dan cenderung ditolak dibandingkan perempuan. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa laki-laki lebih mudah mengalami loneliness dibandingkan perempuan. Spelman dan Rider (2003) menyebutkan bahwa loneliness pada perempuan lajang dapat semakin meningkat saat ia merasa sudah seharusnya memiliki pasangan tetapi pada kenyataannya belum memiliki ataupun menemukan pasangan yang ideal bagi mereka. Hal senada juga dikemukakan oleh Hurlock (1999) bahwa perempuan yang sudah mencapai usia tertentu untuk menikah, tetapi belum mempunyai pasangan hidup akan membuat mereka mengalami loneliness dan akan semakin meningkat ketika perempuan mendapat tekanan dari keluarga serta masyarakat untuk segera membentuk sebuah keluarga. d. Karakteristik latar belakang keluarga Hubungan antara orang tua dan anak dalam struktur keluarga berhubungan dengan munculnya loneliness. Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menemukan individu dengan orang tua yang bercerai akan lebih mengalami loneliness bila dibandingkan dengan individu dengan orang tua yang tidak bercerai. Semakin muda usia seseorang ketika orang tuanya bercerai semakin tinggi tingkat loneliness yang akan dialaminya saat dewasa. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku pada individu yang orang tuanya berpisah karena salah satunya meninggal. 16

7 Individu yang kehilangan orang tuanya karena meninggal ketika ia masih kanak-kanak mengalami loneliness yang berbeda saat dewasa dibandingkan dengan individu yang orang tuanya berpisah sejak masa kanak-kanak atau masa remaja. Brehm et al (2002) menyatakan bahwa proses perceraian meningkatkan potensi anak-anak dengan orang tua yang bercerai untuk mengalami loneliness saat anak-anak tersebut menjadi dewasa. e. Faktor sosial ekonomi Weiss (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan bahwa tingkat status ekonomi seseorang akan mempengaruhi tingkat loneliness yang terjadi pada dirinya. Status ekonomi ini berhubungan dengan seberapa besar pendapatan yang diperoleh individu. Individu dengan pendapatan yang rendah cenderung mengalami loneliness lebih tinggi dibandingkan individu dengan pendapatan yang tinggi. f. Pendidikan Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seseorang juga berkaitan dengan loneliness yang dialaminya, hal ini ditunjukkan oleh sebuah survey yang dilakukan oleh Page dan Cole s (Brehm et al, 2002) yang menyatakan bahwa pendidikan mempunyai korelasi terbalik dengan loneliness yang dialami oleh seseorang. II.A.4. Perasaan Loneliness Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan ada 4 bentuk perasaan yang dialami oleh individu yang mengalami loneliness, yaitu: 17

8 a. Desperation Desperation merupakan suatu keadaan dimana individu merasakan keputusasaan dan ketidakberdayaan dalam dirinya, sehingga dapat menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan yang nekat. Desperation ini ditandai dengan perasaan putus asa, tidak berdaya, takut atau khawatir, tidak memiliki harapan, ditinggalkan atau dibuang, dan diejek. b. Impatient boredom Impatient boredom adalah suatu keadaan dimana individu merasakan kebosanan yang tidak tertahankan pada dirinya sebagai akibat yang muncul dari kejenuhan terhadap dirinya sendiri. Impatient boredom ini ditandai dengan munculnya perasaan tidak sabaran, menjemukan atau bosan, ingin berada ditempat lain, gelisah atau tidak tenang, marah, dan tidak mampu berkonsentrasi. c. Self-deprecation Self-deprecation adalah suatu kondisi dimana individu menyalahkan, mencela, ataupun mengutuk dirinya sendiri terhadap peristiwa atau kejadian yang dialaminya. Self-deprecation ini ditandai dengan munculnya perasaan bahwa dirinya tidak menarik, rendah diri, bodoh, malu, dan tidak nyaman. d. Depression Depression adalah suatu keadaan dimana individu merasakan kesedihan yang mendalam dan terus menerus ataupun dalam kondisi tertekan sehingga bila tidak diatasi dapat mengarahkannya pada tindakan bunuh diri. Depression ini ditandai dengan munculnya perasaan sedih, tertekan atau hilang semangat, 18

9 kosong atau hampa, terkucil, menyesali diri, murung, diasingkan, dan ingin bersama seseorang yang khusus. Keempat perasaan tersebut dapat dirasakan secara bersamaan pada individu yang mengalami loneliness dengan kualitas berbeda-beda. Adapun munculnya penyebab perasaan lonely pada diri individu akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikut. II.A.5. Penyebab Loneliness Pada Individu yang Melajang Ada empat hal yang dapat menyebabkan individu yang melajang mengalami loneliness yaitu: a. Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki individu Ada banyak alasan mengapa seseorang mungkin merasa tidak puas berkaitan dengan kualitas dan kuantitas hubungan yang dimilikinya. Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menyimpulkan beberapa alasan yang banyak dikemukakan oleh orang yang mengalami loneliness yaitu: 1. Being unattached: suatu keadaan dimana individu merasa lonely ketika dia tidak mempunyai pasangan, tidak memiliki pasangan seksual, ataupun berpisah dengan pasangannya. 2. Alienation: suatu keadaan dimana individu merasa lonely saat dia merasa berbeda dengan orang lain, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan oleh orang lain, dan tidak mempunyai teman dekat. 19

10 3. Being alone: suatu keadaan dimana individu merasa lonely ketika individu merasa dirinya selalu sendirian pulang ke rumah dan tidak ada seseorang yang menyambutnya. 4. Forced isolation: suatu keadaan dimana individu merasa lonely saat dikurung dirumah, dirawat inap di rumah sakit, dan tidak bisa kemanamana. 5. Dislocation: suatu keadaan dimana individu merasa lonely saat individu merasa jauh dari rumah, memulai pekerjaan atau sekolah baru, terlalu sering melakukan perpindahan, dan sering melakukan perjalanan. Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa loneliness pada individu yang melajang disebabkan oleh ketidakhadiran pasangan, berpisah dengan pasangannya, dirinya merasa berbeda dengan orang lain, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan oleh orang lain, dan tidak mempunyai seseorang untuk berbagi. Loneliness tersebut dapat membawa dampak negatif bagi hubungan individu tersebut dengan individu lain. Contohnya, individu yang mengalami loneliness akan menerima orang lain dalam cara yang negatif (Jones, Wittenberg, & Weis dalam Myers, 1999). Pandangan negatif ini akan mempengaruhi keyakinan individu yang mengalami loneliness tersebut dan menyebabkan hilangnya kepercayaan sosial serta menjadi pesimis terhadap orang lain (Myers, 1999). Hal tersebut dapat menghambat individu itu dalam mengurangi tingkat loneliness mereka. Weiten dan Lloyd (2006) juga menyatakan bahwa individu yang mengalami loneliness mempunyai pikiran yang tidak rasional tentang 20

11 keterampilan sosialnya, kemungkinan mereka dalam meraih suatu hubungan yang intim dengan seseorang, dan kemungkinan untuk ditolak. Young (dalam Weiten & Lloyd, 2006) menambahkan bahwa individu yang mengalami loneliness menggunakan self-talk yang negatif sehingga hal tersebut mencegah mereka untuk mengejar atau meneruskan suatu keintiman dalam cara yang aktif dan positif dengan pasangannya. Individu yang mengalami loneliness dipersepsikan tidak dapat menyesuaikan diri oleh orang-orang yang mengenal mereka (Lau & Gruen; Rotenberg & Kmill dalam Baron & Byrne, 1992). Dengan demikian, loneliness yang terjadi pada individu melajang dapat menjadi semakin kuat sebagai akibat dari perilaku mereka tersebut dan akan membuat mereka terhambat untuk membangun hubungan intim dengan seseorang dan akhirnya tidak memiliki pasangan. b. Perubahan terhadap apa yang diinginkan individu dari suatu hubungan Loneliness dapat juga berkembang karena terjadi perubahan terhadap apa yang diinginkan individu dari suatu hubungan. Pada saat tertentu hubungan yang dimiliki oleh individu tersebut memuaskan, sehingga individu tersebut tidak mengalami loneliness. Akan tetapi, menurut Peplau & Perlman (dalam Brehm et al, 2002) di lain waktu hubungan tersebut dapat menjadi tidak lagi memuaskan karena terjadi perubahan pada apa yang diinginkan dari hubungan tersebut. Mereka juga menyatakan bahwa perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber yang berbeda seperti perubahan mood dimana jenis hubungan yang diinginkan ketika senang mungkin berbeda dengan jenis hubungan yang diinginkan saat sedang sedih. 21

12 Peplau, Russell, dan Heim, serta Perlman dan Peplau (dalam Brehm et al, 2002) menambahkan bahwa pertambahan usia juga dapat mempengaruhi keinginan untuk berhubungan dengan orang lain. Jenis pertemanan akan sangat menyenangkan saat individu berusia 15 tahun yang kemudian dapat menjadi tidak memuaskan ketika memasuki usia 25 tahun. Sebagai contoh, banyak orang yang memasuki usia dewasa tidak menginginkan keterlibatan emosional yang dekat dengan seseorang ketika mereka sedang mempersiapkan karirnya. Akan tetapi, saat karir sudah terbentuk dengan mapan, individu merasakan kebutuhan yang sangat besar terhadap suatu hubungan yang memiliki komitmen secara emosional, dan bila tidak mendapatkannya maka akan menyebabkan munculnya loneliness. c. Self esteem Loneliness berhubungan dengan self-esteem yang rendah. McWhirter, Rubenstein, dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan bahwa orang yang memiliki self-esteem yang rendah akan merasa tidak nyaman pada situasi yang beresiko secara sosial, misalnya berbicara di depan umum dan berada di kerumunan orang yang tidak dikenal. Dalam keadaan seperti ini, individu tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial tertentu secara terus-menerus dan akibatnya akan mengalami loneliness. Hal ini juga didukung oleh Bruch, Hammer, dan Heimberg (dalam Baron & Byrne, 2002) yang menyebutkan bahwa individu yang tidak mampu secara sosial cenderung menjadi pemalu, memiliki self-esteem yang rendah, dan merasakan self-concious ketika berinteraksi dengan orang lain. Frankel & 22

13 Prentice-Dum (dalam Santrock, 1995) juga berpendapat bahwa individu yang mengalami loneliness dan memiliki self-esteem yang rendah akan cenderung menyalahkan diri sendiri lebih daripada yang seharusnya atas kekurangan mereka. Pada individu yang melajang, self-esteem yang rendah, kecemasannya saat berhubungan dengan orang lain, dan tidak mau bertemu di dalam pertemuanpertemuan sosial dapat menghalanginya untuk menjalin dan membangun hubungan dengan seseorang yang dia sukai sehingga dapat meningkatkan loneliness yang dialaminya. d. Perilaku interpersonal Menurut Brehm et al (2002), perilaku interpersonal individu yang mengalami loneliness akan menyulitkan individu itu untuk membangun suatu hubungan dengan orang lain. Berbeda dengan individu yang tidak mengalami loneliness, individu yang mengalami loneliness akan menilai orang lain secara negatif, mereka tidak begitu menyukai orang lain, tidak mempercayai orang lain, menginterpretasikan tindakan, dan berperilaku secara negatif terhadap orang lain, serta cenderung memegang sikap-sikap yang bermusuhan. Orangorang yang merasa loneliness juga cenderung menghabiskan waktu senggang mereka pada aktifitas yang sendiri, memiliki kencan yang sangat sedikit, dan hanya memiliki teman biasa atau kenalan (Bell; Berg & McQuinn dalam Baron & Byrne, 2002). Individu yang mengalami loneliness merasa bahwa dirinya disingkirkan oleh lingkungan sekitarnya dan percaya bahwa mereka hanya memiliki sedikit 23

14 kesamaan dengan orang yang mereka temui (Myers, 1999). Selain itu, orang yang mengalami loneliness cenderung terhambat dalam keterampilan sosial (Baron & Byrne, 2002), menjadi pasif bila dibandingkan dengan orang yang tidak mengalami loneliness dan ragu-ragu dalam mengekspresikan pendapat di depan umum (Myers, 1999). Di dalam suatu percakapan, individu yang mengalami loneliness membuat sedikit pernyataan dan pertanyaan, lambat dalam memberikan respon, dan tidak memiliki ketertarikan untuk melanjutkan suatu topik dengan lawan bicara mereka (Hogg & Vaughan, 2002). Sebagai tambahan, individu yang mengalami loneliness cenderung tidak responsif dan tidak sensitif secara sosial dan mereka juga menjadi lambat dalam membangun keintiman hubungan dengan orang lain (Check dalam Brehm et al, 2002). Dengan demikian, perilaku ini nantinya dapat membatasi kesempatan individu tersebut untuk bersama dengan orang lain dan memiliki kontribusi terhadap pola interaksi yang tidak memuaskan. Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa pada individu yang melajang, loneliness yang dialaminya dapat disebabkan oleh perilaku interpersonal yang tidak sesuai dan akhirnya pengalaman tersebut menimbulkan ketidakbahagiaan dalam dirinya. Loneliness yang muncul karena perilaku interpersonal yang tidak tepat ini nantinya dapat membawa dampak yang negatif yaitu tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik dan menurunkan kesehatan mental serta fisiologis seseorang yang membawanya kepada kondisi yang serius (Hawkley et al, 2003). 24

15 e. Causal attribution Proses dimana individu mengatribusikan faktor-faktor penyebab yang bertanggung jawab terhadap loneliness yang dialaminya (apakah dari pribadinya sendiri atau karena suatu keadaan) disebut dengan causal attribution (Pervin, 2005). Di dalam causal attribution, faktor yang berhubungan dengan munculnya loneliness adalah karakteristik pribadi individu dan keadaan lingkungan disekitarnya (Perlman & Peplau, dalam Brehm et al, 2002) yang mana karakteristik pribadi individu memegang peranan yang besar terhadap kemungkinan terjadinya loneliness dibandingkan dengan keadaan lingkungan sekitarnya (Brehm et al, 2002). Hal ini diperkuat oleh penelitian Jylha dan Jokela (dalam Rokach, 1998) yang menyatakan bahwa faktor kepribadian individu membuat individu lebih merasa lonely daripada faktor situasional. Weiner (dalam Pervin, 2005) menyatakan bahwa salah satu faktor kepribadian dalam causal attribution yang diidentifikasi untuk menjelaskan karakteristik pribadi individu adalah locus of control. Rotter (dalam Hogg & Vaughan, 2002) menyatakan bahwa locus of control adalah bagaimana suatu penyebab itu dipersepsikan individu berasal dari dirinya (internal) atau berasal dari luar (eksternal) diri individu. Weiner (dalam Pervin, 2005) menyebutkan bahwa locus of control dinamakan juga dengan locus of causality namun keduanya memiliki arti yang sama, dan selanjutnya pada penelitian ini akan menggunakan istilah locus of control yang dipakai oleh Rotter. Causal attribution berhubungan erat dengan perilaku interpersonal yang dilakukan 25

16 individu. Hal ini ditegaskan oleh Hogg & Vaughan (2002) yang menyatakan bahwa atribusi memiliki peranan yang sangat besar dalam hubungan interpersonal yang dilakukan oleh individu yaitu bagaimana individu menjalin suatu hubungan dengan individu lain. Jones (dalam Baron & Byrne, 1992) juga menyatakan bahwa individu yang mengalami loneliness disebabkan oleh kurang atau tidak adanya kontrol dari dalam dirinya untuk mengatasi keadaan tersebut. Pada individu yang melajang, status dirinya yang belum menikah dan belum memiliki pasangan merupakan penyebab terjadinya loneliness. Ada individu yang menganggap dan mempersepsikan bahwa status melajangnya merupakan akibat dari perilakunya sendiri (internal). Ada pula yang menganggap faktor lainlah yang menyebabkan loneliness tersebut (eksternal). Pada penelitian ini akan membahas lebih dalam mengenai locus of control yang dikemukakan oleh Rotter. II.B. Locus Of Control II.B.1. Pengertian Locus Of Control Setiap individu mempunyai perbedaan dalam menghadapi suatu situasi ataupun peristiwa yang dialaminya. Salah satu faktor individual yang mengendalikan peristiwa kehidupan seseorang adalah locus of control yang dimiliki individu tersebut. Cara perilaku mereka menghadapi situasi atau peristiwa tersebut tergantung pada persepsi individu. Konsep locus of control ini pertama 26

17 kali diidentifikasi untuk menjelaskan dimensi kepribadian oleh Rotter (dalam Feist & Feist, 2002). Menurut Rotter locus of control adalah: Our belief about the source of control of reinforcement (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994: p.416) Dengan kata lain, locus of control ini merupakan keyakinan individu mengenai sumber dari pengendali perilakunya terhadap penguatan yang akan diterimanya. Penguatan (reinforcement) yang dimaksudkan adalah nilai dari sebuah peristiwa atau kejadian yang mengindikasikan suatu fungsi mengenai harapan seseorang yang mengarahkan akan terbentuknya penguatan pada masa yang akan datang, dapat berupa hadiah (reward) ataupun hukuman (punishment) (Rotter dalam Feist & Feist, 2002). Rotter (dalam Graffeo dan Silvestri, 2006) menambahkan reinforcement dalam locus of control adalah bahwa individu percaya perilakunya diarahkan oleh penguat dan hukuman serta penghargaan yang memiliki pengaruh ketika individu menginterpretasikan hasil dari tindakan yang dilakukannya. Locus of control itu juga merupakan suatu cara dimana individu memiliki tanggung jawab terhadap peristiwa yang terjadi di dalam kontrol ataupun diluar kontrol dirinya (Rotter, dalam Schultz & Schultz, 1994). Pernyataan ini juga didukung oleh Lefcourt (dalam Partosuwido, 1993) bahwa locus of control adalah konsep yang berhubungan dengan kepercayaan mengenai penguatan internal dan eksternal dalam mengembangkan harapan secara umum tentang kemampuannya untuk menguasai hidupnya. Individu yang percaya bahwa peristiwa yang terjadi dalam hidupnya adalah karena hasil tingkah lakunya sendiri maka ciri kepribadiannya akan dikatakan memiliki harapan terhadap penguatan internal. 27

18 Sementara, individu yang percaya bahwa kejadian yang terjadi dalam hidup mereka adalah karena adanya faktor lain di luar dirinya, maka mereka dikatakan memiliki penguatan eksternal. Dari uraian yang telah dikemukakan diatas maka locus of control dapat didefenisikan sebagai keyakinan seseorang mengenai sumber pengendali perilakunya. II.B.2. Jenis Locus Of Control Rotter (dalam Schultz & Schultz, 1994) menjelaskan bahwa terdapat dua jenis locus of control yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal. Internal locus of control indicates a belief that reinforcement is brought about by our own behavior. External locus of control indicates a belief that reinforcement is under the control of other people, fate or luck. (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994: p.416) Locus of control internal mengindikasikan adanya keyakinan individu bahwa keberhasilan atau kegagalan yang dialaminya akan datang dari perilakunya sendiri. Sementara itu, locus of control eksternal mengindikasikan keyakinan individu bahwa keberhasilan atau kegagalan yang dialaminya berada dibawah pengaruh orang lain, nasib, ataupun keberuntungan. Orang yang percaya bahwa mereka dapat mengontrol sendiri perilakunya (internal) akan menunjukkan perilaku yang berbeda pada berbagai situasi (Rotter, dalam Feist & Feist, 2002). Stone dan Jackson (dalam Howard, 1996) juga menjelaskan bahwa individu yang berorientasi pada locus of control internal berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kontrol lebih dalam mengendalikan 28

19 kejadian ataupun peristiwa yang dialaminya dan menganggap bahwa perubahan yang terjadi adalah karena tindakan atau usahanya sendiri. Individu dengan locus of control internal juga dilaporkan sedikit mengalami kecemasan, memiliki self-esteem yang tinggi, lebih bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukannya, dan mempunyai kesehatan mental yang baik (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994). Selain itu, individu yang mengembangkan orientasi internal meyakini bahwa keterampilan, kerja keras, tinjauan terhadap masa depan, dan perilaku yang bertanggung jawab akan memberikan hasil yang positif (Rotter, dalam Baron & Byrne, 1992). Sebaliknya, individu dengan locus of control eksternal berkeyakinan bahwa perilaku dan kemampuan mereka tidak memberi penguatan terhadap mereka, memberi nilai yang rendah terhadap segala usaha yang dilakukan, dan mereka juga mempunyai sedikit keyakinan akan kemungkinan bahwa mereka dapat mengontrol hidupnya pada masa yang akan datang (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994). Individu yang mengembangkan orientasi eksternal juga meyakini bahwa suatu kejadian ditentukan oleh kesempatan, tindakan orang lain dan faktorfaktor yang tidak dapat dikontrol (Rotter dalam Baron & Byrne, 1992). Lebih lanjut Rotter (dalam Feist & Feist, 2002) menambahkan bahwa locus of control eksternal melihat suatu perubahan karena adanya faktor dari luar, kejadian dan tindakannya seolah-olah disebabkan oleh adanya kekuatan di luar dirinya seperti nasib, kesempatan, ataupun kekuatan dari orang lain. Oleh karena itu, individu dengan locus of control eksternal beranggapan bahwa peristiwa yang 29

20 dialaminya merupakan akibat dari adanya faktor-faktor lain yang tidak dapat dikendalikan oleh dirinya. Perbedaan locus of control pada seseorang ternyata dapat menimbulkan perbedaan pada aspek-aspek kepribadian yang lain. Rotter (Baron & Byrne, 1992) menyebutkan bahwa individu dengan locus of control internal ternyata lebih banyak menimbulkan pengaruh-pengaruh positif pada kepribadian. Sebaliknya, individu dengan locus of control eksternal lebih bersikap menerima (conform) terhadap pengaruh-pengaruh tesebut. Lebih lanjut, Rotter (dalam Szhultz & Szhultz) menjelaskan bahwa bila individu dengan locus of control internal gagal, maka mereka akan merasa bertanggung jawab terhadap kegagalannya. Rasa tanggung jawab ini disertai dengan sikap tidak mudah terpengaruh oleh lingkungannya. Individu dengan locus of control eksternal merasa tidak harus bertanggung jawab terhadap kegagalan yang dihadapinya, karena kegagalan tersebut bukanlah akibat dari perbuatannya. Bersamaan itu pula mereka juga tidak merasa perbuatan dengan bekerja keras akan membawa pengaruh pada keberhasilan atau hasil yang diharapkan. Hal inilah yang membawa individu pada sikap pasrah menerima (conform) terhadap pengaruh-pengaruh yang menimpa dirinya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan ada dua jenis locus of control yaitu locus of control internal dan locus of control eksternal. Individu dengan locus of control internal menganggap perubahan yang terjadi karena tindakan atau usahanya sendiri, dan kemampuan diri (ability). Individu dengan locus of control eksternal melihat perubahan karena faktor dari luar. Kejadian dan 30

21 tindakannya disebabkan karena kekuatan di luar dirinya seperti keberuntungan, kesempatan dan pengaruh orang lain. II.B.3. Aspek-aspek Locus of Control Di dalam locus of control, baik internal maupun eksternal, masing-masing jenis tersebut memiliki aspek-aspek yang turut mempengaruhinya. Adapun aspekaspek tersebut antara lain: a. Aspek locus of control internal: 1. Usaha Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian yang dialami dalam hidupnya ditentukan oleh usaha-usaha yang dilakukan oleh individu tersebut (Rotter Phares, 2005). Pada individu yang melajang bisa saja loneliness yang dialaminya disebabkan oleh kurangnya usaha individu dalam menjalin hubungan dengan lawan jenisnya. 2. Kemampuan Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian dalam hidupnya ditentukan oleh kemampuan dari dirinya sendiri (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994). Sebagai contoh, individu lajang mengalami loneliness ketika ia merasa kurang atau tidak mampu untuk menarik perhatian lawan jenisnya. 31

22 b. Aspek locus of control eksternal: 1. Nasib Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian yang terjadi dalam hidupnya sudah ditakdirkan dan tidak dapat dirubah kembali (Rotter dalam Vaughan & Hogg, 2002). Pada individu yang melajang, keadaan loneliness yang dialaminya bisa terjadi karena ia merasa bahwa nasib sedang tidak berpihak padanya saat ingin membangun suatu hubungan dengan seseorang. 2. Kesempatan Keyakinan individu bahwa faktor keberuntungan ataupun peluang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan dari peristiwa yang terjadi dalam hidupnya (Rotter dalam Phares, 1992). Disini, individu yang melajang bisa saja merasa lonely disebabkan ia tidak memiliki banyak kesempatan untuk dapat berkenalan dengan lawan jenisnya. 3. Pengaruh orang lain Keyakinan individu bahwa peristiwa atau kejadian yang dialaminya disebabkan oleh adanya pengaruh orang lain yang memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari mereka (Rotter dalam Phares, 1992). Contohnya, saat individu tidak mempunyai dukungan yang lebih dalam membangun hubungan dengan seseorang dari orang-orang terdekatnya maka dapat menimbulkan perasaan lonely pada dirinya. 32

23 III.C. Dinamika Loneliness Pada Individu yang Melajang Ditinjau dari Locus of Control Perkawinan merupakan peristiwa normal dalam kehidupan manusia dimana setiap individu yang sudah mencapai usia dewasa, mereka akan dihadapkan dengan hal tersebut. Perkawinan akan terjadi saat individu sudah memiliki hubungan intim dengan seseorang dan komitmen dengan pasangannya (Papalia, Olds, & Feldman, 2004). Stenberg (dalam Hogg & Vaughan, 2002) menyatakan bahwa komitmen akan terjadi saat individu merasakan adanya kedekatan emosional yang membuat individu berkeinginan untuk mempertahankan hubungan yang dimilikinya. Oleh karena itu, keintiman dan komitmen menjadi suatu hal yang penting bagi individu dewasa. Akan tetapi, sekarang ini banyak individu baik, laki-laki maupun perempuan yang menunda perkawinannya dan hidup melajang. Salah satu alasan individu menunda perkawinan mereka adalah mempersiapkan karir yang mapan dimana ketika mereka sedang fokus pada membangun karir, keterlibatan emosional dengan seseorang menjadi hal yang tidak begitu diinginkan (Perlman, Russel, & Heim, serta Perlman & Peplau dalam Brehm et al, 2002). Namun, pada akhirnya individu tetap merasakan kebutuhan yang sangat besar untuk memiliki seseorang yang dicintainya, bila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi ada kemungkinan individu akan mengalami loneliness (Rubenstein & Shaver dalam Brehm, 2002). Selain itu, ketidakhadiran pasangan bagi individu lajang menimbulkan emotional loneliness yang dirasa menyakitkan dan membawa reaksi negatif (Joyner et al, 1999) dan bila tidak juga terpenuhi dapat membawa 33

24 loneliness tersebut menjadi semakin kuat pada diri individu (Heffner dalam Weiten & Llyod, 2006). Dengan demikian merupakan suatu hal penting bagi setiap individu memiliki seseorang yang khusus di dalam hidupnya agar terhindar dari loneliness. Dari penjelasan diatas, dapat dilihat bahwa loneliness menjadi masalah bagi individu melajang dimana setiap orang dapat memiliki interpretasi yang berbeda dalam memaknainya. Loneliness muncul saat individu merasakan kekurangan dan ketidakpuasan terhadap hubungan sosial yang dimilikinya baik secara kualitas maupun kuantitas (Perlman & Peplau dalam Taylor, Peplau, & Sears, 1999). Pada individu yang melajang, loneliness terjadi ketika individu merasakan adanya kekurangan ataupun ketidakpuasan yang disebabkan oleh tidak adanya hubungan kedekatan emosional dengan seseorang (Myers, 1999). Orang yang mengalami loneliness akan merasakan desperation, depression, impatient boredom, dan self-deprecation (Rubenstein & Shaver dalam Brehm et al, 2002). Keadaan tersebut perlu diatasi dengan segera karena dapat membawa dampak negatif bagi individu dimana mereka menunjukkan perilaku interpersonal yang buruk sehingga individu menjadi tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan orang lain maupun lingkungan sekitar dan juga dapat menurunkan kesehatan mental serta fisiknya (Jones & Carver dalam Brehm et al, 2002) Perilaku interpersonal berhubungan dengan causal attribution yang dilakukan oleh individu. Causal attribution ini merupakan penjelasan mengenai faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap peristiwa atau kejadian yang dialami oleh seseorang yaitu dari perilakunya atau hal lain di luar dirinya (Weiner 34

25 dalam Pervin, 2005). Di dalam causal attribution yang menjadi faktor penyebab munculnya loneliness yaitu karakteristik kepribadian dan faktor situasional (Perlman & Peplau dalam Brehm et al, 2002), dimana karakteristik memegang peranan yang besar terhadap terjadinya loneliness pada seseorang (Brehm et al, 2002). Adapun karakteristik kepribadian dalam causal attribution adalah locus of control yaitu keyakinan individu dalam menjelaskan sumber penyebab keadaan yang dialaminya itu apakah disebabkan oleh perilakunya sendiri (internal) atau adanya faktor lain (eksternal) di luar dirinya (Rotter dalam Pervin, 2005). Karakteristik individu yang lebih berorientasi internal berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kontrol lebih dalam mengendalikan kejadian ataupun peristiwa yang dialaminya dan menganggap bahwa perubahan yang terjadi adalah karena tindakan atau usahanya sendiri, dibandingkan dengan individu yang lebih berorientasi eksternal yang meyakini bahwa mereka memiliki sedikit kontrol terhadap hidupnya (Rotter Baron & Byrne, 1992). Individu dengan locus of control internal juga dilaporkan sedikit mengalami kecemasan, memiliki selfesteem yang tinggi, lebih bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukannya, dan mempunyai kesehatan mental yang baik daripada individu dengan locus of control eksternal (Rotter dalam Schultz & Schultz, 1994). Individu yang mengembangkan orientasi internal meyakini bahwa keterampilan, kerja keras, tinjauan terhadap masa depan, dan perilaku yang bertanggung jawab terhadap kejadian atau peristiwa yang dialaminya. Sebaliknya, individu yang mengembangkan orientasi eksternal meyakini bahwa kesempatan, tindakan orang lain dan faktor-faktor yang tidak dapat dikontrollah yang 35

26 bertanggung jawab terhadap kejadian atau peristiwa didalam hidupnya (Rotter Feist & Feist, 2002). Keberhasilan yang dirasakan karena usahanya sendiri jauh lebih membanggakan dibandingkan merasa berhasil karena kebetulan, akan tetapi kegagalan yang dialami oleh individu karena kurangnya usaha akan dianggap jauh lebih memalukan dibandingkan dengan kegagalan yang merasa orang lain tidak membantu (Rotter dalam Baron & Byrne, 1992). Pada individu yang mengalami loneliness, keadaan tersebut terjadi karena kurang atau tidak adanya kontrol dari dalam diri untuk mengatasinya (Jones dalam Bron & Byrne, 1992). Berdasarkan uraian diatas, peneliti akan melihat apakah ada perbedaan loneliness yang dialami oleh individu dewasa dini yang melajang ditinjau dari locus of control. Secara lebih spesifik, penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah individu lajang yang lebih berorientasi internal dan individu lajang yang lebih berorientasi eksternal memiliki tingkat loneliness yang berbeda. III.D. Hipotesa Penelitian Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesa penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah : ada perbedaan tingkat loneliness antara individu lajang dengan locus of control internal dan individu lajang dengan locus of control eksternal. 36

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. Seorang perempuan dianggap sudah seharusnya menikah ketika dia memasuki usia 21 tahun dan laki-laki

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang saling mendukung antara yang satu dengan yang lain.

BAB II LANDASAN TEORI. yang saling mendukung antara yang satu dengan yang lain. BAB II LANDASAN TEORI II.1. Kesepian II.1.1. Definisi Kesepian Hampir semua orang, tak terkecuali remaja pernah merasa kesepian. Banyak sekali definisi mengenai kesepian yang dikemukakan oleh beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal merupakan awal dari suatu tahap kedewasaan dalam rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja dan akan memasuki

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang membutuhkan

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang membutuhkan 12 BAB II LANDASAN TEORI II. A. Dukungan Sosial II. A. 1. Pengertian Dukungan Sosial Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang membutuhkan dukungan sosial. Ada beberapa tokoh yang memberikan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebagai perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat adanya

BAB II LANDASAN TEORI. sebagai perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat adanya BAB II LANDASAN TEORI II. A. Kesepian II. A. 1. Pengertian Kesepian Perlman & Peplau (dalam Brehm et al, 2002) mendefinisikan kesepian sebagai perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Rosenberg (1965) mendefinisikan self esteem sebagai evaluasi yang

BAB II LANDASAN TEORI. Rosenberg (1965) mendefinisikan self esteem sebagai evaluasi yang BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Self Esteem 2.1.1 Pengertian Self Esteem Rosenberg (1965) mendefinisikan self esteem sebagai evaluasi yang dilakukan seseorang baik dalam cara positif maupun negatif terhadap

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB II LANDASAN TEORI. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan BAB II LANDASAN TEORI A. Kesepian 1. Pengertian Kesepian Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Individu dalam tahapan dewasa awal memiliki tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Individu dalam tahapan dewasa awal memiliki tugas perkembangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu dalam tahapan dewasa awal memiliki tugas perkembangan yang salah satunya adalah untuk membentuk hubungan intim dengan orang lain (Santrock, 1992 : 113), maka

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Loneliness 2.1.1 Definisi Loneliness Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian. dan terpisah dari mereka yang ada sekitar anda (Beck & Dkk dalam David G.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian. dan terpisah dari mereka yang ada sekitar anda (Beck & Dkk dalam David G. 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesepian 1. Pengertian Kesepian Kesepian adalah dengan merasa terasing dari sebuah kelompok, tidak dicintai oleh sekeliling, tidak mampu untuk berbagi kekhawatiran pribadi,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Kesepian merupakan fenomena yang umum di seluruh dunia. Kesepian

BAB II LANDASAN TEORI. Kesepian merupakan fenomena yang umum di seluruh dunia. Kesepian BAB II LANDASAN TEORI II.A. KESEPIAN Kesepian merupakan fenomena yang umum di seluruh dunia. Kesepian dapat terjadi pada banyak situasi seperti ketika seseorang mencoba mendapatkan teman di sekolah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hubungan antara pria dan wanita yang diakui secara sosial, yang didalamnya mencakup hubungan seksual, pengasuhan anak, serta pembagian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kesepian 1. Pengertian Kesepian Menurut Archibald, dkk (dalam Baron, 2005 : 16) berpendapat bahwa kesepian (loneliness) adalah suatu reaksi emosional dan kognitif terhadap dimilikinya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Loneliness diartikan oleh Peplau & Perlman (dalam Brage, Meredith &

BAB II LANDASAN TEORI. Loneliness diartikan oleh Peplau & Perlman (dalam Brage, Meredith & BAB II LANDASAN TEORI A. Loneliness 1. Pengertian Loneliness Loneliness diartikan oleh Peplau & Perlman (dalam Brage, Meredith & Woodward, 1998) sebagai perasaan dirugikan dan tidak terpuaskan yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan yang bisa menumbuhkan peradaban bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan merupakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Hampir semua orang, tidak terkecuali laki-laki maupun perempuan pernah

BAB II LANDASAN TEORI. Hampir semua orang, tidak terkecuali laki-laki maupun perempuan pernah BAB II LANDASAN TEORI II.A. Kesepian II.A.1 Definisi Kesepian Hampir semua orang, tidak terkecuali laki-laki maupun perempuan pernah merasakan dan mengalami kesepian. Ada banyak definisi yang dikemukakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan peristiwa dimana sepasang mempelai atau sepasang

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan peristiwa dimana sepasang mempelai atau sepasang 1 BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan peristiwa dimana sepasang mempelai atau sepasang calon suami-istri dipertemukan secara formal di depan penghulu atau kepala agama tertentu,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian (loneliness)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian (loneliness) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesepian (loneliness) 1. Pengertian Kesepian Menurut Sullivan (1955), kesepian (loneliness) merupakan pengalaman sangat tidak menyenangkan yang dialami ketika seseorang gagal

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.A. Kesepian Pada bab sebelumnya, telah diberikan beberapa penjelasan mengenai kesepian. Dikatakan bahwa kesepian dapat dirasakan oleh setiap individu, kapan saja dan dalam keadaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan adaptasi (Lazarus, 1969). Penyesuaian diri merupakan proses

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan adaptasi (Lazarus, 1969). Penyesuaian diri merupakan proses BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENYESUAIAN DIRI 1. Pengertian Penyesuaian Diri Penyesuaian diri merupakan istilah yang digunakan para psikolog, dimana sebelumnya konsep ini merupakan konsep biologis yang disebut

Lebih terperinci

Agresivitas. Persahabatan. Kesepian. Penolakan

Agresivitas. Persahabatan. Kesepian. Penolakan HUBUNGAN ANTARA KESEPIAN DENGAN AGRESIVITAS PADA REMAJA MADYA DI SMA X BOGOR LATAR BELAKANG MASALAH Agresivitas Persahabatan Kesepian Penolakan AGRESIVITAS Perilaku merugikan atau menimbulkan korban pihak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Identity Achievement. (Kartono dan Gulo, 2003). Panuju dan Umami (2005) menjelaskan bahwa BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Identity Achievement 1. Definisi Identity Achievement Identitas merupakan prinsip kesatuan yang membedakan diri seseorang dengan orang lain. Individu harus memutuskan siapakah

Lebih terperinci

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Pengertian Kesepian Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Membangun sebuah hubungan senantiasa menjadi kebutuhan bagi individu untuk mencapai kebahagiaan. Meskipun terkadang hubungan menjadi semakin kompleks saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan bermasyarakat. Pada dasarnya istilah kejahatan ini diberikan kepada suatu jenis perbuatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan orang lain. Manusia dianggap sebagai makhluk sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan orang lain. Manusia dianggap sebagai makhluk sosial yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia di dunia ini tidak hidup sendiri, selalu ada bersama-sama dan berinteraksi dengan orang lain. Manusia dianggap sebagai makhluk sosial yang dalam kesehariannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka, digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesepian merupakan salah satu masalah psikologis yang kerap muncul dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan dunia dalam berbagai aspek menyebabkan mudahnya

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan dunia dalam berbagai aspek menyebabkan mudahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan dunia dalam berbagai aspek menyebabkan mudahnya informasi diterima dan diakses oleh setiap orang, yang berada di belahan bumi berbeda

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan membahas tentang landasan teori berupa definisi, dimensi, dan faktor yang berpengaruh dalam variabel yang akan diteliti, yaitu bahasa cinta, gambaran tentang subjek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Orang tua berperan sebagai figur pemberi kasih sayang dan melakukan asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan berperan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan dengan orang lain yang meliputi interaksi di lingkungan sekitarnya. Sepanjang hidup, manusia akan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam kehidupan manusia, terutama di kota besar di Indonesia, seperti Jakarta. Sampai saat ini memang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja dapat dipandang sebagai suatu masa dimana individu dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai meninggalkan kebiasaan

Lebih terperinci

2015 PENGARUH DATING ANXIETY DAN KESEPIAN TERHADAP ADIKSI INTERNET PADA DEWASA AWAL LAJANG DI KOTA BANDUNG

2015 PENGARUH DATING ANXIETY DAN KESEPIAN TERHADAP ADIKSI INTERNET PADA DEWASA AWAL LAJANG DI KOTA BANDUNG BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah yang mendasari penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan struktur organisasi skripsi. A. Latar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Gunarsa & Gunarsa (1993) keluarga adalah ikatan yang diikat

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Gunarsa & Gunarsa (1993) keluarga adalah ikatan yang diikat BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Menurut Gunarsa & Gunarsa (1993) keluarga adalah ikatan yang diikat oleh perkawinan atau darah dan biasanya meliputi ayah, ibu, dan anak atau anakanak. Keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan. Secara biologis manusia dengan mudah dibedakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan 13 BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun kalau ditanyakan

Lebih terperinci

Astry Evana P.Y.H. Universitas Sumatera Utara

Astry Evana P.Y.H. Universitas Sumatera Utara Dengan hormat, Dalam rangka menyelesaikan studi di Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Saya bermaksud mengadakan penelitian. Untuk itu Saya membutuhkan sejumlah data yang hanya Saya peroleh dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kalangan. Orang dewasa, remaja maupun anak-anak sekarang sudah

BAB I PENDAHULUAN. kalangan. Orang dewasa, remaja maupun anak-anak sekarang sudah BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Peran internet menjadi kebutuhan sumber informasi utama pada berbagai kalangan. Orang dewasa, remaja maupun anak-anak sekarang sudah menggunakan internet untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. melalui tahap intimacy vs isolation. Pada tahap ini, individu berusaha untuk 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Saat seseorang memasuki usia dewasa awal, ia mengalami perubahan dalam hidupnya. Pada usia ini merupakan transisi terpenting dalam hidup manusia, dimana remaja mulai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara BAB II LANDASAN TEORI A. Harga Diri 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif (Santrock, 1998). Hal senada diungkapkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTAR PRIBADI

HUBUNGAN ANTAR PRIBADI HUBUNGAN ANTAR PRIBADI Modul ke: Fakultas Psikologi Macam-macam hubungan antar pribadi, hubungan dengan orang belum dikenal, kerabat, hubungan romantis, pernikahan, masalah-masalah dalam hubungan pribadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk sosial, tentu membutuhkan interaksi dengan manusia lainnya. Artinya manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia hidup saling membutuhkan satu sama lain. Salah satunya adalah hubungan intim dengan lawan jenis atau melakukan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL Oleh: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Yulia Ayriza, Ph.D STABILITAS DAN PERUBAHAN ANAK-DEWASA TEMPERAMEN Stabilitas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Brehm dan Kassin (dalam Dayakisni, 2003), kesepian adalah

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Brehm dan Kassin (dalam Dayakisni, 2003), kesepian adalah BAB II LANDASAN TEORI II.A. Kesepian II.A.1. Defenisi Kesepian Menurut Brehm dan Kassin (dalam Dayakisni, 2003), kesepian adalah perasaan kurang memiliki hubungan sosial yang diakibatkan ketidakpuasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Manusia mengalami berbagai proses perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa kanak-kanak,

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kompetensi Interpersonal Sebagaimana diungkapkan Buhrmester, dkk (1988) memaknai kompetensi interpersonal sebagai kemampuan-kemampuan yang dimiliki seseorang dalam membina hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia menjalani hidupnya dalam berbagai rentang kehidupan. Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Manusia menjalani hidupnya dalam berbagai rentang kehidupan. Salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia menjalani hidupnya dalam berbagai rentang kehidupan. Salah satu rentang hidup yang dijalani oleh setiap individu adalah masa dewasa. Papalia (2008) mendefinisikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Personal Adjustment 1. Definisi Personal Adjustment Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah sebuah proses psikologis yang dijalani seseorang yang mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Locus Of Control. (Cvetanovsky et al, 1984; Ghufron et al, 2011). Rotter (dalam Ghufron et al 2011)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Locus Of Control. (Cvetanovsky et al, 1984; Ghufron et al, 2011). Rotter (dalam Ghufron et al 2011) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Locus Of Control 1. Pengertian Locus of Control Locus of control merupakan dimensi kepribadian yang menjelaskan bahwa individu berperilaku dipengaruhi ekspektasi mengenai dirinya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. Dengan terbukanya

Lebih terperinci

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Bab 2 Tinjauan Pustaka Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Kesepian 2.1.1 Definisi Kesepian Kesepian didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan sosial yang diinginkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Normative Social Influence 2.1.1 Definisi Normative Social Influence Pada awalnya, Solomon Asch (1952, dalam Hogg & Vaughan, 2005) meyakini bahwa konformitas merefleksikan sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk hidup senantiasa barada dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan berakhir ketika individu memasuki masa dewasa awal, tetapi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hubungan jarak jauh (long distance relationship) Pengertian hubungan jarak jauh atau sering disebut dengan long distance relationship adalah dimana pasangan dipisahkan oleh jarak

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap

BAB II LANDASAN TEORI. Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap 7 BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas mengenai teori-teori yang menguraikan tahap perkembangan khususnya pada tahapan dewasa muda, hubungan romantis, attachment dan tipe attachment. 2.1 Dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hal yang sangat penting, diantaranya sebagai sumber dukungan sosial bagi individu, dan juga pernikahan dapat memberikan kebahagiaan

Lebih terperinci

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa dewasa muda merupakan masa dimana individu mulai mengemban tugas untuk menikah dan membina keluarga. Sesuai dengan pendapat Havighurst (dalam Santrock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti

BAB I PENDAHULUAN. Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menjaga hubungan romantis dengan pasangan romantis (romantic partner) seperti saat masih menjadi teman dekat atau pacar sangat penting dilakukan agar pernikahan bertahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari hubungannya dengan orang lain. Keberadaan orang lain dibutuhkan manusia untuk melakukan suatu

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah tahap yang penting bagi hampir semua orang yang memasuki masa dewasa awal. Individu yang memasuki masa dewasa awal memfokuskan relasi interpersonal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki keinginan untuk mencintai dan dicintai oleh lawan jenis. menurut

BAB I PENDAHULUAN. memiliki keinginan untuk mencintai dan dicintai oleh lawan jenis. menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupan manusia terdapat berbagai bentuk hubungan sosial. Salah satunya adalah hubungan intim lawan jenis atau hubungan romantis. Hubungan ini dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesepian merupakan suatu permasalahan yang dialami oleh seseorang, yang terjadi akibat hubungan interpersonal saat ini tidak sesuai dengan harapan yang telah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Emotional Eating 2.1.1 Definisi Emotional Eating Menurut Arnow (1995) emotional eating adalah keinginan untuk makan ketika timbul perasaan emosional seperti frustrasi, cemas

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Prokrastinasi Steel (2007) mengemukakan prokrastinasi sebagai suatu perilaku menunda dengan sengaja melakukan kegiatan yang diinginkan walaupun individu mengetahui bahwa perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini sering terjadi di belahan bumi manapun dan terjadi kapanpun. Pernikahan itu sendiri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini terbagi atas empat sub bab. Sub bab pertama membahas mengenai komunikasi sebagai media pertukaran informasi antara dua orang atau lebih. Sub bab kedua membahas mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan relasi antar pribadi pada masa dewasa. Hubungan attachment berkembang melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan mengalami masa transisi peran sosial, individu dewasa awal akan menindaklanjuti hubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Persepsi Dukungan Sosial 2.1.1 Definisi Persepsi dukungan sosial adalah cara individu menafsirkan ketersediaan sumber dukungan yang berperan sebagai penahan gejala dan peristiwa

Lebih terperinci

PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP KESEPIAN PADA LANSIA SKRIPSI

PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP KESEPIAN PADA LANSIA SKRIPSI PENGARUH DUKUNGAN SOSIAL TERHADAP KESEPIAN PADA LANSIA SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi Oleh: SARI HAYATI 051301068 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA GANJIL,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Pengertian Kecenderungan Pembelian Impulsif. impulsif sebagai a consumers tendency to buy spontaneusly, immediately and

BAB II LANDASAN TEORI. 1. Pengertian Kecenderungan Pembelian Impulsif. impulsif sebagai a consumers tendency to buy spontaneusly, immediately and BAB II LANDASAN TEORI A. KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF 1. Pengertian Kecenderungan Pembelian Impulsif Rook dan Fisher (dalam Semuel, 2007), mendefinisikan sifat pembelian impulsif sebagai a consumers

Lebih terperinci

PENGALAMAN KESEPIAN PADA WANITA YANG BERPERAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL DALAM PERIODE EMPTY-NEST. Oleh: MARIA NUGRAHENI MARDI RAHAYU

PENGALAMAN KESEPIAN PADA WANITA YANG BERPERAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL DALAM PERIODE EMPTY-NEST. Oleh: MARIA NUGRAHENI MARDI RAHAYU PENGALAMAN KESEPIAN PADA WANITA YANG BERPERAN SEBAGAI ORANGTUA TUNGGAL DALAM PERIODE EMPTY-NEST Oleh: MARIA NUGRAHENI MARDI RAHAYU 802008120 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi Psikologi, Fakultas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Teori Komunikasi Keluarga Pengertian Komunikasi

TINJAUAN PUSTAKA Teori Komunikasi Keluarga Pengertian Komunikasi 7 TINJAUAN PUSTAKA Teori Komunikasi Keluarga Pengertian Komunikasi Komunikasi merupakan suatu cara untuk memengaruhi individu agar si pemberi pesan (sender) dan si penerima pesan (receiver) saling mengerti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Remaja merupakan masa transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang ditandai dengan adanya perubahan-perubahan fisik, kognitif, dan psikososial (Papalia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Pada masa ini, individu dituntut

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORITIK. perasaan dirugikan dan tidak terpuaskan yang dihasilkan dari. kesenjangan antara hubungan sosial yang diinginkan dan hubungan

BAB II KAJIAN TEORITIK. perasaan dirugikan dan tidak terpuaskan yang dihasilkan dari. kesenjangan antara hubungan sosial yang diinginkan dan hubungan BAB II KAJIAN TEORITIK A. Kajian Pustaka 1. Kesepian a. Pengertian Kesepian Kesepian diartikan oleh Peplau & Perlman (Peplau, 1998) sebagai perasaan dirugikan dan tidak terpuaskan yang dihasilkan dari

Lebih terperinci

PERBEDAAN TINGKAT KESEPIAN BERDASARKAN STATUS PADA WANITA DEWASA AWAL. Dwi Rezka Kemala. Ira Puspitawati, SPsi, Msi

PERBEDAAN TINGKAT KESEPIAN BERDASARKAN STATUS PADA WANITA DEWASA AWAL. Dwi Rezka Kemala. Ira Puspitawati, SPsi, Msi PERBEDAAN TINGKAT KESEPIAN BERDASARKAN STATUS PADA WANITA DEWASA AWAL Dwi Rezka Kemala Ira Puspitawati, SPsi, Msi Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma Abstraksi Penelitian ini bertujuan untuk menguji

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH ORANG TUA DENGAN KECEMASAN KOMUNIKASI PADA REMAJA DI JAKARTA BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola asuh merupakan interaksi yang diberikan oleh orang tua dalam berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan adalah salah satu tahap penting dalam siklus kehidupan individu di samping siklus kehidupan lainnya seperti kelahiran, perceraian, atau kematian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Allah SWT menciptakan manusia yaitu laki-laki dan perempuan secara berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk setiap masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku Konsumtif 2.1.1 Definisi Perilaku Konsumtif Menurut Fromm (1995) perilaku konsumtif merupakan perilaku yang ditandai oleh adanya kehidupan berlebihan dan menggunakan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Empty Nest 1. Definisi Empty Nest Salah satu fase perkembangan yang akan terlewati sejalan dengan proses pertambahan usia adalah middle age atau biasa disebut dewasa madya, terentang

Lebih terperinci

PENGARUH LONELINESS TERHADAP IMPULSIVE BUYING PRODUK FASHION PADA MAHASISWI KONSUMEN ONLINE SHOP

PENGARUH LONELINESS TERHADAP IMPULSIVE BUYING PRODUK FASHION PADA MAHASISWI KONSUMEN ONLINE SHOP PENGARUH LONELINESS TERHADAP IMPULSIVE BUYING PRODUK FASHION PADA MAHASISWI KONSUMEN ONLINE SHOP Mariatul Qibtiyah_11410027 Jurusan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DAN CITRA DIRI

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DAN CITRA DIRI HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DAN CITRA DIRI DENGAN KESEPIAN PARA ISTRI ANGGOTA TNI SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 oleh : DWI BUDI UTAMI F 100 040

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ketika memulai relasi pertemanan, orang lain akan menilai individu diantaranya berdasarkan cara berpakaian, cara berjalan, cara duduk, cara bicara, dan tampilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menyenangkan. Apalagi pada masa-masa sekolah menengah atas. Banyak alasan. sosial yang bersifat sementara (Santrock, 1996).

BAB I PENDAHULUAN. menyenangkan. Apalagi pada masa-masa sekolah menengah atas. Banyak alasan. sosial yang bersifat sementara (Santrock, 1996). BAB I PENDAHULUAN 1.1 LatarBelakang Banyak orang mengatakan masa-masa sekolah adalah masa yang paling menyenangkan. Apalagi pada masa-masa sekolah menengah atas. Banyak alasan pembahasan mengenai masa

Lebih terperinci

Bab 2 Tinjauan Pustaka

Bab 2 Tinjauan Pustaka Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Rasa Malu dan Bersalah 2.2.1 Definisi Kecenderungan Rasa Malu dan Bersalah Perasaan malu dan bersalah muncul sebagai akibat dari perbuatan menyimpang yang dilakukan seorang individu

Lebih terperinci