BAB II LANDASAN TEORI. Kesepian merupakan fenomena yang umum di seluruh dunia. Kesepian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II LANDASAN TEORI. Kesepian merupakan fenomena yang umum di seluruh dunia. Kesepian"

Transkripsi

1 BAB II LANDASAN TEORI II.A. KESEPIAN Kesepian merupakan fenomena yang umum di seluruh dunia. Kesepian dapat terjadi pada banyak situasi seperti ketika seseorang mencoba mendapatkan teman di sekolah yang baru atau di tempat kerja yang baru (Brehm, 2002). Individu yang tidak menginginkan teman bukan orang yang kesepian, tetapi seseorang yang menginginkan teman dan tidak memilikinya disebut orang yang kesepian (Burger, dalam Baron & Byrne, 2000). II.A.1. Definisi Kesepian Menurut Felman (1995) kesepian adalah ketidakmampuan dalam menciptakan tingkat kepuasan afiliasi. Selanjutnya Peplau dan Perlman (dalam Brehm, 2002) mengatakan kesepian adalah: a feeling of deprivation and dissatisfaction produced by a discrepancy between the kind of social relation we want and the kind social relation we have. Menurut Brehm & Kassin (dalam Dayakisni, 2003) kesepian adalah perasaan kurang memiliki hubungan sosial yang diakibatkan ketidakpuasan dengan hubungan sosial yang ada. Kesepian juga berarti suatu keadaan mental dan perasaan emosional yang terutama dicirikan oleh adanya perasaan-perasaan terasing dan kurangnya hubungan yang bermakna dengan orang lain (Bruno, dalam Dayakisni. 2003). 32

2 Wrigtsman & Deaux (1993) mengatakan bahwa kesepian merupakan pengalaman subjektif dan tergantung pada interpretasi individu terhadap suatu kejadian. Berdasarkan definisi tersebut, Wrigtsman & Deaux menyimpulkan ada tiga elemen penting dari kesepian, yaitu: 1. Kesepian merupakan pengalaman subjektif yang tidak dapat diukur dengan obsevasi sederhana 2. Kesepian merupakan perasaan yang tidak menyenangkan 3. Secara umum kesepian merupakan hasil dari kurangnya atau terhambatnya hubungan sosial. Peplau & Perlman (dalam Taylor. Peplau, & Sears, 2000) mengatakan bahwa kesepian terjadi sebagai akibat berkurangnya hubungan yang berarti dengan orang lain dan hal ini dapat menyebabkan keadaan yang tidak menyenangkan. Baron & Byrne (2000) mengatakan bahwa kesepian muncul ketika terjadi kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan kenyataan dalam kehidupan interpersonal individu. Kesepian mengacu pada ketidaknyamanan subjektif yang dirasakan seseorang ketika beberapa kriteria penting dari hubungan sosial individu tersebut terhambat atau tidak terpenuhi. Kekurangan tersebut dapat bersifat kuantitatif seperti tidak memiliki teman seperti yang diinginkan dan bersifat kualitatif seperti merasa bahwa hubungan sosial yang dibina hanya bersifat seadanya atau kurang memuaskan (Perlman dan Peplau dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2000). Dengan demikian, kesepian merupakan perasaan yang tidak menyenangkan yang disebabkan tidak adanya hubungan sosial seperti yang 33

3 diharapkan dan tidak adanya hubungan intim karena terputusnya kontak sosial dengan orang-orang tertentu seperti anak, pasangan, orang tua atau relasi. II.A.2. Karakteristik Orang yang Kesepian Karakteristik orang yang kesepian antara lain cenderung menyalahkan diri sendiri atas hubungan sosial yang buruk (Anderson & Snogdgrass, dalam Myers, 1999), menerima orang lain secara negatif (Jones, Wittenberg,& Reiss, dalam Myers, 1999), kesulitan dalam berteman dan berpartisipasi dalam kelompok (Rock, Spitzberg & Hurt, dalam Myers, 1999), serta cenderung menjadi pemalu, tidak asertif, (Jones & Cutrona, dalam Saks & Krupart, 1998), memiliki harga diri yang rendah dan cenderung menyalahkan diri sendiri dari pada yang seharusnya atas kekurangan mereka (Frankel & Prentice-Dhun, dalam Santrock, 1999), memiliki kekurangan dalam keterampilan sosial (Riggio, Trockmorton & DePaola; Jones, Hobbs, & Hockenbury, dalam Santrock, 1999). Orang yang kesepian selalu merasa kesulitan dalam memperkenalkan diri, membuat panggilan telepon (Rock, Spitzberg & Hurt, dalam Myers, 1999). Ketika berbicara dengan orang asing, oang yang kesepian lebih banyak membicarakan diri mereka sendiri dan memberikan sedikit ketertarikan terhadap lawan bicaranya Jones (dalam Myers, 1999). Setelah pembicaraan selesai biasanya kenalan baru tersebut memberikan kesan yang negatif terhadap orang yang kesepian tersebut. Orang yang kesepian cenderung menjadi pemalu, self conscious, introvert, memiliki self esteem yang rendah, tidak asertif (Jones & Cutrona, dalam Saks & Krupart, 1998). Orang yang kesepian kesulitan dalam menikmati sebuah pesta, 34

4 memperkenalkan diri, berpartisipasi dalam kelompok, dan berteman (Horowitz & French, dalam Saks & Krupart, 1998). Menurut Anderson, Horowitz, dan French (dalam Saks & Krupart, 1998) orang yang kesepian cenderung menganggap kegagalan hubungan interpersonal merupakan cacat yang tidak dapat diubah dalam kepribadian daripada faktor mood (perasaan). II.A.3. Perasaan Kesepian Berdasarkan survey kesepian pada populasi umum, Rubenstein, Shaver, & Peplau (dalam Brehm, 2002) menjelaskan ada empat set perasaan yang dirasakan oleh seseorang ketika mengalami kesepian, yaitu: 1. Desperation merupakan perasaan keputusasaan, kehilangan harapan, serta perasaan yang sangat menyedihkan sehingga seseorang mampu melakukan tindakan nekat. 2. Impatient boredom merupakan perasaan bosan yang tidak tertahankan, jenuh, serta tidak sabar. 3. Self-deprecation merupakan perasaan dimana seseorang tidak mampu menyelasaikan masalahnya, mulai menyalahkan diri sendiri serta mengutuk diri sendiri. 4. Depression merupakan perasaan emosional yang tertekan secara terusmenerus yang ditandai dengan perasaan bersalah, menarik diri dari orang lain. 35

5 Setiap kategori perasaan tersebut, masing-masing memiliki perasaan yang spesifik. Berikut perasaan spesifik ketika seseorang mengalami kesepian, antara lain: Tabel 2. Perasaan Yang Dirasakan Ketika Mengalami Kesepian Desperation Impation boredom Self-deprecation Depression Putus asa Tidak sabar Tidak atraktif Sedih Tidak berdaya Bosan Terpuruk Depresi Takut Berada di tempat lain Bodoh Hampa Tidak harapan punya Kesulitan Malu Terisolasi Merasa ditinggalkan Mudah mendapat kecaman, kritik Marah Merasa tidak aman Tidak dapat berkonsentrasi Menyesali diri Melankolis Mengasingkan diri Berharap memiliki seseorang spesial yang Sumber: diadaptasi dari Intimate Relationship (Hal. 399) oleh Rubenstein, Shaver, & Peplau (dalam Brehm, 2002). 36

6 II.A.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesepian yaitu: Menurut Brehm (2002) ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesepian, 1. Usia Strereotip yang berkembang dalam masyarakat yang beranggapan bahwa semakin tua seseorang, maka akan semakin merasa kesepian, tetapi banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa stereotip tersebut keliru. Berdasarkan penelitian Ostrov & Offer (dalam Brehm, 2002) ditemukan bahwa orang yang paling kesepian justru berasal dari orang-orang yang berusia remaja dan dewasa awal. Fenomena ini kemudian diteliti oleh Perlman (dalam Taylor, Peplau, & Sears, 2000) dan menemukan hasil yang sama, dimana kesepian lebih tinggi pada remaja dan dewasa awal dan lebih rendah pada orang yang lebih tua. Menurut Brehm (2002) hal tersebut disebabkan orang yang lebih muda menghadapi banyak transisi sosial yang besar, misalnya merantau, memasuki dunia kuliah, memasuki dunia kerja secara full time untuk pertama kalinya yang dapat menimbulkan kesepian. Sejalan dengan bertambahnya usia, kehidupan sosial mereka menjadi semakin stabil.bertambahnya usia seiring dengan meningkatnya keterampilan sosial seseorang dan mereka menjadi semakin realistik terhadap hubungan sosial yang mereka harapkan. 37

7 2. Sosioekonomi Weiss (dalam Brehm, 2002) mengatakan bahwa kelompok dengan penghasilan yang lebih rendah cenderung mengalami kesepian. Hal yang sama juga ditemukan oleh Page & Cole (dalam Brehm, 2002) berdasarkan survey yang dilakukan ditemukan bahwa aggota keluarga dengan penghasilan rendah lebih mengalami kesepian daripada anggota keluarga dengan penghasilan yang lebih tinggi. Berdasarkan studi, tingkat pendidikan menunjukkan hubungan yang berbanding terbalik dengan kesepian (Brehm, 2002). 3. Status Perkawinan Secara umum, orang yang menikah kurang merasa kesepian daripada orang yang tidak menikah (Page & Cole; Perlman & Peplau; Stack, dalam Brehm, 2002). Tidak menikah dikategorikan dalam subgroup (tidak pernah menikah, bercerai atau janda) diperoleh hasil yang berbeda, dimana orang yang tidak pernah menikah lebih tidak kesepian. Kesepian dilihat sebagai reaksi hilangnya hubungan pernikahan daripada respon ketidakhadiran (Brehm, 2002). Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Demir & Fisiloghu (dalam Brehm, 2002) kesepian berhubungan dengan kepuasan pernikahan sehingga orang dengan pernikahan yang tidak bahagia berisiko mengalami kesepian. 38

8 4. Gender Walaupun banyak studi tentang kesepian yang tidak mengindikasikan adanya perbedaan menyeluruh antara laki-laki dan perempuan, beberapa penelitian menemukan bahwa laki-laki memiliki skor kesepian yang lebih tinggi daripada perempuan. Menurut Borys dan Perlman (dalam Brehm, 2002) laki-laki lebih sulit menyatakan kesepian secara tegas bila dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan oleh stereotip peran gender yang berlaku dalam masyarakat. Berdasarkan stereotip peran gender, pengekspresian emosi kurang sesuai bagi laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan (Borys & Perlman dalam Wrightsman & Deaux, 1993). Brehm (2002) menambahkan bahwa gender berinteraksi dengan status pernikahan. Berdasarkan studi cross-national (Stack, dalam Brehm, 2002) pernikahan mengurangi kemungkinan laki-laki mengalami kesepian. Di antara pasangan yang menikah dilaporkan bahwa perempuan lebih sering mengalami kesepian dibandingkan dengan laki-laki (Fredman; Peplau & Perlman; Rubenstein & Shaver, dalam Brehm, 2002). Sebaliknya, pada kelompok yang belum menikah dan kelompok orang yang bercerai ditemukan bahwa laki-laki lebih sering mengalami kesepian dibandingkan dengan perempuan (Peplau & Perlman; Rubenstein & Shaver, dalam Brehm, 2002). 39

9 Brehm (2002) mengatakan penemuan ini menunjukkan bahwa laki-laki cenderung mengalami kesepian ketika tidak memiliki pasangan yang intim. Sementara perempuan cenderung mengalami kesepian ketika ikatan perkawinan mengurangi akses untuk terlibat pada jaringan yang lebih luas. Dengan demikian, laki-laki memiliki resiko yang lebih tinggi untuk mengalami isolasi emosional sedangkan perempuan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami isolasi sosial (Brehm, 2002). 5. Karakteristik latar belakang yang lain Karakteristik ini dilihat dari perkembangan rentang kehidupan seseorang. Brehm (2002) mengatakan hubungan antara anak-orang tua serta struktur keluarga berhubungan dengan kesepian. Berdasarkan struktur keluarga, Rubenstein & Shaver (dalam Brehm 2002) menemukan bahwa orang dengan orang tua bercerai lebih merasa kesepian daripada orang dengan orang tua tidak bercerai. Semakin muda usia seseorang ketika orang tuanya bercerai, maka semakin tinggi tingkat kesepian yang akan dialami individu tersebut ketika dewasa. Selain itu, dikatakan juga bahwa hubungan antara orang tua anak penting dalam mengidentifikasi kesepian. II.A.5. Penyebab Kesepian Faktor perkembangan rentang kehidupan penting dalam menjelaskan penyebab kesepian, namun ada banyak penyebab kesepian yang lain (de Jong- Gierveld, dalam Brehm, 2002). Brehm (2002) mengatakan bahwa secara umum 40

10 kesepian disebabkan oleh kurangnya hubungan sosial. Berikut merupakan penyebab kesepian, yaitu: 1. Ketidakadekuatan dalam hubungan yang dimiliki Brehm (2002) mengatakan ada sejumlah alasan mengapa seseorang merasa tidak puas dengan hubungan yang dimiliki. Rubenstein & Shaver (dalam Brehm, 2002) menyimpulkan alasan yang dikemukan oleh orangorang yang kesepian, yaitu: a. Being unattached; tidak memiliki pasangan, tidak memiliki patner seksual, berpisah dengan pasangan atau kekasih. b. Alienation; merasa berbeda, merasa tidak dimengerti, tidak dibutuhkan, dan tidak memiliki teman dekat. c. Being alone; pulang ke rumah tanpa ada yang menyabut. d. Forced isolation; dikurung di dalam rumah, dirawat inap di rumah sakit, tidak bisa kemana-mana. e. Dislocation; jauh dari rumah (merantau), memulai pekerjaan atau sekolah baru, sering pindah rumah, dan sering melakukan perjalanan jauh. 41

11 2. Perubahan dalam hubungan yang diinginkan seseorang Berdasarkan model Perlam & Peplau (dalam Brehm, 2002) kesepian dapat juga berkembang karena perubahan dalam ide seseorang tentang apa yang diinginkan seseorang dalam suatu hubungan. Pada saat tertentu hubungan sosial yang dimiliki seseorang cukup memuaskan sehingga orang tersebut tidak mengalami kesepian. Tetapi pada saat yang lain, dimana hubungan tersebut tidak lagi memuaskan karena orang itu telah merubah apa yang diinginkannya dari hubungan tersebut. Menurut Perlman & Peplau, dkk. ( dalam Brehm, 2002) perubahan itu dapat muncul dari beberapa sumber yaitu perubahan mood dan jenis hubungan yang diinginkan seseorang. Ketika dalam keadaan senang jenis hubungan yang diinginkan seseorang mungkin berbeda dengan jenis hubungan saat sedih; usia, seiring dengan bertambahnya usia akan membawa berbagai perubahan yang akan mempengaruhi harapan atau keinginan seseorang terhadap suatu hubungan. Selain itu, perubahan situasi juga dapat berperan. Banyak orang yang tidak mau menjalin hubungan emosional yang dekat dengan orang lain ketika mereka sedang membina karir. 3. Self esteem Kesepian berhubungan dengan self esteem yang rendah (Brehm, 2002). Orang yang memiliki self esteem yang rendah cenderung merasa tidak nyaman pada situasi yang berisiko secara sosial, misalnya berbicara di 42

12 depan umum dan berada di kerumunan orang yang tidak dikenal. Dalam keadaan seperti ini orang tersebut akan menghindari kontak-kontak sosial tertentu secara terus-menerus, akibatnya individu tersebut akan mengalami kesepian. 4. Perilaku interpersonal Menurut Brehm (2002) Seseorang yang mengalami kesepian akan menyebabkan individu tersebut mengalami kesulitan dalam membangun hubungan dengan orang lain. Orang yang kesepian cenderung menilai orang lain secara negatif, kurang menyukai orang lain, tidak mempercayai orang lain,menginterpretasikan tindakan orang lain secara negatif, dan cenderung memiliki sikap yang bermusuhan. Selanjutnya, orang yang kesepian cenderung terhambat dalam keterampilan sosial, cenderung pasif, dan ragu-ragu dalam mengungkapkan pendapat di depan umum, cenderung kurang responsif dan kurang sensitif secara sosial. Selain itu, orang yang kesepian juga cenderung lambat dalam membangun hubungan intim dengan orang lain. Perilaku tersebut menyebabkan individu memiliki kesempatan yang terbatas bersama-sama dengan orang lain sehingga menyebabkan pola interaksi yang tidak memuaskan. 5. Social anxiety and Shyness Kesepian merupakan salah satu masalah dari sejumlah permasalahan yang termasuk dalam distress individu dan ketidakpuasan sosial (Brehm, 2002). Masalah lainnya seperti social anxiety (kecemasan sosial) merupakan 43

13 perasaan tidak nyaman akan kehadiran orang lain. Ada beberapa tipe kecemasan sosial seperti ketakutan berbicara di depan umum, dan shyness (malu) yang digabungkan dengan social inhibition dan menghindari perasaan tidak nyaman dalam hubungan interpersonal. Kesepian, rasa malu, dan kecemasan sosial saling berhubungan (Brehm, 2002). 6. Depresi Depresi merupakan karakteristik dari perasaan negatif (seperti perasaan sedih), harga diri yang rendah, pesimis, kurangnya inisiatif, dan proses berpikir yang lambat (Holmes, dalam Brehm, 2002). Brehm (2002) mengatakan kesepian dan depresi sering terjadi secara bersamaan, namun tidak pada kondisi yang identik. 7. Causal atribusi Menurut Perlamn & Peplau (dalam Brehm, 2002) atribusi individu seperti harga diri, dan keterampilan sosial dapat diklasifikasikan sebagai predisposisi penyebab kesepian. Bagaimana seseorang mengatribusikan penyebab kesepiannya dapat membuat kesepian individu tersebut semakin kuat dan menetap. 44

14 II.A.6. Reaksi Terhadap Kesepian Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Rubenstein & Shaver (dalam Brehm, 2002) disimpulkan beberapa reaksi terhadap kesepian. Tabel 3. Reaksi Terhadap Kesepian Sad passivity Active solitude Social contact Distraction Menangis Belajar atau bekerja Menelepon teman Menghabiskan uang Tidur Menulis Mengunjungi Berbelanja seseorang Duduk dan berpikir Mendengarkan musik Tidak melakukan apa-apa Memainkan alat musik Makan secara Olah raga berlebihan Memakan Melakukan hobi tranquilizers Menonton televisi Pergi ke bioskop mabuk Membaca Sumber: diadaptasi dari Intimate Relationship (hal. 414) oleh S. Brehm (2002), New York: McGrew-Hill, Inc. Rubenstein & Shaver (dalam Brehm, 2002) mengelompokkan reaksi seseorang terhadap kesepian ke dalam empat kelompok. Dua di antaranya bersifat positif karena merupakan coping yang konstruktif yaitu active solitude dan social contact. Kemudian sad passivity dikelompokkan sebagai respon-respon yang bersifat negatif karena berpotensi untuk merusak diri. Sedangkan respon-respon yang sulit untuk diklasifikasikan ke dalam respon yang positif maupun respon yang negatif dikelompokkan sebagai distraction. 45

15 II.B. PERAN GENDER II.B.1. Definisi Peran Gender Menurut kamus Oxford (dalam Nauly, 1993) gender merupakan sexual clasification; sex: the male and female gender. Sherif (dalam Nauly, 1993) menyatakan jenis kelamin perempuan dan laki-laki sebagai bentuk-bentuk biologis yang menjadi dasar dari sistem klasifikasi yang disebut gender. Matlin (2004) mengatakan gender merupakan karakteristik psikologis dan kategori sosial yang diciptakan oleh budaya manusia. Secara tradisional, kebanyakan dari traits dan perilaku-perilaku yang disebut gender diasosiasikan dengan jenis kelamin secara biologis. Nauly (1993) mengatakan bahwa pola perilaku yang dianggap cocok untuk masing-masing jenis kelamin berdasarkan harapan masyarakat diistilahkan sebagai peran gender (gender role). Hurlock (dalam Nauly, 1993) mengartikan peran gender sebagai pola keanggotaan dari jenis kelamin dan diterima kelompok sosial sebagai indentifikasi individu. Selanjutnya menurut Myers (dalam Nauly, 1993) peran gender merupakan suatu set perilaku yang diharapkan (norma) untuk laki-laki dan perempuan. Menurut Corsini (dalam Nauly, 1993) peran gender merupakan sekumpulan atribut, sikap, trait kepribadian, dan perilaku yang dianggap sesuai untuk masing-masing jenis kelamin. Gillbert (dalam Nauly, 1993) menyatakan bahwa saat ini gender lebih dipandang sebagai constructed by social reality sebagai perempuan dan laki-laki. 46

16 Dengan demikian, pengertian gender dalam penelitian ini menggunakan definisi dari Sherif (dalam Nauly, 1993) yaitu gender merupakan dasar sistem klasifikasi dari bentuk-bentuk biologis yaitu laki-laki dan perempuan. II.B.2. Stereotip Peran Gender Nauly (1993) mengatakan bahwa secara biologis terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan baik secara hormonal, kromosom, bentuk fisik, dan susunan kimiawi. Perbedaan biologis ini disebut sebagai jenis kelamin laki-laki dan perempuan dan perbedaan secara psikologis disebut dengan peran gender. Perbedaan secara biologis di antara laki-laki dan perempuan selalu dianggap menimbulkan dampak adanya perbedaan terhadap perilaku apa yang cocok dan apa yang tidak cocok (peran gender) terhadap laki-laki dan perempuan. Namun, penelitian-penelitian secara biologis terhadap laki-laki dan perempuan menunjukkan kurangnya data untuk menyatakan perbedaan biologis sebagai dasar timbulnya perbedaan peran gender (Frieze, dalam Nauly, 1993). Myers (dalam Nauly, 1993) mengatakan bahwa budaya membentuk adanya perbedaan peran gender. Hal ini sejalan dengan pendapat Mead (dalam Nauly, 1993) yang mengatakan bahwa kebudayaan memegang peranan penting dalam pembentukan peran gender seseorang. Kebudayaan mempengaruhi proses belajar peran gender dan identitas gender dengan membentuk stereotip peran gender. Menurut Wrigtsman (dalam Nauly, 1993) stereotip merupakan konsep yang relatif kaku dan luas, dimana setiap individu di dalam suatu kelompok dicap dengan karakter dari kelompok tersebut. Stereotip peran gender menurut Jenkins 47

17 dan McDonald (dalam Nauly, 1993) merupakan generalisasi pengharapan mengenai aktivitas, kemampuan, atribut, dan pilihan apa yang sesuai dengan jenis kelamin seseorang. Menurut Hoyenga dan Hoyenga (dalam Nauly, 1993) stereotip peran gender dihasilkan dari pengkategorisasian laki-laki dan perempuan yang merupakan representasi sosial yang ada dalam struktur kognisi. Menurut Baron dan Byrne (dalam Nauly, 1993) mengatakan stereotip peran gender merupakan sifat-sifat yang dianggap benar-benar dimiliki laki-laki dan perempuan yang memisahkan kedua gender. Dari berbagai hasil penelitian Baron dan Byrne menyimpulkan sebagai berikut: memang ada beberapa perbedaan perilaku sosial antara laki-laki dan perempuan seperti kemampuan memberi dan menerima pesan-pesan non verbal serta agresivitas, tetapi besar dan keluasan perbedaan ini jauh lebih kecil dari apa yang diungkapkan oleh stereotip. Menurut Naffziger & Naffziger (Hurlock, dalam Nauly, 1993) stereotip peran gender memiliki tiga aspek, yaitu: 1. Aspek kognitif Aspek ini terdiri dari persepsi, keyakinan, dan harapan yang dimiliki individu mengenai jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Keyakinan harapan dan persepsi ini sederhana terkadang dengan dasar yang tidak adekuat dan akurat. Meskipun demikian, hal ini dipegang teguh oleh banyak orang. 2. Aspek afektif Aspek ini merupakan perasaan suka dan tidak suka terhadap peran jenis kelamin. Perasaan ini dapat berarti memuji dan simpati atau menghina, iri 48

18 dan cemas terhadap peran gender yang ada pada dirinya sendiri atau peran gender pada orang lain. 3. Aspek konatif Aspek ini merupakan keyakinan mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan. Keyakinan ini akan mendorong munculnya perilaku. Selain itu, Naffziger & Naffziger (dalam Nauly, 1993) menyatakan bahwa semua aspek stereotip ini akan menghasilkan penilaian yang kaku dan sikap tidak suka terhadap individu yang tidak menyesuaikan diri dengan pola stereotip yang ada. II.C. NARAPIDANA II.C.1. Definisi Narapidana Menurut UU No. 12 Tahun 1995 tentang pemasyarakatan, narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Selanjutnya Harsono (1995) mengatakan narapidana adalah seseorang yang telah dijatuhkan vonis bersalah oleh hukum dan harus menjalani hukuman dan Wilson (2005) mengatakan narapidana adalah manusia bermasalah yang dipisahkan dari masyarakat untuk belajar bermasyarakat dengan baik. Dengan demikian, narapidana adalah seseorang yang melakukan tindak kejahatan dan telah menjalani persidangan, telah diponis hukuman pidana serta ditempatkan dalam suatu bangunan yang disebut penjara. 49

19 II.C.2. Lembaga Pemasyarakatan Menurut Harsono (1995) lembaga permasyarakatan merupakan salah satu tempat pembinaan narapidana. Dalam proses pemidanaan, lembaga pemasyarakatan mendapat porsi besar dalam melaksanakan pemidanaan setelah melalui proses persidangan di pengadilan. Narapidana yang menjalani pidana di Lembaga Permasyarakatan selama menjalani pidana telah kehilangan kebebasan untuk bergerak. Dimana narapidana bersangkutan hanya dapat bergerak di dalam lembaga permasyarakatan saja. Pada awalnya tujuan pidana adalah untuk membuat pelaku tindak pidana jera untuk melakukan tindak pidana lagi. Tujuan itu kemudian berkembang menjadi perlindungan hukum, baik kepada masyarakat maupun kepada pelaku tindak pidana. Narapidana dalam menjalani hukumannya mendapat perlakuan yang manusiawi dan mendapat jaminan hukum yang memadai. Bentuk perlakuan dituangkan dalam usaha lembaga permasyarakatan untuk membina narapidana agar mengenal diri sendiri sehingga dapat merubah diri sendiri menjadi lebih baik, tidak lagi melakukan tindak pidana dan mampu mengembangkan diri sendiri menjadi manusia yang lebih berguna bagi nusa, bangsa, agama, dan keluarganya Harsono (1995). 50

20 II.C.3. Dampak Psikologis Hukuman Penjara Meskipun berbagai usaha telah dilakukan dalam pembinaan narapidana selama menjalani pidana, namun dampak psikologis akibat hukuman penjara merupakan dampak yang paling berat yang dirasakan oleh setiap narapidana. Berikut berbagai dampak psikologis akibat hukuman penjara (Harsono, 1995) antara lain : 1. Lost of personality. Seorang narapidana selama di pidana akan kehilangan kepribadian, identitas diri, akibat peraturan dan tata cara hidup di lembaga pemasyarakatan. Selama menjalani pidana, narapidana diperlakukan sama atau hampir sama antara narapidana yang satu dengan narapidana yang lain. Hal ini akan membentuk kepribadian yang khas yaitu kepribadian narapidana seperti temperamental, agresif, dan lain-lain. 2. Lost of security. Selama menjalani pidana, narapidana selalu dalam pengawasan petugas. Seseorang yang secara terus-menerus diawasi akan merasakan kurang aman, merasa selalu dicurigai, dan merasa selalu tidak dapat berbuat sesuatu atau bertindak karena takut kalau tindakannya merupakan suatu kesalahan yang dapat membuat narapidana tersebut dihukum. Kerena narapidana diawasi terus-menerus menyebabkan narapidana tersebut ragu dalam bertindak, kurang percaya diri, salah tingkah, tidak mampu mengambil keputusan dengan baik. Situasi yang demikian, dapat mengakibatkan narapidana melakukan tindakan kompensasi demi sabilitas jiwanya. Dimana narapidana akan bertindak sesuai dengan kondisi di lembaga 51

21 pemasyarakatan tersebut meskipun bertentangan dengan kehendak narapidana untuk menghindari hukuman. 3. Lost of liberty. Pidana hilang kemerdekaan telah merampas berbagai kemerdekaan individual. Secara psikologis, keadaan yang demikian menyebabkan narapidana menjadi tertekan jiwanya, pemurung, malas, mudah marah, dan tidak bergairah terhadap program-program pembinaan. 4. Lost of personal comunication. Selama menjalani hukuman, kebebasan untuk berkomunikasi dibatasi. Narapidana tidak bisa bebas untuk berkomunikasi dengan relasi, keluarganya. Sebagai makhluk sosial, narapidana memerlukan komunikasi dengan teman, keluarga atau orang lain keterbatasan kesempatan untuk berkomunikasi ini merupakan beban psikologis tersendiri. 5. Lost of good and service. Narapidana juga merasakan kehilangan pelayanan. Dalam lembaga pemasyarakatan, narapidana harus mampu mengurus dirinya sendiri, misalnya mencuci pakaian, menyapu ruangan. Narapidana tidak boleh memilih warna atau model pakaian sendri semua telah diatur agar sesuai dengan narapidana yang lain, termasuk dalam hal menu makanan setiap hari. Hilangnya pelayanan menyebabkan narapidana kehilangan rasa afeksi, kasih sayang yang biasa didapat diluar lapas. 6. Lost of heterosexual. Selama menjalani pidana, narapidana ditempatkan dalam blok-blok sesuai dengan jenis kelaminnya. Penempatan ini menyebabkan narapidana juga merasakan betapa naluri seks, kasih sayang, rasa aman bersama keluarga ikut terampas. Hal ini akan menyebabkan penyimpangan 52

22 seksual, seperti homoseks, lesbian, dan lain-lain. Semua merupakan penyaluran nafsu seks yang terpendam. 7. Lost of prestige. Narapidana juga kehilangan harga dirinya. Bentuk-bentuk perlakuan dari petugas terhadap narapidana membuat narapidana menjadi terhampas harga dirinya. Misalnya WC dan tempat mandi yang terbuka. 8. Lost of belief. Akibat dari perampasan berbagai kebebasan narapidana menjadi kehilangan rasa percaya diri. Hal ini disebabkan tidak adanya rasa aman, tidak dapat membuat keputusan sendiri, kurang mantap dalam bertindak dan kurang memiliki stabilitas jiwa yang mantap. 9. Lost of creativity. Selama menjalani pidana, kreativitas, ide-ide, gagasan, imajinasi, bahkan juga impian dan cita-cita narapidana ikut terampas. II.D. HUBUNGAN ANTARA GENDER DENGAN KESEPIAN Menurut Brehm & Kassin (dalam Dayakisni, 2003) kesepian adalah perasaan kurang memiliki hubungan sosial yang diakibatkan ketidakpuasan dengan hubungan sosial yang ada. Ada dua motif yang mendorong seseorang untuk melakukan kontak sosial (McAdams, dalam Brehm, 2002), yaitu: 1. Kebutuhan berafiliasi, yaitu keinginan untuk menciptakan hubungan interpersonal yang menyenangkan. 2. Kebutuhan keintiman, yaitu kebutuhan yang lebih menginginkan hubungan yang hangat, tertutup, dan kemunikatif. McClelland (dalam Basow, 1992) mengatakan bahwa individu yang memiliki kebutuhan berafiliasi yang tinggi lebih sering berhubungan dengan 53

23 orang lain, lebih dapat menikmati aktivitas-aktivitas sosial, dan bereaksi lebih positif terhadap orang lain bila dibandingkan dengan individu yang memiliki kebutuhan berafiliasi yang rendah. McAdams (dalam Basow, 1992) mengatakan bahwa individu yang memiliki kebutuhan keintiman yang tinggi lebih dapat saling berbagi rahasia dan penuh kepercayaan dalam berhubungan dengan orang lain, serta lebih memperoleh kesejahteraan dari hubungan yang dimiliki dengan orang lain bila dibandingkan dengan individu yang memiliki kebutuhan keintiman yang rendah. Menurut Basow (1992) laki-laki dan perempuan memiliki kebutuhan berafiliasi dan kebutuhan keintiman yang sama, tetapi perempuan lebih dapat memenuhi kebutuhan tersebut bila dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini berkaitan dengan stereotip peran gender. Berdasarkan seterotip peran gender, perempuan mengembangkan identitas diri yang berorientasi pada hubungan dengan orang lain. Hal ini disebabkan karena perempuan diharapkan untuk berfungsi dengan baik dalam hubungan dengan orang lain dan diarahkan untuk mengembangkan keterampilanketerampilan yang berkaitan dengan hubungan dengan orang lain seperti sensitivitas interpersonal, empati, pengekspresian emosi dan pengasuhan. Dengan demikian, perempuan cenderung membentuk hubungan yang intim dengan orang lain sehingga perempuan lebih banyak menerima dukungan sosial dari orang lain dan memiliki kepuasan yang lebih tinggi dari hubungan yang dimiliki orang lain bila dibandingkan dengan orang lain. Selanjutnya, perempuan lebih jarang mengalami kesepian bila dibandingkan dengan laki-laki (Basow, 1992), 54

24 Berdasarkan stereotip peran gender, laki-laki mengembangkan identitas diri yang otonom. Hal ini disebabkan karena laki-laki diharapkan untuk mandiri, asertif, agresif, dan berorientasi pada prestasi. Laki-laki tidak dianjurkan untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan yang berhubungan dengan orang lain, dan ditekankan untuk menyembunyikan perasaan mereka. Menyembunyikan perasaan dan memfasilitasi usaha laki-laki untuk lebih kompetitif, tetapi akan menghalangi usaha laki-laki untuk membentuk hubungan dengan orang lain sehingga laki-laki cenderung mengalami kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain yang dimanifestasikan dalam perasaan kekosongan, isolasi, dan frustasi. Selanjutnya laki-laki lebih rentan terhadap kesepian bila dibandingkan dengan perempuan. II.E. KERANGKA BERPIKIR Kejahatan merupakan salah satu hasil dari perilaku manusia. Perilaku tersebut dinilai negatif oleh masyarakat sehingga diperlukan adanya suatu lembaga yang dapat mengendalikan perilaku masyarakat. Salah satu karakteristik pelaku tindak kejahatan adalah jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Di dalam masyarakat terdapat norma yang mengatur kehidupan masyarakat. Apabila individu melanggar norma tersebut, maka akan mendapat sanksi. Salah satu sanksi yang dikenakan pada pelaku tindak kejahatan adalah pidana penjara. Sanksi ini dikenakan apabila pelaku tindak kejahatan tersebut telah menjalani persidangan dan telah dijatuhi vonis pidana penjara. Dengan demikian, pelaku tindak kejahatan 55

25 resmi menyandang status sebagai narapidana. Seperti halnya karakteristik pelaku tindak kejahatan, narapidana juga terdiri dari narapidana laki-laki dan perempuan. Narapidana ditempatkan dalam suatu bangunan yang disebut penjara atau lembaga pemasyarakatan atau rutan. Kehidupan narapidana di lembaga pemasyarakatan berbeda dengan kehidupan sebelum masuk di lembaga pemasyarakatan. Dimana, di lembaga pemasyarakatan segala aktivitas dibatasi seperti kontak sosial dengan pasangan, anak, orang tua serta relasi. Selain itu, selama masa hukuman narapidana tersebut melakukan aktivitas yang sama sepanjang hari sehingga menyebabkan perasaan jenuh. Belum lagi narapidana harus menerima perlakuan yang tidak menyenangkan dari sesama narapidana. Sedangkan di luar lembaga pemasyarakatan, narapidana bebas melakukan apapun yang mereka sukai serta bebas kemanapun yang mereka inginkan. Ketika individu jenuh dengan suatu aktivitas, individu tersebut dapat mencari kegiatan lain yang lebih menyenangkan. Setelah berada di lembaga pemasyarakatan/ rutan, hubungan yang telah dibentuk di luar lembaga pemasyarakatan terputus. Ada beberapa dampak psikologis dari pidana penjara, yaitu lost of personality, lost of security, lost of liberty, lost of personal communication, lost of good and service, lost of heterosexual, lost of prestige, lost of belief, dan lost of creativity. Narapidana yang berada di lembaga pemasyarakatan memiliki kesempatan yang sangat terbatas untuk bertemu dengan orang-orang yang mereka sayangi sehingga mereka sering melamun, murung, dan tidak mau bergabung dengan temantemannya di lembaga pemasyarakatan. Hal ini akan berpengaruh secara psikologis pada individu dan menyebabkan kesepian. 56

26 PARADIGMA Karakteristik Kejahatan Usia Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Melakukan Tindak Kejahatan Vonis Tidak Bersalah Bersalah Bebas Pidana Penjara Narapidana (Laki-laki & Perempuan) Kehidupan Narapidana Dampak Psikologis Kesepian Desperation Impation Self- Depression boredom deprecation Keterangan: : Terdiri dari : Menjadi : Tidak termasuk dalam penelitian : Keduanya 57

27 II.F. HIPOTESA PENELITIAN Berdasarkan uaraian di atas, maka hipotesa dalam penelitian ini adalah ada perbedaan kesepian antara narapidana laki-laki dan perempuan. Dimana, narapidana laki-laki lebih kesepian daripada narapidana perempuan. 58

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Kejahatan merupakan suatu istilah yang tidak asing lagi dalam kehidupan bermasyarakat. Pada dasarnya istilah kejahatan ini diberikan kepada suatu jenis perbuatan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang saling mendukung antara yang satu dengan yang lain.

BAB II LANDASAN TEORI. yang saling mendukung antara yang satu dengan yang lain. BAB II LANDASAN TEORI II.1. Kesepian II.1.1. Definisi Kesepian Hampir semua orang, tak terkecuali remaja pernah merasa kesepian. Banyak sekali definisi mengenai kesepian yang dikemukakan oleh beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja

BAB I PENDAHULUAN. rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa dewasa awal merupakan awal dari suatu tahap kedewasaan dalam rentang kehidupan seseorang. Individu pada masa ini telah melewati masa remaja dan akan memasuki

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Loneliness dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa

BAB II LANDASAN TEORI. Loneliness dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa BAB II LANDASAN TEORI II.A. Loneliness Pada Individu yang Melajang II.A.1. Pengertian Loneliness Loneliness dapat terjadi pada siapa saja, baik anak-anak, remaja, dewasa dini, dewasa madya, maupun pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Individu dalam tahapan dewasa awal memiliki tugas perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. Individu dalam tahapan dewasa awal memiliki tugas perkembangan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu dalam tahapan dewasa awal memiliki tugas perkembangan yang salah satunya adalah untuk membentuk hubungan intim dengan orang lain (Santrock, 1992 : 113), maka

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Brehm dan Kassin (dalam Dayakisni, 2003), kesepian adalah

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Brehm dan Kassin (dalam Dayakisni, 2003), kesepian adalah BAB II LANDASAN TEORI II.A. Kesepian II.A.1. Defenisi Kesepian Menurut Brehm dan Kassin (dalam Dayakisni, 2003), kesepian adalah perasaan kurang memiliki hubungan sosial yang diakibatkan ketidakpuasan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebagai perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat adanya

BAB II LANDASAN TEORI. sebagai perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat adanya BAB II LANDASAN TEORI II. A. Kesepian II. A. 1. Pengertian Kesepian Perlman & Peplau (dalam Brehm et al, 2002) mendefinisikan kesepian sebagai perasaan kekurangan dan ketidakpuasan pada individu akibat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang membutuhkan

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang membutuhkan 12 BAB II LANDASAN TEORI II. A. Dukungan Sosial II. A. 1. Pengertian Dukungan Sosial Dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, seseorang membutuhkan dukungan sosial. Ada beberapa tokoh yang memberikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. Seorang perempuan dianggap sudah seharusnya menikah ketika dia memasuki usia 21 tahun dan laki-laki

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB II LANDASAN TEORI. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan BAB II LANDASAN TEORI A. Kesepian 1. Pengertian Kesepian Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian. dan terpisah dari mereka yang ada sekitar anda (Beck & Dkk dalam David G.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian. dan terpisah dari mereka yang ada sekitar anda (Beck & Dkk dalam David G. 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesepian 1. Pengertian Kesepian Kesepian adalah dengan merasa terasing dari sebuah kelompok, tidak dicintai oleh sekeliling, tidak mampu untuk berbagi kekhawatiran pribadi,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.A. Kesepian Pada bab sebelumnya, telah diberikan beberapa penjelasan mengenai kesepian. Dikatakan bahwa kesepian dapat dirasakan oleh setiap individu, kapan saja dan dalam keadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan suatu hubungan antara pria dan wanita yang diakui secara sosial, yang didalamnya mencakup hubungan seksual, pengasuhan anak, serta pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan BAB I PENDAHULUAN I.A. LATAR BELAKANG Sejak pertama kali kita dilahirkan, kita langsung digolongkan berdasarkan jenis kelamin yaitu laki-laki atau perempuan. Secara biologis manusia dengan mudah dibedakan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Rosenberg (1965) mendefinisikan self esteem sebagai evaluasi yang

BAB II LANDASAN TEORI. Rosenberg (1965) mendefinisikan self esteem sebagai evaluasi yang BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Self Esteem 2.1.1 Pengertian Self Esteem Rosenberg (1965) mendefinisikan self esteem sebagai evaluasi yang dilakukan seseorang baik dalam cara positif maupun negatif terhadap

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Hampir semua orang, tidak terkecuali laki-laki maupun perempuan pernah

BAB II LANDASAN TEORI. Hampir semua orang, tidak terkecuali laki-laki maupun perempuan pernah BAB II LANDASAN TEORI II.A. Kesepian II.A.1 Definisi Kesepian Hampir semua orang, tidak terkecuali laki-laki maupun perempuan pernah merasakan dan mengalami kesepian. Ada banyak definisi yang dikemukakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian (loneliness)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesepian (loneliness) BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesepian (loneliness) 1. Pengertian Kesepian Menurut Sullivan (1955), kesepian (loneliness) merupakan pengalaman sangat tidak menyenangkan yang dialami ketika seseorang gagal

Lebih terperinci

BAB III Stereotip. Gender. Unger & Crowford (1992) menyatakan teori atribusi merupakan bagian dari

BAB III Stereotip. Gender. Unger & Crowford (1992) menyatakan teori atribusi merupakan bagian dari BAB III Stereotip Gender Unger & Crowford (1992) menyatakan teori atribusi merupakan bagian dari Psikologi Sosial yang bersibuk diri dengan cara seseorang menerangkan penyebab dari perilaku diri sendiri

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami dan istri terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami dan istri terhadap BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Definisi Kepuasan Pernikahan Menurut Lemme (1995) kepuasan pernikahan adalah evaluasi suami dan istri terhadap hubungan pernikahan yang cenderung berubah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Loneliness diartikan oleh Peplau & Perlman (dalam Brage, Meredith &

BAB II LANDASAN TEORI. Loneliness diartikan oleh Peplau & Perlman (dalam Brage, Meredith & BAB II LANDASAN TEORI A. Loneliness 1. Pengertian Loneliness Loneliness diartikan oleh Peplau & Perlman (dalam Brage, Meredith & Woodward, 1998) sebagai perasaan dirugikan dan tidak terpuaskan yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 8 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Pustaka 2.1.1. Penyesuaian Diri Penyesuaian berarti adaptasi yang dapat mempertahankan eksistensinya atau bisa bertahan serta memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan orang lain. Manusia dianggap sebagai makhluk sosial yang

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan orang lain. Manusia dianggap sebagai makhluk sosial yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia di dunia ini tidak hidup sendiri, selalu ada bersama-sama dan berinteraksi dengan orang lain. Manusia dianggap sebagai makhluk sosial yang dalam kesehariannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari paksaan fisik, orang yang tidak dirampas hak-haknya, orang yang

BAB I PENDAHULUAN. terlepas dari paksaan fisik, orang yang tidak dirampas hak-haknya, orang yang BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Manusia selain makhluk sosial juga merupakan makhluk yang bebas yang terlepas dari paksaan fisik, orang yang tidak dirampas hak-haknya, orang yang terlepas dari tekanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Gunarsa & Gunarsa (1993) keluarga adalah ikatan yang diikat

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Gunarsa & Gunarsa (1993) keluarga adalah ikatan yang diikat BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah Menurut Gunarsa & Gunarsa (1993) keluarga adalah ikatan yang diikat oleh perkawinan atau darah dan biasanya meliputi ayah, ibu, dan anak atau anakanak. Keluarga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dunia hiburan (entertainment) terjadi secara pesat di berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia. Perkembangan tersebut membuat media massa dan

Lebih terperinci

Agresivitas. Persahabatan. Kesepian. Penolakan

Agresivitas. Persahabatan. Kesepian. Penolakan HUBUNGAN ANTARA KESEPIAN DENGAN AGRESIVITAS PADA REMAJA MADYA DI SMA X BOGOR LATAR BELAKANG MASALAH Agresivitas Persahabatan Kesepian Penolakan AGRESIVITAS Perilaku merugikan atau menimbulkan korban pihak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Individu pasti melewati segala peristiwa dalam kehidupan mereka. Peristiwa-peristiwa yang dialami oleh setiap individu dapat beragam, dapat berupa peristiwa yang menyenangkan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Harga Diri 2.1.1 Definisi Harga Diri Beberapa ahli mengemukakan pendapat mengenai definisi harga diri diantaranya adalah Rosenberg 1965, dalam Taylor, Shelley E, et al.,2009

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan membahas tentang landasan teori berupa definisi, dimensi, dan faktor yang berpengaruh dalam variabel yang akan diteliti, yaitu bahasa cinta, gambaran tentang subjek

Lebih terperinci

BAB II. Tinjauan Pustaka

BAB II. Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Dalam bab ini peneliti akan membahas tentang tinjauan pustaka, dimana dalam bab ini peneliti akan menjelaskan lebih dalam mengenai body image dan harga diri sesuai dengan teori-teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sosial anak telah dimulai sejak bayi, kemudian pada masa kanak-kanak dan selanjutnya pada masa remaja. Hubungan sosial anak pertamatama masih sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan peristiwa dimana sepasang mempelai atau sepasang

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan peristiwa dimana sepasang mempelai atau sepasang 1 BAB I PENDAHULUAN I. A. Latar Belakang Masalah Pernikahan merupakan peristiwa dimana sepasang mempelai atau sepasang calon suami-istri dipertemukan secara formal di depan penghulu atau kepala agama tertentu,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kesepian 1. Pengertian Kesepian Menurut Archibald, dkk (dalam Baron, 2005 : 16) berpendapat bahwa kesepian (loneliness) adalah suatu reaksi emosional dan kognitif terhadap dimilikinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kalangan. Orang dewasa, remaja maupun anak-anak sekarang sudah

BAB I PENDAHULUAN. kalangan. Orang dewasa, remaja maupun anak-anak sekarang sudah BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Peran internet menjadi kebutuhan sumber informasi utama pada berbagai kalangan. Orang dewasa, remaja maupun anak-anak sekarang sudah menggunakan internet untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan dunia dalam berbagai aspek menyebabkan mudahnya

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan dunia dalam berbagai aspek menyebabkan mudahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewasa ini perkembangan dunia dalam berbagai aspek menyebabkan mudahnya informasi diterima dan diakses oleh setiap orang, yang berada di belahan bumi berbeda

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan

BAB 1 PENDAHULUAN. Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hakikat pendidikan merupakan salah satu bagian dari modal atau kekuatan yang bisa menumbuhkan peradaban bangsa Indonesia. Oleh karena itu, pendidikan merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan menjadi prioritas dalam hidup jika seseorang sudah berada di usia yang cukup matang dan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan

BAB I PENDAHULUAN. asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Orang tua berperan sebagai figur pemberi kasih sayang dan melakukan asuhan, sebagai figur identifikasi, agen sosialisasi, menyediakan pengalaman dan berperan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka, digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesepian merupakan salah satu masalah psikologis yang kerap muncul dalam kehidupan individu. Kesepian bukanlah masalah psikologis yang langka,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja dapat dipandang sebagai suatu masa dimana individu dalam proses pertumbuhan dan perkembangan. Individu pada masa remaja mulai meninggalkan kebiasaan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL

PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL PSIKOLOGI PERKEMBANGAN DEWASA DAN LANSIA PERKEMBANGAN SOSIO-EMOSIONAL PADA MASA DEWASA AWAL Oleh: Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si Yulia Ayriza, Ph.D STABILITAS DAN PERUBAHAN ANAK-DEWASA TEMPERAMEN Stabilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bertentangan dengan hukum dan undang-undang. Tingkat krminalitas di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bertentangan dengan hukum dan undang-undang. Tingkat krminalitas di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kriminalitas merupakan suatu fenomena yang komplek dan menarik perhatian banyak kalangan, karena kriminalitas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dilakukan di Puskesmas Wonosari pada bulan September-Oktober 2016.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dilakukan di Puskesmas Wonosari pada bulan September-Oktober 2016. 47 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Lokasi Penelitian Penelitian tentang Hubungan Antara Faktor Demografi dengan Pada Penderita Hipertensi di Kabupaten Gunungkidul DIY telah dilakukan di Puskesmas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja adalah masa peralihan antara tahap anak dan dewasa yang jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya. Dengan terbukanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode dalam rentang kehidupan adalah penting namun kadar kepentingannya berbedabeda. Kadar kepentingan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan

BAB II LANDASAN TEORI. A. Kepuasan Pernikahan. 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan 13 BAB II LANDASAN TEORI A. Kepuasan Pernikahan 1. Pengertian Kepuasan Pernikahan Pernikahan merupakan suatu istilah yang hampir tiap hari didengar atau dibaca dalam media massa. Namun kalau ditanyakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya

BAB I PENDAHULUAN. bergaul, bersosialisasi seperti masyarakat pada umumnya. Tidak ada salahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Fenomena gay dan lesbi nampaknya sudah tidak asing lagi di masyarakat luas. Hal yang pada awalnya tabu untuk dibicarakan, kini menjadi seolah-olah bagian dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging structured population) karena dari tahun ke tahun, jumlah penduduk Indonesia

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Diajukan oleh : Putri Nurul Falah F 100

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara

BAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara BAB II LANDASAN TEORI A. Harga Diri 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif (Santrock, 1998). Hal senada diungkapkan oleh

Lebih terperinci

Kepekaan Reaksi berduka Supresi emosi Penundaan Putus asa

Kepekaan Reaksi berduka Supresi emosi Penundaan Putus asa Keputusasaan (Hopelessness) Pengertian Keputusasaan merupakan keadaan subjektif seorang individu yang melihat keterbatasan atau tidak adanya alternative atau pilihan pribadi yang tersedia dan tidak dapat

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Loneliness 2.1.1 Definisi Loneliness Kesepian atau loneliness didefinisikan sebagai perasaan kehilangan dan ketidakpuasan yang dihasilkan oleh ketidaksesuaian antara jenis hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muda. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi pada setiap tahun ajaran baru, puluhan

BAB I PENDAHULUAN. muda. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi pada setiap tahun ajaran baru, puluhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perguruan tinggi merupakan sarana pendidikan yang penting bagi generasi muda. Sudah tidak dapat dipungkiri lagi pada setiap tahun ajaran baru, puluhan ribu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai mahluk sosial, manusia senantiasa hidup bersama dalam sebuah masyarakat. Manusia senantiasa berhubungan dengan manusia lain untuk memenuhi berbagai

Lebih terperinci

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL

LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL LAPORAN PENDAHULUAN (LP) ISOLASI SOSIAL A. Pengertian Isolasi social adalah keadaan dimana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia tidak dapat hidup seorang diri karena manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran individu lain dalam kehidupannya. Tanpa kehadiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa, yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial emosional. Pada masa ini, individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus perkembangan siswa. Pada masa remaja berkembang social cognition, yaitu kemampuan memahami

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain

BAB II TINJAUAN TEORI. (dalam Setiadi, 2008).Menurut Friedman (2010) keluarga adalah. yang mana antara yang satu dengan yang lain BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Keluarga 2.1.1 Pengertian Menurut UU No.10 tahun 1992 keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami, istri, atau suami istri dan anaknya atau ayah dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai

BAB II TINJAUAN TEORITIS. A. Karyawan PT. INALUM. capital, yang artinya karyawan adalah modal terpenting untuk menghasilkan nilai 1 BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Karyawan PT. INALUM 1. Pengertian Karyawan Karyawan adalah sumber daya yang sangat penting dan sangat menentukan suksesnya perusahaan. Karyawan juga selalu disebut sebagai

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. PENYESUAN SOSIAL 1. Pengertian Penyesuaian sosial merupakan suatu istilah yang banyak merujuk pada proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pernikahan bagi beberapa individu dapat menjadi hal yang istimewa dan penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam kehidupan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia adalah mahluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Manusia saling berinteraksi sosial dalam usaha mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya.

Lebih terperinci

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI

2015 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI PARENTAL ATTACHMENT DAN RELIGIUSITAS DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA MAHASISWA MUSLIM PSIKOLOGI UPI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian besar mahasiswa strata satu adalah individu yang memasuki masa dewasa awal. Santrock (2002) mengatakan bahwa masa dewasa awal adalah masa untuk bekerja

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. KONSEP DASAR 1. Pengertian Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran manusia lainnya. Kehidupan menjadi lebih bermakna dan berarti dengan kehadiran

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar pelitian. Berikut adalah beberapa teori yang terkait sesuai dengan penelitian ini. 2.1 Anxiety (Kecemasan)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang pelatihan berpikir optimis untuk meningkatkan harga diri pada remaja di panti asuhan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu berhubungan dengan lingkungannya dan tidak dapat hidup sendiri. Ia selalu berinteraksi dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Sejak lahir sampai dewasa manusia tidak pernah lepas dari suatu ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga, dibesarkan dalam lingkup keluarga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membahas mengenai kualitas komunikasi yang dijabarkan dalam bentuk pengertian kualitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini terbagi atas empat sub bab. Sub bab pertama membahas mengenai komunikasi sebagai media pertukaran informasi antara dua orang atau lebih. Sub bab kedua membahas mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial, dimana manusia hidup bersama dengan orang lain dan membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupannya. Menurut Walgito (2001)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebahagiaan 1. Pengertian Kebahagiaan Menurut Seligman (2005) kebahagiaan hidup merupakan konsep yang mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Self-Esteem 2.1.1 Pengertian Self-Esteem Menurut Rosenberg (dalam Mruk, 2006), Self-Esteem merupakan bentuk evaluasi dari sikap yang di dasarkan pada perasaan menghargai diri

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil Seluruh Subyek Hasil penelitian dengan mengunakan metode wawancara, tes

BAB V PEMBAHASAN. A. Rangkuman Hasil Seluruh Subyek Hasil penelitian dengan mengunakan metode wawancara, tes BAB V PEMBAHASAN A. Rangkuman Hasil Seluruh Subyek Hasil penelitian dengan mengunakan metode wawancara, tes grafis dan observasi mendapatkan hasil yang berbeda pada masingmasing subyek. Penelitian yang

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Psychological well-being (PWB) atau kesejahteraan psikologis merupakan suatu kondisi yang menjadikan individu dapat mengenali, menggali dan memiliki potensi yang khas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst

BAB I PENDAHULUAN. masa beralihnya pandangan egosentrisme menjadi sikap yang empati. Menurut Havighurst BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Perkembangan sosial masa dewasa awal (young adulthood) adalah puncak dari perkembangan sosial masa dewasa. Masa dewasa awal adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai satu kesatuan atau unit terkecil masyarakat yang terjalin hubungan darah, ikatan

Lebih terperinci

2015 PENGARUH DATING ANXIETY DAN KESEPIAN TERHADAP ADIKSI INTERNET PADA DEWASA AWAL LAJANG DI KOTA BANDUNG

2015 PENGARUH DATING ANXIETY DAN KESEPIAN TERHADAP ADIKSI INTERNET PADA DEWASA AWAL LAJANG DI KOTA BANDUNG BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah yang mendasari penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan struktur organisasi skripsi. A. Latar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. dan sosial-emosional. Masa remaja dimulai kira-kira usia 10 sampai 13 tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masa remaja (adolescence) sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sundeen, 1998). Potter & Perry. kelemahannya pada seluruh aspek kepribadiannya. 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep diri 2.1.1. Pengertian Konsep diri Konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki keinginan untuk mencintai dan dicintai oleh lawan jenis. menurut

BAB I PENDAHULUAN. memiliki keinginan untuk mencintai dan dicintai oleh lawan jenis. menurut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupan manusia terdapat berbagai bentuk hubungan sosial. Salah satunya adalah hubungan intim lawan jenis atau hubungan romantis. Hubungan ini dapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. terdahulu mengenai self-esteem dan kecenderungan kesepian

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. terdahulu mengenai self-esteem dan kecenderungan kesepian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek Penelitian ini dimulai dari penemuan masalah yang telah terjadi di lapangan. Dari permasalahan tersebut peneliti mencoba mencari penelitianpenelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Fenomena perilaku seks pranikah di kalangan remaja di Indonesia semakin meningkat prevalensinya dari tahun ke tahun. Hasil survei yang dilakukan oleh Biro

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menimbulkan stress. Keinginan untuk mendapatkan penerimaan (acceptance)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menimbulkan stress. Keinginan untuk mendapatkan penerimaan (acceptance) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penolakan Sosial 2.1.1 Konsep Penolakan Sosial Penolakan merupakan keadaan yang sangat umum dan berpotensi untuk menimbulkan stress. Keinginan untuk mendapatkan penerimaan (acceptance)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1996). Mahasiswa yang dimaksud adalah individu yang berada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan mengalami masa transisi peran sosial, individu dewasa awal akan menindaklanjuti hubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu saling mengenal, memahami, dan menghargai satu sama lain. Hubungan

BAB I PENDAHULUAN. individu saling mengenal, memahami, dan menghargai satu sama lain. Hubungan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan salah satu proses yang biasanya dijalani individu sebelum akhirnya memutuskan menikah dengan pasangan. Pada masa pacaran, individu saling

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DAN CITRA DIRI

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DAN CITRA DIRI HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI DAN CITRA DIRI DENGAN KESEPIAN PARA ISTRI ANGGOTA TNI SKRIPSI Untuk memenuhi sebagian persyaratan Dalam mencapai derajat Sarjana S-1 oleh : DWI BUDI UTAMI F 100 040

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci