TINJAUAN PUSTAKA. Pendekatan Teoritis

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA. Pendekatan Teoritis"

Transkripsi

1 TINJAUAN PUSTAKA Studi tentang transmigrasi sebagai pembentuk formasi sosial kapitalis di daerah tujuan, diawali dengan pendekatan teoritis dan hasil kajian empiris tentang perubahan sosial yang terjadi pada komunitas tersebut. Pendekatan teoritis ini berguna sebagai landasan teoritis penulis untuk menganalisa fakta-fakta lapangan yang berkaitan dengan terbentuknya dan berubahnya formasi sosial pada komunitas transmigran. Pembentukan formasi sosial dapat dilihat dari berlangsungnya moda produksi (mode of production) terdiri dari kekuatan produksi (force of production) dan hubungan produksi (relation of production), yang kemudian menggerakkan suprastuktur (ideologi, budaya dan politik) dalam masyarakat. Pendekatan Teoritis Formasi Sosial (Social Formation) Istilah formasi sosial (social formation) merupakan istilah yang seringkali diidentikan dengan berlangsungnya moda produksi (mode of production) dalam suatu komunitas atau masyarakat oleh mereka yang beraliran Marxis (Sztompka 2004; Clammer 2003; Sairin et. al 2002; Setiawan 1999; Budiman 1995; dan Plattner 1989). Adapun definisi formasi sosial adalah gejala dimana dua atau lebih moda produksi hadir bersamaan dalam masyarakat dan salah satu moda produksi mendominasi yang lainnya. Moda produksi yang dominan berfungsi seperti penerang utama yang memberi pengaruh kepada moda produksi lainnya dan mengubah sifat-sifat utama dari moda produksi lainnya (Budiman 1995). Atau dengan kata lain, apabila moda produksi feodal mendominasi suatu komunitas atau masyarakat dalam waktu tertentu, maka dapat dipastikan bahwa formasi sosial yang terbentuk adalah formasi sosial feodal, demikian pun dengan pembentukan formasi sosial kapitalis merupakan dominasi moda produksi kapitalis terhadap moda produksi lainnya dalam suatu komunitas/masyarakat. Selain definisi formasi sosial yang dikemukan oleh Budiman tersebut, Kahn mengemukakan formasi sosial dengan merujuk pembagian moda produksi

2 yang berlangsung pada masyarakat Minangkabau, yaitu moda produksi subsisten, moda produksi komersil, dan moda moda produksi kapitalis (Sitorus 1999). Ketiga moda produksi tersebut menurut Kahn memiliki keterkaitan integratif tetapi dalam bentuk yang bersifat asimetris, dimana produksi kapitalis tampil sebagai moda produksi yang dominan sedangkan dua moda produksi lainnya pada posisi resisten. Curahan waktu kerja pada moda produksi subsisten menyumbang kepada moda produksi komersil dan kepada buruh upahan dalam perusahaan kapitalis. Tetapi curahan waktu kerja yang diserap produksi komersil dari produksi subsisten tadi dalam kenyataannya dialihkan langsung ke moda produksi kapitalis melalui suatu proses pertukaran yang timpang. Barang yang dihasilkan produksi komersil dijual ke pasaran (domestik dan ekspor) dengan harga yang lebih rendah dari biaya produksinya. Karena itu dapat dikatakan bahwa moda produksi kapitalis untuk sebagian direproduksi oleh moda produksi subsisten. Sebagai indikatornya Kahn menunjuk antara lain upah buruh yang lebih rendah dari total biaya reproduksi buruh (Sitorus 1999: 17 18). Teori atau konsep formasi sosial yang diuraikan tersebut, merupakan tingkat tertinggi bangunan teori Marx (Sztompka 2004), dimana dalam produksi sosial kehidupan manusia memasuki hubungan tertentu yang sangat diperlukan dan terlepas dari kemauan mereka. Selanjutnya hubungan produksi yang berkaitan dengan tahap perkembangan kekuatan produksi material mereka yang mana keseluruhan hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat sebagai basis nyata membangun suprastruktur dan tempat menghubungkan bentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu. Atas dasar ini, maka formasi sosial selalu mengalami perubahan yang bersifat otodinamis, terus menerus, dan dari dalam yang mana perubahan didorong oleh kontradiksi endemik, penindasan, dan ketegangan di dalam struktural. Formasi sosial juga merujuk pada perubahan formasi kelas dalam masyarakat kapitalis karena moda produksi kapitalis menguasai moda produksi yang lainnya (subsisten dan komersil). Sebagai contoh, studi yang dilakukan oleh Girsang (1996) pada komunitas transmigran di Desa Waihatu menunjukkan bahwa penguasaan atas tanah dalam proses produksi pertanian menyebabkan komunitas transmigran terbagi ke dalam lapisan atas, tengah, dan bawah, dimana

3 masing-masing lapisan sosial tersebut mempunyai pola produksi dan relasi produksi yang berbeda satu sama lainnya. Sehubungan dengan kasus komunitas transmigran di Wanaraya, maka dapat digambarkan bahwa kelas pemilik modal menunjukkan penguasaannya terhadap kelas petani pemilik-penggarap sehingga membentuk formasi kelas, dimana kelas pemilik modal menempatkan dirinya pada posisi teratas pada basis sosio-ekonomi komunitas transmigran. Strasser dan Randall (1981) menyatakan perubahan sosial merupakan perubahan ekonomi masyarakat, dimana terjadinya perubahan formasi kelas dalam masyarakat kapitalisme, akibat timbulnya pertentangan kelas antara masyarakat yang mempunyai alat produksi dengan golongan proletar. Perubahan ini disebabkan oleh kegiatan ekonomi yang akhirnya memunculkan masyarakat tanpa kelas. Lebih jauh Sztompka (2004) menjelaskan bahwa perubahan formasi sosial terjadi di tiga tempat yang berbasis kontradiksi, yaitu: pertama, diperbatasan antara masyarakat dan lingkungan (alam) seperti kontradiksi yang terus muncul antara tingkat perkembangan teknologi tertentu dan tantangan yang dihadapi oleh kondisi sosial maupun kondisi biologis. Kontradiksi ini mendorong perkembangan permanen dalam kekuatan produksi; kedua, kontradiksi lain muncul antara tingkat teknologi yang dapat dicapai dan organisasi produksi yang ada, yang tak sesuai dengan kekuatan produksi yang tersedia. Kontradiksi ini mendorong terjadinya perubahan progresif dalam hubungan produksi; dan ketiga, kontradiksi terakhir muncul antara hubungan produksi yang baru terbentuk dan sistem politik tradisional. Dalam kondisi seperti ini, pranata hukum dan ideologi (suprastruktur) tak lagi berfungsi membantu substruktur ekonomi. Kontradiksi ini menyebabkan terjadinya transformasi rezim politik dan tatanan hukum masyarakat. Oleh karena adanya kontradiksi internal dan tekanan terus-menerus ke arah penyelesaiannya, maka masyarakat dengan sendirinya menampakkan kecenderungan terus menerus pula ke arah perubahan. Uraian yang telah dijelaskan sebelumnya secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1. Realitas fisik (kondisi) alam Wanaraya dengan tekstur lahan histosol (lahan gambut berawa) mendorong terjadinya interaksi antara alam dan manusia dalam bentuk tindakan rasional manusia memanfaatkan alam untuk usaha

4 produksi. Sebelum kehadiran komunitas transmigran di Wanaraya, terdapat komunitas lokal (penduduk beretnis Banjar) yang melakukan usaha produksi behuma berpindah-pindah dari lahan satu ke lahan berikutnya yang berorientasi subsiten (nilai-guna). Usaha produksi ini masih memungkinkan karena kepemilikan lahan bersifat komunal yang dapat dimanfaatkan oleh setiap keluarga komunitas lokal melalui persetujuan kepala padang dan pembekal. Politik dan suprastruktur legal (ideologi) Bentuk kesadaran sosial (seni, kesusasteraan, religi) Formasi Sosial 3 Hubungan Produksi 2 Moda Produksi Kekuatan Produksi 1 Alam Keterangan: Kekuatan utama dialektika Gambar 1. Formasi Sosial Masyarakat (Sztompka 1994). Selain itu, kondisi alam Wanaraya menentukan jenis alat produksi yang digunakan untuk melakukan usaha produksi behuma, seperti tajak, taju, ani-ani, parang, dan varietas bibit padi lokal (padi siam). Demikian pun dengan tenaga kerja dalam usaha produksi sebatas keluarga inti saja, seperti ayah, ibu, dan anak yang sudah dewasa (baik laki-laki maupun perempuan). Atau dengan kata lain, sifat fisik (kondisi) alam Wanaraya mendorong perkembangan permanen moda produksi subsisten, dimana kekuatan produksi (seperti penggunaan alat produksi dan unit produksi berasal dari keluarga inti) dan hubungan produksi yang tercipta terkesan egaliter dan tidak bersifat eksploitatif. Berbeda ketika hadirnya komunitas transmigran pada tahun 1978, perubahan terjadi pada kepemilikan lahan yang tidak lagi bersifat komunal melainkan didasarkan atas kepemilikan bersifat pribadi, dimana masing-masing Kepala Keluarga (KK) komunitas (baik komunitas lokal maupun komunitas

5 transmgiran) mendapatkan lahan dari pembagian pemerintah. Selain itu, perubahan juga terjadi pada usaha produksi, yaitu dari usaha produksi behuma berpindah-pindah ke usaha produksi sawah pasang surut yang menetap. Meskipun demikian, sangat disadari oleh komunitas transmigran bahwa sifat fisik alam Wanaraya yang ditandai dengan lahan bertekstur histosol tidak memungkinkan pengalaman atau kecakapan usaha produksi sawah yang pernah dilakukan di daerah asal mereka pulau Jawa diterap-kan di Wanaraya. Kondisi seperti di atas menyebabkan terjadinya kontradiksi pada kekuatan produksi, dimana alat produksi (teknologi) seperti pacul yang biasa digunakan pada tahap penggemburan tanah tidak memungkinkan digunakan pada lahan bertekstur histosol untuk usahatani sawah pasang surut. Begitupun dengan tenaga kerja dalam pengelolaan sawah pasang surut menuntut penggunaan tenaga kerja tambahan di luar keluarga inti karena ketidakmampuan anggota (keluarga) komunitas transmigran untuk mengelola lahan secara sendiri. Dengan demikian, kesadaran komunitas transmigran terhadap kondisi alam Wanaraya menyebabkan terjadinya revolusi teknologi dimana tergantikannya teknologi pacul dengan teknologi tajak di dalam tahapan produksi lacak dan hadirnya sistem pertukaran tenaga kerja dalam pengelolaan usahatani sawah pasang surut yang didasarkan atas kepentingan kebutuhan yang sama akan tenaga kerja antara sesama komunitas transmigran. Meskipun terdapat tenaga kerja di luar keluarga inti tersebut, namun bukan berarti hubungan produksi yang tercipta bersifat eksploitatif. Melainkan hubungan produksinya cenderung egaliter karena tenaga kerja yang diperoleh melalui pertukaran tenaga kerja didasarkan atas tindakan tolong menolong yang disesuaikan dengan kebutuhan anggota komunitas transmigran. Selanjutnya sifat fisik (kondisi) alam Wanaraya dengan lahan histosol yang kurang subur dan resisten terhadap kebakaran ini mendorong terjadinya perubahan permanen pada kekuatan produksi dan hubungan produksi. Dalam kondisi seperti ini, kekuatan produksi berupa modal memainkan peranan yang cukup penting dalam usaha produksi sehingga terciptanya struktur hubungan produksi yang hierarki dan terkesan eksploitatif antar sesama komunitas transmigran. Uraian yang telah dijelaskan sebelumnya memberikan gambaran

6 bahwa untuk memahami formasi sosial, maka terlebih dahulu perlu memahami berlangsungnya moda produksi yang kemudian mempengaruhi atau menggerakkan suprastruktur (ideologi, politik dan budaya) suatu komunitas atau masyarakat. Moda Produksi (Mode of Production) Bagi kalangan Marxis, teori tentang moda produksi (mode of production) mempunyai titik penekanan yang berbeda-beda dalam menafsirkan moda produksi yang terdiri dari kekuatan produksi (force of production) dan hubungan produksi (relation of production). Merujuk penelitian yang telah dilakukan oleh Kahn di Minangkabau, moda produksi didefinisikan berdasarkan pembagian moda produksi ke dalam tiga bagian, terdiri dari: pertama, produksi subsisten (subsistence production), yaitu usaha pertanian tanaman pangan dimana hubungan produksi terbatas dalam keluarga inti antara pekerja yang bersifat egaliter; kedua, produksi komersil (petty commodity production), yaitu usaha pertanian atau luar pertanian yang (sudah) berorientasi pasar dimana hubungan produksi merujuk pada gejala eksploitasi surplus melalui ikatan kekerabatan, dan hubungan sosial antara pekerja (umumnya anggota keluarga/kerabat) bersifat egaliter tetapi kompetitif; dan ketiga, produksi kapitalis (capitalist production), yaitu usaha padat-modal berorientasi pasar dimana hubungan mencakup struktur majikanburuh atau pemilik modal-pemilik tenaga (Sitorus 1999). Tidak sampai disitu saja, Kahn menunjukkan artikulasi moda produksi subsisten, komersil, dan kapitalis yang masing-masing mempunyai perbedaan kekuatan produksi dan hubungan produksi (penjelasan secara rinci artikulasi moda produksi yang dimaksud dapat dilihat pada Tabel 1). Selain teori moda produksi menurut Kahn, terdapat teori lain tentang moda produksi yang kekuatan produksinya diartikulasikan sebagai basis material produksi, mencakup: alat-alat produksi (teknologi), manusia dengan kecakapannya, pengalaman-pengalaman produksi, dan terkadang pembagian teknis kerja. Sementara itu, hubungan produksi merupakan hubungan kerjasama atau pembagian kerja (hubungan ekonomi dan sosial) antara manusia yang terlibat dalam proses produksi ekonomi (produsen dan non-produsen). Hubunganhubungan produksi tersebut ditentukan oleh tingkat perkembangan kekuatan

7 produksi, struktur kelas yang tercipta dalam masyarakat dan tuntutan efisiensi produksi (Jary and Jary 2000; Agusta 2000; Magnis Suseno 1998; Watson 1997). Tabel 1. Artikulasi Moda Produksi Menurut Kahn. Moda Artikulasi Moda Produksi Produksi Kekuatan Produksi Hubungan Produksi Subsisten Tanah sebagai alat produksi, keluarga sebagai unit produksi, anggota keluarga/kerabat sebagai tenaga kerja utama (buruh upahan langka), dan padi sebagai produk utama Komersil Tanah dan non-tanah sebagai alat produksi, individu sebagai unit produksi, individu dan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama (buruh upahan langka), dan komoditi ekspor/konsumsi lokal sebagai produk utama Kapitalis Modal sebagai alat produksi, perusahaan sebagai unit produksi, buruh upahan sebagai tenaga kerja utama, dan komoditi ekspor/konsumsi domestik sebagai produk utama. Sumber: Kahn dalam Sitorus (1999). Terbatas keluarga inti, hubungan antara pekerja bersifat egaliter. Hadirnya gejala eksploitasi suplus melalui ikatan kerabat dekat, hubungan sosial antara pekerja bersifat egaliter, tetapi kompetitf (dimana pekerja memiliki hasil kerjanya untuk dipertukarkan sebagai komoditi). Majikan-buruh, dimana majikan sebagai pemilik modal sedangkan buruh tidak memiliki alat produksi (kecuali menjual tenaga yang menghasilkan nilai), surplus nilai diserap pemilik modal. Orientasi Usaha subsisten Pasar Pasar Selanjutnya, bekerjanya moda produksi tersebut dapat dicermati dari dua bentuk moda produksi, yaitu: (1) moda produksi pra-kapitalis (pre-capitalist mode of production) merupakan bentuk dari ekonomi suatu masyarakat yang secara historis mendahului kemunculan kapitalis dan dalam beberapa masyarakat muncul secara terus menerus bersama moda produksi kapitalis. Adapun ciri-ciri moda produksi pra-kapitalis adalah komunisme primitif, kuno, asiatik, dan feodal.

8 Selain itu, moda produksi pra-kapitalis juga dapat dilihat dari kekuatan politik yang digunakan untuk mengekstrak surplus ekonomi, tidak merdeka, dan tidak didasarkan pada pekerja upah bebas; dan kedua, moda produksi kapitalis (capitalist mode of production) merupakan bentuk ekonomi yang dicirikan oleh modal (kapital) dimiliki dan diawasi sendiri, serta pekerja dibeli dengan pembayaran upah oleh kapitalis. Adapun tujuan produksi dalam moda produksi kapitalis adalah menciptakan keuntungan dari penjualan komoditas dalam pasar bebas yang kompetitif, bersifat dinamis dan ini memberi dasar pada kompetisi akumulasi modal (Jary and Jary 2000; Agusta 2000). Berkaitan dengan moda produksi kapitalis di atas, menurut Watson (1997) bahwa terdapat kekuatan produksi kapitalis yang terdiri dari tanah, tenaga kerja, modal, dan hubungan produksi yang merujuk pada hubungan kapitalis antara borjuis dan proletar. Sementara itu, hubungan produksi yang tercipta antara borjuis dan proletar sudah didasari atas konflik, dimana salah satu mengeksploitasi yang lainnya. Adapun ciri khusus dari moda produksi ini adalah modal dimiliki oleh kapitalisme, pekerja dibeli dengan sistem upah, dan tujuan produksi untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan barang. Untuk memahami secara ringkas moda produksi kapitalis menurut Marx disajikan pada Gambar 2. Tulisan dari hasil penelitian ini menitikberatkan pada pembentukan formasi sosial pada komunitas transmigran di Wanaraya. Komunitas trans-migran tersebut mempunyai basis materi lahan marjinal (lahan bertekstur histosol) yang diperoleh dari pembagian pemerintah, dimana masing-masing keluarga komunitas transmigran menerima kurang lebih 2 ha tanah. Pembagian tanah ini diperuntukkan sebagai lahan pemukiman (disitilahkan lahan 1) dan lahan persawahan (distilahkan lahan 2) untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga sehari-hari. Tenaga kerja untuk pengusahaan kebutuhan produksi tersebut berasal dari keluarga inti dan terkadang antar sesama anggota komunitas saling bekerjasama dalam bentuk pertukaran tenaga kerja. Jika organisasi produksi merupakan cerminan dari struktur sosial komunitas transmigran didasarkan atas kepemilikan lahan dan tenaga kerja sewa atau upah, maka untuk kasus komunitas transmigran

9 di Wanaraya dapat dipastikan bahwa pada awal-awal komunitas transmigran menetap di daerah tujuan (Wanaraya) tidak mempunyai perbedaan kelas sosial antar satu dengan lainnya. Ideologi, Agama, Politik, dan Institusi Budaya Kekuatan produksi (tanah, tenaga kerja, dan investasi modal) Hubungan produksi (kapitalisme/ Pekerja) Kontradiksi Gambar 2. Moda Produksi Kapitalis Menurut Marx (Watson 1997). Keterbatasan lahan produksi (lahan histosol) yang diperoleh komunitas transmigran dari pemerintah mempunyai pengaruh terhadap kekuatan produksi, hubungan produksi, dan nilai/norma komunitas transmigran dikare-nakan kondisi lahan histosol (gambut berawa) daerah tujuan berbeda dengan daerah asal komunitas transmigran, maka pengusahaan usahatani sawah sangat ditentukan oleh penggunaan alat produksi dan tenaga kerja. Kontradiksi antara kondisi alam dengan pengalaman bertani sawah komunitas transmigran di daerah asal menyebabkan terjadinya revolusi produksi usahatani sawah yang ditandai dengan penggunaan teknologi produksi yang digunakan pada tahapan produksi, seperti teknologi pacul digantikan oleh teknologi tajak dalam tahapan lacak (penggemburan tanah) usahatani sawah pasang surut. Sementara itu, teknologi pacul yang melekat dengan pengalaman bertani komunitas transmigran diperuntukkan untuk mengelola lahan yang relatif tinggi (lahan 1). Sementara itu, ketidakmampuan tenaga kerja dari keluarga inti dalam tahapan produksi usahtani sawah tertentu (seperti tahap lacak dan tahap

10 menanam) dan terbatasnya modal milik keluarga komunitas transmigran menyebabkan hadirnya pertukaran tenaga kerja antara sesama anggota keluarga komunitas transmigran. Pertukaran tenaga kerja antar keluarga komunitas transmigran tersebut didasarkan atas kepentingan yang sama untuk melakukan pengelolaan usatani sawah pasang surut mendorong hubungan produksi yang egaliter dengan sifatnya yang non-eksploitatif sehingga masih bertahannya nilai/norma tolong menolong antar sesama komunitas transmigran. Namun, hubungan yang cenderung eksploitatif kemudian hadir ketika terjadinya penurunan kesuburan lahan yang ditandai dengan penurunan produksi padi dari kaleng/ha/tahun menjadi kaleng/ha/tahun 22. Penurunan produksi padi tersebut disebabkan unsur hara yang dihasilkan dari pembakaran saat pembukaan hutan menghilang dengan cepat di lahan Kalimantan yang tingkat kesuburan kimiawinya rendah. Selain itu, drainase yang terlalu dangkal tidak dapat melarutkan asam yang berlebihan dan juga tidak dapat mencegah salinasi sawah (Levang 2003). Dalam kondisi seperti di atas, investasi modal pada lahan gambut berawa mempunyai peranan yang cukup penting untuk melanjutkan usahatani sawah pasang surut. Atau dengan kata lain, modal diperuntukkan untuk membeli sarana produksi (seperti pupuk dan kapur) dan upah tenaga kerja. Hadirnya upanisasi tenaga kerja dikarenakan memudarnya pertukaran tenaga kerja dan kecenderungan anggota komunitas transmigran mengupahkan tenaga kerjanya untuk memperoleh modal guna membeli sarana produksi tersebut. Dengan demikian, pada aras struktur sosial terdapat kelas pemilik modal (petani pemilik modal) dan kelas petani pemilik-penggarap pada komunitas transmigran. Begitupun pada aras suprastruktur komunitas transmigran mengalami pergeseran dari basis kebutuhan tenaga kerja dengan tolong menolong menjadi individual yang didasari oleh kepentingan untuk memperoleh uang tunai (modal). Perubahan Sosial dalam Dimensi Teknologi dan Ekonomi Teknologi merupakan perwujudan kemampuan manusia untuk memanfaatkan alam melalui kegiatan-kegiatan produktif. Dalam hal ini, 22 1 kaleng ekuivalen dengan 20 liter.

11 teknologi adalah alat untuk mencapai pemenuhan kebutuhan manusia. Teknologi juga dapat diartikan sebagai suatu cara atau rancangan alat bagi suatu tindakan yang dapat membantu mengurangi ketidakpastian dalam hubungan sebab-akibat dalam upaya mencapai suatu hasil. Arti teknologi sendiri dapat menunjuk pada alat produksi dan teknik penggunaannya (Rogers 1983: 12; ESCAP 1984: 3). Dalam kajian Marxis, teknologi merupakan bagian dari kekuatan produksi yang di dalamnya juga terdapat tanah, manusia dan kecakapannya, serta pembagian teknis kerja. Menurut Weilland (1988) teknologi dapat dipilah ke dalam tiga bentuk, yaitu: (1) teknologi modern, yang mempunyai ukuran kecil sampai ukuran yang besar; (2) teknologi tradisional, yang mempunyai ukuran workshop kecil; dan (3) teknologi rumah tangga, dengan tenaga kerja satu orang hingga rumah tangga secara luas. Berbagai studi tentang peran teknologi dalam suatu masyarakat menunjukkan kemampuannya melakukan perubahan pada level masyarakat (community) maupun level keluarga (family). Ogburn (Harper 1989: 57 58) mengatakan bahwa inovasi teknologi setidaknya dapat menyebabkan perubahan dalam tiga hal, yaitu: (1) inovasi teknologi dapat memberikan kemudahan dalam kehidupan; (2) teknologi baru dapat merubah interaksi antar manusia; dan (3) teknologi dapat menimbulkan masalah-masalah baru. Studi yang dilakukan Yosep (1996) dan Dyah W.I.KR. (1997) menunjukkan bahwa masuknya teknologi sawah dapat merubah kekuatan produksi berkaitan dengan pembagian kerja dan penggunaan tenaga kerja di luar keluarga inti menyebabkan hadirnya masalah-masalah baru berupa kebutuhan modal untuk mengupah tenaga kerja. Selain itu, permasalahan yang ditimbulkan dari masuknya teknologi sawah di komunitas transmigran adalah introduksi varietas unggul pada sistem produksi sawah. Penggunaan varitas unggul bisa jadi meningkatkan produksi padi, namun disisi lain teknologi ini membutuhkan curahan kerja yang cukup tinggi. Dua kondisi yang kontradiktif ini setidaknya dialami oleh keluarga inti 23 komunitas transmigran. Akibat dari reduksi keluarga luas menjadi keluarga inti yang terjadi di komunitas transmigran kemudian dihadapkan dengan curahan kerja dalam 23 Keluarga inti merupakan sasaran operasionalisasi dalam program transmigran yang dapat di lihat dari alokasi sumber daya lahan, alokasi fasilitas dan jasa-jasa sosial serta target dalam realisasi program transmigran.

12 usahatani yang meningkat menyebabkan penggunaan tenaga kerja sewaan atau bersama-sama anggota kerabat atau anggota lainnya dalam sistem sosialnya mengembangkan pola gotong royong (Yosep 1996). Demikian pun dengan studi yang dilakukan oleh Dyah W.I.K.R. (1997) pada masyarakat Tulem di Propinsi Irian Jaya menunjukkan introduksi teknologi sawah menyebabkan perubahan yang dapat dilihat dari kembalinya peran laki-laki dalam bidang ekonomi, keamanan dan kesejahteraan dalam jaminan sosial. Selain itu, introduksi teknologi tersebut ternyata merubah kepemimpinan laki-laki yang berorientasi perang (bigman-war) berubah menjadi orientasi ekonomi dengan peningkatan hasil pertanian (bigman-agriculture). Setidaknya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Yosep dan Dyah W.I.K.R. berkaitan dengan introduksi teknologi menyebabkan perubahan kekuatan dan hubungan produksi, serta orientasi nilai tersebut menunjukkan bahwa teknologi sebagai salah satu prime mover perubahan di dalam sistem sosial, seperti perubahan kebudayaan dan struktur sosial (Ponsioen 1969). Sementara itu, perubahan kebudayaan oleh teknologi dapat dilihat dari penjelasan Krysmanski dan Tjaden (Stasser dan Rendall 1981). Krysmanski dan Tjaden mengatakan kemajuan teknologi menyebabkan terjadinya perubahan kultur dimana implementasi dan penjelmaan proses sosial yang mendasari realitas sosial di masyarakat. Proses sosial ini berlangsung dalam formasi sosial, dimana teknologi memegang peranan penting dalam bekerjanya moda produksi suatu masyarakat. Kenyataan yang terjadi di masyarakat adalah moda produksi mengalami peralihan waktu yang cukup lama dari satu moda produksi ke moda produksi yang lainnya, misalnya peralihan dari moda produksi feodal ke moda produksi kapitalis. Pada waktu peralihan ini mengakibatkan terjadinya percampuran atau pertemuan dari dua atau lebih moda produksi. Percampuran atau pertemuan dua moda produksi ini disebut formasi sosial. Berbeda dengan teknologi, peranan ekonomi lebih dominan berpengaruh terhadap perubahan struktur sosial. Perubahan struktur sosial dapat dikaji dari mekanisme perubahan sosial dengan perspektif materialisme. Perspektif materialisme mengemukakan bahwa kekuatan produksi (force of production) adalah pusat dalam perubahan sosial. Kekuatan produksi dalam pandangan Marx

13 adalah teknologi dan modal yang dapat menciptakan hubungan produksi yang berlangsung dalam suatu masyarakat. Untuk menjelaskan pandangannya, Marx mengilustrasikan bagaimana kincir angin memunculkan masyarakat feodal, dan mesin uap memunculkan masyarakat kapitalis industri. Jadi perspektif materialisme menekankan bahwa bentuk kelas ekonomi merupakan anatomi dasar masyarakat, sedangkan ide-ide, ideologi, nilai-nilai, struktur politik muncul dalam hubungannya dengan ekonomi. Perubahan dalam kekuatan produksi (teknologi) akan mengikis basis dari sistem ekonomi yang sudah lama yang kemudian membuka kemungkinan baru. Selanjutnya, Marx mengatakan bahwa perubahan dalam masyakarat kapitalis industri terjadi karena dislokasi (kontradiksi) antara kekuatan produksi dan hubungan produksi (Lauer 2000; Harper 1989). Berkaitan dengan hal di atas, Johnson (1988) menjelaskan bahwa Marx lebih menekankan tingkat struktur sosial, bukan kenyataan sosial budaya, dan menekankan saling ketergantungan yang tinggi antar struktur sosial dan kondisi material dimana individu berada. Jika tidak terjadi keseimbangan dalam moda produksi, maka akan menimbulkan perubahan dalam hubungan produksi, seperti halnya pembagian kerja, perubahan dalam struktur kelas, perubahan dalam hubungan kelas, munculnya kelas baru atau memudarnya kelas lama dan terjadi perubahan sosial lainnya yang berkaitan dengan masalah tersebut. Masuknya berbagai teknologi (seperti teknologi sawah pasang surut, teknologi peternakan, dan lain sebagainya) di Wanaraya menunjukkan terjadinya gejala perubahan formasi sosial sebagai dampak dari terjadinya penurunan kesuburan lahan yang mengakibatkan produksi sawah pasang surut mengalami penurunan. Selanjutnya Johnson (1988) menambahkan bahwa kemampuan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup tergantung keterlibatannya dalam hubungan sosial dengan orang lain untuk mengubah lingkungan material melalui kegiatan produktifnya. Hubungan sosial yang elementer ini membentuk infrastruktur ekonomi masyarakat, yang kemudian diikuti dengan perkembangan pembagian kerja dan mengharuskan adanya sistem pertukaran. Proses pertukaran yang disertai dengan perbedaan alamiah antara satu dengan yang lainnya akan

14 menimbulkan perbedaan dalam pemilikan kekuatan produksi, dan ini merupakan dasar pokok untuk pembentukan kelas sosial. Sistem pertukaran yang dikemukakan oleh Johnson (1988) dalam bahasa Lenski (Sanderson 2000) adalah kerjasama. Kerjasama ini terjadi jika terdapat kesamaan dasar untuk mendapatkan keuntungan dalam jangka panjang. Walaupun demikian, jika kondisi tidak memungkinkan maka konflik dan perbedaan struktur sosial akan terjadi. Jika terjadi surplus produksi, perebutan untuk menguasainya tidak dapat dihindari, dan surplus produksi akhirnya dikuasai oleh individu atau kelompok yang paling berkuasa. Jadi, surplus ekonomilah yang menyebabkan berkembangnya struktur sosial. Semakin besar surplus produksi, semakin senjang pula struktur sosial yang terjadi. Besarnya surplus ditentukan oleh kemampuan teknologi masyarakat. Dengan demikian, ada hubungan erat antara derajat perkembangan teknologi dengan derajat perkembangan struktur sosial dimana kemajuan teknologi menyebabkan surplus ekonomi terjadi dan perebutan surplus produksi melahirkan perbedaan struktur sosial (Sanderson 2000). Demikian halnya dengan komunitas transmigran pada awal-awal menempati Wanaraya sebagai daerah tujuan, dimana hanya terdapat satu struktur sosial komunitas transmgiran yaitu petani pemilik-penggarap. Kerjasama antar sesama anggota komunitas transmigran saat itu masih dimungkinkan dalam pengusahaan sawah pasang surut. Adanya kerjasama tersebut disebabkan kondisi alam dan keterbatasan kemampuan tenaga kerja keluarga inti dalam kegiatan produksinya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Keadaan seperti ini, kemudian mendorong kerjasama dalam bentuk sistem pertukaran tenaga kerja antar sesama anggota komunitas transmigran dalam tahap tertentu (seperti tahap melacak) yang tidak didasarkan atas modal. Akan tetapi, dalam perjalanannya seiring dengan keterbatasan lahan gambut berawa menyebabkan terjadinya perubahan dari sistem pertukaran tenaga kerja ke sistem upanisasi. Hadirnya upanisasi ini disebabkan keharusan anggota komunitas transmigran untuk membeli pupuk dan kapur guna keberlanjutan usahatani sawah pasang surut sebagai sumber pangan keluarga komunitas transmigran. Kondisi inilah yang menyebabkan berkembangnya struktur sosial

15 komunitas transmigran ke dalam dua kelas sosial, yaitu petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap. Berkembangnya struktur sosial komunitas transmigran di Wanaraya didasarkan atas penguasaannya terhadap faktor-faktor produksi, dimana anggota komunitas yang menguasai teknologi (seperti pupuk dan kapur) adalah mereka yang termasuk kelas petani pemilik modal. Kelas pemilik modal ini menyediakan pupuk dan kapur dalam bentuk pinjaman kepada kelas sosial lainnya (petani pemilik-penggarap), serta meyewa tenaga kerja untuk mengelola lahan produksinya. Apabila petani pemilik-penggarap tidak mampu membayar pinjaman pupuk dan kapur kepada petani pemodal, maka petani pemilikpenggarap dapat menggantikannya dengan tenaga kerja untuk menggarap lahan petani pemilik modal. Dengan demikian, terjadi sistem pertukaran yang tidak seimbang antar anggota komunitas transmigran atau dengan kata lain kelas pemilik modal mengekstrak surplus produksi berupa tenaga kerja yang dimiliki oleh kelas petani pemilik-penggarap. Komunitas Transmigran Definisi tentang komunitas transmigran dalam tulisan ini merujuk pada konsep komunitas ala Marxis, walaupun demikian tetap memperhatikan konsep komunitas selain Marxis, seperti konsep komunitas yang dikemukakan Wilkinson (1996). Untuk mengetahui konsep komunitas ala Marxis, dapat dilihat ketika berlangsungnya moda produksi pra-kapitalis (pre-capitalist mode of production). Pra-kapitalis merupakan bentuk dari ekonomi suatu masyarakat yang secara historis mendahului kemunculan kapitalis dan dalam beberapa masyarakat muncul secara terus menerus bersama moda produksi kapitalis yang mempunyai ciri-ciri komunisme primitif, kuno, asiatik, dan feodal (Jary and Jary 2000; Agusta 2000). Adapun komunitas yang mempunyai ciri-ciri komunisme kuno terlihat pada moda produksi kekerabatan, dimana identitas kekerabatan seseorang akan mengontrol semua akses kehidupannya (seperti kekayaan produksi, perlindungan hukum, dukungan sosial dan agama dan sebagainya). Berkaitan dengan itu, simbol dianalogikan sebagai hubungan biologis seperti perkawinan, keturunan lineal, keturunan affinal (melalui perkawinan), dan aktivitas-aktivitas individu terorganisasi kedalam tingkah laku kelompok. Kelompok-kelompok kerabatan

16 seperti keluarga secara luas, silsilah keturunan, dan marga yang menentukan organisasi produksi. Ketidaksamaan utama di dalam masyarakat komunisme kuno berdasarkan antara senior dan yunior atau laki-laki dan wanita atau lebih abstrak seperti apakah seorang lebih dekat pada suatu keturunan gaib (Plattner 1989). Berkaitan dengan moda produksi kekerabatan ini, Wolf (Plattner 1989) membaginya ke dalam dua bagian, yaitu sumberdaya tersedia lebih luas bagi siapa saja dengan keahlian tertentu dan akses sumberdaya terstruktur melalui kelompok kekerabatan yang terorganisasi. Pimpinan dalam kelompok kekerabatan dirangking berdasarkan prestise dan kekuasaan, dimana pemimpin tertinggi (ningrat) dapat mengorganisasi secara baik pekerjaan dan perdagangan. Atau dengan kata lain adanya kelas-kelas ekonomi dalam kelompok terdefinisikan secara jelas dan mempunyai akses perbedaan nyata terhadap kekayaan produksi. Kondisi ini kemudian menyebabkan perbedaan-perbedaan hubungan dalam tingkat kehidupan sehingga menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat komunisme kuno yang didasarkan atas dominasi senior atas yunior, dominasi lakilaki atas wanita, dan keeratan geneologi terhadap pendiri patrilineal atau matrilineal. Sementara itu, komunisme asiatik (moda produksi asiatik) merupakan moda produksi tersentralisasi dimana putusan elit adalah kekuatan penuh untuk melakukan kontrol sebagian sumberdaya penting dalam produksi. Akibat dari kekuatan yang dimiliki oleh elit ini kemudian membatasi kekuatan tuan besar lokal maupun perkembangan organisasi politik lokal. Sedangkan komunisme feodal (moda produksi feodal) merupakan moda produksi terfragmentasi yang menghasilkan suatu kekuatan sentral yang relatif lemah dan berhubungan kuat dengan tuan-tuan besar lokal. Dalam kondisi seperti ini secara jelas menggambarkan pentingnya aliansi lokal, perjuangan golongan yang bersifat endemik dan strategi golongan elit tingkat tinggi (Wolf dalam Plattner 1989). Meskipun demikian, konsep komunitas ala Marxis yang bertolak pada prakapitalis ternyata mengalami berbagai faktor yang mencegah terjadinya perkembangan kesadaran kelas (consciousness of class) 24. Adapun faktor yang 24 Menurut Lukacs (Ritzer dan Goodman, 2004:173) bahwa kesadaran kelas adalah sifat sekelompok orang yang secara bersama menempati posisi serupa dalam sistem produksi. Selanjutnya konsep kesadaran kelas secara tersirat menyatakan keadaan sebelumnya, yang dikenal

17 dimaksud, pertama, terlepasnya negara dari ekonomi sehingga mempengaruhi strata sosial; dan kedua, kesadaran mengenai status (prestise) cenderung menutupi kesadaran kelas (Lukacs dalam Ritzer dan Goodman 2004). Selanjutnya Lukacs berpendapat bahwa kesadaran kelas hanya dapat tercapai oleh masyarakat kapitalis, dimana orang akan menyadari ketidaksadaran mereka akan pengaruh dari kapitalisme sehingga pada titik tertentu akan tercipta kesadaran dan pada tahap ini menjadi arena pertarungan ideologi antara pihak yang berupaya menyembunyikan ciri masyarakat yang berkelas dan pihak yang berupaya menampakkannya (Ritzer dan Goodman 2004: 174). Berbeda dengan konsep komunitas ala Marxis di atas, menurut Wilkinson (1996) sebagai penganut non-marxis bahwa untuk mengukur keberadaan suatu komunitas, setidaknya memenuhi tiga unsur kriteria, yaitu: (1) komunitas adalah ekologi lokal (the community as local ecology), dimana ekologi lokal menjadi dasar terbentuknya komunitas sebagai suatu organisasi kolektif yang menempati suatu wilayah kecil dan anggotanya berusaha memenuhi kebutuhan sehari-hari; (2) komunitas adalah masyarakat lokal yang merupakan organisasi sosial kehidupan (the community as an organization of social life), dimana organisasi sosial kehidupan memiliki struktur, seperti: kelompok-kelompok, perusahaan, agen-agen dan fasilitas-fasilitas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Oleh karena itu, dapat dikatakan sebagai suatu struktur yang holistik dan global; dan (3) komunitas sebagai tindakan-tindakan kolektif (the community as collective action) yang menunjukkan identitas serta solidaritas anggota komunitas. Dengan demikian, perbandingan kriteria konsep komunitas sebagaimana telah disebutkan dan diuraikan sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 2. Merujuk pada Tabel 2 perbandingan konsep komunitas ala Marxis dan selain Marxis terlihat gambaran kesamaan dan ketidaksamaan pendefinisian tentang konsep komunitas. Kesamaan definisi komunitas antara mereka yang beraliran marxis dengan non-marxis adalah suatu dianggap komunitas, jika menempati lokasi atau wilayah tertentu. Ikatan kekerabatan atau ikatan geneologi baik kalangan marxis dan non-marxis mempunyai kontribusi terhadap dengan sebagai kesadaran palsu. Artinya, kelas-kelas dalam masyarakat kapitalis umumnya tidak menyadari kepentingan kelas mereka yang sebenarnya.

18 pembentukan suatu komunitas dan terkadang kekerabatan merupakan basis organisasi produksi atau organisasi sosial komunitas itu sendiri. Tabel 2. Perbandingan Konsep Komunitas ala Marxis dan Selain Marxis. Ciri-ciri Teori Komunitas Wolf Lukacs Wilkinson (1). Ikatan kekerabatan - - (2). Organisasi produksi - (3). Hubungan sosial (hubungan - produksi) yang tidak setara (4). Menempati lokasi atau - wilayah tertentu (5). Kesadaran (consciousness) - - (6). Mempunyai struktur sosial Meskipun demikian, terdapat ketidaksamaan pendefinisian komunitas antara mereka yang berlairan marxis dengan non-marxis terletak pada hubungan sosial atau hubungan produksi. Bagi mereka yang beraliran marxis, hubungan produksi sebagai cerminan hubungan sosial seringkali menggambarkan hubungan ketidaksetaraan antara anggota komunitas yang satu dengan lainnya dalam mengakses sumber-sumber kehidupan. Hal ini disebabkan dalam sistem sosial terdapat perbedaan struktur sosial dalam suatu komunitas. Selanjutnya perbedaan struktur sosial tersebut, kemudian menciptakan kesadaran pada masing-masing kelas sosial yang ada. Berbeda dengan mereka yang non-marxis, walaupun terdapat perbedaan struktur sosial dalam suatu komunitas, namun masih terdapat solidaritas dalam wujud tindakan kolektif antara sesama anggota komunitas. Sesuai dengan tema dan tujuan penelitian ini, serta berdasarkan beberapa konsep komunitas yang telah diuraikan sebelumnya dan hubungannya dengan subyek penelitian, maka komunitas transmigran dapat didefinisikan sebagai penduduk yang sengaja maupun tidak sengaja didatangkan untuk menempati suatu lokasi transmigran dari latar belakang sosial-budaya beragam yang mempunyai organisasi produksi dalam sistem produksi yang relatif beragam dan ditandai dengan hubungan produksi yang tidak setara disebabkan perbedaan struktur sosial. Merujuk pada definisi yang telah dikemukakan sebelumnya, komunitas transmigran di Wanaraya merupakan suatu komunitas dimana penduduknya

19 sengaja atau tidak sengaja didatangkan oleh pemerintah melalui program transmigran untuk menempati lokasi pemukiman baru di Wanaraya. Selain itu, mereka yang sengaja didatangkan atau tidak sengaja didatangkan tersebut berasal dari daerah yang berbeda dan melakukan berbagai usaha produksi (usahatani, usaha transportasi klotok, usaha bengkel, dan membatang) di lokasi pemukiman baru tersebut sehingga mempunyai ciri khas organisasi produksi dan moda produksi (kekuatan produksi dan hubungan produksi). Kerangka Pemikiran Penelitian tentang transmigrasi sebagai pembentuk formasi sosial kapitalis di daerah tujuan dilatarbelakangi oleh kondisi alam yang ditandai dengan keterbatasan lahan bertekstur histosol (lahan gambut berawa). Untuk memahami pembentukan formasi sosial kapitalis di daerah tujuan dalam hal ini komunitas transmigran di Wanaraya, maka terlebih dahulu memahami berlangsungnya moda produksi komunitas transmigrasi sebagai cerminan dari organisasi produksi. Konsep moda produksi (Watson 1997, Magnis Suseno 1998, Kahn dalam Sitorus 1999, Jary dan Jary 2000, dan Agusta 2000) merujuk pada berlangsungnya kekuatan produksi (force of production) dan hubungan produksi (relation of production), dimana kekuatan utamanya terletak pada dialektika. Komunitas transmigran yang diteliti merupakan penduduk yang sengaja atau tidak sengaja didatangkan oleh pemerintah untuk menempati daerah tujuan atau lokasi pemukiman baru di Wanaraya yang berasal dari latar belakang sosialbudaya beragam dan mempunyai organisasi produksi dalam sistem produksi yang relatif beragam serta ditandai dengan hubungan produksi yang tidak setara karena perbedaan struktur sosial. Umumnya, mereka anggota komunitas transmigran yang menempati lokasi pemukiman baru di Wanaraya sebagian besar keluarga yang berasal dari petani gurem atau buruh tani sewaktu di daerah asalnya (Heeren 1979, Mubyarto 1988, Ahmad dan Soegiharto 2003). Transmigrasi dengan wujudnya berupa pemberian lahan seluas dua hektar oleh pemerintah kepada masing-masing keluarga komunitas transmigran, disatu sisi dapat diartikulasikan sebagai bentuk keberpihakan pemerintah kepada para transmigran yang tadinya sebagian besar sebagai petani gurem atau tunakisma di

20 daerah asal dengan memberikan akses atau penguasaan atas lahan di daerah tujuan. Namun, disisi lain dapat pula diartikulasikan sebagai wujud dari kepentingan pemerintah untuk mendorong komunitas transmigran melakukan usaha produksi pertanian atau usahatani sawah pasang surut yang intensif menggantikan usahatani ekstensif (behuma) yang pernah dilakukan komunitas lokal. Berkaitan dengan itu, Singarimbun 25 mengutarakan bahwa dalam praktek program transmigrasi hampir semua transmigran disalurkan ke dalam aktivitas pertanian sehingga tidak jelas apa yang dimaksudkan dengan pemenuhan tenaga kerja di daerah penerima. Setidaknya kondisi di atas menunjukkan indikasi terjadinya penyeragaman usaha produksi di daerah tujuan yang dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk penetrasi teknologi sawah pasang surut. Akan tetapi dalam perjalanan, teknologi sawah pasang surut diperhadapkan dengan kondisi alam daerah tujuan atau lokasi transmigran di Wanaraya yang didominasi lahan histosol (lahan gambut berawa). Lahan yang miskin unsur hara tersebut menyebabkan terjadinya kontradiksi antara pengalaman bertani di daerah asal dengan di daerah tujuan dan usaha produksi lainnya. Tidak sampai disitu saja, kontradiksi juga dapat dilihat dari perubahan penggunaan teknologi dan kemampuan modal yang dimiliki oleh keluarga komunitas transmigran untuk mengelola usahatani sawah pasang surut, serta berkembangnya usaha produksi selain pertanian (seperti usaha transportasi klotok, elektronik dan bengkel, dan membatang). Usaha produksi yang dilakukan oleh komunitas transmigran tersebut berkaitan dengan tenaga kerja yang terlibat dan kemampuan modal sebagai bentuk dari kekuatan produksi. Lahan histosol yang miskin unsur hara, tenaga kerja, modal, teknologi, dan pengalaman bertani merupakan kekuatan produksi yang kemudian mendorong perkembangan hubungan produksi berbasis kontradiksi antara anggota komunitas transmigran. Hubungan produksi ini, kemudian mempengaruhi norma atau aturan yang berlaku pada komunitas transmigran di Wanaraya. Adapun kekuatan produksi dan hubungan produksi (moda produksi) tersebut dapat dilihat dari organisasi produksi sebagai cerminan struktur sosial komunitas transmigran di Wanaraya. Selain itu, hubungan produksi antara anggota komunitas transmigran 25 Masri Singarimbun Kata Pengantar dalam buku H. J. Heeren, Transmigrasi di Indonesia, 1979, hal. IX X.

21 ditentukan oleh tingkat perkembangan kekuatan produksi, struktur kelas yang tercipta dalam masyarakat dan tuntutan efisiensi produksi (Jary and Jary 2000; Agusta 2000; Magnis Suseno 1998; Watson 1997). o Distribusi lahan o Teknologi sawah pasang surut o Modal Transmigrasi Usaha produksi Kekuatan produksi Emansipasi/ Kesadaran Lokasi/Daerah Tujuan Organisasi produksi Hubungan produksi Suprastruktur ideologi (norma dan aturan) Formasi sosial: o Ikatan kelembagaan o Struktur sosial Gambar 3. Kerangka Pemikiran Formasi Sosial Komunitas Transmigran. Usaha produksi, kekuatan dan hubungan produksi sebagai cerminan organisasi produksi, dan berlangsungnya norma atau aturan merupakan satu kesatuan dalam wujud formasi sosial komunitas transmigran yang menggambarkan ikatan kelembagaan dan struktur sosial yang berlangsung. Dalam kaitannya dengan struktur sosial komunitas transmigran di Wanaraya, petani pemilik modal menempati kelas sosial teratas yang mempunyai akses atau penguasaan terhadap faktor-faktor produksi dibandingkan dengan petani pemilikpenggarap sebagai kelas sosial terendah yang teralienasi terhadap akses atau penguasaan atas faktor-faktor produksi. Dengan kata lain pembentukan formasi sosial kapitalis yang berlangsung di daerah tujuan merupakan bentuk dari emansipasi atau kesadaran dari pelaksanaan transmigrasi yang selama ini berlangsung di Wanaraya.

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Program transmigrasi di usianya kurang lebih lima puluh tahun memberikan catatan tersendiri perihal keberhasilan dan kegagalannya. Tak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan program

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Kesimpulan Akhir tahun 70-an dan awal 80-an, Pemerintahan Orde Baru menggalakkan program transmigrasi dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa, seperti Sulawesi, Kalimantan,

Lebih terperinci

TRANSMIGRASI SEBAGAI PEMBENTUK FORMASI SOSIAL KAPITALIS DI DAERAH TUJUAN SOFYAN SJAF

TRANSMIGRASI SEBAGAI PEMBENTUK FORMASI SOSIAL KAPITALIS DI DAERAH TUJUAN SOFYAN SJAF TRANSMIGRASI SEBAGAI PEMBENTUK FORMASI SOSIAL KAPITALIS DI DAERAH TUJUAN (Studi Kasus Komunitas Transmigran di Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan) SOFYAN SJAF SEKOLAH

Lebih terperinci

BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI

BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI BAB X KESIMPULAN DAN IMPLIKASI 10.1. Kesimpulan Dalam cakupan masa kontemporer, menguatnya pengaruh kapitalisme terhadap komunitas petani di empat lokasi penelitian dimulai sejak terjadinya perubahan praktek

Lebih terperinci

TRANSMIGRASI DAN FORMASI SOSIAL KAPITALIS

TRANSMIGRASI DAN FORMASI SOSIAL KAPITALIS TRANSMIGRASI DAN FORMASI SOSIAL KAPITALIS Transmigrasi di Indonesia semakin mempertegas ciri khas yang memperlihatkan keidentikannya dengan pembentukan formasi sosial kapitalis, dimana terjadinya eksploitasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 6 BAB II 2.1 Tinjauan Pustaka PENDEKATAN TEORITIS 2.1.1 Konsep Perkebunan Perkebunan adalah salah satu subsektor pertanian non pangan yang tidak asing di Indonesia. Pengertian perkebunan 2 dalam Undang-undang

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian

BAB V KESIMPULAN. pedesaan yang sesungguhnya berwajah perempuan dari kelas buruh. Bagian BAB V KESIMPULAN Bagian kesimpulan ini menyampaikan empat hal. Pertama, mekanisme ekstraksi surplus yang terjadi dalam relasi sosial produksi pertanian padi dan posisi perempuan buruh tani di dalamnya.

Lebih terperinci

SOSIOLOGI PENDIDIKAN

SOSIOLOGI PENDIDIKAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL KONFLIK TOKOH PEMIKIR ANTARA LAIN: 1. KARL MARX (1818-1883) 5. JURGEN HABERMAS 2. HEGEL 6. ANTONIO GRAMSCI 3. MAX HORKHEIMER (1895-1973) 7. HERBERT

Lebih terperinci

Konflik Politik Karl Marx

Konflik Politik Karl Marx Konflik Politik Karl Marx SOSIALISME MARX (MARXISME) Diantara sekian banyak pakar sosialis, pandangan Karl Heindrich Marx (1818-1883) dianggap paling berpengaruh. Teori-teorinya tidak hanya didasarkan

Lebih terperinci

PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT

PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT INTERAKSI SOSIAL DAN PERUBAHAN SOSIAL PRINSIP DASAR MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK INDIVIDU DAN MAKHLUK SOSIAL DI MASYARAKAT 1. Manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial 2. Manusia berada di dalam sistem

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola

I. PENDAHULUAN. menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Proses pelaksanaan pembangunan, dalam jangka menengah dan panjang menyebabkan terjadinya perubahan struktur penguasaan lahan pertanian, pola hubungan kerja dan stuktur

Lebih terperinci

BAB II PERUBAHAN SOSIAL KARL MARX. menunjuk pada perubahan sosial yang telah terjadi pada masyarakat

BAB II PERUBAHAN SOSIAL KARL MARX. menunjuk pada perubahan sosial yang telah terjadi pada masyarakat 40 A. Teori Perubahan Sosial BAB II PERUBAHAN SOSIAL KARL MARX Kehidupan sosial itu sendiri tidak pernah bisa terlepas dari adanya suatu proses untuk menuju dalam perkembangan. Sebagaimana perubahan sosial

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006

Lebih terperinci

6 KESIMPULAN DAN SARAN

6 KESIMPULAN DAN SARAN 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil studi yang dilakukan pada dua komunitas yaitu komunitas Suku Bajo Mola, dan Suku Bajo Mantigola, menunjukkan telah terjadi perubahan sosial, sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang artinya bahwa pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat ditunjukkan dari banyaknya

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tugas-tugas pada posisinya tersebut. Apabila kita berbicara tentang tugas-tugas

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tugas-tugas pada posisinya tersebut. Apabila kita berbicara tentang tugas-tugas BAB II KAJIAN PUSTAKA Sebagai sebuah mekanisme yang terus berfungsi, masyarakat harus membagi anggotanya dalam posisi sosial yang menyebabkan mereka harus melaksanakan tugas-tugas pada posisinya tersebut.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki. Salah satu bentuk

BAB I PENDAHULUAN. masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki. Salah satu bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konstruksi budaya patriarki yang masih mengakar kuat di Indonesia hingga saat ini, mengakibatkan posisi perempuan semakin terpuruk, terutama pada kelompok miskin. Perempuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI. upahan pasca panen. Peluang kerja adalah suatu keadaan dimana adanya

BAB II KERANGKA TEORI. upahan pasca panen. Peluang kerja adalah suatu keadaan dimana adanya BAB II KERANGKA TEORI 2.1.Adopsi Teknologi Pertanian Dalam hal adopsi penerapan teknologi traktor, yang dilakukan oleh kelompok tani mengakibatkan sempitnya peluang kerja bagi para buruh tani/tenaga upahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar mengembangkan sektor pertanian. Sektor pertanian tetap menjadi tumpuan harapan tidak hanya dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga

I. PENDAHULUAN. rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pendapatan rumahtangga petani adalah pendapatan yang diterima oleh rumahtangga yang mengusahakan komoditas pertanian. Pendapatan rumahtangga petani dapat berasal dari

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN

BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN BAHAN KULIAH 10 SOSIOLOGI PEMBANGUNAN TEORI DEPENDENSI Dr. Azwar, M.Si & Drs. Alfitri, MS JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ANDALAS Latar Belakang Sejarah Teori Modernisasi

Lebih terperinci

Pendekatan Historis Struktural

Pendekatan Historis Struktural Teori modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan modernisasi membawa kenajuan bagi negara dunia ketiga

Lebih terperinci

Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik

Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik Memahami Akar dan Ragam Teori Konflik Sofyan Sjaf Turner dalam bukunya yang berjudul The Structure of Sociological Theory pada bab 11 13 dengan apik menjelaskan akar dan ragam teori konflik yang hingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor

I. PENDAHULUAN. lebih dari dua pertiga penduduk Propinsi Lampung diserap oleh sektor I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sektor andalan perekonomian di Propinsi Lampung adalah pertanian. Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Propinsi Lampung

Lebih terperinci

1 Universitas Indonesia

1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia hingga saat ini belum mampu mensejahterakan seluruh masyarakat Indonesia. Sebagian besar masyarakat masih belum merasakan

Lebih terperinci

KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN. Slamet Widodo

KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN. Slamet Widodo KETERGANTUNGAN DAN KETERBELAKANGAN Slamet Widodo Teori modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul sebuah alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi. Kegagalan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Agroforestri Secara umum agroforestri adalah manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Lahan Sawah. memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan

I. TINJAUAN PUSTAKA. A. Lahan Sawah. memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan I. TINJAUAN PUSTAKA A. Lahan Sawah Lahan sawah dapat dianggap sebagai barang publik, karena selain memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya, juga memberikan manfaat yang bersifat sosial.

Lebih terperinci

II. PENDEKATAN TEORITIS

II. PENDEKATAN TEORITIS II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Teori Kepemilikan Sumber Daya (Property rights) Kondisi tragedy of the common didorong oleh kondisi sumber daya perikanan yang bersifat milik bersama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan agraris, dimana terdiri dari banyak pulau dan sebagian besar mata pencaharian penduduknya bercocok tanam atau petani. Pertanian

Lebih terperinci

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik

* Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang. 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik Terdapat dua teori besar dalam ilmu social yang melahirkan aliran feminisme, yakni: 1. Teori struktural fungsionalisme, dan 2. Teori struktural konflik * *Tokoh : Robert Merton & Talcott Parsons. *Teori

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 27 PENDAHULUAN Latar Belakang Paradigma baru pembangunan Indonesia lebih diorientasikan pada sektor pertanian sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan kapasitas lokal. Salah satu fokus

Lebih terperinci

POLITIK DAN PERUBAHAN SOSIAL

POLITIK DAN PERUBAHAN SOSIAL POLITIK DAN PERUBAHAN SOSIAL Mekanisme Perubahan Sosial Asumsi Perspektif Materialisme Perspektif Idealis Mekanisme Interaksional Sumber Struktural: Pemerintahan dan Korban Status Sumber Struktural: Elit

Lebih terperinci

Bagian Pertama: PENDEKATAN EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL

Bagian Pertama: PENDEKATAN EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL Bagian Pertama: PENDEKATAN EKONOMI POLITIK INTERNASIONAL 1 2 BAB I Memahami Ekonomi Politik Internasional A. Pendahuluan Negara dan pasar dalam perkembangannya menjadi dua komponen yang tidak terpisahkan.

Lebih terperinci

STRATIFIKASI SOSIAL fitri dwi lestari

STRATIFIKASI SOSIAL fitri dwi lestari STRATIFIKASI SOSIAL fitri dwi lestari Stratifikasi sosial muncul karena adanya sesuatu yang dianggap berharga dalam masyarakat. Pitirim Sorokin Sistem stratifikasi adalah pembedaan penduduk atau masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk sosial, berinteraksi, bermasyarakat dan menghasilkan suatu sistem nilai yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat adalah

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Relasi Kekuasaan Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki- laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian telah terbukti memiliki peranan penting bagi pembangunan perekonomian suatu bangsa. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang berperan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Penduduk Indonesia usia 15 tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, (juta orang) No.

I. PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Penduduk Indonesia usia 15 tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, (juta orang) No. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yaitu negara pertanian dengan daratannya yang subur dan didukung oleh iklim yang menguntungkan. Usaha pertanian, budidaya tanaman dan

Lebih terperinci

BAB VIII PENUTUP. Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial

BAB VIII PENUTUP. Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial BAB VIII PENUTUP Penelitian dengan tema kebijakan hutan rakyat dan dinamika sosial ekonomi masyarakat di Kabupaten Banyumas ini mengambil tiga fokus kajian yakni ekonomi politik kebijakan hutan rakyat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan rejim ekonomi politik di Indonesia yang terjadi satu dasawarsa terakhir dalam beberapa hal masih menyisakan beberapa permasalahan mendasar di negeri ini.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang

BAB I PENDAHULUAN. Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang sangat tinggi, namun belum banyak upaya yang dilakukan untuk mengidentifikasi keberhasilan agribisnis

Lebih terperinci

5. STRUKTUR SOSIAL PERDESAAN

5. STRUKTUR SOSIAL PERDESAAN 5. STRUKTUR SOSIAL PERDESAAN TUJUAN PERKULIAHAN 1. Mahasiswa memahami struktur sosial di perdesaan 2. Mahasiswa mampu menganalisa struktur sosial perdesaan KONSEP DASAR STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT DAPAT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumatera merupakan pulau yang memiliki sejumlah suku besar berciri khas tradisional. Suku yang terkenal adalah Minangkabau, Aceh, Batak, Melayu, dan ada juga sejumlah suku-suku

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN Krisis ekonomi yang sampai saat ini dampaknya masih terasa sebenarnya mengandung hikmah yang harus sangat

Lebih terperinci

WANITA DAN STRUKTUR SOSIAL ( Suatu Analisa Tentang Peran Ganda Wanita Indonesia) Dra. LINA SUDARWATI

WANITA DAN STRUKTUR SOSIAL ( Suatu Analisa Tentang Peran Ganda Wanita Indonesia) Dra. LINA SUDARWATI WANITA DAN STRUKTUR SOSIAL ( Suatu Analisa Tentang Peran Ganda Wanita Indonesia) Dra. LINA SUDARWATI Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Masyarakat dunia pada

Lebih terperinci

Pemberdayaan KEKUASAAN (POWER)

Pemberdayaan KEKUASAAN (POWER) 1 Pemberdayaan KEKUASAAN (POWER) Pemberdayaan (empowerment) adalah sebuah konsep yang berhubungan dengan kekuasaan (power) Dalam tulisan Robert Chambers 1, kekuasaan (power) diartikan sebagai kontrol terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Dalam pembangunan pertanian, beras merupakan komoditas yang memegang posisi strategis. Beras dapat disebut komoditas politik karena menguasai hajat hidup rakyat Indonesia.

Lebih terperinci

BAB II TEORI KONFLIK KARL MARX DAN DAHRENDORLF. proletar yang memperebutkan sumber-sumber ekonomi (alat-alat produksi).

BAB II TEORI KONFLIK KARL MARX DAN DAHRENDORLF. proletar yang memperebutkan sumber-sumber ekonomi (alat-alat produksi). 37 BAB II TEORI KONFLIK KARL MARX DAN DAHRENDORLF A. Teori Konflik Karl Marx Konflik merupakan pertentangan antara kelas borjuis melawan kelas proletar yang memperebutkan sumber-sumber ekonomi (alat-alat

Lebih terperinci

3. Berbagai Pergeseran Pekerjaan Pertanyaan Diskusi

3. Berbagai Pergeseran Pekerjaan Pertanyaan Diskusi SOSIOLOGI PERTANIAN: Pasca Revolusi Hijau di Pedesaan Jawa Timur Lambang Triyono Lab. Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Email : dl@ub.ac.id Tujuan Pembelajaran

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM ARAH PERUBAHAN PENGUASAAN LAHAN DAN TENAGA KERJA PERTANIAN Oleh : Sri H. Susilowati

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. serta pendorong dan penarik tumbuhnya sektor sektor ekonomi, dapat. dan pengangguran serta dapat mensejahterakan masyarakat.

TINJAUAN PUSTAKA. serta pendorong dan penarik tumbuhnya sektor sektor ekonomi, dapat. dan pengangguran serta dapat mensejahterakan masyarakat. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Pertanian dan Petani Pertanian memiliki arti penting dalam pembangunan perekonomian. Sektor pertanian tidak saja sebagai penyediaan kebutuhan pangan melainkan sumber kehidupan.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya

TINJAUAN PUSTAKA. komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya TINJAUAN PUSTAKA Peranan Penyuluh Pertanian Penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sasarannya memberikan pendapat sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dimana sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Mereka menggantungkan hidupnya dari hasil bercocok tanam atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di pedesaan merupakan sebagian dari proses pembangunan nasional yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan di pedesaan merupakan sebagian dari proses pembangunan nasional yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan di pedesaan merupakan sebagian dari proses pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian wilayah, sekaligus mengindikasikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. kemakmuran antar daerah. Namun kenyataan yang ada adalah masih besarnya distribusi

BAB 1 PENDAHULUAN. kemakmuran antar daerah. Namun kenyataan yang ada adalah masih besarnya distribusi BAB 1 PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Tujuan pembangunan daerah yaitu mencari kenaikan pendapatan perkapita yang relatif cepat, ketersediaan kesempatan kerja yang luas, distribusi pendapatan yang merata,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Peran Perempuan Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan Hutan memiliki kedekatan hubungan dengan masyarakat disekitarnya terkait dengan faktor ekonomi, budaya dan lingkungan. Hutan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. budidaya ini meluas praktiknya sejak paruh kedua abad ke 20 di dunia serta

TINJAUAN PUSTAKA. budidaya ini meluas praktiknya sejak paruh kedua abad ke 20 di dunia serta TINJAUAN PUSTAKA Monokultur Pertanaman tunggal atau monokultur adalah salah satu cara budidaya di lahan pertanian dengan menanam satu jenis tanaman pada satu areal. Cara budidaya ini meluas praktiknya

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS)

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) Oleh: A. Rozany Nurmanaf Adimesra Djulin Herman Supriadi Sugiarto Supadi Nur Khoiriyah Agustin Julia Forcina Sinuraya Gelar Satya Budhi PUSAT PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. didalam ranah kajian ilmu-ilmu sosial bahkan hingga saat ini. Berbagai macam jenis

BAB V PENUTUP. didalam ranah kajian ilmu-ilmu sosial bahkan hingga saat ini. Berbagai macam jenis BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Daerah pedalaman di Indonesia sudah sejak lama mendapatkan tempat didalam ranah kajian ilmu-ilmu sosial bahkan hingga saat ini. Berbagai macam jenis penelitian dengan rupa-rupa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Diversifikasi Siegler (1977) dalam Pakpahan (1989) menyebutkan bahwa diversifikasi berarti perluasan dari suatu produk yang diusahakan selama ini ke produk baru yang

Lebih terperinci

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan sektor pertanian telah memberi kontribusi yang besar

BAB. I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembangunan sektor pertanian telah memberi kontribusi yang besar BAB. I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah pembangunan di Indonesia memperlihatkan bahwa pembangunan sektor pertanian telah memberi kontribusi yang besar terhadap perubahan dalam perekonomian Indonesia.

Lebih terperinci

EKONOMI POLITIK SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN (ESL 426 )

EKONOMI POLITIK SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN (ESL 426 ) EKONOMI POLITIK SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN (ESL 426 ) Dosen: 1. Dr. Ir. Aceng Hidiayat MT (Koordinator) 2. Dessy Rachmawatie SPt, MSi 3. Prima Gandhi SP, MSi KULIAH 3 : Teori Ekonomi Politik Marxian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan tingkat keberagaman yang tinggi. Baik keberagaman hayati

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan tingkat keberagaman yang tinggi. Baik keberagaman hayati 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan tingkat keberagaman yang tinggi. Baik keberagaman hayati (biodiversity) maupun keberagaman tradisi (culture diversity).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masyarakat batak toba menganut sistem kekeluargaan patrilineal yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Masyarakat batak toba menganut sistem kekeluargaan patrilineal yaitu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat batak toba menganut sistem kekeluargaan patrilineal yaitu keturunan ditarik dari ayahnya. Dilihat dari marga yang dipakai oleh orang batak yang diambil dari

Lebih terperinci

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 16 II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Definisi pembangunan masyarakat yang telah diterima secara luas adalah definisi yang telah ditetapkan oleh Peserikatan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam

BAB I PENGANTAR Latar Belakang. asasi manusia, sebagaimana tersebut dalam pasal 27 UUD 1945 maupun dalam 1 BAB I PENGANTAR 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar utama bagi manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Hak untuk memperoleh pangan merupakan salah satu hak asasi manusia, sebagaimana

Lebih terperinci

Teori Konflik I: Marxis dan Neo Marxis

Teori Konflik I: Marxis dan Neo Marxis Teori Konflik I: Marxis dan Neo Marxis K U L I A H KE- 5: A M I K A W A R D A N A, P H. D A. W A R D A N A @ U N Y. A C. I D T E O R I S O S I O L O G I K O N T E M P O R E R Materi: Fungsionalisme Versus

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perekonomian padi dan beras merupakan pendukung pesatnya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perekonomian padi dan beras merupakan pendukung pesatnya II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekonomi Padi Perekonomian padi dan beras merupakan pendukung pesatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Menurut Kasryno dan Pasandaran (2004), beras serta tanaman pangan umumnya berperan

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.kondisi ini

Bab I PENDAHULUAN. memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.kondisi ini Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sampai saat ini Indonesia masih merupakan negara petanian, artinya petanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional.kondisi ini dapat dibuktikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari satu pulau ke pulau lain

BAB I PENDAHULUAN. Transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari satu pulau ke pulau lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transmigrasi adalah perpindahan penduduk dari satu pulau ke pulau lain dalam satu negara. Transmigrasi merupakan perpindahan penduduk secara permanen dari pulau

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORETIS

BAB II PENDEKATAN TEORETIS 7 BAB II PENDEKATAN TEORETIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Konsep Perubahan Sosial Menurut Sztompka (2004) masyarakat senantiasa mengalami perubahan di semua tingkat kompleksitas internalnya. Dalam kajian

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT Oleh: Memed Gunawan dan Ikin Sadikin Abstrak Belakangan ini struktur perekonomian masyarakat pedesaan Jawa Barat telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada. peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan

I. PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada. peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alokasi Waktu Kerja Menurut Syukur (1988), waktu sebagai sumberdaya ekonomi rumah tangga petani dapat dialokasikan pada kegiatan yang dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkebunan merupakan aktivitas budi daya tanaman tertentu pada lahan yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman tahunan yang jenis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan di negara-negara dunia ketiga masih menitikberatkan pada sektor pertanian. Di Indonesia sektor pertanian memiliki peranan besar dalam menunjang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi

TINJAUAN PUSTAKA. Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Alih Fungsi Lahan dan Faktor-Faktor Penyebabnya Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Alih fungsi atau konversi lahan secara umum menyangkut transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke penggunaan lainnya. Alih fungsi

Lebih terperinci

PENUTUP. Degradasi Lahan dan Air

PENUTUP. Degradasi Lahan dan Air BAB VI PENUTUP Air dan lahan merupakan dua elemen ekosistem yang tidak terpisahkan satu-sama lain. Setiap perubahan yang terjadi pada lahan akan berdampak pada air, baik terhadap kuantitas, kualitas,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Pembangunan pertanian subsektor perkebunan mempunyai arti penting dan strategis terutama di negara yang sedang berkembang, yang selalu berupaya: (1) memanfaatkan kekayaan

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan didukung dengan kondisi kesuburan tanah dan iklim tropis yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. dan didukung dengan kondisi kesuburan tanah dan iklim tropis yang dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan salah satu sektor kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari mayoritas penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani dan didukung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian besar

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam

BAB V KESIMPULAN Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum kurikulum Konstruksi tersebut melakukan the making process dalam BAB V KESIMPULAN 5.1. Identitas Nasional dalam Imajinasi Kurikulum 2013 Konstruksi Identitas Nasional Indonesia tidaklah berlangsung secara alamiah. Ia berlangsung dengan konstruksi besar, dalam hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para

BAB I PENDAHULUAN. dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Daerah Sumatera Barat beserta masyarakatnya, kebudayaannya, hukum adat dan agamanya, semenjak dahulu menjadi perhatian khas dari para ilmuwan dan para cendikiawan

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS. ilmu tersendiri yang mempunyai manfaat yang besar dan berarti dalam proses BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN RUMUSAN HIPOTESIS 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Teori Pembangunan Pertanian Dalam memacu pertumbuhan ekonomi sektor pertanian disebutkan sebagai prasyarat bagi pengembangan dan pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149).

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan, bahasa maupun sikap dan perasaan (Kamanto Sunarto, 2000:149). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial karena di dalam kehidupannya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain. Pada diri manusia juga terdapat

Lebih terperinci

Prinsip-Prinsip Aliran-Aliran Sosialisme

Prinsip-Prinsip Aliran-Aliran Sosialisme KRITIK TERHADAP SISTEM EKONOMI SOSIALISME fakta Sosialisme Muncul Akibat Kezhaliman Kapitalisme thd Masyarakat Prinsip-Prinsip Aliran-Aliran Sosialisme (1) Mewujudkan Kesamaan (Equity) Secara Riil (2)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Upaya mewujudkan pembangunan pertanian tidak terlepas dari berbagai macam masalah yang dihadapi pada saat ini. Masalah pertama yaitu kemampuan lahan pertanian kita

Lebih terperinci

BAB V STRATIFIKASI SOSIAL

BAB V STRATIFIKASI SOSIAL BAB V STRATIFIKASI SOSIAL 6.1 Pengantar Stratifikasi merupakan karakteristik universal masyarakat manusia. Dalam kehidupan sosial masyarakat terdapat diferensiasi sosial dalam arti, bahwa dalam masyarakat

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Lahirnya Kelembagaan Lahirnya kelembagaan diawali dari kesamaan karakteristik dan tujuan masing-masing orang dalam kelompok tersebut. Kesamaan kepentingan menyebabkan adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era teknologi tinggi, penggunaan alat-alat pertanian dengan mesin-mesin

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era teknologi tinggi, penggunaan alat-alat pertanian dengan mesin-mesin BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Memasuki era teknologi tinggi, penggunaan alat-alat pertanian dengan mesin-mesin modern membantu percepatan proses pengolahan produksi pertanian. Modernisasi

Lebih terperinci