PERBANDINGAN MANAJEMEN SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK SAPI PERAH FH WILAYAH DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI KECAMATAN GRATI DELA HERAINI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERBANDINGAN MANAJEMEN SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK SAPI PERAH FH WILAYAH DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI KECAMATAN GRATI DELA HERAINI"

Transkripsi

1 PERBANDINGAN MANAJEMEN SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK SAPI PERAH FH WILAYAH DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI KECAMATAN GRATI DELA HERAINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perbandingan Manajemen Sistem Pemeliharaan Ternak Sapi Perah FH Wilayah Dataran Rendah dan Dataran Tinggi Kecamatan Grati adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015 Dela Heraini NIM D

3 RINGKASAN DELA HERAINI. Perbandingan Manajemen Sistem Pemeliharaan Ternak Sapi Perah FH Wilayah Dataran Rendah dan Dataran Tinggi Kecamatan Grati. Dibimbing oleh BAGUS PRIYO PURWANTO dan SURYAHADI. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari aspek teknis dan efisiensi manajemen pemeliharaan ternak sapi perah FH yang dipelihara di wilayah dataran rendah dan dataran tinggi, dimana peternak sapi perah rakyat tergabung dalam keanggotaan KUTT Suka Makmur, Kecamatan Grati, Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan 80 responden yang terbagi menjadi 40 responden wilayah dataran rendah dan 40 responden dataran tinggi. Metode penelitian bersifat deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif, analisis fungsi produksi stochastic frontier, dan analisis efisiensi teknis. Variabel yang digunakan yaitu variabel terikat (dependent variable) dengan simbol Y, yaitu produksi susu yang dihasilkan dari tiap-tiap peternak liter/ekor/hari dan variabel bebas (independent variabel) dengan simbol X, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu sapi perah dengan merujuk pada manajemen pemeliharaan yang dilakukan oleh setiap peternak yang tergabung dalam anggota KUTT Suka Makmur yang terdiri dari umur sapi berahi pertama (X 1 ), umur sapi beranak pertama (X 2 ), selang waktu kawin setelah beranak (X 3 ), calving interval (X 4 ), jumlah pemberian hijauan (X 5 ) jumlah pemberian konsentrat (X 6 ), pemberian air minum (X 7 ), saat pengeringan sapi setelah bunting (X 8 ), kejadian mastitis (X 9 ), total kepemilikan ternak (X 10 ), jumlah tenaga kerja (X 11 ). Hasil penelitian menunjukkan variabel input produksi pada fungsi produksi stochastic frontier wilayah dataran rendah dalam manajemen pemeliharaan ternak sapi perah dipengaruhi oleh sapi beranak pertama dan calving interval, dampak yang terjadi adalah ketika peternak menaikan satu persen dengan input lain tetap maka produksi susu akan meningkat. Sedangkan untuk koefisien sapi berahi pertama dan sapi kawin setelah beranak berpengaruh pada menurunnya tingkat produksi susu yang dihasilkan, hal ini disebabkan karena perlu adanya pengaturan manajemen reproduksi yang lebih baik untuk wilayah dataran rendah. Variabel input produksi wilayah dataran tinggi dipengaruhi oleh sistem pengeringan sapi laktasi dan jenis penyakit, peternak wilayah dataran tinggi perlu memperhatikan kapan sapi harus dikering kandangkan karena akan berakibat pada meningkatnya produksi susu yang dihasilkan. Faktor inefisiensi teknis wilayah dataran rendah dipengaruhi oleh cara memberishkan sapi, pencatatan usaha, dan tingkat pedidikan. Sedangkan wilayah dataran tinggi dipengaruhi oleh umur peternak dan tingkat pendidikan. Pola penerapan manajemen pemeliharaan wilayah dataran tinggi yang lebih baik dari dataran rendah mengindikasikan peternak wilayah dataran tinggi sudah mapan dalam mengadopsi teknologi-teknologi baru yang diberikan oleh peternak, sehingga berpengaruh pada jumlah produksi susu yang lebih banyak dibandingkan peternak wilayah dataran rendah. Kata kunci : sapi perah, produksi susu, input produksi, dataran rendah, dataran tinggi.

4 SUMMARY DELA HERAINI. Comparison of Rearing Management of Holstein Cows in Lowland and Highland Grati. Supervised by BAGUS PRIYO PURWANTO and SURYAHADI. This research was done to study the technical aspects and efficiency of rearing management of FH dairy cattle in the lowlands and highlands, where dairy farmers were included in the membership of KUTT Suka Makmur, Grati, Pasuruan, East Java. This study used 80 respondents who were 40 respondents for lowland and highland areas, recpectively The research method was descriptive, qualitative and quantitative. Data were analyzed using descriptive analysis, stochastic frontier production function analysis, and analysis of technical efficiency. The variable used were the dependent variable (milk production (Y), L -1 day -1 head -1 ) and the independent variables as variable of production input those were first estrus (X 1, year), age of first calving (X 2, year), first mating after calving (X 3, month), calving interval (X 4, month), number of forage (X 5, kg BK -1 head -1 day -1 ), number of concentrate (X 6, kg BK -1 head -1 day -1 ), drinking water (X 7 ), dry off (X 8, month), disease (X 9 ), animal number (X 10, animal unit), labor (X 11, head). Results showed that the variable of production inputs on stochastic frontier production of rearing management in low land areas were first estrus(x 1 ), age of first calving (X 2 ), first mating after calving (X 3 ) and calving interval (X 4 ). The increasing in X 2 and X 4 will increase milk production. However, the increasing in X 1 and X 3 will decrease milk production. On the other hands, farmer in the high land areas should pay attention on dry off (X 8 ) and diseases (X 9 ). Technical inefficiency factors in low land areas were cleaning the cow, recording and farmer s education level. While in the highland area were farmer s age and farmer s education level. The application of rearing management patterns in highland was better than that of in low land areas. It indicated that farmers in highland was more adopting new technologies provided by the coop, resulted farmer in highland produced more milk production compared with the lowland farmers. Key words: dairy cow, lowland, highland, milk production, variable of production input.

5 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

6 PERBANDINGAN MANAJEMEN SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK SAPI PERAH FH WILAYAH DATARAN RENDAH DAN DATARAN TINGGI KECAMATAN GRATI DELA HERAINI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

7 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Salundik, MSi

8

9

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta ala, atas rahmat dan karunia-nya sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam yang telah memberikan syafaatnya bagi seluruh umat manusia. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah kajian terhadap manajemen sistem pemeliharaan di dua wilayah yang berbeda dengan judul Perbandingan Manajemen Sistem Pemeliharaan Ternak Sapi Perah FH Wilayah Dataran Rendah dan Dataran Tinggi Kecamatan Grati. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Bagus Priyo Purwanto, MAgr dan Bapak Dr Ir Suryahadi, DEA selaku pembimbing. Penghargaan penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah membantu penulis selama studi dan penelitian. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf, karyawan dan peternak yang tergabung dalam KUTT Suka Makmur Kecamatan Grati atas kerjasama dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga besar penulis atas segala doa dan perhatian yang diberikan kepada penulis. Tidak lupa terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh dosen ITP atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan, rekan-rekan Pasca ITP khususnya angkatan 2013, dan staf administrasi Pascasarjana ITP atas dukungan dan kerja samanya selama penulis menyelesaikan studi serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga kelak ilmu yang telah diperoleh berguna untuk generasi berikutnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2015 Dela Heraini

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Aspek Manajemen Pemeliharaan 3 Pendugaan Bobot Badan 5 Fungsi Produksi 5 Konsep Fungsi Produksi Stochastic Frontier 7 3 MATERI DAN METODE 10 Waktu dan Lokasi Penelitian 10 Materi dan Parameter Penelitian 10 Metode Penelitian 11 Identifikasi Variabel Penelitian 11 Analisis Data 11 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 Keadaan Umum Wilayah 14 Karakteristik Peternak Responden 15 Suhu Lingkungan Ternak 16 Pendugaan Bobot Badan 17 Pendugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier Cobb-Douglas 20 Sumber-Sumber Inefisiensi Teknis 27 5 SIMPULAN DAN SARAN 30 Simpulan 30 Saran 30 DAFTAR PUSTAKA 31 LAMPIRAN 34 RIWAYAT HIDUP 54 x x x

12 DAFTAR TABEL 1 Sebaran peternak responden berdasarkan umur, pengalaman, dan 15 tingkat pendidikan wilayah dataran rendah dan dataran tinggi di KUTT Suka Makmur tahun Kisaran suhu dan kelembaban udara pada dataran rendah dan dataran 16 tinggi wilayah kerja KUTT Suka Makmur 3 Lingkar dada dan bobot badan sapi perah dewasa di KUTT Suka 17 Makmur 4 Kandungan nutrisi hijauan (rumput gajah dan jerami padi) dan 18 konsentrat (SPL HIPRO dan SPL 01) 5 Rataan jumlah ternak dan pemberian pakan (BK) sapi perah di dataran 18 rendah dan dataran tinggi wilayah kerja KUTT Suka Makmur 6 Perbandingan produksi susu beberapa sapi FH yang dipelihara di wilayah dataran rendah dan wilayah dataran tinggi pada bulan Januari Hasil estimasi model fungsi produksi dataran rendah dan dataran tinggi 21 menggunakan metode OLS 8 Hasil estimasi model fungsi produksi stochastic frontier pada usaha 23 peternakan sapi perah rakyat wilayah dataran rendah dan dataran tinggi menggunakan metode MLE 9 Pendugaan parameter maximum-likelihood model inefisiensi teknis 28 DAFTAR GAMBAR 1 Fungsi produksi stochastic frontier 9 2 Peta wilayah kerja KUTT Suka Makmur 14 3 Kurva metode OLS tidak menunjukkan multikolinearitas 22 DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil pendugaan fungsi produksi dan inefisiensi teknis usaha peternakan rakyat wilayah dataran rendah dengan metode MLE menggunakan Program Stochastic Frontier Hasil pendugaan fungsi produksi dan inefisiensi teknis usaha peternakan rakyat wilayah dataran tinggi dengan metode MLE menggunakan Program Stochastic Frontier Hasil pendugaan fungsi produksi usaha peternakan rakyat sapi perah FH di KUTT Suka Makmur Kecamatan Grati wilayah dataran rendah dengan metode OLS menggunakan Program Minitab 16 4 Hasil pendugaan fungsi produksi usaha peternakan rakyat sapi perah FH di KUTT Suka Makmur Kecamatan Grati wilayah dataran rendah dengan metode OLS menggunakan Program Minitab

13 1 I PENDAHULUAN Latar Belakang Bangsa sapi Friesian Holstein (FH) merupakan ternak perah tipe penghasil susu. Sapi FH dapat berproduksi dan menghasilkan susu dengan baik di daerah yang mempunyai kelembaban relatif dan temperatur udara yang relatif rendah. Sapi FH yang ada di Indonesia umumnya berasal dari negara-negara yang beriklim sedang, memerlukan suhu yang optimum (sekitar 18 o C) dan kelembaban 55% untuk mencapai produksi maksimalnya. Pada suhu yang lebih tinggi, ternak akan melakukan penyesuaian secara fisiologis dan secara tingkah laku (behavior). Suhu udara merupakan ukuran intensitas atau unit standar yang biasanya ditunjukkan dengan satuan derajat celcius ( o C), yaitu rataan suhu dari lingkungan udara maupun air di sekitar tubuh ternak yang berhubungan dengan status fisiologis ternak (Bligh dan Johnson 1973). Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan (2009), suhu yang sesuai untuk sapi perah berkisar o C, sedangkan menurut Yani et al. (2007) suhu di Indonesia berkisar o C dengan kelembaban 60% - 90%, hal ini disebabkan oleh radiasi matahari yang tinggi, selain itu produksi panas ternak yang berupa panas sensible (panas yang menyebabkan terjadinya kenaikan atau penurunan temperatur), tinggi, luas, bahan atap dan bukaan ventilasi yang kurang tepat menyebabkan naiknya suhu dan kelembaban udara dalam kandang sapi perah. Apabila suhu lingkungan sapi perah lebih tinggi dari 22 o C sapi sulit beradaptasi. Sapi perah FH yang dipelihara di daerah tropis dengan suhu lingkungan rata-rata 24 o C akan sulit mencapai produksi terbaiknya seperti sapi FH yang dipelihara di daerah asalnya. Iklim dan ketinggian tempat diatas permukaan laut juga berpengaruh terhadap produksi susu. Menurut Yani dan Purwanto (2006) sapi perah yang ada di Indonesia pada umunya dipelihara di daerah yang memiliki ketinggian lebih dari 800 meter di atas permukaan laut (m dpl). Lebih lanjut menurut Yani dan Purwanto (2006) sapi yang berada di lingkungan bersuhu tinggi akan mengalami cekaman panas yang berdampak pada meningkatnya konsumsi air minum namun menurunkan konsumsi pakan dan produksi susu. Selain itu, faktor suhu lingkungan dan kelembaban udara yang menimbulkan terjadinya cekaman panas berpengaruh pada penampilan sapi perah tersebut (Thompson 1973). Pemahaman kondisi cuaca yang sesuai dan manajemen pemeliharaan yang baik sangat berpengaruh pada faktor produksi sapi perah tersebut, dimana manajemen yang baik diharapakan menghasilkan output produksi yang optimal. Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam manajemen pemeliharaan sapi perah menurut standar penilaian Direktorat Jenderal Peternakan (1983), Faktor-faktor penentu ternak sapi perah merupakan indikator untuk melihat pengetahuan teknis beternak sapi perah dari para peternak. Faktor-faktor penentu ternak sapi perah meliputi lima aspek yaitu 1). Breeding dan reproduksi, 2). Makanan ternak, 3). Pengelolaan, 4). Kandang dan peralatan, serta 5). Kesehatan ternak. Sektor peternakan sapi perah di Jawa Timur pada umumnya masih berskala peternakan rakyat dengan jumlah sapi kurang dari 10 ekor per unit usaha peternakan. Populasi sapi perah di Jawa Timur pada tahun 2013 sebanyak ekor, dengan produksi susu sebanyak juta liter (Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur 2014). Sapi perah tersebut diperilahara di daerah dataran tinggi

14 2 seperti Pujon, Nongkojajar, Jabung, dan wilayah lainnya, akan tetapi ada juga yang dipelihara di dataran rendah. Mayoritas peternak sapi perah di Jawa Timur tergabung dalam koperasi susu. Salah satu koperasi susu yaitu KUTT Suka Makmur Kecamatan Grati, Kabupaten Pasuruan. KUTT Suka Makmur berada di Kabupaten Pasuruan memiliki wilayah kerja tidak hanya dataran tinggi tetapi juga dataran rendah. Wilayah kerja dataran tinggi yaitu Kecamatan Lumbang, dan wilayah kerja dataran rendah meliputi Kecamatan Grati, Lekok, Nguling, dan Rejoso. Jumlah ternak wilayah dataran tinggi sebanyak ekor dan jumlah ternak wilayah dataran rendah sebanyak ekor. Kedua dataran tersebut memiliki karakteristik unsur iklim dan manajemen pemeliharaan yang berbeda, sehingga diduga akan mempengaruhi produktivitas sapi perah di kedua dataran tersebut. Akan tetapi, hasil studi yang membandingkan produktivitas sapi perah dan tingkat inefisiensi teknis diantara kedua dataran tersebut di Indonesia sangatlah terbatas. Oleh sebab itu, untuk mencapai produktivitas yang tinggi dari usaha sapi perah maka diperlukan peternak yang terampil dalam mengalokasikan faktorfaktor produksi dalam menjalankan usaha peternakannya. Kinerja sapi perah dapat dilihat dari indikator teknisnya. Sehubungan dengan itu, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji perbedaan suhu lingkungan, produktivitas sapi perah, dan tingkat inefisiensi teknis beternak sapi perah di kedua wilayah tersebut (dataran rendah dan dataran tinggi). Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji aspek teknis dan inefisiensi manajemen sistem pemeliharaan ternak sapi perah FH yang dipelihara di wilayah dataran rendah dan dataran tinggi, dimana peternak sapi perah tergabung dalam keanggotaan KUTT Suka Makmur, Kecamatan Grati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat memberi informasi atau gambaran mengenai aspek teknis dan inefisiensi manajemen sistem pemeliharaan ternak sapi perah FH di wilayah dataran rendah dan dataran tinggi, selain itu menjadi bahan pertimbangan dalam perbaikan dan evaluasi tatalaksana sistem pemeliharaan ternak sapi perah FH agar usaha peternakan rakyat lebih efisien.

15 3 2 TINJAUAN PUSTAKA Aspek Manajemen Pemeliharaan Budidaya dan reproduksi sangat berperan dalam keberlangsungan usaha peternakan sapi perah, terutama bagi peternak dalam menentukan umur sapi berahi pertama, umur sapi beranak pertama, selang watu dikawinkan setelah beranak, serta calving interval. Sapi yang dipelihara dengan manajemen budidaya dan reproduksi yang baik akan berpengaruh terhadap jumlah susu yang dihasilkan. Menurut Ensminger (1971), sapi dara dengan nutrisi yang baik akan berahi pertama pada umur 9-11 bulan, jika asupan nutrisinya kurang baik maka berahi pertamanya akan mundur pada umur bulan. Schmidt dan Van Vleck (1974) menambahkan sapi yang laktasi pertamanya pada umur 24 bulan akan menghasilkan rata-rata 75% susu yang dihasilkan oleh sapi dewasa, dan meningkat pada saat laktasi kedua 85% sampai laktasi kelima yaitu 99%. Tyler dan Ensminger (2006) menyatakan sapi dara pubertas tercapai ketika bobot badan sapi sekitar 35% dari bobot badan dewasa tubuh (sekitar umur 7-9 bulan). Lama berahi tergantung umur, sapi dara pada umumnya mempunyai masa berahi lebih pendek dibandingkan dengan sapi dewasa. Siklus berahi sapi berkisar antara hari (± 21 hari). Interval beranak merupakan salah satu yang dapat mempengaruhi produksi susu. Menurut Ensminger (1971), sapi dengan selang beranak antara bulan akan berproduksi lebih tinggi dibandingkan dengan sapi yang selang beranaknya bulan tanpa masa kering yang cukup. Apabila interval beranak diperpendek akan menurunkan produksi susu 3.7-9% pada laktasi yang sedang berjalan atau yang berikutnya, sedangkan apabila interval beranak diperpanjang sampai 450 hari, maka laktasi yang sedang berlangsung dan laktasi yang akan datang menunjukkan peningkatan produksi susu berkisar 3.5% tetapi jika ditinjau dari segi ekonomi akan rugi karena hasil yang didapat tidak sesuai dengan pakan yang diberikan (Sudono 1999). Sapi yang masih laktasi dan sudah bunting bulan harus dikeringkan artinya tidak boleh diperah lagi. Menurut Sudono (1999) cara mengeringkan sapi yaitu bisa dengan pemerahan berselang atau dihentikan secara mendadak. Ada beberapa peternak yang tidak mau mengeringkan sapinya hingga umur kebuntingan sapi mencapai 9 bulan. Padahal tujuan dari pengeringan sapi adalah untuk mengembalikan kondisi tubuh atau memberikan istirahat pada sapi agar produksi yang akan datang lebih optimal dan menjamin pertumbuhan fetus dalam kandungan agar tetap berkembang dengan baik. Pakan sapi perah baik hijauan maupun konsentrat merupakan salah satu faktor yang menentukan produktivitas ternak sapi perah. Sapi perah yang mendapatkan pakan yang cukup baik dari segi kualitas maupun jumlah pemberiannya, akan berpengaruh terhadap peningkatan produksi susu sesuai dengan kemampuannya. Namun sebaliknya, jika pola pemberiannya salah, baik dari segi kualitas nutrisi maupun jumlah pemberian, maka akan berdampak pada turunnya produksi susu, gangguan kesehatan, bahkan berdampak pada kematian. Oleh karena itu, setiap peternak harus cermat dalam memperhitungkan kebutuhan pakan sapi perah dan pemberian pakan harus dilakukan secara efisien. Hijauan merupakan bahan pakan utama untuk ternak sapi, namun bahan pakan hijauan memiliki serat kasar yang tinggi, hal ini akan mengakibatkan

16 hijauan tersebut akan sulit dicerna oleh ternak. Akan tetapi, jika kadar serat kasar dalam pakan terlalu rendah, maka akan mengakibatkan gangguan pencernaan. Menurut Sudono (1999) pemberian minimun serat kasar dalam ransum adalah sebesar 15% dari bahan kering (BK) untuk sapi jantan dan BK 17% untuk sapi betina laktasi. Komposisi pakan sangat mempengaruhi produksi dan kualitas susu. Menurut Sutardi (2003) sapi perah berbobot kg dengan produksi susu 10 L membutuhkan BK sebesar % dari bobot hidup. Kebutuhan pakan pada ternak sapi perah tidak hanya tergantung pada hijauan, akan tetapi ditunjang juga dengan penambahan konsentrat pada bahan pakan. Konsentrat merupakan pakan mengandung serat kasar (SK) rendah dan bersifat mudah dicerna, misalnya dedak padi, jagung, kedelai, dll. Zat-zat makanan yang tidak bisa terpenuhi oleh hijauan dan rumput maka bisa dilengkapi dengan penambahan bahan makanan yang berasal dari konsentrat. Air merupakan komponen penting dan paling banyak yang terdapat dalam tubuh sapi perah untuk menunjang kapasitas maksimum produksi susu. Air didapat oleh ternak dari minum dan air yang terkandung dalam bahan pakan yang dikomsumsi ternak. Tidak hanya itu, untuk memenuhi kebutuhan minum ternak sapi, sebaiknya pemberian air minum diberikan secara ad-libitum. Air berfungsi sebagai komponen utama dalam metabolisme dan sebagai kontrol suhu tubuh sehingga ketersediaan air harus selalu ada. Air yang diberikan ke ternak sebaiknya air yang bersih dan bebas dari bakteri karena kandungan susu memiliki kandungan air yang tinggi sehingga pemberiannya harus mencukupi kebutuhan ternak sapi tersebut. Pengelolaan yang baik perlu dilakukan dalam peternakan sapi perah, hal ini betujuan untuk kesehatan sapi, meningkatkan kualitas susu, serta adanya pencatatan. Membersihkan sapi perah sangat disarankan karena akan berdampak pada saat pemerahan susu. Sapi dalam keadaan bersih, akan terhindar dari kotoran dan bakteri yang menempel ditubuh sapi, sehingga susu yang dihasilkan lebih terjaga kualitasnya. Sapi sebaiknya dimandikan terlebih dahulu sebelum dilakukan pemerahan, akan tetapi jika tidak memungkinkan untuk dimandikan dengan alasan sedikitnya ketersediaan air, maka sapi yang akan diperah dibersihkan bagian tubuh yang kotor dan disiram dengan air. Menurut Sudono (1999) bagian badan sapi yang dibersihkan yaitu sekitar lipatan paha dan bagian belakang dicuci atau dibersihkan terlebih dahulu untuk mencegah kotoran-kotoran yang menempel dan jatuh ke susu pada saat dilakukan pemerahan. Peningkatan produktivitas sapi perah tak lepas dari masalah kesehatan ternak. Serangan penyakit pada sapi perah sedapat mungkin dicegah. Itulah sebabnya, penting bagi peternak untuk selalu menjaga kebersihan kandang dan ternak serta memberikan pakan yang cukup. Ternak yang sakit sebaiknya dipisahkan dan diobati hingga sembuh. Penyakit yang sering menyerang sapi perah yaitu mastitis. Mastitis adalah istilah yang digunakan untuk radang yang terjadi pada ambing, baik bersifat akut, subakut ataupun kronis, dengan kenaikan sel di dalam air susu dan perubahan fisik maupun susunan air susu, disertai atau tanpa adanya perubahan patologis pada kelenjar (Subronto 2003). Akoso (1996) menyatakan bahwa penyebab mastitis pada sapi perah umunya disebabkan oleh bakteri. Salah satu bakteri tersebut yaitu disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus. 4

17 5 Pendugaan Bobot Badan Bobot badan sapi dapat diduga dengan menghitung lingkar dada sapi, karena badan dan rusuk yang panjang memungkinkan sapi menampung jumlah makanan yang banyak. Lingkar dada juga dipengaruhi oleh kondisi tubuh sehingga berkorelasi positif dengan bobot badan (Sutardi 2003). Hal ini dijelaskan juga oleh Laidding (1996) bahwa ukuran tubuh ternak berkorelasi positif apabila peningkatan satu sifat menyebabkan sifat lainnya juga meningkat dan apabila satu sifat lain menuurun maka korelasinya negatif. Fungsi Produksi Fungsi produksi yang dijelaskan oleh Doll dan Orazem (1984) merupakan hubungan fisik antara input (faktor produksi) dan output (hasil produksi). Jika diumpamakan X 1 dan X 2 adalah dua faktor produksi yang sering disebut sebagai input dan Y merupakan hasil produksi atau sering disebut output, maka fungsi produksi merupakan hubungan fungsional antar input dan output, sehingga fungsi produksi dengan dua peubah bebas dapat ditulis sebagai berikut: Y =f (X 1 X 2 )... (1) Dimana Y merupakan output, X 1 dan X 2 digunakan sebagai output Y. Dengan kata lain fungsi produksi adalah hubungan fisik antara variabel yang dijelaskan (Y) dan variabel yang menjelaskan (X) yaitu keluaran (output) merupakan variabel yang dijelaskan sedangkan masukan (input) merupakan variabel yang menjelaskan. Ketika seseorang memutuskan untuk menggunakan fungsi produksi maka dengan fungsi produksi dapat diketahui hubungan antara faktor produksi (output) secara langsung dan hubungan tersebut dapat lebih mudah dimengerti dan dengan fungsi produksi maka dapat diketahui hubungan antara variabel yang dijelaskan (dependent varaibel) Y dan variabel yang menjelaskan (independent variabel) X, sekaligus dapat diketahui hubungan antar kedua variabel penjelas. Secara matematis hubungan ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Y = f (X 1, X 2, X 3,...Xi,...Xn)...(2) dimana: Y merupakan produksi, dan X 1, X 2, X 3...Xn adalah input produksi dari fungsi diatas dapat diketahui hubungan Y dan X dan sekaligus hubungan Xi,...Xn (Soekarwati 1990). Menurut Debertin (1986), fungsi produksi menerangkan hubungan teknis yang mentransformasikan input atau sumberdaya menjadi output atau komoditas. Dengan kata lain, output dalam suatu proses dapat menjadi input untuk proses produksi lainnya atau menjadi barang konsumsi. Produsen dapat menambah hasil produksi dengan berbagi alternaif, yaitu menambah satu input produksi, beberapa input produksi maupun semua input produksi. Penambahan input produksi ini mengikuti hukum The law of diminishing marginal returns. The law of diminishing marginal returns terjadi jika jumlah input variabel ditambah dengan penggunaannya, maka output yang dihasilkan meningkat, tapi setelah mencapai titik tertentu penambahan output semakin lama semakin berkurang.

18 Fungsi Produksi Cobb-Douglas Salah satu model pengukuran produktivitas yang sering digunakan adalah pengukuran menggunakan pendekatan fungsi produksi Cobb-Douglas, yaitu suatu fungsi atau persamaan yang melibatkan dua variabel atau lebih, yaitu variable independent (Y) dan variabel dependent (X). Fungsi produksi Cobb-Douglas diperkenalkan oleh Cobb C W dan Douglas P H pada tahun 1928 melalui artikel yang berjudul A Theory of Production di majalah ilmiah American Economic Review 18 (Suplement) halaman 139 sampel 165 (Soekarwati, 1990). Penggunaan fungsi produksi Cobb-Douglas memiliki kelebihan yaitu fungsi produksi Cobb- Douglas mampu menggambarkan keadaan skala hasil (return to scale), apakah sedang meningkat, tetap, atau menurun. Selain itu, koefisien-koefisien fungsi produksi Cobb-Douglas secara langsung menggambarkan elastisitas produksi dari setiap input yang digunakan. Koefisien intersep dari fungsi produksi Cobb- Douglas merupakan indeks efisiensi produksi yang secara langsung menggambarkan efisiensi penggunaan input dalam menghasilkan output dari sistem produksi yang dikaji. Metode yang dipakai untuk mengestiminasi fungsi produksi Cobb-Douglas ialah dengan cara melinierkan fungsi produksi Cobb- Douglas dengan logaritma dan untuk memudahkan pendugaan terhadap persamaan 2.27, maka persamaan 2.27 diubah menjadi bentuk linier berganda dengan cara melogaritmakan persamaan tersebut. Logaritma dari persamaa 2.27 adalah: lnq = lna + a ln X 1 + b ln X 2 + c ln X 3 + d ln X 4 + e ln X 5...(3) Q* = A* + ax 1 * + bx 2 * + cx 3 * + dx 4 *...(4) Keteranagn : Q* = ln Q X* = ln X A* = ln A dengan melakukan regresi pada persamaan diatas, maka secara mudah akan diperoleh nilai konstanta A dan elastisitas input produksinya. Secara umum, bentuk fungsi produksi Cobb-Douglas sebagai berikut: Q = δ.i α...(5) Keterangan: Q = output I = jenis input yang digunakan dalam proses produksi dan dipertimbangkan untuk dikaji δ = indeks efisiensi penggunaan input dalam menghasilkan output α = elastisitas produksi dari input yang digunakan. Sebelum data dapat diolah dan dianalisis, data yang diperoleh harus terlebih dahulu diubah kedalam bentuk Logaritma Natural (ln). Kemudian untuk mendapatkan persaaam regresi, data dalam bentuk ln tersebut diolah kembali menjadi Y = a + bx, atau dibiarkan pada variabel aslinya yaitu Y = ln Q dan X = ln I. Maka persamaan regresinya menjadi: ln Q = a + b (ln I)...(6) Selanjutnya regresi linier tersebut diubah kedalam fungsi produksi Cobb-Douglas, dengan langkah sebagai berikut: ln Q = a + B (ln I) ln Q = a + ln I b ln Q ln I b = a 6

19 7 Q = e a I b dengan kata lain, persamaan fungsi produksi Cobb-Douglas dengan e a merupakan indeks efisiensi dari proses transformasi, sedangkan a dan b merupakan elastisitas produksi dari input yang digunakan. Analisis Inefisiensi Proses Produksi Efisiensi merupakan pengggunaan input sekecil-kecilnya untuk mendapatkan jumlah produksi sebesar-besarnya tanpa melupakan kualitas dari produk yang dihasilkan. Efisiensi proses produksi dapat dilihat dari koefisien intersep fungsi produksi Cobb-Douglas, sebagai berikut: Indeks efisiensi = e a Keterangan: e = 2,71828 a = koefisien intersep persamaan regresi Artinya, semakin tinggi indeks efisiensi produksi, maka proses transformasi input menjadi output semakin efisien. Selain indeks efisiensi, rasio efisiensi juga akan didapat dari perhitungan. Rasio efisiensi menunjukkan perbandingan kemampuan menghasilkan output dengan memakai input yang tersedia. Jadi, bentuk fungsi produksi Cobb-Douglas sebagai berikut: Y = A X1 b1 X2 b2... Xi bi... Xn bn e u...(7) Keterangan: Y = output variabel yang dijelaskan X = input atau variabel yang menjelaskan A = intersep (konstan) b = parameter untuk masing-masing input X i u = kesalahan (disturbance term) e = 2,718 (logaritma natural) Untuk mempermudah pendugaan fungsi produksi Cobb-Douglas dalam analisis, maka persamaan tersebut terlebih dahulu diubah ke dalam bentuk logaritma, sebagai berikut: ln Y = ln A + b 1 ln X 1 + b 2 ln X 2 + b 3 ln X 3, bn ln Xn...(8) Persamaan tersebut dapat diestimasi menggunakan metode kuadrat terkecil (OLS) dalam bentuk natural logaritma (ln), dimana nilai atau koefisien regresinya dapat dicari (Gujarati, 2003) Konsep Fungsi Produksi Stochastic Frontier Upaya-upaya untuk mempelajari efisiensi produksi dengan metode OLS tidak akan memperoleh hasil maksimal dan untuk mengukur efisiensi produksi perlu diketahui patokan tingkat produksi maksimum pada tingkat teknologi tertentu. Karena pada prakteknya, tidak selalu fungsi produksi yang ideal sesuai dengan definisi tersebut. Oleh karena itu, pada penelitian ini menggunakan metode yang dapat menduga fungsi produksi yang mendekati fungsi produksi yang ideal sesuai dengan teori, yaitu menduga fungsi produksi frontier. Namun, fungsi produksi frontier bukanlah bentuk fungsi produksi yang baru, akan tetapi merupakan penyempurnaan metode pendugaan fungsi produksi. Penelitian ini menggunakan fungsi produksi stochastic frontier dalam analisis dengan tujuan untuk melihat tingkat produksi maksimum yang mungkin dicapai dan membandingkan dengan kondisi aktual yang ada. Model produksi

20 frontier yang digunakan yaitu stochastic frontier. Coelli et al. (1998) menyatakan bahwa fungsi produksi stochastic frontier adalah fungsi produksi yang menggambarkan output maksimum yang dapat dicapai dari setiap tingkat penggunaan input. Jika fungsi produksi stochastic frontier diketahui maka dapat diestimasi inefisiensi teknis melalui perbandingan posisi aktual relatif terhadap frontiernya, tetapi apabila suatu usaha peternakan berada pada titik di fungsi produksi frontier artinya usaha peternakan tersebut efisien secara teknis. Fungsi produksi stochastic frontier merupakan fungsi produksi yang paling praktis atau menggambarkan produksi maksimal yang dapat diperoleh dari variasi kombinasi faktor produksi pada tingkat pengetahuan dan teknologi tertentu. (Doll and Orazem, 1984). Fungsi produksi frontier diturunkan dengan menghubungkan titik output maksimum untuk setiap penggunaaan input. Jadi, fungsi tersebut mewakili kombinasi input-output secara teknis paling efisien. Model ini merupakan model asli deterministik frontier untuk mengukur efek-efek yang tak terduga (stochastic effect) di dalam batas produksi. Fungsi produksi stochastic frontier secara independent dirintis oleh Aigner, Lovell dan Shcmidt (1977), serta Meeusen dan van den Broeck (1977). Spesifikasi asli mencakup fungsi produksi dispesifikasikan untuk data silang (cross-sectional data) yang mempunyai error term dan mempunyai dua komponen, satu disebabkan oleh random effects dan yang lainnya disebabkan oleh inefisiensi teknis. Menurut Aigner et al. (1977) variabel acak v i merupakan variabel random shock yang secara identik terdistribusi normal dengan rataan (μ i ) bernilai nol dan variansinya konstan atau N (0,δV 2 ) simetris serta bebas dari u i. Variabel u i sering disebut dengan one-side disturbance yang berfungsi untuk menangkap inefisiensi. Variabel acak u i merupakan variabel acak non negatif dan diasumsikan terdistribusi secara bebas. Model ini dapat ditulis sebagai berikut: Ln (Y i ) = X i β + (v i -u i )...(9) Keterangan: i = 1,...N dimana: Y i = produksi (logaritma dari produksi) dari perubahan ke i (output produksi susu) X i = vektor k x1 dari (transformasi) jumlah output perushaan ke-i (input produksi susu) β = vektor dari parameter yang tidak diketahui v i = variabel acak yang diasumsikan iid (identically independenly distributed) u i = variabel acak non negatif Model persamaan di atas disebut fungsi produksi stochastic frontier karena nilai-nilai output dibatasi oleh variabel stochastic (acak) exp(xi β + vi). Varaiabel acak dalam model dapat bernilai positif maupun negatif sehingga keragaman output stochastic frontier dapat di gambarkan seperti pada Gambar 1. Penggunaan input-input direpresentasikan pada sumbu horizontal (x) dan output pada sumbu vertikal (y). Komponen frontier dari model stochastic frontier = exp (xβ) digambarkan dengan asumsi memiliki karakteristik skala kenaikan yang menurun. Input-input dan output di dua wilayah yang berbeda di amati pada gambar 1. Peternak i menggunakan input sebesar x i dan memperoleh output sebesar y i. Akan tetapi, output batas dari peternak i adalah y i, melampaui nilai pada batas dari fungsi produksi yaitu y i = exp (xi β + vi). Hal ini bisa terjadi karena aktivitas produksinya bisa dipengaruhi oleh kondisi yang menguntungkan seperti suhu 8

21 9 lingkungan ternak yang baik, penggunaan input yang efisien, dll. Sehingga variabel v i bernilai positif. Sementara peternak j menggunakan input sebesar x j dan memperoleh hasil sebesar y j. Akan tetapi output batas dari fungsi produksinya yaitu y j = exp (xj β + vj). Kondisi ini terjadi karena produksinya dipengaruhi oleh kondisi yang tidak menguntngkan seperti suhu lingkungan yang tinggi yang berakibat pada ternak mengalami stres, dll. Sehingga v i bernilai negatif (Coelli et al. 1998). Fungsi produksi stochastic frontier disajikan pada Gambar 1. Sumber: Farel 1957; Coelli et al. 1998; Bravo-Ureta dan Pinheiro 1997 Gambar 1 Fungsi produksi stochastic frontier Paramter-parameter yang dimasukkan pada fungsi produksi stochastic frontier diestimasi menggunakan metode maximum-likelihood estimation (MLE). Metode ini dilakukan dua tahap. Tahap pertama menggunakan metode ordinasy least square (OLS) untuk menduga parameter teknologi dan input produksi (β m ). Kemudian pada tahap kedua menggunakan metode MLE untuk menduga keseluruhan parameter faktor produksi (β m ), intersep (β 0 ) dan varian dari kedua komponen kesalahan v i dan u i (σ v 2 dan σ u 2 ). Fungsi produksi frontier diturunkan dari fungsi produksi Cobb-Douglas. Peubah-peubah yang terdapat dalam fungsi produksi Cobb-Douglas dinyatakan dalam logaritma. Maka, fungsi tersebut akan menjadi fungsi linear additive (Teken dan Asnawi 1981). Dengan demikian, inefisiensi manajemen pemeliharan ternak sapi perah dalam penelitian ini digunakan fungsi produksi stochastic frontier Cobb-Douglas. Penggunaan terhadap fungsi produksi ini karena lebih sederhana dan jarang menimbulkan masalah multikolinearitas. Pilihan terhadap penggunaan fungsi produksi stochastic frontier Cobb- Douglas dalam penelitian ini adalah merujuk pada pernyataan Binici et al. (2006) yaitu bersifat homogen, lebih sederhana, dan jarang menimbulkan masalah. Akan tetapi menurut Debertin (1986) fungsi Cobb-Douglas memiliki beberapa kelemahan yaitu: tidak ada produksi (y) maksimum, artinya sepanjang kombinasi input (x) dinaikan maka produksi (y) akan terus naik sepanjang expansion pathnya, dan elastisitas produksi tetap. Kelemahan ini membuat fungsi produksi Cobb- Douglas tidak bisa menggambarkan fungsi produksi neo-klasik.

22 10 3 MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama bulan Januari 2015 di kawasan Peternakan Rakyat Sapi Perah FH Kecamatan Grati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur yang tergabung dalam anggota KUTT Suka Makmur di Grati. Pengambilan data dilakukan pada periode awal musim penghujan. Pemilihan Grati sebagai tempat penelitian karena kawasan tersebut merupakan kawasan peternakan rakyat sapi perah terbesar di Jawa Timur dan memiliki beberapa ketinggian yang berbeda yaitu dataran rendah dan dataran tinggi dalam satu wilayah. Materi dan Parameter Penelitian Materi dalam penelitian ini yaitu sapi perah FH laktasi yang dipelihara pada peternakan rakyat anggota KUTT Suka Makmur. Peternak dipilih yaitu peternak dengan jumlah kepemilikan sapi kurang dari 25 ekor. Jumah peternak dijadikan sampel sebanyak 80 peternak yang terdiri atas 40 peternak dataran rendah dan 40 peternak dataran tinggi, yang ditentukan secara acak (Cooper et al. 1996). Parameter yang diukur meliputi: 1. Suhu kandang Peubah yang diukur yaitu suhu kandang dengan menggunakan termometer bola basah bola kering. Pengukuran dilakukan pada pukul 06.00, dan WIB. 2. Struktur kepemilikan ternak Populasi ternak dihitung berdasarkan satuan ternak. Komposisi ternak yang diamati adalah: a. Sapi dara yaitu sapi betina yang berumur lebih dari 1 tahun dan belum pernah beranak, dihitung sama dengan 0.5. b. Sapi laktasi yaitu sapi betina yang sedang dalam masa menghasilkan susu, dihitung sama dengan c. Sapi kering kandang yaitu sapi betina dewasa yang tidak dalam masa menghasilkan susu, dihitung sama dengan Makanan ternak (rumput gajah dan jerami padi) Peubah yang diukur yaitu jenis dan jumlah pakan yang diberikan dalam satuan kg -1 ekor -1 hari Produksi susu Diukur dengan cara mengukur susu yang dihasilkan dari seekor sapi hasil pemerahan pagi dan sore hari (L -1 ekor -1 hari -1 ). 5. Bobot badan Pendugaan bobot badan sapi di ukur dengan mengestimasi lingkar dada sapi menggunakan pita ukur. Pengukuran lingkar dada sapi menggunakan rumus Schoorl. (LD (cm) + 22) 2 BB (kg) =...(10) 100 Keterangan: BB = Bobot badan LD = Lingkar dada

23 11 Metode Penelitian Penelitian ini didesain dengan metode survei yang bersifat deskriptif kualitatif dan kuantitatif berdasarkan data dan informasi yang diperoleh selama penelitian. Penelitian ini menggunakan data primer yang diperoleh melalui wawancara dari kuesioner (pertanyaan) pada responden yang terpilih, observasi atau pengamatan langsung ke lapangan terhadap kegiatan peternak khususnya yang berkaitan dengan manajemen pemeliharaan ternak. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini yaitu keadaan umum daerah Kecamatan Grati, data peternak yang tergabung dalam Koperasi Suka Makmur serta data-data lain yang diperoleh dari kantor Kecamatan Grati dan Dinas Peternakan Kabupaten Pasuruan maupun data dari koperasi. Data yang dikumpulkan yaitu berupa identitas karakteristik peternak responden, lingkar dada sapi untuk mengestimasi bobot badan, suhu lingkungan ternak, faktor manajemen pemeliharaan ternak sapi perah yang meliputi umur sapi berahi pertama, umur sapi beranak pertama, selang waktu kawin setelah beranak, calving interval, jumlah pemberian hijauan, jumlah pemberian konsentrat, pemberian air minum, saat pengeringan sapi setelah bunting, kejadian mastitis, total kepemilikan ternak, jumlah tenaga kerja, serta aspek teknis lainnya. Identifikasi Variabel Penelitian Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Variabel terikat (dependent variable) dengan simbol Y, yaitu produksi susu yang dihasilkan dari tiap-tiap peternak L -1 ekor -1 hari Variabel bebas (independent variabel) dengan simbol X, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu sapi perah dengan merujuk pada manajemen pemeliharaan yang dilakukan oleh setiap peternak yang tergabung dalam anggota KUTT Suka Makmur yang terdiri dari umur sapi berahi pertama (X 1 ), umur sapi beranak pertama (X 2 ), selang waktu kawin setelah beranak (X 3 ), calving interval (X 4 ), jumlah pemberian hijauan (X 5 ) jumlah pemberian konsentrat (X 6 ), skor pemberian air minum (X 7 ), saat pengeringan sapi setelah bunting (X 8 ), kejadian mastitis (X 9 ), total kepemilikan ternak peternak -1 (X 10 ), jumlah tenaga kerja peternak -1 (X 11 ). Analisis Data Analisis Deskriptif Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik peternak responden, pendugaan bobot badan sapi, suhu lingkungan ternak, serta keadaan sekitar lingkungan ternak yang berpengaruh terhadap produksi susu sapi perah wilayah dataran rendah dan dataran tinggi. Karakteristik yang diamati meliputi umur, pendidikan, pengalaman beternak, membersihkan sapi, pencatatan usaha, dan cara pengobatan sapi yang dilihat dalam inefisiensi teknis beternak. Serta struktur kepemilikan ternak, suhu lingkungan ternak, makanan ternak, produksi susu, dan bobot badan ternak yang dilihat tehadap pegaruh produksi susu ternak. Pengujian parameter fungsi produksi stochastic frontier dan efek inefisiensi teknis model dilakukan dengan dua tahap. Tahap pertama dilakukan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk menduga parameter input-input produksi (β i ), dan tahap kedua dilakukan menggunakan metode

24 12 Maximum Likelihood Estimated (MLE) untuk menduga keseluruhan parameter faktor produksi (β i ), intersep (β 0 ), serta varians dari kedua komponen error (σ v 2 dan σ u 2 ) pada taraf nyata sebesar α. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier Data dianalisis menggunakan analisis fungsi produksi stochastic frontier. Dalam penelitian ini digunakan fungsi produksi stochastic frontier Cobb-Douglas. Stochastic frontier digunakan untuk mengukur teknis inefisiensi usaha peternakan sapi perah yang dilihat dari sisi yang mewakili kombinasi input-output dan faktorfaktor yang mempengaruhi inefisiensi teknis dan terdapat dua jenis error term, yaitu faktor-faktor internal (ui) dan faktor-faktor eksternal (vi). Model persamaan fungsi produksi stochastic frontier Cobb-Douglas dalam penelitian ini ialah sebagai berikut: ln Y = β 0 + β 1 ln X 1 + β 2 ln X 2 + β 3 ln X 3 + β 4 ln X 4 + β 5 ln X 5 + β 6 ln X 6 + β 7 ln X 7 + β 8 ln X 8 + β 9 ln X 9 + β 10 ln X 10 + β 11 ln X 11 + (vi-ui)... (11) Keterangan: Y = Produksi susu (L -1 ekor -1 hari -1 ) β 0 = Intersep β i = Koefisien parameter penduga, dimana i = 1,2,3,...11 X 1 = Umur sapi berahi pertama (tahun) X 2 = Umur sapi beranak pertama (tahun) X 3 = Selang waktu kawin setelah beranak (bulan) X 4 = Calving interval (bulan) X 5 = Jumlah pemberian hijauan (kg BK -1 ekor -1 hari -1 ) X 6 = Jumlah pemberian konsentrat (kg BK -1 ekor -1 hari -1 ) X 7 = Skor pemberian air minum X 8 = Saat pengeringan sapi setelah bunting (bulan) X 9 = Kejadian mastitis (1 = menderita mastitis, 0 = tidak mastitis) X 10 = Total kepemilikan ternak peternak -1 (ST) X 11 = Jumlah tenaga kerja peternak -1 (HOK) vi ui = Error term (ui = efek inefisiensi teknis dalam model dan vi = efek eksternal yang tidak dimodelkan) Nilai koefisien yang diharapkan β 1, β 2, β 3, β 4 > 0. Dalam penelitian, jika nilai koefisien input bertanda positif artinya peningkatan jumlah input yang digunakan akan mempengaruhi jumlah produksi susu. Analisis Efisiensi dan Inefisiensi Teknis Metode Efisiensi teknis dalam penelitian ini menggunakan model efisiensi teknis yang dikembangkan oleh Coelli et al. (1998). Penelitian ini menggunakan analisis produksi stochastic frontier yang digunakan untuk mengukur efisiensi teknis sapi perah dari sisi output. Efisiensi teknis pada setiap peternak ke-i dari sisi output, diperoleh melalui output observasi terhadap output stochastic frontier-nya. Efisiensi teknis dapat diukur dengan menggunakan rumus: E (Y* U, X 1, X 2, X 3, X 4, X 5, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10, X 11 TE =... (12) E (Y* U=0, X 1, X 2, X 3, X 4, X 5, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10, X 11

25 13 dimana: TE E (Y* U, X 1, X 2, X 3, X 4, X 5, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10, X 11 E (Y* U=0, X 1, X 2, X 3, X 4, X 5, X 6, X 7, X 8, X 9, X 10, X 11 = efisiensi teknis = output observasi = output batas (frontier) Nilai parameter distribusi (μi) efek inefisiensi teknis pada penelitian ini menggunkan rumus sebagai berikut: μ i = δ 0 + δ 1 Z 1 + δ 2 Z 2 + δ 3 Z 3 + δ 4 Z 4 + δ 5 Z 5 + δ 6 Z 6 + w it...(13) dimana faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat inefisiensi teknis peternak: μ i = Efek inefisiensi teknis Z 1 = Umur peternak (tahun) Z 2 = Pengalaman beternak (tahun) Z 3 = Pendidikan peternak (tahun) Z 4 = Membersihkan sapi (skor) Z 5 = Pencatatan usaha (skor) Z 6 = Dummy cara pengobatan (1 = tenaga kesehatan ternak, 0 = tidak ) w it = Error term Nilai koefisien parameter yang diharapkan δ 1 > 0 dan δ 2 δ 3 δ 4 δ 5 δ 6 < 0. Agar konsisten maka pendugaan parameter fungsi produksi dan fungsi inefisiensi dilakukan secara simultan dengan perangkat lunak frontier 4.1 (Coelli et al. 1998). Adapun hipotesis dari model inefisiensi teknis tersebut sebagai berikut: 1. Semakin tua umur peternak, diduga akan berpengaruh positif terhadap inefisiensi teknis beternak, karena semakin bertambahnya umur seseorang berpengaruh pada kondisi fisik yang semakin menurun. 2. Semakin lama pengalaman beternak seseorang dalam menjalani usaha beternak sapi perah, diduga akan berpengaruh negatif terhadap inefisiensi teknis karena semakin banyak pengalaman peternak dalam menjalankan usahanya maka semakin banyak peternak belajar dari apa yang sudah dilakukannya. 3. Semakin lama pendidikan seseorang akan mempermudah seseorang melakukan usaha peternakan dalam mengadopsi teknologi baru dan ide-ide baru. 4. Seorang peternak yang rajin dalam membersihkan ternaknya dan selalu menjaga kebersihan ternaknya akan menghindarkan ternak terhadap penyakit. 5. Pelaku usaha peternakan yang memiliki pencatatan usaha akan mudah dalam menentukan kapan sapi harus di kawinkan, kapan sapi kering kandang, dan kapan sapi beranak sehingga berpengaruh terhadap calving interval, breeding, dan reproduksi ternak. 6. Ternak yang sakit harus ditangani oleh tenaga kesehatan untuk diberi pengobatan sehingga ternak mampu berproduksi kembali secara optimal.

26 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Wilayah Penelitian ini dilakukan di Wilayah kerja KUTT Suka Makmur yaitu terletak di Desa Sumber Agung, Kecamatan Grati, Kabupaten Pasuruan. Topografi Desa Sumber Agung berupa dataran rendah dengan ketinggian dari permukaan laut m dpl dengan suhu udara berkisar antara o C. memiliki batas wilayah sebelah Utara Selat Madura, sebelah Timur Kabupaten Probolinggo, sebelah Selatan Wilayah kehutanan perkebunan Tengger, dan sebelah Barat yaitu Kodya Pasuruan. Wilayah kerja KUTT Suka Makmur memiliki luas wilayah sebesar ha yang terbagi dalam masing-masing kecamatan yaitu Kecamatan Grati ha, Kecamatan Nguling ha, Kecamatan Lekok ha, Kecamatan Rejoso ha, dan Kecamatan Lumbang ha dengan jumlah total peternak orang (BPS Grati 2015). Wilayah Kerja KUTT Suka Makmur dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Peta wilayah kerja KUTT Suka Makmur

27 15 Lokasi yang digunakan sebagai tempat perbandingan manajemen pemeliharaan ternak adalah Kecamatan Lekok dan Kecamatan Lumbang. Kecamatan Lekok berada di dataran rendah dengan ketinggian wilayah berkisar antara 6-91 m dpl dan Kecamatan Lumbang berada di wilayah dataran Tinggi dengan ketinggian berkisar antara m dpl. Temperatur lingkungan lokasi penelitian berkisar antara o C dan kelembaban udara berkisar antara %. Karakteristik Peternak Responden Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa sebagian besar 80% peternak wilayah dataran rendah berumur antara tahun dan di dataran tinggi 92.5% peternak berumur antara tahun, hal ini menggambarkan bahwa baik di wilayah dataran rendah maupun dataran tinggi mayoritas peternak masih berada dalam kategori peternak produktif. Menurut Santoso et al. (1979) kelompok umur tahun merupakan kisaran umur dimana seseorang mampu berfikir panjang dalam melakukan segala sesuatu termasuk menerima inovasi baru. Semakin banyak peternak usia produktif yang aktif dalam melakukan usaha peternakan sapi perah maka hal ini akan berpengaruh pada tingkat keberhasilan usaha tersebut. Sebaran peternak responden berdasarkan umur, pengalaman, dan tingkat pendidikan peternak wilayah kerja KUTT Suka Makmur disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1 Sebaran peternak responden berdasarkan umur, pengalaman, dan tingkat pendidikan wilayah dataran rendah dan dataran tinggi di KUTT Suka Makmur tahun 2015 No Kisaran Dataran Rendah Jumlah (orang) Persentase (%) Dataran Tinggi Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Umur (Tahun) Pengalaman (tahun) > Pendidikan (tahun) SD (1-6) SMP (7-9) SMA (10-12) Tingkat pengalaman beternak responden akan berpengaruh pada sistem manajemen dan keterampilan peternak dalam mengelola usahanya, karena pengalaman dapat mempengaruhi hasil produksi ternak. Faktor pengalaman sangat berperan dalam proses pengambilan keputusan karena semakin orang

28 16 berpengalaman, maka keputusan yang diambil akan semakin matang dan lebih hati-hati meskipun peternak mempunyai pendidikan formal yang relatif rendah. Tabel 1 menunjukkan bahwa 50% peternak di dataran rendah dan 40% peternak di dataran tinggi lebih dari 21 tahun berpengalaman di bidang peternakan sapi perah. Tingkat pendidikan peternak responden merupakan faktor yang cukup berpengaruh dalam usaha peternakan sapi perah, karena seorang peternak sapi perah memerlukan pengetahuan yang luas serta kecakapan dalam mengelola peternakannya terutama dalam hal yang berkaitan dengan teknologi dan inovasi baru. Tabel 1 menunjukkan tingkat pendidikan dari tiap-tiap wilayah baik dataran rendah maupun dataran tinggi, mayoritas tingkat pendidikan peternaknya ialah lulusan SD. Pada umumnya, skala peternakan rakyat sudah mempunyai pengalaman yang cukup lama yaitu ilmu ataupun usaha peternakan sebagai warisan turun temurun dari keluarga. Jadi meskipun pendidikannya rendah namun mereka mampu mengembangkan teknologi lokal. Meskipun demikian pelatihan dan penyuluhan masih sangat dibutuhkan oleh para peternak untuk bisa mengadobsi teknologi yang lebih modern. Suhu Lingkungan Ternak Suhu dan kelembaban udara wilayah dataran rendah dan dataran tinggi dapat dilihat pada Tabel 2. Suhu udara dataran tinggi pada pagi, siang, dan sore hari selalu lebih rendah daripada suhu udara di dataran rendah. Akan tetapi kelembaban udara di kedua dataran tersebut mempunyai kisaran yang relatif sama. Tabel 2 Kisaran suhu dan kelembaban udara pada dataran rendah dan dataran tinggi wilayah kerja KUTT Suka Makmur Pagi Siang Sore Suhu udara ( o C): Dataran rendah Dataran tinggi Kelembaban udara (%): Dataran rendah Dataran tinggi Suhu udara sapi perah yang dipelihara di wilayah dataran rendah berkisar antara o C dengan kelembaban 72% - 96%, sedangkan di dataran tinggi kedua nilai tersebut berkisar antara o C dan 84% 96%. Dari hasil ini terlihat bahwa sapi yang berada di wilayah dataran rendah dipelihara diluar suhu nyaman untuk sapi perah FH berproduksi, sedangkan sapi yang berada di dataran tinggi dipelihara dalam kondisi lingkungan yang nyaman. Dengan pemahamaan suhu udara yang nyaman bagi ternak sapi perah berkisar o C (Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan 2009), maka menurut MCDowell (1972) ternak yang dipelihara di daerah dengan kondisi lingkungan yang nyaman (comfort zone), merupakan daerah yang paling sesuai untuk kehidupan ternak tersebut. Pada kondisi ini, metabolisme basal hanya terjadi pada mekanisme pangaturan panas secara sensible menggunakan energi yang paling sedikit. Sehingga perbedaan kondisi lingkungan ini mungkin menjadi salah satu penyebab

29 17 lebih banyaknya produksi susu dan ukuran tubuh sapi yang relatif besar di wilayah dataran tinggi dibandingkan dengan produksi susu dan ukuran tubuh sapisapi di dataran rendah. Pendugaan Bobot Badan Penampilan ternak yang dipelihara di wilayah dataran rendah dan dataran tinggi memiliki perbedaan dari segi bentuk tubuh. Ternak yang dipelihara di dataran rendah memiliki lingkar dada dengan rata-rata cm. Perhitungan lingkar dada ini berkolerasi dengan bobot badan ternak, seperti yang dijelaskan oleh Diwyanto (1982) bahwa bentuk lingkar dada bisa mengestimasi bobot badan sapi. Perhitungan bobot badan didasarkan pada rumus Schoorl yaitu bobot badan (kg) = (lingkar dada (cm) + 22) 2 / 100) maka didapat hasil bahwa sapi-sapi yang berada di wilayah dataran rendah ukuran tubuhnya lebih kecil dibanding sapi yang berada di wilayah dataran tinggi. Bobot badan sapi yang berada di wilayah dataran rendah berkisar antara kg dengan lingkar dada antara cm dan sapi yang berada di wilayah dataran tinggi memiliki bobot badan berkisar antara kg dengan lingkar dada berkisar antara cm. Lingkar dada dan bobot badan sapi di KUTT Suka Makmur dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Lingkar dada dan bobot badan sapi perah dewasa di KUTT Suka Makmur Lokasi n (sapi) Lingkar dada (cm) Bobot badan (kg)* Dataran rendah Dataran tinggi *pengukuran dengan menggunakan rumus Schoorl Keadaan dimana penampilan sapi cenderung lebih kecil dapat dijelaskan bahwa sapi-sapi wilayah dataran rendah cenderung mempertahankan panas kondisi tubuh, karena pada kondisi lingkungan yang kurang nyaman bagi sapi perah, akan berdampak pada sapi berpotensi mengalami stres. Williamsom dan Payne (1993) menyatakan bahwa temperatur kritis pada sapi Friesian Holstein adalah o C. Meskipun demikian, kondisi kelembaban udara wilayah dataran rendah dan dataran tinggi tidak jauh berbeda. Menurut Soetarno (2003) kelembaban ideal bagi sapi perah yaitu berkisar antara 60-80%. Lebih lanjut, Gwatibaya et al. (2007) menyatakan bahwa kelembaban udara yang tinggi dengan sedikit pergerakan udara merupakan salah satu penyebab timbulnya stres panas pada sapi perah. Hasil pengukuran dan pendugaan tersebut terlihat penampilan sapi yang dipelihara di wilayah dataran rendah lebih kecil daripada penampilan sapi yang dipelihara di dataran tinggi. Selain faktor suhu dan kelembaban, pakan yang diberikan juga mempengaruhi kondisi tubuh ternak. Sapi perah yang berada di wilayah dataran tinggi diberikan pakan hijauan berupa rumput gajah dan pakan konsentrat berupa SPL HIPRO sedangkan sapi perah wilayah dataran rendah mengkonsumsi pakan jerami padi dengan pakan konsentrat SPL 01. Rumput gajah yang di konsumsi ternak wilayah dataran tinggi memiliki nilai kandungan nutrisi berbeda dengan jerami padi yang diberikan ke ternak wilayah dataran rendah,

30 18 begitu juga dengan kandungan nutrisi konsentrat. Kandungan nutrisi pakan di kedua wilayah tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Kandungan nutrisi hijauan (rumput gajah dan jerami padi) dan konsentrat (SPL HIPRO dan SPL 01) Komponen Rumput gajah* Jerami padi* SPL HIPRO* SPL 01** (%) Air na na Maks. 14 Maks. 14 Bahan kering Protein kasar Na Min. 20 Min. 16 Lemak kasar Maks. 7 Maks. 7 Serak kasar na na NDF na na Maks. 35 Maks. 35 TDN Min. 7 Min. 7 Sumber: * :PT Nestle Kejayan Factory (2009) ** :PT Yellow Feed Kejayan (2014) Na : tidak ada data Jumlah kepemilikan ternak sapi perah wilayah dataran rendah lebih banyak (p < 0.05) daripada jumlah kepemilikan ternak wilayah dataran tinggi. Selain jumlah kepemilikan ternak, jenis pakan yang diberikan juga berbeda. Pemberian pakan di dataran rendah menggunakan konsentrat SPL 01, dengan sumber hijauan jerami padi. Hal ini berbeda dengan pemberian pakan di dataran tinggi. Peternak wilayah dataran tinggi menggunakan konsentrat SPL HIPRO dengan hijauan rumput gajah. Perbedaan cara pemberian pakan diduga menyebabkan produksi susu per ekor per hari wilayah dataran tinggi lebih banyak daripada produksi susu per ekor per hari wilayah dataran rendah. Rataan jumlah kepemilikan ternak, jumlah pemberian pakan, konsentrat, dan produksi susu disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5 Rataan jumlah ternak dan pemberian pakan (BK) sapi perah di dataran rendah dan dataran tinggi wilayah kerja KUTT Suka Makmur Variabel Dataran rendah Dataran tinggi Jumlah ternak (ST) Konsentrat (kg -1 ekor -1 hari -1 ) Jerami padi (kg -1 ekor -1 hari -1 ) Rumput gajah (kg -1 ekor -1 hari -1 ) Tidak ad-libitum Ad-libitum Air minum - Bercampur dengan konsentrat Produksi susu (L -1 ekor -1 hari -1 ) Rata-rata ternak wilayah dataran rendah mengkonsumsi konsentrat dan hijauan jerami padi sebesar 3.4 kg -1 ekor -1 hari -1 dan 4.8 kg -1 ekor -1 hari -1. Sedangkan rata-rata ternak wilayah dataran tinggi mengkonsumsi konsentrat dan hijauan rumput gajah sebesar 2.6 kg -1 ekor -1 hari -1 dan 9.4 kg -1 ekor -1 hari -1. Kondisi ini berhubungan erat dengan jumlah satuan ternak (ST) yang dipelihara oleh peternak masing-masing wilayah. Rata-rata jumlah ST dataran rendah

31 19 sebanyak 8 ekor sedangkan jumlah ST dataran tinggi sebanyak 4 ekor ternak yang berproduksi. Konsumsi hijauan wilayah dataran rendah cenderung lebih sedikit dibanding wilayah dataran tinggi. Sugeng (1998) menyatakan suhu udara yang tinggi sangat tidak menguntungkan bagi ternak, karena akan berpengaruh pada konsumsi pakan ternak, air minum dan tingkah laku. Ternak sapi perah yang berada di lingkungan bersuhu tinggi akan mengalami stres berat dan gagal dalam mengatur panas tubuh. Akibatnya ternak akan banyak minum air tetapi nafsu makan berkurang dan pakan yang dikonsumsi rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian ini, sapi perah yang berada di wilayah dataran rendah mengkonsumsi hijauan sebanyak 4.8 kg -1 ekor -1 hari -1 sedangkan sapi perah wilayah dataran tinggi mengkonsumsi hijauan sebanyak 9.5 kg -1 ekor -1 hari -1. Menurut Nugroho et al. (2010), perbedaan konsumsi hijauan dan konsentrat akibat pengaruh dari ketinggian tempat, sehingga berpengaruh pada produktivitas ternak yang menyebabkan ternak stres dan perubahan serangkaian proses metabolisme ternak karena asupan energi ternak yang seharusnya untuk berproduksi tetapi digunakan untuk mempertahankan keseimbangan metabolisme tubuhnya agar berjalan normal. Ma rifah (2012) menyatakan, jumlah pemberian ransum per hari adalah sebanyak 3.5% BK dari bobot badan sapi, dan terbagi menjadi dua kali pemberian. Ransum tersebut dapat dipenuhi dengan pemberian hijauan segar (13% bobot badan) dan konsentrat (1.5% bobot badan). Menurut Sutardi (2003), sapi perah berbobot badan kg dengan produksi susu 10 L dibutuhkan BK sebanyak 2.30% % dari bobot hidup. Perimbangan antara bahan kering hijauan dan konsentrat untuk mencapai produksi susu yang tinggi belum dapat diaplikasikan oleh peternak yang berskala peternakan rakyat. Kondisi ini didukung dengan harga konsentrat yang relatif mahal dibandingkan dengan harga penjualan susu oleh peternak. Harga susu yang diterima peternak yaitu Rp L -1 hari -1, tidak sebanding dengan biaya pembelian konsentrat yang dibeli seharga Rp kg -1 untuk konsentrat jenis SPL 01 dan Rp untuk konsentrat jenis HIPRO. Cara pemberian konsentrat wilayah dataran rendah masih dicampur dengan ampas tahu, onggok dan air minum. Sumber air yang digunakan peternak dataran rendah adalah air sumur, namun air sumur terasa sedikit asin karena wilayah dataran rendah hampir mendekati wilayah pantai dan ada beberapa peternak yang membeli air, sehingga kebutuhan ternak terhadap konsumsi air masih belum terpenuhi. Padahal sapi FH yang ditempatkan dilingkungan yang bersuhu tinggi secara fisiologis akan mengalami cekaman panas dan hal ini akan berakibat pada meningkatnya konsumsi minum, peningkatan suhu tubuh, respirasi dan denyut jantung serta terjadinya peningkatan panas melalui penguapan. Menurut Santoso et al. (2009) kebutuhan dasar seekor sapi perah terhadap air adalah lebih kurang 40 liter hari -1 terutama di daerah yang bersuhu tinggi. Kondisi wilayah dataran tinggi yang berbeda dengan kondisi wilayah dataran rendah juga mampu mempengaruhi tingkat produksi susu yang dihasilkan yaitu 11 L -1 ekor -1 hari -1 di wilayah dataran tinggi dan 6 L -1 ekor -1 hari -1 wilayah dataran rendah. Menurut Siregar (1992) usaha untuk meningkatkan produksi susu dapat dilakukan dengan menambahkan pakan atau perbaikan sistem pemberian pakan tanpa penambahan biaya. Sapi perah hendaknya diberikan pakan yang

32 20 berkualitas tinggi sehingga dapat berproduksi sesuai dengan kemampuannya. Perbedaan jenis pakan yang diberikan pada ternak yang dipeliharan di wilayah dataran rendah dengan dataran tinggi mampu mempengaruhi produksi susu yang dihasilkan. Lokasi penelitian yang berada di wilayah dataran rendah belumlah ideal untuk pemeliharaan sapi perah. Karena temperatur udaranya berkisar o C dan kelembaban udaranya tinggi. Hal ini berakibat pada produksi susu yang dihasilkan. Menurut Rumetor (2003) pengaruh langsung dari temperatur dan kelembaban terhadap produksi susu disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan sistem tubuh untuk melepas kelebihan beban panas, pengurangan laju metabolik, dan menyusutnya konsumsi pakan. Produktivitas susu sapi FH di wilayah dataran rendah dan dataran tinggi dapat digambarkan dari produksi susu yang bisa diamati dari data kualitas dan kuantitas susu per 10 hari yang dikeluarkan oleh koperasi. Data yang diperoleh yaitu rata-rata kuantitas susu per 20 hari (2 data yaitu 10 hari pertama ditambah 10 hari kedua) sekitar L. Faktor yang paling dominan yang mempengaruhi produksi susu di lokasi penelitian adalah lingkungan, mengingat faktor lain, seperti bangsa sapi yang dipelihara sudah seragam, yaitu sapi yang berasal dari sapi FH, perkawinan sapi menggunakan inseminasi buatan (IB) kemudian pakan yang diberikan berupa hijauan dan konsentrat juga sudah memenuhi standar yang dianjurkan oleh koperasi. Perbandingan produksi susu wilayah dataran rendah dan dataran tinggi disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Perbandingan produksi susu beberapa sapi FH yang dipelihara di wilayah dataran rendah dan dataran tinggi pada bulan Januari 2015 Jenis sapi Produksi susu (L) Rata-rata n = 40 Dataran rendah Sapi Sapi L hari -1 Sapi Sapi Sapi Dataran tinggi Sapi Sapi L hari -1 Sapi Sapi Sapi Pendugaan Fungsi Produksi Stochastic Frontier Cobb-Douglas Produksi susu dipengaruhi oleh sistem manajemen pemeliharaan yang baik dari setiap usaha peternakan dua wilayah yang berbeda yaitu wilayah dataran rendah dan dataran tinggi. Penggunaan input-input dalam sistem pemeliharaan ternak ini meliputi umur sapi berahi pertama (X 1 ), umur sapi beranak pertama (X 2 ), selang waktu kawin setelah beranak (X 3 ), calving interval (X 4 ), jumlah pemberian hijauan (X 5 ) jumlah pemberian konsentrat (X6), skor pemberian air minum (X 7 ), saat pengeringan sapi setelah bunting (X 8 ), kejadian mastitis (X 9 ), total kepemilikan ternak peternak -1 (X 10 ), dan jumlah tenaga kerja peternak -1

33 21 (X 11 ). Analisis fungsi produksi dilakukan untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi susu dilokasi penelitian yang menggambarkan hubungan produksi dengan input-inputnya, pada penelitian ini model fungsi produksi yang digunakan adalah fungsi produksi stochastic frontier Cobb-Douglas. Analisis Ordinary Least Square (OLS) di uji terlebih dahulu untuk memberikan koreksi terhadap hasil ukuran jumlah kuadrat residual yang harus minimum. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan koefisien regresi linier dan analisis OLS digunakan untuk melihat apakah ada pelanggaran asumsi atau tidak yang menunjukkan adanya masalah multicolliniearity, autocorrelation, dan heteroscedacity. Selain itu, metode OLS digunakan untuk menduga parameter teknologi dan input-input produksi. Selanjutnya pada tahap kedua, penelitian ini menggunakan model fungsi produksi metode Maximum Likelihood Estimation (MLE). Metode MLE digunakan untuk menduga parameter secara keseluruhan baik dengan restricted maupun non-restricted. Metode MLE ini akan menunjukkan tingkat residual yang dicapai dalam model yang melihat efisiensi maupun inefisiensi dari persamaan model yang dipakai dan perbedaan tingkat signifikan yang lebih tinggi dibanding dengan metode OLS. Hasil estimasi pendugaan menggunakan metode OLS dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil estimasi model fungsi produksi dataran rendah dan dataran tinggi menggunakan metode OLS Variabel Dataran rendah Dataran tinggi Koefisien VIF Koefisien VIF Konstan (β 0 ) Umur sapi berahi pertama (β 1 ) Umur sapi beranak pertama (β 2 ) Selang waktu kawin setelah beranak (β 3 ) Calving interval (β 4 ) Jumlah pemberian hijauan (β5) Jumlah pemberian konsentrat (β 6 ) Skor pemberian air minum (β 7 ) Saat pengeringan sapi setelah bunting (β 8 ) Kejadian mastitis (β 9 ) Total kepemilikan ternak peternak -1 (β 10 ) Jumlah tenaga kerja peternak (β 11 ) R-Square 37.3% 32.8% Hasil pendugaan fungsi produksi metode OLS wilayah dataran rendah dan dataran tinggi menghasilkan nilai determinasi (R 2 ) masing-masing 0.37 dan 0.32 yang berarti bahwa hanya 37% dan 32% besarnya variasi produksi susu pada usaha peternakan wilayah dataran rendah dan dataran tinggi yang dapat dijelaskan oleh input-input yang dimasukkan ke dalam model. Hasil estimasi fungsi produksi Cobb-Douglas metode OLS tidak bisa menghasilkan fungsi produksi ideal karena

34 22 tidak memperoleh hasil yang maksimal. Pada penelitian ini, hasil yang diperoleh tidak bisa menduga efek efisiensi produksi. Meskipun demikian, model fungsi produksi susu sudah memenuhi syarat, artinya homoskedastis atau tidak terjadi multikolinieritas dengan nilai VIF<10. Variance inflation factor (VIF) digunakan untuk mengetahui adanya hubungan yang kuat antara variabel bebas (multikolinieritas) pada model. Hasil yang menunjukkan bahwa baik di dataran rendah maupun dataran tinggi nilai VIF<10 mengindikasikan tidak adanya hubungan yang kuat antara variabel bebas di dalam model (multkolinearitas). Menurut Rosadi (2011) jika koefisien determinasi regresi utama pada suatu model lebih besar dari pada koefisien determinasi regresi semu antar variabel bebas maka tidak terdapat masalah multikolinearitas. Hasil analisis menggunakan metode OLS yang tidak menunjukkan multkolinearitas disajikan pada Gambar 3. Gambar 3 Kurva metode OLS tidak menunjukkan multikolinearitas Tahap kedua hasil analisis model fungsi produksi stochastic frontier dengan menggunakan metode MLE wilayah dataran rendah dan dataran tinggi dengan bantuan software FRONTIER 4.1 di jelaskan pada Tabel 8 dan Lampiran 1. Parameter dugaan fungsi produksi stochastic frontier menunjukkan nilai elastisitas produksi frontier dan input-input yang digunakan dalam model. Koefisien fungsi produksi merupakan pangkat fungsi Cobb-Douglas ialah elastisitas produksi masing-masing input yang digunakan. Jumlah koefisien fungsi produksi wilayah dataran rendah menunjukkan return to scale sedangkan wilayah dataran tinggi menunjukkan increasing to scale. Hasil ini menunjukkan bahwa

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Desa Cibeureum Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor pada Bulan Maret sampai Agustus. Pemilihan daerah Desa Cibeureum sebagai tempat penelitian

Lebih terperinci

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. kandang dan bibit terhadap penerimaan usaha, dengan subjek penelitian peternak

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN. kandang dan bibit terhadap penerimaan usaha, dengan subjek penelitian peternak 24 III OBJEK DAN METODE PENELITIAN 3.1 Objek dan Subjek Penelitian Objek penelitian yang diamati yaitu pengaruh aplikasi teknologi pakan, kandang dan bibit terhadap penerimaan usaha, dengan subjek penelitian

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data 4.3. Metode Pengambilan Sampel

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data 4.3. Metode Pengambilan Sampel IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pasirlangu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Metode Pengumpulan Data

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Metode Pengumpulan Data IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan kecamatan Cigombong ini dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu

HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Susu Masa laktasi adalah masa sapi sedang menghasilkan susu, yakni selama 10 bulan antara saat beranak hingga masa kering kandang. Biasanya peternak akan mengoptimalkan reproduksi

Lebih terperinci

PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI

PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI PERFORMA PRODUKSI SUSU DAN REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN DI BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI YUNI FITRIYANI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

VI ANALISIS EFISIENSI TEKNIS

VI ANALISIS EFISIENSI TEKNIS VI ANALISIS EFISIENSI TEKNIS Model yang digunakan untuk mengestimasi fungsi produksi usahatani paprika hidroponik di lokasi penelitian adalah model fungsi Cobb-Douglas dengan pendekatan Stochastic Production

Lebih terperinci

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI 7.1. Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier 7.1.1. Pendugaan Model Fungsi Produksi Stochastic Frontier Model yang digunakan untuk mengestimasi fungsi produksi

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Desa Cikarawang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Lokasi ini dipilih secara sengaja (purposive). Alasan pemilihan Kabupaten

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Sapi Perah Menurut Yusdja (2005), usaha sapi perah sudah berkembang sejak tahun 1960 ditandai dengan pembangunan usaha-usaha swasta dalam peternakan sapi perah

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Cipayung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi Perah Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang mempunyai tanduk berongga. Sapi perah Fries Holland atau juga disebut Friesian Holstein

Lebih terperinci

PERBANDINGAN DUA METODE PENDUGAAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH BERDASARKAN CATATAN SEBULAN SEKALI

PERBANDINGAN DUA METODE PENDUGAAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH BERDASARKAN CATATAN SEBULAN SEKALI PERBANDINGAN DUA METODE PENDUGAAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH BERDASARKAN CATATAN SEBULAN SEKALI (Comparison of Two Methods for Estimating Milk Yield in Dairy Cattle Based on Monthly Record) E. Kurnianto

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH)

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Perah Usaha peternakan sapi perah di Indonesia diklasifikasikan berdasarkan skala usahanya yaitu perusahaan peternakan sapi perah dan peternakan sapi perah rakyat (Sudono,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Peternakan Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi perah Fries Holland (FH) merupakan bangsa sapi perah yang banyak dipelihara di Indonesia. Bangsa sapi ini bisa berwarna putih dan hitam ataupun merah

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian analisis efisiensi teknis dan pendapatan usahatani caisim ini dilakukan di Desa Ciaruteun Ilir Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor,

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN

IV METODE PENELITIAN IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di PT Saung Mirwan. Pemilihan PT Saung Mirwan dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa PT Saung Mirwan

Lebih terperinci

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI

VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI VII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI 7.1 Analisis Produksi Stochastic Frontier 7.1.1 Pendugaan Model Fungsi Produksi Stochastic Frontier Model yang digunakan untuk mengestimasi fungsi produksi usahatani

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI TEKNIS FAKTOR PRODUKSI PADI (Oryza sativa) ORGANIK DI DESA SUMBER PASIR, KECAMATAN PAKIS, KABUPATEN MALANG

ANALISIS EFISIENSI TEKNIS FAKTOR PRODUKSI PADI (Oryza sativa) ORGANIK DI DESA SUMBER PASIR, KECAMATAN PAKIS, KABUPATEN MALANG AGRISE Volume XII No. 3 Bulan Agustus 2012 ISSN: 1412-1425 ANALISIS EFISIENSI TEKNIS FAKTOR PRODUKSI PADI (Oryza sativa) ORGANIK DI DESA SUMBER PASIR, KECAMATAN PAKIS, KABUPATEN MALANG (ANALYSIS OF TECHNICAL

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.. Penentuan Daerah Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Asembagus dan Kecamatan Jangkar, Kabupaten Situbondo, Propinsi Jawa Timur. Pemilihan kecamatan dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG

VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG VII. ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI UBI JALAR DI DESA CIKARAWANG Komoditas pertanian erat kaitannya dengan tingkat produktivitas dan efisiensi yang rendah. Kedua ukuran tersebut dipengaruhi oleh

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Objek Penelitian Menurut Arikunto (2010: 161) objek penelitian adalah variabel atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian. Hal ini karena objek penelitian

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Pendapatan Usahatani Suratiyah (2006), mengatakan bahwa usahatani sebagai ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Fungsi produksi adalah hubungan di antara faktor-faktor produksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Fungsi produksi adalah hubungan di antara faktor-faktor produksi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teoritis 2.1.1. Fungsi Produksi Fungsi produksi adalah hubungan di antara faktor-faktor produksi terhadap jumlah output yang dihasilkan. Kegiatan produksi bertujuan

Lebih terperinci

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Metode Penentuan Responden

IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2. Metode Penentuan Responden IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Sukasari Kaler yang berada di wilayah Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengetahui tingkat pendapatan usahatani tomat dan faktor-faktor produksi yang mempengaruhi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%)

TINJAUAN PUSTAKA. Lemak (%) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein (FH) Bangsa sapi perah Fries Holland berasal dari North Holland dan West Friesland yaitu dua propinsi yang ada di Belanda. Kedua propinsi tersebut merupakan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tabel 7 Karakteristik sapi dara No Kode ternak Umur (bulan) Lingkar dada (cm) Bobot Badan (kg) 1.

BAHAN DAN METODE. Tabel 7 Karakteristik sapi dara No Kode ternak Umur (bulan) Lingkar dada (cm) Bobot Badan (kg) 1. 21 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai Januari 2010. Pemeliharaan ternak di Laboratorium Lapang, kandang blok B sapi perah bagian IPT Perah Departemen

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan di Pulau Untung Jawa Kabupaten

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini akan dilaksanakan di Pulau Untung Jawa Kabupaten IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini akan dilaksanakan di Pulau Untung Jawa Kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Produksi Produksi merupakan suatu proses transformasi atau perubahan dari dua atau lebih input (sumberdaya) menjadi satu atau lebih output

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Pemeliharaan Sapi Pedet

TINJAUAN PUSTAKA. Pemeliharaan Sapi Pedet 4 TINJAUAN PUSTAKA Pemeliharaan Sapi Pedet Umur 1-8 bulan sapi masih digolongkan pedet. Pada fase sapi pedet pertumbuhan mulai memasuki fase percepatan, dimana fase ini sapi akan tumbuh dengan maskimal

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Pertanian Bogor (PSP3 IPB) dan PT. Pertani di Propinsi Jawa Timur tahun 2010.

BAB III METODE PENELITIAN. Pertanian Bogor (PSP3 IPB) dan PT. Pertani di Propinsi Jawa Timur tahun 2010. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dari survey rumah tangga petani dalam penelitian Dampak Bantuan Langsung Pupuk dan Benih

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan data primer adalah di Desa Pasirlaja, Kecamatan

IV. METODE PENELITIAN. Lokasi pengambilan data primer adalah di Desa Pasirlaja, Kecamatan IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Lokasi pengambilan data primer adalah di Desa Pasirlaja, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja

Lebih terperinci

E. Kurnianto, I. Sumeidiana, dan R. Yuniara Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang ABSTRAK

E. Kurnianto, I. Sumeidiana, dan R. Yuniara Fakultas Peternakan Universitas Diponegoro, Semarang ABSTRAK PERBANDINGAN DUA METODE PENDUGAAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH BERDASARKAN CATATAN SEBULAN SEKALI (Comparison of Two Methods for Estimating Milk Yield in Dairy Cattle Based on Monthly Record) E. Kurnianto,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Pemeliharaan sapi perah bertujuan utama untuk memperoleh produksi susu yang tinggi dan efisien pakan yang baik serta mendapatkan hasil samping berupa anak. Peningkatan produksi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi Penelitian

MATERI DAN METODE. Materi Penelitian 17 MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada 11 Maret hingga 5 Juni 011. Waktu penelitan dibagi menjadi enam periode, setiap periode perlakuan dilaksanakan selama 14 hari. Penelitian

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di CV. Trias Farm yang berlokasi di Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini ditentukan dengan

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI BISNIS TANAMAN PANGAN UNGGULAN DI KABUPATEN BEKASI Oleh : Nana Danapriatna dan Ridwan Lutfiadi BAB 1.

ANALISIS EFISIENSI BISNIS TANAMAN PANGAN UNGGULAN DI KABUPATEN BEKASI Oleh : Nana Danapriatna dan Ridwan Lutfiadi BAB 1. ANALISIS EFISIENSI BISNIS TANAMAN PANGAN UNGGULAN DI KABUPATEN BEKASI Oleh : Nana Danapriatna dan Ridwan Lutfiadi ABSTRAK Tanaman pangan yang berkembang di Kabupaten Bekasi adalah padi, jagung, ubi kayu,

Lebih terperinci

BAB IV. METODE PENELITIAN

BAB IV. METODE PENELITIAN BAB IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Gapoktan Tani Bersama Desa Situ Udik Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Usaha Peternakan Sapi Perah Iklim dan Cuaca Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Usaha Peternakan Sapi Perah Iklim dan Cuaca Pengaruh Iklim terhadap Produktivitas Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Usaha Peternakan Sapi Perah Keuntungan usaha peternakan sapi perah adalah peternakan sapi perah merupakan usaha yang tetap, sapi perah sangat efisien dalam mengubah pakan menjadi protein

Lebih terperinci

VIII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI

VIII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI VIII ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI 8.1. Analisis Produksi Stochastic Frontier Usahatani Kedelai Edamame Analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah analisis fungsi produksi Cobb-Douglas

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari

I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Ketersediaan susu sebagai salah satu bahan pangan untuk manusia menjadi hal

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI TEKNIS, KETERAMPILAN TEKNIS BETERNAK DAN PENDAPATAN PADA USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DI KECAMATAN LEMBANG

ANALISIS EFISIENSI TEKNIS, KETERAMPILAN TEKNIS BETERNAK DAN PENDAPATAN PADA USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DI KECAMATAN LEMBANG ANALISIS EFISIENSI TEKNIS, KETERAMPILAN TEKNIS BETERNAK DAN PENDAPATAN PADA USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DI KECAMATAN LEMBANG ANGGRAENI EFRIKA CAHYAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Perah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Salah satu bangsa sapi bangsa sapi perah yang dikenal oleh masyarakat adalah sapi perah Fries Holland (FH), di Amerika disebut juga Holstein Friesian disingkat Holstein, sedangkan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011). Sapi FH memiliki karakteristik sebagai berikut :

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011). Sapi FH memiliki karakteristik sebagai berikut : II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi Perah FH Sapi perah Fries Holland (FH) sering dikenal dengan nama Holstein Friesian. Berasal dari Belanda dan mulai dikembangkan sejak tahun 1625 (Makin, 2011).

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai analisis pendapatan usahatani dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi cabai merah keriting ini dilakukan di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi,

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan suatu alur pemikiran yang bersifat teoritis dengan mengacu kepada teori-teori yang berkaitan dengan penelitian.

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada peternak plasma ayam broiler di Dramaga Unggas Farm, Kecamatan Darmaga, Kabupaten Bogor. Pemilihan Kota Bogor khususnya

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga

IV. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Purwasari, Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. untuk penggemukan dan pembibitan sapi potong. Tahun 2003 Pusat Pembibitan dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. untuk penggemukan dan pembibitan sapi potong. Tahun 2003 Pusat Pembibitan dan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keadaan Umum Wilayah Penelitian Pusat Pembibitan dan Penggemukan Ternak Wonggahu pada tahun 2002 dikelola oleh Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan Pangan Provinsi Gorontalo

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara, Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Metode

MATERI DAN METODE. Metode MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Peternakan Kambing Perah Bangun Karso Farm yang terletak di Babakan Palasari, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Analisis pakan

Lebih terperinci

METODE. Materi. Metode

METODE. Materi. Metode METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah Desa Cibungbulang, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, Jawa Barat selama 62 hari dari bulan September

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECEPATAN PEMERAHAN DENGAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DI PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT RAHMAWATI JAYA PENGADEGAN JAKARTA SELATAN

HUBUNGAN ANTARA KECEPATAN PEMERAHAN DENGAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DI PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT RAHMAWATI JAYA PENGADEGAN JAKARTA SELATAN HUBUNGAN ANTARA KECEPATAN PEMERAHAN DENGAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DI PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT RAHMAWATI JAYA PENGADEGAN JAKARTA SELATAN SKRIPSI NUR HAFIZAH TRISTY DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Produksi Produksi merupakan serangkaian proses dalam penggunaan berbagai input yang ada guna menghasilkan output tertentu. Produksi

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Pasir Gaok, Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan selama 2 bulan dari tanggal 5 Agustus

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian telah dilaksanakan selama 2 bulan dari tanggal 5 Agustus 15 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian telah dilaksanakan selama 2 bulan dari tanggal 5 Agustus sampai dengan 30 September 2015. Kegiatan penelitian ini bertempat di P.T. Naksatra Kejora Peternakan Sapi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Tugu Kelapa Dua Kecamatan Cimanggis Kota Depok dengan memilih Kelompok Tani Maju Bersama sebagai responden.

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Panumbangan, Sindangkasih, dan Cihaurbeuti Kabupaten Ciamis. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Tingkat Produksi Kedelai Peluang peningkatan produksi kedelai di dalam negeri masih terbuka

Lebih terperinci

ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI

ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI VI ANALISIS FUNGSI PRODUKSI DAN EFISIENSI 6.1 Analisis Fungsi Produksi Stochastic Frontier 6.1.1 Pengujian Asumsi Klasik Regresi Linier Syarat model regresi linier (fungsi produksi) dikatakan baik jika

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Cara Pengambilan Data

MATERI DAN METODE. Cara Pengambilan Data MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Bagian Ilmu Produksi Ternak Perah, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan selama dua

Lebih terperinci

PERFORMA REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN BETINA DI PETERNAKAN RAKYAT KPSBU DAN BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI OKTARIA DWI PRIHATIN

PERFORMA REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN BETINA DI PETERNAKAN RAKYAT KPSBU DAN BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI OKTARIA DWI PRIHATIN PERFORMA REPRODUKSI SAPI FRIESIAN-HOLSTEIN BETINA DI PETERNAKAN RAKYAT KPSBU DAN BPPT-SP CIKOLE LEMBANG SKRIPSI OKTARIA DWI PRIHATIN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Sistem Budidaya Padi Konvensional Menurut Muhajir dan Nazaruddin (2003) Sistem budidaya padi secara konvensional di dahului dengan pengolahan

Lebih terperinci

RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT

RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT RESPON PRODUKSI SUSU SAPI FRIESIAN HOLSTEIN TERHADAP PEMBERIAN SUPLEMEN BIOMINERAL DIENKAPSULASI SKRIPSI PIPIT DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Lebih terperinci

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu

Gambar 2. Domba didalam Kandang Individu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja (kandang B) pada bulan Mei sampai dengan bulan November 2010. Analisis sampel dilakukan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Usahatani Usahatani merupakan salah satu ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif

Lebih terperinci

Hubungan Antara Umur dan Bobot Badan...Firdha Cryptana Morga

Hubungan Antara Umur dan Bobot Badan...Firdha Cryptana Morga HUBUNGAN ANTARA UMUR DAN BOBOT BADAN KAWIN PERTAMA SAPI PERAH FRIES HOLLAND DENGAN PRODUKSI SUSU HARIAN LAKTASI PERTAMA DAN LAKTASI KEDUA DI PT. ULTRA PETERNAKAN BANDUNG SELATAN (UPBS) PANGALENGAN JAWA

Lebih terperinci

KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL PEMERAHAN BERBEDA

KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL PEMERAHAN BERBEDA Animal Agriculture Journal 5(1): 195-199, Juli 2015 On Line at : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/aaj KANDUNGAN LEMAK, TOTAL BAHAN KERING DAN BAHAN KERING TANPA LEMAK SUSU SAPI PERAH AKIBAT INTERVAL

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu

Lebih terperinci

Evaluasi Kecukupan Nutrien pada Sapi Perah Laktasi... Refi Rinaldi

Evaluasi Kecukupan Nutrien pada Sapi Perah Laktasi... Refi Rinaldi EVALUASI KECUKUPAN NUTRIEN PADA SAPI PERAH LAKTASI PRODUKSI SEDANG MILIK ANGGOTA KOPERASI DI KOPERASI PETERNAKAN BANDUNG SELATAN (KPBS) PANGALENGAN Refi Rinaldi*, Iman Hernaman**, Budi Ayuningsih** Fakultas

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan

MATERI DAN METODE. Gambar 1. Ternak Domba yang Digunakan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Daging dan Kerja, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Kerangka pemikiran teoritis meliputi penjelasan-penjelasan mengenai halhal

III. KERANGKA PEMIKIRAN. Kerangka pemikiran teoritis meliputi penjelasan-penjelasan mengenai halhal III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis meliputi penjelasan-penjelasan mengenai halhal yang berdasar pada teori yang digunakan dalam penelitian. Penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI EKONOMI USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH DI KECAMATAN CEPOGO

ANALISIS EFISIENSI EKONOMI USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH DI KECAMATAN CEPOGO digilib.uns.ac.id 1 ANALISIS EFISIENSI EKONOMI USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH DI KECAMATAN CEPOGO Skripsi Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan balai pusat pembibitan sapi perah di bawah

IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan balai pusat pembibitan sapi perah di bawah 24 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan balai pusat pembibitan sapi perah di bawah

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

KERANGKA PEMIKIRAN. 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Produksi Menurut Schroeder (1999), Pappas (1995), Joesran dan Fathorrozi (2003) dan Putong (2002) dalam Herawati (2008) produksi adalah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini penulis memerlukan data-data yang lengkap serta cara menganalisis yang

III. METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini penulis memerlukan data-data yang lengkap serta cara menganalisis yang III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis memerlukan data-data yang lengkap serta cara menganalisis yang benar dan akurat dengan menggunakan metode sebagai berikut: 1. Objek

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Umum Daerah Penelitian Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah berada di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. KUNAK didirikan berdasarkan keputusan presiden

Lebih terperinci

PENGENALAN SOFTWARE FRONTIER 4.1 DAN DEA 2.1. Oleh : AHMAD ZAINUDDIN

PENGENALAN SOFTWARE FRONTIER 4.1 DAN DEA 2.1. Oleh : AHMAD ZAINUDDIN PENGENALAN SOFTWARE FRONTIER 4.1 DAN DEA 2.1 Oleh : AHMAD ZAINUDDIN DAFTAR ISI 2 APA ITU FRONTIER DAN DEA? KONSEP EFISIENSI KONSEP PENGUKURAN EFISIENSI PENDEKATAN PENGUKURAN EFISIENSI FAKTOR-FAKTOR YANG

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB) Desa Singasari Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Teori Produksi Penelitian ini akan mengukur bagaimana dampak penggunaan faktorfaktor produksi terhadap risiko produksi yang ditunjukkan dengan adanya variasi hasil produksi.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Perah Ternak perah adalah ternak yang diusahakan untuk menghasikan susu sebanyak-banyaknya, disamping hasil lainnya. Macam - macam sapi perah yang ada di dunia adalah

Lebih terperinci

KECERNAAN PROTEIN RANSUM DAN KANDUNGAN PROTEIN SUSU SAPI PERAH AKIBAT PEMBERIAN RANSUM DENGAN IMBANGAN KONSENTRAT DAN HIJAUAN YANG BERBEDA SKRIPSI

KECERNAAN PROTEIN RANSUM DAN KANDUNGAN PROTEIN SUSU SAPI PERAH AKIBAT PEMBERIAN RANSUM DENGAN IMBANGAN KONSENTRAT DAN HIJAUAN YANG BERBEDA SKRIPSI KECERNAAN PROTEIN RANSUM DAN KANDUNGAN PROTEIN SUSU SAPI PERAH AKIBAT PEMBERIAN RANSUM DENGAN IMBANGAN KONSENTRAT DAN HIJAUAN YANG BERBEDA SKRIPSI Oleh : SITI SARAH PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dimulai dengan pengimporan sapi-sapi bangsa Ayrshire, Jersey, Milking

KAJIAN KEPUSTAKAAN. dimulai dengan pengimporan sapi-sapi bangsa Ayrshire, Jersey, Milking 10 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Usahaternak Sapi Perah Ternak perah merupakan ternak yang mempunyai fungsi prinsip sebagai penghasil susu. Susu merupakan sekresi fisiologis dari kelenjar susu yang merupakan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian

MATERI DAN METODE. Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging dan Kerja untuk tahap pemeliharaaan serta analisis sampel di Laboratorium Ilmu dan Teknologi

Lebih terperinci

ANALISIS OPTIMALISASI PENGGUNAAN INPUT PADA USAHA BUDIDAYA PERIKANAN

ANALISIS OPTIMALISASI PENGGUNAAN INPUT PADA USAHA BUDIDAYA PERIKANAN ANALISIS OPTIMALISASI PENGGUNAAN INPUT PADA USAHA BUDIDAYA PERIKANAN (Studi Kasus : Kota Tanjung Balai) Debbie Febrina Manurung, * Thomson Sebayang ** Dan Hasman Hasyim ** *) Alumni Program Studi Agribisnis

Lebih terperinci

EFISIENSI PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA INDUSTRI MIKRO DI INDONESIA. Asrizal Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat

EFISIENSI PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA INDUSTRI MIKRO DI INDONESIA. Asrizal Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat EFISIENSI PRODUKSI DAN PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA INDUSTRI MIKRO DI INDONESIA Asrizal Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat Abstract This research aims to determine the efficiency

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat yaitu Desa Purwasari. Pemilihan Kabupaten Bogor dipilih secara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Usahatani Definisi usahatani telah banyak diuraikan oleh beberapa pakar. Usahatani adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang terdapat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Objek penelitian merupakan hal yang tidak bias dipisahkan dari berbagai penelitian yang dilakukan. Objek penelitian merupakan sebuah sumber yang dapat memberikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Kondisi Geografis Kecamatan Cigugur merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Kuningan. Kecamatan Cigugur memiliki potensi curah hujan antara 1.000-3.500

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 21 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Babakan Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor. Pemilihan tersebut dengan pertimbangan bahwa wilayah tersebut merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. survei SOUT (Struktur Ongkos Usaha Tani) kedelai yang diselenggarakan oleh

BAB III METODE PENELITIAN. survei SOUT (Struktur Ongkos Usaha Tani) kedelai yang diselenggarakan oleh BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder hasil survei SOUT (Struktur Ongkos Usaha Tani) kedelai yang diselenggarakan oleh BPS

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian pustaka dari buku referensi karya ilmiah. Karya ilmiah yang digunakan adalah hasil penelitian serta

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul (BBPTU) Sapi Perah Baturraden, Kecamatan Baturraden, Kabupaten Purwokerto, Jawa Tengah. Penelitian

Lebih terperinci