PENGEMBANGAN MODEL ASURANSI INDEKS IKLIM UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PETANI PADI DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM WORO ESTININGTYAS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGEMBANGAN MODEL ASURANSI INDEKS IKLIM UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PETANI PADI DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM WORO ESTININGTYAS"

Transkripsi

1 PENGEMBANGAN MODEL ASURANSI INDEKS IKLIM UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PETANI PADI DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM WORO ESTININGTYAS SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan Model Asuransi Indeks Iklim Untuk Meningkatkan Ketahanan Petani Padi Dalam Menghadapi Perubahan Iklim adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada penguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, November 2012 Woro Estiningtyas G ii

3 ABSTRACT WORO ESTININGTYAS. Development of Climate Index Insurance Model for Improving Rice Farmers Resilience to Cope with Climate Change. Under direction of RIZALDI BOER, IRSAL LAS and AGUS BUONO. Agriculture, particularly the rice farming system (SUT) is very vulnerable to weather and climate related shocks. Crop failure due to these events will be amplified by climate change. As rice is main staple food in Indonesia, these shocks often lead to food insecurity, debt and the destructive of productive assets which can push farmers into persistent poverty. Therefore, it is to develop protection system for farmers from the impact of climate shocks. One of the potential protection system for farmer is Climate Index Insurance. Climate Index Insurance is a promising tool for facilitating adaptation to climate risk. It can help enhance productivity for farmers in normal years by protecting them from the risks of the worst years. This index is very different from conventional crop insurance. The Climate Index Insurance provides payments to the policy holders when the unexpected climate shocks occurred which is called as Climate Index. Thus when the index is met, the policy holders will get insurance claim without any evidence of crop failure. This study aimed to design climate index insurance model for rice farming system at Cikedung of Indramayu district, a district which is prone to drought risk. The study suggests that the seasonal rainfall can be used as climate index for the rice farming. Rainfall index obtained for rice planted in dry season is 183 mm for phase 1 (0-45 days after planting), 136 mm for phase 2 (46-80 days after planting), 119 mm for phase 3 ( days after planting) or 439 mm for the entire phases. Based on interview with farmers, majority of farmers (82%) are in preference to the climate index insurance. However, they willingness to pay the premium varied. Most farmers are willing to pay premium of not more than thousand rupiah per season per hectare. This study suggests that the implementation of climate index insurance policy is very potential for protecting and assisting farmers in managing climate risk. Key Words : Climate change, rice farming system, drought, climate index insurance

4 RINGKASAN WORO ESTININGTYAS. Pengembangan Model Asuransi Indeks Iklim Untuk Meningkatkan Ketahanan Petani Padi Dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Dibimbing oleh RIZALDI BOER, IRSAL LAS, dan AGUS BUONO. Salah satu indikator terjadinya perubahan iklim adalah meningkatnya kejadian iklim ekstrim yang pada umumnya membawa dampak berupa banjir dan kekeringan. Kekeringan merupakan dampak kejadian iklim ekstrim yang paling banyak terjadi dan menimbulkan kerugian yang cukup besar. Sifat kejadian kekeringan yang perlahan dan dalam jangka waktu lama seringkali tidak disadari sehingga ketika kekeringan itu terjadi dampaknya sudah cukup parah. Sektor pertanian, khususnya usahatani padi merupakan sektor yang paling rentan terhadap kejadian iklim ekstrim. Produktivitas pertanian dapat terhambat oleh risiko akibat bencana terkait iklim. Bencana iklim seperti kekeringan sering menyebabkan kerawanan pangan, kemiskinan dan rusaknya aset yang produktif seperti hewan ternak dan sebagainya. Petani sebagai ujung tombak pelaku pertanian menerima dampak yang cukup besar akibat kejadian iklim ini. Meskipun petani telah melakukan berbagai upaya untuk menekan risiko iklim, tetapi usaha tersebut belum cukup. Oleh karena itu perlu adanya proteksi formal bagi petani untuk membantu mengurangi dampak cuaca dan iklim ekstrim yang dapat berpengaruh pada kehidupan dan mata pencaharian. Proteksi formal yang ditawarkan dari penelitian ini adalah melalui Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance) untuk kekeringan. Kabupaten Indramayu dipilih sebagai lokasi penelitian karena sebagai salah satu sentra produksi padi yang cukup dominan di Propinsi Jawa Barat tetapi sangat rentan terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu gangguan terhadap produksi padi akibat perubahan iklim akan sangat berpengaruh terhadap kondisi ekonomi petani. Asuransi indeks iklim adalah sistim asuransi yang memberikan pembayaran pada pemegang polis ketika terpenuhi kondisi cuaca/iklim yang tidak diharapkan (yang dinyatakan dengan indeks iklim) tanpa harus ada bukti kegagalan panen. Dalam sistem asuransi indeks iklim yang diasuransikan ialah indeks cuaca/iklimnya dan bukan tanamannya. Pembayaran dilakukan berdasarkan indeks seperti curah hujan yang dapat diukur pada stasiun cuaca lokal yang ditetapkan pada periode pertumbuhan tanaman yang diasuransikan. Model asuransi indeks iklim dikembangkan berdasarkan hubungan antara curah hujan dan produksi tanaman. Curah hujan yang tidak menentu merupakan masalah bagi petani. Jika lahan tidak mendapat hujan yang cukup pada saat yang tepat, maka tanaman akan layu dan mati. Asuransi indeks iklim untuk kekeringan adalah salah satu cara untuk melindungi petani terhadap kemungkinan kerugian yang terkait dengan curah hujan di bawah rata-rata. Untuk menyusun model asuransi indeks iklim, dilakukan survey lapang dan wawancara petani guna mengetahui usahatani padi khususnya pada lahan irigasi ujung dan tadah hujan. Survey tentang kesediaan membayar (Wilingness to Pay) juga dilakukan untuk mengetahui kesediaan petani dalam membayar premi asuransi. Kelayakan usahatani padi dinyatakan melalui nilai Revenue Cost Ratio (R/C). Hubungan antara R/C dan produksi padi digunakan untuk menentukan nilai

5 threshold produksi padi, yaitu pada saat R/C=1. Nilai threshold produksi selanjutnya digunakan untuk menentukan trigger curah hujan dan indeks iklim. Indeks iklim ini digunakan sebagai dasar klaim asuransi. Skenario klaim dan premi asuransi disusun berdasarkan studi kasus di Kecamatan Cikedung. Berdasarkan peta endemik kekeringan Kabupaten Indramayu, Kecamatan Cikedung tergolong sebagai salah satu kecamatan dengan tingkat endemik kekeringan tinggi. Untuk mengetahui wilayah cakupan indeks, maka dilakukan analisis Fuzzy Similarity terhadap seluruh stasiun hujan di kabupaten Indramayu dengan mengambil 4 stasiun referensi yaitu Cikedung, Kandanghaur, Lelea dan Terisi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kejadian kekeringan di Kabupaten Indramayu merupakan penyebab utama (79.8%) gagal panen selain OPT (15.6%) dan banjir (5.6%). Kekeringan pada umumnya berlangsung selama 1-8 bulan. Kekeringan yang paling sering terjadi adalah selama 6 bulan (32%). Bulan Juni merupakan bulan dimana petani paling sering mengalami kekeringan (32,2%). Puncak kekeringan pada umumnya terjadi pada Bulan Juni-Agustus. Berdasarkan data kekeringan periode Agustus 2005-September 2011, sebaran rata-rata luas kekeringan per kecamatan dari 31 Kecamatan di Kabupaten Indramayu adalah 26 Ha sampai dengan 1603 Ha, dengan rata-rata 406 Ha, dengan jumlah kejadian kekeringan berkisar antara 1-9 kejadian dan rata-rata 4 kejadian kekeringan. Klasifikasi tingkat endemik kekeringan menghasilkan 4 kelompok, yaitu : wilayah kecamatan dengan tingkat endemik kekeringan tinggi, agak tinggi, agak rendah dan rendah. Wilayah dengan tingkat endemik tinggi meliputi Kecamatan : Cikedung, Gabuswetan, Indramayu, Kandanghaur, Kedokan Bunder, Krangkeng, Lelea, Lohbener, Losarang dan Sliyeg. Wilayah endemik agak tinggi, antara lain Kecamatan : Juntinyuat, Kroya dan Terisi. Wilayah endemik agak rendah, yaitu Kecamatan Balongan, Cantigi, Gantar, Haurgeulis, Sukagumiwang, Sukra dan Tukdana. Wilayah dengan endemik rendah terhadap kekeringan, yaitu Kecamatan : Anjatan, Arahan, Bangodua, Bongas, Jatibarang, Karangampel, Kertasemaya, Pasekan, Patrol, Sindang dan Widasari. Terkait dengan pengembangan asuransi indeks iklim, peta endemik kekeringan dapat dijadikan dasar dalam penentuan wilayah prioritas penanganan kekeringan melalui program asuransi indeks iklim. Pilihan teknologi pengelolaan risiko iklim untuk meminimalkan risiko iklim disesuaikan berdasarkan tingkat endemik kekeringan,. karakteristik khusus dan diskripsi wilayah. Dalam konteks asuransi indeks iklim, peran stasiun hujan sangat penting sebagai sumber data untuk penentuan indeks hujan. Cakupan wilayah yang bisa diwakili oleh suatu indeks yang ditetapkan berdasarkan metode Fuzzy Similiry (FS) menghasilkan sebaran yang beragam. Stasiun referensi dipilih berdasarkan staiun hujan yang berada di lokasi survey yaitu di Cikedung, Lelea, Terisi dan Kandanghaur. Untuk stasiun referensi Cikedung, nilai FS berkisar antara dengan rata-rata Wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Cikedung adalah sekitar 7.7% dari total 41 stasiun hujan di Kabupaten Indramayu, yaitu Losarang, Sliyeg dan Jatibarang, dengan nilai FS berturut-turut adalah 0.49, 0.46 dan Untuk stasiun referensi Lelea, nilai FS antara dengan rata-rata Wilayah yang bisa diwakili sekitar 10.3%, yaitu Bangodua, Gabus Wetan, Jatibarang dan Krangkeng. Untuk stasiun referensi Terisi, nilai FS sebagian besar v

6 lebih dari 0.5. Nilai FS berkisar 0.04 hingga 0.84, dengan rata-rata Wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Terisi 53.8%, yaitu Bongas, Widasari, Balongan, Sukra, Kroya, Cantigi, Arahan, Gantar, Sukagumiwang, Kedokan Bunder, Patrol, Pasekan, Tukdana, Bugel, Cigugur, Wanguk, Leuweungsemut, Karangasem, Cipancuh, Tamiang dan Bantarhuni. Untuk stasiun referensi Kandanghaur nilai FS antara hingga 0.41, dengan rata-rata Wilayah yang bisa diwakili sangat kecil dibandingkan stasiun referensi lainnya, yaitu Kertasemaya. Hasil survey dan wawancara menunjukkan petani di lokasi penelitian didominasi oleh usia tahun (33.8%). Pendidikan responden sebagian besar tamatan SD (49%). Lahan yang dimiliki sebagian besar petani seluas Ha (40%). Pola tanam dominan adalah padi-padi-bera (83.4%). Fluktuasi produksi padi pada MH di lahan irigasi ujung rata-rata sekitar 6 ton/ha dan pada lahan tadah hujan sekitar 5 ton/ha. Produksi padi pada MK di lahan irigasi ujung sekitar 4 ton/ha dan tadah hujan 3 ton/ha. Pada MH di lahan irigasi ujung, rata-rata biaya input yang dikeluarkan petani adalah Rp. 9 juta/ha (MH) dan Rp. 8.9 juta/ha (MK). Pada lahan tadah hujan sebesar Rp. 8.7 juta/ha (MH) dan Rp. 7.9 juta/ha (MK). Analisis R/C menghasilkan nilai 1.94 (MH) dan 1.70 (MK), dengan asumsi harga padi Rp. 3000/kg (MH) dan Rp. 3400/kg (MK). Artinya secara ekonomi usahatani padi di lokasi penelitian masih menguntungkan dan layak untuk diusahakan. Namun keuntungan ini belum diikuti oleh kebiasaan menabung hasil panennya. Pemberian wacana tentang Asuransi Indeks Iklim disambut baik oleh petani. Sebagian besar petani (82.5%) bersedia atau sanggup membayar premi, dengan besaran yang bervariasi. Kesanggupan petani membayar premi yang paling dominan adalah ribu rupiah per musim per hektar. Hasil workshop menunjukkan bahwa 68% responden menyatakan asuransi iklim memiliki prospek yang bagus, menarik dan menjajikan. Lembaga pengelola yang banyak diharapkan responden adalah Bank (52%). Kendala utama yang dikemukakan responden seandainya asuransi dilaksanakan adalah perlunya sosialisasi (32%). Hubungan curah hujan dan produksi padi yang diwakili oleh lokasi Cikedung ditunjukkan oleh nilai R 2 sebesar 0.6 untuk seluruh fase, sedangkan fase 1 sebesar 0.5, fase 2 sebesar 0.3 dan fase 3 sebesar 0.7. Pengaruh curah hujan setiap fase terhadap keragaman hasil adalah 0.34% (fase 1), 0.43% (fase 2) dan 0.23% (fase 3). Fase 2 memberikan pengaruh yang paling besar terhadap keragaman hasil padi di Cikedung. Pada nilai R/C=1 diperoleh threshold produksi sebesar 2711 kg/ha. Peluang terjadinya threshold<2711 kg/ha selama periode adalah 0.1 hingga 1, dengan periode ulang 1 hingga 10 tahun sekali. Indeks iklim yang diperoleh untuk lokasi Cikedung adalah 183 mm (fase 1), 136 mm (fase 2), 119 mm (fase 3) dan 439 mm untuk seluruh fase pada MK. Berdasarkan hasil penelitian, Kabupaten Indramayu berpotensi dan layak untuk dijadikan lokasi pengembangan model asuransi indeks iklim. Kata Kunci : Perubahan iklim, usahatani padi, kekeringan, asuransi indeks iklim vi

7 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. vii

8 PENGEMBANGAN MODEL ASURANSI INDEKS IKLIM UNTUK MENINGKATKAN KETAHANAN PETANI PADI DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM WORO ESTININGTYAS Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Klimatologi Terapan SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 viii

9 Judul Disertasi : Pengembangan Model Asuransi Indeks Iklim Untuk Meningkatkan Ketahanan Petani Padi Dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Nama : Woro Estiningtyas NIM : G Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc Ketua Prof. Dr. Ir. Irsal Las. MS Anggota Dr. Ir. Agus Buono, M.Si, M.Kom Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Klimatologi Terapan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Tania June, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 22 Oktober 2012 Tanggal Lulus : ix

10 Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Dr. Ir. Rini Hidayati, MS (Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas MIPA, IPB) 2. Dr. Ir. Sahat M. Pasaribu, MEng (Peneliti Utama pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian) Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Rini Hidayati, MS (Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas MIPA, IPB) 2. Dr. Ir. Sahat M. Pasaribu, MEng (Peneliti Utama pada Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian) x

11 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah yang penuh kasih atas segala berkat dan anugerahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun Disertasi program Doktor pada program studi Klimatologi Terapan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan kepada semua pihak yang telah mendukung, membantu dan bekerja sama dalam penyelesaian penelitian. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, atas perkenannya kepada penulis untuk mendapatkan beasiswa sehingga penulis dapat melanjutkan dan melaksanakan tugas belajar. 2. Dr. Muhrizal Sarwani, Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) atas perkenan dan ijinnya kepada penulis untuk melanjutkan studi S3. 3. Dr. Haris Syahbuddin, DEA, Kepala Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (BALITKLIMAT) atas ijin dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi S3. 4. Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc, atas kesediaannya menjadi ketua komisi pembimbing. Penulis menghaturkan terima kasih atas segala bimbingan, arahan, saran dan masukannya juga pembelajaran yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini. Selain itu penulis juga menghaturkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis bisa ikut serta dalam kegiatan IM-HERE IPB serta kegiatan penelitian lainnya di CCROM-SEAP yang menambah wawasan dan pengetahuan penulis terkait dengan topik penelitian. 5. Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS. Penulis haturkan terima kasih atas kesediaannya menjadi anggota komisi pembimbing. Saran, masukan serta dorongan semangat yang Bapak berikan memotivasi saya untuk dapat menyelesaikan penelitian dan disertasi ini. xi

12 6. Dr. Ir. Agus Buono, MS, M.kom, atas kesediaannya menjadi anggota komisi pembimbing. Penulis menghaturkan terima kasih atas segala bimbingan, arahan, saran dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini. 7. Dr. Ir. Rini Hidayati, MS, selaku Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi. Penulis haturkan terima kasih atas kesediaannya menjadi penguji di luar komisi serta dukungan, bantuan dan kerjasama yang diberikan selama penulis melaksanakan penelitian sehingga penulisan dapat menyelesaikan disertasi ini. 8. Dr. Ir. Sahat M. Pasaribu, M.Eng. Penulis sampaikan terima kasih atas perkenannya menjadi penguji luar komisi serta segala saran, masukan dan dukungannya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. 9. Daniel Osgood (Lead Scientist, Financial Instrument Sector Tim, IRI, Columbia University) atas perhatian dan bantuan yang diberikan sehingga penulis mendapatkan bahan serta wawasan tentang asuransi index iklim. 10. Andrea Diane Basche, Dan Hubber, Jessica Miriam Rosen, Geoff dan Jessica (IRI, Columbia University) yang telah bekerjasama di lapang serta memberikan bahan-bahan dan training terkait dengan asuransi indeks iklim. 11. Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dan Perguruan Tinggi (KKP3T) DIPA TA , atas dukungan dana selama penelitian berlangsung. 12. Dr. Ir. Impron M.Sc (Departemen Geofisika dan Meteorologi) dan Mushthofa, S.Kom, M.Sc (Departemen Ilkom, IPB) atas bantuan dan kerjasamanya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini. 13. Bapak/Ibu peneliti, teknisi dan staf di Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, secara khusus Prof. Istiqlal Amien, Dr. Eleonora Runtunuwu, MS, Drs. Ganjar Djayanto, Dr. Aris Pramudia, MS, Dr. Nani Heryani, MS, Ir. Erni Susanti, M.Sc, Ir. Elza Surmaini, MSi, Pak Slamet Effendy, M. Wahyu Trinugroho S.T dan Aris Dwi, SE. Penulis sampaikan terima kasih atas segala dukungan, bantuan dan doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan disertasi ini. xii

13 14. Rekan-rekan peneliti, teknisi dan staf di Center for Climate Risk and Oportunity Management in Southeast Asia and Pasific (CCROM-SEAP), secara khusus Adi Rakhman, Gito, Bu Pipit, Ani, Sisi, Diva, Ria, Prima, Ikhsan, Andria, Wari dan mas Nandang atas kerjasama dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan disertasi ini. 15. Bapak Kusnomo Tamkani atas segala saran dan masukannya selama penulis melakukan penelitian di Kabupaten Indramayu hingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan disertasi ini. 16. Pak Mio, Pak Taukid di Indramayu dan adik-adik Iwan, Nanang, Ike, Rudin, Daniel, Tamara dan Fitriya, terima kasih atas segala bantuannya selama pengumpulan dan entri data lapang sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan disertasi ini. 17. Rekan-rekan bimbingan Prof. Dr. Ir. Rizaldi Boer, M.Sc, Dr. Indah Prasasti dan Dr. Suciantini, terima kasih atas dukungan dan kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian dan penulisan disertasi. 18. Pak Jun, Bu Inda, Mbak Wanti, Pak Pono, Mas Aziz, Mas Nandang dan Pak Udin di Departemen Geomet atas bantuannya dalam berbagai aktifitas akademik. 19. Ayahanda Setyomihardjo dan Ibu Sri Sulasih (alm), mbak Yayuk, mbak Yanik, Mas Koko dan mbak Sestu, terima kasih atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. 20. Bapak dan Ibu mertua, Ir. Iman Satoto Dermoredjo dan Sumarah Iman Satoto, serta kakak-kakak semua, mas Yanu, Mbak Ira, mas Wawid dan mas Totok, terima kasih atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. 21. Suamiku dan anak-anakku tercinta, Ir. Saktyanu Kristyantoadi Dermoredjo, MS, Dani Lukmito Utomo dan Karin Manuela Adiningtyas, terima kasih atas doa, dukungan, kesabaran, pengertian dan kasih sayangnya selama penulis melaksanakan penelitian hingga disertasi ini dapat diselesaikan. xiii

14 22. Akhirnya penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu yang telah membantu dan berpartisipasi mendukung penulis selama penelitian hingga selesainya disertasi ini. Semoga disertasi ini bermanfaat. Bogor, November 2012 Woro Estiningtyas xiv

15 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Nganjuk, Jawa Timur, pada tanggal 8 Oktober 1967 sebagai anak kelima dari lima bersaudara dari ayah Setyomihardjo dan ibu Sri Sulasih (alm). Pendidikan dasar dan menengah penulis tempuh di SD Negeri Kauman Utara Nganjuk lulus tahun 1980, SMP Negeri I Nganjuk lulus tahun 1983 dan SMA Negeri 2 Nganjuk lulus tahun Pada tahun yang sama, penulis diterima melalui program PMDK di IKIP Negeri Surabaya jurusan matematika. Tahun 1987, penulis mengikuti ujian tulis dan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program studi Agrometeorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan lulus pada tahun Pada tahun 2002, penulis diterima pada Program Studi Oseanografi dan Sains Atmosfer, Program Pasca Sarjana Institut Teknologi Bandung (ITB) dan menyelesaikannya pada tahun Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor diperoleh pada tahun 2008 pada Program Studi Klimatologi Terapan melalui beasiswa dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Penulis menikah dengan Ir. Saktyanu Kristyantoadi Dermoredjo, M.Si dan dikaruniai dua orang anak, yaitu : Dani Lukmito Utomo dan Karin Manuela Adiningtyas. Sejak tahun 1992, penulis bekerja sebagai Peneliti pada Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi (BALITKLIMAT), Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis adalah bidang Agroklimat. Terkait dengan bidang profesi, penulis juga ikut serta dalam kepengurusan pusat pada Himpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI). Hasil penelitian dalam disertasi ini, beberapa bagian telah diterbitkan dan diterima dalam jurnal. Penelitian yang berjudul Delineasi Risiko Iklim dan Evaluasi Model Hubungan Curah Hujan dan Produksi Padi dalam Mendukung Pengembangan Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance) pada Sistim Usahatani Berbasis Padi telah diterbitkan dalam Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI) Volume 16 No. 3 Desember 2011, ISSN : Penelitian Identifikasi dan Delineasi Wilayah Endemik Kekeringan untuk Pengelolaan xv

16 Risiko Iklim di Kabupaten Indramayu telah diterima di Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan direncanakan terbit pada Bulan November Selain itu, penelitian yang berjudul Analisis Usahatani Padi untuk Mendukung Pengembangan Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance) : Studi Kasus di Kabupaten Indramayu telah diterima di Jurnal Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian, Balai Besar Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian (BBP2TP), Badan Litbang Pertanian. xvi

17 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR SINGKATAN. xvii xx xxi xxv xxvi I. PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kebaruan (Novelty) Ruang Lingkup dan Kerangka Kerja Penelitian Sistimatika Penulisan II. TINJAUAN PUSTAKA Perubahan Iklim dan Dampaknya Pada Sektor Pertanian Kekeringan dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi Karakteristik Usahatani Serta Dampak Anomali Iklim Terhadap Produksi Padi di Kabupaten Indramayu Adaptasi Terhadap Kejadian Iklim Ekstrim Hubungan Curah Hujan dan Produksi Padi Model Simulasi Tanaman DSSAT Asuransi Pertanian di Indonesia Asuransi Indeks Iklim (Climater Index Insurance) Keunggulan dan Kelemahan Model Asuransi Tradisional dan 55 Asuransi Indeks Iklim Regulasi Asuransi Indonesia III. ANALISIS DAN DELINEASI WILAYAH ENDEMIK KEKERINGAN UNTUK PENGELOLAAN RISIKO IKLIM Pendahuluan Metodologi Identifikasi dan Delineasi Wilayah Endemik Kekeringan Survey dan Wawancara Tentang Kekeringan Hasil dan Pembahasan Kekeringan di Kabupaten Indramayu Penyebaran Tingkat Endemik Kekeringan di Kabupaten Indramayu Implikasi Terhadap Pengelolaan Risiko Iklim di Kabupaten Indramayu Simpulan xvii

18 IV. PENETAPAN CAKUPAN WILAYAH INDEKS HUJAN UNTUK PENERAPAN ASURANSI IKLIM Pendahuluan Metodologi Analisis Kemiripan Data dengan Fuzzy Similarity Penyusunan Peta Cakupan Wilayah Indeks Iklimi Hasil dan Pembahasan Simpulan V. ANALISIS USAHATANI PADI UNTUK MENDUKUNG PENYUSUNAN INDEKS IKLIM Pendahuluan Metodologi Survey Lapang dan Wawancara Analisis Usahatani Padi Hasil dan Pembahasan Karakteristik Petani dan Usahatani Padi Kelayakan Usahatani Padi Kesediaan Membayar (Willingness to Pay, WTP) Simpulan... VI. ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN PRODUKSI PADI SERTA PENYUSUNAN INDEKS IKLIM Pendahuluan Metodologi Data Pembangkitan Data Iklim Simulasi Tanaman dengan Model DSSAT Penentuan Indeks Iklim Hasil dan Pembahasan Hasil Simulasi Tanaman Padi Pada Lahan Tadah Hujan Hasil Simulasi Tanaman Padi Pada Lahan Irigasi Hubungan Curah Hujan dan Produksi Padi Threshold Produksi Padi Penentuan Indeks Iklim Desain Premi dan Klaim Asuransi Model Asuransi Indeks Iklim Simpulan... VII. PEMBAHASAN UMUM PENGEMBANGAN ASURANSI INDEKS IKLIM PADA SISTIM USAHATANI BERBASIS PADI : Potensi dan Tantangan Pendahuluan Metodologi Model Asuransi Indeks Iklim di Kabupaten Indramayu Potensi Tantangan xviii

19 VIII. SIMPULAN DAN REKOMENDASI Simpulan Saran Rekomendasi Pengembangan Asuransi Indeks Iklim Pada Usahatani Berbasis Padi DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xix

20 DAFTAR TABEL 1 Dampak perubahan iklim terhadap produksi komoditas 17 strategis (%) dalam kondisi BAU (Sumber : Handoko et al. 2008). 2 Luas lahan sawah yang rentan terhadap kekeringan (Ha) Keunggulan dan Tantangan Asuransi Tradisional Keunggulan dan Tantangan Asuransi Indeks Iklim Beberapa opsi pengelolaan risiko iklim berdasarkan tingkat endemik kekeringan Hasil analisis FS untuk seluruh stasiun di Kabupaten Indramayu Daftar lokasi wawancara petani pada survey pertama Daftar lokasi wawancara petani pada survey kedua Produksi padi di 4 kecamatan pada setiap jenis lahan dan musim (Ton/Ha) Persentase tipe petani berdasarkan biaya input dan produksi Analisis kelayakan usahatani padi di lokasi penelitian Nilai threshold produksi padi pada MK dan MH (Kg/Ha) Penentuan indeks hujan di lokasi Cikedung Contoh perhitungan dalam klaim asuransi indeks iklim di Cikedung xx

21 DAFTAR GAMBAR 1 Diagram alir tahapan penelitian Diagram alir keterkaitan antara bab Jumlah bencana terkait iklim menurut jenis (kanan) dan menurut tahun (kiri). Sumber: Diolah dari basis data OFDA/CRED International Disaster Database (Boer dan Perdinan 2007) Perkiraan penurunan hasil tanaman padi dan jagung di daerah tropis akibat dari pemanasan global dan perubahan iklim (Sumber : Tschirley 2007) Distribusi wilayah rawan kekeringan menurut kabupaten (Sumber: Boer 2010) Rata-rata wilayah pertanaman padi yang terkena dampak kekeringan pada tahun El Nino di setiap Kabupaten ( ) (Sumber : Road Map BBSDLP 2009) 23 7 Luas areal pertanaman padi yang dilanda kekeringan di Indonesia dalam periode (Sumber : Boer 2008b) Sistim penggolongan air dan pola tanam di Indramayu (Sumber : Boer 2002) Tipologi sistim produksi pertanian pada lahan sawah tadah hujan (modifikasi dari Piggin et al diacu dalam Pane et al. 2008) Kombinasi curah hujan bulanan dengan pola tanam padi dan palawija pada lahan irigasi teknis, setengah teknis dan tadah hujan di Kabupaten Indramayu (Boer et al. 2011) Hubungan antara kejadian hujan bawah normal (BN) pada musim tanam gadu dengan kejadian kekeringan tahun 1997 dan 2003 di Indramayu (Boer et al. 2008) Pola tanam padi petani dan risiko terkena kekeringan (Sumber : Boer 2010) Peranan ketersediaan air pada setiap stadia tumbuh tanaman (Sumber : Vergara 1976) Hubungan anomali produksi padi Januari-April dengan awal MH (Sumber : Naylor et al. 2007) Diagram database, aplikasi, dan komponen perangkat lunak pendukung dan penggunaan model tanaman untuk aplikasi dalam DSSAT V3.5 (Sumber : Jones et al. 2003) Diagram alir konsep model WIIET (Sumber : IRI 2009) Konsep pembayaran asuransi indeks iklim Tahapan dalam aplikasi asuransi indeks iklim (Sumber : Martirez 2009) Pembagian kuadran untuk klasifikasi endemik kekeringan Persentase responden untuk jenis pekerjaan utama (a) dan komoditas (b) xxi

22 21 Persentase penyebab gagal panen (a), lamanya kekeringan (b), 67 bulan kejadian kekeringan (c) dan kejadian kekeringan (d) Luas kekeringan dan jumlah kejadian kekeringan rata-rata per kecamatan di Kabupaten Indramayu periode Agustus 2005 September Kejadian kekeringan, luas tanam dan curah hujan rata-rata kecamatan di Kabupaten Indramayu periode Oktober 2006 September Pembagian tingkat endemik kekeringan berdasarkan kuadran Peta tingkat endemik kekeringan di Kabupaten Indramayu Karakteristik luas kekeringan dan anomalinya (a) dan frekuensi kejadian kekeringan dan anomalinya (b) di Kabupaten Indramayu Peta Irigasi Kabupaten Indramayu (Sumber : Dinas Sumberdaya Air dan Pertambangan dan Energi Kabupaten Indramayu 2009) Peta endemik kekeringan dan jaringan irigasi di Kabupaten Indramayu Diagram alir analisis Fuzzy Similarity untuk wilayah cakupan indeks iklim 30 Penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan referensi stasiun Cikedung Fluktuasi curah hujan antara stasiun referensi Cikedung dengan stasiun Losarang Peta penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan referensi stasiun Cikedung Penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan referensi stasiun Lelea Fluktuasi curah hujan antara stasiun referensi Lelea dengan stasiun Bangodua Peta penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan referensi stasiun Lelea Penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan referensi stasiun Terisi Fluktuasi curah hujan antara stasiun referensi Terisi dengan stasiun Patrol Peta penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan referensi stasiun Terisi Penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan referensi stasiun Kandanghaur Fluktuasi curah hujan antara stasiun referensi Kandanghaur dengan stasiun Kertasemaya Peta penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan referensi stasiun Terisi Perbandingan pola curah hujan antara stasiun referensi dengan stasiun hujan pewakil pada setiap kelompok. 96 xxii

23 43 Lokasi penelitian di kecamatan Cikedung, Lelea, Terisi dan Kandanghaur (Sumber peta : Dinas PU Pengairan Kabupaten Indramayu 2009) Persentase usia (a), pendidikan (b) dan pekerjaan utama (c) responden Persentase pola tanam yang pada umumnya dilakukan petani Persentase jenis komoditas yang umumnya di tanam petani Persentase pilihan varietas yang ditanam petani pada MH dan MK Persentase kepemilikan lahan Produksi padi pada setiap tipe lahan Persentase penyebab gagal panen (a) dan lama kekeringan (b) Persentase akses terhadap kredit (a) dan sumber kredit (b) Persentase usia (a) dan pendidikan (b) responden Persentase luas kepemilikan lahan (a) dan luas tiap jenis lahan (b) Klasifikasi usahatani padi pada MH, MK serta MH dan MK Proporsi antara biaya input dan anomalinya (a) serta produksi dan anomalinya (b) pada MH Proporsi antara biaya input dan anomalinya (a) serta produksi dan anomalinya (b) pada MK Hubungan produksi padi dan R/C pada MH dan MK Hubungan produksi padi dan B/C pada MH dan MK Persentase kebiasaan petani menyimpan uang dalam usahataninya Persentase akses kredit petani (a) dan sumber kredit (b) dalam usahatani padi Frekuensi kesediaan membayar premi oleh petani Prospek dan kendala asuransi indeks iklim di Kabupaten Indramayu Tahapan analisis simulasi tanaman dengan model DSSAT Perbandingan produksi padi antara hasil simulasi dan observasi di lahan tadah hujan Perbandingan antara data produksi hasil simulasi dan observasi Hubungan pola curah hujan dan produksi padi di lahan tadah hujan Produksi padi dan kejadian El-Nino Perbandingan produksi padi antara hasil simulasi dan observasi di lahan irigasi Pola curah hujan, hari hujan (a) dan curah hujan maksimum (b) di Stasiun Cikedung Hubungan curah hujan dan produksi padi di Cikedung Peluang (a) dan periode ulang (b) produksi < threshold 2711 kg/ha di Kecamatan Cikedung Penentuan trigger hujan di Cikedung xxiii

24 73 Periode ulang produksi < threshold 2711 kg/ha Diagram alir model asuransi indeks iklim Contoh konsep pembayaran premi dengan bantuan Pemerintah xxiv

25 DAFTAR LAMPIRAN 1 Deskripisi varietas Padi Ciherang Deskripisi varietas Padi IR Peta Administrasi dan Plot Stasiun Hujan Kabupaten Indramayu Hasil Regresi Terboboti Lembar Kuesioner xxv

26 DAFTAR SINGKATAN AP3I AWS B/C BAPEPAM-LK BPS BRI CLIMGEN ENSO FS GDP GP3K HBA HKTI IBSNAT IDR IFC IPCC IRI KUR MH MIS MK MPCI MUSRENBANG OPT P3A P4S PDB PEDUM PNPM POKJA PPOPT R/C SLI SOP WII WIIET WMO WRSI WSI Asosiasi Petani Padi dan Palawija Indonesia Automatic Weather Station Benefit Cost Ratio Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Badan Pusat Statistik Bank Rakyat Indonesia Climate Data Generator El Nino Southern Oscillation Fuzzy Similarity Gross Domestic Product Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi Historical Burn Analysis Himpunan Kerukunan Tani Indonesia International Benchmark Site Network for Agrotechnology Transfer Indonesian Rupiah International Finance Corporation International Panel on Climate Change International Research Institute for Climate and Society Kredit Usaha Rakyat Musim Hujan Managemen Information System Musim Kemarau Multi-Peril Crop Insurance Musyawarah Rencana Pembangunan Organisme Pengganggu Tanaman Perhimpunan Petani Pengguna Air Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya Produk Domestik Bruto Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Kelompok Kerja Petugas Pengamat Organisme Pengganggu Tanaman Revenue Cost Ratio Sekolah Lapang Iklim Standar Operasional Weather Index Insurance Weather Index Insurance Education Tool World Meteorological Organization Water Requirement Satisfaction Index Water Satisfaction Index xxvi

27 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim membawa dampak pada hampir semua aspek kehidupan dan aktivitas ekonomi. Dampak yang dirasakan ada yang bersifat langsung seperti pada sektor pertanian maupun tidak langsung. Dampak negatif perubahan iklim yang dialami negara berkembang diperkirakan lebih besar dibandingkan negara maju (IPCC 2001). Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang rawan terhadap dampak negatif dari perubahan perilaku iklim (Yohe and Tol 2002, Stern et al. 2006). Di Indonesia, salah satu sektor yang cukup rentan terhadap perubahan iklim adalah sektor pertanian. Usaha pertanian memiliki karakteristik usaha berisiko tinggi terhadap perubahan iklim. Di sisi lain, sektor pertanian merupakan sektor andalan bagi perekonomian Indonesia yang memiliki peran penting dan startegis. Menurut Sanim (2009) sektor pertanian menyumbang 14.02% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) (posisi semester II 2009) dan merupakan sumber PDB terbesar ketiga setelah sektor industri pengolahan dan konstruksi. Selain itu berdasarkan data BPS tingkat penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian cukup tinggi, rata-rata melebihi 40% terhadap total tenaga kerja. Risiko iklim yang cukup dominan terkait dengan sistim usaha tani berbasis padi adalah akibat kekeringan. Sistim usahatani padi yang sangat mengandalkan air akan terkena dampaknya ketika pasokan air baik melalui hujan maupun irigasi mengalami defisit dari kebutuhan yang seharusnya. Selain itu usahatani padi ini masih dominan dalam memasok kebutuhan pangan di Indonesia, sehingga goncangan terhadap usahatani akibat kejadian iklim ekstrim yang pada umumnya berupa banjir dan kekeringan tentu berdampak besar terhadap ketahanan pangan. Kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan menempati urutan pertama sebagai penyebab gagal panen yang menyebabkan akumulasi defisit/hutang dalam jumlah besar sehingga kebutuhan konsumsi keluarga petani dan kebutuhan investasi selanjutnya (usahatani, dan lain-lain) terancam tidak terpenuhi secara normal (Hadi 2000). Pasaribu (2010) juga menyatakan bahwa meningkatnya frekuensi banjir dan kekeringan karena kerusakan alam dan perubahan iklim di

28 2 berbagai sentra produksi padi hendaknya merupakan peringatan bagi para pengambil keputusan untuk melindungi kepentingan petani. Berdasarkan pengamatan terhadap data hujan musim kemarau selama 100 tahun, secara rata-rata penurunan hujan dari normal akibat terjadinya El-Nino dapat mencapai 80 mm per bulan, sedangkan peningkatan hujan dari normal akibat terjadinya La-Nina tidak lebih dari 40 mm. Hal ini menunjukkan bahwa bencana yang ditimbulkan kejadian El-Nino lebih serius dibanding La-Nina (Boer 2002). Artinya kekeringan yang seringkali merupakan akibat dari kejadian El- Nino membawa dampak yang relatif lebih besar dibandingkan dengan banjir sebagai salah satu wujud fenomena La-Nina. Fakta lain juga dikemukakan oleh Ditlin (2009) yang menyatakan bahwa kerusakan tanaman padi akibat kekeringan lebih parah dibandingkan banjir karena berlangsung pada daerah yang lebih luas dan waktu yang lebih lama, sementara banjir mempunyai karakterisik kejadian yang lebih lokal dengan waktu kejadian yang lebih pendek. Kekeringan merupakan proses yang berlangsung secara perlahan sehingga seringkali tidak disadari kejadiannya, dan begitu diketahui atau dirasakan maka kejadiannya sudah cukup parah sehingga sulit ditangani. Oleh karena itu, kekeringan perlu mendapat porsi perhatian yang lebih untuk dikaji dan diteliti, tanpa mengabaikan kejadian banjir maupun bencana lainnya. Menurut Irianto (2005) kekeringan merupakan salah satu dampak negatif langsung dari model pendayagunaan sumberdaya iklim dan air yang tidak berkelanjutan, serta merupakan masalah sistemik, menahun dan selalu berulang. Meningkatnya kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan secara langsung menyebabkan kerusakan tanaman, penciutan luas area tanam/panen yang pada akhirnya akan menurunkan produksi. Secara tidak langsung, kondisi ini menyebabkan kurang optimalnya atau rusaknya jaringan irigasi, jalan, dan prasarana pertanian lainnya. Jadi secara langsung maupun tidak langsung, hal ini telah menyebabkan areal yang terancam puso meningkat. Dampaknya adalah terancamnya masa depan ketahanan pangan serta kesejahteraan petani. Semakin besar bencana yang ditimbulkan akibat perubahan iklim berupa meningkatnya kejadian iklim ekstrim, maka risiko dan ketidakpastian yang harus dihadapi dalam usahatani juga semakin besar. Dalam hal ini risiko yang terkait dengan kejadian

29 3 iklim ekstrim adalah risiko yang bersifat katastropik atau bencana yang menyebabkan kerusakan hebat sehingga terjadi kegagalan panen seperti kekeringan. Petani sebagai pelaku budidaya pertanian menerima dampak yang paling besar akibat perubahan iklim. Kondisi ini diperparah dengan kenyataan bahwa sebagian besar petani di Indonesia kepemilikan lahannya kurang dari 0.5 Ha (Ilham et al. 2007). Beberapa strategi yang diterapkan petani dalam mengatasi risiko iklim dirasakan belum cukup. Meskipun keragaman iklim saat ini bisa diperkirakan atau diprediksi namun pengelolaan tanaman masih belum memanfaatkan informasi iklim ini (Hidayati et al. 2011). Terkait dengan masalah tersebut, maka diperlukan upaya untuk membantu petani mengatasi kesulitan karena risiko yang harus ditanggung akibat kekeringan. Salah satu bentuk adaptasi yang bisa dilakukan petani adalah melalui asuransi indeks iklim. Asuransi indeks iklim untuk usahatani padi merupakan alat manajemen risiko iklim yang relatif baru. Asuransi indeks iklim adalah asuransi yang dihubungkan dengan indeks ilmiah (scientific index) seperti curah hujan, suhu, kelembaban atau hasil panen, bukan kerugian aktual. Indeks iklim sering digunakan untuk pertanian karena adanya korelasi yang tinggi antara kejadian iklim dengan kehilangan hasil tanaman. Korelasi yang tinggi dapat diketahui dengan melakukan analisis dan evaluasi terhadap beberapa model yang menghubungkan kejadian iklim yang direpresentasikan melalui curah hujan dengan hasil tanaman. Indeks iklim yang dihasilkan merupakan masukan penting dalam pengembangan model asuransi indeks iklim. Dipilihnya padi karena sistim agribisnis padi masih memegang peran penting dalam perekonomian nasional (Simatupang dan Rusastra 2004). Terkait dengan asuransi pertanian, pemerintah (dalam hal ini Kementerian Pertanian) telah membentuk Kelompok Kerja (POKJA) Persiapan dan Pengembangan Asuransi Panen dengan SK Menteri Pertanian tahun 1982, 1984 dan Kemudian pada tahun 1999 dibentuk Tim Pengembangan Asuransi Pertanian berdasarkan Surat Penunjukan Menteri Pertanian nomor KP.440/178/Mentan/VI/99 tanggal 10 Juni 1999, namun belum berjalan efektif (Hadi 2000). Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa Kementerian Pertanian

30 4 telah membentuk Pokja Asuransi Komoditas Pertanian melalui surat keputusan nomor 1136/Kpts/OT.160/4/2012. Pokja ini mempunyai tugas melakukan: 1) identifikasi permasalahan dan upaya pemecahannya dalam asuransi komoditas pertanian, 2) perumusan model asuransi komoditas pertanian, serta 3) pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan perlindungan usaha komoditas pertanian. Pokja yang sudah terbentuk ini perlu diperkuat dengan hasil-hasil penelitian terkait seperti asuransi indeks iklim ini. Penelitian ini dirancang dengan beberapa tujuan yang dicapai secara bertahap. Penelitian di lakukan di Kabupaten Indramayu yang merupakan salah satu sentra padi di Propinsi Jawa Barat dan sangat rentan terhadap perubahan iklim. Kabupaten Indramayu juga termasuk kriteria salah satu kabupaten yang sangat rawan terhadap kekeringan (Diperta Jawa Barat 2006). Tujuan utama penelitian ini adalah menyusun model asuransi indeks iklim pada sisitim usahatani berbasis padi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dikembangkan dan diaplikasikan di lapang dalam rangka meningkatkan ketahanan petani padi terhadap perubahan iklim Perumusan Masalah Salah satu bukti adanya perubahan iklim ditunjukkan oleh meningkatnya kejadian iklim ekstrim. Kejadian iklim ekstrim terutama kekeringan merupakan bencana yang paling sering terjadi di Indonesia. Frekuensi kejadian kemarau panjang atau kekeringan semakin meningkat. Selain itu wilayah yang terkena bencana iklim juga semakin luas dengan tingkat kehilangan produksi yang semakin tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa bencana kekeringan ini akan terus berulang terjadi dan tentu akan membawa dampak yang merugikan pada usahatani padi. Dampak kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan sangat dirasakan oleh sektor pertanian tanaman pangan khususnya padi. Kekeringan seringkali menjadi penyebab utama turunnya produksi pangan di Indonesia. Pada musim kemarau 1994, luas wilayah di pulau Jawa yang terkena kekeringan mencapai 290,457 ha dan propinsi Jawa Barat berada pada urutan yang pertama kemudian diikuti oleh propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur (Kahar 1995). Hal ini diduga karena

31 5 tingkat kewaspadaan petani terhadap bahaya kekeringan terutama terhadap risiko menanam padi pada musim gadu masih kurang, terutama pada sawah yang sebagian besar diairi oleh irigasi teknis, sehingga kurang memperhatikan pola dan perilaku curah hujan serta informasi iklim lainnya. Petani sebagai pelaku budidaya tanam di lapangan merasakan dampak yang paling besar akibat kekeringan. Hal ini sangat terkait dengan ketidakpastian hasil yang diperoleh akibat kejadian kekeringan baik dari aspek luas lahan yang terkena kekeringan maupun intensitas kejadian. Untuk mengatasi masalah ini petani telah menerapkan berbagai cara atau strategi walaupun dalam kenyataannya risiko dan ketidakpastian itu tidak dapat dihilangkan sepenuhnya. Secara teoritis sikap petani adalah ingin menghindari risiko (risk-averse behavior). Namun cara yang diterapkan petani untuk menghindari risiko belum cukup dan perlu sistem proteksi formal dan sistimatis dalam bentuk asuransi. Di Indonesia, asuransi pertanian untuk usaha pertanian rakyat belum berjalan lancar. Sejak tahun telah tiga kali (1982, 1984, dan 1985) dibentuk Kelompok Kerja (POKJA) Persiapan Pengembangan Asuransi Panen, tetapi tidak berlanjut. Tahun 1999 upaya untuk mengembangkan asuransi pertanian dicanangkan kembali. Berbagai pembahasan yang lebih serius telah dilakukan, akan tetapi untuk melangkah ke tahap implementasi masih memerlukan sejumlah pertimbangan yang sangat matang. Perlu masukan informasi lain untuk merumuskan kebijakan, program, perintisan, dan berbagai instrumen kelembagaan yang sesuai dengan strategi pengembangan. Belum lancarnya program asuransi pertanian ini disebabkan oleh : 1) program asuransi masih bersifat baru bagi petani, 2) model asuransi masih konvensional sehingga sulit untuk merumuskan pembayaran premi, serta 3) masih kurangnya dukungan regulasi. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian yang mendalam tentang model asuransi iklim yang merupakan produk asuransi pertanian berbasis indeks iklim sebagai salah satu opsi adaptasi terhadap perubahan iklim.

32 Kerangka Pemikiran Bencana kekeringan yang melanda kawasan pertanian semakin sering terjadi dan cakupan wilayah yang terkena cenderung semakin luas. Bencana ini sering mengakibatkan kerugian bagi petani. Berkurangnya luas tanam dan panen akibat puso dan terkena kekeringan menyebabkan hasil yang dipanenpun berkurang dan bahkan tidak ada sama sekali. Berdasarkan data runut waktu yang cukup panjang, kejadian bencana terkait iklim seperti kekeringan dapat diidentifikasi serta didelineasi tingkat risikonya untuk mengetahui wilayah mana yang memiliki risiko iklim tinggi dan wilayah mana yang relatif aman. Informasi ini penting untuk menentukan wilayah prioritas penanganan bencana akibat kejadian iklim ekstrim seperti kekeringan. Petani sebagai pelaku kegiatan usahatani menerima dampak yang cukup besar akibat kekeringan. Pada kenyataannya petani telah menerapkan berbagai strategi walaupun dalam kenyataannya risiko dan ketidakpastian itu tidak dapat dihilangkan sepenuhnya. Sehubungan dengan itu untuk menghindari risiko, petani menerapkan beberapa cara, salah satunya adalah dengan kredit informal. Namun cara ini belum cukup. Kenyataannya, petani tetap mengalami kesulitan ketika bencana yang terkait iklim tersebut datang. Petani masih terus dihadapkan pada risiko yang harus ditanggung akibat bencana yang terjadi. Oleh karena itu perlu adanya suatu opsi untuk membantu petani meminimalkan dampak perubahan iklim. Salah satu bentuk adaptasi yang berpeluang untuk diterapkan adalah dengan asuransi pertanian. Di Indonesia, asuransi pertanian telah beberapa kali di coba untuk diterapkan, namun belum berhasil (Hadi 2000). Asuransi iklim yang merupakan salah satu produk asuransi pertanian yang berbasis indeks iklim menawarkan suatu bentuk baru yang diharapkan dapat membantu petani dalam mempercepat penerimaan terhadap teknologi adaptasi atau integrasi informasi prakiraan musim/iklim untuk membuat keputusan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian aplikasi yang menghubungkan antara aspek iklim/cuaca dengan asuransi pertanian yang berbasis usaha tani padi melalui pengembangan model Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance).

33 7 Asuransi indeks iklim ini merupakan penelitian yang baru dan berpeluang untuk dikembangkan di Indonesia (Hadi 2000, Nurmanaf 2007 dan Pasaribu 2009). Hasil penelitian Hadi et al. (2000) tentang identifikasi faktor-faktor mengindikasikan bahwa asuransi pertanian untuk usahatani padi sangat dibutuhkan. Pertanian (padi) layak untuk didukung dengan asuransi pertanian (Nurmanaf 2007). Hasil penelitian Pasaribu (2009) dengan studi kasus di Sumatera Utara dan Bali menunjukkan bahwa prospek pengembangan asuransi di Indonesia cukup besar, hal ini ditunjukkan oleh respon petani yang menyambut baik rencana tersebut. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka asuransi iklim berpeluang untuk dikembangkan di Indonesia. Penggunaan indeks iklim ini sering digunakan untuk pertanian karena adanya korelasi yang tinggi antara peristiwa iklim dan kerugian tanaman. Oleh karena itu, hasil penelitian tentang indeks iklim yang ditetapkan berdasarkan korelasi yang kuat antara parameter iklim (dalam hal ini curah hujan) dan hasil padi menjadi salah satu dasar penetapan indeks iklim yang merupakan parameter utama dalam asuransi indeks iklim. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu baik dari sisi petani, pemerintah maupun pihak swasta dalam mengaplikasikan asuransi iklim di Indonesia. Dari sisi petani, tujuan utama asuransi pertanian adalah memberikan proteksi terhadap kerugian ekonomi yang dialami petani sebagai pemegang polis asuransi pertanian karena suatu kejadian berisiko, sedangkan di sisi lain pihak asuransi juga perlu diyakinkan berdasarkan hasil identifikasi dan evaluasi tentang dampak dari risiko iklim serta hasil analisis sehingga secara ekonomi fisibel bagi perusahaan asuransi itu sendiri.

34 Tujuan Penelitian Tujuan akhir dari penelitian ini adalah dihasilkannya suatu model asuransi indeks iklim pada sistim usahatani berbasis padi. Secara spesifik ada 5 tujuan yang akan dicapai, yaitu : (1) Menyusun peta endemik kekeringan untuk pengelolaan risiko iklim. (2) Menyusun peta cakupan wilayah untuk penerapan indeks asuransi iklim. (3) Mengkaji usahatani berbasis padi untuk pengembangan asuransi indeks iklim. (4) Mengkaji hubungan antara curah hujan dan produksi padi untuk penyusunan indeks iklim. (5) Menyusun rekomendasi model pengembangan asuransi indeks iklim pada sistim usaha tani berbasis padi Manfaat Penelitian Peta endemik kekeringan dapat dimanfaatkan untuk mengetahui penyebaran wilayah endemik kekeringan berdasarkan luas dan frekuensi kejadian kekeringan. Data dan informasi ini penting untuk membantu dalam penentuan wilayah prioritas penanganan bencana kekeringan Peta cakupan wilayah indeks dapat digunakan untuk menentukan stasiun pewakil terutama di wilayah-wilayah yang tidak ada stasiun hujannya. Manfaat lain dari penelitian ini adalah dihasilkannya indeks iklim. Indeks iklim merupakan kunci penting untuk aplikasi Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance). Asuransi indeks iklim ini merupakan salah satu bentuk adaptasi terhadap perubahan iklim yang berpotensi dikembangkan di Indonesia. Keberhasilan penerapan asuransi berdasarkan indeks iklim akan sangat membantu petani dalam mengurangi risiko akibat kejadian iklim ekstrim serta mempercepat adopsi teknologi terkait iklim bagi usaha tani padi yang dikelolanya khususnya terhadap bencana kekeringan.

35 Kebaruan (Novelty) Penelitian asuransi indeks iklim untuk usahatani padi merupakan penelitian baru di bidang aplikasi klimatologi dan belum pernah dilakukan di Indonesia. Pengembangan asuransi indeks iklim yang telah dilakukan di Indonesia masih terbatas pada komoditas jagung di beberapa lokasi saja. Oleh karena itu penelitian ini merupakan penelitian pertama dalam bidang klimatologi terkait dengan aspek asuransi. Metode analisis dan delineasi wilayah endemik kekerirngan dengan klasifikasi berdasarkan luas dan frekuensi kejadian kekeringan merupakan keluaran baru dan bersifat sederhana sehingga mudah dipahami oleh para pengguna khususnya pemerintah daerah untuk membantu pengelolaan risiko iklim. Metode Fuzzy Similarity yang digunakan untuk menentukan wilayah cakupan indeks iklim ini merupakan keluaran baru untuk aplikasi di bidang klimatologi Ruang Lingkup dan Kerangka Kerja Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Indramayu sebagai salah satu pusat produksi padi di Jawa Barat dan sangat rentan terhadap variabilitas iklim. Untuk mencapai tujuan penelitian, maka akan dilakukan berbagai kegiatan seperti pengumpulan data lapang untuk melengkapi dan memperbarui data sebelumnya serta konsultasi dan diskusi dengan instansi terkait baik di tingkat pusat maupun daerah. Data yang dikumpulkan antara lain : data iklim harian (curah hujan harian, suhu udara, radiasi matahari, kecepatan angin, dll), data kekeringan (terkena dan puso), data sifat fisik dan kimia tanah, data tanaman, data sosial ekonomi yang terkait dengan sistim usaha tani padi, serta peta-peta dan data pendukung lainnya. Selain itu dilakukan juga pengumpulan data melalui questioner yang dilakukan dengan wawancara ke beberapa pihak, yaitu petani, pemerintah daerah dan Bank lokal di daerah. Konsultasi dan diskusi dengan pemerintah daerah (PEMDA) serta instansi terkait lainnya akan dilakukan untuk menghimpun data dan informasi lapang,

36 10 seperti dengan Dinas Pertanian, Dinas Sumberdaya Air, Pertambangan dan Energi dan Badan Ketahanan Pangan. Pengambilan contoh tanah dilakukan pada 8 titik pewakil berdasarkan sebaran jenis tanahnya. Data tanah ini digunakan untuk simulasi tanaman dengan model Decision Support System for Agrotechnology Transfer (DSSAT). Survey lapang dan wawancara petani dilakukan untuk menghimpun data tentang karakteristik petani, kelayakan usahatani padi dan kesediaan membayar (Willingness to Pay, WTP). Data dan informasi usahatani padi ini digunakan untuk penghitungan indeks iklim. Keterkaitan antar bab secara keseluruhan disajikan dalam pembahasan umum, potensi dan tantangan serta diakhiri dengan simpulan, saran dan rekomendasi pengembangan asuransi indeks iklim pada sistim usahatani berbasis padi. Analisis dibagi dalam beberapa tahap untuk mencapai setiap tujuan. Analisis yang akan dilakukan antara lain : 1) identifikasi dan pemetaan wilayah endemik kekeringan untuk pengelolaan risiko iklim, 2) penetapkan cakupan wilayah untuk penerapan indeks asuransi iklim, 3) analisis usahatani berbasis padi untuk pengembangan asuransi indeks iklim, 4) analisis hubungan antara iklim dan produksi padi untuk penyusunan indeks iklim, dan 5) identifikasi potensi dan tantangan serta penyusunan rekomendasi pengembangan asuransi indeks iklim pada sistim usaha tani berbasis padi (Gambar 1).

37 11 Data kekeringan Data iklim/ curah hujan Data tanah Data tanaman Data hasil survey dan wawancara petani Klasifikasi tingkat endemik kekeringan Peta administrasi kecamatan Pembangkitan data dgn CLIMGEN Simulasi tanaman DSSAT Identifikasi dan karakteristik petani dan usahatani padi Peta sebaran wilayah endemik kekeringan Estimasi produksi padi pada beberapa skenario tanggal tanam Analisis usahatani padi (R/C) dan WTP Analisis cakupan wilayah indeks dgn metode Fuzzy Similarity Pola hubungan curah hujan dan produksi padi Penentuan trigger curah hujan Penentuan threshold produksi padi Peta cakupan wilayah indeks iklim Penyusunan indeks iklim untuk pengembangan asuransi iklim Desain premi dan klaim asuransi indeks iklim Potensi dan tantangan pengembangan asuransi indeks iklim Rekomendasi pengembangan asuransi indeks iklim pada sistim usahatani berbasis padi Gambar 1. Diagram alir tahapan penelitian

38 Sistimatika Penulisan Disertasi ini disusun dalam beberapa bab. Bab 1 merupakan pendahuluan yang berisi antara lain : latar belakang, kerangka pemikiran, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kebaruan (novelty), ruang lingkup dan sistimatika penulisan. Bab 2 berisi tinjauan pustaka. Untuk Bab 3 sampai dengan Bab 7 merupakan rangkaian bab yang saling terkait dimana didalamnya masing-masing memuat pendahuluan, tujuan, metodologi dan simpulan. Bab 3 tentang analisis dan delineasi wilayah endemik kekeringan untuk pengelolaan risiko iklim. Bab 4 tentang penetapan cakupan wilayah untuk penerapan indeks asuransi iklim. Bab 5 tentang analisis usahatani berbasis padi untuk pengembangan asuransi indeks iklim. Bab 6 membahas tentang hubungan antara curah hujan dan produksi padi untuk menyusun indeks iklim. Bab 7 berisi pembahasan umum yang difokuskan tentang potensi dan tantangan pengembangan asuransi indeks iklim pada sistim usahatani berbasis padi. Simpulan, saran dan rekomendasi disajikan dalam Bab 8. Setiap bab yang disusun memiliki keterkaitan satu dengan yang lain. Bab 1 menyajikan secara umum latar belakang penelitian, perumusan masalah, kerangka pemikiran, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kebaruan (novelty), ruang lingkup dan kerangkan kerja penelitian serta sistimatika penulisan. Didukung dengan tinjauan pustaka pada bab 2 yang merupakan sintesa dari hasil-hasil penelitian yang terkait dengan topik disertasi. Selain itu juga menyajikan perkembangan terkini tentang penelitian-penelitian yang dapat dijadikan masukan dalam penulisan disertasi. Bab 3 menyajikan tentang analisis dan delineasi wilayah endemik kekeringan untuk pengelolaan risiko iklim. Hasil analisis yang tertuang dalam Bab 3 ini digunakan sebagai dasar dalam penentuan wilayah prioritas pengelolaan risiko iklim terkait dengan pengembangan asuransi indeks iklim. Selain itu, dalam aplikasi asuransi indeks iklim, diperlukan hasil penelitian tentang penetapan cakupan wilayah untuk penerapan indeks asuransi iklim. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui pada luasan sejauh mana suatu indeks iklim bisa digunakan. Topik ini akan disajikan dalam Bab 4. Hasil penelitian yang disajikan dalam Bab 4 ini menjadi masukan yang penting dalam pembahasan umum pada Bab 7. Analisis usahatani berbasis padi untuk pengembangan asuransi indeks iklim disajikan dalam Bab 5. Hasil dari Bab 5 merupakan masukan penting

39 13 untuk melakukan analisis hubungan antara parameter iklim khususnya curah hujan dan produksi padi untuk penyusunan indeks iklim yang disajikan pada Bab 6. Selanjutnya keseluruhan hasil analisis tersebut di atas dikemas dalam Bab 7 yang berisi tentang pembahasan umum pengembangan asuransi indeks iklim pada sistim usaha tani berbasis padi : potensi dan tantangan. Bab 8 merupakan simpulan keseluruhan hasil, saran dan rekomendasi. Keterkaitan antar bab tersebut secara sederhana disajikan dalam diagram alir Gambar 2. Bab. 1 Bab. 2 Bab. 3 Bab. 5 Bab. 6 Bab. 4 Bab. 7 Keterangan : Bab 1 : Bab 2 : Bab 3 : Bab 4 : Bab 5 : Bab 6 : Bab 7 : Bab 8 : Bab. 8 Gambar 2. Diagram alir keterkaitan antar bab. Pendahuluan Tinjauan pustaka Analisis dan delineasi wilayah endemik kekeringan untuk pengelolaan risiko iklim Penetapan cakupan wilayah untuk penerapan indeks asuransi iklim Analisis usahatani berbasis padi untuk pengembangan asuransi indeks iklim Analisis hubungan antara curah hujan dan produksi padi untuk penyusunan indeks iklim Pembahasan umum pengembangan asuransi indeks iklim pada sistim usaha tani berbasis padi : potensi dan tantangan Simpulan, saran dan rekomendasi

40 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perubahan Iklim dan Dampaknya Pada Sektor Pertanian Perubahan iklim didefinisikan sebagai perubahan pada iklim yang dipengaruhi aktivitas manusia baik secara langsung maupun tidak langsung yang mengubah komposisi atmosfer dan yang akan memperbesar keragaman iklim teramati pada periode yang cukup panjang (Trenberth, Hougton dan Meira Filho, 1995 diacu dalam Handoko et al. 2008). Perubahan iklim alamiah terjadi secara gradual dalam rentang waktu yang cukup panjang, namun sejak revolusi industri, telah terjadi peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang cukup signifikan yang pada akhirnya menyebabkan pemanasan global. Selain meningkatkan suhu udara, pemanasan global juga menyebabkan : (a) peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrim atau anomali iklim seperti El-Nino dan La-Nina, serta penurunan atau peningkatan suhu secara ekstrim; (b) perubahan dan ketidakmenentuan (uncertainty) curah hujan dan musim; (c) peningkatan permukaan air laut dan robb (gelombang pasang laut). Banyak bukti menunjukkan bahwa secara global kejadian iklim esktrim semakin sering terjadi. Meningkatnya kejadian iklim ekstrim salah satunya ditandai oleh makin seringnya muncul berbagai bencana. Bencana (hazard) merupakan kejadian yang berpotensi menimbulkan kerusakan yang serius, misalnya badai tropis, kemarau panjang, banjir, atau kondisi yang dapat menimbulkan peledakan penyakit tertentu (Boer 2008a). Bencana angin kencang yang selama ini jarang melanda wilayah pertanian di Jawa, sekarang jenis bencana ini sudah mulai sering terjadi. Berdasarkan data OFDA/CRED International Disaster Database, selama periode bencana alam yang masuk ke dalam kategori bencana global mencapai 345 kejadian. Sekitar 60% dari bencana ini merupakan bencana terkait iklim. Dalam periode ini, bentuk becana alam terkait iklim yang pertama kali terjadi baru pada awal tahun 1950an. Kemudian setelah tahun 1980an, jumlah bencana alam terkait iklim yang masuk ke dalam kategori bencana global meningkat tajam (Gambar 3). Bentuk bencana iklim yang paling sering terjadi ialah bencana banjir kemudian diikuti oleh tanah longsor, penyakit yang dibawa oleh air dan vektor, angin

41 Number of Climate-Related. Hazards Frequency 15 kencang, kebakaran dan kekeringan. Pada tingkat global frekuensi dan intensitas kejadian bencana iklim juga meningkat secara konsisten dari waktu ke waktu (Sivakumar 2005) Gambar 3. Jumlah bencana terkait iklim menurut jenis (kanan) dan menurut tahun (kiri). Sumber: Diolah dari basis data OFDA/CRED International Disaster Database (Sumber : Boer dan Perdinan 2008c) Floods Land slides Water or Vector Borned Diseases Wind storm/cyclone Forest Fire Drought High Tide/Surge Indikator perubahan iklim berupa kenaikan suhu udara akan berdampak terhadap peningkatan transpirasi, peningkatan konsumsi air, percepatan pematangan buah/biji sehingga mempengaruhi mutu hasil, perkembangan organisme pengganggu tanaman (OPT), serta pergeseran pola dan jenis tanaman. Kenaikan muka air laut akan berdampak pada penciutan lahan pertanian di sepanjang pantai akibat genangan air laut dan peningkatan salinitas tanah disekitar pantai. Perubahan pola hujan berdampak terhadap pergeseran masa tanam atau awal musim. Kejadian iklim ekstrim berupa peningkatan curah hujan pada musim hujan (MH) (banjir) dan penurunan curah hujan pada musim kering (MK) (kekeringan) berdampak pada penciutan luas area tanam/panen akibat banjir dan kekeringan. Kejadian iklim esktrim di Indonesia seringkali berasosiasi dengan fenomena ENSO (El-Nino and Southern Oscillation) yang pada umumnya membawa dampak yang merugikan. Dampak kejadian El-Nino terhadap keragaman hujan di Indonesia beragam menurut lokasi. Pengaruh El-Nino kuat pada wilayah yang pengaruh sistem monsoon kuat, lemah pada wilayah yang pengaruh sistem equatorial kuat, dan tidak jelas pada wilayah yang pengaruh lokal

42 16 kuat. Pengaruh El-Nino lebih kuat pada musim kemarau dari pada musim hujan. Pengaruh El-Nino pada keragaman hujan memiliki beberapa pola: (1) akhir musim kemarau mundur dari normal, (2) awal masuk musim hujan mundur dari normal, (3) curah hujan musim kemarau turun tajam dibanding normal, dan (4) deret hari kering semakin panjang, khususnya di daerah Indonesia bagian timur. Hasil penelitian Boer dan Las (2003) menunjukkan bahwa wilayah yang terkena bencana iklim (banjir, kemarau panjang, angin besar) sudah semakin luas dengan tingkat kehilangan produksi yang semakin tinggi. Meningkatnya suhu juga diperkirakan akan menurunkan tingkat produktivitas komoditas pangan seperti padi. Penelitian KP3I (Boer 2008b) menggambarkan bahwa peningkatan suhu akibat naiknya konsentrasi CO 2 akan menurunkan hasil tanaman. Jika diasumsikan tidak ada konversi sawah dan indeks penanaman tidak mengalami peningkatan, maka pada tahun 2025 produksi padi di tingkat kabupaten diperkirakan akan mengalami penurunan antara 12,500 hingga 72,500 ton. Menurut Cline (2007) diacu dalam Boer (2010b), penurunan produktivitas komoditas pertanian di Indonesia pada tahun 2080 akibat pemanasan global berkisar antara 15-25%. Tschirley (2007) menunjukkan bahwa pemanasan global akan menurunkan produktivitas tanaman pangan secara signifikan khususnya di daerah tropis. Penurunan dapat mencapai lebih dari 20% apabila suhu naik melebihi 4 o C. Namun demikian peningkatan suhu sebesar 2 o C tetap akan berdampak negatif berupa penurunan hasil tanaman pangan, yaitu sekitar 10% untuk jagung dan 5% untuk padi (Gambar 4). Hasil penelitian Handoko et al. (2008) memperlihatkan bahwa kenaikan suhu 2 o C akan menyebabkan penurunan produksi gabah hingga 36.9%. Apabila curah hujan turun sebesar 246 mm/tahun maka diperkirakan produksi gabah turun 4.6%. Jika kedua faktor tersebut digabungkan, maka diperkirakan akan terjadi penurunan produksi padi sekitar 38% (Tabel 1).

43 17 Jagung Padi Perubhan Hasil (%) Perubahan Suhu ( o C) Perubahan Suhu ( o C) Gambar 4. Perkiraan penurunan hasil tanaman padi dan jagung di daerah tropis akibat pemanasan global dan perubahan iklim (Sumber : Tschirley 2007). Tabel 1. Dampak perubahan iklim terhadap produksi komoditas strategis (%) dalam kondisi BAU (Sumber : Handoko et al. 2008). Komoditas Suhu naik 2 o C CH turun 246 mm/th Kombinasi keduanya Padi -36,9-4,6-38,0 Jagung -440,0-20,0-450,0 Kedelai -285,7-65,2-952,0 Tebu/gula -300,0-17,1-328,0 Kelapa sawit -314,2-21,4-343,0 Menurut Handoko et al. (2008) dampak kenaikan suhu udara terhadap tanaman padi sawah melalui tiga faktor, yaitu : 1) penurunan luas areal panen akibat kekurangan air irigasi karena meningkatnya evapotranspirasi, 2) penurunan produktivitas karena umur tanaman menjadi lebih pendek (cepat matang) dan 3) meningkatnya laju respirasi tanaman. Penurunan luas areal panen padi sawah akibat peningkatan suhu udara pada tahun 2050 diperkirakan mencapai 3.3% di Jawa dan 4.1% di luar Jawa dari luas panen padi saat ini. Dampak yang paling besar dirasakan oleh sektor pertanian khususnya tanaman pangan akibat variabilitas dan perubahan iklim adalah perubahan curah hujan dan pergeseran musim. Hasil analisis iklim 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa awal musim kemarau lebih cepat 1-6 dasarian, awal musim hujan mundur

44 dasarian, penurunan curah hujan pada musim kemarau dan peningkatan variabilitas curah hujan pada musim hujan (Las 2007). Sementara luas areal tanaman padi yang mengalami gagal penen akibat kekeringan tahun 2000, 2004 dan 2008, berturut-turut: ha, ha dan ha. Jumlah kehilangan hasil akibat kekeringan pada tiga tahun yang sama tercatat ton, ton dan ton (GKG) (Pasaribu 2009b). Besarnya dampak yang ditimbulkan oleh fenomena El-Nino pada wilayah pertanaman padi sangat erat kaitannya dengan pola tanam dan perilaku petani (Boer 2002c). Berdasarkan berbagai dampak tersebut, Boer et al. (2011a) secara garis besar mensarikan bahwa berdasarkan prosesnya, dampak perubahan iklim dapat dibedakan menjadi langsung, tidak langsung dan konteks yang lebih luas (broader context). Dampak perubahan iklim secara langsung terjadi pada sumberdaya pertanian, yaitu terjadinya degradasi dan penciutan sumberdaya lahan, dinamika dan anomali ketersediaan air dan kerusakan sumberdaya genetik/biodiversity. Sistem produksi pangan juga terkena dampak langsung perubahan iklim. Penurunan produktivitas akan berpengaruh terhadap produksi yang pada akhirnya akan menyebabkan terganggunya sistim ketahanan pangan dan menyebabkan kemiskinan. Dampak tidak langsung sebagian besar disebabkan adanya dampak komitmen atau kewajiban melaksanakan mitigasi, seperti yang tertuang dalam RAN-GRK, perpres 61 tahun 2011 yang berpengaruh terhadap produktivitas/produksi, ketahanan pangan, pengembangan bioenergi dan sosial ekonomi. Dampak INPRES NO. 10 tahun 2011 berupa penundaan ijin pembukaan hutan produksi dan lahan gambut akan berdampak terhadap program perluasan areal baru serta dampak lainnya. Dalam konteks yang lebih luas, perubahan iklim terkait dengan kebijakan baik nasional maupun internasional, harga pangan dan sebagainya (Tim Road Map 2011). Berdasarkan sifatnya, dampak perubahan iklim global terhadap sektor pertanian dibedakan menjadi tiga yaitu: 1) dampak yang bersifat kontinu berupa kenaikan suhu udara, perubahan hujan dan kenaikan salinitas air tanah untuk wilayah pertanian dekat pantai akan menurunkan produktivitas tanaman dan perubahan panjang musim yang merubah pola tanam dan indeks penanaman. 2) dampak yang bersifat diskontinu seperti meningkatnya gagal panen akibat meningkatnya frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim

45 19 (banjir, kekeringan, angin kencang dll) dan meningkatnya gagal panen akibat munculnya serangan atau ledakan hama penyakit baru tanaman. 3) dampak yang bersifat permanen berupa berkurangnya luas kawasan pertanian di kawasan pantai akibat kenaikan muka air laut Kekeringan dan Dampaknya Terhadap Produksi Padi Kekeringan adalah keadaan kekurangan pasokan air pada suatu daerah dalam masa yang berkepanjangan (beberapa bulan hingga bertahun-tahun). Biasanya kejadian ini muncul bila suatu wilayah secara terus-menerus mengalami curah hujan di bawah rata-rata. Definisi lain menyebutkan bahwa kekeringan adalah hubungan antara ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air baik untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. US Weather Bureau diacu dalam Chow (1964) mendefinisikan kekeringan sebagai kondisi kekurangan curah hujan yang begitu banyak dan lama sehingga mengakibatkan adanya pengaruh terhadap tempat hidup tanaman dan hewan dan mengakibatkan berkurangnya suplai air baik untuk kebutuhan domestik maupun untuk pertumbuhan tanaman, terutama pada daerah yang secara normal cukup untuk kebutuhan-kebutuhan tersebut. Kekeringan dapat menjadi bencana alam apabila mulai menyebabkan suatu wilayah kehilangan sumber pendapatan akibat gangguan pada pertanian dan ekosistem yang ditimbulkannya. Dampak ekonomi dan ekologi kekeringan merupakan suatu proses sehingga batasan kekeringan dalam setiap bidang dapat berbeda-beda. Kekeringan juga berkonotasi beragam di berbagai belahan dunia. Di Bali, suatu periode dikatakan kering apabila tidak hujan selama 6 hari berturutturut. Di Libya, suatu wilayah dianggap kering hanya jika tidak terjadi hujan selama 2 tahun. Di Mesir, Sungai Nil dianggap kering jika tidak terjadi banjir sepanjang tahun. Dengan demikian penggambaran kekeringan merupakan suatu hal yang spesifik lokasi dan spesifik waktu. Namun demikian, suatu kekeringan yang singkat tetapi intensif dapat pula menyebabkan kerusakan yang signifikan. Menurut Irianto (2005) secara faktual kekeringan lebih menakutkan dibandingkan banjir dalam hal besaran: luas wilayah, durasi kejadian, biaya dan waktu pemulihannya. Namun seringkali penanggulangannya belum terencana dengan

46 20 baik akibat kurangnya data dan informasi secara spasial dan temporal tentang wilayah-wilayah endemik kekeringan. Berdasarkan penyebab kejadiannya, kekeringan dibedakan menjadi dua, yaitu (i) secara alamiah dan (ii) karena ulah manusia (antropogenik). Secara alamiah, kekeringan diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu : 1) kekeringan meteorologis, 2) kekeringan hidrologis, kekeringan agronomis, dan 4) kekeringan sosial ekonomi. Kekeringan meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan. Kekeringan Hidrologis berkaitan dengan kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunnya elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Kekeringan hidrologis bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan. Kekeringan agronomis berhubungan dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada periode waktu tertentu pada wilayah yang luas. Kekeringan pertanian ini terjadi setelah gejala kekeringan meteorologi.kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana pasokan komoditi ekonomi kurang dari kebutuhan normal akibat terjadinya kekeringan meteorologi, hidrologi, dan agronomis. Kekeringan Antropogenik adalah kekeringan yang disebabkan karena ketidak-taatan pada aturan terjadi. Kekeringan antropogenik ini disebabkan karena: 1) kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan akibat ketidaktaatan pengguna terhadap pola tanam/penggunaan air, serta 2) kerusakan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air akibat perbuatan manusia ( Kekeringan berkaitan dengan menurunnya tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim. Pengukuran kekeringan meteorologis merupakan indikasi pertama adanya kekeringan. Tahap kekeringan selanjutnya adalah terjadinya kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah. Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Ada tenggang waktu mulai berkurangnya hujan sampai menurunnya elevasi muka air sungai, waduk, danau dan elevasi muka air tanah. Kekeringan hidrologis

47 21 bukan merupakan indikasi awal adanya kekeringan. Kekeringan pada lahan pertanian ditandai dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada phase tertentu pada wilayah yang luas yang menyebabkan tanaman menjadi rusak/mengering. Dampak dari bahaya kekeringan ini seringkali secara gradual/lambat, sehingga jika tidak dimonitor secara terus menerus akan mengakibatkan bencana berupa hilangnya bahan pangan akibat tanaman pangan dan ternak mati, petani kehilangan mata pencaharian, banyak orang kelaparan dan mati, sehingga berdampak urbanisasi ( Chow (1964) mengatakan bahwa kekeringan merupakan bentuk kejadian alam yang salah satunya dapat disebabkan oleh anomali iklim El-Nino. Dari data historis, kekeringan di Indonesia sangat berkaitan erat dengan fenomena ENSO (El-Nino Southern Oscillation). Pengamatan dari tahun 1844, dari 43 kejadian kekeringan di Indonesia, hanya enam kejadian yang tidak berkaitan dengan kejadian El Nino ( Data curah hujan di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Bali, memberikan gambaran bahwa di Indonesia pernah terjadi kemarau panjang pada tahun 1903, 1914, 1925, 1929, 1935, 1948, 1961, 1963, 1965, 1967, 1972, 1977, 1982, 1987, 1991, 1994 dan Sementara itu penyimpangan iklim El-Nino terjadi pada tahun 1951, 1953, 1957, 1958, 1963, 1965, 1969, 1972, 1977, 1982, 1983, 1987, 1991, 1992, 1993, 1994, Selama kurun waktu tersebut, dari 17 kali kejadian kemarau panjang, 11 kali diantaranya bersamaan dengan kejadian El-Nino. Hal ini menunjukkan bahwa kekeringan dapat terjadi ketika terjadi penyimpangan iklim El-Nino atau ketika tidak terjadi penyimpangan iklim El-Nino. Namun, kejadian penyimpangan iklim El-Nino dapat memperparah tingkat kekeringan di Indonesia. Banyak tanaman pangan yang mengalami cekaman air (water stress) sehingga menyebabkan gagal panen. Pada wilayah yang secara faktual lebih basah seperti Jawa Barat dan Jawa Tengah mengalami kekeringan dan fuso relatif tinggi. Musim kemarau yang panjang akan menyebabkan kekeringan karena cadangan air tanah akan habis akibat penguapan (evaporasi), transpirasi, ataupun penggunaan lain oleh manusia. Penyebab kekeringan yang utama adalah curah hujan yang berkaitan dengan jumlah uap air di atmosfer. Jika salah satu dari

48 22 komponen tersebut berkurang, maka hasilnya adalah kekeringan. Aktivitas manusia secara langsung dapat memperburuk dan menjadi faktor pemicu seperti pada pertanian, irigasi berlebihan, deforestasi. Erosi berdampak negatif dalam hal kemampuan tanah untuk menangkap dan menahan air. Dalam bidang pertanian, dari berbagai bencana yang terkait iklim, bencana kekeringan merupakan salah satu bencana yang paling dominan dan menimbulkan kerugian cukup besar. Kekeringan terjadi karena air yang tersedia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan atau jumlah yang diharapkan. Ditinjau dari aspek klimatologi pertanian, kekeringan merupakan gangguan terhadap keseimbangan hubungan antara tanaman dan air tanah yang mengakibatkan persediaan air dalam tanah tidak mampu mencukupi kebutuhan air tanaman. Di Indonesia, bencana kekeringan yang melanda kawasan pertanian semakin sering terjadi dan cakupan wilayah yang terkena cenderung semakin luas (Badan Litbang Pertanian 1996, Sumaryanto dan Friyatno 1999). Berdasarkan peta rawan kekeringan menurut kabupaten (Gambar 5) sebagian besar pulau Jawa, sebagian Sulawesi Selatan dan sebagian Kalimantan Selatan merupakan daerahdaerah yang rawan dan sangat rawan terhadap kekeringan. Menurut Boer (2010b) jumlah kepala keluarga miskin di kabupaten yang rawan bencana pada umumnya lebih dari 45%. UNDP (2007) melaporkan bahwa antara tahun 1844 hingga 1960, masalah kekeringan rata-rata empat tahun sekali, tetapi antara 1961 hingga 2006 rata-rata kejadiannya menjadi setiap tiga tahun. Kejadian El Niño yang terjadi pada merupakan yang terburuk selama 50 tahun terakhir, dan tahun 1998 tercatat sebagai tahun terpanas pada abad 20. Gambar 5. Distribusi wilayah rawan kekeringan menurut kabupaten (Sumber: Boer 2010b)

49 23 Untuk wilayah pertanaman padi di Indonesia, dampak kekeringan pada tahun El-Nino meningkat secara signifikan, khususnya di daerah Jawa Barat, Lampung, Sumatera Selatan dan Sulawesi Selatan. Wilayah-wilayah ini merupakan sentra padi di Indonesia. Rata-rata luas wilayah pertanaman padi yang terkena dampak kekeringan pada tahun El Nino di setiap Kabupaten ( ) dengan luasan lebih dari 2000 Ha cukup besar (Boer 2008b) (Gambar 6). Gambar 6. Rata-rata wilayah pertanaman padi yang terkena dampak kekeringan pada tahun El Nino di setiap Kabupaten ( ) (Sumber : Boer 2008b). Tingkat kerawanan lahan pertanian terhadap kekeringan bervariasi antarwilayah (Tabel 2). Dari 5.14 juta ha lahan sawah yang dievaluasi, 74 ribu ha di antaranya sangat rentan dan sekitar satu juta ha rentan terhadap kekeringan (Wahyunto 2005). Tabel 2. Luas lahan sawah yang rentan terhadap kekeringan (Ha) Wilayah/ provinsi Sangat rentan Rentan Luas baku Sawah Jawa Barat - 30, ,474 Banten - 26, ,904 Jawa Tengah 2, ,575 1,053,882 DI Yogyakarta - 3,652 69,063 Jawa Timur 1,580 70,802 1,313,726 Bali - 14,758 85,525 Nusa Tenggara 38, , ,576 Lampung 29, , ,135 Sumatera Selatan - 184, ,668 Sumatera Utara 2, , ,649 Jumlah 73,881 1,090,964 5,143,602 (Sumber : Wahyunto 2005)

50 24 Pramudia (2008) melakukan penelitian tentang delineasi wilayah rawan kekeringan di DAS Cimanuk, Propinsi Jawa Barat dengan mengkombinasikan aspek klimatologis, hidrologis dan agronomis. Wilayah pertanian yang sangat rawan kekeringan umumnya terjadi di lahan kering yang merupakan DAS kritis dan memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi terhadap anomali iklim global. Sementara wilayah pertanian yang agak rawan kekeringan umumnya terjadi di lahan sawah irigasi yang jauh dari sumber irigasi utama, atau lahan tadah hujan yang memiliki irigasi non-teknis, dan memiliki tingkat sensitivitas yang rendah terhadap anomali iklim global. Berdasarkan analisis ini, kabupaten Indramayu, khususnya bagian selatan termasuk dalam wilayah pertanian yang sangat rawan hingga agak rawan terhadap kekeringan. Berdasarkan data Ditlin , pada tahun El Niño luas tanaman padi yang terkena kekeringan mencapai ribu ha (Gambar 7). Kerusakan tanaman padi akibat kekeringan lebih parah dibandingkan banjir karena berlangsung pada daerah yang lebih luas dan waktu yang lebih lama. Banjir mempunyai karakterisik kejadian yang lebih lokal dengan waktu kejadian yang lebih pendek. Gambar 7. Luas areal pertanaman padi yang dilanda kekeringan di Indonesia dalam periode (Sumber : Road Map 2011). Menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat (2006), wilayah Jawa Barat pada MT 2003 yang sangat rawan terhadap kekeringan pada umumnya adalah : 1) daerah irigasi yang tidak ada fasilitas waduknya (misalnya bendung Rentang yang mengairi wilayah Cirebon dan Indramayu), 2) areal sawah

51 25 yang tidak direkomendasikan untuk tanaman gadu atau areal sawah irigasi yang ada di wilayah tail end ujung ekor, 3) areal sawah tadah hujan dan 4) areal sawah yang infra struktur irigasinya mengalami kerusakan. Menurut Drektorat Perlindungan Tanaman (Ditlin 2009), dampak kekeringan antara lain dapat berupa : menurunnya persediaan air permukaan dan air tanah, terganggunya pola tanam, pertanaman yang mengalami puso berpotensi meningkat, musim hujan pertama pasca kekeringan berdasarkan pengalaman dapat meningkatkan serangan OPT utama (tikus, wereng, penggerek batang, dan belalang kembara) dan kebakaran lahan pertanian dan hutan berpotensi meningkat. Di Indonesia, frekuensi kejadian kemarau panjang atau kekeringan dalam periode 1844 dan 1960 hanya 1 kali dalam 4 tahun, kemudian dalam periode frekuensinya meningkat menjadi 1 kali dalam 2-3 tahun (Boer et al. 2007). Kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan seringkali menjadi penyebab utama turunnya produksi pangan. di Indonesia. Pada musim kemarau 1994, wilayah Jawa yang masih merupakan penyumbang padi terbesar (59%), merupakan wilayah yang paling terkena dampak kekeringan. Luas wilayah di pulau Jawa yang terkena kekeringan mencapai ha (79% dari luas total seluruh Indonesia). Diurut dari yang terbesar, propinsi Jawa Barat berada pada urutan yang pertama kemudian diikuti oleh propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur (Kahar 1995). Propinsi Jawa Timur yang secara historis jauh lebih kering dari Jawa Barat, luas wilayah yang terkena kekeringan hanya 1/4 nya Jawa Barat (Kahar 1995). Menurut Boer (2008b) hal ini diduga karena tingkat kewaspadaan petani pada daerah ini terhadap bahaya kekeringan lebih tinggi dibanding dengan petani di Jawa Barat terutama terhadap risiko menanam padi pada musim gadu. Padahal, sebagian besar areal sawah di Jawa Barat berada di jalur pantura yang curah hujannya relatif rendah dengan bulan kering lebih dari 6 bulan. Hal tersebut disebabkan karena sebagian besar sawah di jalur pantura diairi oleh irigasi teknis, sehingga kurang memperhatikan pola dan tingkah curah hujan. Oleh karena itu, kajian yang mendalam tentang tingkat kerawanan dan endemik suatu wilayah terhadap kekeringan perlu dilakukan.

52 26 Permasalahan yang terjadi pada bencana kekeringan menurut Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Jawa Barat (2006) pada umumnya adalah karena : 1) ketidakdisiplinan pola tanam, 2) kerusakan infrastruktur, sarana/prasarana saluran irigasi, 3) sulitnya memprediksi iklim/cuaca pada musim kemarau dan 4) masih kurangnya kesadaran petani terhadap gerakan hemat air. Terkait dengan pola tanam, menurut Boer (2010a) pola tanam yang umum diikuti oleh petani di Jawa dan hampir seluruh wilayah Indonesia adalah padi-padi-bera dan pada beberapa wilayah dengan sistem irigasi yang baik bisa tiga kali tanam padi. Padi pertama ditanam pada musim hujan yaitu November-Januari (MT1), padi kedua pada awal masuk musim kemarau yaitu Maret-Mei (MT2). Padi yang biasanya terkena kekeringan adalah padi yang ditanam pada musim kemarau Karakteristik Usahatani Serta Dampak Anomali Iklim Terhadap Produksi Padi di Kabupaten Indramayu Karakteristik Usaha Tani Usaha Tani padi merupakan sistim usahatani yang paling dominan di Kabupaten Indramayu. Lebih dari 50% wilayahnya (118,513 ha dari 200,014 ha) merupakan lawan persawahan. Letak wilayah persawahan menyebar dari utaraselatan. Di bagian Utara luas lahan persawahan sekitar 19%, wilayah tengah 59% dan Selatan 22%. Lahan pertanian di Indramayu mengandalkan dua sumber pengairan utama, yaitu air irigasi dan air hujan. Sekitar 87% dari lahan persawahan merupakan lahan beririgasi yang hampir semuanya terletak di wilayah bagian utara dan tengah. Untuk wilayah selatan sebagian besar merupakan wilayah tadah hujan. Pola tanam antara wilayah utara, tengah dan selatan relatif berbeda. Pada wilayah utara pola tanam adalah (i) padi-padi-bera, (ii) padipalawija/sayuran-bera dan (iii) sayuran-padi-bera. Pola tanam ke tiga didahului oleh sayuran dimana penanaman dilakukan awal musim hujan yaitu sebelum hujan tinggi. Setelah masuk musim hujan baru dilakukan penanaman padi. Pada wilayah tengah bentuk pola tanam umum (i) padi-padi-padi, (ii) padi-padipalawija/sayuran, (iii) padi-sayuran-padi dan (iv) padi-padi-bera. Untuk wilayah selatan, pola tanam umum ialah (i) padi gogo-palawija/sayuran-bera, ii) padi-padibera, (iii) padi-palawija/sayuran-bera dan (iv) padi gogo/sayuran-padi-bera.

53 27 Berdasarkan penggolongan air, wilayah bagian utara termasuk wilayah golongan air III, IV dan V, sedangkan untuk wilayah tengah golongan I dan II. Pada wilayah golongan air I dan II penanaman padi memungkinkan sampai 3 kali dalam setahun (Gambar 8). Penggolongan air I II III IV V Catatan: Musim Hujan Musim Kemarau 1 (MK1) MK2 Bulan Bulan Bulan merupakan tanggal penanaman padi pertama (MH) dan kedua (MK) paling terakhir. = Padi I, = Padi II, dan = tanaman III. Gambar 8. Sistem penggolongan air dan pola tanam di Indramayu (Sumber: Boer et al. 2002c) Pada tahun ekstrim kering jadwal penggolongan bisa bergeser sehingga mempengaruhi penggolongan lainnya. Petani yang ada di wilayah utara relatif responsif dan umumnya mengikuti jadwal penanaman rekomendasi yang disampaikan oleh penyuluh, sedangkan di wilayah tengah kurang disiplin karena lahannya berada dekat saluran utama dan secara umum jarang mengalami kekurangan air. Rata-rata hasil padi pada wilayah Utara, Tengah dan Selatan masing-masing sekitar 5.3, 6.0 dan 5.6 t/ha (Boer et al. 2011). Berdasarkan letaknya menurut ketinggian atau posisinya di DAS, Kabupaten Indramayu dapat dikelompokkan menjadi kecamatan yang berada di bagian atas dan di bagian bawah. Permasalahan yang dihadapi oleh petani di kedua wilayah ini terkait dengan permasalahan sarana irigasi relatif sama, yaitu permasalahan infrastruktur irigasi yang banyak terdapat kerusakan, pendangkalan saluran karena erosi dan terdapatnya sejumlah pintu air yang rusak. Perbedaannya adalah letak kedua kawasan dimana kawasan pertama terletak lebih dekat ke hulu DAS dibanding kawasan kedua sehingga air mengalir terlebih dahulu melalui kawasan pertama sebelum mencapai kawasan kedua. Kondisi ini memberikan pengaruh utamanya dalam jumlah debit air, ketika musim penghujan dimana debit air melimpah maka kawasan pertama dapat menampung air menurut kebutuhan mereka dan membiarkan sisa aliran air mengalir mengikuti DAS, sedangkan

54 28 kawasan kedua karena letaknya yang berada di hilir sungai menyebabkan daerah mereka menjadi lokasi genangan air yang mengakibatkan banjir. Sementara, pada musim kemarau, aliran air yang melewati kawasan pertama belum banyak melalui daerah dangkalan, penyempitan dan pintu air yang rusak sehingga ketersediaan air masih mencukupi untuk kebutuhan pengairan lahan pertanian. Berbeda dengan kawasan kedua yang karena letaknya lebih dekat ke hilir menyebabkan tidak banyak air tersisa yang mengalir ke daerah mereka sehingga mengakibatkan kondisi kekeringan. Secara garis besar, keseluruhan karakteristik alam lingkungan, infrastruktur irigasi dan interaksi keduanya menyebabkan kawasan pertama menjadi kawasan yang relatif aman dari banjir dan kekeringan. Sebaliknya, kawasan kedua, sangat rentan terhadap banjir dan kekeringan. Kondisi ini menyebabkan banyaknya lahan persawahan yang rusak di kedua wilayah pun berbeda (Boer et al. 2011b). Khusus untuk lahan tadah hujan, faktor sosial ekonomi yang paling menentukan adalah tekanan jumlah penduduk yang berpengaruh terhadap luas garapan dan tingkat pendapatan petani atau akses ke pasar (Pane et al. 2008). Berdasarkan hubungan kedua faktor tersebut Piggin et al (1998) diacu dalam Pane et al. (2008) membuat klasifikasi tipologi sistim produksi pertanian pada lahan sawah tadah hujan (Gambar 9). Diantara keempat tipe sistem produksi pertanian, Tipe I dan Tipe II perlu kehati-hatian atau analisis yang mendalam dalam menentukan prioritas penelitian dan anjuran teknologi. Tekanan jumlah penduduk Tinggi Rendah Gambar 9. TIPE II Pemilikan lahan sempit orientasi pertanian subsistem, intensif tenaga kerja TIPE I Pemilikan lahan luas, orientasi pertanian subsisten Rendah TIPE III Pemilikan lahan sempit diversifikasi usaha tani, komersial dan mekanisasi TIPE IV Pemilikan lahan luas, spesialisasi tanaman palawija, komersial, mekanisasi Tinggi Tingkat pendapatan atau akses ke pasar Tipologi sistim produksi pertanian pada lahan sawah tadah hujan (modifikasi dari Piggin et al diacu dalam Pane et al. 2008).

55 29 Pola hujan bulanan di Kabupaten Indramayu adalah monsunal yaitu mengalami satu kali musim kemarau (April-September) dan satu kali musim hujan (Oktober-Maret). Berdasarkan pola hujan bulanan tersebut maka waktu tanam padi di Indramayu adalah sama dengan waktu terjadinya musim hujan, sedangkan waktu tanam palawija terjadi pada akhir musim hujan hingga awal musim kemarau (Gambar 10). Gambar 10. Kombinasi curah hujan bulanan dengan pola tanam padi dan palawija pada lahan irigasi teknis, setengah teknis dan tadah hujan di Kabupaten Indramayu (Boer et al. 2011c). Menurut Hidayati et al. (2010), musim hujan di Kabupaten Indramayu umumnya dimulai pada akhir bulan November dan berakhir pada akhir Maret. Pada tahun El Nino, awal musim hujan dapat mundur sampai awal Januari sedangkan pada tahun La-Nina awal musim hujan umumnya terjadi lebih awal (bisa terjadi pada pertengahan Oktober). Lama musim hujan pada umumnya berkisar antara 4 sampai 5 bulan. Pengaruh Anomali Iklim Terhadap Usahatani Padi di Kabupaten Indramayu Berdasarkan data produksi padi seluruh Indonesia (Departemen Pertanian, 2010), Propinsi Jawa Barat menyumbang 17.6% dari seluruh produksi padi nasional. Persentase sebesar 17.6% tersebut, 11.7% nya diantaranya berasal dari Kabupaten Indramayu. Jadi Kabupaten Indramayu berkontribusi paling besar terhadap produksi padi di seluruh Propinsi Jawa Barat. Hal ini juga disampaikan oleh Boer et al. (2011b) bahwa pada tahun 2010 lalu, tercatat produksi padi

56 30 Indramayu mencapai 1,321, ton dengan produktivitasnya mencapai ton/ha. Komoditi beras di Kabupaten Indramayu memiliki stok cukup potensial, bahkan selama ini menjadi sentra pangan terbesar di Jawa Barat sekaligus penopang pangan DKI Jakarta. Namun di sisi lain, Kabupaten Indramayu sangat rentan terhadap kejadian iklim ekstrim, terutama kekeringan. Kekeringan menjadi penyebab utama gagal panen (Boer et al. 2011a). Di Kabupaten Indramayu, apabila waktu sudah memasuki bulan-bulan musim hujan dan kemudian terjadi hujan 1-2 hari berturut-turut biasanya petani sudah menganggap musim hujan sudah mulai dan kegiatan penanaman mulai dilakukan. Namun, pada kondisi tertentu, hujan yang terjadi tersebut seakan-akan bersifat tipuan (false rain), karena kemudian ternyata diikuti oleh hari-hari tanpa hujan yang berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang yaitu lebih dari dua dasarian dan diluar batas toleransi tanaman, atau yang disebut dengan long dry spell. Akibat dari kondisi ini, petani yang sudah terlanjur tanam seringkali akan terkena kekeringan. Bibit disiapkan terlalu cepat akibat adanya hujan tipuan yang sebenarnya belum merupakan indikasi masuknya awal musim hujan. Pada waktu musim hujan sudah masuk, bibit sudah terlalu tua sehingga tidak bisa digunakan lagi. Kejadian kekeringan umumnya terjadi awal bulan Juni setelah penanaman padi MT2. Kondisi ini biasanya terjadi pada saat fenomena El-Nino dan kekeringan yang terjadi sebagai akibat curah hujan bersifat di bawah normal (BN), sehingga ketersediaan air tidak mencukupi untuk mendukung pertumbuhan tanaman selanjutnya. Kejadian kekeringan semacam ini tidak hanya terjadi di sawah tadah hujan tetapi juga di sawah beririgasi, khususnya yang berada di wilayah irigasi bagian ujung (Golongan III dan IV). Sebagai contoh MT 1997/1998 dan 2002/2003. Penurunan hujan bulan Juni-September jauh di bawah normal akibat dari berlangsungnya fenomena El-Nino telah menimbulkan luas tanaman padi terkena kekeringan yang sangat tinggi (Gambar 11). Kajian yang dilakukan di Indramayu (Boer 2003a) menunjukkan bahwa El-Nino berpengaruh besar terhadap produksi padi karena beberapa hal. Pertama, El-Nino berpengaruh terhadap masuknya awal musim hujan sehingga penanaman padi pada musim hujan yang biasanya dilakukan bulan November menjadi

57 Curah Hujan (mm) Curah Hujan (mm) Curah Hujan (mm) Curah Hujan (mm) 31 mundur sampai Januari atau Februari. Akibatnya tanaman padi kedua juga mengalami keterlambatan sehingga risiko terkena kekeringan menjadi tinggi karena hujan pada akhir pertumbuhan tanaman sudah mengalami penurunan yang besar (sudah masuk musim kemarau). Kedua, El-Nino menyebabkan hujan pada musim kemarau turun jauh dari normal sehingga air yang tersedia tidak cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Ketiga, El-Nino menyebabkan awal musim kemarau terjadi lebih awal dari biasanya sehingga tanaman padi kedua mengalami cekaman kekeringan /97 Normal Terkena Kekeringan: 47,995 ha /03 Normal Terkena Kekeringan: 7,896 ha Gambar 11. Hubungan antara kejadian hujan bawah normal (BN) pada musim tanam gadu dengan kejadian kekeringan Tahun 1997 dan 2003 di Indramayu (Boer et al. 2008a) Mundurnya awal musim hujan akibat berlangsungnya fenomena El Nino, menyebabkan awal musim penanaman padi pertama mundur dari biasanya. Akibatnya musim penanaman padi kedua juga akan mundur, masuk ke musim kemarau (Gambar 12). Berdasarkan data historis, mundurnya awal musim hujan akibat berlangsungnya fenomena El-Nino menyebabkan kumulatif luas tanam selama musim hujan (MH) menurun. Penurunan ini biasanya dikompensasi dengan meningkatkan luas tanam pada musim kemarau (MK) yang berisiko tinggi untuk terkena kekeringan. Kondisi sebaliknya pada fenomena La-Nina (Boer 2010b).

58 32 Gambar 12. Pola tanam padi petani dan risiko terkena kekeringan (Sumber : Boer 2010b) 2.4. Adaptasi Terhadap Kejadian Iklim Ekstrim Adaptasi adalah berbagai tindakan penyesuaian diri terhadap kejadian yang diakibatkan oleh fenomena perubahan iklim/pemanasan global (Las 2007). Besar kecilnya kerugian atau kerusakan yang dirasakan akibat perubahan iklim sangat dipengaruhi oleh kemampuan dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim tersebut. Menurut Boer (2008a) kemampuan adaptasi (Adaptive Capacity) merupakan kemampuan untuk mendesain atau melaksanakan strategi adaptasi atau bereaksi terhadap bencana atau kondisi yang kurang menguntungkan sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya bencana tersebut atau mengurangi besarnya kerusakan yang ditimbulkan oleh kondisi iklim yang tidak menguntungkan tersebut. Oleh karena itu, kemampuan adaptasi sangat terkait erat dengan tingkat kerentanan (vulnerability) dan sensitivitas (sensitivity). Sensitivitas (sensitivity) merujuk kepada tingkat yang menggambarkan sejauh mana atau sebesar apa suatu sistem dapat dipengaruhi oleh berbagai sifat iklim. Kerentanan (vulnerability) merupakan resultan dari sensitifitas dan kemampuan adaptif atau menunjukkan kemampuan sistem mengatasi dampak merusak dari perubahan iklim (Boer 2008a). Berdasarkan kajian IPCC (2007) pemanasan global dan perubahan iklim pada wilayah tropis diperkirakan akan menurunkan produktivitas tanaman pangan secara signifikan apabila tidak dilakukan langkah-langkah adaptasi.

59 33 Menurut Las (2007) adaptasi di sektor pertanian melibatkan infrastruktur/sarana, tata ruang, sistem produksi, sosial ekonomi dan sebagainya. Untuk mengurangi dampak perubahan iklim terhadap infrastruktur atau sarana usaha tani, sistem produksi, dan sosial-ekonomi, maka strategi pendekatan adaptasi yang dilakukan antara lain : teknologi prediksi iklim, pengembangan sistem jaringan iklim, pengembangan sistem peringatan dini, pengembangan sekolah lapang pertanian, penyesuaian pola tanam/kalender tanam (waktu, rotasi, jenis tanam), pengembangan varietas adaptif (VUB rendah emisi gas rumah kaca, VUB toleran kegaraman, VUB tahan kering (dan umur genjah), VUB tahan genangan), serta pengembangan teknologi pengelolaan lahan/ tanah, air dan Iklim. Contoh varietas padi tahan kekeringan adalah Silugonggo dan Dodokan. Secara teoritis sikap petani adalah ingin menghindari risiko (risk-averse behavior). Sifat ini muncul apabila suatu kejadian mempunyai dampak ekonomi sangat buruk sehingga mengganggu posisi finansial petani. Untuk itu petani telah menerapkan berbagai strategi. Menurut Hadi (2000), ada lima strategi yang dapat dilakukan petani, yaitu : 1) Strategi finansial, sebagai contoh menyimpan dana cadangan (tabungan) dalam jumlah cukup besar, melakukan investasi pada kegiatan berdaya hasil tinggi atau membuat proyeksi arus tunai berdasarkan estimasi yang realistis tentang harga, produksi dan biaya produksi. 2) Strategi pemasaran, misalnya penetapan dan penguncian harga oleh penjual dan pembeli untuk waktu mendatang, kontrak penjualan atau menyebar pemasaran menurut waktu. Strategi pemasaran ini disebut juga sebagai penyimpanan hasil pertanian (crop storage). Petani padi di Indonesia juga banyak yang menerapkan strategi ini. 3) Strategi produksi, sebagai contoh diversifikasi dengan melakukan lebih dari satu jenis usahatani atau kegiatan non-usahatani. Memilih jenis kegiatan yang cukup fleksibel dari segi waktu, biaya dan produk, atau menerapkan management yang baik dengan membuat prediksi pendapatan yang stabil. Hasil berbagai penelitian Pusat Sosial Ekonomi Pertanian menunjukkan bahwa petani Indonesia umumnya melakukan diversifikasi berupa usahatani lain atau kegiatan non-usahatani.

60 34 4) Kredit informal, sebagai contoh meminjam uang atau barang kebutuhan pokok dari pedagang atau pemilik modal perseorangan. Hasil berbagai penelitian Pusat Sosial Ekonomi Pertanian juga menunjukkan bahwa petani Indonesia pada umumnya menerapkan strategi ini. 5) Membeli asuransi pertanian formal berupa polis dari lembaga asuransi untuk menutup semua atau sebagian kerugian yang diperkirakan akan terjadi. Strategi ini pada umumnya diterapkan di negara-negara maju seperti AS, Perancis dan Jepang, serta beberapa negara sedang berkembang seperti Filipina, Thailand, India dan Sri Langka. Empat strategi pertama dapat digolongkan sebagai asuransi sendiri (self insurance) atau asuransi informal (informal insurance), sedangkan strategi kelima disebut sebagai asuransi formal (formal insurance). Pasaribu (2008) melakukan penelitian di Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk mengetahui bentuk dan pola adaptasi petani terhadap perubahan iklim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk petani di Propinsi Jawa Tengah, bentuk dan pola adaptasinya, antara lain : (a) membangun long storage sebagai penampung air, (b) peningkatan kerjasama kelompok tani (gotong royong) melalui kelembagaan P3A yang dibantu oleh Pemerintah Daerah setempat, (c) mengubah pola tanam termasuk penanaman serentak disertai dengan pola tanam pada lahan irigasi teknis dengan pola budidaya hemat air (pola SRI) dan pada lahan non irigasi teknis dengan budidaya gogo rancah (pemanfaatan air dangkal). Untuk petani di Propinsi NTT, adaptasi dilakukan antara lain dengan 3 strategi, yaitu : (a) bertahan (menanam tanaman secara berulang dengan pertimbangan aspek ekonomi dan pasrah kepada keadaan, (b) agresif (mengganti jenis tanaman, mengubah pola tanam, menerapkan inovasi pemanenan air dengan embung dan sumur, serta menunggu informasi curah hujan) dan (c) antisipatif ( menyiapkan input yang cukup, mengalihkan usaha dari on-farm ke off-farm, serta memanfaatkan pengetahuan spesifik lokal). Berdasarkan penelitian tersebut, Pasaribu (2008) menyimpulkan secara garis besar ada dua faktor utama yang mempengaruhi kapasitas adaptasi petani terhadap perubahan iklim. Pertama adalah faktor di luar kegiatan usaha tani, seperti : kondisi topografi, dukungan kebijakan pemerintah yang masih kurang,

61 35 rendahnya akses terhadap informasi iklim, kurangnya tenaga penyuluh atau pendamping yang membantu menginterpretasikan informasi iklim yang ada, faktor sosial budaya serta kelembagaan. Kedua adalah faktor yang terkait dengan pelaksanaan usaha tani, seperti : belum memadainya sarana dan prasarana usaha tani, keterbatasan modal usaha tani yang menyulitkan petani menerapkan teknologi tertentu terkait dengan antisipasi perubahan iklim. Di Kabupaten Indramayu, petani telah memiliki beberapa cara untuk mengurangi risiko iklim. Hasil penelitian Boer (2008b) di Indramayu menunjukkan bahwa pada musim hujan, petani pada umumnya melakukan teknik gogo rancah, ngipuk dan rendengan. Gogo rancah (penyebaran benih secara langsung/direct seeded) yaitu penanaman bibit padi secara langsung tanpa dilakukan penyemaian. Cara ini dilakukan ketika curah hujan rendah tetapi sering. Cara lain yang dilakukan adalah ngipuk (dry seeded). Cara ini dilakukan ketika curah hujan tinggi namun jarang. Sebelum melakukan penanaman bibit disemai terlebih dahulu pada sebagian petak sawah dalam keadaan kering sebelum musim hujan tiba. Setelah musim hujan tiba, bibit yang telah disemai dipindahkan ke seluruh petak sawah. Rendengan (transplanting system) dilakukan ketika curah hujan tinggi dan sering. Sebelum melakukan penanaman, bibit disemai terlebih dahulu pada sebagian petak sawah dalam keadaan basah beberapa waktu sebelum musim hujan tiba. Setelah musim hujan tiba, bibit yang telah disemai dipindahkan ke seluruh petak sawah. Pada musim kering, teknik yang dilakukan antara lain : padi gadu, sistim culik, tanam selain padi dan bera. Padi gadu dilakukan ketika curah hujan cukup tinggi dan berlangsung lama lebih dari 3 bulan. Sistim culik adalah melakukan persiapan pembibitan. Cara ini dilakukan jika curah hujan cukup tinggi tetapi tidak berlangsung sampai 3 bulan. Ketika petani akan panen untuk masa tanam pertama, terlebih dahulu dilakukan panen muda pada sebagian kecil petak sawah untuk ditanami bibit yang akan ditanam pada masa tanam kedua. Sehingga setelah panen, bibit yang telah disemai terlebih dahulu dapat langsung ditanam. Khusus untuk kejadian El-Nino, bentuk respon petani padi di Indramayu terhadap prakiraan El-Nino terdiri dari beberapa cara yaitu: (i) tetap tidak merubah pola tanamnya, yaitu tetap tanam padi, (ii) tidak melakukan penanaman padi sama

62 36 sekali (diberakan), (iii) merubah tanaman dari padi menjadi non-padi yang butuh air lebih sedikit, dan (iv) merubah bentuk kegiatan dari usahatani padi ke usaha lainnya misalnya menambang garam. Sampai saat ini bentuk respon yang masih umum ialah mengabaikan hasil hasil ramalan sehingga setiap El-Nino terjadi, wilayah ini selalu mengalami kekeringan yang meluas (Boer 2003b). Hal ini seiring dengan hasil penelitian Zubaida (2004) yang menyebutkan bahwa petani di Kabupaten Indramayu secara umum belum melakukan adaptasi sebelum tanam agar terhindar dari gagal panen akibat iklim ekstrim, padahal mereka telah mengetahui ada teknologi-teknologi yang dapat dimanfaatkan dalam mengadaptasi kejadian iklim ekstrim seperti mengganti varietas, mengatur pola tanam dan waktu tanam. Perkiraan kerugian petani akibat kejadian iklim ekstrim berdasarkan tanaman yang gagal panen adalah Rp (untuk tanaman usia 10 HST), Rp (untuk tanaman usia lebih dari 20 HST) dan Rp (untuk tanaman usia lebih dari 30 HST) (Zubaida 2004). Secara umum, mekanisme adaptasi yang dilakukan petani dalam menghadapi gagal panen akibat kejadian iklim ekstrim adalah menghemat pengeluaran, meningkatkan pendapatan dari usaha lain, dan mencari pinjaman jika dalam keadaan darurat. Pinjaman biasanya dilakukan antar kerabat dekat seperti keluarga, teman atau tetangga, sedangkan untuk pinjaman modal untuk usaha tani biasanya berasal dari bank. Kendala yang dihadapi dalam beradaptasi pada umumnya adalah masalah ekonomi, seperti kurangnya kepastian pendapatan dari usaha lain atau terbatasnya dana bantuan. Membangun kemampuan adaptasi merupakan proses untuk memperkuat kemampuan sistem untuk menyesuaikan diri terhadap keragaman iklim saat ini dan mendatang serta goncangan iklim. Pembangunan kemampuan adaptasi bertujuan untuk memperlebar selang toleransi dari suatu sistem yang diprioritaskan terhadap bencana iklim, dan kemudian membangun kemampuan sistem tersebut untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim dan keragamannya. Apabila kemampuan adaptasi tidak dibangun maka risiko sistem tersebut untuk terkena dampak perubahan iklim akan semakin besar. Proses untuk meningkatkan kemampuan adaptasi akan memerlukan kemampuan untuk belajar dari pengalaman masa lalu dalam menghadapi keragaman iklim dan menggunakan

63 37 pengalaman tersebut untuk membangun kemampuan beradaptasi terhadap keragaman iklim masa datang, termasuk terhadap goncangan iklim Hubungan Curah Hujan dan Produksi Padi Tanah, iklim dan air merupakan lingkungan tumbuh tanaman padi. Penguasaan tentang lingkungan tumbuh padi ini sangat penting untuk menentukan cara budidaya yang paling tepat dan menguntungkan (Fagi dan Las 1988). Salah satu unsur iklim yang sangat berperan terhadap ketersediaan air bagi tanaman adalah curah hujan. Tinggi rendahnya produksi padi tidak bisa dipisahkan dengan ketersediaan air bagi tanaman. Hal ini juga diungkapkan Taslim (1988) yang menyatakan bahwa potensi hasil tanaman padi erat hubungannya dengan jaminan ketersediaan air selama musim tanam. Di Indonesia, faktor penentu musim tanam adalah ketersediaan air yang dipengaruhi oleh curah hujan. Meskipun penerimaan hujan tahunan tinggi, bahkan di beberapa wilayah telah tersedia fasilitas jaringan irigasi, namun demikian periode tanam pada sebagian besar wilayah produksi tanaman pangan tetap tergantung pada kondisi penerimaan hujan musiman (Hidayati et al. 2010). Artinya, curah hujan merupakan indikator yang cukup kuat untuk mengetahui fluktuasi produksi padi. Tanaman padi membutuhkan mm air selama hari dari tanam hingga panen (De Datta 1981). Jagung memerlukan 300 hingga 400 mm air selama 90 hingga 125 hari pada periode tanam (Mink, Dorosh & Perry 1987). Oleh karena kebutuhan air yang lebih sedikit, maka palawija menjadi alternatif komoditas yang ditanam petani pada saat akhir musim hujan, di mana ketersediaan air sudah tidak mencukupi untuk kebutuhan tanaman padi. Fase tanaman yang paling rentan terhadap kekurangan air adalah awal fase vegetatif, fase pembungaan dan fase pengisian bulir/polong (Biswas & Choudhuri 1984; Mapegau 2006). Pada tanaman padi, kekurangan air pada fase reproduktif memberikan dampak penurunan produksi yang lebih besar dibandingkan kekurangan air pada masa vegetatif (Biswas & Choudhuri 1984). Vergara (1976) menyatakan bahwa peranan ketersediaan air sangat penting (kritis) pada awal pertumbuhan dan pada fase pembungaan (Gambar 13). Kekurangan air pada fase ini akan berdampak besar terhadap pertumbuhan

64 38 tanaman, sebaliknya bila terjadi pada akhir fase vegetatif dan pada fase akhir pemasakan. Peranan ketersediaan air juga penting pada saat pembentukan anakan dan pada awal fase pemasakan (pengisian biji). Vegetatif Reproduktif Gambar 13. Peranan ketersediaan air pada setiap stadia tumbuh tanaman (Sumber : Vergara 1976) Penelitian Rushayati et al. (1989) menunjukkan bahwa tanaman yang diberi cekaman air (kadar air 50% kapasitas lapang) selama sepuluh hari pada awal fase pertumbuhan vegetatif memberikan hasil yang sangat rendah, demikian juga halnya apabila perlakuan ini diberikan pada fase primordia. Penurunan hasil yang terjadi akibat cekaman kekeringan pada awal fase pertumbuhan vegetatif terutama melalui pengurangan jumlah anakan dan luas daun sedangkan pada fase primordia melalui penurunan jumlah gabah, peningkatan jumlah gabah hampa dan penurunan bobot 100 biji. Selanjutnya Castillo et al. (1992) menemukan bahwa tidak terjadinya hujan selama lebih dari 15 hari berturut-turut pada fase tepat sebelum atau segera setelah pembentukan malai dapat menurunkan hasil antara 18% sampai 38%. Lebih jauh Dikshit et al. (1987) menemukan bahwa penurunan hasil akibat kejadian deret hari kering selama 16 hari selama masa pertumbuhan bisa mencapai 91%, tergantung waktu terjadinya. Berdasarkan perhitungan neraca air harian di Jawa Barat, tidak terjadinya hujan lebih dari 15 hari berturut-turut menurunkan kandungan air tanah dari kapasitas lapang sampai di bawah 50% kapasitas lapang (Hasan 1997). Menurut McCaskill dan Kariada (1992) dan Niewolt (1989), terjadinya deret hari kering selama 7 hari atau lebih mempunyai dampak yang serius terhadap hasil tanaman di daerah tropis.

65 39 Pengaruh mundurnya awal musim hujan akibat dari berlangsungnya fenomena El-Nino dan dampaknya terhadap penurunan produksi padi musim hujan (MH) sudah dianalisis oleh Naylor et al. (2007). Anomali produksi padi Januari-April (APJ-A) dapat diduga dari awal musim hujan (AMH) dalam bentuk persamaan : 1. Jw. Barat/Jw. Tengah: APJ-A = AMH 0.3 AWM2; R2 = 56% 2. Jw. Timur/Bali: APJ-A = AMH 0.3 AWM2; R2 = 71% Dengan menggunakan persamaan (2), penurunan produksi padi Januari- April dengan mundurnya awal musim hujan satu bulan dari normal setara dengan penurunan produksi sekitar 6.5% untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah dan 11% untuk Jawa Timur dan Bali. Awal MH dihitung dari jumlah hari setelah tanggal 1 Agustus. Awal musim hujan sudah masuk apabila kumulatif tinggi hujan sejak tanggal 1 Agustus sudah mencapai 200 mm. Tahun 1982 dan 1997 merupakan tahun El-Nino kuat yang menyebabkan awal musim hujan mundur sampai 2-3 bulan (Gambar 14). Gambar 14. Hubungan anomali produksi padi Januari-April dengan awal MH (Sumber : Naylor et al. 2007) 2.6. Model Simulasi Tanaman DSSAT Model dapat diartikan sebagai penyederhanaan suatu sistim, sedangkan sistim adalah gambaran suatu proses atau beberapa proses (beberapa subsistim) yang teratur. Menurut Handoko (1994), meskipun terlihat rumit, namun sistim tersebut tetap merupakan suatu keteraturan. Model simulasi tanaman merupakan model yang dapat menggambarkan proses-proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang dipengaruhi oleh faktor iklim, tanah dan tanaman. Dalam aplikasinya, model simulasi tanaman mengintegrasikan beberapa disiplin ilmu, seperti agrometeorologi, sifat fisik dan

66 40 kimia tanah, pemuliaan tanaman dan agronomi dalam bentuk persamaan matematika untuk memprediksi pertumbuhan, perkembangan dan hasil tanaman (Hoogenboom 2000). Menurut Boer (1997), model-model simulasi tanaman yang berdasarkan pada faktor-faktor tanaman, tanah dan cuaca merupakan alat yang efektif dalam pertanian. Model-model ini dapat digunakan untuk merencanakan alternatif strategi untuk penanaman, penggunaan tanah dan pengelolaan air, untuk mengevaluasi tanaman, varietas dan teknologi budidaya, untuk menganilisis tingkat risiko iklim terhadap pertumbuhan tanaman sehingga dapat digunakan perluasan wilayah penanaman dan pemilihan sistim usaha tani yang sesuai dengan lokasi, untuk memformulasikan hipotesis dan rancangan percobaan untuk penelitian, untuk menduga hasil tanaman dan sebagainya. Studi tentang pemanfaatan model simulasi untuk tujuan analisis dampak dan perubahan iklim lebih banyak menggunakan model deterministik. Salah satu model deterministik yang digunakan di banyak negara adalah DSSAT (Decision Support System for Agrotechnology Transfer). DSSAT adalah suatu perangkat lunak untuk melakukan simulasi tanaman yang dikembangkan oleh IBSNAT (International Benchmark Site Network for Agrotechnology Transfer) di Hawaii University. DSSAT merupakan aplikasi perangkat lunak program yang terdiri dari model simulasi tanaman. Didukung oleh program manajemen basis data untuk tanah, cuaca, pengelolaan tanaman dan data eksperimental. Model simulasi tanaman di DSSAT mensimulasikan pertumbuhan, perkembangan dan hasil sebagai fungsi dari tanah-tanaman-atmosfer. Data minimum yang dibutuhkan model DSSAT (Jones et al. 1998) adalah : 1) posisi lintang dan bujur, data iklim harian : radiasi matahari, suhu udara minimum dan maksimum serta curah hujan, 2) tanah : kedalaman lapisan tanah atas dan bawah, tekstur, bobot isi (bulk density), carbon organik, ph dan kejenuhan aluminium, 3) manajemen : tanggal tanam, jarak tanam, kedalaman tanam, varietas, irigasi (untuk lahan irigasi) dan pupuk. Diagram database selengkapnya disajikan dalam Gambar 15.

67 41 Gambar 15. Diagram database, aplikasi, dan komponen perangkat lunak pendukung dan penggunaan model tanaman untuk aplikasi dalamdssat v3.5 (Sumber : Jones et al. 2003). Tsuji et al (1994) menjelaskan kegunaan DSSAT antara lain : 1) dapat menganalisis sensitivitas model yang digunakan dengan mengganti input parameter tanah, iklim dan tanaman tanpa merubah susunan file percobaan yang divalidasi, 2) dapat mengevaluasi variabilitas dan dampak perubahan strategi skenario iklim, 3) dapat menggambarkan dinamika pertumbuhan tanaman, keseimbangan penggunaan pupuk, dan proses konservasi tanah yang erat kaitannya dengan proses pergerakan air baik melalui run off, infiltrasi dan perkolasi. Selain itu, model DSSAT juga mampu mensimulasi proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman secara kontinu antar musim. Di sisi lain, ada beberapa kelemahan model DSSAT, yaitu : 1) tidak merumuskan pengaruh pupuk P (Phospor) dan K (Kalium), serta hama dan penyakit tanaman, 2) subyektivitas dalam merancang percobaan. Ulangan tidak dapat didiskripsikan dengan jelas, serta 3) keragaman output sangat rendah karena ulangan yang diberikan dengan input perlakuan yang sama pada periode penanaman yang sama akan memberikan hasil yang sama. Di Indonesia, model simulasi tanaman juga telah dikembangkan oleh para peneliti. Model yang banyak berkembang adalah model pertumbuhan tanaman padi. Prinsip model pertumbuhan tanaman padi adalah merupakan fungsi konversi dari CO 2 menjadi karbohidrat yang didistribusikan untuk pertumbuhan

68 42 komponen-komponen tanaman. Besarnya CO 2 yang dikonversi menjadi karbohidrat ditentukan oleh konsentrasi CO 2 dan intensitas radiasi serta tingkat cekaman hara (N, P dan K). Banyaknya karbohidrat yang berubah menjadi bahan kering ditentukan oleh laju respirasi. Validasi model DSSAT untuk tanaman padi IR 64 telah dilakukan oleh Surmaini (2006) dengan membandingkan data hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Padi mengenai pengaruh berbagai tingkat pemupukan N terhadap produksi padi di beberapa lokasi yaitu Geritan-Pati, Binangun-Cilacap, Muara- Bogor dan Sukamandi, dan diperoleh nilai koefisien korelasi yang cukup tinggi yaitu sebesar Asuransi Pertanian di Indonesia Saat ini dampak dari kejadian cuaca/iklim terhadap pelayanan finansial sebagian besar disebabkan oleh kejadian ekstrim. Sebagaimana diungkapkan oleh Wellington (2005) bahwa perubahan iklim membawa keuntungan sekaligus risiko bagi industri dan perusahaan. Perbedaan kerentanan ada yang disebabkan oleh lokasi geografis, distribusi penduduk, dan kekayaan nasional. Di negara-negara berkembang, jumlah kematian sangat tinggi akibat cuaca/iklim ekstrim, namun biaya untuk sektor keuangan relatif kecil karena penetrasi asuransi rendah. Sebaliknya di negara-negara maju, yang kehilangan kehidupan mungkin jauh lebih sedikit tetapi cukup banyak tersedia biaya untuk asuransi industri. Swiss Re (2000b) diacu dalam IPCC (2001) mengkompilasi data 40 kejadian bencana terburuk antara 1970 dan 1999 yang menunjukkan bahwa dari 40 kejadian bencana terburuk tersebut, 16 diantaranya terkait dengan iklim dan 13 diantaranya terjadi di Asia. Laporan ketiga kajian IPCC menggarisbawahi tentang pentingnya asuransi dan komponen jasa keuangan lainnya karena mewakili mekanisme penyebaran risiko melalui biaya yang didistribusikan yang berhubungan dengan kejadian cuaca, antar sektor dan melalui masyarakat. Sektor jasa keuangan juga berperan sentral dalam kegiatan adaptasi dan mitigasi dan merupakan sumber utama data global dan regional terkait dengan kejadian iklim (IPCC 2001). Mills (2006) menyajikan dalam laporannya beberapa bentuk solusi asuransi iklim, termasuk

69 43 diantaranya adalah program efisiensi energi, desain bangunan hijau (green building design) dan perdagangan emisi karbon. Hasil penelitian Osgood et al. (2007b) menunjukkan bahwa asuransi formal ini juga telah dikembangkan di negara-negara berkembang/miskin seperti India, Ethiophia, Tanzania, Malawi dan Kenya. Menurut Hadi (2000), asuransi formal bisa merupakan alternatif strategi yang diperlukan bagi petani. Asuransi ditawarkan sebagai salah satu dari skim pendanaan untuk membagi risiko seperti kegagalan panen. Asuransi pertanian penting sebagai bentuk proteksi atas kemungkinan kerugian akibat bencana alam (banjir, kekeringan, angin puting beliung) atau kerugian lainnya akibat anomali cuaca dan perubahan iklim (Sanim 2009). Di negara-negara maju, asuransi formal pertanian telah digunakan secara luas untuk mengantisipasi dampak buruk dari kegagalan panen. Hasil penelitian Ramaswami (1993) dalam Hadi (2000) menunjukkan bahwa asuransi formal pertanian dapat memperkecil risiko turunnya pendapatan petani sehingga kebutuhan konsumsi keluarga tetap terpenuhi secara normal sepanjang waktu. Selain itu dapat meningkatkan kapasitas petani untuk mendapatkan kredit karena dapat digunakan sebagai kolateral kepada pihak pemberi pinjaman (Lee et al. 1980). Asuransi pertanian sudah muncul sejak jaman dahulu, baik yang dilakukan oleh pihak swasta maupun pemerintah. Asuransi pertanian untuk bencana musim hujan ditemukan tahun 1979 di Jerman. Di Amerika Serikat penerapan asuransi pertanian pertama kali tahun 1880 dan produk yang diasuransikan adalah tembakau. Asuransi pertanian ini berkembang dengan baik di AS, Jepang, Uni Eropa dan Taiwan. Di India, Bangladesh dan Filipina agak lambat berkembang (Sanim 2009). Di Indonesia, Departemen Pertanian pernah mencoba membangun sistem asuransi formal pertanian dengan terlebih dahulu membentuk Kelompok Kerja (POKJA) Persiapan dan Pengembangan Asuransi Panen dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian (SK Mentan) nomor 369/Kpts/01/5/1982. Tugas POKJA tersebut antara lain : (1) mempelajari kemungkinan penerapan sistem asuransi panen (crop insurance) di Indonesia, (2) menjajagi, mengusahakan dan memanfaatkan bantuan dari negara lain, (3) menyiapkan rancangan/kerangka

70 44 bentuk sistim asuransi panen khususnya untuk tanaman padi, (4) melakukan uji coba mengenai sistem asuransi panen, dan (5) memberikan rekomendasi dan mengajukan rencana pembangunan sistim asuransi panen kepada pemerintah. POKJA tersebut belum berjalan dengan baik sehingga pada tahun 1984 dibentuk lagi POKJA berdasarkan SK Mentan nomor BM 110/98/Kpts/2/1984 tanggal 2 Februari 1984 yang tugasnya sama dengan POKJA tahun POKJA ini juga belum berjalan dengan baik sehingga pada tahun 1985 dibentuk lagi POKJA dengan tugas yang masih sama dengan sebelumnya. POKJA ini juga belum berhasil melaksanakan tugasnya. Anggota POKJA 1982, 1984 dan 1985 terdiri dari berbagai instansi pemerintah terkait kecuali badan litbang pertanian. Baru pada tahun 1999, Badan Litbang Pertanian (dalam hal ini diwakili oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian) dilibatkan dalam TIM Pengembangan Asuransi Pertanian berdasarkan Surat Penunjukkan Menteri Pertanian nomor KP.440/178/Mentan/VI/99 tanggal 10 Juni Tugas-tugas tim tersebut masih sama dengan tugas tim POKJA sebelumnya, namun telah melibatkan pihak asuransi (PT Pasaraya Life Insurance dan Koperasi Asuransi Indonesia) (Hadi, 2000). Tim ini berhasil menyusun proposal sistem asuransi pertanian, dimana asuransi panen (crop insurance) untuk padi dan asuransi jiwa (life insurance) menjadi satu paket asuransi. Pihak yang direncanakan menyediakan asuransi adalah sebuah konsorsium antara perusahaan swasta bidang asuransi dan pemerintah. Program asuransi ini telah berjalan pada tahun 2000 dalam bentuk Pilot Project di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Sarana dan Prasarana Departemen Pertanian. Berdasarkan kajian Pasaribu (2009a) asuransi pertanian telah diperkenalkan untuk jangkauan yang terbatas sejak tahun 2000 (oleh lembaga kredit asuransi Bumida, sebuah perusahaan asuransi umum nasional bekerjasama dengan BPD Sumut, sebuah bank lokal di Propinsi Sumatera Utara dan difasilitasi oleh Departemen Pertanian). Pada tahun peternak diarahkan untuk program penggemukan domba/sapi yang dilakukan di Kabupaten Jembrana Provinsi Bali tetapi bangkrut karena keuangan. Tahun 2006, Departemen Pertanian secara resmi kembali mencoba memperkenalkan asuransi pertanian, tetapi sayangnya sektor swasta belum tertarik. Pada tahun 2008, Departemen

71 45 Pertanian berinisiatif untuk menanggung risiko (kerugian sapi) dalam program skema asuransi pertanian. Program ini diperkenalkan untuk menanggung semua risiko untuk ternak dan tanaman padi dengan tingkat premi masing-masing 3.5% dari nilai pembelian/tahun dan 3.5% dari biaya produksi/ha/musim tanam. Program ini berlangsung di Jawa dan hanya untuk aplikasi asuransi pertanian. Penelitian tentang asuransi pertanian ini terus dikembangkan oleh Pasaribu (2009b) dengan melaksanakan pilot project di desa Pamatang Panombeian dan desa Marjandi Pisang, Kecamatan Panombeian, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara dan desa Riang Gede, Kecamatan Panebel, Kabupaten Tabanan, Povinsi Bali. Data tentang kesediaan para petani mengikuti pilot project asuransi di dua lokasi desa penelitian di Kabupaten Simalungan menunjukkan bahwa 90 persen responden menyatakan kesediaannya dan 10 persen sisanya menyatakan tidak bersedia dan masih ragu-ragu. Dalam kaitan dengan premi asuransi, persen petani menyatakan bersedia menanggung seluruh premi, sementara persen lainnya hanya sanggup menanggung sebagian. Dasar penetapan klaim yang diharapkan para petani adalah persen menginginkan atas dasar modal yang dikeluarkan dan persen berdasarkan nilai produksi. Cara penyampaian klaim yang diusulkan, sebagian besar (79.41%) memilih dengan cara berkelompok dan persen responden lainnya menginginkan secara individu. Harapan para petani di dua desa lokasi ini menginginkan pelaksanaan pilot project dapat dilakukan sejak MH 2010 (60%); MK-I 2010 (7%) dan MK-II 2010 (33%). Sementara respon petani di lokasi penelitian Kabupaten Tabanan menurut Pasaribu (2009b) menunjukkan bahwa 72.5 persen menyatakan kesediaan untuk mengikuti pilot project asuransi, 10 persen responden lainnya menyatakan tidak bersedia dan sebagian lagi (17.5%) masih ragu-ragu. Di lokasi desa Kabupaten Tabanan, 35.3 persen petani bersedia membayar seluruh premi dan 64.7 persen menyatakan hanya bersedia menanggung 50 persen. Penetapan klaim yang diinginkan agar didasarkan pada besaran modal yang dikeluarkan (55.9%) dan sisanya (44.1%) berdasarkan perkiraan nilai produksi. Cara penyampaian klaim yang diusulkan sebagian besar menyatakan melalui kelompok 61.8 persen dan sisanya secara individu. Sebagian besar petani responden menginginkan penerapan pilot project asuransi usahatani padi pada MH 2009/2010. Dari studi

72 46 yang telah dilakukan, menurut Pasaribu (2009a) hal yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa aspek hukum yang tersedia masih sangat minim. Oleh karena itu, hal ini merupakan peluang yang baik untuk mengembangkan penelitian tentang asuransi yang memperhitungkan parameter iklim yang diharapkan dapat memberikan wacana baru bagi sistim asuransi di Indonesia. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa Kementerian Pertanian (2012) melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1136/Kpts/OT.160/4/2012 telah membentuk Tim Pokja Asuransi Komoditas Pertanian yang mempunyai tugas melakukan : 1. Identifikasi permasalahan dan upaya pemecahannya dalam asuransi komoditas pertanian. 2. Perumusan model asuransi komoditas pertanian. 3. Pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan perlindungan usaha komoditas pertanian. Kementerian Pertanian bekerjasama dengan BUMN pertanian dan BUMN asuransi serta kelompok tani pada Bulan Oktober 2012 melaksanakan skim asuransi usahatani padi sebagai pilot studi pada 3000 ha sawah beririgasi di tiga lokasi (Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur, masing-masing 1000 ha). Namun, model yang dipakai masih model tradisional untuk menjamin usahatani padi dari risiko gagal panen karena banjir, kekeringan dan atau serangan OPT. Nilai premi Rp /ha/MT dengan nilai pertanggungan jika gagal panen (puso dengan kriteria tertentu) Rp. 6 juta/ha. Sebesar 80% premi dibayar pemerintah dalam bentuk subsidi yang diambil dari dana program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) yakni Rp. 144 ribu, sementara petani membayar sisanya (20%, sebesar Rp. 36 ribu) (Pasaribu 2012) Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance) Bencana-bencana yang terkait iklim, seperti banjir, kekeringan dan sebagainya merupakan faktor dominan penyebab kerugian pada usaha tani padi di Indonesia. Untuk mengatasi atau meminimalkan berbagai risiko akibat bencana terkait iklim tersebut, petani pada umumnya telah memiliki berbagai cara antara lain : mengganti tanaman dengan yang lebih tahan, meminjam uang melalui Bank,

73 47 koperasi atau kelompok tani, dll. Namun cara tersebut masih sangat terbatas dan tidak ada jaminan, sehingga petani akan tetap mengalami kerugian. Di negara seperti India dan Afrika, petani sudah memiliki cara untuk menstabilkan pendapatannya yaitu dengan asuransi informal, namun menurut Hadi (2000), asuransi informal ini memiliki kelemahan, yaitu : (1) bersifat individu dan tidak mengasuransikan secara penuh keluarga petani dalam suatu wilayah berisiko yang luas, dan (2) strategi petani dalam melakukan manajemen risiko tidak efektif (terlalu mahal) dan tidak dinikmati oleh semua petani. Oleh karena itu, perlu dikembangkan asuransi formal yang dapat digunakan sebagai alternatif strategi yang diperlukan oleh petani dan sangat berpeluang dikembangkan di Indonesia. Saat ini telah berkembang produk asuransi pertanian berbasis index iklim yang dikenal dengan Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance). Menurut Biro Perasuransian, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) Departemen Keuangan (2010), Asuransi Indeks Iklim adalah asuransi yang memberikan penggantian atas kerugian akibat penurunan tingkat panen atau kegagalan panen yang dikaitkan dengan cuaca. Contoh: curah hujan yang berlebihan, atau curah hujan yang kurang (kekeringan). Menurut Boer (2010b), sistem ini memberikan pembayaran pada pemegang polis manakala terpenuhi kondisi cuaca/iklim yang tidak diharapkan (Indeks Iklim) tanpa harus ada bukti kegagalan panen. Asuransi ini dapat mempercepat penerimaan petani terhadap teknologi adaptasi atau integrasi informasi prakiraan musim/iklim dalam membuat keputusan. Dalam sistem asuransi iklim yang diasuransikan ialah indeks Iklimnya bukan tanaman. Pembayaran dilakukan berdasarkan apakah indeks iklim yang ditetapkan dicapai pada periode pertumbuhan tanaman yang diasuransikan. Manuamorn (2010) mensarikan beberapa pernyataan tentang asuransi indeks iklim, diantaranya adalah : (1) kebijakan pembayaran indeks asuransi berbasis pada obyektif bukan pada pengukuran dari kehilangan riil, (2) indeks memerlukan korelasi yang kuat dengan kehilangan hasil riil yang akan diproteksi, (3) Pembayaran dibuat berdasarkan realisasi dari nilai indeks mengikuti skala pembayaran yang telah disetujui. Dalam penelitian ini, indeks yang akan dikaji adalah yang terkait dengan iklim/cuaca, yaitu indeks iklim. Indeks iklim paling banyak digunakan dalam

74 48 bidang pertanian. Hal ini disebabkan adanya korelasi yang tinggi antara kejadian iklim dan kehilangan produksi tanaman. Beberapa parameter yang umum digunakan untuk indeks iklim adalah : curah hujan, temperatur, kecepatan angin, biomas vegetasi, kelembaban tanah, serta growing degree days. Sebagai contoh dalam bidang pertanian, menurut Manuamorn (2010), index curah hujan ditujukan untuk melindungi petani dari kekeringan. Beberapa keuntungan asuransi indeks iklim, adalah : 1) tidak ada moral hazard, tidak tergantung pada perilaku individu, 2) tidak ada anti seleksi (Adverse Selection) dalam konteks subsidi silang karena didasarkan pada banyaknya ketersediaan informasi (seperti data iklim runut waktu). Hal ini membantu menghindari situasi dimana hanya orang-orang dengan risiko tinggi saja (yang memiliki pengetahuan lebih tentang risiko mereka yang mengasuransikan), 3) biaya adminitrasi rendah, 4) struktur transparan dan 5) fleksibel, dapat digabungkan dengan fasilitas lain (IFC 2009, Manuamorn 2010, dan IRI 2011). Sementara tantangannya adalah masih terbatasnya sumberdaya manusia sebagai pengguna untuk menilai apakah indeks asuransi akan memberikan manajemen risiko yang efektif, pasar masih dalam masa pertumbuhan di negara negara berkembang dan biaya awal (start-up) dapat menjadi signifikan (IFC, 2009), masih terbatasnya alat-alat pengamatan iklim/curah hujan otomatis dan handal untuk mendapatkan data yang berkualitas, serta undang-undang (regulasi) yang mendukung. Sisi lain dari kelebihan adalah kelemahannya. Kelemahan mendasar dari indeks asuransi adalah ketidaksesuaian antara pembayaran kontrak dan kehilangan riil. Konsekuensinya petani dapat mengalami kerugian dan tidak akan menerima pembayaran, atau petani jadi dibayar tanpa harus menderita kerugian (Manuamorn 2010). Kelemahan lain dari indeks asuransi adalah membutuhkan input teknologi yang tinggi selama fase perkembangan, serta memerlukan adaptasi lokal. Sebagai contoh, dalam kasus kekeringan sebagaimana tercantum dalam polis asuransi, petani yang diasuransikan akan menerima pembayaran tepat waktu. Kompensasi dapat digunakan untuk membiayai kembali atau melunasi pinjaman penyemaian produksi dan lain-lain. Sebaliknya, jika tidak ada kekeringan, para

75 49 petani yang mengikuti asuransi akan menerima pendapatan dari penjualan tanaman sepadan dengan biaya investasi dan tenaga kerja. Negara-negara yang sudah mengembangkan indeks asuransi iklim/cuaca antara lain : Malawi, India, Mongolia, Philipina, Thailand, dan Kenya. Di Malawi digunakan parameter presipitasi untuk mengaplikasikan asuransi bagi petani kacang. Di India dikembangkan asuransi berdasarkan indeks yang berbasis curah hujan sejak tahun 2003 dan telah berhasil menjual polis cukup besar. Thailand lebih memfokuskan pada risiko kekeringan terhadap tanaman jagung, sedangkan Malawi mengaplikasikan indeks asuransi untuk risiko kekeringan pada tanaman tembakau. Kenya menggunakan curah hujan sebagai parameter untuk menyusun indeks asuransi untuk tanaman jagung dan gandum. Selain itu, Kenya juga telah mengaplikasikan satelit sebagai dasar menentukan indeks vegetasi yang digunakan untuk memantau kekeringan pada ternak, khususnya di wilayah bagian utara. Berbagai metode telah digunakan untuk menentukan indeks iklim. International Research Institute for Climate and Society (IRI) telah mengembangkan suatu model untuk asuransi indeks iklim yang disebut dengan Weather Index Insurance Education Tool (WIIET). WIIET menggunakan konsep indeks cuaca untuk pengembangan asuransi indeks iklim. Penggunaan indeks cuaca ini sering digunakan untuk pertanian karena adanya korelasi yang tinggi antara peristiwa cuaca dan kerugian tanaman. Kehilangan hasil dihitung berdasarkan pendekatan kecukupan air (water satisfaction) (Gambar 16).

76 50 Diagram alir 1 WIIET-Pemodelan Tanaman Analisis Kecukupan Air : perlu data curah hujan dan evapotranspirasi, dll. Pembangkitan data WSI Konversi kehilangan. Membutuhkan set data WSI. Pembangkitan data kehilangan secara runut waktu. Alat (tools) digunakan untuk membantu membuat kontrak triggers dan untuk memahami potensi keuntungan dari tanam pada periode yang berbeda dari setiap musim. Diagram alir 2 WIIET. Desain Kontrak Kontrak. Perlu data pembayaran secara runut waktu, set data curah hujan dan data kehilangan hasil. Pembuatan Kontrak. Membutuhkan data curah hujan, data pembayaran. Ini merupakan bagian utama dari WIIET sebagai petunjuk bagi pengguna untuk memperkirakan parameter dalam pengembangan kontrak. Harga. Membutuhan data pembayaran runut waktu. Evaluasi Kontrak. Membutuhkan data pembayaran runut waktu dan data kehilangan hasil. Gambar 16. Diagram alir konsep model WIIET (Sumber : IRI 2009) Pendekatan lain yang bisa dilakukan untuk menghitung indeks iklim adalah dengan analisis Historical Burn (Historical Burn Analysis, HBA) yang dikembangkan oleh IRI (IRI 2012). Pendekatan ini digunakan apabila di lokasi penelitian hanya tersedia data curah hujan. Pada prinsipnya, analisis Historical Burn bergantung pada data masa lalu untuk memberikan kunci apa yang mungkin terjadi di masa depan. Dengan menggunakan pendekatan ini, diasumsikan bahwa tahun mendatang akan terlihat seperti salah satu dari tahun yang sudah terjadi. Oleh karena itu, data runut waktu yang panjang digunakan untuk menentukan trigger dan exit untuk indeks musim yang akan datang. Meskipun ini merupakan pendekatan yang sederhana, namun menjadi titik awal dimana indeks dapat dikembangkan lebih lanjut dan disempurnakan. Total curah hujan yang digunakan dalam penentuan indeks hujan adalah total curah hujan yang telah disesuaikan (adjusted rainfall total).

77 51 Dalam menggunakan analisis Historical Burn ada beberapa batasan yang digunakan, yaitu : 1. Index window (jendela indeks). Index window adalah periode selama musim tanam dimana kontrak asuransi indeks diaplikasikan. Biasanya, kontrak asuransi indeks dibuat mulai tanggal awal dan akhir dimana nilai indeks diukur. Indeks kekeringan, hanya akan mengindikasikan pembayaran jika curah hujan yang terukur di bawah nilai index s trigger selama periode yang ditentukan oleh index window. Jika curah hujan rendah di luar tanggal yang ditentukan oleh Index Window, tidak akan ada pembayaran. 2. Menentukan Pembayaran Menggunakan Trigger dan Exit : Selama Index window, perhitungan curah hujan oleh satelit atau alat ukur curah hujan dapat digunakan untuk menentukan apakah harus ada pembayaran untuk asuransi indeks kekeringan. Setiap index window memiliki apa yang disebut trigger/pemicu, jika jumlah total curah hujan selama index window lebih dari trigger, tidak ada pembayaran. Setiap curah hujan total di bawah trigger akan menghasilkan pembayaran. Pembayaran akan meningkat untuk setiap milimeter (mm) dari defisit curah hujan dibawah trigger, sampai pembayaran maksimum tercapai. Titik pembayaran maksimum disebut indeks 'exit'. Ringkasnya, jika curah hujan total untuk jendela indeks lebih besar dari trigger, maka tidak ada pembayaran. Jika curah hujan antara trigger dan exits, maka akan ada pembayaran secara parsial. Jika curah hujan di bawah exits, maka akan dibayar penuh. Gambar di bawah ini mengilustrasikan bagaimana pembayaran ditentukan oleh nilai trigger dan exits (Gambar 17). 3. Mengukur Curah Hujan - Menggunakan Cap: total curah hujan yang digunakan untuk mengetahui apakah indeks harus dibayarkan adalah total curah hujan yang disesuaikan (adjusted rainfall total). Untuk menghitung jumlah curah hujan yang disesuaikan, masukkan jumlah curah hujan untuk setiap periode sepuluh hari (disebut dekad) di jendela indeks. Selanjutnya jika jumlah curah hujan untuk periode sepuluh hari kurang dari 'cap' (misalnya 25 mm), maka digunakan curah hujan total untuk periode tersebut. Namun, jika sepuluh hari total curah hujan lebih dari cap, maka cap yang digunakan. Cap

78 52 merepresentasikan jumlah maksimum curah hujan yang dihitung untuk setiap periode sepuluh hari. Setelah penyesuaian dibuat, total dari per-sepuluh-hari curah hujan kemudian ditambahkan bersama-sama untuk menghitung total curah hujan yang disesuaikan untuk seluruh index window. 4. Cap diterapkan agar dapat lebih merepresentasikan masa kering. Misalnya apabila terjadi sebuah badai besar, dalam waktu yang singkat akan mungkin dihasilkan nilai curah hujan yang melebihi indeks trigger; sedangkan pada hari-hari yang lain mungkin masih mengalami curah hujan yang sangat sedikit dan tanaman kering. Dalam kasus ini, tanaman tidak akan mampu mengambil air yang banyak dari badai besar tersebut sebelum air mengalir ke tempat lain. Ketika cap yang digunakan untuk mengatur total curah hujan yang terukur melalui jendela indeks, maka semua kondisi tersebut diharapkan dapat terwakili. Gambar 17. Konsep pembayaran asuransi indeks iklim (IRI 2012) Tahapan analisis Hitorical Burn adalah sebagai berikut : 1. Pilih tahun dan periode yang diasuransikan (indeks window) dan hitung curah hujan dasarian pada periode tersebut. 2. Tentukan besarnya cap dan hitung curah hujan yang disesuaikan (adjusted rainfall total). Jika jumlah curah hujan untuk periode sepuluh hari kurang dari 'cap', maka digunakan curah hujan total untuk periode tersebut. Namun, jika dalam sepuluh hari total curah hujan lebih dari cap, maka cap yang digunakan.

79 53 3. Hitung jumlah curah hujan dasarian yang sudah disesuaikan untuk setiap tahunnya. Susun data curah hujan ini dari atas ke bawah mulai dari curah hujan tertinggi hingga terendah. 4. Tentukan nilai exit atau titik terendah dimana pembayaran sepenuhnya diberikan. Dalam indeks ini, Exit dirancang sehingga ada pembayaran penuh untuk tahun terburuk selama periode data. Di sini, Exit akan diatur sama dengan jumlah curah hujan pada tahun terburuk dan dibulatkan ke bilangan bulat terdekat. 5. Tentukan trigger berdasarkan periode ulang yang dipilih. Misal untuk kasus Cikedung periode ulang yang ditawarkan untuk asuransi adalah 4 tahun sekali. Artinya selama 42 tahun periode datanya ( ) ada sekitar 10 kali pembayaran. Tentukan sepuluh nilai terbawah dari data yang telah diurutkan. 6. Pembayaran akan dilakukan secara penuh apabila selama periode yang diasuransikan dipenuhi curah hujan lebih rendah dari exit. Apabila curah hujan berada antara exit dan trigger, maka pembayaran akan dilakukan secara parsial. Apabila curah hujan lebih besar dari trigger, maka tidak ada pembayaran. Berdasarkan studi di beberapa negara, indeks asuransi iklim/cuaca telah dikembangkan pada skala komersial dimana terdapat pemeran lokal serta penelitian dan pengembangan. Hasil penelitian Osgood di Malawi (Osgood 2007a dan 2007b) menunjukkan bahwa penggunaan indeks iklim dalam asuransi adalah mudah dan murah untuk diimplementasikan dan memberikan insentif yang baik. Bank Dunia (2005) diacu dalam IFC (2009) mensarikan beberapa hal penting terkait dengan kontrak indeks curah hujan untuk pengelolaan risiko pertanian, yaitu : Kontrak asuransi Indeks Curah Hujan didasarkan pada indeks curah hujan terstruktur untuk mencerminkan variabilitas produktivitas tanaman, dan fokus pada defisit merugikan atau curah hujan yang berlebihan yang menyebabkan hasil panen yang lebih rendah.

80 54 Indeks-indeks yang mendasari kontrak asuransi dihitung berdasarkan data curah hujan yang dikumpulkan dari stasiun cuaca yang mewakili karakteristik iklim dari daerah di mana produksi tanaman dilakukan. Pembeli Potensi dari kontrak asuransi harus dibatasi untuk daerah yang dicakup oleh stasiun cuaca referensi. Kontrak yang berbeda harus dirancang untuk daerah yang ditandai dengan kondisi iklim yang berbeda (misalnya, berbeda pola curah hujan); Periode cakupan yang dicover oleh kontrak asuransi indeks curah hujan biasanya meliputi satu siklus tanaman yang lengkap, mulai dari saat menyebar benih hingga panen. Bahaya yang dicover oleh kontrak indeks curah hujan adalah kurangnya atau kelebihan curah hujan. Sumber lainnya yang menyebabkan kerugian tidak tercakup oleh kebijakan indeks. Karena polis asuransi indeks diselesaikan berdasarkan pengukuran curah hujan, maka tidak ada kebutuhan penyesuaian kerugian berbasis lapangan. Pembayaran dapat disediakan secara tepat waktu sesegera mungkin setelah data indeks tersedia. Jumlah pertanggungan dalam kontrak dinegosiasikan antara pihak yang berkepentingan, namun biasanya ditetapkan pada tingkat yang sama dengan selisih antara biaya input dan potensi pendapatan dari tanaman dalam kondisi normal. Untuk aplikasi asuransi indeks iklim, diperlukan beberapa tahapan sebelum klaim bisa dibayarkan. Berdasar hasil penelitian Martirez (2009), tahapan yang dilakukan antara lain : 1). Desain produk, yang meliputi interview petani dan pemangku kepentingan, pengadaan data, desain index, uji coba polis serta dokumentasi pembelajaran, 2). Pemasaran produk, yang mencakup penyebaran dan penjelasan polis, umpan balik konsumen, dan pembelian polis, 3). Periode asuransi, yaitu melakukan monitoring index iklim, 4). Perhitungan dan pembayaran klaim. Setiap tahap tersebut membutuhkan waktu yang beragam, mulai dari 1 hingga 6 bulan (Gambar 18).

81 55 Gambar 18. Tahapan dalam aplikasi asuransi indeks iklim (Sumber : Martirez 2009) Selain itu, Bank Dunia (2005) diacu dalam IFC (2009) memberikan gambaran tentang beberapa keuntungan dan tantangan yang perlu mendapat perhatian dalam pengembangan asuransi indeks iklim. Beberapa keuntungan diantaranya adalah tidak terlalu rumit, rendahnya biaya administrasi dan multifungsi artinya dapat dengan mudah digabungkan dengan jasa keuangan lainnya, serta memfasilitasi pengelolaan risiko. Tantangannya adalah sumberdaya manusia sebagai pengguna untuk menilai apakah indeks asuransi akan memberikan manajemen risiko yang efektif, pasar masih dalam masa pertumbuhan di negara-negara berkembang dan biaya awal (start-up) dapat menjadi signifikan, serta undang-undang (regulasi) yang mendukung Keunggulan dan Kelemahan Model Asuransi Tradisional dan Asuransi Indeks Iklim Menurut Manuamorn (2010), model asuransi tradisional yang paling banyak dijumpai adalah : 1) Named-peril Crop Insurance, asuransi menutup kerusakan pada lokasi terpilih akibat bahaya yang mendadak seperti hujan es/batu (hail), kebakaran, udara beku (frost), 2) Multi-Peril Crop Insurance (MPCI), yaitu asuransi yang mencakup kehilangan hasil yang disebabkan oleh berbagai risiko. Untuk di Indonesia, berdasarkan risiko yang sering terjadi dan kondisi geografi, maka asuransi tradisional yang dijumpai adalah yang jenis kedua, yaitu MPCI.

82 56 Berdasarkan keunggulannya, asuransi tradisional bisa menyediakan cakupan yang menyeluruh dan teknik adaptasinya yang relatif rendah. Di sisi lain, biaya operasional yang dibutuhkan cukup tinggi (Tabel 3). Menurut Boer (2010b) biaya operasional asuransi tradisional sekitar 60%, sementara kalau asuransi indeks iklim hanya sekitar 20%. Asuransi indeks iklim juga didesain untuk mengurangi moral hazard karena ganti rugi tidak tergantung pada prosedur kehilangan hasil individu di lapangan. Selain itu keuntungan yang cukup terlihat adalah sifatnya yang multifungsi sehingga dapat digabungakan atau dikombinasikan dengan jasa keuangan lainnya. Selain keuntungan, beberapa tantangan asuransi indeks iklim juga perlu mendapat perhatian agar dalam pelaksanaan di lapangan, kendala tersebut dapat diminimalkan. Syarat utama yang perlu dipenuhi adalah sumberdaya manusia yang mampu menilai apakah indeks asuransi akan memberikan manajemen risiko yang efektif (Tabel 4). Tabel 3. Keunggulan dan Tantangan Asuransi Tradisional Keunggulan Menyediakan cakupan yang komprehensif Diperlukan teknik adaptasi yang rendah untuk tanaman yang berbeda Tantangan Kehilangan penyesuaian (lost adjustment) Tertanggung dapat mempengaruhi pembayaran ("moral hazard") Penanggung berakhir dengan risiko buruk karena informasi asimetris ("adverse selection") Biaya monitoring dan administrasi tinggi Membutuhkan biaya operasional yang besar Secara operasional sulit untuk petani kecil Sumber : Manuamorn 2010 Tidak cocok untuk negara-negara berkembang

83 57 Tabel 4. Keunggulan dan Tantangan Asuransi Indeks Iklim Keunggulan Tantangan Tidak ada moral hazard Ganti rugi tidak tergantung pada prosedur kehilangan hasil individu di lapangan. Tidak ada seleksi adverse (adverse selection) Ganti rugi didasarkan pada banyaknya informasi yang tersedia, sehingga sedikit informasi asimetri untuk dimanfaatkan Biaya adminitrasi rendah Tidak memerlukan inspeksi ke lapangan. Struktur standard dan transparan Struktur kontrak sama. Availability and negotiability Standard dan transparan sehingga bisa diperdagangkan di pasar sekunder. Fungsi reasuransi Asuransi indeks dapat digunakan untuk mentransfer risiko dengan lebih mudah berdasarkan korelasi kehilangan hasil tanaman. Basis risk Tanpa korelasi yang cukup antara indeks dan kerugian aktual, asuransi indeks tidak bisa menjadi alat manajemen risiko yang efektif. Model aktuaria precise Penanggung harus memahami statistik dan sifat yang mendasari indeks. Pendidikan Diperlukan oleh pengguna untuk menilai apakah indeks asuransi akan memberikan manajemen risiko yang efektif Ukuran Pasar Pasar masih dalam masa pertumbuhan di negara berkembang sehingga biaya awal (start-up) menjadi signifikan. Weather Cycles Kesehatan aktuaria premi bisa dirusak oleh siklus cuaca yang mengubah probabilitas dari peristiwa tertanggung, misalnya El Niño. Iklim Mikro Curah hujan atau area-hasil indeks berbasis kontrak sulit untuk kejadian lokal yang sering. Multifungsi Dapat digabungkan dengan jasa keuangan lainnya, memfasilitasi manajemen risiko Sumber : Bank Dunia (2005) diacu dalam IFC (2009) Prakiraan (Forecasts) Informasi asimetri tentang kemungkinan dari suatu peristiwa dalam waktu dekat akan membuat potensi inter-temporal adverse selection Regulasi Asuransi Indonesia Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) Departemen Keuangan menyebutkan beberapa undang-undang yang mendukung asuransi pertanian di Indonesia, yaitu : 1) Undang-Undang No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, 2) Peraturan Pemerintah, 3) Peraturan/Keputusan Menteri Keuangan serta 4) Keputusan Direktur Jenderal

84 58 Lembaga Keuangan dan Peraturan/Keputusan Ketua Bapepam-LK. Secara rinci regulasi asuransi Indonesia (BAPEPAM-LK 2010) adalah sebagai berikut : 1. Undang-Undang UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian 2. Peraturan Pemerintah PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian PP No. 63 Tahun 1999 tentang Perubahan atas PP No. 73 tahun 1992 PP No. 39 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua PP No. 73 tahun 1992 PP No. 81 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga PP No. 73 tahun Peraturan/Keputusan Menteri Keuangan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 78/PMK.05/2007 tanggal 13 Juli 2007 tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan Bagi Direksi dan Komisaris Perusahaan Perasuransian Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No. 422/KMK.06/2003 tanggal 30 September 2003 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi KMK No. 423/KMK.06/2003 tanggal 30 September 2003 tentang Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian KMK No. 424/KMK.06/2003 tanggal 30 September 2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi PMK No. 135/PMK.05/2005 tanggal 27 Desember 2005 tentang Perubahan atas KMK No.424/KMK.06/2003 PMK No. 158/PMK.010/2008 tanggal 28 Oktober 2008 tentang Perubahan Kedua atas KMK No.424/KMK.06/2003 KMK No. 425/KMK.06/2003 tanggal 30 September 2003 tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Kegiatan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi 4. Peraturan/Keputusan Menteri Keuangan KMK No. 426/KMK.06/2003 tanggal 30 September 2003 tentang Perizinan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi

85 59 PMK No. 74/PMK.012/2006 tanggal 31 Agustus 2006 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Bagi Lembaga Keuangan Non Bank PMK No. 74/PMK.010/2007 tanggal 29 Juni 2007 tentang Penyelenggaraan Pertanggungan Asuransi pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor PMK No. 124/PMK.010/2008 tanggal 3 September 2008 tentang Penyelenggaraan Lini Usaha Asuransi Kredit dan Suretyship Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan dan Peraturan/Keputusan Ketua Bapepam-LK Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) No. Kep-104/BL/2006 tanggal 31 Oktober 2006 tentang Produk Unit Link. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan No. Kep- 5443/LK/2004 tanggal 25 Oktober 2004 tentang Dukungan Reasuransi Otomatis Dalam Negeri dan Retensi Sendiri. Keputusan Ketua Bapepam-LK No. Kep-404/BL/2008 tanggal 31 Oktober 2006 tentang Penilaian Surat Utang Negara atau Surat Berharga Lain yang Diterbitkan oleh Negara dan Obligasi Peraturan Ketua Bapepam-LK No. Per-02/BL/2008 tanggal 31 Januari 2008 tentang Pedoman Perhitungan Batas Tingkat Solvabilitas Minimum Bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi Peraturan Ketua Bapepam-LK No. Per-06/BL/2008 tanggal 19 September 2008 tentang Referensi Unsur Premi Murni serta Unsur Biaya Administrasi dan Biaya Umum Lainnya pada Lini Usaha Asuransi Kendaraan Bermotor Tahun

86 60 Beberapa undang-undang juga dijadikan dasar dalam pembentukan Pokja Asuransi Komoditas Pertanian melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1136/Kpts/OT.160/4/2012, yaitu : 1. Undang-undang Nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3478). 2. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4286). 3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4355). 4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4411). 5. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistim Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4421). Selain itu didukung dengan Keputusan Presiden, Peraturan Presiden dan Peraturan Menteri Pertanian.

87 III. ANALISIS DAN DELINEASI WILAYAH ENDEMIK KEKERINGAN UNTUK PENGELOLAAN RISIKO IKLIM 3.1. Pendahuluan Salah satu indikator terjadinya perubahan iklim adalah semakin meningkatnya kejadian iklim ekstrim baik intensitas maupun penyebarannya. Bentuk kejadian iklim ekstrim yang sering muncul adalah berupa kekeringan. Kekeringan terjadi di hampir semua zona iklim, tetapi karakteristiknya bervariasi dari satu daerah ke daerah lain. Di Indonesia, kekeringan merupakan salah satu bencana yang paling sering terjadi dengan frekuensi dan tingkat risiko yang berbeda-beda, dan sektor pertanian merupakan sektor yang paling rentan terhadap kejadian kekeringan. Dampak kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan ini telah meluas ke berbagai wilayah termasuk Kabupaten Indramayu yang merupakan salah satu sentra produksi padi di Propinsi Jawa Barat. Sekitar 11.7% produksi beras Propinsi Jawa Barat berasal dari Kabupaten Indramayu (BPS 2009). Oleh karena itu, Kabupaten Indramayu memegang peranan penting dalam produksi beras. Keberhasilan program-program yang diterapkan di Kabupaten Indramayu akan membawa pengaruh yang cukup besar terhadap wilayah lainnya. Selain posisinya yang cukup strategis, di sisi lain, Kabupaten Indramayu sangat rentan terhadap kejadian iklim ekstrim, terutama kekeringan. Kekeringan menempati urutan pertama sebagai penyebab gagal panen di Kabupaten Indramayu (Boer 2010a). Adanya gangguan atau goncangan terhadap produksi padi di Kabupaten Indramayu akan membawa dampak terhadap produksi beras dan ketahanan pangan. Berdasarkan hasil identifikasi luas rata-rata wilayah pertanaman padi yang mengalami kekeringan pada tahun El Nino periode pada masingmasing kabupaten menunjukkan bahwa wilayah yang terkena kekeringan dengan luasan lebih besar dari 2000 ha sebagian besar terjadi di Pantai Utara Jawa Barat, terutama Kabupaten Indramayu (Boer 2008b). Kejadian kekeringan pada Bulan Juni tahun 2008 di Kabupaten Indramayu mengakibatkan 461 Ha lahan sawah (dari Ha luas tanam) mengalami kekeringan atau sekitar 63.9%. Demikian juga pada Bulan Agustus 2007, hampir 53.5% lahan sawah mengalami

88 62 kekeringan. Kerusakan tanaman padi akibat kekeringan lebih parah karena berlangsung pada daerah yang lebih luas dan waktu yang lebih lama. Untuk mengatasi masalah ini, daerah yang berisiko tinggi perlu diidentifikasi untuk membantu dalam pengelolaan risiko iklim. Dalam arti yang paling dasar, upaya pengelolaan risiko iklim adalah mencoba untuk mengurangi dampak cuaca dan iklim yang ekstrim yang dapat berpengaruh terhadap kehidupan dan mata pencaharian. Untuk memberikan data dan informasi penting terkait dengan pengelolaan risiko iklim, kejadian kekeringan dapat dikuantifikasi besarannya (luas) serta frekuensi kejadiannya. Berdasarkan data ini dapat dilakukan analisis untuk mengetahui tingkat endemik kekeringan di suatu kabupaten serta sebarannya secara spasial. Informasi ini penting guna mengetahui penyebaran wilayah dengan tingkat endemik kekeringan mulai dari tinggi hingga rendah untuk menentukan wilayah prioritas penanganan. Penelitian ini bertujuan untuk : 1) melakukan identifikasi dan klasifikasi tingkat endemik kekeringan berdasarkan data luas dan frekuensi kejadian kekeringan, 2) menyusun peta endemik kekeringan dan 3) memberikan pilihan teknologi berdasarkan tingkat endemik kekeringan untuk pengelolaan risiko iklim. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menentukan wilayah prioritas penanganan bencana kekeringan dan pengelolaan risiko iklim bagi para pengambil kebijakan, khususnya di Kabupaten Indramayu Metodologi Identifikasi dan Delineasi Wilayah Endemik Kekeringan Analisis dan delinieasi wilayah endemik kekeringan ditujukan untuk mengetahui kelompok wilayah dengan tingkat risiko kekeringan yang berbeda mulai dari yang tinggi, agak tinggi, agak rendah dan rendah. Data yang digunakan adalah data kekeringan (terkena dan puso) bulanan dan data frekuensi kejadian kekeringan untuk setiap kecamatan periode dari Instalasi PPOPT Indramayu. Data asli dari lapang merupakan data pengamatan 2 mingguan yang meliputi terkena ringan, sedang, berat dan puso. Data kekeringan terkena dan puso merepresentasikan kondisi tanaman akibat kejadian kekeringan yang dapat dilihat oleh mata (pengamat). Terkait dengan itu, Direktorat Perlindungan Tanaman

89 63 (2000) dan Dinas Pertanian Jawa Barat (2006) mengeluarkan suatu pedoman tentang kriteria kejadian kekeringan tersebut. Kejadian kekeringan ringan ditandai oleh ujung daun tanaman mengering. Kekeringan sedang gejalanya adalah bagian yang mengering berkembang mencapai ¼ panjang daun. Kekeringan berat ditandai oleh lebih dari 1/4-2/3 daun mengering. Apabila seluruh tanaman mengering/mati termasuk dalam kriteria puso. Untuk menggunakan data luas terkena dan puso sebagai input model, digunakan index dampak kekeringan (Boer 2008a) dengan formulasi : IDK = 0,5 (LT k ) + LP k dimana : LT k = luas terkena kekeringan, LP k = luas puso akibat kekeringan. Kriteria kekeringan yang digunakan adalah berdasarkan klasifikasi luas kekeringan dan frekuensi kejadian kekeringan. Data kekeringan yang telah berupa data indeks kekeringan selanjutnya dilakukan analisis anomali luas kekeringan, yaitu menghitung selisih antara data pada setiap kecamatan dengan rata-rata seluruh kecamatan. Demikian pula dengan data frekuensi kejadian kekeringan juga dihitung anomalinya. Kedua data tersebut selanjutnya diplot dalam grafik yang terbagi menjadi 4 kuadran yang merepresentasikan klasifikasi tingkat endemik kekeringan (Gambar 19). Gambar 19. Pembagian kuadran untuk klasifikasi endemik kekeringan Kuadran 1 adalah wilayah kecamatan dengan tingkat endemik tinggi., yaitu jika anomali luas kekeringan dan anomali frekuensi kejadian kekeringan keduanya bernilai positif. Kuadran adalah wilayah kecamatan dengan tingkat endemik agak tinggi, yaitu jika anomali luas kekeringan positif dan anomali frekuensi kejadian kekeringan negatif. Kuadran 3 adalah wilayah kecamatan dengan tingkat endemik kekeringan rendah, yaitu jika anomali luas kekeringan

90 64 dan anomali frekuensi kejadian kekeringan keduanya bernilai negatif. Kuadran 4 adalah wilayah kecamatan dengan endemik kekeringan agak rendah, yaitu jika anomali luas kekeringan negatif dan anomali frekuensi kejadian kekeringan positif. Hasil klasifikasi selanjutnya dipetakan dalam peta wilayah endemik kekeringan untuk setiap kecamatan. Dalam hubungannya dengan asuransi indeks iklim, peta endemik kekeringan memberikan informasi awal untuk pemilihan lokasi asuransi. Target utama bisa dipilih pada wilayah dengan tingkat endemik kekeringan tinggi Survey dan Wawancara Tentang Kekeringan Untuk mengetahui respon petani terhadap bencana terkait iklim khususnya kekeringan, maka dilakukan survey lapang dan wawancara di beberapa kecamatan di Kabupaten Indramayu. Survey dan wawancara sekaligus juga dilakukan untuk menggali data dan informasi tentang usahatani padi yang disampaikan dalam Bab 5. Wawancara dilakukan melalui quisoner dengan jumlah responden 150 orang petani yang tersebar di 13 desa di 3 kecamatan, yaitu : 1) Kecamatan Cikedung (desa Cikedung, Mundak Jaya, Cikedung Lor, Amis dan Loyang), 2) Kecamatan Lelea (desa Langgeng Sari, Telaga Sari, Tempel Kulon, Pengauban dan Tunggul Payung), dan 3) Kecamatan Terisi (desa Manggungan, Karangasam, dan Jatimunggul). Jadi setiap kecamatan diambil 3-5 desa, masing-masing desa mewakili tipe irigasi teknis, setengah teknis, swadaya, sederhana dan tadah hujan. Ada beberapa desa yang mewakili dua tipe irigasi sekaligus, seperti di desa Manggungan yang mewakili irigasi teknis dan sederhana PU serta di desa Jatimunggul untuk tipe irigasi swadaya dan tadah hujan. Beberapa pertanyaan yang terkait dengan risiko iklim ditanyakan kepada petani, antara lain : apa risiko utama pendapatan petani, apa risiko utama produksi (hama penyakit, banjir, kekeringan, kurangnya akses terhadap input dan lainnya), apa risiko iklim yang spesifik yang berpengaruh terhadap produksi dan bulan apa terjadi serta berapa lama. Apabila petani mengalami risiko iklim bagaimana mengatasinya. Dalam 10 tahun, berapa kali hasil padi mengalami penurunan akibat kekeringan. Tahun berapa dalam 10 tahun terakhir yang memiliki cuaca/iklim yang paling menguntungkan dan paling merugikan untuk produksi.

91 65 Daftar pertanyaan selengkapnya disajikan dalam quisoner (lampiran 5) pada bagian V tentang risiko Hasil dan Pembahasan Kekeringan di Kabupaten Indramayu Kekeringan merupakan kejadian iklim ektrim yang sering terjadi di Kabupaten Indramayu dan membawa kerugian yang cukup besar terutama di sektor pertanian. Menurut Las (2007), kejadian iklim ekstrim antara lain menyebabkan: (a) kegagalan panen, penurunan IP yang berujung pada penurunan produktivitas dan produksi; (b) kerusakan sumberdaya lahan pertanian; (c) peningkatan frekuensi, luas, dan bobot/intensitas kekeringan; (d) peningkatan kelembaban; dan (e) peningkatan intensitas gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Berdasarkan hasil analisis Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman (1995) diacu dalam Fagi et al. (2002) terhadap wilayah pertanaman yang terkena kekeringan pada tahun 1994 menunjukkan bahwa petani di Jawa Barat yang beriklim relatif basah umumnya kurang peka terhadap ancaman kekeringan dibandingkan petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang mempunyai bulan kering lebih nyata. Salah satu kabupaten yang sangat rawan terhadap kekeringan di Jawa Barat adalah Kabupaten Indramayu. Petani sebagai pelaku kegiatan pertanian di lapangan menerima risiko yang paling besar akibat kekeringan. Kondisi ini semakin berat karena pertanian merupakan pekerjaan utama masyarakat di Kabupaten Indramayu. Hasil survey menunjukkan bahwa 92% masyarakat di lokasi survey memiliki pekerjaan utama sebagai petani. Selebihnya adalah sebagai wiraswasta (5%), pedagang (2%) dan aparat pemerintah (1%) (Gambar 20a). Komoditas yang diusahakan petani juga dominan padi (92%) yang merupakan tanaman dengan kebutuhan air yang cukup besar dan berlangsung hampir sepanjang umur tanaman (3-4 bulan) kecuali varietas tertentu yang tahan kekeringan (Gambar 20b). Dengan demikian guncangan terhadap produksi pertanian akan sangat berpengaruh terhadap pendapatan petani.

92 66 (a) (b) Gambar 20. Persentase responden untuk jenis pekerjaan utama (a) komoditas (b) dan Risiko yang harus ditanggung petani akibat gagal panen pada umumnya disebabkan oleh bencana terkait iklim seperti kekeringan, banjir dan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Hasil survey dan wawancara terhadap petani memperlihatkan bahwa dari ketiga kejadian iklim tersebut, yang menjadi penyebab utama gagal panen adalah kekeringan, yaitu 79.8%, sedangkan gagal panen akibat serangan OPT 15.6% dan akibat banjir sekitar 5.6 % (Gambar 21a). Kekeringan pada umumnya berlangsung selama 1-8 bulan. Bulan terparah dengan periode kekeringan yang sangat panjang (8 bulan) dialami oleh sekitar 1.6% petani responden. Berdasarkan hasil survey, petani mengalami kekeringan yang paling sering adalah selama 6 bulan, yaitu sekitar 32% petani. Kekeringan selama 3 dan 5 bulan juga cukup banyak dialami petani responden, yaitu masing-masing 17.2% dan 19.5% (Gambar 21b). Berdasarkan lamanya kejadian kekeringan di lokasi penelitian, terlihat bahwa lokasi ini mengalami kekeringan yang cukup intens. Oleh karena itu perlu adanya solusi dalam memperkecil risiko yang dialami petani akibat kejadian kekeringan. Menurut petani, Bulan Juni merupakan bulan yang paling banyak terjadi kekeringan (32.3%) yaitu pada musim kemarau kedua (MK 2) (Gambar 21c). Hal ini sesuai dengan hasil identifikasi data kekeringan di kabupaten Indramayu periode Agustus 2005 sampai dengan September 2011 yang memperlihatkan bahwa puncak kekeringan pada umumnya terjadi pada musim Gadu yaitu Bulan Juni hingga Agustus (Gambar 21d).

93 67 (a) (b) (c) (d) Gambar 21. Persentase penyebab gagal panen (a), lamanya kekeringan (b), bulan kejadian kekeringan (c) dan kejadian kekeringan (d). Untuk sebaran data luas kekeringan dan jumlah kejadian kekeringan setiap kecamatan di Kabupaten Indramayu memperlihatkan hasil yang beragam. Berdasarkan data kekeringan periode Agustus September 2011, sebaran rata-rata luas kekeringan per kecamatan dari 31 Kecamatan di Kabupaten Indramayu adalah 26 Ha sampai dengan 1602,5 Ha, dengan rata-rata 406 Ha. Kecamatan dengan rata-rata luas kekeringan terendah adalah di Kecamatan Sukra dan tertinggi di Kecamatan Kroya. Ditinjau dari jumlah kejadian kekeringan berkisar antara 1-9 kejadian selama kurun waktu Kecamatan Indramayu merupakan wilayah dengan jumlah kejadian kekeringan tertinggi, dan Kecamatan Bongas, Jatibarang serta Pasekan hanya mengalami satu kali kejadian selama periode tersebut. Rata-rata jumlah kejadian kekeringan adalah 4 kejadian (Gambar 22).

94 Akumulasi Luas Kekeringan (Ha) Akumulasi Kejadian Kekeringan Anjatan Arahan Balongan Akumulasi Luas Kekeringan (Ha) Frekuensi Kejadian Kekeringan Bangodua Bongas Cantigi Cikedung Gabuswetan Gantar Haurgeulis Indramayu Jatibarang Juntinyuat Kandanghaur Karangampel Kedokan Bunder Kertasemaya Kecamatan Krangkeng Kroya Lelea Lohbener Losarang Pasekan Patrol Sindang Sliyeg Sukagumiwang Sukra Terisi Tukdana Widasari Gambar 22. Luas kekeringan dan jumlah kejadian kekeringan rata-rata per kecamatan di Kabupaten Indramayu periode Agustus 2005 September Kejadian kekeringan yang terparah pada Bulan Juni tahun 2008 mengakibatkan 461 Ha lahan sawah (dari Ha luas tanam) mengalami kekeringan atau sekitar 63.9%. Demikian juga pada Bulan Agustus 2007, hampir 53.5% lahan sawah mengalami kekeringan. Hal ini disebabkan kekeringan terjadi tidak lama setelah puncak tanam (Gambar 23). Pada tahun 2007 puncak tanam terjadi pada bulan Mei yaitu rata-rata sekitar 1462 Ha, tetapi 3 bulan kemudian yaitu pada Bulan Agustus (dengan luas tanam 623 Ha) terjadi puncak kejadian kekeringan yang cukup parah dengan rata-rata luasan 333 Ha atau sekitar 50% lahannya mengalami kekeringan. Pola kejadian yang hampir sama terjadi di tahun 2008 bahkan lebih parah dibandingkan tahun sebelumnya. Kekeringan terjadi 2 bulan setelah puncak tanam. Puncak tanam pada Bulan April (rata-rata 2410,3 Ha) dan puncak kekeringan terjadi pada bulan Juni 2008 dengan luas tanam 721,8 Ha) dan luas rata-rata kekeringannya 461,2 Ha atau lebih dari 60% lahannya terkena kekeringan. Berdasarkan indikator global suhu muka laut, tahun 2007/2008 adalah tahun-tahun El Nino. Data anomali SST pada periode tersebut dominan memperlihatkan nilai lebih dari 0.5 baik positif maupun negatif.

95 OKT NOP DES JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP Curah Hujan (mm) Luas Tanam dan Kekeringan (Ha) CH Luas Kekeringan Luas Tanam Bulan dan Tahun Gambar 23. Kejadian kekeringan, luas tanam dan curah hujan rata-rata kecamatan di Kabupaten Indramayu periode Oktober 2006 September Penyebaran Tingkat Endemik Kekeringan di Kabupaten Indramayu Untuk mengetahui sebaran tingkat endemik kekeringan pada setiap kecamatan, maka dilakukan klasifikasi terhadap data luas kekeringan dan frekuensi kejadian kekeringan. Klasifikasi dibuat untuk 4 kelompok, yaitu wilayah kecamatan dengan tingkat endemik kekeringan 1) tinggi, 2) agak tinggi, 3) agak rendah dan 4) rendah. Berdasarkan data anomali luas dan anomali frekuensi kejadian kekeringan dapat di kelompokkan menjadi 4 kuadran yang masingmasing merepresentasikan tingkat endemik kekeringan (Gambar 24). Gambar 24. Pembagian tingkat endemik kekeringan berdasarkan kuadran

96 70 Kuadran 1 adalah wilayah endemik kekeringan tinggi. yaitu Kecamatan Cikedung, Gabuswetan, Indramayu, Kandanghaur, Kedokan Bunder, Krangkeng, Lelea, Lohbener, Losarang dan Sliyeg. Wilayah ini mengalami kejadian kekeringan yang cukup sering dengan luasan yang juga cukup besar. Artinya wilayah ini berisiko tinggi terhadap kejadian kekeringan. Kuadran 2 adalah wilayah endemik agak tinggi, antara lain Kecamatan Juntinyuat, Kroya dan Terisi. Pada wilayah ini meskipun kejadian kekeringannya agak jarang tetapi begitu ada kejadian kekeringan, luas lahan yang mengalami kekeringan cukup besar. Kuadran 3 adalah wilayah dengan endemik rendah terhadap kekeringan, yaitu Kecamatan : Anjatan, Arahan, Bangodua, Bongas, Jatibarang, Karangampel, Kertasemaya, Pasekan, Patrol, Sindang dan Widasari. Wilayah ini merupakan wilayah dengan luas kekeringan kecil dan frekuensi kejadiannya rendah. Kuadran 4 adalah wilayah endemik agak rendah, yaitu Kecamatan Balongan, Cantigi, Gantar, Haurgeulis, Sukagumiwang, Sukra dan Tukdana. Secara spasial penyebaran wilayah endemik kekeringan ini disajikan dalam peta endemik kekeringan (Gambar 25). Gambar 25. Peta tingkat endemik kekeringan di Kabupaten Indramayu

97 71 Setiap wilayah endemik kekeringan memilki karakteristik khusus berdasarkan rata-rata luas kekeringan dan anomalinya (Gambar 26a) serta ratarata frekuensi kejadian kekeringan dan anomalinya (Gambar 26b). Wilayah dengan tingkat endemik kekeringan tinggi memiliki rata-rata luas kekeringan Ha dengan rata-rata anomali Ha, serta rata-rata frekuensi kejadian kekeringan 6 kali dan anomalinya sebesar 2 kali. Untuk wilayah endemik kekeringan agak tinggi, dicirikan dengan rata-rata luas kekeringan 2793 Ha dengan anomali sebesar 1530 Ha, dan rata-rata frekuensi kejadian kekeringan sebanyak 3 kali dengan anomali -1. Untuk wilayah endemik kekeringan agak rendah, rata-rata luas kekeringannya adalah 712 Ha dengan anomali -551 Ha, dan rata-rata frekuensi kejadian kekeringan 4 kali dengan anomali 0.5 kali. Wilayah endemik kekeringan rendah dicirikan oleh rata-rata luas kekeringan 563 Ha dengan anomali -701 Ha, dengan rata-rata frekuensi kejadian kekeringan 2 kali namun anomalinya juga -2 kali. Jadi hampir tidak pernah terjadi kekeringan, sehingga wilayah ini relatif aman. (a) (b) Gambar 26. Karakteristik luas kekeringan dan anomalinya (a) dan frekuensi kejadian kekeringan dan anomalinya (b) di Kabupaten Indramayu. Di Kabupaten Indramayu terdapat dua bendung utama yang sangat berperan memasok air irigasi, yaitu : Perum Otorita Jatiluhur di Kabupaten Purwakarta dan bendung Rentang di Kabupaten Majalengka. Pendistribusian air irigasi diatur sesuai golongan irigasi. Berdasarkan peta irigasi dari Dinas Sumberdaya Air dan Pertambangan dan Energi Kabupaten Indramayu (2009) (Gambar 27), Kabupaten Indramayu dibagi dalam 5 golongan irigasi, yaitu irigasi golongan 1, golongan 2, golongan 3, golongan 4 dan golongan 5.

98 72 Gambar 27. Peta Irigasi Kabupaten Indramayu (Sumber : Dinas Sumberdaya Air dan Pertambangan dan Energi Kabupaten Indramayu 2009). Untuk mengetahui sebaran wilayah endemik kekeringan dan wilayah irigasinya, maka dilakukan overlay antara kedua peta tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa wilayah dengan tingkat endemik kekeringan tinggi pada umumnya terletak di wilayah ujung irigasi (golongan 3, 4 dan 5), seperti Kandanghaur, Losarang, Gabuswetan dan Cikedung serta wilayah tadah hujan. Wilayah yang relatif aman terhadap kekeringan (dengan tingkat endemik rendah) sebagian besar merupakan wilayah irigasi golongan 1 atau 2 yang relatif dekat dengan bendung atau sumber air (Gambar 28). Gambar 28. Peta endemik kekeringan dan jaringan irigasi di Kabupaten Indramayu

99 73 Pada saat terjadi kekeringan, persediaan air di dua bendung utama yaitu Jatiluhur dan Rentang menurun, sehingga mengakibatkan pasokan air irigasi juga berkurang. Selain itu, rendahnya curah hujan juga menyebabkan pasokan air di lahan tadah hujan sangat rendah. Pada kejadian kekeringan Bulan September 2011 di Kabupaten Indramayu, dalam waktu dua minggu areal padi yang mengering bertambah dari 12 ribu hektar menjadi 15 ribu hektar. Kondisi tanaman padi yang kekeringan pada umumnya berusia mulai 6 minggu hingga 8 minggu. Kondisi tanaman seumur itu sedang memerlukan pasokan air dalam jumlah yang cukup. Namun kenyataannya pada saat tanaman padi sedang memerlukan air, pasokan air irigasi terhenti, sehingga tanaman terancam gagal panen. Kekeringan di Kabupaten Indramayu hampir terjadi setiap tahunnya, sehingga petani harus dibantu dalam mengatur pola tanam dan tidak memaksakan menanam padi jika pasokan air kurang karena tanaman padi memerlukan air yang cukup banyak selama pertumbuhannya. Hal ini berbeda dengan palawija dan hortikultura yang tidak terlalu banyak membutuhkan air. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani di lokasi penelitian, selama ini apabila terjadi kekeringan petani belum banyak melakukan tindakan penanggulangan atau antisipasi. Sebagian petani sudah menggunakan teknologi pompanisasi (17.3%), sumur bor (16.7%), pasrah dengan keadaan dan menunggu hingga ada air (0.7) dan sisanya tidak memberikan jawaban (65.3%). Untuk mencukupi kebutuhan keluarga apabila terjadi kekeringan, maka petani pada umumnya melakukan pekerjaan sampingan seperti dagang, menjadi buruh, membuat batu bata, dan beternak. Petani pada umumnya telah memiliki beberapa cara untuk menekan risiko iklim. Menurut Boer et al. (2003c), beberapa upaya yang dilakukan oleh petani sawah untuk mengantisipasi risiko iklim diantaranya ialah penerapan teknologi gogo rancah, sistim semai kering, sistim culik, penggantian varietas atau komoditas, sumur pompa dan teknologi konservasi air lainnya.

100 Implikasi Terhadap Pengelolaan Risiko Iklim di Kabupaten Indramayu Pada lahan irigasi, dampak kekeringan yang paling parah akan dialami oleh subdaerah hilir dibandingkan tengah dan hulu. Kondisi serupa akan terjadi pula pada wilayah yang mendapat pasokan air irgasi belakangan. Pada lahan sawah tadah hujan, defisit air sangat ekstrim akan terjadi terutama pada wilayah yang mempunyai bulan basah pendek. Menurut Fagi et al. (2002) antisipasi yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko kekurangan air pada kedua agroekosistem tersebut antara lain dengan pengaturan pola tanam dan menggunakan komponen teknologi yang relevan mulai dari pengolahan tanah, pemilihan varietas, penanaman hingga pemeliharaan tanaman, pengairan dan panen. Pada lahan sawah tadah hujan, kekeringan dapat terjadi setiap saat dan tidak mengikuti interval waktu tertentu. Penerapan teknologi budidaya dan pola tanam sangat berperan untuk mensiasati keterbatasan air. Untuk meminimalkan dampak kekeringan pada lahan sawah irigasi, strategi umum yang ditempuh adalah menghemat air waduk/sungai pada MH untuk digunakan pada MK, misalnya dengan penerapan teknik irigasi bergilir teratur (rotational irrigation). Teknik ini dapat menghemat air sebanyak 30% dibandingkan teknik irigasi mengalir (Fagi et al. 2002). Terkait dengan irigasi, hasil penelitian Boer et al. (2011b) di Kabupaten Indramayu menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh petani di bagian atas DAS (hulu) dan di bagian bawah DAS (hilir) relatif sama, yaitu permasalahan infrastruktur irigasi yang banyak terdapat kerusakan, pendangkalan saluran karena erosi dan terdapatnya sejumlah pintu air yang rusak. Dengan kondisi tersebut, dampak yang dirasakan pada wilayah hilir akan jauh lebih besar dibandingkan hulu, baik pada musim hujan maupun kemarau. Terkait dengan pengelolaan risiko iklim di Kabupaten Indramayu, peta endemik kekeringan serta karakteristik khusus pada setiap wilayah dengan tingkat endemik kekeringan yang berbeda-beda sangat diperlukan dalam pemilihan wilayah prioritas penanganan bencana serta opsi pengelolaan risiko iklimnya. Wilayah endemik kekeringan tinggi perlu mendapat prioritas utama penanganan apabila terjadi bencana kekeringan, karena wilayah ini mengalami frekuensi

101 75 kejadian kekeringan yang paling sering dengan luasan yang cukup besar. Untuk lahan beririgasi bisa diterapkan teknik irigasi bergilir teratur. Penghematan air bisa dilakukan dengan menggunakan varietas sangat genjah (<110 hari) pada MH. Pada MK varietas padi yang ditanam juga berumur sangat genjah dan tahan kekeringan. Menurut Fagi et al. (2002), pergiliran varietas umur genjah ( hari) dengan umur sangat genjah dianjurkan untuk mengantisipasi kekeringan saat pengisian malai. Varietas umur sangat genjah dengan perakaran dalam akan efisien dalam memanfaatkan air dan dapat terhindar dari cekaman kekeringan. Untuk lahan sawah tadah hujan, penanaman padi gogorancah dan walik jerami merupakan salah satu teknologi guna mengurangi risiko kekeringan. Pembuatan embung dan pompanisasi juga dapat dikembangkan untuk mengatasi kekurangan air. Untuk wilayah endemik kekeringan agak tinggi, teknologi yang dianjurkan pada wilayah endemik kekeringan tinggi dapat diaplikasikan pada wilayah ini. Pada wilayah endemik agak rendah, pemilihan varietas tahan kekeringan dan OPT, teknik embung dan pompanisasi serta pengaturan pola tanam bisa diaplikasikan untuk menekan risiko kekeringan walaupun kejadian kekeringan di wilayah ini relatif kecil. Untuk wilayah yang relatif aman terhadap kekeringan, teknologi yang perlu diterapkan adalah pemilihan varietas yang tahan terhadap serangan OPT. Pengendalian hama terpadu juga perlu dilakukan untuk mengurangi risiko gagal panen. Pengaturan pola tanam yang tepat pada akhirnya akan membantu keberhasilan budidaya tanaman padi (Tabel 5). Selain beberapa opsi teknologi tersebut, teknologi yang sudah berkembang di tingkat petani Indramayu juga perlu terus dikembangkan seperti sistim ngipuk, sistim culik, semai kering dan sebagainya. Untuk lahan sawah irigasi, pemeliharaan saluran juga sangat disarankan untuk mengurangi hilangnya air akibat kebocoran atau kerusakan saluran irigasi. Penerapan teknologi ini akan sangat efektif apabila petani dapat menggunakan informasi prakiraan iklim dengan baik. Teknologi atau upaya apa yang dapat dilakukan disesuaikan dengan informasi prakiraan yang diterima. Tersedianya informasi prakiraan iklim yang andal belum menjamin dapat mengatasi bencana iklim apabila informasi ramalan diberikan tidak tepat waktu dan dapat digunakan oleh pengguna sebagaimana mestinya. Untuk dapat

102 76 menjamin informasi ramalan iklim sampai tepat waktu, perlu adanya dukungan kelembagaan dan ketersediaan tenaga lapangan yang dapat menyampaikan informasi tersebut dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh petani. Disamping itu petani juga harus mampu menggunakan hasil ramalan iklim dalam menentukan strategi budidaya yang akan dipilih. Tabel 5. Beberapa opsi pengelolaan risiko iklim berdasarkan tingkat endemik kekeringan Tingkat Endemik Jumlah rata2 luas kekeringan dan anomalinya (Ha) Jumlah rata2 frekuensi kejadian kekeringan dan anomalinya Diskripsi Wilayah Tinggi Sebagian besar merupakan wilayah tadah hujan dan wilayah yang berada di ujung irigasi (Gol III, IV dan V) Agak Tinggi Sebagian masih berada di wilayah ujung irigasi namun masih mendapat sedikit pasokan air (golongan III) Agak Rendah Sebagian merupakan wilayah yang mendapat pasokan air sedang (golongan II) Rendah Merupakan wilayah dengan pasokan air cukup (golongan I) Opsi Teknologi Rekomendasi Pengelolaan Risiko Iklim Wilayah ini merupakan prioritas pertama penanganan apabila terjadi bencana kekeringan. Untuk lahan irigasi, dapat diterapkan teknik irigasi bergilir teratur, penggunaan varietas sangat genjah dan toleran kekeringan, tanah diolah minimum atau TOT. Untuk sawah tadah hujan digunakan padi gogorancah pada MH dan walik jerami pada MK, teknik embung dan pompanisasi, penggunaan varietas tahan OPT, PHT, pergiliran varietas dan pengaturan pola tanam. Untuk lahan irigasi, dapat diterapkan teknik irigasi bergilir teratur, penggunaan varietas sangat genjah dan toleran kekeringan, tanah diolah minimum atau TOT. Untuk sawah tadah hujan digunakan padi gogorancah pada MH dan walik jerami pada MK, teknik embung dan pompanisasi, penggunaan varietas tahan OPT, PHT, pergiliran varietas dan pengaturan pola tanam. Pemilihan varietas tahan kekeringan dan OPT, PHT, pengembangan embung dan pompanisasi serta pengaturan pola tanam. Pemilihan varietas tahan OPT, PHT, pengaturan pola tanam.

103 77 Menurut Boer et al. (2003b), program Sekolah Lapangan Iklim (SLI) yang saat ini sedang dikembangkan diperkirakan merupakan sarana yang efektif dalam memberdayakan petani untuk memanfaatkan informasi ramalan iklim secara efektif. Hasil penelitian Ratri (2005) berdasarkan survey dan wawancara petani menunjukkan bahwa informasi prakiraan iklim diperlukan sedini mungkin untuk mengambil keputusan mengenai tindakan yang akan dilakukan dalam mengantisipasi atau mengurangi kerugian akibat kejadian iklim ekstrim. Dukungan kelembagaan sangat penting dalam melaksanakan suatu langkah operasional yang sudah ditetapkan. Misalnya keputusan untuk mengganti varietas pada musim tanam tertentu akan dapat dilaksanakan apabila benih tersebut tersedia. Untuk menyediakan benih PEMDA atau kios penyedia benih perlu melakukan upaya khusus karena jumlah benih yang dibutuhkan akan sangat besar. Terkait dengan kelembagaan, hasil penelitian Boer et al. (2011b) menyebutkan bahwa sistem organisasi produksi pangan di Indramayu melibatkan berbagai pihak, mulai dari rumah tangga pelaku pembudidaya (petani padi), kelompok tani dan gabungan kelompok tani, asosiasi/perkumpulan yang menangani pasca panen, para pelaku Usaha Pelayanan Jasa Alsintan, Kelembagaan/ Organisasi Pemerintah seperti : Dinas Pertanian, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluh Pertanian, Badan Sumberdaya Air, Organisasi Pasar dan Konsumen, Organisasi Usaha Input Budidaya Pertanian, dan Organisasi Pembiayaan Kredit. Di tingkat petani, organisasi produksi ini umumnya beririsan dengan kelompok Perhimpunan Petani Pengguna Air (P3A) dengan fungsi yang spesifik pada manajemen pengairan sehingga dinamika kelembagaannya bergantung kepada kuantitas air. Kelembagaan produksi pangan yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Indramayu berbeda-beda sesuai dengan permasalahan yang mereka hadapi sebagai interaksi faktor alam lingkungan (termasuk iklim), manusia dan infrastruktur pertanian. Petani belum mampu mengembangkan kelembagaan hingga ke tahap penguatan organisasi karena tidak adanya air yang menjadi dasar kebutuhan kelembagaan tersebut. Namun masyarakat sudah merumuskan bentukbentuk kelembagaan dalam kerangka mengatasi permasalahan (banjir dan kekeringan) melalui mekanisme Musyawarah Rencana Pembangunan

104 78 (Musrenbang) desa/kecamatan. Selain sistim kelembagaan yang kuat, dan kualitas serta diseminasi hasil prakiraan iklim yang tepat waktu dan sasaran, peningkatan pemahaman petani terhadap informasi iklim juga menjadi kunci keberhasilan pengelolaan risiko iklim. Hasil penelitian tentang wilayah endemik kekeringan ini telah ditulis dalam bentuk jurnal dengan judul Identifikasi dan Delineasi Wilayah Endemik Kekeringan Untuk Pengelolaan Risiko Iklim di Kabupaten Indramayu. Jurnal ini telah diterima pada Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Jakarta dan dalam proses terbit Simpulan Kejadian kekeringan di Kabupaten Indramayu merupakan penyebab utama (79.8%) gagal panen selain OPT (15.6%) dan banjir (5.6%). Kekeringan pada umumnya berlangsung selama 1-8 bulan. Petani mengalami kekeringan yang paling sering adalah selama 6 bulan (32%). Bulan Juni merupakan bulan dimana petani paling sering mengalami kekeringan (32.2%). Puncak kekeringan pada umumnya terjadi pada musim Gadu yaitu Bulan Juni-Agustus. Berdasarkan data kekeringan periode Agustus 2005-September 2011, sebaran rata-rata luas kekeringan per kecamatan dari 31 Kecamatan di Kabupaten Indramayu adalah 26 Ha sampai dengan 1602,5 Ha, dengan rata-rata 406 Ha, dengan jumlah kejadian kekeringan berkisar antara 1-9 kejadian dan rata-rata 4 kejadian kekeringan. Klasifikasi tingkat endemik kekeringan menghasilkan 4 kelompok, yaitu : wilayah kecamatan dengan tingkat endemik kekeringan tinggi, agak tinggi, agak rendah dan rendah. Wilayah dengan tingkat endemik tinggi meliputi Kecamatan : Cikedung, Gabuswetan, Indramayu, Kandanghaur, Kedokan Bunder, Krangkeng, Lelea, Lohbener, Losarang dan Sliyeg. Wilayah endemik agak tinggi, antara lain Kecamatan : Juntinyuat, Kroya dan Terisi. Wilayah endemik agak rendah, yaitu Kecamatan Balongan, Cantigi, Gantar, Haurgeulis, Sukagumiwang, Sukra dan Tukdana. Wilayah dengan endemik rendah terhadap kekeringan, yaitu Kecamatan : Anjatan, Arahan, Bangodua, Bongas, Jatibarang, Karangampel, Kertasemaya, Pasekan, Patrol, Sindang dan Widasari.

105 79 Peta endemik kekeringan, karakteristik khusus dan diskripsi wilayah dapat dijadikan dasar dalam memberikan pilihan teknologi pengelolaan risiko iklim untuk meminimalkan risiko kekeringan. Pada wilayah dengan tingkat endemik tinggi dan agak tinggi dapat diterapkan teknik irigasi bergilir teratur, penggunaan varietas sangat genjah dan toleran kekeringan, tanah diolah minimum atau TOT. Untuk sawah tadah hujan digunakan padi gogorancah pada MH dan walik jerami pada MK, teknik embung dan pompanisasi, penggunaan varietas tahan OPT, PHT, pergiliran varietas dan pengaturan pola tanam. Untuk wilayah dengan tingkat endemik agak rendah dan rendah lebih difokuskan pada pemilihan varietas tahan OPT, pengelolaan hama terpadu dan pengaturan pola tanam.

106 IV. PENETAPAN WILAYAH CAKUPAN INDEKS UNTUK PENERAPAN ASURANSI IKLIM 4.1. Pendahuluan Ketersediaan data curah hujan dalam jangka panjang secara runut waktu (time series) sangat diperlukan dalam analisis, demikian juga dengan sebarannya secara spasial. Informasi tentang besaran (jeluk) serta pola curah hujan tidak dapat diketahui apabila di lokasi yang bersangkutan tidak tersedia penakar hujan yang merekam kejadian tersebut secara berkesinambungan. Distribusi stasiun penakar hujan di Indonesia belum merata secara spasial, demikian juga dengan kualitas dan kontinyuitas datanya. Pemasangan penakar hujan masih terkait dengan kepentingan instansi yang menggunakan data tersebut baik untuk kepentingan penelitian ataupun keperluan teknis lainnya seperti irigasi dan sebagainya. Akibatnya ada wilayah tertentu yang cukup rapat sebaran stasiunnya, sebaliknya ada wilayah lain yang sangat jarang sebaran stasiunnya. Akibatnya ada wilayah tertentu yang ada penakar hujannya sehingga bisa merepresentasikan pola hujan setempat, tetapi sebaliknya untuk wilayah yang tidak ada penakar hujannya maka pola hujan pada umunya direpresentasikan oleh stasiun terdekat apabila keadaan topografinya relatif datar. Hasil penelitian Adiningsih (2000) diacu dalam Boer (2008a) menunjukkan bahwa kerapatan jaringan stasiun di Indonesia masih sangat rendah terutama untuk pulau-pulau di luar Pulau Jawa. Pulau Jawa adalah salah satu wilayah di Indonesia dengan kerapatan jaringan stasiun meteorologi tertinggi (Sri Harto 1993). Hingga akhir tahun 1941 terdapat sejumlah 3128 pengukur hujan yang tercatat ada di Pulau Jawa dengan kerapatan 15 km 2 pengukur hujan, namun tidak satupun yang mengumpulkan basis data secara lengkap baik dalam waktu panjang (Sandy 1982 diacu dalam Damayanti 2001). Pada Pulau Jawa sendiri kerapatannya sudah cukup tinggi, yaitu 11.6 artinya untuk setiap 100 km 2 wilayah di Pulau Jawa terdapat sekitar penakar hujan. Pulau yang paling rendah kerapatan stasiunnya adalah Papua (Irian Jaya), yaitu 0.05 stasiun per 100 km 2. Jawa Barat (termasuk DKI Jakarta dan Banten) rata-rata kerapatan stasiunnya sebesar km 2 tiap stasiun (Damayanti 2000). Menurut Damayanti (2001) jumlah stasiun

107 81 hujan di Jawa Barat yang sudah sesuai dengan ketentuan World Meteorological Organization (WMO), namun perlu diperhatikan sebaran dan kualitas datanya. Selain sebaran data secara spasial, masalah lain yang dihadapi adalah kelengkapan data secara runut waktu. Dalam bidang klimatologi misalnya, kelengkapan data curah hujan secara runut waktu dalam jangka panjang sangat diperlukan dalam analisis seperti analisis dampak perubahan iklim dan sebagainya. Tetapi kebutuhan tersebut tidak selalu tersedia seperti yang diinginkan. Seringkali data yang tersedia cukup panjang tetapi tidak lengkap secara runut waktu, atau cukup lengkap tetapi hanya dalam jangka waktu yang relatif pendek atau tersedia secara runut waktu tetapi tidak lengkap secara spasial. Kondisi ini akan menghambat dalam analisis data. Curah hujan merupakan unsur iklim yang sangat besar variasinya baik dari waktu ke waktu maupun dari satu tempat ke tempat yang lain. Oleh karena itu, tinggi rendahnya curah hujan sangat besar pengaruhnya terhadap keragaman hasil. Penggunaan data curah hujan dalam berbagai analisis membutuhkan syarat apakah data tersebut bisa digunakan baik ditinjau dari aspek spasial maupun temporal. Untuk kelengkapan data dari aspek temporal, saat ini telah digunakan dan dikembangkan berbagai metode prediksi data hingga skala waktu yang kecil seperti data harian. Untuk aspek spasial, metode yang dikembangkan masih terbatas. Selama ini permasalahan yang sering dijumpai adalah tidak adanya stasiun hujan yang berada dalam wilayah yang diteliti sehingga harus menggunakan data dari stasiun pewakil. Solusi yang digunakan pada umumnya adalah menggunakan data stasiun terdekat. Artinya data curah hujan dari stasiun yang paling dekat dengan lokasi penelitianlah yang digunakan untuk analisis. Selain itu metode pengelompokkan (clustering), poligon thiessen juga sering digunakan untuk mengatasi masalah keterbatasan data curah hujan secara spasial ini. Penelitian ini menawarkan suatu pendekatan baru yang bisa digunakan untuk mengatasi keterbatasan stasiun hujan, yaitu dengan Fuzzy Similarity (FS). Terkait dengan pengembangan asuransi indeks iklim (Climate Index Insurance), keberadaan stasiun hujan maupun kualitas datanya sangat menentukan dalam penghitungan indeks iklim. Indeks iklim ini digunakan sebagai dasar untuk klaim asuransi. Jadi faktor curah hujan sangat besar peranannya.

108 82 Permasalahannya adalah tidak semua lokasi penelitian memiliki stasiun hujan, atau seandainya ada stasiun hujan tetapi datanya tidak memenuhi syarat sehingga harus menggunakan stasiun terdekat sebagai pewakil. Namun seberapa luas dan wilayah mana saja yang bisa diwakili masih menjadi pertanyaan dan perlu analisis lebih lanjut. Penentuan stasiun pewakil ini menjadi sangat penting ketika dihadapkan pada suatu keadaan dimana data curah hujan tersebut menjadi input yang menentukan dalam suatu pengambilan keputusan seperti dalam penetapan indeks iklim. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut di atas, penelitian ini mencoba untuk menganalisis hubungan antara stasiun hujan yang digunakan sebagai pewakil (stasiun referensi) dengan stasiun lainnya untuk mengetahui sebaran dan cakupan wilayah yang bisa diwakilinya menggunakan metode Fuzzy Similarity (FS). Metode FS merupakan pendekatan baru dalam bidang aplikasi klimatologi. Terkait dengan periode data yang tidak selalu sama pada setiap stasiun, metode FS tetap dapat diterapkan meskipun panjang datanya berbedabeda pada setiap stasiun. Pendekatan dengan metode FS ini diharapkan juga bisa memberikan solusi bagi masalah keterbatasan stasiun hujan. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) menentukan nilai FS sebagai indikator kemiripan antar stasiun hujan dan 2) menyusun peta cakupan wilayah indeks untuk aplikasi Asuransi Indeks Iklim Metodologi Analisis Kemiripan Data dengan Fuzzy Similarity Penentuan cakupan wilayah indeks pada prinsipnya adalah menentukan kemiripan data hujan suatu stasiun dengan data hujan stasiun referensi untuk aplikasi indeks iklim. Stasiun referensi dipilih berdasarkan lokasi survey dan wawancara dimana indeks iklim dihitung. Dalam penelitian ini, stasiun referensi yang dipilih adalah : Cikedung, Lelea, Terisi dan Kandanghaur. Data yang digunakan adalah data curah hujan bulanan dari 41 stasiun hujan di Kabupaten Indramayu dengan periode Dalam konteks asuransi indeks iklim, jangkaun wilayah indeks menjadi sangat penting. Nilai indeks dari suatu stasiun referensi akan bisa diberlakukan

109 83 untuk suatu stasiun tertentu apabila stasiun tersebut memiliki kemiripan (similarity) dengan stasiun referensi yang dimaksud. Fungsi kemiripan (similarity function) pada prinsipnya adalah membandingkan dua stasiun untuk mengetahui kemiripan datanya. Untuk kemiripan antara dua stasiun (fitur), jarak antara keduanya dapat didefinisikan sebagai perbandingan mengukur (match measure). Pada penelitian ini, metode FS mempelajari pola data berdasarkan sinyal yang terbentuk. Pada prinsipnya setiap sinyal memiliki energi (EN) dan Entropi (ET). Sinyal dikatakan sama jika energi dan entropinya sama atau mirip. Setiap sinyal terdiri dari komponen-komponen sinyal sebanyak k. Untuk melakukan uji kemiripan data curah hujan diperlukan dua tahapan analisis utama, yaitu : penentuan nilai threshold kemiripan data curah hujan dan analisis Fuzzy Similarity (Li and Yao 2005). Tahapan analisis selengkapnya dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Data curah hujan dibuat beberapa frame sesuai dengan periode data yang tersedia. 2. Dilakukan transformasi wavelet sehingga diperoleh koefisien setiap sinyal yaitu d 1, d 2, d 3,..., d K. Energi dari d 1 dinyatakan dengan K i 1 2 d. Sinyal 1 dikatakan sama jika memiliki energi atau entropi yang sama atau mirip. Setiap sinyal merupakan kombinasi dari komponen-komponen sinyal (sebanyak k). 3. Kemudian dihitung entropinya dengan persamaan : ET i j K i 1 Pk, j ln P k, j i dimana P, adalah probabilitas density dari koefisien wavelet pada setiap k j tingkat resolusi j=1,...dst. 4. Dilakukan estimasi densitas (density estimation) menurut metode Kernel (Suryadi 1993), dengan persamaan: d m 1 K. h K h e 1 2 dm dk h dimana : h = 1,15 x simpangan baku dari data stasiun referensi x K

110 84 5. Setelah diperoleh nilai energi (EN) dan entropi (ET), maka selanjutnya dilakukan analisis fuzzy. Tujuan utamanya adalah membuat batasan EN dan ET sebagai patokan dalam menilai kemiripan data. 6. Setelah dilakukan analisis fuzzy akan diperoleh nilai EN dan ET masingmasing untuk nilai terbesar dan terkecil. Untuk setiap nilai EN akan diperoleh fuzzy membership yang berbeda-beda. Sebagai contoh untuk sinyal energi : S 1 = Sinyal 1 EN 1 dengan fuzzy membership (a, b, c, d, e, f) S 2 = Sinyal 2 EN 2 dengan fuzzy membership (g, h, i, j, k, l) dst S T = Sinyal ke-t EN T Untuk sinyal Entropi : S 1 = Sinyal 1 ET 1 dengan fuzzy membership (m, n, o, p, q, r) S 2 = Sinyal 2 ET 2 dengan fuzzy membership (s, t, u, v, w, x) dst S T = Sinyal ke-t ET T Selanjutnya digunakan persamaan : S A, B N i 1 1 dimana N = jumlah energi sinyal atau entropinya. Dalam penelitian ini, N = 2, yaitu berupa energi (EN) dan Entropi (ET). 7. Berdasarkan persamaan tersebut di atas dilakukan penghitungan untuk setiap sinyal. Sebagai contoh : A x i N B x i S S S 1, 2 1 a, b, c, d, e, f g, h, i, j, k, l 1 m, n, o, p, q, r s, t, u, v, w, x dst dengan cara yang sama dihitung untuk S S 1, S3, S S, S, 1 4 S S 1, S5,..., S S1, S T. Jika suatu stasiun yang akan diuji menghasilkan nilai S lebih besar atau sama dengan nilai threshold, maka stasiun tersebut memiliki kemiripan data dengan stasiun referensi.

111 85 8. Cara yang sama seperti tahapan analisis tersebut di atas, diberlakukan untuk setiap stasiun referensi. Nilai FS yang dihasilkan akan memberi gambaran stasiun refensi tersebut lebih mirip ke stasiun yang mana. Keseluruhan nilai FS disajikan dalam tabel antara stasiun yang diuji dengan stasiun referensi, serta dalam bentuk peta cakupan wilayah indeks. Seluruh program tersebut dijalankan dengan Program Matlab. Secara garis besar, tahapan analisis disajikan dalam Gambar 29. Ref. 1 Ref. 2 Ref. 3 Ref. 4 Transformasi diskret wavelet Energi (feature) entropi Fungsi Keanggotaan Gaussian (Fuzziness) Stasiun hujan referensi Present State Fuzzy Similarity Index Deteksi Perbandingan Polanya mirip tidak Tidak bisa digunakan ya Bisa digunakan Gambar 29. Diagram alir analisis Fuzzy Similarity untuk penetapan wilayah cakupan indeks iklim

112 Penyusunan Peta Cakupan Wilayah Indeks Iklim Analisis kemiripan data dengan metode FS menghasilkan nilai mulai dari 0 hingga 1. Penyebaran nilai kemiripan antara seluruh stasiun dengan stasiun referensi selanjutnya di plot dalam peta. Peta administrasi yang digunakan sebagai peta dasar bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS 2010) Hasil dan Pembahasan Dalam konteks asuransi indeks iklim, cakupan wilayah pewakil stasiun hujan diperlukan untuk mengetahui daerah mana saja yang bisa diwakili oleh suatu stasiun referensi dimana data pada stasiun referensi tersebut digunakan untuk menghitung indeks curah hujan. Indeks curah hujan ini digunakan sebagai paramater atau indikator untuk klaim asuransi. Dengan demikian indeks curah hujan yang dihasilkan dari salah satu stasiun referensi bisa digunakan untuk wilayah lain sebagai klaim asuransi dengan catatan wilayah tersebut memiliki kemiripan (similarity) dengan stasiun referensi. Untuk mengetahui tingkat kemiripan antar stasiun hujan dengan stasiun referensi dalam penelitian digunakan metode Fuzzy Similarity (FS). Metode FS pada prinsipnya mempelajari pola (fluktuasi) curah hujan dari suatu stasiun referensi kemudian membandingkannya dengan stasiun lain yang diuji. Stasiun referensi yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Cikedung, Lelea, Terisi dan Kandanghaur. Keempat stasiun ini berada pada lokasi survey dan wawancara. Jumlah seluruh stasiun hujan yang dianalisis datanya adalah 41 stasiun yang mencakup 31 kecamatan di seluruh Kabupaten Indramayu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk stasiun referensi Cikedung, nilai FS berkisar antara dengan rata-rata Wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Cikedung relatif kecil, hal ini ditunjukkan oleh nilai FS yang sebagian besar kurang dari 0.5 (Gambar 30). Dari 41 stasiun hujan yang dianalisis, sekitar 7.7% nya merupakan stasiun yang bisa diwakili oleh Cikedung. Wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Cikedung adalah stasiun Losarang, Sliyeg dan Jatibarang, dengan nilai FS berturut-turut adalah 0.49, 0.46 dan Untuk memperoleh gambaran fluktuasi curah hujan maka dilakukan ploting antara curah stasiun Cikedung sebagai referensi dengan stasiun Losarang (Gambar 31).

113 87 Wilayah lainnya tidak disarankan menggunakan stasiun referensi Cikedung. Apabila dilihat dari sebaran wilayahnya (Gambar 32), maka wilayah yang agak mirip dengan stasiun Cikedung dengan nilai FS sekitar 0.4 sebagian besar berada di bagian tengah Kabupaten Indramayu. Gambar 30. Penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan referensi stasiun Cikedung Gambar 31. Fluktuasi curah hujan antara stasiun referensi Cikedung dengan stasiun Losarang

114 88 Gambar 32. Penyebaran wilayah berdasarkan nilai FS dengan stasiun referensi Cikedung Untuk stasiun referensi Lelea, nilai FS antara dengan rata-rata Sebagian besar nilai FS adalah kurang dari 0.4 (Gambar 33). Sekitar 10.3% dari seluruh stasiun di Kabupaten Indramayu yang bisa diwakili oleh stasiun Lelea. Hal ini ditunjukkan oleh nilai FS yang mendekati dan lebih dari 0.5. Wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Lelea antara lain stasiun Bangodua (0.69), Gabus Wetan (0.60), Jatibarang (0.47) dan Krangkeng (0.46). Gambar 34 memperlihatkan contoh fluktuasi curah hujan antara stasiun Lelea sebagai referensi dengan stasiun Bangodua. Berdasarkan peta sebaran kemiripan data stasiun hujan (Gambar 35), maka wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Lelea sebagian besar berada di sebelah Barat Laut dan Tenggara dari Lelea.

115 89 Gambar 33. Penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan referensi stasiun Lelea Gambar 34. Fluktuasi curah hujan antara stasiun Lelea (Referensi) dengan stasiun Bangodua

116 90 Gambar 35. Penyebaran wilayah berdasarkan nilai FS dengan stasiun referensi Lelea Untuk stasiun referensi Terisi nilai FS sebagian besar lebih dari 0.5 (Gambar 36). Secara keseluruhan nilai FS berkisar mulai dari 0.04 hingga 0.84, dengan rata-rata Wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Terisi cukup luas. Sekitar 53.8% dari seluruh stasiun di Kabupaten Indramayu memiliki kemiripan pola data dengan stasiun Terisi. Stasiun tersebut antara lain : Bongas (0.62), Widasari (0.70), Balongan (0.57), Sukra (0.69), Kroya (0.69), Cantigi (0.77), Arahan (0.70), Gantar (0.70), Sukagumiwang (0.64), Kedokan Bunder (0.74), Patrol (0.84), Pasekan (0.63), Tukdana (0.82), Bugel (0.68), Cigugur (0.49), Wanguk (0.72), Leuweungsemut (0.81), Karangasem (0.83), Cipancuh (0.73), Tamiang (0.54) dan Bantarhuni (0.51). Fluktuasi curah hujan antara stasiun Terisi sebagai referensi dengan stasiun Patrol disajikan dalam Gambar 37. Berdasarkan peta sebarannya (Gambar 38), wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Terisi cukup luas. Sebagian besar berada di sekitar stasiun Terisi mulai dari Haurgeulis, Gantar, Kroya, Cikedung hingga Jatibarang. Sebagian lagi sepanjang pantai utara Jawa mulai dari Sukra, Patrol sampai dengan Balongan.

117 91 Gambar 36. Penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan referensi stasiun Terisi Gambar 37. Fluktuasi curah hujan antara stasiun Lelea (Referensi) dengan stasiun Bangodua

118 92 Gambar 38. Penyebaran wilayah berdasarkan nilai FS dengan stasiun referensi Terisi Untuk stasiun referensi Kandanghaur, analisis FS secara umum memperlihatkan hasil relatif rendah dibandingkan 3 stasiun referensi lainnya. Hanya satu stasiun yang memiliki nilai FS agak tinggi walaupun masih kurang dari 0.5, yaitu stasiun Kertasemaya dengan nilai FS 0.41 (Gambar 39), sedangkan stasiun lainnya kurang dari Secara keseluruhan, nilai FS antara hingga 0.41, dengan rata-rata Gambar 40 memperlihatkan fluktuasi curah hujan antara stasiun Kandanghaur sebagai referensi dengan stasiun Kertasemaya. Dari peta penyebarannya (Gambar 41) juga terlihat bahwa sangat dominan dengan nilai FS kurang dari 0.4. Keseluruhan hasil analisis dirangkum dalam Tabel 6.

119 93 Gambar 39. Penyebaran nilai FS pada setiap stasiun hujan dengan referensi stasiun Kandanghaur Gambar 40. Fluktuasi curah hujan antara stasiun Kandanghaur (Referensi) dengan stasiun Kertasemaya

120 94 Gambar 41. Penyebaran wilayah berdasarkan nilai FS dengan stasiun referensi Kandanghaur Tabel 6 menyajikan berbagai nilai FS untuk setiap stasiun hujan di Kabupaten Indramayu pada stasiun referensi Cikedung, Lelea, Terisi dan Kandanghaur. Untuk stasiun referensi Cikedung nilai FS tertinggi adalah 0.49 yaitu dengan stasiun Losarang. Untuk stasiun referensi Lelea, nilai FS tertinggi sebesar 0.69 yaitu dengan stasiun Bangodua. Nilai FS sebesar 0.84 merupakan nilai tertinggi untuk stasiun referensi Terisi terhadap stasiun hujan Patrol. Untuk stasiun referensi Kandanghaur, nilai FS tertinggi adalah 0.41 untuk stasiun Kertasemaya. Jarak maksimum atau radius cakupan wilayah yang dapat diterima antara stasiun cuaca referensi dengan area yang diasuransikan adalah km (IFC 2009, Martirez 2009). Topografi wilayah serta karakteristik dan pola hujan menjadi faktor yang penting dalam menentukan radius cakupan wilayah indeks iklim. Perbandingan antara stasiun hujan dilakukan untuk mengetahui pola kemiripan data curah hujan dengan stasiun referensi. Keseluruhan hasil nilai FS yang disajikan dalam Tabel 6 berkisar antara hingga Berdasarkan kisaran nilai FS ini selanjutnya dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu : 1) kelompok 1

121 95 untuk nilai FS 0-0.2, 2) kelompok 2 untuk FS , 3) kelompok 3 untuk nilai FS , 4) kelompok 4 untuk nilai FS , dan 5) kelompok 5 untuk FS Perbandingan fluktuasi curah hujan dilakukan dengan mengambil contoh untuk nilai FS terendah dan tertinggi pada setiap kelompok (Gambar 42). Tabel 6. Hasil analisis FS untuk seluruh stasiun di Kabupaten Indramayu REFERENSI No Stasiun Hujan CIKEDUNG LELEA TERISI KD.HAUR 1 Indramayu Sindang Loh Bener Karang Ampel Krangkeng Junti Nyuat Jati Barang Sliyeg Kerta Semaya Bango Dua Losarang Cikedung Lelea Kandang Haur Gabus Wetan Anjatan Haur Geulis Bongas Widasari Balongan Sukra Kroya Cantigi Arahan Gantar Terisi Sukagumiwang Kedokan Bunder Patrol Pasekan Tukdana Bugel Cigugur Wanguk Tulangkacang Lueweungsemut Karangasem Cipancuh Tamiang Bantarhuni Bugis

122 96 Gambar 42. Perbandingan pola curah hujan antara stasiun referensi dengan stasiun hujan pewakil pada setiap kelompok.

123 Simpulan Dalam konteks asuransi indeks iklim, peran stasiun hujan sangat penting sebagai sumber data untuk penentuan indeks hujan. Cakupan wilayah yang bisa diwakili oleh suatu indeks yang ditetapkan berdasarkan metode Fuzzy Similiry (FS) menghasilkan sebaran yang beragam. Pada stasiun referensi Cikedung, nilai FS berkisar antara dengan rata-rata Wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Cikedung adalah sekitar 7.7% dari total 41 stasiun hujan di Kabupaten Indramayu, yaitu Losarang, Sliyeg dan Jatibarang, dengan nilai FS berturut-turut adalah 0.49, 0.46 dan Pada stasiun referensi Lelea, nilai FS antara dengan rata-rata Wilayah yang bisa diwakili sekitar 10.3%, yaitu Bangodua, Gabus Wetan, Jatibarang dan Krangkeng. Pada stasiun referensi Terisi, nilai FS sebagian besar lebih dari 0.5. Nilai FS berkisar 0.04 hingga 0.84, dengan rata-rata Wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Terisi 53.8%, yaitu Bongas, Widasari, Balongan, Sukra, Kroya, Cantigi, Arahan, Gantar, Sukagumiwang, Kedokan Bunder, Patrol, Pasekan, Tukdana, Bugel, Cigugur, Wanguk, Leuweungsemut, Karangasem, Cipancuh, Tamiang dan Bantarhuni. Pada stasiun referensi Kandanghaur nilai FS antara hingga 0.41, dengan rata-rata Wilayah yang bisa diwakili sangat kecil dibandingkan stasiun referensi lainnya, yaitu Kertasemaya.

124 V. ANALISIS USAHATANI PADI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN ASURANSI INDEKS IKLIM 5.1. Pendahuluan Kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan membawa dampak yang sangat merugikan bagi petani khususnya pada usahatani berbasis padi. Hasil penelitian Boer (2008b) memperlihatkan areal pertanaman padi yang terkena kekeringan meningkat secara signifikan selama El-Nino. Areal yang terkena kekeringan dengan luasan lebih dari 2000 Ha banyak tersebar terutama di Provinsi Jawa Barat. Hadi (2000) menyebutkan bahwa kekeringan menempati urutan pertama sebagai penyebab gagal panen yang menyebabkan akumulasi defisit/hutang dalam jumlah besar sehingga kebutuhan konsumsi keluarga petani dan kebutuhan investasi selanjutnya (usahatani, dan lain-lain) terancam tidak terpenuhi secara normal. Untuk menghadapi kekeringan maupun bencana lainnya, petani pada umumnya memiliki cara tersendiri untuk bisa bertahan hidup. Berdasarkan hasil penelitian Hadi (2000) diketahui bahwa petani telah menerapkan berbagai strategi walaupun dalam kenyataannya risiko dan ketidakpastian itu tidak dapat dihilangkan sepenuhnya. Seperti strategi finansial, pemasaran, produksi, kredit informal dan membeli asuransi pertanian formal berupa polis dari lembaga asuransi untuk menutup semua atau sebagian kerugian yang diperkirakan akan terjadi. Namun di Indonesia, sistim asuransi pertanian ini belum berkembang dengan baik. Hal ini disebabkan model asuransi masih bersifat konvensional sehingga sulit untuk merumuskan pembayaran premi dan masih minimnya dukungan regulasi. Salah satu model asuransi pertanian yang berpeluang untuk dikembangkan di Indonesia adalah Asuransi Indeks Iklim. Asuransi indeks iklim merupakan sistim asuransi yang memberikan pembayaran pada pemegang polis ketika terpenuhi kondisi cuaca/iklim yang tidak diharapkan yang dinyatakan dengan indeks iklim tanpa harus ada bukti kegagalan panen. Dalam sistem asuransi indeks iklim yang diasuransikan ialah indeks iklimnya dan bukan tanamannya. Pembayaran dilakukan berdasarkan apakah

125 99 indeks iklim yang ditetapkan dicapai pada periode pertumbuhan tanaman yang diasuransikan (Boer, 2010c). Di Indonesia, asuransi indeks iklim yang berbasis usahatani padi belum dikembangkan. International Finance Corporation (IFC 2009) telah melakukan studi kelayakan asuransi indeks iklim di Indonesia bagian timur tetapi masih terbatas pada usahatani jagung. Oleh karena itu penelitian dan pengkajian tentang asuransi indeks iklim untuk usahatani padi di Indonesia perlu dikembangkan mengingat padi merupakan tanaman pangan utama bagi sebagian besar rakyat Indonesia dan rawan terhadap kekeringan. Terkait dengan sistim asuransi, dalam asuransi indeks iklim diperlukan suatu indeks berdasarkan parameter iklim yang dipilih yaitu curah hujan. Untuk membangun indeks iklim diperlukan data dan informasi tentang kelayakan usahatani padi yang dinyatakan dalam nilai Revenue Cost Ratio (R/C). Hal ini penting untuk mendapatkan nilai threshold produksi padi sebagai bagian dari penentuan indeks iklim. Selain itu, dalam sistim asuransi, pembayaran premi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh peserta asuransi. Besar kecilnya premi ditentukan oleh besar kecilnya risiko usahataninya. Semakin besar risikonya, maka pembayaran premi juga semakin mahal. Data dan informasi ini diperoleh melalui survey dan wawancara tentang kesediaan membayar (Willingness to Pay) oleh petani. Penelitian ini merupakan hasil survey dan wawancara dengan petani dalam rangka memperoleh data dan informasi yang terkait dengan usahatani padi di salah satu kabupaten sentra padi di Propinsi Jawa Barat, yaitu di Kabupaten Indramayu. Selain sebagai sentra produksi padi, Kabupaten Indramayu memiliki wilayah sangat rentan terhadap anomali iklim, sehingga peluang terjadinya bencana akibat kejadian iklim ekstrim seperti kekeringan cukup besar. Kejadian kekeringan di Kabupaten Indramayu menempati urutan pertama sebagai penyebab gagal panen di Kabupaten Indramayu (Boer et al. 2010b). Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan : 1) menentukan tipe usahatani padi, 2) menghitung ambang batas (threshold) hasil padi (kg/ha) dan 3) menentukan

126 100 tingkat kesediaan membayar (Willingness to Pay, WTP) oleh petani untuk mendukung pengembangan asuransi indeks iklim Metodologi Survey Lapang dan Wawancara Pengumpulan data dilakukan melalui survey, konsultasi serta diskusi dengan beberapa instansi terkait, yaitu dengan Dinas Pertanian dan Perikanan, Dinas PU Pengairan dan Dinas Ketahanan Pangan. Data usahatani padi diperoleh dari survey dan wawancara petani. Sebagai panduan dalam wawancara dengan petani dan kelompok tani, maka disusun quisoner yang memuat berbagai pertanyaan terkait dengan usahatani padi. Pada tahap pertama dilakukan survey dan wawancara terhadap 150 petani responden di tiga kecamatan, yaitu : Cikedung, Lelea dan Terisi. Survey tahun pertama dimaksudkan untuk memperoleh gambaran umum karakteristik petani dan usahatani padi secara umum. Sejumlah 150 orang petani yang diwawancara pada tahun pertama mewakili 5 tipe irigasi, yaitu : teknis, setengah teknis, swadaya, sederhana PU dan tadah hujan (Tabel 7). Tabel 7. Daftar lokasi wawancara petani pada survey pertama No. Kecamatan Desa Tipe Irigasi Langgeng Sari Teknis Telaga Sari Setengah Teknis 1 Lelea Tempel Kulon Swadaya Pengauban Sederhana PU Tunggul Payung Tadah Hujan Cikedung dan Cikedung Lor Teknis Mundak Jaya Setengah Teknis 2 Cikedung Cikedung Lor Swadaya Amis Sederhana PU Loyang Tadah Hujan Manggungan Teknis Karang Asam Setengah Teknis 3 Terisi Jati Munggul Swadaya Manggungan Sederhana PU Jati Munggul Tadah Hujan Pada survey kedua dilakukan wawancara terhadap 80 petani responden di empat kecamatan, yaitu : Cikedung, Lelea, Terisi dan Kandanghaur (Gambar 43)

127 101 dan mencakup 22 desa (Tabel 8). Lokasi responden dipilih pada lahan yang mewakili wilayah yang endemik kekeringan yaitu di lahan irigasi ujung dan tadah hujan. Survey dan wawancara tahap kedua lebih difokuskan untuk analisis usahatani padi (R/C dan B/C) serta kesediaan membayar (Willingness to Pay). Kuisoner wawancara selengkapnya disajikan dalam lampiran 5. Tabel 8. Daftar lokasi wawancara petani pada survey kedua Nama Kecamatan Nama Desa Jenis Irigasi 1. Cikedung 1. Amis Tadah hujan 2. Loyang Tadah hujan 3. Jatisura Tadah hujan 4. Mundak Jaya Irigasi ujung 2. Kandanghaur 1. Parean girang Irigasi ujung 2. Ilir Irigasi ujung 3. Karang Mulya Irigasi ujung 4. Karang Anyar Irigasi ujung 5. Karang Sinom Irigasi ujung 6. Wira Kanan Irigasi ujung 7. Waira Panjunan Irigasi ujung 3. Lelea 1. Tempel Kulon Irigasi ujung 2. Cempeh Irigasi ujung 3. Pangauban Irigasi ujung 4. Lelea Irigasi ujung 5. Tunggul Payung Tadah hujan 4. Terisi 1. Jati Mulya Tadah hujan 2. Plasa Kerep Irigasi ujung 3. Cikamurang Tadah hujan 4. Manggungan Irigasi ujung 5. Kendayakan Irigasi ujung 6. Jatimunggul Tadah hujan

128 102 Gambar 43. Lokasi penelitian di kecamatan Cikedung, Lelea, Terisi dan Kandanghaur (Sumber peta : Dinas PU Pengairan Kabupaten Indramayu 2009) Analisis Usahatani Padi Analisis usahatani padi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis Pendapatan Biaya (Revenue Cost Ratio, C/R), Analisis Keuntungan-Biaya (Benefit Cost Ratio, B/C) serta kesediaan membayar (Willingness to Pay). Analisis ekonomi usahatani padi dihitung dengan metode perbandingan pendapatan dan pengeluaran selama satu musim tanam. Nilai ini diperlukan untuk mengetahui batas (threshold) produksi padi untuk menentukan indeks iklim. Untuk mengetahui besarnya pendapatan yang diterima oleh petani maka digunakan persamaan sebagai berikut : Pd = TRi Tci Di mana : Pd=Pendapatan petani padi, TRi=Total Revenue atau Total Penerimaan (Rp), TCi=Total Cost atau Total Biaya (Rp). Nilai total penerimaan kemudian digunakan untuk menilai kelayakan usahatani. Usahatani dianggap layak secara finansial maupun secara ekonomi jika nilai Revenue and Cost Ratio (R/C) lebih dari satu. Formulasi R/C menurut Nurmanaf et al. (2005) adalah : R/C=TR/TC Benefit Cost Ratio (B/C) dinyatakan dengan persamaan : R/C=(TR-TC)/TC

129 103 dimana : R/C=Revenue and cost Ratio, TR=total penerimaan usahatani padi, TC=total biaya usahatani padi. Model ini dihitung berdasarkan data survey kebutuhan dan biaya per hektar tanaman padi. Komponen yang digunakan untuk menghitung nilai ekonomi usaha tani adalah biaya input seperti jumlah dan harga benih, pupuk, pestisida, dan sebagainya. Selain itu juga komponen biaya lainnya yaitu upah untuk persemaian, gegaleng, penyiangan, penyemprotan, sewa lahan, air, PBB, swadaya, pengolahan tanah, tanam dan sebagainya. Ambang batas (threshold) produksi diperoleh ketika petani tidak mendapat keuntungan maupun tidak rugi dalam usahataninya. Kondisi ini dicerminkan pada saat nilai R/C=1. Threshold produksi padi ini digunakan sebagai bagian dalam penentuan indeks iklim. Selain itu, terkait dengan pengembangan asuransi indeks iklim, dalam penelitian ini dilakukan juga wawancara petani tentang kesediaan membayar (Willingness to Pay) yang besarannya dinyatakan dalam bentuk persentase maupun nominal. Quisoner wawancara untuk menggali informasi tentang kesediaan membayar ini selengkapnya disajikan dalam Lampiran 5 bagian VIII Hasil dan Pembahasan Karakteristik Petani dan Usahatani Padi Usia, Pendidikan dan Pekerjaan Responden Untuk mengetahui karakteristik petani di lokasi penelitian, maka telah dilakukan survey pertama dan wawancara petani di Kecamatan Cikedung, Lelea dan Terisi yang mencakup 13 desa. Tipe lahan yang diusahakan petani responden mewakili 5 tipe yaitu : irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi PU, swadaya dan tadah hujan dengan jumlah responden 150 orang. Usia responden didominasi oleh usia lebih dari 30 tahun. Dari keseluruhan responden 21.3% berusia tahun, 16.7% berusia tahun, 16.0% berusia tahun, 13.3% berusia tahun, 8.7% berusia tahun, 6.7% berusia dan 2% berusia tahun. Dari distribusi ini terlihat bahwa kegiatan

130 104 pertanian di wilayah studi sebagian besar masih dilakukan oleh petani usia produktif (15-55 tahun)(gambar 44a). Tingkat pendidikan responden bervariasi mulai dari tidak sekolah sampai dengan Sarjana. Dari keseluruhan responden persentase yang tamat SD adalah dominan, yaitu 38.4%. Diikuti tidak tamat SD (25.2%), tamat SMP (19.9%), tamat SMU (9.3%), tidak sekolah (4%), diploma/sarjana (2.6%) dan yang pendidikan (0.7%) (Gambar 44b). Pekerjaan Utama responden didominasi sebagai petani (91.4%), meskipun ada juga yang mempunyai pekerjaan lain seperti wiraswasta (5.3%), pedagang (2%) dan aparat pemerintah (0.7%) (Gambar 44c). Gambar 44. Persentase usia (a), pendidikan (b) dan pekerjaan utama (c) responden Pola Tanam dan Komoditas Pola tanam yang sebagian besar dilakukan oleh petani adalah padi-padibera yaitu 83.4%. Selain itu pola tanam yang diterapkan adalah padi-padi-palawija (6%), padi-bera (5.3%), padi-palawija-bera (2%), padi-palawija-sayur (1.3%) dan padi-palawija-padi (0.7%) (Gambar 45). Komoditas yang ditanam selain padi

131 105 yang merupakan komoditas utama (90.7%) adalah padi-palawija (4%), padi kacang hijau (2.6%), padi-kacang hijau-timun (0.7%) (Gambar 46). Gambar 45. Persentase pola tanam yang pada umumnya dilakukan petani Gambar 46. Persentase jenis komoditas yang umumnya di tanam petani Varietas dan Luas Lahan Varietas Ciherang merupakan varietas padi yang paling banyak ditanam petani baik pada MH (72.7%) maupun MK-1 (76%). Alasannya hasil bagus, tahan hama wereng, umur pendek, harga jual tinggi dan hemat air. Diskripsi varietas Ciherang disajikan dalam Lampiran 1. Varietas lain yang biasa ditanam pada MH adalah IR 64 (1.3%), Kebo (22.7%), Bestari, Merauke dan Inpari, masing-masing 0.7%., sedangkan pada MK-1, selain Bestari dan Inpari, petani juga menanam kacang hijau dan widas (Gambar 47). Luas lahan yang dimiliki petani cukup beragam mulai kurang dari 0.5 Ha hingga lebih dari 5 Ha. Petani memiliki lahan garapan paling banyak adalah untuk luasan lebih dari 0.5 sampai dengan 1 Ha, yaitu sebanyak 42%. Untuk luasan garapan 0,5 Ha dimiliki oleh 22% petani. Berikutnya berturut-turut adalah >1.5-

132 106 2 Ha (10.7%), >1-1,5 Ha (10%), >2-2,5 Ha (4%), >3-3,5 Ha (4%), >2.5-3 Ha (3.3%), >3.5-4 Ha (2.7%) dan hanya satu orang petani yang memilik lahan lebih dari 4 Ha dan 6 Ha (0.7%) (Gambar 48). Gambar 47. Persentase pilihan varietas yang ditanam petani pada MH dan MK Gambar 48. Persentase kepemilikan lahan Produksi Padi Produksi padi bervariasi sesuai dengan jenis lahan petani. Untuk lahan irigasi teknis, rata-rata produksi padi yang diperoleh paling tinggi dibandingkan dengan jenis lahan lainnya, yaitu 5,909 ton/ha. Irigasi setengah teknis 4,862 ton/ha, swadaya 4,857 ton/ha, irigasi PU (SPU) 4,696 ton/ha dan tadah hujan 3,921 ton/ha. Hal ini disebabkan pada lahan irigasi teknis, pasokan air lebih tersedia dibandingkan lahan yang lain. Selain itu kondisi saluran irigasi relatif lebih baik, sehingga tidak banyak air yang terbuang. Hal ini sesuai dengan batasan tentang sawah irigasi teknis, yaitu sawah yang memperoleh pengairan dimana saluran pemberi terpisah dari saluran pembuang agar penyediaan dan pembagian

133 107 irigasi dapat sepenuhnya diatur dan diukur dengan mudah. Jaringan seperti ini biasanya terdiri dari saluran induk, sekunder dan tersier. Saluran induk, sekunder serta bangunannya dibangun, dikuasai dan dipelihara oleh Pemerintah (Ditjen Sarana dan Prasarana Pertanian, 2012). Namun dalam distribusi airnya, irigasi ini masih dibedakan lagi berdasarkan golongannya. Golongan 1 adalah wilayah yang mendapat pasokan air irigasi pertama dan berlanjut ke golongan 2, 3, 4 dan 5. Golongan 4 dan 5 ini merupakan wilayah irigasi ujung yang rawan terhadap kekeringan. Demikian juga dengan lahan sawah tadah hujan dimana sumber airnya hanya berasal dari curah hujan. Lahan ini juga cukup rawan terhadap kekeringan. Oleh karena itu pada survey kedua difokuskan pada petani di lahan irigasi ujung dan tadah hujan. Berdasarkan hasil survey dan wawancara petani, produksi maksimum yang bisa dicapai pada MH di lahan irigasi teknis adalah 7,58 ton/ha, SPU 8,5 ton/ha, swadaya dan setengah teknis 7 ton/ha dan tadah hujan bisa mencapai 6 ton/ha, sedangkan produksi minimum pada umumnya kurang dari 4 ton/ha (Gambar 49). Gambar 49. Produksi padi pada setiap tipe lahan pada MH Hasil survey kedua di 4 kecamatan (Cikedung, Lelea, Terisi dan Kandanghaur) terhadap 80 responden menghasilkan data dan informasi tentang produksi padi pada setiap musim pada tipe lahan tadah hujan dan irigasi. Fluktuasi produksi padi pada MH di lahan irigasi ujung rata-rata sekitar 6 ton/ha dan pada lahan tadah hujan sekitar 5 ton/ha. Pada MK dilahan irigasi ujung produksinya sekitar 4 ton/ha dan pada tadah hujan 3 ton/ha (Tabel 9).

134 108 Tabel 9. Produksi padi di 4 kecamatan pada setiap jenis lahan dan musim (Ton/Ha) Kecamatan MH MK Irigasi Ujung Tadah Hujan Irigasi Ujung Tadah Hujan Cikedung Max Min Rata-rata Lelea Max Min Rata-rata Terisi Max Min Rata-rata Kandanghaur Max Min Rata-rata Risiko Pendapatan Petani Risiko yang harus ditanggung petani yang mengakibatkan gagal panen pada umumnya disebabkan oleh bencana terkait iklim seperti kekeringan, banjir dan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Berdasarkan hasil survey dan wawancara petani, maka bencana terkait iklim yang menjadi penyebab utama gagal panen di Kecamatan Cikedung, Lelea dan Terisi adalah kekeringan, yaitu 79.8%, sedangkan gagal panen akibat serangan OPT 15.6% dan akibat banjir sekitar 5.6 % (Gambar 50a). Menurut petani, kekeringan pada umumnya berlangsung selama 1-8 bulan. Bulan terparah dengan periode kekeringan yang sangat panjang (8 bulan) dialami oleh sekitar 1.6% petani responden. Berdasarkan hasil survey, petani mengalami kekeringan yang paling sering adalah selama 6 bulan, yaitu sekitar 32% petani. Kekeringan selama 3 dan 5 bulan juga cukup banyak dialami petani responden, yaitu masing-masing 17.2% dan 19.5% (Gambar 50b). Petani mengalami kekeringan antara 1-8 tahun sekali. Berdasarkan lamanya kejadian kekeringan ini

135 109 memperlihatkan bahwa lokasi penelitian ini mengalami kekeringan yang cukup intens. Apabila terjadi kekeringan, petani pada umumnya mengatasinya dengan pompanisasi, sumur bor dan penggantian tanaman atau ada sebagian yang pasrah menunggu sampai hujan turun. Gambar 50. Persentase penyebab gagal panen (a) dan lama kekeringan (b) Terkait dengan aspek kredit, sebagian besar petani (51%) telah memanfaatkan fasilitas kredit, sedangkan 37% tidak atau belum melakukan kredit (Gambar 51a). Sementara sumber kredit yang dominan adalah Bank (65%) yang meliputi BRI, KUR, dan Bank keliling. Selebihnya berturut-turut adalah saudara/teman/tetangga (27%), Gapoktan/kelompok tani (5%), koperasi (2%) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) (1%) (Gambar 51b). Petani meminjam uang pada umumnya setiap musim yaitu pada saat mau tanam dan dikembalikan setelah panen. Sumber kredit Bank (BRI, KUR, Keliling) Saudara/teman/tetangga Koperasi Gapoktan/kelompok tani PNPM 2% 5% 1% 27% 65% Gambar 51. Persentase akses terhadap kredit (a) dan sumber kredit (b) Untuk mengetahui respon dari pihak Bank terhadap model asuransi indeks iklim, maka dilakukan wawancara terhadap perwakilan dari Bank BNI cabang

136 110 Jatibarang, Kabupaten Indramayu. Berdasarkan wawancara diperoleh informasi bahwa rata-rata petani yang mengajukan kredit setiap tahunnya adalah sekitar 4.2% dengan rata-rata besar kredit per petani 5 juta rupiah. Laju pengembalian kredit cukup bagus yaitu 93%. Apabila petani tidak dapat mengembalikan kredit biaanya pihak bank mengadakan restrukturisasi atau penjadwalan kembali jangka waktu kredit. Sehubungan dengan model asuransi indeks iklim, pihak bank menyatakan tertarik untuk menawarkan produk ini kepada petani. Mekanisme pembayaran yang dianggap baik oleh bank adalah individu atau kelompok tergantung pada sifat kreditnya. Mengacu pada data Bank Indonesia, nilai penyaluran kredit untuk sektor pertanian dan kehutanan di Indonesia meningkat signifikan dalam tahun Pada tahun 2009, nilai kredit untuk sektor ini mencapai Rp. 7.6 triliun. Angka tersebut melonjak menjadi Rp triliun tahun Namun apabila dibandingkan dengan total kredit, porsi penyaluran kredit di sektor pertanian dan kehutanan terus menurun. Tahun 2011 kredit di sektor ini hanya menyumbang 5.7% dari total kredit, atau turun dibandingkan tahun 2009 yang mencapai 23% (Koran Tempo, 3 Oktober 2012). Hal ini disebabkan tingginya risiko di sektor pertanian Kelayakan Usahatani Padi Untuk memperoleh informasi tentang usahatani padi, maka dilakukan survey kedua di Kecamatan Cikedung, Lelea, Terisi dan Kandanghaur dengan jumlah responden 80 orang. Petani responden adalah petani yang melakukan usahataninya di lahan sawah irigasi ujung dan tadah hujan, karena berdasarkan hasil survey pertama, tipe lahan inilah yang rawan terhadap kekeringan. Hasil survey karakteristik petani menunjukkan bahwa petani responden sebagian besar berusia antara tahun. Secara rinci berdasarkan pengelompokkan usia, maka berturut-turut adalah tahun (34%), tahun (30%), tahun (24%), tahun (10%) dan usia tahun sebanyak 2% (Gambar 52a). Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan pertanian masih didominasi oleh petani dengan usia produktif (15-55 tahun) yaitu sekitar 71.3%. Pendidikan responden didominasi oleh tamatan SD (49%), berikutnya berturut-turut adalah

137 111 SMP (24%), SMA (13%), tidak tamat SD (10%), tidak sekolah (3%) dan ada satu petani yang tamatan D2 (1%) (Gambar 52b). (a) (b) Gambar 52. Persentase usia (a) dan pendidikan (b) responden Dari 80 responden, rata-rata kepemilikan lahannya adalah 1.8 hektar. Luasan terkecil adalah 0.1 hektar dan terbesar adalah 8.5 hektar. Berdasarkan klasifikasi luas kepemilikan lahan, maka persentase tertinggi adalah luas lahan Ha (40%) (Gambar 53a). Berdasarkan persentase luas lahan lahan, maka sebagian besar responden memiliki lahan yang kurang dari 2 Ha. Berdasarkan survey dan wawancara, 61% responden atau 49 petani memiliki lahan irigasi ujung, dan 31 petani atau 39% memiliki jenis lahan tadah hujan. Rata2 kepemilikan lahan pada jenis lahan irigasi ujung adalah 1,9 Ha dengan kisaran Ha. Sementara untuk lahan tadah hujan, rata-rata luas lahannya adalah 1.7 Ha, dengan kisaran 0.1-8,5 Ha (Gambar 53b). Gambar 53. Persentase luas kepemilikan lahan (a) dan luas tiap jenis lahan (b)

138 112 Klasifikasi Tipe Usahatani Padi Untuk mengetahui karakteristik usahatani padi, maka dilakukan pengelompokkan tipe petani berdasarkan besarnya biaya input dan produksinya. Selanjutnya masing-masing dihitung anomalinya dan diplot masing-masing untuk MH, MK serta MH dan MK (Gambar 54). Hasil analisis memperlihatkan adanya 4 tipe petani dalam usahatani padi di lokasi penelitian, yaitu : 1) petani dengan anomali biaya input dan anomali produksi positif, 2) petani dengan anomali biaya input positif dan anomali produksi negatif, 3) petani dengan anomali biaya input dan anomali produksi negatif, dan 4) petani dengan anomali biaya input negatif dan anomali produksi positif. Pada tipe 1, petani harus mengeluarkan biaya input yang cukup tinggi untuk menghasilkan produksi yang tinggi pula. Pada tipe 2, meskipun petani mengeluarkan biaya input yang cukup tinggi tetapi produksinya tidak cukup tinggi. Pada tipe 3, petani mengeluarkan biaya input yang rendah dan produksi yang dihasilkan juga rendah. Pada tipe 4, petani mengeluarkan biaya input yang rendah tapi menghasilkan produksi yang cukup tinggi. Sebagai gambaran persentase petani tipe 1 pada setiap musim adalah 24% (MH), 30% (MK) dan 23% (MH dan MK). Tipe 2, persentasenya adalah 15% (MH), 13% (MK) dan 18% (MH dan MK). Untuk tipe 3, persentasenya paling tinggi dibandingkan tipe lainnya, yaitu 35% (MH), 32% (MK) dan 36% (MH dan MK), sedangkan untuk tipe 4, persentasenya adalah 26% (MH), 25% (MK) dan 24% (MH dan MK) (Tabel 10). Hal ini menjelaskan bahwa sebagian besar petani di lokasi penelitian adalah tipe 3. Pada MH, petani tipe 4 cukup besar (26%). Biaya input yang rendah tetapi produksi tinggi pada tipe 4 ini sangat dibantu oleh faktor curah hujan, sedangkan pada MK, tipe 1 persentasenya cukup besar (30%). Hal ini dikarenakan untuk mengejar produksi yang tinggi sementara ketersediaan air terbatas, petani harus mengeluarkan biaya input yang cukup tinggi. Selain biaya berupa pupuk dan lain-lain, biaya untuk irigasi juga cukup besar. Proporsi rata-rata biaya, ratarata produksi dan anomalinya pada MH dan MK disajikan dalam Gambar 55 dan 56. Klasifikasi ini memberikan gambaran bahwa usahatani padi memberikan beberapa pilihan untuk mencapai produksi yang tinggi. Untuk mengetahui apakah

139 113 usahatani padi masih memberikan keuntungan dan layak diusahakan, maka dilakukan analisis R/C dan B/C. Gambar 54. Klasifikasi usahatani padi pada MH, MK serta MH dan MK Tabel 10. Persentase tipe petani berdasarkan biaya input dan produksi MH MK MH dan MK Tipe 1 24 % 30 % 23 % Tipe 2 15 % 13 % 18 % Tipe 3 35 % 32 % 36 % Tipe 4 26 % 25 % 24 % Gambar 55. Proporsi antara biaya input dan anomalinya (a) serta produksi dan anomalinya (b) pada MH

140 114 Gambar 56. Proporsi antara biaya input dan anomalinya (a) serta produksi dan anomalinya (b) pada MK Karakteristik Usaha Tani Padi Analisis usahatani padi di Kabupaten Indramayu dilakukan untuk mengetahui sejauh mana nilai ekonomi yang dihasilkan petani terhadap usaha budidaya tanaman padi nya, apakah sudah memberikan keuntungan atau rugi atau hanya balik modal saja. Untuk mengetahui hal tersebut, maka digunakan analisis dengan Revenue Cost Ratio (R/C). R/C merupakan perbandingan antara biaya input dengan pendapatan yang diperoleh. Musim Hujan (MH). Pada MH, petani pada umumnya mulai tanam pada bulan Oktober hingga awal Januari. Pupuk utama yang digunakan adalah Urea dan TSP dengan dosis rata-rata 1,5 kuintal per hektar, serta Ponska 1 kuintal per hektar. Pupuk Urea, TSP dan Ponska pada umumnya diberikan dua kali selama masa tanam yaitu sekitar 15 hari setelah tanam (HST) dan 30 HST. Pada lahan irigasi ujung, rata-rata biaya input yang dikeluarkan petani adalah Rp. 9 juta per hektar lahan. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan hasil perhitungan usahatani padi dari hasil percobaan lapang (demplot) hasil penelitian Impron et al. (2011), yaitu sebesar Rp. 9.3 juta per hektar. Pada lahan tadah hujan, biaya input sedikit lebih rendah yaitu Rp. 8.7 juta per hektar. Biaya produksi ini termasuk tinggi dibandingkan biaya rata-rata sebesar 5-6 juta rupiah/hektar/musim (Pasaribu, 2012). Besarnya biaya ini disebabkan pada lahan irigasi ada penambahan biaya irigasi sehingga menambah biaya input. Selain itu juga ada biaya sewa lahan. Pupuk dan obat-obatan yang digunakan petani juga cukup intensif dengan berbagai jenis produk, sehingga juga menambah biaya produksi. Berdasarkan data dan informasi dari Dinas Pertanian serta wawancara petani, biaya sewa lahan

141 115 sawah di Kabupaten Indramayu adalah senilai dengan 3.5 hingga 4 ton gabah per hektar per tahun. Apabila harga gabah di Kabupaten Indramayu sebesar Rp per kuintal (data Bulan Januari 2012), maka biaya sewa lahannya berkisar antara Rp hingga Rp per hektar per tahun. Produksi padi pada MH di lahan irigasi ujung berkisar antara 4-7 ton/ha. Sebagai pembanding, percobaan demplot (Impron et al. 2011) diperoleh hasil sebesar 6.9 ton/ha. Harga gabah di tingkat petani berkisar antara Rp /kg, dengan rata-rata Rp. 3300/kg. Untuk panen padi dari demplot (Impron et al. 2011) diperoleh harga gabah basah pada MH sekitar Rp. 3700/kg dan GKG sekitar Rp. 4000/kg. Musim Kemarau (MK). Pada MK, petani pada umumnya melakukan tanam mulai bulan Maret sampai dengan Juni. Pupuk yang digunakan pada MK sebagian besar sama dengan MH, baik dosis maupun pemberiannya. Pemakaian pestisida dan obat-obatan sangat intensif, baik pada MH maupun MK. Dari survey dan wawancara petani, diperoleh data dan informasi bahwa ada berbagai merek dagang yang digunakan petani yang sebagian besar hanya karena iklan atau ikut sesama teman yang terlebih dulu menggunakan. Petani bingung dengan begitu banyaknya produk obat-obatan pembasmi hama. Pengetahuan terhadap khasiat obat-obatan juga masih terbatas. Selama ini hanya bertanya ke toko/kios penjual obat-obatan. Harga obat-obatan tersebut juga cukup mahal. Oleh karena itu, biaya input petani menjadi besar. Biaya input pada MK di lahan irigasi sekitar Rp. 8.9 juta per hektar. Di lahan tadah hujan sekitar Rp. 7.9 juta per hektar. Pada lahan irigasi ada tambahan biaya untuk pengadaan air irigasi. Produksi padi pada MK di lahan irigasi ujung sekitar 4.3 ton per hektar dan pada lahan tadah hujan sekitar 3.4 ton per hektar. Untuk harga gabah pada MK relatif lebih tinggi dibandingkan MH, yaitu Rp /kg. Sebagai perbandingan dari hasil panen demplot (Impron et al. 2011) diperoleh harga gabah basah MK sebesar Rp. 4200/kg dan GKG Rp. 4500/kg. Berdasarkan hasil penelitian Boer et al. (2011) diperoleh informasi, bahwa harga gabah dalam rentang waktu satu tahun di Kabupaten Indramayu mengalami fluktuasi yang berpola (selalu terjadi setiap tahunnya), yaitu pada saat panen raya harga gabah cenderung selalu rendah dibandingkan harga gabah pada saat musim paceklik. Musim panen raya terjadi pada retang waktu bulan Febuari s.d April, sedangkan pada musim paceklik terjadi pada

142 116 rentang waktu bulan September sampai dengan November. Hasil penelitian Hidayati et al. (2011) berdasarkan wawancara dengan petani menunjukkan kisaran harga gabah Rp 4700 Oktober-Nopember dan Rp 3000 pada Februari- Maret. Baik pada MH maupun MK, petani di Kabupaten Indramayu, pada umumnya masih menggunakan kearifan lokal, yaitu pranata mangsa untuk menentukan saat tanam. Berdasarkan pengetahuan tersebut (pranata mangsa), para petani terutama petani padi mengatur jadwal tanam mereka dalam jangka satu tahun. Sebagian besar petani merencanakan pola tanam satu tahun dengan pola padi-padi-palawija (tanam padi 2 kali), namun ada juga yang menanam dengan pola padi-padi-padi terutama pada tipe golongan irigasi I yang mendapatkan kepastian distribusi air (stok air selalu tersedia). Variasi komoditas tanam, sebenarnya tergantung dari keadaan kawasannya, dalam hal ini menyesuaikan tipe irigasinya. Tipe irigasi I umumnya menggunakan pola padi-padi-padi atau padipadi-palawija, tipe irigasi II dan III umumnya menggunakan pola padi-padipalawija, sedangkan tipe irigasi IV umumnya menggunakan pola padi-padipalawija atau padi-palawija-palawija. Hal ini tergantung dari ketersediaan airnya atau keadaan iklim tertentu (kemarau/ hujan panjang). Analisa Pendapatan Biaya (Revenue Cost Ratio, C/R) dan Analisa Manfaat Biaya (Benefit Cost Ratio, B/C) Dalam mengusahakan suatu komoditi, seorang petani akan dihadapkan pada dua pilihan, yaitu apakah komoditas yang akan diusahakan menguntungkan atau tidak. Dengan adanya dua pilihan tersebut, petani akan semakin selektif dalam memilih komoditas mana yang akan diusahakannya. Untung rugi komoditi yang diusahakan dipengaruhi oleh besarnya biaya yang dikeluarkan dan besarnya penerimaan yang didapatkan. Besarnya biaya produksi tersebut dipengaruhi oleh : 1) Skala usahatani, 2) efisiensi penggunaan modal, tenaga kerja, alat-alat dan sarana produksi, 3) produktifitas dan 4) cara pemasaran, harga dan sebagainya (Nurmalinda et al. 1994). Terkait dengan usahatani padi di Kabupaten Indramayu, untuk mengetahui apakah usahatani padi tersebut memberikan keuntungan dan

143 117 layak diusahakan atau tidak, maka diperlukan suatu indikator yaitu berupa nilai R/C dan B/C. Nilai R/C dan B/C dianalisis berdasarkan komponen biaya dan produksi serta harga. Biaya meliputi tenaga kerja, sarana dan lain-lain termasuk sewa lahan, iuran dan sebagainya. Komponen tenaga kerja menyerab biaya yang paling besar dibandingkan sarana dan komponen lainnya. Persentase masing-masing komponen pada MH adalah tenaga kerja 62.9%, sarana 27.6%, lain-lain (10.6%), sedangkan pada MK, tenaga kerja 60.8%, sarana 27.7%, lain-lain (13.5%). Hasil penelitian Ariani (2009) juga menyebutkan bahwa biaya tenaga kerja untuk usahatani padi mencapai lebih dari 60%. Dari komponen tenaga kerja ini, biaya terbesar adalah untuk panen. Hal ini dikarenakan petani masih menggunakan sistim bawon dengan perbandingan 5:1 atau 6:1. Untuk biaya sarana yang meliputi benih, pupuk, pestisida dan obat-obatan, persentasenya sekitar 27 % dari total biaya keseluruhan. Sebagai pembanding, biaya usahatani padi untuk sarana produksi di Kabupaten Banten sekitar % (Ariani et al. 2009) dan di Kabupaten Karawang tahun 2005 sekitar 22-25% (Andriati dan Sudana 2007). Revenue Cost Ratio, R/C. Rasio biaya terhadap pendapatan (Revenue Cost Ratio, R/C) usahatani padi merupakan perbandingan antara pendapatan dengan biaya input usahatani padi. Parameter ini digunakan untuk menilai apakah usahatani padi yang dilakukan memberikan keuntungan secara ekonomi dan layak untuk diusahakan. Jika nilai R/C >1, maka usahatani padi memberikan keuntungan dan layak diusahakan. Jika R/C < 1, usahatani padi yang dilakukan belum layak dan belum menguntungkan secara ekonomi. Apabila nilai R/C=1, maka usahatani padi tersebut impas, artinya tidak untung dan tidak rugi. Nilai R/C=1 inilah yang akan digunakan untuk menentukan batas ambang (threshold) produksi padi. Hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa nilai R/C petani contoh di Indramayu pada MH sebagian besar lebih dari 1. Nilai R/C berkisar dari 0.9 hingga 3.4. Artinya ada petani yang secara ekonomi rugi dalam penerimaan, meskipun secara sosial merasa untung karena masih bisa panen. Petani dengan R/C<1 ini adalah petani yang sewa lahan dan produksinya tidak terlalu tinggi. Rata-rata R/C sebesar 2.1. Nilai ini memberi gambaran bahwa untuk setiap biaya

144 118 yang dikeluarkan pada awal kegiatan usahatani sebesar Rp akan memperoleh pemasukan atau penerimaan sebesar Rp pada akhir kegiatan usahatani. Untuk MK, nilai R/C berkisar dari 0.6 hingga 3.2, dengan rata-rata 1.8. Nilai R/C pada MK relatif lebih kecil dibandingkan dengan MH. Hal ini disebabkan produksi padi pada MK lebih rendah dibandingkan pada MH. Meskipun harga gabah lebih tinggi pada MK dibandingkan MH, tetapi belum dapat meningkatkan pendapatan petani seperti pada MH. Untuk menyiasati situasi ini, pada umumnya petani mempunyai cara tersendiri untuk memperoleh keuntungan, yaitu dengan menyimpan sebagian gabah yang dihasilkan pada MH untuk dijual pada MK dimana harganya lebih tinggi. Dengan mengambil nilai gabah rata-rata sebesar Rp (MH) dan Rp (MK), maka secara umum analisa kelayakan usahatani padi di lokasi penelitian menghasilkan nlai R/C sebesar 1.94 pada MH dan 1.70 pada MK (Tabel 11). Sebagai perbandingan, hasil penelitian usahatani padi sawah pada MH di Kabupaten Karawang nilai R/C nya , sedangkan pada MK 1.41 hingga 1.58 (Andriati dan Sudana 2007), dan di Provinsi Banten pada MH sebesar 1.9 hingga 2.3 (Ariani et al. 2009). Tabel 11. Analisis kelayakan usahatani padi di lokasi penelitian Uraian MH MK Total biaya 8,370,800 8,067,282 Produksi (ton/ha) Nilai produksi 16,200,000 13,719,000 R/C Berdasarkan hasil perhitungan rata-rata nilai R/C, baik pada MH dan MK pada umumnya nilainya >1, artinya secara ekonomi usahatani padinya memberikan keuntungan dan layak untuk diusahakan, meskipun ada juga petani yang belum memperoleh keuntungan dari usahataninya yang ditunjukkan oleh nilai R/C kurang dari 1. Ada pula petani yang untung di MH, tetapi kurang untung di MK. Meskipun demikian karena bertani adalah pilihan hidup (way of life) bagi petani, maka baik untung maupun rugi tetap berusahatani (Pasaribu 2012). Persamaan yang menghubungkan produksi padi dan R/C pada MH menunjukkan trend yang meningkat, demikian juga pada MK (Gambar 57). Trend

145 119 yang meningkat mengindikasikan bahwa usahatani yang dilakukan di lokasi penelitian akan semakin menguntungkan seiring dengan meningkatnya produksi padi. Peningkatan produksi padi pada MK lebih besar pengaruhnya dalam peningkatan R/C. Hal ini ditunjukkan oleh gradien garis trend yang lebih besar pada MK dibandingkan pada MH. Batas ambang (threshold) produksi padi diperoleh pada saat nilai R/C sama dengan 1, yaitu sebesar pada MH dan pada MK. Nilai threshold produksi ini akan digunakan dalam penentuan indeks curah hujan untuk pengembangan asuransi indeks iklim. Untuk masingmasing kecamatan nilai R/C dibedakan untuk MH dan MK (Tabel 12). Nilai threshold berbeda-beda untuk setiap wilayah dan setiap musim. Hal ini disebabkan nilai threshold ditentukan oleh nilai R/C yang diperoleh pada wilayah tersebut pada MH, MK maupun MH dan MK. Gambar 57. Hubungan produksi padi dan R/C pada MH dan MK Tabel 12. Nilai threshold produksi padi pada MK dan MH (Kg/Ha) Kecamatan MK MH Cikedung Lelea Terisi Kandanghaur Benefit Cost Ratio, B/C. Rasio keuntungan terhadap pendapatan (Benefit Cost Ratio) usahatani padi merupakan suatu parameter yang menunjukkan apakah usahatani yang dilakukan meningkatkan pendapatan petani atau tidak. Rasio

146 120 antara selisih pendapatan dan biaya input per pendapatan menghasilkan nilai baik positip maupun negatip. Nilai negatip bila pendapatan lebih kecil dari biaya input, sebaliknya nilai positip jika pendapatan lebih besar dari biaya input. Hasil analisis menunjukkan nilai B/C pada MH berkisar antara hingga 2.37, dengan rata-rata 1.1. Pada MK diperoleh kisaran nilai B/C hingga 2.15 dengan rata-rata Secara umum nilai B/C pada MK lebih rendah dari MH. Perbedaan yang sering muncul adalah pada faktor produksi dan harga gabah. Pada MH produksi tinggi tetapi harga gabah relatif rendah, sedangkan pada MK, produksi padi rendah tetapi harga gabah cukup tinggi. Sementara luas tanam relatif sama antara MH dan MK. Selain itu, pada MK biasanya ada penambahan biaya irigasi untuk lahan yang beririgasi. Namun faktor produksi dan biaya inilah yang pada umumnya berpengaruh terhadap tinggi rendahnya pendapatan petani. Berdasarkan hubungan antara produksi dan B/C diperoleh trend yang cenderung meningkat baik pada MH maupun MK (Gambar 58). Peningkatan produksi pada MK berpengaruh lebih besar terhadap nilai B/C dibandingkan pada MH. Gambar 58. Hubungan produksi padi dan B/C pada MH dan MK Walaupun secara ekonomi usahatani padi di lokasi penelitian menguntungkan dan layak diusahakan, namun petani belum terbiasa mengelola keuangan dengan baik. Hal ini ditunjukkan oleh hasil wawancara yang

147 121 memperlihatkan bahwa 51% petani tidak terbiasa menyimpan uang dari hasil panennya. Sementara sekitar 31% petani sudah terbiasa menyimpan uang, dan ada yang menyimpan dalam bentuk gabah (3%) dan dalam bentuk perhiasan (1%) (Gambar 59). Menurut Simatupang dan Rusastra (2004) sebagian besar petani padi adalah keluarga miskin yang lebih mendahulukan pemenuhan kebutuhan pokok saat ini daripada masa mendatang, sehingga penggunaan modal untuk membiayai ongkos usahatani dan investasi bukan merupakan prioritas utama. Meskipun sebagian besar petani belum mampu menyisihkan hasil panennya untuk ditabung, dan petani hampir setiap musim atau tahun melakukan kredit (pinjam uang) untuk usahataninya, namun menurut petani usahatani padi ini masih tetap memberikan keuntungan dibandingkan komoditas lainnya. Selain itu, petani tidak punya pilihan lain selain mengusahakan lahannya untuk usahatani padi. Gambar 59. Persentase kebiasaan petani menyimpan uang dalam usahataninya Kesediaan Membayar (Willingnes to Pay, WTP) Kesediaan membayar merupakan hal penting dalam pengembangan asuransi indeks iklim. Hal ini terkait dengan kemampuan petani dalam pembayaran premi yang harus dilakukan dalam sistim asuransi. Terkait dengan finansial petani, untuk melakukan usahataninya, petani pada umumnya memimjam uang baik setiap musim atau setiap tahun ketika akan memulai tanam. Hasil survey dan wawancara menunjukkan bahwa sekitar 65% petani sudah terbiasa dengan fasilitas kredit, 10% tidak melakukan kredit dan hanya 2% petani yang kadang-kadang melakukan kredit (Gambar 60a). Bank merupakan tempat yang paling banyak dituju petani (40%) untuk memperoleh pinjaman uang. Selebihnya petani mendapat pinjaman dari kelompok

148 122 tani/gapoktan/rt (12.5%), saudara (11.3%), tetangga/teman (7.5%), pegadaian (1.3%) dan anak (1.3%). Sekitar 26.5% petani tidak melakukan peminjaman (Gambar 60b). Pengembalian pinjaman biasanya dilakukan setelah panen. Mekanisme kredit ini dilakukan petani hampir setiap musim atau setiap tahun, yaitu pada saat akan memulai tanam. Gambar 60. Persentase akses kredit petani (a) dan sumber kredit (b) dalam usahatani padi Hasil wawancara terhadap 80 responden di lokasi penelitian, diperoleh gambaran bahwa sebagian besar petani (82.5%) bersedia atau sanggup membayar premi, dengan besaran yang bervariasi. Hanya 7.5% petani yang tidak bersedia membayar, tergantung yang lain (3.75%) dan yang tidak menjawab (6.25%). Pembayaran secara musiman paling banyak disanggupi oleh petani setelah mereka memperoleh hasil panen. Ada beberapa petani juga yang sanggup dengan cara mencicil tiap bulan dengan kisaran /bulan. Sekitar 8.75% petani bersedia membayar premi 10% dari nilai input. Data hasil wawancara memperlihatkan bahwa petani bersedia membayar hingga Rp ,- /Ha/Musim. Berdasarkan survey kesediaan membayar yang dilakukan di lokasi penelitian, diperoleh bahwa persentase paling besar (28.4%) petani bersedia membayar sebesar ribu rupiah per musim. Selanjutnya 25.4% bersedia membayar ribu rupiah per musim, 16% bersedia membayar kurang dari 100 ribu rupiah per musim, 13.4% bersedia membayar dan ribu rupiah per musim, dan hanya 3% yang tidak bersedia membayar premi. Berdasarkan plot frekuensi WTP, maka persentase kesediaan membayar yang paling besar adalah ribu rupiah per musim (Gambar 61).

149 123 Gambar 61. Frekuensi kesediaan membayar premi oleh petani Prospek tentang asuransi iklim ini juga dikaji dengan melakukan diskusi dan pengisian quisoner dengan para penyuluh pertanian dalam forum Workshop Pendayagunaan Informasi Iklim Untuk Kemandirian Pangan di Kabupaten Indramayu yang dilaksanakan di kantor Bapeda Kabupaten Indramayu pada tanggal 12 Juni Point yang ditanyakan antara lain tentang prospek asuransi iklim, kendala utama yang mungkin dihadapi, lembaga apa yang disarankan untuk mengelola asuransi (koperasi, Bank, kelompok tani, lainnya) serta berapa kira-kira kemampuan dalam membayar premi. Hasil workshop menunjukkan bahwa 68% responden menyatakan asuransi iklim memiliki prospek yang bagus, menarik dan menjajikan. Lembaga pengelola yang banyak diharapkan responden adalah Bank (52%). Kendala utama yang dikemukakan responden seandainya asuransi dilaksanakan adalah perlunya sosialisasi (32%) (Gambar 62).

150 124 Gambar 62. Prospek dan kendala asuransi indeks iklim di Kabupaten Indramayu 5.4. Simpulan Petani di lokasi penelitian didominasi oleh usia produktif (15-55 tahun) dalam melaksanakan usahataninya (71.3%). Pendidikan responden sebagian besar (49%) tamatan SD. Lahan yang dimiliki sebagian besar petani (40%) adalah seluas Ha. Pola tanam dominan adalah padi-padi-bera. Fluktuasi produksi padi pada MH di lahan irigasi ujung rata-rata sekitar 6 ton/ha dan pada lahan tadah hujan sekitar 5 ton/ha. Pada MK dilahan irigasi ujung produksinya sekitar 4 ton/ha dan pada tadah hujan 3 ton/ha. Tipe petani yang paling banyak dijumpai adalah petani yang masih mengeluarkan biaya input rendah dan produksi juga relatif rendah (tipe 3). Pada MH di lahan irigasi ujung, rata-rata biaya input yang dikeluarkan petani adalah Rp. 9 juta/ha (MH) dan Rp. 8.9 juta/ha (MK). Pada lahan tadah hujan sebesar Rp. 8.7 juta/ha (MH) dan Rp. 7.9 juta/ha (MK). Analisis usahatani pada MH menghasilkan R/C 0.9 hingga 3.4, dengan rata-rata 2.1, sedangkan pada

151 125 MK 0.6 hingga 3.2 dengan rata-rata 1.8. Sementara nilai B/C pada MH berkisar antara hingga 2.37, dengan rata-rata 1.1, dan pada MK diperoleh kisaran nilai B/C hingga 2.15 dengan rata-rata Artinya secara ekonomi usahatani padi di lokasi penelitian masih menguntungkan dan layak untuk diusahakan. Namun keuntungan ini belum diikuti oleh kebiasaan menabung hasil panennya. Untuk melakukan usahataninya, petani pada umumnya memimjam uang baik setiap musim atau setiap tahun ketika akan memulai tanam. Sekitar 65% petani sudah terbiasa dengan fasilitas kredit, 10% tidak melakukan kredit dan hanya 2% petani yang kadang-kadang melakukan kredit. Bank merupakan tempat yang paling banyak dituju petani (40%) untuk memperoleh pinjaman uang. Selebihnya petani mendapat pinjaman dari kelompok tani/gapoktan/rt (12.5%), saudara (11.3%), tetangga/teman (7.5%), pegadaian (1.3%) dan anak (1.3%). Sekitar 26.5% petani tidak melakukan peminjaman Pemberian wacana tentang Asuransi Indeks Iklim disambut baik oleh petani. Sebagian besar petani (82.5%) bersedia atau sanggup membayar premi, dengan besaran yang dominan ribu rupiah per musim per hektar. Hasil workshop menunjukkan bahwa 68% responden menyatakan asuransi iklim memiliki prospek yang bagus, menarik dan menjajikan. Lembaga pengelola yang banyak diharapkan responden adalah Bank (52%). Kendala utama yang dikemukakan responden seandainya asuransi dilaksanakan adalah perlunya sosialisasi (32%).

152 VI. ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN PRODUKSI PADI SERTA PENYUSUNAN INDEKS IKLIM 6.1. Pendahuluan Asuransi indeks iklim merupakan salah satu bentuk pendanaan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Saat ini asuransi indeks iklim yang sudah dilakukan di Indonesia adalah asuransi indeks iklim untuk tanaman jagung yang dikembangkan oleh International Finance Coorporation (IFC), salah satu divisi di World Bank. Lokasi penelitian IFC adalah di Kecamatan Tompobulu Kabupaten Maros Propinsi Sulawesi Selatan dan Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara Barat. Hasil studi kelayakan menunjukkan asuransi indeks iklim untuk jagung layak dikembangkan dan merupakan model bisnis yang mudah diidentifikasi (IFC 2009). Untuk komoditas padi, model asuransi indeks iklim belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini memberikan pilihan baru tentang adaptasi terhadap perubahan iklim dengan menyusun model asuransi indeks iklim pada sistim usahatani berbasis padi. Dalam sistim asuransi indeks iklim, pembayaran akan dilakukan pada pemegang polis ketika terpenuhi kondisi cuaca/iklim yang tidak diharapkan tanpa harus ada bukti kegagalan panen. Asuransi ini dapat mempercepat penerimaan petani terhadap teknologi adaptasi atau integrasi informasi prakiraan musim/iklim dalam membuat keputusan. Dalam sistem asuransi iklim yang diasuransikan ialah indeks iklimnya bukan tanaman. Pembayaran dilakukan berdasarkan apakah indeks iklim yang ditetapkan dicapai pada periode pertumbuhan tanaman yang diasuransikan (Boer 2010). Selain itu menurut Manuamorn (2010) kebijakan pembayaran indeks asuransi berbasis pada pengukuran dari kehilangan riil. Indeks iklim adalah suatu indeks yang digunakan untuk mewakili unsur-unsur penting iklim yang dirancang dengan tujuan kesederhanaan dan kelengkapan. Setiap indeks biasanya mewakili status dan waktu dari faktor iklim yang diwakilinya. Untuk menyusun indeks iklim diperlukan korelasi yang kuat antara faktor iklim dengan kehilangan hasil riil yang akan diproteksi. Oleh karena itu diperlukan analisis tentang hubungan antara parameter iklim dengan produksi padi

153 127 yang selanjutnya dengan masukan nilai threshold produksi padi bisa ditetapkan indeks iklim tersebut. Dalam penelitian ini parameter iklim yang digunakan sebagai indeks adalah curah hujan. Hal ini dikarenakan di daerah tropis, unsur cuaca utama yang sangat berpengaruh terhadap keragaman produksi tanaman adalah curah hujan, dan keragaman curah hujan baik menurut waktu maupun lokasi sangat besar. Oleh karena itu studi yang berkaitan dengan masalah cuaca dan produksi tanaman sebagian besar membahas tentang hubungan hujan atau ketersediaan air/hujan dengan produksi tanaman. Produksi tanaman padi diestimasi dengan model simulasi tanaman. Modelmodel simulasi tanaman yang berdasarkan pada faktor-faktor tanaman, tanah dan cuaca merupakan alat yang efektif dalam pertanian. Model simulasi tanaman dapat digunakan untuk merencanakan alternatif strategi untuk penanaman, penggunaan tanah dan pengelolaan air. Untuk mengevaluasi tanaman, varietas dan teknologi budidaya serta menganalisis tingkat risiko iklim terhadap pertumbuhan tanaman seringkali juga digunakan model simulasi tanaman. Selain itu, model simulasi tanaman dapat digunakan untuk perluasan wilayah penanaman dan pemilihan sistim usaha tani yang sesuai dengan lokasi dan menduga hasil tanaman. Dalam penelitian ini, produksi padi diestimasi dengan model Decision Support System for Agrotechnology Transfer (DSSAT). Hasil simulasi selanjutnya akan dihubungkan dengan data curah hujan di lokasi penelitian. Berdasarkan pola hubungan yang terbentuk dan nilai threshold produksi padi, maka dapat ditetapkan indeks iklimnya. Nilai indeks iklim ini sangat penting untuk aplikasi asuransi indeks iklim. Tujuan dari penelitian ini adalah : 1) mengkaji hubungan antara curah hujan dan produksi padi, 2) menetapkan indeks iklim berdasarkan hubungan antara curah hujan dan produksi padi Metodologi Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1) data iklim/cuaca harian, 2) data tanah, dan 3) data manajemen dan pengamatan dari hasil

154 128 percobaan. Data iklim/cuaca yang diperlukan antara lain : posisi geografi stasiun iklim/hujan, radiasi matahari (MJ/m 2 /hari), suhu udara maksimum dan minimum ( o C) serta curah hujan (mm). Untuk mengatasi data curah hujan harian yang kosong, dan untuk memperoleh data iklim harian, maka dilakukan pembangkitan data dari curah hujan bulanan menggunakan model Climate Data Generator (CLIMGEN). Data iklim harian diperoleh dari hasil pembangkitan data, karena di Kabupaten Indramayu tidak tersedia stasiun iklim. Stasiun iklim terdekat terletak di Pusaka Negara dan Sukamandi. Data tanah yang diperlukan antara lain : kedalaman horison atas dan bawah, persentase kandungan pasir, liat dan debu, bulk density, ph air, kejenuhan aluminimum dan total nitrogen. Data tanah yang digunakan merupakan hasil pengambilan contoh tanah di lokasi penelitian, yaitu pada delapan titik pengambilan contoh tanah yang merepresentasikan jenis tanah yang berbeda. Untuk data manajemen dan percobaan yang digunakan dalam model DSSAT antara lain : tanggal tanam, kerapatan tanaman, jarak baris, kedalaman perakaran, varietas tanaman, irigasi, dan pupuk yang digunakan petani. Data ini diperlukan untuk model validasi dan strategi evaluasi. Data-data ini diperoleh dari survey lapang dan wawancara dengan petani Pembangkitan Data Iklim Pembangkitan data dilakukan dengan program ClimGen. ClimGen melakukan estimasi terhadap suhu maksimum dan minimum harian, radiasi matahari dan curah hujan baik dari data cuaca harian jika tersedia atau dari data bulanan. Peluang kejadian hujan digambarkan dalam bentuk fungsi penghubung logit g j 1(i). Bentuk fungsi kurva penyesuaian untuk nilai g j 1(i) digunakan persamaan regresi Fourier (Stern and Coe 1984). Untuk menghindari keterbatasan data harian, maka digunakan data curah hujan bulanan untuk membangkitkan parameter iklim yang lain. Epstein (1991) menggunakan regresi Fourier sehingga bentuk persamaan pembangkitan datanya adalah : Di mana t =2πt/12 dan t adalah bulan.

155 129 Dagambarkan Prosedur yang digunakan untuk menghasilkan radiasi surya dan suhu didasarkan pada asumsi bahwa radiasi dan suhu merupakan proses stasioner lemah. Penyertaan hujan ini diperlukan karena keadaan unsur iklim lainnya sangat dipengaruhi oleh ada tidaknya hujan. Pendekatan yang sama digunakan dalam model Climgen versi 2.1 dengan memodelkan komponen error karena biasanya terdapat masalah autokorelasi error (Boer 1999). Berdasarkan kajian dari beberapa lokasi di Indonesia, Boer (1999) memodelkan komponen error dengan menggunakan persamaan autokorelasi ordo-1. Parameterisasi nilai dan perlu dilakukan sebelum data hujan dibangkitkan. Nilai awal dan dalam penelitian ini menggunakan hasil penelitian Boer et al. (1999) yang sudah tervalidasi. Nilai awal dan yang dipilih ialah nilai yang memberikan hasil bangkitan data yang tidak berbeda dengan data observasi. Software ClimGen dibangun dengan asumsi bahwa distribusi hujan mengikuti sebaran Gamma Simulasi Tanaman Dengan Model DSSAT Estimasi produksi padi dalam penelitian ini menggunakan model simulasi tanaman Decision Support System for Agrotechnology Transfer (DSSAT ver.4.5). Dalam simulasi tanaman ini digunakan varietas IR 64. Varietas ini merupakan salah satu varietas yang cukup banyak digunakan oleh petani di lokasi penelitian selain Ciherang. Varietas IR 64 memiliki karakteristik fisiologis yang hampir sama dengan Ciherang. Dominasi varietas IR64 ditingkat petani disebabkan produksinya yang cukup tinggi. Hal ini diungkapkan juga oleh Sudaryanto et al. (1999) diacu dalam Hafsah dan Sudaryanto (2004) yang menyatakan bahwa varietas IR64 merupakan varietas yang secara nyata mampu meningkatkan potensi hasil padi sawah yang diindikasikan dari dominasi varietas IR64 di daerah-daerah sentra produksi padi. Umur tanaman padi yang digunakan dalam simulasi ini adalah 110 hari yang terbagi dalam tiga fase tanaman, yaitu : Fase 1 adalah fase inisiasi, yaitu mulai awal pertumbuhan sampai pembentukan malai. Fase 2 adalah fase reproduktif, mulai pembentukan malai sampai pembungaan. Fase 3 adalah fase pematangan, yaitu mulai dari pembungaan

156 130 sampai gabah matang. Diskripsi selengkapnya varieras Ciherang dan IR 64 disajikan dalam Lampiran 1. Untuk melakukan simulasi tanaman digunakan dua skenario tanggal tanam, yaitu tanggal 1 dan 15 setiap bulan, masing-masing untuk tipe lahan tadah hujan dan irigasi ujung. Estimasi produksi padi selanjutnya akan dibandingkan dengan produksi padi hasil observasi. Untuk lahan tadah hujan, pola produksi padi akan dihubungkan dengan pola curah hujan serta kejadian El-Nino selama periode Diagram alir tahapan analisis disajikan dalam Gambar 63. Data tanah Data tanaman Data Curah Hujan harian dan bulanan Data anomali SST ya Apakah data ch lengkap? tidak ClimGen Data curah hujan dan iklim harian Skenario tanggal tanam Penyeragaman bentuk data (*.WTH) DSSAT Estimasi produksi padi pada tipe lahan irigasi dan tadah hujan Gambar 63. Tahapan analisis simulasi tanaman dengan model DSSAT

157 Penentuan Indeks Iklim Analisis indeks iklim dilakukan setelah diperoleh hasil analisis berupa : 1) persamaan hubungan antara curah hujan dan produksi padi serta 2) nilai threshold produksi padi. Persamaan hubungan antara curah hujan dan produksi padi diperoleh setelah dilakukaan simulasi tanaman. Nilai threshold produksi padi diperoleh dari hasil analisis usahatani padi, yaitu pada saat nilai R/C=1 yang telah dihasilkan dari analisis pada Bab 5. Apabila sudah diperoleh persamaan hubungan antara hasil padi dan curah hujan, maka nilai threshold produksi padi digunakan sebagai input dalam persamaan hubungan antara curah hujan dan produksi padi sebagai dasar penentuan indeks iklim. Perhitungan indeks iklim dilakukan untuk stasiun hujan referensi Cikedung. Tahapan analisis untuk menentukan indeks iklim adalah : 1) hasil simulasi DSSAT yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya disusun menjadi suatu persamaan yang menghubungkan parameter curah hujan dan hasil (yield) padi, 2) nilai threshold produksi yang telah diperoleh dari hasil analisis usahatani digunakan sebagai input ke dalam persamaan hubungan antara curah hujan dan hasil padi untuk menentukan trigger curah hujan, 3) dibuat persamaan yang menghubungkan antara produksi padi dan curah hujan setiap fase padi, 4) dihitung nilai indeks hujan pada setiap fase tanaman padi, 5) disusun skenario klaim asuransi berdasarkan persamaan Martirez (2009) yaitu : Pembayaran = (Indeks hujan-curah hujan kumulatif) x unit pembayaran x total yang diasuransikan/ Hasil dan Pembahasan Hasil Simulasi Tanaman Padi Pada Lahan Tadah Hujan Hasil simulasi tanaman padi pada lahan tadah hujan di lokasi penelitian dibedakan untuk MK dan MH. Untuk MK periodenya adalah April-September, sedangkan MH Oktober-Maret. Secara umum, hasil simulasi tanaman di lahan tadah hujan memperlihatkan rata-rata produksi padi antara ton/ha pada MK dan ton/ha pada MH. Sementara hasil observasi berdasarkan wawancara dengan petani diperoleh rata-rata produksi berkisar antara ton/ha pada MK dan ton/ha pada MH. Estimasi pada MK pada umumnya

158 132 lebih rendah dibandingkan observasinya, sedangkan pada MH besarnya produksi hampir mendekati. Apabila ditinjau untuk masing-masing kecamatan, maka estimasi produksi pada MH pada umum menghasilkan nilai yang tidak terlalu jauh berbeda dengan hasil observasinya dibandingkan dengan musim MK (Gambar 64a-d). Simulasi tanaman untuk lahan tadah hujan ini murni hanya mendapat input air dari curah hujan. Kemungkinan kenyataan di lapang, pada MK petani masih bisa mendapatkan sisa-sisa air pada MH sebelumnya. Hal ini yang menyebabkan perbedaan hasil pada MK. Hasil perbandingan antara data produksi dari Diperta Kabupaten Indramayu dengan hasil simulasi selama periode MT 1992/1993 hingga MT 2000 memperlihatkan nilai R 2 sebesar 0.7 untuk Cikedung, 0.1 untuk Lelea dan 0.5 untuk Kandanghaur (Gambar 65). (a) (b) (c) (d) Gambar 64. Perbandingan produksi padi antara hasil simulasi dan observasi di lahan tadah hujan

159 133 Gambar 65. Perbandingan antara data produksi hasil simulasi dan observasi Dikaitkan dengan pola hujan, maka hasil simulasi tanaman ini memperlihatkan pola yang mirip dengan curah hujan. Hal ini disebabkan pada simulasi tanaman di lahan tadah hujan, skenario yang diterapkan adalah tanpa irigasi, artinya input air untuk tanaman murni hanya dari curah hujan. Pada saat curah hujan tinggi, maka tanaman akan mendapat kecukupan air sehingga produksinya tinggi. Sebaliknya pada saat curah hujan rendah, maka pasokan air untuk tanaman juga berkurang dan pada akhirnya produksi tanaman akan menurun. Pada kondisi tertentu ketika curah hujan lebih rendah dari 50 mm/bulan tetapi produksi meningkat kemungkinan disebabkan pengaruh penggunaan input seperti pupuk dalan lain-lain sehingga mampu memberikan produksi yang cukup baik. Hubungan antara produksi padi dengan pola curah hujan di lahan tadah hujan untuk masing-masing kecamatan disajikan dalam Gambar 66a-d. Terkait dengan fenomena El-Nino, maka produksi padi di lokasi penelitian juga memperlihatkan dampak yang cukup signifikan. Berdasarkan data kejadian El Nino dari tahun (Hidayati et al. 2010), maka dari periode data yang digunakan dalam analisis ini dapat dikelompokkan berdasarkan tahun kejadian El Nino lemah, sedang dan kuat. Tahun-tahun kejadian El-Nino lemah adalah : 1968, 1969, 1976, 1977, 2004 dan Tahun El-Nino sedang adalah : 1986, 1987, 1994 dan Tahun El-Nino kuat adalah : 1965, 1972, 1982, 1991, 1997 dan Berdasarkan tahun kejadian El-Nino tersebut dan dikaitkan dengan produksi

160 134 padi, maka terlihat bahwa pada tahun-tahun kejadian El-Nino, sebagian besar produksi padi menurun. Sebagai contoh di Kecamatan Cikedung dan Kandanghaur, kejadian El Nino telah memberi dampak terhadap menurunnya produksi padi, bahkan di tahun yang tidak El Nino pun terjadi penurunan produksi (Gambar 67a-c). (a) (b) (c) (d) Gambar 66. Hubungan pola curah hujan dan produksi padi di lahan tadah hujan Gambar 67. Produksi padi dan kejadian El-Nino periode

161 Hasil Simulasi Tanaman Padi Pada Lahan Irigasi Simulasi tanaman padi untuk lahan irigasi dilakukan dengan asumsi tanaman akan tumbuh optimum apabila kebutuhan airnya tercukupi. Air akan secara otomatis ditambahkan ketika tanaman mengalami kekurangan air. Oleh karena itu plot hasil produksi akan menunjukkan produksi tinggi meskipun curah hujan rendah. Tanaman tidak tergantung pada curah hujan, karena ada tambahan air melalui irigasi. Lahan irigasi di lokasi penelitian sebagian besar merupakan lahan irigasi ujung golongan III/IV. Rata-rata produksi padi di lahan ini berkisar antara ton/ha pada MK dan ton/ha pada MH. Sementara hasil simulasi tanaman memperlihatkan nilai produksi berkisar antara ton/ha pada MK dan ton/ha pada MH. Pada MH, secara umum produksi padi antara hasil simulasi dan observasi menunjukkan hasil yang hampir sama baik di kecamatan Cikedung, Lelea, Kandanghaur dan Terisi (Gambar 68a-d). Untuk penentuan indeks iklim, hasil simulasi yang digunakan adalah untuk lahan tadah hujan karena sangat dipengaruhi oleh curah hujan. (a) (b) (c) (d) Gambar 68. Perbandingan produksi padi antara hasil simulasi dan observasi di lahan irigasi

162 Hubungan Curah Hujan dan Produksi Padi Hubungan curah hujan dan produksi padi dinyatakan melalui persamaan polinomial antara kedua parameter tersebut. Produksi padi diperoleh dari hasil simulai DSSAT untuk skenario tanggal tanam 1 dan 15 setiap bulan. Data produksi padi menggunakan data simulasi karena dibutuhkan data runut waktu yang panjang, sedangkan apabila menggunakan data produksi aktual ketersediaan datanya terbatas. Untuk kepentingan asuransi indeks iklim, maka curah hujan dan produksi padi dipilih untuk musim kemarau (MK) saja. Hal ini disebabkan bahwa pada MK tanaman padi berpeluang besar mengalami kekeringan baik pada lahan tadah hujan maupun irigasi, sehingga risiko petani pada MK ini cukup besar. Risiko kekeringan yang harus ditanggung oleh petani ini dapat diminimalkan dengan cara beradaptasi terhadap kejadian iklim ekstrim yang salah satu opsinya adalah melalui pengembangan model asuransi indeks iklim. Untuk keperluan pengembangan asuransi indeks iklim, maka perlu ditentukan indeks iklim yang dalam penelitian ini parameter iklim yang diplih adalah curah hujan, sehingga untuk selanjutnya akan digunakan istilah indeks hujan. Hubungan curah hujan dan produksi padi serta penentuan indeks hujan akan dilakukan untuk stasiun hujan referensi Cikedung.. Pola curah hujan di stasiun Cikedung adalah monsunal dengan curah hujan terendah pada bulan Agustus. Curah hujan tertinggi pada umumnya terjadi pada bulan Januari. Demikian juga dengan pola hari hujan yang juga mengikuti pola curah hujan. Rata-rata hari hujan berkisar antara 1-13 hari per bulan dengan hari hujan terbanyak pada bulan Januari (Gambar 69a). Curah hujan maksimum pada bulan Januari dan Februari bisa mencapai lebih dari 500 mm/bulan, tetapi di Bulan Agustus maksimum curah hujan hanya mencapai kurang dari 100 mm/bulan (Gambar 69b). Hubungan curah hujan dan produksi padi dianalisis untuk mengetahui pola hubungan antara kedua parameter tersebut baik pada seluruh fase maupun pada setiap fase. Skenario yang digunakan adalah tanpa irigasi. Secara umum baik pada MH maupun MK, pola hubungan curah hujan dan produksi padi memperlihatkan bahwa semakin bertambah curah hujan produksi semakin meningkat hingga suatu batas tertentu setelah itu menurun. Hubungan kedua parameter tersebut juga

163 137 cukup tinggi yang ditunjukkan oleh nilai R 2 sekitar (kecuali fase 2). Apabila dibedakan untuk setiap fase tanaman, maka fase 3 memperlihatkan pola hubungan yang lebih erat dibandingkan fase 1 dan 2 (Gambar 70). Gambar 69. Pola curah hujan, hari hujan (a) dan curah hujan maksimum (b) di Stasiun Cikedung Gambar 70. Hubungan curah hujan dan produksi padi di Cikedung. Untuk mengetahui pengaruh curah hujan setiap fase terhadap keragaman hasil, maka dilakukan analisis regresi terboboti antara curah hujan dan produksi padi dan diperoleh persamaan : Y = X X X 3...(1) Di mana Y=hasil padi, X 1 merupakan curah hujan pada fase 1, X 2 curah hujan pada fase 2 dan X 3 curah hujan pada fase 3. Dari persamaan tersebut

164 138 diperoleh persentase besarnya pengaruh curah hujan terhadap keragaman hasil adalah 34% untuk fase 1, 43% untuk fase 2 dan 23% untuk fase 3. Diperoleh dari jumlah kuadrat sequen (Seq SS) dibagi dengan totalnya. Berdasarakan persentase tersebut curah hujan pada fase 2 memberikan pengaruh yang paling besar terhadap keragaman hasil padi di Cikedung dibandingkan curah hujan pada fase 1 dan 3. Hasil regresi terboboti selengkapnya disajikan dalam Lampiran Threshold Produksi Padi Untuk menentukan indeks iklim, maka diperlukan nilai threshold produksi padi. Nilai threshold produksi padi telah dianalisis pada bab 5. Untuk Kecamatan Cikedung pada MK baik di lahan tadah hujan maupun irigasi ujung, nilai threshold padi adalah sebesar 2711 kg/ha. Artinya jika produksi padi kurang dari 2711 kg/ha, maka secara ekonomi petani tidak untung. Sementara jika produksi padi sama dengan 2711 kg/ha maka secara ekonomi petani tidak untung dan tidak rugi atau impas. Selama kurun waktu (29 tahun), frekuensi munculnya threshold produksi padi <2711 kg/ha berkisar antara 1-29 kali. Artinya apabila saat tanam tidak ditentukan dengan tepat, maka ada kemungkinan terjadi kekeringan hampir setiap tahun. Sebagai contoh untuk tanggal tanam 15 April 15 Juni frekuensinya 29 kali artinya setiap tahun akan terjadi kekeringan apabila dilakukan penanaman pada tanggal tersebut dan hanya mengandalkan curah hujan. Pada MH frekuensi kejadian threshold lebih rendah dari 2711 pada umumnya kurang dari 15 kali dalam 29 tahun, sedangkan pada MK lebih dari 15 kali dalam kurun waktu 29 tahun. Peluang terjadinya produksi lebih rendah dari threshold berkisar dari 0.1 hingga 1. Artinya ada periode di mana hampir setiap tahun terjadi threshold produksi kurang dari 2711 kg/ha tetapi ada juga yang hanya 3 kali terjadi selama kurun waktu 29 tahun (Gambar 71a). Pada MH pada umumnya peluang kejadiannya kurang dari 0.5, sedangkan pada MK peluangnya meningkat hingga 1. Melihat sebaran peluang kejadian ini, maka periode kritis di lokasi Cikedung cukup lama. Hampir di sepanjang MK peluang kejadian dibawah nilai treshold lebih dari 50%. Dipandang dari sistim asuransi, maka kondisi ini tidak cukup

165 139 menguntungkan bagi pihak asuransi karena peluang kejadiannya sangat tinggi. Untuk itu pilihan asuransi perlu dihubungkan dengan periode ulangnya. Periode ulang merupakan satu dibagi nilai peluangnya. Untuk lokasi Cikedung, periode ulang di mana produksi lebih rendah dari threshold memperlihatkan kisaran dari 1 hingga 10 tahun. Artinya ada periode di mana setiap tahun produksinya lebih rendah dari threshold, tetapi ada pula periode di mana hampir 10 tahun sekali baru terjadi produksi lebih rendah dari threshold. Periode ulang 2-10 tahun pada umumnya terjadi pada MH, sedangkan pada MK hampir setiap tahun terjadi produksi yang lebih rendah dari threshold 2711 kg/ha (Gambar 71b). Gambar 71. Peluang (a) dan periode ulang (b) produksi < threshold 2711 kg/ha di Kecamatan Cikedung Penentuan Indeks Iklim Indeks iklim adalah sebuah jumlah yang diperoleh dari hasil perhitungan data cuaca yang tercatat di stasiun cuaca yang dipilih. Dalam penelitian ini indeks iklim ditentukan berdasarkan pendekatan Martirez (Martirez, 2009). Indeks iklim ditentukan setelah diperoleh nilai threshold produksi padi dan triger curah hujan, serta besarnya kontribusi curah hujan setiap fase terhadap keragaman hasil. Untuk lokasi Cikedung telah diperoleh threshold produksi padi sebesar 2711 kg/ha. Selain itu diperlukan persamaan yang menghubungkan curah hujan dan produksi padi. Pola hubungan curah hujan dan produksi yang telah dihasilkan dari analisis sebelumnya digunakan untuk menentukan indeks iklim. Nilai threshold sebesar 2711 ini selanjutnya digunakan sebagai nilai y pada persamaan polinomial seperti dalam Gambar 72. Dengan demikian untuk nilai y=2711 kg/ha, maka diperoleh

166 140 nilai x=542,2. Artinya pada saat tercapai nilai threshold produksi padi, maka curah hujannya adalah sekitar 542,2 mm/musim tanam. Untuk menentukan indeks hujan per fase tanaman, maka digunakan persamaan (1) yang telah dihasilkan sebelumnya, yaitu : Y = X X X 3 Selain itu diperlukan nilai rata-rata curah hujan per fasenya. Dari data Cidekung diperoleh rata-rata curah hujan pada setiap fasenya adalah 207 mm (fase 1), 154 mm (fase 2) dan 134 mm (fase 3), dengan total curah hujan 495 mm dan total standar deviasi 612 mm/musim tanam. Indeks hujan pada setiap fase diperoleh dengan memasukkan nilai rata-rata curah hujan per fase dibagi dengan standar deviasinya dan dikalikan dengan triger hujan untuk satu musim tanam. Setelah dilakukan perhitungan, maka untuk lokasi Cikedung diperoleh indeks hujan masing-masing adalah 183 mm (fase 1), 136 mm (fase 2), 119 mm (fase 3) dan 438,5 mm untuk seluruh fase (Tabel 13). Gambar 72. Penentuan trigger hujan di Cikedung Tabel 13. Penentuan indeks hujan di lokasi Cikedung Fase 1 Fase 2 Fase 3 Seluruh Fase Indek Iklim (207/612)x542,2=183 (154/612)x542,2=136 (134/612)x542,2=119 (495/612)x542,2=438,5

167 Desain Premi dan Klaim Asuransi Pembayaran premi ditentukan oleh besarnya risiko. Semakin besar risiko maka nilai premi yang dibayarkan semakin tinggi. Sebaliknya semakin kecil risiko maka premi yang harus dibayar juga semakin rendah. Premi pada umumnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan antar pihak yang terlibat, pada umumnya sebesar 10-15% dari biaya input, tetapi bisa lebih rendah lagi. Sebagai contoh PT Asuransi Umum Bumi Putera Muda 1967 menetapkan premi 5% untuk asuransi gagal panen akibat serangan hama/penyakit, banjir dan kekeringan akibat kekurangan air irigasi atau anomali iklim. Martirez (2009) memberikan contoh besarnya premi untuk risiko tinggi terhadap berbagai bencana (Multi Risk Cover) sebesar 12.27%. Untuk risiko tinggi terhadap bencana alam (Natural Disaster Cover) premi yang harus dibayar sebesar 9.07%. Premi tersebut bisa dibagi antara pihak yang terkait yaitu petani, lembaga pemberi pinjaman (lending institution) serta pemerintah. Premi yang harus dibayar petani pada umunya paling rendah, dan porsi terbesar (hampir setengahnya) adalah pemerintah. Hal ini juga terlihat dalam proyek percontohan asuransi pertanian yang dilaksanakan oleh Kementerian Pertanian bekerjasama dengan BUMN pertanian dan BUMN asuransi serta kelompok tani pada Bulan Oktober 2012 di Sumatera Selatan, Jawa Barat, dan Jawa Timur, masing-masing 1000 ha untuk menjamin usahatani padi dari risiko gagal panen karena banjir, kekeringan dan atau serangan OPT. Dalam proyek percontohan ini, premi yang ditanggung Pemerintah sebesar 80% dari Rp /ha/MT dengan nilai pertanggungan jika gagal panen (puso dengan kriteria tertentu) Rp. 6 juta/ha, atau sebesar Rp. 144 ribu, sementara petani membayar sisanya 20%, yaitu sebesar Rp. 36 ribu) (Pasaribu 2012). Dari hasil di Cikedung, antara fase 1, 2 dan 3 curah hujan yang paling besar pengaruhnya terhadap keragaman hasil adalah pada fase 2. Apabila petani mengasuransikan indeks hujan pada fase 2 ini, maka premi yang dibayarkan akan lebih tinggi dibandingkan fase 1 dan 3. Dalam membuat desain premi perlu dipertimbangkan kesediaan membayar (WTP) oleh petani yang sudah disajikan dalam Bab V tentang usahatani padi. Besarnya klaim ditentukan oleh nilai premi dikalikan dengan periode ulangnya. Peluang diperoleh dari besarnya frekuensi dibagi dengan periode

168 142 datanya. Dalam contoh kasus di Cikedung, periode data yang memenuhi analisis untuk threshold adalah (29 tahun). Semakin besar peluang terjadinya nilai produksi kurang dari threshold, maka akan semakin besar nilai preminya karena risikonya semakin tinggi. Untuk mendapatkan gambaran tentang klaim asuransi, maka berikut disajikan contoh perhitungan klaim asuransi indeks iklim. Dalam kasus di Cikedung, telah diperoleh nilai indeks hujan pada setiap fase, masing-masing adalah 183 mm (fase 1), 136 mm (fase 2) dan 119 mm (fase 3) dan total satu periode tanam sebesar 439 mm. Untuk kumulatif curah hujan, diperoleh nilai rata-rata curah hujan per fase pada MK yaitu 76 mm (fase 1), 37 mm (fase 2) dan 58 mm (fase 3). Untuk aplikasi di lapang, nilai kumulatif curah hujan diperoleh berdasarkan hasil pengamatan selama masing-masing fase tanaman. Dalam penelitian ini digunakan varietas padi IR 64 dengan umur 110 hari dengan umur setiap fasenya 45 hari (fase 1), 35 (fase 2) hari dan 30 hari (fase 3). Untuk perhitungan klaim asuransi digunakan persamaan formula yang disusun oleh Martirez (2009), yaitu : Pembayaran = (Indek Hujan-Curah hujan Kumulatif) x unit pembayaran x Total yang diasuransikan/1000 Untuk studi kasus di Kecamatan Cikedung, diasumsikan polis yang diambil petani senilai Rp 5,000,000. Indeks hujan selama satu periode tanam adalah 439 mm, maka nilai per mm curah hujan adalah Rp. 5,000/439 = Rp ,-. Untuk menghitung nilai per mm defisit hujan per fase tanaman diperlukan nilai persentase yang diambil dari persamaan (1), sebagai berikut : Fase 1 adalah 0.34x(Rp.5000/439)=Rp.3.9 per mm curah hujan Fase 2 adalah 0.43x(Rp.5000/439)=Rp.4.9 per mm curah hujan Fase 3 adalah 0.23x(Rp.5000/439)=Rp. 2.6 per mm curah hujan (Tabel 14). Jika petani mengasuransikan indeks iklim untuk satu periode tanam tercapai kondisi di mana curah hujan kumulatif lebih rendah dari indeks hujan, maka total klaim sebesar Rp. 5,315,050, tetapi maksimum pembayaran adalah Rp. 5,000,000 sesuai dengan jumlah nilai yang diasuransikan.

169 143 Tabel 14. Contoh perhitungan dalam klaim asuransi indeks iklim di Cikedung Fase Indeks Hujan (mm) (1) Nilai per mm defisit (Rp) (2) Kumulatif hujan (mm) (3) Perhitungan Keuntungan (4)=(1-3)*(2) Nilai Klaim (Rp) (5)=(4)*Nilai Polis Fase 1 (Vegetatif) Fase 2 (Pembungaan) Fase 3 (Pengisian Biji) ,094 Total klaim Berdasarkan Gambar 73, maka periode yang berpeluang untuk dijadikan produk asuransi indeks iklim adalah pada tanggal tanam 15 Jan-15 Feb, serta 15 September-15 Oktober, yaitu dengan periode ulang 2-4 tahun. Periode yang berpeluang tinggi mengalami kekeringan, yaitu pada periode April-Juni. Apabila petani mengasuransikan indeks curah hujan pada periode April-Juni tersebut baik selama satu musim maupun per fase, maka pembayaran preminya akan lebih mahal dibandingkan periode yang lain. Gambar 73. Periode ulang produksi < threshold 2711 kg/ha Model Asuransi Indeks Iklim Asuransi indeks iklim adalah alat yang relatif baru yang dapat digunakan oleh petani untuk mengelola risiko iklim. Parameter iklim yang bisa digunakan untuk penyusunan indeks iklim cukup beragam. Menurut Manuamorn (2010), indeks iklim yang bisa digunakan antara lain : curah hujan, suhu udara, kecepatan angin, kelembaban tanah dan growing degree day. Dalam penelitian ini parameter

170 144 iklim yang dipilih adalah curah hujan. Hal ini disebabkan curah hujan merupakan parameter iklim yang paling berpengaruh terhadap fluktuasi produksi padi. Manuamorn (2010) juga menyebutkan bahwa dalam pertanian, indeks yang paling sering digunakan adalah indeks hujan yang ditujukan untuk memproteksi petani dari bencana kekeringan. Penyusunan indeks iklim memerlukan input data yang utama yaitu data curah hujan runut waktu dalam jangka panjang (30-40 tahun) (Mapfumo 2007). Oleh karena itu keberadaan stasiun hujan menjadi sangat penting. Selain itu, pengembangan model asuransi indeks iklim, perlu didukung dengan data usahatani padi serta kesediaan membayar. Penyusunan model asuransi indeks iklim memerlukan beberapa tahapan mulai dari desain produk hingga perhitungan klaim. Didalam desain produk dilakukan tahapan sebagai berikut : 1. Menganalisis hubungan antara curah hujan dan produksi padi. Produksi padi diestimasi dengan model simulasi tanaman DSSAT. 2. Menganalisis hubungan produksi padi dengan R/C untuk mendapatkan threshold produksi padi 3. Membuat desain indeks iklim berdasarkan hubungan curah hujan dan produksi padi serta threshold produksi. Penghitungan indeks iklim sebaiknya dilakukan oleh suatu tim yang disebut sains proker yang bekerja memberi pemahaman baik dari sisi peserta asuransi (dalam hal ini petani) maupun yang memberi asuransi (bank/jasa keuangan lainnya) (Boer, 2012). Tahap selanjutnya adalah pemasaran produk yang mencakup penyebaran dan penjelasan polis, umpan balik konsumen dan pembelian polis. Indeks iklim yang telah disepakati dan diaplikasikan selanjutnya dipantau selama periode asuransi. Tahap terakhir adalah penghitungan klaim dan pembayaran. Jika curah hujan selama periode asuransi lebih rendah dari exit akan dilakukan pembayaran penuh. Apabila lebih rendah dari trigger akan dilakukan pembayaran parsial, sedangkan apabila curah hujan selama periode asuransi lebih besar dari trigger, maka tidak ada pembayaran. Diagram alir model asuransi indeks iklim secara garis besar disajikan dalam Gambar 74.

171 145 Gambar 74. Diagram alir model asuransi indeks iklim (dimodifikasi dari Martirez 2009) Dalam konsep asuransi indeks iklim, petani akan memperbarui kontraknya setiap tahun, Jadi indeks iklim yang dihasilkan juga akan diperbarui setiap tahunnya. Hal ini dilakukan agar indeks bisa mewakili kondisi iklim dengan masukan data terbaru (near real time). Terkait dengan waktu pelaksanaannya, asuransi indeks iklim dapat diikuti oleh petani setiap tahun karena kontrak diperbarui setiap tahunnya. Kontrak tahun ini dibuat untuk periode asuransi yang akan datang. Persyaratan mengikuti asuransi indeks iklim menurut Mapfumo (2007) adalah : 1. Tersedia jaringan stasiun cuaca. 2. Tersedia data yang berkualitas dan dalam runut waktu yang panjang (30-40 tahun). 3. Kepadatan petani tinggi di sekitar stasiun meteorology tertentu. 4. Pola cuaca relatif seragam dalam radius tertentu dari stasiun cuaca 5. Kapasitas memegang air tanah (water holding capacity) yang relatif sama untuk lahan pertanian yang diasuransikan terhadap stasiun tertentu. 6. Jaringan pengiriman yang institusional hingga bisa mencapai ke petani yang berkomitmen untuk asuransi ini dan yang memiliki kemampuan teknis mengelola proses ini. 7. Mendistribusikan dan memasarkan produk ke petani 8. Kemampuan untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kepada para petani 9. Penanggung atau pengambil risiko bersedia untuk menanggung risiko atau bertindak sebagai perantara pasar untuk risiko.

172 146 Syarat lainnya yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk mengikuti program asuransi indeks iklim ini, maka petani harus memiliki tanaman padi yang diusahakan di lahan sawahnya. Petani bisa memanfaatkan kalender tanam untuk mendapatkan informasi saat tanam yang tepat. Penentuan saat tanam yang tepat serta keikutsertaan dalam asuransi indeks iklim akan membantu petani mengelola usahataninya dengan optimal. Asuransi indeks iklim didesain untuk membantu petani meningkatkan produktifitasnya. Pada tahun-tahun yang baik (good year), petani diharapkan bisa meningkatkan teknologi inputnya (varietas, pupuk, obatobatan, dan lain-lain) sehingga produksinya meningkat. Sementara pada tahuntahun buruk (bad year) petani akan mendapat klaim pembayaran asuransi indeks iklim. Dengan demikian petani diharapkan akan lebih berani dalam mengambil risiko. Pada intinya dalam pengembangan asuransi indeks iklim, ada tiga aspek yang terkait, yaitu finansial, produksi dan sosial. Asuransi indeks iklim membuka peluang bagi petani untuk diuntungkan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan. Apabila petani sejahtera, maka hal tersebut merupakan keberhasilan dan prestasi bagi Kementerian Pertanian. Selain itu juga akan mengurangi gejolak sosial. Untuk aplikasi asuransi indeks iklim, penentuan lokasi bisa dilakukan dengan data dan informasi berdasarkan peta endemik kekeringan. Selain itu, faktor lain yang perlu dipertimbangkan adalah : 1) iklim/biofisik, 2) posisi strategis sebagai sentra produksi, dan 3) kondisi petani (Las 2012) Simpulan Secara umum, hasil simulasi tanaman di lahan tadah hujan memperlihatkan rata-rata produksi padi antara ton/ha pada MK dan ton/ha pada MH. Sementara hasil observasi berdasarkan wawancara dengan petani diperoleh rata-rata produksi berkisar antara ton/ha pada MK dan ton/ha pada MH. Rata-rata produksi padi di lahan irigasi ujung berkisar antara 3,8-5,0 ton/ha pada MK dan ton/ha pada MH. Sementara hasil simulasi tanaman

173 147 memperlihatkan nilai produksi berkisar antara ton/ha pada MK dan ton/ha pada MH. Hubungan curah hujan dan produksi padi yang diwakili oleh lokasi Cikedung ditunjukkan oleh nilai R 2 sebesar 0.6 untuk seluruh fase, sedangkan fase 1 sebesar 0.5, fase 2 sebesar 0.3 dan fase 3 sebesar 0.7. Pengaruh curah hujan setiap fase terhadap keragaman hasil adalah 0.34% (fase 1), 0.43% (fase 2) dan 0.23% (fase 3). Fase 2 memberikan pengaruh yang paling besar terhadap keragaman hasil padi di Cikedung. Pada nilai R/C=1 diperoleh threshold produksi sebesar 2711 kg/ha. Peluang terjadinya threshold<2711 kg/ha selama periode adalah 0.1 hingga 1, dengan periode ulang 1 hingga 10 tahun. Indeks iklim yang diperoleh untuk lokasi Cikedung adalah 183 mm (fase 1), 136 mm (fase 2), 119 mm (fase 3) dan 439 mm untuk keseluruhan fase pada MK.

174 VII. PEMBAHASAN UMUM PENGEMBANGAN ASURANSI INDEKS IKLIM PADA SISTIM USAHATANI BERBASIS PADI : Potensi dan Tantangan 7.1. Pendahuluan Perubahan iklim dan dampaknya pada berbagai sektor telah menggungah kesadaran berbagai pihak untuk melakukan upaya-upaya mengurangi risikonya. Sektor pertanian yang mengalami dampak cukup besar telah dan sedang melakukan langkah-langkah dalam meminimalkan risiko. Tersusunnya pedoman umum (PEDUM) mitigasi, adaptasi serta road map Strategi Sektor Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim merupakan salah satu bentuk tanggung jawab sektor pertanian untuk mengambil bagian dalam menghadapi perubahan iklim. Berbagai fenomena cuaca dan iklim ekstrim yang terjadi baik dalam skala temporal singkat (menit, jam, hari) sampai skala temporal bulanan (musim) membawa dampak bagi sektor pertanian. Dengan mengasumsikan faktor lain seperti kualitas lahan, benih, pupuk, dan teknik budidaya dalam kondisi optimal, maka faktor unsur cuaca dan iklim utama (suhu, radiasi, dan curah hujan) menjadi penting dalam proses produksi pertanian untuk menghasilan luas panen dan produktivitas maksimum per satuan lahan. Di sisi lain, petani sebagai ujung tombak pelaku pertanian akan menerima dampak yang paling besar ketika perubahan iklim itu terjadi. Penyebab utama kemiskinan petani adalah karena kepemilikan lahan yang relatif sempit. Data sensus pertanian tahun 2003 dan hasil survey menunjukkan bahwa sebagian besar petani memiliki lahan kurang dari 0.5 Ha (Ilham et al. 2007). Menurut Bustanul dengan kepemilikan lahan kurang dari 0.5 hektar, kebutuhan hidup petani yang bisa dipenuhi dari usaha pertanian mereka maksimal 54 persen (Gerbang Pertanian 2011). Profil petani juga dinyatakan oleh Simatupang dan Rusastra (2004) yang menyebutkan bahwa sebagian besar petani padi adalah keluarga miskin yang lebih mendahulukan pemenuhan kebutuhan pokok saat ini daripada masa mendatang. Oleh karena itu ketika perubahan iklim terjadi, maka petani belum siap untuk melakukan antisipasinya.

175 149 Dalam rangka meminimalkan risiko iklim, petani pada umumnya memiliki strategi tersendiri untuk bisa bertahan hidup, seperti finansial, pemasaran, produksi dan kredit informal, walaupun dalam kenyataannya risiko dan ketidakpastian itu tidak dapat dihilangkan sepenuhnya (Hadi 2000). Oleh karena itu, perlu adanya opsi adaptasi yang bisa diberikan kepada petani. Salah satunya adalah melalui asuransi indeks iklim. Asuransi indeks iklim merupakan asuransi pertanian yang berbasis indeks iklim (curah hujan, dll). Sistem ini memberikan pembayaran pada pemegang polis apabila terpenuhi kondisi cuaca/iklim yang tidak diharapkan tanpa harus ada bukti kegagalan panen. Dalam sistem asuransi iklim yang diasuransikan ialah indeks iklimnya dan bukan tanamannya. Indeks disusun berdasarkan data historis hujan jangka panjang. Biaya pengelolaan risiko iklim didasarkan pada defisit hujan dari jumlah yang dibutuhkan pada beberapa fase pertumbuhan. Pembayaran dilakukan berdasarkan apakah indeks iklim yang ditetapkan dicapai pada periode pertumbuhan tanaman yang diasuransikan. Di Indonesia, penelitian tentang asuransi indeks iklim masih sangat terbatas. IFC (2009) telah melakukan studi kelayakan tentang asuransi iklim di kawasan timur Indonesia (NTB, Sulsel dan Jawa Timur) tetapi untuk komoditas jagung. Untuk komoditas padi sampai saat ini belum pernah dilakukan. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mencoba mengembangkan suatu model asuransi indeks iklim untuk usahatani padi. Penelitian dilakukan di Kabupaten Indramayu. Kabupaten Indramayu merupakan sentra produksi beras khususnya di Provinsi Jawa Barat. Sekitar 11.7% produksi beras Jawa Barat dipasok oleh Kabupaten Indramayu. Hal ini menjadikan Provinsi Indramayu sebagai kabupaten yang memiliki pengaruh cukup besar terkait dengan usahatani padi. Di sisi lain, Kabupaten Indramayu merupakan salah Kabupaten yang rentan terhadap perubahan iklim. Hasil penelitian Faqih (2010) menyebutkan bahwa pengaruh ENSO di Jawa Barat ditemukan paling kuat terjadi di wilayah Indramayu, khususnya pada bulan Juli, Agustus dan September. Ketika terjadi El Nino, curah hujan di Indramayu dapat turun sekitar 30-70% dari kondisi normal (per 1 C peningkatan anomali suhu muka laut di wilayah Nino-3.4). Dengan demikian peluang terjadinya risiko iklim di Kabupaten Indramayu cukup besar. Perubahan

176 150 iklim yang nyata sering terjadi dan mengganggu produktivitas pertanian adalah kejadian iklim ektrim berupa banjir dan kekeringan. Di Kabupaten Indramayu, kekeringan menempati posisi paling tinggi sebagai penyebab gagal panen (79.8%), disusul OPT (14.5%) dan banjir (5.6%). Oleh karena itu, kejadian kekeringan di Kabupaten Indramayu perlu mendapat perhatian utama terkait dengan pengelolaan risiko iklim. Terkait dengan asuransi indeks iklim, maka untuk mengembangkannya diperlukan suatu penelitian awal yang dapat memberikan gambaran tentang model asuransi indeks iklim serta potensi dan tantangannya Metodologi Bab 7 ini merupakan rangkuman dari seluruh hasil penelitian. Pembahasan umum difokuskan pada potensi dan tantangan dalam pengembangan asuransi indeks iklim pada sistim usaha tani berbasis padi. Potensi digali berdasarkan berbagai data dan informasi yang telah dihasilkan dari penelitian ini. Hasil analisis yang telah diperoleh pada Bab 3 akan digunakan untuk memberikan masukan tentang wilayah prioritas penanganan bencana kekeringan. Wilayah dengan tingkat endemik tinggi merupakan prioritas pertama dalam penanganan bencana kekeringan. Hasil analisis penetapan cakupan wilayah untuk penerapan indeks iklim (Bab 4) akan digunakan untuk menilai cakupan wilayah indeks, serta memberikan saran perlu tidaknya dibangun stasiun hujan (otomatis) yang baru. Respon petani terhadap program asuransi iklim serta gambaran kesediaan petani untuk membayar (willingness to pay) yang dihasilkan dari analisis ekonomi usahatani (Bab 5) menjadi bahan masukan dalam pengembangan asuransi indeks iklim. Hubungan curah hujan dan produksi padi (Bab 6) merupakan dasar penyusunan indeks iklim. Semua hasil penelitian selanjutnya diformulasikan dalam bentuk rekomendasi yang berfokus pada potensi dan tantangan pengembangan asuransi indeks iklim Model Asuransi Indeks Iklim di Kabupaten Indramayu Kekeringan yang menjadi penyebab utama (78.9%) gagal panen di Kabupaten Indramayu menjadi pilihan utama bentuk risiko iklim yang dicover

177 151 dalam asuransi indeks iklim. Kekeringan diidentifikasi dan didelineasi dalam bentuk peta endemik kekeringan untuk setiap kecamatan. Endemik kekeringan tinggi merupakan wilayah prioritas utama penanganan kekeringan seperti di Kecamatan Losarang, Kandanghaur, Krangkeng, Cikedung, Gabuswetan, Indramayu, dll yang pada umumnya berada di ujung irigasi. Usahatani padi menjadi mata pencaharian utama (91.4%) petani di Indramayu. Kegiatan pertanian sebagian besar (64%) dilakukan oleh petani yang sudah tidak muda lagi yaitu usia tahun, dengan pendidikan SD (49%). Hasil analisis usahatani padi memperlihatkan bahwa usahatani padi masih memberikan keuntungan dan layak diusahakan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai R/C yang lebih dari 1, yaitu sebesar 1.98 pada MH dan 1.74 pada MK. Meskipun secara ekonomi layak dan menguntungkan, namun belum diikuti dengan pengelolaan keuangan yang baik. Sekitar 51% petani belum terbiasa menyimpan uang hasil panennya, meskipun ada beberapa petani yang menyimpan dalam bentuk gabah (3%) dan perhiasan (1%). Hampir setiap awal masa tanam, sebagian besar petani (65%) mengajukan kredit untuk usahataninya melalui Bank (40%). Produksi padi di lokasi penelitian berkisar antara 5-6 ton/ha (MH) dan 4-5 ton/ha (MK), dan ada beberapa lokasi yang bisa mencapai 7 ton/ha. Hubungan curah hujan dan produksi padi dengan R 2 sebesar 0.6 digunakan untuk penentuan batas (triger) hujan. Trigger hujan adalah ambang batas atas atau bawah di mana pembayaran dilakukan (untuk kasus kekeringan, pembayaran dilakukan ketika nilai indeks yang dihitung lebih rendah dari trigger). Batas produksi (threshold) padi yang ditentukan pada saat nilai R/C=1 digunakan untuk menentukan batas (triger) curah hujan. Stasiun Cikedung dipilih sebagai contoh untuk desain premi dan klaim asuransi. Pada threshold produksi 2711 kg/ha diperoleh triger hujan mm/musim. Berdasar plot peluang threshold<2711 kg/ha, maka hampir setiap tahun kondisi tersebut terjadi. Hal ini kurang menguntungkan dari pihak asuransi karena peluangnya sangat besar. Dengan skenario periode ulang, maka dapat dipilih periode yang dapat dijadikan produk asuransi. Untuk kasus Cikedung, periode ulang 3 tahun dapat dijadikan pilihan produk asuransi. Persamaan regresi terboboti selanjutnya digunakan untuk menentukan indeks iklim per fasenya. Diperoleh berturut-turut 183 mm (fase 1), 136 mm (fase 2) dan

178 mm (fase 3) dan seluruh fase 439 mm. Apabila diasumsi nilai polis 5 juta rupiah, maka jika petani mengasuransikan satu periode tanam dan terpenuhi kondisi seperti yang disyaratkan, petani akan mendapat klaim maksimal sebesar nilai polisnya, yaitu 5 juta rupiah. Indeks tersebut dapat digunakan untuk wilayah lain yang memiliki kemiripan pola curah hujan dengan stasiun Cikedung, yaitu di lokasi Losarang, Sliyeg dan Jatibarang, namun perlu dipertimbangkan juga kapasitas memegang tanah dan juga topografinya. Cakupan wilayah indeks ini dapat ditentukan dengan metode Fuzzy Similarity (FS). Sebagai pembanding, Martirez (2009) menyebutkan bahwa dalam radius 20 km dapat mengikuti asuransi, sementara IFC (2009) menyebutkan hingga radius 25 km.. Terkait dengan pembayaran premi, sebagaimana konsep asuransi pada umumnya, maka dalam penerapan asuransi indeks iklim ini juga ada premi yang harus dibayarkan. Harga premi yang dibayarkan tergantung pada fase atau periode tanaman yang diasuransikan. Apabila yang diasuransikan adalah pada fase kritis tanaman dan pada periode musim kering, maka premi yang dibayarkan semakin mahal. Sebaliknya bila yang diasuransikan diluar kondisi tersebut, maka premi yang dibayar semakin murah. Jadi semakin besar risiko, maka semakin mahal harga preminya. Hasil survey tentang kesediaan membayar (willingness to pay) sangat penting dalam menentukan desain preminya. Hasil survey memperlihatkan bahwa sebagain besar petani (28%) bersedia membayar ribu rupiah per musim per hektar. Sementara dengan asumsi polis 5 juta rupiah, premi yang dibayarkan sekitar 10% nya yaitu 500 ribu rupiah. Jumlah pembayaran untuk setiap fase tidak dapat melebihi maksimum pembayaran. Total pembayaran maksimum dan juga uang pertanggungan dinyatakan dalam kontrak. Terkait dengan premi ini, Biro Perasuransian Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) Departemen Keuangan (2010) menuangkannya dalam beberapa pasal yang terkait. Dengan premi sebesar 500 ribu rupiah sementara kesanggupan petani hanya 300 ribu rupiah, maka ada selisih premi sebesar 200 ribu rupiah yang belum bisa dibayar (Gambar 75). Di sinilah diharapkan ada peran pemerintah untuk membantu pembayaran premi petani.

179 153 Gambar 75. Contoh konsep pembayaran premi dengan bantuan Pemerintah Skenario asuransi indeks iklim ini merupakan salah satu contoh out put dari model asuransi indeks iklim untuk studi kasus di Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu. Untuk pengembangan model secara umum, maka tahapan utama yang perlu diperhatikan adalah : 1) penggunaan data hujan secara runut waktu jangka panjang untuk menyusun indek, 2) setiap petani yang melakukan usahatani pada wilayah cakupan indeks dapat mengikuti asuransi, 3) setiap stasiun hujan dan tanaman memiliki harga yang berbeda, dan 4) pembayaran secara otomatis dapat dihitung. Hasil penelitian ini menekankan perlunya asuransi atau perlindungan terhadap petani dan oleh karena itu, skim asuransi pertanian ini dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan petani, bukan meningkatan ketahanan pangan. Namun, ketahanan petani yang meningkat sebenarnya juga bermakna peningkatan ketahanan pangan. Komoditas padi yang dipilih sebagai obyek penelitian mengindikasikan bahwa kajian ini dititikberatkan pada skim asuransi usahatani padi, namun demikian komoditas lain yang bernilai ekonomi tinggi pada prinsipnya dapat mereplikasi/mengadaptasi skim yang sama pada komoditas padi ini.

180 154 Ketersediaan data yang akurat dan tepat waktu menjadi kendala utama dalam penerapan skim asuransi usahatani padi. Untuk ketersediaan data yang dapat dipercaya (reliable), dibutuhkan upaya khusus untuk menyediakannya. Setiap wilayah memiliki karakteristik sumberdaya alam yang berbeda dan dengan demikian juga memiliki kondisi data unik yang mendukung penyiapan indeks iklim. Pengumpulan data (primer dan sekunder) yang relevan dengan aplikasi skim asuransi indeks iklim menjadi faktor penentu dalam menyiapkan desain skim asuransi ini. Dengan data yang baik, analisis yang dilakukan menjadi lebih sesuai, lebih tepat dan lebih dapat dipertanggung jawabkan. Aplikasi skim asuransi indeks iklim lebih sesuai dilaksanakan menurut lokasi (local specific) di berbagai sentra produksi padi. Dengan kekhasan masingmasing lokasi disandingkan dengan kondisi sosial ekonomi wilayah setempat, termasuk karakteristik petani serta kebiasaan, maka setiap skim asuransi indeks iklim memiliki kekhasan untuk setiap lokasi. Untuk pengembangan asuransi indeks iklim serta aplikasinya di lapang, maka identifikasi potensi menjadi sangat penting sebagai dasar dan peluang dalam langkah selanjutnya. Tantangan maupun hambatan yang mungkin terjadi menjadi bahan pertimbangan yang harus dicari solusinya Potensi Potensi merupakan kemampuan, kekuatan, baik yang belum terwujud maupun yang telah terwujud, tetapi belum sepenuhnya terlihat atau dipergunakan secara maksimal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berbagai potensi dapat digali untuk digunakan sebagai modal dasar dalam pengembangan asuransi indeks iklim. Potensi pengembangan asuransi indeks iklim di Kabupaten Indramayu antara lain : 1. Kabupaten Indramayu sebagai pusat produksi padi Jawa Barat/Nasional. Keberhasilan program asuransi di Kabupaten Indramayu akan memberi pengaruh positif terhadap wilayah lainnya. 2. Wilayah Indramayu yang rentan terhadap anomali iklim merupakan potensi untuk pengembangan asuransi indeks iklim karena peluang

181 155 terjadinya kekeringan akan selalu ada dengan dampak atau kerugian yang cukup besar. 3. Hubungan yang erat antara curah hujan dan produksi tanaman di lokasi penelitian menjadi syarat penting dalam penentuan indeks iklim. 4. Peta endemik kekeringan membantu dalam penentuan prioritas penanganan bencana kekeringan (79.8% gagal panen karena kekeringan). 5. Usahatani padi yang menjadi pekerjaan utama (91.4%) petani di Indramayu serta cukup menguntungkan. Kondisi ini akan membuat perhatian petani menjadi sangat besar terhadap program yang terkait dengan peningkatan usahataninya. 6. Kebutuhan petani terhadap modal pada setiap awal musim tanam (59% melakukan akses kredit). Adanya asuransi indeks iklim akan berpeluang digunakan sebagai agunan Bank melalui koperasi, kelompok tani, gapoktan, dll. 7. Kesediaan membayar premi cukup tinggi (82.5%) 8. Respon bahwa asuransi indeks iklim memiliki prospek yang baik (68%) dan perlu sosialisasi (33%) 7.5. Tantangan Tantangan yang dimaksud disini adalah berbagai hal yang menjadi tantangan dalam pengembangan asuransi indeks iklim. Beberapa tantangan yang dihadapi dalam pengembangan asuransi indeks iklim adalah : 1. Undang-undang atau regulasi tentang asuransi pertanian (termasuk asuransi indeks iklim) masih dalam proses penyusunan. 2. Kelembagaan baik di tingkat pusat maupun daerah perlu disiapkan. 3. Sumberdaya manusia sebagai pengguna untuk menilai apakah indeks asuransi akan memberikan manajemen risiko yang efektif juga perlu dipersiapkan. Sekitar 28% responden menyatakan adanya kendala berupa sumberdaya manusia. 4. Ketersediaan data curah hujan yang berkualitas secara spasial dan temporal (runut waktu yang panjang minimal 20 tahun). Ketersediaan

182 156 data yang reliable untuk suatu perencanaan kebijakan sangat menentukan tingkat keberhasilan kebijakan itu sendiri. 5. Sosialisasi yang intensif dan mendalam hingga tingkat petani. Hasil survey di Kabupaten Indramayu menunjukkan bahwa 33% responden menyatakan pentingnya sosialisasi program asuransi indeks iklim seandainya program ini diaplikasikan. 6. Pasar masih dalam masa pertumbuhan di negara berkembang dan biaya awal (start-up) dapat menjadi signifikan (Bank Dunia 2006 diacu dalam IFC 2009). 7. Sebagai program pemula, asuransi indeks iklim pada sistim usahatani padi di Indonesia dalam aplikasinya masih perlu didukung oleh bantuan Pemerintah 8. Program asuransi ini mencoba membuat petani bisa menggunakan skema asuransi sebagai peluang untuk meningkatkan produktifitasnya. Terkait dengan kelembagaan, sebagaimana diketahui bahwa lingkup kelembagaan (organisasi) terdiri dari beberapa aktor yang memiliki peran dan fungsi yang berbeda-beda satu dengan lainnya. Kelembagaan yang pada umumnya ada di daerah adalah : rumah tangga petani, kelompok tani, gabungan kelompok tani (gapoktan), asosiasi (perkumpulan) seperti Asosiasi Petani Padi dan Palawija Indonesia (AP3I), Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) dan sebagainya. Selain itu juga kelembagaan/organisasi Pemerintah seperti : Dinas Pertanian, Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluh Pertanian, Badan Sumberdaya Air, dan lain-lain. Organisasi Pasar dan Konsumen, Organisasi Usaha Input Budidaya Pertanian dan Organisasi Pembiayaan Kredit dan sebagainya. Masing-masing bagian tersebut harus bersinergi sesuai tugas dan fungsinya. Menurut Boer (2010) tantangan ke depan dalam pengembangan asuransi indeks iklim adalah perlunya perangkat peraturan dan kelembangaan untuk mendukung program asuransi indeks iklim. Selain itu juga dukungan pemerintah dalam bentuk pemberian subsidi premi asuransi mengingat (1) pertanian sangat strategis untuk pangan dan energi, (2) kondisi pertanian yang masih lemah

183 157 (penguasaan lahan, manajemen, pembiayaan dan sumberdaya manusia (Sanim, 2009). Selain potensi dan tantangan, beberapa kendala penerapan asuransi pertanian di Indonesia, yaitu : kesiapan/kesanggupan petani untuk menanggung beban premi asuransi masih terbatas dan perlu dukungan pemerintah, kesiapan sistem dan prosedur pelaksanaan asuransi pertanian di Indonesia, kesiapan lembaga asuransi (swasta dan BUMN) dalam pelaksanaan asuransi pertanian di Indonesia, kesiapan pemerintah untuk mendukung pelaksanaan asuransi pertanian (dalam hal anggaran subsidi), ketersediaan database petani, ketersediaan personil yang terlatih, mekanisme pemantauan dan managemen information system (MIS). Menurut Boer (2010) polis asuransi iklim dengan penggunaan indeks ENSO berpotensi untuk dikembangkan karena kegagalan panen seringkali disebabkan oleh fenomena ini (Boer 2010). Kondisi geografis Indonesia yang dominan dengan lahan pertanian dan perkebunan sangat rentan terhadap kejadian iklim ekstrim. Perubahan iklim dan anomali cuaca menjadikan sektor pertanian berpotensi untuk mengalami kerugian. Meskipun tantangan dalam pengembangan asuransi indeks iklim tidak kecil, namun adanya potensi yang cukup besar akan menjadi dasar yang kuat serta peluang yang cukup besar untuk mengaplikasikan asuransi indeks iklim ini. Hasil riset Rabobank International Indonesia menyebutkan bisnis di sektor pertanian dalam negeri masih sangat prosepektif, seperti halnya yang terjadi di Brazil. Syaratnya ada pendanaan yang memadai untuk mengembangkan riset dan teknologi sehingga produktivitas pertanian bisa maksimal (Koran Tempo, 3 Oktober 2012). Pada akhirnya keseluruhan hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah pusat maupun daerah sebagai penentu kebijakan untuk pengembangan program asuransi selanjutnya. Strategi adaptasi tidak akan berhasil apabila tidak ada keinginan pihak yang terkena dampak untuk melakukan respon dan membangun konsensus tentang bentuk langkah aksi yang sesuai yang harus dilakukan.

184 VIII. SIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI 8.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Kejadian kekeringan di Kabupaten Indramayu merupakan penyebab utama (79.8%) gagal panen selain OPT (15.6%) dan banjir (5.6%). Kekeringan bisa berlangsung selama 1-8 bulan. Petani mengalami kekeringan yang paling sering adalah selama 6 bulan (32%). Bulan Juni merupakan bulan dimana petani paling sering mengalami kekeringan (32.2%). Puncak kekeringan pada umumnya terjadi pada musim Gadu yaitu Bulan Juni- Agustus. 2. Berdasarkan data kekeringan periode Agustus 2005-September 2011, sebaran rata-rata luas kekeringan per kecamatan dari 31 Kecamatan di Kabupaten Indramayu adalah 26 Ha sampai dengan 1602,5 Ha, dengan rata-rata 406 Ha, dengan jumlah kejadian kekeringan berkisar antara 1-9 kejadian dan rata-rata 4 kejadian kekeringan. 3. Klasifikasi tingkat endemik kekeringan menghasilkan 4 kelompok, yaitu : wilayah kecamatan dengan tingkat endemik kekeringan tinggi, agak tinggi, agak rendah dan rendah. Wilayah dengan tingkat endemik tinggi meliputi Kecamatan : Cikedung, Gabuswetan, Indramayu, Kandanghaur, Kedokan Bunder, Krangkeng, Lelea, Lohbener, Losarang dan Sliyeg. Wilayah endemik agak tinggi, antara lain Kecamatan : Juntinyuat, Kroya dan Terisi. Wilayah endemik agak rendah, yaitu Kecamatan Balongan, Cantigi, Gantar, Haurgeulis, Sukagumiwang, Sukra dan Tukdana. Wilayah dengan endemik rendah terhadap kekeringan, yaitu Kecamatan : Anjatan, Arahan, Bangodua, Bongas, Jatibarang, Karangampel, Kertasemaya, Pasekan, Patrol, Sindang dan Widasari. 4. Peta endemik kekeringan, karakteristik khusus dan diskripsi wilayah dapat dijadikan dasar dalam memberikan pilihan teknologi pengelolaan risiko iklim untuk meminimalkan risiko kekeringan.

185 Dalam konteks asuransi indeks iklim, peran stasiun hujan sangat penting sebagai sumber data untuk penentuan indeks hujan. Cakupan wilayah yang bisa diwakili oleh suatu indeks yang ditetapkan berdasarkan metode Fuzzy Similiry (FS) menghasilkan sebaran yang beragam. 6. Untuk stasiun referensi Cikedung, nilai FS berkisar antara dengan rata-rata Wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Cikedung adalah sekitar 7.7% dari total 41 stasiun hujan di Kabupaten Indramayu, yaitu Losarang, Sliyeg dan Jatibarang, dengan nilai FS berturut-turut adalah 0.49, 0.46 dan Untuk stasiun referensi Lelea, nilai FS antara dengan rata-rata Wilayah yang bisa diwakili sekitar 10.3%, yaitu Bangodua, Gabus Wetan, Jatibarang dan Krangkeng. Untuk stasiun referensi Terisi, nilai FS sebagian besar lebih dari 0.5. Nilai FS berkisar 0.04 hingga 0.84, dengan rata-rata Wilayah yang bisa diwakili oleh stasiun Terisi 53.8%, yaitu Bongas, Widasari, Balongan, Sukra, Kroya, Cantigi, Arahan, Gantar, Sukagumiwang, Kedokan Bunder, Patrol, Pasekan, Tukdana, Bugel, Cigugur, Wanguk, Leuweungsemut, Karangasem, Cipancuh, Tamiang dan Bantarhuni.Untuk stasiun referensi Kandanghaur nilai FS antara hingga 0.41, dengan rata-rata Wilayah yang bisa diwakili sangat kecil dibandingkan stasiun referensi lainnya, yaitu Kertasemaya. 7. Petani di lokasi penelitian didominasi oleh usia produktif (15-55 tahun) dalam melaksanakan usahataninya (71.3%). Pendidikan responden sebagian besar (49%) tamatan SD. Lahan yang dimiliki sebagian besar petani (40%) adalah seluas Ha. Pola tanam dominan adalah padipadi-bera. Fluktuasi produksi padi pada MH di lahan irigasi ujung rata-rata sekitar 6 ton/ha dan pada lahan tadah hujan sekitar 5 ton/ha. Pada MK di lahan irigasi ujung produksinya sekitar 4 ton/ha dan pada tadah hujan 3 ton/ha. Tipe petani yang paling banyak dijumpai adalah petani yang masih mengeluarkan biaya input rendah dan produksi juga relatif rendah (tipe 3). 8. Pada MH di lahan irigasi ujung, rata-rata biaya input yang dikeluarkan petani adalah Rp. 9 juta/ha (MH) dan Rp. 8.9 juta/ha (MK). Pada lahan

186 160 tadah hujan sebesar Rp. 8.7 juta/ha (MH) dan Rp. 7.9 juta/ha (MK). Analisis usahatani pada MH menghasilkan R/C 0.9 hingga 3.4, dengan rata-rata 2.1. Pada MK 0.6 hingga 3.2 dengan rata-rata 1.8. Nilai B/C pada MH berkisar antara hingga 2.37, dengan rata-rata 1.1, dan pada MK diperoleh kisaran nilai B/C hingga 2.15 dengan rata-rata Artinya secara ekonomi usahatani padi di lokasi penelitian masih menguntungkan dan layak untuk diusahakan. Namun keuntungan ini belum diikuti oleh kebiasaan menabung hasil panennya. 9. Pemberian wacana tentang Asuransi Indeks Iklim disambut baik oleh petani. Sebagian besar petani (82.5%) bersedia atau sanggup membayar premi, dengan besaran yang bervariasi. Kesanggupan petani membayar premi yang paling dominan adalah ribu rupiah per musim per hektar. Faktor utama yang berpengaruh terhadap WTP adalah jumlah anggota keluarga. 10. Sekitar 68% responden menyatakan asuransi iklim memiliki prospek yang bagus, menarik dan menjanjikan. Lembaga pengelola yang banyak diharapkan responden adalah Bank (52%). Kendala utama yang dikemukakan responden seandainya asuransi dilaksanakan adalah perlunya sosialisasi (32%). 11. Hubungan curah hujan dan produksi padi yang diwakili oleh lokasi Cikedung ditunjukkan oleh nilai R 2 sebesar 0.6 untuk seluruh fase, sedangkan fase 1 sebesar 0.5, fase 2 sebesar 0.3 dan fase 3 sebesar Pengaruh curah hujan setiap fase terhadap keragaman hasil adalah 0.34% (fase 1), 0.43% (fase 2) dan 0.23% (fase 3). Fase 2 memberikan pengaruh yang paling besar terhadap keragaman hasil padi di Cikedung. 13. Pada nilai R/C=1 diperoleh threshold produksi sebesar 2711 kg/ha. Peluang terjadinya threshold<2711 kg/ha selama periode adalah 0.1 hingga 1, dengan periode ulang 1 hingga 10 tahun. 14. Indeks iklim yang diperoleh untuk lokasi Cikedung adalah 183 mm (fase 1), 136 mm (fase 2), 119 mm (fase 3) dan 439 mm untuk seluruh fase pada MK.

187 Saran Peta endemik kekeringan dapat diperbarui dengan data kekeringan terbaru dengan periode yang lebih panjang. Namun mengingat ketersediaan data kekeringan pada tingkat kecamatan tidak mudah untuk diperoleh, maka perlu disarankan kepada pemerintah daerah agar lebih memperhatikan tentang database data serta kontinyuitasnya. Indeks iklim berlaku spesifik untuk setiap lokasi. Peta cakupan wilayah indeks iklim sangat ditentukan oleh sebaran stasiun hujan di suatu wilayah serta kelengkapan data secara runut waktu. Peta ini hanya memberikan gambaran cakupan wilayah seandainya di lokasi yang bersangkutan tidak ada stasiun hujannya. Namun karena asuransi indeks iklim sangat ditentukan oleh nilai indeks iklim yang tersusun sebagai dasar klaim, maka disarankan sedapat mungkin menggunakan atau memasang stasiun hujan yang akurat apabila program asuransi ini akan diaplikasikan. Data dan informasi tentang usahatani padi sangat penting dalam konteks aplikasi asuransi indeks iklim. Survey dan wawancara yang mendalam harus dilakukan sebelum mengaplikasikan program ini. Secara khusus untuk mendapatkan data dan informasi tentang kesediaan membayar (Willingness to Pay) pada tingkat petani disarankan untuk melakukan sosialisasi juga di tingkat penyuluh dan petugas lapangan lainnya agar informasi yang diterima petani lebih lengkap dan tepat sasaran. Pemahaman yang baik tentang program asuransi indeks iklim di tingkat petani akan memberi kemudahan dalam aplikasi lebih lanjut. Indeks iklim yang tersusun merupakan salah satu contoh kasus di Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu. Indeks iklim ini hanya berlaku spesifik di lokasi Cikedung. Mengingat respon yang cukup baik dari petani maupun pemerintah daerah terhadap program asuransi indeks iklim, maka untuk aplikasi lebih lanjut disarankan untuk melakukan penelitian tentang : 1) kelembagaan untuk pengembangan asuransi indeks iklim, 2) penggunaan indikator yang lain seperti ENSO dan sebagainya untuk penyusunan indeks iklim, dan 3) penggunaan berbagai metode penghitungan indeks iklim untuk risiko banjir, kekeringan dan OPT.

188 162 Untuk pengembangan asuransi pertanian, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian perlu membentuk suatu konsorsium penelitian dan pengembangan Asuransi Pertanian yang melibatkan para pakar, peneliti dan nara sumber lainnya seperti dari perguruan tinggi maupun instansi pemerintah lainnya yang terkait. Keterlibatan semua pihak ini diharapkan dapat memperkaya metodologi maupun jenis-jenis indikator klaim asuransi yang bisa diberikan kepada petani Rekomendasi Pengembangan Asuransi Indeks Iklim Pada Usahatani Berbasis Padi Terjadinya perubahan iklim telah membawa dampak yang cukup besar terhadap produksi pertanian. Semakin meningkatnya kejadian iklim ekstrim merupakan salah satu indikator adanya perubahan iklim. Kejadian iklim ekstrim seringkali membawa bencana dalam bentuk banjir dan kekeringan. Data Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman Pangan menunjukkan bahwa bencana terkait iklim seperti banjir, kekeringan dan hama penyakit, hampir setiap tahun terjadi dengan skala yang berbeda-beda. Selain itu, data OFDA/CRED International Disaster Database yang menyatakan bahwa jumlah kejadian bencana terkait iklim memperlihatkan kecenderungan yang terus meningkat dari tahun 1950 sampai dengan Artinya kejadian iklim ekstrim (termasuk kekeringan) akan selalu terjadi. Berdasar studi di Kabupaten Indramayu, kekeringan merupakan penyebab utama gagal panen. Sekitar 79.8% gagal panen di Kabupaten Indramayu di sebabkan oleh kekeringan. Petani sebagai pelaku utama kegiatan pertanian menerima dampak yang paling besar akibat perubahan iklim. Usaha-usaha yang telah dilakukan petani dalam meminimalkan risiko iklim belum cukup untuk meningkatkan ketahanan petani terhadap perubahan iklim. Oleh karena itu diperlukan sistim proteksi formal yang diharapkan dapat membantu petani untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Salah satu bentuk proteksi formal adalah dengan Asuransi indeks iklim. Asuransi indeks iklim merupakan alat manajemen risiko iklim yang relatif baru. Asuransi indeks iklim adalah asuransi yang dihubungkan dengan indeks

189 163 ilmiah (scientific index) seperti curah hujan, suhu, kelembaban atau hasil panen, bukan kerugian aktual. Index iklim sering digunakan untuk pertanian karena adanya korelasi yang kuat antara kejadian iklim dengan kehilangan hasil tanaman. Pada sistem asuransi indeks iklim ini pembayaran dilakukan kepada pemegang polis ketika terpenuhi kondisi cuaca/iklim yang tidak diharapkan yang dinyatakan dalam bentuk indeks iklim tanpa harus ada bukti kegagalan panen. Indeks iklim adalah suatu jumlah yang diperoleh dari hasil perhitungan data cuaca yang tercatat di stasiun cuaca yang dipilih. Untuk mengembangkan asuransi indeks iklim untuk kekeringan, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah penyiapan beberapa komponen seperti kelembagaan, sumberdaya manusia dan peralatan yang digunakan. Dari aspek kelembagaan perlu disiapkan bentuk kelembagaan mulai dari pusat hingga daerah. Untuk aspek sumberdaya manusia, perlu disiapkan sumberdaya manusia yang mampu dan memahami tentang data dan informasi iklim, mampu melakukan analisis terkait dengan informasi iklim, mampu melakukan analisis indeks iklim dan memahami aplikasinya. Oleh karena itu, pada tahap awal pengenalan asuransi indeks iklim, perlu dilakukan pelatihan-pelatihan mulai dari tingkat pusat, pemerintah daerah hingga penyuluh/kelompok tani/petani. Untuk aspek peralatan, pada aplikasi asuransi indeks iklim, indeks dibangun berdasarkan data iklim (curah hujan, suhu, dll). Oleh karena itu, kualitas data sangat mempengaruhi indeks yang dihasilkan. Data yang berkualitas akan dihasilkan oleh peralatan yang baik dan akurat. Terkait dengan peralatan ini, untuk menghindari kesalahan pengamat dan juga moral hazard, maka disarankan untuk menggunakan alat pengamatan hujan otomatis. Apabila tidak tersedia alat tersebut, maka bisa digunakan data satelit seperti yang diaplikasikan oleh IRI melalui project HARITA di Ethiopia. Untuk standart operasional (SOP), maka perlu dirumuskan alur operasional mulai dari pusat hingga tingkat petani. Untuk itu apabila model ini akan diaplikasikan, maka perlu ada suatu penelitian tersendiri yang khusus mengkaji tentang aspek kelembagaan. Secara garis besar, aplikasi asuransi indeks iklim untuk kekeringan, dapat dibagi dalam tahapan, yaitu : 1) pengenalan dan sosialisasi, 2) desain produk, 3)

190 164 aplikasi lapang. Semua tahapan tersebut dilaksanakan seiring dengan penyusunan dan penyempurnaan undang-undang tentang asuransi. Untuk tahap pengenalan dan sosialisasi, langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah : 1. Membentuk tim konsorsium penelitian dan pengembangan asuransi pertanian. 2. Mengadakan workshop dan pelatihan-pelatihan mulai tingkat pusat, daerah hingga penyuluh atau kelompok tani. 3. Penyiapan sumberdaya manusia, dilakukan dengan pelatihan-pelatihan mulai tingkat pusat, daerah hingga penyuluh atau kelompok tani. Bisa juga dilakukan melalui sekolah lapang iklim (SLI) yang sudah berjalan selama ini dengan menambahkan modul tentang asuransi indeks iklim. Tahap desain produk, meliputi : 1. Identifikasi potensi dan kendala (sumberdaya manusia, kelembagaan, dll). 2. Penetapan lokasi (pilot project), yaitu pada suatu wilayah (desa) yang merupakan sentra produksi pangan dan rentan terhadap bencana kekeringan. 3. Pengecekan alat pengamatan hujan 4. Pengumpulan data iklim (curah hujan, suhu udara, radiasi, dll), tanah, tanaman serta data luas dan kejadian kekeringan secara runut waktu. 4. Pemetaan wilayah endemik kekeringan. 5. Survey dan wawancara petani untuk mengetahui karakteristik petani, kelayakan usahataninya (dinyatakan dengan nilai Revenue Cost Ratio, R/C) dan kesediaan membayar (Willingness to Pay, WTP) untuk pembayaran premi asuransi. 6. Penentuan indeks iklim Tahap aplikasi lapang, mencakup : 1. Uji coba polis 2. Penyebaran dan penjelasan polis 3. Umpan balik konsumen 4. Monitoring indeks iklim 5. Perhitungan klaim 6. Pembayaran klaim

191 165 Apabila program asuransi indeks iklim akan diaplikasikan di lapang, maka beberapa instrumen yang harus tersedia adalah : undang-undang atau regulasi, kelembagaan di tingkat pusat dan daerah, pihak bank sebagai mitra, dukungan dana oleh Pemerintah, serta kesiapan sumberdaya manusia (melalui pelatihan dan sosialisasi mulai dari pemerintah daerah hingga ke petani/kelompok tani/gapoktan maupun koperasi. Sosialisasi perlu dilakukan secara mendalam hingga ke tingkat petani. Pengguna diharapkan bisa menilai apakah indeks asuransi akan memberikan manajemen risiko yang efektif. Petani diharapkan mengerti benar bagaimana mekanisme asuransi indeks iklim. Sebagai langkah awal aplikasi lapang, maka disarankan untuk mengambil satu lokasi sebagai proyek percontohan (pilot project). Mengingat penelitian awal tentang asuransi indeks iklim dan hasil-hasil penelitian lainnya yang terkait serta respon petani yang cukup besar, maka Kabupaten Indramayu dapat dijadikan sebagai lokasi percontohan aplikasi asuransi indeks iklim. Untuk aplikasi yang lebih luas secara spasial, tahapan-tahapan tersebut di atas serta metodologinya dapat diterapkan di wilayah lain. Hal yang perlu diperhatikan tentang asuransi indeks iklim ini adalah bahwa polis dibuat cukup sederhana sehingga tidak membutuhan biaya operasioanal yang tinggi. Di sisi lain didalam polis semua harus jelas baik bagi petani maupun pihak yang memberi asuransi. Diperlukan sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan (skill) tinggi karena dalam asuransi ini sangat berkaitan dengan ketidakpastian (uncertainty) dan juga peluang. Selain itu, indeks iklim berlaku spesifik pada wilayah yang bersangkutan Penentuan indeks iklim memerlukan data historis iklim yang cukup panjang (minimal 20 tahun) dengan kualitas data yang cukup bagus. Karena indeks iklim sangat ditentukan oleh kualitas data iklim, maka keberadaan stasiun hujan/iklim serta kualitas datanya sangat diutamakan. Untuk jangka panjang, maka stasiun iklim otomatis (Automatic Weather Station, AWS) sangat disarankan untuk digunakan. Hal ini untuk menghindari kesalahan pengamat (human error) maupun moral hazard. Selain itu, AWS tersebut diharapkan juga ditempatkan di wilayah-wilayah yang rawan bencana terkait iklim serta merupakan daerah sentra produksi pangan.

192 166 Sebagai salah satu pilihan dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim, asuransi indeks iklim diharapkan dapat memberikan solusi untuk meningkatkan ketahanan petani padi dalam menghadapi perubahan iklim.

193 DAFTAR PUSTAKA Andriati dan W. Sudana Peningkatan Keragaan dan Analisis Finansial Usahatani Padi (kasus desa Prima Tani, Kabupaten Karawang, Jawa Barat). Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol.10: 2.p Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Ariani, M, A. Saryoko dan S. Muttakin Peningkatan Keuntungan Usahatani Padi Melalui Pendekatan PTT di Lokasi Prima Tani Provinsi Banten. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol.12: 3.p Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Strategi Penanggulangan Dampak Kekeringan. Departemen Pertanian, Jakarta. Bakornas. ut=blog&id=51&itemid=90&lang=in Biro Perasuransian., Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK) Departemen Keuangan Kebijakan di Bidang Usaha Perasuransian di Indonesia. Workshop Asuransi Pertanian, Sekjen Deptan. Bogor, 13 Juli Biswas, A. K. and Choudhuri, M. A Effect of water stress at different development stages of field-grown rica. Biologia Plantarum (Praha). 26 (4): Boer, R Masukan dalam ujian tertutup S3. Tanggal 1 Oktober Boer, R, I. Las, A. Buono, W. Estiningtyas dan A. Rakhman. 2011a. Analisis dan Delineasi Risiko Iklim terhadap Usahatani Berbasis dan Evaluasi Model Indeks Anomali Iklim Dalam Mendukung Pengembangan Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance). Laporan Hasil Penelitian KKP3T. Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Boer, R, Lala, K, W. Estiningtyas dan M. Iqbal. 2011b. Membangun Ketahanan Sistim Produksi Pangan Terhadap Risiko Iklim Melalui Pemanfaatan Kalender Tanam Dinamik dan Teknologi Aplikasi Informasi Iklim. Laporan Hasil Penelitian IM-HERE. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Boer, R, I. Las, A. Buono, W. Estiningtyas dan A. Rakhman. 2010a. Analisis dan Delineasi Risiko Iklim terhadap Usahatani Berbasis dan Evaluasi Model Indeks Anomali Iklim Dalam Mendukung Pengembangan Asuransi Indeks Iklim (Climate Index Insurance). Laporan Hasil Penelitian KKP3T. Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Sekretariat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

194 168 Boer, R. 2010b. Pengembangan Sistim Asuransi Indeks Iklim Dalam Mendukung Pelaksanaan Program Adaptasi. Bahan Tayangan Sosialisasi Sistem Penanggulangan Dampak Fenomena Iklim. Jakarta Mei Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian. Boer, R. 2008a. Analisis Risiko Iklim. Bahan Kuliah Klimatologi Terapan. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Boer, R. 2008b. Pengembangan Sistim Prediksi Perubahan Iklim Untuk Ketahanan Pangan. Laporan Akhir Konsorsium Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim Sektor Pertanian. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Boer, R. and Perdinan. 2008c. Adaptation to climate variability and climate change: its socio-economic aspect. Proceeding of Workshop on Climate Change: Impacts, Adaptation, and Policy in South East Asia. Economy and Environmental Program for Southeast Asia. Bali. Boer, R Indonesian Country Report: Climate Variability and Climate Change and Their Implications. Government of Indonesia, Jakarta. Boer, R. 2006a. Pemanfaatan informasi iklim dan model simulasi dalam pengelolaan risiko iklim di sektor pertanian. Bahan Training Workshop Metodologi Penelitian Dalam Bidang Pengelolaan Risiko Iklim Untuk Pertanian. Bogor, 4-7 Juli Boer, R. 2006b. Analisis Risiko Iklim Untuk Produksi Pertanian. Bahan Training Workshop Metodologi Penelitian Dalam Bidang Pengelolaan Risiko Iklim Untuk Pertanian. Bogor, 4-7 Juli Boer, R. 2006c. Metode Untuk Mengevaluasi Keandalan Model Prakiraan Musim. Laboratorium Klimatologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Boer, R., I. Las, K. Subagyono, Widjatmiko, E.T. Purwani, D.E. Apriana dan A. Kusumawardani. 2006d. Pedoman Mitigasi Dampak Fenomena Iklim. Direktorat Perlindungan Tanaman, Departemen Pertanian, Jakarta. Boer, R. and Team. 2003a. Climate Forecast Information Application: Case Study at Indramayu District. Report submitted to Asian Disaster Preparedness Centre, Bangkok, Thailand. Boer, R dan Antoyo S. 2003b. Nilai Ekonomi Prakiraan Iklim. Makalah dalam Workshop Pemanfaatan InformasiIklim untuk Pertanian di Sumatera Barat, Auditorium Universitas Bung Hatta, Padang, Agustus Boer, R dan I. Las. 2003c. Sistem Produksi Padi Nasional Dalam Perspektif Kebijakan Iklim Global. Dalam B. Suprihatno, A.K. Makarim et al (eds). Kebijakan Perberasan dan Inovasi Teknologi Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Litbang Pertanian, Jakarta. P:

195 169 Boer, R. 2002a. Teknik Pemetaan Daerah Rawan Bencana Alam Akibat Kejadian Iklim Ekstrim. Bahan Training Workshop Metodologi Penelitian Dalam Bidang Pengelolaan Risiko Iklim Untuk Pertanian. Laboratorium Klimatologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Boer, R dan Las, I. 2002b. Sistem produksi padi nasional dalam perspektif kebijakan iklim global. Dalam Prisiding Seminar Padi Nasional di Sukamandi, Balitpa Sukamandi. Boer, R. 2002c. Analisis Data Iklim Untuk Pengelolaan Tanaman. Makalah disampaikan pada Pelatihan Pengamat-OPT, tanggal 26 Juni 2002, Direktorat Perlindungan Tanaman Pasar Minggu Jakarta. Boer, R Perubahan Iklim, El-Nino dan La-Nina. Makalah dalam Pelatihan Dosen-Dosen Perguruan Tinggi Indonesia Bagian Barat dalam Bidang Agroklimatologi. Biotrop, Bogor. Boer, R Pemanfaatan Data Iklim Dalam Pembuatan Model Deterministik. Makalah dalam Pelatihan Petugas Laboratorium Pengamatan Hama dan Penyakit, Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Jatisari 7-12 Juli Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB. Buehler, Martin Index-Based Insurance Products A New Approach. Bahan Presentasi dalam Weather Index Insurance Seminar 2010 Finding of the Feasibility Study for Covering Weather Risk on Maize Production. International Finance Corporation, Jakarta 15 April BPS Peta Indeks Wilayah 2010 Provinsi Jawa Barat. Badan Pusat Statistik. Castillo, E.G., Buresh, R.J. and Ingram, K.T Lowland rice yield as affected by timing of water deficit and nitrogen fertilization. Agron J. 84: Chow, Van Te Handbook of applied hydrology. New York : McGraw-Hill Book Co., Inc. Damayanti, A Sebaran Stasiun dan Kualitas Data Hujan di Jawa Barat. Makalah dalam Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Wilayah untuk Mendukung Otonomi Daerah dalam Menghadapi Era Globalisasi pada Pertemuan Ilmiah Tahunan Ke-3 Ikatan Geograf Indonesia (IGI) di Universitas Negeri Malang tanggal Oktober Damayanti, A Pengaruh Fisiografi Terhadap Potensi Air Pada Daerah Aliran Sungai Di Jawa Barat. Tesis Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, hal De Datta, S. K. 1981, Principles and Practices of Rice Production. John Wiley & Sons, New York

196 170 Dinas Sumberdaya Air, Pertambangan dan Energi Berita Daerah Kabupaten Indramayu Nomor 52 tahun Peraturan Bupati Indramayu Nomor 52 Tahun 2009, Tentang Penetapan Rencana Pola Tanam dan Tata Tanam Musim Rendeng Tahun 2009/2010, Musim Gadu Tahun 2010, Pengaturan Jadual Pengeringan Daerah Irigasi dan Kemampuan Penyediaan Air Serta Ketentuan Lainnya di Wilayah Kerja Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air, Pertambangan dan Energi Kabupaten Indramayu dan Seksi Patrol Divisi III Perum Jasa Tirta II. Pemerintah Kabupaten Indramayu. Dinas Sumberdaya Air, Pertambangan dan Energi. Indramayu. Departemen Pertanian Statistik Pertanian Jakarta. Dikshit, U.N., D. Parida, and D. Satpathy, (1987) Genetic evaluation and utilization: Drought tolerance. IRRN 12:6-7. Dinas Perlindungan Tanaman Pedoman Pengamatan dan Pelaporan Perlindungan Tanaman Pangan. Direktorat Jendral Produksi Tanaman Pangan, Direktorat Perlindungan Tanaman. Jakarta. Dinas Perlindungan Tanaman Peran Perlindungan Tanaman Dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Bahan tayangan Pada Rapat Pembahasan Dan Sosialisasi VA dan Perubahan Iklim. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. Dinas Pertanian Jawa Barat Buku Pedoman Antisipasi Bencana Alam (Kekeringan dan Banjir) di Jawa Barat. Pemerintah Propinsi Jawa Barat, Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Bandung. Ditjen Sarana dan Prasarana Pertanian Irigasi dalam Epstein, E.S On Obtaining daily climatological values from monthly means. J. Climate 4: Fagi, A.M, dan I. Las Lingkungan Tumbuh Padi dalam Padi Buku 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 319 Hal. Faqih, A Pengenalan Konsep Mengenal Awal Musim Hujan, Panjang Musim Hujan dan Tinggi Hujan. Bahan Pelatihan Pemanfaatan Informasi Iklim Melalui Kalender Tanam Dinamik. Bogor Juli. Gaudi, T and Daoudi, M Fuzzy Similarity Measure for Shape Retrieval. Vision Interface 99, Trois-Rivieres, Canada, May. Gerbang Pertanian Wajah Pertanian Indonesia Petani Indonesia Masih Miskin. Jumat 1 Juli Hadi, P. U, C. Saleh, A.S. Bagyo, R. Hendayana, Y. Marisa dan I. Sadikin Studi Kebutuhan Asuransi Pertanian Pada Pertanian Rakyat. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.

197 171 Hafsah, M.J, dan T. Sudaryanto Sejarah Intensifikasi Padi dan Prospek Pengembangannya dalam Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Handoko, Y. Sugiarto dan Y. Syaukat Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis : Telaah Kebijakan Independen Dalam Bidang Perdagangan dan Pembangunan. SEAMEO BIOTROP dan Partnership for Goverment Reform in Indonesia. Handoko Dasar Penyusunan dan Aplikasi Model Simulasi Komputer Untuk Pertanian. Jurusan Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-IPB. Hansen, J.W, W. Baethgen, D. Osgood, P. Ceccato, R.K. Ngungi Innovations in Climate Risk Management : Protecting and Building Rural Livelihoods in a Variable and Changing Climate. Journal of Semi-Arid Tropical Agricultural Research Volume 4 Issue 1, December Hammer, G.L., Hansen, J.W., Phillips, J.G., Mjelde, J.W., Hill, H., Love, A. and Potgieter, A Advances in application of climate prediction in agriculture. Agricultural System 70: Hasan, D.I Analisis deret hari kering di wilayah persawahan Jawa Barat. Skripsi Jurusan geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Bogor. Hidayati, R., L. Kolopaking, Suciantini dan M. Iqbal Membangun Kemampuan Daerah Dalam Pengelolaan Risiko Iklim Melalui Pemanfaatan Kalender Tanam Dinamik. Proposal Hibah Penelitian I- MHERE B2C. Bogor. Hidayati, R., Impron, and B. D. Dasanto, Pengembangan kalender tanaman semi-dinamik untuk penyusunan alternative pola tanam dengan risiko iklim minimum berdasarkan karakteristik ENSO. Laporan Hasil Penelitian-Hibah Penelitian I-MHERE B2C. Bogor Hoogenboom, G Contribution of agrometeorology to the simulation of crop production and its application. Agric. An Forest Meteorology 103: Ilham, N, K. Suradisastra, T. Pranadji, E.L. Hastuti, A. Agustian dan G.S. Hardono Analisis Profil Petani dan Pertanian Indonesia. Makalah seminar hasil penelitian. Pusat Analisis Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Impron, Y. Sugiarto, B. Budianto dan M. Taufik Evaluasi Teknologi Budidaya Padi Tahan Kekeringan Secara Partisipatif. Laporan Hasil Penelitian IM-HERE. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. IFC Weather Index Insurance for Maize Production in Eastern Indonesia. A Feasibility Study. Report. Internatioanl Finance Corporation and Australia Indonesia Partnership. IPCC Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Summary for Policymakers. Intergovernmental Panel on Climate Change, Geneva.

198 172 IPCC Impacts Adaptation and Vulnerability : Insurance and Other Financial Services. Working Group 2 Chapter 8. Intergovernmental Panel on Climate Change, Geneva. Irianto, G Tantangan Kedepan Dalam Pendayagunaan Sumberdaya Iklim dan Air dalam Sistem Informasi Sumberdaya Iklim dan Air. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. IRI Weather Index Insurance Education Tool (WIIET) dalam IRI Index Insurance Capacity Building Exercises for Indonesia Release 2.0. IRI, Earth Institute, Columbia University. Jones, J.W., G.Y. Tsuji, G. Hoogenboom, L.A. Hunt, P.K. Thornton, P.W. Wilkens, D.T. Imamure, W.T. Bowen and U. Singh (1998): Decision support system for agrotechnology transfer: DSSAT v3. in: G.Y. Tsuji et al. (eds): Understanding options for Agricultural production, p Kluwer Academic Publishers. Kahar, A Kebijakan penanggulangan kekeringan. Prosiding Diskusi Panel Antisipasi Kekeringan dan Penanggulangan Jangka Panjang Agustus 1997, PERHIMPI, Bogor. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1136/Kpts/OT.160/4/2012 tentang Pembentukan Tim Pokja Asuransi Komoditas Pertanian Kementerian Pertanian. Koran Tempo Pertanian Prospektif Didanai Perbankan. Kolom bisnis/finansial. Rabu, 3 Oktober Las, I Bahan masukan ujian terbuka tanggal 22 Oktober Las, I Strategi dan Inovasi Teknologi Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim Global. Bahan Presentasi. Badan Litbang Pertanian. Lee, WF., MD. Boehlje, AG. Nelson and WG. Murray Agricultural Finance Ch4 (Handling Risk and Uncertainty), Ch13 (Risk Management Strategies), Ch14 (Insurance for Farmers), and Ch22 (Insurance Company Farm Loan). 7th edn., The Iowa State University Press, Ames. Li, Xiaoli and Yao, Xin Application of Fuzzy Similarity to Prediction of Epileptic Seizures Using EEG Signals. L. Wang and Y. Jin (Eds) : FSKD 2005, LNAI 3613, pp , Springer-Verlag Berlin Heidelberg Manuamorn, O. Pomme A Feasibility Study on Weather Index Insurance for Agriculture in Indonesia Weather Index Insurance in the Context of Agricultural Risk Management and Relevant International Experiences. Bahan Presentasi dalam Weather Index Insurance Seminar 2010 Finding of the Feasibility Study for Covering Weather Risk on Maize Production. International Finance Corporation, Jakarta 15 April 2010.

199 173 Mapfumo Shadreck Weather Index Insurance the Case for South Africa.Micro Insurance Agency Opportunity International Network. weather_index_insur_safrica.pdf Martirez Microensure, Helping the poor weather life s storm. Bahan Tayangan. McCaskill, M. and Kariada, I.K Comparison of five water stress predictors for the tropics. Agric. Forest Meteorol., 58: Meinke, H., and Team Applying Climate Information to Enhance the Resilience of Farming System Exposed to Climatic Risk in South and Southeast Asia. Progress Report submitted to APN Messina, C.D., Hansen, J.W., and Hall, A.J Land allocation conditioned on El-Nino-Southern Osciallation Phases in the Pampas of Argentina. Agricultural System 60: Mills E dan E. Lecomte From Risk to Opportunity : How Insurers Can Pro Actively and Profitably Manage Climate Change. A Ceres Report. Mink, S., Dorosh, P. A. and Perry, D Corn Production Systems, in The Corn Economy of Indonesia. C.P. Timmer. Cornell University Press. Ithaca: Naylor R., Battisti, D.J. Vimont, W.P. Falcon, and M.B. Burke, Assessing the Risk of Climate Variability and Climate Change for Indonesia Rice Agriculture. Proc, Natl. Acad. Sci. USA, 104, Niewolt, S Estimating of agricultural risks of tropical rainfall. Agricultural and Forest Meteorology 45: Nurmalinda, Rachmat Majawisastra dan Nunung Nurtika Analisis Biaya dan Penerimaan Usahatani Tomat di Tingkat Petani. Buletin Penelitian Hortikultura, Vol. XXVI No.2. Nurmanaf Panel petani nasional (Patanas). Dinamika social ekonomi rumah tangga dan masyarakat pedesaan : Analisis profitabilitas Usahatani dan Dinamika Harga dan Upah Pertanian. Laporan akhir. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Osgood, D. 2007a. Index Insurance and Climate Risk Management in Malawi. World Bank, CRMG, IRI, CU-CRED. Osgood, D, M. McLaurin, M.Carriquiry, A. Mishra, F. Fiondella, J. Hansen, N. Peterson dan N. Ward. 2007b. Designing Weather Insurance Contracts for Farmers in Malawi, Tanzania and Kenya. Final Report to The Commodity Risk Management Group, ARD, World Bank. Palmer, W.C Meteorological Drought. Research Paper No. 45. US-Weather Bureou. Washington D.C.

200 174 Pane, H, A. Wihardjaka dan A.M. Fagi Menggali Potensi Produksi Padi Sawah Tadah Hujan dalam Padi Inovasi Teknologi Produksi, Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 643 Hal. Pasaribu, SM Bahan masukan ujian tertutup S3 tanggal 1 Oktober Pasaribu, S, M, I. Setiajie A, N.K. Agustin, E.M. Lokollo, H. Tarigan, J. Hestina dan Y. Supriyatna Pengembangan Asuransi UsahaTani Padi Untuk Menanggulangi Risiko Kerugian 75% Akibat Banjir, Kekeringan dan Hama Penyakit. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Pasaribu, S.M, I. Setiajie, A, E. Ariningsih, N.K. Agustin dan A. Askin. 2009a. Pilot Project Sistem Asuransi Untuk Usahatani Padi. Laporan Akhir Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Analisis Kebijakan Pertanian. Pasaribu, S.M, H.P. Saliem dan E. Ariningsih. 2009b. Developing Agricultural Insurance For Rice Farming. Final Report. Indonesian Center For Agriculture Socio Economic and Policy Studies (ICASEPS) in collaboration with Food and Agriculture Organization-Regional Asia and The Pasific Office (FAO-RAP). Pasaribu, S.M, H. Mayrowani, D.K. Swastika, M. Iqbal, A.K. Zakaria, Tj. Nurasa, V. Darwis dan J. Hestina Peningkatan Kapasitas Adaptasi Petani Di Daerah Marginal Terhadap Perubahan Iklim. Laporan Akhir, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Pramudia, A, B. Kartiwa, Wahyunto, W. Wahdini, E. Titi P, Andriati K, P Nuchsin dan D. Susilokarti Deliniasi Wilayah Rawan Kekeringan DAS Cimanuk. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Badan Litbang Pertanian. PT Asuransi Umum Bumiputera Muda Asuransi Gagal Panen. Workshop Asuransi Pertanian, Sekjen Deptan. Bogor, 13 Juli Ratri, D.N Mekanisme Kelembagaan Dalam Mengantisipasi Kejadian Iklim Ekstrim Studi Kasus Indramayu. Skripsi. Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Rosenzweig, C and D. Liverman Predicted Effects of Climate Change on Agriculture : A Comparison of Temperate and Tropical Regions. Dalam Global Climate Change : Implications, Challenges, and Mitigation Measures. Dalam S.K. Majumdar (Ed.) The Pennsylvania Academy of Sciences. Pennsylvania. pp Rushayati.S.B Tanggap Pertumbuhan dan Komponen Hasil Dua Varietas Padi Gogo terhadap Kekeringan pada Berbagai Fase Pertumbuhan, Agromet J. 5:30-44

201 175 Sanim Bunasor Dukungan Asuransi Pertanian Terhadap Risiko Anomali dan Perubahan Iklim. Makalah Seminar dan Lokakarya Nasional Inovasi Sumberdaya Lahan. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Simatupang, P dan I.W. Rusastra Kebijakan Pembangunan Sistem Agribisnis Padi dalam Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Sivakumar, M.V.K Impacts of natural disasters in Agriculture, rangeland and forestry: An overview. In M.V.K. Sivakumar, R.P. Motha and H.P. Das (eds). Natural disasters and extreme events in Agriculture, page:1-22. Springer, Berlin. Silverman, B. W. (1990). Density estimation : for statistics and data analysis. Chapman and Hall. London. Sri Harto, Br Analisis Hidrologi. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Stern, N., S.Peters, V. Bakhshi, A. Bowen, C. Cameron, S. Catovsky, D. Crane, S. Cruickshank, S. Dietz, N. Edmonson, S.L. Garbett, L. Hamid, G. Hoffman, D. Ingram, B. Jones, N. Patmore, H. Radcliffe, R. Sathiyarajah, M. Stock, C. Taylor, T. Vernon, H. Wanjie dan D. Zenghelis Stern Review : The Economics of Climate Change. HM Treasury. London. Stern RD and Coe RT A model fitting of daily rainfall data. Journal Royal Statistics Society 147:1-34. Stoppa, A Weather Index Insurance for Agriculture in Indonesia : Covering Maize Drought Exposure Finding of Feasibility Study. Bahan Presentasi dalam Weather Index Insurance Seminar 2010 Finding of the Feasibility Study for Covering Weather Risk on Maize Production. International Finance Corporation, Jakarta 15 April Sumaryanto dan S. Friyatno Keswadayaan Petani Dalam Pengelolaan Sumberdaya Air Untuk Irigasi. Makalah dipresentasikan pada Workshop Analisis Strategi Pengelolaan Sumberdaya Air Untuk Produksi Pangan dan Pertanian Berkelanjutan, Bogor, 22 Juli Kementerian Pertanian Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1136/Kpts/OT.160/4/2012 tentang Pembentukan Tim Pokja Asuransi Komoditas Pertanian. Kementerian Pertanian. Surmaini, E Optimalisasi Alokasi Lahan Berdasarkan Skenario Iklim di Kabupaten Bandung. Tesis. Program Studi Agroklimatologi. Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Suryadi, N Penentuan lebar jendela untuk pendugaan fungsi kepekatan metode kernel. Tesis Magister Sain Program Studi Statistika, Fakultas pascasarjana IPB (tidak dipublikasikan). Taslim, H, A.M. Fagi Ragam Budidaya Padi dalam Padi Buku 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 319 Hal.

202 176 Tim Road Map Sektor Pertanian Road Map Strategi Sektor Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Tomlin, W, R. Moore, R. Stenhouse, A. Kaloumaira, T. Nakalevu, dan M.J. Mace Insurance, Climate-Related Events and Risk Management in the Caribbean and Pacific. Working Paper. UNDP. Trenberth, K.E; J.T. Houghton and L.G. Meira Filho The Climate System : an Overview. In : Climate Change The Sience of Climate Change. Contribution of Working group I to the Second Assesment Report of The Intergovermental Panel on Climate Change. Cambridge University Press. Tschirley, J Climate Change Adaptation : Planning and Practices. Power Point Keynote Presentation of FAO Environment, Climate Change, Bioenergy Division, September 2007, Rome. Tsuji GY, Uehara G, Balas S DSSAT v 3. Honolulu : University of Hawaii. UNDP The other Half of Climate Change: Why Indonesia must Adapt to Protects its poorest People. UNDP Indonesia. Jakarta. Vergara BS, Jackson B, De Datta SK (1976) Deep water rice and its response to deepwater stress. In Climate and Rice. International Rice Research Institute, Los Ban os, Philippines, pp Wahyunto Lahan sawah rawan kekeringan dan kebanjiran di Indonesia. Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor. Wellington, F dan A. Sauer Framing Climate Change Risk in Portfolio Management. World Resources Institute. Yohe, G.W. dan R.S.J. Tol Indicators for Social and Economic Coping Capacity-Moving Towards a Working Definition of Adaptive Capacity. Global Environmental Change, 1. Zubaida, U Analisis Kerentanan dan Mekanisme Adaptasi Petani Padi Indramayu Terhadap Kejadian Iklim Ekstrim. Skripsi. Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

203 L A M P I R A N

204 178 Lampiran 1. Diskripsi Varietas Padi Ciherang

205 Lampiran 2. Diskripsi Varietas Padi IR

206 180 Lampiran 3. Peta administrasi dan plot stasiun hujan Kabupaten Indramayu S U B A N G CIREBON SUMEDANG MAJALENGKA Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan Kabupaten Indramayu, 2010

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perubahan iklim membawa dampak pada hampir semua aspek kehidupan dan aktivitas ekonomi. Dampak yang dirasakan ada yang bersifat langsung seperti pada sektor pertanian

Lebih terperinci

VIII. SIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut :

VIII. SIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut : VIII. SIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI 8.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Kejadian kekeringan di Kabupaten Indramayu merupakan penyebab utama (79.8%)

Lebih terperinci

VII. PEMBAHASAN UMUM PENGEMBANGAN ASURANSI INDEKS IKLIM PADA SISTIM USAHATANI BERBASIS PADI : Potensi dan Tantangan

VII. PEMBAHASAN UMUM PENGEMBANGAN ASURANSI INDEKS IKLIM PADA SISTIM USAHATANI BERBASIS PADI : Potensi dan Tantangan VII. PEMBAHASAN UMUM PENGEMBANGAN ASURANSI INDEKS IKLIM PADA SISTIM USAHATANI BERBASIS PADI : Potensi dan Tantangan 7.1. Pendahuluan Perubahan iklim dan dampaknya pada berbagai sektor telah menggungah

Lebih terperinci

IV. PENETAPAN WILAYAH CAKUPAN INDEKS UNTUK PENERAPAN ASURANSI IKLIM

IV. PENETAPAN WILAYAH CAKUPAN INDEKS UNTUK PENERAPAN ASURANSI IKLIM IV. PENETAPAN WILAYAH CAKUPAN INDEKS UNTUK PENERAPAN ASURANSI IKLIM 4.1. Pendahuluan Ketersediaan data curah hujan dalam jangka panjang secara runut waktu (time series) sangat diperlukan dalam analisis,

Lebih terperinci

III. ANALISIS DAN DELINEASI WILAYAH ENDEMIK KEKERINGAN UNTUK PENGELOLAAN RISIKO IKLIM

III. ANALISIS DAN DELINEASI WILAYAH ENDEMIK KEKERINGAN UNTUK PENGELOLAAN RISIKO IKLIM III. ANALISIS DAN DELINEASI WILAYAH ENDEMIK KEKERINGAN UNTUK PENGELOLAAN RISIKO IKLIM 3.1. Pendahuluan Salah satu indikator terjadinya perubahan iklim adalah semakin meningkatnya kejadian iklim ekstrim

Lebih terperinci

VI. ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN PRODUKSI PADI SERTA PENYUSUNAN INDEKS IKLIM

VI. ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN PRODUKSI PADI SERTA PENYUSUNAN INDEKS IKLIM VI. ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN PRODUKSI PADI SERTA PENYUSUNAN INDEKS IKLIM 6.1. Pendahuluan Asuransi indeks iklim merupakan salah satu bentuk pendanaan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia.

Lebih terperinci

PENGGUNAAN METODE FUZZY SIMILARITY DALAM PENENTUAN CAKUPAN WILAYAH INDEKS CURAH HUJAN

PENGGUNAAN METODE FUZZY SIMILARITY DALAM PENENTUAN CAKUPAN WILAYAH INDEKS CURAH HUJAN PENGGUNAAN METODE FUZZY SIMILARITY DALAM PENENTUAN CAKUPAN WILAYAH INDEKS CURAH HUJAN USING FUZZY SIMILARITY METHOD FOR DETERMINING COVERAGE RAINFALL INDEX AREAS 1 2 3 1 Woro Estiningtyas, Agus Buono,

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, Desember 2011, hlm ISSN

Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, Desember 2011, hlm ISSN Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, Desember 2011, hlm. 198-208 ISSN 0853 4217 Vol. 16 No.3 DELINIASI RISIKO IKLIM DAN EVALUASI MODEL HUBUNGAN CURAH HUJAN DAN PRODUKSI PADI DALAM MENDUKUNG PENGEMBANGAN ASURANSI

Lebih terperinci

Gambar 9 Peta Penutupan Lahan

Gambar 9 Peta Penutupan Lahan V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan Penutupan lahan didapatkan dari interpretasi citra Landsat wilayah Kabupaten Indramayu tahun 2009. Citra Landsat yang digunakan adalah citra saat musim hujan

Lebih terperinci

V. ANALISIS USAHATANI PADI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN ASURANSI INDEKS IKLIM

V. ANALISIS USAHATANI PADI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN ASURANSI INDEKS IKLIM V. ANALISIS USAHATANI PADI UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN ASURANSI INDEKS IKLIM 5.1. Pendahuluan Kejadian iklim ekstrim berupa kekeringan membawa dampak yang sangat merugikan bagi petani khususnya pada usahatani

Lebih terperinci

1* Woro Estiningtyas, Rizaldi Boer, Irsal Las, Agus Buono 1

1* Woro Estiningtyas, Rizaldi Boer, Irsal Las, Agus Buono 1 IDENTIFIKASI DAN DELINEASI WILAYAH ENDEMIK KEKERINGAN UNTUK PENGELOLAAN RISIKO IKLIM DI KABUPATEN INDRAMAYU IDENTIFICATION AND DELINEATION OF DROUGHT AREA FOR CLIMATE RISK MANAGEMENT IN INDRAMAYU DISTRIC

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

POTENSI PEMANFAATAN INFORMASI PRAKIRAAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG SISTEM USAHA TAMBAK UDANG DAN GARAM DI KABUPATEN INDRAMAYU KIKI KARTIKASARI

POTENSI PEMANFAATAN INFORMASI PRAKIRAAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG SISTEM USAHA TAMBAK UDANG DAN GARAM DI KABUPATEN INDRAMAYU KIKI KARTIKASARI POTENSI PEMANFAATAN INFORMASI PRAKIRAAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG SISTEM USAHA TAMBAK UDANG DAN GARAM DI KABUPATEN INDRAMAYU KIKI KARTIKASARI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI

PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI 125 VII. PENGEMBANGAN MODEL KALENDER TANAM DINAMIK SEBAGAI TEKNOLOGI ADAPTASI 7.1. Pendahuluan Salah satu informasi yang dirasakan sangat penting dalam kaitan dengan penjadwalan penanaman petani adalah

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA

PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA PEWILAYAHAN AGROKLIMAT TANAMAN NILAM (Pogostemon spp.) BERBASIS CURAH HUJAN DI PROVINSI LAMPUNG I GDE DARMAPUTRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

Impact of Climate Variability on Agriculture at NTT

Impact of Climate Variability on Agriculture at NTT Impact of Climate Variability on Agriculture at NTT PEMDA Propinsi NTT, Kupang CARE International Centre for Climate Risk and Opportunity Management, Bogor Agricultural University (IPB) International Rice

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di negara ini berada hampir di seluruh daerah. Penduduk di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. di negara ini berada hampir di seluruh daerah. Penduduk di Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan negara yang terbentang luas, area pertanian di negara ini berada hampir di seluruh daerah. Penduduk di Indonesia sebagian besar berprofesi

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Di

BAB I PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Di BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi. Di Indonesia salah satu tanaman pangan yang penting untuk dikonsumsi masyarakat selain padi dan jagung

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah Indonesia sejak masa kolonial sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dari sektor pertanian dan perkebunan, karena sektor - sektor ini memiliki arti yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 34 III. METODE PENELITIAN Metoda penelitian ini meliputi unsur-unsur: (1) populasi, sampel, dan responden, (2) desain penelitian, (3) data dan instrumentasi, (4) pengumpulan data, dan (5) analisis data.

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH PERENCANAAN

BAB III TINJAUAN WILAYAH PERENCANAAN BAB III III.1 Gambaran Umum Kabupaten Indramayu III.1.1 Kondisi Geografis dan Topografi Kabupaten Indramayu berada di wilayah pesisir utara Pulau Jawa. Secara geografis Kabupaten Indramayu berada pada

Lebih terperinci

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI

ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI ESTIMASI EVAPOTRANSPIRASI SPASIAL MENGGUNAKAN SUHU PERMUKAAN DARAT (LST) DARI DATA MODIS TERRA/AQUA DAN PENGARUHNYA TERHADAP KEKERINGAN WAHYU ARIYADI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono

INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN. Rommy Andhika Laksono INFORMASI IKLIM UNTUK PERTANIAN Rommy Andhika Laksono Iklim merupakan komponen ekosistem dan faktor produksi yang sangat dinamis dan sulit dikendalikan. iklim dan cuaca sangat sulit dimodifikasi atau dikendalikan

Lebih terperinci

Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi 2012

Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi 2012 X. 155 PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK UNTUK ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PRODUKSI TANAMAN PANGAN DI LAHAN KERING Dr. Ir. Yayan Apriyana, M.Sc Ir. Erni Susanti, M.Sc Ir. Suciantini, M.Si Fadhlullah

Lebih terperinci

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang saat ini telah menjadi penyebab berubahnya pola konsumsi penduduk, dari konsumsi pangan penghasil energi ke produk penghasil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Kondisi Wilayah Kabupaten Gorontalo Kabupaten Gorontalo terletak antara 0 0 30 0 0 54 Lintang Utara dan 122 0 07 123 0 44 Bujur Timur. Pada tahun 2010 kabupaten ini terbagi

Lebih terperinci

PEMODELAN JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK PREDIKSI PANJANG MUSIM HUJAN BERDASAR SEA SURFACE TEMPERATURE

PEMODELAN JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK PREDIKSI PANJANG MUSIM HUJAN BERDASAR SEA SURFACE TEMPERATURE PEMODELAN JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK PREDIKSI PANJANG MUSIM HUJAN BERDASAR SEA SURFACE TEMPERATURE Agus Buono 1, M. Mukhlis 1, Akhmad Faqih 2, Rizaldi Boer 2 1 Departemen Ilmu Komputer, Fakultas Matematika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan BAB I PENDAHULUAN Asuransi merupakan salah satu contoh Industri Keuangan Non Bank dimana asuransi terbagi menjadi dua jenis yaitu asuransi jiwa (life insurance) dan asuransi umum atau asuransi non jiwa

Lebih terperinci

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA 30 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA Ada dua kecenderungan umum yang diprediksikan akibat dari Perubahan Iklim, yakni (1) meningkatnya suhu yang menyebabkan tekanan panas lebih banyak dan naiknya permukaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia melalui. perannya dalam pembentukan Produk Domestic Bruto (PDB), penyerapan

I. PENDAHULUAN. peranan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia melalui. perannya dalam pembentukan Produk Domestic Bruto (PDB), penyerapan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sumber pendapatan yang memiliki peranan penting dalam meningkatkan perekonomian Indonesia melalui perannya dalam pembentukan Produk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan peningkatan ketahanan pangan nasional. Hasil Sensus Pertanian 1993

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan peningkatan ketahanan pangan nasional. Hasil Sensus Pertanian 1993 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional sebagai sumber pendapatan, pembuka kesempatan kerja, pengentas kemiskinan dan peningkatan ketahanan

Lebih terperinci

Kontribusi Parameter Iklim Untuk Peringatan Dini Serangan Wereng Batang Coklat (WBC)

Kontribusi Parameter Iklim Untuk Peringatan Dini Serangan Wereng Batang Coklat (WBC) 1234567 89111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112123456789111121234567891111212345678911112

Lebih terperinci

PEDOMAN TEKNIS BANTUAN SARANA PRODUKSI DALAM RANGKA ANTISIPASI DAMPAK KEKERINGAN

PEDOMAN TEKNIS BANTUAN SARANA PRODUKSI DALAM RANGKA ANTISIPASI DAMPAK KEKERINGAN PEDOMAN TEKNIS BANTUAN SARANA PRODUKSI DALAM RANGKA ANTISIPASI DAMPAK KEKERINGAN DIREKTORAT JENDERAL PRASARANA DAN SARANA PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 KATA PENGANTAR Kejadian El Nino Tahun 2015

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELANCARAN PENGEMBALIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (Studi Kasus pada PT Bank BRI Unit Cimanggis, Cabang Pasar Minggu)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELANCARAN PENGEMBALIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (Studi Kasus pada PT Bank BRI Unit Cimanggis, Cabang Pasar Minggu) FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KELANCARAN PENGEMBALIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (Studi Kasus pada PT Bank BRI Unit Cimanggis, Cabang Pasar Minggu) SKRIPSI VIRGITHA ISANDA AGUSTANIA H34050921 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN Oleh : Sumaryanto Muhammad H. Sawit Bambang Irawan Adi Setiyanto Jefferson Situmorang Muhammad Suryadi

Lebih terperinci

PETUNJUK TEKNIS PENENTUAN SUMBER AIR DAN JENIS IRIGASI SUPLEMENTER

PETUNJUK TEKNIS PENENTUAN SUMBER AIR DAN JENIS IRIGASI SUPLEMENTER PETUNJUK TEKNIS PENENTUAN SUMBER AIR DAN JENIS IRIGASI SUPLEMENTER Penyusun: Budi Kartiwa Nani Heryani Popi Rejekiningrum Erni Susanti Woro Estiningtyas Suciantini Haryono Hendri Sosiawan Nono Sutrisno

Lebih terperinci

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Indramayu Tahun 2013 sebanyak rumah tangga

Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Indramayu Tahun 2013 sebanyak rumah tangga Jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Indramayu Tahun 2013 sebanyak 166.527 rumah tangga Jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum di Kabupaten Indramayu Tahun 2013 sebanyak 56 Perusahaan Jumlah

Lebih terperinci

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi 1.1. Latar Belakang Upaya pemenuhan kebutuhan pangan di lingkup global, regional maupun nasional menghadapi tantangan yang semakin berat. Lembaga internasional seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO)

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR PETANI SEBAGAI INDIKATOR KESEJAHTERAAN PETANI PADI DI KABUPATEN SRAGEN

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR PETANI SEBAGAI INDIKATOR KESEJAHTERAAN PETANI PADI DI KABUPATEN SRAGEN 0 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI NILAI TUKAR PETANI SEBAGAI INDIKATOR KESEJAHTERAAN PETANI PADI DI KABUPATEN SRAGEN Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Gelar Sarjana

Lebih terperinci

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A

Oleh : Apollonaris Ratu Daton A ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI JAMBU MENTE (Anacardium Occidentale L.) (Kasus di Desa Ratulodong, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur ) Oleh : Apollonaris Ratu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. paling terasa perubahannya akibat anomali (penyimpangan) adalah curah

BAB I PENDAHULUAN. memiliki dua musim yaitu musim penghujan dan musim kemarau. paling terasa perubahannya akibat anomali (penyimpangan) adalah curah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris yang amat subur sehingga sebagian besar penduduknya bergerak dalam sektor agraris. Indonesia memiliki iklim tropis basah, dimana iklim

Lebih terperinci

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terhadap iklim secara langsung maupun tidak langsung akibat aktivitas manusia

I. PENDAHULUAN. terhadap iklim secara langsung maupun tidak langsung akibat aktivitas manusia I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim merupakan proses alam yang mempengaruhi perubahan terhadap iklim secara langsung maupun tidak langsung akibat aktivitas manusia yang mengubah komposisi

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Press Release PREDIKSI DAMPAK DINAMIKA IKLIM DAN EL-NINO 2014-2015 TERHADAP PRODUKSI PANGAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN I. Prediksi Iklim hingga Akhir 2014/Awal 2015 1. Prediksi berbagai

Lebih terperinci

Potensi Efektivitas Asuransi Pertanian Terhadap Pendapatan Bersih Petani Cabai Besar Kabupaten Garut

Potensi Efektivitas Asuransi Pertanian Terhadap Pendapatan Bersih Petani Cabai Besar Kabupaten Garut Potensi Efektivitas Asuransi Pertanian Terhadap Pendapatan Bersih Petani Cabai Besar Kabupaten Garut Yohanes Andika Tj. 2013110060 Al Faisal Mulk 2013110067 M. Ibnu Haris 2014110011 Abstrak Kebijakan asuransi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 7 kemudian akan digunakan untuk menduga sebaran keuntungan/kerugian kotor (gross margin) pada tiga kondisi (El Niño, dan ). Indikator ENSO yang digunakan dalam analisis ini adalah fase SOI. Keuntungan/kerugian

Lebih terperinci

KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN. Bambang Sayaka

KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN. Bambang Sayaka KAJIAN DAYA TAHAN SEKTOR PERTANIAN TERHADAP GANGGUAN FAKTOR EKSTERNAL DAN KEBIJAKAN YANG DIPERLUKAN PENDAHULUAN Bambang Sayaka Gangguan (shocks) faktor-faktor eksternal yang meliputi bencana alam, perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Paling tidak ada lima peran penting yaitu: berperan secara langsung dalam menyediakan kebutuhan pangan

Lebih terperinci

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi

Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Vol Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Buletin Hasil Penelitian Agroklimat dan Hidrologi @ 2014, Balitklimat Bogor ISSN 0216-3934 Volume 11, 2014 Penanggung Jawab: Haris Syahbuddin Redaksi Teknis: Haryono,

Lebih terperinci

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT)

EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) EVALUASI POLA PENGELOLAAN TAMBAK INTI RAKYAT (TIR) YANG BERKELANJUTAN (KASUS TIR TRANSMIGRASI JAWAI KABUPATEN SAMBAS, KALIMANTAN BARAT) BUDI SANTOSO C 25102021.1 SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENETAPAN HARGA JAMINAN POLIS ASURANSI JIWA DENGAN PREMI TAHUNAN DAN OPSI SURRENDER WELLI SYAHRIZA

PENETAPAN HARGA JAMINAN POLIS ASURANSI JIWA DENGAN PREMI TAHUNAN DAN OPSI SURRENDER WELLI SYAHRIZA PENETAPAN HARGA JAMINAN POLIS ASURANSI JIWA DENGAN PREMI TAHUNAN DAN OPSI SURRENDER WELLI SYAHRIZA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA BADAN METEOROLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG Jln. Raya Kodam Bintaro No. 82 Jakarta Selatan ( 12070 ) Telp: (021) 7353018 / Fax: 7355262, Tromol Pos. 7019 / Jks KL, E-mail

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah sedang berupaya menjaga ketahanan pangan Indonesia dengan cara meningkatkan produksi tanaman pangan agar kebutuhan pangan Indonesia tercukupi. Ketidak tersediaan

Lebih terperinci

Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017

Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA. Volume 7, Agustus 2017 Buletin Pemantauan Ketahanan Pangan INDONESIA Volume 7, Agustus 2017 IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN April - Juni 2017 Rendahnya kejadian kebakaran hutan Musim panen utama padi dan jagung lebih tinggi dari

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FENOMENA ENSO

IDENTIFIKASI FENOMENA ENSO IDENTIFIKASI FENOMENA ENSO (El Nino-Southern Oscillation) DAN IOD (Indian Ocean Dipole) TERHADAP DINAMIKA WAKTU TANAM PADI DI DAERAH JAWA BARAT (Studi Kasus Kabupaten Indramayu dan Cianjur) ERICA PURWANDINI

Lebih terperinci

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA

EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA EVALUASI POTENSI OBYEK WISATA AKTUAL DI KABUPATEN AGAM SUMATERA BARAT UNTUK PERENCANAAN PROGRAM PENGEMBANGAN EDWIN PRAMUDIA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : TAHUN : SERI : PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMAYU NOMOR : 1 TAHUN 1996 T E N T A N G

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : TAHUN : SERI : PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMAYU NOMOR : 1 TAHUN 1996 T E N T A N G LEMBARAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : TAHUN : SERI : PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II INDRAMAYU NOMOR : 1 TAHUN 1996 T E N T A N G RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai negara yang terletak diantara Samudra Pasifik-Hindia dan Benua Asia-Australia, serta termasuk wilayah tropis yang dilewati oleh garis khatulistiwa, menyebabkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Struktur PDB Menurut Lapangan Usaha di Indonesia Tahun (Persentase) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang berperan sangat penting. Sektor ini mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi, laju pertumbuhannya sebesar 4,8 persen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Global warming merupakan isu lingkungan terbesar dalam kurun waktu terakhir. Jumlah polutan di bumi yang terus bertambah merupakan salah satu penyebab utama terjadinya

Lebih terperinci

V. PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN BERDASARKAN FENOMENA ENSO DAN IOD UNTUK MENENTUKAN RENCANA TANAM

V. PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN BERDASARKAN FENOMENA ENSO DAN IOD UNTUK MENENTUKAN RENCANA TANAM V. PENYUSUNAN MODEL PREDIKSI CURAH HUJAN BERDASARKAN FENOMENA ENSO DAN IOD UNTUK MENENTUKAN RENCANA TANAM 5.1. Pendahuluan Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang mempunyai variabilitas dan fluktuasi

Lebih terperinci

BAB III LAPORAN PENELITIAN

BAB III LAPORAN PENELITIAN BAB III LAPORAN PENELITIAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Sejarah Berdirinya Gapoktan Kelompok Tani Bangkit Jaya adalah kelompok tani yang berada di Desa Subik Kecamatan Abung Tengah Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 55 V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1. Keadaan Geografis dan Cuaca Kabupaten Indramayu sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia.Ibukotanya adalah Indramayu, Indramayu sebagai pusat pemerintahan,

Lebih terperinci

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA

PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA PERENCANAAN BEBERAPA JALUR INTERPRETASI ALAM DI TAMAN NASIONAL GUNUNG MERBABU JAWA TENGAH DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS TRI SATYATAMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

VI. KESIMPULAN DAN SARAN VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan Dalam penelitian ini telah dilakukan suatu rangkaian penelitian yang mencakup analisis pewilayahan hujan, penyusunan model prediksi curah hujan, serta pemanfaatan

Lebih terperinci

RISIKO GEMUK (FAT-TAILED ADRINA LONY SEKOLAH

RISIKO GEMUK (FAT-TAILED ADRINA LONY SEKOLAH PENENTUAN BESARNYA PREMI UNTUK SEBARAN RISIKO YANG BEREKOR GEMUK (FAT-TAILED RISK DISTRIBUTION) ADRINA LONY SEKOLAH PASCASARJANAA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG

PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG PENGARUH PENINGKATAN JUMLAH PENDUDUK TERHADAP PERUBAHAN PEMANFAATAN RUANG DAN KENYAMANAN DI WILAYAH PENGEMBANGAN TEGALLEGA, KOTA BANDUNG DIAR ERSTANTYO DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

IV. PENETAPAN WAKTU TANAM OPTIMAL PADA WILAYAH TERKENA DAMPAK ENSO DAN IOD

IV. PENETAPAN WAKTU TANAM OPTIMAL PADA WILAYAH TERKENA DAMPAK ENSO DAN IOD IV. PENETAPAN WAKTU TANAM OPTIMAL PADA WILAYAH TERKENA DAMPAK ENSO DAN IOD 4.1. Pendahuluan Kondisi iklim dan ketersediaan air yang optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat diperlukan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Jawa merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hampir seluruh kegiatan ekonomi berpusat di Pulau Jawa. Sebagai pusat pertumbuhan

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER LATHIFATURRAHMAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang di dunia masih mengandalkan sektor pertanian dalam

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang di dunia masih mengandalkan sektor pertanian dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sektor pertanian memegang peranan yang sangat penting bagi sebagian besar negara dengan kategori sedang berkembang. Hal ini dikarenakan sebagian besar negara

Lebih terperinci

EVALUASI TEKNOLOGI PETANI DALAM MENGANTISIPASI IKLIM EKSTRIM DI INDRAMAYU

EVALUASI TEKNOLOGI PETANI DALAM MENGANTISIPASI IKLIM EKSTRIM DI INDRAMAYU EVALUASI TEKNOLOGI PETANI DALAM MENGANTISIPASI IKLIM EKSTRIM DI INDRAMAYU MERRY SASMITA DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. pola curah hujan, kenaikan muka air laut, dan suhu udara serta peningkatan

BAB I PENGANTAR. pola curah hujan, kenaikan muka air laut, dan suhu udara serta peningkatan BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak di daerah khatulistiwa termasuk wilayah yang sangat rentan terhadap perubahan iklim seperti perubahan pola curah hujan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah

BAB I PENDAHULUAN. Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Geografi merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alamiah yang terdapat di permukaan bumi, meliputi gejala-gejala yang terdapat pada lapisan air, tanah,

Lebih terperinci

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG. Edisi Kedua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian AGRO INOVASI PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS JAGUNG Edisi Kedua Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian 2007 AGRO INOVASI MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA SAMBUTAN MENTERI PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DENGAN KEJADIAN BANJIR DAN KEKERINGAN PADA WILAYAH DENGAN SISTIM USAHATANI BERBASIS PADI DI PROPINSI JAWA BARAT

ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DENGAN KEJADIAN BANJIR DAN KEKERINGAN PADA WILAYAH DENGAN SISTIM USAHATANI BERBASIS PADI DI PROPINSI JAWA BARAT J.Agromet 23 (1): 11-19,2009 ANALISIS HUBUNGAN CURAH HUJAN DENGAN KEJADIAN BANJIR DAN KEKERINGAN PADA WILAYAH DENGAN SISTIM USAHATANI BERBASIS PADI DI PROPINSI JAWA BARAT (Analysis of Relationship between

Lebih terperinci

Analisis Perubahan Iklim Bagi Pertanian di Indonesia

Analisis Perubahan Iklim Bagi Pertanian di Indonesia Analisis Perubahan Iklim Bagi Pertanian di Indonesia Grisvia Agustin 1, Ro ufah Inayati 2 Fakultas Ekonomi, Universitas Negeri Malang Email: grisvia@yahoo.com Abstract Agriculture sector will be adversly

Lebih terperinci

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR

Buletin Analisis Hujan dan Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 dan Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan Juli 2012 serta Prakiraan Hujan Bulan September, Oktober dan November 2012 disusun berdasarkan hasil pengamatan dari 60 stasiun dan pos hujan di wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

Ringkasan Proyeksi Produksi Minyak Sawit 2017 dari Segi Trend Kondisi Iklim Indonesia

Ringkasan Proyeksi Produksi Minyak Sawit 2017 dari Segi Trend Kondisi Iklim Indonesia Ringkasan Proyeksi Produksi Minyak Sawit 2017 dari Segi Trend Kondisi Iklim Indonesia 1 SEKILAS KETERKAITAN IKLIM (CURAH HUJAN) DAN KELAPA SAWIT Iklim merupakan given factor dalam usaha perkebunan kelapa

Lebih terperinci

Asuransi Pertanian Berbasis Indeks Iklim: Opsi Pemberdayaan dan Perlindungan Petani Terhadap Risiko Iklim

Asuransi Pertanian Berbasis Indeks Iklim: Opsi Pemberdayaan dan Perlindungan Petani Terhadap Risiko Iklim Makalah REVIEW ISSN 1907-0799 Asuransi Pertanian Berbasis Indeks Iklim: Opsi Pemberdayaan dan Perlindungan Petani Terhadap Risiko Iklim Agricultural Insurance based Climate Index: Farmers Empowerment and

Lebih terperinci

PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID

PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : PEMODELAN STOK GABAH/BERAS

Lebih terperinci

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI

KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI KATA PENGANTAR Analisis Hujan, Indeks Kekeringan Bulan September 2013 serta Prakiraan Hujan Bulan November, Desember 2013 dan Januari 2014 disusun berdasarkan hasil pengamatan data hujan dari 60 stasiun

Lebih terperinci

MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KAPABILITAS DINAMIK ORGANISASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA

MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KAPABILITAS DINAMIK ORGANISASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA MODEL STRATEGI PENGEMBANGAN KAPABILITAS DINAMIK ORGANISASI PADA PERGURUAN TINGGI SWASTA (Studi Kasus pada Perguruan Tinggi Swasta di Kopertis Wilayah II) MUHAMMAD YUSUF SULFARANO BARUSMAN SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

Fenomena El Nino dan Perlindungan Terhadap Petani

Fenomena El Nino dan Perlindungan Terhadap Petani Fenomena El Nino dan Perlindungan Terhadap Petani Oleh : Made Dwi Jendra Putra, M.Si (PMG Muda Balai Besar MKG III) Abstrak Pertengahan tahun ini pemberitaan media cetak maupun elektronik dihiasi oleh

Lebih terperinci

PENGENALAN ANALISIS KELAYAKAN USAHA TANI PADI SAWAH DI DESA KEBUN KELAPA KECAMATAN SECANGGANG KABUPATEN LANGKAT

PENGENALAN ANALISIS KELAYAKAN USAHA TANI PADI SAWAH DI DESA KEBUN KELAPA KECAMATAN SECANGGANG KABUPATEN LANGKAT Volume 23 No. 1, Januari Maret 2017 p-issn: 0852-2715 e-issn: 2502-7220 PENGENALAN ANALISIS KELAYAKAN USAHA TANI PADI SAWAH DI DESA KEBUN KELAPA KECAMATAN SECANGGANG KABUPATEN LANGKAT Endang Sari Simanullang

Lebih terperinci