III. KERANGKA PEMIKIRAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "III. KERANGKA PEMIKIRAN"

Transkripsi

1 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Aspek-Aspek Kemiskinan Berbasis Agroekosistem Kemiskinan bersifat multikompleks; dapat dipandang sebagai akibat dari suatu keadaan, tetapi secara bersamaan juga bisa dipandang sebagai sebab dari suatu keadaan. Di Indonesia, kemiskinan bersifat multifacets; yang keragaannya dapat dijelaskan dengan berbagai pendekatan. Untuk mengerti tentang kemiskinan, haruslah dilihat bagaimana kehidupan orang miskin dengan menggunakan pendekatan multidisiplin. Penanggulangan kemiskinan dapat dicapai juga dengan berbagai pendekatan; tidak ada satu resep yang berlaku untuk semua keadaan. Kemiskinan dan berbagai upaya penanggulangannya khususnya di Indonesia memperlihatkan kompleksitas permasalahan kemiskinan. Dalam tinjauan makro, pengurangan kemiskinan dengan memacu pertumbuhan ekonomi merupakan prioritas utama. Dalam upaya pengurangan kemiskinan, perbaikan dimensi ekonomi saja tidaklah cukup; diperlukan dimensi selain ekonomi. Pertumbuhan ekonomi (growth) yang berkelanjutan (sustainable) merupakan keharusan (necessary) tetapi belumlah cukup (insufficient); diperlukan upaya distribusi pendapatan yang berkeadilan. Dimensi ekonomi yang menjadi prasyarat harus dilakukan bersamaan dengan dimensi non ekonomi yang meliputi bidang sosial, politik dan hukum. Disertasi ini tidak meneliti hal tersebut, namun mengadopsi pemikiran bahwa dimensi ekonomi dan non ekonomi sebagaimana disebutkan di atas menjadi prasyarat setiap kebijakan. Opsi kebijakan pengurangan kemiskinan yang ditawarkan pada disertasi ini dapat berjalan bersamaan dengan upaya perbaikan prasyarat dimensi ekonomi dan non ekonomi tersebut. 36

2 Kemiskinan dengan menggunakan konsep kebutuhan dasar (basic needs) pada penelitian ini didefinisikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan yang bersifat mendasar baik pangan maupun non pangan antara lain sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Strategi kebutuhan dasar ini merupakan pendekatan langsung, bukan melalui pendekatan tidak langsung seperti melalui efek menetes ke bawah dan menyebar (trickle-down and spread effect) dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar tersebut dapat ditinjau dari dua aspek yakni aspek pendapatan dan aspek pengeluaran penduduk dalam memenuhi kebutuhan dasar yang timbul oleh adanya aktivitas ekonomi. Aspek pendapatan berhubungan erat dengan matapencarian atau peluang kerja dan peluang usaha. Di perdesaan, matapencarian utama pada umumnya bertumpu pada ketersediaan sumberdaya alam (resource based economy) yang erat kaitannya dengan agroekosistem. Sedangkan aspek pengeluaran berkaitan dengan konsumsi untuk memenuhi kebutuhan minimum; yang pola konsumsinya dipengaruhi oleh dipengaruhi pula oleh agroekosistem. Persoalan-persoalan kemiskinan dapat dianalisis bersifat spesifik berdasarkan tipologi dan karakteristik rumahtangga miskin. Pemecahan masalah kemiskinan seharusnya dikaitkan dengan tipologi kemiskinan dan kerentanan serta faktor-faktor penciri kemiskinan. Tipologi tersebut diperlukan untuk pengoptimuman pencapaian tujuan, khususnya dalam penentuan sasaran kebijakan program dan penentuan jenis intervensi yang tepat. Selain itu, dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak kebijakan, perbandingan tingkat kemiskinan antarruang dan waktu. Ketepatan sasaran merupakan hal penting karena bila sasaran tidak tepat, maka manfaat program penanggulangan 37

3 kemiskinan dinikmati oleh penduduk yang bukan menjadi target, sehingga dapat memperparah ketimpangan ekonomi. Berdasarkan tinjauan pustaka terdahulu, kemiskinan di Indonesia menunjukkan berbagai keragaan dan karakteristik serta memperlihatkan kekhasan fenomena berdasarkan spasial, khususnya berdasarkan agroekosistem. Pada disertasi ini, agroekosistem didefinisikan sebagai sistem interaksi antara manusia dan lingkungan biofisik sumberdaya perdesaan dan pertanian guna memungkinkan kelangsungan hidup penduduknya. Tipe agroekosistem yang digunakan pada penelitian ini yaitu Lahan Basah, Lahan Kering, Lahan Campuran, Dataran Tinggi, Hutan, Pasir/Pantai. Keenam agroekosistem ini menjadi locus penelitian pada disertasi ini, sehubungan dengan kaitan, kekhasan, juga keragaman keragaannya dengan fenomena kemiskinan dan kerentanan di Indonesia. Tipologi kemiskinan pada disertasi ini didefinisikan sebagai keragaan yang mempresentasikan karakter dan magnitut kemiskinan serta kerentanan. Tipologi kemiskinan tidak hanya menjelaskan besaran jumlah ataupun persentase rumahtangga miskin, tetapi juga seberapa dalam dan parah kemiskinan tersebut. Selanjutnya, tipologi ini juga menjelaskan seberapa rentan rumahtangga miskin terhadap gejolak perekonomian dan bagaimana sifat kemiskinannya; apakah bersifat kronis ataukah tidak kronis. Tipologi kemiskinan akan menunjukkan keragaman karena interaksi faktor manusia dengan lingkungan sumberdayanya beragam, dan harga atau nilai sumberdaya yang berbeda berdasarkan pendekatan agroekosistem. Hal ini disebabkan agroekosistem di Indonesia menunjukkan karakter dan magnitut yang beragam dimana tiap agroekosistem memiliki kekhasan fenomena kemiskinan. 38

4 Selain dengan menganalisis tipologi kemiskinan, untuk mengetahui bagaimana kehidupan orang miskin, perlu dipelajari faktor penciri yang melekat pada rumahtangga miskin. Faktor penciri ini merupakan suatu archetype kemiskinan yakni household that is consider to be the poor because they have all their most important characteristics. Faktor penciri kemiskinan pada tiap agroekosistem tersebut dalam disertasi ini terdiri dari faktor penciri yang melekat pada rumahtangga yakni human and social capital, dan faktor penciri yang melekat pada faktor spasial dan infrastruktur meliputi infrastruktur fisik dan sosial. Faktor penciri kemiskinan dianalisis melalui pengeluaran rumahtangga yang pada gilirannya mempengaruhi kemiskinan. Tiap agroekosistem menunjukkan model yang direpresentasikan oleh parameter pengeluaran tumahtangga yang konfigurasi dan besarannya berbeda; meskipun ada beberapa faktor diprediksi sama pada semua agroekosistem. Kondisi agroekosistem mempengaruhi kemiskinan penduduk dengan masing-masing karakteristik sosial-ekonominya melalui aktivitas ekonomi. Interaksi manusia dengan biofisik yang beragam kondisinya ini memberikan bentuk aktivitas sosial, ekonomi bahkan budaya yang beragam pula. Interaksi tersebut menjadi penting karena sebagian besar penduduk menggantungkan sumber penghidupannya pada ketersediaan lingkungan biofisiknya. Selanjutnya, keragaman agroekosistem juga menunjukkan keragaman ekonomi penduduknya yang oleh Ikhsan (1999) disebut sebagai zona agroekonomi. Kemiskinan pada umumnya terkonsentrasi pada rumahtangga yang tinggal pada agroekosistem khususnya pada kawasan hutan, pesisir/pantai dan lahan pertanian yang terdiri dari lahan kering dan lahan campuran. Kondisi agroekosistem mempengaruhi kemiskinan penduduk dengan masing-masing 39

5 karakteristik sosial-ekonominya melalui aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi pada suatu agroekosistem dipengaruhi oleh antara lain faktor biofisik sumberdaya alam sebagai sumberdaya utama kehidupan penduduk, faktor sumberdaya manusia (human and social capital), modal produktif (physical productive capital), infrastruktur fisik dan sosial. Keragaman aktivitas ekonomi pada tiap agroekosistem berkaitan dengan perbedaan harga atau nilai sumberdaya yang merupakan determinan untuk meraih peluang-peluang ekonomi (economic opportunities). Aktivitas ekonomi ini pada akhirnya menentukan pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. Faktor biofisik atau spasial menentukan harga sumberdaya dan peluang ekonominya. Agroekosistem yang memiliki biofisik dataran tinggi dengan kemiringan tinggi atau curam, kondisi lahan berbatuan, tidak subur, tandus sehingga rawan erosi atau longsor akan rendah harga atau nilainya sebagai sumberdaya kehidupan. Investasi akan enggan masuk pada lingkungan dengan biofisik seperti ini karena dinilai tidak menghasilkan return yang tinggi. Peluangpeluang ekonomi untuk matapencarian berkelanjutan akan sangat terbatas. Agroekosistem hutan ditandai oleh biofisik yang berhutan lebat, berbukitan, pergunungan ataupun lembah, terpencil di dalam hutan, akses terhadap pelayanan pokok seperti kesehatan dan pendidikan sangat rendah, kehidupan relatif subsisten, aksesibilitas terhadap informasi rendah. Kondisi ini akan mempengaruhi kesempatan berusaha dan bekerja yang seterusnya mempengaruhi kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh terhambat ataupun terlambatnya penyesuaian-penyesuaian dalam proses pasar tenaga kerja dan keputusan untuk migrasi atau berpindah dan mencari nafkah di tempat lain. Meskipun hutan mengandung kekayaan alam, namun penduduk di dalam hutan tidak sepenuhnya dapat mengakses sumberdaya hutan sebagai sumber 40

6 kehidupannya. Penduduk hampir tidak mempunyai alternatif matapencarian selain menjadi buruh perkayuan ataupun menggantungkan nafkah pada ladang berpindah. Selain itu, biaya penyediaan pelayanan kesehatan dan pendidikan serta infrastruktur fisik lainnya menjadi tinggi. Pada lahan basah dengan berpengairan relatif baik, dicirikan dengan lahan yang relatif datar, relatif subur, aksesibilitas penduduk yang relatif baik terhadap infrastruktur fisik, kondisi memadai terhadap pelayanan pokok, pasar, dan trasportasi. Dengan kondisi biofisik seperti ini, pada dasarnya dapat mendorong resource base economy. Namun, lahan dengan nilai dan harga sumberdaya yang relatif baik ini justru rawan terhadap konversi lahan. Pada agroekosistem pesisir/pantai kondisi biofisik yang khas mempengaruhi kehidupan rumahtangga khususnya nelayan ialah faktor musim melaut. Pola kerja nelayan menyebabkan terbatasnya pilihan-pilihan terhadap sumber penghidupan lainnya. Selain itu, dengan sistem open access atau common property right terhadap kekayaan laut, menciptakan peluang ekonomi yang lebih tinggi bagi pemilik modal dan sumberdaya manusia yang menguasai teknologi dan pasar. Kondisi ini akan mendorong relasi yang timpang antar pelaku ekonomi. Faktor sumberdaya manusia dan modal sosialnya (human and social capital) mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran. Kepala keluarga atau pencari nafkah usia produktif dengan pendidikan yang relatif tinggi atau memiliki keahlian/ketrampilan dan dengan kondisi kesehatan yang baik, diasumsikan mempunyai peluang kerja ataupun peluang usaha yang lebih baik. Kepala keluarga atau pencari nafkah berjenis kelamin laki-laki ditengarai mempunyai peluang kerja lebih tinggi dibanding perempuan. Keluarga dengan rasio bergantung (dependency ratio) lebih tinggi, akan lebih tinggi pula peluang 41

7 menjadi katagori miskin. Paguyuban atau kegotongroyongan yang relatif baik antar rumahtangga ditengarai lebih dapat mengatasi schock terhadap pendapatan dan pengeluaran rumahtangga. Selain itu, modal sosial yang tinggi dapat meningkatkan coping ability rumah tangga. Ketersediaan infrastruktur fisik dan sosial juga menentukan harga atau nilai sumbedaya. Infrastruktur fisik seperti listrik, jaringan air bersih, sistem transportasi, pasar, sanitasi/pengelolaan sampah menentukan nilai atau harga sumberdaya (GTZ dalam Rustiadi, 2007). Selanjutnya, harga atau nilai sumberdaya ini menjadi determinan aktivitas ekonomi yang lebih luas. Infrastruktur sosial seperti kelompok-kelompok informal, layanan kesehatan, dan layanan pendidikan juga mempengaruhi aktivitas ekonomi. Selain itu, adanya kelembagaan dapat menentukan nilai atau harga sumberdaya yang selanjutnya mempengaruhi kesempatan untuk meraih peluang-peluang ekonomi. Kelembagaan didefinisikan sebagai the rules of society or of organization that facilitate coordination among people by helping them from expectations which each person can reasonably hold in dealing with others (Ruttan dan Hayami dalam Harianto, 2007). Kepemilikan physical productive capital: seperti aset produksi misalnya lahan, perahu motor, kandang, alat dan mesin pengolahan, merupakan aset pendukung dalam meraih peluang ekonomi. Selain itu, aset fisik ini juga dapat dijadikan agunan bila memerlukan pinjaman uang, ataupun dapat dijual jika memerlukan uang. Jika dianalisis kondisinya, tiap agroekosistem memiliki kekhasan meliputi biofisik, kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia, infrastruktur fisik dan sosial termasuk kelembagaan. Tiap agroekosistem mempunyai nilai kemanfaatan ekonomi dan lingkungan serta nilai sosial budaya yang beragam pula. Nilai 42

8 kemanfaatan ini mempengaruhi pendapatan dan pengeluaran rumahtangga yang ada pada tiap agroekosistem. Secara menyeluruh, karakteristik setiap agroekosistem secara visual disajikan pada Gambar 2. Lahan Basah Pantai/Pesisir Biofisik/faktor spasial: Relatif datar, tidak berbukit/lereng, Infrastruktur : relatif baik aksesibilitas wilayah: baik, akses pd sumber daya alam terbuka Akses pada pelayanan umum: relatif baik Sosek: Gini Indeks : 0.67 Pemilikan Lahan : Ha Sumber penghasilan: kurang variatif Hutan Biofisik/faktor spasial: wilayah relatif terisolasi berbukit/datar/lereng Infrastruktur : relatif kurang baik Akses terhadap sumber daya alam tertutup Akses terhadap pelayanan umum : kurang Sosek: Gini Indeks: relatif tinggi Pemilikan Lahan :relatif tidak ada Sumber penghasilan: relatif tidak Biofisik/faktor spasial: Relatif datar, tidak berbukit/lereng, Infrastruktur : beririgasi, jalan pertanian, berpengairan > 75 % aksesibilitas wilayah relatif baik Akses terhadap pelayanan umum : relatif tersedia Sosek: Gini Indeks : Pemilikan Lahan : atau tidak berlahan Sumber penghasilan: relatif variatif Karakteristik Agroekosistem Dataran Tinggi Biofisik/faktor spasial: Altitude: > 500 dpl Topografi berbukit/lereng, Infrastruktur : kurang memadai aksesibilitas wilayah kurang baik Akses pada pelayanan umum : relatif tersedia Sosek: Gini Indeks : tidak ada data Pemilikan Lahan : sekitar 0.25 Ha Sumber penghasilan: relatif variatif Lahan Kering Biofisik/faktor spasial: Topografi berbukit/lereng, berpengairan < 25 % Infrastruktur : beririgasi terbatas aksesibilitas wilayah kurang baik Akses terhadap pelayanan umum : relatif kurang tersedia Sosek: Gini Indeks : Pemilikan Lahan : Ha Sumber penghasilan:kurang variatif Lahan Campuran Biofisik/faktor spasial: Topografi : bervariasi berpengairan % aksesibilitas wilayah kurang baik Infrastruktur : beririgasi, jalan pertanian Akses pada pelayanan umum : relatif tersedia Sosek: Gini Indeks : tidak ada data Pemilikan Lahan : Ha Sumber penghasilan: relatif variatif Gambar 2. Karakteristik Agroekosistem Selanjutnya, interrelasi antar faktor tersebut diatas akan merefleksikan perbedaan peluang ekonomi (economic opportunities) pada tiap agroekosistem yang ada kaitannya dengan sumber matapencarian dan pola konsumsi. Kedua aspek ini pada gilirannya diduga akan berpengaruh terhadap kemiskinan dan kerentanan. 43

9 Kemiskinan dan kerentanan dibentuk oleh dua aspek yaitu aspek pendapatan dan aspek pengeluaran. Aktivitas ekonomi ditimbulkan oleh pendapatan dan pengeluaran rumahtangga (RT). Dengan asumsi matapencarian utama penduduk berbasis ketersediaan sumberdaya alam, maka aktivitas ekonomi dipengaruhi oleh kondisi agroekosistem melalui konsumsi dan aktivitas matapencarian. Dengan pendapatannya, rumahtangga dapat mengakses pelayanan pendidikan dan kesehatan yang pada gilirannya dapat memperkuat Human Capital (HC). Di samping memenuhi kebutuhan minimum, RT dapat memperkuat aset-aset produktif (Physical Capital) dalam rangka mendukung matapencariannya. Selanjutnya, pendapatan rumahtangga akan mempengaruhi permintaan dan penawaran barang dan jasa. Di sisi lain, agroekosistem mempengaruhi pola konsumsi RT yang secara agregat menentukan aktivitas ekonomi pada suatu agroekosistem terutama menentukan peluang usaha dan peluang kerja yang menggerakkan aktivitas ekonomi RT pada agroekosistem. Aktivitas tersebut menimbulkan pengeluaran RT misalnya pengeluaran untuk transportasi, komunikasi dan sebagainya. Secara agregat, pengeluaran RT tersebut akan menimbulkan permintaan terhadap barang dan jasa, yang di respon oleh produsen. Penawaran barangbarang dan jasa akan mempengaruhi pola konsumsi RT. Kondisi kemiskinan menyebabkan suatu rumahtangga atau individu sulit mengakses fasilitas pendidikan dan kesehatan. Hal ini mempengaruhi kualitas tenaga kerja suatu individu. Dengan kualitas yang rendah, maka produktivitas tenaga kerja rendah; artinya modal manusia (human capital) rendah, maka, pendapatan juga rendah. Dengan pendapatan rumahtangga yang rendah (demand) rendah, perusahaan akan menyesuaikan sehingga penawarannya (supply) barang dan jasa menjadi rendah. Kemampuan ekonomi mempengaruhi 44

10 besarnya peluang-peluang ekonomi dan investasi serta penyediaan fasilitas pendidikan maupun kesehatan. Dengan aktivitas ekonomi yang rendah dan dengan kualitas sumber daya manusia /tenaga kerja yang rendah maka peluang kerja dan peluang usaha tidak dapat dijangkau atau diciptakan; yang pada gilirannya tidak memberikan pendapatan yang cukup bagi rumahtangga. Kondisi ini mengantarkan suatu individu atau penduduk pada kondisi dengan katagori miskin. Kerangka pemikiran penelitian ini, secara skematis disajikan pada Gambar 3. Nilai/Harga Sumberdaya - Human & Social Capital - Physical Capital - Infrastruktur Fisik dan Sosial - Spasial/SDA Agroekosistem Peluang ekonomi Pola Konsumsi Aktivitas ekonomi Mata Pencarian Pengeluaran Pendapatan Indikator Kemiskinan P 0 P 1 P 2 Kerentanan Elastisitas Sifat Kemiskinan Kronis dan Tidak Kronis Impli kasi Kebi jakan Lahan Basah Lahan kering Lahan Campuran Dataran Tinggi Hutan Pantai/Pesisir Karakteristik Biofisik SDA SDM Infrastruktur Fisik dan Sosial/ Kelembagaan Faktor penciri Kemiskinan Tinjauan Kebijakan Gambar 3. Kerangka Pemikiran Keterangan: SDA = Sumber Daya Alam SDM= Sumber Daya Manusia P 0 =insiden kemiskinan P 1 = kedalaman kemiskinan P 2 = keparahan kemiskinan 45

11 Menguraikan mana sebab dan mana akibat dari kemiskinan pada hakikatnya adalah sulit. Kadangkala sebab-sebab kemiskinan dapat dilihat sebagai akibat-akibat dari kemiskinan. Karena itu, analisis-analisis pada kemiskinan pada umumnya mencari faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemiskinan atau hubungan-hubungan, bukan sebagai hubungan sebab-akibat. Dengan pemahaman terhadap faktor-faktor yang berkorelasi dengan kemiskinan, maka dapat dirancang alternatif kebijakan penanggulangannya. Penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan menggerakkan aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi di lingkungan perdesaan dan pertanian dapat dilakukan melalui penumbuhan sentra-sentra ekonomi untuk menggerakkan matapencarian dengan meningkatkan peluang usaha dan peluang kerja yang berkelanjutan (sustainable livelihood). Hal ini penting, mengingat lebih dari tiga per empat penduduk pertanian dan perdesaan di Indonesia menggantungkan matapencarian utamanya pada ketersediaan sumberdaya alam. Selain itu, masih terbuka peluang-peluang untuk menggerakkan aktivitas ekonomi pertanian dan perdesaan dengan meningkatkan daya dukung agroekosistem melalui perbaikan modal sumberdaya manusia dan sumberdaya fisik serta infrastruktur dengan memperhatikan faktor lokasinya. Perbaikanperbaikan tersebut akan efektif bila penanganannya sesuai dengan tipologi kemiskinan dan kerentanannya. Hal tersebut dapat dicapai dengan intervensi yang tepat antara lain berdasarkan analisis tipologi kemiskinan dan kerentanan berbasis agroekosistem Analisis Tipologi Kemiskinan Multikompleks kemiskinan dapat dijelaskan melalui analisis tipologi kemiskinan dan kerentanan dan faktor penciri atau variabel-variabel yang melekat pada rumahtangga miskin berbasis agroekosistem sebagaimana 46

12 diuraikan diatas. Karena itu, tipologi kemiskinan dan kerentanan rumahtangga miskin dan faktor pencirinya layak diteliti. Disamping itu, tipologi kemiskinan dan kerentanan tiap agroekosistem dapat menjelaskan bahwa kemiskinan tidak secara acak terjadi, tetapi mengikuti pola-pola sistematis (systematic patterns) yang secara struktural berkorelasi kuat dengan agroekosistem. Sebagian rumahtangga miskin pada tiap agroekosistem terperangkap dalam kemiskinan (spatial poverty trap) yang begitu dalam dan sulit melewati ambang batas miskin tanpa upaya-upaya sistematis dan berkesinambungan. Analisis tersebut di atas diyakini dapat menjadi alternatif opsi dalam kebijakan penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Tipologi ini dibangun dengan maksud memberikan arah bagi target pengurangan kemiskinan. Tipologi kemiskinan dan kerentanan pada disertasi ini mempresentasikan karakter dan magnitutnya. Tipologi tersebut meliputi: (a) Indikator kemiskinan yakni insiden kemiskinan, kedalaman kemiskinan, dan keparahan kemiskinan, (b) Kerentanan dan (c) Sifat kemiskinan. Tipologi kemiskinan menjelaskan besaran jumlah dan persentase rumahtangga miskin, seberapa dalam dan parah kemiskinan tersebut. Selanjutnya, tipologi ini juga menjelaskan seberapa rentan rumahtangga miskin terhadap gejolak perekonomian dan bagaimana sifat kemiskinannya; apakah bersifat kronis ataukah tidak kronis. Keragaman sekaligus kekhasan tipologi kemiskinan berdasarkan pendekatan agroekosistem ini dapat dipahami mengingat agroekosistem di Indonesia menunjukkan karakter dan magnitut yang beragam dimana tiap agroekosistem memiliki kekhasan fenomena kemiskinan. Dengan menganalisis tipologi kemiskinan akan diketahui bagaimana karakter dan magnitut kemiskinan. Bagaimana kehidupan orang miskin diketahui dengan faktor penciri yang melekat 47

13 pada rumahtangga miskin. Upaya-upaya pengurangan kemiskinan layaknya menggunakan tipologi dan faktor penciri sebagai referensi bagi penentuan arah, sasaran dan jenis intervensi. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk pengurangan kemiskinan dilakukan melalui dua jalur yakni peningkatan pendapatan dan pengurangan pengeluaran penduduk. Pengurangan kemiskinan, baik insiden kemiskinan maupun kerentanan terhadap kemiskinan, dapat ditempuh dengan mengurangi pengeluaran penduduk miskin dan atau meningkatkan pendapatannya. Selain itu, dapat dilakukan melalui perbaikan distribusi pendapatan; antara lain memberikan subsidi, mendekatkan akses penduduk pada fasilitas publik dan usaha-usaha produktif. Penanggulangan kemiskinan didasari pemikiran bahwa pengurangan kemiskinan dalam jangka menengah dan panjang mencakup dua hal yaitu yang penting dipikirkan secara bersamaan dan dalam suatu kesatuan (unified framework) yaitu pengurangan insiden kemiskinan (poverty alleviation) dan mengurangi kerentanan terhadap kemiskinan (poverty prevention). Pengurangan jumlah penduduk miskin dengan mencegah penduduk jatuh kepada kondisi miskin sangat penting dalam konsep pengurangan kemiskinan melalui pemberdayaan masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri. Dengan pemberdayaan ini, upaya pengurangan kemiskinan dapat dilakukan secara berkelanjutan, mengurangi beban sosial masyarakat dan mengurangi ketergantungan terhadap anggaran belanja pemerintah. Data sosial ekonomi rumahtangga dapat diperoleh dari data Susenas. Namun, untuk mempelajari insiden kemiskinan lebih spesifik dengan karakteristik sosial ekonomi pada agroekosistem tertentu, maka diperlukan data lain yakni Potensi Desa. Opsi kebijakan pengurangan kemiskinan yang mencakup upaya 48

14 kuratif dan upaya preventif dapat dirumuskan dengan tepat melalui pemahaman karakteristik penduduk miskin yang berbeda dari agroekosistem satu dengan agroekosistem lainnya. Karakteristik kemiskinan terkait erat dengan lokasi/ lingkungan tempat tinggalnya yang seterusnya akan mempengaruhi peluangpeluang ekonomi dan matapencariannya. Untuk merumuskan opsi kebijakan, selain berdasarkan hasil temuan dan simulasi yang dilakukan pada penelitian ini juga diperlukan tinjauan kebijakan pengurangan kemiskinan yang telah dilakukan. Untuk menghitung proporsi penduduk miskin pada lokasi penelitian yang ditetapkan, digunakan formula FGT yang akan menghasilkan gambaran insiden kemiskinan, kedalaman dan keparahan kemiskinan Faktor Penciri Kemiskinan dan Kerentanan Analisis awal dari identifikasi faktor penciri kemiskinan dan kerentanan ialah seleksi faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kemiskinan. Metode analisis yang digunakan adalah metode stepwise discriminant analysis ataupun dengan metode stepwise logistic regression (logit). Namun, karena metode terakhir memberikan misclasification yang rendah atau memberikan interpretasi yang lebih baik (LPEM-UI, 2001), maka pada analisis ini digunakan metode regresi logistik. Pada tahap awal, seleksi variabel-variabel yang menjadi variabel penciri kemiskinan didasarkan pada hasil analisis deskriptif insiden kemiskinan dan profil kemiskinan serta profil daerah miskin. Kemudian dilakukan review terhadap hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Potensi Desa (Podes) untuk meneliti ketersediaan data. Aspek kehidupan sosial ekonomi penduduk menyangkut keadaan demografi, kesehatan, pendidikan, perumahan, lingkungan hidup, konsumsi rumahtangga dan pengeluaran rumahtangga diperoleh dari data 49

15 Susenas Sedangkan data yang menyangkut aspek spasial dan agroekosistem diperoleh dari data yang tersedia pada Podes Baik data Susenas maupun Podes dikeluarkan oleh BPS. Katagori yang digunakan adalah lahan kering, lahan basah, lahan campuran, pantai/pesisir (coastal), dataran tinggi dan daerah sekitar hutan. Selanjutnya, dilakukan pemilihan variabel dengan menggunakan metoda stepwise yang menjelaskan hubungan variabel-variabel independen dengan variabel dependen. Variabel-variabel yang dipilih yang akan dimasukkan ke dalam fungsi yaitu yang mempunyai koefisien determinasi (R 2 ) yang besar. Nilai R 2 ini menunjukkan seberapa besar model dapat menjelaskan data. Sehingga validasi model dapat juga dilakukan dengan menggunakan indikator nilai R 2. Variabel dependen yang digunakan adalah status kemiskinan rumahtangga menurut kebutuhan dasar minimal versi BPS. Variabel ini disusun dalam bentuk diskret. Rumahtangga miskin dinotasikan dengan nilai 0 sementara rumahtangga tidak miskin dengan nilai 1. Variabel-variabel independen merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kemiskinan Faktor Rumahtangga Secara garis besar, aspek-aspek yang mempengaruhi kemiskinan dalam perspektif mikro (rumahtangga) yang diteliti dikelompokkan dalam (a) variabel modal sumberdaya manusia (human capital) yang meliputi variabel profil umum kepala rumahtangga, variabel kondisi kesehatan rumahtangga, dan variabel kondisi ekonomi rumahtangga dan (b) variabel modal fisik yang dimiliki rumahtangga miskin serta (c) variabel tempat tinggal. Variabel sumberdaya manusia merupakan faktor yang mempengaruhi kapabilitas individu dalam rumahtangga untuk mencari nafkah atau memperoleh pendapatan dan memenuhi kecukupan kebutuhan keluarganya. Faktor tersebut 50

16 yaitu pendidikan tertinggi kepala keluarga, jenis kelamin, usia, jumlah anggota keluarga yang ditanggung (dependent) dan jumlah tahun bersekolah anggota keluarga. Tingkat pendidikan dikaitkan dengan peluang kerja dan pendapatan. Semakin tinggi pendidikan, peluang kerja dan peningkatan pendapatan semakin besar. Faktor jenis kelamin dinilai berpengaruh terhadap tingkat upah yang diperoleh oleh pencari nafkah dalam keluarga; sedangkan faktor usia dinilai dapat menggambarkan pengalaman kerja. Jumlah anggota keluarga berpengaruh terhadap kesejahteraan rumahtangga; semakin banyak dependen dalam keluarga maka semakin kecil tingkat kesejahteraan individu dalam keluarga tersebut. Selanjutnya, status dan sektor berusaha rumahtangga mempengaruhi peluang dan besaran pendapatan. Kemiskinan banyak terdapat pada penduduk dengan status pekerjaan informal dan mencari nafkah di sektor pertanian. Selain itu, faktor kesehatan individu rumahtangga termasuk faktor yang mempengaruhi pendapatan rumahtangga. Pencari nafkah yang tidak atau kurang sehat dapat turun pendapatannya sebagai akibat dari menurunnya produktivitas. Apabila anggota keluarga (dependent) sakit dan memerlukan biaya besar, maka diasumsikan pengeluaran keluarga meningkat untuk upaya penyembuhan anggota keluarga tersebut. Variabel modal fisik dimasukkan dalam kelompok variabel yang menjadi penciri kemiskinan dengan pertimbangan bahwa kemiskinan banyak terdapat pada penduduk dengan status pekerjaan pada sektor informal atau berusaha sendiri (Susenas, 2003) sehingga kepemilikan modal fisik merupakan faktor yang mempengaruhi kemampuan untuk memperoleh pendapatan. Kepemilikan modal fisik dapat menjadi agunan apabila rumahtangga memerlukan dana pinjaman modal dari Bank atau kredit formal. Selain itu, 51

17 kepemilikan modal fisik dapat menjadi alternatif sumber pendapatan sementara atau cadangan apabila ada gejolak atau shock terhadap pendapatan atau pengeluaran suatu keluarga. Sehingga, suatu rumahtangga terlindung dari kemiskinan atau relatif tidak rentan terhadap goncangan terhadap pendapatan atau pengeluaran. Yang dimasukkan dalam variabel modal fisik yaitu kepemilikan aset-aset produktif seperti lahan, rumah dan kendaraan. Kenyataan bahwa kemiskinan terkait dengan modal fisik diperkuat oleh IFAD (2002) yang menyebutkan bahwa sebagian besar penduduk miskin di Asia adalah buruh tani, dan petani gurem. Variabel yang dimasukkan untuk analisis determinan rumah tangga berjumlah 37 variabel yang diolah berdasarkan data Susenas 2004 yang menggunakan instrumen core Faktor Spasial dan Infrastruktur Selain faktor kapasitas sumberdaya manusia dan sumberdaya produktifnya, faktor-faktor yang berkaitan dengan spasial dan infrastruktur adalah penting. Hal ini disebabkan oleh eratnya kaitan antara insiden kemiskinan dengan faktor-faktor spasial dan infrastruktur. Kenyataannya, penduduk miskin dengan kemiskinan kronis secara geografis terkonsentrasi di suatu lokasi. Konsentrasi kemiskinan spasial ini merefleksikan perbedaan peluang ekonomi (economic opportunities). Jika kemiskinan bersifat kronis, dapat dikatakan bahwa terjadi kemiskinan struktural yang ada hubungannya dengan faktor sumberdaya alam setempat (local resource endowments). Kondisi lahan dan lokasi daerah akan mempengaruhi lapangan kerja utama dan aksesibilitas masyarakat di daerah tersebut yang pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan. Sebagai contoh, daerah-daerah marginal di dataran tinggi, dengan kemiringan tinggi dan berbatuan akan mengurangi peluang usaha masyarakat di lokasi tersebut. 52

18 Kondisi dan lokasi daerah tertentu umpamanya daerah terpencil, daerah dengan akses transportasi dan komunikasi yang sulit, dapat meningkatkan peluang terjadinya kemiskinan. Argumen tersebut di atas diperkuat oleh referensi terdahulu bahwa suatu komunitas dalam suatu lokasi tertentu seperti terperangkap dalam kemiskinan; bahkan seperti terjadi secara turun temurun dari satu generasi ke generasi. Selanjutnya, kondisi ini dipersepsikan sebagai fenomena spatial poverty trap. Kajian IFAD dalam Assessment of Rural Poverty Asia and Pacific (2002) yang menyebutkan bahwa kemiskinan perdesaan terjadi di daerah marjinal, dataran tinggi terpencil utamanya di daerah lahan kering dan berbukitan kapur atau batuan serta daerah pesisir atau pantai. Mengacu pada kajian tersebut, analisis dalam penelitian ini akan difokuskan pada pengurangan kemiskinan ke dalam ruang lingkup pertanian dalam arti luas. Kondisi kemiskinan di agroekosistem erat kaitannya dengan kondisi infrastruktur; sejalan dengan Bank Dunia (2001) yang menyebutkan bahwa infrastruktur dapat mengurangi kemiskinan dengan argumentasi sebagai berikut; 1. kelompok miskin banyak terkonsentrasi di dalam sektor ekonomi dengan rates of return yang tinggi terhadap infrastruktur, 2. kelompok miskin sangat terbatas aksesnya terhadap infrastruktur, sehingga dengan adanya infrastruktur yang menyentuh penduduk miskin, maka utilitas infrastruktur tersebut menjadi tinggi. Ruang lingkup infrastruktur mencakup pelayanan publik dari pemerintah seperti energi listrik, komunikasi, persediaan air dan sanitasi, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan dan jalan umum. Sesuai dengan fokus penelitian ini, maka aspek irigasi dan sistem drainase dimasukkan dalam variabel infrastruktur. 53

19 Selain infrastruktur fisik yakni perumahan dan lingkungan, juga infrastruktur sosial-ekonomi seperti regulasi, kebijakan dan kelembagaan masyarakat atau lebih dikenal dengan social capital dapat mempengaruhi kerentanan rumahtangga miskin. Social capital diidentifikasikan dengan ada atau tidaknya lembaga seperti lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga keuangan mikro, koperasi simpan pinjam di lokasi rumahtangga miskin. Asumsinya, masyarakat yang memiliki atau dapat mengakses lembaga tersebut, maka kemanfaatannya bagi rumahtangga relatif tinggi. Sehingga, bila ada faktor shock terhadap rumahtangga dan pendapatannya, lembaga ini dapat membantu mencarikan alternatif solusi dan membantu kebutuhan untuk sementara waktu. Karena itu, kekuatan modal sosial juga mempengaruhi kerentanan terhadap kemiskinan. Diasumsikan juga bahwa bila ikatan kelembagaan kuat, secara bersamasama sejumlah rumahtangga akan lebih efektif dibina kapasitasnya dalam menggali peluang-peluang ekonominya. Diasumsikan bahwa prospek untuk meninggalkan kemiskinan dapat dipengaruhi oleh kerabat, tetangga, nilai-nilai dalam komunitas lokal dan lingkungan sosial. Kelembagaan tersebut juga dapat mempengaruhi aspirasi dan ekspektasi individu dalam upaya mencari peluangpeluang ekonomi. Variabel spasial dan infrastruktur diolah berdasarkan data Podes 2003 dengan asumsi tidak terjadi perubahan signifikan tentang kondisi penduduk antara tahun 2003 dengan 2004 dimana data Susenas menggunakan versi Data Podes menggunakan basis desa sedangkan data Susenas menggunakan basis rumahtangga. Analisis penciri kemiskinan rumahtangga pada penelitian ini menggunakan basis rumahtangga. Karena itu, untuk mengkonversikan variabel spasial dan infrastruktur pada unit analisis rumahtangga maka diasumsikan 54

20 semua rumahtangga menggunakan atau menikmati kondisi atau fasilitas yang ada di desa tempat tinggalnya dengan kesempatan atau peluang yang sama. Variabel yang dimasukkan untuk analisis determinan spasial dan infrastruktur berjumlah 70 variabel yang diolah berdasarkan data Podes Identifikasi Rumahtangga Miskin Garis Kemiskinan Pada analisis ini, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang tidak dapat memenuhi kecukupan kebutuhannya; diukur dengan standar kebutuhan minimum yang ditandai dengan batas miskin atau garis kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS. Pada penelitian ini, kecenderungan penggunaan garis kemiskinan yaitu pada batas miskin atau garis kemiskinan versi Badan Pusat Statistik (BPS). Penggunaan standar versi BPS ini dipilih karena batas miskin yang dibangun versi ini didasarkan pada perhitungan bundel makanan dan non makanan, dan dibuat atas perhitungan standar hidup per provinsi, serta membedakan komponen bundel pengeluaran untuk perkotaan dan perdesaan. Dengan demikian, dapat diasumsikan lebih mendekati kenyataan di lapangan atau mendekati kondisi yang sebenarnya. Kebutuhan makanan menggunakan patokan 2100 kalori per hari per kapita, dan kebutuhan non makanan meliputi pengeluaran untuk sandang, perumahan, barang dan jasa termasuk untuk pendidikan dan kesehatan. Kebutuhan makanan menggunakan patokan 2100 kalori per hari per kapita dan kebutuhan non makanan meliputi pengeluaran untuk sandang, perumahan, barang dan jasa termasuk untuk pendidikan dan kesehatan. Ukuran menghitung ketidakcukupan individu memenuhi standar hidup minimum tersebut 55

21 menggunakan pengeluaran untuk konsumsi (consumption expenditure), bukan pendapatan dengan mengacu pada alasan sebagaimana diuraikan pada Bab II. Pengukuran tingkat kesejahteraan berdasarkan pengeluaran atas bundel konsumsi (consumption expenditure) lebih sering digunakan dibandingkan dengan tingkat pendapatan karena alasan kepraktisan operasional bukan secara konseptual. Berdasarkan tinjauan pustaka terdahulu, dapat dikatakan bahwa untuk Indonesia sebagai negara berkembang, data konsumsi relatif lebih akurat dibandingkan dengan pendapatan. Dalam penggunaan data pengeluaran konsumsi sebagai ukuran kemiskinan, digunakan asumsi-asumsi yaitu: 1. Pengeluaran untuk bundel konsumsi dalam bentuk uang sebagai upaya memenuhi kebutuhan minimum hidupnya mencerminkan tingkat kesejahteraan rumahtangganya. 2. Rumahtangga menggunakan sejumlah modal fisik guna mendukung aktivitas ekonominya. 3. Setiap variabel penciri rumahtangga diasumsikan mempengaruhi pengeluaran penduduk untuk bundel konsumsi. 4. Agroekosistem mempengaruhi pola konsumsi rumahtangga setidaknya melalui tiga jalur yaitu: (a) penggunaan infrastruktur mempengaruhi permintaan terhadap bundel konsumsi, (b) agroekosistem secara langsung mempengaruhi pola permintaan terhadap konsumsi, (c) permintaan terhadap bundel konsumsi bervariasi diantara penduduk miskin dengan penduduk tidak miskin dikarenakan faktor spasial dan faktor infrastruktur. 56

22 Data Survei Sosial Ekonomi Nasional dan Potensi Desa Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Potensi Desa (Podes) ditelaah untuk mengetahui ketersediaan data dan bagaimana kedua hasil survei tersebut dapat dihubungkan untuk memenuhi analisis pada penelitian ini. Telaahan mencakup substansi informasi, sampel dan instrumen yang digunakan pada kedua survei tersebut Kemiskinan dan Kerentanan Indikator kemiskinan dianalisis dengan menghitung: (1) rasio H (Headcount Index) untuk menghitung persentase populasi yang hidup dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan, (2) indeks kedalaman kemiskinan (the depth of poverty or the poverty gap index) untuk mengukur seberapa miskin atau seberapa jauh dari garis kemiskinan suatu individu yang hidup dalam keluarga yang pengeluaran konsumsinya di bawah garis kemiskinan, dan (3) indeks keparahan kemiskinan. Insiden dan kedua indeks tersebut diukur dengan menggunakan formula Foster, Greer dan Thorbecke (FGT Index). Kerentanan terhadap kemiskinan didefinisikan sebagai kerentanan terhadap garis kemiskinan (Vulnerability to Poverty Line) yakni probabilitas rumahtangga keluar dari garis kemiskinan atau kerentanan berdasarkan Headcount Poverty Rate. Dalam penelitian ini, kerentanan diukur berdasarkan aspek ekonomi bila terjadi perubahan-perubahan akibat gangguan eksternal (fragile economic based and frequent exposure to shock and fluctuation), ataupun gangguan mencari nafkah suatu individu dalam rumahtangga. Dalam penelitian ini, diasumsikan garis kemiskinan naik sebesar 10 persen dan 20 persen; sehingga dapat dilihat laju kenaikan indikator 57

23 kemiskinan dan elastisitasnya. Sifat kemiskinan sementara (transient poverty) ataupun kronis (chronic poverty) diukur dengan probabilitas keluar dari kemiskinan. Seseorang dinyatakan miskin kronis apabila ia hidup dalam rumahtangga yang mempunyai probabilitas keluar dari kemiskinan atau peluang untuk keluar dari batas miskin lebih kecil dari 0.5. Untuk menganalisis elastisitas kemiskinan yakni perubahan indikator kemiskinan akibat pengaruh garis kemiskinan, diskenariokan atau disimulasikan garis kemiskinan naik 10 persen dan 20 persen. Angka tersebut digunakan mengacu pada kecenderungan kenaikan harga barang dan jasa yang mendorong garis kemiskinan. Pada studi yang dilakukan oleh BPS juga digunakan simulasi sebesar 20 persen untuk mengukur rumahtangga katagori hampir miskin di Indonesia secara keseluruhan. Parameter kemiskinan dengan pendekatan pengeluaran konsumsi diestimasi dengan menggunakan teknik ekonometri terhadap data Susenas dan Podes. Teknik ini dipilih karena lebih memberikan keleluasaan berkreatifitas untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi risiko terhadap pendapatan ataupun pengeluaran pada masa yang akan datang, dan sekaligus memungkinkan untuk menganalisis magnitut tingkat kerentanan. Penggunaan teknik ini sudah memenuhi persyaratan yaitu tersedianya dua macam data dari cross-section survey yakni Susenas dan Podes Karakteristik Rumahtangga Miskin Dengan diperolehnya indikator penduduk miskin dan estimasi parameternya, dapat dianalisis karakteristik penduduk miskin dan berpotensi untuk menjadi miskin. Disagregasi dimaksudkan untuk mengetahui siapa saja orang miskin, bagaimana karakteristik demografinya; mencakup jenis kelamin kepala keluarga, umur kepala keluarga, pendidikan tertinggi kepala keluarga, 58

24 dependensi rasio, kepemilikan aset produksi; bagaimana sosial ekonominya; termasuk apa pekerjaannya, bagaimana tingkat pendapatannya dan dimana mereka tinggal serta bagaimana kondisi-kondisi lain yang mempengaruhi kemiskinannya seperti akses mereka terhadap pelayanan publik. Untuk itu, dilakukan penghitungan per unit analisis secara statistik dengan cara memilahmilahkan, menghitung rerata, mendisagregasi dan menghitung agregat berdasarkan unit analisis rumahtangga Opsi Kebijakan Mengingat keterbatasan sumberdaya pemerintah ataupun pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya dalam upaya pengurangan kemiskinan, maka alokasi sumberdaya haruslah tepat sasaran dan tepat jenis intervensinya. Untuk lebih mengoptimalkan daya agroekosistem dalam kelangsungan hidup dan kesejahteraan penduduknya, pengetahuan tentang tipologi kemiskinan pada agroekosistem menjadi sangat penting. Upaya-upaya pengurangan kemiskinan dapat lebih fokus dan penanganannya lebih terarah bila tipologi kemiskinan tersebut dapat diketahui. Tepat sasaran program penanggulangan kemiskinan dianalisis berdasarkan agroekosistem sasaran rumahtangga miskin. Analisis ini juga memberikan opsi perbaikan penanggulangan kemiskinan yang pada ada masa lalu. Intervensi pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan yang dilakukan melalui regulasi, kebijakan dan investasi publik yang dapat dibenarkan karena menghasilkan eksternalitas yang lebih besar sebagai akibat aktivitas ekonomi yang oleh sistem pasar tidak diperhitungkan. Tinjauan kebijakan penanggulangan kemiskinan yang selama ini diterapkan diharapkan dapat menjawab seberapa besar kemanfaatan untuk memenuhi tujuan (goals) ataupun nilai-nilai (values) dalam rangka 59

25 penanggulangan kemiskinan. Pertanyaan-pertanyaan yang ingin dijawab antara lain apakah kebijakan tersebut memperbaiki economic opportunities, mengurangi kerentanan penduduk miskin dari sisi ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Berbagai tingkatan dan terminologi digunakan dalam upaya penanggulangan kemiskinan, seperti strategi, kebijakan, kebijakan operasional, program, program aksi, proyek dan sebagainya. Pada telaah pustaka ditemukan bahwa penggunaan istilah tersebut tidak konsisten. Antara suatu instansi atau lembaga dengan instansi atau lembaga lainnya tidak menggunakan terminologi yang sama untuk hal atau aspek yang sama. Evaluasi kebijakan penanggulangan kemiskinan di dalam disertasi ini menggunakan hasil evaluasi dari studi-studi terdahulu Hipotesis Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan kerangka pemikiran, hipotesis disusun sebagai berikut: 1. Insiden, kedalaman dan keparahan kemiskinan di Indonesia berasosiasi kuat dengan faktor lokasi (spasial) berdasarkan ekonomi agroekosistem. 2. Kerentanan terhadap kemiskinan berbeda signifikan antara satu agroekosistem dengan agroekosistem lainnya. 3. Karakteristik kemiskinan dipengaruhi oleh ekonomi agroekosistem. 60

I. PENDAHULUAN. dewasa ini tergolong miskin sebagaimana dilaporkan oleh The World Bank

I. PENDAHULUAN. dewasa ini tergolong miskin sebagaimana dilaporkan oleh The World Bank I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan telah menjadi isu dunia karena seperempat penduduk dunia dewasa ini tergolong miskin sebagaimana dilaporkan oleh The World Bank (2004). Kemiskinan di Indonesia

Lebih terperinci

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN Pada tahap pertama pengolahan data, dilakukan transfer data dari Podes 2003 ke Susenas 2004. Ternyata, dari 14.011 desa pada sample SUSENAS 13.349 diantaranya mempunyai

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN. dan dalam skala besar dengan variabel yang banyak. Data sekunder yang

IV. METODOLOGI PENELITIAN. dan dalam skala besar dengan variabel yang banyak. Data sekunder yang IV. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini ditujukan sebagai riset kebijakan yang bersifat menyeluruh dan dalam skala besar dengan variabel yang banyak. Data sekunder yang digunakan pada penelitian ini dikeluarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Saat ini komitmen global menempatkan masalah kemiskinan sebagai prioritas utama. Begitu pentingnya masalah kemiskinan, sehingga Rencana Kerja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk meningkatkan pengetahuan manusia, kreativitas dan keterampilan serta kemampuan orang-orang dalam masyarakat. Pengembangan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pikir Penelitian Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah ditemukan dimanamana. Fakta kemiskinan baik menyangkut individu maupun masyarakat akan mudah dilihat,

Lebih terperinci

Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia

Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia Kemiskinan sangat identik dengan beberapa variabel berikut ini: Kepemilikan modal Kepemilikan lahan Sumber daya manusia Kekurangan gizi Pendidikan Pelayanan kesehatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan hal itu, hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan hal itu, hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang mencakup berbagai aspek kehidupan baik aspek politik, ekonomi, idiologi, sosial budaya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2017 adalah 514,62 ribu jiwa atau 7,78 persen dari total penduduk.

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2017 adalah 514,62 ribu jiwa atau 7,78 persen dari total penduduk. No. 32/07/14/Th. XVIII, 17 Juli 2017 TINGKAT KEMISKINAN RIAU MARET 2017 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2017 adalah 514,62 ribu jiwa atau 7,78 persen dari total penduduk. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Determinan kemiskinan..., Roy Hendra, FE UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Determinan kemiskinan..., Roy Hendra, FE UI, Universitas Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi. Kemiskinan merupakan persoalan kompleks yang terkait dengan berbagai dimensi yakni sosial,

Lebih terperinci

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN

BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN BAB V VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN 5.1. Visi Terwujudnya Masyarakat Bengkulu Utara yang Mandiri, Maju, dan Bermartabat Visi pembangunan Kabupaten Bengkulu Utara Tahun 2011-2016 tersebut di atas sebagai

Lebih terperinci

Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia

Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia Capaian Pembelajaran Mahasiswa dapat menjelaskan indikator dan faktor-faktor penyebab kemiskinan Mahasiswa mampu menyusun konsep penanggulangan masalah kemiskinan

Lebih terperinci

PERSIAPAN RPJMN TERKAIT PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENINGKATAN PEMERATAAN

PERSIAPAN RPJMN TERKAIT PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENINGKATAN PEMERATAAN PERSIAPAN RPJMN 2015-2019 TERKAIT PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAN PENINGKATAN PEMERATAAN Direktorat Penanggulangan Kemiskinan 29 Januari 2014 TINGKAT KEMISKINAN 2004-2014 45 40 35 30 36.15 35.10 39.30 37.17

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional yang dinilai berhasil pada hakikatnya adalah yang dilakukan oleh dan untuk seluruh rakyat. Dengan demikian, dalam upaya mencapai sasaran-sasaran

Lebih terperinci

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal JURNAL TEKNIK POMITS Vol.,, () ISSN: 7-59 (-97 Print) Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal Yennita Hana Ridwan dan Rulli Pratiwi Setiawan Jurusan

Lebih terperinci

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2016 adalah 515,40 ribu atau 7,98 persen dari total penduduk.

Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2016 adalah 515,40 ribu atau 7,98 persen dari total penduduk. No. 35/07/14 Th. XVII, 18 Juli 2016 TINGKAT KEMISKINAN RIAU MARET 2016 Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Riau pada Maret 2016 adalah 515,40 ribu atau 7,98 persen dari total penduduk. Jumlah penduduk

Lebih terperinci

Gambar Perkembangan Kemiskinan di Indonesia,

Gambar Perkembangan Kemiskinan di Indonesia, Kemiskinan Termasuk bagian penting dari aspek analisis ketenagakerjaan adalah melihat kondisi taraf kehidupan penduduk, yang diyakini merupakan dampak langsung dari dinamika ketenagakerjaan. Kemiskinan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kesenjangan Ekonomi Antar Wilayah Sjafrizal (2008) menyatakan kesenjangan ekonomi antar wilayah merupakan aspek yang umum terjadi dalam kegiatan pembangunan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM ARAH PERUBAHAN PENGUASAAN LAHAN DAN TENAGA KERJA PERTANIAN Oleh : Sri H. Susilowati

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jambi

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jambi BAB III ANALISIS ISU ISU STRATEGIS 3.1 Permasalahan Pembangunan 3.1.1 Permasalahan Kebutuhan Dasar Pemenuhan kebutuhan dasar khususnya pendidikan dan kesehatan masih diharapkan pada permasalahan. Adapun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, termasuk Indonesia. Masalah kemiskinan yang melanda sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, termasuk Indonesia. Masalah kemiskinan yang melanda sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kemiskinan perdesaan telah menjadi isu utama dari sebuah negara berkembang, termasuk Indonesia. Masalah kemiskinan yang melanda sebagian besar masyarakat

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP KEMISKINAN

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP KEMISKINAN VIII. DAMPAK KEBIJAKAN EKONOMI DI SEKTOR AGROINDUSTRI TERHADAP KEMISKINAN Ada dua pendekatan dalam menghitung pendapatan masing-masing individu sebagai dasar menghitung angka kemiskinan. Pertama, berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Bab ini akan memberikan kesimpulan hasil penelitian berdasarkan teori dan temuan studi yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya. Selain itu, juga akan diberikan rekomendasi

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 A. KONDISI KEMISKINAN 1. Asia telah mencapai kemajuan pesat dalam pengurangan kemiskinan dan kelaparan pada dua dekade yang lalu, namun

Lebih terperinci

KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2017

KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2017 No. 47/07/71/Th. XX, 17 Juli 2017 KEMISKINAN DAN KETIMPANGAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2017 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan melalui

Lebih terperinci

sebanyak 158,86 ribu orang atau sebesar 12,67 persen. Pada tahun 2016, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, yaitu se

sebanyak 158,86 ribu orang atau sebesar 12,67 persen. Pada tahun 2016, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, yaitu se BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN MAGELANG No.02/06/33.08/Th.II, 15 Juni 2017 PROFIL KEMISKINAN DI KABUPATEN MAGELANG 2016 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN TAHUN 2016 SEBESAR 12,67 PERSEN Jumlah penduduk miskin

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 02/06/3505/Th.I, 13 Juni 2017 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2016 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2016

Lebih terperinci

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan

6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan BAB - VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN 6.1. Strategi dan Arah Kebijakan Pembangunan Strategi adalah langkah-langkah berisikan program indikatif untuk mewujudkan visi dan misi, yang dirumuskan dengan kriterianya

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN Lampiran I Peraturan Bupati Pekalongan Nomor : 17 Tahun 2015 Tanggal : 29 Mei 2015 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk menghapus atau mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan pendapatan, dan menyediakan lapangan pekerjaan dalam konteks

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu yang berkaitan dengan yang akan diteliti.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu yang berkaitan dengan yang akan diteliti. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akandibahas mengenai teori yang menjadi dasar pokok permasalahan. Teori yang akan dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan, Produk Domestik Regional Bruto

Lebih terperinci

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2015

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2015 No. 05/01/71/Th. X, 04 Januari 2016 KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2015 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan melalui Survei

Lebih terperinci

Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Upaya Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan

Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Upaya Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Upaya Pengembangan Penghidupan Berkelanjutan Studi Kasus 10 Desa/Kelurahan di Kabupaten Pacitan, Bantaeng dan Lombok Utara Outline I. Latar Belakang dan Tujuan II.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan sebagai suatu masalah sosial ekonomi telah merangsang banyak kegiatan penelitian yang dilakukan berbagai pihak seperti para perencana, ilmuwan, dan masyarakat

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Dengan melihat karakteristik Kabupaten Garut bagian selatan dapat dilihat bagaimana sifat ketertinggalan memang melekat pada wilayah ini. Wilayah Garut bagian selatan sesuai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Model Regresi Linier Metode regresi linier merupakan suatu metode yang memodelkan hubungan antara variabel respon dengan variabel prediktor. Tujuannya adalah untuk mengukur

Lebih terperinci

sebanyak 160,5 ribu orang atau sebesar 12,98 persen. Pada tahun 2015, jumlah penduduk miskin mengalami sedikit kenaikan dibanding tahun sebelumnya, ya

sebanyak 160,5 ribu orang atau sebesar 12,98 persen. Pada tahun 2015, jumlah penduduk miskin mengalami sedikit kenaikan dibanding tahun sebelumnya, ya BADAN PUSAT STATISTIK KABUPATEN MAGELANG No.02/11/33.08/Th.I, 08 November 2016 PROFIL KEMISKINAN DI KABUPATEN MAGELANG 2015 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN 2015 MENCAPAI 13,07 PERSEN Jumlah penduduk miskin

Lebih terperinci

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2015

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2015 No. 64/09/71/Th. IX, 15 September 2015 KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2015 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan melalui Survei

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 KAPASITAS ADAPTASI PETANI TANAMAN PANGAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM UNTUK MENDUKUNG KEBERLANJUTAN KETAHANAN PANGAN Oleh : Sumaryanto Sugiarto Muhammad Suryadi PUSAT ANALISIS

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEMALANG NOMOR 23 TAHUN 2008 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PEMALANG, Menimbang : a. bahwa sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang ada dan membentuk pola

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik (BPS, 2009).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik (BPS, 2009). BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Kemiskinan Kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan

Lebih terperinci

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2016

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2016 No. 50/07/71/Th. X, 18 Juli 2016 KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2016 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan melalui Survei Sosial

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN 2.1 Tinjuan Pustaka Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL PENELITIAN

ANALISIS HASIL PENELITIAN 69 VI. ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini membahas hubungan antara realisasi target pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Pertama, dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi,

TINJAUAN PUSTAKA. fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi, 27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemiskinan Masyarakat miskin adalah masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses sumberdaya sumberdaya pembangunan, tidak dapat menikmati fasilitas mendasar seperti

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat.

SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. SEMINAR NASIONAL Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat Rumusan Sementara A. Pendahuluan 1. Dinamika impelementasi konsep pembangunan, belakangan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS A. Permasalahan Pembangunan Dari kondisi umum daerah sebagaimana diuraikan pada Bab II, dapat diidentifikasi permasalahan daerah sebagai berikut : 1. Masih tingginya angka

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu isi deklarasi milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu isi deklarasi milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isi deklarasi milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pembangunan dan kemiskinan (United Nations Millenium Declaration (2000) seperti dikutip dalam Todaro

Lebih terperinci

VI. DAMPAK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERHADAP KINERJA EKONOMI, PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN TINGKAT KEMISKINAN

VI. DAMPAK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERHADAP KINERJA EKONOMI, PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN TINGKAT KEMISKINAN VI. DAMPAK PENINGKATAN PRODUKTIVITAS TERHADAP KINERJA EKONOMI, PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN TINGKAT KEMISKINAN Peningkatan produktivitas yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peningkatan produktivitas

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS)

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) Oleh: A. Rozany Nurmanaf Adimesra Djulin Herman Supriadi Sugiarto Supadi Nur Khoiriyah Agustin Julia Forcina Sinuraya Gelar Satya Budhi PUSAT PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

Paradigma Kesejahteraan

Paradigma Kesejahteraan Kuliah 9 Paradigma Kesejahteraan 5/16/2016 Marlan Hutahaean 1 Pendahuluan Paradigma Pertumbuhan fokus pada pertumbuhan ekonomi yang bersifat agregat. Paradigma Kesejahteraan fokus pada peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN UPAH MINIMUM TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN UPAH MINIMUM TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN UPAH MINIMUM TERHADAP KEMISKINAN DI INDONESIA JURNAL ILMIAH Disusun oleh : Danny Nur Febrianica 115020107111012 JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa

I. PENDAHULUAN. perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan proses multidimensional yang melibatkan perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa dan lembaga nasional

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Lestari (2009) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah

Lebih terperinci

TABEL 6.1 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

TABEL 6.1 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN TABEL 6.1 STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Visi : Terwujudnya pemerintahan yang baik dan bersih menuju maju dan sejahtera Misi I : Mewujudkan tata kelola pemerintahan yang profesional, transparan, akuntabel

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

Kemiskinan di Indonesa

Kemiskinan di Indonesa Kemiskinan di Indonesa Kondisi Kemiskinan Selalu menjadi momok bagi perekonomian dunia, termasuk Indonesia Dulu hampir semua penduduk Indonesia hidup miskin (share poverty), sedangkan sekarang kemiskinan

Lebih terperinci

BAPPEDA Planning for a better Babel

BAPPEDA Planning for a better Babel DISAMPAIKAN PADA RAPAT PENYUSUNAN RANCANGAN AWAL RKPD PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG TAHUN 2018 PANGKALPINANG, 19 JANUARI 2017 BAPPEDA RKPD 2008 RKPD 2009 RKPD 2010 RKPD 2011 RKPD 2012 RKPD 2013 RKPD

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. tidak terpisahkan serta memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan desa merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, dengan demikian pembangunan desa mempunyai peranan yang penting dan bagian yang tidak terpisahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya setiap negara di dunia memiliki tujuan utama yaitu meningkatkan taraf hidup atau mensejahterakan seluruh rakyat melalui pembangunan ekonomi. Dengan kata

Lebih terperinci

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA

5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA 86 5. PROFIL KINERJA FISKAL, PEREKONOMIAN, DAN KEMISKINAN SEKTORAL DAERAH DI INDONESIA Profil kinerja fiskal, perekonomian, dan kemiskinan sektoral daerah pada bagian ini dianalisis secara deskriptif berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut I. PENDAHULUAN 1.I. Latar Belakang Salah satu output yang diharapkan dalam pembangunan nasional adalah membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut Menteri Kesehatan (2000), SDM

Lebih terperinci

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT

LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT LAHAN PERTANIAN, TENAGA KERJA DAN SUMBER PENDAPATAN DI BEBERAPA PEDESAAN JAWA BARAT Oleh: Memed Gunawan dan Ikin Sadikin Abstrak Belakangan ini struktur perekonomian masyarakat pedesaan Jawa Barat telah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Timur merupakan daerah sentra pangan di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa pada tahun 2012 Provinsi Jawa Timur menghasilkan produksi

Lebih terperinci

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro

Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA. Nindyantoro Pembangunan Daerah Berbasis Pengelolaan SDA Nindyantoro Permasalahan sumberdaya di daerah Jawa Barat Rawan Longsor BANDUNG, 24-01-2008 2008 : (PR).- Dalam tahun 2005 terjadi 47 kali musibah tanah longsor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di banyak negara, fenomena kesenjangan perkembangan antara wilayah selalu ada sehingga ada wilayah-wilayah yang sudah maju dan berkembang dan ada wilayah-wilayah yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS Pada bab sebelumnya telah diuraikan gambaran umum Kabupaten Kebumen sebagai hasil pembangunan jangka menengah 5 (lima) tahun periode yang lalu. Dari kondisi yang telah

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR No. 01/11/Th.I, 21 November 2016 PROFIL KEMISKINAN KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015 RINGKASAN Persentase penduduk miskin (P0) di Kabupaten Blitar pada tahun 2015

Lebih terperinci

P E N D A H U L U A N

P E N D A H U L U A N P E N D A H U L U A N Latar Belakang Krisis di Indonesia berlangsung panjang, karena Indonesia memiliki faktor internal yang kurang menguntungkan. Faktor internal tersebut berupa konflik kebangsaan, disintegrasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pengelolaan usahatani di Indonesia umumnya dilakukan secara turun temurun oleh keluarga di daerah pedesaan. Kita sering beranggapan bahwa pendapatan keluarga di pedesaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu dipenuhi dalam mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya

I. PENDAHULUAN. Indonesia telah mencapai 240 juta jiwa (BPS, 2011). Hal ini merupakan sumber daya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris dan maritim memiliki sumber kekayaan alam yang berlimpah dan memiliki jumlah penduduk nomor empat di dunia. Saat ini penduduk Indonesia

Lebih terperinci

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2016

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2016 No. 89/01/71/Th. XI, 03 Januari 2017 KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2016 Angka-angka kemiskinan yang disajikan dalam Berita Resmi Statistik ini merupakan angka yang dihasilkan melalui Survei

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KERAGAAN 22 KABUPATEN TERTINGGAL. Kajian mengenai karakteristik kondisi masing-masing wilayah diperlukan

BAB IV ANALISIS KERAGAAN 22 KABUPATEN TERTINGGAL. Kajian mengenai karakteristik kondisi masing-masing wilayah diperlukan BAB IV ANALISIS KERAGAAN 22 KABUPATEN TERTINGGAL 4.1. Karakteristik Daerah/Wilayah Kajian mengenai karakteristik kondisi masing-masing wilayah diperlukan untuk mengetahui program pembangunan yang tepat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

5. DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA

5. DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA 5. DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA 5.1 Determinan Ketahanan Pangan Regional Analisis data panel dilakukan untuk mengetahui determinan ketahanan pangan regional di 38 kabupaten/kota

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketahanan pangan menjadi salah satu isu permasalahan penting pada skala global, apalagi jika dihubungkan dengan isu perubahan iklim yang secara langsung mengancam pola

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. produksi hanya diterima petani setiap musim sedangkan pengeluaran harus

I. PENDAHULUAN. produksi hanya diterima petani setiap musim sedangkan pengeluaran harus I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Keterbatasan modal merupakan permasalahan yang paling umum terjadi dalam usaha, terutama bagi usaha kecil seperti usahatani. Ciri khas dari kehidupan petani adalah perbedaan

Lebih terperinci

xvii Damage, Loss and Preliminary Needs Assessment Ringkasan Eksekutif

xvii Damage, Loss and Preliminary Needs Assessment Ringkasan Eksekutif xvii Ringkasan Eksekutif Pada tanggal 30 September 2009, gempa yang berkekuatan 7.6 mengguncang Propinsi Sumatera Barat. Kerusakan yang terjadi akibat gempa ini tersebar di 13 dari 19 kabupaten/kota dan

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2017 No.38/07/15/Th.XI, 17 Juli 2017 PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAMBI MARET 2017 PERSENTASE PENDUDUK MISKIN MARET 2017 MENCAPAI 8,19 PERSEN Jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan situasi serba kekurangan yang terjadi bukan dikehendaki oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DATA SEKUNDER DAN KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA PROPINSI SUMATERA BARAT

BAB IV ANALISA DATA SEKUNDER DAN KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA PROPINSI SUMATERA BARAT BAB IV ANALISA DATA SEKUNDER DAN KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA PROPINSI SUMATERA BARAT Analisa deskriptif digunakan untuk memberikan gambaran tentang keadaan pendidikan di Sumatera Barat. 4.1. Karakteristik

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN

PERKEMBANGAN PENCAPAIAN BAGIAN 2. PERKEMBANGAN PENCAPAIAN 25 TUJUAN 1: TUJUAN 2: TUJUAN 3: TUJUAN 4: TUJUAN 5: TUJUAN 6: TUJUAN 7: Menanggulagi Kemiskinan dan Kelaparan Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua Mendorong Kesetaraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada. peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan

I. PENDAHULUAN. Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada. peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sasaran pembangunan pertanian tidak saja dititik-beratkan pada peningkatan produksi, namun juga mengarah pada peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan

Lebih terperinci