III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS"

Transkripsi

1 III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Saat ini komitmen global menempatkan masalah kemiskinan sebagai prioritas utama. Begitu pentingnya masalah kemiskinan, sehingga Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahun 2009 mengambil tema Peningkatan Kesejahteraan dan Penanggulangan Kemiskinan. Implikasinya adalah bahwa hampir semua kebijakan pembangunan diarahkan untuk penanggulangan kemiskinan. Puluhan program dan trilyunan rupiah dana yang digulirkan setiap tahunnya selama 20 tahun terakhir, pada kenyataannya belum mampu memberikan hasil yang optimal untuk menurunkan jumlah penduduk miskin secara permanen, bersifat fluktuatif dan memiliki kerentanan baik dalam tataran mikro, meso, dan makro. Kemiskinan merupakan masalah yang multikompleks, dinamis, dan berkaitan dengan ruang, waktu serta tempat dimana kemiskinan itu dilihat dari berbagai sudut pandang. Oleh karena itu, untuk memahami permasalahan kemiskinan yang multikompleks dan multidimensi harus didekati secara komprehensif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu multidisiplin pula. Upaya penanggulangan kemiskinan tidak bisa dilakukan secara universal, karena fenomena dan permasalahan kemiskinan berbeda pada suatu negara dengan negara lain begitupula antara wilayah dengan wilayah lain dalam suatu negara. Berangkat dari penjelasan di atas dan mengacu pada kajian pustaka terdahulu serta beberapa penelitian empiris, maka upaya penanggulangan kemiskinan melalui intervensi kebijakan tidak bisa dilakukan dari satu arah atau bukan hanya dalam pemenuhan kebutuhan makanan saja. Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, intervensi kebijakan seyogyanya dilakukan dengan menggunakan pendekatan dua arah, baik dari eksternal maupun internal. Di satu sisi, kebijakan dari luar bukan hanya menyentuh aspek ekonomi, akan tetapi perlu dilakukan secara komprehensif yang mempertimbangkan aspek-aspek eksternal dan aspek non ekonomi yang berpengaruh. Di sisi lain, upaya penanggulangan kemiskinan harus mempertimbangkan karakteristik rumah tangga dan individu, sehingga intervensi kebijakan dapat mengentaskan kemiskinan secara optimal dan permanen. 66

2 Seseorang dapat dikatakan hidup layak, bukan hanya dilihat dari pemenuhan kebutuhan makan saja, tetapi perlu dilakukan pemenuhan kebutuhan dasar bukan makanan, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, pakaian, dan pelayanan publik lainnya yang memadai seperti jalan, listrik, dan air bersih. Hal ini sejalan dengan BPS (1999) yang membedakan garis kemiskinan pada dua komponen utama, yaitu garis kemiskinan makanan dan bukan makanan. Karakteristik rumah tangga dan individu menjadi penting untuk dipahami secara baik dan mendalam dalam konteks penanggulangan kemiskinan. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan membagi karakteristik rumah tangga menjadi empat kelompok, yaitu modal manusia (human capital), modal fisik produktif (physical productive capital), status pekerjaan, dan karakteristik wilayah (Ikhsan, 1999). Sedangkan Harniati (2007), membagi aspek-aspek yang memengaruhi kemiskinan dalam perspektif mikro (rumah tangga) menjadi tiga kelompok, yaitu (a) modal manusia (human capital) yang meliputi profil umum kepala rumah tangga, variabel kondisi kesehatan rumah tangga, dan variabel kondisi ekonomi rumah tangga, (b) variabel modal fisik yang dimiliki rumah tangga miskin, serta (c) variabel tempat tinggal. Dalam disertasi ini, aspek-aspek tersebut di atas dijadikan sebagai acuan, namun dalam perspektif mikro karakateristik rumah tangga dijadikan sebagai variabel untuk mengukur kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan. Karaktersitik rumah tangga dibagi menjadi enam komponen utama, (i) profil umum rumah tangga yang meliputi jenis kelamin kepala rumah tangga, umur kepala rumah tangga, jumlah tanggungan, dan jumlah anggota keluarga yang bekerja; (ii) variabel modal manusia yang meliputi tingkat pendidikan kepala rumah tangga, rata-rata lama sekolah anggota rumah tangga, dan kemampuan baca tulis kepala rumah tangga, kesehatan kepala rumah tangga dan jaminan kesehatan rumah tangga; (iii) varibel aksesibilitas rumah tangga ke pelayanan publik yang meliputi pelayanan pemerintahan, akses ke lembaga keuangan formal, akses terhadap listrik, dan akses terhadap sarana telekomunikasi; (iv) variabel ekonomi yang meliputi kepemilikan lahan atau nilai aset yang dimiliki kepala rumah tangga; dan (v) variabel partisipasi dalam proses pembangunan; serta (vi) 67

3 variabel wilayah yang meliputi tempat tinggal pada wilayah pesisir, dataran rendah dan pegunungan. Keenam komponen karakteristik rumah tangga tersebut di atas merupakan komponen utama dan penciri penting dalam kemiskinan. Daya tahan rumah tangga terhadap kemiskinan sangat dipengaruhi oleh keenam komponen. Keberagaman penciri rumah tangga berimplikasi pada intervensi kebijakan penanggulangan kemiskinan yang akan dibuat. Kepala rumah tangga dengan jenis kelamin pria berbeda intervensinya dengan kepala rumah tangga yang berjenis kelamin perempuan. Demikian halnya dengan jumlah tanggungan rumah tangga berpengaruh terhadap kemampuan pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga berupa kebutuhan makanan dan bukan makanan seperti pendidikan dan kesehatan, sehingga intervensinya juga berbeda. Pendidikan diyakini menjadi salah satu faktor yang memiliki kekuatan pendorong (driving force) transformasi sosial sebagai daya gebrak memutus tali rantai kemiskinan (Departemen Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia 2008; Sjafii dan Hidayati 2009; dan Goetz 2007). Indikator yang sering digunakan untuk mengukur tingkat pendidikan yaitu jumlah tahun bersekolah anggota keluarga, pendidikan kepala keluarga, angka melek huruf, dan angka partisipasi sekolah (APS). Pendidikan menjadi driving force, artinya semakin tinggi pendidikan keluarga tersebut maka akan semakin tinggi kemungkinan keluarga tersebut bekerja di sektor formal dengan pendapatan yang lebih tinggi (Ikhsan 1999, Usman et al. 2005, Smeru 2008, TKPK 2006). Pendidikan dan kesehatan memiliki keterkaitan sangat erat dengan pembangunan ekonomi. Di satu sisi modal kesehatan yang lebih baik dapat meningkatkan pengembalian investasi yang dicurahkan untuk pendidikan, karena kesehatan merupakan faktor penting agar seseorang bisa hadir di sekolah dalam proses pembelajaran formal seorang anak. Harapan hidup yang lebih panjang dapat meningkatkan pengembalian atas investasi dalam pendidikan; sementara kesehatan yang lebih baik akan menyebabkan rendahnya tingkat depresiasi modal pendidikan. Di sisi lain, modal pendidikan yang lebih baik dapat meningkatkan pengembalian atas investasi dalam kesehatan. 68

4 Tingkat pendidikan dan derajat kesehatan yang tinggi mampu mendorong masyarakat untuk bekerja lebih efektif dan dengan demikian dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, perbaikan akses masyarakat (si miskin) ke pelayanan publik seperti pendidikan dan kesehatan perlu ditingkatkan. Peningkatan akses perlu dilakukan secara merata dan dibarengi dengan peningkatan mutu layanan pendidikan dan kesehatan, terutama pada wilayah perbatasan dan terpencil. Peningkatan akses ke pelayanan publik bisa dilakukan melalui penyediaan infrastruktur yang baik dan memadai. Bank Dunia (2002) menjelaskan bahwa infrastruktur yang baik akan memudahkan masyarakat untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Selain itu, memudahkan investor untuk melakukan investasi di daerah yang bersangkutan. Indikator pembangunan infrastruktur yang penting adalah irigasi, akses listrik, dan kondisi jalan utama transportasi, serta sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan. Dengan meningkatnya infrastruktur secara otomatis dapat meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap pelayanan publik terutama dalam akses ke pelayanan pendidikan, kesehatan, dan aktivitas ekonomi serta pelayanan administrasi pemerintahan, yang pada akhirnya dapat mereduksi kemiskinan. Dengan meningkatnya aktivitas ekonomi dan sosial kemasyarakatan memberi peluang bagi penduduk untuk meraih peluang-peluang sosial ekonomi yang dapat meningkatkan pendapatannya. Di samping itu, dengan meningkatnya aktivitas sosial kemasyarakatan dapat meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Pada kondisi demikian, maka akan tercipta modal sosial yang kuat di tengah-tengah masyarakat yang dicirikan oleh adanya interaksi, aturan-aturan atau norma, dan terjadinya kepercayaan diantara masyarakat (Dharmawan 2002; Rustiadi et al. 2009). Pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan, seperti dalam perencanaan pembangunan merupakan hak yang dimiliki oleh masyarakat untuk dapat terlibat secara demokratis dalam menentukan pelbagai hal menyangkut kehidupannya (Kartasasmita 1996; dan Nurcholis et al. 2008). Pelibatan penduduk miskin dalam proses pembangunan memberi dampak bukan hanya pada 69

5 penguatan kapasitas masyarakat miskin, akan tetapi juga memberi peluang untuk dapat mengakses aktivitas ekonomi produktif yang pada akhirnya dapat meningkatkan pendapatannya. Di lain pihak, dengan pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas pengelolaan pembangunan karena masyarakat mempunyai rasa memiliki terhadap program dan kegiatan yang telah direncanakan. Akhirnya, pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan dapat dilakukan dengan tepat sasaran, tepat waktu dan tepat guna. Pada tingkat wilayah ada beberapa karakteristik yang mungkin berkaitan dengan kemiskinan. Hubungan karakteristik dengan kemiskinan tersebut sesuai dengan kondisi wilayah tersebut. Wilayah perkotaan dengan karakteristik umumnya bekerja di sektor informal, berbeda karakteristik kemiskinannya di perdesaan yang umumnya bekerja pada sektor pertanian. Demikian halnya, pada wilayah pesisir berbeda karakteristiknya pada wilayah dataran rendah dan pegunungan. Namun demikian, secara umum wilayah yang memiliki ciri-ciri seperti terpencil secara geografis, sumberdaya alam yang terbatas, rawan bencana, rawan konflik, infrastruktur yang terbatas seperti jalan, irigasi, listrik, bangunan sekolah, tingkat kemiskinannya akan tinggi. Di sisi lain, perspektif makro juga menjadi determinan atau faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan. Variabel makro dalam disertasi ini meliputi pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah daerah yang terdiri dari belanja publik dan belanja langsung yang diperuntukkan bagi rumah tangga miskin. Belanja publik dalam hal ini meliputi belanja di bidang pendidikan, kesehatan, bidang pertanian, dan infrastruktur. Di samping itu, variabel makro lainnya yang dianggap berpengaruh terhadap kemiskinan yaitu inflasi yang dalam disertasi ini adalah GDP_deflator, PDRB per kapita, pendapatan asli daerah (PAD), kontribusi sektor terhadap PDRB yang meliputi sektor pertanian dan industri, desentralisasi fiskal serta krisis moneter. Dalam konteks makro ekonomi, ukuran kesejahteraan masyarakat dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah dan tingkat pendapatan per kapita masyarakat. Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah atau biasa disetarakan dengan produk domestik regional bruto (PDRB) maka dapat 70

6 disimpulkan bahwa semakin tinggi kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut (Mankiw 2007; dan Dornbush et al. 1987). Namun, pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak menjamin meningkatnya kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh. Masyarakat golongan bawah (miskin) kurang mempunyai akses terhadap faktor produksi (tenaga kerja, modal, tanah, dan enterpreneur). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diyakini dapat menurunkan insiden kemiskinan ketika dibarengi dengan perbaikan distribusi pendapatan secara adil. Dalam kegiatan ekonomi faktor produksi disinergikan untuk menciptakan nilai tambah (value added), yang agregasinya merupakan produk domestik bruto. Nilai tambah merupakan balas jasa faktor produksi (tenaga kerja mendapatkan upah, modal mendapatkan dividen, tanah mendapatkan sewa, dan enterpreneur mendapatkan keuntungan). Dari perekonomian yang berlangsung, dua hal yang mungkin. Pertama, kesenjangan pendapatan semakin tinggi, dikarenakan sebagian kecil masyarakat menguasai faktor produksi dan sisanya, penduduk miskin, tidak, sehingga mereka tetap miskin. Kedua, andaikata penguasa faktor produksi adalah investor asing, maka akan mengurangi kue ekonomi domestik, dimana nilai tambah value added lebih banyak kembali kepada pemilik modal (Heru 2006). Pertumbuhan ekonomi secara kausalitas berkorelasi dengan peningkatan PDRB dan PDRB per kapita, serta peningkatan investasi. Pertumbuhan ekonomi mendorong pertumbuhan pendapatan secara agregat, oleh karena itu pertumbuhan ekonomi harus dibarengi dengan distribusi pendapatan yang berkeadilan. Peningkatan tingkat pendapatan golongan miskin akan mendorong kenaikan permintaan produk kebutuhan rumah tangga buatan lokal, seperti makanan dan pakaian. Meningkatkan permintaan akan barang-barang buatan lokal memberikan rangsangan yang lebih besar kepada produksi lokal, memperbesar kesempatan kerja lokal, dan menumbuhkan investasi lokal, serta mendorong pertumbuhan PDRB dan PDRB per kapita (Todaro dan Smith 2006; 2009). PDRB sebagai salah satu ukuran kesejahteraan yang telah disepakati oleh para ahli ekonomi dan praktisi, dari sisi demand salah satu pendukungnya adalah Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD). Meningkatnya APBD dan APBN berdampak pada peningkatan kualitas pelayanan publik dan pengurangan 71

7 kemiskinan. Dalam teori ekonomi pembangunan diketahui bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah (APBN dan APBD) mempunyai hubungan timbal balik yang positip (Mankiw 2007 dan Dornbusch et al. 1987). Belanja pemerintah (government expenditure) diyakini pula memiliki peranan penting yang dapat mendorong percepatan penanggulangan kemiskinan dan menjadi hajat hidup orang banyak. Anggaran yang berpihak bagi kaum papa (pro poor budgeting) merupakan bentuk tindakan afirmatif yang didukung oleh kebijakan pro kaum miskin yang diarahkan untuk membiayai belanja penyediaan sarana dan prasarana pelayanan publik. Melalui belanja yang berpihak kepada kaum miskin, seperti belanja bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan belanja yang secara langsung diarahkan untuk menanggulangi kemiskinan (Smeru 2001; Tambunan 2006; Hardojo et al. 2008). Beberapa temuan empiris menunjukkan bahwa peningkatan satu satuan belanja negara atau daerah dapat menurunkan jumlah rumah tangga miskin sebesar 0,3 persen (Jung et al. 2006). Sejalan dengan diimplementasikannya otonomi daerah yang disertai dengan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah menerima dana perimbangan yang sangat besar terutama setelah tahun Besarnya dana perimbangan yang diterima oleh pemerintah daerah diyakini oleh beberapa ekonom dapat mereduksi kemiskinan, karena fenomena atau permasalahan yang dihadapi masyarakat miskin dapat diselesaikan dengan baik dan tepat oleh pemerintah daerah. Di sisi lain, belanja pemerintah daerah di samping mendorong pertumbuhan ekonomi juga dapat meningkatkan investasi yang secara langsung dapat meningkatkan pembukaan lapangan kerja. Dengan demikian, belanja pemerintah akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan dapat mereduksi kemiskinan, ketika belanja tersebut diarahkan untuk penyediaan infrastruktur dan penyediaan pelayanan publik yang berpihak bagi kaum miskin. Sebelum krisis ekonomi melanda dunia pada tahun 1997/1998, model pembangunan Indonesia diakui berhasil menurunkan angka kemiskinan secara bermakna. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan oleh BPS, dalam kurun waktu jumlah penduduk miskin di Indonesia menurun dari 54,2 juta jiwa atau sekitar 40 persen dari total penduduk 72

8 menjadi 22,5 juta jiwa atau sekitar 11 persen. Namun setelah krisis ekonomi terjadi lonjakan yang sangat besar dalam jumlah penduduk miskin, baik secara nasional maupun secara lokal di Kabupaten Barru. Pengaruh krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997/1998, merupakan guncangan (shock) yang sangat besar pengaruhnya terhadap peningkatan insiden kemiskinan. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan harga yang berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat. Penurunan daya beli tidak saja terjadi terhadap kebutuhan pokok berupa makanan tetapi juga ke berbagai kebutuhan lain seperti pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Kenaikan harga bahan pokok mendorong menanjaknya inflasi yang bukan hanya berdampak pada rendahnya daya beli masyarakat, akan tetapi juga berpengaruh pada menurunnya upah riil buruh utamanya upah gaji tetap (fixed income earner). Secara bersamaan dampak krisis ekonomi menyebabkan kontraksi pertumbuhan ekonomi yang sangat tajam dan bahkan mengarah kepada terjadinya stagflasi dimana pertumbuhan ekonomi menjadi minus, disisi lain terjadi lonjakan inflasi yang sangat besar. Oleh karena itu, dalam disertasi ini kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan merupakan hal yang esensial untuk dipahami secara mendalam agar kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan baik sejalan dengan perubahan-perubahan eksternal lainnya. Kebijakan penanggulangan kemiskinan yang bersifat top-down dan universal, seringkali tidak mampu mengurangi jumlah insiden kemiskinan dan yang terjadi justru sebaliknya. Kerangka pemikiran konseptual analisis kerentanan dan determinan kemiskinan berdasarkan karakteristik wilayah di Kabupaten Barru dapat diringkaskan pada Gambar 7 berikut. 73

9 Gambar 7. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian 74

10 3.2. Hipotesis Dari beberapa penjelasan teoritis dan hasil studi yang dipaparkan di atas serta beberapa pengalaman empiris, maka hipotesis dalam penelitian dibangun berdasarkan dengan tujuan penelitian, yaitu kedalam dua kelompok yang meliputi aspek mikro dan wilayah serta aspek makro sebagai berikut : 1. Hipotesis terkait aspek mikro dan wilayah, meliputi : a. Rumah tangga dengan kepala rumah tangga perempuan memiliki kerentanan atau peluang yang lebih besar untuk menjadi miskin dibandingkan dengan rumah tangga dengan kepala rumah tangganya laki-laki b. Semakin besar jumlah tanggungan rumah tangga berpengaruh secara nyata terhadap kerentanan atau peluang rumah tangga untuk menjadi miskin. Besarnya jumlah tanggungan berasosiasi dengan besarnya biaya hidup baik untuk konsumsi makanan maupun untuk konsumsi non makanan. c. Tingkat pendidikan dan kesehatan kepala rumah tangga, serta akses ke pelayanan pendidikan dan kesehatan berpengaruh secara nyata terhadap kerentanan atau peluang rumah tangga untuk menjadi miskin. d. Rumah tangga yang memiliki akses ke lembaga keuangan formal dan sumberdaya listrik (PLN) memiliki kerentanan atau peluang untuk menjadi miskin yang lebih kecil dibanding tumah tangga yang tidak memiliki akses. e. Penduduk yang memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan memiliki kerentanan atau peluang yang kecil untuk menjadi miskin, karena memiliki peluang untuk mempromosikan kesejahteraan mereka melalui informasi peluang ekonomi dan terlibat dalam pengambilan keputusan yang terkait dengan lapangan pekerjaan yang dapat meningkatkan pendapatan mereka. f. Rumah tangga yang mempunyai nilai asset produktif yang tinggi memiliki kerentanan yang kecil terhadap kemiskinan. Rumah tangga yang memiliki asset produktif tinggi memiliki peluang untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar dibanding rumah tangga yang memiliki asset produktif yang rendah. g. Kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan berbeda secara nyata berdasarkan karakteristik wilayah, dimana rumah tangga yang berdomisili 75

11 pada wilayah pegunungan lebih kecil kerentanannya dibanding dengan wilayah pesisir dan dataran rendah. 2. Hipotesis terkait aspek makro, meliputi : a. Pertumbuhan ekonomi atau PRDB perkapita berpengaruh secara nyata terhadap penurunan jumlah penduduk miskin. b. Peningkatan belanja pembangunan daerah yang diarahkan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan pertanian dan belanja langsung bagi masyarakat miskin berpengaruh negatif terhadap kemiskinan. c. Peningkatan kontribusi sektor pertanian dan sektor industri berpengaruh negatif terhadap kemiskinan, namun besar pengaruhnya berbeda. d. Kebijakan desentralisasi fiskal yang dibarengi dengan dana perimbangan sebagai penerimaan daerah memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk merumuskan alokasi anggaran sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal berdampak pada penurunan jumlah penduduk miskin. e. Peningkatan penerimaan daerah (PAD) yang diperoleh dari penarikan retribusi dan pajak daerah tanpa memerhatikan kemampuan dan skala usaha masyarakat berdampak positif pada peningkatan jumlah penduduk miskin. f. Krisis moneter bukan hanya berpengaruh terhadap peningkatan inflasi akan tetapi juga berpengaruh pada penurunan pertumbuhan ekonomi yang berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat dan berpengaruh positif terhadap peningkatan jumlah penduduk miskin. 76

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang ada dan membentuk pola

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada hakekatnya merupakan suatu proses kemajuan dan perbaikan yang secara terus menerus menuju pada pencapaian tujuan yang diinginkan. Secara umum tujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah pembangunan ekonomi bukanlah persoalan baru dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi merupakan bagian dari pembangunan nasional yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengentasan kemiskinan (poverty allevation) telah menjadi komitmen dan kesepakatan bagi semua pihak. Secara global kesepakatan merujuk pada Tujuantujuan Pembangunan Millenium

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001, maka setiap daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam

BAB I PENDAHULUAN. 2001, maka setiap daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pada konteks ekonomi makro, tolak ukur keberhasilan perekonomian suatu daerah antara lain adalah Pendapatan daerah, tingkat kesempatan kerja dan tingkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui

I. PENDAHULUAN. ekonomi yang terjadi. Bagi daerah indikator ini penting untuk mengetahui I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju pertumbuhan yang dibentuk dari berbagai macam sektor ekonomi yang secara tidak langsung menggambarkan pertumbuhan ekonomi yang terjadi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak, inflasi juga naik dan pertumbuhan ekonomi melambat. Kemiskinan yang terjadi dalam suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.23 Tahun 2014 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isi pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya menyatakan bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini tidak terlepas

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Otonomi daerah yang berarti bahwa daerah memiliki hak penuh dalam mengurus rumah tangganya sendiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi merupakan perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah sehingga akan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan. dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 merupakan dampak lemahnya fundamental perekonomian Indonesia. Pada satu sisi Indonesia terlalu cepat melakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak sekedar memenuhi kebutuhan hayati saja, namun juga menyangkut kebutuhan lainnya seperti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Iklim investasi yang baik akan mendorong terjadinya pertumbuhan ekonomi melalui produktivitas yang tinggi, dan mendatangkan lebih banyak input ke dalam proses produksi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk miskin, kepada tingkatan yang lebih baik dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. penduduk miskin, kepada tingkatan yang lebih baik dari waktu ke waktu. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan dasar dan paling essensial dari pembangunan tidak lain adalah mengangkat kehidupan manusia yang berada pada lapisan paling bawah atau penduduk miskin, kepada

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kondisi perekonomian Kota Ambon sepanjang Tahun 2012, turut dipengaruhi oleh kondisi perekenomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melahirkan berbagai masalah di daerah. Hasil dari sumber daya alam yang

BAB I PENDAHULUAN. melahirkan berbagai masalah di daerah. Hasil dari sumber daya alam yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintahan sentralistis yang dijalankan sebelum masa reformasi telah melahirkan berbagai masalah di daerah. Hasil dari sumber daya alam yang berlimpah di daerah banyak

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS

BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS BAB IV ANALISIS ISU-ISU STRATEGIS IIV.1 Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Ngawi saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi lima tahun ke depan perlu mendapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk

I. PENDAHULUAN. Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana cita-cita kita bangsa Indonesia dalam bernegara yaitu untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka pelaksanaan pembangunan menjadi hal yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN BAB I 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi sangat terkait erat dengan pembangunan sosial masyarakatnya. Pada awalnya pembangunan ekonomi lebih diprioritaskan pada pertumbuhannya saja, sedangkan

Lebih terperinci

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA Abstrak yang berkualitas adalah pertumbuhan yang menciptakan pemerataan pendapatan,pengentasan kemiskinan dan membuka kesempatan kerja yang luas. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia yang dimulai dari tahun 2001 merupakan sebuah gebrakan (big bang) dari semula pemerintahan yang bersifat sentralistis menjadi

Lebih terperinci

1. Seluruh Komponen Pelaku Pembangunan dalam rangka Penyelenggaraan Tugas Umum Pemerintahan Penyelenggaraan Tugas Pembangunan Daerah

1. Seluruh Komponen Pelaku Pembangunan dalam rangka Penyelenggaraan Tugas Umum Pemerintahan Penyelenggaraan Tugas Pembangunan Daerah PAPARAN MUSYAWARAH RENCANA PEMBANGUNAN RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KOTA BEKASI TAHUN 2014 Bekasi, 18 Maret 2013 BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KOTA BEKASI PENDAHULUAN RENCANA KERJA PEMERINTAH

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA

ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA ANALISIS KEBERADAAN TRADEOFF INFLASI DAN PENGANGGURAN (KURVA PHILLIPS) DI INDONESIA Abstract Inflasi dan pengangguran adalah masalah pelik yang selalu dihadapi oleh Negara Indonesia terkait belum berkualitasnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembahasan mengenai kesejahteraan merupakan suatu pembahasan yang mempunyai cakupan atau ruang lingkup yang luas. Pembahasan mengenai kesejahteraan berkaitan erat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu yang berkaitan dengan yang akan diteliti.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu yang berkaitan dengan yang akan diteliti. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akandibahas mengenai teori yang menjadi dasar pokok permasalahan. Teori yang akan dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan, Produk Domestik Regional Bruto

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam sistem otonomi daerah, terdapat 3 (tiga) prinsip yang dijelaskan UU No.32 Tahun 2004 yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah dalam pembangunan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan

I. PENDAHULUAN. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan oleh setiap daerah adalah bertujuan untuk merubah keadaan kearah yang lebih baik, dengan sasaran akhir terciptanya kesejahreraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan fenomena umum yang terjadi pada banyak negara di dunia dan menjadi masalah sosial yang bersifat global. Hampir semua negara berkembang memiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya.

I. PENDAHULUAN. dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu maka pelaksanaan otonomi daerah. pendapatan dan pembiayaan kebutuhan pembangunan di daerahnya. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah sebagai bagian tak terpisahkan dari pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan kapasitas pemerintahan daerah agar tercipta suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk

BAB I PENDAHULUAN. Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cita-cita bangsa Indonesia dalam konstitusi negara adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Cita-cita mulia tersebut dapat diwujudkan melalui pelaksanaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,61 persen.

BAB I PENDAHULUAN. periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,61 persen. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perekonomian Indonesia pada tahun 2014 yang diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp 10 542,7 triliun dan PDB perkapita

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH BESERTA KERANGKA PENDANAAN 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1 Kondisi Ekonomi Daerah Tahun 2011 dan Perkiraan Tahun 2012 Kerangka Ekonomi Daerah dan Pembiayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut adalah masalah pengangguran (Sukirno,1985). Menurut Nanga

BAB I PENDAHULUAN. tersebut adalah masalah pengangguran (Sukirno,1985). Menurut Nanga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan penduduk yang semakin cepat dan dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan beberapa masalah baru dan salah satu masalah tersebut adalah masalah pengangguran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah ekonomi dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi yag pesat merupakan feneomena penting yang dialami dunia hanya semenjak dua abad

Lebih terperinci

Profil Pekerjaan yang Layak INDONESIA

Profil Pekerjaan yang Layak INDONESIA Profil Pekerjaan yang Layak INDONESIA Ringkasan Selama 15 tahun terakhir, Indonesia mengalami perubahan sosial dan politik luar biasa yang telah membentuk latar belakang bagi pekerjaan layak di negeri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teoritis 1. Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995 : 16), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang

I. PENDAHULUAN. Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dasar pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dimulai sejak Undang-Undang dasar 1945 yang mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas provinsi-provinsi

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH. karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun dapat BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH Kondisi perekonomian Kabupaten Lamandau Tahun 2012 berikut karakteristiknya serta proyeksi perekonomian tahun 2013-2014 dapat digambarkan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN UMUM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (KU-APBD) TAHUN ANGGARAN 2016

KEBIJAKAN UMUM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (KU-APBD) TAHUN ANGGARAN 2016 KEBIJAKAN UMUM ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (KU-APBD) TAHUN ANGGARAN 2016 PEMERINTAH KABUPATEN SAROLANGUN TAHUN 2015 DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi... i Daftar Tabel... iii Nota Kesepakatan...

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam

PENDAHULUAN. perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam 1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya merupakan proses multidimensial yang meliputi perubahan struktur sosial, sikap hidup masyarakat, dan perubahan dalam kelembagaan (institusi)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah

I. PENDAHULUAN. Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah dibutuhkannya investasi. Investasi merupakan salah satu pendorong untuk mendapatkan pendapatan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian dari pembangunan nasional yang akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat ekonomi berkelanjutan. Seluruh negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika

BAB I PENDAHULUAN. yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada saat ini dunia diperhadapkan pada masalah krisis ekonomi global yang dimulai dengan bangkrutnya lembaga-lembaga keuangan di Amerika sehingga akan berdampak buruk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas

I. PENDAHULUAN. itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta. yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk maju dan berkembang atas 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi adalah meningkatnya produksi total suatu daerah. Selain itu pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan pendapatan perkapita serta meningkatnya kesejahteraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkembang dengan jalan capital investment dan human investment bertujuan

I. PENDAHULUAN. berkembang dengan jalan capital investment dan human investment bertujuan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah proses merubah struktur ekonomi yang belum berkembang dengan jalan capital investment dan human investment bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teori 1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (sehingga dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan sesuai prioritas dan kebutuhan masing-masing daerah dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi Indonesia sangat tergantung pada pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan daerah dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan sesuai prioritas dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pikir Penelitian Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah ditemukan dimanamana. Fakta kemiskinan baik menyangkut individu maupun masyarakat akan mudah dilihat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dikelompokkan kedalam kegiatan memproduksi barang dan jasa. Unit-unit

BAB I PENDAHULUAN. dikelompokkan kedalam kegiatan memproduksi barang dan jasa. Unit-unit BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional. Untuk meningkatkan pembangunan nasional, maka harus didukung dengan pembangunan daerah yang dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang telah merasakan dampak diberlakukannya kebijakan otonomi daerah. Sistem otonomi daerah menyebabkan pemerintah daerah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejak dirubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang pada awalnya menganut sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi atau dikenal dengan sebutan otonomi daerah

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengatur masuk dan keluarnya perusahaan dari sebuah indutri, standar mutu

BAB I PENDAHULUAN. mengatur masuk dan keluarnya perusahaan dari sebuah indutri, standar mutu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu Negara, pemerintah mempunyai berbagai kekuasaan untuk mengatur masuk dan keluarnya perusahaan dari sebuah indutri, standar mutu produk, menetapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makro ekonomi. Tinggi rendah angka pembangunan dilihat dari trend

BAB I PENDAHULUAN. makro ekonomi. Tinggi rendah angka pembangunan dilihat dari trend BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan nasional adalah tolak ukur kesejahteraan dan kemakmuran rakyat suatu Negara. Semakin besar tingkat pembangunan suatu Negara mengindikasikan Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan dan kesehatan. Dari sudut pandang politik, ini terlihat bagaimana. kesehatan yang memadai untuk seluruh masyarakat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan salah satu masalah utama yang dialami oleh hampir atau keseluruhan negara di dunia. Indonesia, salah satu dari sekian negara di dunia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kependudukan dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan yang sangat erat, jumlah penduduk menentukan efisiensi perekonomian dan kualitas dari tenaga kerja itu

Lebih terperinci

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang

BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN. Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang BAB IV. KERANGKA PEMIKIRAN Bab ini merupakan rangkuman dari studi literatur dan kerangka teori yang digunakan pada penelitian ini. Hal yang dibahas pada bab ini adalah: (1) keterkaitan penerimaan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum angka inflasi yang menggambarkan kecenderungan umum tentang perkembangan harga dan perubahan nilai dapat dipakai sebagai informasi dasar dalam pengambilan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan

BAB I PENDAHULUAN. dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi merupakan cerminan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah suatu proses kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan adanya pertambahan penduduk disertai dengan perubahan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pokok penelitian. Teori yang dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pokok penelitian. Teori yang dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan, BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar pokok penelitian. Teori yang dibahas dalam bab ini meliputi definisi kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran,

Lebih terperinci

3. KERANGKA PEMIKIRAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN 3. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka pemikiran Penelitian Pemerintah pusat memberikan wewenang yang besar kepada pemerintah daerah untuk mengelola pemerintahannya sendiri dalam wadah negara kesatuan Republik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia sedang berada di tengah masa transformasi dalam hubungan antara pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif.

BAB I PENDAHULUAN. mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengelolaan pemerintah daerah, baik tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) No. 22 Tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dengan meningkatkan pemerataan dan keadilan. Dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan ekonomi daerah adalah salah satu indikator untuk mengevaluasi perkembangan/kemajuan pembangunan ekonomi di suatu daerah pada periode tertentu (Nuni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan

BAB I PENDAHULUAN. sejalan dengan dikeluarkannya Undang-undang No 22 Tahun 1999 dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan tantangan tersendiri bagi setiap daerah baik provinsi maupun kota dan kabupaten untuk menunjukkan kemandiriannya. Hal ini sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan nasional dapat dikatakan berhasil apabila

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Pembangunan nasional dapat dikatakan berhasil apabila BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesejahteraan masyarakat Indonesia merupakan suatu cita-cita dari pembangunan nasional. Pembangunan nasional dapat dikatakan berhasil apabila dapat menyelesaikan masalah-masalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur tahun 2013 tidak terlepas dari arah kebijakan ekonomi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan

I. PENDAHULUAN. perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang melibatkan berbagai perubahan-perubahan mendasar dalam struktur sosial, tingkah laku sosial, dan institusi sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah dinyatakan secara tegas bahwa pembangunan ekonomi merupakan salah satu bagian penting daripada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keuangan Daerah dan APBD Menurut Mamesah (1995), keuangan daerah dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi 4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1994). Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. 1994). Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan yang meluas merupakan tantangan terbesar dalam upaya Pembangunan (UN, International Conference on Population and Development, 1994). Proses pembangunan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS. peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Pengertian Pendapatan Asli Daerah Menurut Darise ( 2007 : 43 ), Pendapatan Asli Daerah ( PAD ) adalah pendapatan yang diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. internasional dikenal adanya tujuan posisi manusia sebagai central dalam

BAB I PENDAHULUAN. internasional dikenal adanya tujuan posisi manusia sebagai central dalam BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah objek utama dalam perabadan dunia. Dalam skala internasional dikenal adanya tujuan posisi manusia sebagai central dalam pembangunan dan peradaban,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang 18 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah di Indonesia yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Derah dan Undang-Undang Nomor 33 tentang Perimbangan Keuangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola

I. PENDAHULUAN. dalam mengelola potensi sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintahan daerah dalam mengelola potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pemerintah pusat sehingga dengan demikian pembangunan daerah diupayakan sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perubahan peraturan sektor publik yang disertai dengan adanya tuntutan demokratisasi menjadi suatu fenomena global termasuk di Indonesia. Tuntutan demokratisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota,

BAB I PENDAHULUAN. provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak pulau dan banyak provinsi. Dalam provinsi itu dikembangkan kembali dalam kabupaten kota, kecamatan, kelurahan dan dibagi

Lebih terperinci