6. PEMBAHASAN UMUM 6.1 Kondisi Vegetasi Habitat Komunitas Burung di Lokasi Penelitian

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "6. PEMBAHASAN UMUM 6.1 Kondisi Vegetasi Habitat Komunitas Burung di Lokasi Penelitian"

Transkripsi

1 6. PEMBAHASAN UMUM 6.1 Kondisi Vegetasi Habitat Komunitas Burung di Lokasi Penelitian Kondisi vegetasi di tiga tipe habitat yang sedang mengalami suksesi tampak menunjukkan perbedaan terutama pada kerapatan spesies tumbuhan semak (Table 2, Gambar 16, Lampiran 18-24, 27-29). Semakin tinggi usianya suksesi semakin rendah kerapatan tumbuhan semak, tetapi memiliki indeks keanekaan spesies tumbuhan lebih tinggi. Tingginya nilai indeks tersebut lebih didukung oleh semakin meningkatnya jumlah spesies (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa beberapa spesies tumbuhan semak tertutama yang berdaun lebar berkurang jumlah individunya karena ternaungi oleh jenis tumbuhan lain, sedangkan disisi lain muncul spesies yang tidah ditemukan atau jarang di temukan di tipe vegetasi sebelumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Begon et al (1996), dan Smith (1990) bahwa keanekaan spesies akan meningkat sesuai dengan perkembangan suksesi, namun kelimpahan individu dari spesies-spesiesnya mengalami penurunan. Keanekaan spesies dan kerapatan tumbuhan di habitat dapat mempengaruhi spesies burung yang menggunakannya (Tabel 2 & 4). Pada habitat yang sedang mengalami suksesi tahap semak, sumberdaya yang tersedia sangat menunjang kehidupan burung semak karena banyak terdapat tempat berlindung, bersarang, makan dan tenggeran (Tabel 3, Lampiran 31-33). Terjadi pertambahan usia suksesi habitat tidak selalu diikuti oleh peningkatan keanekaan spesies dan kerapatan tumbuhan semak, terutama pada habitat yang vegetasinya homogen seperti kebun teh (Tabel 2). Keadaan tersebut berdampak pada ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan oleh burung penghuninya, sehingga tampak dengan berkurangnya jumlah dan keanekaan spesies burung di habitat suksesi yang lebih tinggi usianya (Gambar 19, Lampiran 13-17). Hal ini karena ketersediaan sumberdaya untuk burung kurang sesuai dengan kebutuhannya terutama tumbuhan pakan tempat istirahat maupun berlindung. Walaupun tersedia sumberdaya ranting-ranting dan buah kebanyakan dari tumbuhan yang tidak dimanfaat oleh burung seperti tumbuhan teh kurang pada tipe vegetasi KT 10. Hal ini terbukti selama pengamatan tidak ada satu spesies burungpun yang 119

2 menggunakan buah teh sebagai pakannya. Selain itu, vegetasi semak yang rapat di KT 5 lebih nyaman digunakan burung semak seperti Perenjak sayap-garis (Prinia familiaris), Tepus pipi-perak (Stachyris melanothorax), Tepus gelagah (Timalia pileata) menjadikan sebagai habitat tempat sarang (Tabel 3, Gambar 16, Lampiran 27-29). Burung Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) dan Merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) membuat sarang di tumbuhan teh di KT 5, sementara di beberapa tempat diluar lokasi penelitian sulit ditemukan sarangnya walaupun tersedia pohon yang tinggi.. Hal ini terbukti 15 sarang burung Merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) dan 2 sarang burung Cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster) ditemukan di KT 5 (5-10 m jarak dari pinggiran petak) yang berbatasan dengan kebun teh produktif, sedangkan di KT 10 cenderung sarang yang ditemukan dari spesies Bondol jawa (Lonchura leucogastroides). Tempat bersarang di vegetasi hutan sekunder tersedia banyak, selain untuk burung semak juga burung elang (Tabel 3). Pada strata 4 ditemukan sarang burung Elang brontok (Spizaetus cirrhatus) dan Jalak tunggir-merah (Scissirostrum dubium). Keberadaan KT 5, KT 10 dan hutan sekunder sangat penting untuk menunjang kelangsungan hidup komunitas burung termasuk burung pemakan buah karena menyediakan tempat perlindungan dan tempat bertengger (Tabel 3). Berdasarkan diagram profil (Gambar 17) menunjukkan bahwa di hutan sekunder sangat menunjang terhadap kehadiran burung pengguna pohon diantaranya kelompok predator. Pohon-pohon tersebut digunakan untuk bertengger sambil mengintai mangsa di daerah terbuka. Oleh karena itu ketiga tipe vegetasi tersebut menyediakan tempat mencari makan untuk kelompok burung predator seperti Elang jawa (Spizaetus bartelsi), Elang brontok (Spizaetus cirrhatus), Elang hitam (Ictinaetus malayensis), Elang ular bido (Spilornis cheela) dan Alap-alap kawah (Falco peregrinus). Hal ini karena di ke-3 tipe vegetasi tersebut tersedia mangsa yang berlimpah berupa burung dan spesies hewan lainnya. Hampir setiap hari KT 5 dan KT 10 didatangi oleh burung elang. Kondisi yang relatif terbuka dan jarang terdapat tumbuhan yang menjulang tinggi memudahkan burung predator mengintai mangsanya. Kegiatan burung elang dalam mencari mangsanya dimulai dengan terbang berputar putar di sekitar hutan 120

3 primer, kemudian bergeser ke hutan sekunder dan ke kebun teh baik KT 10 maupun KT 5. Di KT 10 dan KT 5, burung elang tidak bertengger melainkan selalu terbang berkeliling dan sesekali menyambar mangsanya di vegetasi semak termasuk di pohon teh. Berbeda dengan Alap-alap kawah (Falco peregrinus) yang sering bertengger di pohon Kayu afrika (Maesopsis eminii) dan Kaliandra (Caliandra haetomacephala) karena badannya lebih kecil dibanding elang. Selain itu, burung alap-alap sering terbang melayang diantara pohon teh, sehingga kadang-kadang terjaring jala kabut pada saat burung memburu mangsanya yang menabrak jaring. Banyaknya tumbuhan semak yang buahnya dapat dijadikan makanan burung di ke 3 tipe vegetasi menyebabkan tingginya kekayaan spesies burung yang menjadikan tempat tersebut sebagai tempat mencari makan, serta beberapa bagian dari tumbuhan dapat dimakan oleh burung diantara buah, nektar dan madu bunga (Lampiran 31-33). Menurut Sody (1989) beberapa tumbuhan semak yang buahnya dijadikan makanan burung adalah Arben (Rubus chrysophyllus), Bungbrum (Poligonum chinensis), Harendong beureum (Melastoma affine), Harendong bulu (Clidemia hirta), Kipapatong (Sambucus javanicus), Saliara (Lantana camara), dan Sauheun (Panicum palmifolium). Selain itu tumbuhan dijadikan pakan burung adalah Cecerenean (Breynia microphylla), Harendong nagri (Leucosyke capitellata), Kayu afrika (Maesopsis eminii) (Lampiran 9, 31-33). Ketersediaan beberapa tumbuhan yang memiliki bunga dan buah menyebabkan tumbuhan tersebut sering dikunjungi burung nektarivora seperti familia Dicaeidae dan Nectarinidae. Selain itu banyak jenis serangga pada tumbuhan tersebut mengakibatkan banyak kehadiran burung-burung insektivora seperti familia Apodidae, Campephagidae, Chloropseidae, Cuculidae, Dicaeidae, Lanidae, Muscicapidae, Pycnonotidae, Sylviidae, Timalidae dan Zosteropidae (Lampiran 12-13). Kehadiran burung yang tinggi juga menyebabkan meningkatnya gangguan pada habitatnya. Hal ini karena penduduk selain mencari rumput dan kayu bakar (Lampiran 28), juga berburu berbagai spesies binatang termasuk berburu burung yang dilakukan oleh penduduk setempat maupun penduduk luar daerah Ciater hampir setiap hari. Hal ini karena daerah tersebut memiliki banyak spesies burung yang sangat potensial untuk diperdagangkan seperti burung Anis merah (Zoothera 121

4 citrina), Jalak tunggir-merah (Scissirostrum dubium), burung Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus), Ayam hutan merah (Gallus gallus) dan familia Columbidae (Lampiran 12-13). Penangkapan burung sering dilakukan dengan jerat atau jaring. Pemasangan jerat dilakukan di setiap tipe vegetasi, sedangkan pemasangan jaring dilakukan di hutan sekunder, namun burung digiring dari tipe vegetasi KT 5 dan KT 10. Gangguan pada ketiga lokasi penelitian dari manusia selain sebagai tempat berburu binatang, akibat kebijakan pemerintah yang menaikan harga minyak tanah, sehingga banyak penduduk sekitar lokasi penelitian yang beralih mencari kayu bakar untuk kebutuhan hidupnya. Hampir setiap hari tipe vegetasi terutama di KT 10 sering dijadikan tempat mencari kayu bakar (Tabel 3, Lampiran 28). Setiap hari berkisar antara orang pencari kayu bakar mengambil berbagai tumbuhan dan orang mengambil rumput untuk sapi dan domba di lokasi KT 10 dan hutan sekunder, baik mengambil ranting tumbuhan maupun menebang batangnya. Selain itu, beberapa penduduk sering menggunakan daerah KT 10 sebagai tempat mencari benalu teh dan tanaman obat lainnya seperti tumbuhan Sulibra (Cinchona sucirubra) serta tumbuhan pakis untuk media tanaman anggrek. 6.2 Komunitas Burung Pemakan Buah Komposisi burung pemakan buah pada tiga tipe vegetasi tampak menunjukkan peningkatan sesuai dengan tingkat usia suksesi (Gambar 19). Namum secara secara umum jumlah spesies pada KT 10 lebih rendah dibanding dua lokasi yang lainnya. Perubahan ini terjadi karena pada KT 10, tumbuhan semak dibagian petak-petak kebun teh semakin berkurang (Tabel 3, Gambar 16, Lampiran 21 & 28), sehingga jumlah spesies burung pemakan serangga menurun. Akan tetapi terjadi peningkatan jumlah spesies burung pemakan buah lebih dikarenakan kehadiran pohon-pohon tinggi di KT 10 (Gambar 17) yang dapat digunakan oleh burung pengguna tajuk pohon seperti Ptilinopus, Macropygia dan Megalaima (Lampiran 32). Selain itu, perubahan komposisi burung karena beberapa spesies burung ada yang lebih menyukai daerah terbuka dengan lapisan semak yang rapat, tetapi 122

5 sebagian lagi lebih cenderung menggunakan tegakan tumbuhan yang lebih tinggi. Perubahan suksesi vegetasi berdampak pula pada jumlah spesies burung berdasarkan guild (Tabel 3). Kelompok burung semak guild insektivora cenderung menurun sedangkan guild frugivora meningkat (Lampiran 12 &13). Hal ini karena pada beberapa burung insektivora terutama yang sangat sensitif kehadiran pengganggu sangat dibutuhkan ketersediaan lapisan semak yang lebih rapat untuk mencari makan maupun berlindung. Peningkatan komunitas burung pemakan buah di habitat suksesi tidak terlepas juga pada sebaran dari tumbuhan buah pakannya. Beberapa spesies tumbuhan yang buahnya berpotensi sebagai makanan burung tidak selalu terdapat di berbagai lokasi (Lampiran 31-33). Habitat yang lebih lengkap menyediakan berbagai spesies tumbuhan buah maka mendorong meningkatnya jumlah spesies burung pemakan buah yang menempatinya. Hal ini tampak pada hutan sekunder yang selain banyak ditumbuhi oleh tumbuhan semak juga terdapat pohon yang buahnya dapat dimakan burung (Lampiran 33). Selain itu, burung pemakan buah pengguna tajuk pohon hadir di hutan sekunder karena habitat tersebut menyediakan tempat untuk bertenggeran dan aktivitas lain dari burung tersebut 6.3. Karakteristik Morfologi Burung Pemakan Buah Pengelompokan burung semak berdasarkan guild oleh beberapa peneliti cenderung dilakukan berdasarkan tujuan dari penelitiannya. Kagetori tersebut sebagian hanya didasarkan pada parameter morfologi eksternal atau sistem pencernaan saja. Setelah dilakukan uji kedua parameter tersebut ditemukan bahwa nisbah panjang paruh dan panjang kepala (Tabel 5) tidak menunjukkan nilai yang mencolok antara burung frugivora, granivora dan insektivora, kecuali pada burung nektarivora. Hal ini karena burung nektarivora membutuhkan bentuk paruh yang lebih panjang untuk mendukung cara pengambilan makanan berupa nektar dan madu yang yang jauh berada di dalam bunga. Beberapa spesies dinyatakan sebagai pemakan buah dan kemungkinan diduga membantu penyebarkan biji tumbuhan yang dimakannya karena karena kadang-kadang dijumpai melakukan aktivitas makan buah baik yang berdaging maupun buah kering (Tabel 6). Burung tersebut belum dapat dipastikan sebagai 123

6 frugivora karena proporsi individu yang memakan buah lebih sedikit, selain itu buah yang dimakan belum tentu bijinya dapat keluar utuh bersama feses. Hal ini disebabkan cara penanganan buah baik secara eksternal di paruh maupun di saluran pencernaan sangat menentukan keselamatan biji dapat keluar utuh bersama feses. Pada burung familia Ploceidae (Lonchura dan Erythrura) berpeluang biji utuh dikeluarkan bersama fesesnya sangat kecil (Tabel 7), hal ini karena proses penanganan makanan oleh paruh yang tebal dan kokoh (Lampiran 25) serta ventrikulus yang berotot tebal, hanya biji yang mempunyai exocarp tebal yang dapat selamat. Kelompok burung tersebut dikategorikan sebagai predator buah (Herrera 1984b). Walaupun beberapa spesies familia Ploceidae diketahui memakan buah di hutan subtropik di Hongkong, namun nasib biji dari buah yang dimakan sangat jarang yang utuh (Corlett 1998a, 1998b) Ukuran bukaan paruh sangat berperan dalam proses menelan buah oleh burung frugivora. Spesies burung yang banyak ditemukan memakan buah dan biji utuh banyak terdapat fesesnya ternyata memiliki bentuk paruh yang tidak tebal serta nisbah tinggi dan lebar bukaan paruh 0,9 atau cenderung bulat (Tabel 6-8). Sehingga hanya familia Dicaeidae, Pycnonotidae dan Zosteropidae yang termasuk dalam kelompok frugivora. Ketiga familia tersebut mempunyai panjang saluran yang relatif pendek sehingga memiliki waktu retensi yang singkat (Tabel 9). Burung Pycnonotidae yang mempunyai panjang sistem pencernaan cm memiliki waktu retensi lebih singkat dibanding Sylviidae yang berat tubuhnya jauh lebih ringan (Jordano 1986; Fukui 1995). Selain itu, biji untuk pada feses burung pemakan buah karena memiliki ventrikulus yang relatif lebih tipis dibanding burung granivora. 6.4 Ketersediaan Buah Pakan Burung Ketersediaan buah pakan sangat dipengaruh oleh perkembangan bunga dan buah. Dari ke 7 spesies tumbuhan semak yang buahnya digunakan sebagai pakan burung menunjukkan perbedaan yang antara perkembangan bunga dan buah (Tabel 10, Lampiran 26). Hal ini terjadi baik pada spesies yang sama maupun pada spesies yang berbeda. Kelimpahan buah pakan pada tiap tipe vegetasi berbeda lebih dikarenakan kelimpahan dan ketersediaan tumbuhan buah 124

7 yang dewasa. Karakteristik buah pakan burung pada kondisi matang cenderung lembek, berair, dan warna oranye-hitam. Secara umum diameter buah proporsional dengan bukaan paruh, sedangkan jumlah biji dalam buah tidak terkait langsung dengan besar diameter buah (Gambar 23). Akan tetapi, diameter buah berkorelasi kuat dengan berat basah buah. Karakteristik buah berpengaruh terhadap perilaku makan burung yang mengkonsumsinya. Burung frugivora memakan buah tidak hanya karena tersedia melimpah tetapi juga dipengaruhi oleh ukuran, bentuk, warna dan kandungan nutrisi. Walaupun ketersediaan sedikit di alam akan tetapi sangat disukai burung maka buah mempunyai nilai indeks prerefensi yang tinggi (Tabel 13). Hal ini tampak pada buah Arben (Rubus chrysophyllus) yang memiliki warna oranye dan kandungan karbohidrat tinggi. 6.5 Perilaku Makan Penggunaan buah pakan oleh burung frugivora juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan tempat tumbuhan tersebut. Pada lokasi yang lebih terbuka aktivitas makan buah lebih singkat dibanding yang lebih tersembunyi. Secara umum perilaku makan diawali dengan mendatangi tumbuhan pakan, kemudian mengamati keberadaan buah kemudian mendekati, memetik dan menelan. Perilaku mencari makan dan memetik buah pada burung frugivora secara umum berjalan kemudian berhenti untuk mengamati dan mengambil buah, akan tetapi pada burung Pycnonotus aurigaster dan Pycnonotus goiavier sambil berjalan atau menggelantung dan memilih buah matang. Laju pengambilan buah sangat tergantung pada ukuran buah, semakin kecil dan mudah ditangani, semakin semakin singkat waktu penanganannya. Selain itu laju makannya lebih tinggi di tempat makan yang lebih terbuka karena untuk menghindari gangguan dari predator. Jumlah kunjungan dan laju makan burung Pycnonotus aurigaster dan Pycnonotus goiavier tampak tidak berbeda nyata, tetapi lama waktu kunjungan dan lama aktivitas makan menunjukkan berbeda. Waktu kunjungan Pycnonotus goiavier lebih singkat berkisar antara 47,0-130,2 detik dibanding burung Pycnonotus aurigaster 67,0-130,5 detik. Demikian pula dengan lamanya waktu 125

8 aktivitas makan. Akan tetapi, tampak lama waktu makan tidak diikuti oleh laju makan yang lebih tinggi, bahkan sebaliknya. Dengan demikian menunjukkan bahwa burung Pycnonotus goiavier lebih efisien yaitu alokasi waktu yang lebih sedikit untuk makan tetapi laju makan yang tinggi sehingga kemungkinan dapat menyebarkan biji buah lebih banyak. Hal ini karena semakin singkat waktu kunjungan dengan laju makan yang lebih tinggi diharapkan dapat membawa biji jauh dari tumbuhan induk lebih banyak (Wheelwright 1991). Penyebaran biji tumbuhan buah oleh burung selain dipengaruhi komposisi buah yang dimakan, jumlah buah buah yang dimakan, jumlah biji yang terkandung dalam tiap buah serta jarak terbang setelah makan. Jarak terbang setalah makan burung Pycnonotus aurigaster tampak lebih jauh dibanding Pycnonotus goiavier. Penyebaran biji Harendong beureum (Melastoma affine) paling jauh disebar oleh burung Pycnonotus aurigaster. Ini menunjukkan bahwa sebaran tumbuhan tersebut jauh dari induknya sangat dibantu oleh burung Interaksi Komunitas Burung Pemakan Buah dengan Tumbuhan Buah Hubungan Besar Bukaan Paruh dengan Ukuran Buah Pakan Hubungan besar bukaan paruh burung pemakan buah dengan buah pakannya dapat dinyatakan dengan koefisien diterminan (R 2 ). Besaran nilai koefisien diterminan menunjukkan tingkat keeratan hubungan tersebut. Hubungan yang sangat kuat ditunjukkan antara besar bukaan paruh burung pemakan buah dengan diameter buah maksimum yang dimakan burung di lokasi Panaruban (Gambar 25). Semakin besar bukaan paruh semakin besar diameter maksimum buah yang dapat dimakan (R 2 = 0,96) dengan persamaan Y = 0,4421x 2,8014. Faktor lain sebesar 4,00 % yang berperan dalam menentukan buah tersebut pilihan oleh burung untuk dimakan dan buahnya dapat ditelan secara keseluruhan adalah karakteristik buah seperti warna buah, mengandung banyak air, daging buah lembek, ukuran biji yang kecil, kulit tidak keras serta kandungan nutrisi dalam buah. 126

9 8 7 Diameter buah (mm) Bukaan paruh (mm) Gambar 25. Kisaran besar bukaan paruh dengann diameter buah pakan dari spesies frugivora, ukuran diameter buah maksimum (lingkaran hitam) dan minimum (lingkaran kosong) Ukuran diameter minimum buah yang dimakan burung tidak terkait erat dengan besar bukaan paruh (R 2 = 0,0065) dengan persamaan y = 0,0477x + 2,3178. Hal tersebut berarti burung yang mempunyai bukaan paruh lebih besar tidak selalu memilih buah yang berukuran besar pula. Akan tetapi burung yang mempunyai bukaan paruh lebih besar mempunyai kisaran diameter makanan buah yang lebih lebar. Leighton & Leighton (1983) menyatakann bahwa semakin besar bukaan paruh burung maka semakin luas pula kisaran ukuran buah yang dapat di telan secara keseluruhan oleh burung pemakan buah. Oleh karena itu burung yang semakin besar bukaan paruhnya, semakin beragam spesiess buah yang ditelannya (Herrera 1985). Ukuran buah yang dimakan oleh burung pemakan buah yang tertangkap di lokasi Panaruban, menujukkan kecenderungan yang sama dengan penelitian Sorensen di Spanyol selatan dan di daerah Guadalquivir Marismas Mediterrania (Wiens 1992). Jordano (1986) menemukan hal senada bahwa besar bukaan paruh burung berkorelasi yang sangat kuat dengan ukuran buah yang dimakannya (r= 0,886) Komposisi Biji pada Feses Burung Pemakan Buah Komposisi jumlah biji dan jenis bijii tumbuhan dalam feses burung pemakan buah menunjukkan bervariasi pada setiap spesies burung yang 127

10 memakannya (Tabel 20). Burung Cabai bunga-api (Dicaeum trigonostigma) hanya dijumpai 2 spesies tumbuhan pakan dengan komposisi tertinggi biji Harendong bulu (Clidemia hirta). Tabel 20. Rata-rata jumlah biji spesies tumbuhan yang terdapat pada feses burung No Spesies burung N/n Arb Br Cr Hbr Hbl Kpt Sl 1 D. trigonostigma 5/5 0,00 2,40 0,00 0,00 70,20 0,00 0,00 ±2,65 ±26,83 2 Pycnonotus aurigaster 14/12 1,00 4,67 0,83 76,08 40,42 1,50 1,82 ±1,83 ±2,74 ±0,46 ±64,08 ±16,42 ±2,07 ±2,05 3 Pycnonotus bimaculatus 9/7 1,89 ±2,63 0,00 6,29 ±8,98 24,57 ±26,87 0,00 1,43 ±2,08 1,86 ±1,26 4 Pycnonotus goiavier 34/28 0,82 0,71 1,75 189,75 28,89 7,57 2,21 ±2,16 ±1,00 ±1,61 ±331,74 ±67,26 ±9,92 ±5,18 5 Zosterops palpebrosus 128/107 2,43 0,00 3,18 27,65 7,17 0,95 0,19 ±2,63 ±3,72 ±114,31 ±84,17 ±1,87 ±1,23 Arb: Arben (Rubus chrysophyllus), Br: Bungbrum (Poligonum chinensis), Cr: Cecerenean (Breynia microphylla), Hbr: Harendong beureum (Melastoma affine), Hbl: Harendong bulu (Clidemia hirta ), Kpt: Kipapatong (Sambucus javanicus), Sl: Saliara (Lantana camara), N: jumlah sampel burung ditangkap, n: jumlah sampel feses yang ditemukan biji pada burung yang ditangkap Dari Tabel 20 terlihat bahwa dengan dijumpai banyak biji pada feses burung mengindikasi ada interaksi antara burung dengan tumbuhan buah sebagai pakannya. Burung mendapatkan keuntungan dengan tersediaan makanan berlimpah disekitarnya tempat hidupnya, sementara tumbuhan mendapatkan keuntungan pula dengan bijinya dapat disebar. Keberhasilan beberapa spesies tumbuhan semak tersebar luas sehingga memiliki kelimpahan dan indeks nilai penting yang tinggi, diduga sebagai hasil kontribusi burung pemakan buah. Jumlah biji pada feses burung tidak selalu karena banyaknya buah yang dimakan oleh burung tersebut. Hal ini karena beberapa spesies tumbuhan semak dapat memiliki jumlah biji yang sangat banyak tiap buahnya seperti Harendong bulu (Clidemia hirta) dan Harendong beureum (Melastoma affine) (Tabel 12). Buah dari familia Melastomataceae memiliki rata-rata kandungan biji/buah 100 butir (Gerlach 1993; Binggeli et al. 1997; Pizo & Morellato 2002). Perbedaan kelimpahan biji pada feses di setiap spesies burung dipengaruhi oleh ketersediaan pakan di habitat burung tersebut (Tabel 11). Spesies burung Dicaeum trigonostigma banyak ditemukan di lokasi semak bawah hutan sekunder. Pada tempat tersebut buah Clidemia hirta tersedia melimpah. Sedangkan 128

11 Melastoma affine banyak ditemukan di lokasi kebun teh KT 5 dan KT 10 dengan buah matang berlimpah. Buah tumbuhan tersebut tampak menjadi pakan burung pemakan buah. Hal tersebut terbukti dengan ditemukannya biji Melastoma affine dan Clidemia hirta pada spesies burung Dicaeum trigonostigma, Pycnonotus goiavier, Pycnonotus bimaculatus, Pycnonotus aurigaster dan Zosterops palpebrosus dalam jumlah yang banyak. Oleh karena itu burung dapat membantu tumbuhan semak menginvasi lahan terbuka di beberapa hutan di daerah tropik (Binggeli et al. 1997). Poligonum chinensis ditemukan melimpah pada feses Pycnonotus aurigaster (Tabel 20). Hal ini dikarenakan buah tumbuhan tersebut memiliki warna yang menarik, buah banyak mengandung air, ukuran buah proporsional dengan bukaan paruh serta berlimpah di semua tipe vegetasi (Tabel 12). Demikian pula, biji Kipapatong (Sambucus javanicus) dan Saliara (Lantana camara) dijumpai dalam feses burung Pycnonotus dan Zosterops (Tabel 20). Tumbuhan tersebut berpotensi disebar bijinya oleh burung karena mengandung nutrisi tinggi seperti lemak dan protein (Tabel 12, 14). Buah Lantana camara banyak dimakan burung mengakibatkan penyebaran tumbuhan tersebut ke beberapa daerah yang jauh dari tumbuhan induknya (Gosper 2004). Dari feses yang dikeluarkan oleh setiap burung pemakan buah yang tertangkap jaring, beberapa diantaranya mengandung biji utuh, bahkan masih terbungkus kulit buah. Semua feses burung Cabai bunga-api (Dicaeum trigonostigma) mengandung biji utuh (Tabel 21). Tabel 21. Persentase feses mengandung biji pada burung No Familia Spesies burung Feses berbiji (%) 1 Dicaeidae Dicaeum trigonostigma 100,00 2 Ploceidae Erythrura hyperythra 20,00 3 Ploceidae Lonchura leucogastroides 6,25 4 Ploceidae Lonchura punctulata 20,00 5 Pycnonotidae Pycnonotus aurigaster 85,71 6 Pycnonotidae Pycnonotus bimaculatus 77,78 7 Pycnonotidae Pycnonotus goiavier 82,35 8 Sylviidae Stachyris melanothorax 47,73 9 Zosteropidae Zosterops palpebrosus 83,59 129

12 Tinggi rendahnya frekuensi biji di dalam feses burung yang tertangkap dipengaruhi perilaku pemilihan jenis makanan oleh burung. Kelimpahan buah yang tinggi di habitatnya, tipe buah, tingkat kematangan, warna buah, serta ukuran buah dapat mempengaruhi kehadiran biji buah tersebut dalam feses burung pemakan buah. Selain itu, perbedaan frekuensi biji dalam feses burung pemakan buah disebabkan sistem pencernaannya. Burung-burung yang tertangkap diluar waktu makan, atau pagi hari sebelum makan cenderung memiliki sedikit biji bahkan tidak dijumpai biji dalam fesesnya. Hal ini karena proses pencernaan burung pemakan buah memiliki waktu retensi singkat (Fukui 1995). Menurut Jordano (2000) waktu untuk memuntahkan biji oleh burung pemakan buah sangat cepat, rata-rata 5-20 menit, sementara waktu untuk defekasi biji jauh lebih lama dengan interval waktu antara menit. Hal ini karena feses harus melalui proses pencernaan yang dilakukan di dalam ventrikulus kemudian biji dilewatkan melalui usus halus menuju kloaka. Tabel 22. Persentase penyebaran biji spesies tumbuhan yang terdapat pada feses burung No Nama spesies burung Arb Br Cr Hbr Hbl Kpt Sl 1 Dicaeum 0,00 60,00 0,00 0,00 100,00 0,00 0,00 trigonostigma 2 Pycnonotus aurigaster 33,33 91,67 66,67 33,33 16,67 41, Pycnonotus 44,44 0,00 44,44 33,33 0,00 33,33 44,44 bimaculatus 4 Pycnonotus goiavier 35,71 17,86 57,14 46,43 14,29 72,43 53,57 5 Zosterops palpebrosus 0,29 0,00 3,18 27,64 7,17 0,95 0,19 Arb: Arben (Rubus chrysophyllus), Br: Bungbrum (Poligonum chinensis), Cr: Cecerenean (Breynia microphylla), Hbr: Harendong beureum (Melastoma affine), Hbl: Harendong bulu (Clidemia hirta), Kpt: Kipapatong (Sambucus javanicus), Sl: Saliara (Lantana camara Dari Tabel 22, menunjukkan bahwa frekuensi biji tumbuhan Harendong bulu (Clidemia hirta) paling tinggi pada burung Cabai bunga-api (Dicaeum trigonostigma) dibanding pada spesies burung yang lainnya. Adanya perbedaan frekuensi biji dalam feses burung pemakan buah disebakan ketersediaan pakan di lokasi, berat biji, serta preferensi burung dalam pemilihan pakan (Tabel 14-16). Kombinasi jenis biji dalam feses burung penyebar biji, bukan merupakan hasil suatu proses acak pola pemilihan makan (diet) dari buah yang tersedia, tetapi lebih 130

13 mengindikasikan kehadiran pola-pola pemilihan yang konsisten (Herrera 1984a, 1985, 2002; Jordano 1992) Daya Kecambah Kemampuan perkecambahan biji dari tumbuhan yang dimakan burung tidak menunjukkan perbedaan nyata antara pada media tanam kapas dan pasir (χ 2 =8,55; df=6). Akan tetapi rata-rata daya kecambah biji pada perlakuan buah dikupas (22,86-31,43%) atau melewati saluran pencernaan burung pemakan buah (31,43-45,71%) cenderung lebih tinggi dibanding kontrol (14,29-17,29%) (Tabel 23). Tabel 23. Persentase daya kecambah biji tumbuhan buah pakan burung Media tanam Media pasir Media kapas Jenis Buah Buah Biji melewati saluran pencernaan tumbuhan utuh dikupas Dt Pa Pb Pg Zp R. chrysophyllus P. chinensis B. microphylla M. affine C. hirta S. javanicus L. camara Rata-rata 17,14 22,86 25,71 24,29 28,57 14,29 20,00 R. chrysophyllus P. chinensis B. microphylla M. affine C. hirta S. javanicus L. camara Rata-rata 14,29 31,43 31,43 34,29 45,71 38,57 40,00 Dt:Dicaeum trigonostigma, Pa:Pycnonotus aurigaster, Pb:Pycnonotis goiavier, Pg:Pycnonotus goiavier, Zp:Zosterops palpebrosus Pemecahan dormasi biji secara fisiologi sangat dibutuhkan air. Pada media kapas diduga kelembaban media lebih baik sehingga biji dapat tumbuh lebih banyak dibanding di media pasir. Tidak semua biji tumbuhan pakan burung dapat berkecambah baik pada media tanam pasir maupun kapas. Keberadaan daging buah dan kulit ari biji menghambat perkecambahan, terutama kecepatan mulai berkecambah. Banyaknya kandungan air di daging buah tidak menjamin bijinya cepat tumbuh. Buah Rubus chrysophyllus dan Polygonum chinensis mempunyai 131

14 kadar air lebih tinggi (Tabel 14), tetapi lebih lambat berkecambah dibanding Melastoma affine dan Clidemia hirta. Kedua buah tersebut dapat berkecambah setelah mencapai 8 minggu. Kemunculan tunas terjadi setelah daging buah dan kulit buah membusuk. Fukui (1995) menyatakan bahwa daging buah dapat menghambat perkecambahan biji. Pengelupasan daging buah berarti mengurangi hambatan biji dapat berkecambah, sehingga biji dapat lebih cepat tumbuh. Barnean et al. (1992) menemukan bahwa biji yang sulit tumbuh seperti Morus nigra memiliki daya perkecambahan lebih tinggi setelah melewati saluran pencernaan Pycnonotus xanthopygos dan Turdus merula dibanding kontrol. Dengan waktu retensi yang singkat (44,4±29,10 menit) dari burung Turdus merula (Barnea et al.1991) dan Hypsypetes amaurotis sekitar 28 menit (Fukui 2003) kulit buah, daging buah dan kulit ari biji dapat rusak sehingga bisa terjadi imbibisi dan enzim pada biji bekerja aktif sehingga cepat berkecambah. Biji yang mengandung cangkang yang tebal kemungkinan mempunyai masa dormasi yang lebih lama. Diduga buah melewati saluran pencernaan akan mempercepat berakhirnya masa dormasi karena biji mengalami abrasi oleh asam lambung dan gesekan pada saat melewati ventrikulus (Fukui 1995). Seperti tampak pada biji Sambucus javanicus mempunyai kulit biji yang lebih kokoh dan kuat sehingga bila ditumbuhkan dalam biji yang utuh membutuhkan waktu yang lama. Biji Sambucus javanicus tersebut, walaupun melalui pencernaan pemakan buah seperti Dicaeum trigonostigma, Pycnonotus aurigaster, Pycnonotus bimaculatus tetap masih lama dan membutuhkan 3,5 bulan untuk dapat berkecambah. Hal ini diduga pematahan dormansi biji Kipapatong (Sambucus javanicus) memerlukan proses yang lebih lama dalam saluran pencernaan, karena waktu retensi kelompok burung Pycnonotidae sekitar 20,8 menit. Barneat et al. (1990) menyatakan bahwa waktu retensi yang lebih lama menyebabkan lebih efektif abrasi kulit biji oleh asam lambung dan ventrikulus sehingga daya kecambah menjadi lebih baik. Secara umum biji melalui proses pencernaan burung memiliki daya kecambah lebih tinggi dibanding biji yang di kupas dagingnya maupun buah utuh. Hal ini karena buah yang melalui saluran pencernaan, pada tahap pertama akan mengalami proses penghacuran kulit buah maupun daging buah oleh paruh 132

15 burung. Pada rongga mulut terjadi pencampuran makanan buah dengan mukosa yang berisi beberapa enzim penghidrolisa karbohidrat. Tahap kedua setelah buah sampai ke lambung (tembolok & proventrikulus), dinding lambung mengeluarkan asam lambung dan enzim yang membantu mencerna buah sehingga menjadi lebih lembek. Tahap selanjutnya, buah mengalami proses pengerusan di ventrikulus. Pada tahap ke 2 dan 3, enzim akan menghancurkan kulit buah, daging buah dan kulit ari biji terutama enzim yang berperan dalam menghancurkan selulosa (Proctor & Lynch 1993). Biji yang dilewatkan melalui usus harus ke kloaka sangat mungkin tidak memiliki kulit ari atau kulit arinya rusak. Dengan kondisi tersebut, biji yang keluar bersama feses burung akan mudah terimbibisi air, karena kulit ari biji yang mempunyai permiabilitas tinggi sudah rusak. Biji yang mudah mengalami imbibisi akan mudah tumbuh karena air yang masuk akan memacu reaktivitas embrio biji untuk tumbuh (Bewley & Black 1986, Sadjad 1993, Widyajati et al. 2008). Selanjutnya keberhasilan kecambah menjadi semai dan tumbuh dewasa sangat tergantung kemampuan kecambah tersebut adaptasi dengan tempat tumbuhnya. 133

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunitas burung merupakan salah satu komponen biotik ekosistem yang berperan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Peran tersebut dapat tercermin dari posisi

Lebih terperinci

4. METODE PENELITIAN

4. METODE PENELITIAN 4. METODE PENELITIAN 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di daerah perkebunan teh milik PTPN VIII Ciater Subang dan hutan sekunder, dengan ketinggian 950-1200 m dpl, pada koordinat 6 0

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat dan Penggunaannya

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat dan Penggunaannya 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat dan Penggunaannya Menurut Odum (1993) habitat didefinisikan sebagai suatu tempat dimana organisme tinggal atau biasa ditemukan orang. Habitat terdiri dari komponen abiotik

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Spesies Burung di Repong Damar Pekon Pahmungan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Spesies Burung di Repong Damar Pekon Pahmungan 31 V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Spesies Burung di Repong Damar Pekon Pahmungan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa di Repong Damar Pekon Pahmungan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Jenis Burung di Permukiman Keanekaragaman hayati dapat dikategorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu keanekaragaman jenis, keanekaragaman genetik, dan keanekaragaman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

ABSTRAK JENIS DAN KERAPATAN BURUNG DI KAWASAN AGROPOLITAN KECAMATAN MANDASTANA KABUPATEN BARITO KUALA. Oleh: Zainal Husain, Dharmono, Kaspul

ABSTRAK JENIS DAN KERAPATAN BURUNG DI KAWASAN AGROPOLITAN KECAMATAN MANDASTANA KABUPATEN BARITO KUALA. Oleh: Zainal Husain, Dharmono, Kaspul 47 ABSTRAK JENIS DAN KERAPATAN BURUNG DI KAWASAN AGROPOLITAN KECAMATAN MANDASTANA KABUPATEN BARITO KUALA Oleh: Zainal Husain, Dharmono, Kaspul Burung merupakan anggota dari Sub Filum Vertebrata yang termasuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki 1539 spesies burung atau 17% dari jumlah seluruh spesies burung dunia. Tiga ratus delapan puluh satu spesies di antaranya merupakan endemik Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Lampung (Unila) yang dikenal dengan sebutan Kampus Hijau (Green

I. PENDAHULUAN. Universitas Lampung (Unila) yang dikenal dengan sebutan Kampus Hijau (Green I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Universitas Lampung (Unila) yang dikenal dengan sebutan Kampus Hijau (Green Campus) memiliki ruang terbuka hijau dengan tipe vegetasi yang beragam serta multi strata berupa

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Hutan mangrove desa Margasari memiliki luas 700 ha dengan ketebalan hutan mangrove mencapai 2 km. Tumbuhan yang dapat dijumpai adalah dari jenis Rhizopora spp., Sonaeratia

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS.

BAB I PENDAHULUAN. terletak di sekitar garis khatulistiwa antara 23 ½ 0 LU sampai dengan 23 ½ 0 LS. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe ekosistem hutan yang sangat produktif dan memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Kawasan ini terletak di

Lebih terperinci

Upaya Repopulasi Jenis Elang melalui pelepasliaran Elang hasil sitaan di Kawasan Panaruban Subang Jawa Barat.

Upaya Repopulasi Jenis Elang melalui pelepasliaran Elang hasil sitaan di Kawasan Panaruban Subang Jawa Barat. IN IS IA S I P E M U L IH A N J E N IS E L A N G Upaya Repopulasi Jenis Elang melalui pelepasliaran Elang hasil sitaan di Kawasan Panaruban Subang Jawa Barat www.raptor.or.id Latar Belakang Penurunan populasi

Lebih terperinci

CIRI KHUSUS MAKHLUK HIDUP DAN LINGKUNGAN HIDUPNYA

CIRI KHUSUS MAKHLUK HIDUP DAN LINGKUNGAN HIDUPNYA BAB 1 CIRI KHUSUS MAKHLUK HIDUP DAN LINGKUNGAN HIDUPNYA Tujuan Pembelajaran: 1) mendeskripsikan hubungan antara ciri-ciri khusus hewan dengan lingkungannya; 2) mendeskripsikan hubungan antara ciri-ciri

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB III. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS A. Landasan Teori B. Hipotesis... 18

DAFTAR ISI. BAB III. LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS A. Landasan Teori B. Hipotesis... 18 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... HALAMAN PENGESAHAN... PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... xi ABSTRAK... xiii ABSTRACT... xiv BAB

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. multiguna karena hampir seluruh bagian pohonnya dapat dimanfaatkan.

I. PENDAHULUAN. multiguna karena hampir seluruh bagian pohonnya dapat dimanfaatkan. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Asam jawa (Tamarindus indica) merupakan tanaman tropis penghasil buah yang termasuk dalam famili Caesalpiniaceae. Asam jawa juga dikategorikan pohon multiguna karena

Lebih terperinci

2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup

2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup 2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup 2.1 Mengidentifikasi kelangsungan hidup makhluk hidup melalui adaptasi, seleksi alam, dan perkembangbiakan 1. Mengaitkan perilaku adaptasi hewan tertentu dilingkungannya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ekologi perilaku ayam hutan hijau (Gallus varius) dilaksanakan di hutan musim Tanjung Gelap dan savana Semenanjung Prapat Agung kawasan Taman

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Viabilitas benih diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh menjadi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Viabilitas benih diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh menjadi 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Viabilitas Benih 2.1.1 Viabilitas benih Viabilitas benih diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh menjadi kecambah. Istilah lain untuk viabilitas benih adalah daya kecambah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total 15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas

Lebih terperinci

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Alam Kabupaten Pandegalang dan Serang Propinsi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan Makan Bondol Peking dan Bondol Jawa Pengujian Individu terhadap Konsumsi Gabah Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah dapat dilihat pada

Lebih terperinci

Seleksi Biji untuk Batang Bawah Tanaman Karet Oleh : Elly Sarnis Pukesmawati, SP., MP Widyaiswara Muda Balai Pelatihan Pertanian (BPP) Jambi

Seleksi Biji untuk Batang Bawah Tanaman Karet Oleh : Elly Sarnis Pukesmawati, SP., MP Widyaiswara Muda Balai Pelatihan Pertanian (BPP) Jambi Seleksi Biji untuk Batang Bawah Tanaman Karet Oleh : Elly Sarnis Pukesmawati, SP., MP Widyaiswara Muda Balai Pelatihan Pertanian (BPP) Jambi Yang dimaksud dengan bahan tanaman karet adalah biji karet (calon

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 16 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada lima tipe habitat yaitu hutan pantai, kebun campuran tua, habitat danau, permukiman (perumahan), dan daerah perkotaan

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN BURUNG DI RUANG TERBUKA HIJAU DI TIGA TEMPAT PEMAKAMAN UMUM DI BOGOR ALIFAH MELTRIANA

KEANEKARAGAMAN BURUNG DI RUANG TERBUKA HIJAU DI TIGA TEMPAT PEMAKAMAN UMUM DI BOGOR ALIFAH MELTRIANA KEANEKARAGAMAN BURUNG DI RUANG TERBUKA HIJAU DI TIGA TEMPAT PEMAKAMAN UMUM DI BOGOR ALIFAH MELTRIANA DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-September 2012, di Kampus. Universitas Lampung (Unila) Bandar Lampung (Gambar 3).

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-September 2012, di Kampus. Universitas Lampung (Unila) Bandar Lampung (Gambar 3). III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus-September 2012, di Kampus Universitas Lampung (Unila) Bandar Lampung (Gambar 3). B. Alat dan Objek Penelitian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pohon merbau darat telah diklasifikasikan secara taksonomi sebagai berikut

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pohon merbau darat telah diklasifikasikan secara taksonomi sebagai berikut 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Merbau Darat 1. Deskripsi Ciri Pohon Pohon merbau darat telah diklasifikasikan secara taksonomi sebagai berikut (Martawijaya dkk., 2005). Regnum Subregnum Divisi Kelas Famili

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai disetiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Burung merupakan salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Keberadaan pakan, tempat bersarang merupakan faktor yang mempengaruhi kekayaan spesies burung

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Jenis burung di hutan produksi desa Gunung Sangkaran. Jenis burung di hutan produksi desa Gunung Sangkaran ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Jenis burung di hutan produksi desa Gunung Sangkaran. Jenis burung di hutan produksi desa Gunung Sangkaran ditemukan V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Jenis burung di hutan produksi desa Gunung Sangkaran Jenis burung di hutan produksi desa Gunung Sangkaran ditemukan sebanyak 29 spesies yang terdiri dari

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian ± 32 meter di

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian ± 32 meter di 14 BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Benih, Fakultas Pertanian,, Medan dengan ketinggian ± 32 meter di atas permukaan laut, pada

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Secara keseluruhan daerah tempat penelitian ini didominasi oleh Avicennia BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi umum daerah Wonorejo Kawasan mangrove di Desa Wonorejo yang tumbuh secara alami dan juga semi buatan telah diputuskan oleh pemerintah Surabaya sebagai tempat ekowisata.

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 5. Kelangsungan hidup makhluk hidup melalui adaptasi, seleksi alam, dan perkembangbiakanlatihan Soal 5.2

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 5. Kelangsungan hidup makhluk hidup melalui adaptasi, seleksi alam, dan perkembangbiakanlatihan Soal 5.2 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 5. Kelangsungan hidup makhluk hidup melalui adaptasi, seleksi alam, dan perkembangbiakanlatihan Soal 5.2 1. Cara adaptasi tingkah laku hewan mamalia air yang hidup di air laut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kayu afrika merupakan jenis pohon yang meranggas atau menggugurkan daun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kayu afrika merupakan jenis pohon yang meranggas atau menggugurkan daun II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kayu Afrika (Maesopsis eminii) Kayu afrika merupakan jenis pohon yang meranggas atau menggugurkan daun tinggi mencapai 45 m dengan batang bebas cabang 2 per 3 dari tinggi total,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mampu mengimbangi kebutuhan pangan penduduk yang jumlahnya terus. dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. mampu mengimbangi kebutuhan pangan penduduk yang jumlahnya terus. dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian Anorganik Dan Organik Padi merupakan salah satu sumber makanan pokok bagi sebagian besar bangsa Indonesia (Idham & Budi, 1994). Menurut Pracaya (2002) upaya untuk mampu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Pelet Daun Indigofera sp. Pelet daun Indigofera sp. yang dihasilkan pada penelitian tahap pertama memiliki ukuran pelet 3, 5 dan 8 mm. Berdasarkan hasil pengamatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kedelai

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kedelai TINJAUAN PUSTAKA Botani Kedelai Kedelai termasuk tanaman kacang-kacangan dengan klasifikasi lengkap tanaman kedelai adalah sebagai berikut, divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae,

Lebih terperinci

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. TODO CONSULT 1. Hendra Masrun, M.P. 2. Djarot Effendi, S.Hut.

PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. TODO CONSULT 1. Hendra Masrun, M.P. 2. Djarot Effendi, S.Hut. PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG KARANG Dalam Rangka Konservasi dan Rehabilitasi Kerusakan Sumberdaya Alam Propinsi Banten PENYUSUN : TIM KONSULTAN PT. TODO CONSULT

Lebih terperinci

Karya Ilmiah Peluang Bisnis

Karya Ilmiah Peluang Bisnis Karya Ilmiah Peluang Bisnis STMIK AMIKOM YOGYAKARTA Kampus terpadu : Jl. Ring Road Utara, Condong Catur, Depok, Sleman, Yogyakarta DI SUSUN OLEH : Nama : M.Ghufron.Wiliantoro NIM : 10.12.4963 Jurusan :

Lebih terperinci

BAB V DATA, ANALISIS DAN SINTESIS

BAB V DATA, ANALISIS DAN SINTESIS 26 BAB V DATA, ANALISIS DAN SINTESIS 5.1. Kondisi Fisik 5.1.1. Lokasi Geografis dan Hubungan dengan Lokasi Habitat Burung Sekitar Tapak Lokasi tapak secara geografis antara 106 45'53,52" BT - 106 46'24,35"

Lebih terperinci

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan

Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Laporan Kegiatan Pengendali Ekosistem Hutan Pengamatan Burung di Resort Perengan Seksi Konservasi Wilayah I Pandean dalam Upaya Reinventarisasi Potensi Jenis Oleh : Nama : Arif Pratiwi, ST NIP : 710034820

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG PADA BEBERAPA TIPE HABITAT DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA, BOGOR, JAWA BARAT ASEP SAEFULLAH

KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG PADA BEBERAPA TIPE HABITAT DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA, BOGOR, JAWA BARAT ASEP SAEFULLAH KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG PADA BEBERAPA TIPE HABITAT DI HUTAN PENELITIAN DRAMAGA, BOGOR, JAWA BARAT ASEP SAEFULLAH DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masih menjadi primadona karena memiliki daging yang enak serta rendah lemak.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. masih menjadi primadona karena memiliki daging yang enak serta rendah lemak. 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Kampung Persilangan Ayam kampung persilangan merupakan salah satu ayam jenis lokal yang banyak dipelihara masyarakat baik dari skala kecil maupun skala industri yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tomat termasuk tanaman semusim Ordo Solanales, family solanaceae,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tomat termasuk tanaman semusim Ordo Solanales, family solanaceae, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Tanaman Tomat Tanaman tomat termasuk tanaman semusim Ordo Solanales, family solanaceae, genus Lycopersicon, spesies Lycopersicon esculentum Mill. Tomat sangat bermanfaat

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Pembatasan Masalah Penelitian Keanekaragaman Jenis Burung di Berbagai Tipe Daerah Tepi (Edges) Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim Propinsi Riau selama 6 bulan adalah untuk

Lebih terperinci

KOMUNITAS BURUNG DI BAWAH TAJUK: PENGARUH MODIFIKASI BENTANG ALAM DAN STRUKTUR VEGETASI IMANUDDIN

KOMUNITAS BURUNG DI BAWAH TAJUK: PENGARUH MODIFIKASI BENTANG ALAM DAN STRUKTUR VEGETASI IMANUDDIN KOMUNITAS BURUNG DI BAWAH TAJUK: PENGARUH MODIFIKASI BENTANG ALAM DAN STRUKTUR VEGETASI IMANUDDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan

I. PENDAHULUAN. adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kelelawar sudah dikenal masyarakat Indonesia secara luas, terbukti dari adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan paniki, niki, atau

Lebih terperinci

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 7. CIRI KHUSUS HEWAN DAN TUMBUHANLatihan soal 7.1

SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 7. CIRI KHUSUS HEWAN DAN TUMBUHANLatihan soal 7.1 SD kelas 6 - ILMU PENGETAHUAN ALAM BAB 7. CIRI KHUSUS HEWAN DAN TUMBUHANLatihan soal 7.1 1. Ciri khusus yang ada pada makhluk hidup bertujuan untuk... Untuk mencari makanan Untuk menarik perhatian hewan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis dan (7) Waktu dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lahan Kebun salak dalam penelitian ini terletak di Desa Tapansari, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Umur pohon salak yang digunakan sekitar 2 tahun

Lebih terperinci

Ayo Belajar IPA. Ilmu Pengetahuan Alam Kelas VI semester 1. Elisabeth Sekar Dwimukti Universitas Sanata Dharma

Ayo Belajar IPA. Ilmu Pengetahuan Alam Kelas VI semester 1. Elisabeth Sekar Dwimukti Universitas Sanata Dharma Ilmu Pengetahuan Alam Kelas VI semester 1 Elisabeth Sekar Dwimukti Universitas Sanata Dharma Peta Konsep Ciri khusus mahkluk hidup 1. Mencari makan 2. Kelangsungan hidup 3. Menghindari diri dari Hewan

Lebih terperinci

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka Burung Jalak Bali Burung Jalak Bali Curik Bali atau yang lebih dikenal dengan nama Jalak Bali, merupakan salah satu spesies burung cantik endemis Indonesia. Burung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang terdiri dari akar tunggang, akar sekunder yang tumbuh dari akar tunggang, serta akar cabang yang

Lebih terperinci

I. Judul Pematahan Dormansi Biji II. Tujuan Untuk mengetahui pengaruh cara pematahan dormansi pada biji berkulit keras dengan fisik dan kimiawi.

I. Judul Pematahan Dormansi Biji II. Tujuan Untuk mengetahui pengaruh cara pematahan dormansi pada biji berkulit keras dengan fisik dan kimiawi. I. Judul Pematahan Dormansi Biji II. Tujuan Untuk mengetahui pengaruh cara pematahan dormansi pada biji berkulit III. keras dengan fisik dan kimiawi. Tinjauan Pustaka Biji terdiri dari embrio, endosperma,

Lebih terperinci

Flona. 114 intisari-online.com

Flona. 114 intisari-online.com Flona 114 intisari-online.com Cabai-cabai yang Tak Pedas Penulis & Fotografer: Iman Taufiqurrahman di Yogyakarta Anda pasti sangat familiar dengan cabai rawit atau cabai keriting. Namun, apakah Anda tahu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Merpati Karakteristik Merpati )

TINJAUAN PUSTAKA Merpati Karakteristik Merpati ) TINJAUAN PUSTAKA Merpati Menurut Yonathan (2003), penyebaran merpati hampir merata di seluruh bagian bumi kecuali di daerah kutub. Merpati lokal di Indonesia merupakan burung merpati yang asal penyebarannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. protein, dan mikronutrien yang penting bagi tubuh. Terdapat beberapa

BAB I PENDAHULUAN. protein, dan mikronutrien yang penting bagi tubuh. Terdapat beberapa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras memiliki manfaat bagi kesehatan karena terkandung serat, protein, dan mikronutrien yang penting bagi tubuh. Terdapat beberapa jenis beras yaitu beras putih dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kenari merupakan Family dari Burseraceae. Famili ini terdiri dari 16

BAB I PENDAHULUAN. Kenari merupakan Family dari Burseraceae. Famili ini terdiri dari 16 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kenari merupakan Family dari Burseraceae. Famili ini terdiri dari 16 genus dan sekitar 550 jenis yang tersebar di daerah-daerah tropis di seluruh dunia. Pohonnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting

PENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ransum merupakan campuran bahan pakan yang disusun untuk memenuhi kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting dalam pemeliharaan ternak,

Lebih terperinci

Sistem Pencernaan Pada Hewan

Sistem Pencernaan Pada Hewan Sistem Pencernaan Pada Hewan Struktur alat pencernaan berbeda-beda dalam berbagai jenis hewan, tergantung pada tinggi rendahnya tingkat organisasi sel hewan tersebut serta jenis makanannya. pada hewan

Lebih terperinci

Jenis Jenis Burung di Wilayah Cagar Alam Imogiri Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta Oleh:

Jenis Jenis Burung di Wilayah Cagar Alam Imogiri Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta Oleh: Jenis Jenis Burung di Wilayah Cagar Alam Imogiri Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta Oleh: 1 Alfan Firmansyah, Agung Budiantoro¹, Wajudi², Sujiyono² ¹Program Studi Biologi, FMIPA, Universitas Ahmad Dahlan,

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Rumput dapat dikatakan sebagai salah satu tumbuh-tumbuhan darat yang paling berhasil dan terdapat dalam semua tipe tempat tumbuh dan pada bermacam-macam keadaan. Bentuk

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Percobaan ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Benih Fakultas Pertanian,, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai dari bulan April 2016 hingga Mei

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kopi merupakan produk tanaman perkebunan yang dibutuhkan oleh

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Kopi merupakan produk tanaman perkebunan yang dibutuhkan oleh 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kopi merupakan produk tanaman perkebunan yang dibutuhkan oleh masyarakat seluruh dunia, komoditas ini merupakan komoditas yang tetap bertahan di pasaran global dikarenakan

Lebih terperinci

: Plantae (Tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

: Plantae (Tumbuhan) Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) I ndonesia merupakan salah satu negara produsen pisang yang penting di dunia, dengan beberapa daerah sentra produksi terdapat di pulau Sumatera, Jawa, Bali, dan N TB. Daerah-daerah ini beriklim hangat

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 106 Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 1. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa energi matahari akan diserap oleh tumbuhan sebagai produsen melalui klorofil untuk kemudian diolah menjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Saninten (Castanopsis argentea Blume A.DC) Sifat Botani Pohon saninten memiliki tinggi hingga 35 40 m, kulit batang pohon berwarna hitam, kasar dan pecah-pecah dengan permukaan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Benih Indigofera yang digunakan dalam penelitian ini cenderung berjamur ketika dikecambahkan. Hal ini disebabkan karena tanaman indukan sudah diserang cendawan sehingga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Biji Buru Hotong Gambar biji buru hotong yang diperoleh dengan menggunakan Mikroskop Sterio tipe Carton pada perbesaran 2 x 10 diatas kertas millimeter blok menunjukkan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Data rata-rata parameter uji hasil penelitian, yaitu laju pertumbuhan spesifik (LPS), efisiensi pemberian pakan (EP), jumlah konsumsi pakan (JKP), retensi protein

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rata-rata intensitas cahaya dan persentase penutupan tajuk pada petak ukur contoh mahoni muda dan tua IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas cahaya dan penutupan tajuk Cahaya digunakan oleh tanaman untuk proses fotosintesis. Semakin baik proses fotosintesis, semakin baik pula pertumbuhan tanaman (Omon

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Struktur Pekarangan

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Struktur Pekarangan BAB V PEMBAHASAN 5.1 Struktur Pekarangan Dari 9 pekarangan dengan masing-masing 3 pekarangan di setiap bagiannya diketahui bahwa luasan rata-rata pekarangan pada bagian pertama 303 m 2, pada bagian ke-dua

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Biomassa Biomassa merupakan bahan organik dalam vegetasi yang masih hidup maupun yang sudah mati, misalnya pada pohon (daun, ranting, cabang, dan batang utama) dan biomassa

Lebih terperinci

SPESIES BURUNG PADA BEBERAPA TIPE HABITAT DI KECAMATAN LHOKNGA KABUPATEN ACEH BESAR

SPESIES BURUNG PADA BEBERAPA TIPE HABITAT DI KECAMATAN LHOKNGA KABUPATEN ACEH BESAR Jurnal Biotik, ISSN: 2337-9812, Vol. 4, No. 1, Ed. April 2016, Hal. 15-32 SPESIES BURUNG PADA BEBERAPA TIPE HABITAT DI KECAMATAN LHOKNGA KABUPATEN ACEH BESAR 1 Samsul Kamal, 2 Elita Agustina dan 3 Zahratur

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pertambahan bobot (gram) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Media terhadap Pertambahan biomassa Cacing Tanah Eudrilus eugeniae. Pengambilan data pertambahan biomassa cacing tanah dilakukan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat BAB IV METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung yang terfokus di Desa Tompobulu dan kawasan hutan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki keterkaitan dan ketergantungan dengan hutan dalam. pemenuhan bahan pangan langsung dari dalam hutan seperti berburu hewan,

BAB I PENDAHULUAN. memiliki keterkaitan dan ketergantungan dengan hutan dalam. pemenuhan bahan pangan langsung dari dalam hutan seperti berburu hewan, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perburuan satwa liar merupakan salah satu kegiatan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang sudah dikenal oleh manusia sejak zaman prasejarah. Masyarakat memiliki keterkaitan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Delima (Punica granatum L.) merupakan tanaman yang berasal dari daerah Asia Tengah seperti Iran, Afganistan dan daerah Pegunungan Himalaya. Dari daerah tersebut kemudian

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pembibitan Jati. tinggi. Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi m.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pembibitan Jati. tinggi. Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi m. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembibitan Jati Jati (Tectona grandis L.) adalah sejenis pohon penghasil kayu bermutu tinggi. Pohon besar, berbatang lurus, dapat tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun besar,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Perkecambahan benih kopi A. Hasil Untuk mengetahui pengaruh media tanam terhadap perkecambahan benih kopi, dilakukan pengamatan terhadap dua variabel yaitu daya berkecambah

Lebih terperinci

Pengertian. Kemampuan makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan

Pengertian. Kemampuan makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan Adaptasi Pengertian Kemampuan makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan Adaptasi dibedakan menjadi 3 jenis 1. Adaptasi Morfologi Proses adaptasi yang dilakukan dengan menyesuaikan bentuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Selama penelitian pada masa adaptasi terjadi kematian delapan ekor puyuh. Faktor perbedaan cuaca dan jenis pakan serta stres transportasi mungkin menjadi penyebab kematian

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PEELITIA 4.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pulau Peleng Kabupaten Banggai Kepulauan Propinsi Sulawesi Tengah. Pengambilan data dilakukan pada empat tipe habitat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Posisi Biji pada Tongkol terhadap Viabilitas Biji Jagung (Zea

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Posisi Biji pada Tongkol terhadap Viabilitas Biji Jagung (Zea BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Posisi Biji pada Tongkol terhadap Viabilitas Biji Jagung (Zea mays L.) Berdasarkan hasil analisa varian (ANAVA) 5% tiga jalur menunjukkan bahwa posisi biji pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti pedang kecil, menunjukkan

TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti pedang kecil, menunjukkan 14 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gladiol Gladiol berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti pedang kecil, menunjukkan pada bentuk daunnya yang sempit dan panjang seperti pedang. Genus gladiolus terdiri

Lebih terperinci

PENGUKURAN BIODIVERSITAS

PENGUKURAN BIODIVERSITAS Diversitas vegetasi PENGUKURAN BIODIVERITA Untuk mengkaji struktur dan komposisi komunitas vegetasi, pembuatan sampel plot biasanya dilakukan. Dalam hal ini ukuran plot, bentuk, jumlah plot, posisi plot

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 12 IV. METODE PENELITIAN 4.1.Lokasi dan Waktu Pengumpulan data di lakukan di dua resor kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yaitu Resor Belimbing untuk plot hutan primer dan Resor Tampang untuk

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Tanaman salak yang digunakan pada penelitian ini adalah salak pondoh yang ditanam di Desa Tapansari Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman Yogyakarta.

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN BURUNG DI KECAMATAN LAWEYAN, KECAMATAN SERENGAN, DAN KECAMATAN PASAR KLIWON KOTAMADYA SURAKARTA. Artikel Publikasi Ilmiah

KEANEKARAGAMAN BURUNG DI KECAMATAN LAWEYAN, KECAMATAN SERENGAN, DAN KECAMATAN PASAR KLIWON KOTAMADYA SURAKARTA. Artikel Publikasi Ilmiah KEANEKARAGAMAN BURUNG DI KECAMATAN LAWEYAN, KECAMATAN SERENGAN, DAN KECAMATAN PASAR KLIWON KOTAMADYA SURAKARTA Artikel Publikasi Ilmiah Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN BURUNG DI KAMPUS UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Oleh : Yuni Wibowo Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta

KEANEKARAGAMAN BURUNG DI KAMPUS UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Oleh : Yuni Wibowo Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta KEANEKARAGAMAN BURUNG DI KAMPUS UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA Oleh : Yuni Wibowo Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya penting dalam

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya penting dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya penting dalam peradaban manusia. Padi sudah dikenal sebagai tanaman pangan sejak jaman prasejarah.

Lebih terperinci