2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat dan Penggunaannya

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat dan Penggunaannya"

Transkripsi

1 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat dan Penggunaannya Menurut Odum (1993) habitat didefinisikan sebagai suatu tempat dimana organisme tinggal atau biasa ditemukan orang. Habitat terdiri dari komponen abiotik dan biotik yang bersama-sama menyusun kumpulan sumberdaya yang secara langsung maupun secara tak langsung mendukung kehidupan hewan untuk hidup di tempat tersebut. Tumbuh-tumbuhan merupakan bagian dominan dari habitat, dan juga berperan menyediakan berbagai macam makanan, tempat sarang serta tempat berlindung bagi hewan (Fleming 1992). Hutan primer, hutan sekunder dan semak merupakan habitat bagi burung, karena di semua tempat tersebut ditemukan berbagai jenis burung (Wiens 1992). Tumbuhan yang terdapat di habitat tersebut merupakan faktor penting dalam kehidupan burung, karena beberapa bagian dari tumbuhan yaitu bagian generatif dan bagian vegetatif menjadi sumber makanan. Beberapa burung yang hidup di hutan memakan langsung material tumbuhan, seperti buah-buahan dan bunga (Fleming 1992). Buah yang dimakan disebar bijinya bersama feses, dan 50-80% tumbuhan hutan tropik dilakukan penyebaran bijinya oleh burung (Karr et al. (1992). Penggunaan habitat oleh burung berubah-ubah tergantung ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkannya. Perubahan penggunaan struktur vertikal tumbuhan untuk aktivitas makan burung sangat dipengaruhi oleh penyebaran makanan di pohon tersebut. Hasil penelitian Nurwatha (1994) menunjukkan Burung cabai jawa (Dicaeum trochileum), Cinenen kelabu (Orthotomus ruficeps) dan Burung-madu sriganti (Nectarinia jugularis) menggunakan lapisan tajuk yang berbeda pada habitat taman kota yang berbeda. Hal ini terkait dengan ketersediaan makanan pada ketinggian tumbuhan yang berbeda. Komposisi komunitas dan kebiasaan hidup burung dapat dipengaruhi oleh perubahan komposisi spesies tumbuhan dalam suatu habitat (Lambert 1992). Sebagai contoh, perubahan habitat di hutan dataran rendah menjadi areal terbuka dan semak belukar, mengakibatkan beberapa spesies burung mengubah strata tempat mencari 12

2 makan dan memperluas daerah jelajahnya. Burung tidak memanfaatkan seluruh habitatnya, melainkan ada seleksi terhadap beberapa bagian dari habitat sesuai dengan yang dibutuhannya (Wiens 1992). Pengaruh keterbatasan sumberdaya di habitat untuk burung dapat menyebabkan persaingan baik intra-spesies atau interspesies (Karr et al. 1992). 2.2 Komunitas Burung Komunitas burung berdasarkan terminologi adalah suatu kumpulan populasi dari spesies-spesies burung yang hidup di suatu habitat serta saling berinteraksi, membentuk sistem komposisi, struktur, perkembangan dan peranannya sendiri (Wiens 1992). Luasnya batasan yang melingkupi, menjadikan suatu komunitas sangat komplek, sehingga dalam memperlajarinya sering dilakukan pembagian-pembagian kajian. Morin (1999) menyatakan bahwa parameter penting dalam mempelajari suatu komunitas adalah taxocene dan guild. Menurut Kaspari (2001) taxocene adalah pengelompokan secara ekologi berdasarkan kelompok taksa tertentu. Penentuan suatu komunitas berdasarkan taxocene terbatas pada organisme yang secara taksonomi relatif sama dan mendominasi komunitas tersebut, seperti komunitas burung. Taxocene merupakan unit dasar dalam penelitian makroekologi dan mempunyai parameter seperti kelimpahan dan keanekaan. Guild merupakan kumpulan spesies yang memanfaatkan suatu sumber daya dengan cara yang sama. Wiens (1992) menyatakan bahwa elemen kunci dari definisi guild adalah spesiesnya syntopic, kesamaan di antara spesies lebih ditentukan oleh kesamaan mereka dalam memanfaatkan suatu sumber daya dibandingkan secara taksonomi. Konsep guild diperkenalkan untuk mengklarifikasi beberapa kekeliruan sehubungan dengan konsep relung (niche), yang sebelumnya lebih banyak ditekankan pada seperangkat kondisi yang memungkinkan suatu spesies untuk tetap eksis dalam lingkungannya (Wiens 1992). Oleh karena itu, beberapa peneliti membatasi komunitas burung dengan batasan taksonomi dan guild yang berbeda, sehingga menjadi beberapa kelompok kecil dari burung seperti komunitas 13

3 burung air, paserin kecil, pemangsa, pemakan nektar, dan pemakan buah (Wiens 1992). Komposisi spesies dari komunitas burung lokal ditentukan oleh penambahan spesies melalui pembentukan kolonisasi baru dan kehilangan spesies melalui kepunahan lokal. Perubahan tersebut terjadi dalam skala ruang dan waktu (Wiens 1992). Hal tersebut terkait dengan adanya perubahan habitat (Balen 1999). Habitat didominasi vegetasi semak, komposisi spesies burung yang menempatinya lebih banyak dari familia Sylviidae. Akan tetapi, habitat telah banyak ditumbuhi vegetasi pancang dan pohon komposisi spesies burung yang menempati bertambah dari familia Cuculidae, Picidae dan Capitonidae (Hadiprayitno 1999) Keanekaan burung Keanekaan spesies berhubungan dengan kekayaan (jumlah) spesies dalam suatu komunitas dan jumlah individu masing-masing spesies dalam komunitas tersebut (Krebs 1989; Wiens 1992). Keanekaan spesies adalah suatu karakteristik tingkatan komunitas berdasarkan organisasi biologisnya yang dapat digunakan untuk menyatakan struktur komunitas. Komponen utama keanekaan spesies adalah kekayaan jenis dan equitabilitas dalam pembagian individu yang merata diantara jenis (Odum 1993). Keanekaan spesies cenderung lebih rendah dalam ekosistem yang homogen dan lebih tinggi dalam ekosistem yang alami dan kompleks. Peningkatan jumlah spesies burung juga berkaitan dengan pertambahan luas habitat (Wiens 1992). Struktur komunitas dan kekayaan spesies burung berbeda antara suatu habitat dengan habitat yang lainnya (Johnsing & Joshua 1994). Keanekaan spesies di suatu habitat ditentukan oleh faktor seperti struktur vegetasi, komposisi spesies tumbuhan, sejarah habitat, tingkat gangguan dari predator dan manusia (Welty & Baptista 1988) serta ukuran luas habitat (Wiens 1992). Oleh karena itu, kondisi suksesi vegetasi berkaitan erat dengan perubahan komposisi spesies yang menempatinya (Alikodra 1990). Penelitian mengenai hubungan keanekaan spesies burung dengan tahapan suksesi telah dilakukan di beberapa tempat. Welty & Baptista (1988) mendapatkan 14

4 spesies burung yang dominan berbeda di tiap tahapan suksesi proses reklamasi suatu lahan basah. Tiga tahun setelah reklamasi, spesies burung yang dominan adalah Anthus pratensis. Emberiza schoeniculus menjadi burung yang dominan pada tempat tersebut setelah lahan menjadi bentangan lumpur yang lembek. Pada bentangan lumpur yang keras (19 tahun setelah reklamasi), spesies burung yang dominan adalah Montacilla flava. Selanjutnya ketika lahan tersebut telah berubah menjadi padang rumput, spesies burung yang dominan adalah Alanda arvensis. Hal serupa ditemukan Hadiprayitno (1999) di Gunung Tangkuban Parahu Jawa Barat, di habitat pinus yang berbeda usia. Di hutan pinus usia kurang dari 5 tahun ditemukan 6 spesies burung di dominasi oleh Cica-koreng jawa (Megalurus palustris); hutan pinus usia 6-10 tahun ditemukan 7 spesies burung di dominasi Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus); hutan pinus berusia tahun ditemukan 13 spesies burung di dominasi Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) dan Bentet kelabu (Lanius schach); dan hutan pinus berusia >15 tahun ditemukan 21 spesies burung didominasi Kacamata biasa (Zosterops palpebrosus) dan Gelatik-batu kelabu (Parus major) Kelimpahan dan Distribusi Burung Kelimpahan spesies burung dapat dinyatakan dengan jumlah individu suatu spesies di suatu habitat tertentu dalam waktu tertentu (Wiens 1992). Pada beberapa penelitian sering dinyatakan dengan kelimpahan relatif, yaitu jumlah total individu atau biomas suatu spesies dibandingkan jumlah total individu atau biomas seluruh spesies pada areal yang diamati (Morin 1999). Menurut Wiens (1992) ada tiga model kelimpahan spesies yang bisa dijumpai dalam suatu komunitas yaitu: 1) jika secara numerik sebagian kecil spesies dalam komunitas mendominasi cukup besar, maka kelimpahan cenderung tidak seimbang. Model ini cenderung terjadi pada komunitas yang hanya memiliki sedikit spesies. Spesies dominan menguasai ruang tertentu dalam komunitas, sementara spesies lainnya menguasai bagian yang terpisah. Model ini dikenal juga dengan istilah Relung Preemption Model, 2) beberapa spesies mungkin berbagi relung secara acak 15

5 diantara mereka tanpa ada tumpang tindih. Jika kelimpahan sesuai dengan ukuran relung, distribusi dari kelimpahan spesies cenderung seimbang dengan hanya sedikit dominan secara numerik oleh sebagian kecil spesies. Model ini sesuai dengan yang dipopulerkan oleh MacArthur yaitu Broken Stick Model, 3) distribusi dan kelimpahan burung sesuai dengan distribusi log normal, terutama jika komunitas disusun oleh banyak spesies. Jika kelimpahan relatif dari spesies dibentuk oleh banyak faktor bebas yang saling berperan, faktor tersebut akan berlipat sehingga membentuk distribusi log normal Menurut Karr et al. (1992) kelimpahan dan distribusi spesies burung di habitatnya dipengaruhi oleh kondisi struktur vegetasi. Ketersediaan stratifikasi vertikal vegetasi dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap keberadaan dan kepadatan spesies burung. Oleh karena itu, kerusakan struktur maupun komposisi vegetasi hutan akibat kebakaran mempengaruhi distribusi dan kelimpahan burung karena terjadi perubahan struktur dan komposisi vegetasi (Ding et al. 1997; Hadiprayitno 1999). Selain itu, distribusi spesies burung juga dipengaruhi oleh fragmentasi habitat dan ketersediaan sumberdaya di habitat seperti makanan (Hobson & Bayne 2000, Haslem & Bennett 2008). Menurut Fleming (1992) kelimpahan buah yang tinggi berhubungan erat dengan kepadatan burung pemakan buah. 2.3 Karakteristik Burung Pemakan Buah Morfologi Burung Pemakan Buah Spesies-spesies burung berdasarkan jenis makanan yang dimakannya dapat dibagi 7 kategori (MacKinnon 1995), yaitu frugivora (pemakan buah), granivora (pemakan biji), insektivora (pemakan serangga), karnivora (pemakan daging dan bangkai), nektarivora (pemakan nektar), omnivora (pemakan segala misalnya buah dan serangga), dan piscivora (pemakan ikan). Kelompok spesies burung berdasarkan makanan tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya (Jordano 1992, 2000). Berat tubuh burung pemakan buah merupakan faktor utama yang menentukan intensitas burung memakan buah. Kebutuhan jumlah makanan buah berhubungan erat 16

6 dengan besar tubuh burung pemakan buah (Herrera 1984a). Burung seperti Acrocephalus spp. memakan buah yang ukuran sedang dengan komposisi volume makanannya antara 30-70%. Ukuran tubuh yang kecil memakan buah berukuran kecil pula seperti Sylvia sp. dan Erithacus sp. (Jordano 1992, 2000). Ukuran tubuh burung pemakan buah mempengaruhi intensitas memakan buah dengan cara membatasi jumlah maksimum dari buah-buahan yang ditelan dan daging buah yang dicerna (Herrera 1985). Sebagai contoh, rata-rata jumlah buah Prunus mahaleb yang dimakan tiap kunjungan makan adalah 1,5 buah/kunjungan untuk Phoenicurus ochrusus (16,0 g); 9,0 buah/kunjungan untuk Turdus vircivorus (107,5 g), dan 21,0 buah/kunjungan untuk Columba palumbus (460,0 g) (Jordano & Schupp 2000). Oleh karena itu, berat tubuh sangat menentukan banyaknya jumlah maksimum biji yang dapat disebar oleh burung pemakan buah setelah makan (Jordano 1992, 2000). Perbedaan cara mengambil buah oleh burung pemakan buah menunjukkan hubungan yang sangat erat dengan ekomorfologi dari burung tersebut, khususnya dengan morfologi sayap, karakteristik paruh dan morfologi alat gerak (Jordano 1986). Karakteristik bentuk dan ukuran paruh burung pemakan buah mempunyai peranan terhadap kerusakan biji dan keberhasilan penyebaran biji. Burung pemakan buah yang mempunyai ukuran paruh kecil dan kokoh seperti Emberiza spp. cenderung hanya dapat memakan daging buah, sedangkan bijinya dimuntahkan (Jordano 1992). Besar bukaan paruh menunjukkan hubungan yang erat dengan ukuran buah yang dimakan; semakin besar bukaan paruh semakin besar pula ukuran buah yang dapat dimakan (Wiens 1992; Fukui 1995). Burung yang memiliki ukuran bukaan paruh kecil hanya memakan buah-buahan yang kecil, karena keterbatasan ukuran bukaan paruhnya (Wheelwright 1988; Herrera 1985) Morfologi Sistem Pencernaan Burung Pemakan Buah Burung mempunyai sistem pencernaan yang sangat berbeda dibanding mamalia, seperti tidak mempunyai gigi dan langit-langit mulut yang lunak, sehingga waktu ingesti di mulut lebih cepat. Secara umum sistem pencernaan burung terdiri 17

7 dari bagian rongga mulut, oesophagus, proventiculus, ventriculus, usus halus, usus besar dan kloaka (Pettingil 1970; Proctor & Lynch 1993). Pada beberapa burung yang mengalami spesialisasi berdasarkan makanan, beberapa bagian sistem pencernaannya mengalami modifikasi. Bagian sistem pencernaan yang termodifikasi khususnya pada burung pemakan buah adalah oesophagus. Oesophagus tidak dapat melebar pada kelompok burung Dicaeidae, sedangkan pada burung Ploceidae dan Pycnonotidae dapat melebar (Gambar 3). Modifikasi juga terjadi pada bagian proventiculus dan ventriculus. Pada kedua bagian tersebut ototnya semakin tipis sehingga dapat melewatkan biji secara utuh ke usus halus, usus besar dan kloaka (Jordano 1986). Gambar 2. Skema sistem pencernaan burung (Proctor & Lynch 1993;hal 181) Ciri umum modifikasi sistem pencernaan burung pemakan buah meliputi: (i) oesopagus tereduksi dan proventrikulus yang sederhana, (ii) terdapat dinding ventrikulus yang tipis, atau tidak mempunyai otot ventrikulus (rempela), (iii) posisi lateral dari ventrikulus dan hampir langsung dari oesophagus ke usus halus, serta (iv) panjang usus halus yang relatif pendek (Jordano 1992, 2000). 18

8 Gambar 3. Skema beberapa tipe proventrikulus dan ventrikulus pada burung pemakan buah. Sumber: Jordano (2000;hal 143). E=oesophagus, PV=proventiculus, M=otot ventriculus, DU=duodenum, EXO=exocarp biji, SEM=biji, INT=usus halus Burung-burung yang terspesialisasi sebagai pemakan serangga, memiliki otot ventrikulus lebih tebal dibandingkan pemakan buah (Gambar 3). Burung pemakan buah memiliki mekanisme proses pencernaan yaitu menghancurkan kulit buah dilakukan di ventrikulus yang sederhana dan bijinya dilewatkan melalui usus halus (Jordano 1992, 2000). Beberapa biji ditemukan hancur di feses burung, disebabkan pada saat penanganan buah tersebut di paruhnya. 2.4 Ketersediaan Buah Buah merupakan bagian tumbuhan yang banyak mengandung nutrisi, sehingga burung lebih menyukai buah dibandingkan bagian lain dari tumbuhan. Selain itu, buah lebih mudah dipetik, ditangani dan ditelan oleh burung pemakan buah. Karakteristik buah yang diduga sebagai alasan dipilih oleh hewan pemakannya adalah penampilan buah (ukuran buah, berat daging buah terhadap berat buah, jumlah dan ukuran biji), kandungan nutrisi (karbohidrat, lipid, protein dan mineral), dan metabolit sekunder (Jordano 1992, 2000). Secara keseluruhan, ciri tadi memberi keuntungan kepada pemakannya yaitu total daging buah yang dapat dimakan dan kandungan nutrisi yang dapat diserap pada proses digesti (Herrera & Jordano 1981). 19

9 Ketersediaan buah di alam untuk burung dapat dilihat dari aspek kualitatif mencakup fenologi pembungaan dan buah, serta karakteristik buah berupa bentuk dan warna, aspek kuantitatif mencakup kelimpahannya (Radis 1997) Fenologi Pembungaan dan Buah Pola-pola fenologi tumbuhan buah di daerah tropik bervariasi dan kompleks. Komunitas tumbuhan buah mempunyai fase berbuah secara musiman. Spesies tumbuhan buah di daerah subtropik mengalami pembungaan dan menghasilkan buah pada musim semi, ketika suhu lingkungan meningkat, dan menghasilkan buah matang pada musim dingin. Oleh karena itu, ketersediaan buah maksimum di daerah subtropik cenderung terjadi di musim dingin (November-Januari), bertepatan dengan migrasi burung pemakan buah dari Palaearctic (Corlett 1998a; Noma & Yumoto 1997). Fenologi pembungaan dan buah menunjukkan perbedaan di daerah tropik Asia dengan di subtropik. Fenologi pembungaan cenderung terjadi di musim kemarau dan buah matang pada musim hujan (Kimura et al. 2001). Kelimpahan buah tersedia secara maksimum tampak kurang mencolok di daerah tropik (Borges 1993; Corlett 1998b), tetapi beberapa spesies tumbuhan tertentu tampak sangat mencolok ketersediaannya antara musim kemarau dan musim hujan, seperti buah puspa dan kayu putih (Partasasmita 1998). Fenologi tumbuhan tidak secara teratur menyesuaikan dengan musim panas dan musim hujan (Kimura et al. 2001). Walaupun seluruh studi mendeteksi siklus tahunan di tingkat komunitas, tetapi mempunyai hubungan yang lemah di tingkat populasi (Corlett & LaFrankie 1998; Corlett 1998b). Spesies tumbuhan buah tidak seluruhnya mempunyai fenologi berbuah supra-annual yaitu setiap individu tumbuhan buah mengalami periode berbuah yang terus-menerus sepanjang tahun. Akan tetapi, siklus tahunan atau dua tahunan tumbuhan berbuah juga tidak umum. Tumbuhan berbuah kadang-kadang terjadi beberapa kali dalam satu tahun, terutama spesies tumbuhan semak dengan periode berbuah yang hampir sama dari setiap individunya (Corlett & LaFrankie 1998; Corlett 1998b). 20

10 Pergantian musim berpengaruh terhadap penurunan jumlah buah masak di hutan subtropik dan hutan tropik pada beberapa tumbuhan. Sebagian besar pengaruh pergantian musim terjadi pada lamanya periode fase perkembangan buah, dan proses pematangan buah. Proses pematangan buah selalu lebih dari 1,5 bulan di hutan tropik, sedangkan di hutan subtropik lebih dari 4 bulan (Herrera 1984a) Kelimpahan Buah Kelimpahan buah sangat bervariasi pada ruang dan waktu. Distribusi horizontal dari tumbuhan buah berhubungan dengan kekayaan spesies tumbuhan dalam komunitas, sehingga menentukan pola distribusi sparsial buah di habitat. Jika tingkat suksesi dari vegetasi berbeda, maka kelimpahan buah untuk pemakan buah beda pula (Herrera 1985; Jordano 1992, 2000). Tumbuhan buah di hutan subtropik yang paling banyak adalah tumbuhan semak pada saat suksesi, tetapi tumbuhnya sangat sensitif terhadap naungan. Tumbuhan semak tersebut terkonsentrasi di daerah terbuka dan pinggiran hutan serta menjadi jarang di bagian dalam hutan (Herrera 1985). Kelimpahan buah sangat dipengaruhi oleh musim dan keadaan lingkungan seperti curah hujan. Pembungaan cenderung menghasilkan buah lebih sedikit ketika menjelang musim hujan di daerah tropik. Hal ini karena curah hujan yang tinggi menghambat proses pembungaan, perkembangan buah dan pematangan buah (Kimura et al. 2001). Variasi pencahayaan dan kelembaban lingkungan berpengaruh secara langsung terhadap variasi fenologi di tingkat komunitas (Jordano 1992, 2000). Kepadatan buah terjadi selalu di bawah 10 5 buah/ha (10 kg berat kering/ha) di hutan subropik. Tumbuhan semak di dataran rendah Mediterania memiliki jumlah kepadatan buah hampir sama dengan di beberapa hutan tropik, yaitu 80 kg berat kering/ha, dan kepadatan buah mencapai lebih dari 1,4 x 10 6 buah/ha/tahun (Herrera 1984a; Jordano 1995). Hutan hujan tropik menghasilkan banyaknya buah yang bervariasi. Umumnya kepadatan buah antara kg berat kering/ha, sedangkan semak di pegunungan berkisar antara 1-8 kg berat kering/ha (Blake et al. 1990; Jordano 1992, 2000). 21

11 2.4.3 Karakteristik Buah Warna Buah Sebagian besar burung pemakan buah memakan buah yang hampir matang atau matang (Corlett 1998a, 1998b). Akan tetapi, beberapa burung paruh bengkok cenderung memakan buah yang masih muda seperti burung Nymphicus holandricus (Jones 1987) dan Psittacula alexandri (Partasasmita 1998). Buah berdaging di daerah subtropik umumnya mempunyai warna matang hitam atau merah (Corlett 1996). Pada umumnya ketersediaan buah matang berwarna coklat, kuning dan hijau lebih rendah di suatu habitat. Akan tetapi buah-buahan yang dimakan burung memiliki warna yang lebih cerah dibandingkan warna buah-buahan yang dimakan hewan mamalia (Leighton & Leighton 1983). Suryadi (1994) menemukan warna makanan burung rangkong lebih didominasi warna buah merah dan ungu. Beberapa burung mempunyai mata yang bersel tetrachromatik dan dapat membedakan warna permukaan benda dalam kisaran ultraviolet ( nm) dari spektrum (Corlett 1998b; Schmidt 2002). Sedangkan tipe sel trichromatik dimiliki mamalia terbatas pada primata, meliputi seluruh monyet dan kera (Osorio et al. 2004; Corlett 1998b). Seluruh mamalia herbivora lainnya mempunyai mata yang bersel dichromat atau malam hari tidak bisa membedakan pola warna dengan jelas. Perubahan pada primata dari memiliki tipe sel dichromatik menjadi trichromatik merupakan hasil evolusi sebagai bentuk adaptasi terutama bagi primata pemakan buah. Hasil perubahan tersebut mempermudah pemakan buah mendeteksi keberadaan buah-buahan yang berada diantara daun-daunan (Corlett 1998b; Schmidt 2002) Ukuran Buah dan Biji Berat buah dan biji lebih bervariasi di daerah garis katulistiwa seperti Singapura (Corlett 1998b) dan pinggiran daerah tropika seperti di Hongkong (Corlett 1996). Buah-buahan terkecil di daerah tersebut mempunyai berat segar ± 5 mg, terbesar ± 1 kg dengan berat biji ± 0,02 mg (Melastomataceae dan Rubiaceae), dan 5-10 g (Anacardiaceae, Burseraceae, Lauraceae, Myristicaceae dan Palmae) (Corlett 22

12 1998b). Berat buah beringin yang dimakan rangkong di pulau Sulawesi berkisar antara 0,08 15,3 g dengan diameter buah 5,43 30 mm (Suryadi 1994). Ukuran buah dan biji berinteraksi dengan karakteristik hewan penyebarnya yang potensial. Buah berukuran besar banyak tersedia di habitat, tetapi burung kesulitan untuk memakannya jika buah tersebut harus ditelan seluruhnya (Leighton & Leighton 1983). Buah yang berdiameter kecil (<8 mm) dapat dimakan oleh seluruh vertebrata pemakan buah. Akan tetapi hewan-hewan besar tidak menyukainya walaupun kadang-kadang memakannya, jika kepadatan buah tinggi atau satu pengambilan dapat diperoleh jumlah buah yang banyak (Corlett 1998b). Ukuran diameter buah (8-13 mm) berpotensi sebagai makanan untuk seluruh burung pemakan buah, tetapi hanya beberapa spesies burung yang memakannya seperti burung Zosteropidae dan Dicaeidae (Corlett 1998b). Ukuran diameter buah 22 mm dapat ditelan oleh beberapa spesies burung tertentu saja, seperti burung Enggang, Merpati buah, Kuau besar, Anis, Jalak, Bentet, dan Gagak (Leighton & Leighton 1983; Corlett 1998b; Ueda & Arima 2005). Diameter buah lebih dari 30 mm mungkin diluar kemampuan seluruh burung untuk menelannya. Namun ukuran buah seperti itu masih dapat dimakan oleh kebanyakan mamalia pemakan buah (Corlett 1998b). Sebagai contoh, ukuran diameter buah Ficus drupacea adalah 20 mm dan hanya dimakan oleh mamalia pemakan buah yang lebih besar (Leighton & Leighton 1983). Akan tetapi, di Thailand burung yang sering memakan buah Ficus drupacea adalah Cabai (Dicaeum tangkas) dengan cara dipatuk sebagian-sebagian, dan hanya Rangkong yang menelan buah secara keseluruhan (Corlett 1998b). Ukuran biji buah sangat berpengaruh terhadap kisaran buah yang dimakan oleh vertebrata. Ukuran buah di atas ambang, bijinya secara teratur dijatuhkan, diludahkan atau dimuntahkan tanpa melewati lambung. Ukuran biji buah yang dimuntahkan oleh kelompok monyet adalah ± 3-5 mm yaitu (Corlett & Lucas 1990; Corlett 1998b), walaupun hewan-hewan lebih kecil banyak menelan dan membuangnya melalui feses (Corlett & Lucas 1990). Burung dapat memakan buah dalam kisaran ukuran buah yang lebar, kecuali buah yang berukuran terlalu besar untuk ditelan dan terlalu keras untuk di patuk (Corlett 1998b). 23

13 Nutrisi Buah Menurut Corlett (1996), komponen utama karakteristik 153 spesies buah (30% tumbuhan buah berdaging) didominasi buah-buahan berbiji tunggal di Hongkong. Buah-buahan tersebut mempunyai lapisan daging buah yang banyak mengandung air, lemak, karbohidrat dan berbiji banyak. Dari 58 spesies tumbuhan yang banyak mengandung karbohidrat menunjukkan bahwa burung pemakan buah memakan buah yang mengandung banyak hexosa, sementara mamalia memakan buah yang mengandung banyak hexosa dan sukrosa di Hongkong (Ko et al. 1998; Corlett 1998b). Menurut Cipollini (2000) metabolit sekunder membantu lebih dari satu fungsi adaptasi buah berdaging untuk dipilih sebagai pakan oleh burung. Buah Ficus spp. termasuk jenis pakan yang sering dimakan oleh burung. Walaupun buah tersebut memiliki kandungan serat yang tinggi dan nilai nutrisi yang rendah (Corlett 1998b). Di Hongkong, 8 spesies tumbuhan buah memiliki kisaran kandungan nutrisi dalam daging buahnya yang hampir sama, yaitu 45-71% total larutan karbohidrat, 9-25% serat, 2-11% protein dan 1-6% lemak (Corlett 1996). Beberapa burung pemakan buah sangat tergantung kebutuhan hidupnya pada ketersediaan buah Ficus spp. seperti Merpati hijau dan Rangkong. Kandungan nutrisi buah Ficus spp diduga telah mencukupi kebutuhan burung-burung tadi (Kinnaird 1992). 2.5 Perilaku Makan Berdasarkan terminologi, perilaku makan terdiri dari serangkaian aktivitas makan yang dimulai dari mencari makanan, menangani sampai dengan memakannya (menelan). Hewan termasuk burung dalam menangani makanannya dilakukan dengan berbagai cara. Sebagai contoh, makanan diambil kemudian ditelan langsung atau diputar-putar bahkan dibanting-banting terlebih dahulu sebelum dimakan, jika makanan tersebut masih hidup seperti ikan, katak dan ular (Welty & Baptista 1988; Huntingford 1984). Burung pemakan buah juga bervariasi dalam cara penanganan makanannya. Sebagai contoh, Rangkong akan mengapit buah di antara paruhnya dalam waktu

14 detik, kemudian dilemparkan ke atas, lalu ditangkap oleh paruhnya dan langsung ditelan (Suryadi 1994). Betet jawa menangani buah dengan cara dipegang oleh kakinya, kemudian buah digaruk dan disobek kulit buahnya serta dimakan sebagiansebagian daging buahnya jika ukuran buah besar (Partasasmita 1998). Buah yang ditelan secara keseluruhan oleh burung berpotensi disebarkan bijinya, sedangkan buah yang dimakan sebagian-sebagian cenderung kurang berpotensi disebar bijinya (Wheelwright 1991) Waktu Aktivitas Makan Aktivitas makan hewan diurnal dimulai pada pagi hari sampai sore hari menjelang tidur. Burung melakukan aktivitas terbang pada umumnya bersifat bimodal, pagi hari meningkat kemudian pada siang hari menurun dan meningkat kembali pada sore hari. Fluktuasi tersebut ada hubungannya dengan kebutuhan makanan oleh burung (Marsden 1995), sedang tinggi rendahnya frekuensi aktivitas makan diduga dipengaruhi oleh suhu lingkungan dan perubahan intensitas cahaya matahari (Smith 1990). Pada pagi hari hewan berusaha untuk makan sebanyakbanyaknya dan energi yang diperoleh pada pagi hari dipergunakan untuk aktivitas siang dan sore hari. Aktivitas makan meningkat pada sore hari diduga sebagai strategi untuk tetap mempunyai energi pada malam hari (Marsden 1995). Pemilihan waktu aktivitas makan dipengaruhi juga oleh ketersediaan makanan, kesesuaian tempat, ada tidaknya pesaing dan predator (Krebs & Davis 1978). Burung pemakan buah memiliki cara-cara tertentu dalam melakukan aktivitas makan, yaitu dengan mengambil buah sambil bertengger dekat dengan tandan buah, cara ini paling sering dipergunakan. Menurut Jordano (1992, 2000) burung pemakan buah mempunyai empat strategi manuver terbang yang berbeda untuk mengambil makanan dari tempat tenggerannya, yaitu pertama berhenti (hovering), metode ini digunakan oleh kelompok burung bondol (manakins), sikatan (flycatchers) dan Thraupidae; kedua memperlambat (stalling), dipakai oleh luntur (trogons); ketiga menyambar (swooping) dan memperlambat (stalling), memetik buah sambil terus bergerak dari satu tenggeran ke tenggeran yang lain, metoda ini digunakan oleh 25

15 kebanyakan familia Cotingidae; dan keempat mengambil buah dari tenggeran sambil berjalan memilih dan menggapai buah, kadang-kadang sambil menggantung (hanging) di dahan. Dua strategi pertama merupakan strategi yang paling umum digunakan burung pemakan buah Preferensi Makan Setiap organisme untuk melangsungkan kehidupannya memerlukan makanan. Setiap makanan yang dimakan oleh hewan dapat ditinjau dari dua aspek yaitu aspek kualitatif dan kuantitatif. Aspek kuantitatif mencakup kelimpahannya di habitat dan aspek kualitatif meliputi ukuran, warna, palatabilitas, nilai gizi dan kemudahan dicerna (Krebs & Davis 1978). Preferensi terhadap jenis pakan tertentu diduga dipengaruhi oleh warna, berat dan besar ukuran pakan, kelimpahan jenis pakan, dan kandungan nutrisinya. Pada burung yang berperan menentukan pola hidup dan jenis pakannya adalah ukuran tubuh, bentuk paruh dan sistem pencernaannya (Wiens 1992). Hubungan antara jenis makanan yang dikonsumsi oleh berbagai jenis burung dengan ketersediaannya di lingkungan dapat memperlihatkan fenomena pengalihan preferensi. Misalnya, apabila ketersediaan suatu jenis pakan di lingkungan rendah, maka penggunaan jenis pakan itu relatif rendah (tidak menampakkan preferensi), tetapi apabila ketersediaannya meningkat, maka hewan akan memperlihatkan preferensi yang tinggi terhadap jenis pakan tersebut (Smith 1990). Seleksi pakan oleh hewan termasuk burung adalah merupakan strategi dalam mengoptimalkan perolehan energi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Huntingford 1984; Krebs & Davis 1978). Semakin selektif pakan yang dimakan, maka waktu untuk mencari pakan tersebut akan semakin lama (Wheelwright 1991). Lamanya aktivitas makan burung akan menunjukkan kuantitas perolehan makanan. Semakin lama burung melakukan aktivitas makan di tumbuhan pakan, maka akan semakin banyak buah yang dimakan. Strategi tersebut sebagai bentuk mengoptimalkan perolehan sumberdaya pakan (Krebs & Davis 1978). Menurut Wheelwright (1991) burung pemakan buah harus tetap berada di tumbuhan pakan 26

16 hingga kenyang. Selain itu juga diduga bahwa lamanya kunjungan di tempat makan akan meningkatkan perolehan pakan oleh burung. 2.6 Interaksi Burung dan Tumbuhan Buah Interaksi antara tumbuhan berbuah dan burung frugivora memainkan peranan penting dalam regenerasi tumbuhan dan ketersediaan makanan bagi hewan. Burung frugivora berkontribusi pada penyebaran biji tumbuhan dan memberi peluang pada biji tumbuhan untuk tumbuh di tempat yang jauh dari induknya (Herrera 2002; Kominami et al. 2003). Buah merupakan makanan esensial bagi burung frugivora dan hewan omnivora. Buah juga mendukung kehadiran populasi spesies burung pada musim panas di semak Mediterranean (Herrera 1984a). Kehilangan burung pemakan buah yang relatif lama akibat perburuan akan berdampak besar terhadap regenerasi tumbuhan yang sangat tergantung pada burung untuk penyebaran bijinya. Demikian pula sebaliknya jika habitat mengalami kerusakan vegetasinya akan berpengaruh terhadap ketersediaan buah, dan selanjutnya berdampak pada keanekaan dan kelimpahan burung yang sangat tergantung pada tumbuhan buah tersebut (Loiselle & Blake 2002) Penyebaran biji Banyak spesies tumbuhan dalam menyebarkan bijinya bergantung kepada burung pemakan buah di hutan tropis. Ketidakhadiran spesies burung karena pengaruh fragmentasi hutan, akan berpengaruh terhadap regenerasi spesies-spesies tumbuhan di tempat tersebut (Corlett 2002). Spesies burung yang membantu penyerbukan dan penyebaran biji beberapa jenis tumbuhan tertentu, antara lain Burung madu (Nectarinidae), burung-burung dari suku Anatidae, Columbidae, Turdidae, Corvidae dan Sittidae (Welty & Baptista 1988), Pycnonotidae (Fukui 1995). Delapan puluh lima persen dari hampir 200 spesies tumbuhan berbiji disebarkan bijinya oleh burung di hutan sekunder dan semak subtropik (Corlett, 1996), antara lain dari tumbuhan Lantana camara, Sapium discolor, Litsea sp., Ficus spp., dan Dendrophthoe spp. (Reid 1990). 27

17 Kepadatan burung frugivora dan pergerakannya sering dihubungkan secara langsung dengan penyebaran buah buahan (Levey 1988). Pada saat ketersediaan buah menurun, burung pemakan buah Pipra mentalis berhenti berkembang biak, dan terjadi perubahan pola makan dengan lebih banyak memakan serangga sambil mencari tempat yang lebih banyak buahnya. Burung ini bergerak sepanjang hutan untuk mencari tempat dimana terdapat buah yang melimpah ( Levey et al. 1994). Menurut hasil penelitian Herrera (1984b), burung passerine semak dapat dibagi menjadi tiga kategori sesuai dengan jenis makanan dan teknik penangan buah yaitu: 1. non-frugivores, spesies spesies yang tidak pernah tercatat memakan buahbuah walaupun kelimpahan buah tinggi. 2. fruit predators, spesies-spesies yang memakan daging buah, biji-bijian, atau keduanya tetapi tidak melakukan penyebaran biji. 3. seed dispersers, spesies-spesies yang memakan seluruh buah- buah berdaging dan memuntahkan bijinya kembali atau mengeluarkan bijinya bersama feses. Menurut Wheelwright (1991) buah yang memiliki biji besar ditemukan bijinya terjatuh dekat dengan tumbuhan induknya, karena tidak dicerna dan biji dimuntahkan lebih cepat oleh burung. Buah kecil dengan biji kecil jatuh jauh dari tumbuhan induk karena ditelan dan melalui proses digesti (pencernaan) burung sebelum jatuh bersama feses burung pemakan buah. Dua aspek penting yang mempengaruhi hasil penyebaran biji oleh burung adalah perilaku penanganan biji (baik ingesti maupun digesti) dan waktu retensi (Jordano 1992, 2000). Bentuk perilaku penanganan biji menentukan jumlah biji utuh yang dapat disebar. Menurut Jordano (1995) burung penyebar biji sejati adalah burung yang menelan keseluruhan buah, memuntahkan atau mendefekasikan bijinya setelah meninggalkan tumbuhan induknya. Burung yang berperan sebagai penyebar biji adalah burung pemakan buah, tetapi tidak semua burung pemakan buah merupakan penyebar biji. Untuk membedakan jenis makanan yang dimakan oleh burung, dapat dilakukan dengan cara pengamatan langsung saat burung melakukan aktivitas makannya, analisis isi lambung, analisis muntahan, dan komposisi biji dalam feses 28

18 (Corlett 1998b). Analisis komposisi feses dimungkinkan untuk mengetahui jenis makanannya karena feses tersebut tersusun dari bagian-bagian makanan yang tidak tercerna dan bagian tersebut masih dapat diidentifikasi (Corlett 1996). Kombinasi jenis biji dalam feses burung frugivora, bukan hasil proses acak dari buah yang tersedia di habitat, tetapi lebih mengindikasikan terdapat pemilihan yang konsisten oleh burung (Jordano 1992, 2000). Reid (1989) menemukan penyebaran tumbuhan parasit hanya terdapat di tumbuhan inang tertentu karena disebarkan oleh burung tertentu pula Daya Kecambah Biji Berdasarkan terminology, biji secara struktural dapat dikatakan benih yaitu, bagian dari tanaman yang digunakan untuk memperbanyak atau mengembangbiakkan (Widajati et al. 2008). Mutu fisiologis dari biji dapat diukur dari viabilitasnya yaitu kemampuan hidup biji untuk tumbuh. Menurut Sadjad (1993) periode viabilitas biji yang sangat menentukan adalah pada proses pembentukan, perkembangan dan pemasakan fisiologis. Setelah biji masak secara fisiologis akan memasuki fase pengurangan kadar air dan biji menjadi dorman. Dormasi merupakan mekanisme yang mengatur perkecambahan biji, serta menjadi aspek penting dari spesies tumbuhan dan ekologinya. Perkecambahan terjadi ketika biji tumbuhan tumbuh, dan berkembang secara optimal. Dormansi adalah mencegah terjadinya perkecambahan ketika biji tersebar di tempat yang tidak cocok untuk tumbuh (Walck et al. 2002). Beberapa buah yang matang dari spesies tumbuhan memiliki biji yang terdapat tunas embrio di dalamnya, dengan ukuran lebih kecil dari bijinya. Embrio sangat kecil serta dapat dibedakan dari kotiledon dan bakal akar. Embrio tidak akan berkembang sebelum akar tumbuh memanjang. Embrio tidak berkembang karena dorman pada saat pematangan, ini berarti biji mempunyai dorman secara ekofisiologi, sehingga membutuhkan pemecah dorman seperti dengan air, panas atau dingin (Walck et al. 2002; Widajati et al. 2008). Menurut Widajati et al. (2008) dan Bewley & Black (1986) proses-proses yang terjadi di awal perkecambahan yaitu imbibisi. Kecepatan imbibisi sangat dipengaruhi oleh permeabilitas kulit biji, komposisi kimia biji, suhu 29

19 dan konsentrasi air. Setelah imbibisi, selanjutnya terjadi reaktivasi enzim, inisiasi pertumbuhan embrio dan retaknya kulit biji, serta kemudian munculnya akar menembus kulit biji (Bewley & Black 1986). Spesies tumbuhan semak di hutan subtropik 87,5 % termasuk pada kelompok dorman pada saat pematangan. Kecepatan perkecambahan biji dari buah yang matang sebagian besar dihambat oleh keberadaan daging buah dan exocarp dari biji (Fukui 1995). Loiselle (1990) dan Jordano (2000) menunjukkan secara eksperimen bahwa kombinasi spesifik dari penyebaran biji dalam feses burung pemakan buah berpengaruh langsung terhadap perkecambahan biji dan kemampuan bertahan hidupnya. Demikian pula waktu retensi dari burung pemakan buah dapat meningkatkan daya kecambah biji (Barnea et al. 1990, 1991, 1992). 30

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunitas burung merupakan salah satu komponen biotik ekosistem yang berperan dalam menjaga keseimbangan dan kelestarian alam. Peran tersebut dapat tercermin dari posisi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat 2.2 Komunitas Burung 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Habitat Habitat adalah kawasan yang terdiri dari berbagai komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang

Lebih terperinci

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998). II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suksesi dan Restorasi Hutan Hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang di dominasi oleh pepohonan. Masyarakat hutan merupakan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang hidup dan tumbuh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Burung Burung merupakan satwa yang mempunyai arti penting bagi suatu ekosistem maupun bagi kepentingan kehidupan manusia dan membantu penyebaran Tumbuhan yang ada disuatu kawasan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Burung Burung merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai di setiap tempat dan mempunyai posisi yang penting sebagai salah satu kekayaan alam di Indonesia. Jenisnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Relung Ekologi Relung (niche) menunjukkan peranan fungsional dan posisi suatu organisme dalam suatu komunitas atau ekosistem tertentu (Indriyanto, 2006). Relung ekologi juga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan

I. PENDAHULUAN. adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kelelawar sudah dikenal masyarakat Indonesia secara luas, terbukti dari adanya berbagai nama. Di Indonesia bagian timur kelelawar disebut dengan paniki, niki, atau

Lebih terperinci

6. PEMBAHASAN UMUM 6.1 Kondisi Vegetasi Habitat Komunitas Burung di Lokasi Penelitian

6. PEMBAHASAN UMUM 6.1 Kondisi Vegetasi Habitat Komunitas Burung di Lokasi Penelitian 6. PEMBAHASAN UMUM 6.1 Kondisi Vegetasi Habitat Komunitas Burung di Lokasi Penelitian Kondisi vegetasi di tiga tipe habitat yang sedang mengalami suksesi tampak menunjukkan perbedaan terutama pada kerapatan

Lebih terperinci

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi

Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 106 Lampiran 3. Rubrik Penilaian Jawaban Esai Ekologi 1. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa energi matahari akan diserap oleh tumbuhan sebagai produsen melalui klorofil untuk kemudian diolah menjadi

Lebih terperinci

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun

II.TINJAUAN PUSTAKA. Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun II.TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Mamalia lebih dikenal dari pada burung (Whitten et al, 1999). Walaupun demikian burung adalah satwa yang dapat ditemui dimana saja sehingga keberadaanya sangat sulit dipisahkan

Lebih terperinci

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer

Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer Ekosistem adalah kesatuan interaksi antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem juga dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang komplek antara organisme dengan lingkungannya. Ilmu yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pohon merbau darat telah diklasifikasikan secara taksonomi sebagai berikut

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pohon merbau darat telah diklasifikasikan secara taksonomi sebagai berikut 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Merbau Darat 1. Deskripsi Ciri Pohon Pohon merbau darat telah diklasifikasikan secara taksonomi sebagai berikut (Martawijaya dkk., 2005). Regnum Subregnum Divisi Kelas Famili

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total

TINJAUAN PUSTAKA. Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total 15 TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Pulau Sembilan merupakan salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten Langkat. Pulau Sembilan ini memiliki luas ± 15,65 km 2 atau ± 9,67% dari total luas

Lebih terperinci

2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup

2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup 2. Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup 2.1 Mengidentifikasi kelangsungan hidup makhluk hidup melalui adaptasi, seleksi alam, dan perkembangbiakan 1. Mengaitkan perilaku adaptasi hewan tertentu dilingkungannya

Lebih terperinci

BAB 50. Pengantar Ekologi dan Biosfer. Suhu Suhu lingkungan. dalam pesebaran. membeku pada suhu dibawah 0 0 C,dan protein.

BAB 50. Pengantar Ekologi dan Biosfer. Suhu Suhu lingkungan. dalam pesebaran. membeku pada suhu dibawah 0 0 C,dan protein. BAB 50 Pengantar Ekologi dan Biosfer Faktor abiotik dalam Biosfer Iklim dan faktor abotik lainnya adalah penentu penting persebaran organisme dalam biosfer lingkungan merupakan faktor penting dalam pesebaran

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman srikaya memiliki bentuk pohon yang tegak dan hidup tahunan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman srikaya memiliki bentuk pohon yang tegak dan hidup tahunan. 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Srikaya (Annona squamosa L.). 2.1.1 Klasifikasi tanaman. Tanaman srikaya memiliki bentuk pohon yang tegak dan hidup tahunan. Klasifikasi tanaman buah srikaya (Radi,1997):

Lebih terperinci

Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya 1. Faktor Genetik : Faktor dalam yang sifatnya turun temurun + 2. Faktor lingkungan: - Tanah - Air - Lingkungan - udara (iklim) Iklim-------- sifat/peradaban

Lebih terperinci

5/4/2015. Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya

5/4/2015. Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya Tim Dosen Biologi FTP Universitas Brawijaya 1. Faktor Genetik : Faktor dalam yang sifatnya turun temurun + 2. Faktor lingkungan: - Tanah - Air - Lingkungan - udara (iklim) Iklim-------- sifat/peradaban

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keanekaragaman Jenis Burung di Permukiman Keanekaragaman hayati dapat dikategorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu keanekaragaman jenis, keanekaragaman genetik, dan keanekaragaman

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Populasi Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Populasi adalah kelompok kolektif spesies yang sama yang menduduki ruang tertentu dan pada saat tertentu. Populasi mempunyai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis

TINJAUAN PUSTAKA. menjadi tegas, kering, berwarna terang segar bertepung. Lembab-berdaging jenis 16 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Ada 2 tipe akar ubi jalar yaitu akar penyerap hara di dalam tanah dan akar lumbung atau umbi. Menurut Sonhaji (2007) akar penyerap hara berfungsi untuk menyerap unsur-unsur

Lebih terperinci

Komponen rantai makanan menurut nicia/jabatan meliputi produsen, konsumen, dan pengurai. Rantai makanan dimulai dari organisme autotrof dengan

Komponen rantai makanan menurut nicia/jabatan meliputi produsen, konsumen, dan pengurai. Rantai makanan dimulai dari organisme autotrof dengan Rantai Makanan Rantai makanan adalah perpindahan materi dan energi dari suatu mahluk hidup ke mahluk hidup lain dalam proses makan dan dimakan dengan satu arah. Tiap tingkatan dari rantai makanan disebut

Lebih terperinci

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota

IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. administratif berada di wilayah Kelurahan Kedaung Kecamatan Kemiling Kota IV. KONDISI DAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Pembentukan Taman Kupu-Kupu Gita Persada Taman Kupu-Kupu Gita Persada berlokasi di kaki Gunung Betung yang secara administratif berada di wilayah Kelurahan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan dapat diberi batasan sesuai dengan sudut pandang masing-masing pakar. Misalnya dari sisi ekologi dan biologi, bahwa hutan adalah komunitas hidup yang terdiri dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mc Naughton dan Wolf (1992) tiap ekosistem memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mc Naughton dan Wolf (1992) tiap ekosistem memiliki II. TINJAUAN PUSTAKA A. Distribusi Menurut Mc Naughton dan Wolf (1992) tiap ekosistem memiliki karakteristik yang berbeda, karena komposisi spesies, komunitas dan distribusi organismenya. Distribusi dalam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan tanaman sayuran yang berasal dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan tanaman sayuran yang berasal dari II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Informasi Mengenai Buncis Secara Umum Buncis (Phaseolus vulgaris L.) merupakan tanaman sayuran yang berasal dari Amerika. Buncis merupakan tanaman musim panas yang memiliki tipe

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV Kendala utama penelitian walet rumahan yaitu: (1) rumah walet memiliki intensitas cahaya rendah, (2) pemilik tidak memberi ijin penelitian menggunakan metode pengamatan

Lebih terperinci

1. Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan

1. Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan 1. Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan Pengertian pertumbuhan adalah Proses pertambahan volume dan jumlah sel sehingga ukuran tubuh makhluk hidup tersebut bertambah besar. Pertumbuhan bersifat irreversible

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Ungko (Hylobates agilis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) 2.1.1 Klasifikasi Ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Symphalangus syndactylus) merupakan jenis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan. tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan. tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Secara morofologis orangutan Sumatera dan Kalimantan sangat serupa, tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya (Napier dan

Lebih terperinci

EKOLOGI TERESTRIAL. Ekologi adalah Ilmu Pengetahuan

EKOLOGI TERESTRIAL. Ekologi adalah Ilmu Pengetahuan EKOLOGI TERESTRIAL Ekologi adalah Ilmu Pengetahuan Ekologi berasal dari bahasa Yunani, yangterdiri dari dua kata, yaitu oikos yang artinya rumah atau tempat hidup, dan logos yang berarti ilmu. Ekologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan nama latin Syzygium aromaticum atau Eugenia aromaticum. Tanaman

BAB I PENDAHULUAN. dengan nama latin Syzygium aromaticum atau Eugenia aromaticum. Tanaman BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Cengkeh adalah tumbuhan asli Maluku, Indonesia. Cengkeh dikenal dengan nama latin Syzygium aromaticum atau Eugenia aromaticum. Tanaman asli Indonesia ini tergolong

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat

TINJAUAN PUSTAKA. Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah. jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat 17 TINJAUAN PUSTAKA Bio-ekologi Burung Satwa burung (avifauna) merupakan salah satu satwa yang mudah dijumpai hampir di setiap tempat. Jenisnya sangat beranekaragam dan masingmasing jenis memiliki nilai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

CIRI KHUSUS MAKHLUK HIDUP DAN LINGKUNGAN HIDUPNYA

CIRI KHUSUS MAKHLUK HIDUP DAN LINGKUNGAN HIDUPNYA BAB 1 CIRI KHUSUS MAKHLUK HIDUP DAN LINGKUNGAN HIDUPNYA Tujuan Pembelajaran: 1) mendeskripsikan hubungan antara ciri-ciri khusus hewan dengan lingkungannya; 2) mendeskripsikan hubungan antara ciri-ciri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kayu afrika merupakan jenis pohon yang meranggas atau menggugurkan daun

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kayu afrika merupakan jenis pohon yang meranggas atau menggugurkan daun II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kayu Afrika (Maesopsis eminii) Kayu afrika merupakan jenis pohon yang meranggas atau menggugurkan daun tinggi mencapai 45 m dengan batang bebas cabang 2 per 3 dari tinggi total,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Pakan Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untuk kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pembiakan Vegetatif Viabilitas dan Vigoritas

TINJAUAN PUSTAKA Pembiakan Vegetatif Viabilitas dan Vigoritas TINJAUAN PUSTAKA Pembiakan Vegetatif Secara umum, pembiakan tanaman terbagi menjadi dua cara yaitu pembiakan generatif dan pembiakan vegetatif. Pembiakan vegetatif merupakan perbanyakan tanaman tanpa melibatkan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi botani tanaman palem botol adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi botani tanaman palem botol adalah sebagai berikut: TINJAUAN PUSTAKA Botani tanaman Klasifikasi botani tanaman palem botol adalah sebagai berikut: Kingdom Divisio Sub divisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Spermatophyta : Angiospermae : Monocotyledonae

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Asam jawa merupakan tanaman keras berumur panjang yang dapat mencapai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Asam jawa merupakan tanaman keras berumur panjang yang dapat mencapai 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Botani Asam Jawa (Tamarindus indica) Asam jawa merupakan tanaman keras berumur panjang yang dapat mencapai umur hingga 200 tahun. Akar pohon asam jawa yang dalam, juga membuat

Lebih terperinci

Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam. taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili

Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam. taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili Menurut van Steenis (2003), sistematika dari kacang tanah dalam taksonomi termasuk kelas Dicotyledoneae; ordo Leguminales; famili Papilionaceae; genus Arachis; dan spesies Arachis hypogaea L. Kacang tanah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Tanaman salak yang digunakan pada penelitian ini adalah salak pondoh yang ditanam di Desa Tapansari Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman Yogyakarta.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas ( Biodiversity

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas ( Biodiversity II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biodiversitas (Biodiversity) Biodiversitas atau keanekaragaman hayati adalah berbagai macam bentuk kehidupan, peranan ekologi yang dimilikinya dan keanekaragaman plasma nutfah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sumber daya alam untuk keperluan sesuai kebutuhan hidupnya. 1 Dalam suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Organisme atau makhluk hidup apapun dan dimanapun mereka berada tidak akan dapat hidup sendiri. Kelangsungan hidup suatu organisme akan bergantung kepada organisme lain

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kacang tunggak (Vigna unguiculata (L.)) merupakan salah satu anggota dari

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kacang tunggak (Vigna unguiculata (L.)) merupakan salah satu anggota dari II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Taksonomi dan Morfologi Kacang Tunggak Kacang tunggak (Vigna unguiculata (L.)) merupakan salah satu anggota dari genus Vignadan termasuk ke dalam kelompok yang disebut catjangdan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tumbuhan Herba Herba adalah semua tumbuhan yang tingginya sampai dua meter, kecuali permudaan pohon atau seedling, sapling dan tumbuhan tingkat rendah biasanya banyak ditemukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Propinsi Sumatera Utara, dan secara geografis terletak antara 98 o o 30 Bujur

II. TINJAUAN PUSTAKA. Propinsi Sumatera Utara, dan secara geografis terletak antara 98 o o 30 Bujur II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Lokasi a. Letak dan Luas Taman Wisata Alam (TWA) Sicike-cike secara administratif berada di Dusun Pancur Nauli Desa Lae Hole, Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi Propinsi

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 5. Kelangsungan hidup makhluk hidup melalui adaptasi, seleksi alam, dan perkembangbiakanlatihan Soal 5.2

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 5. Kelangsungan hidup makhluk hidup melalui adaptasi, seleksi alam, dan perkembangbiakanlatihan Soal 5.2 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 5. Kelangsungan hidup makhluk hidup melalui adaptasi, seleksi alam, dan perkembangbiakanlatihan Soal 5.2 1. Cara adaptasi tingkah laku hewan mamalia air yang hidup di air laut

Lebih terperinci

2016 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI MACAM PAKAN ALAMI TERHAD APPERTUMBUHAN D AN PERKEMBANGAN FASE LARVA

2016 PENGARUH PEMBERIAN BERBAGAI MACAM PAKAN ALAMI TERHAD APPERTUMBUHAN D AN PERKEMBANGAN FASE LARVA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kupu-kupu merupakan satwa liar yang menarik untuk diamati karena keindahan warna dan bentuk sayapnya. Sebagai serangga, kelangsungan hidup kupu-kupu sangat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Penelitian Penelitian dilaksanakan di rumah kaca C Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini dilakukan selama kurun waktu 4 bulan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tanaman kedelai (Glycine max L. Merrill) memiliki sistem perakaran yang terdiri dari akar tunggang, akar sekunder yang tumbuh dari akar tunggang, serta akar cabang yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional Way Kambas Pada tahun 1924 kawasan hutan Way Kambas ditetapkan sebagai daerah hutan lindung. Pendirian kawasan pelestarian alam Way Kambas dimulai sejak tahun 1936

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Desa Serang merupakan salah satu desa di Kecamatan Karangreja,

I. PENDAHULUAN. Desa Serang merupakan salah satu desa di Kecamatan Karangreja, I. PENDAHULUAN Desa Serang merupakan salah satu desa di Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Desa Serang terletak pada ketinggian 800-1200 dpl dan memiliki curah hujan bulanan mencapai

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang

TINJAUAN PUSTAKA. Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang 17 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Sawi hijau sebagai bahan makanan sayuran mengandung zat-zat gizi yang cukup lengkap untuk mempertahankan kesehatan tubuh. Komposisi zat-zat makanan yang terkandung dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda 4.1.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci Berdasarkan hasil penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang dilindungi melalui Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati

Lebih terperinci

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK

BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK BAB V PROFIL SATWALIAR GUNUNG PARAKASAK A. Kehadiran Satwaliar Kelompok Mamalia Kawasan Gunung Parakasak memiliki luas mencapai 1.252 ha, namun areal yang berhutan hanya tersisa < 1%. Areal hutan di Gunung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Makanan Alami Ikan Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam perkembangbiakan ikan baik ikan air tawar, ikan air payau maupun ikan air laut. Fungsi utama

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi Orangutan Orangutan termasuk kera besar dari ordo Primata dan famili Pongidae (Groves, 2001). Ada dua jenis orangutan yang masih hidup, yaitu jenis dari Sumatera

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai TINJAUAN PUSTAKA Ekologi Tanaman Jagung berikut : Menurut Rukmana (1997), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) adalah sebagai Kingdom Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kenari merupakan Family dari Burseraceae. Famili ini terdiri dari 16

BAB I PENDAHULUAN. Kenari merupakan Family dari Burseraceae. Famili ini terdiri dari 16 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kenari merupakan Family dari Burseraceae. Famili ini terdiri dari 16 genus dan sekitar 550 jenis yang tersebar di daerah-daerah tropis di seluruh dunia. Pohonnya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu mempunyai banyak nama daerah, di antaranya adalah ketela pohon,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Ubi kayu mempunyai banyak nama daerah, di antaranya adalah ketela pohon, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Ubi kayu: Taksonomi dan Morfologi Ubi kayu mempunyai banyak nama daerah, di antaranya adalah ketela pohon, singkong, ubi jenderal, ubi inggris, telo puhung, kasape, bodin,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

MATERI 1 STRUKTUR BENIH DAN TIPE PERKECAMBAHAN I. PENDAHULUAN

MATERI 1 STRUKTUR BENIH DAN TIPE PERKECAMBAHAN I. PENDAHULUAN MATERI 1 STRUKTUR BENIH DAN TIPE PERKECAMBAHAN I. PENDAHULUAN Teknologi benih adalah suatu ilmu pengetahuan mengenai cara-cara untuk dapat memperbaiki sifat-sifat genetik dan fisik benih yang mencangkup

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Klasifikasi lele masamo SNI (2000), adalah : Kingdom : Animalia Phylum: Chordata Subphylum: Vertebrata Class : Pisces

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman pepaya (Carica papaya L.) termasuk ke dalam family

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman pepaya (Carica papaya L.) termasuk ke dalam family TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Tanaman pepaya (Carica papaya L.) termasuk ke dalam family Caricaceae dan merupakan tanaman herba (Barus dan Syukri, 2008). Sampai saat ini, Caricaceae itu diperkirakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hujan Tropis Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Kelapa sawit adalah tanaman perkebunan berupa pohon batang lurus dari famili Palmae yang berasal dari Afrika. Kelapa sawit pertama kali diintroduksi ke Indonesia

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Buah Naga II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanaman Buah Naga Buah naga ( Dragon Fruit) merupakan salah satu tanaman hortikultura yang baru dibudidayakan di Indonesia dengan warna buah merah yang menyala dan bersisik hijau

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Hijau Kacang-kacangan (leguminosa), sudah dikenal dan dimanfaatkan secara luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

Lebih terperinci

BAB 4 KELANGSUNGAN HIDUP ORGANISME (MATERI IPA TERPADU KELAS IX) Kompetensi Dasar : Mengidentifikasi kelangsungan hidup makhluk hidup

BAB 4 KELANGSUNGAN HIDUP ORGANISME (MATERI IPA TERPADU KELAS IX) Kompetensi Dasar : Mengidentifikasi kelangsungan hidup makhluk hidup BAB 4 KELANGSUNGAN HIDUP ORGANISME (MATERI IPA TERPADU KELAS IX) Standar Kompetensi: Memahami kelangsungan hidup makhluk hidup Kompetensi Dasar : Mengidentifikasi kelangsungan hidup makhluk hidup melalui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya penting dalam

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya penting dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman budidaya penting dalam peradaban manusia. Padi sudah dikenal sebagai tanaman pangan sejak jaman prasejarah.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Meidita Aulia Danus, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Meidita Aulia Danus, 2015 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lepidoptera merupakan salah satu ordo dari ClassisInsecta(Hadi et al., 2009). Di alam, lepidoptera terbagi menjadi dua yaitu kupu-kupu (butterfly) dan ngengat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan I. 1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal memiliki banyak hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan tropis Indonesia adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kedelai tetap dipandang penting oleh Pemerintah dan telah dimasukkan dalam program pangan nasional, karena komoditas ini mengandung protein nabati yang tinggi 38%, lemak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar Hasil Uji t antara Kontrol dengan Tingkat Kematangan Buah Uji t digunakan untuk membandingkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Menurut Tjitrosoepomo (1989) tanaman kacang hijau termasuk suku (family) Leguminosae. Kedudukan tanamn kacang hijau dalam taksonomi tumbuhan diklasifikasikan

Lebih terperinci

TINGKAT ORGANISASI KEHIDUPAN

TINGKAT ORGANISASI KEHIDUPAN TINGKAT ORGANISASI KEHIDUPAN Dengan mempelajari materi urutan tingkat organisasi kehidupan dan pengertiannya, maka kita akan semakin mengerti manfaat biologi yang kita pelajari sebelumnya. Kita juga akan

Lebih terperinci

Faktor-Faktor Abiotik Utama dalam Persebaran Organisme. Assalamualaikum Wr. Wb. Ina Septi Wijaya BIOLOGI III-A

Faktor-Faktor Abiotik Utama dalam Persebaran Organisme. Assalamualaikum Wr. Wb. Ina Septi Wijaya BIOLOGI III-A Faktor-Faktor Abiotik Utama dalam Persebaran Organisme Assalamualaikum Wr. Wb Ina Septi Wijaya BIOLOGI III-A 109016100030 Apa yang dimaksud dengan faktor abiotik???? Faktor Abiotik Abiotik (bahasa Inggris:

Lebih terperinci

TANAMAN STYLO (Stylosanthes guianensis) SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA

TANAMAN STYLO (Stylosanthes guianensis) SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA TANAMAN STYLO (Stylosanthes guianensis) SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA TANAMAN Leguminosa Styloshanthes guianensis (Stylo) merupakan salahsatu tanaman pakan yang telah beradaptasi baik dan tersebar di

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. panennya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (hasil analisis disajikan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. panennya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (hasil analisis disajikan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Air Berdasarkan analisis varian satu jalur terhadap variabel kadar air biji sorgum yang berasal dari posisi yang berbeda pada malai sorgum disetiap umur panennya menunjukkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Viabilitas benih diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh menjadi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Viabilitas benih diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh menjadi 11 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Viabilitas Benih 2.1.1 Viabilitas benih Viabilitas benih diartikan sebagai kemampuan benih untuk tumbuh menjadi kecambah. Istilah lain untuk viabilitas benih adalah daya kecambah

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1.

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1. IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan, yakni perbanyakan inokulum cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1. Perbanyakan inokulum

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang terletak pada posisi BT dan LS. Purbalingga

I. PENDAHULUAN. yang terletak pada posisi BT dan LS. Purbalingga I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki kekayaan alam melimpah berupa flora dan fauna. Indonesia juga memiliki potensi besar dalam pengembangan usaha peternakan lebah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Regenerasi merupakan salah satu upaya mahluk hidup untuk. mempertahankan eksistensinya. Regenerasi tumbuhan dapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. Regenerasi merupakan salah satu upaya mahluk hidup untuk. mempertahankan eksistensinya. Regenerasi tumbuhan dapat 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Regenerasi Tumbuhan Regenerasi merupakan salah satu upaya mahluk hidup untuk mempertahankan eksistensinya. Regenerasi tumbuhan dapat dikelompokkan dalam dua cara, yaitu dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kondisi lingkungan tumbuh yang digunakan pada tahap aklimatisasi ini, sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan planlet Nepenthes. Tjondronegoro dan Harran (1984) dalam

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Area. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Area. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Area Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan kawasan pelestarian alam, seluas 1.094.692 Hektar yang terletak di dua propinsi, yaitu Propinsi Nanggroe Aceh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala

Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala Geografi Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang merupakan hasil pelapukan dan pengendapan batuan. Di dala TANAH Tanah dapat diartikan sebagai lapisan kulit bumi bagian luar yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan kawasan yang terdiri atas komponen biotik maupun abiotik yang dipergunakan sebagai tempat hidup dan berkembangbiak satwa liar. Setiap jenis satwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Botani Tanaman Bayam Bayam (Amaranthus sp.) merupakan tanaman semusim dan tergolong sebagai tumbuhan C4 yang mampu mengikat gas CO 2 secara efisien sehingga memiliki daya adaptasi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuh tumbuhan memanjat yang berperan sangat penting bagi kehidupan. Kerapatan hutan disebabkan oleh adanya

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAK A. 2.1 Karakteristik dan Komposisi Kimia Benih Kedelai

II. TINJAUAN PUSTAK A. 2.1 Karakteristik dan Komposisi Kimia Benih Kedelai II. TINJAUAN PUSTAK A 2.1 Karakteristik dan Komposisi Kimia Benih Kedelai Ukuran benih kacang kedelai berbeda-beda antarvarietas, ada yang kecil, sedang, dan besar. Warna bijinya kebanyakan kuning kecoklatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taksonomi Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan jenis kera kecil yang masuk ke dalam keluarga Hylobatidae. Klasifikasi siamang pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Hylobates syndactylus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga

BAB I PENDAHULUAN. daya tarik tinggi baik untuk koleksi maupun objek penelitian adalah serangga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara dengan kekayaan keanekaragaman jenis flora dan fauna yang tinggi. Salah satu kekayaan fauna di Indonesia yang memiliki daya tarik tinggi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai (Capsicum sp.) berasal dari Amerika dan menyebar di berbagai negara di dunia. Cabai termasuk ke dalam famili terong-terongan (Solanaceae). Menurut

Lebih terperinci