BAB I PENDAHULUAN. memiliki keterkaitan dan ketergantungan dengan hutan dalam. pemenuhan bahan pangan langsung dari dalam hutan seperti berburu hewan,

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perburuan satwa liar merupakan salah satu kegiatan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu yang sudah dikenal oleh manusia sejak zaman prasejarah. Masyarakat memiliki keterkaitan dan ketergantungan dengan hutan dalam pemenuhan bahan pangan langsung dari dalam hutan seperti berburu hewan, bahan pangan, buah-buahan dan bahan konstruksi bangunan (Awang, 2007). Menurut Suspina, (2013) berburu merupakan suatu bentuk tindakan yang bertujuan untuk menangkap, melukai, mengeluarkan satwa dari habitatnya serta mengambil bagian tubuh satwa liar untuk diperdagangkan atau untuk dikonsumsi. Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 1994 juga menjelaskan hal yang serupa mengenai pengertian berburu. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 1994 berburu adalah kegiatan menangkap dan atau membunuh satwa buru termasuk mengambil atau memindahkan telur-telur dan atau sarang satwa buru. Stanford & Bunn, (2001) juga menjelaskan, berburu merupakan kegiatan seharihari penduduk yang tinggal di hutan sejak zaman batu untuk memperoleh sumber protein. Pemanfaatan satwa untuk dikonsumsi memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemenuhan konsumsi protein hewani masyarakat (Pattiselanno, 2004). Sedikitnya ada 62 negara di dunia yang penduduknya memanfaatkan satwa liar sebagai sumber protein hewani melalui kegiatan perburuan (Prescot-Allen, 1982). 1

2 Semakin maraknya kegiatan perburuan yang dilakukan oleh masyarakat akan sangat berdampak terhadap kelestarian satwa-satwa liar khususnya satwa liar yang dilindungi. Gua sarang burung walet di Kabupaten Malinau telah dieksploitasi secara berlebihan sejak tahun 1980, dan sarang burung yang dihasilkan mengalami penurunan hingga hampir tidak ada hasilnya. Sesekali guagua baru ditemukan yang menyebabkan peningkatan produksi sementara. Namun, secara umum pemanenan sarang burung walet ini tidak lestari. Sejumlah spesies burung ditangkap untuk dipelihara dalam sangkar seperti Beo Nias (Gracula religiosa) dan Srindit Jambul Biru (Loriculus galgulus) yang masih ditemukan dalam jumlah yang cukup di hutan. Burung lainnya seperti Cucakrawa (Pycnonotus zeylanicus) yang merupakan burung berkicau yang popular kemungkinan habis diburu hingga mencapai kepunahan lokalnya (Meijard, 2006). Tingginya kegiatan perburuan yang dilakukan akan sangat berdampak pada kestabilan ekosistem di dalam hutan. Telah banyak dijelaskan bahwa peran satwa liar amat diperlukan untuk menjaga fungsi ekologis. Sebagai contoh peran dari mamalia dan burung dalam membangun hubungan timbal balik yang kompleks dengan membantu penyebaran biji. Sejumlah tumbuhan mengandalkan peran dari vertebrata sebagai penyebar benih dan sebagai penyerbuk (polinator) (Gautier-Hion, 1984 dan Gautier-Hion et al., 1985). Beberapa peran satwa liar dalam membangun dan menjaga fungsi ekologis dari suatu hutan antara lain, satwa pemakan rumput dan daun mempengaruhi struktur dan komposisi vegetasi, sedangkan satwa besar dan berkuku memadatkan tanah dan membantu memecahkan bahan-bahan organik dan mempengaruhi erosi, 2

3 pemangsaan jenis yang berpotensi menjadi satwa hama, biji-bijian dari jenis tumbuhan tertentu dapat terskarifikasi melalui saluran pencernaan mamalia atau burung yang dapat mempermudah prosoes perkecambahan dan meningkatkan daya tahannya dan satwa menggali lubang, membuat kolam dan kubangan, membalikkan dan memberikan aerasi kepada tanah, serta membantu proses dan pemecahan bahan-bahan organik. Semua kegiatan ini memiliki beragam efek lanjutan pada ekosistem setempat. Misalnya hal ini berpengaruh terhadap pertukaran dan pergerakan unsur hara (Meijard, 2006). Dengan berbagai macam peran penting dari satwa liar yang ada di hutan, hutan akan terganggu apabila satwa-satwa liar tersebut mulai berkurang populasinya. Kejadian hilangnya satwa liar di hutan ini biasa disebut dengan sindrom hutan kosong, dimana fungsi ekosistem akan terus menurun apabila peran satwa liar yang ada di suatu hutan mulai hilang sejalan dengan mulai berkurangnya jumlah satwa (Harrison, 2011). Hutan Lindung Ungaran merupakan salah satu hutan dataran tinggi yang ada di Jawa Tengah. Menurut Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan lindung merupakan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Pemanfaatan yang diperbolehkan di hutan lindung berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan. Aktivitas manusia dengan hutan seperti kegiatan perburuan sering dilakukan pada hutan lindung, dimana kegiatan perlindungan 3

4 jarang dilakukan. Ancaman perburuan di kawasan hutan lindung pada umumnya dipengaruhi oleh faktor kemiskinan dan keterbatasan lapangan kerja dari masyarakat sekitar hutan (Soehartino, dkk. 2007). Hutan Lindung Ungaran terletak di dua Kabupaten yaitu di Kabupaten Kendal dan Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Hutan Lindung Ungaran juga merupakan lokasi kegiatan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dengan Perum Perhutani, karena kawasan ini juga merupakan bagian hutan milik Perum Perhutani KPH Kedu Utara. Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) merupakan suatu sistem pengelolaan sumberdaya yang dilakukan bersama oleh Perum Perhutani, masyarakat desa hutan dan pihak yang berkempentingan (stakeholder) dengan jiwa berbagi, sehingga kepentingan bersama untuk mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumberdaya hutan dapat diwujudkan secara optimal dan proporsional (Dipodiningrat, 2013). Kawasan ini selain menjadi kawasan produksi Perum Perhutani juga memiliki sumber daya hayati yang dimanfaatan oleh masyarakat sekitar. Sebagian besar dari hutan yang ada telah dimanfaatkan untuk ditanami oleh tanaman budidaya seperti kopi, teh, alpukat, cengkeh dan pisang. Bagian utara hutan ini terdapat hutan produksi yaitu hutan pinus. Hutan Lindung Ungaran memiliki berbagai macam jenis satwa liar. Berdasarkan dari penelitian sebelumnya, beberapa jenis satwa liar yang ditemukan di Hutan ini antara lain seperti Julang Emas (Aceros undulates), Elang Jawa (Spiezaetus bartelsi), Luwak (Paradoxurus hermaphroditus), Lutung Hitam (Trachypithecus auratus) dan berbagai jenis satwa liar yang dilindungi 4

5 lainnya(himmah, 2007; dan Minanang,1996). Keanekaragaman jenis satwa liar yang hidup di dalam ekosistem hutan tersebut sangat rentan terhadap kegiatankegiatan masyarakat yang berkaitan dengan pemungutan hasil hutan, salah satunya adalah perburuan. Pentingnya menjaga satwa liar dan habitatnya merupakan salah satu langkah untuk menghindari kepunahan dari satwa-satwa liar yang ada. Menurut Bennet et al., (2002), ancaman perburuan terhadap satwa liar seringkali lebih besar dibandingkan dengan ancaman akibat hilangnya habitat. Oleh karena itu, untuk menjaga populasi satwa liar dari kegiatan perburuan yang ada di Hutan Lindung Ungaran, dibutuhkan pengetahuan mengenai hewan apa saja yang diburu dan pemahaman mengenai pola perburuan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan, hal tersebut akan menjadi dasar pembuatan program yang tepat serta terbentuknya aturan yang dapat dijadikan dasar pengelolaan kawasan Hutan Lindung Ungaran Rumusan Masalah Perburuan satwa liar merupakan salah satu kegiatan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat yang berdampak langsung terhadap populasi satwa liar di alam. Perburuan dapat dilakukan oleh siapapun dengan tujuan yang berbedabeda. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis satwa liar apa saja yang diburu serta untuk menggambarkan bagaimana pola dari kegiatan perburuan satwa liar terutama satwa liar yang dilindungi di Hutan Lindung Ungaran. Beberapa pertanyaan yang perlu dijawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 5

6 1. Jenis satwa liar apa saja yang diburu oleh masyarakat sekitar hutan Ungaran? 2. Bagaimana pola perburuan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar Hutan Ungaran? Informasi mengenai jenis-jenis satwa liar yang diburu akan memberikan informasi mengenai pengetahuan pemburu dalam memilih satwa buruan. Informasi mengenai pola perburuan akan menunjukan alasan yang mendasari perburuan tersebut dilakukan, manfaat apa yang dicari oleh pemburu, dan bagaimana cara perburuan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut : 1. Mengetahui jenis-jenis satwa liar di sekitar Hutan Lindung Ungaran yang dijadikan target buruan oleh masyarakat 2. Mengetahui pola perburuan yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar Hutan Lindung Ungaran Manfaat Penelitian Penelitian ini harapannya mampu memberikan informasi mengenai jenisjenis satwa liar yang diburu, dengan teknik apa saja perburuan dilakukan, di lokasi mana saja perburuan terjadi, dan pola perburuan yang terjadi di Hutan Ungaran, sehingga dengan informasi tersebut dapat memberikan pengetahuan dan menjadi dasar dari Pemerintah, Perhutani serta pihak lainnya dalam menetapkan kebijakan 6

7 mengenai pengelolaan hutan, khususnya pengelolaan satwa liar. Selain itu, informasi perburuan ini dapat memberikan pengetahuan kepada masyarakat, yang harapannya akan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap kegiatan konservasi satwa liar yang ada, selanjutnya dapat dijadikan acuan dalam penentuan tindakan-tindakan lain yang dapat mengurangi intensitas masyarakat desa dalam mengambil sumber daya alam langsung dari hutan, sehingga tidak mengancam satwa liar yang dilindungi serta dapat melestarikan satwa liar di Hutan Lindung Ungaran. 7