PROSES PEMINYAKAN (FATLIQUORING) PADA PROSES PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp) UNTUK BAHAN BAGIAN ATAS SEPATU ANDRIAN SAPUTRA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PROSES PEMINYAKAN (FATLIQUORING) PADA PROSES PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp) UNTUK BAHAN BAGIAN ATAS SEPATU ANDRIAN SAPUTRA"

Transkripsi

1 PROSES PEMINYAKAN (FATLIQUORING) PADA PROSES PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp) UNTUK BAHAN BAGIAN ATAS SEPATU ANDRIAN SAPUTRA DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Proses Peminyakan (Fatliquoring) pada Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp) untuk Bahan Bagian Atas Sepatu adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, November 2014 Andrian Saputra NIM F

4

5 ABSTRAK ANDRIAN SAPUTRA. Proses Peminyakan (Fatliquoring) pada Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp) untuk Bahan Bagian Atas Sepatu. Dibimbing oleh ONO SUPARNO. Peminyakan (fatliquoring) merupakan salah satu proses yang terdapat pada proses penyamakan, yaitu proses penetrasi bahan peminyak ke dalam ruang kosong antar serat-serat di dalam kulit. Proses ini mampu mengubah sifat fisik yang dimiliki oleh kulit, yaitu membuat kulit menjadi lebih lembut, elastis, fleksibel dan menghasilkan permukaan kulit yang mulus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan bahan peminyak dan jenis peminyak yang digunakan terhadap sifat fisik kulit samak ikan tuna untuk bahan bagian atas sepatu. Jenis bahan peminyak yang digunakan adalah alami dan sintetis, sedangkan dosis bahan peminyak yang digunakan adalah 3%, 6%, 9%, 12% dan 15%. Respon yang diuji meliputi peningkatan tebal, suhu kerut, kekuatan sobek, kekuatan tarik, perpanjangan putus dan organoleptik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis bahan peminyak berpengaruh nyata dalam meningkatkan kekuatan sobek dan perpanjangan putus secara signifikan. Faktor dosis yang tersarang pada jenis bahan peminyak berpengaruh nyata dalam meningkatkan suhu kerut, kekuatan sobek, kekuatan tarik dan perpanjangan putus secara signifikan. Tidak ada satu faktor pun yang berpengaruh nyata dalam peningkatan tebal. Kondisi terbaik dicapai oleh bahan peminyak sintetis dengan dosis 3%. Nilai sifat fisik yang dihasilkan adalah peningkatan tebal sebesar 32.4%, suhu kerut sebesar 125 o C, kekuatan sobek sebesar 95.3 N/mm, kekuatan tarik sebesar 27.9 N/mm 2, perpanjangan putus sebesar 45.3%, berwarna alami coklat tua merata, bagian permukaan yang halus dan tingkat kelenturan yang baik. Kata kunci: peminyakan, bahan peminyak, sifat fisik, kulit ikan tuna ABSTRACT ANDRIAN SAPUTRA. Fatliquoring Process on Tuna s Skin (Thunnus sp) Tanning for Shoe Upper Leather. Supervised by ONO SUPARNO. Fatliquoring is part of tanning process, which penetrate the fatliquoring agent into leather s empty cells. This process can change the physical properties of leather, which make it softer, more elastic, flexible and give smooth grain surface. This research was conducted to observe the influence of fatliquor addition on physical characteristics of tuna s skin for the shoe upper. Responses measured were thickness, shrinkage temperature, tear strength, tensile strength, elongation at break and organoleptic properties. The types of fatliquor agent used in this study were natural and synthetic, and the dosages were 3%, 6%, 9%, 12% and 15%. Based on this research, the types of fatliquoring agent significantly affected the tear strength and elongation at break. The dosages of fatliquor which was nested in the type of fatliquor agent significantly affected the shrinkage temperature, tear strength, tensile strength, and elongation at break. There was

6 no factor that significantly affected the thickness increase. The best condition in this research was reached by synthetic fatliquoring agent with dosage of 3%. The best condition gave thickness increase of 32.4%, shrinkage temperature of 125 o C, tear strength of 95.3 N/mm, tensile strength of 27.9 N/mm 2, elongation at break of 45.3%, with a good natural brown colour, smooth of feel/handle and good elasticity. Key words: fatliquoring, fatliquoring agent, physical properties, tuna skin

7 PROSES PEMINYAKAN (FATLIQUORING) PADA PROSES PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp) UNTUK BAHAN BAGIAN ATAS SEPATU Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

8

9 Judul Skripsi : Proses Peminyakan (Fatliquoring) pada Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp) untuk Bahan Bagian Atas Sepatu Nama : Andrian Saputra NIM : F Disetujui oleh Prof Dr Ono Suparno, STP, MT Dosen Pembimbing Diketahui oleh Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen Tanggal Lulus:

10

11 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan limpahan rahmat-nya, sehingga penyusunan skripsi berjudul Proses Peminyakan (Fatliquoring) pada Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp) untuk Bahan Bagian Atas Sepatu berhasil diselesaikan. Tema yang diangkat dalam penelitian dilaksanakan selama April sampai Agustus Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan teristimewa kepada: 1. Departemen Teknologi Industri Pertanian atas bantuan penelitian berupa dana dan berbagai fasilitas yang telah diberikan selama penelitian. 2. Prof Dr Ono Suparno, STP, MT, selaku Pembimbing Akademik atas perhatian dan bimbingannya selama penelitian dan penyelesaian skripsi. 3. Bapak Nurhadi selaku Manager PT Lautan Niaga Jaya atas bantuan yang telah diberikan selama penelitian. 4. Ayahanda tercinta Mukhni, Ibunda Nurmahlina, adik-adikku Megayana Putri dan Nur Alam Saputra beserta keluarga besar atas doa, semangat, dan kasih sayangnya. 5. Amira atas segala doa, semangat dan kasih sayangnya. 6. Keluarga besar TIN 46 atas keceriaan dan kenangan indah yang tak terlupakan. 7. Seluruh sanak dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu-persatu Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Oktober 2014 Andrian Saputra

12 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xii DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR LAMPIRAN xii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 2 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 3 Kulit 3 Kulit Ikan Tuna 4 Penyamakan 4 Peminyakan 5 METODE PENELITIAN 7 Waktu dan Tempat 7 Bahan 7 Alat 7 Prosedur Penelitian 7 Penelitian Pendahuluan 7 Penelitian Utama 7 Prosedur Pengujian 9 Prosedur Analisis Data 9 Penentuan Perlakuan Terbaik 10 Analisis Nilai Tambah 10 HASIL DAN PEMBAHASAN 10 Peningkatan Tebal 10 Suhu Kerut 11 Kekuatan Sobek 12 Kekuatan Tarik 15

13 Perpanjangan Putus 17 Uji Organoleptik 20 Penentuan Perlakuan Terbaik 21 Nilai Tambah 22 SIMPULAN DAN SARAN 24 Simpulan 24 Saran 24 DAFTAR PUSTAKA 25 RIWAYAT HIDUP 51

14 DAFTAR TABEL 1 Hubungan mutu kulit hasil peminyakan terhadap jenis bahan peminyak dan dosis yang digunakan 21 2 Perhitungan nilai tambah kulit samak 22 DAFTAR GAMBAR 1 Struktur histologi kulit secara umum (Said 2000) 3 2 Model rantai ikatan silang intramolekuler dan intermolekuler pada protein kolagen (Anonim 1995) 5 3 Proses sulfatasi hidrolisis trigliserida dan reaksi asam sulfat dengan hidroksil dari gliserol (Covington 2009) 6 4 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai suhu kerut kulit samak ikan tuna 12 5 Hubungan faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak ikan tuna 13 6 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak ikan tuna 14 7 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak ikan tuna 16 8 Hubungan faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan tarik kulit samak ikan tuna 18 9 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai perpanjangan putus kulit samak ikan tuna Skema alat ukur suhu kerut (SLTC 1996) Bentuk dan dimensi sampel uji kekuatan tarik dan perpanjangan putus (SLTC 1996) Bentuk dan ukuran sampel untuk uji kekuatan sobek (mm) (SLTC 1996) 37 DAFTAR LAMPIRAN 1 Gambar/foto bahan penelitian yang digunakan dan penjelasan produk bahan peminyak 28 2 Gambar/foto peralatan penelitian yang digunakan 30 3 Proses penyamakan krom (Suparno 2005) 32 4 Proses penyamakan nabati (Suparno et al. 2008) 33 5 Prosedur uji sifat fisik kulit 35 6 Tabel data dan analisis ragam (α = 0,05) pada respon peningkatan tebal 38 7 Tabel data dan analisis ragam (α = 0,05) pada respon suhu kerut 39 8 Tabel data, analisis ragam (α = 0.05) dan uji lanjut Duncan pada respon kekuatan sobek 40 9 Tabel data dan analisis ragam (α = 0.05) pada respon kekuatan tarik Tabel data, analisis ragam (α = 0.05) dan uji lanjut Duncan pada respon perpanjangan putus Foto kulit hasil penyamakan kombinasi 43

15 12 Prosedur pemilihan perlakuan terbaik Prosedur perhitungan nilai tambah (Hayami 1987) Syarat mutu kulit bagian atas alas kaki kulit kambing (SNI 2009) 50

16

17 PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan tuna merupakan salah satu komoditi bidang perikanan terbesar di Indonesia. Fillet ikan tuna merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari kegiatan pengolahan ikan tuna. Hasil samping dari pengolahan tersebut adalah kulit mentah ikan tuna. Sebagian besar hasil samping mengalami proses pengolahan menjadi produk kerupuk kulit ikan yang relatif bernilai rendah. Berdasarkan hal ini maka perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil samping tersebut. Salah satu usaha pengembangan yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan proses penyamakan terhadap kulit mentah ikan tuna. Melalui proses penyamakan, maka akan dihasilkan kulit samak ikan tuna. Kulit samak yang dihasilkan selanjutnya dapat diolah menjadi berbagai produk yang dapat menunjang kegiatan manusia seperti tas, dompet, sepatu, ikat pinggang dan berbagai produk lainnya. Dibutuhkan beberapa tahapan proses yang harus dilakukan untuk mengubah kulit mentah menjadi kulit samak. Tahapan proses yang dilalui meliputi tahap prapenyamakan, penyamakan dan pascapenyamakan. Tahap prapenyamakan merupakan tahap yang dilakukan untuk mempersiapkan kulit mentah menjadi kulit siap samak (kulit pikel). Tahap penyamakan merupakan tahap inti dari proses penyamakan. Inti dari proses penyamakan adalah memasukkan bahan penyamak ke dalam kulit mentah sehingga terjadi proses yang mampu mengubah kulit mentah menjadi kulit samak. Selanjutnya tahap pascapenyamakan (finishing) merupakan tahap yang dilakukan setelah tahap inti berlangsung. Hal ini bertujuan untuk menyempurnakan proses yang terjadi pada tahap penyamakan (inti). Setiap tahapan proses perlu dilakukan secara seksama agar didapatkan kulit samak yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Salah satu tahap penting yang perlu dilakukan pada proses pascapenyamakan adalah tahap peminyakan (fatliquoring). Purnomo (2002) menjelaskan bahwa peminyakan merupakan bagian dari proses penyamakan kulit yang bertujuan untuk memasukkan molekul minyak ke dalam ruang kosong yang terdapat di antara serat-serat kulit. Melalui proses tersebut, maka akan dihasilkan perubahan sifat penting kulit, antara lain kulit menjadi lebih lunak, lentur, liat, mulur, lembut dan halus, sehingga mudah untuk diolah lebih lanjut. Minyak yang digunakan pada proses peminyakan merupakan minyak yang telah mengalami proses sulfatasi atau sulfitasi. Minyak hasil sulfatasi atau sulfitasi banyak digunakan karena dapat menghasilkan dispersi minyak yang baik dan tidak sensitif terhadap asam (Etherington dan Roberts 2011). Berbagai minyak yang biasa digunakan pada proses peminyakan berasal dari minyak hewan dan nabati. Saat ini juga telah banyak dikembangkan berbagai jenis bahan peminyak sintetis yang mampu menghasilkan sifat fisik kulit samak yang tidak jauh berbeda dengan jenis bahan peminyak alami. Setiap jenis bahan peminyak memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Penggunaan bahan peminyak dengan jenis dan dosis yang tepat mampu menghasilkan kulit samak yang lebih lunak, lentur, liat, mulur, lembut dan halus sehingga dapat diolah lebih lanjut serta mampu meningkatkan efisiensi terhadap penggunaan bahan peminyak. Berdasarkan alasan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian terhadap pengaruh

18 2 jenis dan dosis bahan peminyak yang digunakan terhadap sifat fisik kulit ikan tuna untuk bahan bagian atas sepatu. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaruh jenis dan perbedaan dosis bahan peminyak yang digunakan terhadap respon peningkatan tebal, suhu kerut, kekuatan sobek, kekuatan tarik, perpanjangan putus (elongasi) dan sifat organoleptik yang dihasilkan? 2. Perlakuan manakah yang memberikan mutu kulit terbaik dari respon tersebut? 3. Bagaimanakah sifat kulit hasil peminyakan pada kondisi perlakuan terbaik? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan pengaruh jenis dan dosis bahan peminyak terhadap sifat fisik dan organoleptik kulit samak ikan tuna untuk bahan bagian atas sepatu, menentukan perlakuan jenis dan dosis bahan peminyak yang terbaik untuk bahan bagian atas sepatu, dan menentukan sifat-sifat fisik kulit samak ikan tuna bahan bagian atas sepatu yang dihasilkan. Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan bermanfaat sebagai penentu kondisi terbaik dari proses peminyakan dengan pemilihan bahan jenis peminyak dan dosis yang terpilih dari produk kulit samak yang dihasilkan. Oleh karena itu, kondisi proses terpilih dalam tahap peminyakan dapat dijadikan sebagai acuan dalam menyesuaikan antara tingkat kesempurnaan proses penyamakan dengan mutu produk bahan bagian atas sepatu yang ingin dicapai. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini difokuskan pada proses peminyakan yang merupakan bagian dari tahapan pascapenyamakan. Bahan baku kulit ikan tuna yang digunakan merupakan limbah industri fillet ikan tuna yang dihasilkan oleh PT Lautan Niaga Jaya, Muara Baru, Jakarta Utara. Bagian kulit yang digunakan terdiri atas bagian perut hingga punggung yang memiliki rata-rata ketebalan antara mm. Proses yang dilakukan pada penelitian ini meliputi prapenyamakan, penyamakan dan pascapenyamakan. Tahap prapenyamakan dilakukan untuk mengkonversi kulit mentah menjadi kulit pikel siap samak. Tahap penyamakan kombinasi dilakukan dengan menggunakan bahan penyamak krom 8% dan penyamak gambir 20%. Setelah tahap penyamakan selesai, dilakukan tahap pascapenyamakan dengan melakukan proses peminyakan dengan dua jenis bahan peminyak berupa bahan peminyak alami dan sintetis, serta lima taraf dosis bahan peminyak yang terdiri atas 3%, 6%, 9%, 12% dan 15%. Hasil proses peminyakan kemudian dianalisis sifat-sifat fisiknya yang meliputi peningkatan tebal, suhu kerut, kekuatan sobek, kekuatan tarik, perpanjangan putus serta uji organoleptik yang meliputi warna, feel/handle dan kelenturan.

19 3 TINJAUAN PUSTAKA Kulit Suardana et al. (2008) menyatakan bahwa kulit merupakan lapisan terluar dari struktur makhluk hidup. Kulit berfungsi sebagai lapisan yang melindungi tubuh dari pengaruh-pengaruh luar secara langsung, seperti panas, perlakuan mekanis, kimiawi serta merupakan alat pengantar suhu. Covington (2009) menyatakan bahwa secara histologis, kulit terdiri atas tiga lapisan utama, yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis (corium atau cutis) dan lapisan hipodermis (subcutis). Lapisan epidermis merupakan lapisan paling luar dari kulit. Lapisan ini berfungsi sebagai penghalang antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Lapisan dermis (corium atau cutis) merupakan bagian pokok tenunan kulit yang dapat diubah menjadi kulit samak. Lapisan ini sebagian besar tersusun atas seratserat tenunan pengikat. Lapisan ini terdiri atas tiga tipe tenunan pengikat, yaitu tenunan kolagen, elastin dan retikular. Lapisan hipodermis (subcutis) adalah tenunan pengikat longgar yang menghubungkan lapisan dermis dengan bagianbagian lain dari tubuh. Said (2012) menyatakan bahwa pada penyamakan kulit, lapisan ini harus dipisahkan dari dermis karena sebagian besar lapisan hipodermis terdiri atas sisa daging. Struktur histologis kulit secara umum dapat dilihat di Gambar 1. Gambar 1 Struktur histologi kulit secara umum (Said 2000) Kulit mentah sebagian besar tersusun atas jaringan protein yang mudah rusak akibat pengaruh fisik, kima maupun biologi. Protein penyusun kulit sebagian besar tersusun atas kolagen, elastin dan retikular. Kolagen merupakan jaringan ikat terbanyak, disusul oleh elastin dan retikular. Mustakim et al. (2006) menyatakan bahwa adanya reaksi bahan penyamak yang berikatan dengan kolagen menyebabkan perubahan sifat-sifat fisik kulit mentah yang semula mudah rusak dan tidak stabil menjadi kulit samak yang lebih stabil dan tahan lama. Kulit memiliki dua buah gugus fungsi bermuatan yang berbeda jenis, yaitu karboksilat (COO - ) dan amino (NH 3 + ). Kedua gugus fungsi tersebut akan aktif pada kondisi lingkungan berbeda. Gugus fungsi karboksilat akan aktif dalam suasana asam, sedangkan gugus fungsi amino aktif dalam suasana basa. Covington (2009) menjelaskan bahwa perbedaan ini harus disesuaikan dengan jenis bahan penyamak yang akan digunakan. Proses pengikatan tanning agent

20 4 (bahan penyamak) terhadap gugus fungsi tidak akan terjadi dalam muatan yang tidak sesuai. Kulit Ikan Tuna Pada dasarnya setiap kulit hewan dapat digunakan sebagai bahan baku industri penyamakan, termasuk ikan. Kulit hewan pada umumnya memiliki sifatsifat alami yang bervariasi. Berbagai faktor yang menyebabkan adanya variasi pada kulit hewan adalah faktor umur, keturunan, lingkungan hidup dan faktor pemeliharaan. Sebagai contoh adalah ketebalan kulit yang berbeda pada setiap bagian kulit. Pada kulit hewan besar (contoh: sapi dan kambing), ketebalan dibagi atas beberapa daerah, yaitu krupon, kepala dan leher, ekor dan perut, serta kaki. Berbeda dengan hewan besar, kulit ikan tuna tidak memiliki bagian yang cukup jelas. Alfindo (2009) menyatakan bahwa kulit ikan tuna berwarna gelap pada bagian tulang punggung dan semakin memudar ke arah perut. Ketebalan kulit ikan tuna dari bagian kepala ke arah ekor semakin menipis, demikian juga secara vertikal dari daerah tulang punggung ke arah perut. Kepadatan jaringan serat kolagen pun beragam di setiap bagian. Menurut Oosten (1969) serta Nagai dan Takeda (2004), secara kimiawi kulit ikan terdiri atas dua komponen utama, yaitu komponen protein dan nonprotein. Komponen nonprotein terdiri atas lipid, karbohidrat, mineral, enzim dan vitamin. Umumnya kulit ikan mengandung air (69.9%), protein (26.9%), mineral (2.5%) dan lemak (0.7%). Penyamakan Penyamakan merupakan proses memodifikasi struktur kolagen dengan cara mereaksikannya dengan berbagai bahan kimia (tanin atau bahan penyamak lainnya) yang pada umumnya meningkatkan stabilitas hidrotermal kulit tersebut, sehingga kulit menjadi tahan terhadap gangguan mikroorganisme (Suparno et al. 2005). Penyamakan secara sederhana bertujuan untuk mengubah kulit mentah yang memiliki sifat tidak stabil, yaitu mudah rusak karena pengaruh biologis, fisika dan kimia, menjadi kulit samak yang memiliki sifat stabil dan tahan terhadap pengaruh-pengaruh tersebut. Purnomo (2002) menjelaskan bahwa mekanisme yang dilakukan adalah dengan memasukkan bahan penyamak ke dalam jaringan serat kulit sehingga terjadi ikatan kimia antara serat kolagen dan bahan penyamak. Terdapat tiga tahapan utama dalam proses penyamakan kulit, yaitu prapenyamakan, penyamakan dan pascapenyamakan. Prapenyamakan merupakan proses yang dilakukan terhadap kulit mentah agar siap untuk disamak. Proses tersebut meliputi penghilangan bagian yang tidak diinginkan (epidermis dan hipodermis) melalui proses perendaman, pengapuran (liming), pembuangan bagian lain yang tidak penting seperti sisik, daging dan lendir (fleshing), pembuangan kapur (deliming), pelumatan (bating), dan pemikelan (pickling). Dilanjutkan proses penyamakan, yaitu sebuah proses penyerapan tanning agent oleh substansi kulit sehingga terjadi perubahan dari kulit mentah menjadi kulit samak. Setelah proses penyamakan selesai, maka dilakukan proses finishing yang meliputi peminyakan, pengeringan, pengecatan, pementangan dan peregangan. Judoamidjojo (1982) dan Purnomo (2002) menjelaskan bahwa seluruh proses dilakukan dalam upaya memperbaiki kualitas dan rupa kulit samak. Setiap tahapan proses harus dilakukan secara sempurna. Kegagalan yang terjadi pada

21 salah satu proses menyebabkan kegagalan pada proses selanjutnya sehingga kulit samak yang dihasilkan tidak tersamak secara sempurna. Pada proses penyamakan kulit, serabut kolagen yang satu dengan yang lain membentuk berkas serabut dan kemudian membentuk cabang berkas serabut. Cabang berkas serabut yang satu dengan yang lainnya kemudian saling membentuk anyaman dan terbentuk sudut jalinan (wave angle). Gambaran model rantai ikatan silang pada protein kolagen secara lengkap disajikan pada Gambar 2. 5 Gambar 2 Model rantai ikatan silang intramolekuler dan intermolekuler pada protein kolagen (Anonim 1995) Peminyakan Proses peminyakan (fatliquoring) merupakan bagian dari proses penyamakan kulit. Proses ini bertujuan untuk memasukkan molekul minyak ke dalam ruang kosong yang terdapat di antara serat-serat kulit. Masuknya molekul minyak memberikan perubahan terhadap sifat-sifat fisik kulit samak, antara lain kulit menjadi lebih lunak, liat, mulur, lembut dan permukaan rajahnya lebih halus (Purnomo 2002). Peminyakan juga bertujuan untuk melicinkan serat-serat kulit sehingga membuat serat kulit tidak menempel antara satu dengan yang lainnya, kemudian terjadi peningkatan pada kekuatan/daya tarik, peningkatan elastisitas kulit dan penurunan daya serap air (Rachmi 1992). Covington (2009) menjelaskan bahwa tujuan utama dari proses peminyakan bukanlah membuat kulit menjadi lebih lunak, liat, mulur dan lemas. Tujuan utama dari proses peminyakan adalah mencegah struktur serat kulit saling berikatan kembali pada saat proses pengeringan. Ketika proses pengeringan berlangsung, kulit samak mengering secara perlahan. Pada kondisi tersebut air yang yang berada di antara serat-serat kulit secara perlahan menghilang. Hilangnya air menyebabkan struktur jaringan serat perlahan berdekatan, kemudian saling berikatan. Seiring berjalannya waktu, ikatan tersebut akan semakin kuat. Hal ini dapat menyebabkan kulit sama menjadi keras dan kaku. Hal tersebut menyebabkan nilai mutu kulit samak yang tidak sesuai dengan standar sehingga perlu dilakukan pencegahan dengan cara melakukan proses peminyakan. Etherington dan Roberts (2011) menjelaskan bahwa penambahan minyak terhadap kulit menyebabkan terjadinya pengaturan terhadap perbedaan pengkerutan antara bagian grain (bagian yang terdapat arah serat kulit/dermis) dengan corium selama proses pengeringan kulit. Puntener (1996) menjelaskan bahwa selama proses peminyakan terjadi ikatan yang kuat secara fisis antara molekul minyak dan jaringan kulit sehingga menyebabkan sulitnya minyak migrasi dari kulit. Bahan yang digunakan pada proses peminyakan disebut bahan peminyak (fatliquoring agent). Bahan peminyak merupakan minyak, lemak, lilin, alami atau

22 6 sintetis dan berbagai produk tambahan yang digunakan sehingga bahan tersebut dapat larut di dalam air. Salah satu cara untuk membuat bahan memiliki sifat tersebut adalah dengan melakukan modifikasi secara kimia, yaitu menambahkan material yang mampu larut dalam air. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah menambahkan asam sulfat atau asam sulfit (Leafe 1999). Minyak tersulfatasi atau minyak tersulfitasi (biasa disebut dengan bahan peminyak atau fatliquor) merupakan minyak yang secara umum digunakan pada proses peminyakan karena mampu memberikan kemampuan mendispersi minyak secara baik dan kurang sensitif terhadap asam. Bahan peminyak biasa dibuat dari berbagai jenis minyak, seperti minyak hewan dan minyak nabati (Sharphouse 1995). Metode yang paling umum digunakan untuk melakukan modifikasi secara kimia untuk pembuatan bahan peminyak adalah sulfatasi. Sulfatasi merupakan proses pencampuran bahan yang akan direaksikan dengan agen sulfatasi/sulfonasi. Bernardini (1983) dan Pore (1976) menjelaskan bahwa pereaksi yang biasa digunakan pada proses sulfatasi antara lain asam sulfat (H 2 SO 4 ), sulfur trioksida (SO 3 ), NH 2 SO 3 H dan CISO 3. Berikut adalah contoh proses sulfatasi dalam pembuatan bahan peminyak (Gambar 3). Gambar 3 Proses sulfatasi hidrolisis trigliserida dan reaksi asam sulfat dengan hidroksil dari gliserol (Covington 2009) Secara umum bahan peminyak dibagi ke dalam empat kelompok, yaitu bahan peminyak anionik, kationik, amfoterik dan nonionik. Bahan peminyak anionik merupakan bahan peminyak yang dihasilkan dari proses sulfatasi atau sulfitasi. Bahan peminyak kationik merupakan bahan peminyak yang berasal dari minyak mentah yang diemulsikan dengan bahan emulsi kationik seperti ammonium quarternari. Bahan peminyak amfoterik merupakan bahan peminyak yang berasal dari minyak mentah yang diemulsikan dengan reagen amfoterik. Bahan peminyak nonionik merupakan bahan peminyak hasil emulsifikasi dengan senyawa kondensasi etilen oksida (Covington 2009).

23 7 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama enam bulan sejak April September Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyamakan Kulit Leuwikopo, Laboratorium Bioindustri, Laboratorium Teknologi Kimia Departemen Teknologi Industri Pertanian, dan Laboratorium Rekayasa Bangunan Kayu Departemen Teknologi Hasil Hutan, Institut Pertanian Bogor. Bahan Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit ikan tuna dan bahan peminyak (fatliquor agent). Kulit ikan tuna berasal dari PT Lautan Niaga Jaya, Muara Baru, Jakarta Utara. Bahan baku disimpan dan diawetkan dalam kondisi beku. Bahan yang digunakan pada proses penyamakan adalah aquades, krom dengan basisitas 33%, bahan penyamak gambir, natrium klorida, asam sulfat, asam formiat, natrium bikarbonat, Sertan ND (dispersing agent), serta bahan peminyak (fatliquor agent) alami dan sintetis. Bahan peminyak yang digunakan merupakan bahan peminyak dengan merk Quimser, Barcelona dengan kode produk Seroil CMT (alami) dan Seroil FO (sintetis). Quimser (2014) menjelaskan bahwa bahan peminyak dengan kode produk Seroil CMT dan Seroil FO sama-sama mampu menghasilkan kulit samak yang sangat lembut dengan berat kulit yang cukup ringan. Foto bahan-bahan penelitian dan penjelasan terkait bahan peminyak dapat dilihat pada Lampiran 1. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah molen (drum putar), shaker, jar, ph meter, pisau, talenan, erlenmeyer 250 ml, labu ukur 100 ml, pipet volumetrik, termometer, thickness gauge, baumeter, kompor listrik, toggle dryer, utility tensile machine (UTM Instron), alat pengukur suhu kerut dan alat uji tarik dengan merk Zwick/Roell. Foto alat-alat yang digunakan dalam proses dapat dilihat pada Lampiran 2. Prosedur Penelitian Penelitian Pendahuluan Tahapan yang dilakukan pada penelitian pendahuluan adalah proses pembuatan kulit pikel pada tahap prapenyamakan. Selanjutnya dilakukan proses penyamakan kombinasi dengan bahan penyamak krom 8% dan penyamak gambir 20%. Kemudian dilakukan proses peminyakan dengan dosis bahan peminyak yang digunakan terdiri atas 0%, 5% dan 15%. Hal ini dilakukan agar diketahui pengaruh dosis bahan peminyak terhadap sifat-sifat fisik kulit samak ikan tuna. Penelitian Utama 1. Prapenyamakan Tahap prapenyamakan merupakan tahap awal untuk menyiapkan kulit mentah menjadi kulit siap samak. Prapenyamakan terdiri atas proses pengapuran (liming), penghilangan daging (fleshing), penghilangan kapur (deliming), pelumatan (bating), dan pemikelan (pickling). Kulit mentah dicuci bersih

24 8 kemudian dimasukkan ke dalam molen. Selanjutnya dilakukan pencampuran bahan pembantu penyamakan sesuai dengan dosis yang dibutuhkan pada tiap proses. Satuan penambahan dosis adalah persen (%) yang dihitung dari bobot total kulit yang akan disamak. Sebagai contoh, apabila dibutuhkan air sebanyak 100% dan NaCl sebanyak 8% dari bobot total kulit sebanyak 1000 gram, maka air yang dibutuhkan adalah 100% dari 1000, yaitu 1000 ml, sedangkan NaCl yang dibutuhkan adalah 8% dari 1000, yaitu 80 gram. Dilakukan proses liming dengan mencampurkan air sebanyak 300%, Ca(OH) 2 (kapur) sebanyak 5% dan Na 2 S sebanyak 3%, lalu dimasukkan ke dalam molen dan diputar selama 120 menit, kemudian didiamkan selama 16 jam 15 menit. Dilakukan fleshing sampai bersih sehingga tidak ada lagi daging dan komponen lain (jaringan lemak, dan sebagainya) selain kulit yang tersisa. Kulit dicuci dengan air mengalir, kemudian dilakukan proses deliming untuk menghilangkan kapur yang masih terdapat di dalam kulit. Deliming dilakukan dengan mencampurkan air sebanyak 200% dan 100%, ammonium sulfat sebanyak 0.5% dan 2% serta natrium bisulfat sebanyak 0.2%. Proses tersebut dilakukan di dalam molen selama 2 x 15 menit. Selanjutnya dilakukan proses bating dengan menggunakan enzim (rindol RNN) sebanyak 0.15% dan degressing agent sebanyak 0.05%, dan dilakukan selama 10 menit. Memasuki tahap pickling, seluruh cairan dibuang kemudian diganti dengan cairan baru yang merupakan campuran dari air sebanyak 200%, NaCl sebanyak 10%, Regresol LP sebanyak 0.2% dan natrium format sebanyak 0.5%. Sebelum dimasukkan, dilakukan pengaturan derajat Baumé melalui pengaturan air dan garam (penambahan atau pengurangan) dengan nilai yang digunakan berkisar antara 6 10, kemudian diproses selama menit. Derajat Baumé ( o Bé) pada penelitian ini adalah 9 o Bé. Selanjutnya dilakukan pengaturan ph dengan menambahkan larutan asam yang telah mengalami proses pengenceran dengan perbandingan 1:10. Asam formiat ditambahkan sebanyak 0.8% kemudian diproses selama 2 x 20 menit. Setelah selesai, ditambahkan asam sulfat sebanyak 1.2%, kemudian diproses selama 3 x 30 menit + 90 menit dengan rentang ph akhir berkisar antara Penyamakan krom Kulit pikel mengalami penyamakan kombinasi, yaitu proses penyamakan dengan menggunakan dua bahan penyamak berbeda. Penelitian ini menggunakan bahan penyamak krom dan nabati. Penyamakan diawali dengan pemotongan kulit pikel dengan ukuran 7 cm x 7 cm. Selanjutnya dilakukan pengukuran ketebalan di lima titik permukaan kulit pikel dengan menggunakan alat thickness gauge dan pengukuran suhu kerut. Kemudian dimasukkan ke dalam molen bersih berupa air sebanyak 200%, NaCl 10% (Baumé 6 10), lalu diproses selama 15 menit. Selanjutnya dilakukan penambahan asam formiat sebanyak 0.1% dan asam sulfat sebanyak 0.2%, lalu diproses selama 4 x 30 menit dengan pengenceran 1:10 dan rentang ph antara Material bahan penyamak krom (Cr 2 O 3 ) kemudian ditambahkan sebanyak 8% dengan lama proses 60 menit. Setelah selesai, dimasukkan natrium bikarbonat yang telah mengalami pengenceran 1:5 sebanyak 0.25%. Proses ini dilakukan selama 4 x 30 menit dengan rentang ph antara dan suhu 30 o C. Cairan dibuang lalu dilakukan proses netralisasi dengan mencampurkan air sebanyak 300% (40 o C) dan natrium bikarbonat sebanyak 2% dengan rentang ph Setelah selesai, kulit samak krom dicuci dengan air

25 mengalir lalu didiamkan selama satu malam. Metode penyamakan krom di atas merupakan metode yang dilakukan oleh Suparno (2005). Proses penyamakan krom secara lebih jelas tersaji pada Lampiran Penyamakan nabati dan peminyakan Bahan penyamak nabati yang digunakan adalah gambir (Uncaria gambir). Dilakukan proses depickling (pengaturan ph) dengan mencampurkan air sebanyak 200%, NaCl 10% (Baumé 6-10), kemudian diproses selama 20 menit. Selanjutnya ditambahkan natrium bikarbonat sebanyak 0.75% dengan pengenceran 1:10 selama 3 x 15 menit dan ph 4.5. Setelah selesai, ditambahkan Sertan ND sebanyak 2% selama 30 menit dan ph 4.5, serta gambir sebanyak 20% selama 2 x 60 menit. Cairan dibuang kemudian dilakukan proses pencucian kulit di dalam molen selama 15 menit. Kulit memasuki tahap pascapenyamakan berupa penambahan bahan peminyak alami dan sintetis yang masing-masing sudah dilarutkan ke dalam air bersuhu 80 o C, kemudian diproses di dalam molen selama 60 menit. Jumlah dosis bahan peminyak yang dimasukkan terdiri atas 3%, 6%, 9%, 12% dan 15%. Proses fiksasi dengan menggunakan asam formiat sebanyak 0.25% selama 3 x menit dengan pengenceran 1:3 dan ph 3.5. Cairan dibuang, kemudian kulit dicuci dengan air mengalir (ph 3.5). Selanjutnya kulit disampirkan di kuda-kuda penyampir selama satu malam, lalu dikeringkan di toggle dryer selama 1 2 malam. Selanjutnya dilakukan proses pengujian yang meliputi perubahan ketebalan, suhu kerut, kekuatan sobek, kekuatan tarik, perpanjangan putus, dan uji organoleptik. Metode penyamakan nabati dan peminyakan di atas merupakan metode yang pernah dilakukan oleh Suparno et al. (2008). Proses penyamakan nabati dan peminyakan secara lebih jelas tersaji pada Lampiran 4. Prosedur Pengujian Terdapat dua parameter yang diamati, yaitu parameter sifat-sifat fisik dan sifat organoleptik kulit samak. Respon yang diamati pada parameter sifat-sifat fisik kulit samak meliputi perubahan ketebalan, suhu kerut, kekuatan sobek, kekuatan tarik, dan perpanjangan putus (elongasi). Respon yang diamati pada parameter organoleptik kulit samak meliputi warna, feel/handle dan kelenturan. Setiap pengujian dilakukan dengan menggunakan prosedur yang berbeda. Pada pengujian sifat-sifat fisik kulit samak, prosedur yang digunakan adalah SLP 4 untuk pengujian ketebalan, SLP 18 untuk pengujian suhu kerut, SLP 7 untuk pengujian kuat sobek, SLP 6 untuk pengujian kuat tarik dan perpanjangan putus. Pada pengujian organoleptik kulit samak, dilakukan penilaian secara visual untuk respon warna dan feel/handle, serta penilaian secara skala ordinal untuk respon kelenturan. Prosedur pengujian dapat dilihat pada Lampiran 5. Prosedur Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Tersarang (Nested Design) dengan dua faktor dan dua kali ulangan. Faktor yang diamati adalah jenis bahan peminyak dan dosis bahan peminyak yang tersarang pada jenis bahan peminyak. Jenis bahan peminyak yang digunakan, yaitu bahan peminyak alami (A1) dan bahan peminyak sintetis (A2). Kemudian dosis bahan peminyak (fatliquor) yang digunakan, yaitu 3% (B1), 6% (B2), 9% (B3), 12% (B4), dan 15% (B5). Model matematikanya adalah sebagai berikut: 9

26 10 Y ijk = µ + A i + B j(i) + є ijk Keterangan: Y ijk = pengamatan pada ulangan ke-k, jenis ke-i dan dosis ke-j µ = rataan umum A i = pengaruh jenis bahan pada taraf ke-i B j(i) = pengaruh dosis pada taraf ke-j pada Ai = galat eksperimen є ijk Selanjutnya data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah dengan menggunakan program statistika SPSS versi 16.0 trial version dengan perhitungan analisis ragam yang mengacu pada rancangan percobaan yang digunakan. Jika hasil analisis ragam menyatakan adanya pengaruh nyata, maka pengolahan data dilanjutkan dengan Uji Jarak Berganda Duncan (Uji Duncan). Uji Duncan bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh dari setiap faktor. Penentuan Perlakuan Terbaik Data hasil penelitian yang didapatkan kemudian dipilih satu jenis perlakuan yang terbaik. Proses pemilihan perlakuan terbaik tersebut menggunakan metode berupa penilaian. Tiap parameter hasil akan dijadikan sebagai kriteria dengan bobot yang berbeda-beda. Prosedur penilaian selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 12. Analisis Nilai Tambah Analisis nilai tambah dari kulit samak hasil proses peminyakan dilakukan dengan menggunakan metode Hayami (1987). Prosedur selengkapnya dari metode Hayami dapat dilihat pada Lampiran 13. HASIL DAN PEMBAHASAN Peningkatan Tebal Proses penyamakan mampu memberikan pengaruh terhadap karakterisitik kulit samak. Kulit mentah yang dikonversi menjadi kulit samak akan mengalami perubahan sifat fisik, kimia, maupun organoleptik. Salah satu perubahan yang sangat terlihat adalah peningkatan tebal kulit. Tebal kulit berubah akibat adanya reaksi antara bahan penyamak dan kolagen kulit yang menyebabkan efek penambahan volume pada kulit. Hasil pengujian terhadap respon peningkatan tebal kulit (Lampiran 6) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan tebal sebesar 31 33%, yang semula berada di kisaran mm menjadi mm. Peningkatan tersebut sudah memenuhi SNI (BSN 2009) untuk syarat mutu kulit bagian atas alas kaki kulit kambing dengan nilai tebal kulit minimal sebesar 0.5 mm. Berdasarkan analisis ragam (anova), didapatkan nilai signifikansi untuk faktor jenis sebesar (> 0.05) dan faktor dosis tersarang sebesar (> 0.05). Hasil tersebut menyatakan bahwa faktor jenis dan dosis tersarang tidak berpengaruh nyata terhadap nilai peningkatan tebal kulit. Karena hasil analisis ragam menyatakan

27 bahwa faktor-faktor tersebut tidak memberikan pengaruh nyata, maka uji lanjut Duncan tidak perlu dilakukan. Hasil data dan analisis ragam dapat dilihat di Lampiran 6. Proses peminyakan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan tebal kulit samak karena proses ini merupakan reaksi fisik. Pada proses peminyakan terjadi pengisian ruang serat kosong antar kulit. Hal ini jelas berbeda dengan proses penyamakan yang merupakan reaksi kimia antara bahan penyamak dengan kolagen kulit. Thorstensen (1993) dan Suparno et al. (2011) menyatakan bahwa adanya reaksi ikatan antara bahan penyamak dan kolagen kulit menyebabkan terjadinya peningkatan tebal kulit. Pada proses penyamakan kulit terjadi penumpukan serabut kolagen yang membentuk anyaman sehingga menyebabkan peningkatan tebal kulit. Penggunaan bahan penyamak nabati yang salah satu sifatnya adalah memberikan efek pertambahan volume pada kulit samak menjadi salah satu penyebab terjadinya peningkatan tebal kulit. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Joenoes (2002) yang menyatakan bahwa gambir bereaksi sangat cepat dalam menyamak kulit mentah dengan mengisi gugus protein yang bebas, sehingga peningkatan tebal kulit menjadi lebih tinggi bila dibandingkan dengan bahan penyamak nabati yang lain. Suhu Kerut Kulit samak akan mengalami pengerutan dalam rentang waktu tertentu apabila terpapar oleh panas. Semakin besar suhu panas dan lamanya waktu yang dialami oleh kulit samak pada saat terpapar, maka kulit samak akan semakin mengerut. Suhu kerut atau shrinkage temperature (T s ) merupakan suhu pada saat kulit mengerut sebanyak 0.3% dari panjang awalnya (SLTC 1996). Yahua et al. (2011) menjelaskan bahwa suhu kerut merupakan suhu saat kulit mulai mengerut di dalam air atau media panas lainnya. Hasil pengujian suhu kerut (Lampiran 7) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan suhu kerut seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak dari setiap jenis bahan peminyak yang digunakan. Secara berurutan nilai suhu kerut meningkat dari kisaran 124 o C 127 o C. Nilai suhu kerut terbesar dimiliki oleh sampel dengan jenis bahan peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai sebesar 127 o C, sedangkan nilai suhu kerut terkecil dimiliki oleh sampel dengan jenis bahan peminyak alami pada dosis 3% dengan nilai sebesar o C. Berdasarkan analisis ragam didapatkan nilai signifikansi untuk faktor jenis sebesar (> 0.05) dan faktor dosis tersarang sebesar (< 0.05). Hasil tersebut menyatakan bahwa hanya faktor dosis tersarang yang berpengaruh nyata terhadap nilai suhu kerut. Pada faktor dosis tersarang (Gambar 4), dapat dilihat bahwa nilai suhu kerut berkisar antara 124 o C 127 o C. Nilai suhu kerut terbesar dihasilkan oleh bahan peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai sebesar 127 o C, sedangkan nilai suhu kerut terkecil dihasilkan oleh bahan peminyak alami pada dosis 3% dengan nilai sebesar o C. Meski didapatkan hasil yang berbeda nyata pada faktor dosis tersarang, uji lanjut Duncan pada dosis tersarang tidak dapat dilakukan karena yang menjadi faktor utama pada rancangan percobaan yang digunakan adalah faktor jenis bahan peminyak. Faktor dosis yang tersarang pada bahan peminyak alami sudah pasti berbeda dengan faktor dosis yang tersarang pada bahan peminyak sintetis. Faktor dosis yang tersarang pada bahan peminyak alami akan 11

28 12 tetap tersarang pada bahan peminyak alami dan tidak akan pernah pindah ke jenis bahan peminyak sintetis. Hal ini menyebabkan tidak akan ada interaksi yang terjadi antara dosis yang tersarang pada setiap bahan peminyak. Rancangan inilah yang menjadi dasar dari rancangan percobaan tersarang (nested design). Tabel data dan analisis ragam dari respon suhu kerut dapat dilihat pada Lampiran 7. Peningkatan suhu kerut terjadi akibat proses penyamakan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Thorstensen (1993) dan Suparno et al. (2011) yang menyatakan bahwa penggunaan bahan penyamak selama proses penyamakan menghasilkan reaksi ikatan antara bahan penyamak dan kolagen. Reaksi tersebut mampu meningkatkan stabilitas hidrotermal kulit dengan adanya ikatan silang yang terjadi, sehingga struktur kulit yang semula terpisah kemudian bergabung bersama menjadi struktur yang lebih kuat. Suhu kerut tidak akan meningkat apabila jumlah krom pada kulit prapenyamakan tinggi. Jika kandungan krom rendah, maka akan terjadi peningkatan suhu kerut. Schröpfer dan Meyer (2012) menjelaskan bahwa meski terjadi peningkatan suhu kerut pada penambahan bahan peminyak, akan tetapi peningkatan suhu kerut secara dominan disebabkan oleh adanya peningkatan derajat crosslinking yang diikuti dengan peningkatan stabilitas hidrotermal. Proses prapenyamakan juga mampu memberikan pengaruh terhadap stabilitas hidrotermal kulit. Hasil penelitian Brown et al. (2012) menunjukkan bahwa proses pelepasan bulu (unhairing) dapat mempengaruhi struktur kolagen dari kulit. Perbedaan struktur kolagen inilah yang menyebabkan stabilitas hidrotermal dari kulit menjadi ikut berbeda. 130 Suhu Kerut ( o C) Konsentrasi 3% 6% 9% 12% 15% 100 Alami Jenis Bahan Peminyak Sintetis Gambar 4 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai suhu kerut kulit samak ikan tuna Kekuatan Sobek Kekuatan sobek (tear strength) merupakan besarnya gaya maksimal yang dibutuhkan untuk merobek kulit (ikatan kolagen) tiap mm ketebalan sampel. Kuat sobek juga dapat diartikan sebagai suatu besaran yang menentukan seberapa baik suatu material/sampel mampu menahan gaya sobekan. Secara sederhana kekuatan

29 sobek menunjukkan batas maksimal yang dapat diterima oleh kulit untuk dapat sobek. Hasil pengujian kekuatan sobek (Lampiran 8) menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai kekuatan sobek seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak dari setiap jenis bahan peminyak yang digunakan. Nilai kekuatan sobek terbesar dihasilkan oleh sampel jenis bahan peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai sebesar N/mm, sedangkan nilai terkecil dimiliki oleh sampel jenis bahan peminyak alami pada dosis 3% dengan nilai sebesar 76.1 N/mm. Berdasarkan analisis ragam, didapatkan nilai signifikansi untuk faktor jenis sebesar (< 0.05) dan faktor dosis tersarang sebesar (< 0.05). Hasil tersebut menyatakan bahwa faktor jenis dan dosis tersarang berpengaruh nyata terhadap respon kekuatan sobek. Pada faktor jenis bahan peminyak (Gambar 5), nilai kekuatan sobek yang dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis (121.8 N/mm) lebih tinggi dibandingkan dengan jenis bahan peminyak alami (114 N/mm). Dari hasil uji lanjut Duncan didapatkan dua grup berbeda, yaitu grup A yang merupakan bagian dari jenis bahan peminyak sintetis dengan nilai sebesar N/mm, dan grup B yang merupakan bagian dari jenis bahan peminyak alami dengan nilai sebesar 114 N/mm. Perbedaan kode grup menyatakan bahwa hasil yang didapatkan adalah berbeda nyata. Hal ini secara jelas menyatakan bahwa jenis bahan peminyak alami berbeda nyata dengan jenis bahan peminyak sintetis, sehingga hasilnya berbeda nyata terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak. 13 Kekuatan Sobek (N/mm) Alami Jenis Bahan Penyamak Sintetis Gambar 5 Hubungan faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak ikan tuna Pada faktor dosis tersarang (Gambar 6), terlihat jelas bahwa peningkatan nilai kekuatan sobek meningkat seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak yang digunakan. Hasil serupa juga dinyatakan oleh Nurdiansyah (2012) serta Pahlawan dan Kasmudjiastuti (2012) yang menyatakan bahwa pertambahan dosis bahan peminyak menyebabkan peningkatan nilai kekuatan sobek. Nilai kekuatan sobek terbesar dihasilkan oleh bahan peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai

30 14 sebesar N/mm, dan nilai terkecil dihasilkan oleh bahan peminyak alami pada dosis 3% dengan nilai sebesar 76.1 N/mm. Nilai tersebut sudah melewati batas SNI (BSN 2009) untuk syarat mutu kulit bagian atas alas kaki kulit kambing dengan nilai minimal sebesar 150 N/cm atau 15 N/mm. Tabel data, analisis ragam dan uji lanjut Duncan dari respon kekuatan sobek dapat dilihat di Lampiran 8. Suparno dan Wahyudi (2012) menyatakan bahwa nilai kekuatan sobek sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti tebal kulit, sudut antar serat dengan lapisan grain, arah serat kolagen dan lokasi sampel pada kulit. Selain itu, keberhasilan proses pengapuran (liming) dan pelumatan (bating) menjadi kunci peningkatan kekuatan sobek. Proses liming dan bating menyebabkan tenunan serat kolagen terbuka. Apabila proses liming dan bating dilakukan secara berlebihan, maka tenunan serat kolagen akan terbuka lebar dan terurai. Apabila proses liming dan bating dilakukan dengan kurang sempurna, maka tenunan serat kolagen tidak akan terbuka sehingga menyebabkan sulitnya penetrasi bahan penyamak ke dalam kulit. Kekuatan Sobek (N/mm) Alami Jenis Bahan Peminyak Sintetis Konsentrasi 3% Gambar 6 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak ikan tuna Purnomo (2002) menjelaskan bahwa kulit yang tebal memiliki tenunan serat kolagen yang berikatan lebih banyak dan menumpuk, berbeda dengan kulit yang tipis yang memiliki tenunan serat kolagen yang longgar. Perbedaan tersebut menyebakan gaya yang dibutuhkan untuk menyobek kulit tebal lebih besar jika dibandingkan dengan kulit tipis. Penambahan bahan peminyak menyebabkan nilai kekuatan sobek meningkat. Hal ini disebabkan oleh penetrasi molekul minyak ke dalam ruang kosong antar serat kolagen sehingga molekul minyak melapisi setiap tenunan serat kolagen. Tenunan serat kolagen yang terlapisi oleh bahan peminyak menjadi lebih lemas dan elastis. Serat kolagen yang elastis menyebabkan kulit lebih sulit untuk disobek sehingga dibutuhkan gaya yang lebih besar dari biasanya meski ketebalan kulit tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Hal inilah yang menyebabkan nilai kekuatan sobek dari kulit samak meningkat. 6% 9% 12% 15%

31 Kekuatan Tarik Kekuatan tarik (tensile strength) merupakan besar gaya maksimal yang dibutuhkan untuk menarik kulit hingga putus tiap mm 2 sampel kulit. Kekuatan tarik merupakan salah satu respon penting pada mutu kulit samak. Nilai kekuatan tarik yang tidak memenuhi standar akan menyebabkan kulit mudah pecah atau retak. Hasil pengujian kekuatan tarik (Lampiran 9) menunjukkan bahwa nilai kekuatan tarik mengalami penurunan seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak pada setiap jenis bahan peminyak yang digunakan. Nilai kekuatan tarik terbesar dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 3% dengan nilai sebesar 27.9 N/mm 2, sedangkan nilai terkecil dihasilkan oleh jenis bahan peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai sebesar 14.9 N/mm 2. Berdasarkan analisis ragam, didapatkan nilai signifikansi untuk faktor jenis sebesar (> 0.05) dan faktor dosis tersarang sebesar (< 0.05). Hasil tersebut menyatakan bahwa hanya faktor dosis tersarang yang berpengaruh nyata terhadap nilai kekuatan tarik. Pada faktor dosis tersarang (Gambar 7), terlihat bahwa nilai kekuatan tarik menurun seiring dengan pertambahan dosis bahan peminyak. Nilai kekuatan tarik terbesar dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 3% dengan nilai sebesar 27.9 N/mm 2, sedangkan nilai terkecil dihasilkan oleh jenis bahan peminyak alami pada dosis 15% dengan nilai sebesar 14.9 N/mm 2. Pada faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak sintetis, meski terjadi penurunan nilai kekuatan tarik, akan tetapi penurunan pada dosis 9% terlalu besar, yaitu dengan nilai 15.6 N/mm 2. Seharusnya nilai kekuatan tarik pada dosis 9% berada di antara nilai 21 N/mm 2 (dosis 6%) dan 18.6 N/mm 2 (dosis 12%). Hal ini disebabkan oleh sampel uji yang dibuat berasal dari bagian kulit yang tidak terlalu tebal sehingga nilai kekuatan tarik yang dihasilkan menjadi sangat kecil. Selain tebal kulit, keberadaan kolagen pada sampel uji juga mempengaruhi nilai kekuatan tarik. Besar kemungkinan bahwa jumlah kolagen pada sampel uji tidak lebih banyak dibandingkan dengan kulit lainnya. Hal ini dapat dilihat dari hasil ulangan pertama dan kedua pada pengujian kekuatan tarik (Lampiran 9). Tebal kulit yang tidak seragam dapat menyebabkan jumlah bahan penyamak yang terikat oleh kolagen menjadi berbeda. Meski dengan jumlah bahan penyamak yang sama, akan tetapi karena terjadi perbedaan jumlah kolagen, maka pengikatan bahan penyamak antara kulit yang satu dan lainnya akan berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan nilai-nilai sifat fisik yang dihasilkan berbeda pula. Penggunaan bahan peminyak dengan dosis 3% sudah memenuhi nilai batas SNI (BSN 2009) untuk syarat mutu kulit bagian atas alas kaki kulit kambing dengan nilai minimal sebesar 16 N/mm 2. Tabel data dan analisis ragam dari respon kekuatan tarik dapat dilihat di Lampiran 9. 15

32 16 30 Kekuatan Tarik (N/mm 2 ) Konsentrasi 3% 6% 9% 12% 15% 0 Alami Jenis Bahan Peminyak Sintetis Gambar 7 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan sobek kulit samak ikan tuna Menurut Suparno et al. (2011), nilai kekuatan tarik kulit samak dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis bahan penyamak, arah serat (sejajar dan tegak lurus), proses penyamakan, ketebalan kulit dan lokasi pengambilan sampel. Kanagy (1977) dalam Amwaliya (2011) menyatakan bahwa nilai kekuatan tarik dipengaruhi oleh komposisi protein serat di dalam kulit. Proses peminyakan juga mempengaruhi nilai kekuatan tarik. Purnomo (2002) menyatakan bahwa proses peminyakan merupakan proses penetrasi molekul minyak ke dalam ruang kosong antar serat kolagen kulit. Ketika serat kolagen dilapisi oleh minyak, maka serat kolagen tersebut menjadi lebih mulur, lemas dan elastis. Hal ini sejalan dengan pendapat Palop (2007) dan Sivakumara et al. (2008) yang menyatakan bahwa proses peminyakan merupakan proses kompleks yang mampu mempengaruhi sifat fisik kulit samak seperti kekuatan tarik, kekuatan sobek, kelemasan dan kemuluran. Serat kolagen yang menjadi lebih mulur dan elastis menyebabkan gaya yang dibutuhkan untuk menarik kulit hingga putus menjadi lebih kecil. Meski dengan ketebalan yang serupa, akan tetapi dengan berkurangnya gaya yang dibutuhkan untuk menarik kulit hingga putus, maka nilai kekuatan tarik akan semakin kecil. Hal ini sesuai dengan yang telah dilakukan oleh Nurdiansyah (2012) yang menyatakan nilai kekuatan tarik menurun seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak yang digunakan. Covington (2009) menjelaskan bahwa pada kulit samak dikenal istilah handle yang merupakan sifat kompleks dari kulit samak dan berhubungan secara langsung dengan sifat yang dihasilkan oleh kulit samak ketika kulit berhasil dimanipulasi. Handle merupakan gabungan dari densitas, tingkat kelemasan, kekakuan, kelenturan, kelembutan/kehalusan, dan kemuluran yang dimiliki oleh kulit. Selain handle, dikenal juga istilah strength (kekuatan) yang merupakan kemampuan suatu material untuk tahan terhadap kekuatan tarik atau putus. Pada kulit samak, strength merupakan kemampuan kulit untuk menghilangkan ketegangan berlebih yang diakibatkan oleh pergerakan struktur jaringan serat.

33 Terdapat dua kondisi yang harus dipenuhi untuk menghilangkan ketegangan tersebut: 1. Jaringan serat tidak boleh berikatan kembali pada saat proses pengeringan berlangsung. 2. Jaringan serat harus dilumasi agar pada saat proses pengeringan berlangsung, meskipun terjadi gesekan antar jaringan serat, akan tetapi tidak terdapat jaringan serat yang saling berikatan. Hal inilah yang menjadi peran utama proses peminyakan dalam upaya memenuhi dua kondisi tersebut, yaitu mencegah terjadinya resticking (berikatan kembali) antar jaringan serat dengan cara mengisi ruang kosong antar serat-serat kulit dan melumasi setiap jaringan serat kulit. Dari proses tersebut dihasilkan kulit samak yang lebih lunak, liat, mulur, lembut dan lemas. Perpanjangan Putus Perpanjangan putus (elongation at break) merupakan nilai elastisitas kulit pada saat kulit ditarik hingga putus yang kemudian dibagi dengan panjang semula dan dinyatakan dalam satuan persen. Secara sederhana perpanjangan putus merupakan perubahan panjang kulit yang terjadi pada saat kulit sebelum dan sesudah ditarik hingga putus. Kulit yang memiliki nilai perpanjangan putus yang tinggi menunjukkan bahwa kulit tersebut sangat elastis dan tidak mudah sobek. Perpanjangan putus merupakan salah satu respon penting pada mutu kulit samak. Hasil pengujian perpanjangan putus (Lampiran 10) menunjukkan bahwa nilai perpanjangan putus meningkat seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak pada setiap jenis bahan peminyak yang digunakan. Nilai perpanjangan putus terbesar dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 15% dengan nilai sebesar 80.8%, sedangkan nilai perpanjangan putus terkecil dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 3% dengan nilai sebesar 45.3%. Berdasarkan analisis ragam, nilai signifikansi untuk faktor jenis dan dosis tersarang adalah (< 0.05). Hasil tersebut menyatakan bahwa faktor jenis dan dosis tersarang berpengaruh nyata terhadap nilai perpanjangan putus kulit samak ikan tuna. Pada faktor jenis bahan peminyak (Gambar 8), terlihat bahwa terjadi perbedaan nilai perpanjangan putus yang cukup jauh antara jenis bahan peminyak alami dan sintetis. Nilai terbesar dihasilkan oleh bahan peminyak sintetis dengan nilai sebesar 60.8%, sedangkan nilai terkecil dihasilkan oleh bahan peminyak alami dengan nilai sebesar 55.8%. Dari uji lanjut Duncan didapatkan hasil berupa dua grup berbeda, yaitu grup A yang diisi oleh jenis bahan peminyak sintetis dengan nilai sebesar 60.8% dan grup B yang diisi oleh jenis bahan peminyak alami dengan nilai sebesar 55.8%. Perbedaan kode grup menyatakan bahwa hasil yang didapatkan adalah berbeda nyata. Hal ini secara jelas menyatakan bahwa jenis bahan peminyak alami berbeda nyata dengan jenis bahan peminyak sintetis, sehingga hasilnya berbeda nyata terhadap nilai perpanjangan putus kulit samak. 17

34 18 64 Perpanjangan Putus (%) Alami Jenis Bahan Peminyak Sintetis Gambar 8 Hubungan faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai kekuatan tarik kulit samak ikan tuna Pada faktor dosis tersarang (Gambar 9), nilai perpanjangan putus cenderung meningkat seiring dengan peningkatan dosis bahan peminyak yang digunakan. Nilai perpanjangan putus terbesar dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 15% dengan nilai sebesar 80.8%, sedangkan nilai terkecil dihasilkan oleh jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 3% dengan nilai sebesar 45.3%. Akan tetapi pada jenis bahan peminyak sintetis dengan dosis 12% (53.8%), nilainya menjadi lebih kecil dibandingkan dengan dosis 9% (65.3%). Hal ini disebabkan oleh penetrasi bahan peminyak yang kurang maksimal sehingga tidak melapisi serat-serat kolagen secara baik. Akibatnya, kulit dengan dosis 12% menjadi lebih sulit ditarik jika dibandingkan dengan kulit dengan dosis 9% sehingga nilai perpanjangan putus menjadi lebih kecil. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, jika hasil tersebut dibandingkan dengan nilai SNI, yaitu maksimum sebesar 55% (BSN 2009), maka hanya sampel jenis bahan peminyak alami dengan dosis 3% (51.2%), dosis 6% (53.9%) dan jenis bahan peminyak sintetis dengan dosis sebesar 3% (45.3%) yang memenuhi syarat batas SNI untuk syarat mutu kulit bagian atas alas kaki kulit kambing. Tabel data, analisis ragam dan uji lanjut Duncan dari respon perpanjangan putus dapati dilihat di Lampiran 10.

35 Elongasi (%) Konsentrasi 3% 6% 9% 12% 15% 0 Alami Jenis Bahan Peminyak Sintetis Gambar 9 Hubungan faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak terhadap nilai perpanjangan putus kulit samak ikan tuna Nugraha (1999) menyatakan bahwa kulit menjadi lemas akibat tercerainya serat-serat kolagen penyusun tenunan kulit pada proses pengapuran (liming). Pada proses tersebut terjadi reaksi reduksi elastin pada protein kulit. Elastin merupakan protein fibrous yang membentuk serat-serat yang sangat elastis, karena mempunyai rantai asam amino yang membentuk sudut sehingga pada saat mendapat tegangan maka sudut-sudut tersebut akan menjadi lebih lurus dan akan kembali seperti semula apabila tegangan tersebut dilepaskan. Selanjutnya pelemasan kulit juga disebabkan oleh proses peminyakan. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada proses peminyakan terjadi penetrasi molekul minyak ke dalam ruang kosong antar serat kolagen kulit. Purnomo (2002) menjelaskan bahwa akibat dari penetrasi tersebut adalah adanya serat-serat kolagen yang dilapisi oleh molekul minyak sehingga menyebabkan perubahan kulit menjadi lebih lunak, liat, mulur, lembut dan permukaan rajahnya lebih halus. Rachmi (1992) menyatakan bahwa peminyakan juga bertujuan untuk melicinkan seratserat kulit sehingga membuat serat kulit tidak menempel antara satu dengan yang lainnya, kemudian terjadi peningkatan pada kekuatan/daya tarik, peningkatan elastisitas kulit dan penurunan daya serap air. Hal ini sejalan dengan pendapat Palop (2007) dan Sivakumara et al. (2008) yang menyatakan bahwa proses peminyakan merupakan proses kompleks yang mampu mempengaruhi sifat fisik kulit samak seperti kekuatan tarik, kekuatan sobek, kelemasan dan kemuluran. Nilai perpanjangan putus berhubungan langsung dengan nilai kekuatan tarik. Pada respon kekuatan tarik, serat kolagen yang menjadi lebih mulur dan elastis menyebabkan gaya yang dibutuhkan untuk menarik kulit hingga putus menjadi lebih kecil. Gaya yang lebih kecil menyebabkan kulit dengan mudah untuk ditarik hingga putus. Semakin mudah dan kecil gaya yang dibutuhkan untuk menarik kulit hingga putus, maka semakin kecil nilai kekuatan tarik yang dihasilkan. Semakin kecil nilai kekuatan tarik, maka semakin tinggi perubahan panjang kulit akibat penarikan kulit. Semakin tinggi nilai perubahan panjang yang terjadi, maka semakin tinggi pula nilai perpanjangan putus yang diperoleh. Secara sederhana,

36 20 semakin kecil nilai kekuatan tarik, maka semakin tinggi nilai perpanjangan putus kulit samak. Uji Organoleptik Uji organoleptik merupakan salah satu parameter penting pada mutu kulit samak. Perbedaan jenis dan dosis dari setiap bahan yang digunakan pada proses penyamakan dapat menyebabkan adanya perbedaan sifat kulit samak yang dihasilkan, termasuk sifat organoleptik kulit samak. Penggunaan jenis dan dosis bahan pada proses penyamakan disesuaikan dengan produk yang diinginka. Pada penelitian ini, uji organoleptik mutu kulit hasil peminyakan dinilai berdasarkan tiga respon, yaitu warna, feel/handle dan kelenturan. Penilaian respon warna dan feel/handle dilakukan secara visual, sedangkan penilaian respon kelenturan dilakukan secara skala ordinal. Berdasarkan uji organoleptik yang dilakukan, semua sampel uji menunjukkan hasil yang serupa pada respon warna dan feel/handle, sedangkan pada respon kelenturan didapatkan beberapa perbedaan nilai kelenturan. Pada respon warna didapatkan hasil berupa setiap kulit samak yang dihasilkan berwarna coklat tua. Hal ini disebabkan oleh bahan penyamak gambir yang digunakan. Warna bahan penyamak gambir yang berwarna coklat tua dan dosis yang seragam (20%) menyebabkan warna yang dihasilkan oleh kulit samak berwarna coklat tua pada setiap sampel uji. Foto penampakan warna dari tiap-tiap kulit hasil samak dapat dilihat pada Lampiran 11. Selanjutnya pada respon feel/handle, sebagian besar kulit samak menghasilkan nilai berupa kulit samak dengan permukaan yang halus dan pola sisik yang terlihat jelas. Permukaan kulit yang halus disebabkan oleh bahan peminyak yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Purnomo (2002) yang menyatakan bahwa proses peminyakan mampu menghasilkan kulit samak yang menjadi lebih lunak, lentur, liat, mulur, lembut dan halus sehingga dapat diolah lebih lanjut. Pada respon kelenturan didapatkan hasil yang serupa pada setiap jenis bahan peminyak yang digunakan. Perbedaan dosis bahan peminyak menyebabkan adanya perbedaan kelenturan yang dihasilkan. Semakin tinggi dosis bahan peminyak yang digunakan, maka semakin lentur kulit samak yang dihasilkan. Respon kelenturan dinilai dengan menggunakan skala ordinal 1 5, dengan 1 sebagai nilai yang menyatakan tidak lentur dan 5 sebagai nilai yang menyatakan sangat lentur. Berdasarkan uji organoleptik yang dilakukan, kelenturan yang dihasilkan berkisar antara 3 hingga 4. Pada dosis bahan peminyak 3% dan 6% didapatkan nilai kelenturan sebanyak 3, kemudian meningkat menjadi 4 pada dosis 9%, 12% dan 15%. Peningkatan dosis bahan peminyak yang digunakan menyebabkan adanya peningkatan kelenturan. Akan tetapi terjadi penurunan nilai kelenturan pada bahan peminyak jenis sintetis dengan dosis 12%. Nilai kelenturan yang semula 4 pada dosis 9% turun menjadi 3 pada dosis 12%. Penurunan ini terjadi akibat bahan peminyak yang tidak terdifusi secara sempurna sehingga nilai kelenturan yang dihasilkan tidak meningkat. Hubungan antara mutu kulit hasil penyamakan terhadap jenis bahan penyamak dan dosis yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1.

37 Tabel 1 Hubungan mutu kulit hasil peminyakan terhadap jenis bahan peminyak dan dosis yang digunakan Jenis bahan peminyak Alami Sintetis Dosis (%) Mutu Kulit 21 Warna Feel/Handle Kelenturan 3 coklat tua halus 3 6 coklat tua halus, terdapat sedikit pola sisik 3 9 coklat tua halus, pola sisik terlihat jelas 4 12 coklat tua halus, pola sisik terlihat 4 15 coklat tua halus 4 3 coklat tua halus, pola sisik terlihat 3 6 coklat tua halus 4 9 coklat tua halus, pola sisi terlihat 4 12 coklat tua halus 3 15 coklat tua halus 4 Penentuan Perlakuan Terbaik Berdasarkan penelitian ini, kulit samak yang mengalami proses peminyakan dengan menggunakan jenis bahan peminyak alami pada dosis 3%, 6% jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 3% dan 12% memberikan hasil terbaik. Pemilihan ini didasarkan pada sistem penilaian dengan bobot yang berbeda pada tiap respon. Nilai yang diberikan pada tiap sampel berkisar antara 1 5. Nilai-nilai tersebut mewakili rentang nilai tertentu sesuai dengan parameter yang diukur. Respon yang dijadikan kriteria penilaian antara lain: peningkatan tebal, kekuatan sobek, kekuatan tarik, perpanjangan putus dan organoleptik. Sebagai contoh, pada respon kekuatan sobek, nilai 1 untuk rentang < 4 N/mm, nilai 2 untuk rentang 4 7 N/mm, nilai 3 untuk rentang 8 11 N/mm, nilai 4 untuk rentang N/mm, dan nilai 5 untuk rentang > 15 N/mm. Setiap respon memiliki nilai bobot yang berbeda. Nilai bobot masing-masing respon adalah 0.1 untuk peningkatan tebal, 0.3 untuk kekuatan sobek, 0.3 untuk kekuatan tarik, 0.2 untuk perpanjangan putus, dan 0.1 untuk organoleptik. Bobot tersebut disesuaikan dengan kondisi kulit dan produk akhir kulit yang dituju, yaitu berupa bahan bagian atas sepatu. Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan metode penilaian pada Lampiran 12, perlakuan terbaik dihasilkan oleh sampel kulit samak dengan jenis bahan peminyak alami pada dosis 3% dan 6%, serta sampel kulit samak pada jenis bahan peminyak sintetis pada dosis sebesar 3% dan 12% dengan nilai perhitungan sebesar 4.2. Dilakukan Uji Beda (Uji t) untuk mengetahui perlakuan mana yang terbaik di antara perlakuan-perlakuan tersebut. Berdasarkan perhitungan Uji t pada Lampiran 12, perbandingan nilai setiap sampel hanya berbeda nyata pada respon kekuatan sobek. Selanjutnya dari hasil perhitungan uji t pada respon kekuatan sobek, nilai dari setiap perlakuan adalah berbeda nyata, kecuali antara sampel dengan perlakuan jenis bahan peminyak alami pada dosis 6% (A1B2) dan sampel

38 22 dengan perlakuan jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 3% (A2B1). Karena hanya respon kekuatan sobek yang berbeda nyata, maka dilakukan pemilihan perlakuan terbaik berdasarkan nilai kekuatan sobek terbesar. Nilai kekuatan sobek terbesar dihasilkan oleh sampel dengan perlakuan jenis bahan peminyak sintetis pada dosis 12% (A2B4) dengan nilai sebesar N/mm. Akan tetapi karena nilai perpanjangan putus dari sampel tersebut sebesar 53.8% (mendekati batas maksimum SNI sebesar 55%), maka dipilihlah sampel dengan perlakuan jenis bahan peminyak sintetis pada dosis sebesar 3% (A2B1). Hal ini berdasarkan pada nilai kekuatan sobek yang dimiliki sampel tersebut adalah terbesar kedua, yaitu dengan nilai sebesar 95.3 N/mm dan nilai perpanjangan putus yang cukup jauh di bawah dari nilai setiap perlakuan yang dibandingkan, yaitu sebesar 45.3%. Pada kondisi perlakuan ini, dihasilkan nilai peningkatan tebal sebesar 32.4%, kekuatan sobek sebesar 95.3 N/mm, kekuatan tarik sebesar 27.9 N/mm 2 dan perpanjangan putus sebesar 45.3%. Uji organoleptik dengan nilai 3 menunjukkan bahwa warna yang dihasilkan kulit samak ikan tuna dengan menggunakan jenis bahan peminyak sintetis dengan dosis sebesar 3% terlihat merata dan alami, yaitu coklat tua, serta bagian permukaan (feel/handle) yang halus serta tingkat kelenturan yang cukup. Nilai Tambah Kulit ikan tuna merupakan salah satu jenis limbah yang dihasilkan pada industri pengolahan fillet tuna. Limbah kulit tersebut biasanya dijual kepada pengepul untuk dijadikan kerupuk dengan harga Rp500 per kg kulit mentah (Hastuti 2013). Hal ini menunjukkan bahwa nilai tambah yang dihasilkan oleh kulit ikan tuna masih sangat kecil. Proses penyamakan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai tambah dari limbah kulit ikan tuna. Proses penyamakan mampu memberikan nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan hanya menjual kulit mentahnya saja. Analisis nilai tambah dilakukan untuk mengetahui seberapa besar peningkatan nilai tambah yang diperoleh dari kulit samak yang melalui proses peminyakan. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode Hayami (1987) dalam Giska (2013). Prosedur perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13. Berdasarkan hasil perhitungan yang terdapat pada Tabel 2, rendemen bahan baku kulit yang digunakan sebesar 0.5. Hal ini disesuaikan dengan bagian-bagian pada kulit tuna yang akan digunakan sebagai kulit samak. Bagian-bagian yang memiliki tebal berbeda dan bermutu kurang akan dipisahkan, sehingga tersisa setengah bagian yang akan digunakan pada penyamakan. Berdasarkan hasil analisis, nilai tambah kulit ikan tuna yang telah disamak menjadi sebesar Rp 22000/ft 2 dari harga input awal Rp 250/ft 2. Rasio nilai tambah yang dihasilkan sebesar 73.3%, sehingga persentase peningkatan keuntungannya sebesar 27.5% dengan nilai keuntungan sebesar Rp 8250/ft 2. Kulit ikan tuna yang semula hanya berupa limbah yang nilai tambahnya sangat kecil,menjadi sangat potensial untuk ditingkatkan nilai tambahnya jika diubah menjadi kulit samak. Tabel 2 Perhitungan nilai tambah kulit samak No Variabel Nilai 1 Output, input dan harga a Output/produk total (ft 2 /produksi) 1200

39 23 b Input bahan baku (ft 2 /produksi) 2400 c Input tenaga kerja (HOK) 6 d Faktor konversi 0.50 e Koefisien tenaga kerja 0.25 f Harga output (Rp/ft 2 ) g Upah tenaga kerja (Rp/HOK) Penerimaan dan keuntungan h Harga input bahan baku (Rp/ft 2 ) 250 i Sumbangan input lain (Rp/ft 2 ) 7750 j Nilai output k Nilai tambah (Rp/ft 2 ) l Rasio nilai tambah (%) 73.3 m Pendapatan tenaga kerja (Rp/ft 2 ) n Pangsa tenaga kerja(%) 62.5 o Keuntungan (Rp/ft 2 ) 8250 p Tingkat keuntungan (%) 27.5 Keterangan: Rincian biaya sumbangan input lain dengan basis 1 kg kulit mentah: 1. Harga input bahan penyamak dan bahan peminyak a. 1 kg gambir = Rp Biaya penggunaan gambir (20% 1 kg) Rp = Rp 4800 b. 1 kg krom = Rp Biaya penggunaan krom (8% 1 kg) Rp = Rp 1760 c. 1 liter fatliquor sintetis = Rp Biaya penggunaan fatliquor sintetis (3% x 1kg) x Rp = Rp Harga input bahan kimia a. 1 l H 2 SO 4 = Rp Biaya penggunaan H 2 SO 4 (2% 1 kg) Rp = Rp 400 b. 1 l HCOOH = Rp Biaya penggunaan HCOOH (2% 1 kg) Rp = Rp 400 c. 1 kg Na 2 S = Rp Biaya penggunaan Na 2 S (3% 1 kg) Rp = Rp 1500 d. 1 kg Ca(OH) 2 = Rp Biaya penggunaan Ca(OH) 2 (5% 1 kg) Rp = Rp 2500 e. 1 kg (NH 4 ) 2 SO 4 = Rp 6500 Biaya penggunaan (NH 4 ) 2 SO 4 (2.5% 1 kg) Rp 6500 = Rp f. 1 l Rindill RNN = Rp Biaya penggunaan Rindill RNN (0.15% 1 kg) Rp = Rp g. 1 kg Na 2 SO 3 = Rp Biaya penggunaan Na 2 SO 3 (0.2% 1 kg) Rp = Rp 22 h. 1 kg HCOONa = Rp 6600 Biaya penggunaan HCOONa (0.5% 1 kg) Rp 6600 = Rp 33 i. 1 l Degresser 606 = Rp Biaya penggunaan Degresser 606 (0.05% 1 kg) Rp = Rp 15 j. 1 kg NaCl = Rp 8000 Biaya penggunaan NaCl (20% 1 kg) Rp 8000 = Rp 1600

40 24 k. 1 kg NaHCO 3 = Rp 6500 Biaya penggunaan NaHCO 3 (1% 1 kg) Rp 6500 = Rp 65 l. 1 kg Sertan ND = Rp Biaya penggunaan Sertan ND (2% 1 kg) Rp = Rp Harga input lain-lain a. Biaya listrik/proses produksi dengan motor 1 pk = Rp Biaya untuk produksi 1 kg kulit = Rp b. Biaya penggunaan air/proses produksi = 3 m 3 /1 m 3 Rp 5000 = Rp Biaya untuk produksi 1 kg kulit = Rp Total harga input sumbangan lain/kg produksi kulit = harga input bahan penyamak dan peminyak + harga input bahan kimia + harga input lain-lain Rp 15500/kg produksi kulit - 1 kg kulit = 4 lembar kulit 1 lembar (30 cm 15 cm) = 0.5 ft 2 1 kg kulit = 2 ft 2 - Biaya sumbangan input lain per ft 2 = Rp 7750 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor jenis bahan peminyak berpengaruh nyata terhadap respon kekuatan sobek dan perpanjangan putus. Pada faktor dosis yang tersarang pada faktor jenis bahan peminyak didapatkan hasil berupa berpengaruh nyata pada respon suhu kerut, kekuatan sobek, kekuatan tarik dan perpanjangan putus. Tidak ada satu faktor pun yang berbeda nyata terhadap respon peningkatan tebal. Perlakuan jenis bahan peminyak sintetis dengan dosis sebesar 3% merupakan perlakuan terbaik. Perlakuan tersebut menghasilkan nilai peningkatan tebal sebesar 32.4%, suhu kerut sebesar 125 o C, kekuatan sobek sebesar 95.3 N/mm, kekuatan tarik sebesar 27.9 N/mm 2 dan perpanjangan putus sebesar 45.3%. Uji organoleptik menunjukkan bahwa warna yang dihasilkan kulit samak ikan tuna dengan menggunakan jenis bahan peminyak sintetis dengan dosis 3% terlihat merata dan alami, yaitu coklat tua, serta bagian permukaan (feel/handle) yang halus serta tingkat kelenturan yang cukup. Hasil analisis nilai tambah menunjukkan bahwa proses penyamakan yang disertai dengan peminyakan mampu meningkatkan nilai jual kulit ikan tuna mentah dari Rp500/kg atau setara dengan Rp250/ft 2 menjadi kulit samak dengan nilai tambah sebesar Rp22.000/ft 2, peningkatan persentase keuntungan sebesar 27.5% dengan nilai keuntungan sebesar Rp 8250/ft 2. Saran Proses penyamakan ikan tuna sebaiknya menggunakan kulit ikan dengan tebal yang seragam, dengan kisaran ketebalan mm per sampel. Jika tebal kulit yang digunakan melebihi angka tersebut, maka perlu dilakukan proses shaving agar tebal kulit yang digunakan seragam. Ketidakseragaman tebal kulit menjadi faktor adanya keanehan data yang ditimbulkan pada respon kekuatan tarik dan perpanjangan putus. Hal ini disebsabkan oleh keberadaan kolagen yang

41 tidak seragam pada setiap kulit. Tebal kulit yang seragam dipastikan mampu menghasilkan nilai sifat-sifat fisik kulit samak lebih teliti karena jumlah kolagen pada setiap kulit sudah seragam. Selanjutnya bisa dilakukan proses peminyakan dengan jenis bahan peminyak lainnya untuk mengetahui sifat-sifat fisik kulit samak yang dihasilkan. DAFTAR PUSTAKA Alfindo T Penyamakan Kulit Tuna (Thunnus sp.) Menggunakan Kulit Kayu Akasia (Acacia mangium Willd) Terhadap Mutu Fisik Kulit. Skripsi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Anonim The Art of MBoC3. New York (US): Garland Publishing Inc. Amwaliya S Pengaruh Waktu Oksidasi Terhadap Mutu Kulit Samoa pada Proses Penyamakan Minyak yang Dipercepat dengan Hidrogen Peroksida. Skripsi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bernardini E Vegetable Oils and Fats Processing. Volume II. Rome (ITA): Interstampa. Brown EM, Latona RJ, Taylor MM Effects of pretanning process on collagen structure and reactivity. J. American Leather Chemist Association. 108: [BSN] Badan Standarisasi Nasional Standar Nasional Indonesia. Kulit Bagian Atas Alas Kaki Kulit Kambing. SNI 0253:1989. Jakarta (ID): BSN. Covington AD Tanning Chemistry The Science of Leather. Cambridge (UK): RSC Publishing. Etherington D, Roberts MT A Dictionary of Descriptive Terminology: Fatliquoring [internet]. [diacu 15 September 2014]. Tersedia dari: Hastuti TU Penyamakan Kulit Ikan Tuna (Thunnus sp) dengan Kombinasi Penyamak Krom dan Nabati. Skripsi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hayami Y Agricultural Marketing and Processing in Upland Java, a Perspective From Sunda Village. Bogor (ID): CGPRT Center. Joenoes ZN Ars Prescribendi Jilid III. Surabaya (ID): Airlangga University Press. Judoamidjojo RM Teknik Penyamakan Kulit untuk Pedesaan. Bandung (ID): Angkasa. Leafe MK Leather Technologists Pocket Book. United Kingdom (UK): The Society of Leather Technologists and Chemists. Mustakim AS Pengaruh persentase penggunaan kuning telur ayam ras terhadap proses peminyakan terhadap kekuatan sobek lidah, keretakan rajah dan kadar lemak cakar ayam pedaging samak kombinasi (krom-nabati). J. Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak. 1 (1): Nagai S, Takeda M Four species of giant crustaceans from the Indonesian depths, with description of a new species of the family lithodidae. Bulletin of the National Science Museum Series A (Zoology) 30 (1): Nugraha G Pemanfaatan Tanin Dari Kulit Kayu Akasia (Acacia mangium Willd) Sebagai Bahan Penyamak Nabati. Skripsi. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 25

42 26 Nurdiansyah D Pengaruh Tingkat Penggunaan Minyak Ikan Tersulfit pada Proses Fatliquoring Terhadap Mutu Fisik Fur Kelinci. Skripsi. Bandung (ID): Universitas Padjadjaran. Oosten JV Skin and Scale. New York (US): Academic Press Inc. Pahlawan IF, Kasmudjiastuti E Pengaruh jumlah minyak terhadap sifat fisis kulit ikan nila (Oreochromis niloticus) untuk bahan bagian atas sepatu. J. Balai Besar Kulit, Karet dan Plastik. 28: Palop R Influence of Fatliquor on Physical Properties oh Leather. Beijing (CH): China Leather and Footwear Industry Research Institute. Pore J Sulfated and sulfonated oils. Di dalam Karlenskind, A. (ed.), Oil and Fats. New York (US): Manual Intercept Ltd. Puntener A Fatliquors: their effect on the lightfastness of dyed leathers. World Leather Professional Magazine for The Leather Industry. 9 (1): Purnomo Penyamakan Kulit Ikan Pari. Yogyakarta (ID): Kanisius. Quimser Wet Process Catalogue. Barcelona (SPA): Quimser. Rachmi R Pengaruh Berbagai Bahan Penyamak Kulit Ikan Kakap Merah (Lutjanus sp.). Skripsi. Semarang (ID): Universitas Dipenogoro. Said MI Isolasi dan Indentifikasi Kapang Serta Pengaruhnya terhadap Sifat Fisik dan Struktur Jalinan Kulit Kambing Pickling serta Wet Blue dengan Perlakuan Fungisida Selama Penyimpanan. Tesis. Program Studi Ilmu Peternakan. Yogyakarta (ID): Universitas Gajah Mada. Said MI Hibah Penulisan Buku Ajar Ilmu dan Teknologi Pengolahan Kulit. Makasar (ID): Universitas Hasanudin. Schröpfer M, Meyer M Dimensional and structural stability of leather under alternating climate conditions. J. Aqeic. 63: 1 2. Sharphouse JH Leather Technician s Handbook. Leather Producers Association. Northhampton (UK): Page Bros. [SLTC] Society of Leather Technologists and Chemists Official methods of Analysis. Northampton (UK): SLTC. Sivakumara V, Prakasha RP, Raob PG, Ramabrahmana BV, Swamithana G Power ultrasound in fatliquor preparation based on vegetable oil for leather application. J. of Cleaner Production. 16: Suardana IW, Sudiadnyana P, Rubiyanto Kriya Kulit Jilid 1 untuk SMK. Jakarta (ID): Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. Suparno O Phenolic Reactions for Leather Tanning and Dyeing. PhD Thesis. Leicester (UK): University of Leicester. Suparno O, Covington AD, Evans CS Teknologi penyamakan kulit ramah lingkungan: penyamakan kombinasi menggunakan penyamak nabati, naftol, dan oksazolidin. J. Teknologi Industri Pertanian 18 (2): Suparno O, Gumbira-Sa id E, Kartika IA, Muslich, Mubarak S An innovative new application of oxidizing agents to accelerate chamois leather tanning. J. of the American Leather Chemists Association. 106 (12): Suparno O, Wahyudi E Pengaruh konsentrasi natrium perkarbonat dan jumlah air pada penyamakan kulit samoa terhadap mutu kulit samoa. J. Teknologi Industri Pertanian. 22 (1): 1 9.

43 Thorstensen TC Practical Leather Technology. Florida (US): Kreiger Publishing Company. Yahua L, Duo N, Jianbing H, Bin LV, Thing Z A methode for measuring shrinkage temperature of leather. J. of The Society of Leather Technologists and Chemists. 95 (5):

44 28 Lampiran 1 Gambar/foto bahan penelitian yang digunakan dan penjelasan produk bahan peminyak Kulit tuna segar Bahan penyamak krom dan nabati gambir Bahan pendukung penyamakan A1 A2 Bahan peminyak alami (A1) dan sintetis (A2) Tabel penjelasan produk bahan peminyak (Quimser 2014) Kode Produk Seroil CMT Seroil FO Komposisi kimia Penjelasan Very soft and light weight fatiliquor dibuat dari minyal alami Seroil CMT merupakan bahan peminyak yang dikembangkan untuk memberikan kelembutan ekstrim dengan berat yang ringan dan permukaan yang terlihat tanpa memberikan aroma khas ikan. Kemampuan-kemampuan inilah yang menjadikan Seroil CMT sebagai bahan peminyak yang unik. Bahan peminyak Phosporic ester fatliquor dibuat dari phosporic ester Bahan peminyak yang dapat digunakan pada berbagai macam kulit, kulit samak krom, kulit samak nabati, maupun samak kombinasi. Memiliki stabilitas yang tinggi sehingga ketika dicampurkan dengan bahan peminyak lainnya, dapat meningkatkan stabilitas, distribusi dan penetrasi. Merupakan bahan peminyak sintetis dengan kemampuan

45 ini dapat dicampur dengan bahan peminyak anionik lainnya dan cocok juga digunakan secara bersamaan dengan produk anionik lainnya, seperti pewarna, bahan penyamak sintetis, bahan penyamak nabati, dan lain-lain. Seroil CMT digunakan untuk menghasilkan kulit dengan kelembutan terbaik. Penggunaan Seroil CMT pada proses pemikelan atau penyamakan dapat meningkatkan kelembutan. Seroil CMT juga cocok digunakan sebagai brush-on fatliquor. 29 tidak dapat teroksidasi dan tengik. Kemampuannya yang dapat menghasilkan penetrasi yang baik menyebabkan Seroil FO dapat dicampur dengan berbagai jenis bahan peminyak. Seroil FO dapat digunakan pada proses pemikelan untuk meningkatkan kelembutan kulit wet-blue, setelah penyamakan krom atau penyamakan kembali dari setiap jenis kulit, juga cocok digunakan pada penyamakan alumunium pada pembuatan fur. Penggunaan Seroil FO dapat menghasilkan kulit dengan lubrikasi yang baik, berat yang ringan, lembut, dan dry feeling. Penampakan Minyak cair Minyak cair Warna Coklat transparan Coklat transparan ph Ligh fastness Baik Sangat baik Karakter Anionik Anionik Baik digunakan untuk Proses Garmen, upholstery, gloving, otomotif. Pemikelan, Penyamakan, Penyamakan krom, Peminyakan Tas kulit, bahan bagian atas sepatu, upholstery, garmen, gloving,otomotif, lining. Penyamakan krom kembali (rechromage), prapenyamakan, prapeminyakan, penyamakan kembali (retanning), peminyakan, penyamakan Penggunaan Dicampurkan dan diaduk Dicampurkan dan diaduk

46 30 Lampiran 2 Gambar/foto peralatan penelitian yang digunakan Baumémeter Molen (drum putar) Shaker Toggle Dryer Alat pengukur suhu kerut Alat pengukur kekuatan sobek (Tensile Strength Tester)

47 31 Tensile strength tester Thickness gauge

48 32 Lampiran 3 Proses penyamakan krom (Suparno 2005) Proses Penyamakan Basifikasi Netralisasi Drain (pembuangan cairan di dalam molen) Horse Up (penyampiran) Bahan Kimia Garam (NaCl) Air Asam Sulfat Asam Formiat Dosis (% bobot kulit) Suhu ( o C) Waktu (menit) x 30 Krom Natrium Bikarbonat Air Natrium Bikarbonat x Keterangan Diukur densitas (derajat Baumé) dan ph Asam dilarutkan ke dalam air dengan perbandingan asam : air 1:10 Penambahan larutan asam ke dalam molen dilakukan setiap 30 menit hingga ph antara selama 120 menit 33% basisitas; ph Natrium Bikarbonat dilarutkan ke dalam air dengan perbandingan Natrium Bikarbonat : air 1:5 Penambahan larutan dilakukan setiap 30 menit hingga ph selama 120 menit Dilakukan pada ph Cairan dikeluarkan Kulit samak krom didiamkan selama satu malam

49 33 Lampiran 4 Proses penyamakan nabati (Suparno et al. 2008) Proses Depickling (Pengaturan ph) Bahan Kimia Dosis (% bobot kulit) Air 200 Garam (NaCl) Natrium Bikarbonat 10 Suhu ( o C) Waktu (menit) x 15 Keterangan Ukur derajat Baumé (6 10 Be) Natrium Bikarbonat dilarutkan ke dalam air dengan perbandingan Natrium Bikarbonat : air 1:10 Penyamakan Drain (pembuangan cairan di dalam molen) Sertan ND (Dispersing Agent) Penyamak Nabati Gambir Cek ph (4.5) Cek ph (4.5) x 60 Pencucian Air Peminyakan Fiksasi Drain (pembuangan cairan di dalam molen) Air 150 Bahan Peminyak Asam Formiat 3/6/9/12/ Bahan penyamak dimasukkan secara bertahap sebanyak dua kali (total dosis bahan yang digunakan dibagi dua untuk setiap 60 menit) 25 Keluarkan cairan x 10 menit + 60 menit Dicuci dengan air mengalir Bahan peminyak dilarutkan pada air bersuhu 80 o C Asam dilarutkan ke dalam air dengan perbandingan asam : air 1:3 Cek ph 3.5 Keluarkan cairan Pencucian Air menit Cek ph (3.5) Drain (pembuangan cairan di dalam molen) Cairan dikeluarkan

50 34 Horse Up (penyampiran) Pengeringan Satu malam 1-2 hari Sampirkan kulit Bentangkan kulit pada toggle dryer

51 Lampiran 5 Prosedur uji sifat fisik kulit 1. Ketebalan (SLTC 1996) Ketebalan kulit diukur menggunakan sebuah alat yaitu thickness gauge. Bagian yang diukur tebalnya yaitu 3 5 titik yang dipilih secara acak pada permukaan kulit. Alat diletakkan di atas bidang horizontal dengan permukaan yang rata kemudian sampel diletakkan di antara tatakan dan penekan dari alat tersebut. Jika posisi grain dapat diidentifikasi, maka grain diarahkan ke atas. Namun jika tidak, salah satu sisi diarahkan ke atas. Kemudian penekan dilepas dan ditunggu sampai ± 5 detik. Angka yang muncul kemudian dicatat sebagai tebal dari kulit. Hasilnya kemudian dirata-ratakan. 2. Suhu Kerut (SLTC 1996) Sampel dikaitkan pada pengait kemudian dimasukkan ke dalam gelas yang telah terisi 350 ± 50 ml air destilasi atau parafin cair. Air dipanaskan dengan menjaga kenaikan suhu sebisa mungkin sebesar 2 o C per menit. Parafin cair, yang memiliki titik didih di atas 100 o C, digunakan untuk memanaskan sampel tersamak krom. Parafin cair dipanaskan dengan menjaga kenaikan suhu sedapat mungkin sebesar 4 o C per menit. Setiap interval setengah menit, suhu yang terbaca pada termometer dan derajat yang terbaca pada pointer dicatat. Kegiatan ini diteruskan sampai sampel mengalami pegerutan. Kegiatan ini dapat diakhiri setelah sampel tidak lagi mengalami pengerutan seiring dengan kenaikan suhunya. Dengan membaca hubungan antara suhu dan besarnya derajat pergerakan pointer atau dengan menggunakan grafik hubungan antara pembacaan pointer dengan suhu maka dapat ditentukan derajat pengerutan dari sampel tersebut. Suhu pengerutan adalah suhu dimana terjadi pengerutan sampel dengan derajat paling besar. 35 Gambar 10 Skema alat ukur suhu kerut (SLTC 1996)

52 36 3. Kekuatan Tarik (SLTC 1996) Uji kekuatan tarik kulit dilakukan dengan alat tensile strength tester. Sampel diletakkan pada alat penguji dengan cara kedua ujung sampel dijepit pada alat penjepit. Jarak antar jepitan adalah 5 cm. Setelah sampel sudah siap, alat dinyalakan dan dimatikan pada saat kulit terputus. Nilai kekuatan tarik dapat dihitung dengan persamaaan seperti berikut: F Kekuatan tarik ( kgf/mm2) = t l F = nilai yang terbaca pada alat (kgf) l = lebar kulit yang diuji (mm) t = ketebalan kulit (mm) Dimensi (mm): l1 l2 b b1 R Gambar 11 Bentuk dan dimensi sampel uji kekuatan tarik dan perpanjangan putus (SLTC 1996) 4. Kekuatan Sobek (SLTC 1996) Uji kekuatan sobek menggunakan alat yang sama dengan uji kuat tarik yaitu tensile strength tester. Perbedaan terdapat pada alat tambahan dan juga bentuk sampel. Alat tambahan tersebut berupa pengait yang akan menarik sampel uji kuat sobek. Sampe dipasang dengan cara mengaitkan bagian tengah sampel pada alat pengait. Alat pengait akan menarik sampel dengan arah berlawanan hingga sampel menjadi sobek. Nilai kekuatan sobek yang terbaca pada alat akan dilihat ketika sampel mulai tersobek dan jarum penunjuk nilai kekuatan sobek pada alat pengujian berhenti. Nilai kekuatan sobek dapat dihitung dengan persamaan berikut: Kekuatan sobek (kgf/mm) = F t F = nilai yang terbaca pada alat (kgf) t = ketebalan kulit (mm)

53 37 Gambar 12 Bentuk dan ukuran sampel untuk uji kekuatan sobek (mm) (SLTC 1996) 5. Perpanjangan putus/elongasi putus (SLTC 1996) Uji perpanjangan putus (elongasi putus) merupakan pengukuran perpanjangan kulit yang ditarik mulai dari kondisi awal hingga akhir yaitu pada saat kulit terputus saat pengujian kekuatan tarik. Perpanjangan dihitung dengan membandingkan perpanjangan kulit ketika terputus pada saat pengujian kuat tarik dengan panjang kulit di awal pengukuran. Perpanjangan putus dapat dihitung dengan persamaan berikut: Perpanjangan putus = L 1 L 0 L 0 L 1 = Panjang pada waktu putus (mm) L 0 = Panjang mula mula (mm)

54 38 Lampiran 6 Tabel data dan analisis ragam (α = 0,05) pada respon peningkatan tebal Tabel data peningkatan tebal (%) Kode Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan ST Dev A1B A1B A1B A1B A1B A2B A2B A2B A2B A2B Kontrol Analisis ragam (α = 0.05) Source SS df MS F Value Sig. Corrected Model a Intercept x Jenis Dosis(Jenis) Error Total Corrected Total Corrected Model a R Squared =.655 (Adjusted R Squared =.344) * Berpengaruh nyata pada taraf 5%

55 39 Lampiran 7 Tabel data dan analisis ragam (α = 0,05) pada respon suhu kerut Tabel data suhu kerut ( o C) Kode Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan ST Dev A1B A1B A1B A1B A1B A2B A2B A2B A2B A2B Kontrol Analisis ragam (α = 0.05) Source SS df MS F Value Sig. Corrected Model a Intercept x Jenis Dosis(Jenis) * Error Total Corrected Total Corrected Model a R Squared =.887 (Adjusted R Squared =.785) * Berpengaruh nyata pada taraf 5%

56 40 Lampiran 8 Tabel data, analisis ragam (α = 0.05) dan uji lanjut Duncan pada respon kekuatan sobek Tabel data kekuatan sobek (N/mm) Kode Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan St Dev A1B A1B A1B A1B A1B A2B A2B A2B A2B A2B Kontrol Analisis ragam (α = 0.05) Source SS df MS F Value Sig. Corrected Model a Intercept x Jenis * Dosis(Jenis) * Error Total Corrected Total Corrected Model a R Squared =.983 (Adjusted R Squared =.968) * Berpengaruh nyata pada taraf 5% Uji Lanjut Duncan Duncan Grouping Mean N Jenis A Sintetis B Alami Keterangan: Grup dengan kode yang berbeda menandakan berbeda nyata

57 Lampiran 9 Tabel data dan analisis ragam (α = 0.05) pada respon kekuatan tarik Tabel data kekuatan tarik (N/mm 2 ) Kode Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan St Dev A1B A1B A1B A1B A1B A2B A2B A2B A2B A2B Kontrol Analisis ragam (α = 0.05) Source SS df MS F Value Sig. Corrected Model a Intercept x Jenis Dosis(Jenis) * Error Total Corrected Total Corrected Model a R Squared =.985 (Adjusted R Squared =.971) * Berpengaruh nyata pada taraf 5% 41

58 42 Lampiran 10 Tabel data, analisis ragam (α = 0.05) dan uji lanjut Duncan pada respon perpanjangan putus Tabel data perpanjangan putus (%) Kode Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan ST Dev A1B A1B A1B A1B A1B A2B A2B A2B A2B A2B Kontrol Analisis ragam (α = 0.05) Source SS df MS F Value Sig. Corrected Model a Intercept x Jenis * Dosis(Jenis) * Error Total Corrected Total Corrected Model a R Squared =.992 (Adjusted R Squared =.985) * Berpengaruh nyata pada taraf 5% Uji Lanjut Duncan Duncan Grouping Mean N Jenis A Sintetis B Alami

59 43 Lampiran 11 Foto kulit hasil penyamakan kombinasi Peminyak Alami Dosis 3% (A1B1) Peminyak Alami Dosis 6% (A1B2) Peminyak Alami Dosis 9% (A1B3) Peminyak Alami Dosis 12% (A1B4) Peminyak Alami Dosis 15% (A1B5) Peminyak Sintetis Dosis 3% (A2B1) Peminyak Sintetis Dosis 6% (A2B2) Peminyak Sintetis Dosis 9% (A2B3) Peminyak Sintetis Dosis 12% (A2B4) Peminyak Sintetis Dosis 15% (A2B5)

PENENTUAN KONSENTRASI KROM DAN GAMBIR PADA PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus albacore) JONATHAN PURBA

PENENTUAN KONSENTRASI KROM DAN GAMBIR PADA PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus albacore) JONATHAN PURBA PENENTUAN KONSENTRASI KROM DAN GAMBIR PADA PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus albacore) JONATHAN PURBA DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan baku utama dan bahan pembantu. Bahan baku utama yang digunakan adalah kulit kambing pikel dan

Lebih terperinci

PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp.) DENGAN KOMBINASI PENYAMAK KROM DAN NABATI TRI UTAMI HASTUTI

PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp.) DENGAN KOMBINASI PENYAMAK KROM DAN NABATI TRI UTAMI HASTUTI PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp.) DENGAN KOMBINASI PENYAMAK KROM DAN NABATI TRI UTAMI HASTUTI DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kulit Komoditas kulit digolongkan menjadi dua golongan yaitu : (1) kulit yang berasal dari binatang besar (hide) seperti kulit sapi, kulit kerbau, kulit kuda, kulit banteng, kulit

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI NATRIUM PERKARBONAT DAN JUMLAH AIR PADA PENYAMAKAN KULIT SAMOA TERHADAP MUTU KULIT SAMOA

PENGARUH KONSENTRASI NATRIUM PERKARBONAT DAN JUMLAH AIR PADA PENYAMAKAN KULIT SAMOA TERHADAP MUTU KULIT SAMOA Jurnal Teknologi Industri Pertanian (1):1-9 (1) Ono Suparno dan Eko Wahyudi PENGARUH KONSENTRASI NATRIUM PERKARBONAT DAN JUMLAH AIR PADA PENYAMAKAN KULIT SAMOA TERHADAP MUTU KULIT SAMOA THE EFFECTS OF

Lebih terperinci

B. Struktur Kulit Ikan

B. Struktur Kulit Ikan B. Struktur Kulit Ikan 1. Struktur Kulit Kulit adalah lapisan luar tubuh hewan yang merupakan suatu kerangka luar dan tempat bulu hewan tumbuh atau tempat melekatnya sisik (Sunarto, 2001). Kulit tidak

Lebih terperinci

PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp.) DENGAN MENGGUNAKAN PENYAMAKAN KOMBINASI ALDEHIDA DAN NABATI DOLLY ROBBY SAHPUTRA HASIBUAN

PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp.) DENGAN MENGGUNAKAN PENYAMAKAN KOMBINASI ALDEHIDA DAN NABATI DOLLY ROBBY SAHPUTRA HASIBUAN PENYAMAKAN KULIT IKAN TUNA (Thunnus sp.) DENGAN MENGGUNAKAN PENYAMAKAN KOMBINASI ALDEHIDA DAN NABATI DOLLY ROBBY SAHPUTRA HASIBUAN DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

KAJIAN PEMANFAATAN LEMAK AYAM RAS PEDAGING DAN MINYAK KELAPA SEBAGAI BAHAN PERMINYAKAN KULIT SAMAK KAMBING

KAJIAN PEMANFAATAN LEMAK AYAM RAS PEDAGING DAN MINYAK KELAPA SEBAGAI BAHAN PERMINYAKAN KULIT SAMAK KAMBING KAJIAN PEMANFAATAN LEMAK AYAM RAS PEDAGING DAN MINYAK KELAPA SEBAGAI BAHAN PERMINYAKAN KULIT SAMAK KAMBING (Study of broiler fat and coconut oil as material fatliquoring the quality of goat tanning leather)

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PERENDAMAN DENGAN ENZIM PAPAIN PADA PROSES BATING TERHADAP KUALITAS KULIT IKAN NILA (Oreochromis niloticus) SAMAK

PENGARUH LAMA PERENDAMAN DENGAN ENZIM PAPAIN PADA PROSES BATING TERHADAP KUALITAS KULIT IKAN NILA (Oreochromis niloticus) SAMAK PENGARUH LAMA PERENDAMAN DENGAN ENZIM PAPAIN PADA PROSES BATING TERHADAP KUALITAS KULIT IKAN NILA (Oreochromis niloticus) SAMAK The Effect of Long Soaking with Papain Enzyme on Bating Process to Quality

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Masalah Yang Diketengahkan Di Era persaingan pasar global yang sangat keras pada saat ini membuat ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang mengalami kemajuan pesat. Kemajuan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan baku utama dan bahan baku pembantu. Bahan baku utama yang digunakan adalah kulit kambing pikel

Lebih terperinci

PENGARUH JUMLAH MINYAK TERHADAP SIFAT FISIS KULIT IKAN NILA (Oreochromis niloticus) UNTUK BAGIAN ATAS SEPATU

PENGARUH JUMLAH MINYAK TERHADAP SIFAT FISIS KULIT IKAN NILA (Oreochromis niloticus) UNTUK BAGIAN ATAS SEPATU PENGARUH JUMLAH MINYAK TERHADAP SIFAT FISIS KULIT IKAN NILA (Oreochromis niloticus) UNTUK BAGIAN ATAS SEPATU ( THE INFLUENCE OF FATLIQUOR AMOUNTS ON PHYSICAL CHARACTERISTICS OF NILA SKIN (Oreochromis niloticus)

Lebih terperinci

PROSES PRODUKSI INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT

PROSES PRODUKSI INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT BAB III PROSES PRODUKSI INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT 3.1. Industri Penyamakan Kulit Industri penyamakan kulit adalah industri yang mengolah berbagai macam kulit mentah, kulit setengah jadi (kulit pikel, kulit

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah Relugan GT 50, minyak biji karet dan kulit domba pikel. Relugan GT adalah nama produk BASF yang

Lebih terperinci

PENGARUH TINGKAT PENGGUNAAN MINYAK IKAN TERSULFIT PADA PROSES FAT LIQUORING

PENGARUH TINGKAT PENGGUNAAN MINYAK IKAN TERSULFIT PADA PROSES FAT LIQUORING PENGARUH TINGKAT PENGGUNAAN MINYAK IKAN TERSULFIT PADA PROSES FAT LIQUORING TERHADAP MUTU FISIK FUR KELINCI (THE EFFECT OF SULPHITED FISH OIL PRESENT ON FAT LIQUORING PROCESS TO PHYSICAL QUALITY OF RABBIT

Lebih terperinci

PENENTUAN WAKTU OKSIDASI UNTUK PROSES PENYAMAKAN KULIT SAMOA DENGAN MINYAK BIJI KARET DAN OKSIDATOR NATRIUM HIPOKLORIT*

PENENTUAN WAKTU OKSIDASI UNTUK PROSES PENYAMAKAN KULIT SAMOA DENGAN MINYAK BIJI KARET DAN OKSIDATOR NATRIUM HIPOKLORIT* PENENTUAN WAKTU OKSIDASI UNTUK PROSES PENYAMAKAN KULIT SAMOA DENGAN MINYAK BIJI KARET DAN OKSIDATOR NATRIUM HIPOKLORIT* Ono Suparno*, Irfina Febianti Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi

Lebih terperinci

Gambar 1. Struktur kulit secara makroskopis (Suardana et al., 2008)

Gambar 1. Struktur kulit secara makroskopis (Suardana et al., 2008) II. TINJAUAN PUSTAKA A. KULIT Kulit adalah bagian terluar dari struktur manusia, hewan atau tumbuhan. Pada hewan atau manusia kulit adalah lapisan luar tubuh yang merupakan suatu kerangka luar, tempat

Lebih terperinci

D. Teknik Penyamakan Kulit Ikan

D. Teknik Penyamakan Kulit Ikan D. Teknik Penyamakan Kulit Ikan 1. Teknik Pengawetan Kulit mentah adalah kulit yang didapat dari hewan dan sudah dilepas dari tubuhnya (Anonim, 1996a). Kulit segar yang baru lepas dari tubuh hewan mudah

Lebih terperinci

PERBEDAAN KONSENTRASI MIMOSA PADA PROSES PENYAMAKAN TERHADAP KUALITAS FISIK DAN KIMIA IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

PERBEDAAN KONSENTRASI MIMOSA PADA PROSES PENYAMAKAN TERHADAP KUALITAS FISIK DAN KIMIA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) PERBEDAAN KONSENTRASI MIMOSA PADA PROSES PENYAMAKAN TERHADAP KUALITAS FISIK DAN KIMIA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) The Difference Concentration of Mimosa in Tanning Process on Physical and Chemical

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KOMPOSISI SAMPEL PENGUJIAN Pada penelitian ini, komposisi sampel pengujian dibagi dalam 5 grup. Pada Tabel 4.1 di bawah ini tertera kode sampel pengujian untuk tiap grup

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing. Kambing adalah hewan yang ideal hidup di negara-negara tropis dan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing. Kambing adalah hewan yang ideal hidup di negara-negara tropis dan daerah BAB II TINJAUAN PUSTAKA Kambing Kambing adalah hewan yang ideal hidup di negara-negara tropis dan daerah di mana tanah penggembalaan yang memadai untuk domba atau sapi tidak tersedia (Thorstensen, 1993).

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI BAHAN MINYAK DALAM PROSES PEMINYAKAN TERHADAP KUALITAS KULIT IKAN NILA (Oreochromis niloticus) SAMAK

PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI BAHAN MINYAK DALAM PROSES PEMINYAKAN TERHADAP KUALITAS KULIT IKAN NILA (Oreochromis niloticus) SAMAK PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI BAHAN MINYAK DALAM PROSES PEMINYAKAN TERHADAP KUALITAS KULIT IKAN NILA (Oreochromis niloticus) SAMAK The Effect of Fatliquoring with Material and Oil Concentration on Quality

Lebih terperinci

PENGARUH JENIS BAHAN PENYAMAK TERHADAP KUALITAS KULIT IKAN NILA TERSAMAK

PENGARUH JENIS BAHAN PENYAMAK TERHADAP KUALITAS KULIT IKAN NILA TERSAMAK PENGARUH JENIS BAHAN PENYAMAK TERHADAP KUALITAS KULIT IKAN NILA TERSAMAK Maya Astrida 1), Latif Sahubawa 1), Ustadi 1) Abstract Tanning agent influenced to leather quality and the influence is difference

Lebih terperinci

Jajang Gumilar Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

Jajang Gumilar Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran JURNAL ILMU TERNAK, DESEMBER 2005, VOLUME 5 NOMOR 2, (70 74) Pengaruh Penggunaan Berbagai Tingkat Asam Sulfat (H 2 SO 4 ) pada Proses Pikel terhadap Kualitas Kulit (The Effects of Sulfuric Acid (H 2 SO

Lebih terperinci

PENGGUNAAN AIR PADA INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT Sumber Air Yang Digunakan Pada Industri Penyamakan Kulit

PENGGUNAAN AIR PADA INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT Sumber Air Yang Digunakan Pada Industri Penyamakan Kulit BAB IV PENGGUNAAN AIR PADA INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT 4.1. Sumber Air Yang Digunakan Pada Industri Penyamakan Kulit Air yang digunakan pada industri penyamakan kulit biasanya didapat dari sumber : air sungai,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yaitu kerupuk berbahan baku pangan nabati (kerupuk singkong, kerupuk aci,

PENDAHULUAN. yaitu kerupuk berbahan baku pangan nabati (kerupuk singkong, kerupuk aci, 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerupuk adalah bahan cemilan bertekstur kering, memiliki rasa yang enak dan renyah sehingga dapat membangkitkan selera makan serta disukai oleh semua lapisan masyarakat.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Maksud Penelitian, (5) Manfaat Penelitian, (6) Kerangka Pemikiran,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENYAMAKAN KULIT MENGGUNAKAN GAMBIR PADA ph 4 DAN 8

KARAKTERISTIK PENYAMAKAN KULIT MENGGUNAKAN GAMBIR PADA ph 4 DAN 8 KARAKTERISTIK PENYAMAKAN KULIT MENGGUNAKAN GAMBIR PADA ph 4 DAN 8 (Characteristics of Tanning Leather Using Gambir on ph 4 and 8) Ardinal 1, Anwar Kasim 2 dan Sri Mutiar 3 1 Baristand Industri Padang,

Lebih terperinci

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin 4. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini dilakukan proses ekstraksi gelatin dari bahan dasar berupa cakar ayam broiler. Kandungan protein dalam cakar ayam broiler dapat mencapai 22,98% (Purnomo, 1992 dalam Siregar

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan 25 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan Januari 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Material jurusan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. LatarBelakang. Menurut data Ditjennak (2012) pada tahun 2012 pemotongan tercatat

PENDAHULUAN. LatarBelakang. Menurut data Ditjennak (2012) pada tahun 2012 pemotongan tercatat PENDAHULUAN LatarBelakang Menurut data Ditjennak (2012) pada tahun 2012 pemotongan tercatat sebanyak 2.298.864 sapi potong, 175.741 kerbau, 2.790.472 kambing dan 1.299.455 domba. Dari angka itu diperkirakan

Lebih terperinci

reversible yaitu kulit awetan harus dapat dikembalikan seperti keadaan semula (segar). Untari, (1999), mengemukakan bahwa mikro organisme yang ada pad

reversible yaitu kulit awetan harus dapat dikembalikan seperti keadaan semula (segar). Untari, (1999), mengemukakan bahwa mikro organisme yang ada pad METODA PENGAWETAN KULIT BULU (FUR) KELINCI REX DENGAN CARA PENGGARAMAN KERING (DRY SALTING) ROSSUARTINI DAN R. DENNY PURNAMA Balai Penelitian Ternak, PO Box 221 Bogor 16002 RINGKASAN Berbagai metoda pengawetan

Lebih terperinci

EKSTRAKSI GELATIN DARI LIMBAH TULANG IKAN TENGGIRI (Scomberomorus sp.) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI ASAM YANG BERBEDA

EKSTRAKSI GELATIN DARI LIMBAH TULANG IKAN TENGGIRI (Scomberomorus sp.) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI ASAM YANG BERBEDA EKSTRAKSI GELATIN DARI LIMBAH TULANG IKAN TENGGIRI (Scomberomorus sp.) DENGAN JENIS DAN KONSENTRASI ASAM YANG BERBEDA TUGAS AKHIR Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Teknologi

Lebih terperinci

PENYAMAKAN KULIT BULU DOMBA DENGAN METODE KHROM DALAM UPAYA PEMANFAATAN HASIL SAMPING PEMOTONGAN TERNAK

PENYAMAKAN KULIT BULU DOMBA DENGAN METODE KHROM DALAM UPAYA PEMANFAATAN HASIL SAMPING PEMOTONGAN TERNAK PENYAMAKAN KULIT BULU DOMBA DENGAN METODE KHROM DALAM UPAYA PEMANFAATAN HASIL SAMPING PEMOTONGAN TERNAK ZULQOYAH LAYLA DAN SITI AMINAH Balai Penelitian Ternak, PO Box 221 Bogor RINGKASAN Kulit mentah diantaranya

Lebih terperinci

Kajian Penambahan Gambir sebagai Bahan Penyamak Nabati terhadap Mutu Kimiawi Kulit Kambing

Kajian Penambahan Gambir sebagai Bahan Penyamak Nabati terhadap Mutu Kimiawi Kulit Kambing Jurnal Peternakan Indonesia, Februari 2013 Vol 15 (1) ISSN 1907-1760 Kajian Penambahan Gambir sebagai Bahan Penyamak Nabati terhadap Mutu Kimiawi Kulit Kambing Study of Gambier Addition as Vegetable Tanner

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu

I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian dan (7) Tempat dan Waktu I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

PENYAMAKAN KHROM KULIT IKAN KAKAP PUTIH (Lates calcalifer) DIKOMBINASI DENGAN EKSTRAK BIJI PINANG TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK KULIT ADE KOMALASARI

PENYAMAKAN KHROM KULIT IKAN KAKAP PUTIH (Lates calcalifer) DIKOMBINASI DENGAN EKSTRAK BIJI PINANG TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK KULIT ADE KOMALASARI 1 PENYAMAKAN KHROM KULIT IKAN KAKAP PUTIH (Lates calcalifer) DIKOMBINASI DENGAN EKSTRAK BIJI PINANG TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK KULIT ADE KOMALASARI DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB III PROSES PRODUKSI KULIT

BAB III PROSES PRODUKSI KULIT 11 BAB III PROSES PRODUKSI KULIT 3.1 Proses Produksi Selama magang penulis mengikuti secara langsung kegiatan proses dan melakukan beberapa percobaan dengan beberapa side kulit, tetapi dalam hal ini penulis

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) XV (2): ISSN:

Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) XV (2): ISSN: Jurnal Perikanan (J. Fish. Sci.) XV (2): 62-67 ISSN: 0853-6384 Full Paper PENYAMAKAN KULIT IKAN NILA (Oreochromis sp.) DENGAN PERLAKUAN PEMUCATAN (BLEACHING) MENGGUNAKAN PEROKSIDA TANNNING FOR FISH SKIN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN ASAM SULFAT (H 2 SO 4 ) DAN ASAM FORMIAT (HCOOH) PADA PROSES PIKEL TERHADAP KUALITAS KULIT CRUST DOMBA PRIANGAN

PENGARUH PENGGUNAAN ASAM SULFAT (H 2 SO 4 ) DAN ASAM FORMIAT (HCOOH) PADA PROSES PIKEL TERHADAP KUALITAS KULIT CRUST DOMBA PRIANGAN PENGARUH PENGGUNAAN ASAM SULFAT (H 2 SO 4 ) DAN ASAM FORMIAT (HCOOH) PADA PROSES PIKEL TERHADAP KUALITAS KULIT CRUST DOMBA PRIANGAN Jajang Gumilar, Wendri S. Putranto, Eka Wulandari Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 21 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Ubi kayu merupakan salah satu hasil pertanian dengan kandungan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan baku pembuatan etanol. Penggunaan

Lebih terperinci

Diterima: 25 April 2016, revisi akhir: 10 Juni 2016 dan disetujui untuk diterbitkan: 15 Juni 2016

Diterima: 25 April 2016, revisi akhir: 10 Juni 2016 dan disetujui untuk diterbitkan: 15 Juni 2016 Pengujian Kemampuan Daya Samak Cube Black...(Gustri Yeni dkk.) PENGUJIAN KEMAMPUAN DAYA SAMAK CUBE BLACK DAN LIMBAH CAIR GAMBIR TERHADAP MUTU KULIT TERSAMAK Tannic Ability Test of Cube Black and Liquid

Lebih terperinci

PENYAMAKAN KULIT IKAN PARI (DASYATIS SP.) DALAM PEMBUATAN PRODUK VAS BUNGA

PENYAMAKAN KULIT IKAN PARI (DASYATIS SP.) DALAM PEMBUATAN PRODUK VAS BUNGA Volume 5 No. 3 Oktober 2017 PENYAMAKAN KULIT IKAN PARI (DASYATIS SP.) DALAM PEMBUATAN PRODUK VAS BUNGA Khaeriyah Nur, Fahrullah, Selfin Tala dan Nur Asia Ibrahim khaeryahnur@gmail.com FAKULTAS PETERNAKAN,

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 KULIT Kulit adalah bagian terluar dari struktur manusia, hewan atau tumbuhan. Pada hewan atau manusia, kulit adalah lapisan luar tubuh yang merupakan suatu kerangka luar, tempat

Lebih terperinci

KAJIAN PENGGUNAAN BAHAN PENYAMAK NABATI (MIMOSA) TERHADAP KUALITAS FISIK KULIT KAKAP MERAH TERSAMAK

KAJIAN PENGGUNAAN BAHAN PENYAMAK NABATI (MIMOSA) TERHADAP KUALITAS FISIK KULIT KAKAP MERAH TERSAMAK KAJIAN PENGGUNAAN BAHAN PENYAMAK NABATI (MIMOSA) TERHADAP KUALITAS FISIK KULIT KAKAP MERAH TERSAMAK Oleh: Melawati Susanti 1), Latif Sahubawa 1), Iwan Yusuf 1), Abstrak Kulit ikan kakap merah mempunyai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku 4.1.2 Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pengemasan merupakan proses perlindungan suatu produk pangan yang bertujuan menjaga keawetan dan konsistensi mutu. Produk yang dikemas akan memiliki masa simpan relatif

Lebih terperinci

METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Penelitian Pendahuluan

METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Penelitian Pendahuluan METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan mulai dari bulan Mei 2012 sampai bulan Agustus 2012. Tempat yang digunakan untuk melakukan penelitian ini adalah Laboratorium Percobaan

Lebih terperinci

AIR LIMBAH INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT

AIR LIMBAH INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT BAB VI AIR LIMBAH INDUSTRI PENYAMAKAN KULIT 6.1. Karakteristik Umum Suatu industri penyamakan kulit umumnya menghasilkan limbah cair yang memiliki 9 (sembilan) kelompok pencemar yaitu : 1) Patogen, 2)

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pasca Panen, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilakukan pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kulit

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Kulit II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kulit Kulit adalah lapisan luar tubuh binatang yang merupakan suatu kerangka luar, tempat bulu binatang itu tumbuh. Ensiklopedia Indonesia menjelaskan bahwa kulit adalah lapisan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Industri Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN A. Tinjauan Pustaka Ikan merupakan sumber protein hewani dan juga memiliki kandungan gizi yang tinggi di antaranya

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Kimia dan Laboratorium Biondustri TIN IPB, Laboratorium Bangsal Percontohan Pengolahan Hasil

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Mozzarela dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 di Laboratorium Kimia dan

BAB III MATERI DAN METODE. Mozzarela dilaksanakan pada bulan Oktober 2013 di Laboratorium Kimia dan 20 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dengan judul Pemanfaatan Susu Sapi,Susu Kerbau Dan Kombinasinya Untuk Optimalisasi Kadar Air, Kadar Lemak Dan Tekstur Keju Mozzarela dilaksanakan pada bulan Oktober

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Desember 2012. Cangkang kijing lokal dibawa ke Laboratorium, kemudian analisis kadar air, protein,

Lebih terperinci

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN

OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN OPTIMASI KECUKUPAN PANAS PADA PASTEURISASI SANTAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP MUTU SANTAN YANG DIHASILKAN Oleh : Ermi Sukasih, Sulusi Prabawati, dan Tatang Hidayat RESUME Santan adalah emulsi minyak dalam

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan 17 III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI LIMBAH MINYAK Sebelum ditambahkan demulsifier ke dalam larutan sampel bahan baku, terlebih dulu dibuat blanko dari sampel yang diujikan (oli bekas dan minyak

Lebih terperinci

Influence of Gambier (Uncaria gambier) as Material Tanner at Tanning Process for Tilapia (Oreochromis niloticus) Physical Quality

Influence of Gambier (Uncaria gambier) as Material Tanner at Tanning Process for Tilapia (Oreochromis niloticus) Physical Quality PENGARUH PENGGUNAAN GAMBIR (Uncaria gambier) SEBAGAI BAHAN PENYAMAK PADA PROSES PENYAMAKAN KULIT TERHADAP KUALITAS FISIK KULIT IKAN NILA (Oreochromis niloticus) Influence of Gambier (Uncaria gambier) as

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur Penelitian

MATERI DAN METODE. Prosedur Penelitian MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juli 2010 yang bertempat di Laboratorium Pengolahan Limbah Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dari proses soaking, liming, deliming, bating, pickling, tanning, dyeing,

BAB I PENDAHULUAN. dari proses soaking, liming, deliming, bating, pickling, tanning, dyeing, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Industri penyamakan kulit merupakan salah satu industri rumah tangga yang sering dipermasalahkan karena limbahnya yang berpotensi mencemari lingkungan yang ada di sekitarnya

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan-bahan untuk persiapan bahan, bahan untuk pembuatan tepung nanas dan bahan-bahan analisis. Bahan

Lebih terperinci

PENENTUAN KONSENTRASI BAHAN PENYAMAK ALDEHIDA DAN MINYAK BIJI KARET UNTUK PENYAMAKAN KULIT SAMOA PADA SKALA PILOT PLANT SKRIPSI

PENENTUAN KONSENTRASI BAHAN PENYAMAK ALDEHIDA DAN MINYAK BIJI KARET UNTUK PENYAMAKAN KULIT SAMOA PADA SKALA PILOT PLANT SKRIPSI PENENTUAN KONSENTRASI BAHAN PENYAMAK ALDEHIDA DAN MINYAK BIJI KARET UNTUK PENYAMAKAN KULIT SAMOA PADA SKALA PILOT PLANT SKRIPSI MUHAMMAD JAYANINGRAT SETYO PRAYOGA F34070131 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Lateks karet alam didapat dari pohon Hevea Brasiliensis yang berasal dari famili Euphorbia ceae ditemukan dikawasan tropikal Amazon, Amerika Selatan. Lateks karet

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 7 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biokomposit dan pengujian sifat fisis dan mekanis dilaksanakan di Laboratorium Rekayasa dan Desain

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Februari 2009, Hal Vol. 4, No. 1 ISSN :

Jurnal Ilmu dan Teknologi Hasil Ternak, Februari 2009, Hal Vol. 4, No. 1 ISSN : PENGARUH PENGGUNAAN KUNING TELUR AYAM RAS DALAM PROSES PEMINYAKAN TERHADAP KEKUATAN TARIK, KEMULURAN, PENYERAPAN AIR DAN KEKUATAN JAHIT KULIT CAKAR AYAM PEDAGING SAMAK KOMBINASI (KROM-NABATI) The Effect

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Karet alam merupakan cairan getah dari tumbuhan Hevea brasiliensis

BAB I PENDAHULUAN. Karet alam merupakan cairan getah dari tumbuhan Hevea brasiliensis BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karet alam merupakan cairan getah dari tumbuhan Hevea brasiliensis merupakan polimer alam dengan monomer isoprena. Karet alam memiliki ikatan ganda dalam konfigurasi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI F. ALAT DAN BAHAN

III. METODOLOGI F. ALAT DAN BAHAN III. METODOLOGI F. ALAT DAN BAHAN 1. Alat Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan rangkaian peralatan proses pembuatan faktis yang terdiri dari kompor listrik,panci, termometer, gelas

Lebih terperinci

Materi-1. PENGANTAR Manik-manik

Materi-1. PENGANTAR Manik-manik Materi-1. PENGANTAR Manik-manik JENIS IKAN PARI DENGAN KULIT PUNGGUNG YANG MEMILIKI MANIK-MANIK DAN MUTIARA I. PENDAHULUAN A. POTENSI PERIKANAN LAUT 1. POTENSI LESTARI (MSY) = 6,4 JUTA TON/THN. 2. POTENSI

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan)

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan) 4. PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan) Karakteristik mekanik yang dimaksud adalah kuat tarik dan pemanjangan

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN BINDER ALAMI PADA PROSES FINISHING TERHADAP KUALITAS KULIT IKAN NILA (Oreochromis niloticus) SAMAK

PENGARUH PENGGUNAAN BINDER ALAMI PADA PROSES FINISHING TERHADAP KUALITAS KULIT IKAN NILA (Oreochromis niloticus) SAMAK PENGARUH PENGGUNAAN BINDER ALAMI PADA PROSES FINISHING TERHADAP KUALITAS KULIT IKAN NILA (Oreochromis niloticus) SAMAK The Effect of Natural Binder on the Proses Finishing of Skin Tanning to Quality of

Lebih terperinci

J. Peng. & Biotek. Hasil Pi. Vol. 5 No. 3 Th Hasil Penelitian ISSN :

J. Peng. & Biotek. Hasil Pi.  Vol. 5 No. 3 Th Hasil Penelitian ISSN : MINYAK BIJI ANGGUR SEBAGAI BAHAN PEMINYAKAN PADA PROSES PENYAMAKAN KULIT IKAN NILA (Oreochromis niloticus) TERHADAP KUALITAS FISIK Grapeseed Oil as Fatliquoring Materials on Physical Quality of Tilapia

Lebih terperinci

II. PEWARNAAN SEL BAKTERI

II. PEWARNAAN SEL BAKTERI II. PEWARNAAN SEL BAKTERI TUJUAN 1. Mempelajari dasar kimiawi dan teoritis pewarnaan bakteri 2. Mempelajari teknik pembuatan apusan kering dalam pewarnaan bakteri 3. Mempelajari tata cara pewarnaan sederhana

Lebih terperinci

PENYAMAKAN KULIT. Cara penyamakan melalui beberapa tahapan proses dan setiap tahapan harus berurutan tidak bisa di balak balik,

PENYAMAKAN KULIT. Cara penyamakan melalui beberapa tahapan proses dan setiap tahapan harus berurutan tidak bisa di balak balik, PENYAMAKAN KULIT Suatu kegiatan untuk mengubah kulit yang sifatnya labil menjadi kulit yang sifatnya stabil, yaitu dengan cara menghilangkan komponen-komponen yang ada didalam kulit yang tidak bermanfaat

Lebih terperinci

BAB IV PROSES PENGOLAHAN KULIT SAPI WET BLUE

BAB IV PROSES PENGOLAHAN KULIT SAPI WET BLUE 20 BAB IV PROSES PENGOLAHAN KULIT SAPI WET BLUE 4.1 Metode Kerja 4.1.1 Tempat Kerja Kegiatan kerja dilaksanakan di perusahaan Kulit LENGTAT LEATHERS Jl. Pembangunan No.3 Tangerang, Banten. 4.1.2 Materi

Lebih terperinci

4.1. Pengaruh Pra Perlakuan dan Jenis Larutan Ekstraksi terhadap Rendemen Gelatin yang Dihasilkan.

4.1. Pengaruh Pra Perlakuan dan Jenis Larutan Ekstraksi terhadap Rendemen Gelatin yang Dihasilkan. 4. PEMBAHASAN Pada penelitian ini, tulang ikan nila mengalami tiga jenis pra perlakuan dan dua jenis ekstraksi untuk mendapatkan ekstrak gelatin yang nantinya akan digunakan sebagai bahan dasar pembuatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kulit Kulit adalah bagian terluar dari struktur manusia, hewan atau tumbuhan. Pada hewan atau manusia kulit adalah lapisan luar tubuh yang merupakan suatu kerangka luar, tempat

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. Laporan Tugas Akhir Pembuatan Mie Berbahan Dasar Gembili

BAB III METODOLOGI. Laporan Tugas Akhir Pembuatan Mie Berbahan Dasar Gembili BAB III METODOLOGI A. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam pembuatan mie gembili adalah sebagai berikut: 1. Alat yang digunakan: a. Panci b. Slicer c. Pisau d. Timbangan e. Screen 80 mesh

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI MIMOSA TERHADAP SIFAT FISIK KULIT IKAN PARI TERSAMAK

PENGARUH KONSENTRASI MIMOSA TERHADAP SIFAT FISIK KULIT IKAN PARI TERSAMAK 101 Full Paper Abstract PENGARUH KONSENTRASI MIMOSA TERHADAP SIFAT FISIK KULIT IKAN PARI TERSAMAK THE INFLUENCE OF MIMOSA CONCENTRATIONS ON THE PHYSICAL PROPERTIES OF TANNED STINGRAY LEATHER Ruth Y. Situmorang

Lebih terperinci

III METODE PENELITIAN. akuades, reagen Folin Ciocalteu, larutan Na 2 CO 3 jenuh, akuades, dan etanol.

III METODE PENELITIAN. akuades, reagen Folin Ciocalteu, larutan Na 2 CO 3 jenuh, akuades, dan etanol. III METODE PENELITIAN A. Alat dan Bahan Alat yang digunakan untuk pembuatan gambir bubuk adalah Hammer Mill, Erlenmeyer, gelas ukur, corong, kain saring, Shaker Waterbath, dan Spray Dryer. Alat yang digunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN MESA off grade merupakan hasil samping dari proses sulfonasi MES yang memiliki nilai IFT lebih besar dari 1-4, sehingga tidak dapat digunakan untuk proses Enhanced Oil Recovery

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Karakteristik awal cabai merah (Capsicum annuum L.) diketahui dengan melakukan analisis proksimat, yaitu kadar air, kadar vitamin

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO

PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL JERAMI (STRAW) TERHADAP SIFAT-SIFAT PAPAN PARTIKEL RINO FARDIANTO DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PENGARUH SUHU PEREBUSAN PARTIKEL

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji pendahuluan Mikrokapsul memberikan hasil yang optimum pada kondisi percobaan dengan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK KULIT CEKER AYAM YANG DISAMAK DENGAN KOMBINASI KROM DAN MIMOSA SERTA EKSTRAK DAUN TEH (Camelia sinensis) ABDUL HALIM

KARAKTERISTIK KULIT CEKER AYAM YANG DISAMAK DENGAN KOMBINASI KROM DAN MIMOSA SERTA EKSTRAK DAUN TEH (Camelia sinensis) ABDUL HALIM KARAKTERISTIK KULIT CEKER AYAM YANG DISAMAK DENGAN KOMBINASI KROM DAN MIMOSA SERTA EKSTRAK DAUN TEH (Camelia sinensis) ABDUL HALIM DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METDE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sebagian besar sumber bahan bakar yang digunakan saat ini adalah bahan bakar fosil. Persediaan sumber bahan bakar fosil semakin menurun dari waktu ke waktu. Hal ini

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kulit. 2.2 Proses Penyamakan (Kurst)

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Kulit. 2.2 Proses Penyamakan (Kurst) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kulit Kulit merupakan salah satu jenis hasil ternak yang sekarang ini telah dijadikan sebagai suatu komoditi perdagangan dengan harga yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Non Ruminansia dan Satwa Harapan Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan A. PENENTUAN FORMULA LIPSTIK

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan A. PENENTUAN FORMULA LIPSTIK BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium dengan membuat sediaan lipstik dengan perbandingan basis lemak cokelat dan minyak jarak yaitu 60:40 dan 70:30

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah mengalami penurunan kualitas karena faktor lingkungan, kimia, biokimia, dan mikrobiologi. Penurunan kualitas bahan

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN MINYAK IKAN TERSULFIT TERHADAP NILAI KELEMASAN DAN KUALITAS KULIT IKAN PARI MONDOL (Himantura gerardi) TERSAMAK

PENGARUH PENGGUNAAN MINYAK IKAN TERSULFIT TERHADAP NILAI KELEMASAN DAN KUALITAS KULIT IKAN PARI MONDOL (Himantura gerardi) TERSAMAK Available online at Indonesian Journal of Fisheries Science and Technology (IJFST) Website: http://ejournal.undip.ac.id/index.php/saintek Saintek Perikanan Vol.12 No.1 : 24-29, Agustus 2016 PENGARUH PENGGUNAAN

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG [1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG [1] Tidak diperkenankan mengumumkan, memublikasikan, memperbanyak sebagian atau seluruh karya ini BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode analisisnya berupa pemodelan matematika dan statistika. Alat bantu analisisnya

Lebih terperinci