PRODUKTIVITAS DAN PENDUGAAN PARAMETER GENETIK BURUNG MERPATI LOKAL (Columba livia) SEBAGAI MERPATI BALAP DAN PENGHASIL DAGING.

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PRODUKTIVITAS DAN PENDUGAAN PARAMETER GENETIK BURUNG MERPATI LOKAL (Columba livia) SEBAGAI MERPATI BALAP DAN PENGHASIL DAGING."

Transkripsi

1 PRODUKTIVITAS DAN PENDUGAAN PARAMETER GENETIK BURUNG MERPATI LOKAL (Columba livia) SEBAGAI MERPATI BALAP DAN PENGHASIL DAGING Sri Darwati SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PRODUKTIVITAS DAN PENDUGAAN PARAMETER GENETIK BURUNG MERPATI LOKAL (Columba livia) SEBAGAI MERPATI BALAP DAN PENGHASIL DAGING SRI DARWATI Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

3 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya Tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

4 Penguji pada Ujian Tertutup : Prof.Dr.Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur.Sc. Dr.Ir. Sumiati, M.Sc. Penguji pada Ujian Terbuka : Dr.Ir. Mahmud Achmad Thohari, M.Sc. Dr.Ir. Tike Sartika, M.S.

5 HALAMAN PENGESAHAN Judul Disertasi Nama NIM Program Studi : Produktivitas dan Pendugaan Parameter Genetik Burung Merpati Lokal (Columba livia) Sebagai Merpati Balap dan Penghasil Daging : Sri Darwati : D : Ilmu Ternak Disetujui Komisi Pembimbing Prof.Dr.H. Harimurti Martojo, M.Sc. Ketua Prof.Dr.Ir. Cece Sumatri, M.Agr.Sc. Anggota Prof.drh. D.T.H. Sihombing, M.Sc,Ph.D.(Alm) Prof.Dr.Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. Anggota Anggota Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Ternak Dekan Sekolah Pascasarjana Dr.Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA. Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal Ujian: 9 Januari 2012 Tanggal Lulus:

6 i DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI. DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN.. i v ix xi PENDAHULUAN Latar Belakang.. 1 PerumusanMasalah.. 3 Tujuan Umum Penelitian. 4 Tujuan Khusus. 5 Manfaat Penelitian 6 Hipotesis 6 TINJAUAN PUSTAKA Burung Merpati.. 7 Karakteristik Burung Merpati.. 8 Manfaat Burung Merpati.. 9 Tipe Hias (Fancy Breed). 9 Tipe Ketangkasan (Performing Breed) 10 Tipe Pedaging (Utility Group).. 12 Fenotipe. 12 Warna Bulu.. 13 Warna Dasar Pola Warna Bulu Warna Iris Mata. ` 15 Produktivitas Burung Merpati.. 16 Pertumbuhan 16 Produksi Telur 17 Produksi Daging. 17 Daya Tunas dan Daya Tetas.. 19 Mortalitas. 19 Seleksi Ripitabilitas dan Heritabilitas.. 20 Sistem Perkawinan Kecepatan Terbang Merpati Daging dan Balap di Indonesia.. 22 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian 25 Metode.. 25 KARAKTERISTIK DAN KERAGAMAN SIFAT KUALITATIF

7 ii BURUNG MERPATI LOKAL.. 27 Pendahuluan. 27 Metode.. 27 Materi.. 27 Pengambilan Data Frekuensi Gen Dominan dan Resesif Autosomal 30 Keragaman Fenotipe.. 30 Heterosigositas 30 Hasil dan Pembahasan 31 Warna Dasar Pola dan Corak Warna Bulu 33 Ornamen Kepala 34 Warna Paruh.. 35 Shank (ceker). 37 Warna Iris Mata Pewarisan Sifat dan Frekuensi Gen.. 44 Heterosigositas 45 Simpulan. 46 PAKAN:PERTUMBUHAN PIYIK DENGAN PAKAN BERBEDA SERTA POLA MAKAN DAN KONSUMSI PADA PEMELIHARAAN SECARA INTENSIF Pendahuluan. 49 Materi dan Metode. 50 Perlakuan Pakan 51 Pola Makan dan Konsumsi Pakan.. 52 Hasil dan Pembahasan. 52 Pertumbuhan Piyik dengan Pakan Berbeda 52 Bobot Telur 52 Bobot Tetas Bobot Umur 1 Minggu.. 54 Bobot Umur 2 Minggu.. 55 Bobot Umur 3 Minggu.. 55 Bobot Umur 4 Minggu.. 57 Bobot Sapih.. 57 Mortalitas Piyik 57 Pola Makan dan Konsumsi Pakan. 58 Simpulan PRODUKTIVITAS: PERFORMA BURUNG MERPATI LOKAL SERTA PERFORMA PIYIK BALAP DAN PEDAGING Pendahuluan. 63 Metode. 64 Materi. Persiapan Kandang Penjodohan Perkawinan 65 Pakan dan Air Minum.. 66 Penetasan 66 Pemeliharaan Induk dan Anak.. 66 Peubah yang Diamati. 66 Pemeliharaan Burung Balap dan Pedaging (HomerxKing) Analisis Data

8 iii Peubah yang Diukur 68 Pemotongan Piyik 68 Hasil dan Pembahasan 69 Produktivitas Burung Merpati Lokal 69 Poligami 69 Umur Berjodoh 69 Sifat Mengeram 71 Produksi Telur.. 72 Bobot Telur dan Indeks Telur. 73 Umur Bertelur Pertama 74 Bobot Badan Induk 74 Fertilitas dan Daya Tetas 75 Bobot Tetas 76 Waktu Kosong 76 Pertumbuhan Piyik Burung Merpati Lokal 77 Konversi Ransum 78 Karkas 79 Pertumbuhan Piyik Burung Merpati Balap dan Pedaging 81 Upaya Peningkatan Produksi Burung Merpati 83 Simpulan 87 PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN UKURAN TUBUH BURUNG MERPATI Pendahuluan 89 Materi dan Metode 90 Pendugaan Nilai Parameter Genetik 90 Materi. 90 Analisis Data.. 90 Peubah yang Diukur. 92 Pengukuran Ukuran Tubuh 92 Burung Merpati Lokal 92 Analisis Data 93 Burung Merpati Balap, Pedaging, dan Lokal 93 Analisis Data. 94 Analisis Regresi Sederhana Maupun Berganda 94 Hasil dan Pembahasan 95 Ripitabilitas 95 Heritabilitas 97 Korelasi Genetik 99 Korelasi Fenotipik 100 Ukuran Tubuh Burung Merpati Lokal, Balap, dan Pedaging (HomerxKing). 101 Ukuran Tubuh Burung Merpati Lokal Jantan dan Betina. 102 Ukuran Tubuh Burung Merpati Jantan Balap Datar, Balap Tinggi, Pedaging, dan Lokal 103 Analisis Komponen Utama 106 Diagram Kerumunan 108 Jarak Genetik 110 Ukuran Tubuh dengan Kecepatan Terbang 111 Simpulan 112

9 iv BAHASAN UMUM. 113 SIMPULAN 123 DAFTAR PUSTAKA 125 LAMPIRAN 133

10 v DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Bobot hidup dewasa strain merpati penghasil daging 17 Tabel 2 Komposisi nutrisi daging squab Tabel 3 Karakteristik corak dan pola warna burung merpati lokal Tabel 4 Frekuensi warna dasar bulu pada burung merpati Lokal Tabel 5 Frekuensi bulu pada kepala (ornament) pada burung merpati lokal.. 35 Tabel 6 Frekuensi warna paruh burung merpati lokal 36 Tabel 7 Frekuensi ceker berbulu dan tidak berbulu pada burung merpati lokal 37 Tabel 8 Frekuensi warna ceker pada burung merpati lokal 38 Table 9 Frekuensi iris mata burung merpati lokal 39 Tabel 10 Frekuensi warna iris mata pada persilangan resiprokal burung merpati lokal.. 40 Tabel 11 Fenotipe dan genotipe warna iris mata burung merpati lokal 42 Tabel 12 Umur anak burung merpati saat warna iris mata dapat diamati 43 Tabel 13 Frekuensi gen pada burung merpati lokal.. 44 Tabel 14 Nilai heterosigositas (h) sifat kualitatif pada burung merpati lokal 46 Tabel 15 Berat telur dan pertumbuhan piyik dengan induk yang diberi pakan berbeda. 56 Tabel 16 Konsumsi pakan per pasang induk merpati per minggu.. 59 Tabel 17 Produktivitas induk burung merpati lokal. 72 Tabel 18 Rataan, simpangan baku, kisaran dan koefisien keragaman bobot telur per periode 73 Tabel 19 Bobot telur kesatu dan kedua per periode. 74 Tabel 20 Bobot badan induk burung merpati lokal saat bertelur 75

11 vi Tabel 21 Bobot badan, koefisien keragaman bobot badan dan laju pertumbuhan piyik 77 Tabel 22 Konversi pakan piyik 79 Tabel 23 Berat potong, persentase karkas dan persentase bagian dada piyik umur 21, 23, dan 25 hari. 80 Tabel 24 Pertumbuhan piyik balap dan pedaging. 82 Tabel 25 Fertilitas dan daya tetas pada induk mengerami telur 1,2,3 dan 4 butir telur tetas 84 Tabel 26 Analisis ragam untuk menghitung nilai ripitabilitas 91 Tabel 27 Nilai ripitabilitas (r) sifat produksi dan reproduksi burung merpati lokal.. 96 Tabel 28 Nilai heritabilitas sifat produksi burung merpati lokal Tabel 29 Korelasi genetik sifat produksi pada burung merpati lokal.. 99 Tabel 30 Korelasi fenotipik sifat produksi pada burung merpati lokal 100 Tabel 31 Tabel 32 Persamaan linier antar sifat produksi pada burung merpati lokal 101 Bobot badan dan ukuran tubuh burung merpati lokal jantan dan betina 102 Tabel 33 Tabel 34 Ukuran tubuh merpati jantan balap datar, balap tinggi, pedaging dan lokal. Persamaan ukuran tubuh dan bentuk tubuh pada burung merpati balap datar beserta keragaman total dan nilai eigen Tabel 35 Tabel 36 Tabel 37 Persamaan ukuran tubuh dan bentuk tubuh pada burung merpati balap tinggi beserta keragaman total dan nilai eigen Persamaan ukuran tubuh dan bentuk tubuh pada burung merpati pedaging beserta keragaman total dan nilai eigen 108 Persamaan ukuran tubuh dan bentuk tubuh pada burung merpati lokal beserta keragaman total dan nilai eigen 108 Tabel 38 Akar dari jarak D 2 Mahalanobis burung merpati balap datar, balap tinggi, dan pedaging dan lokal 110

12 vii Tabel 39 Kecepatan terbang burung merpati balap datar dan balap tinggi 111

13 viii

14 ix DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Kerangka pengambilan data penelitian 5 Gambar 2 Burung merpati hias. 10 Gambar 3 Burung merpati tipe ketangkasan 11 Gambar 4 Burung merpati balap.. 11 Gambar 5 Burung merpati King dan Carnaue (tipe pedaging).. 12 Gambar 6 Warna dasar bulu burung merpati 15 Gambar 7 Warna iris mata pada burung merpati. 16 Gambar 8 Squab burung merpati.. 18 Gambar 9 Pertumbuhan piyik dengan induk yang diberi pakan berbeda 53 Gambar 10 Tingkah laku burung merpati berjodoh 71 Gambar 11 Kurva pertumbuhan piyik lokal.. 78 Gambar 12 Gambar 13 Pertumbuhan piyik burung merpati balap datar, balap tinggi dan daging 83 Pertumbuhan piyik pada sepasang induk burung merpati yang meloloh 1, 2, 3, dan 4 piyik 86 Gambar 14 Kerangka tulang burung merpati. 93 Gambar 15 Gambar 16 Diagram kerumunan burung merpati berdasarkan skor ukuran dan skor bentuk tubuh. 109 Dendrogram jarak ketidakserupaan ukuran tubuh pada burung merpati. 110

15 x

16 xi DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Karakteristik sifat kualitatif pada burung merpati Lampiran 2a Pola dan corak warna bulu burung merpati Lampiran 2b Burung merpati dengan ornament kepala bulu jambul. 136 Lampiran 2c Ceker berbulu 136 Lampiran 2d Warna iris mata 136 Lampiran 3 Frekuensi pola warna dan corak warna bulu burung merpati 137 Lampiran 4 Frekuensi pewarisan warna bulu pada burung merpati lokal 138 Lampiran 5 Frekuensi pewarisan warna bulu pada burung merpati lokal dengan perkawinana resiprokal. 140 Lampiran 6 Performa bobot badan piyik yang diloloh 1-4 ekor/pasang induk 141 Lampiran 7 Pendugaan nilai ripitabilitas bobot piyik umur 3 minggu 142

17 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Produktivitas dan Pendugaan Parameter Genetik Burung Merpati Lokal (Columba livia) Sebagai Merpati Balap dan Penghasil Daging adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan oleh orang lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan baik berasal dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan telah dinyatakan secara jelas dalam teks Daftar Pustaka. Bogor, Januari 2012 Sri Darwati NIM. D

18

19 ABSTRACT SRI DARWATI. Productivity and Estimation of Genetic Parameters of Local Pigeons (Columba livia ) for Game and Meat Production. Under supervision of HARIMURTI MARTOJO, CECE SUMANTRI, and ANI MARDIASTUTI. The local pigeon still shows high genetic variation. Hobbyist practice pigeon horizontal sprint flight and high flight racing. Research reports on genetic parameters and productivity of the local pigeon were few, while those informations are required for the development of the local pigeons as game and squab meat producer. The first study was to study the variation of qualitative traits including basic coat, patterns, primary feather colors, head ornaments, shank color and shank feathering. Body contour feather color observed were megan, solid colors and barrless, fading head ornaments; red shank color and feathered shanks. The genotypic frequencies were mostly not in a state of equilibrium also showing a selection for certain traits or genotypes is in progress and this may also caused by the monogamic mating in pigeons. Only head ornament and red shank color were in equilibrium. Selection may occur for yellow iris color as shown by its highest frequency in the field. The heterozygosity value was 0.27 showing high variation in qualitative traits. Qualitative traits were found similar in both racing and local pigeons. The second study is to find out the ration with sufficient nutritional needs for normal production and reproduction and also to study feeding pattern and total consumption. The feeding trial applied four rations namely J) all corn, K)50% commercial feed plus 50% corn, JK)100% commercial feed and JKM) 50% corn + 30% commercial feed + 20% brown rice. The result found ration B could supply sufficient nutritional need of pigeons (containing 14.9% crude protein and 3100 kkal/ kg). Pigeons preferred grains. Consumption per day of a pair was g (before laying period), 53-58g (hatching period), and 83-99g (suckling period). Pigeons is polygamous. The average egg weight was 17,7±1.6 g egg production was 1.8 ± 0.6 eggs, egg index was 75.7±5.6 %, fertility was 92.5 %, hatchability was 77%, hatching weight was 14.0±1.2 g and embrional mortality was 23%. A pair of pigeon could incubate 4 eggs or suckled 4 squabs (normally 2 eggs; 2 squabs). Repeatability of egg weight was 0.63, the mature weight was 0.22, weight at hatch was 0.74, weekly weigh gain until weaning age were low to high. Repeatability values for reproductivity traits were Heritability estimates found ranged from low to moderat, e.g mature weight was 0.23, egg weight was 0.19, hatching weight was 0.30 and egg index was Genetic correlation between mature weight and egg weight was 0.64, between egg weight and hatching weight was Positive phenotypic correlation between egg weight and both hatching weight and weaning weight was found. Sprint speed of horizontal flight was 14 m sec -1. Based on the similarities in qualitative traits and morphometric measurements of local pigeons with horizontal sprint flight and high flight racing pigeons and also based to similarity of squabs growth and weekly weights up to four weeks, then was concluded that local pigeons could be selected to develop racing and meat producing pigeons. Keywords: local pigeon, racing, meat producing, productivity, genetic parameter

20

21 RINGKASAN SRI DARWATI. Produktivitas dan Pendugaan Parameter Genetik Burung Merpati Lokal (Columba livia) Sebagai Merpati Balap dan Penghasil Daging. Dibimbing oleh HARIMURTI MARTOJO, CECE SUMANTRI, dan ANI MARDIASTTI. Burung merpati lokal merupakan plasma nutfah dan sumber kekayaan hayati di Indonesia yang masih memiliki keragaman genetik. Burung merpati tersebut biasa dipelihara sebagai hewan peliharaan (hobi/kesayangan/kelangenan). dilombakan ketangkasannya sebagai burung balap baik balap datar maupun balap tinggian. Kajian produktivitas dan parameter genetik dari burung merpati lokal dibutuhkan untuk pengembangannya baik sebagai balap dan penghasil daging. Penelitian ini dipaparkan dalam 4 bagian. Penelitian pertama bertujuan mengungkap karakteristik dan keragaman sifat kualitatif burung merpati lokal. Pengamatan ini menggunakan 711 ekor burung yang dipelihara di lokasi penelitian dilengkapi dengan burung milik penggemar di lapang. Uji χ 2 untuk mendeskripsikan karakteristik warna bulu, jambul di kepala, warna paruh, warna iris mata, warna ceker, dan ceker berbulu. Warna bulu dasar burung merpati lokal ada 5 macam, yaitu hitam (S-B + -C-), megan (ssb + C-), coklat/gambir (S-b-C-;), putih (S- -- cc), dan abu (SsB A -C-) dengan variasi sebanyak 68 macam dengan urutan dominasi abu>hitam>megan>coklat/gambir>putih. Frekuensi warna dasar, pola bulu dan corak bulu yang frekuensinya tinggi masing-masing megan, pola bulu polos dan corak bulu barrless, ornament kepala fade (tidak berjambul), warna ceker merah, ceker tidak berbulu. Sifat kualitatif yang diamati dalam keadaan tidak setimbang (χ 2 > χ 2 tabel) kecuali fade dan ceker berbulu (χ 2 > χ 2 tabel), diduga ada seleksi pada sifat kualitif tertentu. Hasil perkawinan resiprokal untuk mengamati pewarisan warna iris mata menunjukkan warna iris mata dikontrol 4 alel, dengan dugaan genotipe untuk iris mata coklat (A-bbC-D-), warna iris mata kuning (A-bbC-dd dan aab-c-d-), warna iris mata lip lap (A-B-C-D-), warna iris mata putih (A-B-ccD-; A-bbccD-;A-bbccdd; aab-ccd-;aabbccdd). Warna iris mata pada piyik burung merpati baru jelas dapat diamati, yaitu warna iris mata coklat saat piyik berumur hari, warna iris mata liplap saat berumur hari, warna iris mata kuning saat berumur hari, dan warna iris mata putih paling lama terdeteksi yaitu saat piyik berumur hari. Piyik beriris mata warna kuning dapat diperoleh dari tetua kuningxkuning, kuningxcoklat, liplapxkuning, liplapxliplap, putihxcoklat dan putihxkuning. Adapun nilai rataan heterosigositas sifat kualitatif sebesar (berarti masih beragam). Penelitian kedua untuk mendapatkan jenis pakan, mengetahui pola makan dan konsumsi pakan burung merpati. Penelitian ini mencobakan empat jenis pakan yaitu 100% jagung (J), 50% jagung+50% pakan komersial (JK),100% pakan komersial (K), dan 50% jagung+30% pakan komerisal+20% beras merah (JKM) masing-masing pada 15 pasang. Pakan komersial yang digunakan adalah pakan untuk ayam ras pedaging fase finisher. Data dianalisis ragam (ANOVA) dan bila perlakuan nyata dilanjutkan dengan uji lanjut Tukey. Bobot telur dan bobot tetas berbeda nyata (JK=JKM>J=K). Selama masa pertumbuhan piyik yang induknya diberi pakan berbeda ternyata secara statistik berbeda nyata. Adapun bobot piyik umur satu minggu tidak berbeda nyata hal ini dikarenakan

22 piyik diloloh susu tembolok yang dihasilkan induk burung merpati jantan dan betina yang mengeram yaitu menjelang piyik menetas hingga minggu pertama setelah piyik menetas. Jenis pakan yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi burung merpati adalah pakan JK, K, dan JKM dengan kandungan protein kasar (PK) masing-masing 14.9%, 19.6% dan 15.8%. Pakan yang mudah diaplikasikan di lapang adalah pakan B dengan PK 14.9% dan EM 3100 kkal/kg. Pengamatan dilanjutkan untuk memperoleh pola makan dan konsumsi pakan induk burung merpati yang diberi pakan campuran jagung dan pakan komersial. Data konsumsi pakan diuji proporsi dan disajikan secara diskriptif. Hasil penelitian bahwa burung merpati lebih menyukai biji-bijian (jagung) dibandingkan pakan komersial dengan proporsi jagung dengan pakan komersial adalah 60:40. Adapun dari konsumsi pakan pada penelitian ini diketahui sepasang induk burung merpati pada fase tidak mengeram (menjelang produksi), fase mengeram, dan fase meloloh dengan piyik sebanyak dua ekor membutuhkan pakan yaitu g, g, dan g per pasang per hari. Penelitian ketiga untuk mendapatkan pasangan poligami pada burung merpati dan produktivitas burung merpati lokal. Burung merpati sebanyak 62 pasang dikandangkan pada kandang individual yang dipelihara secara intensif. Kandang dilengkapi tempat pakan,tempat minum, dan sarang. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Hasil penelitian ini diperoleh pasangan poligami 16% (10 pasang), tetapi produktivitasnya rendah. Waktu untuk menjodohkan (jodoh paksa) berkisar 1 jam hingga 1 bulan. Umur burung merpati betina mulai berjodoh ( hari; rataan 126 hari; KK 25.78%). Burung merpati jantan mulai berjodoh yaitu ( hari; rataan 85 hari; KK 40.8%). Lama penjodohan dan umur berjodoh pada burung merpati lokal beragam. Pasangan yang mau mengeram (82.4%). Rataan bobot telur burung merpati lokal (17.7±1.6 g) dengan jumlah produksi telur 1.8±0.6 butir per periode bertelur dan indeks telur 75.7±5.6%, fertilitas (92.5%), daya tetas (77%), bobot tetas 14.0±1.2 g serta kematian embrio (23.0%). Waktu kosong induk burung merpati dari bertelur hingga bertelur berikutnya jika induk mengeram dan meloloh piyik (51±4 hari); mengeram namun tidak meloloh piyik (32.8±8 hari), dan induk hanya bertelur, tidak mengeram dan tidak meloloh (13±6 hari). Bobot telur kesatu dan kedua pada periode yang sama tidak berbeda nyata (t test). Umur bertelur pertama burung merpati (221±31; kisaran hari; KK 32.4%). Bobot induk berkisar g dengan rataan 340 g. Kurva pertumbuhan piyik berbentuk kuadratik dengan laju pertumbuhan cepat pada minggu ke-1 kemudian terus turun hingga minggu ke-3 dan negatif pada minggu ke-4, sehingga untuk seleksi piyik dapat dilakukan pada minggu ke-4. Bobot potong, bobot karkas dan bagian dada piyik jantan dan betina pada umur 21, 23, dan 25 hari tidak berbeda nyata. Upaya peningkatan produksi burung merpati dapat dilakukan dengan menambah telur tetas hingga 4 butir per pasang (normal 2 butir). Selain itu dapat dilakukan penambahan jumlah piyik yang diloloh hingga 4 ekor piyik per pasang induk. Penelitian keempat bertujuan mendapatkan nilai dugaan parameter genetik sifat produksi dan reproduksi burung merpati serta ukuran tubuh burung merpati balap dan pedaging. Pendugaan nilai parameter genetik diperoleh dari 62 pasang burung merpati, yaitu setiap pasang burung merpati dipelihara secara intensif dalam kandang individual. Pendugaan nilai ripitabilitas menggunakan metode analisis saudara kandung dan pendugaan nilai heritabilitas dari analisis regresi.

23 Nilai ripitabilitas bobot telur tinggi (0.634), bobot dewasa (0.217), bobot piyik saat menetas (0 hari) tinggi (0.737), dan selama periode pertumbuhan hingga disapih umur 5 minggu rendah hingga tinggi. Adapun nilai ripitabilitas untuk sifat reproduksi rendah, yaitu daya tunas (0.124) dan daya tetas (0.048), hal ini dikarenakan sifat reprodukai banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Nilai h 2 untuk sifat produksi berkisar rendah hingga sedang, yaitu bobot dewasa (0.23), bobot telur (0.19), bobot tetas (0.30) dan bentuk telur (0.27). Selanjutnya korelasi genetik bobot dewasa dengan bentuk telur (0.637), bobot telur dengan bobot tetas (0.67). Pada penelitian ini juga diperoleh korelasi fenotipik (r p ) sehingga dapat digunakan untuk seleksi suatu dari sifat yang lain. Korelasi (r p +; nyata) antara bobot telur, bobot tetas, dan bobot sapih. Bobot tetas piyik balap datar dan balap tinggi tidak berbeda nyata, tetapi keduanya nyata lebih ringan dibandingkan burung merpati pedaging (HomerxKing). Pertumbuhan piyik balap dan pedaging sama dan bobot pada minggu keempat untuk ketiganya tidak berbeda nyata kecuali minggu ketiga piyik pedaging lebih tinggi dibandingkan balap tinggi. Analisis komponen utama untuk menganalisis bentuk dan ukuran dari empat peubah yaitu lingkar dada, lebar dada, panjang punggung, dan panjang sayap. Selanjutnya analisis diagram kerumunan berdasarkan ukuran fenotipik untuk memperoleh keserupaan morfologis lokal, balap dan pedaging. Jarak ketidakserupaan ukuran tubuh dari D 2 Mahalanobis yang diakarkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penciri ukuran tubuh mepati balap datar (lingkar dada) dan bentuk tubuh (panjang sayap). Penciri ukuran tubuh lokal (lingkar dada) dan bentuk tubuh (panjang sayap). Penciri ukuran burung balap tinggi (panjang sayap) dan penciri bentuk tubuh (lingkar dada). Penciri ukuran tubuh pedaging (lingkar dada) dan bentuk tubuh (panjang punggung). Penciri ukuran tubuh balap datar, pedaging dan lokal sama (lingkar dada), sedang balap tinggi (panjang sayap). Penciri bentuk tubuh balap datar dan lokal sama (panjang sayap), dan balap tinggi (lingkar dada) serta pedaging (panjang punggung). Bentuk tubuh keempatnya khas, namun ukuran tubuh balap datar sama dengan lokal. Dari diagram kerumunan bahwa keempatnya memiliki garis pemisah yang jelas (ada indikasi 4 klaster) dengan skor bentuk yang berbeda, kecuali skor ukuran lokal sama dengan balap datar. Akan tetapi dari ketidakserupaan morfometrik ukuran linier tubuh bahwa balap datar dan tinggi lebih dekat dengan lokal dibandingkan dengan pedaging. Kecepatan terbang datar burung balap datar adalah m. Ukuran tubuh dengan kecepatan terbang pada burung merpati balap tinggi ada r p (+), yaitu bertambah panjang sayap maka kecepatan terbang juga bertambah. Sebaliknya pada burung balap datar terdapat r p (-) antara lingkar dada dengan kecepatan terbang. Lingkar dada bertambah besar maka kecepatan terbang menurun. Hasil penelitian ini bahwa sifat kualitatif burung merpati lokal masih beragam. Burung merpati bisa poligami. Pertumbuhan piyik balap dan pedaging sama, Masih sulit seleksi balap dari morfometri (lingkar dada, lebar dada, panjnag punggung dan panjang sayap). Sifat kualitiatif serta morfomertri burung balap merpati mirip dengan burung merpati lokal. Burung merpati lokal dapat digunakan untuk balap juga potensi untuk penghasil daging (piyik). Kata kunci: merpati lokal, balap, penghasil daging, produktivitas, parameter genetik

24

25 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta rezeki sehingga disertasi ini bisa diselesaikan. Semua ini atas izinnya. Adapun kesulitan dan hambatan yang diperoleh selama penyelesaian disertasi ini merupakan bagian pernak-pernik yang menghiasi dan mewarnai dalam penyelesaian studi, namun demikian telah memberikan hasil suatu disertasi. Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada komisi pembimbing yaitu Prof.Dr. H. Harimurti Martojo, M.Sc; Prof.Dr.Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.; Prof.drh. D.T.H. Sihombing, PhD (Alm) dan Prof.Dr.Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. Terima kasih kepada program studi beserta staf khususnya Dr.Ir. Rarah Ratih Adjie Maheswari, DEA yang telah memotivasi dan memahami kekurangan Penulis selama penyelesaian studi. Juga terima kasih kepada Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Ternak dan staf yang telah memberi kesempatan kepada Penulis untuk melanjutkan studi. Semua itu tidak dapat dibalas dengan materi dan semua kebaikan Bapak/Ibu tetap terukir pada benak penulis dan hanya kepadanya penulis harapkan balasan untuk Bapak/Ibu. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan IPB mulai dari Ketua Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Ternak yang kini berubah menjadi Bagian Pemuliaan dan Ternak, Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Dekan Fakultas Peternakan serta Rektor yang telah memberikan kesempatan kepada Penulis untuk mengikuti pendidikan di Sekolah Pascasarjana IPB dalam upaya meningkatkan kemampuan akademik. Terima kasih kepada Pimpinan Sekolah Pascasarjana IPB dan staf yang telah memberikan wadah kepada penulis untuk menimba ilmu. Terima kasih pula kepada DIKTI yang telah memberikan beasiswa BPPS untuk memperlancar pendidikan Penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga dan saudara yang telah mendukung serta dengan sabar mendampingi penulis selama menempuh pendidikan. Terimakasih kepada orangtua yang semasa hayatnya telah memberikan kasih sayang, suri tauladan, motivasi dan mendukung kemajuan serta memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan diri dalam bidang pendidikan.

26 Terima kasih Penulis ucapkan kepada Kepala Bagian Ilmu Pemulian dan Genetika Ternak. Tak lupa Penulis ucapkan terima kasih kepada semua staf dan pegawai di Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak khususnya serta semua staf dan pegawai di Fakultas Peternakan yang tidak disebutkan satu persatunya atas motivasi, kepedulian, dukungan serta doanya sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. Terima kasih pula kepada perorangan atau lembaga yang telah membantu penulis dan tidak disebutkan satu persatunya. Semoga kebaikan tersebut diberikan imbalan oleh yang Maha Kuasa. Disertasi ini merupakan salah satu syarat kelulusan dari Sekolah Pascasarjana IPB. Olehkarenanya serangkaian penelitian dilakukan oleh Penulis dengan menggunakan materi penelitian burung merpati untuk menyusun disertasi ini. Penelitian ini bermula dari pengamatan bahwa burung merpati dipelihara kalangan tertentu dan dilombakan sebagai burung merpati balap datar maupun tinggi. Adapun bagi masyarakat kebanyakan memelihara burung merpati sebagai hobi dan menjadikan burung merpati sebagai hewan kelangenan (kesayangan). Namun demikian burung merpati yang semula dipelihara sebagai hobi tersebut sebenarnya dapat diharapkan berkembang menjadi suatu bahan pangan yang dapat menambah keragaman produk pangan serta sumber protein hewan asal unggas. Olehkarenanya karya ilmiah ini mengkaji dan memberikan infomasi untuk menyeleksi burung merpti lokal sebagai burung balap dan burung yang tidak terseleksi sebagai pembalap serta burung merpati sebagai burung piaraan (hobi) dapat dimanfaatkan sebagai penghasil daging. Karya ilmiah ini merupakan salah satu bentuk sumbangsih Penulis pada bidang peternakan khususnya unggas. Adapun harapan Penulis semoga tulisan ini bermanfaat bagi pengembangan usaha ternak serta pengembangan burung merpati baik sebagai burung balap maupun penghasil daging. Adapun kritik dan saran merupakan bagian dari penyempurnaan dan pengembangan dari penelitian materi burung merpati selanjutnya, sehingga menambah dan melengkapi informasi hasilhasil penelitian burung merpati yang telah dirintis oleh peneliti sebelumnya. Bogor, Januari 2012 Sri Darwati

27 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 3 Oktober 1963 di Madiun, Jawa Timur. Penulis merupakan anak keempat dari delapan bersaudara dari seorang ayah bernama Simoel (Alm.) dan ibu Patimah (Almh.) Pendidikan Penulis dimulai dari pendidikan sekolah dasar di SDK Indra Siswa Bondowoso Jawa Timur, lulus pada tahun 1976, pendidikan lanjutan pertama diselesaikan di SMPN 1 Bondowoso pada tahun Pendidikan Sekolah Menengah Atas diselesaikan pada tahun 1982 di SMPP Negeri Bondowoso. Gelar sarjana (S1) diperoleh dari Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor setelah menyelesaikan studi di Fakultas Peternakan IPB. Selanjutnya penulis mengawali karier sebagai staf pengajar di Fakultas Peternakan IPB pada tahun Pada tahun 1994 penulis menyelesaikan pendidikan pascasarjana S2 di Program Studi Ilmu Ternak IPB. Selanjutnya pada tahun 2002 Penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan sarjana S3 di Program Studi Ilmu Ternak, Program Sekolah Pascasarjan IPB. Saat ini Penulis mengabdi sebagai PNS dan ditempatkan di Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan IPB yang telah dirintis sejak tahun Adapun bidang ilmu yang ditekuni adalah genetika dan pemuliaan ternak.

28

29 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Burung merpati lokal atau burung dara lokal atau burung merpati batu yang ada di Indonesia merupakan salah satu plasma nutfah kekayaan fauna. Keragaman fenotipe sifat kualitatif dan kuantitatif burung merpati lokal tersebut masih tinggi. Pemeliharaan burung merpati lokal oleh penggemar burung merpati hanyalah untuk kesenangan (hobi), yaitu sebagai hewan kelangenan. Burung merpati lokal berkembang dengan adanya lomba balap merpati, dengan demikian potensi burung merpati yang mendapat perhatian saat ini adalah ketangkasan terbangnya, sedangkan potensi lain sebagai sumber protein hewani belum dimanfaatkan. Burung merpati balap datar dan balap tinggi adalah burung merpati lokal yang dilatih ketangkasan terbangnya sesuai dengan kualifikasi ketangkasan terbang. Adapun kualifikasi ketangkasan terbang kedua jenis balap tersebut berbeda, dengan demikian kualifikasi ketangkasan terbang ada dua yaitu terbang datar (balap datar) dan terbang tinggi (balap tinggi) yang dikenal dengan istilah kentongan di Jawa Timur. Ketangkasan balap datar adalah kecepatan terbang datar dan ketepatan hinggap pada pasangannya yang berada di tangan joki bagi merpati balap setelah diterbangkan dari jarak tertentu. Adapun ketangkasan balap tinggi bagi merpati pembalap adalah turun dengan kecepatan tinggi dari udara dan masuk tepat pada lingkaran terbatas yaitu tempat joki dengan betina pasangannya menunggu kedatangannya. Pada lomba balap merpati yang dipertandingkan adalah ketangkasan terbangnya sesuai dengan kriteria lomba. Lomba balap datar yang dipertandingkan adalah ketangkasan terbang untuk balap datar dan lomba balap tinggi yang dipertandingkan adalah ketangkasan untuk balap tinggi pula. Perbedaan kualifikasi ketangkasan balap datar dan balap tinggi yang berbeda diduga mempengaruhi ukuran dan bentuk tubuh keduanya berbeda sehingga karakteristik keduanya khas. Adapun ciri-ciri burung merpati balap

30 2 belum terinventarisasi. Penggemar memilih burung merpati balap yang bagus dari ciri fisiknya dan masih beragam diantara penggemar. Pengkajian bentuk dan ukuran merpati balap diharapkan dapat memperoleh karakteristik yang khas sesuai kriteria ketangkasan untuk balap datar dan balap tinggi yang memiliki kualifikasi berbeda. Adanya hubungan ukuran tubuh dengan ketangkasan (kecepatan terbang) akan memudahkan penyeleksian calon bibit burung merpati balap. Burung merpati lokal yang tidak dilatih terbang atau burung merpati balap yang tidak terseleksi sebagai pembalap dapat dimanfaatkan sebagai penghasil daging. Olehkarenanya burung merpati juga berpotensi sebagai penghasil protein asal unggas, selain burung merpati ras pedaging yang memang dipelihara sebagai penghasil daging burung merpati. Salah satu jenis burung merpati penghasil daging yang dipelihara oleh peternak burung merpati pedaging adalah merpati ras silangan Homer x King karena pertumbuhan squab (piyik) cepat. Piyik atau anak burung merpati dipotong pada usia muda dan memiliki harga jual (nilai ekonomis tinggi). Pada burung merpati ras pedaging, squab (piyik) dipotong pada umur hari. Piyik yang dipotong pada umur tersebut memiliki daging yang lunak, sehingga mudah dan cepat mengolahnya, selain itu lezat rasanya. Data populasi burung merpati yang terdapat pada laporan Ditjennak (2008) bahwa populasi burung merpati pada tahun 2007 dan 2008 secara nasional yang tercatat sebanyak 162,488 dan 1,498,989 ekor yaitu 0.01% dan 0.12% dari total populasi unggas yang terdiri dari ayam buras, ayam ras petelur, ayam ras pedaging, itik, puyuh dan merpati. Adapun produksi daging burung merpati baru mulai dicatat pada tahun 2008 yaitu sebanyak 619 ton pada 2 propinsi dari 33 propinsi yang ada di Indonesia yaitu Jawa Timur (593 ton) dan Nusa Tenggara Barat (26 ton), dengan demikian produksi daging burung merpati adalah 0.04% dari produksi daging asal unggas (Ditjennak 2008). Pemeliharaan burung merpati ras pedaging hanya pada beberapa peternak komersial. Daging burung merpati biasa disajikan sebagai menu istimewa di rumah makan Cina. Adapun konsumen daging burung merpati berasal dari

31 3 kalangan ekonomi menengah ke atas, karena harganya lebih mahal dibandingkan daging unggas lain seperti ayam dan itik pada bobot yang sama. Manajemen pemeliharaan burung merpat lokal secara ekstensif oleh peternak yaitu dengan memberikan pakan seadanya seperti gabah, nasi sisa yang dikeringkan, dedak padi seperti halnya ayam Kampung, apalagi jika pemeliharaannya bersama-sama dengan ayam Kampung. Pada pemeliharaan yang sederhana ternyata burung merpati masih berproduksi, namun tidak optimal. Pengkajian merpati lokal sebagai penghasil daging juga perlu dilakukan, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai alternatif sumber protein hewani selain ayam dan itik. Adanya kajian potensi burung merpati penghasil daging, maka burung balap yang tidak terseleksi sebagai pembalap dapat dimanfaatkan sebagai penghasil daging. Adapun kriteria burung merpati penghasil daging adalah daging piyik (squab) yaitu anak burung merpati yang berumur kurang dari lima minggu (sebelum disapih). Parameter genetik seperti ripitabilitas dan heritabilitas sifat produksi burung merpati lokal juga belum ada. Informasi tersebut diperlukan untuk pengembangan merpati lokal, oleh karenanya penelitian dibidang pemuliaan untuk mendapatkan nilai dugaan parameter genetik pada merpati lokal perlu dilakukan. Informasi parameter genetik tersebut diperlukan agar seleksi yang dilakukan efektif. Perumusan Masalah Pengklasifikasian merpati lokal sebagai pembalap (balap datar dan balap tinggi) belum jelas. Hal ini disebabkan informasi ilmiah mengenai karakteristik merpati lokal sebagai pembalap masih kurang. Masih sedikit penelitian tentang burung merpati terutama dari segi pemuliaan, yaitu belum adanya data parameter genetik sifat-sifat produksi maupun reproduksi burung merpati lokal. Pemilihan calon merpati pembalap baik balap datar maupun balap tinggi selama ini dilakukan oleh penggemar berdasarkan pengalaman dan informasi sesama penggemar tanpa didasari informasi ilmiah. Hal ini disebabkan belum ada informasi karakteristik yang khas untuk klasifikasi burung balap datar maupun tinggi. Burung merpati termasuk pemakan biji-bijian dan pakan yang umum diberikan kepada burung merpati oleh penggemar/peternak pada pemeliharaan

32 4 semi intensif adalah jagung dan untuk memenuhi kekurangan nutrisinya burung merpati akan mencari di sekitarnya. Pakan menjadi permasalahan jika burung merpati dipelihara secara intensif. Pemberian jagung saja pada pemeliharaan semi intensif seperti yang dilakukan oleh penggemar tidak akan cukup memenuhi kebutuhan nutrisi burung merpati jika dipelihara secara intensif terutama sebagai penghasil daging. Adanya penambahan jenis pakan selain jagung tentunnya berpengaruh terhadap pola makan, dengan demikian perlu dikaji pola makan agar manajemen pemberian pakan efisien dan produktivitasnya optimal. Permasalahan produktivitas burung merpati tentunya diperlukan induk yang prolifik dan sifat keindukan yang baik serta sifat burung merpati yang tidak lagi monogami. Sifat keindukan yang baik tercermin dari kemampuan mengeram dan meloloh baik sendiri maupun berpasangan, karena tidak semua induk merpati sukses mengeram hingga telur menetas dan mau meloloh anaknya setelah anaknya menetas, sedangkan anak merpati harus diloloh hingga usia disapih sekitar berumur empat minggu yaitu saat anak burung merpati sudah mulai belajar makan sendiri. Sifat burung merpati yang monogami, mengerami telur bergantian antara betina dengan jantan pasangannya, kemudian meloloh bergantian dengan rata-rata dua ekor anak per pasang per penetasan mengakibatkan produksi anak per tahun sekitar 12 ekor. Selanjutnya belum adanya data parameter genetik sifat sifat produksi pada burung menjadi hambatan untuk seleksi merpati yang unggul. Hal tersebut juga berdampak terhadap sulitnya pengembangan merpati lokal bukan pembalap dan merpati balap yang tidak masuk seleksi sebagai pembalap sebagai penghasil daging (piyik atau squab) Penelitian ini mengkaji produktivitas dan parameter genetik burung merpati lokal sebagai burung merpati balap dan penghasil daging. Adapun kerangka pemikiran pada penelitian ini seperti disajikan pada Gambar 1. Tujuan Umum Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji produktivitas dan memperoleh nilai dugaan parameter genetik sifat produksi burung merpati lokal. Selain itu mengkaji produktivitas burung merpati lokal sebagai pembalap dan penghasil daging.

33 5 Stok yang dipelihara Data dari peternak (Data Dasar Sifat Kualitatif) Penjodohan (Data Kuantitatif) Poligami Monogami Pakan 1. Jagung 2. Jagung + komersial 3. Komersial 4. Jagung + komersial + beras merah (RAL) Pertumbuhan Squab: Bobot tetas, bobot badan, PBB Parameter Genetik Sifat Produksi dan Reproduksi Morfometri (AKU) Morfometri: balap datar balap tinggi pedaging Pedaging Balap datar Balap tinggi Gambar 1 Kerangka pengambilan data penelitian Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penelitian ini meliputi: 1. Memperoleh data dasar karakteristik sifat kualitatif dan kuantitatif merpati lokal; 2. Mengetahui jenis pakan dan pola makan pada masa pertumbuhan squab, induk sedang mengeram dan meloloh;

34 6 3. Memperoleh data morfometri merpati lokal; 4. Memperoleh informasi parameter genetik sifat produksi merpati lokal; 5. Memperoleh korelasi ukuran tubuh dengan kecepatan terbang; Manfaat Penelitian Informasi produktivitas dan parameter genetik burung merpati lokal baik dapat digunakan untuk pengembangan merpati lokal sesuai potensinya untuk balap (ketangkasan terbang datar dan terbang tinggi) dan sebagai penghasil daging (piyik atau squab). Adanya pengklasifikasian merpati lokal penghasil daging maka burung merpati dapat digunakan sebagai alternatif penghasil protein hewani asal unggas selain produk unggas yang sudah dikenal masyarakat yaitu ayam dan itik, dengan demikian produk daging merpati dapat diproduksi dengan efisien, sehingga harga jual terjangkau oleh masyarakat lebih luas bukan hanya dari kalangan ekonomi menengah ke atas saja dengan adanya informasi potensi daging dari burung merpati lokal. Berdasarkan ukuran dan bentuk tubuh antara burung merpati balap datar dan balap tinggi dapat diperoleh klasifikasi yang khas diantara keduanya. Penyeleksian calon bibit burung merpati balap menjadi efisien dengan diperolehnya parameter genetik sifat produksi burung merpati lokal. Hipotesis 1. Terdapat perbedaan produktivitas burung merpati pedaging dan balap. 2. Terdapat perbedaan produktivitas pada pemberian jenis pakan yang berbeda. 3. Terdapat hubungan ukuran tubuh dengan kecepatan terbang. 4. Sifat produksi, ukuran tubuh dan bentuk tubuh diwariskan. 5. Terdapat karakteristik yang khas antar merpati pedaging dan balap.

35 7 TINJAUAN PUSTAKA Burung Merpati Burung merpati atau burung dara diklasifikasikan sebagai berikut: kelas Aves; sub kelas Neornithes; super ordo Neognathae; ordo Columbiformes; sub ordo Columbiae; famili Columbidae; genus Columba; spesies Columba livia (Levi 1945). Merpati termasuk famili Columbidae yang meliputi 289 spesies dengan ukuran mulai dari merpati Diamond yang memiliki ukuran panjang 12 cm sampai merpati Crowned yang berukuran sebesar kalkun betina dengan bermacammacam warna buah (Fruit Pigeon) sampai dengan warna abu-abu lembut. Burung merpati lokal telah lama dikenal masyarakat di perkotaan maupun pedesaan. Unggas ini berasal dari merpati liar (Columba livia) yang telah lama dibudidayakan dan asal penyebarannya dari daerah Eropa (Antawidjaja, 1988). Menurut Grzimek (1972), bagian terbesar dari famili Columbidae adalah merpati dengan jumlah mencapai 302 spesies, dari yang berukuran kecil sampai medium dengan panjang badan berkisar 15 cm sampai 80 cm. Selanjutnya Mac Kinnon dan Phillipps (1993), melaporkan bahwa jumlah spesies pada famili Columbidae sebanyak 280 spesies. Kebanyakan tetua merpati domestik yang ada, walaupun tidak semuanya adalah Rock Dove yang masih termasuk bangsa liar yang ada di pantai karang Eropa (Peterson 1967). Stern dan Dickinson (2010) menyatakan bahwa rock pigeon yang ada saat ini adalah populasi hasil seleksi, dan merupakan merpati tipe liar yang tetap mempertahankan variasi dari nenek moyangnya. Merpati termasuk salah satu unggas domestik selain ayam, kalkun, bebek, angsa, ayam mutiara, burung unta, emu, ayam hutan dan lain-lainnya. Unggas domestik tersebut dipelihara dan dimanfaatkan daging, telur, bulu maupun tenaganya. Adapun unggas domestik penghasil daging seperti ayam, kalkun, bebek, angsa, ayam mutiara, merpati, burung unta, emu, ayam hutan, burung, dll. Unggas penghasil telur yaitu ayam, bebek, burung unta dan emu. Penghasil bulu adalah ayam, dan burung unta. Selanjutnya unggas yang dimanfaatkan tenaganya seperti merpati untuk balap merpati dan homing. Unggas juga dapat dimanfaatkan sebagai hewan penjaga (University of Kentucky 2011).

36 8 Istilah pada burung merpati; cock adalah burung merpati jantan dewasa; hen adalah burung merpati betina dewasa; squab (piyik) adalah anak burung merpati yang baru menetas maupun anak burung merpati yang masih dalam sarang dan belum disapih induknya. Adapun squaker adalah burung merpati muda dan belum dipasangkan (dijodohkan) (University of Kentucky 2011). Karakteristik Burung Merpati Merpati dapat hidup dimanapun kecuali di Antartika. Merpati bernavigasi sampai 1,000 mil atau 1,609.3 km; dapat merasakan medan magnet bumi; mampu terbang dengan kecepatan 75 mil atau km/jam; dapat mendengarkan ultra sound; melihat warna termasuk ultra violet; memberi makan piyik dengan susu (pigeon milk) meskipun jantan (Pigeon Recovery 2001). Muhaimi (1983) mengemukakan bahwa salah satu ciri yang membedakan antara merpati dengan unggas lain ialah merpati menghasilkan crop milk atau susu burung merpati (pigeon milk) yaitu cairan yang berwarna krem menyerupai susu yang dikeluarkan dari tembolok induk jantan maupun betina. Sumadi (1991) menambahkan bahwa crop milk induk merpati warnanya menyerupai keju dan cair, diproduksi induk sebelum telur yang dierami menetas. Cairan ini yang diberikan induk merpati kepada squab dengan cara meloloh (proses regurgitasi) dan memompakan ke dalam mulut squab. University of Kentucky (2011) menyatakan bahwa pigeon milk (susu burung merpati atau susu tembolok) diberikan kepada piyik dari sesaat setelah menetas hingga berumur 10 hari. Produksi susu tembolok tersebut dikontrol oleh hormon prolaktin. Prolaktin juga diproduksi oleh mamalia, namun pertama kali diidentifikasi pada burung merpati. Levi (1945) mengemukakan bahwa merpati jantan merupakan satu-satunya vertebrata jantan yang memberikan makanan dan melolohkan susu tembolok kepada anaknya. Levi (1945) mengemukakan bahwa merpati mempunyai sifat damai, tidak ada peck order dan kanibalisme, walaupun ditempatkan dalam satu kandang. Selain itu merpati mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan, memilih pasangan dan mempunyai sense of location dalam waktu yang lama dan dalam jarak yang jauh. Stern dan Dickinson (2010) menyatakan bahwa burung merpati menunjukkan perilaku sosial yang menarik termasuk dalam pemilihan pasangan,

37 9 perhitungan jenis kelamin, peremajaan untuk calon induk, manipulasi ratio jenis kelamin anak, perilaku dominasi dalam kelompok (tidak ada peck order) dan kedua induk meloloh anaknya. Blakely dan Bade (1998) menambahkan bahwa bila salah satu pasangan mati atau dipisahkan oleh manusia, maka dapat dicarikan pasangan lain dalam beberapa hari; tetapi bila pasangan yang dipisahkan itu kembali, pasangan lama akan terwujud kembali. Merpati betina biasanya lebih kecil dan tidak terlalu ribut dibanding dengan jantan pada saat kawin. Pada proses cooing dan billing, betina selalu menempatkan paruhnya pada paruh jantan. Ukuran merpati jantan lebih besar dengan tekstur bulu yang lebih kasar dan bulu leher lebih tebal. Merpati jantan pada saat bercumbu membuat gerakan melingkar, memekarkan bulu ekor dan menjatuhkan atau merebahkan bulu sayap. Manfaat Burung Merpati Cartmill (1991) melaporkan bahwa merpati atau burung dara digunakan sebagai penghasil daging, penyedia bibit sport, lomba, hias, penelitian bahkan untuk keperluan komunikasi (merpati pos). Bangsa merpati dibedakan menjadi tiga tipe yaitu bangsa yang diambil keindahannya untuk pameran (fancy breed); bangsa yang dinilai ketangkasannya (performing breed); bangsa yang diambil kegunaannya sebagai daging (utility group). Blakely dan Bade (1998) dan Fekete et al. (1999) menyatakan merpati dapat dibagi menjadi 3 kelompok utama yaitu untuk tujuan: (1) pameran; (2) ketangkasan dan (3) produksi `daging. Tipe Hias (Fancy Breed) Cartmill (1991) menyatakan bahwa tipe fancy breed terdiri atas Indian dan American fantail yang mempunyai ekor kipas yang besar, Pouter yang mempunyai kemampuan menggembungkan badan ke udara; Jacobin, Swallow, Chinese owl dan English trumpeter yang memiliki keindahan pada pola bulu yang dimiliki. Modena dan Helmet yang mempunyai bentuk badan yang bervariasi. Adapun Gambar 2 menunjukkan burung merpati hias.

38 10 Modena pigeon Modena pigeon African owl pigeon Sumber : Jerry (2011) Sumber : Jerry (2011) Sumber:pigeonfarms.com Satinette Frill back Helmet Sumber:faisalabad.olx.com.pk Sumber:Brown (2009) Sumber:faisalabad.olx.com.pk English fantail pigeon Jacobin pigeon White Fantail pigeon Sumber: wales.inetgiant.co.uk Sumber: Brown (2009) Sumber: Saad (2011) Gambar 2 Burung merpati hias Tipe Ketangkasan (Performing Breed) Cartmill (1991) mengemukakan bahwa merpati dari tipe performing breed seperti Homer memiliki kecepatan dan ketahanan terbang, Birmingham memiliki kemampuan terbang dengan berputar (rolling), Parlor Tumbler memiliki kemampuan jungkir balik di atas lantai. Merpati tipe ketangkasan roll dan balap dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.

39 11 PerformingBreed (Roll) Sumber: Allan (2009) Birmingham roller pigeon Sumber: elec-intro.com Return home Sumber: elec-intro.com Gambar 3 Burung merpati tipe ketangkasan Burung merpati balap datar Burung merpati balap tinggi Gambar 4 Burung merpati balap Sumber: pigeonbirdfarm.files.wordpress.com

40 12 Tipe Pedaging (Utility Group) Cartmill (1991) mengemukakan bahwa merpati yang termasuk ke dalam utility group dan mempunyai ukuran tubuh yang besar yaitu King, Carneau, French, Swiss Mondain dan Runt. Selanjutnya Bokhari (2001) mengemukakan bahwa bangsa yang baik menghasilkan squab antara lain: Carneau, Florentines, Homer-Giant, King, Mondain, Runt dan Strassor. Merpati tipe pedaging dapat dilihat pada Gambar 5. Merpati silangan Homer x King lebih banyak dikembangkan di Indonesia. Antawidjaja (1988) melaporkan bahwa Homer x King merupakan persilangan antara bangsa King dan Homer, menghasilkan daging yang tinggi dan merupakan salah satu bangsa merpati yang paling populer, mempunyai tingkat kesuburan dan ketahanan fisik yang tinggi, aktif dan sedikit tenang. Red Carneau King Sumber :pigeon-france.com Sumber: pigeonaspets.co.uk Gambar 5 Burung merpati King dan Carnaue (tipe pedaging) Fenotipe Warwick et al. (1990) menjelaskan bahwa fenotipe merupakan penampakan luar atau sifat-sifat lain dari suatu individu yang dapat diamati atau dapat diukur. Hardjosubroto (1994) mengemukakan bahwa penampilan individu ditentukan oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik ditentukan oleh susunan gen di dalam kromosom dan mitokondria yang dimiliki, pengaruh genetik juga bersifat baka tak akan berubah-ubah dan diwariskan pada keturunannya. Faktor genetik sebagai kemampuan dapat dikatakan bahwa penampilan individu ditentukan oleh kemampuan dan kesempatan yang ada.

41 13 Fenotipe dapat dibedakan menjadi dua yaitu yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Noor (2008) menyatakan bahwa sifat kualitatif adalah sifat yang dikontrol oleh sepasang atau beberapa pasang gen yang memiliki perbedaan jelas antar fenotipenya. Warwick et al. (1990) mengemukakan bahwa sifat kualitatif merupakan sifat yang dapat mengklasifikasikan secara jelas individu-individu ke dalam satu dari dua kelompok atau lebih dan pengelompokan itu jelas satu sama lain. Sifat ini dikontrol oleh sepasang gen atau beberapa pasang gen dan hampir tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Noor (2008) menjelaskan bahwa faktor genetik yang mempengaruhi warna pada ternak selain sifat kuantitatif adalah gen ganda. Gen ganda adalah dua gen atau lebih yang mempengaruhi suatu sifat. Selanjutnya diterangkan bahwa sumber semua warna baik itu rambut, bulu, kulit dan mata pada ternak adalah melanin. Warna Bulu Warna bulu burung merpati ras sudah diketahui, sedangkan warna bulu merpati lokal masih bervariasi. Warna bulu King ada yang merah, biru serta kuning. Carneau warna bulunya merah, putih, hitam serta kuning. Begitu juga warna mata banyak variasi yang muncul, sedangkan warna shank sudah seragam yaitu merah. Warna Dasar Merpati memiliki tiga warna dasar yang berbeda yaitu warna hitam, coklat dan merah, sedangkan warna biru adalah tipe warna bulu merpati liar yang dekat dengan warna hitam, warna putih adalah albino karena tidak mengandung pigmen sama sekali pada bulu (Levi 1945). Warna biru tidak terdapat pada merpati karena pigmen hitam yang menjadi satu dalam sel bulu merpati akan membias menjadi terang sebagai warna biru. Warna biru pada bulu merpati dengan berbagai pola adalah pola warna hitam. Contoh tiga warna dasar bulu merpati yaitu coklat, biru (hitam) dan merah (Mosca 2000). Warna bulu putih adalah bulu yang tidak mempunyai pigmen warna (Lebranche 2000). Warna dasar bulu merpati memiliki dominasi sebagai berikut: Ash red (B A ) > Blue /Wild type (+) > Brown (b). Modifikasi dari Ash red adalah dilute yang

42 14 tidak mempunyai rambut halus kuning, sehingga Ash red dengan adanya gen dilute warnanya kuning keemasan (B A ), (d), (C//C). Ash red mealy (B a ), (C + ) yaitu Ash red dengan adanya pola warna pelangi, Ash red chek (B A ), (C). Pola Strawberry Ash red sooty, gen Sooty (So) memiliki warna abu gelap pada ekor dan sayap yaitu (B A ), (C + ), (So); Ash red grizzle (B A ), (G). Warna dasar biru dengan Bar (+//+), fenotipenya biru terang dengan pola Bar, mutasinya warna Blue dun dengan pola Silver check (d, +, C), yang membawa gen modifikasi dilute (d) yaitu warna terang dan menampilkan warna Brownish/hitam seperti dun dan bukan biru/hitam pada Blue check standard. Modifikasi lain dari biru adalah Bronze velvet akibat kombinasi 3 gen yaitu warna biru (+), T-pattern atau Velvet (C T ) dan Kite bronze (K), tanpa faktor Kite bronze, burung memiliki warna hampir hitam. Warna dasar coklat (b), modifikasinya Brown bar (b)(+), bentuk dilute disebut Khaki (b), (+), (d) nampak lebih terang warnanya. Warna dasar coklat kurang dominan diantara tiga warna dasar bulu burung merpati. Modifikasinya Cream (B A /+/d) mirip Ash red dilute; Brown grizzle, Brown qualmond dan Blue qualmond, Khaki (brown dilute) dan Dilute blue. Corak bulu Checker (C) dominan terhadap Barless (c); pada corak bulu T-pattern berarti burung mempunyai warna biru lebih tua hampir hitam (C T ) dominan terhadap c T ). Warna mata, terdapat beberapa warna iris mata pada merpati yaitu: (1) Bull eye; (2) Pearl eye, (3) Red and Orange (Huntley 1999b). Warna dasar bulu merpati disajikan pada Gambar 6. Merpati mempunyai bulu leher yang berwarna-warni yaitu hijau, kuning dan ungu yang disebut hackle. Hackle jantan dan betina dewasa nampak sama, tetapi jantan mempunyai hackle yang lebih berwarna-warni dibandingkan dengan betina (Lebranche 2000) Ash Red (B A ) Red Color

43 15 Blue Bar (+) Brown (b) Brown Color Gambar 6 Warna dasar bulu burung merpati Sumber: Huntley (1999b) Warna Iris Mata Warna iris mata dikendalikan oleh gen. Noor (2008) menyatakan bahwa sumber warna iris mata adalah melanin. Oliphant (2006) menyatakan bahwa ada tiga warna iris mata yang ditemukan pada merpati, dua di antaranya mengandung sel-sel pigmen stroma, sedang yang satu tidak memiliki sel-sel pigmen. Warna iris mata kuning (kerikil) dan putih memiliki sel pigmen yang mengandung butiran pigmen birefringent (kristal) dan ultrastructurally mirip dengan iridophores vertebrata poikilothermic. Kedua jenis warna iris mata tersebut mengandung guanin sebagai "pigmen", selain itu iris mata kuning sekurang-kurangnya memiliki dua pigmen fluorescing kuning yang sementara diidentifikasi sebagai pteridines. Sel-sel pigmen iris kuning dan putih secara struktural identik, perbedaannya hanya ada atau tidak adanya pigmen kuning ini. Sel-sel pigmen dari stroma iris mata putih sesuai dalam kimia struktur dan pigmen untuk iridophores

44 16 klasik meskipun mereka kekurangan irridescence kuat dan karena itu mungkin paling dianggap leucophores. Sel-sel pigmen dari beberapa iris kuning dapat dianggap "xanthophores yang mencerminkan sifat gabungan dari keduanya yaitu xanthophores klasik dan iridophore/leucophores. Adapun Gillespie (1992) menyatakan bahwa warna mata pada unggas terdiri dari tiga macam yaitu reddish bay, brown dan pearl. Warna iris mata burung merpati disajikan pada Gambar 7. Warna iris mata kuning Warna iris mata putih Gambar 7 Warna iris mata pada burung merpati Sumber: Huntley (1999a) Produktivitas Burung Merpati Produktivitas ternak meliputi sifat produksi maupun reproduksi. Adapun sifat produksi dan reproduksi pada burung merpati sebagai berikut: Pertumbuhan Pertumbuhan adalah pembentukan jaringan-jaringan baru yang mengakibatkan terjadinya perubahan dalam berat, bentuk dan komposisi tubuh hewan (Winter dan Funk 1960). Selanjutnya Card (1962) mengemukakan bahwa ukuran tubuh mempunyai korelasi dengan pertumbuhan. Lawrence dan Fowler (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan merupakan suatu proses deposisi sel-sel, serta peningkat ukuran dan jumlah sel pada tingkat dan titik tertentu yang berbeda dalam suatu waktu tertentu. Pertumbuhan ditandai oleh peningkatan jumlah sel pada jaringan (hyperplasia) dan peningkatan ukuran sel (hypertrophy). Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan ataupun interaksi keduanya. Mc Donald et al. (2002) menyatakan bahwa pertumbuhan ternak ditandai dengan peningkatan ukuran, bobot dan adanya perkembangan.

45 17 Sintadewi (1987) melaporkan bahwa pertambahan bobot badan anak burung merpati sangat cepat pada minggu ke-1 dan ke-2, kemudian pertambahannya berkurang pada minggu ke-3 dan ke-4, sedangkan pada minggu ke-5 dan ke-6 bobot badan sudah mulai menurun dan tidak konstan sehingga bobot badan bervariasi menimbulkan keragaman yang besar. Rusdiyanto dan Sukardi. (1989) memperoleh kisaran bobot badan merpati lokal g pada umur empat minggu dengan pemeliharaan intensif. Adapun rataan bobot badan merpati ras penghasil daging berkisar g dengan kisaran bobot hidup sesuai strainnya seperti disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Bobot hidup dewasa strain merpati penghasil daging Bobot Hidup (g) Strain Berat ( ) American Swiss Modena, White King, Silver King, Auto Sexing Texan Pioner, Auto Sexing King Medium ( ) White atau Red Carnaue, America Giant Homer Hungarian (biru, putih atau merah), Squabing Ringan ( ) Homer (homer pekerja) Sumber : Blakely dan Bade (1998) Produksi Telur. Merpati bertelur sebanyak 1-3 butir per periode bertelur dan rata-rata sebanyak 2 butir per periode bertelur. Telur merpati yang normal berbentuk ellips, tetapi ujung meruncing pada bagian yang berlawanan dengan rongga udara. Merpati yang dipelihara untuk tujuan komersial umumnya bertelur rata-rata setiap hari tergantung pada musim dan faktor lain (Priyati 1986). Induk jantan dan betina merpati mengerami telur-telur secara bergantian dengan alokasi pengeraman induk betina lebih lama dibandingkan jantan. Telur yang pertama menetas hari setelah dierami. Telur yang kedua menetas 48 jam kemudian (Blakely dan Bade 1998). Induk betina mulai bertelur lagi setelah squab berumur dua minggu, meskipun induk jantan dan betina masih meloloh atau memberi makan anak. Induk jantan meloloh anaknya lebih lama dibandingkan induk betina, sementara betina bertelur kembali (Alwazzan 2000). Puncak produksi bertelur terjadi pada umur bulan dan berlangsung selama 2-3 tahun (Blakely dan Bade 1998). Merpati dapat bertelur kembali

46 18 kurang lebih 14 hari kemudian, bila telur-telur tidak ditetaskan. Merpati dapat hidup lebih dari 20 tahun, dengan masa produktif sampai dengan umur 5-7 tahun (Winter dan Funk 1960). Produksi Daging. Squab atau piyik adalah merpati muda siap dipasarkan pada umur sekitar hari (Drevjany 2001b). Selanjutnya dilaporkan pula oleh Drevjany (2001b) bahwa kandungan kolesterol pada daging squab sangat dianjurkan bagi orang yang menghindari mengkonsumsi daging dengan kandungan kolesterol tinggi. Squab burung merpati disajikan pada Gambar 8. Gambar 8 Squab burung merpati Sumber : Drevjany (2001b) Drevjany (2001b) melaporkan bahwa daging squab berbeda dengan daging unggas lain karena mengandung lemak intramuskuler yang tinggi yang menambah daging menjadi lunak dan enak. Kandungan atau komposisi daging squab disajikan pada Tabel 2. Pasangan merpati masih muda (umur 2-3 tahun) dalam satu tahun mampu menghasilkan squab sebanyak ekor. Apabila pasangan tersebut tua (umur 5-6 tahun) hanya dihasilkan sekurang-kurangnya 12 ekor/tahun. Semakin tua umur merpati, kemampuan untuk menghasilkan squab semakin menurun (Blakely dan Bade 1988). Rata-rata produksi squab dari pasangan yang baik antara ekor/tahun. Produksi squab dari pasangan yang telah tua menurun menjadi ekor/tahun (Bokhari 2002). Menurut Drevjany (2001b) bahwa bobot badan squab setelah dibului adalah 66% dari bobot hidup.

47 19 Tabel 2 Komposisi nutrisi daging squab Komposisi Nutrisi Tipe Daging Air (%) Energi (kalori) Protein (%) Lemak (%) Serat (%) Abu (%) Total edible Daging dan kulit Daging Daging tanpa kulit Jerohan Sumber : Composition of Foods : United State Departement of Agriculture (1993) yang disarikan oleh Bokhari (2001) Daya Tunas dan Daya Tetas Hasil penelitian Muhaimi (1983) menunjukkan bahwa daya tetas yang rendah pada merpati ras Homer x King disebabkan oleh faktor pengelolaan, makanan, penyakit dan genetik. Persentase dari telur-telur merpati yang tidak menetas cukup tinggi, rata-rata 20% dari produksi telur. Bokhari (2001) melaporkan, kerugian pada peternakan merpati karena telur yang tidak subur, janin mati dan squab mati pada saat menetas yang mencapai dihilangkan dengan memilih bibit-bibit yang baik % dapat Mortalitas Burung merpati bersifat carrier terhadap penyakit yang disebabkan oleh virus, bakteri dan parasit. Kontaminasi virus pada pemeliharaan burung merpati secara intensif hampir tidak ada. Hasil penelitian Muhaimi (1983) bahwa mortalitas anak sampai dengan umur empat minggu 2.38%; dara dan induk ditemukan sebesar 6.64% dan 0.23%. Mortalitas dapat dicegah dengan menjaga kebersihan kandang dan pemeliharaan yang baik agar burung merpati tidak mudah terjangkit penyakit. Parasit eksternal yang menjangkiti merpati hampir sama dengan unggas lain seperti kutu, tungau dan hama (Alwazzan 2000). Merpati rentan terhadap parasit baik secara internal maupun eksternal. Cacing dapat menyerang melalui air. Penyediaan air yang tidak bersih dapat membawa parasit eksternal dan hal ini

48 20 harus diupayakan dengan menjaga kebersihan pada kandang dan tenggeran sehingga penyakit tidak mudah berjangkit. Kerugian akibat penyakit penting diperhatikan. Pengurangan kematian dapat dilakukan dengan seleksi bibit dari pasangan merpati atas dasar uji keturunan dengan seleksi yang berencana dan program pemeliharaan yang baik. Seleksi diharapkan dapat mengurangi kerugian akibat pertumbuhan yang lambat, bobot piyik yang rendah, produksi telur dan daya tetas yang menurun pada merpati yang pernah sakit (Bokhari 2001). Seleksi Seleksi adalah proses menentukan individu tertentu menjadi calon bibit (tetua), berapa banyak keturunan yang dihasilkan dan berapa lama digunakan sebagai bibit. Seleksi juga diartikan memberi kesempatan kepada individu yang memiliki gen-gen unggul berkembang biak sehingga generasi berikutnya memiliki rata-rata gen yang diinginkan lebih banyak dibandingkan generasi sekarang. Individu yang memiliki komposisi gen terbaik disebut memiliki nilai pemuliaan tinggi dan sebagai genetic parents. Dalam seleksi diperoleh ternak yang memiliki nilai pemuliaan tinggi yang akan menurunkan gen-gen baik kepada generasi berikutnya (Bourdon 2000). Seleksi akan meningkatkan frekuensi gen yang diinginkan dan menurunkan frekuensi gen yang tidak diinginkan, sehingga diharapkaan terjadi peningkatan produktivitas dan keseragaman yang tinggi. Perbedaan rataan performans ternak yang terseleksi dengan rataan performans populasi sebelum seleksi disebut diferensial seleksi (Hardjosubroto 1994). Ripitabilitas dan Heritabilitas Ripitabilitas diartikan ukuran kemampuan mengulang fenotipe yang sama, dapat diukur dari individu yang memiliki lebih dari satu catatan. Contoh sifat-sifat yang berulang: produksi susu, balap dan ketangkasan pada kuda, jumlah anak perkelahiran pada itik (Bourdon 2000). Jika ripitabilitas suatu sifat tinggi mengidentifikasikan kemampuan produksinya baik, sebaliknya jika ripitabilitasnya rendah berarti kemampuan produksinya rendah (Bourdon 2000). Heritabilitas berperan penting untuk menduga nilai pemuliaan, keragaman anak dan kemampuan produksi (Bourdon 2000). Heritabilitas adalah proporsi keragaman total pengamatan suatu sifat pada suatu kelompok dan merupakan

49 21 ekspresi dari gen-gen yang mempengaruhinya. Nilai heritabilitas suatu sifat antar populasi disesuaikan oleh genetik dan lingkungannya (Falconer dan Mackay 1996). Sifat pertumbuhan cenderung menunjukkan pewarisan tinggi, sehingga sifat-sifat tersebut mudah ditingkatkan melalui seleksi. Fertilitas adalah sifat yang nilai pewarisannya rendah, peternak tidak menekankan peningkatan fertility genetic dan sebaliknya manajemen pakan yang baik untuk meningkatkan fertilitas. Pengaruh lingkungan sangat mempengaruhi performans sifat-sifat yang memiliki heritabilitas rendah (Bourdon 2000). Sistem Perkawinan Menurut Perrins dan Berkhead (1983) terdapat empat macam sistem perkawinan dengan kategori lama hubungan pasangan dan jumlah perkawinan yang dilakukan dalam setiap persilangan yaitu : 1. Monogami : sepasang jantan dan betina pada waktu tertentu atau selama musim kawin atau sepanjang hidup berpasangan tetap. Masing-masing tetua mempunyai andil untuk mengasuh; 2. Poligami : satu pejantan kawin dengan beberapa betina, tetapi setiap betina hanya kawin dengan satu pejantan. Seekor pejantan mungkin berpasangan dengan beberapa betina terus menerus (simultaneous polygyny) atau bergantian menggilir betinanya (successive polygyny). Tetua yang bertanggungjawab mengasuh biasanya betina; 3. Poliandri : kebalikan poligami yaitu seekor betina berpasangan dengan beberapa pejantan baik terus menerus atau bergiliran. Jantan selalu menyediakan kebutuhan; 4. Pomiscuity; jantan dan betina kawin dengan individu lain sehingga merupakan pencampuran poligami dan poliandri. Baik jantan maupun betina menyediakan kebutuhan bersama. Adapun (Levi 1945) mengemukakan burung merpati memilih pasangan sendiri dan bersifat monogami Kecepatan Terbang Pigeon seperti burung lainnya bisa terbang menggunakan gerakan udara. Gerakan burung saat terbang pada prinsipnya bukan gerakan langsung. Adanya aliran udara (gerakan udara) dan adanya sibakan dari sayap burung maka adanya

50 22 perpindahan udara dan arus (aliran udara) yang menjaga hewan bertahan di udara dan bergerak maju maka burung bisa terbang. Ilmu yang mempelajari gerakan ini disebut aerodinamika (Feedburner 2011). Kecepatan terbang pada terowongan angin untuk burung merpati (Columba livia) lebih tinggi dibandingkan burung gagak (Pica pic) masing-masing 6-20 m detik -1 dan 4-14 m detik -1 dari hasil rekaman video berkecepatan tinggi (60 Hz) yang dilakukan oleh Tobalske dan Dial (1996). Tyne dan Berger (1976) menambahkan bahwa bulu ekor berfungsi sebagai pengendali ketika terbang dan penentu kapan akan berbelok, turun dan berhenti. Parentsnvolved.org (2011) menyatakan bahwa merpati bisa terbang 40 sampai 50 mil per jam. Merpati yang hidup di perkotaan tinggal dekat dengan pemukiman, terbang kurang dari 12 mil dalam sehari. Namun, otot-otot sayap mereka yang kuat mengakibatkan merpati bisa terbang lebih jauh lagi jika diperlukan. Beberapa jenis merpati dapat terbang sampai jarak 600 km dalam sehari. Merpati Daging dan Balap di Indonesia Merpati pedaging ras pernah dikembangkan di daerah Sukabumi sekitar tahun Selanjutnya Dinas Peternakan DKI Jakarta (2000) mengembangkan ternak merpati silangan Homer x King dengan tujuan untuk mengurangi tingkat penganguran dan menambah penghasilan bagi penduduk Jakarta dengan daging squab yang dapat dijual seharga Rp per ekor, tentunya mempunyai potensi yang baik untuk meningkatkan kesejahteraan peternak. Tahun 2002 peternak yang merupakan anggota himpunan peternakan merpati silangan Homer x King yaitu Haryono Herlambang, S.Sos mengembangkan merpati ras pedaging silangan tersebut dibawah binaan Suku Dinas Peternakan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Pusat. Namun, kini peternakan tersebut tidak dilanjutkan lagi. Adapun budidaya merpati silangan Homer x King yang kini masih berproduksi adalah BPTHMT Batu Malang, Jawa Timur. Merpati balap dimanfaatkan untuk lomba balap merpati. Lomba balap merpati dibedakan oleh masyarakat menjadi dua jenis, yaitu balap merpati jarak jauh atau balap tinggi yang berjarak 5-7 km dan balap merpati jarak pendek (sprint) yang berjarak m (Yonathan 2003).

51 23 Lomba balap merpati jarak jauh dengan cara melepaskan beberapa ekor merpati dari jarak cukup jauh dari pagupon (kandang) oleh seorang pelepas merpati. Pagupon ini umumnya dibangun dan ditempatkan di sekitar rumah pemilik merpati dengan ketinggian sekitar 3-5 m dari permukaan tanah. Adapun jarak yang dilombakan sekitar 5-7 km. Lomba merpati balap jarak dekat dengan cara melepaskan merpati jantan pada jarak tertentu menuju merpati betina. Ketinggian terbang merpati balap jarak dekat m dari permukaan tanah. Lokasi yang digunakan berupa lapangan terbuka dengan permukaan datar dengan ukuran yang dapat digunakan untuk lomba minimum 1.000x300 m (Yonathan 2003). Merpati balap merupakan jenis merpati yang dapat diadu kecepatannya, di lokasi berbeda dengan jarak tempuh ratusan hingga ribuan meter. Penggemar merpati balap ini sudah ada di Indonesia di bawah naungan KONI pusat maupun daerah yaitu PPMBSI (Persatuan Penggemar Merpati Balap Sprint Indonesia). Keberadaan PPMBSI sama sekali tidak merusak lingkungan hidup yang ada karena semua burung merpati yang dipelihara, diperjualbelikan dan yang dilombakan merupakan hasil tangkaran masyarakat yang sifatnya tradisional maupun yang sudah profesional yang ada di seluruh Indonesia, bukan hasil menangkap di hutan atau di kebun, sehingga tidak merusak lingkungan hidup (PPMBSI 2004)

52 24

53 25 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Burung merpati yang digunakan sebagai materi penelitian berasal dari Jakarta dan Bogor. Burung merpati tersebut tidak memiliki hubungan kerabat satu dengan yang lain (pengambilan sampel secara acak). Adapun jumlah burung merpati yang digunakan sebagai tetua pada penelitian ini sebanyak 100 pasang. Materi penelitian ditambah dengan burung merpati milik penggemar burung merpati terutama untuk burung merpati balap datar, balap tinggi, dan pedaging. Penelitian ini dilakukan di tempat budidaya merpati lokal di Kampung Carang Pulang, Desa Cikarawang, Dramaga, Bogor dan penggemar/peternak merpati lokal di sekitar Bogor. Pengolahan data dilakukan di Bagian Ilmu Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan IPB. Penelitian dilaksanakan mulai Januari 2005 Desember Peralatan yang diperlukan adalah kandang individual berukuran 50x50x60 cm untuk setiap pasang merpati yang dilengkapi tempat pakan, tempat minum dan sarang di dalam masing-masing kandang individual. Pakan terdiri dari jagung bulat, pakan komersial untuk ayam pedaging fase finisher berbentuk crumble dan beras merah. Timbangan berkapasitas 100 g merk Table Balance untuk menimbang telur dan piyik hingga umur satu minggu. Setelah umur satu minggu piyik ditimbang dengan timbangan berkapasitas 5 kg. Selain itu pakan ditimbang pula denagn timbangan berkapasitas 5 kg. Jangka sorong dan pita ukur untuk mengukur ukuran tubuh. Metode Penelitian ini meliputi beberapa tahapan pengumpulan data. Tahapan tersebut meliputi pengamatan sifat kualitatif, pemeliharaan burung merpati untuk mencatat produktivitas dan pendugaan parameter genetik, pengukuran morfometrik, mengukur kecepatan terbang, dan pemotongan squab (piyik).

54 KARAKTERISTIK DAN KERAGAMAN SIFAT KUALITATIF BURUNG MERPATI LOKAL Pendahuluan Sifat kualitatif burung merpati lokal masih beragam. Keragaman sifat kualitatif tersebut merupakan kekayaan plasma nutfah dan sumber genetik. Adapun keragaman sifat kualitatif burung merpati berkaitan dengan salah satu manfaat burung merpati yaitu sebagai burung hias, karena keragaman tersebut menarik bagi penghobi burung merpati hias. Keragaman sifat kualitatif juga terdapat pada burung merpati balap. Hardjosubroto (1999) menyatakan bahwa sifat kualitatif adalah sifat yang tidak dapat diukur tetapi dapat dibedakan dan dikelompokkan secara tegas, misalnya warna bulu, bentuk jengger, ada tidaknya tanduk dan sebagainya. Sifat kualitatif dikendalikan oleh satu atau beberapa gen dan sedikit atau tidak sama sekali dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Penampilan sifat kualitatif yang tampak dari luar disebut fenotipe. Warwick et al. (1990) mendefinisikan bahwa fenotipe sebagai suatu penampilan luar atau sifat-sifat lain dari suatu individu yang dapat diamati atau dapat diukur. Adapun catatan dan hasil penelitian mengenai keragaman sifat kualitatif burung merpati lokal masih terbatas. Karakteristik dan keragaman sifat kualitatif ini menarik untuk diamati, dengan demikian tujuan dari penelitian ini untuk menambah informasi karakteristik dan keragaman genetik burung merpati lokal. Selain itu informasi sifat kualitatif burung merpati lokal ini diharapkan dapat membantu pengembangan pemanfaatan burung merpati lokal sebagai komoditi non pangan, seperti sebagai unggas kesenangan (balap dan hias). Metode Materi Penelitian ini dilakukan dengan mencatat sifat kualitatif dari burung merpati yang dipelihara di lokasi penelitian. Selain itu data sifat kualitatif juga dikumpulkan dari burung merpati yang dipelihara penggemar burung merpati di sekitar lokasi penelitian. Adapun jumlah burung yang diamati sifat kualitatifnya sebanyak 711 ekor.

55 28 Pengambilan Data Sifat kualitatif yang diamati meliputi warna bulu, pola bulu, corak bulu, warna shank (ceker), ada tidaknya bulu pada ceker, warna iris mata, dan ornament jambul di kepala. Karakteristik corak dan pola warna burung merpati disajikan pada Tabel 3. Adapun deskripsi sifat kualitatif yang diamati pada penelitian ini dijelaskan pada Lampiran 1. Tabel 3 Karakteristik warna dasar, pola, dan corak bulu burung merpati lokal Fenotipe Warna dasar bulu Pola warna bulu Badge Hysterical Piebald Qualmond Mottled Grizzled Checker Corak bulu Barr less Barr Karakteristik Warna bulu yang memiliki proporsi tinggi pada seekor burung di lapang dikenal dengan sebutan telampik yaitu warna bulu sayap primer lebih dari satu helai secara berurutan berwarna putih dari bulu nomor 10 di lapang dikenal dengan istilah selap yaitu pada bulu saya primer yang berwarna gelap terdapat di antaranya yang berwarna putih 1-3 lembar pada posisi tidak sampai di ujung (bulu ke-10) atau di sela-sela bulu sayap primer terdapat warna bulu sayap primer yang berbeda dengan warna dasar bulu burung bersangkutan di lapang disebut dengan istilah blantong terdapat warna putih pada bagian kepala, punggung, sayap dan dada bulu pada punggung terdapat pola huruf V dikenal dengan istilah totol terdapat bercak warna putih pada warna bulu dasar gelap atau bercak warna gelap pada warna bulu dasar putih pada punggung, dada dan kepala. Di lapang mottled juga disebut telon yaitu warna bulu dasar putih, terdapat bercak sebanyak dua warna gambir, abu; hitam, megan atau variasi diantaranya sehingga perpaduan 3 warna yaitu: putih, hitam dan gambir; atau putih, megan dan abu di lapang dikenal dengan istilah blorok yaitu warna bulu dasar hitam, megan, gambir atau abu terdapat warna putih yang menyebar dan tidak teratur pada bulu tersier, sekunder dan kemungkinan pada bulu primer di lapang dikenal dengan istilah Tritis terdapat warna gelap disertai pelangi pada bulu sayap dan ekor bulu pada bagian kepala, badan, sayap dan ekor berwarna sama terdapat pelangi pada bulu sayap skunder dan ekor Penelitian ini juga melakukan perkawinan resiprokal untuk memperoleh pewarisan pola bulu dan corak bulu. Perkawinan resiprokal juga dilakukan untuk memperoleh pewarisan warna iris mata. Perkawiana resiprokal antara tetua jantan dan betina polos dan tidak polos dilakukan dengan 4 macam perkawinan yaitu:

56 29 1. jantan polos x betina polos 2. jantan tidak polos x betin tidak Polos 3. jantan polos x betina tidak polos 4. jantan tidak polos x betina polos Anak-anak yang menetas dari tiap pasangan dari 4 macam perkawinan dicatat pola bulu dan corak bulunya. Perkawinan resiprokal pada pengamatan pewarisan warna iris mata dilakukan dengan melakukan perkawinan resiprokal antara tetua jantan dan betina dengan kombinasi 4 warna iris mata yaitu: 1.jantan kuning x betina kuning 2.jantan coklat x betina coklat 3.jantan kuning x betina coklat 4.jantan coklat x betina kuning 5.jantan lip lap x betina kuning 6.jantan lip lap x betina coklat 7.jantan lip lap x betina lip lap 8.jantan lip lap x betina putih 9.jantan kuning x betina lip lap 11.jantan coklat x betina lip lap 12.jantan putih x betina lipa lap 13.jantan putih x betina putih 14.jantan putih x betina coklat 15.jantan putih x betina kuning 16.jantan coklat x betina putih Warna iris mata dari anak-anak yang menetas dari perkawinan di atas dicatat. Data yang dikumpulkan dianalisis secara diskriptif. Frekuensi fenotipe sifat kualitatif yang diamati diperoleh dengan menghitung jumlah burung yang memiliki sifat kualitatif tertentu dibagi dengan jumlah populasi burung yang diamati dikalikan 100%. Perhitungan frekuensi fenotipe menggunakan formula (Minkema 1993) yaitu: % Fenotipe A = ternak dengan fenotipe A x 100% Total ternak yang diamati

57 30 Frekuensi Gen Dominan dan Resesif Autosomal Frekuensi gen dominan autosomal dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut (Nishida et al. 1980): q = 1 - RR/NN ; p = 1 q Keterangan: q = frekuensi gen dominan p = frekuensi gen resesif autosomal R = jumlah burung yang menunjukkan sifat resesif N = jumlah seluruh burung Keragaman Fenotipe Keragaman fenotipe dianalisis frekuensi genotipenya beserta alelnya berdasarkan metode perhitungan frekuensi menurut Noor (2008). Uji χ 2 dilakukan menurut Noor (2008) maupun Nei dan Kumar (2000) untuk mengetahui suatu populasi berada dalam kesimbangan, yaiu: nn χ 2 = (Oi Ei) 2 ii=1 Ei Keterangan: χ 2 = khi kuadrat O = pengamatan E = frekuensi harapan i = individu ke-i, i dari 1 hingga ke-n Heterozigositas Heterozigositas digunakan untuk menentukan keragaman fenotipik pada sifat kualitatif yang diamati. Nilai heterozigositas dihitung dengan menggunakan rumus menurut Nei dan Kumar (2000) yaitu: h = 1 - qq 2 ii=1 X Ri Keterangan: h = nilai heterozigositas X i 2 = frekuensi alel ke-i q = jumlah alel

58 31 HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman warna bulu burung merpati lokal pada penelitian ini menunjukkan bahwa masih sedikit campur tangan manusia sehingga berbagai warna, pola warna serta corak bulu dapat ditemukan di lapang. Selain keragaman fenotip maupun genotipe warna bulu, ditemukan pula keragaman fenotipe dan genotipe pada warna iris mata, jambul pada kepala, dan ceker berbulu. Warna Dasar Warna dasar burung merpati lokal terdapat lima macam. Kelima macam warna dasar tersebut adalah hitam, megan, gambir, putih, dan abu. Mosca (2000) tidak mengemukakan adanya warna megan pada burung merpati karena ekspresi warna megan dipengaruhi oleh pigmen melanin dan pigmen melanin ini mempengaruhi munculnya warna hitam. Fenotipe warna dasar bulu burung merpati lokal disajikan pada Lampiran 2. Adapun frekuensi warna dasar bulu disajikan pada Tabel 4 berikut. Tabel 4 Frekuensi warna dasar bulu pada burung merpati lokal Fenotipe Genotipe Variasi N Frekuesi χ 2 hit 2 χ tabel (4;0.05) (macam) (ekor) (%) Hitam S- B + - C (142) ** Megan ss B + - C (142) Coklat/ S- b- C (142) Gambir Putih S- -- cc (142) Abu Ss B A -C (142) Jumlah Keterangan: **= sangat nyata Fenotipe untuk warna bulu burung merpati lokal ditemukan sebanyak 68 macam pada penelitian ini, sedangkan Cornell Lab of Ornithology (2007) menyatakan diduga ada sebanyak 28 jenis warna burung merpati, yang disebut "morphs," namun kelompok-kelompok dari Proyek Pigeon Watch menyatakan hanya tujuh morphs. Ditambahkan pula bahwa burung merpati juga memiliki bulu leher berwarna-warni. Bulu-bulu leher yang berwarna-warni terdiri dari warna hijau, kuning, dan unggu yang disebut "hackle". Adapun Zickefoose (2007) menyatakan bahwa Proyek Pigeon Watch mengelompokkan warna merpati ke

59 32 dalam tujuh morphs dan menggunakan nama-nama yang biasa digunakan oleh peternak burung merpati yaitu: Blue-bar; warna dan pola merpati liar asli dari Eropa, Asia, dan Afrika disebut biru-bar, meskipun burung ini tidak benar-benar biru. Umumnya burung merpati memiliki kepala gelap, leher, dan dada dengan penampilan warna tertentu; bagian dada dan perut abu-abu; band hitam di ujung ekor, dan dua garis hitam atau bar pada setiap sayap. Red-bar; memiliki pola dasar yang sama dengan blue-bar namun daerah hitam diganti dengan warna merah karat atau coklat. Burung ini disebut red-bar. Checker; jika seekor merpati memiliki pola checker pada sayapnya disebut checker. Checkers dapat berkisar dari abu-abu sangat ringan dengan hanya beberapa hitam, hingga sangat gelap dengan hanya sedikit cahaya abu-abu yang masih terlihat. Beberapa checkers memiliki sayap-bar, dan ada pula yang tidak memiliki bar pada sayap. Red; jika sebagian atau seluruh tubuh merpati dan sayap berwarna merah karat atau coklat. Spread: jika burung benar-benar berwarna hitam atau abu-abu gelap. Pied; kadang-kadang merpati memiliki warna bercak putih, biasanya pada kepala atau bulu sayap. Ada dua bentuk. Salah satu jenis terlihat seperti telah disiram dengan putih. Jenis lain memiliki putih hanya pada bulu sayap utama. White: burung berwarna putih polos. Variasi warna megan paling banyak diantara warna yang lain yaitu sebanyak 20 macam, sedangkan variasi warna abu paling sedikit yaitu 6 macam. Frekuensi fenotipe warna bulu megan paling banyak diantara warna bulu yang lain yaitu 27.99%. Warna bulu abu variasinya paling sedikit akan tetapi frekeunsi di lapang menempati urutan kedua setelah megan yaitu sebanyak 20.25%. Frekuensi warna putih paling sedikit pada pengamatan ini, yaitu 15.33% (Tabel 2 4). Secara statistik (χ hit > χ 2 tabel ) berarti frekuensi warna dasar bulu berbeda nyata, atau Hukum hardy-weinberg tidak berlaku. Hal ini dikarenakan perkawinan tidak secara acak atau penggemar mengawinkan burung piaraan miliknya sesuai keinginan penggemar melalui penjodohan buatan (bukan alami). Dominasi warna bulu dasar pada burung merpati adalah abu>hitam>megan>coklat/gambir>putih. Hal ini berkaitan dengan pigmentasi yang mempengaruhi ekspresi warna. Pigmen yang mengendalikan warna bulu gelap seperti megan dan hitam adalah melanin. Adapun gen yang mengontrol

60 33 warna bulu dasar terdapat tiga lokus, seperti pada pengamatan ini bahwa warna hitam memiliki genotipe (S-B + -C-), megan (ss B + -C-), coklat (S-bbC-), putih (S- -- cc), dan abu (SsB A -C-). Satu dari ketiga lokus tersebut merupakan alel ganda yang terpaut kelamin (pada kromosom Z), dengan dominasi menurut Noor (2008) dan Huntley (1999b) bahwa abu (B A ) dominan terhadap biru (B + ) dan coklat (b). Penggemar atau penghobi burung merpati balap kurang menyukai warna putih untuk jantan, sedangkan untuk pasangan betinanya tidak ada kesukaan pada warna dasar bulu tertentu. Hal ini disebabkan burung balap yang diterbangkan adalah jantan, jika jantan berwarna putih maka joki sulit mendeteksi kedatangan burung jantan dari jarak jauh sehingga joki sulit pula memberi abaaba/instruksi kepada burung jantan agar terbang cepat, kemudian mendarat menempel pada pasangan betinanya yang dipegang oleh joki sebagai kleper (untuk mengklepek /memanggil jantan). Burung betina hanya digunakan sebagai kleper yang berfungsi untuk sarana pemberi aba-aba/instruksi oleh joki agar jantan pasangannya segera menghampiri. Di lapang ada kecenderungan betina yang dipakai untuk kleper memiliki pola warna bulu telampik (badge). Pola Warna dan Corak Warna Bulu Pola warna bulu burung merpati lokal terdapat 10 macam dan variasi corak warna bulu terdapat 2 macam. Pola bulu sayap terdiri polos, telampik, dan selap. Adapun pola bulu tubuh terdiri dari tujuh yaitu blantong, qualmond, totol, telon, blorok, batik dan tritis. Variasi pola warna bulu ditemukan sebanyak 24 macam pada penelitian ini. Corak bulu adalah barr dan non barr. Frekuensi dari variasi pola warna bulu burung merpati pada penelitian ini disajikan pada Lampiran 3. Warna polos memiliki frekuensi paling banyak pada pengamatan ini. Frekuensi warna yang sedikit yaitu; tritis qualmond batik, bule selap, blorok bule dan blantong tritis batik (Lampiran 3). Fenotipe burung merpati lokal pada penelitian ini disajikan pada Lampiran 3. Variasi warna bulu burung merpati sebanyak 67 buah. Warna dasar hitam memiliki 12 variasi pada penelitian ini, yaitu polos, telampik, telampik bule, selap, tritis, tritis batik telampik, bule dan bule selap. Frekuensi hitam polos paling banyak, sedangkan frekuensi yang sedikit yaitu blorok bule dan bule selap.

61 34 Warna dasar gambir memiliki 12 variasi yaitu polos, polos jambul, telampik, selap, blorok, blantong, blantong gendong, bule, merah terasi, punggung putih dan ekor putih. Frekuensi gambir polos paling banyak, sedangkan gambir punggung putih paling sedikit (Lampiran 4). Hasil pengamatan perkawinan resiprokal polos dengan polos, tidak polos dengan polos, polos dengan tidak polos dan tidak polos dengan polos dengan menggunakan sebanyak 124 pasang dihasilkan frekuensi anak polos dan tidak polos seperti disajikan pada Lampiran 4. Pada Lampiran 4 tersebut tampak bahwa warna bulu dipengaruhi oleh banyak gen (multiple alel). Hasil uji χ 2 berbeda sangat nyata (P 0.05). Frekuensi pola warna bulu tidak berimbang (Hukum Hardy-Weinberg tidak berlaku). Berarti jenis perkawinan mempengaruhi frekuensi pemunculan pola warna anak dan pola warna polos memiliki frekuensi pemunculan tinggi. Ornamen Kepala Ornamen kepala pada burung merpati ada dua macam yaitu berupa jambul (bulu kepala walik) atau crest dan tidak jambul (fade). Mayntz (2011) menyatakan bahwa crest adalah seberkas bulu yang menonjol di puncak kepala burung. Puncak bulu ini sangat bervariasi, dari hanya beberapa bulu di kepala, seperti puncak yang sangat kecil dan halus pada ruby-crowned kinglet hingga puncak lebih menonjol seperti northern cardinal atau blue jay. Beberapa unggas menampilkan puncak bulu dengan bentuk, ukuran, warna dan panjang puncak yang bervariasi. Jika puncak itu berdaging, seperti pada red jungle fowl disebut comb. Frekuensi bulu kepala jambul pada merpati lokal disajikan pada Tabel 5. Secara statistik pemunculan ornament bulu pada kepala tidak berbeda nyata. Berarti populasi dalam keadaan setimbang. Adapun frekuensi jambul rendah disebabkan sifat ini resesif sehingga pemunculannya juga rendah. Hal ini sesuai dengan kondisi di lapang bahwa frekuensi pemunculan ornament bulu pada kepala burung merpati rendah bahkan mendekati tidak ada. Anak burung merpati yang berbulu jambul ini muncul dari tetua yang keduanya tidak berjambul. Hal ini menurut Levi (1945) bahwa bulu jambul diwariskan oleh gen resesif, dengan demikian anak berjambul diperoleh dari tetua yang tidak berjambul heterosigot.

62 35 Tabel 5 Frekuensi bulu pada kepala (ornament) pada burung merpati lokal Ornament N Frekuensi χ 2 hit 2 χ tabel 0.05 (1) (ekor) Jambul (crest) 2 (1.78) tn Tidak jambul (fade) 709 (709.22) Keterangan: tn= tidak berbeda nyata Di lapang, burung merpati untuk balap datar maupun balap tinggi yang memiliki bulu kepala jambul tidak ditemukan. Biasanya bulu jambul ini ditemukan pada burung merpati hias seperti burung merpati kipas. Warna Paruh Warna paruh berkaitan dengan pigmentasi seperti halnya pada ekspresi warna bulu. Burung merpati yang memiliki warna bulu dasar gelap memiliki warna paruh gelap. Burung merpati yang memiliki warna dasar hitam dan megan maka warna paruhnya hitam. Warna paruh coklat tua hingga coklat terang dimiliki oleh burung merpati yang memiliki bulu dasar coklat/gambir. Hal ini merujuk kepada Huntley (1999b) bahwa gen "Smoky" (sy) mengakibatkan warna kulit lebih terang dan paruh berwarna terang (gading). Gen smoky adalah gen resesif autosomal dengan simbol (sy). Burung merpati yang memiliki warna bulu hitam dan paruhnya abu, dari hasil perkawinan sesamanya memungkinkan munculnya anak berwarna bulu coklat/gambir. Pada penelitian ini anak berbulu gambir muncul dari tetua berwarna bulu hitam maupun megan dan sesuai dengan dominasi warna bahwa hitam dan megan lebih dominant terhadap gambir. Warna paruh belang ditemukan pada burung merpati yang memiliki warna bulu dasar tidak polos, seperti blantong (piebald). Warna paruh burung merpati terdapat lima macam yaitu hitam, coklat tua, coklat muda, abu, belang. Frekuensi warna hitam paling banyak diantara warna lain. Warna hitam dikarenakan adanya pigmen melanin. Warna paruh ini untuk mengidentifikasi warna kulit burung merpati. Semakin gelap warna paruh, maka warna kulit semakin gelap sehingga penampilan daging karkas burung merpati juga lebih gelap.

63 36 Warna paruh hitam polos disertai dengan warna kuku hitam polos disukai oleh penggemar burung merpati balap. Hal ini dijadikan salah satu seleksi penampilan burung merpati balap yang bagus. Namun dari hasil pengamatan pada penelitian ini warna tersebut tidak ada kaitannya dengan ketangkasan terbang burung merpati. Pada Tabel 6 disajikan warna paruh beserta frekuensi warna bulu. Urutan frekuensi warna paruh dari terbanyak adalah hitam, coklat muda/pink, coklat, belang dan abu. Secara statistik (uji χ 2 ) frekuensi warna paruh berbeda sangat nyata, berarti di lapang warna paruh tidak setimbang diduga karena ada seleksi. Hal ini sesuai hasil warna bulu yang memiliki frekuensi tinggi adalah warna yang memiliki pigmen gelap yaitu megan maka frekuensi warna paruh pigmen gelap lebih tinggi yaitu hitam. Tabel 6 Frekuensi warna paruh burung merpati lokal Warna N (ekor) Frekuensi Fenotipe hit χ Coklat 95 (142.2) ** Coklat muda/pink 111 (142.2) Hitam 409 (142.2) Abu 11 (142.2) Belang 85 (142.2) Keterangan: **= berbeda sangat nyata χ 2 2 tabel 0.01(4) Burung merpati yang memiliki warna paruh gelap maka warna kulit dagingnya gelap juga. Sebagai burung merpati potong, warna kulit daging yang terang lebih disukai konsumen. Hal ini terdapat pada burung merpati yang memiliki bulu dasar coklat/gambir, putih dan memiliki warna paruh terang. Olehkarenanya burung merpati pedaging kebanyakan berwarna bulu putih seperti King (putih), Carnaeau (putih, coklat). Frekuensi warrna paruh hitam paling tinggi. Warna paruh berkaitan dengan warna kuku. Burung merpati yang memiliki warna paruh polos maka warna kukunya polos, sedangkan burung merpati yang memiliki warna paruh belang maka warna kuku juga belang. Warna paruh juga dapat dimanfaatkan untuk mengidentifikasi warna kulit. Burung merpati yang memiliki warna paruh terang yaitu coklat muda/pink maka warna kulitnya terang, sedangkan burung merpati yang memiliki warna paruh

64 37 gelap yaitu hitam dan abu maka warna kulitnya gelap. Warna paruh ini dipengaruhi oleh pigmen melanin yang ekspresinya menampilkan warna gelap seperti hitam dan abu. Hal ini menjadi pertimbangan pada pengembangan burung merpati pedaging. Burung merpati ras pedaging yang dikembangkan adalah burung merpati yang memiliki paruh terang sehingga kulitnya terang juga seperti King dan Carneau. Shank (ceker) Ceker burung merpati ada yang berbulu dan tidak berbulu. Cornell Lab of Ornithology (2007) menyatakan bahwa beberapa burung merpati memiliki "stoking," pada kakinya (bulu pada cekernya). Pada penelitian ini frekuensi ceker berbulu sebesar lebih rendah dibandingkan frekuensi ceker tidak berbulu sebesar Ceker berbulu diwariskan dominant terhadap ceker tidak berbulu. Di lapang penggemar burung merpati untuk game (balap datar dan balap tinggi) menyukai burung merpati yang cekernya tidak berbulu. Burung merpati yang memiliki ceker berbulu dapat dijumpai pada burung merpati hias dan sebagian burung merpati lokal. Frekuensi ceker berbulu dan tidak berbulu pada penelitian ini disajikan pada Tabel 7. Frekuensi ceker tidak berbulu lebih tinggi dibandingkan berbulu. Secara statistik berbeda sangat nyata. Hal ini berarti di dalam populasi dalam keadaan tidak setimbang, dan diduga ada seleksi sehingga walaupun kedua macam ceker tersebut dapat ditemukan pada burung merpati lokal, namun frekuensi ceker tidak berbulu lebih tinggi frekeuensinya dibandingkan ceker berbulu. Tabel 7 Frekuensi ceker berbulu dan tidak berbulu pada burung merpati lokal Ceker N Frekuensi Fenotipe χ 2 hit 2 χ tabel 0.01 (1) (ekor) Berbulu 209 (18.20) ** Tidak berbulu 502 (692.80) Keterangan:**= berbeda sangat nyata Ceker burung merpati sebanyak (99.9%) berwarna merah atau mendekati 100% merah pada penelitian ini. Ini menunjukkan bahwa warna

65 38 ceker burung merpati sudah seragam yaitu merah. Hal ini berarti juga bahwa warna ceker merah sudah terfiksasi dalam populasi sehingga frekuensi warna ceker merah proporsinya mendekati 100% dan dalam keadaan homosigot, walaupun Cornell Lab of Ornithology (2007) menyatakan bahwa kaki (ceker) burung merpati berwarna merah, merah muda dan hitam keabu-abuan bahkan putih pada beberapa merpati. Keseragaman yang tinggi pada burung merpati lokal dapat dikarenakan adanya seleksi menurut Bourdon (2000). Anak-anak dari hasil perkawinan dari tetua yang memiliki ceker berwarna merah dengan sesamanya yang berwarna ceker merah semuanya memiliki ceker berwarna merah pada penelitian ini. Demikian pula pada perkawinan burung yang memiliki ceker hitam dengan merah menghasilkan anak yang memiliki ceker berwarna merah, sehingga diduga ceker berwarna merah dikendalikan oleh gen resesif. Hal ini mengakibatkan ceker burung merpati didominasi warna merah. Frekuensi warna ceker pada burung merpati lokal disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Frekuensi warna ceker pada burung merpati lokal 2 tabel 0.05 (1) Warna Ceker N Frekuensi Fenotip χ 2 hit χ Merah 710 (710.36) tn Hitam 1 (0.64) Keterangan: tn=tidak nyata Secara statistik frekuensi fenotip warna ceker tidak berbeda nyata, dengan demikian populasi dalam keadaan setimbang. Berarti tidak ada seleksi, migrasi maupun mutasi di dalam populasi. Hal ini sesuai dengan pewarisan bahwa warna ceker merah resesif dan frekuensinya tinggi di lapang. Peluang dan frekuensi perkawinan antar burung merpati yang berceker merah tinggi sehingga peluang anak berceker merah tinggi. Sebaliknya perkawinan antara burung merpati yang memiliki ceker merah kehitaman rendah sekali, selain itu perkawinan antar ceker merah kehitaman dengan merah kehitaman maupun dengan ceker merah jarang dilakukan akibatnya frekuensi ceker merah kehitaman rendah. Fenomena frekuensi ceker warna merah pada burung merpati dijelaskan Huntley (1999) bahwa gen dirty (dy) adalah dominan autosomal yang menghasilkan fenotipe (warna) gelap. Di sarang, squab muda yang membawa gen modifier ini dengan mudah dapat dikenali yaitu paruh, jari kaki, kaki, dan kulit

66 39 berwarna hitam. Meskipun benar bahwa blues memiliki paruh hitam dan kaki yang lebih gelap. Namun, ketika meninggalkan sarang, ceker mereka mulai berubah menjadi merah. Hal ini dikarenakan adanya senyawa yang larut dalam lemak termasuk karoten. Djelaskan pula bahwa squab atau merpati muda biasanya tidak memiliki cukup bahan tersebut yaitu karoten untuk mengubah warna ceker menjadi merah. Jenis squab biru atau tipe liar mengandung melanin berwarna hitam kecoklatan. Seperti pada burung dewasa, melanin akan berkurang dan mengubah warna ceker dari hitam menjadi merah. Warna Iris Mata Pada penelitian ini terdapat empat (4) fenotipe iris mata pada burung merpati lokal, yaitu coklat (bull eye), kuning (red and orange), putih (pearl eye) dan lip-lap (perpaduan antar dua warna pada kedua iris mata, yaitu iris mata sebelah kiri berwarna coklat dan iris mata sebelah kanan berwarna kuning, atau sebaliknya dan bisa juga perpaduan kuning-putih, coklat-putih). Hal ini berbeda dengan Cornell Lab of Ornithology (2007) bahwa merpati dewasa memiliki mata oranye atau kemerahan, remaja yang berumur kurang dari enam hingga delapan bulan memiliki mata coklat atau keabu-abuan. Adapun frekuensi warna iris mata pada burung merpati lokal disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Frekuensi iris mata burung merpati lokal Fenotipe N Frekuensi χ 2 hit 2 χ tabel(3;0.01) Coklat ( bull eye) 143 (177.8) ** Kuning (red and orange) 526 (177.8) 0.74 Putih (pearl eye) 28 (177.8) 0.04 Liplap 14 (177.8) 0.02 Keterangan:**= sangat nyata Warna iris mata kuning memiliki frekuensi terbanyak (74.12%), sedangkan warna iris mata liplap paling sedikit frekuensinya (1.47%). Iris mata liplap coklat-putih dan putih-kuning tidak ditemukan pada penelitian ini. Urutan frekuensi warna iris mata burung merpati lokal di lapang adalah warna iris mata kuning, coklat, putih dan lip lap. Bagi penggemar/penghobi burung merpati balap lebih menyukai warna iris mata kuning dibandingkan warna iris mata yang lain. Hasil analisa statistik frekuensi warna iris mata sangat berbeda nyata (P<0.01). Hal ini disebabkan warna iris mata kuning lebih banyak (dominan) di

67 40 antara warna iris mata yang lain. Di lapang penggemar melakukan perkawinan antara pasangan yang memiliki warna iris mata kuning sehingga peluang munculnya anak berwarna kuning lebih besar. Hasil persilangan keempat fenotipe warna iris mata yaitu coklat, kuning, putih dan lip lap beserta resiprokalnya dari 81 pasang burung merpati diperoleh anak berjumlah 174 ekor. Adapun hasil warna iris mata anak dari perkawinan resiprokal pada penelitian ini disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Frekuensi warna iris mata pada persilangan resiprokal burung merpati lokal Perkawinan Tetua Warna Iris Mata Anak (%) Anak (pasang) Coklat Kuning Putih LipLap (ekor) Kuning x kuning Coklat x coklat Kuning x coklat Coklat x kuning Lip lap x kuning Lip lap x coklat Lip lap x lip lap Putih x putih Putih x coklat Putih x kuning Coklat x putih Jumlah Uji χ 2 berbeda nyata; χ 2 hit= ; χ 2 tabel (0.01;10)=23.20 Hasil uji χ 2 warna iris mata pada anak berbeda sangat nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan berpengaruh terhadap frekuensi warna iris mata anak. Pewarisan warna iris mata dari tetua kepada anak tergantung pasangan iris mata tetua dan dominasi gen sehingga pemunculan warna iris mata tidak berimbang frekuensinya. Hal ini didukung oleh hasil pengamatan pada Tabel 9 bahwa warna iris mata kuning lebih besar frekuensinya, maka hasil resiprokal pada Tabel 10 frekuensi warna iris mata kuning juga lebih besar. Tetua yang memiliki warna iris mata kuning pada perkawinan kuningxkuning mewariskan kepada anak-anaknya iris mata coklat, kuning atau liplap. Kedua tetua yang memiliki iris mata berwarna coklat mewariskan warna iris mata coklat atau kuning pada anak-anaknya. Frekuensi pemunculan fenotipe iris mata putih

68 41 dan liplap rendah. Fenotipe iris mata berwarna putih diperoleh dari tetua putihxputih, putihxcoklat dan coklatxputih. Adapun fenotipe liplap pada anak muncul dari perkawinan tetua kuningxkuning, kuningxcoklat dan liplapxliplap (Tabel 10). Frekuensi fenotipe iris mata kuning paling tinggi yaitu 61.05% pada penelitian ini. Selanjutnya fenotipe iris mata coklat (31.98%), putih (5.81%) dan frekuensi liplap terendah yaitu 1.16%. Warna iris mata kuning memiliki derajat pigmentasi lebih tinggi. Levi (1945) menyatakan, jika sel dipenuhi dengan granul-granul kuning kecil menyebar pada permukaan membran iris dan sekitarnya bergaris-garis serabutserabut otot yang merah bebas pigment. Granul-granul pigmen adalah kuning. Adapun warna kuning memiliki derajat pigmentasi tertinggi yang merupakan warna iris mata sebenarnya. Warna iris mata berwarna kuning (orange dan red eye) memiliki sejumlah tingkatan warna dari merah terang sampai merah tua atau orange dan kuning. Granul-granul kuning disertai efek merah atau merah terang akibat banyaknya pembuluh darah kecil berwarna merah. Merah terang atau merah delima ini akibat tertutupnya pigment kuning oleh pembuluh darah merah. Kadang-kadang pembuluh darah ini membatasi bagian luar iris yang mengakibatkan merah di sekitar bagian luar dan orange atau kuning di pusat, kondisi ini umum pada Racing homer. Warna iris mata putih akibat sedikitnya pigmen atau derajat pigmentasi paling rendah pada iris mata. Sel iris dipenuhi dengan granul-granul yang mengakibatkan hilangnya warna dan mencegah lewatnya cahaya sehingga warna yang tampak atau terrefleksi adalah warna graywhite pada permukaan iris mata. Warna iris mata putih diwariskan resesif. Dari hasil penelitian ini dapat diidentifikasi bahwa warna iris mata dikendalikan oleh 3 gen yang merupakan alel ganda dengan dominasi coklat=kuning>putih, 1 pasang gen berpigmen>tak berpigmen dan 1 pasang gen yang mempengaruhi ekspresi penyebaran warna yaitu dilute (d) dan alel normal (D). Gen dilute berpengaruh pada fenotipe warna iris mata coklat, yaitu dengan hadirnya gen dilute dalam keadaan resesif (homosigot resesif) maka fenotip yang muncul adalah warna iris mata kuning walaupun gen yang dimiliki adalah warna iris mata coklat. Selanjutnya individu yang memiliki gen iris mata coklat, namun

69 42 gen dilute dalam keadaan homosigot dan ada gen tak berpigmen maka fenotip yang muncul adalah putih. Fenotipe dan genotipe warna iris mata pada burung merpati lokal disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Fenotipe dan genotipe warna iris mata burung merpati lokal Fenotipe Genotipe Keterangan Iris mata warna coklat (bull eye) A-bbC-D- coklat, berpigmen, normal Iris mata warna kuning (red and orange eye) A-bbC-dd aab-c-d- coklat, berpigmen, dilute kuning,berpigmen, normal Iris mata warna putih (pearl eye) A-B-ccD- walaupun ada gen coklat A-bbccD- namun tidak ada pigmen (cc) A-bbccdd aab-ccd- ada gen kuning, namun tidak aab-ccd- ada pigmen (cc) maka putih aabbccdd putih homosigot Iris mata warna lip lap A-B-C-D- Coklat, kuning, normal Penggemar burung merpati lebih menyukai warna iris mata kuning pada burung merpati peliharaannya. Hal ini berkaitan dengan performa, bahwa burung merpati yang memiliki warna iris mata kuning tampak lebih menarik (gagah) terutama untuk burung merpati jantan untuk lomba balap tinggi maupun balap datar. Berdasarkan hasil perkawinan resiprokal (Tabel 11) tersebut untuk mengembangkan burung merpati yang memiliki iris mata kuning dapat diperoleh dari perkawinan tetua kuningxkuning, kuningxcoklat, coklatxkuning, lip lapxkuning, lip lapxlip lap, putihxcoklat, putihxkuning. Pada penelitian ini warna iris mata kuning tidak muncul dari perkawinan tetua lip lapxcoklat dan putihxputih. Hal ini dapat dianalisis dari hasil perkawinan resiprokal tersebut bahwa terdapat 3 lokus yang mengendalikan warna iris mata yaitu 1 lokus terdiri dari 3 gen yang merupakan alel ganda dengan dominasi coklat=kuning>putih, 1 pasang gen yang ekspresinya berpigmen (C) dominant terhadap tidak berpigmen (c) dan 1 pasang gen yang mempengaruhi ekspresi penyebaran warna yaitu dilute

70 43 (d) dan alelnya normal (D). Gen dilute berpengaruh pada fenotipe warna iris mata merah dengan hadirnya gen dilute dalam keadaan resesif (homosigot resesif) maka fenotip yang muncul adalah kuning. Selanjutnya gen iris mata merah, gen dilute dalam keadaan homosigot tidak ada gen berwarna maka fenotip yang muncul adalah putih. Warna iris mata pada burung merpati tidak dapat diketahui saat piyik menetas dan waktu untuk dapat mendeteksi warna iris mata tersebut bervariasi, dengan keragaman yang tinggi yaitu % (Tabel 12). Olehkarenanya warna iris mata pada piyik burung merpati dapat diamati pada rataan dan kisaran umur seperti disajikan pada Tabel 12. Tabel 12 Umur anak burung merpati saat warna iris mata dapat diamati Warna Umur Anak Burung (hari) Iris Mata N Rataan Simpangan Kisaran KK (%) Coklat Kuning Putih Lip lap Keterangan: KK=koefisien keragaman Ekspresi warna iris mata coklat pada piyik dapat diamati paling cepat yaitu saat piyik berumur 44.3 hari, berikutnya lip lap dapat diamati pada saat piyik berumur 45.5 hari, karena lip lap adalah ekspresi gabungan coklat dengan warna iris mata yang lain, yaitu kuning atau putih. Warna iris mata kuning mulai dapat dibedakan dengan iris mata coklat mulai umur 57 hari dan paling lama pada umur 132 hari sehingga rataan pada penelitian ini untuk pengamatan warna iris mata kuning adalah saat piyik berumur 64.6 hari. Warna iris mata yang paling lama tampak adalah putih karena pada awal mirip coklat atau kuning, kemudian tampak keabu-abuan, kemudian putih kemerahan dengan putih sedikit di sekitar bola mata yang hitam yang berpeluang sebagai iris mata coklat atau kuning, selanjutnya jika putihnya bertambah luas maka baru dinyatakan warna iris mata tersebut adalah putih. Kisaran untuk mengidentifikasi iris mata piyik burung merpati berwarna putih yaitu saat piyik berumur 45 hingga 145 hari.

71 44 Pewarisan Sifat dan Frekuensi Gen Frekuensi gen dari sifat kualitatif yang diamati dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 13. Warna dasar bulu dikontrol oleh banyak pasang gen yang terdapat pada kromosom otosom dan satu pasang gen yang terdapat pada kromosom seks, sehingga dari perkawinan tetua megan dengan megan diperoleh anak gambir betina, hal ini seperti dikemukakan oleh (Noor 2008). Frekuensi pola bulu blantong, selap, telampik dan corak lebih sedikit dibandingkan dengan polos. Pola bulu burung merpati dipengaruhi oleh 4 pasang gen yaitu blantong, selap, telampik dan corak. Keempat alel yang mempengaruhi ekspresi pola bulu pada burung merpati tersebut terdapat pada kromosom otosom dan pada lokus yang berbeda. Tabel 13 Frekuensi gen pada burung merpati lokal Fenotipe Genotipe Gen Frekuensi Gen Pola Bulu Piebald (Blantong) pp p 0.31 Polos P- P 0.69 Hysterical (Selap) ss s 0.25 Polos S- S 0.75 Badge (Telampik) tt t 0.31 Polos T T 0.69 Grizzle G- G 0.29 Polos gg g 0.71 Ornamen Kepala Crest (Kucir) crcr cr 0.05 Fade (Polos) CR- CR 0.95 Warnma Shank (ceker) Hitam kemerahan rr r 0.03 Merah R- R 0.97 Shank (ceker) berbulu Tidak berbulu grgr Gr 0.84 Grouse (Berbulu) GR- GR 0.16 Warna Iris mata Bull eye (Coklat) A- A 0.40 Red and Orange eye (Kuning) B- B 0.40 Pearl eye (Putih) Aa/bb a/b 0.20 Dominasi pola bulu. Pola bulu blantong dan corak diwariskan resesif terhadap polos. Gen yang mempengaruhi pola bulu ini terdapat pada kromosom

72 45 Z. Adapun selap dan telampik diwariskan seks influenced, berarti terdapat pada kromosom otosom (kromosom Z) pula dan resesif terhadap polos. Dominasi gen yang mengekspresikan ornament bulu kepala berjambul (crest) adalah resesif terhadap tidak berjambul (fade). Frekuensi bulu jambul sebesar 0.05 dan bulu polos 0.95 pada penelitian ini. Frekuensi gen tidak jambul (fade) lebih tinggi dibandingkan frekuensi gen berjambul (crest). Hal ini mengakibatkan fenotipe tidak berjambul lebih tinggi di lapang, dan dalam keadaan homosigot atau heterosigot. Pemunculan tidak berjambul hanya membutuhkan satu gen karena pewarisan tidak berjambul adalah dominant autosomal yaitu pada kromozom A. Warna ceker merah diwariskan resesif terhadap hitam kemerahan. Di lapang frekuensi warna ceker merah mendekati 1. Hal ini dikarenakan adanya gen modifier yang menyebabkan ceker yang hitam berubah menjadi merah, sehingga piyik yang berceker hitam setelah dewasa warna cekernya berubah menjadi merah, seperti dikemukakan oleh Huntley (1999). Gen yang mempengaruhi ekspresi warna ceker terdapat pada kromosom otosom (komosom A), sehingga ekspresi pada kedua jenis kelamin sama. Frekuensi gen ceker berbulu lebih rendah dibandingkan ceker tidak berbulu. Di lapang penggemar burung merpati lokal lebih menyukai burung merpati yang cekernya tidak berbulu, adapun burung merpat yang memiliki ceker berbulu adalah nurung merpati hias. Ceker berbulu terdapat pada kromosom otosom (kromosom A) dan diwariskan dominat, namun frekuensi gen di lapang rendah, dan perkawinan dengan ceker berbulu jarang dilakukan sehingga fenotipe ceker tidak berbulu lebih banyak dibandingkan ceker yang berbulu. Frekuensi gen warna iris mata putih lebih rendah dibandingkan dengan warna iris mata kuning maupun warna coklat. Gen yang mempengaruhi ekspresi iris mata juga terdapat pada kromosom otosom. Heterosigositas Keragaman sifat kualitatif pada burung merpati lokal merupakan keanekaragaman genetik. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai hetersosigositas yang disajikan pada Tabel 14. Adanya keragaman sifat kualitatif dapat diseleksi

73 46 sesuai dengan manfaat burung merpati sebagai binatang kesayangan yaitu burung merpati hias. Tabel 14 Nilai heterosigositas (h) sifat kualitatif pada burung merpati lokal Sifat h ± SE(h) Warna dasar tubuh ± Warna dasar bulu sayap ± Pola bulu sayap ± Pola warna pelangi (barr) ± Ornamen kepala ± Warna ceker ± Shank tidak berbulu ± Warna iris mata ± H ± SE(H) ± Pada Tabel 14 bahwa warna shank, warna iris mata dan ornament kepala cenderung lebih seragam dibandingkan sifat kualitatif yang lain. Adapun warna bulu beragam berdasarkan nilai heterozigositas yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari nilai heterosigositas warna bulu lebih tinggi dibandingkan ornament kepala, warna ceker, dan warna iris mata. Adapun nilai heterosigositas masing-masing sifat kualitatif pada penelitian berkisar dari Warna ceker memiliki nilai heterosigositas terendah dibanding yang lainnya. Berarti warna iris mata mendekati keseragaman. Hal ini diduga sudah ada seleksi yang dilakukan oleh penggemar burung merpati yang lebih menyukai warna iris mata tertentu yaitu kuning. Heterosigositas rata-rata sebesar menunjukkan bahwa burung merpati lokal masih beragam. Seperti dikemukakan oleh Javanmard (2005) bahwa populasi dinyatakan beragam apabila hetersigositasnya lebih dari Berarti seleksi pada burung merpati lokal masih efektif dilakukan. Simpulan 1. Warna dasar burung merpat lokal hitam, megan, abu, coklat dan putih. Pola warna bulu sayap primer polos, telampik, selap. Warna iris mata

74 47 kuning, coklat, putih, dan liplap. Ornament bulu kepala tidak berjambul. Warna ceker merah. Ceker tidak berbulu. 2. Sifat kualitatif dalam keadaan tidak setimbang kecuali warna ceker dan ornament kepala dalam keadaan setimbang (equilibrium). 3. Sifat kualitatif pada burung merpati masih beragam dengan heterosigositas rata- rata sebesar Warna iris mata yang paling cepat dapat dilihat pada piyik burung merpati adalah warna iris mata coklat sedang warna iris mata putih paling lama. Warna iris mata dikontrol oleh empat pasang gen pada kromosom otosomal. 5. Gen pengontrol warna bulu terdapat pada tiga lokus yang terletak pada 2 kromosom otosom dan 1 kromosom seks. 6. Warna ceker dan ceker berbulu dikontrol gen yang terdapat pada kromosom otosom. Warna ceker seragam merah dengan adanya gen modifier. 7. Warna paruh berkaitan dengan warna kuku dan warna kulit.

75 49 PAKAN: PERTUMBUHAN PIYIK DENGAN PAKAN BERBEDA SERTA POLA MAKAN DAN KONSUMSI PAKAN PADA PEMELIHARAAN SECARA INTENSIF Pendahuluan Pakan dibutuhkan ternak untuk memenuhi kebutuhan untuk hidup pokok, produksi maupun reproduksi. Pada fase produksi burung merpati membutuhkan pakan untuk produksi telur dan saat meloloh induk membutuhkan pakan untuk pertumbuhan piyik selama masih diloloh dan belum dapat makan sendiri, dengan demikian induk membutuhkan pakan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok juga tambahan untuk dilolohkan kepada anak pada fase meloloh anak. Olehkarena itu pakan yang diberikan kepada burung merpati harus diperhatikan kandungan gizinya. Burung merpati menyukai pakan biji-bijian baik di alam terbuka maupun yang dipelihara di rumah-rumah. Pakan biji-bijian yang umum diberikan kepada burung merpati oleh peternak adalah jagung. Di sisi lain jagung untuk pakan burung merupakan produk pertanian yang ketersediaan dan harganya fluktuatif di pasaran. Selain itu pemberian pakan tunggal saja yaitu jagung kepada burung merpati tentunya kurang memenuhi kebutuhan nutrisinya, apalagi pada fase produksi. Beberapa peneliti mengemukakan pakan untuk burung merpati. Anggorodi (1995) menyatakan bahwa burung merpati mampu mengkonsumsi ransum sederhana, campurannya hanya terdiri dari butiran, beberapa grit berkualitas baik dan air minum bersih adalah yang dibutuhkan burung merpati. Drevjany (2001a) melaporkan, bahwa pakan burung merpati terdiri atas unsur ransum crumble atau campuran dari biji-bijian, campuran mineral, grit dan air minum. Alwazzan (2000) menyatakan, bahwa burung merpati sangat menyukai biji-bijian, antara lain jagung, kedelai, kacang tanah dan gandum. Komposisi pakan yang baik untuk burung merpati terdiri atas protein kasar 13.5%, karbohidrat 65%, serat kasar 3.5% dan lemak 3.0%. Selain itu burung merpati juga membutuhkan mineral, vitamin dan grit. Roof (2001) melaporkan bahwa studi merpati di bagian semi-pedesaan Kansas menemukan bahwa pakan burung merpati terdiri dari: jagung 92%, gandum 3.2%, 3.7% ceri, bersama dengan sejumlah kecil knotweed,

76 50 elm, poison ivy, dan barley. Adapun di daerah perkotaan merpati liar juga makan popcorn, kue, kacang, roti, dan kismis. Kebutuhan pakan merpati lokal belum banyak informasinya. Selain itu pakan yang tersedia di toko pakan dan diproduksi khusus untuk burung merpati belum ada. Namun pemberian pakan berkualitas sesuai dengan kebutuhan dalam pemeliharaan intensif harus diperhatikan agar produktivitasnya sesuai yang diharapkan. Adapun pemberian pakan komersial selain jagung kepada burung merpati selama fase produksi pada pemeliharaan intensif diharapkan dapat memenuhi kebutuhan nutrisi burung merpati. Pola konsumsi burung merpati dengan pemberian pakan komersial perlu diamati sehingga pemberian pakan komersial dapat meningkatkan produktivitas (pertumbuhan piyik). Selain itu pakan komersial dapat menggantikan biji-bijian. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pertumbuhan piyik dari induk yang diberi pakan berbeda. Selanjutnya mengamati pola makan dan konsumsi pakan burung merpati pada fase menjelang bertelur, fase mengeram dan meloloh pada pemeliharaan secara intensif. Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi peternak dan penggemar burung merpati tentang kebutuhan pakan burung merpati dengan pemberian pakan secara kafetaria pada pemeliharaan intensif. Serta pertumbuhan piyik dengan pemberian pakan biji-bijian (jagung) yang dapat digantikan oleh pakan komersial. Materi dan Metode Penelitian ini menggunakan burung merpati lokal dewasa (Columba livia) berumur sembilan bulan sebanyak 68 pasang. Setiap pasang burung merpati ditempatkan pada kandang individu dengan dinding kandang dan lantai terbuat dari kawat loket (1.2 x 1.2 cm) dengan ukuran 60 x 50 x 50 cm. Tempat pakan dan minum disediakan pada setiap kandang. Tempat pakan sebanyak dua buah yaitu satu wadah untuk jagung dan satu wadah untuk pakan komersial serta tempat minum satu buah. Pakan dan air minum diberikan ad libitum.

77 51 Perlakuan Pakan. Sebanyak empat macam pakan yaitu: 100% jagung (J); 50% jagung + 50% ransum komersial (JK); 50% jagung + 30% ransum komersial + 20% beras merah (JKM) dan 100% pakan komersial digunakan pada penelitian in(k). Setiap perlakuan diulang 15 kali. Setiap satu ulangan merupakan unit percobaan terdiri dari satu pasang burung merpati. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola searah (Steel dan Torrie 1995). Apabila hasil ANOVA nyata, maka dilakukan uji lanjut dengan uji Tukey, yaitu: Y ij = µ + t i + ε ij bahwa Y ij = pengamatan ke-j pada perlakuan ke-i, i=1,2,... t i ε ij = pengaruh perlakuan ke-i, i=1,2,...t = komponen acak Peubah yang diamati meliputi: Bobot telur diperoleh dengan menimbang telur dari setiap pasang merpati dalam satuan gram dengan timbangan sekaligus sebagai bobot telur tetas; Bobot tetas diperoleh dengan menimbang piyik yang baru menetas dengan timbangan dalam satuan gram. Kesulitan memperoleh bobot tetas karena berbeda dengan ayam yang tidak diloloh oleh induknya. Piyik merpati sesaat setelah menetas langsung diloloh oleh induknya walaupun bulunya belum kering. Untuk mengatasi kesulitan memperoleh bobot tetas yaitu dengan cara menimbang telur tetas yang retak (pada hari ke-18 pengeraman telur) sebelum menetas dikurangi bobot cangkang apabila bobot tetas yang sesungguhnya tidak diperoleh; Pertumbuhan piyik. Bobot badan dan pertambahan bobot badan per minggu dengan menimbang bobot badan dan untuk pertambahan bobot badan dengan mengurangkan bobot badan saat penimbangan dengan bobot penimbangan sebelumnya; Mortalitas anak adalah jumlah anak yang mati dari jumlah anak yang hidup dalam persen.

78 52 Pola Makan dan Konsumsi Pakan Setelah diperoleh pakan yang efisien untuk pertumbuhan piyik dilanjutkan dengan pengamatan pola pakan dan konsumsi pakan. Peubah yang diamati pada fase berbeda yaitu: menjelang bertelur, mengeram, dan meloloh piyik meliputi: 1) Konsumsi pakan per hari merupakan selisih antara pakan yang diberikan dengan sisa pakan dalam satuan gram; 2) Pola konsumsi pakan merupakan jumlah konsumsi dari masing-masing jenis pakan yang dicobakan dalam satuan gram pada fase mengeram, meloloh dan menjelang bertelur. Data yang diperoleh selama penelitian disajikan deskriptif. Analisis proporsi dari data konsumsi dengan menggunakan uji Z menurut Steel dan Torrie (1995), yaitu: Z = ( p1 p2) pq [( 1/ n 1 ) + (1/ n2)] p = xx1 + xx2 n 1 + n 2 p 1 = proporsi jagung ; p 2 = proporsi ransum komersial Hasil dan Pembahasan Pertumbuhan Piyik dengan Pakan Berbeda Penelitian ini mencobakan empat macam pakan dengan mengkombinasikan pakan biji-bijian (jagung) dengan ransum komersial. Hal ini untuk mengetahui pakan yang dapat diberikan kepada burung merpati oleh penggemar/peternak burung merpati yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi pakan dan efisien untuk produksi (petumbuhan piyik). Adapun grafik pertumbuhan piyik dengan perlakuan pemberian pakan berbeda tersebut seperti disajikan pada Gambar 9. Bobot Telur Bobot telur induk yang diberi pakan J dengan K sama, JK sama dengan JKM akan tetapi J, K berbeda dengan JK, JKM. Secara statistik bobot telur JK

79 Grafik 9 Pertumbuhan piyik dengan pakan berbeda 53

80 54 dan JKM sangat nyata berbeda (P< 0.01) dengan J dan K yaitu berat telur dari induk JK dan JKM lebih berat dibandingkan J dan K, disajikan pada Tabel 15. Keragaman bobot telur antara induk yang diberi pakan J sebesar 6.18%, JK sebesar 6.50%, K sebesar 5.60% dan JKM sebesar 7.48%. Keragaman berat telur rendah, walaupun berat telur antar perlakuan pakan berbeda sangat nyata pada penelitian ini. Hal ini karena pada proses pembentukan telur, pakan yang dikonsumsi induk menentukan ukuran telur yang diproduksi induk selain faktor lain yang berperanan terhadap produksi telur yaitu faktor genetik. Etches (1996) mengemukakan bahwa berat telur dipengaruhi oleh status nutrisi induk, bobot induk, umur induk, genetik dan cahaya. Pada penelitian ini induk burung merpati membutuhkan pakan yang mengandung protein kasar 15-16% karena pakan JK yang digunakan pada penelitian mengandung protein kasar 14.9% dan pakan D 15.8%. Pakan J mengandung protein kasar lebih rendah dari JK dan JKM sedangkan pakan K memiliki kandungan protein kasar lebih tinggi dari JK dan JKM, masing-masing yaitu J (12%) dan K (19.6%). Kandungan protein kasar dalam pakan berdasarkan hasil analisis di Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Bobot Tetas Bobot tetas piyik dari induk yang diberi pakan JK dan JKM berbeda sangat nyata (P<0.01) lebih berat dari J dan K. Hal ini berkaitan dengan bobot telur tetas. Bobot tetas yang berat dapat diperoleh dari telur tetas yang lebih berat. Keragaman bobot tetas piyik pada induk yang diberi pakan J sebesar 8.96%, JK sebesar 7.27%, K sebesar 7.85% dan JKM sebesar 6.98%. Keragaman bobot tetas rendah pada penelitian ini. Bobot Umur 1 Minggu Piyik memiliki berat berkisar g pada umur satu minggu pada penelitian ini. Berat piyik umur satu minggu sama pada semua induk yang diberi pakan J, JK, K maupun JKM. Piyik hingga umur satu minggu masih diloloh susu tembolok oleh induk dan belum banyak diloloh pakan padat. Hal ini yang mengakibatkan pertumbuhan piyik sama pada penelitian ini. Keragaman bobot badan berturut-turut adalah piyik yang diloloh pakan J (41.58%), pakan JKM

81 55 (22.24%), pakan K (18.68%) dan pakan JK (16.51%). Keragaman bobot badan piyik umur satu minggu besar pada penelitian ini. Piyik yang diloloh pakan JK memiliki keragaman rendah dibandingkan piyik yang diloloh pakan lain. Bobot Umur 2 Minggu Bobot piyik umur dua minggu berbeda sangat nyata (P<0.01) pada penelitian ini. Piyik yang diloloh induk dengan pakan JK memiliki berat badan paling tinggi dibandingkan piyik yang diloloh pakan J, K maupun JKM. Piyik yang diloloh pakan K dan JKM menghasilkan bobot badan sama, sedangkan piyik yang diloloh pakan J menghasilkan bobot badan paling rendah dibandingkan piyik JK, K maupun JKM, disajikan pada Tabel 15. Perbedaan bobot piyik pada umur dua minggu karena piyik sudah mulai diloloh pakan padat. Pertumbuhan piyik yang diloloh induk yang diberi perlakuan pakan J paling rendah. Hal ini diduga alat pencernaan piyik belum mampu mencerna pakan J (jagung yang diberikan kepada induk adalah jagung utuh bukan jagung pecah), sedang pakan yang dilolohkan induk kepada piyik tidak dicerna terlebih dahulu oleh induk, yaitu sesaat induk makan dan minum kemudian pakan dilolohkan kepada piyik. Cara induk burung merpati meloloh piyik yaitu induk memuntahkan (regurgitasi) campuran pakan dan air minum ke mulut piyik saat piyik memasukkan paruhnya ke dalam paruh induk. Bobot Umur 3 Minggu Piyik yang diloloh pakan A memiliki bobot badan paling rendah dan sangat berbeda nyata (P<0.01) dengan piyik yang diloloh pakan J, K dan KJM, disajikan pada Tabel 16. Bobot piyik yang diloloh pakan JK, K dan JKM sama dengan urutan sebagai berikut: berat piyik yang diloloh pakan JK ( g), pakan K ( g) dan pakan JKM ( g). Keragaman bobot piyik pada umur tiga minggu tinggi pada semua jenis pakan dengan urutan pada pakan JK (27.59%); pakan J (25.26%); pakan K (16.06%) dan pakan JKM (15.86%). Bobot piyik yang diloloh pakan JK lebih beragam dibandingkan berat piyik yang diloloh pakan J, K dan JKM.

82 Tabel 15 Berat telur dan pertumbuhan piyik dengan induk yang diberi pakan berbeda Pakan Peubah J JK K JKM Bobot Telur (g) 16.6 a ± 1.0 b 18.5 ± 1.2 a 17.4 ± ± 1.4 (n=19) (n=27) (n=38) (n=16) Bobot Tetas (g) 13.6 a ± 1.2 b 14.6 ± 1.1 a 13.6 ± ± 1.0 (n=16) (n=22) (n=19) (n=16) Bobot Umur 1 Minggu (g) ± ± ± ± 21.8 (n=11) (n=18) (n=19) (n=16) Bobot 2 Mg (g) a ± 38.2 c ± 38.3 b ± ± 26.7 (n=11) (n=17) (n=19) (n=16) Bobot 3 Mg (g) a ± 5.9 b ±78.0 b ± ± 38.9 (n=11) (n=17) (n=19) (n=16) Bobot 4 Mg (g) a ± 5.9 c ± 37.8 b ± ± 12.0 (n=11) (n=17) (n=19) (n=13) b b c ± 26.9 Bobot Sapih(g) a ± ± ± 21.7 (n=11) (n=16) (n=19) (n=9) Mortalitas (%) Keterangan: J (100% jagung); JK (50% jagung+50% pakan komersial); K(100% pakan komersial); JKM (50% pakan komersial+30% jagung +20% beras merah) Superskrip yang bwerbeda pada baris yang sama berarti berbeda nyata 56

83 56 Tabel 15 di landscape

84 57 Bobot Umur 4 Minggu Bobot piyik umur empat minggu yang diloloh pakan JK sama dengan JKM, sedangkan bobot piyik yang diloloh pakan J paling rendah dibandingkan piyik yang diloloh pakan JK, K dan JKM. Pada minggu keempat piyik sudah mulai belajar makan walaupun masih diloloh induk. Pertumbuhan piyik yang diberi pakan komersial lebih baik dibandingkan hanya diberikan jagung. Hal ini sesuai dengan kemampuan piyik mencerna pakan yaitu membutuhkan pakan yang lunak karena baru belajar makan sendiri. Bobot piyik yang dipelihara secara ekstensif pada hasil penelitian Tugiyanti dan Ismoyowati (2002) memiliki bobot g pada umur 30 hari. Bobot piyik ini lebih tinggi dibandingkan piyik yang diloloh jagung 100% dengan pemeliharaan intensif pada penelitian ini, namun lebih rendah apabila pakan yang dikonsumsi induk dan dilolohkan kepada piyik dicampur pakan komersial. Hal ini tampak pada berat piyik yang diloloh pakan JK dan JKM. Bobot Sapih Burung merpati disapih secara alami pada umur sekitar 35 hari. Bobot sapih piyik yang induknya diberi perlakuan pakan J (100% jagung) paling rendah dibandingkan piyik dari induk yang diberi perlakuan pakan JK, K dan JKM. Hal ini menunjukkan bahwa piyik membutuhkan pakan berkadar protein lebih tinggi daripada yang terdapat pada pakan J. Mortalitas Piyik Mortalitas piyik yang diloloh pakan JKM paling tinggi dibandingkan piyik yang diloloh pakan J, JK dan K. Mortalitas piyik yang diloloh pakan J sebesar 37.50%, pakan JK sebesar 27.27% dan K sebesar (0%). Bobot sapih piyik yang diloloh pakan JKM lebih tinggi dibandingkan piyik yang diloloh J, JK dan K namun mortalitas piyiknya lebih tinggi, maka secara ekonomis tidak menguntungkan. Pakan JK dapat diterapkan karena performa pertumbuhan piyik baik dan mortalitas lebih rendah. Secara ekonomis ketersedian pakan di pasar lebih mudah dan harganya lebih murah. Selain itu secara teknis pemberian kepada burung merpati lebih mudah dibandingkan pakan JKM karena hanya mencampurkan dua jenis bahan dengan perbandingan 1:1.

85 58 Pemilihan pakan JK tersebut dengan mempertimbangkan beberapa faktor seperti dinyatakan Iskandar (2009) pada penyediaan pakan unggas, yaitu penyediaan pakan ditentukan oleh beberapa faktor yakni: 1) jenis, jumlah dan komposisi umur unggas yang dipelihara yang akan menentukan kebutuhan gizi dan volume yang harus disediakan; 2) ketersediaan dan keberlangsungan bahan pakan lokal setempat dalam upaya menekan harga pakan; 3) formulator pakan yang setalu membuat formula pakan yang sesuai dengan perkembangan harga setempat. Dalam memahami aspek pakan, faktor efisiensi harga harus menjadi pertimbangan, karena sekitar 70% dari biaya pemeliharaan dialokasikan untuk memenuhi pakan Kandungan protein pakan J rendah sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan piyik untuk pertumbuhan optimal, sedangkan pakan K mengandung protein tinggi akan tetapi induk burung merpati tetap menyukai biji-bijian, sehingga sebaiknya pakan terdiri dari pakan komersial dan biji-bijian, seperti dikemukakan Janssens et al.(2000); Sales dan Janssens (2003) bahwa burung merpati menyukai pakan yang terdiri dari campuran biji-bijian. Pola Makan dan Konsumsi Pakan Konsumsi burung merpati selama mengeram, meloloh dan menjelang bertelur pada penelitian ini dengan pemberian pakan terdiri dari dua jenis yaitu jagung dan pakan komersial dapat menambah informasi manajemen pemberian pakan burung merpati.. Pola makan dari jenis pakan yang diberikan bermanfaat untuk pengelolaan budidaya burung merpati. Konsumsi kedua jenis pakan tersebut disajikan pada Tabel 16. Konsumsi jagung per minggu selama fase mengeram selama tiga minggu mengeram sama dengan pola konsumsi jagung pada minggu I=II=III. Konsumsi ransum komersial per minggu selama fase mengeram sama dengan pola konsumsi ransum komersial pada minggu I=II=III. Pada fase mengeram burung merpati mengkonsumsi jagung rata-rata 227 g/pasang/minggu dengan kisaran g/pasang/hari dan ransum komersial ratarata 162 g/pasang/minggu dengan kisaran g/pasang/hari. Kisaran kebutuhan pakan burung merpati selama mengeram adalah g/pasang/hari

86 59 terdiri dari campuran jagung dan ransum komersial, dan rataan konsumsi sepasang burung merpati pada fase mengeram sebanyak 56 g/pasang/hari. Konsumsi jagung dibandingkan ransum komersial yang dikonsumsi burung merpati nyata berbeda (P<0.05) selama tiga minggu pengeraman. Pada fase mengeram burung merpati lebih menyukai jagung dibandingkan ransum komersial. Rataan konsumsi jagung dibandingkan ransum komersial sebesar 60:40 pada fase mengeram. Tabel 16 Konsumsi pakan per pasang induk burung merpati per minggu Fase n (pasang) Jenis Pakan Konsumsi Pakan padaminggu Ke- (g) Tidak 18 Jagung Mengeram R.Komersial Uji Z tn ** ** * Jagung+R.Komersial Mengeram 51 Jagung R.Komersial Uji Z ** ** ** Jagung+R.Komersial Meloloh 29 Jagung Piyik R.Komersial Uji Z ** ** ** ** Jagung+R.Komersial Keterangan: tn=tidak nyata; *=berbeda nyata (P<0.05); **=berbeda sangat nyata (P<0.01); R=ransum Pada fase mengeram burung merpati beraktivitas paling sedikit dibandingkan fase menjelang bertelur dan fase produksi (meloloh). Hal ini menunjukkan bahwa pakan yang dikonsumsi burung merpati selama mengeram hanya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok saja. Konsumsi jagung per minggu pada fase tidak mengeram sama dengan pola konsumsi jagung minggu I=II=III=IV. Konsumsi ransum komersial minggu kedua nyata lebih sedikit dibandingkan minggu yang lain pada fase tidak mengeram. Pola konsumsi ransum komersial pada fase tidak mengeram adalah konsumsi minggu II<I=III=IV.

87 60 Jumlah pakan yang dibutuhkan sepasang burung merpati per minggu selama fase tidak mengeram sama kecuali pada minggu kedua. Pola konsumsi pakan dengan campuran jagung dan ransum komersial pada minggu II<I=III=IV Sepasang burung merpati mengkonsumsi jagung g/pasang/hari. dan ransum komersial g/pasang/hari pada fase tidak mengeram. Jumlah pakan tidak mengeram lebih banyak dibandingkan keperluan hidup pokok yang dibutuhkan burung merpati sebanyak g/pasang/hari terdiri dari campuran jagung dan ransum komersial. Pakan yang dikonsumsi pada fase tidak mengeram dibutuhkan untuk persiapan bertelur yaitu mulai dari giring (untuk jantan dan betina) dan reproduksi terutama betina untuk pematangan sel telur. Pada fase meloloh, konsumsi pakan induk burung merpati terus meningkat hingga minggu ke-iii meloloh, namun konsumsi ransum komersial turun terus, berarti kenaikan konsumsi pakan karena konsumsi jagung meningkat. Proporsi ransum komersial terhadap jagung paling tinggi pada minggu ke-i, hal ini disebabkan piyik memerlukan pakan yang lunak dan mengandung gizi tinggi yaitu pakan yang mengandung protein 15%. Selain milk crop yang dihasilkan oleh kelenjar pada tembolok induk, piyik juga diloloh pakan yang lunak oleh induk, sedangkan pakan yang keras seperti jagung baru dimulai dilolohkan kepada piyik oleh induk saat piyik berumur 6 hari pada penelitian ini. Mire dan Plate (2009) mengemukakan bahwa penghobi merpati memberikan pellet kepada burung merpati dengan kadar protein pakan 15% atau mengkombinasikan biji-bijian dengan pakan ayam petelur yang memiliki kandungan protein 16-17%. Konsumsi ransum komersial pada fase meloloh memiliki pola konsumsi minggu I=II<III=IV dan pola konsumsi jagung pada minggu I<II<III=IV. Proporsi konsumsi ransum komersial terhadap total konsumsi yaitu 42% dan konsumsi jagung sebanyak 58% dari total konsumsi. Induk burung merpati yang meloloh dua piyik selama minggu pertama mengkonsumsi jagung dan ransum komersial tidak sama banyak, secara statistik berbeda nyata (P<0.05). Burung merpati nyata lebih menyukai jagung dibandingkan ransum komersial. Sepasang burung merpati mengkonsumsi jagung g/pasang/hari. dan ransum komersial g/pasang/hari pada fase tidak mengeram. Konsumsi

88 61 pakan pada fase meloloh lebih tinggi dibandingkan saat mengeram dan tidak mengeram. Hal ini dikarenakan konsumsi induk untuk anak juga untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok induk yaitu sebanyak konsumsi saat mengeram olehkarenaya konsumsi pakan induk yang sedang meloloh berkisar g/pasang/hari. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi pakan per pasang burung merpati pada fase mengeram sebanyak 56 g/pasang/hari. Konsumsi pakan pada fase tidak mengeram 73 g/pasang/hari dan konsumsi pakan pada fase meloloh anak sebanyak 92 g/pasang/hari. Pada penelitian ini proporsi jagung dan ransum komersial pada fase mengeram, menjelang bertelur dan meloloh piyik adalah 60% jagung dan 40% ransum komersial. Pakan yang mengandung protein kasar 15% (hasil analisis) dan energi sebesar 3100 kkal/kg ransum (hasil perhitungan dengan merujuk Lesson dan Summers 2005) cukup memenuhi kebutuhan nutrisi burung merpati. Simpulan 1. Pertumbuhan piyik yang diloloh pakan 100% jagung paling rendah dibandingkan pakan yang lain; 2. Pertumbuhan piyik yang diberi pakan 50% jagung + 50% ransum komersial tinggi dan pakan tersebut efisien diaplikasikan di lapang. 3. Konsumsi pada saat mengeram adalah kebutuhan hidup pokok sebanyak g per pasang per hari. Konsumsi pada saat tidak mengeram (menjelang produksi) sebanyak g per pasang per hari. Konsumsi pakan saat meloloh adalah konsumsi untuk produksi sebanyak g per pasang per hari untuk meloloh dua piyik dengan kandungan protein kasar 15% dan energi 3100 kkal/kg ransum). 4. Burung merpati lebih menyukai biji-bijian (jagung) dan dapat diberikan kepada burung merpati dengan ratio jagung dan ransum komersial yaitu 60:40.

89 Variable Pakan J Pakan JK Pakan K Pakan JKM 250 Bobot Badan (g) Umur (Minggu) 5 6 Gambar 9 Pertumbuhan piyik dengan induk yang diberi pakan berbeda 53

90 63 PRODUKTIVITAS: PERFORMA BURUNG MERPATI LOKAL SERTA PERFORMA PIYIK BALAP DAN PEDAGING Pendahuluan Produktivitas burung merpati meliputi sifat produksi maupun reproduksi. Kedua sifat tersebut penting bagi pemuliaan ternak, karena peningkatan performa sifat produksi dan reproduksi merupakan salah satu upaya peningkatan mutu genetik suatu ternak Burung merpati bersifat monogami di alam. Burung merpati bertelur sebanyak 1-3 butir per periode, dengan rata-rata sebanyak dua butir per periode (Levi 1945). Tetua jantan dan betina mengerami telur secara bergantian dengan alokasi waktu pengeraman induk betina lebih lama dibandingkan jantan. Telur yang pertama menetas hari setelah dierami. Telur kedua menetas 48 jam kemudian (Blakely dan Bade 1989). Tetua betina akan mulai bertelur lagi setelah piyik berumur dua minggu, meskipun induk jantan dan betina masih meloloh atau memberi makan piyik. Tetua jantan meloloh anaknya lebih banyak dibandingkan tetua betina, sementara tetua betina bertelur kembali. Burung merpati lokal dapat dikonsumsi dagingnya seperti halnya unggas lain seperti ayam, puyuh, dan itik. Kendati di lapang burung merpati lokal umumnya dimanfaatkan untuk sport (balap), namun turunan burung merpati balap yang tidak terseleksi sebagai balap juga bisa sebagai penghasil daging. Seperti dikemukakan Fekete et al. (1999) bahwa burung merpati juga memiliki kegunaan sebagai penghasil daging. Performa pertumbuhan piyik burung merpati balap dan pedaging (Homer x King) diperlukan untuk mengkaji produktivitas burung merpati lokal sebagai balap maupun penghasil daging. Kajian potensi burung merpati lokal sebagai penghasil daging berkaitan dengan produk pangan asal burung merpati yang diminati konsumen dan bernilai ekonomis adalah daging piyik (squab). Tujuan penelitian ini mendapatkan produktivitas burung merpati lokal. Juga mencobakan burung merpati berpasangan lebih dari satu (poligami). Selain itu mengamati pertumbuhan piyik burung merpati balap dan pedaging untuk menggali potensi burung merpati lokal sebagai penghasil daging.

91 64 Metode Materi Burung merpati lokal yang digunakan sebanyak 62 pasang, burung balap datar 3 pasang; burung balap tinggi 15 pasang, dan 3 pasang burung ras pedaging (Homer x King). Setiap pasang burung merpati yang telah berjodoh dimasukkan ke dalam kandang individual. Persiapan Kandang Setiap unit kandang dilengkapi tempat pakan, tempat minum dan sangkar. Sangkar diberi alas litter. Sebelum pasangan merpati dimasukkan ke dalam kandang, maka kandang harus dibersihkan, dicuci kemudian dikapur. Kandang diberi nomor, sehingga penempatan pasangan merpati berdasarkan pengacakan nomor kandang. Penjodohan Merpati jantan dan betina ditempatkan pada suatu kurungan besar dan diberi kesempatan memilih jodohnya. Apabila jantan dan betina mulai berjodoh yang ditandai dengan saling meloloh dan betina mau dikawin oleh pasangan jantannya maka pasangan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam kandang individual sesuai dengan hasil pengacakan nomor kandang. Penjodohan burung merpati dapat dilakukan secara alami dan buatan. Burung merpati diberi kesempatan memilih sendiri pasangannya pada penjodohan alami. Hal ini dapat dilakukan dalam kandang koloni atau fly pen yaitu beberapa ekor burung merpati jantan dan betina dimasukkan ke dalam satu kandang koloni, burung merpati yang berjodoh dapat dilihat jika jantan berbunyi atau bekur (bahasa Jawa) sambil mengelilingi betina dan betina mengangguk-anggukan kepalanya saat jantan bekur, jantan mengikuti terus gerakan betina atau mengejar apabila betina terbang. Jantan meloloh betina atau bercumbu maka tingkah laku tersebut menunjukkan keduanya berjodoh. Selanjutnya pasangan burung merpati yang baru berjodoh tersebut dimasukkan ke dalam kandang individu. Penjodohan burung merpati secara buatan dilakukan dengan cara (1) betina dimasukkan ke dalam kandang individu kemudian jantan yang akan dijodohkan dimasukkan ke dalam kandang individu yang berisi betina calon pasangannya.

92 65 Apabila jantan berbunyi (bekur) dan betina mau menerima jantan, dilanjutkan jantan mengikuti atau mengejar betina kemana pergi kemudian keduanya bercumbu yaitu jantan meloloh betina berarti keduanya berjodoh. (2) calon jantan dan betina yang akan dipasangkan masing-masing dimasukkan ke dalam kandang individual yang berdampingan dan bersekat sehingga keduanya bisa saling melihat, jika keduanya berkontak maka dicoba dibuka sekatnya, jika keduanya berjodoh maka jantan bekur dan betina menari-nari sambil menganggukkan kepala kemudian saling meloloh maka keduanya berjodoh. (3) calon burung merpati yang akan dijodohkan disekap dalam ruangan gelap dan saat dikeluarkan dari ruangan gelap hanya mereka berdua tidak ada burung yang lain, kalau keduanya berjodoh ditandai dengan tingkah laku berjodoh seperti pada penjodohan alami. Perkawinan Setelah masa giring berakhir dan jantan telah diberi kesempatan kawin dengan pasangannya, dan setelah pasangan betinanya bertelur, maka pasangan tersebut akan mengerami telurnya secara bergantian hingga telur menetas. Setelah piyik menetas, dilanjutkan periode meloloh piyik hingga piyik disapih. Selama ini merpati dikenal monogami dan setiap periode penetasan anak merpati yang diperoleh rata-rata dua ekor. Hal ini menyebabkan produktivitas sepasang merpati per tahun ekor anak. Upaya meningkatkan produktivitas merpati dengan poligami pada penelitian ini yaitu seekor pejantan berpasangan dengan lebih satu betina. Untuk penjodohan poligami ini jantan dan betina yang telah siap berjodoh dipelihara dalam koloni besar sehingga pejantan dan betina mempunyai kesempatan memilih jodoh. Pasangan yang telah berjodoh yaitu menunjukkan tingkah laku bercumbu dan betina tidak menghindar jika didekati pejantan yang akan menjadi pasangannya, kemudian dimasukkan ke dalam kandang individual. Selain dalam kandang individual yaitu satu jantan dengan betina lebih dari satu, pengamatan poligami dengan cara menggilir jantan ke pasangan betina, sedangkan betina-betina pasangannya berada pada kandang individual terpisah. Jantan dimasukkan ke dalam kandang betina secara bergiliran.

93 66 Pakan dan Air Minum Pakan dan air minum diberikan ad libitum dua kali sehari pada pagi dan sore hari. Jenis pakan ada dua macam yaitu biji jagung bulat, dan ransum komersial ayam ras pedaging fase finisher berbentuk crumble. Penetasan Merpati mengerami telurnya secara bergantian dengan pasangannya selama 18 hari. Sebelum merpati bertelur terlebih dahulu disiapkan sarang di dalam kandang sehingga merpati nyaman meletakkan telurnya selama pengeraman hingga anak menetas. Setelah telur menetas keduanya meloloh anak secara bergantian hingga anak menjelang disapih. Pemeliharaan Induk dan Anak Induk burung merpati dipelihara secara intensif. Setiap pasang ditempatkan pada kandang individual berukuran 50x50x60 cm. Induk merpati bertelur, mengeram dan mengasuh anak hingga anak disapih pada kandang individual. Pemeliharaan anak merpati sejak menetas bersama induknya hingga disapih pada umur lima minggu. Setelah disapih anak burung merpati dipisahkan dari induknya dan dipelihara secara semi intensif hingga remaja dan siap berjodoh. Selanjutnya burung merpati remaja dimasukkan ke dalam kandang individual bila sudah memiliki pasangan. Peubah yang diamati: 1) Persentase pasangan poligami yang diperoleh, umur berjodoh (hari), persentase pasangan yang mengeram; 2) Bobot telur diperoleh dengan menimbang telur dari setiap pasang merpati sekaligus sebagai bobot telur tetas dalam satuan gram dengan timbangan, juga diukur indeks telur (lebar/panjang). Bobot badan induk ditimbang saat bertelur pertama; 3) Bobot badan induk ditimbang setiap periode bertelur dalam satuan gram; 4) Jumlah anak per penetasan diperoleh dari jumlah telur yang menetas dari sejumlah telur yang dierami dalam persentase; 5) Bobot tetas diperoleh dengan menimbang piyik yang baru menetas dengan timbangan dalam satuan gram. Kesulitan memperoleh bobot tetas karena

94 67 berbeda dengan ayam yang tidak diloloh oleh induknya. Piyik merpati sesaat setelah menetas langsung diloloh oleh induknya walaupun bulunya belum kering. Untuk mengatasi kesulitan memperoleh bobot tetas yaitu dengan cara menimbang telur tetas yang mulai retak (pipping) yaitu sebelum piyik menetas dikurangi bobot cangkang apabila bobot tetas yang sesungguhnya tidak diperoleh; 6) Mortalitas anak adalah jumlah anak yang mati dari jumlah anak yang hidup dalam satuan persen; 7) Selang bertelur adalah jarak bertelur pertama dengan bertelur berikutnya dalam satuan hari; 8) Pertumbuhan piyik. Bobot badan dan pertambahan bobot badan per hari dengan menimbang bobot badan dan untuk pertambahan bobot badan dengan mengurangkan bobot badan saat penimbangan dengan bobot penimbangan sebelumnya. Pemeliharaan Burung Balap dan Pedaging (HomerxKing) Setiap pasangan induk merpati balap datar, balap tinggi dan pedaging dikandangkan pada kandang individu yang dilengkapi tempat pakan, tempat minum, dan sarang. Pakan dan air minum terdiri dari campuran jagung dan ransum komersial. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Induk bersama piyiknya dipelihara pada kandang individual yang sama hingga piyiknya berumur 28 hari. Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan untuk percobaan pertumbuhan ketiga jenis burung yaitu burung balap datar, balap tinggi, dan pedaging adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah. Menurut Steel dan Torrie (1995) RAL pola searah adalah: Y ij = µ + t i + ε ij bahwa Y ij = pengamatan ke-j pada perlakuan ke-i, i=1,2,... t i = pengaruh perlakan ke-i, i=1,2,...t ε ij = komponen acak

95 68 Peubah yang Diukur Pertumbuhan piyik. Piyik yang menetas dari setiap pasang induk ditimbang dari sesaat menetas sebagai bobot tetas. Selanjutnya untuk pengamatan pertumbuhan piyik, maka setiap piyik ditimbang setiap minggu yaitu pada umur 7, 14, 21, dan 28 hari Pemotongan Piyik Pemotongan piyik merpati lokal dilakukan dengan memotong vena karotis, saluran pernafasan dan saluran pencernaan makanan. Setelah dipotong dan darah ditiriskan hingga darah keluar sampai tuntas, kemudian dibului, dikeluarkan jeroannya yaitu hati, jantung, ampela, ginjal dan usus sehingga diperoleh karkas piyik. Pemotongan piyik dilakukan pada umur 21, 23, dan 25 hari. Adapun peubah yang diukur meliputi bobot potong, bobot karkas, dan bobot bagian dada. Peubah yang diukur, meliputi: Bobot potong, piyik ditimbang sesaat akan dipotong dengan timbangan dengan satuan gram; Bobot karkas, setelah piyik dipotong, dibului dan dikeluarkan jeroaannya kemudian ditimbang untuk mendapatkan data bobot karkas dengan satuan gram. Bobot bagian dada, potongan komersial bagian dada dipisahkan dari bagia karkas yang lain dan ditimbang untuk meperoleh data persentase bagian dada terhadap bobot karkas, yaitu: berat bagian dada dibagi berat karkas dikalikan 100% Rancangan Acak Lengkap Pola Faktoial 2 x 3 terdiri dari faktor pertama adalah jenis kelamin, dan faktor kedua adalah umur pemotongan (21, 23, dan 25 hari). Model matematika yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1995) yaitu: Yijk =µ+ α i +β j +(αβ) ij + ε ijk µ = rata-rata umum α i = jenis kelamin β j = umur pemotongan (αβ) ij = interaksi jenis kelamin dan umur pemotongan ε ijk = pengaruh acak yang menyebar normal

96 69 Apabila hasil analisis nyata, maka dilanjutkan dengan uji Tukey menurut Steel dan Torrie, bahwa : W = q α (P, fe) Syy Keterangan : q α = selang kepercayaan P = jumlah perlakuan Fe = derajat bebeas galat Syy = galat baku perlakuan Hasil dan Pembahasan Produktivitas Burung Merpati Lokal Produktivitas burung merpati lokal yang diamati meliputi sifat produksi maupun reproduksi. Poligami Di alam burung merpati selalu berpasangan (monogami). Pada penelitian ini dicobakan menjodohkan burung merpati jantan dengan lebih satu betina sebagai pasangannya (poligami). Dari 62 pasangan burung merpati yang digunakan maka pasangan poligami dengan penjodohan paksa ini ada sebanyak 10 pasang (16%) atau 10 jantan burung merpati memiliki jodoh lebih dari satu betina. Setiap pasangan poligami tersebut terdiri dari satu jantan dengan dua betina dikandangkan dalam kandang koloni yang dilengkapi dengan dua sarang. Betina pasangan poligami bertelur normal dengan jumlah telur sebanyak dua butir. Kesulitan timbul pada masa pengeraman. Pasangan yang periode bertelurnya berbeda, betina yang belum bertelur mengganggu sarang betina yang bertelur sehingga telur tidak menetas (50%). Kedua betina bertelur tetapi jantan tidak ikut mengerami telur maka betinanya turut tidak mengerami telurnya akibatnya telur tidak menetas (20%). Adapun pasangan poligami lainnya kedua betina bertelur dan masing-masing mengerami telurnya walaupun tidak ada pejantan dan tidak bergantian mengerami telurnya. Namun, setelah telur menetas sewaktu masih piyik mati. Olehkarenanya produktivitas poligami rendah. Umur Berjodoh Lama waktu penjodohan bervariasi dengan kisaran 1 jam hingga lebih dari satu bulan pada penjodohan alami maupun buatan. Hal ini disebabkan ada burung

97 70 merpati yang sulit dijodohkan karena faktor kesukaan pada warna bulu tertentu untuk calon pasangannya, salah satu ada yang lebih dominant (galak) sehingga calon pasangannya takut, walaupun pada penjodohan diharapkan ada yang agresif namun tidak galak. Burung merpati remaja jantan mulai mencari pasangan pada umur hari dengan rataan 126 hari dan koefisien keragaman 25.87% (n=6). Adapun burung merpati remaja betina mulai mencari pasangan pada umur hari dengan rataan 85.4 hari dan koefisien keragaman 40.8% (n=12). Hasil uji t umur berjodoh, burung merpati jantan nyata lebih lama (P 0.05) dibandingkan betina. Selanjutnya umur berjodoh burung merpati betina lebih beragam dibandingkan dengan burung merpati jantan. Penjodohan burung merpati mudah jika (1) salah satu pasangannya sudah pernah berjodoh atau beranak. Jantan muda dipasangkan dengan betina yang sudah pernah beranak, sebaliknya betina yang masih muda/dara dipasangkan dengan jantan dewasa yang sudah beranak lebih mudah penanganan penjodohannya dibandingkan keduanya pasangan muda/dara. (2) jantan agresif dan tidak galak (perayu) sedang betinanya centil (dalam bahasa Jawa lenjeh) sehingga sewaktu jantan bekur dan betina menari-nari sambil menganggukanggukkan kepalanya seiring dengan bekur jantan berarti keduanya berjodoh. Parentsnvolved.org (2011) menyatakan bahwa perilaku merpati berjodoh meliputi: bowing, tail-dragging, driving,billing, mating, display flight (Gambar 10). Bowing. Merpati jantan memekarkan bulu ekor, menundukkan kepala dan membuat gerakan di bagian leher sehingga bulu leher berdiri serta berjalan mengitari betinanya tail-dragging. Merpati jantan memekarkan bulu ekor, menegakkan punggungnya sehingga ujung bulu ekornya dalam keadaan mengembang menyentuh tanah.

98 71 Driving. Merpati jantan berjalan dekat di belakang (mengikuti) gerakan betinanya sambil bergerak menjauh dari merpati jantan yang lain. Billing. Merpati betina menempatkan paruh di dalam paruh merpati jantan. Kemudian kedua burung tersebut bergerak bersama dalam irama, kepala mereka berayun-ayun naik turun seperti gerakan meloloh. Billing ini dilakukan sebelum kawin. Mating. Merpati betina membungkuk dan merpati jantan naik di atas tubuhnya (punggungnya). Merpati jantan mengepakkan sayap untuk menjaga keseimbangan. Merpati jantan akan tetap pada kondisi di atas tubuh betinanya selama beberapa detik. Display flight. Setelah kawin merpati.jantan mengembangkan sayapnya dan mengepak-kepakkan sayapnya yang bersuara seolah suara tepuk tangan Gambar 10 Tingkah laku burung merpati berjodoh Sumber: Parentsnvolved.org (2011) Sifat Mengeram Burung merpati mengerami sendiri telurnya secara bergantian antara induk jantan dan betinanya. Jantan mengerami telur pada pagi sekitar pukul 10 hingga sore hari sekitar pukul 15 kemudian digantikan oleh induk betina hingga keesokan harinya saat waktu jantan mengeram. Sifat mengeram ini merupakan salah satu upaya melestarikan keturunan (Iskandar 2009). Pada penelitian ini terdapat 12 pasang (17.6%) yang tidak mau mengeram. Burung merpati yang mau mengeram sebanyak 82.4% (Tabel 17). Keragaman

99 72 sifat mengeram ini diduga karena faktor genetik dan belum ada seleksi untuk sifat mengeram. Induk yang memiliki sifat mengeram yang baik cenderung memiliki sifat keindukan yang baik pula. Selain itu pada penelitan ini terdapat beberapa faktor yang menyebabkan burung merpati tidak mau mengeram walaupun bertelur yaitu burung merpati tidak menyukai sarang yang disediakan. Hal ini disebabkan burung tersebut sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan baru atau daya adaptasinya lama; sifat keindukannya kurang, sudah berahi kembali sebelum telur menetas. Pada penelitian ini juga dapat diamati bahwa ada induk burung merpati yang mampu mengerami sendiri tanpa bergantian dengan jantan hingga piyik menetas. Ada tiga ekor betina yang mampu mengerami sendiri telurnya hingga anaknya menetas bahkan mampu meloloh anak sendiri. Tabel 17 Produktivitas induk burung merpati lokal Sifat Rataan±sb Kisaran K.K. (%) Sifat keindukan (%) 82.4 Bobot telur (g) 17.7± Produksi telur (%) 1.8± Fertilitas (%) 92.5 Daya tetas (%) 77.0 Bobot tetas (g) 14.0± Kematian embrio (%) 23.0 Waktu kosong (hari) Dengan mengeram & meloloh 51± Dengan mengeram 32± Tanpa mengeram 13± Keterangan: KK=koefisien keragaman; sb=simpangan baku Produksi Telur Burung merpati normalnya bertelur dua butir per periode bertelur. Pada penelitian ini kisaran produksi telur per pasang burung merpati adalah 1-3 butir, disebabkan terdapat 3 induk bertelur 1 butir dan 1 induk bertelur 3 butir per

100 73 periode bertelur. Secara genetik induk burung merpati yang bertelur satu butir tidak dijadikan tetua. Kemampuan produksi telur dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan, dengan demikian faktor lingkungan seperti pakan, jenis sarang.yaitu kemampuan unggas untuk menyesuaikan diri dengan mempengaruhi produksi.lingkungannya. Bobot Telur dan Indeks Telur Bobot telur menunjukkan kecenderungan bahwa berat telur pada periode 1<2=3<4=5=6 (P<0.05, t test). Berat telur per periode pada penelitian ini disajikan pada Tabel 18. Bobot telur meningkat hingga periode keempat dengan perubahan nyata pada periode 1-2 dan 3-4 dan selanjutnya bobot telur tidak mengalami peningkatan lagi. Berat telur pertama beragam (koefisien keragaman 11.08%). Pada periode berikutnya keragaman bobot telur menurun dan lebih seragam dibandingkan periode pertama. Tabel 18 Rataan, simpangan baku, kisaran dan koefisien keragaman bobot telur per periode Periode n Rataan±sb (g) Kisaran (g) K.K(%) ± ± ± ± ± ± Keterangan:K.K.= koefisien keragaman Bobot telur berkisar g dengan rataan 17.7±1.6 g dan koefisien keragaman 9% pada penelitian ini. Ensminger (1992) menyatakan bahwa berat telur unggas dipengaruhi oleh bangsa, berat badan dan umur dewasa kelamin. Jumlah telur yang dihasilkan per tahun, urutan telur dalam clutch, tingkat protein dalam ransum, pakan dan air minum, suhu lingkungan, tipe kandang dan penyakit.

101 74 Bobot telur kesatu dan kedua pada setiap periode tidak berbeda nyata (P<0.05, t test). Bobot telur tidak dipengaruhi oleh urutan peneluran. Hal ini disajikan pada Tabel 19. Noor (2000) dan Etches (1996) menyatakan nilai heritabilitas bobot telur menurut kedua penulis masing-masing 0.6 dan Berat telur mempunyai heritabilitas tinggi. Berarti seleksi individu yaitu memilih tetua betina dan jantan yang memiliki telur besar adalah efektif untuk meningkatkan besar telur burung merpati. Tabel 19 Bobot telur kesatu dan kedua per periode Telur ke- n (butir) Rataan±sb (g) KK (%) Satu ± Kedua ± Keterangan : KK = koef. keragaman; sb=simpangan baku Bentuk telur burung merpati bulat telur dengan indeks telur sebesar 75.7±1.6% dan koefisien keragaman 7.5%. Pada penelitian ini bentuk telur burung merpati mendekati seragam. Adapun warna kerabang telur burung merpati seragam yaitu putih dengan rataan tebal kerabang mm pada penelitian ini. Umur Bertelur Pertama Rataan umur burung merpati saat bertelur pertama 221±31 hari (n=14) pada penelitian ini. Adapun kisaran umur bertelur pertama adalah hari. Umur bertelur pertama lebih lama dibandingkan yang dilaporkan Jalal et al. (2011) maupun Khargharia et al. (2003) bahwa umur dewasa kelamin burung merpati berkisar hari dan ±0.46 hari. Keragaman umur bertelur pertama tinggi pada penelitian ini yaitu 32.4 %. Berarti seleksi induk yang masak dini atau bertelur pertama cepat dapat memperpendek selang generasi. Bobot Badan Induk Bobot badan induk burung merpati lokal saat bertelur pada penelitian ini disajikan pada Tabel 20. Bobot badan burung merpati lokal berkisar g. Keragaman bobot badan induk tamapk pada saat bertelur pertama, namun pada periode berikutnya keragaman bobot badan rendah. Namun demikian bobot

102 75 Tabel 20. Bobot badan induk burung merpati lokal saat bertelur Periode Bertelur n (ekor) Rataan±sb (g) Kisaran (g) KK (%) ± ± ± Keterangan:KK=koefisien keragaman; sb=simpangan baku badan merpati pada penelitian ini lebih rendah dari peneliti Mignon-Grateau et al. (2000) bahwa berat badan bervariasi dari 556,7 g sampai 647,6 g. Perbedaan bobot badan ini diduga karena faktor genetik dan lingkungan. Bobot badan induk burung merpati pada saat bertelur pertama sudah mencapai dewasa tubuh. Hal ini tampak dari hasil t test yaitu bobot badan saat bertelur 1, 2 maupun 3 tidak berbeda. Adapun keragaman bobot induk semakin menurun dengan bertambahnya umur. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 20 bahwa koefisien keragaman bobot badan saat bertelur pertama sebesar 12.21% menjadi 6.93% saat bertelur ketiga. Fertilitas dan Daya Tetas Fertilitas dan daya tetas telur burung merpati pada penelitian ini masingmasing sebesar 92.4% dan 77%. Berarti telur yang tidak fertil atau tidak dibuahi sebesar 7.6%. Namun tidak semua telur fertil menetas menjadi piyik. Telur yang menetas sebanyak 77%. Hal ini menunjukkan bahwa selama pengeraman terjadi kematian embrio sebesar 23% dari telur yang fertil. Fertilitas burung merpati tidak berbeda dengan burung puyuh, seperti Petek et al. (2004) yang melaporkan hasil penelitiannya bahwa fertilitas puyuh berkisar %. Namun daya tetas lebih rendah dibandingkan dengan Khargharia et al. (2003) yang melaporkan daya tetas berkisar % pada merpati yang dipelihara dengan sistem tradisional, juga lebih rendah dari Jalal et al. (2011) bahwa fertilitas dan daya tetas burung merpati masing-masing 90% dan 85%. Daya tetas dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu: suhu, kelembaban dalam telur menetas waktu inkubasi. Selain itu kemampuan tubuh per pasang induk mengerami telur beragam. Hal ini mengakibatkan keragaman jumlah telur fertil yang menetas pada induk-induk burung merpati pada penelitian ini yaitu berkisar

103 butir (kisaran daya tetas per pasang merpati 0-100%). Selain itu Deeming dan Wadland (2001); Deeming dan Wadland (2002) menyatakan bahwa rasio jenis kelamin induk tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas embrio. Bobot Tetas Bobot tetas piyik burung merpati pada penelitian ini berkisar g. Penyusutan telur tetas selama pengeraman sebesar 6%. Barth (1953) menyatakan bahwa penyusutan telur selama pengeraman hingga telur menetas sebesar 21.8% dengan kisaran % pada telur Common Gull (Larus canus) yang dipelihara sepanjang barat daya pantai Norway. Hal ini menunjukkan bahwa embrio membutuhkan nutrisi selama pengeraman yang diperoleh dari telur dan dimanfaatkan untuk perkembangan organ tubuh piyik hingga menetas. Ibrahim and Sani (2010) menyatakan bahwa berat telur rata-rata dan bobot anak merpati menetas masing-masing adalah ± 0.11 g dan ± 0.08 g. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada berat telur dan berat tetas piyik merpati antar periode pngeraman. Kedua sifat tersebut berkorelasi tinggi (r = 0.932). Penelitian ini telah menunjukkan bahwa berat badan piyik pada penetasan sebagian besar ditentukan oleh berat telur (R 2 = 86.9%) dan dapat diprediksi dengan menggunakan kedua peubah tersebut dengan tingkat presisi yang tinggi. Waktu Kosong Waktu kosong induk burung merpati adalah selang waktu antara saat bertelur pada periode tersebut dengan periode bertelur berikutnya setelah mengeram adalah 34.1 hari dan lama kosong induk burung merpati tanpa megerami telur setelah bertelur dengan periode berikutnya adalah 17.6 hari. Induk mengerami telur selama 18 hari kemudian dilanjutkan meloloh piyiknya dan siap bertelur kembali saat piyik yang dilolohnya berumur dua minggu dan masih tetap meloloh piyiknya hingga piyik tersebut mulai disapih pada umur empat minggu, sehingga waktu kosong bagi induk yang mengeram dan meloloh sendiri anaknya 51 hari pada penelitian ini. Adapun hasil penelitian Khargharia et al. (2003) bahwa waktu kosong atau interval clutch burung merpati pada pemeliharaan tradisional adalah 47.44±0.11 hari.

104 77 Pada penelitian ini terdapat 12 pasang (17.6%) yang tidak mau mengeram. Burung merpati yang mau mengeram sebanyak 82.4%. Keragaman sifat mengeram ini diduga karena faktor genetik dan belum ada seleksi untuk sifat mengeram (sifat keindukan) yang baik. Selain itu pada penelitan ini terdapat beberapa faktor yang menyebabkan burung merpati tidak mau mengeram walaupun bertelur yaitu burung merpati tidak menyukai sarang yang disediakan, hal ini disebabkan burung tersebut sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan baru atau daya adaptasinya lama; sifat keindukannya kurang, sudah berahi kembali sebelum telur menetas. Pertumbuhan Piyik Burung Merpati Lokal Pertumbuhan piyik burung merpati mulai dari baru menetas (0 hari) hingga disapih induknya pada umur 35 hari pada penelitian ini disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Bobot badan, koefisien keragaman bobot badan dan laju pertumbuhan piyik * Bobot Badan (g/ekor) Koefisien Laju Minggu Keragaman Pertumbuhan Rataan ±sb Kisaran (%) (%) 0 (tetas) 14.02± I I ± I-II II ± II-III III ± III-IV IV ± IV-V 2.87 V ± Ket: *) sesuai formula Bokhari, 2002, yaitu [(W 2 -W 1 )/0.5(W 1 +W 2 )]x100%, W=bobot badan pada pengukuran ke- Piyik tumbuh cepat pada minggu I-III, dengan laju pertumbuhan mengikuti deret hitung negatif, yaitu menurun dengan bertambahnya umur piyik hingga disapih umur 35 hari. Laju pertumbuhan terus turun dan negatif pada minggu kelima.

105 78 Seleksi bobot potong sebaiknya pada minggu keempat. Pada saat itu laju pertumbuhan rendah dan bobot badan paling tinggi, karena bobot badan umur lima minggu turun dan lebih rendah dari bobot badan umur empat minggu. Berdasarkan hasil penelitian ini maka kurva pertumbuhan piyik merpati hingga disapih umur 35hari berbentuk kuadratik dengan persamaan Y= t- 13.3t 2, yaitu Y=bobot badan dan t adalah waktu (umur). Pada Gambar 11 tampak bahwa laju pertumbuhan paling cepat sampai piyik berumur 14 hari dan setelah umur 28 hari laju pertumbuhan menurun (negatif). Sebagai piyik potong maka seleksi sebaiknya dilakukan pada umur hari, dengan demikian piyik yang tidak termasuk kriteria yang akan dipertahankan dapat dikeluarkan (dipotong) pada umur tersebut yaitu umur hari sebelum piyik disapih umur 35 hari Bobot badan (g) Nol Kesatu Kedua Ketiga Keempat Kelima Umur pada minggu ke- Gambar 11 Kurva pertumbuhan piyik lokal Konversi Pakan Konversi pakan piyik tinggi. Hal ini disebabkan piyik belum bisa makan sendiri dan masih diloloh induk sehingga pada fase pertumbuhan piyik maka konsumsi pakan piyik diduga sebanyak konsumsi pakan induk yang sedang meloloh piyik dikurangi untuk kebutuhan hidup pokok induk dibagi dengan

106 79 pertambahan bobot badan piyik untuk untuk memperoleh nilai konversi pakan piyik. Konversi pakan piyik hingga disapih disajikan pada Tabel 22. Tabel 22 Konversi pakan piyik Minggu ke- Konversi Ransum Konversi ransum meningkat terus hingga piyik berumur empat minggu. Hal ini menunjukkan bahwa efisiensi pakan menurun, ditandai dengan laju pertumbuhan yang menurun pada minggu tersebut. Karkas Bobot karkas piyik burung merpati lokal beserta bagian dada yang diperoleh dari 22 persentasenya terhadap berat karkas pada penelitian ini disajikan pada Tabel 23. Adapun umur pemotongan piyik pada penelitian adalah 21, 23, dan 25 hari. Pemotongan piyik dilakukan pada umur hari karena laju pertumbuhan piyik positip hingga minggu ke-3 dan selanjutnya negatif pada penelitian ini. Olehkarenaya saat yang tepat untuk seleksi burung balap datar maupun tinggi yaitu saat piyik berumur hari, sehingga yang tidak terseleksi dapat dijadikan piyik penghasil daging. Hal ini juga berdasarkan pengamatan daging piyik hingga umur pemotongan 25 hari masih empuk, sedangkan jika dipotong pada umur 28 hari daging piyik sudah mulai liat. Secara statistik bobot potong, persentase karkas dan persentase bagian dada tidak berbeda pada pemotongan piyik umur 21, 23 maupun 25 hari. Bobot potong, persentase karkas dan persentase dada tidak berbeda antara piyik jantan dengan betina. Selain itu tidak ada interaksi antara umur pemotongan dengan seks. Hal ini menunjukkan bahwa piyik dapat dipotong pada umur 21 hari dengan demikian induk dapat segera bertelur kembali. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Ibrahim dan Bashrat (2009) bahwa karakteristik karkas burung merpati, yang dipelihara di bawah kondisi rumah tangga di kotakota Bauchi, North Eastern Nigeria. Berat hidup rata-rata adalah ± g

107 Tabel 23 Berat potong, persentase karkas dan persentase bagian dada piyik umur 21, 23, dan 25 hari x ± sb (KK) Umur Seks n (ekor) Bobot Potong (g) Karkas (%) Dada (%) 21 Hari Jantan ±33.9 (12.11) 67±3 (4.23) 26±2 (8.88) Betina ±26.3 ( 8.69) 65±6 (9.28) 28±1 (4.87) 23 Hari Jantan ±41.0 (13.73) 61±5 (7.80) 26±1 (4.26) Betina ±36.5 (12.94) 60±39 (6.50) 26±3 (10.04) 25 Hari Jantan ±28.7 (10.09) 62±9 (13.77) 26±5 (17.94) Betina ±35.0 (13.59) 67±8 (11.83) 26±4 (16.30) 80

108 81 ( ± g untuk jantan, ± g untuk betina, ± g untuk merpati dewasa dan ± 7.32 g untuk piyik). Berat potong rata-rata adalah ± g ( ± g untuk jantan, ± g untuk betina, dan ± g untuk merpati dewasa dan ± 7.06 g untuk piyik). Berat karkas rata-rata adalah ± 8,90 g (159,80 ± g untuk jantan, ± g untuk betina; ± g untuk merpati dewasa dan ± 5.51 g untuk piyik). Jantan berbeda secara signifikan dengan betina. Pertumbuhan Piyik Burung Merpati Balap dan Pedaging (HomerxKing) Pertumbuhan piyik balap dan pedaging dari umur sehari hingga umur 28 hari pada penelitian ini disajikan pada Tabel 24. Bobot tetas merpati pedaging nyata lebih berat dibandingkan dengan bobot tetas merpati balap, sedangkan bobot tetas antara balap datar dan balap tinggi tidak berbeda (P<0.05). Pada fase pertumbuhan piyik selanjutnya merpati balap datar dan balap tinggi tidak berbeda, sedangkan merpati pedaging berbeda dengan balap pada umur tiga minggu, yaitu merpati pedaging lebih berat dibandingkan merpati balap. Namun pada minggu keempat piyik ketiga jenis merpati yaitu balap datar, balap tinggi maupun pedaging memiliki berat badan tidak berbeda nyata. Pola pertumbuhan ketiga jenis burung sama yaitu pertumbuhan cepat pada minggu pertama dan kedua dengan laju pertumbuhan tertinggi pada minggu pertama. Adapun minggu kedua hingga keempat ada pertumbuhan namun laju pertumbuhan menurun dibandingkan minggu pertama (Gambar 12). Hal ini tampak pada burung merpati pedaging bahwa laju pertumbuhan pada minggu keempat rendah dibandingkan minggu sebelumnya, dengan demikian burung merpati pedaging dapat atau sebaiknya dipotong pada umur hari. Adapun kecenderungan pola pertumbuhan merpati balap datar maupun tinggi sama dengan merpati pedaging, maka seleksi burung balap dapat dilakukan pada umur dan yang tidak terseleksi untuk balap dapat dipotong sebagai penghasil daging.

109 Tabel 24 Pertumbuhan piyik balap dan pedaging Umur (Hari) Berat Badan (g) Balap Datar Balap Tingggi Pedaging b ± 2.8 (n=4) 13.0 b ± 1.0 (n=12) 15.8 a ± 1.7 (n=6) ±17.5 (n=8) 139.6±33.3 (n=29) 118.7±22.6 (n=6) ±28.3 (n=7) 222.3±50.7 (n=26) 243.0±23.5 (n=6) ±33.7 (n=8) 270.2±38.6 (n=24) 282.5±23.6 (n=6) ±30.7 (n=5) 312.6±33.8 (n=23) 345.0±22.9 (n=5) 82

110 DOP 7 hari 14 hari 21 hari 28 hari Balap Datar Balap Tinggi Pedaging Umur (hari) Gambar 12 Pertumbuhan piyik burung merpati balap datar, balap tinggi dan daging Upaya Peningkatan Produksi Burung Merpati Peningkatan produksi burung merpati tidak dapat dilakukan dengan poligami, maka upaya yang dapat dilakukan dengan menambah jumlah pengeraman telur per pasang merpati, bahwa pada kondisi normal burung merpati mengerami telur sebanyak 2 butir sesuai dengan jumlah telur yang diproduksi per periode telur yaitu sebanyak 2 butir. Pada pasangan yang sedang mengeram ditambahkan telur yang berasal dari telur pasangan lain sebanyak 1 atau 2 butir sehingga jumlah telur yang dierami lebih dari 2 butir. Daya tunas maupun daya tetas pada induk yang mengerami lebih dari 2 butir yaitu 3 dan 4 butir tidak berbeda nayata dengan yang mengerami 2 butir, dengan demikian sepasang burung merpati mampu mengerami telur hingga 4 butir. Hal ini tentunya meningkatakan efisiensi produksi karena produksi 2 pasang dapat dilakukan cukup oleh 1 pasang dengan demikian pasangan yang telurnya dititipkan kepada induk lain dapat segera bertelur kembali. Hal ini dapat diaplikasikan sebagai induk titipan yang dapat mengerami telur dari induk yang lain. Adapun performa daya tunas dan daya tetas pada penambahan telur tetas pada induk titipan disajikan pada Tabel 25.

111 84 Tabel 25 Fertilitas dan daya tetas pada induk mengerami telur 1,2,3 dan 4 butir telur tetas x±sb (KK) Perlakuan n (pasang) Daya tetas (%) Mortalitas Piyik (%) Mengerami 1 butir ± 0.0 (0) 0 ± 0 (0) Mengerami 2 butir ± 25.0 (28.6) 12.5 ± 12.5 (100.0) Mengerami 3 butir ± 16.7 (18.3) 8.3 ± 8.3 (100.0) Mengerami 4 butir ± 23.1 (31.4) 25.6 ± 23.6 (9.4) Penambahan telur tetas pada pasangan burung merpati yang sedang mengeram dicobakan pada penelitian ini sebagai upaya peningkatan produktivitas setelah upaya poligami tidak berhasil meningkatkan produktivitas. Adapun dari hasil mencobakan penambahan telur tetas sebanyak 1 dan 2 butir dari kondisi normal jumlah telur yang dierami sepasang burung merpati yaitu 2 butir. Daya tunas pada induk burung merpati yang mengeram telur 2, 3 dan 4 butir telur tetas pada sepasang burung merpati, walaupun dalam kondisi normal sepasang burung merpati bertelur 2 butir, berarti pasangan yang mengerami telur lebih dari 2 butir, maka kelebihannya berasal dari induk lain (telur titipan). Maka penambahan telur tetas yang fertil 1 butir sehingga jumlah telur yang dierami 3 butir atau menambahkan telur yang fertil 2 butir sehingga jumlah telur yang dierami 4 butir menunjukkan daya tetas tidak berbeda (Tabel 25) dengan pengeraman normal, yaitu sepasang induk mengerami 2 butir. Olehkarenanya sepasang induk mampu mengerami telur hingga 4 butir lebih tinggi yaitu 2 butir telur titipan dan 2 butir telur induk yang mengerami (induk babuan). Adapun upaya lain dengan menambah jumlah anak yang diloloh per pasang burung merpati. Pada kondisi normal sepasang burung merpati meloloh anak sebanyak 2 ekor. McLaren (1991) melakukan pengamatan menggunakan Guillemot Cepphus Columba dengan memanipulasi ukuran kopling. Efek dari manipulasi tersebut pada pertumbuhan, penetasan, fledging, dan keberhasilan telur diukur pada anak ayam dari sarang eksperimental, alami, dan kontrol. Tidak ada perbedaan signifikan yang diamati antara jenis sarang. Data dari 1983, 1984, 1985, dan 1989 dianalisis untuk perbedaan potensial dalam keberhasilan reproduksi dari satu dan dua telur. Rasio satu sampai dua telur secara signifikan

112 85 lebih tinggi pada tahun 1985 dan Keberhasilan penetasan dan fledging secara signifikan lebih tinggi untuk dua penetasan pada tahun 1985 dan Tidak ada perbedaan signifikan yang diamati untuk keberhasilan telur menetas. Volume secara signifikan lebih besar dalam dua penetasa pada tahun 1983 dan Volume telur berkorelasi dengan fledging tapi tidak dengan daya tetas. Faktor yang membatasi ukuran kopling bisa pada tiga tahap yang berbeda dalam siklus perkembangbiakan yaitu (1) produksi telur, (2) inkubasi dan (3) membesarkan anak. Penelitian ini meneliti faktor-faktor pembatas proksimat dalam kondisi laboratorium di merpati domestik. Hasil menunjukkan bahwa merpati domestik lapisan telur deterministik. Merpati domestik disesuaikan untuk menetaskan kopling 2-telur, namun kendala proksimat pada ukuran kopling tidak jelas. Untuk merpati yang dimulai inkubasi segera meletakkan telur pertama, waktu selang di penetasan antara dua telur selalu kurang dari pada awal inkubasi. Piyik yang lebih berat dibanding penetasan normal (2 butir) memiliki probabilitas lebih tinggi untuk bertahan hidup. Perbedaan berat relatif antara keduanya adalah berkaitan dengan sinkronisasi menetas. Induk dengan jumlah telur tetas per pasang per periode penetasan sebanyak 2 butir pada kondisi normal. Penambahan jumlah piyik yang diloloh yang berasal dari iduk yang lain atau piyik titipan atau sebagai induk titipan (babuan) maka sepasang merpati ditambah piyik titipan sebanyak 1-2 ekor sehingga jumlah piyik yang diloloh berjumlah lebih dari 2 ekor yaitu 3-4 ekor. Performa pertumbuhan piyik seperti disajikan pada Lampiran 5 dan Gambar 13. Perbedaan pertumbuhan piyik sampai pada umur 16 hari berbeda. Hal ini ditunjukkan dari hasil analisa statistik berbeda, selanjutnya mulai umur18 hingga 28 hari pertumbuhan piyik yang diloloh 1, 2, 3 maupun 4 sama (Lampiran 6). Hal ini ditunjukkan dari hasil analisa statistik tidak berbeda nyata. Dari hasil penelitian ini maka peningkatan jumlah anak yang diloloh sepasang induk burung merpati dapat dilakukan. Sepasang burung merpati mampu meloloh piyik hingga 4 ekor, adapun kondisi normal sepasang induk meloloh 2 ekor piyik. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 13 bahwa pertumbuhan piyik yang diloloh 3 maupun 4 oleh sepasang induk tumbuh dengan normal seperti halnya pada induk yang

113 Variable Loloh 1 Loloh 2 Loloh 3 Loloh 4 Bobot Badan (g) Umur (hari) Gambar 13 Pertumbuhan piyik pada sepasang induk burung merpati yang meloloh 1, 2, 3, dan 4 piyik 86

114 87 meloloh 2 ekor piyik. Tidak ada kematian piyik pada pasangan burung merpati yang meloloh piyik 1, 2, 3 maupun 4. Berarti sepasang induk mampu meloloh piyik hingga 4 ekor. Simpulan 1. Poligami bisa dilakukan pada burung merpati, namun produktivitasnya rendah. 2. Berat dan bentuk telur cenderung seragam. Berat telur berkisar g dengan indeks telur 75.7%. Produksi telur masih beragam dengan kisaran 1-3 butir per pasang per periode. 3. Fertilitas dan daya tetas dan kematian embrio adalah 92.4%, 77.0% dan 23%. 4. Berat tetas berkisar g dengan penyusutan telur selama pengeraman sebesar 6%. 5. Waktu kosong atau selang bertelur adalah 51 hari, jika tanpa meloloh 34.1 hari dan tanpa mengeram 17.6 hari. 6. Kurva pertumbuhan memiliki persamaan Bobot badan = t 13.3 t 2 (t=waktu) dengan laju pertumbuhan lambat dan konversi pakan yang tinggi pada minggu keempat. Seleksi burung merpati untuk dipotong dapat dilakukan pada umur hari. 7. Berat potong, persentase karkas dan persentase bagian dada pada piyik dengan umur pemotongan 21, 23, dan 25 hari tidak berbeda. 8. Pertumbuhan piyik balap datar, balap tinggi dan pedaging sama kecuali pada saat menetas (0 hari), piyik merpati pedaging lebih berat dibandingkan piyik merpati balap datar maupun balap tinggi. Adapun piyik balap datar maupun balap tinggi memiliki berat yang sama dari menetas (0 hari) hingga umur 28 hari. 9. Seleksi burung merpati balap datar maupun balap tinggi dapat dilakukan pada umur hari. 10. Upaya peningkatan produksi burung merpati dapat dilakukan dengan menambah telur atau piyik yang diloloh per pasang induk. 11. Sepasang induk mampu mengerami 4 butir telur dan meloloh 4 piyik.

115 88

116 89 PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN UKURAN TUBUH BURUNG MERPATI Pendahuluan Parameter genetik dapat diestimasi dari nilai tertentu dengan demikian merupakan besaran yang menggambarkan kondisi genetik suatu sifat yang diamati. Besaran parameter genetik tersebut dapat diukur dan diprediksi. Adapun yang termasuk parameter genetik diantaranya adalah ripitabilitas, heritabilitas dan korelasi genetik. Parameter genetik suatu sifat diperlukan untuk seleksi sifat tersebut dan diharapkan ada peningkatan mutu genetiknya. Nilai ripitabilitas suatu sifat pada ternak merupakan salah satu parameter genetik karena nilai ripitabilitas dapat digunakan untuk mengetahui daya ulang suatu sifat yang dimiliki suatu individu selama individu tersebut hidup. Nilai ripitabilitas juga dapat digunakan untuk menduga besarnya suatu sifat yang diturunkan dari tetua kepada keturunannya, karena nilai ripitabilitas dapat untuk menduga nilai maksimum heritabilitas sifat yang diketahui nilai ripitabilitassnya. Selain itu nilai ripitabilitas dapat pula digunakan sebagai dasar kebijakan dalam melakukan seleksi. Ripitabilitas mengukur derajat asosiasi antara catatan suatu sifat pada hewan yang sama lebih dari sekali dalam kehidupan suatu hewan. Pendugaan nilai ripitabilitas menunjukkan kelebihan dalam akurasi yang diharapkan dari beberapa pengukuran (Falconer 1989). Ripitabilitas dan heritabilitas sifat reproduksi dan daya hidup pada ayam adalah rendah, seperti dilaporkan Asnah et al. (1985) dan Bennerwitz et al. (2007). Adapun ripitabilitas produksi telur pada unggas berkisar dari rendah sampai tinggi (Udeh 2010). Heritabilitas memainkan peran sentral dalam psikologi perbedaan individu. Heritabilitas adalah proporsi variasi fenotipik yang disebabkan variasi genetik. Heritabilitas juga menunjukkan besarnya perbedaan genetik dalam individu yang berkontribusi pada perbedaan antar individu untuk sifat yang diamati. Warwick et al. (1990) menyatakan bahwa nilai heritabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa pengaruh utamanya adalah genetik. Faktor lain yang mempengaruhi nilai heritabilitas menurut Martojo (1992) adalah tempat dan waktu. Martojo (1992) menambahkan pula bahwa nilai heritabilitas dibagi menjadi tiga yaitu:

117 90 heritabilitas rendah berkisar antara 0-0.2; heritabilitas sedang berkisar dan heritabilitas tinggi lebih dari 0.4. Pendugaan kedua parameter genetik yaitu ripitabilitas dan heritabilitas suatu sifat diperlukan untk meningkatkan produksi. Pengetahuan tentang pendugaan nilai ripitabilitas dan heritabilitas membantu peternak merancang pemuliaan yang tepat untuk meningkatkan mutu genetik ternak. Informasi ukuran tubuh burung merpati lokal masih sangat kurang. Demikian halnya keterkaitan ukuran tubuh dengan kemampuan terbang. Adapun kriteria penilaian kemampuan terbang keduanya berbeda. Identifikasi ukuran tubuh burung merpati balap datar dan balap tinggi dapat dimanfaatkan untuk karakterisasi kedua jenis burung balap. Penelitian ini bertujuan memperoleh nilai dugaan parameter genetik dan mengidentifikasi ukuran tubuh burung merpati balap dengan burung merpati pedaging sebagai pembanding untuk mengkaji potensi merpati lokal sebagai penghsil daging. Serta memberikan informasi mengenai karakteristik ukuran tubuh dengan membedakan peubah ukuran linier yang dapat diamati pada ketiga jenis burung tersebut. Penelitian ini juga diharapkan dapat menggambarkan keterkaitan ukuran tubuh burung merpati yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan burung merpati dan sebagai alat praktis untuk seleksi di lapangan Materi dan Metode Pendugaan Nilai Parameter Genetik Penelitian berikutnya setelah diperoleh informasi produktivitas adalah pendugaan nilai parameter genetik. Informasi ini diperlukan untuk pengembangan burung merpati lokal. Materi. Sebanyak 62 pasang burung merpati digunakan pada penelitian ini. Setiap pasang burung merpati dipelihara pada kandang individual yang dilengkapi dengan tempat pakan, tempat air minum, dan sarang. Pakan terdiri dari jagung dan ransum komersial yang diberikan ad libitum. Air minum juga diberikan ad libitum seperti halnya pakan. Analisis Data. Pendugaan nilai parameter genetik yaitu nilai heritabilitas dan ripitabilitas merujuk kepada (Becker 1985). Data diambil untuk menduga

118 91 keragaman genetik dengan metode analisis saudara kandung berdasarkan Becker (1985). Data dianalisis ragam seperti pada Tabel 26 untuk menghitung nilai ripitabilitas. Yij = µ + α i + e ij bahwa µ = nilai rataan umum α i = pengaruh individu ke-i, i=1,2,... eij = deviasi pengukuran ke-j dalam individu, j=1,2,... Tabel 26 Analisis ragam untuk menghitung nilai ripitabilitas Sumber Keragaman Db SS MS EMS Antar Individu N-1 SS MS Antar Pengukuran dalam Individu N(M-1) SS MS w e w e 2 δ e + K 1 δ 2 w δ 2 e bahwa N = jumlah individu M = jumlah pengukuran per individu K 1 = M 2 δ e =MS e 2 δ w = MS w -MS e K1 R = δ 2 w/ = Ripitabilitas 2 δ w + δ 2 e SE (R) = 2 (1-R) 2 [1+(k-i)R] K (K-1)(N-1) Pendugaan nilai heritabilitas tidak memungkinkan menggunakan anova maka pendugaan nilai heritabilitas menggunakan analisis regresi anak induk. Adapun formula untuk penduga nilai tersebut adalah Y= a + bx (Becker 1985), bahwa h 2 sebesar 2b dengan model statistik Zi =βx i + e b = cov XZ δ 2 X h 2 = 2b i 2

119 92 SE (h 2 ) = 2 s b x 2 2 Pendugaan nilai korelasi genetik (r G ) menurut Becker (1995) bahwa: r G = cov X1Z2 + cov X2Z1 2 cov X1Z1 cov X2Z2 Adapun nilai korelasi fenotipik (r P ) menurut Becker (1985) bahwa: rp = cov XY δ 2 X. δ 2 Y Peubah yang Diukur. Pada penelitian ini peubah yang diukur untuk pendugaan parameter genetik meliputi: bobot telur, bobot tetas, pertumbuhan piyik, bobot dewasa, daya tunas, daya tetas, dan mortalitas. Pengukuran Ukuran Tubuh Burung Merpati lokal. Burung merpati lokal jantan dan betina dewasa diukur bobot badan, lingkar dada, lebar dada, dalam dada, panjang punggung, panjang tibia, panjang femur, panjang shank, panjang jari ketiga, lingkar metatarsus, panjang rentang sayap, lebar kepala, panjang kepala, panjang bulu ekor, lebar pangkal ekor dan panjang maxilla. Adapun acuan pengukuran morfometri seperti disajikan pada Gambar 14 (Encyclopedia Britannia 2008). Bobot badan diukur dengan dengan timbangan dalam satuan gram; Panjang kepala diukur sepanjang tulang skull dimulai dari bagian depan skull memanjang sampai tulang atlas; Lebar kepala diukur selebar tulang skull dengan jangka sorong dalam satuan cm; Panjang punggung diukur sepanjang tulang punggung dimulai dari ujung thoravic vertebrae hingga pygostyle (ujung tulang ekor) dalam satuan cm; Lebar pangkal ekor diukur dari ujung kiri dan kanan dari pygostyle dengan menggunakan jangka sorong dalam satuan cm; Panjang bulu ekor diukur dari ujung bulu di pangkal ekor hingga ujung bulu terpanjang dari bulu ekor menggunakan jangka sorong dalam satuan cm; Panjang tibia diukur sepanjang tulang tibia dari ujung tulang patella hingga pangkal tarsometatarsus dengan jangka sorong dalam satuan cm;

120 93 Gambar 14 Kerangka tulang burung merpati Sumber: Encyclopedia Britannica (2008) Panjang femur diukur dari illium sampai patella dengan jangka sorong dalam satuan cm; Panjang shank (ceker) diukur dari pangkal metatarsus hingga ujung tulang metatarsus; Panjang jari ketiga diukur sepanjang jari ketiga dengan menggunakan jangka sorong dalam satuan cm; Lingkar metatarsus diukur dengan melingkarkan pita ukur pada metatarsus dalam satuan cm; Analisis Data. Data ukuran tubuh burung merpati lokal jantan dan betina dewasa dianalisis secara diskriptif. Uji t (Steel dan Torrie 1995) digunakan untuk menganalisis data ukuran tubuh burung merpati lokal. Burung merpati balap, pedaging, dan lokal. Burung merpati balap datar, balap tinggi, pedaging dan lokal jantan dewasa masing-masing sebanyak 20, 20, 20, dan 76 ekor diukur bobot badan, lingkar dada, lebar dada, panjang

121 94 punggung, dan panjang sayap. Pengambilan data mengacu kepada Encyclopedia Britannia (2008) pada Gambar 14. Analisis data. Ukuran tubuh yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan AKU (Analisis Komponen Utama) menurut Gasperz (1992) dengan rumus matematis sebagai berikut: Y p = a 1p X 1 + a 2p X a pp X bahwa Y p = komponen utama ke-p, p=1,2,... a = vektor ciri padanan akar ciri X = peubah yang diukur, yaitu X 1, X 2,... X p Hasil analisis dari ukuran tubuh ini diharapkan diperoleh karakteristik bentuk dan ukuran burung merpati balap datar, balap tinggi dan pedaging. Perbedaan ukuran tubuh yang diamati dianalisis menggunakan GLM Model LSM. Selanjutnya fungsi diskriminan yang digunakan dengan matriks peragam antara peubah dari masing-masing jenis burung merpati lokal yang diamati digabung (pooled) menjadi sebuah matriks C (Nei, 1987). Jarak genetik dihitung dengan menggunakan rumus menurut Nei (1987) yaitu: D 2 (i/j)=( X i - X j ) C -1 ( X i - X j ) bahwa D 2 (i/j) X i X j C -1 = jarak kuadrat genetik tipe burung ke-i dan tipe burung ke-j = kebalikan matrik gabungan ragam peragam antar peubah = vektor nilai rataan pengamatan dari tipe burung ke-i pada masing- masing sifat kuantitatif =vektor nilai rataan pengamatan dari tipe burung ke-j pada masing-masing sifat kuantitatif Analisis regresi sederhana maupun berganda. Dari data ukuran tubuh dan kecepatan terbang burung merpati balap datar dan tinggi yang diperoleh kemudian dianalisis rergresi sederhana maupun berganda. Dari hasil analisis tersebut ukuran tubuh tertentu dapat digunakan untuk dasar seleksi merpati lokal sebagai balap datar dan tinggi. Model matematis korelasi dan regresi menurut Steel dan Torrie (1991) sebagai berikut: p

122 95 Regresi linier sebagai berikut: Regresi linier Y = a + bx Linier berganda Y= a + b 1 x 1 + b 2 x b n x Bahwa Y = kecepatan terbang x 1, x 2, x n = ukuran tubuh b1, b 2, b n = koefisien regresi a = intersep Kecepatan terbang (V) adalah jarak terbang (s) dibagi dengan waktu terbang (t), sehingga V= s/t m detik -1. Adapun jarak tetbang adalah jarak dari burung diterbangkan (start) hingga ke joki (finish). Pengukuran morfometri merpati balap datar, balap tinggi dan pedaging (Homerx King) dilakukan pada pemilik/penggemar merpati. Selain itu pengamatan morfometri merpati lokal dilakukan pada merpati yang dipelihara di lokasi penelitian. n Hasil dan Pembahasan Ripitabilitas Ripitabilitas merupakan derajat antar pengamatan yang dilakukan selama hidup produktif seekor ternak (Martojo 1992). Adapun pendugaan nilai ripitabilitas pada suatu sifat yang sama akan bervariasi pada jenis ternak, jumlah pengukuran, waktu dan lingkungan tempat penelitian. Hal ini karena genetik dan lingkungan berpengaruh terhadap timbulnya keragaman selama pengamatan. Nilai ripitabilitas sifat produksi dan reproduksi burung merpati lokal pada penelitian ini disajikan pada Tabel 27. Bobot telur memiliki nilai ripitabiltas yang tinggi yaitu Hal ini mendukung hasil penelitian untuk pendugaan nilai ripitabilitas bobot telur pada unggas lain seperti yang dilakukan oleh Ingram et al. (1989) yang memperoleh nilai ripitabilitas bobot telur puyuh sebesar 0.58 serta Akpa et al. (2006) yang memperoleh nilai ripitabilitas 0.77 dan 0.85 untuk bobot telur pada telur puyuh yang diukur pada umur 12 minggu dan 28 minggu. Nilai ripitabitas bobot tetas burung merpati juga tinggi pada penelitian ini yaitu sebesar

123 96 Tabel 27 Nilai ripitabilitas (r) sifat produksi dan reproduksi burung merpati lokal Sifat R SE (galat baku) Bobottelur Bobot tetas Bobot piyik umur 1 minggu Bobot piyik umur 2 minggu Bobot piyik umur 3 minggu Bobot piyik umur 4 minggu Bobot sapih piyik (5 minggu) PBB piyik umur 0-1 minggu PBB piyik umur 1-2 minggu PBB piyik umur 2-3 minggu PBB piyik umur 3-4 minggu Bobot dewasa Daya tunas Daya tetas Mortalitas Pada masa pertumbuhan piyik hingga saat disapih, nilai ripitabilitas bobot badan per minggu berkisar rendah sampai sedang yaitu berkisar , dengan nilai ripitabilitas sedang pada saat piyik berumur 2 minggu dan disapih. Bobot badan umur 2 minggu memiliki nilai ripitabilitas dan bobot sapih memiliki nilai ripitabilitas sebesar Nilai ripitabilitas ini dapat dimanfaatkan untuk seleksi induk yang memiliki produksi piyik yang baik yaitu dengan menyeleksi induk yang memiliki piyik saat disapih dengan bobot tinggi. Adapun seleksi lebih awal dapat dilakukan saat piyik berumur dua minggu. Sifat reproduksi seperti daya tunas, daya tetas dan mortalitas embrio memiliki nilai ripitabilitas rendah sampai sedang. Berarti sifat-sifat tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Suhu, kelembaban berpengaruh terhadap daya tunas dan daya tetas pada fase pengeraman. Selain itu sifat keindukan juga mempengaruhi performa sifat reproduksi karena pada burung merpati pengeraman telur dilakukan olek induk jantan dan betina secara bergantian dan memerlukan kerjasama yang harmonis antara keduanya. Hal ini berdasarkan pengamatan sebelumnya tidak semua pasangan burung merpati mau mengerami telurnya hingga menetas.

124 97 Heritabilitas Heritabilitas sifat produksi pada burung merpati lokal disajikan pada Tabel 28. Nilai heritabilitas sifat produksi rendah hingga sedang. Tabel 28 Nilai heritabilitas sifat produksi burung merpati lokal Sifat Produksi Nilai Heritabilitas Bobot dewasa 0.23 ± 0.2 Bobot telur 0.19 ± 0.1 Bobot tetas 0.30 ± 0.0 Bentuk telur 0.27 ± 0.1 Nilai heritabilitas bobot dewasa dan bentuk telur sedang. Adapun nilai heritabilitas bobot telur dan bobot tetas pada burung merpati lokal rendah. Faktor lingkungan berpengaruh besar terhadap bobot dewasa, bobot telur, bobot tetas maupun bentuk telur. Aggrey dan Cheng (1992) melakukan penelitian dengan menggunakan squab (merpati muda) dari 144 pasang Silver King x White King dan memperoleh nilai heritabilitas dugaan untuk berat tetas, berat umur 3 hari, 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu dan 4 minggu masing-masing 0.70; 0.23; 0.22; 0.21; 0.30 dan Korelasi genetik di antara ciri-ciri bobot badan berkisar Heritabilitas untuk pertambahan bobot badan per minggu adalah 0.13; 0.00; 0.12 dan Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan genetik berat badan secara simultan pada usia yang berbeda adalah layak, dengan demikian efisiensi produksi dapat ditingkatkan melalui seleksi untuk meningkatkan berat badan umur 3 minggu sehingga squab dapat dipasarkan seminggu lebih awal dari umur dipotong saat ini. Selanjutnya Mignon-Grasteau (2000) menyatakan bahwa parameter genetik berat badan saat penyapihan dan kesuburan diperkirakan dalam tiga baris komersial merpati dipilih oleh BLUP (Best Linear Unbiased Prediction) pada kedua sifat. Model analisis memperhitungkan efek genetik langsung untuk kedua sifat dan efek lingkungan yang permanen orangtua untuk berat badan diperoleh nilai heritabilitas berat badan tinggi, yaitu bervariasi antara 0.46 dan 0.60, dan lingkungan tetap bertanggung jawab atas 6% sampai 9% dari variabilitas total. Tergantung pada baris dipertimbangkan, berat badan bervariasi dari g sampai g dan perkembangbiakan berkisar squab disapih per

125 98 pasang induk merpati per tahun. Heritabilitas berat badan tinggi, bervariasi antara 0.46 dan 0.60, dan lingkungan tetap bertanggung jawab atas 6% sampai 9% dari variabilitas total. Sebaliknya, kesuburan diwariskan rendah ( ). Kesuburan dan berat badan berkorelasi negatif dan sangat nyata ( ). Tidak ada perbedaan genetik yang signifikan antara jantan dan betina untuk kedua sifat. Heritabilitas berat telur puyuh sebesar 0.21 pada hasil penelitian Ingram et al. (1989) sedang pada penelitian ini sebesar Berbeda dengan Moss and Watson 1982) dalam penelitiannya memperoleh nilai heritabilitas lebih tinggi untuk ukuran telur ( ), bobot tetas ( ), daya hidup anak ( ), dan bobot badan pada umur 75 hari ( ) pada Red Grouse (Lagopus lagopus coticus). Induk jantan tidak berpengaruh terhadap ukuran telur pasangan betinanya serta bobot tetas maupun daya hidup anak. Ukuran telur dipengaruhi oleh faktor genetik demikian halnya bobot tetas dan daya hidup anak yang baru menetas. Selanjutnya Sato et al. (1989) menyatakan bahwa heritabilitas untuk karakteristik telur adalah tinggi yaitu berkisar antara ; nilai heritabilitas bobot telur ayam kerdil bercangkang coklat sebesar 0.63 (Zhang et al. 2005). Heritabilitas bobot telur pada penelitian ini lebih rendah dari peneliti lain, hal ini diduga karena genetik dan lingkungan berbeda yang menyebabkan keragaman. Selain itu untuk sifat yang sama nilai heritabilias dapat berbeda untuk jenis, bangsa dan galur ternak yang berbeda. Perbedaan nilai heritabilitas untuk tiap karakter dan kriteria seleksi sangat mungkin terjadi oleh karena heritabilitas bukan saja merupakan perangkat dari sifat individu, tetapi juga populasi serta kondisi lingkungan individu tersebut berada dan cara bagaimana sifat tersebut diukur. Selain itu heritabilitas juga sangat tergantung pada derajat semua komponen ragam, perubahan salah satu komponen ragam akan mempengaruhi nilai heritabilitas. Semua komponen genetik dipengaruhi oleh frekuensi populasi sebelumnya. Populasi yang kecil lebih memungkinkan menunjukkan nilai heritabilitas yang lebih rendah daripada populasi yang lebih besar. Ragam lingkungan sangat tergantung pada kondisi budidaya dan manajemen. Sehingga perbedaan hasil pendugaan nilai heritabilitas untuk sifat yang sama dan pada individu yang sama merupakan cerminan perbedaan yang

126 99 sebenarnya diantara populasi dan kondisi dimana sifat tersebut diukur termasuk metode seleksi yang dilakukan (Falconer dan Mackay 1996) Heritabilitas dapat digunakan untuk menduga peningkatan kemajuan genetik yang mungkin diperoleh bila dilakukan seleksi sifat tertentu. Jika heritabilitas suatu sifat memiliki nilai tinggi, berarti performa atau penampilan individu lebih banyak dipengaruhi oleh faktor genetik dibanding faktor lingkungan dan seleksi berdasarkan individu efektif. Heritabilitas yang tinggi juga menandakan aksi gen aditif penting untuk sifat tersebut dan sebaliknya jika heritabilitas rendah, maka mungkin aksi gen seperti dominasi berlebih (over dominance), dominan dan epistasis lebih penting (Lasley 1978). Perbedaan nilai heritabilitas sifat yang sama pada penelitian ini dengan peneliti lain karena nilai heritabilitas suatu sifat akan bervariasi antar populasi. Perbedaan variasi tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan faktor genetik (ragam genetik), perbedaan lingkungan (ragam lingkungan), metode dan jumlah cuplikan data yang digunakan (Falconer dan Mackay 1989). Korelasi Genetik Korelasi genetik antara dua peubah pada burung merpati lokal disajikan pada Tabel 29. Korelasi genetik yang diperoleh untuk melengkapi informasi nilai dugaan ripitabilitas dan heritabilitas sehingga dapat dimanfaatkan dalam program seleksi. Tabel 29 Korelasi genetik sifat produksi pada burung merpati lokal Sifat Bobot Tetas Berat.Dewasa Bobot telur Bentuk Telur didukung Bobot dewasa memiliki korelasi genetik tinggi dengan bentuk telur. Hal ini nilai heritabilitas bobot dewasa maupun bentuk telur sedang pada penelitian ini, dengan demikian bobot dewasa maupun bentuk telur anak dipengaruhi oleh tetua. Pendugaan korelasi genetik beberapa sifat produksi pada unggas telah dilakukan. Nestor et al. (2000) melaporkan bahwa bobot badan umur 16 minggu pada betina kalkun berkorelasi negatif terhadap jumlah telur dengan bobot telur

127 100 pada dua galur ayam petelur masing-masing sebesar dan Pada puyuh, korelasi genetik bobot badan pada umur 4 minggu dengan bobot badan umur 6 minggu pada jantan diperoleh 0.62 dan betina 0.60 (Kuswahyuni 1989). Pengetahuan tentang besar dan tanda korelasi genetik dapat dipergunakan untuk memperkirakan perubahan yang terjadi pada generasi berikutnya untuk sifat yang tidak diseleksi tetapi berkorelasi dengan sifat yang diseleksi (Warwick et al, 1995). Selanjutnya Warwick et al. (1990) juga menyatakan bahwa heritabilitas akan menentukan perubahan pada sifat yang diseleksi (respon seleksi), korelasi genetik akan mempengaruhi perubahan genetik sifat lain yang tidak diseleksi (respon terkorelasi). Makin tinggi korelasi genetik, makin besar perubahan yang terjadi pada sifat yang berkorelasi. Korelasi genetik dapat dihitung dari percobaan seleksi dan dapat pula diduga dengan prosedur statistik. Korelasi genetik dapat berubah dalam populasi yang sama selama beberapa generasi apabila ada seleksi yang intensif. Nilai pendugaan korelasi genetik hanya berlaku pada satu populasi, nilai tersebut diestimasi dan pada kurun waktu tertentu pula. Korelasi Fenotipik Adanya hubungan antara dua sifat dapat diidentifikasi dari nilai korelasi dari kedua sifat. Korelasi fenotipik sifat produksi pada burung merpati disajikan pada Tabel 30. Tabel 30 Korelasi fenotipik sifat produksi pada burung merpati lokal Sifat Btk.Telur B.Tetas B.Sapih B.Dewasa T B.Dewasa A B. Telur * ** ** ** Btk Telur ** B.Tetas ** B. Dewasa Tetua Ket: B=bobot; Btk=bentuk; T=tetua; A=anak; *) =nyata (P<0.05); **) sangat nyata (P<0.01) Korelasi fenotipik bobot telur, bobot tetas, bentuk telur, bobot sapih, bobot anak dan bobot tetua memiliki korelasi positip. Bobot dewasa (induk) berpengaruh positip dan nyata terhadap bentuk telur, bobot telur, serta bobot sapih. Hal ini bermanfaat untuk menduga sifat kedua dari sifat pertama atau

128 101 sebaliknya, akan tetapi korelasi bobot dewasa dengan bobot anak walaupun positip, namun secara statistik tidak nyata, dengan demikian ketelitian pendugaan bobot anak dari bobot induk atau sebaliknya rendah. Sifat-sifat produksi yang berkorelasi positip dengan sifat lain dapat terjadi dikarenakan adanya gen-gen yang bersifat pleiotropik (Noor 2008; Warwick et al. 1990) Bobot tetas memiliki korelasi positif dan nyata dengan bobot telur. Selain itu nilai korelasinya paling tinggi diantara korelasi antara dua sifat yang lain pada penelitiaan ini. Selanjutnya persamaan linier antara dua peubah yang memiliki korelasi nyata disajikan pada Tabel 31. Seleksi dapat dilakukan efektif jika terdapat korelasi antara dua sifat dengan mempertimbangkan adanya korelasi antara dua sifat yang akan diseleksi. Bentuk persamaan linier antara dua fenotipe pada penelitian ini disajkan pada Tabel 31. Tabel 31 Persamaan linier antar sifat produksi pada burung merpati lokal Persamaan linier Bobot tetas = berat telur Bobot sapih = bobot telur Bobot sapih = bobot tetas Bobot sapih semakin meningkat dengan semakin berat bobot tetas, adapun bobot tetas semakin tinggi dengan semakin besar bobot telur tetas. Dari hasil penelitian ini bobot sapih dapat diprediksi dari bobot telur tetas, dengan demikian untuk meningkatkan bobot sapih dapat dilakukan seleksi dari bobot telur tetas. Ukuran Tubuh Burung Merpati Lokal, Balap, dan Pedaging (HomerxKing) Ukuran tubuh burung balap dan pedaging (HomerxKing) diperlukan untuk dibandingkan dengan merpati lokal. Hasil analisis ukuran tubuh dengan menggunakan Analisis Komponen Utama, diagram kerumunan dan jarak genetik diharapkan dapat menunjukkan karakteristik khas untuk balap untuk memudahkan

129 102 seleksi, juga untuk menemukan ukuran tubuh untuk seleksi balap dari merpati lokal. Ukuran Tubuh Burung Merpati Lokal Jantan dan Betina Bobot badan jantan (369.3 a ± 45.4 g) nyata lebih berat dibandingkan betina (321.9 b ± 51.4 g). Ukuran tubuh burung merpati lokal jantan dan betina dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32 Bobot badan dan ukuran tubuh burung merpati lokal jantan dan betina Ukuran Tubuh (cm) Rataan ± simpangan baku Betina (n=76) Jantan (n=77) Lingkar Dada b ± a ± 1.39 Lebar Dada ± ± Dalam Dada ± ± 7.60 Panjang Punggung b a ± Panjang Dada ± ± ± 8.42 Panjang Kepala 3.17 ± ± 0.37 Lebar Kepala 2.17 b ± ± 0.29 Tinggi Kepala 2.40 ± ± 0.49 Panjang Leher 8.88 b a ± Panjang Ceker Panjang Tibia Panjang Femur Panjang jari Ketiga Lingkar Metatarsus 3.32 b a ± b ± b ± b a ± a a ± 0.80 ± 0.28 ± 0.53 ± 2.60 ± ± ± 0.24 Ukuran tubuh jantan lebih besar dibandingkan betina, hal ini dapat dilihat dari 14 ukuran tubuh yang diamati seperti tampak pada Tabel 32. Ukuran tubuh seperti lingkar dada, panjang punggung, panjang kepala, panjang leher, panjang ceker, panjang femur, dan panjang jari ketiga jantan nyata lebih panjang dibandingkan dengan betina. Adapun ukuran tubuh yang tidak berbeda antara jantan dan betina yaitu lebar dada, dalam dada, lebar kepala, tinggi kepala, dan lingkar metatarsus.

130 103 Keragaman ukuran tubuh pada jantan berkisar %, yaitu lingkar dada adalah ukuran tubuh yang memiliki keragaman rendah (5.4%) dan tinggi kepala adalah ukuran tubuh yang paling beragam (34%). Keragaman ukuran tubuh betina paling rendah adalah lingkar dada (6.52%) dan tinggi kepala paling beragam (20%). Ukuran Tubuh Burung Merpati Jantan Balap Datar, Balap Tinggi, Pedaging, dan Lokal Burung merpati balap datar, balap tinggi, pedaging, dan lokal berbeda sangat nyata (P<0.01) dengan urutan mulai dari yang berat yaitu burung merpati pedaging, burung balap datar, burung balap tinggi, dan lokal atau bobot badan burung lokal paling ringan diantara keempatnya, sedangkan yang paling berat adalah burung pedaging. Burung balap datar lebih berat dibandingkan burung merpati balap tinggi dan lokal, dan burung balap ytinggi sama dengan lokal. Hal ini disebabkan burung pedaging memiliki tubuh lebih besar dibandingkan burung balap datar dan balap tinggi, seperti panjang punggung dan panjang sayap. Ibe dan Nwakalor (1986) mengemukakan bahwa berat badan merupakan penjumlahan total dari peningkatan ukuran komponen-komponen pembentuk tubuh. Lebar dada burung balap datar dan balap tinggi tidak berbeda nyata, sedangkan lingkar dada burung merpati balap datar nyata lebih besar (P<0.01) dibandingkan burung balap tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa perototan di bagian dada burung merpati balap datar lebih kompak dibandingkan burung merpati balap tinggi. Perototan yang lebih banyak pada bagian dada mengakibatkan bentuk badan dilihat dari bagian depan tubuh tampak lebih bulat pada burung merpati balap datar. Burung balap tinggi harus berani turun dari tempat ketinggian tertentu saat terbang maka untuk penyesuaian tersebut bentuk badannya tidak terlalu besar, namum dilengkapi sayap yang panjang, dengan demikian bentuk badan yang sesuai untuk burung merpati balap tinggi adalah seperti jantung pisang (ontong pisang dalam bahasa Jawa). Sebaliknya burung balap datar harus terbang datar dan cepat, dengan demikian diperlukan perototan yang kuat, olehkarenya lingkar dada, panjang punggung burung merpati balap datar lebih besar dibandingkan

131 104 dengan burung merpati balap tinggi, akan tetapi sayap lebih pendek dibanding burung merpati balap tinggi. Pada Tabel 33 disajikan ukuran tubuh burung balap datar, balap tinggi, dan pedaging. Ukuran tubuh yang sama antara burung merpati balap datar dengan burung merpati balap tinggi adalah lebar dada. Ukuran tubuh tersebut tidak dapat digunakan untuk membedakan karakteristik kedua jenis burung. Ukuran tubuh yang berbeda antara burung merpati balap datar dengan balap tinggi dan pedaging adalah berat badan, lingkar dada, panjang punggung, dan panjang bulu sayap seperti disajikan pada Tabel 33. Ukuran-ukuran tubuh tersebut pada burung merpati pedaging balap datar lebih besar dibandingkan dengan burung merpati terbang tinggi. Hal ini berarti burung balap datar memiliki postur tubuh lebih besar dibandingkan postur tubuh burung merpati balap tinggi, sedangkan burung balap tinggi memiliki postur tubuh ramping. Ukuran tubuh burung merpati balap datar dan balap tinggi berbeda nyata dengan burung pedaging. Burung merpati pedaging memiliki punggung dan sayap lebih panjang dibandingkan burung balap datar maupun balap tinggi. Hal ini juga yang menyebabkan bobot badan burung merpati pedaging lebih berat dibandingkan burung merpati balap merpati balap tinggi adalah lebar dada. Ukuran tubuh tersebut tidak dapat digunakan untuk membedakan karakteristik kedua jenis burung. Ukuran-ukuran tubuh tersebut pada burung merpati pedaging balap datar lebih besar dibandingkan dengan burung merpati terbang tinggi. Hal ini berarti burung balap datar memiliki postur tubuh lebih besar dibandingkan postur tubuh burung merpati balap tinggi, sedangkan burung balap tinggi memiliki postur tubuh ramping. Ukuran tubuh burung merpati balap datar dan balap tinggi berbeda nyata dengan burung pedaging. Burung merpati pedaging memiliki punggung dan sayap lebih panjang dibandingkan burung balap datar maupun balap tinggi. Hal ini juga yang menyebabkan bobot badan burung merpati pedaging lebih berat dibandingkan burung merpati balap. Adapun ukuran tubuh burung lokal untuk keempat ukuran tubuh yaitu lingkar dada, lebbar dada, panjang punggung, dan panjang sayap tidak berbeda nyata.

132 Tabel 33 Ukuran tubuh merpati jantan balap datar, balap tinggi, pedaging dan lokal Fenotipe Balap Datar Balap Tinggi Pedaging Lokal n=20 n=20 n=20 n=76 Bobot Badan 401.0±34.0 a 374.0±31.8 b 424.5±43.3 a 368.9±45.8 b Lingkar Dada Lebar Dada Panjang Punggung Panjang Sayap 26.8±0.8 a 25.7±1.2 b 21.7±2.3 c 25.7±1.4 b 8.5±0.4 a 8.4±0.9 b 5.9±0.4 b 8.3±0.7 a 12.8±0.7 a 10.4±0.5 b 9.0±1.4 c 10.1±0.8 d Keterangan: superskrip berbeda pada baris yang sama berarti berbeda nyata (P<0.05) 8.0±0.8 a 8.8±0.8 b 13.7±0.7 c 13.4±0.9 b 105

133 106 Analisis Komponen Utama Menurut Everitt dan Dunn (1998) bahwa pada pengukuran morfologi hewan, hasil AKU lebih ditekankan pada komponen utama kedua sebagai indikasi bentuk tubuh, daripada komponen utama pertama yang mengidentifikasikan ukuran tubuh. Hasil analisis komponen utama pada burung merpati balap datar diperoleh penciri ukuran dan bentuk tubuh seperti disajikan pada Tabel 34. Peubah ukuran tubuh yang dapat dijadikan penciri pada burung merpati balap datar adalah lingkar dada (X 1 ) yang memiliki vector eigen sebesar (Tabel 34) dengan nilai korelasi antara lingkar dada dengan skor ukuran tubuh sebesar Adapun penciri bentuk tubuh adalah panjang sayap (X 4 ) yang memiliki vector eigen sebesar (Tabel 34) dengan nilai korelasi antara panjang sayap dengan skor bentuk tubuh sebesar Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar lingkar dada pada burung merpati balap datar maka skor ukuran tubuh juga semakin besar. Selanjutnya semakin panjang sayap pada burung merpati balap datar maka skor bentuk semakin besar. Tabel 34 Persamaan ukuran tubuh dan bentuk tubuh pada burung merpati balap datar beserta keragaman total dan nilai eigen Persamaan Keragaman Nilai Total Eigen Ukuran 0.704X X X X Bentuk X X X X Keterangan:X 1 =lingkar dada; X 2 =lebar dada; X 3 = panjang punggung; dan X 4 =panjang sayap Penciri ukuran tubuh pada burung balap tinggi adalah panjang sayap (X4) yang memiliki vector eigen (Tabel 35) dengan nilai korelasi antara panjang sayap dengan skor ukuran sebesar Adapun penciri bentuk tubuh burung merpati balap tinggi adalah lingkar dada (X 1 ) yang memiliki vector eigen sebesar 1.08 dengan nilaikorelasi antara lingkar dada dengan skor bentuk tubuh sebesar Hal ini berarti semakin panjang sayap maka skor ukuran tubuh burung merpati balap tinggi semakin besar. Namun semakin besar lingkar dada maka skor bentuk tubuh burung merpati balap tinggi semakin kecil karena korelasinya negatif. Pilastro et al. (1995) dan Backmann et al.(2007) menyatakan

134 107 bahwa variasi bentuk dan ukuran sayap mengungkapkan pola penerbangan yang berbeda, rentang migrasi, membantu seleksi antar kelompok burung yang berbeda dan antar jenis kelamin. Nishida et al. (1982) pada ayam bahwa penciri ukuran tubuh ditentukan oleh panjang sayap, panjang femur, panjang tarsometatarsus dan tinggi jengger. Tabel 35 Persamaan ukuran tubuh dan bentuk tubuh pada burung merpati balap tinggi beserta keragaman total dan nilai eigen Persamaan Keragaman Nilai Total (%) Eigen Ukuran X X X X Bentuk X X X X Keterangan:X 1 =lingkar dada; X 2 =lebar dada; X 3 = panjang punggung; dan X 4 =panjang sayap Peubah ukuran tubuh yang dapat dijadikan penciri pada burung merpati pedaging adalah lingkar dada (X1) yang memiliki vector eigen sebesar (Tabel 36) dengan nilai korelasi antara lingkar dada dengan skor ukuran tubuh sebesar Adapun penciri bentuk tuuh adalah panjang punggung (X 3 ) yang memiliki vector eigen sebesar dengan nilai korelasi antara panjang sayap dengan skor bentuk tubuh sebesar Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar lingkar dada pada burung merpati pedaging maka skor ukuran tubuh juga semaikn besar. Hal ini sesuai dengan manfaatnya yaitu merpati pedaging sebagai penghasil daging, Pada burung merpati perdagingan yang banyak adalah pada bagian dada. Selanjutnya semakin panjang punggung pada burung merpati pedaging maka skor bentuk semakin kecil. Tabel 36 Persamaan ukuran tubuh dan bentuk tubuh pada burung merpati pedaging beserta keragaman total dan nilai eigen Persamaan Keragaman Nilai Total (%) Eigen Ukuran 0.971X X X X Bentuk X X X X Keterangan:X 1 =lingkar dada; X 2 =lebar dada; X 3 = panjang punggung; dan X 4 =panjang sayap

135 108 Penciri ukuran tubuh pada burung merpati lokal adalah lingkar dada (X 1 ) yang memiliki vector eigen (Tabel 37) dengan nilai korelasi antara lingkar dada dengan skor ukuran sebesar Adapun penciri bentuk tubuh burung merpati balap lokal adalah panjang sayap (X 4 ) yang memiliki vector eigen sebesar dengan nilai korelasi antara lingkar dada dengan skor bentuk tubuh sebesar Hal ini berarti semakin lingkar dada maka skor ukuran tubuh burung merpati lokal semakin besar. Namun semakin panjang sayap maka skor bentuk tubuh burung merpati balap tinggi semakin kecil karena korelasinya negatif. Tabel 37 Persamaan ukuran tubuh dan bentuk tubuh pada burung merpati lokal beserta keragaman total dan nilai eigen Persamaan Keragaman Nilai Total (%) Eigen Ukuran 0.865X X X X Bentuk 0.098X X X X Keterangan:X 1 =lingkar dada; X 2 =lebar dada; X 3 = panjang punggung; dan X 4 =panjang sayap Hasil analisis komponen utama menunjukkan bahwa burung merpati lokal memiliki penciri ukuran dan bentuk tubuh sama dengan merpati balap datar, yaitu penciri ukuran adalh lingkar dada dan penciri bentuk adalah panjang sayap. Hal ni memungkinkan seleksi balap datar dari burung merpati lokal. Diagram Kerumunan Berdasarkan ukuran fenotipik yang digambarkan dalam diagram kerumunan pada Gambar 12 menunjukkan bahwa secara morfologis ada garis pemisah yang jelas antara burung merpati balap datar, balap tinggi, pedaging, Kisaran skor ukuran maupun bentuk antara ketiganya berbeda. Sebaliknya burung balap datar masih memiliki skor ukuran yang mirip dengan lokal. Pada Gambar 15, burung merpati balap tinggi berada pada diagram kiri bawah; burung merpati balap datar berada pada diagram kanan atas; sedangkan burung merpati pedaging berada diantara burung merpati balap tinggi dan balap datar. Kerumunan ketiga jenis burung merpati terpisah jauh. Kisaran skor ukuran dan skor bentuk burung merpati balap tinggi masing-masing dan ( ( ). Kisaran skor ukuran dan skor bentuk burung merpati

136 109 pedaging masing-masing dan ( )-( ). Adapun kisaran skor ukuran dan skor bentuk balap datar masing-masing dan ( )-( ). Selanjutnya skor ukuran dan bentuk lokal masingmasing dan Variable skor bentuk balap datar * skor ukuran balap datar skor bentuk balap tinggi * skor ukuran balap tinggi skor bentuk pedaging * skor ukuran pedaging skor bentuk lokal * skor ukuran lokal 10 skor bentuk skor ukuran Gambar 15 Diagram kerumunan burung merpati berdasarkan skor ukuran dan skor bentuk tubuh Dari diagram kerumunan bahwa skor bentuk keempat jenis burung merpati berbeda, namun skor ukuran menunjukkan ada dua kelompok yaitu balap tinggi dengan pedaging, sedangkan balap datar dengan lokal. Kesamaan skor ukuran balap datar lokal sesuai dengan hasil analisis komponen utama bahwa penciri balap datar dan lokal sama. Jarak Genetik Jarak ketidakserupaan ukuran-ukuran tubuh antara burung merpati balap datar, burung merpati balap tinggi dan burung merpati pedaging yang diamati diperoleh berdasarkan hasil statistik D 2 Mahalanobois yang diakarkan. Tabel 38

137 110 menyajikan akar dari jarak minimum D 2 diamati. dari burung keempat jenis burung yang 2 Tabel 38 Akar dari jarak D Mahalanobis burung merpati balap datar, balap tinggi, pedaging, dan lokal Jenis Lokal Pedaging Balap Tinggi Balap Batar Lokal 0 Pedaging Balap Tinggi Balap Datar Selanjutnya ketidakserupaan morfometrik ukuran-ukuran linier tubuh pada keempat jenis burung yang diamati disajikan pada dendogram pada Gambar Balap datar Balap tinggi Lokal Pedaging Gambar16 Dendrogram jarak ketidakserupaan ukuran tubuh pada burung merpati Berdasarkan ukuran tubuh yang diamati, keempat jenis burung merpati terbagi dalam tiga kelompok. Kelompok pertama adalah burung merpati balap tinggi dan balap datar. Kedua jenis burung selanjutnya tergabung dengan merpati lokal, berarti keduanya juga mempunyia kesamaan morfometrik. Adapun ketiganya menunjukkan hubungan yang jauh dengan burung merpati pedaging. Jarak ketidakserupaan morfometrik ukuran tubuh burung merpati balap datar dan balap tinggi sebesar menunjukkan jarak ketidakserupaan ukuran tubuh yang paling kecil. Berarti ukuran tubuh burung merpati balap datar dan tinggi mirip dengan ketidakserupaan morofometrik yang rendah. Hal ini berbeda dengan hasil analisis komponen utama dan analisis keumunan bahwa balap datar

138 111 dan balap tinggi memiliki penciri ukuran da bentu tubuh berbeda, demikian pula haasil analisis kerumunan keduanya terpisah. Selanjutnya burung merpati balap datar dan balap tinggi juga memiliki keserupaan morfometrik dengan burung merpati lokal. Ukuran Tubuh dengan Kecepatan Terbang Hasil analisis statistik menunjukkan ada korelasi ukuran tubuh yang diamati pada burung merpati balap tinggi dengan kecepatan terbang. Adapun untuk menduga kecepatan terbang dengan keempat ukuran tubuh pada burung merpati tinggi memiliki persamaan Kecepatan terbang= Lingkar dada Lebar dada Panjang punggung Panjang sayap, dan panjang sayap yang nyata berpengaruh terhadap kecepatan terbang, dengan demikian persamaan linier antara kecepatan terbang dengan panjang sayap adalah Kecepatan terbang= panjang sayap. Berati semakin panjang sayap maka terbangnya semakin cepat. Pada burung merpati balap datar ukuran tubuh yang nyata berpengaruh terhadap kecepatan terbang adalah lingkar dada. Adapun bentuk persamaan liniernya adalah Kecepatan terbang= lingkar dada. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar lingkar dada maka kecepatan terbang semakin turun. Kecepatan terbang balap datar dan balap tinggi disajikan pada Tabel 39. Kecepatan terbang balap datar lebih tinggi dibandingkan balap tinggi (P<0.01). Namun kedua jenis burung merpati balap ini menunjukkan kecepatan terbang lebih tinggi dari hasil penelitian (Pennycuick 1968) bahwa burung meluncur dengan kecepatan minimum (sekitar 8-6 m/detik). Tabel 39 Kecepatan terbang burung merpati balap datar dan balap tinggi Jenis N X ± sb (m/dt) KK(%) Kisaran (M/dt) Balap datar 20 a ± Balap tinggi 20 b 11.90± ±16.26 Tabel 38 menunjukkan bahwa kecepatan terbang burung merpati balap datar memiliki keragaman lebih tinggi dibandingkan burung balap tinggi. Hal ini

139 112 berarti seleksi pada burung balap datar masih lebih efektif dibandingkan pada burung merpati balap tinggi. Simpulan 1. Ripitabilitas berat telur dan berat tetas tinggi, ripitabilitas pertumbuhan piyik rendah sampai tinggi ( ), bobot dewasa sedang (0.217), sedang ripitabilitas sifat reproduksi rendah ( ). 2. Pendugaan nilai heritabilitas sifat produksi sedang dengan nilai h 2 berkisar Bobot dewasa dengan bentuk telur, dan berat telur dengan berat tetas memiliki korelasi genetik yang tinggi. 4. Berat telur memiliki korelasi fenotipik nyata dengan berat tetas, berat sapih dan berat dewasa. Lingkar dada merupakan penciri ukuran tubuh burung merpati balap datar dan pedaging, sedangkan penciri ukuran tubuh balap tinggi adalah panjang sayap. 5. Penciri bentuk tubuh pada burung merpati balap datar panjang sayap, lingkar dada pada balap tinggi dan panjang punggung pada pedaging, panjang sayap pada burung merpati lokal. 6. Burung balap datar, balap tinggi, dan lokal masih memiliki kemiripan. 7. Burung balap datar dan tinggi belum memiliki karakterististik spesifik. 8. Lingkar dada sebagai penentu kecepatan terbang pada balap datar, dan panjang sayap sbagai penentu kecepatan terbang bagi balap tinggi.

140 113

141 113 BAHASAN UMUM Gen yang mempengaruhi ekspresi sifat kualitatif terdapat pada kromosom otosom (kromsom Z), sehingga ekspresi pada kedua jenis kelamin sama, kecuali warna bulu adapula yang terpaut seks. Nilai heterosigositas masing-masing sifat kualitatif berkisar dari Nilai heterosigositas warna bulu lebih tinggi dibandingkan ornament kepala, warna ceker, dan warna iris mata, sebaliknya warna ceker memiliki nilai heterosigositas terendah dibanding yang lainnya. Warna bulu masih beragam, diduga pada burung merpati lokal belum ada seleksi terhadap warna bulu. Adapun warna ceker mendekati seragam, hal ini dikarenakan adanya gen modifier yang menyebabkan ceker yang hitam berubah menjadi merah, sehingga piyik yang berceker hitam setelah dewasa warna cekernya berubah menjadi merah, seperti dikemukakan oleh Huntley (1999). Nilai heterosigositas warna iris mata rendah, berarti warna iris mata mendekati keseragaman. Seperti dikemukakan oleh Javanmard (2005) bahwa populasi dinyatakan beragam apabila hetersigositasnya kurang dari 0.5. Hal ini diduga sudah ada seleksi yang dilakukan oleh penggemar burung merpati yang lebih menyukai warna iris mata tertentu yaitu kuning. Demikian halnya dengan ceker tidak berbulu, frekuensi gen tidak berbulu rendah dikarenakan ada seleksi terhadap ceker tidak berbulu sehingga di lapang burung merpati yang cekernya tidak berbulu lebih banyak. Heterosigositas rata-rata sebesar menunjukkan bahwa burung merpati lokal masih beragam. Warna dasar bulu burung merpati lokal terdapat lima macam, yaitu hitam, megan, coklat atau gambir, abu, dan putih. Pola bulu sayap primer pung merpati lokal polos, telampik dan selap. Adapun corak bulu adalah bar dan barr less. Pengontrol warna dasar ada tiga pasang gen yang terletak pada tiga lokus dengan satu lokus merupakan alel ganda. Dengan dominasi, yaitu (S alelnya s), (B + >B A >b), (C alelnya c) dan ditemukan sebanyak 68 variasi dari lima warna dasar yang diamati. (n= 711 ekor) pada penelitian ini. Adapun Cornell Lab of Ornithology (2007) menduga ada sebanyak 28 jenis warna burung merpati yang disebut morphs. Selanjutnya Zickefoose (2007) menyatakan bahwa Proyek Pigeon Watch mengelompokkan warna burung merpati dalam tujuh morphs, yaitu: Blue-bar; Red-bar, Checker; Red; Spread, Pied, dan White.

142 114 Warna dasar, pola bulu dan corak bulu burung merpati balap sama dengan burung merpati lokal, kecuali warna dasar putih tidak ditemukan pada balap datar maupun balap tinggi. Walaupun secara genetik pada perkawinan secara acak terdapat peluang muncul warna putih, namun penggemar balap lebih menyukai warna dasar selain putih, dengan demikian warna dasar yang ditemukan pada burung merpati balap adalah coklat, abu, megan dan hitam. Adapun pola bulu primer sama dengan burung merpati lokal yaitu polos, telampik dan selap, juga corak bulu yaitu bar dan bar less terdapat pada burung merpati balap. Fenotipe iris mata liplap tidak ditemukan pada burung balap. Keragaman sifat kualitatif burung merpati balap terdapat pada burung merpati lokal. Hal ini menunjukkan bahwa karakterstik sifat kualitatif balap sama dengan merpati lokal. Jenis pakan yang dapat memenuhi kebutuahan nutrisi burung merpati untuk reproduksi maupun produksi (piyik) adalah pakan yang terdiri dari (50% jagung + 50% pakan komersial) dengan kandungan protein kasar pada pakan sebesar 14.9% (hasil analisis bahan pakan) dan energi metabolis 3100 kkal/kg ransum (berdasarkan perhitungan). Walaupun pola konsumsi burung merpati lebih menyukai jagung dibandingkan ransum komersial, dan adanya produksi susu tembolok menjelang piyik menetas dan seminggu pertama yang diproduksi induk dan dilolohkan pada piyik, sehingga bobot piyik umur satu minggu sama antara piyik dari induk yang diberi pakan 100% jagung dengan induk yang sebagian pakan jagung digantikan dengan pakan komersial. Namum penambahan pakan komersial untuk menggantikan sebagian jagung menghasilkan performa piyik lebih baik dibandingkan dengan piyik yang induknya diberi pakan 100% jagung. Adapun proporsi jagung dan pakan komersial dapat diberikan 60% jagung dan 40% ransum komersial. Proporsi ransum komersial terhadap jagung paling tinggi pada minggu ke-i, hal ini disebabkan piyik memerlukan pakan yang lunak dan mengandung gizi tinggi. Hal ini dikarenakan selain crop milk yang dihasilkan oleh kelenjar pada tembolok induk, piyik juga diloloh pakan yang lunak oleh induk, sedangkan pakan yang keras seperti jagung baru dimulai dilolohkan kepada piyik oleh induk saat piyik berumur 6 hari pada penelitian ini.

143 115 Konsumsi pakan per pasang burung merpati pada fase mengeram sebanyak g/pasang/hari yang dipergunakan untuk hidup pokok. Adapun konsumsi pakan pada fase tidak mengeram 73.7 g/pasang/hari dimanfaatkan untuk reproduksi yaitu pembentukan telur pada induk betina, dan konsumsi pakan pada fase meloloh anak sebanyak 102 g/pasang/hari. Pakan yang memenuhi kebutuhan nutrisi burung merpati diperlukan untuk produksi juga reproduksi bagi burung merpati balap maupun penghasil daging. Kajian jenis pakan, pola makan dan kebutuhan pakan sehingga diketahui pakan yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi burung merpati memudahkan manajemen pemeliharaan burung merpati pada penelitian selanjutnya mengenai produktivitasnya. Penelitian diawali dengan penjodohan burung merpati. Waktu yang dibutuhkan untuk menjodohkan burung merpati bervarisai. Burung merpati remaja jantan mulai mencari pasangan pada umur hari dengan rataan 126 hari dan koefisien keragaman 25.87% (n=6). Adapun burung merpati remaja betina mulai mencari pasangan pada umur hari dengan rataan 85.4 hari dan koefisien keragaman 40.8% (n=12). Hasil uji t umur berjodoh, burung merpati jantan nyata lebih lama (P 0.05) dibandingkan betina. Selanjutnya umur berjodoh burung merpati betina lebih beragam dibandingkan dengan burung merpati jantan. Adapun pasangan poligami dapat dilakukan pada 10 pasang (16% dari 62 pasang). Betina pasangan poligami bertelur normal dengan jumlah telur sebanyak dua butir. Kesulitan timbul pada masa pengeraman. Pasangan yang periode bertelurnya berbeda, betina yang belum bertelur mengganggu sarang betina yang bertelur sehingga telur tidak menetas (50%). Kedua betina bertelur tetapi jantan tidak ikut mengerami telur maka betinanya turut tidak mengerami telurnya akibatnya telur tidak menetas (20%). Adapun pasangan poligami lainnya kedua betina bertelur dan masing-masing mengerami telurnya walaupun tidak ada pejantan dan tidak bergantian mengerami telurnya. Namun, setelah telur menetas sewaktu masih piyik mati. Hal tersebut mengakibatkan produktivitas poligami rendah, karena pada pasangan poligami keharmonisan pasangan berpengaruh terhadap produktivitas karena burung merpati mengerami telurnya secara

144 116 bergantian antara induk betina dan jantan, serta kedua induk meloloh piyik secara bergantian. Selanjutnya produktivitas burung merpati diperoleh induk yang mau mengeram sebanyak 82.4%. Hal ini perlu untuk kelangsungan hidup burung merpati seperti dikemukakan (2009) bahwa sifat mengeram merupakan salah satu upaya melestarikan keturunan..adapun yang menyebabkan burung tidak mau mengeram adalah burung tersebut sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan baru atau daya adaptasinya lama; sifat keindukannya kurang, sudah berahi kembali sebelum telur meneta. Hal ini terjadi pada induk yang diberi pakan bernutrisi tinggi yaitu 100% pakan komersial. Produksi telur per pasang burung merpati berkisar 1-3 butir pada penelitian ini. Berat telur tidak mengalami perubahan setelah perode bertelur keempat. Berat telur berkisar g dengan rataan 17.7±1.6 g dan koefisien keragaman 9% pada penelitian ini. Menurut Ensminger (1992) bahwa berat telur unggas dipengaruhi oleh bangsa, berat badan dan umur dewasa kelamin. Jumlah telur yang dihasilkan per tahun, urutan telur dalam clutch, tingkat protein dalam ransum, pakan dan air minum, suhu lingkungan, tipe kandang dan penyakit Umur bertelur pertama berkisar hari dengan rataan 221±31 hari (n=14). Umur bertelur pertama tersebut lebih lama dibandingkan penelitian yang dilakukan oleh Jalal et al. (2011) maupun Khargharia et al. (2003) bahwa umur dewasa kelamin burung merpati berkisar hari dan ±0.46 hari. Berat badan induk burung merpati lokal berkisar g lebih rendah dari hasil penelitian Mignon-Grateau et al. (2000) bahwa berat badan bervariasi dari g sampai g. Perbedaan berat badan ini diduga karena faktor genetik dan lingkungan. Pada saat bertelur pertama burung merpati telah mencapai bobot dewasa, hal ini ditunjukkan dari hasil analisis statistik bobot badan induk saat bertelur pertama, kedua, dan ketiga tidak berbeda nyata. Fertilitas dan daya tetas telur burung merpati pada penelitian ini masingmasing sebesar 92.4% dan 77%. Peneliti lain Jalal et al. (2011) memperoleh fertilitas dan daya tetas burung merpati masing-masing sebesar 90% dan 85%. Bobot tetas piyik burung merpati lokal berkisar g dengan rataan 14.0 g lebih tinggi dari hasiln penelitian Ibrahim and Sani (2010) bahwa bobot

145 117 anak merpati adalah ± 0.08 g, adapun bobot telur tetas adalah ± 0.11 g. Bobot telur dan bobot tetas memiliki korelasi tinggi (r = 0.932) dengan tingkat presisi yang tinggi (R 2 =86.9%). Selang bertelur pada burung merpati lokal 17.6 hari tanpa mengeram, 34.1 hari jika mengeram namun tidak meoloh anak, dan 51 hari jika setelah bertelur kemudain mengeram dan dilanjutkan dengan meloloh anak hingga anak disapih umur 35 hari. Jumlah telur per periode ber telur berkisar 1-3 butir. Kurva pertumbuhan piyik merpati lokal berbentuk kuadratik dengan persamaan Y= t-13.3t 2, yaitu Y=bobot badan dan t adalah waktu (umur) dengan laju pertumbuhan cepat saat piyik berumur 0-14 hari dan setelah umur 28 hari laju pertumbuhan menurun (negatif) dan nilai konversi pakan yang terus meningkat hingga minggu keempat pemeliharaan piyik. Olehkarenanya sebagai piyik potong maka seleksi sebaiknya dilakukan pada umur hari, Berat telur dan berat tetas burung merpati lokal rmemiliki nilai ripitabiltas yang tinggi masing-masing adalah dan Hal ini mendukung hasil penelitian Akpa et al. (2006) yang memperoleh nilai ripitabilitas 0.77 dan 0.85 untuk bobot telur pada telur puyuh yang diukur pada umur 12 minggu dan 28 minggu. Bobot telur dan bobot tetas burung merpati lokal rmemiliki nilai ripitabiltas yang tinggi masing-masing adalah dan Berarti sifat reproduksi tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yaitu suhu, dan kelembaban saat pengeraman. Nilai heritabilitas bobot telur dan bobot tetas pada burung merpati lokal rendah yaitu 0.19 dan Aggrey dan Cheng (1992) dengan menggunakan squab (merpati muda) silangan Silver King x White King memperoleh nilai heritabilitas bobot tetas sebesar Nilai heritabilitas bobot telur burung merpati lokal pada penelitian ini juga lebih rendah dibandingkan unggas lain pada hasil penelitian Ingram et al. (1989); Moss and Watson 1982); Zhang et al. (2005). Hal ini dikarenakan keragaman genetik dan lingkungan. Selain itu nilai heritabilitas untuk sifat yang sama berbeda untuk jenis, bangsa dan galur ternak yang berbeda (Falconer dan Mackay 1996).

146 118 Bobot induk memiliki korelasi genetik dengan bobot telur dan bentuk telur pada burung merpati lokal, yaitu dan Adapun bobot telur memiliki korelasi genetik dengan bobot tetas sebesar Adanya korelasi antara dua sifat bermanfaat untuk seleksi. Seperti dikemuakan Warwick et al. (1995) bahwa pengetahuan tentang besar dan tanda korelasi genetik dapat dipergunakan untuk memperkirakan perubahan yang terjadi pada generasi berikutnya untuk sifat yang tidak diseleksi tetapi berkorelasi dengan sifat yang diseleksi. Semakin tinggi nilai korelasi genetik, semakin besar perubahan yang terjadi pada sifat yang berkorelasi. Nilai korelasi genetik dapat berubah dalam populasi yang sama selama beberapa generasi. Nilai tersebut diestimasi pada kurun waktu tertentu dan berlaku pada suatu populasi. Bobot telur, bobot tetas, bentuk telur, bobot sapih, bobot anak dan bobot tetua memiliki korelasi positip. Bobot dewasa (induk) memiliki korelasi nyata atau berpengaruh positip dan nyata terhadap ukuran telur dan bobot telur yaitu dan Bobot telur berkorelasi positip terhadap bentuk telur, bobot tetas, bobot sapih piyik yaitu 0.207; 0.760; Bobot tetas juga memiliki korelasi positip dan nyata terhadap bobot sapih piyik sebesar Semakin tinggi bobot telur tetas maka dapat diharapkan bobot sapih piyik yang berat, dengan demikian untuk selaksi piyik dapat dimulai dari bobot telur. Adanya korelasi fenotipik antara beberapa sifat pada burung merpati lokal bermanfaat untuk menduga sifat kedua dari sifat pertama atau sebaliknya. Hal ini merujuk kepada Noor (2008) dan Warwick (1995) bahwa korelasi fenotipik ini terjadi dikarenakan adanya gen-gen yang bersifat pleitropik. Pertumbuhan piyik burung merpati balap datar, balap tinggi maupun pedaging (HmoerxKing) tidak berbeda nyata kecuali pada saat menetas (0 hari), burung merpati pedaging lebih berat (P<0.05) dibandingkan burung balap datar dan balap tinggi, sedangkan antara balap datar dan balap tinggi sama. Pada fase pertumbuhan piyik selanjutnya merpati balap datar dan balap tinggi tidak berbeda, sedangkan merpati pedaging berbeda dengan balap pada umur tiga minggu, yaitu merpati pedaging lebih berat dibandingkan merpati balap. Namun pada minggu keempat piyik ketiga jenis merpati yaitu balap datar, balap tinggi maupun pedaging memiliki berat badan tidak berbeda nyata masing-masing 333.0; 312.6;

147 119 dan g. Adapun rataan bobot piyik burung merpati lokal pada minggu keempat mencapai 300 g pada penelitian ini. Pola pertumbuhan ketiga jenis burung sama yaitu pertumbuhan cepat pada minggu pertama dan kedua dengan laju pertumbuhan tertinggi pada minggu pertama. Adapun minggu kedua hingga keempat ada pertumbuhan namun laju pertumbuhan menurun dibandingkan minggu pertama, dengan demikian piyik burung merpati balap yang tidak terseleksi sebagai balap dapat dipotong pada umur hari. Hal ini juga sama pada burung merpati lokal. Bobot potong, persentase karkas dan persentase bagian dada tidak berbeda pada pemotongan piyik umur 21, 23 maupun 25 hari. Bobot potong, persentase karkas dan persentase dada piyik jantan dan piyik betina tidak berbeda. Juga tidak ada interaksi antara umur pemotongan dengan seks. Hal ini menunjukkan bahwa piyik dapat dipotong pada umur 21 hari dengan demikian induk dapat segera bertelur kembali. Hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Ibrahim dan Bashrat (2009) bahwa bobot potong dan karkas piyik burung merpati, yang dipelihara di bawah kondisi rumah tangga di kota-kota Bauchi, North Eastern Nigeria untuk piyik adalah ± 7.32 g dan ± 5.51 g. Pada pengembangan burung merpati lokal selanjutnya peningkatan produksi selain melalui poligami dapat dilakukan melalui penambahn telur tetas atau menambah piyik yang diloloh per pasang induk burung merpati. Pada kondisi normal sepasang burung merpati mengerami telur sebanyak 2 butir sesuai dengan jumlah telur yang diproduksi per periode bertelur yaitu sebanyak 2 butir dan meloloh 2 piyik. Daya tetas pada pasangan induk yang mengerami 3 butir lebih tinggi dibandingkan dengan induk yang mengerami telur dengan jumlah normal 2 butir. Perbedaan pertumbuhan piyik yang diloloh 1, 2, 3 maupun 4 sampai umur 16 hari. Namun mulai umur18 hingga 28 hari, pertumbuhan piyik yang diloloh 1, 2, 3 maupun 4 sama (secara statstik tidak berbeda nyata) Penambahan jumlah anak (piyik) yang diloloh pada sepasang induk burung merpati dapat dilakukan hingga 2 ekor dari kondisi normal (2 piyik). Hal ini dtunjukkan oleh pertumbuhan piyik yang diloloh 3 maupun 4 tumbuh normal seperti halnya pada induk yang meloloh 2 ekor piyik. Tidak ada kematian piyik pada pasangan burung merpati

148 120 yang meloloh piyik 1,2,3 maupun 4. Hal ini dapat diaplikasikan pada manajemen produksi burung merpati balap, sehingga burung balap tidak harus mengerami dan meloloh piyiknya, yaitu dengan menitipkan telur atau piyik kepada induk yang lain (babuan). Adapun burung balap dapat diterbangkan (dilombakan) setelah bertelur. Selanjutnya pada penelitian ini diperoleh penciri ukuran dan bentuk tubuh dari empat ukuran tubuh yaitu lingkar dada, lebar dada, panjang punggung dan panjang sayap, bahwa penciri ukuran tubuh adalah lingkar dada pada burung balap datar, pedaging dan lokal, sedangkan burung merpati balap tinggi adalah panjang sayap. Penciri bentuk tubuh burung merpati balap datar dan lokal adalah panjang sayap, lingkar dada untuk balap tinggi dan panjang punggung untuk pedaging. Penciri ukuran dan bentuk tubuh balap datar dan lokal sama. Skor bentuk tubuh keempat jenis burung merpati berbeda, skor ukuran balap datar dengan lokal ada kesamaan, dan berbeda baik dengan balap tinggi maupun pedaging dari analisis kerumunan. Hal ini menunjukkan ukuran belum dapat digunakan untuk mengkarakterisasi balap datar dan balap tinggi, bahkan ada indikasi bahwa balap datar, balat tinggi dan lokal memiliki keserupaan morfometrik yang tinggi dari analisis jarak keeserupaan. Juga ada pula kesamaan morfometrik dengan burung merpati pedaging walaupun sedikit, hal ini diduga masih ada percampuran diantara keempat jenis burung merpati. Hasil analisis komponen utama, analisis kerumunan, jarak keserupaan maka burung balap datar maupun balap tinggi dapat diseleksi dari populasi burung merpati lokal. Adapun potensi burung merptai lokal dapat dijadikan balap, hal ini merujuk Usherwood (2011) bahwa burung biasa terbang berkelompok. Matthews (1963) bahwa pengulangan kembali jalur yang sama lebih dari dua kali dan kurang dari enam kali saat dilatih terbang efisien bagi burung merpati untuk mengenali lintasan untuk homing. Pennycuick (1997) menyatakan bahwa kecepatan jelajah dibatasi oleh kekuatan otot. Cnotka et al. (2008) bahwa burung yang dilatih terbang memiliki rata-rata hippocampus yaitu struktur otak depan yang berperanan dalam proses informasi spasial lebih besar dibandingkan dengan burung yang tidak dilatih terbang. Volume hippocampus tergantung pada

149 121 karakteristik terbang dan pengalaman navigasi. Adapun plastisitas volume hipokampus dipengaruhi faktor genetik, namun dari hasil penelitian Cnotka et al. (2008) mengkonfirmasikan bahwa pengalaman terbang memiliki implikasi tertentu untuk kemampuan terbang. Artinya pengalaman adalah prasyarat untuk pengembangan hipokampus maksimal. Hal ini membedakan kecepatan terbang dari burung balap, sehingga kecepatan balap datar lebih tinggi dibandingkan balap tinggi dengan tehnik pelatiahan yang berbeda, yaitu burung balap datar dilatih terbang datar pada lintasan tanpa halangan, sedangkan balap tinggi dilatih terbang pada lintasan dengan halangan. Adapun penentu kecepatan terbang pada burung balap datar adalah lingkar dada, sedangkan pada burung balap tinggi adalah panjang sayap. Melalui seleksi berdasarkan kecepatan terbang pada burung merpati lokal juga dapat diperoleh merpati balap. Piyik burung merpati lokal sebagai penghasil daging dapat diperoleh dari piyik lokal yang tidak terseleksi sebagai balap. Hal ini didukung dari penelitian ini bahwa masih ada keserupaan morfometri merpati lokal dengan merpati pedaging (Homerx King).

150 122

151 123 SIMPULAN Burung merpati bisa poligami. Produktivitas burung merpati yaitu rataan bobot telur 17.7±1.6 g dan (KK 9%). Umur bertelur pertama 221±31 hari. Bobot badan induk burung merpati lokal berkisar g. Fertilitas dan daya tetas telur burung merpati pada penelitian ini masing-masing sebesar 92.4% dan 77%. Bobot tetas piyik burung merpati lokal berkisar g. Selang bertelur pada burung merpati lokal17.6 hari tanpa mengeram, 34.1 hari jika mengeram namun tidak meoloh anak, dan 51 hari jika setelah bertelur kemudain mengeram dan dilanjutkan dengan meloloh anak hingga anak disapih umur 35 hari. Pakan yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisi burung merpati yaitu pakan dengan kandungan protein kasar 15% dan energi metabolis 3100 kkal/kg ransum terdiri dari 50% jagung dan 50% ransum komersial. Konsumsi pakan per pasang burung merpati pada fase mengeram sebanyak g/pasang/hari, fase tidak mengeram g/pasang/hari yang dimanfaatkan untuk reproduksi (pembentukan telur pada induk betina). Adapun konsumsi pakan pada fase meloloh anak sebanyak g/pasang/hari. Nilai ripitabilitas bobot telur dan bobot tetas masing-masing dan Adapun nilai hertabilitasnya 0.19 dan Bobot telur, bentuk telur dan bobot induk memiliki korelasi genetik positip. Bobot telur, bobot tetas, bentuk telur, bobot sapih, bobot anak dan bobot tetua memiliki korelasi fenotipk positip. Piyik ketiga jenis merpati yaitu balap datar, balap tinggi maupun pedaging memiliki pola pertumbuhan sama dan bobot badan (bobot potong) tidak berbeda nyata masing-masing 333.0; 312.6; dan g. Bobot potong, persentase karkas dan persentase bagian dada tidak berbeda pada pemotongan piyik umur 21, 23 maupun 25 hari dan sama pada piyik jantan dan betina. Peningkatan produksi dapat dilakukan dengan penambahan telur tetas hingga 4 butir/pasang (normal 2 butir) atau menambah piyik yang diloloh hingga 4 piyik per pasang (normal 2 piyik). Kecepatan terbang balap datar ada korelasi dengan lingkar dada, sedang, pada burung balap tinggi panjang sayap yang memiliki korelasi dengan kecepatan terbang.

152 124 Burung balap datar, balap tinggi belum memiliki karakteristik spesifik untuk seleksi sebagai balap. Merpati balap dapat diseleksi dari burung merpati lokal dengan adanya kemiripan morfometri balap dengan merpati lokal dan merpati lokal yang tidak terseleksi sebagai balap dapat dimanfaatkan sebagai penghasil daging. Saran Ada penelitian lanjutan dengan menanbah ukuran tubuh selain empat ukuran tubuh yang sudah diamati untuk karakterisasi genetik secara morfologis. Karakterisasi genetik secara molekuler sebaiknya dilakukan pula pada burung merpati balap datar dan tinggi sehingga diperoleh penciri balap keduanya dan dengan demikian memudahkan untuk seleksi merpati lokal sebagai balap datar maupun tinggi.

153 125 DAFTAR PUSTAKA Aggrey SE, Cheng KM Estimation of genetic parameters for body weight tarits in squab pigeon. Genet Sel Evol 24: Akpa GN, Kaye J, Adeyinka IA, Kabir M Repeatability of body weight and egg quality traits of Japanese quails. Savannah J Agric 1(2): Allan B Flying oriental roller society. [17 Mei 2011] Anggorodi R Nutrisi Ternak Unggas. Jakarta: PT Gramedia. Alwazzan S Pigeon Meat Farm, Victoria. http: //www. Alwazzan.Ca /. [17 Oktober 2000]. Antawijaya T Pengaruh pengelolaan loloh paksa (force feedimg) terhadap performans piyik dan induk burung merpati Homer King [tesis]. Bogor: Program Studi Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Asnah, GA, Segewa JC, Buckland RB Semen production, sperm quality and their heritability as influenced by selection for fertility of frozen thawed semen in chicken Poult Sci 64: Bachmann, T, Klan S, Baumgart W, Klaas M, Schroder W, Wagner H Morphometric characterization of wing feathers of the barn owl Tyto alba pratincola and the pigeon Columba livia. Front Zool 4: 23. doi: / Barth EK Calculation of egg volume based on weight during incubation. Auk. 70 (2): Auk/v070n02/p0151- p0159.pdf [5 Juni 2011]. Becker WA Manual of Quantitative Genetics. Washintgton: Washington State University. Ed ke-3. Pullman, Bennerwitz, O, Morgades O, Preienger R, Tnaker G, Kalm E Variance components and breeding value estimation for reproductive traits in laying hen using a Bayesian threshold model. Poult.Sci 86: Blakely J, Bade DA Ilmu Peternakan. B. Srigandono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Animal Husbandry. Bokhari SA Handbook on Squabbing Pigeon Breeding Bioenginering The Natural Way. www. Bokhari.com/ [29 Desember 2008]. Bokhari SA How to Raise Squabs. www. Bokhari.com/ [01 Maret 2008]. Bourdan AH Understanding Animal Breeding. The United States of America:Prentice-Hall, Inc.

154 126 Brown MG English fantail pigeon: Beautiful white fantail pigeon. Mei 2011]. Card LE Poultry Production. Ed ke-7. Philadelphia: Lea and Feliger. Cartmill AM Raising Pigeon. Kansas Pigeon Association Poultry. Poultry Science M. oznet.ksu.edu/library/lvstk2/mf987.pdf [16 Februari 2001]. Cnotka J, Mohle M, Rehkamper G Navigational experience affects hippocampus size in homing pigeons. Brain Behav Evol 72: Cornell Lab of Ornithology Cool Facts about Pigeon. Mei 2011]. Deeming DC, Wadland D Observations on the patterns of embryonic mortality over the laying season of pheasants. Br Poult Sci 42: Deeming DC, Wadland D Influence of age and sex in commercial pheasants fowls on bird health and production, fertility, and hatchability of eggs. Br Poult Sci 43: [Dispet DKI] Dinas Peternakan Daerah Khusus Ibukota Peternakan Merpati Homer x King. Jakarta: Dinas Peternakan DKI. Drevjany L. 2001a. Feeding of Breeding Flock. Research Paper Hubbell Farm, Canada. [21 Desember 2001]. Drevjany L. 2001b. Nutritional Properties of Squab Meat. Research Paper Hubbell Farm, Canada. [21 Desember 2001]. Elec-intro.com Birmingham roller pigeon. pigeon&usg [15 Mei 2011]. Elecintro.com Returnhome.jpg. [15 Mei 2011]. Encyclopedia Britannica Skeleton. Encylopedia Inc. Ensminger ME Poultry Production (Animal Agriculture Series). Ed ke- 3.Illionis. Interstate Publishers. Etches RJ Reproduction in Poultry. Ed ke-3. Canada: CAB International. Everitt BS, Dunn G Applied Multivariate Data Analysis. London: Edward Arnold. Faisalabad.olx.com.pk Frill back. [15 Mei 2011].

155 127 Faisalabad.olx.com.pk Helmet. [15 Mei 2011]. Faisalabad.olx.com.pk Satinette [15 Mei 2011]. Falconer DS Introduction to Quantitative Genetics. Ed-ke 2. London: London Inc. Falconer DS, Mackay TFC Quantitative Genetics. Ed ke-4. Longman: Longman Group Ltd. Feedburner Flight mechanism in pigeon (birds). Biology-Today_com.mht. Fekete S, Meleg I, Hullar I, Zoldag L Studies on the energy content of pigeon feeds II. Determination of incorporated energy. Poult Sci 78: Gasperz V Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Bandung:Tarsito. Gillespie JR Modern Livestock & Poultry Production. Ed ke-4. United State: Delmar Publishers. Grzimek B Girzmek s Animal Life Encyclopedia. New York: Van Nostrand Reinhold. Hardjosubroto W Aplikasi Pemuliaan Ternak di Lapangan. Jakarta: PT. Gramedia. Huntley R. 1999a. Eye color. [11 Juni 2011]. Huntley R. 1999b. The color darkening modifier known as smoky (slate), sooty and dirty. [4 September 2011]. Ibe SN, Nwakalor LN Growth patterns and conformation in broiler: influence of genotype and management on isometry of growth. Poult Sci 66: Ibrahim T, Bashrat O Carcass characteristics of pigeons reared in Bauchi Metropolis, North Eastern Nigeria (Abstract). Anim Prod Res Adv 5(2). Ibrahim T, Sani Y Relationship between egg weight and hatch in pigeons (Columba livia). Int J Poult Sci 9: weight Iskandar S Tatalaksana pemeliharaan ayam lokal. Dalam Keanekaragaman sumberdaya hayati ayam lokal Indonesia: Manfaat dan Potensi. Hal: files.woodpress.com/2009/tatalaksana ayam kampong.pdf [30 September 2011].

156 128 Ingram DR., Wilson HR, Nesbeth WG, Wilcox CJ Repeatabilities, heritabilities and phenotypic and genetic of egg characteristics of the Bobwhite quail (Colinus virginianus). Braz J Genet 12 (2): Jalal H, Bihaqi SF, Bihaqi SJ, Iqbal A A guide to commercial pigeon farming. [1 Juni 2011]. Janssens GP, Hesta M, Debaal, De Wilde ROM The effect of feed enzymes on nutrient and energy retention in young racing pigeon. Ann Zootech 49: Javanmard A, Nadar A, Banabaz1 MH, Tavkoham J The allel and genotype frequencies of bovine pituitary specific transcription factor and leptin genes in Iranian cattle and buffalo populations using PCR-RFLP. Iranian.J.of. Biotech 3 (2): Jerry S The magic of the Modena. Agustus 2011]. Khargharia G, Goswami RN, Das D Body weight of domestic pigeon (Columba livia domestica) of Assam as affected by some nongenetic factors. Ind J Poult Sci 36(2) Khargharia G, Goswami RN, Das D Performance of domestic pigeon of Assam in respect of some traits of reproduction. Ind Vet J 80: Kuswahyuni IS Respon seleksi jangka pendek bobot badan umur empat minggu terhadap penampilan produksi dan reproduksi burung puyuh. [disertasi]. Bogor: Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Lasley LJ Genetics of Livestock Improvement. Ed ke-3. New Delhi: Prentice-Hall of India Private Limited..Lawrence TLJ, Fowler VR Growth of Farm Animals. Ed ke-2. New York:CABI Publishing. Lebranche MS Cool Pigeon Facts Cornell Lab of Onithology. University of Cornell. United States. [14 Maret 2002]. Lesson S, Summer J Commercial Poultry Nutrition. Ed ke-3. Canada: University Books. Levi WM The Pigeons. Columbia:The R.l. Bryan Company. Mac Kinnon J, Philips K SERI-SERI LAPANGAN: Burung-burung di Sumatera, Bali dan Kalimantan. Puslitbang-LIPI & Birdlife International Indonesia Program.

157 129 Martojo H Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Bogor: IPB Pusat Anatr Bioteknologi. Matthews GVT The orientation of pigeons as affected by the learning of landmarks and by the distance of displacement. Anim Behav 11: Mayntz M Crest. D/g/Crest.htm [4 September 2011] Mc Donald P, Edwards RA, Greehalgh JFD, Morgan CA Animal Nutrition. Edit ke-6. Gosport: Ashford Colour Press, Ltd. McLaren EB Clutch size in pigeon guillemots: an experimental manipulation and reproductive one and two egg clutched. [19 Juni 2011]. Mignon-Grasteau S, Lescure L, Beaumont C. (2000). Genetic parameters of body weight and prolificacy in pigeons. Genet Sel Evol 32(4): Minkema S Dasar Genetika Dalam Pemuliaan Ternak. Jakarta:Bharata. Terjemahan: Tafaf ZB. Mosca F Basic Pigeon Genetics (The Three Pigments). [ 11 Maret 2002]. Muhaimi Budidaya burung merpati (Columba livia) di Sukabumi [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Peternakan Bogor. Nei M Molecular Evolutionery Genetics. New York: Columbia University Press. Nei M, Kumar S Molecular Evolution and Phylogenetics. New York: Oxford University Press, Inc. Nestor KE, Anderson JW, Paterson RA Genetics of growth and reproduction in turkey. 14. Changes in genetic parameter over thirty generations of selection for increased body weight. Poul Sci. 79: Nishida T, Nozawa K, Kondo K, Mansjoer SS, Martojo H Morphological and genetical studies on the Indonesian native fowl. The Origin and Phylogeny of Indonesian Native Livestock (Report by Grant-in-Aid for Overseas Scientific Survey. The Research Group of Overseas Scientific Surveys p: Noor RR Genetika Ternak. Jakarta: Penebar Swadaya. Oliphant LW Observations on the pigmentation of the pigeon iris. Pigment Cell Research. doi: / tb x

158 130 Parentsinvoled.org. (2011). Pigeons. [4 September 2011]. Pennycuick CJ Power requirement for horizontal flight in the pigeon Columba livia. J Exp Biol 49: Pennycuick C Actual and optimum flight speeds: Field data reassessed. J Exp Biol 200: Perrins CM, Birkhead TR Avian Ecology. New York: Chapman and Hall in Association with Methuer. Petek MY, Ozen, Karakas E Effect of ressesive white plumage colour incubation on hatchability and growth of quail hatched from breeders of different ages. Br Poult Sci 6: Peterson RT The Birds. Canada:Time Inc. Pigeonfarms.com.2011.Africanowpigeons. [19 Juni 2011]. Pigeonpets.co.uk King. [19 Mei 2011]. Pigeon Recovery http;// recovery.htm [12 Desember 2001]. Pigeonbirdfarm.woodpress.com. Burung merpati balap datar. [19 Mei 2011]. Pigeonbirdfarm.woodpress.com. Burung merpati balap tinggi. [19 Mei 2011]. Pigeonfrance.com Red Carneau. Mei 2011]. Pigeonfrance.com White Carneau. Mei 2011]. Pilastro A, Farronato I, Fracasso G The use of feather length as a method for measuring the wing shape of passerines. Avocetta (19): Priyati ED Daya produksi burung merpati (Columba livia), di Sukabumi. [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Peternakan Bogor. Roof J Columba livia (on line). Animal Diversity Web. ummz, umich.edu/site/accounts/information/columba-livia.html [29 September 2011].

159 131 Rusdiyanto, Sukardi Pemeliharaan merpati lokal dalam sistem terkurung terhadap performans squab. Proceding Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal. Universitas Diponegoro. Semarang. Saad White fantail pigeon: Beautiful white fantail pigeon. [15 Mei 2011]. Sales J, Janssens GPJ Nutrition of the domestic pigeon (Columba livia domestica). World,s Poult.Sci.J. 59: Sato K, Ida N, Ino T Genetic parameters of egg characteristics in Japanese quail. Jikken Dobutsu. 38 (1): Sintadewi AS Pertumbuhan perkembangan tubuh merpati [skripsi]. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Stell RGD, Torie JH Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Stern CA, Dickinson JL Encyclopedia of Animal Behaviour. [19 Mei 2011]. Sumadi IK Pengaruh penggantian susu tembolok dengan susu atau telur sebagai pakan awal terhadap perfomans piyik [tesis]. Bogor: Program Studi Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tobalske BW, Dial K. P Flight kinematics of balack-billed magpie and pigeons over a wide range speeds. J Exp Biol 199: Tugiyanti, Ismoyowati, Bobot hidup potong, bobot dressed carcass dan persentase karkas merpati local yang dipelihara secara tradisional berdasarkan umur potong dan jenis kelamin. J Pet Tropik. Vol 2 (8); Tyne JV, Berger AJ Fundamentals of Ornitology. Canada:Jhon Wiley & Sons. Udeh, I Repeatability of egg number egg weight in two strains of layer type chicken. Int J Poult Sci 9 (7): [Uk] University of Kentucky Poultry [19 Mei 2011]. Usherwood JR, Stavrou M, Lowe JC, Roskilly K & Wilson AM Flying in a flock comes at a cost in pigeons. Nature 474: [4 September 2011]. Warwick EJ., Astuti JM, Hardjosubroto W Pemuliaan Ternak. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

160 132 Winter AR, Funk EM Poultry Science and Practice. Ed ke-7. Chicago: J. B. Lippinrott Co. Yonathan E Merawat & Melatih Merpati Balap. Jakarta: Agromedia Pustaka. Zhang LC, Ning ZH, Xu GY, Hou ZC, Yang N Heritabilities and genetics and phenotypic correlations of egg quality traits in brown-egg dwarf layers. Poult.Sci 84(8): Zickefoose J Pigeon colors. Cornell Lab of Ornithology. [4 September 2011].

161 LAMPIRAN

162 Lampiran 1 Karakteristik sifat kualitatif pada burung merpati Fenotipe Warna Bulu Pola Bulu Corak Bulu Warna Ceker Warna Paruh Jambul Sayap Sekunder Blue-Bar Warna dasar biru/abu gelap dan mengkilap Warna biru/abu gelap polos Red-Bar Spread Red Checker Warna dasar Gambir/merah karat/coklat Warna biru, hitam, gambir, putih, abu Satu warna gelap/merah di seluruh tubuhnya Memiliki warna merah karat/coklat untuk tubuh dan abuabu bar pada sayapnya Warna gambir/merah karat polos Polos (Warna biru, hitam, gambir, putih, abu) Memiliki dua garis abu-abu hitam/ gelap pada bulu primer pada setiap sayap (bar) Memiliki dua garis merah pada bulu primer pada setiap sayap (bar) Merah Gelap - Polos, Badge, Hysterical Merah Terang (Pink) - Polos, Badge, Hysterical Non bar Merah Gelap: pada biru, hitam, putih Terang: pada Kadang Polos gambir dan putih Merah polos Non bar Merah Terang Kadang Polos, Badge, Hysterical Tidak polos Bar Merah Gelap - Badge, Hysterical 133

163 Pied Memiliki bercak terang dan gelap.pied splash memiliki satu /lebih bercak putih Tidak polos Non bar Merah Gelap/terang - Polos, Badge, Hystericl White Putih Putih polos Non bar merah Gelap/terang Kadang Polos 134

164 135 Lampiran 2a. Pola dan corak warna bulu burung merpati blantong abu gambir Blorok blantong Megan,barr putih Telampik teritis Blantong gendong Telampik pr gambir Megan teritis gambir

165 136 Telampik Selap Polos Lampiran 2b dan 2c Burung merpati dengan ornament kepala bulu jambul dan ceker berbulu Jambul Ceker berbulu Lampiran 2d Warna iris mata Coklat Kuning Putih

TINJAUAN PUSTAKA Burung Merpati

TINJAUAN PUSTAKA Burung Merpati 7 TINJAUAN PUSTAKA Burung Merpati Burung merpati atau burung dara diklasifikasikan sebagai berikut: kelas Aves; sub kelas Neornithes; super ordo Neognathae; ordo Columbiformes; sub ordo Columbiae; famili

Lebih terperinci

114 Warna dasar, pola bulu dan corak bulu burung merpati balap sama dengan burung merpati lokal, kecuali warna dasar putih tidak ditemukan pada balap

114 Warna dasar, pola bulu dan corak bulu burung merpati balap sama dengan burung merpati lokal, kecuali warna dasar putih tidak ditemukan pada balap 113 BAHASAN UMUM Gen yang mempengaruhi ekspresi sifat kualitatif terdapat pada kromosom otosom (kromsom Z), sehingga ekspresi pada kedua jenis kelamin sama, kecuali warna bulu adapula yang terpaut seks.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Merpati Karakteristik Merpati )

TINJAUAN PUSTAKA Merpati Karakteristik Merpati ) TINJAUAN PUSTAKA Merpati Menurut Yonathan (2003), penyebaran merpati hampir merata di seluruh bagian bumi kecuali di daerah kutub. Merpati lokal di Indonesia merupakan burung merpati yang asal penyebarannya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Burung mempunyai daya tarik khusus bagi manusia karena berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Burung mempunyai daya tarik khusus bagi manusia karena berbagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Burung mempunyai daya tarik khusus bagi manusia karena berbagai alasan diantaranya adalah burung lebih mudah dilihat dari hewan lain. Beberapa burung memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Burung Merpati

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Burung Merpati TINJAUAN PUSTAKA Burung Merpati Burung merpati termasuk kedalam kelas unggas yang telah lama dikenal di Indonesia dengan sebutan burung dara (Gambar1). Burung merpati merupakan spesies paling terkenal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Kebutuhan protein hewani mengalami peningkatan dari tahun ke tahun seiring meningkatnya pendapatan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi bagi kesehatan. Salah satu

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di peternakan merpati di area Komplek Alam Sinar Sari, Desa Sinarsari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini berlangsung selama bulan

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN UKURAN TUBUH BURUNG MERPATI

PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN UKURAN TUBUH BURUNG MERPATI 89 PENDUGAAN PARAMETER GENETIK DAN UKURAN TUBUH BURUNG MERPATI Pendahuluan Parameter genetik dapat diestimasi dari nilai tertentu dengan demikian merupakan besaran yang menggambarkan kondisi genetik suatu

Lebih terperinci

Pengaruh Perbedaan Kandungan Protein Dalam Ransum Terhadap Pertumbuhan Anak Merpati

Pengaruh Perbedaan Kandungan Protein Dalam Ransum Terhadap Pertumbuhan Anak Merpati Pengaruh Perbedaan Kandungan Protein Dalam Ransum Terhadap Pertumbuhan Anak Merpati Erna Winarti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Jln. Stadion Maguwoharjo No. 22 Sleman, Yogyakarta E-mail:

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lebih murah dibandingkan dengan daging ternak lain seperti sapi dan domba.

PENDAHULUAN. lebih murah dibandingkan dengan daging ternak lain seperti sapi dan domba. 1 I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ternak unggas merupakan ternak yang sangat populer di Indonesia sebagai sumber daging. Selain cita rasanya yang disukai, ternak unggas harganya relatif lebih murah dibandingkan

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Burung puyuh dalam istilah asing disebut quail yang merupakan bangsa

TINJAUAN PUSTAKA. Burung puyuh dalam istilah asing disebut quail yang merupakan bangsa II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Burung Puyuh Burung puyuh dalam istilah asing disebut quail yang merupakan bangsa burung liar yang mengalami proses domestikasi. Ciri khas yang membedakan burung

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. sebagai alternatif sumber protein hewanidi masyarakat baik sebagai penghasil telur

I PENDAHULUAN. sebagai alternatif sumber protein hewanidi masyarakat baik sebagai penghasil telur I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puyuh merupakan salah satu jenis ternak unggas yang dikembangkan sebagai alternatif sumber protein hewanidi masyarakat baik sebagai penghasil telur maupun daging. Sejak

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Burung Puyuh Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali diternakkan

Lebih terperinci

PERFORMANS DAN KARAKTERISTIK AYAM NUNUKAN

PERFORMANS DAN KARAKTERISTIK AYAM NUNUKAN PERFORMANS DAN KARAKTERISTIK AYAM NUNUKAN WAFIATININGSIH 1, IMAM SULISTYONO 1, dan RATNA AYU SAPTATI 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Lokasi Penelitian Suhu dan kelembaban lokasi penelitian diamati tiga kali dalam sehari yaitu pagi, siang dan sore hari. Rataan suhu dan kelembaban pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN MATERI DAN METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Rawamangun Selatan, Gg. Kana Tanah Merah Lama, Jakarta Timur. Penelitian dilakukan empat bulan, yaitu mulai bulan Agustus sampai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, tribus Anatini dan genus Anas (Srigandono,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012. I 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN Peternakan puyuh di Indonesia saat ini cukup berkembang, hal ini karena semakin banyaknya usaha peternakan puyuh baik sebagai usaha sampingan maupun usaha utama untuk memenuhi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek.

I PENDAHULUAN. tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Burung puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil berkaki pendek. Burung ini merupakan burung liar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terbang tinggi, ukuran relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar

PENDAHULUAN. terbang tinggi, ukuran relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puyuh (Coturnix coturnix japonica) merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Burung Merpati Balap Tinggian Karakteristik dari burung merpati balap tinggian sangat menentukan kecepatan terbangnya. Bentuk badan mempengaruhi hambatan angin, warna

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2004 PENGARUH PROTEIN RANSUM PADA FASE PRODUKSI TELUR II (UMUR 52 64 MINGGU) TERHADAP KUALITAS TELUR TETAS DAN PERTUMBUHAN ANAK ITIK TEGAL SAMPAI UMUR SATU MINGGU (Effects of Protein Ratio a Phase II of Eggs

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAN KERAGAMAN SIFAT KUALITATIF BURUNG MERPATI LOKAL

KARAKTERISTIK DAN KERAGAMAN SIFAT KUALITATIF BURUNG MERPATI LOKAL KARAKTERISTIK DAN KERAGAMAN SIFAT KUALITATIF BURUNG MERPATI LOKAL Pendahuluan Sifat kualitatif burung merpati lokal masih beragam. Keragaman sifat kualitatif tersebut merupakan kekayaan plasma nutfah dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Magelang Bangsa itik jinak yang ada sekarang berasal dari itik liar yang merupakan species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi (Susilorini

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH : RINALDI

SKRIPSI OLEH : RINALDI PENDUGAAN PARAMETER GENETIK KAMBING BOERKA (F2) BERDASARKAN BOBOT LAHIR, BOBOT SAPIH DAN BOBOT UMUR 6 BULAN DI LOKA PENELITIAN KAMBING POTONG SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : RINALDI 100306003 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

PENDUGAAN UMUR BERDASARKAN PERGANTIAN BULU PADA ITIK BETINA LOKAL PERIODE INDUKAN SKRIPSI NOVI GIANTI LOKOLLO

PENDUGAAN UMUR BERDASARKAN PERGANTIAN BULU PADA ITIK BETINA LOKAL PERIODE INDUKAN SKRIPSI NOVI GIANTI LOKOLLO PENDUGAAN UMUR BERDASARKAN PERGANTIAN BULU PADA ITIK BETINA LOKAL PERIODE INDUKAN SKRIPSI NOVI GIANTI LOKOLLO DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dari hasil domestikasi ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan

TINJAUAN PUSTAKA. dari hasil domestikasi ayam hutan merah atau red jungle fowls (Gallus gallus) dan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Kampung Ayam kampung merupakan turunan panjang dari proses sejarah perkembangan genetik perunggasan di tanah air. Ayam kampung diindikasikan dari hasil domestikasi ayam hutan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk, kebutuhan pangan semakin meningkat pula. Pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat jenisnya beragam, salah satunya pemenuhan

Lebih terperinci

Performans Pertumbuhan Itik Talang Benih Jantan dan Betina yang Dipelihara secara Intensif

Performans Pertumbuhan Itik Talang Benih Jantan dan Betina yang Dipelihara secara Intensif Performans Pertumbuhan Itik Talang Benih Jantan dan Betina yang Dipelihara secara Intensif Performance of Male and Female Talang Benih Duck Growth Reared Intensively Kususiyah dan Desia Kaharuddin Jurusan

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL

PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL PRODUKTIVITAS ULAT TEPUNG (Tenebrio molitor L.) PADA FASE LARVA DENGAN MEDIA MENGANDUNG ONGGOK SKRIPSI ACHMAD RIZAL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan

I. PENDAHULUAN. potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki banyak potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan maupun tumbuhan dapat

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING S. SOPIYANA, A.R. SETIOKO, dan M.E. YUSNANDAR Balai Penelitian Ternak Jl. Veteran III PO Box 221

Lebih terperinci

Karakteristik Telur Tetas Puyuh Petelur Silangan... M Billi Sugiyanto.

Karakteristik Telur Tetas Puyuh Petelur Silangan... M Billi Sugiyanto. KARAKTERISTIK TELUR TETAS PUYUH PETELUR SILANGAN WARNA BULU COKLAT DAN HITAM DI PUSAT PEMBIBITAN PUYUH UNIVERSITAS PADJADJARAN CHARACTERISTICS LAYING QUAIL HATCHING EGG CROSSING OF BROWNAND BLACK FEATHER

Lebih terperinci

PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN

PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN PENAMPILAN ANAK ITIK YANG DIPELIHARA BERDASARKAN KELOMPOK BOBOT TETAS KECIL, BESAR DAN CAMPURAN SKRIPSI KOMARUDIN PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Ciamis, Jawa Barat Kabupaten Ciamis merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki luasan sekitar 244.479 Ha. Secara geografis Kabupaten Ciamis terletak

Lebih terperinci

Performa Produksi Puyuh Petelur (Coturnix-coturnix Japonica) Hasil Persilangan..Wulan Azhar

Performa Produksi Puyuh Petelur (Coturnix-coturnix Japonica) Hasil Persilangan..Wulan Azhar PERFORMA PRODUKSI PUYUH PETELUR (Coturnix-coturnix Japonica) HASIL PERSILANGAN WARNA BULU HITAM DAN COKLAT THE PRODUCTION PERFORMANCE OF LAYING QUAIL (Coturnix-coturnix Japonica) COME FROM BLACK AND BROWN

Lebih terperinci

PENANGKARAN DAN PERBIBITAN AYAM MERAWANG DI BANGKA BELITUNG

PENANGKARAN DAN PERBIBITAN AYAM MERAWANG DI BANGKA BELITUNG PENANGKARAN DAN PERBIBITAN AYAM MERAWANG DI BANGKA BELITUNG HASNELLY Z., RINALDI dan SUWARDIH Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung Jl. Mentok Km 4 Pangkal Pinang 33134 ABSTRAK

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG JAHE MERAH DALAM RANSUM TERHADAP BOBOT BADAN DAN UKURAN TUBUH AYAM KAMPUNG PERIODE PERTUMBUHAN (UMUR MINGGU) SKRIPSI

PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG JAHE MERAH DALAM RANSUM TERHADAP BOBOT BADAN DAN UKURAN TUBUH AYAM KAMPUNG PERIODE PERTUMBUHAN (UMUR MINGGU) SKRIPSI PENGARUH PENAMBAHAN TEPUNG JAHE MERAH DALAM RANSUM TERHADAP BOBOT BADAN DAN UKURAN TUBUH AYAM KAMPUNG PERIODE PERTUMBUHAN (UMUR 16 22 MINGGU) SKRIPSI Oleh NUR FITRIANI FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Protein hewani memegang peran penting bagi pemenuhan gizi masyarakat. Untuk

I. PENDAHULUAN. Protein hewani memegang peran penting bagi pemenuhan gizi masyarakat. Untuk I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Protein hewani memegang peran penting bagi pemenuhan gizi masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan gizi tersebut, masyarakat akan cenderung mengonsumsi daging unggas

Lebih terperinci

CIRI - CIRI FISIK TELUR TETAS ITIK MANDALUNG DAN RASIO JANTAN DENGAN BETINA YANG DIHASILKAN ABSTRACT ABSTAAK

CIRI - CIRI FISIK TELUR TETAS ITIK MANDALUNG DAN RASIO JANTAN DENGAN BETINA YANG DIHASILKAN ABSTRACT ABSTAAK CIRI - CIRI FISIK TELUR TETAS ITIK MANDALUNG DAN RASIO JANTAN DENGAN BETINA YANG DIHASILKAN (PHISICAL CHARACTERISTICS OF MANDALUNG HATCHING EGGS AND THE MALE AND FEMALE RATIO OF THEIR DUCKLING) Yarwin

Lebih terperinci

Beberapa Kriteria Analisis Penduga Bobot Tetas dan Bobot Hidup Umur 12 Minggu dalam Seleksi Ayam Kampung

Beberapa Kriteria Analisis Penduga Bobot Tetas dan Bobot Hidup Umur 12 Minggu dalam Seleksi Ayam Kampung Beberapa Kriteria Analisis Penduga Bobot Tetas dan Bobot Hidup Umur 12 Minggu dalam Seleksi Ayam Kampung FITRA AJI PAMUNGKAS Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih, PO Box 1 Galang 20585 (Diterima dewan

Lebih terperinci

STUDI UKURAN DAN BENTUK TUBUH AYAM KAMPUNG, AYAM SENTUL DAN AYAM WARENG TANGERANG MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA SKRIPSI

STUDI UKURAN DAN BENTUK TUBUH AYAM KAMPUNG, AYAM SENTUL DAN AYAM WARENG TANGERANG MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA SKRIPSI STUDI UKURAN DAN BENTUK TUBUH AYAM KAMPUNG, AYAM SENTUL DAN AYAM WARENG TANGERANG MELALUI ANALISIS KOMPONEN UTAMA SKRIPSI VINDHA YULI CANDRAWATI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Itik atau yang lebih dikenal dimasyarakat disebut bebek (bahasa jawa),

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Itik atau yang lebih dikenal dimasyarakat disebut bebek (bahasa jawa), 1 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Sejarah Perkembangan Itik Itik atau yang lebih dikenal dimasyarakat disebut bebek (bahasa jawa), golongan terdahulunya merupakan itik liar bernama Mallard (Anas plathytynchos)

Lebih terperinci

LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009

LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009 ANALISIS HERITABILITAS POLA REGRESI LAPORAN PRAKTIKUM Oleh Adi Rinaldi Firman 200110070044 LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009 BAB I PENDAHULUAN

Lebih terperinci

Peking. Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur.

Peking. Gambar 6 Skema persilangan resiprokal itik alabio dengan itik peking untuk evaluasi pewarisan sifat rontok bulu terkait produksi telur. 23 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Pengamatan terhadap sifat rontok bulu dan produksi telur dilakukan sejak itik memasuki periode bertelur, yaitu pada bulan Januari 2011 sampai Januari 2012.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau

PENDAHULUAN. Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Daging unggas adalah salah jenis produk peternakan yang cukup disukai oleh masyarakat. Harga yang relatif terjangkau membuat masyarakat atau konsumen lebih banyak memilih

Lebih terperinci

Oleh: Suhardi, SPt.,MP

Oleh: Suhardi, SPt.,MP Oleh: Suhardi, SPt.,MP Ayam Puyuh Itik Itik Manila (entok) Angsa Kalkun Merpati (semua jenis burung) Burung Unta Merak, bangau, dll Unggas atau khususnya ayam dalam sistematika taksonomi termasuk dalam

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KENCUR (Kaempferia galanga Linn) PADA RANSUM AYAM BROILER RENDAH ENERGI DAN PROTEIN TERHADAP PERFORMAN AYAM BROILER, KADAR KOLESTROL, PERSENTASE HATI DAN BURSA FABRISIUS SKRIPSI

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. selain ayam adalah itik. Itik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan,

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. selain ayam adalah itik. Itik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan, II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Deskripsi Itik Rambon Ternak unggas yang dapat dikatakan potensial sebagai penghasil telur selain ayam adalah itik. Itik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan, melihat

Lebih terperinci

PERFORMANS ORGAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG PROTEIN SEL TUNGGAL SKRIPSI RESI PRAMONO

PERFORMANS ORGAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG PROTEIN SEL TUNGGAL SKRIPSI RESI PRAMONO PERFORMANS ORGAN REPRODUKSI MENCIT (Mus musculus) YANG DIBERI PAKAN MENGANDUNG PROTEIN SEL TUNGGAL SKRIPSI RESI PRAMONO PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF PADA ITIK LOKAL (Anas platyrhyncos), ENTOK (Cairina moschata) DAN TIKTOK JANTAN SKRIPSI. Oleh M.

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF PADA ITIK LOKAL (Anas platyrhyncos), ENTOK (Cairina moschata) DAN TIKTOK JANTAN SKRIPSI. Oleh M. IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF PADA ITIK LOKAL (Anas platyrhyncos), ENTOK (Cairina moschata) DAN TIKTOK JANTAN SKRIPSI Oleh M. AZHAR NURUL HUDA FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

Lebih terperinci

Daging itik lokal memiliki tekstur yang agak alot dan terutama bau amis (off-flavor) yang merupakan penyebab kurang disukai oleh konsumen, terutama

Daging itik lokal memiliki tekstur yang agak alot dan terutama bau amis (off-flavor) yang merupakan penyebab kurang disukai oleh konsumen, terutama PEMBAHASAN UMUM Potensi pengembangan itik potong dengan memanfaatkan itik jantan petelur memiliki prospek yang cerah untuk diusahakan. Populasi itik yang cukup besar dan penyebarannya hampir disemua provinsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT

STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT SKRIPSI TANTAN KERTANUGRAHA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI

Lebih terperinci

PENAMBAHAN DAUN KATUK

PENAMBAHAN DAUN KATUK PENAMBAHAN DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr) DALAM RANSUM PENGARUHNYA TERHADAP SIFAT REPRODUKSI DAN PRODUKSI AIR SUSU MENCIT PUTIH (Mus musculus albinus) ARINDHINI D14103016 Skripsi ini merupakan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Beberapa ratus tahun yang lalu di Jepang telah diadakan penjinakan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Beberapa ratus tahun yang lalu di Jepang telah diadakan penjinakan II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sejarah Perkembangan Puyuh Beberapa ratus tahun yang lalu di Jepang telah diadakan penjinakan terhadap burung puyuh. Mula-mula ditujukan untuk hewan kesenangan dan untuk kontes

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia, ayam kampung sudah bukan hal asing. Istilah "Ayam kampung" semula

PENDAHULUAN. Indonesia, ayam kampung sudah bukan hal asing. Istilah Ayam kampung semula I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam kampung merupakan salah satu jenis ternak unggas yang telah memasyarakat dan tersebar di seluruh pelosok nusantara. Bagi masyarakat Indonesia, ayam kampung sudah bukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Ayam

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi Ayam TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Ayam Klasifikasi bangsa ayam menurut Myers (2001) yaitu kingdom Animalia (hewan); filum Chordata (hewan bertulang belakang); kelas Aves (burung); ordo Galliformes; famili Phasianidae;

Lebih terperinci

Performa Pertumbuhan Puyuh Petelur Betina Silangan... Henry Geofrin Lase

Performa Pertumbuhan Puyuh Petelur Betina Silangan... Henry Geofrin Lase PERFORMA PERTUMBUHAN PUYUH (Coturnix coturnix japonica) PETELUR BETINA SILANGAN WARNA BULU COKLAT DAN HITAM DI PUSAT PEMBIBITAN PUYUH UNIVERSITAS PADJADJARAN GROWTH PERFORMANCE (Coturnix coturnix japonica)

Lebih terperinci

KUALITAS KIMIA DAGING DADA AYAM BROILER YANG PAKANNYA DITAMBAHKAN CAMPURAN MINYAK IKAN KAYA ASAM LEMAK OMEGA-3 SKRIPSI DANNI HARJANTO

KUALITAS KIMIA DAGING DADA AYAM BROILER YANG PAKANNYA DITAMBAHKAN CAMPURAN MINYAK IKAN KAYA ASAM LEMAK OMEGA-3 SKRIPSI DANNI HARJANTO KUALITAS KIMIA DAGING DADA AYAM BROILER YANG PAKANNYA DITAMBAHKAN CAMPURAN MINYAK IKAN KAYA ASAM LEMAK OMEGA-3 SKRIPSI DANNI HARJANTO PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DAN KECEPATAN TERBANG MERPATI LOKAL TIPE TINGGIAN SKRIPSI RICKY FIRMANSYAH

KARAKTERISTIK DAN KECEPATAN TERBANG MERPATI LOKAL TIPE TINGGIAN SKRIPSI RICKY FIRMANSYAH KARAKTERISTIK DAN KECEPATAN TERBANG MERPATI LOKAL TIPE TINGGIAN SKRIPSI RICKY FIRMANSYAH DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 RINGKASAN Ricky

Lebih terperinci

UKURAN DAN BENTUK SERTA PENDUGAAN BOBOT BADAN BERDASARKAN UKURAN TUBUH DOMBA SILANGAN LOKAL GARUT JANTAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA

UKURAN DAN BENTUK SERTA PENDUGAAN BOBOT BADAN BERDASARKAN UKURAN TUBUH DOMBA SILANGAN LOKAL GARUT JANTAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA UKURAN DAN BENTUK SERTA PENDUGAAN BOBOT BADAN BERDASARKAN UKURAN TUBUH DOMBA SILANGAN LOKAL GARUT JANTAN DI KABUPATEN TASIKMALAYA SKRIPSI MUHAMMAD VAMY HANIBAL PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya genetik

PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya genetik 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya genetik ternak tinggi, namun sumber daya genetik tersebut belum dimanfaatkan dengan optimal. Salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

A. Kesesuaian inovasi/karakteristik lokasi

A. Kesesuaian inovasi/karakteristik lokasi A. Kesesuaian inovasi/karakteristik lokasi Ayam Nunukan adalah sumber plasma nutfah lokal Propinsi Kalimantan Timur yang keberadaannya sudah sangat langka dan terancam punah. Pola pemeliharaan yang kebanyakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pengembangannya harus benar-benar diperhatikan dan ditingkatkan. Seiring

I PENDAHULUAN. pengembangannya harus benar-benar diperhatikan dan ditingkatkan. Seiring I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Unggas merupakan ternak yang sangat populer di Indonesia sebagai sumber protein hewani daging dan telur. Hal tersebut disebabkan karena ternak unggas harganya relatif murah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Burung Merpati

TINJAUAN PUSTAKA Burung Merpati TINJAUAN PUSTAKA Burung Merpati Burung merpati mencakup sekitar 255 spesies dengan penyebaran yang hampir meliputi seluruh dunia. Kecuali di kutub dan beberapa kepulauan samudera. Bulunya yang khas berwarna

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kedu merupakan salah satu ayam lokal langka Indonesia. Ayam. bandingkan dengan unggas lainnya (Suryani et al., 2012).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ayam Kedu merupakan salah satu ayam lokal langka Indonesia. Ayam. bandingkan dengan unggas lainnya (Suryani et al., 2012). BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Kedu Ayam Kedu merupakan salah satu ayam lokal langka Indonesia. Ayam Kedu berasal dari Desa Karesidenan Kedu Temanggung Jawa Tengah. Ayam Kedu memiliki kelebihan daya

Lebih terperinci

PERFORMANS AYAM MERAWANG BETINA DEWASA BERDASARKAN KARAKTER KUALITATIF DAN UKURAN- UKURAN TUBUH SEBAGAI BIBIT

PERFORMANS AYAM MERAWANG BETINA DEWASA BERDASARKAN KARAKTER KUALITATIF DAN UKURAN- UKURAN TUBUH SEBAGAI BIBIT PERFORMANS AYAM MERAWANG BETINA DEWASA BERDASARKAN KARAKTER KUALITATIF DAN UKURAN- UKURAN TUBUH SEBAGAI BIBIT HASNELLY Z. dan RAFIDA ARMAYANTI Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung

Lebih terperinci

PEWARISAN POLA WARNA MUKA PADA DOMBA GARUT DI PETERNAKAN TERNAK DOMBA SEHAT (TDS) KECAMATAN CARINGIN KABUPATEN BOGOR. SKRIPSI Ardhana Surya Saputra

PEWARISAN POLA WARNA MUKA PADA DOMBA GARUT DI PETERNAKAN TERNAK DOMBA SEHAT (TDS) KECAMATAN CARINGIN KABUPATEN BOGOR. SKRIPSI Ardhana Surya Saputra PEWARISAN POLA WARNA MUKA PADA DOMBA GARUT DI PETERNAKAN TERNAK DOMBA SEHAT (TDS) KECAMATAN CARINGIN KABUPATEN BOGOR SKRIPSI Ardhana Surya Saputra PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN SUMBER PROTEIN BERBEDA TERHADAP BOBOT AKHIR, POTONGAN KARKAS DAN MASSA PROTEIN DAGING AYAM LOKAL PERSILANGAN SKRIPSI.

PENGARUH PEMBERIAN PAKAN SUMBER PROTEIN BERBEDA TERHADAP BOBOT AKHIR, POTONGAN KARKAS DAN MASSA PROTEIN DAGING AYAM LOKAL PERSILANGAN SKRIPSI. PENGARUH PEMBERIAN PAKAN SUMBER PROTEIN BERBEDA TERHADAP BOBOT AKHIR, POTONGAN KARKAS DAN MASSA PROTEIN DAGING AYAM LOKAL PERSILANGAN SKRIPSI Oleh HENI PRATIWI PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Puyuh adalah spesies atau subspecies dari genus Coturnix yang tersebar di

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Puyuh adalah spesies atau subspecies dari genus Coturnix yang tersebar di 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 1.1 Puyuh (Coturnix coturnix japonica) Puyuh adalah spesies atau subspecies dari genus Coturnix yang tersebar di seluruh daratan, kecuali Amerika. Awalnya puyuh merupakan ternak

Lebih terperinci

Identifikasi sifat-sifat Kualitatif ayam Wareng Tangerang. Andika Mahendra

Identifikasi sifat-sifat Kualitatif ayam Wareng Tangerang. Andika Mahendra IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF AYAM WARENG TANGERANG DI UPT BALAI PEMBIBITAN TERNAK DAN HIJAUAN PAKAN TERNAK DESA CURUG WETAN KECAMATAN CURUG KABUPATEN TANGERANG Andika Mahendra*, Indrawati Yudha

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. dan dikenal sebagai ayam petarung. Ayam Bangkok mempunyai kelebihan pada

PENDAHULUAN. dan dikenal sebagai ayam petarung. Ayam Bangkok mempunyai kelebihan pada 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ayam Bangkok merupakan jenis ayam lokal yang berasal dari Thailand dan dikenal sebagai ayam petarung. Ayam Bangkok mempunyai kelebihan pada daya adaptasi tinggi karena

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PERIODE BROODING DAN LEVEL PROTEIN RANSUM TERHADAP PRODUKSI KARKAS AYAM KEDU HITAM UMUR 10 MINGGU SKRIPSI. Oleh : BUDI WIHARDYANTO UTOMO

PENGARUH LAMA PERIODE BROODING DAN LEVEL PROTEIN RANSUM TERHADAP PRODUKSI KARKAS AYAM KEDU HITAM UMUR 10 MINGGU SKRIPSI. Oleh : BUDI WIHARDYANTO UTOMO PENGARUH LAMA PERIODE BROODING DAN LEVEL PROTEIN RANSUM TERHADAP PRODUKSI KARKAS AYAM KEDU HITAM UMUR 10 MINGGU SKRIPSI Oleh : BUDI WIHARDYANTO UTOMO S1 PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Klasifikasi Domba Berdasarkan taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk kedalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. fungsi, yaitu sebagai ayam petelur dan ayam potong.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. fungsi, yaitu sebagai ayam petelur dan ayam potong. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Kampung Ayam kampung dikenal sebagai jenis unggas yang mempunyai sifat dwi fungsi, yaitu sebagai ayam petelur dan ayam potong. Wahju (2004) yang menyatakan bahwa Ayam

Lebih terperinci

PENGARUH INDEKS BENTUK TELUR TERHADAP DAYA TETAS DAN MORTALITAS ITIK MAGELANG DI SATUAN KERJA ITIK BANYUBIRU SKRIPSI. Oleh MUHAMMAD AULIA RAHMAN

PENGARUH INDEKS BENTUK TELUR TERHADAP DAYA TETAS DAN MORTALITAS ITIK MAGELANG DI SATUAN KERJA ITIK BANYUBIRU SKRIPSI. Oleh MUHAMMAD AULIA RAHMAN PENGARUH INDEKS BENTUK TELUR TERHADAP DAYA TETAS DAN MORTALITAS ITIK MAGELANG DI SATUAN KERJA ITIK BANYUBIRU SKRIPSI Oleh MUHAMMAD AULIA RAHMAN PROGRAM STUDI S1 PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan 20 ekor Itik Rambon Betina, 4 ekor Itik

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan 20 ekor Itik Rambon Betina, 4 ekor Itik 21 III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan Penelitian 3.1.1 Objek Penelitian Penelitian ini menggunakan 20 ekor Itik Rambon Betina, 4 ekor Itik Rambon Jantan dan 20 ekor Itik Cihateup Betina, 4 ekor

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. japanese quail (Coturnix-coturnix Japonica) mulai masuk ke Amerika. Namun,

KAJIAN KEPUSTAKAAN. japanese quail (Coturnix-coturnix Japonica) mulai masuk ke Amerika. Namun, 7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Burung Puyuh Puyuh adalah spesies atau subspesies dari genus Coturnix yang tersebar di seluruh daratan, kecuali Amerika. Pada tahun 1870, puyuh Jepang yang disebut japanese

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PERSILANGAN AYAM PELUNG JANTAN X KAMPUNG BETINA HASIL SELEKSI GENERASI KEDUA (G2)

PERSILANGAN AYAM PELUNG JANTAN X KAMPUNG BETINA HASIL SELEKSI GENERASI KEDUA (G2) PERSILANGAN AYAM PELUNG JANTAN X KAMPUNG BETINA HASIL SELEKSI GENERASI KEDUA (G2) BENNY GUNAWAN dan TIKE SARTIKA Balai Penelitian Ternak P.O. Box 221, Bogor 16002, Indonesia (Diterima dewan redaksi 21

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. pertama kali diternakkan di Amerika Serikat pada tahun 1870.

KAJIAN KEPUSTAKAAN. pertama kali diternakkan di Amerika Serikat pada tahun 1870. 7 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Deskripsi Puyuh Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking TINJAUAN PUSTAKA Itik Peking Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking dapat dipelihara

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. hidup sampai penelitian berakhir adalah 13 ekor jantan dan 10 ekor betina Itik

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. hidup sampai penelitian berakhir adalah 13 ekor jantan dan 10 ekor betina Itik III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1. Bahan dan Alat Penelitian 3.1.1. Bahan Penelitian Penelitian menggunakan 30 ekor Itik Rambon dengan jumlah ternak yang hidup sampai penelitian berakhir adalah 13 ekor

Lebih terperinci

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus)

SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus) SUPLEMENTASI GINSENG LIAR (Wild ginseng) PADA RANSUM TERHADAP PERTUMBUHAN MENCIT (Mus musculus) SKRIPSI SRINOLA YANDIANA PROGRAM STUDI NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Kambing Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah dikenal secara luas di Indonesia. Ternak kambing memiliki potensi produktivitas yang cukup

Lebih terperinci

Hasil Tetas Puyuh Petelur Silangan Bulu Coklat dan Hitam...Sarah S.

Hasil Tetas Puyuh Petelur Silangan Bulu Coklat dan Hitam...Sarah S. KARAKTERISTIK HASIL TETAS PUYUH PETELUR (Coturnix coturnix japonica) SILANGAN WARNA BULU COKLAT DAN HITAM DI PUSAT PEMBIBITAN PUYUH UNIVERSITAS PADJADJARAN CHARACTERISTICS OF HATCHING PERFORMANCE FROM

Lebih terperinci

PERUBAHAN WARNA KUNING TELUR ITIK LOKAL DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG DAUN KALIANDRA

PERUBAHAN WARNA KUNING TELUR ITIK LOKAL DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG DAUN KALIANDRA PERUBAHAN WARNA KUNING TELUR ITIK LOKAL DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG DAUN KALIANDRA (Calliandra calothyrsus) DAN DAUN SINGKONG (Manihot esculenta Crantz) PADA PAKAN SKRIPSI GILANG MARADIKA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, permintaan

I. PENDAHULUAN. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, permintaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, permintaan konsumen terhadap produk hasil ternak juga meningkat. Produk hasil ternak yang dipilih

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan penetasan final stock ayam petelur selalu mendapatkan hasil samping

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perusahaan penetasan final stock ayam petelur selalu mendapatkan hasil samping II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Jantan Tipe Medium Perusahaan penetasan final stock ayam petelur selalu mendapatkan hasil samping (by product) berupa anak ayam jantan petelur. Biasanya, satu hari setelah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010.

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010. I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Domba merupakan ternak yang keberadaannya cukup penting dalam dunia peternakan, karena kemampuannya untuk menghasilkan daging sebagai protein hewani bagi masyarakat. Populasi

Lebih terperinci

PENGARUH AKAR GINSENG ( Wild ginseng ) DALAM RANSUM MENCIT ( Mus musculus) TERHADAP JUMLAH ANAK DAN PERTUMBUHAN ANAK DARI LAHIR SAMPAI DENGAN SAPIH

PENGARUH AKAR GINSENG ( Wild ginseng ) DALAM RANSUM MENCIT ( Mus musculus) TERHADAP JUMLAH ANAK DAN PERTUMBUHAN ANAK DARI LAHIR SAMPAI DENGAN SAPIH PENGARUH AKAR GINSENG ( Wild ginseng ) DALAM RANSUM MENCIT ( Mus musculus) TERHADAP JUMLAH ANAK DAN PERTUMBUHAN ANAK DARI LAHIR SAMPAI DENGAN SAPIH KADARWATI D24102015 Skripsi ini merupakan salah satu

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan peternakan dari tahun ke tahun semakin pesat dengan meningkatnya kebutuhan protein hewani bagi masyarakat. Salah satu produk hasil peternakan yang paling disukai

Lebih terperinci

HASIL-HASIL PENELITIAN DAN SUMBANGAN PEMIKIRAN PENGEMBANGAN AYAM KEDU

HASIL-HASIL PENELITIAN DAN SUMBANGAN PEMIKIRAN PENGEMBANGAN AYAM KEDU HASIL-HASIL PENELITIAN DAN SUMBANGAN PEMIKIRAN PENGEMBANGAN AYAM KEDU MURYANTO Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah ABSTRAK Ayam Kedu merupakan salah satu jenis kekayaan alam (fauna) yang sudah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terutama telurnya. Telur puyuh sangat disukai karena selain bentuknya yang

PENDAHULUAN. terutama telurnya. Telur puyuh sangat disukai karena selain bentuknya yang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puyuh merupakan ternak unggas yang cukup popular di masyarakat terutama telurnya. Telur puyuh sangat disukai karena selain bentuknya yang mungil yang cocok untuk dimasukkan

Lebih terperinci