KARAKTERISTIK DAN KECEPATAN TERBANG MERPATI LOKAL TIPE TINGGIAN SKRIPSI RICKY FIRMANSYAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAKTERISTIK DAN KECEPATAN TERBANG MERPATI LOKAL TIPE TINGGIAN SKRIPSI RICKY FIRMANSYAH"

Transkripsi

1 KARAKTERISTIK DAN KECEPATAN TERBANG MERPATI LOKAL TIPE TINGGIAN SKRIPSI RICKY FIRMANSYAH DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

2 RINGKASAN Ricky Firmansyah. D Karakteristik dan Kecepatan Terbang Merpati Lokal Tipe Tinggian. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Sri Darwati, M.Si. Pembimbing Anggota : Dr. Rudi Afnan, S.Pt., M.Sc.Agr. Merpati merupakan salah satu jenis unggas yang telah lama dikenal di Indonesia. Merpati dikelompokkan berdasarkan fungsinya yaitu merpati pedaging, merpati hias dan merpati balap. Merpati memiliki keistimewaan yaitu naluri untuk pulang kandang (homing). Keistimewaan ini yang dimanfaatkan peternak untuk membuat serangkaian perlombaan dengan mengadu kecepatan terbang merpati. Adapun kecepatan terbang diduga ada kaitannya dengan karakteristik dan ukuran tubuh merpati, oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengamati karakteristik, ukuran tubuh dan kecepatan terbang. Tujuan penelitian ini yaitu mempelajari karakteristik sifat kualitatif dan kuantitatif serta ukuran tubuh yang berpengaruh terhadap kecepatan terbang merpati lokal tipe tinggian. Penelitian dilaksanakan di peternakan merpati di area Komplek Alam Sinar Sari, Desa Sinarsari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat pada bulan April hingga Juni Materi penelitian berupa 30 pasang atau 60 ekor merpati berumur 9-12 bulan. Sepasang merpati ditempatkan dalam kandang berukuran panjang 50 cm, lebar 40 cm dan tinggi 30 cm dengan sistem pemeliharaan semi intensif. Pakan diberikan sebanyak 70 g/pasang/hari, sedangkan air minum diberikan ad libitum. Sepasang merpati dipelihara selama 14 hari. Merpati jantan dilatih terbang selama 9 hari untuk memperoleh rataan kecepatan terbang pada jarak 100, 150 dan 200 m. Selama 14 hari merpati diamati sifat kualitatif dan kuantitatif serta rataan kecepatan terbang. Hasil yang didapat untuk sifat kualitatif disajikan deskriptif, sedangkan untuk sifat kuantitatif diuji t untuk membandingkan sifat kuantitatif merpati jantan dan betina serta membandingkan ukuran tubuh merpati jantan sebelum dan setelah dilatih terbang. Selain itu menduga korelasi antara ukuran tubuh merpati jantan dan rataan kecepatan terbang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat kualitatif merpati lokal tipe tinggian baik jantan maupun betina masih beragam. Bobot badan dan ukuran tubuh seperti lebar dada luar, lebar dada dalam, lingkar dada, panjang dada, lebar pangkal ekor dan panjang ekor pada merpati jantan dan betina sangat berbeda nyata (P<0,01), sedangkan dalam dada dan panjang punggung berbeda nyata (P<0,05). Bobot badan dan lingkar dada merpati jantan sebelum dan setelah dilatih terbang sangat berbeda nyata (P<0,01), sedangkan dalam dada dan rentang sayap berbeda nyata (P<0,05). Kecepatan terbang merpati lokal tipe tinggian pada jarak 100 m yaitu 10,64 m/detik, 150 m yaitu 10,52 m/detik dan 200 m yaitu 10,01 m/detik. Pola terbang lurus langsung memiliki rataan kecepatan terbang 10,48 m/detik, pola terbang berputar lalu lurus 9,30 m/detik dan pola terbang lurus lalu berputar 10,26 m/detik. Bobot badan dan ukuran tubuh merpati jantan lebih besar dibandingkan merpati betina. Latihan terbang mempengaruhi bobot badan dan ukuran tubuh. Bobot badan menurun setelah dilatih terbang, sedangkan ukuran tubuh pada pangkal sayap akan menebal. Ukuran tubuh tidak berkorelasi nyata dengan kecepatan terbang, artinya i

3 ukuran tubuh belum bisa dijadikan faktor penentu seleksi untuk mendapatkan kecepatan terbang terbaik. Pola terbang merpati ada tiga yaitu terbang lurus langsung, berputar lalu lurus dan lurus baru berputar. Pola terbang lurus memiliki rataan kecepatan terbang tertinggi, karena pada pola lurus waktu yang dihasilkan untuk dapat kembali ke rumah lebih cepat. Kata-kata Kunci : merpati, sistem kerangka, sistem otot, kecepatan terbang ii

4 ABSTRACT Characteristics and Flying Speed of Local Tinggian Type Pigeon Firmansyah, R., S. Darwati, and R. Afnan. Local tinggian type pigeons perform good flying quality. Their body characteristics and size are predicted to have influence on flying speed. This research aimed to explore the qualitative and quantitative traits of this local pigeon of tinggian type as well as body measurements which has influence on flying speed. A total of 60 heads of local tinggian type pigeon or equal to 30 pairs aged of 9-12 months were used in this experiment to study the qualitative and quantitative traits. The male pigeons were subjected to flying course to gather the data of flying speed within the distance of 100, 150 and 200 meters. The result showed high variety in quantitative traits of these pigeons. Males had higher bodyweight and size compared to females. The bodyweight, the width of outer chest, the depth of the chest and the wing spread of the males were altered after having flying course. The flying speed at the distance of 100, 150 and 200 meters was m/s; m/s and m/s, respectively. The body size revealed no correlation with flying speed. It was observed that there were 3 flying patterns namely direct straight flying, circular and straight flying, and straight and circular flying. The direct straight flying pattern showed the highest speed in average of m/s. Keywords : local pigeon, tinggian type, body size, flying speed

5 KARAKTERISTIK DAN KECEPATAN TERBANG MERPATI LOKAL TIPE TINGGIAN RICKY FIRMANSYAH D Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

6 Judul Nama NIM : Karakteristik dan Kecepatan Terbang Merpati Lokal Tipe Tinggian : Ricky Firmansyah : D Menyetujui, Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota, Dr. Ir. Sri Darwati, M.Si. NIP Dr. Rudi Afnan, S.Pt., M.Sc.Agr. NIP Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. NIP Tanggal Ujian : 13 September 2012 Tanggal Lulus :

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 11 Agustus 1989 di Bogor, Jawa Barat. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak Rosid Rahman dan Ibu Eni Kurnaeni. Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1995 di Sekolah Dasar Negeri Marga Jaya 1 Bogor dan diselesaikan pada tahun Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2001 dan diselesaikan pada tahun 2004 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Pembangunan 1 Bogor. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 10 Bogor pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan pada tahun Penulis aktif dalam organisasi kepanitiaan Fakultas Peternakan seperti Dekan Cup, Fapet Show Time (FST) dan Malam Keakraban 46. Penulis juga merupakan anggota dari Ikatan Senat Mahasiswa Peternakan Indonesia (ISMAPETI). Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul (BBPTU) Sapi Perah, Baturraden, Purwokerto, pada tahun Penulis juga dipercaya oleh Lembaga Pengabdian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM) IPB sebagai mahasiswa pendamping kegiatan penggemukan domba di Desa Cihideung Udik pada tahun

8 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Karakteristik dan Kecepatan Terbang Merpati Lokal Tipe Tinggian. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai karakteristik sifat kualitatif dan kuantitatif merpati lokal tipe tinggian. Selain itu mempelajari korelasi antara ukuran tubuh dengan kecepatan terbang merpati lokal tipe tinggian. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang dilakukan pada bulan April hingga Juli Skripsi ini membahas tentang sifat kualitatif dan kuantitatif merpati lokal tipe tinggian baik merpati jantan maupun merpati betina. Selain itu membahas tentang kecepatan terbang dan pola terbang merpati lokal tipe tinggian serta korelasinya terhadap ukuran tubuh seperti lebar dada dalam, lebar dada luar, lingkar dada, dalam dada, panjang punggung, panjang dada, serta bagian sayap, ekor dan bobot badan. Informasi mengenai karakteristik dan kecepatan terbang merpati lokal tipe tinggian masih sedikit. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca khususnya penghobi dan menjadi salah satu sumber ilmu pengetahuan. Bogor, September 2012 Penulis

9 DAFTAR ISI RINGKASAN.. ABSTRACT. LEMBAR PERNYATAAN. LEMBAR PENGESAHAN. RIWAYAT HIDUP. KATA PENGANTAR. DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang. 1 Tujuan Penelitian. 2 TINJAUAN PUSTAKA.. 3 Merpati. 3 Karakteristik Merpati... 3 Sistem Kerangka.. 5 Kecepatan Terbang.. 5 Pola Terbang 6 Manajemen Pemeliharaan 6 Kandang... 6 Pakan... 6 Air Minum... 7 MATERI DAN METODE.. 8 Lokasi dan Waktu 8 Materi.. 8 Ternak.. 8 Kandang... 8 Pakan dan Air Minum.. 9 Prosedur... 9 Proses Penjodohan... 9 Sistem Pemeliharaan 10 Cara Melatih 11 Pengambilan Data 12 Rancangan dan Analisis Data Peubah i iii iv v vi vii viii x xi xii viii

10 Rancangan Glosarium 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Lokasi Penelitian 22 Konsumsi Pakan.. 23 Sifat-sifat Kualitatif. 24 Warna Bulu. 24 Warna Iris Mata.. 26 Bentuk Kepala. 28 Bentuk Tubuh.. 29 Bentuk Ujung Bulu Sayap Tipe Bulu Sayap.. 32 Tipe Shank Sifat-sifat Kuantitatif.. 34 Sifat Kuantitatif Merpati Jantan dan Betina 34 Bobot Badan 34 Ukuran Tubuh. 35 Sayap Ekor. 37 Sifat Kuantitatif Merpati Jantan Sebelum dan Setelah Dilatih Terbang 37 Bobot Badan 37 Ukuran Tubuh. 38 Sayap Ekor. 40 Kecepatan Terbang.. 41 Pola Terbang 42 Korelasi Ukuran Tubuh dengan Kecepatan Terbang.. 44 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan.. 46 Saran 46 UCAPAN TERIMA KASIH DAFTAR PUSTAKA.. 48 LAMPIRAN. 50 ix

11 Nomor DAFTAR TABEL Halaman 1. Rataan Suhu dan Kelembaban pada Lokasi Penelitian Persentase Warna Bulu Merpati Lokal Tipe Tinggian Persentase Warna Iris Mata Merpati Lokal Tipe Tinggian Persentase Bentuk Kepala Merpati Lokal Tipe Tinggian Persentase Bentuk Tubuh Merpati Lokal Tipe Tinggian Persentase Bentuk Ujung Bulu Sayap Merpati Lokal Tipe Tinggian Persentase Tipe Bulu Sayap Merpati Lokal Tipe Tinggian Persentase Tipe Shank Merpati Lokal Tipe Tinggian Ukuran Tubuh Merpati Lokal Tipe Tinggian Jantan dan Betina Sayap Merpati Lokal Tipe Tinggian Jantan dan Betina Bulu Ekor Merpati Lokal Tipe Tinggian Jantan dan Betina Ukuran Tubuh Merpati Lokal Jantan Tipe Tinggian Sebelum dan Setelah Dilatih Terbang Sayap Merpati Lokal Jantan Tipe Tinggian Sebelum dan Setelah Dilatih Terbang Ekor Merpati Lokal Tipe Tinggian Jantan Sebelum dan Setelah Dilatih Terbang Kecepatan Terbang Merpati Lokal Tipe Tinggian pada Jarak yang Berbeda Persentase Pola Terbang Merpati Lokal Tipe Tinggian Korelasi Bobot Badan, Ukuran Tubuh, Sayap dan Ekor Merpati dengan Kecepatan Terbang. 44 x

12 Nomor DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kandang Merpati Blok A (a), Blok B (b) dan Blok C (c) Kandang Penjodohan (a), Kandang Betina (b) dan Kandang Lepas (c) Timbangan Digital (a) dan Penimbangan Bobot Badan (b) Jangka Sorong (a) dan Pita Ukur (b) Pengukuran Lebar Dada Luar (a) dan Lebar Dada Dalam (b) Pengukuran Panjang Dada Pengukuran Lingkar Dada Pengukuran Dalam Dada Pengukuran Panjang Punggung Pengukuran Panjang sayap Pengukuran Rentang Sayap Perhitungan Jumlah Bulu Sayap Primer Perhitungan Jumlah Bulu Ekor Pengukuran Panjang Bulu Ekor Pengukuran Lebar Bulu Ekor Pengukuran Lebar Pangkal Ekor Warna Bulu Putih (a), Hitam (b), Coklat (c), Blantong (d), Tritis (e), Megan (f), Kelabu (g), Brolok (h), Batik (i) dan Gambir (j) Warna Iris Mata Coklat (Asem) (a), Putih (Pillow) (b) dan Kuning (c) Bentuk Kepala Jenong (a), Curut (b) dan Perkutut (c) Bentuk Tubuh Jantung Pisang (a) dan Kapal (b) Bentuk Ujung Bulu Sayap Tumpul (a) dan Lancip (b) Tipe Bulu Sayap Rapat (a) dan Renggang (b) Tipe Shank Kering (a) dan Basah (b).. 34 xi

13 Nomor DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Contoh Perhitungan Hasil Uji t Peubah Sifat Kualitatif Merpati Jantan dan Betina Menggunakan Minitab Contoh Perhitungan Hasil Uji t Peubah Sifat Kuantitatif Merpati Jantan Sebelum dan Setelah Dilatih Terbang Menggunakan Minitab Contoh Perhitungan Korelasi Peubah Sifat Kuantitatif dengan Kecepatan Terbang Menggunakan Minitab Contoh Perhitungan Hasil Uji t Kecepatan Terbang Merpati Pada Jarak yang Berbeda Menggunakan Minitab xi

14 PENDAHULUAN Latar Belakang Merpati merupakan salah satu jenis unggas yang telah lama dikenal di Indonesia. Peternak atau penghobi memelihara merpati sebagai hewan peliharaan. Dahulu merpati banyak dimanfaatkan sebagai ternak pengantar surat, namun saat ini fungsi merpati lebih beragam. Merpati dikelompokkan berdasarkan fungsinya yaitu merpati sebagai penghasil daging yang diternakkan untuk keperluan pangan, merpati sebagai ternak hias dan merpati sebagai ternak hobi yang dipelihara untuk kesenangan dan perlombaan karena dapat dilatih terbang seperti lomba balap merpati. Merpati balap tipe tinggian dulu diperlombakan hanya pada satu lokasi tertentu dan merpati yang sampai paling awal ke kandangnya dinyatakan sebagai pemenang. Namun animo masyarakat saat ini sudah mulai bergesar. Seperti halnya merpati balap tipe datar, merpati balap tipe tinggian juga harus mampu terbang dengan cepat dan dapat dilatih terbang pada tempat lomba yang berbeda. Selain itu, merpati balap tipe tinggian juga harus memiliki kualitas mendarat (menukik) yang baik, hal ini disesuaikan dengan ring lomba yang menuntut merpati tipe tinggian untuk mendarat dengan baik. Naluri untuk pulang kandang (homing) merupakan salah satu keistimewaan merpati. Keistimewaan ini dimanfaatkan para peternak untuk membuat serangkaian perlombaan dengan mengadu kecepatan terbang merpati seperti merpati pos, merpati balap tipe datar dan merpati balap tipe tinggian. Merpati balap pada dasarnya adalah merpati lokal, namun merpati balap sudah mengalami beberapa latihan terbang sehingga mempunyai kualitas terbang yang lebih baik dibandingkan merpati lokal. Karakteristik dan ukuran tubuh merpati balap pun berbeda dengan merpati tipe lain. Bentuk tubuh merpati balap tampak lebih atletis dan berotot dibandingkan merpati tipe lain karena proses latihan terbang. Karakteristik dan ukuran tubuh merpati diduga berpengaruh terhadap kecepatan terbang merpati, namun pengetahuan akan karakteristik dan ukuran tubuh yang berpengaruh terhadap kecepatan terbang merpati masih belum dipahami oleh sebagian besar peternak atau penghobi. Oleh karena itu, penelitian untuk mengetahui karakteristik dan ukuran tubuh yang berpengaruh terhadap kecepatan terbang merpati 1

15 sangat diperlukan untuk kepentingan seleksi, agar para peternak dapat memperoleh merpati yang berkualitas baik khususnya merpati lokal tipe tinggian. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik sifat kualitatif dan kuantitatif merpati lokal tipe tinggian. Selain itu, mempelajari ukuran tubuh yang berpengaruh terhadap kecepatan terbang merpati lokal tipe tinggian. 2

16 TINJAUAN PUSTAKA Merpati Menurut Yonathan (2003), penyebaran merpati hampir merata di seluruh bagian bumi kecuali di daerah kutub. Merpati lokal di Indonesia merupakan burung merpati yang asal penyebarannya dari daerah Eropa (Antawidjaya, 1988). Menurut Levi (1945), kedudukan merpati lokal dalam taksonomi adalah sebagai berikut : Kelas : Aves Sub Kelas : Neornithes Super Ordo : Neognathae Ordo : Columbiformes Sub Ordo : Columbiae Famili : Columbidae Genus : Columba Spesies : Columba livia Merpati termasuk ke dalam golongan hewan bertulang belakang (vertebrata) dan berdarah panas dengan suhu tubuh sekitar 41 o C. Bentuk tubuhnya kompak dan kuat tetapi beragam sehingga dapat beradaptasi dengan kehidupan di darat maupun di udara. Sayap merpati memudahkan saat terbang, kakinya memudahkan saat bertengger dan berjalan. Kepala merpati termasuk besar sehingga mempunyai kapasitas otak yang besar. Lehernya panjang dan fleksibel sehingga dapat berputar ke segala arah (Levi, 1945). Karakteristik Merpati Naluri untuk pulang kandang (homing) merupakan salah satu keistimewaan merpati. Merpati dapat terbang hingga ribuan kilometer untuk pulang kembali ke kandangnya. Merpati juga mempunyai sifat sense of location dalam jarak jauh dengan waktu yang lama (Levi, 1945). Melatih terbang merpati dilakukan dengan melepaskannya pada satu arah, misalkan dari arah timur ke barat. Selain itu, latihan terbang dilakukan dengan jarak yang bertahap mulai dari yang paling dekat dan semakin jauh (Yonathan, 2003). 3

17 Merpati mempunyai sifat alamiah yaitu monogami. Merpati selalu mencari pasangan tetap yang bakal berlangsung sampai mati (Yonathan, 2003). Blakely dan Bade (1998) menambahkan bila salah satu pasangan merpati mati atau dipisahkan oleh manusia, maka dapat dicarikan pasangan lain. Namun bila pasangan yang dipisahkan itu dipertemukan kembali dengan pasangan lamanya, maka pasangan lama akan kembali terwujud. Merpati betina biasanya lebih kecil dan tidak terlalu ribut dibandingkan dengan merpati jantan pada saat kawin. Ukuran merpati jantan lebih besar dengan tekstur bulu lebih besar dan bulu leher lebih tebal dibandingkan merpati betina. Merpati jantan pada saat bercumbu membuat gerakan melingkari betina, memekarkan bulu ekor dan menjatuhkan atau merebahkan sayapnya. Pada proses cooing dan billing, betina selalu menempatkan paruhnya ke dalam paruh jantan. Seekor merpati jantan dan seekor merpati betina telah menjadi pasangan jika keduanya tampak saling meloloh dan merpati betina mau dikawini oleh merpati jantan (Blakely dan Bade, 1998). Dewasa kelamin pada merpati dicapai pada umur empat bulan untuk merpati jantan dan enam bulan untuk merpati betina. Menurut Yonathan (2003), merpati dianggap dewasa saat menginjak usia 4-6 bulan. Merpati betina mencapai dewasa jika telah bertelur yaitu pada saat umur 5-6 bulan, sedangkan merpati jantan dianggap dewasa setelah timbul sifat giring (birahi). Sifat giring ini dapat diamati saat merpati jantan mematuk-matuk merpati betina. Merpati bertelur sebanyak 1-2 butir telur pada setiap periode bertelur dengan kerabang telur berwarna putih. Produksi telur merpati rata-rata yaitu dua butir setiap periode dengan berat telur sekitar 15 g per butir. Masa pengeraman telur berlangsung selama hari. Pengeraman dilakukan secara bergantian oleh induk betina dan induk jantan. Pengeraman yang dilakukan oleh merpati betina lebih lama dibandingkan merpati jantan, merpati jantan hanya mengerami telur dalam waktu yang singkat, yaitu pada pagi sampai siang. Telur merpati tidak menetas dalam waktu yang sama. Setelah telur pertama menetas, telur kedua menetas 48 jam berikutnya (Blakely dan Bade, 1998). Sifat fisik yang dapat dilihat untuk membedakan jantan dan betina adalah dengan melihat bentuk kepala. Merpati jantan memiliki bentuk kepala agak datar, 4

18 permukaannya lebih kasar dan terlihat lebih bersifat maskulin, sedangkan merpati betina memiliki bentuk kepala agak bulat dan terlihat halus, serta bulu lehernya halus (Levi, 1945 dan Nowland, 2001). Sistem Kerangka Seekor burung penerbang memiliki kerangka khusus yang tersusun oleh tulang berongga pada tulang humerus, memiliki tulang dada, sternum, coracoids, clavicles dan pygostyle yang kuat. Dada merpati tersusun dari tulang sternum yang berfungsi untuk melindungi organ penting pernapasan yaitu paru-paru (Tyne dan Berger, 1976). Kerangka tulang burung memiliki struktur yang berongga dan dapat terisi udara sehingga meringankan berat kerangka pada saat terbang. Pygostile terdiri dari caudal vertebra. Burung dapat bermanuver dengan ekor sebagai kemudi, sehingga dapat memperlambat dan mengubah arah terbang (Henderson State University, 2012). The Cornell Lab of Ornithology (2012) menyatakan bahwa kombinasi tulang yang ringan, bentuk yang sedemikian rupa dan presisi yang terkontrol memberikan kemampuan burung untuk terbang lama. Menurut Levi (1945), merpati yang ideal adalah merpati yang mempunyai tubuh tidak terlalu panjang atau terlalu pendek. Tubuh merpati harus tegap, kepala, leher, sayap, tubuh, serta ekor harus proporsional atau seimbang. Kecepatan Terbang Pennycuick (1968b) menyatakan bahwa merpati dapat terbang horizontal tanpa kekurangan asupan oksigen dalam tubuh dengan kecepatan 3-16 m/detik, kecepatan terbang minimum merpati adalah 8-9 m/detik. Tyne dan Berger (1976) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan terbang merpati adalah kecepatan angin, temperatur dan motivasi terbang. Menurut Yonathan (2003), kecepatan terbang merpati dipengaruhi oleh sifat birahi (giring). Kondisi fisiologis juga berpengaruh terhadap kecepatan terbang merpati. Naluri untuk kembali pulang lebih besar pada saat merpati jantan dilatih dan merpati betina sedang bertelur. 5

19 Pola Terbang Seekor burung meluncur menggunakan berat (massa) untuk mengatasi hambatan angin, oleh karena itu burung memerlukan massa tertentu dan sebagai akibatnya hanya burung tipe besar yang mampu meluncur teratur (Ritchison, 2008). Pennycuick (1968a) menyatakan bahwa ketika kecepatan terbang meningkat, merpati akan terbang meluncur dan secara drastis mengurangi rentang sayap. Biewener (2012) menyatakan bahwa otot terbang burung dengan ukuran tubuh yang lebih kecil harus mampu melakukan pekerjaan besar untuk menghasilkan tenaga aerodinamis yang dibutuhkan untuk mendukung berat badan di udara dan untuk mengatasi hambatan angin. Manajemen Pemeliharaan Kandang Levi (1945) menyatakan bahwa tipe kandang merpati ada dua macam, yaitu loft dan flypen. Loft merupakan kandang selama berproduksi dengan sangkar di dalamnya, sedangkan flypen merupakan kandang jodoh untuk merpati muda yang belum memperoleh pasangan. Menurut Knox (2000), peralatan yang harus tersedia dalam kandang yaitu tempat pakan dan tempat minum yang didisain agar tidak mudah tumpah, sarang untuk mengerami telur, mangkuk untuk mandi dan tenggeran. Tempat sarang merpati seperti mangkok harus berbentuk cekung supaya mampu menyediakan tempat yang cocok bagi merpati untuk mengerami dan mencegah anak-anak yang masih kecil jatuh. Tempat bertengger perlu disediakan di luar sangkar. Tenggeran berukuran lebar cm dan tinggi 1 m (Blakely dan Bade, 1998). Pakan Menurut Blakely dan Bade (1998), anak merpati mendapatkan makanan dari induknya berupa susu merpati (pigeon milk). Zat yang menyerupai susu ini merupakan sekresi yang berasal dari dinding tembolok yang hanya terdapat pada merpati. Sistem pencernaan anak merpati mulai berkembang seiring berkurangnya produksi pigeon milk, selanjutnya anak merpati mulai mengkonsumsi biji-bijian sedikit demi sedikit. Selain pakan utama, merpati juga membutuhkan grit untuk 6

20 membantu menggiling dan mencerna biji-bijian yang dimakan serta membentuk kerabang telur karena grit juga mengandung mineral. Pakan merpati umumnya berupa biji-bijian, seperti jagung. Jagung kuning mengandung protein 8,5%, serat kasar 2,2%, kalsium 0,02%, fosfor 0,28% dan energi metabolis 3,470 kkal/kg (National Research Council, 1994). Menurut Nowland (2001), pakan yang baik untuk merpati terdiri atas protein kasar 13,5%, karbohidrat 65%, serat 3,5% dan lemak 3%. Blakely dan Bade (1998) menyatakan bahwa merpati mengkonsumsi biji-bijian sekitar g/hari/pasang. Pakan yang dikonsumsi tergantung dari bangsa merpati, cuaca, nafsu makan, besar badan, serta jumlah dan besar anak. Air Minum Air sangat penting dan wajib diberikan kepada merpati. Air yang diberikan harus bersih agar terhindar dari penyakit. Marshall (2004) menyatakan bahwa merpati banyak mengkonsumsi air, dalam satu hari konsumsi air mencapai 10% dari bobot badannya. Levi (1945) menambahkan tiga hal pokok yang sangat penting dalam keberhasilan pemeliharaan merpati yaitu air yang bersih, tidak terkontaminasi dan penggunaan pakan yang tepat serta grit. Burung merpati rentan terhadap penyakit baik secara internal maupun eksternal. Cacing dapat menyerang melalui air, selain itu merpati dapat terserang kutu. Penyediaan air bersih dapat menurunkan parasit eksternal dan hal ini harus dikombinasikan dengan kebersihan kandang dan tenggeran sehingga penyakit tidak mudah berjangkit (Knox, 2000). 7

21 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di peternakan merpati di area Komplek Alam Sinar Sari, Desa Sinarsari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini berlangsung selama bulan April 2012 hingga Juni Materi Ternak Merpati yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 30 pasang atau 60 ekor berumur 9-12 bulan dengan kisaran bobot badan g dan rataan bobot badan 322,93 g. Merpati diperoleh dari peternak dan pedagang merpati di sekitar lokasi penelitian. Kriteria merpati dalam penelitian ini yaitu merpati dalam kondisi sehat, memiliki jumlah bulu sayap primer dan bulu ekor yang lengkap, tidak memiliki cacat fisik dan mampu untuk dilatih terbang. Kandang Setiap pasang merpati ditempatkan dalam kandang utama berukuran panjang 50 cm, lebar 40 cm dan tinggi 30 cm. Kandang berjumlah 17 unit dan terbagi dalam tiga blok yaitu blok A terdiri dari 4 unit kandang, blok B terdiri dari 5 unit kandang dan blok C terdiri dari 8 unit kandang. Setiap unit kandang dilengkapi tempat pakan dan tempat minum. Kandang yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Gambar 1. (a) (b) (c) Gambar 1. Kandang Merpati pada Blok A (a), Blok B (b) dan Blok C (c). Kandang lain yang digunakan dalam penelitian ini selain kandang utama yaitu kandang tempat penjodohan adalah kandang untuk betina saat di luar kandang 8

22 utama dan kandang untuk melepas merpati jantan. Kandang tempat penjodohan, kandang untuk betina dan kandang untuk melepas merpati jantan disajikan pada Gambar 2. (a) (b) (c) Gambar 2. Kandang Penjodohan (a), Kandang Betina (b) dan Kandang Lepas (c). Pakan dan Air Minum Pakan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu jagung kuning yang berukuran kecil (jagung super) dengan diameter 0,5 cm. Pakan diberikan setiap pagi dan hanya satu kali. Setiap pasang merpati diberikan pakan sebanyak 70 g, sedangkan air minum diberikan ad libitum. Prosedur Proses Penjodohan Proses penjodohan merpati dimulai dengan masa perkenalan. Merpati jantan dipertemukan dengan merpati betina namun masih dalam kandang yang berbeda. Kandang tersebut dibuat sekat untuk memisahkan merpati jantan dan merpati betina agar tidak terjadi keributan dalam kandang, namun sepasang merpati tersebut masih bisa saling melihat. Merpati jantan akan mengeluarkan suara bekur pada saat melihat merpati betina, hal tersebut merupakan salah satu ciri untuk membedakan merpati jantan dan merpati betina. Saat merpati jantan bekur yaitu menggelembungkan bagian lehernya, yang diikuti dengan gerakan-gerakan yang khas untuk menggoda merpati betina. Merpati betina juga bisa mengeluarkan suara bekur namun tidak sekeras suara bekur merpati jantan dan bekur merpati betina tidak diikuti dengan gerakan-gerakan seperti merpati jantan. Ciri merpati yang sudah berjodoh yaitu saat merpati jantan dan betina disatukan, merpati jantan akan mengeluarkan suara bekur dan menggelembungkan 9

23 bagian lehernya serta menggoyang-goyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan kemudian ke atas dan ke bawah yang diikuti dengan gerakan seperti tarian. Posisi sayap dan ekor merpati jantan pada saat bekur akan lebih rendah bahkan hingga terseret di tanah. Merpati betina mengangguk-anggukan kepalanya pada saat merpati jantan mengeluarkan suara bekur. Proses perkawinan diawali dengan percumbuan, merpati jantan maupun merpati betina melakukan aktifitas telisik. Telisik merupakan salah satu tingkah laku unggas untuk membersihkan bulu menggunakan paruh. Merpati betina memasukan paruhnya ke dalam paruh merpati jantan. Saat paruh merpati betina berada dalam paruh merpati jantan keduanya menggetarkan kepalanya seperti sedang meloloh, setelah melakukan pelolohan maka betina akan merebahkan badannya agar dinaiki merpati jantan. Jika pada saat merpati betina merebahkan badannya namun merpati jantan tidak mau menaiki maka merpati betina akan meminta diloloh lagi sampai merpati jantan mau menaikinya. Jika merpati jantan sudah menaiki merpati betina dan merpati jantan pasangannya menggoyang-goyangkan ekor serta mengepakkepakan sayapnya maka proses perkawinan telah berhasil dilakukan. Setelah proses perkawinan biasanya merpati jantan langsung terbang, namun ada juga beberapa pasangan yang melakukan proses perkawinan secara bergantian. Pada saat merpati jantan telah berhasil melakukan perkawinan maka giliran merpati betina yang menaiki merpati jantan dengan gerakan yang sama. Sistem Pemeliharaan Sistem pemeliharaan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sistem pemeliharaan semi intensif. Sepasang merpati dikandangkan dalam kandang utama dari sore hingga pagi hari. Selanjutnya setiap pagi merpati jantan dikeluarkan dari kandang dan dibiarkan bebas, sedangkan merpati betina ditempatkan dalam kandang khusus untuk betina. Merpati betina tidak dibiarkan bebas agar mempermudah dalam penanganan. Merpati betina lebih cenderung senang di luar kandang, sedangkan merpati jantan lebih sering masuk keluar kandang karena ingin menjaga kandangnya atau daerah teritorialnya, sehingga merpati jantan lebih sering terlihat berkelahi dibandingkan merpati betina. Perkelahian pada merpati bukan hanya masalah kandang, ada juga perkelahian yang disebabkan karena memperebutkan pasangan, merpati jantan yang mempunyai pasangan yang berwarna sama biasanya akan 10

24 berkelahi ketika merpati betina yang berwarna sama tersebut dibiarkan bebas. Kedua merpati jantan tersebut akan sama-sama mengejar merpati betina yang berwarna sama dengan pasangannya sehingga terjadi perkelahian. Pada saat merpati dikeluarkan dari kandang, tempat pakan dan tempat minum dikeluarkan dan dibersihkan atau dicuci dan dilakukan setiap hari. Tempat pakan dan tempat minum yang sudah dicuci kemudian dijemur. Saat menunggu tempat pakan dan minum kering, kandang dibersihkan dengan menggunakan peralatan seperti kape, koas dan serokan. Merpati jantan dan merpati betina dijemur 1-2 jam setiap pagi agar memperoleh cahaya sinar matahari. Merpati yang terlihat kotor (terdapat kotoran/feses pada bagian bulunya) dimandikan dan dijemur. Merpati dimandikan dua hari sekali, merpati yang sudah dijemur kemudian dimasukan kembali dalam kandang. Merpati dikeluarkan kembali pada sore hari, merpati jantan dan merpati betina dibiarkan bebas. Hal ini bertujuan agar merpati tersebut dapat mencari grit berupa batu-batu kecil atau kerikil, arang serta abu yang ada di sekitar kandang. Grit ini merupakan pakan tambahan yang bertujuan untuk membantu proses pencernaan dalam tembolok. Selain untuk mendapatkan grit, tujuan lain merpati jantan dan betina dibiarkan bebas pada sore hari yaitu agar sepasang merpati tersebut dapat melakukan perkawinan. Cara Melatih Merpati yang baru datang dikurung terlebih dahulu selama satu hari penuh dengan tujuan agar sepasang merpati tersebut dapat beradaptasi dengan kandang atau tempat tinggal barunya. Merpati mulai dikeluarkan dari kandang pada hari ke-dua, namun merpati betina tetap berada di dalam kandang khusus betina (dongdang dalam bahasa sunda) yang berada di dekat kandang utama. Jika sepasang merpati sudah dapat beradaptasi, maka mulai dilepas bebas hanya pada sore hari sekitar pukul atau ketika sudah mulai gelap agar merpati tidak terbang jauh. Merpati jantan mulai dilatih terbang pada hari ke-tiga pemeliharaan. Latihan terbang untuk merpati jantan dilakukan pada jarak tertentu dan bertahap. Selain itu latihan terbang untuk merpati lokal tipe tinggian dilakukan pada satu arah, misalkan barat ke timur. Jika merpati telah mengenal medan latihan, maka jarak latih terbang ditambah. Pada setiap latihan terbang, merpati yang masih baru dibantu oleh merpati yang telah mengenal medan (guide). 11

25 Latihan terbang dilakukan secara bertahap, yaitu mulai dari jarak 100 m, 150 m dan 200 m. Latihan terbang dilakukan pagi hari karena kecepatan angin pada pagi hari masih konstan, sehingga kondisi angin saat latihan maupun pengambilan data kecepatan terbang seragam. Merpati diterbangkan pada jarak yang sama sebanyak tiga kali atau sampai merpati tersebut dapat terbang tanpa salah arah. Jika merpati sudah mengenal medan yaitu langsung pulang ke kandang ketika terbang berdua dengan seekor guide, selanjutnya merpati dibiasakan terbang sendiri. Pencatatan kecepatan terbang merpati dilakukan saat merpati terbang sendiri dan tidak dipandu oleh guide. Pengambilan Data Pengambilan data dilakukan secara bertahap karena kapasitas kandang terbatas. Pengambilan data dilakukan secara bergilir. Merpati yang dipelihara sudah didapatkan seluruh datanya, maka merpati tersebut ditukar ke pasar atau ke peternak. Setiap pasang merpati dipelihara selama 14 hari. Pemeliharaan di kandang selama 3 hari dan latihan terbang untuk persiapan pengambilan data kecepatan terbang dilakukan selama 9 hari, selanjutnya hari ke-13 dan ke-14 dilakukan pengambilan data kecepatan terbang. Pengamatan dilakukan setiap hari secara langsung meliputi manajemen pemeliharaan, pengambilan data sifat kualitatif dan sifat kuantitatif, serta data rataan kecepatan terbang. Pengambilan data sifat kualitatif dilakukan pada saat merpati datang, sedangkan pengambilan data kuantitatif berlangsung selama 14 hari untuk setiap pasang merpati. Rancangan dan Analisis Data Peubah Peubah sifat kualitatif yang diamati antara lain warna bulu, warna iris mata, tipe shank, tipe bulu sayap, tipe ujung bulu sayap, bentuk kepala dan bentuk badan. 1) Warna bulu. Warna bulu merpati bervariasi seperti hitam, putih, coklat, megan, gambir, tritis, blantong, kelabu, batik dan blorok. 2) Warna iris mata. Warna iris mata merpati bervariasi. Warna iris mata merpati yaitu kuning, putih (pillow) dan coklat (asem). Selain itu, ada juga merpati yang memiliki warna iris mata yang berbeda pada kedua sisinya, misal iris 12

26 mata kiri berwarna kuning dan iris mata kanan berwarna coklat (asem) yang disebut iris mata liplap. Ada juga merpati yang memiliki warna iris mata yang berbeda dalam satu mata seperti sebagian mata berwarna putih (pillow) dan sebagian lagi berwarna coklat (asem). 3) Tipe shank. Tipe shank merpati terdiri dari dua jenis, yaitu tipe shank basah dan tipe shank kering. Warna shank merpati yang kering terlihat lebih putih dan seperti bersisik dibandingkan dengan warna shank basah. 4) Tipe bulu sayap. Tipe bulu sayap merpati ada dua jenis, yaitu bulu sayap rapat dan bulu sayap renggang. 5) Bentuk ujung bulu sayap. Bentuk ujung bulu sayap ada dua jenis, yaitu ujung bulu sayap tumpul dan ujung bulu sayap lancip. 6) Bentuk kepala. Bentuk kepala merpati ada tiga jenis, yaitu kepala jenong, kepala perkutut dan kepala curut. 7) Bentuk tubuh. Bentuk tubuh merpati ada dua jenis, yaitu bentuk tubuh seperti kapal dan bentuk tubuh seperti jantung pisang. Peubah sifat kuantitatif yang diamati antara lain bobot badan, lingkar dada, lebar dada luar, lebar dada dalam, dalam dada, panjang dada, panjang punggung, jumlah bulu sayap primer, rentang sayap, panjang sayap, jumlah bulu ekor, panjang bulu ekor, lebar pangkal ekor, lebar bulu ekor dan rataan kecepatan terbang serta pola terbang. 1). Bobot badan. Penimbangan dilakukan pada hari pertama (sebelum dilatih terbang) dan hari ke-14 (setelah pengambilan data kecepatan terbang). Pengukuran bobot badan dilakukan pada pagi hari sebelum merpati diberi makan. Timbangan dan penimbangan bobot badan disajikan pada Gambar 3. (a) (b) Gambar 3. Timbangan Digital (a) dan Penimbangan Bobot Badan (b) 13

27 2). Ukuran-ukuran tubuh. Bagian tubuh yang diamati yaitu lebar dada luar, lebar dada dalam, dalam dada, panjang dada, lingkar dada, panjang punggung, rentang sayap, panjang sayap, lebar ekor, panjang bulu ekor, lebar pangkal ekor, jumlah bulu sayap primer, dan jumlah bulu ekor. Pengukuran tersebut dilakukan pada hari ke-3 (sebelum dilatih terbang) dan hari ke-14 (setelah diperoleh data rataan kecepatan terbang) untuk merpati jantan. Pengamatan ukuran tubuh pada merpati betina dilakukan hanya sekali yaitu pada hari pertama, karena merpati betina tidak dilatih terbang. Pengukuran lebar dada luar, lebar dada dalam, dalam dada, panjang dada, lebar ekor, dan lebar pangkal ekor dilakukan dengan menggunakan jangka sorong, sedangkan pengukuran lingkar dada, panjang bulu ekor, panjang dada, panjang punggung, panjang sayap dan rentang sayap dilakukan dengan menggunakan pita ukur. Jangka sorong dan pita ukur yang dipakai untuk pengambilan data disajikan pada Gambar 4. Gambar 4. Jangka Sorong (a) dan Pita Ukur (b) a). Lebar dada dalam diperoleh dengan mengukur jarak antara dada bagian kiri dengan dada bagian kanan, sedangkan lebar dada luar diperoleh dengan cara mengukur jarak antara sayap bagian kiri dan sayap bagian kanan. Cara pengukuran lebar dada diperlihatkan pada Gambar 5. (a) (b) Gambar 5. Pengukuran Lebar Dada Luar (a) dan Lebar Dada Dalam (b) 14

28 b). Panjang dada diperoleh dengan mengukur panjang tulang sternum. Cara pengukuran panjang dada diperlihatkan pada Gambar 6. Gambar 6. Pengukuran Panjang Dada c). Lingkar dada diperoleh dengan mengukur pangkal sayap kanan melalui tulang sternum hingga pangkal sayap kiri. Cara pengukuran lingkar dada diperlihatkan pada Gambar 7. Gambar 7. Pengukuran Lingkar Dada d). Dalam dada diperoleh dengan mengukur jarak antara tulang punggung hingga tulang sternum. Cara pengukuran dalam dada diperlihatkan pada Gambar 8. Gambar 8. Pengukuran Dalam Dada e). Panjang punggung diperoleh dengan mengukur jarak dari pangkal leher hingga tulang pygostile. Cara pengukuran panjang punggung diperlihatkan pada Gambar 9. 15

29 Gambar 9. Pengukuran Panjang Punggung f). Panjang sayap diperoleh dengan mengukur jarak dari tulang humerus hingga perbatasan bulu primer ke-10 dan tulang sayap. Cara pengukuran panjang sayap diperlihatkan pada Gambar 10. Gambar 10. Pengukuran Panjang Sayap g). Rentang sayap diperoleh dengan mengukur jarak dari tulang humerus hingga ujung bulu sayap ke-10. Cara pengukuran rentang sayap diperlihatkan pada Gambar 11. Gambar 11. Pengukuran Rentang Sayap h). Jumlah bulu sayap primer diperoleh dengan menghitung jumlah bulu sayap primer yang masih terdapat pada sayap. Cara menghitung jumlah bulu sayap primer diperlihatkan pada Gambar

30 Gambar 12. Perhitungan Jumlah Bulu Sayap Primer i). Jumlah bulu ekor diperoleh dengan menghitung jumlah bulu ekor yang masih terdapat pada ekor. Cara menghitung jumlah bulu ekor diperlihatkan pada Gambar 13. Gambar 13. Perhitungan Jumlah Bulu Ekor j). Panjang bulu ekor diperoleh dengan mengukur jarak antara pangkal bulu ekor hingga ujung bulu ekor. Cara pengukuran panjang bulu ekor diperlihatkan pada Gambar 14. Gambar 14. Pengukuran Panjang Bulu Ekor k). Lebar bulu ekor diperoleh dengan mengukur jarak antara bulu ekor sebelah kiri dan bulu ekor sebelah kanan. Cara pengukuran lebar bulu ekor diperlihatkan pada Gambar

31 Gambar 15. Pengukuran Lebar Bulu Ekor l). Lebar pangkal ekor diperoleh dengan mengukur jarak antara sisi kiri hingga sisi kanan tulang pygostile. Cara pengukuran pangkal ekor diperlihatkan pada Gambar 16. Gambar 16. Pengukuran Lebar Pangkal Ekor 3). Kecepatan terbang dilakukan dan diukur selama dua hari, yaitu pada hari ke- 13 dan hari ke-14. Pengukuran kecepatan terbang dilakukan pada jarak 100 m, 150 m dan 200 m dengan 3 kali pengulangan pada setiap jarak. Selain catatan waktu, dilakukan pula pengamatan karakteristik dan pola terbangnya. Pengambilan data kecepatan terbang dilakukan pada pagi hari sekitar pukul hingga Hal ini dikarenakan kecepatan angin pada waktu tersebut masih seragam, sehingga perlakuan yang diberikan untuk semua merpati yang dilatih terbang sama. Kecepatan terbang merpati diukur dengan menggunakan stopwatch. Data rataan kecepatan terbang diperoleh dengan menghitung jarak yang ditempuh dibagi dengan catatan waktu yang dibutuhkan untuk dapat kembali pulang ke kandang setelah dilepas pada jarak yang telah ditentukan. Jarak yang digunakan yaitu 100 m, 150 m dan 200 m dengan kondisi medan latihan terbang berupa rumah-rumah penduduk, instalasi kabel listrik ke rumah penduduk yang merupakan lintasan terbang merpati, pepohonan dan kabel tegangan tinggi. 18

32 Selain sifat kualitatif, kuantitatif dan kecepatan terbang, diamati juga konsumsi pakan harian dari sepasang merpati. Konsumsi pakan diamati untuk mengetahui seberapa banyak pakan yang dikonsumsi oleh sepasang merpati setiap harinya. Konsumsi pakan harus sesuai dengan kebutuhan merpati. Pakan yang diberikan tidak terlalu sedikit atau terlalu banyak karena pakan yang dikonsumsi merpati sangat mempengaruhi performa merpati tersebut. Rancangan 1). Data manajemen pemeliharaan disajikan secara deskriptif. 2). Data sifat kualitatif disajikan secara deskriptif. 3). Data sifat kuantitatif disajikan secara deskriptif dan dianalisis rataan, simpangan baku, koefesien keragaman, uji t antara merpati jantan dan betina, uji t merpati jantan sebelum dan setelah dilatih terbang dan korelasi antara rataan kecepatan terbang dengan ukuran-ukuran tubuh yang diamati. Model matematika yang digunakan menggunakan model rancangan menurut Walpole (1992), yaitu : Keterangan : = nilai rataan X i = peubah yang diukur, dimulai dari individu ke-i, i = 1, 2, n n = jumlah ternak Keterangan : sb = simpangan baku X i = peubah sifat kuantitatif yang diukur, dimulai dari individu ke-i, i = 1, 2,, n = nilai rataan sifat kuantitatif yang diukur, dimulai dari individu ke-i, i = 1, 2, n n = jumlah ternak Keterangan : KK = koefisien keragaman sb = simpangan baku 19

33 = nilai rataan Uji t merpati jantan sebelum dan setelah dilatih terbang yaitu: Keterangan : Sd = standar deviasi v = derajat bebas n = jumlah ternak t = nilai hitung d i = selisih peubah yang diukur, dimulai dari individu ke-i, i = 1, 2, n Uji t antara merpati jantan dan betina yaitu: Keterangan : S p = standar deviasi v = derajat bebas n = jumlah ternak t = nilai hitung = nilai rataan Korelasi antara rataan kecepatan terbang dan ukuran-ukuran tubuh yaitu: Keterangan : r = korelasi 20

34 X i = peubah sifat kuantitatif yang diukur, dimulai dari individu ke - i, i = 1, 2,, n Y i = rataan kecepatan terbang yang diukur, dimulai dari individu ke - i, i = 1, 2,, n n = jumlah ternak Uji lanjut untuk mengetahui keeratan nilai korelasi dengan menggunakan uji t (Irianto, 2010) yaitu: Keterangan : t = nilai hitung (t-hitung) r = nilai korelasi n = jumlah ternak Glosarium Batik Bekur Blantong Blorok Curut Dondang Gambir Klepek Giring Guide Jenong Joki Kelabu Liplap Megan Ring Telisik Tritis : Warna bulu merpati dengan pola seperti batik berwarna kecoklatan. : Suara merpati jantan saat mendekati merpati betina. : Warna bulu merpati dengan dua pola warna, bagian kepala, dada dan sayap berwarna putih. : Warna bulu merpati dengan dua pola warna, salah satu warna menyebar dengan pola tidak beraturan. : Bentuk kepala menyerupai curut (tikus), dengan permukaan paruh atas dan dahi sejajar. : Kandang untuk merpati betina saat diluar kandang utama dan kandang untuk membawa merpati jantan saat akan dilepas. : Warna bulu merpati dengan warna dasar coklat tua. : Aktifitas mengepakkan sayap merpati betina secara disengaja untuk memancing merpati jantan. : Kondisi pada saat merpati betina akan bertelur dan merpati jantan selalu ingin dekat dengan merpati betina. : Merpati jantan yang telah mengenal lokasi latihan terbang dan memandu merpati lain pada saat dilatih terbang. : Bentuk kepala merpati dengan bagian dahi yang menonjol. : Peternak yang melatih terbang merpati. : Warna bulu merpati dengan warna dasar abu-abu. : Pola warna mata merpati yang berbeda pada kedua matanya. : Warna bulu merpati dengan warna dasar biru keabu-abuan. : Tempat merpati mendarat saat perlombaan. : Aktifitas merpati saat membersihkan bulu menggunakan paruh. : Warna bulu merpati dengan warna dasar biru keabu-abuan dan memiliki corak hitam. 21

35 HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Lokasi Penelitian Suhu dan kelembaban lokasi penelitian diamati tiga kali dalam sehari yaitu pagi, siang dan sore hari. Rataan suhu dan kelembaban pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rataan Suhu dan Kelembaban pada Lokasi Penelitian Waktu Parameter Pagi Siang Sore Rataan ± Simpangan Baku (KK) Suhu ( o C) 26,68 ± 1,07 (4,00) 31,34 ± 0,92 (2,95) 28,41 ± 1,28 (4,51) Kelembaban (%) 83,60 ± 3,98 (4,76) 66,90 ± 4,53 (6,77) 78,19 ± 5,78 (7,39) Rataan suhu lokasi penelitian pada pagi hari (sekitar jam ), siang hari (sekitar jam ) dan sore hari (sekitar jam ) masing-masing yaitu 26,68 o C; 31,34 o C dan 28,41 o C. Rataan kelembaban pada pagi, siang dan sore hari masing-masing yaitu 83,60%; 66,90% dan 78,19%. Suhu dan kelembaban pada lokasi penelitian saat pagi, siang dan sore hari selama pengamatan seragam dengan koefisien keragaman berkisar antara 2,95%- 7,39%. Suhu dan kelembaban lokasi penelitian dari pagi, siang hingga sore hari masih fluktuatif. Pada pagi dan sore hari suhu lokasi penelitian lebih rendah dibandingkan suhu pada siang hari, hal ini diikuti dengan kelembaban pada pagi dan sore hari yang lebih tinggi dibandingkan kelembaban pada siang hari. Hal ini dikarenakan penelitian dilakukan di luar ruangan, sehingga sinar cahaya matahari mempengaruhi suhu dan kelembaban. Suhu berbanding terbalik dengan kelembaban. Jika suhu rendah maka kelembaban tinggi, sebaliknya jika suhu tinggi maka kelembaban rendah. Kandang dalam penelitian ini memiliki lubang-lubang tempat pertukaran udara pada setiap dindingnya, sehingga sirkulasi udara di dalam kandang baik. Selain itu kandang menghadap ke arah timur untuk mendapatkan sinar matahari langsung pada pagi hari. Kandang dengan sirkulasi udara yang baik dan cahaya matahari yang cukup dapat melancarkan siklus reproduksi. Hal ini dikarenakan sirkulasi udara yang baik dapat mengurangi cekaman stres dalam kandang akibat suhu dan kelembaban 22

36 lingkungan kandang. Selain itu cahaya matahari dapat mersangsang sistem reproduksi merpati betina sehingga proses ovulasi berlangsung lebih cepat. Reproduksi merpati berbeda dengan unggas lainnya. Produksi telur merpati hanya dua butir untuk satu kali periode bertelur, selain itu interval bertelurnya juga lama. Oleh karena itu dibutuhkan manajemen pemeliharaan yang baik agar produksitifitas merpati meningkat. Hal ini bisa dilakukan dengan pemeliharaan semi intesif. Pemeliharaan semi intensif memberikan kesempatan merpati untuk melakukan proses perkawinan setiap saat. Selain itu dengan pemeliharaan semi intensif juga dapat memberikan kesempatan merpati untuk memperoleh grit yang dapat membantu proses pencernaan sehingga sistem pencernaan merpati dapat berjalan dengan baik. Telur yang dihasilkan dari merpati unggul pada setiap periode bertelur sebaiknya tidak dierami secara langsung oleh merpati induknya, namun telur yang dihasilkan sebaiknya dierami oleh indukan lain. Hal ini dilakukan untuk mempercepat interval produksi telur merpati unggul yang tidak mengerami telur, sehingga telur merpati yang dihasilkan akan lebih banyak. Konsumsi Pakan Merpati merupakan jenis unggas yang menyukai makanan berupa biji-bijian, seperti jagung yang dijadikan pakan dalam penelitian ini. Rataan konsumsi pakan jagung dalam penelitian ini yaitu 38,44 ± 8,21 g/pasang/hari dengan koefisien keragaman 21,36%. Hal tersebut menunjukkan konsumsi pakan merpati pada penelitian ini masih beragam, karena konsumsi pakan tertinggi dalam penelitian ini yaitu 61,43 g/pasang/hari dan konsumsi pakan terendah yaitu 25,29 g/pasang/hari. Pakan yang dikonsumsi tergantung dari bangsa merpati, cuaca, nafsu makan, besar badan, serta jumlah dan besar anak (Blakely dan Bade, 1998). Merpati sebaiknya diberi pakan cukup karena merpati memiliki sifat memilih-milih pakan yang disukai dan menghamburkan pakan yang tidak disukainya, oleh karena itu disain tempat pakan sangat penting agar pakan tidak berhamburan. Selain pakan utama berupa jagung, merpati juga harus mendapatkan grit untuk membantu proses pencernaan, oleh karena itu manajemen pemeliharaan yang digunakan dalam penelitian kali ini yaitu semi intensif dimana setiap sore hari merpati dibiarkan bebas untuk memberi kesempatan merpati mencari grit dan 23

37 melakukan perkawinan. Grit yang diperoleh berupa batu-batu kecil atau kerikil, arang dan abu yang berada di sekitar kandang. Sifat-sifat Kualitatif Sifat-sifat kualitatif merpati yang diamati dalam penelitian ini yaitu warna bulu, warna iris mata, tipe shank, tipe bulu sayap, bentuk ujung bulu sayap, bentuk kepala dan bentuk badan. Warna Bulu Warna bulu merpati masih beragam. Persentase warna bulu merpati dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Persentase Warna Bulu Merpati Lokal Tipe Tinggian Warna Bulu Jantan Betina Jumlah Persentase Jumlah Persentase --- (ekor) (%) (ekor) (%) --- Coklat 6 20, ,33 Tritis 4 13, ,00 Hitam 1 3,33 1 3,33 Megan 3 10, ,33 Kelabu 10 33,33 2 6,67 Putih 1 3, ,00 Blorok ,67 Blantong 1 3,33 1 3,33 Batik 1 3, Gambir 3 10, ,33 Warna bulu kelabu merupakan warna bulu terbanyak untuk merpati jantan dalam penelitian ini yaitu 10 ekor (33,33%), sedangkan warna bulu blorok untuk merpati jantan tidak ada dalam penelitian ini karena merpati jantan blorok memang masih jarang ditemui di pasaran. Merpati betina yang memiliki warna bulu terbanyak yaitu coklat yang berjumlah 7 ekor (23,33%). Merpati yang baik memiliki bulu tubuh yang lengkap, lembut dan terasa licin saat dipegang seperti berminyak. Persentase merpati jantan yang memiliki bulu tubuh yang lembut dan terasa licin berjumlah 18 24

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di peternakan merpati di area Komplek Alam Sinar Sari, Desa Sinarsari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini berlangsung selama bulan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Merpati Karakteristik Merpati )

TINJAUAN PUSTAKA Merpati Karakteristik Merpati ) TINJAUAN PUSTAKA Merpati Menurut Yonathan (2003), penyebaran merpati hampir merata di seluruh bagian bumi kecuali di daerah kutub. Merpati lokal di Indonesia merupakan burung merpati yang asal penyebarannya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Lokasi Penelitian Suhu dan kelembaban lokasi penelitian diamati tiga kali dalam sehari yaitu pagi, siang dan sore hari. Rataan suhu dan kelembaban pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN MATERI DAN METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Rawamangun Selatan, Gg. Kana Tanah Merah Lama, Jakarta Timur. Penelitian dilakukan empat bulan, yaitu mulai bulan Agustus sampai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Burung Merpati Balap Tinggian Karakteristik dari burung merpati balap tinggian sangat menentukan kecepatan terbangnya. Bentuk badan mempengaruhi hambatan angin, warna

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Burung Merpati

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Burung Merpati TINJAUAN PUSTAKA Burung Merpati Burung merpati termasuk kedalam kelas unggas yang telah lama dikenal di Indonesia dengan sebutan burung dara (Gambar1). Burung merpati merupakan spesies paling terkenal

Lebih terperinci

KECEPATAN TERBANG BURUNG MERPATI BALAP LOKAL (TIPE TINGGIAN) SKRIPSI RIDWANSYAH

KECEPATAN TERBANG BURUNG MERPATI BALAP LOKAL (TIPE TINGGIAN) SKRIPSI RIDWANSYAH KECEPATAN TERBANG BURUNG MERPATI BALAP LOKAL (TIPE TINGGIAN) SKRIPSI RIDWANSYAH DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 ABSTRACT The Flight Speed

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUANTITATIF MERPATI BALAP TINGGIAN DAN MERPATI BALAP DASAR JANTAN

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUANTITATIF MERPATI BALAP TINGGIAN DAN MERPATI BALAP DASAR JANTAN IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUANTITATIF MERPATI BALAP TINGGIAN DAN MERPATI BALAP DASAR JANTAN IDENTIFICATION OF QUANTITATIVE TRAITS ON MALE "TINGGIAN" AND SPRINT RACING PIGEONS Dimas Aji S*, Dani Garnida**,

Lebih terperinci

114 Warna dasar, pola bulu dan corak bulu burung merpati balap sama dengan burung merpati lokal, kecuali warna dasar putih tidak ditemukan pada balap

114 Warna dasar, pola bulu dan corak bulu burung merpati balap sama dengan burung merpati lokal, kecuali warna dasar putih tidak ditemukan pada balap 113 BAHASAN UMUM Gen yang mempengaruhi ekspresi sifat kualitatif terdapat pada kromosom otosom (kromsom Z), sehingga ekspresi pada kedua jenis kelamin sama, kecuali warna bulu adapula yang terpaut seks.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Faktor manajemen lingkungan juga berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak. Suhu dan kelembaban yang sesuai dengan kondisi fisiologis ternak akan membuat

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian produksi telur ayam Arab dilaksanakan di Laboratorium Lapang Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor (Blok B), sedangkan penelitian kualitas internal

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari

PENDAHULUAN. salah satunya pemenuhan gizi yang berasal dari protein hewani. Terlepas dari 1 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk, kebutuhan pangan semakin meningkat pula. Pangan yang dibutuhkan oleh masyarakat jenisnya beragam, salah satunya pemenuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Burung puyuh dalam istilah asing disebut quail yang merupakan bangsa

TINJAUAN PUSTAKA. Burung puyuh dalam istilah asing disebut quail yang merupakan bangsa II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Burung Puyuh Burung puyuh dalam istilah asing disebut quail yang merupakan bangsa burung liar yang mengalami proses domestikasi. Ciri khas yang membedakan burung

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruangan Rata-rata suhu dan kelembaban ruangan selama penelitian pada pagi hari 22,4 0 C dan 78,6%, siang hari 27,4 0 C dan 55%, sore hari 25 0 C dan 75%. Hasil

Lebih terperinci

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Ir. Sri Rahayu, MSi. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, MAgr.Sc.

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Ir. Sri Rahayu, MSi. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, MAgr.Sc. APLIKASI INDEKS MORFOLOGI DALAM PENDUGAAN BOBOT BADAN DAN TIPE PADA DOMBA EKOR GEMUK DAN DOMBA EKOR TIPIS SKRIPSI HAFIZ PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi

Lebih terperinci

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN

KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS TERNAK JALAK SUREN Oleh : Taufik Rizky Afrizal 11.12.6036 S1.SI.10 STMIK AMIKOM Yogyakarta ABSTRAK Di era sekarang, dimana ekonomi negara dalam kondisi tidak terlalu baik dan

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Burung Puyuh Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali diternakkan

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan 20 ekor Itik Rambon Betina, 4 ekor Itik

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan 20 ekor Itik Rambon Betina, 4 ekor Itik 21 III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan Penelitian 3.1.1 Objek Penelitian Penelitian ini menggunakan 20 ekor Itik Rambon Betina, 4 ekor Itik Rambon Jantan dan 20 ekor Itik Cihateup Betina, 4 ekor

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Suhu Kandang Selama Lima Minggu Penelitian Pengukuran Suhu ( o C) Pagi Siang Sore 28-32

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3. Suhu Kandang Selama Lima Minggu Penelitian Pengukuran Suhu ( o C) Pagi Siang Sore 28-32 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Mikro Kandang Kandang Penelitian Kandang penelitian yang digunakan yaitu tipe kandang panggung dengan dinding terbuka. Jarak lantai kandang dengan tanah sekitar

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV

PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV PEMBAHASAN Penggunaan Kamera IR-CCTV Kendala utama penelitian walet rumahan yaitu: (1) rumah walet memiliki intensitas cahaya rendah, (2) pemilik tidak memberi ijin penelitian menggunakan metode pengamatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KECEPATAN PEMERAHAN DENGAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DI PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT RAHMAWATI JAYA PENGADEGAN JAKARTA SELATAN

HUBUNGAN ANTARA KECEPATAN PEMERAHAN DENGAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DI PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT RAHMAWATI JAYA PENGADEGAN JAKARTA SELATAN HUBUNGAN ANTARA KECEPATAN PEMERAHAN DENGAN PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DI PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT RAHMAWATI JAYA PENGADEGAN JAKARTA SELATAN SKRIPSI NUR HAFIZAH TRISTY DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor

HASIL DAN PEMBAHASAN. Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor 29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Deskripsi Telur Tetas Itik Rambon Total jumlah itik yang dipelihara secara minim air sebanyak 48 ekor dengan jumlah itik betina 42 ekor dan itik jantan 6 ekor. Sex ratio

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking TINJAUAN PUSTAKA Itik Peking Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking dapat dipelihara

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Juli 2012. Pemeliharaan burung merpati dilakukan di Sinar Sari, Dramaga, Bogor, Jawa Barat. Pengamatan profil darah

Lebih terperinci

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus)

BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus) BUDIDAYA BELUT (Monopterus albus) 1. PENDAHULUAN Kata Belut merupakan kata yang sudah akrab bagi masyarakat. Jenis ikan ini dengan mudah dapat ditemukan dikawasan pesawahan. Ikan ini ada kesamaan dengan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pemeliharaan ayam dan penampungan semen dilakukan di Kandang B, Laboratorium Lapang, Bagian Ilmu Produksi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Lebih terperinci

Identifikasi Bobot Badan dan Ukuran-ukuran Tubuh Itik Bali...Herbert Jumli Tarigan

Identifikasi Bobot Badan dan Ukuran-ukuran Tubuh Itik Bali...Herbert Jumli Tarigan IDENTIFIKASI BOBOT BADAN DAN UKURAN UKURAN TUBUH ITIK BALI (Kasus Di Kelompok Ternak Itik Manik Sari Dusun Lepang Desa Takmung Kecamatan Banjarangkan Kabupaten Klungkung Provinsi Bali) IDENTIFICATION OF

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 18 III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Mega Bird and Orchid farm, Bogor, Jawa Barat pada bulan Juni hingga Juli 2011. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Kamruton adalah salah satu bagian dari Kecamatan Lebak Wangi,

HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Kamruton adalah salah satu bagian dari Kecamatan Lebak Wangi, 1 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Manajemen Pemeliharaan dan Pakan Desa Kamruton adalah salah satu bagian dari Kecamatan Lebak Wangi, yang berbatasan dengan desa teras bendung di sebelah utara dan desa jeruk

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. adalah Day Old Duck (DOD) hasil pembibitan generasi ke-3 sebanyak 9 ekor itik

III BAHAN DAN METODE PENELITIAN. adalah Day Old Duck (DOD) hasil pembibitan generasi ke-3 sebanyak 9 ekor itik III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Objek Penelitian 3.1.1 Ternak Percobaan Itik Rambon dan Cihateup yang digunakan sebagai bahan penelitian adalah Day Old Duck (DOD) hasil pembibitan generasi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Tabel 3. Komposisi Nutrisi Ransum Komersial.

MATERI DAN METODE. Tabel 3. Komposisi Nutrisi Ransum Komersial. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di CV. Mitra Mandiri Sejahtera Desa Babakan, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Jarak lokasi kandang penelitian dari tempat pemukiman

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Organisasi Organisasi merupakan suatu gabungan dari orang-orang yang bekerja sama dalam suatu pembagian kerja untuk mencapai tujuan bersama (Moekijat, 1990). Fungsi struktur

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING

IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING IDENTIFIKASI SIFAT-SIFAT KUALITATIF DAN UKURAN TUBUH PADA ITIK TEGAL, ITIK MAGELANG, DAN ITIK DAMIAKING S. SOPIYANA, A.R. SETIOKO, dan M.E. YUSNANDAR Balai Penelitian Ternak Jl. Veteran III PO Box 221

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012.

PENDAHULUAN. Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai 12,692,213 ekor atau meningkat. sebesar 1,11 persen dibandingkan dengan tahun 2012. I 1.1 Latar Belakang PENDAHULUAN Peternakan puyuh di Indonesia saat ini cukup berkembang, hal ini karena semakin banyaknya usaha peternakan puyuh baik sebagai usaha sampingan maupun usaha utama untuk memenuhi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Kandang Penelitian Rataan suhu kandang pada pagi, siang, dan sore hari selama penelitian secara berturut-turut adalah 25,53; 30,41; dan 27,67 C. Suhu kandang

Lebih terperinci

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh

Gambar 3. Kondisi Kandang yang Digunakan pada Pemeliharaan Puyuh HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Lingkungan Tempat Penelitian Pemeliharaan puyuh dilakukan pada kandang battery koloni yang terdiri dari sembilan petak dengan ukuran panjang 62 cm, lebar 50 cm, dan tinggi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Itik merupakan ternak jenis unggas air yang termasuk dalam kelas Aves, ordo Anseriformes, family Anatidae, sub family Anatinae, tribus Anatini dan genus Anas (Srigandono,

Lebih terperinci

HASIL. Penggunaan Kamera IR-CCTV pada Pengamatan Perilaku Walet Rumahan. Nesting room di dalam rumah walet

HASIL. Penggunaan Kamera IR-CCTV pada Pengamatan Perilaku Walet Rumahan. Nesting room di dalam rumah walet HASIL Penggunaan Kamera IR-CCTV pada Pengamatan Perilaku Walet Rumahan Pengamatan perilaku walet rumahan diamati dengan tiga unit kamera IR- CCTV. Satu unit kamera IR-CCTV tambahan digunakan untuk mengamati

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan salah satu ternak ruminansia kecil yang memiliki potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan sudah sangat umum dibudidayakan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF KELINCI FLEMISH GIANT, ENGLISH SPOT, DAN REX DI KABUPATEN MAGELANG

KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF KELINCI FLEMISH GIANT, ENGLISH SPOT, DAN REX DI KABUPATEN MAGELANG KARAKTERISTIK SIFAT KUALITATIF DAN KUANTITATIF KELINCI FLEMISH GIANT, ENGLISH SPOT, DAN REX DI KABUPATEN MAGELANG SKRIPSI LIDIA FAFARITA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2011 hingga Februari 2012. Pemeliharaan dan penyembelihan ternak dilakukan di Laboratorium Lapang Blok B, Unit Unggas,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA A. Puyuh

TINJAUAN PUSTAKA A. Puyuh TINJAUAN PUSTAKA A. Puyuh Puyuh merupakan salahsatu komoditas unggas sebagai penghasil telur. Keberadaan puyuh mendukung ketersediaan protein hewani yang murah serta mudah didapat. Puyuh yang dikembangkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong pada umumnya digolongkan menjadi tiga kelompok yaitu sapi lokal (Bos sundaicus), sapi Zebu (Bos indicus) dan sapi Eropa (Bos taurus). Sapi potong merupakan

Lebih terperinci

Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 4(3): , Agustus 2016 PERBEDAAN KARAKTERISTIK TUBUH MERPATI TINGGI JANTAN DAN MERPATI BALAP JANTAN LOKAL

Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 4(3): , Agustus 2016 PERBEDAAN KARAKTERISTIK TUBUH MERPATI TINGGI JANTAN DAN MERPATI BALAP JANTAN LOKAL Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu Vol. 4(3): 244-248, Agustus 216 PERBEDAAN KARAKTERISTIK TUBUH MERPATI TINGGI JANTAN DAN MERPATI BALAP JANTAN LOKAL Different Characteristics of The Male Body and Columba

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Klasifikasi Domba Berdasarkan taksonominya, domba merupakan hewan ruminansia yang berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua domba termasuk kedalam

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT

STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT STUDI KERAGAMAN FENOTIPIK DAN JARAK GENETIK ANTAR DOMBA GARUT DI BPPTD MARGAWATI, KECAMATAN WANARAJA DAN KECAMATAN SUKAWENING KABUPATEN GARUT SKRIPSI TANTAN KERTANUGRAHA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP

PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PENGARUH UMUR TERHADAP PERFORMA REPRODUKSI INDUK DOMBA LOKAL YANG DIGEMBALAKAN DI UP3 JONGGOL SKRIPSI AHMAD SALEH HARAHAP PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Performans Pertumbuhan Itik Talang Benih Jantan dan Betina yang Dipelihara secara Intensif

Performans Pertumbuhan Itik Talang Benih Jantan dan Betina yang Dipelihara secara Intensif Performans Pertumbuhan Itik Talang Benih Jantan dan Betina yang Dipelihara secara Intensif Performance of Male and Female Talang Benih Duck Growth Reared Intensively Kususiyah dan Desia Kaharuddin Jurusan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI

KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI KARAKTERISTIK UKURAN TUBUH KERBAU RAWA DI KECAMATAN CIBADAK DAN SAJIRA KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN SKRIPSI SAROJI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Pengaruh Perbedaan Kandungan Protein Dalam Ransum Terhadap Pertumbuhan Anak Merpati

Pengaruh Perbedaan Kandungan Protein Dalam Ransum Terhadap Pertumbuhan Anak Merpati Pengaruh Perbedaan Kandungan Protein Dalam Ransum Terhadap Pertumbuhan Anak Merpati Erna Winarti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Jln. Stadion Maguwoharjo No. 22 Sleman, Yogyakarta E-mail:

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang

TINJAUAN PUSTAKA. banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ayam Petelur Ayam petelur adalah ayam yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan banyak telur dan merupakan produk akhir ayam ras. Sifat-sifat yang dikembangkan pada tipe

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Selama penelitian pada masa adaptasi terjadi kematian delapan ekor puyuh. Faktor perbedaan cuaca dan jenis pakan serta stres transportasi mungkin menjadi penyebab kematian

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Percobaan Kandang Bahan dan Alat Prosedur Persiapan Bahan Pakan

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Ternak Percobaan Kandang Bahan dan Alat Prosedur Persiapan Bahan Pakan MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2011. Pemeliharaan domba dilakukan di kandang percobaan Laboratorium Ternak Ruminansia Kecil sedangkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Data Suhu Lingkungan Kandang pada Saat Pengambilan Data Tingkah Laku Suhu (ºC) Minggu HASIL DAN PEMBAHASAN Manajemen Pemeliharaan Komponen utama dalam beternak puyuh baik yang bertujuan produksi hasil maupun pembibitan terdiri atas bibit, pakan serta manajemen. Penelitian ini menggunakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 21 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Terrarium II Taman Margasatwa Ragunan (TMR), DKI Jakarta selama 2 bulan dari bulan September November 2011. 3.2 Materi

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Perah Fries Holland (FH) Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum Subphylum Class Sub class Infra class

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Wonosobo Domba Wonosobo merupakan domba hasil persilangan antara domba Texel yang didatangkan pada tahun 1957 dengan Domba Ekor Tipis dan atau Domba Ekor Gemuk yang secara

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Ransum Penelitian Zat Makanan Jumlah (%)

MATERI DAN METODE. Materi. Tabel 2. Komposisi Zat Makanan Ransum Penelitian Zat Makanan Jumlah (%) MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Blok B, Unit Unggas. Pemotongan puyuh dan penelitian persentase karkas dilakukan di Laboratorium Unggas serta uji mutu

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. lebih murah dibandingkan dengan daging ternak lain seperti sapi dan domba.

PENDAHULUAN. lebih murah dibandingkan dengan daging ternak lain seperti sapi dan domba. 1 I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ternak unggas merupakan ternak yang sangat populer di Indonesia sebagai sumber daging. Selain cita rasanya yang disukai, ternak unggas harganya relatif lebih murah dibandingkan

Lebih terperinci

Panduan Ikan Louhan. anekaikanhias.com. 2. Ikan Louhan Kamfa

Panduan Ikan Louhan. anekaikanhias.com. 2. Ikan Louhan Kamfa Panduan Ikan Louhan A. Jenis-jenis ikan louhan yang pernah populer di Indonesia. Mungkin, dari beberapa jenis ikan ini, ada jenis ikan louhan yang pernah kamu pelihara : 1. Ikan Louhan Cencu Ikan louhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan

I. PENDAHULUAN. peternakan pun meningkat. Produk peternakan yang dimanfaatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya protein hewani untuk memenuhi kebutuhan gizi, permintaan masyarakat akan produkproduk peternakan

Lebih terperinci

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber)

KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KIAT-KIAT MEMILIH DAGING SEHAT Oleh : Bidang Keswan-Kesmavet, Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat (disadur dari berbagai macam sumber) KASUS SEPUTAR DAGING Menghadapi Bulan Ramadhan dan Lebaran biasanya

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Sumber : Label Pakan BR-611 PT. Charoen Pokphand Indonesia.

MATERI DAN METODE. Sumber : Label Pakan BR-611 PT. Charoen Pokphand Indonesia. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di CV Mitra Sejahtera Mandiri, Desa Babakan, Kecamatan Ciseeng, Kabupaten Bogor. Penelitian dilaksanakan selama lima minggu yang dimulai dari

Lebih terperinci

PEMILIHAN DAN PENILAIAN TERNAK SAPI POTONG CALON BIBIT Lambe Todingan*)

PEMILIHAN DAN PENILAIAN TERNAK SAPI POTONG CALON BIBIT Lambe Todingan*) PEMILIHAN DAN PENILAIAN TERNAK SAPI POTONG CALON BIBIT Lambe Todingan*) I. PENDAHULUAN Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS) dalam bidang peternakan, maka pengembangan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya genetik

PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya genetik 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya genetik ternak tinggi, namun sumber daya genetik tersebut belum dimanfaatkan dengan optimal. Salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah : BUDIDAYA SAPI POTONG I. Pendahuluan. Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar

Lebih terperinci

TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN 2. BIBIT

TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN 2. BIBIT TERNAK KAMBING 1. PENDAHULUAN Ternak kambing sudah lama diusahakan oleh petani atau masyarakat sebagai usaha sampingan atau tabungan karena pemeliharaan dan pemasaran hasil produksi (baik daging, susu,

Lebih terperinci

IKAN LOU HAN (Cichlasoma sp)

IKAN LOU HAN (Cichlasoma sp) IKAN LOU HAN (Cichlasoma sp) MENGENAL IKAN LOUHAN -Nama lain : flower horn, flower louhan dan sungokong. -Tidak mengenal musim kawin. -Memiliki sifat gembira, cerdas dan cepat akrab dengan pemiliknya.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Pendataan dan Identifikasi Domba Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Unit Pendidikan, Penelitian dan Peternakan Jonggol Institut Pertanian Bogor (UP3J-IPB) Desa Singasari Kecamatan Jonggol Kabupaten Bogor

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Itik Magelang Bangsa itik jinak yang ada sekarang berasal dari itik liar yang merupakan species dari Anas plitirinchos yang telah mengalami penjinakan atau domestikasi (Susilorini

Lebih terperinci

Penyiapan Mesin Tetas

Penyiapan Mesin Tetas Dian Maharso Yuwono Pemeliharaan unggas secara intensif memerlukan bibit dalam jumlah yang relatif banyak, sehingga penetasan dengan mesin semakin diperlukan. Penetasan telur unggas (ayam, itik, puyuh,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Puyuh

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Puyuh TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Puyuh Puyuh merupakan salah satu komoditi unggas sebagai penghasil telur dan daging yang mendukung ketersediaan protein hewani yang murah serta mudah didapat (Permentan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Sapi Perah Menurut Sudono et al. (2003), sapi Fries Holland (FH) berasal dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Perkembangan Sapi Perah Menurut Sudono et al. (2003), sapi Fries Holland (FH) berasal dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah dan Perkembangan Sapi Perah Menurut Sudono et al. (2003), sapi Fries Holland (FH) berasal dari Provinsi Belanda bagian Utara dan Provinsi Friesland Barat. Sapi FH di

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi Perah Sapi perah termasuk kedalam famili Bovidae dan ruminansia yang mempunyai tanduk berongga. Sapi perah Fries Holland atau juga disebut Friesian Holstein

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Taksonomi Burung jalak bali oleh masyarakat Bali disebut dinamakan dengan curik putih atau curik bali, sedangkan dalam istilah asing disebut dengan white starling, white mynah,

Lebih terperinci

KAJIAN PUSTAKA. (Ovis amon) yang berasal dari Asia Tenggara, serta Urial (Ovis vignei) yang

KAJIAN PUSTAKA. (Ovis amon) yang berasal dari Asia Tenggara, serta Urial (Ovis vignei) yang II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Asal-Usul dan Klasifikasi Domba Domba yang dijumpai saat ini merupakan hasil domestikasi yang dilakukan manusia. Pada awalnya domba diturunkan dari 3 jenis domba liar, yaitu Mouflon

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Merak hijau 2.1.1 Taksonomi Grzimek (1972) menyatakan bahwa klasifikasi merak hijau jawa (Pavo muticus muticus) sebagai berikut : Kingdom Phyllum : Animalia : Chordata

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Bagian Kelinci, Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan selama dua bulan, yaitu pada bulan Agustus 2012 sampai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum di dalam Kandang Rataan temperatur dan kelembaban di dalam kandang selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Suhu dan Kelembaban Relatif Kandang Selama

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Subphylum : Vertebrata. : Galiformes

TINJAUAN PUSTAKA. Subphylum : Vertebrata. : Galiformes TINJAUAN PUSTAKA Puyuh Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang, ukuran tubuh relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali diternakkan di Amerika Serikat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan bangsa kambing hasil persilangan kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil persilangan pejantan

Lebih terperinci

PETUNJUK PRAKTIS. Petunjuk Praktis Pengukuran Ternak Sapi

PETUNJUK PRAKTIS. Petunjuk Praktis Pengukuran Ternak Sapi PETUNJUK PRAKTIS i PENGUKURAN TERNAK SAPI POTONG Penyusun : Awaluddin Tanda Panjaitan Penyunting : Tanda Panjaitan Ahmad Muzani KEMENTERIAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN BALAI BESAR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Mortalitas Puyuh Puyuh yang digunakan dalam penilitian ini adalah Coturnix-coturnix japonica betina periode bertelur. Konsumsi pakan per hari, bobot

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau

KAJIAN KEPUSTAKAAN. terdiri atas dua sub spesies yaitu kerbau liar dan kerbau domestik. Kerbau II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Tinjauan Umum Kerbau Kerbau adalah hewan ruminansia dari sub famili Bovidae yang berkembang di banyak bagian dunia dan diduga berasal dari daerah India. Kerbau domestikasi atau

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Puyuh pertama kali di domestikasi di Amerika Serikat pada tahun 1980 dan

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Puyuh pertama kali di domestikasi di Amerika Serikat pada tahun 1980 dan II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Definisi Puyuh ( Coturnix Coturnix Japonica) Puyuh pertama kali di domestikasi di Amerika Serikat pada tahun 1980 dan terus berkembang hingga ke penjuru dunia, dikenal dengan

Lebih terperinci

Budidaya dan Pakan Ayam Buras. Oleh : Supriadi Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau.

Budidaya dan Pakan Ayam Buras. Oleh : Supriadi Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau. Budidaya dan Pakan Ayam Buras Oleh : Supriadi Loka Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Riau. PENDAHULUAN Ayam kampung atau ayam bukan ras (BURAS) sudah banyak dipelihara masyarakat khususnya masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan

I. PENDAHULUAN. potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki banyak potensi alam didalamnya sejak dahulu kala. Beragam sumber daya genetik hewan maupun tumbuhan dapat

Lebih terperinci

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. terutama untuk daerah pedalaman pada agroekosistem rawa dengan kedalaman air

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. terutama untuk daerah pedalaman pada agroekosistem rawa dengan kedalaman air II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. Tinjauan Umum Kerbau Kerbau rawa memberikan kontribusi positif sebagai penghasil daging, terutama untuk daerah pedalaman pada agroekosistem rawa dengan kedalaman air 3 5 m

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di Peternakan Domba CV. Mitra Tani Farm, Desa Tegal Waru RT 04 RW 05, Ciampea-Bogor. Waktu penelitian dimulai pada tanggal 24 Agustus

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tabel 7 Karakteristik sapi dara No Kode ternak Umur (bulan) Lingkar dada (cm) Bobot Badan (kg) 1.

BAHAN DAN METODE. Tabel 7 Karakteristik sapi dara No Kode ternak Umur (bulan) Lingkar dada (cm) Bobot Badan (kg) 1. 21 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2009 sampai Januari 2010. Pemeliharaan ternak di Laboratorium Lapang, kandang blok B sapi perah bagian IPT Perah Departemen

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. sebagai alternatif sumber protein hewanidi masyarakat baik sebagai penghasil telur

I PENDAHULUAN. sebagai alternatif sumber protein hewanidi masyarakat baik sebagai penghasil telur I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Puyuh merupakan salah satu jenis ternak unggas yang dikembangkan sebagai alternatif sumber protein hewanidi masyarakat baik sebagai penghasil telur maupun daging. Sejak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Kambing 2.1.1. Kambing Kacang Menurut Mileski dan Myers (2004), kambing diklasifikasikan ke dalam : Kerajaan Filum Kelas Ordo Famili Upafamili Genus Spesies Upaspesies

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan dapat meningkatkan rata-rata bobot potong ayam (Gunawan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan dapat meningkatkan rata-rata bobot potong ayam (Gunawan dan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ayam Kampung Super Ayam kampung super merupakan hasil dari proses pemuliaan yang bertujuan untuk peningkatan produksi daging. Dalam jangka pendek metode persilangan dapat meningkatkan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium dan Kandang Ilmu Nutrisi Ternak Unggas Laboratorium Lapang C, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor yang dilaksanakan

Lebih terperinci