EVALUASI PARAMETER DESAIN PIRING PENGOLAH TANAH DIPUTAR UNTUK PENGEPRAS TEBU LAHAN KERING

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EVALUASI PARAMETER DESAIN PIRING PENGOLAH TANAH DIPUTAR UNTUK PENGEPRAS TEBU LAHAN KERING"

Transkripsi

1 EVALUASI PARAMETER DESAIN PIRING PENGOLAH TANAH DIPUTAR UNTUK PENGEPRAS TEBU LAHAN KERING LISYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 0 0 7

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Evaluasi Parameter Desain Piring Pengolah Tanah Diputar untuk Pengepras Tebu Lahan Kering adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Agustus 007 L i s y a n t o NIM F

3 ABSTRACT LISYANTO. Evaluation of design parameters of rotated disk tiller for stubble shaving operation on upland sugar cane cultivation. Advisored by EDUARD NAMAKEN SEMBIRING, I NENGAH SUASTAWA, RADITE PRAEKO AGUS SETIAWAN, and H. M.H. BINTORO DJOEFRIE. Cutting of sugar cane stubble is one of the important activities in sugar cane ratoon production system. Manual cutting applied until now requires a lot of labour and the result is not always uniform. The existing stubble shaver using impact type of cutting does not produce a good result such as broken sugar cane stubble. Impact cutting mechanism causes the knife edge dull easily, thus requires higher cutting force. Broken surface of sugar cane stubble surface and higher cutting force in mechanical cutting system can be solved by changing the principle of cutting mechanism from impact cutting to sawing. The objectives of this study were to analyze the cutting mechanism of sugar cane stubble using rotating disk plow and disk harrow, to determine specific cutting force (σ) for single sugar cane stem of four sugar cane varieties (PA 198, PA 183, PA 0, and Triton), to develop a mathematical model in order to determine the cutting force of sugar cane stubble (more than one stem), and to identify the quality of cutting and quality of sugar cane shoot. Method of analyzing the relative movement of point on edge of disk plow was used to describe a cycloid pattern curve edge of disk movement. Specific cutting force was calculated by means of least squares method describing the relationship between instantaneous area and instantaneous length of cutting and measured total force. The cutting area formed by the moving curved edge on circular cross section of cane stem was calculated using Simpson integration method. Whereas the length of cutting was determined graphically using computer aided design (CAD) software. The mathematical model was then used to predict the cutting force of cane stubble with more than one cane stems spreading out in different positions and diameters. Motion equation of a point on the edge was used to simulate the movement of the disk with tilt angle and disk angle, radius of the disk, rotating speed, forward speed, and the number of edges as the variables. Sugar cane variety of PA 198 had higher specific cutting force (1.15 N mm - or.94 N mm -1 ) compared to the other three varieties. The mathematical model to predict the cutting force of one stem was also suitable for cane stubble. Compared with disk plow, the cutting by scalloped disk (disk harrow) required lower torque and force and produced smoother cutting surface. Keywords: sugar cane, ratoon, torque, cutting, disk plow, disk harrow

4 RINGKASAN LISYANTO. Evaluasi Parameter Desain Piring Pengolah Tanah Diputar untuk Pengepras Tebu Lahan Kering. Dibimbing oleh EDUARD NAMAKEN SEMBIRING, I NENGAH SUASTAWA, RADITE PRAEKO AGUS SETIAWAN, dan H. M.H. BINTORO DJOEFRIE. Pengeprasan merupakan salah satu kegiatan penting dalam budidaya tanaman tebu keprasan (ratoon). Pengeprasan manual yang dilakukan hingga saat ini sedang menghadapi masalah kesulitan tenaga kerja dan rendahnya kualitas pengeprasan. Di lain pihak, alat dan mesin kepras jenis rotari (stubble shaver) yang ada memiliki beberapa kelemahan antara lain hasil potongan yang pecah, mata pisaunya cepat tumpul, dan membutuhkan gaya impact yang tinggi untuk pemotongan sehingga alsin tersebut tidak dipergunakan lagi. Pecahnya tunggul tebu dalam pengeprasan mekanis dapat dihindari dengan cara mengubah prinsip desain pemotongan cara tebas (impact cutting) dengan prinsip menggergaji. Penelitian pendahuluan mengenai karakteristik guludan dan tunggul tebu sisa penebangan telah dilakukan. Beberapa peubah yang diamati dalam studi pendahuluan tersebut adalah bentuk dan dimensi guludan tanaman tebu keprasan, tahanan penetrasi tanah, tahanan geser tanah, dan gaya cabut satu rumpun tunggul tebu sisa pemanenan. Selanjutnya, penelitian yang berkaitan dengan efektifitas dari mekanisme pemotongan tunggul tebu menggunakan piring pengolah tanah yang diputar dan beberapa parameter yang relevan juga telah diselesaikan. Secara khusus penelitian tersebut bertujuan untuk menganalisis kinematika atau gerakan piring pengolah tanah (bajak piring dan garu piring) yang diputar paksa untuk pengepras tunggul tebu, menentukan gaya pemotongan spesifik satu tunggul tebu (σ) pada empat varietas tebu, mengembangkan model matematika untuk menduga gaya pemotongan rumpun tunggul tebu, dan mengidentifikasi kualitas potongan dan pertumbuhan tunas tebu hasil uji pengeprasan. Metode analisis gerakan dari sebuah titik pada piring pengolah tanah tersebut digunakan untuk simulasi bentuk kurva dari mata bajak piring dan garu piring yang memiliki tilt angle dan disk angle serta pola gerakan dari piring tersebut pada saat berputar dan bergerak maju. Nilai gaya pemotongan spesifik satu tunggul tebu (σ) ditentukan menggunakan pendekatan least squares yang mendeskripsikan hubungan antara luas pemotongan atau panjang garis mata bajak piring dan garu piring yang digunakan sebagai batas luas pemotongan setiap saat dan gaya pemotongan hasil pengukuran pada pemotongan satu tunggul tebu. Luas pemotongan yang dibatasi oleh garis kurva mata bajak piring atau garu piring yang berbentuk elips dan penampang tunggul tebu yang berbentuk lingkaran dihitung melalui pendekatan integrasi kaidah Simpson, sedangkan panjang kurva dari mata bajak piring dan garu piring pada saat pemotongan ditentukan secara grafis menggunakan computer aided design (CAD). Model matematika gaya pemotongan satu tunggul tebu selanjutnya digunakan untuk menduga gaya pengeprasan rumpun tunggul tebu yang terdiri atas beberapa tunggul dengan posisi dan diameter yang berbeda. Di lahan pabrik gula Jatitujuh, tunggul tebu sisa penebangan memiliki ketinggian antara 15 dan 0 cm di atas permukaan guludan, sedangkan guludan untuk tanaman keprasan (ratoon) memiliki bentuk dan dimensi yang tidak jauh

5 berbeda antara keprasan pertama (R 1 ), kedua (R ), dan ketiga (R 3 ). Pada kadar air rata-rata saat pengukuran 7.40%, tahanan geser tanah rata-rata pada beban kg dengan kedalaman 5 dan 10 cm untuk lahan tebu (R 1 ), (R ), dan (R 3 ) sebesar kg cm -. Persamaan gerakan dari sebuah titik pada mata bajak piring dan garu piring dapat digunakan untuk mensimulasikan gerakan dari piring pengolah tanah tersebut dengan parameter masukan di antaranya: tilt angle, disk angle, radius piring, kecepatan putar piring, kecepatan maju, dan jumlah coakan atau mata pisau pada garu piring. Varietas PA 198 memiliki gaya pemotongan spesifik per luas pemotongan (σ A ) dan panjang pemotongan (σ L ) yang lebih tinggi (σ A = 1.15 N mm - dan σ L =.94 N mm -1 ) dibandingkan dengan 3 varietas uji lainnya yakni PA 183, PA 0, dan Triton. Model matematika untuk pendugaan gaya pemotongan pada satu tunggul tebu dapat digunakan dengan baik untuk menduga gaya pemotongan rumpun tunggul tebu yang terdiri atas sejumlah tunggul tebu. Pengeprasan tunggul tebu menggunakan piring pengolah tanah bentuk coak (garu piring) yang diputar menghasilkan permukaan potong tunggul tebu yang tidak pecah dan membutuhkan torsi dan gaya pemotongan yang lebih rendah dibandingkan dengan pengeprasan menggunakan piring pengolah tanah bentuk rata (bajak piring). Torsi pengeprasan terendah (6.79 N m) dihasilkan oleh kombinasi parameter pemotongan yang terdiri atas piring pengolah tanah bentuk coak atau garu piring (JP ) dengan kecepatan maju pemotongan (V 1 )= 0.15 m s -1, kecepatan putar piring (N ) = 1000 rpm, disk angle (D A1 ) = 35 o, dan tilt angle (T A ) = 0 o. Kapasitas pengeprasan tebu yang lebih besar dan torsi pengeprasan yang relatif rendah dihasilkan oleh mekanisme pengeprasan yang menggunakan JP, V =0.30 m s -1, N =1000 rpm, D A3 =45 o, dan T A =0 o. Pengeprasan tebu menggunakan piring pengolah tanah yang diputar dapat menghasilkan pertunasan tebu dan laju pertumbuhan tanaman tebu yang baik. Laju pertunasan meningkat secara tajam setelah tanaman tebu tersebut mencapai umur 14 minggu setelah tanam. Keywords: tebu, kepras, torsi, pemotongan, bajak piring, garu piring

6 @ Hak Cipta milik IPB, tahun 007 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 EVALUASI PARAMETER DESAIN PIRING PENGOLAH TANAH DIPUTAR UNTUK PENGEPRAS TEBU LAHAN KERING LISYANTO Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 0 0 7

8 Judul Disertasi Nama NIM : Evaluasi Parameter Desain Piring Pengolah Tanah Diputar untuk Pengepras Tebu Lahan Kering : Lisyanto : F Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Eduard Namaken Sembiring, M.S. Ketua Dr. Ir. I Nengah Suastawa, M.Sc. Anggota Dr. Ir. Radite Praeko A. Setiawan, M.Agr. Prof. Dr. Ir. H. M.H. Bintoro Djoefrie, M.Agr. Anggota Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian: 9 Agustus 007 Tanggal Lulus:

9 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat- Nya sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang berlokasi di Laboratorium Teknik Mesin Budidaya Pertanian IPB dan Pabrik Gula Jatitujuh selama sembilan bulan tersebut adalah pemotongan bahan pertanian, dengan judul Evaluasi Parameter Desain Piring Pengolah Tanah Diputar untuk Pengepras Tebu Lahan Kering. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Eduard Namaken Sembiring, MS. selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. I Nengah Suastawa, M.Sc., Bapak Dr. Ir. Radite Praeko Agus Setiawan, M.Agr., dan Bapak Prof. Dr. Ir. H. M.H. Bintoro Djoefrie, M.Agr. selaku anggota komisi yang telah banyak memberi saran dan bimbingan. Penulis juga menyampaikan penghargaan kepada: 1. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan bantuan berupa biaya pendidikan dan penelitian.. Direksi PT. Rajawali Nusantara Indonesia (PT. RNI) yang telah memberikan ijin penelitian di pabrik gula (PG) Jatitujuh, Cirebon, Jawa Barat. 3. Bapak Juntoro, BSc sebagai administratur dan Bapak Sutrisno sebagai kepala tanaman PG Jatitujuh yang telah memberikan bantuan akomodasi dan penyediaan tenaga kerja dalam pelaksanaan penelitian di lahan. 4. Ir. M. Sjahrul Annas, MT sebagai teman seperjuangan penulis di Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian dan Lingga Mukti Prabowo, STP yang telah membantu dalam pelaksanaan percobaan pengeprasan tebu. 5. Istri penulis tercinta Mamik Setiyarini, S.Pd. serta anak-anak penulis tersayang: Kharisma Indah Listyorini dan Afif Listiya Dermawan yang selalu memberikan motivasi dan inspirasi dalam penyelesaian studi. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi masyarakat dan iptek. Bogor, Agustus 007 Lisyanto

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purwosari (Bojonegoro) pada tanggal 6 Juli 1966 sebagai anak kedua dari pasangan Warsit dan Rukamah. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Pendidikan Teknik Mesin Konstruksi, Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, IKIP Surabaya (sekarang Universitas Negeri Surabaya), lulus pada tahun 199. Beasiswa Tunjangan Ikatan Dinas (TID) menghantarkan penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Medan sejak tahun 1993 hingga sekarang. Kesempatan untuk menempuh pendidikan Pascasarjana diperoleh pada tahun 1999 yakni di Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 00. Pada tahun yang sama (00) penulis meneruskan studi ke program doktor di program studi dan perguruan tinggi yang sama dengan spesialisasi teknik mesin pertanian. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Selama mengikuti Program doktor (S-3), penulis menjadi anggota Perhimpunan Teknik Pertanian Indonesia (PERTETA). Karya ilmiah yang berjudul Karakteristik Lahan dan Tunggul Tebu Sisa Panen: Kajian Awal untuk Perancangan Alat dan Mesin Kepras Tebu telah disajikan pada Seminar Nasional Tahunan Perteta di LIPI Bandung pada tanggal November 005. Artikel ilmiah yang relevan dengan bagian disertasi dengan judul Pengembangan Model Bak Uji untuk Media Pembelajaran dalam Pengukuran Torsi Roda Traksi telah diterbitkan pada Jurnal Keteknikan Pertanian Vol. 0, No.1 April 006. Artikel ilmiah yang merupakan bagian dari disertasi ini, telah ditulis dan diterbitkan ke dalam Jurnal Keteknikan Pertanian Vol. 1, No.1 Maret 007 dengan judul Mekanisme dan Torsi Pengeprasan Tunggul Tebu Menggunakan Pisau Bajak Piring yang Diputar.

11 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... Halaman DAFTAR LAMPIRAN... xvii PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 5 Hipotesis... 6 Manfaat Penelitian... 6 Kebaruan (novelty) Penelitian... 7 TINJAUAN PUSTAKA Batasan Pemotongan dan Pengeprasan Tebu... 8 Metode Pemotongan Bahan Pertanian... 8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Gaya, Energi, dan Daya Pemotongan... 9 Bajak Piring (Disk Plow) Kinematika Bajak Piring yang Diputar... 0 Budidaya Tebu Lahan Kering... 8 Sistem Pertunasan Tebu Struktur dan Kekerasan Batang Tebu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Metode Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Guludan dan Tunggul Tebu Sisa Panen Gerakan Mata Piring Bentuk Rata (Bajak Piring)... 6 Gerakan Mata Piring Bentuk Coak (Garu Piring) Gaya Pemotongan Spesifik Tunggul Tebu Torsi dan Gaya Pemotongan Satu Tunggul Tebu Torsi Pengeprasan Rumpun Tunggul Tebu Efek Parameter Pemotongan terhadap Torsi Pengeprasan Tebu Model Matematika Gaya Pemotongan Satu Tunggul Tebu Validasi Model Pendugaan Gaya Pemotongan Satu Tunggul Tebu Identifikasi Hasil Uji Pengeprasan Tunggul Tebu Pertumbuhan Tebu Hasil Uji Pengeprasan SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN x xi

12 DAFTAR TABEL Halaman 1 Tahanan penetrasi (kg) dan cone index (kg cm - ) untuk R 1, R, dan R 3 di lahan tebu PG Jatitujuh, Cirebon Tahanan geser (kg cm - ) untuk R 1, R, dan R 3 di lahan tebu PG Jatitujuh pada kedalaman 5 cm Tahanan geser (kg cm - ) untuk R 1, R, dan R 3 di lahan tebu PG Jatitujuh pada kedalaman 10 cm Nilai gaya cabut tunggul tebu pada satu rumpun untuk R 1, R, dan R 3 di lahan tebu PG Jatitujuh, Cirebon Nilai feed (f) pemotongan dari sebuah titik pada mata bajak piring (piring bentuk rata) untuk dua tingkat peubah kecepatan maju (V) dan kecepatan putar (N) Nilai feed (f) dari tiap mata garu piring atau piring bentuk coak (k=1) pada dua tingkat peubah kecepatan maju (V) dan jumlah putaran (N) Nilai gaya pemotongan spesifik tunggul tebu (σ A ), konstanta (C), dan koefisien determinasi (R ) untuk varietas PA 183, Triton, dan PA Nilai gaya pemotongan spesifik tunggul tebu (σ L ), konstanta (C), dan koefisien determinasi (R ) untuk varietas PA 183, Triton, dan PA Kombinasi parameter pemotongan dari piring bentuk coak (garu piring) yang menghasilkan torsi pemotongan relatif rendah... 98

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Alat kepras mekanis yang pernah digunakan oleh pabrik gula Jatiroto... 4 Beberapa metode pemotongan bahan pertanian Plot hubungan antara daya total pemotongan (POD) dan kecepatan maju pemotongan (VLF) untuk rotary mower Distribusi daya pemotongan (PO) pada alat pemanen pakan ternak versus kapasitas pemotongan untuk alfalfa dengan kadarair 74%, jenis pisau flywheel, dan kecepatan pisau 34.6 m s Gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) dan energi pemotongan spesifik per unit beban material (ENCSM) versus kadar air Mata pisau yang tajam dan tumpul (a) runcing dan tidak runcing (b) Efek sudut mata pisau (ANE) terhadap gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) pada dua ketebalan potong yang berbeda Efek ketebalan mata pisau (LTE) atau ketajaman terhadap gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) pada dua ketebalan potong yang berbeda Pemotongan lurus (a) dan pemotongan miring (b) Efek sudut kemiringan pisau (ANO) terhadap gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) pada tiga ketebalan lapisan solid (LTS) yang berbeda Gaya pemotongan spesifik dari pisau jenis sickle cutter (a) dan claw cutter (b) pada beberapa sudut pemotongan dan kematangan pelepah sawit Bajak piring standar dan beberapa bagian yang penting Pandangan atas bajak piring vertikal dengan disk angle (D A ) Bajak piring bentuk cekung (a), bentuk kerucut (b) dan bentuk cembung di pusat (c) Mata piring bentuk rata (a) dan bentuk bercoak (b) Skema dalam menentukan jalur gerakan dari sebuah titik pada mata pisau rotari Bajak piring dalam sistem koordinat tiga dimensi (a), bidang XOY (b), dan bidang YOZ (c)...

14 Halaman 18 Pola jalur gerakan dari sebuah titik pada mata bajak piring yang diputar atau disebut dengan pemotongan spiral Sudut gerakan pisau pada saat pemotongan dalam bidang XZ Tilt angle (T A ) dari bajak piring pada bidang XZ (a) dan disk angle (D A ) bajak piring pada bidang XY (b) Resultan gaya horisontal (R h ), trust (T), dan V pada bajak piring... 7 Reaksi tanah versus disk angle dan tilt angle pada bajak piring diameter 6 in dan radius bola.4 in Potongan melintang untuk alur tanam cara reynoso (a) dan alur tanam untuk lahan kering (b) Tunas tebu yang tumbuh dari mata tunas bibit tebu dan akar tunas baru berkembang dari pita akar Urutan pertumbuhan batang tebu dari potongan tebu yang terdapat di bawah permukaan tanah Bentuk dan bagian-bagian batang tebu Skema dari penampang batang tanaman Penampang melintang dari berkas pembuluh pengangkutan batang tebu yang diperbesar Penampang melintang batang tebu bagian tepi untuk jenis lunak (a) dan jenis keras (b) yang dibesarkan 70 kali Piring pengolah taanah dengan mata piring bentuk rata atau bajak piring (a) dan bentuk coak atau garu piring (b) Bagian ruas tunggul tebu yang dilakukan uji pemotongan Metode pengukuran gaya cabut rumpun tebu setelah penebangan Mekanisme pengeprasan tunggul tebu menggunakan bajak piring yang diputar dan beberapa parameter yang relevan ο 34 Gerakan titik referensi P pada mata bajak piring saat = 90 dan T = 0 ο dengan sudut putar θ... 4 A ο 35 Gerakan titik referensi P pada mata bajak piring saat D A = 90 dan T = α pada bidang XYZ (a), bidang XZ (b), dan bidang XY (c) A 36 Sistem pemutaran sumbu Z untuk menentukan disk angle ο ( D = 90 φ ) mata bajak piring pada D = δ dan T = α A A A D A

15 Halaman 37 Parameter yang terkait dalam penentuan persamaan radius (R) kurva satu tunggul tebu yang digeser menggunakan sistem koordinat polar Penempatan dan penyusunan rumpun tunggul tebu untuk percobaan pengeprasan pada bak uji Contoh susunan rumpun tunggul tebu pada saat uji pengeprasan Alat uji pengeprasan tunggul tebu menggunakan piring yang diputar skala laboratorium beserta seperangkat instrumentasinya Pemasangan strain gages (sensor torsi) yang disusun dalam bentuk rangkaian jembatan wheatstone pada poros pisau alat uji Skema metode pengukuran torsi pada uji pengeprasan tebu menggunakan piring pengolah tanah yang diputar beserta diagram blok sistem penginderaan dan perekaman data Pencabutan penjepit rumpun tunggul tebu dari bak uji menggunakan tenaga hidrolik traktor Serasah sisa penebangan yang menutupi lahan di PG Jatitujuh (a) dan tunggul tebu sisa penebangan yang relatif masih tinggi (b) Kondisi lahan dan pertumbuhan tebu hasil cut and go di PG Jatitujuh (a), hasilkepras manual di PG Jatiroto (b), dan pertumbuhan tebu setelah satu bulan kepras manual di PG Jatiroto (c) Profil guludan tebu R 3 (a) dan untuk R 1 dan R (b) di PG Jatitujuh Profil guludan tebu untuk R 1 di PG Jatiroto (a) dan di PG Jatitujuh (b) Cone index pada lahan R 1, R, dan R 3 di PG Jatitujuh Garis mata bajak piring berbentuk lingkaran untuk bidang XZ pada T A = 0 o dan D A = 0 o (a) serta untuk bidang YZ pada T A = 0 o dan D A = 90 o (b) Bentuk elips pada bidang XY, YZ, dan XZ untuk T A = 15 o dan D A = 35 o (a) serta T A = 5 o dan D A = 35 o (b) Bentuk kurva dari gerakan sebuah titik pada mata bajak piring (piring bentuk rata) dalam bidang XY dengan T A = 15 o, D A = 35 o, N = 60 rpm, dan V = 0.15 m s Feed pemotongan dari sebuah titik pada mata bajak piring bentuk rata sebesar m per putaran untuk T A = 15 o, D A = 35 o, N = 500 rpm, dan V = 0.15 m s Feed pemotongan dari sebuah titik pada mata bajak piring bentuk rata sebesar m per putaran untuk T A = 5 o, D A = 45 o, N = 1000 rpm, dan V = 0.15 m s

16 Halaman 54 Feed pemotongan sebesar m per putaran dari garu piring atau piring bentuk coak, T A = 15 o, D A = 45 o, N = 60 rpm, V = 0.15 m s -1, dan jumlah coakan pada mata garu piring (k) = Feed pemotongan sebesar m per putaran dari garu piring atau piring bentuk coak, T A = 15 o, D A = 45 o, N = 500 rpm, V = 0.15 m s -1, dan jumlah mata bajak piring (k) = Referensi posisi penampang satu batang tunggul tebu sebelum digeser (a) dan setelah digeser (b) serta beberapa parameter yang relevan Contoh hasil simulasi persamaan kurva elips mata piring dan kurva lingkaran tunggul tebu menggunakan sistem koordinat polar Garis kurva mata piring yang memotong kurva tunggul setiap saat untuk menentukan posisi titik potong kedua kurva Pola torsi pengukuran (a) dan gaya pemotongan (b) satu tunggul tebu varietas PA 198 berdiameter 3.0 cm menggunakan bajak piring, T A = 15 o, D A = 45 o, N= 1000 rpm, dan V = 15 cm s Pola gaya pemotongan satu tunggul tebu untuk varietas PA 183 (a) dan Triton (b) menggunakan bajak piring, T A = 15 o, D A = 45 o, N = 1000 rpm, V = 0.15 m s -1, dan kadar air 0.8% Pola gaya pemotongan satu tunggul tebu untuk varietas PA 0 menggunakan bajak piring, T A = 15 o, D A = 45 o, N = 1000 rpm, V = 0.15 m s -1, dan kadar air 0.8% Pola torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu varietas PA 198 menggunakan bajak piring, T A = 15 o, D A = 45 o, N = 500 rpm, dan V = 0.30 m s Pola torsi pengeprasan rumpun tebu menggunakan garu piring (k=1), T A =5 o, D A =40 o, N =1000 rpm, dan V = 0.15 m s Besarnya torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu yang dihasilkan oleh mata piring bentuk rata (bajak piring) dan mata piring bentuk coak (garu piring) pada sejumlah kombinasi perlakuan Besarnya torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan mata piring bentuk coak (garu piring) dengan kecepatan maju 0.15 m s -1 dan 0.30 m s -1 pada sejumlah kombinasi perlakuan Besarnya torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan mata piring bentuk rata (bajak piring) dengan kecepatan maju 0.15 m s -1 dan 0.30 m s -1 pada sejumlah kombinasi perlakuan Besarnya torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan piring bentuk coak (garu piring) dengan kecepatan putar piring 500 rpm dan 1000 rpm pada sejumlah kombinasi perlakuan... 83

17 Halaman 68 Efek disk angle terhadap torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu pada tiga level tilt angle Efek tilt angle terhadap torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu pada tiga level disk angle Posisi garis mata piring dan penampang tunggul tebu pada saat pengeprasan rumpun tunggul tebu yang terdiri atas enam tunggul tebu Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan luas pemotongan dan hasil pengukuran pada pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 yang terdiri atas tiga tunggul tebu menggunakan bajak piring Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan panjang pemotongan dan hasil pengukuran pada pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 yang terdiri atas tiga tunggul tebu menggunakan bajak piring Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan luas pemotongan dan hasil pengukuran (a) dan perbandingan antara gaya hasil pendugaan dan hasil pengukuran (b) pada pengeprasan rumpun tunggul tebu varietas PA 198 yang terdiri atas enam tunggul tebu Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan panjang pemotongan dan hasil pengukuran pada pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 yang terdiri atas enam tunggul tebu menggunakan bajak piring Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan luas (a) dan panjang pemotongan (b) dibandingkan dengan gaya hasil pengukuran pada pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 yang terdiri atas tiga tunggul tebu menggunakan piring bentuk coak (garu piring) Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan luas (a) dan panjang pemotongan (b) dibandingkan dengan gaya hasil pengukuran pada pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 yang terdiri atas empat tunggul tebu menggunakan piring bentuk coak (garu piring) Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan luas pemotongan dan hasil pengukuran (a) dan perbandingan antara gaya hasil pendugaan dan hasil pengukuran (b) pada pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan piring bentuk coak (garu piring) Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan panjang pemotongan dan hasil pengukuran pada pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 yang terdiri atas enam tunggul tebu menggunakan garu piring Hasil pengeprasan tunggul tebu menggunakan bajak piring pada kecepatan maju yang lebih tinggi (V =0.30 m s -1 ) dengan posisi ketinggian potong di atas permukaan guludan... 95

18 Halaman 80 Hasil pengeprasan tunggul tebu menggunakan bajak piring pada kecepatan maju yang lebih rendah (V 1 =0.15 m s -1 ) dengan posisi ketinggian potong rata dengan permukaan guludan Contoh hasil pengeprasan tunggul tebu menggunakan piring bentuk coak (garu piring) dengan jumlah mata garu (coakan) 1 buah Perkembangan jumlah tunas atau anakan pada tanaman tebu hasil uji pengeprasan menggunakan piring pengolah tanah yang diputar Perkembangan panjang batang, panjang daun, dan tinggi tanaman tebu hasil uji pengeprasan hingga umur 16 minggu setelah tanam Kondisi lapangan tanaman tebu hasil uji pengeprasan pada saat berumur 6 minggu (a) dan 16 minggu (b) setelah tanam... 98

19 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Skema lahan yang diolah dengan cara Reynoso yang memiliki got keliling, got mujur, dan got malang Penanaman bibit (batang tebu) untuk tanaman pertama (plant cane) dan cara pertunasan tebu Inventarisasi per jenis tebu KTG 004/005 pabrik gula Jatitujuh Kalibrasi load cell untuk pengukuran gaya cabut rumpun tebu Susunan kombinasi peubah percobaan dalam uji pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan bajak piring dan garu piring yang diputar Data kalibrasi sensor pada poros piring untuk pengukuran torsi pemotongan rumpun tunggul tebu Kondisi lahan tebu di PG Jatitujuh setelah penebangan yang tertutup oleh serasah dan sisa-sisa penebangan Penyajian gambar pandangan dari bentuk kurva mata piring pada disk angle 35 o dengan tilt angle 15 o dan 5 o Penyajian gambar pandangan dari bentuk kurva mata piring yang memiliki disk angle 45 o dan tilt angle 5 o Contoh hasil running menggunakan excel untuk persamaan gerakan sebuah titik pada mata piring bentuk rata (bajak piring) yang diputar Penurunan persamaan radius kurva tunggul tebu menggunakan pendekatan lingkaran yang digeser dengan sistem koordinat polar Contoh hasil simulasi yang mendeskripsikan kurva elips mata piring dan kurva lingkaran untuk penampang tunggul tebu Contoh hasil simulasi untuk menentukan titik potong kurva mata piring dan penampang tunggul tebu Nilai rataan dan simpangan baku dari torsi maksimum pada setiap uji pengeprasan rumpun tunggul tebu Beberapa contoh pola torsi hasil pengukuran pada kombinasi peubah percobaan pengeprasan tunggul tebu Data efek disk angle terhadap torsi pengeprasan tunggul tebu pada tiga level tilt angle Data efek tilt angle terhadap torsi pengeprasan tunggul tebu pada tiga level disk angle... 15

20 PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman tebu untuk keperluan industri gula dibudidayakan melalui tanaman pertama atau plant cane crop (PC) dan tanaman keprasan atau ratoon crop (R). Tanaman keprasan merupakan tanaman tebu yang tumbuh kembali dari jaringan batang tebu yang masih tertinggal dalam tanah setelah tebu ditebang (Barnes 1964). Tanaman keprasan memiliki produktivitas yang lebih rendah dibandingkan dengan tanaman pertamanya. Arifin (1989) melaporkan bahwa hasil tebu keprasan di lahan kering Sumber Lumbu, Kediri, hanya mencapai 67% dari hasil tanaman pertamanya. Marjayanti dan Arsana (1993) mengemukakan bahwa pada tahun giling 199 hasil tebu keprasan di lahan sawah hak guna usaha PG Jatiroto mengalami penurunan 19.3% untuk tanaman keprasan pertama (R 1 ) dan 7.1% untuk tanaman keprasan kedua (R ), sedangkan di lahan tegalan terjadi penurunan sebesar 1.8% untuk (R 1 ) dan 14% untuk (R ). Rendahnya produktivitas tanaman tebu keprasan disebabkan oleh beberapa hal diantaranya (1) banyaknya bidang lowong pada barisan tanaman tebu sebagai akibat dari tidak tumbuhnya tunas tebu keprasan, () perakaran yang semakin dangkal pada tanaman keprasan, dan (3) kurang baiknya perawatan yang diberikan untuk tanaman tebu tersebut. Terdapat beberapa pertimbangan mengapa budidaya tebu keprasan tetap diperlukan meskipun tanaman tersebut memiliki produktivitas yang lebih rendah. Pertama, budidaya tebu keprasan dapat mengurangi biaya untuk pengolahan tanah atau ongkos produksi. Djojosoewardho (1988) mengemukakan bahwa melalui budidaya tebu keprasan kegiatan pengolahan tanah semakin berkurang, kelestarian tanah dapat dipertahankan, dan biaya produksi yang dibutuhkan relatif lebih rendah. Kedua, budidaya tebu keprasan tidak banyak membutuhkan penanaman ulang sehingga dapat menghemat bibit tebu. Menurut Widodo (1991) penggunaan bibit tebu pada budidaya tanaman keprasan semakin hemat, tebu yang tumbuh sudah beradaptasi dengan lingkungan, dan kelestarian tanah dapat terjaga. Ketiga, dengan budidaya tebu keprasan dapat terjadi rotasi dalam pengelolaan lahan. Keempat, pembongkaran ratoon membutuhkan biaya yang cukup tinggi. Santoso (004) menyatakan bahwa untuk bongkar ratoon setidaknya dibutuhkan biaya Rp 15 juta per hektar.

21 Budidaya tebu keprasan dapat dilakukan hingga beberapa kali mulai dari tanaman keprasan pertama (R 1 ), kedua (R ), ketiga (R 3 ) sampai lebih dari keprasan keempat (R 4 ). Pada umumnya, pabrik gula (PG) di Indonesia melakukan budidaya tebu keprasan hanya tiga kali yakni sampai keprasan ketiga (R 3 ), sedangkan petani melakukan budidaya tebu keprasan lebih dari tiga kali bahkan ada yang sampai sepuluh kali. Rendahnya produktivitas tebu keprasan merupakan pertimbangan utama bagi pabrik gula untuk tidak melanjutkan R 3 menjadi tanaman keprasan keempat (R 4 ), sehingga pembongkaran lahan segera dilakukan setelah tanaman keprasan ketiga (R 3 ) tersebut dipanen atau ditebang. Petani tebu enggan melakukan pembongkaran lahan tebu keprasan dikarenakan faktor biaya yang relatif mahal. Hal tersebut mengakibatkan sebagian besar petani tebu cenderung meneruskan tanaman keprasannya hingga lebih dari tiga kali. Pada tahun giling 004/005 luas tebu keprasan di PG Jatitujuh mencapai ha (63.48%) dari luas lahan HGU sebesar ha, sedangkan pada tahun 005/006 mencapai ha (65.54%) dari luas lahan HGU sebesar ha (PG Jatitujuh 005, 006). Menurut Deptan (005) luas keseluruhan lahan tebu di Indonesia pada tahun 004 sebesar ha, sedangkan pada tahun 005 mencapai ha. Dengan asumsi bahwa luas lahan tebu keprasan sebesar 65% dari luas keseluruhan lahan tebu, maka luas lahan tebu keprasan di Indonesia mencapai ha pada tahun 004 dan ha pada tahun 005. Pengeprasan tebu merupakan pemotongan sisa-sisa tunggul tebu setelah penebangan yang dilakukan pada posisi tepat atau lebih rendah dari permukaan guludan (Koswara 1989). Pemotongan sisa-sisa tunggul tebu setelah penebangan tersebut penting dilakukan dengan tujuan (1) mengkondisikan agar tunas tanaman keprasan tumbuh dari mata tunas batang tebu yang terdapat di bawah permukaan tanah, () membersihkan gulma yang tumbuh pada guludan, (3) meratakan dan merapikan permukaan guludan, dan (4) mempersiapkan agar tanaman keprasan dapat tumbuh dengan baik. Rasjid (1986) diacu dalam Koswara (1989) mengungkapkan bahwa dengan pengeprasan menghasilkan perkecambahan tebu yang nyata lebih baik dari pada yang tidak dikepras.

22 3 Pengeprasan tebu dapat dilakukan secara manual maupun mekanis. Masalah yang timbul berkaitan dengan pengeprasan manual adalah masalah ketersediaan tenaga kerja untuk pengelolaan lahan tebu. Sutjahjo dan Kuntohartono (1994) mengemukakan bahwa tenaga kerja yang tersedia untuk mengelola lahan tebu hanya tinggal sepertiga dari jumlah tenaga kerja pada masa sebelum tahun 1975 dan diperkirakan pada tahun-tahun mendatang tekanan masalah tenaga kerja tersebut semakin berat, terutama disebabkan oleh semakin terbukanya peluang kerja di sektor industri. Persoalan lain yang dihadapi dalam pengeprasan manual adalah rendahnya keseragaman atau kualitas hasil pengeprasan. Keseragaman bentuk keprasan maupun kedalaman pengeprasan merupakan aspek yang sulit dihasilkan dalam pengeprasan tebu secara manual. Pengeprasan secara mekanis dapat dijadikan sebagai solusi terhadap beberapa persoalan yang timbul dalam pengeprasan manual. Pengeprasan tebu yang dilakukan menggunakan alat dan mesin (alsin) kepras dapat mengurangi jumlah dan peran tenaga kerja dalam melakukan pengeprasan tunggul tebu sehingga masalah ketergantungan kepada kuantitas tenaga kerja dapat teratasi. Penggunaan alsin kepras juga dapat menghasilkan kedalaman pengeprasan yang relatif seragam. Hal tersebut disebabkan pada pengeprasan mekanis menggunakan alsin kepras biasanya dilengkapi dengan komponen atau bagian untuk mengatur kedalaman pengeprasan. Alat kepras mekanis atau stubble shaver (Gambar 1) pernah digunakan oleh beberapa pabrik gula (PG) di Indonesia, terutama PG Jatiroto, Lumajang, Jawa Timur dan PG Jatitujuh, Cirebon, Jawa Barat. Dalam pengoperasiannya di lahan untuk pengeprasan tunggul tebu, stubble shaver tersebut masih menunjukkan kinerja yang belum baik. Hasil wawancara dengan kepala tanaman di PG Jatiroto pada tanggal 6 Mei 004 menyatakan bahwa mata pisau dari alsin kepras hasil impor tersebut cepat tumpul dan menghasilkan permukaan potong tunggul tebu yang cenderung pecah sehingga alsin kepras jenis rotari (stubble shaver) tersebut tidak dipergunakan lagi.

23 4 RANGKA (FRAME) DISK COULTER PISAU GEAR BOX POROS VERTIKAL DUDUKAN PISAU (PIRINGAN) Gambar 1 Alat kepras mekanis yang pernah digunakan oleh pabrik gula Jatiroto. Dengan kondisi ketersediaan tenaga kerja untuk pengeprasan tebu secara manual yang semakin terbatas serta masih kurang baiknya kinerja stubble shaver hasil impor sebagai akibat dari ketidaksesuaian antara jenis alat kepras tersebut dengan kondisi lahan di Indonesia, maka diperlukan upaya untuk merancang dan membuat sendiri alat kepras tebu mekanis yang efektif dan efisien. Hingga saat ini upaya tersebut masih belum banyak dilakukan oleh para peneliti maupun praktisi. Rekayasa dan pengembangan alat multi fungsi (AMF) untuk perawatan tanaman tebu keprasan yang dilakukan oleh Darmawan (004) merupakan salah satu upaya pengembangan alat kepras tebu mekanis yang sesuai dengan kondisi lahan tebu di Indonesia. AMF tersebut terdiri atas alat pemutus akar (coulter), alat kepras, alat pemecah lapisan tanah padat (subtiller), alat pemupukan, dan alat penutup alur pemupukan. Alat kepras yang terdapat pada AMF tersebut masih menggunakan pisau jenis rotari yang melakukan pemotongan relatif tegak lurus terhadap tunggul tebu. Persson (1987) menyatakan bahwa pemotongan sugarpine yang dilakukan secara tegak lurus terhadap serat membutuhkan gaya pemotongan spesifik maksimum sebesar 73 N mm -1, sedangkan secara paralel terhadap serat hanya sebesar 75 N mm -1. Dengan demikian penelitian mengenai metode alternatif dalam pemotongan tunggul tebu yang dapat digunakan sebagai dasar perancangan dan pembuatan alsin kepras tebu yang efektif dan efisien masih sangat diperlukan. Hal baru yang perlu dilakukan dalam upaya perancangan dan pembuatan alsin kepras tebu yang efektif dan efisien adalah mempelajari penerapan metode

24 5 pemotongan tanah menggunakan piring pengolah tanah (bajak piring dan garu piring) untuk pengeprasan tunggul tebu. Pada pengolahan tanah, piring tersebut berputar akibat interaksi antara tanah dan piring yang memotong tanah, namun untuk pengeprasan tunggul tebu, piring tersebut diputar paksa oleh sumber tenaga putar. Pemanfaatan piring pengolah tanah (bajak piring dan garu piring) untuk pengeprasan tunggul tebu dilakukan dengan pertimbangan bahwa piring pengolah tanah tersebut selain banyak tersedia di pabrik gula juga sudah terbukti handal bekerja pada kondisi tanah yang keras, kering, dan berakar. Ditinjau dari bentuk mata atau bagian tepinya, piring pengolah tanah dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni piring pengolah tanah dengan mata bentuk rata (disk blade-plain) yang disebut bajak piring dan piring pengolah tanah dengan mata bentuk coak (disk blade-notched) yang disebut dengan garu piring. Beberapa parameter penting yang menjadi pertimbangan dalam percobaan pemotongan tunggul tebu menggunakan piring pengolah tanah yang diputar tersebut terdiri atas (1) jenis mata piring, () kecepatan maju alat, (3) kecepatan putar piring, (4) sudut kemiringan piring terhadap arah gerakan maju (disk angle), dan (5) sudut kemi-ringan piring terhadap sumbu vertikal (tilt angle). Metode pemotongan dikatakan efektif dan efisien apabila kombinasi parameter percobaan pemotongan tersebut dapat menghasilkan permukaan potong tunggul tebu yang tidak pecah dan tidak tercabut dari tanah, membutuhkan torsi dan gaya pemotongan yang relatif rendah, dan memiliki pertumbuhan tunas yang baik. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis kenematika atau gerakan dari piring pengolah tanah (bajak piring dan garu piring) yang diputar untuk mekanisme pemotongan tunggul tebu.. Menentukan gaya pemotongan spesifik per luas dan per panjang lintasan pemotongan menggunakan bajak piring dan garu piring untuk memotong tunggul tebu pada empat varietas tebu yang paling dominan di lahan PG Jatitujuh, yakni PA 198, PA 183, Triton, dan PA Mengembangkan model matematika untuk menduga gaya pemotongan pada satu tunggul tebu dan menerapkan model tersebut untuk pendugaan gaya pengeprasan rumpun tebu yang terdiri atas beberapa tunggul tebu dengan diameter dan posisi tunggul yang berbeda.

25 6 4. Memvalidasi gaya hasil pendugaan menggunakan model matematika dengan gaya hasil pengukuran pada percobaan pengeprasan skala laboratorium. 5. Mengidentifikasi kualitas hasil potongan dan mengamati pertumbuhan tunas tebu hasil percobaan pengeprasan menggunakan bajak piring dan garu piring yang diputar. Hipotesis 1. Gerakan dari sebuah benda kaku dapat didefinisikan sebagai gerakan dari sebuah titik pada benda tersebut, sehingga kurva gerakan dari bajak piring dan garu piring yang diputar untuk pemotongan tunggul tebu dapat dijelaskan melalui analisis kinematika sebuah titik pada mata bajak piring dan garu piring tersebut berdasarkan mekanisme pemotongan yang digunakan.. Salah satu faktor yang mempengaruhi kekerasan sebuah batang tebu adalah varietas tebu. Perbedaan varietas dapat mengakibatkan perbedaan struktur mikro atau struktur sel pada batang tebu, sehingga gaya pemotongan spesifik tunggul tebu memiliki nilai yang berbeda berdasarkan jenis varietasnya. 3. Satu rumpun tebu terdiri atas beberapa tunggul tebu dengan posisi dan diameter tunggul yang berbeda. Apabila posisi dan diameter setiap tunggul pada rumpun tebu tersebut diketahui maka luas lintasan dan panjang pemotongan tiap saat dari rumpun tersebut dapat ditentukan, sehingga dengan menggunakan nilai gaya pemotongan spesifik yang telah diperoleh maka model matematika gaya pemotongan satu tunggul dapat digunakan untuk pendugaan gaya pengeprasan rumpun tebu. 4. Gaya pemotongan hasil pendugaan menggunakan model matematika memiliki pola yang tidak jauh berbeda dengan gaya pemotongan hasil pengukuran. 5. Piring pengolah tanah (bajak piring dan garu piring) yang umumnya digunakan untuk memotong tanah dapat digunakan untuk memotong tunggul tebu, sehingga dengan cara diputar paksa, bajak piring dan garu piring tersebut dapat menghasilkan permukaan potong tunggul tebu yang tidak pecah sehingga memiliki pertunasan dan pertumbuhan tebu yang baik. Manfaat Penelitian Hasil penelitian tersebut dapat digunakan sebagai bahan informasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya yang berkaitan

26 7 dengan metode baru dalam pengeprasan tunggul tebu menggunakan piring pengolah tanah (bajak piring dan garu piring) yang diputar paksa. Selanjutnya, hasil penelitian tersebut juga dapat dimanfaatkan sebagai acuan dalam perancangan dan pembuatan alat kepras tebu mekanis jenis baru yang efektif dan efisien dengan sumber tenaga tarik dan putar menggunakan traktor empat roda. Kebaruan (Novelty) Penelitian 1. Bajak piring dan garu piring yang umumnya digunakan untuk mengolah tanah dimanfaatkan untuk pemotongan atau pengeprasan tunggul tebu.. Pada pengolahan tanah, bajak piring dan garu piring tersebut berputar akibat interaksi antara tanah dan piring, namun untuk pengeprasan tunggul tebu, bajak dan garu piring tersebut diputar paksa menggunakan sumber tenaga putar. 3. Mekanisme dari alsin kepras tebu menggunakan bajak piring dan garu piring yang diputar tersebut melakukan pemotongan dengan melibatkan sudut kemiringan terhadap sumbu vertikal (tilt angle), sedangkan pada mekanisme alsin kepras yang sudah ada (stubble shaver) tidak melibatkan sudut kemiringan tersebut. 4. Analisis kinematika atau gerakan dari bajak piring dan garu piring untuk mekanisme pemotongan tunggul tebu yang melibatkan parameter kecepatan putar piring, kecepatan maju pemotongan, tilt angle, dan disk angle dilakukan menggunakan pendekatan sebuah titik pada bidang tiga dimensi (x, y, z). 5. Diperoleh nilai gaya pemotongan spesifik tunggul tebu untuk 4 varietas tebu (PA 198, PA 183, Triton, dan PA 0) yang ditentukan berdasarkan hubungan antara gaya pemotongan hasil pengukuran menggunakan bajak piring dan garu piring yang diputar dan luas lintasan pemotongan atau panjang mata piring yang memotong tunggul tebu.

27 8 TINJAUAN PUSTAKA Batasan Pemotongan dan Pengeprasan Tebu Pemotongan didefinisikan sebagai proses pemisahan secara mekanik dari sebuah benda padat sepanjang garis pemotongan menggunakan alat pemotong berupa mata pisau (Persson 1987). Ditinjau dari jenis alat potong (cutting device) yang digunakan dalam pemotongan atau prosedur pemotongannya terdapat beberapa istilah lain untuk pemotongan. Istilah tersebut antara lain adalah mencacah (chopping), memangkas (mowing), menggergaji (sawing), membelah (splitting), mengiris, (slicing), dan chipping. Pengeprasan tebu merupakan pemotongan sisa-sisa tunggul tebu setelah penebangan yang dilakukan pada posisi tepat atau lebih rendah dari permukaan guludan (Koswara 1989). Pengeprasan tersebut dapat dilakukan secara manual maupun mekanis. Alat potong yang digunakan dalam pengeprasan manual umumnya berupa cangkul, sedangkan untuk pengeprasan mekanis digunakan alat potong jenis rotari (stubble shaver) yang digerakkan oleh traktor. Tanaman keprasan merupakan tanaman tebu yang tumbuh kembali dari jaringan batang yang masih tertinggal di dalam tanah setelah tebu ditebang (Barnes 1964). Pengeprasan tebu bertujuan (1) mengkondisikan agar tunas tanaman keprasan tumbuh dari mata tunas batang tebu yang terdapat di bawah permukaan tanah, () membersihkan gulma yang tumbuh pada guludan, (3) meratakan dan merapikan permukaan guludan, dan (4) mempersiapkan agar tanaman tebu keprasan dapat tumbuh dengan baik (Humbert 1968). Metode Pemotongan Bahan Pertanian Terdapat empat metode pemotongan yang umum digunakan untuk bahanbahan pertanian (Sitkei 1986). Pertama, counter moving blade (kedua bilah pisau potong bergerak berlawanan arah). Metode pemotongan tersebut sama halnya dengan menggunting (Gambar a), sehingga hasil potongannya memiliki permukaan yang lebih rata dan halus. Metode tersebut lebih cocok digunakan untuk pemotongan material yang memiliki ketebalan relatif rendah, misalnya untuk pemangkasan rumput. Kedua, resting and moving blade (satu bilah pisau diam dan satu bilah pisau yang lain bergerak). Material yang dipotong didukung

28 9 (supported) oleh bilah pisau yang diam, sedangkan bilah pisau yang satunya bergerak untuk melakukan penetrasi pada material yang dipotong (Gambar b). Pemotongan yang mengikuti metode tersebut adalah pemotongan rumput menggunakan alat potong tipe reel dan pemanen padi menggunakan cutterbar. Ketiga, Pemotongan tipis atau mengiris (Gambar c). Metode tersebut umumnya digunakan untuk memotong sebagian kecil atau lapisan tipis dari permukaan sebuah material, misalnya: pemotongan pada bagian atas sugar beet, pengupasan buah, dan perajangan tembakau. Keempat, free cutting (pemotongan secara impak). Pemotongan dilakukan menggunakan gaya pukul yang tinggi sehingga kecepatan pisau merupakan parameter yang sangat penting. Metode pemotongan tersebut (Gambar d) umumnya digunakan untuk pemotongan rumput dengan menggunakan alat potong tipe rotari. Pemotongan dengan cara impak tersebut cenderung memberikan hasil potongan yang pecah, terlebih apabila pisau yang digunakan memiliki ketajaman yang rendah. (a) (b) (c) (d) Gambar Beberapa metode pemotongan bahan pertanian (Sitkei 1986). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gaya, Energi, dan Daya Pemotongan Gaya pemotongan merupakan gaya luar yang harus diberikan oleh pisau kepada material agar bahan tersebut dapat terpotong (Persson 1987). Selanjutnya, gaya pemotongan juga didefinisikan sebagai hasil perkalian antara tegangan (stresses) yang terjadi pada material saat mata pisau melakukan pemotongan dan luas pada bagian atau lokasi tegangan tersebut terjadi, sedangkan gaya pemotongan spesifik merupakan gaya pemotongan aktual per lebar atau luas material yang dipotong. Gaya pemotongan tersebut mencakup (1) gaya yang diperlukan

29 10 untuk menggerakkan pisau, () gaya gesek antara material dan pisau, dan (3) gaya untuk mengatasi tahanan potong dari material. Pengukuran gaya pemotongan dari alat potong yang bergerak putar sangat sulit dilakukan, sehingga pengukuran dilakukan terhadap torsi pemotongan pada poros pisau (Lisyanto 00). Torsi pemotongan merupakan hasil kali antara gaya yang diperlukan oleh mata pisau untuk melakukan pemotongan dan jari-jari atau radius putaran mata pisau. Selanjutnya, parameter torsi pemotongan tersebut dapat digunakan untuk menentukan besarnya gaya dan daya pemotongan. Suharyatun (00) mengungkapkan bahwa besarnya torsi untuk pemotongan rumput menggunakan pisau jenis rotari dipengaruhi oleh jari-jari pemotongan, kecepatan maju, kecepatan putar, jumlah pisau, sudut pemasangan pisau, diameter batang rumput, dan gaya spesififik pemotongan rumput. Suastawa et al. (003) menyimpulkan bahwa, torsi terendah untuk pemotongan rumput menggunakan pisau jenis rotari sebesar N m yang terjadi pada selang kecepatan putar 800 rpm dengan model pisau bercoak pada kemiringan 15 o. Menurut Persson (1987) beberapa faktor yang mempengaruhi gaya, energi, dan daya pemotongan meliputi (1) faktor utama yakni kecepatan maju alat dan kapasitas pemotongan, () faktor tanaman yaitu kadar air, umur tanaman atau tingkat kematangan, dan spesies tanaman, (3) metode pengoperasian terdiri atas ketebalan pemotongan, penetrasi awal pisau (precompression), dan kecepatan potong pisau, (4) faktor perancangan yang meliputi lebar pemotongan, sudut mata pisau, ketajaman pisau, jenis mata pisau, sudut kemiringan pisau, sudut potong pisau, sudut kelonggaran, dan pisau penahan (countershear), dan (5) interaksi antara ke empat faktor tersebut. Efek Kecepatan Maju dan Kapasitas Pemotongan Salah satu faktor penting yang sangat mempengaruhi daya total pemotongan pada alat pemotong rumput jenis rotari (rotary mower) adalah kecepatan maju pada saat pemotongaan (VLF). Gambar 3 menunjukkan bahwa daya total pemotongan (POD) tersebut ditentukan dari beberapa pubah yang berpengaruh terhadap daya pemotongan yakni (1) daya spesifik untuk mengatasi pergerakan udara dalam rotor dan gesekan internal yang terjadi pada rotor (POLS 1,1), () daya untuk mengatasi gesekan antara rotor dan stubble atau sisa-sisa pemotongan

30 11 (POLS 1,), dan (3) daya untuk pemotongan (POC) dibagi dengan efisiensi dalam pemotongan (EFC). Gambar 3 juga dapat ditafsirkan bahwa daya total pemotongan (POD) untuk mesin pemotong rumput tipe rotari (rotary mower) semakin meningkat seiring dengan meningkatnya kecepatan maju pada saat pemotongan (VLF). Gambar 3 Plot hubungan antara daya total pemotongan (POD) dan kecepatan maju pemotongan (VLF) untuk rotary mower (Persson 1987). Tuck (1976, 1977, 1978) diacu dalam Persson (1987) menyatakan ekspresi matematis yang menghubungkan sejumlah parameter untuk menentukan POD pada rotary mower sebagai berikut: [( ENCSAE EFC)( VLF )] POD / LWD = POLS1,1 + POLS1, + / (1) POD = daya total pemotongan untuk alat pemotong rumput tipe rotari (kw) LWD = lebar dari alat potong (m) POLS1,1 = daya untuk mengatasi pergerakan udara dalam rotor dan gesekan internal yang terjadi pada rotor (kw m -1 ) POLS 1, = daya untuk mengatasi gesekan antara rotor dan stubble atau sisa-sisa pemotongan (kw m -1 ) ENCSAE = energi pemotongan spesifik per unit area (kj m - ) EFC = efisiensi pemotongan VLF = kecepatan maju pemotongan (m s -1 ) Pada alat pemanen pakan ternak (forage harvester) faktor utama yang mempengaruhi daya total pemotongan (POD) adalah kapasitas pemotongan (MAT). Gambar 4 memperlihatkan sebaran daya (power distribution) untuk alat pemanen pakan ternak (forage harvester) yang memiliki pola peningkatan cenderung linier seiring dengan meningkatnya kapasistas pemotongan.

31 1 Keterangan: A = daya untuk pemotongan B = daya tambahan untuk mendorong atau memindahkan material C = daya tambahan untuk mengatasi gesekan bahan yang dicacah dan dudukannya D = daya tambahan untuk melawan pergerakan udara dalam harvester E = daya total pemottongan dari forage harvester termasuk untuk mengangkut dan mekanismenya. Gambar 4 Distribusi daya pemotongan (PO) pada alat pemanen pakan ternak versus kapasitas pemotongan untuk alfalfa dengan kadar air 74%, jenis pisau flywheel, dan kecepatan pisau 34.6 m s -1 (Persson 1987). Kurva E yang menyatakan daya total pemotongan untuk forage harvester (Gambar 4) secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut: POD = POL1 + [( ENCSW )( MATWET )] () POD = daya total pemotongan untuk forage harvester (kw) POL 1 = konstanta daya untuk flywheel harvester sebesar 3 kw MATWET = kapasitas pemotongan dalam bobot basah (kg s -1 ) ENCSW = energi pemotongan spesifik berdasarkan bobot basah material yakni sebesar 3.6 kj kg -1. Efek Kadar Air dan Umur Tanaman Percobaan laboratorium yang dilakukan Chancellor (1957) diacu dalam Persson (1987) memperlihatkan bahwa pada pemotongan batang timothy, kadar air (MC) tidak berpengaruh secara linier terhadap gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX). Pada kadar air hampir mencapai 40%, gaya pemotongan spesifik justru mengalami sedikit penurunan seiring dengan semakin tingginya kadar air dalam material (Gambar 5 garis a). Energi pemotongan spesifik per unit beban material (ENCSM) yang dihitung pada basis bobot kering cenderung mengalami sedikit peningkatan seiring dengan semakin meningkatnya kadar air pada saat pemotongan (Gambar 5 garis b). Sebaliknya, energi pemotongan spesifik per unit beban material (ENCSM) yang dihitung pada basis bobot basah memiliki pola penurunan yang cenderung linier seiring dengan semakin tingginya kadar air saat pemotongan (Gambar 5 garis c).

32 13 b a c Keterangan: a = gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX ) b = energi pemotongan spesifik per unit beban material (ENCSM) dihitung pada basis bobot kering c = energi pemotongan spesifik per unit beban material (ENCSM) dihitung pada basis bobot basah MC= kadar air pada basis basah Gambar 5 Gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) dan energi pemotongan spesifik per unit beban material (ENCSM) versus kadar air (Chancellor 1957, diacu dalam Persson 1987). Besarnya energi pemotongan untuk bahan pertanian juga dipengaruhi oleh umur atau tingkat ketuaan tanaman. Tanaman yang lebih tua membutuhkan energi pemotongan yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman yang lebih muda. Prince et al. (1958) melaporkan bahwa energi yang diperlukan untuk memotong batang alfalfa berdiameter 3. mm pada umur 8 hari mencapai J, umur 36 hari sebesar 0.07 J, dan berumur 55 hari sebesar J. Efek Kecepatan Potong Pisau Berge (1951) mengungkapkan bahwa energi pemotongan meningkat secara linier pada selang kecepatan potong pisau antara 0 dan 50 m s -1. Pada kisaran kecepatan potong yang rendah, peningkatan kecepatan potong pisau tidak memiliki efek yang signifikan terhadap peningkatan energi pemotongan. Chancellor (1957) diacu dalam Persson (1987) mengungkapkan bahwa peningkatan kecepatan potong pada mower dengan kisaran kecepatan antara 1.75 dan 5. m s -1 hanya memiliki efek yang relatif kecil terhadap peningkatan energi pemotongan untuk pemotongan batang timothy berkadar air 54%. Penelitian yang dilakukan oleh Blevins dan Hansen (1956) juga mengungkapkan bahwa kecepatan potong pisau yang relatif rendah hampir tidak memiliki efek terhadap energi pemotongan untuk alat pemanen pakan ternak (forage harvester).

33 14 Efek Sudut Mata Pisau dan Ketajaman Pisau Ketajaman (sharpness) dan keruncingan (fineness) merupakan dua sifat yang berbeda pada sebuah mata pisau. Pisau dikatakan tajam (sharp) apabila pisau tersebut memiliki radius dan ketebalan mata pisau yang kecil, sedangkan dikatakan runcing (fine) apabila pisau tersebut memiliki sudut mata pisau yang kecil (Gambar 6). Kebalikan dari ketajaman adalah ketumpulan (dullness), sedangkan kebalikan dari keruncingan disebut tidak runcing (bluntness). tajam (sharp) radius ketebalan runcing (fine) sudut mata pisau tumpul (dull) tidak runcing (blunt) (a) (b) Gambar 6 Mata pisau yang tajam dan tumpul (a) runcing dan tidak runcing (b). Sudut mata pisau memiliki efek yang signifikan terhadap gaya pemotongan spesifik maksimum. Pisau yang memiliki sudut mata pisau yang kecil (fine) membutuhkan gaya pemotongan spesifik maksimum yang relatif rendah. Penelitian Chancellor (1957) diacu dalam Persson (1987) pada pemotongan timothy dengan kadar air 0%, lebar pemotongan 7.9 mm, dan mata pisau yang digunakan bersifat tajam, sedangkan mata bilah pisau penahan (countershear) tidak runcing (blunt) menunjukkan bahwa gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) cenderung meningkat seiring dengan semakin besarnya sudut mata pisau (ANE). Gaya pemotongan spesifik maksimum memiliki nilai yang relatif rendah pada sudut mata pisau antara 0 o dan 30 o (Gambar 7). Diduga hal tersebut disebabkan oleh faktor sudut mata pisau yang berpengaruh terhadap luas permukaan kontak antara penampang mata pisau dan material yang dipotong. Sudut mata pisau yang kecil (fine) menghasilkan penampang mata pisau yang kecil sehingga gaya yang diperlukan untuk penetrasi pisau ke material yang dipotong juga relatif rendah. Ketajaman pisau merupakan salah satu faktor penting dalam pemotongan material. Ketajaman memiliki efek yang signifikan terhadap gaya pemotongan, semakin tajam pisau yang digunakan maka gaya pemotongan yang diperlukan

34 15 juga semakin rendah. Penelitian Chancellor (1957) diacu dalam Persson (1987) mengenai efek ketebalan mata pisau (ketajaman) terhadap gaya pemotongan spesifik maksimum untuk pemotongan timothy pada kadar air 54% menggunakan mower dengan kisaran kecepatan potong antara 1.75 dan 5. m s -1 menunjukkan bahwa gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) terendah terjadi pada ketebalan mata pisau (LTE) mencapai 0.15 mm, sedangkan pada LTE yang melebihi 0.15 mm gaya pemotongan terus meningkat (Gambar 8). 60 FOCSMX (N/mm) MAAE = 4.86 mg mm - LTS = 3.40 mm MAAE =.43 mg mm - LTS = 1.70 mm ANE (derajad) MAAE = bobot material per unit luas countershear (mg mm - ) LTS = ketebalan lapisan solid material yang terletak antara pisau dan countershear (mm) Gambar 7 Efek sudut mata pisau (ANE) terhadap gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) pada dua ketebalan potong yang berbeda (Chancellor 1957, diacu dalam Persson 1987). Keterangan: Sudut mata pisau (ANE) yang digunakan sebesar 5 o. Lebar pemotongan (LWC) material sebesar 7.9 mm. Sudut kemiringan pisau (ANO) = 0 o Garis 400 MPa merupakan yield stress material baja. Gambar 8 Efek ketebalan mata pisau (LTE) atau ketajaman terhadap gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) pada dua ketebalan potong yang berbeda (Chancellor 1957, diacu dalam Persson 1987).

35 16 Efek Sudut Kemiringan Pisau Terdapat dua metode pemotongan yang umum digunakan ditinjau dari posisi garis mata pisau terhadap arah gerak maju pisau saat pemotongan, yakni pemotongan lurus dan pemotongan miring (Gambar 9). Disebut pemotongan lurus karena pemotongan dilakukan dengan cara memposisikan garis mata pisau tegak lurus terhadap arah gerak maju atau sering disebut dengan pemotongan tanpa sudut kemiringan pisau (Gambar 9a), sedangkan dikatakan pemotongan miring karena pemotongan dilakukan dengan cara memposisikan garis mata pisau tidak tegak lurus (membentuk sudut kemiringan) terhadap arah gerak maju pisau (Gambar 9b). Y ANO Y pisau material FOC LWC X FOC Y dy LWC X (a) LTC (b) SLK SLK = posisi atau koordinat garis mata pisau saat pisau bergerak maju dalam pemotongan LTC = ketebalan aktual dari material yang dipotong (mm) LWC = lebar pemotongan (mm) ANO = sudut kemiringan pisau (derajad) Gambar 9 Pemotongan lurus (a) dan pemotongan miring (b). Apabila referensi sudut kemiringan pisau (ANO) mengikuti Gambar 9b, yakni sudut 0 o dimulai dari sumbu Y, maka salah satu upaya untuk menurunkan gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) dapat dilakukan dengan cara memperbesar sudut kemiringan pisau (ANO). Hal tersebut disebabkan semakin besar ANO maka lebar pemotongannya semakin kecil, sehingga gaya pemotongan yang dibutuhkan relatif rendah. Gambar 10 memperlihatkan bahwa pada pemotongan timothy berkadar air rata-rata 43%, lebar pemotongan rata-rata 11.1 mm, dan tingkat ketebalan lapisan solid material (LTS) yang berbeda, FOCSMX yang relatif rendah terjadi pada ANO sebesar 45 o (Persson 1987).

36 17 FOCSMX (N/mm) a 100 b 50 c ANO (derajad) Keterangan: a : MAL = g mm -1 kemiringan (slope) garis regresi = 1.44 N/derajad b : MAL = g mm -1 kemiringan (slope) garis regresi = 1. N/derajad c : MAL = g mm -1 kemiringan (slope) garis regresi = 1.43 N/derajad LTS = 1000 (MAL/LWC)/MDS MAL= bobot material kering per unit panjang lapisan (g mm -1 ) MDS = densitas material solid = 1.45 mg mm -3 Gambar 10 Efek sudut kemiringan pisau (ANO) terhadap gaya pemotongan spesifik maksimum (FOCSMX) pada tiga ketebalan lapisan solid (LTS) yang berbeda (Persson 1987). Ahmad et al. (000) mengungkapkan bahwa jenis pisau, sudut pemotongan, dan tingkat kematangan memiliki pengaruh nyata terhadap gaya pemotongan spesifik pelepah sawit. Gaya pemotongan spesifik terendah pada percobaan yang menggunakan dua jenis pisau (claw cutter dan sickle cutter) tersebut tejadi pada sudut potong 45 o (S1), yakni 7.7 kg cm - pada sickle cutter dan 7.98 kg cm - untuk claw cutter. Gambar 11 menunjukkan bahwa pada pelepah yang lebih muda (F 3 ) dan sudut pemotongan yang lebih kecil (S1=45 o ), kedua jenis pisau tersebut menghasilkan gaya pemotongan spesifik yang relatif rendah. Gaya pemotongan spesifik rata-rata yang dibutuhkan oleh kedua jenis pisau tersebut sebesar 9.36 kg cm - untuk sickle cutter dan 14.4 kg cm - untuk claw cutter. FOSCA (kg/cm ) (a) SPECIFIC CUTTING FORCE, FOSCA (SICKLE) 14 1 S3=90 S=60 S1= F1 F F3 Frond Maturity FOSCA (kg/cm ) (b) SPECIFIC CUTTING FORCE, FOSCA (CLAW) 5 S3=90 S=60 S1= F1 F F3 Frond Maturity Gambar 11 Gaya pemotongan spesifik dari pisau jenis sickle cutter (a) dan claw cutter (b) pada beberapa sudut pemotongan dan kematangan pelepah sawit (Ahmad et al. 000).

37 18 Bajak Piring (Disk Plow) Ditinjau dari posisi dudukannya, bajak piring dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yakni (1) bajak piring standar dan () bajak piring vertikal. Bajak piring standar terdiri atas beberapa piringan yang masing-masing piringan dipasang pada satu dudukan yang didukung oleh bantalan kerucut dengan sudut kemiringan piringan terhadap sumbu vertikal (tilt angle) dapat diatur dari 15 o sampai 5 o melalui tilt adjustment yang terdapat pada batang pengikat piring (Gambar 1). Menurut Kepner et al. (197) bajak piring tersebut umumnya memiliki 3-6 piringan dengan spasi pemotongan antara 7 dan 1 inci, disk angle dari 4 o sampai 45 o, dan diameter piringan antara 4 dan 8 inci. Pada saat beroperasi, bajak piring tersebut dapat berputar akibat terjadi interaksi antara piringan dan permukaan tanah. Berputarnya bajak piring tersebut diharapkan dapat mengurangi besarnya gaya tarik (draft) dalam pengolahan tanah. Bajak piring umumnya dilengkapi dengan pengeruk (scraper) yang berfungsi untuk membantu dalam membalikkan potongan tanah dan membersihkan tanah yang lengket pada piringan. Rangka bajak piring Mata bajak piring Baut pengikat Piringan Gambar 1 Bajak piring standar dan bagian yang penting. Kepner et al. (197) menyatakan bahwa bajak piring vertikal dapat disebut juga dengan istilah one way disk (bajak piring satu jalur), disk tiller (pengolah tanah tipe piring), harrow (garu), dan wheatland plow (bajak tanah perladangan). Bajak piring tersebut terdiri atas sejumlah piringan yang dipasang pada sebuah poros horisontal tanpa tilt angle. Disk angle dapat diperoleh dengan cara menggeser poros tersebut terhadap arah gerak maju alat yang besarnya dari 35 o sampai 55 o, akan tetapi umumnya digunakan antara 40 o dan 45 o (Gambar 13).

38 19 D A Arah gerak maju Gambar 13 Pandangan atas bajak piring vertikal dengan disk angle (D A ). Bentuk Bajak Piring dan Mata Piring Cooper (1971) mengemukakan bahwa umumnya bajak piring memiliki bentuk concave atau cekung (Gambar 14a), namun demikian ada juga bajak piring yang berbentuk cone atau kerucut (Gambar 14b), sedangkan bentuk lain yang relatif baru adalah bentuk convex center atau cembung di pusat (Gambar 14c). Dari ketiga bentuk bajak piring tersebut, yang paling banyak digunakan untuk pengolahan tanah adalah bajak piring bentuk cekung (concave). Hal tersebut dikarenakan bajak piring bentuk cekung memiliki massa yang lebih besar sehingga kemampuan untuk melakukan penetrasi ke dalam tanah juga lebih tinggi. (a) (b) (c) Gambar 14 Bajak piring bentuk cekung (a), bentuk kerucut (b) dan bentuk cembung di pusat (c) (Cooper 1971).

39 0 Ditinjau dari bentuk mata atau bagian tepinya, piring pengolah tanah dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni piring pengolah tanah dengan mata bentuk rata (disk blade-plain) yang disebut dengan bajak piring (Gambar 15a) dan piring pengolah tanah dengan mata bentuk coak (disk blade-notched) yang disebut dengan garu piring (Gambar 15b). Bajak piring biasanya digunakan untuk pengolahan tanah pertama, sedangkan garu piring untuk pengolahan tanah kedua. (a) (b) Gambar 15 Mata piring bentuk rata (a) dan bentuk bercoak (b). Kinematika Bajak Piring yang Diputar Gerakan bajak piring yang diputar pada prinsipnya hampir sama dengan gerakan pisau dari mesin rotari yang memiliki pola gerakan yang komplek. Gerakan tersebut terdiri atas gerakan putar pisau relatif terhadap poros dengan kecepatan putar (V n ) dan kecepatan maju alat (V t ). Rasio kecepatan putar terhadap kecepatan maju (λ) tersebut dapat dituliskan: V V n λ = (3) t Pada nilai λ yang berbeda maka akan menghasilkan kurva gerakan yang berbeda. Gambar 16 mengilustrasikan jika sebuah pisau berbentuk piringan diputar pada kecepatan sudut (ω) dengan kecepatan maju (V t ), maka sebuah titik A pada ujung mata pisau akan bergerak sepanjang kurva yang memiliki bentuk trochoidal. Berikutnya apabila titik O yang merupakan pusat piringan dianggap sebagai titik referensi, kemudian garis OO 1 sebagai panjang jalur gerakan dari pusat piringan dalam selang waktu (t) maka hal tersebut dapat dinyatakan dengan V t t. Selanjutnya pada periode yang sama mata pisau juga berputar sebesar ω, panjang jalur gerakan melingkarnya dapat dituliskan dengan ωt sehingga titik A berubah posisinya menjadi A 1.

40 1 Gambar 16 Skema dalam menentukan jalur gerakan dari sebuah titik pada mata pisau rotari (Yatsuk et al. 1981). Yatsuk et al. (1981) memberikan persamaan parametrik untuk koordinat titik A 1 sebagai berikut: x = Vt + R cos ωt dan y = R sin ωt (4) Eleminasi waktu (t) pada persamaan (4) dapat digunakan untuk memperoleh persamaan gerakan untuk titik A, yakni: Vt x = sin ω 1 y R + R y dengan R adalah jari-jari. sehingga persamaan gerakan untuk sembarang titik pada mata pisau dapat dituliskan: Vt x = sin ω 1 y r i i + i r y i Rasio kecepatan putar terhadap kecepatan maju ( λ ) untuk sembarang titik pada mata pisau tersebut adalah ωr i λ i =, ri Vt (5) ω = kecepatan tangensial titik i, sehingga ωr ωr V t =, λ i i = λ atau λ ωr r i R λ = λ. Oleh karena itu apabila λ i = 1 maka i R ωr i = V t dan r i = = r yang merupakan radius dari centrode yang bergerak dan λ memiliki jalur gerakan berbentuk sikloid. Pemotongan miring mengunakan bajak piring yang diputar memiliki jalur gerakan yang lebih komplek dibandingkan dengan pemotongan lurus sebagaimana diuraikan di atas. Dalam hal ini akan ditinjau gerakan sebuah titik M yang terdapat pada mata bajak piring yang memiliki sudut kemiringan yang terbentuk antara

41 poros bajak piring dan jalur gerakan liniernya (β y ) dalam sebuah sistem spasial dari koordinat XYZ (Gambar 17a). Pada awalnya titik M terletak pada sumbu Y, kemudian setelah piringan tersebut diputar beberapa saat titik M tersebut berubah posisinya menjadi M 1. Gambar 17 Bajak piring dalam sistem koordinat tiga dimensi (a), bidang XOY (b), dan bidang YOZ (c) (Yatsuk et al. 1981). Koordinat titik M 1 dapat ditentukan menggunakan penampang elips yang merupakan tampak atas (bidang XOY) dari bajak piring (Gambar 17b). Sudut kemiringan bajak piring (β y ) terbentuk antara poros dan arah gerakan linier (OZ), sehingga koordinat titik M 1 pada segitiga OMM 1 secara matematis dapat dituliskan sebagai brikut: y = R cos ϕ (6) Absis x dapat ditentukan menggunakan persamaan kurva elips bidang XOY, yakni: x a + b y = 1 (7) x dan y = koordinat titik M 1 a = sumbu minor elips b = sumbu mayor elips ϕ = sudut gerakan dari sebuah titik acuan pada mata bajak piring. Dalam hal ini, a = R cos β y dan b = R, sehingga substitusi a, b, dan y ke persamaan (7) menghasilkan persamaan sebagai berikut: x ( R cos β ) y + ( R cos ϕ ) R = 1

42 3 x ( R cosϕ) = 1 ( R cos β ) R y x ( R cos β ) x y ( R cos β ) y = 1 cos = sin ϕ ϕ x = sin ϕ ( R cos β ) y x = R cos β y sin ϕ (8) Pada bidang ZOY titik M 1 bergerak sepanjang elips (Gambar 17c), sehingga persamaan elips untuk bidang tersebut adalah: y b + c z 1 = 1 (9) y dan z 1 = koordinat titik M 1 c = sumbu minor elips b = sumbu mayor elips Dalam kasus ini b = R dan c = R sin β, sehingga substitusi b, c, dan y ke y persamaan (9) menghasilkan persamaan sebagai berikut: ( R cosϕ) R ( z1) + ( R sin β ) y = 1 ( z1) R cos ϕ = 1 ( R sin β ) R y z 1 ( R sin β ) z 1 y ( R sin β ) y = 1 cos = sin ϕ ϕ z 1 = sin ϕ ( R sin β y ) z = R sin β sin ϕ (10) 1 y Gerak translasi bajak piring ke arah z adalah z = V t t. Jadi total koordinat z untuk M 1 adalah sebagai berikut: z = z1 + z = R sin β y sin ϕ + Vtt (11)

43 4 Persamaan gerakan titik M 1 pada mata bajak piring dalam sistem koordinat tiga dimensi adalah: x = R cos β y sin ϕ y = R cos ϕ (1) z = R sin β sin ϕ y + V t t Eleminasi waktu (t) pada persamaan (1) digunakan untuk menggambarkan kurva gerakan sebuah titik pada mata bajak piring yang diputar dengan lintasan berbentuk helicoid. Proses eliminasi t tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: z = R sin β sin ϕ V t ; ϕ = ωt, sehingga π n ω = ; n 60 y + = V r 60 n = R ; n = π n V V t t = t t 60 V π D V tϕ = = ω r t 60 ω π V tϕ πn 60 60V tϕπ D = π 60V r 60 V R r 1 π 60 V tϕ = = πn V tϕr = V r ϕ t = ω 60 V tϕ 60 V r π πd V V r λ = ; t V = t V r λ V t t V r ϕ R = λ V ; r V t t = V ϕ R λ r 1 V r berikut: ϕ R V t t = λ Akhirnya, persamaan koordinat untuk gerakan titik M dinyatakan sebagai x = R cos β y sin ϕ y = R cos ϕ (13) z = R sin β y sin ϕ + Rϕ λ

44 5 Gambar 18 mengilustrasikan jalur gerakan dari sebuah titik yang terdapat pada mata bajak piring yang diputar dengan hanya melibatkan satu sudut kemiringan menggunakan persamaan (13). Pola jalur gerakan tersebut identik dengan bentuk helik atau spiral sehingga proses pemotongannya dapat dikatakan sebagai pemotongan spiral. Gambar 18 Pola jalur gerakan dari sebuah titik pada mata bajak piring yang diputar atau disebut dengan pemotongan spiral (Yatsuk et al. 1981). Sudut Gerakan Pisau Umumnya mata pisau terdiri atas sisi depan (face) dan sisi belakang (back). Sisi depan merupakan permukaan yang paling banyak bersentuhan dengan material pada saat proses pemotongan, sedangkan sisi belakang merupakan sisi yang membentuk clearance angle (ANC) atau sudut kelonggaran. Rake angle (ANR) atau sudut pemotongan merupakan sudut pada bidang XZ, yang terbentuk antara sisi depan mata pisau dan arah normal dari gerakan pisau (aksis Z). Sudut kelonggaran (ANC) merupakan sudut pada bidang XZ, yang terbentuk antara sisi belakang mata pisau dan arah negatif gerak maju pisau (aksis X negatif). Chip angle (ANP) atau sudut pembentuk potongan merupakan sudut pada bidang XZ yang terbentuk antara sisi depan mata pisau dan arah negatif gerakan pisau. Sudut mata pisau (ANE) merupakan sudut yang terbentuk antara sisi depan dan sisi belakang mata pisau. Gambar 19 memperlihatkan posisi dari keempat sudut tersebut pada bidang XZ.

45 6 Z ANR ANE ANP ANC X Gambar 19 Sudut gerakan pisau pada saat pemotongan dalam bidang XZ. Bajak piring memiliki sudut pergerakan terhadap bidang XZ yang disebut tilt angle (T A ) yakni sudut kemiringan bajak terhadap aksis Z (Gambar 0a) dan sudut kemiringan terhadap bidang XY atau disk angle (D A ) yang merupakan sudut kemiringan bajak piring terhadap arah gerak maju pemotongan (Gambar 0b). Z Y T A D A X X Arah gerak maju Ground (a) (b) Gambar 0 Tilt angle (T A ) dari bajak piring pada bidang XZ (a) dan disk angle (D A ) bajak piring pada bidang XY (b). Gaya pada Bajak Piring untuk Pengolahan Tanah Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengilustrasikan efek resultan gaya pada bajak piring untuk pengolahan tanah adalah dengan menyatakan komponen gaya longitudenal (L), lateral (S), vertikal (V), dan resultan dari gaya gaya tersebut (Kepner et al. 197). Gambar 1 menunjukkan komponen gaya L dan S yang dikombinasikan menjadi resultan gaya horisontal (R h ), sedangkan thrust (T) mempunyai arah paralel terhadap aksis bajak piring. Bajak piring yang digunakan untuk mengilustrasikan gaya-gaya tersebut adalah bajak

46 7 piring vertikal dengan diameter 4 in, kedalaman potong 8 in, lebar potong 6.75 in, kecepatan maju 3 mph, dan jenis tanah silt loam (lempung berdebu). Gayagaya tersebut dinyatakan dalam satuan Pounds (lb). Gambar 1 Resultan gaya horisontal (R h ), trust (T), dan V pada bajak piring (Kepner et al. 197). Gordon (1941) diacu dalam Kepner et al. (197) mengungkapkan bahwa disk angle dan tilt angle memiliki efek yang signifikan terhadap gaya longitudenal atau draft (L), gaya vertikal (V), dan gaya lateral (S). Efek disk angle terhadap L dan S untuk dua jenis tanah pada kecepatan maju. mph (mile per jam), tilt angle 0 o, lebar potong 7 in, dan kedalaman potong 6 in, menunjukkan bahwa pada disk angle yang lebih besar, draft (L) cenderung meningkat dan draft minimum terjadi pada disk angle 45 o. Pada kondisi tersebut, gaya lateral (S) meningkat hampir linier seiring dengan makin besarnya disk angle, terutama untuk jenis tanah fine sandy loam (lempung berpasir halus), sedangkan untuk jenis tanah clay loam (lempung liat) gaya lateral (S) hampir tidak mengalami kenaikan (Gambar a). Berikutnya pada kecepatan maju 3.6 mph dan tilt angle 15 o, draft minimum juga terjadi pada disk angle 45 o namun untuk tanah clay loam nilai draft hampir 60% lebih tinggi dibandingkan dengan hasil uji pada kecepatan maju. mph dan tilt angle 0 o (Gambar b). Draft mengalami peningkatan pada disk angle yang lebih besar dikarenakan gaya yang diperlukan untuk membalikkan atau melemparkan tanah juga lebih besar. Draft yang tinggi juga terjadi pada disk angle yang lebih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh semakin besarnya luas permukaan kontak antara dinding alur pembajakan (furrow wall) dan sisi belakang bajak

47 8 piring. Selanjutnya pada kecepatan maju 3.6 mph, disk angle 45 o, lebar potong 9 in, dan pada kisaran tilt angle dari 15 o sampai 5 o, draft (L) dan gaya vertikal (V) mengalami peningkatan seiring dengan semakin besarnya tilt angle, sedangkan gaya lateral (S) mengalami penurunan secara perlahan-lahan (Gambar c). Gambar Reaksi tanah versus disk angle dan tilt angle pada bajak piring diameter 6 in dan radius bola.4 in (Gordon 1941, diacu dalam Kepner et al. 197). Budidaya Tebu Lahan Kering Budidaya tebu dapat dilakukan pada dua jenis lahan, yakni lahan sawah atau bekas sawah (sistem reynoso) dan lahan kering atau tegalan (rain fed system). Terdapat beberapa perbedaan yang mendasar antara kedua cara budidaya tebu tersebut. Pertama, pada cara reynoso, penyiapan lahan dimulai dengan penggalian saluran-saluran, yakni setelah jerami bekas tanaman padi dibabat atau dibersihkan, segera dimulai dengan memasang ajir-ajir untuk membuat saluran-saluran air yang terdiri atas got keliling, got mujur, dan got malang (Lampiran 1). Alur tanam (cemplongan) dengan kedalaman 40 cm dibuat di antara got-got malang tersebut. Pada budidaya tebu lahan kering, alur tanam dikerjakan setelah tanah atau lahan diolah terlebih dahulu dengan bajak. Dapat dikemukakan bahwa, pada cara reynoso tanah yang digarap hanya di sekitar tempat yang akan ditanami tebu saja yakni dalam cemplongan, sedangkan pada budidaya tebu lahan kering tanah diolah secara keseluruhan. Kedua, penanaman bibit tebu cara reynoso dilakukan

48 9 dalam paliran dengan kedalaman 5-7 cm yang dibuat di tengah-tengah cemplongan. Selanjutnya, dalam paliran tersebut setek-setek tebu diletakkan dengan jarak cm bergantung pada kesuburan tanah dan varietas tebunya, sedangkan di lahan kering penanaman tebu dilakukan di dalam coklak (juringan) pada alur tanam, sehingga cara reynoso memiliki alur tanam yang lebih dalam dibandingkan dengan cara di lahan kering (Gambar 3). Ketiga, budidaya tebu sistem reynoso tidak banyak melibatkan mesin-mesin pertanian, hal tersebut disebabkan pada sistem reynoso umumnya memiliki struktur tanah yang berat karena bekas sawah, lahan yang sempit, dan banyak got malang sehingga lalu lintas traktor sebagai sumber tenaga tarik pertanian banyak mengalami hambatan, sebaliknya dengan struktur tanah yang lebih ringan, lahan yang lebih luas, dan tidak terdapat got malang, maka penerapan alat dan mesin pertanian dapat dilakukan secara penuh (fully mechanization) di lahan kering. Keempat, relevansinya dengan produksi, cara reynoso memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem budidaya tebu lahan kering. Hal tersebut dapat terlihat dari varietas Ps 58 yang memiliki sifat bobot batang kg per meter, banyak batang per hektar, dan diameter batang cm memberikan hasil tebu sebesar ton per ha, rendemen %, dan hasil hablur sebesar ton per ha pada lahan sawah (cara reynoso), sedangkan pada lahan kering, hasil tebunya hanya ton per ha, rendemen %, dan hasil hablurnya hanya mencapai ton per ha (Rajagukguk 1994). Cara reynoso memberikan hasil tebu yang lebih baik dikarenakan pada cara budidaya tersebut kebutuhan air untuk tanaman tebu dapat terpenuhi, di samping hal tersebut lahan sawah di Indonesia cenderung memiliki tingkat kesuburan yang lebih baik jika dibandingkan dengan lahan tegalan atau lahan kering. Guludan Paliran Cemplongan Guludan Coklak (a) (b) Gambar 3 Potongan melintang untuk alur tanam cara reynoso (a) dan alur tanam untuk lahan kering (b).

49 30 Kegiatan budidaya tebu lahan kering secara umum meliputi pengolahan tanah, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pengeprasan. Pengolahan tanah merupakan bagian dari rangkaian kegiatan budidaya tebu yang bertujuan menciptakan kondisi tanah yang baik sebagai media tumbuh tanaman tebu. Kepner et al. (197) mengemukakan bahwa pengolahan tanah merupakan tindakan manipulasi mekanis terhadap tanah untuk memperbaiki struktur tanah yang diinginkan bagi pertumbuhan tanaman. Menurut Bakker (1999) pengolahan tanah untuk budidaya tebu lahan kering meliputi (1) pengolahan tanah dalam (subsoiling) dengan kedalaman olah sebesar cm, () pembajakan (plowing) yang bertujuan untuk menghancurkan bongkahan tanah, memindahkan sisa-sisa tanaman, dan meratakan tanah, (3) Penggaruan (harrowing) untuk mencampur dan melonggarkan tanah pada kedalaman olah sekitar 0 cm, dan (4) pembuatan alur tanam (furrowing) sebagai tempat potongan bibit tebu yang akan ditanam dengan jarak antar alur antara 90 dan 150 cm. Penanaman bibit tebu di lahan kering dilakukan di dalam coklak atau juringan pada alur tanam. Fauconnier (1993) mengemukakan bahwa penanaman tebu dapat dilakukan dengan cara meletakkan secara horisontal batang tebu yang memiliki mata atau pucuk tunas yang sehat di atas permukaan tanah kemudian ditutup dengan tanah (Lampiran ). Siklus pertumbuhan tebu yang dimulai dari pertunasan atau perkecambahan (sprouting or germination), perkembangan anakan tunas (tillering), pertumbuhan batang tebu (plant growth), pembungaan (flowering), pemasakan dan lewat masak (crop maturity and over maturity), pemanenan (harvesting), dan pertumbuhan kembali (regrowth). Pemeliharaan tanaman tebu meliputi kegiatan penyulaman, pengairan, penyiangan, pembumbunan, pemupukan, pembuangan daun yang sudah tua, dan pemberantasan hama dan penyakit (Adisewojo 1989). Ketersediaan air bagi tanaman tebu lahan kering sangat bergantung pada curah hujan, sehingga iklim setempat terutama jumlah dan sebaran hujan sangat besar pengaruhnya terhadap produktivitas tebu yang dihasilkan. Sehubungan dengan kondisi tersebut, masalah penting yang perlu diperhatikan dalam budidaya tebu di lahan kering adalah ketepatan dalam penentuan jadwal tanam (Ismail et al. 1990). Pemanenan atau penebangan tebu merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memungut hasil melalui pemotongan batang tebu pada bagian pangkalnya.

50 31 Penebangan umumnya dilakukan secara manual menggunakan alat potong berupa sabit atau golok. Daun-daun yang kering atau klaras yang terdapat pada batang tebu dibersihkan terlebih dahulu, kemudian batang tebu tersebut dipotong pada bagian pangkalnya. Selanjutnya pucuk batang tebu tersebut dipotong, kemudian batang tebu yang telah dibersihkan tersebut ditumpuk pada satu barisan. Pengeprasan merupakan pemotongan sisa-sisa tunggul tebu setelah penebangan dengan tinggi pemotongan pada posisi rata atau lebih rendah terhadap permukaan guludan. Saat ini pengeprasan tebu masih dilakukan secara manual menggunakan peralatan yang cukup sederhana berupa cangkul. Masalah yang timbul berkaitan dengan pengeprasan secara manual adalah ketersediaan tenaga kerja baik dari aspek kuantitas maupun kualitasnya. Sutjahjo dan Kuntohartono (1994) mengemukakan bahwa tenaga kerja yang tersedia untuk mengelola lahan tebu hanya tinggal sepertiga dari jumlah tenaga kerja pada masa sebelum tahun Hal lain yang perlu dipikirkan dalam kaitannya dengan pengeprasan manual adalah masalah kualitas hasil keprasan. Pengeprasan yang baik seharusnya menghasilkan tunggul tebu yang tidak pecah, sistem perakaran tebu tidak tercabut dari tanah, dan memiliki kedalaman potong yang seragam sehingga tunas tebu keprasan dapat tumbuh dengan baik. Sistem Pertunasan Tebu Umumnya, tebu berkembang biak secara vegetatif, yakni dengan cara pertunasan. Pertumbuhan dimulai dari perkembangan akar pada bagian pita akar (root band) yang terdapat pada potongan batang atau bibit tebu (original cuting) yang telah ditanam. Selanjutnya, tunas pertama (primary shoot) yang diikuti dengan tunas kedua (secondary shoot) tumbuh dari mata tunas (eye or bud) yang terdapat pada bibit tebu tersebut, sedangkan akar-akar tunas berkembang pada bagian pita akar yang terdapat pada tunas pertama dan tunas kedua (Gambar 4). Cadangan makanan untuk tunas-tunas baru tersebut pada awalnya disuplai oleh sistem perakaran bibit tebu, sehingga pertunasan tebu bergantung pada sistem perakaran dari bibit tersebut selama 3-6 minggu atau sampai seberapa lama akarakar baru pada tunas dapat mencukupi kebutuhan air, oksigen, dan nutrisi yang diperlukan (Humbert 1968).

51 3 Primary shoot Secondary shoot Secondary shoot Original cutting Shoot roots Root band Root from original cutting Gambar 4 Tunas tebu yang tumbuh dari mata tunas bibit tebu dan akar tunas baru berkembang dari pita akar (Humbert 1968). Pangkal dari batang tebu yang terdapat di bawah permukaan tanah (ground level) memiliki ruas batang yang semakin pendek dan meruncing dengan cepat (Gambar 5). Mata tunas yang terdapat pada pangkal batang pertama (primary stalk) tumbuh menjadi batang kedua (secondary stalk) dan mata tunas pada pangkal batang kedua berkembang menjadi batang ketiga (tertiary stalk). Pertumbuhan tersebut berlangsung secara berurutan, terus-menerus, dan memiliki posisi selang-seling sesuai dengan posisi mata tunas pada pangkal batang tebu. Secondary stalk Primary stalk Tertiary stalk Ground level Point of attachement to original cutting Gambar 5 Urutan pertumbuhan batang tebu dari potongan tebu yang terdapat di bawah permukaan tanah (Humbert 1968). Batang tebu yang masih tersisa di bawah permukaan tanah setelah penebangan dapat tumbuh kembali sebagai tebu keprasan. Cadangan makanan untuk tunas-tunas baru dari tebu keprasan tersebut pada awalnya disuplai oleh

52 33 sistem perakaran tebu sebelumya. Setelah tunas-tunas tersebut tumbuh menjadi batang tebu yang memiliki sistem perakaran sendiri, maka fungsi akar lama diambil alih oleh sistem perakaran tebu yang baru. Akar-akar lama tersebut kemudian berubah warnanya menjadi gelap (kehitam-hitaman) dan tidak efektif lagi dalam melakukan suplai makanan, sehingga akar-akar tersebut akhirnya mati dan terurai dalam tanah. Struktur dan Kekerasan Batang Tebu Batang tebu memiliki bentuk silindris dan terdiri atas beberapa bagian (Gambar 6). Bagian-bagian tersebut diantaranya adalah mata tunas (eye or bud), buku (node), ruas tebu (internode), pita lilin (wax band), dan pita akar (root band). Pita akar merupakan bagian yang paling keras dari satu ruas tebu yang masak, sedangkan bagian pertengahan ruas memiliki tingkat kekerasan yang kedua (Hutasoit 1978). Pada tebu jenis Uba (tebu keras), semakin kecil diameter tebu maka tebu tersebut semakin keras, sedangkan kekerasan tebu yang ditanam di kebun tanpa irigasi naik sekitar 0.39% dibandingkan dengan tebu yang ditanam di kebun yang beririgasi (Hutasoit 1978). Kerasnya batang tebu yang ditanam di lahan yang tidak beririgasi disebabkan oleh kurangnya suplai air untuk proses pertumbuhan tebu, hal tersebut mengakibatkan struktur sel pada batang tebu tersebut memiliki sifat yang lebih keras jika dibandingkan dengan struktur sel batang tebu yang kebutuhan airnya dapat terpenuhi dengan baik. Gambar 6 Bentuk dan bagian-bagian batang tebu (Humbert 1968).

53 34 Pemotongan sebuah batang tanaman dapat menghasilkan permukaan potong berbentuk penampang batang sesuai dengan arah pemotongan. Struktur batang dapat dilihat melalui analisis penampang batang tersebut. Menurut Persson (1987) untuk penyederhanaan karakterisasi dari sebuah pemotongan atau penentuan kekuatan, terdapat empat komponen utama dalam penampang batang tanaman yang harus diperhatikan yakni serat (fibers), kulit (skin), sel-sel halus (soft cells), dan rongga (cavity). Gambar 7 memperlihatkan skema dari penampang batang timothy beserta bagian-bagian utama yang terdapat pada penampang batang tanaman tersebut. collenchyma Gambar 7 Skema dari penampang batang tanaman (Persson 1987). Terdapat tiga jenis dasar sel dalam batang tanaman, yakni parenkim (parenchyma cells), colenkim (collenchyma cells), dan sklerenkim (sclerenchyma cells). Parenkim merupakan sel dengan protoplasma aktif (sel hidup) untuk fotosintesis atau penyimpanan yang memiliki sifat berdinding tipis. Colenkim merupakan sel dengan protoplasma aktif dan berfungsi mendukung sel parenkim. Sel tersebut memiliki dinding yang lebih kuat dibandingkan dengan parenkim, tetapi bersifat elastis dan tidak keras. Sklerenkim merupakan sel tanpa protoplasma tetapi lebih kuat, berdinding kaku, dan berserat. Penampang melintang dari berkas pembuluh batang tebu (Gambar 8) mengilustrasikan bahwa nira yang banyak mengandung gula terdapat dalam bagian vacuole (S) yakni merupakan kandungan utama dari parenkim (P) yang berdinding tipis atau sebagai jaringan dasar yang paling banyak mengandung air dalam tebu. Ikatan pembuluh kayu (D) merupakan saluran air dari tanah yang hampir tidak mengandung gula (Hutasoit 1978).

54 35 Keterangan: P = parenchyma, S = vacuole, D = xylem (pembuluh kayu), T = phloem (pembuluh tapis) Gambar 8 Penampang melintang dari berkas pembuluh pengangkutan batang tebu yang diperbesar (Hutasoit 1978). Bagian yang sejajar dengan saluran air tersebut adalah saluran pembuluh tapis (T) yang berbentuk seperti saringan dan berfungsi untuk menyalurkan fotosintat dari daun ke batang tebu. Hutasoit (1978) mengemukakan bahwa dinding sel parenkim dan ikatan pembuluh kayu memiliki kandungan selulosa sekitar 50% dan lignin sebesar 5%. Buzacott (1940) diacu dalam Hutasoit (1978) mengemukakan bahwa kekerasan tebu dipengaruhi oleh dua faktor, yakni banyaknya ikatan pembuluh kayu dalam batang tebu dan banyaknya sklerenkim yang mengelilingi pembuluh pengangkutan. Gambar 9 memperlihatkan bahwa tebu yang keras (jenis Q-) memiliki sklerenkim dan parenkim dengan dinding yang lebih tebal dibandingkan dengan tebu lunak (jenis Badila). Dinding yang tebal pada sel tersebut mengakibatkan kandungan lignin sebagai pengikat serat semakin meningkat, sehingga ikatan dinding sel semakin kuat. Sehubungan dengan hal tersebut jenis dan varietas tebu berpengaruh terhadap kekerasan batang tebu, sehingga besarnya gaya pemotongan yang dibutuhkan juga tidak sama.

55 36 A B A B D D C C (a) Badila (b) Q- Keterangan: A = epidermis, B = sclerenchyma, C = parenchyma, D= vascular bundle (ikatan pembuluh pengangkutan) Gambar 9 Penampang melintang batang tebu bagian tepi untuk jenis lunak (a) dan jenis keras (b) yang dibesarkan 70 kali (Hutasoit 1978). Penelitian Hutasoit (1978) menunjukkan bahwa varietas Bz 134 memiliki kekerasan yang relatif tinggi dibandingkan dengan lima varietas uji lainnya yakni Ps 41, Ps 30, POJ 3016, POJ 3067, dan Bz 6. Varietas Bz 134 tersebut memiliki kekerasan 6.9 kg cm - atau setara dengan N m -.

56 37 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pendahuluan mengenai bentuk dan dimensi guludan tanaman keprasan, tahanan penetrasi dan tahanan geser tanah, gaya cabut satu rumpun tunggul tebu sisa pemanenan, dan pengambilan tunggul tebu untuk bahan percobaan dilakukan di perkebunan tebu milik PG Jatitujuh, Cirebon, Jawa Barat. Pengembangan model matematika untuk menduga torsi pengeprasan tebu, pembuatan alat uji pengeprasan, percobaan pengukuran torsi pengeprasan, dan pengamatan pertunasan dan pertumbuhan tebu hasil uji pengeprasan dilakukan di Laboratorium Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rangkaian kegiatan penelitian tersebut diselesaikan selama sembilan bulan yakni dari Juni 005 sampai Maret 006. Alat dan Bahan Penelitian Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian tersebut terdiri atas (1) alat dan bahan untuk penelitian pendahuluan, () alat dan bahan untuk percobaan pengeprasan tunggul tebu skala laboratorium. Alat dan Bahan untuk Penelitian Pendahuluan Peralatan yang digunakan dalam penelitian pendahuluan antara lain: (1) Penetrometer SR- untuk mengukur tahanan penetrasi dan tahanan geser tanah, () traktor 4 roda, (3) load cell (Type: U F.Nr 34181, ton), (4) bridge box (Kyowa, DB-350), (5) handy strain meter, (Kyowa, UCAM-1A), (6) kawat penarik (7) garpu pencabut, dan (8) alat-alat pendukung lainnya seperti meteran, kamera dan multitester. Bahan yang digunakan dalam penelitian pendahuluan tersebut adalah lahan dan tunggul tebu di PG. Jatitujuh setelah penebangan yang nantinya akan diteruskan untuk tanaman keprasan pertama (R 1 ), kedua (R ), dan ketiga (R 3 ). Lahan tebu tersebut memiliki jenis tanah mediteran (alfisol) dengan kadar air ratarata saat pengukuran sebesar 7.40%. Alat dan Bahan untuk Percobaan Pengeprasan 1. Alat uji pengeprasan tunggul tebu (stublle bin test apparatus) yang dilengkapi dengan transduser torsi dan instrumen perekaman data.

57 38. Piring pengolah tanah yang terdiri atas bajak piring dan garu piring (Gambar 30). Lebar tiap coakan untuk mata piring bentuk coak (garu piring) sebesar 7.4 cm, lebar tiap mata garu piring 8 cm, dan kedalaman coakan 5 cm. Kedua jenis piring pengolah tanah tersebut memiliki sudut mata piring sebesar 34 o, jari-jari kelengkungan cm, diameter piring 60.5 cm, dan massa 11.8 kg. (a) (b) Gambar 30 Piring pengolah tanah dengan mata piring bentuk rata atau bajak piring (a) dan bentuk coak atau garu piring (b). 3. Traktor 4 roda (Yanmar 330 MT) digunakan untuk menarik aparatus uji pengeprasan sesuai dengan parameter kecepatan maju yang diiginkan. 4. Instrumen pengukuran dan perekaman data yang terdiri atas transducer torsi menggunakan sensor strain gages (Kyowa, KFG-1-10-D16-11N15C), slip ring (Michigan Scientific, S4), bridge box (Kyowa, DB-10), dynamic strain amplifier (Kyowa, DPM-603A), analog to digital converter (ADC), handy strain meter (Kyowa, UCAM-1A), seperangkat komputer (NEC, PC-9801), kamera, dan alat-alat bantu lainnya seperti: tachometer digital (Shimpo, DT05B), multimeter digital (CE, DT830D), stop watch, tool kit, solder, dan jangka sorong. 5. Alat-alat perkakas untuk pembuatan alat uji pengeprasan tunggul tebu seperti: mesin bubut, mesin gergaji, mesin bor, las listrik, dan mesin gerinda. Bahan percobaan untuk menentukan gaya potong satu tunggul tebu digunakan 4 varietas paling dominan dari 6 varietas yang dibudidayakan di areal kebun tebu milik PG Jatitujuh (Lampiran 3), yakni PA 198 (56.08%), PA 183 (10.3%), Triton (7.60%), dan PA 0 (7.46%). Rumpun tunggul tebu sisa penebangan dari tanaman keprasan ketiga (R 3 ) varietas PA 198 dipilih sebagai bahan percobaan untuk pengukuran torsi pengeprasan tebu dengan masing-masing rumpun terdiri atas -6 tunggul. Penentuan varietas PA 198 sebagai bahan

58 39 percobaan dilakukan dengan pertimbangan bahwa varietas tersebut memiliki luas tanam terbesar (56.08%) di areal kebun tebu PG Jatitujuh, sehingga kemungkinan penerapan dari alat kepras yang dikembangkan akan lebih banyak dimanfaatkan untuk varietas tersebut. Selanjutnya penentuan rumpun tunggul tebu sisa penebangan dari tanaman keprasan ketiga (R 3 ) dilakukan karena setelah keprasan ketiga (R 3 ) tunggul-tunggul tebu tersebut dibongkar dan diganti dengan tanaman pertama sehingga penelitian yang dilakukan tidak banyak menganggu kegiatan budidaya di pabrik gula tersebut. Rumpun tunggul tebu tersebut diambil dari lahan PG Jatitujuh dengan kondisi 3 hari setelah dibakar, hal ini disebabkan PG Jatitujuh tidak melakukan kegiatan pengeprasan namun menerapkan metode cut and go yakni sistem bakar setelah penebangan. Selanjutnya rumpun tersebut disimpan di Laboratorium Departemen Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penyiraman dilakukan tiap dua hari sekali untuk menjaga agar rumpun tebu tersebut tidak kering pada saat akan digunakan untuk percobaan pengeprasan. Bagian yang dipotong pada percobaan pemotongan adalah ruas kelima dari pangkal tunggul tebu (Gambar 31) dengan kadar air rata-rata pada saat percobaan pemotongan sebesar 0.8%. Gambar 31 Bagian ruas tunggul tebu yang dilakukan uji pemotongan. Metode Penelitian Peubah Penelitian Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengidentifikasi peubah-peubah yang berkaitan dengan karakteristik pengeprasan tunggul tebu. Peubah yang diamati dalam studi pendahuluan tersebut antara lain adalah jumlah tunggul tebu dalam satu rumpun, diameter rata-rata tunggul tebu, tinggi tunggul dari permukaan tanah setelah ditebang, bentuk dan dimensi guludan tanaman keprasan

59 40 (R 1, R, dan R 3 ), tahanan penetrasi dan tahanan geser tanah, dan gaya cabut satu rumpun tunggul tebu. Data peubah-peubah tersebut selanjutnya digunakan sebagai dasar pijakan dalam perancangan alat uji pengeprasan dan pelaksanaan percobaan pengeprasan di Laboratorium. Beberapa peubah yang divariasikan dalam pelaksanaan percobaan pengeprasan tebu di laboratorium terdiri atas: 1. Jenis piring pengolah tanah (J P1 = bajak piring dan J P = garu piring). Kecepatan maju alat (V 1 = 15 cm s -1 dan V =30 cm s -1 ) 3. Kecepatan putar piring (N 1 = 500 rpm, N = 1000 rpm) 4. Disk angle (D A1 =35 o, D A =40 o, dan D A3 = 45 o ) 5. Tilt angle (T A1 =15 o, T A =0 o, dan T A3 =5 o ) Metode Pengukuran Karakteristik Guludan dan Tunggul Tebu Gaya cabut tunggul tebu diukur dengan cara menarik satu rumpun tunggul tebu menggunakan garpu pencabut yang diikat dengan kawat penarik yang dihubungkan dengan load cell dan handy strain meter. Salah satu ujung kawat penarik diikatkan pada draw bar traktor, sedangkan ujung yang lainnya diikatkan pada load cell yang telah disambungkan dengan garpu pencabut (Gambar 3). Gambar 3 Metode pengukuran gaya cabut rumpun tebu setelah penebangan. Gaya cabut maksimum diperoleh dengan cara mensubstitusikan nilai regangan ( μ s) maksimum yang diindera oleh handy strain meter ke dalam persamaan regresi hasil kalibrasi load cell (Lampiran 4) yang menghubungkan antara regangan (X) dan beban (Y) yakni: Y = 0.09X (14) Pengukuran dimensi guludan lahan tebu R1, R, dan R 3 dilakukan menggunakan meteran, sedangkan tahanan penetrasi tanah diukur secara acak menggunakan penetrometer SR- pada kedalaman 5, 10, dan 15 cm.

60 41 Metode Analisis Kinematika Mekanisme Pengeprasan Tunggul Tebu Analisis kinematika mekanisme pengeprasan tebu terdiri atas analisis gerakan dan lintasan (locus) bajak piring dan garu piring dalam proses pemotongan. Beberapa asumsi yang digunakan dalam analisis mekanisme pengeprasan tunggul tebu menggunakan bajak piring yang diputar antara lain adalah: 1) kecepatan putar piring pada saat pemotongan konstan, ) kecepatan maju pemotongan konstan, 3) kadar air tunggul tebu pada saat percobaan pemotongan seragam, dan 4) pengeprasan dilakukan pada ketinggian yang seragam serta pada permukaan tanah yang rata atau datar. Gerakan dari sebuah benda kaku dapat didefinisikan sebagai gerakan dari satu atau lebih titik-titik yang terdapat pada benda tersebut. Gerakan dari bajak piring dan garu piring yang digunakan dalam mekanisme pengeprasan tersebut memiliki bentuk gerak rotasi yang diperoleh dari putaran motor listrik dan gerak translasi yang dihasilkan dari tarikan traktor. Gerak rotasi tersebut diperlukan untuk variasi parameter kecepatan sudut (ω ), sedangkan gerak translasi diperlukan untuk variasi parameter kecepatan maju (V). Gambar 33 menunjukkan skema dari mekanisme pengeprasan tunggul tebu menggunakan bajak piring yang diputar dan beberapa paremeter yang relevan. GARIS TENGAH VERTIKAL DARI LINGKARAN MATA BAJAK PIRING Z POROS PIRING TUNGGUL TEBU SETELAH DIUJI KEPRAS ω T A 0 D A Y GARIS TENGAH MENDATAR DARI LINGKARAN MATA BAJAK PIRING V X TUNGGUL TEBU SEBELUM DIUJI KEPRAS Gambar 33 Mekanisme pengeprasan tunggul tebu menggunakan bajak piring yang diputar dan beberapa parameter yang relevan.

61 4 Posisi sebuah titik P pada mata bajak piring dianalisis menggunakan bidang tiga dimensi (XYZ). Titik yang digunakan sebagai referensi dalam analisis gerakan bajak piring adalah titik P yang terdapat pada sumbu Y positif. Sebelum parameter o o kemiringan bajak piring dimasukkan yakni = 90 dan = 0 (Gambar 34), titik P memiliki koordinat P = [ 0, R, 0]. Selanjutnya apabila poros bajak piring tersebut diputar searah jarum jam sebesar θ, maka posisi titik P bergeser menjadi P [ 0, R cosθ, sinθ ] =. 1 R D A T A Z Z P Y O X O θ P 1 R X Gambar 34 Gerakan titik referensi P pada mata bajak piring saat o T = 0 dengan sudut putar θ. A D A o = 90 Tilt angle (T A ) merupakan sudut kemiringan bajak piring terhadap sumbu Z yang diperoleh dengan cara memutar piringan tersebut pada sumbu Y sebesar α (Gambar 35). Pada kondisi tersebut yakni berubah dari posisi awalnya yakni P = [ 0, R,0] o DA = 90 dan dan T = α titik P tidak A, namun setelah poros bajak piring tersebut diputar searah jarum jam sebesarθ, posisi titik P 1 yang awalnya P = [ 0, R cosθ, sinθ ] berubah menjadi P [ R sinα sinθ, R cosθ, cosα sinθ ] 1 R =. 1 R Perubahan posisi titik P 1 tersebut hanya terjadi untuk X dan Z, sedangkan untuk Y = R cosθ tidak mengalami perubahan dikarenakan piringan tersebut dimiringkan atau diputar terhadap sumbu Y. Posisi titik-titik P pada mata bajak piring untuk kasus tersebut apabila digambarkan dalam bidang XY (dilihat dari sumbu Z) akan menghasilkan garis untuk mata bajak piring yang berbentuk elips.

62 43 (a) (b) (c) o Gambar 35 Gerakan titik referensi P pada mata bajak piring saat D A = 90 dan T = α pada bidang XYZ (a), bidang XZ (b), dan bidang XY (c). A Disk angle (D A ) merupakan sudut kemiringan bajak piring terhadap sumbu X yang diperoleh dengan cara memutar sumbu XY terhadap sumbu Z sebesar φ. Garis mata bajak piring dengan penampang berbentuk elips tersebut digunakan sebagai acuan dalam menentukan sudut pemutaran aksis Z (φ ) yang nilainya memiliki hubungan langsung terhadap besarnya D A yang diinginkan. Gambar 36 mengilustrasikan sistem pemutaran aksis dan munculnya sudut baru ( β ) yang menentukan posisi titik-titik pada mata bajak piring dalam dua peubah sudut kemiringan yakni D = δ dan T = α. A A P Y P 1 y φ X β x P 1 P φ Y y D A =δ X Gambar 36 Sistem pemutaran sumbu Z untuk menentukan disk angle o ( D = 90 φ ) mata bajak piring pada D = δ dan T = α. A x A A

63 44 Pemutaran sumbu XY sebesar φ (Gambar 36) menghasilkan koordinat baru (x,y) dan sudut baru ( β ) yang terbentuk antara titik P 1 dan sumbu y. Titik P 1 tersebut sekarang memiliki koordinat P 1 (x,y) dan P 1 (X,Y) yakni x = R sin β dan y = R cos β, sedangkan X = R sin( β + φ) dan Y = R cos( β + φ). Nilai sudut β dapat ditentukan dengan cara memasukkan persamaan posisi titik P 1 (x,y) tersebut ke dalam persamaan posisi sembarang titik P 1 (XY) sebelum posisi bajak piring digeser sebesar φ, yakni P = [ R sinα sinθ, cosθ ] 1 R titik P 1 (x,y) dan P 1 (XY) dapat diuraikan sebagai berikut: ' P = [ R sin β, cos β ], 1 R [ R sinα sinθ, cosθ ] 1 R x = R sin β dan y = R cos β P =, X = R sin α sinθ dan Y = R cosθ Substitusi nilai x dan X dari kedua titik tersebut adalah: R sin β = R sinα sinθ R sinα sinθ sin β = = sinα sinθ R sin β = (sinα sinθ ). Substitusi persamaan posisi β = sin 1 (sinα sinθ ), sedangkan substitusi untuk y dan Y adalah: R cos β = R cosθ R cosθ cos β = = cosθ R cos β = cosθ β = cos 1 (cosθ ) Selanjutnya nilai β tersebut digunakan sebagai parameter dalam formulasi pemutaran aksis Z untuk bidang XY mata bajak piring yang berbentuk elips yakni: x = R sin β y = R cos β X = R sin( β + φ) Y = R cos( β + φ) Penjumlahan cosinus tersebut dapat diselesaikan sebagai berikut: X = R sin( β + φ) = R = ( sin β cosφ + cos β sin φ ) ( R sin β ) cosφ + ( R cos β ) sin φ = x cosφ + y sinφ X = R sinα sinθ cosφ + R cosθ sinφ (15)

64 45 Y = R cos( β + φ) = R = ( cos β cosφ sin β sin φ ) ( R cos β ) cosφ ( R sin β ) sin φ = y cosφ x sinφ Y = R cosθ cosφ R sinα sinθ sinφ (16) Pemutaran aksis Z tersebut tidak mengakibatkan perubahan nilai Z pada titik P 1, sehingga persamaan untuk Z adalah: Z = R cosα sinθ (17) Persamaan (15), (16), dan (17) selanjutnya disimulasikan menggunakan excel untuk menggambarkan posisi pergeseran garis mata bajak piring atau garu piring yang memiliki bentuk elips. Metode Pendugaan Gaya Pemotongan Spesifik Satu Tunggul Tebu Gaya pemotongan spesifik tunggul tebu (σ) diduga berdasarkan hubungan antara luas pemotongan (A T ) atau panjang pemotongan (L T ) dan gaya hasil pengukuran pada pemotongan satu tunggul tebu (F UT ). Nilai A T dihitung berdasarkan pendekatan integrasi yang dibatasi oleh titik potong antara kurva mata bajak piring atau garu piring dengan kurva penampang tunggul tebu, sedangkan F UT diperoleh dari torsi pengukuran pada pemotongan satu tunggul tebu (T PT ) dibagi dengan radius (R) mata bajak piring yang digunakan. Prinsip least squares diterapkan untuk mengepas garis (fitting a line) antara data A T (x) dan F UT (y). Persamaan linier untuk garis tersebut umumnya dinyatakan dengan y = β + 1x 0 β (18) Dalam hal ini y merupakan gaya hasil pendugaan pada pemotongan satu tunggul tebu (FMT), β 1 adalah gaya pemotongan spesifik tunggul tebu (σ), x adalah luas lintasan pemotongan (A T ) atau panjang mata bajak piring atau garu piring yang memotong tunggul tebu (L T ), dan β 0 adalah intersep garis tersebut yang dinyatakan dengan konstanta (C). Dari persamaan (18), model pendugaan untuk σ dan C dapat dituliskan sebagai berikut: F F MT MT ( t) = C + σa ( t) (19) T ( t) = C + σl ( t) (0) T

65 46 Metode Penghitungan Luas dan Panjang Pemotongan Satu Tunggul Tebu Luas pemotongan tunggul tebu (A T ) pada persamaan (19) dihitung menggunakan pendekatan integrasi numerik kaidah Simpson, sedangkan panjang mata bajak piring dan garu piring yang memotong tunggul tebu (L T ) pada persamaan (0) ditentukan secara grafis dengan bantuan CAD. Sistem koordinat polar digunakan untuk menentukan titik potong antara kurva mata piring yang berbentuk elips dan kurva tunggul tebu berbentuk lingkaran yang digeser. Persamaan koordinat polar untuk mendeskripsikan radius kurva mata piring (R P ) yang memiliki bentuk elips dapat dituliskan sebagai berikut: ( R P cos θ ) ( R P sin θ ) + = 1 (1) a b Persamaan yang digunakan untuk menentukan radius penampang satu tunggul tebu (R T ) yang digeser adalah: h) + ( y k) () ( x = r Gambar 37 menunjukkan beberapa parameter yang terkait dalam penentuan persamaan radius (R) kurva tunggul tebu menggunakan sistem koordinat polar. x = R cosθ dan y = R sinθ β = θ 1 + α 1 ; sinα = 1 k 1 k tan β = ; β = tan h h r ( h + k ) 1/ θ1 = β α 1 dan θ = β + α Y ; sehingga α 1 = sin 1 r ( ) h + k 1/ O α 1 α β q θ θ 1 r p k y X h s x Gambar 37 Parameter yang terkait dalam penentuan persamaan radius (R) kurva satu tunggul tebu yang digeser menggunakan sistem koordinat polar. R t

66 47 Metode Pendugaan Gaya Pengeprasan Rumpun Tunggul Tebu Persamaan (19 dan 0) merupakan model linier untuk pendugaan gaya pemotongan pada satu tunggul tebu. Model tersebut kemudian digunakan untuk pendugaan gaya pemotongan pada pengeprasan rumpun tebu (F MR ) yang terdiri atas beberapa tunggul tebu dengan diameter dan posisi tunggul yang berbeda. Luas pemotongan (A T ) dan panjang pemotongan (L T ) pada model tersebut digantikan dengan luas pemotongan rumpun tebu (A R ) dan panjang mata piring yang memotong rumpun tebu (L R ). A R dan L R merupakan penjumlahan dari luas dan panjang pemotongan pada tiap-tiap tunggul tebu yang secara bersamaan terpotong oleh garis mata piring, sehingga model matematika untuk pendugaan gaya pengeprasaan rumpun tunggul tebu dinyatakan dengan: F F MR MR ( t) = C + σa ( t) (3) R ( t) = C + σl ( t) (4) R Metode Percobaan Pengeprasan Tebu Pengeprasan tebu merupakan pemotongan sisa-sisa tunggul tebu setelah penebangan yang dilakukan pada posisi tepat atau lebih rendah dari permukaan guludan. Gaya yang diperlukan oleh alat potong atau piring untuk pengeprasan tersebut meliputi gaya untuk menggerakkan piring, gaya untuk mengatasi tahanan potong tunggul tebu, dan gaya untuk mengatasi tahanan potong tanah jika pengeprasan dilakukan pada posisi lebih rendah dari permukaan guludan. Percobaan pengeprasan tebu dilakukan pada bak uji tanah (soil bin) dengan ketinggian potong pada posisi tepat atau rata dengan permukaan tanah. Penggunaan bak uji tanah dimaksudkan agar data hasil pengukuran memiliki akurasi yang tinggi, variasi terhadap peubah percobaan dapat dilakukan lebih mudah, instrumentasi untuk sistem pengukuran dan perekaman data dapat dikerjakan lebih aman, dan asumsi-asumsi yang digunakan untuk pengembangan model matematik dapat terpenuhi. Percobaan pengeprasan atau pemotongan tunggul tebu dilakukan dengan langkah-langkah berikut: 1. Menyiapkan bahan percobaan berupa rumpun tunggul tebu yang akan ditempatkan pada alur tanam pada bak uji (Gambar 38). Penempatan rumpun tunggul tebu dilakukan dengan cara menanam rumpun tersebut ke dalam

67 48 lubang yang terdapat pada alur tanam bak uji. Alur tanam tersebut memiliki panjang 15 cm, jumlah rumpun empat buah, jarak antara pusat ke pusat rumpun 30 cm, dan tiap satu rumpun terdiri atas -6 tunggul tebu. Selanjutnya rumpun tunggul tebu tersebut diikat atau dijepit menggunakan besi beton berdiameter 10 mm berbentuk U agar rumpun tebu tersebut tidak bergeser dari posisinya atau tidak tercabut pada saat dilakukan uji pemotongan. Tahanan cabut rumpun tebu pada bak uji dibuat lebih rendah dibandingkan dengan tahanan cabut rumpun tebu di lapangan. Gambar 38 Penempatan dan penyusunan rumpun tunggul tebu untuk percobaan pengeprasan pada bak uji.. Setelah pemasangan dan penyusunan bahan percobaan tersebut selesai maka diperoleh susunan rumpun tunggul tebu yang siap digunakan untuk uji pengeprasan. Gambar 39 memperlihatkan salah satu contoh susunan tunggul tebu yang digunakan dalam uji pengeprasan dalam bak uji. Sebelum diuji kepras Gambar 39 Contoh susunan rumpun tunggul tebu pada saat uji pengeprasan. 3. Setting alat uji kepras dan melakukan variasi peubah percobaan sesuai dengan nomor urut pengujian. Terdapat 7 kombinasi perlakuan yang tersusun dari lima peubah percobaan pemotongan (Lampiran 5).

68 49 4. Setelah persiapan bahan uji dan setting alat percobaan tersebut selesai, uji pengeprasan dilakukan dengan cara menghidupkan motor listrik yang digunakan untuk memutar bajak atau garu piring pada alat uji. Berikutnya piring tersebut digerakkan maju sesuai dengan peubah kecepatan maju yang diinginkan dengan cara menarik rangka alat uji tersebut menggunakan traktor 4 roda. Gambar 40 mengilustrasikan alat uji pengeprasan tunggul tebu skala laboratorium menggunakan piring yang diputar dengan seperangkat instrumentasi dan komputer untuk sistem perekaman dan peragaan data. Gambar 40 Alat uji pengeprasan tunggul tebu menggunakan piring yang diputar skala laboratorium beserta seperangkat instrumentasinya. 5. Metode pengukuran tahanan potong tunggul tebu untuk beberapa varietas uji yakni PA 198, PA 183, Triton, dan PA 0 dilakukan dengan prinsip yang hampir sama dengan metode percobaan pengeprasan, namun pemotongan dilakukan hanya pada satu tunggul tebu. Metode Pengukuran Torsi dan Sistem Perekaman Data Pengukuran torsi pemotongan dilakukan menggunakan alat uji pengeprasan tunggul tebu yang dilengkapi dengan sistem perekaman data. Pada poros penggerak yang terdapat pada alat tersebut dipasang 4 buah sensor berupa strain gages (Gambar 41) untuk mengindra torsi yang terjadi pada saat proses pengeprasan berlangsung. Sebelum alat tersebut digunakan untuk pemotongan, terlebih dahulu dilakukan kalibrasi transduser torsi dan kalibrasi alat (strain amplifier) agar data hasil pengukuran tidak bias dan dapat dikonversi untuk keperluan analisis data.

69 50 SLIP RING POROS STRAIN GAGES (SENSOR TORSI) SPROKET BEARING D R1 R R1 R4 D C B A A C Vo R R3 R4 R3 B V S Gambar 41 Pemasangan strain gages (sensor torsi) yang disusun dalam bentuk rangkaian jembatan wheatstone pada poros bajak piring. Kalibrasi sensor torsi menggunakan handy strain meter (Lampiran 6) menghasilkan persamaan regresi yang menghubungkan antara torsi (T) dan strain atau regangan (ε ) sebagai berikut: ε = T (5) T = ε T = ε T = 0.606ε (6) Kalibrasi strain amplifier dilakukan pada setiap saat akan melakukan percobaan pengeprasan. Persamaan regresi yang menghubungkan antara tegangan (v) dan regangan (ε ) dari kalibrasi tersebut adalah: v = ε (7) ε = v v ε =

70 51 ε = v.5155 (8) Data pengukuran yang dihasilkan dari sistem perekaman data tersebut adalah sinyal listrik dalam bentuk tegangan (v), sehingga perlu dilakukan konversi nilai tegangan menjadi nilai torsi. Persamaan untuk konversi tersebut dapat diperoleh melalui substitusi persamaan (8) ke dalam persamaan (6) yang dapat diuraikan sebagai berikut: T = 0.606ε [.5155] T = v + T = 6.866v T = 6.866v (9) Persamaan (9) tersebut digunakan sebagai persamaan untuk konversi data tegangan hasil pengukuran menjadi torsi percobaan pengepasan tunggul tebu. Proses pengukuran torsi dimulai dengan menghidupkan motor listrik untuk menggerakkan bajak piring atau garu piring. Setelah piring berputar stabil ( ± 3 detik), traktor sebagai sumber tenaga tarik dijalankan untuk menarik rangka piring tersebut dengan kecepatan maju yang telah ditetapkan. Pemotongan terjadi pada saat mata bajak piring atau garu piring tersebut mulai menyentuh tunggul tebu pada bak uji. Pengukuran torsi dilakukan secara berkelanjutan mulai sebelum pemotongan, selama pemo-tongan, dan setelah pemotongan dengan periode perekaman data setiap 0.01 detik. Pada saat piring mulai berputar maka terjadi perubahan secara mekanik pada poros piring. Perubahan sifat mekanik poros tersebut selanjutnya diindera oleh sensor strain gages yang kemudian diubah dalam bentuk sinyal listrik. Proses transmisi sinyal dilakukan melalui penggunaan slip ring yang berfungsi untuk menjaga agar kabel dari sensor tidak terlilit pada saat poros bajak piring berputar. Berikutnya, melalui bridge box sinyal tersebut diteruskan ke strain amplifier yang digunakan untuk membesarkan atau menguatkan sinyal dari sensor yang relatif masih kecil. Sinyal tersebut kemudian dikonversi ke dalam bentuk data digital oleh analog to digital converter (ADC). Akhirnya data yang terekam tersebut dapat diperagakan dan disimpan menggunakan seperangkat komputer untuk keperluan analisis data. Gambar 4 menunjukkan skema metode pengukuran torsi pada uji pengeprasan tunggul tebu menggunakan piring pengolah tanah yang diputar beserta diagram blok sistem penginderaan dan perekaman data.

71 5 STRAIN AMPLIFIER ANALOG TO DIGITAL CONVERTER SEPERANGKAT KOMPUTER BRIDGE BOX MOTOR LISTRIK PENGATUR DISK ANGLE KERANGKA SLIP RING TRAKTOR PENARIK STRAIN GAGES DONGKRAK ULIR BAJAK PIRING TUNGGUL TEBU RODA PENAHAN RODA BESI PONDASI DUDUKAN REL REL RODA GROUND Gambar 4 Skema metode pengukuran torsi pada uji pengeprasan tunggul tebu menggunakan piring pengolah tanah yang diputar beserta diagram blok sistem penginderaan dan perekaman data.

72 53 Metode Pengamatan Hasil Potongan Setiap uji pemotongan selesai dilakukan, berikutnya diamati mengenai jumlah dan posisi tunggul yang terpotong, diameter tungul, dan pecah tidaknya permukaan hasil potongan. Metode pengamatan jumlah dan posisi tunggul yang terpotong dilakukan dengan cara menggambarkan posisinya pada alur tanam dalam bak uji. Pengukuran diameter tunggul yang terpotong dilakukan menggunakan jangka sorong, sedangkan pengamatan pecah tidaknya hasil potongan dilakukan secara manual dan dengan kamera. Rumpun tebu tersebut kemudian dicabut dari posisinya dan diganti dengan rumpun tebu lainnya untuk uji pengeprasan berikutnya. Penggantian rumpun tebu dilakukan dengan cara mencabut penjepit tunggul tebu tersebut menggunakan pengait yang digerakkan oleh hidrolik traktor (Gambar 43). Rumpun tunggul tebu yang sudah tercabut selanjutnya ditanam pada lahan yang telah disiapkan. Gambar 43 Pencabutan penjepit rumpun tunggul tebu dari bak uji menggunakan tenaga hidrolik traktor. Penanaman rumpun tebu yang telah dipotong dilakukan dengan cara menempatkan bagian akar rumpun tersebut dalam alur tanam pada lahan percobaan dengan kedalaman ± 0 cm. Rumpun tebu tersebut kemudian ditimbun atau ditutup dengan tanah hingga rata dengan permukaan tunggul tebu hasil uji pemotongan. Lahan yang digunakan terletak di Laboratorium lapang Leuwikopo, Darmaga dengan ukuran 6 x 10 m (60 m ). Penanaman dilakukan mengarah ke barat dan timur dengan jarak tanam antar rumpun 5-30 cm dan jarak pusat ke pusat 60 cm.

73 54 Perawatan dilakukan mengikuti perawatan standar yang diberikan di lahan PG Jatitujuh untuk tanaman keprasan, yakni sekali pemupukan pada saat tanaman setelah berumur satu bulan. Pembumbunan dilakukan hanya satu kali saat tebu berumur 1.5 bulan. Penyiangan sebanyak dua kali saat tanaman berumur satu bulan dan.5 bulan. Dosis pupuk standar yang digunakan untuk tanaman keprasan di PG Jatitujuh Cirebon adalah 8 kw per ha (0.08 kg m - ) dengan komposisi sebagai berikut: Urea 3 kw per ha, Za=1 kw per ha, Sp-36= 1.5 kw per ha, dan ZK + =.5 kw per ha. Oleh karena lahan yang digunakan dalam percobaan memiliki luas sebesar 60 m, maka dosis pupuk yang digunakan adalah 4.8 kg dengan komposisi Urea = 1.8 kg, Za = 0.6 kg, Sp-36 = 0.9 kg, ZK + = 1.5 kg. Dalam pelaksanaannya, jenis ZK + digantikan oleh pupuk KCL, hal tersebut disebabkan sulitnya mendapatkan jenis pupuk ZK + di toko pertanian sekitar Darmaga. Jenis KCL dipilih dikarenakan antara kedua jenis pupuk tersebut memiliki bahan aktif yang sama, namun KCL memiliki unsur K yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ZK +. Pengamatan pertunasan dan pertumbuhan tunggul tebu yang mencakup jumlah tunas, tinggi tanaman dari permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi, panjang daun, dan lebar daun dilakukan pada saat tanaman keprasan berumur 4, 8, 1, dan 16 minggu setelah tanam (MST). Teknik Analisis Data Torsi Data torsi pengeprasan diperoleh melalui susbstitusi tegangan keluaran hasil pengukuran ke dalam persamaan kalibrasi (persamaan 9). Torsi pemotongan satu tunggul tebu (T PT ) adalah torsi keseluruhan pada saat pemotongan berlangsung (T KP ) dikurangi torsi untuk mengatasi gesekan dan beban pemutaran piring sebelum pemotongan (T SP ). Hal yang sama juga berlaku untuk torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu (T PR ), yakni: T PR = T T (30) KP SP Gaya hasil pengukuran pada pengeprasan rumpun tunggul tebu (F UR ) diperoleh dari T PR dibagi dengan radius (R) bajak piring yang digunakan. F UR tersebut kemudian digunakan sebagai pembanding (validasi) terhadap gaya

74 55 pengeprasan rumpun tunggul tebu yang diperoleh dari pendugaan menggunakan model matematika. Data torsi pemotongan untuk tiap kombinasi perlakuan ditentukan dengan cara merata-ratakan nilai torsi pemotongan maksimum yang terjadi pada tiap percobaan pengeprasan rumpun tunggul tebu yang terdiri atas empat rumpun. Rataan dari torsi maksimum tersebut kemudian digunakan sebagai data untuk menjelaskan efek parameter pemotongan terhadap torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan piring pengolah tanah yang diputar.

75 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Guludan dan Tunggul Tebu Sisa Panen Kondisi lahan di PG Jatitujuh setelah penebangan umumnya tertutup oleh serasah atau pucuk-pucuk tebu sisa pemanenan. Serasah tersebut mengakibatkan guludan, tunggul tebu, dan batang tebu yang tertinggal di lahan cenderung tidak terlihat (Gambar 44a). Penutupan lahan dengan serasah sisa-sisa penebangan (Lampiran 7) sengaja dilakukan dengan harapan agar setelah serasah tersebut kering dapat dibakar dengan mudah. Pembakaran serasah dimaksudkan agar tunggul tebu sisa panen yang ketinggiannya mencapai 15-0 cm dari permukaan guludan (Gambar 44b) mati terbakar sehingga tidak perlu dilakukan pengeprasan. (a) (b) 15 Gambar 44 Serasah sisa penebangan yang menutupi lahan di PG Jatitujuh (a), tunggul tebu sisa penebangan yang relatif masih tinggi (b). Tunggul tebu sisa penebangan di PG Jatitujuh dan PG Jatiroto memiliki ketinggian yang relatif sama yakni sekitar 15-0 cm dari permukaan guludan. Hal tersebut mengindikasikan bahwa penebangan manual cenderung menyisakan tunggul tebu yang masih tinggi, meskipun dalam kegiatan penebangan tebu tersebut sudah diberlakukan pemberian insentif dan pengawasan. Beberapa tahun terakhir ini PG Jatitujuh tidak melakukan pengeprasan tebu dalam budidaya tebu keprasan. Kegiatan pengeprasan digantikan dengan cara membakar serasah dan sisa penebangan yang menutupi lahan tebu setelah penebangan. Metode tersebut oleh PG Jatitujuh sering disebut dengan istilah cut and go. Penerapan metode cut and go dilakukan dengan pertimbangan bahwa mata tunas tunggul tebu yang terdapat di atas permukaan tanah menjadi kering dan mati akibat panas yang dihasilkan dari pembakaran serasah dan sisa-sisa penebangan, sehingga tunas tanaman keprasan tumbuh dari mata tunas tunggul tebu yang terdapat di bawah permukaan tanah. Kondisi tersebut oleh PG Jatitujuh dianggap identik dengan melakukan pengeprasan.

76 57 Beberapa kelemahan dari metode tersebut diantaranya adalah (1) apabila terjadi hujan yang terus menerus maka serasah atau sisa-sisa penebangan yang menutupi lahan sulit dibakar karena tidak kering, () asap dan abu yang dihasilkan dari pembakaran dapat menimbulkan masalah pencemaran lingkungan, dan (3) pembakaran tersebut membutuhkan pengawasan dan penjagaan yang baik agar pembakaran tidak merambat ke sekitar areal tebu yang belum ditebang. Metode cut and go yang diterapkan di PG Jatitujuh masih banyak menyisakan batang tebu yang berserakan di lahan, pertumbuhan tebu keprasan yang cenderung tidak seragam, dan tunggul-tunggul tebu yang telah dibakar masih terlihat cukup tinggi (Gambar 45a). Kondisi tersebut apabila dibandingkan dengan kondisi lahan di PG Jatiroto yang menerapkan kegiatan pengeprasan secara manual menunjukkan bahwa kegiatan pengeprasan dapat menghasilkan lahan yang bersih dari serasah sisa penebangan (Gambar 45b) dan memiliki pertumbuhan tebu keprasan yang relatif baik dibandingkan dengan di PG Jatitujuh yang tidak melakukan kegiatan pengeprasan (Gambar 45c). (a) (b) (c) Gambar 45 Kondisi lahan dan pertumbuhan tebu hasil cut and go di PG Jatitujuh (a), hasil kepras manual di PG Jatiroto (b), dan pertumbuhan tebu setelah satu bulan kepras manual di PG Jatiroto (c). Profil Guludan Tebu Keprasan Lisyanto et al. (005) mengungkapkan bahwa guludan tebu untuk keprasan pertama (R 1 ), kedua (R ), dan ketiga (R 3 ) di lahan PG Jatitujuh memiliki bentuk dan ukuran yang tidak jauh berbeda. Perbedaannya hanya terletak pada ukuran lebar guludan, yakni guludan untuk R 3 memiliki lebar yang sedikit lebih besar (85 cm) dibandingkan dengan guludan untuk R 1 dan R yang memiliki lebar 80 cm (Gambar 46). Jarak pusat ke pusat (PKP) guludan untuk ketiga tanaman keprasan tersebut sebesar 135 cm, ketinggian guludan dari permukaan juringan 0 cm, dan lebar daerah tunggul yang harus dikepras sebesar 40 cm.

77 58 Gambar 46 Profil guludan tebu R 3 (a) dan untuk R 1 dan R (b) di PG Jatitujuh. Profil guludan untuk tanaman keprasan pertama (R 1 ) di PG Jatiroto memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan guludan untuk R 1 di PG Jatitujuh. Guludan untuk R 1 di lahan PG Jatiroto memiliki jarak pusat ke pusat 10 cm, lebar guludan 50 cm, tinggi guludan 30 cm, dan lebar area tunggul yang harus dikepras sebesar 30 cm (Gambar 47). Dimensi guludan terutama lebar daerah tunggul yang harus dikepras merupakan hal yang sangat penting untuk perancangan pisau dan alat pengeprasan tebu. (a) (b) Gambar 47 Profil guludan tebu untuk R 1 di PG Jatiroto (a) dan di PG Jatitujuh (b). Tahanan Penetrasi Tanah Tahanan penetrasi merupakan salah satu parameter yang dapat digunakan untuk menunjukkan kekerasan tanah yang dinyatakan dengan cone index (CI) tanah. Lahan tebu di PG Jatitujuh memiliki jenis tanah mediteran atau alvisol. Tabel 1 memperlihatkan data tahanan penetrasi dan cone index guludan tebu untuk R 1, R, dan R 3 di lahan tebu PG Jatitujuh. Guludan untuk R 1 memiliki tahanan penetrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan guludan untuk R dan R 3. Pada kedalaman 10 dan 15 cm, guludan untuk R memiliki tahanan penetrasi rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan dengan untuk R 1 dan R 3 (Gambar 48). Pada kedalaman 10 cm, tahanan penetrasi atau CI rata-rata untuk guludan R adalah 4.7 kg cm -, sedangkan untuk R 1 sebesar 3.6 kg cm - dan R 3 sebesar 4.5

78 59 kg cm -. Cone index rata-rata untuk guludan R pada kedalaman 15 cm adalah 7.3 kg cm -, untuk R 1 sebesar 4.1 kg cm -, dan untuk R 3 adalah 6.3 kg cm -. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pada kisaran kedalaman antara 5 dan 15 cm, kondisi lahan tebu tersebut semakin padat seiring dengan bertambahnya kedalaman tanah. Tabel 1 Tahanan penetrasi (kg) dan cone index (kg cm - ) untuk R 1, R, dan R 3 di lahan tebu PG Jatitujuh, Cirebon TAHANAN PENETRASI DAN CONE INDEX RATOON KE-1 RATOON KE- RATOON KE-3 Dalam Ulangan ke: Ulangan ke: Ulangan ke: Tanah X CI Dalam X CI Dalam 1 3 Tanah 1 3 Tanah 1 3 X CI 5 cm cm cm cm cm cm cm cm cm Cone index (CI) ditentukan menggunakan persamaan berikut: CI = F A k ; F = tahanan penetrasi (kg) dan A k = luas kerucut yang digunakan ( cm ). Cone Index (kg cm - ) Kedalaman (cm) R-1 R- R-3 Gambar 48 Cone index pada lahan R 1, R, dan R 3 di PG Jatitujuh, Cirebon. Cone index tanah dapat digunakan untuk pendugaan terhadap kemudahan pengoperasian traktor untuk membajak tanah. Pengoperasian traktor dikatakan mudah apabila pada kedalaman 5-15 cm, CI lebih dari 6.5 kg cm - dan dikatakan memungkinkan apabila CI berkisar antara 4.0 dan 6.5 kg cm -, kemudian dikatakan sulit apabila CI kurang dari 4.0 kg cm - (Kisu 197; Pitoyo 003). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemanfaatan alat dan mesin pertanian pada lahan PG Jatitujuh sangat memungkinkan karena pada kedalaman 15 cm lahan tersebut memiliki CI rata-rata 5.9 kg cm -.

79 60 Tahanan Geser Tanah Tahanan geser (shear resistance) tanah diukur menggunakan penetrometer SR-, yakni dengan gelang geser (shear ring). Tabel memperlihatkan bahwa pada beban kg dengan kedalaman 5 cm, tahanan geser (S) rata-rata untuk R 1 adalah 34.7 kg cm -, R sebesar 30.6 kg cm -, dan R 3 sebesar 30.3 kg cm -. Tabel Tahanan geser (kg cm - ) untuk R 1, R, dan R 3 di lahan tebu PG Jatitujuh pada kedalaman 5 cm TAHANAN GESER PADA KEDALAMAN 5 CM RATOON KE-1 RATOON KE- RATOON KE-3 Beban Torsi ke: Beban Torsi ke: Beban Torsi ke: (kg) X S 1 3 (kg) X S 1 3 (kg) 1 3 X S Nilai tahanan geser (S) dihitung mengunakan rumus sebagai berikut: 300T S = 3 π ( r 0 r 3 1 S = tahanan geser (kg cm - ) T =torsi maksimum (kg cm) r 0 =jari jari luar shear ring (5 cm) r 1 =jari jari dalam shear ring (3 cm) ) Tabel 3 menunjukkan bahwa pada beban kg dengan kedalaman 10 cm, tahanan geser (S) rata-rata untuk R 1 adalah 34.1 kg cm -, R sebesar 34.9 kg cm -, dan R 3 sebesar 33.3 kg cm -. Tabel 3 Tahanan geser (kg cm - ) untuk R 1, R, dan R 3 di lahan tebu PG Jatitujuh pada kedalaman 10 cm TAHANAN GESER PADA KEDALAMAN 10 CM RATOON KE-1 RATOON KE- RATOON KE-3 Beban Torsi ke: Beban Torsi ke: Beban Torsi ke: (kg) X S 1 3 (kg) X S 1 3 (kg) 1 3 X S Tahanan geser rata-rata guludan tebu pada beban kg dengan kedalaman 5 dan 10 cm untuk tanaman keprasan (R 1, R, dan R 3 ) di PG Jatitujuh pada kadar air rata-rata saat pengukuran 7.40% sebesar 3.98 kg cm -.

80 61 Pengukuran tahanan geser dilakukan hanya pada dua kedalaman yakni 5 cm dan 10 cm dikarenakan pengeprasan secara mekanis akan dilakukan dengan kedalaman pemotongan antara 5 dan 10 cm di bawah permukaan guludan. Telah dikemukakan bahwa pengeprasan tebu merupakan pemotongan sisa-sisa tunggul tebu setelah penebangan yang dilakukan pada posisi tepat atau lebih rendah dari permukaan guludan. Apabila pengeprasan di lapang dilakukan pada posisi lebih rendah dari permukaan guladan dengan kedalaman 5-10 cm, maka parameter tahanan geser tanah tersebut perlu ditambahkan dalam menentukan gaya atau torsi pengeprasan. Gaya Cabut Rumpun Tunggul Tebu Tabel 4 menunjukkan hasil pengukuran gaya yang diperlukan untuk mencabut satu rumpun tunggul tebu pada R 1, R, dan R 3 di lahan PG Jatitujuh. Besarnya gaya cabut tersebut bervariasi dan kemungkinan besar bergantung pada kondisi perakaran, kepadatan tanah, dan jumlah tunggul yang terdapat pada satu rumpun tebu. Rumpun tebu yang memiliki jumlah tunggul antara 5 dan 1 buah membutuhkan gaya cabut dari sampai N. Rumpun tebu dengan jumlah tunggul buah membutuhkan gaya cabut sebesar N. Pada lahan untuk ratoon ketiga (R 3 ), rumpun tebu dengan jumlah tunggul 8 buah memiliki gaya cabut yang berbeda yakni N dan N. Perbedaan tersebut diduga disebabkan oleh kondisi tanah dan perakaran tebu, sehingga meskipun memiliki jumlah tunggul yang sama tetapi besar gaya cabutnya berbeda. Tabel 4 Nilai gaya cabut tunggul tebu pada satu rumpun untuk R 1, R, dan R 3 di lahan tebu PG Jatitujuh, Cirebon Jumlah Tunggul RATOON KE-1 RATOON KE- RATOON KE-3 Strain (µs) Gaya Cabut (N) Jumlah Tunggul Strain (µs) Gaya Cabut (N) Jumlah Tunggul Strain (µs) Gaya Cabut (N) Gaya cabut tunggul tebu tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam perancangan mesin kepras agar metode pemotongannya menghasilkan gaya dorong yang lebih kecil dari N.

81 6 Gerakan Mata Piring Bentuk Rata (Bajak Piring) Persamaan (15), (16), dan (17) merupakan persamaan gerakan dari sebuah titik pada mata bajak piring yang diputar dengan melibatkan parameter kecepatan putar sudut (ω ), radius bajak piring (R), disk angle (D A ), dan tilt angle (T A ) pada bidang tiga dimensi (XYZ). Persamaan tersebut ditulis kembali secara berurutan sebagai berikut: X = R sinα sinθ cosφ + R cosθ sinφ Y = R cosθ cosφ R sinα sinθ sinφ Z = R cosα sinθ Hasil simulasi dari persamaan tersebut apabila digambarkan dalam bidang dua dimensi yakni XY (dilihat dari atas), bidang XZ (pandangan depan), dan bidang YZ (dilihat dari samping) merupakan sebuah garis mata bajak piring yang berbentuk lingkaran atau elips. Garis mata bajak piring memiliki bentuk lingkaran apabila bajak piring tersebut dilihat dari depan (bidang XZ) dengan posisi T A = 0 o dan D A = 0 o (Gambar 49a). Di samping itu, garis mata bajak piring juga memiliki bentuk lingkaran jika dilihat dari samping (bidang YZ) dengan posisi T A = 0 o dan D A = 90 o, sedangkan pada bidang XY dan XZ garis mata bajak piring digambarkan oleh satu garis lurus (Gambar 49b). (a) 0.3 (b) Bidang XY Bidang YZ Bidang XZ -0.3 Bidang XY Bidang YZ Bidang XZ Gambar 49 Garis mata bajak piring berbentuk lingkaran untuk bidang XZ pada T A = 0 o dan D A =0 o (a) serta untuk bidang YZ pada T A =0 o dan D A =90 o (b). Garis mata bajak piring memiliki bentuk elips apabila bajak piring tersebut diposisikan pada T A dan D A lebih besar dari 0 o namun kurang dari 90 o (90>T A >0 dan 90>D A >0). Gambar 50 memperlihatkan contoh hasil simulasi bentuk garis

82 63 mata bajak piring pada posisi (90>T A >0 dan 90>D A >0). Pada posisi T A = 15 o dan D A = 35 o garis mata bajak piring untuk ketiga bidang yakni XZ, YZ, dan XY menghasilkan bentuk elips (Gambar 50a). Garis mata bajak piring pada bidang XY untuk T A = 5 o dan D A = 35 o (Gambar 50b) memiliki bentuk elips dengan ukuran yang lebih lebar dibandingkan dengan elips mata bajak pada posisi T A = 15 o dan D A = 35 o. Hal tersebut disebabkan pada T A yang lebih tinggi menghasilkan sumbu minor elips yang lebih besar. Sumbu minor elips pada T A = 15 o adalah m, sedangkan pada T A = 5 o sebesar 0.19 m. Penyajian gambar pandangan dari bentuk kurva mata bajak piring tersebut ditunjukkan pada Lampiran 8. (a) 0.3 (b) Bidang XY Bidang YZ Bidang XZ -0.3 Bidang XY Bidang YZ Bidang XZ Gambar 50 Bentuk elips pada bidang XY, YZ, dan XZ untuk T A = 15 o dan D A = 35 o (a) serta T A = 5 o dan D A = 35 o (b). Gerakan bajak piring yang diputar dan digerakkan maju dengan sudut kemiringan disk angle (D A ) dan tilt angle (T A ) tertentu memiliki kurva gerakan berbentuk spiral atau helicoid. Persamaan yang digunakan untuk mensimulasikan bentuk gerakan sebuah titik pada mata bajak piring tersebut dalam bidang XY pada prinsipnya hampir sama dengan persamaan (15) dan (16), namun karena adanya faktor kecepatan maju (V) maka persamaan tersebut dimodifikasi menjadi sebagai berikut: X = [ R sin α sin( ωt) cos φ + R cos( ωt) sin φ ]+ Vt (31) Y = R cos( ωt ) cos φ R sin α sin( ωt) sin φ (3) Simulasi dari persamaan (31) dan (3) apabila digabungkan dengan hasil simulasi persamaan (15), (16), dan (17) menghasilkan garis mata bajak piring berbentuk elips dan kurva gerakan yang memiliki bentuk spiral. Gambar 51

83 64 menunjukkan salah satu contoh hasil simulasi bentuk gerakan sebuah titik pada mata bajak piring yang digambarkan dalam bidang XY untuk jenis bajak piring bentuk rata, T A = 15 o, D A = 35 o, N = 60 rpm, dan V = 0.15 m s -1. Kombinasi parameter tersebut menunjukkan bahwa dalam waktu satu detik, bajak piring berputar satu kali dengan feed (f) sebesar 0.15 m per putaran. Feed merupakan jarak linier yang ditempuh oleh mata bajak piring dalam satu putaran P. Atas Mata Bajak (XY) P. Depan M ata Bajak (XZ) P S.Kanan M ata Bajak (YZ) Locus Mata Bajak (XY) Gambar 51 Bentuk kurva dari gerakan sebuah titik pada mata bajak piring (piring bentuk rata) dalam bidang XY dengan T A = 15 o, D A = 35 o, N = 60 rpm, dan V = 0.15 m s -1. Feed dalam pemotongan dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni: kecepatan maju pemotongan (V), jumlah putaran bajak piring (N), dan jumlah mata bajak piring (k). Secara matematis feed (f) dapat dituliskan dengan persamaan (33), sedangkan hasil perhitungan untuk beberapa kombinasi antara V dan N untuk sebuah titik pada mata bajak piring bentuk rata disajikan dalam Tabel 5. 60V f = (m per putaran) (33) kn Tabel 5 menunjukkan bahwa pada kecepatan maju yang lebih tinggi (0.3 m s -1 ) dan jumlah putaran pisau (N) yang rendah (500 rpm) menghasilkan f pemotongan yang lebih besar yakni Sebaliknya pada kecepatan maju yang

84 65 lebih rendah (0.15 m s -1 ) dan jumlah putaran pisau (N) yang tinggi (1000 rpm) menghasilkan f pemotongan yang lebih kecil (0.009). Di samping itu, pada dua atau beberapa kombinasi V dan N yang memiliki nilai perbandingan antara V 1 dan V yang sama dengan nilai perbandingan antara N 1 dan N maka menghasilkan f pemotongan yang sama. Perbandingan antara V 1 dan V (0.15 dan 0.30 m s -1 ) dengan N 1 dan N (500 dan 1000 rpm) sama yakni 0.5 sehingga kedua kombinasi tersebut memiliki besar f yang sama yakni m per putaran. Tabel 5 Nilai feed (f) pemotongan dari sebuah titik pada mata bajak piring (piring bentuk rata) untuk dua tingkat peubah kecepatan maju (V) dan jumlah putaran (N) Kecepatan maju alat (V) (m s -1 ) Jumlah putaran piring (N) (rpm) Feed (f) (m per putaran) Besarnya nilai f tersebut juga dapat ditentukan menggunakan gambar hasil simulasi model matematika kurva gerakan pisau (Gambar 5) f = P. Atas Mata Bajak (XY) P. Depan M ata Bajak (XZ) P S.Kanan M ata Bajak (YZ) Locus Mata Bajak (XY) Gambar 5 Feed pemotongan dari sebuah titik pada mata bajak piring sebesar m per putaran untuk T A = 15 o, D A = 35 o, N = 500 rpm, dan V = 0.15 m s -1.

85 66 Gambar 5 menunjukkan bahwa pada T A = 15 o, D A = 35 o, N = 500 rpm, dan V = 0.15 m s -1 bajak piring berputar sebanyak 8.3 kali per detik dengan kecepatan sudut (ω ) = 5.36 rad s -1 dan feed (f) sebesar m per putaran. Selanjutnya pada T A =5 o, D A = 45 o, N = 1000 rpm, dan V = 0.15 m s -1 memperlihatkan bahwa bajak piring tersebut berputar sebanyak 16.7 kali per detik atau dua kali lebih besar dari sebelumnya, sedangkan untuk feed (f) memiliki nilai dua kali lebih kecil dari sebelumnya yakni m per putaran (Gambar 53). Hal tersebut terjadi karena pada kecepatan maju (V) yang sama namun N lebih besar maka feed (f) lebih kecil sebagaimana diekspresikan oleh hubungan antara V dan N pada persamaan (33). Di samping itu, besar kecilnya disk angle (D A ) dan tilt angle (T A ) tidak berpengaruh terhadap feed namun memiliki efek terhadap dimensi elips dari mata bajak piring dalam pemotongan. Penyajian gambar pandangan dari bentuk kurva mata bajak piring tersebut (Gambar 53) ditunjukkan pada Lampiran f = P. Atas Mata Bajak (XY) P. Depan M ata Bajak (XZ) P S.Kanan M ata Bajak (YZ) Locus Mata Bajak (XY) Gambar 53 Feed pemotongan dari sebuah titik pada mata bajak piring sebesar m per putaran untuk T A = 5 o, D A = 45 o, N = 1000 rpm, dan V = 0.15 m s -1. Terdapat beberapa pertimbangan mengapa simulasi kurva gerakan mata bajak piring hanya dilakukan untuk bidang XY (tampak atas). Pertama, pada bidang XY tersebut kurva penampang tunggul tebu yang diasumsikan berbentuk

86 67 lingkaran dan penampang garis mata bajak piring yang berbentuk elips tersebut dapat terlihat dengan jelas. Kedua, penentuan titik potong antara kedua kurva pada bidang XY tersebut dapat dilakukan secara mudah. Ketiga, dengan diketahuinya titik potong antara dua kurva maka luas pemotongan setiap saat dapat ditentukan, sehingga model matematika untuk gaya atau torsi pemotongan dapat diselesaikan. Gerakan Mata Piring Bentuk Coak (Garu Piring) Piring bentuk coak atau garu piring yang digunakan memiliki 1 coakan. Persamaan gerakan sebuah titik pada mata garu piring tersebut pada prinsipnya sama dengan persamaan gerakan untuk mata bajak piring (piring bentuk rata) yakni persamaan (15), (16), dan (17). Feed (f) pemotongan untuk tiap mata garu juga ditentukan menggunakan persamaan (33) namun pada kecepatan maju (V) dan jumlah putaran (N) yang sama, kedua jenis piring pengolah tanah tersebut menghasilkan feed (f) yang berbeda. Bajak piring yang melakukan pemotongan secara kontinyu menghasilkan feed yang lebih kecil (mendekati nol) jika dibandingkan dengan garu piring (piring bentuk coak) yang melakukan pemotongan secara bertahap (Tabel 6). Hal tersebut disebabkan pada mata bajak piring memiliki jumlah titik potong yang tak terhingga, sedangkan untuk garu piring atau piring bentuk coak, pemotongan hanya dilakukan oleh 1 coakan yang terdapat pada mata garu piring tersebut. Tabel 6 Nilai feed (f) dari tiap mata garu piring atau piring bentuk coak (k =1) pada dua tingkat peubah kecepatan maju (V) dan jumlah putaran (N) Kecepatan maju (V) dalam m s -1 Jumlah putaran (N) dalam rpm Feed (f) tiap mata garu (m/put) x x x x 10-3 Persamaan yang digunakan untuk mensimulasikan gerakan sebuah titik pada mata garu piring yang berjumlah 1 (k =1) dalam bidang XY pada prinsipnya hampir sama dengan persamaan (31) dan (3). Penentuan urutan mata garu ke-i dengan i = 1 sampai k merupakan langkah penting untuk simulasi kurva gerakan dari setiap mata garu tersebut. Mata garu ke-1 ditentukan dari posisi awal X=0, Y=R, dan Z = 0, sehingga pada kondisi tersebut garu piring memiliki kemiringan T A 0 o dan D A = 90 o. Mata garu yang ke-, ke-3, dan seterusnya ditentukan

87 68 setelah mata garu ke-1 dengan cara menghitung ke arah berlawanan jarum jam. Jadi persamaan untuk simulasi kurva gerakan sebuah titik pada mata garu piring ke-i sampai ke-k untuk bidang XY secara umum dapat dituliskan sebagai berikut: ( i 1) ( i 1) π π X = R sin α sin [ ωt] + R [ t] + Vt k cos φ cos ω k sin φ (34) ( i 1) ( i 1) π π Y = R cos [ ω t] cos φ R sin α sin [ ω t] sin φ (35) k k Gambar 54 menunjukkan contoh hasil simulasi persamaan (34) dan (35) yang digabungkan dengan hasil simulasi persamaan (15), (16), dan (17). Simulasi tersebut dilakukan dengan peubah masukan T A =15 o, D A =45 o, N= 60 rpm, V = 0.15 m s -1, dan jumlah coakan (k) sebesar 1 buah (Lampiran 10). Feed (f) hasil simulasi yang digambarkan dengan jarak antara kurva gerakan mata garu yang satu dengan yang lainnya sangat kecil yakni sebesar m per mata garu piring P.Atas M ata Garu (XY) P.Depan M ata Garu (XZ) PS.Kanan M ata Garu (YZ) M ata Garu ke-1 M ata Garu ke- M ata Garu ke-3 M ata Garu ke-4 M ata Garu ke-5 M ata Garu ke-6 M ata Garu ke-7 M ata Garu ke-8 M ata Garu ke-9 M ata Garu ke-10 M ata Garu ke-11 M ata Garu ke-1 Gambar 54 Feed pemotongan sebesar m per putaran dari garu piring atau piring bentuk coak, T A = 15 o, D A = 45 o, N = 60 rpm, V = 0.15 m s -1, dan jumlah coakan pada mata garu piring (k) = 1. Hasil simulasi lainnya dengan N yang lebih besar yakni: T A = 15 o, D A = 45 o, N = 500 rpm, V = 0.15 m s -1, dan jumlah coakan pada mata garu piring (k) sebesar 1 menghasilkan f yang lebih kecil yakni m per mata garu (Gambar 55).

88 P.A tas M ata Garu (XY) P.Depan M ata Garu (XZ) P S.Kanan M ata Garu (YZ) M ata Garu ke-1 M ata Garu ke- M ata Garu ke-3 M ata Garu ke-4 M ata Garu ke-5 M ata Garu ke-6 M ata Garu ke-7 M ata Garu ke-8 M ata Garu ke-9 M ata Garu ke-10 M ata Garu ke-11 M ata Garu ke-1 Gambar 55 Feed pemotongan sebesar m per putaran dari garu piring atau piring bentuk coak, T A = 15 o, D A = 45 o, N = 500 rpm, V = 0.15 m s -1, dan jumlah coakan pada mata garu piring (k) =1. Gaya Pemotongan Spesifik Tunggul Tebu Nilai gaya pemotongan spesifik tunggul tebu (σ) sangat bergantung pada kondisi tunggul tebu terutama kadar air, ketajaman dari mata bajak piring atau garu piring, dan kinematika pemotongan. Pendugaan σ dilakukan berdasarkan hubungan antara luas (A T ) atau panjang pemotongan (L T ) dan gaya hasil pengukuran pada pemotongan satu tunggul tebu (F UT ). Luas pemotongan (A T ) dihitung berdasarkan titik potong antara kurva mata bajak piring dan garu piring yang berbentuk elips (R P ) dan kurva tunggul tebu berbentuk lingkaran yang digeser (R T ). Persamaan parametrik untuk mendeskripsikan kurva mata bajak piring dan garu piring yang memiliki bentuk elips dapat diuraikan sebagai berikut: x a + b y = 1 (36) Dalam hal ini x = cosθ dan y = sinθ, sehingga substitusi x dan y ke R P R P persamaan (36) dapat diuraikan sebagai berikut:

89 70 ( R b b P ( R cos θ ) a P cosθ ) ( R + a P + a b sin θ ) b ( R P = 1 sinθ ) = 1 ( RP cosθ ) + a ( RP sinθ ) = a b ( b cos θ + a sin θ ) a b R P = a b R P = ( b cos θ + a sin θ ) 1 a b R P = (37) ( b cos θ + a sin θ ) Persamaan (37) tersebut baru mendeskripsikan kurva elips dengan sumbu mayor berada pada posisi horisontal tanpa disk angle (D A = 0 o dan φ = 90 o ). D A diperoleh dengan cara memutar sumbu Z atau bidang XY dari kurva mata bajak dan garu piring tersebut. Referensi pemutaran kurva elips yang digunakan adalah φ = 90 o - D A, sehingga pada saat D A = 90 o maka φ = 0 o dan pada saat D A = 0 o maka φ = 90 o. Persamaan kurva elips yang diputar menggunakan sistem koordinat polar ditentukan dengan cara mengganti parameterθ pada persamaan (37) dengan parameter λ ( λ D θ ) yang dinyatakan sebagai bertikut: = A 1 a b R P = (38) ( b cos λ + a sin λ a b R P = (39) ( b cos ( DA θ ) + a sin ( DA θ ) Persamaan untuk mendeskripsikan posisi penampang satu tunggul tebu ditentukan berdasarkan persamaan lingkaran yang digeser. Gambar 56 mengilustrasikan referensi posisi penampang satu tunggul tebu sebelum digeser dan setelah digeser beserta beberapa parameter yang relevan. Persamaan untuk lingkaran sebelum digeser (a) yang berpusat di O dan berjari-jari r dinyatakan dengan di C dinyatakan dengan: x + y = r 1, sedangkan untuk lingkaran setelah digeser (b) yang berpusat

90 71 + Y r (40) X = X = x h Y = k ( y) atau Y = y k, sehingga persamaan (40) dapat dituliskan sebagai berikut: X + Y = r ( x h) + ( y k) = r (41) Y (a) O r x P (x,y) y (b) C r P (x,y) Y y k X h x Gambar 56 Referensi posisi penampang satu batang tunggul tebu sebelum digeser (a) dan setelah digeser (b) serta beberapa parameter yang relevan. Dalam penentuan luas pemotongan satu tunggul tebu (Gambar 37), parameter yang terlibat dalam penyusunan persamaan radius lingkaran tunggul tebu dengan sistem polar tersebut diantaranya adalah (1) jarak antara titik referensi (O) dan pusat lingkaran tebu pada sumbu X yang dinotasikan dengan h, () jarak antara titik referensi (O) dan pusat lingkaran tebu pada sumbu Y dinotasikan dengan k, (3) radius batang tunggul tebu (r), (4) sudut antara X dan radius maksimum (β), dan sudut putaran jari-jari (θ ) dengan posisi 0 o dimulai dari sumbu X positif. Ditambahkan bahwa,θ bernilai positif apabila pergeseran dari posisi 0 o memiliki arah berlawanan dengan jarum jam, sebaliknyaθ bernilai negatif jika pergeserannya searah dengan jarum jam. Persamaan radius kurva tunggul tebu menggunakan pendekatan lingkaran yang digeser dengan sistem koordinat polar tersebut secara rinci diuraikan pada Lampiran 11, sedangkan hasilnya adalah sebagai berikut: X R T R T ( h cosθ + k sin θ ) + ( h + k r ) = 0 (4)

91 7 R T 1, = ( h cosθ + k sinθ ) ± ( h cosθ + k sinθ ) 4( h + k r ) R T 1, = ( h cosθ + k sinθ ) ± ( h cosθ + k sinθ ) ( h + k r ) R T = ( h cosθ + k sinθ ) ± ( h cosθ + k sinθ ) ( h + k r 1, ) + R T R T = ( h cosθ + k sin θ ) + ( h cosθ + k sin θ ) ( h + k r ) (43) = ( h cosθ + k sin θ ) ( h cosθ + k sin θ ) ( h + k r ) (44) Gambar 57 memperlihatkan contoh gabungan hasil simulasi persamaan (39) yang mendeskripsikan kurva elips untuk mata bajak piring atau garu piring dan persamaan (43) dan (44) yang menghasilkan kurva lingkaran untuk penampang tunggul tebu. Parameter masukan dalam simulasi tersebut adalah D A =45 o, T A =15 o, R= m, r = m, h = 0.04 m, dan k = m (Lampiran 1). 0.3 Kurva mata piring (elips) Kurva tunggul tebu (lingkaran) -0.3 Gambar 57 Contoh hasil simulasi persamaan kurva bentuk elips untuk mata bajak piring atau garu piring dan kurva lingkaran tunggul tebu menggunakan sistem koordinat polar. berikut: Nilai parameter keluaran dari simulasi tersebut dapat diuraikan sebagai

92 73 k tan β = = = ; β = tan 1 ( 1.875) = h 0.04 sinα = r /[ h + k = [ / 1 ] = 1/ α sin 1 1 = (0.1765) = ( 0.075) θ 1 = β + α1 = = θ = β α = = 7.09 ] θ 1 dan θ merupakan batas sudut maksimum dan minimum posisi tunggul tebu dalam sistem koordinat polar. Hal tersebut dapat digunakan sebagai acuan bahwa titik potong antara kurva mata bajak atau garu piring dan kurva tunggul tebu terletak dalam kisaran sudut tersebut. Kurva mata piring yang berbentuk elips tersebut kemudian hanya digambarkan dengan garis kurva yang berpotongan dengan kurva tunggul tebu (Gambar 58). Titik potong antara kedua kurva tersebut ditentukan dengan cara membandingkan besarnya nilai radius kurva mata piring (R P ) dan kurva tunggul tebu (R T ). Titik potong antara dua kurva dalam sistem koordinat polar terjadi apabila R P dan R T tersebut memiliki nilai yang mendekati atau sama. Titik potong yang dihasilkan dari contoh simulasi tersebut terletak pada sudut o yang digunakan sebagai batas atas (θ a ), dan o yang digunakan sebagai batas bawah (θ b) dalam proses integrasi (Lampiran 13) Titik potong kedua kurva 0.1 Kurva tunggul tebu (-) Garis kurva mata piring Luas potong setiap saat Kurva tunggul tebu (+) Kurva mata piring Garis kurva tunggul tebu Gambar 58 Garis kurva mata piring yang memotong kurva tunggul tebu setiap saat untuk menentukan posisi titik potong kedua kurva.

93 74 Luas pemotongan (A T ) yang dibatasi oleh kurva mata piring yang berbentuk elips (R P ) dan kurva tunggul tebu berbentuk lingkaran (R T ) dapat dihitung melalui pendekatan integrasi sebagai berikut: θ 1 AT = P θ 1 ( R R ) dθ T (45) R P = b cos ( D A a b θ ) + a sin ( D A θ ) 1 = θ θ θ θ 1/ R T ( 1,) ( h cos + k sin ) ± [( h cos + k sin ) ( h + k r )] A T 1 a b θ b DA θ a DA θ 1 cos ( ) + sin ( ) = θ 1 1 ( hcosθ + ksinθ ) ± ( hcosθ + ksinθ ) ( h + k r )) dθ (46) Hasil pendugaan menggunakan persamaan (19) menunjukkan bahwa pada pemotongan satu tunggul tebu varietas PA 198 berdiameter 3.0 cm menggunakan mata bajak piring, T A = 15 o, D A = 45 o, N = 1000 rpm, V = 15 cm s -1, dan kadar air 0.8% membutuhkan gaya pemotongan spesifik per luas lintasan pemotongan (σ A ) sebesar 1.15 N mm -, C = 0.99 N, dan koefisien determinasi (R ) sebesar Dengan metode pemotongan yang sama seperti pada varietas PA 198, nilai σ A, C, dan R untuk varietas yang diuji ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Nilai gaya pemotongan spesifik tunggul tebu (σ A ), konstanta (C), dan koefisien determinasi (R ) untuk PA 198, PA 183, Triton, dan PA 0 Varietas tebu Diameter tunggul (cm) σ A dalam (N mm - ) C dalam (N) R PA PA Triton PA Pendugaan terhadap gaya pemotongan spesifik per panjang mata bajak piring yang memotong satu tunggul tebu (σ L ) menggunakan persamaan (0) menunjukkan bahwa pada pemotongan satu tunggul tebu varietas PA 198 berdiameter 3.0 cm menggunakan mata piring bentuk rata, T A = 15 o, D A = 45 o, N =

94 rpm, V = 15 cm s -1, dan kadar air 0.8% membutuhkan σ L sebesar.94 N mm -1, C=1.07 N, dan koefisien determinasi (R ) sebesar Dengan metode pemotongan yang sama seperti pada varietas PA 198, nilai (σ L ), C, dan R untuk varietas yang diuji ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8 Nilai gaya pemotongan spesifik tunggul tebu (σ L ), konstanta (C), dan koefisien determinasi (R ) untuk PA 198, PA 183, Triton, dan PA 0 Varietas tebu Diameter tunggul (cm) (σ L ) dalam (N mm -1 ) C dalam (N) R PA PA Triton PA Hasil peneltian tersebut memperlihatkan bahwa gaya pemotongan spesifik tunggul tebu per satuan luas (σ A ) dan per satuan panjang (σ L ) memiliki nilai yang berbeda berdasarkan jenis varietas tebu. Varietas PA 198 memiliki nilai σ A dan σ L yang lebih tinggi dibandingkan dengan tiga varietas uji lainnya. Perbedaan tersebut diduga disebabkan oleh kondisi struktur mikro pada tunggul tebu tersebut, terutama yang berkaitan dengan banyaknya ikatan pembuluh kayu yang terdapat pada tunggul tebu serta banyaknya sklerenkim yang mengelilingi pembuluh pengangkutan tersebut. Gaya pemotongan spesifik per satuan luas (σ A ) yang dihasilkan dari penelitian tersebut memiliki nilai yang berbeda jika dibandingkan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hutasoit (1978). Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yakni (1) pada penelitian sebelumnya, bagian yang digunakan untuk percobaan adalah ruas ke empat batang tebu dari permukaan tanah, () varietas tebu yang digunakan juga bebeda, dan (3) alat potong yang digunakan pada uji kekerasan tersebut adalah jarum mesin jahit berdiameter 0.9 mm. Hasil pendugaan gaya pemotongan spesifik pada pemotongan satu tunggul tebu varietas PA 198 berdiameter 3.0 cm menggunakan mata garu piring (piring bentuk coak), T A = 5 o, D A = 40 o, N = 1000 rpm, V = 15 cm s -1, dan kadar air 0.8% membutuhkan gaya pemotongan spesifik per luas lintasan pemotongan (σ A ) sebesar 0.8 N mm -, C= 0.0 N, dan koefisien determinasi (R ) sebesar Gaya pemotongan spesifik per panjang mata garu piring yang memotong satu tunggul tebu (σ L ) untuk piring bentuk coak tersebut adalah 0.73 N mm -1, C= 0.95

95 76 N, dan koefisien determinasi (R ) sebesar Nilai gaya pemotongan spesifik tersebut diperoleh dengan menggunakan selang waktu pergeseran atau pergerakan mata bajak piring dan garu piring pada setiap 0.04 detik. Dari hasil pendugaan tersebut terbukti bahwa tahanan potong spesifik tunggul tebu (σ) pada pemotongan yang menggunakan garu piring atau piring bentuk coak memiliki nilai yang lebih rendah (0.8 N mm - atau 0.73 N mm -1 ) dibandingkan dengan pemotongan yang menggunakan bajak piring atau piring bentuk rata (1.15 N mm - atau.94 N mm -1 ). Perbedaan nilai tahanan potong spesifik tersebut disebabkan pada pemotongan menggunakan bajak piring, mata bajak tersebut memotong secara kontinyu sehingga menghasilkan gesekan yang lebih besar dibandingkan dengan pemotongan menggunakan garu piring yang melakukan pemotongan secara bertahap atau bergantian sesuai dengan posisi urutan mata garu piring tersebut. Torsi dan Gaya Pemotongan Satu Tunggul Tebu Pola torsi hasil pengukuran dalam pemotongan satu tunggul tebu varietas PA 198 dapat diuraikan menjadi beberapa bagian dalam proses percobaan (Gambar 59a), sedangkan pola gaya pemotongan hasil pengukuran dan hasil pendugaan ditunjukkan pada Gambar 59b. Pada selang waktu percobaan dari 0 sampai 0.68 detik komputer mulai merekam data, namun motor listrik sebagai sumber gerakan putar belum dihidupkan sehingga torsi masih mendekati nol (a). Pada saat motor listrik dihidupkan dan piring mulai berputar, torsi meningkat secara tajam (81.98 N m) yang kemudian menurun dengan cepat (b). Hal tersebut terjadi akibat dari beban kejut pemutaran piring. Piring yang berputar tersebut kemudian digerakkan maju melalui kereta pembawa yang ditarik oleh traktor. Gerakan luncur yang kurang stabil dari kereta pembawa mengakibatkan torsi sebelum pemotongan berfluktuasi meskipun relatif kecil (c). Fluktuasi tersebut disebabkan oleh kurang presisinya pemasangan rel dan roda kereta pembawa. Pemotongan satu tunggul tebu terjadi ketika mata bajak piring atau garu piring mulai menyentuh tunggul tebu, sehingga torsi kembali meningkat dengan tajam (d). Torsi pemotongan tersebut membentuk kurva normal (setangkup) karena tunggul tebu yang dipotong memiliki penampang mendekati lingkaran, sehingga pada saat mata piring mencapai sekitar garis tengah lingkaran, torsi pemotongan berada pada posisi maksimum. Kereta pembawa masih terus ditarik maju meski-

96 77 pun tunggul tebu tersebut sudah terpotong sehingga torsi pengukuran berfluktuasi kembali (e). Setelah kereta pembawa tersebut berhenti motor listrik baru dimatikan, namun piringan masih memiliki putaran sisa sehingga komputer masih merekam torsi meskipun sangat kecil (f). Gaya pemotongan maksimum hasil pengukuran pada pemotongan satu tunggul tebu varietas PA 198 berdiameter 3.0 cm menggunakan piring bentuk rata (bajak piring), T A = 15 o, D A = 45 o, N= 1000 rpm, dan V = 15 cm s -1 adalah N (Gambar 59b). Torsi (N m) a d b c e f Waktu (detik) (a) Gaya Pemotongan (N) 10 (b) Waktu Tempuh (detik) Gambar 59 Pola torsi pengukuran (a) dan gaya pemotongan (b) satu tunggul tebu varietas PA 198 berdiameter 3.0 cm menggunakan bajak piring, T A = 15 o, D A = 45 o, N= 1000 rpm, dan V = 15 cm s -1. Gaya pemotongan satu tunggul tebu untuk varietas yang lain yakni PA 183, Triton, dan PA 0, ditentukan menggunakan cara yang sama dengan varietas PA 198. Gaya pemotongan maksimum hasil pengukuran untuk varietas PA 183 adalah N (Gambar 60a), sedangkan untuk varietas Triton adalah sebesar N (Gambar 60b). Gaya Pemotongan (N) (a) Waktu Tempuh (detik) Gaya Pemotongan (N) Waktu Tempuh (detik) (b) Gambar 60 Pola gaya pemotongan satu tunggul tebu untuk varietas PA 183 (a) dan Triton (b) menggunakan bajak piring, T A = 15 o, D A = 45 o, N = 1000 rpm, V = 0.15 m s -1, dan kadar air 0.8%.

97 78 Gambar 61 menunjukkan pola gaya pemotongan hasil pengukuran untuk satu tunggul tebu varietas PA 0. Gaya pemotongan maksimum hasil pengukuran untuk varietas PA 0 tersebut adalah N. 70 Gaya Pemotongan (N) Waktu Tempuh (detik) Gambar 61 Pola gaya pemotongan satu tunggul tebu untuk varietas PA 0 menggunakan bajak piring, T A = 15 o, D A = 45 o, N = 1000 rpm, V = 0.15 m s -1, dan kadar air 0.8%. Torsi Pengeprasan Rumpun Tunggul Tebu Pengukuran torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu dilakukan berdasarkan susunan kombinasi peubah percobaan (Lampiran 14). Varietas tebu yang digunakan dalam percobaan pengeprasan tersebut adalah PA 198 yang memiliki diameter antara dan 4 cm. Torsi pengeprasan rumpun tebu memiliki pola yang mirip dengan torsi pemotongan pada satu tunggul tebu, namun torsi pengeprasan rumpun tebu tersebut merupakan gabungan dari torsi pemotongan beberapa tunggul tebu yang terdapat pada rumpun tersebut sesuai dengan posisi tunggul tebu. Gambar 6 menunjukkan contoh pola torsi hasil pengukuran pada percobaan pengeprasan empat rumpun tebu dengan masing-masing rumpun terdiri atas tiga tunggul tebu. Tunggul tebu dalam rumpun tersebut diasumsikan dalam posisi tegak, sehingga apabila dilihat dari atas memiliki penampang potong berbentuk lingkaran. Kombinasi perlakuan untuk percobaan tersebut adalah J P1 V N 1 D A3 T A1. Susunan tersebut mengandung pengertian bahwa piring yang digunakan untuk pemotongan tersebut adalah piring pengolah tanah bentuk rata atau bajak piring (J P1 ), kecepatan maju pemotongan 0.30 m s -1 (V ), putaran bajak piring 500 rpm (N 1 ), disk angle 45 o (D A3 ), dan tilt angle 15 o (T A1 ). Pada saat motor listrik mulai

98 79 berputar torsi awal melonjak hingga mencapai N m yang disebabkan oleh kecepatan putar yang digunakan dalam percobaan relatif rendah yakni N 1 = 500 rpm. Diameter, posisi, dan jumlah tunggul tebu dalam setiap rumpun memiliki efek yang signifikan terhadap besarnya torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu. Torsi Pengeprasan (N m) Rumpun ke-1 Rumpun ke- Rumpun ke-3 Rumpun ke Waktu (detik) Gambar 6 Pola torsi pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 menggunakan bajak piring, T A = 15 o, D A = 45 o, N = 500 rpm, dan V = 0.30 m s -1. Gambar 63 memperlihatkan contoh pola torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan piring pengolah tanah bentuk coak (garu piring) pada kecepatan maju alat 0.15 m s -1 (V 1 ), putaran garu piring 1000 rpm (N ), disk angle 40 o (D A ), dan tilt angle 5 o (T A3 ). Rumpun tunggul tebu yang digunakan dalam percobaan tersebut terdiri atas empat rumpun. Jumlah tunggul tebu pada rumpun pertama adalah 4 tunggul, rumpun kedua 3 tunggul, rumpun ketiga hanya satu tunggul, dan rumpun keempat berjumlah 6 tunggul. Torsi Pengeprasan (N m) 80 Rumpun Rumpun 70 ke-1 ke Rumpun Rumpun ke- ke Waktu (detik) Gambar 63 Pola torsi pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 menggunakan garu piring (k =1), T A =5 o, D A =40 o, N=1000 rpm, dan V= 0.15 m s -1.

99 80 Pada kecepatan putar piring 1000 rpm, torsi awal untuk percobaan tersebut jauh lebih kecil (75.83 N m) dibandingkan dengan torsi awal untuk kecepatan putar piring 500 rpm (133.7 N m). Hasil percobaan tersebut juga menunjukkan bahwa setiap rumpun tunggul tebu memiliki satu atau lebih puncak torsi yang selanjutnya disebut dengan torsi maksimum. Rataan dari sejumlah torsi maksimum dalam setiap percobaan tersebut kemudian digunakan sebagai data torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu. Rataan torsi pengeprasan pada percobaan yang memiliki kombinasi perlakuan J P V 1 N D A T A3 tersebut adalah sebesar 9.84 N m, sedangkan untuk percobaan dengan kombinasi perlakuan J P1 V N 1 D A3 T A1 (Gambar 6) adalah N m. Beberapa contoh pola torsi untuk percobaan pengeprasan rumpun tunggul tebu secara lengkap ditunjukkan pada Lampiran 15. Efek Parameter Pemotongan terhadap Torsi Pengeprasan Tebu Beberapa parameter pemotongan yang digunakan dalam percobaan pengukuran torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu terdiri atas (1) jenis mata piring, () kecepatan maju pemotongan, (3) kecepatan putar piring, dan (4) sudut kemiringan piring yang terdiri atas disk angle dan tilt angle. Efek Jenis Mata Piring Pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan piring pengolah tanah dengan mata piring bentuk coak atau garu piring menghasilkan torsi yang lebih rendah dibandingkan dengan pengeprasan menggunakan piring pengolah tanah dengan mata piring bentuk rata atau bajak piring (Gambar 64). Torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan garu piring memiliki nilai hampir 3 kali lebih kecil dibandingkan dengan torsi pengeprasan menggunakan bajak piring. Rendahnya torsi pengeprasan tunggul tebu yang dihasilkan oleh garu piring tersebut disebabkan oleh pola pemotongan secara bertahap yang dilakukan oleh mata garu piring yang memiliki bentuk coak. Pola pemotongan yang identik dengan menggergaji tersebut membutuhkan gaya tekan atau gaya penetrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan pemotongan secara kontinyu menggunakan bajak piring. Coakan pada mata garu piring tersebut juga mengakibatkan gesekan antara mata piring dan permukaan potong tunggul tebu pada saat pemotongan semakin kecil, sehingga torsi pemotongannya juga lebih rendah.

100 Mata Piring Bentuk Rata (Bajak Piring) Mata Piring Bentuk Coak (Garu Piring) Torsi Pengeprasan (N m) V1N1DA1TA1 V1N1DA1TA V1N1DA1TA3 V1N1DATA1 V1N1DATA V1N1DATA3 V1N1DA3TA1 V1N1DA3TA V1N1DA3TA3 V1NDA1TA1 V1NDA1TA V1NDA1TA3 V1NDATA1 V1NDATA V1NDATA3 V1NDA3TA1 V1NDA3TA V1NDA3TA3 VN1DA1TA1 VN1DA1TA VN1DA1TA3 VN1DATA1 VN1DATA VN1DATA3 VN1DA3TA1 VN1DA3TA VN1DA3TA3 VNDA1TA1 VNDA1TA VNDA1TA3 VNDATA1 VNDATA VNDATA3 VNDA3TA1 VNDA3TA VNDA3TA3 Keterangan: Komb. Perlakuan V1N1DA1TA1 V1N1DA1TA V1N1DA1TA3 V1N1DATA1 V1N1DATA V1N1DATA3 V1N1DA3TA1 V1N1DA3TA V1N1DA3TA3 Torsi bajak piring Torsi garu piring Komb. Perlakuan V1NDA1TA1 V1NDA1TA V1NDA1TA3 V1NDATA1 V1NDATA V1NDATA3 V1NDA3TA1 V1NDA3TA V1NDA3TA3 Torsi bajak piring Torsi garu piring Komb. Perlakuan VN1DA1TA1 VN1DA1TA VN1DA1TA3 VN1DATA1 VN1DATA VN1DATA3 VN1DA3TA1 VN1DA3TA VN1DA3TA3 Torsi bajak piring Torsi garu piring Komb. Perlakuan VNDA1TA1 VNDA1TA VNDA1TA3 VNDATA1 VNDATA VNDATA3 VNDA3TA1 VNDA3TA VNDA3TA3 Torsi bajak piring Torsi garu piring Gambar 64 Besarnya torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu yang dihasilkan oleh mata piring bentuk rata atau bajak piring ( ) dan mata piring bentuk coak atau garu piring ( ) pada sejumlah kombinasi perlakuan.

101 8 Efek Kecepatan Maju Kecepatan maju memiliki efek yang signifikan terhadap torsi pengeprasan rumpun tebu. Semakin tinggi kecepatan maju pemotongan maka torsi yang dihasilkan juga semakin besar. Gambar 65 menunjukkan bahwa pada kecepatan maju 0.30 m s -1, piring bentuk coak atau garu piring menghasilkan torsi pengeprasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan torsi pengeprasan pada kecepatan maju 0.15 m s -1. Hal tersebut disebabkan pada kecepatan maju yang lebih tinggi menghasilkan feed pemotongan yang lebih besar sehingga gaya dan torsi yang diperlukan untuk pengeprasan juga meningkat. Torsi Pengeprasan (N m) JPN1DA1TA1 JPN1DATA1 JPN1DA1TA JPN1DA1TA3 JPN1DATA JPN1DATA3 JPN1DA3TA3 JPN1DA3TA1 JPN1DA3TA JPNDA1TA1 JPNDATA1 JPNDA1TA JPNDA1TA3 V=0.15 m/det JPNDATA JPNDATA3 V=0.30 m/det JPNDA3TA3 JPNDA3TA1 JPNDA3TA Gambar 65 Besarnya torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan mata piring bentuk coak (garu piring) dengan kecepatan maju 0.15 m s -1 ( ) dan 0.30 m s -1 ( ) pada sejumlah kombinasi perlakuan. Pada piring bentuk rata, efek kecepatan maju pemotongan terhadap torsi pengeprasan memberikan hasil yang kurang konsisten (Gambar 66). Contoh hasil percobaan yang tidak konsisten tersebut diantaranya adalah percobaan dengan kombinasi perlakuan JP 1 V 1 N 1 D A1 T A1 yang menghasilkan torsi pengeprasan lebih tinggi (50.54 N m) dibandingkan dengan kombinasi perlakuan JP 1 V N 1 D A1 T A1 yang menghasilkan torsi pengeprasan sebesar (36.55 N m). Torsi pengeprasan untuk kombinasi perlakuan yang lain yakni JP 1 V 1 N D A3 T A3 adalah N m, sedangkan untuk JP 1 V N D A3 T A3 sebesar N m. Data tersebut menunjukkan bahwa pada kecepatan maju yang lebih rendah (V 1 = 0.15 m s -1 ) justru menghasilkan torsi pengeprasan yang lebih tinggi. Hal tersebut diduga akibat kurang konsistennya kecepatan maju traktor pada saat percobaan berlangsung dan kurang seragamnya ukuran dan posisi tunggul tebu yang terdapat pada setiap rumpun tebu

102 83 pada percobaan yang menggunakan bajak piring tersebut. Rendahnya tingkat keseragaman antar rumpun tunggul tebu tersebut diindikasikan oleh tingginya nilai simpangan baku (standard deviation) data torsi hasil percobaan. Simpangan baku rata-rata untuk data torsi pengeprasan menggunakan mata piring bentuk rata atau bajak piring adalah 5.50, sedangkan untuk mata piring bentuk coak atau garu piring adalah.09. Torsi Pengeprasan (N m) JP1N1DA1TA1 JP1N1DA1TA JP1N1DA1TA3 JP1N1DATA1 JP1N1DATA JP1N1DATA3 JP1N1DA3TA1 JP1N1DA3TA JP1N1DA3TA3 JP1NDA1TA1 V=0.15 m/det JP1NDA1TA JP1NDA1TA3 JP1NDATA1 JP1NDATA V=0.30 m/det JP1NDATA3 JP1NDA3TA1 JP1NDA3TA JP1NDA3TA3 Gambar 66 Besarnya torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan mata piring bentuk rata (bajak piring) dengan kecepatan maju 0.15 m s -1 ( ) dan 0.30 m s -1 ( ) pada sejumlah kombinasi perlakuan. Efek Kecepatan Putar Pisau Gambar 67 memperlihatkan bahwa pada kecepatan putar piring 1000 rpm (N ) menghasilkan torsi pengeprasan yang lebih rendah dibandingkan dengan torsi pengeprasan pada kecepatan putar piring 500 rpm (N 1 ). Torsi Pengeprasan (N m) JPV1DA1TA1 JPV1DA1TA JPV1DA1TA3 JPV1DATA1 JPV1DA3TA1 JPV1DATA JPV1DATA3 N1=500 rpm N=1000 rpm JPVDA1TA1 JPV1DA3TA JPV1DA3TA3 JPVDATA1 JPVDA1TA JPVDA1TA3 JPVDA3TA1 JPVDATA JPVDATA3 JPVDA3TA JPVDA3TA3 Gambar 67 Besarnya torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan piring bentuk coak (garu piring) dengan kecepatan putar piring 500 rpm ( ) dan 1000 rpm ( ) pada sejumlah kombinasi perlakuan.

103 84 Hasil penelitian tersebut memperkuat penelitian Suharyatun (00) dan Suastawa et al. (003) yang mengungkapkan bahwa pada kecepatan putar pisau yang yang lebih tinggi menghasilkan torsi pemotongan yang semakin rendah. Hal tersebut disebabkan pada kecepatan putar pisau yang lebih tinggi menghasilkan feed pemotongan yang semakin kecil sehingga torsi yang diperlukan untuk pengeprasan tunggul tebu juga semakin rendah. Efek Disk Angle Disk angle merupakan sudut kemiringan piring terhadap arah gerakan maju pemotongan (bidang XY). Gambar 68 menunjukkan efek disk angle terhadap rataan torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu pada beberapa kombinasi parameter kecepatan maju (V) dan kecepatan putar (N) untuk tiga level tilt angle (T A ) yakni 15 o, 0 o, dan 5 o. Data rataan torsi tersebut secara lengkap disajikan pada Lampiran 16. Pada ketiga tingkatan tilt angle tersebut torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya disk angle. Pada disk angle yang lebih tinggi menghasilkan lebar pemotongan yang lebih besar sehingga gaya dorong piring ke arah maju juga semakin besar. Hal tersebut mengakibatkan torsi dan gaya pemotongan juga meningkat. 18 Torsi Pengeprasan (N m) TA=15 TA=0 TA= Disk Angel (derajad) Gambar 68 Efek disk angle terhadap torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu pada tiga level tilt angle. Hasil tersebut memperkuat penelitian Persson (1987) yang mengungkapkan bahwa pada sudut kemiringan pisau (ANO) yang lebih besar mengakibatkan gaya pemotongan spesifik juga meningkat. ANO tersebut memiliki posisi sudut referensi yang sedikit berbeda dengan disk angle, meskipun kedua sudut

104 85 kemiringan tersebut (ANO dan disk angle) mengandung pengertian yang sama. Referensi ANO pada penelitian yang dilakukan Persson (1987) menempatkan sudut 0 o pada sumbu Y (vertikal), sedangkan untuk disk angle sudut 0 o dimulai dari sumbu X (horisontal). Efek Tilt Angle Tilt angle merupakan sudut kemiringan piring terhadap sumbu vertikal (bidang XZ). Gambar 69 menunjukkan efek tilt angle terhadap torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu pada beberapa kombinasi parameter kecepatan maju (V) dan kecepatan putar (N) untuk tiga level disk angle (D A ) yakni 35 o, 40 o, dan 45 o. Data rataan torsi tersebut secara lengkap disajikan pada Lampiran 17. Pada ketiga tingkatan disk angle tersebut torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya tilt angle. Pada tilt angle yang lebih tinggi menghasilkan permukaan kontak antara bagian belakang piring dan permukaan potong tunggul tebu yang semakin besar sehingga gaya untuk mengatasi gesekan juga meningkat. Hal tersebut mengakibatkan torsi dan gaya pemotongan juga semakin meningkat seiring dengan besarnya tilt angle. 18 Torsi Pengeprasan (N m) DA=35 DA=40 DA= Tilt Angel (derajad) Gambar 69 Efek tilt angle terhadap torsi pengeprasan rumpun tunggul tebu pada tiga level disk angle. Hasil tersebut memperkuat temuan Gordon (1941) diacu dalam Kepner et al. (197) yang mengungkapkan bahwa pada pemotongan tanah menggunakan bajak piring dengan disk angle 45 o draft mengalami peningkatan secara linier seiring dengan meningkatnya tilt angle dari 15 o sampai 5 o. Draft yang tinggi mengindikasikan bahwa reaksi tanah untuk melawan gerakan maju dari bajak

105 86 piring tersebut juga tinggi. Hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa apabila bajak piring tersebut diputar maka gaya putar yang diperlukan juga semakin meningkat sehingga torsi yang dibutuhkan juga semakin besar. Model Matematika Gaya Pemotongan Satu Tunggul Tebu Model matematika untuk menduga gaya pemotongan satu tunggul tebu (F MT ) varietas PA 198 menggunakan piring bentuk rata (bajak piring) yang diputar terdiri atas F MT berdasarkan luas lintasan pemotongan (A T ) dan panjang mata bajak piring yang memotong tunngul tebu (L T ). Persamaan untuk pendugaan gaya tersebut secara lengkap dinyatakan sebagai berikut: F MT 1 a b 1 cos ( ) sin ( ) θ 1.15 b DA θ + a DA θ = dθ θ1 1 ( cos sin ) ( cos sin ) ( )) h θ + k θ ± h θ + k θ h + k r (47) F = (48) MT L T Model matematika untuk pendugaan gaya pemotongan satu tunggul tebu varietas PA 198 yang dipotong menggunakan piring bentuk coak atau garu piring dapat dituliskan sebagai berikut: F MT 1 a b θ 1 cos ( ) sin ( ) 0.8 b DA θ + a DA θ = dθ θ1 1 ( cos sin ) (( cos sin ) ( )) h θ + k θ ± h θ + k θ h + k r (49) F = (50) MT L T Dalam persamaan tersebut a = sumbu mayor elips (mm), b = sumbu minor elips (mm), h = jarak pergeseran pusat penampang tunggul tebu sejajar sumbu X (mm), k = jarak pergeseran pusat penampang tunggul tebu sejajar sumbu Y (mm), dan r = radius penampang tunggul tebu (mm).

106 87 Perbedaan dari keempat model pendugaan gaya pemotongan tersebut terletak pada nilai tahanan potong spesifik tunggul tebu (σ) dan intersep (C). Pada model pendugaan gaya pemotongan berdasarkan luas pemotongan, piring bentuk rata atau bajak piring memiliki nilai σ = 1.15 N mm - dan C = 0.99 N, sedangkan yang menggunakan piring bentuk coak atau garu piring nilai σ = 0.8 N mm - dan C = 0.0 N. Model pendugaan gaya pemotongan berdasarkan panjang mata piring yang memotong tunggul tebu (L T ) untuk bajak piring memiliki nilai σ =.94 N mm -1 dan C = 1.07 N, sedangkan yang menggunakan garu piring memiliki nilai σ = 0.73 N mm -1 dan C = 0.95 N. Validasi Model Pendugaan Gaya Pemotongan Satu Tunggul Tebu Model matematika untuk menduga gaya pemotongan satu tunggul tebu berdasarkan luas pemotongan (persamaan 47 dan 49) dan panjang mata piring yang memotong tunggul tebu (persamaan 48 dan 50) kemudian digunakan untuk menduga gaya pengeprasan rumpun tunggul tebu (F MR ) yang terdiri atas beberapa tunggul dengan diameter dan posisi yang berbeda. Pada model pendugaan gaya pengeprasan rumpun tungul tebu, luas potong rumpun tunggul tebu (A R ) merupakan gabungan dari luas sejumlah tunggul tebu yang secara bersamaan terpotong oleh mata piring, sedangkan panjang mata piring yang memotong rumpun tebu (L R ) merupakan gabungan dari panjang garis mata bajak piring atau garu piring yang secara bersamaan memotong tunggul tebu. Gambar 70 mengilustrasikan contoh posisi garis mata bajak piring atau garu piring yang berbentuk elips dan posisi penampang tiap-tiap tunggul tebu pada saat pemotongan satu rumpun tunggul tebu. Rumpun tebu tersebut terdiri atas enam tunggul tebu dengan diameter tunggul I= 3.3 cm, II= 3.0 cm, III = 3.1 cm, IV= 3.0 cm, V=.5 cm, dan VI= 1.8 cm. Posisi pusat penampang tunggul tebu terhadap titik referensi atau pusat piring diindikasikan oleh nilai h dan k. Posisi tiap-tiap tunggul tebu tersebut dinyatakan sebagai berikut: (1) tunggul I h=89 mm dan k=55 mm, tunggul II h=84 mm dan k=90 mm, tunggul III h=19 mm dan k=5 mm, tunggul IV h=119 mm dan k=90 mm, tunggul V h=163 mm dan k=59 mm, dan tunggul VI h=184 mm dan k=75 mm.

107 88 Y Garis mata piring Posisi garis mata piring saat mulai memotong 0 X Posisi garis mata piring saat pemotongan terakhir Gambar 70 Posisi garis mata piring dan penampang tunggul tebu pada saat pengeprasan rumpun tunggul tebu yang terdiri atas enam tunggul tebu. Hasil pendugaan gaya pemotongan pada pengeprasan rumpun tebu yang terdiri atas tiga tunggul tebu dengan menggunakan piring bentuk rata (bajak piring) berdasarkan luas pemotongan menunjukkan bahwa gaya hasil pendugaan memiliki pola yang mendekati dengan gaya hasil pengukuran (Gambar 71). 140 Garis mata piring 10 Gaya Pemotongan (N) Hasil Pengukuran Hasil Pendugaan Waktu Tempuh (detik) Gambar 71 Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan luas pemotongan dan hasil pengukuran pada pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 yang terdiri atas tiga tunggul tebu menggunakan bajak piring.

108 89 Diameter tunggul tebu yang digunakan pada pengukuran gaya pemotongan tersebut adalah tunggul pertama 3.5 cm, kedua 3.1 cm, dan ketiga sebesar.7 cm. Pada saat pemotongan hampir melewati tunggul tebu yang pertama, gaya pemotongan tersebut mengalami penurunan. Turunnya gaya tersebut disebabkan oleh semakin kecilnya luas pemotongan pada bagian pinggir tunggul tebu. Namun demikian, penurunan gaya tersebut tidak sampai mendekati nol karena pada saat mata pirring hampir melewati tunggul pertama, mata bajak piring tersebut juga mulai memotong tunggul kedua. Pada saat mata bajak piring melewati setengah (separoh) dari tunggul kedua, mata bajak tersebut mulai memotong tunggul tebu yang ketiga sehingga luas pemotongannya semakin besar dan mengakibatkan gaya pemotongan meningkat secara tajam. Gaya pemotongan mengalami penurunan lagi setelah mata bajak piring melewati tunggul tebu yang kedua dan ketiga. Hasil pendugaan gaya pemotongan pada pengeprasan rumpun tebu yang terdiri atas tiga tunggul tebu dengan menggunakan piring bentuk rata (bajak piring) berdasarkan panjang mata piring yang memotong rumpun tebu menunjukkan bahwa gaya hasil pendugaan memiliki pola yang mendekati dengan gaya hasil pengukuran (Gambar 7). 140 Garis mata piring 10 Gaya Pemotongan (N) Hasil Pengukuran 0 Hasil Pendugaan Waktu Tempuh (detik) Gambar 7 Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan panjang pemotongan dan hasil pengukuran pada pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 yang terdiri atas tiga tunggul tebu menggunakan bajak piring. Hasil pendugaan gaya pemotongan berdasarkan luas pemotongan pada pengeprasan rumpun tebu yang terdiri atas enam tunggul tebu juga menunjukkan

109 90 pola yang mendekati dengan gaya hasil pengukuran (Gambar 73a). Plot antara gaya hasil pendugaan (x) dan gaya hasil pengukuraan (y) menunjukkan bahwa data (x,y) tersebut memiliki sebaran yang mendekati garis y=x (Gambar 73b). ) Gaya Pe moto ng an ( N (a) Garis mata piring Gaya Hasil Pengukuran Gaya Hasil Pendugaan Waktu Tempuh (detik) Susunan tunggul tebu Gaya Hasil Pengukuran (N) (b) y = x Gaya Hasil Pendugaan (N) Gambar 73 Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan luas pemotongan dan hasil pengukuran (a) dan perbandingan antara gaya hasil pendugaan dan hasil pengukuran (b) pada pengeprasan rumpun tunggul tebu varietas PA 198 yang terdiri atas enam tunggul tebu. Pendugaan gaya pemotongan berdasarkan panjang mata piring yang memotong tunggul tebu pada pengeprasan rumpun tebu yang terdiri atas enam tunggul tebu tersebut juga menunjukkan pola yang mendekati dengan gaya hasil pengukuran (Gambar 74). Gaya Pemotongan (N) Garis mata piring Hasil Pengukuran Hasil Pendugaan Waktu Tempuh (detik) Susunan tunggul tebu Gambar 74 Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan panjang pemotongan dan hasil pengukuran pada pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 yang terdiri atas enam tunggul tebu menggunakan bajak piring.

110 91 Dari hasil pendugaan gaya pemotongan berdasarkan luas lintasan dan panjang mata bajak piring yang memotong rumpun tunggul tebu tersebut dapat ditafsirkan bahwa model matematika yang telah dikembangkan dapat menduga dengan baik terhadap gaya pengeprasan rumpun tebu yang terdiri atas sejumlah tunggul tebu dengan diameter dan posisi yang berbeda. Hal tersebut diindikasikan oleh pola sebaran data gaya hasil model matematika dan hasil pengukuran yang mendekati garis y=x (Gambar 73b). Namun demikian model matematika tersebut masih kurang presisi karena plot antara gaya hasil model dan hasil pengukuran tidak terletak pada posisi satu garis dengan garis y=x. Pendugaan gaya pemotongan berdasarkan luas pemotongan dan panjang pemotongan pada pengeprasan rumpun tebu menggunakan mata piring bentuk coak atau garu piring dilakukan menggunakan persamaan (49) dan (50). Hasil pendugaan berdasarkan luas lintasan pemotongan memiliki pola yang mendekati dengan hasil pengukuran (Gambar 75a), sedangkan pendugaan dengan panjang pemotongan menghasilkan gaya yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil pengukuran (Gambar 75b). Rumpun tunggul tebu yang digunakan pada pengukuran tersebut terdiri atas tiga tunggul tebu dengan diameter tunggul pertama.9 cm, kedua 3.0 cm, dan ketiga sebesar 3.1 cm. Gaya Pemotongan (N) (a) Garis mata piring Hasil Pengukuran Hasil Pendugaan Waktu Tempuh (detik) III II I Gaya Pemotongan (N) Gambar 75 Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan luas (a) dan panjang pemotongan (b) dibandingkan dengan gaya hasil pengukuran pada pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 yang terdiri atas tiga tunggul tebu menggunakan piring bentuk coak (garu piring). Pendugaan berdasarkan luas pemotongan pada pengeprasan rumpun tebu yang terdiri atas empat tunggul tebu juga memperlihatkan pola yang mendekati (b) Garis mata piring Hasil Pengukuran Hasil Pendugaan Waktu Tempuh (detik) III II I

111 9 antara gaya pemotongan hasil model matematika dan hasil pengukuran (Gambar 76a), sedangkan pendugaan menggunakan panjang pemotongan menghasilkan gaya yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil pengukuran (Gambar 76b). Diameter tunggul tebu yang digunakan pada pengukuran tersebut adalah 3.6 cm untuk tunggul pertama, kedua, dan ketiga, sedangkan tunggul tebu yang keempat memiliki diameter sebesar 3.0 cm. Gaya Pemotongan (N) 90 Garis mata piring 80 I II 70 III IV Hasil Pengukuran 10 Hasil Pendugaan Gaya Pemotongan (N) Garis mata piring 0 Hasil Pengukuran 10 Hasil Pendugaan III I IV II (a) Waktu Tempuh (detik) (b) Waktu Tempuh (detik) Gambar 76 Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan luas (a) dan panjang pemotongan (b) dibandingkan dengan gaya hasil pengukuran pada pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 yang terdiri atas empat tunggul tebu menggunakan piring bentuk coak (garu piring). Gaya pemotongan hasil pendugaan berdasarkan panjang pemotongan untuk rumpun tebu yang terdiri atas tiga dan empat tunggul tebu memiliki pola yang lebih rendah dibandingkan dengan hasil pengukuran (Gambar 75b dan 76b). Hal tersebut disebabkan oleh nilai gaya pemotongan spesifik yang digunakan dalam pendugaan tersebut (0.73 N mm -1 ) sedikit berbeda dengan nilai gaya pemotongan spesifik yang dibutuhkan oleh tunggul tebu dalam rumpun tersebut. Dalam kasus tersebut hasil pendugaan gaya pemotongan dapat mendekati hasil pengukuran apabila gaya pemotongan spesifik yang digunakan sebesar 0.99 N mm -1. Gaya pemotongan hasil pendugaan berdasarkan luas lintasan pemotongan pada pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 yang terdiri atas enam tunggul tebu menggunakan piring bentuk coak atau garu piring juga memiliki pola yang mirip dengan gaya hasil pengukuran (Gambar 77a). Hasil pendugaan tersebut juga menunjukkan bahwa model matematika gaya pemotongan menghasilkan nilai

112 93 dugaan yang lebih besar dibandingkan dengan hasil pengukuran (Gambar 77b). Diameter tunggul tebu yang digunakan pada pengukuran tersebut adalah: tunggul I=3.1 cm, II=.9 cm, III=3. cm, IV=.6 cm, V=.8 cm, dan VI=.5 cm. Gaya Pemotongan (N) Garis mata piring 10 Gaya Hasil Pengukuran Gaya Hasil Pendugaan I II III IV V VI Gaya Hasil Pengukuran (N) 60 y = x (a) Waktu Tempuh (detik) (b) Gaya Hasil Pendugaan (N) Gambar 77 Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan luas pemotongan dan hasil pengukuran (a) dan perbandingan antara gaya hasil pendugaan dan hasil pengukuran (b) pada pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan piring bentuk coak (garu piring). Pendugaan gaya pemotongan berdasarkan panjang mata piring yang memotong tunggul tebu pada pengeprasan rumpun tebu yang terdiri atas enam tunggul tebu menggunakan garu piring juga menunjukkan pola yang mendekati dengan gaya hasil pengukuran (Gambar 78). Gaya Pemotongan (N) Garis mata piring 10 Gaya Hasil Pengukuran Gaya Hasil Pendugaan I II III IV V VI Waktu Tempuh (detik) Gambar 78 Pola gaya hasil pendugaan berdasarkan panjang pemotongan dan hasil pengukuran pada pengeprasan rumpun tebu varietas PA 198 yang terdiri atas enam tunggul tebu menggunakan garu piring.

113 94 Hasil validasi tersebut menunjukkan bahwa model pendugaan gaya pemotongan tunggul tebu berdasarkan luas lintasan pemotongan (persamaan 47 dan 49) dan panjang mata piring yang memotong tunggul tebu (persamaan 48 dan 50) yang telah dikembangkan dapat digunakan untuk menduga gaya pemotongan dengan baik pada pengeprasan rumpun tunggul tebu yang terdiri atas sejumlah tunggul tebu dengan posisi dan diameter tunggul yang berbeda. Namun demikiaan model tersebut belum menghasilkan pendugaan yang presisi karena plot antara gaya hasil pendugaan dan hasil pengukuran tidak terletak pada satu garis dengan garis y=x (Gambar 73b dan 77b). Garis y=x ditafsirkan sebagai posisi data gaya pemotongan hasil pendugaan sama dengan hasil pengukuran. Kurang presisinya model matematika tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya (1) bentuk penampang tunggul tebu dalam model diasumsikan lingkaran sempurna, sedangkan dalam pengukuran tidak demikian, () parameter-parameter lain dalam pemotongan seperti ketajaman, kecepatan maju, dan kecepatan putar masih dianggap sebagai konstanta dan belum diuraikan secara terperinci dalam model matematika tersebut, dan (3) kadar air dan posisi kemiringan tunggul tebu belum dimasukkan sebagai parameter dalam model matematika tersebut. Di samping beberapa kekurangan tersebut, model matematika yang dikembangkan berdasarkan luas pemotongan juga memiliki kelebihan, di antaranya: (1) model pendugaan tersebut mudah diterapkan, yakni dengan diketahuinya diameter, jumlah, dan susunan tunggul tebu maka gaya pengeprasan tunggul tebu sudah dapat ditentukan, () model tersebut telah menjabarkan secara rinci mengenai kinematika dari bajak piring yang diputar dengan melibatkan parameter radius mata piring (R), kecepatan maju pemotongan (V), kecepatan putar piring (N), tillt angle (T A ), disk angle (D A ), jumlah mata atau coakan pada garu piring (k). Identifikasi Hasil Uji Pengeprasan Tunggul Tebu Hasil pengeprasan tunggul tebu menggunakan piring pengolah tanah bentuk rata (bajak piring) yang diputar pada kecepatan maju yang lebih tinggi dan ketinggian potong di atas permukaan guludan menghasilkan permukaan potong yang pecah pada bagian tepi tunggul tebu (Gambar 79). Pecahnya bagian tepi tunggul tebu tersebut disebabkan oleh batang atau tunggul tebu yang terdorong atau terseret oleh gerakan maju bajak piring. Fenomena tersebut hampir identik

114 95 dengan patahnya bagian tepi dari suatu material yang getas pada saat pemotongan dengan cara menggergaji hampir selesai. Gambar 79 Hasil pengeprasan tunggul tebu menggunakan bajak piring pada kecepatan maju yang lebih tinggi (V =30 cm s -1 ) dengan posisi ketinggian potong di atas permukaan guludan. Pengeprasan tunggul tebu menggunakan bajak piring yang diputar dengan kecepatan maju yang lebih rendah (V 1 =15 cm s -1 ) pada posisi ketinggian potong rata dengan permukaan guludan menghasilkan permukaan potong tunggul tebu yang relatif halus dan tidak pecah (Gambar 80). Hal tersebut disebabkan pada kecepatan maju yang lebih rendah tunggul tebu tersebut tidak terseret oleh gerakan maju bajak piring. Gambar 80 Hasil pengeprasan tunggul tebu menggunakan bajak piring pada kecepatan maju yang lebih rendah (V 1 =0.15 m s -1 ) dengan posisi ketinggian potong rata dengan permukaan guludan. Hasil pengeprasan rumpun tunggul tebu menggunakan piring pengolah tanah bentuk coak (garu piring) yang diputar secara umum menghasilkan permukaan potong yang tidak pecah namun tidak sehalus yang dihasilkan oleh piring bentuk rata atau bajak piring (Gambar 81). Dalam percobaan pengeprasan

115 96 menggunakan piring bentuk coak atau garu piring tersebut memang terdapat beberapa tunggul tebu yang pecah, tetapi pecahnya tunggul tebu tersebut diduga lebih disebabkan oleh kondisi bahan percobaan yang sebagian sudah terlalu getas. Pengeprasan menggunakan garu piring tersebut pada prinsipnya identik dengan menggergaji sehingga membutuhkan gaya pemotongan yang relatif rendah dan menghasilkan permukaan potong tunggul tebu yang tidak pecah. Gambar 81 Contoh hasil pengeprasan tunggul tebu menggunakan piring bentuk coak atau garu piring dengan jumlah mata garu (coakan) 1 buah. Pertumbuhan Tebu Hasil Uji Pengeprasan Pada umur tanam dari 4 sampai 14 minggu setelah tanam, tebu hasil uji pengeprasan menggunakan piring pengolah tanah yang diputar memiliki laju perkembangan jumlah tunas atau anakan yang relatif rendah, sedangkan pada saat umur tanam mencapai lebih dari 14 minggu, tanaman tersebut menunjukkan laju perkembangan jumlah tunas yang cukup meningkat (Gambar 8). Lambatnya laju pertambahan jumlah tunas tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya: (1) rumpun tunggul tebu yang diambil dari lahan PG Jatitujuh masih perlu penyesuaian iklim dan lingkungan tumbuh yang lebih lama terhadap lingkungan di daerah Darmaga, Bogor, () pada saat uji pengeprasan, rumpun tebu tersebut mendapat cekaman yang sangat kuat dari pengikat tunggul sehingga memungkinkan terjadi kerusakan pada mata tunas tunggul tebu, (3) rumpun tunggul tebu tersebut merupakan hasil keprasan ketiga di PG Jatitujuh, sehingga setelah pengeprasan di Laboratorium tanaman tebu tersebut merupakan keprasan yang keempat (R 4 ), dan (4) pemupukan pada tanaman tebu tersebut hanya dilakukan satu kali pada saat tebu berumur 4 minggu setelah tanam.

116 Rataan Jumlah Tunas Umur Tanaman (Minggu) Gambar 8 Perkembangan jumlah tunas atau anakan pada tanaman tebu hasil uji pengeprasan menggunakan piring pengolah tanah yang diputar. Parameter laju pertumbuhan tanaman tebu yang yang lain seperti panjang batang, panjang daun, dan tinggi tanaman tebu hasil uji pengeprasan hingga mencapai umur 16 minggu setelah tanam menunjukkan pola perkembangan yang terus meningkat (Gambar 83) Tinggi Tebu Panjang Daun Panjang Batang Satuan Pengukuran (cm) Minggu Setelah Tanam Gambar 83 Perkembangan panjang batang, panjang daun, dan tinggi tanaman tebu hasil uji pengeprasan hingga umur 16 minggu setelah tanam. Gambar 84 menunjukkan kondisi tanaman tebu hasil uji pengeprasan pada saat berumur 6 dan 16 minggu setelah tanam. Pada saat berumur 6 minggu, tanaman tebu tersebut memiliki tinggi yang cenderung tidak seragam (Gambar

117 98 84a). Tinggi tanaman yang relatif seragam terjadi pada saat tebu tersebut telah mencapai umur 16 minggu setelah tanam (Gambar 84b). (a) (b) Gambar 84 Kondisi lapang tanaman tebu hasil uji pengeprasan pada saat berumur 6 minggu (a) dan 16 minggu (b) setelah tanam. Secara umum, terdapat beberapa kombinasi parameter pemotongan yang menghasilkan torsi pemotongan yang relatif rendah dengan permukaan potong tunggul tebu yang tidak pecah. Torsi pemotongan terendah (6.79 N m) pada pengeprasan tebu menggunakan piring pengolah tanah yang diputar dihasilkan oleh kombinasi parameter pemotongan yang terdiri atas jenis mata piring bentuk coak (garu piring), kecepatan putar (N) 1000 rpm, kecepatan maju (V) 0.15 m s -1, disk angle (D A ) 35 o, dan tilt angle (T A ) 0 o. Tabel 9 menunjukkan beberapa kombinasi parameter pemotongan yang menghasilkan torsi pemotongan yang relatif rendah pada pengeprasan tebu menggunakan garu piring yang diputar. Tabel 9 Kombinasi parameter pemotongan dari piring bentuk coak (garu piring) yang menghasilkan torsi pemotongan relatif rendah No Uji Kombinasi Parameter Torsi Pemotongan Pemotongan (N m) 47 V 1 N D A1 T A V 1 N D A3 T A V 1 N D A T A V 1 N D A3 T A V N D A3 T A V N D A1 T A 8.90 Apabila dikaitkan dengan kemungkinan penerapannya di lapangan, hasil penelitian tersebut memiliki kapasitas lapangan pengeprasan yang cukup tinggi. Kapasitas lapangan pada pengeprasan tebu tersebut sangat dipengaruhi oleh

118 99 kecepatan maju alat dan lebar pemotongan yang dihasilkan oleh piring. Pada kecepatan maju 0.30 m s -1 dengan lebar olah (PKP) 1.35 m dan efesiensi di lapangan sebesar 8.5% alat tersebut dapat menghasilkan kapasitas lapangan efektif (aktual) sebesar 0.1 ha per jam. Kapasitas lapangan dari alat kepras yang menggunakan piring pengolah tanah diputar tersebut hampir sama dengan alat kepras yang sudah ada (stubble shaver) yang mencapai ha per jam. Peningkatan kapasitas lapangan dalam pengeprasan dapat dilakukan dengan cara meningkatkan kecepatan maju alat dan lebar pemotongan. Peningkatan kecepatan maju dapat dilakukan secara mudah melalui pengaturan kecepatan maju traktor sebagai sumber tenaga tarik. Kecepatan maju yang umum digunakan untuk alat pemanen berkisar antara 3. dan 5.63 km per jam. Lebar pemotongan dapat diperbesar dengan cara menambah jumlah piring pada alat tersebut, sehingga pengeprasan yang awalnya hanya satu guludan dapat ditingkatkan menjadi dua guludan tebu. Kelebihan dari penelitian yang telah dilakukan tersebut diantaranya: (1) analisis tiga dimensi mengenai kinematika pergerakan sebuah titik pada mata bajak piring dan garu piring yang diputar dengan melibatkan sudut kemiringan tilt angle dan disk angle dapat digunakan untuk menggambarkan kurva gerakan dari mata piring tersebut, () gaya pemotongan pada pengeprasan rumpun tunggul tebu dapat diduga dengan mudah apabila diameter, jumlah, dan posisi tunggul pada guludan telah diketahui, sehingga model matematika yang telah dikembangkan dapat digunakan sebagai acuan dalam penentuan kebutuhan daya dalam perancangan alat dan mesin kepras tebu menggunakan bajak piring dan garu piring yang diputar, dan (3) pengeprasan tunggul tebu menggunakan piring pengolah tanah yang diputar tersebut merupakan metode baru di Indonesia dan memiliki prospek yang menggembirakan untuk dikembangkan di pabrik gula. Kelemahan dari penelitian tersebut adalah bahwa pengeprasan tunggul tebu menggunakan piring pengolah tanah yang diputar baru dilakukan pada posisi ketinggian potong rata dengan permukaan guludan dan belum memotong guludan tebu pada kedalaman kepras tertentu sehingga dalam penerapannya di lapangan pendugaan terhadap gaya pemotongan perlu menambahkan tahanan geser tanah di lahan tebu.

119 100 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Mekanisme pemotongan tunggul tebu menggunakan piring pengolah tanah yang diputar dapat dijelaskan melalui pendekatan kinematika sebuah titik pada mata piring tersebut dalam bidang tiga dimensi.. Pemotongan tunggul tebu menggunakan bajak piring yang diputar pada varietas PA 198 membutuhkan gaya pemotongan spesifik (σ) yang lebih tinggi (σ A =1.15 N mm - atau σ L =.94 N mm -1 ), sedangkan untuk garu piring membutuhkan σ A sebesar 0.8 N mm - dan σ L sebesar 0.73 N mm Model matematika gaya pemotongan untuk satu tunggul tebu yang telah dikembangkan dapat digunakan dengan baik untuk menduga gaya pengeprasan rumpun tebu yang terdiri atas beberapa tunggul tebu dengan posisi dan diameter yang berbeda. 4. Gaya pemotongan hasil pendugaan memiliki pola yang mendekati dengan gaya hasil pengukuran, sehingga model matematika yang dikembangkan berdasarkan gaya pemotongan spesifik tunggul tebu memiliki validitas yang baik. 5. Pengeprasan tunggul tebu menggunakan piring pengolah tanah bentuk coak (garu piring) menghasilkan permukaan potong tunggul tebu yang tidak pecah, menghasilkan pertumbuhan tebu yang cukup baik, dan membutuhkan torsi atau gaya pemotongan yang lebih rendah. Saran 1. Parameter-parameter lain dalam model yang masih dianggap sebagai konstanta seperti ketajaman, kecepatan maju, dan kecepatan putar perlu diuraikan lebih terperinci lagi dalam model matematika untuk penelitian selanjutnya.. Tunggul tebu yang digunakan sebagai bahan uji pemotongan sebaiknya pada berbagai kondisi setelah penebangan atau pemanenan. 3. Penempatan sejumlah tunggul tebu dalam uji pengeprasan sebaiknya dibuatkan dudukan agar memudahkan dalam penentuan posisi tunggul untuk keperluan validasi model matematika gaya pemotongan rumpun tunggul tebu. 4. Uji lapangan perlu dilakukan karena jumlah dan posisi tunggul tebu yang digunakan dalam pengujian tersebut masih relatif sederhana dibandingkan dengan kondisi di lapangan.

120 101 DAFTAR PUSTAKA Adisewojo RS Bercocok Tanam Tebu. Bandung: PT. Bale Bandung. Ahmad D, Roy SK, Jelani AR Evaluation of design parameters of sikle cutter and claw cutter for cutting oil palm frond. Agricultural Mechanization in Asia Africa and Latin America 31: Arifin S Upaya meningkatkan tebu keprasan di lahan kering Regosol. Prosiding seminar budidaya tebu lahan kering. Pasuruan: P3GI. Bakker H Sugar Cane Cultivation and Management. New York: Plenum Publishers. Barnes AC The Sugar Cane. London: Leonard Hill. Berge OL Design and Performance characteristics of the flywheel type forage harvester cutterhead. Agricultural Engineering 3: Blevins FZ, Hansen J Analysis of forage harvester design. Agricultural Engineering 37: 1-6. Cooper AW Effects of tillage on soil compaction. Di dalam: Barnes KK, Carleton WM, Taylor HM, Throckmorton RI, Vanden Berg GE. Compaction of Agricultural Soil. Michigan: American Society of Agricultural Engineers. Darmawan T Rekayasa dan pengembangan alat multi fungsi (AMF) untuk perawatan tebu ratun [Laporan Tengah Tahun]. Pasuruan: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian Perkebunan Gula. [Deptan] Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Rencana aksi pemantapan ketahanan pangan Jakarta: Deptan, Balitbang pertanian. Djojosoewardho Sumbangan pikiran mendukung kebijakan pemerintah dalam upaya khusus meningkatkan produksi gula. Pasuruan: P3GI. Fauconnier R Sugar cane. London: The Macmillan Press LTD. Humbert RP The Growing of Sugar Cane. Amsterdam: Elsevier Publishing Company. Hutasoit GF Penelitian pendahuluan tentang hubungan sifat fisik tebu dengan tingkat pencacahan. Majalah Perusahaan Gula :

121 10 Ismail I, Sukarto, Saputro SE Kajian tentang masa tanam dan umur tebang dari dua varietas tebu unggul Q 90 dan PS 61 di tanah ultisol PG Bungamayang. Majalah Perusahaan Gula 4: 7-1. Kepner RA, Bainer R, Barger EL Principles Of Farm Machinery. Westport, Connecticut: The Avi Publishing Company, Inc. Kisu M Soil physical properties and machine performances. JARQ. 6: Koswara E Pengaruh kedalaman kepras terhadap pertunasan tebu. Prosiding Seminar Budidaya Tebu Lahan Kering, Pasuruan, 3-5 November P3GI. hlm Lisyanto. 00. Mekanisme pemotongan rumput dengan menggunakan pisau pemotong rumput tipe reel [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian. Lisyanto, Sembiring EN, Suastawa IN, Setiawan RPA, Djoefrie MHB Karakteristik lahan dan tunggul tebu sisa panen: Kajian awal untuk perancangan alat dan mesin kepras tebu. Di dalam: Peran Serta Teknik Pertanian dalam Usaha Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Nasional Tahunan; Bandung, November 005. Perhimpunan Teknik Pertanian Indonesia. hlm 1-8. Marjayanti S, Arsana WD Keragaan beberapa varietas kedelai dan tebu keprasan dalam sistem tumpangsari. Majalah Perusahaan Gula 3-4: 6-13 Persson S Mechanics of Cutting Plant Material. Michigan: American Society of Agricultural Engineers. [PG Jatitujuh] Pabrik Gula Jatitujuh Inventarisasi Per Jenis Tebu KTG 004/005. Cirebon: PG Jatitujuh. [PG Jatitujuh] Pabrik Gula Jatitujuh Inventarisasi Per Jenis Tebu KTG 005/006. Cirebon: PG Jatitujuh. Pitoyo J Studi kelayakan teknis roda karet (on-road) sebagai roda traksi traktor roda dua pada budidaya lahan kering [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian. Prince RP, Wheeler WC, Fisher DA Discusion of energi requirements for cutting forage. Agricultural Engineering 39: Rajagukguk JP Pengujian hasil keprasan pertama beberapa varietas tebu (Saccharum officinarum L.) pada berbagai populasi. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian.

122 103 Rasjid A Pengaruh pembakaran tunggul terhadap perkecambahan dan pertumbuhan tunas keprasan tebu F 154 [Tesis]. Malang: Universitas Brawijaya, Fakultas Pertanian. Santoso F Program raksasa sudah menanti pasca tata niaga impor gula. htm. [19 Mei 004]. Sitkei G Mechanics of Agricultural Materials. Amsterdam: Elsevier. Suastawa IN, Setiawan RPA, Sanjaya P Torsi pemotongan dan efek hembusan dari model pisau miring (slanted blade) untuk mesin pemotong rumput tipe rotari. Buletin Keteknikan Pertanian 17: Suharyatun S. 00. Mekanisme pemotongan rumput dengan menggunakan pisau pemotong rumput tipe rotari [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Teknologi Pertanian. Sutjahyo GI, Kuntohartono T Penyusutan dan peningkatan kualitas tenaga kerja di kebun tebu. Majalah Gula Indonesia : Widodo Pengusahaan TRI di wilayah kerja PG. Tasik Madu PTP XV-XVI. Laporan Ketrampilan Profesi Jurusan Budidaya Pertanian. Bogor: Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian. Yatsuk EP, Panov LM, Evimov DN, Marchenko DS, Chernenkov AD Rotary Soil Working Machines. New Delhi: Amerind Publishing.

123 LAMPIRAN 104

124 105 Lampiran 1 Skema lahan yang diolah dengan cara Reynoso yang memiliki got keliling, got mujur, dan got malang 100 m d e f c 10 m b a d e f c b Keterangan: a. Jalan b. Got keliling c. Got mujur d. Got malang e. Cemplongan f. Guludan

125 106 Lampiran Penanaman bibit (batang tebu) untuk tanaman pertama (plant cane) dan cara pertunasan tebu

126 107 Lampiran 3 Inventarisasi per jenis tebu KTG 003/004 dan 004/005 pabrik gula Jatitujuh

127 108 Lampiran 4 Kalibrasi load cell untuk pengukuran gaya cabut rumpun tebu KALIBRASI LOAD CELL MENGGUNAKAN HANDY STRAIN METER TIME: SELASA, 07 JUNI 005 LOAD CELL: Gravitasi = 9.8 m/det Massa Pengait = 1.3 kg WAGEZELLE KRAFTAUFNEHMER TYPE: U F.Nr 34181, Ton, mv/v Massa (kg) Beban (N) Strain (μs) Strain (ms) Plot antara Beban dan Strain y = 0.09 x R = Beban (N)

128 109 Lampiran 5 Susunan kombinasi peubah percobaan dalam uji pengeprasan rumpun tebu menggunakan bajak piring dan garu piring yang diputar Nomor Peubah Percobaan Kombinasi Uji J P V N D A T A Perlakuan J P1 V 1 N 1 D A1 T A J P1 V 1 N 1 D A1 T A J P1 V 1 N 1 D A1 T A J P1 V 1 N 1 D A T A J P1 V 1 N 1 D A T A J P1 V 1 N 1 D A T A J P1 V 1 N 1 D A3 T A J P1 V 1 N 1 D A3 T A J P1 V 1 N 1 D A3 T A J P1 V 1 N D A1 T A J P1 V 1 N D A1 T A J P1 V 1 N D A1 T A J P1 V 1 N D A T A J P1 V 1 N D A T A J P1 V 1 N D A T A J P1 V 1 N D A3 T A J P1 V 1 N D A3 T A J P1 V 1 N D A3 T A J P1 V N 1 D A1 T A J P1 V N 1 D A1 T A J P1 V N 1 D A1 T A J P1 V N 1 D A T A J P1 V N 1 D A T A J P1 V N 1 D A T A J P1 V N 1 D A3 T A J P1 V N 1 D A3 T A J P1 V N 1 D A3 T A J P1 V N D A1 T A J P1 V N D A1 T A J P1 V N D A1 T A J P1 V N D A T A1 3 1 J P1 V N D A T A J P1 V N D A T A J P1 V N D A3 T A J P1 V N D A3 T A J P1 V N D A3 T A3

129 Lanjutan Nomor Peubah Percobaan Kombinasi Uji J P V N D A T A Perlakuan J P V 1 N 1 D A1 T A J P V 1 N 1 D A1 T A J P V 1 N 1 D A1 T A J P V 1 N 1 D A T A J P V 1 N 1 D A T A J P V 1 N 1 D A T A J P V 1 N 1 D A3 T A J P V 1 N 1 D A3 T A J P V 1 N 1 D A3 T A J P V 1 N D A1 T A J P V 1 N D A1 T A J P V 1 N D A1 T A J P V 1 N D A T A J P V 1 N D A T A J P V 1 N D A T A J P V 1 N D A3 T A J P V 1 N D A3 T A J P V 1 N D A3 T A J P V N 1 D A1 T A J P V N 1 D A1 T A J P V N 1 D A1 T A J P V N 1 D A T A J P V N 1 D A T A J P V N 1 D A T A J P V N 1 D A3 T A J P V N 1 D A3 T A J P V N 1 D A3 T A J P V N D A1 T A J P V N D A1 T A J P V N D A1 T A J P V N D A T A1 68 J P V N D A T A 69 3 J P V N D A T A J P V N D A3 T A J P V N D A3 T A J P V N D A3 T A3 Keterangan: J P1 = Bajak piring (piring bentuk rata), J P = Garu piring (piring bentuk coak) V 1 = 0.15 m s -1, V = 0.30 m s -1, N 1 = 500 rpm, N = 1000 rpm D A = Disk Angle (D A1 =35 o, D A = 40 o, D A3 = 45 o ) T A = Tilt Angle (T A1 =15 o, T A = 0 o, T A3 = 5 o )

130 111 Lampiran 6 Data kalibrasi sensor pada poros piring untuk pengukuran torsi pemotongan rumpun tunggul tebu KALIBRASI TRANSDUSER TORSI ( ) MENGGUNAKAN HANDY STRAIN METER Berat Kait beban = 0. kg Gravitasi = 9.81 m/det Massa (kg) Beban (N) Jarak (m) Torsi (N m) Strain (μs) Strain (ms) Plot antara Torsi dan Strain y = x R = Torsi (N m)

131 11 Lampiran 7 Kondisi lahan tebu di PG Jatitujuh setelah penebangan yang tertutup oleh serasah dan sisa-sisa penebangan

132 113 Lampiran 8 Penyajian gambar pandangan dari bentuk kurva mata piring pada disk angle 35 o dengan tilt angle 15 o dan 5 o PANDANGAN ATAS D A =35 o dan T A =15 o PANDANGAN DEPAN PANDANGAN SAMPING KANAN PANDANGAN ATAS D A =35 o dan T A =5 o PANDANGAN DEPAN PANDANGAN SAMPING KANAN

133 114 Lampiran 9 Penyajian gambar pandangan dari bentuk kurva mata piring yang memiliki disk angle 45 o dan tilt angle 5 o PANDANGAN ATAS D A =45 o dan T A =5 o PANDANGAN DEPAN PANDANGAN SAMPING KANAN

134 115 Lampiran 10 Contoh hasil running menggunakan excel untuk persamaan gerakan sebuah titik pada mata piring bentuk rata (bajak piring) yang diputar Simulasi Bentuk dan Posisi Mata Pisau Bajak Piring Bentuk Rata sebagai Efek Tilt Angel dan Disk Angel Vr = V = 0.1 m/det Z = 1 R = m T A (α) = 15 N = 100 rpm D A (δ) = 30 ω = φ = -60 f = 0.06 m/putaran λ = t θ (derajad ) θ (radian ) cos β β X Y Z x y z Bentuk dan Posisi Kurva Mata Pisau Bajak Piring Pada Tilt Angel =15 o dan Disc Angle= Absis Bidang XY Bidang YZ Bidang XZ Bentuk dan Posisi Kurva Mata Pisau Bajak Piring Pada Tilt Angel =15 o dan Disc Angle = Absis Bidang XY Bidang YZ Bidang XZ Ordinat Ordinat

135 116 Lanjutan

136 117 Lampiran 11 Penurunan persamaan radius kurva tunggul tebu menggunakan pendekatan lingkaran yang digeser dengan sistem koordinat polar Y O α1 α β q θ θ 1 r p k y X s h x x = cosθ dan y = sinθ R T R T R t β = θ 1 + α 1 ; sinα = 1 r [ h + k ] 1/ k 1 k tan β = ; β = tan h h ; sehingga α 1 = sin 1 r [ ] h + k 1/ θ 1 = β + α 1 dan θ = β + α ; sehingga θ = β α ( x h) + ( y k) = r ( RT cosθ h) + ( RT sinθ k) = r ( RT cos θ hrt cosθ + h ) + ( RT sin θ krt sin θ + k ) = r R R R T cos θ hrt cosθ + h + RT sin θ krt sin θ + k = T cos θ + RT sin θ hrt cosθ krt sin θ + h + k = T (cos θ + sin θ ) R ( h cosθ + k sin θ ) + ( h + k r T r r ) = 0 R T R T ( h cosθ + k sin θ ) + ( h + k r ) = 0 R T 1, = ( h cosθ + k sinθ ) ± ( h cosθ + k sinθ ) 4( h + k r ) R T 1, = ( h cosθ + k sinθ ) ± ( h cosθ + k sinθ ) ( h + k r ) R T = ( h cosθ + k sinθ ) ± ( h cosθ + k sinθ ) ( h + k r 1, ) + R T = ( h cosθ + k sin θ ) + ( h cosθ + k sin θ ) ( h + k r ) R T = ( h cosθ + k sin θ ) ( h cosθ + k sin θ ) ( h + k r )

137 118 Lampiran 1 Contoh hasil simulasi yang mendeskripsikan kurva elips mata piring dan kurva lingkaran untuk penampang tunggul tebu Vr = V = 0.15 m/det Z = 1 R = m T A (α) = 5 N = 500 rpm D A (δ) = 35 ω = φ = -55 dimana Da = 90 + φ h = 0.15 Diameter = 0.03 m f = m/putaran N = 8.33 rps k = Radius = m λ = Penampang Batang Tebu t θ (derajad ) θ (radian ) sin β β X Y Z x y z x y Profil dan Lintasan Pisau Bajak Piring (Helicoid ) Absis Pand. Atas Mata Pisau (XY) Pand. Depan Mata Pisau (XZ) Pand Samping Kanan (YZ) Kurva Locus Mata Pisau (XY) Penampaang Tebu Ordinat

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman tebu untuk keperluan industri gula dibudidayakan melalui tanaman pertama atau plant cane crop (PC) dan tanaman keprasan atau ratoon crop (R). Tanaman keprasan merupakan

Lebih terperinci

EVALUASI PARAMETER DESAIN PIRING PENGOLAH TANAH DIPUTAR UNTUK PENGEPRAS TEBU LAHAN KERING

EVALUASI PARAMETER DESAIN PIRING PENGOLAH TANAH DIPUTAR UNTUK PENGEPRAS TEBU LAHAN KERING EVALUASI PARAMETER DESAIN PIRING PENGOLAH TANAH DIPUTAR UNTUK PENGEPRAS TEBU LAHAN KERING LISYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 7 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Guludan dan Tunggul Tebu Sisa Panen

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Guludan dan Tunggul Tebu Sisa Panen HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Guludan dan Tunggul Tebu Sisa Panen Kondisi lahan di PG Jatitujuh setelah penebangan umumnya tertutup oleh serasah atau pucuk-pucuk tebu sisa pemanenan. Serasah tersebut

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tanaman Tebu Ratoon

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tanaman Tebu Ratoon TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tanaman Tebu Ratoon Saat ini proses budidaya tebu terdapat dua cara dalam penanaman. Pertama dengan cara Plant Cane dan kedua dengan Ratoon Cane. Plant Cane adalah tanaman tebu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tanaman Tebu

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tanaman Tebu II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Tebu Tebu (Saccharum officinarum) merupakan tumbuhan monokotil dari famili rumputrumputan (Gramineae) yang merupakan tanaman untuk bahan baku gula. Batang tanaman tebu memiliki

Lebih terperinci

UJI KINERJA ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR (KEPRAS PINTAR) PROTOTIPE-2 RIKKY FATURROHIM F

UJI KINERJA ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR (KEPRAS PINTAR) PROTOTIPE-2 RIKKY FATURROHIM F UJI KINERJA ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR (KEPRAS PINTAR) PROTOTIPE-2 RIKKY FATURROHIM F14104084 2009 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR vii UJI

Lebih terperinci

PENGUJIAN PROTOTIPE ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR. Oleh : FERI F

PENGUJIAN PROTOTIPE ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR. Oleh : FERI F PENGUJIAN PROTOTIPE ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR Oleh : FERI F14103127 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PENGUJIAN PROTOTIPE ALAT KEPRAS

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Alat dan Bahan untuk Penelitian Pendahuluan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Alat dan Bahan untuk Penelitian Pendahuluan 37 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian pendahuluan mengenai bentuk dan dimensi guludan tanaman keprasan, tahanan penetrasi dan tahanan geser tanah, gaya cabut satu rumpun tunggul tebu

Lebih terperinci

DESAIN DAN PENGUJIAN ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR. Oleh : HAMZAH AJI SAPUTRO F

DESAIN DAN PENGUJIAN ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR. Oleh : HAMZAH AJI SAPUTRO F DESAIN DAN PENGUJIAN ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR Oleh : HAMZAH AJI SAPUTRO F14103078 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 KATA PENGANTAR Puji

Lebih terperinci

Analisis Kecepatan Maju Traktor dan Putaran Pisau Pemotong Pada Pengeprasan Tebu Ratoon

Analisis Kecepatan Maju Traktor dan Putaran Pisau Pemotong Pada Pengeprasan Tebu Ratoon Analisis Kecepatan Maju Traktor dan Putaran Pisau Pemotong Pada Pengeprasan Tebu Ratoon Analysis on Forward Speed of Tractor and The Spin of Cutter Knife on Ratoon Sugarcane Stubble Shaver Syafriandi *1)

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Nopember 2010 September 2011. Perancangan dan pembuatan prototipe serta pengujian mesin kepras tebu dilakukan di Laboratorium Teknik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Konstruksi Mesin Secara keseluruhan mesin kepras tebu tipe rotari terdiri dari beberapa bagian utama yaitu bagian rangka utama, bagian coulter, unit pisau dan transmisi daya (Gambar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Simulasi Putaran Pisau Simulasi dilakukan untuk menduga bentuk putaran yang akan terjadi pada saat melakukan pengujian. Di samping itu dari hasil simulasi ini dapat diketahui

Lebih terperinci

MEKANISME PEMOTONGAN RUMPUT DENGAN MENGGUNAKAN PISAU PEMOTONG RUMPUT TIPE REEL OLEH : LISYANTO

MEKANISME PEMOTONGAN RUMPUT DENGAN MENGGUNAKAN PISAU PEMOTONG RUMPUT TIPE REEL OLEH : LISYANTO MEKANISME PEMOTONGAN RUMPUT DENGAN MENGGUNAKAN PISAU PEMOTONG RUMPUT TIPE REEL OLEH : LISYANTO PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2002 ABSTRAK LISYANTO. Mekanisme Pemotongan Rumput dengan Menggunakan

Lebih terperinci

PENGUJIAN PROTOTIPE ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR. Oleh : FERI F

PENGUJIAN PROTOTIPE ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR. Oleh : FERI F PENGUJIAN PROTOTIPE ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR Oleh : FERI F14103127 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 PENGUJIAN PROTOTIPE ALAT KEPRAS

Lebih terperinci

PENDEKATAN DESAIN Kriteria Desain dan Gambaran Umum Proses Pencacahan

PENDEKATAN DESAIN Kriteria Desain dan Gambaran Umum Proses Pencacahan PENDEKATAN DESAIN Kriteria Desain dan Gambaran Umum Proses Pencacahan Mengingat lahan tebu yang cukup luas kegiatan pencacahan serasah tebu hanya bisa dilakukan dengan sistem mekanisasi. Mesin pencacah

Lebih terperinci

Arzal Bili 1, Syafriandi 1, Mustaqimah 2 Program Studi Teknik pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala

Arzal Bili 1, Syafriandi 1, Mustaqimah 2 Program Studi Teknik pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala Pengaruh Kedalaman Keprasan Tebu dengan Menggunakan Mesin Kepras Traktor Roda Dua Terhadap Kualitas Keprasan dan Pertumbuhan Tunas Effect of Stubble Cane Cutting Depth by Using Cutting Machine Two Wheel

Lebih terperinci

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA LPORN KHIR Insentif Riset SINas 2014 Desain dan Pengujian lat Pemanen dan Pengepras Tebu dengan Memodifikasi dan Memanfaatkan Tenaga Traktor Roda Dua RT-2014-1137 Bidang Prioritas Iptek: 10. Teknologi

Lebih terperinci

KINERJA DITCHER DENGAN PENGERUK TANAH UNTUK BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING. Oleh : ARI SEMBODO F

KINERJA DITCHER DENGAN PENGERUK TANAH UNTUK BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING. Oleh : ARI SEMBODO F KINERJA DITCHER DENGAN PENGERUK TANAH UNTUK BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING Oleh : ARI SEMBODO F14101098 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR KINERJA DITCHER DENGAN PENGERUK TANAH

Lebih terperinci

PENGARUH KETINGGIAN PEMANGKASAN DENGAN MESIN POTRUM SRT-03 TERHADAP TORSI PEMANGKASAN DAN KUALITAS LAPANGAN RUMPUT BERMUDA

PENGARUH KETINGGIAN PEMANGKASAN DENGAN MESIN POTRUM SRT-03 TERHADAP TORSI PEMANGKASAN DAN KUALITAS LAPANGAN RUMPUT BERMUDA PENGARUH KETINGGIAN PEMANGKASAN DENGAN MESIN POTRUM SRT-03 TERHADAP TORSI PEMANGKASAN DAN KUALITAS LAPANGAN RUMPUT BERMUDA (Cynodon dactylon) TIFF WAY 146 I PUTU SURYA WIRAWAN PROGRAM STUDI ILMU KETEKNIKAN

Lebih terperinci

UJI KINERJA ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR (KEPRAS PINTAR) PROTOTIPE-2 RIKKY FATURROHIM F

UJI KINERJA ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR (KEPRAS PINTAR) PROTOTIPE-2 RIKKY FATURROHIM F UJI KINERJA ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR (KEPRAS PINTAR) PROTOTIPE-2 RIKKY FATURROHIM F141484 29 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR vii UJI KINERJA

Lebih terperinci

4 Akar Akar tebu terbagi menjadi dua bagian, yaitu akar tunas dan akar stek. Akar tunas adalah akar yang menggantikan fungsi akar bibit. Akar ini tumb

4 Akar Akar tebu terbagi menjadi dua bagian, yaitu akar tunas dan akar stek. Akar tunas adalah akar yang menggantikan fungsi akar bibit. Akar ini tumb 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tebu dan Morfologi Tebu Tebu adalah salah satu jenis tanaman monokotil yang termasuk dalam famili Poaceae, yang masuk dalam kelompok Andropogoneae, dan masuk dalam genus Saccharum.

Lebih terperinci

DAYA DAN KUALITAS PEMOTONGAN TUNGGUL TEBU PADA BEBERAPA BENTUK PISAU DAN PITCH PEMOTONGANNYA SKRIPSI

DAYA DAN KUALITAS PEMOTONGAN TUNGGUL TEBU PADA BEBERAPA BENTUK PISAU DAN PITCH PEMOTONGANNYA SKRIPSI DAYA DAN KUALITAS PEMOTONGAN TUNGGUL TEBU PADA BEBERAPA BENTUK PISAU DAN PITCH PEMOTONGANNYA SKRIPSI ICHSAN GANTINA F14070046 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 CUTTING POWER AND

Lebih terperinci

Desain Alat Kepras Tebu dengan Tenaga Hand Traktor untuk Meningkatkan Mutu Tebu Keprasan ABSTRAK

Desain Alat Kepras Tebu dengan Tenaga Hand Traktor untuk Meningkatkan Mutu Tebu Keprasan ABSTRAK Desain Alat Kepras Tebu dengan Tenaga Hand Traktor untuk Meningkatkan Mutu Tebu Keprasan Syafrindi, Andriani Lubis, Kiman Siregar 1 Staf Pengajar Program Studi Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Unsyiah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2010 sampai dengan bulan Agustus 2010. Tempat penelitian dilaksanakan dibeberapa tempat sebagai berikut. 1) Laboratorium

Lebih terperinci

MODIFIKASI PENGERUK TANAH PADA DITCHER UNTUK SALURAN DRAINASE PADA BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING (Sistem Mekanisme Pengeruk Tanah)

MODIFIKASI PENGERUK TANAH PADA DITCHER UNTUK SALURAN DRAINASE PADA BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING (Sistem Mekanisme Pengeruk Tanah) MODIFIKASI PENGERUK TANAH PADA DITCHER UNTUK SALURAN DRAINASE PADA BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING (Sistem Mekanisme Pengeruk Tanah) OLEH: PRIAGUNG BUDIHANTORO F14103010 2008 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Kegiatan penelitian yang meliputi perancangan, pembuatan prototipe mesin penanam dan pemupuk jagung dilakukan di Laboratorium Teknik Mesin Budidaya

Lebih terperinci

MEKANISME PEMOTONGAN RUMPUT DENGAN MENGGUNAKAN PISAU PEMOTONG RUMPUT TIPE ROTARI

MEKANISME PEMOTONGAN RUMPUT DENGAN MENGGUNAKAN PISAU PEMOTONG RUMPUT TIPE ROTARI MEKANISME PEMOTONGAN RUMPUT DENGAN MENGGUNAKAN PISAU PEMOTONG RUMPUT TIPE ROTARI OLEH : SIT1 SUHARYATUN PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2002 ~.. ABSTRAK SIT1 SUHARYATUN. Mekanisme

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KINERJA DITCHER DENGAN PENGERUK TANAH HASIL MODIFIKASI UNTUK BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING OLEH: THALHA FARIZI F

KINERJA DITCHER DENGAN PENGERUK TANAH HASIL MODIFIKASI UNTUK BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING OLEH: THALHA FARIZI F KINERJA DITCHER DENGAN PENGERUK TANAH HASIL MODIFIKASI UNTUK BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING OLEH: THALHA FARIZI F14103133 2008 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENGUJIAN PROTOTIPE ALAT TEBANG TEBU MANUAL TIPE TAJAK SKRIPSI. Oleh: OKTAFIL ULYA F

PENGUJIAN PROTOTIPE ALAT TEBANG TEBU MANUAL TIPE TAJAK SKRIPSI. Oleh: OKTAFIL ULYA F PENGUJIAN PROTOTIPE ALAT TEBANG TEBU MANUAL TIPE TAJAK SKRIPSI Oleh: OKTAFIL ULYA F14054386 2009 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR PENGUJIAN PROTOTIPE ALAT

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Simulasi putaran/mekanisme pisau pemotong tebu (n:500 rpm, v:0.5 m/s, k: 8)

METODE PENELITIAN. Simulasi putaran/mekanisme pisau pemotong tebu (n:500 rpm, v:0.5 m/s, k: 8) III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2011 di Laboratorium Lapangan Departemen Teknik Mesin dan Biosistem. Pelaksanaan penelitian terbagi

Lebih terperinci

Lampiran 1 Prosedur Pengukuran Massa Jenis Pupuk

Lampiran 1 Prosedur Pengukuran Massa Jenis Pupuk LAMPIRAN 49 50 Lampiran 1 Prosedur Pengukuran Massa Jenis Pupuk 1. Timbang berat piknometer dan air (ma). 2. Hitung suhu air. 3. Haluskan pupuk dan masukkan ke dalam piknometer. 4. Timbang berat piknometer,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Batasan Pemotongan dan Pengeprasan Tebu Metode Pemotongan Bahan Pertanian

TINJAUAN PUSTAKA Batasan Pemotongan dan Pengeprasan Tebu    Metode Pemotongan Bahan Pertanian 8 TINJAUAN PUSTAKA Batasan Pemotongan dan Pengeprasan Tebu Pemotongan didefinisikan sebagai proses pemisahan secara mekanik dari sebuah benda padat sepanjang garis pemotongan menggunakan alat pemotong

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Tanaman tebu dalam dunia tumbuh-tumbuhan memiliki sistematika sebagai berikut : Kelas : Angiospermae Subkelas : Monocotyledoneae Ordo : Glumaceae Famili : Graminae

Lebih terperinci

PENGUJIAN TAHANAN TARIK (DRAFT) BAJAK SUBSOIL GETAR TIPE LENGKUNG PARABOLIK SKRIPSI

PENGUJIAN TAHANAN TARIK (DRAFT) BAJAK SUBSOIL GETAR TIPE LENGKUNG PARABOLIK SKRIPSI PENGUJIAN TAHANAN TARIK (DRAFT) BAJAK SUBSOIL GETAR TIPE LENGKUNG PARABOLIK SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. pada permulaan abad ke-19 traktor dengan motor uap mulai diperkenalkan,

TINJAUAN PUSTAKA. pada permulaan abad ke-19 traktor dengan motor uap mulai diperkenalkan, TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Traktor Sejarah traktor dimulai pada abad ke-18, motor uap barhasil diciptakan dan pada permulaan abad ke-19 traktor dengan motor uap mulai diperkenalkan, sementara itu penelitian

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. DESAIN PENGGETAR MOLE PLOW Prototip mole plow mempunyai empat bagian utama, yaitu rangka three hitch point, beam, blade, dan mole. Rangka three hitch point merupakan struktur

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2011 hingga bulan November 2011. Desain, pembuatan model dan prototipe rangka unit penebar pupuk dilaksanakan

Lebih terperinci

DISAIN PENGERUK TANAH PADA DITCHER UNTUK SALURAN DRAINASE PADA BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING. Oleh: ALAM MUHARAM F

DISAIN PENGERUK TANAH PADA DITCHER UNTUK SALURAN DRAINASE PADA BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING. Oleh: ALAM MUHARAM F DISAIN PENGERUK TANAH PADA DITCHER UNTUK SALURAN DRAINASE PADA BUDIDAYA TEBU LAHAN KERING Oleh: ALAM MUHARAM F14102005 2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Jumlah serasah di lapangan

Jumlah serasah di lapangan Lampiran 1 Perhitungan jumlah serasah di lapangan. Jumlah serasah di lapangan Dengan ketinggian serasah tebu di lapangan 40 cm, lebar alur 60 cm, bulk density 7.7 kg/m 3 dan kecepatan maju traktor 0.3

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit sebenarnya sudah ada sejak zaman panjajahan Belanda ke

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit sebenarnya sudah ada sejak zaman panjajahan Belanda ke BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit sebenarnya sudah ada sejak zaman panjajahan Belanda ke Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda pertumbuhan perkebunan besar kelapa sawit di Indonesia seperti

Lebih terperinci

RONA TEKNIK PERTAI{IAN

RONA TEKNIK PERTAI{IAN rssn 208s-2614 RONA TEKNIK PERTAI{IAN Jurnal Ilmiah dan Pener ap an Ketekn tkan P ertanuan Volume 4, No. I, April 2012 Program Sfudi Teknik Pertanuan Fakultas Pertantan Universitas Syiah l(uala Darussalam,Banda

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

DESAIN DAN PENGUJIAN ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR. Oleh : HAMZAH AJI SAPUTRO F

DESAIN DAN PENGUJIAN ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR. Oleh : HAMZAH AJI SAPUTRO F DESAIN DAN PENGUJIAN ALAT KEPRAS TEBU TIPE PIRINGAN BERPUTAR Oleh : HAMZAH AJI SAPUTRO F14103078 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 KATA PENGANTAR Puji

Lebih terperinci

IV. ANALISA PERANCANGAN

IV. ANALISA PERANCANGAN IV. ANALISA PERANCANGAN Mesin penanam dan pemupuk jagung menggunakan traktor tangan sebagai sumber tenaga tarik dan diintegrasikan bersama dengan alat pembuat guludan dan alat pengolah tanah (rotary tiller).

Lebih terperinci

CORRECTIVE MAINTENANCE BANTALAN LUNCUR LORI PABRIK KELAPA SAWIT DENGAN KAPASITAS ANGKUT 2,5 TON TBS MENGGUNAKAN ANALISA KEGAGALAN

CORRECTIVE MAINTENANCE BANTALAN LUNCUR LORI PABRIK KELAPA SAWIT DENGAN KAPASITAS ANGKUT 2,5 TON TBS MENGGUNAKAN ANALISA KEGAGALAN CORRECTIVE MAINTENANCE BANTALAN LUNCUR LORI PABRIK KELAPA SAWIT DENGAN KAPASITAS ANGKUT 2,5 TON TBS MENGGUNAKAN ANALISA KEGAGALAN SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

B. Pokok Bahasan : Peralatan Pengolahan Tanah. C. Sub Pokok Bahasan: Jenis-jenis alat pengolahan tanah I

B. Pokok Bahasan : Peralatan Pengolahan Tanah. C. Sub Pokok Bahasan: Jenis-jenis alat pengolahan tanah I Pertemuan ke-6 A.Tujuan Instruksional 1. Umum Setelah mengikuti matakuliah ini mahasiswa akan dapat menentukan jenis tenaga dan mesin peralatan yang layak untuk diterapkan di bidang pertanian. 2. Khusus

Lebih terperinci

MODIFIKASI PROTOTIPE MESIN PEMANGKAS RUMPUT POTRUM MODEL BBE-01 MENJADI BBE-02 (BACK PACK BRUSH CUTTER ENGINE-02) SKRIPSI

MODIFIKASI PROTOTIPE MESIN PEMANGKAS RUMPUT POTRUM MODEL BBE-01 MENJADI BBE-02 (BACK PACK BRUSH CUTTER ENGINE-02) SKRIPSI MODIFIKASI PROTOTIPE MESIN PEMANGKAS RUMPUT POTRUM MODEL BBE-01 MENJADI BBE-02 (BACK PACK BRUSH CUTTER ENGINE-02) SKRIPSI Oleh: REZA PAHLEVI F141051251 2009 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia sebagai salah satu negara yang berbasis pertanian umumnya memiliki usaha tani keluarga skala kecil dengan petakan lahan yang sempit. Usaha pertanian ini terutama

Lebih terperinci

PERAJANG MEKANIK KRIPIK

PERAJANG MEKANIK KRIPIK PERAJANG MEKANIK KRIPIK Sartono Putro Jurusan Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl.A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Kartasura ABSTRAK Proses pembuatan kripik tempe dengan perajangan manual mempunyai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini diiringi pula

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini diiringi pula PENDAHULUAN Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini diiringi pula dengan perkembangan di bidang-bidang lain, termasuk bidang pariwisata dan olah raga. Perkembangan di bidang

Lebih terperinci

BAB III PERENCAAN DAN GAMBAR

BAB III PERENCAAN DAN GAMBAR BAB III PERENCAAN DAN GAMBAR 3.1 Diagram Alur Perencanaan Proses perancangan alat pencacah rumput gajah seperti terlihat pada diagram alir berikut ini: Mulai Pengamatan dan Pengumpulan Perencanaan Menggambar

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pembuatan Prototipe 5.1.1. Modifikasi Rangka Utama Untuk mempermudah dan mempercepat waktu pembuatan, rangka pada prototipe-1 tetap digunakan dengan beberapa modifikasi. Rangka

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS TEKNIK MESIN

BAB IV ANALISIS TEKNIK MESIN BAB IV ANALISIS TEKNIK MESIN A. ANALISIS PENGATUR KETINGGIAN Komponen pengatur ketinggian didesain dengan prinsip awal untuk mengatur ketinggian antara pisau pemotong terhadap permukaan tanah, sehingga

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER

PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER PERBANDINGAN HASIL PENGGEROMBOLAN METODE K-MEANS, FUZZY K-MEANS, DAN TWO STEP CLUSTER LATHIFATURRAHMAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER

Lebih terperinci

SKRIPSI ANALISIS KEMBALI BELT CONVEYOR BARGE LOADING DENGAN KAPASITAS 1000 TON PER JAM

SKRIPSI ANALISIS KEMBALI BELT CONVEYOR BARGE LOADING DENGAN KAPASITAS 1000 TON PER JAM SKRIPSI ANALISIS KEMBALI BELT CONVEYOR BARGE LOADING DENGAN KAPASITAS 1000 TON PER JAM Diajukan guna melengkapi sebagian syarat dalam mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) Disusun Oleh : Nama : Noor

Lebih terperinci

PENERAPAN TEKNOLOGI DALAM UPAYA MEMBANTU PROSES PENGENDALIAN GULMA PADA TANAMAN PADI

PENERAPAN TEKNOLOGI DALAM UPAYA MEMBANTU PROSES PENGENDALIAN GULMA PADA TANAMAN PADI PENERAPAN TEKNOLOGI DALAM UPAYA MEMBANTU PROSES PENGENDALIAN GULMA PADA TANAMAN PADI Eko Surjadi Fakultas Teknologi Industri, Teknik Mesin, Universitas Surakarta email: doel _qellyk@yahoo.co.id Abstrak

Lebih terperinci

MESIN PEMINDAH BAHAN PERANCANGAN HOISTING CRANE DENGAN KAPASITAS ANGKAT 5 TON PADA PABRIK PENGECORAN LOGAM

MESIN PEMINDAH BAHAN PERANCANGAN HOISTING CRANE DENGAN KAPASITAS ANGKAT 5 TON PADA PABRIK PENGECORAN LOGAM MESIN PEMINDAH BAHAN PERANCANGAN HOISTING CRANE DENGAN KAPASITAS ANGKAT 5 TON PADA PABRIK PENGECORAN LOGAM SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan untuk Melengkapi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik KURNIAWAN

Lebih terperinci

Studi Pengaruh Sudut Potong Pahat Hss Pada Proses Bubut Dengan Tipe Pemotongan Orthogonal Terhadap Kekasaran Permukaan

Studi Pengaruh Sudut Potong Pahat Hss Pada Proses Bubut Dengan Tipe Pemotongan Orthogonal Terhadap Kekasaran Permukaan TUGAS AKHIR Studi Pengaruh Sudut Potong Pahat Hss Pada Proses Bubut Dengan Tipe Pemotongan Orthogonal Terhadap Kekasaran Permukaan Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN MESIN PEMOTONG UMBI SISTEM TRANSMISI PROYEK AKHIR

RANCANG BANGUN MESIN PEMOTONG UMBI SISTEM TRANSMISI PROYEK AKHIR RANCANG BANGUN MESIN PEMOTONG UMBI SISTEM TRANSMISI PROYEK AKHIR Diajukan guna memenuhi sebagian syarat untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Ahli Madya Teknik Mesin Disusun Oleh: BAGAS NURDIYANSYAH

Lebih terperinci

SKRIPSI PERANCANGAN BELT CONVEYOR PENGANGKUT BUBUK DETERGENT DENGAN KAPASITAS 25 TON/JAM

SKRIPSI PERANCANGAN BELT CONVEYOR PENGANGKUT BUBUK DETERGENT DENGAN KAPASITAS 25 TON/JAM SKRIPSI PERANCANGAN BELT CONVEYOR PENGANGKUT BUBUK DETERGENT DENGAN KAPASITAS 25 TON/JAM Diajukan guna melengkapi sebagian syarat Dalam mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) Dibuat Oleh : Nama : Nuryanto

Lebih terperinci

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Kondisi Serasah dan Lahan Setelah Panen Tebu

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Kondisi Serasah dan Lahan Setelah Panen Tebu HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Kondisi Serasah dan Lahan Setelah Panen Tebu Berdasarkan hasil survey lapangan di PG. Subang, Jawa barat, permasalahan yang dihadapi setelah panen adalah menumpuknya sampah

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

4 PENDEKATAN RANCANGAN. Rancangan Fungsional

4 PENDEKATAN RANCANGAN. Rancangan Fungsional 25 4 PENDEKATAN RANCANGAN Rancangan Fungsional Analisis pendugaan torsi dan desain penjatah pupuk tipe edge-cell (prototipe-3) diawali dengan merancang komponen-komponen utamanya, antara lain: 1) hopper,

Lebih terperinci

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS

PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS PERBANDINGAN ANTARA UNWEIGHTED LEAST SQUARES (ULS) DAN PARTIAL LEAST SQUARES (PLS) DALAM PEMODELAN PERSAMAAN STRUKTURAL MUHAMMAD AMIN PARIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan April hingga bulan September 2012 di Laboratorium Lapang Siswadhi Soepardjo, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas

Lebih terperinci

IV. PENDEKATAN DESAIN A. KRITERIA DESAIN B. DESAIN FUNGSIONAL

IV. PENDEKATAN DESAIN A. KRITERIA DESAIN B. DESAIN FUNGSIONAL IV. PENDEKATAN DESAIN A. KRITERIA DESAIN Perancangan atau desain mesin pencacah serasah tebu ini dimaksudkan untuk mencacah serasah yang ada di lahan tebu yang dapat ditarik oleh traktor dengan daya 110-200

Lebih terperinci

PERBANDINGAN METODE INTERPOLASI ABRIDGED LIFE TABLE

PERBANDINGAN METODE INTERPOLASI ABRIDGED LIFE TABLE PERBANDINGANN METODE INTERPOLASI ABRIDGED LIFE TABLE DAN APLIKASINYA PADA DATAA KEMATIAN INDONESIA VANI RIALITA SUPONO SEKOLAH PASCASARJANAA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Penelitian

3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Penelitian 19 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama sepuluh bulan, dimulai pada bulan Januari 2012 hingga September 2012. Penelitian dilaksanakan di tiga tempat yang berbeda,

Lebih terperinci

MODIFIKASI INSTRUMEN PENGUKUR GAYA TARIK (PULL) DAN KECEPATAN MAJU TRAKTOR RODA 2

MODIFIKASI INSTRUMEN PENGUKUR GAYA TARIK (PULL) DAN KECEPATAN MAJU TRAKTOR RODA 2 MODIFIKASI INSTRUMEN PENGUKUR GAYA TARIK (PULL) DAN KECEPATAN MAJU TRAKTOR RODA 2 Oleh : Galisto A. Widen F14101121 2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH

ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH ANALISIS MODEL PELUANG BERTAHAN HIDUP DAN APLIKASINYA SUNARTI FAJARIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

UJI KINERJA BULLDOZER MINI BERBASIS TRAKTOR TANGAN TIPE TREK. Oleh : ANDIKA KURNIAWAN F

UJI KINERJA BULLDOZER MINI BERBASIS TRAKTOR TANGAN TIPE TREK. Oleh : ANDIKA KURNIAWAN F UJI KINERJA BULLDOZER MINI BERBASIS TRAKTOR TANGAN TIPE TREK Oleh : ANDIKA KURNIAWAN F14101077 2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR UJI KINERJA BULLDOZER

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN DASAR TEORI 2.1. TINJAUAN PUSTAKA Potato peeler atau alat pengupas kulit kentang adalah alat bantu yang digunakan untuk mengupas kulit kentang, alat pengupas kulit kentang yang

Lebih terperinci

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PERKEBUNAN

SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PERKEBUNAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TANAMAN PERKEBUNAN BAB III PERSIAPAN LAHAN TANAMAN PERKEBUNAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU

Lebih terperinci

ROI{A TEKNIK PERTAhIIAN

ROI{A TEKNIK PERTAhIIAN ISSN 2085-26t4 ROI{A TEKNIK PERTAhIIAN Jurnal Ilmiah dan Penerapan Keteknikan Peftanuan Volume 5, No. 2o Oktober 2012 Program Sfudi Teknik Pertanian Fakultas Pertantan Universitas Syiah Kuala Darussalam,Banda

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tanaman Tebu

TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tanaman Tebu TINJAUAN PUSTAKA Budidaya Tanaman Tebu Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) seperti terlihat pada Gambar 1. merupakan family graminae yang dapat tumbuh di berbagai kondisi tanah dan iklim. Menurut Notojoewono

Lebih terperinci

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi

Lebih terperinci

ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.) YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT. Oleh: VIDY HARYANTI F

ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.) YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT. Oleh: VIDY HARYANTI F ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.) YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT Oleh: VIDY HARYANTI F14104067 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

IV. PENDEKATAN DESAIN

IV. PENDEKATAN DESAIN IV. PENDEKATAN DESAIN A. Kriteria Desain Alat pengupas kulit ari kacang tanah ini dirancang untuk memudahkan pengupasan kulit ari kacang tanah. Seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa proses pengupasan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pengganggu, temyata dapat juga dimanfaatkan untuk beberapa keperluan. Selain

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pengganggu, temyata dapat juga dimanfaatkan untuk beberapa keperluan. Selain PENDAHULUAN Latar Belakang Rumput-rumputan (Gramineae) di samping dianggap sebagai tanaman pengganggu, temyata dapat juga dimanfaatkan untuk beberapa keperluan. Selain sebagai bahan pakan, rumput dapat

Lebih terperinci

MESIN PEMINDAH BAHAN

MESIN PEMINDAH BAHAN MESIN PEMINDAH BAHAN PERANCANGAN DAN ANALISA PERHITUNGAN BEBAN ANGKAT MAKSIMUM PADA VARIASI JARAK LENGAN TOWER CRANE KAPASITAS ANGKAT 3,2 TON TINGGI ANGKAT 40 METER DAN RADIUS LENGAN 70 METER SKRIPSI Skripsi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian yang dilakukan adalah sebagai. a. Pengambilan data tahanan penetrasi tanah

METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian yang dilakukan adalah sebagai. a. Pengambilan data tahanan penetrasi tanah METODE PENELITIAN A. Rangkaian kegiatan Kegiatan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Pengambilan data tahanan penetrasi tanah b. Pengolahan tanah c. Pesemaian d. Penanaman dan uji performansi

Lebih terperinci

BAB IV PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN BAB IV PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Perencanaan Tabung Luar Dan Tabung Dalam a. Perencanaan Tabung Dalam Direncanakan tabung bagian dalam memiliki tebal stainles steel 0,6, perencenaan tabung pengupas

Lebih terperinci

MODEL RADIASI SURYA DAN SUHU UDARA DI DALAM RUMAH PLASTIK YUSHARDI

MODEL RADIASI SURYA DAN SUHU UDARA DI DALAM RUMAH PLASTIK YUSHARDI MODEL RADIASI SURYA DAN SUHU UDARA DI DALAM RUMAH PLASTIK YUSHARDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai Mei 2012 di

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai Mei 2012 di III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai Mei 2012 di Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pasca Panen dan di Laboratorium Mekanisasi

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI

ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI ANALISIS POLA KELAHIRAN MENURUT UMUR STUDI KASUS DI INDONESIA TAHUN 1987 DAN TAHUN 1997 SUMIHAR MEINARTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pengukuran Titik Berat Unit Transplanter Pengukuran dilakukan di bengkel departemen Teknik Pertanian IPB. Implemen asli dari transplanter dilepas, kemudian diukur bobotnya.

Lebih terperinci

ESTIMASI KEBUTUHAN DAYA ALAT POTONG GERGAJI PIRINGAN UNTUK MESIN PEMANEN TEBU

ESTIMASI KEBUTUHAN DAYA ALAT POTONG GERGAJI PIRINGAN UNTUK MESIN PEMANEN TEBU ESTIMASI KEBUTUHAN DAYA ALAT POTONG GERGAJI PIRINGAN UNTUK MESIN PEMANEN TEBU Bambang Sugiyanto 1), Burhan Ibnu Mubtadi 2) 1) Dosen Politeknik Negeri Medan 2) Dosen Politeknik Pratama Mulia Surakarta ABSTRACT

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK GANDA DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH REGULASI OPTIMAL HASBY ASSIDIQI

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK GANDA DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH REGULASI OPTIMAL HASBY ASSIDIQI PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK GANDA DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH REGULASI OPTIMAL HASBY ASSIDIQI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pembuatan Alat 3.1.1 Waktu dan Tempat Pembuatan alat dilaksanakan dari bulan Maret 2009 Mei 2009, bertempat di bengkel Laboratorium Alat dan Mesin Budidaya Pertanian, Leuwikopo,

Lebih terperinci

44 masing 15 %. Untuk petani tebu mandiri pupuk dapat diakses dengan sistem kredit dengan Koperasi Tebu Rakyat Indonesia (KPTRI). PG. Madukismo juga m

44 masing 15 %. Untuk petani tebu mandiri pupuk dapat diakses dengan sistem kredit dengan Koperasi Tebu Rakyat Indonesia (KPTRI). PG. Madukismo juga m 43 HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek Teknis Pengolahan tanah Proses awal dalam budidaya tebu adalah pengolahan tanah. Kegiatan ini sangat penting karena tercapainya produksi yang tinggi salah satu faktornya adalah

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Syarat Dalam mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) Disusun Oleh :

TUGAS AKHIR. Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Syarat Dalam mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) Disusun Oleh : TUGAS AKHIR Perancangan Multi Spindel Drill 4 Collet Dengan PCD 90mm - 150mm Untuk Pembuatan Lubang Berdiameter Maksimum 10 mm Dengan Metode VDI 2221 Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Syarat Dalam mencapai

Lebih terperinci

PENGARUH JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK NITROGEN TERHADAP PERTUMBUHAN BUD CHIP TEBU (Saccharum officinarum L.) SKRIPSI OLEH:

PENGARUH JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK NITROGEN TERHADAP PERTUMBUHAN BUD CHIP TEBU (Saccharum officinarum L.) SKRIPSI OLEH: PENGARUH JARAK TANAM DAN DOSIS PUPUK NITROGEN TERHADAP PERTUMBUHAN BUD CHIP TEBU (Saccharum officinarum L.) SKRIPSI OLEH: ARIF AL QUDRY / 100301251 Agroteknologi Minat- Budidaya Pertanian Perkebunan PROGRAM

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Prinsip Dasar Alat uji Bending 2.1.1. Definisi Alat Uji Bending Alat uji bending adalah alat yang digunakan untuk melakukan pengujian kekuatan lengkung (bending)

Lebih terperinci