Pematangan oosit in vizro

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Pematangan oosit in vizro"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Pematangan oosit in vizro Keseluruhan jumlah ovari yang digunakan dalam penelitian utarna adalah 316 buah, dari ovari ini dapat digunakan 4711 oosit. Sedangkan sperma yang digunakan berasal dari semen kku yaitu Japanese Black sebanyak 144 straw, FH 59 straw dan juga memanfaatkan ejakulat semen segar dari sapi FH. Pengaruh perbedaan kualitas oosit terhadap pematangan oosit in vitro. Hasil percobaan seleksi oosit dengan cara mengklasifikasikan oosit menjadi 4 kategori (A,B,C dan D) menunjukkan bahwa, kualitas oosit memberikan pengaruh yang nyata terhadap pematangan oosit sapi yang diukur berdasarkan transformasi inti oosit yang sedang mengalami meiosis (F 0,Ol). Pengamatan kualitas tersebut didasari oleh keadaan kualitas sitoplasma dan sel-sel kumulus, kedua faktor ini sangat berperan penting dalam proses pernatangan oosit. Shamsudin dkk.(l993) mengatakan bahwa pa& proses pematangan oosit tejadi perubahan-perubahan dan reorganisasi dari organela-organela dalam mitokondria, semua kejadian ini tejadi di sitoplasma oosit pada saat pematangan oosit. Seperti tampak pada gambar 6 bhwa oosit berkualitas A dan B dapat rnelalui tahap GV dan GVBD dengan baik, keduanya mencapai 0 persen, artinya apabila oosit berkualitas A dan B di kultur selama 24 jam. maka semuanya paling tidak akan mencapai PM1 dan bahkan sebagian terbesar rnencapal metafase 2. Hasil penelitian tersebut adalah sbb: oosit berkualitas A sebesar 90,2 persen dan B sebesar 90,3 persen, sedangkan oosit berkualitas C dan D justru sebaliknya. Oosit berkualitas C clan D kelornpok terbesar hanya rnencapai tahap perkembangan GV dan GVBD sajq yaitu oosit C 23.3 persen dan 18.3 persen, oosit

2 D 20,3 persen clan 23,7 persen. hasil penelitian ini menunjukkan bahwa oosit berkualitas C dan D mengalami kesulitan untuk mencapai metafase 2. Garnbar 6.Pengaruh perbedaan kwalitas oosit (A,B,C daa D) terhadap transformasi inti omit yang dikultur secara in vitro selama 24 jam. Men~~t Gall dkk. (1996) kesulitan oosit untuk mencapai tahap pematangan metafase 2 diperkirakan karena ketidakmampuan oosit membentuk MPF (m-phase promoting factor) pada tahap GVBD. MF'F berperan dalam proses pemrograman fosforilasi/defosforilasi, proses ini sangat berperan sekali pada saat pematangan oosit. Faktor iniiah yang diperkirakan menjadi salah satu faktor oosit berkualitas C dan D tjdak mampu berkembang dengan baik, keadaan ini berbeda sekali dengan oosit yang berkualjtas A dan B.

3 (a;40cr~~la00x), Me& II (c; 4&x), metafase I (d, 2009 Pemhmgan oosit pada kelompok oosit yang berkualitas A dsn B diuji secara statistik temyata ti& munjdhn pehihri yang nysta ( jm,os), ini beratti kualitas A dan B mempyai kernamptun mtuk menerime sinyal pembelahan sel dahm rangka pematangan oosit seperti MPF (Whitaker, 1996). Hesil penelitian irs juga semakia menguatkan peadal#it bahwa keadaan sitoplasma dan sel-sel kumulus mempunyai peman penting peda proses -tangan oosit. Dixi percobgan ini dapat disimpulkan bahwa faktor penting melihat kualitas oosit adalah morfologi sitoplasma Morfologi sitoplasma ini relatif mudab untuk diamati di bawah mikmskop. Dari hasil penelitian in1 dapat disimpuikan bahwa pengametan morfologis ini &pat dhadaatkan untuk mcnseleksi oosit sebelurn difertilisasi.

4 - J. qi) Gambar 8.Kualitas oosit hasil aspirasi dan ovarium sapi yang berbeda bangsa. Pengaruh perbedaan bangsa sapi terhadap pematangan oosit in vitro. Pada percobaan pengaruh bangsa sapi terhadap pernatangan oosit in vifro, temyata bangsa sapi tidak rnernberikan pengaruh yang nyata terhadap kualitas oosit yang dihasilkan(p0,05) (gambar 8). Begitu pula pada percobaan transformasi inti oosit, temyata bangsa sapi juga tidak rnernberikan pengaruh yang nyata terhadap transformasi inti oosit (m,05) (Gambar 9). Hasil ini juga menunjukkan bahwa apabila oosit telah diseleksi berdasarkan keadaan sitoplasma dan sel kumulus yang menempel pada oosit, dirnana oosit yang dikultur hanya oosit dengan keadaan sitoplasma dan sel kumulus baik saja (oosit berkualitas A dan B), maka perbedaan bangsa tidak berpengaruh terhadap pematangannya.

5 Gambar 9: Perbedaan transformasi inti oosit setelah dikultur selama 24 jam dengan oosit yang b e d dari ovarium sapi yang berbeda bangsa. Gambar 10.0osit hasil aspirasi den* kualifikasi A (100X). I

6 keadaan sosial mr matahari Gambar 11 : Konsep umum pengaruh keadaan linglcungan ierhadap mekanisme reproduksi pada marnalia Wodifikasi dari Bronson, 1988). Pengaruh musim terhadap pematangan oosit in vitro- Musim memberikan pengar& pa& kondisi fisiologis hewan, ha1 ini dimungkinkan karena adanya perbedaan suhy kelembaban maupun photoperiod (Iamanya terkena sinar matahari). Menurut Bronson (1988) meskipun sebagai akibat adanya perbedaan musim memberikan efek yang multi kornplek (lihat gambar 11) tetapi diantara banyak faktor yang terpengaruh ak~bat adanya perbedaan lingkungan adalah laju sekresi hormokhomon prolaktin, FSH dan LH. Menurut De Smedt dkk.(1992) hormon-hormon FSH dan LH akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas oosit yang dihasilkan oleh ovarium sapi, sehingga dengan adanya perbedaan musim maka dihasilkan kuantitas dan kualitas oosit yang berbeda pula. Pendapat ini sesuai dengan hasil percobaan pengaruh musim terhadap kuatitas oos~t seperti tampak pa& gambar 12, ternyata &lam uji statistik musim berpengaruh nyata {P<O.OS) terhadap kuantitas dan kualitas oosit yang dihasilkan. Pada percobaan ini &pat diketahui musim gugur dan musim semi dapat menghasilkan U itas

7 clan kuantitas wsit terbaik buat sapi Japanese black, sedangkan pada musim panas dan musim dingin kondisi sebaliknya. t April Agurtus Oktober Januari I Gambar 12: Pengaruh musim terhadap kuitlitas oosit yang dihasilkan oleh Japanese black COW. Seperti pada perwbaan sebelumnya, apabila oosit dikultur hanya oosit yang berkualitas baik saja (A dan B), musim tidak berpengaruh terhadzrp pematangan oosit (m.05)(gambar 13). Hasil ini juga menunjukkan bahwa kondisi yang paging penting dalam menyeleksi oosit adalah keadaan sitoplasma dan sel-sel kumulus, apabiia kualitas nya baik, maka bangsa, maupun musim tidak memberikan pengaruh terhadap pematangan oosit. Sehingga untuk penelitian utama seleksi oosit &pat digunakan dengan metode ini. Hasil penelitian pendahuluan ini dapat mengantisipasi kemungkinan kejadian terlalu besarnya variabilitas data akibat : 1.ketidak seragaman individu dari sampel, dalam penelitian ini menggunakan bangsa sapi, sebagai representasinya 2. ketidak seragaman

8 akibat kondisi lingkungan, dalam penelitian ini menggunakan musim sebagai representasinya. Dari kedua hasil penelitian pendahuluan, yaitu bangsa dan rnusim tidak memberikan pengaruh nyata terhadap pematangan oosit, den- syarat bahwa oosit yang digunakan adalah oosit kualifikasi A den B sesuai dengan kriteria daiam penelitian ini inti owit GVBD AI-TI April Oktober Jmnuar~ Gambar 13. Transformasi inti oosit yang di aspirasi dari ovarium dengan musim yang berbeda dan setelah di kultur secara in vitro selama 24 jam. Pengaruh suplementasi PMSG dan hcg terhadap ekspansi sel-sel kumulus dan transiormasi inti oosit in wyiiro. Has11 percobaan pemberian PMSG dan hcg terhadap ekspansi sel-sel kumulus menunjukkan, suplementasi hormon PMSG dan hcg memberikan pengaruh sangat nyata terhadapekspansi sel-sel kurnulus (pc 0,Ol) (lihat gambar 14). Dalam penelitian ini tampak bahwa oosit yang dikultur dalarn TCM 199 saja. sama rsekali tidak terdapat sel-sel kumulus yang terekspansi secara sempurna (0 persen), sebagian besar masih pada tingkat 0

9 (57,lpersen). Sedangkan oosit yang dkdtur dengan TCM 199 dan suplementasi FCS, PMSG dan hcg didapatkan sel-sel kurnulus yang terekspansi sempuma mencapai 96.7 persen =ngkzt ckspansi scl-xl kurnulus pmsgthcg Gambar 14.Pengaruh suplementasi hormon PMSG dan hcg pada medium pematangan oosit in vrtro terhadap tingkat ekspansi sel-sel kumutus. Pa& percobaan pematangan oosit (gambar 15) ternyata menunjukkan bahwa hormon PMSG clan hcg dapat memberikan pengd sangat nyata terhadap transfonnasi inti oosit (~0,01). Tampak pula dari hasil percobaan ini kombinasi hormon PMSG dan hcg dengan FCS 10 persen memberikan pengaruh yang terbaik di bandingkan suplementasi PMSG atau hcg saja. Hasil ini menunjukkan bahwa suplementasi PMSG dan hcg memberikan pengaruh positif secara sinergis. Dalam rangka proses meiosis, hormon gonadotropin ini berperan mengaktifkan camf' intraseluler untuk melakukan alctifitas fisiologis dalam proses meiosis (Aktas dkk., 1995).

10 Pada medium pematangan oosit TCM 199 tanpa suplementasi, ternyata terdapat oosit yang mencapai tingkat transformasi inti pada metafase 2 (19.3 persen), meskipun pada percobaan ekspansi kumulus menunjukkan bahwa pada medium ini tidak terdapat sel-set kurnulus yang terekspansi sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa pematangan oosit tidak hanya tergantung pada tingkat ekspansi sel-sel kumulus. Meskipun menunrt Galeati (i 994) peran sel-sel kumulus pa& setiap spesies berbeda, pa& oosit sapi tanpa sel-set kumulus dapat berkembang sampai tingkat pematangan metafase 2 clan &pat difertilisasi secara in vitro. transfonnasi inti oosit GVBD Al-T1 V1 199 tcm +fcs tcm+rcs+ pmsg+hcg (medium kultur) Gambar 15.Pengaruh suplementasi PMSG clan hcg pada medium PIV terhadap transformasi inti omit sapi. Dari percobaan pematangan oosit ini dapat diketahui bahwa hormon PMSG dan hcg dapat berperan sebagi pengganti hormon FSH dan LH (Revel dkk., 1995; Moor dan Trounson,l977; Wolf dan Farin,1996). Sifat PMSG &n hcg dapat menggantikan FSt1 dan LH menurut peridapat Talarnantes dan Ogren, (1988) disebabkan bahwa 90 persen

11 PMSG-dan FSH bersifat homolog, perbedaamya hanya 14 peptida asarn amino yang terpasang pada a- FSH, sedangkan Q-hCG 80 persen homolog P-LH, kedua hormon ini beke rja seem sinergis dalam proses ekspansi sel-sel kumulus. Akibat homologi hormon- hormon ini reseptor-reseptor FSH dan LH dari sel-sel kumulus oosit dan granulosa mengenali PMSG dan hcg sebagai FSH dan LH, percobaan-percobaan yang sudah dilakukan adalah pada sapi. domba dan babi (Moore dan Ward, 1980; Licht dkk., 1979; Giilou dan Cornbarnus, 1983;Stewart dan Allen, 1981; Haresign dkk., 1994). PMSG dan hcg melalui proses pengenalan, transduksi, amplifikasi dapat menstimulasi produksi CAMP, CAMP ini berperan secara intra seluler dalam proses pematangan oosit (Dennefors dkk.,1982; Hamberger dkk., 1979; Marsh dm LeMaire, 1974;Rojas dan Asch, 1984; Hadley, 1984) Gambar 16. Model hipotetik rnekanisme transduksi LH modifikasi dari Mattioli (1994)

12 Secara hipotetik mekanisme kerja honnon LH in vivo adaiah sebagai berikut: LH yang berasal dinding folikel dan termasuk sel theca clan granulosa mengirim homon LH langsung ke oosit maupun lewat sef-sel kumulus, melalui sistem proses transduksi (gambar 16). Mekanisme kerja homon LH ini dapat dijadikan dasar cara kerja hormon-hormon PMSG dan hcg bekerja sama dengan sel-sel kumulus-oosit secant in vitro, sehingga secara in vitro hormon-hormon ini &pat dimanfaatkan pada suplementasi medium kultur untuk pematangan oosit dapat digantikan oleh PMSG clan hcg. Penclapat ini diduirung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh De Smedt dkk.(1992), pada pematangan oosit domba secara in vitro dengan medium TCM 199 ditambahkan 19 persen serum anak sapi dan hormon FSH, LH dan estradiol-$ dm digunakan sel-sel kurnulus dihasilkan oosit matang 86 persen. Hasil penelitian ini bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Keskintepe dkk (1994) penambahan LH, FSH dm hcg pada medium kultur pernatangan oosit kambing in vitro menghasilkan sel-sei kumulus terekspansi sempurna sebesar 97-5 persen. Perkembangan sel-sel kumulus maupun sel granulosa tidak tergantung dari asal tahap perkernbangan folikelnya, pendapat ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Gutierrez, dkk (1994) dimana sel-sel granulosa dari berbagai tahap perkembangan folikel mengalami proliferasi bila di kultur secara in vitro. Menurut Kennedy dkk. (1994) sel-sel kumulus berperanan dalam proses pematangan oosit berupa pemberi sarana (vasilitator) &lam proses metabolisme hormonal dan nutrisional serta komunikasi sel. Demikian pula pendapat Mattiolli (1994) bahwa kumulus sei mempunyai peran sebagai alat spesifik dalam mekanisme transduksi untuk menstransfer sinyal gonadotropin ke oosit melafui sistem "gap junct~on". Sedangkan Salustri dkk.(1990) terjadinya ekspansi sel-sel kumulus memberi peranan dalam

13 rnencipcakan liigkungan mikro untuk oosit, Kenaedy dklt(1994) lingkungan mikro tersebut berupa pmhgkatan M tas metabolism kebututm makanan oosit. I Gambar 17. K- ekspansi sel-sel kumuhrs pach tingkat 2 (sel-sel kumulus terekspmsi secara sempurna) setelah dikultir selama 24 jarn.(2oox). Menurut Lu dkk (1987) secara in vim peaingkatan CAMP mengaki sel-sel kumulus terekspsi secant sempwna, sedangkan meningkatnya CAMP akan mengaktifasi proses meiosis. Dati basid penelitian ini dapat disimpdkm sel-sel kumulus ti& hanye ddam pmses meiosis oosit termasuk menghambat manpun mengaktifkannya tetapi sel-sel ini dapat dijadikan iadikator pematangannya, tendama &lam aplikasinya untuk pelaksanaan fertilisasi in vim Sedangkan menumt Funahashi dan Day (1995) men- bahwa hubungan ytmg sangat delrat antara sel-sel granutosn dan sel-sel kumulus disekitar Ooeit ekan mengakibetkan pematangan oosit tertahan untuk tidak mengalami meiosis, apabila hubungsn ini stldah merenggmg oleh Mctor-kktor pemtmgan

14 oosit dan atau sel-sel kumulus yang terekspansi, akan mengalubatkan gap junction dengan cepat men- jurnlahnya, sebagai akibatqkakses penghambatan berlangsungnya meiosis berkurang drastis. Proses pematangan oosit rnerupakan proses meiosis yang diawaii dengan segregasi kromosom-kromosom (kondensasi DNA) pada spindel meiosis yang rnenghasilkan gamet yang bersifat haploid dari prekusor gamet yang bersifat diploid, pada proses ini terdapat beberapa kejadian penting yang sangat berkaitan erat dengan aktifitas meiosis oosit. Kejadian-kejadian itu merupakan kejadian jntra seluler oosit yang didukung oleh kondisi lingkungan yaitu berupa sel-sel disekitar oosit misalnya sel-sel kumulus atau sel-sel granulosa dan hormon-hormon, zat biologi dctiometabolit, berupa messenger kedua, faktor penumbuh, M-phare promoting factor (MPF), plaminogen aktifator dl1 (Darnell dkk., 1990; Whitaker, 1996). Zat-zat ini punya peran fisiologis ekstfa maupun intra seluler untuk memberikan signal pembetahan pada miosis maupun intra seluler untuk rnemberikan signal pa& kmmosom-kromosom untuk bersegregrasi. (Nebreda clan Hunt,1993; Draetta dan Beach, 1988; Moor dan Crosby.1986; Mattioli dkk., 1991; Naito dan Toyoda, 1991; Naito dkk., 1992). Zat-zat ekstra seluler yang mendukung kejadian pematangan oosit laimya adalah hormon-hormon gonadotropin yaitu LH. FSH, PMSG, hcg dan Hormon ChRH. Hormon hormon ini secara in vivo akan men~ngkatkan sekresi aktivator plasminogen oleh ovari (Liu dan Hsueh, 1987; Liu dkk ; Ny dkk., 1987; Lipner, 1988), dan sel-sel kumulus in vitro pa& kompleks oosit-sel kurnulus sapi dan babi pa& saat in virro ( Kim, 1993). Aktivator plasminogen berperan dalarn sintesis mrna yang dibutuhkan oleh oosit untuk mencapai GVBD ( Sirard dkk., 1989) dan dapat te rjadi secara in vitro (Kim. 1993). Tanpa

15 adanya stirnulasi LH granulosa Iayer tidak dapat memproduksi aktivator plasminogen (Tischkau, dkk. 1996). Salah satu zat ekstra seluler yang berfungsi sebagai penghambat pematangan oosit adalah OMI (Oocyte mattnation inhibitor), OM1 merupakan peptida yang berperan dalam menghambat transformasi inti oosit secara in vivo agar supaya oosit tetap bertahan pada GV, O.M.1 disekresi sel-sel granulosa dan sel-sel kumulus (Ookata dkk., 1992; Tsafriri dkk, 1975; Sato dan Ishibashi 1990). Pa& saat ovulasi ataupun aspirasi, aplagi setelah dikultur &lam medium kultur, dimana konsentrasi OM1 menjadi sangat rendah, babkan aktifitasnya dapat ditekan dengan meningkatnya suplai gonadotropin sehingga secara spontan oosit mengalami proses pematangan oosit melalui proses transfoxmasi inti (Tsafriri dkk., 1975; Tsafriri, 1988;Sato dan Ishibashi,l990; Chen dkk.,1990). Fertilisasi in vitro 0. Pengaruh NaHCOs pada medium fertilisasi in vitro. Dalam percobaan ini digunakan modifikasi pada konsentrasi NaHC03 dengan osmolaritas larutan BO betkisar 270 s.d 330 mosm. Kisaran osmolaritas ini masih memenuhi sarat sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Wang (1995) yaitu 256 s.d. 330 mosm. NaHCO3 merupakan buffer fisiologis yang diharapkan punya peran dalam proses fertilisasi. Dan gambar 18 tampak bahwa konsentrasi NaHCO3 37 mm mempakan konsentrasi terbaik pada medium BO untuk fertilisasi, pada gambar ini menunjukkan prosentase sperma hidup (viabilitas sperma) setelah di kultur selama 8 jam pa& konsentrasi NaHC03 21 mm, 37 mm dan 45 mm mengalami penurunan sebesar 28,9 persen, 1,2 persen dan 17,2 persen, dari uji statistik hasil penelitian viabilitas sperma menunjukkan perbedaan yang nyata (p(0,oi). Sedangkan hasil percobaan tentang flulciuasi prosentase

16 sperma dengan pola CTC pada prbedaan konsentrasi N-03 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p0,05). LAMA INKUBAS (JAM) Gambar 18 : Viabilitas sperma yang diinkubasi selama 8 jam dengan konsentrasi NaHC03 &lam BO yang berbeda.(2 1 mm; 37mM;45mM). Hail penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan NaHC03 pada BO medium dengan konsentrasi 37 rnm rnenghasilkan kondisi lingkungan terbaik untuk viabilitas sperma (persen sperma hidup), karena dengan penambahan NaHCO3 pada konsenttasi ini menghasilkan penurunan viabilitas terkecil (hanya 1,2 persen saja). Hasil ini rnenunjukkan bahwa, meskipun natriumbikarbonat tidak berperan langsung pa& proses kapasitasi dan akrosorn reaksi spermatozoa, tetapi NaHC03 dengan konsentrasi 37 mm dapat berperan sebagai pembentuk buffer fisiologis yang &pat menciptakan lingkungan sperma &pat lebih survive di bandingkan dengan penambahan N&C03 pada BO medium pa& konsentrasi 21 mm dan 45 mm. Pendapat ini sesuai dengan perkiraan dan hasil penelitian

17 ymg dilakukan oleh Hyne (1984) Bahwa NaHC03 berperan sebagai komponen pembentuk buffer pada medium BO, dengan adanya buffer ini proses fisiologis sel pada spermatozoa &pat berlangsung dengan normal, sehingga sperma tersebut dapat bidup terus sampai akhir masa inkubasi. NaHC03 juga memberikan suasana Iarutan BO memungkinkan berlangsungnya influx cazc kedalam spermatozoa (Lee dan Storey, 1986) dan dengan konsentrasi tertentu dapat mensuport reaksi akrosom dan hiperaktifasi pada tikus (Neil1 dan Olds-Clarke, 1987; Niwa dan Chang.1974) dan marmut (Boatman dan Robbins, 1991), kelinci (Bhattcharya dan Yanagimachi, 1988). Menurut Fraser dkk. (1995) dengan pewarnaan CTC (Gambar 19) akan tarnpak pola sebagai berikut yaitu : a. pola sperma belum terkapasitasi dengan kepala sperma utuh, seluruhnya tenvamai, b. pola kapasitasi sperma &ngm akrosom utuh, sehingga hanya bagian akrosom terwarnai, dan pola c. yaitu pola reaksi akrosom dimana keseluruhan kepala splrma tidak terwarnai. Menurut Yanagimachi (1994) dan Barboni (1994) kapasitasi dan reaksi akrosom me~pakan prasarat berlangsungnya fertilisasi, dalam proses kapasitasi ini terlibat banyak perubahan yang terjadi baik pada -1asma membran maupun komponen intraseluler, sperma terkapasitasi &pat melakukan penetrasi oosit setelah terjadi reaksi akrosom. Menurut Wang (1995) pada satu jam setelah inkubasi proporsi pola sperma belurn terkapasitasi akan menurun drastis dengan rata-rata genurunan sebesar persen, sebaliknya pola reaksi akrosom sperma meningkat dengan drastis sebesar persen. sedangkan kapasitasi sperma berpola naik dengan kenaikan sebesar persen. Pada gambar 20 tarnpak bahwa angka penetrasi sperma terhadap oosit tertinggi pada medium BO dengan konsentrasi NaCO, 37 mm yaitu dengan nilai 92,3 persen. Tingginya angka penetrasi sperma terhadap oosit ini disebabkan karena viabilitas sperma pada medium ini mengalami penman tersedikit. Dengan demikian masih banyak sperma

18 yang tetap bertshan hidup sampai akhir masa inkubasi, sperma berpeluaag lebih besar untuk melakukan penetrasi terbadap oosit dibandingkan medium BO dengan konsentrasi NaHCa 21 mm dan 45mU Meskipun menurut Schoneck dkk(1996) viabilitas spe.nna I I bukanlah merupakan satu-satuuya indikator fertilitas sperms, namun menurut pendapat Tajik dkk. (1994) bikahonat dengan konsentrasi moderat dapat memehhm spermatozoa I mtuk tetap mampu melakukan penetrasi terhadap oosit. Gambar 19: Sperrna dengan pola CTC (Chlort&acycline): A. pola sperms normal; B. pola kapasitasi spenna C. reaksi alcrosom sperma.(800x). Pada penelitian ini medium fdsasi juga di tambahkan kafein, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Tajik dkk (1994) ~~ kafein den* kombinasi NaHCa memberha peran cukup esensial pada proses kapasitasi sperms sad. Sesuai

19 dengan sifat kafein, kafein berperan pula pada peningkatan motilitas spenna dan hiperaktifrtas sperrna (Niwa dkk., 1988). Garnbar 20.Pengamh konsentrasi NaHC03 dalam medium BO terhadap angka penetrasi sperrna-oosit. transformasi inti sperma (PKS, pembengkakan kepala sperma,dan terbentuknya pronukleus janta-tina). Oosit hewan mamalia dapat dipenetrasi oleh sperma pada tahap sejak GV, inti sperma mengalami proses transformasi mdai dari pembengkakan kepala sperma, kondensasi kromatln dan akhtrnya terbentuk pronukleus jantan, demikian pula inti oosit terpenetrasi dapat mengalami transformasi berkembang menjadi pronukleus betina (Niwa dkk ; Abeydeera, 1994; Chian dkk., 1992). Menurut Osbom dan Moor (1983) dalam proses pernbentukan pronukleus jantan atau betina sangat bekaitan erat dengan kemampuan oosit dalarn mensintesa polipeptida tertentu untuk rnemprakarsai dekondensasi inti,

20 polipeptida ini disintesa di sitoplasma dan tidak terpengaruh atas transformasi inti oosit. Di dalam penelitian ini dapat dilihat melalui tabel 9, 10, dm 11, dimana oosit terpenetrasi &pat rnembentuk pronukleus jantan maupun betina, meskipun oosit-oosit tersebut teqxnetrasi lebih dari satu sperma. Pengaruh lama inkubasi sperrna-oosit pada medium fertilisasi in vie0 terhadap angka penetrasi sperma - oosit. Lama inkubasi spenna dalam medium fertilisasi in vitro (FIV) yang berisi oosit merupakan faktor penting dalam proses fertilisasi in viho, ha1 ini sangat berkaitan sekali dengan proses kapasitasi maupun alcrosom reaksi, dimana proses ini memerlukan waktu- waktu tertentu tergantung jenis spesies dan bangsanya. Menurut Niwa dkk.(1991) oosit sapi pada saat tahap germinal vesicle (GV) clan masih dalam proses pematangan merupakan oosit yang dapat di penetrasi oleh sperma secara in vitro. Pada percobaan ini (tabel 9) tarnpak bahwa pa& pengamatan 2 jam lama inkubasi sudah tejadi proses penetrasi sperma terhadap oosit (14,1 persen). Penetrasi tersebut meningkat apabila inkubasi di Ianjutkan menjadi 5 jam (60 persen), begitupula apabila lnkubasi dilanjutkan menjadi 8 jam (90,3 persen), tetapi apabila lama inkubasi dilanjutkan menjadi 11 dan 14 jam, pa& lama inkubasi ini temyata tingkat penetrasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (90,3 persen, 89,s persen dan 91,s persen), dari penelitian ini menunjukkan bahwa pada masa inkubasi 8 s.d. 14 jam merupakan masa inkubasi maksimal untuk fertilisasi in vitro pada sapi. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang telah di lakukan oleh Niwa (1991) inkubasi sperma-oosit selama 8 jam &an mernberikan kesempatan pada spermatozoa melakukan penetrasi terhadap oosit secara sempuma.dari hasil penelitian ini juga tampak bahwa proses terbentuknya pronukleus

21 jantan atau betina berkaitan dengan lama inkubrtsi, dimana pada lama inkubasi terjadi 90,7 persen dari oosit terpenetmsi telah terbentuk pronukleus jantan dan betina, keadaan sebaliknya pada perkakuan lama inkubasi 2 jam belum satupun terbentuk pronukleus jantan atau betina. Tabel 9 : lama inkubasi terhadap penetrasi spenna pa& msit. Lama Jml oosit Jml oosit terpenetrasi (persen) inkubasi yg diuji Total dg terbentuknya Jurnlah oosit Pembekakan pronukleus polispermi kepala sperma jantanhetina 2 iam 64 9(14,1) 9(100) o(0) 4(44,4) 5 jam 60 36(60) 33(9 1,7) 3(8,3) 7(19,4) 8 jam 62 56(90,3) 45(80,4) 11(19,6) 12(2 1.4) fljarn 59 53(89,8) 10(18,9) 43(81,1) 10(18,9) 14 jam 59 54(9 1,5) 5(9,3) 49(90,7) 9(16,7) Polispermi merupakan peristiwa dirnana oosit terpenetrasi lebih dari satu spermatozoa, pada penelitian ini ternyata lama inkubasi sperma-oosit selama 2 jam menghasifkan angka polispemi terbesar yaitu 44.4 persen. Hasil penelitian yang di lakukan oleh Clarke dan Masui (1986) menunjukkan penetrasi lebih dari satu spermatozoa tidak rnenghambat proses pematangan oosit. Sedangkan Abeydeera (1994) juga mengatakan polispermi tidak memberikan efek rnorfologis dan kemarnpuan oosit melakukan pematangan, tetapi oosit yang terpenetrasi Iebih dari 4 spermatozoa sebagian besar mengalami retardasi. Hal ini diduga disebabkan oleh ketidakcukupan tersedianya MPF (M-phase promoting fuctor), baik yang dtbutuhkan oleh spermatozoa maupun oosit pada saat transfomasi inti, sebagai akibatnya kejadian polispemi dengan penetrasi spermatozoa dalam jumlah 4 ekor mengakibatkan retardasi oosit. Dalam jumlah yang sedikit (6 persen) oosit yang diinsemenasi pa& tahap GV juga dapat mencapai rnetafase I1

22 dan membentuk pronukleus jantan clan betina. Hal ini berbeda dengan penelitian Clarke dan Masui (1986) pa& oosit yang diinsemenasi pada fase PM-I ke MI gaga1 membentuk pronukleus, sedangkan Longo dkk.(1991) melaporkan dengan menggunakan pembentukan pronukleus jantan dapat pula te jadi bila disinseminasikan pada fase MI (2rel) (8s el) (16sel) (morula) (Blartosls) Gambar 21. Pengaruh lama inkubasi sperrna-oosit pada saat FIV terhadap tumbuh embrio pasca FW. Pada gambar 21 tampak hasil penelitian lama inkubasi untuk fertilisasi in vifro ternyata juga memberikan efek nyata pada kultur embrio pasca fertilisasi ( F0,005), sedangkan pada percobaan lama inkubasi 2 jam ternyata pertumbuhan ernbrio te jadi hanya sampai 8 sel saja. Keadaan ini diduga hanya karena sedikitnya oosit yang terpenetrasi sehingga peluang berkemliang lebih lanjut menjadi semakin sedikit. Sedikitnya oosit terpenetrasi oleh sperma tersebut akibat kesempatan spermatozoa untuk melakukan

23 penetrasi secara ympuma lebih sedikit I)emikian pula pada percobaan lama inkubasi 5 jam embrio yang berkembang sampai tahap blaftosis juga relatif sedikit, jutnlah ini juga., berkembang menjadi embrio tahp blastosis juga semakin kecil. didcibatkan datif sedikitnya jumlah wit yimg terpenehasi (60 persen) sehingga peluang Gambar 22:FVoses fertilisasi in viho (200X), set-sel kumulus blah mulai terdistruksi. a.oosit terpenetrasi,b. sel-sel kumulus terdisttuksi oleh sperma,c.sekelompok sperma Keadaan tersebut di atas berbeda bila dibandhgkan dengan lama inkubasi 8,11, dan 14 jam, pada masa inkubasi ini penetrasi ~latif cukup tinggi yaitu 90.3 persen, 89,s persen dan 91,5 persen tetapi dari basil percobam ini tampak bahwa masa inkubnsi fertllisasi m vitro lebih dari 8 jam, menunjukkan pertumbuhan embrio tahap berikutnya lebih rendah dibandingkan dengan 8 jam Data ini menunjukkan bahwa inkubasi dalm

24 medium FN (BO) terhadap oosit lebih dari 8 jam rnengdubatkan gangguan terfiadap pertumbuhan pada embrio-embrio tersebut, gangguan ini diperkirakan karena kebutuhan nutrisional dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat untuk perkembangan embrio pada medium FIV (Kaye, 1986), oleh sebab itu oosit hams dipindahkan ke medium perkembangan embrio. Dari penelitian ini &pat disimpulkan bahwa inkubasi sperma-oosit pada medium FIV selarna 8 jam adalah metode terbaik guna mendapatkan embrio pasca FIV maksimal. Pengaruh keberadaan set-sel kumulus pada saat Fertilisasi in vitro. Ejakulat spermatozoa secara alamiah mempunyai kemampuan untuk melakukan pergerakan dim alctifitas di dalam medium buatan dalarn rangka melakukan penetrasi oosit yang terselubung oleh sel-sel kumulus (Makler dkk., 1984; Ing dkk., 1991). Sebagai prasaraf kemampuan sperma untuk rnelakukan penetrasi oosit tersebut adalah motilitas, kapasitasi dan akrosom reaksi &n hiperaktifasi (Bavister, 1989; Ward dan Storey, 1984; Yanagirnachi, I981;White dkk.,1992). Demikian pula dari hasil penelitian ini tampak bahwa disamping kondisi medium, sel-sel kwnulus mempunyai peran didalam proses fertilisasi in vitro. Dari Uji statistika tarnpak bahwa sperma yang di inkubasi bersama-sama selama 180 menit dengan oosit berkumulus penuh, 2/3 dan 1/3 serta tanpa sel-sel kumulus menunjukkan pola CTC yang berbeda (~0,05). Artinya sperrna tersebut menunjukkan pola belum terkapasitasi, terkapasitast dan reaksi akrosom yang berbeda. Data ini menunjukkan bahwa sel-sel kumulus mempunyai peranan dalam proses kapasitasi dan akrosom reaksi (Salustri dkk., 1992). Menurut Veselsky dkk. (1992) sel-sel kumulus ini juga membantu spermatozoa mencari oosit yang sepenuhnya dikelilingi sel-set kumulus, set-sel kumulus tersebut kaya akan hyaluronidase, yang akan menyebabkan sperma dapat melakukan

25 pergerakan aktrf untuk dapat menumbus kumulus mencapai permukaan zona pelusida serta mempercepat proses kapasitasi dan akrosom reaksi. Aarons dkk. (1992) menambahkan pergerakan sperma menempel pada dinding zona pelusida, merupakan serangkaian peristiwa yang sangat komplek, baik berupa pergerakan ekor sperma maupun serangkaian reaki biokimiawi pada kepala spenna Tabel 10 Tingkat penetrasi sperrna terhadap oosit dengan kondisi sei kumulus berbeda. Kondisi sel kumulus Jml Jml oosit terpenetrasi (persen) oosit Total PKS pronukleus Oosit jantanktina polispermi Oosit tanpa sel kurnulus 59 52(88,1) 28(53.8) 24(46,1) 23(44,4) Oosit dengan 113 sel kumulus 60 54(90) 26(48,1) 28(51,s) 16(29,6) Oosit dengan 2/3 sel kumulus 58 53(91,4) 26(49,1) 27(50,9) 13(24,5) Oosit dengan sel kumulus 58 53(91,4) 24(45,3) 29(54,7) 14(26,4) pen& Keterangan:PKS :pembengkakan kepala sperma Pada proses fertilisasi in virro, sel-sel kumulus mernpunyai peran lain, yaitu mengharnbat terjadinya proses polispermi (lihat tabel 10). Dimana oosit yang difertilisasikan tanpa sel-sel kurnulus mengalami kejadian polispermi terbanyak ( 44,4 persen), demikian pula pada hasil uji statistik temyata keberadaan sel-sel kurnulus memberikan pengaruh nyata terhadap kejadian polispermi (p<0,05). Hawk dkk. (1992) melakukan penelitian dengan membagi oosit bersel kurnulus pen& dan sebagian, temyata pada oosit yang difertilisasikan dengan menggunakan sel-sel kumulus sebagian berpeluang lebih besar mengalami polispermi b~la dibandingkan oosit dengan sel-sel kumulus penuh. Sperma melakukan penetrasi pada zona pelusida di bagian reseptor sperma (Yanagimachi, 1988; Veselsky dkk., 1992). reseptor tersebut terletak pada glikoprotein zonapelusida 3 (ZP3) (Wassarman. 1988; Hanquing dkk., 1991). Pada saat penetrasi te rjadi beberapa peristiwa fisiologis, salah satu kejadiannya adalah adanya gelombang perpindahan

26 cac2 di sitoplasma yang menekan terjadinya eksositosis granula kortikal, peristiwa ini menyebabkan membran mempunyai potensi memblok sperma lain yang akan melakukan penetrasi terhadap oosit (White dan Yue, 1996;Yanagimachi, 1988; Kline, 1996). Dengan tidak terbukanya semua reseptor pada zona pelusida karena tetutup sel-sel kumulus, peluang te jadinya banyak penetrasi oleh sperma (polispermi) pada saat relatif bersamaan semakin berkurang. Menurut Yanagimachi dalam Hunnicut dkk.(1996) adanya lapi$an kumulus mengakibatkan penghambatan sperma mencapai reseptor sperma yang terdapat pada zonapelusida, sehingga peluang terjadi penetrasi sperma secara bersamaan lebih sedikit. Keadaan berbeda bila mbandingkan dengan oosit tanpa sel-sel kumulus, peluang sperma mencapai reseptor pada zona pelusida secara bersamaan besar, artinya sebelum terjadi proses terbentuknya potensi oosit untuk memblok sperma akibat adanya penetrasi satu sperma, sudah ada sperma lain yang melakukan penetrasi terhadap oosit tersebut, selungga oosit terpenetrasi lebih dari satu sperma. Hasil peneiitian ini di dukung oleh Fukui dan Ono, (1989) adanya sel-sel kumulus dan sel-sel granulosa dapat meningkatkan angka fertilisasi dan menurunkan angka polispenni. Pembentukan pronukleus juga sangat dipengaruhi oleh keberadaan sel-sel kumulus (Sawai, 1997) dan suplementasi gonadotropin (Funahashi dan Day,1995). Hal ini disebabkan bahwa secara in v~tro sel-sel dapat memanfaatkan sistein dan sistin untuk disintesa menjadi glutation, bahan ini yang beperan dalam proses kondensasi kepala sperma untuk membentuk pronukleus. (SawaiJ997; Funahashi dan Day, 1993; Yoshida dkk.,1992). Menurut Wang dkk., (1991) pembentukan pronukleus me~p.%kaii proses penting dari keberhasilan proses fertilisasi sampai te rjadinya singami.

27 Pertumbuhan embrio in vim Pengaruh suplementasi PMSG dan hcg terhadap angka fertilisasi dan pertumbuhsn embrio dengan sistim kokultur. Seperti tampak pada tabel 11 bahwa pengaruh suplementasi hormon PMSG clan hcg pada medium pematangan in viho terhadap tingkat penetrasi sperma terhadap omit menunjukkan perbedaan yang nyata (F0,05), sedangkan untuk angka polispermi oosit tidak menujuldcan perbedaan yang nyata (p>0,05). Pada percobaan ini juga tarnpak bahwa medium TCM 199 tanpa supfementasi juga terdapat oosit terpenetrasi sperma, angka tingkat penetrasi (61,02persen) lebih besar di bandingkan dengan pada percobaan tingkat pematangan oosit pa& tabp metafase 2 (19,3persen) pa& medium yang sama (Gambar 15). Data ini menunjukkan bahwa penetrasi sperma terhadap oosit tidak selarnanya tejadi pada tahap metafase 2, pada tahap pematangan sebelumnya juga berpelmg tejadi penetrasi sperma. Pada sapi keadaan ini sudah indikasikan oleh beberapa peneliti seperti Niwa dkk.(199 I), Wang dkk. (1992), Mahi dan *nagimachi (1976). tetapi menurut Abeydeera (1994) penetrasi pa& saat GVBD akan menyebabkan banyak kejadian oosit polispermi. Kejadian polispermi ini yang menyebabkan gaga1 berkembangnya embrio. Tabel 11. Pengaruh suplementasi hormon PMSG dan hcg pada medium PIV terhadap tingkat pene-kasi sperma terhadap oosit sapi. Medium kulrur jml Jumlah oosit yan~ terpenetrasi(persen) oosit yg Total PKS pronuklcus oosit diuji polispermi TCM (6 1.02) 18(50) 1 q50) 17(47,2) TCM I99+FCS 62 4q74.2) 20(43,5) 26c56.5) 12(26,1) TCM 199+FCS+PMSG 64 53(82.8) 25(47,2) 28(52,8) 13(24,7) TCM 199+FCS+HCG 63 54(85,7) 24(44,4) 30(55,6) 11(20,04) TCM199+FCS+HCG+-PMSG 61 55(90,2) ) 37(67,3) 11 (20,O) Kct~angan :PKS:-be&dao k-i. rpemv

28 Pada tabel 11 juga tampak bahwa kejadian polispenni pada medium TCM 199 tanpa suplementasi juga paling besar dibandingkan medium yang lain (47,2 persen), diperkirakan pada medium ini penetrasi sperma terfradap oosit banyak terjadi pada saat oosit fase GVBD, karena banyak oosit yang belum matanp, sehingga peluang polispermi semakin besar. Menurut Shamsudin dkk.(1993) penggunaan FCS untuk medium pematangan in vitro dan tumbuh in vitro, memkrikan pengaruh positif terhadap produksi blastosis, karena di dalam serum FCS terdapat kandungm hornon gonadotropin, faktor penumbuh, dm beberapa bahan nutrisional laimya yang sangat esensial dibutuhkan untuk pematangan oosit maupun pertumbuhan embrio. Begitu pula menurut Pawshe dkk. (19%) suplementasi hormon gonadotropin dikombinasi dengan FCS 10 persen memberikan dampak positif terhadap produksi blastosis. Sedangkan pada penelitian ini juga tampak bahwa medium tanpa suplementasi serum dm hormon gonadotropin hanya dapat menstimulasi pertumbuhan embrio sampai 8 sel saja itupun &lam jumlah sangat kecil (4,8persen), sehingga produksi ernbrio blnstosis tidak di hasilkan sama sekali (0 persen). Hasil penelitian ini juga didukung hasii. beberapa peneliti lain seperti Keskintepe, dkk. (1994) yaitu dibandingkan medium yang ditambahkan FSH dan LH mencapai angka moru1a 40 persen, medium tanpa suplementasi mencapai angka morula hanya 2 persen. Begitu pula menunrt Cameron dkk. (1996) kultur sel-sel granulosa atapun sel-sel kumulus dengan penambahan gonadotropin, meningkatkan M ~ t a s sitoplasma kinase yang berfmgsi sebagai pengaktif mitogen (pembelahan sel) yaitu berupa mitagen associated protein kinases (MAPK), aktifitas MAPK ini yang sangat berperan pembelahan sel-sel embrio, sehingga embrio dapat tumbuh dan berkembang secara in vitro.

29 Pembuatan medium PIV dengan sistim kokultur sel-set kumulus meskipun tanpa suplementasi masih dapat mencukupi kebutuhan-kebutuhan oosit maupun spermatozoa untuk melakukan transfomasi inti, seperti glutation, PA, CAMP, sistin dl1 ( Wiesel dan Schultz, 1981;Calvin dkk., 1986; Perreaqdt dkk., 1988: Kim. 1993; Sawai,1997). Apalagi di dalam medium TCM 199 terdapat kandungan sistein yang cukup tinggi yaitu 26 mg/l (Lihat P lampiran I), Menurut Sawai (1997) konsentrasi sistein yang cukup tinggi akan mengakiiatkan sintesis glutation oleh sel-sel kumulus, sebagai akibatnya pronukleus jantan akan mudah terbentuk. Dari tabel 12 juga tampak bahwa, oosit yang berasal dan medium PIV hanya menggunakan TCM 199 juga terbentuk pronukleus jantanhetina, karena oosit- oosit tersebut masih terselubung sel-sel kumulus. Pada gambar 23 tampak bahwa suplementasi PMSG dan hcg pada medium tumbuh in vitro (pertumbuhan embrio) dapat memberikan pengaruh nyata terhadap turnbuh kembang embrio (~0,005). Dari percobaan ini juga tampak bahwa kombinasi suplementasi PMSG dan hcg serta FCS dapat menghasillian produksi blastosis terbaik di banding dengan suplementasi PMSG dan hcg saja. Dari hasil penelitian ini (gambar 23) dketahui hambatan terbesar dari semua jenis suplementasi medium pertumbuhan embrio adalah kemampuan embrio untuk tumbuh dan berkembang melampaui tahap 8 sel-16 sel, dimana pada grafik tersebut tampak bahwa semua jenis suplementasi medium menunjukkan penurunan lebih cepat dibandingkan pada tahap perkembangan embrio yang lain (dari uji statistik p>0,005). Sebagian besar peneliti juga menghadapi masalah ini. Hambatan ini sering disebut "fenomena sel blok (Sparks, dkk., 1992; McGinnins dan Youngs.1992 ), pada sapi fenomena ini terjadi pada saat 8 s.d. 16 set. Sedangkan pada babi terjadi pada tahap 4 sel ( Davis dan Day, 1978).

30 Gambar 23.Pengaruh suplementasi hormon PMSG dan hcg pada medium tumbuh in vitro terhadap pertumbuhan ernbrio sapi. Meskipun para peneliti masih berbeda pendapat, tetapi beberapa peneliti menganggap bahwa glukosa sebagai salah satu penyebab te jadinya sel blok (McGinnins dan Youngs, 1992). Pada penelitian ini digunakan TCM 199 yang juga mengandung glukosa (lihat komposisi TCM 199, lampiran I), sehingga fenomena sel blok juga terjd. Pendapat ini dapat dilihat dari gambar 24, dimana medium yang hanya mengandung TCM 199 saja. tidak satupun embrio dapat melewati tahap 8 sel. Sedangkan pada medium perkernbangan embrio dengan kombinasi suplemen homon PMSG, hcg dan FCS temyata dapat melalui tahap 8 sel, meskipun banyak embrio yang terdegenerasi sebelum mencapai blastosis. Sebagai contoh dari hasil penelitian ini menunjukkan medium pertumbuhan embrio dengan suplementasi FCS saja untuk melalui tahap 8 sel embrio terdegenerasi

31 sebesar 74,4 persen, FCS dan PMSG sebesar 682 persen, FCS dan hco sebesar 63,M pemq FCS dm PMSG serta hcg sebesar 47,9 persen Dari data tersebut menunjukkan bahwa meskipun suplementasi pads medium pemrmbuhan embrio dengan FCS, PMSG,., dan hcg sudab dilakukan, temyata fenomena sel blok masih juga terjadi Suplementasi medium ini hanya dapat mengumpi embrio tedegemrasi lebih banyak pada saat melalui I tahap 8-16 sel, kiuena temyata masih batyak embrio yang &pat berkembang men&pai Garnbar 24: Monolayer dari&.g&l,,, y...w.-,xv--., ini sel-sel kumults yang dimnnfsmliin sebagai sel-sel kokultur dapat berpem dalam menpmgi embrio terdegenerasi agar sopaya &pat melalui tahap perkembangan 8 sel. Sel-sel kumulus berperan dalam ketabolisme g l m meskipun peda penek ini tidak diamati kemampuan sel-sel kumulus untuk meugkonsumsi glukosa, tetapi menlnut Krisher dklc, (1989) kemmp~~tl sel-sei kumulw &lam katabolisme

32 glukosa diperm membeh kontribusi perkembangan embrio melevati sel blok Menurut Khurana dan Wales (1989) Metabofisme glukosa mengakiiatkan terabmulasi laktat, dip* konsenttasi laktat yang berlebihan akan menyebabkan toksisitas pada., embrio muda (sebelum mencapii tahap 8 sel). Delam suasana aerobik laktat tersebut dapat teroksidasi kembali secara lambat (Lehhger,l992). a h 1 tetapi kebutub glukosa meningkat dengan drastis pub tahap morula (Javed dan Wright, 1988) sehingga arhys. glukosa puda sistem kokultur bermanfaat untuk menghasilkan blastosis yang lebih banyak, tetapi diperlukan pengatman waktu pemberiannya (Rob1 dkk, 1991;Minami dkk.,1992) Gambar 25: Embrio tahap momla (a) pada hari ke 5 kultur (200X) dengan monolayer selsel kumulus(b)

33 ap blastosis am I (c) ernbrio de ) dm blastosis akh rasi. Cfambat 27: Blastosis etas pada had ke 23 tam* ICM (inner ceu miudtanda paoah ) (10x1 Kaltur klon embrio Kuhr kloa embrio yang bemml dari embrio dengan tahrrp perkembangan h kondisi medium yang berbeda. Pernbuatan klon embrio berasal dari embrimo basil Feailisasi in vitro temyata cukup layak untuk dikembangkan, lrarena men- pro& rem sederhaha Tampak dari tabel 12, bahwa produksi klon embrio berdasarkan

34 embrio (VI, I/II,IVII,I/fII,IYILI, dan III/III) berasal dari tahap perkembangan embrio morula maupun blastosis menunjukkan perbedaan nyata Dibandingkan manipdasi embrio pa& tahap blastosis, manipulasi embrio pada tahap perkembangan rnorula lebih mudah karena susunan blastomer masih seragam dan klum ada blastosul, sehingga peneliti dengan mudah menentukan garis sayat secara lebih simetris.namun demikian berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Reichelt dan Niemann (1994) klon embrio herasal dari embrio blastosis akan menghasilkan jumlah inner cells mass (ICM) dan trofoblas yang Iebih banyak. Jumlab inner cells mass ini sangat berpengaruh setelah transfer nantinya, karena berkurangnya ICM mengakibatkan potensi perkembangannya secara in vtvo berkurang. Meskipun demikian Heyman (1985) menambahkan bahwa disamping jumlah set-sel embrionik, kualitas sel-sel tersebut mempunyai arti penting untuk komunikasi antara embrio dan uterus. Kornunikasi ini sangat penting pa& saat transfer embrio. Demikian pula McEvoy dan Sreenan (1990) pada embrio sapi manipdasi pa& saat blastosis &an dapat menghasilkan laju kebuntingan yang lebih tinggi bila dibanding rnorula. Berdasarkan pertimbangan ini penelitian dilanjutkan dengan memanfaatkan embrio blastosis sebagai embrio yang dimanipulasi. Tabel 12. Kategorisasi pasangan klon embrio yang berasal dari embrio morula rnaupun biastosis setelah dikuitur selama 24 jam. Tahap perkembangan Jml embrio yg Kategori klon embrio dimanipulasi I/I 1/11 IUII I/111 1l/I11 I11/1II Momla Blastosis I Periode kdtur pasca manipulasi mempakan masalah yang sangat urgen untuk mengkultur klon embrio, terutama diperlukan waktu untuk rekonstitusi sel-sel yang terdistruksi pada sat manipulasi clan pembentukan blastosul kembali. Menurut hasil

35 investigasi Walker dkk.(1992) embrio - embrio hasil manipulasi &pat dikultur dengan menggunakan sistem kultur kokultur sel-sel ovidak, klon embrio tersebut dapat dengan cepat berkembang kembali. Pendapat ini sesuai dengan hasil penelitian yang dapat dilihat pa& Tabel 13 tarnpak periode kultur Mon embrio yaitu 24 jam pascamanipulasi.menutut Yang dan Anderson (1992), pemisahan blastomer seperti yang dilakukan pada penelitian ini untuk membuat embrio kernbar identik tidak akan mempengaruhi program perkembangan embrio itu sendiri (original devetopmental program). Meskipun manipulasi dilakukan beberapa kali tidak akan terjadi penggandaan progeni. Manipulasi tersebut tidak akan mempengaruhi program pembentukan konfigurasi sel-sel penyusun embrio, program pembelahan terus berlangsung sesuai dengan rencana, tanpa terpengaruh oleh berkurangnya jumlah sel. Sebagai contoh pada embrio sapi, pa& saat program pembelahan cleavage ke 6, sesuai dengan program sel-sel tersebut adalah saat membentuk blastosul dengan jumlah 64 sel, bila manipulasi dilakukan pada saat itu maka akan terbentuk vesikuia blatosul yaitu blastosul dalam ukuran kecil yang tidak mempunyai inner cell mass (ICM). Sebagai akibatnya klon embrio terekonstitusi &lam waktu yang relatif cept. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Du dkk., (1995) sifat sel-sel embrio semacam ini dapat dilihat pada pembuatan embryonic stem cen (ESC) dimana ESC dengan cepat membentuk embroit bod1 dan dapat menjadi embrio kembali setelab transfer inti. Tabel l3.jumiah klon embrio kategori I dikultur s.d. 96 jam in vitro Medium kultur Periode kultur Cjam) TCM TCM 199tFCS TCM 199+(lGF)-I TCM 199+FCS+(IGF)-I

36 Dari uji statistik ternyata kultur klon embrio dengan menggunakan medium yang berbeda dan periode kultur yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan nyata (p-0.05) (tabel 14). Dari hasil penelitian ini dapat diketahui proses terkntuknya kembali blastosul secara sempurna dapat terjadi hanya dalam waktu 24 jam, hal ini menunjukkan bahwa pemisahan blastomer pada tahap perkembangan blastosis proses rekonstitusi embrio &pat terjadi secara cepat. Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Taniguchi, dkk.(1992) proses rekonstitusi embrio tikus yang dimanipulasi prtda saat terbentuknya pronukleus dapat membentuk blastosis lebih cepat dibandingkan embrio utufi. Data lain darj kultln klon embrio setelah 24 jam (48.72 dart 96 jam) menunjukkan kejadian penman jumlah klon embrio, beberapa klon embrio mengalami degenerasi. Keadaan ini berarti setelah di kultur melebihi 24 jam perkembangan embrio tersebut terganggu, ha1 ini diperkirakan bahwa medium kultur sudah tidak dapat memenuhi kecukupan kebutuhan klon-klon embrio tersebut, mengingat embrio-embrio tersebut sudah pa& tahsp bhstosis, kebutuhan nutrional, hormonal, dl sudah semakin komplek. Data penelitian hampir sama seperti yang difakukan oleh Stein-Stefani dan Hoitz (1994) yaitu klon embrio babi setelah dikultur lebih dari 24 jam, yaitu pa& 48, 72, dan 96 jam beberapa Mon embrio mengalami disintegrasi dan kerusakan sel. Tabel 14. Katagorisasi pasangan klon embrio yang dikultur dengan kondisi medium yang berbeda selarna 24 jam. Kondisi medium Jml embrio Kategori embrio Yg dimanipulasi VI YII 11/ IVlIl IXL'III TCM TCM+FCS TCM+(IGF)-I I TCM+FCS+(IGF)-I

37 Penggunaan medium kultur untuk klon embrio dengan menggunakan kombinasi TCM, FCS dan IGF-1 menunjukkan perbedaan nyata pada morfologi klon embrio (p0,05) tetapi apabila masing-masing perlakuan diuji lanjut, ternyata perbedaan yang terjadi hanya pada medium tanpa suplemantasi, sedangkan pada medium dengan kombinasi suplerneniasi FCS dan IGF-1 yang perbedaannya ti* nyata. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sknyszowska dan Soinrag (1989) pada saat dilakukan rnikromanipulasi embrio mengalami kehilangan sel berkisar persen, kehilangan sel sangat tergantung dengan teknik yang digmakan, sehingga diperfukan suplernentasi medium yang &pat berperan sebagai cornpensato~y growth embrio pasca manipulasi, yaitu suatu proses pemulihan keadaan dalam bentuk pertumbuhan jumlah selsel embrio &lam waktu yang lebih cepat dari pertumbuhan normal. Untuk melakukan proses ini, klon embrio membutuhkan zat penumbuh yang mempunyai sifat mitogenik faktor cukup kuat yaitu IGF-1, Hadley (1984) menyatakan bahwa IGF-I mc~pakan senyawa yang tersusun dari rangkaian peptida, merupakan faktor penumbuh yang mempunyai sifat mirip dengan Insulin yaltu bersifat anabolic effect pada metabolisme karbohidrat, disamping itu IGF-I berfungsi pula sebagai multiplication stimulating activity yaitu mempunyai sifat menstimuli aktifitas penggandaan, sehingga IGF-I dapat membantu proses mitogenesis baik 1CM maupun trofoblas. Disamping penarnbahan IGF-I sebenarnya FCS juga mengandung IGF-I. faktor penumbuh ini sangat penting untuk pertumbuhan embrio (Spicer dan Geisert. 1992). Dengan demikian embrio dengan cepat terekonstruksi kembali menjadi klon embrio secara sempurna. Dengan terekonhuksi kembali ICM sangat bermanfaat untk pertumbuhan Llon embrio pasca transfer, sedangkan rekontruksi trofoblas sangat berperan pada saat implantasi dan pembentukan plasenta.

38 Hasil penelitian katagorisasi pasangan klon embrio hasil manipulasi (Tabel 15) dengan memanipulasi embrio sebanyak 199, ternyata dapat menghasilkan pasangan klon embrio layak transfer (transferable pairs) (In, 1/11 clan IVLI ) sebanyak 152 pang dan terdapat 32 klon embrio layak transfer dari pasangan dengan kategori I/LII dan IVLII. Sehingga total klon embrio &pat layak transfer ada1ah sebanyak 336 klon embrio. Dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan telcnik memanipulasi pembuatan embrio kembar &pat meningkatkan stok embrio sebesar 168,s persen di bandingkan dengan teknik TVF konvensional.

PENDAaULUAN. Latar belabng. merupaksn pemasok terbesar kebutuhan daging maupun susu masyarakat, berlangsung

PENDAaULUAN. Latar belabng. merupaksn pemasok terbesar kebutuhan daging maupun susu masyarakat, berlangsung PENDAaULUAN Latar belabng Sapi merupakan salah satu jenis temak yang tetah memberikan kontibusi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia. Diperkirakan kebutuhan daging maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di

I. PENDAHULUAN. memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bioteknologi reproduksi merupakan teknologi unggulan dalam memproduksi dan meningkatkan produktivitas peternakan. Terkandung di dalamnya pemanfaatan proses rekayasa fungsi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Embrio partenogenetik memiliki potensi dalam mengatasi permasalahan etika pada penelitian rekayasa embrio. Untuk memproduksi embrio partenogenetik ini, sel telur diambil dari individu

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi merupakan salah satu jenis ternak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi

TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi TINJAUAN PUSTAKA Fertilisasi Fertilisasi merupakan proses bertemunya sel sperma dengan sel telur. Sel telur diaktivasi untuk memulai perkembangannya dan inti sel dari dua gamet akan bersatu untuk menyempurnakan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Perkembangan Folikel

2. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Perkembangan Folikel 2. TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Perkembangan Folikel Satu siklus estrus terdiri dari fase folikular dan fase luteal. Fase folikular ditandai dengan pertumbuhan dan perkembangan folikel ovarium yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL I. Tingkat maturasi oosit domba dalam suhu dan waktu penyimpanan yang berbeda Tahapan pematangan inti yang diamati pada penelitian ini dikelompokkan menjadi 5 tahap yaitu GV

Lebih terperinci

DNA (deoxy ribonucleic acid) yang membawa informasi genetik. Bagian tengah

DNA (deoxy ribonucleic acid) yang membawa informasi genetik. Bagian tengah TINJAUAN PUSTAKA Spermatozoa Spermatozoa adalah sel kelarnin jantan yang dibentuk pada tubuli semineferi testes melalui proses yang disebut spermatogenesis (Toelihere, 1993a dan Salisbury dan VanDemark,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit Oosit adalah sel terbesar pada tubuh makhluk hidup. Oosit dihasilkan di ovarium yang merupakan organ reproduksi primer yang memiliki fungsi utama menghasilkan

Lebih terperinci

MATERI 6 TRANSPORTASI SEL GAMET DAN FERTILISASI

MATERI 6 TRANSPORTASI SEL GAMET DAN FERTILISASI MATERI 6 TRANSPORTASI SEL GAMET DAN FERTILISASI MK. ILMU REPRODUKSI 1 SUB POKOK BAHASAN Transport spermatozoa pada organ reproduksi jantan (tubuli seminiferi, epididimis dan ejakulasi) Transport spermatozoa

Lebih terperinci

ikan jambal Siam masih bersifat musiman,

ikan jambal Siam masih bersifat musiman, Latar Belakang Ikan jambal Siam (Pangmius hpophthalmus) dengan sinonim Pangmius sutchi termasuk famili Pangasidae yang diioduksi dari Bangkok (Thailand) pada tahun 1972 (Hardjamulia et al., 1981). Ikan-ikan

Lebih terperinci

4/18/2015 FERTILISASI BY : I GEDE SUDIRGAYASA GAMBARAN UMUM TOPIK MEKANISME

4/18/2015 FERTILISASI BY : I GEDE SUDIRGAYASA GAMBARAN UMUM TOPIK MEKANISME FERTILISASI BY : I GEDE SUDIRGAYASA GAMBARAN UMUM TOPIK MEKANISME TIPE 1 Sel Sperma ( haploid/ n) Sel telur (haploid/ n) Fertilisasi Zigot (Diploid/ 2n) Cleavage Morfogenesis Individu Sel Sperma ( haploid/

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Superovulasi Koleksi Sel Telur METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Januari 2011 s.d. Februari 2012. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Embriologi Departemen Anatomi Fisiologi dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan

Lebih terperinci

Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA. Transfer Inti Sel Somatis

Ruang Lingkup Penelitian TINJAUAN PUSTAKA. Transfer Inti Sel Somatis 3 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan oosit mencit hasil superovulasi dengan penyuntikan hormon PMSG dan hcg secara intraperitonial. Produksi embrio kloning menggunakan teknik TISS yang

Lebih terperinci

OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed

OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed OLeh : Titta Novianti, S.Si. M.Biomed Sel akan membelah diri Tujuan pembelahan sel : organisme multiseluler : untuk tumbuh, berkembang dan memperbaiki sel-sel yang rusak organisme uniseluler (misal : bakteri,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit

TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Folikel dan Oosit Secara anatomis, organ reproduksi betina terdiri atas sepasang ovarium dan saluran reproduksi yaitu tuba Falopii, uterus, serviks dan vagina. Ovarium merupakan

Lebih terperinci

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Lebih terperinci

Pada rnasa kini, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk. mempercepat peningkatan populasi, produksi dan mutu ternak adalah dengan

Pada rnasa kini, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk. mempercepat peningkatan populasi, produksi dan mutu ternak adalah dengan 1. Latar Belakang Pada rnasa kini, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat peningkatan populasi, produksi dan mutu ternak adalah dengan penyediaan bibit berkuaiitas tinggi meialui penerapan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Viabilitas berdasarkan morfologi zigot dan blastosis Pada penelitian ini, dilakukan pengamatan terhadap morfologi zigot sebelum dan setelah vitrifikasi tunggal (Gambar 3) dan morfologi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Ovarium merupakan salah satu organ reproduksi dalam wanita.

BAB 1 PENDAHULUAN. Ovarium merupakan salah satu organ reproduksi dalam wanita. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ovarium merupakan salah satu organ reproduksi dalam wanita. Reproduksi dimulai dengan perkembangan ovum di dalam ovarium (Guyton dan Hall, 2006). Ovum merupakan oosit

Lebih terperinci

Korelasi antara Oosit Domba yang Dikoleksi dari Rumah Pemotongan Hewan dengan Tingkat Fertilitasnya setelah Fertilisasi in vitro

Korelasi antara Oosit Domba yang Dikoleksi dari Rumah Pemotongan Hewan dengan Tingkat Fertilitasnya setelah Fertilisasi in vitro Korelasi antara Oosit Domba yang Dikoleksi dari Rumah Pemotongan Hewan dengan Tingkat Fertilitasnya setelah Fertilisasi in vitro Teguh Suprihatin* *Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Hewan Jurusan

Lebih terperinci

OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS. Titta Novianti

OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS. Titta Novianti OOGENESIS DAN SPERMATOGENESIS Titta Novianti OOGENESIS Pembelahan meiosis yang terjadi pada sel telur Oogenesis terjadi dalam dua tahapan pembelahan : yaitu mitosis meiosis I dan meiosis II Mitosis : diferensaiasi

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ini dilakukan pada 8 induk ikan Sumatra yang mendapat perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukan Spawnprime A dapat mempengaruhi proses pematangan akhir

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ovarium Oogenesis dan Folikulogenesis

TINJAUAN PUSTAKA Domba Ovarium Oogenesis dan Folikulogenesis 3 TINJAUAN PUSTAKA Domba Domba merupakan salah satu sumber protein yang semakin digemari oleh penduduk Indonesia. Fenomena ini semakin terlihat dengan bertambahnya warung-warung sate di pinggiran jalan,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging

PENDAHULUAN. 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat produksi daging domba di Jawa Barat pada tahun 2016 lebih besar 25,346 ton dari tahun 2015 yang hanya 22,668 ton. Tingkat konsumsi daging domba dan kambing di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Seorang wanita disebut hamil jika sel telur berhasil dibuahi oleh sel sperma. Hasil pembuahan akan menghasilkan zigot, yang lalu berkembang (dengan cara pembelahan sel

Lebih terperinci

PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik

PEMBAHASAN. Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan Borax Terhadap Performa Fisik Bobot Badan Tikus Ekstrak rumput kebar yang diberikan pada tikus dapat meningkatkan bobot badan. Pertambahan bobot badan tikus normal yang diberi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Superovulasi. Perkembangan Embrio Praimplantasi

TINJAUAN PUSTAKA. Superovulasi. Perkembangan Embrio Praimplantasi TINJAUAN PUSTAKA Superovulasi Superovulasi adalah usaha meningkatkan jumlah sel telur yang diovulasikan dengan stimulasi hormon. Superovulasi pada mencit dapat dilakukan dengan menyuntikkan hormon gonadotropin

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Berdasarkan tingkat keberhasilan ikan lele Sangkuriang memijah, maka dalam penelitian ini dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok perlakuan yang tidak menyebabkan

Lebih terperinci

EMBRIOGENESIS DAN INDUKSI EMBRIO (BAGIAN I) LABORATORIUM EMBRIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Indikator pencapaian: Definisi dan tahapan embriogenesis (pembelahan, blastulasi,

Lebih terperinci

Anatomi/organ reproduksi wanita

Anatomi/organ reproduksi wanita Anatomi/organ reproduksi wanita Genitalia luar Genitalia dalam Anatomi payudara Kelainan organ reproduksi wanita Fisiologi alat reproduksi wanita Hubungan ovarium dan gonadotropin hormon Sekresi hormon

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus norvegicus, L) dengan perbesaran 4x10 menggunakan teknik pewarnaan Hematoxilin-eosin

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu usaha yang mutlak dibutuhkan untuk mengembangkan budi daya ikan adalah penyediaan benih yang bermutu dalam jumlah yang memadai dan waktu yang tepat. Selama ini

Lebih terperinci

LAPORAN TAHUNAN HIBAH BERSAING MATURASI OOSIT DAN FERTILISASI IN VITRO MENGGUNAKAN KULTUR SEL GRANULOSA FOLIKEL OVARIUM

LAPORAN TAHUNAN HIBAH BERSAING MATURASI OOSIT DAN FERTILISASI IN VITRO MENGGUNAKAN KULTUR SEL GRANULOSA FOLIKEL OVARIUM LAPORAN TAHUNAN HIBAH BERSAING MATURASI OOSIT DAN FERTILISASI IN VITRO MENGGUNAKAN KULTUR SEL GRANULOSA FOLIKEL OVARIUM Tahun ke 1 dari rencana 2 tahun Ketua/Anggota Peneliti: Dr. drh. Heru Nurcahyo, M.Kes

Lebih terperinci

Fertilisasi dan Penurunan. Kromosom

Fertilisasi dan Penurunan. Kromosom Fertilisasi dan Penurunan Kromosom Laboratorium Embriologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Indikator Pencapaian Fungsi fertilisasi: fungsi reproduksi (penurunan genetik), fungsi perkembangan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Perlakuan penyuntikan hormon PMSG menyebabkan 100% ikan patin menjadi bunting, sedangkan ikan patin kontrol tanpa penyuntikan PMSG tidak ada yang bunting (Tabel 2).

Lebih terperinci

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh. MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO DOSEN PENGAMPU Drh. BUDI PURWO W, MP SEMESTER III JUNAIDI PANGERAN SAPUTRA NIRM 06 2 4 10 375

Lebih terperinci

Penggunaan Pregnant Mare's Serum Gonadotropin (PMSG) dalam Pematangan In Vitro Oosit Sapi

Penggunaan Pregnant Mare's Serum Gonadotropin (PMSG) dalam Pematangan In Vitro Oosit Sapi Penggunaan Pregnant Mare's Serum Gonadotropin (PMSG) dalam Pematangan In Vitro Oosit Sapi ZAITUNI UDIN¹, JASWANDI¹, TINDA AFRIANI¹ dan LEONARDO E. 2 1 Dosen Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Kampus

Lebih terperinci

PEMBAHASAN Pengaruh Efek Whitten terhadap Siklus Estrus dan Perkawinan pada Mencit

PEMBAHASAN Pengaruh Efek Whitten terhadap Siklus Estrus dan Perkawinan pada Mencit 17 PEMBAHASAN Pengaruh Efek Whitten terhadap Siklus Estrus dan Perkawinan pada Mencit Efek Whitten merupakan salah satu cara sinkronisasi siklus berahi secara alami tanpa menggunakan preparat hormon. Metode

Lebih terperinci

KOMPETENSI PERKEMBANGAN OOSIT DOMBA PADA SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN OVARIUM YANG BERBEDA ARIE FEBRETRISIANA

KOMPETENSI PERKEMBANGAN OOSIT DOMBA PADA SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN OVARIUM YANG BERBEDA ARIE FEBRETRISIANA KOMPETENSI PERKEMBANGAN OOSIT DOMBA PADA SUHU DAN WAKTU PENYIMPANAN OVARIUM YANG BERBEDA ARIE FEBRETRISIANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 i SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

OPTIMALISASI PRODUKSI EMBRIO DOMBA SECARA IN VITRO: PENGGUNAAN MEDIUM CR1aa DAN PENGARUH STATUS REPRODUKSI OVARIUM YULNAWATI

OPTIMALISASI PRODUKSI EMBRIO DOMBA SECARA IN VITRO: PENGGUNAAN MEDIUM CR1aa DAN PENGARUH STATUS REPRODUKSI OVARIUM YULNAWATI OPTIMALISASI PRODUKSI EMBRIO DOMBA SECARA IN VITRO: PENGGUNAAN MEDIUM CR1aa DAN PENGARUH STATUS REPRODUKSI OVARIUM YULNAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK YULNAWATI.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali (Bos javanicus)

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali (Bos javanicus) TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali (Bos javanicus) Sapi Bali (Bos javanicus) diduga berasal dari hasil domestikasi banteng liar (Bibos banteng). Payne dan Rollinson (1973) menduga asal mula sapi Bali adalah dari

Lebih terperinci

PEMANFAATAN SEL KUMULUS PADA MEDIUM KULTUR IN VITRO EMBRIO MENCIT TAHAP SATU SEL

PEMANFAATAN SEL KUMULUS PADA MEDIUM KULTUR IN VITRO EMBRIO MENCIT TAHAP SATU SEL PEMANFAATAN SEL KUMULUS PADA MEDIUM KULTUR IN VITRO EMBRIO MENCIT TAHAP SATU SEL EFFICIENCY OF CUMULUS CELL ON CULTURE MEDIUM IN VITRO ONE CELL STAGE IN MICE EMBRYOS E. M. Luqman*, Widjiati*, B. P. Soenardirahardjo*,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak yang dapat menyediakan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia selain dari sapi, kerbau dan unggas. Oleh karena itu populasi dan kualitasnya

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN OOSIT SAPI SECARA IN VITRO SETELAH INKUBASI PADA KONDISI TEMPERATUR DAN KOMPOSISI GAS CO 2 BERBEDA DWI WALID RETNAWATI

TINGKAT KEMATANGAN OOSIT SAPI SECARA IN VITRO SETELAH INKUBASI PADA KONDISI TEMPERATUR DAN KOMPOSISI GAS CO 2 BERBEDA DWI WALID RETNAWATI TINGKAT KEMATANGAN OOSIT SAPI SECARA IN VITRO SETELAH INKUBASI PADA KONDISI TEMPERATUR DAN KOMPOSISI GAS CO 2 BERBEDA DWI WALID RETNAWATI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

PENGARUH PREGNANT MARE SERUM GONADOTROPIN (PMSG) PADA MATURASI DAN FERTILISASI IN VITRO OOSIT KAMBING LOKAL

PENGARUH PREGNANT MARE SERUM GONADOTROPIN (PMSG) PADA MATURASI DAN FERTILISASI IN VITRO OOSIT KAMBING LOKAL PENGARUH PREGNANT MARE SERUM GONADOTROPIN (PMSG) PADA MATURASI DAN FERTILISASI IN VITRO OOSIT KAMBING LOKAL THE EFFECT OF PREGNANT MARE SERUM GONADOTROPIN (PMSG) ON MATURATION AND IN VITRO FERTILIZATION

Lebih terperinci

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan untuk makanan maupun untuk pengobatan tradisional.

Lebih terperinci

B A B I PENDAHULUAN A.PENGERTIAN

B A B I PENDAHULUAN A.PENGERTIAN B A B I PENDAHULUAN A.PENGERTIAN Ovulasi adalah peristiwa dilepaskannya ovum atau sel telur yang sudah matang dari ovarium.proses ovulasi terjadi apabila alat kelamin betina sudah mencapai dewasa kelamin.ovulasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 11 HASIL DAN PEMBAHASAN Ovarium yang dikoleksi dari rumah potong hewan biasanya berada dalam fase folikular ataupun fase luteal. Pada Gambar 1 huruf a mempunyai gambaran ovarium pada fase folikuler dan

Lebih terperinci

BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN

BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN BAB II SINKRONISASI ALAMI A. PENDAHULUAN Pokok bahasan kuliah sinkronisasi alami ini meliputi pengertian hormon reproduksi mulai dari definisi, jenis, macam, sumber, cara kerja, fungsi dan pengaruhnya

Lebih terperinci

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. penis sewaktu kopulasi. Semen terdiri dari sel-sel kelamin jantan yang dihasilkan

BAB II TIJAUAN PUSTAKA. penis sewaktu kopulasi. Semen terdiri dari sel-sel kelamin jantan yang dihasilkan 4 BAB II TIJAUAN PUSTAKA 2.1. Semen Semen merupakan suatu produk yang berupa cairan yang keluar melalui penis sewaktu kopulasi. Semen terdiri dari sel-sel kelamin jantan yang dihasilkan oleh testis dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kehidupan modern dewasa ini menyebabkan tingkat stress yang tinggi, sehingga menjadi salah satu faktor pemicu berkembangnya berbagai macam penyakit yang memerlukan penanganan

Lebih terperinci

URAIAN MATERI A. Fertilisasi dan Perkembangan Embrio Fertilisasi adalah proses penyatuan atau peleburan inti sel ovum (ovum) dengan inti sel

URAIAN MATERI A. Fertilisasi dan Perkembangan Embrio Fertilisasi adalah proses penyatuan atau peleburan inti sel ovum (ovum) dengan inti sel URAIAN MATERI A. Fertilisasi dan Perkembangan Embrio Fertilisasi adalah proses penyatuan atau peleburan inti sel ovum (ovum) dengan inti sel spermatozoa yang membentuk makhluk hidup menjadi zigot. Meskipun

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Jumlah sel darah merah yang didapatkan dalam penelitian ini sangat beragam antarkelompok perlakuan meskipun tidak berbeda nyata secara statistik. Pola kenaikan

Lebih terperinci

HASlL DAN PEMBAHASAN

HASlL DAN PEMBAHASAN HASlL DAN PEMBAHASAN Siklus Estrus Alamiah Tanda-tanda Estrus dan lama Periode Estrus Pengamatan siklus alamiah dari temak-ternak percobaan dilakukan dua kali dalam sehari yaitu pada pagi dan sore hari.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Volume Semen Domba

HASIL DAN PEMBAHASAN. Volume Semen Domba HASIL DAN PEMBAHASAN Volume Semen Domba Pengukuran volume semen domba dilakukan untuk mengetahui jumlah semen yang dihasilkan oleh satu ekor domba dalam satu kali ejakulat. Volume semen domba dipengaruhi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak

I PENDAHULUAN. berasal dari daerah Gangga, Jumna, dan Cambal di India. Pemeliharaan ternak 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kambing Peranakan Etawah atau kambing PE merupakan persilangan antara kambing kacang betina asli Indonesia dengan kambing Etawah jantan yang berasal dari daerah Gangga,

Lebih terperinci

LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3

LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3 LEMBAR KERJA KEGIATAN 8.3 MEMPELAJARI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MANUSIA MELALUI BIOTEKNOLOGI Bioteknologi berkebang sangat pesat. Produk-produk bioteknologi telah dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan

Lebih terperinci

GENITALIA EKSTERNA GENITALIA INTERNA

GENITALIA EKSTERNA GENITALIA INTERNA GENITALIA EKSTERNA..... GENITALIA INTERNA..... Proses Konsepsi Ovum yang dilepaskan dalam proses ovulasi, diliputi korona radiata mengandung persediaan nutrisi Pada ovum dijumpai inti dalam bentuk metafase

Lebih terperinci

Gametogenesis. GAMET: Berasal dari Bakal sel kelamin atau primordial germ cells luar gonad 2/4/2014

Gametogenesis. GAMET: Berasal dari Bakal sel kelamin atau primordial germ cells luar gonad 2/4/2014 Gametogenesis GAMET: Berasal dari Bakal sel kelamin atau primordial germ cells luar gonad BSK, Pada Amphibia, Mamalia ameboid lewat mesenterium ke pematang genital (bakal gonad) Aves : pasif dibawa aliran

Lebih terperinci

Z. Udin, Jaswandi, dan M. Hiliyati Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang ABSTRAK

Z. Udin, Jaswandi, dan M. Hiliyati Fakultas Peternakan Universitas Andalas, Padang ABSTRAK PENGARUH PENGGUNAAN HEMIKALSIUM DALAM MEDIUM FERTILISASI IN VITRO TERHADAP VIABILITAS DAN AGLUTINASI SPERMATOZOA SAPI [The Usage effect of Hemicalcium in a Medium of In Vitro Fertilization on Viability

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Superovulasi

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Superovulasi TINJAUAN PUSTAKA Sistem Reproduksi Sapi Betina Sistem reproduksi sapi betina lebih kompleks daripada sapi jantan, dimana terdiri dari beberapa organ yang memiliki peran dan fungsi masing-masing. Ovarium

Lebih terperinci

EMBRIOGENESIS DAN INDUKSI EMBRIO (BAGIAN I) LABORATORIUM EMBRIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Indikator pencapaian: Definisi dan tahapan embriogenesis (pembelahan, blastulasi,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan

PENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan tercapai bila mendapat

Lebih terperinci

DIKTAT EMBRIOLOGI HEWAN

DIKTAT EMBRIOLOGI HEWAN DIKTAT EMBRIOLOGI HEWAN Tim Penyusun: Dr. Agung Pramana W.M., MS. Dr. Sri Rahayu, M.Kes. Dr. Ir. Sri Wahyuningsih, MS. Drs. Aris Soewondo, MS. drh. Handayu Untari drh. Herlina Pratiwi PROGRAM KEDOKTERAN

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Hasil percobaan perkembangan bobot dan telur ikan patin siam disajikan pada Tabel 2. Bobot rata-rata antara kontrol dan perlakuan dosis tidak berbeda nyata. Sementara

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari 6 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Semen Kambing Semen adalah cairan yang mengandung gamet jantan atau spermatozoa dan sekresi kelenjar pelengkap saluran reproduksi jantan. Bagian cairan dari suspensi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Jumlah Zigot yang Membelah >2 Sel pada Hari Kedua

Lampiran 1. Jumlah Zigot yang Membelah >2 Sel pada Hari Kedua Lampiran 1. Jumlah Zigot yang Membelah >2 Sel pada Hari Kedua 1 48 32 2 40 29 3 40 20 4 26 36 5 36 35 6 35 26 7 32 22 Jumlah 257 200 Rataan 36,71 ± 6,95 28,57 ± 6,21 Lampiran 2. Uji Khi-Kuadrat Jumlah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit 40 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Oosit Pada Stadia Folikel Primer Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit pada stadia folikel primer dapat dilihat pada gambar 10.

Lebih terperinci

Kelahiran Anak Sapi Hasil Fertilisasi secara in Vitro dengan Sperma Hasil Pemisahan

Kelahiran Anak Sapi Hasil Fertilisasi secara in Vitro dengan Sperma Hasil Pemisahan Media Peternakan, April 2008, hlm. 22-28 ISSN 0126-0472 Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005 Vol. 31 No. 1 Kelahiran Anak Sapi Hasil Fertilisasi secara in Vitro dengan Sperma Hasil Pemisahan E.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo. Tabel 4 Karakteristik fisik reproduksi lele dumbo

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo. Tabel 4 Karakteristik fisik reproduksi lele dumbo HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Reproduksi Lele dumbo Lele dumbo merupakan salah satu jenis ikan konsumsi air tawar yang memiliki bentuk tubuh memanjang, memiliki sungut dengan permukaan tubuh

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Ikan Sumatra Gambar 1. Ikan Sumatra Puntius tetrazona Ikan Sumatra merupakan salah satu ikan hias perairan tropis. Habitat asli Ikan Sumatra adalah di Kepulauan Malay,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia memiliki kebutuhan konsumsi daging sapi yang meningkat setiap tahunnya, namun permintaan konsumsi daging sapi tersebut sulit dipenuhi. Ketersediaan daging sapi ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fertilisasi in vitro (FIV) merupakan salah satu cara bagi pasangan infertil untuk memperoleh keturunan. Stimulasi ovarium pada program FIV dilakukan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik semen

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karakteristik semen HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Semen Segar Dari hasil penampungan semen yang berlangsung pada bulan Oktober 2003 sampai dengan Juli 2004 dan rusa dalam kondisi rangga keras memperlihatkan bahwa rataan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang

I. PENDAHULUAN. Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesuburan pria ditunjukkan oleh kualitas dan kuantitas spermatozoa yang meliputi motilitas, dan morfologinya. Salah satu penyebab menurunnya kualitas dan kuantitas sperma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Manusia mempunyai dua ovarium yang berfungsi memproduksi sel telur dan mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur (oogenesis). Pada

Lebih terperinci

FERTILISASI DAN. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed DASAR KEPERAWATAN DAN KEPERAWATAN DASAR FIK-UI TUTI N., FIK UI

FERTILISASI DAN. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed DASAR KEPERAWATAN DAN KEPERAWATAN DASAR FIK-UI TUTI N., FIK UI FERTILISASI DAN KONTROL REPRODUKSI TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed DASAR KEPERAWATAN DAN KEPERAWATAN DASAR FIK-UI FERTILISASI Proses penyatuan gamet pria dan wanita yang terjadi di daerah ampulla tuba fallpopii.

Lebih terperinci

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. Kebuntingan dan Kelahiran Kebuntingan Fertilisasi: Proses bersatunya/fusi antara sel kelamin betina (oosit)

Lebih terperinci

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh

Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh Proses-proses reproduksi berlangsung di bawah pengaturan NEURO-ENDOKRIN melalui mekanisme HORMONAL. HORMON : Substansi kimia yang disintesa oleh kelenjar endokrin dan disekresikan ke dalam aliran darah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan

I. PENDAHULUAN. Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan merupakan alternatif pilihan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan protein. Salah satu komoditas yang menjadi primadona saat ini adalah ikan lele (Clarias sp.). Ikan

Lebih terperinci

REPRODUKSI SEL REPRODUKSI SEL AMITOSIS. Profase I. Pembelahan I. Metafase I. Anafase I MEIOSIS. Telofase I. Interfase. Profase II.

REPRODUKSI SEL REPRODUKSI SEL AMITOSIS. Profase I. Pembelahan I. Metafase I. Anafase I MEIOSIS. Telofase I. Interfase. Profase II. REPRODUKSI SEL AMITOSIS REPRODUKSI SEL Pembelahan I Profase I Metafase I Anafase I Proleptotene Leptotene Zygotene Pachytene Diplotene Diakinesis MEIOSIS Interfase Telofase I Pembelahan II Profase II Metafse

Lebih terperinci

EMBRIOGENESIS DAN INDUKSI EMBRIO (BAGIAN II) LABORATORIUM EMBRIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Indikator pencapaian: Definisi dan tahapan embriogenesis (pembelahan, blastulasi,

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Indeks Gonad Somatik (IGS) Hasil pengamatan nilai IGS secara keseluruhan berkisar antara,89-3,5% (Gambar 1). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa bioflok

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 9 HASIL DAN PEMBAHASAN Semen merupakan salah satu komponen penting dalam penghantaran spermatozoa baik secara konseptus alami maupun inseminasi buatan (IB). Keberhasilan IB sangat dipengaruhi oleh kualitas

Lebih terperinci

FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN OOSIT SAPI HASIL IVF DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN

FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN OOSIT SAPI HASIL IVF DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN FERTILISASI DAN PERKEMBANGAN OOSIT SAPI HASIL IVF DENGAN SPERMA HASIL PEMISAHAN (Fertilization and Development of Oocytes Fertilized in Vitro with Sperm after Sexing) EKAYANTI M. KAIIN, M. GUNAWAN, SYAHRUDDIN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Semen Domba Segera Setelah Koleksi Pemeriksaan karakteristik semen domba segera setelah koleksi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pemeriksaan secara makroskopis

Lebih terperinci

Kaitan Reproduksi Sel dengan Pewarisan Sifat. Oleh Trisia Lusiana Amir, S.Pd., M. Biomed Fakultas Fisioterapi, Universitas Esa Unggul 2016

Kaitan Reproduksi Sel dengan Pewarisan Sifat. Oleh Trisia Lusiana Amir, S.Pd., M. Biomed Fakultas Fisioterapi, Universitas Esa Unggul 2016 Kaitan Reproduksi Sel dengan Pewarisan Sifat Oleh Trisia Lusiana Amir, S.Pd., M. Biomed Fakultas Fisioterapi, Universitas Esa Unggul 2016 Definisi & Tujuannya - Pembelahan sel reproduksi sel, pertumbuhan

Lebih terperinci

KEMAMPUAN MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT DARI OVARIUM DOMBA PREPUBER SECARA IN VITRO ANITA HAFID

KEMAMPUAN MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT DARI OVARIUM DOMBA PREPUBER SECARA IN VITRO ANITA HAFID KEMAMPUAN MATURASI DAN FERTILISASI OOSIT DARI OVARIUM DOMBA PREPUBER SECARA IN VITRO ANITA HAFID SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

Daftar Pustaka. Leng, R.A Drought Feeding Strategies : Theory and Pactice. The University of New England Printery, Armidale - New South Wales.

Daftar Pustaka. Leng, R.A Drought Feeding Strategies : Theory and Pactice. The University of New England Printery, Armidale - New South Wales. 1 Strategi Pemberian Pakan Berkualitas Rendah (Jerami Padi) Untuk Produksi Ternak Ruminansia Oleh Djoni Prawira Rahardja Dosen Fakultas Peternakan Unhas I. Pendahuluan Ternak menggunakan komponen zat-zat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ginogenesis Ginogenesis pada penelitian dilakukan sebanyak delapan kali (Lampiran 3). Pengaplikasian proses ginogenesis ikan nilem pada penelitian belum berhasil dilakukan

Lebih terperinci

Implementasi Reproduksi dan Embriologi dalam Kehidupan Seharihari

Implementasi Reproduksi dan Embriologi dalam Kehidupan Seharihari BAGIAN KE-17 Implementasi Reproduksi dan Embriologi dalam Kehidupan Seharihari Sesudah mempelajari materi ke-17 ini mahasiswa diharapkan dapat : Mengenal bentuk-bentuk penerapan teknologi di bidang Reproduksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sel gamet mempakan sel-sel hapioid yang pembentukannya berlangsung melalui

TINJAUAN PUSTAKA. Sel gamet mempakan sel-sel hapioid yang pembentukannya berlangsung melalui TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan garnet, fertilisasi dan cleavage. Pertumbuhan sel gamet. Sel gamet mempakan sel-sel hapioid yang pembentukannya berlangsung melalui proses pembelahan mitosis maupun meiosis

Lebih terperinci