BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kawasan hutan Gunung Merapi merupakan kawasan hutan negara yang bernilai penting dan strategis. Hal ini dikarenakan kawasan hutan Gunung Merapi berfungsi sebagai daerah tangkapan air yang bermanfaat bagi wilayah sekitarnya dan merupakan tipe hutan tropis dengan kondisi gunung api yang sangat aktif. Dalam sejarahnya kawasan hutan Gunung Merapi dilindungi untuk fungsi pelestarian alam (menjaga fungsi hidrologis, botani dan estetika serta pengelolaan kawasan secara khusus sebagai daerah rawan bencana). Seiring perkembangan jaman, status kawasan hutan Gunung Merapi mengalami perubahan (TN G.Merapi, 2012). Tahun 2004 kawasan hutan Gunung Merapi ditunjuk sebagai Taman Nasional Gunung Merapi melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang perubahan Fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar Alam dan Taman Wisata Alam pada kelompok hutan Gunung Merapi seluas ± ha yang terletak di Kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten Provinsi Jawa Tengah, serta Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Keseluruhan kawasan ini sangat penting bagi masyarakat dan wilayah sekitarnya karena berfungsi sebagai penyangga kehidupan dalam satuan ekosistem sumberdaya alam dan bertindak sebagai daerah tangkapan air. Oleh karena itu kawasan ini memiliki nilai strategis yang sangat penting dalam upaya mewujudkan implementasi pilar-pilar konservasi. Diperlukan pendekatan partisipatif dengan masyarakat setempat agar kepentingan masyarakat yang telah berjalan selama ini dapat selaras dengan kepentingan konservasi taman nasional. Ditetapkannya kawasan Gunung Merapi menjadi taman nasional akan ada perhatian dari pemerintah daerah untuk menjaga kelestarian alam yang diharapkan dapat bermanfaat bagi kehidupan mayarakat sekitar. Adanya taman nasional seharusnya dapat memberikan manfaat, tidak hanya untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam, tetapi juga kesejahteraan bagi masyarakat setempat. Diperlukan pengumpulan data potensi tumbuhan di TNGM untuk mendukung hal yang 1

2 2 disebutkan di atas. Potensi tumbuhan yang terdapat di kawasan TNGM dilakukan melalui kegiatan inventarisasi keanekaragaman jenis tumbuhan, salah satunya adalah pinus merkusii. Pinus merkusii merupakan satu-satunya jenis pinus yang tumbuh asli di Indonesia. Di masa yang akan datang pinus merkusii akan terus-menerus dikembangbiakkan dan diperluas penanamannya karena merupakan pohon yang serba guna. Hampir semua bagian pohonnya dapat dimanfaatkan, antara lain bagian batangnya dapat disadap untuk diambil getahnya. Getah tersebu diproses lebih lanjut menjadi gondorukem dan terpentin. Gondorukem digunakan sebagai bahan membuat sabun, resin, dan cat. Sedangkan terpentin digunakan sebagai bahan industri parfum, obat-obatan, dan desinfektan. Hasil kayunya digunakan untuk konstruksi, korek api, pulp, dan kertas serat panjang. Selain itu bagian kulitnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dan abunya untuk bahan campuran pupuk, karena mengandung kalium (Dahlian dan Hantoyo, 1997). Mengingat banyaknya manfaat pinus merkusii tersebut maka perlu dilakukan inventarisasi mengenai jumlahnya. Dikarenakan kawasan yang terdapat pinus merkusii sangatlah luas, maka akan memakan waktu yang lama di dalam melakukan kegiatan tersebut. Oleh karena itu diperlukan suatu teknologi yang dapat melakukan pengitungan jumlah pohon dengan cepat, efisien, dan teliti serta mencakup area yang luas, salah satunya adalah LiDAR. I.2. Lingkup Kegiatan Lingkup kegiatan ditetapkan sebagai berikut: 1. Lokasi pengambilan data adalah Blok Gemer Resort Dukun SPTN Wilayah I Taman Nasional Gunung Merapi di Desa Ngargomulyo Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang Jawa Tengah. 2. Penghitungan jumlah pohon pinus merkusii metode ekstraksi secara otomatis menggunakan data Normalized Digital Surface Model (NDSM).

3 3 I.3. Tujuan Kegiatan ini bertujuan sebagai berikut: 1. Diketahuinya jumlah pohon pinus merkusii di Blok Gemer Resort Dukun SPTN Wilayah I Taman Nasional Gunung Merapi dengan menggunakan data Normalized Digital Surface Model (NDSM) dari data pengukuran LiDAR. 2. Diketahuinya kerapatan pohon pinus merkusii di Blok Gemer Resort Dukun SPTN Wilayah I Taman Nasional Gunung Merapi. 3. Diketahuinya pola penyebaran pohon pinus merkusii di Blok Gemer Resort Dukun SPTN Wilayah I Taman Nasional Gunung Merapi. I.4. Manfaat Manfaat dari kegiatan ini adalah metode ekstraksi secara otomatis menggunakan data Normalized Digital Surface Model (NDSM) dapat diaplikasikan untuk kegiatan sejenisnya, misalnya penghitungan pohon yang lain dalam kawasan yang homogen. I.5. Landasan Teori I.5.1. Light Detection and Ranging (LiDAR) LiDAR adalah teknologi baru yang menerapkan sistem penginderaan jauh aktif dalam dunia survei pemetaan. Teknologi ini bekerja dengan cara menembakkan sinar leser dengan memanfaatkan emisi gelombang cahaya untuk memperoleh posisi geometri tiap titik laser. Sinar laser tersebut memiliki gelombang tidak tampak (infrared) sehingga dapat menembus celah dedaunan untuk memcapai permukaan tanah dan dipantulkan kembali untuk ditangkap oleh sensor laser. Alat pencatat waktu terpasang pada sensor laser untuk mencatat beda waktu ketika gelombang tersebut dipancarkan hingga kembali diterima setelah dipantulkan (Soetaat, 2009). Gambar I. 1. menunjukkan sistem LiDAR beserta komponenya.

4 4 Gambar I. 1. Sistem LiDAR beserta komponennya (Bang, 2010) Prinsip Kerja LiDAR. Prinsip kerja LiDAR adalah memancarkan laser yang berasal dari sensor laser pada pesawat ke obyek yang ada dipermukaan bumi dan dipantulkan kembali. Beda waktu antara laser dipancarkan dengan laser diterima dicatat oleh alat pencatat waktu pada sensor laser. Pengukuran jarak dapat dijelaskan dengan prinsip beda waktu. Jika waktu ( ) diukur maka jarak antara sensor dengan obyek dapat dihitung melalui persamaan (I.1) berikut (Wehr, 2009) :... (I.1) Keterangan : = Jarak antara sensor dengan titik target yang diukur (m) = Konstanta kecepatan cahaya ( m/s) = Travelling time (ns) Karena jarak yang harus dilewati laser sebanyak dua kali, yaitu jarak sensor menuju target dan dikembalikan lagi ke sensor sehingga jarak sensor ke titik target harus dibagi dua. Komponen LiDAR. Sistem LiDAR terdiri dari empat komponen dasar, yaitu sensor LiDAR, Global Positioning System (GPS), Inertial Measuring Unit (IMU), dan kamera digital (Burtch, 2001). Komponen-komponen tersebut akan djelaskan dalam uraian berikut:

5 5 1. Sensor LiDAR Sensor LiDAR berfungsi sebagai pemancar sinar laser ke obyek dan merekam kembali setelah mengenai obyek. Sinar laser adalah suatu mekanisme pemancaran radiasi elektromagnetik dalam bentuk cahaya tunggal dan koheren pada spektrum dengan frekuensi tertentu. Pemancarnya memiliki sudut pemancar yang kecil dan intensitas yang tinggi untuk dapat mencapai jarak yang jauh dan terarah dengan tepat pada suatu perangkat (Kelley, 2010). Jenis gelombang yang dipancarkan oleh sensor laser ialah gelombang hijau dan near infrared (NIR). Gelombang hijau memiliki panjang gelombang antara nm. Gelombang ini berfungsi sebagai gelombang penetrasi jika sinar laser mengenai daerah perairan. Umumnya gelombang hijau digunakan untuk Hydrography LiDAR, yaitu pengukuran bathymetry atau kedalaman laut yang relatif dangkal (Alif, 2010). Gelombang infrared memiliki panjang gelombang ± 1500 nm. Gelombang ini berfungsi mengukur suatu daratan dipermukaan bumi bukan perairan. Hal ini dikarenakan air akan menyerap gelombang NIR sehingga pantulan yang akan diterima sensor akan sangat sedikit bahkan tidak sama sekali (Burtch, 2001). Gambar I. 2. menunjukkan gelombang hijau dan infrared yang dipancarkan oleh sensor. Gambar I. 2. Gelombang hijau dan infrared (NIR) (LaRocque dan West, 1990)

6 6 Sensor laser memiliki beberapa karakteristik yang dapat dibedakan dari kekuatan sinar laser yang dipancarkan, cakupan dari pancaran sinar gelombang laser dan jumlah sinar laser yang dihasilkan per detik. Salah satu karakteristik sensor laser LiDAR yang menjadi kelebihan LiDAR dibandingkan dengan yang lain adalah kemampuan gelombang tersebut untuk melakukan multiple return, yakni sensor LiDAR dapat merekam beberapa kali gelombang pantul dari obyek yang ada dipermukaan bumi untuk setiap gelombang yang dipancarkan. Multiple return digunakan untuk menentukan bentuk dari obyek atau vegetasi yang menutupi permukaan tanah. Gambar I. 3. menunjukkan ilustrasi dari multiple return. Gambar tersebut menunjukkan gelombang yang dipancarkan tidak hanya mengenai obyek yang ada di atas permukaan tanah saja, tetapi juga mengenai permukaan tanah di bawah obyek tersebut. Gambar I. 3. Multiple return (Lohani, 2010) Permukaan obyek yang pertama kali memantulkan pulsa laser akan menjadi gelombang pantul pertama (first return). Gelombang ini yang umumnya digunakan untuk membuat Digital Surface Model (DSM). Obyek yang kedua kalinya memantulkan pulsa tersebut akan menjadi second return dan seterusnya hingga gelombang pantulan terakhir. Ketika melakukan akuisisi data, pada sensor LiDAR dilengkapi alat pencatat waktu untuk menghitung selang waktu antara setiap kali sinar laser

7 7 dipancarkan dan diterima kembali oleh sensor. Selang waktu tersebut yang digunakan sensor LiDAR untuk mengukur jarak antara sensor dengan titik obyek yang ada di permukaan bumi sehingga diketahui koordinatnya (Soetaat, 2009). 2. Global Positioning System (GPS) Metode penentuan posisi GPS yang digunakan dalam sistem LiDAR adalah diferensial kinematik. Posisi wahana terbang selalu bergerak dan berubah-ubah dengan cepat ketika akuisisi data, maka dilakukan penentuan posisi GPS dengan metode kinematik untuk mendapatkan posisi dengan ketelitian yang tinggi. Gambar I. 4. menunjukkan ilustrasi penentuan posisi GPS metode diferensial kinematik. Gambar I. 4. Metode diferensial kinematik (TerraImaging, 2003) Metode diferensial kinematik memerlukan dua buah receiver GPS. Satu receiver diletakkan pada sebuah titik yang telah diketahui koordinatnya di permukaan tanah yang berfungsi sebagai basis (stasiun referensi), sedangkan satunya lagi diletakkan pada wahana terbang sebagai roving receiver. Konfigurasi dari keduanya menghasilakan koreksi diferensial pada roving receiver, sehingga posisi laser wahana terbang dapat diketahui secara real time dan akurat (Abidin, 2000). Data GPS yang telah dihasilakan kemudian diolah secara post processing dan digabungkan dengan data

8 8 Inertial Measuring Unit (IMU), sehingga diperoleh koordinat yang telah terdefinisi secara geografis. 3. Inertial Measuring Unit (IMU) Inertial Measuring Unit (IMU) merupakan salah satu komponen dalam sistem LiDAR. IMU berfungsi sebagai instrument yang mendeteksi pergeseran rotasi dari wahana terbang terhadap sumbu-sumbu sistem terbang. Sistem tersebut dapat mengukur sudut perubahan berupa attitude wahana terbang (pitch, roll, dan yaw) terhadap sumbu-sumbu terbang. Selain itu IMU juga mendeteksi perubahan percepatan pada wahana pesawat terbang. Gambar I. 5. menunjukkan ilustrasi dari pitch, roll, dan yaw terhadap sumbusumbu terbang. Gambar I. 5. Pitch, roll, dan yaw (Sullivan, 1997) Pitch adalah pergerakan rotasi sumbu y wahana terbang terhadap sumbu Y sistem referensi terbang. Sumbu y wahana terbang didefinisikan sebagai garis pada bidang horisontal yang tegak lurus sumbu x wahana terbang. Sumbu Y sistem referensi terbang didefinisikan sebagai garis yang tegak lurus dengan atah terbang horisontal wahana. Roll adalah pergerakan rotasi sumbu x wahana terbang terhadap sumbu X pada sistem referensi terbang. Sumbu x wahana terbang didefinisikan sebagai garis lurus pada bidang horisontal yang melalui bagian depan (hidung) wahana terbang hingga bagian belakang (ekor) wahana terbang. Garis ini membagi dua badang pesawat sama besar. Sumbu X dari

9 9 sistem referensi terbang didefinisikan sebagai garis yang berimpit dengan arah terbang horisontal wahana. Yaw adalah sudut antara sumbu z wahana terbang terhadap arah utara. Sumbu z wahana terbang didefinisikan sebagai garis yang tegak lurus terhadap sumbu x dan y wahana terbang (Burtch, 2001). IMU memantau attitude wahana terbang sehingga dapat dilakuakan koreksi untuk setiap posisi obyek pada saat akuisisi data. Tanpa informasi dari IMU posisi dari footprint sinar laser yang dipancarkan tidak dapat deketahui secara tepat dan pasti. 4. Kamera digital Kamera dalam sistem LiDAR berfungsi untuk menghasilkan foto dari area pengukuran LiDAR. Foto tersebut dapat ditumpang tindihkan (overlay) dengan data X, Y, Z hasil pengukuran LiDAR. Informasi ini digunakan ketika operator melakukan post processing data LiDAR (Moskal, 2008). Foto pada LiDAR berguna sebagai kontrol kualitas data LiDAR dan sebagai media untuk penggambaran unsur-unsur planimetrik secara monoskopik maupun secara stereoskpik tiga dimensi seperti jalan, sungai, tutupan lahan, dan lain-lain. Foto pada LiDAR juga dapat digunakan untuk keperluan tertentu karena dapat menghasilkan peta foto yang lebih informatif dibandingakan dengan peta garis (Moskal, 2008). Gambar I. 6. merupakan kamera digital yang digunakan pada sistem LiDAR. Gambar I. 6. Kamera digital pada sistem LiDAR (Leica Geosystems, 2014)

10 10 Sumber Kesalahan LiDAR. LiDAR merupakan teknologi yang canggih dan modern, namun bukan berarti teknologi ini bebas dari kesalahan. LiDAR memiliki kesalahan pada masing-masing komponennya yang saling terhubung. Kesalahan-kesalahan LiDAR akan dijelaskan dalam uraian berikut ini : 1. Kesalahan acak (random error) Kesalahan ini menyebabkan ketidaktepatan koordinat yang diperoleh yang dipengaruhi oleh kesalahan komponen persamaan LiDAR. Point clouds yang dihasilkan pada sistem LiDAR terdapat beberapa efek noise (position noise, orientation noise, dan range noise) (Habib, 2008). a. Position noise Pengaruh position noise adalah independen terhadap tinggi terbang dan metode penyiaman. b. Orientation noise Orientation noise lebih berpengaruh terhadap koordinat horisontal daripada koordinat vertikal. Pengaruhnya dependen terhadap tinggi terbang dan sudut penyiaman. c. Range noise Range noise lebih berpengaruh terhadap komponen vertikal. Pengaruhnya independen terhadap tinggi terbang tetapi dependen terhadap sudut penyiaman. 2. Kesalahan sistematik Kesalahan ini terbentuk dari kesalahan bias dan kalibrasi yang buruk dalam prosen penyiaman LiDAR (Cekada, dkk., 2009). Basic systematic error dapat dimodelkan melaui persamaan geolokasi (Schenk, 2001). Kesalahan sistematik berpengaruh terhadap akurasi, jarak, planimetris, dan ketinggian. Karena kesalahan ini merupakan kesalahan sistematik, maka dapat dihilangkan dengan mengkalibrasi sistem penyiaman laser. Persamaan geolokasi dijabarkan sebagai mana disajikan pada persamaan (I.2) sebagai berikut (Schenk, 2001).... (I.2) Keterangan : = Lokasi berkas laser pada sistem koordinat ortogonal global

11 11 = Center point dari GPS pesawat pada sistem koordinat orthogonal global = Rotasi dari sistem koordinat ortogonal lokal ke sistem koordinat orthogonal global = Rotasi dari sistem referensi pada ketinggian vertikal lokal ke sistem referensi ortogonal lokal = Rotasi dari sistem referensi tubuh pesawat ke sistem referansi local pada ketinggian lokal = Vektor offset antara GPS/INS dan sistem penyiaman laser = penyimpangan pada penyangga alat (mounting) = Rotasi antara pancaran sinar laser dan sistem penyiaman yang didapat dari scan angle = Vektor pengukuran jarak yang diperoleh Jika ditambahkan komponen kesalahan yang tidak berkorelasi maka persamaan geolokasinya dijabarkan pada persamaan (I.3) akan menjadi seperti berikut :... (1.3) Keterangan : = Kesalahan lokasi berkas laser = Kesalahan tingkat akurasi sensor GPS = Kesalahan sudut INS = Kesalahan offset dari vektor GPS/INS dan sistem penyiaman laser = Kesalahan penyimpangan penyangga alat = Kesalahan pada pengukuran jarak Besar total kesalahan yang berpengaruh pada pengukuran data LiDAR dinamakan Schenk s error model dapat ditulis sebagai perbedaan antara persamaan (I.2) dengan (I.3) yang dimodelkan pada persamaan (I.4) sebagai berikut :... (I.4)

12 12 Kesalahan-kesalahan yang dapat terjadi dalam akuisisi LiDAR adalah : a. Kesalahan pada sudut penyiaman Kesalahan pada sudut penyiaman yang mempengaruhi data hasil penyiaman LiDAR dapat dikelompokkan menjadi 3 bagian (Cekada, dkk., 2009) yaitu : i. index error and swath-angle error ii. vertical beam misalignment iii. horizontal beam misalignment b. INS systematic errors Kesalahan sistematik pada INS sangat bergantung pada harga dan kualitas sistem INS. Kesalahan yang terjadi setelah kaliberasi pada roll ϕ dan pitch θ biasanya memiliki rentang dari 0,004 0 hingga 0,02 0. Kesalahan pada heading ψ dua kali lebih besar daripada kesalahan yang terjadi pada roll ϕ dan pitch θ (Katzenbeisser, 2003). I.5.2. DSM, DEM, dan NDSM Digital Surface Model (DSM) adalah model permukaan bumi yang meluputi fitur alami maupun buatan manusia, misalnya gedung, vegetasi, dan pepohonan (ASPRS, 2007). DSM juga merupakan model elevasi topografis permukaan bumi yang memberi batas acuan yang benar secara geometris. DSM menggambarkan puncak fitur yang terdapat di atas bare earth. Digital Elevation Model (DEM) merupakan penyajian persebaran titik diskrit yang merepresentasikan distribusi spatial elevation permukaan yang berubah-ubah dengan referensi datum tertentu (Meijerink, dkk., 1994). DEM menyajikan permukaan bumi tanpa menampilkan fitur vegetasi, bangunan, dan struktur buatan manusia yang lainnya. Normalized Digital Surface Model (NDSM) adalah penyajian model elevasi obyek pada permukaan datar. Model ini diperoleh dari perbedaan antara DSM dan DEM. NDSM dihitung dengan cara mengurangkan DSM dengan DEM (Grigillo, dkk., 2011). Penghitungan ini akan didapatkan tinggi obyek yang ada di atas

13 13 permukaan tanah. Gambar I. 7. menunjukkan perbedaan antara DSM, NDSM dan DEM. DSM NDSM DEM Gambar I. 7. DSM, NDSM, dan DEM (Bartels dan Wei, 2009) I.5.3. Pinus Merkusii Pinus merkusii atau dalam bahasa ilmiahnya Jungh. et de Vriese diklasifikasikan ke dalam : Divisi : Spermatophyta, Subdivisi : Gymnospermae Ordo : Coniferales Famili : Pinaceae Genus : Pinus Spesies : Pinus merkusii Jungh. et de Vriese Martawijaya, dkk. (1989) memberikan keterangan tentang pinus merkusii sebagai berikut : a. Nama daerah : damar batu, damar bunga, huyam, kayu sala, kayu sugi, tusam, uyam (Sumatera), pinus (Jawa). b. Nama di Negara lain : Sral (Cambodia), Thong Mu (Vietnam), Tingyu (Burma), Tapulan Mindoro Pine (Philipina), Indo-Cina Pine, Sumatera Pine, Mindoro Pine, Merkus Pine (UK, USA), Merkustall (Swedia), Sumatrakiefer, Merkusfohre (Germany). c. Habitus : tinggi pohon m dengan panjang batang bebas cabang 2-23 m, diameter sampai 10 cm, tidak berbanir. Kulit luar kasar berwarna coklat-kelabu sampai coklat tua, tidak mengelupas, beralur lebar dan dalam. d. Ciri kayu : kayu teras berwarna coklat-kuning muda dengan pita dan gambar lebih gelap, kayu gubal berwarna putih atau kekuning-

14 14 kuningan, tebal 6-8 cm, tekstur kayu halus, arah serat kayu lurus, permukaan kayu licin, kayu mengandung dammar terasa seperti berlemak, permukaan kayu mengkilap, kayu berbau terpentin. e. Kegunaan : kayu tusam dapat dipergunakan untuk bangunan perumahan, lantai, mebel, kotak dan tangkai korek api, pensil (dengan pengolahan khusus), pulp, tiang listrik (diawetkan), papan wol kayu dan kayu lapis. f. Tempat tumbuh : tusam dapat tumbuh pada tanah jelek dan kurang subur, pada tanah berpasir dan tanah berbatu, tetapi tidak dapat tumbuh dengan baik pada tanah becek. Jenis ini menghendaki iklim basah sampai agak kering dengan tipe curah hujan A sampai C, pada ketinggian m dpl, kadang-kadang dapat tumbuh pada ketinggian di bawah 200 m dpl dan mendekati daerah pantai (Aceh Utara). I.5.4. Segmentasi Segmentasi adalah proses pembagian sebuah citra ke dalam sejumlah bagian atau obyek (Cahyan, dkk., 2013). Segmentasi merupakan bagian yang penting dalam analisis citra secara otomatis. Hal ini dikarenakan obyek yang akan disadap untuk proses selanjutnya, misalnya untuk pengenalan pola. Prinsip segmentasi didasarkan pada dua nilai intensitas (Gozalez dan Wintz 1987), yaitu : 1. Diskontinuitas Citra dipisahkan atau dibagi berdasarkan pada perubahan yang mencolok dari derajad kecerahannya. Biasanya digunakan untuk deteksi titik, garis, area, dan sisi citra. a. Deteksi tepi Penentuan tepian suatu obyek dalam citra merupakan langkah awal dan paling banyak diteliti. Proses ini sering dijadikan langkah pertama dalam aplikasi segmentasi citra. Tujuannya adalah untuk mengenali obyek-obyek yang ada dalam citra.

15 15 Fungsi dari deteksi tepi adalah untuk mengidentifikasi garis batas (boundary) dari suatu obyek yang terdapat pada citra. Tepian dipandang sebagai lokasi piksel dimana terdapat nilai perbedaan intensitas secara ekstrem. Sebuah edge detector bekerja dengan cara mengidentifikasikan dan menonjolkan lokasi-lokasi piksel yang memiliki karakteristik tersebut. b. Deteksi titik Mengisolasi suatu titik yang secara signifikan berbeda dengan titik-titik di sekitarnya. Persamaan (I.5) digunakan untuk deteksi titik: R T... (I.5) Keterangan : T = threshold positif R = nilai persamaan Kernel yang digunakan : [ ] c. Deteksi garis Mencocokkan dengan kernel dan menunjukkan bagian tertentu yang berbeda secara garis lurus vertikal, horisontal, diagonal kanan maupun diagonal kiri. Persamaan (I.6) digunakan untuk deteksi garis: R i > R j dimana i j... (I.6) Filter-filter untuk deteksi garis : Horisontal Vertikal

16 16 Diagonal kanan Diagonal kiri Similaritas Membagi citra menjadi daerah-daerah yang memiliki kesamaan sifat tertentu (region based). a. Tresholding Tresholding adalah cara paling sederhana dalam melakukan segmentasi dan digunakan oleh banyak aplikasi pengolahan citra. Tresholding didasarkan pada gagasan bahwa suatu daerah yang sesuai dengan daerah lain maupun daerah yan tidak sesuai dengan daerah lain dapat diklasifikasikan menggunakan fungsi rentang yang diterapkan untuk nilai-nilai intensitas dari piksel suatu citra. b. Region growing Pendekatan ini memerlukan criteria of uniformity, memerlukan penyebaran titik seeds atau dapat juga dengan pendekatan scan line, kemudian dilakukan proses region growing. Kekurangan dari pendekatan ini adalah belum tentu menghasilkan wilayah-wilayah yang bersambungan. Region growing mengelompokkan piksel atau sub region menjadi region yang lebih besar. Dimulai dari sekumpulan titik seeds dari titik-titk tersebut diperluas dengan menambahkan titik-titik tetangganya (neigbourhood) yang memiliki properti yang sama, misalnya grey level, tekstur, warna, dan lainlain. Jika tidak ada titik tetangga yang ditambahkan lagi, maka proses untuk region growing tersebut dihetikan. c. Region splitting and merging i. Region splitting adalah membagi citra menjadi sekumpulan region acak yang kemudian menggabungkannya atau membaginya hingga terpenuhi syarat segmentasi. Algoritma yang digunakan bersifat rekursif (recursi) dalam matematika dan ilmu komputer diartikan sebagai fungsi yang

17 17 dalam defenisinya mengimplementasikan dirinya sediri, pendekatan ini memanfaatkan quadtree. ii. Region marging adalah menggabungkan dua piksel atau lebih yang berdekatan dan sama dalam satu wilayah tertentu. Jika dua daerah yang berdekatan secara kolektif cukup mirip, maka daerah-daerah tersebut juga dapat digabungkan. Segmentasi multiresolusi termasuk ke dalam segmentasi berdasar klasifikasi. Segmentasi multiresolusi mengenali obyek menggunakan algoritma iteratif. Segmentasi ini dimulai dengan tingkatan per piksel dikelompokkan sampai mewakili jenis obyek. Batas jenis obyek ditentukan dengan memberikan parameter skala. Penentuan bentuk obyek dengan cara memisahkan parameter bentuk berdasarkan homogenitas. Hasil dari segmentasi multiresolusi digunakan untuk membangun sebuah jaringan hirarki obyek pada citra secara simultan mewakili informasi citra pada resolusi spasial yang berbeda. Obyek pada citra yang telah membentuk jaringan, tiap obyek citra tersebut akan mengenali obyek lain yang memiliki kesamaan (neightbourhood) (Gitas, 2004). Gambar I. 8. menunjukkan suatu kawasan yang dilakukan proses segmentasi multiresolusi. Gambar I. 8. Segmentasi multiresolusi (Regner, 2005) I.5.5. Klasifikasi Klasifikasi adalah suatu proses dimana semua piksel dari suatu citra mempunyai penampakan spekstral yang sama yang akan diidentifikasikan (Howard,

18 ). Citra dilakukan proses identifikasi untuk membedakan antara beberapa obyek di permukaan tanah, misalnya bangunan, jalan, vegetasi, dan lain-lain. Obyek-obyek tersebut dikelompokkan menjadi beberapa kelas yang berbeda-beda. Dalam dekade terakhir ini klasifikasi berdasarkan obyek banyak menarik perhatian di bidang penginderaan jauh. Metode ini tidak seperti metode klasik yang beroperasi secara langsung pada piksel tunggal. Pendekatan ini beoperasi pada obyek yang sebelumnya telah dikelompokan segmentasi. Ide dasar dari proses ini adalah mengelompokkan piksel-piksel berdampingan menjadi obyek spektral yang homogen melalui segmentasi. Kemudian dilanjutkan proses klasifikasi pada obyek sebagai unit proses terkecil (Schirokauer, dkk., 2006). Klasifikasi berbasis obyek atau biasa dikenal object based classification dikembangkan sebagai klasifikasi lingkungan untuk pemetaan vektor dan raster. Klasifikasi berbasis obyek merupakan solusi untuk kesulitan yang berhubungan dengan klasifikasi berbasis piksel. Klasifikasi ini juga memiliki keakuratan yang lebih baik daripada berbasis piksel (Aplin, dkk.,1999). Keuntungan klasifikasi ini adalah peta yang dihasilkan lebih mudah dikenali dan dapat langsung dilakukan analis (Wu, dkk., 2007). Keunggulan yang paling utama adalah informasi hasil klasifikasi berbasis obyek dapat diintegrasikan dengan data spasial lainnya pada sistem informasi geografis dan digunakan secara luas dalam analisis spasial (Geneletti dan Gorte, 2003). Pendekatan klasifikasi berbasis obyek biasanya menggunakan dua cara. Pertama, metode region growing untuk mengelompokkan piksel yang berdekatan dengan nilai-nilai spektral yang sama (Gao, dkk., 2006). Kedua, metode edge detection dapat digunakan untuk mengidentifikasi diskontinuitas (batas tepi atau tepi obyek). Batas-batas tersebut dapat diekstraksi dan digunakan untuk membangun poligon untuk obyek berbasis klasifikasi (Carleer, dkk., 2005). Kedua cara tersebut memiliki manfaat jika pada saat klasifikasi tidak tersedia data spasial tambahan. Kelemahan kedua cara tersebut adalah benda-benda yang berasal dari citra mungkin tidak sepenuhnya mewakili struktur obyek yang diinginkan secara akurat. Gambar I. 9. merupakan klasifikasi penggunaan lahan berbasis obyek.

19 19 Gambar I. 9. Klasifikasi penggunaan lahan berbasis obyek (Walter, 2004) I.5.6. Kerapatan Jenis Kerapatan jenis tumbuhan adalah salah satu indikator untuk menduga kepadatan jenis sumberdaya alam hayati berupa tumbuhan pada suatu komunitas. Kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang menunjukkan jumlah atau banyaknya suatu jenis per satuan luas (Indriyanto, 2006). Makin besar kerapatan suatu jenis, makin banyak individu jenis tersebut per satuan luas. Kerapatan pada suatu areal dapat memberikan gambaran ketersediaan dan potensi sumber daya alam hayati berupa tumbuhan. Struktur dan komposisi vegetasi perlu diketahui, maka pada masing-masing petak ukur dilakukan analisis kerapatan untuk setiap jenis tumbuhan (Soerianegara dan Indrawan, 1998). Penghitungan kerapatan jenis dapat dilakukan menggunakan persamaan (I.11) sebagai berikut :... (I.11) I.5.7. Pola Penyebaran Individu-individu yang ada di dalam populasi mengalami penyebaran di dalam habitatnya mengikuti salah satu di antara tiga pola penyebaran. Menurut Odum (1993), tiga pola penyebaran yang dimaksud antara lain distribusi acak (random), distribusi merata (uniform), dan distribusi mengelompok (clumped).

20 20 Random Mengelompok Merata Gambar I. 10. Pola penyebaran (Gopal dan Bhardwaj, 1979) Pola penyebaran dari jenis-jenis tumbuhan dapat diketahui melalui kecenderungan pola penyebaran jenis yang dihitung dengan persamaan Indeks Penyebaran Morisita (Id) (Morisita, 1962 dalam Krebs, 1978) yang dijabarkan pada persamaan (I.12) sebagai berikut: Keterangan :... (I.12) = Indeks jumlah penyebaran Morisita = Jumlah petak ukur = Jumlah individu pada setiap petak ke-i Selanjutnya dilakukan Chi-Square dengan persamaan Indeks Keseragaman (Uniform Indeks) (Mu) melalui persamaan (I.13) sebagai berikut : Keterangan :... (I.13) = Indeks keseragaman =Nilai Chi-square dari tabel dengan derajat bebas n-1 selang kepercayaan 97.5% = Jumlah Individu dari suatu jenis pada petak ukur ke-i = Jumlah petak ukur Setelah Indeks Keseragaman diperoleh kemudian dilakukan penghitungan Indeks Pengelompokkan (Clumped Indeks) (Mc) melalui persamaan (I.14) sebagai berikut : Keterangan :... (I.14) = Indeks pengelompokkan

21 21 = Nilai Chi-square dari tabel dengan derajat bebas n-1 selang kepercayaan 2,5% Menghitung dan menentukan standar Morisita pola penyebaran tumbuhan, harus dipenuhi syarat-syarat yang disajikan melalui persamaan (I.15), (I.16), (I.17), dan (I.18) sebagai berikut :, jika... (I.15), jika... (I.16), jika... (I.17), jika... (I.18) Standar indeks penyebaran Morisita (Ip) memiliki interval -1,0 sampai 1,0 dengan batas kepercayaan 0,5 dan -0,5. Dari nilai Ip yang dihasilkan maka dapat diketahui pola penyebaran suatu jenis tumbuhan dari suatu komunitas antara lain : menunjukan pola penyebaran acak (random) menunjukan pola penyebaran mengelompok (clumped) menunjukan pola penyebaran merata (uniform)

BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR

BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR BAB 2 TEKNOLOGI LIDAR 2.1 Light Detection and Ranging (LiDAR) LiDAR merupakan sistem penginderaan jauh aktif menggunakan sinar laser yang dapat menghasilkan informasi mengenai karakteristik topografi permukaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa

II. TINJAUAN PUSTAKA Biomassa 3 II. TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Biomassa Biomassa merupakan bahan organik dalam vegetasi yang masih hidup maupun yang sudah mati, misalnya pada pohon (daun, ranting, cabang, dan batang utama) dan biomassa

Lebih terperinci

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik 83 BAB VII ANALISIS 7.1 Analisis Komponen Airborne LIDAR Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik dengan memanfaatkan sinar laser yang ditembakkan dari wahana

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Pinus 2.1.1. Habitat dan Penyebaran Pinus di Indonesia Menurut Martawijaya et al. (2005), pinus dapat tumbuh pada tanah jelek dan kurang subur, pada tanah

Lebih terperinci

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER

BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER 41 BAB IV TINJAUAN MENGENAI SENSOR LASER 4.1 Laser Laser atau sinar laser adalah singkatan dari Light Amplification by Stimulated Emission of Radiation, yang berarti suatu berkas sinar yang diperkuat dengan

Lebih terperinci

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007]

Gambar 4.1. Kemampuan sensor LIDAR untuk memisahkan antara permukaan tanah dengan vegetasi di atasanya [Karvak, 2007] BAB IV ANALISIS 4.1. Analisis Data LIDAR 4.1.1. Analisis Kualitas Data LIDAR Data LIDAR memiliki akurasi yang cukup tinggi (akurasi vertikal = 15-20 cm, akurasi horizontal = 0.3-1 m), dan resolusi yang

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh) Remote Sensing didefinisikan sebagai ilmu untuk mendapatkan informasi mengenai obyek-obyek pada permukaan bumi dengan analisis data yang

Lebih terperinci

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Pengukuran Kekotaan Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering Contoh peta bidang militer peta topografi peta rute pelayaran peta laut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Data spasial sangat dibutuhkan untuk menyediakan informasi tentang kebumian. Untuk memenuhi data spasial yang baik dan teliti, maka diperlukan suatu metode yang efektif

Lebih terperinci

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR 51 BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR 5.1 Data Airborne LIDAR Data yang dihasilkan dari suatu survey airborne LIDAR dapat dibagi menjadi tiga karena terdapat tiga instrumen yang bekerja secara

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini.

BAB III PENGOLAHAN DATA Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini. BAB III PENGOLAHAN DATA 3.1. Pengolahan Data LIDAR 3.1.1. Proses Pengolahan Data LIDAR Proses pengolahan data LIDAR secara umum dapat dilihat pada skema 3.1 di bawah ini. Sistem LIDAR Jarak Laser Posisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang berlimpah, serta ditempati lebih dari 240 juta penduduk. Pembangunan di segala

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Hutan jati di Indonesia memiliki potensi untuk dikembangkan secara baik dan dikelola menurut asas kelestarian secara ekonomi, ekologi, dan sosial. Data Kementerian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data batimetri semakin meningkat seiring dengan kegunaan data tersebut untuk berbagai aplikasi, seperti perencanaan konstruksi lepas pantai, aplikasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Kegiatan pengambilan data di

Lebih terperinci

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA 3.1 Kebutuhan Peta dan Informasi Tinggi yang Teliti dalam Pekerjaan Eksplorasi Tambang Batubara Seperti yang telah dijelaskan dalam BAB

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Sumberdaya alam ialah segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Hutan termasuk kedalam sumber daya

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO. a. Berdasarkan Spektrum Elektromagnetik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 10 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 3 A. CITRA NONFOTO Citra nonfoto adalah gambaran yang dihasilkan oleh sensor nonfotografik atau sensor elektronik. Sensornya

Lebih terperinci

SAMPLING DAN KUANTISASI

SAMPLING DAN KUANTISASI SAMPLING DAN KUANTISASI Budi Setiyono 1 3/14/2013 Citra Suatu citra adalah fungsi intensitas 2 dimensi f(x, y), dimana x dan y adalahkoordinat spasial dan f pada titik (x, y) merupakan tingkat kecerahan

Lebih terperinci

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH

ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH ULANGAN HARIAN PENGINDERAAN JAUH 01. Teknologi yang terkait dengan pengamatan permukaan bumi dalam jangkauan yang sangat luas untuk mendapatkan informasi tentang objek dipermukaan bumi tanpa bersentuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005).

I. PENDAHULUAN. hutan dapat dipandang sebagai suatu sistem ekologi atau ekosistem yang sangat. berguna bagi manusia (Soerianegara dan Indrawan. 2005). I. PENDAHULUAN Hutan adalah masyarakat tetumbuhan dan hewan yang hidup di lapisan permukaan tanah yang terletak pada suatu kawasan, serta membentuk suatu kesatuan ekosistem yang berada dalam keseimbangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dan arus informasi yang semakin transparan, serta perubahan-perubahan dinamis yang tidak dapat dielakkan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Tutupan Lahan di Lapangan Berdasarkan hasil observasi lapangan yang telah dilakukan di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kebutuhan akan data kebumian yang memberikan informasi geospasial terus berkembang. Real world yang menjadi obyek pemetaan juga cepat mengalami perubahan. Penyediaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penginderaan jauh yaitu berbagai teknik yang dikembangkan untuk perolehan dan analisis informasi tentang bumi. Informasi tersebut berbentuk radiasi elektromagnetik

Lebih terperinci

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA

PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA PERBEDAAN INTERPRETASI CITRA RADAR DENGAN CITRA FOTO UDARA I. Citra Foto Udara Kegiatan pengindraan jauh memberikan produk atau hasil berupa keluaran atau citra. Citra adalah gambaran suatu objek yang

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Kenaikan permukaan air laut dari waktu ke waktu [Mackinnon, 2004]

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1. Kenaikan permukaan air laut dari waktu ke waktu [Mackinnon, 2004] BAB II DASAR TEORI 2.1. Permasalahan Kenaikan Permukaan Air Laut Fenomena kenaikan muka air laut mengemuka seiring dengan terjadinya pemanasan global (global warming). Pemanasan global pada dasarnya merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode

BAB III METODE PENELITIAN. 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif kuantitatif dengan menggunakan metode belt transek. Metode ini sangat cocok digunakan untuk mempelajari suatu kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan bentang permukaan bumi yang dapat bermanfaat bagi manusia baik yang sudah dikelola maupun belum. Untuk itu peran lahan cukup penting dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September

BAB III METODE PENELITIAN. Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi Indonesia berada di daerah tropis mengakibatkan hampir sepanjang tahun selalu diliputi awan. Kondisi ini mempengaruhi kemampuan citra optik untuk menghasilkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pinus (Pinus merkusii Jungh et. De Vriese) 1. Tata nama P. merkusii Jungh et. De Vriese termasuk suku Pinaceae, sinonim dengan P. sylvestri auct. Non. L, P. sumatrana Jung,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Pada bab ini akan dibahas teori yang berkaitan dengan pemrosesan data untuk sistem pendeteksi senyum pada skripsi ini, meliputi metode Viola Jones, konversi citra RGB ke grayscale,

Lebih terperinci

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

Gambar 2 Peta lokasi penelitian. 0 IV. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Bidang Pengelolaan Wilayah III Bengkulu dan Sumatera Selatan, SPTN V Lubuk Linggau, Sumatera Selatan, Taman Nasional Kerinci

Lebih terperinci

BAB VI TINJAUAN MENGENAI APLIKASI AIRBORNE LIDAR

BAB VI TINJAUAN MENGENAI APLIKASI AIRBORNE LIDAR 63 BAB VI TINJAUAN MENGENAI APLIKASI AIRBORNE LIDAR Survey airborne LIDAR terdiri dari beberapa komponen alat, yaitu GPS, INS, dan laser scanner, yang digunakan dalam wahana terbang, seperti pesawat terbang

Lebih terperinci

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain:

BAB II TEORI DASAR. Beberapa definisi tentang tutupan lahan antara lain: BAB II TEORI DASAR 2.1 Tutupan Lahan Tutupan Lahan atau juga yang biasa disebut dengan Land Cover memiliki berbagai pengertian, bahkan banyak yang memiliki anggapan bahwa tutupan lahan ini sama dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peta menggambarkan data spasial (keruangan) yang merupakan data yang berkenaan dengan lokasi atau atribut dari suatu objek atau fenomena di permukaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dengan definisi hutan adalah suatu ekosistem hamparan lahan berisi sumber daya

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN MENGENAI INERTIAL NAVIGATION SYSTEM

BAB III TINJAUAN MENGENAI INERTIAL NAVIGATION SYSTEM 32 BAB III TINJAUAN MENGENAI INERTIAL NAVIGATION SYSTEM 3.1 Pergerakan rotasi wahana terbang Wahana terbang seperti pesawat terbang dan helikopter mempunyai sistem salib sumbu x, y, dan z di mana masing-masing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan 13.466 pulau yang sudah terdaftar dan berkoordinat (BIG, 2014). Indonesia memiliki luas wilayah kurang lebih

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. ambang batas (thresholding), berbasis tepi (edge-base) dan berbasis region (regionbased).

BAB 1 PENDAHULUAN. ambang batas (thresholding), berbasis tepi (edge-base) dan berbasis region (regionbased). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Segmentasi obyek pada citra dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu ambang batas (thresholding), berbasis tepi (edge-base) dan berbasis region (regionbased). Metode

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi

3 METODE PENELITIAN. Waktu dan Lokasi 12 Gymnospermae lebih efisien pada intensitas cahaya tinggi (Kramer & Kozlowski 1979). Sudomo (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya yang berlebihan akan menyebabkan laju transpirasi tinggi, sedangkan

Lebih terperinci

BAB 2 STUDI REFERENSI

BAB 2 STUDI REFERENSI BAB 2 STUDI REFERENSI Bab ini berisi rangkuman hasil studi referensi yang telah dilakukan. Referensi- referensi tersebut berisi konsep dasar pengukuran 3dimensi menggunakan terrestrial laser scanner, dan

Lebih terperinci

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini serta tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengklasifikasi tata guna lahan dari hasil

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan 23 III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari hingga April 2014 di Kawasan Hutan Lindung Batutegi Blok Kali Jernih (Gambar 3), bekerjasama dan di bawah

Lebih terperinci

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian

4 METODE PENELITIAN. Lokasi dan Waktu Penelitian 4 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2012.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA.1 Volume Pohon Secara alami, volume kayu dapat dibedakan menurut berbagai macam klasifikasi sortimen. Beberapa jenis volume kayu yang paling lazim dipakai sebagai dasar penaksiran,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menginterprestasi sebuah citra untuk memperoleh diskripsi tentang citra tersebut melalui beberapa proses antara lain preprocessing, segmentasi citra, analisis

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV

BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV BAB 3 PENENTUAN POSISI DAN APLIKASI ROV 3.1. Persiapan Sebelum kegiatan survei berlangsung, dilakukan persiapan terlebih dahulu untuk mempersiapkan segala peralatan yang dibutuhkan selama kegiatan survei

Lebih terperinci

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA

RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA Lampiran 1 Ringkasan Materi RINGKASAN MATERI INTEPRETASI CITRA 1 Pengertian Intepretasi Citra Inteprtasi Citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji, mengidentifikasi, dan mengenali objek pada citra, selanjutnya

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. DESKRIPSI ALAT Perhitungan benih ikan dengan image processing didasarkan pada luas citra benih ikan. Pengambilan citra menggunakan sebuah alat berupa wadah yang terdapat kamera

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Prinsip Penggunaan dan Pengolahan TLS 4.2 Analisis Penggunaan TLS Untuk Pemantauan Longsoran

BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Prinsip Penggunaan dan Pengolahan TLS 4.2 Analisis Penggunaan TLS Untuk Pemantauan Longsoran BAB 4 ANALISIS 4.1 Analisis Prinsip Penggunaan dan Pengolahan TLS Dasar dari prinsip kerja TLS sudah dijelaskan di Bab 3, pada pengambilan data dengan TLS, setiap satu kali pengambilan data pada satu tempat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang mendiskripsikan tentang pola sebaran, kerapatan edelweis (Anaphalis javanica) serta faktor-faktor

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan tanggal 22 April sampai 9 Mei 2007 di hutan rawa habitat tembesu Danau Sumbu dan Danau Bekuan kawasan Taman Nasional Danau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas, karena Indonesia merupakan Negara kepulauan dengangaris pantai mencapai sepanjang 81.000 km. Selain

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Citra Digital Citra digital adalah citra yang bersifat diskrit yang dapat diolah oleh computer. Citra ini dapat dihasilkan melalui kamera digital dan scanner ataupun citra yang

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH B. PENGINDERAAN JAUH FOTOGRAFIK GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 08 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 1 A. PENGERTIAN PENGINDERAAN JAUH Penginderaan jauh (inderaja) adalah cara memperoleh data atau informasi tentang objek atau

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang karakteristik habitat Macaca nigra dilakukan di CA Tangkoko yang terletak di Kecamatan Bitung Utara, Kotamadya Bitung, Sulawesi

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan

BAB II LANDASAN TEORI. Pengolahan Citra adalah pemrosesan citra, khususnya dengan menggunakan BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Citra Citra adalah gambar pada bidang dwimatra (dua dimensi). Ditinjau dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi menerus dan intensitas cahaya pada bidang dwimatra

Lebih terperinci

BAB II Tinjauan Pustaka

BAB II Tinjauan Pustaka BAB II Tinjauan Pustaka Pada bab ini dibahas mengenai konsep-konsep yang mendasari ekstraksi unsur jalan pada citra inderaja. Uraian mengenai konsep tersebut dimulai dari ekstraksi jalan, deteksi tepi,

Lebih terperinci

Proses memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau komputer

Proses memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau komputer Pengolahan Citra / Image Processing : Proses memperbaiki kualitas citra agar mudah diinterpretasi oleh manusia atau komputer Teknik pengolahan citra dengan mentrasformasikan citra menjadi citra lain, contoh

Lebih terperinci

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR

BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR BAB 2 KONSEP PENGOLAHAN DATA SIDE SCAN SONAR Pengolahan data side scan sonar terdiri dari dua tahap, yaitu tahap real-time processing dan kemudian dilanjutkan dengan tahap post-processing. Tujuan realtime

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari

BAB III METODELOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian BAB III METODELOGI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari 2017 hingga bulan Februari 2017 yang berada di Resort Bandealit, SPTN Wilayah II, Taman Nasional

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Meter Air. Gambar 2.1 Meter Air. Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Meter Air. Gambar 2.1 Meter Air. Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus BAB II DASAR TEORI 2.1 Meter Air Gambar 2.1 Meter Air Meter air merupakan alat untuk mengukur banyaknya aliran air secara terus menerus melalui sistem kerja peralatan yang dilengkapi dengan unit sensor,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. METODE PENELITIAN Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014. Penelitian ini dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sibual-buali (Studi Kasus: Desa Bulu

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jalan merupakan salah satu sarana transportasi darat yang penting untuk menghubungkan berbagai tempat seperti pusat industri, lahan pertanian, pemukiman, serta sebagai

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG)

Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) Sistem Informasi Geografis (SIG) Geographic Information System (SIG) 24/09/2012 10:58 Sistem (komputer) yang mampu mengelola informasi spasial (keruangan), memiliki kemampuan memasukan (entry), menyimpan

Lebih terperinci

NASKAH PUBLIKASI ILMIAH. PERANCANGAN HUTAN PINUS BATEALIT sebagai KAWASAN. WISATA ALAM EDUKASI di JEPARA. (Pendekatan Green Architecture)

NASKAH PUBLIKASI ILMIAH. PERANCANGAN HUTAN PINUS BATEALIT sebagai KAWASAN. WISATA ALAM EDUKASI di JEPARA. (Pendekatan Green Architecture) NASKAH PUBLIKASI ILMIAH PERANCANGAN HUTAN PINUS BATEALIT sebagai KAWASAN WISATA ALAM EDUKASI di JEPARA (Pendekatan Green Architecture) Diajukan sebagai Pelengkap dan syarat guna Mencapai Gelar Sarjana

Lebih terperinci

ISTILAH DI NEGARA LAIN

ISTILAH DI NEGARA LAIN Geografi PENGERTIAN Ilmu atau seni untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah atau gejala dengan jalan menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap obyek

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Geodesi Geomatika merupakan disiplin ilmu yang menitik beratkan pada pengumpulan, pemrosesan dan penyampaian data geografis atau data informasi spasial. Salah satu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di dua tempat yaitu pengambilan data di lapangan dilakukan di sempadan muara Kali Lamong dan Pulau Galang, serta pengolahan

Lebih terperinci

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi

BAB 2 DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi BB 2 DSR TEORI 2.1 Tinjauan Umum Teknologi Pemetaan Tiga Dimensi Pemetaan objek tiga dimensi diperlukan untuk perencanaan, konstruksi, rekonstruksi, ataupun manajemen asset. Suatu objek tiga dimensi merupakan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI

DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI DISTRIBUSI DAN KERAPATAN EDELWEIS (Anaphalis javanica) DIGUNUNG BATOK TAMAN NASIONAL BROMO TENGGER SEMERU DIDIK WAHYUDI ABSTRAK Gunung Batok merupakan satu diantara gunung-gunung di Taman Nasional Bromo

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan 15 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli sampai dengan April 2011 dengan daerah penelitian di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura 12 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di blok Hutan Pendidikan Konservasi Terpadu Tahura Wan Abdul Rachman yang memiliki luasan 1.143 ha. Secara geografis terletak

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa

METODE PENELITIAN. Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa 19 III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian tentang analisis habitat monyet ekor panjang dilakukan di hutan Desa Cugung, KPHL Gunung Rajabasa, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Terdegradasi ,

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Terdegradasi , II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lahan Terdegradasi Degradasi lahan adalah proses menurunnya kapasitas dan kualitas lahan untuk mendukung suatu kehidupan (FAO 1993). Degradasi lahan mengakibatkan hilang atau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan seluruh satuan lahan yang menunjang kelompok vegetasi yang didominasi oleh pohon segala ukuran, dieksploitasi maupun tidak, dapat menghasilkan kayu

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Bukit Gunung Sulah Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Kota Bandar Lampung (Gambar 2) pada bulan Juli sampai dengan

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA

PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA PEMETAAN BATHYMETRIC LAUT INDONESIA By : I PUTU PRIA DHARMA APRILIA TARMAN ZAINUDDIN ERNIS LUKMAN ARIF ROHMAN YUDITH OCTORA SARI ARIF MIRZA Content : Latar Belakang Tujuan Kondisi Geografis Indonesia Metode

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Gambar situasi adalah gambaran wilayah atau lokasi suatu kegiatan dalam bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan atribut (Basuki,

Lebih terperinci

2.Landasan Teori. 2.1 Konsep Pemetaan Gambar dan Pengambilan Data.

2.Landasan Teori. 2.1 Konsep Pemetaan Gambar dan Pengambilan Data. 6 2.Landasan Teori 2.1 Konsep Pemetaan Gambar dan Pengambilan Data. Informasi Multi Media pada database diproses untuk mengekstraksi fitur dan gambar.pada proses pengambilan, fitur dan juga atribut atribut

Lebih terperinci

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 4 Desember 2009 : 154-159 PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM) Susanto *), Atriyon Julzarika

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keanekaragaman hayati (biological diversity atau biodiversity) adalah istilah yang digunakan untuk menerangkan keragaman ekosistem dan berbagai bentuk serta variabilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional (TN) Gunung Merapi ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar

Lebih terperinci

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

PENGOLAHAN CITRA DIGITAL PENGOLAHAN CITRA DIGITAL Aditya Wikan Mahastama mahas@ukdw.ac.id Sistem Optik dan Proses Akuisisi Citra Digital 2 UNIV KRISTEN DUTA WACANA GENAP 1213 v2 Bisa dilihat pada slide berikut. SISTEM OPTIK MANUSIA

Lebih terperinci

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI

ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI ACARA I SIMULASI PENGENALAN BEBERAPA UNSUR INTERPRETASI Oleh: Nama Mahasiswa : Titin Lichwatin NIM : 140722601700 Mata Kuliah : Praktikum Penginderaan Jauh Dosen Pengampu : Alfi Nur Rusydi, S.Si., M.Sc

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci