BAB II PRIMER SEXING DALAM PENENTUAN JENIS KELAMIN PADA BURUNG FAMILIA COLUMBIDAE

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II PRIMER SEXING DALAM PENENTUAN JENIS KELAMIN PADA BURUNG FAMILIA COLUMBIDAE"

Transkripsi

1 8 BAB II PRIMER SEXING DALAM PENENTUAN JENIS KELAMIN PADA BURUNG FAMILIA COLUMBIDAE A. Familia Columbidae Familia Columbidae ditemukan hampir di semua habitat teresterial dari wilayah temperata sampai wilayah tropis, namun penyebaran tertingginya berada pada hutan hujan tropis (Camfield, 2004). Diperkirakan semua anggota Familia Columbidae berasal dari kawasan Asia Tenggara dan Australia (Sarwono, 1999). Distribusi Familia Columbidae juga terdapat disepanjang Asia, India dan Eropa (Wu et al., 2007). Salah satu anggota dari Familia Columbidae yaitu burung perkutut (Geopelia striata) yang merupakan salah satu burung pemakan bijibijian, burung ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan burung lainnya. Kelebihan dari perkutut adalah mampu mengeluarkan suara yang terdengar merdu. Menurut Sarwono (1999), ciri utama dari burung Familia Columbidae yaitu anak yang baru dilahirkan matanya terbuka dan tinggal di dalam sarang, burung jantan dan burung betina perutnya bertembolok dan dari temboloknya bisa mengeluarkan cairan kental untuk makanan anaknya yang masih kecil, burung jantan dan betina dewasa hidup berpasangan dan bertelur hanya dua butir dalam satu musim kawin. Burung jantan dari Familia Columbidae ini dapat berbunyi terus menerus dengan irama yang bagus, sedangkan burung betina berbunyi kadang-kadang saja dan iramanya tidak semerdu jantan.

2 9 1. Columba livia (merpati) Burung merpati (Gambar 2.1) tersebar di seluruh belahan dunia. Burung ini berasal dari Eropa, Afrika, dan Asia Tenggara (Tn1, 2008). Warna burung merpati beragam, umumnya perpaduan warna abu-abu, hitam, putih, dan cokelat, dengan kilau ungu dan hijau (Tn1, 2008). Pada alam aslinya, sarang merpati liar biasanya terdapat pada celah-celah bebatuan di samping tebing, dekat dengan pertanian atau vegetasi semak terbuka. Merpati yang hidup di perkotaan biasanya hidup di gedung-gedung pencakar langit yang mirip dengan habitat aslinya yaitu tebing-tebing yang tinggi (Roof, 2008). Di Indonesia, pemeliharaan merpati sudah banyak dilakukan. Klasifikasi burung merpati menurut Gmelin, 1789 (Grouw, tanpa tahun) sebagai berikut: Kingdom Phylum Class Order Family Genus Species : Animalia : Chordata : Aves : Columbiformes : Columbidae : Columba : Columba livia Gmelin (Merpati) Gambar 2.1 Burung Merpati (Sumber: dokumentasi pribadi)

3 10 2. Geopelia striata (perkutut) Burung perkutut (Gambar 2.2) banyak ditemukan di Asia, Burma bagian selatan, Malaysia, Asia tenggara dan tersebar di seluruh belahan dunia (Tn1, 2008). Bulu di bagian atas badan burung ini, berwarna kelabu dan terdapat garisgaris yang gelap pada bagian belakang pangkal tengkuk (Tn1, 2008). Burung perkutut (Geopelia striata) yang merupakan salah satu burung pemakan biji-bijian, burung ini mempunyai kelebihan dibandingkan dengan burung lainnya. Kelebihan perkutut adalah mampu mengeluarkan suara yang terdengar merdu. Burung perkutut yang telah banyak memenangkan kejuaran burung kicauan memiliki harga jual tinggi hingga mencapai jutaan rupiah. Klasifikasi burung perkutut menurut Linnaeus, 1766 dalam ITIS (2009a) sebagai berikut: Kingdom Phylum Class Order Family Genus Species : Animalia : Chordata : Aves : Columbiformes : Columbidae : Geopelia : Geopelia striata Linnaeus (Perkutut) Gambar 2.2 Burung Perkutut (Sumber: dokumentasi pribadi)

4 11 3. Streptopelia bitorquata (puter) Burung puter (Gambar 2.3) merupakan salah satu spesies dari Familia Columbidae yang tersebar di daerah Asia Tenggara. Habitat asli dari burung ini yaitu di daerah hutan daratan rendah subtropis atau tropis dan juga daerah hutan mangrove tropis (Tn1, 2008). Klasifikasi burung puter menurut Temminck, 1809 dalam ITIS (2009b) sebagai berikut: Kingdom Phylum Class Order Family Genus Species : Animalia : Chordata : Aves : Columbiformes : Columbidae : Streptopelia : Streptopelia bitorquata Temminck (Puter) Gambar 2.3 Burung Puter (Sumber: dokumentasi pribadi) 4. Streptopelia chinensis (tekukur) Burung tekukur (Gambar 2.4) merupakan burung yang berasal dari Asia Timur dan diperkenalkan ke Australia sekitar tahun 1800-an, dan sekarang banyak tersebar diseluruh belahan dunia (Tn1, 2008). Bulu di bagian ventral berwarna cokelat, sedangkan di daerah dorsal dan sayap berwarna kehitaman. Ciri khusus dari burung ini yaitu bulu di bagian punggung lehernya yang berpola hitam-putih.

5 12 Klasifikasi burung tekukur menurut Scopoli, 1786 dalam ITIS (2009c) sebagai berikut: Kingdom Phylum Class Order Family Genus Species : Animalia : Chordata : Aves : Columbiformes : Columbidae : Streptopelia : Streptopelia chinensis Scopoli (Tekukur) Gambar 2.4 Burung Tekukur (Sumber: dokumentasi pribadi) B. Penanda Genetik Teknik-teknik yang digunakan dalam genetika modern banyak menggunakan penanda genetik sebagai alat bantu mengidentifikasi genotipe suatu individu atau sampel yang diambil. Penanda genetik disebut juga dengan penanda, marker, marka, atau markah. Penanda genetik merupakan karakter/senyawa/dna yang dapat menjadi penanda suatu karakter lain yang dicari. Penanda genetik dapat membantu hubungan suatu penyakit bawaan dengan gen yang bersangkutan. Segmen DNA yang berdekatan satu sama lain pada kromosom yang cenderung diwariskan bersama. Penanda genetik digunakan untuk melacak gen yang berdekatan dengan gen yang diwariskan yang belum teridentifikasi, tetapi lokasi yang diperkirakan diketahui. Penanda genetik itu

6 13 sendiri mungkin merupakan bagian dari gen atau mungkin tidak memiliki fungsi yang diketahui. (Hurle, 2010). Penanda genetik merupakan cara mudah untuk mengidentifikasi materi genetik, yang pada umumnya adalah DNA, dimana dapat digunakan untuk menjelaskan dalam tingkat sel, individu, populasi, ataupun spesies. Penggunaan penanda genetik dimulai dengan pengekstrakan bahan kimia (untuk penanda biokimia) atau DNA (untuk penanda molekuler) dari jaringan atau sel mahluk hidup (USDA, 2006). Terdapat beberapa jenis penanda genetik yang telah banyak digunakan dalam menganalisis genom, diantaranya yaitu penanda morfologi, penanda protein dan penanda DNA. Untuk menjadi penanda genetik, lokus dari penanda harus lokus yang secara eksperimen dapat mendeteksi variasi diantara individu di dalam pengujian populasi. Perbedaan jenis penanda bisa mengidentifikasi polimorfisme yang berbeda juga (Liu, 1998). Penanda genetik hanya berguna apabila penanda genetik tersebut polimorfik dan terpaut dengan sifat yang akan diamati atau dengan penanda genetik lain. Syarat polimorfik diperlukan karena penanda genetik harus bisa membedakan individu-individu dalam populasi yang diteliti. Suatu penanda genetik harus bisa mengelompokkan individu paling tidak dalam dua kelompok. Syarat terpaut dengan penanda, gen, atau sifat lain diperlukan karena fungsi penanda genetik adalah sebagai tanda pengenal yang harus melekat pada sifat yang diteliti (Liu, 1998)

7 14 Penanda genetik mempunyai dua kelas, yang pertama yaitu penanda bersifat kodominan yang dapat membedakan ketiga kelas genotipe pada generasi F2 (dua homozigot dan heterozigot). Kedua, penanda yang bersifat dominan yang tidak dapat memisahkan heterozigot dari salah satu kelas homozigot (USDA, 2006). C. Polymerase Chain Reaction Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah cara in vitro untuk memperbanyak target sekuen spesifik untuk analisis cepat atau karakterisasi, walaupun material yang digunakan pada awal pemeriksaan sangat sedikit. (Prijanto, 1992). Fatchiyah (2006b) mengatakan bahwa proses PCR merupakan proses siklus yang berulang meliputi denaturasi, annealing dan ekstensi oleh enzim DNA polimerase. Sepasang primer oligonukleotida yang spesifik digunakan untuk membuat hibrid dengan ujung-5 menuju ujung-3 untai DNA target dan mengamplifikasi untuk urutan yang diinginkan. Dasar siklus PCR ada siklus meliputi denaturation, annealing dan extension. Proses amplifikasi dengan menggunakan PCR dapat dilihat pada Gambar 2.5 (Orac, 2007). Siklus dan waktu PCR tergantung panjang pendeknya ukuran DNA yang diinginkan sebagai produk amplifikasi. Menurut Abdullah dan Retnoningrum (2003), teknik PCR didasarkan pada amplifikasi fragmen DNA spesifik dimana terjadi penggandaan jumlah molekul DNA pada setiap siklusnya secara eksponensial dalam waktu yang relatif singkat.

8 15 Dalam proses PCR, sejumlah kecil DNA akan diamplifikasi dibantu oleh enzim yang disebut Taq DNA polymerase, dimana suatu deonukleotida (dntps) akan komplementer dengan cetakan DNA yang diamplifikasi. Pada proses PCR ini juga terdapat primer yang merupakan titik awal dari proses polimerasi. Primer biasanya terdiri dari nukleotida dan dirancang berdasarkan daerah konservatif dalam genom tersebut. Makin panjang primer, makin harus spesifik daerah yang diamplifikasi (Suryanto, 2003). Gambar 2.5. Amplifikasi DNA menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction) (Sumber : Orac, 2007) Pada reaksi PCR diperlukan DNA template, primer spesifik, enzim DNA polymerase yang thermostabil, buffer, ion Mg 2+, deonukleotida (dntps) dan

9 16 PCR thermal cycler. Komposisi larutan dalam satu tabung PCR, yaitu terdiri dari DNA, buffer, MgCl 2, dntps, enzim Taq Polymerase, Primer spesifik dan deionwater sebagai pelarut. D. Elektroforesis Elektroforesis adalah proses bergeraknya molekul bermuatan pada suatu medan listrik. Kecepatan molekul yang bergerak pada medan listrik tersebut bergantung pada muatan, bentuk dan ukuran molekulnya. Prinsip kerja dari elektroforesis yaitu berdasarkan pergerakan partikel-partikel bermuatan negatif (anion), dalam hal tersebut DNA, yang bergerak menuju kutub positif (anode), sedangkan partikel-partikel bermuatan positif (kation) akan bergerak menuju kutub negatif (anode) (Klug & Cummings 1994). Gambar 2.6. memperlihatkan tahapan kerja elektroforesis. Posisi molekul yang terseparasi dapat dilihat dengan pewarnaan gel. Untuk mendeteksi potongan-potongan DNA Gambar 2.6. Tahapan kerja elektroforesis (Sumber: Pradhika, 2008)

10 17 berupa larik DNA pada gel agarosa digunakan pewarna yang mengandung fluoresen dengan konsentrasi rendah, seperti intercalating agent ethidium bromide (EtBr) (Fatchiyah, 2006a). Pada proses elektroforesis ini dibutuhkan agar atau gel sebagai medium untuk pemisahan DNA. Ada dua tipe gel dalam proses elektroforesis yaitu agarosa dan polyakrilamid. Agarosa adalah koloid alami yang diekstrak dari rumput laut. Agarosa mudah pecah dan rusak oleh tangan. Gel agarosa memiliki pori berukuran besar dan kegunaan utamanya untuk memisahkan molekul yang sangat besar dengan berat molekul lebih dari 200 kilodalton (Tn2, 2010). Karakteristik dari gel agarosa dan poliakrilamid dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Karakteristik Gel Agarosa dan Poliakrilamid. Jenis gel Konsentrasi gel (%) Ukuran pita DNA yang dapat dipisahkan (pb) 0, , , Agarosa 0, , , , , , , Poliakrilamid 8, , , , (Sumber: Sambrook et al., 1989)

11 18 Resolusi optimal dalam separasi fragmen DNA akan didapatkan apabila pemilihan konsentrasi agarosa tepat. Besar kecilnya pori-pori pada agarosa ditentukan oleh konsentrasinya, makin tinggi konsentrasi agarosa, maka makin kecil pori yang terbentuk. Pori-pori ini berfungsi sebagai saringan molekul, dimana migrasi fragmen DNA yang besar akan lebih lambat daripada fragmen yang lebih kecil (Fatchiyah, 2006a). E. Metode Sexing Metode sexing untuk membedakan jenis kelamin pada burung ada beberapa cara yaitu secara non molekuler dan secara molekuler. Metode sexing secara non molekuler diantaranya yaitu vent sexing, karyotyping, steroid sexing pada feses dan laparoskopi. Metode sexing secara molekuler pada umumnya menggunakan metode PCR dengan menggunakan penanda genetik khusus jenis kelamin. Cara-cara untuk menentukan jenis kelamin non molekuler ini mempunyai beberapa kelemahan. 1. Vent sexing Vent sexing adalah metode dipopulerkan pada tahun 1930 oleh seorang profesor Jepang, Kiyoshi Masui. Sexers vent dilatih di sekolah sexing ayam dan dengan mudah bisa mendapatkan hasil dengan keakuratan 95% dalam sexing. Seorang spesialis juga bisa salah dalam mengidentifikasi burung monomorfik (Bramwell, 2003). Metode ini diperlukan orang yang terlatih dan banyak pengalaman. Metode ini membedakan jenis kelamin berdasarkan area kloaka untuk melihat ada tidaknya alat kelamin jantan.

12 19 2. Laparoskopi Laparoskopi dapat melihat karakteristik fisik saluran reproduksi dan hasilnya dapat dilihat langsung. Gonad burung dewasa adalah mudah divisualisasikan dibandingkan dengan anakan. Seorang ahli dapat mengidentifikasi jenis kelamin anakan juga. Melihat organ seks menggunakan laparoskop atau otoscope, diperlukan sayatan kecil di sisi kiri tubuh burung. Pada anakan betina, indung telur sering tidak ditemukan. Kelemahan utama dari laparoskopi adalah dibutuhkan anestesi dan risiko cedera pada organ vital. Pra Pemeriksaan bisa berbahaya dan bahkan dapat membuat burung mati (Swengel, 1996). 3. Karyotyping Sumber untuk isolasi kromosom dan penentuan kariotipe dapat diperoleh dari kultur sel yang umumnya berasal dari bulu atau sel darah. Karena sebagian besar kromosom spesies burung adalah mikrokromosom, sulit untuk menghitung mikrokromosom ini secara akurat. Karena berukuran besar kromosom Z dapat dibedakan dari kromosom W yang lebih kecil (Archawaranon, 2004). Seorang cytogeneticist berpengalaman dapat memperoleh hasil yang akurat. Kerugian utama dari analisis kromosom adalah prosedur yang memakan waktu (Christidis, 1985). Metode ini tidak dapat diterapkan untuk burung unta, karena rendah perbedaan dari kromosom Z dan W (Malagó Jr et al., 2002). 4. Steroid sexing pada feses Metode ini didasarkan pada tingkat hormon estrogen/testosteron (E/T) dalam kotoran burung. Kotoran burung betina memiliki E/T rasio yang tinggi

13 20 daripada burung jantan. Sampel feses segar diperlukan untuk tes ini. Karena adanya perbedaan musiman dan usia, beberapa hasil tumpang tindih sesekali pada rasio hormon terutama selama bukan musim kawin. Hasil terbaik dapat diperoleh hanya dari burung-burung dewasa selama musim kawin (Swengel, 1996). F. Primer Sexing Penentuan jenis kelamin secara molekuler menjadi teknik dasar dalam memahami struktur seksual dan dinamika dari populasi alami (Zeng, 2009). Metode untuk mengidentifikasi jenis kelamin burung tanpa perbedaan morfologi eksternal (sexual dimorphism) sangat penting dalam studi lapangan dan untuk kepastian breeding. Pemeriksaan kromosom atau kariotipe dapat diaplikasikan pada hampir semua spesies burung (Miyaki, 1998). Jenis kelamin dapat dibedakan karena betina mempunyai dua tipe kromosom seks (W dan Z), sedangkan pada jantan, hanya Z yang ada (ZZ) (Griffiths, et al., 1998). Teknik molekuler untuk membedakan jenis kelamin pada burung diperkenalkan pertama kali pada tahun 1995, dengan lokasi gen yang terletak pada kromosom W (Griffiths & Tiwari, 1995). Gen yang sama seperti gen ini juga ditemukan pada kromosom Z (Griffiths & Korn 1997). Banyak peneliti menggunakan penanda molekuler dalam menentukan jenis kelamin burung. Oleh karena adanya keterpautan (linkage) antara posisi daerah penanda kekhususan sex (Choromo-helicase-DNA-binding) dengan kromosom kelamin pada kelompok aves (kromosom Z dan kromosom W) (Griffith & Korn, 1997), maka penentuan jenis kelamin secara molekuler akan menjadi lebih

14 21 mudah. Gen Chromo-Helicase-DNA-binding (CHD) ini terdiri dari dua gametologs pada kromosom seks Z dan W burung, dimana intron dari dua gametologs memiliki panjang yang berbeda tetapi diapit urutan nukleotida yang sangat lestari atau conserved (Conway et al., 2004). Gambar 2.7. Urutan sekuen dari gen CHD-W dan CHD-Z pada tiga jenis burung Familia Columbidae. Kotak merah menunjukkan lokasi penempelan primer, urutan basa yang ada pada jantan dan betina dan urutan basa yang ada hanya pada betina. Simbol bintang dan garis menunjukkan daerah conserved dan deleted antara gen CHD-W dan CHD-Z. (Huang et al., 2011)

15 22 Salah satu penanda molekuler atau primer sexing yang sering dipakai pada burung yaitu P2/P8 yang didesain oleh Griffiths. Griffiths, et al. (1998) mengatakan bahwa identifikasi jenis kelamin berbasis DNA merupakan suatu solusi yang baik. Primer P2 merupakan primer reverse; sedangkan P8 merupakan primer forward yang digunakan untuk mengetahui jenis kelamin burung pada umumnya. Griffiths et al. (1998) dalam jurnalnya menuliskan, urutan basa dari P8 yaitu 5 -CTCCCAAGGATGAGRAAYTG-3, sedangkan P2 yaitu 5 - TCTGCATCGCTAAATCCTTT-3. P2 dan P8 menempel pada gen CHD pada kromosom Z dan W (Gambar 2.6). Penggunaan primer sexing P2/P8 hampir bersifat universal pada burung untuk menentukan jenis kelaminnya dan merupakan cara yang efektif untuk membedakan burung jantan dari burung betina. Griffiths et al. (1998) dalam jurnalnya juga mencantumkan, untuk ukuran basa pita DNA yang dihasilkan dari PCR yaitu berkisar antara 300 pb 400 bp, dimana terdapat variasi ukuran pada setiap spesies. Primer sexing banyak digunakan para peneliti untuk membedakan jenis kelamin pada burung. Primer yang digunakan untuk menentukan jenis kelamin pada burung sangat spesifik terutama untuk tingkat ordo atau Familia (Griffiths & Tiwari, 1995; Ellegren & Sheldon, 1997). Primer sexing 1237L/1272H diciptakan untuk membedakan jenis kelamin pada burung, posisi gen CHD yang diamplifikasi dapat dilihat pada Gambar 2.7 (Shizuka & Bruce, 2008). Pada gambar tersebut dapat dilihat perkiraan posisi primer ini menempel pada ekson yang terdapat pada gen CHD baik pada kromosom Z maupun kromosom W. Pada proses PCR nantinya ekson akan dimplifikasi beserta intron. Seperti halnya

16 23 primer 1237L/1272H, primer sexing P2 dan P8 juga menempel pada ekson yang terdapat pada gen CHD baik pada kromosom Z maupun kromosom W. Gambar 2.8. Visualisasi bagian dari gen CHD yang digunakan untuk identifikasi jenis kelamin, tanda panah menunjukan perkiraan lokasi penempelan untuk masing-masing primer 1237L/1272H dan garis tipis menunjukan lokasi gen yang diamplifikasi masing-masing primer. (Shizuka & Bruce, 2008) Terdapat pula primer yang hanya menempel pada CHD yang ada pada kromosom W. Penelitian yang dilakukan pada burung Familia Columbidae untuk membedakan jenis kelamin yaitu dengan mendesain primer baru OPAV 17F dan 17R berasal dari seleksi beberapa jenis primer RAPD yang diisolasi dari darah Streptopelia oriental betina (Wu et al., 2007). Primer ini digunakan untuk mengetahui jenis kelamin betina saja.

17 24 G. Aplikasi Molecular Sexing Banyak spesies burung memiliki seksual monomorfik atau hanya memperlihatkan sedikit seksual dimorfisme. Dalam kasus tersebut, penentuan jenis kelamin berdasarkan morfologi adalah sulit. Metode sexing secara molekuler dapat digunakan, namun memilih metode dan protokol yang tepat bergantung pada spesies yang dipelajari (Kocijan et al., 2011). Proses kawin pada burung dapat terjadi dengan memasukkan burung jantan dan burung betina dalam satu sangkar untuk dikembangbiakan. Pada umumnya peternak tidak yakin dengan jenis kelamin burung tersebut, sehingga mereka tidak bisa mendapatkan anakan dari burung monomorfik tersebut. Perbedaan dalam harga jual dan biaya perawatan spesies burung jantan dan betina dan juga waktu yang dihabiskan untuk proses pengembangbiakannya menyebabkan kerugian yang signifikan (Cerit & Avanus, 2007). Semakin cepat jenis kelamin diketahui maka semakin sedikit pula kerugian yang diderita. Metode sexing secara molekuler ini dapat dijadikan alat untuk deteksi dini pada burung-burung monomorfik. Primer P2 dan P8 telah banyak digunakan untuk menentukan jenis kelamin burung. Dawson et al. (2001) menentukan jenis kelamin pada burung laut Aethia cristatella di pasifik utara menggunakan metode PCR dengan primer P2 dan P8. Burung laut ini hanya memiliki satu anakan setiap masa kawin. Selain itu pula, burung ini merupakan burung monomorfik. Hasil yang diperoleh menunjukan 2 pita pada betina dan 1 pita pada jantan yang berukuran antara 365 pb 391 pb.

18 25 Selain Dawson (2001), Chang (2008) juga menggunakan primer P2 dan P8 ini dalam menentukan jenis kelamin Spilornis cheela hoya (S. c. hoya) dan Pycnonotus sinensis (P. sinensis) yang memiliki ukuran larik hasil amplifikasi yaitu berada di kisaran 300 pb 400 pb. Pada penelitian yang dilakukan Natakoesoemah (2003), hasil penelitian membuktikan bahwa penentuan jenis kelamin secara morfologi pada burung monomorfik khususnya burung Gelatik Jawa mempunyai persentase kesalahan yang cukup tinggi. Dari 36 sampel burung Gelatik Jawa yang digunakan, secara morfologi diperoleh 18 ekor betina dan 18 ekor jantan. Sedangkan secara molekuler diperoleh 8 ekor betina dan 28 ekor jantan yang memiliki ukuran larik hasil amplifikasi yaitu 350 pb dan 400 pb. Penelitian ini menggunakan primer sexing P2 dan P8-G yang merupakan modifikasi dari primer P2 dan P8. Suhu annealing yang dipakai untuk amplifikasi Gelatik Jawa yaitu 56 o C. Zaniar (2002), melakukan penelitian menggunakan penanda molekuler untuk menentukan jenis kelamin pada burung Betet Jawa (Psittacula alexandri alexandri). Sampel yang digunakan pada penelitian ini yaitu berasal dari darah burung Betet Jawa. Sampel darah yang telah dipurifikasi kemudian diamplifikasi dengan teknik PCR menggunakan primer sexing yaitu P2 dan P8.3 yang merupakan modifikasi dari primer P2 dan P8. Dari 20 sampel darah burung Betet Jawa yang diuji teramplifikasi dengan baik dan diperoleh ukuran sebesar 382 pb untuk kromosom Z dan 400 pb untuk kromosom W, dan dari hasil anallisis DNA ini diperoleh 10 sampel adalah betina dan sisanya jantan. Berdasarkan hasil uji silang pengecekan jenis kelamin dengan karakter morfologi menunjukkan bahwa

19 26 teknik molekuler sangat efektif untuk membedakan jenis kelamin untuk burungburung muda dan dewasa dibandingkan dengan karakter morfologi. Kocijan (2011), melakukan penelitian dengan molekuler sexing menggunakan dua primer yang berbeda yaitu P2/P8 dan 2550F/2718R. Hasilnya adalah pasangan primer P2/P8 efektif pada burung Passeriformes, sedangkan 2550F/2718R tidak. Sebaliknya untuk dua spesies yang mewakili Falconiformes dan Pelecaniformes, 2550F/2718R penggunaannya efektif.

BAB I PENDAHULUAN. Burung adalah salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. Burung adalah salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. BAB I PENDAHULUAN B. Latar Belakang Burung adalah salah satu kekayaan hayati yang dimiliki oleh Indonesia. Sukmantoro et al. (2007) menyebutkan bahwa jumlah burung di Indonesia mencapai 1598 jenis dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh

BAB I PENDAHULUAN. Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Famili Columbidae merupakan kelompok burung dengan ciri umum tubuh kokoh, leher pendek, paruh ramping dan cere berdaging. Distribusi burung Famili Columbidae tersebar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang

BAB I PENDAHULUAN. Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Burung anggota Famili Columbidae merupakan kelompok burung yang mudah dikenali dan distribusinya tersebar luas di dunia. Dominan hidupnya di habitat terestrial. Kelimpahan

Lebih terperinci

BAB II PENGGUNAAN PENANDA DNA SPESIFIK BETINA DALAM PENENTUAN JENIS KELAMIN PADA BURUNG FAMILIA COLUMBIDAE

BAB II PENGGUNAAN PENANDA DNA SPESIFIK BETINA DALAM PENENTUAN JENIS KELAMIN PADA BURUNG FAMILIA COLUMBIDAE BAB II PENGGUNAAN PENANDA DNA SPESIFIK BETINA DALAM PENENTUAN JENIS KELAMIN PADA BURUNG FAMILIA COLUMBIDAE A. Familia Columbidae Familia Columbidae merupakan kelompok burung dengan panjang tubuh berkisar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Kualitas DNA

HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Kualitas DNA HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi DNA Sumber DNA pada Aves biasanya berasal dari darah. Selain itu bulu juga dapat dijadikan sebagai alternatif sumber DNA. Hal ini karena pada sebagian jenis Aves memiliki pembuluh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi dan Purifikasi DNA Total DNA total yang diperoleh dalam penelitian bersumber dari darah dan bulu. Ekstraksi DNA yang bersumber dari darah dilakukan dengan metode phenolchloroform,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. morfologis yang sama antara jantan dan betinanya, sehingga sulit dibedakan,

I. PENDAHULUAN. morfologis yang sama antara jantan dan betinanya, sehingga sulit dibedakan, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jenis kelamin merupakan informasi dasar dari makhluk hidup yang penting untuk diketahui, sayangnya tidak semua makhluk hidup mudah untuk dibedakan antara jantan dan betinanya.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah sampel DNA koleksi hasil

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Tekukur Burung tekukur merupakan burung yang banyak ditemukan di kawasan yang terbentang dari India dan Sri Lanka di Asia Selatan Tropika hingga ke China Selatan dan Asia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah. kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis),

I. PENDAHULUAN. hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah. kekayaan plasma nutfah (keanekaragaman genetik di dalam jenis), I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara dengan keanekaragaman hayati sangat tinggi (megabiodiversity). Keanekaragaman hayati adalah ketersediaan keanekaragaman sumberdaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Aves (Bangsa Burung) Unggas Ayam Kampung. Itik.

TINJAUAN PUSTAKA Aves (Bangsa Burung) Unggas Ayam Kampung. Itik. TINJAUAN PUSTAKA Aves (Bangsa Burung) Burung atau aves adalah hewan yang memiliki bulu, tungkai atau lengan depan termodifikasi untuk terbang, tungkai belakang teradaptasi untuk berjalan, berenang dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. alam. Dalam International Union for Conservation of Nature (IUCN)

I. PENDAHULUAN. alam. Dalam International Union for Conservation of Nature (IUCN) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) adalah satwa endemik Pulau Bali yang sekarang penyebarannya terbatas hanya di sekitar Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Burung ini dikategorikan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 4 Amplifikasi gen GH exon 4 pada kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen dan PESA (Persilangan PE-Saanen) diperoleh panjang fragmen 200 bp (Gambar 8). M 1 2 3

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah

TINJAUAN PUSTAKA. Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Lokal Indonesia Domba lokal merupakan salah satu ternak yang ada di Indonesia, telah beradaptasi dengan iklim tropis dan beranak sepanjang tahun. Domba lokal ekor tipis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita

HASIL DAN PEMBAHASAN. divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Amplifikasi Gen Mx Amplifikasi gen Mx telah berhasil dilakukan. Hasil amplifikasi gen Mx divisualisasikan padaa gel agarose seperti terlihat pada Gambar 4.1. Ukuran pita yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen FSHR Alu-1 Amplifikasi fragmen gen FSHR Alu-1 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan dengan kondisi annealing 60 C selama 45 detik dan diperoleh produk

Lebih terperinci

SKRIPSI. PENGGUNAAN METODE MOLECULAR SEXING UNTUK PENENTUAN JENIS KELAMIN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rothschildi)

SKRIPSI. PENGGUNAAN METODE MOLECULAR SEXING UNTUK PENENTUAN JENIS KELAMIN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rothschildi) SKRIPSI PENGGUNAAN METODE MOLECULAR SEXING UNTUK PENENTUAN JENIS KELAMIN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rothschildi) Disusun oleh: Putu Indra Pramana Wirastika NPM : 080801055 UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode 24 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode penelitian deskriptif. B. Objek Penelitian Empat spesies burung anggota Famili

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Burung Bondol Kalimantan (Lonchura fuscans) cm) dan berwarna gelap. Perbedaan dengan bondol lain adalah seluruh

TINJAUAN PUSTAKA. A. Burung Bondol Kalimantan (Lonchura fuscans) cm) dan berwarna gelap. Perbedaan dengan bondol lain adalah seluruh II. TINJAUAN PUSTAKA A. Burung Bondol Kalimantan (Lonchura fuscans) Bondol Kalimantan (Lonchura fuscans) memiliki ukuran sedang (11 cm) dan berwarna gelap. Perbedaan dengan bondol lain adalah seluruh bulunya

Lebih terperinci

PENENTUAN JENIS KELAMIN BURUNG KEPODANG (Oriolus chinensis maculatus L.) DENGAN TEKNIK PCR (Polymerase Chain Reaction) MENGGUNAKAN PRIMER SEXING

PENENTUAN JENIS KELAMIN BURUNG KEPODANG (Oriolus chinensis maculatus L.) DENGAN TEKNIK PCR (Polymerase Chain Reaction) MENGGUNAKAN PRIMER SEXING 2004 Margareta Rahayuningsih Posted: 28 November 2004 Makalah Pribadi Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor November 2004 Dosen: Prof Dr Ir Rudy C Tarumingkeng, M

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth III. MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Pengambilan sampel darah domba dilakukan di Kecamatan Koto Tengah Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober 2012. Amplifikasi gen Growth Hormone menggunakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sintesis fragmen gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sintesis fragmen gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KONDISI OPTIMAL REAKSI AMPLIFIKASI Sintesis fragmen 688--1119 gen HA Avian Influenza Virus (AIV) galur A/Indonesia/5/2005 dilakukan dengan teknik overlapping extension

Lebih terperinci

BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI

BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI BAB XII. REAKSI POLIMERISASI BERANTAI Di dalam Bab XII ini akan dibahas pengertian dan kegunaan teknik Reaksi Polimerisasi Berantai atau Polymerase Chain Reaction (PCR) serta komponen-komponen dan tahapan

Lebih terperinci

Teknik-teknik Dasar Bioteknologi

Teknik-teknik Dasar Bioteknologi Teknik-teknik Dasar Bioteknologi Oleh: TIM PENGAMPU Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Jember Tujuan Perkuliahan 1. Mahasiswa mengetahui macam-macam teknik dasar yang digunakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein (FH) merupakan bangsa sapi yang paling banyak terdapat di Amerika Serikat, sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang berada di sana.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode 22 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode penelitian deskriptif. B. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian

Lebih terperinci

Daftar Pustaka. Archawaranon, M. (2004) Rapid sexing hill mynah Gracula religiosa by sex chromosomes.biotechnology 3:

Daftar Pustaka. Archawaranon, M. (2004) Rapid sexing hill mynah Gracula religiosa by sex chromosomes.biotechnology 3: 53 Daftar Pustaka Abdullah, C & Retnoningrum, Debbie S. (2003). Deteksi Bakteri Patogen Streptococcus pyogenes dengan Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Jurnal Natur Indonesia, 6: 1-4. Archawaranon,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan hasil perikanan yang beranekaragam, sehingga mendatangkan devisa negara yang cukup besar terutama dari

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. penelitian ini

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB dan Laboratorium Terpadu,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Gen GH exon 3 pada kambing PE, Saanen, dan PESA (Persilangan PE dan Saanen) berhasil diamplifikasi menggunakan metode PCR (Polymerase Chain Reaction). Panjang fragmen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman

I. PENDAHULUAN. Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jenis kelamin menjadi salah satu studi genetik yang menarik pada tanaman dioecious. Jenis kelamin betina menjamin keberlangsungan hidup suatu individu, dan juga penting

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. introduksi, dan pengembangan. Tujuan konservasi adalah dapat menjamin

II. TINJAUAN PUSTAKA. introduksi, dan pengembangan. Tujuan konservasi adalah dapat menjamin 9 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Konservasi Burung Menurut Alikodra (1990), konservasi sumber daya alam adalah kegiatan yang meliputi perlindungan, pengawetan, pemeliharaan, rehabilitasi, introduksi, dan pengembangan.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Pituitary-Specific Positive Transcription Factor 1 (Pit1) Exon 3 Amplifikasi gen Pit1 exon 3 pada sapi FH yang berasal dari BIB Lembang, BBIB Singosari, BPPT Cikole,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Aves Ayam Kampung Puyuh

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Aves Ayam Kampung Puyuh TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Aves Aves adalah hewan yang tubuhnya tertutup bulu, tidak memiliki gigi, berjalan dengan dua kaki, dan memiliki struktur tulang yang termodifikasi untuk terbang (Stevens, 1996).

Lebih terperinci

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis

KATAPENGANTAR. Pekanbaru, Desember2008. Penulis KATAPENGANTAR Fuji syukut ke Hadirat Allah SWT. berkat rahmat dan izin-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang beijudul "Skrining Bakteri Vibrio sp Penyebab Penyakit Udang Berbasis Teknik Sekuens

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG DAFTAR ISI ABSTRAK... Error! ABSTRACT... Error! KATA PENGANTAR... Error! DAFTAR ISI... i DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG... Error! BAB I PENDAHULUAN... Error! 1.1 Latar Belakang... Error! 1.2 Rumusan Masalah...

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada

Lebih terperinci

Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf

Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf Saintek Vol 5, No 6, Tahun 2010 POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Zuhriana K.Yusuf Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Masyarakat FIKK Universitas Negeri Gorontalo Abstrak (Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN 14 BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Konfirmasi bakteri C. violaceum dan B. cereus dilakukan dengan pewarnaan Gram, identifikasi morfologi sel bakteri, sekuensing PCR 16s rdna dan uji kualitatif aktivitas

Lebih terperinci

POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Disusun oleh: Hanif Wahyuni (1210411003) Prayoga Wibhawa Nu Tursedhi Dina Putri Salim (1210412032) (1210413031) SEJARAH Teknik ini dirintis oleh Kary Mullis pada tahun 1985

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel 16 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menggambarkan tahapan penelitian yang terdiri dari pengambilan sampel, penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel, amplifikasi D-loop mtdna dengan teknik

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Sebelum melakukan PCR, terlebih dahulu dilakukan perancangan primer menggunakan program DNA Star. Pemilihan primer dilakukan dengan mempertimbangkan parameter spesifisitas,

Lebih terperinci

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI

ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI 1 ANALISA HASIL TRANSFORMASI DENGAN MENGGUNAKAN PCR KOLONI DAN RESTRIKSI PENDAHULUAN Polimerase Chain Reaction (PCR) PCR adalah suatu reaksi invitro untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. ditemukan di bagian barat pulau Bali. Jalak Bali telah dilindungi secara. nasional dalam Surat Keputusan Mentri Kehutanan

II. TINJAUAN PUSTAKA. ditemukan di bagian barat pulau Bali. Jalak Bali telah dilindungi secara. nasional dalam Surat Keputusan Mentri Kehutanan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi, Habitat, Kedudukan Taksonomi dan Perilaku Burung Jalak Bali (Leucopsar rothschildi) Burung Jalak Bali merupakan satwa endemik yang hanya ditemukan di bagian barat pulau

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah.

TINJAUAN PUSTAKA. Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) Menurut Kottelat dkk., (1993), klasifikasi dari ikan lele dumbo adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus : Animalia : Chordata

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan Dalam bab ini akan dipaparkan hasil dari tahap-tahap penelitian yang telah dilakukan. Melalui tahapan tersebut diperoleh urutan nukleotida sampel yang positif diabetes dan sampel

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2

HASIL DAN PEMBAHASAN. Amplifikasi Gen GH Exon 2 HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 2 Gen GH exon 2 pada ternak kambing PE, Saanen, dan persilangannya (PESA) berhasil diamplifikasi menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Pasangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 individu udang Jari yang diambil dari Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.

Lebih terperinci

Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella ( )

Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella ( ) Identifikasi Gen Abnormal Oleh : Nella (10.2011.185) Identifikasi gen abnormal Pemeriksaan kromosom DNA rekombinan PCR Kromosom waldeyer Kromonema : pita spiral yang tampak pada kromatid Kromomer : penebalan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Kalimantan Tengah Berdasarkan aspek pewilayahan Kalimantan Tengah mempunyai potensi besar untuk pengembangan peternakan dilihat dari luas lahan 153.564 km 2 yang terdiri atas

Lebih terperinci

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Ria Maria (G34090088), Achmad Farajallah, Maria Ulfah. 2012. Karakterisasi Single Nucleotide Polymorphism Gen CAST pada Ras Ayam Lokal. Makalah Kolokium

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni

TINJAUAN PUSTAKA. Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni TINJAUAN PUSTAKA Elaeidobius kamerunicus Faust. (Coleoptera : Curculionidae) Kumbang ini mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yakni siklus hidupnya terdiri dari telur larva pupa imago. E. kamerunicus

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

JURNAL. PENGGUNAAN METODE MOLECULAR SEXING UNTUK PENENTUAN JENIS KELAMIN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rothschildi)

JURNAL. PENGGUNAAN METODE MOLECULAR SEXING UNTUK PENENTUAN JENIS KELAMIN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rothschildi) JURNAL PENGGUNAAN METODE MOLECULAR SEXING UNTUK PENENTUAN JENIS KELAMIN BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rothschildi) Disusun oleh: Putu Indra Pramana Wirastika NPM : 080801055 UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan sebagai salah satu sumber protein hewani mengandung semua jenis asam amino esensial yang diperlukan oleh tubuh manusia (Suhartini dan Nur 2005 dalam Granada 2011),

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 29 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik isolat bakteri dari ikan tuna dan cakalang 4.1.1 Morfologi isolat bakteri Secara alamiah, mikroba terdapat dalam bentuk campuran dari berbagai jenis. Untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Babi Babi adalah sejenis hewan ungulata yang bermoncong panjang dan berhidung leper dan merupakan hewan yang aslinya berasal dari Eurasia. Didalam Al-Qur an tertera dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Suhu Annealing pada Program PCR terhadap Keberhasilan Amplifikasi DNA Udang Jari (Metapenaeus elegans) Laguna Segara Anakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tersebar luas di Daratan Asia Tenggara, Lempeng Sunda, Kepulauan Filipina, dan daerah Wallacea Selatan. Monyet ekor panjang di Indonesia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah

TINJAUAN PUSTAKA. Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum tentang Ayam Kampung Suprijatna dkk. (2005) mengemukakan taksonomi ayam kampung adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia, Phylum : Chordata, Subphylum : Vertebrata,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut: BAB III METODE PENELITIAN Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel, lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh, amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Autentikasi Bahan Baku Ikan Tuna (Thunnus sp.) dalam Rangka Peningkatan Keamanan Pangan dengan Metode Berbasis DNA dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. maupun luar negeri. Hingga saat ini jati masih menjadi komoditas mewah

I. PENDAHULUAN. maupun luar negeri. Hingga saat ini jati masih menjadi komoditas mewah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jati (Tectona grandis Linn. f.) merupakan salah satu jenis kayu komersial yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan diminati oleh banyak orang, baik dalam maupun luar negeri.

Lebih terperinci

BIO306. Prinsip Bioteknologi

BIO306. Prinsip Bioteknologi BIO306 Prinsip Bioteknologi KULIAH 7. PUSTAKA GENOM DAN ANALISIS JENIS DNA Konstruksi Pustaka DNA Pustaka gen merupakan sumber utama isolasi gen spesifik atau fragmen gen. Koleksi klon rekombinan dari

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN. Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN. Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Oligonukleotida sintetis daerah pengkode IFNα2b sintetis dirancang menggunakan program komputer berdasarkan metode sintesis dua arah TBIO, dimana proses sintesis daerah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus ( Rattus norvegicus Gen Sitokrom b

TINJAUAN PUSTAKA Tikus ( Rattus norvegicus Gen Sitokrom b TINJAUAN PUSTAKA Tikus (Rattus norvegicus) Tikus termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata, subfilum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Rodentia, dan famili Muridae. Spesies-spesies utama yang terdapat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi ini membutuhkan primer spesifik (sekuen oligonukelotida khusus) untuk daerah tersebut. Primer biasanya terdiri dari 10-20 nukleotida dan dirancang berdasarkan daerah konservatif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Maskoki memiliki keindahan dan daya tarik tersendiri karena bentuk dan ukuran tubuhnya serta keindahan pada variasi warna dan corak yang beragam (Perkasa & Abdullah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Ternak Lokal Keanekaragaman ternak sapi di Indonesia terbentuk dari sumber daya genetik ternak asli dan impor. Impor ternak sapi Ongole (Bos indicus) atau Zebu yang

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISI Bab Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... ix x xii I II III PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Identifikasi Masalah... 2 1.3 Tujuan Penelitian... 2 1.4 Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perbedaan geografis dan perbedaan antar spesies burung. Kendala lain yaitu

TINJAUAN PUSTAKA. perbedaan geografis dan perbedaan antar spesies burung. Kendala lain yaitu 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sifat Monomorfik pada Burung Berdasarkan Cerit dan Avanus (2007), identifikasi jenis kelamin juga dilakukan berdasar perbedaan morfologi seperti ukuran tubuh dan warna bulu. Teknik

Lebih terperinci

URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan

URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan URAIAN MATERI 1. Pengertian dan prinsip kloning DNA Dalam genom sel eukariotik, gen hanya menempati sebagian kecil DNA kromosom, selain itu merupakan sekuen non kode (sekuen yang tidak mengalami sintesis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagi sel tersebut. Disebut sebagai penghasil energi bagi sel karena dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bagi sel tersebut. Disebut sebagai penghasil energi bagi sel karena dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mitokondria Mitokondria merupakan salah satu organel yang mempunyai peranan penting dalam sel berkaitan dengan kemampuannya dalam menghasilkan energi bagi sel tersebut. Disebut

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Lumbrokinase merupakan enzim fibrinolitik yang berasal dari cacing tanah L. rubellus. Enzim ini dapat digunakan dalam pengobatan penyakit stroke. Penelitian mengenai lumbrokinase,

Lebih terperinci

III. KARAKTERISTIK AYAM KUB Sifat Kualitatif Warna Bulu, Shank dan Comb

III. KARAKTERISTIK AYAM KUB Sifat Kualitatif Warna Bulu, Shank dan Comb III. KARAKTERISTIK AYAM KUB-1 A. Sifat Kualitatif Ayam KUB-1 1. Sifat Kualitatif Warna Bulu, Shank dan Comb Sifat-sifat kualitatif ayam KUB-1 sama dengan ayam Kampung pada umumnya yaitu mempunyai warna

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (a)

HASIL DAN PEMBAHASAN. (a) 8 tampak diskor secara manual. Kriteria penskoran berdasarkan muncul tidaknya lokus, lokus yang muncul diberi skor 1 dan yang tidak muncul diberi skor 0. Data biner yang diperoleh selanjutnya diolah menjadi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang Karakterisasi genetik Udang Jari (Metapenaeus elegans De Man, 1907) hasil tangkapan dari Laguna Segara Anakan berdasarkan haplotipe

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sumber Daya Genetik Sapi Lokal Indonesia Ternak sapi di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu terak asli, ternak yang telah beradaptasi dan ternak impor (Sarbaini,

Lebih terperinci

PENGGUNAAN GEN CHROMO HELICASE DNA BINDING (CHD) SEBAGAI MARKER PENENTU JENIS KELAMIN PADA AVES SKRIPSI EKA SARI

PENGGUNAAN GEN CHROMO HELICASE DNA BINDING (CHD) SEBAGAI MARKER PENENTU JENIS KELAMIN PADA AVES SKRIPSI EKA SARI PENGGUNAAN GEN CHROMO HELICASE DNA BINDING (CHD) SEBAGAI MARKER PENENTU JENIS KELAMIN PADA AVES SKRIPSI EKA SARI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. DNA Genom

HASIL DAN PEMBAHASAN. DNA Genom IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Isolasi DNA Metode isolasi dilakukan untuk memisahkan DNA dari komponen sel yang lain (Ilhak dan Arslan, 2007). Metode isolasi ini sesuai dengan protokol yang diberikan oleh

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau PENGANTAR Latar Belakang Itik yang dikenal saat ini adalah hasil penjinakan itik liar (Anas Boscha atau Wild Mallard). Proses penjinakan telah terjadi berabad-abad yang lalu dan di Asia Tenggara merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Sapi Lokal Indonesia Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki banyak bangsa sapi dan hewan-hewan lainnya. Salah satu jenis sapi yang terdapat di Indonesia adalah

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Analisis Polymerase Chain Reaction (PCR) serta analisis penciri Polymerase Chain Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP) dilaksanakan di Laboratorium

Lebih terperinci

I. PEMBAHASAN. Hasil Uji Kuantitatif dan Kualitatif DNA. menggunakan teknik elektroforesis gel agarosa konsentrasi 1% pada tangki berisi

I. PEMBAHASAN. Hasil Uji Kuantitatif dan Kualitatif DNA. menggunakan teknik elektroforesis gel agarosa konsentrasi 1% pada tangki berisi I. PEMBAHASAN A. Hasil Uji Kuantitatif dan Kualitatif DNA Uji kualitatif dilakukan dengan dipilih secara acak sebanyak 14 sampel dari 27 sampel yang digunakan karena dianggap mewakili keseluruhan sampel

Lebih terperinci

TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA

TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA TUGAS TERSTRUKTUR BIOTEKNOLOGI PERTANIAN VEKTOR DNA Oleh: Gregorius Widodo Adhi Prasetyo A2A015009 KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS PERTANIAN PROGRAM

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Terisi secara geografis terletak pada 108 o o 17 bujur

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kecamatan Terisi secara geografis terletak pada 108 o o 17 bujur IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian Kecamatan Terisi secara geografis terletak pada 108 o 04-108 o 17 bujur timur dan 6 o 36-6 o 48 lintang selatan memiliki luas wilayah 174,22

Lebih terperinci

LOVEBIRD. Semoga bermanfaat.

LOVEBIRD. Semoga bermanfaat. LOVEBIRD Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Aves Order : Psittaciformes Superfamily : Psittacoidea Family : Psittaculidae Subfamily : Agapornithinae Genus : Agapornis Species: 1. Agapornis Personatus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi DNA Genom Isolasi dalam penelitian ini menggunakan Wizard Genomic Purification Kit (Promega), yang dapat digunakan untuk mengisolasi DNA genom dari jaringan segar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 15 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis DNA 4.1.1 Ekstraksi DNA Ekstraksi DNA merupakan langkah awal dalam analisis molekuler. Masalah-masalah yang timbul dalam ekstraksi DNA merupakan hal yang penting

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR;

BAB III METODE PENELITIAN. amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan teknik PCR; BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar, langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah HVI mtdna

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perempuan di dunia dan urutan pertama untuk wanita di negara sedang

I. PENDAHULUAN. perempuan di dunia dan urutan pertama untuk wanita di negara sedang I. PENDAHULUAN Kanker serviks menduduki urutan kedua dari penyakit kanker yang menyerang perempuan di dunia dan urutan pertama untuk wanita di negara sedang berkembang (Emilia, dkk., 2010). Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hewan Babi Hewan babi berasal dari Genus Sus, Linnaeus 1758 mempunyai bentuk hidung yang rata sangat khas, hewan ini merupakan jenis hewan omnivora atau hewan pemakan segala.

Lebih terperinci

Elektroforesis Hasil Amplifikasi Analisis Segregasi Marka SSR Amplifikasi DNA Kelapa Sawit dengan Primer Mikrosatelit HASIL DAN PEMBAHASAN

Elektroforesis Hasil Amplifikasi Analisis Segregasi Marka SSR Amplifikasi DNA Kelapa Sawit dengan Primer Mikrosatelit HASIL DAN PEMBAHASAN 11 annealing yang tepat dengan mengatur reaksi pada berbagai suhu dalam satu reaksi sekaligus sehingga lebih efektif dan efisien. Proses optimasi dilakukan menggunakan satu sampel DNA kelapa sawit yaitu

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah D-loop

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perserikatan Bangsa Bangsa telah mendirikan FAO Global Strategy for the Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan mengatur pemanfaatan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium BIORIN (Biotechnology Research Indonesian - The Netherlands) Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Penelitian

Lebih terperinci

Pengujian DNA, Prinsip Umum

Pengujian DNA, Prinsip Umum Pengujian DNA, Prinsip Umum Pengujian berbasis DNA dalam pengujian mutu benih memang saat ini belum diregulasikan sebagai salah satu standar kelulusan benih dalam proses sertifikasi. Dalam ISTA Rules,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber :

TINJAUAN PUSTAKA. Sumber : TINJAUAN PUSTAKA Sapi Friesian Holstein Sapi Friesian Holstein merupakan bangsa sapi perah yang banyak terdapat di Amerika Serikat dengan jumlah sekitar 80-90% dari seluruh sapi perah yang ada. Sapi ini

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Burung Puyuh Puyuh merupakan jenis burung yang tidak dapat terbang tinggi, ukuran tubuhnya relatif kecil dan berkaki pendek. Puyuh merupakan burung liar yang pertama kali diternakkan

Lebih terperinci