KARAKTERISTIK MINYAK SAWIT KASAR SELAMA PENYIMPANAN DAN PENGALIRAN SKRIPSI DESIR DETAK INSANI F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KARAKTERISTIK MINYAK SAWIT KASAR SELAMA PENYIMPANAN DAN PENGALIRAN SKRIPSI DESIR DETAK INSANI F"

Transkripsi

1 KARAKTERISTIK MINYAK SAWIT KASAR SELAMA PENYIMPANAN DAN PENGALIRAN SKRIPSI DESIR DETAK INSANI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 20

2 CRUDE PALM OIL CHARACTERISTICS DURING STORAGE AND CIRCULATION IN PIPELINE Desir Detak Insani, Sugiyono, and Nur Wulandari Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone: , ABSTRACT Crude palm oil (CPO) is one of Indonesia's main commodity. Nowadays, Indonesia is the largest CPO producer in the world. To increase the competitiveness of CPO in Indonesia, handling, storage, and transportation of CPO should be managed efficiently. The objective of this research was to obtain the basic data about the quality characteristics and rheological properties of CPO during storage and pipe flow transportation. The quality parameters of CPO that observed in this study were free fatty acids (FFA), iodine value, carotenoid content, and the deterioration of bleachability index (DOBI). The observed parameters of the rheological properties were flow behavior index (n) and consistency index (K). CPO that used in this research had 3.44% of FFA, of iodine value, 86 ppm of carotenoid content, and 3.2 of DOBI. CPO was stored at the storage temperature of 20, 25, 30, 35, and 40 o C over 4 weeks. The results showed that during storage, FFA levels increased, while the carotenoid content and DOBI decreased. The higher storage temperature resulted in higher rate of decline in CPO quality. At each storage temperature, the longer storage resulted in decreased quality of CPO. Based on this research, the best storage temperature to maintain the quality of CPO was at 20 o C. At the room temperature, CPO was pseudoplastic (0<n< and K>0), but at the higher storage temperature, CPO had rheological properties that closer to Newtonian (n= and K>0). The analysis of rheological properties during storage showed that storage time had no effect on the rheological properties of CPO. Study on CPO flow by using circulated pipeline in isothermal conditions showed that melting temperature was the critical temperature for maintaining low viscosity to assure the flow of CPO. Flow of CPO in high temperature caused decreasing in quality of CPO significantly. Keywords : CPO, quality, rheological properties, storage, pipeline.

3 DESIR DETAK INSANI. F Karakteristik Minyak Sawit Kasar Selama Penyimpanan dan Pengaliran. Di bawah bimbingan Sugiyono dan Nur Wulandari. 20 RINGKASAN Minyak sawit merupakan komoditas non-migas unggulan Indonesia. Saat ini Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia, dimana produksi dan luas arealnya telah melampaui Malaysia. Saat ini produk minyak sawit yang banyak ditangani di Indonesia berupa minyak sawit kasar (crude palm oil/cpo) yang merupakan hasil ekstraksi dari sabut (mesokarp) kelapa sawit. Produksi CPO tahun 200 mencapai 9.84 juta ton dengan luas areal perkebunan kelapa sawit sebesar 7.82 juta hektar (Ditjenbun 20). Dengan sedemikian besarnya volume produksi minyak sawit Indonesia, maka upaya peningkatan efisiensi produksi minyak sawit serta penanganannya perlu terus dilakukan agar daya saing minyak sawit Indonesia semakin meningkat. Salah satu permasalahan yang perlu diperhatikan dalam penanganan CPO adalah masalah penyimpanan dan transportasi. CPO memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan minyak nabati lainnya yang berpengaruh terhadap penanganannya selama penyimpanan dan transportasi. Menurut CAC (2005) terdapat tiga penyebab kerusakan atau penurunan mutu yang dapat terjadi selama penyimpanan dan transportasi minyak nabati, yaitu terjadinya reaksi oksidasi dengan oksigen di udara, reaksi hidrolisis, dan terjadinya kontaminasi. Semakin lama masa penyimpanan CPO maka penurunan mutu yang terjadi akan semakin besar. Suhu penyimpanan CPO yang tidak terkontrol dengan baik juga sering kali menjadi penyebab terjadinya penurunan mutu CPO. Selain itu, pengaruh suhu penyimpanan CPO sebelum pengaliran terhadap sifat reologinya akan menentukan kondisi awal untuk memulai proses pengaliran dalam pipa. Selama pengaliran sangat memungkinkan terjadinya penurunan mutu CPO, karena pengaliran dilakukan pada kondisi panas. Oleh karena itu, data-data dasar mengenai profil mutu serta sifat reologi CPO selama penyimpanan dan pengaliran dalam pipa perlu dikaji lebih mendalam. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data karakteristik mutu dan sifat CPO selama penyimpanan dan pengaliran dalam pipa. Penelitian ini dibagi menjadi lima tahap, yaitu: () analisis mutu dan reologi CPO awal, (2) analisis mutu dan reologi CPO setelah pemanasan awal, (3) analisis mutu dan reologi CPO selama penyimpanan, (4) analisis mutu dan reologi CPO setelah pemanasan sebelum pengaliran, dan (5) analisis mutu dan reologi CPO selama pengaliran dalam pipa. Sampel CPO yang digunakan pada penelitian ini merupakan sampel yang baru dihasilkan industri pengolah CPO, serta belum mengalami proses transportasi dan penyimpanan dalam waktu yang lama. Analisis mutu CPO yang dilakukan meliputi kadar asam lemak bebas, bilangan iod, kadar karoten dan DOBI (deterioration of bleachability index). Hasil analisis mutu CPO yang diperoleh dibandingkan dengan standar mutu CPO yang telah ditetapkan. Sementara analisis sifat reologi CPO dilakukan dengan menggunakan Haake Rotoviscometer RV20. Sifat reologi CPO dilihat dari indeks tingkah laku aliran (n) dan indeks konsistensi aliran (K) berdasarkan model fluida power law. Berdasarkan hasil analisis mutu awal yang dilakukan, sampel CPO yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar asam lemak bebas sebesar 3.44%, bilangan iod sebesar g iod/00 g, kadar karotenoid sebesar 642 ppm, dan DOBI sebesar 2.9. CPO yang digunakan masih memenuhi standar mutu CPO di PKS Indonesia yang ditetapkan oleh Ditjenbun (997). Hasil analisis reologi CPO awal menunjukkan bahwa indeks tingkah laku aliran (n) CPO awal sebesar 0.635, dan indeks konsistensi (K) sebesar.505. Dilihat dari nilai n dan K yang diperoleh berdasarkan persamaan power law diketahui bahwa CPO pada suhu 25 o C merupakan fluida pseudoplastik (0<n< dan K>0).

4 Setelah mengalami proses pemanasan hingga suhu 55 o C, asam lemak bebas pada CPO meningkat menjadi 3.85%, bilangan iod cenderung tidak mengalami perubahan yaitu sebesar g iod/00 g, sedangkan kadar karotenoid turun menjadi 604 ppm, begitu juga dengan DOBI yang turun menjadi Namun kadar asam lemak bebas, bilangan iod, kadar karotenoid dan DOBI setelah mengalami pemanasan hingga suhu 55 o C masih memenuhi standar mutu CPO di PKS Indonesia. Hasil analisis reologi CPO menunjukkan bahwa CPO setelah dipanaskan hingga mencapai suhu 55 o C memiliki indeks tingkah laku aliran (n) sebesar 0.935, dan indeks konsistensi (K) sebesar Dilihat dari nilai n dan K yang diperoleh, CPO yang dipanaskan hingga suhu 55 o C memiliki sifat yang mendekati fluida Newtonian (n= dan K>0). Pengamatan terhadap perubahan karakteristik mutu dan reologi CPO selama penyimpanan dilakukan selama 4 minggu pada beberapa suhu penyimpanan yang berbeda, yaitu suhu penyimpanan 20, 25, 30, 35, dan 40 o C. Analisis mutu dan reologi dilakukan setiap minggu, selama 4 minggu penyimpanan. Berdasarkan data analisis mutu yang diperoleh, terlihat bahwa asam lemak bebas selama penyimpanan meningkat, bilangan iod cenderung tidak mengalami perubahan, sedangkan kadar karotenoid dan DOBI mengalami penurunan selama penyimpanan. Selama 4 minggu penyimpanan, CPO yang disimpan pada suhu 20 dan 25 o C memiliki kadar asam lemak bebas, bilangan iod, kadar karotenoid, serta DOBI yang masih sesuai dengan standar mutu. Sedangkan CPO yang disimpan pada suhu 30 o C memiliki kadar asam lemak bebas, bilangan iod, kadar karotenoid, serta DOBI yang masih sesuai dengan standar mutu CPO hingga 3 minggu penyimpanan. Setelah 4 minggu penyimpanan, CPO pada suhu penyimpanan 30 o C memiliki nilai DOBI yang sudah tidak memenuhi standar yaitu 2.44 (<2.50). Penyimpanan CPO pada suhu 35 dan 40 o C mengakibatkan penurunan mutu yang lebih cepat, terlihat bahwa pada suhu penyimpanan 40 o C, CPO sudah tidak memenuhi standar mutu setelah 2 minggu penyimpanan dilihat dari nilai DOBI yang sudah tidak sesuai dengan standar yaitu 2.09 (<2.50). Hasil analisis reologi CPO selama penyimpanan menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan CPO maka indeks tingkah laku aliran (n) semakin tinggi mendekati fluida Newtonian (mendekati ), sedangkan indeks konsistensi (K) aliran semakin menurun. Namun indeks tingkah laku aliran dan indeks konsistensi aliran CPO pada setiap suhu penyimpanan yang diujikan tidak berbeda signifikan selama 4 minggu penyimpanan. Sehingga dapat dikatakan bahwa lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap karakteristik reologi CPO. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, setelah mengalami proses pemanasan hingga suhu pengaliran 55 o C, kadar asam lemak bebas pada sampel CPO meningkat, bilangan iod cenderung tetap, sedangkan kadar karotenoid dan DOBI menurun. Semakin tinggi suhu penyimpanan mengakibatkan penurunan mutu yang semakin besar setelah mengalami pemanasan hingga suhu 55 o C. Setelah mengalami pemanasan hingga suhu 55 o C, CPO yang disimpan pada suhu 20 dan 25 o C masih memenuhi standar mutu dilihat dari nilai asam lemak bebas, bilangan iod, kadar karotenoid, dan DOBI. Sedangkan CPO yang disimpan pada suhu 30, 35 dan 40 o C sudah tidak memenuhi standar mutu setelah dipanaskan hingga suhu 55 o C. Analisis reologi terhadap CPO yang telah mengalami pemanasan hingga suhu 55 o C dilakukan untuk mengetahui sifat reologi CPO sebelum pengaliran. Berdasarkan data reologi, terlihat bahwa suhu penyimpanan yang berbeda tidak berpengaruh terhadap reologi CPO setelah pemanasan hingga suhu 55 o C. Semua sampel CPO yang disimpan pada suhu penyimpanan yang berbeda, setelah mengalami pemanasan hingga suhu 55 o C memiliki indeks tingkah laku aliran dan indeks konsistensi yang tidak berbeda jauh. Semua sampel CPO yang dipanaskan hingga suhu 55 o C memiliki sifat yang mendekati fluida Newtonian (n= dan K>0). Pengujian pengaliran CPO dilakukan dengan mengalirkan sampel CPO pada sistem pipa sirkulasi skala laboratorium yang dilengkapi dengan pompa pendorong aliran. Berdasarkan pengujian

5 pengaliran yang dilakukan, pengaliran CPO dapat dilakukan pada kondisi isotermal di atas titik leleh CPO (>40 o C), dimana pada kondisi tersebut belum terjadi kristalisasi dan CPO tetap berada dalam fase cair. Ketika suhu pengaliran mengalami penurunan suhu di bawah titik leleh CPO, maka akan terjadi kristalisasi lemak yang ditandai dengan peningkatan viskositas tampak CPO yang drastis. Dilihat dari sifat reologinya, CPO dapat mempertahankan karakteristik fluida Newtonian ketika dialirkan dari suhu 55 o C hingga mencapai titik lelehnya. Kemudian ketika suhu pengaliran berada di bawah titik lelehnya, CPO memiliki sifat fluida pseudoplastik. Selama pengaliran terjadi penurunan mutu CPO, namun selama 3 jam pengaliran, mutu CPO masih memenuhi standar. Setelah 4 jam pengaliran, DOBI sudah tidak memenuhi standar (<2.50), dan setelah 5 jam pengaliran asam lemak bebas sudah tidak memenuhi standar (>5%). Selama 6 jam pengaliran kadar karotenoid masih memenuhi standar (>500 ppm), sedangkan bilangan iod cenderung tidak mengalami perubahan selama pengaliran berlangsung. Berdasarkan penelitian yang dilakukan maka dapat disarankan penyimpanan CPO sebaiknya dilakukan pada kondisi suhu yang rendah. Suhu penyimpanan yang disarankan berdasarkan penelitian ini adalah penyimpanan CPO pada suhu 20 o C, dimana pada suhu tersebut mutu CPO tidak mengalami perubahan yang signifikan dari mutu awal. CPO yang akan dialirkan dengan menggunakan pipa sebaiknya memiliki mutu yang baik, karena selama pengaliran dilakukan pemanasan yang akan mengakibatkan penurunan mutu CPO. Selama proses pengaliran CPO dalam pipa, diperlukan sistem pemanasan kembali serta sistem pompa penguat, sehingga CPO dapat tetap mengalir di sepanjang pipa dengan jarak tempuh yang jauh. Sistem pengaliran CPO sebaiknya dilakukan dalam sistem tertutup, sehingga dapat menghindarkan terjadinya kontak antara sampel CPO yang dialirkan dengan lingkungan, terutama oksigen dan air yang merupakan faktor penyebab kerusakan mutu CPO.

6 KARAKTERISTIK MINYAK SAWIT KASAR SELAMA PENYIMPANAN DAN PENGALIRAN SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh DESIR DETAK INSANI F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 20

7 Judul Skripsi Nama NIM : Karakteristik Minyak Sawit Kasar Selama Penyimpanan dan Pengaliran : Desir Detak Insani : F Menyetujui, Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc Nur Wulandari, STP, M.Si NIP NIP Mengetahui, Plt. Ketua Departemen Dr. Ir. Nurheni Sri Palupi, M.Si NIP Tanggal Ujian Akhir Sarjana : 27 Oktober 20

8 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Karakteristik Minyak Sawit Kasar Selama Penyimpanan dan Pengaliran adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Oktober 20 Yang membuat pernyataan Desir Detak Insani F

9 Hak cipta milik Desir Detak Insani, tahun 20 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.

10 BIODATA PENULIS Desir Detak Insani. Lahir di Bandung, 7 Januari 990 dari ayah Nana Kurniadi dan Bella Yuniarsih. Penulis merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Penulis menamatkan SMA pada tahun 2007 dari SMA Negeri 2 Tasikmalaya, dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa pada Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, melalui Undangan Saringan Masuk IPB (USMI). Selama menjalani perkuliahan penulis terlibat dalam beberapa kegiatan, termasuk sebagai staf Divisi Sosial dan Budaya Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya (HIMALAYA) dan anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan (HIMITEPA). Penulis juga aktif pada berbagai kepanitiaan, antara lain: Seminar dan Pelatihan HACCP VII tahun 2009, Baur HIMITEPA tahun 2009, Seminar dan Pelatihan PLASMA 200, dan Seminar Tahunan MAKSI 200. Beberapa seminar dan pelatihan yang pernah diikuti penulis antara lain: Seminar Sistem Jaminan Mutu Halal (PLASMA) tahun 2009, Seminar Wirausaha Career Development and Alumni Affair (CDA) IPB tahun 200, Seminar HACCP VIII tahun 200, dan pelatihan Good Laboratory Practices (GLP) tahun Penulis juga pernah menerima dana hibah dari DIKTI pada Program Kreativitas Mahasiswa dengan judul Formulasi Pegagan (Centella Asiatica) Jelly Drink dengan Penambahan Ekstrak Jahe dan Jeruk Nipis Sebagai Pangan Fungsional Peningkat Kecerdasan pada tahun 200. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian yang berjudul Karakteristik Minyak Sawit Kasar Selama Penyimpanan dan Pengaliran dan memperoleh dana penelitian dari Indofood Riset Nugraha, di bawah bimbingan Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc dan Nur Wulandari, STP, M.Si.

11 KATA PENGANTAR Penulis memanjatkan syukur ke hadirat Allah SWT karena dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Karakteristik Minyak Sawit Kasar Selama Penyimpanan dan Pengaliran yang ditulis berdasarkan hasil penelitian pada bulan Januari sampai Juli 20. Penelitian ini dilaksanakan di Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center dan Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi lengkap mengenai karakteristik minyak sawit kasar selama penyimpanan dan pengaliran dalam pipa. Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada:. Keluarga tercinta : Ibu, Bapak, Ua Tating, Kang Keke, Dinda, Giga, Piwi, dan Gusti atas perhatian dan dukungan yang diberikan kepada penulis. 2. Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc dan Nur Wulandari, STP, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberi bimbingan dan saran selama penulisan skripsi. 3. Dr. Nancy Dewi Yuliana, STP, M.Sc, atas kesediaan waktu menjadi penguji dan masukan yang diberikan. 4. Indofood Riset Nugraha, atas dana penelitian yang telah diberikan kepada penulis. 5. Teman-teman satu tim penelitian, Renny Permatasari, Hanna Mery Aulia, dan Ricky Alberto Sinaga, terima kasih atas kerjasama, dukungan, dan bantuan selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi. 6. Sahabat seperjuangan, M. Angga Saputra, Benny Rahardian Prawoto, Dimas Supriyadi, Lukman Saifatah, Azim Kholis, Michael Devega, Marvin Lucky, Lia Septiani, Niputu Ayu Lestari, Annisa Sita larasati, Puji Setiyoningrum, Fitri Syawaliah, Suriah Anggraeni, Dhina Novitri, Leo Wibisono Arifin, Khafidudin Riswanto, Achmad Riffi, dan keluarga besar ITP 44 yang selalu kompak. Terima kasih atas kebersamaan, dukungan, dan kenangan yang diberikan kepada penulis selama masa perkuliahan. 7. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya (HIMALAYA) atas dukungan yang diberikan kepada penulis. 8. Seluruh teknisi laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan dan laboratorium SEAFAST Center, Pak Sukarna, Pak Jun, Pak Wahid, Pak Yahya, Pak Taufik, dan Pak Rozak. Terima kasih atas bantuan yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan penelitian. 9. Staf Unit Pelayanan Terpadu (UPT) Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Bu Novi, Bu Ani, dan Bu Kokom. Terima kasih atas segala bantuan yang diberikan selama penulis menjalani masa perkuliahan. 0. Semua pihak yang telah banyak membantu dalam penulisan skripsi yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang teknologi pangan. Terima kasih. Bogor, Oktober 20 Desir Detak Insani iii

12 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN... viii I. PENDAHULUAN... A. LATAR BELAKANG... B. TUJUAN... 2 C. MANFAAT... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA... 3 A. MINYAK SAWIT... 3 B. PENYIMPANAN DAN TRANSPORTASI MINYAK SAWIT... 5 C. PERUBAHAN MUTU MINYAK SAWIT SELAMA PENYIMPANAN... 6 D. REOLOGI DAN KARAKTERISTIK FLUIDA MINYAK SAWIT... 0 E. SIFAT REOLOGI MINYAK... 3 III. METODE PENELITIAN... 5 A. BAHAN DAN ALAT... 5 B. METODE PENELITIAN... 5 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MUTU DAN REOLOGI CPO AWAL B. KARAKTERISTIK MUTU DAN REOLOGI CPO SETELAH PEMANASAN AWAL C. KARAKTERISTIK MUTU DAN REOLOGI CPO SELAMA PENYIMPANAN D. KARAKTERISTIK MUTU DAN REOLOGI CPO SETELAH PEMANASAN SEBELUM PENGALIRAN E. KARAKTERISTIK MUTU DAN REOLOGI CPO SELAMA PENGALIRAN DALAM PIPA V. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN B. SARAN DAFTAR PUSATAKA LAMPIRAN iv

13 DAFTAR TABEL Halaman Tabel Komposisi asam lemak minyak sawit kasar... 3 Tabel 2 Sifat fisikokimia minyak sawit... 4 Tabel 3 Standar mutu CPO... 4 Tabel 4 Suhu minyak sawit selama penyimpanan, pengangkutan, pengisian dan pengeluaran dari tangki... 6 Tabel 5 Parameter mutu CPO awal Tabel 6 Parameter mutu CPO setelah mengalami pemanasan awal hingga suhu 55 o C Tabel 7 Parameter mutu CPO selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, dan 40 o C Tabel 8 Energi aktivasi dan konstanta Arrhenius pada shear rate 00, 200, 300, dan 400 s Tabel 9 Parameter mutu CPO setelah mengalami penyimpanan 4 minggu dan mengalami pemanasan kembali hingga suhu 55 o C sebelum pengaliran Tabel 0 Sifat reologi CPO selama pengaliran dalam pipa Tabel Parameter mutu CPO selama pengaliran dalam pipa pada kondisi isotermal di atas titik leleh CPO (T>40 o C) v

14 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar Penampang melintang buah kelapa sawit (Lim 2002)... 3 Gambar 2 Reaksi hidrolisis minyak sawit menghasilkan asam lemak bebas (Ketaren 2008)... 7 Gambar 3 Struktur β-karoten (Fennema 996)... 8 Gambar 4 Hubungan shear rate dan shear stress pada fluida Newtonian dan viskositas dua fluida Newtonian saat mengalami perubahan shear rate (Matuszek 997)... Gambar 5 Sifat aliran fluida non-newtonian (Matuszek 997)... 2 Gambar 6 Kurva hubungan shear stress dan shear rate pada beberapa jenis minyak nabati pada suhu 25 o C (Kim et al. 200)... 3 Gambar 7 Pengaruh suhu pada sifat aliran beberapa minyak nabati (Kim et al. 200)... 4 Gambar 8 Diagram alir penelitian karakteristik CPO selama penyimpanan dan pengaliran dalam pipa... 5 Gambar 9 Sistem pipa sirkulasi skala laboratorium... 8 Gambar 0 Haake Rotoviscometer RV Gambar Hubungan shear rate dan viskositas CPO awal Gambar 2 Hubungan antara shear rate dan viskositas CPO sebelum dan setelah mengalami pemanasan awal hingga suhu 55 o C Gambar 3 Kadar asam lemak bebas selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, 35 dan 40 o C Gambar 4 Bilangan iod selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, 35 dan 40 o C Gambar 5 Kadar karotenoid selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, 35 dan 40 o C.. 29 Gambar 6 DOBI selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, 35 dan 40 o C Gambar 7 Indeks tingkah laku aliran CPO selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, 35 dan 40 o C... 3 Gambar 8 Indeks konsistensi aliran CPO selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, 35 dan 40 o C Gambar 9 Hubungan antara shear rate dan viskositas CPO selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20 o C Gambar 20 Hubungan antara shear rate dan viskositas CPO selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 25 o C Gambar 2 Hubungan antara shear rate dan viskositas CPO selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 30 o C Gambar 22 Hubungan antara shear rate dan viskositas CPO selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 35 o C Gambar 23 Hubungan antara shear rate dan viskositas CPO selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 40 o C Gambar 24 Indeks tingkah laku aliran CPO setelah pemanasan sebelum pengaliran Gambar 25 Indeks konsistensi aliran CPO setelah pemanasan sebelum pengaliran Gambar 26 Hubungan shear rate dan viskositas CPO setelah mengalami pemanasan sebelum pengaliran Gambar 27 Profil perubahan viskositas dan suhu selama simulasi pengaliran CPO pada dua kondisi pengaliran vi

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran Data analisis mutu CPO awal Lampiran 2 Data analisis reologi CPO awal Lampiran 3 Data analisis mutu CPO setelah pemanasan awal Lampiran 4 Data analisis reologi CPO setelah pemanasan awal Lampiran 5 Data analisis mutu CPO selama penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, 35, dan 40 o C.. 55 Lampiran 6 Data ANOVA pengaruh lama penyimpanan terhadap asam lemak bebas... 6 Lampiran 7 Data ANOVA pengaruh suhu penyimpanan terhadap asam lemak bebas Lampiran 8 Data ANOVA pengaruh lama penyimpanan terhadap bilangan iod Lampiran 9 Data ANOVA pengaruh suhu penyimpanan terhadap bilangan iod Lampiran 0 Data ANOVA pengaruh lama penyimpanan terhadap kadar karotenoid... 7 Lampiran Data ANOVA pengaruh suhu penyimpanan terhadap kadar karotenoid Lampiran 2 Data ANOVA pengaruh lama penyimpanan terhadap DOBI Lampiran 3 Data ANOVA pengaruh suhu penyimpanan terhadap DOBI Lampiran 4 Data analisis reologi CPO selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, 35, dan 40 o C... 8 Lampiran 5 Data ANOVA pengaruh suhu penyimpanan terhadap indeks tingkah laku aliran Lampiran 6 Data ANOVA pengaruh suhu penyimpanan terhadap indeks konsistensi aliran... Lampiran 7 Data ANOVA pengaruh lama penyimpanan terhadap indeks tingkah laku aliran... 4 Lampiran 8 Data ANOVA pengaruh lama penyimpanan terhadap indeks konsistensi aliran... 7 Lampiran 9 Data ANOVA pengaruh shear rate terhadap viskositas CPO selama penyimpanan.. 20 Lampiran 20 Data perhitungan energi aktivasi selama penyimpanan pada shear rate 00 s -, 200 s -, 300 s -, dan 400 s - dengan persamaan Arrhenius Lampiran 2 Data analisis mutu CPO setelah pemanasan sebelum pengaliran Lampiran 22 Data analisis reologi CPO setelah pemanasan sebelum pengaliran (T=55 o C) Lampiran 23 Data profil suhu dan viskositas CPO selama pengaliran Lampiran 24 Data analisis mutu CPO selama pengaliran vii

16 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Minyak sawit merupakan komoditas non-migas unggulan Indonesia. Saat ini Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia, dimana produksi dan luas arealnya telah melampaui Malaysia. Saat ini produk minyak sawit yang banyak ditangani di Indonesia berupa minyak sawit kasar (crude palm oil/cpo) yang merupakan hasil ekstraksi dari sabut (mesokarp) kelapa sawit. Produksi CPO tahun 200 mencapai 9.84 juta ton dengan luas areal perkebunan kelapa sawit sebesar 7.82 juta hektar (Ditjenbun 20). Dengan sedemikian besarnya volume produksi CPO Indonesia, maka upaya peningkatan efisiensi produksi CPO serta penanganannya perlu terus dilakukan agar daya saing CPO Indonesia semakin meningkat. Salah satu permasalahan yang perlu diperhatikan dalam penanganan CPO adalah masalah penyimpanan dan transportasi. CPO memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan minyak nabati lainnya yang berpengaruh terhadap penanganannya selama penyimpanan dan transportasi. CPO tersusun atas 50% asam lemak jenuh dan 50% asam lemak tidak jenuh dengan titik leleh yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pada suhu tertentu dapat terjadi pemisahan fraksi pada CPO. CPO dapat terpisah menjadi fraksi minyak yang tetap cair karena memiliki titik leleh yang rendah (disebut fraksi olein) dan fraksi yang memadat (membeku) karena memiliki titik leleh yang tinggi (disebut fraksi stearin) (Ketaren 2008). Akibatnya, bila suhu penyimpanan dan pengaliran cukup rendah, CPO dapat memadat sebagian atau bahkan seluruhnya. Kondisi fase bahan yang memadat tersebut akan menyulitkan saat CPO dialirkan. Pada praktik yang selama ini dilakukan, CPO yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit (PKS) diangkut dengan menggunakan truk tangki menuju tangki penyimpanan. Sebelum disimpan ke dalam tangki penyimpanan, CPO perlu dipanaskan untuk mencairkan minyak yang telah mengkristal dengan cara mengalirkan steam ke dalam truk tangki. Setelah CPO di dalam truk tangki mencair, CPO dialirkan dengan pipa menuju tangki penyimpanan. Untuk keperluan ekspor, CPO dari tangki penyimpanan dialirkan menuju tangki kapal di pelabuhan dengan menggunakan sistem pipa berpompa. Praktik yang terjadi dalam pengaliran CPO di dalam sistem pipa masih berlangsung untuk jarak dekat di pabrik atau saat pengisian tangki yaitu dengan mengalirkan CPO pada kondisi panas di dalam sistem pipa yang berpemanas atau berisolasi untuk mencegah pemadatan. Karena proses penyimpanan dan transportasi dilakukan pada suhu yang relatif tinggi, CPO akan mudah mengalami kerusakan. Menurut CAC (2005) terdapat tiga penyebab kerusakan atau penurunan mutu yang dapat terjadi selama penyimpanan dan transportasi minyak nabati, yaitu terjadinya reaksi oksidasi dengan oksigen di udara, reaksi hidrolisis, dan terjadinya kontaminasi. Semakin lama masa penyimpanan CPO maka penurunan mutu yang terjadi akan semakin besar. Suhu penyimpanan CPO yang tidak terkontrol dengan baik juga sering kali menjadi penyebab terjadinya penurunan mutu CPO. Selain itu, pengaruh suhu penyimpanan CPO sebelum pengaliran terhadap sifat reologinya akan menentukan kondisi awal untuk memulai proses pengaliran dalam pipa. CODEX Alimentarius Commision (CAC) (2005) dalam panduan penyimpanan dan transportasi lemak dan minyak pada skala besar (bulk) merekomendasikan suhu penyimpanan CPO pada tangki penyimpanan berkisar antara o C dan suhu pada saat bongkar muatan (loading) berkisar antara o C. Untuk keperluan pengaliran CPO dalam pipa diperlukan informasi mengenai pengaruh suhu dan lama penyimpanan CPO terhadap mutu dan sifat reologinya. Oleh karena itu, untuk mendukung

17 efisiensi proses selama penyimpanan dan pengaliran CPO, data-data dasar mengenai profil mutu serta sifat reologi CPO selama penyimpanan dan pengaliran dalam pipa perlu dikaji lebih mendalam.. B. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data karakteristik mutu dan sifat reologi minyak sawit kasar (crude palm oil/cpo) selama penyimpanan dan pengaliran dalam pipa. C. MANFAAT PENELITIAN Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan gambaran mengenai karakteristik mutu serta sifat reologi CPO selama penyimpanan dan pengaliran dalam pipa yang diharapkan dapat mendukung efisiensi proses selama penyimpanan dan pengaliran CPO. 2

18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT Hasil tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis sp, Jacq.) yang dipanen adalah tandan buah kelapa sawit. Tandan telah masak apabila jumlah buah yang membrondol telah mencapai dua brondolan per kg tandan (Naibaho 998). Dari kelapa sawit dapat dihasilkan dua jenis minyak yang sangat berlainan, yaitu minyak yang berasal dari sabut (mesokarp) kelapa sawit disebut minyak sawit kasar (CPO/crude palm oil) dan minyak yang berasal dari inti kelapa sawit yang dinamakan minyak inti sawit (PKO/palm kernel oil) (Ketaren 2008). Buah sawit umumnya berukuran panjang 2-5 cm dan berat antara 3-30 gram, berwarna ungu hitam pada saat muda, kemudian menjadi berwarna kuning merah pada saat tua dan matang (Muchtadi 992). Warna daging buah putih kuning ketika masih muda dan berwarna jingga setelah buah matang (Ketaren 2008). Penampang melintang buah kelapa sawit disajikan pada Gambar. Kernel Mesokarp Tempurung Gambar. Penampang melintang buah kelapa sawit (Lim 2002). Minyak sawit yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit (PKS) masih disebut minyak sawit kasar (CPO/crude palm oil). Minyak sawit, selain mengandung komponen utama trigliserida (94%), juga mengandung asam lemak (3-5%) dan komponen yang jumlahnya sangat kecil (%), termasuk karotenoid, tokoferol, tokotrienol, sterol, triterpen alkohol, fosfolipida, glikolipida dan berbagai komponen trace element (Muchtadi 992). Minyak sawit mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh dengan persentase yang hampir sama. Komposisi asam lemak minyak sawit kasar disajikan pada Tabel. Tabel. Komposisi asam lemak minyak sawit kasar. Jenis asam lemak Kadar (%) Titik cair (ºC) Asam lemak jenuh Asam kaprat (C0:0) Asam laurat (C2:0) Asam miristat (C4:0) Asam palmitat (C6:0) Asam stearat (C8:0) Asam lemak tidak jauh Asam oleat (C8:) Asam linoleat (C8:2) Asam linolenat (C8:3) Sumber: Basiron (2005)

19 Asam palmitat dan asam oleat merupakan asam lemak yang dominan terkandung dalam minyak sawit, sedangkan kandungan asam lemak linoleat dan asam stearatnya sedikit (Siew 2000). CPO tersusun atas 50% asam lemak jenuh dan 50% asam lemak tidak jenuh. Keseimbangan antara asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh menyebabkan CPO lebih stabil terhadap oksidasi dibanding minyak nabati lainnya dan CPO berwujud semisolid pada suhu ruang (Basiron 2005). Asam palmitat merupakan asam lemak jenuh rantai panjang yang memiliki titik cair (meelting point) yang tinggi yaitu 64 o C (Belitz & Grosch 2004). Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang dengan panjang rantai C 8 dan memiliki satu ikatan rangkap. Titik cair asam oleat lebih rendah dibanding asam palmitat yaitu 4 o C (Ketaren 2008). Minyak sawit mempunyai bau dan rasa yang khas, bersifat stabil dan mampu mencegah ketengikan. Minyak sawit memiliki warna mulai dari kuning muda sampai jingga. Penyebab timbulnya warna ini disebabkan adanya sejumlah kandungan karoten, tingkat oksidasi oleh enzim, lama penyimpanan, dan lain-lain. Secara umum sifat fisikokimia minyak sawit meliputi warna, bau/flavor, kelarutan, bobot jenis, indeks bias, titik cair, bilangan iod, dan bilangan penyabunan. Nilai beberapa sifat fisikokimia minyak sawit ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Sifat fisikokimia minyak sawit. Sifat Fisikokimia Bobot jenis (40 o C) Indeks bias Titik cair ( o C) (tergantung komponen asam lemak) Bilangan iod Bilangan penyabunan Sumber: Winarno (999). Nilai Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu minyak sawit adalah adanya kandungan air, kotoran, asam lemak bebas, bilangan peroksida dan daya pemucat. Faktor lain adalah titik cair, kandungan gliserida padat, refining loss, plasticity, sifat transparan, kandungan logam berat dan bilangan penyabunan (Ketaren 2008). Badan Standar Nasional (BSN) telah menetapkan standar mutu CPO dalam SNI , yang meliputi parameter warna (jingga kemerah-merahan), kadar air dan kadar kotoran (maksimal 0.5%), asam lemak bebas (maksimal 0.5%), bilangan iod (50 55 g iod/00 g). Beberapa standar mutu CPO disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Standar mutu CPO. Parameter mutu CPO SNI () PORIM (2) Standar mutu CPO di PKS Indonesia (3) Warna Jingga kemerahan - - Asam lemak bebas (%) 0.5 maks maks Kadar air dan kotoran (%) 0.5 maks 0.25 maks 0.25 maks Bilangan iod (g iod/00 g) min 5 min Karoten (ppm) min 500 min DOBI min Sumber : () BSN (2006), (2) PORIM (995), (3) Ditjenbun (997). CPO berperan penting dalam perdagangan dunia. Berbagai industri baik pangan maupun non-pangan banyak yang menggunakannya sebagai bahan baku. Berdasarkan peranan 4

20 dan kegunaan CPO tersebut, maka mutu dan kualitasnya harus diperhatikan sebab sangat menentukan harga dan nilai komoditas ini. B. PENYIMPANAN DAN TRANSPORTASI MINYAK SAWIT Menurut Hilder (997), yang disebut sebagai proses transportasi minyak nabati secara bulk pada skala besar pada hakekatnya berlangsung pada kondisi yang sama persis dengan proses penyimpanan, hanya saja tangki atau wadahnya berpindah lokasi. Sebagai contoh, pengiriman minyak sawit yang diekspor ke daratan Eropa mengalami transportasi melalui jalur laut yang membutuhkan waktu sekitar bulan. Ini berarti minyak sawit tersebut mengalami penyimpanan pada kondisi statis di dalam tangki penyimpan selama masa transportasi tersebut. Hilder (997) mengemukakan bahwa kondisi penyimpanan minyak sangat ditentukan oleh jenis minyak itu sendiri. Setiap jenis minyak memiliki derajat ketidakjenuhan yang berbeda dan tingkat kandungan antioksidan alami tertentu. Cara untuk mempertahankan mutu minyak sawit selama penyimpanan dan transportasi antara lain () meminimalkan kontak dengan udara, (2) menghindari kadar air yang berlebihan, (3) menghindari kontak dengan pro-oksidan dan meminimalkan kadar pro-oksidan di dalam minyak, (4) menyimpan minyak dalam kondisi gelap, (5) mengupayakan penyimpanan minyak dalam waktu dan suhu seminimal mungkin, dan (6) menghindari pengadukan yang tidak perlu. Setelah selesai diolah minyak sawit masuk ke dalam tangki penimbunan (storage tank). Pada tangki tersebut terdapat pipa pemanas yang berisi uap bertekanan 3 kg/cm 3. Pemanasan bertujuan agar suhu minyak berada pada o C, supaya tidak membeku dan tidak terjadi oksidasi serta mencegah kenaikan asam lemak bebas. Untuk penyimpanan dan transportasi minyak nabati, CODEX Alimentarius Commision (CAC) (2005) telah merekomendasikan bentuk, konstruksi dan persyaratan tangki penyimpanan yang digunakan. Secara umum, permukaan tangki harus inert terhadap minyak dan terbuat dari mild steel yang dilapisi epoxy resin atau terbuat dari stainless steel. Menurut CAC (2005), pada tangki untuk menyimpan minyak sawit, diperlukan juga fasilitas pemanasan untuk memberi kondisi suhu tertentu agar minyak sawit tidak mengalami pemadatan. Jenis peralatan pemanas yang direkomendasikan adalah pipa air panas (bare hot water pipes), pipa uap (bare steam pipes) atau penukar panas eksternal (external heat exchanger). Tangki yang digunakan harus memenuhi syarat untuk mempertahankan suhu minyak yaitu dilengkapi dengan isolasi, suhu harus terkontrol dengan baik untuk mencegah pemanasan yang berlebihan, harus terlindung dari udara terbuka, dan produk tertentu harus dilindungi gas inert. Untuk keperluan pemasukan dan pengeluaran minyak dari tangki, minyak yang padat, semi padat, atau memiliki viskositas yang terlalu tinggi saat disimpan dalam tangki penyimpan harus dipanaskan secara perlahan agar minyak mencair sempurna dan homogen. Proses pemanasan harus dimulai pada waktu yang telah diperhitungkan untuk mencapai suhu pemompaan dengan laju pemanasan yang tidak melebihi 5 o C per 24 jam. Bila digunakan uap air, tekanan uap tidak boleh melebihi 50 kpa (.5 bar) untuk mencegah terjadinya pemanasan yang berlebihan pada posisi tertentu. Untuk mencegah terjadinya kristalisasi dan pemadatan yang berlebihan selama penyimpanan singkat, minyak di dalam tangki harus dipertahankan suhunya tetap tinggi pada kisaran suhu yang disajikan pada Tabel 4. Suhu tersebut diterapkan untuk minyak sawit kasar maupun yang sudah dimurnikan. Suhu-suhu tersebut dipilih untuk meminimalisir kerusakan pada minyak atau lemak. Kristalisasi tetap akan terjadi, tetapi tidak berlebihan sehingga tidak memerlukan pemanasan yang panjang sebelum sampai di tujuan. Dengan demikian, minyak sawit yang disimpan pada suhu 32 o C 40 o C membutuhkan sekitar 3 5

21 hari pemanasan pada laju kenaikan suhu 5 o C/24 jam untuk mencapai suhu pengaliran. Pada penyimpanan dengan waktu yang panjang, seluruh minyak harus disimpan pada suhu kamar, dan pemanasan harus dihentikan. Bila fraksi olein menjadi padat, proses pemanasan awal harus dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menjamin tidak terjadinya kelebihan panas pada lokasi tertentu. Sebelum dialirkan minyak sawit harus dipanaskan hingga suhu sesuai yang tercantum pada Tabel 4. Suhu yang lebih rendah diterapkan pada minyak dengan titik leleh yang lebih rendah, dan sebaliknya suhu yang lebih tinggi diterapkan pada minyak dengan titik leleh yang lebih tinggi. Suhu-suhu tersebut digunakan untuk minyak kasar dan minyak yang telah dimurnikan untuk setiap jenisnya. Pada kondisi cuaca dingin, suhu pengeluaran harus pada suhu maksimal dari suhu pada Tabel 4, untuk menghindari terjadinya penyumbatan pada jalur pipa yang tidak dipanaskan. Tabel 4. Suhu minyak sawit selama penyimpanan, pengangkutan, pengisian dan pengeluaran dari tangki. Jenis minyak sawit Suhu penyimpanan dan pengangkutan Suhu pengisian dan pengeluaran Min ( o C) Maks ( o C) Min ( o C) Maks ( o C) Minyak sawit Olein sawit Stearin sawit () Minyak inti sawit () 45 () Olein inti sawit Stearin inti sawit Catatan: () untuk iklim yang lebih hangat, suhu pengisian dan pengeluaran untuk minyak inti sawit minimal 30 o C dan maksimal 39 o C atau suhu kamar. Sumber: CAC (2005). Menurut Pahan (2008), alat angkut minyak sawit dilengkapi dengan alat pemanas dan pengontrol suhu, terutama jika jarak pelabuhan jauh dari PKS. Pemanasan minyak pada tangki timbun PKS yang jaraknya jauh dari pelabuhan biasanya dilakukan pada suhu tinggi, dengan memperhitungkan bahwa minyak tersebut tiba di tangki pelabuhan pada suhu di atas titik cair. Kualitas minyak dalam penimbunan dipengaruhi oleh cara penimbunan dan kondisi tangki timbun. Suhu penyimpanan yang tidak terkontrol dan melebihi 55 o C dapat menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi dan hidrolisis. C. PERUBAHAN MUTU MINYAK SAWIT SELAMA PENYIMPANAN CODEX Alimentarius Comission (CAC) (2005) dalam panduan penyimpanan dan transportasi lemak dan minyak pada skala besar (bulk) menyatakan bahwa terdapat tiga penyebab kerusakan yang dapat terjadi selama penyimpanan dan transportasi minyak nabati, yaitu terjadinya reaksi oksidasi dengan oksigen di udara, reaksi hidrolisis, dan terjadinya kontaminasi. Kemudahan minyak nabati dalam mengalami penurunan mutu tergantung pada beberapa faktor mencakup jenis minyak atau lemak, kondisi minyak apakah dalam bentuk kasar, atau telah mengalami pemurnian sebagian maupun sempurna, serta keberadaan pengotor. Hal tersebut harus diperhatikan selama penyimpanan dan transportasi minyak. Untuk meminimalisir terjadinya reaksi oksidasi, kontak antara minyak dengan udara harus diminimalisir. Kondisi 6

22 suhu tinggi juga dapat mempercepat terjadinya reaksi oksidasi, dan oleh karena itu setiap tahap proses yang dilakukan harus dikerjakan pada suhu serendah mungkin. ) Perubahan Asam Lemak Bebas Asam lemak bebas merupakan salah satu faktor penentu mutu minyak sawit mentah, dan juga merupakan salah satu indikator dalam kerusakan minyak. Asam lemak bebas dalam minyak tidak dikehendaki karena degradasi asam lemak bebas tersebut menghasilkan rasa dan bau yang tidak disukai. Oleh sebab itu, dalam pengolahan minyak diupayakan kandungan asam lemak bebas serendah mungkin (Djatmiko et al. 985) Pembentukan asam lemak bebas pada minyak sawit kasar merupakan suatu kerusakan. Kerusakan minyak sawit kasar disebabkan oleh hidrolisis dan oksidasi. Air di dalam minyak akan mempercepat kerusakan minyak karena hidrolisis, minyak akan diubah menjadi asam lemak bebas dan gliserol, yang dapat menyebabkan ketengikan (Ketaren 2008). Reaksi ini dipercepat dengan adanya faktor panas, air, keasamaan, katalis (enzim). Semakin lama reaksi ini berlangsung,maka semakin banyak kadar asam lemak bebas yang terbentuk. Gambar 2 menunjukkan reaksi hidrolisis minyak sawit yang mengakibatkan terbentuknya asam lemak bebas. Trigliserida Air Gliserol Asam lemak bebas Gambar 2. Reaksi hidrolisis minyak sawit menghasilkan asam lemak bebas (Ketaren 2008). Kenaikan asam lemak dapat terjadi selama pengolahan dan penyimpanan minyak sawit yang disebabkan oleh hidrolisis autokatalitik, juga disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme yaitu jamur lipolitik, di antaranya adalah spesies Paecilomyces, Aspergillus, Rhizopus dan Torula, hal ini terjadi karena minyak diproduksi dalam keadaan kotor yang merupakan nutrisi bagi perkembangan jamur lipolitik (Hartley 988) Kenaikan asam lemak bebas mempermudah proses oksidasi berantai dan pembentukan senyawa peroksida, aldehida, keton, dan polimer. Oksidasi berantai menyebabkan penguraian konstituen aroma, flavor, dan vitamin. Pembentukan senyawa seperti peroksida, aldehida, dan keton menyebabkan bau tengik, pencoklatan minyak dan kemungkinan menimbulkan keracunan (Ketaren 2008). Reaksi oksidasi dapat terjadi lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi, dan oleh karena itu setiap operasi harus dilakukan pada suhu terendah yang masih memungkinan proses tersebut terlaksana. Suhu yang tinggi juga mempermudah terjadinya hidrolisis minyak menjadi asam-asam lemak saat terdapat air. 7

23 2) Karotenoid Warna merah pekat yang muncul pada CPO disebabkan oleh kandungan komponen karotenoidnya yang tinggi, sekitar ppm. α-karoten dan terutama β-karoten (Gambar 3) merupakan komponen utama (sekitar 90% dari total karotenoid) (Ooi et al. 996) Gambar 3. Struktur β-karoten (Fennema 996). Menurut Meyer (966) sifat fisika dan kimia karotenoid adalah:. Larut dalam minyak dan tidak larut dalam air. 2. Larut dalam kloroform, benzene, karbon disulfida dan petroleum eter. 3. Tidak larut dalam dalam etanol dan metanol dingin. 4. Tahan terhadap panas apabila dalam keadaan vakum. 5. Peka terhadap oksidasi, autooksidasi dan cahaya. 6. Mempunyai ciri khas absorpsi cahaya. Adanya struktur ikatan rangkap pada molekul β-karoten ( ikatan rangkap pada molekul β-karoten) menyebabkan bahan ini mudah teroksidasi ketika terkena udara. Menurut Sundram (2007) karoten sensitif terhadap oksigen dan cahaya. Oksidasi karoten dipicu oleh hidroperoksida yang dihasilkan dari oksidasi lipid, mengakibatkan diskolorisasi dan bleaching. Bila teroksidasi, aktivitas karotenoid akan menurun karena terjadinya perubahan isomer dari trans menjadi cis (Iwasaki dan Murakhosi 992). Oksidasi karotenoid akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya tembaga, besi dan mangan. Oksidasi dapat terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda (Bonnie dan Choo 999). Gross (99) mengatakan bahwa laju oksidasi β-karoten meningkat dengan peningkatan suhu. Marty dan Berset (990) melakukan penelitian dengan β-karoten all trans sintetis dan menyatakan bahwa ketahanan molekul tersebut pada suhu tinggi dipengaruhi oleh kondisi medium. Pemanasan yang lama pada suhu 80 o C (kondisi tanpa oksigen) hanya menyebabkan sedikit kerusakan pada molekul ini, namun pada bahan pangan (dengan adanya komponen penyusun berupa pati, lemak, air, dan lain-lain) serta dikombinasikan dengan pencampuran secara mekanis akan memberi kesempatan masuknya oksigen dan menyebabkan kerusakan molekul β-karoten all trans ini lebih besar hingga jauh lebih besar lagi. Menurut Alyas et al. (2006), peningkatan waktu pemanasan dari 30 menit sampai 20 menit mengakibatkan reduksi β-karoten sebesar 3% pada suhu 50 o C dan 6% pada suhu 00 o C dalam red palm olein (RPOn). Pemanasan RPOn pada suhu yang sangat tinggi 200 o C selama 30 menit mengakibatkan kehilangan β-karoten hanya 5%. Namun, peningkatan waktu pada suhu 200 o C menyebabkan reduksi sebesar 59% kandungan β-karoten. Perubahan struktur β-karoten khususnya maupun karotenoid pada umumnya selama pengolahan dan penyimpanan dapat terjadi melalui beragam jalur, tergantung pada kondisi 8

24 proses reaksinya. Menurut Bonnie dan Choo (999), jalur degradasi yang umum adalah isomerisasi, oksidasi, dan fragmentasi karotenoid. Beberapa macam kerusakan karotenoid yang mungkin terjadi, diantaranya: kerusakan pada suhu tinggi. Eskin (979) menyebutkan bahwa karotenoid akan mengalami kerusakan pada suhu tinggi melalui degradasi termal sehingga terjadi dekomposisi karotenoid yang mengakibatkan turunnya intensitas warna karoten atau terjadi pemucatan warna yang terjadi dalam kondisi oksidatif. Pada suhu tinggi, karoten dapat berubah menjadi senyawa yang berwarna kecoklatcoklatan dan larut dalam minyak sehingga semakin sukar untuk dipucatkan. Penurunan daya pemucatan ini disebut DOBI (deterioration of bleachability index) (Pahan 2008). Adanya warna dan bilangan DOBI yang rendah tidak disukai dalam industri karena minyak sawit semakin sulit untuk dipucatkan. Bilangan DOBI merupakan gambaran kerusakan minyak akibat proses oksidasi yang terjadi sejak panen. Menurut Pahan (2008) nilai DOBI minyak sawit dapat dikelompokkan menjadi 4 yaitu: DOBI <.7 : jelek < DOBI < 2.3 : kurang baik 2.4 < DOBI < 2.9 : cukup baik DOBI > 2.9 : baik 3) Bilangan Iod dan Bilangan Peroksida Asam lemak yang menyusun lemak/minyak umumnya berupa campuran antara asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Derajat ketidakjenuhun asam lemak yang menyusun lemak/minyak dapat ditentukan berdasarkan reaksi adisi antara asam lemak dengan iod (I 2 ). Ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak tidak jenuh dapat diadisi oleh senyawa iod sehingga menghasilkan senyawa dengan ikatan jenuh. Reaksi adisi ikatan rangkap asam lemak oleh senyawa iod dibantu dengan carrier seperti iodin-klorida atau iodin-bromida (Apriyantono 989). Bilangan iod menyatakan jumlah gram iod yang digunakan untuk mengadisi 00gram lemak/minyak. Semakin tinggi bilangan iod, maka semakin banyak ikatan rangkap yang daidisi dan semakin tinggi derajat ketidakjenuhan lemak/minyak tersebut (Sudarmadji 996). Menurut Ketaren (2008), peningkatan temperatur memungkinkan terjadinya polimerasi dimana ikatan rangkap yang terbentuk terputus kembali sehingga jumlah ikatan rangkap yang menyusun asam lemak berkurang dan bilangan iod menjadi rendah. Penelitian yang dilakukan oleh Tsaknis et al. (2002) menunjukkan bahwa pemanasan pada suhu 75+5 o C selama 0 jam mengakibatkan penurunan bilangan iod pada minyak, serta mengakibatkan perubahan komposisi asam lemak penyusunnya. Kandungan asam lemak tidak jenuh mengalami penurunan, sedangkan kandungan asam lemak jenuh meningkat. Asam lemak bebas dalam contoh lemak/minyak mudah mengalami reaksi oksidasi. Stabilitas oksidasi asam lemak sangat tergantung pada jumlah ikatan rangkapnya. Semakin banyak ikatan rangkap yang terdapat pada asam lemak, maka stabilitas oksidatif asam lemak tersebut semakin rendah. Selain dipengaruhi oleh jumlah ikatan rangkapnya, stabilitas oksidasi asam lemak dipengaruhi oleh suhu, konsentrasi oksigen, cahaya, logam, aktivitas air, pro-oksidan, antioksidan, dan katalis. Reaksi oksidasi lemak/minyak terjadi melalui beberapa tahap, yaitu tahap inisiasi, tahap propagasi, dan tahap terminasi. Radikal bebas yang terbentuk di tahap awal reaksi (tahap inisiasi) dapat bereaksi dengan oksigen dan menghasilkan senyawa peroksida. Oksidasi spontan asam lemak tidak jenuh didasarkan pada 9

25 serangan oksigen pada ikatan rangkap (ikatan tidak jenuh) sehingga membentuk hidroperoksida tidak jenuh yang bersifat reaktif. Peroksida yang dihasilkan bersifat tidak stabil dan mudah mengalami dekomposisi oleh proses isomerisasi atau polimerisasi, dan akhirnya menghasilkan persenyawaan dengan berat molekul lebih rendah. Senyawa peroksida juga mampu mengoksidasi molekul asam lemak yang masih utuh dengan cara melepaskan 2 atom hidrogen, sehingga membentuk oksida. Terbentuknya peroksida disusul dengan terbentuknya ikatan rangkap baru yang menghasilkan deretan persenyawaan aldehida dan asam jenuh dengan berat molekul rendah (Ketaren 2008). Menurut Habile (992), hasil pemecahannya peroksida antara lain aldehida, keton, serta logam-logam transisi tidak diinginkan karena dapat mengakibatkan kerusakan lebih lanjut pada minyak berupa ketengikan (rancidity). Ketengikan terbentuk oleh autooksidasi radikal asam lemak tidak jenuh atau aldehida bukan oleh peroksida. Jadi kenaikan bilangan peroksida (peroksida value/pv) hanya indikator dan peringatan bahwa minyak sebentar lagi akan berbau tengik. Semakin tinggi bilangan peroksida menunjukkan bahwa jumlah peroksida semakin banyak dan dapat diduga bahwa tingkat reaksi oksidasi pada lemak/minyak semakin tinggi (Apriyantono 989). D. REOLOGI DAN KARAKTERISTIK FLUIDA Reologi merupakan ilmu yang mempelajari hampir semua aspek yang mempengaruhi perubahan bentuk dan aliran bahan sebagai akibat dari adanya tekanan luar (Ferguson & Kemblowski 99). Menurut Davis dan Sanders (2007), reologi adalah ilmu untuk mengukur dan menginterpretasikan respon suatu materi terhadap input gaya geser (stress) atau gaya tarik (strain) tertentu yang diberikan, dan ilmu ini merupakan dasar yang penting untuk menentukan mutu minyak nabati. Sifat reologi adala sifat fisik produk pangan yang berkaitan dengan deformasi bentuk akibat adanya gaya mekanik atau aliran. Sifat yang termasuk sifat reologi antara lain kekentalan, kelengketan, elastisitas, plastisitas, kelenturan, kekenyalan, dan sebagainya. Salah satu parameter reologi yang penting dalam pengaliran fluida adalah viskositas. Matuszek (997) mengemukakan bahwa viskositas adalah ukuran bertahannya suatu fluida untuk mengalir. Gaya yang dibutuhkan untuk mengawali terjadinya aliran fluida pada kecepatan tertentu terkait dengan viskositas fluida tersebut. Tahanan suatu fluida untuk mengalir dikenal dengan stress. Gaya geser atau shear stress ( ) adalah stress yang terjadi saat molekulmolekul fluida bergeser satu sama lain sepanjang permukaan tertentu. Gradien kecepatan atau shear rate (-dv/dr atau ) adalah ukuran seberapa cepatnya suatu molekul untuk saling bergeser. Menurut Singh dan Heldman (200), viskositas ditentukan oleh sifat fisiko kimia alami bahan dan suhu. Pada kondisi shear rate yang berbeda, maka nilai viskositas suatu fluida akan berubah (Toledo 99). Goodrum et al. (2002) mengemukakan bahwa viskositas dinamik fluida nilainya berbanding lurus dengan rasio shear stress terhadap shear rate yang diterapkan. Pada fluida Newtonian, rasio tersebut bernilai konstan, dan nilai viskositas tidak tergantung pada shear rate. Berdasarkan perilaku alirannya, fluida dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu Newtonian dan non-newtonian. Fluida non-newtonian dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu bingham plastik, pseudoplastik, dilatan, thiksotropik, dan rheopektik. Menurut Matuszek (997), fluida yang menunjukkan peningkatan shear stress yang linier dengan peningkatan shear rate, dikenal dengan fluida Newtonian, yang dimodelkan dengan Persamaan. 0

26 τ = µ dv dr = µγ () Kemiringan (slope) dalam persamaan tersebut disebut viskositas yang bernilai konstan, sehingga viskositas suatu fluida Newtonian tidak dipengaruhi oleh shear rate. Fluida Newtonian memiliki kurva hubungan shear rate dan shear stress berupa garis lurus (Gambar 4a). Bila dua fluida Newtonian mengalami perubahan shear rate, nilai viskositas terukur kedua fluida tersebut akan tetap (Gambar 4b). µ (a) (b) Gambar 4. Hubungan shear rate dan shear stress pada fluida Newtonian (a); dan viskositas dua fluida Newtonian saat mengalami perubahan shear rate (b) (Matuszek 997). Fluida yang memiliki karakteristik yang berbeda dari persamaan tersebut dikenal dengan fluida non-newtonian. Kurva hubungan shear rate dan shear stress untuk fluida non- Newtonian disajikan pada Gambar 5. Pada fluida non-newtonian, viskositasnya merupakan fungsi dari shear rate yang diterapkan. Menurut Matuszek (997), fluida non-newtonian memiliki sifat semakin encer dengan semakin meningkatnya shear rate (shear thinning), atau sebaliknya semakin kental dengan semakin meningkatnya shear rate (shear thickening), dan beberapa memiliki gaya geser awal (yield stress). Persamaan yang paling umum untuk karakterisasi fluida non-newtonian adalah model power law (Persamaan 2) dan model Herschel- Bulkley (Persamaan 3). τ = K (γ) n (2) τ = τ 0 + K (γ) n (3) Dimana n adalah indeks tingkah laku aliran (flow behaviour index), K adalah indeks konsistensi (concistency index), dan τ 0 adalah gaya geser awal (yield stress) yang merupakan gaya yang dibutuhkan fluida untuk mulai mengalir.

27 Gambar 5. Sifat aliran fluida non-newtonian: (a) viskositas struktural (untuk larutan dengan molekul besar); (b) aliran dilatan (untuk suspensi dengan konsentrasi tinggi); (c) viskoplastik dengan limit aliran: -plastik ideal, 2,3-plastik non-linier; (d) thixtotropy: -antithixtotropy, 2-viskoelastik; (e) aliran rheopexy (Matuszek 997). Menurut Goodrum et al. (2002), nilai indeks tingkah laku aliran (flow behaviour index, n) yang lebih kecil dari satu menunjukkan sifat fluida pseudoplastik, nilai n yang lebih besar dari satu menunjukkan sifat dilatan, dan nilai n = merupakan sifat fluida Newtonian. Parameter K adalah koefisien konsistensi yang bernilai proporsional terhadap viskositas. Pada fluida yang bersifat pseudoplastik, terjadi fenomena penurunan viskositas saat dikenai shear rate meningkat, atau dikenal dengan sifat shear thinning. Menurut Singh dan Heldman (200), saat fluida pseudoplastik mengalami gaya geser, partikel-partikel yang terdistribusi secara acak akan mengatur dirinya sejajar dengan arah aliran, sehingga viskositas menurun. Perubahan viskositas pada shear rate yang sangat rendah (<0.5 s - ) atau pada shear rate yang sangat tinggi (>00 s - ) umumnya sangat kecil, sehingga dalam pengukuran sifat fluida power law, shear rate yang diterapkan adalah antara 0.5 s - hingga 00 s -. Fluida non-newtonian dapat diklasifikasikan dalam time-dependent atau timeindependent. Fluida yang sifat reologinya hanya bergantung pada shear stress (pada suhu konstan) diklasifikasikan dalam time-independent. Fluida time-dependent memiliki viskositas yang tidak hanya bergantung pada shear stress, tetapi juga bergantung pada waktu stress yang diberikan (Ibarz et al. 2005). Selama transportasi dan penyimpanan, CPO akan mengalami proses pemanasan dan pendinginan. Pangan fluida seringkali mengalami perlakuan suhu selama 2

28 pengolahan, penyimpanan, dan transportasi. Suhu sangat berpengaruh terhadap viskositas fluida, dimana secara umum viskositas akan menurun dengan meningkatnya suhu (Rao 999). Munson et al. (200) juga mengungkapkan bahwa secara umum, viskositas suatu fluida akan menurun dengan meningkatnya suhu. Hal tersebut disebabkan oleh terjadinya penurunan gaya kohesif pada molekul-molekul fluida saat suhu mengalami peningkatan. Menurut Goodrum et al. (200), karena viskositas merupakan fungsi dari suhu, maka nilai parameter n dan K juga dapat berubah dengan perubahan suhu. Dengan demikian, n dan K harus ditentukan melalui percobaan penentuan viskositas pada kondisi suhu tertentu (isotermal). Karena model power law hanya menentukan hubungan antara viskositas dengan shear rate, dibutuhkan analisis lain untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap viskositas. Wang dan Briggs (2002) telah melakukan pengujian pengaruh suhu (0, 20, 40, 60 dan 90 o C) terhadap sifat reologi 5 jenis minyak kedelai, dan diketahui bahwa viskositas minyak akan menurun dengan suhu yang semakin meningkat, yang juga dipengaruhi oleh komposisi minyak. Menurut Wang dan Briggs (2002), pengaruh suhu terhadap viskositas (µ) untuk fluida Newtonian dapat dinyatakan dalam persamaan tipe Arrhenius (Persamaan 4) yang melibatkan suhu absolut (T), konstanta gas universal (R), dan energi aktivasi (E a ): µ = A e Ea/RT (4) Nilai E a dan konstanta persamaan Arrhenius (A) ditentukan menggunakan regresi linier dari data percobaan. Nilai E a yang lebih tinggi menunjukkan perubahan viskositas yang lebih cepat akibat perubahan suhu. E. SIFAT REOLOGI MINYAK Kim et al. (200) telah melakukan pengujian sifat reologi tujuh sampel minyak yaitu minyak canola, jagung, grapseed, hazelnut, zaitun, kedelai, dan biji bunga matahari. Minyak nabati tersebut memperlihatkan sifat fluida Newtonian pada suhu pengukuran 25 o C (Gambar 6). Shear stress (Pa) Shear rate (/s) Gambar 6. Kurva hubungan shear stress dan shear rate pada beberapa jenis minyak nabati pada suhu 25 o C (Kim et al. 200). Hasil penelitian Goodrum et al. (2002) pada poultry fat dan yellow grase juga menunjukkan bahwa pada shear rate yang tinggi, sifat reologi sampel menyerupai sifat fluida 3

29 Newtonian, dimana viskositas tidak lagi dipengaruhi oleh shear rate. Selain itu Fasina et al. (2006) juga telah melakukan pengujian pada 2 sampel minyak nabati pada kisaran suhu 5-95 o C, dan terdapat hubungan yang linier antara shear rate dengan shear stress dengan koefisien regresi lebih besar dari 0.999, yang mengindikasikan bahwa minyak nabati tersebut memiliki sifat fluida Newtonian. Menurut Munson et al. (200), pada umumnya minyak dan lemak memiliki sifat pseudoplastik yang mengalami penurunan viskositas saat shear rate meningkat (shear thinning). Geller dan Goodrum (2000) melaporkan bahwa viskositas minyak ditentukan oleh shear rate dimana pada shear rate yang sangat rendah di bawah 7 s -, terdeteksi sifat aliran fluida non- Newtonian pseudoplastik. Sebaliknya bila shear rate >7 s -, minyak bersifat sebagai fluida Newtonian. Kim et al. (200) telah melakukan pengujian sifat aliran minyak pada kisaran suhu o C (Gambar 7), dimana minyak mengalami penurunan viskositas secara non-linier dengan meningkatnya suhu. Penggunaan model Arrhenius Kim et al. (200) pada sampel minyak nabati tersebut menghasilkan nilai E a kj/mol dan konstanta Arrhenius.8 x x 0-6 Pa.s. Menurut Santos et al. (2005) pengaruh suhu tersebut disebabkan oleh terjadinya penurunan interaksi molekuler. Suhu ( o C) Gambar 7. Pengaruh suhu pada sifat aliran beberapa minyak nabati (Kim et al. 200). Hasil penelitian Fasina et al. (2006) terhadap 2 sampel minyak nabati mencakup minyak almond, canola, jagung, grapeseed, hazelnut, zaitun, kacang tanah, sunflower, wijen, kedelai, biji bunga matahari, dan walnut; menunjukkan bahwa pengaruh suhu terhadap viskositas minyak paling baik dimodelkan dengan persamaan Williams-Landel-Ferry yang dimodifikasi. 4

30 III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan di dalam penelitian ini adalah minyak sawit kasar (crude palm oil/cpo) yang diperoleh dari PT Sinar Meadow Internasional Indonesia, Jakarta. Bahan pendukung yang digunakan di dalam penelitian ini adalah bahan-bahan kimia untuk analisis, yaitu: air destilata, etanol 95%, NaOH, indikator fenolftalein, sikloheksana, larutan Wijs, KI, Na 2 S 2 O 3, indikator kanji, n-heksana dan iso-oktana. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah inkubator, lemari pendingin, pemanas (hot plate), termometer, pipa sirkulasi skala laboratorium, Haake Rotoviscometer RV20, spektrofotometer, neraca analitik, buret, erlenmeyer bertutup, pipet Mohr, pipet tetes, gelas piala, gelas ukur, batang pengaduk, sudip, dan corong. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dibagi menjadi lima tahap, yaitu: () analisis mutu dan reologi CPO awal, (2) analisis mutu dan reologi CPO setelah pemanasan awal, (3) analisis mutu dan reologi CPO selama penyimpanan, (4) analisis mutu dan reologi CPO setelah pemanasan sebelum pengaliran, dan (5) analisis mutu dan reologi CPO selama pengaliran dalam pipa. Diagram alir tahap penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 8. CPO suhu 25 o C Analisis mutu dan reologi CPO awal Pengolahan data Pemanasan CPO pada laju pemanasan 5 o C/24 jam hingga mencapai suhu 55 o C Analisis mutu dan reologi CPO setelah pemanasan awal Pengolahan data Penyimpanan CPO pada suhu perlakuan (40, 35, 30, 25, dan 20 o C) selama 4 minggu. Analisis mutu dan reologi CPO selama penyimpanan, setiap minggu sekali Pengolahan data Pemanasan CPO pada laju pemanasan 5 o C/24 jam hingga suhu pengaliran 55 o C Analisis mutu dan reologi CPO setelah pemanasan sebelum pengaliran Pengolahan data Pengujian pengaliran CPO dalam pipa sirkulasi. Analisis mutu dan reologi CPO selama pengaliran dalam pipa Gambar 8. Diagram alir penelitian karakteristik CPO selama penyimpanan dan pengaliran dalam pipa. 5

31 Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data karakteristik mutu dan reologi CPO selama penyimpanan dan pengaliran dalam pipa. Sebelum dilakukan perlakuan selanjutnya, CPO dianalisis mutu dan reologi awal pada suhu 25 o C. Ketika CPO tiba dari pabrik kelapa sawit (PKS), dilakukan pemanasan hingga mencapai suhu o C. Pemanasan dilakukan untuk mempermudah proses bongkar muatan ketika CPO akan dipindahkan ke tangki penyimpanan. Untuk mengetahui pengaruh pemanasan ketika proses bongkar muatan terhadap mutu dan reologi CPO, maka dilakukan analisis mutu dan reologi terhadap CPO yang telah dipanaskan hingga mencapai suhu 55 o C. Selama penyimpanan, suhu dan lama penyimpanan juga berpengaruh terhadap karakteristik CPO. Suhu penyimpanan yang direkomendasikan oleh CODEX Alimentarius Commison (CAC) (2005) adalah suhu penyimpanan o C. Pada penelitian ini dilakukan penyimpanan CPO pada suhu penyimpanan 20, 25, 30, 35, dan 40 o C selama 4 minggu penyimpanan. Selain penyimpanan CPO pada kisaran suhu yang direkomendasikan CAC (2005), dilakukan juga penyimpanan pada suhu yang lebih rendah, yaitu 20, 25, dan 30 o C. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penyimpanan CPO pada berbagai suhu penyimpanan yang diujikan terhadap parameter mutu maupun reologi CPO. Sebelum dialirkan, CPO perlu dipanaskan hingga mencapai suhu pengaliran yaitu o C. Pemanasan tersebut dilakukan untuk melelehkan kristal lemak pada CPO, sehingga CPO lebih mudah untuk dialirkan. Setelah mengalami pemanasan kembali untuk mencapai suhu pengaliran, mutu dan sifat reologi CPO mengalami perubahan. Untuk mengetahui pengaruh pemanasan hingga mencapai suhu pengaliran CPO, maka dilakukan analisis mutu dan reologi terhadap CPO yang telah dipanaskan kembali hingga mencapai suhu 55 o C. Praktik yang terjadi dalam pengaliran CPO dalam sistem pipa berlangsung pada kondisi panas di dalam sistem pipa yang berpemanas atau berisolasi untuk mencegah pemadatan selama proses pengaliran. Selama pengaliran sangat memungkinkan terjadinya penurunan mutu CPO, karena pengaliran dilakukan dalam kondisi panas. Selain itu, sifat reologi CPO juga dapat mengalami perubahan akibat pengaruh suhu yang berubah-ubah selama pengaliran CPO. Untuk mengetahui profil perubahan mutu dan sifat reologi CPO selama pengaliran maka dilakukan analisis mutu dan sifat reologi CPO selama pengujian pengaliran CPO dalam sistem pipa.. Analisis Mutu dan Reologi CPO Awal Sampel CPO yang digunakan merupakan sampel yang baru dihasilkan industri pengolah CPO, serta belum mengalami proses transportasi dan penyimpanan dalam waktu yang lama. Analisis mutu CPO yang dilakukan meliputi kadar asam lemak bebas, bilangan iod, kadar karoten dan DOBI (deterioration of bleachability index). Penentuan kadar asam lemak bebas dan bilangan iod dilakukan berdasarkan metode SNI , sementara penentuan kadar karotenoid dan DOBI dilakukan berdasarkan metode PORIM 995. Analisis dilakukan sebanyak 2 ulangan (duplo) untuk setiap parameter mutu yang diujikan. Sementara analisis sifat reologi CPO dilakukan dengan menggunakan Haake Rotoviscometer RV20 sebanyak 2 ulangan. Sifat reologi CPO dilihat dari indeks tingkah laku aliran (n) dan indeks konsistensi aliran (K) berdasarkan Persamaan power law. 6

32 2. Analisis Mutu dan Reologi CPO Setelah Pemanasan Awal Analisis mutu dan reologi CPO pada tahap ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemanasan awal sebelum penyimpanan terhadap parameter mutu dan reologi CPO. CPO yang telah dianalisis mutu serta reologi pada tahap sebelumnya, kemudian dipanaskan di dalam inkubator hingga suhu 55 o C dengan kenaikan suhu 5 o C/24 jam. Pemanasan dilakukan untuk mencapai suhu pengaliran sesuai dengan rekomendasi CODEX Alimentarius Commison (CAC 2005). Setelah suhu pemanasan tercapai, kembali dilakukan analisis mutu dan reologi CPO seperti yang dilakukan pada tahap sebelumnya. 3. Analisis Mutu dan Reologi CPO Selama Penyimpanan Pada tahap ini dilakukan simulasi proses penyimpanan CPO pada kondisi suhu penyimpanan tertentu dengan skala laboratorium. CPO yang telah dipanaskan hingga suhu 55 o C disimpan pada kondisi suhu penyimpanan yang berbeda-beda. Suhu penyimpanan yang dicobakan adalah 20, 25, 30, 35, dan 40 o C, dengan waktu penyimpanan selama 4 minggu. Untuk sampel yang disimpan pada suhu lebih besar atau sama dengan 25 o C, suhu diatur dengan cara menyimpan sampel CPO dalam inkubator yang dilengkapi pengatur suhu. Sedangkan untuk suhu di bawah 25 o C, penyimpanan dilakukan dalam lemari pendingin yang memiliki pengatur suhu. Analisis mutu dan sifat reologi CPO dilakukan setiap minggu terhadap setiap sampel yang disimpan pada suhu penyimpanan yang dicobakan. 4. Analisis Mutu dan Reologi CPO Setelah Pemanasan Sebelum Pengaliran Sampel CPO yang telah disimpan selama 4 minggu pada suhu penyimpanan yang diujikan kemudian dipanaskan kembali hingga mencapai suhu maksimal pengaliran sesuai rekomendasi CAC (2005) yaitu suhu 55 o C. Sampel CPO dipanaskan dengan kenaikan suhu sebesar 5 o C/24 jam. Setelah suhu pemanasan tercapai, sampel kemudian dianalisis mutu dan sifat reologinya. 5. Analisis Mutu dan Reologi CPO Selama Pengaliran dalam Pipa Untuk pengujian pengaruh proses pengaliran CPO terhadap mutu dan reologi CPO, dilakukan pengaliran sampel CPO pada sistem pipa sirkulasi skala laboratorium yang dilengkapi dengan pompa pendorong aliran. Pompa yang digunakan adalah pompa sentrifugal Merk Grundfos, Tipe NS Basic 3-8, yang mampu mengalirkan fluida dengan debit (Q) m 3 /jam (setara dengan debit -4.7 L/detik). Pipa yang digunakan terbuat dari bahan stainless steel dengan diameter dalam inci dan panjang 3 meter. Pada pipa tersebut dipasangkan termokopel pada beberapa titik yang kemudian dihubungkan dengan termorekorder, sehingga suhu selama pengaliran dapat diamati. Sistem pipa sirkulasi yang digunakan dalam simulasi pengaliran dapat dilihat pada Gambar 9. 7

33 Keterangan :. Pipa stainless steel diameter dalam inci dan panjang 3 meter 2. Tangki pemanas 3. Pengatur laju aliran 4. Termorekorder 5. Pompa sentrifugal Gambar 9. Sistem pipa sirkulasi skala laboratorium. Sampel CPO yang digunakan untuk simulasi pengaliran, sebelumnya dipanaskan terlebih dahulu hingga mencapai suhu 55 o C. Setelah suhu pengaliran tercapai, dilakukan pengaliran sampai suhu CPO menurun hingga mencapai kondisi isotermal, yang ditandai dengan tidak terjadinya penurunan suhu lagi (suhu konstan), sambil diamati perubahan mutu serta sifat reologinya. 6. Prosedur Analisis 6.. Pengukuran kadar asam lemak bebas (BSN 2006) Penentuan kadar asam lemak bebas dilakukan berdasarkan metode SNI Kadar asam lemak bebas dihitung sebagai persentase berat (b/b) dari asam lemak bebas yang terkandung dalam minyak sawit mentah (CPO) dimana berat molekul asam lemak bebas tersebut dianggap sebesar 25.6 (sebagai asam palmitat). Sampel yang diuji dipanaskan pada suhu o C, diaduk hingga homogen. Kemudian sampel seberat 5 gram dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml. Sebanyak 50 ml etanol 95% atau isopropanol yang sudah dinetralkan ditambahkan ke dalam erlenmeyer. Sampel dipanaskan dalam penangas air dan diatur suhunya pada 40 o C sampai contoh minyak larut semua. Selanjutnya ditambahkan larutan indikator fenolftalein sebanyak -2 tetes. Sampel dititrasi dengan titrat sambil digoyang-goyang hingga mencapai titik akhir yang 8

34 ditandai dengan perubahan warna menjadi merah muda yang stabil minimal 30 detik. Penggunaan larutan titrat yang digunakan (ml) dicatat. Analisis dilakukan sekurangkurangnya duplo dan perbedaan antara kedua uji tidak boleh melebihi 0.05%. Persentase asam lemak dihitung sebagai asam palmitat berdasarkan rumus pada Persamaan 5. Kadar ALB (%) = 25.6xNxV W (5) Keterangan : V : Volume titrat yang digunakan (ml) N : Normalitas larutan titrat W : Berat sampel (g) 25.6 : Konstanta untuk menghitung kadar asam lemak bebas sebagai asam lemak palmitat 6.2. Pengukuran bilangan iod (BSN 2006) Penentuan bilangan iod dilakukan berdasarkan metode SNI Bilangan iod dinyatakan sebagai gram iod yang diserap per 00 gram minyak. Sampel yang diuji dilelehkan pada suhu o C, dan diaduk hingga rata. Sebanyak gram sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer bertutup 250 atau 500 ml, lalu ditambahkan sebanyak 5 ml sikloheksana ke dalam erlenmeyer untuk melarutkan larutan uji tersebut. Sebanyak 25 ml larutan Wijs ditambahkan ke dalam erlenmeyer dengan menggunakan pipet, lalu erlenmeyer tersebut ditutup. Erlenmeyer dikocok dan disimpan dalam ruang gelap selam 30 menit. Sebanyak 0 ml larutan KI 0% dan 50 ml air suling ditambahkan ke dalam erlenmeyer. Erlenmeyer ditutup dan dikocok, kemudian dilakukan titrasi dengan larutan natrium tiosufat 0.N sampai terjadi perubahan warna dari biru tua menjadi kuning muda. Selanjutnya dilakukan penambahan -2 ml indikator kanji, titrasi dilanjutkan sampai warna birunya hilang setelah dikocok kuat-kuat. Dilakukan penetapan sekurang-kurangnya duplo, dan perbedaan antara kedua hasil uji tidak boleh lebih besar dari Bilangan iod dihitung berdasarkan rumus pada Persamaan 6. Bilangan iod (g iod/00 g) = 2.69 N (V 2 V ) W (6) Keterangan: N : Normalitas larutan standar natrium tiosulfat 0. N V 2 : Volume larutan natrium tiosulfat 0. N blanko V : Volume larutan natrium tiosulfat 0. N contoh 2.69 : Konstanta untuk menghitung bilangan iod W : Berat sampel (g) 9

35 6.3. Pengukuran kadar karotenoid (PORIM 995) Sampel ditimbang sebesar 0. g ke dalam labu takar 25 ml, kemudian ditepatkan hingga tanda tera dengan n-heksana. Pengenceran dilakukan apabila absorbansi yang diperoleh nilainya lebih dari Absorbansi diukur pada panjang gelombang 446 nm dengan kuvet (lebar cm). Konsentrasi karotenoid dalam sampel minyak sawit dihitung menggunakan panjang gelombang 446 nm menggunakan kuvet cm dengan pelarut heksana. Kadar karotenoid diukur berdasarkan rumus pada Persamaan 7. Karoten (ppm) = 25 x 383 x (As Ab ) 00 x W (7) Keterangan : W : Berat sampel (g) As : Absorbansi sampel Ab : Absorbansi blanko 6.4. Pengukuran nilai DOBI (PORIM 995) Sampel ditimbang sebanyak 0.04 g dalam labu ukur 25mL yang telah ditentukan berat kosongnya. Sampel dilarutkan dengan pelarut Iso-oktana p.a. sampai batas garis labu dan digoncang agar minyak atau lemak larut sempurna. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 446 nm (Ab) dan 269 nm (As). Nilai DOBI dihitung berdasarkan rumus pada Persamaan 8. DOBI = Ab As (8) Keterangan : Ab : Absorbansi contoh pada panjang gelombang 446 nm As : Absorbansi contoh pada panjang gelombang 269 nm 6.5. Pengukuran sifat reologi CPO Pengukuran sifat reologi dilakukan menggunakan Haake Rotoviscometer RV20 (Gambar 0) dengan sistem pengukuran M5. Sistem sensor yang digunakan adalah sensor NV yang terdiri atas sebuah silinder ko-aksial dengan dua celah/gap (celah dalam = 0.35 mm; celah luar = 0.4 mm). Perlakuan suhu selama percobaan dikontrol oleh thermocontroller yang diatur melalui program Haake Rotoviscometer RV20. Selanjutnya sampel dikenai shear rate pada kisaran -400 s -, sehingga dapat diperoleh data gaya geser (shear stress) pada suhu tersebut. Sifat aliran fluida ditentukan dengan model power law dan dihitung nilai n (indeks tingkah laku aliran/flow behaviour index) dan nilai K (indeks konsistensi aliran/concistency index). Data logaritma shear rate dan shear stress diplotkan untuk memperoleh persamaan power law, dengan data log shear rate sebagai aksis (sumbu x) dan log shear stress sebagai ordinat (sumbu y). Dari persamaan power law (regresi linier) yang diperoleh kemudian ditentukan nilai n dan K. Nilai n diperoleh dari slope persamaan power law, sedangkan nilai K diperoleh dari antilogaritma intersep persamaan power law berdasarkan Persamaan 9. 20

36 log τ = log K + n log γ (9) τ : Shear stress γ : Shear rate n : Indeks tingkah laku aliran K : Indeks konsistensi aliran Gambar 0. Haake Rotoviscometer RV20. 2

37 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MUTU DAN REOLOGI CPO AWAL Minyak sawit kasar (crude palm oil/cpo) merupakan komoditas unggulan Indonesia yang juga berperan penting dalam perdagangan dunia. Mengingat pentingnya peranan CPO tersebut, maka mutu harus mendapat perhatian yang utama karena sangat mempengaruhi harga dan nilai ekonomisnya (Muchtadi 998). Penanganan CPO yang kurang baik dapat mengakibatkan kerusakan mutu CPO. CPO yang digunakan pada penelitian ini merupakan CPO baru yang belum mengalami proses transportasi dan penyimpanan dalam waktu yang lama. Dengan demikian, diharapkan komposisi kimia dan kondisi kristal lemak di dalamnya belum mengalami perubahan akibat terjadinya kristalisasi dan pelelehan yang berulang. Sebelum dilakukan perlakuan selanjutnya, CPO dianalisis mutu serta reologinya pada suhu 25 o C. Hasil analisis mutu CPO awal yang meliputi pengukuran kadar asam lemak bebas, bilangan iod, kadar karotenoid, dan DOBI (deterioration of bleachability index) dapat dilihat pada Tabel 5 dengan data lengkap pada Lampiran. Tabel 5. Parameter mutu CPO awal. Parameter mutu Asam lemak Bilangan iod Karotenoid DOBI bebas (%) (g iod/00 g) (ppm) CPO awal Standar mutu SNI Ditjenbun (997) 0.5 maks 5 maks min min min Berdasarkan hasil analisis mutu awal yang dilakukan, sampel CPO yang digunakan pada penelitian ini memiliki kadar asam lemak bebas yang tidak sesuai dengan standar yang diacu, dimana standar asam lemak bebas yang dipersyaratkan dalam SNI maksimal 0.5%. Jika mengacu pada standar mutu CPO di PKS Indonesia yang dikeluarkan oleh Direktorat Jendral Perkebunan (Ditjenbun) (997), sampel CPO yang digunakan masih memenuhi standar, dimana standar asam lemak bebas pada CPO maksimal 5%. Dilihat dari parameter bilangan iod, kadar karotenoid dan DOBI, sampel CPO yang digunakan masih memenuhi standar mutu yang diacu. Selain dilakukan analisis mutu awal terhadap sampel CPO yang digunakan, juga dilakukan analisis sifat reologi CPO awal. Sifat reologi yang diamati meliputi indeks tingkah laku aliran (n) dan indeks konsistensi (K). Data lengkap analisis reologi CPO awal dapat dilihat pada Lampiran 2. Hasil analisis reologi CPO awal menunjukkan bahwa indeks tingkah laku aliran (n) CPO awal sebesar 0.635, dan indeks konsistensi (K) sebesar.505. Dilihat dari nilai n dan K yang diperoleh berdasarkan persamaan power law diketahui bahwa CPO pada suhu 25 o C merupakan fluida pseudoplastik (0<n< dan K>0). Menurut Toledo (99) pada kondisi shear rate yang berbeda, maka nilai viskositas suatu fluida akan berubah. Hubungan antara shear rate dan viskositas CPO awal pada suhu pengukuran 25 o C dapat dilihat pada Gambar. 22

38 Viskositas (Pa.s) Shear rate (s - ) Gambar. Hubungan shear rate dan viskositas CPO awal. Gambar menunjukkan bahwa viskositas CPO pada suhu 25 o C dipengaruhi oleh besarnya shear rate yang diberikan. Viskositas CPO awal pada suhu 25 o C semakin menurun seiring dengan kenaikan shear rate yang diberikan. Hal ini menunjukkan sifat fluida pseudoplastik. Menurut Moros et al. (2002) fluida pseudoplastik akan mengalami penurunan viskositas saat dikenai shear rate yang meningkat, atau dikenal dengan sifat shear thinning. Sifat reologi CPO yang menunjukkan perilaku fluida pseudoplastik dengan nilai viskositas yang relatif besar pada suhu 25 o C ( Pa.s) mengakibatkan CPO sulit dialirkan pada suhu pengaliran 25 o C, karena diperlukan gaya dorong yang cukup besar untuk mengalirkan CPO dengan viskositas yang tinggi, selain itu saat dialirkan pada suhu pengaliran tersebut viskositas CPO akan sangat dipengaruhi oleh besarnya shear rate yang diberikan. Jika dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, CPO memiliki sifat reologi yang berbeda pada suhu pengukuran 25 o C. Penelitian yang dilakukan oleh Kim et al. (200) terhadap tujuh sampel minyak nabati yaitu minyak canola, jagung, grapeseed, hazelnut, zaitun, kedelai, dan biji bunga matahari menunjukkan bahwa ketujuh minyak nabati tersebut memperlihatkan sifat fluida Newtonian pada suhu pengukuran 25 o C dengan nilai viskositas terukur yang rendah (< 0.08 Pa.s). Minyak nabati dengan sifat aliran fluida Newtonian akan lebih mudah ditangani saat proses pengaliran dalam pipa, karena nilai viskositas fluida Newtonian tidak dipengaruhi oleh besarnya shear rate yang diberikan (Matuszek 997). Akibatnya minyak dengan sifat fluida Newtonian dengan nilai viskositas yang rendah dapat mengalir di dalam pipa tanpa dipengaruhi besarnya shear rate yang diberikan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Maskan (2003), komposisi asam lemak jenuh dan tidak jenuh mempengaruhi sifat reologi minyak. Terdapat korelasi positif antara komposisi asam lemak bebas penyusunnya terhadap viskositas dari minyak nabati. Minyak nabati yang tinggi asam lemak jenuhnya mempunyai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan minyak nabati yang tinggi asam lemak tidak jenuhnya (Kim et al. 200). Oleh karena itu CPO yang tersusun atas 50% asam lemak jenuh dan 50% asam lemak tidak jenuh memiliki nilai viskositas yang lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lain yang dominan tersusun atas asam lemak tidak jenuh. 23

39 B. KARAKTERISTIK MUTU DAN REOLOGI CPO SETELAH PEMANASAN AWAL CPO tersusun dari berbagai asam lemak, baik asam lemak jenuh maupun asam lemak tidak jenuh. Pada suhu tertentu, terjadi pemisahan fraksi pada CPO akibat perbedaan titik leleh komponen asam-asam lemak penyusunnya. CPO dapat terpisah menjadi fraksi minyak yang tetap cair karena memiliki titik leleh yang rendah (disebut fraksi olein) dan fraksi yang memadat (membeku) karena memiliki titik leleh yang tinggi (disebut fraksi stearin) (Ketaren 2008). Akibatnya, bila suhu penyimpanan dan pengaliran cukup rendah, CPO dapat memadat sebagian atau bahkan seluruhnya. Kondisi fase bahan yang memadat tersebut menyulitkan saat proses bongkar muatan CPO dari tangki angkut ke tangki penyimpanan. Sehingga perlu dilakukan pemanasan CPO untuk menyeragamkan fase CPO sebelum dilakukan bongkar muatan. Menurut Naibaho (998) suhu CPO pada waktu pemuatan/pembongkaran adalah o C. Pemanasan awal yang dilakukan pada tahap ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemanasan CPO sebelum proses bongkar muatan ke dalam tangki penyimpanan CPO. Pada tahap ini CPO dipanaskan hingga mencapai suhu maksimal loading (bongkar muatan) yang direkomendasikan CODEX Alimentarius Commision (CAC) (2005), yaitu suhu 55 o C. Analisis mutu dan sifat reologi CPO dilakukan terhadap CPO yang telah mengalami pemanasan hingga suhu 55 o C dengan laju kenaikan suhu 5 o C/24 jam. Hasil analisis mutu CPO terhadap sampel yang telah mengalami pemanasan awal dapat dilihat pada Tabel 6 dengan data lengkap pada Lampiran 3. Tabel 6. Parameter mutu CPO setelah mengalami pemanasan awal hingga suhu 55 o C. CPO setelah pemanasan awal Standar mutu SNI Ditjenbun (997) Asam lemak bebas (%) Parameter mutu Bilangan iod (g iod/00 g) Karotenoid (ppm) DOBI maks 5 maks min min min Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan, setelah mengalami proses pemanasan hingga suhu 55 o C, asam lemak bebas pada CPO meningkat, bilangan iod cenderung tidak mengalami perubahan, sedangkan kadar karotenoid dan DOBI mengalami penurunan. Pada Tabel 6 terlihat bahwa kadar asam lemak bebas, bilangan iod, kadar karotenoid dan DOBI setelah mengalami pemanasan hingga suhu 55 o C masih memenuhi standar mutu CPO di PKS Indonesia yang ditetapkan oleh Ditjenbun (997). Peningkatan kandungan asam lemak bebas pada CPO yang telah mengalami pemanasan hingga suhu 55 o C terjadi karena perlakuan suhu pemanasan pada CPO dapat mempercepat terjadinya reaksi hidrolisis yang mengakibatkan trigliserida terurai menjadi asam lemak bebas. Selain itu pemanasan hingga suhu 55 o C juga mengakibatkan terjadinya dekomposisi karotenoid yang mengakibatkan turunnya insentas warna karotenoid (Eskin 979). Turunnya bilangan DOBI terjadi karena pada suhu tinggi karoten dapat berubah menjadi senyawa yang berwarna kecoklatan dan larut dalam minyak sehingga semakin sukar untuk dipucatkan (Pahan 2008). Selain diamati pengaruh pemanasan awal terhadap mutu CPO, juga dilakukan analisis terhadap reologi CPO. Data lengkap hasil analisis reologi CPO setelah mengalami pemanasan awal hingga suhu 55 o C dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil analisis reologi yang dilakukan 24

40 menunjukkan bahwa CPO setelah dipanaskan hingga mencapai suhu 55 o C memiliki indeks tingkah laku aliran (n) sebesar 0.935, dan indeks konsistensi (K) sebesar Dilihat dari nilai n dan K yang diperoleh, CPO yang dipanaskan hingga suhu 55 o C memiliki sifat yang mendekati fluida Newtonian (n= dan K>0). Pemanasan hingga suhu 55 o C mengakibatkan indeks konsistensi menurun, sedangkan indeks tingkah laku aliran meningkat mendekati fluida Newtonian. Hubungan antara shear rate dan viskositas CPO setelah mengalami pemanasan awal hingga suhu 55 o C dapat dilihat pada Gambar Viskositas (Pa.s) Shear rate (s - ) CPO CPO awal awal (T (T = = 25oC) C) CPO setelah pemanasanawal awal (T (T = = 55oC) C) Gambar 2. Hubungan antara shear rate dan viskositas CPO sebelum dan setelah mengalami pemanasan awal hingga suhu 55 o C. Berdasarkan data hubungan aantara shear rate dan viskositas CPO pada Gambar 2 terlihat bahwa viskositas CPO setelah mengalami pemanasan hingga suhu 55 o C cenderung tidak dipengaruhi oleh besarnya shear rate yang diberikan, yaitu berkisar antara Pa.s. Viskositas CPO setelah mengalami pemanasan hingga suhu 55 o C lebih kecil dibandingkan viskositas CPO awal pada suhu 25 o C. Hal ini terjadi karena pemanasan CPO hingga suhu 55 o C akan mengakibatkan kristal lemak pada CPO meleleh. Menurut Himawan et al. (2006), minyak sawit memiliki titik leleh 40 o C. Akibatnya pemanasan hingga suhu di atas titik leleh CPO akan mengakibatkan pelelehan kristal lemak yang mengakibatkan CPO memiliki viskositas yang lebih rendah dengan konsistensi yang lebih cair. Penelitian yang dilakukan oleh Goh (200) terhadap minyak kelapa, zaitun, kedelai, biji bunga matahari, dan wijen juga menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu maka viskositas minyak nabati akan semakin rendah. Terlihat pada Gambar 2 bahwa viskositas CPO setelah mengalami pemanasan awal hingga suhu 55 o C cenderung tetap walaupun diberikan shear rate yang berbeda-beda. Hal ini menunjukkan bahwa CPO pada suhu 55 o C memiliki sifat fluida Newtonian. Goodrum et al. (2002) mengemukakan bahwa viskositas dinamik fluida nilainya berbanding lurus dengan rasio shear stress terhadap shear rate yang diterapkan. Pada fluida Newtonian, rasio tersebut bernilai konstan, dan nilai viskositas fluida Newtonian tidak dipengaruhi oleh besarnya shear rate yang bekerja pada fluida, sehingga fluida Newtonian akan memiliki nilai viskositas yang tetap berapapun shear rate yang diberikan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Kim et al. (200) terhadap tujuh sampel minyak nabati yang menunjukkan perilaku fluida Newtonian, terlihat bahwa semakin tinggi suhu mengakibatkan nilai viskositas minyak semakin kecil. Viskositas minyak canola, jagung, grapeseed, hazelnut, zaitun, kedelai, dan biji bunga matahari pada suhu 55 o C berkisar antara Pa.s (Kim et al. 200). Nilai viskositas CPO yang 25

41 telah dipanaskan hingga suhu 55 o C memiliki nilai yang tidak jauh berbeda dengan minyak nabati lainnya yaitu berkisar antara Pa.s. Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu 55 o C, CPO akan lebih mudah ditangani selama pengaliran, karena memiliki viskositas yang rendah dengan sifat fluida Newtonian, sehingga besarnya gaya yang dibutuhkan untuk mengalirkan CPO akan lebih kecil dibandingkan pada suhu pengaliran 25 o C. C. KARAKTERISTIK MUTU DAN REOLOGI CPO SELAMA PENYIMPANAN CODEX Alimentarius Commision (CAC) (2005) dalam panduan penyimpanan dan transportasi lemak dan minyak pada skala besar (bulk) menyatakan bahwa terdapat tiga penyebab kerusakan yang dapat terjadi selama penyimpanan dan transportasi minyak nabati, yaitu terjadinya reaksi oksidasi dengan oksigen di udara, reaksi hidrolisis, dan terjadinya kontaminasi. Suhu penyimpanan yang tidak terkontrol dengan baik dapat mempercepat terjadinya penurunan mutu CPO (Naibaho 998). Pengamatan terhadap perubahan karakteristik mutu dan reologi CPO selama penyimpanan dilakukan selama 4 minggu pada beberapa suhu penyimpanan yang berbeda, yaitu suhu penyimpanan 20, 25, 30, 35, dan 40 o C. Analisis mutu dan reologi dilakukan setiap minggu, selama 4 minggu penyimpanan.. Mutu CPO Selama Penyimpanan Hasil analisis mutu CPO selama penyimpanan pada berbagai suhu penyimpanan yang diujikan dapat dilihat pada Tabel 7 dengan data lengkap tersaji pada Lampiran 5. Berdasarkan data analisis mutu yang diperoleh, terlihat bahwa asam lemak bebas selama penyimpanan meningkat, bilangan iod cenderung tidak mengalami perubahan, sedangkan kadar karotenoid dan DOBI mengalami penurunan selama penyimpanan. Semakin tinggi suhu penyimpanan, mengakibatkan penurunan mutu CPO yang semakin besar. Pada Tabel 7 terlihat bahwa penyimpanan pada suhu 20 o C dapat menghambat penurunan mutu CPO. CPO yang disimpan pada suhu 20 o C memiliki mutu yang paling baik jika dibandingkan dengan CPO yang disimpan pada suhu penyimpanan lainnya. Selama 4 minggu penyimpanan, CPO yang disimpan pada suhu 20 dan 25 o C memiliki kadar asam lemak bebas, bilangan iod, kadar karotenoid, serta DOBI yang masih sesuai dengan standar mutu CPO di PKS Indonesia yang ditetapkan oleh Ditjenbun (997). CPO yang disimpan pada suhu 30 o C memiliki kadar asam lemak bebas, bilangan iod, kadar karotenoid, serta DOBI yang masih sesuai dengan standar mutu CPO hingga 3 minggu penyimpanan. Setelah 4 minggu penyimpanan, CPO pada suhu penyimpanan 30 o C memiliki nilai DOBI yang sudah tidak memenuhi standar yaitu 2.44 (<2.50). Penyimpanan CPO pada suhu 35 dan 40 o C mengakibatkan penurunan mutu yang lebih cepat, terlihat bahwa pada suhu penyimpanan 40 o C, CPO sudah tidak memenuhi standar mutu setelah 2 minggu penyimpanan dilihat dari nilai DOBI yang sudah tidak sesuai dengan standar yaitu 2.09 (<2.50). 26

42 Tabel 7. Parameter mutu CPO selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, dan 40 o C. Suhu penyimpanan ( o C) Standar mutu SNI Ditjenbun (997) Lama Parameter mutu penyimpanan ALB Bilangan iod Karotenoid (minggu) (%) (g iod/00 g) (ppm) DOBI maks 5 maks min min min Data analisis mutu CPO selama penyimpanan diuji dengan munggunakan instrumen statistika untuk melihat apakah pengaruh suhu dan lama penyimpanan mengakibatkan perubahan mutu yang signifikan selama penyimpanan. Analisis statistika yang digunakan adalah ANOVA (analysis of varian) dengan uji lanjut Duncan. Melalui uji tersebut, juga dapat diketahui apakah perubahan mutu yang terjadi selama penyimpanan berbeda signifikan dengan mutu awal. Dengan uji Duncan, data-data yang tidak berbeda signifikan berada pada subset yang sama, sedangkan data-data yang berbeda signifikan berada pada subset yang berbeda. Hasil analisis statistika dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan terhadap asam lemak bebas, bilangan iod, kadar karotenoid, serta DOBI selama 4 minggu penyimpanan pada suhu penyimpanan yang diujikan dapat dilihat pada Lampiran 6-3. Gambar 3, 4, 5, dan 6 menunjukkan pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap parameter mutu CPO. Gambar 3 menunjukkan kenaikan asam lemak bebas selama penyimpanan pada suhu penyimpanan yang diujikan. Asam lemak bebas merupakan salah satu faktor penentu mutu CPO yang juga merupakan salah satu indikator dalam kerusakan minyak. Asam lemak bebas dalam minyak tidak dikehendaki karena degradasi asam lemak bebas tersebut menghasilkan rasa dan bau yang tidak disukai. Kenaikan asam lemak bebas disebabkan adanya reaksi hidrolisis pada minyak. Hasil reaksi hidrolisis minyak sawit adalah gliserol dan asam lemak bebas. Reaksi ini akan dipercepat dengan adanya faktor panas, air, 27

43 keasaman, dan enzim (Siregar 99). Pada sampel CPO yang disimpan di suhu 20 o C, selama 4 minggu penyimpanan tidak terjadi peningkatan asam lemak bebas yang signifikan. Pada sampel CPO yang disimpan di suhu 25 o C kenaikan asam lemak bebas yang signifikan mulai terjadi sejak minggu ketiga penyimpanan. Sedangkan pada sampel CPO yang disimpan di suhu 30, 35, dan 40 o C kenaikan asam lemak bebas yang signifikan sudah terjadi sejak minggu pertama penyimpanan. Asam lemak bebas sebagai hasil hidrolisis minyak dipacu oleh berbagai faktor seperti suhu. Menurut Saloko (20) suhu optimum hidrolisis antara o C, yang kisarannya tidak begitu jauh dengan suhu kamar. Berdasarkan hasil ANOVA pengaruh suhu terhadap asam lemak bebas selama penyimpanan (Lampiran 7) terlihat bahwa suhu penyimpanan yang berbeda berpengaruh nyata terhadap asam lemak bebas (p value<0.05) mulai minggu pertama sampai minggu keempat penyimpanan. Penyimpanan CPO pada suhu 20 dan 25 o C tidak berbeda nyata namun saling berbeda nyata dengan penyimpanan pada suhu 30, 35, dan 40 o C. Asam lemak bebas (%) a a a ab a b b c d e c d e b a a abc bc b c d a c a a Suhu penyimpanan ( o C) 0 minggu minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05) dengan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%. Gambar 3. Kadar asam lemak bebas selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, 35 dan 40 o C. Banyaknya ikatan rangkap dalam asam lemak ditunjukkan dengan bilangan iod. Ikatan rangkap akan bereaksi dengan senyawa iod sehingga semakin banyak ikatan rangkap maka jumlah iod yang digunakan semakin banyak dan bilangan iod akan semakin tinggi. Bilangan iod juga menandakan derajat ketidakjenuhan minyak, bilangan iod yang semakin tinggi menunjukkan derajat ketidakjenuhan minyak yang semakin tinggi pula. Menurut Basiron (2005) minyak sawit kasar terdiri dari 50% asam lemak jenuh dan 50% asam lemak tidak jenuh. Sehingga minyak sawit kasar akan memiliki bilangan iod yang berkisar antara g iod/00 g sampel (Winarno 999). Hasil analisis bilangan iod selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 4. 28

44 Bilangan iod (g iod/00 g) a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a a Suhu penyimpanan ( o C) minggu 0 minggu minggu 2 minggu 3 minggu 4 Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05) dengan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%. Gambar 4. Bilangan iod selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, 35 dan 40 o C. Gambar 4 menunjukkan bahwa bilangan iod CPO selama 4 minggu penyimpanan pada setiap suhu penyimpanan yang diujikan tidak mengalami perubahan yang signifikan. Sehingga dapat dikatakan bahwa pada suhu penyimpanan o C tidak mempengaruhi bilangan iod CPO. Hal ini terjadi karena perlakuan suhu penyimpanan yang ditetapkan tidak mengakibatkan terjadinya perubahan derajat ketidakjenuhan CPO (komponen asam lemak penyusun tetap). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Tsaknis et al. (2002), diketahui bahwa minyak nabati dapat mengalami perubahan bilangan iod jika diberikan perlakuan suhu tinggi (>80 o C), dimana pada suhu tersebut dapat mengakibatkan pemutusan ikatan rangkap pada asam lemak sehingga terjadi penurunan bilangan iod. Berdasarkan hasil ANOVA pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap asam lemak bebas selama penyimpanan (Lampiran 8 dan 9) terlihat bahwa suhu penyimpanan yang berbeda serta lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap bilangan iod (p value>0.05). Karotenoid merupakan pigmen yang memberikan warna merah pada kelapa sawit. Karotenoid sangat mudah teroksidasi, hal ini karena adanya ikatan ganda pada karotenoid yang menyebabkan percepatan laju oksidasi. Gross (99) mengatakan bahwa laju oksidasi karotenoid meningkat seiring dengan peningkatan suhu. Hasil analisis kadar karotenoid selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 5. Karotenoid (ppm) a a a a a a a ab b c a b c a b a d e c b d c e d e Suhu penyimpanan ( o C) 0 minggu minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05) dengan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%. Gambar 5. Kadar karotenoid selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, 35 dan 40 o C. 29

45 Gambar 5 menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar karotenoid pada CPO selama penyimpanan, namun penurunan kadar karotenoid pada CPO yang disimpan di suhu 20 o C selama 4 minggu penyimpanan tidak signifikan. CPO yang disimpan di suhu 25 o C mulai mengalami penurunan kadar karotenoid yang signifikan setelah 3 minggu penyimpanan. Sedangkan CPO yang disimpan di suhu 30, 35, dan 40 o C sudah mengalami penurunan kadar karotenoid yang signifikan sejak minggu pertama penyimpanan. Berdasarkan hasil ANOVA pengaruh suhu terhadap kadar karotenoid selama penyimpanan (Lampiran ) terlihat bahwa suhu penyimpanan yang berbeda berpengaruh nyata terhadap kadar karotenoid (p value<0.05). Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan kesesuaian dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Alyas et al. (2006) yang menunjukkan bahwa semakin lama dan semakin tinggi perlakuan suhu yang diberikan akan mengakibatkan penurunan kadar karotenoid yang semakin tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Lin dan Chen (2005) mengenai stabilitas karoten pada jus tomat selama penyimpanan juga menunjukkan hal yang serupa, dimana terjadi kecenderungan penurunan kadar karotenoid seiring dengan peningkatan suhu penyimpanan. Penelitian Hastinah (997) menunjukkan bahwa degradasi karotenoid sangat dipengaruhi oleh suhu dan lamanya pemanasan. Suhu yang semakin tinggi dan pemanasan yang semakin lama mengakibatkan semakin meningkatnya degradasi karoten. Akibat pengaruh suhu tinggi atau reaksi oksidasi, karoten dapat berubah menjadi senyawa yang berwarna kecoklat-coklatan dan larut dalam minyak sehingga semakin sukar untuk dipucatkan. Penurunan daya pemucatan ini disebut DOBI (deterioration of bleachability index) (Pahan 2008). Hasil analisis DOBI selama penyimpanan CPO dapat dilihat pada Gambar 6. DOBI a a a a a a ab ab ab a b a a b bc cd d b bc c b d b c Suhu Penyimpanan ( o C) 0 minggu minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05) dengan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%. Gambar 6. DOBI selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, 35 dan 40 o C. d Hasil uji Duncan terhadap DOBI selama penyimpanan yang disajikan pada Gambar 6 menunjukkan bahwa selama 4 minggu penyimpanan pada suhu penyimpanan yang diujikan terjadi penurunan DOBI. Penurunan DOBI yang terjadi pada CPO yang disimpan di suhu 20 o C selama 4 minggu tidak signifikan. CPO yang disimpan pada suhu 25 o C mulai mengalami penurunan DOBI yang signifikan pada minggu keempat penyimpanan. Sedangkan pada CPO yang disimpan di suhu 30, 35, dan 40 o C terjadi penurunan DOBI yang signifikan sejak minggu pertama penyimpanan. Semakin tinggi suhu akan mengakibatkan 30

46 kerusakan pigmen karotenoid yang semakin besar. Menurut Naibaho (998) pada proses kerusakan pigmen karotenoid pada minyak akan terjadi penurunan nilai absorbansi pada panjang gelombang 446 nm dan peningkatan nilai absorbansi pada panjang gelombang 269 nm, sehingga akan terjadi penurunan DOBI yang merupakan petunjuk kerusakan minyak, yang juga menggambarkan penurunan daya pemucatan minyak. Berdasarkan hasil ANOVA pengaruh suhu terhadap DOBI selama penyimpanan (Lampiran 3) terlihat bahwa suhu penyimpanan yang berbeda berpengaruh nyata terhadap DOBI (p value<0.05). Pengawasan mutu CPO selama penyimpanan perlu dilakukan dengan dengan ketat untuk mencegah terjadinya penurunan mutu. Lubis dan Naibaho (995) mengatakan bahwa suhu penyimpanan pada tangki timbun CPO perlu diperhatikan dengan baik, karena suhu merupakan salah satu faktor yang dapat mengakibatkan kerusakan mutu CPO. Berdasarkan hasil analisis mutu CPO yang dilakukan, suhu penyimpanan yang paling baik adalah penyimpanan pada suhu 20 o C. CPO yang disimpan selama 4 minggu pada suhu 20 o C memiliki mutu yang paling baik jika dibandingkan dengan CPO yang disimpan pada suhu penyimpanan lainnya yang lebih tinggi. Penyimpanan CPO pada suhu 20 dan 25 o C dapat dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama, karena pada suhu penyimpanan tersebut mutu CPO tidak banyak mengalami perubahan. Apabila penyimpanan dilakukan pada suhu yang lebih tinggi seperti pada suhu 35 dan 40 o C, sebaiknya penyimpanan CPO tidak dilakukan dalam waktu yang terlalu lama, karena semakin tinggi suhu penyimpanan akan mengakibatkan penurunan mutu CPO yang semakin besar. Oleh karena itu lama penyimpanan CPO pada suhu penyimpanan yang diterapkan harus diperhatikan. Pengawasan terhadap mutu CPO selama penyimpanan harus dilakukan secara teratur. 2. Reologi CPO Selama Penyimpanan Selama penyimpanan sifat reologi CPO dianalisis dengan menggunakan Haake Rotoviscometer RV20 setiap minggunya. Sifat reologi CPO selama penyimpanan dilihat dari indeks tingkah laku aliran (n) dan indeks konsistensi (K). Hasil analisis reologi CPO selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8 dengan data lengkap pada Lampiran 4. Indeks tingkah laku aliran a b c d a b d d a a b b c c c d d a b c Suhu Penyimpanan ( o C) 0 minggu minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05) dengan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%. Gambar 7. Indeks tingkah laku aliran CPO selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, 35 dan 40 o C. e e e e e 3

47 Indeks konsistensi aliran a a a a a b b b b b Suhu Penyimpanan ( o C) 0 minggu minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05) dengan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%. Gambar 8. Indeks konsistensi aliran CPO selama 4 minggu penyimpanan pada suhu 20, 25, 30, 35 dan 40 o C. Berdasarkan data reologi CPO selama penyimpanan yang disajikan pada Gambar 7 dan 8, CPO yang disimpan di suhu 20 o C memiliki nilai n berkisar antara dan nilai K berkisar antara CPO yang disimpan di suhu 25 o C memiliki nilai n berkisar antara dan nilai K berkisar antara CPO yang disimpan di suhu 30 o C memiliki nilai n berkisar antara dan nilai K berkisar antara CPO yang disimpan di suhu 35 o C memiliki nilai n berkisar antara dan nilai K berkisar antara CPO yang disimpan di suhu 40 o C memiliki nilai n berkisar antara dan nilai K berkisar antara Terlihat bahwa semakin tinggi suhu penyimpanan maka indeks tingkah laku aliran (n) semakin tinggi, sedangkan indeks konsistensi (K) aliran semakin menurun. Menurut Goodrum et al. (200), karena viskositas merupakan fungsi dari suhu, maka nilai parameter n dan K juga dapat berubah dengan perubahan suhu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahmed (2004) juga menunjukkan bahwa indeks tingkah laku aliran akan semakin tinggi seiring dengan semakin tinggi suhu fluida, sedangkan indeks konsistensi aliran menurun secara signifikan. Dilihat dari nilai n dan K, sampel CPO yang disimpan pada setiap suhu penyimpanan memiliki sifat pseudoplastik. Namun semakin tinggi suhu penyimpanan, sifat CPO semakin mendekati fluida Newtonian yang ditandai dengan nilai n yang semakin tinggi (mendekati ) dan nilai K yang semakin rendah. Secara kasat mata terlihat bahwa CPO yang disimpan pada suhu 40 o C memiliki konsistensi yang lebih cair dibandingkan CPO yang disimpan pada suhu penyimpanan lainnya. Menurut Rosidah (990) semakin tinggi suhu akan mengakibatkan penurunan kekentalan tampak serta konsistensi suatu fluida Pada Gambar 7 dan 8 terlihat bahwa suhu penyimpanan yang berbeda mengakibatkan perbedaan nyata terhadap indeks tingkah laku aliran dan indeks konsistensi aliran (p value<0.05). Data lengkap ANOVA pengaruh suhu penyimpanan terhadap indeks tingkah laku aliran dan indeks konsistensi aliran selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6. Jika dilihat dari pengaruh lama penyimpanan terhadap tingkah laku aliran dan indeks konsistensi aliran, pada Gambar 7 dan 8 terlihat bahwa indeks tingkah laku aliran dan indeks konsistensi aliran CPO pada setiap suhu penyimpanan yang diujikan tidak berbeda signifikan selama 4 minggu penyimpanan. Hal ini menunjukkan bahwa lama penyimpanan tidak berpengaruh nyata terhadap sifat reologi CPO. Data lengkap ANOVA pengaruh lama penyimpanan terhadap indeks tingkah laku aliran dan indeks konsistensi c c c c c d d d d d e e e e e 32

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT Hasil tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis sp, Jacq.) yang dipanen adalah tandan buah kelapa sawit. Tandan telah masak apabila jumlah buah yang membrondol telah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan di dalam penelitian ini adalah minyak sawit kasar (crude palm oil/cpo) yang diperoleh dari PT Sinar Meadow Internasional Indonesia, Jakarta.

Lebih terperinci

Penggunaan Data Karakteristik Minyak Sawit Kasar untuk Pengembangan Transportasi Moda Pipa

Penggunaan Data Karakteristik Minyak Sawit Kasar untuk Pengembangan Transportasi Moda Pipa 174 PEMBAHASAN UMUM Selama ini, pemanfaatan moda pipa dalam transportasi minyak sawit kasar (crude palm oil atau CPO) telah diterapkan di industri, namun hanya untuk jarak yang dekat hingga maksimal 3

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PROFIL MUTU MINYAK SAWIT KASAR Minyak sawit kasar (CPO) yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT Sinar Meadow Internasional Jakarta, PTPN VIII Banten, PT Wilmar

Lebih terperinci

Bab I Pengantar. A. Latar Belakang

Bab I Pengantar. A. Latar Belakang A. Latar Belakang Bab I Pengantar Indonesia merupakan salah satu produsen kelapa sawit (Elaeis guineensis) terbesar di dunia. Produksinya pada tahun 2010 mencapai 21.534 juta ton dan dengan nilai pemasukan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Varietas Kelapa Sawit 1. Varietas Kelapa Sawit Berdasarkan Ketebalan Tempurung dan Daging Buah Ada beberapa varietas tanaman kelapa sawit yang telah dikenal. Varietasvarietas itu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS MUTU MINYAK SAWIT KASAR Mutu minyak sawit kasar (crude palm oil/cpo) merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam proses produksi CPO. Pengolahan dan penyimpanan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Minyak Goreng 1. Pengertian Minyak Goreng Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya

Lebih terperinci

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia PENGARUH PEMANASAN TERHADAP PROFIL ASAM LEMAK TAK JENUH MINYAK BEKATUL Oleh: Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia Email:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Kelapa Sawit Sumber minyak dari kelapa sawit ada dua, yaitu daging buah dan inti buah kelapa sawit. Minyak yang diperoleh dari daging buah disebut dengan minyak kelapa

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka A. Minyak Sawit Bab II Tinjauan Pustaka Minyak sawit berasal dari mesokarp kelapa sawit. Sebagai minyak atau lemak, minyak sawit adalah suatu trigliserida, yaitu senyawa gliserol dengan asam lemak. Sesuai

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT B. METODE PENELITIAN. 1. Analisis Mutu Minyak Sawit Kasar. 2. Pengukuran Densitas Minyak Sawit Kasar

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT B. METODE PENELITIAN. 1. Analisis Mutu Minyak Sawit Kasar. 2. Pengukuran Densitas Minyak Sawit Kasar III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak sawit kasar (crude palm oil/cpo) CPO yang berasal dari empat perusahaan di Indonesia, yaitu PT. Sinar Meadow

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kelapa (Cocos Nucifera Linn.) merupakan tanaman yang tumbuh di negara yang beriklim tropis. Indonesia merupakan produsen kelapa terbesar di dunia. Menurut Kementerian

Lebih terperinci

4.1. Persepsi dan Kondisi di Masyarakat seputar Minyak Goreng

4.1. Persepsi dan Kondisi di Masyarakat seputar Minyak Goreng 4. PEMBAHASAN 4.1. Persepsi dan Kondisi di Masyarakat seputar Minyak Goreng Berdasarkan survey yang telah dilaksanakan, sebanyak 75% responden berasumsi bahwa minyak goreng yang warnanya lebih bening berarti

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran bilangan peroksida sampel minyak kelapa sawit dan minyak kelapa yang telah dipanaskan dalam oven dan diukur pada selang waktu tertentu sampai 96 jam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 11,4 juta ton dan 8 juta ton sehingga memiliki kontribusi dalam

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 11,4 juta ton dan 8 juta ton sehingga memiliki kontribusi dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara terbesar kedua setelah Malaysia dalam produksi minyak sawit. Pada tahun 2004, produksi dan ekspor negara Malaysia mencapai masing-masing

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa sawit yang ada. Tahun 2012 luas areal kelapa sawit Indonesia mencapai 9.074.621 hektar (Direktorat

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini, telah beredar asumsi di masyarakat bahwa minyak goreng yang lebih bening adalah yang lebih sehat. Didukung oleh hasil survey yang telah dilakukan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengolahan tandan buah segar (TBS) di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dimaksudkan untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengolahan tandan buah segar (TBS) di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dimaksudkan untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengolahan tandan buah segar (TBS) di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dimaksudkan untuk memperoleh minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil) dari daging buah dan inti sawit (kernel)

Lebih terperinci

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin. Lemak dan minyak merupakan senyawa trigliserida atau trigliserol, dimana berarti lemak dan minyak merupakan triester dari gliserol. Dari pernyataan tersebut, jelas menunjukkan bahwa lemak dan minyak merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal

I. PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung merupakan salah satu daerah paling potensial untuk menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal perkebunan kelapa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Minyak dan Lemak Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang artinya lemak). Lipida larut dalam pelarut nonpolar dan tidak larut dalam air.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asam Palmitat Asam palmitat adalah asam lemak jenuh rantai panjang yang terdapat dalam bentuk trigliserida pada minyak nabati maupun minyak hewani disamping juga asam lemak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Salah satu dari beberapa tanaman golongan Palm yang dapat menghasilkan minyak adalah kelapa sawit (Elaeis Guinensis JACQ). kelapa sawit (Elaeis Guinensis JACQ), merupakan komoditas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan di Indonesia yang memiliki masa depan cukup cerah. Perkebunan kelapa sawit

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS

PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS Zul Alfian Departemen Kimia FMIPA Universitas Sumatera

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) Minyak nabati (CPO) yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak nabati dengan kandungan FFA rendah yaitu sekitar 1 %. Hal ini diketahui

Lebih terperinci

5. RANCANGAN TEKNIK KENDALI TRANSPORTASI MINYAK SAWIT KASAR MODA PIPA

5. RANCANGAN TEKNIK KENDALI TRANSPORTASI MINYAK SAWIT KASAR MODA PIPA 5. RANCANGAN TEKNIK KENDALI TRANSPORTASI MINYAK SAWIT KASAR MODA PIPA 135 Pendahuluan Transportasi minyak sawit kasar (crude palm oil atau CPO) dari pabrik kelapa sawit (PKS) menuju tangki penyimpanan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pada penelitian yang telah dilakukan, katalis yang digunakan dalam proses metanolisis minyak jarak pagar adalah abu tandan kosong sawit yang telah dipijarkan pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. minyak yang disebut minyak sawit. Minyak sawit terdiri dari dua jenis minyak

II. TINJAUAN PUSTAKA. minyak yang disebut minyak sawit. Minyak sawit terdiri dari dua jenis minyak II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Kelapa Sawit Buah kelapa sawit terdiri dari 80% bagian perikarp (epikarp dan mesokarp) dan 20% biji (endokarp dan endosperm), dan setelah di ekstraksi akan menghasilkan

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Asam Stearat dari Minyak Kelapa Sawit Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas utama yang dikembangkan di Indonesia. Dewasa ini, perkebunan kelapa sawit semakin meluas. Hal ini dikarenakan kelapa sawit dapat meningkatkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah CPO yang berasal dari lima perusahaan kelapa sawit di Indonesia, yaitu PT. Sinar Meadow Internasional

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lemak dan Minyak Minyak dan lemak tidak berbeda dalam bentuk umum trigliseridanya, tetapi hanya berbeda dalam bentuk (wujud). Perbedaan ini didasarkan pada perbedaan titik lelehnya.

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci

DEFINISI. lipids are those substances which are

DEFINISI. lipids are those substances which are MINYAK DAN LEMAK TITIS SARI K. DEFINISI lipids are those substances which are insoluble in water; soluble in organic solvents such as chloroform, ether or benzene; contain long-chain hydrocarbon groups

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. minyak adalah kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) adalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. minyak adalah kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) adalah BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelapa Sawit Salah satu dari beberapa tanaman golongan palm yang dapat menghasilkan minyak adalah kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) adalah tanaman berkeping

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN Bahan baku pada penelitian ini adalah buah kelapa segar yang masih utuh, buah kelapa terdiri dari serabut, tempurung, daging buah kelapa dan air kelapa. Sabut

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MINYAK SAWIT DAN OLEIN SAWIT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sawit, olein sawit 1, dan olein sawit 2. Ketiganya diambil langsung dari

Lebih terperinci

BAB II PEMILIHAN DAN URAIAN PROSES. teknologi proses. Secara garis besar, sistem proses utama dari sebuah pabrik kimia

BAB II PEMILIHAN DAN URAIAN PROSES. teknologi proses. Secara garis besar, sistem proses utama dari sebuah pabrik kimia BAB II PEMILIHAN DAN URAIAN PROSES Usaha produksi dalam pabrik kimia membutuhkan berbagai sistem proses dan sistem pemroses yang dirangkai dalam suatu sistem proses produksi yang disebut teknologi proses.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT

TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT III. TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT Minyak sawit merupakan minyak yang didapatkan dari buah tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) seperti yang terlihat pada Gambar 3. Menurut Hartley (1977) kelapa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. lemaknya, minyak sawit termasuk golongan minyak asam oleat-linolenat. Minyak

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. lemaknya, minyak sawit termasuk golongan minyak asam oleat-linolenat. Minyak BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Kelapa Sawit Sebagai minyak atau lemak, minyak sawit adalah suatu trigliserida, yaitu senyawa gliserol dengan asam lemak. Sesuai dengan bentuk bangun rantai asam lemaknya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia dengan volume ekspor minyak kelapa sawit mencapai16,436 juta ton pada tahun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Nabati Minyak nabati adalah cairan kental yang diambil atau diekstrak dari tumbuhtumbuhan. Komponen utama penyusun minyak nabati adalah trigliserida asam lemak, yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku 4.1.2 Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, shortening,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, shortening, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Goreng Kelapa Sawit Minyak sawit terutama dikenal sebagai bahan mentah minyak dan lemak pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, shortening, margarin,

Lebih terperinci

KELAPA SAWIT dan MANFAATNYA

KELAPA SAWIT dan MANFAATNYA KELAPA SAWIT dan MANFAATNYA Oleh : BENNY RIO FERNANDEZ 2015 KELAPA SAWIT dan MANFAATNYA Tanaman kelapa sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) merupakan tanaman yang berasal dari Afrika Barat, terutama disekitar

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET Dwi Ardiana Setyawardhani*), Sperisa Distantina, Hayyu Henfiana, Anita Saktika Dewi Jurusan Teknik Kimia Universitas Sebelas Maret Surakarta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elais guinensis jacq) adalah tanaman berkeping satu yang termasuk dalam family Palmae. Tanaman genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani Elaion

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Minyak atau lemak merupakan ester dari gliserol dan asam lemak, tersusun atas campuran sebagian besar triasilgliserol dan sebagian kecil senyawa pengotor (di-gliserida dan

Lebih terperinci

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri Penggolongan minyak Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri Definisi Lemak adalah campuran trigliserida yang terdiri atas satu molekul gliserol yang berkaitan dengan tiga molekul asam lemak.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Penentuan ph optimum dan rendemen VCO VCO diproduksi dengan menggunakan metode pengasaman, oleh sebab itu perlu dilakukan penentuan ph optimum dari krim kelapa.

Lebih terperinci

MINYAK DAN LEMAK TITIS SARI K.

MINYAK DAN LEMAK TITIS SARI K. MINYAK DAN LEMAK TITIS SARI K. DEFINISI defines lipids as a wide variety of natural products including fatty acids and their derivatives, steroids, terpenes, carotenoids, and bile acids, which have in

Lebih terperinci

EKA PUTI SARASWATI STUDI REAKSI OKSIDASI EDIBLE OIL MENGGUNAKAN METODE PENENTUAN BILANGAN PEROKSIDA DAN SPEKTROFOTOMETRI UV

EKA PUTI SARASWATI STUDI REAKSI OKSIDASI EDIBLE OIL MENGGUNAKAN METODE PENENTUAN BILANGAN PEROKSIDA DAN SPEKTROFOTOMETRI UV EKA PUTI SARASWATI 10703064 STUDI REAKSI OKSIDASI EDIBLE OIL MENGGUNAKAN METODE PENENTUAN BILANGAN PEROKSIDA DAN SPEKTROFOTOMETRI UV PROGRAM STUDI SAINS DAN TEKNOLOGI FARMASI SEKOLAH FARMASI INSTITUT TEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) berasal dari Nigeria, Afrika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) berasal dari Nigeria, Afrika 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Meskipun demikian ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Bentonit diperoleh dari bentonit alam komersiil. Aktivasi bentonit kimia. Aktivasi secara kimia dilakukan dengan merendam bentonit dengan menggunakan larutan HCl 0,5 M yang bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari-hari (Ketaren, 1986). Minyak goreng diekstraksi

Lebih terperinci

Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9

Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9 LEMAK DAN MINYAK Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9 kkal sedangkan karbohidrat dan protein

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Hasil yang diperoleh selama periode Maret 2011 adalah data operasional PMS Gunung Meliau, distribusi penerimaan TBS di PMS Gunung Meliau, distribusi penerimaan fraksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. satu yang termasuk dalam famili palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. satu yang termasuk dalam famili palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Crude Palm Oil (CPO) Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ) adalah tanaman berkeping satu yang termasuk dalam famili palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa yunani

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Nabati Minyak nabati adalah sejenis minyak yang terbuat dari tumbuhan. Digunakan dalam makanan dan memasak. Beberapa jenis minyak nabati yang biasa digunakan ialah minyak

Lebih terperinci

VI. PENINGKATAN MUTU PRODUK KOMODITAS BERBASIS KELAPA SAWIT

VI. PENINGKATAN MUTU PRODUK KOMODITAS BERBASIS KELAPA SAWIT VI. PENINGKATAN MUTU PRODUK KOMODITAS BERBASIS KELAPA SAWIT QFD (Quality Function Deployment) adalah suatu alat untuk membuat pelaksanaan TQM (Total Quality Management) menjadi efektif untuk mentranslasikan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kelapa Sawit 2.1.1 Sejarah Perkelapa Sawitan Mengenai daerah asal kelapa sawit terdapat beberapa pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa kalapa sawit berasal dari

Lebih terperinci

III. TINJAUAN PUSTAKA

III. TINJAUAN PUSTAKA III. TINJAUAN PUSTAKA A. SUSU BUBUK Menurut Chandan (1997), susu segar secara alamiah mengandung 87.4% air dan sisanya berupa padatan susu sebanyak (12.6%). Padatan susu terdiri dari lemak susu (3.6%)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pendahuluan Proses pembuatan MCT dapat melalui dua reaksi. Menurut Hartman dkk (1989), trigliserida dapat diperoleh melalui reaksi esterifikasi asam lemak kaprat/kaprilat

Lebih terperinci

sidang tugas akhir kondisi penggorengan terbaik pada proses deep frying Oleh : 1. Septin Ayu Hapsari Arina Nurlaili R

sidang tugas akhir kondisi penggorengan terbaik pada proses deep frying Oleh : 1. Septin Ayu Hapsari Arina Nurlaili R sidang tugas akhir kondisi penggorengan terbaik pada proses deep frying Oleh : 1. Septin Ayu Hapsari 2310 030 003 2. Arina Nurlaili R 2310 030 081 24 juni 2013 Latar Belakang Penggunaan minyak goreng secara

Lebih terperinci

II. DESKRIPSI PROSES

II. DESKRIPSI PROSES II. DESKRIPSI PROSES Usaha produksi dalam pabrik kimia membutuhkan berbagai sistem proses dan sistem pemroses yang dirangkai dalam suatu sistem proses produksi yang disebut teknologi proses. Secara garis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Pada umumnya hasil proses hidrogenasi parsial akan terbentuk trans fatty acid (TFA) yang tidak diinginkan. Asam lemak trans cenderung meningkatkan kadar kolesterol

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rasa bahan pangan. Produk ini berbentuk lemak setengah padat berupa emulsi

BAB I PENDAHULUAN. rasa bahan pangan. Produk ini berbentuk lemak setengah padat berupa emulsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Margarin adalah produk makanan yang biasa digunakan dalam industri baking dan cooking yang bertujuan untuk memperbaiki tekstur dan menambah cita rasa bahan pangan.

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Margarin dari RBDPO (Refined, Bleached, Deodorized Palm Oil) Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Margarin dari RBDPO (Refined, Bleached, Deodorized Palm Oil) Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan industri merupakan bagian dari usaha pembangunan ekonomi jangka panjang, yang diarahkan untuk menciptakan struktur ekonomi yang lebih kokoh dan seimbang.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Goreng Minyak goreng merupakan salah satu bahan yang termasuk dalam lemak, baik yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun dari

Lebih terperinci

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MINYAK SAWIT 2.1.1. Komposisi Minyak Sawit Crude Palm Oil yang dihasilkan dari ekstraksi tandan buah segar kelapa sawit dengan komposisi produk 66% minyak (range 40-75%), 24%

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada penelitian ini, proses pembuatan monogliserida melibatkan reaksi gliserolisis trigliserida. Sumber dari trigliserida yang digunakan adalah minyak goreng sawit.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan sediaan losio minyak buah merah a. Perhitungan HLB butuh minyak buah merah HLB butuh minyak buah merah yang digunakan adalah 17,34. Cara perhitungan HLB

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN PRAKTIKUM KIMIA BAHAN MAKANAN Penentuan Asam Lemak Bebas, Angka Peroksida Suatu Minyak atau Lemak. Oleh : YOZA FITRIADI/A1F007010

LAPORAN PENELITIAN PRAKTIKUM KIMIA BAHAN MAKANAN Penentuan Asam Lemak Bebas, Angka Peroksida Suatu Minyak atau Lemak. Oleh : YOZA FITRIADI/A1F007010 LAPORAN PENELITIAN PRAKTIKUM KIMIA BAHAN MAKANAN Penentuan Asam Lemak Bebas, Angka Peroksida Suatu Minyak atau Lemak Oleh : YOZA FITRIADI/A1F007010 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 2 (2013), Hal ISSN : Uji Kualitas Minyak Goreng Berdasarkan Perubahan Sudut Polarisasi Cahaya Menggunakan Alat Semiautomatic Polarymeter Nuraniza 1], Boni Pahlanop Lapanporo 1], Yudha Arman 1] 1]Program Studi Fisika, FMIPA,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dilakukan determinasi tanaman.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dilakukan determinasi tanaman. 49 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Determinasi Tanaman Bahan baku utama dalam pembuatan VC pada penelitian ini adalah buah kelapa tua dan buah nanas muda. Untuk mengetahui bahan baku

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Minyak Kelapa Sawit Kasar Karakteristik awal minyak kelapa sawit kasar yang diukur adalah warna, kadar air dan kotoran, asam lemak bebas, bilangan yodium, kandungan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sekilas Sejarah Pabrik Minyak Sawit dan Perkebunan Kelapa Sawit

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sekilas Sejarah Pabrik Minyak Sawit dan Perkebunan Kelapa Sawit BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sekilas Sejarah Pabrik Minyak Sawit dan Perkebunan Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ) adalah tanaman berkeping satu yang termasuk dalam famili Palmae.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gorengan adalah produk makanan yang diolah dengan cara menggoreng

BAB I PENDAHULUAN. Gorengan adalah produk makanan yang diolah dengan cara menggoreng BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gorengan adalah produk makanan yang diolah dengan cara menggoreng dalam minyak. Masyarakat Indonesia sebagian besar menggunakan minyak goreng untuk mengolah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Sawit Mentah / Crude Palm Oil (CPO) Komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya sangat penting dalam penerimaan devisa negara, penyerapan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 BIDIESEL Biodiesel merupakan sumber bahan bakar alternatif pengganti solar yang terbuat dari minyak tumbuhan atau lemak hewan. Biodiesel bersifat ramah terhadap lingkungan karena

Lebih terperinci

Bab II. Tinjauan Pustaka

Bab II. Tinjauan Pustaka Bab II. Tinjauan Pustaka A. Spektrofotometri UV-Vis Spektrofotometri UV-Vis adalah anggota teknik analisis spektroskopik yang memakai sumber REM (radiasi elektromagnetik) ultraviolet dekat (190-380 nm)

Lebih terperinci

STUDI KUALITAS MINYAK GORENG DENGAN PARAMETER VISKOSITAS DAN INDEKS BIAS

STUDI KUALITAS MINYAK GORENG DENGAN PARAMETER VISKOSITAS DAN INDEKS BIAS Berkala Fisika ISSN : 1410-9662 Vol 11,No.2, April 2008, hal 53-58 STUDI KUALITAS MINYAK GORENG DENGAN PARAMETER VISKOSITAS DAN INDEKS BIAS Sutiah, K. Sofjan Firdausi, Wahyu Setia Budi Laboratorium Optoelektronik

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga pohon ini sering disebut pohon

I PENDAHULUAN. mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga pohon ini sering disebut pohon I PENDAHULUAN Tanaman kelapa merupakan tanaman serbaguna atau tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga pohon ini sering disebut pohon kehidupan (tree of life) karena hampir seluruh bagian dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 MINYAK KELAPA SAWIT Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia [11]. Produksi CPO Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya, seperti

Lebih terperinci

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA. yang jika disentuh dengan ujung-ujung jari akan terasa berlemak. Ciri khusus dari

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA. yang jika disentuh dengan ujung-ujung jari akan terasa berlemak. Ciri khusus dari x BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Lipid Pengertian lipid secara umum adalah kelompok zat atau senyawa organik yang jika disentuh dengan ujung-ujung jari akan terasa berlemak. Ciri khusus dari zat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Salah satu dari golongan palem yang dapat menghasilkan asam oleat adalah kelapa sawit (Elaenisis guineensis jacq) yang terkenal terdiri dari beberapa varietas, yaitu termasuk dalam

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN BERULANG MINYAK GORENG TERHADAP PENINGKATAN KADAR ASAM LEMAK BEBAS DENGAN METODE ALKALIMETRI

PENGARUH PENGGUNAAN BERULANG MINYAK GORENG TERHADAP PENINGKATAN KADAR ASAM LEMAK BEBAS DENGAN METODE ALKALIMETRI PENGARUH PENGGUNAAN BERULANG MINYAK GORENG TERHADAP PENINGKATAN KADAR ASAM LEMAK BEBAS DENGAN METODE ALKALIMETRI Afifa Ayu, Farida Rahmawati, Saifudin Zukhri INTISARI Makanan jajanan sudah menjadi bagian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

B. Struktur Umum dan Tatanama Lemak

B. Struktur Umum dan Tatanama Lemak A. Pengertian Lemak Lemak adalah ester dari gliserol dengan asam-asam lemak (asam karboksilat pada suku tinggi) dan dapat larut dalam pelarut organik non-polar, misalnya dietil eter (C2H5OC2H5), Kloroform

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Makanan gorengan menjadi hal yang tidak terlepas dari konsumsi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Makanan gorengan menjadi hal yang tidak terlepas dari konsumsi masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Minyak merupakan bahan baku yang penting dalam rumah tangga maupun industri terkait dengan fungsinya sebagai media penggorengan. Makanan gorengan menjadi hal yang tidak

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dantujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis dan (7)

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dimulai pada bulan Mei hingga Desember 2010. Penelitian dilakukan di laboratorium di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (Surfactant

Lebih terperinci

PENAMBAHAN BAWANG MERAH ( Allium ascalonicum ) UNTUK MENGHAMBAT LAJU PEMBENTUKAN PEROKSIDA DAN IODIUM PADA MINYAK CURAH

PENAMBAHAN BAWANG MERAH ( Allium ascalonicum ) UNTUK MENGHAMBAT LAJU PEMBENTUKAN PEROKSIDA DAN IODIUM PADA MINYAK CURAH PENAMBAHAN BAWANG MERAH ( Allium ascalonicum ) UNTUK MENGHAMBAT LAJU PEMBENTUKAN PEROKSIDA DAN IODIUM PADA MINYAK CURAH Korry Novitriani dan Nurjanah Prorogram Studi DIII Analis Kesehatan, STIKes Bakti

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Minyak Jarak Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik minyak jarak yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan faktis gelap. Karakterisasi

Lebih terperinci

PEMBUATAN MINYAK KELAPA SECARA ENZIMATIS MENGGUNAKAN RIMPANG JAHE SEBAGAI KATALISATOR

PEMBUATAN MINYAK KELAPA SECARA ENZIMATIS MENGGUNAKAN RIMPANG JAHE SEBAGAI KATALISATOR PEMBUATAN MINYAK KELAPA SECARA ENZIMATIS MENGGUNAKAN RIMPANG JAHE SEBAGAI KATALISATOR Miftahul Jannah 1 *, Halim Zaini 2, Ridwan 2 1 Alumni Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Lhokseumawe 2 *Email:

Lebih terperinci

MINYAK DAN LEMAK TITIS SARI K.

MINYAK DAN LEMAK TITIS SARI K. MINYAK DAN LEMAK TITIS SARI K. DEFINISI defines lipids as a wide variety of natural products including fatty acids and their derivatives, steroids, terpenes, carotenoids, and bile acids, which have in

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci