EFEKTIVITAS PEMBERIAN PROBIOTIK, PREBIOTIK DAN SINBIOTIK MELALUI PAKAN UNTUK PENGENDALIAN INFEKSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EFEKTIVITAS PEMBERIAN PROBIOTIK, PREBIOTIK DAN SINBIOTIK MELALUI PAKAN UNTUK PENGENDALIAN INFEKSI"

Transkripsi

1 EFEKTIVITAS PEMBERIAN PROBIOTIK, PREBIOTIK DAN SINBIOTIK MELALUI PAKAN UNTUK PENGENDALIAN INFEKSI Streptococcus agalactiae PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) TANBIYASKUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Efektivitas Pemberian Probiotik, Prebiotik dan Sinbiotik Melalui Pakan Untuk Pengendalian Infeksi Streptococcus agalactiae pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2011 Tanbiyaskur NRP C

3 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

4 EFEKTIVITAS PEMBERIAN PROBIOTIK, PREBIOTIK DAN SINBIOTIK MELALUI PAKAN UNTUK PENGENDALIAN INFEKSI Streptococcus agalactiae PADA IKAN NILA (Oreochromis niloticus) TANBIYASKUR Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Akuakultur SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

5 Judul Proposal : Efektivitas Pemberian Probiotik, Prebiotik dan Sinbiotik Melalui Pakan Untuk Pengendalian Infeksi Streptococcus agalactiae pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Nama : Tanbiyaskur NIM : C Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Widanarni, M.Si Ketua Dr.drh. Angela Mariana L, M.Si Anggota Diketahui Ketua Program studi Ilmu Akuakultur Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Enang Harris, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian: 22 Juli 2011 Tanggal Lulus :

6 PRAKATA Penulis mempersembahkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul Efektivitas Pemberian Probiotik, Prebiotik dan Sinbiotik Melalui Pakan Untuk Pengendalian Infeksi Streptococcus agalactiae Pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus). Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada program Magister Sains di Program Studi Ilmu Akuakultur Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Widanarni, M.Si dan Dr.drh. Angela Mariana Lusiastuti, M.Si selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan saran-sarannya dalam penulisan tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, karena keterbatasan pengetahuan dan wawasan penulis. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran, masukan dan kritikan untuk perbaikan serta kesempurnaan penulisan selanjutnya. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Bogor, Agustus 2011 Tanbiyaskur

7 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gumai pada tanggal 25 April 1986 dari ayah Zubairi, HS dan ibu Izut. Penulis merupakan putra kelima dari lima bersaudara. Pendidikan sekolah dasar diselesaikan pada tahun 1998 di SD Negeri 272 Palembang, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama pada tahun 2001 di SLTP Negeri 45 Palembang dan Sekolah Menengah Umum pada tahun 2004 di SMU Negeri 10 Palembang. Sejak Juli 2004 penulis tercatat sebagai mahasiswa di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Tahun 2008 penulis berhasil menyelesaikan studi S1 dan pada tahun 2009 penulis melanjutkan studi di Mayor Ilmu Akuakultur Sekolah Pascasarjana IPB.

8 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... DAFTAR TABEL... Halaman PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Rumusan Masalah... 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian... 3 Hipotesis... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Streptococcus agalactiae... 4 Probiotik... 5 Prebiotik... 7 Oligosakarida... 8 Sinbiotik... 9 Ikan Nila Imunologi ikan METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Pemilihan Ikan Uji dan Bakteri Probiotik Perlakuan dan Rancangan Penelitian Pelaksanaan Tahap I Uji In Vitro Bakteri Kandidat Probiotik Aktivitas antagonistik Peningkatan Virulensi Bakteri Streptococcus agalactiae Pelaksanaan Tahap II Ekstraksi Oligosakarida Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ekstraksi dengan Etanol 70% Total Padatan Terlarut Pelaksanaan Tahap III Pengujian secara In Vivo Pengujian Parameter Gambaran Darah Total Eritrosit Kadar Hemoglobin (Hb) Kadar Hematokrit (He) Total Leukosit iii iv

9 Diferensial Leukosit Indeks fagositik Jumlah Total Bakteri S. agalactiae di Organ Target Jumlah Total Bakteri di Usus Histopatologi Kelangsungan Hidup/Survival Rate (SR) Laju Pertumbuhan (GR) Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Aktivitas Antagonistik Kelangsungan Hidup Ikan Gambaran Darah Ikan Total Eritrosit Kadar Hemoglobin (Hb) Kadar Hematokrit (He) Total Leukosit Diferensial Leukosit Indeks fagositik Jumlah Total Bakteri di Usus Jumlah Total S. agalactiae di Organ Target Histopatologi Otak Ginjal Hati Mata Laju Pertumbuhan Harian dan Konversi Pakan (FCR) Kualitas Air Kesimpulan dan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 72

10 DAFTAR TABEL Halaman 1. Karakteristik S. agalactiae yang menyerang sapi, bovine dan ikan Aktivitas antagonistik bakteri NP5 terhadap bakteri patogen S. agalactiae secara in vitro Perubahan patologis otak ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae Perubahan patologis ginjal ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae Perubahan patologis hati ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae Perubahan patologis mata ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae Kisaran kualitas air media pemeliharaan ikan nila selama penelitian... 65

11 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Diagram alir pelaksanaan penelitian Tahapan pembuatan tepung ubi jalar Ekstraksi Oligosakarida ubi jalar Aktivitas antagonistik bakteri NP5 terhadap bakteri patogen S. Agalactiae A ; Kontrol. B; Probiotik NP Tingkat kelangsungan hidup ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik (A) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (B); PO(+). kontrol positif; PO(-). kontrol negatif; P1. probiotik; P2. prebiotik; P3. Sinbiotik Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi bakteri S. agalactiae pada ikan nila; a. timbul garis hitam vertical dan pupil mata mengecil; b. clear operculum; c. purulens (mata putih); d. eksoptalmia Jumlah total eritrosit ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) Kadar hemoglobin ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S.agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) Kadar hematokrit ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) Total leukosit ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) Persentase jumlah limfosit ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri S.agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) Persentase jumlah monosit ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri S.agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) Persentase jumlah neutrofil ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri S.agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) Persentase indeks fagositik ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri S.agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4)... 46

12 15. Jumlah total bakteri di usus ikan nila; PO(+). kontrol positif; PO(-). kontrol negatif; P1. probiotik; P2. prebiotik P3. sinbiotik Mekanisme peningkatan respon imun oleh bakteri probiotik setelah berinteraksi dengan sistem imun di peyer s patches Total bakteri S. agalactiae di organ target pada minggu ke-3 (A) dan minggu ke-4 (B); PO(+). kontrol positif; PO(-). kontrol negatif; P1. probiotik; P2. prebiotik P3. Sinbiotik Histopatologi otak ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae A. hyperplasia B. hipertropi ; C. nekrosis ; D. kongesti E. vakuolisasi Histopatologi ginjal ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae A. ginjal normal; B. vakuolisasi ; C. sel radang ; D. deposisi protein hialin E. kongesti; F. degenerasi, nekrosis ; G: hemoragi Histopatologi hati ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae A. hati normal; B. atropi ; C. degenerasi lemak; D. hipertropi; E. kongesti F. hemoragi Histopatologi hati ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae A. mata normal; B.hipertropi ; C. vakuolisasi; D. hiperplasia; E. nekrosis Laju pertumbuhan bobot harian (A) dan nilai FCR (B) ikan nila setelah 14 hari pemeliharaan; PO(+). kontrol positif; PO(-). kontrol negatif; P1. probiotik; P2. prebiotik P3. sinbiotik... 62

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Skema pembuatan blok paraffin Skema proses pemberiaan warna pada sampel jaringan dengan pewarnaan haematoksilin dan eosin SR ikan nila setelah pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik Kelangsungan hidup ikan nila pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae Nilai total padatan terlarut ekstraksi oligosakarida ubi jalar Gambaran Mikroskopis darah (total eritrosit, kadar hematokrit dan kadar hemoglobin) ikan nila selama penelitian Gambaran Mikroskopis darah (total Leukosit, Differensial leukosit dan indeks fagositik) ikan nila selama penelitian Jumlah total bakteri di usus pada akhir pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik Jumlah total bakteri S. agalactiae di organ target pasca uji tantang Laju pertumbuhan (GR) yang diberi pakan dengan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik Konversi pakan (FCR) ikan nila yang diberi pakan dengan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik... 94

14 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan jenis ikan air tawar yang sangat potensial dikembangkan di Indonesia. Ikan ini memiliki laju pertumbuhan yang cepat, mudah bereproduksi, berdaging tebal dan mudah dibudidayakan (Molina et al. 2009). Berbagai keunggulan pada ikan nila membuat permintaan terus meningkat, akibatnya penerapan intensifikasi budidaya tidak dapat dihindarkan. Namun demikian, intensifikasi budidaya yang kurang memperhatikan kondisi lingkungan budidaya dapat menimbulkan berbagai dampak negatif antara lain timbulnya penyakit. Salah satu penyakit yang sedang mewabah dan menjadi salah satu masalah utama pada budidaya ikan nila saat ini yaitu Streptococcosis yang disebabkan oleh bakteri Streptococcus agalactiae. Bakteri S. agalactiae dapat menyebabkan kematian yang tinggi dan menyebabkan kerugian ekonomi yang cukup besar dalam budidaya ikan nila. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Evans (2006), bakteri S. agalactiae menyebabkan 90% kematian ikan 6 hari setelah injeksi. Infeksi S. agalactiae bersifat septicemia dan koloninya menyebar di beberapa organ dalam seperti pada otak, mata dan ginjal (Sheehan 2009). Menurut Conroy (2009), S. agalactiae menginfeksi dan lebih virulen pada kondisi lingkungan dengan suhu 24 o C - 29 o C. Mengingat suhu di Indonesia umumnya berada pada kisaran tersebut, maka penyebaran serangan S. agalactiae dapat meningkat bila tidak segera ditanggulangi. Kontrol dan penanggulangan terhadap penyakit secara konvensional sering dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan kimia seperti obat-obatan antimikroba dan desinfektan (Gomez et al. 2000). Penggunaan antibiotik yang tidak terkendali untuk pengobatan penyakit, dapat menyebabkan gangguan pada keseimbangan dinamika alami mikroorganisme dalam pemeliharaan ikan. Oleh karena itu, penggunaan bahan-bahan kimia tersebut saat ini dibatasi dan tidak dianjurkan. Berdasarkan kelemahan tersebut, maka perlu dicari alternatif untuk menanggulangi permasalahan penyakit tanpa menggunakan antibiotik dan bahan kimia lainnya (Weston 1996; Esiobu et al. 2002).

15 Pada kondisi ini, pendekatan yang dapat dilakukan yaitu pengendalian S. agalactiae pada ikan nila dengan probiotik. Probiotik tidak terakumulasi dalam tubuh ikan dan tidak menyebabkan resistensi organisme patogen seperti pada antibiotik (Guo et al. 2009). Bakteri probiotik mampu melakukan pengontrolan kondisi pemeliharaan secara biologis tanpa menimbulkan dampak buruk terhadap sistem keseimbangan ekologis mikroba baik dalam pencernaan maupun dalam sistem pemeliharaan ikan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Haroun et al. (2006), bakteri probiotik telah terbukti berhasil dalam menstimulasi sistem imun dan menurunkan bakteri patogen pada budidaya ikan nila. Hal ini juga didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Wang et al. (2008), pemberian bakteri Enteroccus faecium sebagai probiotik dapat meningkatkan pertumbuhan dan respon imun ikan nila. Namun demikian, perlu diketahui bakteri probiotik yang tepat dan potensial untuk menekan virulensi S. agalactiae pada ikan nila. Pemberian probiotik yang tepat dan potensial sebagai hasil dari seleksi terkadang juga memiliki kelemahan. Beberapa kelemahan konsep probiotik di antaranya adalah kompetisi nutrien, kemampuan hidup dan kolonisasi bakteri probiotik dalam saluran pencernaan yang secara alami sudah mengandung ratusan spesies bakteri lainya. Jika bakteri probiotik tidak mendapatkan jumlah nutrien yang cukup untuk kehidupannya, ditambah terjadinya perubahan lingkungan yang ekstrim dalam saluran pencernaan, maka bakteri probiotik akan cepat mengalami wash out (pencucian) (Lisal 2005). Pendekatan lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi kelemahan dari aplikasi probiotik ini yaitu dengan memberikan nutrien yang dibutuhkan oleh bakteri probiotik untuk mempertahankan kondisi hidupnya dalam saluran pencernaan. Nutrien atau bahan yang dibutuhkan oleh bakteri probiotik ini dikenal dengan prebiotik (Roberfroid 2000). Pencampuran prebiotik dengan bakteri probiotik ini disebut sinbiotik. Lisal (2005), menyatakan bahwa sinbiotik adalah gabungan antara probiotik dan prebiotik dengan komposisi seimbang dalam mendukung kelangsungan hidup dan pertumbuhan bakteri yang menguntungkan dalam saluran pencernaan mahluk hidup. Tersedianya nutrien atau substrat spesifik yang dibutuhkan bakteri probiotik diharapkan akan mampu meningkatkan daya tahan hidup bakteri probiotik. Meningkatnya daya tahan hidup dan aktivitas bakteri probiotik diduga akan

16 meningkatkan fungsi probiotik dalam saluran pencernaan yang akhirnya dapat menstimulasi sistem imun ikan. Oleh sebab itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai peranan probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam meningkatkan sistem imun ikan terhadap serangan bakteri patogen S. agalactiae Rumusan Masalah Penggunaan antibiotik dan bahan kimia dalam upaya untuk mengatasi penyakit pada ikan budidaya perlu dihindari dan dikurangi mengingat penggunaan bahan-bahan tersebut memiliki dampak yang merugikan. Beberapa dampak yang diakibatkan dari penggunaan bahan tersebut, diantaranya dapat memicu terjadinya resistensi yaitu meningkatnya kekebalan mikroorganisme patogen terhadap bahan kimia tersebut dan adanya residu yang dapat membahayakan konsumen. Oleh karena itu perlu dikaji studi tentang penggunaan probiotik, prebiotik dan sinbiotik untuk pengendalian penyakit. Penggunaan probiotik, prebiotik dan sinbiotik menguntungkan bagi organisme budidaya, diantaranya dapat meningkatkan sistem imun ikan, membantu proses pencernaan dan tidak bersifat patogen. Mengingat berbagai keuntungan tersebut maka perlu dikembangkan lebih lanjut Tujuan dan Manfaat Tujuan penelitian ini adalah mengetahui efektivitas pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik melalui pakan dalam menstimulasi sistem imun ikan nila (Oreochromis niloticus) untuk pengendalian infeksi S. agalactiae. Manfaat dari penelitian ini adalah dengan pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik diharapkan dapat menggantikan penggunaan bahan-bahan antibiotik dalam penanggulangan penyakit bakterial Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam pakan dapat meningkatkan sistem imun ikan nila (O. niloticus) untuk mengendalikan infeksi bakteri patogen yaitu S. agalactiae.

17 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Streptococcus agalactiae Streptococcus agalactiae dapat menyebabkan neonatal meningitis pada manusia dan mastitis pada beberapa hewan terestrial misalnya pada sapi (Lindahl et al. 2005). S. agalactiae tergolong ke dalam grup GBS (Group B Streptococcal) yang dapat menyebabkan kematian yang besar pada ikan budidaya dan ikan di perairan umum, di antaranya ikan Striped bass (Morone saxatilis) (Baya et al. 1990) dan ikan nila (Oreochromis niloticus). Streptococcus agalactiae biasanya menyerang bagian otak, mata dan organ lain yang umumnya mengandung cairan (Evans et al. 2002). Berdasarkan hasil pengujian oleh Evans et al. (2002), S. agalactiae termasuk dalam bakteri gram positif, oksidase negatif, katalase negatif, isolat menunjukkan hasil positif pada reaksi leucine aminopeptidase, arginin deaminase dan trehalose. Negatif pada tes reaksi β-galactosidase, β-glucuronidase, N-acetyl- β- glucosaminidase, β-mannosidase, glycyl-tryptophane arylamidase, sorbitol, L- arabinosa, D-arabitol, glycogen, melezitos dan hidrolisis amilum. Serangan penyakit yang disebabkan oleh S. agalactiae dapat memberikan efek kronis dan akut tergantung pada tingkat serangan. Serangan pada tingkat kronis ditandai dengan adanya luka di permukaan tubuh, bercak-bercak merah pada sirip, berenang lambat dan nafsu makan ikan menjadi menurun. Sedangkan serangan akut menyebabkan kematian yang diduga karena ikan kehilangan cairan pada saluran pencernaan bagian belakang. Sebelum mengalami kematian, ikan menunjukkan gejala klinis berenang lemah dan berada di dasar akuarium, respon terhadap pakan lemah, berenang whirling (menggelepar), tubuh membentuk huruf C, perubahan pada warna tubuh, dan bukaan operkulum lebih cepat ( Evans 2006). Karakteristik bakteri S. agalactiae yang berasal dari beberapa hewan mamalia darat dan ikan disajikan dalam Tabel 1 di bawah ini :

18 Tabel 1. Karakteristik S. agalactiae yang menyerang sapi, bovine dan ikan Pengujian Collins et.al. (1995) (1) Cowan & Steel s (1974) (2) Evans et.al. (2002) (3) SNI (4) Pewarnaan gram Hemolisis Β α/β Β Β Aesculin Hippurate CAMP test + Non Non Non Bile salt agar 40% Non Arginin hidrolisis NaCl 6.5% - Non + + Motilitas Katalase Oksidasi Sorbitol Non Sucrose + Non Non Non Trehalose Non β-galactosidase Non Non - Non β-glucuronidase Non Non - Non N-acetyl-βglucosaminidase Non Non - Non β-mannosidase Non Non - Non Glycyl-tryptophane Non Non - Non arylamidase L-arabinosa Non Non - Non D-arabitol Non Non - Non Glycogen Non Non - Non Mannitol Maltose + Non - Non Starch Non Non - Non Leucine Var Var + Non Aminopeptidase Non Keterangan : SNI : Standar Nasional Indonesia; (1) & (2) : pada hewan sapi, pada bovine; (3) & (4) pada ikan; non : tidak dilakukan; Var : bervariasi 2.2. Probiotik Probiotik adalah makanan tambahan (suplemen) berupa sel-sel mikroba hidup, yang memiliki pengaruh menguntungkan bagi hewan yang mengkonsumsinya melalui penyeimbangan mikroflora intestinalnya. Probiotik dapat pula didefinisikan sebagai kultur hidup satu macam mikroba atau lebih yang memberikan pengaruh menguntungkan bagi hewan atau inang seperti peningkatan sistem imun, memperbaiki kualitas lingkungan media hidup inang dan memperbaiki nilai nutrisi

19 pakan (Verschuere et al. 2000). Bakteri probiotik sebagai suplemen pakan memiliki pengaruh menguntungkan untuk memperbaiki keseimbangan mikroflora pada saluran pencernaan larva. Menurut Fuller (1992), probiotik harus memiliki karakter-karakter sebagai berikut: (1) menguntungkan inangnya, (2) mampu hidup (tidak harus tumbuh) di intestinum, (3) dapat disiapkan sebagai produk sel hidup pada skala industri, (4) dapat terjaga stabilitas dan sintasan untuk waktu yang lama pada penyimpanan maupun di lapangan. Secara dasar ada tiga model kerja probiotik, yaitu (a) menekan populasi mikroba melalui kompetisi dengan memproduksi senyawa-senyawa antimikrobia atau melalui kompetisi nutrisi dan tempat pelekatan di dinding usus, (b) mengubah keseimbangan metabolisme mikrobial dengan meningkatkan dan menurunkan aktivitas enzim dan (c) menstimulasi immunitas dengan meningkatkan antibodi dan aktivitas makrofag (Irianto, 2003). Menurut Verschuere et al. (2000), mekanisme kerja bakteri probiotik dapat dibagi menjadi beberapa cara yaitu: (1) produksi senyawa inhibitor; (2) kompetisi terhadap senyawa kimia atau sumber energi (nutrisi); kompetisi terhadap tempat pelekatan; (4) peningkatan respon imun (kekebalan); (5) perbaikan kualitas air dan (6) interaksi dengan fitoplankton. Probiotik yang bekerja di dalam tubuh inang harus mampu bertahan hidup dalam mukosa usus inang dan berkembang biak dengan cepat agar tidak terbawa keluar bersama sisa metabolisme inang. Meskipun secara in vitro probiotik terbukti mampu menekan atau menghambat pertumbuhan bakteri patogen, namun apabila probiotik tersebut tidak dapat bertahan hidup dalam mukosa usus kemungkinan besar probiotik yang menghambat pertumbuhan bakteri patogen tidak ditemukan pada uji in vivo (Vine et al 2004). Gomez dan Roque (1998) menyatakan bahwa metode seleksi bakteri probiotik terdiri atas beberapa tahapan, yaitu: (1) pengumpulan informasi dasar yang didapat dari studi pustaka maupun lapangan; (2) pengumpulan probiotik potensial meliputi kelangsungan hidup bakteri probiotik dan kemampuan bersaing dengan galur patogen; (3) evaluasi kemampuan probiotik potensial berkompetisi dengan galur patogen meliputi kemampuan hidup probiotik pada inang atau lingkungannya, kemampuan melekat pada permukaan tubuh inang, kemampuan membentuk koloni dan mencegah perkembangan bakteri patogen baik dengan memproduksi senyawa

20 inhibitor maupun berkompetisi tempat pelekatan dan nutrien; (4) pendugaan patogenitas probiotik potensial yang meliputi probiotik tidak boleh patogen pada inang; (5) evaluasi pengaruh probiotik potensial pada larva dengan hasil terbaik yang dilihat dari nilai kelangsungan hidup tertinggi, penambahan bobot terbesar, peningkatan daya tahan tubuh inang terhadap stress dan serangan patogen terendah; (6) analisa ekonomi biaya laba. Evaluasi kemampuan probiotik potensial berkompetisi dengan galur patogen dapat dilakukan melalui tes antagonis secara in vitro. Uji in vitro dapat berupa uji tantang antara bakteri kandidat probiotik dengan bakteri patogen dalam media cair maupun padat. Pada media padat dapat berupa disk diffusion method untuk melihat kemampuan kandidat probiotik dalam menghasilkan senyawa antibakterial. Zona bening yang dihasilkan menunjukkan bahwa bakteri tersebut mampu mensekresikan suatu senyawa antimikroba (Chythanya et al dalam Sasanti 2008) Prebiotik Prebiotik adalah bahan makanan yang tidak dapat dicerna di mana makanan ini mempunyai pengaruh baik terhadap inangnya dengan memicu aktivitas metabolik dan pertumbuhan yang selektif satu atau lebih bakteri yang terdapat dalam usus (Gibson dan Fuller 2000; Roberfroid 2000; Schrezenmeir dan Vrese 2001). Definisi ini didukung oleh pendapat Lisal (2005) yang menyatakan bahwa prebiotik adalah bahan yang tidak dihidrolisa di saluran cerna dan merupakan substrat selektif bagi bakteri komensal dalam kolon yang dapat menstimulasi aktifitas bakteri. Prebiotik umumnya adalah senyawa karbohidrat yang tidak dapat dicerna serta umumnya berbentuk oligosakarida (oligofruktosa) dan serat pangan (inulin) (Reddy 1999). Bahan makanan dapat diklasifikasikan sebagai prebiotik jika memiliki syarat yaitu : (1) tidak dihidrolisa dan tidak diserap di saluran cerna bagian atas sehingga dapat mencapai usus besar secara utuh, (2) merupakan substrat yang selektif untuk satu atau sejumlah mikroflora komensal yang menguntungkan dalam kolon sehingga memicu pertumbuhan bakteri baik yang aktif melakukan metabolisme, (3) sanggup untuk mengubah keseimbangan flora usus besar ke arah komposisi yang menguntungkan kesehatan, (4) merangsang timbulnya efek-efek luminal (lokal) dan sistemik yang menguntungkan hospes (Lisal 2005).

21 Roberfroid (2000) menyatakan bahwa prebiotik sangat erat kaitannya dengan probiotik, karena target dari prebiotik adalah memacu pertumbuhan selektif dari bakteri probiotik. Prebiotik berperan untuk meregulasi dan memodulasi mikroekosistem populasi bakteri probiotik. Mengkonsumsi bahan prebiotik secara signifikan dapat memodulasi komposisi mikroflora kolon yang menyebabkan bakteri yang menguntungkan lebih dominan di dalam kolon dan banyak ditemukan di dalam feses (Gibson dan Roberfroid 1995). Prebiotik dalam usus besar akan difermentasi oleh bakteri probiotik dan akan menghasilkan short chain fatty acid (SCFA) dalam bentuk asam asetat, propionat, butirat, serta karbondioksida dan hidrogen (Cummings et al. 2001) Oligosakarida Oligosakarida merupakan karbohidrat sederhana yang berupa polisakarida rantai pendek dengan 3 hingga 20 unit sakarida (Manning et al. 2004). Sumber oligosakarida banyak terdapat pada umbi-umbian, biji-bijian dan kacang-kacangan. Oligosakarida tidak dapat dicerna karena memiliki ikatan glikosidik yaitu β (1 4), α (1 4), β (1 6), α (1 4) (Wilbraham dan Matta 1992, diacu dalam Marlis 2008). Mukosa mamalia tidak mempunyai enzim pencerna yang dapat memecah ikatanikatan glikosidik oligosakarida tersebut yaitu enzim α-galaktosidase dan β-fruktofuranosidase. Bakteri baik seperti Lactobacillus mempunyai enzim α-galaktosidase yang mampu memutus ikatan alfa-galaktosa sehingga oligosakarida seperti Galaktooligosakrida (GOS) dapat dicerna oleh Lactobacillus. Sedangkan Bifidobacteria memiliki enzim β-fruktofuranosidase yang dapat memutus ikatan beta-d-fruktofuranosida sehingga oligosakarida seperti Fruktooligosakarida (FOS) dapat dicerna oleh Bifidobacteria. Oligosakarida yang terdapat dalam ubi jalar yaitu rafinosa, oligofruktosa dan maltotriosa. Pada manusia, rafinosa dapat memberikan dampak yang baik bagi kesehatan diantaranya adalah menghasilkan energi metabolisme yang lebih rendah dari sukrosa, tidak memberikan efek sekresi insulin dari pankreas dan meningkatkan mikroflora usus ( Rini 2008; Marlis 2008). Menurut Oku (1994), oligosakarida yang tidak dapat dicerna dan diserap dalam usus halus akan mencapai usus besar dan akan didegradasi atau difermentasi oleh bakteri usus. Proses fermentasi oligosakarida oleh bakteri usus akan memberikan efek positif diantaranya menghasilkan energi metabolisme dan asam

22 lemak rantai pendek (terutama asam asetat dan asam laktat dengan perbandingan 3:2) yang akan menyebabkan komposisi mikroflora usus berubah serta dihasilkannya zat yang bersifat antibiotik. Hampir semua zat yang diproduksi oleh bakteri bersifat asam sebagai hasil fermentasi karbohidrat oligosakarida. Nilai ph akan turun mencapai ph asam sehingga persentase bakteri menguntungkan meningkat sedangkan persentase bakeri merugikan menurun (Tomomatsu 1994). Oligosakarida dapat mengurangi metabolik toksik dan enzim-enzim yang merugikan di dalam pencernaan. Konsumsi oligosakarida dapat mencegah penyakit kanker dan meningkatkan kesehatan melalui beberapa mekanisme secara fisiologis. Tomomatsu (1994) menyatakan bahwa konsumsi 3-6 gram oligosakarida per hari akan mengurangi senyawa toksik yang terdapat dalam usus sebanyak 44,6% dan enzim-enzim yang merugikan sebanyak 40,9% selama tiga minggu pemberian. Lebih lanjut Tomomatsu (1994) menyatakan bahwa suplementasi oligosakarida sebanyak 4 gram per hari selama 25 hari akan mengurangi resiko terserang penyakit kanker Sinbiotik Sinbiotik adalah gabungan antara probiotik dan prebiotik, yang memberikan pengaruh menguntungkan bagi inang, dengan cara memperbaiki survival dan implantasi suplemen mikroba hidup dalam saluran cerna, oleh stimulasi pertumbuhan secara selektif dan dengan aktivasi metabolisme dari satu atau sejumlah terbatas bakteri yang mempunyai efek promotif bagi kesehatan, sehingga dapat meningkatkan kesehatan inang. Telah dibuktikan bahwa gabungan kedua bahan (probiotik dan prebiotik) dalam satu produk tunggal maka kegunaan masing-masing atau kedua komponen tersebut semakin meningkat. Berdasarkan hasil penelitian Li et al. (2009), penambahan probiotik Bacillus OJ (PB) dengan konsentrasi 10 8 CFU/g pakan dan 0.2% isomaltooligosaccharides (IMO) mampu meningkatkan resistensi udang terhadap penyakit dengan meningkatkan respon imun udang dan menyeimbangkan mikroflora usus. Gabungan inulin (FOS) dengan Bifidobakteri logum mampu menurunkan resiko kelainan preneoplastik kolon lebih banyak daripada hanya dengan pemberian probiotik dan prebiotik saja pada tikus percobaan. Demikian juga penambahan pati jagung yang kaya amilose (RS2) ke dalam satu preparat probiotik akan mempertahankan densitas

23 yang lebih tinggi dari mikroorganisme probiotik yang hidup, bila dibandingkan dengan tanpa pemberian amilose (RS2) (Lisal 2005). Konsep sinbiotik belum banyak diaplikasikan pada kegiatan akuakultur. Sampai saat ini belum ada laporan penelitian mengenai aplikasi sinbiotik untuk meningkatkan sistem imun ikan dalam pengendalian terhadap bakteri patogen. Berhubungan dengan hal tersebut, maka penelitian ini perlu dilakukan Ikan Nila Ikan nila termasuk dalam kingdom Animalia, filum Chordata, sub filum Vertebrata, kelas Pisces, sub kelas Acanthopterigii, ordo Percomorphi, sub ordo Percaidae, famili Cichlidae, genus Oreochromis, spesies Oreochromis niloticus. Pada awalnya ikan nila bernama Tilapia nilotica, kemudian diganti dengan Sarotherodon niloticus dan sekarang dikenal dengan Oreochromis niloticus. Ikan nila berasal dari sungai Nil di Uganda yang telah bermigrasi ke selatan melewati danau Raft dan Tanganyika. Ikan nila pertama kali diintroduksikan ke Indonesia sekitar Juli 1969 dari Taiwan dan disebarkan ke setiap provinsi pada tahun Nila merupakan ikan sungai atau danau yang sangat cocok dipelihara diperairan tenang, kolam maupun reservoir. Di California, spesies Tilapia zillii yang merupakan herbivora, dipelihara pada saluran irigasi sebagai pengontrol tumbuh-tumbuhan air. Ikan nila juga digunakan untuk membersihkan kotoran pada danau dengan memakan tanaman airnya (Anonimous 1991). Ikan nila memiliki bentuk badan pipih kesamping memanjang dengan letak mulut terminal. Pada sirip punggung terdapat garis-garis miring. Mata ikan nila kelihatan menonjol dan relatif besar dengan bagian tepi mata berwarna putih. Linea lateralis (gurat sisi ditengah tubuh) terputus dan dilanjutkan dengan garis yang terletak lebih bawah. Ikan nila hidup di perairan tawar, seperti sungai, danau, waduk, dan rawa, tetapi karena toleransinya yang luas terhadap salinitas, ikan ini dapat pula hidup dan berkembang biak di perairan payau. Nilai ph air tempat hidup ikan nila berkisar antara 6-8,5 akan tetapi pertumbuhan optimal ikan nila terjadi pada ph 7-8. Ikan nila dapat hidup di kolam yang dalam dan luas maupun di kolam yang sempit dan dangkal. Ikan nila juga dapat hidup di sungai yang tidak terlalu deras alirannya atau di perairan tergenang sekalipun. Suhu optimal untuk ikan nila yaitu

24 antara o C, oleh karena itu ikan nila cocok dipelihara di daratan rendah dan dataran agak tinggi (500 m di atas permukaan laut) (Robert 2000). Makanan ikan nila secara alami berupa plankton, perifiton dan tumbuhtumbuhan lunak seperti hydrilla, ganggang sutera dan klekap. Ikan nila tergolong ke dalam ikan omnivora yang lebih cenderung herbivora. Ikan nila juga memakan jenisjenis makanan tambahan yang biasa diberikan seperti dedak halus, ampas kelapa dan sebagainya. Pencernaan ikan nila memiliki kemampuan untuk menghancurkan ikatan hidrogen pada unit selulosa pakan nabati dengan enzim dalam pencernaannya, sehingga dinding sel rumput mudah pecah dan dapat dihidrolisis cairan selnya. Akan tetapi kuantitas dan kualitas enzim ini jumlahnya masih terbatas. Untuk budidaya, ikan nila tumbuh lebih cepat hanya dengan pakan yang mengandung protein sebanyak 20-25%. Dari hasil penelitian Balai Penelitian Perikanan yang dilakukan secara terpadu (integrated) terhadap pemberian pakan ikan nila, ransum harian yang diberikan kepada benih ikan nila sebanyak 3% dari berat biomassa ikan/hari. Pakan yang diberikan berupa pelet yang berkadar protein 25-26% dan kandungan lemak sebesar 6-8% pada pemeliharaan di keramba Jaring Apung (Standar Nasional Indonesia (SNI) ). Menurut Webster dan Lim (2002), kadar protein berkisar antara 28-40% mampu menunjang pertumbuhan optimal ikan nila yang dipelihara di kolam. Nilai ini akan menjadi lebih rendah dengan mempertimbangkan kehadiran pakan alami yang dapat memberikan kontribusi protein dalam jumlah tertentu Imunologi Ikan Pencegahan terhadap serangan penyakit salah satunya dapat dilakukan dengan peningkatan sistem imun pada ikan. Salah satu cara untuk meningkatkan sistem imun ikan yaitu dengan pemberian bakteri probiotik. Respon imun pada ikan terdiri dari respon imun nonspesifik dan spesifik. Sistem imun nonspesifik jumlahnya dapat meningkat oleh infeksi, misalnya jumlah sel darah putih meningkat selama fase akut pada infeksi penyakit. Sistem imun nonspesifik merupakan pertahanan terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroba dan dapat memberikan respons langsung. Sistem imun nonspesifik resistensinya tidak mengalami perubahan untuk setiap infeksi yang menyerang. Sistem pertahanan spesifik dan nonspesifik pada

25 ikan terdiri dari pertahanan selular dan humoral. Berbagai bahan dalam sirkulasi seperti komplemen, interferon, CRP dan kolektin berperan dalam pertahanan nonspesifik humoral. Sedangkan fagosit, makrofag dan sel NK berperan dalam sistem imun nonspesifik selular (Baratawidjaja 2006). Sistem imun spesifik pada ikan walaupun tidak sempurna seperti pada vertebrata tetapi memiliki banyak kesamaan diantaranya mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam tubuh akan segera dikenali oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Benda asing yang sama, bila terpapar ulang akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan. Mekanisme sistem imun hanya ditujukan pada organisme tertentu dan sangat efektif untuk mengatasi serangan dari mikroba yang pernah memapar sebelumnya. Respon imunitas spesifik lambat tidak siap sampai ada paparan sebelumnya. Berbagai bahan atau sel penting yang berperan yaitu limfosit B atau sel B merupakan sistem imun spesifik humoral. Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik selular. Sedangkan beberapa molekul yang penting antibodi, sitokin, molekul adhesin (Baratawidjaja 2006). Menurut Anderson (1974), mekanisme kekebalan non-spesifik merupakan kekebalan alamiah (innate immunity) pertahanan inang yang responnya tidak tergantung kontak antigen tertentu, respon kekebalan spesifik (humoral mediated immunity dan cellular mediated immunity) tergantung kontak inang dengan antigen tertentu sebelumnya (= adaptive immunity). Mekanisme sistem imun nonspesifik tidak ditujukan pada organisme tertentu dan tidak menunjukkan spesifisitas terhadap banyak patogen potensial. Respon imunitas nonspesifik cepat, selalu siap dan tidak perlu ada paparan sebelumnya. Sistem pertahanan tubuh non spesifik terdiri dari kulit dan selaput mukosa. Sistem pertahanan tubuh spesifik, kekebalan khusus yang membuat limfosit peka untuk segera menyerang patogen tertentu. Menurut Baratawidjaja (2006), pada imunitas spesifik humoral, sel B bila dirangsang oleh benda asing akan mengalami proliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Fungsi utama antibodi ini adalah pertahanan terhadap infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralisasi toksinnya. Sel-B juga berperan dalam produksi Ig melalui rangsangan

26 antigen tertentu pada limpa dan hati. Menurut Anderson (1974), pada imunitas spesifik selular, sel T akan mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba atau mengaktifkan sel Tc untuk memusnahkan sel terinfeksi. Sistem kekebalan spesifik pada ikan meliputi sistem reticulo endothelial, limfosit, plasmosit, dan fraksi serum protein tertentu. Sistem reticulo endothelial ikan terdiri dari bagian depan ginjal, timus, limpa, dan hati (pada awal perkembangan). Respon imunitas dibentuk oleh jaringan limfoid pada ikan, jaringan limfoidnya menyatu dengan jaringan myeloid, sehingga dikenal sebagai jaringan limfomieloid. Pada ikan teleost jaringan limfomieloid adalah limpa, timus dan ginjal depan. Produk jaringan limfomieloid adalah sel-sel darah dan respon imunitas baik seluler maupun humoral. Mekanisme pertahanan tubuh yang sinergis antara pertahanan humoral dan seluler dimungkinkan oleh adanya interleukin, interferon dan sitokin. Anderson (1974) mengemukakan mengenai hubungan interleukin, interferon dan sitokin tersebut berperan sebagai komunikator dan amplikasi dalam mekanisme pertahanan humoral dan seluler ikan.

27 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan dari bulan Januari - Maret Pemilihan Ikan Uji dan Bakteri Probiotik Ikan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah benih ikan nila BEST dengan berat g. Ikan nila dipelihara dalam akuarium berukuran 60x30x40 cm 3 dengan kepadatan 10 ekor/akuarium. Sebelum digunakan dalam perlakuan, benih ikan diadaptasikan terlebih dahulu selama 7 hari. Bakteri probiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri NP5, yaitu dari genus Bacillus. Uji-uji yang telah dilakukan terhadap bakteri probiotik ini berupa uji ketahanan terhadap ph asam, uji penempelan dan uji patogenisitas (Putra 2010). Prebiotik yang digunakan adalah ekstraksi oligosakarida ubi jalar varietas sukuh Perlakuan dan Rancangan Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 5 perlakuan dan 4 kali pengulangan. Adapun perlakuannya adalah sebagai berikut : P0 (+) : Pemberian pakan tanpa penambahan probiotik, prebiotik, sinbiotik dan diuji tantang dengan S. agalactiae P0 (-) : Pemberian pakan tanpa penambahan probiotik, prebiotik, sinbiotik dan tanpa uji tantang dengan S. agalactiae P1 : Pemberian pakan dengan penambahan probiotik sebesar 1 % ( 1g/100g pakan : Putra 2010) dan diuji tantang dengan S. agalactiae P2 : Pemberian pakan dengan penambahan prebiotik sebesar 2 % (2g/100g pakan : Mahious et al.2006) dan diuji tantang dengan S. agalactiae P3 : Pemberian pakan dengan penambahan sinbiotik (1 % probiotik + 2 % prebiotik) dan diuji tantang dengan S. agalactiae

28 3.4. Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi 3 tahapan (Gambar 1) yang akan dilaksanakan sebagai berikut : Tahap 1. Uji in vitro bakteri kandidat Probiotik Aktivitas antagonistik Isolat bakteri NP5, diuji daya hambatnya terhadap S. agalactiae dengan metode Kirby-Bauer (Lay 1994). Isolat S. agalactiae dan bakteri kandidat probiotik (NP5) yang telah berumur 24 jam diencerkan hingga memiliki tingkat kekeruhan yang sama dengan konsentrasi biakan suspensi sekitar 10 6 CFU/ml. Selanjutnya S. agalactiae disebar pada media Triptic Soy Agar (TSA) sebanyak 100 µl. Kertas cakram (Whatman antibiotic assay paper) berdiameter 6 mm ditetesi suspensi bakteri kandidat probiotik sebanyak 10 µl, kemudian diletakkan diatas media TSA yang telah diberi bakteri S. agalactiae. Sebagai kontrol digunakan larutan fisiologis. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 29 o C selama 24 jam. Setelah itu diukur zona bening yang terbentuk menggunakan jangka sorong pada 4 posisi dari setiap kertas cakram, kemudian dirata-ratakan. Peningkatan virulensi bakteri S. agalactiae Sebelum bakteri stok digunakan untuk uji tantang, dilakukan postulat koch sebanyak 2 kali untuk meningkatkan virulensi bakteri. Stok bakteri ditumbuhkan pada media Brain Heart Infusion Broth (BHIB) 10 ml selama jam. Ikan nila sehat sebanyak 10 ekor disuntik bakteri S. agalactiae dengan konsentrasi 0.1 ml/ekor. Sebagai kontrol ikan nila disuntik dengan larutan Phosphate Buffer Saline (PBS) dengan dosis yang sama. Ikan yang telah disuntik diamati selama 7 hari. Ikan yang menunjukkan gejala klinis S. agalactiae seperti, warna tubuh menjadi gelap, garis-garis vertikal menjadi lebih gelap, mata menonjol, clear operculum (operculum mengalami lisis), berenang whirling dan juga kematian, diambil dan diisolasi. Bakteri diisolasi dari bagian organ target yaitu otak, mata dan ginjal ikan nila dalam Brain Heart Infusion Agar (BHIA) dan media spesifik Kf Streptococcus untuk memperoleh isolat bakteri S. agalactiae yang virulen. Bakteri hasil postulat koch inilah yang digunakan untuk pengujian selanjutnya.

29 Prosedur Penelitian Tahap 1. Pengujian secara In vitro Tahap 2. Ekstraksi Oligosakarida Uji aktivitas antagonistik bakteri NP5 S.agalactiae secara in Vitro Pembuatan tepung ubi jalar Peningkatan virulensi bakteri S. agalactiae Ekstraksi Oligosakarida Probiotik (NP5) Sinbiotik Prebiotik Tahap 3. Pengujian secara in vivo Ikan nila dipelihara selama 14 hari dan diberi pakan 3x sehari dengan pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik dosis perlakuan Pengukuran parameter gambaran darah pada hari ke-0, 7, 15 serta hari ke-7 dan hari ke-14 setelah uji tantang dengan bakteri S.agalactiae Pengukuran jumlah koloni bakteri di usus pada hari ke-15 dan histopatologi pada organ otak, mata, hati dan ginjal pada hari ke- 7 dan 14 setelah uji tantang Gambar 1. Diagram alir pelaksanaan penelitian.

30 Tahap 2. Ekstraksi Oligosakarida Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ubi jalar segar dibersihkan dan dikupas, kemudian diiris menggunakan pisau dengan ketebalan ±1 mm dan dikeringkan dalam oven suhu 55 0 C selama 5 jam atau hingga irisan ubi jalar dapat dipatahkan dengan tangan. Irisan ubi jalar kemudian digiling dengan willey mill dan diayak 60 mesh. Tahapan dalam pembuatan tepung segar ubi jalar dapat dilihat pada diagram berikut : Persiapan ubi jalar Pengupasan dan pengirisan Pengeringan pada 55 0 C, 5 jam Penggilingan dengan willey mill Pengayakan dengan 60 mesh Tepung segar ubi jalar Gambar 2. Tahapan pembuatan tepung ubi jalar. Ekstraksi dengan Etanol 70% (Muchtadi 1989) Sebanyak 500 gram tepung ubi jalar dicampur air dengan perbandingan 1:1 (w/v) dan dikukus pada suhu C selama 30 menit. Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 55 0 C selama 18 jam. Selanjutnya, digiling dan disaring dengan ayakan hingga tepung kukus ubi jalar dapat terkumpul. Pada proses ekstraksi, sebanyak 100 gram tepung kukus ubi jalar disuspensikan ke dalam 1 L etanol 70% dan diaduk selama 15 jam menggunakan magnetic stirer pada suhu ruang. Setelah itu dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring mesh 40 dan residu dicuci dengan menggunakan etanol 70%. Filtrat yang diperoleh dipekatkan menggunakan evaporator vakum pada suhu 40 0 C. Hasil pemekatan di sentrifus

31 pada 5000 rpm selama 10 menit untuk mengendapkan kotoran, sehingga ekstrak mudah disterilisasi dengan kertas saring. Tepung ubi jalar, dikukus pada suhu C selama 30 menit Tepung kukus ubi jalar Ekstraksi dengan etanol 70% Pengadukan selama 15 jam Penyaringan Pemekatan dengan evaporator vakum Sentrifus Penyaringan Ekstrak oligosakarida Gambar 3. Ekstraksi Oligosakarida Ubi Jalar. Total Padatan Terlarut (TPT) Total padatan terlarut diukur berdasarkan metode Apriyantono (1989). Pengukuran TPT bertujuan untuk melihat kepekatan padatan terlarut prebiotik yang berguna pada analisa oligosakarida pada tahap pengujian secara in vitro dan in vivo. Cawan porselin dikeringkan selama 2 jam dalam oven bersuhu C, kemudian didinginkan dalam desikator hingga diperoleh berat tetap. Cawan tersebut kemudian ditimbang (a gram). Sebanyak 1 ml oligosakarida yang diekstraksi dari ubi jalar ditempatkan dalam cawan porselen tersebut dan ditimbang (b gram). Kemudian dimasukan ke dalam oven selama 24 jam dengan suhu C. Setelah kering, cawan didinginkan dalam desikator selama 10 menit atau hingga

32 berat cawan stabil, kemudian cawan tersebut ditimbang (c gram). Total padatan terlarut dihitung dari hasil perbandingan berat ekstrak setelah dikeringkan dengan berat ekstrak sebelum dikeringkan. c a TPT= x 100% b a Keterangan : a = berat cawan sebelum diisi ekstrak oligosakarida b = berat cawan setelah diisi ekstrak oligosakarida c = berat cawan setelah diisi ekstrak oligosakarida dan dioven 24 jam. Tahap 3. Pengujian secara In Vivo Bakteri probiotik (NP5) dengan konsentrasi 10 6 CFU/ml ditambahkan sebanyak 1% (1g/100g pakan) (Putra 2010). Sedangkan dosis prebiotik yang diberikan pada perlakuan P2 dan P3 adalah 2% atau 2 g/100g pakan (Mahious et al. 2006) dengan TPT 5% (Marlis 2008). Probiotik, prebiotik dan sinbiotik dicampur atau ditambahkan ke dalam pakan dengan menambahkan kuning telur sebesar 2% sebagai perekat, lalu kemudian disemprotkan secara merata menggunakan spuit (Putra 2010). Pakan yang digunakan untuk pemeliharaan adalah pakan komersil dengan kandungan protein 38%. Ikan nila diberi pakan 3 kali sehari yaitu pada pukul 07.30, dan secara at satiation. Pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam pakan dilakukan satu kali pada pagi hari selama 14 hari masa pemeliharaan (Aly et al. 2008). Setelah diberikan ke ikan, pakan perlakuan disimpan pada suhu 4 o C di dalam lemari pendingin sampai waktu pemberian pakan berikutnya. Pada hari ke-15 ikan nila diuji tantang dengan injeksi bakteri S. agalactiae (NK 1 ) 0,1 ml/ekor pada konsentrasi 10 5 CFU/ml yang merupakan dosis LD 50 (Taukhid 2009). Setelah injeksi S. agalactiae, ikan dipelihara selama 14 hari dan diberi pakan kontrol serta dilakukan pengamatan mengenai kematian ikan, nafsu makan dan gejala klinis. Untuk menjaga kualitas air pada wadah pemeliharaan maka dilakukan penyiponan setiap hari sebanyak 10 % dari total volume air tiap akuarium.

33 3.5. Pengukuran Parameter Pengukuran parameter dalam penelitian meliputi gambaran darah, histopatologi, jumlah bakteri pada otak, mata dan ginjal, jumlah bakteri di usus, tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan berat mutlak Gambaran Darah Pengukuran parameter gambaran darah dilakukan sebanyak 5 kali yaitu pada hari ke- 0, 7, 14, kemudian pada hari ke-7 dan hari ke-14 setelah uji tantang. Adapun parameter gambaran darah yang diukur adalah sebagai berikut : a.total eritrosit Jumlah eritrosit dihitung menurut Blaxhall dan Daisley (1973). Perhitungan eritrosit dengan cara : sampel darah dihisap dengan pipet yang berisi bulir pengaduk warna merah sampai skala 1, kemudian ditambahkan larutan Hayem s sampai skala 101, digoyang atau diayunkan membentuk angka delapan selama 3-5 menit agar bercampur homogen. Tetesan pertama dibuang, berikutnya diteteskan ke dalam hemasitometer dan ditutup dengan kaca penutup, diamati dibawah mikroskop. Perhitungan dilakukan pada kotak kecil hemasitometer, Σ eritrosit = Σ sel eritrosit terhitung x pengencer / volume b. Kadar hemoglobin (Hb) Pengukuran kadar hemoglobin dilakukan dengan metode Sahli dengan sahlinometer (Wedemeyer dan Yasutake 1977). Kadar Hb diukur dengan cara mengkonversikan darah ke dalam bentuk asam hematin setelah darah ditambah dengan HCl 0,1 N. Prosedur perhitungan dilakukan dengan cara : darah dihisap dengan pipet Sahli sampai skala 20 mm 3 atau skala 0,2 ml, lalu ujung pipet dibersihkan dengan kertas tissue. Setelah itu darah dalam pipet dipindahkan dalam tabung Hb-meter yang telah diisi HCl 0,1 N sampai skala 10 (merah), aduk dan biarkan selama 3 sampai 5 menit. Tambahkan akuades sampai warna darah dan HCl tersebut seperti warna larutan standar yang ada dalam Hb meter tersebut. Kemudian skala dibaca yaitu dengan melihat permukaan cairan dan dicocokkan dengan skala tabung Sahli yang dilihat pada skala jalur gr % (kuning) yang berarti banyaknya hemoglobin dalam gram per 100 ml darah.

34 c. Kadar hematokrit (He) Kadar hematokrit (He) diukur menurut Anderson dan Siwicki (1993). Kadar He ditentukan dengan cara: sampel darah dimasukkan dalam tabung mikrohematokrit sampai kira-kira 3/4 bagian tabung, kemudian ujungnya disumbat dengan crytoseal sedalam 1 mm. Setelah itu disentrifus dengan kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Setelah itu dilakukan pengukuran panjang darah yang mengendap (a) serta panjang total volume darah yang terdapat didalam tabung (b). Kadar He dinyatakan sebagai % volume padatan sel darah dan dihitung dengan cara = (a/b) x 100%. d. Total leukosit Jumlah leukosit dihitung menurut Blaxhall dan Daisley (1973) yaitu : sampel darah dihisap dengan pipet yang berisi bulir pengaduk berwarna putih berskala sampai 0,5 ml. Lalu ditambahkan larutan turk s sampai skala 11. Selanjutnya pipet digoyang membentuk angka delapan selama 5 menit agar bercampur homogen. Tetesan pertama dibuang, tetesan berikutnya dimasukkan kedalam hemasitometer ditutup dengan kaca penutup, diamati di bawah mikroskop. Perhitungan dilakukan pada kotak kecil hemasitometer, Σ leukosit = Σ sel leukosit terhitung x volume / pengencer. e. Diferensial leukosit Diferensial leukosit ditentukan mengikuti Amlacher (1970). Perhitungan dilakukan dengan mengamati preparat ulas darah. Darah diteteskan diatas gelas objek steril yang sudah direndam dengan metanol, kemudian ujung gelas objek kedua ditempatkan di atas gelas objek yang telah ditetesi darah hingga membentuk sudut 30 o C. Gelas objek kedua digeser kearah belakang menyentuh tetesan darah hingga menyebar. Kemudian gelas objek kedua digeser kerarah berlawanan hingga terbentuk lapisan tipis darah, dibiarkan hingga kering. Preparat difiksasi dengan metanol absolute selama 5 menit kemudian diangkat dan dibiarkan kering udara. Pewarnaan preparat dilakukan selama 10 menit dalam larutan giemsa, lalu diangkat dan dibilas dengan air mengalir dan dibiarkan kering udara. Preparat ulas diamati dibawah mikroskop dengan pembesaran 1000 kali. Kemudian dihitung jenisjenis leukosit dan dihitung persentasenya. f. Indeks fagositik

35 Aktivitas fagositik ditentukan melalui indeks fagositik yang diukur mengikuti Anderson dan Siwicki (1993). Pengukuran dilakukan dengan cara : sebanyak 50 µl darah dimasukkan kedalam eppendorf, ditambahkan 50 µl suspensi sel Staphylococcus aureus (10 7 ) dalam PBS, dicampurkan homogen dan diinkubasi selama 20 menit. Sebanyak 5µl dibuat sediaan ulas, dikeringkan di udara, lalu difiksasi dengan metanol 5 menit, dibilas dengan akuades dan dikeringkan. Sediaan diwarnai dengan pewarna Giemsa 15 menit, dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan diatas kertas tisu. Aktivitas fagositik didasarkan pada persentase dari 100 sel fagositik yang menunjukkan proses fagositosis Jumlah total bakteri S. agalactiae di organ target Kemampuan bakteri probiotik hasil seleksi dalam menghambat perkembangan bakteri S. agalactiae juga ditentukan berdasarkan jumlah bakteri S. agalactiae yang ada di otak, mata dan ginjal. Masing-masing organ diambil lalu ditimbang dan dimasukkan ke dalam larutan PBS dengan perbandingan 1 : 9. Kemudian organ digerus sampai homogen dengan larutan PBS. Setelah homogen dengan larutan PBS, diambil sebanyak 0,1 ml kemudian dilakukan pengenceran bertingkat lalu dituang dalam cawan petri dengan metode agar tuang dan disebar merata dengan batang penyebar pada media BHIA dengan 2 ulangan dan diinkubasi selama jam. Jumlah koloni bakteri S. agalactiae dihitung berdasarkan rumus : K PM = AxB Dimana: PM = Populasi bakteri (cfu/ml) K = Jumlah koloni A = Volume inokulasi dalam media pengencer (ml) B = Pada pengenceran keberapa koloni bakteri dihitung Jika jumlah koloni bakteri S. agalactiae pada perlakuan lebih kecil dibandingkan kontrol maka perlakuan tersebut berhasil menghambat S. agalactiae Jumlah total bakteri di usus Pengukuran jumlah bakteri di usus dilakukan pada hari ke-15 setelah perlakuan. Pengukuran dilakukan untuk mengetahui efektivitas pemberian prebiotik dalam menstimulir pertumbuhan koloni bakteri dalam usus. Cara kerja untuk perhitungan koloni bakteri diusus

36 sama dengan perhitungan koloni bakteri pada organ target S. agalactiae, akan tetapi untuk organ usus digunakan media TSA Histopatologi Pengukuran parameter histopatologi dilakukan pada organ otak, mata, ginjal dan hati ikan nila pada hari ke 7 dan 14 setelah uji tantang. Histopatologi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui tingkat kerusakan organ akibat serangan bakteri patogen. Masing-masing perlakuan diambil 1 ekor ikan sebagai sampel. Hasil preparat histopatologi dibandingkan dengan kontrol. Jika terlihat tingkat kerusakan jaringan pada perlakuan lebih kecil dari kontrol berarti perlakuan memberikan pengaruh dalam menekan virulensi dari patogen. Prosedur pembuatan preparat histopatologi melalui empat tahapan yaitu : fiksasi atau pengawetan jaringan, perlakuan (processing) jaringan, pemotongan jaringan dan pewarnaan jaringan. a. Fiksasi Tahap permulaan pembuatan sediaan histopatologis adalah memotong bagian tubuh ikan yang akan dijadikan sampel, lalu kemudian dimasukkan dalam larutan fiksatif Bouin s. Larutan Bouin s dibuat dari campuran asam pikrat 21 g/l, formalin 40% dan acetic acid glacial, dengan perbandingan 15 : 5 : 1. Pada penelitian ini organ tubuh ikan yang diambil adalah otak, ginjal, hati dan mata. Sampel dipotong dengan ukuran kira-kira 1x1 cm. Semua sampel organ direndam dalam larutan fiksatif Bouin s selama 24 jam. Setelah difiksasi kemudian sampel direndam dalam larutan formalin 4% selama 24 jam dan alkohol 70% selama 24 jam, dengan tujuan agar sampel jaringan tidak mengeras. b. Perlakuan (processing) jaringan Potongan sampel organ diberi perlakuan berupa dehidrasi (pengambilan air) dan clearing (penjernihan), kemudian dilakukan impregnasi (penyusunan parafin) untuk kemudian jaringan siap dibuat blok (melalui proses embedding) (Lampiran 1). Proses ini bertujuan untuk membuat sediaan ada dalam blok paraffin yang merupakan penunjang yang sangat diperlukan dalam proses pemotongan. Mula-mula paraffin cair dituang kedalam wadah cetakan sebagai dasar pembuatan blok. Sediaan diambil dengan pinset dan diletakkan diatas dasar blok tersebut, kemudiaan bahan embedding dituang hingga memenuhi cetakan dengan sediaan di dalamnya. Blok kemudian ditempel pada holder atau blok kayu. c. Pemotongan jaringan

37 Sediaan yang sudah diblok siap dipotong dengan menggunakan mikrotom setebal 5 µm dan dibuat preparat. Sebelum proes pewarnaan, dilakukan deparafinasi dengan cara mencelupkan sediaan ke dalam Xylol I dan II masing-masing 5 menit dan dilanjutkan dengan pencelupan ke dalam alkohol absolut I dan II selama 2-3 menit, alkohol 95 % selama 2-3 menit, alkohol 90% selama 2-3 menit, alkohol 80% selama 2-3 menit, alkohol 70% selama 2-3 menit, alkohol 50% selama 2-3 menit (Lampiran 2). Kemudian dilakukan proses rehidrasi yaitu proses mencuci preparat jaringan dengan aquades mengalir selama 2-3 menit. d. Pewarnaan jaringan Proses pewarnaan preparat jaringan yaitu dengan memasukkan preparat/sediaan ke dalam larutan pewarna hematoksilin selam 3-5 menit, dicuci dalam air mengalir. Kemudian dilanjutkan dengan pencelupan ke dalam larutan pewarna eosin selama 3 detik. Untuk menghilangkan kelebihan warna, preparat dicuci dalam air mengalir selama 5 menit. Selanjutnya dilakukan pencelupan ke dalam alkohol 50%, 70%, 85%, 90%, alkohol absolut I dan absolut II maing-masing selama 2-3 menit. Kemudian preparat jaringan ditutup dengan cover glass yang sudah ditetesi dengan entelan neu, dikeringkan dalam oven pada suhu 40 o C selama 24 jam. Setelah itu preparat dapat diamati dibawah mikroskop Kelangsungan hidup/survival Rate (SR) Kelangsungan hidup ikan dihitung dengan rumus berdasarkan Effendie (1979) : Nt SR = x 100 % No Dimana : SR = Kelangsungan hidup (%) N t = Jumlah ikan yang hidup pada akhir pemeliharaan (ekor) No = Jumlah ikan pada awal pemeliharaan (ekor) Laju Pertumbuhan (GR) Laju pertumbuhan harian ikan dianalisa dengan menggunakan rumus berdasarkan Huismann (1976), diacu dalam Effendie (1979):

38 Wt α = t 1 x 100 Wo Dimana: α = laju pertumbuhan bobot rerata harian (%) Wt = bobot rata-rata individu pada waktu t (g) Wo = bobot rata-rata individu pada waktu t 0 (g) t = lama percobaan (hari) Analisis Statistik Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik serta dilakukan analisis sidik ragam dengan tingkat kepercayaan 95%. Pengaruh perlakuan terhadap parameter pengamatan diuji dengan menggunakan uji F dengan program SPSS 14. Apabila berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji lanjut dengan menggunakan Uji Lanjut Duncan.

39 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengujian Aktivitas Antagonistik Hasil pengujian aktivitas antagonistik bakteri NP5 terhadap bakteri patogen Streptococcus agalactiae secara in vitro disajikan pada Gambar 4 dan Tabel 2. v B A A B B B Gambar 4. Aktivitas antagonistik bakteri NP5 terhadap bakteri patogen S. agalactiae. A ; Kontrol. B; Probiotik NP5 Berdasarkan Gambar 4 diatas terlihat bahwa bakteri probiotik NP5 mampu membentuk zona hambat terhadap bakteri patogen S. agalactiae. Zona hambat yang terbentuk yaitu berupa zona bening disekitar kertas cakram. Kemampuan bakteri kandidat probiotik dalam menghasilkan zona hambat pada uji in vitro merupakan salah satu aspek penting. Diameter zona hambat yang terbentuk dari uji in vitro merupakan gambaran kepekaan mikroorganisme terhadap antibakteri. Terbentuknya zona hambat pada uji in vitro ini dapat terjadi diduga karena bakteri probiotik NP5 mampu menghasilkan senyawa

40 antimikrobial atau senyawa yang bersifat bakterisidal (bakteriostatik) yang mampu menghambat virulensi bakteri S. agalactiae. Tabel 2. Aktivitas antagonistik bakteri NP5 terhadap bakteri patogen Streptococcus agalactiae secara in vitro Isolat bakteri NP5 Ulangan 1 12,5 Ulangan 2 11,0 Ulangan 3 12,0 Ulangan 4 10,5 Rata-rata 11,5 + 0,91 Diameter zona hambat (mm) Dari Tabel 2 diatas terlihat bahwa bakteri probiotik (NP5) mampu menghasilkan rata-rata zona hambat sebesar 11,5 mm. Pelczar dan Chan (1988) menyatakan bahwa nilai zona hambat dari bakteri probiotik dapat berbeda-beda, karena dipengaruhi oleh beberapa faktor atau keadaan yang mempengaruhi efek antimikrobial. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan yang dilakukan dalam penelitian, dengan konsentrasi dan bakteri probiotik yang sama, ketika dilakukan uji zona hambat secara in vitro menghasilkan diameter zona hambat yang berbeda. Selain menghambat faktor virulensi bakteri patogen, senyawa yang dihasilkan bakteri probiotik ini diperkirakan merupakan faktor penghalang terhadap proliferasi bakteri patogen, sehingga jumlah bakteri patogen di media uji dan di dalam saluran pencernaan dapat ditekan. Menurut Verschuere (2000) senyawa bakterisidal atau bakteriostatik yang dihasilkan oleh bakteri probiotik dapat berupa produksi antibiotik, senyawa asam laktat, lysozim, protease, hidrogen peroksida dan bakteriosin. Namun demikian, dalam penelitian ini tidak diteliti senyawa bakterisidal apa yang berperan dalam aktivitas penghambatan bakteri patogen. Akan tetapi hasil yang diperoleh berupa terbentuknya zona hambat, sudah cukup membuktikan bahwa bakteri probiotik NP5 memiliki potensi untuk menekan pertumbuhan bakteri patogen (S. agalactiae) secara in vitro dan selanjutnya akan diteruskan pada pengujian secara in vivo. Kemampuan bakeri probiotik dalam menghasilkan senyawa antibakterial dan membentuk zona hambat sangat bervariasi, zona hambat dengan nilai berkisar lebih besar

41 atau sama dengan 20 mm, tergolong sangat kuat, zona hambat sebesar mm tergolong kuat, zona hambat sebesar 5-10 mm tergolong sedang, dan zona hambat sebesar 5 mm tergolong lemah. Zona hambat yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 10,5-12,5 mm yang berarti tergolong kuat. Isolat bakteri yang berpotensi untuk dipakai dalam menghambat bakteri patogen adalah minimal termasuk kategori sedang sampai kuat (Hasim 2003). Selain itu, terbentuknya zona hambat dapat juga terjadi karena aktivitas bakteri probiotik dalam menghambat aktivitas bakteri patogen yang berupa kompetisi nutrien di media uji. 4.2 Kelangsungan Hidup Ikan Tingkat kelangsungan hidup ikan nila selama penelitian diamati mulai dari perlakuan pemberian probiotik (P1), prebiotik (P2) dan sinbiotik (P3) serta setelah uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae. Dari hasil pengamatan terlihat bahwa tingkat kelangsungan hidup ikan nila selama pemeliharaan dengan pemberian bakteri probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam pakan tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol (P>0,05). Akan tetapi pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae, terjadi kematian yang cukup tinggi pada perlakuan PO(+). Pasca uji tantang dengan bakteri S. agalactiae, perlakuan P3 memberikan nilai kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya yaitu sebesar 83,34%. Selanjutnya berturut-turut dari tinggi ke rendah pada perlakuan P1 sebesar 80,56%, perlakuan P2 sebesar 72,23% dan perlakuan PO(+) sebesar 13,89%. Dari hasil uji statistik, kelangsungan hidup perlakuan P1, P2 dan P3 berbeda nyata dengan perlakuan PO(+) (P<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan P1, P2 dan P3 tidak berbeda nyata. Tingkat kelangsungan hidup tertinggi pada akhir pemeliharaan diperoleh pada perlakuan PO(-) yaitu sebesar 100 %, karena ikan tidak diinfeksi dengan bakteri S. agalactiae tetapi dengan PBS (Phosphat Buffer Saline). Kelangsungan hidup ikan nila selama penelitian disajikan pada Gambar 5 (A dan B) serta Lampiran 3 dan 4.

42 Kelangsungan Hidup (%) Kelangsungan Hidup (%) , a PO(+) PO(-) P1 P2 P3 Perlakuan A ,56 83,34 72,23 c b 13,89 b b a PO(+) PO(-) P1 P2 P3 Perlakuan B Gambar 5. Tingkat kelangsungan hidup ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik (A) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (B); PO(+). kontrol positif; PO(-). kontrol negatif; P1. probiotik; P2. prebiotik P3. sinbiotik. Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Dari pengamatan selama penelitian, jumlah tertinggi kematian ikan nila terjadi pada hari ke-4 dan hari ke-5 pasca uji tantang pada semua perlakuan (Lampiran 4). Hal ini terjadi karena diduga puncak faktor virulensi bakteri S. agalactiae terjadi pada hari tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Evans et al. (2004) bahwa kematian tertinggi ikan nila pasca infeksi S. agalactiae terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-7. Hasil ini juga

43 sejalan dengan hasil penelitian Taukhid et al. (2009) bahwa kematian tertinggi ikan nila pada uji LD50 terjadi pada hari ke-4 dan ke-5. Gejala klinis yang muncul akibat serangan bakteri S. agalactiae pada ikan nila sebelum ikan mengalami kematian dapat dilihat pada Gambar 6. a b c d Gambar 6. Gejala klinis yang ditimbulkan akibat infeksi bakteri S. agalactiae pada ikan nila; a. timbul garis hitam vertikal dan pupil mata mengecil; b. clear operculum; c. purulens (mata putih); d. eksoptalmia. Pasca infeksi bakteri S. agalactiae, terjadi perubahan makroskopis pada anatomi organ luar dan organ dalam ikan nila. Pada anatomi organ luar terjadi perubahan pada bagian operkulum, mata dan tubuh ikan. Sedangkan pada bagian anatomi organ dalam, terjadi perubahan pada organ hati, ginjal dan otak. Pada hari pertama infeksi S. agalactiae ikan sudah mengalami perubahan warna, ikan menjadi pucat lalu timbul garis-garis hitam vertikal pada tubuh ikan, lalu pupil mata ikan mengecil (Gambar 6a). Pada hari berikutnya gejala yang ditimbulkan akibat infeksi S. agalactiae yaitu ikan mengalami clear operculum (Gambar 6b) dimana pada awalnya operkulum menjadi sedikit kekuningan lalu terlihat seperti menjadi jernih. Pada tingkat kerusakan selanjutnya gejala yang timbul adalah perubahan pada organ mata ikan, mata seperti berkabut atau purulens (Gambar 6c) hingga mata membengkak (Gambar 6d) dan kemudian lepas dari cekungan mata. Selama pengamatan dalam penelitian,

44 kerusakan pada organ mata ikan nila ini mulai ditemukan pada hari ke-4. Sebelum mengalami kematian, gejala khas yang ditimbulkan yaitu ikan berenang whirling lalu tubuh ikan membentuk huruf C. Gelaja yang ditimbulkan ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Evans (2006), bahwa pada ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae, sebelum mengalami kematian ikan berenang whirling dan seperti membentuk huruf C. 4.3 Gambaran Darah Ikan Nila Efektivitas pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam pakan dapat dilihat dari nilai kelangsungan hidup ikan nila sebelum dan setelah dilakukan uji tantang dengan S. agalactiae. Namun untuk menjelaskan lebih lanjut mengenai efektivitas probiotik, prebiotik dan sinbiotik tersebut dapat dijelaskan dengan gambaran sistem imun ikan nila. Untuk memperoleh gambaran mengenai sistem imun ikan nila ini, dilakukan pengukuran parameter mikroskopis darah berupa : total eritrosit, kadar hemoglobin, kadar hematokrit, total leukosit, differensial leukosit dan indeks fagositik Total Eritrosit Sel darah merah (eritrosit) ikan mempunyai inti, umumnya berbentuk bulat dan oval tergantung jenis ikannya. Inti sel eritrosit terletak sentral dengan sitoplasma terlihat jernih kebiruan dengan pewarnaan Giemsa (Chinabut et al. 1995). Hasil pengukuran rata-rata total eritrosit ikan nila selama penelitian disajikan pada Gambar 7 dan Lampiran 5.

45 35 Total Eritrosit (10 5 sel/mm 3 ) PO(+) PO(-) P1 P2 P Minggu ke- Gambar 7. Jumlah total eritrosit ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) Berdasarkan Gambar 7 diatas, terlihat bahwa pada minggu ke-0 jumlah total eritrosit ikan masih sama pada setiap perlakuan yaitu 10,1+ 0,29 (10 5 sel/mm 3 ). Dari Gambar terlihat bahwa jumlah total eritrosit mengalami peningkatan pada minggu ke-1 (7 hari setelah pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik) sampai minggu ke-2 (akhir pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik). Akan tetapi nilai eritrosit mengalami penurunan pada minggu ke-3 (7 hari pasca uji tantang dengan bakteri S. agalactiae) lalu kembali meningkat pada minggu ke-4 (14 hari pasca uji tantang), kecuali pada perlakuan kontrol negatif tidak terjadi penurunan jumlah eritosit karena ikan tidak diinfeksi dengan bakteri S. agalactiae tetapi dengan PBS. Pada minggu ke-1 terjadi peningkatan jumlah total eritrosit. Jumlah total eritrosit 5 tertinggi diperoleh pada perlakuan sinbiotik (P3) yaitu sebesar 15,16 + 0,29 (10 sel/mm 3 ). Dari uji lanjut Duncan, perlakuan P3 berbeda nyata dengan semua perlakuan lainnya (Lampiran 6). Selanjutnya berturut-turut dari tinggi ke rendah pada perlakuan dengan penambahan probiotik (P1) sebesar 14,33 + 0,33 (10 5 sel/mm 3 ), perlakuan dengan penambahan prebiotik (P2) sebesar 13,83 + 0,34 (10 5 sel/mm 3 ), perlakuan kontrol negatif (PO-) sebesar 12,08 + 0,53 (10 5 sel/mm 3 ) dan perlakuan kontrol positif (PO+) sebesar 11,72

46 + 0,59 (10 5 sel/mm 3 ). Dari hasil uji statistik, perlakuan P1, P2 dan P3 berbeda nyata dengan PO+ (P<0,05). Jumlah total eritrosit terus meningkat pada minggu ke-2 setelah pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam pakan. Jumlah total eritrosit tertinggi masih diperoleh pada 5 perlakuan P3 yaitu sebesar 27,75 + 1,40 (10 sel/mm 3 ). Selanjutnya berturut-turut dari tinggi ke rendah pada perlakuan P1 sebesar 25,54 + 0,73 (10 5 sel/mm 3 ), perlakuan P2 sebesar 23,80 + 0,64 (10 5 sel/mm 3 ), perlakuan PO (-) sebesar 14,39 + 0,25 (10 5 sel/mm 3 ) dan perlakuan PO (+) sebesar 13,99 + 0,40 (10 5 sel/mm 3 ). Dari hasil uji statistik, pada minggu kedua menunjukkan pola yang sama dengan minggu ke-1 (Lampiran 6). Takashima dan Hibiya (1995), menyatakan ikan normal umumnya memiliki jumlah total eritrosit sebesar x 10 5 sel/mm 3. Jumlah total eritrosit selama pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik masih berada pada kisaran normal. Menurut Sjafei et al. (1989), ketika nilai eritrosit berada dalam kisaran normal, hal ini menandakan bahwa penambahan bakteri probiotik pada perlakuan tidak mengganggu kesehatan ikan. Jumlah total eritrosit ikan nila mengalami penurunan pada minggu ke-3. Pada 5 minggu ke-3, jumlah eritrosit mencapai nilai terendah sebesar 7,69 + 0,3 (10 sel/mm 3 ) yaitu pada perlakuan PO(+) yang merupakan nilai dibawah kisaran normal. Perlakuan P1, P2 dan P3 juga mengalami penurunan jumlah eritrosit, akan tetapi jumlah eritrosit pada ketiga perlakuan ini masih berada pada kisaran normal dan lebih tinggi serta berbeda nyata secara statistik (P<0,05) dibandingkan perlakuan PO(+). Jumlah total eritrosit tertinggi pada minggu ke-3 diperoleh pada perlakuan P3 yaitu sebesar 16,40 + 0,34 (10 5 sel/mm 3 ). Selanjutnya berturut-turut dari tinggi ke rendah pada perlakuan P1 sebesar 15,31 + 0,35 (10 5 sel/mm 3 ), perlakuan P2 sebesar 15,08 + 0,22 (10 5 sel/mm 3 ), perlakuan PO(-) sebesar 15,03 + 0,29 (10 5 sel/mm 3 ). Berdasarkan uji lanjut duncan pada minggu ke-3, terlihat bahwa perlakuan P3, berbeda nyata dengan semua perlakuan dan memberikan nilai terbaik, sedangkan P1, P2, dan PO(-) tidak berbeda nyata. Penurunan jumlah total eritrosit diperkirakan karena ikan mengalami infeksi organ ginjal sebagai akibat serangan bakteri patogen S. agalactiae. Menurut Wedemeyer dan Yasutake (1977), penurunan jumlah eritrosit menunjukkan terjadinya infeksi ginjal, serta rendahnya nilai eritrosit menandakan ikan menderita anemia, sedangkan tingginya jumlah eritrosit (diatas normal) menandakan ikan dalam keadaan stress. Terjadinya kerusakan ginjal diduga akibat toksin yang dikeluarkan oleh bakteri S. agalactiae. Menurut Palacios (2007),

47 salah satu toksin yang dikeluarkan oleh bakteri patogen S. agalactiae adalah hyaluronidase. Toksin ini merupakan enzim yang dapat berfungsi sebagai spreading factor, sehingga dapat memudahkan penyebaran zat-zat toksin lainnya di dalam tubuh inang. Segura dan Gottschalk (2004) menyatakan bahwa toksin lain dari bakteri S. agalactiae adalah superoxide dismutase dan kapsul polisakarida. Superoxide dismutase merupakan toksin yang dapat membuat bakteri S. agalactiae mampu menembus fagosit saat tidak terjadi opsonin, sedangkan kapsul polisakarida merupakan toksin yang mampu menekan aktivitas komplemen sehingga eleminasi bakteri S. agalactiae oleh makrofag jadi terhambat. Toksintoksin ini mempengaruhi ginjal dan menyebabkan infeksi pada ginjal ikan sehingga jumlah total eritrosit yang dihasilkan menurun. Jumlah total eritrosit kembali mengalami peningkatan pada akhir uji tantang (14 hari pasca infeksi). Hal ini diduga karena masa inkubasi bakteri S. agalactiae dalam tubuh ikan sudah menurun. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Evans et al. (2004) bahwa pola kematian ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae 1,5 x 10 5 CFU/ml dapat diamati selama 13 hari. Diduga pada hari tersebut merupakan masa inkubasi bakteri S. agalactiae dalam tubuh ikan nila dan kembali mendekati kondisi normal pada hari ke-14. Pada kondisi ini ikan akan berupaya untuk mengembalikan kondisi tubuhnya pada kondisi normal. Jumlah eritrosit yang meningkat menandakan adanya upaya homeostatis pada tubuh ikan pasca infeksi bakteri patogen. Tubuh memproduksi sel darah lebih banyak untuk menggantikan eritrosit yang mengalami penurunan akibat infeksi bakteri patogen. Sama seperti pada minggu sebelumnya, pada minggu ke-4 jumlah eritrosit tertinggi diperoleh pada perlakuan P3 yaitu sebesar 25,98 + 1,79 (10 5 sel/mm 3 ) dan jumlah terendah pada perlakuan PO (+) yaitu sebesar 11,26 + 0,25 (10 5 sel/mm 3 ). Berdasarkan uji Anova dan uji lanjut duncan semua perlakuan berbeda nyata dengan PO(+) (P<0,05).

48 4.3.2 Hemoglobin (Hb) Berdasarkan pengamatan terhadap parameter darah dalam penelitian, kadar hemoglobin di dalam darah cukup bervariasi. Kadar hemoglobin dalam darah selama penelitian disajikan pada Gambar 8 dan Lampiran Hemoglobin (g %) Minggu Ke- P0+ P0- P1 P2 P Gambar 8. Kadar hemoglobin ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) Hasil pengamatan terhadap kadar hemoglobin selama penelitian menunjukkan bahwa kadar hemoglobin dalam darah berkorelasi positif dengan nilai total eritrosit. Menurut Fujaya (2004), ada korelasi yang kuat antara hemoglobin, sel darah merah dan hematokrit, semakin rendah jumlah sel-sel darah merah, maka semakin rendah pula kandungan hemoglobin dalam darah. Kadar rata-rata hemoglobin masing-masing perlakuan sama pada awal penelitian (minggu ke-0) yaitu sebesar 10,33 + 0,31 (g%). Kadar Hb mengalami kenaikan pada minggu ke-1 dan terus meningkat pada minggu ke-2 (14 hari setelah pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik). Pada minggu ke-1 kadar Hb tertinggi diperoleh pada perlakuan P3 yaitu sebesar 11 (g%). Selanjutnya berturut-turut dari tinggi ke rendah pada perlakuan P1 sebesar 10,9 (g%), perlakuan P2 sebesar 10,75 (g%), perlakuan PO (+) sebesar 9,75 (g%) dan perlakuan PO (-)

49 sebesar 9,7 (g%). Dari hasil uji statistik perlakuan P1, P2 dan P3 memberikan pengaruh nyata terhadap kadar Hb ikan (P<0,05). Kadar Hb terus meningkat pada minggu ke-2 setelah pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam pakan. Kadar Hb tertinggi masih diperoleh pada perlakuan P3 yaitu sebesar 11,1 (g%). Selanjutnya berturut-turut dari tinggi ke rendah pada perlakuan P1 sebesar 11,03 (g%), perlakuan P2 sebesar 11 (g%), perlakuan PO (-) sebesar 10,6 (g%) dan perlakuan PO (+) sebesar 10,3 (g%). Dari hasil uji statistik perlakuan P1, P2 dan P3 memberikan pengaruh nyata terhadap kadar Hb ikan (P<0,05). Dari hasil uji lanjut duncan perlakuan P1, P2 dan P3 berbeda nyata dengan perlakuan PO (+) dan PO(-). Hardi (2011), menyatakan ikan nila normal umumnya memiliki kadar Hb sebesar 10-11,1 (g%). Kadar Hb ikan selama pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik masih berada pada kisaran normal. Wedemeyer dan Yasutake (1977) menyatakan bahwa nilai hemoglobin yang berada pada kisaran normal (baik) mengindikasikan bahwa terdapat cukup oksigen yang terikat dalam darah sehingga menggambarkan kesehatan ikan berada pada kondisi yang baik pula. Pada minggu ke-3 (7 hari pasca uji tantang dengan S. agalactiae) kadar hemoglobin mengalami penurunan yang cukup drastis. Pada minggu ke-3 ini kadar hemoglobin mencapai nilai terendah selama penelitian. Kadar rata-rata hemoglobin terendah yaitu terdapat pada perlakuan PO(+) sebesar 4,2 (g%), merupakan kadar yang berada dibawah kisaran nilai hemoglobin normal ikan nila. Dari uji statistik nilai Hb pada PO(+) berbeda nyata dengan perlakuan P1, P2 dan P3 (P<0,05). Kadar Hb yang rendah menandakan bahwa ikan nila yang diinfeksi dengan S. agalactiae mengalami gangguan dalam eritrosit darahnya. Adanya toksin S. agalactiae mempengaruhi kestabilan Hb. Infeksi organ ginjal menyebabkan rendahnya produksi sel darah merah sehingga ikan terkena anemia dan menurunnya kadar Hb dalam darah ikan. Blaxhall (1972) mengatakan, bahwa kadar Hb yang rendah merupakan indikator bahwa ikan terkena anemia. Ikan nila yang mengalami anemia tidak mampu menyerap besi dalam jumlah yang cukup untuk membentuk hemoglobin. Pada kondisi ini maka akan terbentuk sel darah merah yang mengandung hemoglobin dalam jumlah yang sedikit. Pada minggu ke-4, kadar Hb cenderung kembali naik pada kondisi normal. Akan tetapi pada perlakuan PO (+), nilai Hb masih berada dibawah kisaran normal yaitu sebesar 5,7 + 0,6 (g%). Hal ini diduga karena kondisi infeksi organ dan jaringan ikan pada perlakuan PO(+) sudah cukup parah sehingga mengalami kesulitan untuk melakukan recovery Hb darahnya. Sedangkan kadar

50 Hb tertinggi diperoleh pada perlakuan P3 yaitu sebesar 11,35 + 0,5 (g%). Dari hasil Anova dan uji lanjut duncan perlakuan PO (+) berbeda nyata dengan semua perlakuan lainnya (P<0,05) Hematokrit (He) Persentase hematokrit berguna untuk melihat kondisi kesehatan ikan yaitu dengan melihat persentase nilai volume eritrosit. Hasil pengukuran He pada penelitian ini disajikan pada Gambar 9 dan Lampiran Kadar Hematokrit (%) PO(+) P(-) P1 P2 P Minggu ke- Gambar 9. Kadar hematokrit ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) Hasil pengamatan kadar hematokrit masing-masing perlakuan pada awal penelitian (minggu ke-0) sama yaitu sebesar 22,22 + 0,51 %. Hal ini terjadi karena pada minggu ke-0 ikan belum diberi perlakuan. Pola kadar He selama penelitian hampir sama dengan jumlah eritrosit dan kadar Hb, karena terdapat korelasi yang kuat dari ketiga komponen penyusun darah ini. Pada minggu ke-1 dan ke-2 kadar He meningkat, lalu terjadi penurunan pada minggu ke-3 dan kemudian naik kembali pada minggu ke-4. Selama penelitian nilai kadar He cukup berfluktuasi, kadar He tertinggi selama penelitian terdapat pada minggu ke-2 yaitu pada perlakuan P3 sebesar 36,38 + 1,33 %. Dari hasil pengamatan selama 4 minggu, perlakuan P3 memiliki kadar He tertinggi dan berbeda

51 nyata dengan perlakuan PO(+) (P<0,05). Hal yang sama juga terjadi pada minggu ke-3, hasil uji lanjut duncan menunjukkan nilai He pada perlakuan P3 berbeda nyata dengan perlakuan PO(+), P1 dan P2, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan PO(-), karena perlakuan ini tidak diinfeksi dengan bakteri patogen tetapi hanya dengan PBS. Kadar He perlakuan P1 dan P2 tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan perlakuan PO(+) (P<0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik memberikan pengaruh yang baik terhadap kadar He darah ikan nila walaupun mendapat infeksi bakteri patogen, karena nilai He pada perlakuan P1, P2 dan P3 masih berada pada kisaran normal. Kadar He terendah selama penelitian terdapat pada minggu ke-4 yaitu pada perlakuan PO(+) sebesar 10,63 + 1,38 %. Dari hasil uji Anova, nilai pada perlakuan PO(+) di minggu ke-4 ini berbeda nyata dengan semua perlakuan lainnya (P<0,05). Kadar He pada perlakuan PO(+) ini berada di bawah kisaran kadar He normal ikan nila. Diduga penurunan kadar He terjadi karena bertambah luasnya kerusakan jaringan dan organ pada ikan akibat virulensi bakteri S. agalactiae yaitu berupa produk ekstraseluler yang dihasilkannya. Bakteri S. agalactiae memiliki sifat septicemia yaitu mampu menyebar melalui aliran darah, sehingga dapat dengan cepat mencapai organ target dan mengembangkan faktor virulensinya. Kadar He yang rendah pada perlakuan PO(+) juga disebabkan ikan kehilangan nafsu makan sebagai salah satu akibat serangan bakteri S. agalactiae. Rendahnya nafsu makan menyebabkan ikan kekurangan nutrisi dan vitamin yang dibutuhkan tubuh ikan. Blaxhall (1972) mengatakan, bahwa kadar hematokrit merupakan indikator bahwa ikan mendapat infeksi, rendahnya kandungan protein pakan dan defisiensi vitamin. Sedangkan kadar He terlalu tinggi (di atas batas normal) menunjukkan ikan ada dalam keadaan stres (Anderson dan Siwicki 1993) Total Leukosit Sel darah putih (leukosit) ikan merupakan bagian dari sistem pertahanan tubuh yang bersifat nonspesifik. Leukosit ikan terdiri dari granulosit dan agranulosit. Lagler et al. (1997) mengungkapkan bahwa granulosit terdiri dari limfosit, monosit dan trombosit sedangkan agranulosit terdiri dari basofil, netrofil dan eiosinofil. Hasil pengamatan terhadap total leukosit disajikan pada Gambar 10 dan Lampiran 7.

52 7 Total Leukosit (10 5 sel/mm 3 ) PO(+) P(-) P1 P2 P Minggu Ke- Gambar 10. Total leukosit ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri patogen S. agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) Hasil pengamatan terhadap total leukosit selama penelitian terlihat mengalami peningkatan pada minggu ke-1 (7 hari setelah pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik) sampai minggu ke-2 (akhir pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik). Dari hasil uji statistik perlakuan P1, P2 dan P3 memberikan pengaruh nyata dibandingkan dengan perlakuan PO(+) dan PO(-) selama penelitian (P<0,05). Berbeda dengan fenomena yang terjadi pada total eritrosit, sebaliknya nilai total leukosit mengalami peningkatan pada minggu ke-3 (pasca uji tantang dengan bakteri S. agalactiae) lalu kembali menurun pada minggu ke-4 (akhir uji tantang). Total leukosit mengalami puncak kenaikan tertinggi pada minggu ke-3 yaitu pada perlakuan P3 yang mencapai 5,73 + 0,81 (10 5 sel/mm 3 ). Nilai ini merupakan nilai tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya, perlakuan P1 sebesar 5,23 + 0,25 (10 5 sel/mm 3 ), P2 sebesar 4,88 + 0,31 (10 5 sel/mm 3 ), PO (+) sebesar 4,75 + 0,21 (10 5 sel/mm 3 ) dan PO(-) sebesar 3,93 + 0,50 (10 5 sel/mm 3 ). Sakai et al. (1995) menyatakan peningkatan jumlah leukosit dapat terjadi sebagai akibat meningkatnya aktivitas pembelahan sel. Pemicu peningkatan aktivitas pembelahan sel ini dapat disebabkan karena terjadinya infeksi bakteri patogen. Infeksi bakteri S. agalactiae menyebabkan ikan mengirimkan leukosit dalam jumlah yang lebih banyak ke areal infeksi sebagai upaya pertahanan tubuh terhadap

53 serangan bakteri. Sel-sel leukosit tersebut bekerja sebagai sel yang memfagosit bakteri agar tidak berkembang serta menyebarkan faktor virulensinya di dalam tubuh inang. Hal inilah yang menyebabkan sering ditemukan jumlah total leukosit meningkat pasca infeksi bakteri patogen. Pada akhir pengamatan yaitu pada minggu ke-4, total leukosit cenderung turun, namun dari hasil uji statistik perlakuan P1, P2 dan P3 tetap memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan PO(+) (P<0,05). Penurunan total leukosit pada minggu ke-4 ini menandakan bahwa infeksi bakteri S. agalactiae mulai berkurang sehingga leukosit yang diproduksi oleh tubuh untuk memfagosit dan mengeliminir bakteri patogen menjadi lebih sedikit. Dari hasil yang diperoleh, membuktikan bahwa total leukosit ikan yang terkena infeksi lebih tinggi dibandingkan total leukosit ikan dalam keadaan normal Diferensial leukosit Diferensial leukosit diperoleh berdasarkan hasil pengamatan dan identifikasi terhadap preparat ulas darah ikan. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada penelitian ini leukosit yang ditemukan atau teridentifikasi terdiri atas limfosit, monosit dan neutrofil. a. Limfosit Secara morfologi, limfosit berupa sel darah kecil dengan nukleus yang besar (menempati bagian terbesar dari sel) tidak bergranula dan dikelilingi sejumlah kecil sitoplasma (Chinabut et al. 1991; Takashima & Hibiya 1995). Limfosit merupakan proporsi sel darah putih terbanyak (Takashima & Hibiya 1995). Hasil persentase jumlah limfosit yang terukur selama penelitian disajikan pada Gambar 11 dan Lampiran 7

54 Jumlah Limposit (%) Minggu Ke- PO (+) PO (-) P1 P2 P3 Gambar 11. Persentase jumlah limfosit ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri S.agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) Persentase jumlah limfosit yang terukur selama penelitian lebih tinggi dari pada monosit dan neutrofil. Berdasarkan gambar diatas terlihat bahwa persentase jumlah limfosit mengalami peningkatan dari persentase jumlah limfosit ikan pada keadaan normal. Persentase jumlah limfosit tertinggi selama penelitian diperoleh pada pengamatan minggu ke-2 pada perlakuan P3 sebesar 83,18 + 1,18 %. Peningkatan limfosit berperan cukup besar terhadap peningkatan respon imun atau ketahanan tubuh ikan terhadap infeksi. Limfosit tidak bersifat fagositik namun memegang peranan penting dalam pembentukan antibodi (Baratawidjaja, 2006). Persentase jumlah limfosit mengalami penurunan pada minggu ke-3 dengan nilai terendah terdapat pada perlakuan P3 sebesar 77,85 + 1,26 %. Penurunan persentase jumlah limfosit ini terjadi karena pasca infeksi terjadi peningkatan persentase jumlah monosit dan neutrofil, karena ketiga komponen sel darah putih ini saling mempengaruhi. Ketika terjadi infeksi, terjadi alih fungsi yaitu respon imun yang bekerja terlebih dahulu adalah respon imun non spesifik berupa aktivitas fagositosis yang dilakukan oleh monosit dan neutrofil (Iwama, 1996). Selain itu penurunan jumlah limfosit ini juga disebabkan karena terjadi gangguan pada fungsi organ penghasil limfosit. Menurut Fujaya (2004), limfosit yang bersirkulasi dalam darah dan jaringan berasal dari timus dan organ limfoid perifer seperti ginjal dan limpa. Kerusakan pada organ penghasilnya ini akan menghambat pembentukan

55 limfosit. Kekurangan limfosit dapat menurunkan konsentrasi antibodi dan dapat meningkatkan serangan penyakit. Namun demikian, penurunan persentase jumlah limfosit dalam penelitian ini masih berada pada kisaran persentase jumlah limfosit ikan normal. Blaxhall (1972) menyatakan bahwa limfosit ikan secara umum berjumlah 71,12-82,88 % dari total leukosit. Limfosit merupakan sel-sel respon pertahanan tubuh yang penting dan diklasifikasikan ke dalam 2 subklas : sel B (respon imun spesifik humoral) dan sel T (respon imun spesifik seluler). Sel B mempunyai kemampuan untuk bertransformasi menjadi sel plasma yaitu sel yang memproduksi antibodi (Almendras & Catap 2002). Menurut Baratawidjaja (2006), bila sel B dirangsang oleh benda asing, sel tersebut akan berproliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi ini berfungsi sebagai pertahanan terhadap infeksi ekstraselular atau bakteri serta menetralisir toksinnya. Berbeda dengan sel B, sel T terdiri atas beberapa sel subset dengan fungsi yang berlainan salah satunya adalah sel Th1 yang berfungsi mengaktifkan makrofag (monosit) untuk menghancurkan mikroba patogen serta memusnahkan sel yang terinfeksi. b. Monosit Persentase jumlah monosit ikan nila yang terukur selama pengamatan dalam penelitian cukup berfluktuasi, khususnya pasca uji tantang dengan bakteri S. agalctiae. Hasil jumlah monosit selama penelitian disajikan pada Gambar 12 dan Lampiran 7.

56 14 12 Jumlah Monosit (%) PO (+) PO (-) P1 P2 P Perlakuan Gambar 12. Persentase jumlah monosit ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri S. agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) Berdasarkan gambar diatas, terlihat bahwa peningkatan nilai monosit secara signifikan terjadi pada minggu ke-3 dengan nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan P3 sebesar 11,41 + 0,85 %. Peningkatan persentase jumlah monosit ini menunjukkan terjadinya peningkatan respon imun akibat serangan bakteri patogen berupa peningkatan aktifitas fagositosis. Monosit merupakan sel-sel fagositik selain neutrofil yang juga berfungsi sebagai sistem pertahanan tubuh nonspesifik. Menurut Fujaya (2004), monosit merupakan sel yang lebih kuat dalam memfagosit partikel atau antigen dibandingkan dengan neutrofil. Monosit yang berdiferensiasi menjadi makrofag di jaringan bahkan mampu memfagosit partikel yang berukuran lebih besar dan dalam jumlah yang banyak hingga 100 bakteri. Peningkatan monosit ini juga merupakan indikasi bahwa pada minggu ke-3 (7 hari pasca uji tantang) jumlah bakteri S. agalactiae yang menyerang ikan berjumlah lebih banyak dibandingkan minggu ke-4 sehingga tubuh ikan memproduksi monosit lebih tinggi untuk melawan serangan bakteri S. agalactiae. Monosit ikan berbentuk bulat atau oval, intinya terletak di tengah sel dengan sitoplasmanya tidak bergranula (Takashima dan Hibiya 1995). Monosit mampu masuk ke jaringan dan berdiferensiasi menjadi makrofag. Peran monosit sangat penting sebagai sel fagosit utama dalam menghancurkan berbagai patogen yang menyerang dan berperan pula

57 sebagai antigen presenting cells (APC) yang berfungsi untuk menyajikan antigen kepada sel limfosit (Kresno, 2001; Kollner et al. 2002). Menurut Baratawidjaja (2006), monosit berasal dari sel progenitor umum dalam sumsum tulang. Setelah berproliferasi dan matang, sel ini akan masuk kedalam peredaran darah. Monosit tidak hanya menyerang mikroba dan sel kanker tetapi juga memproduksi sitokin, mengerahkan pertahanan sebagai respons terhadap infeksi, berperan dalam remodeling dan perbaikan jaringan, serta merupakan sumber beberapa komplemen penting. c. Neutrofil Chinabut et al. (1991) menyebutkan bahwa neutrofil berbentuk bulat dengan inti dapat memenuhi sebagaian ruang sitoplasma dan terdapat granula dalam sitoplasmanya. Seperti halnya monosit, sel neutrofil berperan pula dalam respon nonspesifik dengan melakukan fagositosis untuk menyingkirkan mikroorganisme patogen yang menyerang (Kresno, 2001; Kollner et al. 2002). Selain neutrofil terkadang dapat pula ditemukan granulosit lainnya yakni basofil dan eosinofil (Ferguson, 1989). Dari hasil pengamatan selama penelitian dilakukan, persentase jumlah neutrofil mengalami fluktuasi yang berbeda dengan monosit dan limfosit. Hasil pengukuran persentase jumlah neutrofil dalam darah selama penelitian disajikan pada Gambar 13 dan Lampiran 7. Jumlah Neutrofil (%) Minggu Ke- PO (+) P (-) P1 P2 P3 Gambar13. Persentase jumlah neutrofil ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri S.agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4)

58 Berdasarkan Gambar diatas terlihat persentase jumlah neutrofil pada minggu ke-3 lebih rendah dibandingkan dengan minggu ke-1. Hal ini diduga karena ketika pengukuran, yang sedang berperan dalam aktivitas pertahanan didominansi oleh sel monosit. Hasil ini terlihat dari jumlah monosit tertinggi diperoleh pada minggu ke-3 (Gambar 12). Hasil penelitian ini didukung oleh Iwama (1996), yang menyatakan bahwa ketika awal terjadi serangan bakteri patogen, sel yang pertama kali sampai pada daerah infeksi adalah neutrofil. Neutrofil bergerak lebih cepat dibandingkan dengan monosit dan dapat sampai di daerah infeksi dalam waktu 2-4 jam. Pada saat ini, sel pertahanan atau fagositik didominasi oleh neutrofil. Akan tetapi setelah beberapa jam kemudian (sekitar 7-8 jam) yang mendominasi adalah monosit. Baratawidjaja (2006) menyatakan, sel neutrofil hanya berada dalam sirkulasi kurang dari 48 jam sebelum bermigrasi dan berpindah sangat cepat ke daerah infeksi. Di bawah kondisi normal, populasi neutrofil disimpan untuk keadaan darurat di dalam jaringan limfoid dari ginjal. Ketika terjadi rangsangan sebagai akibat peradangan atau inflamasi, sel akan bermigrasi ke dalam aliran darah dan kemudian masuk ke dalam luka inflamasi. Kemudian bakteri patogen akan difagosit oleh sel tersebut, lalu dimasukkan dalam fagosom yang didalamnya terdapat enzim hidrolase asam, mieloperoksidase dan lisozim yang akan melisis dan mencerna sel bakteri patogen. Pengukuran yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu pada hari ke-7 pasca infeksi sehingga diduga sudah terjadi alih fungsi dari neutrofil digantikan dengan dominansi oleh monosit. Akan tetapi nilai penurunan persentase jumlah neutrofil ini masih berada dalam kisaran normal, sehingga tidak menyebabkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi akibat rendahnya persentase jumlah neutrofil. Menurut Hardi (2011), persentase jumlah neutrofil normal pada ikan nila adalah sekitar 10-18,1 %. Sedangkan persentase jumlah neutrofil terendah selama penelitian ini adalah 10,15 + 0,97 % Indeks Fagositik Hasil pengamatan terhadap aktivitas fagositosis ikan nila selama penelitian disajikan pada Gambar 14 dan Lampiran 7.

59 Indeks Fagositik (%) Minggu Ke- PO(+) P(-) P1 P2 P3 Gambar 14. Persentase indeks fagositik ikan nila selama perlakuan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik (minggu ke-1 dan ke-2) dan pasca uji tantang dengan bakteri S.agalactiae (minggu ke-3 dan ke-4) Salah satu mekanisme respon imun yang dibentuk oleh tubuh ikan dalam mempertahankan diri dari serangan infeksi adalah melalui proses fagositosis. Fagositosis yang efektif dalam invasi patogen secara dini dapat mencegah timbulnya infeksi. Nilai indeks fagositik selama penelitian cukup bervariasi. Berdasarkan hasil uji statistik, nilai indeks fagositik pada perlakuan P1, P2 dan P3 berbeda nyata dengan perlakuan PO(+) (P<0,05). Sebelum dilakukan uji tantang (infeksi) dengan bakeri S. agalactiae nilai indeks fagositik tertinggi terdapat pada minggu ke-2 yaitu pada perlakuan P3 yaitu 35,15 + 1,49 %. Nilai indeks fagositik pada perlakuan P1, P2 dan P3 selama penelitian lebih tinggi dibandingkan perlakuan PO(+). Hal ini menggambarkan bahwa pemberian probiotik, prebiotik dan sinbiotik mampu meningkatkan respon imun ikan nila. Nilai indeks fagositik yang tinggi menggambarkan bahwa ikan memiliki kemampuan memproduksi sel-sel fagosit dalam darah yaitu monosit dan neutrofil lebih banyak, sehingga ketika terjadi paparan mikroorganisme patogen, sel darah siap melakukan proses fagositosis. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Pirarat et al. (2006) bahwa pemberian bakteri probiotik Lactobacillus rhamnosus selama 2 minggu dalam pakan, dapat meningkatkan aktivitas fagositosis pada ikan nila. Puncak tertinggi terjadinya kenaikan nilai indeks fagositik terjadi pada minggu ke-3 (7 hari pasca infeksi S. agalactiae). Pada minggu ke-3 ini, nilai indeks fagositik pada semua

60 perlakuan mengalami peningkatan. Namun perlakuan P1, P2 dan P3 tetap berbeda nyata dengan perlakuan PO(+) (P<0,05). Nilai indeks fagositik tertinggi setelah dilakukan uji tantang juga diperoleh pada perlakuan P3 sebesar 40,86 + 1,6 % yang merupakan nilai tertinggi yang diperoleh selama penelitian. Nilai ini merupakan nilai indeks fagositik yang berada di atas kondisi normal ikan nila. Hasil pengamatan dalam penelitian menunjukkan bahwa persentase indeks fagositik ikan normal sebesar 17,39 + 1,8 %. Anderson (1990) menyatakan bahwa terjadinya peningkatan indeks fagositik mengindikasikan terjadinya peningkatan respon imun berupa peningkatan aktivitas leukosit dalam melawan serangan patogen. Proses fagositosis ini umumnya dilakukan oleh sel-sel fagosit yaitu monosit (mononuclear) dan neutrofil (polimorfonuclear) (Secombes 1996). Fagosit mononuclear (monosit) berasal dari sel progenitor umum dalam sumsum tulang. Setelah berproliferasi dan matang, sel tersebut masuk ke dalam peredaran darah. Sel-sel monosit yang telah masuk dalam pembuluh darah, setelah 24 jam akan bermigrasi dari peredaran darah ke tempat tujuan di berbagai jaringan untuk berdiferensiasi menjadi makrofag. Di dalam jaringan, sel makrofag siap menjalankan fungsinya untuk melakukan fagositik jika terpapar mikroorganisme patogen dan dapat bertahan hidup berbulan-bulan (Baratawidjaja 2006). Sel-sel fagositosis yaitu monosit dan neutrofil dapat mengekspresikan banyak reseptor permukaan yang dapat mengikat mikroba untuk selanjutnya dimakan. Secombes (1996) menyatakan bahwa proses fagositosis dapat terjadi dalam beberapa tahap yaitu pergerakan (kemotaksis), pelekatan partikel (antigen) pada permukaan sel, penelanan yang kemudian terjadi pembentukan fagosom, pemusnahan dan pencernaan. Kemotaksis adalah gerakan fagosit ke tempat terjadinya infeksi sebagai respon terhadap berbagai faktor virulensi bakteri patogen. Sel polimofonuklear bergerak cepat dan sudah berada di lokasi infeksi/lokasi keberadaan bakteri patogen dalam waktu 2-4 jam, sedangkan monosit bergerak lebih lambat yaitu memerlukan waktu sekitar 7-8 jam. Partikel atau antigen yang terpapar akan dikenali oleh sel fagositik, kemudian ditangkap dan ditelan dengan bantuan reseptor pada membran sel. Pada proses penangkapan dibantu oleh komplemen yang menyebabkan terjadinya opsonisasi. Opsonin merupakan molekul besar yang mengikat permukaan mikroba sehingga pergerakan mikroba patogen menjadi lebih lambat dan dapat dikenal oleh reseptor permukaan monosit dan neutrofil sehingga mampu meningkatkan efisiensi proses fagositosis.

61 Bila antigen atau bakteri patogen sudah ditelan, maka membran akan menutup lalu antigen akan digerakkan ke sitoplasma sel dan terbentuk vasikel intraselular (fagosom). Dalam sel fagosit ini, antigen atau bakteri patogen akan didegradasi oleh fagolisosom. Fagolisosom merupakan enzim lisosom yang bersatu dengan fagosom. Selain lisosom penghancuran mikroba intraselular dalam hal ini bakteri patogen dapat pula terjadi karena didalam sel fagosit (monosit dan neutrofil) terdapat berbagai bahan antimikrobial seperti hidrogen peroksida (H 2 O 2 ) dan mieloperoksidase. Tingkat akhir fagositosis adalah pencernaan protein, polisakarida dan lipid serta asam nukleat di dalam sel oleh enzim lisosom (Baratawidjaja 2006). 4.4 Jumlah Total Bakteri di Usus Keberhasilan probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam meningkatkan populasi bakteri di dalam saluran pencernaan ikan nila digambarkan dengan jumlah total bakteri di usus. Hasil pengamatan terhadap jumlah total bakteri di usus ikan nila selama penelitian disajikan pada Gambar 15 dan Lampiran 8. Jumlah bakteri (log CFU/ml) ,34 5,33 5,48 5,53 5,55 a a b b b PO(+) PO(-) P1 P2 P3 Perlakuan Gambar 15. Jumlah total bakteri di usus ikan nila; PO(+). kontrol positif; PO(-). kontrol negatif; P1. probiotik; P2. prebiotik P3. sinbiotik. Huruf superskrip yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0,05). Berdasarkan Gambar 15 terlihat bahwa jumlah total bakteri di usus terendah terdapat pada perlakuan PO(-) yaitu sebesar 5,33 (Log CFU/ml). Sedangkan jumlah tertinggi terdapat pada perlakuan P3 yaitu sebesar 5,55 (Log CFU/ml). Berdasarkan analisis statistik, penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah

62 total bakteri di usus (P<0,05). Hasil uji lanjut Duncan terhadap perlakuan tersebut menunjukkan bahwa antara perlakuan P1, P2 dan P3 masing-masing tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan PO(+) dan PO(-). Dari hasil ini diduga bahwa penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik dalam pakan mampu menstimulir pertumbuhan, aktivitas, dan dominansi bakteri baik di dalam saluran pencernaan ikan nila. Menurut Lisal (2005) bahan yang digunakan sebagai prebiotik sebaiknya merupakan molekul-molekul yang secara eksklusif hanya dapat digunakan oleh bakteri yang menguntungkan atau promotif bagi kesehatan ikan atau inang. Dari hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa bakteri probiotik mampu memanfaatkan prebiotik dengan baik untuk menstimulir pertumbuhannya di dalam usus ikan. Berdasarkan penelitian Putra (2010) menunjukkan bahwa uji secara in vitro ekstrak oligosakarida sebagai prebiotik, mampu menstimulir bakteri probiotik yang sumbernya dari pencernaan ikan nila. Hasil pengamatan terhadap jumlah bakteri di usus, menunjukkan terdapat korelasi positif uji in vitro dan in vivo yaitu jumlah bakterinya sama-sama meningkat. Prebiotik di dalam usus akan difermentasi oleh bakteri probiotik. Hasil dari proses fermentasi ini yaitu berupa short chain fatty acid (SCFA) berupa asam laktat, asam asetat, propionat dan butirat (Merrifield et al. 2010). Produk-produk hasil fermentasi ini dalam bentuk tidak terdisosiasi dalam jumlah yang tinggi dapat mengganggu keseimbangan ph internal sel bakteri patogen atau bakteri yang tidak menguntungkan. Untuk menjaga keseimbangan ph internalnya tersebut, sel bakteri patogen akan bekerja keras untuk mengeluarkan asam berlebih dari dalam sel, sehingga energi untuk metabolismenya menjadi terhambat. Hal ini akan mengakibatkan pertumbuhan bakteri patogen menjadi terhambat, bahkan mengalami lisis bila asam asetat dan asam laktat yang dihasilkan dari produk fermentasi cukup banyak. Dengan demikian jumlah bakteri patogen menjadi menurun dan sebaliknya jumlah bakteri menguntungkan atau promotif bagi kesehatan ikan seperti Bifidobacteria dan Lactobacillus menjadi meningkat (Cummings et al. 2001). Peningkatan jumlah bakteri menguntungkan di dalam saluran pencernaan, akan meningkatkan respon imun ikan. Adapun mekanisme bakteri probiotik di dalam saluran pencernaan pada umumnya dalam meningkatkan respon imun disajikan pada Gambar 16.

63 Gambar 16. Mekanisme peningkatan respon imun oleh bakteri probiotik setelah berinteraksi dengan sistem imun di peyer s patches ( BL. B lymphocytes ; TL. T lymphocytes; MQ. macrophages cells; DC. dendritic cells Dari Gambar di atas terlihat bahwa bakteri probiotik akan berinteraksi dengan sistem imun di dalam saluran pencernaan. Gill et al. (2002) menyatakan bahwa pada mamalia, bakteri probiotik dapat menstimulir respon imun melalui interaksi dengan sistem imun di dalam pencernaan (usus). Mekanisme interaksi bakteri probiotik dan sistem imun dalam usus terjadi pada bagian peyer s patches yaitu bagian yang terletak di antara vili-vili usus yang berbentuk oval dan di dalamnya kaya akan limfosit dan makrofag. Bakteri probiotik akan dibawa oleh sel M menuju peyer s patches yang kemudian akan menstimulasi limfosit B membentuk IgM menjadi IgA dan menstimulasi peningkatan jumlah sitokin (IL-4, IL-6, IL-10, TGF-β dan TNF). Interaksi bakteri probiotik juga akan menstimulasi sel T membentuk sel Th yang akan mengaktifkan makrofag untuk memusnahkan bakteri patogen. Sitokin, IgA dan makrofag yang diaktivasi oleh bakteri probiotik akan dibawa menuju nodus limfoid mesentrik kemudian menuju duktus torasikus lalu masuk ke dalam sirkulasi darah menuju ke seluruh jaringan. Ketika terjadi infeksi, sistem imun yang telah diaktivasi, siap untuk melawan serangan bakteri patogen sehingga virulensi bakteri patogen dapat di tekan bahkan dimusnahkan.

64 IgA yang diproduksi sebagai hasil dari interaksi bakteri probiotik dalam saluran pencernaan merupakan salah satu sel sistem imun yang berperan dalam mencegah dan menetralisir toksin bakteri dengan sel inang. Selain itu IgA dapat mengaglutinasi, mengganggu motilitas (opsonin) dan memudahkan fagositosis. Sedangkan sitokin merupakan protein sistem imun yang membawa pesan kimia dan mengatur interaksi antar sel serta memacu reaktivitas imun. Sitokin dapat merangsang sel-sel imun lain seperti pengerahan leukosit menuju jaringan terinfeksi, misalnya TNF yang dapat mengaktifkan dan mengerahkan neutrofil dan monosit untuk memfagosit dan menyingkirkan mikroba patogen (Baratawidjaja 2006). Nayak (2010) menyatakan bahwa proses probiotik dalam menstimulir respon imun di dalam saluran pencernaan pada ikan, sedikit berbeda dengan mamalia, karena ikan tidak memiliki peyer s patches, sekretori IgA dan sel M yang mentranspor antigen. Akan tetapi secara umum mekanisme probiotik dalam meningkatkan respon imun ikan adalah sama. Walaupun tidak memiliki peyer s patches, di dalam saluran pencernaan ikan banyak ditemukan sel yang berperan atau berfungsi sebagai sistem imun yaitu sel acidophilic granulocytes (AGs), sel Ig +, sel T, makrofag, granulosit dan IgM. Interaksi bakteri probiotik di dalam saluran pencernaan, dapat meningkatkan dan mengaktivasi sel-sel sistem imun tersebut. Sama halnya dengan yang terjadi pada mamalia, sel-sel sistem imun tersebut kemudian akan masuk ke pembuluh darah dan terbawa ke jaringan untuk meningkatkan respon imun di seluruh tubuh ikan. 4.5 Jumlah total S. agalactiae di organ target Kemampuan bakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri S. agalactiae pada ikan nila juga dilihat dari jumlah bakteri S. agalactiae di organ target yaitu otak, ginjal, hati dan mata. Hasil pengamatan terhadap jumlah total bakteri S. agalactiae di organ target disajikan pada Gambar 17 dan Lampiran 9.

65 Jumlah Bakteri (log CFU/ml) PO(+) P1 P2 P3 Perlakuan A Jumlah Bakteri (log CFU/ml) 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0 PO(+) P1 P2 P3 Perlakuan Otak Ginjal Hati Mata B Gambar 17. Total bakteri S. agalactiae di organ target pada minggu ke-3 (A) dan minggu ke-4 (B); PO(+). kontrol positif; PO(-). kontrol negatif; P1. probiotik; P2. prebiotik P3. Sinbiotik Dari hasil pengamatan terhadap organ target selama penelitian, secara umum jumlah bakteri S. agalactiae tertinggi ditemukan di otak pada semua perlakuan. Hal ini terlihat dari gejala klinis yang timbul pasca ikan diinfeksi. Beberapa jam setelah diinfeksi, ikan terlihat menunjukkan gejala berenang abnormal (miring atau tidak seimbang). Bakteri S. agalactiae yang diinfeksikan ke ikan, akan masuk ke dalam pembuluh darah lalu bersama aliran darah terbawa menuju otak. Hernandez et al. (2009) menyatakan bahwa otak adalah target utama

66 dari bakteri S. agalactiae setelah bakteri ini mencapai aliran darah. Lebih lanjut, Hernandez et al. (2009) menyatakan bahwa hasil histopatologi terhadap ikan yang terinfeksi bakteri S. agalactiae, kerusakan ditemukan 71,2% di otak, sisanya adalah di organ ginjal, hati dan mata. Jumlah bakteri terendah selama penelitian diperoleh pada perlakuan P3, di mana pada hari ke-14 pasca infeksi tidak lagi ditemukan bakteri S. agalactiae di semua organ target. Dari hasil ini menunjukkan bahwa probiotik, prebiotik dan sinbiotik mampu menekan jumlah bakteri S. agalactiae di organ. Diduga hal ini berkaitan dengan peningkatan respon imun ikan nila berupa peningkatan jumlah dan aktivitas makrofag di jaringan, sehingga aktivitas fagositosis menjadi lebih tinggi dan jumlah bakteri yang dimusnahkan juga menjadi lebih banyak. 4.6 Histopatologi Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk melihat adanya gangguan pada ikan akibat serangan bakteri patogen adalah dengan pengamatan terhadap perubahan histopatologi. Menurut Hinton dan Lauren (1990), histopatologi merupakan hasil dari adanya perubahan secara biokimia dan fisiologis pada jaringan organisme. Dengan indikator histologik, dapat diketahui perubahan yang terjadi pada ikan sebagai akibat dari perubahan kualitas air, penanganan ataupun karena infeksi patogen Otak Menurut Takashima dan Hibiya (1995), ada lima bagian utama dari otak ikan yaitu telencephalon, diencephalon, mesencephalon, metencephalon dan myelencephalon. Pengaturan keseimbangan berenang ikan di air berada pada bagian metencephalon yaitu pada bagian cerebellum. Hasil pengamatan histopatologi pada organ otak sebagai akibat serangan bakteri S. agalactiae, selengkapnya disajikan pada Tabel 3 berikut:

67 Tabel 3. Perubahan patologis otak ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae Perlakuan Perubahan patologis di otak Hp Ht N D K V PO (+) P P P Ket : Hp. hiperplasia ; Ht. hipertropi ; N. nekrosis ; D. degenerasi ; K. kongesti ; V. vakuolisasi Otak ikan yang diinfeksi dengan S. agalactiae memperlihatkan mengalami ensefalitis yang ditandai dengan adanya kongesti, hipertropi dan vakuolisasi, necrosis dan degenerasi pada perlakuan PO(+). Menurut Cheville (1999) perubahan patologi fokal nekrosis dapat berupa pelunakan jaringan (liquefative) sebagai akibat reaksi enzimatis yang terjadi karena masuknya toksin. Akan tetapi, pada perlakuan P1, P2 dan P3, tidak terjadi vakuolisasi, kongesti, nekrosis dan degenerasi. Gambaran mikroskopis perubahan patologis organ otak yang terjadi pada masing-masing perlakuan disajikan pada Gambar 18 berikut : A D C B E Gambar 18. Histopatologi otak ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae A. hiperplasia ; B. hipertropi ; C. nekrosis, degenerasi ; D. kongesti E. vakuolisasi. 1 bar = 50 µm Dari pengamatan mikroskopik, infeksi S. agalactiae menyebabkan timbulnya degenerasi pada bagian otak pada perlakuan PO(+). Hal ini sesuai dengan pendapat Robert (2010), bahwa infeksi bakterial dapat menyebabkan gangguan metabolisme sel (degenerasi) yang ditandai dengan adanya akumulasi intraseluler dengan ciri mikroskopik berupa banyak sel yang letaknya berdesak-desakan, sel membengkak, warna lebih pucat, ditemukannya vakuola dan nekrosis. Degenerasi pada bagian sel otak ini yang akan menyebabkan ikan kehilangan keseimbangan dalam berenang, gerakan renang berputar dan cenderung

68 kepermukaan. Menurut Hardi (2011), ikan yang menunjukkan berenang whirling secara histopatologi pada otak bagian cerebellum terdapat adanya degenerasi dan nekrosa bagian kranial. Vakuolisasi dari pengamatan mikroskopis terlihat sebagai ruangan yang kosong pada jaringan otak, terjadi akibat kerusakan sel sehingga sel mengalami kehancuran. Vakuolisasi diduga disebabkan infeksi melalui aliran darah kemudian menuju ke otak dan menimbulkan kerusakan pada jaringan penyusun organ tersebut Ginjal Ginjal umumnya terletak antara columna vertebralis dan gelembung renang. Ginjal mempunyai peran sebagai organ ekskresi yang menyaring bahan limbah yang tidak bermanfaat dari darah. Hasil pengamatan histopatologi pada organ ginjal disajikan selengkapnya pada Tabel 4 berikut : Tabel 4. Perubahan patologis ginjal ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae Perlakuan Perubahan patologis di ginjal V Sr Dp D K Hm N PO (+) P P P Ket : V. vakuolisasi ; Sr. sel radang ; Dp. Deposisi protein hilalin ; D. degenerasi ; K. kongesti ; Hm. hemoragi ; N. nekrosis Dari Tabel diatas, terlihat pada perlakuan PO(+) memperlihatkan bahwa ikan yang diinfeksi S. agalactiae mengalami perubahan perubahan patologis berupa hipertropi, hemoragi, degenerasi, kongesti, adanya sel radang dan nekrosis. Pada perlakuan P1, P2, dan P3 juga terjadi hemoragi dan kongesti, namun tidak terjadi sel radang, vakuolisasi, degenerasi dan nekrosis. Gambaran mikroskopis perubahan patologis pada organ ginjal disajikan selengkapnya pada Gambar 19 berikut :

69 A B D C E F G B Gambar 19. Histopatologi ginjal ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae A. ginjal normal ; B. vakuolisasi ; C. sel radang ; D. deposisi protein hialin; E. kongesti; F. degenerasi, nekrosis ; G: hemoragi 1 bar = 50 µm Ginjal merupakan salah satu organ yang aktif dalam melakukan perlawanan terhadap masuknya mikroorganisme asing (patogen) melalui mekanisme makrofag dan sel limfosit di ginjal. Bila terjadi infeksi, maka di dalam ginjal akan terjadi mekanisme perlawanan berupa pembentukan sel darah putih seperti monosit, limfosit dan granulosit. Rombout et al. (2005) meyatakan bahwa pada ikan teleostei, ginjal berperan dalam pembentukan berbagai kelompok sel darah putih seperti monosit dan granulosit (netrofil, basofil dan eosinofil). Serangan bakteri patogen dengan intensitas tinggi menyebabkan ginjal harus menjalankan fungsinya lebih berat sehingga terjadi kerusakan sel. Selain itu bakteri yang berhasil menyerang ginjal akan mengeluarkan eksotoksin yang mampu menyebabkan terjadinya pendarahan atau hemoragi pada organ bagian epitel tubulus. Kerusakan epitel tubulus menyebabkan terhambatnya fungsi reasorbsi protein. Edema interstisialis dan deposit protein pada glomerulus menyebabkan terjadinya glomerulonefritis (peradangan glomerulus) yang ditandai dengan reaksi radang pada glomerulus dengan infiltrasi leukosit dan proliferasi sel, yang diduga disebabkan oleh patogen S. agalactiae yang menginfeksi sel-sel epitel tubulus renalis. Infeksi ini selanjutnya mempengaruhi metabolisme dan proses enzimatis yang menyebabkan terganggunya fungsi

70 normal ginjal sebagai organ ekskresi dan osmoregulasi, hal ini mengakibatkan terganggunya proses fisiologis tubuh ikan bahkan dapat mengakibatkan kematian (Robert 2001) Hati Berdasarkan pengamatan histopatologis terhadap jaringan hati, ditemukan atropi, degenerasi lemak, hipertropi, kongesti dan hemoragi pada perlakuan PO(+). Pada perlakuan P1 dan P2 terjadi kongesti, hemoragi dan hipertropi sedangkan pada perlakuan P3 hanya terjadi hemoragi dan kongesti. Hasil pengamatan histopatologi pada organ hati disajikan pada Tabel 5 berikut : Tabel 5. Perubahan patologis hati ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae Perlakuan Perubahan patologis di hati At Dl Ht K Hm PO (+) P P P Ket : At. Atropi ; Dl. Degenerasi lemak ; Ht. hipertropi ; K. kongesti ; Hm. hemoragi Berdasarkan Tabel diatas terlihat kongesti terjadi pada semua perlakuan. Kongesti ditandai dengan adanya kenaikan jumlah darah di dalam pembuluh darah sehingga terjadi pembendungan. Gambaran mikroskopik berupa kapiler darah tampak melebar penuh berisi eritrosit. Degenerasi lemak yang tampak sebagai vakuola dalam sel hati menunjukkan bahwa dalam tubuh terdapat ketidakseimbangan proses normal yang mempengaruhi kadar lemak di dalam dan di luar jaringan hati akibat gangguan metabolisme. Menurut Cheville (1990) adanya peningkatan pembentukan lipid di dalam sel hati dapat terjadi akibat toksin yang merusak proses metabolisme lemak dengan menghambat kerja enzim sehingga mengakibatkan akumulasi lemak. Gambaran mikroskopis perubahan patologis pada organ hati disajikan selengkapnya pada Gambar 20 berikut :

71 A B C D C F E Gambar 20. Histopatologi hati ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae A. hati normal ; B. atropi ; C. degenerasi lemak ; D. hipertropi E. kongesti, F. hemoragi. 1 bar = 50 µm Radang pada organ hati diindikasikan dengan adanya infiltrasi sel-sel radang, yang menunjukkan bahwa patogen menginfeksi sel-sel hati. Migrasi sel radang adalah indikasi reaksi mekanisme pertahanan terhadap zat toksik yang masuk kedalam tubuh untuk menghancurkan agen infeksi. Menurut Ressang (1984), radang dapat dipicu dan diakibatkan oleh bakteri yang mempunyai potensi mengeluarkan toksin. Kerusakan pada sel hati ditemukan pada semua perlakuan pada minggu ke-3 (7 hari pasca infeksi S. agalactiae). Pada minggu ke-4 kerusakan masih ditemukan pada perlakuan PO(+), akan tetapi tidak ditemukan lagi pada perlakuan P1, P2 dan P3. Hal ini menunjukkan bahwa ikan pada perlakuan tersebut sudah mengalami recovery mendekati kondisi normal Mata Menurut Ferguson (1989), mata ikan terdiri dari beberapa lapisan yaitu retina, choroidal, dan iris. Hasil pengamatan histopatologi terhadap bagian-bagian tersebut disajikan dalam Tabel 6 berikut :

72 Tabel 6. Perubahan patologis mata ikan nila yang diinfeksi S. agalactiae Perlakuan Perubahan patologis di mata Ht Hp V N PO (+) P P P Ket : Ht. hipertropi ; V. vakuolisasi ; Ht. hipertropi ; Hp. Hiperplasia ; N. Nekrosis Berdasarkan Tabel diatas terlihat bahwa pada perlakuan PO (+) ditemukan perubahan patologis berupa hipertropi, hiperplasia, vakuolisasi dan nekrosis. Hipertropi adalah peningkatan volume suatu organ atau jaringan karena pembesaran komponen sel. Hiperplasia adalah peningkatan jumlah sel akan tetapi sel-sel tetap memiliki ukuran yang sama. Meskipun hipertropi dan hiperplasia adalah dua proses yang berbeda, mereka sering terjadi bersama-sama. Menurut Hardi (2011), adanya hipertropi dan hiperplasia pada bagian choroidal menyebabkan ikan mengalami eksoptalmia (mata menonjol baik lateral maupun bilateral). Hipertropi dan hiperplasia terjadi pada perlakuan PO(+) pada minggu ke-3 dan minggu ke-4, namun tidak ditemukan pada perlakuan P1, P2 dan P3. Perubahan yang terjadi pada organ mata sebagai akibat serangan bakteri S. agalactiae umumnya hampir sama dengan perubahan patologikal pada organ otak ginjal dan hati. Perubahan tampak terlihat adanya degenerasi dan nekrosis yang menyebabkan keadaan jaringan memiliki aktivitas rendah dan mati. Kematian sel akibat serangan bakteri S. agalactiae dapat terjadi cukup cepat melalui perubahan pada inti sel dan sitoplasma secara keseluruhan. Nekrosis ditandai dengan inti tampak lebih gelap dan batasan antar sel tampak tidak jelas. Gambaran mikroskopis perubahan patologis pada organ hati disajikan selengkapnya pada Gambar 21 berikut :

73 A B D C E Gambar 21. Histopatologi mata ikan nila yang diinjeksi S. agalactiae A. mata normal ; B. hipertropi ; C. vakuolisasi ; D. hiperplasia E. nekrosis. 1 bar = 50 µm Bakteri S. agalactiae yang berkembang pada organ mata masuk melalui aliran darah dan menghasilkan eksotoksin yang merusak bagian choroidal sehingga terjadi perubahan tersebut. Pada penelitian ini ditemukan pula hemoragi pada perlakuan PO(+), yang menunjukkan bahwa S. agalactiae bersifat septicemia yang mampu menyebarkan faktor virulensinya melalui pembuluh darah dan menuju ke mata. Dari pengamatan makroskopis, gejala kerusakan mata (eksoptalmia) terjadi pada hari ke-4 sampai hari ke-7. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Evans (2006), bahwa kerusakan pada mata ikan nila umumnya terjadi pada hari ke-4 pasca infeksi bakteri S. agalactiae Laju Pertumbuhan Harian dan Konversi Pakan (FCR) Hasil pengukuran laju pertumbuhan bobot harian dan konversi pakan ikan nila yang diberi pakan dengan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik disajikan pada Gambar 22 dan Lampiran 10 serta 11.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Streptococcus agalactiae

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Streptococcus agalactiae II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Streptococcus agalactiae Streptococcus agalactiae dapat menyebabkan neonatal meningitis pada manusia dan mastitis pada beberapa hewan terestrial misalnya pada sapi (Lindahl et

Lebih terperinci

II. METODOLOGI 2.1 Penyediaan Bakteri Probiotik 2.2 Ekstraksi Oligosakarida/Prebiotik

II. METODOLOGI 2.1 Penyediaan Bakteri Probiotik 2.2 Ekstraksi Oligosakarida/Prebiotik II. METODOLOGI 2.1 Penyediaan Bakteri Probiotik Bakteri probiotik yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri NP5, yang merupakan bakteri dari genus Bacillus. Bakteri NP5 ini merupakan bakteri yang

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Pemilihan Ikan Uji dan Bakteri (Patogen dan Probiotik)

METODE PENELITIAN. Pemilihan Ikan Uji dan Bakteri (Patogen dan Probiotik) METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, mulai Januari Juni 2011 di Laboratorium Patologi Ikan, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar, Bogor, Jawa Barat.

Lebih terperinci

METODOLOGI UMUM. KAJIAN ECP BAKTERI S. agalactiae MELIPUTI

METODOLOGI UMUM. KAJIAN ECP BAKTERI S. agalactiae MELIPUTI 15 METODOLOGI UMUM Alur pelaksanaan penelitian Pelaksanaan penelitian secara skematis disajikan pada Gambar 2, yang merupakan penelitian secara laboratorium untuk menggambarkan permasalahan secara menyeluruh

Lebih terperinci

II. METODE 2.1 Rancangan Penelitian 2.2 Isolasi Bakteri Kandidat Probiotik

II. METODE 2.1 Rancangan Penelitian 2.2 Isolasi Bakteri Kandidat Probiotik II. METODE 2.1 Rancangan Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 6 perlakuan dan 2 ulangan pada uji patogenisitas, serta 4 perlakuan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu Pelaksanaan Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2009. Penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan dan Laboratorium Lapangan, Departemen Budidaya

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan Metode Penelitian Persiapan Wadah

III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat 3.2. Alat dan Bahan Metode Penelitian Persiapan Wadah III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga Desember 2007. Bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Lebih terperinci

II. METODOLOGI 2.1 Metode Penelitian Identifikasi Bakteri Uji Peningkatan Virulensi Bakteri Uji

II. METODOLOGI 2.1 Metode Penelitian Identifikasi Bakteri Uji Peningkatan Virulensi Bakteri Uji II. METODOLOGI 2.1 Metode Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua uji utama yaitu uji in vitro dan uji in vivo. Identifikasi dan peningkatan virulensi bakteri uji, penentuan nilai LD 50 (Lethal Dosage

Lebih terperinci

Lampiran 1. Road-map Penelitian

Lampiran 1. Road-map Penelitian LAMPIRAN Lampiran 1. Road-map Penelitian Persiapan Penelitian Persiapan wadah dan ikan uji Bak ukuran 40x30x30cm sebanyak 4 buah dicuci, didesinfeksi, dan dikeringkan Diletakkan secara acak dan diberi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembentukan Organisme Bioflok 4.1.1 Populasi Bakteri Populasi bakteri pada teknologi bioflok penting untuk diamati, karena teknologi bioflok didefinisikan sebagai teknologi

Lebih terperinci

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2011, di

III. MATERI DAN METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2011, di III. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2011, di Laboratorium Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. B.

Lebih terperinci

Tahapan dalam pembuatan tepung segar ubi jalar varietas sukuh dapat dilihat pada diagram berikut ini: Persiapan ubi jalar varietas sukuh

Tahapan dalam pembuatan tepung segar ubi jalar varietas sukuh dapat dilihat pada diagram berikut ini: Persiapan ubi jalar varietas sukuh 36 Lampiran 1 Pembuatan tepung segar ubi jalar varietas sukuh Tahapan dalam pembuatan tepung segar ubi jalar varietas sukuh dapat dilihat pada diagram berikut ini: Persiapan ubi jalar varietas sukuh Pengupasan

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN 2.1 Persiapan Ikan Uji Ikan nila (Oreochromis niloticus) BEST didatangkan dari Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor yang berukuran rata-rata 5±0,2g, dipelihara selama ±

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2011, di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2011, di III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2011, di Laboratorium Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. B. Alat

Lebih terperinci

BAB II. BAHAN DAN METODE

BAB II. BAHAN DAN METODE BAB II. BAHAN DAN METODE 2.1 Kultur Bakteri Pembawa Vaksin Bakteri Escherichia coli pembawa vaksin DNA (Nuryati, 2010) dikultur dengan cara menginokulasi satu koloni bakteri media LB tripton dengan penambahan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan April 2015 di

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan April 2015 di III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan April 2015 di Laboratorium Perikanan Program Studi Budidaya Perairan Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

Prebiotik Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) Lahan Rawa untuk Meningkatkan Kemampuan Antagonistik Bakteri Lactobacillus sp. terhadap Bakteri Vibrio harveyi

Prebiotik Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) Lahan Rawa untuk Meningkatkan Kemampuan Antagonistik Bakteri Lactobacillus sp. terhadap Bakteri Vibrio harveyi Prebiotik Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) Lahan Rawa untuk Meningkatkan Kemampuan Antagonistik Bakteri terhadap Bakteri Vibrio harveyi Prebiotic of Swamp Sweet potatoes (Ipomea batatas L.) for Increasing

Lebih terperinci

II. METODOLOGI 2.1 Persiapan Wadah dan Ikan Uji 2.2 Persiapan Pakan Uji

II. METODOLOGI 2.1 Persiapan Wadah dan Ikan Uji 2.2 Persiapan Pakan Uji II. METODOLOGI 2.1 Persiapan Wadah dan Ikan Uji Wadah yang digunakan dalam penelitian ini adalah bak terpal dengan ukuran 2 m x1m x 0,5 m sebanyak 12 buah (Lampiran 2). Sebelum digunakan, bak terpal dicuci

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur kerja Kemampuan puasa ikan Tingkat konsumsi oksigen Laju ekskresi amoniak

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Prosedur kerja Kemampuan puasa ikan Tingkat konsumsi oksigen Laju ekskresi amoniak II. BAHAN DAN METODE Kegiatan penelitian ini terbagi dalam dua tahap yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahap utama. Penelitian pendahuluan meliputi hasil uji kapasitas serap zeolit, kapasitas serap

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku utama yang digunakan pada penelitian ini adalah rimpang jahe segar yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Aromatik dan Obat (Balitro) Bogor berumur 8

Lebih terperinci

II. METODOLOGI 2.1 Metode Penelitian Karakterisasi Sifat Biokimia dan Fisiologi A. hydrophila Uji Postulat Koch

II. METODOLOGI 2.1 Metode Penelitian Karakterisasi Sifat Biokimia dan Fisiologi A. hydrophila Uji Postulat Koch II. METODOLOGI 2.1 Metode Penelitian 2.1.1 Karakterisasi Sifat Biokimia dan Fisiologi A. hydrophila Pewarnaan Gram adalah salah satu teknik pewarnaan yang penting dan luas yang digunakan untuk mengidentifikasi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni Lokasi penelitian di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni Lokasi penelitian di 23 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2014. Lokasi penelitian di Laboratorium Budidaya Perikanan, Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari - Februari 2010, di Laboratorium

METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari - Februari 2010, di Laboratorium 28 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari - Februari 2010, di Laboratorium Stasiun Karantina Ikan Kelas I Panjang, Bandar Lampung dan Laboratorium Budidaya

Lebih terperinci

JURNAL TEKNOLOGI LABORATORIUM Volume 3 Nomor 2 Tahun 2014

JURNAL TEKNOLOGI LABORATORIUM Volume 3 Nomor 2 Tahun 2014 Pengaruh Penambahan Bakteri Probiotik yang Dipacu dengan Prebiotik Ubi Jalar Terhadap Penurunan Jumlah Bakteri Shigella dysenteriae Secara In Vitro Safitri Nur Rahmi 1, R. Fx. Saptono Putro 2, Suyana 3

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Prosedur Penelitian Isolasi dan Seleksi Bakteri Proteolitik Isolasi Bakteri Proteolitik

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Prosedur Penelitian Isolasi dan Seleksi Bakteri Proteolitik Isolasi Bakteri Proteolitik BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Kegiatan isolasi dan seleksi bakteri proteolitik dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Nutrisi, Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar (BRPBAT) Bogor, kegiatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lele dumbo (Clarias sp.) merupakan ikan air tawar yang banyak dibudidaya secara intensif hampir di seluruh wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan ikan lele dumbo

Lebih terperinci

PEMBERIAN SINBIOTIK DENGAN DOSIS BERBEDA UNTUK MENINGKATKAN KINERJA PERTUMBUHAN DAN RESPON IMUN BENIH IKAN PATIN Pangasius sp. NURLITA ANNISA SARI

PEMBERIAN SINBIOTIK DENGAN DOSIS BERBEDA UNTUK MENINGKATKAN KINERJA PERTUMBUHAN DAN RESPON IMUN BENIH IKAN PATIN Pangasius sp. NURLITA ANNISA SARI PEMBERIAN SINBIOTIK DENGAN DOSIS BERBEDA UNTUK MENINGKATKAN KINERJA PERTUMBUHAN DAN RESPON IMUN BENIH IKAN PATIN Pangasius sp. NURLITA ANNISA SARI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Nila merah (Oreochromis sp.) merupakan salah satu jenis komoditas perikanan air tawar yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Permintaan pasar untuk ikan Nila merah sangat

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Oktober 2013 di

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Oktober 2013 di III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai dengan Oktober 2013 di Laboratorium Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung dan juga di

Lebih terperinci

GAMBARAN DARAH IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DENGAN PENAMBAHAN DOSIS PREBIOTIK YANG BERBEDA DALAM PAKAN

GAMBARAN DARAH IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DENGAN PENAMBAHAN DOSIS PREBIOTIK YANG BERBEDA DALAM PAKAN GAMBARAN DARAH IKAN NILA (Oreochromis niloticus) DENGAN PENAMBAHAN DOSIS PREBIOTIK YANG BERBEDA DALAM PAKAN (Tilapia Blood Parameters with The Addition of Different Dose of Prebiotics in Feed) Riski Hartika

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 17 III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lingkungan Departemen Budidaya Perairan, Institut Pertanian Bogor dan dilaksanakan selama 3 (tiga) bulan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, tahap pertama dilaksanakan di laboratorium bioteknologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad, tahap

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN ORGAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus VIKA YUNIAR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada April 2013 sampai dengan Mei 2013 di laboratorium Nutrisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Imun Tubuh Udang

TINJAUAN PUSTAKA Sistem Imun Tubuh Udang TINJAUAN PUSTAKA Sistem Imun Tubuh Udang Sistem pertahanan tubuh utama pada udang terdiri dari dua bagian yaitu sistem pertahanan tubuh seluler dan sistem pertahanan humoral. Sistem pertahanan seluler

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.) BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan Gejala Klinis Pengamatan gejala klinis pada benih ikan mas yang diinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila meliputi kelainan fisik ikan, uji refleks, dan respon

Lebih terperinci

I. METODE PENELITIAN. Penelitian dan pembuatan preparat ulas darah serta perhitungan hematokrit sel

I. METODE PENELITIAN. Penelitian dan pembuatan preparat ulas darah serta perhitungan hematokrit sel I. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dan pembuatan preparat ulas darah serta perhitungan hematokrit sel darah merah dilakukan pada bulan Juli 2012 di Laboratorium Perikanan Jurusan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Road-map Penelitian

Lampiran 1. Road-map Penelitian LAMPIRAN Lampiran 1. Road-map Penelitian Persiapan Penelitian Persiapan wadah dan ikan uji (15-30 Agustus 2013) Bak ukuran 45x30x35cm sebanyak 4 buah dicuci, didesinfeksi, dan dikeringkan Diletakkan secara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ikan konsumsi yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan mas. Data

I. PENDAHULUAN. Ikan konsumsi yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan mas. Data I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan konsumsi yang dinilai memiliki nilai ekonomis tinggi adalah ikan mas. Data KKP menunjukkan bahwa produksi ikan mas pada tahun 2010 mencapai 282.695 ton, dengan persentasi

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya 3.3. Alat dan Bahan

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya 3.3. Alat dan Bahan 19 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Juni 2010 di Kandang Unit Hewan Laboratorium, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Parameter pada penelitian pembesaran ikan lele ini meliputi derajat kelangsungan hidup, laju pertumbuhan mutlak, laju pertumbuhan harian, perhitungan jumlah bakteri

Lebih terperinci

Sampel air kolam, usus ikan nila dan endapan air kolam ikan. Seleksi BAL potensial (uji antagonis)

Sampel air kolam, usus ikan nila dan endapan air kolam ikan. Seleksi BAL potensial (uji antagonis) Lampiran 1. Diagram Alir Penelitian Sampel air kolam, usus ikan nila dan endapan air kolam ikan. Seleksi BAL potensial (uji antagonis) Str Isolasi dan Karakteristik Bakteri Asam Laktat Isolat Bakteri Asam

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan April sampai dengan bulan Mei 2011, bertempat di kandang pemuliaan ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,

Lebih terperinci

II. METODELOGI PENELITIAN

II. METODELOGI PENELITIAN II. METODELOGI PENELITIAN 2.1 Metode Pengumpulan Data 2.1.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di UPT Laboratorium Biosain dan Bioteknologi Universitas Udayana. Penelitian ini berlangsung

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pendapatan perkapita masyarakat, kebutuhan bahan makanan semakin

PENDAHULUAN. Latar Belakang. pendapatan perkapita masyarakat, kebutuhan bahan makanan semakin PENDAHULUAN Latar Belakang Seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan pendapatan perkapita masyarakat, kebutuhan bahan makanan semakin meningkat, tidak terkecuali pangan asal hewan terutama

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Dendrocalamus asper) dan bambu legi (Gigantochloa ater). Keunggulan dari

I. PENDAHULUAN. (Dendrocalamus asper) dan bambu legi (Gigantochloa ater). Keunggulan dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rebung merupakan salah satu bahan makanan yang cukup populer di masyarakat. Rebung pada pemanfaatannya biasa digunakan dalam kuliner atau makanan tradisional masyarakat

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Yoghurt adalah poduk koagulasi susu yang dihasilkan melalui proses fermentasi bakteri asam laktat Lactobacillus bulgaricus dan Strepcoccus thermophilus, dengan atau tanpa

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan selama 40 hari massa pemeliharaan terhadap benih ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) diketahui rata-rata tingkat kelangsungan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung tepatnya di Laboratorium Pembenihan Kuda

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Data rata-rata parameter uji hasil penelitian, yaitu laju pertumbuhan spesifik (LPS), efisiensi pemberian pakan (EP), jumlah konsumsi pakan (JKP), retensi protein

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen karena dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN A. Materi, Waktu dan Lokasi Penelitian 1. Materi Penelitian Bahan yang akan digunakan meliputi ikan plati, kultur mikroorganisme yang diisolasi dari asinan sawi, Paramaecium sp.,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Persiapan Penelitian Penelitian Pendahuluan Tahap 1 Waktu dan Tempat

METODE PENELITIAN Persiapan Penelitian Penelitian Pendahuluan Tahap 1 Waktu dan Tempat 41 METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri atas 2 tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian inti. Penelitian pendahuluan terdiri atas 2 tahap yaitu uji nilai kisaran (range value test) dan uji

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Teknologi Kimia dan Laboratorium Biondustri TIN IPB, Laboratorium Bangsal Percontohan Pengolahan Hasil

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Itik ini

PENDAHULUAN. Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Itik ini I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Itik Cihateup adalah bangsa itik yang berasal dari Desa Cihateup, Kecamatan Rajapolah, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Itik ini sering disebut sebagai itik

Lebih terperinci

bermanfaat bagi kesehatan manusia. Di dalam es krim yoghurt dapat

bermanfaat bagi kesehatan manusia. Di dalam es krim yoghurt dapat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Menurut Badan Standarisasi Nasional (1995), es krim adalah jenis makanan semi padat yang dibuat dengan cara pembekuan tepung es krim atau dari campuran susu, lemak hewani

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN II. MATERI DAN METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian 1.1. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu Erlenmeyer, 1.2. Bahan beaker glass, tabung

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. UNILA dan Laboratorium Kesehatan Lingkungan Balai Besar Pengembangan dan

III. METODE PENELITIAN. UNILA dan Laboratorium Kesehatan Lingkungan Balai Besar Pengembangan dan III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Oktober 2013 di Laboratorium Budidaya Perikanan Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian UNILA

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Subclass: Telostei. Ordo : Ostariophysi BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Lele Masamo (Clarias gariepinus) Klasifikasi lele masamo SNI (2000), adalah : Kingdom : Animalia Phylum: Chordata Subphylum: Vertebrata Class : Pisces

Lebih terperinci

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG

HAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Jumlah Leukosit Data perhitungan terhadap jumlah leukosit pada tikus yang diberikan dari perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 6. Rata-rata leukosit pada tikus dari perlakuan

Lebih terperinci

PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI

PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian BAB III METODE PENELITIAN A. Desain penelitian Desain penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratoris secara in vitro menggunakan ekstrak daun sirih merah

Lebih terperinci

Pengembangan Produk Tepung Pisang dengan Indeks Glikemik Rendah dan Sifat Prebiotik sebagai Bahan Pangan Fungsional

Pengembangan Produk Tepung Pisang dengan Indeks Glikemik Rendah dan Sifat Prebiotik sebagai Bahan Pangan Fungsional HIBAH KOMPETITIF PENELITIAN SESUAI PRIORITAS NASIONAL BATCH II TAHUN 2009 Pengembangan Produk Tepung Pisang dengan Indeks Glikemik Rendah dan Sifat Prebiotik sebagai Bahan Pangan Fungsional Prof. Dr. Ir.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. (Cr 3+ ). Faktor suhu menggunakan 2 level suhu media yaitu T i (suhu 20±2

III. METODOLOGI. (Cr 3+ ). Faktor suhu menggunakan 2 level suhu media yaitu T i (suhu 20±2 III. METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan bulan Mei hingga November 2006 di Laboratorium Kesehatan Ikan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan Laboratorium

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Induk 3.3 Metode Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 sampai dengan Februari 2010 di Stasiun Lapangan Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, Departemen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur

I. PENDAHULUAN. atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ayam petelur adalah ayam yang mempunyai sifat unggul dalam produksi telur atau ayam yang kemampuan produksi telurnya tinggi. Karakteristik ayam petelur yaitu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif,

II. TINJAUAN PUSTAKA. motil, tidak membentuk spora, tidak membentuk kapsul, aerob, katalase positif, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Aeromonas salmonicida 2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi A. salmonicida A. salmonicida merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang pendek, tidak motil, tidak membentuk spora,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di kandang Fapet Farm dan analisis proksimat bahan pakan dan pemeriksaan darah dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Peternakan

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1 Rancangan Perlakuan Penelitian ini terdiri dari enam perlakuan yang masing-masing diberi 3 kali ulangan. Perlakuan yang diberikan berupa perendaman dengan dosis relhp berbeda yaitu

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Seleksi Bakteri Probiotik Karakterisasi morfologi dan fisiologis kandidat probiotik

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Seleksi Bakteri Probiotik Karakterisasi morfologi dan fisiologis kandidat probiotik II. BAHAN DAN METODE 2.1 Seleksi Bakteri Probiotik 2.1.1 Karakterisasi morfologi dan fisiologis kandidat probiotik Sebanyak 16 jenis bakteri hasil isolasi Ardiani (2011) ditumbuhkan pada media agar Sea

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR SELEKSI DAN PENGUJIAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT PROBIOTIK HASIL ISOLAT LOKAL SERTA KEMAMPUANNYA DALAM MENGHAMBAT SEKRESI INTERLEUKIN-8 DARI ALUR SEL HCT 116 EKO FARIDA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. Mencit yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Laboratorium

BAB 5 PEMBAHASAN. Mencit yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Laboratorium 49 BAB 5 PEMBAHASAN Mencit yang digunakan dalam penelitian diperoleh dari Laboratorium Biokimia Universitas Muhammdiyah Jogjakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24 ekor, di mana tiap kelompok

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan Penelitian

II. BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan Penelitian II. BAHAN DAN METODE 2.1 Bahan Penelitian Ikan nila yang digunakan adalah ikan nila strain BEST yang berasal dari Instalasi Riset Plasma Nutfah, Cijeruk dengan ukuran panjang 4,52±3,9 cm dan bobot 1,35±0,3

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan nila merah (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu komoditas budidaya perikanan yang banyak dikonsumsi, karena dagingnya enak, juga merupakan sumber protein

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian 2.2 Persiapan wadah 2.3 Penyediaan larva ikan patin

II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian 2.2 Persiapan wadah 2.3 Penyediaan larva ikan patin II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan. Rancangan perlakuan yang diberikan pada larva ikan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Sintasan Sintasan pada penelitian ini dibagi dalam dua tahap, yakni setelah 30 hari perlakuan sinbiotik dan setelah uji tantang dengan IMNV selama 12 hari. Nilai

Lebih terperinci

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Pangan Universitas Katolik Soegijapranata pada Agustus 2013 hingga Januari 2014.

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Pangan Universitas Katolik Soegijapranata pada Agustus 2013 hingga Januari 2014. 2. MATERI DAN METODE 2.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Pangan Universitas Katolik Soegijapranata pada Agustus 2013 hingga Januari 2014. 2.2. Materi

Lebih terperinci

Lampiran 1. Penyiapan media bakteri Aeromonas hydrophila

Lampiran 1. Penyiapan media bakteri Aeromonas hydrophila Lampiran 1. Penyiapan media bakteri Aeromonas hydrophila a. Media TSA (Trypticase Soy Agar) Untuk membuat media TSA, dilarutkan 4 gram TSA dalam 100 ml akuades yang ditempatkan dalam erlenmeyer dan dipanaskan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan mas adalah sebagai berikut (Saanin, 1984 dalam Mones, 2008):

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi ikan mas adalah sebagai berikut (Saanin, 1984 dalam Mones, 2008): II. TINJAUAN PUSTAKA A. Ikan Mas (Cyprinus carpio L.) Klasifikasi ikan mas adalah sebagai berikut (Saanin, 1984 dalam Mones, 2008): Kingdom Filum Sub-filum Kelas Ordo Sub-ordo Famili Sub-famili Genus Spesies

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. : Nilai pengamatan perlakuan ke-i, ulangan ke-j : Rata-rata umum : Pengaruh perlakuan ke-i. τ i

METODE PENELITIAN. : Nilai pengamatan perlakuan ke-i, ulangan ke-j : Rata-rata umum : Pengaruh perlakuan ke-i. τ i 13 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Lab. KESDA provinsi DKI Jakarta (analisis kandungan senyawa aktif, Pimpinella alpina), Lab. Percobaan Babakan FPIK (pemeliharaan

Lebih terperinci

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu

Gambar 1 Rata-rata Jumlah Sel Darah Putih Ikan Lele Dumbo Setiap Minggu BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Jumlah Sel Darah Putih (Leukosit) Ikan Lele Dumbo Pada penelitian ini dihitung jumlah sel darah putih ikan lele dumbo untuk mengetahui pengaruh vitamin dalam meningkatkan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorium dengan metode

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorium dengan metode 25 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorium dengan metode difusi Kirby bauer. Penelitian di lakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas

Lebih terperinci

METODOLOGI Waktu dan Tempat Ikan Uji Persiapan Bahan Baku Biji Karet Komposisi TBBK Tidak Diolah TBBK Diolah

METODOLOGI Waktu dan Tempat Ikan Uji Persiapan Bahan Baku Biji Karet Komposisi TBBK Tidak Diolah TBBK Diolah METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan bulan Oktober sampai Desember 2010 yang bertempat di Laboratorium Lapangan dan Teaching Farm Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan

III. METODE PENELITIAN. Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan 18 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan September November 2011 yang bertempat di Laboratorium Bioteknologi Lantai 3 Program Studi Budidaya Perairan Universitas Lampung,

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN A2B2 (37;11) A2B1 (37;9) A1B2 (33;11) Tepung ikan

3 METODE PENELITIAN A2B2 (37;11) A2B1 (37;9) A1B2 (33;11) Tepung ikan 17 3 METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Stasiun Lapang Pusat Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (PSIK IPB) Ancol Jakarta Utara pada bulan Juli Oktober

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui 41 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Uji LD-50 Uji LD-50 merupakan uji patogenitas yang dilakukan untuk mengetahui kepadatan bakteri yang akan digunakan pada tahap uji in vitro dan uji in vivo. Hasil

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III A. Jenis Penelitian METODE PENELITIAN Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental laboratoris secara in vitro menggunakan ekstrak kelopak bunga mawar yang diujikan pada bakteri P. gingivalis

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 21 III. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2011-Juni 2012. Pemeliharaan ikan dilakukan di Pusat Studi Ilmu Kelautan (PSIK), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil yang diperoleh selama pelaksanaan kegiatan penelitian ini meliputi : 1) pengujian kerentanan ikan nila terhadap infeksi bakteri Streptococcus agalactiae; 2) distribusi bakteri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gurame (Oshpronemus gouramy) merupakan jenis ikan konsumsi air tawar, yang sangat disukai oleh masyarakat karena dagingnya yang enak dan tebal. Namun sangat disayangkan

Lebih terperinci

1 Kontrol (S0K) 50, , , ,285 93, , Inokulum (S1I) 21, , , , ,752 2.

1 Kontrol (S0K) 50, , , ,285 93, , Inokulum (S1I) 21, , , , ,752 2. III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Asam Lemak Bebas Rantai Pendek 3.1.1. Profil Asam Lemak Rantai Pendek (Short-Chain Fatty Acid/SCFA) Tabel 2. Profil analisis kandungan asam lemak rantai pendek/short chain

Lebih terperinci

DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU LAMPIRAN

DEPARTEMEN BIOLOGI FMIPA USU LAMPIRAN LAMPIRAN Lampiran 1. Diagram Alir Penelitian Peremajaan Bacillus Isolasi Bakteri Oportunistik Produksi Antimikrob Penghitungan Sel Bakteri Oportunistik Pengambilan Supernatan Bebas Sel Pemurnian Bakteri

Lebih terperinci

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII

SISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK

PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK Vibrio SKT-b MELALUI Artemia DENGAN DOSIS YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP PASCA LARVA UDANG WINDU Penaeus monodon ASRI SUTANTI SKRIPSI PROGRAM

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Alur Kerja Isolasi Bakteri Endofit dari Batang dan Akar Tanaman Dara metode Radu & Kqueen (2002) yang dimodifikasi

LAMPIRAN. Lampiran 1. Alur Kerja Isolasi Bakteri Endofit dari Batang dan Akar Tanaman Dara metode Radu & Kqueen (2002) yang dimodifikasi LAMPIRAN Lampiran 1. Alur Kerja Isolasi Bakteri Endofit dari Batang dan Akar Tanaman Dara metode Radu & Kqueen (2002) yang dimodifikasi Bagian akar dan batang (3-5 cm) Dicuci dengan air mengalir selama

Lebih terperinci