FORMULASI DETERJEN CAIR: PENGARUH KONSENTRASI DEKSTRIN DAN METIL ESTER SULFONAT (MES) Oleh IKA NURIYANA FAUZIAH F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FORMULASI DETERJEN CAIR: PENGARUH KONSENTRASI DEKSTRIN DAN METIL ESTER SULFONAT (MES) Oleh IKA NURIYANA FAUZIAH F"

Transkripsi

1 FORMULASI DETERJEN CAIR: PENGARUH KONSENTRASI DEKSTRIN DAN METIL ESTER SULFONAT (MES) Oleh IKA NURIYANA FAUZIAH F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN FORMULASI DETERJEN CAIR: PENGARUH KONSENTRASI DEKSTRIN DAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh IKA NURIYANA FAUZIAH F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

3 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN FORMULASI DETERJEN CAIR: PENGARUH KONSENTRASI DEKSTRIN DAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh IKA NURIYANA FAUZIAH F Dilahirkan pada tanggal 17 Oktober 1987 di Pati Tanggal Kelulusan : 3 Desember 2009 Menyetujui, Dr. Ir. Mulyorini R, M.Si Dosen Pembimbing I Dr. Indah Yuliasih, STP., M.Si Dosen Pembimbing II

4 INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN FORMULASI DETERJEN CAIR: PENGARUH KONSENTRASI DEKSTRIN DAN METIL ESTER SULFONAT (MES) SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh IKA NURIYANA FAUZIAH F Dilahirkan pada tanggal 17 Oktober 1987 di Pati Tanggal Kelulusan : 3 Desember 2009 Menyetujui, Dr. Ir. Mulyorini R, M.Si Dosen Pembimbing I Dr. Indah Yuliasih, STP., M.Si Dosen Pembimbing II Mengetahui, Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian

5 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Formulasi Deterjen Cair: Pengaruh Konsentrasi Dekstrin dan Metil Ester Sulfonat (MES) adalah karya saya sendiri, dengan arahan dosen. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka pada bagian akhir skripsi ini. Bogor, Desember 2009 Yang membuat pernyataan, Ika Nuriyana Fauziah F

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pati pada tanggal 17 Oktober Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di MI Nihayatur Rogibhin Sundoluhur pada tahun Pada tahun 2002, penulis menyelesaikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 2 Kayen dan pada tahun 2005 penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 2 Pati. Penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapangan pada tahun 2008 di PT. Dua Kelinci dengan judul Mempelajari Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Teh Siti di PT. Dua Kelinci Pati-Jawa Tengah. Penulis melakukan penelitian dengan judul Formulasi Deterjen Cair: Pengaruh Konsentrasi Dekstrin dan Metil Ester Sulfonat (MES) sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dibawah bimbingan Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, M.Si. dan Dr. Indah Yuliasih, STP., M.Si.

7 Ika Nuriyana Fauziah F Formulasi Deterjen Cair: Pengaruh Konsentrasi Dekstrin dan Metil Ester Sulfonat (MES). Di bawah bimbingan Mulyorini Rahayuningsih dan Indah Yuliasih. RINGKASAN Deterjen merupakan campuran dari bahan-bahan khusus untuk menghilangkan kotoran yang menempel pada suatu permukaan. Formulasi deterjen terdiri dari bahan utama yaitu surfaktan. Surfaktan yang banyak digunakan dalam industri deterjen saat ini adalah LAS (Linier Alkylbenzen Sulfonat). LAS berasal dari petroleum sehingga sulit untuk didegradasi oleh bakteri dalam perairan. MES (Metil Ester Sulfonat) merupakan surfaktan yang berbasis minyak kelapa sawit sehingga memiliki beberapa keunggulan dibandingkan LAS. Keunggulan MES diantaranya dapat diperbaharui, biodegradable, dan pada kondisi air sadah kinerja produk pembersih yang dihasilkan lebih baik dibandingkan surfaktan berbasis petroleum. Selain deterjen dengan daya deterjensi yang baik, konsumen juga menginginkan bentuk fisik deterjen yang baik. Oleh karena itu dalam penelitian ini selain mengkaji pengaruh suraktan MES juga mengkaji tentang pengaruh penggunaan pengental untuk menciptakan karakteristik deterjen yang baik. pengental yang digunakan dalam penelitian ini adalah dekstrin. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi MES dan dekstrin terbaik untuk diaplikasikan pada produk deterjen cair. Deterjen cair yang dihasilkan diaplikasikan untuk pencucian pakaian. Konsentrasi terbaik ditentukan berdasarkan sifat fisikokimia dan kinerja dari deterjen cair yang dihasilkan dengan menggunakan software analisa keputusan CDP (Criterium Decision Plus). Pengukuran sifat fisikokimia meliputi ph, viskositas, bobot jenis, dan stabilitas emulsi. Sedangkan pengukuran kinerja dari deterjen cair yang dihasilkan meliputi daya pembusaan, stabilitas busa dan daya deterjensi. Penelitian ini diawali dengan pembuatan surfaktan MES. Selanjutnya dilakukan pembuatan deterjen cair dengan konsentrasi MES 9 %, 11 %, 13 %, dan konsentrasi dekstrin 0 %, 2 %, 3 %, 4 %, serta formula tanpa penambahan MES dan dekstrin sebagai kontrol. Pada tahap berikutnya dilakukan pengukuran sifat fisikokimia dan kinerja produk deterjen cair yang dihasilkan. Pada tahap akhir dilakukan pengukuran karakteristik fisikokimia dan kinerja deterjen cair komersial sebagai pembanding. Berdasarkan analisis pengambilan keputusan maka dipilih deterjen dengan penambahan MES 13% dan dekstrin 2% (A2B3) sebagai produk dengan formulasi terbaik. Nilai karakteristik fisikokimia A2B3 telah memenuhi standar SNI yaitu dengan nilai ph 7,3; viskositas sebesar 46,06 cp; bobot jenis 1,1158 g/ml; total fosfat 1182,45 mg/l; stabilitas emulsi 76,11 %; daya deterjensi 46 FTU; daya pembusaan 170 ml-0,5 menit; serta stabilitas busa 0,65 ml-5,5 menit/0,5 menit.

8 Pengukuran karakteristik fisikokimia dan kinerja produk deterjen cair komersial dilakukan terhadap dua jenis merk, YB dan YM. Nilai pengukuran yang teramati untuk ph berturut-turut menghasilkan nilai ph sebesar 6,01 dan 9,32; viskositas sebesar 7587,5 dan 4000 cp; nilai stabilitas emulsi sebesar 63,22 dan 54,23%; daya pembusaan sebesar 90 dan 80 ml; stabilitas busa sebesar 1 untuk kedua merk; dan nilai daya deterjensi sebesar 37 dan 36 FTU. Analisis terhadap deterjen cair komersial menunjukkan bahwa deterjen cair yang dihasilkan lebih unggul pada nilai stabilitas emulsi, daya pembusaan dan daya deterjensi.

9 Ika Nuriyana Fauziah F Formulation of Liquid Detergent: Dextrins dan Metil Ester Sulfonat (MES) Concentration Influence. Supervised by Mulyorini Rahayuningsih dan Indah Yuliasih. SUMMARY Detergent is a product which produced from mixture of materials. Detergent is a cleaning agent. Formula of detergent consists of main material namely surfactant. Surfactant is recently common to be used in detergent industrial is LAS (Linier Alkylbenzen Sulfonat). LAS is made from petroleum, that is difficult to degrade by bacteria in water. MES (Metil Ester Sulfonat) which is oleochemically based, has few competitive adventages than LAS. It is renewable, biodegradable, high tolerant to hard water and accounted for their superior characteristics than any other surfactants. Detergent which is produced must have good detergency. On the other hand, consumer also likes detergent with high viscosity. Therefore in this research, besides study about influence of MES concentration also study about influence of thickener to be applicated in liquid detergent. Dextrin is the one of thickener that is used in this formula detergent. The objectives of the research is to find the best consentration of MES and dextrin to be applicated in liquid detergent. The best concentration of MES and dextrin was decided by CDP (Criterium Decision Plus) in accordance to its physicochemical characteristics and its performance as laundry detergent. The measurement of physicochemical characteristics comprised of acidity, viscosity, density, and emulsion stability. Resulted liquid detergent s performance was evaluated by means of foaming and cleaning characteristics. The research was preceeded with producing MES. It was followed with applicating MES and dextrin in liquid detergent. The application of MES ranged as follows, 9 %, 11 %, 13 %, and dextrin ranged as follows, 0 %, 2 %, 3 %, 4 %. Blanko is made without addition MES and dextrin concentration in this formulation. The liquid detergents were evaluated for its physicochemical characteristics and performance. The last steps is compare product with commercial liquid detergent. Based on decision making analysis, detergent with MES concentration 13 % and dextrins concentration 2 % (A2B3) as the best formulation of liquid detergent on this research. This product has characteristics that are ph 7,3; viscosity 46,06 cp; density 1,1158 g/ml; phosphate total 1182,45 mg/l; emulsion stability 76,11 %; detergency 46 FTU; foaming power 170 ml-0,5 second; and foam stability 0,65 ml-5,5 second/0,5 second. Two commercial liquid detergent, YB and YM, were choosen as reference. Their measured characteristics are follows: acidity (ph) 6,01 and 9,32; viscosity 7587,5 and 4000 cp; emulsion stability 63,22 and 54,23%; foaming power 90 and 80 ml-0,5 second; foam stability 1 ml-5,5 second/0,5 second for both brands; and detergency 37 and 36 FTU. It was recorded that resulted detergent exhibited higher emulsion stability, foaming power and detergency.

10 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Deterjen merupakan bahan pembersih yang umum digunakan oleh masyarakat, baik oleh rumah tangga, industri, perhotelan, rumah makan, dan lainlain. Berdasarkan bentuknya deterjen yang beredar di pasaran dapat berupa deterjen bubuk, dan deterjen cair. Deterjen cair pada umumnya mempunyai fungsi yang sama dengan deterjen bubuk. Hal yang membedakan keduanya adalah bentuknya, yaitu dalam bentuk bubuk dan cair. Deterjen cair banyak digunakan dalam pembersih alat-alat dapur. Akan tetapi seiring dengan perkembangan zaman, deterjen cair juga banyak diaplikasikan untuk kebutuhan industri, serta pembersih pakaian. Hal tersebut dikarenakan deterjen cair lebih mudah cara penanganannya serta lebih praktis dalam penggunaannya. Deterjen yang beredar di pasaran pada umumnya merupakan deterjen dengan bahan aktif berupa surfaktan LAS (Linier Alkylbenzen Sulfonat) berasal dari petroleum. Masalah yang timbul akibat penggunaan surfaktan LAS adalah masalah biodegradasi. Selama penggunaannya deterjen sulit untuk didegredasi oleh bakteri dalam air, sehingga limbah deterjen tetap berada dalam air, oleh karena itu terjadi akumulasi jumlah deterjen dalam air. Akumulasi deterjen dalam air dapat menjadi sumber pencemaran dalam air. Hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan terutama pada habitat air. Masalah lain yang timbul adalah adanya keterbatasan tersedianya bahan baku LAS yaitu petroleum, karena merupakan sumber daya alam yang tidak terbaharui. Pergeseran zaman ke era produk yang lebih ramah lingkungan mendorong industri untuk menciptakan deterjen yang ramah lingkungan. Penyelesaian terhadap masalah tersebut dapat diatasi dengan menggunakan surfaktan yang berbahan baku oleokimia. Salah satu contoh surfaktan yang berbahan baku oleokimia adalah Metil Ester Sulfonat (MES). MES merupakan surfaktan yang berasal dari hasil sulfonasi metil ester. MES memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan LAS, yaitu; pada kondisi air sadah MES memiliki kemampuan deterjensi yang lebih baik dari pada dibandingkan surfaktan anionik lain. Dengan kata lain, MES memiliki toleransi

11 yang tinggi terhadap keberadaan ion kalsium. Surfaktan MES dibandingkan surfaktan LAS (Linier Alkylbenzen Sulfonat), dengan konsentrasi yang sama memiliki daya deterjensi yang lebih tinggi (Watkins, 2001). Selain itu MES juga lebih bersifat biodegradable. Penelitian ini bermaksud untuk menjawab masalah lingkungan yang ditimbulkan oleh deterjen, dengan formulasi deterjen menggunakan surfaktan MES (Metil Ester Sulfonat) yang lebih mudah didegradasi, diharapkan dapat tercipta deterjen yang ramah terhadap lingkungan. Pada penelitian ini akan dikaji pengaruh konsentrasi surfaktan MES terhadap daya deterjensi deterjen, sehingga deterjen yang dihasilkan mempunyai daya deterjensi yang baik, lebih aman dan ramah lingkungan. Formulasi deterjen cair pada umunya terdiri dari bahan utama yaitu surfaktan, builder, air, serta zat pengental. Formulasi yang tepat dalam pembuatan deterjen cair sangat penting untuk dapat menciptakan produk deterjen cair dengan kualitas yang baik sesuai dengan permintaan konsumen. Selain deterjen dengan daya deterjensi yang baik, konsumen juga menginginkan bentuk fisik deterjen yang baik. Oleh karena itu dalam penelitian ini selain mengkaji pengaruh surfaktan MES juga mengkaji tentang pengaruh penggunaan pengental untuk menciptakan karakteristik deterjen yang baik. Pengental yang digunakan dalam penelitian ini adalah dekstrin. Dekstrin merupakan hasil modifikasi pati dengan cara hidrolisis. Dekstrin banyak dimanfaatkan sebagai sebagai zat pengental dalam industri makan. Dekstrin mempunyai sifat aman untuk dikonsumsi karena berasal dari bahan alami. Selain itu menurut Satterwaite dan Iwinski, (1973) dekstrin merupakan hasil hidrolisis pati dengan asam atau enzim. Hidrolisis pati tersebut akan menghasilkan berat molekul yang lebih kecil dan lebih mudah larut dalam air, terutama air panas. Dalam pembentukan dekstrin juga terjadi transglukosilasi yaitu perubahan ikatan α-d-(1,4)-glukosidik menjadi ikatan α-d-(1,6)-glukosidik. Perubahan ikatan ini menyebabkan dekstrin lebih cepat terdispersi, tidak kental dan lebih stabil dari pati asalnya. 2

12 Sesuai dengan karakteristik dan kelebihan dekstrin yaitu aman, ramah lingkungan, lebih mudah larut dalam air serta lebih stabil dalam suatu larutan, maka penggunaan dekstrin sebagai zat pengental dalam pembuatan deterjen cair, diharapkan dapat meningkatkan sifat stabilitas emulsi dan viskositas deterjen cair yang dihasilkan sehingga sesuai dengan permintaan pasar. Selain itu penggunaan dekstrin diharapkan mendukung terciptanya deterjen yang ramah lingkungan. Hal tersebut dikarenakan dekstrin merupakan hasil modifikasi pati yang dapat didegradasi dengan baik oleh bakteri di lingkungan. B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi penggunaan dekstrin dan surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) terhadap karakteristik serta daya kerja deterjen cair. 3

13 II. TINJAUAN PUSTAKA A. DETERJEN CAIR Deterjen cair didefinisikan sebagai larutan surfaktan yang ditambahkan bahan-bahan lain untuk memberikan warna dan aroma yang diinginkan, dan juga untuk menyesuaikan viskositas dan mempertahankan karakteristik aslinya selama masa penyimpanan hingga penggunaan (Woolat, 1985). Bhairi (2001), menambahkan deterjen merupakan molekul amfipatik, yaitu suatu senyawa yang mengandung gugus polar dan nonpolar, sehingga dikenal juga sebagai surfaktan karena dapat menurunkan tegangan permukaan air. Berdasarkan gugus hidrofiliknya, deterjen secara umum diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu; 1. Deterjen ionik, memiliki gugus muatan yang terdiri dari deterjen anionik bermuatan negatif dan deterjen kationik bermuatan positif. Deterjen ini efisien untuk memecah ikatan protein-protein. 2. Deterjen nonionik, tidak memiliki muatan, secara umum deterjen ini lebih baik untuk memecah ikatan lemak-lemak atau lemak-protein dibandingkan dengan ikatan protein-protein. 3. Deterjen zwitterionik, merupakan kombinasi antara deterjen ionik dengan deterjen nonionik. Deterjen cair merupakan suatu emulsi yang terdiri dari bahan-bahan dengan tingkat kepolaran yang berbeda. Untuk memformulasikan komponenkomponen deterjen cair di dalam formula tunggal diperlukan suatu sistem emulsi dengan karakteristik yang baik. Menurut Schueller dan Ramanowsky (1998) emulsi adalah sistem heterogen dimana terdapat sedikitnya satu jenis cairan yang terdispersi di dalam cairan lainnya dalam bentuk droplet-droplet kecil. Emulsi dapat distabilkan oleh molekul-molekul surfaktan yang membentuk agregat melalui pembentukan lapisan pelindung antara fase terdispersi dan pendispersi. Sedangkan menurut Suryani et. al. (2000) sistem emulsi mampu mencampurkan berbagai macam bahan yang memiliki perbedaan kepolaran ke dalam satu campuran yang homogen. 4

14 Di dalam SNI ( ), deterjen cair dikategorikan sebagai pembersih berbentuk cair yang dibuat dari bahan dasar deterjen dengan penambahan bahan lain yang diizinkan dan digunakan untuk mencuci pakaian serta alat dapur, tanpa menimbulkan iritasi kulit. Terdapat dua kelompok deterjen cair, yaitu yang digunakan dalam pencucian pakaian (kelompok P) dan yang digunakan dalam pencucian alat-alat dapur (kelompok D). Pada penelitian ini deterjen yang dihasilkan akan diaplikasikan untuk keperluan mencuci pakaian. Standar SNI ( ) untuk deterjen cair yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Syarat mutu deterjen cair menurut SNI No. Kriteria Satuan Persyaratan 1 Keadaan: Bentuk Bau dan warna - - Cairan homogen Khas 2 ph 25 o C Bahan aktif % Min Bobot jenis g/ml Total mikroba Koloni/g Maks 1 x 10 5 Sumber : SNI B. METIL ESTER SULFONAT (MES) Metil Ester Sulfonat (MES) merupakan kelompok surfaktan anionik (Matheson, 1996). MES dapat diperoleh melalui reaksi sulfonasi metil ester. Metil ester diperoleh dengan melakukan reaksi esterifikasi terhadap asam lemak atau transesterifikasi langsung terhadap minyak/lemak nabati dengan alkohol (Gervasio, 1996). Minyak/lemak yang digunakan dapat diperoleh dari minyak kelapa sawit (CPO/PKO). Reaksi transesterifikasi minyak/lemak dapat dilihat pada Gambar 1. R COOR + R OH R COOR + R OH Gambar 1. Reaksi transesterifikasi minyak atau lemak (Gervasio, 1996) 5

15 Menurut De Groot (1991) terdapat beberapa pereaksi yang dapat digunakan dalam proses sulfonasi, diantaranya gas SO 3 murni, oleum, asam klorosulfonat, asam sulfat dan NaHSO 3. Selama proses sulfonasi gugus sulfonat dapat terikat di dua tempat pada molekul metil ester, yaitu pada posisi alfa dan gugus ester. Bila SO 3 terikat pada kedua tempat tersebut akan terbentuk disulfonat. Selama berjalannya reaksi disulfonat bertindak sebagai sulfonator bagi metil ester yang belum bereaksi. Hal ini dilakukan dengan cara melepaskan SO 3 dari gugus ester untuk ditangkap oleh metil ester pada posisi alfa membentuk molekul MES (Gervasio, 1996). Reaksi sulfonasi pembentukan metil ester sulfonat (MES) menurut Pore (1983) dapat dilihat pada Gambar 2. Struktur molekul MES menurut Watkins (2001) dapat dilihat pada Gambar 3. O O R CH 2 C OCH 3 + NaHSO 3 R CH C OCH 3 SO 3 Na Gambar 2. Reaksi pembentukan metil ester sulfonat (Pore, 1983) O R CH C OCH 3 SO 3 Na Gambar 3. Struktur molekul metil ester sulfonat (Watkins, 2001) Pada industri deterjen yang berkembang saat ini, surfaktan yang umum digunakan adalah LAS (Linier Alkylbenzen Sulfonat). Namun LAS memiliki kelemahan yaitu sulit untuk di degradasi oleh lingkungan. Beberapa karakteristik yang dimiliki oleh MES adalah sebagai berikut; pada kondisi air sadah MES memiliki kemampuan deterjensi yang lebih baik dari pada dibandingkan surfaktan anionik lain. Dengan kata lain MES memiliki toleransi yang tinggi terhadap keberadaan ion kalsium. Surfaktan MES dibandingkan surfaktan LAS (Linier Alkylbenzen Sulfonat), dengan konsentrasi yang sama memiliki daya deterjensi yang lebih tinggi. LAS merupakan salah satu 6

16 surfaktan yang dihasilkan dari minyak bumi sebagai komponen penyusun deterjen yang banyak digunakan di dunia. (Watkins, 2001) C. DEKSTRIN Dekstrin adalah produk yang dihasilkan dari hidrolisa pati dengan enzim tertentu atau dengan hidrolisa pati secara basah yang dikatalis dengan asam (Satterthwaite dan Iwinski, 1973). Menurut Acton (1979), dekstrin adalah produk degradasi pati sebagai hasil hidrolisis tidak sempurna pati dengan katalis asam atau enzim pada kondisi yang dikontrol. Dekstrin umumnya berbentuk bubuk dan berwarna putih sampai kuning keputihan. Hidrolisa pati akan menghasilkan berat molekul yang lebih kecil dan lebih mudah larut dalam air, terutama air panas. Dalam pembentukan dekstrin juga terjadi transglukosilasi yaitu perubahan ikatan α-d-(1,4)- glukosidik menjadi ikatan α-d-(1,6)-glukosidik. Perubahan ikatan ini menyebabkan dekstrin lebih cepat terdispersi, tidak kental dan lebih stabil dari pada pati asalnya (Satterthwaite dan Iwinski, 1973). Sedangkan menurut Furia (1975) dekstrin merupakan hasil modifikasi pati yang dilakukan dengan memecahkan ikatan glukosida pada rantai molekulnya. Konversi pati tersebut mengakibatkan terjadinya penurunan viskositas dari pati aslinya, sehingga hasil yang diperoleh dapat dipergunakan pada konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati aslinya. Menurut Fennema (1985), apabila dekstrin dilarutkan ke dalam air, maka gugus-gugus hidroksil dari monomer-monomer dekstrin (unit-unit D-glukosa) akan membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air di sekitarnya. Gugus hidroksil akan membentuk ikatan hidrogen dengan gugus hidroksil lainnya dari sesama monomer sehingga terbentuk kristal apabila air dihilangkan dengan cepat misalnya dengan proses pengeringan atau penggorengan. Jika dalam suatu bahan terdapat molekul-molekul polar seperti alkohol, ester dan keton (komponenkomponen flavour), maka komponen-komponen tersebut akan menggantikan posisi molekul air dan terperangkap ke dalam matriks yang amorf. Struktur molekul dekstrin dapat dilihat pada Gambar 4. 7

17 Gambar 4. Struktur Molekul Dekstrin (Fennema, 1985) Menurut Lewis (1989), dekstrin merupakan bahan yang aman (Generally Recognize as Safe), tidak beracun dan tidak berbahaya untuk dikonsumsi manusia. Dekstrin berfungsi sebagai thickener dan memperbaiki panampakan produk sehingga sering digunakan sebagai bahan campuran serbuk minuman, permen dan macam-macam kue. Dekstrin termasuk ke dalam bahan pengisi yang dapat menstabilkan, memekatkan, atau mengentalkan suatu larutan untuk membentuk suatu kekentalan tertentu. D. FORMULASI DETERJEN CAIR Formula yang digunakan dalam pembuatan deterjen cair merupakan formula yang berasal dari Matheson (1996) yang telah dimodifikasi dengan menggunakan bahan yang lebih ramah lingkungan dan penggunaan dekstrin sebagai bahan pengental untuk meningkatkan viskositas dan kestabilan emulsi. Formula tersebut menyebutkan bahwa deterjen cair terdiri dari surfaktan, soap, builders, hydrotropes, other (enzymes, bleach, optical brigtener, perfume, coloring). Sedangkan menurut Bird (1983) bahwa bahan baku deterjen terdiri atas surfaktan, builders (zat pembangun), aditif serta enzim. Formulasi deterjen cair menurut Matheson (1996) dapat dilihat pada Tabel 2. 8

18 Tabel 2. Formulasi Deterjen Cair Bahan Konsentrasi Surfaktan 20% - 40% Soap 0% - 5 % Builders 0% - 10% Hydrotropes 5% - 10% Others (enzymes, bleach, optical brigtener, 1% - 2% perfume, coloring) Sumber : Matheson, 1996 Pada penelitian ini, formulasi Matheson (1996) dimodifikasi dengan menggunakan surfaktan yang ramah lingkungan yaitu MES (Metil Ester Sulfonat) dan SLS (Sodium Lauril Sulfat). Pada formulasi ini tidak dipergunakan soap dan hydrotropes. Soap (sabun) pada formulasi ini berfungsi sebagai pembusa dan membantu kerja surfaktan dalam membentuk emulsi. Fungsi sabun dalam formulasi tersebut telah digantikan oleh surfaktan SLS (Sodium Lauril Sulfat). Dalam formulasi ini hydrotropes berfungsi sebagai penstabil larutan deterjen yang terbentuk serta sebagai zat tambahan yang dapat membantu melarutkan bahan-bahan pembuat deterjen yang mempunyai nilai kepolaran berbeda (Matheson, 1996). Pada formulasi yang dikembangkan, hydrotropes tidak digunakan karena pada formulasi tersebut telah ditambahkan dekstrin dan MES yang diduga dapat meningkatkan kestabilan emulsi. 1. Surfaktan Surfaktan merupakan zat aktif permukaan yang mengandung hidrokarbon yang tidak larut dalam air dan hidrokarbon yang larut dalam air. Hidrokarbon yang larut dalam air dikenal dengan gugus hidrofilik, sedangkan hidrokarbon yang tidak larut dalam air disebut gugus hidrofobik/lipofilik (Matheson, 1996). Gugus hidrofobik surfaktan terdiri dari rantai hidrokarbon C 8 -C 18 yang dapat berupa senyawa alifatik, aromatik atau gabungan dari keduanya. Sedangkan gugus hidrofilik surfaktan dapat berupa gugus anionik, kationik atau nonionik. Menurut Ilyani (2002), surfaktan berfungsi menurunkan tegangan permukaan air, sehingga kotoran dapat lepas dari kain. Surfaktan juga berfungsi sebagai 9

19 emulsifier yang dapat menjaga minyak tetap terdispersi dan tersuspensi sehingga minyak tersebut tidak tepisah. Tegangan permukaan merupakan gaya tarik menarik antar molekul dalam sebuah larutan. Setiap molekul dalam jumlah besar saling berikatan dengan molekul-molekul yang berada di dekatnya dengan kekuatan tarik yang sama besar, sehingga menimbulkan suatu lapisan yang memisahkan antara larutan dengan udara (Hargreaves, 2003). Menurut Hargreaves (2003) ketika molekul surfaktan berada di dalam air, gugus hidrofiliknya berikatan kuat dengan molekul air (ikatan antar molekul polar), sedangkan gugus hirofobiknya (non-polar) mempunyai kecenderungan untuk menjauh dari molekul air. Gugus hidrofilik surfaktan bergerak ke permukaan air dan berikatan dengan molekul udara, sehingga membuat tegangan permukaan air menurun. Schuller dan Romanowsky (1998), menyatakan bahwa pada konsentrasi yang cukup molekul-molekul surfaktan beragregat membentuk sebuah struktur spherical yang disebut missel. Pada bentuk ini rantai hidrofobik berorientasi ke dalam missel, sedangkan gugus hidrofilik berorientasi ke luar missel. Pada kondisi tersebut konsentrasi surfaktan disebut dengan konsentrasi missel kritis (KMK) atau critical micelle concentration (CMC). Digunakan surfaktan MES dan SLS dalam formulasi deterjen cair pada penelitian ini. Ilustrasi molekul surfaktan dapat dilihat pada Gambar 5. Hidrofobik Hidrofilik Gambar 5. Ilustrasi molekul surfaktan (Anonim, 2009) SLS adalah surfaktan anionik, dengan viskositas larutannya dapat ditingkatkan dengan penambahan elektrolit (Gervasio, 1996). Pada suhu ruang SLS berbentuk pasta dan tidak berwarna (Cognis, 2003). Surfaktan ini memiliki daya pembusaan yang baik dan lembut terhadap kulit. Beberapa perusahaan di Inggris mengkombinasikan SLS dengan surfaktan anionik lainnya dalam formulasi deterjen cair (Woolat, 1985). 10

20 Pada penelitian ini menggunakan SLS dengan nama dagang Texapon N- 70. Menurut Greenberg, et. al (1954), senyawa ini merupakan campuran garam natrium dari senyawa alkil sulfat primer. Rumus molekulnya adalah C 12 H 25 OSO 3 Na. Senyawa ini berbentuk hablur, berwarna putih atau kuning pucat, bau lemah dan khas, sangat mudah larut dalam air dan larutannya berkabut. Kegunaan senyawa ini adalah sebagai surfaktan, selain itu senyawa ini berguna sebagai bahan pembersih dan pengemulsi. 2. Builders Builders merupakan komponen penting kedua dalam formula deterjen karena berfungsi meningkatkan efisiensi kinerja surfaktan. Fosfat merupakan salah satu builders dalam formulasi deterjen. Sodium tripolifospat (STPP) merupakan salah satu contoh dari fosfat yang paling penting dalam pembuatan deterjen bubuk. Hal ini disebabkan oleh kemampuannya mencegah kain putih menjadi keabu-abuan dan memiliki karakteristik yang memperkuat deterjen dalam mencuci ketika komponen organik deterjen tidak ada. Secara umum fungsi sodium tripolifospat adalah meningkatkan kekuatan menghilangkan dan mengendapkan kotoran dan membantu deterjen memiliki struktur yang baik (Sasser, 2001). Menurut Wittcoff dan Reuben (1980), tujuan penambahan builders adalah untuk mengkelat ion-ion Ca 2+ dan Mg 2+. Builders dalam deterjen akan melindungi/menghalangi redoposisi kotoran akan kembali ke permukaan. Rumus bangun sodium tripolifosfat terlihat pada Gambar 6. _ O P O P O P O 5 Na + Gambar 6. Rumus bangun STPP (Wittcoff dan Reuben 1980) 3. Bleaching Bleaching (pemutih) adalah bahan yang digunakan untuk memutihkan pakaian yang dicuci. Salah satu bahan pemutih yang digunakan dalam formulasi deterjen adalah H 2 O 2 (Hidrogen Peroksida). Menurut Broze (1999) hidrogen 11

21 peroksida mempunyai kecenderungan yang kuat untuk membebaskan oksigen, sehingga dapat digunakan untuk reaksi oksidasi pada suhu yang rendah. Berikut ini adalah persamaan reaksi proses pemutihan: H 2 O 2 + X H 2 O + XO (pigmen teroksidasi) 4. Parfum Parfum merupakan campuran aromatik yang dapat berupa minyak yang berbahan alami, campuran minyak wangi yang berbahan alami dan minyak wangi berbahan sintetis. Pemberian parfum ke dalam deterjen dimaksudkan untuk memberikan aroma yang menyenangkan dan menutupi bau yang timbul pada saat pencucian (Gunter dan Lohr, 1987). Pada umumnya penggunaan konsentrasi parfum maksimal adalah 1.0 persen. E. KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN KINERJA DETERJEN CAIR Sifat fisikokimia emulsi merupakan parameter yang menentukan kualitas system emulsi. Karakteristik fisikokimia adalah nilai ph, viskositas, bobot jenis, dan stabilitas emulsi. Sedangkan untuk menentukan kualitas kinerja produk digunakan analisa terhadap parameter daya pembusaan, stabilitas busa, daya deterjensi. 1. Nilai ph Menurut teori asam-basa Lowry, asam sebagai zat yang mampu menghasilkan proton dan basa sebagai penerima proton. Lebih lanjut proton didefinisikan sebagai atom H yang kehilangan satu elektronnya (H + ) sehingga hanya memiliki satu muatan positif, dengan massa sedikit lebih kecil dibanding atom H. Sedangkan teori asam-basa Lewis, asam sebagai radikal, ion atau molekul yang sanggup menerima elektron (Bird, 1993). Teori Arhenius menyebutkan bahwa senyawa asam sanggup membebaskan ion hidrogen apabila dilarutkan di dalam air. Kekuatan asam (derajat keasaman) ditentukan oleh sifat basa dari pelarut yang digunakan (kemampuan menarik proton). Derajat keasaman adalah fungsi logaritmik dari konsentrasi ion H + di dalam larutan (Respati, 1992). 12

22 2. Viskositas Viskositas atau kekentalan adalah indeks hambatan alir cairan (Bird, 1993; Respati, 1992). Di dalam Kodeks Kosmetika RI (1986), viskositas didefinisikan sebagai tenaga yang diperlukan untuk menggerakkan satu permukaan lain dalam kondisi yang ditentukan, apabila ruang diantaranya diisi oleh cairan tersebut. Definisi lainnya shearing stress yang diberikan dalam luasan tertentu sewaktu diberikan kecepatan dalam gradien normal pada area tersebut (Suryani et. al., 2000). Standar Nasional Indonesia tidak mencantumkan nilai viskositas yang harus dipenuhi oleh produk deterjen cair. Stephan Co., salah satu produsen surfaktan di Amerika menyatakan nilai viskositas sediaan pembersih cair berada didalam kisaran 500 cp hingga 2000 cp. 3. Bobot Jenis Bobot jenis atau densitas didefinisikan sebagai berat suatu cairan per satuan volume (ASTM, 2002). Menurut Waistra (1996) nilai bobot jenis spesifik pada suhu tertentu. Bobot jenis deterjen cair ditentukan oleh bobot jenis komponen-komponen penyusunnya. Perbedaan bobot jenis komponen penyusun sebuah emulsi pada kisaran yang semakin lebar akan menurunkan stabilitas emulsi tersebut dengan meningkatnya kecederungan fenomena creaming. 4. Stabilitas Emulsi Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh suhu, jenis dan konsentrasi emulsifier, kondisi penyimpanan dan aktivitas mikroorganisme. Pada dasarnya nilai stabilitas emulsi terkait dengan kualitas emulsi tersebut dikaitkan dengan waktu. Dengan kata lain berkaitan dengan faktor penyimpanan produk emulsi (Waistra, 1996). 5. Daya Pembusaan Busa adalah agregat dari buih, sedangkan buih merupakan emulsi gas dalam cairan (Stubenrauch et al., 2003; Bird, 1993). Buih-buih yang saling berdekatan membentuk dinding-dinding polihedral yang saling membagi sudut menjadi 120. Formasi tersebut mirip dengan sarang lebah. Dinding yang terbentuk dari cairan ini memisahkan fase gas dalam ruang-ruang polihedral. Pada proses pembersihan oleh deterjen cair, busa berperan dalam mempertahankan kotoran yang lepas di dalam suspensi (SDA-Amerika, 2003). 13

23 6. Stabilitas Busa Busa yang dihasilkan oleh produk deterjen cair juga harus stabil agar bertahan lebih lama selama proses pencucian berjalan. Stabilitas busa dikaitkan dengan penurunan volume busa terhadap faktor aging, yaitu dengan menghubungkan volume busa terhadap waktu. Selain dipengaruhi oleh jenis surfaktan, stabilitas busa dipengaruhi oleh suhu dan laju drainase (Stubenrauch et. al., 2003). 7. Daya Deterjensi Deterjensi adalah proses pembersihan permukaan padat dari benda asing yang tidak diinginkan dengan menggunakan cairan pencuci/perendam berupa larutan surfaktan. Sedangkan deterjen merupakan bahan yang digunakan untuk meningkatkan daya pembersihan oleh air (Hanson, 1992). Proses deterjensi tejadi melalui pembentukan missel-missel oleh surfaktan yang mampu membentuk globula zat pengotor. Proses pelepasan globula zat pengotor terjadi melalui penurunan tegangan antar muka dan dibantu dengan adanya interaksi elektrostatik antar muatan (Hanson, 1992). Gambar mengenai proses pembentukan missel-missel oleh surfaktan dapat dilihat pada Gambar 7. Gambar 7. Proses pembentukan misel-misel oleh surfaktan (Anonim, 2009) Sedangkan menurut Hargreaves (2003) proses deterjensi oleh deterjen adalah sebagai berikut, gugus hidrofobik surfaktan akan berikatan dengan kotoran dan gugus hidrofilik akan berikatan dengan molekul air, sehingga membawa kotoran larut dalam air. Sedangkan pada konsentrasi tinggi surfaktan akan membentuk missel dan kotoran akan di hilangkan dari permukaan kain dengan 14

24 melarutkannya dalam bentuk mikro emulsi. Gambar proses deterjensi dapat dilihat pada Gambar 8. Gambar 8. Proses deterjensi oleh deterjen (Hargreaves, 2003) 8. Kadar Fosfat Fosfat total merupakan jumlah total fosfor, baik berupa partikulat maupun terlarut, anorganik maupun organik. Fosfor anorganik biasanya disebut soluble reactive phosphorus, misalnya ortofosfat. Keberadaan fosfor secara berlebihan yang disertai dengan keberadaan nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan alga di perairan (Effendi, 2006). Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian total fosfat dalam produk deterjen. 15

25 III. METODOLOGI PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Alat yang digunakan adalah hotplate stirrer, reaktor labu leher tiga dan alat sentrifuse. Alat yang digunakan dalam analisis deterjen cair adalah viscosimeter brookfield, spektrofotometer Hach DR 2000, tensiometer Du Nouy, vortex, neraca analitik, ph meter, blender, oven, autoclave, stopwatch dan alatalat gelas. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah air, Metil Ester Sulfonat (MES), SLS (Sodium Lauryl Sulfat), dekstrin, STPP (Sodium Tripolifosfat), hidrogen peroksida, parfum, serta bahan-bahan yang digunakan untuk pengujian yaitu xylene, kecap manis. B. METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, yaitu penelitian pendahuluan yang terdiri dari pembuatan MES dan analisa karakteristik MES yang dihasilkan, tahap kedua adalah penelitian utama yang terdiri dari pembuatan deterjen cair dan analisa sifat fisikokimia dan daya kerja deterjen, tahap ketiga adalah penentuan produk yang terbaik. 1. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan dilakukan untuk membuat Metil Ester Sulfonat (MES) sebagai bahan baku yang mempunyai karakteristik (mampu menurunan tegangan permukaan dan tegangan antar muka) sesuai yang dibutuhkan untuk pembuatan deterjen cair ramah lingkungan. MES dibuat dengan cara reaksi sulfonasi metil ester dengan NaHSO 3. Perbandingan berat antara metil ester dan NaHSO 3 yang digunakan adalah 1:1,5. Reaksi sulfonasi terjadi di dalam sebuah labu reaktor leher empat yang dilengkapi dengan pendingin balik, thermometer, dan rotor sebagai pengaduk. Cara pembuatan MES dilakukan dengan memanaskan metil ester diatas penangas dan terus diaduk dengan kecepatan putaran 1000 rpm. Kemudian pereaksi (NaHSO 3 ) dimasukkan ke dalam reaktor berisi metil ester yang telah bersuhu 40 C sedikit demi sedikit hingga mencapai 16

26 suhu 100 C. Setelah suhu reaksi mencapai 100 C, reaktor didiamkan untuk proses sulfonasi selama 4,5 jam. Pemisahan antara MES dengan residu pereaksi dilakukan dengan sentrifugasi selama 15 menit (Savitri, 2003). Selanjutnya dilakukan pemurnian MES yang dihasilkan dengan menambahkan metanol pada suhu 50 C sebanyak 30 % dari jumlah MES, selama 1,5 jam. Pemurnian MES tersebut dilakukan dengan menggunakan alat rotary evaporator. Kemudian dilakukan pemisahan antara MES dan metanol dengan menguapkan metanol pada suhu antara C selama 15 menit atau hingga tidak ada lagi aliran metanol yang telah terkondensasi. Diagram alir pembuatan MES dapat dilihat pada Gambar 8. Prosedur analisa terhadap penurunan tegangan permukaan dan tegangan antar muka MES, serta ph MES yang dihasilkan disajikan pada Lampiran 1. Metil Ester NaHSO 3 Proses sulfonasi pada kondisi mol reaktan 1:1,5 suhu 100 C Lama reaksi 4,5 jam (1000 rpm) Sentrifugasi 1500 rpm Selama 15 menit NaHSO 3 Metanol Pemurnian Suhu 50 C Selama 1,5 jam Penguapan metanol Suhu C Selama 15 menit Metanol Metil Ester Sulfonat Gambar 9. Diagram Alir Pembuatan Metil Ester Sulfonat (Hidayati, 2008) 17

27 2. Penelitian Utama Pada penelitian ini faktor perlakuan yang diujikan adalah konsentrasi surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) dan konsentrasi dekstrin sebagai bahan pengental. Taraf MES yang digunakan sebesar 9, 11, 13 persen (w/w) terhadap total massa deterjen yang dibuat, sedangkan konsentrasi dekstrin yang digunakan adalah sebesar 0, 2, 3, 4 persen (w/w) terhadap total massa deterjen yang dibuat. Blangko atau kontrol dibuat dengan tidak menambahkan MES dan dekstrin. Tabel formulasi disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Formulasi Deterjen Cair dengan Penambahan MES dan dekstrin Formula Nama Bahan Kontrol M1 M2 M3 MES (%) b/b SLS (%) b/b Dekstrin (%) b/b 0 Ai Ai Ai STPP (%) b/b Parfum (%) b/b Hidrogen Peroksida (%) b/b Air (%) b/b Ai 60- Ai 60- Ai Total Keterangan : Ai = konsentrasi dekstrin ke i (0, 2, 3, 4%) Proses pembuatan deterjen cair dilakukan dengan mencampurkan bahanbahan penyusunnya pada suhu C hingga homogen, dengan keseluruhan proses selama 1-1,5 jam. Proses pertama yang dilakukan dalam pembuatan deterjen cair adalah dengan mencampur SLS, MES, H 2 O 2 dan STPP dan diaduk sampai homogen. Selanjutnya campuran tersebut menjadi sediaan 1. Kemudian dekstrin dan air dicampur hingga homogen dan menjadi sediaan 2. Sediaan 1 dan sediaan 2 dicampur hingga homogen dan terakhir ditambahkan parfum. Diagram pembuatan deterjen secara lengkap disajikan pada Gambar

28 Dekstrin 0; 2; 3; 4 % Aquades q.s SLS 28 % MES 9; 11;13% STPP 10 % H 2O 2 1 % Kocok homogen Sediaan 1 Kocok homogen Sediaan3 Sediaan 2 Parfum 1% Kocok homogen Deterjen Cair Gambar 10. Diagram Alir Pembuatan Deterjen Cair Analisis produk deterjen cair meliputi sifat fisikokimia deterjen cair (ph, viskositas, bobot jenis, stabilitas emulsi) dan daya kerja deterjen cair (daya pembusaan, stabilitas busa, daya deterjensi, serta total fosfat dalam limbah deterjen cair). Prosedur analisa yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran Penentuan Formulasi Terbaik Penentuan formulasi terbaik dilakukan dengan menggunakan software CDP (Criterium Decision Plus) untuk analisa pengambilan keputusan. Analisa pengambilan keputusan bertujuan untuk menentukan sampel terbaik dari deterjen yang telah dibuat. Pengambilan keputusan dilakukan dengan pemberian nilai skor pada masing-masing parameter sifat fisikokimia dan daya kerja deterjen. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian nilai skor pada masing-masing alternatif produk berdasarkan hasil uji lanjut Duncan. 19

29 Pada tahap akhir penelitian dilakukan analisis terhadap deterjen cair komersial pembanding. Produk komersial pembanding yang digunakan adalah YM dan YP. Analisa yang dilakukan meliputi ph, viskositas, bobot jenis, stabilitas emulsi, daya pembusaan, stabilitas busa, daya deterjensi serta total fosfat dalam limbah deterjen cair komersial tersebut. Prosedur analisa terhadap deterjen pembanding sama dengan prosedur pengujian terhadap deterjen cair yang dihasilkan. C. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan dua faktor perlakuan. Faktor yang digunakan adalah konsentrasi dekstrin dan konsentrasi Metil Ester Sulfonat (MES). Percobaan dilakukan dengan dua kali ulangan. Model rancangan percobaan dapat dilihat sebagai berikut: Y = µ + A i + B j + (AB) ij + ε ji (n) Dimana: Y ij = hasil pengamatan terhadap pengaruh dekstrin ke-i dan konsentrasi Metil Ester Sulfonat (MES) ke- j pada ulangan ke - n µ = rata-rata sebenarnya A i = pengaruh konsentrasi dekstrin ke-i B j = pengaruh konsentrasi Metil Ester Sulfonat (MES) ke-j ε ji (n) = galat eksperimen 20

30 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT (MES) Pada penelitian ini surfaktan MES yang dihasilkan berfungsi sebagai bahan aktif untuk pembuatan deterjen cair. MES yang dihasilkan merupakan hasil dari sulfonasi metil ester, yang terbuat dari minyak kelapa sawit, dengan reaktan natrium bisulfit (NaHSO 3 ). Karakteristik MES yang dihasilkan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Karakteristik Metil Ester Sulfonat (MES) Parameter Tegangan permukaan Tegangan antar muka Air sebelum ditambahkan MES Air setelah ditambahkan MES Penurunan 72 mn/m 32,13 mn/m 39,87 mn/m 20,70 mn/m 3,40 mn/m 17,30 ph 4,20 mn/m Bobot jenis 0,87 g/ml Metil Ester Sulfonat (MES) yang dihasilkan mampu menurunkan tegangan air sebesar 39,87 mn/m dan tegangan permukaan air-xylene sebesar 17,3 mn/m. Tegangan permukaan air terbentuk pada suatu cairan dikarenakan adanya gaya tarik menarik antara molekul air dengan kekuatan yang sama. Gaya tarik menarik tersebut menyebabkan terbentuknya lapisan seperti kulit yang memisahkan antara air dan udara. Penurunan tegangan permukaan air akibat penambahan MES, dikarenakan MES menempati ruang-ruang diantara molekul air sehingga melemahkan ikatan hidrogen yang terbentuk antara molekul air. Kedua hasil analisa diatas menunjukkan bahwa surfaktan yang dihasilkan mampu menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar muka air, sehingga layak untuk diaplikasikan pada formulasi deterjen cair yang akan dibuat. Sifat MES yang mempunyai gugus hidrofilik dan hidrofobik menyebabkan penurunan tegangan antar muka air-xylene. Pada larutan antara air dan xylene surfaktan MES yang ditambahkan akan berada di antara molekul-molekul air dan 21

31 berikatan dengan xylene pada gugus hidrofobiknya sehingga terjadi penurunan tegangan antar muka air-xylene. B. KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DETERJEN CAIR 1. Nilai ph Deterjen cair yang dibuat dalam penelitian ini adalah deterjen cair yang digunakan dalam proses pencucian secara manual yaitu dengan tangan, sehingga nilai ph menjadi sifat fisikokimia yang penting untuk diperhatikan. Hal tersebut karena nilai ph mempengaruhi respon kulit saat kontak langsung terhadap deterjen cair pada proses pencucian. Pada ph yang relatif basa atau asam daya adsorpsi kulit menjadi lebih tinggi sehingga memperbesar resiko iritasi kulit. Menurut SNI ph deterjen cair harus berada kisaran 6-8, sehingga aman bagi kulit. Data hasil analisa ph selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Analisa keragaman (Lampiran 4) terhadap ph menunjukkan tidak adanya pengaruh yang nyata dari penambahan MES pada konsentrasi 9, 11, 13 persen, dekstrin pada konsentrasi 0, 2, 3, 4 persen, serta interaksi dari keduanya terhadap penurunan nilai ph deterjen cair. Analisa keragaman dilakukan pada tingkat kepercayaan 95 % (α = 0,05). Nilai ph deterjen cair yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan SNI (Standar Nasional Indonesia) yaitu nilai ph antara 6-8. Nilai ph deterjen cair bersifat netral yaitu antara 7,46-7,28. Nilai ph tersebut aman bagi kulit sehingga deterjen cair yang dihasilkan dapat digunakan dengan aman dan tidak menimbulkan iritasi kulit. Penurunan nilai ph hanya terlihat jelas pada produk tanpa penambahan dekstrin, sedangkan pada konsentrasi dekstrin 2, 3, 4 % tidak terjadi penurunan ph secara jelas. Hal tersebut dikarenakan ada pengaruh dekstrin terhadap nilai ph deterjen cair. Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan nilai derajat keasaman (ph) dapat dilihat pada Gambar

32 PH 8,00 7,80 7,60 7,40 7,20 7,00 batas atas SNI MES 9% MES 11% MES 13% 6, Konsentrasi Dekstrin (%) Kontrol: ph 7,55 Gambar 11. Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan derajat keasaman (ph) Penambahan MES pada pembuatan deterjen cair menyebabkan penurunan ph deterjen dari nilai awal (kontrol) sebesar 7,55. Selain itu berdasarkan uji nilai tengah pada selang kepercayaan 95 %, yang disajikan pada Lampiran 4, nilai ph rata-rata terhadap nilai ph kontrol menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan. Pada analisis tersebut juga dapat disimpulkan bahwa ph produk mengalami penurunan yang berbeda nyata dengan kontrol. Hal tersebut dikarenakan nilai rata-rata populasi produk lebih kecil dari nilai rata-rata kontrol (µ<µ o ). Penurunan nilai ph tersebut menyebabkan nilai ph deterjen semakin mendekati netral, sehingga tingkat kualitasnya lebih baik dari pada kontrol. Penurunan nilai ph oleh konsentrasi MES disebabkan oleh ph MES yang asam. MES yang ditambahkan mempunyai nilai asam yaitu 4,2, sehingga dengan penambahan MES ke dalam deterjen cair menyebabkan peningkatan konsentrasi ion hidronium (H + ) yang akan bereaksi dengan ion hidroksida (OH - ). Reaksi antara kedua ion-ion tersebut membentuk H 2 O (air) yang akan menurunkan nilai ph deterjen cair. Penambahan dekstrin pada konsentrasi 2, 3, 4 % mempengaruhi grafik nilai penurunan ph deterjen cair, sehingga tidak lagi terjadi penurunann ph secara jelas. Hal ini dikarenakan dekstrin mempunyai bentuk struktur molekul spiral helix yang dapat berikatan dengan komponen-komponen ester, keton, dan alkohol. 23

33 MES (Metil Ester Sulfonat) merupakan senyawa ester sehingga ketika bereaksi dengan dekstrin, komponen ester tersebut akan menggantikan posisi molekul air yang membentuk ikatan hidrogen dengan monomer-monomer dekstrin dan terperangkap di dalam matriks yang amorf. Semakin banyak MES yang terperangkap oleh dekstrin akan membuat semakin sedikit ion hidrogen yang terlarut dalam deterjen cair, sehingga penurunan ph akan lebih kecil. 2. Viskositas (Kekentalan) Nilai viskositas dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan alat Viscosimeter Brookfiled pada suhu ruangan. Viskositas merupakan kemampuan suatu cairan untuk dapat mengalir atau dapat juga disebut dengan kekentalan. Nilai viskositas deterjen cair yang dihasilkan berkisar antara 15,8-48,2 cp. Nilai tersebut meningkat sesuai dengan penambahan konsentrasi MES. Data nilai viskositas deterjen cair dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan analisa keragaman (Lampiran 6) tehadap data nilai viskositas pada tingkat nilai kepercayaan 95 % (α = 0,05), penambahan MES mempunyai peningkatan nyata terhadap peningkatan nilai viskositas dalam taraf 9, 11, 13 %. Selain itu penambahan konsentrasi dekstrin dengan taraf 0, 2, 3, 4 % dan interaksi dari konsentrasi MES dan dekstrin juga mempunyai pengaruh nyata terhadap nilai viskositas deterjen cair yang dihasilkan. Hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 6) pada interaksi dari konsentrasi MES dan konsentrasi dekstrin memperlihatkan tujuh kelompok rata-rata, dimana nilai untuk penambahan MES 13 % dan dekstrin 2, 3, 4 % berada pada kelompok dengan nilai paling tinggi dan berbeda nyata pada taraf perlakuan yang lainnya. Hal tersebut dikarenakan semakin banyak konsentrasi MES maka akan semakin menaikkan nilai viskositas. Sedangkan penambahan dekstrin pada konsentrasi 2, 3, 4 % pada konsentrasi MES 13 % tidak mempunyai pengaruh yang berbada nyata. Hal tersebut menunjukkan pada formula tersebut penambahan dekstrin 2, 3, 4 % tidak menunjukkan perubahan nilai viskositas yang siginifikan. Berdasarkan uji keragaman penambahan konsentrasi dekstrin 2, 3, 4 % memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai viskositas deterjen. Hal tersebut dikarenakan dekstrin merupakan pati termodifikasi yang mempunyai sifat kelarutan lebih baik dari pada pati aslinya dan akan menaikkan viskositas, akan 24

34 tetapi viskositas yang dihasilkannya tidak besar. Hal ini dikarenakan dekstrin mempunyai nilai viskositas yang lebih kecil dibandingkan dengan sifat pati aslinya. Dekstrin mempunyai struktur molekul yang lebih kecil dari pada pati aslinya sehingga untuk mendapatkan viskositas yang tinggi memerlukan konsentrasi dekstrin yang lebih tinggi. Menurut Hamid (2000), pengolahan pati menjadi dekstrin telah mengubah sifat asli pati, yaitu jika ditambahkan dengan air, dekstrin akan menyerap air lebih sedikit sehingga kekentalannya (viskositas) yang sama volumenya menjadi lebih kecil. Pentingnya nilai viskositas deterjen cair dikarenakan konsumen pada umumnya mengasosiasikan kekentalan (viskositas) dengan konsentrasi (Woolat, 1985). Selain itu menurut Waistra (1996), kekentalan dapat meningkatkan stabilitas emulsi karena dapat menghambat proses coalescence (bersatunya miselmisel). Pada perlakuan penambahan konsentrasi MES 11 dan 13 % terjadi kenaikan nilai viskositas produk. Hal tersebut disebabkan karena adanya proses emulsifikasi yang terjadi antara molekul-molekul MES yang mempunyai sisi hidrofilik dan hidrofobik, sehingga dapat mengikat molekul-molekul polar dan nonpolar. Grafik hubungan antara penambahan MES, dan penambahan dekstrin dengan nilai viskositas produk dapat dilihat pada Gambar 12. Berdasarkan pada grafik nilai viskositas produk deterjen cair yang paling tinggi adalah pada penambahan MES 13 % dengan nilai viskoistas 48,1875 cp. Menurut Nurhayati (1997), dalam penelitiannya tentang penentuan nilai CMC (Critical Micelle Concentration) surfaktan dan beberapa produk pembersih dengan melakukan proses emulsifikasi dengan kenaikan surfaktan yang berbedabeda. Selanjutnya nilai CMC ditentukan berdasarkan kenaikan nilai viskositas yang tajam. Nilai CMC sangat berkaitan dengan pembentukan missel-missel (Tadros, 1992). Dengan begitu kenaikan nilai viskositas pada produk dapat disebabkan karena pembentukan misel-misel yang lebih sempurna, akibat penambahan surfaktan. 25

35 60 Nilai Viskositas (cp) MES 9% MES 11% MES 13% Konsentrasi Dekstrin (%) Kotrol : nilai viskositas 9281,25 cp Gambar 12. Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan nilai viskositas (cp) Nilai viskositas deterjen yang dihasilkan mengalami penurunan sebesar 99,67 % dari nilai viskositas kontrol (blangko) yang bernilai 9281,3 cp. Penurunanan nilai viskositas tersebut menunjukkan pengaruh yang nyata atas penambahan MES dan dekstrin, serta beda nyata antara kontrol dan produk deterjen. Hal tersebut diduga dikarenakan penambahan MES dalam formulasi deterjen cair mengakibatkan surfaktan SLS berikatan dengan senyawa minyak yang masih terkandung dalam MES. Peristiwa tersebut mengakibatkan minyak yang bersifat nonpolar teradsorpsi ke dalam missel yang dibentuk oleh surfaktan SLS. Adsorpsi tersebut dapat mengakibatkan penggelembungan missel SLS dan mengurangi rigiditasnya. Menurut Suryani et al., (2000) nilai rigiditas missel, diameter dan distribusi ukuran misel berpengaruh terhadap nilai viskositas yang didapatkan. Semakin besar ukuran missel SLS yang terbentuk maka akan mengurangi viskositas yang terbentuk pada suatu emulsi. Oleh karena itu penambahan MES dapat mengurangi nilai viskositas produk. Berdasarkan grafik hubungan antara penambahan MES dengan nilai viskositas dapat disimpulkan bahwa penambahan MES dapat menurunkan nilai viskositas dari nilai kontrol, tetapi penambahan MES juga dapat menyebabkan kenaikan nilai viskositas produk. Meskipun penambahan MES dapat menaikkan 26

36 nilai viskositas produk akan tetapi nilai viskositas produk tersebut jauh lebih rendah dari pada nilai viskositas kontrol (tanpa penambahan MES). Hal tersebut dikarenakan dalam MES yang digunakan masih mengandung minyak (bahanbahan nonpolar), sedangkan di sisi lain MES juga mempunyai sifat untuk menaikkan viskositas. 3. Bobot Jenis Bobot jenis merupakan sifat fisikokimia deterjen cair yang penting untuk diperhatikan. Nilai bobot jenis deterjen cair yang dihasilkan berkisar antara 1,0252-1,1158 g/ml. Nilai tersebut mengalami penurunan dari nilai bobot jenis awal (kontrol) yaitu 1,1197 g/ml. Nilai bobot jenis dari deterjen cair yang dihasilkan telah memenuhi syarat mutu SNI (Standar Nasional Indonesia) yaitu berkisar antara 1,0-1,2 g/ml. Data hasil analisa bobot jenis dapat dilihat pada Lampiran 7. Analisis keragaman terhadap nilai bobot jenis deterjen cair yang dihasilkan (Lampiran 8) memperlihatkan tidak adanya pengaruh nyata dari penambahan MES pada konsentrasi 9, 11, 13 %, dekstrin pada konsentrasi 0, 2, 3, 4 %, serta interaksi dari keduanya. Analisis keragaman tersebut dilakukan pada taraf kepercayaan 95 % (α = 0,05). Bobot jenis deterjen cair akan berpangaruh pada kemampuan deterjen untuk larut dalam air serta stabilitas emulsi dari deterjen cair tersebut. Bobot jenis deterjen cair sangat dipengaruhi oleh bobot jenis komponen-komponen penyusunnya. Semakin jauh selisih bobot jenis dari komponen penyusun deterjen akan menyebabkan penurunan stabilitas emulsi dari deterjen tersebut. Penambahan MES ke dalam formulasi deterjen cair menyebabkan bobot jenis dari deterjen menurun. Penurunan nilai bobot jenis deterjen cair hanya terjadi pada formulasi tanpa penambahan dekstrin, sedangkan pada konsentrasi dekstrin 2, 3, 4 % tidak terjadi penurunan atau peningkatan bobot jenis deterjen cair secara jelas. Penambahan dekstrin dengan konsentrasi 2, 3, 4 % tidak lagi terjadi penurunan atau peningkatan secara jelas dari nilai bobot jenis deterjen cair yang dihasilkan. Hal tersebut karena sebagian dari komponen MES yang terperangkap 27

37 ke dalam matriks amorf dekstrin, sehingga ada sebagian dari konsentrasi MES yang tidak ikut terlarut dalam deterjen cair. Reaksi antara MES, SLS dengan dekstrin akan menyebabkan nilai bobot jenis deterjen cair yang dihasilkan sulit untuk diperkirakan. Hal tersebut dikarenakan adanya persaingan antara MES dan SLS untuk dapat berikatan dengan dekstrin. Namun dari semua sampel deterjen cair yang dihasilkan telah memenuhi kriteri nilai bobot jenis yang ditetapkan oleh SNI. Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan nilai bobot jenis deterjen cair dapat dilihat pada Gambar 13. 1,2000 batas atas SNI Bobot Jenis (g/ml) 1,1500 1,1000 1,0500 1,0000 0, Konsentrasi Dekstrin (%) MES 9% MES 11% MES 13% batas bawah SNI Kontrol: nilai bobot jenis 1,1197 g/ml Gambar 13. Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan nilai bobot jenis (g/ml) deterjen cair Nilai bobot jenis produk deterjen cair mempunyai beda nyata dengan kontrol. Hal tersebut dapat dilihat dari uji nilai tengah (Lampiran 8) yang dilakukan antara kontrol dan produk deterjen cair yang dihasilkan. uji nilai tengah tersebut dilakukan padaa selang kepercayaan 95 %. Penurunan nilai bobot jenis tersebut membuat nilaii bobot jenis deterjen semakin mendekati nilai 1 g/ml, sehingga akan menaikkan kualitas deterjen cair untuk dapat larut dalam air. Penurunan nilaii bobot jenis deterjen cair akibat penambahan MES disebabkan karena nilai bobot jenis MES yang kurang dari 1 g/ml yaitu 0,87 g/ml. Hal ini disebabkan nilai bobot jenis MES deterjen cair dipengaruhi oleh nilai 28

38 bobot jenis komponen-komponen penyusunnya. Semakin kecil nilai bobot jenis komponen-komponen penyusunnya maka akan semakin kecil nilai bobot jenis dari deterjen cair yang dihasilkan. 4. Stabilitas Emulsi Stabilitas emulsi merupakan sifat fisikokimia yang penting untuk dianalisa pada suatu sistem emulsi. Stabilitas emulsi dari suatu campuran menunjukkan tingkat kualitas emulsi tersebut. Nilai stabilitas emulsi deterjen cair yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 9. Berdasarkan analisa keragaman (Lampiran 10) pada data nilai stabilitas emulsi, peningkatan konsentrasi MES dan peningkatan konsentrasi dekstrin tidak memberikan pengaruh nyata teradap stabilitas emulsi produk, sehingga tidak bisa dilakukan uji lanjut Duncan. Analisa keragaman tersebut dilakukan pada tingkat kepercayaan 95 % (α = 0,05). Nilai stabilitas emulsi produk yang dihasilkan berkisar antara 79,02-87,19%. Nilai tersebut mengalami kenaikan dari nilai awalnya (kontrol) yang bernilai 56,85 %. Nilai stabilitas emulsi tertinggi terukur pada produk dengan panambahan MES sebesar 11% dan dekstrin sebesar 4 %, yaitu 87,19%. Grafik hubungan antara penambahan konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin serta interaksi antara keduanya terhadap nilai stabilitas emulsi dapat dilihat pada Gambar 14. Dari grafik pada Gambar 14, dapat dilihat bahwa pada formula tanpa penambahan dekstrin, peningkatan konsentrasi MES dapat meningkatkan nilai stabilitas emulsi. Sedangkan pada penambahan konsentrasi dekstrin pada konsentrasi 2, 3, 4 % menyebabkan grafik stabilitas emulsi tidak lagi menunjukkan peningkatan atau penurunan nilai stabilitas emulsi. Hal tersebut dikarenakan adanya ikatan yang terjadi antara SLS dan MES dengan dekstrin dengan proporsi yang tidak pasti. 29

39 88 Stabilitas Emulsi (%) MES 9% MES 11% MES 13% Konsentrasi Dekstrin (%) Kontrol: 56,85 % Gambar 14. Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan nilai stabilitas emulsi (%) deterjen cair Nilai stabilitas emulsi yang tertinggi dicapai pada produk dengan konsentrasi MES 11 % dan dekstrin 4 %. Pada formulasi ini diduga telah terbentuk proses emulsifkasi yang sempurna. Hal tersebut juga dapat dilihat pada grafik nilai bobot jenis, produk dengan penambahan konsentrasi MES 11 % dan dekstrin 4 % mempunyai nilai bobot jenis yang paling mendekati nilai 1 g/ml. Hal ini dikarenakan nilai bobot jenis yang semakin mendekati nilai 1 g/ml akan semakin membuat stabilitas emulsi suatu larutan menjadi lebih tinggi. Berdasarkan uji nilai tengah (Lampiran 10) terhadap kontrol dan produk didapatkan bahwa penambahan MES menyebabkan nilai stabilitas emulsi produk deterjen cair berbeda nyata terhadap nilai stabilitas emusli kontrol. Hal ini dikarenakan penambahan MES yang digunakan dapat menurunkan tegangan diantara kedua fasa yang mempunyai nilai kepolaran yang berbeda. Sifat tersebut dapat meningkatkan nilai stabilitas emulsi suatu larutan. Ikatan yang terjadi antara MES dan SLS akan semakin meningkatkan stabilitas emulsi larutan tersebut. Hal tersebut karena MES akan membentuk ikatan yang kuat pada gugus hidrofiliknya dengan molekul-molekul polar dalam formulasi deterjen cair tersebut. 30

40 C. KINERJA DETERJEN CAIR 1. Daya Pembusaan Pada penelitian ini daya pembusaan diukur sebagai kemampuan deterjen cair dalam menghasilkan busa pada konsentrasi deterjen 0,1 persen pada suhu ruang dengan menggunakan air suling (aquades) dan dalam waktu 0,5 menit. Hasil pengukuran daya pembusaan dinyatakan sebagai volume busa selama 0,5 menit (ml-0,5 menit). Data hasil analisa daya pembusaan deterjen cair dapat dilihat pada Lampiran 11. Berdasarkan analisa keragaman (Lampiran 12) yang dilakukan terhadap hasil uji daya pembusaan didapatkan hasil bahwa penambahan MES dengan konsentrasi 9, 11, 13 %, penambahan dektrin dengan konsentrasi 2, 3, 4 % serta interaksi antara keduanya tidak memberikan hasil daya pembusaan yang berbeda nyata pada sampel deterjen cair yang dihasilkan. Analisa keragaman tersebut dilakukan pada tingkat kepercayaan 95 % (α = 0,05). Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan nilai daya pembusaan deterjen cair dapat dilihat pada Gambar 15. Daya Pebusaan (ml-0,5 mnt) Konsentrasi Dekstrin (%) MES 9% MES 11% MES 13% Kontrol: nilai daya pembusaan 160 ml-0,5 menit Gambar 15. Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan nilai daya pembusaan (ml-0,5 menit) deterjen cair 31

41 Nilai daya pembusaan deterjen cair yang dihasilkan berkisar antara ml-0,5 menit. Nilai tersebut mengalami penurunan pada penambahan konsentrasi MES sebesar 9 % dan dektrin sebesar 0 % pada formulasi deterjen cair. Penurunan daya pembusaan tersebut diduga karena konsentrasi MES dan dekstrin pada formulasi tersebut menyebabkan berkurangnya molekul SLS yang bereaksi dengan molekul-molekul udara. Penambahan SLS dalam formulasi ini bertujuan untuk menambah busa yang dihasilkan. MES yang digunakan dalam formulasi deterjen cair ini berasal dari minyak kelapa sawit, sehingga masih mengandung komponen minyak. Hal tersebut yang menyebabkan sisi hidrofobik dari SLS berikatan dengan MES. Pada konsentrasi MES 11 % sudah mulai terjadi peningkatan daya pembusaan deterjen. Hal tersebut dikarenakan pada konsentrasi tersebut MES juga ikut membantu dalam menurunkan tegangan permukaan larutan deterjen cair. Semakin rendah tegangan permukaan deterjen cair maka akan semakin banyak busa yang dapat dihasilkan. Penambahan dekstrin dengan konsentrasi 2, 3, 4 %, jika dilihat pada grafik menyebabkan penambahan daya pembusaan tidak teratur. Hal tersebut karena adanya pengikatan MES oleh matriks dekstrin yang amorf. Pada pengikatan MES oleh dekstrin selain dipengaruhi oleh konsentrasi dan tingkat kejenuhan dekstrin juga dipengaruhi oleh jumlah molekul SLS yang juga diikat oleh dekstrin. Pada grafik hasil analisa terhadap daya pembusaan dapat diketahui bahwa nilai daya pembusaan yang paling tinggi yaitu 240 ml-0,5 menit terjadi pada konsentrasi dekstrin 4 % dan konsentrasi MES 13 %. Tingginya nilai daya pembusaan deterjen cair pada penelitian ini membuat deterjen tersebut cocok untuk diaplikasikan sebagai deterjen cair yang digunakan pada pencucian dengan tangan. Pada blangko (kontrol) daya pembusaan besarnya yaitu 160 ml-0,5 menit. Berdasarkan uji nilai tengah (Lampiran12) antara kontrol dan produk, penambahan MES menyebabkan peningkatan nilai daya pembusaan yang berbeda nyata terhadap kontrol. peningkatan tersebut menyebabkan daya pembusaan produk menjadi lebih tinggi, sehingga jumlah busa yang dihasilkan produk menjadi lebih banyak. 32

42 2. Stabilitas Busa Pengukuran terhadap stabilitas busa dilakukan dengan membadingkan nilai daya pembusaan pada selang waktu 5,5 menit dengan nilai pembusaan awal (0,5 menit). Hasil pengukuran terhadap stabilitas busa deterjen dinyatakan dalam satuan ml-5,5 menit/0,5 menit. Stabilitas busa adalah kemampuan busa deterjen untuk tetap ada pada larutan deterjen. Data hasil analisa stabilitas busa dapat dilihat pada Lampiran 11. Analisis keragaman (Lampiran 13) yang dilakukan terhadap data stabilitas busa menunjukkan tidak adanya pengaruh yang nyata antara konsentrasi MES pada 9, 11, 13 %, dekstrin pada konsentrasi 0, 2, 3, 4 % serta pengaruh dari interaksi keduanya. Analisa keragaman tersebut dilakukan pada tingkat kepercayaan 95 % (α = 0,05). Nilai stabilitas busa yang didapatkan sangat dipengaruhi oleh penurunan volume busa terhadap waktu pengamatan. Penurunan volume busa deterjen sangat dipengaruhi oleh suhu saat pengukuran, kecepatan pengocokan, serta kecepatan angin saat pengukuran. Pada hasil penelitian didapatkan data stabilitas busa deterjen cair berkisar antara 0,84-0,62 ml-5,5 menit/0,5 menit. Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan nilai stabilitas busa deterjen cair dapat dilihat pada Gambar 16. Stabilitas Busa (ml-5,5 mnt/ ml- 0,5 mnt) 0,90 0,80 0,70 0,60 0,50 0,40 0,30 0,20 0,10 0, MES 9% MES 11% MES 3% Konsentrasi Dekstrin (%) Kontrol: nilai stabilitas busa 0,90 ml-5,5 menit/0,5 menit Gambar 16. Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan nilai stabilitas busa (ml-5,5 menit/0,5 menit) deterjen cair 33

43 Berdasarkan uji nilai tengah (Lampiran 13) pada selang kepercayaan 95 %, nilai stabilitas busa yang didapatkan mengalami penurunan yang berbeda nyata dari nilai stabilitas busa awal (kontrol) yang nilai stabilitas busanya sebesar 0,90 ml-5,5 menit/0,5 menit seiring dengan penambahan MES pada formulasi deterjen cair. Penurunan tersebut dikarenakan adanya reaksi ikatan antara MES yang masih mengandung minyak, dengan surfaktan SLS yang akan menyebabkan gugus hidrofobik SLS akan lebih cenderung berikatan dengan MES dari pada dengan udara. Hal tersebut menyebabkan buih yang dihasilkan tidak tahan lama. Sedangkan penambahan dekstrin menyebabkan konsentrasi MES dan SLS yang terlarut dalam deterjen cair menjadi tidak tentu, sehingga tidak terjadi pola kenaikan atau penurunan stabilitas busa yang jelas. 3. Daya Deterjensi Perhitungan terhadap daya deterjensi dilakukan dengan menggunakan larutan deterjen 1 % dalam air suling (akuades). Penentuan daya deterjensi dilakukan dengan mengukur nilai kekeruhan (FTU) dari larutan deterjen setelah digunakan untuk merendam kain yang telah diberi pengotor. Nilai daya deterjensi deterjen cair yang dihasilkan berkisar antara 28,5-53,5 FTU. Nilai tertinggi dicapai oleh formulasi dengan penambahan konsentrasi MES 13 % yaitu sebesar 53,5 FTU. Sedangkan niai daya deterjensi yang paling rendah adalah pada penambahan MES 9 % yaitu 28,5 FTU. Data hasil pengukuran daya deterjensi dapat dilihat pada Lampiran 14. Berdasarkan hasil analisa keragaman (Lampiran 15) terhadap data analisa daya deterjensi pada tingkat kepercayaan 95 % (α = 0,05) didapatkan hasil yang berbeda nyata terhadap daya deterjensi pada penambahan konsentrasi MES 9, 11, 13 %, dan pada penambahan dekstrin dengan konsentrasi 2, 3, 4 %. Akan tetapi interaksi antara MES dan dekstrin tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata. Uji lanjut Duncan (Lampiran 15) terhadap data nilai daya deterjensi pada penambahan konsentrasi MES 9, 11, 13 % menghasilkan tiga kelompok rata-rata. Nilai rata-rata kelompok Duncan dengan nilai yang lebih rendah kenilai yang lebih tinggi berturut-turut adalah deterjen dengan penambahan MES 9 %, 11 %, dan 13 %. 34

44 Bedasarkan uji daya deterjensi dapat dilihat bahwa penambahan konsentrasi MES, dapat meningkatkan daya deterjensi deterjen yang dihasilkan. Penambahan dekstrin berdasarkan analisa keragaman juga menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap daya deterjensi deterjen. Hal tersebut dikarenakan penambahan dekstrin juga dapat meningkatkan nilai viskositas, sehingga semakin tinggi nilai viskositasnya maka akan semakin banyak zat aktif yang terlarut dalam deterjen. Dari grafik hubungan konsentrasi MES dengan daya deterjensi, dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi MES maka semakin tinggi daya deterjensinya. Penambahan dekstrin juga berpengaruh nyata terhadap daya deterjensi. Peristiwa ikatan antara dekstrin dan MES tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap daya deterjensi. Hal tersebut dikarenakan pada formulasi deterjen cair ini tidak hanya menggunakan MES sebagai surfaktan, tetapi juga menggunakan SLS. SLS juga mempunyai kemampuan untuk menurunkan tegangan antar muka larutan deterjen. Disamping itu dektrin mempunyai titik jenuh dalam berikatan dengan moleku-molekul ester, sehingga penambahan MES akan semakin mengurangi tengangan antar muka deterjen. Hal tersebut terbukti dengan kenaikan angka daya deterjensi dari nilai awal (kontrol) sebesar 28 FTU. Grafik hubungan antara penambahan konsentrasi MES, dan penambahan konsentrasi dekstrin dengan nilai daya deterjensi dapat dilihat pada Gambar Daya Deterjensi (Ftu) MES 9% MES 11% MES 13% Konsentrasi Dekstrin (%) Kontrol: nilai daya deterjensi 28 FTU Gambar 17. Grafik hubungan antara konsentrasi MES, konsentrasi dekstrin dengan nilai daya deterjensi (FTU) deterjen cair 35

45 Daya deterjensi merupakan parameter mutu yang paling penting bagi deterjen. Daya deterjensi deterjen memperlihatkan kemampuan deterjen untuk menghilangkan atau membersihakan kotoran yang ada pada pakaian. Proses penghilangan kotoran yang menempel pada pakaian menggunakan sifat surfaktan yang mampu menurunkan tegangan antar muka. Berdasarkan uji nilai tengah (Lampiran 15) pada selang kepercayaan 95 % kontrol dan produk deterjen dengan penambahan MES dan dekstrin mempunyai nilai daya deterjensi yang berbeda nyata, sedangkan deterjen dengan penambahan MES 9 %, 11 % dan 13 % mempunyai nilai yang berbeda nyata terhadap kontrol dan produk yang lain. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penambahan taraf konsentrasi MES diatas 9 % akan memberikan perbedaan nyata pada kenaikan daya deterjensi. Kenaikan daya deterjensi akibat penambahan konsentrasi MES pada formulasi deterjen cair disebabkan karena semakin tinggi penambahan MES, akan menurunkan tegangan antar muka larutan deterjen. Hal tersebut mengakibatkan partikel-partikel yang menempel pada pakaian dapat lepas dan larut dalam air. Selain itu surfaktan juga berfungsi sebagai pembasah kain dalam larutan deterjen. Proses deterjensi tejadi melalui pembentukan missel-missel oleh surfaktan yang mampu membentuk globula zat pengotor. Proses pelepasan globula zat pengotor terjadi melalui penurunan tegangan antar muka. D. ANALISA KEPUTUSAN FORMULA TERBAIK DETERJEN CAIR Analisa keputusan dilakukan untuk mencari alternatif formulasi terbaik. Pengambilan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan parameterparameter yang merupakan sifat fisikokimia dan sifat kinerja deterjen cair. Parameter kualitas tersebut yang akan menentukan kualitas produk yang dihasilkan. Analisa pengambilan keputusan tersebut dilakukan dengan menggunakan software CDP (Criterium Decision Plus) versi 3.1. Parameter yang digunakan untuk pengambilan keputusan alternatif terbaik adalah bobot jenis, ph, viskositas, stabilitas emulsi, daya pembusaan, stabilitas busa serta daya derjensi deterjen cair yang dihasilkan. Pada pengembilan keputusan ini setiap parameter mutu diberi nilai skor (nilai tingkat kepentingan) 36

46 masing-masing.hasil pembagian skor untuk setiap parameter dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai skor (tingkat kepentingan) parameter mutu deterjen cair Parameter Skor Tingkat kepentingan Daya deterjensi 1 Critical Viskositas 2 Very important ph 3 Very important Bobot jenis 4 Important Stabilitas emusli 5 Unimportant Daya pembusaan 6 Unimportant Stabilitas busa 7 Trivial Daya deterjensi diberi nilai skor 1 karena daya deterjensi suatu deterjen adalah parameter utama kualitas deterjen. Hal tersebut karena daya deterjensi menunjukkan daya kerja deterjen dalam membersihkan pakaian. Oleh karena itu daya deterjensi mempunyai nilai kepentingan critical. Semakin tinggi nilai daya deterjensi suatu deterjen maka dalam sistem pengambilan keputusan ini, produk tersebut akan diberi nilai bobot lebih tinggi. Sedangkan viskositas diberi nilai skor 2 (very important). Hal ini karena adanya persepsi konsumen bahwa deterjen cair yang lebih kental maka kualitasnya lebih baik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Woolat (1985), bahwa pentingnya nilai kekentalan (viskositas) deterjen cair dikarenakan konsumen pada umumnya mengasosiasikan kekentalan dengan konsentrasi bahan aktif deterjen. Selain itu nilai viskositas dari deterjen cair merupakan tujuan dari penelitian ini, untuk mendapatkan tingkat kekentalan yang baik. Produk yang akan diberi nilai bobot lebih tinggi adalah yang mempunyai nilai viskositas lebih tinggi. Kemudian ph diberi skor 3 (very important). Hal ini dikarenakan dalam proses pencucian dengan menggunakan tangan, deterjen akan mengalami kontak langsung dengan kulit, sehingga deterjen yang dihasilkan harus dapat mencegah terjadinya iritasi kulit. Deterjen cair yang mempunyai nilai ph mendekati 7 akan diberi nilai bobot yang lebih tinggi. 37

47 Bobot jenis diberi nilai skor 4 (important). Nilai ini diberikan karena dalam suatu emulsi cair, bobot jenis menentukan tingkat kelarutan deterjen tersebut terhadap air. Semakin mendekati nilai bobot jenis air 1 g/ml, maka akan semakin baik daya kelarutan dari deterjen cair tersebut. Semakin mendekati nilai satu maka akan diberi nilai bobot yang lebih tinggi alternatif produk tersebut. Nilai bobot jenis dari deterjen berpengaruh terhadap stabilitas emulsi dari deterjen tersebut. Semakin menjauhi nilai bobot jenis dari bobot jenis air maka stabilitas emulsinya akan semakin kecil. Oleh karena itu stabilitas emulsi diberi nilai setingkat dibawah bobot jenis, yaitu dengan skor 5 (unimportant). Selain itu stabilitas emulsi juga mempengaruhi daya umur simpan deterjen. Hal tersebut karena deterjen akan dapat bekerja dengan baik jika stabilitas emulsinya masih baik. Selanjutnya daya pembusaan diberi nilai skor 6 (unimportant). Hal tersebut karena daya pembusaan tidak mempengaruhi kualitas deterjen. Adanya persepsi konsumen bahwa semakin banyak busa maka akan semakin baik daya cuci deterjen tersebut, merupakan pernyataan yang tidak benar. Oleh karena itu daya pembusaan diberikan nilai skor rendah dalam parameter mutu deterjen ini. Sedangkan nilai stabilitas busa diberi nilai skor paling rendah. Hal tersebut karena pada umumnya konsumen tidak memperhatikan stabilitas busa dari deterjen cair. Setelah pemberian nilai skor pada masing-masing parameter mutu maka hal yang harus dilakukan pada proses pengambilan keputusan ini adalah pemberian nilai bobot mutu pada masing-masing alternatif. Pemberian bobot pada setiap alternatif bergantung pada hasil analisa keragaman data uji tersebut dengan selang kepercayaan 95 % (α = 0,05). Jika pada uji keragaman menunjukkan pengaruh yang tidak signifikan maka setiap alternatif produk diberi nilai bobot yang sama. Sedangkan jika hasil uji menunjukkan pengaruh yang signifikan maka pemberian nilai bobot didasarkan tingkat nilai kelompok rata-rata pada uji Duncan. Berdasarkan hasil analisa dengan system pengambilan keputusan (Lampiran 16, 17, 18) dihasilkan tiga formula produk dengan nilai bobot skor yang sama 1,000, yaitu A2B3, A3B3, A4B3. Produk-produk tersebut adalah deterjen dengan penambahan MES pada konsentrasi 13 % dan penambahan 38

48 dekstrin 2, 3, 4 %. Produk dengan penambahan MES 13 % dan dekstrin 2 % (A2B3) menggunakan jumlah bahan dekstrin yang paling sedikit, sehingga produk ini menjadi formula produk yang terbaik. E. KARAKTERISTIK DETERJEN CAIR KOMERSIAL PEMBANDING Sebagai pembanding produk deterjen cair yang dihasilkan digunakan SNI dan produk deterjen komersial yang telah beredar dipasaran. Penggunaan produk komersial ini dikarenakan SNI saja tidak cukup untuk mengkatagorikan sebuah produk deterjen cair sebagai produk dengan kualitas yang baik. Sedangkan produk deterjen komersial yang telah beredar dipasaran merupakan produk deterjen yang nilai mutunya telah dapat diterima oleh konsumen pada umumnya. Deterjen cair komersial yang digunakan sebagai produk pembanding adalah deterjen cair dengan merk YP dan YM. Produk deterjen cair yang dibandingkan adalah produk terpilih dengan kode A2B3, yaitu deterjen dengan penambahan MES 13 % dan dekstrin 2 %. Produk tersebut yang dibandingkan karena merupakan produk dengan nilai bobot skor tertinggi pada sistem pengambilan keputusan yang dilakukan. Gambar perbandingan antara deterjen cair yang dihasilkan dengan deterjen cair komersial dapat dilihat pada Gambar 18. (a) (b) (c) Gambar 18. Panampakan visual deterjen cair (a) YM (b) A2B3 (c) YP 39

49 Dari grafik dapat dilihat bahwa deterjen cair dan yang dihasilkan masih memenuhi standar SNI dengan nilai ph 7,3. Sedangkan produk pembanding YM mempunyai nilai ph lebih basa dari syarat SNI, yaitu 9,32 dan produk pembanding YP mempunyai nilai ph yang memenuhi standar SNI, akan tetapi lebih asam yaitu 6,01. Dengan demikian nilai ph dari deterjen cair yang dihasilkan telah aman bagi kulit karena mendekati ph normal. Grafik perbandingan antara deterjen cair komersial dengan deterjen cair hasil penelitian dapat dilihat pada Gambar 19. PH YP YM A2B3 batas atas SNI Gambar 19. Grafik perbandingan nilai ph antara deterjen YM, YP dengan produk deterjen cair yang dihasilkan. Parameter kedua yang diuji adalah nilai viskositas. Hasil uji terhadap nilai viskositas deterjen komersial YP dan YM menunjukkan selisih yang sangat jauh dengan nilai viskositas deterjen cair yang dihasilkan. Nilai viskositas tertinggi dicapai oleh deterjen cair komersial YM dengan nilai 4000 cp, sedangkan nilai viskositas deterjen cair YP adalah 7587,5 cp. Nilai tersebut sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan nilai viskositas deterjen cair yang dihasilkan yaitu 46,06 cp. Dengan demikian perlu dilakukan modifikasi kekentalan dengan menggunakan bahan pengental yang sesuai untuk formulasi deterjen. Penambahan dekstrin dengan konsentrasi 2-4 % pada penelitian ini terbukti tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan nilai viskositas deterjen cair. Gambar 40

50 nilai viskosits antara deterjen YM, YP dengan deterjen cair yang (A2B3) dapat dilihat pada Gambar 20. dihasilkan Nilai Viskositas (cp) YP YM 46,06 A2B3 Pembanding produk deterjen Gambar 20. Grafik perbandingan nilai viskositas (cp) antara deterjen YM, YP dengan produk deterjen cair yang dihasilkan. 1,20 1,15 batas atas SNI Bobot Jenis (g/ml) 1,10 1,05 1,00 0,95 0,90 YPP YM A2B3 batas bawah SNI Pembanding produk deterjen Gambar 21. Grafik perbandingan nilai bobot jenis (g/ml) antara deterjen YM, YP dengan produk deterjen cair yang dihasilkan. Nilai bobot jenis deterjen cair menunjukkan bahwa deterjen YP memupunyai bobot jenis yang paling tinggi yaitu 1,1646 g/ml, sedangkan YM mempunyai nilai yang hampir mendekati 1 g/ml yaitu 1,0322 g/ml dan deterjen cair hasil penelitian A2B3 mempunyai nilai bobot jenis 1,1158 g/ml. Ketiga jenis 41

51 deterjen tersebut mempunyai nilai bobot jenis yang telah memenuhi standar SNI yaitu 1,0-1,2 g/ml. Nilai bobot jenis tersebut berkaitan dengan kemampuan deterjen untuk larut dengan air dan nilai stabilitas emulsi dari deterjen cair. Grafik nilai bobot jenis dari deterjen cair komersial YM, YP serta A2B3 dapat dilihat pada Gambar 21. Nilai bobot jenis suatu deterjen cair juga mempengaruhi nilai stabilitas emulsi deterjen cair tersebut. Semakin mendekati nilai 1 g/ml maka nilai stabilitas emulsi deterjen tersebut akan semakin baik. Dari hasil pengukuran nilai stabilitas emulsi produk A2B3 mempunyai nilai stabilitas emulsi yang paling tinggi yaitu 79,11 %. Sedangkan produk deterjen komersial mempunyai nilai stabilitas emulsi lebih rendah yaitu untuk deterjen YP dengan nilai stabilitas emulsi 63,72 % dan YM 54,23 %. Nilai stabilitas emulsi deterjen YM lebih redah dari pada YP mungkin dikarenakan pada deterjen YM proses pencampurannya kurang membentuk proses emulsifikasi yang sempurna. Grafik nilai stabilitas emulsi dapat dilihat pada Gambar 22. Stabilitas Emulsi (%) YP YM A2B3 Pembanding produk deterjen Gambar 22. Grafik perbandingan nilai stabilitas emulsi (%) antara deterjen YM, YP dengan produk deterjen cair yang dihasilkan. Nilai daya deterjensi produk deterjen cair A2B3 mempunyai nilai yang lebih tinggi dari pada produk deterjen cair komersial. Daya deterjensi berkaitan dengan kemampuan deterjen untuk membersihkan pakaian dari kotoran. Nilai daya deterjensi A2B3 mempunyai nilai yang paling tinggi yaitu 46 FTU. Sedangkan deterjen cair YP dan YM mempunyai nilai daya deterjensi yang 42

52 hampir sama yaitu 37 FTU dan 36 FTU. Nilai daya deterjensi A2B3 yang lebih tinggi dari pada YM dan YP diharapkan mampu memberikan hasil pencucian yang lebih baik dari pada deterjen cair komersial. Grafik nilai daya deterjensi dapat dilihat pada Gambar 23. Daya Deterjensi (Ftu) YP YM A2B3 Pembanding produk deterjen Gambar 23. Grafik perbandingan nilai daya deterjensi (FTU) antara deterjen YM, YP dengan produk deterjen cair yang dihasilkan. Daya pembusaan deterjen cair menunjukkan kemampuan deterjen cair untuk menghasilkan busa sedangkan stabilitas busa diukur dengan membandingkan daya pembusaan dengan waktu. Nilai daya pembusaan A2B3 adalah yang paling tinggi yaitu 170 ml-0,5 menit, sedangkan nilai daya pembusaan YM dan YP mempunyai nilai yang hampir sama yaitu 80 ml-0,5 menit dan 90 ml-0,5 menit. Akan tetapi jika dibandingkan nilai stabilitas busa dari ketiga deterjen tersebut A2B3 mempunyai stabilitas busa yang paling rendah yaitu 0,65 ml-5,5 menit/0,5 menit. Sedangkan YM dan YP mempunyai nilai stabilitas busa 1 ml-5,5 menit/0,5 menit. Deterjen yang dihasilkan A2B3 mempunyai nilai daya pembusaan yang jauh lebih tinggi dari pada deterjen komersial dan mempunyai nilai stabilitas busa yang lebih rendah. Dengan demikian diharapkan deterjen tersebut mampu menghasilkan busa yang melimpah sehingga dapat memuaskan persepsi konsumen yang lebih menyukai busa yang banyak dan lebih mudah dibilas karena mempunyai nilai stabilitas busa yang lebih rendah dari deterjen komersial. Grafik 43

53 tentang nilai daya pembusaan dan stabilitas busa dapat dilihat pada Gambar 24 dan Gambar 25. Daya Pebusaan (ml-0,5 mnt) YP YM A2B3 Pembanding produk deterjen Gambar 24. Grafik perbandingan nilai daya pembusaan (ml-0,5 menit) antara deterjen YM, YP dengan produk deterjen cair yang dihasilkan. Stabilitas Busa (ml-5,5 mnt/ ml- 0,5 mnt) 1,20 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 YM YP A2B3 Pembanding produk deterjen Gambar 25. Grafik perbandingan nilai stabilitas busa (ml-5,5 menit /0,5 menit) antara deterjen YM, YP dengan produk deterjen cair yang dihasilkan. Selain semua parameter mutu diatas juga diukur total fosfat pada produk deterjen cair. Total fosfat deterjen cair ini dibandingkan untuk mengetahui sejauh mana pengurangan fosfat yang dihasilkan oleh produk deterjen cair dibandingkan dengan deterjen cair komersial. Total fosfat merupakan jumlah total fosfor yang 44

54 terkandung dalam produk deterjen cair. Pengukuran total fosfat inii bertujuan untuk mengetahui tingkat pencemaran deterjen terhadap perairan. Dari hasil pengukuran, nilai rata-rata kadar fosfat dalam produk A2B3 adalah 1182,45 mg/l. Sedangakan kandungan fosfat dari deterjen komersial YM adalah 1314,65 mg/l dan YP adalah 1766,85 mg/l. Data tersebut menunjukkan bahwa deterjen cair yang dihasilkan lebih sedikit menyumbang kadar fosfat dalam perairan dari pada deterjen cair komersial. Grafik perbandingan kadar fosfat dapat dilihat pada Gambar 26. Gambar 26. Grafik perbandingan nilai kadar fosfat (mg/l) antara deterjen YM, YP dengan produk deterjen cair yang dihasilkan. Berdasarkan syarat mutu SNI tentang kriteria ekolabel untuk kategori produk serbuk deterjen pencuci sintetik untuk rumah tangga. Total kandungan fosfat dalam deterjen (diukur sebagai STPP) < 18 gr per 100 gr produk deterjen (18 % berat produk). Maka produk deterjen cair yang dihasilkan telah memenuhi syarat. Hal tersebut karena penambahan STPP pada formulasi deterjen cair hanya 10% berat produk. 45

55 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penambahan dekstrin dengan konsentrasi 0-4 % dan MES dengan konsentrasi 9-13% dari berat deterjen cair memberikan pengaruh yang nyata terhadap viskositas dan daya deterjensi. Interaksi antara MES dan dekstrin pada konsentrasi tersebut hanya memberikan pengaruh yang nyata terhadap viskositas deterjen. Semakin banyak konsentrasi MES dan konsentrasi dekstrin yang ditambahkan dalam formula deterjen cair, maka akan semakin meningkatkan viskositas deterjen cair yang dihasilkan. Begitu juga dengan daya deterjensi akan naik seiring dengan kenaikan konsentrasi MES dan konsentrasi dekstrin yang ditambahkan. Berdasarkan analisis pengambilan keputusan alternatif produk deterjen cair yang terbaik dengan mempertimbangkan parameter nilai karakteristik fisikokimia dan kinerja deterjen yang teramati, deterjen dengan penambahan MES 13 % dan dekstrin 2, 3, 4 % menunjukkan nilai bobot skor yang paling tinggi yaitu 1. Dengan mempertimbangkan biaya produksi (aspek ekonomi) maka dipilih deterjen dengan penambahan MES 13 % dan dekstrin 2 % (A2B3) sebagai produk dengan formulasi terbaik. Nilai karakteristik fisikokimia A2B3 telah memenuhi standar SNI yaitu dengan nilai ph 7,3; viskositas sebesar 46,06 cp; bobot jenis 1,1158 g/ml; stabilitas emulsi 79,11 %; daya deterjensi 46 FTU; total fosfat 1182,45 mg/l; daya pembusaan 170 ml-0,5 menit; serta stabilitas busa 0,65 ml-5,5 menit/0,5 menit. Analisa terhadap deterjen komersial menunjukkan keunggulan deterjen cair yang dihasilkan (A2B3) pada nilai ph yang lebih mendekati normal, total fosfat, stabilitas emulsi, daya pembusaan serta nilai daya deterjensi. Dengan demikian diharapkan deterjen cair yang dihasilkan mampu untuk diaplikasikan sebagai deterjen untuk pencuci pakaian yang mempunyai daya cuci yang lebih baik dari pada deterjen komersial yang telah ada dipasaran selama ini. 46

56 B. SARAN 1. Nilai viskositas deterjen yang dihasilkan masih jauh lebih rendah dari pada deterjen komersial, untuk itu perlu dicari thickener yang cocok untuk digunakan pada deterjen cair berbasis MES. 2. Tidak menggunakan builders yang berbahan dasar fosfat (misalnya; zeolit) untuk mengurangi pencemaran fosfat di perairan. 47

57 DAFTAR PUSTAKA Acton, W The Manufacture of Dextrin and British Gums dalam Radley, J. A Starch Production Technology Applied Sci. Publisher Ltd, London Anonim Development of The Detergent Industry. [7 September 2009] ASTM D : Standard Guide for Measuring Soil Removal From Arttiticially Soiled Fabric. Badan Pusat Statistik (BPS) Statistik Impor Indonesia. BPS, Jakarta. Bhairi, M Detergent A Guide To the Properties and Uses A Detergent in Biological System. Calbiochem, Nova Biochem Corporation. Bird, T Kimia Fisika untuk Universitas. PT. Gramedia, Jakarta. Blaber, M Properties of Liquids: Viscosity and Surface Tension. In Chemistry1.From: orces03.htm [11 Oktober 2003] Broze, G Handbook of Detergents: Part A; Properties. Marcel Dekker, Inc., New York. Cognis: Product Data Sheet Ceti01 HE; Revision 4-07/2003. De Groot, E. H Detergency. Di dalam Baileys Industrial Oils and Fats Product. Wiley Interscience Publisher, New York USA. Effendi, H Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius : Yogyakarta Fennema, O. R Food Chemistry. 2 nd Edition, Revised, Expand. Marcel Dekker, Inc., New York. Furia, T. E. dan Bellanca Fenaroli s Handbook of Flavour Ingredients: Synthetic Flavours. Volume II. CRC Press: Calofornia. Gervasio, G.C Detergency. Di dalam Baeiley s Industrial Oil and Fats Products. Wiley Interscience Publisher, New York USA. Greenberg, A., et.,al Handbook of Comestic Materials, Interscience Publisher Inc., New York Gunter, J. and Lohr Detergents and Textil Washing Principles and Practice. Verlagsgesellschaft: Weinheim Jerman. Hanson, A. L Encyclopedia of Science and Technology Vol-5 7 th edition. Mc Graw-Hill, Inc. Hargreaves, T Chemical Formulation : an overview surfactant-based preparation used in everyday life. RSC Paperbacks: Cambridge. 48

58 Hidayati, S., Ilmi dan P. Permadi Optimasi Proses Sulfonasi untuk Memproduksi Metil Ester Sulfonat dari Minyak Sawit Kasar. Jurnal. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II. 2008, November Universitas Lampung. Ilyani, A.S Kiat Memilih Deterjen: Banyak Busa Belum Tentu Lebih Bersih. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ismayanti, Aplikasi Gelatin Tipe B sebagai Bahan Pengental (Thickening Agents) pada Shampoo. Skripsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Institut Pertanian Bogor: Bogor. Lewis, R Food Additive Handbook. Chapman Hall Thompson Publ. Co: New York. Lynn, J.L Detergents and Detergency. Di dalam Fereidoon S. (Eds.) Bailey s Industrial Oil and Fat Products From Oil and Fats. John Wiley & Sons, Inc., New Jersey. Matheson, K.L Surfactant Raw Materials; Clasification, Syntesis, uses. Di dalam Soap and Detergent, A Theoretical and Partical Review. AOCS Press, Champaign- Illinois, USA. Pore, J Oils and Fats Manual. Intercept Ltd., Andover-UK. Priyanto, H Pengaruh Konsentrasi dan Lama Perendaman Dalam Hidrogen Peroksida (H 2 O 2 ) Terhadap Kualitas Pemutihan Rotan Sega (Calamus caesius BI). [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor: Bogor. Respati Dasar-dasar Ilmu Kimia untuk Universitas. Rineka Cipta, Yogyakarata. Sasser, S.L Consumer Desaign Making Contest Study Louide Loundry Detergent. Texas Agriculture Extension Service. Satterhwaite, R.W. dan D.J. Iwinski Starch Dextrins. Di dalam Whistler, R.L. Industri Gums Polysaccharides and Their Derivatives. Academics Press, New York. Savitri, M Kajian Pengaruh Konsentrasi Katalis dan Lama Reaksi Pada Proses Sulfonasi Metil Ester. Skripsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, IPB: Bogor. Schueller R. dan P. Romanousky Cosmetic and Toiletries Magazine: Understanding Emulsion. Allured Publishing Corp., Illinois-USA. Sittig, M Detergent Manufacture Including Zeolit, Builders, and Other New Maerial. Nayer Data Corporation. New Jersay ; USA. Soap and Detergent Association (SDA-Amerika) Understanding Cleaning Chemicals. [30 Oktober 2009]. Srivastava, S.B Soap. Detergent and Parfume Industry. Small Industry Research Institute. Roop Nayor. New Delhi. India. Standar Nasional Indonesia SNI : Deterjen Cuci Cair. 49

59 Stubenrauch, C., et.,al Tenside Surfactants Detergents: A New Experimental Technique to Measure the Drainage and Life Time of Foams. Hanser, Deutschland-Munchen. Suryani, A., I. Sailah, dan E. Hambali Teknologi Emulsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Bogor. Waistra, P Encyclopedia of Emulsion Technology. Tire Dekkle Inc., New York- USA. Watkins, C Surfactants and Detergent: All Eyes are no Texas. Inform 12: Wittcoff, H. A. dan B. G. Reuben Industrial Organic Chemicals in Perspective 2 nd. John Wiley & Sons: New York. Woollat, E The Manufacture of Soaps, Other Detergent and Glycerine. Ellis Horwood Ltd., West Sussex-England. 50

60 LAMPIRAN

61 Lampiran 1. Prosedur analisis surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) 1. Tegangan permukaan (Zajic dan Steffens, 1984) Air dimasukkan ke dalam gelas (diameter minimum 45 mm) yang betulbetul bersih. Lingkaran logam (terbuat dari platinum-iridium) dibersihkan dengan alkohol. Suhu cairan sampel diukur dan dicatat. Posisi alat diatur supaya horizontal dengan water pas. Selanjutnya gelas berisi sampel dipasang pada meja kecil dibawah tangan torsion. Lingkaran dicelupkan ke dalam sampel (lingkaran logam tercelup 3-5 mm di bawah permukaan cairan). Tangan torsion dilepaskan dan sekrup kanan diputar sampai jarum penunjuk berimpit dengan garis pada kaca. Sekrup di bawah skala depan diputar sampai skala vernier mulai pada nol. Meja kecil diturunkan sedikit demi sedikit dengan sekrup di bawah meja dan pada waktu yang sama sekrup kanan diputar sedemikian rupa sehingga jarum penunjuk tetap berimpit dengan garis pada kaca. Proses ini diteruskan sampai film cairan tepat diputuskan. Kemudian skala dibaca dan dicatat sebagai nilai tegangan permukaan. Pengukuran penurunan tegangan permukaan dilakukan dengan cara yang sama dengan pengukuran tegangan permukaan air. Sampel yang digunakan adalah campuran antara air dan MES (1:1). Penurunan tegangan permukaan di hitung sebagai selisih antara nilai tegangan permukaan air dengan nilai tegangan permukaan air-mes. 2. Tegangan antar muka (Zajic dan Steffens, 1984) Kemampuan surfaktan dalam menurunkan tegangan antar muka dilakukan pada campuran air dengan xylen (1:1), diukur menggunakan tensiometer du Nouy. Konsentrasi surfaktan yang ditambahkan adalah 10 % (dalam campuran xyleneair). Nilai tegangan antar muka antara air dan xylene setelah ditambahkan surfaktan diukur kembali. Kemudian dibandingkan nilai tegangan antar muka antara sebelum dan sesudah ditambahkan surfaktan. 3. Deterjen keasaman (ph) Pengukuran ph menggunakan ph meter. 52

62 Lampiran 2. Prosedur analisa produk deterjen cair 1. ph (SNI ) Pengukuran ph menggunakan ph meter. Pada awal pengukuran dilakukan pengkalibrasian ph meter dengan larutan buffer. Larutan buffer yang digunakan adalah larutan dengan ph 4 dan 7. Elektroda dicelupkan ke dalam sampel dan nilai yang terbaca pada layar digital merupakan ph sampel. 2. Viskositas Sebanyak 120 ml sampel diukur viskositasnya dengan spindle nomor dua dengan kecepatan 30 rpm. Nilai yang terbaca dikalikan dengan faktor konversi 10 dengan satuan centipoises (cp). 3. Bobot Jenis (SNI ) Piknometer dibersihkan dan dikeringkan. Piknometer kering ditimbang dan dicatat beratnya sebagai A, kemudian diisi dengan air destilasi dan direndam dalam air dingin hingga suhunya mencapai 25 C. Piknometer berisi air destilata dikeluarkan dari rendaman dan didiamkan hingga mencapai suhu ruang untuk ditimbang dan dicatat beratnya sebagai B. Nilai volume pikometer diperoleh dengan perhitungan berikut; V piknometer = (B A)* BJ air pada suhu pengukuran Hal yang sama dilakukan dengan mengganti air destilata dengan sampel dan beratnya dicatat sebagai C. Bobot jenis sampel diperoleh dengan perhitungan berikut: BJ sampel = C/ V piknometer 4. Stabilitas Emulsi (Acton dan Saffle, 1970) Sejumlah bahan emulsi yang sudah ditimbang seberat 5 gram dimasukkan ke dalam wadah aluminium. Wadah dan bahan tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 45ºC selama satu jam kemudian bersuhu 0ºC selama satu jam. Selanjutnya dipanaskan kembali dalam oven dengan suhu 45ºC dan dibiarkan 53

63 sampai beratnya konstan. Rumus untuk menghitung stabilitas emulsi adalah sebagai berikut: Berat fase yang tersisa Berat total emulsi SE (%)= x 100% 5. Daya pembusaan dan stabilitas Busa (Malayasian Palm Oil Board, 2001) Larutan sampel 0.1% sebanyak 200 ml diblender pada kecepatan level satu selama tiga detik, kemudian dimasukkan kedalam gelas ukur 500 ml. Volume busa dicatat setelah didiamkan selama 0.5 menit dan 5.5 menit. Nilai daya pembusaan adalah volume busa setelah pendiaman selama 0.5 menit. Stabilitas busa adalah perbandingan volume busa ketika 5.5 menit terhadap volume busa 0.5 menit. 6. Daya deterjensi (Lynn, 2005) Sampel sebanyak 1 ml dilarutkan di dalam air 99 ml ( 1% v/v deterjen), dan digunakan sebagai larutan perendaman. Pengukuran nilai kekeruhan dilakukan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 540 nm. Nilai kekeruhan larutan deterjen 1 % dicatat sebagai T 1, dengan menggunakan air akuades sebagai standar. Kain putih bersih berbentuk bunjur sangkar dengan luas 25 m 2 direndam dalam larutan pencucian selama 30 menit. Setelah perendaman kain bersih, larutan diukur kekeruhannya lalu dikurangi dengan T 1 dan dinyatakan sebagai OD (Original Dirt). Kain putih dari jenis dan ukuran yang sama direndam dalam larutan zat pengotor (kecap manis) dengan konsentrasi 10 % selama 30 menit, kemudian ditiriskan di dalam larutan perendaman selama 30 menit. Nilai kekeruhan setelah perendaman kain kotor dinyatakan sebagai T 2. Nilai daya deterjensi dinyatakan sebagai nilai kekeruhan yang dihasikan dalam unit FTU Turbidity (Formazyn turbidity unit). Daya deterjensi = T 2 T 1 - OD 54

64 Lampiran 3. Hasil analisa derajat keasaman (ph) deterjen cair Jumlah dekstrin (%) 0 A1 2 A2 3 A3 4 A4 Ulangan Jumlah MES (%) 0 rata-rata 9 B1 rata-rata 11 B2 rata-rata 13 B3 rata-rata 1 7,47 7,46 7,47 7,43 7,41 7,42 7,43 7,43 7,43 2 7,45 7,47 7,46 7,45 7,46 7,45 7,39 7,37 7,38 rata-rata 7,46 7,44 7,41 1 7,45 7,46 7,45 7,44 7,48 7,46 7,32 7,28 7,30 2 7,42 7,42 7,42 7,28 6,94 7,11 7,33 7,27 7,30 rata-rata 7,44 7,29 7,30 1 7,35 7,36 7,35 7,45 7,45 7,45 7,33 7,35 7,34 2 7,37 7,39 7,38 7,40 7,40 7,4 7,42 7,38 7,40 rata-rata 7,37 7,43 7,37 1 7,38 7,35 7,37 7,42 7,41 7,41 7,41 7,35 7,38 2 7,37 7,38 7,37 7,32 7,25 7,29 7,36 7,36 7,36 rata-rata 7,37 7,35 7,37 blangko 1 7,51 7,48 7,49 2 7,58 7,61 7,59 rata-rata 7,55 55

65 Lampiran 4. Hasil analisis keragaman dan uji nilai tengah derajat keasaman (ph) deterjen cair Hasil analisis keragaman derajat keasaman (ph) deterjen cair Sumber keragaman df SS MS F hit F tabel K. Dekstrin (A) 3 0,009 0,003 0,523 3,490 K. MES (B) 2 0,029 0,015 2,319 3,890 Interaksi Abij 6 0,026 0,004 0,698 3,000 Ek (ij) 12 0,076 0,006 Total 23 0,141 Keterangan: F tabel > F hitung = tidak signifkan F tabel < F hitung = signifkan Perhitungan uji nilai tengah derajat keasaman (ph) terhadap kontrol Ho : µ o = 7,55 n : 24 H1 : µ o 7,55 v : 23 α : 0,05 t (23; 0,05) : 1,714 wilayah kritis : t < - 1,714 ; t > 1,714 x rata-rata : 7,38 standar deviasi : 0,078 t : /,, t :, / t: -10,204 kesimpulan: tolak Ho, bahwa rata-rata ph (µ) produk deterjen berbeda nyata terhadap nilai ph kontrol dan nilai ph produk deterjen cair lebih rendah dari pada kontrol (µ < µ o ). 56

66 Lampiran 5. Hasil analisis nilai viskositas (cp) deterejen cair Jumlah dekstrin (%) 0 A1 2 A2 3 A3 4 A4 Ulangan 0 9 B1 Jumlah MES (%) 1 16,0 21,0 18,5 15,0 17,6 22,0 21,0 20,5 20,0 20,9 34,5 36,0 36,5 35,5 35,6 2 19,0 17,0 17,0 15,5 17,1 23,5 21,0 19,5 20,5 21,1 36,0 41,5 42,0 35,0 38,6 rata-rata 17,4 21,0 37,1 1 16,0 15,5 16,0 20,0 16,9 22,0 22,5 20,0 22,0 21,6 45,0 47,5 45,0 43,5 45,3 2 14,0 14,0 17,0 14,0 14,7 27,0 18,5 22,5 22,5 22,6 47,0 48,0 48,0 44,5 46,9 rata-rata 15,8 22,1 46,1 1 24,0 22,5 22,5 24,5 23,4 24,5 23,5 28,5 27,0 25,9 46,0 47,5 48,5 47,0 47,3 2 25,5 27,0 28,5 28,0 27,3 25,0 26,5 28,0 27,0 26,6 47,5 50,0 47,5 50,0 48,7 rata-rata 25,3 26,3 48,0 1 24,0 23,0 25,5 20,5 23,3 32,5 32,5 32,0 32,0 32,3 50,5 49,0 46,0 46,5 48,0 2 21,0 24,5 21,5 23,0 22,5 32,5 30,5 31,0 34,5 32,1 47,0 49,5 48,5 48,5 48,4 rata-rata 22,9 32,2 48,2 11 B2 13 B3 ratarata ratarata ratarata ratarata blangko , rata-rata 9281,3 57

67 Lampiran 6. Hasil analisa keragaman dan uji duncan nilai viskositas deterjen cair Hasil analisis keragaman nilai viskositas (cp) deterjen cair sumber keragaman Df SS MS F hit F tabel K. Dekstrin (A) , , ,791 3,490 K. MES (B) 2 341, , ,710 3,890 Interaksi Abij 6 97,775 16,296 10,859 3,000 Ek (ij) 12 18,008 1,501 Total ,781 Keterangan: F tabel > F hitung = tidak signifkan F tabel < F hitung = signifkan Hasil uji duncan terhadap nilai viskositas deterjen cair Subset interaksi N E E E E E E E E E E E E E E1 Sig Keterangan: Berbeda colum = berbeda nyata Satu colum = tidak berbeda nyata 58

68 Lampiran 7. Hasil analisa nilai bobot jenis deterjen cair Jumlah dekstrin (%) Ulangan Jumlah MES (gram) 0 9 B1 11 B2 13 B3 A B C b. jenis A B C b.jenis (g/ml) A B C b. jenis (g/ml) A B C b.jenis (g/ml) 0 A1 1 13, , ,5077 1, , , ,3541 1, , , ,4075 1, , , ,5432 1, , , ,4751 1, , , ,3737 1,0875 rata-rata 1,1020 1,0921 1, A2 1 12, , ,5257 1, , , ,3899 1, , , ,8139 1, , , ,5851 1, , , ,6428 1, , , ,5262 1,1021 rata-rata 1,1047 1,1027 1, A3 1 12, , ,6720 1, , , ,4294 1, , , ,4486 1, , , ,6305 1, , , ,5813 1, , , ,5512 1,1014 rata-rata 1,1102 1,1006 1, A4 1 13, , ,5440 1, , , ,5546 1, , , ,4671 1, , , ,5774 1, , , ,2502 0, , , ,5360 1,1003 rata-rata 1,1037 1,0471 1,0990 blangko 1 13, , ,6732 1, , , ,7093 1,1233 rata-rata 1,

69 Lampiran 8. Hasil analisa uji keragaman dan uji nilai tengah nilai bobot jenis deterjen cair Hasil uji keseragaman nilai bobot jenis produk deterjen cair sumber keragaman df SS MS F hit F tabel K. Dekstrin (A) 3 0,0017 0,0005 0,8099 3,49 K. MES (B) 2 0,0021 0,0011 1,5363 3,89 Interaksi ABij 6 0,0028 0,0005 0, Ek (ij) 12 0,0082 0,0007 Total 23 0,0148 Keterangan: F tabel > F hitung = tidak signifkan F tabel < F hitung = signifkan Perhitungan uji nilai tengah bobot jenis terhadap kontrol Ho : µ o = 1,1197 n : 24 H1 : µ o 1,1197 v : 23 α : 0,05 t (23; 0,05) : 1,714 wilayah kritis : t < - 1,714 ; t > 1,714 x rata-rata : 1,0971 standar deviasi : 0,0235 µ t : /,, t :, / t: -4,3701 kesimpulan: tolak Ho, bahwa rata-rata nilai bobot jenis(µ) produk deterjen berbeda nyata terhadap nilai bobot jenis kontrol dan nilai bobot jenis produk deterjen cair lebih rendah dari pada kontrol (µ < µ o ). 60

70 Lampiran 9. Hasil analisa nilai stabilitas emulsi deterjen cair Jumlah MES (%) Jumlah dekstrin (%) Ulangan B. cawan B.sampel 0 9 B1 11 B2 13 B3 B. B. B. B. B. B. total akhir SE B. total akhir B. total B. akhir B. total (g) (g) (%) cawan B.sampel (g) (g) SE (%) cawan B.sampel (g) (g) SE (%) cawan B.sampel (g) B. akhir (g) SE (%) 0 A1 1 5,45 5,03 10,48 9,50 90,65 4,64 5,14 9,78 9,35 95,60 5,82 5,12 10,94 9,83 89,85 2 4,80 5,05 9,85 9,00 91,37 4,45 5,15 9,60 8,51 88,65 4,72 5,11 9,83 9,40 95,63 rata-rata 91,01 92,13 92,74 2 A2 1 8,28 5,08 13,36 11,93 89,30 4,30 5,74 10,04 9,08 90,44 7,78 5,00 12,78 11,74 91,86 2 4,82 5,07 9,89 9,19 92,92 4,51 5,22 9,73 8,82 90,65 4,42 5,05 9,47 8,41 88,81 rata-rata 91,11 90,54 90,33 3 A3 1 5,56 4,96 10,52 9,54 90,68 4,55 5,06 9,61 8,61 89,59 4,39 5,04 9,43 8,45 89,61 2 4,41 5,14 9,55 8,60 90,05 4,34 5,10 9,44 9,02 95,55 6,25 5,25 11,5 11,1 96,52 rata-rata 90,37 92,57 93,07 4 A4 1 4,42 5,11 9,53 8,71 91,39 8,12 5,37 13,49 12,74 94,44 5,87 5,04 10,91 10,13 92,85 2 5,31 5,04 10,35 9,44 91,21 4,52 5,06 9,58 8,99 93,84 5,57 5,24 10,81 10,12 93,62 rata-rata 91,30 94,14 93,23 blangko 1 6,56 3,26 9,82 8,52 86,81 2 6,54 2,97 9,51 8,13 85,44 rata-rata 86,13 61

71 Lampiran 10. Hasil analisis keragaman dan uji nilai tengah nilai stabilitas emulsi deterjen cair Hasil analisa keragaman nilai stabilitas emulsi produk deterjen cair sumber keragaman df SS MS F hit F tabel K. Dekstrin (A) 3 10,41 3,47 0,44 3,49 K. MES (B) 2 15,17 7,59 0,96 3,89 Interaksi ABij 6 9,97 1,66 0,21 3 Ek (ij) 12 94,72 7,89 Total ,26 Keterangan: F tabel > F hitung = tidak signifkan F tabel < F hitung = signifkan Perhitungan uji nilai tengah nilai stabilitas busa terhadap kontrol Ho : µ o = 86,13 n : 24 H1 : µ o 86,13 v : 23 α : 0,05 t (23; 0,05) : 1,714 wilayah kritis : t < - 1,714 ; t > 1,714 x rata-rata : 91,8785 standar deviasi : 2,38 t : 瑲 µ /,, t :, / t: 11,84 kesimpulan: tolak Ho, bahwa rata-rata nilai stabilitas emulsi (µ) produk deterjen berbeda nyata terhadap nilai stabilitas emulsi kontrol dan nilai stabilitas emulsi produk deterjen cair lebih tinggi dari pada kontrol (µ > µ o ). 62

72 Lampiran 11. Hasil analisa daya pembusaan dan stabilitas busa deteren cair Jumlah dekstrin (%) Ulangan Jumlah MES (%) 0 9 B1 11 B2 13 B3 0,5 mnt (A) 5,5 mnt (B) A/B 0,5 mnt (A) 5,5 mnt (B) B/A 0,5 mnt (A) 5,5 mnt (B) B/A 0,5 mnt (A) 5,5 mnt (B) B/A 0 A , , , , , ,79 rata-rata 150 0, , ,81 2 A , , , , , ,77 rata-rata 235 0, , ,65 3 A , , , , , ,72 rata-rata 190 0, , ,80 4 A , , , , , ,41 rata-rata 170 0, , ,63 blangko , ,94 rata-rata 160 0,91 63

73 Lampiran 12. Hasil analisa keragaman dan uji nilai tengah daya pembusaan deterjen cair Hasil analisa keragaman nilai daya pembusaan produk deterjen cair sumber keragaman Df SS MS F hit F tabel K. Dekstrin (A) 3 214,583 71,528 0,001 3,49 K. MES (B) , ,667 0,0141 3,89 Interaksi ABij , ,903 0,007 3 Ek (ij) ,5 Total ,333 Keterangan: F tabel > F hitung = tidak signifkan F tabel < F hitung = signifkan Perhitungan uji nilai tengah nilai daya pembusaan terhadap kontrol Ho : µ o = 160 n : 24 H1 : µ o 160 v : 23 α : 0,05 t (23; 0,05) : 1,714 wilayah kritis : t < - 1,714 ; t > 1,714 x rata-rata : 191, 667 standar deviasi : 0,113 µ t : / 191, t : 0,113/ t: 1374 kesimpulan: tolak Ho, bahwa rata-rata nilai daya pembusaan (µ) produk deterjen berbeda nyata terhadap nilai daya pembusaan kontrol dan nilai daya pembusaan produk deterjen cair lebih tinggi dari pada kontrol (µ > µ o ). 64

74 Lampiran 13. Hasil analisa keragaman dan uji nilai tengah stabilitas busa deterjen cair Hasil analisa keragaman stabilitas busa produk deterjen cair sumber keragaman df SS MS Fhit F tabel K. Dekstrin (A) 3 0,025 0,008 0,510 3,49 K. MES (B) 2 0,041 0,020 1,274 3,89 Interaksi ABij 6 0,036 0,006 0,371 3 Ek (ij) 12 0,192 0,016 Total 23 0,293 Keterangan: F tabel > F hitung = tidak signifkan F tabel < F hitung = signifkan Perhitungan analisis keragaman nilai stabilitas busa terhadap kontrol Ho : µ o = 0,906 n : 24 H1 : µ o 0,906 v : 23 α : 0,05 t (23; 0,05) : 1,714 wilayah kritis : t < - 1,714 ; t > 1,714 x rata-rata : 0,766 standar deviasi : 0,113 µ t : / 0,766 0,906 t : 0,113/ t: -6,107 kesimpulan: tolak Ho, bahwa rata-rata nilai stabilitas busa (µ) produk deterjen berbeda nyata terhadap nilai stabilitas busa kontrol dan nilai stabilitas busa produk deterjen cair lebih rendah dari pada kontrol (µ < µ o ). 65

75 Lampiran 14. Hasil analisis daya deterjensi deterjen cair Jumlah dekstrin (%) 0 A1 2 A2 3 A3 4 A4 Ulangan Jumlah MES (%) 0 9 B1 11 B2 13 B3 D.deterjensi D.deterjensi D.deterjensi T1 OD T2 T1 OD T2 T1 OD T2 T1 OD T2 (FTU) (FTU) (FTU) D.deterjensi (FTU) ,0 29,0 1,0 3,0 36,0 32,0 0 10,0 56,0 46, ,0 28,0 0 1,0 34,0 33,0 0 3,0 48,0 45,0 rata-rata 28,5 32,5 45, ,0 32,0 31,0 0 3,0 37,0 34,0 1,0 3,0 50,0 46, ,0 28,0 0 2,0 47,0 45,0 0 4,0 50,0 46,0 rata-rata 29,5 39,5 46, ,0 31,0 30,0 8,0 9,0 53,0 36,0 1,0 4,0 49,0 44, ,0 28,0 27,0 0 2,0 36,0 34,0 0 3,0 50,0 47,0 rata-rata 28,5 35,0 45, ,0 33,0 2,0 3,0 47,0 42,0 4,0 10,0 64,0 50, ,0 26,0 25,0 0 2,0 44,0 42,0 0 6,0 63,0 57,0 rata-rata 29,0 42,0 53,5 blangko 1,0 3,0 7,0 38,0 28,0 2,0 4,0 5,0 37,0 28,0 rata-rata 3,5 28,0 66

76 Lampiran 15. Hasil analisa keragaman, uji nilai tengah dan uji duncan daya deterjensi deterjen cair Hasil analisa keragaman daya deterjensi deterjen cair sumber keragaman df SS MS F hit F tabel K. Dekstrin (A) ,6 470,5 42,1 3,49 K. MES (B) 2 128,2 64,1 5,7 3,89 Interaksi ABij 6 76,1 12,7 1,1 3 Ek (ij) ,2 Total ,8 Keterangan: F tabel > F hitung = tidak signifkan F tabel < F hitung = signifkan Hasil uji duncan nilai daya deterjensi deterjen cair terhadap konsentrasi MES Duncan Subset konsentrasi MES N konsentrasi MES 9% konsentrasi MES 11% konsentrasi MES 13% Sig Keterangan: Berbeda colum = berbeda nyata Satu colum = tidak berbeda nyata Hasil uji duncan nilai daya deterjensi deterjen cair terhadap konsentrasi dekstrin Duncan Subset konsentrasi dekstrin N 1 2 konsentrasi dekstrin 0% konsentrasi dekstrin 3% konsentrasi dekstrin 2% konsentrasi dekstrin 4% Sig Keterangan: Berbeda colum = berbeda nyata Satu colum = tidak berbeda nyata 67

77 Perhitungan uji nilai tengah nilai daya deterjensi terhadap kontrol pada konsentrasi MES Ho : µ o = 28 n : 3 H1 : µ o 28 v : 2 α : 0,05 t (2; 0,05) : 2,92 wilayah kritis : t < - 2,92 ; t > 2,92 x rata-rata : 37,9 standar deviasi : 9,4 µ t : / 37,9 28 t : 9,4/ t: 5,2 kesimpulan: tolak Ho, bahwa rata-rata nilai daya deterjensi (µ) pada konsentrasi MES produk deterjen berbeda nyata terhadap nilai daya deterjensi kontrol dan nilai daya deterjensi produk deterjen cair lebih tinggi dari pada kontrol (µ > µ o ). 68

78 Perhitungan uji nilai tengah nilai daya deterjensi terhadap kontrol pada konsentrasi dekstrin Ho : µ o = 28 n : 4 H1 : µ o 28 v : 3 α : 0,05 t (2; 0,05) : 2,3553 wilayah kritis : t < - 2,3553 ; t > 2,3553 x rata-rata : 38 standar deviasi : 2,7 µ t : / t : 2,7/ t: 18,2 kesimpulan: tolak Ho, bahwa rata-rata nilai daya deterjensi (µ) pada konsentrasi dekstrin produk deterjen berbeda nyata terhadap nilai daya deterjensi kontrol dan nilai daya deterjensi produk deterjen cair lebih tinggi dari pada kontrol (µ > µ o ). 69

79 Lampiran 16. Gambar pohon hirarki analisis keputusan 70

80 Lampiran 17. Gambar sistem pemberian skor pada masing-masing parameter 71

81 Lampiran 18. Hasil pembobotan setiap alternatif deterjen cair Hasil pembobotan masing-masing alternatif deterjen cair Lowest Level A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3 A4B1 A4B2 A4B3 bobot jenis ,143 ph ,190 daya deterjensi 0,000 0, ,000 0, ,000 0, ,000 0, ,286 daya pembusaan ,048 viskositas 0,000 0,167 0,833 0,000 0, ,333 0, ,167 0, ,238 stabilitas busa ,000 stabilitas emulsi ,095 Results 0,476 0,659 0,960 0,476 0, ,556 0, ,516 0, Model Weights Gambar grafik hasil pembobotan setiap alternatif deterjen cair 72

II. TINJAUAN PUSTAKA A. DETERJEN CAIR

II. TINJAUAN PUSTAKA A. DETERJEN CAIR II. TINJAUAN PUSTAKA A. DETERJEN CAIR Deterjen cair didefinisikan sebagai larutan surfaktan yang ditambahkan bahan-bahan lain untuk memberikan warna dan aroma yang diinginkan, dan juga untuk menyesuaikan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Alat yang digunakan adalah hotplate stirrer, reaktor labu leher tiga dan alat sentrifuse. Alat yang digunakan dalam analisis deterjen cair adalah viscosimeter

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT (MES) Pada penelitian ini surfaktan MES yang dihasilkan berfungsi sebagai bahan aktif untuk pembuatan deterjen cair. MES yang dihasilkan merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA CHOH H 2 C CH 2 H 2 C CH 2 N CH CH 2 NH CH 2 NH N CH CO-NH CO CO CH-CO-NH CO CH-CO CH 2

II. TINJAUAN PUSTAKA CHOH H 2 C CH 2 H 2 C CH 2 N CH CH 2 NH CH 2 NH N CH CO-NH CO CO CH-CO-NH CO CH-CO CH 2 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gelatin Gelatin merupakan senyawa turunan yang dihasilkan dari serabut kolagen jaringan penghubung, kulit, tulang dan tulang rawan yang dihidrolisis asam atau basa. Susunan asam

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN MESA off grade merupakan hasil samping dari proses sulfonasi MES yang memiliki nilai IFT lebih besar dari 1-4, sehingga tidak dapat digunakan untuk proses Enhanced Oil Recovery

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi dengan menggunakan bahan baku dari minyak nabati seperti kelapa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar.

I. PENDAHULUAN. Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Potensi Indonesia sebagai produsen surfaktan dari minyak inti sawit sangat besar. Hal ini dikarenakan luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia terus

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat melalui proses sulfonasi. Jenis minyak yang dapat digunakan sebagai bahan baku

Lebih terperinci

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan

Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Perbandingan aktivitas katalis Ni dan katalis Cu pada reaksi hidrogenasi metil ester untuk pembuatan surfaktan Tania S. Utami *), Rita Arbianti, Heri Hermansyah, Wiwik H., dan Desti A. Departemen Teknik

Lebih terperinci

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK TUJUAN : Mempelajari proses saponifikasi suatu lemak dengan menggunakan kalium hidroksida dan natrium hidroksida Mempelajari perbedaan sifat sabun dan detergen A. Pre-lab

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surfaktan (surface active agent) adalah senyawa amphiphilic, yang merupakan molekul heterogendan berantai panjangyang memiliki bagian kepala yang suka air (hidrofilik)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan untuk membuat sabun transparan berasal dari tiga jenis minyak,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat. Selain itu konsumen

BAB I PENDAHULUAN. sehingga mengakibatkan konsumsi minyak goreng meningkat. Selain itu konsumen BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Minyak goreng adalah salah satu unsur penting dalam industri pengolahan makanan. Dari tahun ke tahun industri pengolahan makanan semakin meningkat sehingga mengakibatkan

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit LAMPIRAN Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit 46 Lampiran 2. Diagram alir proses pembuatan Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Metil Ester Olein Gas SO 3 7% Sulfonasi Laju alir ME 100 ml/menit,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI LIMBAH MINYAK Sebelum ditambahkan demulsifier ke dalam larutan sampel bahan baku, terlebih dulu dibuat blanko dari sampel yang diujikan (oli bekas dan minyak

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini terdiri dari bahan utama yaitu biji kesambi yang diperoleh dari bantuan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Lebih terperinci

A. Sifat Fisik Kimia Produk

A. Sifat Fisik Kimia Produk Minyak sawit terdiri dari gliserida campuran yang merupakan ester dari gliserol dan asam lemak rantai panjang. Dua jenis asam lemak yang paling dominan dalam minyak sawit yaitu asam palmitat, C16:0 (jenuh),

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1.Permono. Ajar Membuat detergen bubuk, Penebar swadaya. Jakarta.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1.Permono. Ajar Membuat detergen bubuk, Penebar swadaya. Jakarta. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di khasanah dunia ilmiah dikenal adanya produk yang disebut dengan synthetic detergent yang disingkat dengan istilah syndent. Kata synthetic (sintetik) sepertinya memberi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jelantah Minyak jelantah merupakan minyak goreng yang telah digunakan beberapa kali. Minyak jelantah masih memiliki asam lemak dalam bentuk terikat dalam trigliserida sama

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH KONSENTRASI METIL ESTER SULFONAT (MES) DAN KONSENTRASI ALKALI (KOH) TERHADAP KINERJA DETERJEN CAIR INDUSTRI

KAJIAN PENGARUH KONSENTRASI METIL ESTER SULFONAT (MES) DAN KONSENTRASI ALKALI (KOH) TERHADAP KINERJA DETERJEN CAIR INDUSTRI KAJIAN PENGARUH KONSENTRASI METIL ESTER SULFONAT (MES) DAN KONSENTRASI ALKALI (KOH) TERHADAP KINERJA DETERJEN CAIR INDUSTRI Oleh NAZARUDIN RACHMAN SIDIK F34050088 2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Teknologi Hasil Pertanian Universitas Lampung. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polimer Emulsi 2.1.1 Definisi Polimer Emulsi Polimer emulsi adalah polimerisasi adisi terinisiasi radikal bebas dimana suatu monomer atau campuran monomer dipolimerisasikan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium SBRC LPPM IPB dan Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian FATETA IPB mulai bulan September 2010

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 5. Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah Persentase konversi metil ester dari minyak jelantah pada sampel MEJ 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ

Lebih terperinci

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku Bahan baku yang digunakan untuk penelitian ini adalah gliserol kasar (crude glycerol) yang merupakan hasil samping dari pembuatan biodiesel. Adsorben

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari air dan minyak.

Lebih terperinci

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C

Lemak dan minyak adalah trigliserida atau triasil gliserol, dengan rumus umum : O R' O C Lipid Sifat fisika lipid Berbeda dengan dengan karbohidrat dan dan protein, lipid bukan merupakan merupakan suatu polimer Senyawa organik yang terdapat di alam Tidak larut di dalam air Larut dalam pelarut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji pendahuluan Mikrokapsul memberikan hasil yang optimum pada kondisi percobaan dengan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Satu HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Satu Penentuan Formula Pembuatan Sabun Transparan Penelitian tahap satu merupakan tahap pemilihan formula pembuatan sabun trasnparan. Hasil penelitian tahap satu ini

Lebih terperinci

METODE. = hasil pengamatan pada ulangan ke-j dari perlakuan penambahan madu taraf ke-i µ = nilai rataan umum

METODE. = hasil pengamatan pada ulangan ke-j dari perlakuan penambahan madu taraf ke-i µ = nilai rataan umum METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Bagian Non Ruminansia dan Satwa Harapan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Laboratorium Kimia Fisik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Lebih terperinci

Deterjen yang pertama dibuat adalah garam natrium dari lauril hidrogen sulfat. Saat ini : kebanyakan deterjen adalah garam dari asam sulfonat

Deterjen yang pertama dibuat adalah garam natrium dari lauril hidrogen sulfat. Saat ini : kebanyakan deterjen adalah garam dari asam sulfonat Sejarah Deterjen Deterjen sintetik yang pertama dikembangkan oleh Jerman pada waktu Perang Dunia II Fritz Gunther (Jerman) : penemu surfactant sintetis dalam deterjen tahun 1916 Tahun 1933 deterjen untuk

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Peningkatan nilai tambah produk turunan minyak jarak pagar mutlak diperlukan agar industri biodiesel jarak pagar dapat berkembang dengan baik. Saat ini, perkembangan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan

III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat 2. Bahan III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat 1. Alat Peralatan yang digunakan untuk memproduksi MESA adalah Single Tube Falling Film Reactor (STFR). Gambar STFR dapat dilihat pada Gambar 6. Untuk menganalisis tegangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Surfaktan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Surfaktan Surface active agent (surfactant) merupakan senyawa aktif penurun tegangan permukaan (surface active agent) yang bersifat ampifatik, yaitu senyawa yang mempunyai gugus

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METDE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sebagian besar sumber bahan bakar yang digunakan saat ini adalah bahan bakar fosil. Persediaan sumber bahan bakar fosil semakin menurun dari waktu ke waktu. Hal ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lemak dan minyak adalah trigliserida yang berarti triester (dari) gliserol. Perbedaan antara suatu lemak adalah pada temperatur kamar, lemak akan berbentuk padat dan

Lebih terperinci

KAJIAN PENGARUH KONSENTRASI H 2 SO 4 DAN SUHU REAKSI PADA PROSES PRODUKSI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) DENGAN METODE SULFONASI ABSTRACT

KAJIAN PENGARUH KONSENTRASI H 2 SO 4 DAN SUHU REAKSI PADA PROSES PRODUKSI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) DENGAN METODE SULFONASI ABSTRACT KAJIAN PENGARUH KONSENTRASI H 2 SO 4 DAN SUHU REAKSI PADA PROSES PRODUKSI SURFAKTAN METIL ESTER SULFONAT (MES) DENGAN METODE SULFONASI Khaswar Syamsu, Ani Suryani, dan Nunung D. Putra Departemen Teknologi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pendahuluan Proses pembuatan MCT dapat melalui dua reaksi. Menurut Hartman dkk (1989), trigliserida dapat diperoleh melalui reaksi esterifikasi asam lemak kaprat/kaprilat

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar dari PT Rajawali Nusantara ini dikemas dalam kemasan karung, masing-masing karung berisi kurang lebih 30 kg. Hasil

Lebih terperinci

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan.

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. Lampiran 1 Prosedur analisis surfaktan APG 1) Rendemen Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. % 100% 2) Analisis

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. FORMULASI Formulasi antinyamuk spray ini dilakukan dalam 2 tahap. Tahap yang pertama adalah pembuatan larutan X. Neraca massa dari pembuatan larutan X tersebut diuraikan pada

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006).

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Diagram alir pengepresan biji jarak dengan pengepres hidrolik dan pengepres berulir (Hambali et al. 2006). 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Jarak Pagar Jarak Pagar (Jatropha curcas L) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak nabati non pangan yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia. Selain tidak

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM FARMASI FISIKA TEGANGAN PERMUKAAN KELOMPOK 1 SHIFT A 1. Dini Mayang Sari (10060310116) 2. Putri Andini (100603) 3. (100603) 4. (100603) 5. (100603) 6. (100603) Hari/Tanggal Praktikum

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR Gliserol hasil samping produksi biodiesel jarak pagar dengan katalis KOH merupakan satu fase yang mengandung banyak pengotor.

Lebih terperinci

Gambar 7 Desain peralatan penelitian

Gambar 7 Desain peralatan penelitian 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah pemucat bekas yang diperoleh dari Asian Agri Group Jakarta. Bahan bahan kimia yang digunakan adalah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan pada produk sabun transparan yang dihasilkan berasal dari

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran

3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran 3 METODE PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Penggunaan pati sebagai bahan baku dalam proses sintesis APG harus melalui dua tahapan yaitu butanolisis dan transasetalisasi. Pada butanolisis terjadi hidrolisis

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL Pada awal penelitian ini, telah diuji coba beberapa jenis bahan pengental yang biasa digunakan dalam makanan untuk diaplikasikan ke dalam pembuatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 18 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Percobaan Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahap berkesinambungan agar tujuan dari penelitian ini dapat tercapai. Penelitian dilakukan di laboratorium

Lebih terperinci

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN

SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN SIFAT PERMUKAAN SISTEM KOLOID PANGAN AKTIVITAS PERMUKAAN SIFAT PERMUKAAN Terdapat pada sistem pangan yang merupakan sistem 2 fase (campuran dari cairan yang tidak saling melarutkan immiscible) Antara 2

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae,

I PENDAHULUAN. hampir di seluruh wilayah di Indonesia. Kelapa termasuk dalam famili Palmae, I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR

Prarancangan Pabrik Metil Ester Sulfonat dari Crude Palm Oil berkapasitas ton/tahun BAB I PENGANTAR BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia yang begitu pesat telah menyebabkan penambahan banyaknya kebutuhan yang diperlukan masyarakat. Salah satu bahan baku dan bahan penunjang

Lebih terperinci

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam JURNAL KELARUTAN D. Tinjauan Pustaka 1. Kelarutan Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam bagian tertentu pelarut, kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa 1 bagian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biodiesel Biodiesel merupakan bahan bakar rendah emisi pengganti diesel yang terbuat dari sumber daya terbarukan dan limbah minyak. Biodiesel terdiri dari ester monoalkil dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) Minyak nabati (CPO) yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak nabati dengan kandungan FFA rendah yaitu sekitar 1 %. Hal ini diketahui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Goreng Curah Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan dapat digunakan sebagai bahan pangan. Minyak goreng berfungsi sebagai media penggorengan yang

Lebih terperinci

SABUN MANDI. Disusun Oleh : Nosafarma Muda (M0310033)

SABUN MANDI. Disusun Oleh : Nosafarma Muda (M0310033) SABUN MANDI Disusun Oleh : Winda Puspita S (M0307070) Arista Margiana (M0310009) Fadilah Marsuki (M0310018) Hartini (M0310022) Ika Lusiana (M0310024) Isnaeni Nur (M0310026) Isya Fitri A (M0310027) Nosafarma

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 21 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Ubi kayu merupakan salah satu hasil pertanian dengan kandungan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan baku pembuatan etanol. Penggunaan

Lebih terperinci

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi) Proses Pembuatan Biodiesel (Proses TransEsterifikasi) Biodiesel dapat digunakan untuk bahan bakar mesin diesel, yang biasanya menggunakan minyak solar. seperti untuk pembangkit listrik, mesinmesin pabrik

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sifat Fisikokimia ME Stearin Proses konversi stearin sawit menjadi metil ester dapat ditentukan dari kadar asam lemak bebas (FFA) bahan baku. FFA merupakan asam lemak jenuh

Lebih terperinci

Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar

Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar Lampiran 1. Determinasi Tanaman Jarak Pagar Lampiran 2. Penentuan Faktor Koreksi pada Pengukuran Tegangan Permukaan (γ) dengan Alat Tensiometer Du Nuoy Faktor koreksi = ( γ ) air menurut literatur ( γ

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan bakar fosil telah banyak dilontarkan sebagai pemicu munculnya BBM alternatif sebagai pangganti BBM

Lebih terperinci

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi

Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Transesterifikasi parsial minyak kelapa sawit dengan EtOH pada pembuatan digliserida sebagai agen pengemulsi Rita Arbianti *), Tania S. Utami, Heri Hermansyah, Ira S., dan Eki LR. Departemen Teknik Kimia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hasil perkebunan yang cukup banyak, salah satunya hasil perkebunan ubi kayu yang mencapai 26.421.770 ton/tahun (BPS, 2014). Pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sabun Sabun adalah senyawa garam dari asam-asam lemak tinggi, seperti natrium stearat, (C 17 H 35 COO Na+).Aksi pencucian dari sabun banyak dihasilkan melalui kekuatan pengemulsian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014. 2. Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Teknik Pengolahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN 1. Ekstraksi Biji kesambi dikeringkan terlebih dahulu kemudian digiling dengan penggiling mekanis. Tujuan pengeringan untuk mengurangi kandungan air dalam biji,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Crude Palm il (CP) Minyak sawit kasar merupakan hasil ekstraksi dari tubuh buah (mesokarp) tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis JACQ).Minyak sawit digunakan untuk kebutuhan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Evaluasi Krim Hasil evaluasi krim diperoleh sifat krim yang lembut, mudah menyebar, membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat dioleskan pada

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Inti Sawit (PKO) Kelapa sawit (Elaeis Guineesis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan Indonesia yang memiliki masa depan cukup cerah. Perkebunan kelapa sawit semula

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gliserol Biodiesel dari proses transesterifikasi menghasilkan dua tahap. Fase atas berisi biodiesel dan fase bawah mengandung gliserin mentah dari 55-90% berat kemurnian [13].

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah kulit buah manggis, ethanol, air, kelopak bunga rosella segar, madu dan flavor blackcurrant. Bahan kimia yang digunakan untuk keperluan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN PENELITIAN

BAB III RANCANGAN PENELITIAN BAB III RANCANGAN PENELITIAN 3.1. Metodologi Penelitian Surfaktan methyl ester sulfonat (MES) dibuat melalui beberapa tahap. Tahapan pembuatan surfaktan MES adalah 1) Sulfonasi ester metil untuk menghasilkan

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor) 23 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Penyiapan Sampel Kualitas minyak kastor yang digunakan sangat mempengaruhi pelaksanaan reaksi transesterifikasi. Parameter kualitas minyak kastor yang dapat menjadi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan akan sumber bahan bakar semakin meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Akan tetapi cadangan sumber bahan bakar justru

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada penelitian ini, proses pembuatan monogliserida melibatkan reaksi gliserolisis trigliserida. Sumber dari trigliserida yang digunakan adalah minyak goreng sawit.

Lebih terperinci

Studi Penggunaan Katalis Padat Pada Pembuatan Metil Ester Sulfonat (MES) Dari Metil Ester Berbasis Minyak Sawit

Studi Penggunaan Katalis Padat Pada Pembuatan Metil Ester Sulfonat (MES) Dari Metil Ester Berbasis Minyak Sawit Presentasi Tesis Studi Penggunaan Katalis Padat Pada Pembuatan Metil Ester Sulfonat (MES) Dari Metil Ester Berbasis Minyak Sawit Oleh Ariani Nrp. 2309 201 001 Pembimbing Prof. Dr. Ir. Suprapto, DEA Program

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan mulai 1 Agustus 2009 sampai dengan 18 Januari 2010 di Laboratorium SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) LPPM IPB dan Laboratorium

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan-bahan untuk persiapan bahan, bahan untuk pembuatan tepung nanas dan bahan-bahan analisis. Bahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisis sifat fisiko-kimia CPO Minyak sawit kasar atau Crude Palm Oil (CPO) yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Asian Agri Grup. Analisis sifat fisiko kimia CPO

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perak Nitrat Perak nitrat merupakan senyawa anorganik tidak berwarna, tidak berbau, kristal transparan dengan rumus kimia AgNO 3 dan mudah larut dalam alkohol, aseton dan air.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Skema interaksi proton dengan struktur kaolin (Dudkin et al. 2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN. Skema interaksi proton dengan struktur kaolin (Dudkin et al. 2004). 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Preparasi Adsorben Penelitian ini menggunakan campuran kaolin dan limbah padat tapioka yang kemudian dimodifikasi menggunakan surfaktan kationik dan nonionik. Mula-mula kaolin dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah jarak pagar varietas Lampung IP3 yang diperoleh dari kebun induk jarak pagar BALITRI Pakuwon, Sukabumi.

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. I. Definisi

PEMBAHASAN. I. Definisi PEMBAHASAN I. Definisi Gel menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), merupakan sistem semi padat, terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar,

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Dilakukan identifikasi dan karakterisasi minyak kelapa murni menggunakan GC-MS oleh LIPI yang mengacu kepada syarat mutu minyak kelapa SNI 01-2902-1992. Tabel 4.1.

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Penelitian penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan jenis penstabil katalis (K 3 PO 4, Na 3 PO 4, KOOCCH 3, NaOOCCH 3 ) yang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 28 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Proses produksi glukosa ester dari beras dan berbagai asam lemak jenuh dilakukan secara bertahap. Tahap pertama fermentasi tepung beras menjadi glukosa menggunakan enzim

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratoriun Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

BAB III METODA PENELITIAN. yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga,

BAB III METODA PENELITIAN. yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga, 24 BAB III METODA PENELITIAN A. Alat dan Bahan 1. Alat Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah semua alat gelas yang umum digunakan di laboratorium kimia, set alat refluks (labu leher tiga,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar belakang Senyawa gliserol yang merupakan produk samping utama dari proses pembuatan biodiesel dan sabun bernilai ekonomi cukup tinggi dan sangat luas penggunaannya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Alat yang digunakan untuk pembuatan gel bioetanol adalah handmixer, penangas air, dan gelas ukur. Alat yang digunakan untuk uji antara lain adalah Bomb Calorimeter,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Analisis Sifat Fisiko Kimia Tempurung Kelapa Sawit Tempurung kelapa sawit merupakan salah satu limbah biomassa yang berbentuk curah yang dihasilkan

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO)

LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) LAPORAN AKHIR PENGARUH WAKTU SULFONASI DALAM PEMBUATAN SURFAKTAN MES (METHYL ESTER SULFONATE) BERBASIS MINYAK KELAPA SAWIT KASAR (CPO) Diajukan Sebagai Persyaratan untuk Menyelesaikan Pendidikan Diploma

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI AWAL BAHAN Karakterisistik bahan baku daun gambir kering yang dilakukan meliputi pengujian terhadap proksimat bahan dan kadar katekin dalam daun gambir kering.

Lebih terperinci

PENUNTUN PRAKTIKUM KIMIA DASAR II KI1201

PENUNTUN PRAKTIKUM KIMIA DASAR II KI1201 PENUNTUN PRAKTIKUM KIMIA DASAR II KI1201 Disusun Ulang Oleh: Dr. Deana Wahyuningrum Dr. Ihsanawati Dr. Irma Mulyani Dr. Mia Ledyastuti Dr. Rusnadi LABORATORIUM KIMIA DASAR PROGRAM TAHAP PERSIAPAN BERSAMA

Lebih terperinci