HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN JENIS BAHAN PENGENTAL Pada awal penelitian ini, telah diuji coba beberapa jenis bahan pengental yang biasa digunakan dalam makanan untuk diaplikasikan ke dalam pembuatan gel bioetanol. Beberapa jenis bahan pengental tersebut adalah Natrium Alginat, Guar Gum, Karagenan dan CMC. Sampel awal dibuat sebanyak empat formula dengan menggunakan bahan pengental yang berbeda dengan masing-masing sampel bervolume 100 ml. konsentrasi bahan pengental yang digunakan adalah 0,75% (b/v) atau 0,75 gram bahan pengental dalam 100 ml larutan gel bioetanol, sedangkan konsentrasi etanol yang digunakan adalah 70% (v/v) dengan penambahan air (aquades). Konsentrasi 0,75% (b/v) CMC digunakan dalam penelitian tahap satu ini karena konsentrasi tersebut adalah konsentrasi umum yang digunakan pada makanan. Konsentrasi CMC yang biasa diaplikasikan ke dalam makanan sebagai penstabil atau pengental adalah antara 0,75% sampai 1,1% (Murray, 2000). Pada Gambar 11 diperlihatkan penampakan gel bioetanol dengan menggunakan beberapa bahan pengental. (a) (b) (c) (d) Gambar 11. Penampakan gel bioetanol dengan menggunakan beberapa bahan pengental, (a) guar gum, (b) Natrium Alginat, (c) Karagenan, dan (d) CMC. 85

2 Dari hasil pembuatan gel bioetanol dengan guar gum (a) dan natrium alginat (b) pada gambar diatas dapat dilihat bahwa terjadi pemisahan fase cair dan padat gel bioetanol. Hal ini dapat terjadi dikarenakan perbedaan kepolaran antara bahan pengental tersebut dengan bioetanol. Guar gum dan natrium alginat pada umumnya digunakan sebagai bahan pengental untuk makanan yang berbasis air, dimana air merupakan senyawa yang polar sempurna. Menurut Nussinovitch (1997), alginat dapat berbentuk asam alginat ataupun kalsium alginat yang garamnya tidak larut dalam air pada konsentrasi tertentu. Lebih lanjut menurut Nussinovitch (1997), pelarut yang sangat baik bagi guar gum adalah air, sedangkan pelarut organik akan menghambat kelarutannya. Berbeda dengan air, etanol memiliki tingkat kepolaran yang lebih rendah dari air karena pada molekul etanol terdapat rantai alkil yang bersifat non polar dan juga terdapat gugus hidroksi yang bersifat polar (O Leary, 1976), sehingga bioetanol bersifat semi polar. Bahan pengental seperti guar gum dan natrium alginat tidak dapat menyatu dengan bioetanol meskipun pada awal proses pembuatan telah dicampur terlebih dahulu dengan air (aquades). Untuk gel bioetanol dengan menggunakan karagenan dan CMC dapat menghasilkan bentuk yang homogen. Hasil pencampuran antara bioetanol dengan karagenan dan CMC dapat meningkatkan kekentalan larutan. Namun dari penampakan dapat dilihat bahwa gel bioetanol dengan CMC menghasilkan gel yang lebih jernih dan transparan dibandingkan gel bioetanol dengan karagenan. Menurut Glicksman (1969), pelarut organik seperti metanol, etanol, aseton dan gliserin memperlambat kelarutan dari karagenan sehingga kelarutannya menjadi tidak sempurna yang kemudian akan mencegah terjadinya hidrasi (penyerapan air oleh molekul polimer) dan pelarutan karagenan. Selain itu, pembuatan gel bioetanol dengan menggunakan karagenan harus menggunakan air panas dengan suhu diatas 75 o C (Glicksman, 1969). Berbeda dengan karagenan, pembuatan gel bioetanol dengan CMC dapat dilakukan dengan menggunakan air dingin karena CMC juga dapat larut di air dingin (Murray, 2000). Berdasarkan hal tersebut, pembuatan gel bioetanol dengan menggunakan air dingin dapat mengurangi penguapan bioetanol pada saat proses produksinya sehingga kehilangan etanol akibat panas pada saat pembuatan dapat 86

3 dikurangi. Selain itu, sampel gel bioetanol dengan menggunakan karagenan cenderung mengalami sineresis pada saat penyimpanan, sedangkan gel bioetanol dengan menggunakan CMC semakin baik konsistensinya selama penyimpanan. Hal ini karena bentuk larutan CMC menghasilkan gel yang bersifat pseudoplastis, yaitu bentuk jernih yang akan berkurang viskositasnya jika mengalami gaya gunting (shear forces), namun akan meningkat viskositas jika didiamkan dan disimpan tanpa pengadukan terus menerus (Nevell dan Zerogian, 1985). Dengan demikian bahan pengental yang tepat digunakan untuk formulasi gel bioetanol adalah CMC dan akan digunakan untuk pengujian selanjutnya. B. PENENTUAN KONSENTRASI BIOETANOL Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, bahan pengental yang digunakan dalam penelitian utama adalah Carboxymethylcellulose (CMC). Tahap penentuan konsentrasi bioetanol bertujuan untuk mengetahui rentang konsentrasi bioetanol yang dapat melarutkan seluruh CMC yang ditambahkan serta menghasilkan gel bioetanol yang homogen.. Penentuan konsentrasi bioetanol dilakukan dengan dua perlakuan, yaitu perlakuan konsentrasi CMC (0,75% dan 1%) dan konsentrasi bioetanol (60%, 70% dan 80%). Pelarutan CMC terhadap campuran bioetanol dan air tidak dapat dilakukan secara langsung. CMC tidak dapat langsung larut dalam pelarut organik sehingga harus dilarutkan terlebih dahulu kedalam air dan selanjutnya pelarut organik dapat ditambahkan (Nevell dan Zerogian, 1985). Dalam campuran gel bioetanol, CMC akan berikatan terlebih dahulu dengan air. Setelah terbentuk campuran CMC dan air yang homogen, air akan berikatan dengan bioetanol yang ditambahkan pada saat terakhir pencampuran. Selulosa eter, seperti halnya CMC meningkatkan viskositas larutan melalui ikatan hidrogen dengan molekul air. Ikatan antara rantai tulang punggung CMC dan molekul air mengakibatkan rantai polimer CMC akan memanjang dan menyebabkan peningkatan viskositas larutan (Van Arkel dalam Kennedy et al., 1990). Pelarut organik seperti bioetanol akan diikat oleh campuran air dan CMC 87

4 yang telah homogen dan meningkat viskositasnya. Molekul CMC akan berikatan secara langsung dengan air melalui ikatan hidrogen, sedangkan gugus hidroksi bioetanol yang bersifat polar akan diikat oleh molekul air. Ikatan hidrogen antara molekul air dan etanol dapat dilihat pada Gambar 12. ( Sumber : Harper et al., 1977) Gambar 12. Ikatan hidrogen antara molekul air dan molekul bioetanol. CMC dapat larut dalam campuran air dan bioetanol pada proporsi tertentu sehingga besarnya konsentrasi bioetanol dan konsentrasi air sangat berpengaruh terhadap kelarutan CMC dalam pembuatan gel bioetanol. CMC merupakan bahan pengental yang umumnya digunakan dalam air, namun menurut Desmarais (1973), CMC mempunyai karakteristik yang partly soluble (larut sebagian) pada larutan etanol dan air. Jika konsentrasi bioetanol yang digunakan telalu banyak dan melebihi kemampuan CMC dalam melarutkan dan mengentalkan, maka konsistensi gel bioetanol yang dihasilkan akan terpisah menjadi dua bagian. Selain berpengaruh terhadap kelarutan gel bioetanol, konsentrasi air dan bioetanol di dalam campuran juga mempengaruhi penampakan dan konsistensi gel bioetanol. Penampakan gel bioetanol dengan beberapa perlakuan konsentrasi bioetanol diperlihatkan pada Gambar 13 dan Gambar

5 (a) (b) (c) Gambar 13. Penampakan gel bioetanol dengan konsentrasi CMC 0,75% (b/v) dengan beberapa konsentrasi bioetanol (a) 80% (v/v), (b) 70% (v/v), dan (c) 60% (v/v) (a) (b) (c) Gambar 14. Penampakan gel bioetanol dengan konsentrasi CMC 1% (b/v) dengan beberapa konsentrasi bioetanol (a) 80% (v/v), (b) 70% (v/v) dan (c) 60% (v/v) Pada hasil yang terlihat pada Gambar 13 dan Gambar 14, kecenderungan penampakan dan konsistensi gel bioetanol konsentrasi CMC 0,75% dan 1% pada beberapa konsentrasi bioetanol relatif sama. Pada konsentrasi bioetanol 80%, penampakan gel bioetanol mempunyai dua fase yang terpisah baik pada konsentrasi CMC 0,75% maupun 1%. Hal tersebut dapat terjadi karena CMC 89

6 tidak dapat mengikat semua bioetanol dengan konsentrasi yang tinggi. Berdasarkan hal tersebut, bioetanol pada konsentrasi 80% tidak dapat melarutkan atau mengikat seluruh konsentrasi CMC yang ada karena konsentrasi gugus hidrofobik dari bioetanol telah melampaui konsentrasi optimum sehingga larutan CMC dan air mengalami titik jenuh dan tidak lagi dapat mengikat bioetanol. Gel bioetanol yang relatif homogen terdapat pada konsentrasi 70% dan 60%. Konsentrasi bioetanol sebesar 70% dan 60% akan digunakan untuk pembuatan gel bioetanol dan analisis selanjutnya. Berdasarkan hasil tersebut, maka formulasi dan perlakuan gel bioetanol dilakukan pada konsentrasi bioetanol lebih rendah dari 80%, yaitu pada rentang 55-75%. C. PENGARUH KONSENTRASI BAHAN PENGENTAL DAN BIOETANOL TERHADAP VISKOSITAS, RESIDU PEMBAKARAN DAN NILAI ph. Setelah didapat konsentrasi bioetanol yang dapat digunakan untuk pembuatan gel bioetanol, taraf perlakuan diperbanyak dengan kombinasi acak lengkap dan kemudian dilakukan pengujian viskositas larutan gel bioetanol, uji pembakaran serta pengujian derajat keasaman untuk mengetahui karakteristik dan hubungan antara konsentrasi bahan pengental dan konsentrasi bioetanol terhadap viskositas, residu pembakaran dan derajat keasaman (ph). Terdapat tiga taraf dalam perlakuan konsentrasi bahan yaitu 0,75%; 1% dan 1,25%, sedangkan untuk perlakukan konsentrasi bioetanol juga terdapat tiga taraf, yaitu 55%, 65% dan 75%. Penjelasan dari masing-masing pengujian tersebut di atas adalah sebagai berikut. 1. Uji viskositas Viskositas gel bioetanol perlu diukur untuk mengetahui kekentalan dari gel bioetanol. Viskositas dari gel bioetanol mempengaruhi sifat fisiknya yang dalam aplikasinya sangat menentukan cara penggunaan maupun pengemasan dan transportasinya. Peningkatan viskositas larutan juga ditujukan untuk meningkatkan tegangan permukaan agar dalam aplikasinya sebagai bahan bakar 90

7 rumah tangga, gel bioetanol dapat digunakan secara lebih aman. Menurut Robinson (2006), nilai viskositas dari gel bioetanol berpengaruh kepada mudah tidaknya bahan bakar tersebut untuk tumpah ataupun menguap selama penyimpanan dan pembakaran. Namun viskositas juga berpengaruh terhadap pembakaran bahan bakar di dalam wadah pembakaran pada kompor. Tabel 4 dan diagram pada Gambar 15 memperlihatkan nilai viskositas gel bioetanol. Tabel 4. Nilai Viskositas Gel Bioetanol No. Sampel Viskositas (cp) Standar Deviasi 1 CMC 0,75%-Bioetanol 55% CMC 0,75% - Bioetanol 65% CMC 0,75% - Bioetanol 75% CMC 1,00% - Bioetanol 55% CMC 1,00% - Bioetanol 65% CMC 1,00% - Bioetanol 75% CMC 1,25%-Bioetanol 55% CMC 1,25% - Bioetanol 65% CMC 1,25% - Bioetanol 75% Gambar 15. Diagram Viskositas Gel Bioetanol Terhadap Konsentrasi CMC dan Konsentrasi Bioetanol 91

8 Gambar 15 memperlihatkan bahwa viskositas tertinggi terdapat pada formula CMC 1,25% dengan Bioetanol 65%, sedangkan viskositas terendah terdapat pada formula CMC 0,75% dan Bioetanol 55%. Dengan konsentrasi CMC yang sama, viskositas mempunyai nilai tertinggi pada konsentrasi bioetanol 65%. Viskositas maksimum gel bioetanol terdapat pada konsentrasi bioetanol 65% pada setiap konsentrasi CMC (0,75; 1 dan 1,25%). Hal ini menunjukkan bahwa pada konsentrasi bioetanol 65%, CMC dapat mengentalkan campuran dengan optimal. Pada konsentrasi bioetanol rendah, viskositas juga bernilai rendah dengan konsentrasi CMC yang sama. Viskositas akan meningkat pada konsentrasi 65%, namun akan menurun kembali saat konsentrasi bioetanol menjadi 75%. Landoll (1982) mengemukakan bahwa viskositas maksimum pada larutan CMC, air dan bioetanol diperoleh pada saat rantai hidrofobik dari bioetanol (rantai alkil) mencapai konsentrasi optimum dimana viskositas akan semakin menurun dengan meningkatnya konsentrasi rantai alkil bioetanol pada larutan. Berdasarkan uji Analisis Ragam (Anova), diketahui bahwa perlakuan konsentrasi CMC dan konsentrasi bioetanol berpengaruh nyata terhadap nilai viskositas gel bioetanol, begitu pula interaksi perlakuan konsentrasi CMC dan bioetanol (P<0,05). Konsentrasi CMC dan Bioetanol mempengaruhi nilai viskositas melalui mekanisme pengikatan komponen gel bioetanol (CMC, air dan Bioetanol) yang sangat bergantung adanya gugus hidrofobik pada bioetanol yang menghasilkan viskositas optimum pada konsentrasi bioetanol tertentu. Nilai viskositas dari setiap perlakuan berbeda secara nyata pada setiap konsentrasi bioetanol (55%, 65% dan 75%) dan setiap perlakuan konsenrasi CMC (0,75%, 1% dan 1,25%). Nilai viskositas gel bioetanol tertinggi terdapat pada konsentrasi bioetanol 65%. Hal tersebut terjadi pada setiap perlakuan konsentrasi CMC. Nilai viskositas gel bioetanol berkisar antara 238,335 cp hingga cp. Sebagai perbandingan, viskositas terendah gel bioetanol menyerupai viskositas minyak pelumas motor yang mempunyai viskositas cp, sedangkan viskositas tertinggi gel bioetanol menyerupai viskositas madu, yaitu cp ( 2009). Keseluruhan nilai viskositas gel bioetanol pada rentang tersebut dapat 92

9 diaplikasikan untuk kompor bioetanol tanpa sumbu karena masih dapat mengalir dan dituang ke dalam wadah pembakaran yang terdapat di dalam kompor. 2. Residu Pembakaran CMC merupakan bahan pengental yang dibuat dari selulosa dan mempunyai bobot molekul tinggi (Murray, 2000). Sebagai pengental, CMC mengikat cairan dalam kondisi dingin ataupun hangat. Dalam gel bioetanol, CMC dapat mengikat air dan etanol dalam proporsi tertentu. Hasil pembakaran gel bioetanol dengan CMC akan menyisakan residu pembakaran berupa larutan gel yang sudah tidak dapat terbakar dan sisa pembakaran berwarna kehitaman (karbon). Sisa pembakaran akan bertambah selama waktu pembakaran. Karbon yang berwarna kehitaman merupakan sisa dari komponen CMC yang terdapat pada campuran gel bioetanol yang terbakar dan tidak ikut menguap. Dalam uji pembakaran gel bioetanol dihasilkan api yang cenderung tidak stabil karena tidak mempunyai perantara dalam pembakaran, misalnya sumbu kompor. Selain itu, terdapat dua warna api pembakaran yang dihasilkan yaitu api biru dan api biru kemerahan. Berikut ini adalah penampakan uji bakar dan residu pembakaran gel bioetanol dengan menggunakan CMC (Gambar 16). Api biru Api kemerahan (a) Gambar 16. Penampakan Pembakaran Gel Bioetanol (a), dan Residu Pembakaran Gel Bioetanol (b). (b) Api biru akan muncul pada saat awal pembakaran, sedangkan api kemerahan akan muncul setelah pembakaran berjalan cukup lama. Warna api 93

10 mengindikasikan komponen yang terbakar dalam gel bioetanol. Api biru menandakan terbakarnya komponen bioetanol dan lidah api yang terbentuk relatif stabil, sedangkan api kemerahan menandakan pembakaran tidak sempurna dari bioetanol bercampur CMC yang terdapat pada gel bioetanol dan menghasilkan api yang cenderung tidak stabil. Semakin banyak konsentrasi CMC maka api yang berwarna kemerahan akan semakin banyak muncul pada saat pembakaran. Gel bioetanol memiliki tipe api difusi yaitu api yang yang dihasilkan tanpa perantara dan pembakaran terjadi karena percampuran bahan bakar dengan oksigen. Api difusi cenderung membakar lebih lambat dan dapat menghasilkan jelaga jika jarak antara bahan bakar dengan alat pemasakan terlalu dekat sehingga tidak terdapat cukup oksigen untuk pembakaran yang sempurna (Llyod dan Visagie, 2007). Menurut Lloyd dan Visagie (2007), pembakaran tidak sempurna pada aplikasi bahan bakar rumah tangga dapat menghasilkan emisi hidrokarbon dan komponen sisa pembakaran. Tabel 5 dan Gambar 17 memperlihatkan nilai residu pembakaran gel bioetanol. Tabel 5. Jumlah Residu Pembakaran Gel Bioetanol No. Sampel Residu Pembakaran (%) Standar Deviasi 1 CMC 0,75%-Bioetanol 55% CMC 0,75% - Bioetanol 65% CMC 0,75% - Bioetanol 75% CMC 1,00% - Bioetanol 55% CMC 1,00% - Bioetanol 65% CMC 1,00% - Bioetanol 75% CMC 1,25%-Bioetanol 55% CMC 1,25% - Bioetanol 65% CMC 1,25% - Bioetanol 75%

11 Gambar 17. Diagram Jumlah Residu Pembakaran Gel Bioetanol Dari hasil tersebut di atas dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi bioetanol yang digunakan semakin sedikit residu pembakaran yang dihasilkan setelah gel bioetanol dibakar hingga padam. Residu pembakaran gel bioetanol terdiri dari komponen CMC yang berikatan dengan air. Campuran ini adalah bagian yang sudah tidak dapat terbakar setelah semua bioetanol habis menguap oleh panas. Dalam aplikasi gel bioetanol, residu adalah hal yang tidak diinginkan dalam pemakaian bahan bakar rumah tangga alternatif. Oleh karena itu, residu yang dihasilkan harus seminimum mungkin. Dalam pembakaran jumlah yang sedikit, sisa pembakaran berwarna hitam tidak terlalu banyak terbentuk. Namun, jika pembakaran dilakukan dalam skala yang lebih besar, maka sisa pembakaran yang berwarna hitam akan semakin banyak terbentuk. Semakin sedikit jumlah CMC dan semakin tinggi konsentrasi bioetanol, semakin sedikit residu pembakaran yang terbentuk. Residu pembakaran yang berjumlah paling banyak terdapat pada konsentrasi bioetanol 55%. Pada konsentrasi bioetanol 55%, residu pembakaran berkisar antara 45-47% karena 45% dari gel bioetanol adalah air yang berikatan dengan CMC dan tidak habis terbakar dan tertinggal sebagai residu. Jumlah residu pembakaran terus menurun seiring dengan meningkatnya konsentrasi bioetanol. Jumlah residu paling rendah 95

12 terdapat pada konsentrasi bioetanol 75%, yaitu berkisar antara 12-15%. Dengan jumlah air yang lebih sedikit, maka jumlah residu pembakaran juga sedikit. Hal ini terjadi pada semua konsentrasi CMC. Jumlah air yang menguap saat pembakaran sangat sedikit sehingga jumlah residu pembakaran mendekati konsentrasi air yang terkandung dalam gel bioetanol. Hal tersebut terjadi karena ikatan antara air dengan CMC lebih kuat dibandingkan dengan ikatan air dengan bioetanol sehingga meskipun terdapat panas pembakaran, air dalam gel bioetanol hanya sedikit yang ikut menguap karena terikat oleh CMC. Semakin tinggi konsentrasi air yang terkandung dalam gel bioetanol, semakin tinggi pula residu pembakaran yang dihasilkan. Selain itu, CMC sebagai polimer dengan bobot molekul tinggi adalah bahan pengental yang sulit menguap selama pembakaran dan mengikat air menjadi residu yang tidak dapat terbakar. Hasil Analisis Ragam (Anova) menyatakan bahwa, jumlah residu pada tiap konsentrasi bioetanol (55, 65 dan 75%) berbeda secara nyata. Konsentrasi bioetanol sangat berpengaruh terhadap jumlah residu pembakaran gel bioetanol. Sebaliknya, konsentrasi CMC (0,75; 1 dan 1,25%) tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah residu yang dihasilkan dari pembakaran gel bioetanol, begitu pula dengan interaksi antara konsentrasi CMC dan konsentrasi bioetanol yang juga tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah residu pembakaran. CMC hanya berperan sebagai pengikat air dalan larutan gel bioetanol, sehingga jumlah air yang terkandung menentukan jumlah residu pembakaran yang dihasilkan. Jadi, dapat dikatakan bahwa jumlah residu pembakaran bioetanol hanya dipengaruhi oleh konsentrasi bioetanol, sedangkan konsentrasi CMC tidak memberi pengaruh yang signifikan. 3. Nilai ph Derajat keasaman gel bioetanol diukur dengan pengujian ph. Pengujian ini ditujukan untuk mengetahui kemungkinan aplikasi gel bioetanol yang lain. Dengan mengetahui derajat keasaman dari gel bioetanol, penanganan akan lebih mudah dilakukan baik untuk pengemasan, transportasi ataupun aplikasi lain yang mungkin dilakukan dengan menggunakan gel bioetanol. Berdasarkan hasil 96

13 pengujian derajat keasaman (ph), nilai ph gel bioetanol berkisar antara 6,9 dan 7,3. Hal ini berarti bahwa gel bioetanol dengan menggunakan CMC sebagai bahan pengental mempunyai derajat keasaman yang netral. Dalam pembuatan gel bioetanol dengan menggunakan bahan pengental CMC tidak menggunakan zat asam atau basa tertentu untuk meningkatkan viskositas larutan sehingga hasil yang diperoleh juga relatif mempunyai derajat keasaman yang netral. Perbandingan nilai ph dari setiap formulasi gel bioetanol dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 18. Tabel 6. Nilai ph Formulasi Gel Bioetanol No. Sampel Nilai ph Standar Deviasi 1 CMC 0,75%-Bioetanol 55% CMC 0,75% - Bioetanol 65% CMC 0,75% - Bioetanol 75% CMC 1,00% - Bioetanol 55% CMC 1,00% - Bioetanol 65% CMC 1,00% - Bioetanol 75% CMC 1,25%-Bioetanol 55% CMC 1,25% - Bioetanol 65% CMC 1,25% - Bioetanol 75% Gambar 18. Diagram Nilai ph Gel Bioetanol. 97

14 Dari semua gel bioetanol yang dibuat, formula dengan 0,75% CMC dan 65% Bioetanol mempunyai nilai ph paling rendah (6,98), sedangkan formula CMC 1% dan Bioetanol 75% mempunyai nilai ph paling tinggi (7,315). Namun, perbedaan nilai ph antar formula gel bioetanol tidak berbeda secara signifikan berdasarkan uji Analisis Ragam (Anova). Hal tersebut dikarenakan pada proses pembuatan gel bioetanol tidak dilakukan penambahan asam atau basa serta mempergunakan bahan baku yang bersifat netral. Selain itu, baik konsentrasi CMC maupun konsentrasi Bioetanol juga tidak berpengaruh nyata terhadap nilai ph formula gel bioetanol secara keseluruhan, sehingga tidak diperlukan penanganan khusus bagi gel bioetanol dalam aplikasinya karena derajat keasaman yang netral. D. WATER BOILING TEST DAN SPECIFIC FUEL CONSUMPTION Water Boiling Test (WBT) adalah pengukuran waktu yang dibutuhkan bahan bakar untuk mendidihkan satu satuan air. Menurut Robinson (2006), WBT dapat menunjukkan efekivitas bahan bakar sekaligus mengukur kinerja kompor dalam mendidihkan satu satuan air. Berdasarkan hasil pengujian jumlah residu pembakaran yang dilakukan sebelumnya, sampel formula gel bioetanol yang digunakan adalah sampel dengan konsentrasi bioetanol 65% dan 75% karena untuk sampel dengan konsentrasi 55% menghasilkan residu pembakaran yang paling tinggi. Perangkat WBT dibuat sederhana dengan menggunakan kompor bioetanol sebagai wadah pembakaran gel bioetanol untuk mendidihkan satu liter air pada suhu ruang. Selama proses pengujian WBT, terdapat beberapa fenomena pembakaran gel bioetanol. Kelebihan air yang terkandung dalam gel bioetanol mengakibatkan kondensasi uap air di bagian bawah panci pemasakan. Kondensasi tersebut pada jumlah tertentu dapat mengganggu proses pemanasan dan dalam jumlah yang berlebihan dapat memadamkan api dari bahan bakar. Menurut Lloyd danvisagie (2007), beberapa jenis bahan bakar yang mengandung air dalam jumlah yang besar akan mengalami kondensasi selama proses pemasakan sampai suhu mencapai 60 0 C. Hal tersebut berarti pada suhu antara 20 o C dan 60 o C bahan bakar 98

15 mengahsilkan nilai kalor yang lebih tinggi (higher heating value), sedangkan nilai kalor yang lebih rendah (lower heating value) dicapai pada suhu di atas 60 o C. Dari pengujian Water Boiling Test (WBT) didapat dua parameter efektivitas pembakaran gel bioetanol, yaitu Water Boiling Test (WBT) dan Spesific Fuel Consumption (SFC). WBT adalah waktu yang dibutuhkan oleh bahan bakar untuk mendidihkan satu liter air, sedangkan Specific Fuel Consumption (SFC) adalah banyaknya bahan bakar yang habis digunakan untuk mendidihkan satu liter air (Robinson, 2006). Gambar 19 memperlihatkan diagram perbandingan nilai rata-rata WBT dan SFC dari masing-masing formula gel bioetanol. Gambar 19. Diagram Nilai Rata-rata WBT dan SFC dari Formula Gel Bioetanol Hasil pada Gambar 19 menunjukkan bahwa nilai waktu WBT yang paling singkat adalah pada formula CMC 1%-Bioetanol 75% dan CMC 0,75%-Bioetanol 65% dengan waktu selama 30,18 menit. Hasil yang diharapkan dari pengujian di atas adalah formula yang dapat mendidihkan air dengan waktu yang relatif singkat, maka semakin singkat waktu pendidihan maka semakin efektif kinerja dari bahan bakar tersebut. Menurut Robinson (2006), waktu efektivitas pendidihan tergantung dari efisiensi termal yang terdapat pada perangkat uji, dimana efisiensi termal merupakan kombinasi dari efektivitas pembakaran dan perpindahan panas pada saat pendidihan. Dari semua hasil nilai waktu WBT, kisaran waktu yang dibutuhkan untuk mendidihkan satu liter air adalah menit. Berdasarkan hasil Analisis Ragam (Anova), nilai waktu WBT pada semua 99

16 sampel yang diuji tidak berbeda secara nyata. Perlakuan konsentrasi CMC tidak berpengaruh signifikan terhadap WBT, sedangkan nilai WBT pada konsentrasi bioetanol 65% tidak berbeda secara signifikan dengan konsentrasi bioetanol 75% atau WBT pada konsentrasi bioetanol 65% dan 75% relatif sama. Pada pengukuran SFC, diharapkan nilai yang rendah karena nilai SFC yang rendah mengindikasikan efisiensi pemakaian bahan bakar. Menurut Wahyuni (2008), pengurangan bobot bahan bakar yang besar memberikan laju pembakaran yang tinggi. Semakin besar laju pembakaran maka waktu nyala juga semakin cepat dan waktu pemasakan juga makin singkat. Gambar 19 juga memperlihatkan bahwa nilai SFC terendah terdapat pada formula CMC 1% dan Bioetanol 65% (42,26 gram/liter air), sedangkan nilai SFC tertinggi terdapat pada formula CMC 1,25% dan bioetanol 65% (50,86 gram/liter air). Nilai SFC dari semua formula berkisar antara gram gel bioetanol/liter air dan secara grafik tidak terlihat kecenderungan nilai SFC tertentu terhadap perlakuan konsentrasi CMC ataupun konsentrasi bioetanol. Hasil Analisis Ragam (Anova), menunjukkan bahwa konsentrasi CMC maupun konsentrasi bioetanol tidak berpengaruh nyata terhadap nilai SFC dan tidak ada interaksi konsentrasi CMC dan bioetanol yang berpengaruh terhadap nilai SFC dengan signifikan. Jadi jumlah gel bioetanol yang diperlukan untuk mendidihkan satu liter air relatif sama untuk konsentrasi bioetanol 65% dan 75%. Dari nilai waktu WBT dan SFC yang telah diperoleh, dapat dihitung nilai Fuel Consumption Rate (FCR) atau Laju Konsumsi Bahan Bakar. FCR adalah jumlah bahan bakar yang habis per satuan waktu selama proses pembakaran yang dalam hal ini adalah gram gel bioetanol yang habis setiap menit selama pembakaran. Gambar 20 menunjukkan perbandingan nilai Fuel Consumption Rate (FCR) dari gel bioetanol. 100

17 Gambar 20. Nilai Fuel Consumption Rate (FCR) Gel Bioetanol Nilai FCR didapat dari perbandingan nilai SFC dengan nilai waktu WBT. Semakin lama waktu WBT maka semakin kecil nilai FCR, sebaliknya semakin besar nilai SFC maka semakin besar nilai FCR. Dari hasil yang diperoleh, nilai FCR tertinggi terdapat pada formula CMC 1,25%-bioetanol 65% (1,48 gram/menit/liter air) dan nilai FCR terendah terdapat pada formula CMC 1%- bioetanol 65% (1,35 gram/menit). Nilai FCR pada keseluruhan sampel tidak berbeda nyata. Berdasarkan penelitian Llyod dan Visagie (2007), gel bietanol yang telah dijual secara komersial di Afrika Selatan mempunyai nilai FCR sebesar 3,05 gram/menit. Berdasarkan data tersebut, gel bioetanol yang menggunakan CMC sebagai bahan pengental mempunyai FCR yang lebih rendah. Perbedaan nilai FCR dipengaruhi oleh jenis bahan pengental yang digunakan, dimana CMC menrupakan polimer yang berbobot molekul tinggi, sukar menguap dan mampu mengikat air dan bioetanol dengan baik. Dengan demikian untuk membakar dan menghabiskan sejumlah gel bioetanol dengan CMC membutuhkan waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan penggunaan bahan pengental lain. Selain itu, bobot molekul CMC yang tinggi juga mengakibatkan terhambatnya pembakaran pada saat pemasakan. Selain itu, perbedaan desain kompor yang digunakan dalam pengujian juga mempengaruhi nilai FCR gel bioetanol. Kompor yang digunakan 101

18 dalam penelitian ini merupakan bentuk sederhana yang belum terdapat modifikasi desain sehingga efisiensinya juga belum optimal. E. NILAI KALOR (CALORIFIC VALUE) Pengukuran nilai kalor dilakukan untuk mengetahui nilai energi pembakaran yang terdapat dalam bahan bakar. Alat yang digunakan untuk mengukur nilai energi gel bioetanol adalah Adiabatic Bomb Calorimeter. Alat tersebut mengukur nilai kalor dengan membakar sempurna bahan bakar yang diukur pada suhu pembakaran tersebut. Pengukuran suhu pembakaran tersebut kemudian dikonversi menjadi nilai kalor (joule) per satuan bobot bahan bakar. Robinson (2006) menjelaskan bahwa bahan bakar yang akan diukur nilai energinya dibakar di dalam Bomb Calorimeter yang kemudian didinginkan kembali sampai suhu ruang. Energi yang digunakan untuk mendinginkan bahan bakar sama dengan energi yang terkandung di dalam bahan bakar. Menurut Llyod dan Visagie (2007), gel etanol yang digunakan sebagai bahan bakar pada umumnya mempunyai Lower Heating Value (LHV) yang rendah. Kandungan air dalam bahan bakar gel bioetanol mempunyai dampak yang cukup signifikan meskipun berjumlah sedikit. Pada penelitian ini, tidak semua sampel diukur nilai kalornya. Pemilihan sampel yang diukur nilai kalor dilakukan berdasarkan tingkat perbedaan nilai WBT yang cukup besar (selisih kurang lebih satu menit WBT) dengan asumsi nilai kalor selama penyimpanan tidak berubah. Tabel 7 memperlihatkan nilai WBT rata-rata gel bioetanol. Tabel 7. Data Sampel Yang Dipilih Untuk Pengujian Nilai Kalor Sampel Simbol Nilai WBT CMC 0,75% - Bioetanol 65% A2B * CMC 1,00% - Bioetanol 65% A2B * CMC 1,25% - Bioetanol 65% A2B * CMC 1,25% - Bioetanol 75% A3B * *sampel yang dipilih untuk pengujian nilai kalor 102

19 Sampel yang dipilih untuk pengukuran nilai kalor adalah (1) CMC 0,75% dan Bioetanol 65%, (2) CMC 1% dan Bioetanol 65%, (3) CMC 1,25% dan Bioetanol 65%, serta (4) CMC 1,25% dan bioetanol 75%. Dari keempat sampel tersebut, nilai kalor yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan nilai kalor gel bioetanol komersial yang telah diaplikasikan sebagai bahan bakar di Afrika Selatan. Hasil pengujian nilai kalor dari keempat sampel di atas diperlihatkan pada Gambar 21. Gambar 21. Diagram Nilai Kalor Gel Bioetanol Diagram pada Gambar 20 menunjukkan bahwa nilai kalor tertinggi terdapat pada formula CMC 1,25% dan bioetanol 75% (17,23 MJ/kg), sedangkan nilai kalor paling rendah terdapat pada formula CMC 0,75% dan Bioetanol 65% (15,15 MJ/kg). Meskipun demikian, ketiga sampel yang mempunyai konsentrasi bioetanol 65% mempunyai nilai kalor yang hampir sama, yaitu sekitar 15 MJ/kg. Nilai kalor yang lebih tinggi diperoleh pada konsentrasi bioetanol yang lebih tinggi pula. Nilai kalor diperngaruhi juga oleh komposisi karbon terikat pada suatu bahan bakar. Semakin tinggi karbon terikat yang dimiliki oleh suatu bahan bakar, maka nilai kalornya juga semakin tinggi. Hal ini disebabkan dalam pembakaran dibutuhkan karbon yang akan bereaksi dengan oksigen untuk menghasilkan kalor (Lloyd dan Visagie, 2007). 103

20 Menurut penelitian Robinson (2006), nilai kalor gel etanol komersial di Afrika Selatan adalah 16,4 MJ/kg (LHV), sedangkan nilai kalor gel etanol pada penelitian Lloyd dan Visagie (2007) adalah 16,1 MJ/kg (LHV) yang mempunyai konsentrasi etanol sebesar 70%. Berdasarkan hal tersebut, dari keempat sampel gel bioetanol yang diuji, sampel dengan konsentrasi bioetanol 75% memenuhi kriteria gel bioetanol komersial. Untuk gel bioetanol dengan konsentrasi 65% mempunyai nilai kalor yang lebih rendah dari gel bioetanol komersial karena konsentrasi bioetanol yang juga lebih rendah (65%). Berdasarkan parameter jumlah residu pembakaran dan nilai kalor yang telah diukur, formulasi gel bioetanol yang baik adalah formula dengan kandungan 75% bioetanol, sedangkan untuk konsentrasi CMC tidak berpengaruh nyata terhadap daya bakar gel bioetanol. Oleh karena itu, formulasi yang terbaik dari gel bioetanol adalah formula dengan konsentrasi 75% (v/v) bioetanol dengan konsentrasi CMC terkecil, yaitu 0,75% (b/v). 104

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Alat yang digunakan untuk pembuatan gel bioetanol adalah handmixer, penangas air, dan gelas ukur. Alat yang digunakan untuk uji antara lain adalah Bomb Calorimeter,

Lebih terperinci

KAJIAN PRODUKSI GEL BIOETANOL DENGAN MENGGUNAKAN CARBOXYMETHYLCELLULOSE (CMC) SEBAGAI BAHAN PENGENTAL

KAJIAN PRODUKSI GEL BIOETANOL DENGAN MENGGUNAKAN CARBOXYMETHYLCELLULOSE (CMC) SEBAGAI BAHAN PENGENTAL KAJIAN PRODUKSI GEL BIOETANOL DENGAN MENGGUNAKAN CARBOXYMETHYLCELLULOSE (CMC) SEBAGAI BAHAN PENGENTAL Oleh: AMALIA RIYANTI F34052345 2009 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 47

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan september 2011 hingga desember 2011, yang bertempat di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Departemen

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan)

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan) 4. PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan) Karakteristik mekanik yang dimaksud adalah kuat tarik dan pemanjangan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Adapun yang menjadi tempat pada penelitian adalah Laboratorium Teknik

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Adapun yang menjadi tempat pada penelitian adalah Laboratorium Teknik 17 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Adapun yang menjadi tempat pada penelitian adalah Laboratorium Teknik Industri Universitas Negeri Gorontalo Kota Gorontalo, sedangkan sasaran untuk penelitian ini yaitu untuk

Lebih terperinci

PEMBUATAN GEL FUEL BERBAHAN DASAR ALKOHOL DENGAN GELLING AGENT ASAM STEARAT DAN METIL SELULOSA

PEMBUATAN GEL FUEL BERBAHAN DASAR ALKOHOL DENGAN GELLING AGENT ASAM STEARAT DAN METIL SELULOSA LABORATORIUM TEKNOLOGI PROSES KIMIA JURUSAN TEKNIK KIMIA INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER PEMBUATAN GEL FUEL BERBAHAN DASAR ALKOHOL DENGAN GELLING AGENT ASAM STEARAT DAN METIL SELULOSA DOSEN PEMBIMBING

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Jelly drink rosela-sirsak dibuat dari beberapa bahan, yaitu ekstrak rosela, ekstrak sirsak, gula pasir, karagenan, dan air. Tekstur yang diinginkan pada jelly drink adalah mantap

Lebih terperinci

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat

4.2. Kadar Abu Kadar Metoksil dan Poligalakturonat Kualitas pektin dapat dilihat dari efektivitas proses ekstraksi dan kemampuannya membentuk gel pada saat direhidrasi. Pektin dapat membentuk gel dengan baik apabila pektin tersebut memiliki berat molekul,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku 4.1.2 Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Evaluasi Krim Hasil evaluasi krim diperoleh sifat krim yang lembut, mudah menyebar, membentuk konsistensi setengah padat dan nyaman digunakan saat dioleskan pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Indonesia memiliki hasil perkebunan yang cukup banyak, salah satunya hasil perkebunan ubi kayu yang mencapai 26.421.770 ton/tahun (BPS, 2014). Pemanfaatan

Lebih terperinci

PEMBUATAN BIOETANOL GEL

PEMBUATAN BIOETANOL GEL PEMBUATAN BIOETANOL GEL Tujuan umum : Setelah melakukan praktikum ini mahasiswa dapat membuat bioetanol gel dari bioetanol cair menjadi bentuk gel. Tujuan khusus : Mengetahui pengaruh jumlah penambahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Data Bahan Baku Minyak Minyak nabati merupakan cairan kental yang berasal dari ekstrak tumbuhtumbuhan. Minyak nabati termasuk lipid, yaitu senyawa organik alam yang tidak

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS BAHAN BAKU Analisis bahan baku bertujuan untuk mengetahui karakteristik bahan baku yang digunakan pada penelitian utama. Parameter yang digunakan untuk analisis mutu

Lebih terperinci

BAB III PENGOLAHAN DAN PENGUJIAN MINYAK BIJI JARAK

BAB III PENGOLAHAN DAN PENGUJIAN MINYAK BIJI JARAK BAB III PENGOLAHAN DAN PENGUJIAN MINYAK BIJI JARAK 3.1. Flowchart Pengolahan dan Pengujian Minyak Biji Jarak 3.2. Proses Pengolahan Minyak Biji Jarak Proses pengolahan minyak biji jarak dari biji buah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan ini merupakan salah satu cara untuk mengetahui dapat atau tidaknya limbah blotong dibuat menjadi briket. Penelitian pendahuluan

Lebih terperinci

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK

REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK REAKSI SAPONIFIKASI PADA LEMAK TUJUAN : Mempelajari proses saponifikasi suatu lemak dengan menggunakan kalium hidroksida dan natrium hidroksida Mempelajari perbedaan sifat sabun dan detergen A. Pre-lab

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 14 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan glukosamin hidroklorida (GlcN HCl) pada penelitian ini dilakukan melalui proses hidrolisis pada autoklaf bertekanan 1 atm. Berbeda dengan proses hidrolisis glukosamin

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN 25 BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Ekstraksi simplisia segar buah duku dilakukan dengan cara dingin yaitu maserasi karena belum ada data tentang kestabilan komponen ekstrak buah duku terhadap panas.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

OPTIMALISASI SEKAM PADI SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN BAKAR GEL YANG RAMAH LINGKUNGAN OPTIMALIZED RICE HUSK FOR ALTERNATIVE ENVIROMENTAL BIOFUEL

OPTIMALISASI SEKAM PADI SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN BAKAR GEL YANG RAMAH LINGKUNGAN OPTIMALIZED RICE HUSK FOR ALTERNATIVE ENVIROMENTAL BIOFUEL OPTIMALISASI SEKAM PADI SEBAGAI ALTERNATIF BAHAN BAKAR GEL YANG RAMAH LINGKUNGAN OPTIMALIZED RICE HUSK FOR ALTERNATIVE ENVIROMENTAL BIOFUEL Rini Kartika Dewi, Boediyanto Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi

Lebih terperinci

Tabel 3. Hasil uji karakteristik SIR 20

Tabel 3. Hasil uji karakteristik SIR 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU 1. Karakteristik SIR 20 Karet spesifikasi teknis yang digunakan dalam penelitian ini adalah SIR 20 (Standard Indonesian Rubber 20). Penggunaan SIR 20

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan sediaan losio minyak buah merah a. Perhitungan HLB butuh minyak buah merah HLB butuh minyak buah merah yang digunakan adalah 17,34. Cara perhitungan HLB

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji pendahuluan Mikrokapsul memberikan hasil yang optimum pada kondisi percobaan dengan

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK METIL ESTER SULFONAT (MES) Pada penelitian ini surfaktan MES yang dihasilkan berfungsi sebagai bahan aktif untuk pembuatan deterjen cair. MES yang dihasilkan merupakan

Lebih terperinci

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin 4. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini dilakukan proses ekstraksi gelatin dari bahan dasar berupa cakar ayam broiler. Kandungan protein dalam cakar ayam broiler dapat mencapai 22,98% (Purnomo, 1992 dalam Siregar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425%

HASIL DAN PEMBAHASAN. ph 5,12 Total Volatile Solids (TVS) 0,425% HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Sebelum dilakukan pencampuran lebih lanjut dengan aktivator dari feses sapi potong, Palm Oil Mill Effluent (POME) terlebih dahulu dianalisis

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini terdiri dari bahan utama yaitu biji kesambi yang diperoleh dari bantuan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN BAHASAN Mikroemulsi merupakan emulsi yang stabil secara termodinamika dengan ukuran globul pada rentang 10 nm 200 nm (Prince, 1977). Mikroemulsi dapat dibedakan dari emulsi biasa

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perbandingan nilai kalor beberapa jenis bahan bakar

Lampiran 1. Perbandingan nilai kalor beberapa jenis bahan bakar Lampiran 1. Perbandingan nilai kalor beberapa jenis bahan bakar Jenis Bahan Rataan Nilai Kalor (kal/gram) Kayu 4.765 Batubara 7.280 Fuel Oil 1) 10.270 Kerosine (Minyak Tanah) 10.990 Gas Alam 11.806 Sumber

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Industri Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KOMPOSISI SAMPEL PENGUJIAN Pada penelitian ini, komposisi sampel pengujian dibagi dalam 5 grup. Pada Tabel 4.1 di bawah ini tertera kode sampel pengujian untuk tiap grup

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Pengamatan dan Hasil Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Pengamatan dan Hasil Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Hasil Pengamatan dan Hasil Ekstrak Daun Binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steen). Daun binahong (Anredera cordifolia (Ten.) Steen) sebelum

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI LIMBAH MINYAK Sebelum ditambahkan demulsifier ke dalam larutan sampel bahan baku, terlebih dulu dibuat blanko dari sampel yang diujikan (oli bekas dan minyak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. FORMULASI Formulasi antinyamuk spray ini dilakukan dalam 2 tahap. Tahap yang pertama adalah pembuatan larutan X. Neraca massa dari pembuatan larutan X tersebut diuraikan pada

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratoriun Analisis Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan bahan baku dilakukan untuk menjamin kualitas bahan yang digunakan dalam penelitian ini. Tabel 4.1 dan 4.2 menunjukkan hasil pemeriksaan bahan baku. Pemeriksaan

Lebih terperinci

Gambar 4.1. Perbandingan Kuantitas Produk Bio-oil, Gas dan Arang

Gambar 4.1. Perbandingan Kuantitas Produk Bio-oil, Gas dan Arang Persentase hasil BAB IV PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Persentase Plastik dan Cangkang Sawit Terhadap Kuantitas Produk Pirolisis Kuantitas bio-oil ini menunjukkan seberapa banyak massa arang, massa biooil, dan

Lebih terperinci

Dalam bidang farmasetika, kata larutan sering mengacu pada suatu larutan dengan pembawa air.

Dalam bidang farmasetika, kata larutan sering mengacu pada suatu larutan dengan pembawa air. Pendahuluan Dalam bidang farmasetika, kata larutan sering mengacu pada suatu larutan dengan pembawa air. Pelarut lain yang digunakan adalah etanol dan minyak. Selain digunakan secara oral, larutan juga

Lebih terperinci

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi) Proses Pembuatan Biodiesel (Proses TransEsterifikasi) Biodiesel dapat digunakan untuk bahan bakar mesin diesel, yang biasanya menggunakan minyak solar. seperti untuk pembangkit listrik, mesinmesin pabrik

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 83 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 DATA FISIK DAN KIMIA BBM PERTAMINA Data Fisik dan Kimia tiga jenis BBM Pertamina diperolah langsung dari PT. Pertamina (Persero), dengan hasil uji terakhir pada tahun

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHAN 4.1 Data Bahan Baku Minyak Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak jarak. Minyak jarak sendiri memiliki karakteristik seperti Densitas, Viskositas, Flash

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat 3.1.1 Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah spent bleaching earth dari proses pemurnian CPO yang diperoleh dari PT. Panca Nabati Prakarsa,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakterisasi Minyak Jarak Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui karakteristik minyak jarak yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan faktis gelap. Karakterisasi

Lebih terperinci

1989).Sampel sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 500ml. balik. Didihkan selama 30 menit dan kadang kala digoyang- goyangkan.

1989).Sampel sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 500ml. balik. Didihkan selama 30 menit dan kadang kala digoyang- goyangkan. Penentuan kadar serat kasar Kadar serat kasar dianalisa dengan menggunakan metode Sudarmadji dkk, 1989).Sampel sebanyak 2 g dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 500ml kemudian ditambahkan 200 ml H 2 SO4

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Awal Bahan Baku Pembuatan Biogas Analisis bahan baku biogas dan analisis bahan campuran yang digunakan pada biogas meliputi P 90 A 10 (90% POME : 10% Aktivator), P 80 A 20

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Proksimat Bahan Baku Briket Bahan/material penyusun briket dilakukan uji proksimat terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sifat dasar dari bahan

Lebih terperinci

: Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT.

: Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT. SKRIPSI/TUGAS AKHIR APLIKASI BAHAN BAKAR BIODIESEL M20 DARI MINYAK JELANTAH DENGAN KATALIS 0,25% NaOH PADA MOTOR DIESEL S-111O Nama : Rifana NPM : 21407013 Jurusan Pembimbing : Teknik Mesin : Dr. Rr. Sri

Lebih terperinci

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit

Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit LAMPIRAN Lampiran 1. Pohon Industri Turunan Kelapa Sawit 46 Lampiran 2. Diagram alir proses pembuatan Surfaktan Metil Ester Sulfonat (MES) Metil Ester Olein Gas SO 3 7% Sulfonasi Laju alir ME 100 ml/menit,

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Prosedur Penelitian

BAB III METODOLOGI. A. Waktu dan Tempat. B. Alat dan Bahan. C. Prosedur Penelitian BAB III METODOLOGI A. Waktu dan Tempat Penelitian telah dilakukan pada bulan Agustus dan November 2011, yang berlokasi di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Departemen Teknik Mesin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Polimer Emulsi 2.1.1 Definisi Polimer Emulsi Polimer emulsi adalah polimerisasi adisi terinisiasi radikal bebas dimana suatu monomer atau campuran monomer dipolimerisasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang ada dibumi ini, hanya ada beberapa energi saja yang dapat digunakan. seperti energi surya dan energi angin.

BAB I PENDAHULUAN. yang ada dibumi ini, hanya ada beberapa energi saja yang dapat digunakan. seperti energi surya dan energi angin. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan energi pada saat ini dan pada masa kedepannya sangatlah besar. Apabila energi yang digunakan ini selalu berasal dari penggunaan bahan bakar fosil tentunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar

BAB I PENDAHULUAN. I. 1. Latar Belakang. Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Secara umum ketergantungan manusia akan kebutuhan bahan bakar yang berasal dari fosil dari tahun ke tahun semakin meningkat, sedangkan ketersediaannya semakin berkurang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Minyak Goreng 1. Pengertian Minyak Goreng Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya

Lebih terperinci

SILABUS. - Mengidentifikasikan besaran-besaran fisika dalam kehidupan sehari-hari lalu mengelompokkannya dalam besaran pokok dan turunan.

SILABUS. - Mengidentifikasikan besaran-besaran fisika dalam kehidupan sehari-hari lalu mengelompokkannya dalam besaran pokok dan turunan. Sekolah : SMP... Kelas : VII (Tujuh) Semester : 1 (Satu) Mata Pelajaran : Ilmu Pengetahuan Alam SILABUS Standar Kompetensi : 1. Memahami ilmiah untuk mempelajari benda-benda alam dengan menggunakan peralatan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Alat yang digunakan adalah hotplate stirrer, reaktor labu leher tiga dan alat sentrifuse. Alat yang digunakan dalam analisis deterjen cair adalah viscosimeter

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 HASIL DAN PEMBAHASAN Karboksimetil selulosa (CMC) merupakan salah satu turunan selulosa yang disebut eter selulosa (Nevell dan Zeronian 1985). CMC dapat larut di dalam air dingin dan air panas dan menghasilkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil dari penelitian yang telah dilakukan,

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil dari penelitian yang telah dilakukan, BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini diuraikan mengenai hasil dari penelitian yang telah dilakukan, temuan penelitian, dan pembahasannya. Hasil penelitian yang diperoleh disajikan dalam

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Preparasi Sampel Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah pandan wangi (Pandanus amaryllifolius Roxb.) 500 gram yang diperoleh dari padukuhan

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI AWAL BAHAN Karakterisistik bahan baku daun gambir kering yang dilakukan meliputi pengujian terhadap proksimat bahan dan kadar katekin dalam daun gambir kering.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 5. Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah Persentase konversi metil ester dari minyak jelantah pada sampel MEJ 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ

Lebih terperinci

Universitas Sumatera Utara

Universitas Sumatera Utara pada waktu pengadukan 4 jam dan suhu reaksi 65 C yaitu berturut turut sebesar 9; 8,7; 8,2. Dari gambar 4.3 tersebut dapat dilihat adanya pengaruh waktu pengadukan terhadap ph sabun. Dengan semakin bertambahnya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN PERBANDINGAN MASSA ALUMINIUM SILIKAT DAN MAGNESIUM SILIKAT Tahapan ini merupakan tahap pendahuluan dari penelitian ini, diawali dengan menentukan perbandingan massa

Lebih terperinci

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam

D. Tinjauan Pustaka. Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam JURNAL KELARUTAN D. Tinjauan Pustaka 1. Kelarutan Menurut Farmakope Indonesia (Anonim, 1995) pernyataan kelarutan adalah zat dalam bagian tertentu pelarut, kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa 1 bagian

Lebih terperinci

Laju Pendidihan. Grafik kecepatan Pendidihan. M.Sumbu 18. M.Sumbu 24. Temperatur ( C) E.Sebaris 3 inch. E.Susun 3 inch. E.Sususn 2 inch.

Laju Pendidihan. Grafik kecepatan Pendidihan. M.Sumbu 18. M.Sumbu 24. Temperatur ( C) E.Sebaris 3 inch. E.Susun 3 inch. E.Sususn 2 inch. Temperatur ( C) Laju Pendidihan Grafik kecepatan Pendidihan 120 100 80 60 40 M.Sumbu 18 M.Sumbu 24 E.Sebaris 3 inch E.Susun 3 inch 20 0 0 20 40 60 80 E.Sususn 2 inch Waktu (menit) Kesimpulan 1. Penggunaan

Lebih terperinci

LAMPIRAN A A.1 Pengujian Total Padatan Terlarut (SNI yang dimodifikasi*) Dengan pengenceran A.2 Pengujian Viskositas (Jacobs, 1958)

LAMPIRAN A A.1 Pengujian Total Padatan Terlarut (SNI yang dimodifikasi*) Dengan pengenceran A.2 Pengujian Viskositas (Jacobs, 1958) LAMPIRAN A A.1 Pengujian Total Padatan Terlarut (SNI 01-3546-2004 yang dimodifikasi*) Penentuan Total Padatan Terlarut (%Brix) saos tomat kental dilakukan dengan menggunakan Hand-Refraktometer Brix 0-32%*.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW. teknologi sekarang ini. Menurut catatan World Economic Review (2007), sektor

BAB I PENDAHULUAN UKDW. teknologi sekarang ini. Menurut catatan World Economic Review (2007), sektor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan akan energi tidak pernah habis bahkan terus meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan berkembangnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini.

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI )

Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel. 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI ) LAMPIRAN 39 Lampiran 1. Prosedur analisis sifat fisikokimia minyak dan biodiesel 1. Kadar Air (Metode Oven, SNI 01-3555-1998) Cawan aluminium dipanaskan di dalam oven pada suhu 105 o C selama 1 jam, kemudian

Lebih terperinci

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACK... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR ISTILAH... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

SELAI PEPAYA. Selai adalah bahan dengan konsistensi gel atau semi gel yang dibuat dari bubur buah. Selai digunakan sebagai bahan pembuat roti dan kue.

SELAI PEPAYA. Selai adalah bahan dengan konsistensi gel atau semi gel yang dibuat dari bubur buah. Selai digunakan sebagai bahan pembuat roti dan kue. SELAI PEPAYA 1. PENDAHULUAN Selai adalah bahan dengan konsistensi gel atau semi gel yang dibuat dari bubur buah. Selai digunakan sebagai bahan pembuat roti dan kue. Konsistensi gel atau semi gel pada selai

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. I. Definisi

PEMBAHASAN. I. Definisi PEMBAHASAN I. Definisi Gel menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), merupakan sistem semi padat, terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 46 HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Non Struktural Sifat Kimia Bahan Baku Kelarutan dalam air dingin dinyatakan dalam banyaknya komponen yang larut di dalamnya, yang meliputi garam anorganik, gula, gum, pektin,

Lebih terperinci

PEMBUATAN GEL ETANOL DENGAN MENGGUNAKAN BAHAN PENGENTAL Carboxymethycellulose (CMC) MAKING OF ETHANOL GEL USING THICKENER Carboxymethylcellulose (CMC)

PEMBUATAN GEL ETANOL DENGAN MENGGUNAKAN BAHAN PENGENTAL Carboxymethycellulose (CMC) MAKING OF ETHANOL GEL USING THICKENER Carboxymethylcellulose (CMC) PEMBUATAN GEL ETANOL DENGAN MENGGUNAKAN BAHAN PENGENTAL Carboxymethycellulose (CMC) MAKING OF ETHANOL GEL USING THICKENER Carboxymethylcellulose (CMC) Almira Nugroho 1, Fajar Restuhadi 2 and Evy Rossi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Fisik Gelatin Pengujian fisik gelatin meliputi rendemen, kekuatan gel dan viskositas. Pengujian fisik bertujuan untuk mengetahui nilai dari rendemen, kekuatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Bambang (2016) dalam perancangan tentang modifikasi sebuah prototipe kalorimeter bahan bakar untuk meningkatkan akurasi pengukuran nilai

Lebih terperinci

Kelarutan & Gejala Distribusi

Kelarutan & Gejala Distribusi PRINSIP UMUM Kelarutan & Gejala Distribusi Oleh : Lusia Oktora RKS, S.F.,M.Sc., Apt Larutan jenuh : suatu larutan dimana zat terlarut berada dalam kesetimbangan dengan fase padat (zat terlarut). Kelarutan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Laboratorium Peternakan Universiatas Muhammadiyah Malang dan Laboratorium

III. METODOLOGI PENELITIAN. Laboratorium Peternakan Universiatas Muhammadiyah Malang dan Laboratorium III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan pada bulan April - Mei 2016 bertempat di Laboratorium Peternakan Universiatas Muhammadiyah Malang dan Laboratorium Pengujian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan 17 III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Analisis Hasil Pertanian Universitas Lampung dan Laboratorium

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dantujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis dan (7)

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 AREN (Arenga pinnata) Pohon aren (Arenga pinnata) merupakan pohon yang belum banyak dikenal. Banyak bagian yang bisa dimanfaatkan dari pohon ini, misalnya akar untuk obat tradisional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. aktifitas yang diluar kemampuan manusia. Umumnya mesin merupakan suatu alat

I. PENDAHULUAN. aktifitas yang diluar kemampuan manusia. Umumnya mesin merupakan suatu alat I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembuatan mesin pada awalnya bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam aktifitas yang diluar kemampuan manusia. Umumnya mesin merupakan suatu alat yang berfungsi untuk

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Biogas Biogas adalah gas yang terbentuk melalui proses fermentasi bahan-bahan limbah organik, seperti kotoran ternak dan sampah organik oleh bakteri anaerob ( bakteri

Lebih terperinci

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan.

Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. Lampiran 1 Prosedur analisis surfaktan APG 1) Rendemen Rendemen APG dihitung berdasarkan berat APG yang diperoleh setelah dimurnikan dengan berat total bahan baku awal yang digunakan. % 100% 2) Analisis

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persiapan dan Karakteristik Bahan Baku 1. Lateks Pekat Jenis lateks pekat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lateks pekat perdagangan yang telah ditambahkan amonia.

Lebih terperinci

ARTIKEL JURNAL RMA PENGARUH FORMULASI CARBOXYMETHYL CELLULOSE DAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK GEL BIOETANOL

ARTIKEL JURNAL RMA PENGARUH FORMULASI CARBOXYMETHYL CELLULOSE DAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK GEL BIOETANOL Jurnal REKAYASA DAN MANAJEMEN AGROINDUSTRI ISSN : 2503-488X, Vol 5, No 2, April 2017 (18-27) ARTIKEL JURNAL RMA PENGARUH FORMULASI CARBOXYMETHYL CELLULOSE DAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK GEL BIOETANOL

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Preparasi selulosa bakterial dari limbah cair tahu dan sintesis kopolimer

BAB III METODE PENELITIAN. Preparasi selulosa bakterial dari limbah cair tahu dan sintesis kopolimer BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Preparasi selulosa bakterial dari limbah cair tahu dan sintesis kopolimer superabsorbent di bawah radiasi microwave dilakukan di Laboratorium Riset Jurusan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. peningkatan mutu, penggunaan bahan pembentuk rasa dan warna, serta

PENDAHULUAN. peningkatan mutu, penggunaan bahan pembentuk rasa dan warna, serta PENDAHULUAN Latar Belakang Bahan pangan harus mampu mencukupi kebutuhan gizi yang diperlukan oleh tubuh manusia yang berperan dalam proses pertumbuhan, menjaga berat badan, mencegah penyakit defisiensi,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dimulai dari bulan April 2010 sampai dengan bulan Januari

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dimulai dari bulan April 2010 sampai dengan bulan Januari BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai dari bulan April 2010 sampai dengan bulan Januari 2011. Penelitian ini sebagian besar dilakukan di Laboratorium Riset Jurusan Pendidikan

Lebih terperinci

BAB IV PROSEDUR KERJA

BAB IV PROSEDUR KERJA BAB IV PROSEDUR KERJA 4.1. Pengumpulan Bahan Bahan berupa minyak kemiri (Aleurites moluccana L.) diperoleh dari rumah industri minyak kemiri dengan nama dagang Minyak kemiri alami 100%, VCO diperoleh di

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil pengujian dan analisa limbah plastik HDPE ( High Density Polyethylene ). Gambar 4.1 Reaktor Pengolahan Limbah Plastik 42 Alat ini melebur plastik dengan suhu 50 300

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. kesehatan. Nutrisi dalam black mulberry meliputi protein, karbohidrat serta

I PENDAHULUAN. kesehatan. Nutrisi dalam black mulberry meliputi protein, karbohidrat serta I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan tujuan penelitian, (4) Manfaat penelitian, (5) Kerangka pemikiran, dan (6) Hipotesis. 1.1 Latar

Lebih terperinci

PERBANDINGAN UNJUK KERJA KOMPOR METHANOL DENGAN VARIASI DIAMETER BURNER

PERBANDINGAN UNJUK KERJA KOMPOR METHANOL DENGAN VARIASI DIAMETER BURNER PERBANDINGAN UNJUK KERJA KOMPOR METHANOL DENGAN VARIASI DIAMETER BURNER Subroto Program Studi Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan, Kartasura

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia/Biokimia Hasil Pertanian

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia/Biokimia Hasil Pertanian III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia/Biokimia Hasil Pertanian Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Lampung pada bulan Juli

Lebih terperinci