IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Analisis Sifat Fisiko Kimia Tempurung Kelapa Sawit Tempurung kelapa sawit merupakan salah satu limbah biomassa yang berbentuk curah yang dihasilkan dari kegiatan industri minyak kelapa sawit. Tempurung kelapa sawit yang digunakan merupakan tempurung kelapa sawit yang diperoleh dari PTPN VIII, Malingping, Banten. Tempurung kelapa sawit berpotensi sebagai arang aktif karena memiliki kandungan karbon pada bahan yang tinggi. Untuk mengetahui mutu tempurung kelapa sawit yang akan digunakan untuk pembuatan arang aktif, maka dilakukan pengujian sifat fisiko kimia. Hasil analisis sifat fisiko kimia tempurung kelapa sawit dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil Analisis Sifat Fisiko Kimia Tempurung Kelapa Sawit Komponen Satuan Nilai Kadar Air %bb 8.79 Kadar Abu %bk 5.38 Kadar Zat Terbang %bk Kadar Karbon Terikat %bk Berdasarkan hasil analisis sifat fisiko kimia tempurung kelapa sawit pada Tabel 2 diketahui bahwa tempurung kelapa sawit memiliki kadar air 8.79 % (bb). Kadar air bahan dapat mempengaruhi proses karbonisasi dan jumlah arang yang dihasilkan. Semakin tinggi kadar air bahan maka bobot arang yang dihasilkan semakin rendah. Menurut Sudrajat et al., (2011), adanya air pada bahan mengurangi rendemen arang dan proses karbonisasi akan berlangsung lebih lama. Tempurung kelapa sawit memiliki kadar karbon terikat sebesar 16.35% (bk). Rendahnya kadar karbon terikat pada tempurung kelapa sawit disebabkan karena kadar abu dan kadar zat terbang yang tinggi. Nilai kadar abu dan kadar zat terbang berturut-turut adalah sebesar 5.38% (bk) dan 78.26% (bk). Nilai kadar abu dan kadar zat terbang pada bahan dapat mempengaruhi rendemen arang yang dihasilkan. Semakin tinggi nilai kadar abu dan kadar zat terbang maka rendemen arang semakin rendah. Tempurung kelapa sawit memiliki nilai kalor. Dalam hasil penelitian, besar kalori tempurung kelapa sawit mencapai kjoule/kg (Ma et.al., 2004). Oleh sebab itu selain dapat dikonversi menjadi arang aktif, tempurung kelapa sawit juga dapat digunakan sebagai sumber energi terbarukan. 2. Analisis Sifat Fisiko Kimia Arang Tempurung Kelapa Sawit Analisis sifat fisiko kimia arang dilakukan untuk mengetahui karakteristik arang sebelum diaktifkan menjadi arang aktif. Hasil sifat fisiko kimia arang dapat dilihat pada Tabel 3. Rendemen arang yang dihasilkan melalui proses karbonisasi adalah 36.38% (bb). Rendemen yang cukup tinggi ini disebabkan karena proses karbonisasi dilakukan dengan menggunakan retort listrik secara vakum. Apabila pengarangan tidak dilakukan secara vakum, maka arang yang dihasilkan akan rendah yang disebabkan oleh pengaruh udara. Udara yang cukup besar menyebabkan bahan mengalami oksidasi secara berlebih sehingga menyebabkan terbentuknya abu yang cukup banyak 15

2 dibandingkan dengan arang. Hasil samping proses karbonisasi bahan dengan sistem vakum adalah terbentuknya asap cair. Asap cair tersebut terbentuk karena proses pendinginan asap dengan kondensor. Menurut Sudrajat et al., (2011) proses karbonisasi menggunakan retort dapat memperoleh kandungan ter dan cuka kayu (asam asetat dan metanol) pada bahan baku mentah sehingga dapat mengimbangi biaya energi ekstra pada proses karbonisasi. Menurut Pari (2010), rendemen arang kecil disebabkan karena komponen bahan terbuang dalam bentuk CO 2, CO, dan CH 4 yang sangat berperan pada peningkatan gas rumah kaca. Kandungan kadar air, kadar abu dan kadar zat terbang arang yang dihasilkan berturut-turut adalah 3.34% (bb), 4.65%(bk), 23.87% (bk). Apabila dibandingkan dengan bahan sebelum proses karbonisasi, kandungan kadar air, kadar abu, dan kadar zat terbang arang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena pada saat proses karbonisasi terjadi penguapan air, komponen asam, metanol, ter, dan penguraian selulosa. Akan tetapi kadar karbon terikat meningkat signifikan jika dibandingkan dengan kadar karbon terikat sebelum dikarbonisasi. Kadar karbon terikat arang adalah 71.58% (bk). Hal ini disebabkan karena rendahnya nilai kadar abu dan kadar zat terbang arang yang disebabkan proses karbonisasi. Arang tempurung kelapa sawit berpotensi untuk dijadikan arang aktif. Menurut Djatmiko et al., (1985) dalam Irham (2006), arang dapat diproses menjadi arang aktif jika nilai kadar karbon terikat berada pada kisaran 70-80%. Kadar karbon terikat yang terlalu rendah disebabkan arang tersebut masih memiliki kandungan kadar abu dan kadar zat terbang yang masih tinggi sehingga perlu waktu proses karbonisasi yang lebih lama. Kemampuan arang tempurung kelapa sawit untuk menyerap iod dan benzena berturut-turut adalah mg/g dan 9.66%. Nilai tersebut menunjukan bahwa arang yang dihasilkan memiliki kemampuan menyerap cairan dan gas akan tetapi nilai tersebut masih rendah. Kemampuan arang dalam menyerap larutan dan gas mengindikasikan bahwa arang tersebut telah membentuk poripori sehingga terjadi proses adsorpsi. Kemampuan arang untuk menyerap cairan dan gas dapat ditingkatkan melalui proses aktivasi dengan menggunakan suhu tinggi dan perendaman asam fosfat. Tabel 3. Hasil Analisis Sifat Fisiko Kimia Arang Tempurung Kelapa Sawit Komponen Satuan Nilai Rendemen %bb Kadar Air %bb 3.34 Kadar Abu %bk 4.65 Kadar Zat Terbang %bk Kadar Karbon Terikat %bk Daya Serap Iod mg/g Daya Serap Benzena %bk 9.66 Daya listrik pada tungku karbonisasi adalah sebesar 2 kwatt per jam. Daya listrik yang digunakan untuk proses karbonisasi selama lima jam diperkirakan sebesar 10 kwatt atau setara dengan kjoule. Tingginya energi yang dikeluarkan terutama energi panas mampu mengkonversi tempurung kelapa sawit menjadi arang. 3. Penentuan Suhu dan Konsentrasi Asam Fosfat Arang dapat menjadi arang aktif melalui proses aktivasi menggunakan suhu tinggi dan aktivator kimia. Proses aktivasi dapat menghilangkan hidrokarbon yang melapisi permukaan arang sehingga dapat meningkatkan porositas arang. Penentuan suhu aktivasi dan konsentrasi asam 16

3 fosfat dilakukan untuk mengetahui kondisi yang tepat untuk memproduksi arang aktif yang sesuai dengan SNI arang aktif teknis. Pada penelitian ini aktivator kimia yang digunakan adalah asam fosfat dengan konsentrasi 5%, 10%, dan 15% yang direndam selama 24 jam dengan suhu aktivasi 700 dan 800 o C yang dialiri uap air selama satu jam. Hasil menunjukan bahwa daya serap terhadap iod berkisar mg/g. Daya serap iodium pada suhu 800 o C memiliki kemampuan dalam menyerap larutan lebih tinggi dibandingkan suhu 700 o C (Lampiran 3). Semakin tinggi konsentrasi asam fosfat maka kemampuan menyerap larutan akan semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena asam fosfat mampu membentuk pori-pori permukaan arang yang lebih banyak. Konsentrasi asam fosfat 15% memiliki kemampuan dalam menyerap cairan sebesar mg/g pada suhu 800 o C. Semakin tinggi suhu aktivasi menyebabkan arang aktif memiliki kemampuan yang semakin meningkat dalam menyerap larutan. Hal ini berhubungan dengan kinetika reaksi yang menyebabkan semakin tinggi suhu aktivasi maka kecepatan reaksi akan semakin cepat sehingga pembentukan pori-pori akan semakin banyak. Menurut Hendra et al (1999), ikatan C dan H pada arang terlepas dengan sempurna sehingga terjadi pergeseran pelat karbon kristalit membentuk pori yang baru dan mengembangkan pori yang telah terbentuk. Daya serap terhadap iod menggambarkan banyaknya pori atau luas permukaan arang aktif. Besarnya daya serap iod mengindikasikan bahwa arang aktif memiliki banyak pori atau luas permukaan arang aktif. Besarnya daya serap aktif terhadap iodium juga menggambarkan banyak struktur mikropori yang terbentuk. Kemampuan arang aktif pada tingkat konsentrasi dan suhu dapat dilihat pada Gambar 9. Daya Serap Iod (mg/g) Konsentrasi Asam Fosfat 700 C 800 C Gambar 9. Histogram hubungan antara konsentrasi asam fosfat dan suhu aktivasi terhadap daya serap iod arang aktif tempurung kelapa sawit Menurut Sudrajat et al., (2011) asam fosfat yang biasa digunakan untuk mengaktifkan arang aktif adalah sebesar 10-15% yang direndam selama jam. Saptadi (2008), telah menggunakan asam fosfat sebesar 10% untuk mengaktivasi arang yang berasal dari tempurung kemiri. Pada penelitian ini, konsentrasi asam fosfat yang digunakan adalah 15% pada suhu 800 o C. yang dihasilkan belum memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). SNI arang aktif teknis menetapkan bahwa kemampuan dalam menyerap larutan iod minimum 750 mg/g. Untuk mengetahui pengaruh perendaman terhadap mutu arang aktif maka dilakukan penelitian dengan membandingkan arang yang tidak direndam dan direndam asam fosfat dengan variasi waktu aktivasi. 17

4 B. PENELITIAN UTAMA 1. Pengaruh Perendaman Asam Fosfat dan Waktu Aktivasi Pada penelitian utama dilakukan perbandingan arang aktif yang direndam dan tidak direndam dengan aktivator asam fosfat. Konsentrasi asam fosfat dan suhu yang digunakan adalah sebesar 15% suhu 800 o C. Konsentrasi asam fosfat dan suhu aktivasi diperoleh dari penelitian pendahuluan. Menurut Sudrajat et al., (2011), konsentrasi asam fosfat yang digunakan untuk aktivasi adalah sebesar % yang direndam selama 24 jam. Asam fosfat dipilih sebagai aktivator karena bahan tersebut mampu meningkatkan rendemen arang aktif dan membuka pori-pori arang (Marsh et al., 2006). Karaktersitik arang aktif meliputi rendemen, kadar air, kadar zat terbang, kadar abu, kadar karbon terikat, daya serap iod, daya serap benzena, dan nilai ph. 1.1 Rendemen Penetapan rendemen arang aktif dilakukan untuk mengetahui jumlah arang aktif yang dihasilkan setelah proses aktivasi. Semakin lama waktu aktivasi menyebabkan rendemen arang aktif akan semakin rendah (Pari et al., 2008). Pada penelitian ini diperoleh bahwa nilai rendemen arang aktif berkisar antara %. Rendemen arang aktif tertinggi terdapat pada perlakuan arang yang direndam asam fosfat dengan waktu aktivasi selama 60 menit, sedangkan rendemen arang aktif terendah terdapat pada perlakuan arang yang tidak direndam asam fosfat dengan waktu aktivasi 120 menit. Apabila dibandingkan dengan tanpa perendaman asam fosfat dengan masing-masing waktu aktivasi, nilai rendemen arang aktif dengan perlakuan perendaman asam fosfat lebih tinggi. Pengaruh perendaman asam fosfat dan waktu aktivasi dapat dilihat pada Gambar 10. Rendemen (%) Waktu aktifasi (menit) Tanpa perendaman asam fosfat Perendaman asam fosfat 15% Gambar 10. Histogram hubungan pengaruh perendaman asam fosfat dan waktu aktivasi terhadap rendemen arang aktif tempurung kelapa sawit Berdasarkan Gambar 10, rendemen tanpa perendaman asam fosfat memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan perendaman asam fosfat. Penambahan aktivator asam fosfat menyebabkan laju reaksi oksidasi dalam proses pembuatan arang aktif menjadi lambat. Selain sebagai aktivator dalam pembuatan arang aktif, asam fosfat juga berperan sebagai pelindung dari suhu tinggi. 18

5 Menurut Marsh et al., (2006) asam fosfat dapat mengurangi pembakaran pada proses aktivasi sehingga dapat meningkatkan rendemen arang aktif. Pengurangan pembakaran terjadi karena asam fosfat akan membentuk fosfat anhidrida yang dapat menarik uap air pada ketel sehingga mengurangi laju pembakaran saat proses aktivasi. dengan perlakuantanpa perendaman asam fosfat menyebabkan laju reaksi cepat sehingga mengurangi nilai rendemen. Waktu aktivasi menyebabkan nilai rendemen arang aktif akan cenderung menurun. Semakin lama waktu aktivasi maka reaksi kimia dalam pembentukan arang aktif akan terus terjadi. Reaksi kimia yang terjadi adalah adalah reaksi antara karbon dengan zat pengoksidasi yang membentuk CO, CO 2, dan H 2. Semakin lama waktu aktivasi maka pembentukan CO, CO 2 dan H 2 akan semakin banyak sehingga nilai rendemen arang aktif akan semakin menurun. Menurut lee et al., (2003), reaksi kimia antara karbon dengan uap air akan membentuk CO 2 dan H 2 O sehingga mempengaruhi rendemen arang aktif yang dihasilkan. Rendemen hasil penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan rendemen arang aktif tempurung biji nyamplung yang diaktivasi pada suhu 700 dan 800 o C dengan konsentrasi asam fosfat 0, 5, dan 10% yang berkisar antara % (Wibowo, 2009). Pengaruh perbedaan rendemen arang aktif disebabkan kandungan penyusun bahan tersebut seperti selulosa, holoselulosa, dan lignin. Menurut Daud et al., (2004), Tempurung kelapa sawit terdiri dari selulosa 29.7%, haloselulosa 47.7%, dan lignin 53.4%. Tempurung biji nyamplung yang digunakan oleh Wibowo (2009) terdiri dari holoselulosa 87.64%, alpha selulosa 48.66%, dan lignin 36.69%. Selulosa dan holoselulosa merupakan serat yang mudah terurai oleh panas, sedangkan lignin merupakan struktur kuat dan menghasilkan atom karbon yang lebih banyak. Kandungan lignin yang tinggi pada tempurung kelapa sawit menjadi penyebab nilai rendemen arang aktif lebih tinggi dibandingkan arang aktif tempurung biji nyamplung. 1.2 Kadar Air Kadar air merupakan salah satu karakteristik arang aktif yang sangat penting terhadap mutu arang aktif. Kadar air pada arang aktif mampu mempengaruhi daya serap baik terhadap cairan dan gas. Kadar air arang aktif juga dipengaruhi oleh suhu dan waktu aktivasi. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu aktivasi menyebabkan kadar air arang aktif akan semakin rendah. Nilai kadar air yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara %. Nilai kadar air tertinggi adalah arang aktif dengan perlakuan perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi selama 120 menit (A2B3). Nilai kadar air terendah adalah arang aktif dengan perlakuan tanpa perendaman selama 120 menit (A1B3). Nilai kadar air arang aktif yang diperoleh telah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) arang aktif teknis. SNI menetapkan kadar air arang aktif teknis maksimal 15%. Apabila dibandingkan dengan arang aktif komersial, arang aktif pada penelitian ini memiliki nilai kadar air yang rendah. komersial memiliki nilai kadar air sebesar 8.54%. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 6), faktor perendaman asam fosfat, waktu aktivasi dan interaksi kedua faktor memberikan pengaruh yang nyata pada α = 0.05 terhadap nilai kadar air. Pengaruh perendaman asam fosfat memiliki kadar air yang tinggi. Hal ini disebabkan karena asam fosfat sebagai aktivator memiliki kemampuan dalam menyerap air akibat dari tereduksinya asam fosfat menjadi senyawa fosfat anhidrida yang bersifat memiliki kemampuan dalam menarik uap air (Sudrajat dan Suryani 2002 dalam Wibowo 2009). Proses menarinya uap air dapat terjadi ketika proses aktivasi maupun proses pendinginan. Semakin lama proses pendinginan maka proses menarik uap air akan semakin tinggi sehingga menyebabkan kadar air meningkat. Berdasarkan uji Duncan (Lampiran 6), kadar air memiliki perbedaan yang nyata pada setiap taraf perlakuan. tanpa perendaman asam fosfat berbeda nyata terhadap waktu aktivasi 60 (A1B1), 90 (A1B2), dan 120 menit (A1B3). Arang yang direndam dengan asam fosfat berbeda nyata terhadap waktu aktivasi 60 (A2B1), 90 (A2B2), dan 120 menit (A2B3). Hubungan pengaruh 19

6 perendaman asam fosfat dan waktu aktivasi terhadap kadar air arang aktif dapat dilihat pada Gambar 11. Kadar Air (%) Waktu Aktifasi (menit) Tanpa perendaman asam fosfat Perendaman asam fosfat 15 % Gambar 11. Histogram hubungan antara pengaruh perendaman asama fosfat dan waktu aktivasi terhadap kadar air Pada arang aktif tanpa perendaman asam fosfat 60 (A1B1), 90 (A1B2) dan 120 menit (A1B3) terjadi penurunan kadar air. Semakin lama waktu proses aktivasi menyebabkan kandungan kadar air akan semakin rendah Rendahnya kadar air menunjukan bahwa kandungan air bebas dan air terikat yang terdapat pada bahan telah menguap saat proses aktivasi. Pada perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 60 menit (A2B2) berbeda nyata dengan perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 90 menit (A2B2). Hal ini diduga karena pada waktu 60 menit masih terdapat senyawa asam fosfat pada struktur arang. Pada waktu aktivasi 120 menit (A2B2) terjadi peningkatan kadar air. Peningkatan kadar air lebih disebabkan oleh sifat higroskopis arang aktif yang dapat menarik kandungan air. Semakin higroskopis suatu bahan maka kemampuan bahan untuk menarik kandungan air udara akan semakin tinggi. Menurut Hendra (2007), kadar air yang tinggi disebabkan oleh sifat higroskopis arang aktif dan juga adanya molekul uap air yang terperangkap di dalam kisi-kisi heksagonal arang aktif terutama pada saat proses pendinginan. Nilai kadar air yang diinginkan pada arang aktif adalah serendah-rendahnya yaitu pada perlakuan tanpa perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi selama 120 menit. 1.3 Kadar Zat Terbang Kadar zat terbang merupakan parameter untuk mengukur banyaknya zat yang menguap pada saat proses pemanasan. Parameter tersebut dapat mengukur tingkat adsorpsi arang aktif. Semakin tinggi kadar zat terbang pada arang aktif maka sifat menyerap larutan dan gas akan semakin rendah. Kadar zat terbang merupakan zat yang dapat menguap sebagai hasil dekomposisi senyawa-senyawa yang masih terdapat di dalam arang selain air. Hasil penelitian menunjukan nilai kadar zat terbang arang aktif rata-rata berkisar antara %. Nilai kadar zat terbang tersebut masih memenuhi SNI arang aktif teknis. SNI menetapkan kadar zat terbang arang aktif maksimal 25%. Kadar zat terbang terendah adalah kadar zat terbang yang direndam asam fosfat dan waktu aktivasi selama 120 menit dengan nilai rata-rata sebesar 8.83%. Kadar zat terbang tertinggi adalah kandungan zat terbang yang diperlakukan tidak direndam asam fosfat dan waktu aktivasi selama 120 menit. Apabila dibandingkan dengan arang aktif komersial, kadar zat terbang arang aktif pada penelitian ini masih rendah. Nilai kadar zat terbang arang aktif komersial adalah 24.51%. 20

7 Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 7), faktor perendaman asam fosfat memberikan pengaruh yang nyata pada α = 0.05 terhadap kadar zat terbang sedangkan waktu aktifasi dan interaksi kedua faktor tidak memberikan pengaruh yang nyata. Kadar zat terbang yang rendah disebabkan karena sedikitnya senyawa non karbon pada permukaan arang aktif yang dapat mengurangi kemampuan dalam menyerap larutan dan gas. Tanpa perendaman asam fosfat (A1) memiliki kadar zat terbang yang lebih tinggi dibandingkan dengan perendaman asam fosfat. Perendaman dengan menggunakan asam fosfat (A2) mampu mengurangi senyawa non karbon yang menempel pada permukaan arang aktif. Selain bersifat membersihkan senyawa non karbon pada permukaan arang aktif, asam fosfat juga mampu masuk ke permukaan dasar arang melalui pori-pori pada arang dan melindungi bahan dari panas sehingga mengurangi senyawa non karbon yang mudah menguap dan terbakar pada saat aktivasi. Menurut Hendra (2007), Tinggi rendahnya kadar zat terbang yang dihasilkan disebabkan karena permukaan arang masih tertutupi oleh atom H yang terikat kuat pada atom C pada permukaan arang aktif sehingga mempengaruhi daya serap. Hubungan pengaruh perendaman asam fosfat dan waktu aktivasi terhadap kadar zat terbang arang aktif dapat dilihat pada Gambar 12 Kadar Zat Terbang (%) Waktu Aktifasi (menit) Tanpa perendaman asam fosfat Perendaman asam fosfat 15 % Gambar 12. Histogram hubungan pengaruh perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi terhadap nilai kadar zat terbang Waktu aktivasi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar zat terbang. Hal tersebut diduga sebagian besar kandungan zat terbang menguap sebelumi suhu aktivasi tercapai sehingga hanya sebagian kecil bahan yang belum terdekomposisi oleh panas. Menurut Pari et al., (2008), suhu dan lama waktu aktivasi tidak memberikan pengaruh proses penguapan senyawa non karbon yang terdapat pada permukaan arang aktif. 1.4 Kadar Abu Kadar abu merupakan komponen anorganik bahan yang tertinggal pada pemanasan 700 o C. Kadar abu arang aktif diuji untuk mengetahui kandungan oksida logam dalam bahan. Tingginya kadar abu pada arang aktif dapat mempengaruhi daya adsorpsi baik terhadapa larutan maupun gas. Abu yang terbentuk disebabkan karena bahan memiliki unsur mineral seperti kalsium, kalium, natrium, dan magnesium. Kandungan tersebut menyebar dalam kisi arang aktif sehingga menutupi pori arang aktif (Pari et al, 2001). Pada penelitian ini kadar abu yang diperoleh berkisar antara %. Nilai rata-rata terendah kadar abu adalah pada perlakuan arang yang tidak direndam dengan asam fosfat dengan 21

8 waktu aktivasi 60 menit (A1B1). Nilai tertinggi kadar abu berada pada perlakuan arang yang direndam asam fosfat dengan waktu aktivasi 120 menit (A2B3). Nilai kadar abu pada penelitian ini masih dibawah nilai yang ditetapkan oleh SNI arang aktif teknis. Nilai kadar abu maksimal menurut SNI adalah sebesar 10%. Untuk arang aktif komersial, nilai kadar abu rata-rata sebesar 7.27 %. Pada penelitian ini, nilai kadar abu arang komersial tidak jauh berbeda dengan nilai kadar abu yang Kadar abu (%) Waktu Aktifasi (menit) Tanpa perendaman asam fosfat Perendaman asam fosfat 15 % direndam asam fosfat. Hubungan pengaruh perendaman asam fosfat dan waktu aktivasi terhadap kadar air arang aktif dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13. Histogram hubungan pengaruh perendaman asam fosfat dan waktu aktivasi terhadap kadar abu Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 8), nilai kadar abu pada tingkat α = 0.05 terhadap pengaruh perendaman asam fosfat, waktu aktivasi dan interaksi kedua faktor memberikan pengaruh yang nyata. Berdasarkan uji Duncan, perlakuan tanpa perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 60 (A1B1), 90 (A1B2), dan 120 menit (A1B3) berbeda nyata. Perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 60 (A2B3) dan 90 (A2B2) tidak berbeda nyata akan tetapi berbeda nyata pada waktu aktivasi 120 menit (A2B3). Tanpa perendaman menyebabkan kandungan kadar abu semakin meningkat seiring dengan lamanya waktu aktivasi. Hal ini disebabkan karena kandungan senyawa organik pada arang aktif akan semakin berkurang akan tetapi kandungan senyawa anorganik relatif tetap. Hal ini menyebabkan kandungan kadar abu akan semakin meningkat ketika senyawa organik semakin rendah. Nilai kadar abu dengan perlakuan perendaman asam fosfat lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa perendaman asam fosfat dan meningkat kadar abu arang aktif seiring dengan lamanya aktivasi. Hal ini diduga pada saat proses aktivasi, asam fosfat pada arang berinteraksi dengan tungku aktivasi yang menyebabkan terbentuknya oksida logam sehingga kandungan anorganik pada arang aktif lebih tinggi. Selain itu juga adanya unsur fosfat pada arang aktif. Menurut Sudrajat (1979), kadar abu tinggi disebabkan oleh keberadaan garam-garam karbonat, fosfat, silikat, dan sulfat. Selain interaksi dengan tungku aktivasi, unsur kandungan fosfat akibat pengaruh perendaman juga menjadi salah satu faktor tingginya kadar abu. Semakin lama waktu aktivasi menyebabkan interaksi dengan tungku akan terus terjadi dan proses pembentukan senyawa anorganik pada arang akan semakin tinggi. Suhu yang tinggi menyebabkan deposit atau endapan unsur anorganik lebih banyak menempel pada bahan. Tingginya kadar abu disebabkan oleh proses oksidasi terutama pada suhu tinggi (Sudrajat dan Suryani 2002 dalam Wibowo 2009). 22

9 1.5 Kadar Karbon Terikat Kadar karbon terikat merupakan komponen fraksi karbon (C) yang terdapat dalam bahan selain komponen air, abu, dan zat terbang. Semakin tinggi nilai kadar karbon terikat maka kemurnian bahan terhadap fraksi karbon semakin tinggi. Nilai kadar karbon terikat pada penelitian ini memiliki nilai rata-rata sebesar %. Nilai tersebut telah memenuhi SNI arang aktif teknis yang menetapkan nilai kadar karbon terikat minimal sebesar 65%. Nilai kadar karbon terikat terendah terdapat pada perlakuan arang aktif tanpa perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi sebesar 120 menit (A1B3). Nilai kadar karbon terikat tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 60 menit (A1B1). Jika dibandingkan dengan arang aktif komersial, nilai kadar karbon terikat pada penelitian ini lebih tinggi. Nilai kadar karbon terikat pada arang aktif komersial rata-rata sebesar 68.22%. Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 9), faktor perendaman asam fosfat, waktu aktivasi dan interaksi kedua faktor tidak memberikan pengaruh yang nyata pada α = 0.05 terhadap nilai kadar karbon terikat. Tinggi dan rendahnya kadar karbon terikat dipengaruhi oleh nilai kadar abu dan kadar zat terbang pada arang aktif. Semakin tinggi nilai kadar abu dan kadar zat terbang maka nilai kadar karbon terikat akan semakin rendah. Selain dipengaruhi oleh kadar zat terbang dan kadar abu, kadar karbon terikat juga dipengaruhi oleh kandungan selulosa dan lignin yang dapat dikonversi menjadi atom karbon. 1.6 Daya Serap Iod Daya serap iod merupakan salah satu parameter pengujian pada arang aktif untuk mengetahui kemampuan arang aktif dalam menyerap larutan iod. Pengujian ini mengindikasikan bahwa arang aktif mampu menyerap pengotor maupun zat warna dalam bentuk larutan. Daya serap iod menunjukkan kemampuan arang aktif yang memiliki ukuran molekul yang lebih kecil dari 10 Å atau memberikan indikasi jumlah pori yang berdiameter Å (Rachmawati, 2004). Daya serap iod menjadi salah satu parameter utama yang digunakan untuk menentukan mutu arang aktif. Nilai daya serap iod pada penelitian ini memiliki nilai rata-rata sebesar mg/g. Beberapa perlakuan pada penelitian ini belum memenuhi SNI arang aktif teknis. Nilai daya serap iod menurut SNI minimal 750 mg/g. Nilai daya serap iod terendah pada penelitian ini terdapat pada perlakuan tanpa perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 60 menit, sedangkan nilai tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi selama 120 menit. Nilai daya serap iod yang telah memenuhi SNI yaitu perlakuan perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 120 menit, dan tanpa perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi selama 120 menit. Nilai daya serap iod pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan arang aktif komersial. Nilai daya serap iod pada arang aktif komersial adalah sebesar mg/g. Semakin tinggi nilai daya serap iod maka semakin luas pembentukan pori-pori pada arang aktif yang dapat menyerap iod. Hubungan pengaruh perendaman asam fosfat dan waktu aktivasi terhadap daya serap iod arang aktif dapat dilihat pada Gambar 14. Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 10), faktor perendaman asam fosfat, waktu aktivasi, dan interaksi kedua faktor memberikan pengaruh yang nyata pada α = 0.05 terhadap nilai daya serap iod. Perendaman asam fosfat memiliki pengaruh terhadap daya serap iod. Hal ini disebabkan karena asam fosfat sebagai aktivator bersifat melindungi arang pada saat aktivasi sehingga pembentukan pori-pori arang aktif tidak terlalu banyak. Menurut Marsh et al., (2006), arang aktif dengan aktivator asam fosfat bersifat melindungi dari panas pada saat aktivasi. Selain itu juga diduga perendaman asam fosfat mampu membentuk oksida logam yang dapat menutupi permukaan pori-pori arang aktif sehingga kemampuan arang aktif dalam menyerap iod lebih rendah. Perlakuan tanpa perendaman asam fosfat, dapat membentuk pori-pori arang aktif lebih banyak. Hal ini disebabkan 23

10 karena tanpa perendaman asam fosfat, tidak terdapat senyawa kimia yang melindungi dari suhu tinggi saat proses aktivasi sehingga pembentukan pori-pori arang lebih banyak. Semakin lama waktu aktfasi maka kemampuan dalam menyerap iod akan semakin meningkat. Proses aktivasi yang lebih panjang dapat membentuk pori-pori dan pelat-pelat karbon menjadi lebih baik sehingga dapat meningkatkan daya serap terhadap larutan. Daya Serap Iod (mg/g) Waktu Aktifasi (menit) Tanpa perendaman asam fosfat Perendaman asam fosfat 15 % Gambar 14. Histogram hubungan antara perendaman asam fosfat dan waktu aktivasi terhadap daya serap iod Berdasarkan uji Duncan, nilai daya serap iod terhadap perlakuan tanpa direndam asam fosfat dengan waktu aktivasi 60 menit (A1B1) tidak berbeda nyata terhadap perlakuan perendaman asam fosfat dengan waktu aktfasi 60 (A2B1) dan 90 menit (A2B2). Perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 90 menit (A2B2) berbeda nyata dengan tanpa perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 90 menit (A1B2). Berbeda nyata terhadap perlakuan perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 120 menit (A2B3) dan tanpa perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 90 menit (A1B2). Perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 120 menit (A2B3) berbeda nyata dengan perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 90 menit (A2B2) tetapi tidak berbeda nyata perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 120 menit (A2B3) dengan tanpa perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 90 menit (A1B2). Tanpa perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 120 menit (A1B3) memberikan pengaruh yang nyata terhadap keseluruhan perlakuan. yang baik adalah arang aktif yang memiliki kemampuan dalam menyerap iod lebih tinggi. Daya serap iod tertinggi adalah pada perlakuan tanpa perendaman asam fosfat dan waktu aktivasi selama 120 menit (A1B3). 1.7 Daya Serap Benzena Daya serap benzena merupakan parameter uji yang dilakukan pada arang aktif untuk mengetahui kemampuan arang aktif dalam menyerap gas. Penetapan daya serap benzena memberikan indikasi kemampuan arang aktif dalam menyerap gas yang bersifat non polar dengan ukuran molekul kurang dari 6 Å (Rachmawati, 2004). Pada penelitian ini, daya serap benzena memiliki nilai rata-rata berkisar %. Daya serap benzena tersebut masih belum memenuhi SNI arang aktif teknis. SNI menetapan arang aktif memiliki kemampuan dalam menyerap benzena minimal 25%. Nilai terendah daya serap benzena terdapat pada perlakuan tanpa perendaman dengan waktu aktivasi selama 60 menit. Nilai tertinggi daya serap benzena terdapat pada perlakuan tanpa perendaman dengan waktu aktivasi selama 120 menit. Apabila dibandingkan dengan arang aktif komersial, nilai daya serap benzena pada penelitian ini masih lebih tinggi. Nilai daya serap benzena arang aktif komersial rata-rata sebesar 9.95%. 24

11 Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 11), faktor perendaman asam fosfat, waktu aktivasi, serata interaksi kedua faktor memberikan pengaruh yang nyata pada α = 0.05 terhadap nilai daya serap benzena. Terdapat kecenderungan semakin lama waktu aktivasi maka daya serap benzena akan semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena terjadinya pembentukan struktur pori-pori pada permukaan arang aktif yang berukuran 6 Å semakin banyak. Waktu aktivasi yang lebih lama menyebabkan terjadi struktur pori-pori pada pelat-pelat heksagonal semakin baik. Hal ini disebabkan karena banyaknya senyawa hidrokarbon, ter dan senyawa organik lainnya untuk keluar saat aktivasi Hubungan pengaruh perendaman asam fosfat dan waktu aktivasi terhadap daya serap benzena arang aktif dapat dilihat pada Gambar 15. Daya Serap Benzena (%) Waktu Aktifasi (menit) Tanpa perendaman asam fosfat Perendaman asam fosfat 15 % Gambar 15. Histogram hubungan antara perendaman asam fosfat dan waktu aktivasi terhadap daya serap benzena Hasil uji Duncan menunjukan bahwa setiap taraf perlakuan berbeda nyata satu dengan yang lainnya. tanpa perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 60 menit (A1B1) berbeda nyata dengan perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 60 menit (A2B1). Perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 90 menit (A2B2) berbeda nyata dengan tanpa perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 90 menit (A1B2). Perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 120 menit (A2B3) berbeda nyata terhadapt tanpa perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 120 menit (A1B3). Kemampuan arang aktif dalam menyerap senyawa benzena masih rendah. Hal tersebut menggambarkan bahwa arang aktif pada penelitian ini tidak cocok digunakan sebagai adsorben dalam penyerap gas. Selain itu kemampuan arang aktif yang rendah dalam menyerap benzena menggambarkan bahwa arang aktif lebih bersifat polar. 1.8 Derajat Keasaman (ph) Derajat keasaman (ph) merupakan salah satu pengukuran yang digunakan untuk mengetahui tingkat keasaman suatu bahan. Derajat keasaman pada arang aktif penting dilakukan terutama pada saat aplikasi arang aktif. Pada penelitian ini, nilai ph arang aktif rata-rata berkisar antara Nilai ph terendah terdapat pada perlakuan arang aktif yang direndam asam fosfat dengan waktu aktivasi selama 60 menit. Nilai ph arang aktif tertinggi terdapat pada perlakuan tanpa perendaman asam fosfat dengan waktu aktivasi 120 menit. Nilai ph rata-rata arang aktif komersial tinggi yaitu sebesar Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan arang aktif tanpa perendaman asam fosfat. Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 12), faktor perlakuan perendaman asam fosfat dan waktu aktivasi berbeda nyata pada α = 0.05 terhadap nilai ph arang aktif. Interaksi kedua faktor 25

12 tidak memberikan pengaruh yang nyata. Berdasarkan uji Duncan, faktor perendaman asam fosfat (A2) berbeda nyata dengan tanpa perendaman asam fosfat (A1). Waktu aktivasi selama 60 (B1), 90 (B2), dan 120 menit (B3) berbeda nyata. Ada kecenderungan semakin lama waktu aktivasi maka nilai ph akan semakin tinggi. Meningkatnya nilai ph diduga oleh reaksi reduksi air (uap air) saat proses aktivasi yang menyebabkan meningkatnya kandungan ion OH -. Semakin lama aktivasi menyebabkan reaksi reduksi akan terus terjadi dan kandungan ion OH - pada permukaan arang aktif akan semakin tinggi sehingga mempengaruhi nilai ph arang aktif. Perendaman dengan menggunakan asam fosfat cenderung menurunkan nilai ph dan terjadi peningkatan nilai ph seiring dengan meningkatnya waktu aktivasi. Hubungan pengaruh perendaman asam fosfat dan waktu aktivasi terhadap derajat keasaman (ph) arang aktif dapat dilihat pada Gambar 16. Nilai ph Gambar 16. Histogram hubungan antara perendaman asam fosfat dan waktu aktivasi terhadap derajat keasaman (ph) arang aktif 1.9 Arang Aktif Terbaik Waktu Aktifasi (menit) Tanpa perendaman fosfat Perendaman Asam fosfat 15 % merupakan arang yang memiliki kemampuan dalam menyerap larutan maupun gas. terbaik pada penelitian ini adalah arang aktif yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam daya serap iod. Daya serap iod tertinggi adalah perlakuan arang aktif tanpa perendaman dengan waktu aktivasi 120 menit (A1B3). Perbandingan arang aktif terbaik dengan Standar Nasional Indonesia dapat dilihat pada Tabel 4. Pada perlakuan tersebut diketahui bahwa arang aktif yang dihasilkan telah membentuk poripori yang lebih banyak sehingga arang aktif tersebut dapat digunakan sebagai adsorben dalam bentuk cairan. terbaik tersebut akan dilakukan uji Scanning Electron Microscop (SEM) dan derajat kristalinitas. terbaik akan dibandingkan dengan bentuk arang sebelum diaktivasi. Tabel 4. Perbandingan Mutu Arang Aktif Terbaik Dengan Standar Nasional Indonesia Parameter terbaik SNI Kadar air (%) 2.45 Mak. 15 Kadar zat terbang (%) Mak. 25 Kadar abu (%) 6.83 Mak. 10 Karbon karbon terikat (%) Min. 65 Daya serap I 2 (mg/g) Min. 750 Daya serap benzena (%) Min

13 1.9.1 Penampakan Arang dan Arang Aktif terbaik Scanning Electron Microscop (SEM) merupakan salah satu alat yang digunakan untuk mengetahui bentuk permukaan suatu bahan yang memiliki ukuran sangat kecil. Pengujian arang menggunakan SEM bertujuan untuk mengetahui bentuk perubahan permukaan arang saat proses karbonisasi dan aktivasi. merupakan arang yang memiliki pori-pori yang banyak sehingga dapat berfungsi sebagai adsorben. Pengujian penampakan arang dan arang aktif dilakukan pada pembesar 1000 kali. Pada Gambar 17 tersebut terdapat perbedaan struktur pori arang dan arang aktif tempurung kelapa sawit. Pada arang kelapa sawit terbentuk pori-pori yang tidak sebanyak arang aktif kelapa sawit. Pada arang masih terdapat struktur pori yang masih kecil sehingga kemampuan dalam menyerap larutan dan gas masih rendah. Untuk arang aktif kelapa sawit dengan perlakuan tanpa perendaman dengan waktu aktivasi selama 120 menit (A1B3) telah membentuk struktur pori yang lebih luas dan menyebar diseluruh permukaan arang. Semakin banyak struktur pori pada permukaan arang aktif maka kemampuan dalam menyerap cairan dan gas akan semakin tinggi. Proses karbonisasi dan aktivasi mempengaruhi struktur pori-pori suatu bahan. Pori-pori terbentuk dari penguapan zat terbang serta terdegradasinya senyawa organik oleh panas. Menurut Novicio et al., (1998), terbentuknya pori karena adanya penguapan zat terbang yang terkandung di dalam bahan baku yang disebabkan oleh proses karbonisasi. Pori-pori yang terbentuk diperkirakan sebesar 6-15 Å. Hal ini bisa terlihat dari pengujian daya serap iod dan daya serap benzena. Semakin banyak pori-pori yang terbentuk pada permukaan arang aktif maka kemampuan dalam menyerap larutan dan gas akan semakin meningkat. Pori-pori yang terbentuk memiliki gaya van der walls yaitu gaya yang dapat menarik molekul sehingga terjadi peristiwa adsorpsi. (a) (b) Keterangan : : pori-pori : Abu Gambar 17. (a) arang tempurung kelapa sawit dan (b) arang aktif tempurung kelapa sawit pembesaran 1000 kali Proses karbonisasi pada arang menggunakan suhu 450 o C dan proses aktivasi arang aktif menggunakan suhu 800 o C. Perbedaan suhu yang digunakan menyebabkan terbentuknya pengotor yang diduga merupakan abu. Abu merupakan hasil degradasi senyawa anorganik atau mineral oleh suhu tinggi. Terbentuknya abu pada arang dan arang aktif dapat dilihat pada Gambar 18. Gambar yang berwarna putih diduga adalah kandungan abu yang menempel pada bahan. Pada gambar terlihat bahwa kandungan abu pada arang lebih rendah dibandingkan pada arang aktif. Terbentuknya abu pada permukaan arang disebabkan oleh proses karbonisasi yang dilakukan pada suhu 450 o C. Abu pada arang lebih sedikit dibandingkan dengan arang aktif. Hal ini disebabkan karena suhu yang digunakan saat proses karbonisasi cenderung masih rendah sehingga senyawa mineral pada arang masih belum terdegradasi sempurna. Pada arang aktif, terbentuknya abu cenderung lebih banyak sehingga menyebabkan tertutupi struktur pori-pori yang terbentuk. 27

14 Penggunaan suhu tinggi dan waktu aktivasi yang lebih panjang menyebabkan proses degradasi senyawa anorganik lebih banyak. Degradasi oleh suhu tinggi menyebabkan endapan anorganik yang lebih banyak menempel pada bahan. Oleh sebab itu semakin tinggi suhu yang digunakan maka abu yang terbentuk akan semakin tinggi Derajat Kristalinitas Derajat kristalinitas merupakan salah satu uji untuk mengetahui struktur kristalit suatu bahan apakah bahan tersebut memiliki struktur kristalinitas yang tinggi. Derajat kristalit dihitung dengan cara membandingkan bagian kristalin dengan jumlah bagian kristal dan bagian amorf pada bahan. Semakin tinggi derajat kristalinitas maka tinggi pula tingkat keteraturan struktur suatu bahan. Uji derajat kristalinitas dilakukan dengan menggunakan alat X-Ray Difractometer (XRD). Prinsip kerja alat tersebut adalah dengan cara menyinari bahan dengan sinar X. Sinar X yang datang akan diteruskan dan direfleksikan. Intensitas sinar X yang datang akan lebih tinggi dibandingkan dengan sinar X yang direfleksikan. Hal tersebut disebabkan karena terdapat penyerapan oleh bahan dan juga dipantulkan oleh atom-atom dalam bahan. Grafik derajat kristalinitas bahan baku, arang dan arang aktif terbaik dapat dilihat pada Gambar 19. Intensitas 2theta (deg) Keterangan : = Tempurung kelapa sawit = Arang tempurung kelapa sawit = terbaik (A1B3) Gambar 18. Grafik kristalinitas bahan baku, arang dan arang aktif terbaik Pada Gambar 18, terlihat bahwa bentuk grafik derajat kristalinita berbeda antara bahan baku dan arang baik arang sebelum diaktivasi maupun setelah diaktivasi. Derajat kristalinitas pada bahan baku dan arang sebelum diaktivasi sebesar 33.35% dan 29.65%. Bahan baku tempurung kelapa sawit memiliki derajat kristalinitas lebih tinggi dibandingkan arang hasil karbonisasi. Derajat kristalinitas pada bahan baku lebih tinggi disebabkan oleh kandungan holoselulosa. Holoselulosa merupakan jumlah dari polisakrida dalam kayu yang terdiri dari selulosa dan hemiselulosa (Lestari, 2012). Holoselulosa bagian dari serat yang bebas dari lignin. Semakin banyak kandungan holoselulosa maka semakin tinggi derajat kristalinitas. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Pari (2004) bahwa derajat kristalinitas pada bahan baku lebih didominasi oleh kandungan holoselulosa. 28

15 Pada arang terjadi penurunan derajat kristalinitas. Hal ini disebabkan oleh terjadi degradasi oleh panas yang menyebabkan kandungan holoselulosa berkurang sehingga akan membentuk kristal baru. Kandungan holoselulosa berkurang disebabkan oleh panas saat proses karbonisasi pada suhu 450 o C. Menurut Pari (2004), kandungan holoselulosa pada bahan akan terdegradasi pada suhu 300 o C. Pada proses karbonisasi, suhu yang digunakan lebih tinggi sehingga proses penguraian holoselulosa akan semakin banyak. Terjadinya perbedaan derajat kristalinitas juga dapat dilihat dari pergeseran sudut difraksi dari o menjadi o serta terbentuknya sudut baru pada 44 o pada arang tempurung kelapa sawit. Pada arang aktif terjadi peningkatan derajat kristalinitas hingga mencapai 39.89%. Peningkatan derajat kristalinitas lebih disebabkan oleh banyaknya struktur karbon yang terbentuk dari proses aktivasi. Peningkatan derajat kristalinitas arang aktif terbaik disebabkan oleh pergeseran sudut difraksi menjadi o dan intensitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas arangnya. Struktur kristalin dan lapisan aromatik dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Struktur kristalin dan lapisan aromatik pada bahan baku, arang, dan arang aktif terbaik tempurung kelapa sawit Bahan X (%) 2θ (002) ( o ) d (θ (002) ) (nm) 2θ (100) ( o ) d (θ (100) ) (nm) Lc (nm) N La (nm) Tempurung Kelapa Sawit Arang TKS Arang Aktif TKS Proses karbonisasi dan aktivasi menyebabkan jarak antar lapisan aromatik (d) semakin sempit. Terjadi penurunan jarak antar lapisan aromatik dari bahan baku menjadi arang adalah 0.40 nm menjadi 0.38 nm. yang dihasilkan memiliki nilai d terendah yaitu sebesar 0.38 nm. Pada arang aktif, nilai d semakin rendah hingga menjadi 0.37 nm. Penurunan jarak antar lapisan aromatik menyebabkan struktur kristalit semakin teratur sehingga nilai derajat kristalinitas semakin tinggi. Selain jarak antar lapisan, nilai tinggi lapisan aromatik (Lc) menyebabkan tingkat derajat kristalinitas semakin tinggi yang ditandai dengan meningkatnya nilai intensitas. Pada arang sebelum diaktivasi, nilai Lc sebesar 1.46 nm dan meningkat menjadi 1.54 nm ketika arang diaktivasi. Pada bahan baku nilai Lc lebih tinggi dibandingkan dengan arang dan arang aktif. Tinggi lapisan ini lebih disebabkan oleh kandungan penyusun bahan yang terdiri holoselulosa. Menurut Byrne et al. (1997), meningkatnya nilai Lc menggambarkan ikatan antar atom karbon meregang sehingga jarak antar lapisan atomnya bertambah panjang. Hal yang sama juga terjadi peningkatan jumlah lapisan aromatik (N) arang yaitu pada 3.84 menjadi 4.12 sedangkan pada bahan baku jumlah lapisan aromatik lebih besar yang disebabkan oleh kandungan penyusun bahan baku. Bertambahnya jumlah lapisan aromatik menyebabkan derajat kristalinitas semakin tinggi. Pada lebar lapisan aromatik (La) terjadi pelebaran lapisan aromatik dari 5.83 menjadi nm sedangkan pada bahan baku tidak terlihat lebar lapisan aromatik. Terjadi pelebaran lapisan aromatik lebih disebabkan oleh suhu. Menurut Kercher et al. (2003), peningkatan suhu mengakibatkan terjadinya pergesaran lapisan antar kristalit dan membentuk kristal baru. Proses karbonisasi dan aktivasi menyebabkan terjadi pergeseran antar lapisan kristalit sehingga membentuk kristal baru yang menyebabkan derajat kristalisasi semakin tinggi. 29

16 2. Aplikasi Arang Aktif Terbaik Sebagai Adsorben Dalam Pemurnian Biodiesel terbaik diuji untuk memurnikan biodiesel. Aplikasi arang aktif untuk memurnikan biodiesel bisa digunakan dari biodiesel berbahan dasar jenis lainnya. Pada penelitian ini model biodiesel yang digunakan berasal dari minyak olein kelapa sawit. Biodiesel tersebut diperoleh dari instansi penelitian yaitu Surfactan and Bioenergi Research Center (SBRC). Biodiesel ini dipilih disebabkan karena proses produksi yang dilakukan hanya melalui proses transesterifikasi tanpa melalui proses esterifikasi. Proses transesterfikasi tersebut disebabkan kandungan asam lemak bebas yang kurang dari 2.5%. Jika kandungan asam lemak bebas lebih dari 2.5 %, maka proses pembuatan biodiesel harus melewati proses esterifikasi. Proses transesterifikasi menyebabkan waktu yang digunakan untuk proses produksi tidak terlalu lama dan bahan yang digunakan untuk proses produksi tidak terlalu banyak. Dalam proses pemurnian, biodiesel yang digunakan adalah biodiesel kasar (crude biodiesel). Biodiesel kasar merupakan biodiesel yang belum dimurnikan setelah proses pemisahan gliserol. Sebelum dilakukan proses pemurnian biodiesel, terlebih dahulu arang aktif dinetralkan. terbaik memiliki nilai ph tinggi dan bersifat basa. Suasana basa pada arang aktif dapat mempengaruhi nilai ph biodiesel. Biodiesel yang siap digunakan harus memiliki nilai ph netral yaitu tujuh. Apabila biodiesel tersebut memiliki ph dengan kondisi asam atau basa maka dapat menyebabkan korosi pada mesin sehingga menimbulkan kerusakan mesin. Proses penetralan arang aktif dilakukan dengan menggunakan air destilat. Air destilat digunakan karena cairan tersebut tidak memiliki unsur-unsur mineral yang dapat mempengaruhi kemampuan dalam menyerap cairan dan gas. Adanya unsur-unsur mineral dapat menutupi permukaan pori-pori yang terbentuk pada arang aktif. Proses penetralan arang aktif dengan air destilat yang akan diaplikasikan juga dilakukan oleh (Rachmawati 2004) dan (Wibowo, 2009). Fadhil et al (2012) melakukan proses penetralan arang aktif sebelum diaplikasikan dengan menggunakan HCl. Setelah proses penetralan ph, maka dilakukan proses pengeringan. Proses tersebut dilakukan untuk menguapkan air destilat pada arang aktif. Proses pengeringan dilakukan selama tiga jam pada suhu 105 o C dalam oven pengering. Setelah proses pengeringan maka dilakukan proses penggilingan hingga lolos ayakan 100 mesh. Penggilingan arang aktif bertujuan untuk meningkatkan luas permukaan bidang kontak antara adsorben dengan adsorbat (biodiesel). Penambahan arang aktif untuk memurnikan biodiesel sebesar 1%, 2%, dan 3% berdasarkan bobot biodiesel. Biodiesel dihomogenkan dengan arang aktif selama 20 menit dengan kecepatan konstan sehingga terjadi kontak antara pengotor pada biodiesel dengan arang aktif. Setelah itu, campuran yang homogen didekantasi yang bertujuan untuk mengendapkan arang aktif pada dasar sehingga memudahkan proses pemisahan biodiesel dengan arang aktif. Biodiesel dengan arang dipisahkan dengan kertas saring berabu untuk memisahkan arang aktif dengan biodiesel. Parameter uji pemurnian biodiesel meliputi bilangan asam, kejernihan, dan nilai ph Bilangan Asam Bilangan asam merupakan jumlah milligram KOH yang digunakan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terkandung dalam satu gram minyak atau lemak (Ketaren, 1986). Bilangan asam menjadi salah satu parameter penting terhadap mutu biodiesel. Bilangan asam menunjukan jumlah asam lemak bebas yang masih tersisa setelah proses transesterifikasi. Bilangan asam yang tinggi menyebabkan terjadi suasana asam pada biodiesel sehingga terjadi korosi pada sistem injeksi bahan bakar. Pada penelitian ini, nilai bilangan asam biodiesel sebelum dan setelah pemurnian rata-rata berkisar mg KOH/gram. Nilai bilangan asam tertinggi adalah bilangan asam yang belum dimurnikan (biodiesel kasar) yaitu sebesar 0.78 mg KOH/gram. Nilai bilangan asam terendah adalah bilangan asam yang dimurnikan dengan menggunakan arang aktif sebanyak 3 % (b/b) yaitu sebesar 30

17 0.22 mg KOH/gram. SNI menetapkan bahwa biodiesel memiliki kandungan bilangan asam maksimal 0.8 mg KOH/gram. Terjadi penurunan bilangan asam ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Puspaningrum (2007) dan Fadhil et al., (2012). Puspaningrum (2007), melakukan pemurnian biodiesel dari minyak jarak pagar dengan berbagai jenis adsorben. Jenis adsorben arang aktif komersial mampu mengurangi bilangan asam biodiesel menjadi mg KOH/gram minyak. Fadhil et al., (2012), melakukan pemurnian biodiesel dari minyak bekas penggorengan dengan arang aktif bekas limbah teh mampu menurunkan bilangan asam menjadi mg KOH/gram minyak. Perbedaan nilai bilangan asam dari penelitian tersebut dipengaruhi oleh proses produksi biodiesel dan karakteristik bahan yang digunakan. Pemurnian menggunakan arang aktif menghasilkan biodiesel dengan kandungan asam lemak bebas lebih rendah dari biodiesel kasar dan biodiesel cuci. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 13) menunjukkan, pengaruh proses pemurnian biodiesel pada α = 0.05 memberikan pengaruh yang nyata terhadap bilangan asam biodiesel. Berdasarkan hasil uji Duncan, arang aktif yang ditambahkan sebesar 3% berbeda nyata dengan penambahan arang aktif 1%, 2%, pencucian air, dan biodiesel kasar. sebanyak 1% dan 2% tidak berbeda nyata. sebesar 2% belum mampu mengurangi kandungan asam lemak bebas yang terkandung dalam biodiesel. Hal ini lebih disebabkan oleh luas permukaan arang aktif yang ditambahkan masih sama dalam menyerap asam lemak bebas. Pada penambahan arang aktif sebesar 3% mampu mengurangi kandung asam lemak bebas pada biodiesel. Penambahan 3% arang aktif menyebabkan permukaan arang aktif akan semakin luas sehingga dapat menyerap kandungan asam lemak bebas. Proses pencucian dengan air akan berbeda nyata terhadap arang aktif 1%, 2%, 3% dan biodiesel kasar. Pengaruh proses pemurnian biodiesel terhadap bilangan asam dapat dilihat pada Gambar 19. Bilangan Asam (mg KOH/gram) Biodiesel kasar 0.55 Biodiesel cuci % 2% % 0.80 SNI Pemurnian biodiesel Gambar 19. Histogram bilangan asam berdasarkan proses pemurnian biodiesel Penggunaan arang aktif terbaik lebih efektif dalam menurunkan bilangan asam dibandingkan dengan pencucian air sebanyak tiga kali. Hal ini diduga karena arang aktif memiliki pori-pori yang mampu menarik dan mengikat asam lemak bebas yang terkandung dalam biodiesel. Proses adsorpsi terjadi secara fisik disebabkan karena adanya perbedaan atau gaya tarik menarik elektrik (gaya Van der Walls) yang dimiliki oleh pori-pori arang aktif (Wibowo, 2009). Menurut Ketaren (1986), adsorben akan menyerap suspensi koloid (gum dan resin), asam lemak bebas serta hasil oksidasi minyak seperti peroksida. Semakin tinggi jumlah arang aktif yang ditambahkan pada biodiesel maka kontak antara asam lemak bebas dengan arang aktif lebih luas sehingga mampu mengurangi bilangan 31

18 asam. Bilangan asam yang dingiinkan pada produk biodiesel seminimal mungkin. Pada penelitian ini penambahan 3% arang aktif memberikan hasil terbaik. 2.2 Kejernihan Kejernihan menjadi parameter uji untuk mengetahui tingkat kekeruhan atau pengotor pada biodiesel. Pengujian kejernihan menggunakan alat spektrofotometer. Semakin tinggi nilai kejernihan maka tingkat kekeruhan serta pengotor pada biodiesel akan semakin rendah. Kejernihan biodiesel pada penelitian ini berkisar antara %. Nilai kejernihan terendah adalah biodiesel sebelum dimurnikan yaitu 57.99%. Nilai kejernihan tertinggi adalah biodiesel yang dimurnikan dengan pencucian air. yang digunakan sebagai adsorben dalam pemurnian ini menghasilkan nilai kejernihan %. Pada penelitian ini terjadi perbedaan nilai kejernihan sebelum dan setelah pemurnian. Perbedaan kejernihan disebabkan oleh adanya kandungan pengotor yang diduga merupakan sabun, sisa gliserol, dan sisa katalis, serta kandungan zat anorganik yang tercampur pada biodiesel. Biodiesel yang diinginkan adalah biodiesel yang memiliki kandungan pengotor yang rendah sehingga dapat menghindari terjadinya kerusakan mesin. Berdasarakan analisis sidik ragam (Lampiran 14), proses pemurnian biodiesel memberikan pengaruh yang nyata pada α = 0.05 terhadap nilai kejernihan. Hasil uji Duncan didapatkan bahwa perlakuan permurnian dengan arang aktif serta penambahan arang aktif sebesar 1%, 2%, dan 3% memiliki tingkat kejernihan yang tidak berbeda nyata. Akan tetapi penambahan arang aktif berbeda nyata dengan biodiesel sebelum dimurnikan (biodiesel kasar) dan pemurnian dengan pencucian air. Pengaruh pemurnian biodiesel terhadap kejernihan dapat dilihat pada Gambar 20. Nilai % Transmisi Biodiesel kasar Biodiesel cuci 1% 2% 3% Pemurnian biodiesel Gambar 20. Histogram kejernihan berdasarkan proses pemurnian biodiesel Penambahan arang aktif mampu meningkatkan nilai kejernihan pada biodiesel. Hal ini diduga arang aktif memiliki kemampuan dalam menyerap zat pengotor pada biodiesel akibat terbentuknya struktur pori pada permukaan arang aktif. Terbentuknya struktur pori menyebabkan adanya gaya tarik antara adsorben dengan adsorbat sehingga dapat mengurangi pengotor pada biodiesel. Pemurnian biodiesel dengan pencucian air memiliki tingkat kejernihan yang tinggi. Hal ini diduga bahwa proses pencucian dengan air dapat memisahkan pengotor baik terutama kandungan anorganik biodiesel sehingga menyebabkan tingkat kejernihan lebih tinggi. Pengotor pada biodiesel akan terbawa oleh air ketika biodiesel dipisahkan dari air pencucian. 32

19 2.3 Derajat Keasaman (ph) Derajat keasaman merupakan salah satu parameter uji untuk mengetahui keasaman suatu bahan. Nilai ph yang tinggi mengindikasikan adanya sisa katalis atau sabun yang terbentuk pada saat proses transesterifikasi. Nilai ph tinggi pada biodiesel dapat terjadi korosi dan kerusakan mesin. Nilai ph pada penelitian ini rata-rata berkisar antara Nilai ph terendah terdapat pada biodiesel yang dicuci dengan air yaitu sebesar 7.26 dan yang tertinggi adalah biodiesel kasar. Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 15), nilai ph biodiesel pada tingkat α = 0.05 berbeda nyata. Proses pemurnian cenderung menurunkan nilai ph pada biodiesel. Biodiesel setelah dimurnikan memiliki ph netral. Nilai ph netral menunjukan bahwa tidak adanya sisa katalis dalam biodiesel. Berdasarkan uji Duncan, biodiesel kasar, cuci, dan penambahan arang aktif 1%, 2%, dan 3% berbeda nyata. Nilai ph biodiesel kasar masih dalam kondisi basa dengan nilai ph rata-rata 8.03 Nilai tersebut menunjukan bahwa pada biodiesel terdapat sisa katalis atau sabun. Sisa katalis atau sabun pada biodiesel kasar tidak terlalu tinggi sehingga proses pemurnian biodiesel tidak terlalu sulit. Pemurnian dengan cara dicuci menggunakan air sebanyak tiga kali cenderung nilai ph biodiesel sudah netral yaitu mendekati nilai tujuh. Hal ini disebabkan karena sisa katalis atau kandungan sabun pada biodiesel telah tercampur dengan air sehingga mengurangi sifat alkalinitas pada biodiesel tersebut. Pemurnian dengan menggunakan arang aktif juga menyebabkan nilai ph netral. Penggunaan arang aktif sebagai adsorben dapat menurunkan nilai ph. Hal ini diduga karena arang aktif memiliki poripori pada permukaan sehingga terjadi gaya tarik terhadap sisa katalis atau sabun yang terbentuk pada biodiesel. Pengaruh pemurnian biodiesel terhadap nilai ph dapat dilihat pada Gambar Nilai ph Biodiesel kasar Biodiesel cuci 1% 2% 3% Pemurnian Biodiesel Gambar 21.Histogram nilai ph biodiesel berdasarkan proses pemurnian biodiesel Menurunnya nilai ph biodiesel juga sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Puspaningrum (2007). Penambahan arang aktif komersial mampu menurunkan nilai ph biodiesel minyak jarak pagar. Akan tetapi nilai ph masih dalam alkalinitas yang tinggi. Hal ini dapat terjadi karena penambahan jumlah katalis yang digunakan, perlakuan saat proses pembuatan biodiesel, serta karakteristik minyak yang akan dikonversi menjadi biodiesel. 33

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7. Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 7. Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1 Hasil Analisis Karakterisasi Arang Aktif Hasil analisis karakterisasi arang dan arang aktif berdasarkan SNI 06-3730-1995 dapat dilihat pada Tabel 7. Contoh Tabel 7. Hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. = AA diimpregnasi ZnCl 2 5% selama 24 jam. AZT2.5 = AA diimpregnasi ZnCl 2 5% selama 24 jam +

HASIL DAN PEMBAHASAN. = AA diimpregnasi ZnCl 2 5% selama 24 jam. AZT2.5 = AA diimpregnasi ZnCl 2 5% selama 24 jam + 6 adsorpsi sulfur dalam solar juga dilakukan pada AZT2 dan AZT2.5 dengan kondisi bobot dan waktu adsorpsi arang aktif berdasarkan kadar sulfur yang terjerap paling tinggi dari AZT1. Setelah proses adsorpsi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisis Struktur. Identifikasi Gugus Fungsi pada Serbuk Gergaji Kayu Campuran

HASIL DAN PEMBAHASAN. Analisis Struktur. Identifikasi Gugus Fungsi pada Serbuk Gergaji Kayu Campuran HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Struktur Identifikasi Gugus Fungsi pada Serbuk Gergaji Kayu Campuran Analisis dengan spektrofotometri inframerah (IR) bertujuan mengetahui adanya gugus fungsi pada suatu bahan.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 13 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris, negara yang sangat subur tanahnya. Pohon sawit dan kelapa tumbuh subur di tanah Indonesia. Indonesia merupakan negara penghasil

Lebih terperinci

PEMBUATAN DAN KUALITAS ARANG AKTIF DARI SERBUK GERGAJIAN KAYU JATI

PEMBUATAN DAN KUALITAS ARANG AKTIF DARI SERBUK GERGAJIAN KAYU JATI C7 PEMBUATAN DAN KUALITAS ARANG AKTIF DARI SERBUK GERGAJIAN KAYU JATI (Tectona grandis L.f) DAN TONGKOL JAGUNG (Zea mays LINN) SEBAGAI ADSORBEN MINYAK GORENG BEKAS (MINYAK JELANTAH) Oleh : J.P. Gentur

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENENTUAN PERBANDINGAN MASSA ALUMINIUM SILIKAT DAN MAGNESIUM SILIKAT Tahapan ini merupakan tahap pendahuluan dari penelitian ini, diawali dengan menentukan perbandingan massa

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 13 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Molekul-molekul pada permukaan zat padat atau zat cair mempunyai gaya tarik kearah dalam, karena tidak ada gaya-gaya lain yang mengimbangi. Adanya gayagaya ini

Lebih terperinci

STUDI PEMBUATAN ARANG AKTIF DARI TIGA JENIS ARANG PRODUK AGROFORESTRY DESA NGLANGGERAN, PATUK, GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PENDAHULUAN

STUDI PEMBUATAN ARANG AKTIF DARI TIGA JENIS ARANG PRODUK AGROFORESTRY DESA NGLANGGERAN, PATUK, GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PENDAHULUAN C8 STUDI PEMBUATAN ARANG AKTIF DARI TIGA JENIS ARANG PRODUK AGROFORESTRY DESA NGLANGGERAN, PATUK, GUNUNG KIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Oleh : Veronika Yuli K. Alumni Fakultas Kehutanan Universitas

Lebih terperinci

Pemanfaatan Kulit Singkong Sebagai Bahan Baku Karbon Aktif

Pemanfaatan Kulit Singkong Sebagai Bahan Baku Karbon Aktif Pemanfaatan Kulit Singkong Sebagai Bahan Baku Karbon Aktif Landiana Etni Laos, Arkilaus Selan Prodi Pendidikan Fisika STKIP Soe, Nusa Tenggara Timur E-mail: etni.laos@yahoo.com Abstrak. Karbon aktif merupakan

Lebih terperinci

Simposium Nasional Teknologi Terapan (SNTT) ISSN: X

Simposium Nasional Teknologi Terapan (SNTT) ISSN: X KARAKTERISTIK ARANG AKTIF DARI TEMPURUNG KELAPA DENGAN PENGAKTIVASI H 2SO 4 VARIASI SUHU DAN WAKTU Siti Jamilatun, Intan Dwi Isparulita, Elza Novita Putri Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknologi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.2 DATA HASIL ARANG TEMPURUNG KELAPA SETELAH DILAKUKAN AKTIVASI

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.2 DATA HASIL ARANG TEMPURUNG KELAPA SETELAH DILAKUKAN AKTIVASI 39 BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 PENDAHULUAN Hasil eksperimen akan ditampilkan pada bab ini. Hasil eksperimen akan didiskusikan untuk mengetahui keoptimalan arang aktif tempurung kelapa lokal pada

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH DAUN DAN RANTING PENYULINGAN MINYAK KAYU PUTIH (Melaleuca cajuputi Powell) UNTUK PEMBUATAN ARANG AKTIF

PEMANFAATAN LIMBAH DAUN DAN RANTING PENYULINGAN MINYAK KAYU PUTIH (Melaleuca cajuputi Powell) UNTUK PEMBUATAN ARANG AKTIF PEMANFAATAN LIMBAH DAUN DAN RANTING PENYULINGAN MINYAK KAYU PUTIH (Melaleuca cajuputi Powell) UNTUK PEMBUATAN ARANG AKTIF J. P. Gentur Sutapa 1 dan Aris Noor Hidayat 2 1 Dosen Jurusan Teknologi Hasil Hutan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) Minyak nabati (CPO) yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak nabati dengan kandungan FFA rendah yaitu sekitar 1 %. Hal ini diketahui

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba untuk penentuan daya serap dari arang aktif. Sampel buatan adalah larutan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba untuk penentuan daya serap dari arang aktif. Sampel buatan adalah larutan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembuatan Sampel Buatan Pada prosedur awal membuat sampel buatan yang digunakan sebagai uji coba untuk penentuan daya serap dari arang aktif. Sampel buatan adalah larutan

Lebih terperinci

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 1 (2013), Hal ISSN :

PRISMA FISIKA, Vol. I, No. 1 (2013), Hal ISSN : Pengaruh Suhu Aktivasi Terhadap Kualitas Karbon Aktif Berbahan Dasar Tempurung Kelapa Rosita Idrus, Boni Pahlanop Lapanporo, Yoga Satria Putra Program Studi Fisika, FMIPA, Universitas Tanjungpura, Pontianak

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2010 sampai dengan Mei tahun 2011. Pembuatan serat karbon dari sabut kelapa, karakterisasi XRD dan SEM dilakukan di

Lebih terperinci

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel

METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku b. Bahan kimia 2. Alat B. METODE PENELITIAN 1. Pembuatan Biodiesel METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan a. Bahan Baku Bahan baku yang digunakan untuk penelitian ini adalah gliserol kasar (crude glycerol) yang merupakan hasil samping dari pembuatan biodiesel. Adsorben

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan bakar fosil telah banyak dilontarkan sebagai pemicu munculnya BBM alternatif sebagai pangganti BBM

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komponen Kimia Tempurung Kemiri Hasil analisa komponen kimia tempurung kemiri yang digunakan sebagai bahan baku dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Komponen

Lebih terperinci

PENGARUH SUHU AKTIVASI TERHADAP DAYA SERAP KARBON AKTIF KULIT KEMIRI

PENGARUH SUHU AKTIVASI TERHADAP DAYA SERAP KARBON AKTIF KULIT KEMIRI PENGARUH SUHU AKTIVASI TERHADAP DAYA SERAP KARBON AKTIF KULIT KEMIRI Landiana Etni Laos 1*), Masturi 2, Ian Yulianti 3 123 Prodi Pendidikan Fisika PPs Unnes, Gunungpati, Kota Semarang 50229 1 Sekolah Tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. minyak ikan paus, dan lain-lain (Wikipedia 2013).

BAB I PENDAHULUAN. minyak ikan paus, dan lain-lain (Wikipedia 2013). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Minyak merupakan trigliserida yang tersusun atas tiga unit asam lemak, berwujud cair pada suhu kamar (25 C) dan lebih banyak mengandung asam lemak tidak jenuh sehingga

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian kali ini terdiri dari bahan utama yaitu biji kesambi yang diperoleh dari bantuan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 35 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Arang Aktif 4.1.1 Sifat Arang Aktif Sifat arang aktif yang diamati adalah rendemen, kadar air, abu, zat terbang, dan karbon terikat (Tabel 5). Seluruh sifat arang aktif

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan-bahan dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji karet, dan bahan pembantu berupa metanol, HCl dan NaOH teknis. Selain bahan-bahan di atas,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI LIMBAH MINYAK Sebelum ditambahkan demulsifier ke dalam larutan sampel bahan baku, terlebih dulu dibuat blanko dari sampel yang diujikan (oli bekas dan minyak

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 28 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Limbah Padat Agar-agar Limbah hasil ekstraksi agar terdiri dari dua bentuk, yaitu padat dan cair. Limbah ini mencapai 65-7% dari total bahan baku, namun belum

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Lanjutan Nilai parameter. Baku mutu. sebelum perlakuan dan kemudian ditimbang. Penimbangan dilakukan sampai diperoleh bobot konstan. Rumus untuk perhitungan TSS adalah sebagai berikut: TSS = bobot residu pada kertas saring volume contoh Pengukuran absorbans

Lebih terperinci

Bilangan gelombang (Wave number), cm-1. Gambar 1. Spektrum FTIR lignin Figure 1. Spectrum of lignin FTIR

Bilangan gelombang (Wave number), cm-1. Gambar 1. Spektrum FTIR lignin Figure 1. Spectrum of lignin FTIR Transmisi (Transmitance), % Kajian struktur arang dari... (Gustan Pari, Kurnia Sofyan, Wasrin Syafii, Buchari & Hiroyuki Yamamoto) Bilangan gelombang (Wave number), cm-1 Gambar 1. Spektrum FTIR lignin

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR

HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS GLISEROL HASIL SAMPING BIODIESEL JARAK PAGAR Gliserol hasil samping produksi biodiesel jarak pagar dengan katalis KOH merupakan satu fase yang mengandung banyak pengotor.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Kelapa Sawit Sumber minyak dari kelapa sawit ada dua, yaitu daging buah dan inti buah kelapa sawit. Minyak yang diperoleh dari daging buah disebut dengan minyak kelapa

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. (Balai Penelitian dan Pengembangan Industri, 1984). 3. Arang gula (sugar charcoal) didapatkan dari hasil penyulingan gula.

BAB II LANDASAN TEORI. (Balai Penelitian dan Pengembangan Industri, 1984). 3. Arang gula (sugar charcoal) didapatkan dari hasil penyulingan gula. BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Arang Aktif Arang adalah bahan padat yang berpori dan merupakan hasil pembakaran dari bahan yang mengandung unsur karbon. Sebagian besar dari pori-porinya masih tertutup dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dihadapi oleh sebagian masyarakat di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Tamiang adalah ketidaktersediaannya air bersih. Kendala itu terjadi karena

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 6 HASIL DAN PEMBAHASAN Karboksimetil selulosa (CMC) merupakan salah satu turunan selulosa yang disebut eter selulosa (Nevell dan Zeronian 1985). CMC dapat larut di dalam air dingin dan air panas dan menghasilkan

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANALISIS BAHAN MAKANAN ANALISIS KADAR ABU ABU TOTAL DAN ABU TIDAK LARUT ASAM

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANALISIS BAHAN MAKANAN ANALISIS KADAR ABU ABU TOTAL DAN ABU TIDAK LARUT ASAM LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA ANALISIS BAHAN MAKANAN ANALISIS KADAR ABU ABU TOTAL DAN ABU TIDAK LARUT ASAM Kelompok 10 Delis Saniatil H 31113062 Herlin Marlina 31113072 Ria Hardianti 31113096 Farmasi 4B PRODI

Lebih terperinci

PENGARUH BAHAN AKTIVATOR PADA PEMBUATAN KARBON AKTIF TEMPURUNG KELAPA

PENGARUH BAHAN AKTIVATOR PADA PEMBUATAN KARBON AKTIF TEMPURUNG KELAPA Jurnal Riset Industri Hasil Hutan Vol.2, No.1, Juni 2010 : 21 26 PENGARUH BAHAN AKTIVATOR PADA PEMBUATAN KARBON AKTIF TEMPURUNG KELAPA EFFECT OF ACTIVATOR IN THE MAKING OF ACTIVATED CARBON FROM COCONUT

Lebih terperinci

PEMBUATAN DAN PEMANFAATAN ARANG AKTIF DARI TEMPURUNG BUAH LONTAR (Borassus flabellifer Linn.) SEBAGAI ABSORBEN LIMBAH BATIK KAYU

PEMBUATAN DAN PEMANFAATAN ARANG AKTIF DARI TEMPURUNG BUAH LONTAR (Borassus flabellifer Linn.) SEBAGAI ABSORBEN LIMBAH BATIK KAYU PEMBUATAN DAN PEMANFAATAN ARANG AKTIF DARI TEMPURUNG BUAH LONTAR (Borassus flabellifer Linn.) SEBAGAI ABSORBEN LIMBAH BATIK KAYU 1. 2. I Ketut Gede Intan Kurniawan 1, J.P. Gentur Sutapa 2 Alumni Jurusan

Lebih terperinci

Pemanfaatan Kulit Singkong sebagai Bahan Baku Karbon Aktif

Pemanfaatan Kulit Singkong sebagai Bahan Baku Karbon Aktif Jurnal Teknologi Kimia Unimal 4 : 2 (November 2015) 11-19 Jurnal Teknologi Kimia Unimal http://ft.unimal.ic.id/teknik_kimia/jurnal Jurnal Teknologi Kimia Unimal Pemanfaatan Kulit Singkong sebagai Bahan

Lebih terperinci

PEMBUATAN KARBON AKTIF DARI KULIT KACANG TANAH (Arachis hypogaea) DENGAN AKTIVATOR ASAM SULFAT

PEMBUATAN KARBON AKTIF DARI KULIT KACANG TANAH (Arachis hypogaea) DENGAN AKTIVATOR ASAM SULFAT LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN KARBON AKTIF DARI KULIT KACANG TANAH (Arachis hypogaea) DENGAN AKTIVATOR ASAM SULFAT (Activated Carbon Production from Peanut Skin with Activator Sulphate Acid) Diajukan sebagai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 AREN (Arenga pinnata) Pohon aren (Arenga pinnata) merupakan pohon yang belum banyak dikenal. Banyak bagian yang bisa dimanfaatkan dari pohon ini, misalnya akar untuk obat tradisional

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pembuatan Arang Aktif dari Sekam Padi Arang sekam yang telah diaktivasi disebut arang aktif. Arang aktif yang diperoleh memiliki ukuran seragam (210 µm) setelah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C

Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI ) Kadar Air (%) = A B x 100% C LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Karakterisasi Komposisi Kimia 1. Analisa Kadar Air (SNI 01-2891-1992) Sebanyak 1-2 g contoh ditimbang pada sebuah wadah timbang yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian dikeringkan

Lebih terperinci

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan

Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan Pada penelitian ini, proses pembuatan monogliserida melibatkan reaksi gliserolisis trigliserida. Sumber dari trigliserida yang digunakan adalah minyak goreng sawit.

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

Hafnida Hasni Harahap, Usman Malik, Rahmi Dewi

Hafnida Hasni Harahap, Usman Malik, Rahmi Dewi PEMBUATAN KARBON AKTIF DARI CANGKANG KELAPA SAWIT DENGAN MENGGUNAKAN H 2 O SEBAGAI AKTIVATOR UNTUK MENGANALISIS PROKSIMAT, BILANGAN IODINE DAN RENDEMEN Hafnida Hasni Harahap, Usman Malik, Rahmi Dewi Jurusan

Lebih terperinci

Hasil dan Pembahasan

Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Menentukan Suhu dan Waktu Karbonisasi Pada penentuan suhu dan waktu karbonisasi yang optimum, dilakukan pemanasan sampel sekam pada berbagai suhu dan waktu pemanasan. Hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis proses preparasi, aktivasi dan modifikasi terhadap zeolit

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis proses preparasi, aktivasi dan modifikasi terhadap zeolit HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis proses preparasi, aktivasi dan modifikasi terhadap zeolit Penelitian ini menggunakan zeolit alam yang berasal dari Lampung dan Cikalong, Jawa Barat. Zeolit alam Lampung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Uji Proksimat Bahan Baku Briket Bahan/material penyusun briket dilakukan uji proksimat terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sifat dasar dari bahan

Lebih terperinci

Pengaruh Temperatur terhadap Adsorbsi Karbon Aktif Berbentuk Pelet Untuk Aplikasi Filter Air

Pengaruh Temperatur terhadap Adsorbsi Karbon Aktif Berbentuk Pelet Untuk Aplikasi Filter Air Pengaruh Temperatur terhadap Adsorbsi Karbon Aktif Berbentuk Pelet Untuk Aplikasi Filter Air Erlinda Sulistyani, Esmar Budi, Fauzi Bakri Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Penelitian penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan jenis penstabil katalis (K 3 PO 4, Na 3 PO 4, KOOCCH 3, NaOOCCH 3 ) yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN BaTiO 3 merupakan senyawa oksida keramik yang dapat disintesis dari senyawaan titanium (IV) dan barium (II). Proses sintesis ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu, tekanan,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. nm. Setelah itu, dihitung nilai efisiensi adsorpsi dan kapasitas adsorpsinya.

HASIL DAN PEMBAHASAN. nm. Setelah itu, dihitung nilai efisiensi adsorpsi dan kapasitas adsorpsinya. 5 E. ampas sagu teraktivasi basa-bentonit teraktivasi asam (25 : 75), F. ampas sagu teraktivasi basa-bentonit teraktivasi asam (50 : 50), G. ampas sagu teraktivasi basa-bentonit teraktivasi asam (75 :

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Diagram Alir Penelitian Tahapan penelitian secara umum tentang pemanfaatan daun matoa sebagai adsorben untuk menyerap logam Pb dijelaskan dalam diagram pada Gambar 3.1. Preparasi

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat 3.1.1 Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah spent bleaching earth dari proses pemurnian CPO yang diperoleh dari PT. Panca Nabati Prakarsa,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Karakterisasi Briket Arang Pengujian karakteristik briket meliputi kadar air, kadar abu, dekomposisi senyawa volatil, kadar karbon terikat, kerapatan dan nilai kalor.

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Padatan TiO 2 Amorf Proses sintesis padatan TiO 2 amorf ini dimulai dengan melarutkan titanium isopropoksida (TTIP) ke dalam pelarut etanol. Pelarut etanol yang digunakan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 13 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dilaksanakan pada bulan September 2007 hingga Mei 2008 di: 1. Laboratorium Pengolahan Kimia dan Energi Hasil Hutan, Laboratorium Teknologi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion

BAB I PENDAHULUAN. limbah organik dengan proses anaerobic digestion. Proses anaerobic digestion BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan energi Indonesia yang terus meningkat dan keterbatasan persediaan energi yang tak terbarukan menyebabkan pemanfaatan energi yang tak terbarukan harus diimbangi

Lebih terperinci

KARAKTERISASI SEMI KOKAS DAN ANALISA BILANGAN IODIN PADA PEMBUATAN KARBON AKTIF TANAH GAMBUT MENGGUNAKAN AKTIVASI H 2 0

KARAKTERISASI SEMI KOKAS DAN ANALISA BILANGAN IODIN PADA PEMBUATAN KARBON AKTIF TANAH GAMBUT MENGGUNAKAN AKTIVASI H 2 0 KARAKTERISASI SEMI KOKAS DAN ANALISA BILANGAN IODIN PADA PEMBUATAN KARBON AKTIF TANAH GAMBUT MENGGUNAKAN AKTIVASI H 2 0 Handri Anjoko, Rahmi Dewi, Usman Malik Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Bentonit diperoleh dari bentonit alam komersiil. Aktivasi bentonit kimia. Aktivasi secara kimia dilakukan dengan merendam bentonit dengan menggunakan larutan HCl 0,5 M yang bertujuan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT Penelitian dilaksanakan mulai 1 Agustus 2009 sampai dengan 18 Januari 2010 di Laboratorium SBRC (Surfactant and Bioenergy Research Center) LPPM IPB dan Laboratorium

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dimulai pada bulan Mei hingga Desember 2010. Penelitian dilakukan di laboratorium di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (Surfactant

Lebih terperinci

PEMBUATAN ARANG AKTIF TEMPURUNG KELAPA SAWIT SEBAGAI ADSORBEN DALAM PEMURNIAN BIODIESEL SKRIPSI ABI GUSTAMA F

PEMBUATAN ARANG AKTIF TEMPURUNG KELAPA SAWIT SEBAGAI ADSORBEN DALAM PEMURNIAN BIODIESEL SKRIPSI ABI GUSTAMA F PEMBUATAN ARANG AKTIF TEMPURUNG KELAPA SAWIT SEBAGAI ADSORBEN DALAM PEMURNIAN BIODIESEL SKRIPSI ABI GUSTAMA F34080071 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 THE PRODUCTION OF

Lebih terperinci

PROPOSAL PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PEMBUATAAN ARANG AKTIF DARI KULIT PISANG DENGAN AKTIVATOR KOH DAN APLIKASINYA TERHADAP ADSORPSI LOGAM Fe

PROPOSAL PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PEMBUATAAN ARANG AKTIF DARI KULIT PISANG DENGAN AKTIVATOR KOH DAN APLIKASINYA TERHADAP ADSORPSI LOGAM Fe PROPOSAL PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PEMBUATAAN ARANG AKTIF DARI KULIT PISANG DENGAN AKTIVATOR KOH DAN APLIKASINYA TERHADAP ADSORPSI LOGAM Fe BIDANG KEGIATAN: PKM PENELITIAN DIUSULKAN OLEH : Sigit Purwito

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Minyak dan Lemak Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang artinya lemak). Lipida larut dalam pelarut nonpolar dan tidak larut dalam air.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan ini merupakan salah satu cara untuk mengetahui dapat atau tidaknya limbah blotong dibuat menjadi briket. Penelitian pendahuluan

Lebih terperinci

Gambar 7 Desain peralatan penelitian

Gambar 7 Desain peralatan penelitian 21 III. METODE PENELITIAN 3.1. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tanah pemucat bekas yang diperoleh dari Asian Agri Group Jakarta. Bahan bahan kimia yang digunakan adalah

Lebih terperinci

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Pengaruh Variabel Terhadap Warna Minyak Biji Nyamplung Tabel 9. Tabel hasil analisa warna minyak biji nyamplung Variabel Suhu (C o ) Warna 1 60 Hijau gelap 2 60 Hijau gelap

Lebih terperinci

MATERI DAN PERUBAHANNYA. Kimia Kesehatan Kelas X semester 1

MATERI DAN PERUBAHANNYA. Kimia Kesehatan Kelas X semester 1 MATERI DAN PERUBAHANNYA Kimia Kelas X semester 1 SKKD STANDAR KOMPETENSI Memahami konsep penulisan lambang unsur dan persamaan reaksi. KOMPETENSI DASAR Mengelompokkan sifat materi Mengelompokkan perubahan

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor)

Bab IV Hasil dan Pembahasan. IV.2.1 Proses transesterifikasi minyak jarak (minyak kastor) 23 Bab IV Hasil dan Pembahasan IV.1 Penyiapan Sampel Kualitas minyak kastor yang digunakan sangat mempengaruhi pelaksanaan reaksi transesterifikasi. Parameter kualitas minyak kastor yang dapat menjadi

Lebih terperinci

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KARBON AKTIF DARI TEMPURUNG KELUWAK (Pangium edule) DENGAN AKTIVATOR H 3 PO 4

PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KARBON AKTIF DARI TEMPURUNG KELUWAK (Pangium edule) DENGAN AKTIVATOR H 3 PO 4 POSTER Prosiding Seminar Nasional Kimia dan Pembelajarannya, ISBN : 978-602-0951-12-6 PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI KARBON AKTIF DARI TEMPURUNG KELUWAK (Pangium edule) DENGAN AKTIVATOR H 3 PO 4 PRODUCTION

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gliserol Biodiesel dari proses transesterifikasi menghasilkan dua tahap. Fase atas berisi biodiesel dan fase bawah mengandung gliserin mentah dari 55-90% berat kemurnian [13].

Lebih terperinci

LAMPIRAN A DATA DAN PERHITUNGAN. Berat Sampel (gram) W 1 (gram)

LAMPIRAN A DATA DAN PERHITUNGAN. Berat Sampel (gram) W 1 (gram) LAMPIRAN A DATA DAN PERHITUNGAN A. DATA PENGAMATAN 1. Uji Kualitas Karbon Aktif 1.1 Kadar Air Terikat (Inherent Moisture) - Suhu Pemanasan = 110 C - Lama Pemanasan = 2 Jam Tabel 8. Kadar Air Terikat pada

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI AWAL BAHAN Karakterisistik bahan baku daun gambir kering yang dilakukan meliputi pengujian terhadap proksimat bahan dan kadar katekin dalam daun gambir kering.

Lebih terperinci

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi) Proses Pembuatan Biodiesel (Proses TransEsterifikasi) Biodiesel dapat digunakan untuk bahan bakar mesin diesel, yang biasanya menggunakan minyak solar. seperti untuk pembangkit listrik, mesinmesin pabrik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014.

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014. BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian 1. Waktu Penelitian ini akan dilakukan pada bulan Januari Februari 2014. 2. Tempat Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Teknik Pengolahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Analisis Biji dan Minyak Jarak Pagar Biji jarak pagar dari PT Rajawali Nusantara ini dikemas dalam kemasan karung, masing-masing karung berisi kurang lebih 30 kg. Hasil

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 47 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengantar Penelitian ini bertujuan untuk menunjukan pengaruh suhu sintering terhadap struktur Na 2 O dari Na 2 CO 3 yang dihasilkan dari pembakaran tempurung kelapa. Pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perak Nitrat Perak nitrat merupakan senyawa anorganik tidak berwarna, tidak berbau, kristal transparan dengan rumus kimia AgNO 3 dan mudah larut dalam alkohol, aseton dan air.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengujian kali ini adalah penetapan kadar air dan protein dengan bahan yang digunakan Kerupuk Udang. Pengujian ini adalah bertujuan untuk mengetahui kadar air dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN 1. Ekstraksi Biji kesambi dikeringkan terlebih dahulu kemudian digiling dengan penggiling mekanis. Tujuan pengeringan untuk mengurangi kandungan air dalam biji,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan Ca-Bentonit. Na-bentonit memiliki kandungan Na +

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan Ca-Bentonit. Na-bentonit memiliki kandungan Na + BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bentonit Bentonit merupakan salah satu jenis lempung yang mempunyai kandungan utama mineral smektit (montmorillonit) dengan kadar 85-95% bersifat plastis dan koloidal tinggi.

Lebih terperinci

Bab III Metodologi Penelitian

Bab III Metodologi Penelitian Bab III Metodologi Penelitian III.1 Metodologi Seperti yang telah diungkapkan pada Bab I, bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat katalis asam heterogen dari lempung jenis montmorillonite

Lebih terperinci

BENTONIT SEBAGAI ADSORBEN PADA PEMUCATAN CINCAU HIJAU SERTA KARAKTERISASINYA

BENTONIT SEBAGAI ADSORBEN PADA PEMUCATAN CINCAU HIJAU SERTA KARAKTERISASINYA BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki banyak jenis tumbuhan yang berpotensi menghasilkan gel cincau. Namun, ada tiga tumbuhan populer yang biasa dimanfaatkan masyarakat Indonesia sebagai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Minyak Kelapa Sawit Kasar Karakteristik awal minyak kelapa sawit kasar yang diukur adalah warna, kadar air dan kotoran, asam lemak bebas, bilangan yodium, kandungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini telah banyak industri kimia yang berkembang, baik di dalam maupun di luar negeri, untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Kebanyakan industriindustri

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Minyak Goreng 1. Pengertian Minyak Goreng Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah jarak pagar varietas Lampung IP3 yang diperoleh dari kebun induk jarak pagar BALITRI Pakuwon, Sukabumi.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pada penelitian yang telah dilakukan, katalis yang digunakan dalam proses metanolisis minyak jarak pagar adalah abu tandan kosong sawit yang telah dipijarkan pada

Lebih terperinci

Lampiran 1. Perbandingan nilai kalor beberapa jenis bahan bakar

Lampiran 1. Perbandingan nilai kalor beberapa jenis bahan bakar Lampiran 1. Perbandingan nilai kalor beberapa jenis bahan bakar Jenis Bahan Rataan Nilai Kalor (kal/gram) Kayu 4.765 Batubara 7.280 Fuel Oil 1) 10.270 Kerosine (Minyak Tanah) 10.990 Gas Alam 11.806 Sumber

Lebih terperinci

kimia Kelas X LARUTAN ELEKTROLIT DAN NONELEKTROLIT K-13 A. Pengertian Larutan dan Daya Hantar Listrik

kimia Kelas X LARUTAN ELEKTROLIT DAN NONELEKTROLIT K-13 A. Pengertian Larutan dan Daya Hantar Listrik K-13 Kelas X kimia LARUTAN ELEKTROLIT DAN NONELEKTROLIT Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan berikut. 1. Memahami perbedaan antara larutan elektrolit dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 46 HASIL DAN PEMBAHASAN Komponen Non Struktural Sifat Kimia Bahan Baku Kelarutan dalam air dingin dinyatakan dalam banyaknya komponen yang larut di dalamnya, yang meliputi garam anorganik, gula, gum, pektin,

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran METDE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Sebagian besar sumber bahan bakar yang digunakan saat ini adalah bahan bakar fosil. Persediaan sumber bahan bakar fosil semakin menurun dari waktu ke waktu. Hal ini

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum melakukan uji kapasitas adsorben kitosan-bentonit terhadap diazinon, terlebih dahulu disintesis adsorben kitosan-bentonit mengikuti prosedur yang telah teruji (Dimas,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0 37 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini sampel komposit hidroksiapatit-gelatin dibuat menggunakan metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0 hari, 1 hari, 7 hari

Lebih terperinci