Gambar 4.1. Stasiun 1, Situ Cisanti (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Gambar 4.1. Stasiun 1, Situ Cisanti (Sumber: Dokumentasi pribadi)"

Transkripsi

1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Penentuan lokasi penelitian untuk pengambilan sampel ikan dan air ditentukan berdasarkan kondisi perairan dan penelitianpenelitian sebelumnya yang telah disesuaikan dengan kebutuhan pada penelitian ini. Penelitian dilakukan di empat lokasi berdasarkan kriteria, tataguna dan pemanfaatan lahan yang berbedabeda. Stasiun 1 (Situ Cisanti) merupakan sebuah situ buatan yang berfungsi membendung air yang berasal dari mata air alami yang menjadi sumber air untuk Sungai Citarum. Lokasi stasiun 1 ini berada di Gunung Wayang Desa Cibeureum, Kecamatan Kertasari, selatan kota Bandung dengan ketinggian sekitar 2000 meter di atas permukaan laut. Situ Cisanti memiliki ekosistem yang masih alami dan terjaga (Gambar 4.1). Gambar 4.1. Stasiun 1, Situ Cisanti (Sumber: Dokumentasi pribadi) Stasiun 2 adalah aliran Sungai Citarum yang terletak di daerah Majalaya dengan titik koordinat pengambilan sampel S 07º03 02, E Majalaya merupakan kawasan industri yang sebagian besar adalah industri tekstil dan diduga mengandung unsur kromium. Aliran Sungai Citarum dikawasan Majalaya ini mendapat beban cemaran dari saluran pembuangan limbah industri yang berasal dari industriindustri yang ada di daerah ini, hal tersebut nampak dari warna air yang lebih gelap dan suhunya yang lebih tinggi (Gambar 4.2). 32

2 33 Gambar 4.2. Stasiun 2, Majalaya (Sumber: Dokumentasi pribadi) Stasiun 3 terletak di wilayah Sapan dengan titik koordinat pengambilan sampel pada S 06º59 16, E 107º Stasiun 3 ini merupakan pertemuan tiga sungai yaitu, sungai Citarik yang membawa air dari daerah industri dan persawahan, sungai Cikeruh yang mengaliri daerah persawahan dan sungai Citarum bagian hulu. Air sungai di stasiun ini memiliki beban polutan yang sangat tinggi akibat pertemuan dua anak sungai tersebut (Gambar 4.3). Gambar 4.3. Stasiun 3, Sapan (Sumber: Dokumentasi pribadi) Stasiun 4 adalah aliran Sungai Citarum yang terletak di Dayeuhkolot dengan titik pengambilan sampel pada S 06º59 32, E 107º Aliran Sungai Citarum di daerah ini membawa air dari permukiman penduduk dan industri (Gambar 4.4).

3 34 Gambar 4.4. Stasiun 4, Dayeuhkolot (Sumber: Dokumentasi pribadi) 4.2 Kualitas Air Pengambilan titik sampel ditentukan berdasarkan tataguna lahan dan pemanfaatannya, yakni stasiun 1 terletak di Situ Cisanti dimana ekositemnya masih alami dan terjaga, stasiun 2 terletak di Majalaya dimana banyak berdiri industri yang diantaranya banyak industri tekstil, stasiun 3 terletak di daerah Sapan yang disekitarnya berdiri industriindustri tekstil dan persawahan, sedangkan stasiun 4 terletak di daerah Dayeuhkolot yang padat penduduk dan terdapat beberapa industri. Berdasarkan hasil pemantaun kualitas air dari dua kali pengulangan pada rentang waktu 2 minggu di bulan Maret 2013 menunjukkan bahwa kandungan oksigen terlarut (DO) pada beberapa stasiun telah mendekati bahkan ada yang melebihi baku mutu yang ditetapkan oleh PP No.82 tahun 2001 (Tabel 4.1). Tabel 4.1. RataRata Kualitas Air Pada Setiap Stasiun BAKU PARAMETER SATUAN MUTU STASIUN II III Fisik Suhu C ± 3 ± 3 23,217±0,755 23,517±1,842 25,00±1,757 24,167±1,305 Kimiawi ph ,267 7,417 7,050 7,100 DO mg/l 4 3 6,583 4,757 2,283 2,133

4 Suhu Suhu merupakan salah satu faktor fisik perairan yang sangat penting bagi kehidupan organisme atau biota perairan dikarenakan setiap organisme dan biota perairan memiliki batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu. Nontji (1984) dalam Erlangga (2007) secara umum suhu berpengaruh langsung terhadap biota perairan berupa reaksi enzimatik pada organisme dan tidak berpengaruh langsung terhadap struktur dan dispersal hewan air. Hasil pengukuran suhu pada setiap stasiun menunjukkan bahwa kisaran suhu dialiran Sungai Citarum bagian hulu berada pada rentang 2126ºC. Suhu terendah terdapat pada stasiun 1 yaitu Situ Cisanti dan suhu tertinggi pada stasiun 3, yaitu Sapan. Rendahnya suhu di Situ Cisanti berhubungan dengan ketinggian lokasi yang berada pada daerah pegunungan dengan ketinggian 2000 m di atas permukaan laut, sedangkan tingginya suhu air di Sapan diperkirakan karena buangan limbah industri dan keadaan ekosistemnya yang gersang serta merupakan daratan rendah. Nybakken (1988) dalam Erlangga (2007) menjelaskan bahwa suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengatur proses kehidupan dan penyebaran organisme. Kaidah umum menyebutkan bahwa reaksi kimia dan biologi air (proses fisiologis) akan meningkat 2 kali lipat pada kenaikan suhu 10ºC, selain itu suhu juga berpengaruh terhadap penyebaran dan komposisi organisme. Budiman (2012) Kisaran suhu yang baik untuk keberlangsungan hidup organisme perairan adalah antara 1830ºC. Berdasarkan hal tersebut, maka suhu perairan dilokasi penelitian masih dalam batas tolerasi bagi keberlangsungan hidup organisme air Derajat Keasaman (ph) Menurut Erlangga (2007) derajat keasaman (ph) merupakan parameter yang sangat penting dalam kualitas air, karena ph mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam air. Selain itu, ikan dan organisme air lainnya hidup pada selang ph tertentu, sehingga dengan diketahuinya nilai ph,

5 36 kita dapat mengetahui apakah air tersebut sesuai atau tidak untuk menunjang kehidupan organisme perairan. Nilai ph suatu perairan memiliki ciri yang khusus, adanya keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan yang diukur adalah konsentrasi ion hidrogen, dengan adanya asamasam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan ph, sementara adanya karbonat, hidroksida dan bikarbonat dapat menaikkan kebasaan air. Nilai ph di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 77,5. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan ph di aliran Sungai Citarum bagian hulu masih sesuai dengan ambang batas baku mutu air kelas II dan III menurut PP No.82 tahun 2001 yaitu 69. Setiap organisme mempunyai toleransi yang berbeda terhadap ph maksimal, minimal serta optimal dan sebagai indeks keadaan lingkungan. Nilai ph air yang normal (netral) yaitu antara 68, sedangkan ph air yang tercemar beragam tergantung dari jenis buangannya. Menurut Effendi (2003) dalam Budiman (2012) batas toleransi organisme terhadap ph bervariasi tergantung pada suhu air, oksigen terlarut, adanya berbagai anion dan kation serta jenis organisme. Pada kandungan ph yang rendah toksisitas logam dapat mengalami peningkatan. Dengan demikian ph perairan di lokasi penelitian masih dapat mendukung kehidupan yang ada di dalamnya Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut (DO) menyatakan besarnya konsentrasi oksigen yang terlarut dalam suatu perairan. Intensitas cahaya dan keberadaan fitoplankton dan mikroba anaerob dalam perairan dapat mempengaruhi konsentrasi oksigen terlarut dibadan air tersebut. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan nilai DO bervariasi disetiap stasiun. Nilai DO tertinggi terletak pada stasiun 1 yaitu Situ Cisanti dengan nilai 7,5 mg/l dan DO terendah terletak pada stasiun 3 yaitu Sapan dengan nilai 1,3 mg/l. Nilai DO yang rendah di Sapan dimungkinkan karena banyaknya limbah yang masuk ke dalam perairan tersebut. Berdasarkan PP No.82 tahun 2001 untuk

6 37 baku mutu air kelas II dan III batas minimum kandungan DO berturutturut adalah 4 mg/l dan 3 mg/l. 4.3 Jenis Ikan Hasil Tangkapan Di Setiap Stasiun Berdasarkan hasil pengambilan sampel ikan pada empat stasiun yang telah ditetapkan dengan 3 kali pengulangan dalam rentang waktu 1 minggu disetiap pengulangan, di peroleh 11 spesies ikan. Ikanikan yang tertangkap diantaranya ikan sapusapu, betok, gabus, keting, mujair, nila, lele, sepat dan glosom (Tabel 4.3). Ikan yang didapat selama penelitian memiliki keragaman spesies serta ukuran panjang dan bobot yang berbedabeda (Gambar 4.7). Dari data hasil tangkapan ikan selama penelitian jenis ikan yang paling banyak tertangkap ialah ikan sapu dan sepat, ikan sapu dan sepat hampir disetiap stasiun terkecuali di Situ Cisanti dapat ditemukan, hal ini mungkin disebabkan keadaan ekosistem di Majalaya, Sapan dan Dayeuhkolot sudah mengalami pergeseran (ketidak seimbangan) sehingga ikanikan yang memiliki kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang mengalami penurunan kualitas yang masih dapat bertahan hidup dan berkembang biak. Sementara itu, di Situ Cisanti masih dapat ditemukan ikan dari famili Cyprinidae, hal ini diduga karena spesies dari famili Cyprinidae dapat bertahan hidup dan berkembang biak di lingkungan perairan yang masih baik dan terjaga keseimbangan ekosistemnya.

7 38 ikan betok (Anabas Testudineus) ikan mas (Cyprinus carpio) ikan glosom (Aequidens goldsaum) ikan gabus (Chana striata) ikan keting (Mystus nigriceps) ikan sepat (Trichogaster trichopterus) ikan mujair (Oreochromis mossambicus) ikan sapu (Hyposarcus pardalis) ikan lele (Clarias sp.) ikan nila (Oreochromis niloticus) ikan paray (Rasbora argyrotaenia) Gambar 4.5. Jenis ikanikan yang tertangkap selama penelitian (Sumber: Dokumentasi pribadi)

8 Famili Loricariidae Anabantidae Osphronemidae Channidae Cichlidae Cyprinidae Claridae Bagridae Jenis Ikan Tabel 4.2. Ikan Hasil Tangkapan Pada Setiap Stasiun Penelitian Nama latin Hyposarcus pardalis Anabas testudineus Trichogaster trichopterus Chana striata Aequidens goldsaum Oreochromis niloticus Oreochromis mossambicus Cyprinus carpio Rasbora argyrotaenia Clarias sp. Mystus nigriceps total spesies Nama lokal Sapu Betok Sepat Gabus Glosom Nila Mujair Mas Paray Lele Keting U1 Keterangan: U1= ulangan ke1; U2= ulangan ke2; U3= ulangan ke U2 5 5 U U U Stasiun U U U U U U U

9 Logam Berat Pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh adanya bahan pencemar yang mengandung logam berat, dapat membahayakan bagi keberlangsungan hidup dan kehidupan, baik secara langsung (ekosistem perairan) maupun tidak langsung (manusia). Keberadaan logam berat di lingkungan perairan sangat perlu diuji keberadaannya baik pada badan perairan tersebut maupun pada organisme yang mendiaminya. Untuk itu maka pengujian kandungan logam berat pada penelitian ini dilakukan terhadap air dan ikan sebagai organisme uji. Logam berat yang diamati adalah kromium (Cr), Cr yang masuk ke dalam badan perairan sebagai dampak dari aktivitas kehidupan manusia ada dalam bermacam bentuk. Menurut Yuniarti (2012) secara alamiah kromium merupakan elemen yang ditemukan dalam konsentrasi yang rendah di batuan, hewan, tanah, debu vulkanik dan juga gas. Kromium yang terkandung di alam dalam bentuk senyawa yang berbebeda. Agung (2006) dalam Yuniarti (2012) mengemukakan bentuk yang paling umum adalah kromium (0), kromium (III) dan kromium (VI). Wahyuadi (2004) dalam Bramandita (2009) mengemukakan kromium banyak digunakan oleh berbagai macam industri, salah satunya adalah industri tekstil. Industri tekstil merupakan industri yang mengolah serat menjadi bahan pakaian dengan kromium sebagai zat pengoksidasi pada proses penyempurnaan tekstil. Karena itu pula limbah cair dari industri tekstil mengandung kromium dengan konsentrasi tinggi. Limbah tersebut dapat membahayakan lingkungan karena kromium, terutama kromium heksavalen yang merupakan jenis bahan berbahaya dan beracun (B3) Kandungan Cr Dalam Air Kromium (Cr) termasuk salah satu golongan logam berat, logam Cr dapat terkandung di dalam air limbah yang dihasilkan oleh suatu industri terutama industri tekstil dari proses pewarnaan. Logam berat dapat masuk ke badan perairan dari berbagai macam kegiatan baik secara langsung maupun dari hasil sampingan dari aktivitas lainnya. Masuknya bahan pencemar berupa kandungan logam berat sangat merugikan bagi kehidupan, baik langsung maupun tidak

10 konsentrasi (ppm) 41 langsung. Berdasarkan dampak yang ditimbulkan dari pencemaran oleh logam berat tersebut terutama di badan perairan, maka sangat diperlukan kisaran konsentrasi atau nilai ambang batas dari konsentrasi logam berat yang direkomendasikan untuk masuk dan berada di lingkungan perairan. Hasil analisis kandungan logam Cr dalam air dapat dilihat pada Tabel 4.3 dan Gambar 4.6. Ulangan Tabel 4.3. Hasil Analisis Kandungan Logam Cr Dalam Air Jenis Baku mutu Stasiun Satuan Logam II III ,0426 0,0085 0,1223 0,0111 Cr ppm 0,05 0,05 2 <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 Kandungan Logam Cr pada Sampel Air 0,140 0,120 0,100 0,080 0,060 0,040 0,020 0,000 Situ Cisanti (1) Majalaya (2) Sapan (3) Dayeuhkolot (4) Stasiun Pengamatan logam berat Cr Gambar 4.6. Grafik hasil analisis kandungan logam Cr pada sampel air Dari hasil analisis dalam penelitian ini terlihat bahwa kandungan Cr paling tinggi terletak pada stasiun 3 yaitu Sapan, sedangkan di stasiun lainya nilai Cr masih dapat dikatakan di bawah ambang batas baku mutu air untuk kelas II dan III

11 42 sesuai PP No.82 tahun Tingginya kandungan Cr di Sapan diduga karena terdapat beberapa pabrik tekstil yang dimungkinkan masih membuang limbah produksinya langsung ke aliran Sungai Citarik, tingginya kandungan Cr di Sapan juga berkorelasi dengan hasil pemantauan kualitas air pendukungnya yaitu suhu yang tinggi, DO dan ph yang paling rendah dibandingkan tiga stasiun yang lainnya. Logam berat dalam perairan akan lebih rendah dibandingkan dengan logam berat pada sedimen, hal ini terjadi karena sifat dari bahan logam tersebut. Sesuai dengan pendapat Hutagalung (1984) dalam Erlangga (2007) bahwa logam berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan mengalami pengendapan, pengenceran dan dispersi, kemudian diserap oleh organisme yang hidup di perairan tersebut. Pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi karena adanya anion karbonat hidroksil dan klorida. Logam berat mempunyai sifat yang mudah mengikat bahan organik dan mengendap di dasar perairan dan berikatan dengan partikelpartikel sedimen, sehingga konsentrasi logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan dalam air. Menurut Wilson (1988) dalam Erlangga (2007) logam berat yang terlarut dalam air akan berpindah ke dalam sedimen jika berikatan dengan materi organik bebas atau materi organik yang melapisi permukaan sedimen dan penyerapan langsung oleh permukaan partikel sedimen. Menurut Erlangga (2007), kapasitas asimilasi didefinisikan sebagai kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyebabkan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sesuai peruntukannya. Konsentrasi dari partikel polutan yang masuk ke perairan akan mengalami tiga macam fenomena yaitu pengenceran (dillution), penyebaran (dispersion) dan reaksi penguraian (decay of reaction). Pengenceran terjadi pada arah vertikal ketika air limbah sampai di permukaan air. Peristiwa penyebaran pada permukaan perairan akan tercapai karena gelombang. Menurut Metclaff and Eddy (1978) dalam Erlangga (2007) tingkat pencemaran atau pencampuran bahan organik dan anorganik yang masuk ke dalam perairan sungai, danau, estuari dan laut adalah berbeda karena kondisi

12 43 hidrodinamika yang berbedabeda. Perbedaan tersebut berkaitan dengan model percampuran (mixing) dan penyebaran (dispersion) suatu bahan, yang berhubungan dengan kandungan bahan pencemar, laju penguraian dan laju reaerasi Hubungan Logam Berat Pada Air dengan Parameter Kualitas Air Lainnya Menentukan kualitas air terhadap konsentrasi logam dalam air sangat sulit, karena erat hubungannya dengan partikel tersuspensi yang terlarut di dalamnya. Logamlogam dalam lingkungan perairan umumnya berada dalam bentuk ion. Ionion itu ada yang merupakan ionion bebas, pasangan ion organik, ionion kompleks dan bentukbentuk ion lainnya. Menurut Erlangga (2007) derajat keasaman (ph) akan mempengaruhi konsentrasi logam berat di perairan, dalam hal ini kelarutan logam berat akan lebih tinggi pada ph rendah, sehingga menyebabkan toksisitas logam berat semakin besar. Nilai ph pada aliran Sungai Citarum bagian hulu menunjukkan bahwa nilai ph 77,5. Kenaikan ph pada badan perairan biasanya akan diikuti dengan semakin kecilnya kelarutan dari senyawasenyawa logam tersebut. Umumnya pada ph yang semakin tinggi, maka kestabilan akan bergeser dari karbonat ke hidroksida. Hidroksidahidroksida ini mudah sekali membentuk ikatan permukaan dengan partikelpartikel yang terdapat pada badan perairan. Lamakelamaan persenyawaan yang terjadi antara hidroksida dengan partikelpartikel yang ada di badan perairan akan mengendap dan membentuk lumpur. Suhu perairan mempengaruhi proses kelarutan akan logamlogam berat yang masuk ke perairan. Dalam hal ini semakin tinggi suatu suhu perairan kelarutan logam berat akan semakin tinggi. Pada stasiun 3 yaitu Sapan suhu perairan menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan tiga stasiun lainnya, sehingga kelarutan akan bahan pencemar di perairan semakin pekat/tinggi, sehingga kandungan akan logam Cr di Sapan lebih tinggi dibandingkan di Situ Cisanti, Majalaya dan Dayeuhkolot. Hal ini sesuai dengan pendapat Darmono (2001) dalam Erlangga (2007) yang menyatakan bahwa suhu yang tinggi dalam

13 44 air menyebabkan laju proses biodegradasi yang dilakukan oleh bakteri pengurai aerobik menjadi naik dan dapat menguapkan bahan kimia ke udara. Menurut Tebbut (1992) dalam Erlangga (2007), keberadaan logam berat yang berlebihan di perairan akan mempengaruhi sistem respirasi organisme akuatik, sehingga pada saat kandungan oksigen terlarut rendah dan terdapat logam berat dengan konsentrasi tinggi, organisme akuatik menjadi lebih menderita. Pada siang hari, ketika matahari bersinar terang, pelepasan oksigen oleh proses fotosintesa yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar dari pada oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi. Kandungan oksigen terlarut dapat melebihi kandungan oksigen jenuh, sehingga perairan mengalami supersaturasi. Sedangkan pada malam hari, tidak ada fotosintesa, tetapi respirasi terus berlangsung. Pola perubahan kandungan oksigen ini mengakibatkan terjadinya fluktuasi harian oksigen pada lapisan eufotik perairan. Kandungan oksigen maksimum terjadi pada sore hari dan minimum pada pagi hari. Menurut Palar (2004) dalam Erlangga (2007) tingkah laku logamlogam di dalam badan perairan juga dipengaruhi oleh interaksi yang terjadi antara air dengan sedimen (endapan). Keadaan ini terutama sekali terjadi pada bagian dasar dari perairan. Dalam hal ini pada dasar perairan, ion logam dan komplekskompleksnya yang terlarut dengan cepat akan membentuk partikelpartikel yang lebih besar, apabila terjadi kontak dengan partikulat yang melayanglayang dalam badan perairan. Partikelpartikel tersebut terbentuk dengan bermacammacam bentuk ikatan permukaan Kandungan Cr Dalam Organ Insang, Hati dan Ginjal Ikan Menurut Darmono (1995) dalam Bangun (2005) kebanyakan logam berat secara biologis terkumpul dalam tubuh organisme, menetap untuk waktu yang lama dan berfungsi sebagai racun kumulatif. Keberadaan logam berat dalam perairan akan berpengaruh negatif terhadap kehidupan biota. Logam berat yang terikat dalam tubuh organisme yaitu pada ikan akan mempengaruhi aktivitas organisme tersebut.

14 45 Darmono (2001) dalam Erlangga (2007) menyebutkan bahwa logam berat masuk ke dalam jaringan tubuh makhluk hidup melalui beberapa jalan yaitu, saluran pernafasan, pencernaan dan penetrasi melalui kulit. Di dalam tubuh hewan, logam diabsorpsi darah berikatan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam yang tertinggi biasanya dalam organ dektoksifikasi (hati) dan organ ekskresi (ginjal). Untuk membuktikan adanya akumulasi logam berat pada ikan di aliran Sungai Citarum, maka dilakukan uji kandungan logam Cr pada ikan gabus di Situ Cisanti (stasiun 1) dan Sapan (stasiun 3), ikan sapu di Majalaya (stasiun 2) dan ikan betok di Dayeuhkolot (stasiun 4). Dipilihnya ikan gabus di Situ Cisanti dikarenakan ikan gabus tergolong ikan karnivora. ikan sapu dipilih untuk uji kandungan logam Cr di Majalaya dikarenakan ikan sapu mendominasi hasil tangkapan. ikan gabus di stasiun 3 dan ikan betok di stasiun 4 dipilih untuk uji kandungan logam Cr pada organ selain karena tergolong ikan karnivora juga dikarenakan ukuran yang lebih besar dibandingkan jenis ikan lainnya yang tertangkap dan masih bertahan hidup. Hasil analisis uji kandungan logam Cr pada organ insang, hati dan ginjal ikan dalam penelitian ini berkisar antara 2,55 76,73 ppm. Konsentrasi logam Cr tertinggi terdapat pada ikan yang diperoleh dari Situ Cisanti (stasiun 1) dan kandungan terendah terdapat pada ikan yang diperoleh dari Majalaya (stasiun 2). Rendahnya nilai kandungan logam Cr di Majalaya hal ini selain didukung karena kandungan logam Cr pada air di Majalaya yang rendah, juga dikarenakan ikan sapu adalah ikan pemakan alga atau tergolong pada ikan herbivora. Sedangkan tingginya kandungan logam Cr pada ikan gabus di Situ Cisanti dikarenakan kandungan logam Cr pada air yang cukup tinggi walaupun belum melebihi ambang batas baku mutu kelas II dan III PP N0. 82 tahun 2001 dan ikan gabus juga tergolong ikan karnivor. Hasil pengamatan terhadap kandungan logam Cr pada organ ikan yang tertangkap di aliran Sungai Citarum bagian hulu dapat dilihat pada Lampiran 2 dan Gambar 4.7.

15 konsentrasi (ppm) Hasil Analisis Logam Berat Pada Organ Ikan 76,73 29,06 28,88 16,14 18,68 12,63 9,62 10,6 7,19 9,54 7,85 2,55 Situ Cisanti (1) Majalaya (2) Sapan (3) Dayeuhkolot (4) Stasium Pengamatan insang hati ginjal Gambar 4.7. Grafik analisis kandungan logam Cr pada insang, hati dan ginjal ikan Dilihat dari nilai rerata pada setiap organ nilai kandungaan logam Cr pada organ insang lebih rendah dibandingkan pada organ hati dan ginjal. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Darmono (2001) dalam Bangun (2005) bahwa akumulasi logam yang tertinggi biasanya terdapat dalam organ dektoksifikasi (hati) dan organ ekskresi (ginjal). Faktor lain yang dapat mempengaruhi kandungan logam berat dalam tubuh ikan adalah tingkah laku makan ikan. Ikan yang spesiesnya berbeda umumnya memiliki pola tingkah laku makan dan penyebaran habitat yang berbeda pula. Penyebaran habitat dan pola tingkah laku makan ini akan berpengaruh terhadap interaksi ikan yang bersangkutan terhadap kandungan logam berat yang tersuspensi di dasar perairan. Lodenius and Malm (1998) dalam Simbolon, dkk (2010) telah menganalisis dampak penambangan logam berat terhadap ikan di perairan. Hasilnya menunjukkan bahwa kandungan logam berat tertinggi ditemukan pada kelompok ikan karnivora, kemudian menyusul pada ikan pemakan plankton (planktivora) dan omnivora, dan kandungan terendah ditemukan pada ikan herbivora. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini, ikan gabus yang tertangkap di Situ Cisanti dan Majalaya, serta ikan betok di

16 47 Dayeuhkolot adalah termasuk ikan karnivor memiliki nilai akumulasi logam Cr tertinggi pertama, kedua dan ketiga secara berurutan. Akumulasi terendah yaitu pada ikan sapu di Majalaya (stasiun 2) yang tergolong ikan herbivora. Pengaruh toksisitas logam pada ikan, pertama akan berpengaruh pada insang. Insang selain sebagai alat pernafasan ikan, juga digunakan sebagai alat pengatur. Dinata (2004) dalam Erlangga (2007) mengatakan terdapat beberapa tekanan antara air dan dalam tubuh ikan (osmoregulasi). Oleh sebab itu, insang merupakan organ yang penting pada ikan dan sangat peka terhadap pengaruh toksisitas logam. Dalam hal ini, logamlogam seperti Cd, Pb, Hg, Cu, Zn dan Ni sangat reaktif terhadap ligan sulfur dan nitrogen, sehingga ikatan logam tersebut sangat penting bagi fungsi normal metaloenzim dan juga metabolisme terhadap sel. Di samping adanya gangguan biokimiawi tersebut, perubahan struktur morfologi insang juga terjadi. Hasil analisis kandungan logam berat Cr pada organ insang ikan yang tertangkap di aliran Sungai Citarum bagian hulu berkisar antara 2,55 29,06 ppm. Nilai tertinggi di Situ Cisanti dan terendah di Majalaya. Kandungan logam Cr pada insang memiliki nilai yang lebih kecil bila dibandingkan dengan yang terdapat di ginjal dan hati. Menurut Darmono dan Arifin, (1989) dalam Bangun (2005) dibandingkan dengan organ tubuh ikan yang lain, logam berat yang terakumulasi dalam insang lebih sedikit karena logam berat yang terabsorpsi dan terakumulasi di insang akan mengalami metabolisme dan akan diekskresikan dari tubuh bersama sisa metabolisme lainnya. Pada organ hati kandungan logam Cr yang diperoleh berkisar antara 7,19 76,73 ppm. Nilai tertinggi kandungan logam Cr terdapat pada Situ Cisanti dan terendah di Majalaya. Hal ini diduga karena kandungan Cr yang ada pada badan air di Majalaya memiliki nilai yang terendah dan ikan sapu yang tergolong ikan herbivora. Kandungan logam Cr pada hati di Situ Cisanti dan Majalaya memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan kandungan Cr yang terkandung pada ginjal. Hal ini dapat terjadi karena logam berat yang masuk ke dalam hati ikan akan menyebabkan gangguan fisiologis, sehingga ikan berusaha mengeluarkannya sebagai bagian dari proses dektoksifikasi. Purwanti (1995) dalam Bangun (2005)

17 48 salah satu mekanisme dektoksifikasi adalah mengubah zat menjadi bentuk senyawa yang mudah dikeluarkan dari dalam tubuh. Akumulasi logam Cr di dalam hati dapat menyebabkan kerusakan dan gangguan pada organ tersebut. Logam berat yang masuk ke dalam hati ikan menyebabkan gangguan fisiologis, sehingga ikan berusaha mengeluarkannya sebagai bagian dari dektoksifikasi. Ginjal ikan berfungsi untuk filtrasi dan mengekskresikan bahan yang biasanya tidak dibutuhkan tubuh, termasuk bahan racun seperti logam berat. Hal ini menyebabkan ginjal sering mengalami kerusakan akibat daya toksik logam. Kandungan logam Cr dalam ginjal berkisar antara 9,54 28,88 ppm kandungan Cr tertinggi terdapat di Situ Cisanti dan terendah di Majalaya. Tingginya kandungan logam Cr pada ginjal di Situ Cisanti terjadi karena kandungan logam Cr di perairan Situ Cisanti juga cukup besar setelah perairan Sapan. Besarnya nilai kandungan logam Cr pada ginjal, dapat terjadi karena menurut Dinata (2004) dalam Bangun (2005) ginjal ikan berfungsi untuk filtrasi dan mengekskresikan bahan yang biasanya tidak dibutuhkan tubuh, termasuk bahan beracun seperti logam berat. Sehingga banyak bahan beracun seperti logam berat terdapat di dalam ginjal tersebut Batas Aman Konsumsi Logam Cr Berdasarkan hasil analisis kandungan logam Cr yang dilakukan dalam penelitian ini pada organ yang meliputi organ insang, hati dan ginjal dari beberapa jenis ikan yang berbeda di empat stasiun pengamatan, kandungan logam Cr tertinggi terdapat pada ikan gabus di stasiun 1 (Situ Cisanti) dan terendah pada ikan sapu di stasiun 2 (Majalaya). Kandungan logam Cr pada organ insang, hati dan ginjal ikan dalam penelitian ini cukup besar berkisar antara 2,55 76,72 mg/kg dibandingkan dengan rekomendasi batas aman Cr masuk kedalam tubuh menurut FAO/WHO adalah 200 µg/kg/hari atau bila dikonversi menjadi 0,2 mg/kg/hari. Menurut rekomendasi MillerIhli (1992) dalam Jalaluddin dan Ambeng (2005), batas aman kromium dalam makanan manusia yaitu 50 sampai 200 μg /hari atau 0,050,2 ppm/ hari.

18 49 The Environmental Protection Agancy (EPA) menetapkan batas aman kadar Cr (III) dan Cr (VI) dalam air minum sebesar 100 mg/l. The Occupational Safety and Health Administration (OSHA) menetapkan batas kadar Cr (III) di udara tempat kerja sebesar mh/m 3, kadar senyawa Cr (VI) sebesar 52 mg/m 3 bagi pekerja dengan lama kerja 8 jam/hari atau 40 jam/minggu. Menurut EPA, konsentrasi Cr (VI) di udara yang aman bagi manusia adalah sebesar 0, mg/m 3, paparan per oral Cr (VI) sebesar mg/kg/hari aman bagi manusia. Paparan Cr (III) per oral sebesar 1,5 mg/kg/hari aman dan tidak menunjukkan gejala maupun kelainan pada tikus. Akumulasi logam berat pada organ insang, hati dan ginjal dapat merubah struktur jaringan dari organorgan tersebut. Maka gambaran histopatologi organ ikan dapat dijadikan indikasi dan memperkuat bukti ada atau tidak adanya pencemaran. 4.5 Analisis Histopatologi Organ Ikan yang Tertangkap Di Aliran Sungai Citarum Bagian Hulu Gambaran histopatologi organ ikan yang tertangkap di aliran Sungai Citarum bagian hulu ini dapat dijadikan indikasi ada atau tidak adanya pencemaran. Hal ini disebabkan analisis histopatologi organ insang, hati dan ginjal ikan akan dapat menunjukkan kerusakan jaringan yang beragam, sehingga dapat dijadikan indikasi terjadinya pencemaran perairan Sungai Citarum khususnya bagian hulu oleh logam berat maupun oleh substansi lainnya yang menyebabkan struktur jaringan mengalami kerusakan Organ Insang Organ insang memiliki peranan yang penting. Insang merupakan salah satu media pertama jalan masuknya berbagai macam partikel tersuspensi yang ada di perairan, selain melalui kulit dan sistem pencernaan. Menurut Erlangga (2007) semakin lama paparan akan suatu bahan pencemar akan berpengaruh pada kerusakan organ insang ikan yang akan terlihat jelas melalui pengamatan histologi.

19 50 Organ insang pada ikan yang tertangkap di aliran Sungai Citarum bagian hulu mengindikasikan bahwa lokasi penelitian sudah tercemar. Hal ini terlihat dari kelainan yang terjadi pada struktur organ insang tersebut. Dalam hal ini pada insang terjadi MMC, edema, hiperplasia, kongesti dan nekrosis (Tabel 4.4). Nabib dan Pasaribu (1989) dalam Ersa (2008) menyampaikan bahwa lapisan epitel insang yang tipis dan berhubungan langsung dengan lingkungan luar menyebabkan insang berpeluang besar terpapar penyakit. Insang juga berfungsi sebagai pengatur pertukaran garam dan air serta pengeluaran limbahlimbah yang mengandung nitrogen. Kerusakan struktur yang ringan sekalipun dapat sangat mengganggu pengaturan osmosa dan kesulitan pernafasan. Tabel 4.4. Perubahan Histologi Insang Ikan yang Tertangkap Di Aliran Sungai Citarum Bagian Hulu Stasiun Insang Cr (ppm) Keterangan I II III MMC (melano makrofag center) E (Edema) H (hiperplasia) K (kongesti) N (nekrosis) H (hiperplasia) K (kongesti) E (edema) H (hiperplasia) K (kongesti) 29,06 2,55 9,62 IV E (edema) 10,62 Hiperplasia: pembesaran kelenjar suatu jaringan atau organ yang disebabkan oleh bertambahnya jumlah sel Edema: penimbunan cairan secara berlebihan di antara selsel tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh Melano makrofag center: akumulasi makrofagmakrofag yang berisi hemosiderin, lipofuchsin dan ceroid sama seperti pigmen melanin yang diakibatkan oleh peradangan. Nekrosis: kematian sel Kongesti (hipermia): keadaan dimana terdapat darah secara berlebihan (peningkatan jumlah darah) di dalam pembuluh darah pada daerah tertentu.

20 51 Gambar 4.8. Analisis histopatologi insang ikan gabus pada stasiun 1 (Situ Cisanti), gambar A, (H) hiperplasia pada lamela sekunder; gambar B, (K) kongesti pada lamela primer: gambar C, (N) nekrosis pada lamela sekunder (pembesaran 100x) Gambar 4.9. Analisis histopatologi insang ikan nila pada stasiun 1 (Situ Cisanti), gambar A, (H) hiperplasia; gambar B, (MMC) melano makrofag center; gambar C, (E) edema pada lamela sekunder, (K) kongesti pada lamela primer (pembesaran 400x) Gambar Analisis histopatologi insang ikan mas pada stasiun 1 (Situ Cisanti), (K) kongesti pada lamela primer (pembesaran 100x) Gambar Analisis histopatologi insang ikan betok pada stasiun 2 (Majalaya), (H) hiperplasia (pembesaran 400x)

21 52 Gambar Analisis histopatologi insang ikan keting pada stasiun 2 (Majalaya), (K) kongesti (pembesaran 100x) Gambar Analisis histopatologi insang ikan sapu pada stasiun 3 (Sapan), (E) edema pada bagian epitel (pembesaran 400x) Gambar Analisis histopatologi insang ikan sapu pada stasiun 3 (Sapan), (H) hiperplasia lamela sekunder (pembesaran 100x) Gambar Analisis histopatologi insang ikan glosom pada stasiun 3 (Sapan), gambar A, (H) hiperplasia; gambar B, (K) kongesti (pembesaran 100x)

22 53 Gambar Analisis histopatologi insang ikan sapu pada stasiun 4 (Dayeuhkolot). (E) edema pada lamela sekunder (pembesaran 400x) Berdasarkan hasil analisis histopatolgi insang ikan gabus dan ikan nila di Situ Cisanti, ikan betok di Majalaya dan ikan sapu di Sapan jaringan insang mengalami pembengkakan/perlekatan lamela atau dinamakan hiperplasia (Gambar 4.8 (A), Gambar 4.9 (B), Gambar 4.11 dan Gambar 15(A)). Menurut Ersa (2008) hiperplasia sel dapat terjadi bersamaan dengan peningkatan selsel penghasil mukus yang berfungsi melapisi permukaan insang. Pada keadaan normal mukus yang dihasilkan berupa glikoprotein basa yang berfungsi sebagai pelindung pertama, dengan adanya gangguan berupa parasit atau zat toksik maka terjadi proliferasi selsel penghasil mukus sebagai bentuk reaksi pertahanan. Bentuk tidak normal dari selsel lamela ini juga dapat terjadi akibat reaksi terhadap gangguan kimia misalnya perubahan ph yang menjadi lebih asam di perairan sehingga terjadi penumpukan gas karbondioksida (CO 2 ), amonia (NH 3 ) dan zatzat atau gas lain sisa metabolisme. Selain bersumber dari hasil metabolisme, cemaran pada air juga dapat berasal dari lingkungan perairan seperti sampah atau buangan industri. Edema nampak pada hasil analisis hitopatologis insang ikan nila di Situ Cisanti, ikan sapu di Sapan dan di Dayeuhkolot (Gambar 4.9 (C), Gambar 4.13 dan Gambar 4.16). Menurut Hibiya and Fumio (1995) dalam Ersa (2008) edema adalah suatu akumulasi cairan yang abnormal di dalam ronggarongga tubuh atau di dalam ruangruang interstitial dari jaringan dan organ yang dapat mengakibatkan kebengkakan. Edema mengindikasikan adanya suatu ketidakseimbangan tekanan hidrostatik atau kesalahan pada tekanan osmotis darah, peningkatan permeabilitas pembuluh kapiler, limfe, obstruksi atau

23 54 disfungsi ginjal. Kondisikondisi ini dapat dihubungkan dengan bahanbahan toksik kimia, virus, bakteri dan penyakit parasitik. Hasil analisis histopatologi insang ikan gabus, nila dan mas di Situ Cisanti, ikan keting di Majalaya dan ikan glosom di Sapan, menunjukkan lamela primer ikan mengalami pembendungan atau kongesti (Gambar 4.8 (B), Gambar 4.9 (C), Gambar 4.10, Gambar 4.12, dan Gambar 4.15 (B))). Kongesti dapat ditandai dengan adanya penumpukan selsel darah merah yang sangat padat pada pembuluh darah. Hal ini menunjukkan kondisi tidak normal dari insang ikan. Terjadinya kongesti diakibatkan antara lain trauma fisik, adanya parasit atau gangguan sistem peredaran darahnya. Selain hiperplasia dan edema, pada ikan gabus di Situ Cisanti hasil pada insang terdapat nekrosis (Gambar 4.8 (C)). Nekrosis secara histopatologis ditandai dengan terlihatnya batasbatas sel tidak jelas atau bahkan menghilang. Menurut Plumb (1994) dalam Ersa (2008), nekrosis adalah kematian selsel atau jaringan yang menyertai degenerasi sel pada setiap kehidupan hewan dan merupakan tahap akhir degenerasi yang irreversibel. Sel yang baru mengalami nekrosis akan mengalami pembengkakan. Nekrosis dapat disebabkan oleh trauma, agenagen biologis (virus, bakteri, jamur dan parasit), agenagen kimia atau terjadinya gangguan terhadap penyediaan darah pada suatu daerah khusus. Kausa nekrosa hati dapat dibagi dalam kausa toksopatik dan kausa trofopatik. Kerusakankerusakan toksopatik disebabkan karena pengaruh langsung agen yang bersifat toksik (zatzat kimiawi atau toksin kumankuman). Juhryyah (2008) mengemukakan kerusakan trofopatik disebabkan oleh kekurangan langsung atau tidak langsung faktorfaktor yang penting untuk kehidupan selsel. Pada ikan nila di Situ Cisanti hasil analisis histopatologi juga menunjukkan adanya MMC atau melano makrofag center (Gambar 4.9 (B)). Menurut Agius and Robert (1981) dalam Ersa (2008) melano makrofag center (MMC) adalah kumpulankumpulan dari makrofag yang berisi hemosiderin, lipofuchsin dan ceroid sama seperti pigmen melanin. MMC banyak ditemukan di dalam jaringan limfoid kebanyakan teleost yang diakibatan oleh peradangan.

24 55 Hoole, et al. (2001) dalam Susanto (2008) mengatakan bahwa kondisi seperti hiperplasia selsel epitel, peningkatan selsel penghasil mukus, pembendungan, edema dan infiltrasi selsel radang akan mengurangi efisiensi difusi gas dan dapat berakibat fatal atau kematian Organ Hati Purwanti (1995) dalam Bangun (2005) mengatakan logam berat yang masuk ke dalam hati ikan menyebabkan gangguan fisiologis, sehingga ikan berusaha mengeluarkannya sebagai bagian dari dektoksifikasi. Di samping adanya gangguan fisiologis pada hati akibat adanya akumulasi logam berat, kerusakan organ juga dapat terjadi seperti melano makrofag center (MMC), kongesti, degenerasi dan nekrosis (Tabel 4.5). Tabel 4.5. Perubahan Histologi Hati Ikan yang Tertangkap Di Aliran Sungai Citarum Bagian Hulu Stasiun Hati Cr (ppm) Keterangan I MMC (melano makrofag center) Melano II III IV N (nekrosis) MMC (melano makrofag center) D (degenerasi) K (kongesti) D(degenerasi) K (kongesti) N (nekrosis) MMC (melano makrofag center) Dh (degenerasi hidropis) D (degenerasi) N (nekrosis) 76,73 7,19 16,14 7,85 akumulasi makrofag center: makrofagmakrofag yang berisi hemosiderin, lipofuchsin dan ceroid sama seperti pigmen melanin yang diakibatkan oleh peradangan Nekrosis: kematian sel Kongesti (hipermia): keadaan dimana terdapat darah secara berlebihan (peningkatan jumlah darah) di dalam pembuluh darah pada daerah tertentu. Degenerasi: struktur normal sel Degenerasi kehilangan hidropis: sitoplasma menyerupai sel

25 56 Gambar Analisis histopatologi hati ikan gabus pada stasiun 1 (Situ Cisanti), (MMC) melano makrofag center pada hati dan hepatopankreas (pembesaran 100x) Gambar Analisis histopatologi hati ikan nila pada stasiun 1 (Situ Cisanti), gambar A, (S) sinusoid, (N) nekrosis; gambar B, (MMC) melano makrofag center pada pankreas (pembesaran 1000x) Gambar Analisis histopatologi hati ikan betok pada stasiun 2 (Majalaya), gambar A, (K) kongesti; gambar B, (MMC) melano makrofag center di hati; gambar C, MMC) melano makrofag center di pankreas; gambar D, (MMC) melano makrofag center di hati, (S) sinusoid, (Vc) vena centralis (pembesaran 400x)

26 57 Gambar Analisis histopatologi hati ikan sapu pada stasiun 2 (Majalaya), gambar A, (D) degenerasi; gambar B, (MMC) melano makrofag center (pembesaran 100x) Gambar Analisis histopatologi hati ikan keting pada stasiun 2 (Majalaya), (K) kongesti (pembesaran 100x) Gambar Analisis histopatologi hati ikan sapu pada stasiun 3 (Sapan), (N) nekrosis (pembesaran 400x) Gambar Analisis histopatologi hati ikan sapu pada stasiun 3 (Sapan), (D) degenerasi (pembesaran 100x)

27 58 Gambar Analisis histopatologi hati ikan glosom pada stasiun 3 (Sapan), (D) degenerasi, (K) kongesti, (S) sinusoid, (Vc) vena centralis (pembesaran 100x) Gambar Analisis histopatologi hati ikan gabus pada stasiun 4 (Dayeuhkolot), gambar A, degenerasi hidropis; gambar B, (MMC) melano makrofag center di hati, (N) nekrosis (pembesaran 400x) Gambar Analisis histopatologi hati ikan sapu pada stasiun 4 (Dayeuhkolot), (D) degenerasi (pembesaran 100x) Gambar Analisis histopatologi hati ikan betok pada stasiun 4 (Dayeuhkolot), (MMC) melano makrofag center (pembesaran 100x) Menurut Jubb and Peter (1970) dalam Juhryyah (2008) hati adalah organ yang sangat sensitif terhadap adanya zat toksik yang masuk. Hal ini berhubungan dengan fungsi metabolik di dalam sel hati. Zat toksik yang masuk dapat

28 59 menyebabkan serangkaian perubahan irreversibel. Hasil analisis histopatologi jaringan hati pada ikan nila di Situ Cisanti, ikan sapu di Sapan dan ikan gabus di Dayeuhkolot menunjukkan terjadinya nekrosis atau kematian sel (Gambar 4.18 (A), Gambar 4.22 dan Gambar 4.25 (B)). Nekrosis secara histopatologis ditandai dengan terlihatnya batasbatas sel tidak jelas atau bahkan menghilang. Menurut Plumb (1994) dalam Ersa (2008), nekrosis adalah kematian selsel atau jaringan yang menyertai degenerasi sel pada setiap kehidupan hewan dan merupakan tahap akhir degenerasi yang irreversibel. Sel yang baru mengalami nekrosis akan mengalami pembengkakan. Sitoplasma sel yang nekrosis akan memiliki warna yang lebih merah, namun warna inti tidak jelas bahkan tidak terwarnai sama sekali. Nekrosis dapat disebabkan oleh trauma, agenagen biologis (virus, bakteri, jamur dan parasit), agenagen kimia atau terjadinya gangguan terhadap penyediaan darah pada suatu daerah khusus. Kausa nekrosa hati dapat dibagi dalam kausa toksopatik dan kausa trofopatik. Kerusakankerusakan toksopatik disebabkan karena pengaruh langsung agen yang bersifat toksik (zatzat kimiawi atau toksin kumankuman). Menurut Juhryyah (2008) kerusakan trofopatik disebabkan oleh kekurangan langsung atau tidak langsung faktorfaktor yang penting untuk kehidupan selsel. Pada ikan gabus dan nila di Situ Cisanti, ikan betok dan ikan sapu di Majalaya dan ikan gabus dan betok di Dayeuhkolot dari hasil analisis histopatologi hati menunjukkan adanya melano makrofag center (MMC) baik di hati (Gambar 4.17, Gambar 4.19 (B), Gambar 4.20 (B), Gambar 4.25 dan Gambar 4.27), maupun di hepatopankreas (Gambar 4.18 (B) dan Gambar 4.19 (C)). Melano makrofag center (MMC) adalah kumpulankumpulan dari makrofag, (Agius and Robert, 1981 dalam Ersa, 2008) yang berisi hemosiderin, lipofuchsin dan ceroid sama seperti pigmen melanin. MMC banyak ditemukan di dalam jaringan limfoid kebanyakan teleost yang diakibatan oleh peradangan. Selain mengalami nekrosis dan MMC, hasil analisis histopatologi hati ikan betok dan keting di Majalaya serta ikan glosom di Sapan, juga menunjukkan jaringan hati mengalami kongesti (Gambar 4.19 (A), Gambar 4.21 dan Gambar 4.24). Kongesti adalah perubahan yang ditemukan pada interstisium. Kongesti

29 60 pada jaringan hati dapat ditandai dengan adanya penumpukan selsel darah merah yang sangat padat pada pembuluh darah. Hal ini menunjukkan kondisi tidak normal dari hati ikan. Saleh (1979) dalam Juhryyah (2008) kongesti adalah suatu keadaan yang disertai meningkatnya volume darah dalam pembuluh darah yang melebar pada suatu alat atau bagian tubuh. Harada, et al. (1999) dalam Juhryyah (2008) menjelaskan bahwa zat toksik dapat mengganggu sistem sirkulasi sehingga selsel kekurangan oksigen dan zatzat makanan. Terjadinya kongesti diakibatkan antara lain karena trauma fisik adanya parasit atau gangguan sistem peredaran darahnya. Pada hasil analisis histopatologis hati ikan sapu di Majalaya, ikan sapu dan glosom di Sapan, dan ikan sapu di Dayeuhkolot dinyatakan bahwa jaringan mengalami degenerasi (Gambar 4.20, Gambar 4.23 dan Gambar 4.24). Degenerasi dalam patologi dapat didefinisikan secara luas sebagai kehilangan struktur dan fungsi normal, biasanya progresif, yang tidak ditimbulkan oleh induksi radang dan neoplasia. Spector (1993) dalam Juhryyah (2008) degenerasi sel sering diartikan sebagai kehilangan struktur normal sel sebelum kematian sel. Menurut Harada, et al. (1999) dalam Juhryyah (2008), perubahan ini merupakan tanda awal kerusakan sel yang disebabkan oleh toksin. Hasil analisis histopatologi hati ikan gabus di Dayeuhkolot mengalami degenerasi hidropis (Gambar 4.25 (A)). Menurut Jones, et al. (1997) dalam Juhryyah ( 2008) degenerasi hidropis adalah terjadinya peningkatan jumlah air di dalam sel yang menyebabkan sitoplasma dan organel sel tampak membengkak dan bervakuola. Ada faktor yang mengganggu kemampuan membran sel untuk melakukan transport aktif ion natrium keluar sel yang berakibat masuknya air dalam jumlah yang berlebihan ke dalam. Paparan zat toksik menyebabkan hilangnya pengaturan volume pada bagianbagian sel. Menurut Price and Lorraine (2006) dalam Juhryyah (2008) untuk mempertahankan kekonstanan lingkungan internalnya, suatu sel harus menggunakan energi metabolik untuk memompa ion natrium keluar dari sel. Underwood (1992) dalam Juhayyah (2008) degenerasi hidropis umumnya disebabkan oleh gangguan metabolisme seperti hipoksia atau keracunan bahan kimia. Rusmiati dan Lestari (2004) dalam

30 61 Juhryyah (2008) gangguan metabolisme sel biasanya didahului oleh berkurangnya oksigen karena pengaruh senyawa toksik ke dalam tubuh. Menurut Darmono (1995) dalam Damayanti (2010) tingkat kerusakan hati dibagi menjadi tiga yaitu ringan, sedang dan berat. Pembengkakan termasuk dalam kerusakan ringan. Tingkat kerusakan sedang yaitu kongesti dan hemoragi, sedangkan tingkat berat adalah nekrosis Organ Ginjal Menurut Dinata (2004) dalam Bangun (2005) ginjal ikan merupakan organ yang berfungsi untuk filtrasi dan mengekskresikan bahan yang biasanya tidak dibutuhkan tubuh, termasuk bahan beracun seperti logam. Sehingga banyak bahan beracun seperti logam berat terdapat di dalam ginjal tersebut. Organ ginjal pada ikan yang terdapat dan tertangkap di aliran Sungai Citarum bagian Hulu mengindikasikan bahwa lokasi penelitian sudah tercemar. Hal ini terlihat dari kelainan yang terjadi pada struktur sel ginjal ikanikan yang tertangkap. Dalam hal ini pada ginjal terjadi melano makrofag center (MMC), edema, degenerasi, kongesti dan nekrosis (Tabel 4.6).

31 62 Tabel 4.6. Perubahan Histologi Ginjal Ikan yang Tertangkap Di Aliran Sungai Citarum Bagian Hulu Stasiun Ginjal Cr (ppm) Keterangan I MMC (melano makrofag II III IV center) E (edema) D (degenerasi) K (kongesti) N (Nekrosis) MMC (melano makrofag center) E (edema) D (degenerasi) N (nekrosis) MMC (melano makrofag center) E (edema) K (kongesti) N (nekrosis) MMC (melano makrofag center) E (edema) D (degenerasi) N (nekrosis) 28,88 9,54 12,63 18,68 Melano makrofag center: akumulasi makrofagmakrofag yang berisi hemosiderin, lipofuchsin dan ceroid sama seperti pigmen melanin. MMC diakibatkan oleh peradangan Nekrosis: kematian sel Kongesti (hipermia): keadaan dimana terdapat darah secara berlebihan (peningkatan jumlah darah) di dalam pembuluh darah pada daerah tertentu. Edema: penimbunan cairan secara berlebihan di antara selsel tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh. Degenerasi: struktur normal sel. kehilangan

32 63 Gambar 4.28 Analisis histopatologi ginjal ikan gabus pada stasiun 1 (Situ Cisanti), gambar A, (K) Kongesti; gambar B, (E) edema pada tubulus, (N) nekrosis (pembesaran 100x) Gambar Analisis histopatologi ginjal ikan nila pada stasiun 1 (Situ Cisanti), gambar A, (K) kongesti; gambar B, (MMC) melano makrofag center, (E) edema pada tubulus (pembesaran 400x) Gambar 4.30 Analisis histopatologi ginjal ikan mas pada stasiun 1 (Situ Cisanti), (N) nekrosis, (E) edema pada tubulus, (K) kongesti, (MMC) melano makrofag center, (D) degenerasi (pembesaran 100x) Gambar Analisis histopatologi ginjal ikan betok pada stasiun 2 (Majalaya), gambar A, (N) nekrosis, (D) degenerasi; gambar B, (N) nekrosis, (E) edema pada tubulus, (Pd) pembuluh darah (pembesaran 400x)

33 64 Gambar Analisis histopatologi ginjal ikan keting pada stasiun 2 (Majalaya), N (nekrosis), (MMC) melano makrofag center (pembesaran 100x) Gambar Analisis histopatologi ginjal ikan sapu pada stasiun 3 (Sapan), (MMC) melano makrofag center, (E) edema (pembesaran 400x) Gambar Analisis histopatologi ginjal ikan sapu pada stasiun 3 (Sapan), gambar A, (K) kongesti; gambar B, (N) nekrosis, (E) edema pada tubulus (pembesaran 100x) Gambar Analisis histopatologi ginjal ikan gabus pada stasiun 4 (Dayeuhkolot), (N) nekrosis, (E) edema, (MMC) melano makrofag center (pembesaran 400x)

34 65 Gambar Analisis histopatologi ginjal ikan sapu pada stasiun 4 (Dayeuhkolot), (E) edema pada tubulus (pembesaran 100x) Pada ikan gabus, ikan nila dan ikan mas di Situ Cisanti, serta ikan sapu di Sapan analisis histopatologi menunjukkan adanya pembendungan sel darah atau kongesti (Gambar 4.28 (A), Gambar 4.29 (A), Gambar 4.30 dan Gambar 4.34). Menurut Saleh (1979) dalam Juhryyah (2008) kongesti adalah suatu keadaan yang disertai meningkatnya volume darah dalam pembuluh darah yang melebar pada suatu alat atau bagian tubuh. Harada, et al. (1999) dalam Juhryyah (2008) menjelaskan bahwa zat toksik dapat mengganggu sistem sirkulasi sehingga selsel kekurangan oksigen dan zatzat makanan. Terjadinya kongesti diakibatkan antara lain karena trauma fisik adanya parasit atau gangguan sistem peredaran darahnya. Pada ikan gabus, ikan nila dan ikan mas di Situ Cisanti, ikan betok di Majalaya, ikan sapu di Sapan dan ikan gabus juga ikan sapu di Dayeuhkolot hasil analisis histopatologis ginjal menunjukkan adanya edema pada tubulus (Gambar 4.28 (B), Gambar 4.29 (B), Gambar 4.30, Gambar 4.31 (B), Gambar 4.35 dan Gambar 4.36). Menurut Saleh (1979) dalam Juhryyah (2008) edema adalah meningkatnya volume cairan ekstraseluler dan ekstravaskuler disertai dengan penimbunan cairan ini di dalam selasela jaringan dan rongga serosa. Edema dapat bersifat lokal atau umum. Menurut Jones, et al. (1997) dalam Juhryyah (2008), secara mikroskopis tampak ruang antar selsel yang berdekatan, serabutserabut dan struktur lainnya membesar. Warna cairan merah muda atau homogen, sedikit lebih merah, bergantung pada banyaknya protein. Menurut Juhryyah (2008) edema terjadi akibat adanya gangguan keseimbangan normal antara kompartemen cairan darah, interstisium dan limfatik. Selain kongesti, edema dan nekrosis pada ikan nila dan ikan mas di situ Cisanti, ikan keting di Majalaya, ikan sapu di Sapan dan ikan gabus di

35 66 Dayeuhkolot hasil analisis histopatologi menunjukkan adanya melano makrofag center (MMC) atau kumpulankumpulan sel makrofag yang berisi hemosiderin, lipofuchsin dan ceroid sama seperti pigmen melanin (Gambar 4.29, Gambar 4.30 dan gambar 4.30). MMC banyak ditemukan di dalam jaringan limfoid kebanyakan teleost yang diakibatan oleh peradangan. Fungsi melanin di dalam jaringan tidak jelas. Hal ini mungkin didasarkan atas material radikal bebas yang stabil dari melanin dan kemampuannya untuk menetralkan reaksi radikal bebas. Ellis (1981) dalam Ersa (2008), menyatakan bahwa melanin pada organ viscera dapat sebagai alat perlindungan dari kerusakan akibat radikal bebas. 4.6 Hubungan Kulitas Air, Logam Cr Pada Air, Logam Cr Pada Organ dan Kerusakan Pada Organ Adanya pencemaran yang mengandung logam berat pada badan air dapat membahayakan keberlangsungan hidup dan kehidupan baik secara langsung (ekosistem perairan) maupun tidak langsung (manusia). Keberadaan logam berat dalam perairan akan berpengaruh negatif terhadap kehidupan biota. Logam berat yang terikat dalam tubuh organisme tersebut akan mempengaruhi aktivitas organisme tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian dimasingmasing stasiun dapat digambarkan hubungan dari parameter kualitas air, logam Cr pada air, logam Cr pada organ dan kerusakan yang ditimbulkan serta kaitanya dengan batas aman konsumsi manusia (Tabel 4.7).

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kerusakan Hati Ikan Mas Hati merupakan salah satu organ yang paling banyak mengalami kerusakan. Menurut Carlton (1995) dalam Permana (2009) ada dua alasan yang menyebabkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Industri tekstil selain menghasilkan suatu produk juga menghasilkan produk sampingan berupa air limbah, yang sering kali mencemari lingkungan terutama perairan.

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 4. No. 3, September 2013 : ISSN :

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 4. No. 3, September 2013 : ISSN : Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 4. No. 3, September 2013 : 215-225 ISSN : 2088-3137 DAMPAK PENCEMARAN LIMBAH INDUSTRI TEKSTIL TERHADAP KERUSAKAN STRUKTUR ORGAN IKAN YANG HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Kadar Oksigen Terlarut Hasil pengukuran konsentrasi oksigen terlarut pada kolam pemeliharaan ikan nila Oreochromis sp dapat dilihat pada Gambar 2. Dari gambar

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Fisika Kimia Air Parameter fisika kimia air yang diamati pada penelitian ini adalah ph, CO 2, NH 3, DO (dissolved oxygen), kesadahan, alkalinitas, dan suhu. Pengukuran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air besar yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai, sehingga dasar sungai tersebut yang menjadi bagian terdalam dari sebuah waduk. Waduk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Struktur Mikroanatomi Hati Ikan Tagih Hasil penelitian pengaruh subletal merkuri klorida (HgCl 2 ) menggunakan konsentrasi 0,02 ppm; 0,04 ppm; dan 0,08 ppm; selama 28 hari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Amonia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh data berupa nilai dari parameter amonia yang disajikan dalam bentuk grafik. Dari grafik dapat diketahui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta lapisan kerak bumi (Darmono, 1995). Timbal banyak digunakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. serta lapisan kerak bumi (Darmono, 1995). Timbal banyak digunakan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Logam timbal atau Pb adalah jenis logam lunak berwarna coklat kehitaman dan mudah dimurnikan. Logam Pb lebih tersebar luas dibanding kebanyakan logam toksik lainnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. serbaguna bagi kehidupan mahluk hidup (Yani, 2010). Air sungai saat ini banyak

I. PENDAHULUAN. serbaguna bagi kehidupan mahluk hidup (Yani, 2010). Air sungai saat ini banyak I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sungai sebagai sumber air merupakan salah satu sumber daya alam yang berfungsi serbaguna bagi kehidupan mahluk hidup (Yani, 2010). Air sungai saat ini banyak dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sumber pencemar bagi lingkungan (air, udara dan tanah). Bahan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sumber pencemar bagi lingkungan (air, udara dan tanah). Bahan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas manusia berupa kegiatan industri, rumah tangga, pertanian dan pertambangan menghasilkan buangan limbah yang tidak digunakan kembali yang menjadi sumber

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Penyajian grafik dilakukan berdasarkan variabel konsentrasi terhadap kedalaman dan disajikan untuk

Lebih terperinci

Tabel 13. Rata-rata kualitas air pada tiap stasiun pengamatan Stasiun ph Suhu salinitas TSS , , ,5 30 0,5 0,065

Tabel 13. Rata-rata kualitas air pada tiap stasiun pengamatan Stasiun ph Suhu salinitas TSS , , ,5 30 0,5 0,065 51 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kualitas Air Pengambilan titik sampel ditentukan berdasarkan karakteristik perairan, yakni Stasiun 1 bagian hulu sungai, Stasiun 2 bagian tengah sungai dan stasiun 3 bagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu yang sudah tidak memiliki nilai manfaat lagi, baik itu yang bersifat basah

BAB I PENDAHULUAN. suatu yang sudah tidak memiliki nilai manfaat lagi, baik itu yang bersifat basah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Limbah adalah sisa dari suatu usaha atau aktivitas yang dianggap sebagai suatu yang sudah tidak memiliki nilai manfaat lagi, baik itu yang bersifat basah maupun kering,

Lebih terperinci

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN ORGAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus VIKA YUNIAR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai merupakan suatu perairan yang airnya berasal dari air tanah dan air hujan, yang mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran tersebut dapat

Lebih terperinci

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling

Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling Tabel V.9 Konsentrasi Seng Pada Setiap Titik Sampling dan Kedalaman Konsentrasi (mg/l) Titik Sampling 1 (4 April 2007) Sampling 2 (3 Mei 2007) Sampling A B C A B C 1 0,062 0,062 0,051 0,076 0,030 0,048

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program pembangunan Indonesia yang dewasa ini sedang berkembang diwarnai dengan pertambahan penduduk dan kebutuhan pangan yang terus meningkat. Sumberdaya perairan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

PENENTUAN KUALITAS AIR

PENENTUAN KUALITAS AIR PENENTUAN KUALITAS AIR Analisis air Mengetahui sifat fisik dan Kimia air Air minum Rumah tangga pertanian industri Jenis zat yang dianalisis berlainan (pemilihan parameter yang tepat) Kendala analisis

Lebih terperinci

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic)

Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) PENGELOLAAN KUALITAS AIR DALAM KEGIATAN PEMBENIHAN IKAN DAN UDANG Ima Yudha Perwira, S.Pi, MP, M.Sc (Aquatic) DISSOLVED OXYGEN (DO) Oksigen terlarut ( DO ) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat

TINJAUAN PUSTAKA. Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Air Ekosistem air terdiri atas perairan pedalaman (inland water) yang terdapat di daratan, perairan lepas pantai (off shore water) dan perairan laut. Ekosistem air yang terdapat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe Estuari dan Debit Sungai. Tipe estuari biasanya dipengaruhi oleh kondisi pasang surut. Pada saat pasang, salinitas perairan akan didominasi oleh salinitas air laut karena

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN)

RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) 1 RESPON ORGANISME AKUATIK TERHADAP VARIABEL LINGKUNGAN (ph, SUHU, KEKERUHAN DAN DETERGEN) Angga Yudhistira, Dwi Rian Antono, Hendriyanto Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun gas dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. maupun gas dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Lingkungan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses industrialisasi tidak dapat melepaskan diri dari efek negatif yang ditimbulkannya. Adanya bahan sisa industri baik yang berbentuk padat, cair, maupun gas dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencemaran logam berat merupakan salah satu masalah penting yang sering terjadi di perairan Indonesia, khususnya di perairan yang berada dekat dengan kawasan industri,

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air

4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3 Data perubahan parameter kualitas air 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Kualitas Air Kualitas air merupakan faktor kelayakan suatu perairan untuk menunjang kehidupan dan pertumbuhan organisme akuatik yang nilainya ditentukan dalam kisaran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ternyata telah menimbulkan bermacam-macam efek yang buruk bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. ternyata telah menimbulkan bermacam-macam efek yang buruk bagi kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Aktivitas kehidupan yang sangat tinggi yang dilakukan oleh manusia ternyata telah menimbulkan bermacam-macam efek yang buruk bagi kehidupan manusia dan tatanan lingkungan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai

TINJAUAN PUSTAKA. manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain kedalam lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga

Lebih terperinci

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA

BY: Ai Setiadi FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA BY: Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya, karena hasil

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Vertikal Oksigen Terlarut Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi sumberdaya suatu perairan karena akan berpengaruh secara langsung pada kehidupan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kelangsungan Hidup Ikan Nila Nirwana Selama Masa Pemeliharaan Perlakuan Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelangsungan Hidup Berdasarkan hasil pengamatan dari penelitian yang dilakukan selama 30 hari, diperoleh bahwa pengaruh salinitas terhadap kelangsungan hidup benih nila

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR (SB )

TUGAS AKHIR (SB ) TUGAS AKHIR (SB-091358) Akumulasi Logam Berat Timbal (Pb) pada Juvenile Ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) secara In-Situ di Kali Mas Surabaya Oleh : Robby Febryanto (1507 100 038) Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. akibatnya air mengalami penurunan akan kualitasnya. maka batas pencemaran untuk berbagai jenis air juga berbeda-beda.

I. PENDAHULUAN. akibatnya air mengalami penurunan akan kualitasnya. maka batas pencemaran untuk berbagai jenis air juga berbeda-beda. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pencemaran air dapat diartikan sebagai masuknya suatu mahluk hidup, zat cair atau zat padat, suatu energi atau komponen lain ke dalam air. Sehingga kualitas air menjadi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gejala Klinis Benih Lele Sangkuriang yang terinfeksi Aeromonas hydrophila Pengamatan gejala klinis benih lele sangkuriang yang diinfeksikan Aeromonas hydrophila meliputi

Lebih terperinci

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton. Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kehidupan Plankton Ima Yudha Perwira, SPi, Mp Suhu Tinggi rendahnya suhu suatu badan perairan sangat mempengaruhi kehidupan plankton. Semakin tinggi suhu meningkatkan kebutuhan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Danau Maninjau merupakan danau yang terdapat di Sumatera Barat, Kabupaten Agam. Secara geografis wilayah ini terletak pada ketinggian 461,5 m di atas permukaan laut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Penelitian di Stasiun-1 Maroko Kondisi Stasiun Maroko dan Ikan Patin Hasil Tangkapan.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Penelitian di Stasiun-1 Maroko Kondisi Stasiun Maroko dan Ikan Patin Hasil Tangkapan. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian di Stasiun-1 Maroko. 4.1.1 Kondisi Stasiun Maroko dan Ikan Patin Hasil Tangkapan. Stasiun Maroko (Stasiun 1) adalah salah satu pusat kegiatan budidaya perikanan

Lebih terperinci

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK

PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK PERANAN MIKROORGANISME DALAM SIKLUS UNSUR DI LINGKUNGAN AKUATIK 1. Siklus Nitrogen Nitrogen merupakan limiting factor yang harus diperhatikan dalam suatu ekosistem perairan. Nitrgen di perairan terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air laut merupakan suatu medium yang unik. Sebagai suatu sistem, terdapat hubungan erat antara faktor biotik dan faktor abiotik, karena satu komponen dapat

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Proses adsorpsi antar partikel tersuspensi dalam kolom air terjadi karena adanya muatan listrik pada permukaan partikel tersebut. Butir lanau, lempung dan koloid asam

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Perairan Menurut Odum (1971), pencemaran adalah perubahan sifat fisik, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada udara, tanah dan air. Sedangkan menurut Saeni

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industri penyamakan kulit merupakan industri yang dapat mengubah kulit mentah menjadi kulit yang memiliki nilai ekonomi tinggi melalui proses penyamakan, akan tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Panggang adalah salah satu pulau di gugusan Kepulauan Seribu yang memiliki berbagai ekosistem pesisir seperti ekosistem mangrove, padang lamun, dan terumbu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 20 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Oseanografi Pesisir Kalimantan Barat Parameter oseanografi sangat berperan penting dalam kajian distribusi kontaminan yang masuk ke laut karena komponen fisik

Lebih terperinci

MANAJEMEN KUALITAS AIR

MANAJEMEN KUALITAS AIR MANAJEMEN KUALITAS AIR Ai Setiadi 021202503125002 FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS SATYA NEGARA INDONESIA Dalam budidaya ikan ada 3 faktor yang sangat berpengaruh dalam keberhasilan budidaya,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kelangsungan Hidup (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kelangsungan Hidup (SR) Kelangsungan hidup merupakan suatu perbandingan antara jumlah organisme yang hidup diakhir penelitian dengan jumlah organisme

Lebih terperinci

ANALISIS HISTOFISIOLOGIS IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.) PADA ALIRAN SUNGAI BATANG OMBILIN, SUMATERA BARAT YANG TERKENA DAMPAK PENCEMARAN

ANALISIS HISTOFISIOLOGIS IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.) PADA ALIRAN SUNGAI BATANG OMBILIN, SUMATERA BARAT YANG TERKENA DAMPAK PENCEMARAN ANALISIS HISTOFISIOLOGIS IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.) PADA ALIRAN SUNGAI BATANG OMBILIN, SUMATERA BARAT YANG TERKENA DAMPAK PENCEMARAN (Dibawah bimbingan Dr. Djong Hon Tjong, dan Dr. Indra Junaidi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mandi, mencuci, dan sebagainya. Di sisi lain, air mudah sekali terkontaminasi oleh

I. PENDAHULUAN. mandi, mencuci, dan sebagainya. Di sisi lain, air mudah sekali terkontaminasi oleh I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan yang sangat pokok bagi kehidupan, karena selain dikonsumsi, juga digunakan dalam berbagai aktivitas kehidupan seperti memasak, mandi, mencuci, dan

Lebih terperinci

Bab V Hasil dan Pembahasan

Bab V Hasil dan Pembahasan terukur yang melebihi 0,1 mg/l tersebut dikarenakan sifat ortofosfat yang cenderung mengendap dan membentuk sedimen, sehingga pada saat pengambilan sampel air di bagian dasar ada kemungkinan sebagian material

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemampuan suatu perairan dalam menerima suatu beban bahan tertentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kemampuan suatu perairan dalam menerima suatu beban bahan tertentu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemampuan suatu perairan dalam menerima suatu beban bahan tertentu dari luar sistem perairannya sehingga dapat dinetralkan atau distabilkan kembali dalam jangka waktu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Akumulasi Logam Berat Pb Konsentrasi awal logam berat di air pada awal perlakuan yang terukur dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom (AAS) yaitu sebesar 2.36 mg/l.

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: ISSN :

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: ISSN : Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol. 3, No. 4, Desember 2012: 261270 ISSN : 20883137 BIOAKUMULASI LOGAM BERAT Pb (TIMBAL) DAN Cd (KADMIUM) PADA DAGING IKAN YANG TERTANGKAP DI SUNGAI CITARUM HULU Bambang

Lebih terperinci

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air.

sedangkan sisanya berupa massa air daratan ( air payau dan air tawar ). sehingga sinar matahari dapat menembus kedalam air. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perairan merupakan ekosistem yang memiliki peran sangat penting bagi kehidupan. Perairan memiliki fungsi baik secara ekologis, ekonomis, estetika, politis,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan,

PENDAHULUAN. yang sering diamati antara lain suhu, kecerahan, ph, DO, CO 2, alkalinitas, kesadahan, 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kualitas air memegang peranan penting dalam bidang perikanan terutama untuk kegiatan budidaya serta dalam produktifitas hewan akuatik. Parameter kualitas air yang sering

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 PENELITIAN PENDAHULUAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 PENELITIAN PENDAHULUAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan titik kritis pengenceran limbah dan kondisi mulai mampu beradaptasi hidup pada limbah cair tahu. Limbah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air

TINJAUAN PUSTAKA. penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekositem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah di sekitarnya,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai

TINJAUAN PUSTAKA. Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai TINJAUAN PUSTAKA Sungai Sungai merupakan suatu bentuk ekosistem akuatik yang mempunyai peranan penting dalam daur hidrologi dan berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area) bagi daerah disekitarnya,

Lebih terperinci

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat

Polusi. Suatu zat dapat disebut polutan apabila: 1. jumlahnya melebihi jumlah normal 2. berada pada waktu yang tidak tepat Polusi Polusi atau pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan, atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan, khususnya lingkungan perairan, dan memiliki toksisitas yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan, khususnya lingkungan perairan, dan memiliki toksisitas yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kadmium (Cd) merupakan logam berat yang banyak ditemukan di lingkungan, khususnya lingkungan perairan, dan memiliki toksisitas yang tinggi pada konsentrasi yang rendah

Lebih terperinci

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017

PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 PEMANTAUAN KUALITAS AIR SUNGAI CIBANTEN TAHUN 2017 1. Latar belakang Air merupakan suatu kebutuhan pokok bagi manusia. Air diperlukan untuk minum, mandi, mencuci pakaian, pengairan dalam bidang pertanian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Kualitas Air Kualitas air merupakan parameter lingkungan yang memegang peranan penting dalam kelangsungan suatu kegiatan budidaya. Parameter kualitas air yang

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kesejahteraan hidup rakyat melalui pembangunan di bidang industri, nampak memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan perairan pesisir dan laut karena

Lebih terperinci

I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya.

I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya. BAB I PENDAHULUAN I.1.1 Latar Belakang Pencemaran lingkungan merupakan salah satu faktor rusaknya lingkungan yang akan berdampak pada makhluk hidup di sekitarnya. Sumber pencemaran lingkungan diantaranya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK LIMBAH CAIR Limbah cair tepung agar-agar yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah cair pada pabrik pengolahan rumput laut menjadi tepung agaragar di PT.

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil dari penelitian yang dilakukan berupa parameter yang diamati seperti kelangsungan hidup, laju pertumbuhan bobot harian, pertumbuhan panjang mutlak, koefisien keragaman

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan di beberapa negara seperti di Indonesia telah

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan di beberapa negara seperti di Indonesia telah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pelaksanaan pembangunan di beberapa negara seperti di Indonesia telah memicu berbagai pertumbuhan di berbagai sektor seperti bidang ekonomi, sosial dan budaya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pertumbuhan penduduk dan populasi penduduk yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Pertumbuhan penduduk dan populasi penduduk yang tinggi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan penduduk dan populasi penduduk yang tinggi menimbulkan permasalahan bagi kelestarian lingkungan hidup. Aktivitas manusia dengan berbagai fasilitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pencemaran merupakan dampak negatif dari kegiatan pembangunan yang dilakukan selama ini. Pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang

Lebih terperinci

SISTEM EKSKRESI. - Sistem ekskresi pada uniseluler dan multiseluler. - Pembuangan limbah nitrogen dan CO 2

SISTEM EKSKRESI. - Sistem ekskresi pada uniseluler dan multiseluler. - Pembuangan limbah nitrogen dan CO 2 SISTEM EKSKRESI 1. Pendahuluan - Pengertian Ekskresi - Sistem ekskresi pada uniseluler dan multiseluler 2. Fungsi pokok sistem ekskresi - Pembuangan limbah nitrogen dan CO 2 - Keseimbangan air, garam,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Waduk adalah genangan air yang sengaja dibuat dengan membendung aliran sungai. Waduk juga merupakan penampungan alami dalam pengumpulan unsur hara, bahan padatan, dan

Lebih terperinci

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN PAKAN

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN PAKAN 4. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMANFAATAN PAKAN Faktor lingkungan dapat mempengaruhi proses pemanfaatan pakan tidak hanya pada tahap proses pengambilan, pencernaan, pengangkutan dan metabolisme saja, bahkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Tulabolo adalah bagian dari wilayah Kecamatan Suwawa Timur,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Desa Tulabolo adalah bagian dari wilayah Kecamatan Suwawa Timur, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1) Desa Tulabolo Desa Tulabolo adalah bagian dari wilayah Kecamatan Suwawa Timur, Kabupaten Bone Boalngo, Provinsi

Lebih terperinci

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur

1 Asimilasi nitrogen dan sulfur BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan tingkat tinggi merupakan organisme autotrof dapat mensintesa komponen molekular organik yang dibutuhkannya, selain juga membutuhkan hara dalam bentuk anorganik

Lebih terperinci

PERUBAHAN JARINGAN GINJAL IKAN PARI KEMBANG (Dasyatis kuhlii) AKIBAT PAPARAN LOGAM MERKURI (Hg)

PERUBAHAN JARINGAN GINJAL IKAN PARI KEMBANG (Dasyatis kuhlii) AKIBAT PAPARAN LOGAM MERKURI (Hg) PERUBAHAN JARINGAN GINJAL IKAN PARI KEMBANG (Dasyatis kuhlii) AKIBAT PAPARAN LOGAM MERKURI (Hg) MC-6 Joeharnani Tresnati Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin E-mail: jtresnati@yahoo.com

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan pesisir dikenal sebagai ekosistem perairan yang memiliki potensi sumberdaya yang sangat besar. Wilayah tersebut telah banyak dimanfaatkan dan memberikan sumbangan

Lebih terperinci

KANDUNGAN MERKURI (Hg) PADA IKAN KAKAP MERAH

KANDUNGAN MERKURI (Hg) PADA IKAN KAKAP MERAH BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Konsentrasi Logam Berat Merkuri (Hg) Penelitian kandungan Hg dilakukan pada ikan kakap merah yang berasal dari tiga pasar tradisional, yaitu pasar Bilungala, pasar Mupuya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup. Sebagian besar bumi terdiri atas air karena luas daratan lebih kecil dibandingkan

Lebih terperinci

Penyebaran Limbah Percetakan Koran Di Kota Padang (Studi Kasus Percetakan X dan Y)

Penyebaran Limbah Percetakan Koran Di Kota Padang (Studi Kasus Percetakan X dan Y) Penyebaran Limbah Percetakan Koran Di Kota Padang (Studi Kasus Percetakan X dan Y) Oleh: Komala Sari (Dibawah bimbingan Prof. Dr. Hamzar Suyani, M.S dan Dr. Tesri Maideliza, MS) RINGKASAN Limbah percetakan

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis

HASIL DA PEMBAHASA. Tabel 5. Analisis komposisi bahan baku kompos Bahan Baku Analisis IV. HASIL DA PEMBAHASA A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisis Karakteristik Bahan Baku Kompos Nilai C/N bahan organik merupakan faktor yang penting dalam pengomposan. Aktivitas mikroorganisme dipertinggi

Lebih terperinci

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018 Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018 Faktor Pembatas Keadaan yang mendekati atau melampaui batas toleransi. Kondisi batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kemajuan ilmu dan teknologi terutama bidang industri di Indonesia memiliki dampak yang beragam. Dampak positifnya adalah pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat, di sisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. telah terjadi perubahan-perubahan dalam tatanan lingkungan sehingga tidak sama lagi

BAB I PENDAHULUAN. telah terjadi perubahan-perubahan dalam tatanan lingkungan sehingga tidak sama lagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pencemaran atau polusi adalah suatu kondisi yang telah berubah dari bentuk asal pada keadaan yang lebih buruk. Suatu lingkungan dikatakan tercemar apabila telah terjadi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena lingkungan air tawar memiliki beberapa kondisi, antara lain:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebabkan karena lingkungan air tawar memiliki beberapa kondisi, antara lain: 18 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Indonesia adalah negara kepulauan dengan kawasan maritim yang sangat luas sehingga Indonesia memiliki kekayaan perikanan yang sangat kaya.pengetahuan lingkungan

Lebih terperinci

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA

BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Siklus Biogeokimia 33 BAB 4 SIKLUS BIOGEOKIMIA Kompetensi Dasar: Menjelaskan siklus karbon, nitrogen, oksigen, belerang dan fosfor A. Definisi Siklus Biogeokimia Siklus biogeokimia atau yang biasa disebut

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kualitas Air Dari hasil pengukuran terhadap beberapa parameter kualitas pada masingmasing perlakuan selama penelitian adalah seperti terlihat pada Tabel 1 Tabel 1 Kualitas Air

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari

I. PENDAHULUAN. perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam budidaya perikanan. Pakan juga merupakan faktor penting karena mewakili 40-50% dari biaya produksi. Pakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif,

TINJAUAN PUSTAKA. Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Estuari Estuari oleh sejumlah peneliti disebut-kan sebagai area paling produktif, karena area ini merupakan area ekoton daerah pertemuan dua ekosistem berbeda (tawar dan laut)

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Total Amonia Nitrogen (TAN) Konsentrasi total amonia nitrogen (TAN) diukur setiap 48 jam dari jam ke-0 hingga jam ke-120. Peningkatan konsentrasi TAN terjadi pada

Lebih terperinci

Komponen Ekosistem Komponen ekosistem ada dua macam, yaitu abiotik dan biotik. hujan, temperatur, sinar matahari, dan penyediaan nutrisi.

Komponen Ekosistem Komponen ekosistem ada dua macam, yaitu abiotik dan biotik. hujan, temperatur, sinar matahari, dan penyediaan nutrisi. MINGGU 3 Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 1 Sub Pokok Bahasan : a. Pengertian ekosistem b. Karakteristik ekosistem c. Klasifikasi ekosistem Pengertian Ekosistem Istilah ekosistem merupakan kependekan dari

Lebih terperinci

tanah apabila melebihi kemampuan tanah dalam mencerna limbah akan

tanah apabila melebihi kemampuan tanah dalam mencerna limbah akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanah merupakan bagian dari siklus logam berat. Pembuangan limbah ke tanah apabila melebihi kemampuan tanah dalam mencerna limbah akan mengakibatkan pencemaran tanah.

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian

TINJAUAN PUSTAKA. tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian TINJAUAN PUSTAKA Ikan Patin Sektor perikanan memang unik beberapa karakter yang melekat di dalamnya tidak dimiliki oleh sektor lain seperti pertanian. Tidaklah mengherankan jika kemudian penanganan masalah

Lebih terperinci