DAMPAK PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA RAKYAT TERHADAP KEMISKINAN DAN PEREKONOMIAN KABUPATEN INDRAGIRI HILIR AHMAD ARIS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAMPAK PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA RAKYAT TERHADAP KEMISKINAN DAN PEREKONOMIAN KABUPATEN INDRAGIRI HILIR AHMAD ARIS"

Transkripsi

1 DAMPAK PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA RAKYAT TERHADAP KEMISKINAN DAN PEREKONOMIAN KABUPATEN INDRAGIRI HILIR AHMAD ARIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam disertasi yang berjudul: DAMPAK PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA RAKYAT TERHADAP KEMISKINAN DAN PEREKONOMIAN KABUPATEN INDRAGIRI HILIR merupakan gagasan atau hasil penelitian disertasi saya sendiri, dengan bimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Juni 2011 Ahmad Aris NRP.A i

3 ABSTRACT AHMAD ARIS. Impact of People s Coconut Plantation Development on Poverty and Economy of Indragiri Hilir Regency, Supervising Commission: BAMBANG JUANDA as Chairman, AKHMAD FAUZI and DEDI BUDIMAN HAKIM as Members. Indragiri Hilir Regency is a center of coconut production in Indonesia and most of its people do business in the coconut sector as the main livelihood. However, this region has got the highest percentage of poverty among the regencies / cities in Riau Province in recent years. This study was aimed to analyze: (i) the impact of the coconut sector development on the economy of Indragiri Hilir Regency, (ii) the indications of and potential regional leakage in the development of coconut sector and its impact on the economy of Indragiri Hilir Regency, and (iii) the policy options which can increase revenue and reduce poverty in the Regency of Indragiri Hilir. The data used in this research was of secondary type and processed with the following analyses: (i) Input-Output analysis, (ii) analysis of Social Accounting Matrix (SAM), (iii) analysis of Poverty Index Foster-Greer-Thorbecke, (iv) analysis of Ordinary Least Square (OLS), (v) analysis of Gini Ratio, (vi) analysis of Incremental Capital Output Ratio (ICOR) and (vii) descriptive analysis. The research showed the following results: (i) the coconut sector and coconut processing industries contribute significantly to the formation of output, gross added-value, and the labor absorption in the Regency of Indragiri Hilir, (ii) the coconut sector still has a weak forward linkage and the coconut industrial sector at the household level still has a weak backward linkage, (iii) the simulated investment in the industrial sector at the household level gave the highest increase of average income in the group of households of Indragiri Hilir Regency and the lowest was in the simulated investment in oil palm sector, (iv) the simulated investment in the coconut industrial sector on the household scale and road infrastructure can reduce the value of Gini Ratio index or the income gap among the households in the Regency of Indragiri Hilir, (v) every simulation could only reduce the poverty in the group of farmer households having land of 0.00 to 1.00 Ha and those with land of > 1:00 Ha., (vi) the highest reduction of poverty depth and severity could be obtained from the simulated investment in the coconut industrial sector of the household scale, and the lowest was in the simulated investment in the oil palm sector, (vii) the parameter of the variable of development budget allocation in each district, the number of production institutions in each district, the number of marketing institutions in each district, the percentage of agricultural households in each district and the real location of coconut processing industry on factors affecting poverty in the Regency of Indragiri Hilir. Key words : coconut farmers, poverty, SAM, regional leakage, increased revenue ii

4 RINGKASAN AHMAD ARIS. Dampak Pengembangan Perkebunan Kelapa Rakyat Terhadap Kemiskinan dan Perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir, Komisi Pembimbing BAMBANG JUANDA sebagai Ketua, AKHMAD FAUZI dan DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai Anggota. Kabupaten Indragiri Hilir merupakan salah satu sentra produksi kelapa di Indonesia dan sebagian besar peduduknya berusaha di sektor kelapa sebagai mata pencaharian utamanya. Disisi lain, kabupaten ini memiliki persentase penduduk miskin yang tertinggi diantara kabupaten/kota yang ada di Provinsi Riau pada beberapa tahun terakhir. Penelitian ini bertujuan untuk : (i) menganalisis dampak pengembangan sektor kelapa terhadap perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir ditinjau dari aspek output, PDRB, tenaga kerja, dibandingkan sektor pertanian lainnya dan sektor industri pengolahan kelapa, serta menganalisis keterkaitan sektor kelapa dan multiplier effect terhadap output, nilai tambah bruto, pendapatan dan tenaga kerja, (ii) menganalisis indikasi dan potensi kebocoran wilayah sektor kelapa serta dampaknya terhadap perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir, dan (iii) menganalisis opsi kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan dan menurunkan kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dianalisis dengan menggunakan Analisis Input-Output, Analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Analisis Indeks Kemiskinan Foster-Greer-Thorbecke, Analisis Regresi Model Ekonometrika, Analisis Gini Ratio, Analisis Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dan Analisis Deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (i) sektor kelapa memberikan kontribusi yang besar terhadap pembentukan output, PDRB, dan penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Indragiri Hilir, dimana sektor kelapa memberikan kontribusi sebesar persen terhadap output total wilayah, sebesar persen terhadap PDRB total wilayah dan sebesar persen terhadap serapan tenaga kerja total wilayah. Selanjutnya sektor industri pengolahan kelapa memberikan kontribusi sebesar persen terhadap output total wilayah, sebesar persen terhadap PDRB total wilayah dan sebesar 3.26 persen terhadap serapan tenaga kerja total wilayah; (ii) Sektor kelapa dan sektor industri pengolahan kelapa memiliki peranan yang lebih besar terhadap pembentukan Output, PDRB dan tenaga kerja bila dibandingkan dengan sektor pertanian lainnya. (iii) Sektor kelapa memiliki keterkaitan kedepan yang masih lemah dengan indeks keterkaitan kedepan sebesar 0.75 dan sektor industri kelapa skala rumah tangga juga memiliki keterkaitan kebelakang yang lemah dengan nilai indeks keterkaitan kebelakang sebesar 0.71; (iv) Sektor kelapa dan sektor industri pengolahan kelapa memiliki multiplier effect yang positif terhadap penyerapan tenaga kerja, pendapatan tenaga kerja, nilai tambah bruto, dan output perekonomian wilayah Kabupaten Indragiri Hilir; (v) Sektor kelapa mengalami kebocoran wilayah, terutama pada sektor industri pengolahan kelapa skala besar yang disebabkan oleh adanya aliran pendapatan modal dan tenaga kerja yang keluar wilayah; (vi) simulasi investasi di sektor industri kelapa skala rumah tangga (I-IKLP RT ) memberikan peningkatan pendapatan rata-rata yang tertinggi pada kelompok rumah tangga yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir yaitu sebesar iii

5 4.81 persen, kemudian disusul simulasi investasi di sektor industri kelapa skala rumah tangga dan infrastruktur jalan raya (I-IKLP RT +JLN) sebesar 4.59 persen dan simulasi investasi di sektor kelapa dan industri kelapa skala rumah tangga (I-KLP+IKLP RT ) sebesar 4.48 persen. Simulasi investasi di sektor kelapa sawit (I-KLS) memberikan peningkatan pendapatan rata-rata yang terendah pada kelompok rumah tangga yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir yaitu hanya 3.73 persen, kemudian disusul simulasi investasi di sektor industi kelapa skala besar (I-IKLP BS ) yaitu sebesar 3.77 persen; (vii) Investasi di sektor kelapa (simulasi investasi di sektor kelapa (I-KLP), investasi di sektor industri kelapa skala besar (I-IKLP BS ) dan investasi di sektor industri kelapa skala rumah tangga (I-IKLP RT ) memberikan peningkatan pendapatan rata-rata rumah tangga secara berturut-turut adalah 4.15 persen, 3.77 persen dan 4.81 dan lebih tinggi bila dibandingkan dengan simulasi investasi di sektor kelapa sawit (I-KLS) yang hanya memberikan peningkatan pendapatan sebesar 3.73 persen; (viii) simulasi investasi di sektor industri kelapa skala rumah tangga (I-IKLP RT ) dan simulasi investasi di sektor industri kelapa skala rumah tangga dan infrastruktur jalan (I-IKLP RT +JLN) dapat menurunkan nilai indeks Gini Ratio atau kesenjangan pendapatan antara rumah tangga yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir. (ix) Setiap simulasi hanya mampu menurunkan kemiskinan pada kelompok rumah tangga petani memiliki lahan Ha sebesar 2.78 persen dan pada kelompok rumah tangga petani memiliki lahan > 1.00 Ha sebesar 5.66 persen. Sedangkan pada kelompok rumah tangga lainnya tidak mengalami penurunan kemiskinan; (x) Penurunan kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir pada masing-masing simulasi kebijakan sebesar 2.36 persen; (xi) Penurunan kedalaman kemiskinan dan keparahan kemiskinan tertinggi dapat diperoleh dari simulasi investasi di sektor industri kelapa skala rumah tangga (I-IKLP RT ), kemudian disusul simulasi investasi di sektor industri kelapa skala rumah tangga dan infrastruktur jalan (I-IKLP RT +JLN), simulasi investasi di sektor kelapa dan industri kelapa skala rumah tangga (I-KLP+IKLP RT ), simulasi investasi di sektor kelapa dan infrastruktur jalan (I-KLP+JLN), simulasi investasi di sektor kelapa (I-KLP), simulasi investasi di sektor industri kelapa skala besar (I-IKLP BS ) dan simulasi investasi di sektor kelapa sawit (I-KLS), dan (xii) parameter peubah alokasi anggaran pembanguan disetiap kecamatan, jumlah kelembagaan produksi disetiap kecamatan, jumlah kelembagaan pemasaran hasil disetiap kecamatan, persentase rumah tangga pertanian disetiap kecamatan dan lokasi industri pengolahan kelapa yang nyata terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir. Implikasi kebijakan dan rekomendasi antara lain: (i) Investasi disektor kelapa dan sektor industri pengolahan kelapa hanya mampu menurunkan jumlah kemiskinan rumah tangga di Kabupaten Indragiri Hilir rata-rata hanya sebesar 2.36 persen. Oleh karena itu investasi disektor kelapa dipandang belum mampu mengatasi permasalahan kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir. Rendahnya penurunan kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir ini terkait dengan rendahnya alokasi anggaran yang dapat di alokasikan di sektor perkebunan kelapa dan industri pengolahannya yaitu hanya maksimum Rp. 100 milyar setiap tahunnya (Biro Keuangan Setda Inhil, 2009). Sementara berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan dengan pendekatan ICOR dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 9 persen, maka diperoleh kebutuhan investasi di sektor kelapa dan industri iv

6 pengolahannya sebesar Rp. 520 milyar. Oleh karena itu perlu adanya pengalokasian anggaran yang lebih banyak disektor kelapa seperti untuk replanting dan pengembangan industri pengolahan kelapa skala rumah tangga. (ii) Kebocoran wilayah disektor kelapa dapat diatasi melalui peningkatan industri pengolahan kelapa di dalam wilayah Kabupaten Indragiri Hilir terutama industri kelapa skala rumah tangga dan menengah. (iii) Pemberian kewenangan yang besar oleh Pemerintah terhadap industri pengolahan kelapa yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir untuk membuka perkebunan kelapa hybrida yang mencapai Ha telah memberikan dampak sosial yaitu pemasaran kelapa rakyat menjadi sangat sempit, oleh karena itu perlu ada kebijakan pengembangan kapasitas industri kelapa yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir dengan meningkatkan kerjasama pemasaran yang dilakukan dengan pola pengembangan badan usaha milik petani dan investor. (iii) Untuk meningkatkan pengembangan wilayah perlu: (a) optimalisasi kebijakan komoditas kelapa sebagai komoditi unggulan melalui alokasi APBD dan akses kredit (ii) memperkuat struktur pasar yang kompetitif (iii) memperkuat posisi tawar menawar petani kelapa (iv) pengembangan industri pengolahan. Kata kunci : petani kelapa, kemiskinan, SNSE, kebocoran wilayah, peningkatan pendapatan v

7 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB. vi

8 DAMPAK PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA RAKYAT TERHADAP KEMISKINAN DAN PEREKONOMIAN KABUPATEN INDRAGIRI HILIR AHMAD ARIS Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 vii

9 viii

10 Judul Disertasi Nama Nomor Pokok Program Studi : Dampak Pengembangan Perkebunan Kelapa Rakyat Terhadap Kemiskinan dan Perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir : Ahmad Aris : A : Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MS Ketua Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Anggota Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Anggota Mengetahui : Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr.Ir. Bambang Juanda, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian : 7 April 2011 Tanggal Lulus : ix

11 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tertutup Tanggal 7 Maret Dr. Ir. Sumaryanto, MS. Ketua Kelompok Peneliti Ekonomi Pertanian dan Manajemen Agribisnis Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (Kementerian Pertanian- RI) 2. Dr. Ir. Setia Hadi, MS. (Dosen PS-PWD-IPB) Penguji Luar Komisi Pada Ujian Terbuka Tanggal 7 April Dr. Sudirman Saad, SH. M.Hum. Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan-RI 2. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Sc Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor x

12 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga penelitian dan penulisan disertasi dengan judul Dampak Pengembangan Perkebunan Kelapa Rakyat Terhadap Kemiskinan dan Perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir dapat diselesaikan. Sejak dari proses penelitian hingga penyelesaian disertasi, penulis mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu atas segala dukungan yang diberikan berbagai pihak, penulis ucapkan terima kasih, terutama ucapan terima kasih yang setinggi tingginya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M.S. selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc dan Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim. M.Ec, sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala curahan pemikiran serta perhatian dalam bimbingan, hingga penyelesaian disertasi dan studi penulis. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan Sekolah Pascasarjana beserta jajarannya dan staf administrasi yang telah memberikan pelayanan yang baik selama penulis mengikuti pendidikan di IPB. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan (PS-PWD) beserta para dosen dan staf administrasi, atas segala perhatian, dukungan, dan fasilitas yang diberikan kepada penulis selama menempuh studi pada Program Doktor Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor. Kemudian ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Sumaryanto, MS (Ketua Kelompok Peneliti Ekonomi Pertanian dan Manajemen Agribisnis PSEKP Kementerian Pertanian-RI) dan Bapak Dr. Ir. Setia Hadi, MS (Dosen PS-PWD IPB) selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. Sudirman Saad, SH. M. Hum (Dirjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan-RI). dan Bapak Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec (Wakil Rektor Institut Pertanian Bogor) selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka. xi

13 Pada kesempatan ini ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Gubernur Riau, atas segala bantuan dan dukungan, baik moril maupun materil yang diberikan kepada penulis selama mengikuti tugas belajar program doktor pada Institut Pertanian Bogor (IPB). Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman-teman Program Studi PWD dan Civitas Akademika IPB, serta semua pihak yang telah mendukung kelancaran studi penulis di Institut Pertanian Bogor umumnya. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada ayahanda Abdurahman dan Ibunda Riona (Almarhumah), Bapak dan Ibu mertua, adik dan segenap keluarga, atas segala dukungan, doa dan pengorbanannya serta teristimewa untuk istriku tercinta Rima Apriani, S.S. dan putriku tercinta Nayra Kirana Ahmad, terima kasih atas segala dukungan, pengorbanannya dan do anya selama penulis menempuh pendidikan S-3 pada Institut Pertanian Bogor. Sebagai penutup, penulis berharap semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama bagi pribadi penulis dan juga bagi konsep pengembangan perkebunan kelapa rakyat, kemiskinan serta pengembangan ekonomi wilayah umumnya, amin! Bogor, Juni 2011 Ahmad Aris xii

14 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau, pada tanggal 01 Agustus 1972, anak pertama dari delapan bersaudara, dari pasangan Abdurahman dan Riona (Almarhumah). Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dan pendidikan menengah pertama di Kabupaten Indragiri Hilir dan pendidikan menengah atas di Kabupaten Indragiri Hulu Provinsi Riau. Pada tahun 1997, penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana (S-1) Jurusan Budidaya Pertanian (Agronomi) pada Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung. Kemudian pada tahun penulis mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan (S-2) Magister Ilmu Perencanaan Wilayah dan Perdesaan (PWD) di Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2004 penulis kembali diberi kesempatan untuk mengikuti pendidikan (S-3) pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan di Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan Program Doktor, penulis berstatus sebagai pegawai izin belajar pada Direktorat Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Ditjen Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Pada tahun 2006, penulis melangsungkan pernikahan dengan Rima Apriani, S.S. anak ke dua dari pasangan Remedi Sinulingga dan Yusmaniar Nasution. Dari pernikahan tersebut kami dikaruniai seorang putri yaitu Nayra Kirana Ahmad. xiii

15 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xviii DAFTAR GAMBAR... xxiii DAFTAR LAMPIRAN... xxiv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Rumusan Masalah... 4 Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kebaruan Penelitian (Novelty) Keterbatasan Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pengembangan Ekonomi Keterkaitan antar Sektor dan Multiplier Terhadap Ekonomi Wilayah Konsep Kebocoran Wilayah Perkembangan Definisi Kebocoran Wilayah Isu-Isu Kebocoran Wilayah Pengukuran Kebocoran Wilayah Kemiskinan dan Pembangunan Ekonomi Pengertian dan Penyebab Kemiskinan Ukuran Kemiskinan Tinjauan Penelitian Terdahulu METODOLOGI PENELITIAN Kerangka Pemikiran Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Hipotesis Penelitian Lokasi Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Analisis Data Analisis Kebutuhan Investasi dengan Pendekatan ICOR Analisis Indeks Daya Penyebaran dan Analisis Derajat Kepekaan. 70 Analisis Pengganda Analisis Pengganda Kebijakan Analisis Gini Ratio Analisis Kemiskinan Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir Analisis Kebocoran Wilayah Simulasi Kebijakan GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri Hilir xv

16 Neraca Faktor Produksi Neraca Institusi Neraca Sektor Produksi Hasil SNSE Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Kinerja Ekonomi Kabupaten Indragiri Hilir Struktur dan Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Nilai Tambah Faktor Produksi Kinerja Sosial Kabupaten Indragiri Hilir Jumlah Penduduk dan Rumah Tangga Distribusi Upah dan Gaji Menurut Sektor Dan Produktivitas Tenaga Kerja Sektoral Distribusi Pendapatan TK Menurut Rumah Tangga Distribusi Pendapatan Rumah Tangga (disposible income) Transfer Antar Institusi Neraca Daerah Terintegrasi Neraca Produksi Neraca Pendapatan dan Pengeluaran Institusi Neraca Kapital Neraca Luar Negeri PERAN SEKTOR KELAPA TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Gambaran Umum Perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir Produk Domestik Regional Bruto Produk Domestik Regional Bruto Perkapita Tenaga Kerja Menurut Tenaga Usaha Struktur Perekonomian Wilayah Kabupaten Indragiri Hilir Output Perekonomian Peran Sektor Kelapa Terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Indragiri Hilir Peran Kelapa Terhadap Sektor Pertanian Peran Kelapa Terhadap Subsektor Perkebunan Peran Sektor Kelapa Terhadap Pembentukan Struktur Perekonomian Wilayah Kabupaten Indragiri Hilir Keterkaitan Sektor Kelapa terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Indragiri Hilir Multiplier Effect Sektor Kelapa terhadap Perekonomian Wilayah Kabupaten Indragiri Hilir Gambaran Umum Kelapa Rakyat di Kabupaten Indragiri Hilir Rangkuman Hasil Analisis KEBOCORAN WILAYAH SEKTOR KELAPA DI KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kelapa Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kelapa Berdasarkan forward leakages dan backward leakage Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kelapa Berdasarkan Rasio Ekspor Terhadap Output xvi

17 Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kelapa Berdasarkan Rasio Ekspor Terhadap Permintaan Antara Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kelapa Berdasarkan Rasio Import Terhadap Total Input Antara Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kelapa Berdasarkan Rasio Pendapatan Tenaga Kerja yang Keluar Wilayah Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kelapa Berdasarkan Rasio Pendapatan Modal yang Keluar Wilayah Indikasi Kebocoran Wilayah Sektor Kelapa Versus Sektor Lainnya Dampak Kebocoran Wilayah Sektor Kelapa terhadap Perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir Rangkuman Hasil Analisis DAMPAK PENGEMBANGAN SEKTOR KELAPA TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN DI KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Dampak Investasi di Sektor Kelapa Terhadap Distribusi Pendapatan Dampak Investasi di Sektor Kelapa Terhadap Kemiskinan Karakteristik Pendapatan Rumah Tangga Dampak Investasi Sektor Kelapa Terhadap Penurunan Kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir Rangkuman Analisis DAMPAK PENGEMBANGAN SEKTOR KELAPA TERHADAP PEREKONOMIAN KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Dampak investasi sektor kelapa dan sektor industri pengolahan kelapa Dampak Investasi Disektor Kelapa Dampak Investasi Sektor Industri Kelapa Skala Besar (Swasta) Dampak Investasi Sektor Industri Kelapa Skala Rumah Tangga Dampak Investasi Disektor Kelapa Sawit Dampak investasi disektor kelapa dan industri kelapa Dampak Investasi Disektor Kelapa dan Infrastruktur Jalan Dampak Investasi Disektor Industri Kelapa Skala Rumah Tangga dan Infrastruktur Jalan Rangkuman Hasil Analisis SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN Simpulan Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi Saran Penelitian Lanjutan DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xvii

18 DAFTAR TABEL Tabel Halaman 1. Luas Areal dan Produksi Kelapa (Kelapa Dalam dan Kelapa Hybrida) pada Masing-masing Kecamatan di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Luas Areal dan Produksi Komoditas Perkebunan di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Pertumbuhan Rata-rata PDRB Masing-masing Sektor Perekonomian di Kabupaten Indragiri Hilir dari Tahun Tujuan, Analisis, Jenis Data dan Sumber Data Penelitian Dampak Pengembangan Perkebunan Kelapa Rakyat Terhadap Kemiskinan dan Perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir Klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Klasifikasi Sektor Produksi pada SNSE Kabupaten Inhil Tahun 2005 SNSE Kabupaten Indragiri Hilir, Tahun 2005 Ukuran 9 x 9 Sektor Sistem Neraca Sosial Ekonomi Kabupaten Indragiri Hilir, tahun 2005 (9x9) (Rp Juta) Arti Kerangka SNSE Kabupaten Indragiri Hilir, Tahun 2005 (9 x 9) Pertumbuhan PDRB Harga Berlaku Kabupaten Indragiri Hilir, Berdasarkan Klasifikasi 11 Sektor, Tahun Nilai Tambah Faktor Produksi Berdasarkan Klasifikasi 11 Sektor, Kabupaten Indragiri Hilir, Tahun Perkembangan Jumlah Rumah Tangga, Penduduk Desa/Kelurahan Perkecamatan Pada Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Distribusi Upah dan Gaji Tenaga Kerja Menurut Sektor Usaha Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Distribusi Pendapatan Tenaga Kerja Menurut Kelompok Rumah Tangga Distribusi Pendapatan Menurut Kelompok Rumah Tangga di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Sumber Transfer Institusi di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Neraca Produksi Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Neraca Pendapatan dan Pengeluaran Institusi Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Neraca Kapital Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Neraca Produksi Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Perkembangan PDRB Sembilan Sektor Kabupaten Indragiri Hilir Atas Dasar Harga Berlaku (Milyar Rupiah) Periode Tahun xviii

19 21. Perkembangan PDRB Sembilan Sektor Kabupaten Indragiri Hilir Atas Dasar Harga Konstan 2000 (Milyar Rupiah) Periode Tahun PDRB Empat Puluh Dua Sektor Kabupaten Indragiri Hilir Atas Dasar Harga Berlaku (Juta Rupiah) Tahun Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Indragiri Hilir Berdasarkan Harga Konstan 2000 (Persen) Periode Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Indragiri Hilir Berdasarkan Harga Berlaku (Persen) Periode Perkembangan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Indragiri Hilir Atas Harga Berlaku (Milyar Rupiah) Periode Tahun Perkembangan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Indragiri Hilir Atas Harga Konstan 2000 (Milyar Rupiah) Periode Tahun Perkembangan PDRB Perkapita Kabupaten Indragiri Hilir Atas Dasar Harga Berlaku Periode Perkembangan PDRB Perkapita Kabupaten Indragiri Hilir Atas Dasar Harga Konstan 2000 Periode Distribusi Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Distribusi Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha Dalam Sektor Pertanian Kabupaten Indragiri Hilir (jiwa)tahun Komposisi Sektor Perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Kontribusi Nilai Tambah Bruto Sektor Perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir Berdasarkan Harga Produsen Tahun Distribusi Nilai Tambah Bruto Perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir Menurut Komponennya Tahun Struktur Permintaan Akhir Perekonomian Wilayah Kabupaten Indragiri Hilir Menurut Komponennya Tahun Output Sektor Pertanian di Kabupaten Indragiri Hilir, Tahun Nilai Tambah Bruto Sektor Pertanian Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Distribusi Output Subsektor Perkebunan di Kabupaten Indragiri Hili Tahun Distribusi Nilai Tambah Bruto Subsektor Perkebunan di Kabupaten Indragiri Hilir, Tahun Distribusi Pembentukan Nilai Tambah Bruto Sektor Kelapa Menurut Komponennya Tahun Kontribusi PDRB Perkapita Sektor Kelapa Versus Sektor Perkebunan Lainnya di Kabupaten Indragiri Hilir xix

20 41. Kontribusi Sektor Kelapa terhadap Pembentukan Struktur Perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Produktivitas Sektor Kelapa Versus Sektor Padi, Kelapa Sawit, Industri Kelapa serta Sektor Perdagangan, Tahun Koefisien Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Depan Sektor Perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Daya Penyebaran (DP) dan Indeks Daya Penyebaran (IDP) Sektor Perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir, Berdasarkan Tahun Koefisien Keterkaitan Langsung dan Tidak Langsung ke Belakang Sektor Perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir, Tahun Indeks Derajat Kepekaan Perekonomian Wilayah Kabupaten Indragiri Hilir, Tahun Multiplier Effect Output Perekonomian Wilayah Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Multiplier Effect Nilai Tambah Bruto Perekonomian Wilayah Kabupaten Indragiri Hilir, Tahun Multiplier Effect Pendapatan terhadap Perekonomian Kabupaten Wilayah Indragiri Hilir Tahun Multiplier Effect Tenaga Kerja di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Nilai Koefisien Keterkaitan Kedepan dan Kebelakang Sektor Kelapa dan Sektor Industri Pengolahan Kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Nilai Rasio Ekspor Terhadap Output Sektor Kelapa dan Sektor Industri Pengolahan Kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Nilai Rasio Ekspor Terhadap Permintaan Antara Sektor Kelapa dan Sektor Industri Pengolahan Kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Nilai Rasio Input Antara dari Komponen Impor Sektor Kelapa dan Industri Pengolahan Kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Nilai Rasio Pendapatan Tenaga Kerja Sektor Kelapa dan Sektor Industri Pengolahan Kelapa yang Keluar Wilayah Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Nilai Rasio Pendapatan Modal Sektor Kelapa dan Sektor Industri Pengolahan Kelapa yang Keluar Wilayah Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Nilai Koefisien Keterkaitan Kedepan dan Kebelakang Sektor Kelapa, Sektor Industri Pengolahan Kelapa dan Sektor Kelapa Sawit Nilai Rasio Input Antara dari Komponen Import terhadap Total Input Antara Sektor Kelapa, Sektor Industri Pengolahan Kelapa, dan Sektor Kelapa Sawit di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun xx

21 Nilai Rasio Ekspor Terhadap Permintaan Antara Sektor Kelapa, Sektor Industri Pengolahan Kelapa Dan Sektor Kelapa Sawit di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Nilai Kebocoran Wilayah Sektor Kelapa dan Sektor Industri Pengolahan Kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Distribusi Pendapatan dan Nilai Gini Ratio Sebelum dan Setelah Dilakukannya Investasi di Sektor Kelapa Sebesar 100 Milyar Distribusi Pendapatan dan Nilai Gini Ratio Sebelum dan Setelah Dilakukannya Investasi di Sektor Industri Kelapa Skala Besar (Swasta) Sebesar 100 Milyar Distribusi Pendapatan dan Nilai Gini Ratio Sebelum dan Setelah dilakukannya Investasi di Sektor Industri Kelapa Skala Rumah tangga Sebesar 100 Milyar Distribusi Pendapatan dan Nilai Gini Ratio Sebelum dan Setelah Dilakukannya investasi disektor kelapa sawit 100 milyar Distribusi Pendapatan dan Nilai Gini Ratio Sebelum dan Setelah dilakukannya Investasi Disektor Kelapa sebesar 50 Milyar dan Industri Kelapa Skala Rumah Tangga sebesar 50 Milyar Distribusi Pendapatan dan Nilai Gini Ratio Sebelum dan Setelah Dilakukannya Investasi Disektor Kelapa Sebesar 50 Milyar dan Infrastruktur Jalan raya sebesar 50 Milyar Distribusi Pendapatan dan Nilai Gini Ratio Sebelum dan Setelah Dilakukannya Investasi Disektor Industri Kelapa Skala Rumah Tangga Sebesar 50 Milyar dan Infrastruktur Jalan raya sebesar 50 Milyar Karakteristik Pendapatan Rumah Tangga di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Perkembangan Kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir Persentase Penurunan Kemiskinan Masing-Masing Simulasi Kebijakan Pertumbuhan Ekonomi, Kebutuhan Investasi dan Nilai ICOR Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Persentase Penurunan Kedalaman Kemiskinan Masing-Masing Simulasi Kebijakan Persentase Penurunan Keparahan Kemiskinan Hasil Pendugaan Paramenter Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir Persentase Pertumbuhan Pendapatan Masing-masing Simulasi Kebijakan Nilai Indeks Gini Ratio Sebelum dan Setelah dilakukannya Simulasi Masing-masing Kebijakan xxi

22 Dampak Investasi di Sektor Kelapa Sebesar 50 Milyar Terhadap Peningkatan Pendapatan, Tahun Dampak Investasi di Sektor Industri Pengolahan Kelapa Skala Besar (Swasta) Sebesar 100 Milyar Terhadap Peningkatan Pendapatan, Tahun Dampak Investasi di Sektor Industri Kelapa Skala Rumah Tangga Sebesar 100 Milyar Terhadap Peningkatan Pendapatan, Tahun Dampak Investasi di Sektor Kelapa Sawit Sebesar 100 Milyar Terhadap Peningkatan Pendapatan, Tahun Dampak Investasi di Sektor Kelapa 50 Milyar dan Industri Kelapa Skala Rumah tangga 50 Milyar Terhadap Peningkatan Pendapatan, Tahun Dampak Investasi di Sektor Kelapa 50 Milyar dan Infrastruktur Jalan 50 Milyar Terhadap Peningkatan Pendapatan, Tahun Dampak Investasi di Sektor Industri Kelapa Skala Rumah tangga 50 Milyar dan Infrastruktur Jalan 50 Milyar Terhadap Peningkatan Pendapatan, Tahun Dampak Masing-Masing Simulasi Kebijakan Terhadap Pertumbuhan Pendapatan Faktor Produksi, Rumah Tangga dan Sektor Produksi xxii

23 DAFTAR GAMBAR Gambar Halaman 1. Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi Masing-masing Kabupaten Kota di Provinsi Riau Tahun Persentase Penduduk Miskin pada Masing-masing Kabupaten Kota di Provinsi Riau Tahun Perspektif Pembangunan Wilayah Berkelanjutan Rasio Gini dan Kurva Lorenz Poverty Gaps dan FGT Indeks Kerangka Pemikiran Penelitian Kerangka dan Alur Penelitian Struktur PDRB Kabupaten Indragiri Hilir Berdasarkan Klasifikasi 9 Sektor, Tahun Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Indragiri Hilir Berdasarkan Harga Berlaku Periode Laju Pertumbuhan PDRB Sektor Pertanian Kabupaten Indragiri Hilir Atas Dasar Harga Berlaku Periode Distribusi Serapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Posisi Keterkaitan ke Depan Sektor Perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Posisi Keterkaitan ke Belakang Sektor Perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Distribusi Peran Sektor Kelapa terhadap Pembentukan Komponen Perekonomian Wilayah Kabupaten Indragiri Hilir Distribusi Peran Sektor Industri Pengolahan Kelapa terhadap Pembentukan Komponen Perekonomian Wilayah Kabupaten Indragiri Hilir Indikasi kebocoran wilayah sektor kelapa versus sektor kelapa sawit di Kabupaten Indragiri Hilir xxiii

24 DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN Halaman 1. Klasifikasi Sektor Tabel I-O Kabupaten Indragiri Hilir Atas Dasar Harga Produsen Tahun 2005 (42x42) Tabel I-O Kabupaten Indragiri Hilir Atas Dasar Harga Produsen Tahun 2005 (42x42 dalam jutaan rupiah) Klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Tabel SNSE Kabupaten Indragiri Hilir 2005 (56 x 56 Dalam Juta Rupiah) Pengganda Neraca di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun Dampak Investasi Sebesar 100 Milyar di Sektor Kelapa Terhadap Dekomposisi Nilai Pengganda (Dalam Juta Rupiah) Dampak Investasi Sebesar 100 Milyar di Sektor Industri Kelapa Skala Besar (Swasta) Terhadap Dekomposisi Nilai Pengganda (Dalam Juta Rupiah) Dampak Investasi Sebesar 100 Milyar di Sektor Industri Kelapa Skala Rumah Tangga Terhadap Dekomposisi Nilai Pengganda (Dalam Juta Rupiah) Dampak Investasi Sebesar 100 Milyar di Sektor Kelapa Sawit Terhadap Dekomposisi Nilai Pengganda (Dalam Juta Rupiah) Dampak Investasi Sebesar 50 Milyar di Sektor Kelapa dan 50 Milyar di Sektor Industri Kelapa Skala Rumah Tangga Terhadap Dekomposisi Nilai Pengganda (Dalam Juta Rupiah) Dampak Investasi Sebesar 50 Milyar di Sektor Kelapa dan 50 Milyar di Sektor Infrastruktur Jalan Terhadap Dekomposisi Nilai Pengganda (Dalam Juta Rupiah) Dampak Investasi Sebesar 50 Milyar di Sektor Industri Kelapa Skala Rumah Tangga dan 50 Milyar di Sektor Infrastruktur Jalan Terhadap Dekomposisi Nilai Pengganda (Dalam Juta Rupiah) Dampak Investasi Sebesar 100 Milyar Terhadap Kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir Dampak Investasi Sebesar 100 Milyar di Sektor Industri Kelapa Skala Besar (Swasta) Terhadap Kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir Dampak Investasi Sebesar 100 Milyar di Sektor Industri Kelapa Skala Rumah Tangga Terhadap Kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir Dampak Investasi Sebesar 100 Milyar di Sektor Kelapa Sawit Terhadap Kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir xxiv

25 17. Dampak Investasi Sebesar 50 Milyar di Sektor Kelapa dan 50 Milyar di Sektor Industri Kelapa Skala Rumah Terhadap Kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir Dampak Investasi Sebesar 50 Milyar di Sektor Kelapa dan 50 Milyar di Sektor Infrastruktur Jalan Terhadap Kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir Dampak Investasi Sebesar 50 Milyar di Sektor Industri Kelapa Skala Rumah Tangga dan 50 Milyar di Sektor Infrastruktur Jalan Terhadap Kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir Data untuk Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir xxv

26 PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan merupakan proses perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik dan lebih merata serta dalam jangka panjang agar dapat berlangsung secara berkelanjutan. Dalam proses pembangunan, ketersedian sumber daya merupakan prasyarat yang sangat diperlukan, seperti sumber daya alam (natural resource endowment), sumber daya manusia (human resource), sumber daya sosial dan sumber daya buatan. Ketersediaannya perlu diarahkan untuk pencapaian pertumbuhan (growth), efisiensi (efficiency) dan pemerataan (equity) serta keberlanjutan (sustainability), baik pada tingkatan nasional maupun regional (Anwar, 2005; Rustiadi et al., 2005). Dalam konteks pengembangan ekonomi wilayah kasus Kabupaten Indragiri Hilir terlihat bahwa peran sektor pertanian masih merupakan sektor dominan terhadap pembentukan PDRB, yaitu sebesar persen (BPS, 2007). Sedangkan komoditas unggulan daerah yang paling dominan dikembangkan di daerah serta yang paling dominan berkontribusi terhadap pembentukan ekspor daerah adalah komoditas kelapa. Komoditas tersebut selain menempatkan Kabupaten Indragiri Hilir sebagai penghasil kelapa terbesar di Indonesia, juga berkontribusi dominan menempatkan Indonesia sebagai negara pengekspor kelapa terbesar dunia (nomor satu) dewasa ini (Idroes, 2007). Dengan rata-rata pangsa ekspor Indonesia pada tahun yaitu persen terhadap total ekspor dunia, dengan jumlah ekspor pada tahun 2006 yaitu sebesar metrik ton (MT) atau dengan nilai US$ juta (Idroes, 2007). Peranan komoditas kelapa terhadap perekonomian Indonesia masih cukup penting, baik sebagai sumber pendapatan bagi petani, sumber devisa, maupun penyediaan lapangan kerja melalui kegiatan usaha tani, pengolahan, pemasaran dan perdagangan (ekspor dan impor). Pada tahun 2006 total nilai ekspor produk kelapa Indonesia mencapai US$ juta atau mencapai 0.61 persen dari nilai total ekspor nasional (Idroes, 2007). Walaupun sumbangan ekspor kelapa terhadap penerimaan devisa negara relatif kecil, namun memberikan manfaat tersendiri

27 bagi kelangsungan hidup masyarakat petani kelapa yang mencapai Kepala Keluarga, belum termasuk industri pengolahannya. Provinsi Riau merupakan provinsi yang mempunyai areal pertanaman kelapa yang paling luas diantara provinsi yang ada di Indonesia, yaitu seluas Ha dengan produksi sebanyak ton kopra/tahun. Dengan demikian maka luas areal perkebunan kelapa Provinsi Riau mencapai persen dari luasan areal perkebuan kelapa nasional atau persen dari produksi kelapa nasional (Ditjen Perkebunan, 2007). Kabupaten Indragiri Hilir merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi Riau yang memiliki areal pertanaman kelapa terluas di Provinsi Riau, di mana Kabupaten Indragiri Hilir memiliki areal pertanaman kelapa dalam seluas hektar dengan produksi sebanyak ton kopra/tahun. Di samping itu juga terdapat pertanaman kelapa hybrida yang umumnya diusahakan oleh PT. Perkebunan Swasta Nasional (PT. Pulau Sambu Group) seluas hektar dengan produksi ton kopra/tahun yang melalui pola perkebunan inti dan plasma. Jadi secara keseluruhan luas pertanaman kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir hektar dan melibatkan kepala keluarga petani kelapa (Dinas Perkebunan Kabupaten Indragiri Hilir, 2007). Luasan areal perkebunan kelapa pada masing-masing kecamatan di Kabupaten Indragiri Hilir dapat dilihat pada Tabel 1. Secara umum masyarakat Kabupaten Indragiri Hilir berusaha di sektor pertanian yaitu sektor perkebunan. Sektor perkebunan yang paling banyak diusahakan oleh petani di Kabupaten Indragiri Hilir adalah perkebunan kelapa. Adapun luasan areal dan produksi masing-masing jenis komoditas perkebunan di Kabupaten Indragiri Hilir dapat dilihat pada Tabel 2. Peranan komoditas kelapa terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Indragiri Hilir cukup besar dimana komoditas kelapa memberikan kontribusi sebanyak persen terhadap PDRB Kabupaten Indragiri Hilir dan industri pengolahannya memberikan kontribusi sebanyak persen. Jadi secara keseluruhan komoditas kelapa dan industri pengolahannya memberikan kontribusi sebanyak persen terhadap PDRB total Kabupaten Indragiri Hilir pada Tahun 2006 (Baplitbang Kabupaten Indragiri Hilir, 2007). 2

28 Tabel 1. Luas Areal dan Produksi Kelapa (Kelapa Dalam dan Kelapa Hybrida) pada Masing-masing Kecamatan di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2007 No Kecamatan Luas Areal Kelapa (ha) Produksi Kopra (ton) Dalam Hybrida Total Dalam Hybrida Total 1 Tempuling Tembilahan Hulu Tembilahan Kota Kuala Indragiri Batang Tuaka Gaung Anak Serka Gaung Mandah Pelangiran Kateman Pulau Burung TL Belengkong Enok Tanah Merah Reteh Keritang Kemuning Jumlah Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Indragiri Hilir (2008). Tabel 2. Luas Areal dan Produksi Komoditas Perkebunan di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2007 No Komoditi Luas Areal (ha) Produksi (ton) Petani (KK) 1 Kelapa Dalam Kelapa Hybrida Kelapa Sawit Karet Kopi Kakao Pinang Sagu Nilam Mengkudu Lain-lain Sumber : Dinas Perkebunan Kabupaten Indragiri Hilir (2008). Pengembangan agribisnis kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir perlu terus ditingkatkan karena potensi pengembangannya cukup besar dan lahan yang tersedia cukup luas yaitu mencapai Ha yang masih memiliki potensi untuk pengembangan perkebunan kelapa (Disbun Inhil, 2008), secara umum merupakan mata pencaharian utama masyarakat daerah ini, semangat dan partisipasi masyarakat cukup tinggi, dan merupakan sumber penyediaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan. 3

29 Disatu sisi komoditas pertanian lainnya yang dominan ke dua dikembangkan setelah komoditas kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir adalah komoditas kelapa sawit. Pada komoditas ini terjadi peningkatan luas areal yang sangat luas dimana pada tahun 2002 seluas Ha, meningkat menjadi Ha pada tahun 2007 dan melibatkan sebanyak kepala keluarga petani yang bekerja di sektor kelapa sawit. Namun komoditas kelapa sawit ini secara umum dikembangkan oleh perkebunan swasta (perusahan), sedangkan masyarakat tempatan secara umum hanya sebagai tenaga kerja harian pada perkebunan kelapa sawit tersebut. Selanjutnya komoditas kelapa sawit ini memberikan share sebesar 3.79 persen terhadap PDRB total Kabupaten Indragiri Hilir. Perumusan Masalah Kabupaten Indragiri Hilir memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yaitu mencapai 7.29 persen pertahun selama kurun waktu tahun 2000 sampai tahun Kondisi ini menempatkan Kabupaten Indragiri Hilir pada peringkat kedua tertinggi setelah Kota Pekanbaru yang memiliki rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 9.74 persen pertahun. Selanjutnya kabupaten/kota yang memiliki rata-rata pertumbuhan ekonomi paling rendah di Provinsi Riau pada periode waktu tahun adalah Kabupaten Bengkalis dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar persen. Untuk lebih jelasnya pada Gambar 1 berikut ini dapat dilihat perbandingan nilai rata-rata pertumbuhan ekonomi masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Riau pada periode waktu tahun

30 Sumber : BPS Provinsi Riau, 2007 Gambar 1. Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi Masing-masing Kabupaten/Kota di Provinsi Riau Periode Tahun Sektor perekonomian di Kabupaten Indragiri Hilir yang memiliki rata-rata pertumbuhan paling tinggi pada kurun waktu tahun adalah sektor pertambangan dan penggalian, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan dengan tingkat pertumbuhan masing-masing sebesar persen, kemudian disusul sektor pengangkutan dan komunikasi dengan tingkat pertumbuhan sebesar 8.89 persen, sektor industri pengolahan dengan tingkat pertumbuhan sebesar 8.19 persen. Sedangkan sektor pertanian hanya memiliki pertumbuhan sebanyak 6.72 persen dan menempati peringkat kedua terrendah setelah sektor listrik, gas dan air bersih dengan tingkat pertumbuhan sebesar 4.47 persen. Pada tabel berikut ini dapat dilihat pertumbuhan sektor perekonomian di Kabupaten Indragiri Hilir. Tabel 3. Pertumbuhan Rata-rata PDRB Masing-masing Sektor Perekonomian di Kabupaten Indragiri Hilir dari tahun No Sektor Perekonomian Pertumbuhan PDRB Tahun (%) 1 Pertanian Pertambangan & Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas & Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel & Restoran Pengangkutan & Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan 9 Jasa-Jasa 7.52 Sumber : BPS Provinsi Riau,

31 Walaupun pertumbuhan ekonomi sektor pertanian relatif lambat dibandingkan sektor-sektor perekonomian lainnya, namun komoditas kelapa memiliki peranan yang penting dalam perekonomian wilayah dan perekonomian masyarakat Kabupaten Indragiri Hilir. Hal ini tercermin dari besarnya kontribusi sektor perkebunan kelapa dan industri pengolahanya terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Indragiri Hilir, dimana pada tahun 2006 memberikan kontribusi sebesar persen terhadap PDRB total Kabupaten Indragiri Hilir. Begitu juga kontribusinya terhadap perekonomian masyarakat sangat besar yaitu melibatkan sebanyak KK atau sekitar persen dari jumlah KK yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir mengantungkan hidupnya pada kegiatan perekonomian kelapa. Peranan komoditas kelapa dalam perekonomian regional dan perekonomian masyarakat cukup besar, namun yang menjadi pertanyaan besar adalah Kabupaten Indragiri Hilir merupakan kabupaten yang memiliki jumlah penduduk miskin paling tinggi di antara kabupaten yang ada di Provinsi Riau yaitu mencapai jiwa atau setara dengan persen dari jumlah penduduk total Kabupaten Indragiri Hilir yaitu jiwa (Balitbang Provinsi Riau, 2007). Untuk lebih jelasnya jumlah penduduk miskin masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Riau dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini. Sumber : Balitbang dan BPS Provinsi Riau, 2007 Gambar 2. Persentase Penduduk Miskin pada Masing-masing Kabupaten Kota di Provinsi Riau Periode Tahun

32 Masyarakat yang dikategorikan sebagai masyarakat miskin di Kabupaten Indragiri Hilir secara umum berada di perdesaan dengan mata pencaharian utama adalah sebagai petani kelapa. Upaya yang telah dilakukan oleh petani kelapa untuk memperbaiki tingkat perekonomiannya adalah dengan melakukan konversi kebun kelapanya yang sudah kurang produktif ke pertanaman kelapa sawit yang diharapkan akan dapat meningkatkan pendapatan dan kesejahteraanya di kemudian hari. Namun kenyataannya tidak seperti yang diharapkan karena usaha tani kelapa sawit yang dilakukan justru tetap menyengsarakan petani karena bibit sawit yang mereka gunakan umumnya merupakan bibit-bibit palsu yang dibeli dari pedagang-pedagang bibit liar. Hal ini terjadi karena para petani tidak memiliki akses untuk membeli bibit sawit unggul (hybrida) ke pusat penelitian kelapa sawit di Medan, sehingga setelah tanaman kelapa sawitnya berproduksi, produksinya sangat rendah, bahkan hanya mencapai 1/5 dari produksi sawit yang menggunakan bibit unggul. Kondisi ini menyebabkan biaya pemeliharaan kebun sawitnya tidak dapat menutupi produksi yang diperolehnya. Petani kelapa sawit juga memiliki kesulitan untuk memasarkan hasil panennya karena lokasi industri kelapa sawit yang jauh dan tranportasi yang digunakan adalah teransportasi air yang sangat tergantung dengan konsidi pasang surut air laut. Kondisi ini menyebabkan mutu hasil panennya kelapa sawit petani menjadi menurun karena terjadinya peningkatan asam lemak bebas, sebagai akibat lokasi industri tempat penjualan tandan buah segar kelapa sawit tidak dapat ditempuh oleh petani kelapa sawit dalam jangka watu kurang dari 24 jam setelah tandan buah segar kelapa sawit dipanen. Dari segi produktivitas, pertanaman kelapa rakyat di Kabupaten Indragiri Hilir masih cukup rendah yaitu hanya mencapai 1.21 ton kopra/ha/tahun (Disbun Kab. Indragiri Hilir, 2007). Rendahnya produktivitas pertanaman kelapa tersebut antara lain disebabkan keterbatasan penguasaan teknologi produksi, keterbatasan infrastruktur berupa kanal (saluran air), keterbatasan modal usaha tani, manajemen budidaya yang belum efisien. Dari segi budidaya, usaha tani kelapa rakyat di Kabupaten Indragiri Hilir umumnya masih diusahakan secara monokultur. Petani belum menerapkan teknologi budidaya yang tersedia. Pemeliharaan tanaman hanya terbatas pada 7

33 pengelolaan gulma yaitu berupa pengendalian secara mekanis dengan membabat atau secara kimia dengan herbisida pada saat akan dilakukan panen yaitu dengan rotasi tiga bulan sekali, sedangkan kegiatan pemeliharaan lainnya seperti pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit tidak dilakukan, begitu pula dengan teknologi pascapanen yang dilakukan masih tradisional dengan produk masih sekitar kopra atau kelapa butiran. Hanya sebagian kecil petani yang melakukan diversifikasi produk berupa gula kelapa dan belum memanfaatkan produk samping seperti serabut dan tempurung. Dari segi tataniaga, para petani kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir memasarkan produknya dalam bentuk kelapa butiran dan kopra ke pedagang pengumpul dan hanya sebagian kecil masyarakat yang dapat memasarkan kelapanya ke pabrik pengolahan kopra. Kelembagaan tataniaga kopra yang berkembang dikalangan petani adalah kelembagan informal berupa sistem kontrak tradisional melalui sistem kekerabatan dan kepercayaan antara petani dengan tengkulak. Tengkulak ini merupakan perpanjangan tangan dari perusahaan pengolahan kopra atau minyak kelapa yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir. Dilihat dari sisi industri pengolahan kelapa yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir, maka secara spatial tidak tersebar merata di setiap kecamatan yang ada, dimana dari 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir, 14 kecamatan merupakan sentra kelapa. Namun bila dilihat dari sisi industri pengolahannya, maka hanya terdapat 4 kecamatan yang merupakan lokasi industri pengolahan kelapa yaitu : Kecamatan Kateman, Kecamatan Tanah Merah, Kecamatan Tempuling dan Kecamatan Reteh. Kondisi ini memberikan implikasi terhadap sulitnya aksebilitas petani kelapa yang bermukim pada kecamatan-kecamatan yang jauh dari industri pengolahan kelapa untuk memasarkan produksinya ke pabrik pengolahan kelapa, sehingga petani kelapa tersebut cenderung memasarkan kelapanya kepada pedagang pengumpul (tauke) yang ada disekitar wilayah tempat tinggalnya. Dari berbagai fenomena, terlihat bahwa Kabupaten Indragiri Hilir dalam kegiatan ekonominya, kelapa merupakan komoditi yang dominan dihasilkan masyarakat, komoditi tersebut juga merupakan salah satu sumber utama 8

34 pendapatan sebagian besar masyarakat/petani di Kabupaten Indragiri Hilir. Secara nasional Indragiri Hilir tercatat sebagai wilayah terluas, sekaligus sebagai pemasok kebutuhan kelapa terbesar nasional serta sebagai pengekspor kelapa terbesar dari Indonesia. Namun dibalik kegembiraan tersebut, terlihat berbagai persoalan menghadang Kabupaten Indragiri Hilir. Seperti sejak krisis moneter tahun 1997 masyarakat berhadapan dengan peningkatan kebutuhan/ biaya hidup, namun dari sisi pendapatan petani, terlihat kurang berkembangnya substitusi sumber pendapatan. Sementara sumber pendapatan utama sebagian masyarakat yaitu berasal dari sektor perkebunan kelapa. Sehingga rendahnya pendapatan yang diperoleh bersamaan dengan tingginya kebutuhan biaya hidup telah mendorong semakin tingginya angka kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir. Sementara belajar dari pengalaman masa krisis tahun 1997, terlihat bahwa kerentanan ekonomi dalam menghadapi masa krisis mengalami goncangan yang hebat, namun demikian sektor petanian terbukti ketangguhanya sebagai sektor ekonomi yang mampu bertahan dan tumbuh ketika saat krisis mendera bangsa ini. Sehingga menyadarkan kita bahwa ke depan pentingnya perubahan paradigma pembangunan dengan memperhatikan pemberdayaan dan membangun keterkaitan serta perlunya dukungan dan konsistensi kebijakan pemerintah pada sektor-sektor ekonomi yang berbasis sumberdaya dan komunitas lokal, terutama dalam pengembangan sektor pertanian dan perkebunan serta pengembangan usaha kecil dan menengah. Sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah yang dimulai pada awal tahun 2001 dan diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah, maka pemerintah daerah diberi kewenangan yang luas dalam merencanakan arah pembangunan daerahnya masing-masing sesuai dengan kewenangan yang ditetapkan, terutama dalam memanfaatkan potensi sumberdaya lokal yang tersedia guna mendukung percepatan, pemerataan dan keberlanjutan pembangunan daerah dan pembangunan nasional. Untuk itu pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir perlu berupaya bagaimana potensi lokal yang ada seperti perkebunan kelapa dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan output perekonomian, nilai tambah bruto, pendapatan masyarakat, penyerapan tenaga kerja, 9

35 pertumbuhan ekonomi wilayah dan mengurangi kesenjangan distribusi pendapatan antar pelaku ekonomi. Berangkat dari latar belakang dan rumusan masalah di atas maka dapat dirumuskan batasan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut: 1. Bagaimanakah peran sektor kelapa terhadap perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir ditinjau dari aspek Output, PDRB dan tenaga kerja, dibandingkan dengan sektor pertanian lainnya dan sektor industri pengolahan kelapa? Bagaimanakah posisi keterkaitan sektor kelapa dan multiplier effect terhadap output, nilai tambah bruto, pendapatan, dan tenaga kerja. 2. Bagaimana Indikasi dan potensi kebocoran wilayah sektor kelapa serta dampaknya terhadap perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir? 3. Opsi kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan dan mengurangi angka kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir? Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas maka dapat dirumuskan tujuan penelitian yaitu sebagai berikut : 1. Menganalisis peran sektor kelapa terhadap perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir ditinjau dari aspek Output, PDRB dan tenaga kerja, dibandingkan dengan sektor pertanian lainnya dan sektor industri pengolahan kelapa, serta menganalisis keterkaitan sektor kelapa dan multiplier effect terhadap output, nilai tambah bruto, pendapatan, dan tenaga kerja. 2. Menganalisis Indikasi dan potensi kebocoran wilayah sektor kelapa serta dampaknya terhadap perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir. 3. Menganalisis opsi kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan dan mengurangi angka kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir. 10

36 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dan bahan pertimbangan bagi perencana dan pengambil kebijakan dalam pengembangan komoditas kelapa di Indonosia secara umum dan Pemerintah Daerah Kabupaten Indragiri Hilir secara khusus di masa yang akan datang, serta dapat menjadi sumber informasi bagi stakeholders yang membutuhkan informasi tentang dampak pengembangan kelapa terhadap kemiskinan dan perekonomian wilayah khususnya Kabupaten Indragiri Hilir. Selain itu hasil penelitian ini juga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam upaya mendorong pembangunan ekonomi wilayah untuk kepentingan keberlanjutan pembangunan pada masa yang akan datang. Disamping itu penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi perbandingan serta simultan bagi penelitian selanjutnya. Kebaruan Penelitian (Novelty) Penelitian dampak pengembangan perkebunan kelapa rakyat terhadap kemiskinan dan perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir merupakan suatu penelitian baru yang belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pendekatan baku yang dikemas dalam suatu rangkaian baru yang berkontribusi untuk melihat dampak pengembangan sektor kelapa terhadap kemiskinan dan perekonomian Kabupaten Indagiri Hilir. Dalam menganalisis peranan sektor kelapa terhadap kemiskinan dan perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir digunakan pendekatan analisis model Input-Output (I-O) dan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), yang menempatkan komoditas kelapa, industri pengolahan kelapa skala besar dan industri pengolahan kelapa skala rumah tangga sebagai sektor tersendiri dalam struktur perekonomian wilayah, yang belum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya dalam menganalisis struktur perekonomian wilayah di Kabupaten Indragiri Hilir dan bahkan satu-satunya di Indonesia. Selain itu kebaruan penelitian ini ditunjukkan oleh penelusuran potensi dan implikasi kebocoran wilayah di sektor kelapa dan industri pengolahan kelapa. Disamping itu kebaruan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan 11

37 di Kabupaten Indragiri Hilir serta melihat dampak pengembangan sektor kelapa dan industri pengolahan kelapa terhadap peningkatan pendapatan dan penurunan kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir. Keterbatasan Penelitian Karena adanya berbagai keterbatasan dalam penelitian ini baik dari segi keterbatasan waktu, biaya, dan penggunaan model, sehingga penelitian ini memiliki berbagai keterbatasan yaitu : (i) data yang digunakan khususnya untuk Tabel Input-Output (I-O) dan Tabel Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Indragiri Hilir adalah tahun 2005; (ii) faktor harga dalam model I-O dan SNSE adalah given sehingga dalam penelitian ini aspek pasar tidak dapat dianalisis dengan menggunakan model I-O dan SNSE; (iii) penggunaan model I-O dan SNSE memiliki hubungan linier (liontief) 12

38 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Pembangunan Ekonomi Secara filosofis proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya yang sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik (Rustiadi et al,. 2005). Selanjutnya Todaro (2000) pembangunan paling tidak harus memenuhi tiga komponen dasar yang dijadikan sebagai basis konseptual dan pedoman praktis dalam memahaminya. Komponen yang paling hakiki tersebut yaitu kecukupan makanan (sustenance), memenuhi kebutuhan pokok, meningkatkan rasa harga diri atau jati diri (self-esteem), serta kebebasan (freedom) untuk memilih. Todaro (1998), juga mendefinisikan pembangunan merupakan proses multidimensional yang melibatkan perubahanperubahan besar dari struktur sosial sikap mental yang sudah terbiasa dan lembaga-lembaga nasional sebagai akselerator pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan, dan kemiskinan absolut. Sedangkan dari sudut pandang yang lebih sempit, Glasson (1977) mendefinisikan pembangunan wilayah yaitu kemampuan wilayah yang bersangkutan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan. Sehubungan dengan itu, Anwar dan Rustiadi (2000) mengemukakan tujuan pembangunan wilayah secara umum, yakni (1) pertumbuhan ekonomi (growth), (2) pemerataan (equity), (3) dan keberlanjutan (sustainability). Selanjutnya Anwar dan Rustiadi juga mengemukakan bahwa pembangunan berbasis pengembangan wilayah dan lokal memandang penting keterpaduan antar sektoral, antar spatial (keruangan), serta antar pelaku pembangunan di dalam dan antar daerah, sehingga programprogram pembangunan sektoral dilaksanakan dalam kerangka pembangunan wilayah. Teori pembangunan ekonomi, pasca-perang dunia kedua, awalnya di dominasi oleh pemikiran neoklasik dimana akumulasi kapital merupakan engine pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah. Salah satu model yang sering digunakan sebagai rujukannya adalah model Harrod-Domar. Pada tahun

39 an, Harrod (1948) dan Domar (1946) secara terpisah membangun suatu model makro dinamis melalui pengembangan teori Keynes. Dimana pada tahun 1950-an dan 1960-an, model ini diaplikasikan untuk perencanaan ekonomi di negara berkembang. Teori ini memang berhasil membangun ekonomi Jerman dan Israel, tetapi useless untuk diterapkan di negara berkembang karena faktanya investasi saja tidak cukup. Secara implisit teori ini mengasumsikan adanya sikap-sikap yang sama antara negara berkembang dengan negara maju. Akan tetapi asumsi ini tidak sesuai dengan kenyataan yang ada di negara-negara berkembang. Di negara berkembang, Indonesia misalnya, sangat kekurangan faktor-faktor komplementer yang paling penting seperti halnya kecakapan manajerial, tenaga kerja yang terlatih, kemampuan perencanaan dan pengelolaan berbagai proyek pembangunan, kelembagaan dan faktor budaya yang kondusif bagi pembangunan (Todaro, 2000). Dalam perspektif demikian, oleh Hayami (2001) model Harrod-Domar yang diterapkan di negara berkembang berakhir pada jebakan keseimbangan ekonomi yang rendah (low equilibrium trap). Oleh karena itu model ini juga disebut sebagai model of low equilibrium trap. Dimana untuk melepaskan diri dari perangkap keseimbangan rendah menuju ekonomi berkelanjutan, perlu melalui mobilisasi tingkat tabungan yang tinggi, dimana tidak ada tabungan yang dihasilkan jika dibiarkan tergantung pada mekanisme pasar. Lompatan yang luar biasa dalam memobilisasikan tabungan dan investasi adalah critical minimum effort bagi ekonomi berpendapatan rendah. Model ini berimplikasi bahwa jika impor modal skala besar seperti yang dialami selama masa kolonial dipandang tidak berharga bagi ekonomi berkembang yang baru merdeka, maka tidak ada alternatif pembangunan lainnya kecuali memaksa masyarakatnya mengencangkan ikat pinggangnya (Hayami, 2001). Dalam perkembangan selanjutnya, teori pembangunan ekonomi diwarnai oleh model yang dikembangkan oleh Solow (1956) dan Swan (1956). Dengan menggunakan fungsi produksi neoklasik, Solow (1956) dan Swan (1956) dalam Hayami (2001) mengembangkan sudut pandang yang sangat berbeda dari model Harrod-Domar dalam kaitannya dengan akumulasi modal dan pertumbuhan 14

40 ekonomi. Perbedaannya terletak pada asumsi fungsi produksi yang digunakan. Pada model Harrod-Domar diasumsikan bahwa rasio kapital dan output bersifat tetap. Asumsi ini berimplikasi bahwa fungsi produksi agregat memiliki bentuk Y=AK, dimana A=1/c dan bersifat konstan; dan c=k/y. Sementara Solow-Swan model menggunakan bentuk fungsi produksi Neoclassical yakni Y= f (L,K;T); dimana Y adalah output dan L adalah Tenaga Kerja yang berada dalam tingkat teknologi T. Kontribusi penting dari model Solow-Swan yaitu terlihat dari kemampuannya dalam menjelaskan peranan perubahan teknologi dalam pertumbuhan ekonomi. Menurut Solow-Swan model pertumbuhan pendapatan per kapita tidak bisa berkelanjutan tanpa disertai kemajuan teknologi. Namun demikian model ini masih sangat terbatas, karena mengasumsikan teknologi sebagai faktor eksogen. Determinan kemajuan teknologi belum bisa dijelaskan oleh model Solow-Swan. Oleh karena itu keterbatasan model Solow-Swan tersebut dilengkapi oleh endogenous growth model yang dipelopori oleh Romer (1986) dan Lucas (1988). Pada model pertumbuhan endogenus, berusaha untuk menjelaskan mekanisme bagaimana pengetahuan baru tercipta melalui aktivitas ekonomi, sehingga meningkatkan skala ekonomi. Asumsi dasar yang digunakan adalah bahwa pengetahuan baru untuk memperbaiki ekonomi produksi terakumulasi sedikit demi sedikit melalui upaya-upaya individual perusahaan untuk mendesain dan mengkonstruksi mesin dan pabrik lebih efisien dalam aktivitas investasinya dan pengetahuan sebagai barang publik. Sehingga dalam jangka panjang, keseluruhan desain yang ditemukan oleh semua perusahaan dalam suatu ekonomi akan menjadi stok pengetahuan yang dapat digunakan oleh perusahaan lainnya. Dan pada gilirannya, efisiensi produktif dari suatu perusahaan akan meningkat secara paralel dengan peningkatan pada total modal dan pengetahuan dalam ekonomi. Dari model pertumbuhan endogen tersebut maka dapat diambil intinya yaitu akumulasi kapital dalam bentuk tangible (berwujud, yakni kapital fisik) dan kapital dalam bentuk intangible (yakni pengetahuan dan ide-ide baru) serta bersama-sama dengan teknologi merupakan faktor penting sebagai determinan 15

41 pertumbuhan ekonomi (Hayami, 2001). Selanjutnya Hayami (2001) menjelaskan bahwa dalam konteks pembangunan sistem sosial perlu memperhatikan keterkaitan institutions (Rule), budaya (culture) faktor produksi dan teknologi. Dengan lain perkataan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi perlu dukungan keterkaitan komponen tesebut. Kemudian pada teori pembangunan ekonomi wilayah, dalam perkembangannya mencoba memasukkan faktor institusi/kelembagaan sebagai determinan pembangunan ekonomi wilayah yang dikenal dengan teori Growth Machine Theory (GMT) dan The New Institutional Economics (NIE) Theory. Pada dua teori ini terlihat sudah memperhatikan peranan politik dan political institution dalam pembangunan ekonomi. Karena pemikiran local politicians dan perencana lokal akan secara langsung mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan penentuan kebijakan pembangunan. Keterlibatan politik seperti langsung dalam penentuan kebijakan, peraturan-peraturan, pajak, penyediaan infrastruktur publik. Oleh karena itu dimensi politik dijadikan sebagai komponen penting yang perlu diperhatikan. The New Institutional Economics (NIE) berusaha memasukkan faktor kelembagaan (institusi) dan perubahan institusi dalam teori pembangunan ekonomi. Proposisi yang dikembangkan oleh NIE adalah bahwa perkembangan perekonomian suatu wilayah dapat didekati melalui perubahan kelembagaan (institutional change) dan penataan kelembagaan sebagai infrastruktur pengembangan wilayah. Pendekatan ini adalah turunan (derivat) dari mazhab institusionalisme yang mengembangkan keyakinan bahwa kelembagaan menjadi kata-kunci penting suatu perubahan sosio-ekonomi regional. Gagasan ini dikembangkan dari ide dasar Coase (1937) yang mengajukan proposisi bahwa kelembagaan memastikan bekerjanya sistem organisasi lebih kokoh sekaligus menghindarkan beban biaya tinggi yang diperlukan untuk memonitor ketidakpastian dalam proses-proses transaksi yang harus ditanggung oleh para pihak yang berinteraksi. North (1990) mengukuhkan proposisi Coase dengan menyodorkan satu teori institutional adaptation and change yang berbasiskan pada asumsi-kerja bahwa 16

42 kelembagaan politik dan ekonomi memang menjadi kebutuhan untuk disesuaikan dan dikembangkan guna menekan transaction cost dilemma yang selalu hadir pada suatu sistem sosial-ekonomi yang berkembang semakin kompleks sebagai akibat pertukaran-pertukaran ekonomi yang bekerja di bawah kelembagaan kapitalistik. Dalam pandangan North (1990) perkembangan perekonomian dan pertukaran (transaksi ekonomi) di suatu wilayah yang terus meningkat perlu di imbangi dengan pengembangan sistem tata-pengaturan kelembagaan yang kompatibel, jika tidak, maka akan muncul informal forms of governance yang hadir untuk memfasilitasi kebutuhan dan pemanfaatan kesempatan untuk shortterm profits. Sementara Menurut GMT pertumbuhan ekonomi suatu kawasan (negara, daerah) dapat terbentuk sebagai akibat langsung dari aktivitas tata pengaturan administrasi-politik yang secara operasional mampu men-generate keputusankeputusan dan aturan-aturan yang decisive bagi berkembangnya aktivitas ekonomi kawasan tersebut. Artinya, kekuatan pengaturan politik lokal dapat berfungsi sebagai mesin penggerak perkembangan wilayah lokal. Dalam melihat pertumbuhan regional pada dasarnya menggunakan konsepkonsep pertumbuhan ekonomi secara agregat. Hanya saja pada pertumbuhan regional titik penekanan analisisnya lebih diletakkan pada akumulasi faktor produksi. Akumulasi faktor produksi tenaga kerja dan modal dalam suatu daerah dari satu tahun ke tahun berikutnya. Selain itu bila dikaitkan dengan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), maka dapat dilihat pertumbuhan neraca sektor produksi, dan neraca rumah tangga. Dalam sistem dinamik, tingkat pertumbuhan suatu daerah dapat ditemukan lebih tinggi/lebih rendah dari pada tingkat normal yang dicapai oleh perekonomian nasional. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan regional maka pada sistem neraca sosial ekonomi dapat dijadikan instrumen untuk melihat pertumbuhan akumulasi dari faktor produksi, sektor produksi dan rumah tangga di daerah. Mengacu pada Model Harrod-Domar yang menjelaskan pentingnya peranan investasi di dalam proses pertumbuhan ekonomi, khususnya mengenai dampak ganda yang dimiliki investasi, seperti (1) investasi dapat menciptakan pendapatan, 17

43 dan (2) investasi membesarkan kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok modal. Yang pertama disebut sebagai dampak permintaan, dan kedua disebut sebagai dampak penawaran investasi (Kasliwal, 1995). Arsyad (1999) menjelaskan yang dimaksud dengan pertumbuhan ekonomi daerah adalah apabila terjadi peningkatan pendapatan masyarakat di suatu wilayah, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (added value) yang terjadi di wilayah tertentu. Pertambahan pendapatan tersebut di ukur dalam nilai rill atau di nyatakan dalam harga konstan. Djojohadikusuma (1994) menjelaskan pertumbuhan ekonomi pada dasarnya terkait dengan proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam satu daerah. Pertumbuhan menyangkut perkembangan berdemensi tunggal dan di ukur dengan meningkatnya hasil produksi (output) dan pendapatan. Identifikasi pertumbuhan menurut Kuznet dalam Djojohadikusumo, (1985) memiliki beberapa ciri, yaitu (1) laju pertumbuhan pendapatan perkapita dalam arti nyata (2) distribusi angkatan kerja menurut sektor kegiatan produksi yang menjadi sumber nafkah, dan (3) pola persebaran penduduk. Selanjutnya Sukirno (1985) melihat ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah, yaitu (1) tanah dan kekayaan alam (2) jumlah dan kualitas penduduk dan tenaga kerja (3) barang modal dan tingkat teknologi, (4) sistem sosial dan sikap masyarakat (5) luas pasar sebagai sumber pertumbuhan. Sedangkan menurut Todaro (2000) komponenkomponen pertumbuhan ekonomi yang penting dalam masyarakat, yaitu : (1) akumulasi modal termasuk semua investasi baru dalam bentuk tanah, peralatan fisik dan sumber daya alam (2) perkembangan penduduk, khususnya yang menyangkut pertumbuhan angkatan kerja, dan (3) kemajuan teknologi. Pembangunan yang dilaksanakan disuatu daerah pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di wilayah (region) tersebut tanpa melupakan tujuan pembangunan nasional. Kegagalan dalam melaksanakan kegiatan pembangunan akan terlihat apabila laju pertumbuhan ekonomi meningkat, namun tingkat pendapatan masyarakat masih rendah. Implikasinya bahwa kegiatan pembangunan belum mampu menciptakan spread effect maupun trickling down effect yang memihak kepada masyarakat. 18

44 Menurut Anwar (1992), kegiatan pembangunan seringkali bersifat eksploitasi dengan menggunakan teknologi yang padat modal dan kurang memanfaatkan tenaga kerja setempat, sehingga manfaatnya bocor keluar wilayah. Lebih lanjut dikatakan, multiplier yang ditimbulkan kurang dapat ditangkap secara lokal dan regional, sehingga penduduk setempat seolah-olah (as if) menjadi penonton. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya disparitas terhadap pembangunan atau tingkat pertumbuhan suatu wilayah, sehingga kemampuan wilayah dalam mengelola barang dan jasa, baik dalam bentuk barang jadi maupun setengah jadi akan berbeda. Tingkat kebocoran suatu wilayah dapat ditandai dengan tingginya keterkaitan kebelakang (backward linkage) sedang keterkaitan kedepannya (forward linkage) cenderung rendah dan juga berkaitan dengan rendahnya dampak pengganda (multiplier effect), karena nilai tambah (value added) yang semestinya dapat ditangkap wilayah tersebut justru manfaatnya diambil wilayah lain. Menurut Anwar (1995) beberapa hal yang dapat mengakibatkan tingginya tingkat kebocoran wilayah antara lain : (1). Sifat Komoditas Komoditas yang bersifat eksploitasi umumnya yang natural resources mempunyai kecenderungan mengalami kebocoran wilayah yang tinggi apabila dalam sistem produksinya membutuhkan persyaratan-persyaratan tertentu, baik kualitas sumberdaya manusia, teknologi yang dipakai, kedekatan dengan pasar maupun persyaratan lainnya yang mengakibatkan aktifitas ekonomi suatu komoditas yang berasal dari suatu wilayah dilaksanakan di wilayah lain, sehingga nilai tambahnya sebagian besar ditangkap wilayah lain. (2). Sifat Kelembagaan Salah satu sifat kelembagaan yang utama adalah menyangkut kepemilikan (owners), karena berkaitan dengan tingkat kebocoran wilayah yang terjadi. Faktor pemilikan lahan juga berpengaruh terhadap persyaratan dalam penerimaan tenaga kerja walaupun hal ini tidak secara nyata, namun sering terlihat bahwa pemilik yang berasal dari luar daerah misalnya warga negara Indonesia atau warga negara asing dalam mengambil keputusan atau kebijaksanaan terlihat berbeda jika 19

45 dibandingkan dengan yang berasal daerah setempat. Pada umumnya yang berasal dari luar daerah lebih mementingkan profit sedangkan yang berasal dari daerah setempat selain profit, juga memperhatikan sosial budaya dan lingkungan. Selain itu tingkat kebocoran suatu wilayah dapat dilihat dari komposisi impornya, baik impor sebagai input antara maupun sebagai input dari komponen permintaan akhir. Biasanya untuk mengukur tingkat kebocoran wilayah digunakan rasio input antara yang berasal dari impor dengan total input. Konsep pembangunan berkelanjutan sudah mulai diadopsi dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi dimana tujuan sosial, ekonomi dan ekologi dipertimbangkan dalam kerangka pembangunan. Menurut Laporan Komisi Lingkungan dan Pembangunan (The Burdtland Comission) yang berjudul Our Common Future dalam Gonarsyah, (2005) pembangunan berkelanjutan artinya memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang. Lebih jauh Serageldin (1996) menguraikan tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan dalam tiga tujuan pokok yang saling berkaitan, yakni : (1) tujuan ekonomi, yaitu pertumbuhan berkelanjutan dan efisiensi kapital, (2) tujuan sosial, yaitu pengentasan kemiskinan dan pemerataan, serta (3) tujuan ekosistem, yaitu pengelolaan sumberdaya yang menjamin keberlanjutan. Uraian yang dikemukakan terdahulu menunjukkan bahwa tujuan ganda efisiensi dan keberlanjutan dapat dicapai dengan memperlakukan keberlanjutan sebagai kendala. Artinya, masyarakat yang berpegang pada kedua tujuan tersebut akan membatasi diri untuk hanya mempertimbangkan jalur-jalur efisiensi yang juga berkelanjutan (sustainable). Sejauhmana kendala keberlanjutan mengikat (binding) atau tidak tergantung sekali kepada kemajuan sosial dan peningkatan (augmenting) sumberdaya. Lepas dari polemik antara kubu optimis dan kubu pesimis mengenai keberlanjutan ekonomi, yang penting bagi kita adalah mempertimbangkan kebijakan yang dapat meningkatkan kemungkinan tercapainya jalur yang efisien dan keberlanjutan (Gonarsyah, 2005). Pada Gambar 3 terlihat bahwa untuk menuju pembangunan wilayah yang berkelanjutan maka diperlukan adanya saling keterkaitan yang bersinergi antar aspek politik, ekonomi dan manajemen, kelembagaan (sosial dan budaya), tata 20

46 ruang serta lingkungan. Dengan lain perkataan bahwa untuk mencapai pembangunan wilayah yang berkelanjutan maka sejak dini diperlukan pemahaman masyarakat dan pemerintah daerah, serta semua komponen pembangunan bahwa antar aspek seperti Gambar 3. memiliki peran yang tidak dapat diabaikan satu sama lain begitu saja. Aspek Politik Aspek Tata Ruang Aspel Lingkungan Aspek Ekonomi & Manajemen Aspek kelembagaan (Sosial budaya) Gambar 3. Perspektif Pembangunan Wilayah Berkelanjutan Keterkaitan antar Sektor dan Multiplier terhadap Ekonomi Wilayah Pendekatan makro yang hingga saat ini dipandang relevan untuk menelaah dampak atau keterkaitan antara sektor perekonomian wilayah adalah analisis Input-Output yang sekaligus merupakan pengembangan teori Keseimbangan umum Walras (Daryanto dan Hafizrianda, 2010). Dalam table I-O tersebut keadaan perekonomian wilayah diasumsikan berada dalam keseimbangan dalam artian jumlah penawaran komoditas sama dengan jumlah permintaan. 21

47 Alat analisis Input-Output (model I-O) pada hakekatnya dikembangkan untuk menganalisis dan mengukur hubungan-hubungan antar berbagai sektor produksi dan konsumsi dalam perekonomian regional. Ketergantungan antara sektor-sektor dalam sistem tertentu dijabarkan melalui seperangkat persamaanpersamaan linier, serta karakteristik struktural direfleksikan oleh besaran koefisien persamaan yang bersangkutan. Hasil analisa Input-Output menunjukan sektor-sektor kunci (key sector) dalam perekonomian regional yang menjadi pertimbangan utama untuk dikembangkan yang pada akhirnya menentukan tingkat pertumbuhan atau pembangunan ekonomi yang biasa diukur dengan nilai produk dosmestik Regional Bruto (PDRB) atau Gross Dosmestic Product (GDP) yang merupakan nilai pasar yang berlaku dari seluruh barang dan jasa yang dihasilkan suatu wilayah dalam satu tahun. Penggunaan nilai PDRB ini penting dan sering digunakan mengingat sebagian besar PDRB yang diperoleh dari data wilayahnya. Dalam konteks nasional istilah yang digunakan pada akhirnya akan menjadi pendapatan wilayah dan untuk hal tersebut adalah Gross National Product (GNP). Jadi PDRB mencerminkan pertumbuhan ekonomi (Rustiadi et al., 2005). Dengan demikian analisis Input-Output menitik beratkan analisis dan kajian tentang pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi erat kaitannya dengan pembangunan sosial. Pembangunan sosial dapat mendorong pembangunan ekonomi terutama pembangunan sosial yang berkaitan dengan mekanisme pelaksanaan sosial (Social Enforcement) melalui norma-norma sosial yang akan menciptakan keadaan ekonomi yang lebih efisien dari pada mekanisme pelaksanaan hukum yang eksplisit (Explicit Legal Enterforcement) (Anwar, 2005). Dalam analisis Input-Output dikaji tentang pendapatan, tenaga kerja kondisi riil pembangunan ekonomi, dan dampaknya terhadap kesempatan kerja. Dengan demikian analisis Input-Output yang menitikberatkan kajian kinerja pembangunan ekonomi berkaitan erat dengan pembangunan sosial karena pembangunan ekonomi atau lebih tepat pertumbuhan ekonomi merupakan persyaratan bagi terciptanya pembangunan manusia, karena dengan pembangunan ekonomi 22

48 terjamin peningkatan pendapatan melalui penciptaan kesempatan kerja (Rustiadi et al. 2005). Tabel I-O merupakan gambaran perekonomian suatu wilayah pada tahun tertentu secara makro dan menyeluruh (comprehensive) sehingga dapat digunakan sebagai alat analisis dan dasar perencanaan ekonomi yang praktis dan bersifat kuantitatif. Salah satu keunggulan tabel tersebut adalah dapat menjadi dasar untuk perencanaan pembangunan, baik partial, struktural, maupun global, karena untuk setiap kebijakan yang akan diambil, dapat pula diperhitungkan segala macam kemungkinan akibat/dampak yang akan terjadi, baik terhadap objek pembangunan itu sendiri maupun yang lain-lainnya. Dengan demikian sasaran pembangunan akan dapat dicapai relatif lebih tepat. Pandangan tersebut bertolak dari kenyataan bahwa tabel I-O merupakan suatu analisa matriks yang menunjukkan hubungan transaksi barang dan jasa yang terjadi di suatu wilayah, pada suatu periode tertentu, dan juga menunjukkan keterkaitan suatu sektor dengan sektor ekonomi lainnya. Tabel tersebut sangat menonjolkan hubungan dan keterkaitan antar sektor produksi, antara input dan output, antara domestik dan impor. Demikian juga hubungan antara permintaan akhir. Tabel I-O yang menunjukkan dampak akibat bertambahnya satu unit permintaan akhir terhadap seluruh sektor disebut derajat kepekaan atau keterkaitan ke hilir atau keterkaitan kedepan (forward linkage). Sedang dampak yang diakibatkan satu unit permintaan masing-masing sektor terhadap output seluruh sektor disebut daya penyebaran atau keterkaitan kebelakang (backward linkage) hubungan ke bahan hulu. Apabila derajat kepekaan dan daya penyebaran ini dihitung indeksnya masing-masing, akan diperoleh forward linkage effect ratio dan backward linkage effect ratio. Indeks tersebut dapat dipakai untuk mengetahui sektor-sektor mana yang merupakan sektor kunci (key sector) dimana dalam perencanaan pembangunan ekonomi tentunya akan mendapat prioritas untuk dikembangkan. Keterkaitan perlu diperhatikan, karena setiap kasus dalam proses pembangunan saling mempengaruhi sehingga tingkat pertumbuhan suatu sektor ekonomi juga dipengaruhi sektor-sektor lain baik secara langsung maupun tidak 23

49 langsung. Disamping keterkaitan intersektor dalam proses pembangunan perlu memperhatikan bentuk-bentuk keterkaitan lainnya antara lain keterkaitan spasial, keterkaitan lokasi dan produksi sebagaimana dikemukakan Williams dan Nilson (1980), Batten dan Roy 1982) dalam Rustiadi et al., (2005). Konsep dasar keterkaitan lokasi dan produksi (Location-Production Interaction/LPI) mempertimbangkan tiga fenomena dalam suatu formulasi yang simultan, yakni : 1. Lokasi stock kapital fisik 2. Aktifitas produksi yang terjadi pada stock tersebut 3. Aliran-aliran berbagai aktifitas. Interaksi lokasi produksi tersebut di definisikan sebagai distribusi peluang ( P rs ijk ) dimana r adalah wilayah asal, i, aktifitas yang respon terhadap faktorfaktor produksi/resproduksi (k) yang difasilitasi j dan s adalah wilayah tujuan. Sebagai contoh kita dapat menghubungkan teori lokasi perdagangan Ohlins (1993) dengan model interaksi produksi dari Input-Output Wilson (1970) dalam Rustiadi et al., (2005). Keterkaitan (linkage) yang juga berperan dalam proses pembangunan ekonomi adalah interaksi antar wilayah (interaksi spasial). Interaksi spasial merupakan suatu proses yang terjadi disuatu wilayah karena aktifitas yang dilakukan manusia di dalam/antar wilayah. Aktifitas-aktifitas yang dimaksudkan antara lain mobilitas kerja, migrasi arus informasi dan arus komoditas. Analisis interaksi spasial mempelajari pergerakan komoditi, barang-barang, orang, informasi, dan lainnya antar titik-titik dalam ruang. Analisis yang popular digunakan untuk menduga besarnya interaksi spasial adalah model gravitasi yang dapat digunakan untuk menganalisis dan menduga pola interaksi spasial. Keterkaitan sektor pertanian dengan sektor industri dikembangkan Aldelman dan Hirschman dalam Syafaat dan Mardianto (2002). Pandangan Adelman mengenai pengembangan sektor pertanian berbeda dengan Hirschman. Hirschman memandang sektor pertanian sebagai sektor yang pasif, sementara Adelman sebaliknya. Perbedaan pandangan itu terletak pada kriteria pemilihan sektor kunci (leading sektor) dalam akselerasi pembangunan. Kriteria yang digunakan Hirschman dalam menentukan sektor kunci menurut pandangan 24

50 Adelman terlalu sempit karena hanya mempertimbangkan keterkaitan produk dan yang lebih spesifik keterkaitan kebelakang yang jelas akan menempatkan sektor pertanian pada sektor inferior. Padahal kenyataannya berdasarkan hasil penelitian Rangarajan (1982); Bell dan hazel (1980); Adelman (1984); Haggblade et al. (1991); Delgado et al. (1994); Bautista (1986); Capallo dan Mundlak (1982), menunjukkan bahwa keterkaitan antara sektor pertanian dengan sektor industri tidak hanya keterkaitan produk, tetapi ada media keterkaitan lainnya, yaitu keterkaitan konsumsi, investasi, dan tenaga kerja yang mampu menjelaskan secara lebih menyeluruh mengenai keterkaitan kedua sektor tersebut. Oleh karena itu, maka kriteria yang diciptakan oleh Hirschman untuk menentukan sektor kunci tidak mampu mengartikulasikan potensi keterkaitan sektor pertanian dengan industri. Hasil penelitian Rangarajan dalam Syafaat dan Mardianto (2002) menunjukkan bahwa (a) semakin tinggi output sektor pertanian maka semakin tinggi pula pengeluaran untuk komoditas bukan pangan (nonfood) dan pengeluaran untuk pakaian; (b) semakin tinggi pendapatan rumah tangga, maka semakin tinggi pula simpanan (savings) rumah tangga. Haggblade et al., dalam Syafaat dan Mardianto (2002) menemukan bahwa sumbangan keterkaitan konsumsi berkisar persen di Sierra Leon dan persen di Malaysia, dan persen di Oklahoma. Delgado et al. (1994) menemukan bahwa sumbangan keterkaitan konsumsi adalah 42 persen di Senegal, 70 persen di Niger, 93 persen di Burkina, dan 98 persen di Zambia. Fakta tersebut menunjukkan bahwa potensi keterkaitan sektor pertanian berada pada keterkaitan konsumsi dan investasi dimana kedua keterkaitan tersebut tidak dipunyai oleh sektor industri. Oleh karena itu kriteria penentuan sektor kunci perlu ditambah dengan keterkaitan konsumsi dan investasi. Dengan tiga kriteria keterkaitan, yaitu produk, konsumsi, dan investasi. Dengan demikian pertanian akan terpilih sebagai sektor kunci dalam akselerasi pembangunan ekonomi nasional. Keterkaitan melalui konsumsi berasal dari nilai tambah yang diperoleh dari suatu sektor digunakan untuk membeli produk industri lain dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Dengan kata lain, keterkaitan konsumsi merupakan penciptaan permintaan produk yang dihasilkan oleh berbagai industri. Adanya permintaan tersebut merupakan faktor utama 25

51 peningkatan permintaan investasi. Oleh karena itu keterkaitan konsumsi juga merupakan pencipta artikulasi antar sektor. Nilai tambah yang digunakan untuk konsumsi terdiri dari upah, laba, dan sewa. Dengan demikian semakin intensif penggunaan tenaga kerja suatu sektor maka semakin tinggi pula dampak terhadap keterkaitan konsumsinya. Hasil kajian Simatupang dalam Syafaat dan Mardianto (2002) menunjukkan bahwa semua sub sektor dalam lingkup sektor pertanian termasuk dalam kategori penyerapan tenaga kerja sedang sampai tinggi. Pangsa pengeluaran konsumsi rumah tangga pertanian sebesar persen lebih tinggi dibanding rumah tangga non pertanian kota dan desa yang masing-masing sebesar dan persen. Elastisitas pengeluaran rumah tangga non pertanian untuk konsumsi makanan sedikit lebih rendah dibanding non makanan. Ini berarti bahwa dampak peningkatan pendapatan terhadap pengeluaran konsumsi bagi rumah tangga pertanian lebih tinggi dari pada rumah tangga non pertanian. Implikasi dari kajian Simatupang tersebut adalah bahwa peningkatan pendapatan rumah tangga pertanian sangat penting dalam pembangunan keterkaitan konsumsi. Peningkatan pendapatan rumah tangga pertanian dapat ditempuh melalui pengembangan teknologi. Keterkaitan antar sub sektor pertanian dalam sektor pertanian telah terbukti di beberapa negara yang mengandalkan pertanian sebagai sektor andalan perekonomian nasionalnya seperti kasus Costa Rica (Celes dan Lizano, 1995); Colombia (Berry, 1995); India (Bhalla, 1995); kecuali kasus Filipina (Baustita, 1995) dimana sektor pertanian tidak mampu mendorong pertumbuhan sektor non pertanian. Dalam model ekonomi makro dikenal suatu terminologi yang disebut sebagai pengganda (multiplier) yang menjelaskan dampak yang terjadi terhadap variabel endogen (endogenous variable) akibat perubahan pada variabel eksogen (exogenous variable). Pengganda dimaksud, misalnya, pengganda pendapatan nasional yang dirumuskan sebagai 1/(1-MPC) dimana MPC = Marginal Propensity to Consume atau kecendrungan hasrat mengkonsumsi. Pengganda tersebut menjelaskan bahwa perubahan pendapatan nasional ditentukan oleh perubahan MPC; semakin besar MPC, maka semakin besar pendapatan nasional. 26

52 Dalam tabel I-O, pengganda demikian dapat juga diperoleh, tidak hanya merupakan satu besaran pengganda tetapi bahkan merupakan beberapa (sekelompok) besaran pengganda yang dinyatakan dalam bentuk matriks pengganda (multiplier matrix). Sama dengan pengganda pada model ekonomi makro yang telah dijelaskan diatas, matriks pengganda pada tabel I-O juga menjelaskan perubahan yang terjadi pada berbagai peubah endogen sebagai akibat perubahan pada suatu atau beberapa peubah eksogen. Matriks pengganda dalam tabel I-O digunakan untuk melakukan analisis dampak (impact analysis) seperti analisis dampak output, analisis dampak pendapatan, analisis dampak tenaga kerja, analisis dampak nilai tambah bruto, analisis impor dan analisis keterkaitan (daya penyebaran dan derajat kepekaan). Dampak pengganda dapat diartikan sebagai suatu dampak yang terjadi baik secara langsung maupun secara tidak langsung terhadap berbagai kegiatan ekonomi didalam negeri sebagai akibat dari adanya perubahan pada variabelvariabel eksogen perekonomian nasional. Salah satu keunggulan analisis dengan model I-O adalah dapat digunakan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat hubungan atau keterkaitan antar sektor produksi. Hubungan ini dapat berupa (1) hubungan kedepan (forward linkage), adalah hubungan dengan sektor hilir; dan (2) hubungan kebelakang (backward linkage) yang hampir selalu merupakan hubungan dengan bahan mentah ataupun sektor hulu. Sejauh ini pemanfaatan analisis Input-Output cenderung mengedepankan analisis kuadran I dan III sehingga hanya mampu memberikan informasi hubungan langsung antara sektor dan hubungan pasar namun tidak mampu memberikan penjelasan dan pemahaman keterkaitan yang bersifat kelembagaan. Oleh karena itu model Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) merupakan suatu model yang dapat melihat keterkaitan kelembagaan dalam suatu perekonomian wilayah. Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) pertama kali diperkenalkan oleh Richard Stone dkk. (Cambride University) yang memformulasikan System for National Account atau SNA di Inggris. Model ini telah banyak dibuat dan digunakan oleh negara-negara berkembang sebagai salah satu alat dalam 27

53 menentukan berbagai kebijakan pembangunan nasionalnya. Sebagai contoh Pyatt dan Roe (1978) telah menggunakan model SAM untuk merencanakan pembangunan Sri Langka. Kemudian Mc Carthy dan Taylor (1980) menggunakan model SAM dalam perencanaan kebijaksanaan pangan di Pakistan. Eckaus (1981) menerapkan SAM untuk analisis distribusi pendapatan di Mesir, dan Keuning dan Thoebecke (1992) menggunakan model SAM untuk melihat dampak keterbatasan anggaran pemerintah Indonesia akibat turunnya harga minyak bumi pertengahan tahun 1980-an terhadap distribusi pendapatan beberapa golongan masyarakat. Pengalaman yang diperoleh oleh banyak negara yang mengaplikasikan strategi pertumbuhan ekonomi adalah meningkatnya pendapatan nasional, akan tetapi disuatu sisi memunculkan masalah lain yang cukup serius, diantaranya adalah masalah distribusi pendapatan yang tidak merata dan pengangguran. Berdasarkan pengalaman tersebut, banyak negara mulai memperhatikan di samping masalah peningkatan pendapatan, tetapi juga masalah pemerataan pendapatan dan ketenagakerjaan dalam perencanaan pembangunan. Beberapa konsepsi telah direkomendasikan oleh para ahli untuk dapat memantau masalah pemerataan pendapatan dan permasalahan pengangguran. Untuk mengukur ketidakmerataan pendapatan, saat ini telah berkembang teori Indeks Gini (Gini Index), Ukuran Bank Dunia ataupun dengan menggunakan Kurva Lorenz. Sedangkan permasalahan pengangguran dapat dipantau dengan menggunakan ukuran Unemployment Rate, yaitu suatu ukuran yang membandingkan jumlah penduduk yang menganggur dengan mereka yang bekerja. Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) merupakan salah satu cara yang lain yang digunakan untuk memantau permasalahan pemerataan atau distribusi pendapatan dan masalah ketenagakerjaan di suatu daerah. Sistem ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai distribusi pendapatan dan permasalahan pengangguran secara komprehensif sehingga memudahkan dalam penyusunan perencanaan pembangunan. Secara umum SNSE merupakan pendekatan terbaik bagi kerangka perhitungan 28

54 keseimbangan umum perekonomian yang tersedia bagi para peneliti ekonomi dan sosial (Thorbecke, 1985). Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) adalah sebuah neraca ekonomi masukan ganda tradisional berbentuk matrik partisi yang mencatat segala transaksi ekonomi antara agen, terutama sekali antara sektor-sektor di dalam blok produksi, sektor-sektor di dalam blok institusi (termasuk di dalamnya rumah tangga), dan sektor-sektor di dalam blok produksi di suatu perekonomian (Pyatt dan Roe, 1978). Selain itu SNSE juga merupakan suatu sistem pendataan yang baik karena: (1) SNSE merangkum seluruh kegiatan transaksi ekonomi yang terjadi di suatu perekonomian untuk suatu kurun waktu tertentu. Dengan demikian, SNSE dapat dengan mudah memberikan gambaran umum mengenai perekonomian suatu wilayah; dan (2) SNSE memotret struktur sosial ekonomi di suatu wilayah dan juga memberikan gambaran tentang kemiskinan dan distribusi pendapatan masyarakat. Disamping itu SNSE juga merupakan alat analisa yang penting karena: (1) analisa yang menggunakan SNSE dapat menunjukkan dengan baik dampak dari suatu kebijakan ekonomi terhadap pendapatan masyarakat. Dengan demikian, dapat diketahui dampak dari suatu kebijakan ekonomi terhadap masalah kemiskinan dan distribusi pendapatan; dan (2) analisa yang menggunakan SNSE juga masih tergolong relatif sederhana. Dengan demikian, penerapannya dapat dilakukan dengan mudah dalam mendukung sistem perencanaan dan pengambilan kebijakan daerah (Daryanto, A dan Hafizrianda, 2010). Pada prinsipnya, SNSE dibentuk atas dasar dua pilar utama: (1) Sebagai suatu sistem kerangka data yang bersifat modular yang dapat menghubungkan variabel-variabel ataupun subsistem-subsistem yang terdapat didalamnya secara terpadu. (2) Sebagai suatu sistem klasifikasi data yang konsisten dan konfrehensif, sehingga dapat digunakan sebagai alat analisis ekonomi-sosial terutama yang berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan dan ketenagakerjaan. 29

55 Sekitar akhir tahun 1930-an para ahli statistik dan perencanaan pembangunan menyusun suatu kerangka statistik (statistical framework) yang dapat mengabungkan berbagai indikator atau ukuran pembangunan yang selama ini disusun secara terpisah-pisah dan berdiri sendiri (partial), seperti ukuranukuran pendapatan, produksi, konsumsi, dan sebagainya. Dalam suatu kerangka dasar neraca ekonomi nasional (national accounting framework). Kerangka statistik diharapkan mampu memperhatikan keterkaitan antara variabel-vaiabel sosial ekonomi, sehingga kinerja perekonomian secara nasional atau regional dapat dijelaskan secara simultan. Sistem Neraca Sosial Ekonomi merupakan suatu kerangka data yang disusun dalam bentuk matriks yang merangkum berbagai variabel sosial ekonomi secara kompak dan terintegrasi sehingga dapat memberikan gambaran keragaan perekonomian suatu daerah pada suatu waktu tertentu, seperti produk domestik regional, distribusi pendapatan, dan tenaga kerja. Salah satu pendekatan (model) yang selama ini diangap memadai dalam melihat integrasi kinerja perekonomian adalah analisis dengan mengunakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Proses pembuatan sistem ini mempunyai kelebihan, yaitu: (1) sebagai suatu sistem data yang menyeluruh, konsisten dan lengkap sehingga dapat menangkap keterkaitan antar pelaku ekonomi di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu, (2) mampu menganalisis dampak kebijakan yang berkaitan dengan kesempatan kerja, kemiskinan, dan distribusi pendapatan, dan (3) sebagai suatu alat analisis yang sederhana dan komprehensif. Menurut Thorbecke (1985), Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) dapat digunakan untuk menyusun perencanaan pembangunan, dengan cara mensimulasi, neraca eksogen terhadap perubahan neraca endogen. Model perencanaan pembangunan yang didasarkan pada kerangka SNSE akan memberikan saransaran, yaitu : (1) perlakuan perubahan struktural, terutama yang berhubungan dengan perubahan dalam distribusi asset dan dalam menghasilkan distribusi pendapatan faktor dan institusi, (2) perlakuan sektor-sektor informal, terutama yang berhubungan dengan tingkat dan kriteria klasifikasi yang merinci aktifitas produksi, (3) penggabungan beberapa dimensi regional, dan (4) perlakuan kebutuhan dasar, pengukuran dan identifikasi kemiskinan sesuai dengan klasifikasi rumah tangga. 30

56 Konsep Kebocoran Wilayah Perkembangan Definisi Kebocoran Wilayah Dilihat dari unsur kata kebocoran wilayah terdiri dari dua unsur kata yaitu kebocoran dan wilayah. Kata kebocoran oleh beberapa ahli didefinisikan, seperti Doeksen dan Charles (1969), diartikan sebagai jumlah perubahan total output sebagai hasil perubahan satu dolar pada permintaan akhir yang tidak terhitung pada suatu wilayah karena berkaitan dengan impor, atau jumlah pendapatan baru yang tidak dihasilkan di dalam suatu wilayah sebagai akibat kenaikan satu dolar pada pendapatan karena adanya impor. Selanjutnya Bendavid (1991) menjelaskan bahwa kebocoran adalah tipe pengeluaran yang tidak meningkatkan tambahan pendapatan domestik seperti pada pengeluaran pembelian barang-barang yang berasal dari impor, termasuk pembelian yang dilakukan di luar wilayah, pengeluaran untuk pajak, tabungan, dan sejenisnya dimana pada kegiatan pengeluaran tersebut tidak menghasilkan arus peningkatan pendapatan bagi masyarakat dan wilayah. Selain itu dalam model dasar arus melingkar pendapatan nasional (circular flow of national income model), semua pendapatan yang diterima oleh rumah tangga dibelanjakan untuk konsumsi sekarang. Dalam model arus melingkar pendapatan yang diperluas, sebagian dari pendapatan yang diterima oleh rumah tangga ditabung, sebagian digunakan untuk membayar pajak dan sebagian dibelanjakan untuk barang dan jasa yang di impor. Pada kondisi seperti ini tabungan (saving), pajak (taxation) dan impor (imports) merupakan penarikan atau kebocoran arus pembelanjaan pendapatan (Bendavid, 1991). Sedangkan Reis dan Rua (2006) menjelaskan bahwa dalam ekonomi terbuka kecil, kebocoran didefenisikan adanya tambahan impor produk jika permintaan akhir untuk output meningkat sebesar satu unit. Sedangkan Rada dan Taylor (2006) menjelaskan kebocoran dapat dilihat dari sisi agregat demand pada perubahan investasi, ekspor dan belanja pemerintah, yang menghasilkan multiplier pendapatan yang kecil bagi suatu daerah. Kemudian kata wilayah menurut konsep nomenklatur kewilayahan seperti kawasan, daerah, regional, area, ruang, dan istilah-istilah sejenis, 31

57 banyak dipergunakan, dan saling dapat dipertukarkan pengertiannya, walaupun masing-masing memiliki bobot penekanan pemahaman yang berbeda-beda (Rustiadi et al,. 2005). Namun demikian secara teoritik tidak ada perbedaan nomenklatur atara istilah wilayah, kawasan, dan daerah, semuanya secara umum dapat diistilahkan dengan wilayah (region). Dengan demikian wilayah dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi. Selain itu Anwar (2004) menjelaskan bahwa kegiatan pembangunan yang menggunakan teknologi padat modal serta kurang memanfaatkan tenaga kerja lokal berpotensi menciptakan kebocoran wilayah, hal ini karena multiplier yang ditimbulkan tidak dapat ditangkap secara optimal oleh suatu wilayah. Dari berbagai konsep dan pendefinisian kata kebocoran dan wilayah, maka dapat diartikan bahwa kebocoran wilayah merupakan jenis aktivitas pengeluaran/penerimaan wilayah yang tidak meningkatkan tambahan pendapatan suatu wilayah, atau dengan kata lain kebocoran wilayah merupakan kondisi terjadinya aliran nilai tambah ke wilayah lainnya karena adanya potensi nilai tambah yang tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, sehingga menyebabkan kecilnya multiplier yang dapat ditimbulkan dari kegiatan ekonomi suatu wilayah. Isu-Isu Kebocoran Wilayah Dalam bidang ekonomi regional isu-isu tentang kebocoran wilayah merupakan salah satu hal penting yang sering menjadi perhatian para ahli ekonomi wilayah. Untuk mendapatkan jawaban mengapa kebocoran wilayah dipermasalahkan dalam bidang ekonomi regional, beberapa literatur menjelaskan seperti Rustiadi et al. (2005) bahwa kebocoran wilayah dapat mendorong semakin besarnya perangkap kemiskinan serta dapat mendorong semakin lebarnya ketimpangan ekonomi antar wilayah. Selain itu ditinjau dari tujuan pembangunan yaitu perlu diarahkan pada pertumbuhan (growth), efisiensi (effeciency) dan pemerataan (equity) serta keberlanjutan (sustainability), terutama dalam memberi panduan kepada alokasi sumberdaya, baik pada tingkatan nasional maupun regional (Anwar, 2005) maka terjadinya kebocoran wilayah dapat menghambat laju pertumbuhan pembangunan wilayah. Sedangkan Hayami (2001), menjelaskan 32

58 bahwa pertumbuhan ekonomi perlu memperhatikan faktor-faktor yang berkaitan dengannya serta perlu dilihat dari peningkatan rata-rata nilai tambah per kapita (pendapatan) yang diwujudkan melalui peningkatan penggunaan sumberdaya per kapita dan/atau kemajuan teknologi sebagai peningkatan nilai tambah ekonomi bagi masyarakat, baik melalui input tenaga kerja, modal dan sumberdaya alam dalam periode tertentu, dengan nilai tambah yang didistribusikan ke pemilik sumberdaya sebagai pendapatannya, sehingga secara agregasi pendapatan masyarakat dapat menjadi pendapatan wilayah. Karena dalam pembangunan ekonomi wilayah peningkatan nilai tambah dan pendapatan, merupakan sasaran pentingnya yang perlu dilakukan. Dengan demikian sehingga terjadi kebocoran nilai tambah tentu mempengaruhi pendapatan wilayah. Artinya kebocoran wilayah dapat merugikan pembangunan ekonomi wilayah. Hal tersebut sesuai dengan Bendavid (1991) menjelaskan bahwa dalam pembangunan ekonomi wilayah, multiplikasi pendapatan merupakan inti dari proses pertumbuhan ekonomi. Terjadi kebocoran nilai tambah sehingga multiplier yang dihasilkan dari pembangunan ekonomi di suatu wilayah akan semakin kecil, atau dengan kata lain semakin besar kebocoran yang terjadi maka semakin besar multiplier pendapatan yang hilang. Dari berbagai konsep di atas sehingga dapat dipahami alasan mengapa para ahli ekonomi regional melihat kebocoran wilayah sebagai persoalan dalam pembangunan ekonomi wilayah. Selain itu Gonarsyah (1977) menjelaskan bahwa kecilnya pendapatan suatu wilayah dapat mendorong terjadinya kesenjangan dan ketidakadilan serta dapat mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, terutama ketidakpercayaan pada kemauan baik (good will) dan kemampuan pemerintah dalam mengelola sumberdaya alam untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dan menciptakan pembangunan yang merata. Dengan kata lain terjadinya kebocoran wilayah dapat mengakibatkan kecilnya pendapatan suatu wilayah. Kecilnya pendapatan mendorong kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan pada akhirnya dapat menghambat pertumbuhan wilayah. Beberapa ahli melihat beberapa penyebab terjadi kebocoran wilayah (regional leakages) diantaranya karena adanya international dan interregional 33

59 demonstration effect, yaitu adanya sifat masyarakat tertinggal yang cenderung mencontoh pola konsumsi di kalangan masyarakat modern. Artinya wilayahwilayah yang telah lebih maju memperkenalkan produk-produk yang mutunya "lebih baik" sehingga wilayah-wilayah masyarakat tradisional mengimpor dan mengkonsumsi barang-barang tersebut, dan pada akhirnya sejumlah modal yang telah terakumulasi bukan digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayahnya melainkan mendorong terjadi kebocoran wilayah (Anwar, 2004). Kemudian Rustiadi et al. (2005) juga menjelaskan bahwa beberapa kekuatan penting yang menyebabkan kondisi kebocoran wilayah diantaranya yakni: (a) wilayah-wilayah yang telah lebih maju menciptakan keadaan yang menghambat perkembangan wilayah-wilayah yang masih terbelakang (back-wash effects); (b) Wilayah-wilayah yang telah lebih maju menciptakan keadaan yang mendorong perkembangan wilayah-wilayah yang masih terbelakang (spread effects). Selain itu fenomena backwash pada kawasan perdesaan dan daerah-daerah tertinggal berlangsung melalui beberapa tahap aliran, seperti: (1) aliran bahan mentah/bahan baku (sumberdaya alam), (2) aliran sumberdaya manusia berkualitas/produktif (brain drain), (3) aliran sumberdaya finansial (capital outflow), (4) aliran sumberdaya informasi, dan (5) aliran kekuasaan (power). Berlangsung aliran bahan baku/mentah berupa sumberdaya alam seperti kayu, ikan, serta berbagai produk pertanian dan hasil ekstraksi sumberdaya alam yang dialirkan ke perkotaan untuk diolah (processing) guna menghasilkan produkproduk olahan. Pada tahap awal memang diyakini memiliki nilai tambah, dan proses masih dapat dianggap netral (tidak merugikan) jika: (1) pusat-pusat pengolahan di perkotaan merupakan lokasi-lokasi yang memiliki locational rent terbaik untuk kegiatan-kegiatan pengolahan, (2) proses ekstraksi sumberdaya alam di perdesaan dilakukan tanpa mengurangi daya dukung dan kualitas lingkungan (tidak menyebabkan degradasi atau kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup), serta (3) diiringi dengan terjadinya peningkatan produktivitas di perdesaan. Sedangkan pada saat perdesaan dan kawasan hinterland ditinggalkan oleh sumberdaya manusia yang berkualitas sehingga produktivitas perdesaan menjadi stagnan atau lebih rendah dibandingkan perkotaan. 34

60 Selain itu dari sisi sumberdaya terjadi proses "brain-drain" dalam arti mengalirnya intelektual perdesaan ke kota atau disedotnya intelektual-intelektual desa oleh perkotaan. Rendahnya kapasitas sumberdaya manusia perdesaan akibat mengalirnya sumberdaya manusia berkualitas ke kawasan perkotaan disatu sisi, dan terkonsentrasinya aktivitas-aktivitas pengolahan yang menghasilkan nilai tambah tinggi di kawasan perkotaan yang didukung oleh sumberdaya manusia yang lebih produktif, dan mengakibatkan terjadinya aliran konsentrasi kapital ke perkotaan. Lemahnya kapasitas produksi kawasan perdesaan menyebabkan masyarakat desa semakin tergantung pada konsumsi produk-produk manufaktur perkotaan. Akibat output barang/jasa yang dihasilkan di kawasan perdesaan bersifat inferior terhadap produk-produk olahan dari perkotaan, sehingga menyebabkan perdesaan mengalami net-capital outflow, atau dalam kondisi demikian berarti desa mengalami "kebocoran". Kemudian Anwar (2004) menjelaskan bahwa beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kebocoran wilayah antara lain karena: (1) Sifat komoditas yang bersifat eksploitatif. Seperti pada umumnya natural resources mempunyai kecenderungan mengalami kebocoran wilayah yang tinggi apabila dalam sistem produksinya membutuhkan persyaratan-persyaratan tertentu, baik kualitas sumberdaya manusia, teknologi yang dipakai, kedekatan dengan pasar maupun persyaratan lainnya yang mengakibatkan aktivitas ekonomi suatu komoditas yang berasal dari suatu wilayah dilaksanakan di wilayah lain, sehingga sebagian besar nilai tambah ditangkap wilayah lainnya, (2) Sifat kelembagaan, yaitu menyangkut kepemilikan (owners). Dari berbagai isu dalam kebocoran wilayah sehingga dapat diartikan bahwa kebocoran wilayah merupakan isu penting yang memiliki peran dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Dengan demikian sehingga terjadinya kebocoran wilayah maka multiplier yang dihasilkan dari pembangunan ekonomi di suatu wilayah tentu semakin kecil, atau dengan kata lain semakin besar kebocoran yang terjadi maka semakin besar potensi multiplier pendapatan bagi suatu wilayah yang hilang. Dengan lain perkataan bahwa untuk meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi wilayah maka perlu menekan tingkat kebocoran wilayah. 35

61 Pengukuran Kebocoran Wilayah Beberapa literatur menjelaskan bahwa untuk melakukan identifikasi tentang kebocoran wilayah dalam perspektif ekonomi wilayah dapat digunakan pendekatan analisis model Input-Output, sebagaimana digunakan Doeksen dan Charles (1969); Bendavid (1991); Reis dan Rua (2006). Dalam melakukan pendeteksian kebocoran wilayah Doeksen dan Charles (1969) menjelaskan dapat diidentifikasi dari aspek multiplier output, dan multiplier income. Sedangkan Bendavid (1991) menjelaskan bahwa kebocoran wilayah dapat dilihat dari besar kecilnya komponen input antara yang berasal dari impor, termasuk juga pembelian yang dilakukan di luar wilayah. Selain itu Rada dan Lance (2006) menjelaskan bahwa kebocoran dapat dilihat dari sisi aggregat demand ketika terjadinya perubahan dalam injeksi investasi, ekspor dan belanja pemerintah. Kemudian Rodriguez dan Kroijer (2008) menjelaskan kebocoran dapat dilihat dari sisi pengeluaran lokal kaitannya dengan desentralisasi fiskal. Landesmann dan Robert (2006) menjelaskan kebocoran dapat dilihat dari derajat integrasi pasar modal (FDI, tenaga kerja asing). Sun (2007) menjelaskan Kebocoran dapat dilihat dari besar kecilnya rasio barang impor. Sedangkan Christopher dan Bryan (1994) dalam Jaya (2009). menjelaskan kebocoran dapat ditandai oleh besarnya aspek tabungan (saving), pajak (taxation) dan besarnya belanja input impor, namun tidak meningkatkan pendapatan wilayah. Kemudian menurut Reis dan Rua (2006) kebocoran wilayah dapat dilihat dari kebocoran ke belakang (backward leakage) dan kebocoran ke depan (forward leakage). Untuk mengidentifikasi kebocoran ke depan dapat digunakan nilai koefisien kebocoran sektor (Reis dan Rua, 2006) yaitu analog dengan pengukuran keterkaitan sektor yang ditunjukkan dengan rendahnya rata-rata koefisien sektor yang terboboti pada backward leakage atau forward leakage. Skema pembobotan pada impor, dan secara alami pada barang impor i tidak harus sama dengan impor sektor produksi. Untuk memboboti backward leakage yaitu menggunakan barang impor. Sedangkan untuk forward leakage digunakan sektor impor. Misalkan l j adalah jumlah elemen pada kolom ke-j dari matrik A m (I - A d ) -1 dan l * i yaitu jumlah elemen pada baris ke-i dari matrik (I A *d ) -1 A *m. 36

62 Selanjutnya Doeksen dan Charles (1969) menjelaskan bahwa di Oklahoma secara umum daerah yang memiliki tingkat keterkaitan sektor ekonomi yang rendah, merupakan daerah yang mengalami kebocoran yang tinggi. Demikian juga daerah yang memiliki keterkaitan sektor ekonomi yang tinggi, karena daerahnya memiliki tingkat pengeluaran impor yang lebih besar, maka daerah tersebut juga memiliki tingkat kebocoran yang tinggi. Sedangkan hasil penelitian Reis dan Rua (2006) menunjukkan bahwa kebocoran wilayah sektor jasa di Portugal lebih rendah dibandingkan dengan kebocoran sektor lainnya, dan multiplier effect sektor akan lebih tinggi jika keterkaitan menyebar dalam perekonomian serta berdampak pada rendahnya kebocoran wilayah. Dari berbagai konsep tentang pengukuran kebocoran wilayah maka dapat diartikan bahwa untuk mendeteksi indikasi, potensi dan dampak kebocoran wilayah, maka dapat diidentifikasi dengan memperhatikan (i) koefisien keterkaitan sektor ke depan dan koefisien keterkaitan ke belakang pada model input output; yaitu semakin kecil nilai koefisien keterkaitan sektor maka semakin besar potensi terjadinya kebocoran wilayah, dan begitu juga sebaliknya semakin kuat keterkaitan antar sektor maka semakin kecil terjadinya kebocoran wilayah (ii) rasio input dan impor; yaitu semakin besar input impor yang digunakan dalam proses produksi maka semakin besar terjadinya potensi kebocoran wilayah, (iii) rasio permintaan antara dengan ekspor; yaitu semakin kecil permintaan antara dibandingkan dengan ekspor menunjukkan kecilnya nilai tambah yang diperoleh suatu wilayah atau semakin besarnya potensi kebocoran yang terjadi (iv) Dalam konteks sistem agribinis, dominan nilai tambah yang dimanfaatkan atau mengalir ke wilayah lain, menciptakan potensi kebocoran wilayah. Kemiskinan dan Pembangunan Ekonomi Strategi pembangunan yang menitik beratkan kepada pertumbuhan ekonomi menganggap bahwa kesejahteraan masarakat dapat ditingkatkan dengan cepat melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi, namun berdasarkan penelitianpenelitian yang telah dilakukan para ahli (seperti Adelman dan Morris, 1973; Wei, 1983), pada suatu sisi strategi pertumbuhan ekonomi memang memberikan dampak pendapatan per kapita, tetapi pada sisi lain ternyata meninggalkan 37

63 masalah lain, seperti kemiskinan. Dan juga pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai oleh suatu negara atau wilayah menyembunyikan adanya sekelompok masyarakat yang menjadi bertambah buruk (wose off) dalam hal kondisi sosial ekonomi secara relatif dibandingkan dengan kelompok yang lain; dan bahwa terdapat perbedaan pendapatan yang semakin melebar antar kelompok atau golongan masyarakat. Dengan demikian, prestasi pembanguanan suatu negara atau wilayah belum cukup diukur oleh peningkatan pendapatan per kapita tetapi perlu juga untuk mengetahui bagaimana pendapatan nasional (regional) didistribusikan kepada berbagai golongan masyarakat. Kemiskinan yang terjadi di suatu wilayah juga mempunyai hubungan dengan kondisi wilayah dan pembangunan ekonomi wilayah. Suatu wilayah yang terbentuk dengan sumberdaya alam yang subur, maka penduduk yang tinggal disekitar wilayah tersebut dapat menggunakan sumberdaya alam yang ada untuk memperoleh atau meningkatkan penghasilan atau pendapatan. Sebaliknya, ada suatu wilayah yang merupakan kawasan yang kurang subur sehingga tidak memungkinkan masyarakat di sekitar kawasan untuk dapat menggunakan sumberdaya alam yang ada untuk memperoleh atau meningkatkan pendapatan mereka sehingga mereka menjadi miskin. Oleh karena itu disuatu sisi, kemiskinan dapat disebabkan kondisi wilayah secara fisik (kondisi alam). Tetapi dapat juga terjadi bahwa di sekitar suatu wilayah yang subur ternyata terdapat penduduk yang miskin. Keadaan ini dapat terjadi karena : (i) sumberdaya alam di sekitar wilayah tersebut belum digunakan oleh penduduk setempat secara optimal, (ii) penduduk disekitar wilayah tersebut tidak mempunyai kemampuan yang cukup (seperti keterampilan, modal dsb) untuk dapat mengelola sumberdaya alam untuk menghasilkan pendapatan dan meningkatkan kesejahteraan mereka, dan (iii) sumberdaya alam yang diolah di wilayah tersebut tidak dapat dinikmati oleh penduduk atau masyarakat setempat karena adanya kebocoran regional (regional leakages). Pengertian dan Penyebab Kemiskinan Secara umum kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan 38

64 kelompoknya dan tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, dan pikirannya dalam kelompok tersebut (TKPK, 2006 dan Syahyuti, 2006). Selanjutnya pada RPJM Nasional kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik perempuan maupun laki-laki. Sedangkan kemiskinan (ketertinggalan) wilayah ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur bagi penduduk di wilayah bersangkutan. Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan, kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Bappenas (2002) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu situasi atau kondisi yang dialami seseorang atau kelompok orang yang tidak mampu menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. Lebih lanjut Bappenas (2004) dalam Susanto (2005) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial, politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Ravallion (2001) mengemukakan bahwa kemiskinan meliputi dimensi politik, sosial budaya dan psikologi, ekonomi dan akses terhadap asset. Dimensi tersebut saling terkait dan saling mengunci/membatasi. Kemiskinan adalah kelaparan, tidak memiliki tempat tinggal, bila sakit tidak mempunyai dana untuk berobat. Orang miskin umumnya tidak dapat membaca karena tidak mampu 39

65 bersekolah, tidak memiliki pekerjaan, takut menghadapi masa depan, kehilangan anak karena sakit. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, terpinggirkan dan tidak memiliki rasa bebas. Menurut Sumodiningrat (2005), masyarakat miskin secara umum ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut: 1. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan (basic need deprivation). 2. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan melakukan kegiatan usaha produktif (unproductiveness). 3. Ketidakmampuan menjangkau sumberdaya sosial dan ekonomi (inaccesibility). 4. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan menentukan nasib dirinya sendiri serta senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan dan kecurigaan, serta sikap apatis; dan 5. Membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah (no freedom for poor). Pendefinisian yang lebih tegas dan mendalam disampaikan oleh KIKIS (2002) yaitu kemiskinan adalah kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan asasi atau esensial sebagai manusia. Kebutuhan asasi, meliputi: kebutuhan akan subsistensi, afeksi, keamanan, identitas, proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, dan waktu luang. Kemiskinan subsistensi terjadi karena rendahnya pendapatan, tak terpenuhinya kebutuhan akan sandang, pangan, papan, serta kebutuhan-kebutuhan dasar lainnya. Kemiskinan perlindungan terjadi karena meluasnya budaya kekerasan atau tidak memadainya sistem perlindungan atas hak dan kebutuhan dasar. Kemiskinan afeksi terjadi karena adanya bentuk-bentuk penindasan, pola hubungan eksploitatif antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan alam. Kemiskinan pemahaman terjadi karena kualitas pendidikan yang rendah, selain faktor kuantitas yang tidak mampu memenuhi kebutuhan. Kemiskinan partisipasi terjadi karena adanya diskriminasi dan peminggiran rakyat dari proses pengambilan keputusan, sedangkan kemiskinan identitas terjadi karena dipaksakannya nilai-nilai asing terhadap budaya lokal yang mengakibatkan hancurnya nilai sosio-kultural yang ada. 40

66 Di sisi lain, Chambers (2001) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri (proper), (2) ketidakberdayaan (powerless), (3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), (4) ketergantungan (dependence), dan (5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Sedangkan Mas oed (1997) membedakan kemiskinan menjadi dua jenis, yaitu kemiskinan alamiah dan kemiskinan buatan (artificial). Kemiskinan alamiah berkaitan dengan kelangkaan sumberdaya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus. Kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumberdaya, sarana, dan fasilitas sosial ekonomi yang ada secara merata. Sedangkan Nasikun (2001) menyoroti beberapa sumber dan proses penyebab terjadinya kemiskinan, antara lain : a. Policy induce processes; proses pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi melalui pelaksanaan suatu kebijakan (induced of policy) diantaranya adalah kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitanya justru melestarikan dan menyuburkan. b. Socio-economy dualism; Negara eks koloni mengalami kemiskinan karena pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi marjinal karena tanah yang paling subur dikuasai petani skala besar dan berorientasi ekspor. c. Population growth; perspektif yang didasari pada teori Malthus bahwa pertambahan penduduk seperti deret ukur sedangkan pertambahan pangan seperti deret hitung. d. Recources management and the environment; adanya unsur kesalahan manajemen sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas. e. Natural cycles and processes; kemiskinan terjadi karena siklus alam, misalnya tinggal di lahan kritis, dimana lahan ini jika turun hujan akan terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terjadi secara terus menerus. 41

67 f. The marginalization of woman; peminggiran kaum perempuan karena perempuan masih dianggap kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan hasil kerja yang diberikan lebih rendah dari laki-laki. g. Cultural and etnic factor; bekerjanya faktor budaya dan etnik yang memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif pada petani dan nelayan ketika panen raya, serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara adat atau keagamaan. h. Exploitatif intermediation; keberadaan penolong menjadi penodong, seperti rentenir (lintah darat). i. Internal political fragmentation and civil strata; suatu kebijakan yang diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya kuat, dapat menjadi penyebab kemiskinan. j. Internatinal processes; bekerjanya sistem-sistem internasional (kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi semakin miskin. Selanjutnya, selain beberapa faktor tersebut di atas, penyebab kemiskinan di masyarakat khususnya di daerah perdesaan disebabkan oleh keterbatasan asset yang dimiliki (Suryawati, 2005), yaitu: a. Natural assets; seperti tanah dan air, karena sebagian besar masyarakat desa hanya menguasai lahan kurang memadai untuk mata pencahariannya. b. Human assets; menyangkut kualitas sumberdaya manusia yang relatif masih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan (tingkat pendidikan, keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi). c. Physical assets; minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas umum seperti jaringan jalan, listrik, dan komunikasi di perdesaan. d. Financial assets; berupa tabungan (saving) serta akses untuk memperoleh modal usaha. e. Social assets; berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan politik. 42

68 Namun demikian, secara umum penyebab kemiskinan dapat dikategorikan dalam tiga bentuk, antara lain (Makmun, 2003) : 1. Kemiskinan Struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan, peraturan maupun lembaga yang ada di masyarakat sehingga dapat menghambat peningkatan produktivitas dan mobilitas masyarakat. 2. Kemiskinan Kultural, yaitu kemiskinan yang berhubungan dengan adanya nilai-nilai yang tidak produktif dalam masyarakat, tingkat pendidikan yang rendah, kondisi kesehatan dan gizi yang buruk; dan 3. Kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang ditunjukkan oleh kondisi alam maupun geografis yang tidak mendukung, misalnya daerah tandus, kering, maupun keterisolasian. Selain pengertian kemiskinan tersebut di atas, penyebab kemiskinan juga penting untuk dipahami. Ada banyak penyebab kemiskinan dan tak ada satupun jawaban yang mampu menjelaskan semuanya secara sekaligus. Ini ditunjukkan oleh adanya berbagai pendapat mengenai penyebab kemiskinan sesuai dengan keadaan, waktu, dan tempat tertentu yang mencoba mencari penyebab kemiskinan. Smeru (2001) menyimpulkan bahwa penyebab dasar kemiskinan antara lain; (i) kegagalan kepemilikan, terutama tanah dan modal; (ii) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (iii) kebijakan yang bias perkotaan dan bias sektor; (iv) adanya perbedaan kesempatan diantara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung; (v) adanya perbedaan sumberdaya manusia dan perbedaan antar sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (vi) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (vii) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkungannya; dan (viii) tidak adanya tata kepemerintahan yang bersih dan baik (good governance). Sumodiningrat (2005) mengklasifikasikan pengertian kemiskinan ke dalam lima kelas, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan kultural, kemiskinan kronis dan kemiskinan sementara. Kemiskinan absolut, adalah apabila tingkat pendapatan seseorang di bawah garis kemiskinan (poverty line) atau sejumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum 43

69 (basic needs), antara lain kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk hidup dan bekerja. Kemiskinan relatif, adalah apabila seseorang mempunyai penghasilan di atas garis kemiskinan, namun relatif lebih rendah dibandingkan dengan pendapatan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan relatif erat kaitannya dengan masalah pembangunan yang sifatnya struktural, yakni kesenjangan akibat kebijakan pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat. Kemiskinan kultural, mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantunya. Kemiskinan kronis, disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (a) kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif, (b) keterbatasan sumber daya dan keterisolasian (daerah-daerah kritis sumber daya alam dan daerah terpencil), dan (c) rendahnya taraf pendidikan dan derajat perawatan kesehatan, terbatasnya lapangan kerja dan ketidakberdayaan masyarakat dalam mengikuti ekonomi pasar. Kemiskinan sementara, terjadi akibat adanya: (a) perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi, (b) perubahan yang bersifat musiman seperti dijumpai pada kasus kemiskinan nelayan dan pertanian tanaman pangan, dan (c) bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. Ukuran Kemiskinan Di Indonesia, pengertian kemiskinan didasarkan pada pengertian yang ditetapkan berdasarkan kriteria dari tiga institusi (BPS, 2008) yaitu: 1. Kriteria BPS, kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari kalori per kapita per hari. Data kemiskinan yang digunakan oleh BPS terdiri dari data Susenas dan untuk menyalurkan BLT. Data Susenas merupakan data yang bersifat makro, data ini hanya menunjukkan jumlah agregat dan persentase penduduk miskin, tetapi tidak dapat menunjukkan siapa, dimana alamatnya secara rinci, data ini hanya digunakan untuk mengevaluasi pertambahan/pengurangan jumlah penduduk miskin. Sedangkan untuk menyalurkan BLT (Bantuan Langsung Tunai) dalam rangka kompensasi BBM, sifatnya mikro yang dapat menunjukkan nama 44

70 kepala keluarga yang berhak menerima BLT dan lokasi tempat tinggalnya. Sedangkan untuk mengukur kemiskinan dengan menggunakan kebutuhan dasar makanan (setara kalori per kapita per hari) dan bukan makanan (variabel kuantitatif), penentuan rumah tangga penerima BLT didasarkan pada pendekatan karakteristik rumah tangga dengan menggunakan 14 variabel kuantitatif penjelas kemiskinan. Ke 14 variabel yang digunakan adalah luas lantai per kapita, jenis lantai, jenis dinding, fasilitas tempat buang air besar, sumber air minum, sumber penerangan, bahan bakar, membeli daging, ayam/susu, frekuensi makan, membeli pakaian baru, kemampuan berobat, lapangan usaha kepala rumah tangga, pendidikan rumah tangga, dan asset yang dimiliki rumah tangga. 2. Kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera, apabila memenuhi kriteria berikut (BPS, 2008) : a. Tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya. b. Seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari. c. Seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian. d. Bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah. e. Tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan. 3. Kriteria Bank Dunia, kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan US$ 1.00 per kapita per hari (BPS, 2008). Menurut Darwis dan Nurmanaf (2001), secara teoritis garis kemiskinan dapat dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendapatan dan pengeluaran. Garis kemiskinan yang ditentukan berdasarkan tingkat produksi, misalnya produksi padi per kapita, hanya dapat menggambarkan kegiatan produksi tanpa memperhatikan pemenuhan kebutuhan hidup. Perhitungan garis kemiskinan dengan pendekatan pendapatan rumah tangga dinilai paling baik. Cara ini tidak mudah dilakukan karena kesulitan untuk memperoleh data pendapatan rumah tangga yang akurat. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, maka garis kemiskinan ditentukan dengan pendekatan 45

71 pengeluaran yang digunakan sebagai proksi atau perkiraan pendapatan rumah tangga. Garis kemiskinan yang dipergunakan BPS dinyatakan sebagai jumlah rupiah yang dikeluarkan atau dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang setara dengan kalori per kapita ditambah dengan pemenuhan kebutuhan minimum lainnya seperti sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, angkutan dan bahan bakar. Penggunaan kebutuhan kalori dengan pendekatan pengeluaran sebagai dasar penentuan garis kemiskinan, sebelumnya telah diperkenalkan oleh Sayogyo tahun Konsep ini dinilai lebih mendekati kondisi kehidupan masyarakat yang sesungguhnya karena pengeluaran pokok di luar kebutuhan pangan juga diperhitungkan (Yusdja et al., 2003). Berdasarkan garis kemiskinan yang dipergunakan, dapat dihitung jumlah penduduk miskin di suatu wilayah. Garis kemiskinan dibedakan antara daerah perkotaan dan perdesaan, dimana garis kemiskinan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan di perdesaan sesuai dengan perbedaan indeks harga bahanbahan kebutuhan pokok masyarakat di kedua wilayah tersebut. Garis kemiskinan juga berubah dari tahun ke tahun, dikoreksi menurut perkembangan tingkat harga kebutuhan pokok masyarakat (Sumedi dan Supadi, 2004). Indikator yang biasa digunakan untuk mengukur kemiskinan dalam studistudi empiris adalah sebagai berikut (Yudhoyono dan Harniati, 2004; Nanga, 2006; dan Foster et al., 1984): 1. Incidence of poverty, yang menggambarkan persentase dari populasi yang hidup dalam keluarga dengan pengeluaran konsumsi per kapita di bawah garis kemiskinan. Indeksnya disebut poverty headcount index, yang merupakan ukuran kasar dari kemiskinan, karena hanya menjumlahkan berapa banyak orang miskin yang ada di dalam perekonomian kemudian dibuat persentasenya terhadap total penduduk. Dengan ukuran ini, setiap orang miskin memiliki bobot yang sama besarnya, tidak ada perbedaan antara penduduk yang paling miskin dan penduduk yang paling kaya di antara orang-orang miskin. 2. Depth of poverty, yang menggambarkan tingkat kedalaman kemiskinan di suatu wilayah yang diukur dengan poverty gap index. Indeks ini mengestimasi 46

72 jarak atau perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan, yang dinyatakan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan tersebut. Kelemahan indeks ini adalah mengabaikan atau belum memperhatikan distribusi pendapatan di antara penduduk miskin. 3. Severity of poverty, yang menunjukkan kepelikan kemiskinan di suatu wilayah, yang merupakan rata-rata dari kuadrat kesenjangan kemiskinan (squared poverty gaps). Indikator ini selain memperhitungkan jarak yang memisahkan orang miskin dari garis kemiskinan juga ketimpangan pendapatan di antara orang miskin tersebut. Indeks ini juga sering dinamakan sebagai indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) Tambunan (2001) mengemukakan bahwa terdapat sejumlah cara untuk mengukur tingkat kesenjangan dalam distribusi pendapatan, yang dapat dibagi ke dalam dua kelompok pendekatan yaitu asiomatic approach dan stochastic dominance. Pendekatan yang sering digunakan dalam studi-studi empiris adalah pendekatan pertama dengan tiga alat ukur yaitu: (1) the generalized entropy (GE), (2) the Atkinson measure, dan (3) Gini coefficien Rumus GE dapat dituliskan sebagai berikut: n 1 1 yi GE ( α ) = α α n i= 1 y α (2.1) dimana: n adalah jumlah individu (orang) di dalam sampel, yi adalah pendapatan dari individu (1, 2, n), dan y = (1/n) yi adalah ukuran rata-rata pendapatan. Nilai GE terletak antara 0 sampai. Nilai GE nol berarti distribusi pendapatan merata (pendapatan dari semua individu di dalam sampel sama) dan berarti kesenjangan yang sangat besar. Parameter mengukur besarnya perbedaan antar pendapatan dari kelompok yang berbeda di dalam distribusi tersebut. Dari persamaan (2.1) di atas, dapat diturunkan cara mengukur ketimpangan dari Atkinson sebagai berikut: n 1 yi A = 1 n i= 1 y 1 ε 1 ε....(2.2) 47

73 dimana: ε adalah parameter ketimpangan (0 < ε < 1), semakin tinggi nilai ε maka semakin tidak seimbang pembagian pendapatan. Nilai A terletak antara 0 sampai 1. Nilai A sama dengan nol berarti tidak ada ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Alat ukur ketiga yang sering digunakan dalam setiap studi empiris mengenai kesenjangan dalam pembagian pendapatan adalah koefisien atau rasio Gini, yang formulanya dapat dirumuskan sebagai berikut: n i= 1 { F *( Yi) + F *( Yi 1) } G = 1 Pi... (2.3) dimana: G adalah nilai koefisien gini, n adalah jumlah sampel, Pi= 1/n, F*(Yi) adalah persentase pendapatan sampel ke-i dibagi total pendapatan seluruh sampel, dan F*(Yi-1) adalah jumlah persentase kumulatif pendapatan sampel ke-(i-1). Nilai Gini (G) berada pada selang 0 sampai 1. Apabila rasio Gini = 0, berarti kemerataan yang sempurna (setiap orang mendapat porsi dari pendapatan yang sama). Apabila rasio Gini = 1, berarti ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian pendapatan. Dengan kata lain, satu orang (satu kelompok pendapatan) di suatu negara menikmati semua pendapatan negara tersebut. Dengan menggunakan grafik, rasio Gini dapat digambarkan dengan Kurva Lorenz seperti yang disajikan pada Gambar 4. Koefisien Gini adalah rasio antara daerah di dalam grafik yang terletak di antara kurva Lorenz dan garis kemerataan sempurna (yang membentuk sudut 450 dari titik 0 sumbu Y dan X) terhadap daerah segitiga antara garis kemerataan dan sumbu Y dan X. Semakin tinggi nilai rasio Gini, yakni mendekati 1 atau semakin menjauh kurva Lorenz dari garis 45 0, semakin besar tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan. 48

74 Sumber: Tambunan (2001) Gambar 4. Rasio Gini dan Kurva Lorenz Foster et al. (1984) mengemukakan suatu ukuran atau indikator yang dapat digunakan untuk menganalisis kemiskinan melalui distribusi pendapatan. Ukuran atau indikator tersebut adalah Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index, yang dapat dirumuskan sebagai berikut: α N 1 g( p; z) P ( z; a) =, α 0...(2.4) N i= 1 z dimana: g(p;z) = distribusi dari poverty gaps z = garis kemiskinan (poverty line) Untuk mengetahui bagaimana interpretasi FGT indeks, menurut nilai, dapat dilihat pada Gambar 5, yang menggambarkan kontribusi total kemiskinan P(z;) dari masing-masing individu dengan tingkat kemiskinan p yang berbeda. Kontribusi tersebut ditunjukkan oleh [g(p;z)/z]. Untuk = 0, kontribusinya adalah 1 untuk yang miskin dan 0 untuk yang kaya (yang mempunyai ranking melebihi F(z) pada gambar atau sama dengan pendapatan Q(p) yang melebihi z). Headcount index adalah daerah empat persegi panjang. 49

75 Untuk =1 kontribusi seseorang pada tingkat kemiskinan p, persis sama dengan poverty gaps, g(p;z)/z. Rata-rata kemiskinan yang dinormalkan adalah yang berada pada daerah di bawah g(p;z)/z. Demikian juga untuk nilai yang lebih besar, misalnya kontribusi untuk P(z;=3) dari individu-individu pada tingkat kemiskinan p adalah (g(p;z)/z)3, sehingga rata-rata kemiskinan P(z;=3) adalah area yang berada di bawah kurva (g(p;z)/z)3. Sumber: Foster et al. (1984) Gambar 5. Poverty Gaps dan FGT Indeks Duclos dan Araar (2004) memperkenalkan dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mengukur kemiskinan. Kedua pendekatan ukuran kemiskinan tersebut adalah: (1) equality distributed equivalent (EDE), yaitu standar hidup dari masyarakat dimana pendapatan menjadi acuan batas garis kemiskinan, dan (2) kombinasi antara pendapatan dan garis kemiskinan menjadi poverty gaps dan mengelompokkannya dalam kesejahteraan masyarakat. Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian yang menganalisis tentang kelapa telah banyak dilakukan namun penelitian yang dilakukan masih bersifat parsial dan belum dilakukan secara komperensif. Dari berbagai penelitian yang telah dilaksanakan dapat dilihat perkembangannya antara lain : Tarigan (2003) meneliti tentang Pengembangan Usaha Tani Kelapa Berbasis Pendapatan Melalui Penerapan Teknologi yang Berwawasan Pengurangan Kemiskinan Petani Kelapa di Indonesia, Sumarti (2003) Dinamika Kesejahteraan Petani Kelapa dan Strategi Pengembangan Kelapa Rakyat, Mahmud (2003) Pemberdayaan Petani Kelapa dengan Sistem Usahatani Kelapa Terpadu, Aris (2003) Analisis Pengembagan Agribisnis Kelapa 50

76 Rakyat di Kabupaten Indragiri Hilir, Kuswari (2005) Pengembangan Agribisnis Kelapa dalam Rangka Pengembangan Ekonomi Lokal di Kabupaten Indragiri Hilir, dan Luntunhan (2006) Peningkatan Pendapatan Komunitas Petani Kelapa Melalui Inovasi Teknologi di Desa Sei Arah Kabupaten Indragiri Hilir. Dari berbagai penelitian terdahulu yang telah dilakukan, maka untuk mengisi keterbatasan penelitian/kajian tersebut dalam aspek sosial ekonomi masyarakat kaitannya dengan pembangunan wilayah, maka peneliti tertarik untuk melakukan perluasan penelitian tentang kelapa dengan menggunakan pendekatan model analisis sosial ekonomi. Dalam hal ini peneliti akan menggunakan Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), guna melihat lebih luas dampak dari pengembangan kelapa terhadap distribuasi pendapatan, tenaga kerja dan pertumbuhan ekonomi wilayah Kabupaten Indragiri Hilir, serta keterkaitannya dengan institusi pembangunan ekonomi wilayah baik masyarakat, pemerintah maupun swasta. Guna mendapatkan hasil yang komprehensif maka Model SNSE yang akan digunakan. Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) merupakan perluasan dan penyempurnaan dari Model Input-Output. Untuk kasus Indonesia penggunaan model tersebut hingga dewasa ini masih relatif terbatas. Ditinjau dari perkembangan studi-studi yang mengunakan kerangka analisis tersebut antara lain seperti Sastrowiharjo (1989) menggunakan model Input-Output untuk mengetahui pertumbuhan dan perubahan struktur ekonomi Provinsi Jambi. Hasil studinya menemukan bahwa proses pertumbuahan perekonomian Provinsi Jambi ditentukan oleh pertumbuhan permintaan akhir berupa konsumsi rumah tangga, pengeluaran rutin pemerintah, pengeluaran pemerintah untuk proyek-proyek pembangunan, Investasi swasta, stok dan ekspor. Dalam jangka pendek, pertumbuhan permintaan akhir untuk setiap komoditi bersifat independen, artinya tidak ditentukan oleh sistem produksi itu sendiri, tetapi ditentukan oleh faktorfaktor lain. Temuan lainnya yaitu struktur perekonomian Provinsi Jambi tahun 1984 mengalami perubahan yang berbeda, yaitu kelompok sektor pertanian pada tahun 1978 memberikan sumbangan terhadap PDRB persen, dan pada tahun 1984 turun menjadi sebesar persen. 51

77 Selanjutnya Sembiring (1995) menggunakan model Input-Output dalam mengakaji peran agroindustri terhadap pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Hasil studinya menemukan bahwa sektor agroindustri penyumbang terbesar terhadap output dan ekspor, masing-masing sebesar persen dan persen, tetapi sektor ini juga pengimpor terbesar, yaitu sebesar persen untuk proses produksinya, sehingga terjadi defisit terbesar yaitu persen. Kontribusi sektor agroindustri terhadap nilai tambah dan kesempatan kerja masih rendah dibanding dengan sektor pertanian, tetapi produktivitas tenaga kerja di sektor agroindustri relatif jauh lebih tinggi (Rp juta/orang/tahun). Sedangkan sektor pertanian (Rp juta/orang/tahun). Selain itu ditemukan sektor agroindusti belum jadi sektor utama (the leading sector) tetapi termasuk sebagai salah satu sektor utama (a leading sector) dalam pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara tahun Arief (1993) model input output adalah keseimbangan di dalam masingmasing sektor produksinya. Di dalam tabel input output banyak sektor sama dengan banyak komoditi. Walaupun tabel input output disusun secara rinci, namun tabel Input-Output hanya memperlihatkan keseimbangan total antara produksi dan konsumsi, tanpa melihat aspek sosial yang akan terjadi dalam perekonomian. Sebagai contoh model input output tidak mencakup aspek distribusi pendapatan sebab dalam model ini rumah tangga hanya dianggap sebagai satu aktor (tidak dibedakan menurut lapisan sosial ekonominya). Keterbatasan yang dihadapi oleh model input output tersebut dapat diperluas dengan menggunakan model sistem neraca sosial ekonomi (SNSE). SNSE semula dirintis oleh Richard Stone dan kawan-kawannya dari Cambridge University of England. SNSE, merupakan gabungan berbagai ukuran ekonomi yang semula terpisah-pisah. Ia merangkum berbagai variabel sosial dan ekonomi secara kompak dan terintegrasi untuk memperlihatkan gambaran umum mengenai perekonomian satu negara dan keterkaitan antara variabel sosial dan ekonomi pada waktu tertentu. Berbeda dengan dua model sebelumnya, SNSE melihat keseimbangan umum dengan mengutamakan pemerataan struktur produksi, distribusi pendapatan dan konsumsi. 52

78 Selanjutnya Narapalasingam (1985) menggunakan Social Accounting Matrix/SAM untuk menganalisis perekonomian Sri Lanka Webster (1985) menggunakan Social Accounting Matrix untuk menganalisis perekonomian Swaziland tahun Sedangkan Greenfield (1985) mengunakan Social Accounting Matrix untuk perekonomian Bostwana tahun dalam Pyatt and Round (1985). Sedangkan Budiyanti dan Schreiner (1991) menerapkan Social Accounting Matrix terhadap data PATANAS Hasil analisisnya diperoleh bahwa Social Accounting Matrix bermanfaat dalam menganalisis sumber-sumber dan distribusi pendapatan antar sistem usahatani (tanaman dan ternak), daerahdaerah produksi, buruh tani, dan tenaga kerja wanita. Khan dan Thorbecke (1989) menggunakan kerangka Sistem Neraca Sosial Ekonomi dalam menganalisis dampak langsung dan tidak langsung pilihan teknologi terhadap distribusi pendapatan, jumlah pendapatan, komposisi output dan kesempatan kerja di Indonesia. Dalam enam sektor yang spesifik dampak dari distribusi teknologi dilihat dengan menggunakan model Sistem Neraca Sosial Ekonomi secara terpisah dengan menggunakan model fixed price multiplier, diperoleh gambaran tentang pola distribusi pendapatan dan kesempatan kerja yang lebih sensitif dalam mengadopsi teknologi baru. Secara teoritis, Sistem Neraca Sosial Ekonomi dapat digunakan sebagai alat analisis wilayah yang lebih kecil. Sementara aplikasinya diperkenalkan oleh Lewis dan Thorbecke (1992) dengan contoh kasus Kota Kutus, Kenya. Seperti halnya pada SNSE sebelumnya dalam studi tersebut neraca di klasifikasikan atas: aktivitas produksi, faktor produksi, dan institusi yang di dalamnya tercakup rumah tangga, kapital dan rest of the world. Namun dalam konteks ini rest of the world yang dimaksud adalah seluruh wilayah ekonomi di luar Kota Kutus maupun di luar Kenya. Selanjutnya Sutomo (1995) menerapakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi untuk menganalisis Ekonomi untuk Provinsi Riau dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Salah satu hasil studinya yakni distribusi pendapatan antar golongan rumah tangga di kedua Provinsi Riau dan NTT berada dalam keadaan timpang, hal tersebut ditunjukkan oleh indeks gini di kedua provinis tersebut melebihi

79 sedangkan distribusi pendapatan faktorial antara tenaga kerja dan kapital menunjukkan bahwa proses produksi di Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki insentif tenaga kerja yang ditunjukkan oleh koefisien tenaga kerja sebesar 0.68 lebih besar dari pada kapital Namun di Provinis Riau terjadi sebaliknya yakni insentif kapital yaitu koefisien kapital sebesar 0.52 lebih besar dari pada tenaga kerja Ini berarti bahwa masing-masing provinsi tersebut peningkatan penggunaan tenaga kerja dan kapital memiliki peranan penting dalam meningkatkan nilai tambah bruto wilayah. Kemudian Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi digunakan Wagner (1999) dalam meneliti peranan kunjungan wisata asing terhadap perekonomian wilayah di APA de Guaraquecaba, Brazil. Wagner mengukur tiga jenis multiplier yakni : type I, type II, dan multiplier Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Output multiplier type I digunakan untuk melakukan estimasi hanya pada blok aktifitas atau matrik antar sektor ekonomi. Multiplier type II menggambarkan dampak intra, inter, dan extra group. Sedangkan multiplier Sistem Neraca Sosial Ekonomi selain dapat menjelaskan dampak dan yang ditunjukkan oleh multiplier type II, juga menggambarkan pembayaran modal terhadap rumah tangga. Nilai multiplier yang dihasilkan untuk type II lebih besar nilainya dibandingkan dengan type I dan nilai multiplier Sistem Neraca Sosial Ekonomi, nilainya lebih besar dibandingkan dengan type II. Hasil penelitian ini disimpulkan bahwa secara umum sektor yang paling besar dipengaruhi oleh besarnya kunjungan wisata asing adalah rumah tangga perdesaan yang menghasilkan output kerajinan dengan input lokal. Mereka banyak memperoleh manfaat yang lebih besar dari kedatangan wisatawan asing dengan mendapatkan dollar yang lebih besar dari produk yang dihasilkannya. Selanjutnya Antara (1999) hasil penelitiannya menunjukkan produksi tanaman pangan menimbulkan effek pengganda, peningkatan produksi padi berperan besar dalam meningkatkan permintaan produk-produk industri alat angkutan. Peningkatan alokasi pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur ekonomi sebesar 15 persen, berdampak menumbuhkan perekonomian Bali sebesar 0.05 persen, pendapatan rumah tangga 0.05 persen, sektor produksi 0.09 persen dan khususnya sektor produksi pertanian 0.10 persen. Pembangunan ekonomi Bali 54

80 memprioritaskan tiga sektor utama yaitu pertanian, pariwisata dan industri kecil telah menunjukkan hasil yang relatif baik. Sedangkan Manaf (2000) menggunakan Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia tahun 1995 untuk meneliti pengaruh subsidi harga pupuk terhadap pendapatan petani melalui analisis alur struktur atau structural path analysis (SPA). SPA ini digunakan untuk mengidentifikasi alur-alur asal pengaruh yang dipancarkan dari satu sektor asal ke sektor-sektor tujuan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengaruh yang terbesar dari adanya subsidi harga pupuk diterima oleh sektor perkebunan. Sedangkan pengaruh paling kecil justru diterima oleh rumah tangga petani pemilik lahan luas hektar, itupun setelah melalui faktor produksi modal. Selanjutnya Model Sistem Neraca Sosial Ekonomi digunakan oleh Sinha et al. (2000) dalam melakukan analisis rumah tangga baik formal maupun informal. Studi tersebut melakukan simulasi kebijakan peningkatan ekspor tekstil, baik yang formal maupun informal dengan menggunakan analisis multiplier. Hasil simulasi menunjukkan bahwa faktor produksi di sektor formal terlihat lebih merasakan dampak apabila naiknya ekspor tekstil tersebut. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan pendapatan yang tinggi. Dampak peningkatan ekspor juga banyak dirasakan oleh sektor rumah tangga di sektor formal dibandingkan dengan rumah tangga sektor informal. Nielsen (2002) telah berhasil membangun Sistem Neraca Sosial Ekonomi di negara Vietnam tahun 1996 dan 1997 dalam kerangka Sistem Neraca Sosial Ekonomi, Neilsen mengelompokkan sektor pertanian yang merupakan sektor unggulan di negara vietnam menjadi delapan sektor produksi pertanian, dua sektor jasa pertanian dan tiga belas sektor agroindustri. Sementara itu, Bautista (2000) juga telah membangun model Sistem Neraca Sosial Ekonomi untuk wilayah Vietnam pusat yang terdiri dari 25 sektor produksi, 4 kelompok rumah tangga, 2 kelompok perusahaan, dan pemerintah, modal, serta neraca luar negeri, masingmasing satu kelompok. Studi yang dilakukan oleh Bautista terhadap perekonomian Vietnam pusat dengan analisis multiplier dengan kesimpulan bahwa nilai multiplier baik gross output, value added, maupun pendapatan rumah 55

81 tangga terutama keluarga di sektor pertanian selalu lebih besar dibanding dengan sektor pertambangan dan industri pengolahan. Berdasarkan hasil penelitiannya Bautista merekomendasikan untuk menerapkan pembangunan berbasis pertanian di Vietnam Pusat. 56

82 METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Pembangunan suatu wilayah pada hakekatnya ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan (growth), pemerataan (equity) dan keberlanjutan (sustainability). Dalam proses pembangunan, ketersediaan sumberdaya merupakan prasyarat yang sangat diperlukan, seperti ketersedian Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM), Sumber Daya Sosial (SDS) dan Sumber Daya Buatan (SDB). Selanjutnya dalam pembangunan yang berbasis pengembangan wilayah dipandang pentingnya keterpaduan antar sektoral, ruang (spatial) serta keterpaduan antar pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah (Anwar, 2005 dan Rustiadi et al., 2005). Dari konsep tersebut dapat diartikan bahwa untuk mendorong pencapaian tujuan pembangunan maka ketersediaan sumberdaya perlu terintegrasi dengan sistem pengelolaan dan pemanfaatannya. Dalam suatu wilayah terdapat beberapa sektor perekonomian. Sektor perekonomian yang dominan memberikan nilai tambah dan menyerap lapangan kerja serta memiliki keterkaitan yang kuat dengan sektor lainnya merupakan ciri dari suatu sektor atau komoditas unggulan. Oleh karena itu sektor atau komoditas unggulan tersebut perlu mendapat perhatian dalam rangka menciptakan nilai tambah yang sebesar-besarnya terhadap peningkatan pendapatan masyarakat dan perekonomian wilayah. Nilai tambah komoditas dipengaruhi oleh kinerja sistem produksi. Dengan demikian keterkaitan subsistem-subsistem sejak dari input, produksi, pengolahan hasil (processing) dan pemasaran hasil serta faktor pendukung seperti kelembagaan dan kebijakan pemerintah, perlu dikelola secara utuh terutama untuk meningkatkan nilai tambah komoditas (Syafa at, 2003; Soekartawi, 2004). Agar sistem produksi secara keseluruhan mampu berkembang dan berkelanjutan (sustainable) maka semua unit kegiatan produksi secara ekonomi harus mampu hidup (economically viable). Untuk itu unit-unit usaha dalam struktur vertikal proses produksi harus mampu menciptakan laba (profit making enterprise) atau nilai tambah (Syafa at et al., 2003).

83 Nilai tambah komoditas unggulan daerah dipengaruhi oleh kinerja sistem produksi, dimana keterkaitan subsistem-subsistem mulai dari hilir hingga hulu serta faktor pendukung, perlu dikelola secara utuh dan terintegrasi guna meningkatkan nilai tambah komoditi. Jika sistem produksi komoditi tidak diikuti oleh sektor processing atau sektor turunan, maka dampaknya akan mempengaruhi kecilnya nilai tambah yang dihasilkan. Dengan demikian pengembangan sektor turunan secara ekonomi, berarti dapat mempengaruhi pendapatan faktor produksi (modal dan tenaga kerja), pendapatan institusi (kelompok rumah tangga) dan pendapatan wilayah. Demikian juga ketika pendapatan dan nilai tambah dari sistem produksi kurang menguntungkan maka selain dapat berdampak pada perekonomian wilayah juga dapat berdampak pada rendahnya pendapatan faktor produksi dan institusi serta pendapatan sektor produksi. Kondisi ini akan mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan sektor pertanian. Dengan kata lain, rendahnya nilai tambah yang diperoleh dari kegiatan sistem produksi pertanian, maka dapat mengganggu produktivitas dan pemanfaatan lahan, dan pada gilirannya dapat mendorong terjadinya peningkatan eksternalitas negatif terhadap pemanfaatan lahan pertanian, seperti terjadinya konversi lahan, turunnya produktivitas lahan, yang akhirnya tentu dapat menganggu keberlanjutan sumberdaya alam pertanian dan sistem produksi pertanian itu sendiri. Dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, peranan nilai tambah dan pendapatan merupakan inti dari proses pertumbuhan ekonomi (Bendavid, 1991). Dimana nilai tambah dan pendapatan mempengaruhi pendapatan masyarakat dan perekonomian wilayah. Untuk meningkatkan nilai tambah maka diperlukan pengembangan rantai industri pengolahan, sehingga output yang dipasarkan dalam suatu wilayah merupakan suatu produk akhir, bukan bahan mentah/bahan baku. Peningkatan nilai tambah akan dapat meningkatkan multiplier yang dihasilkan dari pembangunan ekonomi suatu wilayah. Menurut Bendavid (1991) menjelaskan bahwa terjadinya kebocoran wilayah akan memberikan dampak pada kecilnya multiplier yang dihasilkan dari pembangunan ekonomi di suatu wilayah, atau dengan kata lain semakin besar 58

84 kebocoran yang terjadi, maka semakin besar pula multiplier pendapatan yang hilang bagi suatu wilayah. Selanjutnya Rada dan Taylor (2006) menjelaskan bahwa kebocoran dapat dilihat dari sisi agregat demand seperti ketika peningkatan investasi, ekspor dan belanja pemerintah menghasilkan multiplier pendapatan yang kecil bagi suatu daerah. Selanjutnya Christopher dan Bryan (1994) menjelaskan kebocoran dapat terjadi ketika bagian dari pendapatan yang dibelanjakan oleh rumah tangga untuk konsumsi (consumption) barang-barang dan jasa-jasa dominan mengkonsumsi yang bukan diproduksi di dalam negeri atau dominan impor. Dari beberapa konsep kebocoran wilayah, dapat diartikan bahwa selain dari sisi pengeluaran, kebocoran wilayah juga dapat dilihat dari sisi penerimaan. Adanya sumber penerimaan wilayah dalam bentuk nilai tambah yang tidak dapat dimanfaatkan guna meningkatkan pendapatan domestik maka kondisi tersebut merupakan indikasi kebocoran wilayah. Hal ini sesuai dengan Anwar (2004) menjelaskan bahwa kebocoran wilayah dapat terjadi apabila nilai tambah ekonomi suatu wilayah mengalir ke wilayah lain, karena tidak dapat dimanfaatkan atau ditangkap secara optimal oleh suatu wilayah. Dengan demikian berarti kebocoran wilayah dapat merugikan perekonomian wilayah serta dapat mengganggu keberlanjutan pembangunan (Rustiadi et al., 2005). Armstrong dan Taylor (2001), Mankiw (2000) menjelaskan bahwa dalam sistem ekonomi terbuka ekspor merupakan komponen penting yang dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Dari konsep tersebut dapat diartikan bahwa apabila kinerja ekspor dan pemasaran komoditas dalam sistem produksi terganggu maka dampaknya tentu dapat mempengaruhi pendapatan, kesejahteraan masyarakat dan perekonomian wilayah, sehingga pada gilirannya dapat mempengaruhi keberlanjutan sistem produksi itu sendiri. Karena kinerja sistem produksi mempengaruhi nilai tambah dan pendapatan, selanjutnya pendapatan mempengaruhi perekonomian wilayah. Dengan demikian terjadinya kebocoran nilai tambah tentu dapat mempengaruhi perekonomian wilayah, dan pada gilirannya tentu dapat mempengaruhi pencapaian tujuan pembangunan ekonomi wilayah. 59

85 Adanya keterkaitan sistem produksi komoditas unggulan daerah dengan kebocoran wilayah serta dampaknya terhadap perekonomian masyarakat dan wilayah, sehingga kajian kebocoran wilayah dalam sistem produksi komoditas unggulan daerah serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah dalam upaya pengembangan ekonomi wilayah dan pencapaian tujuan pembangunan wilayah menarik untuk dilakukan. Untuk menyederhanakan kerangka berpikir penelitian ini, secara flow chart dapat dijelaskan seperti Gambar 6 berikut ini : Pembangunan Wilayah Tujuan Peningkatan Pendapatan Pemerataan Keberlanjutan Impor S U M B E R D A Y A SDA SDM SDS SDB Ekspor Keberlanjutan Sektor Perekonomian Wilayah Pertanian Perkebunan Kelapa Konversi & Degradasi Lahan Nilai Tambah Rendah Proses Produksi Pendapatan Wilayah Investasi Pendapatan Faktor Produksi PEREKONOMIAN WILAYAH Multiplier Pendapatan Pendapatan Institusi Pendapatan Kegiatan Produksi Pertumbuhan Kebocoran Wilayah Gambar 6. Kerangka Pemikiran Penelitian Dari kerangka pemikiran yang telah dibangun di atas dalam mengkaji dampak pengembangan perkebunan kelapa rakyat terhadap kemiskinan dan perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir, maka dijelaskan secara detil kerangka pemikiran dan alur kajian seperti di bawah ini. 60

86 Kebijakan pembangunan wilayah, seringkali menyebabkan semakin meningkatnya kesenjangan tingkat pendapatan antar kelompok masyarakat yang ada dalam suatu wilayah, misalnya antara kelompok perkotaan dan perdesaan, antar kelopok petani dan buruh tani, antar kelompok perusahaan dan petani, dan antar kelompok masyarakat lainnya. Pengalaman berbagai daerah atau negara menunjukkan bahwa sasaran pembangunan ini terutama growth-equity sering kali tidak dapat diwujudkan secara searah. Kondisi ini juga dialami oleh Kabupaten Indragiri Hilir, dimana tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dalam kurun waktu mencapai 7.27 persen, namun tingkat pemerataannya (equity) sangat rendah. Hal ini tercermin dari tingginya angka kemiskinan yaitu mencapai persen pada tahun Berdasarkan hal ini, maka untuk melihat apakah program pembangunan yang dilaksanakan berdampak pada pertumbuhan sekaligus menghasilkan struktur ekonomi yang relatif merata (menurunkan kemiskinan) atau sebaliknya, diperlukan suatu analisis sedemikian rupa melalui injeksi atau investasi terhadap suatu sektor untuk dilihat dampaknya pada pertumbuhan dan pemerataan atau kemiskinan. Analisis yang dimaksud juga harus mampu menghasilkan pengetahuan mengenai sektor mana saja yang akan memberikan dampak pertumbuhan dan/atau dampak pemerataan serta penurunan kemiskinan yang relatif paling baik. Struktur perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir didominasi oleh sektor pertanian, khususnya sektor perkebunan kelapa rakyat, dimana komoditas kelapa dan industri pengolahannya memberikan kontribusi sebesar persen terhadap PDRB total Kabupaten Indragiri Hilir serta melibatkan KK petani kelapa. Pengembangan komoditas kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir diduga menghadapi persoalan diantaranya persoalan kemiskinan petani kelapa. Oleh karena itu faktor-faktor yang dapat menyebabkan tingginya kemiskinan petani kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir bisa disebabkan akibat keterisolasian wilayah, keterbatasan infrastruktur, biaya trasportasi yang mahal, terbatasnya alokasi anggaran pembangunan dan tingginya biaya pembanguan akibat kondisi wilayah yang umumnya rawa dan bergambut, kelembagaan produksi dan pemasaran hasil pertanian yang belum berfungsi dan belum memadai, serta turunnya produktivitas 61

87 tanaman akibat intrusi air laut dan genangan air pada lahan-lahan pertanian akibat saluran drainase yang tidak memadai dan berfungsi dengan baik. Untuk mengetahui dampak pengembangan kelapa terhadap kemiskinan dan perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir maka perlu dilakukan analisis simulasi kebijakan dengan melihat dampak investasi terhadap sektor perkebunan kelapa rakyat dan industri pengolahan kelapa dan sektor penunjang lainnya terhadap penurunan kemiskinan dan peningkatan pendapatan masyarakat dan wilayah. Dari sisi ekonomi wilayah, untuk mengetahui peran dan keterkaitan ekonomi sektor perkebunan kelapa rakyat terhadap output perekonomian, nilai tambah bruto, pendapatan masyarakat, penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi wilayah dan distribusi pendapatan antar pelaku ekonomi dalam kaitannya dengan dominannya sektor kelapa dalam mendukung penyerapan tenaga kerja wilayah perlu diidentifikasi, sehingga dapat diketahui peran dan keterkaitannya terhadap perekonomian wilayah, perekonomian masyarakat dan kebocoran wilayah khususnya di Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau. Untuk menggambarkan alur penelitian dampak pengembangan perkebunan kelapa rakyat terhadap perekonomian masyarakat dan wilayah kasus Kabupaten Indragiri Hilir, maka secara flow chart dapat dijelaskan seperti pada Gambar 7 di bawah ini. 62

88 Pembangunan Wilayah Kelapa merupakan sumber perekonomian utama masyarakat Pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan pembangunan Permasalahan: - Pertumbuhan ekonomi wilayah tinggi, kemiskinan tinggi - Keterkaitan ekonomi sektor kelapa - Industri pengolahan kelapa rakyat - Kebocoran wilayah Kebutuhan pengembangan perekonomian masarakat dan wilayah Pengembangan Perkebunan Kelapa Rakyat di Kabupaten Indragiri Hilir Peran sektor kelapa dibandingkan sektor lainnya thdp perekonomian wilayah Keterkaitan ekonomi sektor kelapa dengan sektor lainnya dan Multiplier Y, NTB, Income, dan TK Kebocoran wilayah sektor kelapa Faktor2 yg mempengaruhi kemiskinan di Kab. Inhil Kemiskinan turun & peningkatan pendapatan Analisis Deskriptif Analisis Keterkaitan Sektor, Analisis Multiplier Analisis Kebocoran Wilayah Analisis Regresi OLS Analisis Simulasi Kebijakan Pengembangan Sektor Kelapa Terhadap Perekonomian Masyarakat dan Kab. Inhil Gambar 7. Kerangka dan Alur Penelitian Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Analisis dampak pengembangan perkebunan kelapa rakyat terhadap kemiskinan dan perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir, dilakukan dengan pendekatan analisis kualitatif dan kuantitatif serta di analisis dari aspek makro dan mikro. Analisis kualitatif dilakukan untuk memberikan penjelasan hasil penelitian seperti berbentuk tabel, gambar dan grafik serta berbentuk penjelasan atau narasi yang secara deskriptif kualitatif, terutama dalam menjelaskan masalah kebocoran wilayah dan sistem produksi komoditas kelapa serta dampaknya terhadap perekonomian wilayah di Kabupaten Inhil Provinsi Riau. Sedangkan analisis 63

89 kuantitatif dilakukan untuk menganalisis keterkaitan sektor kelapa dan multiplier effect terhadap output, nilai tambah bruto, pendapatan, dan tenaga kerja serta distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat, kemiskinan dan kebocoran wilayah. Karena adanya berbagai keterbatasan dalam penelitian ini baik dari segi keterbatasan waktu, biaya, dan penggunaan model, sehingga peneliti membatasi penelitian ini dari aspek makro dibatasi pada analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), sehingga dalam penelitian ini aspek pasar tidak dapat dianalisis dengan menggunakan model SNSE. Dari sisi mikro akan dilakukan analisis dampak pengembangan perkebunan kelapa rakyat terhadap perekonomian masyarakat baik dari aspek distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat/rumahtangga maupun terhadap penurunan kemiskinan dari hasil simulasi kebijakan yang ada. Hipotesis Penelitian Dari kerangka pemikiran penelitian dapat diturunkan beberapa hipotesis penelitian yaitu sebagai berikut: 1) Sektor kelapa dan sektor industri pengolahan kelapa memiliki peran yang besar terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Indragiri Hilir baik ditinjau dari aspek Output, PDRB dan tenaga kerja, dibandingkan dengan sektor pertanian lainnya. 2) Sektor kelapa dan sektor industri pengolahan kelapa masih memiliki keterkaitan yang lemah terhadap perekonomian wilayah dan memiliki multiplier effect yang positif terhadap penyerapan tenaga kerja, pendapatan tenaga kerja, nilai tambah bruto, dan output perekonomian wilayah Kabupaten Indragiri Hilir. 3) Sektor kelapa dan sektor industri pengolahan kelapa di Kabupaten Indragiri Hilir diduga mengalami kebocoran wilayah. 4) Investasi di sektor kelapa dan sektor industri kelapa diduga memiliki dampak terhadap penurunan kemiskinan, penurunan kedalaman dan keparahan kemiskinan, penurunan nilai indeks Gini Ratio. Serta meningkatan 64

90 5) pertumbuhan faktor produksi, petumbuhan pendapatan rumah tangga dan pertumbuhan sektor produksi. Diduga kebijakan investasi disektor industri kelapa skala rumah tangga akan memberikan dampak yang lebih baik terhadap penurunan kemiskinan dan peningkatan pendapatan bila dibandingkan dengan kebijakan investasi disektor kelapa, sektor industri pengolahan kelapa skala besar dan sektor kelapa sawit. Lokasi Penelitian Penelitian mengambil lokasi di Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau, dengan pertimbangan: (i) Kabupaten Indragiri Hilir memiliki aktivitas perekonomian yang didominasi oleh sektor perkebunan terutama komoditi kelapa baik dalam penggunaan lahan, produksi dan serapan tenaga kerja, (ii) Indragiri Hilir merupakan wilayah pengembang kelapa terluas di Indonesia, dan juga teridentifikasi sebagai wilayah yang terbesar kontribusinya dalam memasok kelapa nasional, sekaligus sebagai penyumbang ekspor kelapa terbesar dari Indonesia, (iii) kegiatan masyarakat dalam pengembangan kelapa di wilayah tersebut diperkirakan memiliki dampak terhadap perekonomian wilayah dan masyarakat. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan adalah data-data sekunder. Pengumpulan data sekunder dilakukan pada berbagai instansi/lembaga yang berkompeten seperti Bappeda, BPS, Dinas Perkebunan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Koperasi, Bagian Pembanguan Setda Inhil, Bagian Keuangan Setda Inhil, Dinas PU, Dinas Pertanian, BPMD, Balitbang, Mappi Kabupaten Indragiri Hilir, APCC, PT. Pulau Sambu Group dll. Untuk lebih jelasnya jenis data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4. 65

91 Tabel 4. Tujuan, Analisis, Jenis Data dan Sumber Data Penelitian Dampak Pengembangan Perkebunan Kelapa Rakyat Terhadap Kemiskinan dan Perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir No Tujuan Analisis Jenis Data Sumber Data 1 Menganalisis peran Analisis perekonomian wilayah Analisis keterkaitan sektor kelapa Analisis Tabel Input-Output dan SNSE Kabupaten Inhil Tahun 2005 Data-data sekunder lainnya Bappeda Kabupaten Inhil dan instansi terkait lainnya di Kabupaten Indragiri Hilir sektor kelapa terhadap perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir ditinjau dari aspek output, PDRB dan tenaga kerja, dibandingkan dengan sektor pertanian lainnya dan sektor industri pengolahan kelapa, serta menganalisis keterkaitan sektor kelapa dan multiplier effect terhadap output, nilai tambah bruto, pendapatan, dan tenaga kerja multiplier effect terhadap output, nilai tambah bruto, pendapatan, dan tenaga kerja 2 Menganalisis indikasi dan potensi kebocoran wilayah sektor kelapa serta dampaknya terhadap perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir Analisis Kebocoran Wilayah Tabel I-O dan SNSE Inhil Tahun 2005 Data-data sekunder lainnya Bappeda, PT. Pulau Sambu, Perdagangan dan Perindustrian dll 3 Menganalisis opsi kebijakan yang dapat meningkatkan pendapatan dan mengurangi angka kemiskinan Analisis Kemiskinan Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan Analisis simulasi kebijakan Tabel I-O dan SNSE Inhil Tahun 2005 SUSENAS Data-data sekunder lainnya BPS, Bappeda dan instansi terkait lainnya di Kabupaten Inhil Metode Analisis Data Untuk menjawab tujuan penelitian, maka analisis yang akan dilakukan terdiri dari analisis daya penyebaran dan kepekaan, analisis dampak pengganda (multiplier effect) dan termasuk di dalamnya dampak suatu kebijakan terhadap kinerja perekonomian dalam suatu wilayah, analisis gini ratio, analisis kemiskinan, analisis kebocoran wilayah dan analisis simulasi kebijakan dalam 66

92 rangka menumbuhkan sektor kelapa secara berkualitas di Kabupaten Indragiri Hilir. Analisis Kebutuhan Investasi dengan Pendekatan ICOR Kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pendapatan dengan investasi dapat dikaji melalui konsep Incremental Capital Output Ratio (ICOR). Dengan demikian besar kecilnya perkiraan investasi pada masa mendatang sangat ditentukan oleh nilai ICOR. Konsep ICOR menunjukkan hubungan antara jumlah kenaikan output, yang dihasilkan dari kenaikan tertentu pada persediaan modal (Jhingan, 2000; dan Yantu, 2007). Daryanto dan Hafizrianda (2010) mengemukakan perkiraan ICOR tahunan dilakukan berdasarkan data time series tahunan yang dapat dipisah berdasarkan gestation period (tenggang waktu) sebagai berikut : (a) ICOR Tanpa Tenggang Waktu Bila investasi yang dilakukan pada tahun ke-t diasumsikan akan menghasilkan tambahan pendapatan (output) pada tahun ke-t juga, maka perkiraan ICOR yang diperoleh melalui pendekatan ini merupakan ICOR tanpa tenggang waktu yang dapat dihitung dengan rumus : k t I Y it it it 1 = =...(3.1) it I Y g x 100 it dimana : k it I it Y it-1 g it = adalah ICOR pada tahun t untuk sektor i = adalah investasi pada tahun ke-t untuk sektor i = adalah pendapatan regional pada tahun ke t-1 untuk sektor i = adalah laju pertumbuhan sektor i pada tahun ke-t (b) ICOR Tenggang Waktu Satu Tahun Perkiraan ICOR dengan tenggang waktu satu tahun mengandung pengertian bahwa investasi yang dilakukan pada tahun t-1 baru akan memberikan tambahan 67

93 hasil pada tahun t. Perkiraan ICOR dengan tenggang waktu satu tahun dapat dihitung dengan rumus : k t I it 1 it 1 it 1 = =..(3.2) Y it I Y g x 100 it dimana : k it I it-1 = adalah ICOR pada tahun t untuk sektor i = adalah investasi pada tahun ke t-1 untuk sektor i Y it-1 = adalah pendapatan regional pada tahun ke t-1 untuk sektor i g it = adalah laju pertumbuhan sektor i pada tahun ke-t (%) (c) ICOR Tenggang Waktu Lebih dari Satu Tahun Dalam beberapa aktivitas tertentu, jangka waktu antara investasi dan tambahan hasil yang diperoleh sebagai akibat investasi tersebut dapat lebih dari satu tahun. Bila jangka waktu tahun ke t-2 baru akan memberikan tambahan pendapatan regional pada tahun t maka perhitungan ICOR dilakukan dengan cara: k t I Y it 2 it 2 it 1 = =....(3.3) it I Y g x 100 it Sedangkan bila tambahan hasil baru diperoleh tiga tahun kemudian maka ICOR dihitung dengan formulasi : k t I Y it 3 it 3 it 1 = =.. (3.4) it I Y g x 100 it dimana : k it I it-2 I it-3 Y it-1 = adalah ICOR pada tahun t untuk sektor i = adalah investasi pada tahun ke t-2 untuk sektor i = adalah investasi pada tahun ke t -3 untuk sektor i = adalah pendapatan regional pada tahun ke t-1 untuk sektor i git = adalah laju pertumbuhan sektor i pada tahun ke-t (%) 68

94 (d) ICOR Rata-Rata ICOR rata-rata dihitung berdasarkan perkembangan investasi dan tambahan hasil secara kumulatif dalam jangka waktu tertentu. Secara umum ICOR rata-rata dapat dihutung berdasarkan rumus : k t t n = t = 0 = I Y it n it....(3.5) Dimana : k I = adalah ICOR rata-rata = adalah investasi Y = adalah tambahan hasil (pendapatan regional) i = adalah sektor ke-i t = adalah tahun ke-t n = adalah tenggang waktu yang digunakan dimana h 1 (e) Perkiraan Kebutuhan Investasi Perkiraan kebutuhan investasi dapat dihitung bila besaran ICOR tahunan atau rata-rata dan telah ditetapkan sasaran pertumbuhan ekonomi wilayah, maka investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan target pertumbuhan tersebut dihitung dengan persamaan : Iˆ = k Y. (3.6) Dimana Î adalah perkiraan investasi yang dibutuhkan, k adalah ICOR dan ΔY besarnya pertumbuhan ekonomi (PDRB). Perkiraan kebutuhan investasi dihitung berdasarkan tenggang waktu, hal ini disesuaikan dengan waktu ICOR yang digunakan. Misalkan ICOR yang dipakai memiliki tenggang waktu satu tahun, maka perkiraan investasi yang dihitung juga memiliki tenggang waktu satu tahun. Demikian bila tenggang waktu ICOR adalah dua tahun, berarti perkiraan investasi juga berdasarkan tenggang waktu dua tahun. 69

95 Analisis Indek Daya Penyebaran dan Analisis Derajat Kepekaan Keterkaitan ke belakang (backward linkage) sering disebut sebagai daya penyebaran, dan keterkaitan ke depan (forward linkage) sering disebut sebagai derajat kepekaan. Dalam model SNSE kedua jenis keterkaitan tersebut dapat diduga dari matriks pengganda output. Untuk mengukur daya penyebaran sektor digunakan rumus : Dimana : αj = Σibij 1 ΣiΣjbij n... (3.7) α j : adalah indeks daya penyebaran sektor j dan lebih dikenal sebagai daya penyebaran. Bila indeks α j tersebut = 1, mengandung arti bahwa daya penyebaran sektor j sama dengan rata-rata daya penyebaran seluruh sektor ekonomi. Dan apabila > 1 menunjukkan bahwa daya penyebaran sektor j berada diatas rata-rata daya penyebaran seluruh sektor ekonomi; dan jika sebaliknya < 1 menunjukkan daya penyebaran sektor j lebih rendah. Makna indeks keterkaitan ke belakang jika indeks kurang dari (sama dengan/ lebih dari) satu, artinya keterkaitan sektor tersebut ke arah belakang/hulu adalah kurang dari (sama dengan /lebih dari) rata-rata keterkaitan sektor pada umumnya. Angka derajat keterkaitan yang rendah sektor ini memiliki makna bahwa kemajuan yang pesat pada sektor tersebut tidak banyak memicu atau mendorong berkembangnya sektor-sektor perekonomian lainnya. Selanjutnya untuk menganalisis besar kecilnya derajat kepekaan (keterkaitan ke depan) digunakan rumus : βi = dimana : Σjbij 1 ΣiΣjbij n... (3.8) β i = adalah indeks derajat kepekaan sektor (i) atau lebih dikenal sebagai derajat kepekaan. 70

96 Bila nilai indeks β i = menunjukkan bahwa derajat kepekaan sektor (i) sama dengan rata-rata derajat kepekaan seluruh sektor ekonomi, dan apabila > 1, menunjukkan bahwa derajat kepekaan sektor (i) berada lebih tinggi dari rata-rata derajat kepekaan seluruh sektor; sedangkan < 1 menunjukkan derajat kepekaan sektor (i) lebih rendah dari rata-rata indeks derajat kepekaan atau disebut dampak keterkaitan kedepan (forward linkages effect ratio). Keterkaitan ke depan atau ke hilir (indeks kepekaan) memberikan makna, jika kurang dari (sama dengan/ lebih dari) satu, maka derajat keterkaitan sektor tersebut ke arah depan/hilir adalah kurang dari (sama dengan /lebih dari) rata-rata keterkaitan sektor pada umumnya. Artinya adalah perkembangan dari suatu sektor akan mendorong berkembangnya sektor-sektor yang lebih hilir dari sektor tersebut. Sektor lebih hilir yang dimaksud adalah sektor-sektor yang dalam proses produksinya menginput barang yang dihasilkan. Analisis Pengganda (a). Dampak Pengganda Output Dengan menggunakan model input-output/snse hubungan timbal balik permintaan akhir dengan output dapat diduga. Artinya output yang diproduksi tergantung dari jumlah permintaan akhirnya. Demikian juga dalam keadaan tertentu output justru yang menentukan besaran permintaan akhir. Sehingga secara matematis hubungan permintaan akhir dengan output dirumuskan sebagai berikut: X = (1 A) -1 F... (3.9) dimana : X (1 A) -1 F : Output yang terbentuk akibat perubahan permintaan akhir : Matrik pengganda : Permintaan akhir (b). Dampak Pengganda Nilai Tambah Bruto Nilai Tambah Bruto (NTB) adalah input primer yang merupakan bagian dari input secara keseluruhan. Sesuai dengan asumsi dasar yang digunakan dalam 71

97 input-output, maka hubungan antara NTB dengan output bersifat linier. Artinya, kenaikan atau penurunan output akan diikuti secara proporsional oleh kenaikan dan penurunan Nilai Tambah Bruto (BPS, 2000). Hubungan tersebut dapat dijabarkan dalam persamaan: V = Vˆ X... (3.10) dimana : V : Nilai Tambah Bruto yang terbentuk akibat perubahan permintaan akhir Vˆ : Matrik diagonal koefisien NTB X : Dampak permintaan akhir = ( I A) F 1 (c). Dampak Pengganda Pendapatan Untuk mengidentifikasi pengganda pendapatan (income multiplier) dapat digunakan formula sebagai berikut: W = W X (3.11) dimana W adalah matriks income, merupakan matrik X=(1-A) -1.F. ^ W matrik diagonal koefisien income, dan X (c). Dampak Pengganda Tenaga Kerja Untuk mengukur dampak perubahan Permintaan Akhir terhadap kesempatan kerja (employment multiplier) dapat menggunakan matriks kebalikan Leontief. Pengganda ini digunakan untuk melihat penambahan kesempatan kerja baru akibat peningkatan Permintaan Akhir di suatu sektor tertentu. Pengganda tenaga kerja di rumuskan sebagai: E = Lˆ (I A) 1... (3.12) dimana E = Matriks pengganda tenaga kerja dan 72

98 Lˆ = Matriks koefisien tenaga kerja yaitu berisi rasio tenaga kerja terhadap total input tiap sektor. Matriks Lˆ adalah matriks diagonal dengan komponennya di peroleh dengan rumus: TK j l jj = X j (3.13) dimana TK j : jumlah tenaga kerja sektor i X j : total input sektor j Perubahan jumlah Tenaga Kerja ( E) yang dibutuhkan akibat perubahan Permintaan Akhir domestik dirumuskan sebagai: E = Lˆ(I A) 1 F... (3.14) Dengan menggunakan formula di atas dapat diduga pengganda kesempatan kerja yang terbentuk apabila terjadi perubahan permintaan akhir perekonomian wilayah. Analisis Pengganda Kebijakan Sebelum membahas metode yang lebih komplek maka terlebih dahulu dijelaskan mengenai metode analisis dalam model SNSE sederhana. Ditinjau dari sudut analisis dalam kerangka SNSE menyangkut keterkaitan antara neracaneraca, yaitu sejauh mana perubahan satu neraca terhadap neraca lainnya, maupun terhadap perubahan neraca itu sendiri. Analisis yang akan digunakan yaitu analisis multiplier, dengan alat analisis yang digunakan adalah apa yang disebut dengan pengganda Neraca (Accounting Multipier) dan pengganda harga tetap (Fixed Price Multiplier). Analisis accounting multiplier, merupakan analisis yang sama dengan pengganda untuk matrik leontief seperti analisis Input-Output. Tetapi analisis fixed price multiplier berbeda dengan accounting multiplier, perbedaannya terletak pada respon rumah 73

99 tangga terhadap perubahan dalam neraca eksogen dengan memperhitungkan kecenderungan pengeluaran (expenditure propensity). Pyatt and Round (1979) melakukan dekomposisi terhadap pengganda neraca yang hasilnya adalah sebagai berikut: Ma = M 3 M 2 M (3.15) dimana: Ma : Matrik dekomposisi Pengganda. M 1 : Pengganda transfer, menunjukkan pengaruh dari satu blok pada dirinya sendiri. M 2 : Pengganda open loop atau cross-effect, merupakan pengaruh dari suatu blok ke blok yang lain. Injeksi pada salah satu sektor dalam sebuah blok tertentu akan berpengaruh terhadap sektor lain di blok yang lain setelah melalui keseluruhan sistem dalam blok yang lain tersebut. M3 : Pengganda closed loop, merupakan pengaruh dari suatu blok ke blok yang lain, untuk kemudian kembali pada blok semula. Dekomposisi matrik pengganda neraca persamaan (3.9) dapat juga dibuat menjadi bentuk aditif, yaitu : Ma = I + ( Ma Ma Ma 1 I) + ( Ma2 I) Ma1 + ( Ma3 I) (3.16) Bentuk persamaan (3.10) menunjukkan matriks identitas, I menggambarkan dampak awal injeksi neraca eksogen terhadap neraca endogen, sedangkan bentuk kedua, ketiga dan keempat pada persamaan tersebut disebut sebagai pengganda transfer (tranfer multiplier), pengganda putaran terbuka (open loop multiplier) dan pengganda putaran tertutup (close loop multiplier). (a) Pengganda Transfer Pyatt and Round (1988) mengungkapkan Ma1 adalah pengganda transfer, yang menunjukkan pengaruh dari satu blok pada diri sendiri M a1 = (1-A o ) (3.17) 74

100 A o adalah matrik diagonal dari matriks A, yaitu A 0 = A A 33.. (3.18) Sehingga matrik pengganda transfer (Ma dinyatakan sebagai berikut : 1 dalam bentuk matrik dapat Ma 1 = I 0 0 ( I 0 A 22 ) 1 0 ( I 0 0 A 33 ) 1 (3.19) Melalui pengganda transfer (Ma1) ini, dapat diketahui pengaruh injeksi pada sebuah sektor terhadap sektor lain dalam satu blok yang sama, setelah melalui keseluruhan sistem didalam blok tersebut, sebelum berpengaruh terhadap blok yang lain. Dalam memahami Ma 1 seolah-olah ada asumsi bahwa injeksi pada suatu sektor hanya berpengaruh terhadap sektor-sektor lain dalam blok yang sama dan tidak terhadap sektor-sektor yang berada pada blok yang lain. Oleh karena itu Ma 1 disebut sebagai pengganda transfer. Matrik M a1 pada persamaan (3.13) dapat diketahui besarnya penganda pada masing-masing blok. Pada blok kegiatan produksi misalnya, besarnya pengganda transfer adalah (I-A 33 ) -1. Ini berarti bahwa setiap injeksi pada salah satu sektor produksi akan berpengaruh pada sektor produksi yang lain sebesar injeksi tersebut, yang dikalikan dengan (I-A 33 ) -1. Dalam model I-O (I-A 33 ) -1 tidak lain adalah matrik kebalikan leontif. Blok Institusi, besarnya pengganda transfer adalah (I-A 22 ) -1. Ini berarti setiap injeksi pada salah satu institusi akan berpengaruh pada institusi yang lain sebesar injeksi tersebut, dikalikan dengan (I-A 22 ) -1. Blok faktor produksi, besarnya pengganda transfer adalah I. Hal tersebut berarti bahwa injeksi pada salah satu faktor produksi hanya akan berpengaruh terhadap faktor produksi yang di injeksi tersebut, tidak terhadap faktor produksi lain. Misalnya dilakukan injeksi terhadap tenaga kerja pertanian perkebunan 75

101 kelapa penerima upah dan gaji di perdesaan sebesar Rp. 100, maka yang bertambah hanyalah penerimaan tenaga kerja penerima upah dan gaji diperdesaan itu sendiri, sebesar Rp.100. Faktor produksi yang lain tidak mengalami perubahan apa-apa. 2). Pengganda Open Loop Pyatt and Round (1988) mengungkapkan M a2 adalah pengganda open loop atau cross-effect, yang merupakan pengaruh dari satu blok ke blok yang lain. Injeksi pada salah satu sektor dalam sebuah blok tertentu akan berpengaruh terhadap sektor lain di blok yang lain setelah melalui keseluruhan sistem dalam blok yang lain. Matrik tersebut didefinisikan sebagai: M a2 = (1+ A* + A* 2 ) (3.20) Dimana A* = (I-A 0 ) -1 (A-A 0 )Y Sehingga A* merupakan sebuah matrik dengan : A * 13 = A (3.21) A 21 = (I-A 22 ) -1 A (3.22) A* 23 = (I-A 33 ) -1 A (3.23) Sedangkan sel yang lain berisi angka atau matrik nol. A * = 0 A 0 * 21 A 0 0 * 32 A 0 0 * (3.24) Dengan demikian pengganda open loop adalah M a 2 I = A* A* A* 21 A* 13 I A* A* A* A* 21 I 13 A* 13 76

102 ... (3.25) 3). Pengganda Closed Loop Pyatt and Round mengungkapkan M a3 adalah pengganda closed loop, atau sering disebut pengganda putaran tertutup yang menggambarkan pengaruh dari suatu blok ke blok yang lain, yang kemudian kembali pada blok semula. Matrik pengganda tersebut didefinisikan sebagai: M a3 = (1-A *3 ) (3.26) M a3 merupakan matrik diagonal, yang diagonal utamanya secara berurutan dari kiri atas ke kanan bawah berisi (I- A * 13 A * 32 A * 21) -1, (I- A * 21 A * 13 A * 32) -1 dan (I- A * 32 A * 21 A * 13) 1 Injeksi pada salah satu faktor produksi akan berpengaruh pada sektor-sektor lain pada blok institusi, kemudian berpengaruh pada blok kegiatan produksi, dan akhirnya berpengaruh kembali kepada sektor-sektor dalam blok faktor produksi. Satu putaran dari blok faktor produksi kembali ke blok faktor produksi ini disebut pengaruh closed loop faktor produksi, dengan pengganda sebesar (I-A * 13A * 32A * 21) -1. Demikian pula dengan blok institusi dan kegiatan produksi. Injeksi pada salah satu sektor dalam blok institusi pada akhirnya akan berpengaruh closed loop pada sektor-sektor dalam blok institusi itu sendiri, setelah berpengaruh pada blok kegiatan produksi dan faktor produksi, dengan pengganda sebesar (I-A * 21 A * 13 A * 32) 1.. Sedangkan pengganda closed loop untuk blok kegiatan produksi adalah sebesar (I-A * 32 A * 21 A * 13) 1.. Analisis Gini Ratio Analisis Gini Ratio (GR) digunakan untuk menganalisis distribusi pendapatan institusional (antar golongan rumah tangga), keragaan distribusi pendapatan institusional adalah salah satu kelebihan kerangka analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi. Walaupun demikian, SNSE hanya menyajikan distribusi pendapatan sesuai penggolongan institusi. Namun untuk melihat lebih jauh ketimpangan distribusi pendapatan, masih dibutuhkan bantuan alat analisis 77

103 tambahan. Ratio gini akan digunakan untuk menjelaskan distribusi pendapatan institusional di Kabupaten Indragiri Hilir. Indek Gini dapat digunakan untuk melihat kemiskinan relatif di Kabupaten Indragiri Hilir yang dilakukan dengan melihat perubahan nilai Indeks Gini Ratio dari masing-masing simulasi kebijakan yang ada terhadap kelompok rumah tangga yang ada pada SNSE Kabupaten Indragiri Hilir. Apabila nilai Indek Gini sebelum adanya simulasi kebijakan dan sesudah adanya simulasi kebijakan perubahannya menyebabkan nilai indek Gini Ratio semakin mendekati nol (semakin kecil) maka kemiskinan relatif di kabupaten Indragiri Hilir semakin berkurang akibat kebijakan tersebut. Sebaliknya apabila nilai Indeks Gini Ratio sesudah adanya simulasi kebijakan semakin besar (mendekati 1) maka kemiskinan relatif yang terjadi akibat kebijakan tersebut semakin tinggi. Indek Gini dirumuskan sebagai berikut : ( Pi Pi 1)( Yi Yi 1) GR = 1... (3.27) dimana : GR = Rasio atau indeks Gini adalah rasio antara persentase kumulatif jumlah golongan rumah tangga dengan persentase kumulatif jumlah pendapatan golongan rumah tangga P i = Persentase kumulatif jumlah golongan rumah tangga kelas ke-i P i-1 = Persentase kumulatif jumlah golongan rumah tangga sebelum kelas ke-i Y i = Persentase kumulatif jumlah pendapatan golongan rumah tangga kelas ke-i Yi-1 = Persentasi kumulatif jumlah pendapatan golongan rumah tangga sebelum kelas ke-i Indek Gini mempunyai selang nilai selang antara 0 dan 1. Bila indeks Gini bernilai 0 berarti distribusi pendapatan berada pada tingkat yang sangat merata, sedangkan bila bernilai 1 berarti distribusi pendapatan berada pada tingkat yang sangat tidak merata. Biasanya indeks Gini jarang sekali mempunyai nilai 0 atau 1. Oleh karena itu Todaro (1987) menyatakan bahwa : 78

104 1. Bila koefisien Gini berada diantara 0.2 sampai dengan 0.35 maka distribusi pendapatan disebut sebagai merata 2. Bila Koefisien Gini berada diantara 0.36 sampai dengan 0.5 maka distribusi pendapatan disebut sebagai tidak merata 3. Bila koefisien Gini berada diantara 0.51 sampai dengan atau lebih dari 0.7 maka distribusi pendapatan disebut sangat tidak merata. Analisis Kemiskinan Untuk mengkaji dampak pengembangan perkebunan kelapa rakyat terhadap insiden kemiskinan (poverty incidence) digunakan indeks kemiskinan FGT (Foster-Greer-Thorbecke). Perubahan pendapatan masing-masing golongan rumah tangga dari analisis simulasi kebijakan digunakan untuk menganalisis kemiskinan indeks FGT dengan menggunakan data SUSENAS tahun Meskipun menggunakan analisis di luar model SNSE, pada dasarnya analisis kemiskinan dalam penelitian ini tetap mengacu pada kerangka SNSE, karena pengelompokan rumah tangga pada SNSE disusun berdasarkan data pengelompokan rumah tangga yang ada pada SUSENAS. Dengan menyelaraskan pengelompokan rumah tangga pada data SUSENAS dengan model SNSE akan diperoleh keterkaitan pembahasan antara analisis kemiskinan dengan model SNSE. Dari data SUSENAS dapat dibentuk struktur data kelompok rumah tangga berdasarkan jenis pekerjaan, lokasi (desa-kota), rata-rata pengeluaran dan jumlah anggota rumah tangga. Dari data rata-rata pengeluaran rumah tangga dan dengan menggunakan batas garis kemiskinan yang telah ditetapkan, maka dapat ditetapkan jumlah rumah tangga yang tergolong miskin, yaitu rumah tangga yang memiliki pendapatan (yang diproksi dari pengeluaran) di bawah garis kemiskinan. Adapun garis kemiskinan (poverty line) Kabupaten Indragiri Hilir yang ditetapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006 sebesar Rp per bulan. Data tersebut selanjutnya digunakan sebagai data dasar (base data) untuk menghitung indeks kemiskinan. Perubahan pendapatan rumah tangga hasil dari simulasi kebijakan, dianggap sebagai data setelah simulasi. Selanjutnya dapat dihitung indeks kemiskinan dari data dasar dan data hasil simulasi tersebut. 79

105 Untuk menghitung indeks kemiskinan, data pendapatan rumah tangga berdasarkan golongan rumah tangga (yang didekati dari data pengeluaran), diubah ke dalam pendapatan masing-masing individu. Hal ini dilakukan karena perhitungan FGT poverty index didasarkan pada pengeluaran masing-masing individu atau per kapita penduduk miskin. Ada dua pendekatan dalam menghitung pendapatan masing-masing individu sebagai dasar penghitungan kemiskinan. Pertama, berdasarkan rata-rata per kapita. Rata-rata per kapita ini belum mempertimbangkan tingkat konsumsi menurut golongan umur, jenis kelamin dan skala ekonomi dalam konsumsi. Kedua, berdasarkan skala ekivalensi atau equivalence scales (ES), yang menunjukkan ukuran pendapatan relatif dari masing-masing rumah tangga yang berbeda untuk mencapai standar hidup. Penghitungan melalui pendekatan skala ekivalensi didasarkan pada kenyataan bahwa kriteria untuk menentukan garis kemiskinan pada umumnya lebih banyak didasarkan pada kecukupan kebutuhan energi kalori, sementara kebutuhan kecukupan pangan individu berbeda menurut umur dan jenis kelamin (LIPI, 2004). Dengan demikian penghitungan pendapatan masing-masing individu dengan menggunakan pendekatan rata-rata pendapatan per kapita dipandang kurang tepat. Konsep ES pada prinsipnya menyetarakan kebutuhan konsumsi anak dengan populasi dewasa untuk menghitung angka kemiskinan. United States Panel Poverty and Family Assistance menyetarakan kebutuhan konsumsi anak 0.7 populasi dewasa. Artinya secara umum anak mengkonsumsi 70 persen dari kebutuhan konsumsi dewasa (Susilowati, 2007). Beberapa kajian di Australia menggunakan nilai pembobot untuk anak berkisar 0.3 sampai 0.7 (Whiteford, 1985). Demikian pula beberapa negara telah menghitung dan menerapkan skala ekivalensi dalam menghasilkan ukuran kemiskinan. Sebagai contoh skala ekivalensi yang digunakan di Srilanka, Taiwan dan Peninsula nilainya berkisar 0.9 (BPS, 2005). Dengan angka ekivalensi mendekati satu, implikasinya skala ekivalen akan memberikan hasil yang tidak jauh berbeda dengan perhitungan angka kemiskinan melalui pendapatan (pengeluaran) per kapita. 80

106 Dalam menentukan ES, berdasarkan economic of scale (e) yang nilainya ditentukan oleh jumlah anak dan anggota rumah tangga dewasa. Nilai e berkisar 0-1. Jika e meningkat, maka ES akan menurun sehingga jika e = 1 atau tidak ada skala ekonomi maka besaran ES dihitung sebagai jumlah orang anggota rumah tangga. Teknik menghitung ES yang telah dilakukan selama ini di negara-negara Luxemburg sangat beragam karena masing-masing memiliki preferensi dalam aspek tertentu. Tidak ada pedoman yang pasti teknik penghitungan ES sehingga Whiteford (1985) menyatakan tidak ada suatu metoda menghitung ES yang telah dilakukan selama ini di Australia yang dapat dikatakan metoda tertentu lebih baik dibanding metoda penghitungan ES yang lain. Meskipun penghitungan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan ratarata pendapatan per kapita dipandang kurang tepat, penghitungan ukuran kemiskinan di Indonesia selama ini belum menerapkan skala ekivalensi karena belum dilakukan penelitian untuk menentukan besaran skala ekivalensi yang dapat mewakili Indonesia. Penelitian ini menggunakan metoda penghitungan ES yang dikembangkan oleh Cockburn (2001) yang telah diterapkan untuk mengkaji angka kemiskinan di Australia dan di Nepal dengan formula sebagai berikut: ESi = (Zi-1-Ki) Ki... (3.28) dimana: i adalah indeks rumah tangga, Z adalah jumlah anggota rumah tangga dan K adalah jumlah anak. Formula tersebut menunjukkan bahwa dengan memperhitungkan skala ekonomi dan umur, maka kepala rumah tangga diperhitungkan 1, anggota rumah tangga dewasa lain diperhitungkan 0.7 dan anak-anak diperhitungkan 0.5. Formula yang sama telah digunakan oleh Oktaviani et al. (2005) untuk mengkaji dampak penurunan subsidi minyak di Indonesia terhadap kemiskinan, Astuti (2005) dan Sitepu (2007) untuk menghitung perubahan angka kemiskinan sebagai dampak investasi di sektor tertentu, serta Susilowati (2007) untuk mengkaji dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia. q 1 z yi P0 ( y; z) =, ( α 0) n i= 1 z 0...(3.30) 81

107 dimana yi adalah rata-rata nilai pengeluaran per kapita individu ke i dalam rumah tangga yang sudah diranking berdasarkan tingkat pengeluaran, total populasi dinyatakan sebagai n dan jumlah populasi miskin adalah q, batas kemiskinan adalah z, sehingga poverty gap ratio adalah Gi = (z yi)/z, dimana Gi = 0 pada saat yi > z. Nilai α ada tiga macam, yaitu: 1. Nilai α = 0, P 0 menyatakan headcount index, merupakan proporsi populasi yang berada di bawah garis kemiskinan. Formula (3.29) di atas akan menjadi: 1 P ( y; z) = n q 0 i= 1 z yi z 0 atau P 0 = q / n...(3.30) Misalnya terdapat sebanyak 10 persen populasi termasuk ke dalam kelompok miskin, maka P 0 = Nilai = 1, menunjukkan ukuran poverty gap ratio (kedalaman kemiskinan) dimana masing-masing penduduk miskin dibobot berdasarkan jarak relatif mereka dari garis kemiskinan. Formula (3.30) menjadi: 1 P ( y; z) = n q 1 i= 1 z yi z...(3.31) Misalnya besaran P1 = 0.1, artinya total kesenjangan kemiskinan seluruh populasi miskin terhadap garis kemiskinan adalah 10 persen. Adapun P1/P0 ratarata kesenjangan kemiskinan (poverty gap) yang dinyatakan sebagai proporsi terhadap garis kemiskinan. 3. Nilai = 2, formula (3.31) menjadi: 1 P ( y; z) = n q 2 i= 1 z yi z 2...(3.32) Artinya bobot yang diberikan kepada masing-masing penduduk miskin proporsional dengan kuadrat kekurangan pendapatan mereka terhadap garis kemiskinan. Indeks tersebut merupakan ukuran yang sensitif terhadap perubahan pendapatan atau distribusi pendapatan populasi miskin (distributionally 82

108 sensitive index). Ukuran ini dinamakan rasio keparahan kemiskinan (poverty severity). Pengukuran kemiskinan dengan FGT poverty index dapat digunakan juga apabila populasi rumah tangga dipisahkan (disaggregated) menurut kelompok (sub-group) populasi, sehingga kontribusi masing-masing kelompok dapat diketahui. Dalam penelitian ini populasi dibagi menjadi 7 kelompok, maka profil kemiskinan digambarkan melalui Pj untuk j = 1, 2,..., 7 sebagai berikut: P j = n 1 7 i= 1 p j ( z y )...(3.33) j i Adapun kemiskinan agregat sebagai rata-rata ukuran kemiskinan kelompok, diformulasikan sebagai : Pj = n 1 7 i= 1 P N j j...(3.34) Dimana : P j N j j y i = ukuran kemiskinan untuk kelompok j, dimana j = 1, = jumlah populasi kelompok j = rata-rata pengeluaran individu i yang berada pada kelompok j Profil kemiskinan menurut kelompok tersebut menggambarkan konsistensi, dimana ketika kemiskinan dalam suatu kelompok meningkat, maka secara agregat kemiskinan populasi juga akan meningkat, demikian pula sebaliknya. Analisis Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir maka dilakukan analisis dengan menggunakan model ekonometrika. Menurut Juanda (2007) dan Juanda (2009), secara matematis dapat dirumuskan sebagai berikut : ln Y i = a 0 + a 1 lnp JlN + a 2 lnb TRS + a 3 lna AG + a 4 lnj LBP + a 5 lnj BPRS + dimana: a 6 lnrt PT + a 7 lnpr TAN + a 8 D 1 + a 8 D 2 + e...(3.35) 83

109 Y i = Persentase penduduk miskin di setiap kecamatan tahun 2007 dan 2008 P JlN = Panjang jalan yang dapat dilalui kendaraan roda 4 di setiap B = TRS A = AG kecamatan (Km) tahun 2007 dan 2008 Biaya transportasi di setiap kecamatan (Rp) tahun 2007 dan 2008 Rata-rata alokasi anggaran pembangaunan di setiap kecamatan tahun 2007 dan 2008 (Milyar) J LBP = Jumlah kelembagaan produksi pertanian (kelompok tani) di J = LBPRS setiap kecamatan tahun 2007 dan 2008 Jumlah kelembagaan pemasaran hasil pertanian (koperasi dan tauke) di setiap kecamatan tahun 2007 dan 2008 RT PT = Persentase rumah tangga pertanian di setiap kecamatan (%) RT = TAN tahun 2007 dan 2008 Rata-rata produktivitas tanaman kelapa di setiap kecamatan tahun 2007 dan 2008 (ton kopra/ha/tahun) D 1 = Dummy lokasi industri pengolahan kelapa di masing-masing kecamatan 0 = Industri pengolahan kelapa tidak ada 1 = terdapat industri pengolahan D2 a 0 a 1,.. 9 e = Dumny tipologi wilayah 0 = wilayah dataran tinggi 1 = wilayah pesisir = Intersept = Koefisien Regresi = Kesalahan baku. Analisis Kebocoran Wilayah Untuk melakukan analisis potensi dan dampak kebocoran sektor kelapa terhadap perekonomian wilayah dapat dilakukan dengan melakukan analisis pada Tabel SNSE Kabupaten Indragiri Hilir. Kebocoran wilayah pada sektor kelapa dapat dilihat dengan menghitung ratio pendapatan modal dan ratio pendapatan 84

110 tenaga kerja yang keluar wilayah pada Tabel SNSE atau disebut dengan capital outflow. Semakin tinggi ratio pendapatan modal dan pendapatan tenaga kerja yang keluar wilayah maka kobocoran wilayah semakin tinggi. Disamping itu untuk melihat tingkat kebocoran wilayah sektor kelapa dibandingkan sektor lainnya juga dapat dilihat rasio ekspor terhadap output, rasio ekspor terhadap input antara, rasio impor terhadap input antara. Semakin tinggi nilai ratio-ratio tersebut menunjukkan semakin tingginya kobocoran wilayah, dan sebaliknya semakin rendah nilai rasio tersebut menunjukkan semakin kecilnya terjadinya kebocoran wilayah pada suatu sektor perekonomian. Kriteria lainnya yang dapat digunakan untuk melihat adanya kebocoran wilayah di sektor kelapa adalah nilai indeks keterkaitan kedepan (forward linkage). Dimana nilai indeks keterkaitan kedepan yang rendah atau kecil dari rata-rata seluruh sektor (< 1) mengindikasikan sektor kelapa tersebut mengalami kebocoran wilayah. Sebaliknya bila nilai keterkaitan ke depan (forward linkage) yang tinggi atau lebih besar dari rata-rata seluruh sektor ( >1) maka sektor kelapa tidak mengalami kebocoran wilayah. Simulasi Kebijakan Simulasi kebijakan dalam menentukan besarnya investasi di Kabupaten Indragiri Hilir sebagai dasar dalam melakukan simulasi investasi dalam penelitian ini dilakukan berdasarkan kebijakan APBD Kabupaten Indragiri Hilir, dimana alokasi anggaran disektor pertanian khususnya di perkebunan kelapa dan industri pengolahannya berkisar antara Rp milyar pertahun (Biro Keungan Setda Inhil, 2009). Dengan menggunakan asumsi maksimum dari Kebijakan APBD tersebut, maka dalam penelitian ini besarnya investasi yang digunakan dalam melakukan simulasi adalah sebesar Rp. 100 milyar. Berdasarkan kebijakan APBD Kabupaten Indragiri Hilir tersebut, maka dalam penelitian ini terdapat tujuh simulasi kebijakan yang diteliti atau dilihat dampaknya terhadap distribusi pendapatan, kemiskinan dan perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir. Ketujuh simulasi kebijakan tersebut adalah sebagai berikut : 85

111 Simulasi 1 (I-KLP) : Peningkatan investasi disektor kelapa sebesar 100 milyar Simulasi 2 (I-IKLP BS ) : Peningkatan investasi disektor industri kelapa skala besar (swasta) sebesar 100 milyar Simulasi 3 (I-IKLP RT ) : Peningkatan investasi disektor industri kelapa skala rumah tangga sebesar 100 milyar Simulasi 4 (I-KLS) : Peningkatan investasi disektor kelapa sawit sebesar 100 milyar Simulasi 5 (I-KLP+IKLP RT ) : Peningkatan investasi disektor kelapa 50 milyar dan industri kelapa skala rumah tangga 50 milyar. Simulasi 6 (I-KLP+JLN) : Peningkatan investasi di sektor kelapa 50 milyar, dan infrastruktur jalan 50 milyar Simulasi 7 (I-IKLP RT +JLN) : Peningkatan investasi di sektor industri kelapa skala rumah tangga 50 milyar, infrastruktur jalan 50 milyar Peningkatan investasi dalam hal ini adalah shock yang dilakukan pada Neraca Pembentukan Modal Tetap Bruto sebagai salah satu neraca eksogen dalam tabel SAM. 86

112 GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri Hilir, Hasil SNSE Kabupaten Indragiri Hilir, kinerja ekonomi, kinerja sosial dan neraca daerah terintegrasi. Klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri Hilir Klasifikasi yang digunakan dalam SNSE Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2005 dibagi dalam 2 klasifikasi yaitu : a. Klasifikasi agregat berukuran 9 x 9 b. Klasifikasi agregat berukuran 56 x 56 Pada Tabel 5 dan Tabel 6 dapat dilihat klasifikasi SNSE dan klasifikasi sektor produksi pada Tabel SNSE Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2005 Faktor Produksi Institusi Sektor Produksi Neraca Eksogen J U M L A H Tabel 5. Klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2005 Tenaga Kerja 1 Modal 2 Buruh Tani 3 Pertanian Petani memiliki lahan Ha 4 Rumah Tangga Institusi Lainnya 42 sektor Bukan Pertanian Petani memiliki lahan > 1.00 Ha 5 Rumah Tangga Desa Golongan Bawah 6 Rumah Tangga Desa Golongan Atas Rumah Tangga Kota Golongan Bawah 7 8 Rumah Tangga Kota Golongan Atas 9 Perusahaan 10 Pemerintah Kapital 54 Pajak Tidak Langsung minus subsidi 55 The Rest of The World 56

113 Tabel 6. Klasifikasi Sektor Produksi pada SNSE Kabupaten Inhil Tahun 2005 Sektor Produksi Kode Sektor Produksi Kode Padi 12 Barang Tambang & Galian 33 Jagung 13 Industri Makanan 34 Ketela Pohon 14 Industri Pakaian Jadi 35 Umbi-umbian 15 Industri alat-alat Pertanian 36 Kacang-Kacangan 16 Industri Kayu 37 Kedelai 17 Industri lainnya 38 Industri Kelapa Skala Besar Sayur-Sayuran 18 (Swasta) 39 Industri Kelapa Skala Rumah Tangga 40 Buah-buahan 19 Bahan Makanan Lainnya 20 Listrik dan Air Bersih 41 Karet 21 Bangunan 42 Kelapa 22 Perdagangan 43 Kelapa Sawit 23 Restoran & Hotel 44 Kopi 24 Angkutan Jalan Raya 45 Hasil Perkebunan Lainnya 25 Angkutan Laut 46 Ternak dan Hasil-hasilnya 26 Penunjang Angkutan 47 Unggas dan Hasil-hasilnya 27 Komunikasi 48 Kayu 28 Bank dan Lembaga Keuangan 49 Jasa Perusahaan & Sewa Hasil Hutan Lainnya 29 Bangunan 50 Ikan Laut dan Hasilnya 30 Pemerintahan Umum 51 Ikan Darat dan Hasilnya 31 Jasa Sosial Kemasyarakatan 52 Udang 32 Jasa Perorangan & Rumah tangga 53 Pada dasarnya SNSE Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2005, baik yang berukuran 9 x 9 maupun 56 x 56 diklasifikasikan menjadi empat klasifikasi utama, yaitu: (1) Neraca faktor produksi; (2) Neraca institusi; (3) Neraca sektor produksi ; dan (4) Neraca eksogen (sisa). Neraca Faktor Produksi Klasifikasi neraca faktor produksi pada SNSE Kabupaten Indragiri Hilir dibedakan atas tenaga kerja dan modal. (a) Tenaga kerja Faktor produksi tenaga kerja dikelompokan menjadi tenaga kerja pertanian dan tenaga kerja bukan pertanian. Tenaga kerja pertanian adalah tenaga kerja yang bergerak di sektor pertanian, termasuk didalamnya subsektor perkebunan, 88

114 tanaman pangan, peternakan, perikanan, kehutanan dan usaha-usaha yang berhubungan dengan sektor pertanian (jasa pertanian). Tenaga kerja bukan pertanian adalah tenaga kerja yang bergerak diluar sektor pertanian. Kelompok ini mencakup seluruh tenaga kerja yang bergerak disemua sektor non pertanian atau tidak berhubungan dengan sektor pertanian (jasa non pertanian). (b) Modal Faktor produksi modal dikelompokkan menjadi modal usaha yang tidak berbadan hukum dan modal usaha yang berbadan hukum. Modal usaha tidak berbadan hukum adalah modal usaha yang diinvestasikan pada usaha-usaha yang tidak berbadan hukum. Pada umumnya usaha-usaha yang tidak berbadan hukum merupakan usaha rumah tangga skala kecil yang dimiliki oleh perorangan. Modal usaha berbadan hukum adalah modal usaha yang diinvestasikan pada usaha-usaha yang berbadan hukum. Pada umumnya usaha-usaha yang berbadan hukum merupakan usaha skala menengah dan besar yang pengelolaannya sudah menuntut profesionalisme. Modal usaha berbadan hukum dapat berupa modal swasta dalam negeri, pemerintah dan modal asing. Neraca Institusi Neraca institusi diklasifikasikan menjadi tiga jenis institusi yaitu: rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah. (a) Rumah Tangga Rumah tangga yang dimaksud dalam kegiatan ini adalah rumah tangga yang berdomisili di Kabupaten Indragiri Hilir. Pengertian rumah tangga dalam kerangka SNSE Kabupaten Indragiri Hilir merupakan konsep rumah tangga yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik, yaitu sekelompok orang yang tinggal dalam satu atau makan dari satu dapur. Rumah tangga dalam konsep ini dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu rumah tangga pertanian dan rumah tangga bukan pertanian. Rumah tangga pertanian adalah rumah tangga yang aktivitas ekonomi anggota rumah tangganya bergerak disektor pertanian, termasuk didalamnya 89

115 subsektor perkebunan, tanaman pangan, peternakan, perikanan, kehutanan dan usaha-usaha yang berhubungan dengan sektor pertanian (jasa pertanian). Rumah tangga pertanian selanjutnya dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu rumah tangga buruh tani, rumah tangga pengusaha pertanian dengan luas lahan ha dan rumah tangga pengusaha pertanian dengan luas lahan di atas 1.00 ha. Rumah tangga bukan pertanian adalah rumah tangga yang aktivitas ekonomi anggota rumah tangganya bergerak diluar sektor pertanian atau tidak berhubungan dengan sektor pertanian (jasa non pertanian). Rumah tangga bukan pertanian selanjutnya dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu rumah tangga desa golongan bawah, rumah tangga desa golongan atas, rumah tangga kota golongan bawah dan rumah tangga kota golongan atas. Rumah tangga desa golongan bawah adalah rumah tangga yang pendapatannya terbesar diterima dari hasil balas jasa bekerja di sektor bukan pertanian, rumah tangga tersebut berdomisili di desa. Termasuk dalam golongan rumah tangga ini adalah rumah tangga yang memperoleh pendapatan sebagai balas jasa dari bekerja sebagai pedagang keliling, warteg, tenaga tata-usaha golongan rendah, pekerja bebas sektor angkutan, pekerja bebas sektor angkutan, pekerja bebas sektor jasa perorangan, pekerja kasar atau yang sejenis. Rumah tangga desa golongan atas adalah rumah tangga yang pendapatan terbesar diterima dari hasil balas jasa bekerja di sektor bukan pertanian, rumah tangga tersebut berdomisili di desa. Termasuk dalam golongan rumah tangga ini adalah rumah tangga yang memperoleh pendapatan sebagai balas jasa dari bekerja sebagai manajer, profesional, militer, dosen/guru besar, pekerja tata usaha dan penjualan golongan atas, atau yang sejenis. Rumah tangga kota golongan bawah adalah rumah tangga yang pendapatannya terbesar diterima dari hasil balas jasa bekerja di sektor bukan pertanian, rumah tangga tersebut berdomisili di kota. Termasuk dalam golongan rumah tangga ini adalah rumah tangga yang memperoleh pendapatan sebagai balas jasa dari bekerja sebagai pedagang keliling, warteg, tenaga tata-usaha golongan rendah, pekerja bebas sektor angkutan, pekerja bebas sektor angkutan, pekerja bebas sektor jasa perorangan, pekerja kasar atau yang sejenis. 90

116 Rumah tangga kota golongan atas adalah rumah tangga yang pendapatan terbesar diterima dari hasil balas jasa bekerja di sektor bukan pertanian, rumah tangga tersebut berdomisili di kota. Termasuk dalam golongan rumah tangga ini adalah rumah tangga yang memperoleh pendapatan sebagai balas jasa dari bekerja sebagai manajer, profesional, militer, dosen/guru besar, pekerja tata usaha dan penjualan golongan atas, atau yang sejenis. Anggota rumah tangga adalah mereka yang bertempat-tinggal dan menjadi tanggungan rumah tangga bersangkutan. Anggota rumah tangga yang telah berdomisili di wilayah lain lebih dari enam bulan dianggap bukan lagi menjadi anggota rumah tangga tersebut. Pendapatan rumah tangga adalah pendapatan yang diterima oleh rumah tangga bersangkutan, baik yang berasal dari pendapatan kepala rumah tangga maupun pendapatan anggota rumah tangga. Pendapatan rumah tangga dapat berasal dari balas jasa faktor produksi tenaga kerja (upah dan gaji, keuntungan, bonus dan lain-lain), balas jasa kapital (bunga, deviden, bagi hasil, dan lain-lain) dan pendapatan yang berasal dari pemberian pihak lain (transfer). (b) Perusahaan Perusahaan yang dimaksud dalam kegiatan SNSE Kabupaten Indragiri Hilir 2005 adalah perusahaan swasta yang menjalankan operasi bisnis atau kegiatan ekonominya di wilayah Kabupaten Indragiri Hilir. Perusahan tersebut dapat bergerak di bidang pertanian dan bukan pertanian. (c) Pemerintah Pemerintah yang dimaksud dalam kegiatan SNSE Kabupaten Indragiri Hilir adalah Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir. Neraca Sektor Produksi Klasifikasi sektor produksi dalam kerangka SNSE Kabupaten Indragiri Hilir 2005 merupakan replikasi klasifikasi lapangan usaha yang terdapat pada tabel Input-Output Kabupaten Indragiri Hilir tahun Seperti yang terdapat pada Tabel I-O Kabupaten Indragiri Hilir, neraca sektor produksi terdiri atas: (1) permintaan antara; dan (2) permintaan akhir. Neraca permintaan antara terdiri dari 91

117 atas (1) permintaan antara atas PDRB yang sama; (2) permintaan antara atas PDRB yang berbeda. Sedangkan neraca permintaan akhir terdiri atas: (1) Neraca permintaan institusi; (2) marjin perdagangan; (3) subsidi; (4) neraca kapital swasta; dan (5) neraca ekspor. Proposi permintaan akhir institusi total diambil dari Tabel I-O dan permintaan akhir rumah tangga menurut jenis/golongan yang dibagi berdasarkan data Susenas. Sedangkan permintaan akhir pemerintah dibagi berdasarkan data anggaran pendapatan dan pengeluaran pemerintah daerah. Data neraca kapital swasta dan ekspor diambil dari Tabel I-O, sedangkan marjin perdagangan dan subsidi diperoleh dari perhitungan. Neraca Eksogen Klasifikasi neraca eksogen dalam kegiatan SNSE Kabupaten Indragiri Hilir meliputi neraca kapital, pajak tidak langsung dan neraca luar negeri (the rest of the world). Hasil SNSE Kabupaten INHIL Tahun 2005 Hasil SNSE Kabupaten Indragiri Hilir tahun 2005 diperlihatkan pada matriks SNSE ukuran 9 x 9 (seperti pada Tabel 7) sebagai hasil agregasi dari matrik 56 x 56. Pada tabel 7 terlihat bahwa total nilai output yang dihasilkan oleh berbagai sektor ekonomi sebesar Rp juta yang terdiri dari output domestik sebesar Rp juta dan nilai impor sebesar Rp juta. Dari total output domestik tersebut nilai tambah yang dihasilkan di daerah ini berjumlah sekitar Rp juta, atau sekitar persen dari total output domestik. Nilai tambah ini dapat dihitung dari dua sisi yakni dari sisi supply yang merupakan penjumlahan balas jasa faktor produksi tenaga kerja sebesar Rp juta, modal (termasuk penyusutan) sebesar Rp juta, dan pajak tak langsung sebesar Rp Perhitungan nilai tambah juga dapat dihitung dari sisi permintaan yang merupakan akumulasi dari pemintaan konsusmsi rumah tangga sebesar Rp juta, permintaan konsumsi pemerintah sebesar Rp juta, Investasi sebesar Rp juta, Ekspor sebesar Rp. Rp juta dikurang impor yang jumlahnya sebesar Rp juta. 92

118 Besarnya nilai tambah faktor produksi tenaga kerja yang keluar wilayah berjumlah sebesar Rp juta. Sedangkan besarnya pendapatan modal adalah yang keluar wilayah adalah Rp juta. Sebaliknya terdapat balas jasa faktor produksi tenaga kerja yang berasal dari luar wilayah yang memberi tambahan tenaga kerja rumah tangga dalam wilayah yang jumlahnya sebesar Rp juta dan pendapatan modal yang berasal dari luar jumlahnya sekitar Rp juta. Pendapatan dari seluruh rumah tangga yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir diperkirakan sebesar Rp juta selama tahun 2005, yang bersumber dari pendapatan tenaga kerja sebesar Rp juta, dari pendapatan modal sebesar Rp juta dan sisanya berasal dari transfer berbagai institusi sebesar Rp juta. Rata-rata pendapatan pada kelompok rumah tangga pendapatan tinggi diperkotaan mencapai Rp juta per rumah tangga per tahun, sedangkan pendapatan rumah tangga paling kecil pada kelompok rumah tangga pendapatan rendah di pedesaan dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp juta per rumah tangga per tahun. Selanjutnya total pendapatan institusi perusahaan diperkirakan sebesar Rp juta. Sedangkan penerimaan pemerintah diperkirakan sebesar Rp juta. Untuk jelasnya dapat dilihat pada Tabel 7. 93

119 Tabel 7. Sistem Neraca Sosial Ekonomi Kabupaten Indragiri Hilir, Tahun 2005 (9 x 9) (Rp Juta) I. Faktor Produksi I. Faktor Produksi II. Institusi III. IV. V. VII. Tenaga Kerja Modal Rumah tangga Perusahaan Pemerintah Sektor Produksi Neraca Kapital Pajak Tak Langsung minus subsidi The Rest of The world Tenaga Kerja Modal Jumlah Rumah tangga II. Institusi Perusahaan Pemerintah III. Sektor Produksi IV. Neraca Kapital V. Pajak Tak Langsung minus subsidi VII. The Rest of The World , J u m l a h

120 Tabel 8. Arti Kerangka Sistem Neraca Sosial Ekonomi Kabupaten Indragiri Hilir, Tahun 2005 (9 x 9) I. Faktor Produksi II. Institusi I. Faktor Produksi II. Institusi Tenaga Kerja 1 Modal 2 Rumah tangga 3 Perusahaan 4 Pemerintah 5 III. Sektor Produksi 6 IV. Neraca Kapital 7 V. Pajak Tak Langsung minus subsidi 8 VII. The Rest of The World 9 J u m l a h Tenaga Kerja Alokasi pendapatan faktor produksi tenaga kerja ke rumah tangga Pendapatan faktor produksi tenaga kerja ke luar negeri Pengeluaran faktor produksi tenaga kerja Modal Rumah tangga Perusahaan Pemerintah Alokasi pendapatan faktor produksi bukan tenaga kerja ke rumah tangga Alokasi pendapatan faktor produksi bukan tenaga kerja ke perusahaan Alokasi pendapatan faktor produksi bukan tenaga kerja ke pemerintah Pendapatan faktor produksi bukan tenaga kerja ke luar negeri Pengeluaran faktor produksi bukan tenaga kerja Transfer antar rumah tangga Pajak langsung dari rumah tangga Pengeluaran rumah tangga Tabungan rumah tangga Transfer dari rumah tangga ke luar negeri Jumlah pengeluaran rumah tangga Transfer perusahaan ke rumah tangga Transfer antar perusahaan Pajak langsung dari perusahaan Tabungan perusahaan Transfer dari perusahaan ke luar negeri Jumlah pengeluaran perusahaan Transfer pemerintah ke rumah tangga Transfer pemerintah ke perusahaan Transfer antar pemerintah Tabungan pemerintah Transfer dari pemerintah ke luar negeri Jumlah pengeluaran pemerintah 95

121 Lanjutan Tabel 8 I. Faktor Produksi III. IV. V. VII. Sektor Produksi Tenaga Kerja 1 Alokasi nilai tambah ke faktor produksi tenaga kerja Modal 2 Alokasi nilai tambah ke faktor produksi bukan tenaga kerja Neraca Kapital Pajak Tak Langsung minus subsidi The Rest of The world Pendapatan faktor produksi tenaga kerja dari luar negeri Pendapatan faktor produksi bukan tenaga kerja dari luar negeri II. Institusi Rumah tangga 3 Transfer dari luar negeri ke rumah tangga Perusahaan 4 Transfer dari luar negeri ke perusahaan Jumlah Penerimaan faktor produksi tenaga kerja Penerimaan faktor produksi bukan tenaga kerja Penerimaan rumah tangga Penerimaan perusahaan Pemerintah 5 Penerimaan pemerintah dari pajak tak langsung Transfer dari luar negeri ke pemerintah Penerimaan pemerintah III. Sektor Produksi 6 Input antara Investasi barang modal domestic Ekspor barang dan jasa Penerimaan produksi atas dasar harga produsen IV. Neraca Kapital 7 Hutang luar negeri Pembelanjaan akumulasi bruto V. Pajak Tak Langsung minus subsidi 8 Pajak tak langsung minus subsidi VII. The Rest of The World 9 Jumlah impor Piutang luar negeri Jumlah pajak tak langsung J u m l a h Jumlah input bruto atas dasar harga produsen Pengeluaran akumulasi bruto Jumlah pajak tak langsung Jumlah pengeluaran transaksi berjalan dan modal 96

122 Kinerja Ekonomi Kabupaten Indragiri Hilir Indikator-indikator kinerja ekonomi yang diturunkan dari kerangka SNSE Kabupaten Indragiri Hilir tahun 2005 diantaranya adalah struktur dan pertumbuhan PDRB dan nilai tambah faktor produksi. Struktur dan Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Dari segi struktur perekonomian, Kabupaten Indragiri Hilir dicirikan oleh tiga sektor utama sebagai motor penggerak (engine power) roda perekonomian yakni masing-masing sektor pertanian, sektor industri dan sektor pedagangan. Dari ke tiga sektor tersebut, tercatat hingga tahun 2005, sektor pertanian memberi kontribusi sekitar persen, kemudian disusul oleh sektor industri persen dan sektor perdagangan dengan kontribusi sekitar persen. Dari total nilai tambah pertanian, subsektor perkebunan memberi kontribusi sekitar persen, sub sektor kehutanan berkontribusi sebesar persen, sedangkan tanaman pangan hanya memberi kontribusi sekitar persen. Selanjutnya dari total nilai tambah sektor industri tercatat subsektor industri kelapa memberi kontribusi sekitar persen, kemudian subsektor industri kayu memberi kontribusi sekitar 4.78 persen. Struktur PDRB Kabupaten INHIL 2005 Pertanian 49.57% Pertambangan dan Penggalian 0.63% Industri 16.56% Listrik, Gas dan Air Minum 0.09% Jasa-Jasa 9.52% Keuangan & Jasa Perusahaan 1.61% Angkutan & Komunikasi 2.98% Bangunan 4.03% Perdagangan, Restoran & Hotel 15.01% Gambar 8. Struktur PDRB Kabupaten Indragiri Hilir, Berdasarkan Klasifikasi 9 Sektor, Tahun 2005 Selanjutnya, dengan mengkonversi struktur PDRB Kabupaten Indragiri Hilir, menurut harga berlaku selama tiga tahun terakhir, tampak bahwa secara 97

123 total PDRB harga berlaku daerah ini mengalami pertumbuhan sebesar persen per tahun. Meskipun indikator pertumbuhan PDRB harga berlaku, tidak dapat mencerminkan secara langsung tentang peningkatan kapasitas produksi di masing-masing sektor, karena bisa jadi pertumbuhan tersebut disebabkan oleh peningkatan harga dan bukan dari peningkatan produksi. Akan tetapi tentunya indikator tetap menjadi penting untuk melihat sektor-sektor mana yang memiliki peningkatan daya saing. Berdasarkan indikator pertumbuhan PDRB harga berlaku ini, tampak bahwa sektor industri, mengalami pertumbuhan paling besar yakni mencapai persen. Pertumbuhan sektor industri ini, terutama bersumber dari pertumbuhan sub-sektor industri kelapa, karena berdasarkan dari hasil I-O 2005, sub sektor industri kelapa ini memberi kontribusi sekitar persen terhadap nilai tambah total sektor industri. Tabel 9. No Pertumbuhan PDRB Harga Berlaku Kabupaten Indragiri Hilir, Berdasarkan Klasifikasi 11 Sektor, Tahun Sektor Perkembangan Nilai Tambah Bruto (Harga Berlaku) Pertumbuhan (%) 1 Pertanian a. Tanaman Pangan b. Perkebunan c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Listrik, Gas dan Air Minum Konstruksi dan Bangunan 136, Perdagangan Restoran dan Hotel 23, Angkutan a. Angkutan jalan raya b. Angkutan Laut c. Penunjang angkutan Komunikasi Keuangan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa a. Pemerintahan Umum b. Jasa Lainnya Jumlah Sumber : BPS Inhil Tahun 2006, diolah 98

124 Dari Tabel 9 diatas dapat juga dilihat bahwa selain sektor industri yang mengalami pertumbuhan tinggi, sub sektor perikanan, penunjang angkutan dan peternakan juga mengalami pertumbuhan tinggi. Selanjutnya sektor yang mengalami kemerosotan adalah sub sektor tanaman pangan, sektor pertambangan dan penggalian, sektor listrik, gas dan air minum, restoran dan hotel, komunikasi serta sektor keuangan dan jasa perusahaan. Nilai Tambah Faktor Produksi Dari kerangka SNSE Kabupaten Indragiri Hilir tahun 2005, juga diperlihatkan nilai tambah faktor produksi yang terdiri dari upah dan gaji, surplus usaha, pendapatan kapital (masih termasuk penyusutan), surplus usaha dan pajak tak langsung netto. Hasil nilai tambah faktor produksi dari kerangka SNSE adalah imbalan jasa faktor produksi tenaga kerja berjumlah Rp juta atau sekitar persen dari total nilai semua faktor produksi. Dari total nilai tambah faktor produksi tenaga kerja ini, tercatat subsektor perkebunan yang memberi kontribusi paling tinggi yakni sekitar persen, disusul sub sektor pemerintahan umum. Selanjutnya untuk komponen surplus usaha, tercatat nilai tambah ini berkontribusi sekitar Rp juta atau sekitar persen. Sektor yang menghasilkan surplus usaha paling besar adalah sektor industri yakni sekitar persen dari total nilai tambah surplus usaha, kemudian disusul oleh sektor perdagangan dengan kontribusi sebesar persen. Sedangkan untuk nilai tambah yang bersumber dari modal dan pajak tak langsung masing-masing adalah Rp juta dan Rp juta atau masing-masing berkontribusi sekitar 6.01 persen dan 4.85 persen terhadap total nilai tambah. Untuk nilai tambah faktor produksi modal tercatat sektor industri memberi kontribusi paling tinggi yakni sekitar persen, kemudian disusul sektor perdagangan dengan kontribusi sekitar persen. Dalam kerangka SNSE ini tercatat pula sektor industri memberi kontribusi terbesar dalam menciptakan pajak tak langsung yakni sekitar persen, kemudian disusul oleh sub sektor perkebunan dengan kontribusi sekitar persen. 99

125 Tabel 10. Nilai Tambah Faktor Produksi Berdasarkan Klasifikasi 11 Sektor, Kabupaten Indragiri Hilir, Tahun 2005 No. Sektor Upah dan Gaji Struktur Nilai Tambah (Rp. Juta) Surplus Usaha Penyusutan Pajak Tak Langsung Netto Nilai Tambah Bruto 1 Pertanian a. Tanaman Pangan b. Perkebunan c. Peternakan d. Kehutanan e. Perikanan Pertambangan dan Penggalian 3 Industri a. Industri kelapa b. Industri kayu c.industri makanan, pakaian, alat pertanian dan lainnya 4 Listrik, Gas dan Air Minum 5 Konstruksi dan Bangunan 6 Perdagangan Restoran dan Hotel Angkutan a. Angkutan jalan raya b. Angkutan Laut c. Penunjang angkut Komunikasi Keuangan dan Jasa Perusahaan 11 Jasa-Jasa a. Pemerintahan Umum b. Jasa Lainnya Jumlah Sumber : SNSE Indragiri Hilir Tahun 2005, diolah Berdasarkan gambaran imbalan jasa masing-masing faktor produksi pada setiap sektor produksi di Kabupaten Indragiri Hilir, seperti yang telah dijelaskan, maka diperoleh gambaran bahwa sektor pertanian, khususnya sub-sektor perkebunan merupakan sub-sektor yang menyerap banyak tenaga kerja dan memberi imbalan upah dan gaji yang paling besar terhadap total tenaga kerja di daerah ini. Selanjutnya sektor industri dan perdagang merupakan sektor yang paling besar menggunakan modal. Kedua sektor ini juga merupakan sektor yang menghasilkan surplus usaha paling besar. Selanjutnya sektor industri dan 100

126 subsektor perkebunan merupakan sektor penghasil pajak tak langsung paling besar. Kinerja Sosial Kabupaten Indragiri Hilir Berbagai kinerja sosial yang dapat digambarkan dalam kerangka SNSE Kabupaten Indragiri Hilir tahun 2005, diantaranya adalah distribusi pendapatan tenaga kerja, pendapatan kapital, penerimaan transfer berdasarkan kelompok rumah tangga, distribusi pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposible income) dan pendapatan per kapita, pola pengeluaran menurut kelompok rumah tangga, distribusi upah dan gaji menurut sektor usaha dan beberapa indikator kinerja sosial lainnya. Berbagai indikator kinerja sosial tersebut akan diuraikan lebih terperinci, namun pada bagian awal digambarkan klasifikasi rumah tangga yang digunakan dalam kerangka SNSE Kabupaten Indragiri Hilir tahun 2005 sebagai berikut. Jumlah Penduduk dan Rumah Tangga Kabupaten Indragiri Hilir pada tahun 2005, dihuni oleh sekitar jiwa penduduk, yang tersebar pada 17 kecamatan dengan 192 desa. Tercatat Kecamatan Tembilahan yang merupakan ibukota kabupaten memiliki jumlah penduduk paling besar yakni sebanyak jiwa dengan jumlah rumah tangga sebanyak rumah tangga. Sedangkan wilayah kecamatan yang memiliki jumlah penduduk paling sedikit adalah Kecamatan Kemuning dengan jumlah penduduk hanya sekitar jiwa dengan jumlah rumah tangga sebanyak rumah tangga. 101

127 Tabel 11, Perkembangan Jumlah Rumah Tangga, Penduduk Desa/Kelurahan Perkecamatan Pada Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2005 No Kecamatan Jumlah Rumah Tangga Penduduk Desa/Kelurahan 1 Keritang Kemuning R e t e h E n o k Tanah Merah Kuala Indragiri Tembilahan Tembilahan Hulu Tempuling Batang Tuaka Gaung Anak Serka Gaung M a n d a h Kateman Pelangiran Teluk Belengkong Pulau Burung Kab. Indragiri Hilir Sumber : Indragiri Dalam Angka, 2005 Total jumlah rumah tangga yang ada di Kabupaten Indragiri Hilir tahun 2005 berjumlah sebanyak rumah tangga. Dari jumlah tersebut tercatat sebanyak rumah tangga atau sekitar persen yang dikategorikan sebagai rumah tangga miskin (Balitbang Provinsi Riau, 2006). Secara absolut jumlah rumah tangga miskin paling banyak terdapat di Kecamatan Tempuling dan Kecamatan Gaung, akan tetapi secara relatif, konsentrasi rumah tangga miskin paling besar di Kecamatan Kemuning dan Kecamatan Batang Tuaka. 102

128 Distribusi Upah dan Gaji Menurut Sektor dan Produktivitas Tenaga kerja Sektoral Berdasarkan kerangka analisis SNSE Kabupaten Indragilir Hilir Tahun 2005, maka distribusi upah dan gaji tenaga kerja menurut sektor usaha menunjukkan bahwa distribusi upah dan gaji paling besar di sektor pertanian, kemudian diikuti sektor jasa-jasa dan sektor industri. Total upah dan gaji yang merupakan imbalan tenaga kerja pertanian mencapai Rp juta atau sekitar persen dari total upah dan gaji. Meskipun alokasi upah dan gaji paling besar masuk ke sektor ini, akan tetapi tercatat sektor ini pula yang memiliki produktivitas tenaga kerja paling rendah yakni hanya Rp juta per tenaga kerja, bisa jadi rendahnya produktivtas tenaga kerja sektor pertanian terkait dengan rendahnya nilai tukar hasil pertanian dan banyaknya tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya di sektor ini yakni mencapai persen. Selanjutnya distribusi upah dan gaji paling kecil ke sektor listrik, gas dan air minum, hal ini terkait rendahnya tenaga kerja yang bekerja di sektor ini. Tabel 12. No. Distribusi Upah dan Gaji Tenaga Kerja Menurut Sektor Usaha Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2005 Sektor Jumlah TK (Orang) Upah & Gaji (Rp. Juta) Produktivitas TK (Rp. Juta/Org) 1 Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri , Listrik, Gas dan Air Minum Konstruksi dan Bangunan Perdagangan, Hotel & Restoran Angkutan & Komunikasi Keuangan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Jumlah Sumber : SNSE Inhil Tahun 2005, diolah Selanjutnya pada Tabel 12 diatas terlihat pula bahwa, tingkat produktivitas tenaga kerja paling besar di sektor keuangan dan jasa perusahaan, kemudian disusul sektor konstruksi bangunan dan sektor jasa-jasa. Sektor yang memiliki 103

129 jumlah tenaga kerja yang cukup besar dengan produktivitas tenaga kerja yang relatif tinggi pula adalah sektor jasa-jasa dan sektor industri. Distribusi Pendapatan TK Menurut Rumah Tangga Kerangka analisis SNSE Inhil Tahun 2005 juga menunjukkan distribusi pendapatan tenaga kerja menurut klasifikasi rumah tangga yang terbagi dalam tujuh kategori. Berdasarkan data susenas yang introduksi dalam kerangka SNSE Inhil 2005, dimana proporsi tenaga kerja berdasarkan klasifikasi rumah tangga tersebut, terbesar pada kelompok rumah tangga petani yang memiliki lahan diatas 1 Ha, sedangkan proporsi tenaga kerja paling sedikit dari rumah tangga kota golongan rendah. Berdasarkan tabel analisis yang diperoleh dari kerangka SNSE, maka distribusi pendapatan tenaga kerja paling besar di kelompok rumah tangga golongan atas di perkotaan dengan proporsi mencapai persen dari total pendapatan tenaga kerja, kemudian disusul kelompok rumah tangga non pertanian golongan atas di perdesaan dengan proporsi mencapai persen dari total pendapatan tenaga kerja. Tabel 13 Distribusi Pendapatan Tenaga Kerja Menurut Kelompok Rumah Tangga di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2005 No. Sektor Pendapatan (Rp.Juta/TK) Jumlah TK Pendapatan TK Ekuivalen (Org) (Rp. Juta) TK 1 Buruh Tani Petani memiliki lahan Ha 3 Petani memiliki lahan > 1.00 Ha 4 Rumah Tangga Desa Golongan Bawah 5 Rumah Tangga Desa Golongan Atas Rumah Tangga Kota Golongan Bawah 7 Rumah Tangga Kota Golongan Atas Jumlah Sumber : SNSE Inhil Tahun 2005, diolah Selanjutnya, pada Tabel 13 diatas terlihat pula pendapatan ekuivalen tenaga kerja menurut klasifikasi rumah tangga, terlihat bahwa tenaga kerja yang berasal dari rumah tangga golongan atas di perkotaan memiliki pendapatan ekuivalen tenaga kerja paling tinggi yakni mencapai Rp juta per tenaga kerja, 104

130 kemudian disusul tenaga kerja yang berasal dari rumah tangga golongan atas di perdesaan. Sedangkan pendapatan ekuivalen tenaga kerja paling rendah adalah tenaga kerja yang berasal dari rumah tangga buruh tani dan rumah tangga pertanian yang memiliki lahan kurang dari satu hektar. Distribusi Pendapatan Rumah Tangga (disposible income) Disposible Income rumah tangga adalah pendapatan rumah tangga setelah dikurang pajak. Disposible income ini berasal dari berbagai sumber seperti, dari pendapatan tenaga kerja, pendapatan modal, dan transfer dari berbagai institusi. Pendapatan ini merupakan penerimaan rumah tangga yang bisa dibelanjakan. Kerangka SNSE Kabupaten Indragilir Hilir tahun 2005 menggambarkan bahwa secara total sumber pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposible income) rumah tangga paling besar berasal dari imbalan jasa faktor produksi modal dengan proporsi mencapai persen. Proporsi imbalan jasa modal ini paling besar pada kelompok rumah tangga berpendapatan tinggi di perkotaan dan rumah tangga pertanian yang memiliki lahan diatas satu hektar. Sedangkan sumber dari transfer berbagai institusi berkontribusi paling kecil terhadap total pendapatan rumah tangga yakni secara total rumah tangga hanya sekitar 3.73 persen, dimana transfer institusi ini paling besar pada kelompok rumah tangga buruh tani dan rumah tangga yang memiliki lahan kurang dari satu hektar. Tabel 14. Distribusi Pendapatan Menurut Kelompok Rumah Tangga di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2005 Jumlah Sumber Pendapatan (Rp. Juta) Total Pendapatan No. Sektor RT (Unit) Pendapatan TK Pendapatan Modal Transfer institusi RT (Rp. Juta) 1 Buruh Tani Petani memiliki lahan Ha Petani memiliki lahan > 1.00 Ha Rumah Tangga Desa Golongan Bawah Rumah Tangga Desa Golongan Atas Rumah Tangga Kota Golongan Bawah Rumah Tangga Kota Golongan Atas Jumlah Sumber : SNSE Inhil Tahun 2005, diolah 105

131 Tabel 14 diatas menunjukkan bahwa kelompok rumah tangga yang memperoleh proporsi pendapatan paling besar adalah kelompok rumah tangga pertanian yang memiliki lahan diatas satu hektar dengan total pendapatan sebesar Rp juta, kemudian kelompok rumah tangga non pertanian golongan atas di perkotaan yang jumlahnya mencapai Rp juta. Sedangkan yang terkecil adalah kelompok rumah tanggga non pertanian golongan bawah di pedesaan yang besarnya hanya sekitar Rp juta. Tingginya total pendapatan pada kelompok rumah tangga golongan atas di perkotaan terkait dengan produktivitas faktor produksinya yang tinggi sehingga menghasilkan pendapatan rata-rata per rumah tangga yang tinggi yakni mencapai Rp juta per rumah tangga per tahun. Selanjutnya akumulasi pendapatan yang tinggi pada kelompok rumah tangga pertanian dengan lahan diatas satu hektar terkait dengan banyaknya rumah tangga yang tergolong kategori rumah tangga ini, yakni mencapai sekitar dari total rumah tangga dan yang terkecil adalah kelompok rumah tangga non pertanian golongan bawah di perdesaan yang jumlahnya sekitar 2.39 persen dari total rumah tangga. Transfer Antar Institusi Kerangka analisis SNSE Indragiri Hilir tahun 2005 juga memperlihatkan transfer antar institusi. Transfer antar institusi ini terdiri dari transfer antar rumah tangga, transfer perusahaan dan pemerintah ke rumah tangga, serta transfer rumah tangga dan perusahaan ke pemerintah. Hasil analisis pada kerangka SNSE menunjukkan bahwa rumah tangga memperoleh total transfer sebesar Rp juta. Rumah tangga yang paling besar memperoleh transfer adalah kelompok rumah tangga buruh tani, kemudian rumah tangga pertanian yang memiliki lahan diatas satu hektar. Transfer pemerintah ke rumah tangga paling besar juga pada kedua kelompok rumah tangga tersebut. 106

132 No A Tabel 15. Sumber Transfer Institusi di Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2005 Sektor Transfer Ke Rumah Tangga Jumlah RT Sumber Transfer (Rp. Juta) RT Perusahaan Pemerintah Total Transfer RT 1 Buruh Tani Petani memiliki lahan 0,00 1,00 Ha Petani memiliki lahan > 1,00 Ha Rumah Tangga Desa Golongan Bawah Rumah Tangga Desa Golongan Atas Rumah Tangga Kota Golongan Bawah Rumah Tangga Kota Golongan Atas Jumlah B Transfer ke Perusahaan C Transfer ke Pemerintah Sumber : SNSE Inhil Tahun 2005, diolah Pada tabel diatas terlihat pula bahwa transfer yang diterima pemerintah yang besarnya berjumlah Rp juta. Transfer ini bersumber dari pajak langsung yang dibayarkan rumah tangga sebesar Rp juta dan pajak langsung yang dibayarkan perusahaan sebesar Rp juta, sedangkan transfer antar pemerintah berjumlah sebesar Rp juta, nilai ini tidak lain adalah transfer pemerintah pusat atau propinsi ke daerah dalam bentuk dana perimbangan. Dari ketiga sumber transfer pemerintah ini jika ditambahkan dengan pendapatan pemerintah dari pendapatan lain-lain yang pada tahun 2005 mencapai Rp juta, maka secara total diperoleh nilai yang jumlahnya sama dengan nilai pendapatan dalam APBD tahun 2005 yakni sebesar Rp juta Neraca Daerah Terintegrasi Kerangka analisis SNSE selain dapat menunjukkan kinerja ekonomi dan kinerja sosial seperti yang telah digambarkan, analisis dapat juga dilakukan dengan mengubah bentuk matriksnya menjadi beberapa neraca umum yang terintegrasi. Neraca pokok yang dapat ditampilkan dalam kerangka analisis SNSE terdiri dari : a. Neraca produksi b. Neraca pendapatan dan pengeluaran institusi 107

133 c. Neraca kapital d. Neraca luar negeri (luar daerah) Dalam pembahasan neraca terintegrasi pengeluaran dan pendapatan di masing-masing neraca disajikan pada sisi kiri dan kanan neraca. Gambaran mengenai masing-masing neraca terintegrasi SNSE Kabupaten Indragiri Hilir tahun 2005 dibahas satu persatu sebagai berikut. Neraca Produksi Neraca produksi yang diagregasi dari SNSE Inhil 2005 menggambarkan produksi (output) yang dihasilkan daerah. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa secara total pendapatan dan pengeluaran di Kabupaten Indragiri Hilir sebesar Rp juta. Komponen pengeluaran terdiri dari (1) pembelian input antara sebesar Rp juta, (2) upah dan gaji termasuk upah dan gaji yang ditransfer keluar wilayah yang jumlahnya sebesar Rp juta, (3) surplus dan penyusutan sebesar Rp juta dan komponen pajak tak langsung yang berjumlah sebesar Rp juta Tabel 16. Neraca Produksi Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2005 No. Pengeluaran Nilai No. Pendapatan Nilai 1 Pembelian input Penjualan input antara antara 2 Upah dan Gaji Penjualan barang konsumsi 3 Surplus Usaha, Penjualan barang dsb modal 4 Pajak Tidak Ekspor Langsung (Netto) 5 Dikurangi impor Total Total Sumber : SNSE Inhil Tahun 2005, diolah Selanjutnya dari sisi pendapatan, komponen neraca produksi terdiri dari (1) penjualan input antara sebesar Rp juta, (2) penjualan barang konsumsi, yang merupakan penjumlahan konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah dengan nilai sebesar Rp juta, (3) penjualan barang modal sebesar Rp juta (4) ekspor dari berbagai sektor produksi yang 108

134 jumlahnya sebesar Rp juta dan (5) impor dengan nilai sebesar Rp Neraca Pendapatan dan Pengeluaran Institusi Neraca pendapatan dan pengeluaran institusi menggambarkan besarnya pendapatan dan pengeluaran secara agregat dari seluruh institusi yang terdiri rumah tangga, perusahaan dan pemerintah. Komponen dari pengeluaran institusi terdiri dari (1) nilai konsumsi dari seluruh rumah tangga, (2) nilai konsumsi pemerintah, (3) jumlah tabungan rumah tangga, perusahaan dan pemerintah, dan (4) pendapatan faktor produksi tenaga kerja dan faktor produksi modal yang ditransfer keluar wilayah. Total nilai pengeluaran seluruh institusi di daerah ini adalah sebesar Rp juta. Untuk jelasnya, nilai masing-masing komponen dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Neraca Pendapatan dan pengeluaran Institusi Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2005 No. Pengeluaran Nilai No. Pendapatan Nilai 1 Konsumsi Rumah Tangga Upah dan Gaji Konsumsi Pemerintah Pendapatan Kapital (termasuk penyusutan) Tabungan Pajak tidak langsung Pendapatan Faktor Produksi ke Luar Negeri Pendapatan Faktor Produksi dari LN Total Total Sumber : SNSE Inhil Tahun 2005, diolah Selanjutnya komponen pendapatan institusi terdiri dari (1) upah dan gaji, (2) pendapatan kapital (termasuk penyusutan), (3) pajak tidak langsung (4) pendapatan faktor produksi yang berasal dari luar wilayah baik faktor produksi tenaga kerja maupun pendapatan dari faktor produksi modal. Berdasarkan neraca ini, maka pendapatan institusi paling besar dari pendapatan modal yakni sebesar Rp Neraca Kapital Neraca kapital menggambarkan perbandingan besarnya investasi dan piutang sebagai sisi pengeluaran untuk dalam neraca kapital dengan tabungan dan pinjaman luar wilayah sebagai sisi pendapatan. Berdasarkan neraca kapital dari 109

135 SNSE Kabupaten Indragiri Hilir tahun 2005, tergambar bahwa investasi di daerah ini berjumlah sebesar Rp juta dan piutang sebesar Rp juta, nilai piutang ini berasal dari selisih penerimaan dan pengeluaran transaksi berjalan dan transaksi modal luar negeri. Total pengeluaran neraca kapital sebesar Rp juta. Pembiayaan sisi pengeluaran dari neraca kapital ini tidak menggunakan dana pinjaman luar negeri, tetapi diperoleh dari tabungan institusi, terutama tabungan perusahaan dan tabungan rumah tangga. Total tabungan institusi diperkirakan sebesar Rp juta, yang komponen terbesarnya berasal dari tabungan perusahaan yakni sekitar Rp juta dan tabungan rumah tangga sebesar Rp juta. Dalam neraca kapital ini ditunjukkan bahwa tidak ada tabungan pemerintah, bahkan pemerintah mengalami defisit anggaran pada tahun 2005 sebesar Rp juta. Tabel 18. Neraca Kapital Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2005 No. Pengeluaran Nilai No. Pendapatan Nilai 1 Investasi Tabungan Piutang a. Tabungan Masyarakat b. Tabungan Perusahaan c. Tabungan pemerintah Pinjaman luar negeri (Netto) 0.00 Total Total Sumber : SNSE Inhil Tahun 2005, diolah Pada neraca diatas, terlihat bahwa jumlah tabungan rumah tangga merupakan komponen kedua terbesar dari total tabungan institusi. Dari tabungan rumah tangga tersebut paling besar berasal dari rumah tangga kota non pertanian golongan atas dengan kontribusi sekitar persen dari total tabungan rumah tangga, kemudian komponen terbesar berikutnya adalah berasal dari rumah tangga pertanian yang memiliki lahan diatas satu hektar dengan jumlah tabungan sekitar persen dari total tabungan rumah tangga dan rumah tangga non pertanian golongan atas di desa dengan jumlah tabungan sekitar persen dari total tabungan rumah tangga. Neraca Luar Negeri Neraca luar negeri dalam kerangka SNSE Inhil tahun 2005 menggambarkan besarnya transaksi ekonomi luar negeri dengan berbagai pelaku ekonomi dalam 110

136 wilayah Kabupaten Inhil tahun Berdasarkan arah dari arus uang, maka yang menjadi komponen pengeluaran neraca luar negeri ini adalah nilai ekspor, transfer dari luar, penerimaan faktor produksi dari luar, dan piutang. Sedangkan dari komponen pendapatan terdiri dari nilai impor, transfer ke luar, pembayaran faktor produksi ke luar, dan hutang. Tabel 19. Neraca Produksi Kabupaten Indragiri Hilir Tahun 2005 No. Pengeluaran Nilai No. Pendapatan Nilai 1 Ekspor Impor Transfer dari luar Transfer ke luar Penerimaan Faktor Produksi 3 Pembayaran faktor produksi ke luar dari luar Piutang Hutang Total Total Sumber : SNSE Inhil Tahun 2005, diolah Tabel 19 neraca luar negeri menunjukkan bahwa, besarnya transaksi luar negeri dengan pelaku ekonomi dalam wilayah Kabupaten Inhil tahun 2005 diperkirakan berjumlah sebesar Rp juta. Tabel diatas juga menunjukkan bahwa besarnya ekspor dari berbagai sektor di daerah ini berjumlah sebesar Rp juta sedangkan impornya berkisar Rp juta. Penerimaan faktor produksi dari luar sebesar Rp juta yang merupakan balas jasa tenaga kerja daerah yang bekerja di luar wilayah (seperti upah TKI), dan balas jasa yang diterima daerah dari adanya kegiatan investasi di luar wilayah. Sedangkan pembayaran faktor produksi ke luar berjumlah sekitar Rp juta yang merupakan pembayaran faktor produksi tenaga kerja dan faktor produksi modal ke luar wilayah. 111

137 PERAN SEKTOR KELAPA TERHADAP PEREKONOMIAN WILAYAH KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan hasil analisis peran sektor kelapa terhadap perekonomian wilayah Kabupaten Indragiri Hilir, yang meliputi : (i) gambaran umum perekonomian wilayah, (ii) keterkaitan sektor (sectoral linkage), dan (iii) dampak pengganda (multiplier effect) terhadap perekonomian wilayah. Gambaran Umum Perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir Secara umum aspek perekonomian wilayah yang dijelaskan pada bab ini terdiri dari produk domestik regional bruto, produk domestik regional bruto perkapita, tenaga kerja, dan struktur perekonomian wilayah Kabupaten Indragiri Hilir. Produk Domestik Regional Bruto Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu wilayah merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan atau memetakan secara umum kondisi perekonomian suatu wilayah. Gambaran tersebut sangat bermanfaat terutama untuk memberi landasan identifikasi peran suatu sektor terhadap perekonomian suatu wilayah. Produk domestik regional bruto Kabupaten Indragiri Hilir yang akan digambarkan pada bab ini merupakan PDRB yang telah di agregasi dalam sembilan sektor perekonomian, yang terdiri dari (1) sektor pertanian, yang dirinci dalam subsektor perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan, (2) sektor pertambangan dan penggalian, (3) industri pengolahan, (4) sektor listrik dan air bersih, (5) sektor bangunan, (6) sektor perdagangan, hotel dan restoran, (7) sektor pengangkutan dan komunikasi, (8) sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, dan (9) sektor jasa-jasa lainnya. Untuk memberi gambaran perkembangan produk domestik regional bruto Kabupaten Indragiri Hilir atas dasar harga berlaku dan harga konstan 2000, pada Tabel 20 dan 21 di bawah ini dijelaskan perkembangan PDRB Kabupaten Indragiri Hilir periode tahun sebagai berikut.

138 Tabel 20. Perkembangan PDRB Sembilan Sektor Kabupaten Indragiri Hilir Atas Dasar Harga Berlaku (Milyar Rupiah) Periode Tahun No Lapangan Usaha Kontribusi (Milyar Rupiah) Tahun Pertanian, Perkebunan, Peterna kan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Total No Lapangan Usaha Kontribusi (%) Pertanian, Perkebunan, Peterna kan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Sumber: BPS Kab. Indragiri Hilir, Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Berdasarkan PDRB sembilan sektor atas dasar harga berlaku, terlihat bahwa perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir periode tahun secara umum di didominasi oleh peran sektor pertanian. Dominannya peran sektor pertanian tersebut sangat terkait dengan struktur daerahnya yang memiliki potensi pertanian yang lebih dominan dibandingkan dengan sektor lainnya. Dengan demikian peran terhadap sektor tersebut dalam menggerakkan pembangunan ekonomi wilayah, menjadi sangat penting, sebagaimana ditunjukkan oleh kontribusi sektor seperti pada tahun 2006, sektor pertanian mewarnai persen dari perekonomian wilayah diikuti oleh sektor industri pengolahan persen perdagangan persen, sektor jasa 7.25 persen sedangkan sektor lainnya berada di bawah 3 persen. Selanjutnya dilihat sisi produk domestik regional bruto Kabupaten Indragiri Hilir atas dasar harga konstan , juga menunjukkan dominannya peran 114

139 sektor pertanian dalam mewarnai perekonomian wilayah Kabupaten Indragiri Hilir, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 21 di bawah ini. Tabel 21. Perkembangan PDRB Sembilan Sektor Kabupaten Indragiri Hilir Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 (Milyar Rupiah), Periode No Lapangan Usaha Kontribusi (Milyar Rupiah) Tahun Pertanian, Perkebunan, Peterna kan, Kehutanan dan Perikanan 2. Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-Jasa Total No Lapangan Usaha Kontribusi (%) Pertanian, Perkebunan, Peterna kan, Kehutanan dan Perikanan 2. Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-Jasa Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: BPS Kab.Indragiri Hilir, Selanjutnya apabila dilihat posisi PDRB Kabupaten Indragiri Hilir berdasarkan Tabel Input-Output Kabupaten Indragiri Hilir empat puluh dua sektor tahun 2005, menunjukkan bahwa dari total PDRB tahun 2005 sebesar 4.65 triliun rupiah, terlihat sektor yang paling dominan membentuk PDRB Kabupaten Indragiri Hilir adalah sektor kelapa sebesar persen, kemudian disusul oleh sektor industri pengolahan kelapa sebesar dan rumah tangga persen dan sektor perdagangan sebesar persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa sektor kelapa dan industri pengolahannya memberikan kontribusi sebesat persen. Sedangkan untuk mengetahui lebih rinci peran sektor dalam membentuk PDRB Kabupaten Indragiri Hilir dijelaskan pada Tabel 22 di bawah ini. 115

140 Tabel 22. PDRB Empat Puluh Dua Sektor Kabupaten Indragiri Hilir Atas Dasar Harga Berlaku (Juta Rupiah) Tahun 2005 No Sektor Nilai Persentase 1 Padi Jagung Ketela Pohon Umbi-umbian Kacang-Kacangan Kedele Sayur-Sayuran Buah-buahan Bahan Makanan Lainnya Karet Kelapa Kelapa Sawit Kopi Hasil Perkebunan Lainnya Ternak dan Hasil-hasilnya Unggas dan Hasil-hasilnya Kayu Hasil Hutan Lainnya Ikan Laut dan Hasilnya Ikan Darat dan Hasilnya Udang Barang Tambang & Galian Industri Makanan Industri Pakaian Jadi Industri alat-alat Pertanian Indsutri Kayu Industri lainnya Industri Kelapa Skala Besar (Swasta) Industri Kelapa Skala Rumah Tangga Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan Restoran & Hotel Angkutan Jalan Raya Angkutan Laut Penunjang Angkutan Komunikasi Bank dan Lembaga Keuangan Jasa Perusahaan & Sewa Bangunan Pemerintahan Umum Jasa Sosial Kemasyarakatan Jasa Perorangan & Rumah tangga Total Sumber: I-O dan SNSE Kab.Indragiri Hilir 2005, diolah. Bila dilihat dari pertumbuhan ekonomi Kabupaten Indragiri Hilir periode menunjukkan bahwa laju pertumbuhan perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir berdasarkan PDRB harga konstan yaitu cenderung mengalami pertumbuhan yang positif dimana pertumbuhan PDRB Kabupaten Indragiri Hilir pada tahun 2002 sebesar 6.77 persen dan pada tahun 2003 sebesar 6.46 persen. 116

141 Selanjutnya pada tahun 2004 mengalami peningkatan menjadi 7.38 persen dan pada tahun 2005 sebesar 6.66 persen serta tahun 2006 meningkat lagi menjadi 8.01 persen (Tabel 23) Tabel 23. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Indragiri Hilir Berdasar PDRB Harga Konstan Tahun 2000 ( Persen) Periode No Rata-Rata Pertumbuhan Atas Dasar Harga Konstan 2000 (%) Pertanian, Perkebunan, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Rata-Rata Pertumbuhan Sumber: BPS Kab.Indragiri Hilir, Perkembangan pertumbuhan ekonomi Kabupaten Indragiri Hilir periode menunjukkan bahwa laju pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2006, yaitu sebesar 8.01 persen. Tingginya laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006 terlihat dominan didukung oleh peran sektor keuangan yaitu sebesar persen berada di atas peran sektor lainnya. Sedangkan ditinjau dari laju pertumbuhan PDRB atas dasar harga berlaku periode tahun 2006 menunjukkan sektor perdagangan memiliki laju pertumbuhan yang paling tinggi yaitu persen kemudian disusul oleh sektor jasa sebesar persen, sebagaimana dijelaskan pada Tabel 24. Tabel 24. Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Indragiri Hilir Atas Dasar PDRB Harga Berlaku (Persen) Periode No Rata-Rata Pertumbuhan Atas Dasar Harga Berlaku (%) Pertanian, Perkebunan, Peterna Kan, Kehutanan dan Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-Jasa Rata-Rata Pertumbuhan Sumber: BPS Kab.Indragiri Hilir,

142 Namun demikian dilihat dari laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Indragiri Hilir berdasarkan harga berlaku menunjukkan bahwa priode , laju pertumbuhan cenderung berfluaktif yaitu dari persen pada tuhun 2002, menjadi persen pada tahun 2003, kemudian persen tahun 2004, dan persen pada tahun 2005, serta persen pada tahun Selanjutnya berdasarkan harga berlaku periode tahun terlihat sektor perdagangan dan jasa merupakan sektor yang cenderung memiliki laju pertumbuhan tertinggi, seperti ditunjukkan Gambar 9 di bawah ini. Gambar 9. Laju Pertumbuhan PDRB Kabupaten Indragiri Hilir Berdasarkan Harga Berlaku Periode Berdasarkan perkembangan laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Indragiri Hilir, memperlihatkan bahwa sektor pertanian dominan mewarnai perekonomian Kabupaten Indragiri Hilir, namun bila dilihat lebih jauh ternyata sektor pertanian cenderung mengalami fluktuasi dalam hal laju pertumbuhan ekonominya. Untuk mengetahui perkembangan PDRB sektor pertanian dapat ditunjukkan pada Tabel 25 di bawah ini. 118

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan merupakan proses perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik dan lebih merata serta dalam jangka panjang

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR GAMBARAN UMUM SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI (SNSE) KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Pada bab ini dijelaskan mengenai gambaran umum SNSE Kabupaten Indragiri Hilir yang meliputi klasifikasi SNSE Kabupaten Indragiri

Lebih terperinci

Key Words : coconut farmers, poverty, SAM, regional leakage, increased revenue. Contoh Jurnal Penelitian STIE Indragiri

Key Words : coconut farmers, poverty, SAM, regional leakage, increased revenue. Contoh Jurnal Penelitian STIE Indragiri DAMPAK PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT RAKYAT TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN DI KABUPATEN INDRAGIRI HULU Oleh Yenny Iskandar NIM. 99.10.089.530.087 ABSTRACT Indragiri Hulu Regency is a center of

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi

I. PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya. bertahap. Pembangunan adalah suatu proses multidimensional yang meliputi 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingkat perekonomian suatu wilayah didukung dengan adanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang terencana dan dilaksanakan secara bertahap. Pembangunan adalah suatu

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010

V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 65 V. HASIL ANALISIS SISTEM NERACA SOSIAL EKONOMI DI KABUPATEN MUSI RAWAS TAHUN 2010 5.1. Gambaran Umum dan Hasil dari Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) Kabupaten Musi Rawas Tahun 2010 Pada bab ini dijelaskan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. sektor, total permintaan Provinsi Jambi pada tahun 2007 adalah sebesar Rp 61,85 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Struktur Perekonomian Provinsi Jambi 5.1.1 Struktur Permintaan Berdasarkan tabel Input-Output Provinsi Jambi tahun 2007 klasifikasi 70 sektor, total permintaan Provinsi Jambi

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

DAMPAK PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA RAKYAT TERHADAP KEMISKINAN DAN PEREKONOMIAN KABUPATEN INDRAGIRI HILIR

DAMPAK PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA RAKYAT TERHADAP KEMISKINAN DAN PEREKONOMIAN KABUPATEN INDRAGIRI HILIR DAMPAK PENGEMBANGAN PERKEBUNAN KELAPA RAKYAT TERHADAP KEMISKINAN DAN PEREKONOMIAN KABUPATEN INDRAGIRI HILIR Impacts of Community s Coconut Farm Development on Poverty and Regional Economy of Indragiri

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

ANALISIS INPUT-OUTPUT KOMODITAS KELAPA SAWIT DI INDONESIA

ANALISIS INPUT-OUTPUT KOMODITAS KELAPA SAWIT DI INDONESIA Perwitasari, H. dkk., Analisis Input-Output... ANALISIS INPUT-OUTPUT KOMODITAS KELAPA SAWIT DI INDONESIA Hani Perwitasari dan Pinjung Nawang Sari Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Gadjah Mada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan daerah di Indonesia pada dasarnya didasari oleh kebijaksanaan pembangunan nasional dengan mempertimbangkan karakteristik dan kebutuhan daerah. Kebijaksanaan

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN (Studi Kasus di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau) RAHMAT PARULIAN

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK

VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK VI. PERANAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN KABUPATEN SIAK 6.1. Struktur Perekonomian Kabupaten Siak 6.1.1. Struktur PDB dan Jumlah Tenaga Kerja Dengan menggunakan tabel SAM Siak 2003

Lebih terperinci

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007

Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 Boks 1. TABEL INPUT OUTPUT PROVINSI JAMBI TAHUN 2007 TABEL INPUT OUTPUT Tabel Input-Output (Tabel I-O) merupakan uraian statistik dalam bentuk matriks yang menyajikan informasi tentang transaksi barang

Lebih terperinci

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH J. Agroland 17 (1) : 63 69, Maret 2010 ISSN : 0854 641X PENGARUH INVESTASI SEKTOR PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN DI PROVINSI SULAWESI TENGAH The Effect of Investment of Agricultural

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR

DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN: STUDI KOMPARASI PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN MODAL ASING DI JAWA TIMUR HERNY KARTIKA WATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii ABSTRACT MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN. Analysis of Northern

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H14101038 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan merupakan proses perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik dan lebih merata serta dalam jangka panjang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO RINGKASAN ISVENTINA. H14102124. Analisis Dampak Peningkatan Ekspor Karet Alam Terhadap Perekonomian Indonesia: Suatu Pendekatan Analisis Input-Output. Di bawah bimbingan DJONI HARTONO. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

The Contribution Of Agricultural Sector in the Economy at Bone Bolango Regency By

The Contribution Of Agricultural Sector in the Economy at Bone Bolango Regency By The Contribution Of Agricultural Sector in the Economy at Bone Bolango Regency By Irawati Puloli 1) Mahludin Baruwadi 2) Ria Indriani 3) DEPARTMENTAGRIBISNIS FACULTY OF AGRICULTURE STATE UNIVERSITYGORONTALO

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses kenaikan pendapatan perkapita penduduk yang diikuti oleh perubahan fundamental dalam struktur ekonomi suatu negara. Pembangunan

Lebih terperinci

DAMPAK INVESTASI SWASTA YANG TERCATAT DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA TENGAH (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

DAMPAK INVESTASI SWASTA YANG TERCATAT DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA TENGAH (ANALISIS INPUT-OUTPUT) DIPONEGORO JOURNAL OF ECONOMICS Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman 1-9 http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jme DAMPAK INVESTASI SWASTA YANG TERCATAT DI SEKTOR PERTANIAN TERHADAP PEREKONOMIAN JAWA

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SITUBONDO SKRIPSI. Oleh. Nurul Qomaria NIM

ANALISIS PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SITUBONDO SKRIPSI. Oleh. Nurul Qomaria NIM ANALISIS PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN SITUBONDO SKRIPSI Oleh Nurul Qomaria NIM 100810101016 ILMU EKONOMI STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS JEMBER 2014

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN Hal-hal yang akan diuraikan dalam pembahasan dibagi dalam tiga bagian yakni bagian (1) penelaahan terhadap perekonomian Kabupaten Karo secara makro, yang dibahas adalah mengenai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pembangunan merupakan usaha yang meliputi perubahan pada berbagai aspek termasuk di dalamnya struktur sosial, sikap masyarakat, serta institusi nasional dan mengutamakan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Peran Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Kabupaten Banjarnegara Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai peranan ekonomi sektoral ditinjau dari struktur permintaan, penerimaan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2)

EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2) EKO-REGIONAL, Vol 1, No.1, Maret 2006 EVALUASI DAMPAK PEMBANGUNAN EKONOMI BAGI KESEJAHTERAAN MASYARAKAT DI WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA TAHUN 2003 Oleh: Irma Suryahani 1) dan Sri Murni 2) 1) Fakultas

Lebih terperinci

PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME

PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME NUSA TENGGARA BARAT DALAM ANGKA 2013 NUSA TENGGARA BARAT IN FIGURES 2013 Pendapatan Regional/ BAB XI PENDAPATAN REGIONAL CHAPTER XI REGIONAL INCOME Produk Domestik

Lebih terperinci

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor yang masih memegang peranan dalam peningkatan perekonomian nasional. Selain itu, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggantungkan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL DALAM PEMBANGUNAN PROVINSI RIAU M. RUSLI ZAINAL

PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL DALAM PEMBANGUNAN PROVINSI RIAU M. RUSLI ZAINAL PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL DALAM PEMBANGUNAN PROVINSI RIAU M. RUSLI ZAINAL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah swt, atas berkat

Lebih terperinci

Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo. Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 i Analisis Ketimpangan Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Gorontalo Herwin Mopangga SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku

VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku VI. SEKTOR UNGGULAN DALAM STRUKTUR PEREKONOMIAN WILAYAH KEPULAUAN PROVINSI MALUKU 6.1. Sektor-Sektor Ekonomi Unggulan Provinsi Maluku Aktivitas atau kegiatan ekonomi suatu wilayah dikatakan mengalami kemajuan,

Lebih terperinci

PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME BAB IX PENDAPATAN REGIONAL CHAPTER IX REGIONAL INCOME Struktur Ekonomi. 9.1.

PENDAPATAN REGIONAL REGIONAL INCOME BAB IX PENDAPATAN REGIONAL CHAPTER IX REGIONAL INCOME Struktur Ekonomi. 9.1. BAB IX PENDAPATAN REGIONAL CHAPTER IX 9.1. Struktur Ekonomi 9.1. Economy Structure Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah indikator utama perekonomian di suatu wilayah. PDRB atas dasar harga berlaku

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO ACEH TAMIANG 2008 2011 NOMOR KATALOG : 9302008.1114 UKURAN BUKU JUMLAH HALAMAN : 21,00 X 28,50 CM : 78 HALAMAN + XIII NASKAH : - SUB BAGIAN TATA USAHA - SEKSI STATISTIK SOSIAL

Lebih terperinci

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY

ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY ANALISIS PENGEMBANGAN KOMODITAS DI KAWASAN AGROPOLITAN BATUMARTA KABUPATEN OGAN KOMERING ULU ROSITADEVY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Pendapatan Regional/ Regional Income

Pendapatan Regional/ Regional Income Nusa Tenggara Barat in Figures 2012 559 560 Nusa Tenggara in Figures 2012 BAB XI PENDAPATAN REGIONAL CHAPTER XI REGIONAL INCOME Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku pada tahun

Lebih terperinci

ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH

ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH ANALISIS PENGARUH DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAN TINGKAT KEMISKINAN DI KABUPATEN/KOTA PROVINSI JAWA TENGAH Skripsi Diajukan untuk Melengkapi Syarat-Syarat Untuk Mendapat Gelar Sarjana

Lebih terperinci

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono

TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono UNIVERSITAS INDONESIA TUGAS MODEL EKONOMI Dosen : Dr. Djoni Hartono NAMA Sunaryo NPM 0906584134 I Made Ambara NPM 0906583825 Kiki Anggraeni NPM 090xxxxxxx Widarto Susilo NPM 0906584191 M. Indarto NPM 0906583913

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, dilakukan beberapa macam analisis, yaitu analisis angka pengganda, analisis keterkaitan antar sektor, dan analisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI DAN PERANAN SEKTOR PERTANIAN PADA PEREKONOMIAN DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTAA DENGAN PENDEKATAN INPUT-OUTPUT TESIS

ANALISIS POTENSI DAN PERANAN SEKTOR PERTANIAN PADA PEREKONOMIAN DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTAA DENGAN PENDEKATAN INPUT-OUTPUT TESIS ANALISIS POTENSI DAN PERANAN SEKTOR PERTANIAN PADA PEREKONOMIAN DI PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTAA DENGAN PENDEKATAN INPUT-OUTPUT TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat

Lebih terperinci

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai

BAB I P E N D A H U L U A N. sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai BAB I P E N D A H U L U A N 1.1 Latar Belakang Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

ANALISIS PERANAN JASA PARIWISATA DAN SEKTOR PENDUKUNGNYA DALAM PEREKONOMIAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Analisis Input-Output)

ANALISIS PERANAN JASA PARIWISATA DAN SEKTOR PENDUKUNGNYA DALAM PEREKONOMIAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Analisis Input-Output) ANALISIS PERANAN JASA PARIWISATA DAN SEKTOR PENDUKUNGNYA DALAM PEREKONOMIAN PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (Analisis Input-Output) OLEH DWI PANGASTUTI UJIANI H14102028 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah masalah yang penting dalam perekonomian suatu negara yang sudah menjadi agenda setiap tahunnya dan dilakukan oleh suatu negara bertujuan untuk

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi agar terus tumbuh dalam mendorong pertumbuhan sektor-sektor

BAB I PENDAHULUAN. yang tinggi agar terus tumbuh dalam mendorong pertumbuhan sektor-sektor BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Salah satu faktor penting dalam perencanaan pembangunan daerah adalah membangun perekonomian wilayah tersebut agar memiliki daya saing yang tinggi agar terus

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2011 BPS KABUPATEN PADANG LAWAS PERTUMBUHAN EKONOMI PADANG LAWAS TAHUN 2011 No. 01/06/1221/Th. IV, 30 Juli 2012 Pertumbuhan ekonomi Padang Lawas tahun 2011 yang diukur berdasarkan kenaikan laju pertumbuhan

Lebih terperinci

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG

KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA. Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG KETERKAITAN WILAYAH DAN DAMPAK KEBIJAKAN TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA Oleh: VERALIANTA BR SEBAYANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan masyarakat. Sektor pertanian di Indonesia terdiri dari beberapa sub BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor andalan dalam pembangunan perekonomian nasional. Peranannya sebagai menyumbang pembentukan PDB penyediaan sumber devisa

Lebih terperinci

DAMPAK KETERGANTUNGAN PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI TERHADAP SUMBERDAYA ALAM TAK TERBARUKAN (PEMBERLAKUAN KUOTA EKSPOR BATUBARA)

DAMPAK KETERGANTUNGAN PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI TERHADAP SUMBERDAYA ALAM TAK TERBARUKAN (PEMBERLAKUAN KUOTA EKSPOR BATUBARA) DAMPAK KETERGANTUNGAN PEREKONOMIAN PROVINSI JAMBI TERHADAP SUMBERDAYA ALAM TAK TERBARUKAN (PEMBERLAKUAN KUOTA EKSPOR BATUBARA) OLEH BUDI KURNIAWAN H14094019 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH

PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH No. 11/02/72/Th. XVII. 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI SULAWESI TENGAH Ekonomi Sulawesi Tengah pada tahun 2013 yang diukur dari persentase kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar

Lebih terperinci

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT)

DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) DAMPAK RESTRUKTURISASI INDUSTRI TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA BARAT (ANALISIS INPUT-OUTPUT) OLEH SRI MULYANI H14103087 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR EKONOMI DAN PENGEMBANGAN POTENSI EKONOMI LOKAL KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN

ANALISIS STRUKTUR EKONOMI DAN PENGEMBANGAN POTENSI EKONOMI LOKAL KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN ANALISIS STRUKTUR EKONOMI DAN PENGEMBANGAN POTENSI EKONOMI LOKAL KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2008-2013 SKRIPSI Diajukan untuk melengkapi Syarat syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi

Lebih terperinci

INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM DIAN HAFIZAH

INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM DIAN HAFIZAH 1 INTEGRASI PASAR FISIK CRUDE PALM OIL DI INDONESIA, MALAYSIA DAN PASAR BERJANGKA DI ROTTERDAM DIAN HAFIZAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

ANALISIS PERANAN DAN DAMPAK INVESTASI INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA: ANALISIS INPUT-OUTPUT OLEH CHANDRA DARMA PERMANA H

ANALISIS PERANAN DAN DAMPAK INVESTASI INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA: ANALISIS INPUT-OUTPUT OLEH CHANDRA DARMA PERMANA H ANALISIS PERANAN DAN DAMPAK INVESTASI INFRASTRUKTUR TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA: ANALISIS INPUT-OUTPUT OLEH CHANDRA DARMA PERMANA H14050184 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional

I. PENDAHULUAN. pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan sektor pertanian dalam pembangunan Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi. Peran penting sektor pertanian tersebut sudah tergambar dalam fakta empiris yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional merupakan cerminan keberhasilan pembangunan. perlu dilaksanakan demi kehidupan manusia yang layak.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional merupakan cerminan keberhasilan pembangunan. perlu dilaksanakan demi kehidupan manusia yang layak. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan adalah suatu proses perubahan yang direncanakan dan merupakan rangkaian kegiatan yang berkesinambungan, berkelanjutan dan bertahap menuju tingkat

Lebih terperinci

Keywords : GDRP, learning distribution, work opportunity

Keywords : GDRP, learning distribution, work opportunity 1 ANALISIS PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO SEKTOR PERTANIAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEMPATAN KERJA SERTA DISTRIBUSI PENDAPATAN DI PROVINSI SUMATERA SELATAN Erlina Rufaidah 1, Dwi Wulan Sari 2 Program Studi

Lebih terperinci

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014

Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Posisi Pertanian yang Tetap Strategis Masa Kini dan Masa Depan Jumat, 22 Agustus 2014 Sektor pertanian sampai sekarang masih tetap memegang peran penting dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran

Lebih terperinci

Pendapatan Regional/ Regional Income

Pendapatan Regional/ Regional Income 2011 541 542 BAB XI PENDAPATAN REGIONAL CHAPTER XI REGIONAL INCOME PDRB atas dasar berlaku pada tahun 2010 sebesar 49.362,71 milyar rupiah, sedang pada tahun sebelumnya 43.985,03 milyar rupiah, atau mengalami

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT PEREKONOMIAN KALIMANTAN BARAT PERTUMBUHAN PDRB TAHUN 2013 MENCAPAI 6,08 PERSEN No. 11/02/61/Th. XVII, 5 Februari 2014 Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun

Lebih terperinci

KELAPA SAWIT: PENGARUHNYA TERHADAP EKONOMI REGIONAL DAERAH RIAU. Abstrak

KELAPA SAWIT: PENGARUHNYA TERHADAP EKONOMI REGIONAL DAERAH RIAU. Abstrak KELAPA SAWIT: PENGARUHNYA TERHADAP EKONOMI REGIONAL DAERAH RIAU Almasdi Syahza 1 dan Rina Selva Johan 2 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau Email: asyahza@yahoo.co.id: syahza@telkom.net

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM Konsentrasi pembangunan perekonomian Kota Batam diarahkan pada bidang industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata. Akibat krisis ekonomi dunia pada awal tahun 1997 pertumbuhan

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA

ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA ANALISIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK PENGUATAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH DI PROVINSI JAWA TIMUR M. IRFAN SURYAWARDANA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier

IX. KESIMPULAN DAN SARAN. 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1. Hasil analisis angka pengganda (multiplier) meliputi value added multiplier (VM ), household induced income multiplier (HM), firm income multiplier (FM), other

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

ANALISIS PRODUKSI DAN KELAYAKAN USAHATANI KAKAO DI KABUPATEN MADIUN

ANALISIS PRODUKSI DAN KELAYAKAN USAHATANI KAKAO DI KABUPATEN MADIUN digilib.uns.ac.id ANALISIS PRODUKSI DAN KELAYAKAN USAHATANI KAKAO DI KABUPATEN MADIUN TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN DEMAK

ANALISIS PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN DEMAK ANALISIS PERANAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN DEMAK Khusnul Khatimah, Suprapti Supardi, Wiwit Rahayu Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta

Lebih terperinci

Pendapatan Regional/ Regional Income

Pendapatan Regional/ Regional Income 2010 539 540 BAB XI PENDAPATAN REGIONAL CHAPTER XI REGIONAL INCOME PDRB atas dasar berlaku pada tahun 2008 sebesar 35.261,68 milyar rupiah, sedang pada tahun sebelumnya 33522,22 milyar rupiah, atau mengalami

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ALAT ANALISIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN ALAT ANALISIS DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii HALAMAN PERSEMBAHAN... iv PRAKATA... v DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xiii

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT

Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT Boks 1. DAMPAK PENGEMBANGAN KELAPA SAWIT DI JAMBI: PENDEKATAN INPUT-OUTPUT Sektor pertanian merupakan salah satu sektor penting di Indonesia yang berperan sebagai sumber utama pangan dan pertumbuhan ekonomi.

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Dinas Perkebunan Provinsi Riau Laporan Kinerja A. Tugas Pokok dan Fungsi

PENDAHULUAN. Dinas Perkebunan Provinsi Riau Laporan Kinerja A. Tugas Pokok dan Fungsi PENDAHULUAN A. Tugas Pokok dan Fungsi Berdasarkan Peraturan Gubernur No. 28 Tahun 2015 tentang rincian tugas, fungsi dan tata kerja Dinas Perkebunan Provinsi Riau, pada pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa

Lebih terperinci

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM REFORMASI PERPAJAKAN : KUALITAS PELAYANAN DAN MANAJEMEN ORGANISASI SAKLI ANGGORO SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN DALAM

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PEREKONOMIAN KOTA PANGKALPINANG OLEH TITUK INDRAWATI H

ANALISIS DAMPAK SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PEREKONOMIAN KOTA PANGKALPINANG OLEH TITUK INDRAWATI H ANALISIS DAMPAK SEKTOR UNGGULAN TERHADAP PEREKONOMIAN KOTA PANGKALPINANG OLEH TITUK INDRAWATI H14094013 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 RINGKASAN TITUK

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan sisi perekonomian secara makro, Jawa Barat memiliki

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan 60 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Peranan Sektor Hotel dan Restoran Terhadap Perekonomian Kota Cirebon Berdasarkan Struktur Permintaan Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang

Lebih terperinci

DAMPAK TRANSFER PAYMENT TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA

DAMPAK TRANSFER PAYMENT TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA Dampak Transfer Payment (Achmad Zaini) 15 DAMPAK TRANSFER PAYMENT TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA PETANI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA (The Impact of Transfer Payment on Income of Farmers Household

Lebih terperinci

Analisis Peranan Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Provinsi Jawa TimurTahun (Pendekatan Shift Share Esteban Marquillas)

Analisis Peranan Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Provinsi Jawa TimurTahun (Pendekatan Shift Share Esteban Marquillas) Analisis Peranan Sektor Pertanian Terhadap Perekonomian Provinsi Jawa TimurTahun 2004-2013 1 Analysis of the Role of the Agricultural Sector to the Economy of East Java 2004-2013 (Shift Share Esteban Marquillas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor Industri merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan nasional. Kontribusi sektor Industri terhadap pembangunan nasional setiap tahunnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang diarahkan pada pengembangan dan peningkatan laju pertumbuhan antar daerah. Pelaksanaan pembangunan

Lebih terperinci