ANALISIS GENDER DALAM GERAKAN REHABILITASI LOKAL HUTAN MANGROVE

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS GENDER DALAM GERAKAN REHABILITASI LOKAL HUTAN MANGROVE"

Transkripsi

1 ANALISIS GENDER DALAM GERAKAN REHABILITASI LOKAL HUTAN MANGROVE (BAKAU) PADA KELOMPOK MASYARAKAT PEDULI LINGKUNGAN (PAPELING) DI DESA SIDODADI, KECAMATAN PADANG CERMIN, KABUPATEN LAMPUNG SELATAN, PROPINSI LAMPUNG Oleh: AGENG RARA CINDOSWARI A PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

2 RINGKASAN AGENG RARA CINDOSWARI. Analisis Gender dalam Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Mangrove (Bakau) Pada Kelompok Masyarakat Peduli Lingkungan (PAPELING) di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung (Di bawah bimbingan NURAINI W. PRASODJO). Matsui (2002), Shiva dan Mies (1993), Shiva (1988), Pratama (2005), Hidayati (2005), Suryaalam (2005) menyatakan bahwasanya kemiskinan, ketidakadilan gender, kerusakan lingkungan alam, dan industrialisasi adalah manifestasi dari pembangunan yang timpang. Pembangunan yang timpang menganggap semua kegiatan yang tidak menghasilkan laba dan menumpuk modal, bukan pekerjaan atau tergolong pekerjaan yang tidak produktif. Pembangunan yang timpang tidak mengenal kenyataan bahwa untuk mewujudkan keadilan yang merata mutlak perlu keselarasan alam dan langkah-langkah untuk memelihara keselarasan alam. Kondisi tersebut menumbuhkan protes keras di kalangan pecinta lingkungan. Protes terhadap dampak developmentalisme yang membuahkan kerusakan bagi lingkungan, menyulut gerakan perlindungan terhadap lingkungan di kalangan pembela lingkungan Pembangunan di Negara Indonesia tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dipaparkan di muka. Secara lebih konkret, kondisi ini termanifestasikan dari adanya ancaman kerusakan hutan mangrove (bakau) di sepanjang Pantai Timur Propinsi Lampung khususnya di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan. Ancaman terhadap kerusakan hutan mangrove (bakau) ini akan merugikan masyarakat sekitarnya, karena bakau merupakan salah satu sumberdaya yang banyak memiliki fungsi dan kegunaan. Oleh karena itu, masyarakat Desa Sidodadi menggagas gerakan rehabilitasi hutan mangrove

3 (bakau) secara partisipatif di tingkat lokal. Dalam konteks partisipatif yang melibatkan masyarakat, maka pemahaman mengenai masyarakat sebagai entitas tunggal yang selama menganggap bahwa masyarakat hanyalah kaum laki-laki haruslah dihilangkan. Peranan dan posisi perempuan dalam masyarakat juga harus ikut dipertimbangkan. Penelitian ini bertujuan menjelaskan akses dan kontrol gender dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan mangrove (bakau). Selain itu penelitian ini juga bertujuan menjelaskan akses dan kontrol gender terhadap manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan mangrove (bakau). Selanjutnya, penelitian ini juga ingin mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi akses dan kontrol gender dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan mangrove (bakau). Tujuan akhir dari penelitian ini untuk memahami pengaruh gerakan rehabilitasi lokal hutan mangrove (bakau) terhadap kondisi perempuan di tingkat lokal. Penelitian ini merupakan penelitian survey cluster dengan pertimbangan bahwa di Kecamtan Padang Cermin terdapat beberapa gerakan peduli lingkungan yang tidak dapat diamati secara empiris, sehingga peneliti memilih salah satu kelompok gerakan peduli lingkungan yang dapat menggambarkan gerakan peduli lingkungan tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif dipilih oleh peneliti karena mampu menjelaskan hubungan antar variabel melalui hitungan data yang dikuantifisir sehingga dapat memperlihatkan hubungan yang jelas antar variabel. Data dikumpulkan dengan melakukan wawancara kuesioner. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sidodadi,

4 Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung. Pemilihan lokasi penelitian tersebut dilakukan secara purposive. Populasi penelitian ini adalah seluruh anggota Kelompok Masyarakat Peduli Lingkungan (PAPELING) yang berjumlah 50 orang, di mana 30 orang berjenis kelamin laki-laki dan 20 orang berjenis kelamin perempuan. Anggota PAPELING tersebut dibedakan berdasarkan kategori faktor internal (demografis rumah tangga, pola nafkah dan teritorial tempat tinggal. Hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam menjelaskan hubungan antara faktor-faktor internal dengan akses dan kontrol anggota PAPELING dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Diduga, anggota PAPELING yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga dini akan memiliki akses dan kontrol yang rendah dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan dibandingkan dengan anggota PAPELING yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga lanjut. Diduga, anggota PAPELING yang termasuk ke dalam kategori pola nafkah sangat tergantung dengan sumberdaya laut akan memiliki akses dan kontrol yang tinggi dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan dibandingkan dengan anggota PAPELING yang termasuk ke dalam kategori pola nafkah tidak tergantung dengan sumberdaya laut. Diduga, anggota PAPELING yang termasuk ke dalam kategori teritorial tempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi akan memiliki akses dan kontrol yang tinggi dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan dibandingkan dengan anggota PAPELING yang termasuk ke dalam kategori teritorial tempat tinggal jauh dari lokasi rehabilitasi. Dari 50 orang anggota PAPELING, didapatkan 32 orang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga lanjut, 18 orang termasuk ke dalam

5 kategori rumah tangga demografis dini. Selanjutnya, dari 50 orang anggota PAPELING didapatkan 20 orang termasuk ke dalam kategori pola nafkah sangat tergantung dengan sumbedaya laut, 21 orang termasuk ke dalam kategori pola nafkah sedikit tergantung dengan sumberdaya alam dan 9 orang termasuk ke dalam kategori pola nafkah tidak tergantung dengan sumberdaya laut. Sedangkan untuk kategori faktor internal teritorial tempat tinggal dibedakan menjadi 25 orang termasuk ke dalam kategori teritorial tempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi, 17 orang termasuk ke dalam kategori teritorial tempat tinggal dekat dengan lokasi rehabilitasi dan 8 orang termasuk ke dalam kategori teritorial tempat tinggal jauh dari lokasi rehabilitasi. Hasil penelitian menunjukkan anggota PAPELING laki-laki dan perempuan memiliki akses dan kontrol yang berbeda dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Perbedaan akses anggota PAPELING laki-laki dan perempuan terhadap pelaksanaan gerakan terlihat dari pembagian kerja secara budaya antara laki-laki dan perempuan. Kegiatan-kegiatan yang menyangkut pemahaman wilayah agronomis yang lebih luas dikuasai secara dominan oleh anggota laki-laki. Sedangkan anggota perempuan hanya menguasai pemahaman wilayah agronomis yang lebih sempit. Perbedaan kontrol antara anggota PAPELING laki-laki dengan anggota PAPELING perempuan terhadap pelaksanaan gerakan terlihat dari beberapa kegiatan yang dapat diputuskan baik oleh anggota PAPELING laki-laki maupun oleh anggota PAPELING perempuan. Kegiatan pemahaman kondisi wilayah, kegiatan menentukan lokasi penanaman dan kegiatan menentukan jarak tanam dikontrol sepenuhnya oleh anggota laki-

6 laki. Sedangkan kegiatan pemeliharaan di kontrol baik oleh laki-laki maupun perempuan. Manfaat gerakan dalam bentuk uang merupakan manfaat yang paling banyak diakses oleh anggota PAPELING baik laki-laki maupun perempuan berdasarkan demografis rumah tangga, pola nafkah dan teritorial tempat tinggal. Manfaat gerakan seperti kelestarian lingkungan, pengetahuan mengenai bibit bakau dan kesempatan bersosialisasi dirasakan oleh anggota PAPELING laki-laki dan perempuan. Namun, manfaat tersebut diakses secara berbeda oleh anggota PAPELING laki-laki dan perempuan. Kontrol terhadap manfaat jaringan kerja dikontrol lebih sedikit oleh anggota PAPELING laki-laki dari pada akses terhadap manfaat tersebut. Manfaat kelestarian lingkungan dan pengetahuan mengenai bibit bakau dikontrol lebih sedikit daripada aksesnya oleh anggota PAPELING perempuan. Faktor internal seperti demografis rumah tangga, pola nafkah dan teritorial tempat tinggal mempengaruhi akses dan kontrol anggota PAPELING baik lakilaki maupun perempuan terhadap pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Namun, faktor internal tersebut tidak mempengaruhi akses dan kontrol anggota PAPELING baik laki-laki maupun perempuan terhadap manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Hubungan yang ada hanya menjelaskan jumlah dan persentase sebaran manfaat yang dapat diakses maupun dikontrol oleh anggota PAPELING laki-laki dan perempuan berdasarkan demografis rumah tangga, pola nafkah dan teritorial tempat tinggal. Bagi anggota PAPELING perempuan faktor internal yang berhubungan dengan akses anggota PAPELING perempuan dalam pelaksanaan gerakan adalah

7 faktor pola nafkah dan teritorial tempat tinggal. Namun, keseluruhan faktor internal tidak berhubungan dengan kontrol anggota PAPELING perempuan dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Bagi anggota PAPELING laki-laki, faktor internal yang berhubungan dengan akses dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau adalah faktor pola nafkah. Di mana, semakin tergantung pola nafkah anggota PAPELING laki-laki dengan sumberdaya laut maka semakin tinggi akses mereka dalam pelaksanaan gerakan tersebut. Selanjunya, faktor internal yang berhubungan dengan kontrol anggota PAPELING laki-laki dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi hutan bakau hanya faktor pola nafkah yang secara nyata digambarkan oleh Tabel 36 memiliki hubungan yang signifikan dengan kontrol anggota PAPELING laki-laki dalam pelaksanaan gerakan tersebut. Profil akses dan kontrol anggota PAPELING laki-laki dan perempuan terhadap pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hanya memberikan perubahan kondisi perempuan yang berkaitan dengan kesejahteran, kesehatan dan partisipasi dalam organisasi atau kelembagan saja. Namun, belum sampai merubah posisi perempuan yang berkaitan dengan penentuan keputusankeputusan di tingkat lokal. Selain itu, jika merujuk pada kerangka pemberdayaan perempuan yang digagas oleh Sara H Longwe, PAPELING beserta dengan gerakan rehabilitasi yang dilakukan baru mencapai tahap pertama dan tahap ke dua dari kerangka pemberdayaan perempuan. Keadaan yang mampu diubah oleh mereka baru mencapai kesejahteraan ( zero level of women empowerment ) yang ditunjukkan dengan pencapaian pemerataan hanya dalam pemenuhan kebutuhan praktis seperti penambahan pendapatan, pengetahuan teknis, dan kelestarian hutan

8 bakau. Selanjutnya, pada tahap ke dua mereka memberikan kesempatan pada anggota perempuan untuk mengakses sumberdaya kelompok dan manfaat dari gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau tersebut. Berdasarkan pemaparan di atas, kondisi seperti itu menggambarkan gerakan rehabilitasi tersebut pada dasarnya hanya memberikan manfaat dalam memenuhi kebutuhan praktis gender saja. Dalam gerakan tersebut tidak memperlihatkan adanya pemenuhan kebutuhan strategis gender yang menyangkut perubahan posisi perempuan di tingkat lokal. Sehingga gerakan rehabilitasi tersebut memperlihatkan tidak ada perubahan pola hubungan yang setara antara perempuan dan laki-laki yang sebenarnya berguna bagi keberhasilan gerakan. Karena perempuan pada dasarnya memiliki potensi yang besar yang ikut menentukan keberhasilan gerakan.

9 ANALISIS GENDER DALAM GERAKAN REHABILITASI LOKAL HUTAN MANGROVE (BAKAU) PADA KELOMPOK MASYARAKAT PEDULI LINGKUNGAN (PAPELING) DI DESA SIDODADI, KECAMATAN PADANG CERMIN, KABUPATEN LAMPUNG SELATAN, PROPINSI LAMPUNG Oleh: AGENG RARA CINDOSWARI A Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

10 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh : Nama : Ageng Rara Cindoswari Nomor Pokok : A Program Studi : Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Judul Skripsi : Analisis Gender dalam Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Mangrove (Bakau) Pada Kelompok Masyarakat Peduli Lingkungan (PAPELING) di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung. Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Ir. Nuraini W. Prasodjo, M.S. NIP Mengetahui Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP Tanggal Lulus Ujian : 2 Juni 2008

11 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ANALISIS GENDER DALAM GERAKAN REHABILITASI LOKAL HUTAN MANGROVE (BAKAU) PADA KELOMPOK MASYARAKAT PEDULI LINGKUNGAN (PAPELING) DI DESA SIDODADI, KECAMATAN PADANG CERMIN, KABUPATEN LAMPUNG SELATAN, PROPINSI LAMPUNG BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA PENELITIAN INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. Bogor, Juni 2008 AGENG RARA CINDOSWARI A

12 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 21 September 1985 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Ir. Sudjioto dan Ir. Begem Viantimala, M.Si. Penulis menyelesaikan pendidikan di Taman Kanak-Kanak PTPN VII Bandar-Lampung pada tahun 1991 dan pada tahun yang sama melanjutkan ke Sekolah Dasar di SDN 09 Pulo Gadung Jakarta Timur dan lulus pada tahun Selanjutnya penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTPN 4 Bandar-Lampung dan lulus pada tahun Kemudian Penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Umum di SMUN 9 Bandar-Lampung dan lulus pada tahun Pada tahun 2003 penulis melanjutkan ke Perguruan Tinggi Institut Pertanian Bogor. Penulis masuk melalui Ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan diterima pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Selama menjadi mahasiswa Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, penulis pernah menjadi pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa ASPECT (Association For Agricultural Studies and Community Empowerment) Penulis juga aktif dalam Organisasi Mahasiswa Daerah KEMALA (Keluarga Mahasiswa Lampung) Selanjutnya, Penulis juga aktif dalam organisasi Forum Komunikasi Rohis Jurusan sebagai anggota pada departemen Fikom. Penulis pernah menjadi asisten dosen dalam Mata Kuliah Sosiologi Umum tahun

13 KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah SWT, hanya karena kehendak dan hidayah-nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Analisis Gender dalam Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Mangrove (Bakau) Pada Kelompok Masyarakat Peduli Lingkungan (PAPELING) di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan. Penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana pertanian pada Fakultas Pertanian IPB. Penelitian ini menjelaskan akses dan kontrol gender dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau, faktor-faktor yang mempengaruhi akses dan kontrol gender dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan, serta pengaruh gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau terhadap kondisi perempuan di tingkat lokal. Penulis merasakan adanya suatu kelemahan dalam penelitian ini, namun kelemahan merupakan jalan dalam mencari suatu pembenaran yang sesungguhnya. Penelitian ini hanyalah kumpulan kertas, yang tak akan tergores dan bernilai tanpa bantuan, dukungan, pengarahan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Sehubungan dengan penulisan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam proses penyusunan penulisan penelitian ini.

14 2. Dra. Winati Wigna, MDS selaku penguji utama yang memberikan masukanmasukan berarti dalam perbaikan penulisan penelitian ini. 3. Ir. Martua Sihaloho, M.Si sebagai penguji wakil komisi pendidikan departemen komunikasi dan pengembangan masyarakat dalam perbaikan struktur penulisan karya ilmiah yang baik dan benar. 4. Kedua orang tua penulis (Raden Sudjioto dan Nyiayu Begem Viantimala) yang tak henti-hentinya memberikan cinta, kasih sayang, dukungan, semangat, dan doa yang tulus. Adik-ku Muhammad Gilang Bhagaskoro dan Btari Rara Cindo Mazaya serta Yuk Elly yang selalu memberi dorongan dalam penyelesaian penelitian. 5. Dr. Sumardjo, MS selaku pembimbing akademis, terima kasih atas bimbingan dan pengarahan selama penulis studi di IPB. 6. Seluruh staff dosen Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, terima kasih atas limpahan ilmu dan pengetahuan selama penulis melakukan studi di IPB. 7. Seluruh staf administrasi program studi KPM (Mbak Maria dan Mbak Nissa), terima kasih atas bantuannya. 8. Mbak Ulfa Hidayanti S.P, M.Si dan Mas Anton Supriyadi, S.P, M.Si, terima kasih atas diskusi-diskusi yang berharga serta dukungan literatur-literaturnya. 9. Kepala Desa Sidodadi dan seluruh staf pemerintahan Desa Sidodadi, terima kasih atas bantuan dan dukungan informasinya. 10. Bapak Harits Al-Hamdani, terima kasih atas bantuan, kerjasama serta dukungan informasinya.

15 11. Seluruh teman-teman KPM 40 (venny, hanif, tata, pipit, ocha, iqi, utie, dian, yudi, andina, jaum, jasman, dll) yang telah memberikan semangat, dorongan dan berbagai masukan. 12. Sahabat-ku verliannita, terima kasih atas kebersamaan dalam susah dan senang selama menemani penulis menyelesaikan penelitian ini. 13. Teman-ku otnail, fredy, rae, manto, dll terima kasih atas semangat, doa, bantuan dan kebersamaannya selama ini. 14. Bapak kos (Pak Mono) dan teman-teman di Wisma Padasuka terima kasih atas kebersamaan dan suasana kekeluargaan yang tercipta selama ini. 15. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis

16 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... v DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xvi I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pertanyaan Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian... 8 II. TINJAUAN PUSTAKA Developmentalism Bagi Perempuan dan Lingkungan Gerakan Sosial Lingkungan Definisi Gerakan Sosial Gerakan Lingkungan Merupakan Gerakan Sosial Paradigma Politik Ekologi dalam Gerakan Sosial Lingkungan Gerakan Lingkungan di Indonesia Konsep Gender Definisi Gender Konsep Produktif dan Reproduktif Konsep Kebutuhan Praktis dan Strategis Gender Alat Analisis Gender Teknik Analisis HAVARD Teknik Analisis LONGWE Kerangka Analisis Penelitian III. METODE PENELITIAN Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Pengumpulan Data Teknik Analisis Data IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Sejarah Lokal Desa Sidodadi Gambaran Fisik Desa Sidodadi Gambaran Sosial Ekonomi Desa Sidodadi... 66

17 V. REHABILITASI HUTAN MANGROVE (BAKAU) : GERAKAN LINGKUNGAN BERBASIS LOKAL EKONOMI Sejarah Gerakan : Respon dari Kebutuhan Lingkungan dan Ekonomi Agenda dan Strategi Gerakan Rehabilitasi Lokal : Perjuangan yang Belum Selesai Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau VI. KARAKTERISTIK ANGGOTA KELOMPOK MASYARAKAT PEDULI LINGKUNGAN (PAPELING) Karakteristik Individu Anggota PAPELING Karakteristik Anggota PAPELING Berdasarkan Tahapan Ekspansi Demografis Rumah Tangga Karakteristik Anggota PAPELING Berdasarkan Pola Nafkah terhadap Sumberdaya Laut Karakteristik Anggota PAPELING Berdasarkan Teritorial Tempat Tinggal dengan Lokasi Rehabilitasi VII. ANALISIS GENDER DALAM GERAKAN REHABILITASI LOKAL HUTAN MANGROVE (BAKAU) Akses dan Kontrol Anggota PAPELING dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Akses dan Kontrol Anggota PAPELING terhadap Manfaat Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akses dan Kontrol Anggota PAPELING dalam Pelaksanaan dan Manfaat Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Kondisi Perempuan di Tingkat Lokal VIII. PENUTUP Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

18 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Sebaran dan Luas Hutan Mangrove di Pesisir Timur Provinsi Lampung, Tahun Tabel 2 Kebutuhan Data dan Teknik Pengumpulan Data Tabel 3 Tata Guna Lahan di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Tabel 4 Jumlah Hutan Berdasarkan Kondisi Hutan Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Tabel 5 Jumlah Sarana dan Prasarana Berdasarkan Jenis dan Kondisinya di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Tabel 6 Sebaran Penduduk Berdasarkan Umur, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Tabel 7 Sebaran Penduduk Berdasarkan Pendidikan Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Tabel 8 Sebaran Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Tabel 9 Jumlah dan Persentase Penduduk Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Tabel 10 Jumlah Organisasi dan Kelompok Sosial Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Tabel 11 Luas dan Hasil Potensi Perkebunan Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Tabel 12 Jenis Usaha Perikanan dan Hasil Panen Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Tabel 13 Struktur Kepengurusan PAPELING Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 14 Sebaran Ketua Kelompok Lapang PAPELING dan Wilayah Tanggung Jawabnya, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 15 Aktivitas Reproduktif Kelompok Masyarakat Peduli Lingkungan, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 16 Pelatihan yang Telah Diikuti Oleh PAPELING, Desa Sidodadi,

19 Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 17 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Menurut Umur dan Jenis Kelamin, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 18 Jumlah dan Persentase Sebaran Anggota PAPELING Berdasarkan Jenis Kelamin, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 19 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 20 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Berdasarkan Tahapan Ekspansi Demografis dan Jenis Kelamin, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 21 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Berdasarkan Pola Nafkah Terhadap Sumberdaya Laut dan Jenis Kelamin, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 22 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dengan Lokasi Rehabilitasi dan Jenis Kelamin, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 23 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Berdasarkan Kegiatan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 24 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Berdasarkan Jenis Kelamin dan Akses dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 25 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kontrol dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 26 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Jarak dan Demografis Rumah Tangga dengan Akses dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 27 Jenis-Jenis Kegiatan Reproduktif yang Dilakukan Oleh Perempuan dan Laki-Laki dalam Rumah Tangga Anggota PAPELING, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 28 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Jarak dan Demografis Rumah Tangga dengan Akses dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 29 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Ketergantungan Pola Nafkah dengan Akses dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun

20 Tabel 30 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Ketergantungan Pola Nafkah dengan Akses dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 31 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dengan Akses dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 32 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Teritorial Tempat Tinggal dengan Akses dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 33 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Jarak dan Demografis Rumah Tangga dengan Kontrol dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 34 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Demografis Rumah Tangga dengan Kontrol dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 35 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Ketergantungan Pola Nafkah dengan Kontrol dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 36 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Ketergantungan Pola Nafkah dengan Kontrol dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 37 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Teritorial Tempat Tinggal dengan Kontrol dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 38 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Teritorial Tempat Tinggal dengan Kontrol dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 39 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Diakses dan Demografis Rumah Tangga, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 40 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Diakses dan Demografis Rumah Tangga, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 41 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Diakses dan Ketergantungan Pola Nafkah terhadap Sumberdaya Laut, Desa

21 Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 42 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Diakses dan Ketergantungan Pola Nafkah terhadap Sumberdaya Laut, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 43 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Diakses dan Teritorial Tempat Tinggal dengan Lokasi Rehabilitasi, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 44 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Diakses dan Teritorial Tempat Tinggal dengan Lokasi Rehabilitasi, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 45 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Dikontrol dan Demografis Rumah Tangga, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 46 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Dikontrol dan Demografis Rumah Tangga, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 47 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Dikontrol dan Teritorial Tempat Tinggal dengan Lokasi Rehabilitasi, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 48 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Dikontrol dan Teritorial Tempat Tinggal dengan Lokasi Rehabilitasi, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 49 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Dikontrol dan Teritorial Tempat Tinggal dengan Lokasi Rehabilitasi, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 50 Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Dikontrol dan Teritorial Tempat Tinggal dengan Lokasi Rehabilitasi, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Tabel 51 Perubahan Keadaan Perempuan Sebelum dan Sesudah Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun

22 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Continuum Ideologi Ekologi dalam Praktek Politik Lingkungan Gambar 2. Piramida Lima Kriteria Analisis Pemberdayaan Perempuan LONGWE Gambar 3 Kerangka Analisis Penelitian Gambar 4 Bumbung Pelindung Tanaman yang Melindungi Bibit-Bibit Bakau PAPELING, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Gambar 5 Gubuk Kerja PAPELING yang Sedang Tidak Digunakan Untuk Kegiatan Pembibitan, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Gambar 6 Kegiatan Penampungan Buah Bakau yang Telah Dikumpulkan Oleh Anggota PAPELING, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Gambar 7 Kegiatan Menyiapkan dan Mengisi Polyback dengan Tanah dan Buah Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Gambar 8 Kegiatan Pengisian dan Pengaturan Polyback, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Gambar 9 Lokasi Persemaian Bibit Bakau Berusia 1 Bulan di Pantai Ringgung yang Dekat dengan Lokasi Penanaman, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Gambar 10 Lokasi Persemaian Bibit Bakau Berusia 6 Bulan di Pantai Ringgung yang Dekat dengan Lokasi Penanaman. Sebagian Besar Bibit Lainnya Sudah Ditanam, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Gambar 11 Lokasi Persemaian Bibit Bakau Berusia 1 Bulan di Dusun 1 yang Jauh dari Lokasi Penanaman, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Gambar 12 Lokasi Persemaian Bibit Bakau Berusia 4 Bulan di Dusun 1 yang Jauh dari Lokasi Penanaman, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Gambar 13 Pengangkutan Bibit Bakau Menggunakan Kendaraan Beroda Empat dari Dusun 1 Menuju Lokasi Penanaman di Pantai Ringgung, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Gambar 14 Pengangkutan Bibit Bakau Menggunakan Tenaga Manusia dari Daerah Ringgung Menuju Lokasi Penanaman di Pantai Ringgung, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin,

23 Gambar 15 Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Penanaman Bibit Bakau di Daerah Ringgung dengan Jarak Tanam 1 X 1 Meter, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun

24 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Sketsa Lokasi Penelitian Lampiran 2 Rekapitulasi Data Responden Penelitian Lampiran 3 Kegiatan Penelitian di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Provinsi Lampung, Tahun Gambar 16 Kegiatan Diskusi Kelompok Terarah dengan Anggota PAPELING Laki-Laki, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Lampung Selatan, Tahun Gambar 17 Kegiatan Diskusi Kelompok Terarah dengan Anggota PAPELING Perempuan, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Lampung Selatan, Tahun Gambar 18 Kegiatan Wawancara dengan Anggota PAPELING Perempuan yang Tergolong dalam Demografis Rumah Tangga Dini, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Lampung Selatan, Tahun Gambar 19 Wawancara dengan Anggota PAPELING Perempuan yang Memiliki Pola Nafkah Sangat Tergantung dengan Sumberdaya Laut Sekaligus Bertempat Tinggal Sangat Dekat dengan Lokasi Rehabilitasi Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Lampung Selatan, Tahun Gambar 20 Wawancara dengan Anggota PAPELING Laki-Laki yang Bertempat Tinggal Di Rumah Apung di Daerah Ringgung Sekaligus Memiliki Pola Nafkah yang Sangat Tergantung dengan Sumberdaya Laut, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Lampung Selatan, Gambar 21 Salah Satu Sudut Lokasi Rehabilitasi Hutan Bakau di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Lampung Selatan Tahun Gambar 22 Salah Satu Rumah Apung yang Berada Satu Dusun dengan Lokasi Rehabilitasi Hutan Bakau yang Ada Di Daerah Pantai Ringgung, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Lampung Selatan, Tahun Gambar 23 KJA (Keramba Jaring Apung) Merupakan Kegiatan Ekonomi yang Bergantung Pada Sumberdaya Laut, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Lampung Selatan, Tahun

25 BAB I PENDAHULUAN Pada bagian ini akan diuraikan latarbelakang dilakukannya penelitian, pendekatan teoritis dan pendekatan lapang. Bagian ini juga akan menguraikan pertanyaan penelitian yang terkait antara kesenjangan pendekatan teoritis dan pendekatan lapang. Pada akhir bagian ini akan diuraikan alasan penelitian yang berkaitan dengan tujuan penelitian dan kegunaan penelitian. 1.1 Latar Belakang Pembangunan dipahami sebagai strategi untuk dapat merubah kondisi kehidupan masyarakat menjadi lebih baik. Dalam konsep pembangunan klasik, masih menganggap masyarakat sebagai entitas tunggal. Sehingga kebutuhan yang dirumuskan dianggap sama antara kebutuhan laki-laki dan perempuan. Pembangunan yang dijalankan selama ini lebih merupakan inisiatif pihak atas desa yang cenderung bersifat top-down, sehingga seringkali pembangunan tersebut direncanakan dan dilaksanakan tidak berdasarkan kebutuhan dan kepentingan dari masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari perencanaan, pelaksanaan hingga aktivitas atau kegiatan pembangunan itu sendiri yang terorganisasi secara terpusat yang dilengkapi oleh berbagai indikator keberhasilan yang kaku. Artinya, masyarakat hanya ditempatkan sebagai sasaran proyek pembangunan tanpa memperhatikan kebutuhan dan kepentingan mereka. Pembangunan-isme atau yang lebih dikenal sebagai developmentalism, dianggap sebagai obat yang mujarab bagi semua penyakit yang ada di masyarakat (Sztompka, 1993). Gagasan developmentalism yang menjanjikan harapan bagi pemecahan masalah kemiskinan dan keterbelakangan rakyat di

26 Dunia Ketiga telah menyebar dan dipergunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini oleh rakyat hampir di semua negara khususnya Dunia Ketiga (lihat Shiva, 1988). Merujuk pada Fakih (1996), Developmentalism mengharuskan negara mencapai kemakmuran yang merata melalui pertumbuhan ekonomi nasional sehingga diharapkan adanya trickle down effect (efek menetes ke bawah), tetapi pada kenyataannya, konsepsi ini hanya menguntungkan segolongan pihak saja. Kesejahteraan masyarakat yang selama ini dijanjikan tidak mengalami perubahan yang lebih baik, bahkan semakin meningkatkan jumlah penduduk miskin. Lebih jauh lagi, manifestasi dari penerapan teori-teori pembangunan klasik seperti di atas ialah adanya degradasi lingkungan (Shiva, 1993). Beberapa kekecewaan atas kegagalan pendekatan pembangunan berideologikan kapitalisme (world capitalistic economic system) yang sangat eksploitatif dan hanya menguntungkan pihak negara maju semata (elite ekonomi dan politik) telah memunculkan kesadaran baru untuk mengajukan pemikiran atau paradigma alternatif pembangunan. Pada intinya, paradigma pembangunan alternatif tersebut hendak berusaha mengkoreksi ideologi ketidakmerataan yang makin tajam di banyak kawasan. Semangat untuk mengkoreksi ideologi kapitalisme sebagai paradigma tunggal (single paradigm) pembangunan ekonomi, selanjutnya menghasilkan beragam tipe ideologi alternatif, yang spektrumnya sangat luas, mulai dari ideologi yang berpendekatan sangat radikal-revolusioner hingga yang bersifat kompromistis-evolusioner. Mereka yang lebih memilih jalan moderat dalam membela lingkungan, mengambil jalan perjuangan melalui gerakan berpaham environmentalism (Dharmawan, 2007).

27 Protes terhadap dampak developmentalisme yang membuahkan kerusakan bagi lingkungan pada kalangan pembela lingkungan menyulut gerakan perlindungan terhadap lingkungan. Di India, perjuangan kaum perempuan di bidang ekologi bertujuan untuk sekaligus membebaskan alam dari penjarahan terus-menerus dan diri mereka sendiri dari upaya yang tak henti-hentinya untuk menyingkirkan mereka makin jauh ke pinggir. Di kawasan pegunungan Himalaya, kaum perempuan Garhwal mulai melindungi hutan mereka dari pemanfaatan komersial meskipun harus mengorbankan jiwa, dengan memulai gerakan Chipko yang terkenal, yaitu memeluk pepohonan yang masih hidup untuk melindungi pepohonan tersebut (Shiva, 1988). Di Indonesia, gerakan lingkungan lahir akibat adanya isu lingkungan yang melanda di sejumlah wilayah. Pada tahun 1988 terjadi penebangan tanaman sagu di Jayapura. Sejumlah perempuan di Jayapura melakukan aksi protes dengan melakukan demonstrasi. Tahun 1990, adanya kasus transmigrasi secara besar-besaran dari Pulau Jawa ke Pulau Sumatera sehingga mengakibatkan pembukaan lahan baru dalam jumlah besar. Hal tersebut menyulut demonstrasi sejulah ornop dan elit lokal. Hal ini juga terjadi pada kasus waduk Kedungombo di Jawa Tengah dan Jatiluhur di Purwakarta, penebangan hutan cemara di Medan dan penebangan hutan bakau menjadi tambak di Karawang pada tahun 1989 (Aditjondro, 2003). Kerusakan lingkungan tersebut juga terjadi di Propinsi Lampung, khususnya Kabupaten Lampung Selatan. Sebagian besar hutan bakau di sepanjang pantai timur Propinsi Lampung terancam punah karena pemerintah memberikan kebijakan yang memberi ruang bagi pelaku-pelaku pembangunan untuk membangun industri seperti perusahaan tambak dan lain sebagainya. Berdasarkan

28 data sebaran dan luas hutan bakau di pesisir timur Lampung (lihat Tabel 1). Wilayah pesisir Timur Lampung terkena status lahan yang berbeda-beda yakni status APL, KH, APL dan KH. Status lahan ini menentukan sekali bagaimana peruntukkan, pengelolaan, dan pemanfaatan hutan bakau. Wilayah Padang Cermin merupakan salah satu wilayah yang terkena status Areal Peruntukan Lain (APL). Status lahan APL ini, menunjukkan kemungkinan penggunaan lahan hutan bakau di luar fungsi ekologisnya, yakni sebagai tempat membangun tambak udang maupun daerah wisata pantai. Sebaliknya, status Konservasi Hutan (KH) mengkondisikan hutan dibiarkan menjadi hutan keras dan tidak diizinkan dijadikan sebagai lahan industri. Lahan hutan bakau dengan status APL ini, akan lebih rentan mengalami kerusakan. Menurut Yasuko Inoue (1999), kerusakan hutan bakau dapat terjadi mulai dari penurunan kualitas tumbuh tegakan bakau hingga pemusnahan hutan bakau. Tabel 1. Sebaran dan Luas Hutan Bakau di Pesisir Timur Provinsi Lampung, Tahun Lokasi Wilayah Pesisir Panjang Jalur Hijau (Km) 1. Bumi Dipasena Sejahtera- Bumi Dipasena Makmur 2. Muara Way Tulang Bawang-Way Seputih 3. Muara Way Seputih-Kuala Penet 4. Marga Sari-Karya Tani 5. Mulyo Sari-Purworejo 6. Labuhan Ratu-Berudung 7. Pematang Pasir-Bakauheni 8. Mutun-Durian Dipasena Ds. Bratasena Ds. TN Way Kambas Labuhan Meringgai Ds. Muara Sekampung Ds. Palas Ds. Penegahan Ds. Padang Cermin Ds. Sumber: Dinas Kehutanan Propinsi Lampung tahun Status Lahan APL KH KH APL&KH KH KH KH&APL APL

29 Kasus yang terjadi di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan menjadi potret terjadi pembangunan yang partisipatif di tingkat komunitas sebagai respon terhadap paradigma developmentalism yang telah gagal memperbaiki situasi sosial ekonomi dan lingkungan. Hal tersebut juga merupakan manifestasi dipergeseran paradigma pembangunan alternatif yang semula bersifat top down kemudian beralih menjadi bottom-up. Kasus tersebut secara nyata juga merupakan respon terhadap implikasi negatif terhadap dampak lingkungan dalam bentuk gerakan ekologis yang berorientasi pada pelestarian lingkungan lokal dan partisipasi masyarakat lokal. Dengan inisiatif yang berasal dari grass roots, masyarakat lokal di Desa Sidodadi membentuk Kelompok Masyarakat Peduli Lingkungan (PAPELING) dan melakukan gerakan lingkungan di tingkat lokal dengan mengusung rehabilitasi lokal hutan bakau sebagai basis perjuangannya. Isu lingkungan yang disoroti oleh PAPELING adalah pembukaan lahan tambak secara besar-besaran dengan melakukan penebangan tanaman bakau. Berangkat dari isu tersebut mereka melakuan gerakan rehabilitasi hutan bakau hingga mencapai 60 hektar pada tahun Gerakan rehabilitasi hutan bakau ini dimulai dengan melakukan pembibitan bakau. Bibit mereka dapatkan dengan mengumpulkan bibit-bibit yang berserakan di pinggir Pantai Ringgung. Kemudian, secara bergotong royong melakukan penanaman di lokasi-lokasi hutan bakau yang telah rusak. Konteks partisipatif yang melibatkan masyarakat dalam gerakan tersebut, maka pemahaman mengenai masyarakat sebagai entitas tunggal haruslah dihilangkan. Hal ini juga terkait dengan keterlibatan perempuan dalam gerakan

30 rehabilitasi lokal hutan bakau yang diusung oleh PAPELING. Dalam hal ini, menjadi penting untuk melihat lebih jauh bagaimana konteks keterlibatan perempuan dengan tidak melepaskan analisis terhadap keterlibatan laki-laki dalam gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau tersebut. Hal ini dilakukan karena semua bentuk pembangunan serta aktivitas menentang pembangunan akan selalu berpengaruh terhadap laki-laki dan perempuan dan pembangunan mempengaruhi perempuan dan laki-laki secara berbeda (Mosse, 2002). Perbedaan pengaruh pembangunan yang diterima antara laki-laki dan perempuan inilah menjadi landasan kritis agar melakukan analisis gender dalam gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Analisis gender dalam penelitian ini mengarahkan pada konteks akses dan kontrol laki-laki dan juga perempuan pada khususnya dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Di samping itu, analisis gender juga menyoroti akses dan kontrol atas manfaat yang dirasakan baik laki-laki maupun perempuan pada khususnya. Dalam telaah terhadap manfaat diharapkan akan mengetahui manfaat apa saja yang dapat diakses dan dikontrol oleh perempuan. Sehingga dapat terlihat sampai sejauh mana gerakan tersebut dapat memberikan perubahan terhadap kondisi perempuan di tingkat lokal.

31 1.2. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan sejumlah pemaparan di atas, pertanyaan penelitian adalah : 1. Bagaimana akses laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau? 2. Bagaimana kontrol laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau? 3. Faktor apa saja yang mempengaruhi akses dan kontrol laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau? 4. Bagaimana pengaruh gerakan rehabilitasi hutan bakau terhadap kondisi perempuan di tingkat lokal? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menjelaskan akses laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. 2. Menjelaskan kontrol laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. 3. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi akses dan kontrol laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. 4. Menjelaskan pengaruh gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau terhadap kondisi perempuan di tingkat lokal?

32 1.4. Kegunaan Penelitian 1. Bagi akademisi, penelitian ini diharapkan memiliki kegunaan dan manfaat untuk perkembangan ilmu pengetahuan terutama ilmu pengetahuan sosial, khususnya yang berkaitan dengan studi gender. 2. Bagi pemerintah, dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para pembuat kebijakan untuk menekankan perhatiannya pada aspek kesetaraan gender dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam khususnya pada pelestarian hutan bakau. 3. Bagi masyarakat Desa Sidodadi, penelitian ini dapat menjadi basis penyadaran mengenai relasi gender yang ada di masyarakat mereka yang nantinya akan mengupayakan pola pikir yang sadar gender dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi aksi sosial lainnya di masa yang akan datang.

33 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini memuat landasan teoritis dan kerangka analisis penelitian. Landasan teoritis terbagi menjadi empat bagian besar. Bagian pertama dari landasan teoritis menyajikan pemahaman mengenai penggunaan paradigma pembangunan yang secara mutlak menggunakan perspektif kapitalisme telah mengakibatkan kehancuran lingkungan di Negara Dunia Ketiga. Selanjutnya, bagian kedua mengkontekskan gerakan sosial lingkungan sebagai manifestasi dari kegagalan konsep pembangunan yang kapitalistik. Kerugian tidak hanya dialami oleh alam tetapi juga kaum perempuan, sehingga pada bahasan ketiga, mengulas konsep gender. Bagian keempat dari landasan teoritis penelitian ini adalah menyajikan teknik-teknik analisis gender seperti analisis HAVARD dan LONGWE yang digunakan dalam penelitian ini Developmentalism Bagi Perempuan dan Lingkungan Sejak perang dunia kedua ketika daerah jajahan meraih kemerdekaan dan bergabung dengan sistem perekonomian dunia yakni perekonomian terencana, perbankan dan kredit, pembangunan dilihat sebagai industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi yang dibungkus dalam apa yang kemudian disebut modernisasi. Dengan mengikuti contoh utara yang kapitalis, bangsa-bangsa yang baru muncul itu didorong melakukan industrialisasi sebagai jalan mengatasi kemiskinan. Negara-negara utara yang maju serta kaya menawarkan bantuan pembangunan, dalam bentuk suntikan modal dan bantuan ekonomi, yang bertujuan mendorong perekonomian untuk mencapai titik di mana pertumbuhan ekonomi yang ditopangnya akan tinggal landas (take off). Secara bersamaan,

34 pembangunan ditekankan pada penyediaan fasilitas dan pranata infrastruktur dari sekolah hingga rumah sakit hingga lapangan udara dan hotel untuk membantu transisi menuju masyarakat modern, kapitalis dan industri. Diasumsikan bahwa melalui proses modernisasi keuntungan yang dihasilkan negara-negara berkembang secara bertahap akan menetes ke bawah (trickle down), lewat berbagai kelompok sosio-ekonomi yang membentuk masyarakat, dan bahwa kemiskinan berangsur-angsur akan terhapus. Selama tahun 1950-an dan 1960-an aktor utama pembangunan adalah pemerintah negara-negara Utara, Bank Dunia dan Amerika Serikat yang bergabung dengan sebarisan organisasi non-pemerintah (NGOs) yang lebih kecil, seperti Oxfam yang berkecenderungan mendanai infrastruktur skala kecil seperti sekolah, klinik dan projek pertanian bagi kelompok miskin pedesaan dan perkotaan. Sejak awal 1970-an, kesenjangan dalam masyarakat Dunia Ketiga antara mereka yang mendapatkan keuntungan dari pola pembangunan ekonomi ini dan mereka yang jumlahnya semakin besar yang tidak memperoleh keuntungan dari pola itu, menjadi semakin jelas. Modernisasi ditanamkan kepada masyarakat di mana sistem non-demokratik, sistem sosial yang hirarkis telah mapan dan masih belum mampu menanggulangi perbedaan, seringkali makin memperburuk keadaan mereka (Mosse, 2002). Developmentalism merupakan sistem yang memiliki watak otoriter dan eksploitatif dibidang ekonomi, watak represif di bidang politik dan watak dominatif secara kultur. Berdasarkan itu, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya teori pembangunan modernisasi bukan hanya tidak membawa perbaikan pada Negara Dunia Ketiga, namun memberikan suatu pendekatan yang tidak berpihak pula pada kaum perempuan di negara Dunia Ketiga (Fakih, 1996).

35 Shiva (1993) juga menyebutkan konsep modern yang diusung oleh teori ini adalah merupakan struktur dan metodologi ilmu yang bersifat reduksionis. Ilmu reduksionis ini juga sekaligus mengabaikan cara-cara pengetahuan ekologi dan holistik yang mengerti serta menghargai proses-proses alam dan kaitannya sebagai ilmu. Ilmu pengetahuan modern dijual sebagai sebuah sistem pengetahuan yang universal dan bebas nilai, yang menggusur semua sistem pengetahuan dan keyakinan lain. Dalam konteks seperti ini, sekali lagi teori pembangunan dengan paradigma modernisasi merupakan suatu studi yang tidak memperhatikan kepentingan perempuan dan alam yang tentunya tidak bebas nilai. Pembangunan saat ini sama saja dengan melanjutkan proses penjajahan. Pembangunan tidak lain dari perluasan proyek menciptakan kekayaan menurut teori ekonomi modern patriarki Barat yang memeras atau menyingkirkan kaum perempuan (Barat dan non-barat), memeras dan merusak alam, dan memeras dan merusak kebudayaan-kebudayaan lain. Pembangunan tidak boleh tidak berarti menghancurkan perempuan, alam, dan kebudayaan (Shiva, 1988). Gagasan developmentalism yang menjanjikan harapan bagi pemecahan masalah kemiskinan dan keterbelakangan berjuta-juta rakyat di Dunia Ketiga kini telah menyebar dan dipergunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini oleh rakyat hampir di semua negara khususnya Dunia Ketiga. Gagasan developmentalism justru menjadi masalah bagi kaum perempuan maupun ekologi. Konsep development merupakan refleksi paradigma patriarki tentang perubahan sosial yang sangat reduksionis. Reduksionisme yang dimaksud oleh Vandana Shiva adalah suatu keyakinan dalam ilmu pengetahuan yang mereduksi

36 kemampuan manusia, yang menolak kemungkinan adanya cara produksi pengetahuan lain maupun pengetahuan orang lain. (Shiva, 1988). Matsui (2002), Shiva dan Mies (1993), Shiva (1988) Pratama (2005), Hidayati (2005), Suryaalam (2005) menyatakan bahwasanya kemiskinan, ketidakadilan gender, kerusakan lingkungan alam, dan industrialisasi adalah manifestasi dari paradigma pembangunan yang timpang. Paradigma pembangunan yang timpang menganggap semua kegiatan yang tidak menghasilkan laba dan memupuk modal, bukan pekerjaan atau tergolong pekerjaan yang tidak produktif. Pembangunan yang timpang berarti melanggar integritas sistem-sistem organik yang saling berkaitan dan saling bergantung. Pembangunan yang timpang tidak mengenal kenyataan bahwa untuk mewujudkan keadilan yang merata mutlak perlu keselarasan alam dan langkah-langkah untuk memelihara keselarasan alam. Menurut kritik War on Want atas program bantuan Inggris, ODA melihat lebih 80 persen dari seluruh anggaran bantuan tidak ada sangkut pautnya dengan perempuan. Namun, inisiatif pembangunan apa pun akan mempengaruhi perempuan dan laki-laki. Semua bantuan memiliki pengaruh, baik positif maupun negatif kepada semua anggota komunitas yang menjadi sasaran pembangunan. Bahkan untuk 20 persen projek yang dianggap relevan bagi perempuan, War on Want menegaskan : tidak ada bukti bahwa perempuan dipertimbangkan...ketika projek ini... direncanakan, dinilai, dilaksanakan atau dievaluasi (Mosse, 2002). Pembangunan di Negara Indonesia tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dipaparkan di muka. Secara lebih konkret, kondisi ini termanifestasikan dari adanya ancaman kerusakan hutan mangrove (bakau) di sepanjang pantai timur Propinsi Lampung khususnya di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin,

37 Kabupaten Lampung Selatan. Ancaman terhadap kerusakan hutan mangrove (bakau) ini akan merugikan masyarakat sekitarnya, karena hutan mangrove (bakau) merupakan salah satu sumberdaya yang banyak memiliki fungsi dan kegunaan. Oleh karena itu, masyarakat Desa Sidodadi menggagas gerakan rehabilitasi hutan mangrove (bakau) yang bertujuan untuk melestarikan hutan mangrove (bakau). Menurut Khazali (1999), dalam pelestarian hutan mangrove (bakau) terdiri dari beberapa tahap yakni penentuan lokasi penanaman, pengumpulan buah, pembibitan, penanaman dan pemeliharaan. Menurut Bengen (1999) dalam Harja (2001) dalam penyiapan bibit bakau, diusahakan berasal dari lokasi setempat atau lokasi terdekat dengan tipe bibit disesuaikan dengan kondisi tanahnya. Selanjutnya persemaian dilakukan di lokasi yang akan ditanam, dengan tujuan penyesuaian lingkungan. Penanaman bakau dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu menanam langsung buahnya, dan melalui persemaian bibit. Tingkat keberhasilan tumbuh dengan cara persemaian lebih tinggi dibanding menanam langsung buah, yaitu sekitar 60 sampai 80 persen dibanding 20 sampai 30 persen. Buah yang diambil untuk bibit tipe bakau/bakau-bakau (Rhizophora spp), dari pohon dengan usia di atas 10 tahun, dan untuk tipe tancang (Bruguiera spp) dari pohon yang berumur lima sampai sepuluh tahun. Pemilihan lokasi persemaian dicari lokasi yang terendam air pasang dengan frekuensi lebih kurang 20 sampai 40 kali per bulan, sehingga tidak memerlukan penyiraman, dan buah yang disemaikan langsung ke kantong-kantong plastik atau ke dalam botol mineral bekas yang sudah berisi tanah dan bagian bawahnya sebelumnya sudah diberi lubang agar air yang berlebihan dapat keluar.

38 Ancaman kerusakan hutan bakau di sepanjang pantai timur Propinsi Lampung, telah menyulut gerakan lingkungan yang digagas secara bottom-up yang menyuarakan rehabilitasi hutan bakau secara besar-besaran di tingkat lokal. Gerakan tersebut berawal dari beberapa orang yang mengorganisir diri menjadi sebuah kelompok yang fokus terhadap keadaan lingkungan di sekitar mereka. Dalam perkembangannya, gerakan lingkungan tersebut mengalami pasang-surut dalam memperjuangkan agenda lingkungan yang mereka usung Gerakan Sosial Lingkungan Definisi gerakan sosial Gerakan sosial adalah tindakan kolektif berkelanjutan untuk mendorong atau menghambat perubahan dalam masyarakat atau dalam kelompok yang menjadi bagian masyarakat itu. Definisi gerakan sosial harus terdiri dari komponen berikut (Sztompka, 1993) : 1. Kolektivitas orang bertindak bersama. 2. Tujuan bersama tindakannya adalah perubahan tertentu dalam masyarakat mereka yang ditetapkan partisipan menurut cara yang sama. 3. Kolektivitasnya relatif tersebar namun lebih rendah derajatnya daripada organisasi formal. 4. Tindakannya mempunyai derajat spontanitas relatif tinggi namun tak terlembaga dan bentuknya tak konvensional Definisi yang memadai harus dapat membedakan fenomena gerakan sosial ini dari kategori agen perubahan sosial lain (1, 2 dan 3) dan dari warga lain dari kategori yang sama (4).

39 Gerakan Lingkungan Merupakan Gerakan Sosial Sztompka (1993) mengemukakan terdapat tujuh tipe gerakan sosial. Gerakan lingkungan merupakan tipe keempat dari gerakan sosial yang berbeda mengenai arah perubahan yang diinginkan. Kebanyakan gerakan mempunyai arah positif. Gerakan seperti itu mencoba memperkenalkan perubahan tertentu, membuat perbedaan. Arah positif ini juga dipertahankan ketika gerakan dimobilisasi untuk mencegah perubahan, baru kemudian arahnya negatif. Kasus khas terjadi ketika gerakan dimobilisasi untuk merespons perubahan yang dinilai negatif yang timbul segera setelah kecenderungan sosial umum menimbulkan dampak sampingan yang tak diharapkan. Sejumlah gerakan anti-modernitas termasuk kategori ini. Misalnya, gerakan yang mempertahankan kultur asli pribumi, memerangi globalisasi, menghidupkan kembali kekhasan nasional atau etnis, menegaskan keyakinan agama fundamental. Gerakan ekologi termasuk dalam kategori ini karena gerakan itu ditimbulkan oleh reaksi terhadap kerusakan lingkungan, polusi, dan penipisan sumberdaya alam akibat industrialisme. Ada gerakan yang dimobilisasi untuk menghentikan atau mengganti UU tertentu atau keputusan pemerintah tertentu. Contohnya, gerakan antibus di Amerika Serikat yang menentang pemaksaan metode integrasi rasial di sekolah atau gerakan pertahanan diri sendiri petani Polandia menentang suku bunga yang tinggi dan biaya hidup yang mahal. (Sztompka P, 1993). Gerakan sosial mengalami tiga fase perkembangan menurut (Meyer dan Tarrow, 1998 dalam Dharmawan, 2007), yaitu: (1) gerakan protes, (2) organisasi sosial akar rumput, (3) organisasi politik. Sementara itu sejalan dengan

40 kecenderungan terjadinya evolusi bentuk organisasi gerakan sosial, dalam diskursus ilmu-ilmu sosial kontemporer tahun 2000-an dikenal peristilahan baru yaitu the third sector (sektor ketiga), yang bisa dikatakan sebagai varian atau fase perkembangan lebih lanjut dari bentuk atau organisasi gerakan sosial kontemporer. Kehadiran sektor ketiga adalah suatu keniscayaan akibat tidak berfungsinya sektor pertama dan kedua dalam memenuhi cita-cita kehidupan sosial suatu sistem kemasyarakatan. Beragam bentuk sektor ketiga ditemukan di dunia nyata. Namun secara mudahnya sektor ketiga untuk sementara diidentikkan dengan sektor Civil Society Organization (CSO) di mana kebanyakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bekerja. Meskipun demikian, dalam banyak analisis sosiologi-politik, sektor ketiga sesungguhnya bermakna lebih luas dari sekedar LSM atau CSO. Sektor ketiga adalah sektor berperan sebagai penyeimbang dua kekuatan yang saling berhadapan sesamanya, yaitu negara dan korporasi dalam suatu tatanan dan relasi-relasi kekuasaan. Wilayah garapan gerakan sosial kemasyarakatan yang sejak lama ditekuni oleh CSO/NGO dalam perjuangan politik mereka adalah gerakan lingkungan yang disemangati paham hijau atau ecologism yang sering kali memiliki posisi bersebrangan (adversial position) melawan kelembagaan pemegang kekuasaan atau sektor lain yang lebih mapan. Sektor ketiga dijadikan basis perjuangan mereka untuk melawan sektor pertama (negara) dan kedua (korporasi) tersebut. Organisasi gerakan sosial di sektor ketiga dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar, yaitu : 1. Gerakan yang memakai payung kelembagaan formal. Pada segmen ini, biasanya organisasi gerkaan sosial berstruktur mapan secara institusional

41 dan berdaya hidup relatif lebih lama dengan struktur organisasi gerakan yang rapih. 2. Gerakan yang berciri informal, dan bercirikan temporer, arbitrary, struktur organisasinya tak rapih, dan agendanya disusun untuk memenuhi tujuan relatif jangka pendek (baca: sesaat). Berdasarkan dua kelompok besar sektor ketiga tersebut, kelompok pertama termasuk ke dalam berbagai gerakan Civic Development Agency (CDA) atau CSO, maupun LSM secara umum. Kelompok ini bisa dikategorikan sebagai sektor ketiga formal. Sementara beragam gerakan berstruktur sesaat, dikelompokkan ke dalam sektor ketiga informal. Barangkali perlu digarisbawahi bahwa informalitas sektor ketiga paling mudah dikenali dari ada atau tidaknya aspek legal pada institusi yang mengakomodasikan gerakan mereka. Selama ada legalis-formal, maka sangatlah kuat untuk mengatakan bahwa organisasi gerakan sosial di sektor tiga tersebut berada dalam kategori informal. Formalitas bentuk sektor ketiga tidak selalu harus mempengaruhi tipe strategi perjuangan sektor ketiga dalam berhadapan dengan negara dan pasar (korporasi). Secara umum ada tiga posisi strategi yang biasanya diambil oleh sektor ketiga dalam berhadap-hadapan dengan negara dan pasar, yaitu : 1. Strategi adversial atau oposisi, di mana sektor ketiga mengambil posisi berlawanan secara frontal dan diametral terhadap negara dan pasar. 2. Strategi supplementary atau saling melengkapi (komplementer), di mana sektor ketiga mengambil posisi collaborative-partnership terhadap sektor negara dan pasar.

42 3. Strategi substitusi atau saling menggantikan, di mana sektor ketiga mengambil alih atau mengisi kekosongan fungsi dan peran yang semestinya dijalankan oleh sektor negara dan pasar dalam bidang kehidupan tertentu Paradigma Politik Ekologi dalam Gerakan Sosial Lingkungan Perspektif untuk memahami bagaimana manusia terhubung dengan planet (baca : alam) telah mengkristal menjadi sebuah ideologi baru yang dibingkai dan disebut oleh Dobson (1995) sebagai green (political) thought. Cara pandang dalam ekologi tersebut menilai adanya kesatuan yang sangat erat dari dua sistem yang mandiri, yaitu sistem ekologi dan sistem sosial, yang sesungguhnya keduanya tak bisa dipisahkan begitu saja dalam setiap hubungan produksi, relasi sosial, ataupun relasi kekuasaan (Marten, 2001 dalam Dharmawan, 2007). Arah perjuangan politik lingkungan dalam pembangunan akan sangat ditentukan oleh ideologi yang dianut. Dalam teori gerakan sosial lingkungan dan teori perjuangan keadilan lingkungan (theory of distributive justice), dikenal beragam varian dari green thought, dua ideologi yang penting disebutkan adalah deep ecology atau ecologism dan shallow ecology atau environmentalism. Kedua kutub ideologi tersebut membentuk kontinum. Diantara kedua kutub ideologi lingkungan tersebut sesungguhnya terbentuk varian-varian ideologi lingkungan yang derajat kedekatannya terhadap kedua ideologi bisa bervariasi (lihat Gambar 1).

43 Etika Ekosentrisme Aras metafisik-etik Etika Antroposentrisme Deep Ecology Aras filsafat politik Shallow Ecology dark green lighter green green-blue Gambar 1. Continuum Ideologi Ekologi dalam Praktek Politik Lingkungan. Secara filosofis, ada dua macam green tought, yang perlu diperhatikan dalam memahami gerakan sosial lingkungan yaitu : 1. Deep ecology atau ecologism, adalah sebuah sistem gagasan (ideologipolitik) yang selalu berusaha hendak membentuk dan memandu cara berpikir masyarakat untuk melakukan perubahan mendasar mentalitas individu dan kelompok dari etika tradisional anthropocentrism 1 kepada etika biocentrism atau etika-ecocentrism 2. Deep ecology memandang dan menilai sebuah tindakan sosial dari perspektif lingkungan-alam secara keseluruhan, dan tidak secara parsial dari kacamata manusia semata-mata. Secara khusus, dalam sistem gagasan ini termasuk juga upaya advokasi terhadap eksistensi sistem sosio-budaya lokal (traditional ecological knowledgel / TEK) yang seringkali diabaikan dan dimatikan vis a vis sistem pengetahuan Barat. Oleh karenanya, para penganut paham ini hendak mengubah tatanan ekonomi-sosial dan politik dunia secara fundamentalistik-radikal-struktural.mereka memperjuangkan terbentuknya 1 Anthropocentrism assumes explicitly that objective of economic activity is to improve the welfare of humans and that welfare increase with quantities of good and services consumed. It follows from this that resources extracted from the natural environment have value because they contribute to human welfare, so that those attributes or aspect of the natural environment that do not contribute to human welfare are not valuable 2 Ecocentrism is the view that everything natural, including natural processes, has intristic value, that is, value in itself.

44 struktur tatanan dunia baru dan sistem kemasyarakatan baru (ecologically friendly civilized society) yang menghargai alam secara proporsional demi kelangsungan hidup keseluruhan sistem ekologi itu sendiri. Akar tradisi pemikiran yang dikembangkan oleh ideologi politik lingkungan ini adalah struktur-marxian garis keras yang segaris dengan anarchism (ideologi pembongkaran terhadap struktur kekuasaan politik mapan). 2. Shallow ecology atau environmentalism, adalah sebuah sistem gagasan yang derajat pembelaannya terhadap alam jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan deep ecology. Dalam hal ini, perjuangan politik terhadap pembentukan new society structure yang ramah terhadap alam tidaklah sekeras dan seradikal mereka kaum penganut deep ecology. Dalam shallow ecology, pertimbangan penilaian manfaat-ekonomi bendaalam terasa sangat antroposentristik (human-interest oriented) meskipun dalam mengambil keputusan tentang pemanfaatan benda-alam pun, mereka tidak mengabaikan sama sekali eksistensi lingkungan. Namun demikian, lingkungan tetaplah dinomor-duakan dalam pandangan ini. Konteks deep ecology di jumpai satu varian/aliran ideologi penting yaitu dark-green yang berjuang ekstra konservatif terhadap alam dan lingkungan. Perjuangan politik yang dibangun sejak ditataran grass-roots (civil society) hingga arena kekuasaan politik negara, dicirikan oleh pendekatan-pendekatan yang fundamentalistik, radikal, dan tidak mau berkompromi (Gambar 1). Sementara di sisi lain dijumpai pula aliran lighter-green, yaitu suatu paham yang dianut oleh mereka dari kalangan moderat (kompromistis-modernis) dalam memandang

45 persoalan lingkungan. Pada sisi sangat kompromistis, dijumpai aliran green-blue ideology yang diisi oleh mereka yang memiliki sikap ambigu (indistinctness) dalam pandangan politik-lingkungan. Kebanyakan platform kebijaksanaan sosial-ekonomi Indonesia (sejak masa awal kemerdekaan hingga 1990-an), dipandang berada pada aliran pemikiran shallow ecology. Pada masa Orde Baru, di mana gaung developmentalism (pembangunan-isme) terasa sangat kuat, setiap kebijaksanaan publik sangat dirasakan tidak pro-lingkungan. Sementara itu, struktur-jejaring gerakan sosial lingkungan global maupun domestik yang berideologikan deep ecology pun belum terbentuk dengan baik, sebagaimana saat ini (dekade 2000-an). Alhasil, sumberdaya alam dan lingkungan mendapatkan tekanan yang demikian hebat tanpa ada upaya advokasi yang memadai Gerakan Lingkungan di Indonesia Gerakan lingkungan di Indonesia secara resmi ditetapkan oleh negara, atau dalam terminologi Morrison et. al. Gerakan lingkungan institusional, mulai 5 Juni 1972 ini adalah tanggal konferensi PBB tentang lingkungan global di Stockholm, dimana Indonesia mengirimkan delegasi resmi di bawah kepemimpinan Emil Salim, yang enam tahun kemudian menjadi Menteri Lingkungan Indonesia pertama. Namun demikian, environmentalisme sukarela atau yang terorganisir di Indonesia telah mulai jauh sebelumnya, dan bermula dari aktivisme lingkungan selama jaman penjajahan. (Aditjondro, 2003). Terdapat lima perubahan kualitatif yang mencirikan dekade terakhir gerakan lingkungan di Indonesia yang dikemukakan Aditjondro (2003), yaitu :

46 1. Fluktuasi antara kampanye kesadaran lingkungan yang lebih umum dengan masalah-masalah yang lebih spesifik; 2. Fluktuasi dalam kelompok sasaran oleh aktivis lingkungan, mulai dari kelompok muda kelas menengah di kota-kota besar di Jawa hingga kelompok warga segala umur di desa-desa pinggiran kota. 3. Fluktuasi dalam menggunakan ekspresi yang lebih artsitik dan menarik, seperti lagu, puisi, tari dan drama, dan kegiatan-kegiatan yang lebih rasional serta aksi langsung (taktik pengorganisasian masyarakat); 4. Fluktuasi antara wacana lingkungan bio-kimia konvensional yang kurang politis dengan isu-isu resource planning yang lebih politis atau berorientasi-kebijakan; 5. Pergeseran dari kampanye nasional yang lebih terpusat, yang dipimpin oleh aktivis lingkungan yang berada di poros-protes mahasiswa Jakarta- Bogor-Bandung dan Yogyakarta, menuju inisiatif yang lebih terdesentralisasi dan daerah, yang pada akhirnya juga didukung oleh jaringan kerja dan kelompok-kelompok nasional. Aditjondro (2003) menyatakan bahwa gerakan lingkungan yang terjadi di Indonesia merupakan : 1. Gerakan Lingkungan kurang menghadapi persoalan masyarakat kecil ; hubungan antara gerakan lingkungan terorganisir dan gerakan lingkungan publik, kurang mesra karena para aktivis lingkungan tergolong kelas menengah ini kurang menghayati persoalan-persoalan sehari-hari yang dihadapi oleh masyarakat kelas bawah.

47 2. Masalah lingkungan sebagai isu politik gerakan lingkungan di Indonesia ; isu lingkungan dapat juga digolongkan sebagai isu politik, sebab perdebatan tentang suatu masalah ekologis, tidak terlepas dari interaksi kekuatan politik serta momen historis tertentu dalam suatu masyarakat atau negara, di samping tingkat pengetahuan masyarakat atau bangsa itu tentang masalah lingkungan yang bersangkutan. 3. Gerakan lingkungan bukan penyumbang demokratisasi; gerakan lingkungan Indonesia kecil sekali berkontribusi terhadap proses demokratisasi di Indonesia. Sebab, pengetahuan yang dimasyarakatkan gerakan ini justru merupakan pengetahuan yang ikut memapankan kekuasaan negara, kekuasaan para pakar yang berasal dari pemerintah dan perguruan tinggi. 4. Gerakan lingkungan di Indonesia memuat isu-isu populer seperti : (1) Gugatan WALHI dan YLBHI terhadap pemerintah pusat dan PT Inti Indorayon Utama (IIU) karena pencemaran dan perusakan lingkungan yang ditimbulkan pabrik pulp itu di Sumatera Utara (2) insiden Brussels ; dan (3) mundurnya Scott Paper Company dari rencana invetasinya di Irja karena desakan ornop internasional yang berhubungan erat dengan SKEPHI. Gerakan rehabilitasi hutan bakau di tingkat lokal pada dasarnya merupakan gerakan lingkungan yang digagas di tingkat grass roots melibatkan baik laki-laki maupun perempuan. Dalam keterlibatan tersebut paradigma masyarakat sebagai entitas tunggal haruslah dibuang jauh-jauh. Karena, pada dasarnya laki-laki dan perempuan merasakan perbedaan pengaruh yang diterima

48 terhadap berbagai aksi sosial yang terjadi di sekitar mereka. Aksi sosial tersebut dapat saja berwujudkan kebijakan, kegiatan pembangunan bahkan gerakan yang menentang pembangunan tersebut. Atas perbedaan itulah, penting untuk merumuskan bagaimana sebenarnya laki-laki dan perempuan dimaknai secara sosial melalui konsep gender Konsep Gender Definisi Gender Konsep gender menurut Fakih (1999) adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Setiap masyarakat memiliki konsep gender yang berbeda dari masyarakat lainnya. Perbedaan ini dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksikan secara sosial dan kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Gender dan seks (jenis kelamin) merupakan dua konsep yang berbeda, namun dalam penggunaan sehari-hari sering disamaartikan. Perlu untuk disadari bahwasanya konsep gender berbeda dari seks (jenis kelamin). Seks (jenis kelamin) merupakan penafsiran atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya bahwa manusia yang berjenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala, dan memproduksi sperma. Sedangkan manusia berjenis kelamin perempuan adalah manusia yang memiliki alat reproduksi rahim, vagina dan alat menyusui. Sedangkan gender adalah sifat yang melekat pada kaum lakilaki dan perempuan yang dibentuk oleh faktor-faktor sosial maupun budaya,

49 sehingga lahir beberapa anggapan tentang peran sosial dan budaya laki-laki dan perempuan (Handayani dan Sugiarti, 2001). Menurut Pudjiwati (1985) peran perempuan yang lainnya adalah sebagai penghasil pangan, penyembuh penyakit, pengurus rumah tangga, pengasuh dan perawat anak, pengawal kultur dan pendidik/guru bagi anak-anaknya. Karena adanya anggapan bahwa kaum wanita bersifat memelihara dan rajin, serta tidak akan menjadi kepala rumah tangga, akibatnya semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab wanita. Di kalangan keluarga miskin, beban ganda terjadi, selain harus bekerja domestik, mereka harus membantu mencari nafkah. Definisi tentang kerja sering kali tidak hanya menyangkut apa yang dilakukan seseorang tetapi juga menyangkut kondisi yang melatarbelakangi kerja tersebut serta penilaian sosial yang diberikan terhadap pekerjaan tersebut (Ollenburger dan Moore, 1996). Dalam masyarakat kita yang telah mengalami komersialisasi serta berorientasi pasar ini sering kali diadakan pembedaan yang tepat antara kerja upahan atau kerja yang menghasilkan pendapatan dan kerja bukan-upahan atau kerja yang tidak mendatangkan pendapatan. Kerja upahan dianggap kerja yang produktif sedangkan kerja bukan upahan dianggap tidak produktif. Pandangan demikian sebenarnya tidak lepas dari dua macam bias kultural yang ada dalam masyarakat kita. Dalam konteks lain, sebenarnya kerja didefinisikan sebagai segala hal yang dikerjakan oleh seorang individu baik untuk subsistensi maupun diperlakukan atau diperdagangkan, untuk menjaga kelangsungan keturunan dan kelangsungan hidup keluarga atau masyarakat. Kategoris kerja perempuan terbagi menjadi kerja produktif-reproduktif, domestikbukan domestik, serta upahan-bukan upahan (Saptari dan Brigitle, 1997).

50 Saptari dan Holzner mengatakan istilah patriarkhi mucul sebagai fokus perdebatan yang diadopsi oleh kelompok feminis radikal pada tahun 1970-an yang kemudian menyatakan bahwa hubungan patriarchal tidak hanya terjadi dalam lingkup kekerabatan saja, tetapi juga pada aspek kehidupan manusia seperti ekonomi, politik, sosial, keagamaan, bahkan seksualitas. Patriakhi tidak hanya memaksa perempuan untuk menjadi ibu, tetapi juga sekaligus menentukan kondisi keibuaan mereka (Saptari & Holzner, 1997). Patriarkhi adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat, dalam pemerintahan, militer, pendidikan, industri, bisnis, perawatan kesehatan, iklan, agama. Dan bahwa pada dasarnya perempuan tercerabut dari akses terhadap kekuasaan itu. (Handayani dan Sugiarti, 2002). Patriarki juga didefinisikan sebagai sebuah sistem otoritas yang berdasarkan kekuasaan laki-laki, sistem yang mengejewantahkan melalui institusiinstitusi sosial, politik dan ekonomi. Patriarkhi adalah basis dari operasi pensubordinasian perempuan. Patriarkhi yang menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak dalam keluarga ini berlanjut pada dominasi lakilaki dan semua lingkup kemasyarakatan lainnya. Dalam hal ini patriarkhi didefinisikan bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat, pemerintahan, militer, pendidikan, industri, agama, dan sebagainya (Handayani & Sugiarti, 2001) Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan, baik bagi kaum lakilaki, maupun terutama kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem

51 dan struktur dimana baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dari sistem tersebut (Fakih, 1996). Pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, penguasaan dan akses SDA, serta hak dan status menyebabkan timbulnya ketidakadilan. Terdapat lima bentuk ketidakadilan yaitu marginalisasi yang erat kaitanya dengan aspek ekonomi, subordinasi yang menyebabkan tidak adanya hak dalam pengambilan keputusan terhadap SDA terlebih pada dirinya sendiri, beban kerja berlebih yang dikarenakan oleh banyaknya peran yang disandang perempuan yaitu peran reproduktif, produktif dan memelihara masyarakat (Triple Role), stereotipe dan kekerasan (Simatauw, et. all. 2001). Fakih (1996) menjelaskan bahwa terdapat 5 (lima) wujud ketidakadilan gender yaitu : 1. Marginalisasi. Marginalisasi yaitu pemiskinan ekonomi terhadap kaum perempuan. Ada berbagai macam dan bentuk serta mekanisme proses marginalisasi wanita akibat dari ideologi gender. Dilihat dari segi sumbernya, keadilan bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan keagamaan, tradisi bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Marginalisasi juga terjadi karena adanya diskriminasi terhadap pembagian kerja secara gender. 2. Subordinasi. Subordinasi adalah perbedaan gender yang mengakibatkan ketidakadilan dengan menempatkan perempuan pada posisi lebih rendah daripada kaum laki-laki. Misalnya, pandangan bahwa perempuan itu emosional, maka ia dianggap tidak bisa memimpin. Lebih lanjut lagi, ia ditempatkan pada

52 posisi yang tidak penting. Bentuk subordinasi bermacam-macam, berbedabeda dari tempat ke tempat dan dari waktu ke waktu. 3. Stereotipe. Stereotipe adalah pelabelan negatif terhadap suatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu. Banyak sekali ketidakadilan terjadi, umumnya pada wanita bersumber dari stereotipe. Misalnya saja label bahwa wanita itu bersolek dalam rangka memancing lawan jenis. Ketika terjadi pemerkosaan terhadap wanita, ada kecenderungan masyarakat justru menyalahkan korbannya. 4. Kekerasan terhadap wanita. Kekerasan adalah suatu serangan terhadap fisik maupun mental psikologis seseorang. Sumber kekerasan terhadap manusia bermacam-macam, baik yang dilakukan dalam rumah tangga sampai pada tingkat negara. 5. Beban kerja yang lebih berat. Karena adaya anggapan bahwa kaum wanita bersifat memelihara dan rajin, serta tidak akan menjadi kepala rumah tannga, akibatnya semua pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab wanita. Di kalangan keluarga miskin, beban ganda terjadi, selain harus bekerja domestik, mereka harus membantu mencari nafkah Konsep Produktif dan Reproduktif Konsep reproduksi di sini diartikan suatu proses perubahan dinamis yang terkait dengan pelestarian sistem-sistem sosial. Termasuk di sini reproduksi sosial maupun biologis, sehingga secara harfiah reproduksi artinya jadi lebih luas daripada sekedar pengembangbiakan umat manusia (Beneria, 1979). Edholm &

53 Young (1977) dalam Beneria (1979) telah membuat pengelompokkan yang cukup memadai antara tiga aspek reproduksi yang berkaitan dengan tingkat-tingkat abstraksi teoritis yang berbeda-beda yakni reproduksi sosial, reproduksi tenaga kerja, dan pengembakbiakan manusia atau reproduksi biologis. Menurut Beneria (1979) reproduksi yang pertama menunjuk pada pereproduksian keadaan-keadaan yang mempertahankan suatu sistem sosial. Dalam hal ini pokok dasarnya adalah merinci struktur-struktur apa saja yang harus direproduksi agar reproduksi sosial dapat berlangsung secara utuh, sedangkan yang dimaksud dengan reproduksi biologis atau pengembangbiakan pada intinya adalah pelahiran. Sekalipun merupakan komponen dasar dalam urusan pereproduksian angkatan tenaga kerja, namun jelas-jelas pokok ini dapat dibedakan dengan pokok yang belakangan disebutkan. Apa yang dimaksud dengan reproduksi angkatan kerja tidak hanya perawatan sehari-hari pekerja dan calon tenaga kerja, tapi juga alokasi pelakupelaku ke dalam berbagai posisi di dalam proses pekerjaan. Artinya, sementara reproduksi biologis maksudnya hanya perkembangan fisik umat manusia, reproduksi tenaga kerja maksudnya proses dimana mereka itu menjadi tenaga kerja. Konteks kekinian menunjukkan kebanyakan masyarakat secara universal meletakkan dua aspek dasar lain daripada reproduksi angkatan tenaga kerja pada pundak wanita, yakni urusan pengasuhan anak serta sekian ragam kegiatan yang berhubungan dengan perawatan sehari-hari angkatan kerja melalui pekerjaan rumah tangga. Reproduksi sosial mempunyai implikasi diturunkannya penguasaan sumberdaya dari generasi ke generasi. Sebagai kesimpulan, pemusatan perhatian wanita terutama pada hal-hal berkenaan dengan reproduksi menjadikan mereka

54 pekerja-pekerja sekunder dalam bidang produksi sosial. Ini mempunyai beberapa akibat, salah satunya adalah bahwasanya wanita merupakan cadangan tenaga kerja yang sangat fleksibel, di dalam suatu sistem pekerjaan berupah, wanita menjadi sumber tenaga kerja termurah dan sumber dari keuntungan bagi usaha-usaha kapitalis (Beneria, 1979) Kebutuhan Praktis dan Strategis Gender Istilah kebutuhan praktis dan strategis dikemukakan pertama kali oleh Maxine Molyneux pada tahun Selanjutnya, konsep kebutuhan praktis dan strategis gender dikembangkan lebih lanjut oleh Moser. Kebutuhan strategis gender adalah kebutuhan yang dirumuskan dari analisa subordinasi perempuan terhadap laki-laki, dan dari analisa ini diidentifikasikan kepentingan gender strategis untuk mencapai suatu alternatif kelembagaan masyarakat yang lebih setara dan yang lebih memuaskan dari pada apa yang sekarang, baik dilihat dari segi struktur maupun sifat hubungan antara laki-laki dan perempuan. Kebutuhan strategis gender diperlukan untuk mengatasi subordinasi perempuan yang sangat beragam, yang tergantung pada konteks budaya dan sosial politik. Kebutuhan strategis gender sebagaimana yang telah diidentifikasi Molyneux termasuk semua atau beberapa seperti penghapusan pembagian kerja secara seksual, pengurangan kewajiban atas kerja-kerja domestik dan perawatan anak, penyingkiran segala bentuk diskriminasi seperti hak memiliki tanah dan kekayaan, hak untuk memperoleh kredit, mewujudkan kesetaraan politik, kebebasan memilih dalam melahirkan anak, dan penerapan sarana-sarana yang layak untuk melawan tindak kekerasan laki-laki dan pengawasan terhadap perempuan (Moser, 1989).

55 Masih menurut Moser, kebutuhan strategis gender merupakan kebutuhan jangka panjang yang menghilangkan ketidakseimbangan gender di dalam dan di luar rumah tangga serta menjamin hak dan peluang perempuan untuk mengungkapkan kebutuhan mereka seperti undang-undang persamaan hak, upah, dan sebagainya. Sedangkan kebutuhan praktis gender merupakan kebutuhan jangka pendek yang meringankan beban kehidupan perempuan sehari-hari, tetapi tidak menyinggung ketidaksejajaran inequality, pembagian kerja, misalnya membangun tempat penitipan anak (Moser, 1989). Sebaliknya kebutuhan praktis gender adalah kebutuhan yang diformulasikan dari kondisi konkrit pengalaman perempuan, dengan posisi gender mereka dalam pembagian kerja secara seksual. Tidak seperti kebutuhan gender strategis, kebutuhan ini diformulasikan secara langsung oleh perempuan yang berada dalam posisi-posisi ini daripada melalui praktis biasanya merupakan suatu respons atas keperluan yang diangap mendesak yang diidenifikasi perempuan dalam suatu konteks tertentu. Sebagaimana tulisan Molyenux, kebutuhan praktis ini umumnya tidak mempunyai tujuan yang strategis seperti emansipasi perempuan dan persamaan gender dan mereka tidak juga menggugat bentukbentuk subordinasi, meskipun kebutuhan praktis itu merupakan akibat dari hal tersebut (Moser, 1989) Alat Analisis Gender Teknik Analisis HAVARD Teknik ini sering disebut sebagai Gender Framework Analysis (GFA), yaitu suatu analisis yang digunakan untuk melihat suatu profil gender dari suatu kelompok sosial dan peran gender dalam proyek pembangunan, yang

56 mengutarakan perlunya tiga komponen dan interelasi satu sama lain, yaitu : profil aktivitas, profil akses dan profil kontrol (Overholt et al., 1986 dalam Handayani & Sugiarti, 2001). Teknik analisis ini dirancang sebagai landasan untuk melihat suatu profil gender dari suatu kelompok sosial. Profil aktivitas perlu dilihat interaksi antara perempuan dan proyek-proyek pembangunan, untuk mengetahui apa yang dikerjakan perempuan. Beberapa kategori kegiatan yang perlu diperhatikan adalah produksi barang dan jasa, serta reproduksi dan perawatan sumberdaya manusia. Profil akses dan kontrol didekati dengan mengidentifikasi kegiatan spesifik gender dalam produksi, reproduksi dan perawatan. Arus sumberdaya dan keuntungan (manfaat) adalah konsep dasar yang perlu dikaji untuk memahami bagaimana proyek dapat mengakses dan diakses oleh perempuan, dan sejauh mana memberikan manfaat. Sementara itu, faktorfaktor yang mempengaruhi aktivitas, akses, dan kontrol perempuan atas proyek pembangunan adalah kondisi ekonomi secara umum (misalnya kemiskinan, inflasi, distribusi pendapatan), struktur kelembagaan (birokrasi, teknologi, skill), demografi, sosial kultural, norma-norma masyarakat dan keagamaan, pendidikan dan pelatihan, serta faktor politik (Handayani & Sugiarti, 2001). Analisis terhadap siklus proyek perlu dilakukan untuk melihat bagaimana perencanaan, pelaksanaan, dan dampaknya terhadap perempuan. Bagaimana tahap-tahap proyek, apa tujuannya, siapa mendapat manfaat, bagaimana dampaknya terhadap aktivitas perempuan, akses kontrol atas sumberdaya dan manfaat yang ditimbulkan.

57 Teknik analisis ini dirancang sebagai landasan untuk melihat suatu profil gender dari suatu kelompok sosial. Kerangka ini sangat luwes (mudah diadaptasikan) dan tersusun atas tiga elemen pokok, yaitu : a. Profil aktivitas berdasarkan pada pembagian kerja gender (siapa yang mengerjakan apa, di dalam rumah tangga dan masyarakat), yang memuat daftar tugas perempuan dan laki-laki (laki-laki melakukan apa?, perempuan melakukan apa?), sehingga memungkinkan untuk dilakukan pengelompokan menurut umur, etnis, kelas sosial tertentu, di mana dan kapan tugas-tugas tersebut dilakukan. Aktivitas dikelompokkan menjadi tiga yaitu produktif, reproduktif atau rumah tangga, dan sosial-politikkeagamaan. b. Profil akses (siapa yang mempunyai akses terhadap sumberdaya produktif termasuk sumber daya alam seperti tanah, hutan, peralatan, pekerja, kapital atau kredit, pendidikan atau pelatihan), yang memuat daftar pertanyaan perempuan mempunyai atau biasa memperoleh sumberdaya apa atau lelaki memperoleh apa? perempuan menikmati apa atau lelaki menikmati apa?. c. Profil kontrol (perempuan mengambil keputusan atau mengontrol penggunaan sumberdaya apa? lelaki penentu sumberdaya apa? sumberdaya di sini adalah sumberdaya yang diperlakukan untuk melakukan tugas-tugas tersebut. Manfaat apa yang diperoleh dari melakukan aktivitas. Sumberdaya dapat berupa materi (bernilai ekonomi, politis, sosial, dan waktu), akses terhadap sumber daya dan manfaat, kontrol atas sumberdaya dan manfaat dikelompokkan menurut gender, faktor-faktor yang berpengaruh menyangkut hal-hal yang mengakibatkan

58 pada adanya pembagian kerja, adanya profil akses dan kontrol suatu masyarakat tersebut. Elemen-elemen khusus dari kerangka ini yang cukup bermanfaat adalah : a. Adanya perbedaan akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan manfaat dalam kaitannya dengan tanggung jawab laki-laki dan perempuan. b. Perbedaan antara akses terhadap sumberdaya dan manfaat dengan kontrol atas sumberdaya dan manfaat. c. Adanya pandangan yang lebih luas tentang apa yang dimaksud dengan sumberdaya yaitu tidak hanya sumberdaya yang bersifat material tetapi juga yang sudah diperhitungkan atau dinilai secara ekonomi seperti keterampilan dan organisasi sosial dan yang paling penting terutama untuk para perempuan yaitu sumberdaya dan manfaat yang berupa waktu Teknik Analisis LONGWE Teknik analisis Longwe (Sara Hlupekile Longwe) atau biasa disebut dengan kriteria pembangunan perempuan (Women s Empowerment Criteria atau Women s Development Criteria), adalah suatu teknis analisis yang dikembangkan sebagai metode pemberdayaan perempuan dengan lima kriteria analisis yang meliputi kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi, dan kontrol (Widaningroem, 1998 dalam Handayani & Sugiarti, 2001). Lima dimensi pemberdayaan ini adalah kategori analitis yang bersifat dinamis, satu sama lain saling berhubungan sinergis, saling menguatkan dan melengkapi, serta mempunyai hubungan hierarkhis. Di samping itu, kelima dimensi tersebut juga

59 merupakan tingkatan yang bergerak memutar seperti spiral, makin tinggi tingkat kesetaraan makin tinggi tingkat keberdayaan. Lima dimensi tersebut adalah : 1. Dimensi kesejahteraan, dimensi ini merupakan tingkat kesejahteraan material yang diukur dari tercukupinya kebutuhan dasar seperti makanan, penghasilan, perumahan dan kesehatan yang harus dinikmati oleh perempuan dan laki-laki. Dengan demikian kesenjangan gender di tingkat kesejahteraan ini diukur melalui perbedaan tingkat kesejahteraan perempuan dan laki-laki sebagai kelompok, untuk masing-masing kebutuhan dasarnya. Misalnya dalam tingkat penghasilan, tingkat kematian atau gizi. Pemberdayaan tidak dapat terjadi dengan sendirinya di tingkat ini, melainkan harus dikaitkan dengan peningkatan akses terhadap sumberdaya yang merupakan dimensi tingkat kedua. Level ini merupakan tingkat nihil dari pemberdayaan perempuan (Zero level of women s empowerment). Padahal upaya untuk meperbaiki kesejahteraan perempuan diperlukan keterlibatan perempuan dalam proses empowerment dan pada tingkat pemerataan yang lebih tinggi. 2. Dimensi akses, kesenjangan gender di sini terlihat dari adanya perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya. Lebih rendahnya akses mereka terhadap sumberdaya menyebabkan produktivitas perempuan cenderung lebih rendah daripada laki-laki. Selain itu, dalam banyak komunitas, perempuan diberi tanggung jawab melaksanakan hampir semua pekerjaan domestik sehingga tidak mempunyai cukup waktu untuk mengurusi dan meningkatkan kemampuan dirinya. Pembangunan perempuan tidak hanya cukup pada pemerataan akses

60 karena hanya kurangnya akses perempuan bukan saja merupakan isu gender tetapi juga akibat dari diskriminasi gender. Oleh karena itu, akar penyebab kesenjangan akses atas sumberdaya adalah diskriminasi sistemik yang harus diatasi melalui penyadaran. 3. Dimensi penyadaran kritis, kesenjangan gender ditingkat ini disebabkan adanya anggapan bahwa posisi sosial ekonomi perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki dan pembagian kerja gender tradisional adalah bagian dari tatanan abadi. Pemberdayaan di tingkat ini berarti menumbuhkan sikap kritis dan penolakan terhadap cara pandang di atas, bahwa subordinasi terhadap perempuan bukanlah pengaturan alamiah, tetapi hasil diskriminatif dari tatanan sosial yang berlaku. Keyakinan bahwa kesetaraan gender adalah bagian dari tujuan perubahan merupakan inti dari kesadaran gender dan merupakan elemen ideologis dalam proses pemberdayaan yang menjadi landasan konseptual bagi perubahan kearah kesetaraan. 4. Dimensi partisipasi, partisipasi aktif perempuan diartikan bahwa pemerataan partisipasi perempuan dalam proses penetapan keputusan yaitu partisipasi dalam proses perencanaan penentuan kebijakan dan administrasi. Aspek ini sangat penting pada proyek pembangunan. Di sini partisipasi berarti keterlibatan atau keikutsertaan aktif sejak dalam penetapan kebutuhan, formulasi proyek, implementasi dan monitoring serta evaluasi. Partisipasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi kuantitatif (berapa laki-laki dan perempuan yang terlibat) dan kualitatif (menunjuk peran laki-laki dan perempuan dalam pengambilan/penetapan

61 keputusan). Hasil analisis partisipasi ditunjukkan dalam tabel profil partisipasi. Ketidaksetaraan peranan laki-laki dan perempuan dapat dilihat dari hasil tersebut. Kesenjangan partisipasi perempuan mudah diidentifikasi, misalnya dari partisipasi di lembaga legislatif, eksekutif, organisasi politik masa. Namun, partisipasi secara umum dapat dilihat dari adanya peran serta setara antara laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan, baik di tingkat keluarga, komunitas, masyarakat maupun negara. Di tingkat program, ini berarti dilibatkannya perempuan dan laki-laki secara setara dalam identifikasi masalah, perencanaan, pengelolaan, implementasi dan monitoring evaluasi. Meningkatnya peran serta perempuan merupakan hasil dari pemberdayaan sekaligus sumbangan penting bagi pemberdayaan yang lebih besar. 5. Dimensi kuasa atau kontrol, kesenjangan gender di tingkat ini terlihat dari adanya hubungan kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Ini bisa terjadi di tingkat rumah tangga, komunitas, dan tingkatan yang lebih luas lagi. Kesetaraan dalam kuasa berarti adanya kuasa yang seimbang antara laki-laki dan perempuan atas lainnya. Artinya, perempuan mempunyai kekuasaan sebagaimana juga laki-laki, untuk mengubah kondisi posisi, masa depan diri dan komunitasnya. Kesetaraan dalam kuasa merupakan prasyarat bagi terwujudnya kesetaraan gender dan keberdayaan dalam masyarakat yang sejahtera. Teknik Longwe mendasarkan pada pentingnya pembangunan bagi perempuan, bagaimana menangani isu gender sebagai kendala pemberdayaan perempuan dalam memenuhi kebutuhan spesifik perempuan dan upaya mencapai

62 kesetaraan gender. Lima kriteria yang dikemukakan Longwe dapat disusun dalam bentuk piramida sebagai berikut : 5 KONTROL PARTISIPASI PENYADARAN AKSES KESEJAHTERAAN 1 Gambar 2. Piramida Lima Krriteria Analisis Pemberdayaan Perempuan LONGWE. Teknik Longwe digunakan sebagai alat analisis, yaitu menganalisis proses pemampuan perempuan, bukan dalam arti kesejahteraan materiil. Tujuannya adalah untuk memahami lima butir kriteria analisis (kesejahteraan, akses, penyadaran, partisipasi aktif, dan penguasaan) sehingga dapat menginterpretasikan pembangunan perempuan sebagai suatu proses yang penting dan bagian integral dari proses pembangunan serta untuk mencapai pemerataan gender dalam lima butir tersebut. Metode ini dapat digunakan pada setiap tahap dari siklus proyek yaitu dilihat pada bagian yang dirasa penting, melihat kebutuhan dan isu perempuan dalam implementasi proyek, evaluasi dan program pembangunan, melihat derajat sensitivitas terhadap isu perempuan yaitu dengan menilai negatif, netral, atau positif. Negatif berarti tujuan proyek tanpa mengaitkan isu perempuan, netral berarti isu perempuan sudah dilihat tetapi tidak diangkat dan ditangani, dan intervensi proyek tidak berakibat lebih buruk pada

63 perempuan dan positif berarti menanganinya sehingga hasilnya meningkatkan kedudukan perempuan relatif terhadap laki-laki (Handayani & Sugiarti, 2001) Kerangka Analisis Penelitian Gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau merupakan gerakan yang digagas oleh Kelompok Masyarakat Peduli Lingkungan (PAPELING). Dalam pelaksanaannya gerakan tersebut juga melibatkan perempuan yang juga merupakan anggota kelompok tersebut. Dalam konteks tersebut menjadi signifikan untuk melihat bagaimana konteks gender dalam gerakan tersebut. Analisis gender dalam penelitian ini dilihat berdasarkan akses dan kontrol anggota PAPELING laki-laki dan perempuan terhadap pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Di samping itu, analisis gender juga dilakukan dengan melihat akses dan kontrol anggota PAPELING laki-laki dan perempuan terhadap manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Konteks pelaksanaan ditelusuri dengan menganalisis kegiatan-kegiatan yang terangkum dalam gerakan dimulai dari kegiatan persiapan sampai dengan kegiatan pemeliharaan. Sedangkan, konteks pemanfaatan dilihat dari beragam manfaat yang diberikan dengan keberadaaan gerakan tersebut. Akses dan kontrol anggota PAPELING laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal dan faktor eksternal ini juga mempengaruhi akses dan kontrol anggota PAPELING laki-laki dan perempuan terhadap manfaat gerakan rehabilitasi tersebut. Faktor internal yang mempengaruhi akses dan kontrol anggota PAPELING terdiri dari karakteristik demografis rumah tangga, tingkat

64 ketergantungan nafkah dan karakteristik teritorial tempat tinggal. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari kondisi ekonomi, sosio-kultural dan pendidikan. Akhir dari analisis penelitian ini adalah melihat dampak yang terjadi pada kondisi perempuan dengan mempertimbangkan profil akses dan kontrol yang terjadi dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabiltsi lokal hutan bakau. Secara lebih spesifik, penelitian ini melihat sejauhmana gerakan ini memberi perubahan kondisi perempuan di tingkat lokal. Perubahan kondisi perempuan dilihat dari kondisi ekonomi, kesehatan dan partisipasi publik. Selanjutnya, penelitian ini juga melihat sejauhmana gerakan tersebut telah memberikan upaya pemberdayaan terhadap perempuan. Karakteristik demografis rumah tangga dikelompokkan menjadi dua yakni rumah tangga dengan tahapan ekspansi demografis dini dan rumah tangga dengan tahapan ekspansi demografis lanjut. Kategori rumah tangga dengan tahapan ekspansi dini merupakan rumah tangga yang memiliki anak pertama berusia di bawah 10 tahun. Sedangkan kategori rumah tangga dengan tahapan ekspansi lanjut merupakan rumah tangga yang memiliki anak berusia di atas 10 tahun. Batasan usia 10 tahun merupakan batasan dimana perempuan masih melakukan peran tradisionalnya sebagai pengasuh anak dan pelaku pekerjaan-pekerjaan domestik. Kondisi tersebut akan mempengaruhi tingkat akses dan kontrol yang dimiliki oleh anggota PAPELING perempuan terhadap pelaksanaan gerakaan rehabilitasi lokal hutan bakau. Hal tersebut juga pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat akses dan kontrol terhadap manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau.

65 Anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam kategori rumah tangga dengan tahapan ekspansi dini akan memiliki akses dan kontrol yang lebih rendah daripada perempuan yang termasuk ke dalam kategori rumah tangga dengan tahapan ekspansi lanjut. Sebaliknya, perempuan yang termasuk ke dalam kategori rumah tangga dengan tahapan ekspansi lanjut akan memiliki akses dan kontrol yang lebih tinggi daripada perempuan yang termasuk ke dalam kategori rumah tangga dengan tahapan demografis dini. Hal tersebut berlaku pada penelaahan akses dan kontrol terhadap pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Sedangkan bagi anggota PAPELING laki-laki, karakteristik demografis rumah tangga tidak akan mempengarui tingkat akses dan kontrol mereka terhadap pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi tersebut. Pola nafkah anggota PAPELING terlihat dari jenis mata pencaharian yang dikelompokan menjadi tiga yakni pola nafkah yang sangat tergantung dengan sumberdaya laut, pola nafkah yang sedikit tergantung dengan sumberdaya laut dan pola nafkah yang tidak tergantung dengan sumberdaya laut. Tingkat ketergantungan nafkah seseorang terhadap sumberdaya laut akan mempengaruhi tingkat akses dan kontrol terhadap pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Anggota PAPELING yang memiliki pola nafkah sangat tergantung dengan sumberdaya laut akan memiliki akses dan kontrol yang lebih tinggi daripada anggota PAPELING yang bermatapencaharian tidak tergantung dengan sumberdaya laut. Hal ini juga berlaku baik pada anggota laki-laki maupun pada anggota perempuan. Faktor internal lainnya seperti teritorial tempat tinggal anggota PAPELING juga ikut mempengaruhi tingkat akses dan kontrol anggota

66 PAPELING terhadap pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Teritorial tempat tinggal dalam konteks ini terbagi menjadi tiga, yakni teritorial tempat tinggal yang sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi, teritorial tempat tinggal dekat dengan lokasi rehabilitasi dan teritorial tempat tinggal yang jauh dari lokasi rehabilitasi. Semakin pendek jarak teritorial tempat tinggal seseorang dengan lokasi rehabiltasi, semakin tinggi tingkat akses dan kontrol terhadap pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabiliasi lokal hutan bakau. Hal ini juga berlaku baik pada anggota PAPELING laki-laki maupun anggota PAPELNG perempuan. Faktor eksternal seperti kondisi ekonomi, sosio-kultur dan pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi akses dan kontrol anggota PAPELING terhadap pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Namun dalam konteks penelitian ini, faktor tersebut mengambil posisi sebagai faktor pendukung dari faktor internal dalam mempengaruhi akses dan kontrol anggota PAPELING. Faktor eksternal tersebut berada di luar faktor internal yang dianalisis melekat pada individu anggota PAPELING. Dalam analisisnya, faktor eksternal menjelaskan kondisi ekonomi, sosio-kultur dan pendidikan pada tingkat komunitas. Analisis yang dilakukan berdasarkan faktor eksternal mengahasilkan kondisi supra-lokal yang juga ikut berpengaruh terhadap besar kecilnya akses dan kontrol anggota PAPELING terhadap pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau.

67 Batasan Pengertian 1. Akses adalah peluang atau aktivitas untuk memperoleh atau mendapatkan atau menggunakan sesuatu. 2. Kontrol adalah kemampuan untuk menentukan atau memutuskan kegunaan dan fungsi atas sesuatu (tanah, hutan, kebun, hasil tangkapan). 3. Rumah tangga tahapan ekspansi demografis dini adalah kategori demografis rumah tangga yang memiliki anak pertama berusia di bawah 10 tahun. 4. Rumah tangga tahapan ekspansi demografis lanjut adalah kategori demografis rumah tangga yang memiliki anak pertama di atas 10 tahun. 5. Pola nafkah sangat tergantung dengan sumberdaya laut adalah kategori di mana keseluruhan mata pencaharian yang dilakukan oleh seseorang merupakan mata pencaharian yang berkaitan dan tergantung sekali dengan sumberdaya laut. Mata pencaharian yang berkaitan dan sangat tergantung dengan sumberdaya laut contohnya adalah nelayan, pembudidaya ikan dan pembudidaya bakau. 6. Pola nafkah sedikit tergantung dengan sumberdaya laut adalah kategori di mana sebagian mata pencaharian yang dilakukan oleh seseorang merupakan mata pencaharian yang berkaitan dan tergantung dengan sumberdaya laut. Sedangkan sebagian mata pencaharian lainnya tidak berkaitan dan bergantung dengan sumberdaya laut. 7. Pola nafkah tidak tergantung dengan sumberdaya laut adalah kategori di mana keseluruhan mata pencaharian yang dilakukan oleh seseorang tidak berkaitan dan bergantung sama sekali dengan sumberdaya laut. Mata pencaharian yang

68 tidak berkaitan dan tidak tergantung dengan sumberdaya laut contohnya adalah petani sawah, petani kebun, guru, dan buruh bangunan. 8. Teritorial tempat tinggal sangat dekat adalah kategori di mana seseorang bertempat tinggal satu dusun dengan lokasi rehabilitasi bakau. Contohnya, daerah ringgung. 9. Teritorial tempat tinggal dekat adalah kategori di mana seseorang bertempat tinggal di dusun yang dekat dengan lokasi rehabilitasi bakau. Contohnya, dusun satu yang bersebelahan dengan daerah ringgung. 10. Teritorial tempat tinggal jauh adalah kategori di mana seseorang bertempat tinggal di dusun yang jauh dari lokasi rehabilitasi bakau. Contohnya, dusun dua dan tiga yang jauh dari daerah ringgung. 11. Kondisi ekonomi adalah kondisi yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi yang ada dalam kehidupan masyarakat di tingkat supralokal seperti kemiskinan, inflansi, distribusi pendapatan, dll. 12. Kondisi pendidikan adalah adalah kondisi yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan akan sistem pengetahuan dan keterampilan yang ada dalam kehidupan masyarakat di tingkat supralokal seperti pendidikan formal, pelatihan, penyuluhan, dll. 13. Kondisi sosio-kultur adalah kondisi yang berkaitan dengan konteks sosial dan juga konteks budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat di tingkat supralokal seperti norma masyarakat yang menganut ideologi patriarkhi. 14. Budaya pariarkhi adalah konsep bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat, dalam pemerintahan, militer,

69 pendidikan, industri, bisnis, perawatan kesehatan, iklan, agama dan bahwa pada dasarnya perempuan tercerabut dari akses terhadap kekuasaan itu. 15. Kemandirian ekonomi perempuan adalah kondisi perempuan yang memiliki sumber penghasilan sendiri, tanpa intervensi dari laki-laki atau suami. 16. Partisipasi publik adalah kondisi yang memungkinkan keterlibatan perempuan dalam organisasi-organisasi atau kelembagaan di tingkat desa. 17. Kebutuhan praktis adalah kebutuhan yang bersifat jangka pendek, dapat langsung dirasakan, meringankan beban kerja perempuan, dan lebih mudah dipenuhi, tetapi tidak menyinggung ketidaksejajaran inequality, pembagian kerja, dll. Seperti pemenuhan kebutuhan ekonomi. 18. Kebutuhan strategis adalah kebutuhan yang lebih bersifat berjangka panjang, merubah ketidakseimbangan gender di dalam dan di luar rumah tangga seperti penghapusan pembagian kerja secara seksual, pengurangan kewajiban atas kerja-kerja domestik dan perawatan anak, penyingkiran segala bentuk diskriminasi seperti hak memiliki tanah dan kekayaan, hak untuk memperoleh kredit, mewujudkan kesetaraan politik, kebebasan memilih dalam melahirkan anak. Seperti terbangunnya posisi tawar perempuan Definisi Operasional 1. Akses anggota PAPELING perempuan dan anggota PAPELING laki-laki dikatakan masuk ke dalam kategori akses tinggi jika, melakukan pelaksanaan kegiatan gerakan rehabilitasi 8 sampai 15 kegiatan dan masuk ke dalam kategori akses rendah jika melakukan pelaksanaan kegiatan gerakan rehabilitasi 1 sampai 7 kegiatan.

70 2. Kontrol anggota PAPELING perempuan dan anggota PAPELING laki-laki dikatakan masuk ke dalam kategori kontrol tinggi jika, menentukan atau memutuskan pelaksanaan kegiatan gerakan rehabilitasi 3 sampai 4 kegiatan dan masuk ke dalam kategori kontrol rendah jika menentukan atau memutuskan pelaksanaan kegiatan gerakan rehabilitasi 1 sampai 2 kegiatan Hipotesis Penelitian Hipotesis Mayor : 1. Diduga, akses dan kontrol anggota PAPELING perempuan berbeda dengan akses dan kontrol anggota PAPELING laki-laki dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. 2. Diduga, akses dan kontrol anggota PAPELING perempuan berbeda dengan akses dan kontrol anggota PAPELING laki-laki terhadap manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. 3. Diduga, faktor internal (demografis rumah tangga, pola nafkah, teritorial tempat tinggal) berhubungan dengan akses dan kontrol anggota PAPELING perempuan dan anggota PAPELING laki-laki dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. 4. Diduga, faktor internal (demografis rumah tangga, pola nafkah, teritorial tempat tinggal) tidak berhubungan dengan akses dan kontrol anggota PAPELING perempuan dan anggota PAPELING laki-laki terhadap manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. 5. Diduga, faktor eksternal (kondisi ekonomi, sosio-kultur dan pendidikan) mempengaruhi perbedaan akses dan kontrol anggota PAPELING perempuan

71 anggota PAPELING laki-laki dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau 6. Diduga, faktor eksternal (kondisi ekonomi, sosio-kultur dan pendidikan) mempengaruhi perbedaan akses dan kontrol anggota PAPELING perempuan anggota PAPELING laki-laki terhadap manfaat gerakan rehabilitasi hutan bakau. 7. Diduga, akses dan kontrol antara anggota PAPELING perempuan dengan anggota PAPELING perempuan dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal berhubungan dengan perubahan kondisi perempuan di tingkat lokal. Hipotesis Minor : 1. Diduga, perbedaan akses dan kontrol antara anggota PAPELING perempuan dengan anggota PAPELING laki-laki dalam pelaksanaan gerakan rehabiltasi lokal hutan bakau terlihat dari pembagian kerja secara budaya. 2. Diduga, perbedaan akses dan kontrol antara anggota PAPELING perempuan dengan anggota PAPELING laki-laki terhadap manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau terlihat dari jumlah dan persentase manfaat yang dapat diakses dan dikontrol secara berbeda berdasarkan demografis rumah tangga, pola nafkah dan teritorial tempat tinggal. 3. Diduga, anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam kategori rumah tangga dini akan memiliki akses dan kontrol yang lebih rendah daripada anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam kategori rumah tangga dengan tahapan ekspansi lanjut.

72 4. Diduga, karakteristik demografis rumah tangga tidak berhubungan dengan tingkat akses anggota PAPELING laki-laki dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitsi lokal hutan bakau. 5. Diduga, semakin tinggi tingkat ketergantungan nafkah anggota PAPELING terhadap sumberdaya laut maka akan semakin tinggi akses dan kontrol mereka terhadap pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. 6. Diduga, semakin dekat jarak tempat tinggal anggota PAPELING dengan lokasi rehabilitasi maka akan semakin tinggi akses dan kontrol mereka terhadap pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau.

73 Gambar 3. Kerangka Analisis Penelitian Faktor Internal : Karakteristik demografis RT Tingkat ketergantungan nafkah Teritorial tempat tinggal Faktor Eksternal : Kondisi ekonomi Kondisi sosio-kultural Kondisi pendidikan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Mangrove (Bakau) Akses Laki-Laki dan Perempuan Pelaksanaan Manfaat Kontrol Laki-Laki dan Perempuan Pelaksanaan Manfaat Kondisi Perempuan di Tingkat Lokal Keterangan : : Mempengaruhi

74 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada bagian ini akan membahas secara lebih mendalam tentang metodologi penelitian yang digunakan oleh penulis. Metodologi penelitian terdiri empat bagian. Bagian pertama adalah menguraikan metode penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian survey cluster yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Bagian kedua menguraikan lokasi dan waktu penelitian. Bagian ketiga menguraikan teknik pengambilan data yang menggunakan metode triangulasi pengambilan data yakni wawancara kuesioner, pengamatan berperan serta terbatas, diskusi kelompok dan anlisis dokumen. Sedangkan bagian terakhir akan menguraikan teknik analisis data yang menggunakan analisis tabulasi silang Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian survey cluster dengan pertimbangan bahwa di Kecamtan Padang Cermin terdapat beberapa gerakan peduli lingkungan yang tidak dapat diamati secara empiris, sehingga peneliti memilih salah satu kelompok gerakan peduli lingkungan yang dapat menggambarkan gerakan peduli lingkungan tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pendekatan tersebut digunakan untuk lebih memahami fakta sosial yang menjadi fokus penelitian (Singarimbun, 1989). Selain itu, pendekatan kuantitatif dipilih oleh peneliti karena mampu menjelaskan hubungan antar variabel melalui hitungan data yang dikuantifisir sehingga dapat memperlihatkan hubungan yang jelas antar variabel tersebut. Data dikumpulkan dengan menggunakan wawancara kuesioner. Populasi penelitian ini adalah seluruh anggota Kelompok Masyarakat

75 Peduli Lingkungan (PAPELING) yang berjumlah 50 orang, dimana 30 orang berjenis kelamin laki-laki dan 20 orang berjenis kelamin perempuan Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Propinsi Lampung. (Lihat Lampiran 1). Pemilihan lokasi penelitian tersebut dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa di lokasi tersebut terdapat gerakan lingkungan yang mengusung rehabilitasi lokal hutan bakau. Dalam konteks tersebut, tidak hanya laki-laki saja namun perempuan pun ikut terlibat, sehingga diharapkan mampu memenuhi tujuan penelitian. Proses penelitian ini berlangsung di lapangan mulai dari bulan Juni hingga bulan September Kemudian dilanjutkan dengan proses pengolahan data dan penulisan hasil penelitian hingga bulan Mei Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam peneltian ini terdiri dari data primer dan sekunder. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode triangulasi yaitu melalui wawancara kuesioner, pengamatan berperan serta terbatas, diskusi kelompok terarah dan analisis berbagai dokumen. Data primer didapatkan melalui wawancara kuesioner, pengamatan berperan serta terbatas dan diskusi kelompok terarah. Data sekunder didapatkan melalui studi literatur (analisis dokumen) tentang profil Desa Sidodadi dan profil PAPELING serta berbagai kajian literatur yang mendukung dan terkait gerakan rehabilitasi hutan bakau. Selanjutnya, kebutuhan data dan teknik kebutulan data dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini :

76 Tabel 2. Kebutuhan Data Dan Teknik Pengumpulan Data Kebutuhan Data Profil akses dan kontrol terhadap pelaksanaan dan manfaat gerakan. Profil Desa: Sejarah desa Keadaan geografis Gambaran Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Profil PAPELING : Sejarah kelompok Struktur kelompok Aktivits kelompok Sistem nilai Profil gerakan rehabilitasi lokal hutan mangrove: Sejarah gerakan Pelaksanaan gerakan Pemanfaatan gerakan Faktor Internal: Karakteristik demografis Tingkat ketergantungan nafkah Teritorial tempat tinggal Faktor Eksternal: Kondisi ekonomi Kondisi sosio-kultur Kondisi pendidikan Kondisi perempuan di tingkat lokal terkait perubaahan kondisi praktis perempuan seperti kesejahteraan, kesehatan, pendidikan. Teknik Pengumpulan Data WK A D P B S FGD Ket: WK = wawancara Kuesioner AD = Analisis Dokumen PBS = Pengamatan Berperan serta Terbatas FGD = Focus Gruop Discussion (Diskusi Kelompok Terarah) Kuesioner digunakan pada unit analisis individu yakni anggota PAPELING untuk mendapatkan data mengenai karakteristik dirinya. Selanjutnya, kuesioner juga digunakan untuk mendapatkan data mengenai akses dan kontrol terhadap pelaksanaan dan manfaat gerakan. Faktor internal seperti karakteristik demografis, tingkat ketergantungan nafkah, teritorial tempat tinggal juga didapatkan dengan menggunakan kuesioner. Selanjutnya, wawancara kuesioner

77 juga dilakukan untuk mendapatkan data mengenai profil desa, profil PAPELING, profil gerakan rehabilitasi hutan bakau, faktor internal dan eksternal, serta kondisi perempuan di tingkat lokal. Pengamatan berperan serta terbatas dilakukan untuk melihat, merasakan, dan memaknai dunia beserta ragam peristiwa dan gejala sosial didalamnya sebagaimana tineliti melihat, merasakan dan memaknainya. Pengamatan berperan serta terbatas dilakukan untuk mendapatkan data mengenai profil akses dan kontrol terhadap pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi hutan bakau. Selain itu, metode ini juga digunakan untuk mendapatkan data mengenai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi akses dan kontrol anggota PAPELING terhadap gerakan tersebut. Di samping itu, pengamatan berperan serta terbatas juga dilakukan untuk mendapatkan data mengenai perubahan kondisi perempuan di tingkat lokal. Analisis dokumen dilakukan untuk mendapatkan data mengenai profil Desa Sidodadi dan profil PAPELING. Adapun data yang didapatkan berkisar dengan profil desa meliputi keadaan geografis dan gambaran sosial ekonomi. Sedangkan data yang didapat berkisar dengan profil PAPELING adalah struktur dan aktivitas kelompok. Analisis dokumen dilakukan pada dokumen-dokumen desa dan juga dokumen-dokumen PAPELING. Diskusi kelompok terarah dilakukan untuk mendapatkan data mengenai gambaran sosial ekonomi masyarakat Desa Sidodadi, pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi hutan bakau. Metode ini juga digunakan untuk mendapatkan data mengenai struktur dan sumberdaya kelompok, sistem nilai yang berlaku di kelompok dan di masyarakat. Selanjutnya, kondisi perempuan di tingkat lokal

78 juga didapatkan dengan menggunakan metode ini. Data-data yang berkaitan dengan kondisi perempuan di tingkat lokal adalah perubahan kondisi praktis seperti yang terkait dengan kondisi ekonomi, kesehatan dan partisipasi publik. Diskusi kelompok terarah ini ditujukan pada anggota PAPELING yang dilakukan secara terpisah antara anggota PAPELING laki-laki dan anggota PAPELING perempuan. Informan adalah kepala desa, tokoh masyarakat, masyarakat sekitar yang telah lama mendiami Desa Sidodadi serta instansi yang terkait dengan gerakan rehabilitasi tersebut. Dalam konteks ini juga, peneliti ingin mengungkapkan bahwa informan pada penelitian ini dapat juga menjadi responden untuk menjawab beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Hal ini dilakukan karena terkait dengan analisis mendalam yang akan dilakukan oleh peneliti dalam memahami gejala atau peristiwa sosial yang akan diamati di lokasi penelitian tersebut Teknik Analisis Data Data primer yang telah diperoleh kemudian diolah dan disajikan dalam bentuk tabulasi frekuensi untuk memperlihatkan perbandingan antara perempuan dan laki-laki. Data tersebut kemudian dideskripsikan dengan disertai kutipankutipan hasil wawancara dengan responden dan informan. Data sekunder yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabulasi data kemudian diberikan penjelasan bagaimana relevansinya dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Triangulasi metode pengumpulan data (pengamatan berperan serta, wawancara mendalam dan studi literatur) nantinya akan menghasilkan data kualitatif dalam bentuk catatan-catatan harian (uraian rinci maupun kutipan

79 langsung - Sitorus, 1998:40) peneliti bersama tineliti. Menurut Taylor dan Bogdan (1984) dalam Sitorus (1998), data kualitatif merupakan data deskriptif berupa kata-kata lisan atau tulisan dari manusia atau tentang perilaku manusia yang dapat diamati. Catatan harian atau catatan lapangan adalah instrumen utama yang melekat pada metode-metode pengumpulan data kualitatif. Catatan harian berisi data kualitatif hasil pengamatan dan wawancara di lapangan, dalam bentuk uraian rinci maupun kutipan langsung. Miles dan Huberman (1992) dalam Sitorus (1998) menguraikan tiga jalur analisis data kualitatif yakni berupa reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Data kualitatif (pengamatan berperan serta, wawancara mendalam dan studi literatur) hasil penelitian yang mendukung, kemudian direduksi melalui proses pemilihan dan pengkategorian data yang sesuai dengan permasalahan, tujuan penelitian serta kerangka konseptual penelitian. Setelah melalui proses pereduksian, kemudian dilakukan penyajian data-data kualitatif. Penyajian data tersebut dapat berupa teks naratif (kutipan langsung, uraian) dan matriks, grafik, jaringan dan bagan. Proses selanjutnya merupakan penarikan kesimpulan.

80 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Pada bagian ini akan digambarkan kondisi umum Desa Sidodadi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama menggambarkan sejarah lokal Desa Sidodadi termasuk sistem nilai dan kelembagaan lokal yang ada di desa tersebut. Selanjutnya bagian kedua akan menggambarkan kondisi fisik Desa Sidodadi yang terdiri dari kondisi geografis dan kondisi sarana dan prasarana Desa Sidodadi. Pada bagian ketiga akan digambarkan kondisi sosial ekonomi Desa Sidodadi yang terdiri dari keadaan penduduk, kelembagaan sosial dan potensi ekonomi desa Sejarah Lokal Desa Sidodadi Desa Sidodadi dibuka pada tahun 1939-an. Sebelumnya pada tahun an pada waktu kolonialisasi Belanda terdapat 17 KK berasal dari Yogyakarta yang melakukan transmigrasi ke daerah gedung tataan. 17 KK tersebut merasa tidak betah dan akhirnya pindah ke daerah yang sekarang ini dikenal dengan nama Desa Sidodadi. Setelah berada di tempat yang baru, mereka mengajak sanak keluarga mereka untuk ikut pindah dan akhirnya membentuk sebuah desa. Pada tahun terjadi proyek penggusuran di daerah Margodadi yang berjarak tidak jauh dari Desa Sidodadi. Proyek penggusuran tersebut dimotori oleh pihak TNI AL, saat itu masyarakat yang mengalami penggusuran juga ikut pindah ke Desa Sidodadi yang telah dibuka tersebut. Dahulu nama Desa Sidodadi ini kurang dikenal, namun baru dikenal setelah generasi pendatang baru termasuk pindahan dari daerah Margodadi berinisiatif untuk kembali menata dan membangun desa ini yakni diawali dengan membentuk pemerintahan baru. Pada waktu itu yang terpilih menjadi kepala desa

81 adalah Pak Hrs. Pada awalnya desa ini bukan bernama Sidodadi, melainkan Wates. Nama wates disebabkan orang yang pertama kali datang ke sini adalah orang dari Wates, Yogyakarta. 17 KK yang pindah kesini beserta sanak keluarganya berasal dari daerah Wates, Yogyakarta. Namun karena di Kecamatan Padang Cermin ini terdapat dua desa yang bernama sama sehingga banyak sekali surat yang salah alamat. Pada tahun 1967 desa ini berganti nama menjadi Sidodadi Wates. Seiring dengan berjalannya waktu nama Wates menjadi hilang, hingga tinggal Sidodadi saja. Desa Sidodadi mulai dikenal oleh masyarakat luas sejak tahun Karena pada saat itu karang taruna Desa Sidodadi merupakan karang taruna teladan tingkat nasional. Pada tahun 1997 Desa Sidodadi juga menjadi pelopor P4 tingkat propinsi. Pada tahun 1997 menjadi juara terbaik ke II P2WKSS untuk tingkat propinsi. Masih pada tahun yang sama, Desa Sidodadi dinobatkan sebagai administrasi desa terbaik untuk program IDT. Kepemilikan lahan di Desa Sidodadi ini sebagian besar bukan milik warga setempat. Lahan yang ada di Desa Sidodadi kebanyakan dimiliki oleh warga di daerah teluk (Bandar Lampung), Jakarta, Jawa, bahkan dari Singapura. Sebagian besar lahan di Sidodadi dipergunakan untuk perkebunan dan sedikit sekali yang digunakan sebagai lahan pertanian. Dahulu kala zaman Belanda dan Jepang daerah ini terkenal akan hasil-hasil perkebunan seperti cengkeh, coklat, dll. Seiring dengan waktu, banyak orang yang datang untuk memiliki lahan di desa ini dengan cara membelinya dari penduduk asli dan menyerahkan pengelolaannya untuk diusahakan berbagai jenis tanaman sesuai dengan keinginan si pengelola.

82 Hingga saat ini, lahan-lahan yang ada di Desa Sidodadi kebanyakan milik warga di luar desa tersebut. Untuk pembagian keuntungan pada lahan yang diusahakan oleh pegelola juga ditentukan oleh pengelola. Pembagian keuntungan yang paling dominan di Desa Sidodadi adalah bagi hasil. Modal usaha serta keperluan usaha lainnya sepenuhnya juga diserahkan dan ditentukan oleh si pengelola. Hal ini terjadi karena si pemilik (pembeli lahan) tidak terlalu memperhitungkan untung dan rugi. Mereka cukup senang jika lahan yang mereka beli tersebut ada yang merawat dan menjaganya. Kelembagaan lokal di Desa Sidodadi memiliki fungsi masing-masing. Kelembagaan kematian berfungsi yaitu membantu atau meringankan keluarga yang sedang terkena musibah. Kelembagaan ini akan segera turut membantu baik dalam hal pendanaan maupun bantuan tenaga dalam proses pemakaman dan pengajian. Struktur kepengurusan terdiri dari ketua, sekrataris, bendahara. Proses terbentuknya dilakukan melalui musyawarah anggota yasinan lingkungan RT/dusun setempat. Selanjutnya, kelembagaan pengelola hutan berfungsi untuk melindungi kawasan hutan kemasyarakatan dan hutan lindung. Kelembagaan ini juga berfungsi untuk rehabilitasi hutan agar tidak terjadi kekeringan di desa sekitar hutan. Kelembagaan ritual laut berfungsi untuk mengadakan upacara atau ritual yang dilakukan sebelum nelayan berlayar untuk menangkap ikan. Hal ini dilakukan agar para nelayan dilancarkan usahanya dan dilindungi keselamatannya. Pada ritual laut pelaksanaannya dipimpin oleh sesepuh adat terutama kampung nelayan atau kampung bugisan yang sebagian besar berlokasi di daerah Ringgung. Perubahan yang paling dirasakan pada masyarakat ini yaitu adanya perubahan pola pikir ke arah yang lebih baik. Dari pola pikir yang menjalankan

83 agama yang musrik sekarang ke pola pikir agama yang tauhid. Hingga sampai sekarang sudah tidak ada lagi masyarakat yang seperti itu. Pak Hrs sebagai Kepala Desa Sidodadi kebetulan berasal dari keluarga yang berpendidikan pesantren di Jawa sehingga sedikit banyak merubah pemikiran masyarakat di sini. Dahulu sebelum pak Hrs dan keluarganya pindah ke desa ini, masyarakat banyak yang menyembah benda-benda seperti kayu, api, dan lain-lain. Jika ingin membangun rumah atau lainnya mereka membuat sesajen, tumpeng, dan lain-lain. Selanjutnya, masyarakat di sini gemar melakukan judi dan pada tahun 1985 masih ada masyarakat yang membuat sajen. Hal-hal yang dianggap tidak sesuai atau tidak pantas yang berlaku di Desa Sidodadi masih mengakar pada budaya yang disosialisasikan secara turuntemurun. Budaya patriarkhi merupakan budaya yang masih berlaku kental di desa ini. Budaya ini merujuk pada hal-hal apa saja yang boleh atau tidak boleh, pantas atau tidak pantas dilakukan antara laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh dari berlakunya budaya ini terlihat jika perempuan sibuk bekerja, laki-laki ikut membantu hal tersebut boleh-boleh saja dan dianggap pantas saja untuk dilakukan. Namun, jika laki-laki sibuk bekerja dan perempuan sedang santai atau bermalas-malasan hal tersebut dianggap tidak pantas. Jika suami sedang tidak ada di tempat maka perempuan tidak boleh atau tidak pantas untuk melakukan pekerjaan mencangkul, dan pekerjaan berat yang biasa dikerjakan oleh kaum lakilaki. Namun, hal tersebut masih diperbolehkan dilakukan oleh perempuan jika ia mengerjakannya bersama dengan suami dan dikerjakan hanya sebatas membantu saja.

84 4.2. Gambaran Fisik Desa Sidodadi Keadaan Geografis Secara geografis, Desa Sidodadi terletak pada ketinggian antara 125 meter dari permukaan laut (dpl) dengan bentang alam berupa pantai, hutan lindung, dataran tinggi, dan pegunungan. Curah hujan rata-rata 3000 mm per tahun dan suhu rata-rata berkisar antara C. Desa Sidodadi merupakan desa pantai atau pesisir dan desa sekitar hutan. Luas lahan pasang surut kawasan pesisir adalah seluas 175 hektar, dan didominasi oleh hutan mangrove (bakau). Desa Sidodadi termasuk wilayah Kecamatan Padang Cermin wilayah Kabupaten Lampung Selatan 3. Kabupaten Lampung Selatan sebagian besar berada di sepanjang Teluk Lampung. Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin berada pada panjang garis pantai 3,5 kilometer. Secara administratif Desa Sidodadi berbatasan dengan : 1. Di Sebelah Timur, berbatasan dengan Teluk Lampung, 2. Di Sebelah Barat, berbatasan dengan kawasan hutan register 19 Gunung Betung, 3. Di Sebelah Utara, berbatasan dengan Desa Hanura, 4. Di Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Gebang. Desa Sidodadi memiliki luas hektar dan terbagi menjadi tiga dusun, yakni dusun satu, dusun dua dan dusun tiga. Dusun satu merupakan pusat pemerintahan desa dan merupakan daerah pinggiran pantai. Dusun dua merupakan wilayah pinggiran pantai dan pegunungan, sedangkan dusun tiga merupakan 3 Kecamatan Padang Cermin sejak tanggal 12 Juli 2007 telah masuk kedalam Wilayah Kabupaten Pesawaran yang merupakan kabupaten pecahan dari Kabupaten Lampung Selatan.

85 daerah pegunungan. Dusun satu memiliki potensi dibidang perikanan dan juga pariwisata. Dusun satu ditempati oleh masyarakat suku Jawa dan suku Bugis. Dusun dua memiliki potensi di bidang kerajinan dan industri rumah tangga sedangkan, dusun tiga memiliki potensi dibidang pertanian seperti tanaman pangan dan hortikultura. Sebagian besar wilayah Desa Sidodadi dipergunakan untuk tegal atau ladang seluas 405 hektar, untuk pemukiman 360 hektar dari keseluruhan luas wilayah. Untuk selengkapnya data mengenai penggunaan lahan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Tata Guna Lahan di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Jenis Tata Guna Lahan Luas (ha) Sawah tadah hujan 10 Tanah tegal/ladang 405 Pemukiman 360 Tanah pasang surut 175 Tanah perkebunan rakyat 245 Tanah kas desa 0,25 Kantor pemerintahan 0,25 Tanah hutan mangrove 135 Tanah hutan lindung 200 Lainnya 4,5 Total 1535 Sumber : Profil Desa Sidodadi, diolah kembali Untuk mencapai Desa Sidodadi relatif mudah, karena tersedia alat transportasi seperti angkutan umum berupa mobil pick-up dan fasilitas jalan yang sudah beraspal. Jarak antara Kecamatan Padang Cermin dengan Desa Sidodadi ± 27 kilometer dan memerlukan waktu tempuh satu jam. Sedangkan, jarak dari Ibu Kota Bandar Lampung ± 74 kilometer dan memerlukan waktu tempuh tiga jam. Untuk mencapai tiap dusunnya dapat berjalan kaki atau menggunakan kendaraan roda dua. Hal ini disebabkan akses jalan menuju dusun-dusun belum semuanya

86 terbuka. Sebagian jalan masih berbatu dan sempit hanya jalan menuju dusun satu yang sudah beraspal. Desa Sidodadi berada di kawasan pesisir pantai yang dipenuhi oleh hutan mangrove sebagai green belt. Di samping fungsi ekologisnya, hutan mangrove (bakau) juga dimanfaatkan untuk budidaya ikan, udang, kepiting (keramba) oleh masyarakat setempat. Di samping itu, Desa Sidodadi juga memiliki Perairan Ringgung yang memisahkan daratan Desa Sidodadi dan Pulau Tegal, yang juga merupakan daerah wisata laut/bahari. Masyarakat memanfaatkan perairan ringgung sebagai lokasi budidaya ikan laut dan sebagai tempat wisata. Desa Sidodadi merupakan desa yang dikelilingi oleh hutan. Hal ini bisa dijadikan sebagai sumber mata pencaharian oleh sebagian masyarakat. Oleh karena itu, kerusakan hutan terkadang tidak bisa dihindari. Berdasarkan data isian potensi Desa Sidodadi tahun 2005 bahwa masyarakat bisa merasakan hasil hutan berupa kayu dan bambu sekitar 1000 batang setiap tahunnya. Untuk data mengenai kondisi hutan dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jumlah Hutan Berdasarkan Kondisi Hutan Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Jenis hutan Kondisi baik Kondisi rusak Total Mangrove Produksi Lindung Total Sumber : Profil Desa Sidodadi Tabel 4 menunjukkan bahwa dari total 135 Ha hutan yang ada di Desa Sidodadi, 90 hektar hutan di daerah tersebut berkondisi baik. 66,6 persen dari hutan yang berkondisi baik tersebut berasal dari hutan mangrove (bakau) lalu diikuti dengan hutan produksi dan hutan lindung sebesar 16,6 persen. Jumlah

87 hutan yang rusak mencapai 45 hektar. 33,3 persen dari hutan yang berkondisi rusak tersebut berasal dari hutan mangrove (bakau), hutan lindung dan hutan produksi masing-masing 33,3 persen. Melihat kondisi keseluruhan hutan yang rusak sudah mencapai 33,3 persen maka beberapa orang yang memerhatikan masalah lingkungan berinisiatif membentuk suatu perkumpulan masyarakat peduli lingkungan yang fokus terhadap upaya pelestarian hutan khususnya hutan mangrove (bakau) Kondisi Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana sosial mutlak dibutuhkan demi menunjang pembangunan desa. Selain untuk menunjang pembangunan desa, sarana dan prasarana juga berguna untuk memfasilitasi masyarakat sehingga dapat memperoleh kehidupan yang layak. Kenyataannya, sarana dan prsarana yang ada di sejumlah desa kurang memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Desa Sidodadi merupakan salah satu desa yang memiliki sarana dan prasarana yang kurang memadai dalam menunjang aktivitas kehidupan masyarakatnya. Sarana pendidikan formal yang ada di Desa Sidodadi hanya berjumlah satu unit, sedangkan sarana pendidikan informal berjumlah lima unit. Untuk lebih jelas, rincian sarana dan prasarana dapat dilihat pada Tabel 5.

88 Tabel 5. Jumlah Sarana dan Prasarana Berdasarkan Jenis dan Kondisinya di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Sarana dan prasarana Jenis Kondisi Baik ( Unit) Kondisi Rusak (Unit) Transportasi Jalan aspal 1 1 Jalan makadam 3 2 Jalan tanah 1 1 Tambatan perahu 1 - Jembatan kayu 1 - Jembatan beton 1 - Pangkalan ojek 1 - Pendidikan SD/sederajat 1 1 TPA 5 2 Kesehatan Posyandu 2 - Bidan desa 1 - Ibadah Masjid 3 - Mushola / surau 6 1 Wihara 1 - Total 28 8 Sumber : Profil desa sidodadi Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Sidodadi berasal dari swadaya masyarakat dan bantuan dari pemerintah. Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Sidodadi melingkupi tranportasi, pendidikan, kesehatan, dan peribadatan. Tabel 5 menunjukkan bahwa sarana dan prasarana yang ada di Desa Sidodadi masih sangat minim. Prasarana yang ada, belum mampu mencukupi kebutuhan masyarakat setempat. Sarana pendidikan merupakan sarana yang paling tidak memadai. Minimnya sarana dan prasarana dapat menghambat kelancaran arus informasi yang memberikan inovasi-inovasi terbaru khususnya dalam pembangunan potensi desa. Dalam hal ini perlu adanya penambahan unit sarana pendidikan tidak hanya sampai jejang sekolah dasar namun juga hingga jenjang sekolah lanjutan tingkat pertama.

89 Disamping sarana pendidikan, sarana transportasi dan kesehatan juga tidak memadai dalam memenuhi kebutuhan masyarakat Desa Sidodadi. Selama peneliti berada di desa tersebut, akses jalan antar dusun sulit untuk dilalui. Jalan antar dusun masih banyak yang belum dibuka, selain itu juga jalan yang ada tidak terawat dengan baik dan dalam pembuatannya masih menggunakan material seperti batu-batu, tanah dan aspal seadanya saja. Hanya jalan menuju pusat pemerintahan yakni dusun satu yang berada dalam kondisi baik. Selanjutnya, ketersediaan jembatan penyebrangan pada dasarnya membantu dalam menghubungkan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, namun jembatan ini juga tersedia dalam jumlah terbatas. Selain tersedia dalam jumlah terbatas, jembatan yang ada pun banyak yang rusak dan tidak terawat sehingga mengkhawatirkan dari aspek keamanan. Fasilitas kesehatan di Desa Sidodadi masih minim, hal ini disebabkan ketiadaan tenaga medis yang mencukupi. Desa ini hanya mengandalkan bidan yang sekaligus memberikan pelayanan medis sekedarnya. Selain itu, keberadaan posyandu juga masih terbatas, hal ini juga terjadi seiring dengan ketersediaan kader-kader posyandu yang terbatas pula. Disamping sarana dan prasarana yang telah disebutkan di atas, fasilitas air bersih di Desa Sidodadi terlihat dari ketersediaan sumur pompa, sumur gali, dan mata air. Terdapat sumur pompa sebanyak tiga unit yang digunakan oleh 74 KK. Selanjutnya, terdapat juga sumur gali sebanyak 130 unit yang digunakan oleh 250 KK. Sedangkan, tiga mata air digunakan oleh 133 KK.

90 4.3. Gambaran Sosial Ekonomi Desa Sidodadi Keadaan Kependudukan Keadaan Penduduk Berdasarkan Umur Penduduk Desa Sidodadi berjumlah 2082 jiwa dengan 457 KK, yang terdiri dari jiwa (51,00%) laki-laki dan (48,99%) perempuan. Sebaran penduduk berdasarkan golongan umur di Desa Sidodadi dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Umur / Tahun Jumlah (Jiwa) Persentase (%) , , , , , , , , , , , ,73 Total Sumber : Profil Desa Sidodadi 2006, diolah kembali. Tabel 6 menunjukan bahwa 66 persen dari jumlah penduduk Desa Sidodadi atau berjumlah 1375 jiwa termasuk dalam usia produktif. Menurut Rusli (1983), usia produktif untuk tenaga kerja berkisar tahun. Sedangkan usia non-produktif dibawah 15 tahun dan diatas 55 tahun. Berdasarkan Tabel 2, sebanyak 33,9 persen penduduk Desa Sidodadi atau 707 jiwa termasuk dalam usia non-produktif.

91 Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Sidodadi jika dilihat berdasarkan tingkat pendidikan formal memiliki pendidikan yang beragam. Mulai dari sekolah dasar, sekolah lanjut tingkat pertama, sekolah lanjut tingkat atas, dan perguruan tinggi. Secara rinci, jumlah penduduk Desa Sidodadi berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pendidikan Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Tingkat pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%) Belum sekolah 140 6,72 Tidak pernah sekolah ,26 Pernah sekolah SD tetapi tidak tamat 135 6,48 Tamat SD/sederajat ,2 Tamat SLTP/sederajat ,03 Tamat SMU/sederajat ,04 D1 2 0,09 D2 2 0,09 D3 1 0,04 Total Sumber : Profil Desa Sidodadi, Tabel 7 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan Desa Sidodadi relatif rendah. Jenjang pendidikan tertinggi berada pada sekolah dasar dengan persentase 41,2 persen dan sekolah lanjut tingkat pertama dengan persentase 16,04 persen. Kondisi ini dapat mempengaruhi perkembangan dan kemajuan desa. Salah satu penyebab rendahnya tingkat pendidikan di Desa Sidodadi merupakan manifestasi dari terbatasnya fasilitas pendidikan dan ketersediaan tenaga pengajar. Sehingga pendidikan harus lebih ditingkatkan, karena pendidikan merupakan dasar dari terciptanya potensi sumberdaya manusia yang berkualitas.

92 Keadaan Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Mata pencaharian penduduk Desa Sidodadi terdiri atas berbagai macam kegiatan pekerjaan. Namun demikian, mata pencaharian penduduk Desa Sidodadi yang paling dominan adalah mata pencaharian sebagai buruh tani dan sebagai petani. Secara rinci sebaran jumlah penduduk Desa Sidodadi berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Jumlah Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Jenis mata pencaharian Jumlah (jiwa) Persentase (%) Petani ,72 Buruh Tani ,70 Buruh/swasta 37 5,58 Pedagang 85 12,83 Peternak 32 4,83 Nelayan 28 4,22 Pengrajin 9 1,35 PNS 6 0,90 Montir 3 0,45 KJA 7 1,05 Guru 2 0,30 Total Sumber : Profil Desa Sidodadi Tabel 8 menunjukkan bahwa 36,70 persen dari jumlah penduduk Desa Sidodadi bermatapencaharian sebagai buruh tani dan 31,72 persen sebagai petani. Selain itu, ada pula yang melakukan pekerjaan di luar usaha tani seperti buruh atau swasta (jasa), pedagang, peternak, nelayan, pengrajin, dll. Nelayan dan petani budidaya ikan di Keramba Jaring Apung (KJA) memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir untuk dikelola. Sehingga perlu dilakukan upaya perlindungan wilayah pesisir khususnya hutan mangrove (bakau). Masyarakat Desa Sidodadi sebagian besar termasuk kedalam golongan keluarga prasejahtera yakni sebanyak 92,77 persen. Sedangkan keluarga sejahtera

93 I sebanyak 6,13 persen dan keluarga sejahtera II sebanyak 1,09 persen. Data selengkapnya mengenai hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Jumlah Dan Persentase Penduduk Berdasarkan Tingkat Kesejahteraan, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Status Keluarga Jumlah (Kepala Keluarga) Persentase (%) Keluarga Prasejahtera ,77 Keluarga Sejahtera I 28 6,13 Keluarga Sejahtera II 5 1,09 Total Sumber : Profil Desa Sidodadi, Tabel 9 menunjukkan bahwa penduduk Desa Sidodadi memiliki taraf kesejahteraan yang rendah. Hal ini terjadi karena sebagian besar mata pencaharian penduduk Desa Sidodadi merupakan pekerjaan yang tidak tetap. Mata pencaharian sebagai buruh merupakan mata pencaharian terbanyak yang ada di desa tersebut. Selain itu juga, kondisi ini diperburuk oleh situasi ekonomi nasional yang semakin memburuk pasca tahun Semakin buruknya situasi ekonomi telah membuat sebagian besar penduduk Desa Sidodadi berpindah pekerjaan. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan Bapak Pla (60 tahun) yang merupakan salah satu anggota PAPELING berikut ini : Sekitar sepuluh tahun yang lalu mah bapak kerjanya jadi nelayan, tapi pohon bakau pada ditebangin jadi makin hari hasil tangkapan makin berkurang...udah gitu harga jual juga gak seberapa... jadi bapak sekarang kerjanya nanem pisang aja. Kalo masih ada sisa tenaga yah ikut ngeburuh juga... (Pernyataan Bpk Pla, Dari Ringgung, Didokumentasikan bulan Agustus, tahun 2007).

94 Kelembagaan Sosial Keberadaan beragam kelembagaan sosial yang ada di Desa Sidodadi pada dasarnya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat desa tersebut. Dalam konteks pemenuhan kebutuhan, seringkali pemanfaatan kelembagaan sosial hanya dirasakan oleh laki-laki saja. Meskipun masih dalam tingkat partisipasi yang rendah, beberapa kelembagaan sosial yang ada di Desa Sidodadi sudah dapat dimanfaatkan secara merata baik oleh perempuan terlebih lagi oleh laki-laki. Beragam kelembagaan sosial serta tingkat partisipasi laki-laki dan perempuan yang terdapat di Desa Sidodadi dapat dilihat lebih lengkap pada Tabel 10. Tabel 10. Jumlah Organisasi dan Kelompok Sosial Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Organisai dan Kelompok Sosial Partisipasi (%) Laki-Laki Perempuan 1. BPD LPM PKK Karang Taruna Risma Posyandu : - Balita - Lansia Pengajian Siskamling Arisan : - Uang - Bahan Bangunan - Bahan Sembako Rewang Hajatan Gotong Royong Kelompok Tani Wanita Tani POKMAS PAPELING KISLAH - 100

95 Tabel 10 menunjukkan sebaran partisipasi masyarakat dalam kelembagaan sosial yang terdapat di Desa Sidodadi. Gotong royong, kelompok tani, siskamling, dan LPM merupakan kelembagaan sosial yang sepenuhnya diikuti oleh anggota masyarakat Desa Sidodadi yang berjenis kelamin laki-laki. Kelembagaan arisan sembako, wanita tani, KISLAH dan PKK merupakan kelembagaan sosial yang sepenuhnya diikuti oleh anggota masyarakat Desa Sidodadi yang berjenis kelamin perempuan. Sedangkan kelembagaan sosial rewang hajatan, pengajian dan risma merupakan kelembagaan sosial yang diikuti oleh 50 persen masyarakat Desa Sidodadi yang berjenis kelamin laki-laki dan juga diikuti oleh masyarakat Desa Sidodadi yang berjenis kelamin perempuan. Namun, terdapat juga beberapa kelembagaan sosial yang diikuti secara dominan oleh masyarakat Desa Sidodadi yang berjenis kelamin laki-laki, yakni arisan bahan bangunan, POKMAS, BPD, dan karang taruna. Sementara itu, kelembagaan sosial yang diikuti secara dominan oleh anggota masyarakat yang berjenis kelamin perempuan yakni arisan uang, posyandu balita, dan posyandu lansia. Keberadaan beragam kelembagaan sosial di Desa Sidodadi memberikan manfaat yang berbeda pada masyarakat Desa Sidodadi baik laki-laki maupun perempuan. Berdasarkan hasil dari diskusi kelompok terfokus, manfaat yang dirasakan berkisar ukuran besar, sedang dan kecil. Kemudian, jarak sosial antara kelembagaan sosial tersebut dengan masyarakat berkisar ukuran dekat dan jauh. Tingkat partisipasi laki-laki maupun perempuan yang tinggi pada berbagai macam kelembagaan sosial menunjukkan kepada siapa manfaat tersebut dirasakan. Sebagai contohnya dari hasil diskusi kelompok terfokus, kelembagaan BPD dirasakan manfaatnya sedang dan berjarak jauh dengan masyarakat. Disisi lain

96 organisasi tersebut diikuti secara aktif oleh laki-laki, maka manfaat sedang dan berjarak jauh itu dirasakan oleh kaum laki-laki. Beberapa kelembagaan yang bermanfaat sedang dan berjarak jauh adalah BPD dan LPM. Kemudian kelembagaan sosial yang bermanfaat sedang dan berjarak dekat adalah arisan uang dan PKK. kelembagaan sosial yang bermanfaat besar dan berjarak dekat adalah risma, arisan bahan bangunan, arisan bahan sembako, rewang hajatan, gotong royong, posyandu balita, posyandu lansia dan pengajian. Selanjutnya, kelembagaan sosial yang bermanfaat kecil dan berjarak jauh adalah kelompok tani dan wanita tani. Siskamling dan POKMAS adalah kelembagaan sosial yang bermanfaat besar dan berjarak jauh. Kemudian, PAPELING, KISLAH, dan karang taruna dapat bermanfaat besar jika sedang ada kegiatan yang memang bermanfaat tetapi bisa juga bermanfaat kecil jika sedang tidak ada kegiatan yang menghasilkan. Ketiga kelembagaan sosial tersebut samasama berjarak sosial dekat. Kelembagaan BPD dirasakan manfaatnya sedang dan berjarak sosial jauh dengan masyarakat merupakan indikasi adanya disfungsi dalam lembaga tersebut. Masalah yang terjadi di BPD yaitu kurangnya kerjasama pemerintah desa dengan lembaga-lembaga lain yang ada di desa. Selain itu juga, LPM juga mengalami masalah dalam hal kekurangan ekonomi sehingga program kerja dan kegiatan yang telah disusun tidak dapat terlaksana. Sedangkan pada lembaga kesehatan, hambatan fungsional yang terjadi adalah keterbatasan fasilitas kesehatan. Disamping itu, lembaga ini kurang mampu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pola hidup bersih. Pada kelembagaan pengajian, masalah yang terjadi lebih kepada penyadaran masyarakat untuk tertib melaksanakan ibadah.

97 Hal ini terlihat dari peserta pengajian yang terkadang berjumlah sedikit. Pada kelembagaan kelompok tani dan wanita tani, disfungsi kelembagaan yang terjadi adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk lebih memanfaatkan keberadaan kelompok tersebut. Disamping itu, kepengurusan kelompok seringkali tidak tegas terhadap anggota, kurangnya pendidikan dan pelatihan bagi anggota serta kurangnya koordinasi antar kelompok Potensi Ekonomi Desa Potensi yang ada di Desa Sidodadi sangat beragam, mulai dari potensi alam hingga potensi ekonomi yang ada. Potensi ekonomi berasal dari sektor perkebunan yaitu kelapa, kopi, cengkeh, dan coklat. Rincian potensi perkebunan serta hasil yang didapat per hektar dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Luas dan Hasil Potensi Perkebunan Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Jenis Hasil Pertanian Luas (Ha) Hasil (Ton/ha) Kelapa Kopi 1 0,5 Cengkeh 4 0,5 Coklat 5,5 1 Total 178, Sumber: Profil Desa Sidodadi, Potensi besar yang ada di Desa Sidodadi adalah sumberdaya hasil laut dan objek wisata. Objek wisata Pantai Ringgung merupakan daya tarik tersendiri bagi desa ini. Masyarakat memanfaatkan Pantai Ringgung dengan melakukan aktivitas ekonomi seperti berjualan minuman dan makan ringan, menyewakan gubuk peristirahatan, serta mendirikan villa. Selain itu juga, Pantai Ringgung merupakan tempat budidaya ikan atau sering disebut sebagai Keramba Jaring Apung (KJA). Tidak hanya itu saja, di pantai ini juga terdapat berbagai sumberdaya hayati yang

98 memiliki manfaat tinggi jika dikelola dengan baik. Salah satu dari potensi alam yang berada di Pantai Ringgung adalah hutan mangrove. Potensi ekonomi di Desa Sidodadi juga berasal dari sektor perikanan. Terdapat sebanyak tujuh unit keramba dengan hasil panen mencapai lima ton per tahun. Selain itu juga terdapat tambak seluas 40 hektar dengan hasil panen mencapai 90 ton per tahun. Usaha perikanan di desa ini berjumlah tujuh unit, dengan beragam jenis hasil panen, untuk lebih lengkap rincian jenis usaha perikanan dan hasil panen dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Jenis Usaha Perikanan dan Hasil Panen Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Jenis Hasil Perikanan Hasil (Ton/th) Udang 500 Kepiting 0,5 Mujair 3 Lele 2 Gurame 2 Total 507,5 Sumber : Profil Desa Sidodadi, Selain potensi ekonomi di atas, terdapat potensi lain di desa ini, diantaranya adalah industri kerajinan sebanyak satu unit dan industri bahan bangunan sebanyak satu unit. Warung kelontong di Desa Sidodadi berjumlah 35 unit sedangkan usaha peternakan sejumlah satu unit. Selanjutnya, terdapat industri rumah tangga seperti (sapu, keset, ikan asin, kelanting, keripik, terasi, kerupuk ikan) sebanyak satu unit.

99 BAB V REHABILITASI HUTAN MANGROVE (BAKAU): GERAKAN LINGKUNGAN BERBASIS EKONOMI Bagian ini terdiri dari tiga pokok bahasan, pertama adalah bahasan mengenai sejarah gerakan rehabiliasi lokal hutan bakau. Dalam bahasan yang pertama tersebut akan dipaparkan latar belakang lahirnya gerakan yang diusung oleh Kelompok Masyarakat Peduli Lingkungan (PAPELING). Dalam bahasan ini juga diulas profil PAPELING mulai dari struktur kepengurusan hingga aktivitasaktivitas kelompok. Selanjunya, bagian ini juga menguraikan agenda gerakan lingkungan yang menguraikan hal-hal apa saja yang sudah dicapai PAPELING (organisasi geraka lingkungan) dan juga menguraikan langkah-langkah yang ditempuh untuk mempertahankan kelestarian lingkungan kedepannya. Pada bagian akhir dari tulisan ini ditutup dengan merinci aktivitas-aktivitas pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Pada bagian tersebut, menguraikan siklus kegiatan yang tercakup dalam pelaksanaan grakan rehabilitasi tersebut Sejarah Gerakan : Respon dari Kebutuhan Lingkungan dan Ekonomi Hutan mangrove berada di daerah tropis di titik pertemuan antara laut dan darat dimana ekosistemnya mempunyai bermacam-macam fungsi. Ekosistem mangrove sangat berhubungan dengan kehidupan manusia dalam mengontrol kondisi alam. Menurut Sugiarto dan Ekayanto (1996) dalam Budiyanto (2002) menyatakan bahwa hutan bakau memiliki fungsi antara lain : (1) sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak, arus dan angin, (2) sebagai tempat berlindung, berpijah atau berkembang biak, dan daerah asuhan berbagai jenis biota, (3) sebagai penghasil bahan organik yang sangat produktif dan (4) sebagai

100 bahan baku industri. Fungsi penting lainnya dari ekosistem mangrove adalah manfaat sosial ekonomi bagi masyarakat sekitarnya, yaitu sebagai sumber mata pencaharian dan produksi dari berbagai jenis hutan dan hasil ikutan lainnya. Dahuri, et al (1996) dalam Budiyanto (2002) mengidentifikasi kurang lebih 70 macam kegunaan pohon bakau bagi kepentingan manusia, baik produk langsung maupun tidak langsung, yang sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat. Manfaat langsung, seperti bahan baku bangunan, alat tangkap, pupuk pertanian, bahan baku kertas, makanan, obat-obatan, minuman dan tekstil. Sedangkan produk tidak langsung berupa tempat rekreasi dan sebagainya. Di Indonesia ditemukan 75 jenis flora mangrove yang tersebar di 27 propinsi dengan luas hutan mangrove berkisar antara 2,5 4,2 juta hektar dan luas ini terus berubah karena faktor lingkungan dan kegiatan ekonomi manusia. Dengan adanya pengembangan areal pantai, hutan mangrove di seluruh dunia berkurang hektar setiap tahun. Hutan mangrove terancam karena berbagai tekanan pengembangan intensif, seperti pembangunan infrastruktur, pertanian, tambak, urbanisasi dan aktivitas industri atau komersial lainnya. Selain itu, sejak krisis ekonomi tahun 1997 banyak hutan mangrove ditebang secara liar untuk dijual ke negara tetangga. Areal mangrove juga banyak berkurang karena konversi menjadi tambak udang seiring dengan meningkatnya harga udang di pasar internasional akibat jatuhnya nilai rupiah. Semua itu menjadi ancaman bagi keberadaan hutan mangrove di Indonesia (Yasuko, 1999). Sekitar hektar tambak dibangun di Indonesia pada tahun 1980-an setelah keluarnya larangan penggunaan pukat harimau. Namun tambak-tambak tersebut mulai tidak beroperasi secara budidaya udang secra intensif berlangsung

101 beberapa tahun. Tambak udang intensif memerlukan modal awal yang cukup besar. Bahan kimia dan pakan anorganik digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan menutup modal awal secepatnya. Semua bahan tersebut merusak tanah dan air tambak, sehingga produksi terus menurun setelah beberapa tahun beroperasi. Selain itu, diberikan pula antibiotik dan obat-obatan agar udang tidak terkena penyakit. Namun keefektifannya terbatas dan justru menimbulkan kerusakan ekosistem yang serius. Penyakit udang menyerang secara besar-besaran pada awal tahun 1990-an dan menyebabkan bangkrutnya hektar tambak (Yasuko, 1999)....Bakau sudah mulai rusak pada tahun an karena pada waktu itu hutan bakau masih tebal kedalam hingga ke bagian dataran yang sekarang ini digunakan sebagai pemukiman penduduk suku bugis.... (Pernyataan Bpk Rsy, Dari dusun 1, Didokumentasikan Bulan Juni Tahun 2007)....Dengan adanya tambak nelayan harus mencari lokasi lain untuk menyandarkan kapal-kapal kecil mereka yang tentunya lebih jauh dari sebelumnya.... (Pernyataan Bpk Jyo, Dari Ringung, Didokumentasikan Bulan Agustus Tahun 2007)....Kalo bakau-bakau ini ditebangin, mungkin setahun kemudian masyarakat di sini sudah pada susah, terutama nelayan-nelayan kecil seperti saya yang hasil tangkapannya jadi sedikit.... (Pernyataan Bpk Rpk, Dari Ringgung, Didokumentasikan Bulan Agustus, Tahun 2007)....Sekitar tahun 80-an hutan bakau ini masih banyak jadi untuk nyari ikan kecil dan kepiting itu mudah sekali...meskipun ada tambak, tapi tidak terlalu merusak seperti contohnya tambak Pak Yarno yang pake green belt sekitar meter.... (Pernyataan Bpk Rsy, Dari dusun 1, Didokumentasikan Bulan Juni, Tahun 2007). Tahun an pantai dan ekosistemnya dirusak secara besarbesaran dengan adanya tambak. Kemudian adanya perhatian beberapa orang yang

102 merupakan warga lokal Desa Sidodadi terhadap kerusakan lingkungan, merupakan batu loncatan terhadap kelahiran Kelompok Masyarakat Pecinta Lingkungan (PAPELING). Kelompok tersebut berawal dari keprihartinan Pak Hrs (55), yakni kepala desa Sidodadi yang terdahulu. Awalnya beliau membuat kegiatan pembibitan bagi anak-anak (santri) didikannya. Kegunaan kegiatan ini untuk mengenalkan dan mendekatkan lingkungan kepada mereka agar terbentuk rasa memiliki sehingga nantinya akan menjaga lingkungannya. Kegiatan yang diberikan oleh Pak Hrs yakni kegiatan mengumpulkan berbagai macam bibit tanaman yang ada di lingkungan sekitar mereka untuk kembali ditanam. Lebih dalam lagi, PAPELING dibentuk atas dasar kesadaran bahwa lingkungan di daerah ini telah rusak sehingga harus dijaga. Tahun 2000 terdapat inisiatif dari Pak Hrs untuk membentuk kelompok kecil di tingkat desa yang memperhatikan masalah lingkungan. Pada saat itu berkumpul sejumlah 11 orang untuk menggagas kelompok kecil tersebut. Pada tahun 2005 total anggotanya berjumlah 87 orang. Pada tahun 2006 menjadi 170 orang, sedangkan tahun 2007 ini hanya tinggal 50 orang. Untuk menjadi anggota PAPELING tidak ada aturan yang mengikat, semua berdasarkan inisiatif, kesadaran dan kemauan sendiri. Tidak ada paksaan untuk menjadi anggota PAPELING dan juga untuk keluar dari keanggotaan PAPELING. Kemudian 11 orang yang mengagas kelompok kecil tersebut mencoba untuk mengusulkan nama kelompok yang dilakukan secara partisipatif. Nama PAPELING dipilih karena merupakan bahasa Jawa artinya mengingatkan eling dalam konteks ini mengingatkan situasi lingkungan kita sudah rusak.

103 Pada tahun 2004 saat terjadi sunami di Indonesia, kelompok ini kembali terguggah untuk melakukan gerakan lingkungan yang mengusung rehabilitasi hutan bakau. Gagasan ini diperkuat dengan adanya informasi bahwa terdapat satu buah kecamatan yang kerusakan akibat sunaminya hanya 40 persen karena terselamatkan dengan adanya hutan bakau yang berada dalam kondisi baik. Gerakan lingkungan tersebut lahir sebagai bentuk antispasi terhadap bencana alam sunami. PAPELING sebagai sektor ketiga dalam tatanan pelaku pembangunan mulai untuk mengorganisir diri agar memudahkan mereka dalam mencapai tujuan. Struktur kepengurusan dan keanggotaan mulai mereka bentuk namun tak jarang hal ini mengalami perubahan-perubahan di setiap kali mereka melakukan kegiatan di lapangan. Hingga akhirnya pada tahun 2005 PAPELING memiliki struktur kepengurusan dan keanggotaan yang tetap. Keterangan selengkapnya dapat dilihat di Tabel 13. Tabel 13. Struktur Kepengurusan PAPELING Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Nama Hrs Alr Rsy Utg Posisi dalam PAPELING Ketua Wakil Ketua Sekretaris Bendahara Berdasarkan Tabel 13, dapat dilihat bahwa posisi ketua kelompok ditempati oleh Pak Hrs (55 tahun), posisi wakili ketua ditempati oleh Pak Alr (68 tahun), posisi sekretaris ditempati oleh Pak Rsy (37 tahun), dan posisi bendahara ditempati oleh Pak Utg (39 tahun). Dalam menjalankan tugasnya, mereka memiliki pembagian tugas yang fleksibel. Hal ini terlihat pada saat akan

104 melaksanakan kegiatan lapangan. Posisi wakil ketua, sekretaris, dan bendahara dapat saja berubah menjadi ketua lapangan untuk mengorganisir kegiatan di lapangan yang berbeda lokasi. Hal ini ditunjukkan oleh Tabel 14. Tabel 14. Sebaran Ketua Kelompok Lapang PAPELING dan Wilayah Tanggung Jawabnya, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Nama Wilayah Tanggung Jawab Posisi Di Lapangan Hrs Dusun 1 Ketua Lapangan Alr Dusun 2 Ketua Lapangan Rsy Dusun 1 dan Ringgung Ketua Lapangan Utg Ringgung Ketua Lapangan Selanjutnya masing-masing bagian pengurus melakukan tugas dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan posisi mereka dalam PAPELING. Tugas dan tanggung jawab masing-masing posisi pengurus PAPELING tidak jauh berbeda dengan kelompok sosial pedesaan lainnya. Hanya saja, dalam PAPELING peran seorang ketua kelompok (Pak Hrs) tumpang tindih, terkadang beliau dapat mengerjakan tugas wakil ketua, sekretaris dan bendahara sekaligus dalam suatu kegiatan kelompok. Hal ini menyebabkan PAPELING kurang terorganisir dengan baik. Hal ini mengindikasikan adanya Center Of Excellent sehingga mengancam eksistensi regenerasi sebuah kelompok. Sumberdaya yang dimiliki oleh PAPELING terdiri dari sumberdaya fisik, sumberdaya pasar komoditi dan sumberdaya sosial budaya. Sumberdaya fisik yang dimiliki oleh PAPELING diantaranya adalah kebun percontohan, gubuk kerja, kas kelompok, kaos seragam kelompok, dokumentasi kegiatan kelompok yang disimpan dalam bentuk buku, sertifikat penghargaan, dan vcd. Kebun percontohan ini diperoleh dengan mengorbankan sebidang tanah miliki Pak Hrs (ketua PAPELING) yang diperuntukan untuk usaha-usaha pertanian kelompok.

105 Sedangkan, gubuk kerja digunakan pada waktu melakukan budidaya tanaman bakau. Umumnya kebun percontohan milik PAPELING digunakan untuk membudidayakan tanaman-tanaman yang menjadi usaha kelompok. Tanaman yang sedang dibudidayakan sebagai usaha kelompok diantaranya adalah coklat, kopi, dan pepaya bangkok. Sumberdaya pasar komoditi dalam konteks penelitian ini merupakan sarana yang tersedia yang dapat menciptakan penghasilan bagi anggota kelompok. Sarana tersebut seperti proyek rehabilitasi hutan bakau sekitar pantai sehingga membutuhkan bibit bakau dalam jumlah banyak. Sumberdaya sosial budaya informasi yang diterima oleh PAPELING ialah informasi yang datang dari pihak luar yang bersifat untuk memperluas pasar komoditas hasil usaha PAPELING contohnya, pesanan bibit bakau untuk rehabilitasi pantai. Sumberdaya sosial budaya lainnya adalah seminar dan lokakarya yang datang dari instansi diluar kelompok. Sumberdaya kelompok berupa pelatihan dan penyuluhan yang diterima oleh PAPELING umumnya datang dari dinas perikanan dan kelautan, dinas kehutanan, pemerintah daerah, universitas lampung, departemen kementrian lingkungan hidup, dll. Berbagai jenis pelatihan yang diterima oleh anggota PAPELING dianataranya adalah pelatihan pembibitan tanaman bakau. Pelatihan inilah yang menunjang pengetahuan kelompok dalam melakukan gerakan rehabilitasi hutan bakau sekaligus membuka usaha ekonomi kelompok dalam pembibitan bakau. Beberapa kegiatan PAPELING dapat dikelompokkan sebagai kegiatan produktif dan kegiatan reproduktif pada ranah kelompok. kegiatan produktif merupakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mendatangkan pendapatan

106 untuk kelompok. Dalam konteks ini, kegiatan tersebut selama ini dilakukan oleh Pak Hrs, beliau sering melakukan lobi dengan membuat proposal untuk pengadaan bibit bakau oleh kelompok mereka (PAPELING) ke dinas kehutanan, PEMDA, propinsi dan instansi-instansi lainnya. Kegiatan tersebut hanya dilakukan oleh Pak Hrs karena hanya beliau yang memiliki kemampuan dan keterampilan dalam melobi, membuat proposal dan melakukan hal-hal seperti itu. Selama ini pendapatan yang mereka peroleh sebagian besar langsung dialokasikan untuk pemasukan anggota dan pekerjanya secara individu, sisanya baru masuk ke dalam kas kelompok. Merujuk (Beneria, 1979) aktivitas reproduktif tidak hanya melulu berkaitan dengan reprosuktif biologis dan persiapan angkatan tenaga kerja namun, juga berkaitan dengan reproduksi sosial yang mempertahankan sistem sosial. Dalam konteks tersebut, PAPELING juga melakukan kegiatan-kegiatan yang ditunjukan untuk menjaga kelangsungan kelompok. Kegiatan ini sebagian besar dilakukan oleh Pak Hrs yang juga dibantu oleh teman-teman pengurus PAPELING. Aktivitas reproduktif yang dilakukan oleh PAPELING adalah perekrutan angota baru, sosialisasi pentingnya pelestarian mangrove (bakau), pelatihan dan pembinaan kelompok serta pemberian penghargaan bagi kelompok. Rincian kegiatan yang menjaga kelangsungan kelompok selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 15.

107 Tabel 15. Aktivitas Reproduktif Kelompok Masyarakat Pecinta Lingkungan, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Kegiatan Perekrutan Anggota Baru Sosialisasi Pentingnya Pelestarian Mangrove (Bakau) Pelatihan dan Pembinaan Kelompok Inisiatif Pemberian Penghargan Bagi Anggota yang Berprestasi. Pelaku Pak Hrs beserta pengurus papeling lainnya yaitu Pak Utg bertanggung jawab di daerah ringgung, Pak Rsy bertanggung jawab didaerah dusun 1, Pak Alr bertanggung jawab didaerah dusun 2. Pak Hrs yang tidak saja ia lakukan di lingkungan sidodadi, tetapi juga ia lakukan sebagai sebuah misi bagi dirinya untuk disampaikan semua pihak di berbagai daerah tempat ia bepergian. Kegiatan ini juga secara berkesinambungan dilakukan oleh pengurus dan anggota PAPELING untuk tetap terus menjaga linkungannya. Teknik sosialisasi yang mereka gunakan sangat sederhana, selain memasang plank-plank bertuliskan larangan merusak lingkungan di pantai, mereka juga gencar melakukan pemantauan serta melakukan bujukan-bujukan bagi warga masyarakat mereka sendiri untuk lebih memperhatikan lingkungan mereka. Pelatihan dan pembinaan kelompok pada awalnya dilakukan oleh Pak Hrs, namun lambat laun kegiatan itu secara rutin dilakukan oleh para pengurus PAPELING di 3 lokasi berbeda. Dalam konteks ini dilakukan oleh para ketua kelompok lapangan. Pelatihan kebanyakan diberikan bagi para anggota PAPELING yang baru masuk dan belajar mengenai budidaya bakau. Namun untuk pembinaan kelompok seperti adanya rapat evaluasi dan silaturahmi antar kelompok masih dipegang dan diorganisir oleh Pak Hrs. Selama ini inisiatif pemberian bagi anggota kelompok yang berprestasi datang dari pihak diluar sistem PAPELING, hal ini disebabkan kegiatan yang dilakukan oleh PAPELING telah mengundang banyak penghargaan dari berbagai kalangan. Salah satunya penghargaan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Selatan pada tanggal 5 september 2005 sebagai juara 1 kategori kebun bibit desa swadaya dan pada tanggal 5 juni 2006 mendapatkan penghargaan dari Gubernur Lampung dengan kategori penyelamat lingkungan dalam kegiatan pembibitan dan pelestarian bakau. Selama ini pelatihan, penyuluhan, seminar dan lokakarya yang ditujukan kepada PAPELING diikuti oleh perwakilan kelompok. Perwakilan kelompok sering kali diwakili oleh Pak Hrs dan Pak Rsy. Pelatihan, penyuluhan, seminar,

108 lokakarya yang ada berasal dari berbagai pihak atau instansi. Untuk beberapa pelatihan informal diikuti oleh anggota dan pekerja pembibitan bakau, dalam hal ini para ketua kelompok kecil mereka yang telah mendapatkan pelatihan dan penyuluhan sebelumnya bertindak menjadi pelatihnya. Pelatihan informal in diberikan pada saat anggota atau pekerja lainnya akan bekerja di lapangan. Selain itu, ada juga dari pihak luar seperti Universitas Lampung (UNILA) yang langsung memberikan pelatihan mengenai budidaya bakau kepada anggota PAPELING. Beberapa pelatihan, penyuluhan seminar dan lokakarya yang telah diikuti oleh Pak Hrs dalam konteks PAPELING dan lingkungan dapat dilihat pada Tabel 16 dibawah ini: Tabel 16. Pelatihan yang Telah Diikuti Oleh PAPELING, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Nama Pelatihan Pihak Penyelenggara Tempat & Tahun Pelatihan kader pengelolaan Pemeritah Daerah Kalianda, 2001 lingkungan hidup kabupaten lampung selatan. Kabupaten Lampung Selatan Lokakarya nasional pengembangan peran masyarakat dalam pelestarian lingkungan hidup. Kementrian Lingkungan Hidup Jakarta, 2004 Pelatihan petani dalam gerakan nasional rehablitasi hutan dan lahan di kabupaten lampung selatan. Seminar lokakarya kolaborasi pengelolaan sumberdaya hutan dan lingkungan hidup tahura gunung betung. Dinas Kehutanan Kabupaten Kalianda, 2006 Lampung Selatan WALHI Lampung Bandar Lampung, 2006 Selama dalam proses pergolakan organisasi gerakan sosial lingkungan ini (baca: PAPELING) beberapa hal yang dapat dirumuskan antara lain mengenai

109 aktivitas, tujuan, manfaat, serta harapan adanya PAPELING. Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok ini diantaranya adalah bersih-bersih lingkungan desa, bersih-bersih wilayah pantai, rapat kelompok. Namun seiring dengan tumbuh dan kembangnya kelompok ini, mereka memperluas gerakan mereka diataranya dengan penanaman dan pembibitan bakau, rehabilitasi pantai, lokakarya dan pelatihan, budidaya coklat dan kopi untuk kebun percontohan dan percontohan budidaya kepiting untuk pengembangan ekonomi lingkungan. Dalam melakukan berbagai kegiatan diatas, PAPELING memiliki mekanisme kerja yang mengandalkan inisiatif pribadi dari masing-masing anggota. Kesadaran bersama tanpa rasa keterpaksaan merupakan elemen pokok dalam mempertahankan keberlangsungan kelompok ini. Pembagian kerja di PAPELING ditentukan oleh tingkat kemampuan dan jenis kelamin. Penentuan tersebut ada yang sebagian ditentukan oleh Pak Hrs sebagai ketua, namun juga ada yang ditentukan oleh ketua kelompok lapangan. Masih dalam konteks yang sama, pembagian kerja pada dasarnya tidak jarang dilakukan atas dasar kesadaran para anggota kelompok kecil dilapangan. Ketika mereka mengetahui tugas mereka, maka secara partisipatif mereka membagi diri sesuai dengan kemampuan dan tentu saja sesuai dengan jenis kelamin mereka. Pada saat mereka membagi diri kedalam tugas sesuai dengan kemampuan dan jenis kelamin mereka, hal ini dapat memperlihatkan adanya suatu kesepakatan yang diakui, dipahami dan dilakukan secara bersama tanpa adanya aturan tertulis. Hal ini ditegaskan oleh pernyataan salah satu ketua kelompok lapangan di bawah ini:

110 Ya...kalo dapet tugas untuk cari bibit, biasanya sih mereka sadar sendiri siapa-siapa yang biasa pergi ke laut, jadi tau persis dimana banyak terdapat bibit, trus siapa aja yang punya perahu, biasanya mereka yang sering pergi kelaut adalah orang yang berpengalaman jadi gak bakal kesasar, gak mungkin dong kita ke laut nyuruh orang yang gak pernah ke laut?. (Pernyataan Bpk Rsy, Dari dusun1, Didokumentasikan Bulan Juli, Tahun 2007). Anggota PAPELING perempuan juga ikut menuturkan aturan pembagian kerja di PAPELING sebagau berikut :...Kalo orang perempuan banyak kerja di pembibitan, itu tuh yang masukin bibit kedalam polyback. Kalo untuk nyari bibit ama nyari tanah itu mah kerjaannya orang laki.... (Pernyataan Ibu Smr, Dari dusun1, Didokumentasikan Bulan Agustus, Tahun 2007). Tujuan dibentuknya sebuah kelompok yaitu untuk menyelamatkan lingkungan yang pada awalnya hanya melingkupi daerah pesisir pantai namun juga bergerak pada daerah sekitar tempat tinggal mereka. Manfaat dengan adanya PAPELING yaitu terlaksananya gerakan rehabilitasi hutan pantai sehingga mencegah adanya abrasi. Gerakan rehabilitsi tersebut pada dasarnya juga memberikan manfaat, yakni mendatangkan tambahan pendapatan bagi masyarakat sekitar. Sementara itu, dengan adanya PAPELING, diharapkan membantu meningkatkan kesejahteraan para pengurus dan anggotanya, sehingga nantinya akan meningkatkan juga kesejahteraan masyarakat Sidodadi. Hal ini tercermin dari pernyataan dibawah ini:...manfaat dengan adanya PAPELING tidak hanya untuk ekonomi. Kedepannya karena lingkunganya baik semoga erosinya akan tertahan, bakau yang bagus dapat memberikan perlindungan terhadap sunami, ikan dan kepiting tersedia lebih banyak dan membantu faktor ekonomi masyarakat juga secara berkelanjutan.... (Pernyataan Bpk Hrs, Dari dusun 1, Didokumentasikan Bulan Juli, Tahun 2007).

111 Merujuk pada teori gerakan sosial lingkungan dan teori perjuangan keadilan lingkungan, basis perjuangan PAPELING mengarah pada ideologi shallow ecology atau enviromentalism yang derajat pembelaannya terhadap alam jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan deep ecology. Dalam shallow ecology, pertimbangan penilaian manfaat-ekonomi benda-alam terasa sangat antroposentristik ( human-interest oriented ) meskipun dalam mengambil keputusan tentang pemanfaatan benda-alam pun, mereka tidak mengabaikan sama sekali eksistensi lingkungan. Ideologi tersebut dalam konteks ini termanifestasi dalam gerakan rehabilitasi hutan bakau yang digagas oleh kelompok masyarakat pecinta lingkungan (PAPELING). Berdasarkan pemaparan diatas, mereka melakukan gerakan tersebut memang pada dasarnya didasarkan pada kebutuhan ekologis namun, disisi yang lain mereka melakukan gerakan tersebut juga dalam kaitannya dengan memenuhi kebutuhan ekonomi mereka yang tentunya bergantung pada eksistensi lingkungan. Hal tersebut juga diperkuat dengan beberapa temuan lapang yang menyatakan beberapa manfaat yang mereka dapat dengan adanya PAPELING beserta dengan gerakan yang diusung. Mereka mendapatkan tambahan penghasilan dengan ikut berpartisipasi dalam aktivitas gerakan rehabilitasi hutan bakau tersebut Agenda dan Strategi Gerakan Rehabilitasi Lokal : Perjuangan yang Belum Selesai Seiring dengan berjalannya waktu, organisasi gerakan sosial lingkungan ini terus bergerak secara mandiri dalam aksi-aksinya. Dahulu kelompok ini hanya mengandalkan dana pribadi dari masing-masing anggota kelompok. Hingga akhirnya, Desa Sidodadi mendapatkan kunjungan dari Tim Peneliti Universitas

112 Lampung (UNILA). Dari pertemuan inilah PAPELING difasilitasi untuk melakukan berbagai kegiatan. Selanjutnya, pihak UNILA melakukan pembinaan mengenai pembibitan bakau, dan juga membantu PAPELING untuk pengadaan polyback sebanyak polyback untuk penyemaian. Kemudian Pak Hrs mendapatkan undangan untuk mengikuti lokakarya masalah lingkungan di Jakarta. Saat itu, ada informasi dari peserta lokakarya dari seluruh Indonesia terutama dari Aceh dan Padang bahwa di Aceh membutuhkan bibit bakau sebanyak 50 juta. Berdasarkan informasi tersebut, Pak Hrs tergugah untuk menyampaikannya kepada rekan-rekan yang memfasilitasi pembinaan bakau dari UNILA. Pihak UNILA akhirnya merekomendasikan CV. ARA untuk membantu menangani masalah pengadaan polyback dan dana-dana lain untuk pembibitan tersebut. Selanjutnya, dari bulan januari hingga akhir tahun 2005 PAPELING mampu menyemaikan bibit. Oleh karena itu, PAPELING dinyatakan sebagai kelompok pembibitan bakau terbaik seluruh Indonesia dan pada waktu hari lingkungan sedunia dan selanjutnya PAPELING mendapat undangan ke istana negara. Awal tahun 2006 PAPELING mulai melirik aspek ekonomi dalam fokus gerakannya, mereka mencoba menjual bibit-bibit bakau ini. Namun bibit ini tidak laku di jual karena sudah lima kali PAPELING kalah tender. Akhirnya karena tidak menang tender, bibit-bibit tersebut dibagikan secara cuma-cuma ke berbagai pihak. Seharusnya jika PAPELING menang tender, mereka dapat memperoleh pemasukan sebesar Rp. 1,3 Milyar dengan harga jualnya Rp. 300,-00 sampai Rp. 500,-00 per polyback. Selain itu juga, jika PAPELING memenangkan tender, maka Desa Sidodadi ini akan menjadi pusat penyalur bibit bakau untuk Propinsi

113 Lampung dengan harga jual Rp. 1500,-00 per polyback. Namun pada umumya, tender-tender rehabilitasi pantai datang dari dinas propinsi dengan sistem tender yang memungkinkan terjadinya praktek kolusi. Sebagian besar, tender dimenangkan oleh pihak-pihak yang masih merupakan sanak famili dari pemimpin daerah. Sehingga, hal-hal seperti inilah yang menyebabkan PAPELING sulit sekali untuk menang tender. Hal ini tercermin dari pernyataan dibawah ini :...Selain memang dana yang dimiliki terbatas kita juga gak punya koneksi apa-apa untuk melobi. Untuk memenangkan tender itu pihak panitia minta panjer 25 juta, ya kita uang dari mana sebanyak itu? (Pernyataan Bpk Hrs, Dari dusun 1, Didokumentasikan Bulan Juli, 2007). Pertengahan tahun 2006 PAPELING kembali ditawari program rehabilitasi pantai dari pemerintah daerah (PEMDA). Hal ini disebabkan karena sejak tahun 2000 hingga 2006 PAPELING sanggup menyelamatkan hutan bakau 57 hektar di Pantai Ringgung. Momen tersebut mengantarkan Pak Hrs untuk menerima piala kalpataru untuk tingkat Propinsi Lampung. Selanjutnya tahun 2007 PAPELING mendapat proyek rehabilitasi pantai lagi 50 hektar dari Dinas Kehutanan Kabupaten Lampung Selatan dengan borongan Rp 700 rupiah per batang bambu untuk membuat ajir dan penanaman bibit bakau di laut. Sehingga total pantai ringgung yang telah direhabilitasi sekitar 107 hektar. Selain itu, kegiatan PAPELING pada tahun 2007 yaitu menggalakkan percontohan lingkungan untuk seluruh Indonesia dengan melakukan budidaya kepiting sebanyak 7000 nener dan uji coba percontohan budidaya coklat dan kopi 10 hektar. Program ini digalakkan oleh Deputi Kementrian Lingkungan Hidup.

114 Strategi gerakan rehabilitasi lokal yang ditempuh PAPELING tidak hanya berhenti pada pemenuhan kebutuhan ekonomi. Dalam perkembangannya, PAPELING masih mempertahankan tujuan utamanya dalam menegakkan kelestarian lingkungan. Setelah mengalami pasang surut keberhasilan dalam gerakan yang mereka tempuh, akhirnya kelompok ini tiba pada titik dimana mereka harus melindungi guna mempertahankan apa yang telah mereka perbuat terhadap lingkungan. PAPELING bekerjasama dengan berbagai instansi dan lembaga untuk merumuskan dan mensyahkan sebuah peraturan desa (perdes). Perjalanan dalam merumuskan dan mensyahkan peraturan desa ditempuh dengan cara yang tidak mudah. PAPELING bekerja sama dengan beberapa instansi. Kerjasama yang digagas olah PAPELING dengan instansi lain, pada dasarnya juga merupakan inisiatif lokal dari masyarakat Desa Sidodadi yang dalam konteks ini adalah PAPELING yang menjadi motor penggeraknya. Beberapa diantara instansi yang bekerja sama dengan PAPELING, WATALA adalah satu mitra intelekual yang membantu dan memfasilitasi PAPELING untuk memberikan masukan-masukan dalam memfokuskan strategi perjuangan yang mereka gunakan. WATALA sendiri awalnya merupakan organisasi kemahasiswaan dibawah naungan Fakultas Pertanian Universitas Lampung (UNILA) yang berdiri pada 15 oktober Namun, pada tahun 1983, mereka melepaskan diri dari UNILA dan merubah bentuk menjadi sebuah ORNOP. Watala merupakan ORNOP yang memiliki fokus perhatian gerakan ke arah pemberdayaan masyarakat dan lingkungan. Kerjasama watala dengan Desa Sidodadi dimulai pada tahun 2002 dengan adanya pendampingan masalah pencegahan pengeboman untuk menangkap ikan.

115 Dalam konteks tersebut, WATALA memfasilitasi masyarakat Desa Sidodadi yang khusunya bertempat tinggal di daerah pantai untuk membentuk sebuah organisasi pengawas pantai. Hal ini bertujuan agar kegiatan penangkapan ikan dengan cara pengeboman dapat dipantau secara maksimal. Selanjutnya, hingga saat ini WATALA telah bekerjasama dengan Desa Sidodadi selama tiga tahun. Bentukbentuk kerjasama tersebut diantaranya adalah pendampingan masyarakat dalam capacity building bagaimana membuat perencanaan desa, dan juga buat peraturan desa, lokakarya, studi banding, penanaman atau rehabilitasi bakau di lapangan dengan fasilitasi dari watala, peningkatan ekonomi masyarakat dengan budidaya keramba, promosi desa sidodadi untuk dilakukan di desa lain. Kegiatan fasilitasi tersebut tidak berhenti sampai di situ saja. Pada tahun 2005, pihak Desa Sidodadi dan khususnya PAPELING berinisiatif sendiri untuk kembali difasilitasi dalam melakukan pemetaan partisipasi desa. Menanggapi hal tersebut WATALA menawarkan arah gerakan dengan memfokuskan diri membuat perencanaan desa. Perencanaan desa tersebut akan menjadi sebuah dokumentasi pengarahan dalam melakukan negosiasi dengan berbagai pihak sesuai dengan potensi mereka. Perencanaan desa dilakukan dengan mengadakan sebuah lokakarya akbar dengan mengusung tema Membangun Desa, Melestarikan Lingkungan Bersama Masyarakat. Dalam lokakarya ini dihasilkan beberapa startegi dan alternatif strategis perencanaan desa. Dalam perencanaan desa, maka dihasilkanlah peraturan desa sebagai agenda yang harus dilaksanakan kedepan. Peraturan desa merupakan pekerjaan rumah besar yang sedang dan akan diselesaikan tidak hanya oleh PAPELING namun juga masyarakat Desa Sidodadi.

116 Peraturan desa dibentuk guna membentuk suatu perlindungan hukum terhadap bakau ataupun lingkungan hidup yang ada di desa mereka. Hal ini mendesak untuk dilakukan karena pengerusakan hutan bakau telah sedemikian hebatnya dengan adanya pembukaan dan pengoperasian tambak-tambak. Konteks terkini yang terjadi adalah kecepatan pertumbuhan tambak yang akan terus bertambah untuk tiap tahunnya, belum lagi pengusaha besar yang membeli tanah di sekitar pantai hingga melakukan sertifikasi laut. Lahan pantai yang mereka beli tersebut banyak digunakan sebagai tempat wisata, villa dan tempat rekreasi. Keberadaan peraturan desa yang diusung oleh PAPELING dapat menguatkan posisi tawar masyarakat Desa Sidodadi untuk melakukan langkahlangkah prevetif dan represif. Hal ini bisa diterapkan dengan tidak diberikan lagi kesempatan untuk membuka tambak dengan menebang hutan bakau. Jika ada orang yang akan membuka tambak maka dianjurkan untuk membeli tambak yang sudah ada. Dalam melaksanakan upaya tersebut diperlukan landasan hukum yang kuat agar peraturan tersebut tidak mudah dilanggar. Selain itu juga, dengan adanya landasan hukum juga dapat memperkuat dan langkah-langkah yan dilancarkan oleh PAPELING dalam menjaga melestarikan lingkungan. Namun, secara faktual kendala yang mengitari permasalahan penegakan perdes masih menyakut dana yang tidak sedikit. Hal ini juga dituturkan oleh kepala program kerja ORNOP WATALA :

117 ...Dan sebenarnya perencanaan desa yang dikemas dalam lokakarya desa merupakan wadah dimana semua pihak dapat memberikan masukan pemikirannya untuk dapat memajukan Desa Sidodadi. Lokakarya itu menghasilkan buku sebagai dokumentasi, sebagai alat mereka untuk bargaining position. Harapannya, gerakan konservatif PAPELING terhadap lingkungan dapat dibungkus untuk legalitas hukumnya melalui peraturan desa. Namun apa boleh buat langkah kita terhenti sebelum terbuatnya perdes hal ini disebabkan sulitnya untuk mendapatkan dana.... (Pernyataan Bpk Rma (32 Tahun), Dari WATALA, Didokumentasikan Bulan Agustus, 2007). Perjalanan PAPELING sebagai kelompok yang fokus terhadap lingkungan masih belum berakhir. Peraturan desa merupakan bentuk akhir dari satu fase perjuangan kelompok informal desa ini. Agar perdes dapat diberlakukan, diperlukan dana untuk operasionalisasi mulai dari perumusan hingga pengesahan. Oleh sebab itu hingga saat ini peraturan desa masih dipeti-eskan dan berharap suatu saat nanti dapat terealisasi. Merujuk pada strategi yang biasanya diambil oleh sektor ketiga dalam menjalankan tujuannya, organisasi gerakan lingkungan (baca : PAPELING) mengambil strategi substitusi atau saling menggantikan, di mana sektor ketiga mengambil alih atau mengisi kekosongan fungsi dan peran yang semestinya dijalankan oleh sektor negara dan pasar dalam bidang kehidupan tertentu. Hal ini terlihat dari upaya PAPELING untuk mebuat suatu legalitas hukum yang bertujuan untuk melindungi hasil usaha mereka dalam mempertahankan lingkungan mereka. Tidak berhenti sampai disitu saja, gerakan rehabilitasi lokal hutan mangrove (bakau) yang diusung dengan tujuan membenahi dan melindungi sumberdaya alam, pada dasarnya adalah tugas pemerintah (baca : negara). Pemerintah sebagai pelaku pembangunan yang berwenang dalam menentukan kebijakan bertugas untuk memberikan perlindungan terhadap sumber-sumber

118 penghidupan serta memberikan jaminan kelayakan hidup bagi penduduknya. Sedangkan dari aspek korporasi/pasar yang dalam konteks ini adalah perusahaan tambak, tugas mereka adalah ikut mensejahterakan masyarakat di lingkungan sekitar perusahaannya beroperasi sebagai bentuk tanggung jawab sosial (corporate social responsibility/csr). Namun, pada kenyataannya tugas ini kembali diambil alih oleh PAPELING Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Melakukan gerakan rehabilitasi lokal hutan mangrove (bakau) memerlukan beberapa tahap kegiatan untuk dapat mencapai tujuan dari gerakan tersebut. Kegiatan yang dilakukan dalam rangka menggalakkan gerakan rehabilitasi lokal hutan mangrove (bakau) merupakan kegiatan-kegiatan yang dapat dikategorikan menjadi empat kelompok. Kelompok pertama, yaitu Kegiatan yang merupakan kegiatan persiapan perencanaan pelestarian hutan bakau. Kegiatan yang termasuk dalam kegiatan ini adalah pemahaman kondisi wilayah dan menentukan lokasi penanaman. Kelompok ke dua, yaitu kegiatan yang merupakan kegiatan pembangunan instalasi. Kegiatan yang termasuk ke dalam kegiatan ini adalah kegiatan membuat bumbung pelindung tanaman, membuat gubuk kerja, serta membuat ajir dan tugal. Kategori kegiatan yang termasuk dalam kelompok ke tiga yaitu kegiatan pembibitan. Kegiatan yang termasuk ke dalam kegiatan ini adalah kegiatan mencari tanah, mencari buah bakau, menseleksi buah bakau, mengisi polyback, menyiapkan polyback, dan mengatur polyback pada tempat persemaian. Kelompok kegiatan ke empat yakni kegiatan penanaman dan pemeliharaan. Kegiatan yang termasuk ke dalam kegiatan ini adalah kegiatan mengangkut bibit

119 bakau, menanam bibit bakau, menentukan jarak tanam dan memelihara. Pada setiap jenis kegiatan yang dilakukan memerlukan kemampuan dan keterampilan sendiri dalam melakukannya. Kegiatan pemahaman kondisi wilayah merupakan kegiatan observasi kondisi pantai dan wilayah disekitarnya yang bertujuan untuk mengetahui gambaran umum hutan mangrove (bakau) di wilayah pantai Desa Sidodadi. Kegiatan tersebut lebih merupakan sebagai aktivitas pemetaan wilayah pantai. Selain itu, kegiatan tersebut berguna untuk melihat kondisi pantai yang baik untuk ditumbuhi tanaman bakau. Pantai Ringgung merupakan pantai yang baik untuk ditanami bakau. Pantai tersebut merupakan pantai yang memiliki sifat seperti air tenang/ombak tidak besar, air payau, mengandung endapan lumpur, lereng endapan tidak lebih dari 0,25 persen sampai 0,50 persen sehingga baik untuk ditanami bakau. Kegiatan penentuan lokasi penanaman lebih kepada kegiatan yang memutuskan lokasi-lokasi mana yang harus direhabilitasi. Berdasarkan hasil penjajakan, lokasi yang dapat direhab berkisar pada pinggir laut, pinggir sungai, ditanggul atau ditengah tambak dan saluran-saluran air ke tambak. Untuk kasus di Desa Sidodadi, lokasi penanaman ditentukan pada kawasan pinggir laut dan daerah sekitar tambak yakni tepatnya di daerah Pantai Ringgung. Dalam dua kegiatan tersebut memerlukan pemahaman mengenai kondisi wilayah yang baik sehingga membutuhkan partisipasi anggota PAPELING yang mengenal betul wilayah tersebut. Pada kegiatan pembuatan bumbung pelindung tanaman merupakan kegiatan merakit bambu-bambu atau kayu membentuk sebuah pagar kecil yang

120 mengitari bibit-bibit bakau selama proses persemaian. Kegiatan ini dilakukan agar bibit-bibit bakau terlindungi dari gangguan dari hewan yang dapat mengganggu proses persemaian dan faktor kemampuan tumbuh tanaman. Gangguan dari hewan seperti adanya ketam/kepiting yang menyerang tanaman bakau hingga umur satu tahun. Ketam/kepiting menyerang tanaman bakau dengan cara mengigit batang anakan bakau secara melingkar sehingga suplai makanan terputus. Selanjutnya adanya kambing yang suka memakan tanaman yang telah berdaun sampai ke pangkal daun. Akibatnya tanaman tidak dapat menghasilkan daun kembali dan mati. Gangguan yang lain juga datang dari adanya hama yang dikenal dengan nama scale insect dan kutu lompat (Meal Bug) yang dapat mengakibatkan daun tanaman bakau menjadi kuning, rontok dan akhirnya mati (lihat Gambar 4). Gambar 4. Bumbung Pelindung Tanaman yang Melindungi Bibit-Bibit Bakau PAPELING, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun 2005.

121 Pada kegiatan pembuatan gubuk kerja dilakukan dengan membuat sebuah bangunan yang terbuat dari bahan bambu atau rotan. Atap atau naungan bangunan dapat menggunakan daun nipah atau alang-alang dengan ketinggian antara satu sampai dua meter. Ukuran dan luas gubuk yang akan dibangun disesuaikan dengan keperluan penggunaan bangunan. Gubuk kerja tersebut digunakan dalam proses penseleksian buah bakau dan juga pada proses pengisian polyback dengan tanah dan buah bakau. Dalam melakukan kegiatan tersebut diperlukan kemampuan dan keterampilan fisik yang baik (lihat Gambar 5). Gambar 5. Gubuk Kerja PAPELING yang Sedang Tidak Digunakan Untuk Kegiatan Pembibitan, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Kegiatan pembuatan ajir dan tugal dilakukan untuk membantu proses penanaman. Ajir dibuat dari sebilah kayu yang dipotong kecil dengan bagian bawahnya yang runcing. Cara penanaman dengan ajir yakni dengan mengikatkan bakau ke ajir. Ajir berfungsi untuk menyanggah tanaman bakau saat akan

122 ditanam. Penanaman dengan menggunakan ajir dilakukan jika menanam tanaman bakau dalam bentuk buah bakau langsung bukan dengan bibit bakau yang terlebih dahulu disemaikan. Sedangkan tugal merupakan tongkat dari bahan kayu atau bambu yang ujungnya di buat runcing. Tugal berfungsi untuk melubangi tanah yang akan ditanami bakau. Penggunaan tugal ini agar kedalaman tanah yang dilobangi sesuai dengan ukuran bibit bakau. Hal ini penting agar bakau mendapatkan ruang agar sehingga dapat tumbuh dengan baik. Kegiatan pembibitan yang berkisar pada kegiatan mencari tanah, mencari buah bakau, menseleksi buah bakau, mengisi polyback, menyiapkan polyback, dan mengatur polyback pada tempat persemaian. Untuk pekerjaan mencari buah bakau merupakan pekerjaan yang cukup sulit untuk dilakukan. Dalam pekerjaan ini memerlukan pemahaman yang baik mengenai wilayah pantai yang banyak terdapat hutan bakau sehingga dapat dengan mudah memperoleh buah bakau. Tak jarang pencarian buah bakau harus dilakukan didaerah pinggiran laut sehingga harus menggunakan perahu. Buah-buah bakau yang telah dikumpulkan akhirnya ditampung sementara ditempat yang telah disediakan. Tempat penampungan buah bakau harus dilengkapi dengan naungan agar buah bakau tidak langsung terkena sinar matahari yang dapat mengakibatkan buah menjadi kering sehingga tidak dapat disemaikan (lihat Gambar 6).

123 Gambar 6. Kegiatan Penampungan Buah Bakau yang Telah Dikumpulkan Oleh Anggota PAPELING, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Kegiatan pencarian buah ini, penting untuk diperhatikan buah yang dikumpulkan haruslah buah yang tua dan tidak terkena serangan hama penggerek. Buah bakau atau buah tumu biasanya dipetik dari pohon dengan memanjat atau menggunakan galah. Kedua buah ini apabila dipungut dari yang jatuh biasanya banyak yang sudah terkena serangan hama penggerek. Pohon bakau yang baik sebagai sumber buah berasal dari tegakan berumur sepuluh tahun keatas, sedangkan pohon tumu/prapat/bius dari tegakan berumur delapan sampai sepuluh tahun. Ciri-ciri buah bakau besar/bakau laki (Rhizospora mucronata) yang tua berwarna hijau tua atau kecoklatan dengan kotiledon (cincin) sudah memanjang. Buah bakau kecil/bakau bini (R. apiculata) yang tua berwarna hijau tua dengan kotiledon (cincin) sudah memanjang. Buah tumu/tanjang/bius (Bruguiera

124 gymnorrhiza) yang tua berwarna hijau tua. Selanjutnya, kegiatan menseleksi buah bakau merupakan kegiatan tahap lanjut dari pekerjaan mencari buah. Dalam proses penseleksian buah bakau diperlukan ketelitian dan kedisiplinan dalam mengerjakan pekerjaan tersebut. Buah-buah bakau yang telah dikumpulkan diseleksi kembali agar nantinya dapat dihasilkan bibit bakau yang benar-benar layak tumbuh. Kegiatan mencari tanah merupakan pekerjaan yang sedikit lebih ringan daripada kegiatan mencari buah bakau. Dalam pekerjaan ini cukup untuk mengumpulkan tanah yang bercampur dengan lumpur agar buah bakau dapat berkembang dengan baik. Pekerjaan menyiapkan dan mengisi polyback merupakan aktivitas memasukkan tanah yang telah tersedia serta buah bakau yang akan disemai kedalam polyback (lihat Gambar 7). Gambar 7. Kegiatan Menyiapkan dan Mengisi Polyback dengan Tanah dan Buah Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun 2005.

125 Kegiatan mengatur polyback merupakan aktivitas mengatur tata letak polyback yang akan diletakkan dalam bumbung pelindung tanaman yang sudah dibuat sebelumnya. Dalam aktivitas ini perlu untuk diperhatikan jarak antara satu bibit dengan bibit bakau yang lainnya. Agar dapat menghasilkan bibit dalam jumlah banyak, maka jarak antara satu bibit dengan bibit yang lainnya dibuat berdekatan sehingga pemakaian luasan bumbung pelindung tanaman lebih efisien (lihat Gambar 8). Gambar 8. Kegiatan Pengisian dan Pengaturan Polyback, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Proses persemaian buah bakau menjadi bibit diperlukan waktu kurang lebih empat sampai enam bulan tergantung dari jenis bakau yang disemai. Untuk bibit bakau atau tumu berumur sekitar tiga sampai empat bulan, bibit siap untuk ditanam di lapangan. Untuk bibit api-api atau prepat siap ditanam setelah berumur

126 lima sampai enam bulan. Selanjutnya lokasi persemaian terdapat pada tanah yang lapang dan datar. Lokasi persemaian juga dilakukan dekat dengan lokasi penanaman yakni didaerah pingiran Pantai Ringgung. Hal ini agar bibit bakau dapat terendam air pasang lebih kurang 20 kali per bulan (Lihat Gambar 9 dan 10). Namun lokasi persemaian juga terdapat di Dusun 1 Desa Sidodadi. Dusun 1 ini dijadikan lokasi persemaian karena jaraknya yang tidak terlalu jauh dari lokasi penanaman namun didusun ini bibit-bibit bakau yang disemaikan tidak dapat terendam air pasang. Untuk mengatasi hal tersebut, maka setiap harinya bibit-bibit bakau tersebut disiram dengan air yang dicampur sedikit garam (lihat Gambar 11 dan 12). Gambar 9. Lokasi Persemaian Bibit Bakau Berusia 1 Bulan di Pantai Ringgung yang Dekat dengan Lokasi Penanaman, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun 2007.

127 Gambar 10. Lokasi Persemaian Bibit Bakau Berusia 6 Bulan di Pantai Ringgung yang Dekat dengan Lokasi Penanaman. Sebagian Besar Bibit Lainnya Sudah Ditanam, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Gambar 11. Lokasi Persemaian Bibit Bakau Berusia 1 Bulan di Dusun 1 yang Jauh dari Lokasi Penanaman, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun 2006.

128 Gambar 12. Lokasi Persemaian Bibit Bakau Berusia 4 Bulan di Dusun 1 yang Jauh dari Lokasi Penanaman, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Kegiatan pengangkutan bibit merupakan kegiatan memindahkan bibit bakau dari tempat persemaian ke tempat penanaman. Dalam kegiatan ini, pemindahan tersebut menggunakan dua cara yakni pengangkutan dengan menggunakan kendaraan beroda empat dan juga pengangkutan dengan menggunakan tenaga manusia. Untuk penggunaan kendaraan beroda empat digunakan pada pengangkutan dari lokasi persemaian yang berada di Dusun satu menuju pantai di daerah ringgung (Lihat Gambar 13). Sedangkan pengangkutan dengan menggunakan tenaga manusia digunakan pada pengangkutan dari lokasi persemaian di daerah ringgung menuju pantai (lihat Gambar 14).

129 Gambar 13. Pengangkutan Bibit Bakau Menggunakan Kendaraan Beroda Empat dari Dusun 1 Menuju Lokasi Penanaman di Pantai Ringgung, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun Gambar 14. Pengangkutan Bibit Bakau Menggunakan Tenaga Manusia dari Daerah Ringgung Menuju Lokasi Penanaman di Pantai Ringgung, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun 2006.

130 Kegiatan penanaman merupakan aktivitas memasukkan bibit bakau yang telah disemai kedalam tanah yang sedikit bercampur dengan lumpur didaerah pinggiran pantai. Selanjutnya, pada kegiatan menentukan jarak tanam diperlukan tali pengatur jarak tanam yang dapat membentuk sebuah jalur-jalur sehingga tanaman akan tumbuh dengan jarak yang teratur. Tali ini dapat berupa tali tambang atau tali rafia yang sudah diberi tanda sesuai dengan ukuran jarak tanam yang telah ditentukan sebelumnya. Selanjutnya tali ini dapat digeser atau digerakan bersamaan dengan proses menanam dengan mengikuti arah yang telah ditentukan sebelumnya sambil melobangi lahan dan memasukkan bibit bakau. Jarak tanam tergantung lokasi dan tujuan penanaman. Penanaman di sekitar daerah ringgung merupakan tujuan untuk melindungi pantai dari abrasi dan untuk melindungi tanggul tambak sehingga jarak tanam adalah 1 x 1 meter (lihat Gambar 15). Khazali (2005) menyatakan bahwa pemeliharaan tanaman dapat dilakukan dengan penyiangan atau penebasan, penyulaman dan pengaturan jarak tanam. Penyiangan dilakukan sampai bibit bakau yang ditanam menjadi besar dan cukup kuat bersaing dengan tanaman lainnya yang tumbuh di sekitarnya. Selanjutnya penyulaman dilakukan bila ada tanaman yang mati. Pengaturan jarak tanam dilakukan untuk menghindari bibit bakau terserang dari ketam/kepiting, gangguan hewan lain dan juga aktivitas perekonomian manusia yang berhubungan dengan sumberdaya laut. Kegiatan pemeliharaan dalam konteks gerakan rehabilitasi hutan bakau di penelitian ini memberikan gambaran berbeda terhadap kegiatan pemeliharaan dalam rehabilitasi hutan bakau di Pantai Ringgung Desa Sidodadi. Kegiatan

131 pemeliharaan yang ada tidak secara spesifik melakukan kegiatan yang sengaja ditujukan untuk memeriksa kondisi tanaman bakau secara teratur. Bentuk kegiatan pemeliharaan merupakan pengawasan lebih kepada pemberian peringatan bagi orang-orang yang hendak merusak bakau. Anggota PAPELING dan warga Sidodadi yang bertempat tinggal dekat dengan lokasi rehabilitasi hutan bakau atau lokasi penanaman tanaman bakau akan dengan siaga memberi peringatan kepada orang-orang baik sengaja maupun tidak untuk tidak melakukan aktivitas-aktivitas yang dapat merusak kembali hutan bakau yang telah mereka rehabilitasi. Bentuk faktual yang dapat dilihat dari pengawasan ini ialah adanya plank-plank di sepanjang jalan akses menuju Pantai Ringgung yang berisikan pesan-pesan untuk tidak merusak hutan bakau dan lingkungan sekitar pantai. Gambar 15. Penanaman Bibit Bakau di Daerah Ringgung dengan Jarak Tanam 1 x 1 Meter, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan, Tahun 2006.

132 BAB VI KARAKTERISTIK ANGGOTA KELOMPOK MASYARAKAT PEDULI LINGKUNGAN (PAPELING) Bagian ini akan menggambarkan karakteristik anggota PAPELING dalam empat pokok bahasan. Bahasan pertaman akan menggambarkan karakteristik individu anggota PAPELING berdasarkan umur, jenis kelamin dan tingkat pendidikan. Selanjutkan, bahasan ke dua akan menggambarkan karakteristik anggota PAPELING beradasarkan demografis rumah tangga yang terbagi menjadi demografis rumah tangga dini dan demografis rumah tangga lanjut. Bahasan ke tiga pada bagian ini juga akan menggambarkan karakteristik anggota PAPELING berdasarkan tingkat ketergantungan pola nafkah terhadap sumberdaya laut. Pada bagian ini, akan diuraikan pola nafkah anggota PAPELING yang terbagi menjadi tiga kategori yakni pola nafkah yang sangat tergantung dengan sumberdaya laut, pola nafkah yang sedikit tergantung dengan sumberdaya laut dan yang terakhir adalah pola nafkah yang tidak tergantung dengan sumberdaya laut. Bahasan ke empat pada bagian ini akan menguraikan karakteristik anggota PAPELING beradasrkan teritorial tempat tinggal yang terbagi menjadi tiga kategori yakni kategori teritorial tempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi, kategori teritorial tempat tinggal dekat dengan lokasi rehabilitasi dan kategori tempat tinggal jauh dari lokasi rehabilitasi.

133 6.1 Karakteristik Individu Anggota PAPELING 1). Umur Umur anggota PAPELING terbagi menjadi umur produktif dan tidak produktif. Berdasarkan Tabel 17, anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam usia produktif sebanyak 85 persen. Sedangkan persentase anggota PAPELING laki-laki yang termasuk ke dalam usia produktif lebih sedikit daripada perempuan, yakni 83,3 persen. Adapun besarnya persentase anggota PAPELING laki-laki yang berumur tidak produktif adalah 16,7 persen. Persentase tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan persentase anggota PAPELING perempuan, yakni 3 persen. Untuk lebih jelas, dapat dilihat pada Tabel 17. Tabel 17. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Menurut Umur dan Jenis Kelamin, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Karakteristik Rumah Tangga Perempuan Laki-Laki Total Jumlah Persen Jumlah Persen (persen) Produktif (15-54 tahun) ,3 42 (84) Tidak Produktif (dibawah ,7 8 (16) dan diatas 54 tahun) Total (100) Jika dibandingkan persentase keseluruhan anggota PAPELING pada dua kelompok umur tersebut maka total persentase anggota PAPELING yang berumur produktif lebih banyak dibandingan persetase anggota PAPELING yang berumur tidak produktif. Walaupun demikian faktor umur tersebut tidak secara langsung menentukan pelaksanaan dan keberhasilan gerakan rehablitasi lokal hutan mangrove. Siapa saja boleh ikut dalam gerakan tersebut asalkan mereka mau bekerja dalam berbagai kegiatan yang ada, maka mereka dapat menjadi anggota PAPELING dan mengikuti kegiatan yang ada dalam gerakan tersebut. 2). Jenis Kelamin Jumlah anggota PAPELING secara keseluruhan adalah 50 orang, 30 orang diantaranya berjenis kelamin laki-laki dan 20 orang lainnya berjenis kelamin perempuan. Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang menentukan keikutsertaan seseorang dalam kegiatan-kegiatan yang ada dalam gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Selain itu, jenis kelamin juga ikut menentukan pembagian kerja dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam konteks gerakan tersebut. Untuk lebih jelas, dapat dilihat pada Tabel 18 dibawah ini : Tabel 18. Jumlah dan Persentase Sebaran Anggota PAPELING Berdasarkan Jenis Kelamin, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Jenis Kelamin Jumlah Persentase Perempuan Laki-Laki Total

134 3). Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan peserta program dikategorikan menjadi tamat SD, tidak Tamat SD, Tamat SLTP, tidak tamat SLTP, Tamat SLTA. Sebagian besar tingkat pendidikan anggota PAPELING berada pada tingkat tamat SD yakni 68 persen, dimana anggota perempuan yang berhasil menamatkan sekolahnya hingga SD sebanyak 70 persen. Sedangkan anggota laki-laki yang berhasil menamatkan sekolahnya hingga SD jauh lebih sedikit daripada perempuan yakni 66,7 persen. Selanjutnya, anggota PAPELING yang berhasil menamatkan sekolahnya hingga SLTP sebanyak 10 persen, dimana anggota perempuan yang berhasil menamatkan sekolahnya hingga SLTP sebanyak 5 persen. Sedangkan anggota laki-laki berhasil menamatkan sekolahnya hingga SLTP jauh lebih banyak daripada anggota perempuan yakni 13,3 persen. Rincian data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 19. Tabel 19. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Karakteristik Rumah Tangga Perempuan Laki-Laki Total Jumlah Persen Jumlah Persen (persen) SD 14 70% 20 66,7% 34 (68%) Tidak Tamat SD 3 15% 3 10% 6 (12%) SLTP 2 10% 3 10% 5 (10%) Tidak Tamat SLTP 1 5% (2%) Tamat SLTA ,3% 4 (8%) Total % % 50 (100%) Berdasarkan Tabel 19 terlihat bahwa sebagian besar anggota PAPELING memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Namun tingkat pendidikan tidak mempengaruhi keikutsertaan anggota PAPELING dalam kegiatan-kegiatan yang ada pada gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Mereka dapat mengikuti kegiatan tersebut tanpa mempertimbangkan tingkat pendidikan Karakteristik Anggota PAPELING Berdasarkan Tahapan Ekspansi Demografis Rumah Tangga Karakteristik anggota PAPELING juga diklasifikasikan berdasarkan tahapan ekspansi demografis rumah tangga. Terdapat dua klasifikasi berdasarkan hal tersebut. Pertama adalah klasifikasi rumah tangga dengan tahapan ekspansi demografis dini. Dalam klasifikasi ini, anggota PAPELING yang termasuk didalamnya adalah anggota yang dalam rumah tangganya memiliki anak pertama

135 yang berusia di bawah 10 tahun. Selanjutnya, klasifikasi yang kedua adalah klasifikasi rumah tangga dengan tahapan ekspansi demografis lanjut. Dalam klasifikasi ini, anggota PAPELING yang termasuk didalamnya adalah anggota yang memiliki anak pertama berusia di atas 10 tahun. Hal tersebut dilakukan untuk melihat tingkat karakteristik rumah tangga dalam kaitannya pada akses dan peran anggota PAPELING laki-laki dan perempuan dalam gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau di Desa Sidodadi. Lebih jauh lagi, klasifikasi ini dibuat berdasarkan asumsi dimana akses dan peran anggota perempuan yang termasuk ke dalam dari rumah tangga dengan tahapan ekspansi dini akan lebih kecil daripada anggota perempuan yang termasuk ke dalam rumah tangga dengan tahapan ekspansi demografis lanjut. Hal ini dikaitkan dengan adanya peran tradisional perempuan yang berkaitan dengan pengasuhan anak dalam rumah tangga mereka. Berdasarkan Tabel 20 menunjukkan bahwa jumlah anggota PAPELING yang termasuk ke dalam rumah tangga ekspansi lanjut lebih besar daripada jumlah anggota PAPELING yang termasuk ke dalam rumah tangga ekspansi dini. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Berdasarkan Tahapan Ekspansi Demografis dan Jenis Kelamin, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Karakteristik Rumah Tangga Perempuan Laki-Laki Total Jumlah Persen Jumlah Persen (persen) Dini (36) Lanjut (64) Total (100) Sumber: Data Primer Responden, Tabel 20 menunjukkan bahwa anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam rumah tangga ekspansi lanjut sebanyak 55 persen. Sedangkan

136 anggota PAPELING yang termasuk ke dalam rumah tangga ekspansi dini hanya 45 persen. Begitupula dengan dengan anggota PAPELING laki-laki. Anggota PAPELING laki-laki yang termasuk ke dalam rumah tanggga ekspansi lanjut sebanyak 70 persen. Sedangkan yang termasuk ke dalam rumah tangga ekspansi dini hanya sebanyak 30 persen Karakteristik Anggota PAPELING Berdasarkan Pola Nafkah Terhadap Sumberdaya Laut Karakteristik anggota PAPELING juga ditelaah berdasarkan pola nafkah anggota PAPELING terhadap sumberdaya laut. Dalam penelitian ini terdapat tiga klasifikasi pola nafkah. Pertama adalah pola nafkah yang sangat tergantung pada sumberdaya laut, kedua adalah pola nafkah sedikit tergantung dengan sumberdaya laut, dan yang ketiga adalah pola nafkah yang tidak tergantung dengan sumberdaya laut. Dasar dari pengkategorisasian ini berasal dari hasil temuan lapang yang memperlihatkan pola nafkah tertentu dalam sebuah rumah tangga. Sebagian besar rumah tangga di Desa Sidodadi memiliki lebih dari satu mata pencaharian. Hal ini mereka lakukan guna memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga agar memiliki kehidupan yang berkelanjutan. Sebagian besar rumah tangga anggota PAPELING di Desa Sidodadi memiliki lebih dari satu mata pencaharian. Mereka yang termasuk ke dalam pola nafkah sangat tergantung dengan sumberdaya laut adalah orang yang keseluruhan mata pencahariannya berkaitan dan sangat bergantung dengan sumberdaya laut, contohnya nelayan, pembudidaya ikan dan pembudidaya bakau. Selanjutnya, mereka yang termasuk kedalam pola nafkah yang sedikit tergantung dengan sumberdaya laut adalah orang yang sebagian mata pencaharian yang ia miliki

137 berkaitan dengan laut dan bergantung dengan sumberdaya laut sedangkan, sebagian mata pencaharian yang lainnya tidak berkaitan dan bergantung dengan sumberdaya laut. Sedangkan mereka yang termasuk ke dalam pola nafkah tidak tergantung dengan sumberdaya laut adalah orang keseluruhan mata pencahariannya tidak berkaitan dan bergantung dengan sumberdaya laut, contohnya petani sawah, petani kebun, guru, dan buruh bangunan. Mata pencaharian sebagai nelayan dapat dimasukkan ke dalam mata pencaharian tergantung dengan sumberdaya laut, karena mata pencaharian tersebut melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi yang bersumber pada kekayaan laut. Selain itu, mata pencaharian sebagai wiraswasta juga dimasukkan dalam klasifikasi mata pencaharian yang tergantung pada sumberdaya laut. Karena, dalam penelitian ini mata pencaharian wiraswasta diartikan sebagai mata pencaharian yang memproduksi, mendistribusikan barang dagangan dalam skala usaha dan modal yang besar dengan mengandalkan sumberdaya laut yang dapat dibudidayakan seperti ikan, teripang, rumput laut, bakau, dll. Kegiatan-kegiatan ekonomi yang dapat dimasukkan ke dalam klasifikasi mata pencaharian yang tergantung dengan sumberdaya laut seperti menangkap ikan, budidaya ikan kerapu, budidaya teripang, budidaya rumput laut, penangkaran bakau, mencari kiong, mencari rajungan (kepiting), tambak udang, pengrajin bagan, pengrajin jaring, pengrajin perahu atau sampan, pedagang makanan dan minuman di pinggir pantai, penyewaan pondok peristirahatan di pantai, dll. Mata pencaharian di luar pemaparan di atas merupakan mata pencaharian yang tidak tergantung dengan sumberdaya laut. Namun, yang perlu untuk digarisbawahi disini adalah adanya mata pencaharian sebagai buruh upahan yang

138 dilakukan oleh perempuan yang bekerja untuk membibitkan bakau. Dalam konteks tersebut, mata pencaharian itu termasuk ke dalam mata pencaharian yang tergantung dengan sumberdaya laut. Sehingga, perlu pendefinisian lebih jauh mengenai mata pencaharian buruh upahan. Mata pencaharian sebagai buruh upahan adalah mereka yang bekerja menjual tenaga mereka untuk mengerjakan segala jenis pekerjaan dan mendapatkan upah yang dibayarkan dalam bentuk uang. Segala jenis pekerjaan yang diupahkan menentukan pekerjaan buruh itu sendiri, seperti contohnya buruh nelayan, buruh pembibitan bakau, buruh tani, buruh bangunan, ataupun buruh jasa. Buruh nelayan dan buruh pembibitan bakau termasuk kedalam jenis mata pencaharian yang tergantung dengan sumberdaya laut. Mata pencaharian sebagai nelayan sebagian besar anggota PAPELING adalah sebagai buruh nelayan. Hal ini sedikit berbeda dengan komunitas nelayan di desa-desa lain. Pekerjaan tersebut mereka lakukan karena keterbatasan alat untuk menangkap ikan seperti (jaring, perahu motor, sampan, dayung, dll), sehingga mereka menjual tenaga mereka kepada orang yang memiliki alat-alat tersebut. Umumnya, orang yang bermatapencaharian sebagai nelayan memiliki alat-alat tersebut. Mata pencaharian sebagai buruh nelayan dianggap sama dengan mata pencaharian nelayan karena nelayan dan buruh nelayan berkemungkinan besar ikut melakukan kegiatan penangkapan ikan secara bersama-sama. Buruh nelayan yang menjual tenaganya sebagian besar menerima upahnya bukan dalam bentuk uang tetapi ikan hasil tangkapan. Mata pencaharian sebagai pedagang secara umum merupakan mata pencaharian yang tidak berkaitan dengan sumberdaya alam. Namun, dalam

139 penelitian ini mata pencaharian tersebut perlu didefinisikan lebih jauh karena berkaitan dengan kepentingan penelitian. Mata pencaharian sebagai pedagang dapat dikatakan sebagai mata pencaharian yang tergantung dengan sumberdaya laut jika mata pencaharian tersebut menjual barang dagangan atau berlokasi di tempat yang mengandalkan atau memanfaatkan sumberdaya laut. Pedagang makanan dan minuman yang berjualan di daerah pantai dapat dikatakan sebagai orang yang memiliki mata pencaharian yang tergantung dengan sumberdaya laut. Karena mata pencaharian tersebut mengandalkan atau memanfaatkan keindahan dan pesona yang melekat di pantai tersebut, mereka mengharapkan barang dagangan terjual dengan adanya kunjungan dari wisatawan di pantai tersebut. Selanjutnya, pedagang hiasan rumah dan aksesoris yang terbuat dari kiong juga dapat dikatakan sebagai orang yang memiliki mata pencaharian yang tergantung dengan sumberdaya laut karena barang dagangan dan lokasi tempat ia berjualan mengandalkan keindahan dan pesona pantai. Merujuk pada Tabel 21, terlihat bahwa sebagian besar anggota PAPELING merupakan orang yang memiliki mata pencaharian yang berkaitan dengan laut. Sedangkan mereka yang bermatapencaharian tidak berkaitan dengan laut berada dalam jumlah dan persentase yang kecil. Sebanyak 42 persen anggota PAPELING merupakan orang yang memiliki mata pencaharian sedikit tergantung dengan sumberdaya laut. Namun, sebagian besar anggota PAPELING laki-lakinya merupakan orang yang memiliki mata pencaharian yang sangat tergantung dengan sumberdaya laut yakni sebesar 43,33 persen. Sedangkan sebanyak 45 persen anggota PAPELING perempuan merupakan orang yang memiliki

140 matapencaharian sedikit tergantung dengan sumberdaya laut. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Berdasarkan Pola Nafkah Terhadap Sumberdaya Laut dan Jenis Kelamin, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Mata pencaharian Perempuan Laki-laki Total (persen) Jumlah Persen Jumlah Persen Sangat Tergantung ,33 20 (40) Sumberdaya Laut Tidak Tergantung ,66 9 (18) Sumberdaya Laut Sedikit Tergantung (42) Sumberdaya Laut Total (100) 6.4. Karakteristik Anggota PAPELING Berdasarkan Teritorial Tempat Tinggal dengan Lokasi Rehabilitasi Penelitian ini juga melihat akses anggota PAPELING dengan membagi klasifikasi berdasarkan jarak tempat tinggal dengan lokasi rehabilitasi. Hal ini dilakukan agar dapat membantu menjelaskan peran laki-laki dan perempuan yang sebenarnya dalam gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Dalam penelitian ini terdapat tiga klasifikasi jarak tempat tinggal anggota PAPELING dengan lokasi rehabilitasi. Pertama adalah klasifikasi tempat tinggal anggota PAPELING sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi. Anggota PAPELING termasuk ke dalam klasifikasi ini adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah Pantai Ringgung. Pantai Ringgung merupakan daerah lokasi rehabilitasi sehingga anggota PAPELING yang juga bertempat tinggal di daerah tersebut termasuk ke dalam klasifikasi bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi. Selanjutnya, klasifikasi yang kedua adalah klasifikasi tempat tinggal anggota PAPELING dekat dengan lokasi rehabilitasi. Anggota PAPELING termasuk ke dalam

141 klasifikasi ini adalah mereka yang bertempat tinggal di dusun satu. Sedangkan klasifikasi yang ketiga adalah klasifikasi tempat tinggal yang jauh dari lokasi rehabilitasi anggota PAPELING termasuk kedalam klasifikasi ini adalah mereka yang bertempat tinggal di dusun dua dan tiga. Berdasarkan Tabel 22 menunjukkan bahwa jumlah anggota PAPELING yang bertempat tinggal jauh dari lokasi rehabilitasi lebih banyak daripada anggota PAPELING yang bertempat tinggal dekat dengan lokasi rehabilitasi. Sebanyak 60 persen anggota PAPELING perempuan bertempat tinggal jauh dari lokasi rehabilitasi, sedangkan 40 persen lainnya bertempat tinggal dekat dengan lokasi rehabilitasi. Hal ini berbeda dengan komposisi pada anggota PAPELING lakilaki, dimana anggota laki-laki baik yang bertempat tinggal jauh maupun dekat dengan lokasi rehabilitasi memiliki persentase yang sama yakni sebesar 50 persen. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dengan Lokasi Rehabilitasi dan Jenis Kelamin, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Mata pencaharian Perempuan Laki-laki Total (persen) Jumlah Persen Jumlah Persen Sangat Dekat ,33 25 (50) Dekat ,33 17 (34) Jauh ,33 8 (16) Total (100)

142 BAB VII ANALISIS GENDER DALAM GERAKAN REHABILITASI LOKAL HUTAN MANGROVE (BAKAU) Pada bagian ini, akan dibahas mengenai akses terhadap pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau dan kontrol terhadap pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Bahasan mengenai akses dan kontrol terhadap pelaksanaan gerakan tersebut dilihat berdasarkan faktor internal (demografis rumah tangga, pola nafkah, teritorial tempat tinggal. Selanjutnya, bagian ini juga akan membahas mengenai akses terhadap manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau dan kontrol terhadap manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Bahasan mengenai akses dan kontrol terhadap manfaat gerakan tersebut dilihat berdasarkan faktor internal (demografis rumah tangga, pola nafkah, teritorial tempat tinggal). Bagian ini juga akan membahas mengenai faktor eksternal (kondisi ekonomi, pendidikan dan sosial budaya) merupakan faktor pendukung yang ikut mempengaruhi akses dan kontrol terhadap pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Pada akhir bagian, bahasan ditutup dengan membahas dampak gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau terhadap kondisi perempuan di tingkat lokal. Dalam bahasan ini akan diulas, perubahan apa saja yang menyakut kondisi perempuan sesudah berlangsungnya gerakan rehabilitasi tersebut. Selain itu juga akan diulas sampai sejauh mana gerakan tersebut mampu memberdayakan perempuan di tingkat lokal.

143 7.1. Akses dan Kontrol Anggota PAPELING dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Akses Anggota PAPELING dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau diakses oleh anggota PAPELING secara berbeda. Sebagian besar anggota PAPELING mengakses kegiatan yang termasuk ke dalam kategori kegiatan penanaman dan pemeliharaan. Kegiatan tersebut diantaranya adalah mengangkut bibit bakau yang diakses sebesar 80 persen anggota PAPELING dan kegiatan menanam bibit bakau yang diakses sebesar 68 persen anggota PAPELING. Sedangkan kegiatan yang termasuk ke dalam kategori kegiatan pembangunan instalasi rehabilitasi seperti membuat bumbung pelindung dan membuat ajir dan tugal diakses sebesar 52 persen anggota PAPELING. Sedangkan kegiatan yang termasuk ke dalam kategori kegiatan persiapan dan perencanaan rehabilitasi seperti menentukan lokasi penanaman diakses sebesar 14 persen anggota PAPELING, dan kegiatan menentukan jarak tanam diakses sebesar 6 persen anggota PAPELING. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 23.

144 Tabel 23. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Berdasarkan Kegiatan Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Kegiatan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Total (50) Persentase (%) 1. Pemahaman kondisi wilayah 16 (32) 2. Menentukan lokasi penanaman 7 (14) 3. Membuat bumbung pelindung 26 (52) 4. Membuat gubuk kerja 18 (36) 5. Membuat ajir dan tugal 26 (52) 6. Mencari tanah 23 (46) 7. Mencari buah bakau 18 (36) 8. Menseleksi buah bakau 20 (40) 9. Mengisi polyback 20 (40) 10. Menyiapkan polyback 20 (40) 11. Mengatur polyback 20 (40) 12. Mengangkut bibit bakau 34 (68) 13. Menanam bibit bakau 40 (80) 14. Menentukan jarak tanam 3 (6) 15. Memelihara 24 (48) Kegiatan yang termasuk ke dalam kategori persiapan perencanaan rehabilitasi merupakan kegiatan yang pada dasarnya memerlukan kemampuan dan keterampilan tertentu. Kegiatan tersebut menuntut adanya kemampuan pemahaman yang baik akan wilayah yang luas bagi anggota PAPELING sehingga, dapat menentukan keberhasilan kegiatan rehabilitasi tersebut. Akses anggota PAPELING terhadap kegiatan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan akses terhadap kegiatan lainnya. Kegiatan tersebut diakses hanya sekitar 6-32 persen saja anggota PAPELING. Keadaan seperti itu menunjukkan adanya gejala keterbatasan sumberdaya manusia yang terampil dalam struktur organisasi gerakan (baca : PAPELING) rehabilitasi tersebut. Kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan instalasi rehabilitasi dan kegiatan yang berkaitan dengan penanaman dan pemeliharaan merupakan kegiatan yang tidak menuntut adanya kemampuan atau keahlian khusus, karena

145 pada umumnya setiap anggota PAPELING dapat melakukan kegiatan tersebut. Sedangkan kegiatan pembibitan merupakan kegiatan yang membutuhkan keuletan dan ketekunan dalam mengerjakannya. Kegiatan tersebut diakses oleh anggota PAPELING lebih kecil daripada kegiatan lainnya. Kegiatan tersebut diakses oleh anggota PAPELING hanya berkisar persen saja. Pelaksanaan ke empat kelompok kegiatan tersebut pada kenyataannya tidak keseluruhan dilakukan oleh anggota PAPELING laki-laki dan perempuan. Terdapat pembagian kerja secara budaya di antara anggota PAPELING laki-laki dan perempuan. Kegiatan pembibitan seperti menseleksi buah bakau, mengisi polyback, menyiapkan polyback, dan mengatur polyback merupakan kegiatan yang hanya dilakukan oleh perempuan saja. Sedangkan kegiatan persiapan perencanaan pelestarian hutan bakau, pembangunan instalasi hanya dilakukan oleh laki-laki saja. Selanjutnya, kegiatan pembibitan seperti mencari tanah dan kegiatan penanaman dan pemeliharaan seperti menentukan jarak tanam juga dilakukan hanya oleh laki-laki. Namun, kegiatan mencari buah bakau, pengangkutan, penanaman dan pemeliharaan merupakan kegiatan yang dilakukan secara bersamaan baik oleh perempuan maupun laki-laki. Keterangan lebih lengkap dapat di lihat pada Tabel 24.

146 Tabel 24. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Berdasarkan Jenis Kelamin dan Akses dalam Kegiatan Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Kegiatan Gerakan Rehabilitasi Lokal Akses (%) Total Hutan Bakau Laki-Laki Perempuan (%) 1. Pemahaman kondisi wilayah 16 (100) - 16 (100) 2. Menentukan lokasi penanaman 7 (100) - 7 (100) 3. Membuat bumbung pelindung 26 (100) - 26 (100) 4. Membuat gubuk kerja 18 (100) - 18 (100) 5. Membuat ajir dan tugal 26 (100) - 26 (100) 6. Mencari tanah 23 (100) - 23 (100) 7. Mencari buah bakau 10 (55,5) 8 (44,4) 18 (100) 8. Menseleksi buah bakau - 20 (100) 20 (100) 9. Mengisi polyback - 20 (100) 20 (100) 10. Menyiapkan polyback - 20 (100) 20 (100) 11. Mengatur polyback - 20 (100) 20 (100) 12. Mengangkut bibit bakau 20 (58,8) 14 (41,4) 34 (100) 13. Menanam bibit bakau 23 (57,5) 17 (42,5) 40 (100) 14. Menentukan jarak tanam 3 (100) - 3 (100) 15. Memelihara 17 (68) 8 (32) 25 (100) Perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan gerakan terlihat dari pembagian kerja secara sosial budaya pada ranah publik di tingkat lokal. Hal tersebut diperkuat dengan adanya pembagian wilayah garapan dalam kegiatan yang terdapat dalam gerakan rehabilitasi ini. Kegiatan-kegiatan yang menyangkut pemahaman wilayah agronomis yang lebih luas lebih dikuasai secara dominan oleh anggota laki-laki daripada anggota perempuan. Hal ini terlihat dari tingginya akses anggota laki-laki pada kegiatan persiapan perencanaan rehabilitasi. Sedangkan anggota perempuan justru hanya menguasai pemahaman wilayah agronomis yang lebih sempit. Hal ini ditunjukkan dengan pembagian wilayah garapan pekerjaan yang hanya berpusat pada kegiatan pembibitan saja.

147 Kontrol Anggota PAPELING dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Kontrol dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau terlihat dari beberapa kegiatan yang dapat ditentukan baik oleh anggota PAPELING lakilaki maupun oleh anggota PAPELING perempuan. Kegiatan pemahaman kondisi wilayah dan kegiatan menentukan lokasi penanaman merupakan kegiatan yang termasuk ke dalam kegiatan perencanaan dan persiapan rehabilitasi. Kegiatan tersebut dikontrol sepenuhnya oleh anggota laki-laki. Selanjutnya, kegiatan menentukan jarak tanaman dan pemeliharaan merupakan kegiatan yang termasuk ke dalam kegiatan penanaman dan pemeliharaan. Kegiatan tersebut dikontrol baik oleh anggota laki-laki maupun anggota perempuan. Namun anggota perempuan hanya memiliki kontrol atas kegiatan pemeliharaan. Besarnya kontrol yang dimiliki oleh anggota PAPELING terlihat pada Tabel 25. Tabel 25. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Berdasarkan Jenis Kelamin dan Kontrol dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Kegiatan Gerakan Rehabilitasi Lokal Kontrol Hutan Bakau Laki-Laki Perempuan Total (%) 1. Pemahaman kondisi wilayah 16 (100%) - 16 (100%) 2. Menentukan lokasi penanaman 7 (100%) - 7 (100%) 3. Menentukan jarak tanam 3 (100%) - 3 (100%) 4. Memelihara 16 (66,66%) 8 (33,33%) 24 (100%) Kegiatan pemahaman kondisi wilayah merupakan kegiatan yang mengandung banyak pertimbangan-pertimbangan mengenai kondisi wilayah. Di dalam kegiatan tersebut terdapat aktivitas-aktivitas dalam memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan kondisi wilayah agronomis Pantai Ringgung sebagai lokasi rehabilitasi hutan bakau. Sedangkan kegiatan menentukan lokasi merupakan

148 kegiatan yang berkaitan dengan memutuskan tempat-tempat mana saja yang perlu untuk segera di rehabilitasi. Kegiatan menentukan jarak tanam merupakan kegiatan menentukan berapa jarak antar tanaman yang akan ditanam sehingga akan memberikan ruang tumbuh yang baik bagi tanaman tersebut. Sedangkan kegiatan pemeliharaan merupakan kegiatan pengawasan terhadap lingkungan lokasi rehabilitasi termasuk tanaman bakau yang telah ditanam. Dalam kegiatan tersebut, terdapat aktivitas pengamatan yang menentukan atau memutuskan kondisi lingkungan apakah masih dalam keadaan baik atau sudah perlu penanganan lebih lanjut karena menujukkan tanda-tanda kerusakan Akses dan Kontrol Anggota PAPELING dalam Manfaat Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Akses Anggota PAPELING dalam Manfaat Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Keterlibatan pada pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau memberikan beberapa manfaat. Manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau diantaranya adalah jaringan kerja, kelestarian lingkungan, uang, bersosialisasi dan pengetahuan bibit bakau. Diantara manfaat tersebut, anggota PAPELING laki-laki dan anggota PAPELING perempuan mengakses manfaat tersebut secara berbeda. Anggota PAPELING laki-laki dapat mengakses keseluruhan manfaat yang diberikan oleh gerakan tersebut. Namun, jaringan kerja tidak dapat diakses oleh anggota PAPELING perempuan. Manfaat yang langsung dirasakan dengan adanya gerakan rehabilitasi tersebut ialah meningkatnya penghasilan anggota kelompok baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan secara khusus diantara mereka menjadikan pembibitan bakau ini sebagai matapencaharian barunya dengan skala besar. Membuka usaha baru

149 dengan melakukan pembibitan tanaman bakau merupakan menifestasi dari adanya jaringan kerja yang mereka peroleh selama aktif terlibat dalam gerakan tersebut. Hal tersebut telah menciptakan lapangan pekerjaan bagi mereka anggota PAPELING yang lainnya. Selain itu, manfaat lain yang dapat mereka rasakan adalah kelestarian lingkungan hidup yang menciptakan rasa aman karena terlindungi dari ancaman bencana alam seperti sunami. Kelestarian lingkungan hidup ini juga memberikan jaminan keberlangsungan kehidupan mereka secara berkelanjutan mengingat ketergantungan mereka terhadap sumberdaya laut. Hal ini senada dengan ungkapan salah seorang anggota PAPELING dibawah ini:...dengan adanya rehabilitasi pantai ini, diharapkan tidak ada lagi pembukaan lahan baru untuk tambak...kita juga yang tinggal dan bergantung ditempat ini akan merasa aman.... (Pernyataan Bpk Rsy, dari Dusun 1, Didokumentasikan Bulan Juli, tahun 2007). Manfaat gerakan rehabilitasi hutan bakau lainnya diantaranya adalah anggota PAPELING dapat saling bersosialisasi dan bersilaturahmi. Sebagian besar manfaat ini dirasakan dan diungkapkan oleh perempuan yang bekerja sebagai buruh upahan pada pembibitan bakau seperti ungkapan dibawah ini:...daripada diem aja dirumah gak ada kerjaan, mending ikut kerja pembibitan... yah lumayan lah buat tambah-tambah uang dapur...kan sekalian bisa sambil kumpul ma tetangga...ngobrol sama temen.... (Pernyataan Ibu Tjh, dari Dusun 2, Didokumentasikan Bulan Agustus, tahun 2007). Anggota PAPELING lainnya juga merasakan adanya peningkatan pengetahuan mengenai lingkungan mereka terutama mengenai tanaman bakau. Dengan meningkatnya pengetahuan mereka tentang tanaman bakau, mereka pun

150 menjadi semakin sadar pentingnya menjaga kelestarian pantai mereka. Manfaat ini dirasakan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Namun, peningkatan pengetahuan yang dirasakan perempuan masih terbatas pengetahuan mengenai tanaman bakau dalam skala yang sempit. Mereka mengetahui seluk beluk tanaman bakau dari aspek teknis dan praktis saja. Hal ini terungkap dari pernyataan salah seorang anggota PAPELING perempuan yang bekerja di pembibitan bakau berikut ini....ternyata bibit bakau itu banyak jenisnya...warnanya juga macem-macem...bentuknya kayak kacang panjang gitu... saya baru tau kayak gitu setelah ikut pembibitan ini.... (Pernyataan Ibu Khr, dari Dusun 1, Didokumentasikan Bulan Agustus, tahun 2007). Peningkatan pengetahuan yang dirasakan oleh laki-laki tidak hanya sekitar hal-hal teknis dan praktis yang berkaitan dengan tanaman bakau saja, melainkan aspek sosial strategis dari tanaman bakau tersebut. Beberapa laki-laki yang dekat dengan actor gerakan ini yang sering melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai wilayah Indonesia sebagai media studi banding. Mereka merasakan banyak menerima manfaat dengan keikutsertaanya dalam kelompok PAPELING sekaligus juga dengan adanya gerakan rehabilitasi yang memfasilitasi mereka dalam mengembangkan jaringan kerja ke berbagai wilayah lain Indonesia. Hal ini senada dengan penuturan beberapa anggota PAPELING laki-laki yang telah disarikan dari beberapa wawancara seperti dibawah ini:...manfaatnya ya banyak sekali,,,bisa tau jawa, bisa punya temen di pemalang, pernah ketemu menteri, kenal sama deputi, punya kawan di pulao nias.... (Anonim, sebagian besar anggota PAPELING laki-laki Didokumentasikan Bulan Juli, tahun 2007).

151 Kontrol Anggota PAPELING dalam Manfaat Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Pada dasarnya gambaran kontrol anggota PAPELING atas manfaat gerakan rehabilitasi hutan bakau tidak jauh berbeda dengan akses mereka atas manfaat gerakan tersebut. Sebagian besar anggota PAPELING baik laki-laki maupun perempuan memiliki kontrol atas manfaat yang mereka rasakan. Namun, terdapat sedikit perbedaan mengenai rentang kontrol yang dimiliki oleh anggota PAPELING jika ditelaah berdasarkan demografis rumah tangga, pola nafkah dan teritorial tempat tinggal. Hal ini juga terjadi baik pada anggota PAPELING lakilaki maupun anggota perempuan. Kontrol terhadap manfaat jaringan kerja terlihat dari kemampuan anggota PAPELING dalam memutuskan untuk menggunakan atau tidak menggunakan jaringan kerja salah satu contohnya dengan membuka usaha baru di bidang pembibitan tanaman bakau. Kontrol terhadap manfaat kelestarian lingkungan dan bersosialisasi terlihat dari keputusan yang mereka ambil untuk tetap terus terlibat dalam berbagai gerakan yang mempertahankan kelestarian lingkungan, salah satu contohnya dengan tetap menjadi anggota PAPELING. Kontrol terhadap manfaat uang terlihat dari keputusan yang mereka untuk menggunakan uang tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kontrol terhadap manfaat yang pengetahuan mengenai bibit bakau terlihat dari kemampuan mereka memutuskan untuk menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari, salah satu contohnya dengan bekerja sebagai buruh upahan di tempat pembibitan bakau.

152 7.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akses dan Kontrol Anggota PAPELING dalam Pelaksanaan dan Manfaat Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Faktor Internal terhadap Akses dan kontrol Anggota PAPELING dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Hubungan Karakteristik Demografis Rumah dengan Akses dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Akses anggota PAPELING perempuan dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi hutan bakau ini dipengaruhi oleh karakteristik rumah tangga dimana mereka berasal. Karakteristik rumah tangga tahap dini merupakan rumah tangga yang memiliki anak pertama berusia di bawah 10 tahun. Sedangkan karakteristik rumah tangga tahapan lanjut merupakan rumah tangga yang memiliki anak pertama di atas 10 tahun. Kepemilikan anak dengan batasan umur 10 tahun merupakan titik ukur dimana, perempuan masih melakukan kegiatan reproduktif yang tinggi yang berkaitan dengan pengasuhan anak. Sehingga mereka akan kurang berperan maskimal terhadap kegiatan-kegiatan produktif, sosial ataupun kegiatan produktif dan sosial. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak selalu anggota perempuan yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga dini memiliki akses yang lebih kecil daripada perempuan yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga lanjut. Karakteristik rumah tangga dalam penelitian ini tidak begitu terlihat pengaruhnya karena, adanya faktor jarak yang juga ikut mempengaruhi akses anggota PAPELING perempuan. Anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi memiliki tingkat akses yang tinggi dari pada anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal dekat dan jauh dari lokasi rehabilitasi. Hal tersebut berlaku juga pada anggota

153 PAPELING perempuan yang memiliki karakteristik rumah tangga pada tahap lanjut. Namun, anggota PAPELING perempuan yang memiliki anak pertama berusia di atas 10 tahun juga ada yang berada pada kategori akses yang rendah. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Jarak dan Demografis Rumah Tangga dengan Akses dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Demografis Rumah Tangga Akses Dini Lanjut SD (%) D (%) J (%) SD (%) D (%) J (%) Tinggi (100) 2 (100) 2 (100) 4 (100) 3 (60) 1 (50) Sedang (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 2 (40) 1 (50) Total 5(100) 2 (100) 2 (100) 4 (100) 5 (100) 2 (100) Ket : SD = Sangat Dekat (tempat tinggal satu lokasi dengan lokasi rehabilitasi, ex. daerah Ringgung) D = Dekat (tempat tinggal berdekatan dengan lokasi rehabilitasi, ex. daerah dusun 1) J = Jauh (tempat tinggal jauh dengan lokasi rehabilitasi, ex. daerah dusun 2 dan dusun 3) Berdasarkan Tabel 26, terlihat bahwa akses anggota PAPELING perempuan yang memiliki anak pertama berusia di bawah 10 tahun lebih tinggi daripada akses anggota PAPELING perempuan yang memiliki anak pertama berusia di atas 10 tahun karena jarak tempat tinggal mereka dengan lokasi rehabilitasi. Kepemilikan anak yang berusia di bawah sepuluh tahun bukanlah menjadi alasan bagi mereka untuk tidak dapat ikut melakukan kegiatan atau aktivitas di luar rumah tangga. Hal ini disebabkan karena kedekatan tempat tinggal mereka dengan lokasi rehabilitasi yang berada dalam satu dusun. Mereka yang tinggal di daerah ringgung yang merupakan lokasi rehabilitasi dapat dengan mudah melakukan kegiatan pembibitan tanpa meninggalkan kegiatan-kegiatan lain yang bersifat kerumahtanggaan. Hal ini juga berlaku dengan mereka yang tinggal di dusun satu serta dusun dua dan tiga hanya saja tingkat akses yang

154 mereka miliki jauh lebih kecil daripada akses yang dimiliki oleh anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal di daerah ringgung. Dalam konteks tersebut, perempuan masih dapat mengelola waktu kerja reproduktifnya diantara kegiatan yang bersifat produktif dan sosial mereka. Pola pembagian kerja yang ditunjukkan dengan kondisi tersebut adanya gejala beban kerja ganda yang dipikul oleh anggota PAPELING perempuan. Hal ini tidak hanya terjadi pada anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam kategori rumah tangga dini saja, tetapi juga pada kategori rumah tangga lanjut. Selain mengerjakan kegiatan produktif dan sosial dalam bentuk pembibitan, mereka juga tidak dapat meninggalkan begitu saja kegiatan-kegiatan reproduktif yang sudah mengikat mereka. Beberapa kegiatan reproduktif yang melekat dengan tanggung jawab perempuan adalah pekerjaan yang berkaitan dengan pengasuhan anak dan perawatan rumah tangga. Sedangkan anggota rumah tangga lainnya ikut juga mengerjakan pekerjaan reproduktif lainnya, tetapi hanya dalam konteks membantu saja. Berikut dibawah ini adalah jenis pekerjaan reproduktif dalam rumah tangga anggota PAPELING perempuan yang masuk ke dalam kategori rumah tangga dini dan lanjut.

155 Tabel 27. Jenis-Jenis Kegiatan Reproduktif yang Dilakukan Oleh Perempuan dan Laki-Laki dalam Rumah Tangga Anggota PAPELING, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Kegiatan Reproduktif Pelakunya Perempuan Laki-laki Merawat anak Mencuci pakaian Mencuci piring Menyetrika pakaian Memasak Menyiapkan makanan Merawat pekarangan rumah Membersihkan rumah Menjahit Memperbaiki perkakas dan bagian rumah yang rusak Berdasarkan Tabel 28 diatas terlihat adanya pemusatan kegiatan-kegiatan yang hanya dilakukan oleh perempuan saja dan juga dilakukan oleh laki-laki saja. Hal tersebut terjadi akibat adanya pembagian kerja secara budaya yang dikonstruksikan secara sosial terus-menerus sehingga melekat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Sidodadi. Sehingga dalam konteks apapun, perempuan dituntut untuk terlebih dahulu menyelesaikan pekerjaan kerumahtangga, baru kemudian diperkenankan untuk melakukan kegiatankegiatan yang lainnya diluar kegiatan yang bersifat kerumahtanggaan. Hal ini senada dengan apa yang dituturkan oleh dua orang anggota PAPELING perempuan berikut dibawah ini:...saya sih gak apa-apa ikut kerja ini-itu, trus ikut kegiatan iniitu yang penting kerjaan rumah udah diselesain duluan.... (Pernyataan Ibu Jnn, Dari Ringgung, Didokumentasikan Bulan Juli, Tahun 2007)....Suami saya juga ngizinin kok kalo saya mau ngikutin kegiatan di desa mau kayak mana aja, tapi yah jangan sampe ninggalin kerjaan rumah.... (Pernyataan Ibu Ngd, Dari dusun 1, Didokumentasikan Bulan Juli, Tahun 2007).

156 Pernyataan dua orang anggota PAPELING perempuan diatas menegaskan adanya kesepakatan-kesepakatan tidak tertulis yang dijalankan sehingga membuat pembagian kerja seperti itu akan tetap terus berlangsung. Konteks beban kerja ganda yang dialami oleh anggota PAPELING perempuan terlihat dari ketiadaannya orang-orang yang menggantikan tugas-tugas kerumahtanggan tersebut. Hal ini senada dengan penuturan oleh dua orang anggota PAPELING perempuan berikut ini :...Biarpun saya kerja-kerja kayak pembibitan begini mbak..., tetep aja kerjaan rumah juga saya yang ngerjain....(pernyataan Ibu Sph, Dari dusun 1, Didokumentasikan Bulan Agustus, Tahun 2007)....Waktu ngerjain pembibitan itu capek banget...dari pagi sampai sore...udah gitu kerjanya sambil duduk dan membungkuk...pinggang dan bokong saya pada pegel semua rasanya mau patah...tiap hari kayak gitu terus mbak.... (Pernyataan Ibu Shy, Dari Ringgung, Didokumentasikan Bulan Agustus, Tahun 2007). Keterlibatan anggota PAPELING laki-laki dalam pelaksanan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau tidak dipengaruhi oleh karakteristik rumah tangga dimana mereka berasal. Kepemilikan anak dengan batasan usia 10 tahun tidak mempengaruhi akses mereka dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Merujuk pada Tabel 27, kegiatan yang berkaitan dengan pengasuhan anak dan perawatan rumah tangga sepenuhnya merupakan tanggung jawab perempuan. Dalam konteks ini laki-laki hanya sekedar ikut membantu, sehingga hal tersebut tidak mempengaruhi besar atau kecilnya akses yang mereka miliki dalam gerakan rehabilitasi hutan bakau. Beberapa kegiatan yang terdapat pada gerakan rehabilitasi yang berkaitan juga tidak ada yang dipengaruhi oleh kepemilikan anak yang nantinya akan

157 menghambat ruang gerak laki-laki dalam mengakses kegiatan-kegiatan yang ada di gerakan tersebut. Tabel 28. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Jarak dan Demografis Rumah Tangga dengan Akses dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Akses Demografis Rumah Tangga Dini (%) Lanjut (%) Tinggi (77,77) 16 (76,19) Rendah (22,22) 5 (23,80) Total 9 (100) 21 (100) Selain motif ekonomi, keterlibatan anggota PAPELING laki-laki juga lebih didorong dengan adanya kesadaran lingkungan. Sebagian besar kesadaran lingkungan ini berasal dari anggota PAPELING laki-laki yang termasuk ke dalam kategori rumah tangga lanjut. Mereka yang termasuk kedalam kategori rumah tangga lanjut memiliki pengalaman hidup di Desa Sidodadi yang jauh lebih lama daripada anggota PAPELING laki-laki yang termasuk ke dalam rumah tangga dini. Sehingga mereka lebih memiliki kesadaran yang lebih tinggi terhadap kelangsungan hidup mereka yang bergantung terhadap sumberdaya laut. Hal ini senada dengan penuturan dua orang anggota PAPELING laki-laki yang termasuk kedalam kategori rumah tangga lanjut dibawah ini...kalo pantai dan bakau itu gak dijaga dari sekarang, trus gimana nasib anak cucu kita nanti? (dengan mimik muka penuh tanda tanya).... (Pernyataan Bpk Lnd, Dari Ringgung, Didokumentasikan Bulan Juni, Tahun 2007)....Bakau-bakau banyak yang ditebangin untuk buka tambak, padahal manfaatnya banyak sekali! Selain untuk melindungi dari sunami, bakau dan pantai ringgung ini sumber penghasilan orangorang sidodadi dalem sini.... (Pernyataan Bpk Utg, Dari Ringgung, Didokumentasikan Bulan Juni, Tahun 2007).

158 Tabel 26 dan 28 menunjukkan adanya perbedaan akses dalam gerakan antara angggota PAPELING perempuan dan anggota PAPELING laki-laki berdasarkan demografis rumah tangga. Bagi anggota PAPELING perempuan, kepemilikian anak pertama berusia di bawah atau di atas 10 tahun berhubungan dengan akses mereka terhadap gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Namun hubungan yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa anggota PAPELING perempuan yang memiliki anak pertama di bawah 10 tahun justru memiliki akses yang lebih tinggi daripada anggota PAPELING perempuan yang memiliki anak pertama berusia di atas 10 tahun. Hal ini disebabkan karena seluruh anggota PAPELING perempuan yang memiliki anak pertama berusia di bawah 10 tahun dan terlibat dalam pelaksanaan gerakan tersebut bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi. Sehingga hal tersebut memberikan gambaran bahwa hubungan antara demografis rumah tangga dengan akses anggota PAPELING perempuan dalam gerakan berhubungan secara tidak signifikan karena adanya faktor jarak tempat tinggal dengan lokasi rehabilitasi.. Bagi anggota PAPELING laki-laki, di mana besar kecilnya akses yang ia miliki dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau tidak berhubungan dengan demografis rumah tangga. Hal ini terkait dengan pelaksanaan peran reproduktif dalam konteks pengasuhan anak yang bukan menjadi kewajiban kerja laki-laki. Namun, bagi anggota PAPELING perempuan, kepemilikan anak pertama di bawah atau di atas 10 tahun yang sangat terkait dengan pelaksanaan peran reproduktif berhubungan sangat signifikan dengan jarak tempat tinggal. Bagi anggota PAPELING perempuan jarak jauh atau dekat dari tempat tinggal dengan lokasi rehabilitasi memiliki makna yang terkait dengan

159 peran reproduktifnya terhadap pengasuhan anak. Di mana, semakin jauh jarak antar tempat tinggal dengan lokasi rehabilitasi, semakin sulit anggota PAPELING perempuan menyelesaikan tugas pengasuhan anak sehingga berdampak pada akses yang rendah dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi tersebut Hubungan Pola Nafkah dengan Akses dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Keterlibatan anggota PAPELING perempuan tidak hanya dipengaruhi oleh karakterstik demografis rumah tangga dan adanya jarak antara teritorial tempat tinggal dengan lokasi rehabilitasi hutan bakau. Namun keterlibatan tersebut juga dipengaruhi oleh faktor ketergantungan nafkah terhadap sumberdaya laut. Mereka yang memiliki mata pencaharian yang berkaitan dengan sumberdaya alam akan lebih akses pada kegiatan rehabilitasi daripada mereka yang memiliki mata pencaharian yang tidak berkaitan dengan sumberdaya laut. Hal tersebut terlihat jelas pada Tabel 29. Tabel 29. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Ketergantungan Pola Nafkah dengan Akses dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Akses Pola Nafkah Sangat Tergantung (%) Sedikit Tergantung (%) Tidak Tergantung (%) Tinggi (100) 1 (11,11) 0 (0) Rendah 1-7 0(0) 8(88,88) 4(100) Total 7 (100) 9 (100) 4 (100) Tabel 29 menunjukkan bahwa besar atau kecilnya akses yang dimiliki oleh anggota PAPELING perempuan terhadap pelaksanaan pelestarian dipengaruhi oleh tingkat ketergantungan nafkah mereka terhadap sumberdaya laut. Semakin mereka tergantung dengan sumberdaya laut, maka akses mereka terhadap kegiatan

160 pelestarian tersebut semakin besar. Hal ini berkaitan juga dengan motivasi dari keterlibatan anggota PAPELING perempuan yang melihat bahwa kelestarian lingkungan daerah pantai merupakan aset penting dalam menyelamatakan hidup mereka juga. Keikutsertaan anggota PAPELING perempuan juga dipicu dengan adanya kesadaran dari diri mereka akan kelestarian lingkungan hidup mereka. Mereka merasa penting untuk melestarikan hutan bakau karena sebagian besar penghidupan mereka tergantung dengan sumberdaya laut. Selain itu juga, mereka akan merasa lebih aman jika lingkungan mereka terpelihara dengan baik. Hal tersebut senada dengan penuturan dibawah ini :...Kalo hutan bakau hancur tempat tinggal kita ini gak ada yang ngelindungin...kita-kita yang hidupnya dari laut kan juga jadinya gak ngerasa aman kerja deket laut lagi.... (Pernyataan Ibu Jnb, Dari Ringgung, Didokumentasikan Bulan Juni, Tahun 2007). Kesadaran akan pelestarian lingkungan hidup disekitar daerah Pantai Ringgung yang mereka bangun juga pada dasarnya tidak lepas dari motif ekonomi yang mereka lakukan. Namun, umumnya motif ekonomi yang melekat pada pemikiran mereka (baca: anggota PAPELING perempuan) masih berkaitan dengan pemaknaan mereka terhadap definisi kerja yang terbangun diantara mereka melalui proses panjang sosialisasi yang melekat pada kehidupan mereka. Mereka menganggap bahwa pekerjaan-pekerjaan kerumah tanggaan yang mereka lakukan bukanlah sebuah pekerjaaan. Mereka menganggap pekerjaan yang dapat menghasilkan uang barulah disebut sebagai pekerjaan. Beban kerja ganda yang dirasakan oleh anggota PAPELING perempuan, belum cukup membuktikan bahwasanya mereka memiliki andil dalam proses penciptaan pekerjaan yang menghasilkan uang. Mereka menganggap pekerjaan-

161 pekerjaan domestik yang mereka lakukan hanyalah pekerjaan yang tidak mengisi waktu yang masih mereka miliki. Sehingga, mereka memutuskan untuk ikut bekerja di pembibitan. Hal tersebut ditegaskan lewat penuturan dua orang anggota PAPELING perempuan dibawah ini:...daripada gak ada kerjaan dirumah, kan enak bisa kumpul rame-rame bareng teman-teman jadi gak diem melulu di rumah...lagian kan dapet uang juga.... (Pernyataan Ibu Khr, Dari Dusun 1, Didokumentasikan Bulan Juli, Tahun 2007)....Ikut pembibitan yah karena dapet upah...kan lumayan buat tambah-tambah beli minyak, garam, gula buat isi dapur...itungitung kan bantuin suami cari uang.... (Pernyataan Ibu Sr, Dari Ringgung, Didokumentasikan Bulan Agustus, Tahun 2007). Ketergantungan terhadap sumberdaya laut juga pada dasarnya mempengaruhi tingkat akses anggota PAPELING laki-laki untuk berperan serta dalam kegiatan yang terangkum dalam gerakan rehabilitasi tersebut. Semakin tinggi tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya laut, maka akan semakin tinggi pula akses mereka terhadap kegiatan-kegiatan tersebut. Hal tersebut terlihat pada Tabel 30 dibawah ini : Tabel 30. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Ketergantungan Pola Nafkah dengan Akses dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Akses Pola Nafkah Sangat Tergantung (%) Sedikit Tergantung (%) Tidak Tergantung (%) Tinggi (76,92) 2 (16,66) 0 (0) Rendah (23,07) 10 (83,33) 5(100) Total 13 (100) 12 (100) 5 (100)

162 Hasil lain dari penelitian ini menunjukkan bahwa keterlibatan anggota PAPELING laki-laki juga dipengaruhi oleh kehadiran Pak Hrs bukan hanya sebagai tokoh masyarakat, tetapi juga actor dari gerakan rehabilitasi tersebut. Hadirnya Pak Hrs sebagai seorang tokoh yang sangat dihormati dan dihargai di daerah tersebut, telah membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin mengakses kegiatan-kegiatan rehabilitasi. Namun, mereka yang memanfaatkan kesempatan tersebut bermatapencaharian sebagai petani dan buruh upahan 4. Umumnya mereka yang bermatapencaharian sebagai petani dan buruh upahan lebih melihat dari sisi aspek ekonomi yang dapat mereka dapatkan dengan mengikuti kegiatan-kegiatan dalam gerakan rehabilitasi terebut. Jejaring komunikasi yang dibangun oleh actor sebagian besar bertalian dengan orang-orang yang tidak mengandalkan ekonominya kepada sumberdaya laut. Sehingga hal inilah yang menyebabkan adanya akses yang signifikan pada sejumlah orang yang tidak menggantungkan nafkahnya terhadap sumberdaya laut. Tabel 29 dan 30 menunjukkan bahwa akses anggota PAPELING laki-laki lebih tinggi daripada akses anggota PAPELING perempuan dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Hal tersebut terlihat dari besarnya tingkat akses dan banyaknya jumlah anggota pada semua kategori ketergantungan nafkah terhadap sumberdaya laut yang didominasi oleh anggota PAPELING laki-laki. Hal tersebut disebabkan oleh definisi kerja yang berlaku diantara laki-laki dan perempuan yang melatarbelakangi keterlibatan mereka pada pelaksanaan gerakan tersebut. Bagi perempuan, keterlibatan mereka dalam pelaksanaan gerakan tersebut selain dilatarbelakangi oleh motif ekonomi, namun juga lebih 4 Buruh upahan dalam adalah mereka yang bekerja menjual tenaga mereka untuk mengerjakan segala jenis pekerjaan dan mendapatkan upah yang dibayarkan dalam bentuk uang.

163 dilatarbelakangi oleh pemaknaan mereka mengenai sebuah pekerjaan. Mereka mengangggap bahwa pekerjaan yang selama ini mereka lakukan di rumah tangga belum dapat dikatakan sebagai pekerjaan atau belum dapat dinilai telah bekerja, karena pekerjaan tersebut tidak mendatangkan penghasilan dalam bentuk uang. sayangnya, pemaknaan tersebut juga terjadi tidak hanya oleh perempuan namun juga laki-laki sehingga konteks pemaknaan terhadap definisi kerja tersebut tetap berlangsung hingga saat ini. Sehingga keterlibatan perempuan dalam pelaksanaan gerakan tersebut lebih kepada motivasi akan pengakuan dari masyarakat (laki-laki dan perempuan) terhadap apa yang ia lakukan adalah sebagai sebuah pekerjaan yang menghasilkan pendapatan dalam bentuk uang. Secara lebih sederhana dapat dikatakan bahwa mereka menginginkan adanya pengakuan bahwa mereka pun (baca : perempuan) telah bekerja. Ketergantungan pola nafkah terhadap sumberdaya laut memiliki pemaknaan yang berbeda dalam hubungan keterlibatan dalam pelaksanaan gerakan bagi anggota PAPELING perempuan dan anggota PAPELING laki-laki. Bagi anggota PAPELING laki-laki kelestarian hutan bakau menjadi sangat signfikan karena sebagian besar pola nafkah yang mereka lakukan membutuhkan kelestarian hutan bakau. Bekerja sebagai nelayan, membudidaya ikan di keramba, membuka tambak, dan mencari kiong merupakan salah satu pekerjaan yang dilakukan oleh anggota PAPELING laki-laki yang bersentuhan dengan bakau secara langsung. Sehingga, kelestarian hutan bakau menjamin keberlangsungan nafkah mereka. Konteks seperti inilah yang menyebabakan akses anggota PAPELING laki-laki lebih tinggi daripada akses anggota PAPELING perempuan dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Karena, kelestarian

164 hutan bakau memberikan jaminan secara langsung bagi keberlangsungan nafkah mereka. Sementara itu, meskipun anggota PAPELING perempuan memiliki pola nafkah yang sangat tergantung dengan sumberdaya laut, tetap saja akses mereka lebih rendah dari pada akses anggoa PAPELING laki-laki yang juga memiliki pola nafkah yang sangat bergantung dengan sumberdaya laut. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pekerjaan perempuan yang sangat tergantung dengan sumberdaya laut tidak berkaitan secara langsung dengan kelestarian hutan bakau. Mereka yang sangat bergantung dengan sumberdaya laut hanya memanfaatkan faktor keindahan dari Pantai Ringgung dengan membuka warung yang menjual makanan dan minuman bagi pengunjung. Kemudian, sebagian besar dari anggota PAPELING perempuan yang sedikit bergantung dengan sumberdaya laut bekerja sebagai buruh upahan dalam pembibitan bakau. Konteks buruh upahan dalam pembibitan bakau ini tidak serta merta merupakan bentuk ketergantungan terhadap kelestarian bakau, karena seperti telah dijelaskan di depan bahwa buruh upahan dalam penelitian ini bisa saja bekerja pada segala jenis pekerjaan. Konteks ketidaktergantungan pola nafkah anggota PAPELING perempuan terhadap kelestarian bakau tersebut yang menjadikan akses mereka tidak sebesar akses anggota PAPELING laki-laki Hubungan Teritorial Tempat Tinggal dengan Akses dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Akses anggota PAPELING dalam kegiatan dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi hutan bakau juga secara mandiri dipengaruhi oleh teritorial tempat tinggal mereka. Seperti telah digambarkan pada penjelasan demografis rumah

165 tangga, dalam penelitian ini teritorial tempat tinggal terbagi menjadi tiga kategori. kategori yang pertama adalah sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi hutan bakau, yang kedua adalah kategori dekat dengan lokasi rehabilitasi hutan bakau dan yang ketiga adalah kategori jauh dari lokasi rehabilitasi hutan bakau. Konteks keterhubungan tersebut berkaitan dengan pengelolaan waktu yang dibutuhkan oleh anggota PAPELING perempuan dalam menyelesaikan dua tugas sekaligus yakni tugas pengasuhan anak dan tugas pencarian nafkah. Mereka yang memiliki jarak tempat tinggal yang sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi memiliki persediaan waktu yang cukup banyak untuk melakukan kedua tugas tersebut. Sehingga tidak terlalu membebani mereka dalam berkegiatan mencari nafkah dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi. Konteks seperti ini yang melatarbelakangi besaran akses anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi. Sehingga Berdasarkan Tabel 31, terlihat bahwa teritorial tempat tinggal dengan lokasi rehabilitasi berhubungan dengan tingkat akses anggota PAPELING perempuan dalam pelaksanaan gerakan tersebut. Tabel 31. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Jarak Tempat Tinggal dengan Akses dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Akses Teritorial Tempat Tinggal Sangat Dekat (%) Dekat (%) Jauh (%) Tinggi (88,88) 0 (0) 0 (0) Rendah (11,11) 7 (100) 4 (100) Total 9 (100) 7 (100) 4 (100) Ket : SD = sangat dekat (tempat tinggal satu lokasi dengan lokasi rehabilitasi, ex. daerah Ringgung) D = dekat (tempat tinggal berdekatan dengan lokasi rehabilitasi, ex. daerah dusun 1) J = Jauh (tempat tinggal jauh dengan lokasi rehabilitasi, ex. daerah dusun 2 dan dusun 3)

166 Tabel 31 menunjukkan kecenderungan semakin dekat jarak tempat tinggal dengan lokasi rehabilitasi, semakin tinggi akses mereka terhadap pelaksanaan gerakan rehabilitasi. Secara faktual hal tersebut terlihat dari 88,88 persen anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi memiliki akses yang tinggi. Sedangkan 11,11 persen sisanya memiliki akses yang rendah. Hal tersebut juga terlihat pada kategori teritorial tempat tinggal yang dekat dengan lokasi rehabilitasi dan jauh dari lokasi rehabilitasi, dimana seluruh anggota PAPELING perempuan berada pada kategori akses yang justru rendah. Tabel 32 menujukkan akses anggota PAPELING laki-laki tersebar dalam beberapa kategori akses. Sebanyak 68,75 persen anggota PAPELING laki-laki yang bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi memiliki akses yang tinggi terhadap pelaksanaan gerakan rehabilitasi tersebut. Sedangkan sisanya yakni 31,25 persen memiliki akses yang rendah. Hal ini juga terjadi pada kategori teritorial tempat tinggal yang dekat dengan lokasi rehabilitasi, di mana 90 persen dari anggota PAPELING laki-laki memiliki akses yang tinggi. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 32. Tabel 32. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Teritorial Tempat Tinggal dengan Akses dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Akses Teritorial Tempat Tinggal Sangat Dekat (%) Dekat (%) Jauh (%) Tinggi (68,75) 9 (90) 0 (0) Rendah (31,25) 1 (10) 4 (100) Total 16 (100) 10 (100) 4 (100) Ket : SD = sangat dekat (tempat tinggal satu lokasi dengan lokasi rehabilitasi, ex. daerah Ringgung) D = dekat (tempat tinggal berdekatan dengan lokasi rehabilitasi, ex. daerah dusun 1) J = Jauh (tempat tinggal jauh dengan lokasi rehabilitasi, ex. daerah dusun 2 dan dusun 3)

167 Tabel 32 di atas menujukkan bahwa akses anggota PAPELING laki-laki dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau tidak dipengaruhi oleh teritorial tempat tinggal dengan lokasi rehabilitasi. Hal ini terlihat dari data akses pada tabel di atas yang tidak menyebar normal, data tersebut berpusat pada kategori akses tinggi yang terjadi pada kategori tempat tinggal sangat dekat dan dekat dengan lokasi rehabilitasi. Sehingga terlihat bahwa teritorial tempat tinggal anggota PAPELING laki-laki dengan lokasi rehabilitasi tidak berhubungan dengan akses mereka dalam pelaksanaan gerakan tersebut. Keberadaan anggota PAPLING laki-laki yang bertempat tinggal dekat dari lokasi rehabilitasi dan yang bertempat tinggal jauh dari lokasi rehabilitasi pada tingkat akses rendah pada dasarnya tidak lepas dari intervensi Pak Hrs. Pak Hrs sendiri termasuk kedalam klasifikasi dekat dengan lokasi rehabilitasi, yang merupakan klasifikasi teritorial tempat tinggal yang strategis untuk menjangkau orang-orang yang bertempat tinggal dekat dengan lokasi rehabilitasi dan orangorang yang bertempat tinggal jauh dari lokasi rehabilitasi. Jejaring komunikasi yang beliau miliki pun lebih kuat pada orang-orang yang bertempat tinggal sama dengan dirinya. Sehingga hal inilah yang mendasari adanya keterlibatan anggota PAPELING laki-laki dalam porsi yang cukup signifikan untuk mengisi akses pada tingkat sedang dan rendah. Analisis terhadap Tabel 31 dan Tabel 32 menunjukkan bahwa keterlibatan anggota PAPELING baik laki-laki maupun perempuan dipengaruhi secara signifikan oleh teritorial tempat tinggal dengan lokasi rehabilitasi. Namun, konteks pengaruh tersebut dirasakan berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi. Bagi perempuan jarak teritorial tersebut

168 sangat berkaitan dengan ruang gerak mereka dalam menyelesaikan dua tugas sekaligus yakni tugas kerumahtanggaan dan tugas pencarian nafkah. Dalam konteks jarak teritorial yang jauh akan menyulitkan perempuan mengatur waktu yang tepat dalam menyelesaikan ke dua tugas tersebut. Hal ini terutama terjadi pada perempuan yang termasuk dalam kategori rumah tangga dini dan bertempat tinggal jauh dari lokasi rehabilitasi. Oleh karena itu, akses perempuan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan perempuan yang termasuk kategori dini dan betempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi. Konteks penyelesaian tugas-tugas kerumah tangga termasuk tugas perawatan dan pengasuhan anggota rumah tangga merupakan tanggung jawab yang dibebankan pada perempuan adalah salah satu bentuk pemaknaan terhadap definisi jarak, baik jauh ataupun dekat. Bagi anggota PAPELING laki-laki sebenarnya teritorial tempat tinggal dengan lokasi rehabilitasi tidak terlalu berpengaruh secara signifikan. Hal ini ditunjukkan dengan masih ada anggota PAPELING yang bertempat tinggal jauh dari lokasi rehabilitasi yang ikut terlibat dalam pelaksanaan gerakan meskipun dalam jumlah yang lebih sedikit. Namun, keterlibatan anggota PAPELING lakilaki yang bertempat tinggal jauh dari lokasi rehabilitasi ini berada dalam kategori akses rendah. Dalam konteks pemaknaan jarak teritorial jauh ataupun dekat dengan lokasi rehabilitasi bagi anggota PAPELING laki-laki tidak berkaitan dengan penyelesaian tugas-tugas kerumahtanggaan. Mereka hanya menganggap jarak dekat atau jauh hanya berdasarkan dari hitungan tenaga yang harus dikeluarkan dalam konteks menempuh lokasi rehabilitasi. Hal inilah yang melatarbelakangi besarnya akses anggota PAPELING laki-laki daripada akses

169 anggota PAPELING perempuan dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Di mana, laki-laki lebih memiliki ruang gerak yang relatif fleksibel dalam mengakses berbagai aktivitas atau kegiatan dalam gerakan tersebut. Berdasarkan pemaparan-pemaparan dimuka, terdapat beberapa kesimpulan yang dapat ditarik mengenai hubungan faktor internal dengan akses terhadap pelaksanaaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Akses anggota PAPELING perempuan dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau dipengaruhi oleh beberapa faktor internal. Anggota PAPELING perempuan ternyata dipengaruhi oleh karakteristik demografis rumah tangga yang berkaitan dengan jarak antara tempat tinggal dengan lokasi rehabilitasi. Tidak hanya itu saja, besar atau kecilnya akses mereka juga dipengaruhi oleh ketergantungan pola nafkah terhadap sumberdaya laut. Hal ini terlihat dari gradasi data akses yang mengarah pada kecenderungan dilakukan lebih besar oleh anggota PAPELING perempuan yang memiliki tingkat ketergantungan pola nafkah terhadap sumberdaya laut yang sangat tinggi. Selanjutnya, ketergantungan pola nafkah inilah yang menyulut adanya kesadaran lingkungan sehingga memberikan ruang akses untuk terlibat dalam gerakan rehabilitasi tersebut. Adapun motivasi yang melatarbelakangi keterlibatan anggota PAPELING perempuan adalah motif ekonomi yang berkaitan dengan pemaknaan mereka terhadap definisi kerja. Secara mandiri faktor teritorial tempat tingggal juga ikut mempengaruhi akses anggota PAPELING perempuan dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi. Hal ini terlihat pada Tabel 31, di mana anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi memiliki porsi akses yang lebih besar dari pada anggota PAPELING yang

170 bertempat tinggal dekat dan jauh dari lokasi rehabilitasi. Hal tersebut menunjukkan adanya kecenderungan akses yang lebih besar dimiliki oleh anggota PAPELING perempuan yang memiliki jarak teritorial tempat tinggal dengan lokasi rehabilitasi yang relatif pendek. Kesimpulan lain yang berkaitan dengan keterlibatan anggota PAPELING laki-laki dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi hutan bakau dipengaruhi oleh beberapa hal. Hal tersebut antara lain yakni adanya motif ekonomi yang bermula pada ketergantungan nafkah terhadap sumberdaya laut. Namun motif ekonomi ini ternyata diikuti juga dengan adanya kesadaran akan kelestarian lingkungan yang mendukung mereka untuk mendapatkan kehidupan berkelanjutan. Selanjutnya, akses anggota PAPELING laki-laki juga dipengaruhi oleh ketokohan yang ditampilkan oleh Pak Hrs. Jejaring komunikasi yang ia miliki terbangun dengan orang-orang yang sebagian besar tidak menggantungkan nafkahnya pada sumberdaya laut. Sehingga memberikan kesempatan pada orang-orang yang tidak tergantung dengan sumberdaya laut untuk dapat akses dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi. Hal tersebut juga terjadi pada hubungan antara jarak teritorial tempat tinggal dengan akses dalam pelaksanaan gerakan rehabilitsi hutan bakau, di mana kehadiran Pak Hrs sebagai actor mempengaruhi keterlibatan beberapa anggota PAPELING yang bertempat tinggal tidak satu dusun dengan lokasi rehabilitasi. Jejaring komunikasi yang beliau miliki juga mengitari orang-orang yang bertempat tinggal di dusun satu, dua, dan tiga yang dalam penelitian masuk ke dalam kategori dekat dan jauh dari lokasi rehabilitasi. Hal ini menjadi wajar karena beliau sendiri merupakan orang yang termasuk kedalam kategori bertempat

171 tinggal dekat dengan lokasi rehabilitasi. Sehingga hal inilah yang mendasari adanya keterlibatan anggota PAPELING laki-laki dalam porsi yang cukup signifikan untuk mengisi akses pada kategori rendah. Karakteristik demografis rumah tangga pada akhirnya tidak mempengaruhi besar-kecilnya akses anggota PAPLEING laki-laki terhadap pelaksanaan gerakan rehabilitasi. Secara faktual hal tersebut terlihat pada Tabel 28 yang memperlihatkan data akses yang tidak menyebar normal. Semua data akses berpusat pada kategori demografis rumah tangga lanjut. Hal ini juga dipengaruhi oleh pembagian kerja secara budaya, dimana peran-peran reproduktif seperti pengasuhan anak tidak diwajibkan untuk dilakukan oleh laki-laki. Sehingga kepemilikan anak baik di bawah atau di atas 10 tahun tidak mempengaruhi ruang gerak laki-laki untuk mengakses kegiatan pelaksanaan gerakan rehabilitasi tersebut. Sedangkan faktor internal yang paling mempengaruhi akses anggota PAPELING laki-laki terhadap pelaksanaan gerakan adalah ketergantungan pola nafkah. Sedangkan faktor internal seperti teritorial tempat tinggal mempengaruhi juga akses terhadap pelaksanaan gerakan anggota laki-laki namun tidak berhubungan secara signifikan Hubungan Demografis Rumah Tangga dengan Kontrol dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Sama halnya dengan akses dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi, kontrol dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi juga ditelaah berdasarkan karakteristik demografis rumah tangga. Namun telaah kontrol terhadap pelaksanaan gerakan rehabilitasi yang didasarkan pada karakteristik tersebut kurang terlihat hubungannya. Meskipun telah dimasukkan jarak teritorial tempat tinggal dengan

172 lokasi rehabilitsi dalam analisis tersebut, juga tidak memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan. Hal ini terlihat dari data yang tidak menyebar normal. Di mana, seluruh data tersebut berpusat pada kategori kontrol yang rendah. Baik anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam kategori rumah tangga dini dan lanjut serta masuk dalam kategori bertempat tinggal sangat dekat, dekat dan jauh dengan lokasi rehabilitasi sama-sama memiliki kontrol yang rendah terhadap pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 33. Tabel 33. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Jarak dan Demografis Rumah Tangga dengan Kontrol dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Demografis Rumah Tangga Kontrol Dini Lanjut SD (%) D (%) J (%) SD (%) D (%) J (%) Tinggi (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0) (0) 0 (0) Sedang (100) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 3 (100) 0 (0) Total 5 (100) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 3 (100) 0 (0) Ket : SD = Sangat Dekat (tempat tinggal satu lokasi dengan lokasi rehabilitasi, ex. daerah Ringgung) D = Dekat (tempat tinggal berdekatan dengan lokasi rehabilitasi, ex. daerah dusun 1) J = Jauh (tempat tinggal jauh dengan lokasi rehabilitasi, ex. daerah dusun 2 dan dusun 3) Tabel 33 diatas menujukkan bahwa karakteristik demografis rumah tangga yang telah dikaitkan dengan jarak teritorial tempat tinggal dengan lokasi rehabilitasi tidak mempengaruhi akses anggota PAPELING perempuan dalam hubungan yang signifikan. Namun, konteks karakteristik demografis rumah tangga yang dikaitkan dengan jarak teritorial tempat tinggal dengan lokasi rehabilitasi memberikan perbedaan terhadap sebaran kontrol anggota PAPELING perempuan. Perbedaan kontrol tersebut terjadi pada anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga dini dan

173 bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi dengan anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga lanjut. Di mana, porsi kontrol pada kategori kontrol rendah yang diisi lebih banyak oleh anggota PAPELING yang bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi. Kontrol anggota PAPELING laki-laki dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi terlihat dari data kontrol Tabel 34. Berdasarkan tabel tersebut terlihat bahwa 85,71 persen anggota PAPELING laki-laki yang termasuk ke dalam demografis rumah tangga dini memiliki kontrol yang tinggi. Sedangkan sisanya yakni sebanyak 14,28 persen memiliki kontrol yang rendah. Sebagian besar anggota PAPELING laki-laki yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga lanjut yakni sebanyak 66,66 persen berada pada kategori kontrol tinggi. Sedangkan sisanya berada pada kategori kontrol rendah. Data kontrol selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 34. Tabel 34. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Demografis Rumah Tangga dengan Kontrol dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Kontrol Demografis Rumah Tangga Dini (%) Lanjut (%) Tinggi (85,71) 6 (66,66) Rendah (14,28) 3 (33,33) Total 7 (100) 9 (100) Tabel 34 menunjukkan demografis rumah tangga tidak mempengaruhi kontrol anggota PAPELING laki-laki dalam gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Hal ini ditunjukkan dengan berpusatnya data kontrol pada kategori kontrol tinggi. Hal ini terjadi baik pada anggota PAPELING laki-laki yang termasuk ke

174 dalam demografis rumah tangga dini maupun demografis rumah tangga lanjut. Sehingga kepemilikan anak pertama berusia di bawah atau di atas sepuluh tahun tetap saja kontrol mereka berada pada kategori tinggi. Analisis terhadap Tabel 33 dan Tabel 44 menunjukkan bahwa kontrol anggota PAPELING perempuan lebih rendah daripada kontrol anggota PAPELING laki-laki. Hal ini terjadi karena rentang kontrol yang dimiliki oleh mereka tidak terlepas dari rentang akses mereka dalam gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Anggota PAPELING laki-laki memiliki akses yang tinggi daripada anggota PAPELING perempuan dalam pelaksanaan gerakan tersebut. Sehingga konteks akses yang lebih dominan pada anggota PAPELING laki-laki tersebut mempengaruhi rentang kontrol yang juga lebih dominan dimiliki oleh anggota PAPELING laki-laki. Selain itu konteks perbedaan kontrol antara anggota PAPELING laki-laki juga dipengaruhi oleh sistem norma yang lebih mengutamakan laki-laki dari pada perempuan (baca : patriarkhi). Secara nyata, sistem norma tersebut terlihat dari pembagian kerja secara budaya dalam melakukan kegiatan-kegiatan dalam gerakan tersebut. Berlakunya sistem norma tersebut juga terlihat dari pelaku yang membuat keputusan-keputusan baik dalam gerakan rehabilitasi maupun dalam struktur organisasi agen gerakan (baca : PAPELING). Sehingga hal di atas berdampak pada besarnya kontrol dalam gerakan rehabilitasi yang didominasi oleh anggota PAPELING laki-laki. Besarnya kontrol yanng dimiliki oleh anggota PAPELING didasarkan pada demografis rumah tangga juga diartikan berbeda bagi anggota PAPELING laki-laki dan perempuan. Seperti telah dikemukakan di atas, bahwasanya kontrol yang mereka miliki juga merupakan manifestasi dari akses yang mereka miliki.

175 Keterlibatan anggota PAPELING perempuan yang lebih rendah daripada keterlibatan anggota PAPELING laki-laki karena berkaitan dengan menyelesaian tugas pengasuhan anak dan tugas kerumahtanggaan lainnya yang menjadi tanggung jawab sepenuhnya anggota PAPELING perempuan. Sedangkan, secara tradisional pembagian kerja dalam pengasuhan anak tidak diwajibkan untuk dikerjakan oleh anggota PAPELING laki-laki. Sehingga tidak ada yang mengahalangi ruang gerak anggota PAPELING laki-laki untuk mengakses sekaligus mengontrol pelaksanaan gerakan rehabilitasi dalam tingkat yang tinggi Hubungan Pola Nafkah dengan Kontrol dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Kontrol anggota PAPELING terhadap pelaksanaaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau juga ditelaah berdasarkan pola nafkah. Seperti telah diuraikan sebelumnya, terdapat tiga kategori pola nafkah yang berkaitan dengan sumberdaya laut. Seluruh anggota PAPELING perempuan yang memiliki pola nafkah sangat tergantung terhadap sumberdaya laut berada pada kategori kontrol yang rendah. Sedangkan seluruh anggota PAPELING perempuan yang memiliki pola nafkah sedikit tergantung dengan sumberdaya laut berada pada kategori kontrol rendah. Data kontrol selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 35. Tabel 35. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Ketergantungan Pola Nafkah dengan Kontrol dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Kontrol Pola Nafkah Sangat Tergantung (%) Sedikit Tergantung (%) Tidak Tergantung (%) Tinggi (0) 0 (0) 0 (0) Rendah (100) 1 (100) 0 (0) Total 7 (100) 1 (100) 0 (0)

176 Tabel 35 menunjukkan bahwa ketergantungan pola nafkah tidak mempengaruhi kontrol anggota PAPELING perempuan atas pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Hal ini terlihat dari data kontrol yang tidak menyebar normal sehingga tidak ada hubungan yang signifikan antara ketergantungan pola nafkah dengan kontrol dalam pelaksanaan gerkaan tersebut. selain itu juga, data kontrol pada Tabel 35 di atas mengarahkan pada pemusatan kategori kontrol yanng rendah baik pada anggota PAPELING perempuan yang memiliki pola nafkah sangat tergantung dengan sumberdaya laut maupun anggota PAPELING perempuan yang memiliki pola nafkah sedikit tergantung dengan sumberdaya laut. Namun, konteks ketergantungan pola nafkah terhadap sumberdaya laut memberikan perbedaan terhadap sebaran kontrol anggota PAPELING perempuan. Perbedaan kontrol tersebut terlihat pada porsi kontrol pada kategori kontrol rendah yang diisi lebih banyak oleh anggota PAPELING perempuan yang memiliki pola nafkah sangat tergantung dengan sumberdaya laut. Perbedaan sebaran kontrol yang disebutkan di atas merupakan manifestasi dari sebaran akses yang didasarkan pada ketergantungan pola nafkah terhadap sumberdaya laut. Ketergantungan pola nafkah mempengaruhi rentang kontrol anggota PAPELING laki-laki terhadap pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Sebanyak 61,53 persen anggota PAPELING laki-laki yang memiliki pola nafkah sangat tergantung dengan sumberdaya laut berada pada kategori kontrol tinggi. Sedangkan sisanya yakni sebanyak 38,46 persen berada pada kategori kontrol yang rendah. Selanjutnya, anggota PAPELING laki-laki yang memiliki pola

177 nafkah sedikit tergantung dengan sumberaya laut berada pada kategori akses rendah sebanyak 66,66 persen. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Ketergantungan Pola Nafkah dengan Kontrol dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Kontrol Pola Nafkah Sangat Tergantung (%) Sedikit Tergantung (%) Tidak Tergantung (%) Tinggi (61,53) 1 (33,33) 0 (0) Rendah (38,46) 2 (66,66) 0 (0) Total 13 (100) 3 (100) 0 (0) Data kontrol yang terlihat dari Tabel 36 menunjukkan kecenderungan kontrol yang besar terhadap pelaksanaan gerakan rehabilitasi dimiliki oleh anggota PAPELING yang memiliki tingkat ketergantungan pola nafkah terhadap sumberdaya laut yang sangat tinggi. Hal tersebut terlihat pada sebaran data kontrol pada yang mengarahkan pada gradasi tingkatan kontrol berdasarkan ketergantungan pola nafkah terhadap sumberdaya laut. Di mana, semakin besar ketergantungan pola nafkah seseorang terhadap sumberdaya laut, maka akan semakin besar pula kontrol terhadap pelaksanaan gerakan rehabilitasi tersebut. Di samping itu, konteks ketergantungan pola nafkah terhadap sumberdaya laut memberikan perbedaan terhadap sebaran kontrol anggota PAPELING laki-laki. Perbedaan kontrol tersebut terlihat pada porsi kontrol pada kategori kontrol rendah yang diisi lebih banyak oleh anggota PAPELING laki-laki yang memiliki pola nafkah sangat tergantung dengan sumberdaya laut. Perbedaan sebaran kontrol yang disebutkan di atas merupakan manifestasi dari sebaran akses yang didasarkan pada ketergantungan pola nafkah terhadap sumberdaya laut.

178 Analisis terhadap tabel 35 dan 36 menunjukkan bahwa kontrol anggota PAPELING laki-laki lebih besar daripada kontrol anggota PAPELING perempuan dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Hal ini terlihat dari besarnya jumlah anggota PAPELING laki-laki daripada anggota PAPELING perempuan yang terbagi dalam tiga kategori ketergantungan pola nafkah terhadap sumberdaya laut. Perbedaaan jenis pekerjaan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan mengakibatkan adanya perbedaan pengetahuan dan kemampuan sehingga mempengaruhi anggapan masyarakat mengenai kredibilitas seseorang dalam menentukan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kegiatan pemahaan kondisi wilayah, penentuan lokasi penanaman, penentuan jarak tanam, dan pemeliharaan. Seperti telah dikemukakan pada bahasan mengenai akses, konteks pekerjaan perempuan yang termasuk ke dalam kategori pola nafkah sangat tergantung dengan sumberdaya laut hanya berkisar pada pekerjaan sebagai pedagang minuman dan makanan di pantai serta buruh upahan tanaman bakau yang jika dibandingkan dengan pekerjaan laki-laki seperti nelayan, budidaya keramba, dan mencari kiong, pekerjaan perempuan tersebut memiliki derajat interaksi serta jaminan keberlangsungan yang lebih kecil terhadap sumberdaya laut khususnya tanaman bakau. Hal seperti inilah yang menyebabkan anggota PAPELING perempuan dianggap kurang memiliki pengetahuan dan kemampuan sebagai seseorang yang dapat menentukan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan keempat kegiatan diatas. Sistem norma yang menganut ideologi patriarkhi juga ikut mempengaruhi pemaknaan anggota PAPELING laki-laki bahkan anggota PAPELING perempuan yang menempatkan laki-laki pada struktur yang lebih tinggi daripada perempuan.

179 konteks seperti itu membentuk pemahaman bahwa seseorang yang lebih pantas dalam memutuskan segala sesuatunya adalah laki-laki. Pemaknaan laki-laki sebagai orang yang dianggap paling pantas dalam membuat keputusan berlaku pula dalam konteks kontrol dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau ini. Di mana, seperti telah dikemukakan sebelumya anggota PAPELING laki-laki memiliki kontrol yang jauh lebih besar daripada anggota PAPELING perempuan dalam setiap kategori yang didasarkan atas ketergantungan pola nafkah Hubungan Teritorial Tempat Tinggal dengan Kontrol dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Kontrol anggota PAPELING terhadap pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau juga ditelaah berdasarkan teritorial tempat tinggal. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat tiga kategori teritorial tempat tinggal. Yang pertama adalah kategori teritorial tempat tinggal yang sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi, yang kedua kategori teritorial tempat tinggal yang dekat dengan rehabilitasi, dan yang ketiga adalah kategori teritorial tempat tinggal yang kauh dari lokasi rehabilitasi. Anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi seluruhnya berada pada kategori kontrol yang tinggi. Seluruh anggota PAPELING perempuan berada dalam kategori kontrol yang rendah. Hal tersebut secara khusus terjadi pada anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam kategori teritorial sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 37.

180 Tabel 37. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Teritorial Tempat Tinggal dengan Kontrol dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Kontrol Teritorial Tempat Tinggal Sangat Dekat (%) Dekat (%) Jauh (%) Tinggi (0) 0 (0) 0 (0) Rendah (100) 0 (0) 0 (0) Total 8 (100) 0 (0) 0 (0) Ket : SD = sangat dekat (tempat tinggal satu lokasi dengan lokasi rehabilitasi, ex. daerah Ringgung) D = dekat (tempat tinggal berdekatan dengan lokasi rehabilitasi, ex. daerah dusun 1) J = Jauh (tempat tinggal jauh dengan lokasi rehabilitasi, ex. daerah dusun 2 dan dusun 3) Tabel 37 menunjukkan bahwa besar kecilnya kontrol anggota PAPELING perempuan tidak dipengaruhi oleh teritorial tempat tinggal. Hal ini terlihat dari data kontrol pada tabel diatas yang menunjukkan keseluruhan anggota PAPELING perempuan yang terlibat dalam gerakan rehabilitasi tersebut memiliki kontrol yang rendah. Selanjutnya, data tersebut tidak menyebar secara normal, di mana berpusat pada kategori teritorial sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi. Konteks seperti ini menegaskan bahwa tidak ada hubungan antara kedekatan tempat tinggal dengan lokasi rehabilitasi dengan kontrol anggota PAPELING perempuan dalam gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Profil kontrol anggota PAPELING laki-laki dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau juga didasarkan pada teritorial tempat tinggal. Sebanyak 64,28 persen anggota PAPELING laki-laki yang bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi berada pada kategori kontrol tinggi. Sedangkan sisanya yakni sebanyak 35,71 persen berada pada kategori kontrol rendah. Selanjutnya, sebanyak 77,77 persen anggota PAPELING laki-laki yang bertempat tinggal dekat dengan lokasi rehabilitasi berada pada kategori kontrol tinggi. Data kontrol selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 38.

181 Tabel 38. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Teritorial Tempat Tinggal dengan Kontrol dalam Pelaksanaan Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Kontrol Teritorial Tempat Tinggal Sangat Dekat (%) Dekat (%) Jauh (%) Tinggi (64,28) 7 (77,77) 0 (0) Rendah (35,71) 2 (22,22) 0 (0) Total 14 (100) 9 (100) 0 (0) Ket : SD = sangat dekat (tempat tinggal satu lokasi dengan lokasi rehabilitasi, ex. daerah Ringgung) D = dekat (tempat tinggal berdekatan dengan lokasi rehabilitasi, ex. daerah dusun 1) J = Jauh (tempat tinggal jauh dengan lokasi rehabilitasi, ex. daerah dusun 2 dan dusun 3) Tabel 38 menunjukkan adanya kontrol yang besar dilakukan oleh anggota PAPELING laki-laki tidak dipengaruhi oleh jarak teritorial tempat tinggal dengan lokasi rehabilitasi. Karena, data kontrol pada tabel 38 kurang menyebar normal. Hal ini ditunjukkan dengan besaran kontrol yang berpusat pada kategori kontrol yang tinggi. Hal ini terjadi baik pada kategori teritorial tempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi maupun pada kategori teritorial tempat tinggal dekat dengan lokasi rehabilitasi. Artinya, bagi anggota PAPELING laki-laki baik yang bertempat tinggal sangat dekat maupun dekat dengan lokasi rehabilitasi akan memiliki kontrol yang sama-sama tinggi dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Analisis terhadap Tabel 37 dan Tabel 38 memperlihatkan kontrol antara anggota PAPELING laki-laki dan anggota PAPELING perempuan dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau didominasi oleh anggota PAPELING laki-laki. Keterhubungan antara ketergantungan pola nafkah dengan kontrol dalam pelaksanaan gerakan terlihat nyata pada analisis anggota PAPELING laki-laki daripada anggota PAPELING perempuan. Perbedaan rentang kontrol diantara anggota PAPELING tersebut dilatarbelakangi oleh

182 perbedaan akses diantara anggota PAPELING dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi yang berdampak pada perbedaan rentang kontrol. Seluruh anggota PAPELING laki-laki memiliki kontrol atas kegiatan pemahaman wilayah, penentuan lokasi penanaman, penentuan jarak tanam dan pemeliharaan, sedangkan anggota PAPELING perempuan hanya memiliki kontrol atas kegiatan pemeliharaan. Tingginya kontrol anggota PAPELING laki-laki terhadap pelaksanaan gerakan rehabilitasi dilandasi oleh pengetahuan dan kemampuan dalam memahami kondisi wilayah di sekitar lokasi rehabilitasi sehingga mampu dalam memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan keempat kegiatan gerakan tersebut. Konteks pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh anggota PAPELING laki-laki terkait dengan teritorial tempat tinggal mereka yang berdekatan dengan lokasi rehabilitasi. Mereka yang lama bertempat tinggal di daerah yang sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi akan memiliki pengetahuan dan kemampuan secara alami dalam mengamati dan membaca kondisi wilayah tersebut. Dalam konteks menjelaskan kontrol anggota PAPELING laki-laki yang lebih besar daripada anggota PAPELING perempuan dalam pelaksanaan gerakaan terlihat dari banyaknya jumlah anggota PAPELING laki-laki daripada anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi memiliki kontrol yang besar daripada anggota PAPELING laki-laki dan perempuan yang masuk ke dalam kategori teritorial tempat tinggal lainnya. Sehingga hal inilah yang melandasi tingginya tingkat kontrol anggota PAPELING laki-laki daripada anggota PAPELING perempuan.

183 Sistem norma yang menganut ideologi patriarkhi juga ikut mempengaruhi pemaknaan anggota PAPELING laki-laki bahkan anggota PAPELING perempuan yang menempatkan laki-laki pada struktur yang lebih tinggi daripada perempuan. konteks seperti itu membentuk pemahaman bahwa seseorang yang lebih pantas dalam memutuskan segala sesuatunya adalah laki-laki. Pemaknaan laki-laki sebagai orang yang dianggap paling pantas dalam membuat keputusan berlaku pula dalam konteks kontrol dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau ini. Di mana, seperti telah dikemukakan sebelumya anggota PAPELING laki-laki memiliki kontrol yang jauh lebih besar daripada anggota PAPELING perempuan dalam setiap kategori yang didasarkan atas jarak teritorial tempat tinggal dengan lokasi rehabilitasi. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah faktor internal seperti karakteristik demografis rumah tangga, pola nafkah dan teritorial tempat tinggal tidak semuanya mempengaruhi besaran kontrol anggota PAPELING terhadap pelaksanaan gerakan rehabilitasi hutan bakau. Bagi anggota PAPELING perempuan, faktor internal seperti demografis rumah tangga, ketergantungan pola nafkah, dan teritorial tempat tinggal dengan lokasi rehaibilitasi tidak mempengaruhi besaran kontrol dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau tersebut. Hal ini terlihat dari banyaknya data kontrol yang disajikan oleh tabel-tabel diatas yang tidak menyebar normal. Sebagian besar data kontrol berpusat atau menumpuk pada satu kategori kontrol sehingga, analisis dari berbagai kategori demografis rumah tangga, pola nafkah dan teritorial tempat tinggal tidak memberikan gambaran rentang kontrol yang berbeda. Hal inilah yang menegaskan bahwa tinggi atau rendahnya kontrol anggota PAPELING

184 perempuan tidak berhubungan dengan kategori-kategori pada ketiga faktor internal tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam konteks apa pun anggota PAPELING perempuan memang tidak memiliki kontrol yang memadai atas pelaksanaan gerakan tersebut daripada anggota PAPELING laki-laki. Namun, jika membandingkan kontrol sesama anggota PAPELING perempuan, terlihat bahwa anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga dini menempati kategori kontrol rendah dalam porsi yang lebih besar daripada anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga lanjut. Hal ini juga terjadi pada anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi yang mengisi porsi kategori kontrol rendah lebih banyak daripada anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal dekat dan jauh dari lokasi rehabilitasi. Faktor internal seperti karakteristik demografis rumah tangga dan teritorial tempat tinggal tidak mempengaruhi besaran kontrol anggota PAPELING laki-laki terhadap pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Sama halnya dengan gambaran akses, Tabel 34 dan Tabel 38 juga memperlihatkan data kontrol yang tidak menyebar normal. Data kontrol pada tabel tersebut berpusat pada kategori kontrol tinggi pada setiap kategori berdasarkan demografis rumah tangga dan teritorial tempat tinggal. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa kepemilikian anak berusia di atas maupun di bawah 10 tahun tetap saja kontrol anggota PAPELING laki-laki tinggi. Begitu juga dengan teritorial tempat tinggal, di mana dekat atau jauh teritorial tempat tinggal dengan lokasi rehabilitasi anggota PAPELING laki-laki tetap saja kontrol mereka tinggi. Namun hal berbeda jika

185 berbicara mengenai faktor intenal pola nafkah, pola nafkah tersebut secara nyata digambarkan oleh Tabel 36 memiliki hubungan yang signifikan dengan kontrol anggota PAPELING laki-laki dalam pelaksanaan gerakan tersebut. Di mana pada tabel tersebut menunjukkan semakin tinggi tingkat ketergantungan pola nafkah seseorang terhadap sumberdaya laut, maka semakin besar juga kontrol yang dimiliki oleh seseorang itu. Hal terjadi karena sistem pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh orang yang memiliki pola nafkah sangat tergantung dengan sumberdaya laut lebih baik daripada angota PAPELING lakilaki dalam kategori lainnya. Sehingga, hal inilah yang mendasari mereka memiliki kontrol yang lebih tinggi daripada kontrol anggota PAPELING lainnya dalam menentukan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan pemahaman kondisi wilayah, penentuan lokasi penanaman, penentuan jarak tanam dan pemeliharaan. Perbedaan kontrol antara anggota PAPELING laki-laki dan perempuan yang didominasi oleh kontrol anggota PAPELING laki-laki tidak lepas dari sistem norma yang menganut ideologi patrirkhi yang berlaku dalam masyarakat Desa Sidodadi. Dimana, laki-laki dianggap sebagai seseorang yang lebih pantas dalam menentukan keputusan-keputusan baik dalam aras mikro (rumah tangga) maupun aras meso (komunitas lokal). Konteks seperti ini terbawa dalam pembagian kerja dalam melakukan beberapa kegiatan dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Sehingga terdapat ketimpangan atau kesenjangan kontrol antara anggota PAPELING perempuan dengan anggota PAPELING laki-laki dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi tersebut.

186 Faktor Internal dalam Akses dan kontrol Anggota PAPELING terhadap Manfaat Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Hubungan Demografis Rumah Tangga dalam Akses terhadap Manfaat Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Baik anggota laki-laki yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga dini maupun demografis rumah tangga lanjut sama-sama memiliki akses terhadap ke lima manfaat yang dihasilkan dengan terlibat dalam gerakan tersebut. Sebagian besar anggota PAPELING laki-laki yang termasuk ke dalam kategori demografis dini mengakses manfaat dalam bentuk uang dan sebagian kecil mengakses manfaat berupa jaringan kerja. Sebagian besar anggota PAPELING laki-laki yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga lanjut mengakses manfaat dalam bentuk uang dan sebagian kecil mengakses manfaat berupa pengetahuan mengenai bibit bakau. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 39. Tabel 39. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Diakses dan Demografis Rumah Tangga, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Demografis Jenis Manfaat Total RT JK (%) KL(%) U(%) B(%) PB (%) (%) Dini 1 (11,11) 2(22,22) 3(33,33) 2(22,22) 1(11,11) 9(100) Lanjut 3 (14,28) 5(23,80) 7(33,33) 4(19,04) 2(9,52) 21(100) Ket: JK = Jaringan Kerja B = Bersosialisasi KL = Kelestarian Lingkungan PB = Pengetahuan bibit bakau U = Uang Tabel 39 menunjukkan baik anggota laki-laki PAPELING yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga dini maupun demografis rumah tangga dini sebagian besar mengakses manfaat gerakan dalam bentuk uang. Manfaat berupa jaringan kerja, kelestarian lingkungan, uang, bersosialisasi dan

187 pengetahuan mengenai bibit bakau diakses sebagian besar oleh anggota PAPELING laki-laki yang termasuk ke dalam demografis rumah tangga lanjut. Hal tersebut menunjukkan bahwa demografis rumah tangga anggota PAPELING laki-laki tidak berhubungan dengan akses terhadap manfaat. Adapun hubungan yang ada hanya sebatas menjelaskan jumlah dan persentse sebaran manfaat yang dapat diakses oleh anggota PAPELING laki-laki berdasarkan demografis rumah tangga. Manfaat yang dapat diakses oleh anggota PAPELING perempuan meliputi kelestaran lingkungan, uang, bersosialisasi dan pengetahuan mengenai bibit bakau. Sedangkan manfaat gerakan berupa jaringan kerja tidak dapat diakses oleh anggota PAPELING perempuan. Sebagian besar anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga dini mengakses manfaat gerakan dalam bentuk uang dan sebagian kecil mengakses manfaat kelestarian lingkungan. Sebagan besar anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga lanjut mengakses manfaat gerakan dalam bentuk uang dan sebagian kecil mengakses manfaat kelestarian lingkungan dan pengetahuan mengenai bibit bakau. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 40. Tabel 40. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Diakses dan Demografis Rumah Tangga, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Demografis Jenis Manfaat Total RT JK(%) KL(%) U(%) B(%) PB(%) (%) Dini 0(0) 1(11,11) 4(44,44) 2(22,22) 2(22,22) 9(100) Lanjut 0(0) 2(18,18) 4(36,36) 3(27,27) 2(18,18) 11(100) Ket: JK = Jaringan Kerja B = Bersosialisasi KL = Kelestarian Lingkungan PB = Pengetahuan bibit bakau U = Uang

188 Tabel 40 menunjukkan baik anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga dini maupun demografis rumah tangga lanjut sebagian besar mengakses manfaat gerakan demografis rumah tangga tersebut dalam bentuk uang. Sedangkan sebagian kecil manfaat kelestarian lingkungan dan pengetahuan mengenai bibit bakau yang sama-sama mereka akses pada dasarnya diakses lebih besar oleh anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam kategori rumah tangga lanjut. Hal ini juga menunjukkan bahwa demografis rumah tangga anggota PAPELING perempuan tidak berhubungan dengan akses terhadap manfaat gerakan rehabilitasi tersebut. Data di tabel tersebut tidak menyatakan bahwa anggota perempuan PAPELING yang termasuk ke dalam kategori dini atau lanjut akan merasakan manfaat gerakan yang lebih banyak. Adapun hubungan yang ada hanya sebatas menjelaskan jumlah dan persentse sebaran manfaat yang dapat diakses oleh anggota PAPELING perempuan berdasarkan demografis rumah tangga Hubungan Pola Nafkah dengan Akses terhadap Manfaat Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Akses terhadap manfaat gerakan juga ditelaah berdasarkan pola nafkah anggota PAPELING. Di mana, terdapat tiga kategori pola nafkah yakni pola nafkah sangat tergantung dengan sumberdaya laut, pola nafkah sedikit tergantung dengan sumberdaya laut dan pola nafkah yang tidak tergantung dengan sumberdaya laut. Sebagian besar anggota PAPELING laki-laki yang memiliki pola nafkah sangat tergantung dengan sumberdaya laut mengakses manfaat gerakan berupa uang dan sebagian kecil mengakses manfaat gerakan dalam berupa pengetahuan mengenai bibit. Sebagian besar anggota PAPELING laki-laki

189 yang memiliki pola nafkah sedikit tergantung dengan sumberdaya laut mengakses manfaat gerakan dalam bentuk uang dan sebagian kecil mengakses manfaat gerakan berupa jaringan kerja dan pengetahuan bibit bakau. Sedangkan sebagian besar anggota PAPELING laki-laki yang memiliki pola nafkah tidak tergantung dengan sumberdaya laut mengakses manfaat gerakan dalam bentuk uang dan sebagian kecil mengakses manfaat gerakan berupa pengetahuan bibit bakau. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 41. Tabel 41. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Diakses dan Ketergantungan Pola Nafkah terhadap Sumberdaya Laut, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Pola Nafkah Jenis Manfaat Total JK (%) KL(%) U(%) B(%) PB(%) (%) ST 3(23,07) 2(15,38) 5(38,46) 2(15,38) 1(7,69) 13(100) DT 1(8,33) 2(16,66) 5(41,66) 3(25) 1(8,33) 12(100) TT 0(0) 1(20) 3(60) 1(20) 0(0) 5(100) Ket: JK = Jaringan Kerja B = Bersosialisasi KL = Kelestarian Lingkungan PB = Pengetahuan bibit bakau U = Uang Tabel 41 menunjukkan anggota laki-laki PAPELING yang memiliki pola nafkah sangat tergantung, sedikit tergantung dan tidak tergantung dengan sumberdaya laut sama-sama sebagian besar mengakses manfaat gerakan dalam bentuk uang. Manfaat berupa jaringan kerja paling banyak diakses oleh anggota PAPELING laki-laki yang memiliki pola nafkah sangat tergantung dengan sumberdaya laut. Manfaat gerakan yang memungkinkan seseorang bersosialisasi diakses lebih besar oleh anggota PAPELING laki-laki yang memiliki pola nafkah sedikit tergantung dengan sumberdaya laut. Hal tersebut tidak menunjukkan adanya hubungan antara pola nafkah anggota PAPELING laki-laki dengan akses

190 terhadap manfaat gerakan. Adapun hubungan yang ada hanya sebatas menjelaskan jumlah dan persentse sebaran manfaat yang dapat diakses oleh anggota PAPELING laki-laki berdasarkan ketergantungan pola nafkah terhadap sumberdaya laut. Sebaran manfaat yang dapat diakses oleh anggota PAPELING perempuan berdasarkan ketergantungan pola nafkah pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan manfaat yang dapat diakses oleh anggota PAPELING laki-laki. Sebagian besar anggota PAPELING perempuan yang memiliki pola nafkah sangat tergantung dengan sumberdaya laut mengakses manfaat gerakan berupa uang dan sebagian kecil mengakses manfaat gerakan dalam berupa pengetahuan mengenai bibit dan juga kesempatan untuk bersosialisasi. Sebagian besar anggota PAPELING perempuan yang memiliki pola nafkah sedikit tergantung dengan sumberdaya laut mengakses manfaat gerakan dalam bentuk uang dan sebagian kecil mengakses manfaat gerakan berupa pengetahuan mengenai bibit bakau. Sedangkan sebagian besar anggota PAPELING perempuan yang memiliki pola nafkah tidak tergantung dengan sumberdaya laut mengakses manfaat gerakan dalam bentuk uang dan sebagian kecil mengakses manfaat gerakan berupa kelestarian lingkungan dan kesempatan bersosialisasi. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 42.

191 Tabel 42. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Diakses dan Ketergantungan Pola Nafkah terhadap Sumberdaya Laut, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Pola Nafkah Jenis Manfaat Total JK(%) KL(%) U(%) B(%) PB(%) (%) ST 0(0) 2(28,57) 3(42,85) 1(14,28) 1(14,28) 7(100) DT 0(0) 2(22,22) 4(44,44) 2(22,22) 1(11,11) 9(100) TT 0(0) 1(25) 2(50) 1(25) 0(0) 4(100) Ket: JK = Jaringan Kerja B = Bersosialisasi KL = Kelestarian Lingkungan PB = Pengetahuan bibit bakau U = Uang Tabel 42 menunjukkan anggota PAPELING perempuan yang memiliki pola nafkah sangat tergantung, sedikit tergantung, dan tidak tergantung dengan sumberdaya laut sebagian besar mengakses manfaat gerakan rehabilitasi dalam bentuk uang. Manfaat gerakan berupa kesempatan bersosialisasi diakses lebih banyak oleh anggota perempuan yang memiliki pola nafkah sedikit tergantung dengan sumberdaya laut. Hal tersebut tidak menunjukkan tidak ada hubungan antara pola nafkah anggota PAPELING perempuan dengan akses terhadap manfaat gerakan. Adapun hubungan yang ada hanya sebatas menjelaskan jumlah dan persentse sebaran manfaat yang dapat diakses oleh anggota PAPELING perempuan berdasarkan ketergantungan pola nafkah terhadap sumberdaya laut Hubungan Teritorial Tempat Tinggal dengan Akses terhadap Manfaat Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Akses manfaat yang dirasakan oleh anggota PAPELING juga ditelaah berdasarkan teritorial tempat tinggal. Terdapat tiga kategori teritorial tempat tinggal. Yang pertama adalah teritorial sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi yakni di daerah ringgung. Kategori yang kedua adalah teritorial yang dekat dengan lokasi rehabilitasi yakni di dusun satu. Kategori yang ketiga adalah

192 teritorial yang jauh dari lokasi rehabilitasi yakni di dusun dua dan dusun tiga. Manfaat gerakan yang dirasakan oleh anggota PAPELING berdasarkan teritoial tempat tinggal pada dasarnya tidak jauh berbeda. Mereka memiliki akses yang besar terhadap manfaat dalam bentuk uang. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 43. Tabel 43. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Diakses dan Teritorial Tempat Tinggal dengan Lokasi Rehabilitasi, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Teritorial Jenis Manfaat Tempat Tinggal JK(%) KL(%) U(%) B(%) PB(%) Total (%) SD 3(18,75) 3(18,75) 7(43,75) 2(12,5) 1(6,25) 16(100) D 1(10) 2(20) 4(40) 2(20) 1(10) 10(100) J 0(0) 1(25) 2(50) 1(25) 0(0) 4(100) Ket: JK = Jaringan Kerja B = Bersosialisasi KL = Kelestarian Lingkungan PB = Pengetahuan bibit bakau U = Uang Anggota PAPELING laki-laki yang bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabiliasi selain mengakses manfaat gerakan dalam bentuk uang, mereka juga mengakses sebagian besar jaringan kerja. Selanjutnya, kelestarian lingkungan bersosialisasi dan pengetahuan mengenai bibit bakau diakses lebih kecil daripada kedua manfaat sebelumnya oleh anggota PAPELING laki-laki yang bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi. Anggota PAPELING yang bertempat tinggal dekat dengan lokasi rehabilitasi selain mengakses manfaat dalam bentuk uang, juga mengakses manfaat kelestarian lingkungan dan manfaat gerakan untuk bersosialisasi. Sedangkan manfaat jaringan kerja dan pengetahuan mengenai bibit bakau diakses lebih kecil daripada kedua manfaat sebelumnya. Komposisi akses seperti ini juga dirasakan oleh anggota PAPELING laki-laki

193 yang bertempat tinggal jauh dari lokasi rehabilitasi. Hal tersebut tidak menunjukkan adanya hubungan antara teritorial tempat tinggal anggota PAPELING laki-laki dengan akses terhadap manfaat gerakan. Adapun hubungan yang ada hanya sebatas menjelaskan jumlah dan persentse sebaran manfaat yang dapat diakses oleh anggota PAPELING laki-laki berdasarkan teritorial tempat tinggal terhadap sumberdaya laut. Telaah sebaran manfaat berdasarkan teritorial tempat tinggal juga dilihat pada anggota PAPELING perempuan. Pada dasarnya anggota PAPELING perempuan mampu mengakses semua manfaat yang diberikan oleh gerakan rehabilitasi tersebut. Namun hanya manfaat dalam bentuk jaringan kerja yang tidak dapat diakses oleh anggota PAPELING perempuan. Diantara manfaat yang dapat diakses oleh anggota PAPELING perempuan, manfaat dalam bentuk uang merupakan manfaat yang diakses oleh sebagian besar anggota PAPELING perempuan pada semua kategori. Akan tetapi, mereka juga mengakses manfaat yang lainnya hanya saja mereka mengakses manfaat tersebut dalam porsi yang berbeda-beda menurut kategori teritorial tempat tinggal. Selengkapnya, sebaran manfaat yang dapat diakses oleh anggota PAPELING perempuan dapat dilihat pada Tabel 44.

194 Tabel 44. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Diakses dan Teritorial Tempat Tinggal dengan Lokasi Rehabilitasi, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Teritorial Jenis Manfaat Tempat Tinggal JK(%) KL(%) U(%) B(%) PB (%) Total (%) SD 0(0) 3(33,33) 4(44,44) 1(11,11) 1(11,11) 9(100) D 0(0) 1(14,28) 3(42,85) 2(28,57) 1(14,28) 7(100) J 0(0) 1(25) 2(50) 0(0) 1(25) 4(100) Ket: JK = Jaringan Kerja B = Bersosialisasi KL = Kelestarian Lingkungan PB = Pengetahuan bibit bakau U = Uang Manfaat dalam bentuk uang yang diakses oleh anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi selain lebih banyak mengakses manfaat dalam bentuk uang, mereka juga mengakses sebagian besar mengakses kelestarian lingkungan. Sedangkan manfaat berupa pengetahuan mengenai bibit bakau dan manfaat untuk bersosialisasi diakses lebih sedikit. Sedangkan akses manfaat gerakan yang diakses pada anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal dekat dengan lokasi rehabilitasi selain dalam bentuk uang adalah manfaat yang memungkinkan untuk berosialisasi. Hal ini sedikit berbeda dengan apa yang terjadi dengan anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi. Sedangkan pada anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal jauh dari lokasi rehabilitasi selain mengakses manfaat gerakan dalam bentuk uang, mereka juga mengakses manfaat gerakan berupa kelestarian lingkungan dan pengetahuan mengenai bibit bakau dalam jumlah kecil. Manfaat kelestarian lingkungan dan uang sebagian besar diakses oleh anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal sangat dekat dengan loaksi rehabilitasi. Sedangkan manfaat gerakan yang memberikan kesempatan

195 untuk bersosialisasi sebagian besar diakses oleh anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal dekat dengan lokasi rehabilitasi. Namun, untuk manfaat pengetahuan megenai bibit bakau diakses secara merata oleh anggota PAPELING perempuan pada semua kategori. Hal tersebut tidak menunjukkan adanya hubungan antara teritorial tempat tinggal anggota PAPELING perempuan dengan akses terhadap manfaat gerakan. Adapun hubungan yang ada hanya sebatas menjelaskan jumlah dan persentse sebaran manfaat yang dapat diakses oleh anggota PAPELING perempuan berdasarkan teritorial tempat tinggal. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah faktor internal seperti demografis rumah tangga, pola nafkah dan teritorial tempat tinggal pada dasarnya tidak mempengaruhi besar kecilnya akses anggota PAPELING terhadap manfaat gerakan. Hal ini juga berlaku baik pada anggota PAPELING laki-laki maupun anggota PAPELING perempuan. Karena pada dasarnya manfaat yang dirasakan oleh setiap anggota PAPELING bersifat personal dan tidak dapat ditentukan besar kecilnya akses berdasarkan kategori-kategori tersebut. Adapun hubungan yang terdapat antara faktor internal dengan akses terhadap manfaat gerakan hanya sebatas menjelaskan saja jumlah dan persentase besar kecilnya manfaat yang dapat diakses oleh anggota PAPELING berdasarkan demografis rumah tangga, pola nafkah dan teritorial tempat tinggal. Hal tersebut bukan untuk menyatakan hubungan kausalitas diantara faktor internal dengan akses terhadap manfaat gerakan. Kesimpulan berikutnya adalah manfaat gerakan dalam bentuk uang merupakan manfaat yang paling banyak diakses oleh anggota PAPELING baik laki-laki maupun perempuan berdasarkan demografis rumah tangga, pola nafkah

196 dan teritorial tempat tinggal. Karena manfaat gerakan dalam bentuk uang dapat langsung dirasakan serta dapat dengan mudah digunakan untuk memenuhi kebutuhan lain anggota PAPELING. Sedangkan manfaat gerakan dalam bentuk jaringan kerja merupakan manfaat yang hanya didapat dirasakan oleh anggota PAPELING laki-laki. Manfaat gerakan seperti kelestarian lingkungan, pengetahuan menganai bibit bakau dan kesempatan bersosialisasi dirasakan oleh anggota PAPELING laki-laki dan perempuan. Namun, manfaat tersebut diakses secara berbeda oleh anggota PAPELING laki-laki dan perempuan. Manfaat gerakan dalam bentuk bersosialisasi dan pengetahuan mengenai bibit bakau dirasakan dalam porsi yang lebih kecil dibandingkan dengan manfaat gerakan dalam bentuk uang, jaringan kerja dan kelestarian lingkungan oleh anggota PAPELING laki-laki. Sedangkan manfaat gerakan dalam bentuk uang dan kelestarian lingkungan merupakan manfaat yang dirasakan dalam porsi yang lebih besar oleh anggota PAPELING perempuan. Perbedaan kuantitas manfaat gerakan yang dirasakan oleh anggota PAPELING laki-laki dan perempuan merupakan manifestasi dari apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks gerakan. Kebutuhan dan kepentingan bersosialisasi serta pengetahuan mengenai bibit merupakan kebutuhan yang diangap lebih penting untuk dipenuhi setelah kebutuhan ekonomi (baca : uang) bagi anggota PAPELING perempuan. Sedangkan untuk kebutuhan jaringan kerja dan kelestarian merupakan kebutuhan dan kepentingan yang dianggap kurang penting untuk dipenuhi. Namun, kondisi seperti ini tidak serta merta menghakimi perempuan sebagai seseorang yang tidak mencintai lingkungan sehingga tidak memiliki kesadaran ankan kelestarian lingkungan. Konteks ini terkait dengan pola

197 nafkah anggota PAPELING yang tidak secara langsung bersentuhan dengan sumberdaya laut khususnya tanaman bakau. Tanaman bakau kurang menjamin keberlangsungan nafkah mereka secara langsung. Sehingga kebutuhan dan kepentingan yang berkaitan dengan kelestarian lingkungan dianggap kurang begitu penting untuk dipenuhi. Berbeda dengan anggota PAPELING perempuan, anggota PAPELING laki-laki kebutuhan dan kepentingan dalam jaringan kerja dan kelestarian lingkungan merupakan kebutuhan dan kepentingan yang lebih penting untuk dipenuhi karena meyangkut keberlanjutan nafkah mereka secara langsung. Sebagian besar pekerjaan anggota PAPELING laki-laki merupakan pekerjaan yang bersentuhan secara langsung dengan sumberdaya laut khususnya tanaman bakau. Kondisi tersebut membutuhkan jaminan dari kelestarian sumberdaya laut khususnya tanaman bakau, sehingga kebutuhan akan kelestarian hutan bakau menjadi sebuah kebutuhan yang dianggap penting untuk segera dipenuhi setelah kebutuhan ekonomi (baca : uang). Manfaat gerakan dalam bentuk jaringan kerja merupakan manfaat yang diakses lebih besar oleh anggota PAPELING laki-laki yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga lanjut, kategori pola nafkah yang sangat tergantung dengan sumberdaya laut serta kategori teritorial tempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi. Hal tersebut terjadi karena manfaat jaringan kerja yang diberikan oleh gerakan rehabilitasi lokal adalah jejaring komunikasi yang mampu memfasilitasi seseorang untuk menciptakan atau menambah lapangan pekerjaan bagi dirinya maupun bagi orang lain yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya laut. Secara spesifik hal ini terjadi pada salah seorang

198 anggota PAPELING laki-laki yang membuka usaha pembibitan bakau setelah terlibat aktif dalam gerakan rehabilitasi hutan bakau. Selama proses tersebut ia terbantukan dengan adanya jejaring komunikasi yang ia miliki melalui keterlibatannya dalam gerakan tersebut Hubungan Demografis Rumah Tangga dengan Kontrol terhadap Manfaat Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Pada dasarnya anggota PAPELING laki-laki memiliki kontrol terhadap semua manfaat yang diberikan oleh gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Namun terdapat beberapa manfaat yang memilki kecenderungan dikontrol lebih besar dan lebih kecil oleh anggota PAPELING berdasarkan demografis rumah tangga. Sebagian besar anggota PAPELING laki-laki yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga dini dan demografis lanjut memiliki kontrol yang besar terhadap manfaat gerakan dalam bentuk uang. Sebagian kecil anggota PAPELING laki-laki baik yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga dini maupun demografis rumah tangga lanjut memiliki kontrol yang lebih kecil terhadap manfaat jaringan kerja dan pengetahuan mengenai bibit bakau. Selanjutnya, uraian sebaran kontrol terhadap manfaat dapat dilihat selengkapnya Tabel 45. Tabel 45. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Dikontrol dan Demografis Rumah Tangga, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Demografis Jenis Manfaat Total RT JK(%) KL(%) U(%) B(%) PB(%) (%) Dini 1(11,11) 2(22,22) 3(33,33) 2(22,22) 1(11,11) 9(100) Lanjut 2(10) 5(25) 7(35) 4(20) 2(10) 20(100) Ket: JK = Jaringan Kerja B = Bersosialisasi KL = Kelestarian Lingkungan PB = Pengetahuan bibit bakau U = Uang

199 Tabel 45 menunjukkan bahwa manfaat gerakan dalam bentuk uang merupakan manfaat yang paling banyak dikontrol oleh anggota PAPELING. Selanjutnya, manfaat kedua yang juga banyak dikontrol oleh anggota PAPELING adalah manfaat kelestarian lingkungan. Sedangkan manfaat yang sedikit dikontrol oleh anggota PAPELING adalah jaringan kerja dan pengetahuan mengenai bibit bakau. Hal tersebut tidak menunjukkan adanya hubungan antara demografis rumah tangga anggota PAPELING laki-laki dengan akses terhadap manfaat gerakan. Adapun hubungan yang ada hanya sebatas menjelaskan jumlah dan persentse sebaran manfaat yang dapat dikontrol oleh anggota PAPELING lakilaki berdasarkan demografis rumah tangga. Manfaat gerakan seperti jaringan kerja, kelestarian lingkungan, uang, bersosialisasi dan pengetahuan tentang bibit bakau di kontrol sebagian besar oleh anggota PAPLELING laki-laki yang termasuk ke dalam kategori demografis lanjut. Namun, manfaat jaringan kerja memiliki rentang kontrol yang lebih kecil daripada akses terhadap manfaat tersebut. Hal ini terjadi karena ketidakmampuan anggota PAPELING untuk memanfaatkan atau mengelola jaringan kerja yang telah ia dapatkan. Ia memutuskan untuk tidak menggunakan jaringan kerja tersebut untuk memperluas sumber pendapatannya ataupun membuka usaha baru untuk menambah pendapatannya. Kondisi ini senada dengan ungkapan salah satu anggota PAPELING laki-laki yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga lanjut berikut ini :...Karena gak ada modal...enak tetep jadi buruh nelayan aja daripada usaha sendiri di kerjaan yang gak seberapa ngerti... (Pernyataan Bpk Rpk, Dari daerah ringgung, Didokumentasikan Bulan Agustus, tahun 2007).

200 Kontrol terhadap manfaat gerakan yang dimiliki oleh anggota PAPELING perempuan juga ditelaah berdasarkan kategori demografis rumah tangga. Sama halnya dengan akses terhadap manfaat, kontrol terhadap manfaat juga lebih berpusat pada manfaat gerakan dalam bentuk uang. Hal ini terjadi baik pada anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga dini maupun demografis rumah tangga lanjut. Sebagian kecil anggota PAPELING perempuan baik demografis dini maupun lanjut mengontrol manfaat gerakan berupa pengetahuan mengenai bibit bakau. Sebaran kontrol terhadap manfaat gerakan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 46. Tabel 46. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Dikontrol dan Demografis Rumah Tangga, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Demografis Jenis Manfaat Total RT JK(%) KL(%) U(%) B(%) PB(%) (%) Dini 0(0) 1(11,11) 4(44,44) 2(22,22) 2(22,22) 9(100) Lanjut 0(0) 1(11,11) 4(44,44) 3(33,33) 1(11,11) 9(100) Ket: JK = Jaringan Kerja B = Bersosialisasi KL = Kelestarian Lingkungan PB = Pengetahuan bibit bakau U = Uang Rentang kontrol anggota PAPELING perempuan terhadap manfaat gerakan berupa kelestarian lingkungan dan pengetahuan mengenai bibit bakau tidak sama besarnya dengan rentang akses mereka. Hal ini ditunjukkan dengan berkurangnya jumlah anggota PAPELING perempuan yang memiliki kontrol terhadap kedua manfaat tersebut. Kondisi ini secara khusus terjadi pada anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga tahap lanjut. Kondisi tersebut terlihat dari ungkapan dua orang anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga lanjut berikut ini.

201 ...Gimana mau ikut ngawasin hutan bakau, saya udah tua gak kuat jalan jauh...rumah saya juga jauh dari Pantai Ringgung...untungnya masih ada anggota PAPELING lain yang bisa ngejaga bakau kita. (Pernyataan Ibu Shj, Dari Dusun 3, Didokumentasikan Bulan Agustus, tahun 2007) Hubungan Pola Nafkah dengan Kontrol terhadap Manfaat Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Kontrol terhadap manfaat juga ditelaah berdasarkan pola nafkah anggota PAPELING. Sebagian besar anggota PAPELING laki-laki pada semua kategori ketergantungan pola nafkah dengan sumberdaya laut memiliki rentang kontrol yang besar pada manfaat gerakan dalam bentuk uang. Manfaat jaringan kerja dikontrol lebih besar oleh anggota PAPELING laki-laki yang memiliki pola nafkah sangat terhantung dengan sumberdaya laut. Sedangkan manfaat bersosialisasi dikontrol lebih besar pada anggota PAPELING laki-laki yang memiliki pola nafkah sedikit tergantung dengan sumberdaya laut. Selanjutnya, manfaat gerakan berupa kelestaian lingkungan, uang dan pengetahuan mengenai bibit bakau dikontrol sama besarnya oleh anggota PAPELING laki-laki yang memiliki pola nafkah sangat tergantung dan sedikit tergantung dengan sumberdaya laut. Sebaran kontrol selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 47. Tabel 47. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Dikontrol dan Teritorial Tempat Tinggal dengan Lokasi Rehabilitasi, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Pola Nafkah Jenis Manfaat Total JK(%) KL(%) U(%) B(%) PB(%) (%) ST 2(16,66) 2(16,66) 5(41,66) 2(16,66) 1(8,33) 12(100) DT 1(8,33) 2(16,66) 5(41,66) 3(25) 1(8,33) 12(100) TT 0(0) 0(0) 3(60) 2(40) 0(0) 5(100) Ket: JK = Jaringan Kerja B = Bersosialisasi KL = Kelestarian Lingkungan PB = Pengetahuan bibit bakau U = Uang

202 Pada dasarnya rentang kontrol terhadap manfaat yang ditelaah berdasarkan pola nafkah tidak berbeda dengan rentang akses terhadap manfaat yang dimiliki oleh masing-masing anggota PAPELING. Namun, kontrol terhadap manfaat gerakan dalam bentuk jaringan kerja tidak sama besar dengan akses terhadap manfaat tersebut. Kontrol terhadap manfaat jaringan kerja lebih kecil daripada aksesnya berdasarkan ketergantungan pola nafkah terhadap sumberdaya laut. Hal tersebut secara khusus terjadi pada anggota PAPELING laki-laki yang memiliki pola nafkah sangat tergantung dengan sumberdaya laut. Berikut penuturan salah satu anggota PAPELING laki-laki yang tidak memiliki kontrol atas manfaat jaringan kerja....gak ada modal untuk nerusin usaha pembibitan. Meski sebenarnya banyak kenalan yang bisa ngasih tau dan bantu-bantu. Tapi saya lebih suka kerja sama orang lain aja... yah, meski ngeburuh sama nelayan lain.... (Pernyataan Bpk Jyo, Dari Ringgung, Didokumentasikan Bulan Juli, Tahun 2007). Sebagian besar anggota PAPELING perempuan memiliki kontrol terhadap manfaat dalam bentuk uang. Hal ini juga terjadi pada anggota PAPELING perempuan pada semua kategori ketergantungan pola nafkah terhadap sumberdaya laut. Manfaat gerakan dalam bentuk uang dan bersosialisasi di kontrol lebih besar oleh anggota PAPELING yang memiliki pola nafkah sedikit tergantung dengan sumberdaya laut. Sedangkan manfaat kelestarian lingkungan dikontrol sama besar oleh anggota PAPELING yang memiliki pola nafkah sangat tergantung dan sedikit tergantung dengan sumberdaya laut. Sebaran kontrol selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 48.

203 Tabel 48. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Dikontrol dan Teritorial Tempat Tinggal dengan Lokasi Rehabilitasi, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Pola Nafkah Jenis Manfaat Total JK(%) KL(%) U(%) B(%) PB(%) (%) ST 0 (0) 2(28,57) 3(42,85) 1(14,28) 1(14,28) 7(100) DT 0 (0) 2(25) 4(50) 2(25) 0(0) 8(100) TT 0 (0) 0(0) 2(66,66) 1(33,33) 0(0) 3(100) Ket: JK = Jaringan Kerja B = Bersosialisasi KL = Kelestarian Lingkungan PB = Pengetahuan bibit bakau U = Uang Rentang kontrol terhadap manfaat gerakan seperti kelestarian lingkungan dan pengetahuan mengenai bibit bakau tidak sebesar rentang akses terhadap kedua manfaat tersebut. Anggota PAPELING perempuan yang memiliki pola nafkah tidak tergantung dengan sumberdya laut memiliki kontrol yang lebih kecil terhadap manfaat kelestrian lingkungan jika dibandingkan dengan akses terhadap manfaat tersebut. Sedangkan manfaat pengetahuan mengenai bibit bakau dikontrol lebih sedikit dari pada aksesnya oleh anggota PAPELING perempuan yang memiliki pola nafkah sedikit tergantung dengan sumberdaya laut. Berkurangnya kontrol terhadap manfaat tersebut terlihat dari ungkapan berikut:...gak ikut terlibat lagi karena kerjaan yang lain juga harus dikerjain...saya masih punya sawah yang harus diurusin.... (Pernyataan Ibu Tjh, Dari Dusun 3, Didokumentasikan Bulan Agustus, tahun 2007) Hubungan Teritorial Tempat Tinggal dengan Kontrol terhadap Manfaat Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Sebagian besar anggota PAPELING laki-laki yang bertempat tinggal sangat dekat lokasi rehabilitasi memiliki kontrol terhadap manfaat gerakan berupa uang dan sebagian kecil memiliki kontrol terhadap manfaat gerakan seperti

204 pengetahuan mengenai bibit bakau. Sebagian besar anggota PAPELING laki-laki yang bertempat tinggal dekat dengan lokasi rehabilitasi memiliki kontrol atas manfaat gerakan dalam bentuk uang dan sebagian kecil memiliki kontrol atas manfaat gerakan jaringan kerja dan pengetahuan mengenai bibit bakau. Sedangkan sebagian besar anggota PAPELING laki-laki yang bertempat tinggal jauh dari lokasi rehabilitasi memiliki kontrol atas manfaat gerakan berupa uang dan sebagian kecil memiliki kontrol atas manfaat gerakan dalam bentuk kelestarian lingkungan dan pengetahuan mengenai bibit bakau. Sebaran kontrol atas manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau dapat dilihat selengkapnya pada Tabel 49. Tabel 49. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Laki-Laki Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Dikontrol dan Teritorial Tempat Tinggal dengan Lokasi Rehabilitasi, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Teritorial Jenis Manfaat Tempat Tinggal JK(%) KL(%) U(%) B(%) PB(%) Total (%) SD 3(20) 3(20) 6(40) 2(13,33) 1(6,67) 15(100) D 1(9,09) 2(18,18) 4(36,36) 3(27,27) 1(9,09) 11(100) J 0(0) 1(25) 2(50) 1(25) 0(0) 4(100) Ket: JK = Jaringan Kerja B = Bersosialisasi KL = Kelestarian Lingkungan PB = Pengetahuan bibit bakau U = Uang Manfaat gerakan berupa jaringan kerja, kelestarian lingkungan, dan uang sebagian besar dikontrol oleh angota PAPELING laki-laki yang bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi. Sedangkan manfaat bersosialisasi sebagian besar dikontrol oleh anggota PAPELING laki-laki yang bertempat tinggal dekat dengan lokasi rehabilitasi. Manfaat pengetahuan mengenai bibit bakau dikontrol sama besar oleh anggota PAPELING yang bertempat tinggal

205 sangat dekat dan dekat dengan lokasi rehabilitasi. Manfaat jaringan kerja dikontrol sebagian besar oleh anggota PAPELING laki-laki yang bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi terlihat dari penuturan salah satu anggota PAPELING laki-laki berikut ini....usaha pembibitan sendiri lebih enak kalo dkerjain di daerah yang terkena air laut...di ringgung tempat yang paling cocok untuk buka usaha itu...saya udah 2 tahun kerja kayak gini...semua karena dulu terlibat dalam gerakan rehabilitasi itu...dulu sering diajak ke seminar-seminar...terus keliling daerah Indonesia buat studi banding...jadi banyak kenal orang yang bisa bantu saya buka usaha ini.... (Pernyataan Bpk Utg, Dari Ringgung, Didokumentasikan Bulan Juni, tahun 2007). Rentang kontrol atas manfaat-manfaat yang diberikan oleh gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau, tidak jauh berbeda dengan akses terhadap manfaatmanfaat tersebut. Seluruh anggota PAPELING perempuan pada semua kategori teritorial tempat tinggal memiliki kontrol atas manfaat gerakan dalam bentuk uang. Namun beberapa manfaat lainnya dikontrol oleh anggota PAPELING secara berbeda berdasarkan kategori teritorial tempat tinggal. Manfaat kelestarian lingkungan dan uang dikontrol lebih besar oleh anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 50.

206 Tabel 50. Jumlah dan Persentase Anggota PAPELING Perempuan Berdasarkan Sebaran Manfaat yang Dapat Dikontrol dan Teritorial Tempat Tinggal dengan Lokasi Rehabilitasi, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Teritorial Jenis Manfaat Tempat Tinggal JK(%) KL(%) U(%) B(%) PB(%) Total (%) SD 0(0) 3(33,3) 4(44,44) 1(11,11) 1(11,11) 9(100) D 0(0) 1(14,28) 3(42,85) 2(28,57) 1(14,28) 7(100) J 0(0) 0(0) 2(100) 0(0) 0(0) 2(100) Ket: JK = Jaringan Kerja B = Bersosialisasi KL = Kelestarian Lingkungan PB = Pengetahuan bibit bakau U = Uang Kontrol yang dimiliki oleh anggota PAPELING perempuan atas manfaat kelestarian lingkungan dan pengetahuan mengenai bibit bakau tidak sebesar akses terhadap manfaat tersebut. Hal ini iterjadi pada anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal jauh dari lokasi rehabilitasi. Di bawah ini merupakan penuturan salah satu anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal jauh dari lokasi rehabilitasi :...Saya kan tinggal di dusun tiga, jadi jauh dari tempat pembibitan bakau itu, lama-lama jadi males kesana...kesananya itu nguras tenaga...soalnya ke sana jalan kaki..... (Pernyataan Ibu Shj, Dari Dusun 3, Didokumentasikan Bulan Juli, tahun 2007). Kesimpulan yang dapat ditarik adalah faktor internal tidak mempengaruhi besar-kecilnya kontrol atas manfaat yang dirasakan oleh anggota PAPELING. Adapun hubungan yang ada hanya sebatas menjelaskan jumlah dan persentase manfaat yang dapat dikontrol oleh anggota PAPELING berdasarkan faktor internal seperti demografis rumah tangga, pola nafkah dan teritorial tempat tinggal. Selanjutnya, rentang kontrol atas beberapa manfaat gerakan tidak jauh berbeda dengan sebaran akses terhadap manfaat gerakan. Sebagian besar manfaat

207 gerakan yang paling banyak dikontrol adalah manfaat dalam bentuk uang. Manfaat tersebut dikontrol baik oleh anggota PAPELING laki-laki maupun perempuan pada semua kategori berdasarkan demografis rumah tangga, pola nafkah dan teritorial tempat tinggal. Manfaat gerakan dalam bentuk jaringan kerja, kelestarian lingkungan dan pengetahuan mengenai bibit bakau dikontrol oleh anggota PAPELING dalam porsi yang berbeda dengan akses terhadap manfaat tersebut. Manfaat gerakan dalam bentuk jaringan kerja dikontrol lebih sedikit oleh anggota PAPELING lakilaki dari pada akses terhadap manfaat tersebut. Secara khusus hal ini terjadi pada anggota PAPELING laki-laki yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga lanjut. Hal ini juga terjadi pada anggota PAPELING laki-laki yang termasuk ke dalam kategori pola nafkah sangat tergantung dengan sumberdaya laut dan bertempat tinggal jauh dari lokasi rehabilitasi. Sedangkan manfaat gerakan dalam bentuk kelestarian lingkungan dikontrol dalam porsi yang lebih sedikit daripada aksesnya oleh anggota PAPELING laki-laki yang termasuk ke dalam kategori pola nafkah tidak tergantung dengan sumberdaya laut. Manfaat kelestarian lingkungan dan pengetahuan mengenai bibit bakau dikontrol lebih sedikit daripada aksesnya oleh anggota PAPELING perempuan. Hal ini secara khusus terjadi pada anggota PAPELING yang termasuk kedalam kategori demografis rumah tangga lanjut. Hal ini juga terjadi pada anggota PAPELING perempuan yang memiliki pola nafkah tidak tergantung dengan sumberdaya laut dan bertempat tinggal jauh dari lokasi rehabilitasi. Sedangkan manfaat uang dan bersosialisasi tidak mengalami perubahan rentang pada semua

208 kategori berdasarkan demografis rumah tangga, pola nafkah dan teritorial tempat tinggal. Di luar konteks rentang akses dan kontrol terhadap manfaat yang dirasakan oleh anggota PAPELING, pada dasarnya terdapat intervensi elit lokal sebagai organisasi gerakan lingkungan. Beberapa anggota PAPELING yang merasakan manfaat gerakan dalam bentuk jaringan kerja sebagian besar adalah orang-orang yang dekat dengan actor gerakan sosial. Orang-orang tersebut pada dasarnya juga memangku jabatan sebagai pengurus organisasi gerakan lingkungan tersebut. Sebagai sektor ketiga yang memperjuangkan isu lingkungan, mereka bertanggung jawab atas segala sesuatunya yang terjadi pada kelompok tersebut. Keberlanjutan manfaat yang dirasakan oleh seluruh anggota PAPELING ditentukan oleh konsistensi para pengurus organisasi gerakan lingkungan dalam menjalankan agenda kelompok. Karena, sebagian besar anggota kelompok PAPELING belum memiliki kemampuan yang cukup untuk terus menggerakan kelompok tanpa campur tangan pengurus kelompok. Artinya, kontrol sepenuhnya berada pada tangan pengurus kelompok Faktor Eksternal Sebagai Faktor Pendukung Faktor Internal yang Mempengaruhi Akses dan Kontrol dalam Pelaksanaan dan Manfaat Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau Kondisi ekonomi negara yang tidak kunjung membaik dari keterpurukan mempengaruhi akses dan kontrol anggota PAPELING baik laki-laki maupun perempuan. Karena tekanan ekonomi, sebagian besar masyarakat Desa Sidodadi khususnya anggota PAPELING mengupayakan pekerjaan sampingan guna menopang keberlangsungan hidup mereka. Dalam proses pengupayaan penghasilan tambahan inilah, masyarakat Desa Sidodadi khususnya anggota

209 PAPELING berusaha akses terhadap usaha-usaha ekonomi kelompok. Usahausaha ekonomi kelompok yang ada saat ini muncul akibat keberhasilan gerakan rehabilitasi hutan bakau seluas 60 hektar yang mereka usung pada tahun Mereka (baca : PAPELING) menjadikan pembibitan bakau sebagai usaha kelompok yang dapat diakses oleh anggota-anggotanya. Bagi mereka yang menggantungkan hidupnya dengan memanfaatkan sumberdaya laut, mengakses usaha pembibitan kelompok memberikan manfaat ganda. Selain mendatangkan tambahan penghasilan, mereka juga dapat sekaligus melestarikan hutan bakau. Selanjutnya, bagaimana kondisi ekonomi ditingkat lokal mempengaruhi akses dan kontrol anggota PAPELING telah dibahas pada hubungan ketergantungan pola nafkah dengan akses dan kontrol dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Perbedaan akses dan kontrol antara laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan rehabilitasi tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang tidak merata. Meskipun tidak dapat dibuktikan secara nyata dan tidak berhubungan cukup signifikan, rendahnya tingkat pendidikan tersebut ikut mempengaruhi kemampuan yang dimiliki oleh anggota PAPELING dalam mengakses berbagai kegiatan dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Hal ini terlihat dari akses dan kontrol pada pembagian kerja secara seksual yang memperlihatkan wilayah garapan pekerjaan yang berbeda-beda. Laki-laki cenderung mengerjakan pekerjaan yang mnyangkut pemahaman wilayah agronomis yang luas seperti pemahaman kondisi wilayah dan penentuan lokasi penanaman. Sedangkan perempuan cendeung mengerjakan pekerjaan yang menyangkut pemahaman wilayah agronomis yang lebih sempit seperti pada

210 pembibitan yang terdiri dari penseleksian buah bakau, pengisian polyback hingga pengaturan polyback. Sedangkan perbedaan akses dan kontrol antara laki-laki dan perempuan terhadap manfaat gerakan tersebut pada dasarnya merupakan manifestasi dari diferensiasi akses dan kontrol mereka dalam pelaksanaan gerakan. Karena, analisis terhadap manfaat tidak dapat dilepaskan dari analisis mengenai akses dan kontrol dalam pelaksanaan di mana, akses dan kontrol terhadap beberapa jenis kegiatan dalam pelaksanaan pada dasarnya memberikan jenis-jenis manfaat yang berbeda pula. Faktor pendukung yang paling mendasar dalam mempengaruhi perbedaan akses dan kontrol antar anggota PAPELING laki-laki dan perempuan ialah kondisi sosial budaya dan sistem norma yang berlaku di masyarakat tersebut. Sebagian besar sistem norma yang berlaku di Desa Sidodadi mengacu pada ideologi patriarkhi. Merujuk pada (Handayani & Sugiarti, 2001) yang menyatakan bahwa patriarkhi sistem otoritas yang berdasarkan kekuasaan laki-laki, sistem yang mengejewantahkan melalui institusi-institusi sosial, politik dan ekonomi. Dalam hal ini patriarkhi didefinisikan bahwa laki-laki memegang kekuasaan atas semua peran penting dalam masyarakat, pemerintahan, militer, pendidikan, industri, agama, dan sebagainya. Namun pada dasarnya sistem norma yang berlaku di masyarakat tersebut tidak menutup kesempatan perempuan untuk mengakses kegiatan dan manfaat dari gerakan rehabilitasi tersebut. Dalam masyarakat juga tidak berlaku anggapan bahwa perempuan dianggap tidak pantas untuk melakukan kegiatan-kegiatan kelompok di tingkat desa. Sistem norma tersebut juga tidak melarang perempuan untuk menentukan keputusan-keputusan baik yang berkaitan dengan kepentingan dirinya sendiri, sesama kaumnya dan

211 juga kepentingan masyarakat bersama. Sistem norma yang mengutamakan lakilaki ini telah sedikit terbuka menerima perubahan tersebut namun, belum sepenuhnya memberikan ruang bagi perempuan untuk ikut menentukan keputusan-keputusan di tingkat kelompok atau desa. Hal ini mengarahkan pada sebuah analisa baru mengenai pelaku yang menjalankan sistem norma itu sendiri. Struktur organisasi gerakan lingkungan (baca : PAPELING) di mana pengurus merupakan orang yang memiliki kekuasaan dalam menentukan keberlanjutan PAPELING merupakan salah satu pelaku yang ikut menjalankan sistem norma yang berlaku di masyarakat tersebut. Sebagian besar pengurus kelompok adalah kaum laki-laki. Dalam konteks seperti ini, dapat ditarik analisis bahwasanya ketidakmampuan perempuan dalam mengakses dan mengontrol beberapa kegiatan pelaksanaan dan manfaat gerakan datang dari pelaku sistem norma yang masih memberlakukan atribut-atribut sosial yang melekat pada diri perempuan. Hal tersebut terlihat dari masih berlakunya anggapan-anggapan mengenai peran tradisional perempuan yang termanifestasikan dalam pembagian kerja secara seksual ditingkat lokal. Kondisi diatas, menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat lokal khsusnya di kalangan kepengurusan organisasi gerakan lingkungan (baca : PAPELING) yang didominasi oleh laki-laki, kurang dapat mempertimbangkan posisi perempuan sebagai masyarakat desa yang tentunya memiliki aspirasi dan kepentingan yang tidak selalu sama dengan mereka. Sehingga dapat dikatakan bahwa keadaan di atas belum menunjukkan adanya kesetaraan gender dalam kehidupan bermasyarakat di daerah tersebut.

212 7.4. Kondisi Perempuan di Tingkat Lokal Keterlibatan perempuan dalam PAPELING pada awalnya hasil inisiatif dari Pak Hrs sebagai ketua dan pendiri dari PAPELING. Keterlambatan terlibatnya perempuan dalam gerakan tersebut karena pada dasarnya perempuan tidak termasuk dianggap sebagai mitra dalam menggagas gerakan rehabilitasi tersebut. Gagasan dan perencanaan semuanya tidak melibatkan perempuan. Perempuan baru kemudian dilibatkan pada saat pelaksanaan gagasan gerakan rehabilitasi hutan bakau di lapangan. Perempuan dilibatkan pada kegiatan pembibitan untuk melakukan kegiatan menseleksi buah bakau, menyiapkan polyback, mengisi polyback, dan mengatur polyback. Perempuan yang bekerja mendapatkan upah Rp. 15,-00 untuk penyiapan polyback dan tanah, Rp. 10,-00 untuk mengisi bibit kedalam polyback sehingga total insentif bila pekerja itu melakukan dua pekerjaan sekaligus adalah Rp. 25,-00. Untuk orang yang melakukan pencarian bibit jika diluar kelompok PAPELING bibitnya akan dibeli oleh PAPELING dengan harga Rp. 25,-00. Namun jika orang tersebut merupakan anggota PAPELING maka akan dibeli Rp. 50,-00. Harga dikelompok memang sengaja lebih tinggi dari pada harga ditempat lain karena ingin menguntungkan anggota kelompok juga. Melihat konteks keterlibatan perempuan dalam PAPELING, merupakan suatu titik dimana adanya kesadaran kesetaraan gender dalam komunitas tersebut. Namun melihat posisi dan peranan perempuan dalam gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau, tingkat kesadaran gender masih semu. Keterlibatan perempuan dalam gerakan tersebut justru hanya sebagai pemanfaatan jasa tenaga dalam jumlah besar. Dalam konteks tersebut, keterlibatan perempuan tidak didasarkan

213 atas pertimbangan gagasan, kepentingan serta kebutuhan perempuan terhadap pelaksanaan gerakan rehabilitasi tersebut. Dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat keorganisasian, perempuan tidak dilibatkan. Selama dalam proses penggagasan ide, perencanaan kegiatan serta penentuan keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat bersama hanya diputuskan oleh anggota PAPELING laki-laki saja. Ketidakterlibatan perempuan dalam kegiatan yang bersifat keorganisasian terlihat pada ketidakhadiran mereka dalam setiap rapat kelompok. Kegiatan rapat kelompok dilaksanakan setiap satu bulan sekali yang berfungsi untuk melakukan evaluasi pada setiap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh PAPELING. Ketidakhadiran perempuan dalam pertemuan tersebut diakibatkan oleh pemilihan waktu yang kurang tepat dengan waktu perempuan. Rapat diadakan malam hari karena mereka menganggap kegiatan sosial bisa dilakukan pada malam hari. Pada malam hari perempuan masih mengerjakan tugas reproduktif yang sudah menjadi peran tradisional mereka. Sehingga, hal-hal yang bersifat normatif tersebut menghalangi aksesibilitas perempuan untuk dapat berperan di sektor publik. Hal tersebut senada dengan apa yang dituturkan oleh salah satu anggota perempuan berikut:...kalo mau keluar malem-malem ibu kan pada repot...malam-malam kan masih harus ngurusin anak, udah gitu saya juga takut untuk keluar malam hari...takut ada bahaya di jalan.... (Pernyataan Ibu Jnn, Dari ringgung, Didokumentasikan Bulan Agustus Tahun 2007). Pemilihan waktu untuk mengadakan kegiatan rapat keorganisasian di atas, merupakan salah satu bentuk gagasan yang kurang sensitif gender. Mereka

214 menetapkan waktu dimana, secara normatif perempuan tidak dapat ikut serta dalam rapat tersebut. Padahal, dalam rapat tersebut perempuan semestinya dapat megeluarkan apa yang menjadi pemikiran, kepentingan dan kebutuhan mereka dalam penyelenggaraan rehabilitasi hutan bakau tersebut. Hal ini mengakibatkan semakin jauhnya gerakan rehabilitasi tersebut untuk diakses oleh perempuan. Dalam konteks tersebut, kesetaraan gender dalam akses dan kontrol dalam gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau sulit untuk diwujudkan. Begitupula dengan akses dan kontrol terhadap manfaat, dimana ketidaksetaraan tersebut berdampak pada ketidaksetaraan akses dan kontrol terhadap manfaat yang dirasakan oleh laki-laki maupun perempuan. Gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau pada dasarnya tidak secara spesifik melakukan upaya perbaikan posisi perempuan. Hal ini disebabkan oleh ketiadaanya pertimbangan akan posisi perempuan dalam agenda perjuangan mereka. Agenda perjuangan terpenting PAPELING diantaranya adalah perlindungan mempertahankan fungsi ekologis hutan bakau yang juga berdampak pada perjuangan ekonomi mereka. Namun, seiring dengan keberhasilan gerakan tersebut, telah membawa sedikit angin perubahan kondisi perempuan di tingkat lokal. Perubahan-perubahan tersebut terlihat dari Tabel 51.

215 Tabel 51. Tabel Perubahan Keadaan Perempuan Sebelum dan Sesudah Gerakan Rehabilitasi Lokal Hutan Bakau, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Tahun Aspek Perubahan Kemandirian Ekonomi Partisipasi Publik Kelembagaan Kesehatan Keadaan Perempuan Pra-Gerakan Terdapat banyak perempuan yang tidak bekerja, jika bekerja dalam konteks membantu pekerjaan suami. Perempuan kurang berpartisipasi dalam pelatihan dan penyuluhan. Kelompok perempuan hanya terbatas pada PKK dan pengajian wanita saja. Jumlah penderita malaria yang terus bertambah, termasuk ibuibu dan anak usia belita. Keadaan Perempuan Pasca-Gerakan Perempuan memiliki pekerjaan sendiri dengan menjadi buruh upahan pada usaha pembibitan bakau kelompok. Perempuan lebih berpartisipasi dalam berbagai penyuluhan & pelatihan tingkat desa. Bertambah dua kelompok perempuan yakni KISLAH dan Wanita Tani. Berkurangnya jumlah ibu dan anak yang menderita malaria. Perbaikan hutan bakau telah memindahkan tempat berkembangbiak nyamuk malaria. Perbaikan kondisi perempuan yang terlihat dari tabel diatas, juga menunjukkan bahwa hutan bakau memiliki manfaat yang besar. Di samping fungsi ekologis, hutan bakau juga memiliki fungsi sosial. Selain itu juga, tabel di atas menunjukkan pada dasarnya terdapat banyak kesempatan perempuan untuk berlatih dalam mengapresiasikan dirinya ditingkat publik, sayangnya kesempatan ini tidak diperhatikan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dalam menentukan keberlangsungan kelompok. Kesadaran yang mereka miliki terhadap perempuan hanya sebatas kesadaran akan partisipasi semu saja. Melihat kondisi ini, diperlukan upaya-upaya untuk lebih megintegrasikan perempuan dalam penentuan keputusan sehingga akan tercipta partisipasi aktif dikemudian hari. Merujuk pada kerangka pemberdayaan perempuan yang digagas oleh Sara H Longwe, PAPELING beserta dengan gerakan rehabilitasi yang dilakukan baru mencapai tahap pertama dan tahap kedua dari kerangka pemberdayaan perempuan. Keadaan yang mampu diubah oleh mereka baru mencapai

216 kesejahteraan ( zero level of women empowerment ) yang ditunjukkan dengan pencapaian pemerataan hanya dalam pemenuhan kebutuhan praktis seperti penambahan pendapatan, pengetahuan teknis, dan kelestarian hutan bakau. Selanjutnya, pada tahap dua mereka memberikan kesempatan pada anggota perempuan untuk mengakses sumberdaya kelompok dan manfaat dari gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau tersebut. Namun, aksesibilitasi ini seringkali terhambat oleh perbedaan gender yang terjadi pada komunitas tersebut. Hal ini terlihat dari ketidakseimbangan akses dan kontrol antara laki-laki dengan anggota PAPELING perempuan terhadap jenis-jenis kegiatan dan manfaat gerakan tertentu. Di mana, anggota PAPELING perempuan tidak memiliki akses dan kontrol atas sejumlah pelaksanaan kegiatan perencanaan dan persiapan rehabilitasi dan juga akses dan kontrol terhadap manfaat gerakan yang dapat menciptakan atau memperluas jaringan kerja atau kemitraan. Manfaat tersebut hanya dapat dirasakan oleh anggota PAPELING laki-laki saja. Keberhasilan sebuah gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau ditentukan oleh keterlibatan banyak pihak. Diantara beberapa pihak yang terlibat, perempuan merupakan agen signifikan dalam membantu tercapainya tujuan-tujuan gerakan tersebut. Namun, berdasarkan beberapa pemaparan di atas terlihat bahwa gerakan rehabilitasi lokal hutan tersebut yang dianggap berhasil dalam memenuhi mencapai tujuannya ternyata juga mengenyampingkan perempuan sebagai salah satu elemen dalam pelaku gerakan tersebut. Keberhasilan gerakan yang tidak berpihak bagi perempuan terlihat dari diferensiasi dan ketimpangan akses dan kontrol dalam pelaksanaan gerakan dan manfaat gerakan. Hal ini terlihat dari pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki dalam melakukan kegiatan-

217 kegiatan gerakan rehabilitasi. Kegiatan-kegiatan yang menyangkut pemahaman wilayah agronomis yang lebih luas lebih diakses dan dikuasai secara dominan oleh anggota laki-laki daripada anggota perempuan. Sedangkan anggota PAPELING perempuan justru hanya menguasai pemahaman wilayah agronomis yang lebih sempit yang hanya berpusat pada kegiatan pembibitan saja. Konteks diferensiasi dan ketimpangan dalam akses dan kontrol atas manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau terlihat dari perbedaan antara anggota PAPELING perempuan dan anggota PAPELING laki-laki dalam mengakses dan mengontrol beberapa manfaat gerakan. Anggota PAPELING lakilaki dapat mengakses keseluruhan manfaat yang diberikan oleh gerakan seperti uang, jaringan kerja, kelestarian lingkungan, bersosialisasi, dan pengetahuan mengenai bibit bakau. Namun, manfaat gerakan dalam bentuk jaringan kerja tidak dapat diakses dan di kontrol oleh anggota PAPELING perempuan. Melihat kondisi di atas, gerakan rehabilitasi tersebut pada dasarnya hanya memberikan manfaat dalam memenuhi kebutuhan praktis gender saja. Dalam gerakan tersebut tidak memperlihatkan adanya pemenuhan kebutuhan strategis gender yang menyangkut perubahan posisi perempuan di tingkat lokal. Hal ini terlihat dari masih berlakunya anggapan bahwa perempuan dianggap kurang pantas menentukan keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan bersama. Secara jelas hal ini terlihat dari tingkat kontrol angggota PAPELING perempuan dalam beberapa kegiatan pelaksanaan gerakan dan juga manfaat gerakan. Kontrol anggota PAPELING perempuan yang rendah dan ketiadaan kontrol atas sejumlah kegiatan pelaksanaan dan manfaat gerakan disebabkan oleh ketiadaannya kesempatan yang diberikan oleh perempuan utnuk mengisi salah satu jabatan

218 dalam kepengurusan organisasi gerakan lingkungan (baca : PAPELING). Sehingga memperlihatkan tidak ada perubahan pola hubungan yang setara antara perempuan dan laki-laki yang sebenarnya berguna bagi keberhasilan gerakan. Karena perempuan pada dasarnya memiliki potensi yang besar yang ikut menentukan keberhasilan gerakan.

219 BAB VIII PENUTUP Bagian ini merupakan bagian penutup dari penulisan penelitian ini. Bagian ini terdiri dua pokok bahasan. Bahasan pertama akan menyimpulkan hasil-hasil penelitian yang terkait dengan tujuan penelitian. Sedangkan pada bagian kedua akan menguraikan saran dari penulis dalam mengatasi kesenjangan antara teroritis dan kenyataan lapang. Sehingga dapat dijadikan bahan acuan bagi perbaikan kondisi di masa yang akan datang Kesimpulan Gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau yang digerakkan oleh Kelompok Masyarakat Peduli Lingkungan (PAPELING) merujuk pada ideologi shallow yang derajat pembelaannya terhadap alam jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan deep ecology. Hal terlihat dari agenda perjuangan yang mengaitkan antara kebutuhan ekologi dan kebutuhan ekonomi. Secara nyata, hal tersebut termanifestasikan melalui manfaat yang mereka dapat. Mereka mendapatkan tambahan penghasilan dengan ikut berpartisipasi dalam aktivitas gerakan rehabilitasi hutan bakau tersebut. Sementara itu, PAPELING sebagai sektor ketiga informal mengambil strategi substitusi atau saling menggantikan. Hal ini terlihat dari upaya PAPELING untuk membuat suatu legalitas hukum yang bertujuan untuk melindungi hasil usaha mereka dalam mempertahankan lingkungan mereka. Hal tersebut pada dasarnya adalah tugas pemerintah (baca : negara) sebagai pelaku pembangunan yang berwenang dalam menentukan kebijakan bertugas untuk memberikan perlindungan terhadap sumber-sumber penghidupan serta memberikan jaminan kelayakan hidup bagi penduduknya. Sedangkan dari aspek

220 korporasi atau pasar yang dalam konteks ini adalah perusahaan tambak, tugas mereka adalah memberikan manfaat kepada masyarakat sekitar sebagai bentuk tanggung jawab sosial (corporate social responsibility/csr). Anggota PAPELING laki-laki dan perempuan memiliki akses dan kontrol yang berbeda dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Perbedaan akses dan kontrol ini juga terjadi pada akses dan kontrol anggota PAPELING laki-laki dan perempuan terhadap manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Perbedaan akses anggota PAPELING laki-laki dan perempuan terhadap pelaksanaan gerakan terlihat dari pembagian kerja secara budaya antara laki-laki dan perempuan. Kegiatan-kegiatan yang menyangkut pemahaman wilayah agronomis yang lebih luas lebih dikuasai secara dominan oleh anggota laki-laki daripada anggota perempuan. Sedangkan anggota perempuan justru hanya menguasai pemahaman wilayah agronomis yang lebih sempit. Perbedaan kontrol antara anggota PAPELING laki-laki dengan anggota PAPELING perempuan terhadap pelaksanaan gerakan terlihat dari beberapa kegiatan yang dapat ditentukan baik oleh anggota PAPELING laki-laki maupun oleh anggota PAPELING perempuan. Kegiatan pemahaman kondisi wilayah, kegiatan menentukan lokasi penanaman dan kegiatan menentukan jarak tanam dikontrol sepenuhnya oleh anggota laki-laki. Sedangkan kegiatan pemeliharaan di kontrol baik oleh laki-laki maupun perempuan. Kondisi tersebut memperlihatkan adanya kesenjangan dan ketimpangan kontrol antara laki-laki dan perempuan terhadap pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Perbedaan akses dan kontrol anggota PAPELING laki-laki dan perempuan juga terlihat dari sebaran manfaat yang dapat diakses dan dikontrol secara berbeda

221 berdasarkan demografis rumah tangga, pola nafkah dan teritorial tempat tinggal. Manfaat gerakan dalam bentuk uang merupakan manfaat yang paling banyak diakses oleh anggota PAPELING baik laki-laki maupun perempuan berdasarkan demografis rumah tangga, pola nafkah dan teritorial tempat tinggal. Manfaat gerakan seperti kelestarian lingkungan, pengetahuan mengenai bibit bakau dan kesempatan bersosialisasi dirasakan oleh anggota PAPELING laki-laki dan perempuan. Namun, manfaat tersebut diakses secara berbeda oleh anggota PAPELING laki-laki dan perempuan. Manfaat gerakan dalam bentuk jaringan kerja merupakan manfaat yang hanya dapat dirasakan oleh anggota PAPELING laki-laki. Manfaat gerakan dalam bentuk bersosialisasi dan pengetahuan mengenai bibit bakau dirasakan dalam porsi yang lebih kecil dibandingkan dengan manfaat gerakan dalam bentuk uang, jaringan kerja dan kelestarian lingkungan oleh anggota PAPELING laki-laki. Sedangkan manfaat gerakan dalam bentuk uang dan kelestarian lingkungan merupakan manfaat yang dirasakan dalam porsi yang lebih besar oleh anggota PAPELING perempuan. Perbedaan kuantitas manfaat gerakan yang dirasakan oleh anggota PAPELING laki-laki dan perempuan merupakan manifestasi dari apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks gerakan. Kontrol terhadap manfaat jaringan kerja dikontrol lebih sedikit oleh anggota PAPELING laki-laki dari pada akses terhadap manfaat tersebut. Secara khusus hal ini terjadi pada anggota PAPELING laki-laki yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga lanjut. Hal ini juga terjadi pada anggota PAPELING laki-laki yang termasuk ke dalam kategori pola nafkah sangat tergantung dengan sumberdaya laut dan bertempat tinggal jauh dari lokasi

222 rehabilitasi. Manfaat kelestarian lingkungan dan pengetahuan mengenai bibit bakau dikontrol lebih sedikit daripada aksesnya oleh anggota PAPELING perempuan. Hal ini secara khusus terjadi pada anggota PAPELING yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga lanjut. Hal ini juga terjadi pada anggota PAPELING perempuan yang memiliki pola nafkah tidak tergantung dengan sumberdaya laut dan bertempat tinggal jauh dari lokasi rehabilitasi. Faktor internal seperti demografis rumah tangga, pola nafkah dan teritorial tempat tinggal mempengaruhi akses dan kontrol anggota PAPELING baik lakilaki maupun perempuan terhadap pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Namun, faktor internal tersebut tidak mempengaruhi akses dan kontrol anggota PAPELING baik laki-laki maupun perempuan terhadap manfaat gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Hubungan yang ada hanya berupa jumlah dan persentase sebaran manfaat yang dapat diakses maupun dikontrol oleh anggota PAPELING laki-laki dan perempuan berdasarkan demografis rumah tangga, pola nafkah dan teritorial tempat tinggal. Bagi anggota PAPELING perempuan faktor internal yang berhubungan dengan akses dalam pelaksanaan gerakan rehabilitsi lokal hutan bakau adalah demografis demografis rumah tangga yang dikaitkan dengan teritorial tempat tinggal dengan lokasi rehabilitasi. Namun faktor internal yang berhubungan secara signifikan dengan akses anggota PAPELING dalam pelaksanaan gerakan adalah faktor pola nafkah. Di mana, semakin tergantung pola nafkah anggota PAPELING perempuan terhadap sumberdaya laut, semakin tinggi akses mereka dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi tersebut. Namun, faktor internal seperti demografis rumah tangga, pola nafkah, dan teritorial tempat tinggal tidak

223 berhubungan dengan kontrol anggota PAPELING perempuan dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Hal ini terlihat dari banyaknya data kontrol yang disajikan pada tabel kontrol yang tidak menyebar normal. Sebagian besar data kontrol berpusat atau menumpuk pada satu kategori kontrol sehingga, analisis dari berbagai kategori demografis rumah tangga, pola nafkah dan teritorial tempat tinggal tidak memberikan gambaran rentang kontrol yang berbeda. Hal inilah yang menegaskan bahwa tinggi atau rendahnya kontrol anggota PAPELING perempuan tidak berhubungan dengan kategori-kategori pada ketiga faktor internal tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam konteks apa pun anggota PAPELING perempuan memang tidak memiliki kontrol yang memadai atas pelaksanaan gerakan tersebut daripada anggota PAPELING lakilaki. Namun, jika membandingkan kontrol sesama anggota PAPELING perempuan, terlihat bahwa anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga dini menempati kategori kontrol rendah dalam porsi yang lebih besar daripada anggota PAPELING perempuan yang termasuk ke dalam kategori demografis rumah tangga lanjut. Hal ini juga terjadi pada anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal sangat dekat dengan lokasi rehabilitasi yang mengisi porsi kategori kontrol rendah lebih banyak daripada anggota PAPELING perempuan yang bertempat tinggal dekat dan jauh dari lokasi rehabilitasi. Bagi anggota PAPELING laki-laki faktor internal yang berhubungan dengan akses dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau adalah faktor pola nafkah. Di mana, semakin tergantung pola nafkah anggota PAPELING laki-laki dengan sumberdaya laut maka semakin tinggi akses mereka dalam

224 pelaksanaan gerakan tersebut. Sedangkan faktor internal seperti demografis rumah tangga tidak berhubungan dengan akses anggota PAPELING laki-laki karena adanya pembagian kerja secara budaya, di mana peran-peran reproduktif seperti pengasuhan anak tidak diwajibkan untuk dilakukan oleh laki-laki. Sehingga kepemilikan anak baik di bawah atau di atas 10 tahun tidak mempengaruhi ruang gerak laki-laki untuk mengakses kegiatan pelaksanaan gerakan rehabilitasi tersebut. Selanjunya, faktor internal yang berhubungan dengan kontrol anggota PAPELING laki-laki dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi hutan bakau hanya faktor pola nafkah yang secara nyata digambarkan oleh Tabel 36 memiliki hubungan yang signifikan dengan kontrol anggota PAPELING laki-laki dalam pelaksanaan gerakan tersebut. Di mana pada tabel tersebut menunjukkan semakin tinggi tingkat ketergantungan pola nafkah anggota PAPELING laki-laki terhadap sumberdaya laut, maka semakin besar juga kontrol yang dimiliki oleh anggota PAPELING laki-laki. Pada konteks yang berbeda rentang akses dan kontrol terhadap manfaat yang dirasakan oleh anggota PAPELING, pada dasarnya terdapat intervensi elit lokal sebagai organisasi gerakan lingkungan. Beberapa anggota PAPELING yang merasakan manfaat gerakan dalam bentuk jaringan kerja sebagian besar adalah orang-orang yang dekat dengan actor gerakan sosial. Orang-orang tersebut pada dasarnya juga memangku jabatan sebagai pengurus organisasi gerakan lingkungan tersebut. Sebagai sektor ketiga yang memperjuangkan isu lingkungan, mereka bertanggung jawab atas segala sesuatunya yang terjadi pada kelompok tersebut. Keberlanjutan manfaat yang dirasakan oleh seluruh anggota PAPELING ditentukan oleh konsistensi para pengurus organisasi gerakan lingkungan dalam

225 menjalankan agenda kelompok. Karena, sebagian besar anggota kelompok PAPELING belum memiliki kemampuan yang cukup untuk terus menggerakan kelompok tanpa campur tangan pengurus kelompok. Artinya, kontrol sepenuhnya berada pada tangan pengurus kelompok. Kondisi ekonomi, pendidikan dan sistem norma merupakan faktor pendukung faktor internal dalam mempengaruhi akses dan kontrol laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi. Secara nyata hal ini terlihat dari sistem pengetahuan dan kemampun yang dimiliki oleh orang yang memiliki pola nafkah sangat tergantung dengan sumberdaya laut lebih baik daripada angota PAPELING laki-laki dalam kategori lainnya. Sehingga, hal inilah yang mendasari mereka memiliki akses dan kontrol yang lebih tinggi daripada akses dan kontrol anggota PAPELING lainnya dalam melakukan dan menentukan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan kegiatan pelaksanaan gerakan rehabilitasi. Selanjutnya, perbedaan kontrol antara anggota PAPELING laki-laki dan perempuan yang didominasi oleh kontrol anggota PAPELING laki-laki tidak lepas dari kondisi sosial budaya dalam sistem norma yang menganut ideologi patriarkhi. Di mana, laki-laki dianggap sebagai seseorang yang lebih pantas dalam menentukan keputusan-keputusan baik dalam aras mikro (rumah tangga) maupun aras meso (komunitas lokal). Konteks seperti ini terbawa dalam pembagian kerja dalam melakukan beberapa kegiatan dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau. Sehingga terdapat ketimpangan atau kesenjangan kontrol antara anggota PAPELING perempuan dengan anggota PAPELING laki-laki dalam pelaksanaan gerakan rehabilitasi tersebut.

226 Profil akses dan kontrol anggota PAPELING laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan dan manfaat gerakan rehabilitasi lokal hanya memberikan perubahan kondisi perempuan yang berkaitan dengan kesejahteran, kesehatan dan partisipasi dalam organisasi atau kelembagan saja, tetapi belum sampai merubah posisi perempuan yang berkaitan dengan penentuan keputusan-keputusan di tingkat lokal. Selain itu, jika merujuk pada kerangka pemberdayaan perempuan yang digagas oleh Sara H Longwe, PAPELING beserta dengan gerakan rehabilitasi yang dilakukan baru mencapai tahap pertama dan tahap kedua dari kerangka pemberdayaan perempuan. Keadaan yang mampu diubah oleh mereka baru mencapai kesejahteraan ( zero level of women empowerment ) yang ditunjukkan dengan pencapaian pemerataan hanya dalam pemenuhan kebutuhan praktis seperti penambahan pendapatan, pengetahuan teknis, dan kelestarian hutan bakau. Selanjutnya, pada tahap dua mereka memberikan kesempatan pada anggota perempuan untuk mengakses sumberdaya kelompok dan manfaat dari gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau tersebut. Keberhasilan sebuah gerakan rehabilitasi lokal hutan bakau ditentukan oleh keterlibatan banyak pihak. Di antara beberapa pihak yang terlibat, perempuan merupakan agen signifikan dalam membantu tercapainya tujuan-tujuan gerakan tersebut. namun, berdasarkan beberapa pemaparan di atas terlihat bahwa gerakan rehabilitasi lokal hutan tersebut yang dianggap berhasil dalam memenuhi mencapai tujuannya ternyata juga mengenyampingkan perempuan sebagai salah satu elemen dalam pelaku gerakan tersebut. Keberhasilan gerakan yang tidak berpihak bagi perempuan terlihat dari diferensiasi dan ketimpangan akses dan kontrol dalam pelaksanaan gerakan dan manfaat gerakan. Hal ini terlihat dari

227 pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki dalam melakukan kegiatankegiatan gerakan rehabilitasi. Kegiatan-kegiatan yang menyangkut pemahaman wilayah agronomis yang lebih luas lebih diakses dan dikuasai secara dominan oleh anggota laki-laki daripada anggota perempuan. Sedangkan anggota PAPELING perempuan justru hanya menguasai pemahaman wilayah agronomis yang lebih sempit yang hanya berpusat pada kegiatan pembibitan saja. Anggota PAPELING laki-laki dapat mengakses keseluruhan manfaat yang diberikan oleh gerakan seperti uang, jaringan kerja, kelestarian lingkungan, bersosialisasi, dan pengetahuan mengenai bibit bakau. Namun, manfaat gerakan dalam bentuk jaringan kerja tidak dapat diakses dan di kontrol oleh anggota PAPELING perempuan. Kesenjangan akses dan kontrol ini dipicu oleh ketiadaanya perempuan yang masuk dalam struktur kepengurusan organisasi gerakan lingkungan (baca : PAPELING) yang pada kenyataannya dapat memberikan manfaat berupa jaringan kerja. Ketiadaan perempuan masuk kedalam struktur kepengurusan kelompok PAPELING dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultur yang ada, dimana berlaku ideologi patriarki dalam kehidupan masyarakat Desa Sidodadi. Hal ini terlihat dimana sistem norma yang mengutamankan laki-laki tersebut perlahan sudah terbuka akan perubahan-perubahan yang terjadi pada pola hubungan antara lakilaki dan perempuan di aras masyarakat. Namun, pengurus PAPELING yang didominasi oleh laki-laki merupakan pelaku dari sistem norma yang berlaku kurang memberikan kepercayaan bagi perempuan untuk bisa memiliki akses dan kontrol yang sama dengan laki-laki. Hal ini dilandasi oleh anggapan mereka yang meilhat ketidakmampuan perempuan dalam menentukan keputusan-keputusan

228 yang berkaitan dengan kepentingan bersama. Namun, ketidakmampuan ini sepertinya tidak berusaha untuk dihilangkan. Kondisi di atas, menggambarkan gerakan rehabilitasi tersebut pada dasarnya hanya memberikan manfaat dalam memenuhi kebutuhan praktis gender saja. Dalam gerakan tersebut tidak memperlihatkan adanya pemenuhan kebutuhan strategis gender yang menyangkut perubahan posisi perempuan di tingkat lokal. Sehingga gerakan rehabilitasi tersebut memperlihatkan tidak ada perubahan pola hubungan yang setara antara perempuan dan laki-laki yang sebenarnya berguna bagi keberhasilan gerakan. Karena perempuan pada dasarnya memiliki potensi yang besar yang berkaitan dengan sehingga ikut menentukan keberhasilan gerakan Saran Kesenjangan akses dan kontrol anggota PAPELING perempuan dapat diatasi dengan memberikan kesempatan untuk dapat berartisipasi secara aktif dalam kelompok. Konteks kesempatan ini juga diberikan agar mereka dapat mengakses keputusan-keputusan ditingkat kelompok. Dalam menciptakan ajang kesempatan ini, diperlukan waktu dan kesadaran serta kelapangan hati dari pengurus anggota PAPELING melalui perombakan struktur kepengurusan. Setidaknya dari jabatan kepengurusan terdapat salah satu yang dipercayakan pada perempuan. Sehingga hal ini akan merangsang partisipasi anggota PAPELING perempuan lainnya untuk meningkatkan kemampuan mereka agar dapat mengelola kelompok. Hal ini juga sekaligus sebagai salah satu langkah untuk mengantisipasi ancaman eksistensi kelompok, karena baik laki-laki maupun

229 perempuan sama-sama memiliki potensi yang dapat diandalkan untuk meneruskan perjuangan kelompok. Perbaikan kondisi perempuan dapat menjadi jalan untuk perbaikan posisi perempuan dengan menata kembali agenda perjuangan yang lebih mempertimbangkan kepentingan dan kebutuhan perempuan. Perbaikan kondisi perempuan di tingkat kelompok dapat di tingkatkan dengan mengembangkan atau menggiatkan usaha kelompok bersama yang dikelola secara mandiri oleh perempuan, sehingga meningkatkan kemampuan mereka dalam berlatih menentukan keputusan-keputusan di tingkat kelompok. Langkah pertama yang bisa dilakukan dalam konteks memberikan kesempatan terhdap perempuan secara faktual dapat dimulai dengan memberikan kepercayaan sepenuhnya dan kesempatan seluasnya bagi perempuan untuk terlibat secara aktif pada usaha penangkaran bibit bakau. Penangkaran bibit tersebut tumbuh akibat keberhasilan gerakan rehabilitasi yang diusung oleh kelompok tersebut. Selain berhasil melakukan rehabilitasi, bibit bakau yang dihasilkan oleh PAPELING ternyata merupakan bibit bakau dengan kualitas terbaik, sehingga cocok untuk digunakan untuk merehabilitasi pantai-pantai disepanjang Pantai Timur Provinsi Lampung. Usaha tersebut dirintis dan dikelola oleh salah satu anggota PAPELING laki-laki. Keterlibatan prempuan dalam usaha kelompok tersebut disadari bahwa kemampuan yang dimiliki oleh perempuan tidak jauh berbeda dengan kemampuan yang dimiliki laki-laki. Hal ini terlihat dari akses dan kontrol mereka dalam beberapa kegiatan pelaksanaan gerakan yang bisa dijadikan bahan pelajaran dalam membuka usaha penangkaran bibit bakau. Bahkan diantara kegiatan tersebut, perempuan memiliki kemampuan khusus dalam kegiatan pembibitan.

230 Mereka terampil dalam mencari buah, menselesksi buah, menyiapkan polyback, mengisi polyback, mengatur polyback, mengangkut bibit, menanam dan memelihara. Keseluruhan kegiatan tersebut dapat diakses oleh perempuan sehingga memungkinkan mereka untuk dapat mengembangkan atau menggiatkan usaha kelompok bersama yang dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam berlatih menentukan keputusan-keputusan di tingkat kelompok. Dengan kondisi tersebut maka mereka memiliki kemampuan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan sebagai seseorang yang dapat menentukan keputusan-keputusan baik di tingkat kelompok maupun di tingkat lokal. Dalam konteks tersebut, secara tidak langsung dan lambat laun akan dapat memperbaiki posisi perempuan sebagai seseorang yang memiliki pemikiran, kepentingan dan kebutuhan yang berbeda dengan laki-laki. Fenomena centre of excellent yang mengancam eksistensi organisasi gerakan lingkungan (baca : PAPELING) merupakan manifestasi dari ketokohan absolut Pak Hrs dalam menggerakan kelompok. Sehingga untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan suatu upaya regenerasi kelompok yang berlangsung secara konsisten. Hal ini bisa dimulai dengan ikut mengajak pemuda-pemudi di desa tersebut agar dapat meneruskan perjuangan lingkungan mereka. Diharapkan dengan masuknya kalangan pemuda dalam keanggotaan PAPELING dapat meningkatkan antisipasi terhadap ancaman ekistensi kelompok. Selain itu, anggota kelompok yang ada di PAPELING sebaiknya diberikan kesempatan yang merata dalam mendapatkan pelatihan, penyuluhan maupun keikutsertaan dalam lokakarya dan seminar. Konteks keterlibatan juga seharusnya diberikan pada

231 anggota PAPELING perempuan. Sehingga kesenjangan akses dan kontrol dalam kelompok tersebut dapat diminimalisir.

232 DAFTAR PUSTAKA Aditjondro, George J., Pola-Pola Gerakan Lingkungan : Refleksi Untuk Menyelamatkan Lingkungan Dari Ekspansi Modal. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Beneria Reproduction, Production and The Sexual Division of Labour. In : Cambridge Journal of Economics: Kumpulan Artikel Latihan Masalah-Masalah Wanita Untuk Penelitian Sektor Non-Pertanian Jawa Barat. PSP-IPB, ISS dan PPLH-ITB. 27 Maret-1 April Bogor. Budiyanto Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sistem Mangrove Pulau Kecil Berpenghuni (Studi Kasus di Pulau Bancang Besar, Kelurahan Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Adminitrasi Kepulauan Seribu, DKI jakarta). Tesis. Pasca sarjana IPB. Bogor. Dharmawan, A. H (tidak diterbitkan), Bahan Mata Kuliah Ekologi Politik Pedesaan Program Doktor Sosiologi Pedesaan (SPD). Sekolah Pascasarjana IPB. Bogor. Fakih M Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Handayani, T.,Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Pusat Studi Wanita dan Kemasyarakatan. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang. Harja, Hendra Rama Partisipasi Masyarakat dalam Pelestarian Hutan Mangrove (Studi Kasus di Desa Durian dan Desa Sidodadi Kecamatan Padang Cermin Kabupaten Lampung Selatan). Pasca Sarjana, IPB. Bogor. Hidayati, Ulfa Ketiadaan dalam Keberadaan, Studi Kasus Tentang Beban Berlebih Pada Perempuan Petani di Dua Desa dalam Kawasan Ekosistem Halimun. Dalam Tanah Masih Langit. Yayasan Kemala. Bogor. Khazali, M Panduan Teknis Penanaman Mangrove Bersama Masyarakat. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor.

233 Matsui, Yayori Perempuan Asia : Dari Penderitaan Menjadi Obor Indonesia. Jakarta. Kekuatan. Moser, Caroline Gender Planning in Third World : Meeting Practical and Strategic Gender Needs. In World Development, Pergamon Press, Vo.17 No.11 pp Mosse JC Gender dan Pembangunan. Silawati H, penerjemah. Rifka Annisa Women s Crisis Centre dan Pustaka Pelajar. Yogyakarta Terjemahan dari: Half the World, Half A Chance. Ollenburger, Jane C. dan Moore, Helen A, Sosiologi Wanita. Rineka Cipta. Jakarta. Pratama, Meidia Perempuan dalam Ketimpangan Akses Terhadap Sumberdaya Alam. Dalam Tanah Masih di Langit. Yayasan Kemala. Bogor. Pudjiwati Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa. CV. Rajawali. Jakarta. Saptari, R dan Holzner, B., Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial (Sebuah Pengantar Studi Perempuan). Yayasan Kalyanamitra. Jakarta. Shiva V Bebas dari Pembangunan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: Staying Alive: Women, Ecology and Survival in India. dan Mies M Ecofeminism: Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan. Ismunanto K dan Lilik, penerjemah. IRE Press. Yogyakarta Terjemahan dari: Ecofeminism. Simatauw, M., Simanjuntak, L., dan Kuswardono, P.T Gender dan Pengelolaan Sumber Daya Alam : Sebuah Panduan Analisis. Yayasan Penguatan Institusi dan Kapasitas Lokal (PIKUL). Kupang. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi Metode Penelitian Survei. PT Pustaka LP3ES. Jakarta. Sitorus, MT. Felix Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Kelompok Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial. Bogor.

234 Suryaalam, Maria R., Hak Perempuan Atas Sumberdaya Alam : Sebuah Analisa Atas Kebijakan Negara Yang Formalistik. Dalam Tanah Masih di Langit.Yayasan Kemala. Bogor. Sztompka P Sosiologi Perubahan Sosial. Alimandan, penerjemah. Prenada Media. Jakarta. Terjemahan dari: The Sociology of Social Change. Yasuko Inoue, et. All Model Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Kerjasama Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia & JICA. Terjemahan dari Sustainable Managements Models for Mangrove Forest.

235 LAMPIRAN

236 Lampiran 2. Rekapitulasi Data Responden Penelitian No Nama Jenis Kelamin Umur Pendidikan Pekerjaan Tempat Tinggal Demografis Rumah Tangga Lanjut 1. Jnb P 49 T. Tmt SD Petani coklat, buruh upahan Ringgung 2. Jnn P 35 SD Buruh upahan Ringgung Dini 3. Byg L 51 SLTP Menyewakan Ringgung Lanjut pondok peristirahatan di Pantai Ringgung, mengumpulkan barang bekas, pembibitan udang 4. Csd L 37 SD Buruh bangunan, petani subsisten, buruh upahan 5. Lnd L 50 T. Tmt SD Pengrajin rumah apung dan bagan, budidaya teripang dan rumput laut, usaha keramba Ringgung Ringgung Dini Lanjut 6. Ant L 43 SD Buruh bangunan, Dusun 1 Lanjut buruh upahan 7. Trn P 22 SLTP Buruh upahan Ringgung Dini 8. Rhy P 45 SLTP Buruh upahan Ringgung Lanjut 9. Nsh P 30 SD Berjualan di Pantai Ringgung, buruh upahan Ringgung Dini 10. Shy P 45 SD Berjualan di Pantai Ringgung, buruh upahan 11. Alr L 68 SD Usaha toko kelontong 12. Jsm L 58 SD Buruh tani, buruh upahan, usaha keramba Ringgung Dusun 2 Ringgung Lanjut Lanjut Lanjut 13. Dwy L 43 SLTA PNS, petani Dusun 2 Lanjut 14. Hrr L 75 SD Petani, buruh Dusun 1 Lanjut upahan 15. Smn P 50 SD Petani, buruh Dusun 1 Lanjut upahan 16. Khr P 30 SD Buruh upahan Dusun 1 Dini 17. Skm L 36 SLTP Petani, pedagang, Dusun 1 Lanjut buruh upahan 18. Dhg L 40 SD Petani Ringgung Lanjut 19. Mrd L 30 SD Petani, buruh Dusun 1 Dini upahan 20. Utg L 39 SLTA Nelayan, penangkar Ringgung Lanjut tanaman bakau 21. Srd L 35 SD Petani subsisten, buruh tani 22. Asm L 50 SD Petani, buruh upahan Dusun 1 Dusun 1 Lanjut Lanjut

237 23. Jyo L 47 T. Tmt SD Nelayan Ringgung Lanjut 24. Pla L 60 T. Tmt SD Petani, buruh Ringgung Lanjut upahan 25. Rpk L 50 SD Buruh nelayan Ringgung Lanjut 26. Nng P 29 SD Buruh upahan Ringgung Dini 27. Msn P 40 SD Buruh upahan Dusun 1 Lanjut 28. Ksm L 46 SD Petani, buruh Dusun 1 Lanjut upahan 29. Smr P 60 SD Buruh tani, buruh Dusun 1 Lanjut upahan, pedagang 30. Sph P 41 SLTP Guru ngaji, buruh Dusun 1 Lanjut upahan 31. Tjh P 50 SD Petani, Buruh Dusun 3 Lanjut upahan 32. Hnd P 50 SD Petani, buruh Dusun 1 Lanjut upahan 33. Ngd P 60 SD Petani, buruh Dusun 1 Lanjut upahan 34. Shj P 57 T. Tmt Petani Dusun 3 Lanjut SLTP 35. Skr L 47 SD Buruh tani, buruh Ringgung Lanjut upahan 36. Hrs l 55 SLTA Petani, usaha Dusun 1 Lanjut keramba 37. Rkm L 37 SD Buruh tani, buruh Dusun 1 Dini upahan 38. Rmn L 46 SD Petani, kepala Dusun 2 Lanjut dusun 39. Jmd L 38 SLTP Petani, sekretaris Dusun 3 Lanjut desa 40. Rsy L 37 SLTP Buruh upahan, Dusun 1 Dini pedagang solar di tambak, kepala urusan desa 41. Skk L 25 SD Buruh nelayan Ringgung Dini 42. Slh L 23 SD Buruh nelayan Ringgung Dini 43. Iwn L 34 SD Buruh nelayan Ringgung Dini 44. Krs L 32 SD Buruh nelayan Ringgung Dini 45. Urp L 35 SD Buruh nelayan Ringgung Dini 46. Lst P 24 T. Tmt SD Petani Dusun 3 Dini 47. Rdy P 28 SD Buruh upahan Ringgung Dini 48. Fat P 20 SD Buruh upahan Ringgung 49. End P 26 T. Tmt SD Buruh upahan, Dusun 2 Dini Dini petani subsisten 50. Ksn L 48 SD Buruh nelayan Ringgung Lanjut

238 Lampian 3. Kegiatan Penelitian di Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Provinsi Lampung, Tahun Gambar 16. Kegiatan Diskusi Kelompok Terarah dengan Anggota PAPELING Laki-Laki, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Lampung Selatan, Tahun Gambar 17. Kegiatan Diskusi Kelompok Terarah dengan Anggota PAPELING Perempuan, Desa Sidodadi, Kecamatan Padang Cermin, Lampung Selatan, Tahun 2007.

ANALISIS GENDER DALAM GERAKAN REHABILITASI LOKAL HUTAN MANGROVE

ANALISIS GENDER DALAM GERAKAN REHABILITASI LOKAL HUTAN MANGROVE ANALISIS GENDER DALAM GERAKAN REHABILITASI LOKAL HUTAN MANGROVE (BAKAU) PADA KELOMPOK MASYARAKAT PEDULI LINGKUNGAN (PAPELING) DI DESA SIDODADI, KECAMATAN PADANG CERMIN, KABUPATEN LAMPUNG SELATAN, PROPINSI

Lebih terperinci

STUDI GENDER DALAM PROGRAM PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO (PLTMH) BAGI RUMAHTANGGA MISKIN

STUDI GENDER DALAM PROGRAM PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO (PLTMH) BAGI RUMAHTANGGA MISKIN STUDI GENDER DALAM PROGRAM PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA MIKROHIDRO (PLTMH) BAGI RUMAHTANGGA MISKIN (Kasus di Desa Cinta Mekar, Kecamatan Serangpanjang, Kabupaten Subang, Propinsi Jawa Barat) Oleh: ERNA SAFITRI

Lebih terperinci

PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA

PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA (Dusun Jatisari, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

KEEFEKTIFAN KOMUNIKASI ORGANISASI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN WEAVING PT. UNITEX TBK, BOGOR

KEEFEKTIFAN KOMUNIKASI ORGANISASI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN WEAVING PT. UNITEX TBK, BOGOR KEEFEKTIFAN KOMUNIKASI ORGANISASI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KINERJA KARYAWAN DI BAGIAN WEAVING PT. UNITEX TBK, BOGOR Oleh EVITA DWI PRANOVITANTY A 14203053 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

ANALISIS GENDER DALAM PROGRAM DESA MANDIRI PANGAN

ANALISIS GENDER DALAM PROGRAM DESA MANDIRI PANGAN ANALISIS GENDER DALAM PROGRAM DESA MANDIRI PANGAN (Studi Kasus: Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah) Oleh: SITI NURUL QORIAH A14204066 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

POLA PENGGUNAAN DAN DAMPAK INTERNET DI KALANGAN MAHASISWA INSTITUT PERTANIAN BOGOR (Kasus Mahasiswa Strata 1 Fakultas Ekologi Manusia)

POLA PENGGUNAAN DAN DAMPAK INTERNET DI KALANGAN MAHASISWA INSTITUT PERTANIAN BOGOR (Kasus Mahasiswa Strata 1 Fakultas Ekologi Manusia) POLA PENGGUNAAN DAN DAMPAK INTERNET DI KALANGAN MAHASISWA INSTITUT PERTANIAN BOGOR (Kasus Mahasiswa Strata 1 Fakultas Ekologi Manusia) Oleh: Sushane Sarita A14203008 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN MEROKOK

PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN MEROKOK PERSEPSI TERHADAP PERATURAN LARANGAN MEROKOK (Kasus : Perokok Aktif di Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Kotamadya Jakarta Selatan) Oleh DYAH ISTYAWATI A 14202002 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

Oleh: RESTU DIRESIKA KISWORO A

Oleh: RESTU DIRESIKA KISWORO A PERSEPSI IDENTITAS GENDER DAN KONSEP DIRI TENTANG PERANAN GENDER (Kasus Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor Tahun Ajaran 2007/2008) Oleh: RESTU DIRESIKA KISWORO A 14204030 PROGRAM

Lebih terperinci

KINERJA PENYALURAN KREDIT UMUM PEDESAAN (KUPEDES) SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN USAHA NASABAH DI PT. BRI UNIT CITEUREUP CABANG BOGOR

KINERJA PENYALURAN KREDIT UMUM PEDESAAN (KUPEDES) SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN USAHA NASABAH DI PT. BRI UNIT CITEUREUP CABANG BOGOR KINERJA PENYALURAN KREDIT UMUM PEDESAAN (KUPEDES) SERTA DAMPAKNYA TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN USAHA NASABAH DI PT. BRI UNIT CITEUREUP CABANG BOGOR Disusun Oleh : SEVIA FITRIANINGSIH A 14104133 PROGRAM

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

ANALISIS KEPUASAN KERJA KARYAWAN PT PERKEBUNAN NUSANTARA VIII (Di Perkebunan Cisalak Baru-Bantarjaya, Kabupaten Lebak)

ANALISIS KEPUASAN KERJA KARYAWAN PT PERKEBUNAN NUSANTARA VIII (Di Perkebunan Cisalak Baru-Bantarjaya, Kabupaten Lebak) ANALISIS KEPUASAN KERJA KARYAWAN PT PERKEBUNAN NUSANTARA VIII (Di Perkebunan Cisalak Baru-Bantarjaya, Kabupaten Lebak) Oleh : ASTRID INDAH LESTARI A14103027 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGARUH PENDAYAGUNAAN ZAKAT TERHADAP KEBERDAYAAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN RUMAH TANGGA

PENGARUH PENDAYAGUNAAN ZAKAT TERHADAP KEBERDAYAAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN RUMAH TANGGA PENGARUH PENDAYAGUNAAN ZAKAT TERHADAP KEBERDAYAAN DAN PENGENTASAN KEMISKINAN RUMAH TANGGA (Kasus: Program Urban Masyarakat Mandiri, Kelurahan Bidaracina, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur) Oleh: DEVIALINA

Lebih terperinci

ANALISIS GENDER DALAM BUDIDAYA DAN PENGOLAHAN HASIL TANAMAN OBAT

ANALISIS GENDER DALAM BUDIDAYA DAN PENGOLAHAN HASIL TANAMAN OBAT ANALISIS GENDER DALAM BUDIDAYA DAN PENGOLAHAN HASIL TANAMAN OBAT (Studi Kasus Pengrajin Industri Rumah Tangga Pengolahan Tanaman Obat Kecamatan Rancabungur, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat) Oleh:

Lebih terperinci

DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN

DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN DAMPAK PEMBANGUNAN FASILITAS PARIWISATA TERHADAP PERUBAHAN STRUKTUR AGRARIA, KELEMBAGAAN DAN PELUANG USAHA DI PERDESAAN (Kasus di Sekitar Kawasan Pariwisata Kota Bunga, Desa Sukanagalih, Kecamatan Pacet,

Lebih terperinci

NILAI KERJA PERTANIAN PADA MAHASISWA BATAK TOBA (Kasus Pada Mahasiswa Batak Toba Angkatan Tahun 2005 Institut Pertanian Bogor)

NILAI KERJA PERTANIAN PADA MAHASISWA BATAK TOBA (Kasus Pada Mahasiswa Batak Toba Angkatan Tahun 2005 Institut Pertanian Bogor) NILAI KERJA PERTANIAN PADA MAHASISWA BATAK TOBA (Kasus Pada Mahasiswa Batak Toba Angkatan Tahun 2005 Institut Pertanian Bogor) Oleh: Rianti TM Marbun A14204006 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 1 KONDISI DAN DAMPAK PUTTING OUT SYSTEM TERHADAP RUMAHTANGGA PEKERJA PEREMPUAN (Kasus:Usaha Kecil Menengah Industri Tas, Desa Bojongrangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) OLEH : CUT AYA

Lebih terperinci

Oleh: RENNY YUSNIATI A PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Oleh: RENNY YUSNIATI A PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR LINGKUNGAN SOSIAL DAN MOTIVASI BELAJAR DALAM PENCAPAIAN PRESTASI AKADEMIK MAHASISWA (Kasus Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut Pertanian Bogor Tahun Ajaran 2007/2008) Oleh: RENNY YUSNIATI A 14204055

Lebih terperinci

ARTANTI YULAIKA IRIANI A

ARTANTI YULAIKA IRIANI A DISTRIBUSI KEPEMILIKAN LAHAN PERTANIAN DAN SISTEM TENURIAL DI DESA-KOTA (Kasus Desa Cibatok 1, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat) ARTANTI YULAIKA IRIANI A14204004 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

DAMPAK FRAGMENTASI LAHAN TERHADAP BIAYA PRODUKSI DAN BIAYA TRANSAKSI PETANI PEMILIK

DAMPAK FRAGMENTASI LAHAN TERHADAP BIAYA PRODUKSI DAN BIAYA TRANSAKSI PETANI PEMILIK DAMPAK FRAGMENTASI LAHAN TERHADAP BIAYA PRODUKSI DAN BIAYA TRANSAKSI PETANI PEMILIK (Kasus: Desa Ciaruteun Udik, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat) OLEH: CORRY WASTU LINGGA PUTRA

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L)

ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L) ANALISIS PENDAPATAN DAN EFISIENSI PENGGUNAAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI USAHATANI BELIMBING DEPOK VARIETAS DEWA-DEWI (Averrhoa carambola L) Oleh : AKBAR ZAMANI A. 14105507 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA INDUSTRI KECIL KERUPUK SANJAI DI KOTA BUKITTINGGI. Oleh YORI AKMAL A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA INDUSTRI KECIL KERUPUK SANJAI DI KOTA BUKITTINGGI. Oleh YORI AKMAL A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA INDUSTRI KECIL KERUPUK SANJAI DI KOTA BUKITTINGGI Oleh YORI AKMAL A14302024 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan kaum perempuan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, karena sebagai sumber daya manusia, kemampuan perempuan yang berkualitas sangat diperlukan.

Lebih terperinci

LEONARD DHARMAWAN A

LEONARD DHARMAWAN A ANALISIS PENGARUH PROGRAM PEMERINTAH TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN RUMAH TANGGA DI PEDESAAN MELALUI PROGRAM BANTUAN LANGSUNG TUNAI (BLT) DAN RAKSA DESA (Kasus Desa Cibatok Satu, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pemerintah menetapkan bahwa dalam kerangka pencapaian pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KAYU MANIS MENJADI KAKAO DI KECAMATAN GUNUNG RAYA KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI

ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KAYU MANIS MENJADI KAKAO DI KECAMATAN GUNUNG RAYA KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI ANALISIS KELAYAKAN FINANSIAL KONVERSI TANAMAN KAYU MANIS MENJADI KAKAO DI KECAMATAN GUNUNG RAYA KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI OLEH SUCI NOLA ASHARI A14302009 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN DEPO PEMASARAN IKAN (DPI) AIR TAWAR SINDANGWANGI Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Oleh : WIDYA ANJUNG PERTIWI A

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN DEPO PEMASARAN IKAN (DPI) AIR TAWAR SINDANGWANGI Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Oleh : WIDYA ANJUNG PERTIWI A ANALISIS STRATEGI PEMASARAN DEPO PEMASARAN IKAN (DPI) AIR TAWAR SINDANGWANGI Kabupaten Majalengka, Jawa Barat Oleh : WIDYA ANJUNG PERTIWI A14104038 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUASAN PETANI TEBU RAKYAT TERHADAP PELAKSANAAN KEMITRAAN PABRIK GULA XYZ

KAJIAN KEPUASAN PETANI TEBU RAKYAT TERHADAP PELAKSANAAN KEMITRAAN PABRIK GULA XYZ KAJIAN KEPUASAN PETANI TEBU RAKYAT TERHADAP PELAKSANAAN KEMITRAAN PABRIK GULA XYZ Oleh : Raden Luthfi Rochmatika A14102089 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hal ini menunjukan ekosistem mangrove mengalami tekanan-tekanan

I. PENDAHULUAN. Hal ini menunjukan ekosistem mangrove mengalami tekanan-tekanan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia saat ini mengalami peningkatan hilangnya sumber daya mangrove, begitu pula di Indonesia. Data dua puluh terakhir mengindikasikan total luas mangrove Indonesia telah

Lebih terperinci

KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA

KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (Kasus pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi)

Lebih terperinci

FAKTOR DAN DAMPAK KETIMPANGAN PENDIDIKAN PEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN PEREMPUAN (Kasus: Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

FAKTOR DAN DAMPAK KETIMPANGAN PENDIDIKAN PEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN PEREMPUAN (Kasus: Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) FAKTOR DAN DAMPAK KETIMPANGAN PENDIDIKAN PEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN PEREMPUAN (Kasus: Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh: Fitri Gayatri A14204020 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan selalu atau secara teratur digenangi oleh air laut atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut,

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENETAPAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH TERHADAP PENDAPATAN PETANI

EFEKTIVITAS PENETAPAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH TERHADAP PENDAPATAN PETANI EFEKTIVITAS PENETAPAN HARGA PEMBELIAN PEMERINTAH (HPP) GABAH TERHADAP PENDAPATAN PETANI (Kasus Kecamatan Binong, dan Kecamatan Pusakanagara, Kabupaten Subang, Jawa-Barat) Oleh: MILA YULISA A 14105572 PROGRAM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan agraris, dimana terdiri dari banyak pulau dan sebagian besar mata pencaharian penduduknya bercocok tanam atau petani. Pertanian

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN BAWANG GORENG di UD Cahaya Tani, Banjaratma, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes. Oleh : ARWANI AMIN A

ANALISIS STRATEGI PEMASARAN BAWANG GORENG di UD Cahaya Tani, Banjaratma, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes. Oleh : ARWANI AMIN A ANALISIS STRATEGI PEMASARAN BAWANG GORENG di UD Cahaya Tani, Banjaratma, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes Oleh : ARWANI AMIN A14103034 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS LOKASI OPTIMAL PUSAT PEMERINTAHAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI. oleh BENNI ADMAN A

ANALISIS LOKASI OPTIMAL PUSAT PEMERINTAHAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI. oleh BENNI ADMAN A ANALISIS LOKASI OPTIMAL PUSAT PEMERINTAHAN DALAM RANGKA PENGEMBANGAN WILAYAH DI KABUPATEN KERINCI PROVINSI JAMBI oleh BENNI ADMAN A14303006 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PRIMANA DEWI ALFIAN A PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PRIMANA DEWI ALFIAN A PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR ANALISIS PERMASALAHAN STRUKTURAL MASYARAKAT PETANI DAN PERAN PEMERINTAH DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN (Studi Kasus: Kelurahan Katulampa, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor, Jawa Barat) Oleh: SUKMA PRIMANA

Lebih terperinci

STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN

STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN STRATEGI RUMAHTANGGA NELAYAN DALAM MENGATASI KEMISKINAN (Studi Kasus Nelayan Desa Limbangan, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat) Oleh: ABDUL MUGNI A14202017 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

Oleh: ZAINUL AZMI A

Oleh: ZAINUL AZMI A FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN PETANI MENGIKUTI PROGRAM PENGELOLAAN HUTAN BERSAMA MASYARAKAT SERTA PENGARUHNYA TERHADAP PENDAPATAN DAN CURAHAN KERJA (Studi Kasus Desa Babakan, Kecamatan Tenjo,

Lebih terperinci

PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT

PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT PERANAN PESANTREN AL ZAYTUN TERHADAP PENINGKATAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI DI KECAMATAN GANTAR, KABUPATEN INDRAMAYU, JAWA BARAT OLEH: ARYANI PRAMESTI A 14301019 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN

Lebih terperinci

PERSEPSI PEKERJA INDUSTRI SKALA KECIL TENTANG PENDIDIKAN (Kasus : RW 09, Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor)

PERSEPSI PEKERJA INDUSTRI SKALA KECIL TENTANG PENDIDIKAN (Kasus : RW 09, Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor) PERSEPSI PEKERJA INDUSTRI SKALA KECIL TENTANG PENDIDIKAN (Kasus : RW 09, Desa Pagelaran, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor) Oleh : WAHYUNI RAHMIATI SIREGAR A14204045 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

ANALISIS EFEKTIVITAS KELOMPOK USAHA BERSAMA SEBAGAI PROGRAM PEMBERDAYAAN RAKYAT MISKIN PERKOTAAN

ANALISIS EFEKTIVITAS KELOMPOK USAHA BERSAMA SEBAGAI PROGRAM PEMBERDAYAAN RAKYAT MISKIN PERKOTAAN ANALISIS EFEKTIVITAS KELOMPOK USAHA BERSAMA SEBAGAI PROGRAM PEMBERDAYAAN RAKYAT MISKIN PERKOTAAN (Studi Kasus di Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan) Oleh: MUTIARA PERTIWI A14304025 PROGRAM STUDI EKONOMI

Lebih terperinci

SEGMEN DAN PENILAIAN KHALAYAK TERHADAP PROGRAM KOMEDI DI TELEVISI (Studi Kasus Acara Extravaganza dan Komedi Betawi)

SEGMEN DAN PENILAIAN KHALAYAK TERHADAP PROGRAM KOMEDI DI TELEVISI (Studi Kasus Acara Extravaganza dan Komedi Betawi) SEGMEN DAN PENILAIAN KHALAYAK TERHADAP PROGRAM KOMEDI DI TELEVISI (Studi Kasus Acara Extravaganza dan Komedi Betawi) Oleh NADIA PRIONA ERI SHANTI A14201018 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

Oleh : Dewi Mutia Handayani A

Oleh : Dewi Mutia Handayani A ANALISIS PROFITABILITAS DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI SAWAH MENURUT LUAS DAN STATUS KEPEMILIKAN LAHAN (Studi Kasus Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh : Dewi Mutia Handayani

Lebih terperinci

PEREMPUAN PENGUSAHA PADA INDUSTRI BORDIR (Kasus di Nagari Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat) Oleh:

PEREMPUAN PENGUSAHA PADA INDUSTRI BORDIR (Kasus di Nagari Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat) Oleh: PEREMPUAN PENGUSAHA PADA INDUSTRI BORDIR (Kasus di Nagari Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat) Oleh: GADI RANTI A09400002 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati sangat besar peranannya bagi kelangsungan hidup manusia. Alam memang disediakan untuk memenuhi kebutuhan manusia di bumi,

Lebih terperinci

MOTIF IBU RUMAH TANGGA PEMBACA MAJALAH WANITA (Kasus: Ibu Rumah Tangga Perumahan Taman Yasmin Sektor II, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor)

MOTIF IBU RUMAH TANGGA PEMBACA MAJALAH WANITA (Kasus: Ibu Rumah Tangga Perumahan Taman Yasmin Sektor II, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor) MOTIF IBU RUMAH TANGGA PEMBACA MAJALAH WANITA (Kasus: Ibu Rumah Tangga Perumahan Taman Yasmin Sektor II, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor) Oleh: Intan Kusumawardani A14204040 PROGRAM STUDI KOMUNIKASI

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI REMAJA PUTRI TERHADAP CITRA PEREMPUAN CANTIK DALAM IKLAN KOSMETIK DI TELEVISI DENGAN

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI REMAJA PUTRI TERHADAP CITRA PEREMPUAN CANTIK DALAM IKLAN KOSMETIK DI TELEVISI DENGAN HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI REMAJA PUTRI TERHADAP CITRA PEREMPUAN CANTIK DALAM IKLAN KOSMETIK DI TELEVISI DENGAN PENGGUNAAN PRODUK KOSMETIK OLEH REMAJA PUTRI (Kasus: SMUN 1 Bogor, Kota Bogor, Provinsi Jawa

Lebih terperinci

ANALISIS HUBUNGAN KOMPONEN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DENGAN KEMISKINAN DI PROPINSI JAWA BARAT. Oleh. Nia Kurniawati Hidayat A

ANALISIS HUBUNGAN KOMPONEN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DENGAN KEMISKINAN DI PROPINSI JAWA BARAT. Oleh. Nia Kurniawati Hidayat A ANALISIS HUBUNGAN KOMPONEN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DENGAN KEMISKINAN DI PROPINSI JAWA BARAT Oleh Nia Kurniawati Hidayat A14304086 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pedesaan sebagai bagian dari pembangunan nasional memfokuskan diri pada masalah kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2006

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUNJUNGAN WISATAWAN KE KAWASAN WISATA PANTAI CARITA KABUPATEN PANDEGLANG

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUNJUNGAN WISATAWAN KE KAWASAN WISATA PANTAI CARITA KABUPATEN PANDEGLANG ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KUNJUNGAN WISATAWAN KE KAWASAN WISATA PANTAI CARITA KABUPATEN PANDEGLANG Oleh: RINA MULYANI A14301039 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

EVALUASI KEBERADAAN DAN PENGGUNAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI LINGKUNGAN RUMAH SUSUN PROVINSI DKI JAKARTA DIANA SISKAYATI A

EVALUASI KEBERADAAN DAN PENGGUNAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI LINGKUNGAN RUMAH SUSUN PROVINSI DKI JAKARTA DIANA SISKAYATI A EVALUASI KEBERADAAN DAN PENGGUNAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI LINGKUNGAN RUMAH SUSUN PROVINSI DKI JAKARTA DIANA SISKAYATI A34204036 DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

FORMULASI STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA BUNGA POTONG KRISAN PADA LOKA FARM CILEMBER BOGOR. Oleh: JEFFRI KURNIAWAN A

FORMULASI STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA BUNGA POTONG KRISAN PADA LOKA FARM CILEMBER BOGOR. Oleh: JEFFRI KURNIAWAN A FORMULASI STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA BUNGA POTONG KRISAN PADA LOKA FARM CILEMBER BOGOR Oleh: JEFFRI KURNIAWAN A 14105563 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH

KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH KAJIAN SUMBERDAYA DANAU RAWA PENING UNTUK PENGEMBANGAN WISATA BUKIT CINTA, KABUPATEN SEMARANG, JAWA TENGAH INTAN KUSUMA JAYANTI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

KAPITAL SOSIAL MASYARAKAT DESA HUTAN DALAM MENGATASI KONFLIK PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN

KAPITAL SOSIAL MASYARAKAT DESA HUTAN DALAM MENGATASI KONFLIK PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN KAPITAL SOSIAL MASYARAKAT DESA HUTAN DALAM MENGATASI KONFLIK PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN (Studi kasus : Desa Taringgul Tengah, Kec. Wanayasa, Kab. Purwakarta) Oleh : RIA ARIYANTI A14204033 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data satu periode, yaitu data Program

III. METODE PENELITIAN. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data satu periode, yaitu data Program III. METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian 1. Data dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data satu periode, yaitu data Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas di dunia sekitar 19% dari total hutan mangrove dunia, dan terluas se-asia Tenggara sekitar 49%

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH ( ) OLEH NITTA WAHYUNI H

ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH ( ) OLEH NITTA WAHYUNI H ANALISIS PERTUMBUHAN SEKTOR-SEKTOR EKONOMI KOTA TANGERANG PADA MASA OTONOMI DAERAH (2001-2005) OLEH NITTA WAHYUNI H14102083 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana tertulis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pemerintah menetapkan visi pembangunan yaitu Terwujudnya Indonesia yang

Lebih terperinci

NILAI EKONOMI PEMANFAATAN WADUK CIRATA UNTUK PERIKANAN DAN WISATA TIRTA DI KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT RUDIANSYAH AKSOMO

NILAI EKONOMI PEMANFAATAN WADUK CIRATA UNTUK PERIKANAN DAN WISATA TIRTA DI KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT RUDIANSYAH AKSOMO NILAI EKONOMI PEMANFAATAN WADUK CIRATA UNTUK PERIKANAN DAN WISATA TIRTA DI KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT RUDIANSYAH AKSOMO PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

MANFAAT KEMITRAAN AGRIBISNIS BAGI PETANI MITRA

MANFAAT KEMITRAAN AGRIBISNIS BAGI PETANI MITRA MANFAAT KEMITRAAN AGRIBISNIS BAGI PETANI MITRA (Kasus: Kemitraan PT Pupuk Kujang dengan Kelompok Tani Sri Mandiri Desa Majalaya Kecamatan Majalaya Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat) Oleh : ACHMAD

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL. (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten)

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL. (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten) PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten) NUR PUTRI AMANAH DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai yang terpanjang di dunia, lebih dari 81.000 KM garis pantai dan 17.508 pulau yang membentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Desa Bogak merupakan wilayah pesisir yang terletak di Kecamatan Tanjung Tiram

BAB I PENDAHULUAN. Desa Bogak merupakan wilayah pesisir yang terletak di Kecamatan Tanjung Tiram BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Desa Bogak merupakan wilayah pesisir yang terletak di Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara Provinsi Sumatera Utara. Sebagai desa yang berada di wilayah pesisir,

Lebih terperinci

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM

HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM PENDUGAAN POTENSI TEGAKAN HUTAN PINUS (Pinus merkusii) DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT, SUKABUMI, DENGAN METODA STRATIFIED SYSTEMATIC SAMPLING WITH RANDOM START MENGGUNAKAN UNIT CONTOH LINGKARAN KONVENSIONAL

Lebih terperinci

KEMANDIRIAN PEREMPUAN PENGOLAH HASIL PERIKANAN DI DESA MUARA, KECAMATAN WANASALAM, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN

KEMANDIRIAN PEREMPUAN PENGOLAH HASIL PERIKANAN DI DESA MUARA, KECAMATAN WANASALAM, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN KEMANDIRIAN PEREMPUAN PENGOLAH HASIL PERIKANAN DI DESA MUARA, KECAMATAN WANASALAM, KABUPATEN LEBAK, PROVINSI BANTEN Oleh : MAYA RESMAYANTY C44101004 PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN

Lebih terperinci

KESENJANGAN PRODUKSI DAN EKSPOR PRODUK PERTANIAN ANTARA KAWASAN BARAT DENGAN KAWASAN TIMUR INDONESIA. Disusun Oleh: Ainun Mardiah A

KESENJANGAN PRODUKSI DAN EKSPOR PRODUK PERTANIAN ANTARA KAWASAN BARAT DENGAN KAWASAN TIMUR INDONESIA. Disusun Oleh: Ainun Mardiah A KESENJANGAN PRODUKSI DAN EKSPOR PRODUK PERTANIAN ANTARA KAWASAN BARAT DENGAN KAWASAN TIMUR INDONESIA Disusun Oleh: Ainun Mardiah A14303053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA MINYAK GORENG TERHADAP USAHA PENGGORENGAN KERUPUK DI KOTA BEKASI. Oleh : ANGGUN WAHYUNINGSIH A

ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA MINYAK GORENG TERHADAP USAHA PENGGORENGAN KERUPUK DI KOTA BEKASI. Oleh : ANGGUN WAHYUNINGSIH A ANALISIS DAMPAK KENAIKAN HARGA MINYAK GORENG TERHADAP USAHA PENGGORENGAN KERUPUK DI KOTA BEKASI Oleh : ANGGUN WAHYUNINGSIH A14103125 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu fenomena sosial, ekonomi, politik, budaya,

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu fenomena sosial, ekonomi, politik, budaya, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pariwisata merupakan salah satu fenomena sosial, ekonomi, politik, budaya, dan teknologi, sehingga keadaan ini menjadi sebuah perhatian yang besar dari para

Lebih terperinci

ANALISIS KONSUMSI RUMAHTANGGA PETANI WORTEL DI DESA SUKATANI KECAMATAN PACET KABUPATEN CIANJUR PROPINSI JAWA BARAT. Oleh: KRUSTIN HALYANI A

ANALISIS KONSUMSI RUMAHTANGGA PETANI WORTEL DI DESA SUKATANI KECAMATAN PACET KABUPATEN CIANJUR PROPINSI JAWA BARAT. Oleh: KRUSTIN HALYANI A ANALISIS KONSUMSI RUMAHTANGGA PETANI WORTEL DI DESA SUKATANI KECAMATAN PACET KABUPATEN CIANJUR PROPINSI JAWA BARAT Oleh: KRUSTIN HALYANI A14301085 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA KELEMBAGAAN AGRIBISNIS DAN EFISIENSI TEKNIK USAHATANI PADI

ANALISIS KINERJA KELEMBAGAAN AGRIBISNIS DAN EFISIENSI TEKNIK USAHATANI PADI ANALISIS KINERJA KELEMBAGAAN AGRIBISNIS DAN EFISIENSI TEKNIK USAHATANI PADI (Kasus Petani Binaan Lembaga Pertanian Sehat, Kab. Bogor, Jawa Barat) Oleh : Amir Mutaqin A08400033 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN

Lebih terperinci

cacao L.) MELALUI PEMBERIAN ZAT PENGATUR TUMBUH

cacao L.) MELALUI PEMBERIAN ZAT PENGATUR TUMBUH PENINGKATAN PRODUKSI BUAH KAKAO (Theobroma cacao L.) MELALUI PEMBERIAN ZAT PENGATUR TUMBUH PACLOBUTRAZOL PADA BERBAGAI KONSENTRASI Oleh WAHYU OKTAVIANI A 34104010 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK

PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK PERENCANAAN LANSKAP KAWASAN WISATA BUDAYA BERBASIS INDUSTRI KERAJINAN DI DESA LOYOK, PULAU LOMBOK Oleh : Dina Dwi Wahyuni A 34201030 PROGRAM STUDI ARSITEKTUR LANSKAP FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS PERSEPSI DAN SIKAP TERHADAP PERAN GENDER PADA MAHASISWA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR NI NYOMAN SUSI RATNA DEWANTI

ANALISIS PERSEPSI DAN SIKAP TERHADAP PERAN GENDER PADA MAHASISWA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR NI NYOMAN SUSI RATNA DEWANTI ANALISIS PERSEPSI DAN SIKAP TERHADAP PERAN GENDER PADA MAHASISWA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Oleh: NI NYOMAN SUSI RATNA DEWANTI PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H14102092 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A34403066 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR UNTUK PENGEMBANGAN EKOWISATA BAHARI DI PANTAI BINANGUN, KABUPATEN REMBANG, JAWA TENGAH BUNGA PRAGAWATI Skripsi DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

ANALISIS PREFERENSI DAN KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP BERAS DI KECAMATAN MULYOREJO SURABAYA JAWA TIMUR. Oleh : Endang Pudji Astuti A

ANALISIS PREFERENSI DAN KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP BERAS DI KECAMATAN MULYOREJO SURABAYA JAWA TIMUR. Oleh : Endang Pudji Astuti A ANALISIS PREFERENSI DAN KEPUASAN KONSUMEN TERHADAP BERAS DI KECAMATAN MULYOREJO SURABAYA JAWA TIMUR Oleh : Endang Pudji Astuti A14104065 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN TRANSMIGRAN DI UNIT PERMUKIMAN TRANSMIGRASI PROPINSI LAMPUNG

ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN TRANSMIGRAN DI UNIT PERMUKIMAN TRANSMIGRASI PROPINSI LAMPUNG ANALISIS PENDAPATAN DAN TINGKAT KESEJAHTERAAN TRANSMIGRAN DI UNIT PERMUKIMAN TRANSMIGRASI PROPINSI LAMPUNG Oleh : THESISIANA MAHARANI A14302058 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara kaya yang dikenal sebagai negara kepulauan. Negara ini memiliki banyak wilayah pesisir dan lautan yang terdapat beragam sumberdaya alam. Wilayah

Lebih terperinci

PENGARUH PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR (PEMP) TERHADAP PENDAPATAN MASYARAKAT PESISIR KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT

PENGARUH PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR (PEMP) TERHADAP PENDAPATAN MASYARAKAT PESISIR KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT PENGARUH PROGRAM PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR (PEMP) TERHADAP PENDAPATAN MASYARAKAT PESISIR KABUPATEN SUKABUMI, PROVINSI JAWA BARAT Oleh IFAN ARIANSYACH H34066063 PROGRAM SARJANA AGRIBISNIS

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN (LAND RENT) PADA LAHAN PERTANIAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR. Oleh ANDIKA PAMBUDI A

ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN (LAND RENT) PADA LAHAN PERTANIAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR. Oleh ANDIKA PAMBUDI A ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN (LAND RENT) PADA LAHAN PERTANIAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR Oleh ANDIKA PAMBUDI A14304075 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS

Lebih terperinci

ANALISIS KESEDIAAN MENERIMA DANA KOMPENSASI DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH CIPAYUNG KOTA DEPOK JAWA BARAT ADHITA RAMADHAN

ANALISIS KESEDIAAN MENERIMA DANA KOMPENSASI DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH CIPAYUNG KOTA DEPOK JAWA BARAT ADHITA RAMADHAN ANALISIS KESEDIAAN MENERIMA DANA KOMPENSASI DI TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH CIPAYUNG KOTA DEPOK JAWA BARAT ADHITA RAMADHAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

Lebih terperinci

ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN

ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN ANALISIS PERMINTAAN DAN SURPLUS KONSUMEN TAMAN WISATA ALAM SITU GUNUNG DENGAN METODE BIAYA PERJALANAN RANI APRILIAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI

ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI ANALISIS KELEMBAGAAN IRIGASI DALAM RANGKA PROYEK REHABILITASI SISTEM DAN BANGUNAN IRIGASI (Kasus Kawasan Irigasi Teknis Cigamea, Desa Situ Ilir, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

Lebih terperinci

: NUSRAT NADHWATUNNAJA A

: NUSRAT NADHWATUNNAJA A ANALISIS PENDAPATAN USAHATANI DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI PAPRIKA HIDROPONIK DI DESA PASIR LANGU, KECAMATAN CISARUA, KABUPATEN BANDUNG Oleh : NUSRAT NADHWATUNNAJA A14105586 PROGRAM SARJANA

Lebih terperinci

Oleh A PEMULIAAN

Oleh A PEMULIAAN EVALUASI KERAGAAN PEPAYA (Carica papayaa L.) DI ENAM LOKASI DI BOYOLALI Oleh WULANDARI SURYANING TYAS A34404028 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

ESTIMASI NILAI PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP HARGA LAHAN DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH CIPAYUNG KOTA DEPOK JAWA BARAT

ESTIMASI NILAI PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP HARGA LAHAN DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH CIPAYUNG KOTA DEPOK JAWA BARAT ESTIMASI NILAI PENURUNAN KUALITAS LINGKUNGAN TERHADAP HARGA LAHAN DI SEKITAR TEMPAT PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH CIPAYUNG KOTA DEPOK JAWA BARAT GARNA YUANA SUHAN DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

ANALISIS TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY/CSR) SEBAGAI UPAYA PENGEMBANGAN MASYARAKAT

ANALISIS TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY/CSR) SEBAGAI UPAYA PENGEMBANGAN MASYARAKAT ANALISIS TANGGUNG JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN (CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY/CSR) SEBAGAI UPAYA PENGEMBANGAN MASYARAKAT (Studi Kasus Pengembangan Perekonomian Lokal Melalui Program Kemitraan PT ANTAM Tbk

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN TALAS (Kasus di Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh SRI WIDIYANTI A

ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN TALAS (Kasus di Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh SRI WIDIYANTI A ANALISIS EFISIENSI PEMASARAN TALAS (Kasus di Desa Taman Sari, Kecamatan Taman Sari, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) Oleh SRI WIDIYANTI A14105608 PROGRAM SARJANA EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

ANALISIS INTERNALISASI BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor)

ANALISIS INTERNALISASI BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor) ANALISIS INTERNALISASI BIAYA PENGOLAHAN LIMBAH (Studi Kasus Sentra Industri Tempe di Desa Citeureup, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor) Oleh : Natalia A14304070 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

EVALUASI PROGRAM TRANSMIGRASI LOKAL BERBASIS PEMBERDAYAAN KOMUNITAS

EVALUASI PROGRAM TRANSMIGRASI LOKAL BERBASIS PEMBERDAYAAN KOMUNITAS EVALUASI PROGRAM TRANSMIGRASI LOKAL BERBASIS PEMBERDAYAAN KOMUNITAS (Kasus di UPT Cimanggu II, Desa Langkapjaya, Kecamatan Lengkong, Kabupaten Sukabumi) Oleh : NURDIN NURHAYADI KOSASIH A14203045 PROGRAM

Lebih terperinci

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN DEBITUR TERHADAP PELAYANAN KREDIT SISTEM REFERRAL BANK CIMB NIAGA CABANG CIBINONG KABUPATEN BOGOR

ANALISIS TINGKAT KEPUASAN DEBITUR TERHADAP PELAYANAN KREDIT SISTEM REFERRAL BANK CIMB NIAGA CABANG CIBINONG KABUPATEN BOGOR ANALISIS TINGKAT KEPUASAN DEBITUR TERHADAP PELAYANAN KREDIT SISTEM REFERRAL BANK CIMB NIAGA CABANG CIBINONG KABUPATEN BOGOR Oleh : DIKUD JATUALRIYANTI A14105531 PROGRAM STUDI EKSTENSI MANAJEMEN AGRIBISNIS

Lebih terperinci

ANALISIS AKSES PANGAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN IDA HILDAWATI A

ANALISIS AKSES PANGAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN IDA HILDAWATI A ANALISIS AKSES PANGAN SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN PADA KELUARGA NELAYAN IDA HILDAWATI A54104039 PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk besar dan laju pertumbuhan tinggi. Pada SENSUS Penduduk tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia adalah 237,6

Lebih terperinci

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY KAMPUNG SIAGA INDOSAT

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY KAMPUNG SIAGA INDOSAT PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PROGRAM CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY KAMPUNG SIAGA INDOSAT (Studi Kasus: RW 04, Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan) Oleh : YOHANA DESI FEBRIANA A14204047

Lebih terperinci

ANALISIS GENDER DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PAPRIKA

ANALISIS GENDER DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PAPRIKA ANALISIS GENDER DALAM PENGEMBANGAN AGRIBISNIS PAPRIKA (Kasus Komunitas Petani Kampung Pasirlangu, Desa Pasirlangu, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung, Propinsi Jawa Barat) Oleh : YANITA DWI CHAIRNANI

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang 1. PENDAHULUAN Perubahan lingkungan berimplikasi terhadap berbagai dimensi kehidupan termasuk pemenuhan kebutuhan hidup. Hal ini tentu saja sangat dirasakan oleh perempuan Kamoro yang secara budaya diberi

Lebih terperinci