HASIL DAN PEMBAHASAN
|
|
- Sudirman Kurniawan
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 HASIL DAN PEMBAHASAN Tahap 1: Uji Fisik dan Uji Kimia Bungkil Inti Sawit Bentuk Umum dan Rasio Produk Hasil Ayakan Penggilingan bungkil inti sawit menggunakan Hammer mill yang dilengkapi dengan saringan 2 mm menghasilkan produk yang lolos pada saringan mesh 4 dan 8, dan tidak lolos pada saringan mesh 16, 30, 50 dan 100. Berdasarkan pengamatan umum yang telah dilakukan, terlihat bahwa semua bungkil inti sawit memiliki penampilan warna cokelat dan memiliki aroma khas kelapa. Nomor mesh ayakan menunjukkan tekstur pada bungkil inti sawit. Nomor mesh 100 memiliki tekstur paling halus pada sampel bungkil inti sawit yang diamati. Tabel 2 menunjukkan persentase produk hasil ayakan bungkil inti sawit giling. Tabel 2. Persentase Jumlah Bungkil Inti Sawit Hasil Ayakan Ukuran Ayakan Persentase BIS (%) Mesh 16 14,185 Mesh 30 57,09 Mesh 50 24,24 Mesh 100 4,47 Jumlah produk hasil ayakan terendah pada bungkil inti sawit gilingan berada pada nomor mesh 100 yaitu sebesar 4,47% dan tertinggi berada pada nomor mesh 30 sebesar 57,09%. Penelitian lain menunjukkan hal yang serupa yaitu produk bungkil inti sawit hasil ayakan tanpa digiling terendah berada pada mesh 100 sebesar 2,31% dan tertinggi berada pada mesh 30 sebesar 29,04% (Harianto, 2011). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan adanya penggilingan, persentase jumlah hasil ayakan lebih banyak diperoleh dibandingkan dengan bungkil inti sawit tanpa digiling. Tingkat Kehalusan Berdasarkan ketentuan nilai MF (Modullus of Finenes) 2,1-4 termasuk katagori medium/sedang (Khalil, 1999) sehingga sampel bungkil inti sawit yang digunakan tergolong sedang dengan nilai MF 3,81±0,0078. Nilai MF berbanding lurus dengan besarnya partikel bahan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa bungkil inti sawit 22
2 yang digunakan berada di taraf sedang. Hal ini disebabkan karena faktor penggilingan sebelum perlakuan pada bungkl inti sawit. Penggilingan dilakukan dengan tujuan untuk memecah sisa dari batok bungkil kelapa sawit yang menjadikan bungkil inti sawit lebih halus sehingga jika diberikan kepada ternak dapat mudah dicerna. Bungki inti sawit yang telah diayak dan diukur tingkat kehalusannya disajikan pada Gambar 7. Mesh 16 ulangan 1 Mesh 16 ulangan 2 Mesh 16 ulangan 3 Mesh 30 ulangan 1 Mesh 30 ulangan 2 Mesh 30 ulangan 3 Mesh 50 ulangan 1 Mesh 50 ulangan 2 Mesh 50 ulangan 3 Mesh 100 ulangan 1 Mesh 100 ulangan 2 Mesh 100 ulangan 3 Gambar 7. Perbedaan Jumlah Bungkil Inti Sawit Hasil Pengayakan Menggunakan Rika Moisture Meter Berat Jenis Berat jenis merupakan sifat yang penting dalam mengetahui kualitas pakan secara fisik. Hasil penelitian menunjukkan nilai tertinggi berat jenis berada pada nomor mesh 16 yaitu sebesar 1440 kg/m 3 dan terendah berada pada nomor mesh 50 dan mesh 100 yaitu sebesar 1051 kg/m 3 dan 987,33 kg/m 3. Semakin besar nomor 23
3 ayakan maka semakin rendah nilai berat jenis pada bungkil inti sawit. Nilai berat jenis pada bungkil inti sawit dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Nilai Berat Jenis pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan. Nomor Mesh Berat Jenis (kg/m 3 ) ±17,32 A ±0,00 B ±1,00 C ,33±54,41 C Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada BIS (P<0,01). Gambar 8 menunjukkan korelasi berat jenis pada bungkil inti sawit dan nomor ayakan yang bernilai negatif yaitu sebesar 83,60% dengan y sebagai berat jenis BIS dan x sebagai nomor ayakan dan persamaannya adalah y= - 4,555x Pengayakan mempengaruhi besarnya berat jenis produk bungkil inti sawit, semakin besar nomor ayakan maka semakin rendah nilai berat jenis bungkil inti sawit. Berat jenis (kg/m 3 ) Y=-4,555x+1386 R 2 =0,698 y = -4,555x R²= 0, Gambar 8. Korelasi Berat Jenis BIS dan Nomor Ayakan 0 Penelitian 0sebelumnya 20 menunjukkan 40 bahwa 60 berat jenis 80 dari 100 produk bungkil 120 inti sawit hasil ayakan tanpa digiling terendah berada pada mesh 100 sebesar 440 kg/m 3 dan tertinggi pada mesh 8 sebesar 1403,33 kg/m 3 dengan korelasi yang dicapai bungkil inti sawit yaitu sebesar 92,19% dengan persamaan y = -10,09x+1335 (Harianto, 2011). Perbedaan nilai BJ selain dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik permukaan partikel adalah kandungan nutrien bahan. Hal ini sesuai 24
4 dengan pendapat Khalil (1999) yang menyatakan bahwa adanya variasi dalam nilai BJ dipengaruhi oleh kandungan nutrisi bahan, distribusi ukuran partikel dan karakteristik permukaan partikel. Berat jenis berpengaruh terhadap homogenitas penyebaran partikel dan stabilitas suatu campuran pakan. Ransum yang tersusun dari bahan pakan yang memiliki perbedaan berat jenis cukup besar, akan menghasilkan campuran tidak stabil dan mudah terpisah kembali (Chung dan Lee, 1995). Kerapatan Tumpukan Kerapatan tumpukan pada bungkil inti sawit dilakukan untuk mengetahui volume ruang yang dibutuhkan oleh suatu bahan dengan berat tertentu seperti dalam pengisian alat pencampur, elevator dan silo. Berat jenis erat hubungannya dengan kerapatan tumpukan, semakin besar berat jenis maka kerapatan tumpukannya semakin besar pula. Nilai kerapatan tumpukan pada BIS berdasarkan ukuran ayakan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai Kerapatan Tumpukan pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan. Nomor Mesh Kerapatan Tumpukan BIS (kg/m 3 ) ,33±20,81 A ,66±20,81 B ,00±0,00 BC ,33±5,77 C Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada BIS (P<0,01). Berdasarkan hasil perhitungan analisis varian menunjukan perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi nilai kerapatan tumpukan bungkil inti sawit. Data hasil pengukuran kerapatan tumpukan pada bungkil inti sawit menunjukkan nilai tertinggi kerapatan tumpukan berada pada nomor mesh 16 yaitu sebesar 523,33 kg/m 3 dan terendah berada pada nomor mesh 100 yaitu sebesar 393,33 kg/m 3. Penelitian sebelumnya menunjukkan nilai kerapatan tumpukan bungkil inti sawit hasil ayakan tanpa digiling tertinggi berada pada nomor mesh 4 sebesar 802,33 kg/m 3 dan terendah sebesar 335,33 kg/m 3 berada pada nomor mesh 100 (Harianto, 2011). Semakin kecil ukuran diameter lubang ayakan semakin kecil 25
5 nilai kerapatan tumpukan bungkil inti sawit. Perbedaan nilai kerapatan tumpukan menentukan karakteristik dalam pencampuran bahan. Menurut Chang dan Lee (1985), kerapatan tumpukan lebih penting dari berat jenis bahan dalam hal pengeringan dan penyimpanan bahan secara praktis. Kandungan nutrisi dan distribusi ukuran partikel diduga ikut mempengaruhi besarnya nilai kerapatan tumpukan. Bungkil inti sawit dengan kadar lemak yang tinggi dan distribusi ukuran partikel kecil yang seragam cenderung memiliki nilai kerapatan tumpukan yang rendah dan bahan tersebut membutuhkan ruang yang lebih besar artinya bobot per satuan volume pada keadaan curah lebih kecil. Korelasi kerapatan tumpukan bungkil inti sawit dan nomor ayakan yang bernilai negatif yaitu sebesar 90,16% dengan y sebagai nilai kerapatan tumpukan BIS dan x sebagai nomor ayakan dan persamaannya adalah y=-1,346x+516,8 (Gambar 9). Penelitian sebelumnya menunjukkan korelasi yang dicapai bungkil inti sawit yaitu sebesar 86,6% dengan persamaan y= -3,035x+596,6 (Harianto, 2011). Korelasi negatif memiliki arti bahwa pengayakan mempengaruhi besarnya nilai kerapatan tumpukan dengan meningkatnya nomor ayakan maka nilai kerapatan tumpukan bungkil inti sawit semakin menurun. Y=-1,346x+516,8 R 2 =0,813 Gambar 9. Korelasi Kerapatan Tumpukan BIS dan Nomor Ayakan Kerapatan Pemadatan Tumpukan Kerapatan pemadatan tumpukan diukur setelah dilakukan pengukuran kerapatan tumpukan. Kerapatan pemadatan tumpukan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan dalam penentuan kapasitas silo dan pencampuran bahan. 26
6 Berdasarkan hasil perhitungan analisis varian menunjukan perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi nilai kerapatan pemadatan tumpukan. Nilai tertinggi kerapatan pemadatan tumpukan berada pada nomor mesh 16 yaitu sebesar 676,67 kg/m 3 dan terendah berada pada nomor mesh 100 yaitu sebesar 543,33 kg/m 3. Semakin besar nomor ayakan maka semakin kecil nilai kerapatan pemadatan tumpukan pada bungkil inti sawit. Nilai kerapatan pemadatan tumpukan pada BIS berdasarkan ukuran ayakan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai Kerapatan Pemadatan Tumpukan pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan. Kerapatan Pemadatan Tumpukan Nomor Mesh (kg/m 3 ) ,67±15,27 A ,67±3,21 B ,33±0,57 C ,33±5,77 D Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada BIS (P<0,01). Penelitian sebelumnya menunjukkan nilai kerapatan pemadatan tumpukan produk bungkil inti sawit tanpa digiling terendah berada pada mesh 100 sebesar 493,33 kg/m 3 dan tertinggi berada pada nomor mesh 4 dan 8 sebesar 723,33 dan 696,67 kg/m 3 dengan korelasi yang dicapai bungkil inti sawit yaitu sebesar 80,60% dengan persamaan y = -1,913x (Harianto, 2011). Korelasi kerapatan pemadatan tumpukan pada bungkil inti sawit giling dan nomor ayakan yang bernilai negatif yaitu sebesar 86,77% dengan y sebagai nilai kerapatan pemadatan tumpukan BIS dan x sebagai nomor ayakan dengan persamaan y= -1,362x+665,2 (Gambar 10). Korelasi negatif yang diperoleh memiliki arti bahwa perlakuan pengayakan pada bungkil inti sawit mempengaruhi besarnya nilai kerapatan pemadatan tumpukan sebesar 86,77%. Meningkatnya nomor ayakan maka nilai kerapatan tumpukan bungkil inti sawit semakin menurun. 27
7 Kerapatan Pemadatan Tumpukan (kg/m 3) y = -1,362x R² = 0, Nomor ayakan Kerapatan Pemadatan Tumpukan Gambar 10. Korelasi Kerapatan Pemadatan Tumpukan BIS dan Nomor Ayakan Daya Ambang Perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi nilai daya ambang. Semakin kecil ukuran diameter lubang ayakan semakin besar nilai daya ambang bungkil inti sawit. Daya ambang memiliki hubungan berkebalikan dengan tingginya kecepatan bahan jatuh. Semakin cepat bungkil inti sawit yang jatuh ke bidang datar, semakin rendah daya ambang dari bungkil inti sawit. Demikian sebaliknya, semakin rendah kecepatan bungkil inti sawit yang jatuh ke bidang datar maka semakin tinggi daya ambang yang dimiliki oleh bungkil inti sawit. Nilai daya ambang pada BIS berdasarkan ukuran ayakan disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai Daya Ambang pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan. Nomor Mesh Daya Ambang (m/s) 16 3,11±0,07 A 30 1,87±0,25 B 50 1,63±0,25 B 100 1,55±0,05 B Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada BIS (P<0,01). Nilai tertinggi daya ambang berada pada nomor mesh 100 dengan kecepatan bahan jatuh sebesar 1,55 m/s dan terendah berada pada nomor mesh 16 dengan kecepatan bahan jatuh 3,11 m/s. Penelitian sebelumnya menunjukkan daya 28
8 ambang produk bungkil inti sawit hasil ayakan tanpa digiling tertinggi berada pada nomor mesh 50 dan 100 dengan kecepatan bahan jatuh sebesar 1,81 dan 1,79 m/s, sedangkan terendah berada pada nomor mesh 4 dan 8 dengan kecepatan bahan jatuh sebesar 5,34 dan 4,09 m/s (Harianto, 2011). Hasil ini sesuai dengan pendapat Henderson dan Perry (1976) yang menyatakan daya ambang dikatakan besar bila semakin pendek jarak yang dicapai dalam satu menit. Perolehan data menunjukkan semakin halus bungkil inti sawit maka semakin besar daya ambang yang dimiliki sehingga daya ambang meningkat dari mesh 16, 30, 50 dan 100. Hal ini berarti apabila terjadi proses pencurahan bahan dari ketinggian tertentu, maka waktu bahan tersebut mencapai dasar adalah lebih cepat terurut mulai mesh 16 sampai 100. Daya ambang yang terlalu lama akan menyulitkan dalam proses pencurahan bahan karena dibutuhkan waktu yang lebih lama. Semakin besar nomor ayakan maka semakin kecil besar daya ambang pada bungkil inti sawit. Gambar 11 menunjukkan korelasi kecepatan jatuhnya bungkil inti sawit dan nomor ayakan yang bernilai negatif sebesar 71,76%. Hal ini berarti bahwa meningkatnya nomor ayakan maka nilai daya ambang bungkil inti sawit juga meningkat (nilai daya ambang berhubungn terbalik dengan kecepatan jatuhnya bahan) dengan y sebagai kecepatan jatuhnya BIS dan x sebagai nomor ayakan dan persamaannya adalah y = -0,014x+2,735. Penelitian sebelumnya menunjukkan korelasi yang dicapai bungkil inti sawit yaitu sebesar 69,28% dengan persamaan y = -0,018x+3,215 (Harianto, 2011). 3.5 Y=-0,014x+2,735 Daya Ambang (m/s) R 2 =0,515 y = -0,014x R² = 0,515 Daya Ambang Nomor ayakan Gambar 11. Korelasi Kecepatan Jatuhnya BIS dan Nomor Ayakan 29
9 Sudut Tumpukan Pengukuran sudut tumpukan dilakukan untuk menunjukkan kebebasan bergerak suatu partikel dari suatu tumpukan bahan. Kegunaan praktis dari sifat sudut tumpukan adalah dalam pemindahan dan pengangkutan bahan karena akan mempengaruhi kapasitas belt conveyor dan material handling. Nilai sudut tumpukan pada BIS berdasarkan ukuran ayakan disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Nilai Sudut Tumpukan pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan. Nomor Mesh Sudut Tumpukan( ) 16 25,77±0,84 C 30 27,07±0,98 C 50 37,32±1,86 B ,28±0,93 A Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata pada BIS (P<0,01). Perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit sangat nyata (P<0,01) mempengaruhi sudut tumpukan. Semakin kecil ukuran diameter lubang ayakan semakin meningkatkan nilai sudut tumpukan bahan. Nilai tertinggi sudut tumpukan berada pada nomor mesh 100 yaitu sebesar 43,28 dan terendah berada pada nomor mesh 16 yaitu sebesar 25,77. Gambar 12 menunjukkan korelasi sudut tumpukan pada bungkil inti sawit giling dan nomor ayakan yang bernilai positif yaitu sebesar 95,23% dengan y sebagai sudut tumpukan BIS dan x sebagai nomor ayakan dan persamaannya adalah y =0,217x+22, y = 0,217x + 2,56 25 R²= 0, Gambar 12. Korelasi Sudut Tumpukan BIS dan Nomor Ayakan sudut tumpukan ( ) Su 30
10 Korelasi tersebut menunjukkan besarnya pengaruh pengayakan terhadap besarnya nilai sudut tumpukan bungkil inti sawit. Besarnya nomor ayakan dalam pengayakan mempengaruhi nilai sudut tumpukan sebesar 95,23%. Semakin besar nomor ayakan maka semakin tinggi nilai sudut tumpukan pada bungkil inti sawit. Penelitian sebelumnya menunjukkan nilai sudut tumpukan tertinggi pada produk bungkil inti sawit hasil ayakan tanpa digiling berada pada nomor mesh 100 sebesar 43,19 dan terendah berada pada nomor mesh 4 sebesar 12,67 dengan korelasi sebesar 94,33% dengan persamaan y =0,25x+19,81 (Harianto, 2011). Perbedaan nilai sudut tumpukan berdasarkan ukuran ayakan akan menentukan karakteristik aliran bahan dalam industri pakan. Nilai sudut tumpukan yang tinggi akan mempersulit proses produksi karena aliran bahan dalam bin akan lambat sehingga sering menyumbat silo. Kelarutan Total Perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap nilai kelarutan total. Nilai kelarutan total pada BIS berdasarkan ukuran ayakan. disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai Kelarutan Total pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan. Nomor Mesh Kelarutan Total(%) 16 18,13±1, ,33±1, ,80±1, ,27±3,61 Kelarutan total bungkil inti sawit dilakukan untuk mengetahui berapa banyak bungkil inti sawit yang terlarut dalam pelarut akuades sehingga diketahui pula kualitas dari bungkil inti sawit yang digunakan. Kontaminasi bungkil inti sawit oleh lapisan luar (endokaprium) inti sawit akan meningkatkan kelarutan total bahan. Tinggi rendahnya nilai kelarutan total tidak hanya dipengaruhi oleh tinggi rendahnya komponen tidak larut dalam bahan pakan tersebut dan kontaminasi luar pada proses pengolahan pakan maupun pemalsuan bahan. Kelarutan total bahan (bungkil inti sawit) dipengaruhi juga oleh komponen kimia bahan. Semakin tinggi kandungan polisakarida bahan khususnya polisakarida 31
11 non pati maka semakin rendah kelarutan bahan dalam air, hal ini disebabkan polisakarida non pati sulit mengalami hidrolisa dalam air. Bahan dengan kelarutan total yang lebih tinggi bahan tersebut akan tinggi kecernaannya. Perbedaan kelarutan total mengindikasikan kualitas dari bungkil inti sawit yang digunakan. Kelarutan dalam air dipengaruhi oleh jenis komponen kimia karbohidrat penyusunnya. Semakin tinggi kandungan polisakarida khususnya polisakarida bukan pati dari bahan pakan, maka semakin rendah kelarutannya dalam air. Polisakarida bukan pati sulit mengalami hidrolisis dalam air. Kelarutan total yang tinggi pada pakan mengindikasikan bahwa pakan tersebut memiliki kecernaan yang tinggi (Murni, 2003). Berdasarkan hasil yang diperoleh, kecernaan bungkil inti sawit Mesh 30 lebih tinggi dibandingkan dengan kecernaan dari bungkil inti sawit ukuran lain. Penelitian sebelumnya menunjukkan nilai kelarutan total produk bungkil inti sawit hasil ayakan tanpa digiling tertinggi berada pada nomor mesh 16, 30, 50 dan 100, sedangkan terendah pada nomor mesh 4 dan 8 (Harianto, 2011). Bahan dengan kelarutan total yang lebih tinggi bahan tersebut akan tinggi kecernaannya (Suardi, 2002). Derajat Keasaman (ph) Derajat keasaman (ph) bungkil inti sawit diukur untuk mengetahui pengaruh setelah diberikan kepada ternak. Nilai derajat keasaman (ph) pada BIS berdasarkan ukuran ayakan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Nilai Derajat Keasaman (ph) pada BIS Berdasarkan Ukuran Ayakan. Nomor Mesh Derajat Keasaman(pH) 16 5,60±0, ,55±0, ,54±0, ,53±0,01 Perlakuan ayakan pada bungkil inti sawit tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap derajat keasaman (ph). Derajat keasaman (ph) bungkil inti sawit berdasarkan ukuran ayakan berkisar antara 5,50-5,60. Penelitian sebelumnya 32
12 menunjukkan derajat keasaman (ph) bungkil inti sawit berdasarkan ukuran ayakan berkisar antara (Hariyanto, 2011). Derajat keasaman (ph) bungkil inti sawit yang disajikan menyatakan bahwa bungkil inti sawit bersifat asam karena memiliki ph dibawah 7. Derajat keasaman (ph) dalam saluran pencernaan akan dipengaruhi oleh ph pakan karena kehadiran pakan dalam lambung akan meningkatkan ph lambung. Pengukuran derajat keasaman (ph) bungkil inti sawit dimaksudkan untuk mendeteksi kondisi bahan jika kemungkinan suatu saat mengalami penurunan ph akibat proses produksi. Umumnya keasaman yang tinggi akan cenderung mengganggu kecernaan zat makanan (Tonnedy, 2006). Hal ini karena enzim pembantu pencernaan tidak dapat bekerja optimal. Tahap 2 : Jumlah Gula Pereduksi dengan Penambahan Enzim Komersial dan Cairan Rumen pada Bungkil Inti Sawit Gula pereduksi merupakan golongan gula (karbohidrat) yang dapat mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron (Lehninger, 1982). Peningkatan gula pereduksi pada bungkil inti sawit mengindikasikan adanya peningkatan ikatan gula yang dapat dipecah oleh enzim mannan. Semakin tinggi ikatan gula yang dapat dipecah, maka semakin baik kualitas bungkil inti sawit. Data hasil pengujian jumlah gula pereduksi pada bungkil inti sawit setelah diberi penambahan enzim mannan disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Nilai Gula Pereduksi Bungkil Inti Sawit Hasil Ayakan dengan Penambahan Enzim Jenis Enzim Jumlah Gula Pereduksi (mg/g) Kontrol BIS+ Rumen 0,1ml/gram BIS 4,806±0,04 c 5,921±0,04 b BIS+ Enzim komersial 0,1ml/gram BIS 10,516±0,09 a Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata pada BIS (P<0,05). Berdasarkan data perolehan pengukuran gula pereduksi pada bungkil inti sawit hasil ayakan yang telah diberi penambahan enzim mannan komersial dan cairan rumen nyata (P<0,05) mempengaruhi peningkatan total gula pereduksi bungkil inti sawit. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa penambahan enzim pada BIS secara nyata meningkatkan 33
13 efisiensi dan daya cerna nutrien serta menurunkan viskositas nutrien dalam saluran pencernaan (jejunum) (Sundu et al., 2004). Nilai gula pereduksi pada bungkil inti sawit hasil ayakan menunjukkan peningkatan setelah diberi enzim cairan rumen dibandingkan dengan nilai gula pereduksi bungkil inti sawit tanpa menambahan dari 4,806 mg/g meningkat menjadi 5,921 mg/g. Enzim cairan rumen yang ditambahkan memiliki aktivitas sebesar 0,013x10 6 U/liter enzim cairan rumen. Nilai gula pereduksi mengalami peningkatan lebih tinggi setelah bungkil inti sawit hasil ayakan ditambahkan dengan enzim mannan komersial yaitu 10,516 mg/g (setara 919,27x10 6 U/liter enzim mannanase komersial). Hasil yang diperoleh sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa nilai aktivitas enzim (IU/ml) menunjukkan kemampuan enzim untuk mempercepat proses hidrolisis substrat yang digunakan, semakin tinggi angka yang diperoleh memberikan indikasi semakin banyak gula yang tereduksi (Handoko, 2010). Nilai total gula pereduksi bungkil inti sawit dari penambahan enzim cairan rumen lebih kecil daripada nilai total gula pereduksi bungkil inti sawit dengan penambahan enzim komersial. Namun, jika dilihat dari jumlah aktivitas dari enzim yang diberikan, kualitas enzim cairan rumen lebih baik. Aktivitas enzim mannanase pada cairan rumen jauh lebih rendah dibanding dengan aktivitas enzim mannanase komersial, namun enzim cairan rumen dapat memberikan pengaruh pada peningkatan jumlah gula pereduksi bungkil inti sawit. Semakin tinggi aktivitas mannanase yang terkandung pada bungkil inti sawit, maka semakin pekat kecokelatan warna sampel hasil analisis gula pereduksi (Gambar 13). Gambar 13. Perbedaan Warna Hasil Ekstraksi Bungkil Inti Sawit dengan Penambahan Enzim Mannan 34
14 Pengaruh peningkatan gula pereduksi bungkil inti sawit dengan penambahan enzim cairan rumen tidak jauh berbeda dengan pengaruh dari enzim mannanase komersial. Pengaruh enzim cairan rumen yang tinggi dapat disebabkan karena terkandungnya beberapa enzim penghidrolisis serat selain enzim mannanase (selulase, amillase, protease, lipase). Pengujian gula pereduksi bungkil inti sawit hasil ayakan yang diberi penambahan enzim komersial dan enzim cairan rumen (Gambar 14) menghasilkan warna yang berbeda-beda pada hasil uji gula pereduksi. BIS+Enzim Mannan Cairan Rumen BIS+Enzim Mannan Kontrol Gambar 14. Bungkil Inti Sawit dengan Penambahan Enzim Mannan Komersial dan dari Cairan Rumen 35
MATERI DAN METODE. Prosedur
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan mulai Mei sampai dengan Agustus 2011 di Laboratorium Terpadu dan Laboratorium Industri Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan,
Lebih terperinciMATERI DAN METODE. Materi
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan yaitu dari bulan Oktober sampai Desember 2011. Penyimpanan dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, pengujian kualitas
Lebih terperinciSIFAT FISIK DAN KINERJA ENZIM MANNANASE PADA BUNGKIL INTI SAWIT HASIL AYAKAN SKRIPSI FITRIA TSANI FARDA
SIFAT FISIK DAN KINERJA ENZIM MANNANASE PADA BUNGKIL INTI SAWIT HASIL AYAKAN SKRIPSI FITRIA TSANI FARDA DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 SIFAT
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Pelet Daun Indigofera sp. Pelet daun Indigofera sp. yang dihasilkan pada penelitian tahap pertama memiliki ukuran pelet 3, 5 dan 8 mm. Berdasarkan hasil pengamatan
Lebih terperinciGambar 2. Bentuk Umum Bungkil Inti Sawit
TINJAUAN PUSTAKA Produksi dan Komposisi Kelapa Sawit Kelapa sawit merupakan tanaman yang berasal dari Afrika Barat yang mempunyai iklim tropis. Tanaman ini awalnya dikembangkan perusahaan besar dan kemudian
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. pengolahan, penanganan dan penyimpanan (Khalil, 1999 dalam Retnani dkk, 2011).
22 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Berat Jenis Berat jenis merupakan perbandingan antara massa bahan terhadap volumenya. Berat jenis memegang peranan penting dalam berbagai proses pengolahan, penanganan dan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. D-Mannose (Sumber: McDonald, 2002) CHO HOC HOCH HCOH HCOH CH 2 OH
TINJAUAN PUSTAKA Bungkil Inti Sawit Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi non migas dari sektor pertanian andalan Indonesia. Deptan (2010) melaporkan bahwa luas tanam kelapa sawit tahun 2008 mencapai
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pemecahan masalah biaya tinggi pada industri peternakan. Kelayakan limbah pertanian
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan ternak merupakan salah satu cara pemecahan masalah biaya tinggi pada industri peternakan. Kelayakan limbah pertanian dijadikan
Lebih terperincimenjaga kestabilan kondisi rumen dari pengaruh aktivitas fermentasi. Menurut Ensminger et al. (1990) bahwa waktu pengambilan cairan rumen berpengaruh
HASIL DAN PEMBAHASAN Derajat Keasaman (ph) Rumen Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi (P>0,05) antara jenis ransum dengan taraf suplementasi asam fulvat. Faktor jenis ransum
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Berdasarkan hasil analisa proksimat, kandungan zat makanan ransum perlakuan disajikan pada Tabel 10. Terdapat adanya keragaman kandungan nutrien protein, abu
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Suhu dan Kelembaban Ruang Penyimpanan Penyimpanan adalah salah satu tindakan pengamanan yang bertujuan untuk mempertahankan dan menjaga kualitas produk. Penyimpanan pakan dalam industri
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Gambar 2 menunjukkan adanya penambahan biomass dari masing-masing ikan uji. Biomass rata-rata awal ikan uji perlakuan A (0 ml/kg) adalah sebesar 46,9 g sedangkan pada
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Penelitian Masalah yang sering dihadapi oleh peternak ruminansia adalah keterbatasan penyediaan pakan baik secara kuantitatif, kualitatif, maupun kesinambungannya sepanjang
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering
30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering Kecernaan adalah banyaknya zat makanan yang tidak dieksresikan di dalam feses. Bahan pakan dikatakan berkualitas apabila
Lebih terperinciIII. HASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil analisis proksimat bahan uji sebelum dan sesudah diinkubasi disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis proksimat pakan uji ditunjukkan pada Tabel 3. Sementara kecernaan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar
37 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar Kecernaan diartikan sebagai nutrien yang tidak diekskresikan dalam feses dimana nutrien lainnya diasumsikan diserap oleh
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penyimpanan Pellet Suhu dan kelembaban ruang penyimpanan sangat berpengaruh terhadap sifat fisik dan pertumbuhan serangga pada pellet yang disimpan. Ruang penyimpanan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Pakan
Konsumsi Bahan Kering (BK) HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan proses produksi
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha
3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Sapi potong merupakan sumber utama sapi bakalan bagi usaha penggemukan. Penggemukan sapi potong umumnya banyak terdapat di daerah dataran tinggi dengan persediaan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Lama Perendaman Daging Ayam Kampung Dalam Larutan Ekstrak Nanas Terhadap ph
IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Lama Perendaman Daging Ayam Kampung Dalam Larutan Ekstrak Nanas Terhadap ph Hasil penelitian pengaruh perendaman daging ayam kampung dalam larutan ekstrak nanas dengan
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan
III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei Juni 2014 di Desa Lehan Kecamatan Bumi Agung Kabupaten Lampung Timur dan Laboratorium Rekayasa Bioproses dan Pasca
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Data rata-rata parameter uji hasil penelitian, yaitu laju pertumbuhan spesifik (LPS), efisiensi pemberian pakan (EP), jumlah konsumsi pakan (JKP), retensi protein
Lebih terperinciMATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Materi Alat dan Bahan Metode Proses Pembuatan Pelet
MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2010 di Laboratorium Agrostologi, Laboratorium Industri Pakan dan Laboratorium Nutrisi Ternak Perah,
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Umum Penelitian. Tabel 3. Pertumbuhan Aspergillus niger pada substrat wheat bran selama fermentasi Hari Fermentasi
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Selama fermentasi berlangsung terjadi perubahan terhadap komposisi kimia substrat yaitu asam amino, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral, selain itu juga
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pembuatan Amilum Biji Nangka. natrium metabisulfit agar tidak terjadi browning non enzymatic.
28 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pembuatan Amilum Biji Nangka Pada penelitian ini didahulu dengan membuat pati dari biji nangka. Nangka dikupas dan dicuci dengan air yang mengalir kemudian direndam larutan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Nutrien
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Nutrien Konsumsi pakan merupakan faktor penting untuk menentukan kebutuhan hidup pokok dan produksi karena dengan mengetahui tingkat konsumsi pakan maka dapat ditentukan kadar
Lebih terperinciHasil. rumen domba. efektivitas. cairan Aktifitas enzim (UI/ml/menit) , Protease. Enzim
22 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Uji Efektivitas Cairan Rumen Domba Penelitian Tahap 1 dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui volume enzim cairan rumen domba dan lama waktu inkubasi yang tepat untuk penurunan
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan (%) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produk Fermentasi Fermentasi merupakan teknik yang dapat mengubah senyawa kompleks seperti protein, serat kasar, karbohidrat, lemak dan bahan organik lainnya
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Bagian buah dan biji jarak pagar.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Spesifikasi Biji Jarak Pagar Tanaman jarak (Jatropha curcas L.) dikenal sebagai jarak pagar. Menurut Hambali et al. (2007), tanaman jarak pagar dapat hidup dan berkembang dari dataran
Lebih terperinciSemua perlakuan tidak menyebabkan keadaan ekstrim menghasilkan NH 3 diluar
38 tersebut maka produksi NH 3 semua perlakuan masih dalam kisaran normal. Semua perlakuan tidak menyebabkan keadaan ekstrim menghasilkan NH 3 diluar kisaran normal, oleh karena itu konsentrasi NH 3 tertinggi
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Persentase Karkas Rataan bobot potong, bobot karkas dan persentase karkas itik cihateup jantan umur 10 minggu dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan Bobot Potong, Bobot Karkas
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar. Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak
34 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Protein Kasar Kecernaan adalah bagian zat makanan dari pakan/ransum yang tidak diekskresikan dalam feses (Tillman, dkk., 1998). Zat
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Pembuatan Tablet Effervescent Tepung Lidah Buaya. Tablet dibuat dalam lima formula, seperti terlihat pada Tabel 1,
35 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan Tablet Effervescent Tepung Lidah Buaya Tablet dibuat dalam lima formula, seperti terlihat pada Tabel 1, menggunakan metode kering pada kondisi khusus
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. minyak sawit (Crude Palm Oil) yang paling tinggi nilai gizinya untuk pakan
TINJAUAN PUSTAKA Bungkil Inti Sawit Bungkil inti sawit (Palm Kernel Cake) merupakan hasil ikutan pengolahan minyak sawit (Crude Palm Oil) yang paling tinggi nilai gizinya untuk pakan ternak. Kandungan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4. Kandungan Nutrien Silase dan Hay Daun Rami (%BK)
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Nutrien Ransum Hasil analisis kandungan nutrien silase dan hay daun rami yang dilakukan di Laboratorium PAU IPB dapat dilihat pada Tabel 4 dan kandungan nutrien ransum disajikan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. terdiri dari unsur organik dan anorganik. Unsur organik terdiri dari protein,
5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tulang Tulang merupakan jaringan peyokong utama tubuh yang struktur pembentuknya terdiri dari unsur organik dan anorganik. Unsur organik terdiri dari protein, mukopolisakarida
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian Minyak daun cengkeh merupakan hasil penyulingan daun cengkeh dengan menggunakan metode penyulingan (uap /steam). Minyak daun cengkeh berbentuk cair (oil) dan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Pakan Penambahan daun Som Jawa pada ransum menurunkan kandungan serat kasar dan bahan kering ransum, namun meningkatkan protein kasar ransum. Peningkatan protein disebabkan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ransum merupakan campuran bahan pakan yang disusun untuk memenuhi kebutuhan zat makanan ternak selama 24 jam. Ransum menjadi sangat penting dalam pemeliharaan ternak,
Lebih terperinciBAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN. Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7.
22 A. Kecernaan Protein Burung Puyuh BAB 1V HASIL DAN PEMBAHASAN Rataan kecernaan protein ransum puyuh yang mengandung tepung daun lamtoro dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Nilai Kecernaan Protein
Lebih terperinci3 METODOLOGI PENELITIAN
21 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Kerangka Pemikiran Ubi kayu merupakan salah satu hasil pertanian dengan kandungan karbohidrat yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan baku pembuatan etanol. Penggunaan
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bobot (gram) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Kombinasi Media Serbuk Gergaji Batang Pohon Kelapa dan Onggok Aren terhadap Pertumbuhan Cacing Eisenia foetida Salah satu indikator untuk
Lebih terperinciIV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan NDF. dengan konsumsi (Parakkasi,1999). Rataan nilai kecernaan NDF pada domba
33 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan Terhadap Kecernaan NDF NDF adalah bagian dari serat kasar yang biasanya berhubungan erat dengan konsumsi (Parakkasi,1999). Rataan nilai kecernaan NDF pada
Lebih terperinciKAJIAN PENGARUH PENGAYAKAN TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK BUNGKIL INTI SAWIT DAN BUNGKIL KELAPA SKRIPSI HARIANTO SITUMORANG
KAJIAN PENGARUH PENGAYAKAN TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK BUNGKIL INTI SAWIT DAN BUNGKIL KELAPA SKRIPSI HARIANTO SITUMORANG DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Secara umum penelitian ini sudah berjalan dengan cukup baik. Terdapat sedikit hambatan saat akan memulai penelitian untuk mencari ternak percobaan dengan umur
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia.
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit adalah salah satu komoditas non migas andalan Indonesia. Selain menghasilkan produksi utamanya berupa minyak sawit dan minyak inti sawit, perkebunan kelapa
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Pakan Penelitian
Kandungan Nutrisi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Pakan Penelitian Kandungan nutrisi pakan tergantung pada bahan pakan yang digunakan dalam pakan tersebut. Kandungan nutrisi pakan penelitian dari analisis proksimat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bahan bakar memiliki peran yang penting dalam kehidupan manusia. Krisis energi yang terjadi di dunia dan peningkatan populasi manusia sangat kontradiktif dengan kebutuhan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Ransum Komplit Ransum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari rumput gajah, konsentrat, tepung daun kembang sepatu, dan ampas teh. Rumput gajah diperoleh dari Laboratorium
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging
TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 10. Hasil Pengamatan Karakteristik Fisik Silase Ransum komplit
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik Silase Ransum Komplit Karakteristik fisik silase diamati setelah silase dibuka. Parameter yang dilihat pada pengamatan ini, antara lain: warna, aroma silase, tekstur
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Jumlah dan Bobot Folikel Puyuh Rataan jumlah dan bobot folikel kuning telur puyuh umur 15 minggu disajikan pada Tabel 5.
HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah dan Bobot Folikel Puyuh Rataan jumlah dan bobot folikel kuning telur puyuh umur 15 minggu disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Jumlah dan Bobot Folikel Kuning Telur Puyuh
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Nilai rataan konsumsi protein kasar (PK), kecernaan PK dan retensi nitrogen yang dihasilkan dari penelitian tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Rataan Konsumsi, Kecernaan PK, Retensi
Lebih terperinci2.1.1 Keseragaman Ukuran Kekerasan Tablet Keregasan Tablet ( friability Keragaman Bobot Waktu Hancur
PEMBUATAN GRANUL 1. Cara Basah Zat berkasiat,zat pengisi dan pengkancur dicampur baik bai,laludibasahi dengan larutan bahan pengikat,bila perlu ditambah bahan pewarna.setelah itu diayak menjadi granul,dan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Kolesterol Daging, Hati dan Telur Puyuh Analisis terhadap kandungan kolesterol daging, hati dan telur dilakukan saat puyuh berumur 14 minggu, diperlihatkan pada Tabel 5 dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pisang merupakan buah yang umum ditemui di Indonesia. Badan Pusat statistik mencatat pada tahun 2012 produksi pisang di Indonesia adalah sebanyak 6.189.052 ton. Jumlah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. baik oleh industri atau rumah tangga, sedangkan kapasitas produksi tepung terigu
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki konsumsi yang besar terhadap produk tepung terigu baik oleh industri atau rumah tangga, sedangkan kapasitas produksi tepung terigu nasional masih belum
Lebih terperinciPENDAHULUAN. yaitu ekor menjadi ekor (BPS, 2016). Peningkatan
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ternak Domba Garut merupakan ternak ruminansia kecil yang banyak dipelihara oleh masyarakat, karena pemeliharaannya yang tidak begitu sulit, dan sudah turun temurun dipelihara
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong.
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Limbah industri gula tebu terdiri dari bagas (ampas tebu), molases, dan blotong. Pemanfaatan limbah industri gula tebu sebagai pakan alternatif merupakan
Lebih terperinciPENDAHULUAN. terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pakan menjadi salah satu faktor penentu dalam usaha peternakan, baik terhadap produktivitas, kualitas produk, dan keuntungan. Usaha peternakan akan tercapai bila mendapat
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Onggok merupakan limbah padat agro industri pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. Ketersedian onggok yang melimpah merupakan salah satu faktor menjadikan onggok sebagai pakan
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Pakan Fermentasi Parameter kualitas fisik pakan fermentasi dievaluasi dari tekstur, aroma, tingkat kontaminasi jamur dan tingkat keasaman (ph). Dari kedua bahan pakan yang
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering
33 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering Hasil penelitian mengenai pengaruh biokonversi biomassa jagung oleh mikroba Lactobacillus plantarum, Saccharomyces cereviseae,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Protein hewani merupakan zat makanan yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan tubuh dan kesehatan manusia. Kebutuhan protein hewani semakin meningkat seiring dengan meningkatnya
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHSAN. 4.1 Pengaruh Tingkat Peggunaan Probiotik terhadap ph
IV HASIL DAN PEMBAHSAN 4.1 Pengaruh Tingkat Peggunaan Probiotik terhadap ph Derajat keasaman (ph) merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan pada saat proses fermentasi. ph produk fermentasi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Salah satu jenis ternak pengahasil daging dan susu yang dapat dikembangkan dalam memenuhi kebutuhan protein hewani adalah kambing. Mengingat kambing adalah
Lebih terperinciBAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan
12 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Semarang. Kegiatan penelitian ini berlangsung pada
Lebih terperinciHAK CIPTA DILINDUNGI UNDANG-UNDANG
1 Lampiran 1. Prosedur dan Hasil Percobaan Pendahuluan A. Karakterisasi Nira Tebu Tujuan : Mengetahui sifat fisik dan kimia nira tebu yang digunakan dalam penelitian Prosedur : 1) Pengujian sifat kimia,
Lebih terperinciIII. BAHAN DAN METODE
III. BAHAN DAN METODE 3.1 Pakan Uji Pakan yang digunakan adalah pelet kering berbasis sumber protein nabati yang berjenis tenggelam dengan campuran crude enzim dari rumen domba. Pakan uji yang diberikan
Lebih terperinciSEMINAR HASIL PENELITIAN KKP3T 2009
SEMINAR HASIL PENELITIAN KKP3T 2009 Institut Pertanian Bogor 2009 Performa Sapi Peranakan Ongole Yang Diberi Daun Murbei Sebagai Pengganti Konsentrat Dalam Ransum Berbasis Jerami Padi Peneliti Utama Prof.
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar. Tabel 4. Rataan Kandungan Protein Kasar pada tiap Perlakuan
29 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Protein Kasar Rataan kandungan protein kasar asal daun singkong pada suhu pelarutan yang berbeda disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Rataan
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Buah Kurma Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah kurma dalam bentuk yang telah dikeringkan dengan kadar air sebesar 9.52%. Buah kurma yang
Lebih terperinci4 Hasil dan Pembahasan
4 Hasil dan Pembahasan Bab ini terdiri dari 6 bagian, yaitu optimasi pembuatan membran PMMA, uji kinerja membran terhadap air, uji kedapat-ulangan pembuatan membran menggunakan uji Q Dixon, pengujian aktivitas
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA. dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah
TINJAUAN PUSTAKA Ampas Sagu Pemanfaatan limbah sebagai bahan pakan ternak merupakan alternatif dalam meningkatkan ketersediaan bahan baku penyusun ransum. Limbah mempunyai proporsi pemanfaatan yang besar
Lebih terperinciPENDAHULUAN. terhadap lingkungan tinggi, dan bersifat prolifik. Populasi domba di Indonesia pada
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak ruminansia yang banyak dipelihara masyarakat dan dimanfaatkan produksinya sebagai ternak penghasil daging dan sebagai tabungan. Domba memiliki
Lebih terperinciIV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MENIR SEGAR Pengujian karakteristik dilakukan untuk mengetahui apakah bahan baku yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pengolahan tepung menir pragelatinisasi
Lebih terperinciII. TELAAH PUSTAKA. bio.unsoed.ac.id
II. TELAAH PUSTAKA Koloni Trichoderma spp. pada medium Malt Extract Agar (MEA) berwarna putih, kuning, hijau muda, dan hijau tua. Trichoderma spp. merupakan kapang Deutromycetes yang tersusun atas banyak
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Seiring dengan peningkatan permintaan daging kambing, peternak harus
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Seiring dengan peningkatan permintaan daging kambing, peternak harus memikirkan ketersediaan pakan. Pakan merupakan komponen biaya terbesar dalam pemeliharaan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Jagung Swasembada jagung memerlukan teknologi pemanfaatan jagung sehingga dapat meningkatkan nilai tambahnya secara optimal. Salah satu cara meningkatkan nilai tambah
Lebih terperinciMETODE PENELITIAN. Penelitian Tahap 1: Uji Efektivitas Enzim Cairan Rumen Domba Terhadap Penurunan Kandungan Serat Kasar Bungkil Kelapa
17 METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan dalam dua tahapan. Tahap 1 adalah uji efektivitas enzim cairan rumen domba terhadap penurunan kandungan serat kasar bungkil kelapa. Uji Tahap 2 adalah mengevaluasi
Lebih terperinciLAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN TEPUNG DARI BUAH SUKUN. (Artocarpus altilis)
LAPORAN TUGAS AKHIR PEMBUATAN TEPUNG DARI BUAH SUKUN Disusun Oleh: FERAWATI I 8311017 PROGRAM STUDI DIPLOMA III TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2014 KATA PENGANTAR Segala
Lebih terperinciGambar 5. Grafik Pertambahan Bobot Rata-rata Benih Lele Dumbo pada Setiap Periode Pengamatan
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Laju Pertumbuhan Harian Laju Pertumbuhan adalah perubahan bentuk akibat pertambahan panjang, berat, dan volume dalam periode tertentu (Effendi, 1997). Berdasarkan hasil
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Jumlah pasar tradisional yang cukup banyak menjadikan salah satu pendukung
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Jumlah pasar tradisional yang cukup banyak menjadikan salah satu pendukung tersedianya sampah khususnya sampah organik. Sampah organik yang berpeluang digunakan
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar
Lebih terperinciTingkat Penggunaan Limbah Laju Pertumbuhan %
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Laju Pertumbuhan Harian Berdasarkan hasil pengamatan terhadap benih Lele Sangkuriang selama 42 hari masa pemeliharaan diketahui bahwa tingkat penggunaan limbah ikan tongkol
Lebih terperinciBAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November Desember 2013 di
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November Desember 2013 di Laboratorium Daya dan Alat, Mesin Pertanian, dan Laboratorium Rekayasa Bioproses
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai
6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Sayuran Limbah kota pada umumnya didominasi oleh sampah organik ± 70% sebagai konsekuensi logis dari aktivitas serta pemenuhan kebutuhan penduduk kota. Berdasarkan sumber
Lebih terperinciBAB III BAHAN DAN METODE
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Pembuatan tepung cangkang kepiting dan pelet dilaksanakan di Laboratorium Nutrisi Ternak dan Makanan Ruminansia, Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran
Lebih terperinciBAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN. 1. Data pengukuran kompos limbah pertanian (basah) dan sampah kota. Jerami Padi 10 3,94 60,60. Kulit Pisang 10 2,12 78,80
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Percobaan 1 : Penentuan bahan baku pupuk organik Penelitian tahap I bertujuan untuk mendapatkan komposisi bahan baku pupuk organik yang berkualitas dari sampah kota dan limbah
Lebih terperinciHASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Pengaruh Perlakuan terhadap Kecernaan Bahan Kering. Jumlah Rata-Rata (menit)
29 IV HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh terhadap Kecernaan Bahan Kering Hasil penelitian nilai rataaan kecernaan bahan kering dari tiap perlakuan perendaman NaOH dan waktu perendaman biji sorgum
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura
14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Madura Sapi Madura termasuk dalam sapi lokal Indonesia, yang berasal dari hasil persilangan antara sapi Jawa dengan sapi Bali (Rokhana, 2008). Sapi Madura memiliki
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Nutrien Berbagai Jenis Rumput Kadar nutrien masing-masing jenis rumput yang digunakan berbeda-beda. Kadar serat dan protein kasar paling tinggi pada Setaria splendida, kadar
Lebih terperinciPENDAHULUAN. bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi
1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Meningkatnya kebutuhan susu merupakan salah satu faktor pendorong bagi usaha peternakan. Konsumsi susu meningkat dari tahun ke tahun, tetapi peningkatan konsumsi susu
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang
7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Tanaman Singkong Tanaman Singkong (Manihot utilissima) adalah komoditas tanaman pangan yang cukup potensial di Indonesia selain padi dan jagung. Tanaman singkong termasuk
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Performa Produksi Bobot Badan Akhir dan Pertambahan Bobot Badan Harian Bobot badan merupakan salah satu indikator untuk mengetahui performa produksi suatu ternak. Performa produksi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN ,8 ton (49,97%) dari total produksi daging (Direktorat Jenderal Peternakan,
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daging ayam broiler adalah bahan pangan sumber protein hewani yang berkualitas tinggi karena mengandung asam amino esensial yang lengkap, lemak, vitamin, dan mineral serta
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. asam ataupun enzimatis untuk menghasilkan glukosa, kemudian gula
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penyiapan Bahan Baku Klasifikasi etanol secara mikrobiologis dipengaruhi oleh bahan bakunya, bahan baku berupa sumber pati prosesnya lebih panjang di banding dengan berbahan
Lebih terperinciII KAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan problema sampai saat ini. Di musim kemarau hijauan makanan ternak
8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Hijauan Pakan Dalam meningkatkan meningkatkan produksi ternak, ketersediaan hijauan makanan ternak merupakan bagian yang terpenting, karena lebih dari 70% ransum ternak terdiri
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil Perubahan kandungan nutrisi daun mata lele Azolla sp. sebelum dan sesudah fermentasi dapat disajikan pada Gambar 1. Gambar1 Kandungan nutrisi daun mata lele Azolla
Lebih terperinci