Majalah Bulanan Tamansiswa PUSARA, terbit di Yogyakarta, Edisi Maret 1999
|
|
- Sri Lanny Gunardi
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 Majalah Bulanan Tamansiswa PUSARA, terbit di Yogyakarta, Edisi Maret 1999 MENGEVALUASI PELAKSANAAN EBTANAS DI SEKOLAH NEGERI DAN SWASTA Oleh : Ki Supriyoko Pada awal s/d pertengahan Mei nanti pemerintah yang dalam hal ini departemen pendidikan akan kembali menggelar aktivitas rutin ta-hunan di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta, yang berupa kegiatan evaluasi belajar tahap akhir tingkat nasional, atau yang oleh masyarakat lebih dikenal dengan sebutan Ebtanas. Dari sisi historis Ebtanas yang diadakan setiap tahun sudah dilaksanakan sejak tahun 1984; dengan demikian dalam sejarahnya sudah 15 kali sekolah-seko-lah di Indonesia melaksanakan rutinitas akademik tersebut. Di dalam mengarungi perjalanan yang lima belas tahun tersebut ternyata banyak sekali pengalaman-pengalaman berkaitan dengan pe-laksanaan Ebtanas, baik pengalaman yang manis maupun yang pahit. Terjadinya peningkatan motivasi belajar anak didik di banyak sekolah, terjadinya kompetisi yang sehat antarsiswa dalam berprestasi, adanya rasa syukur di kalangan orang tua karena lebih mudah mencarikan ke-lanjutan studi bagi anaknya, merupakan bagian dari pengalaman manis yang berkait dengan pelaksanaan Ebtanas. Bagaimana dengan pengalaman pahit? Sudah barang tentu banyak pula! Prestasi belajar anak didik yang mengecewakan, peraihan Nilai Ebtanas Murni (NEM) yang pada umumnya rendah untuk kebanyakan bidang studi di semua satuan pendidikan, terjadinya manipulasi NEM di beberapa tempat, kebocoran soal yang terjadi pada banyak sekolah dan pengobyekan kegiatan akademis pada oknum-oknum guru adalah contoh dari pengalaman pahit tersebut. Memang harus diakui bahwa setiap sistem atau metode di dalam dunia pendidikan, termasuk sistem atau metode evaluasi belajar seperti halnya Ebtanas, pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Memiliki nilai plus dan minus. Dengan demikian wajarlah pengalaman manis dan pahit senantiasa mengiringi perjalanannya. Nilai Plus dan Minus
2 2 Ebtanas banyak diakui mempunyai nilai plus. Konsepsi idealnya adalah dengan materi soal yang sama, waktu pengujian yang sama dan kriteria evaluasi yang sama untuk sekolah-sekolah yang sederajat dan sejenis maka hasil yang dicapai siswa di mana saja akan memiliki bo-bot yang sama pula. Dengan mengaplikasi sistem Ebtanas maka bobot lulusan SD di Bali sama dengan lulusan SD di Jakarta, juga sama dengan lulusan SD di Aceh, dan bahkan SD di Sekolah Republik Indonesia Tokyo Jepang sepanjang pencapaian NEM-nya sama. Dengan Ebtanas pula maka bobot lulusan SLTP di Irian Jaya sama dengan lulusan SLTP di Riau, juga sama dengan lulusan SLTP di NTB, dan bahkan dengan SLTP di Sekolah Republik Indonesia Denhaag Belanda sepanjang pencapaian NEM-nya sama. Hal ini juga berlaku bagi satuan SMU dan SMK baik negeri maupun swasta. Inilah konsep ideal Ebtanas. Ketika tiba waktunya musim penerimaan siswa baru di sekolah maka para orang tua pun banyak yang gembira karena merasa dimudahkan oleh sistem. Dengan mengetahui berapakah pencapaian NEM sang anak maka ia dapat menaksir sepantasnya di sekolah mana sang anak harus melanjutkan studi. Apabila pencapaian NEM SD anaknya tinggi maka ia lebih berhak menyekolahkan anaknya di SLTP yang mutunya tinggi pula, demikian pula apabila pencapaian NEM SLTP anaknya rendah maka tidak perlulah mencari SMU yang "top" untuk kelanjutan studi sang anak. Bukan orang tua saja yang gembira, kepala sekolah pun banyak yang senang. Mengapa? Mereka tidak lagi dipusingkan dengan urusan katabeletje, nota dinas, memo, titipan kilat atau apapun namanya dari para pejabat dan kolega selama proses penerimaan siswa baru berlangsung. Hal yang biasanya membuat pusing kepala itu ternyata bisa dianulasi oleh sistem Ebtanas. Dengan berlangsungnya Ebtanas maka kompetisi antarsiswa baik intersekolah maupun antarsekolah menjadi lebih fair, transparan, dan produktif. Siswa tak bisa lagi bercuriga pada (oknum) guru yang biasa menerapkan "like and dislike" dalam memberi nilai kepada siswa. Di samping nilai plus ternyata nilai minus juga melekat pada sis-tem Ebtanas.Idealisme dalam konsep ternyata menjadi luntur ketika di lapangan terjadi berbagai penyimpangan; misalnya dengan munculnya kasus pemalsuan atau penipuan NEM di beberapa daerah. Di Bandung misalnya, NEM siswa yang selama ini diyakini masyarakat sebagai nilai "murni" ternyata dapat dimanipulasi sesuai keinginan orang yang berkepentingan. Dengan demikian, wajarlah kalau kemudian muncul sinisme mengenai NEM yang konon bukan lagi kependekan dari Nilai Ebtanas Murni akan tetapi Nilai Ebtanas Manipulasi. Idealisme Ebtanas juga menjadi luntur ketika ternyata materi soal antardaerah sering tidak sama. Materi soal Ebtanas SD di Jawa Barat berbeda dengan materi soal SD di Jambi; materi soal Ebtanas SLTP di Jawa Tengah berbeda dengan materi soal SLTP di Bengkulu; materi soal Ebtanas SMU di Jawa Timur berbeda dengan materi soal SMU di NTT; demikian juga materi soal SMK di Sumatera Barat tak lagi sama
3 3 dengan materi soal SMK di Sulawesi Selatan. Dengan kondisi seperti ini masyarakat pun berhak curiga jangan-jangan bobot kelulusan siswa antardaerah menjadi tidak sama sekalipun pencapaian NEM-nya sama. Terjadinya permainan dalam sistem koreksi silang juga menjadi bagian lain dari nilai minus Ebtanas yang berkembang. Apabila sistem koreksinya sudah "diakali" maka kita pun dapat maklum apabila hasil pencapaian NEM-nya juga tidak lagi "murni". Usulan Dihentikan Di dalam beberapa tahun terakhir ini nilai minus Ebtanas menjadi lebih tinggi lagi manakala ditemui adanya sinyalemen mengenai peng-objekan pelaksanaan Ebtanas di lapangan. Banyak pengelola sekolah swasta yang mengeluh tentang tingginya pungutan beaya Ebtanas dari siswa. Para siswa sekolah swasta harus mau membayar mahal hanya untuk dapat mengikuti Ebtanas; sementara siswa sekolah negeri tidak dikenakan beban yang sama. Lebih daripada itu bahkan muncul pendapat di kalangan tertentu bahwa siswa sekolah swasta ikut mendanai siswa sekolah negeri untuk berpacu dalam Ebtanas. Keadaan tersebut kiranya mendapat perhatian Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) sehingga, meski bukan menjadi satu-satu-nya argumentasi, badan ini mengusulkan kepada pemerintah supaya pelaksanaan Ebtanas dihentikan terhitung tahun ajaran 1999/2000 atau tahun depan. Sebagai dasar untuk membuat usulan antara lain jawaban Ebtanas tidak pernah dikembalikan kepada siswa, terjadinya manipulasi nilai di lapangan, serta memberatkan siswa dan orang tua siswa sekolah swasta karena beayanya tinggi. Secara materiil usulan tersebut cukup argumentatif karena dida-sarkan kepada apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan. Akan tetapi sayang, usulan yang cukup argumentatif itu kurang didukung dengan argumentasi akademis yang memadai. Di dalam hal ini BMPS terlalu menonjolkan alasan-alasan praktis seperti terjadinya manipulasi nilai, beaya yang memberatkan, dsb. Banyak orang menyatakan bahwa BMPS tidak sempat mengopti-malkan pakarpakar pendidikan yang ada didalamnya hingga lontaran "manuver" yang sesungguhnya sangat strategis ini kurang terdukung oleh argumentasi akademis yang memadai. Oleh karena argumentasi yang diajukan untuk mendukung usulan tersebut lebih menonjolkan sisi praktisnya maka kesan emosionalitas pada usulan tersebut menjadi tidak terelakkan. Dengan demikian Pak Juwono Sudarsono selaku menteri pendidikan menjadi terlalu mudah untuk menanggapinya, Ebtanas tetap saja akan dilaksanakan; kalau di lapangan ada kekurangan di sana-sini hendaknya dapat dibenahi ber-sama-sama sehingga pelaksanaannya pada masa-masa mendatang akan lebih baik dan lebih sempurna. Nah, selesai bukan?
4 4 Kalau kita meneropongnya dari sisi akademis, bukan hanya dari sisi praktisnya saja, maka persoalan Ebtanas memang perlu mendapat klarifikasi dengan segera. Konsepsi akademis Ebtanas perlu ditengok kembali untuk menentukan kelayakan Ebtanas di masa mendatang. A-pakah Ebtanas memang masih layak dipertahankan secara apa adanya, atau dipertahankan dengan perbaikan-perbaikan, ataukah sama sekali tidak layak dipertahankan sehingga harus segera diakhiri pelaksanaan-nya di sekolah-sekolah. Inter-Rater Validity Secara formal pelaksanaan Ebtanas di SD, SLTP, SMU dan SMK baik negeri maupun swasta dilakukan untuk menjalankan amanat Pa-sal 44 UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang secara eksplisit menyebutkan bahwa pemerintah dapat menyelenggarakan penilaian hasil belajar suatu jenis dan/atau jenjang pendidikan secara nasional. Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut disebut bahwa tujuan penilaian yang dimaksud ialah untuk mengetahui hasil belajar peserta didik suatu jenis dan jenjang pendidikan tertentu dengan menggunakan ukuran yang ditetapkan secara nasional pada masa akhir pendidikan-nya. Penilaian harus didasarkan pada kurikulum nasional. Hal ini juga dimaksudkan untuk mendapatkan keterangan (yang benar) mengenai mutu hasil pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan secara nasional. Mengacu pada ketentuan tersebut maka sebenarnya Ebtanas harus dilaksanakan dengan materi yang bersifat nasional dan mengacu pada kurikulum nasional. Pengertian nasional disini ialah sama bobot untuk sekolah-sekolah yang sama jenis dan jenjangnya; misalnya saja materi Ebtanas SD di Jawa Barat sama bobotnya dengan SD di Jambi, SLTP di Jawa Tengah sama bobotnya dengan SLTP di Bengkulu, SMU di Jawa Timur sama bobotnya dengan SMU NTT, SMK di Sumatera Ba-rat dengan SMK di Sulawesi Selatan, dan sebagainya. Kiranya bukan menjadi rahasia umum lagi bahwa dalam beberapa tahun terakhir ini soal-soal Ebtanas antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lain tidak sama. Persoalannya sekarang ialah bagaimana dapat meyakinkan masyarakat bahwa mutu materi Ebtanas SD di Jawa Barat Jakarta sama bobotnya dengan SD di Jambi. Secara metodologis hal tersebut bisa ditempuh dengan melakukan uji "interrater validity" terhadap materi Ebtanas antarwilayah. Jadi kalau kita mempunyai 27 jenis materi Ebtanas, dengan asumsi setiap propinsi membuat materi Ebtanas SD-nya sendiri-sendiri, maka harus dilakukan 27 kali uji validitas terhadap materi Ebtanas yang dianggap standard. Pengujian validitas tersebut sebenarnya tak sulit dilakukan tetapi Depdikbud sebagai penanggung jawab pelaksanaan Ebtanas tidak per-nah melakukannya secara transparan sehingga wajarlah kalau kualitas dan kesamaan bobot materi Ebtanas
5 5 diragukan oleh masyarakat. Seorang kepala SMU di Yogyakarta pernah mengeluh mengenai keberagaman mutu inputnya. Pasalnya sebagai SMU "nasional" maka harus menerima input dari segala penjuru tanah air sepanjang capaian Nilai Ebtanas Murni (NEM)-nya memenuhi syarat. Ketika pelajaran berlangsung sekitar satu catur wulan baru diketahui oleh para guru di SMU tersebut bahwa siswa yang SLTP asalnya dari luar Jawa, sekalipun NEM-nya lebih tinggi, pada umumnya berkemampuan akademis lebih rendah dibanding siswa yang SLTP asalnya dari Jawa. Keluhan seperti ini ternyata juga dialami oleh kepala-kepala sekolah, SMU dan juga SLTP, di beberapa tempat lainnya. Kasus tersebut sebenarnya dapat menunjukkan pada kita tentang terdapatnya indikator ketidaksamaan bobot NEM antarsekolah antar-wilayah, juga ketidaksamaan bobot materi antarsekolah antarwilayah. Indikator ini semestinya segera dilacak oleh Depdikbud untuk mengetahui sejauh mana tingkat kebenaran indikator tersebut pada khasanah yang lebih umum (general). Apabila kemudian diketahui bahwa ternyata bobot materi Ebtanas antarsekolah antarwilayah tidak sama, baik melalui studi kasus mau-pun studi formulatif, maka gugurlah asumsi bahwa soal-soal Ebtanas di masing-masing wilayah bersifat nasional. Apabila asumsi ini telah gugur maka secara akademis pelaksanaan Ebtanas tidak dapat dipertanggungjawabkan sebagai pengukur hasil belajar secara nasional. Di dalam posisi seperti ini maka pelaksanaan Ebtanas kita menjadi tidak efektif, tidak efisien dan antiproduktif. Indeks Kesukaran Bagaimana dengan keluhan siswa tentang terlalu sukarnya materi Ebtanas itu sendiri sehingga menyulitkan peraihan NEM yang tinggi? Dalam realitasnya di lapangan memang sering ditemui keluhan siswa tentang sukarnya materi Ebtanas. Untuk mengetahui tingkat kesukaran materi Ebtanas tersebut bisa ditempuh dengan mengadakan analisis statistik untuk menentukan nilai 'indeks kesukaran', yang di dalam ilmu statistik diberi simbol "p", pada setiap butir soal. Dengan cara ini akan diketahui butir-butir soal mana yang terlalu sukar, normal atau terlalu mudah untuk kemampuan rata-rata siswa. Adapun kriteria yang digunakan didasarkan pada sifat dari Ebtanas itu sendiri yang dalam hal ini lebih bersifat sebagai instrumen untuk mengukur kompetensi siswa (competence testing), bukan instrumen untuk mengukur ketuntasan penguasaan pengetahuan siswa (mastery testing). Secara teoretik-akademis pada mastery testing maka dituntut nilai p tercapai secara maksimal, yaitu p=1, artinya semua butir soal harus dapat dikerjakan dengan benar oleh semua peserta tes atau Ebtanas. Sedangkan untuk competence testing oleh para pakar pendidikan telah disepakati nilainya kurang dari satu, sekitar 0,60 s/d 0,80, tergantung pada bentuk soal dan tujuannya.
6 6 Karena Ebtanas lebih cenderung kepada competence testing maka acuan tersebut di atas kiranya dapat dipakai, yaitu menetapkan nilai p antara 0,60 s/d 0,80, artinya masing-masing butir soal dapat dijawab dengan benar oleh sebanyak 60 s/d 80 persen peserta Ebtanas. Apabila terbukti soal-soal Ebtanas mempunyai nilai p yang lebih rendah dari angka tersebut, hal ini berarti bahwa soal-soal Ebtanas memang memiliki tingkat kesukaran yang tinggi. Formula matematis-nya adalah semakin rendah indeks kesukaran (p) justru semakin tinggi tingkat kesukaran soal Ebtanas; karena nilai p dihasilkan dari jumlah soal Ebtanas dijawab benar oleh peserta Ebtanas dibagi jumlah seluruh peserta yang menjawab soal yang bersangkutan. Prosesi akademis tersebut semestinya sudah dilaksanakan secara transparan sejak pertama kali Ebtanas dilaksanakan, yaitu tahun 1984 lima belas tahun yang lalu, agar supaya masyarakat kebanyakan pada umumnya dan masyarakat akademis pada khususnya dapat memahami kredibilitas Ebtanas di dalam posisinya sebagai instrumen dan metode untuk memperoleh keterangan tentang mutu hasil pendidikan di setiap jenis dan jenjang pendidikan secara nasional. Kalau dilihat perkembangan Ebtanas sejak awalnya, tahun 1984, dengan capaian NEM siswa yang rendah untuk mayoritas bidang studi yang diujikan di SD, SLTP, SMU dan SMK hal itu memberi indikasi bahwa nilai p yang dihasilkan adalah rendah; itu berarti indeks kesukaran materi Ebtanas relatif tinggi, atau bahkan sangat tinggi. Hal itu juga berarti bahwa hanya (sangat) sedikit siswa yang mampu mengerjakan soal-soal Ebtanas dengan benar. Dengan asumsi bahwa materi Ebtanas sudah disusun berdasarkan standard kurikulum nasional, sebagaimana yang diamanatkan undang-undang pendididikan, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas hasil pendidikan kita masih rendah. Lalu apanya yang salah? Apabila kita berasumsi bahwa materi Ebtanasnya sudah benar maka kesalahan itu bisa terjadi pada siswanya (input), gurunya, birokrasinya, sistemnya, dan bisa pula secara simultan terjadi pada banyak faktor yang berpengaruh pada pelaksanaan pendidikan di Indonesia. Karena Ebtanas sudah berjalan selama belasan tahun dan capaian NEM siswa di semua satuan pendidikan untuk mayoritas bidang studi cenderung tidak memuaskan sebenarnya sudah dapat diambil konklusi tentang rendahnya mutu hasil pendidikan kita. Jadi, apabila dilaksanakannya Ebtanas hanya sekedar untuk memperoleh keterangan tentang mutu hasil pendidikan pada setiap jenis dan jenjang pendidikan secara nasional sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang pendi-dikan kita, kiranya sudah cukup kokoh argumentasi akademis untuk menghentikan palaksanaan Ebtanas di SD, SLTP, SMU dan SMK. Apalagi secara empirik pelaksanaan Ebtanas kita selama ini cenderung membawa efek samping yang negatif, antiproduktif dan antiedukatif. Setelah diketahui begitu rendahnya hasil pendidikan kita, sebaik-nya pemerintah melalui departemen pendidikan lebih berkonsentrasi meningkatkan kualitas; tidak lagi berpolemik mengenai Ebtanas yang sangat melelahkan dan menghabiskan enerji
7 7!!!***** BIODATA SINGKAT; *: DR. Ki Supriyoko, M.Pd. *: Ketua Bidang Pendidikan dan Kebudayaan Majelis Luhur Tamansiswa; serta Director of Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE) yang bermarkas di Tokyo, Jepang *: Doktor di bidang penelitian dan evaluasi pendidikan
Majalah PUSARA, Edisi Juli TAMANSISWA DI ERA DESENTRALISASI PENDIDIKAN Oleh : Ki Supriyoko
Majalah PUSARA, Edisi Juli 2007 TAMANSISWA DI ERA DESENTRALISASI PENDIDIKAN Oleh : Ki Supriyoko Telah terbuktikan oleh sejarah bahwa perjalanan Tamansiswa telah melewati dua jaman sekaligus; masing-masing
Lebih terperinciSurat Kabar Harian SUARA KARYA, terbit di Jakarta Edisi 17 Juli MISTERI RIBUAN KURSI KOSONG SMTP Oleh : Ki Supriyoko
Surat Kabar Harian SUARA KARYA, terbit di Jakarta Edisi 17 Juli 1990 MISTERI RIBUAN KURSI KOSONG SMTP Oleh : Ki Supriyoko Ironis! Itulah kata-kata yang paling tepat untuk melukiskan terjadinya kekosongan
Lebih terperinciSurat Kabar Harian SUARA KARYA, terbit di Jakarta Edisi 3 Agustus KEGUNDAHAN MENUNGGU HASIL UMPTN Oleh : Ki Supriyoko
Surat Kabar Harian SUARA KARYA, terbit di Jakarta Edisi 3 Agustus 1990 KEGUNDAHAN MENUNGGU HASIL UMPTN Oleh : Ki Supriyoko Sebuah tradisi akademik yang terjadi pada setiap awal tahun ajaran baru di perguruan
Lebih terperinciMajalah Dit-TK-SD Depdiknas FASILITATOR, terbit di Jakarta, Edisi April 2007
Majalah Dit-TK-SD Depdiknas FASILITATOR, terbit di Jakarta, Edisi April 2007 MENGEMBANGKAN KOMPETENSI PEDAGOGIK GURU INDONESIA Oleh : Ki Supriyoko A. PENGANTAR Undang-Undang (UU) Republik Indonesia (RI)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama/setara SMP/MTs.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kemajuan suatu Negara. Semakin baik pendidikan di suatu Negara, maka Negara tersebut semakin baik pula. Undang-Undang
Lebih terperinciMajalah METODIKA, terbit di Jakarta, Edisi IV Oktober 2006
Majalah METODIKA, terbit di Jakarta, Edisi IV Oktober 2006 PEMANTAPAN KINERJA PENDIDIKAN MELALUI PROFESIONALISME GURU Oleh : Ki Supriyoko A. PENGANTAR Kinerja pendidikan nasional telah lama menunjukkan
Lebih terperinciMajalah FASILITATOR, terbit di Jakarta, Edisi III Juli 2006
Majalah FASILITATOR, terbit di Jakarta, Edisi III Juli 2006 PEMBIASAAN BERFIKIR KRITIS ANAK TAMAN KANAK-KANAK Oleh : Ki Supriyoko A. PENGANTAR Ketika masih kuliah pada program doktor pertengahan tahun
Lebih terperinciSurat Kabar Harian SUARA KARYA, terbit di Jakarta Edisi 20 September YANG SALAH DALAM PENGAJARAN MATEMATIKA Oleh : Ki Supriyoko
Surat Kabar Harian SUARA KARYA, terbit di Jakarta Edisi 20 September 1990 YANG SALAH DALAM PENGAJARAN MATEMATIKA Oleh : Ki Supriyoko Tiga kali berpartisipasi dan tiga kali pula tidak sanggup berprestasi.
Lebih terperinciTabloid Pelajar PELAJAR INDONESIA, terbit di Bandung, Edisi November 2002
Tabloid Pelajar PELAJAR INDONESIA, terbit di Bandung, Edisi November 2002 PRAKTEK MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH (MBS) MENUJU KEMANDIRIAN SEKOLAH Oleh : Ki Supriyoko Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang diterjemahkan
Lebih terperinciSurat Kabar Harian SUARA MERDEKA, terbit di Semarang, Edisi 3 Agustus 1988
Surat Kabar Harian SUARA MERDEKA, terbit di Semarang, Edisi 3 Agustus 1988 MENCERMATI FENOMENA LANGKA EKSAKTA TANTANGAN UNTUK DEPDIKBUD Oleh : Ki Supriyoko Dunia pendidikan kita dewasa ini nampaknya tengah
Lebih terperinciMajalah Dit-TK-SD Depdiknas FASILITATOR, terbit di Jakarta, Edisi Juli 2007
Majalah Dit-TK-SD Depdiknas FASILITATOR, terbit di Jakarta, Edisi Juli 2007 MENGEMBANGKAN KOMPETENSI PROFESIONAL GURU INDONESIA Oleh : Ki Supriyoko A. PENGANTAR Kalau kita buka Oxford Advance Learner s
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menentukan masa depan bangsa, melalui pendidikan ini cita-cita luhur untuk
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai peranan penting sebagai ujung tombak dalam menentukan masa depan bangsa, melalui pendidikan ini cita-cita luhur untuk mencapai kesejahteraan
Lebih terperinciSurat Kabar Harian KEDAULATAN RAKYAT, terbit di Yogyakarta, Edisi 20 Juli 1988
Surat Kabar Harian KEDAULATAN RAKYAT, terbit di Yogyakarta, Edisi 20 Juli 1988 ANALISIS POTENSI AKADEMIK YOGYAKARTA UNTUK MENYONGSONG WAJIB BELAJAR SMTP Oleh : Ki Supriyoko Pembicaraan tentang masalah
Lebih terperinciMajalah Bulanan Tamansiswa PUSARA, terbit di Yogyakarta, Edisi Januari AKTUALISASI KONSEP PEMERATAAN PENDIDIKAN Oleh : Ki Supriyoko
Majalah Bulanan Tamansiswa PUSARA, terbit di Yogyakarta, Edisi Januari 1990 AKTUALISASI KONSEP PEMERATAAN PENDIDIKAN Oleh : Ki Supriyoko "Oleh karena pengajaran yang hanya terdapat pada sebagian kecil
Lebih terperinciDETERMINAN MUTU PENDIDIKAN DASAR DI INDONESIA. Oleh : Ki Supriyoko
DETERMINAN MUTU PENDIDIKAN DASAR DI INDONESIA Oleh : Ki Supriyoko A. PENGANTAR Faktor atau determinan apa saja yang berpengaruh terhadap mutu pendidikan dasar, utamanya SD, di Indonesia? Sejauhmanakah
Lebih terperinciSKRIPSI. Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Program Studi Pendidikan Ekonomi Akuntansi. Disusun Oleh:
PENGARUH MOTIVASI BELAJAR SISWA DAN NILAI PPDB (PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU) TERHADAP PRESTASI BELAJAR AKUNTANSI PADA SISWA KELAS XI IPS SEMESTER I SMA NEGERI KARANGPANDAN KARANGANYAR TAHUN 2009/2010
Lebih terperinciSurat Kabar Harian KEDAULATAN RAKYAT, terbit di Yogyakarta, Edisi 17 November TIGA ISU MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA Oleh : Ki Supriyoko
Surat Kabar Harian KEDAULATAN RAKYAT, terbit di Yogyakarta, Edisi 17 November 1987 TIGA ISU MUTU PENDIDIKAN DI INDONESIA Oleh : Ki Supriyoko ( Bagian Terakhir dari Dua Tulisan ) Berbeda dengan SMA yang
Lebih terperinciPelita V diusahakan untuk berubah ke laju peningkatan pemerataan rendah tapi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesadaran pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kualitas pendidikan saat ini semakin tinggi, hal ini tentu terkait dengan tantangan abad ke-21 terhadap dunia
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Dalam mewujudkan pendidikan yang lebih upaya untuk meningkatkan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam mewujudkan pendidikan yang lebih upaya untuk meningkatkan pembangunan daerah Kota Yogyakarta maka dibuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). RPJMD
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. agraris, dan sebagaian besar mata pencaharian masyarakat sebagai petani, warisan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan investasi masa depan. Pola kehidupan masyarakat saat ini sudah berubah. Pada masa dulu ketika negara ini fokus sebagai negara agraris, dan sebagaian
Lebih terperinciSurat Kabar Harian KEDAULATAN RAKYAT, terbit di Yogyakarta, Edisi 12 Desember 1987
Surat Kabar Harian KEDAULATAN RAKYAT, terbit di Yogyakarta, Edisi 12 Desember 1987 Menyambut Diskusi Ilmiah Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri: MENYEDERHANAKAN MODEL TESTING PERGURUAN TINGGI NEGERI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. didik. Penilaian hasil belajar dilakukan oleh pendidik, satuan pendidikan dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penilaian pendidikan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2007 adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan
Lebih terperinciMANAJEMEN PENYELENGGARAAN KELAS AKSELERASI DALAM LAYANAN ANAK BERBAKAT DI SMP NEGERI I WONOGIRI TESIS
MANAJEMEN PENYELENGGARAAN KELAS AKSELERASI DALAM LAYANAN ANAK BERBAKAT DI SMP NEGERI I WONOGIRI TESIS Tesis ini dibuat guna memenuhi salah satu tugas sebagai persyaratan dalam mendapatkan gelar Magister
Lebih terperinciMajalah Bulanan Tamansiswa PUSARA, terbit di Yogyakarta, Edisi September 1998
Majalah Bulanan Tamansiswa PUSARA, terbit di Yogyakarta, Edisi September 1998 MEMBENAHI PERATURAN PENDIDIKAN KITA DARI UU PENDIDIKAN SAMPAI SK MENTERI Oleh : Ki Supriyoko Mengapa pendidikan nasional Indonesia
Lebih terperinciOleh: WIDIHASTUTI, S.PD. (Dosen FT Universitas Negeri Yogyakarta)
REFLEKSI KRITIS TERHADAP PELAKSANAAN UJIAN AKHIR NASIONAL (UAN) 2004 MENYONGSONG KBK MENUJU UJIAN SEKOLAH (Sebuah Analisis Sistem dan Mutu Pendidikan Kita) Oleh: WIDIHASTUTI, S.PD. (Dosen FT Universitas
Lebih terperinciMajalah Dit-TK-SD Depdiknas FASILITATOR, terbit di Jakarta, Edisi Januari 2007
Majalah Dit-TK-SD Depdiknas FASILITATOR, terbit di Jakarta, Edisi Januari 2007 PROFESI, PROFESIONAL, PROFESIONALISME, DAN PROFESIONALITAS GURU DALAM UNDANG-UNDANG Oleh : Ki Supriyoko A. PENGANTAR Semenjak
Lebih terperinciMEMAHAMI STANDAR PENILAIAN BSNP
MEMAHAMI STANDAR PENILAIAN BSNP LATAR BELAKANG BSNP SECARA FILOSOFIS: - PROSES PEND PROSES MENGEMBANGKAN POTENSI SISWA MENJADI KEMAMPUAN DAN KETERAMPILAN TTT. SISWA SIPERLAKUKAN DAN DINILAI SEC. ADIL tidak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pelaksanaan dan praktik penyelenggaraan dari Sekolah Bertaraf Internasional
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian ini dikembangkan untuk memahami lebih jauh mengenai pelaksanaan dan praktik penyelenggaraan dari Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang masih dipandang
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. informasi kepada lembaga, maupun kepada pihak-pihak lain yang. dengan mata pelajaran yang telah diberikan.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Penilaian merupakan salah satu kegiatan yang wajib dilakukan oleh guru. Dikatakan wajib karena setiap guru pada akhirnya harus dapat memberikan informasi kepada
Lebih terperinciAnalisis Kualifikasi Guru pada Pendidikan Agama dan Keagamaan
Analisis Kualifikasi Guru pada Pendidikan Agama dan Keagamaan Oleh : Drs Bambang Setiawan, MM 1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pasal 3 UU no 20/2003 menyatakan bahwa Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
Lebih terperinciIII. METODOLOGI PENELITIAN
22 III. METODOLOGI PENELITIAN 2.5. Data Penelitian Data dalam penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari bagian Akademis POLBAN serta data pendukung yang merupakan data primer (persepsi)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. adalah pendidikan yang berhasil membentuk generasi muda yang cerdas, berkarakter, bermoral dan berkepribadian.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu pendidikan dipandang bermutu diukur dari kedudukannya untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kebudayaan nasional adalah pendidikan yang berhasil
Lebih terperinciMajalah Bulanan Tamansiswa PUSARA, terbit di Yogyakarta, Edisi November PENULISAN SEJARAH NASIONAL DALAM KURIKULUM SEKOLAH Oleh : Ki Supriyoko
Majalah Bulanan Tamansiswa PUSARA, terbit di Yogyakarta, Edisi November 1998 PENULISAN SEJARAH NASIONAL DALAM KURIKULUM SEKOLAH Oleh : Ki Supriyoko "Historian write history for the government, but educational
Lebih terperinciPANDUAN PENYELENGGARAAN SISTEM KREDIT SEMESTER UNTUK SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH DAN SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH ALIYAH
PANDUAN PENYELENGGARAAN SISTEM KREDIT SEMESTER UNTUK SEKOLAH MENENGAH PERTAMA/MADRASAH TSANAWIYAH DAN SEKOLAH MENENGAH ATAS/MADRASAH ALIYAH Badan Standar Nasional Pendidikan 2010 KATA PENGANTAR Segala
Lebih terperinciSurat Kabar Harian YOGYA POS, terbit di Yogyakarta Edisi 12 Oktober KEPENDUDUKAN DAN KEPENDIDIKAN ISLAM Oleh : Ki Supriyoko
Surat Kabar Harian YOGYA POS, terbit di Yogyakarta Edisi 12 Oktober 1990 KEPENDUDUKAN DAN KEPENDIDIKAN ISLAM Oleh : Ki Supriyoko Mencermati dengan seksama terhadap gambaran besar tentang kependudukan dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dihadapi kedepan adalah globalisasi dengan dominasi teknologi dan informasi
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Memasuki abad-21, tugas guru tidak akan semakin ringan. Tantangan yang dihadapi kedepan adalah globalisasi dengan dominasi teknologi dan informasi yang sangat
Lebih terperinciIMPLEMENTASI EVALUASI PENDIDIKAN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN NASIONAL. Ki Supriyoko
IMPLEMENTASI EVALUASI PENDIDIKAN DALAM MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN NASIONAL A. PENGANTAR Ki Supriyoko Secara teoretis banyak pengertian tentang evaluasi pendidikan yang kita pelajari selama ini. Di
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. terhadap sesuatu dengan ukuran baik atau buruk (kualitatif).
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Evaluasi merupakan salah satu cara untuk mengetahui keberhasilan dari sebuah proses pembelajaran dalam pendidikan. Evaluasi pendidikan sering diartikan sebagai pengukuran
Lebih terperinciSurat Kabar Harian KEDAULATAN RAKYAT, terbit di Yogyakarta, Edisi 10 Juli 1989
Surat Kabar Harian KEDAULATAN RAKYAT, terbit di Yogyakarta, Edisi 10 Juli 1989 MENUJU "RESEARCH UNIVERSITY" SEBAGAI PERGURUAN TINGGI DI MASA DEPAN Oleh : Ki Supriyoko Adalah Department of Electrical Engineering
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. akan berorientasi kepada tujuan pembelajaran. Apakah tujuan pembelajaran
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komponen dalam pembelajaran yang meliputi tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran dan evaluasi pembelajaran merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Proses
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang memiliki peranan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang memiliki peranan penting dalam menentukan masa depan. Hal ini terbukti dengan diberikannya matematika di jenjang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kepada persaingan global. Tantangan dan perkembangan pendidikan di
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan yang besar dalam kehidupan manusia serta membawa manusia kepada persaingan global. Tantangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang paling penting keberadaannya. Setiap orang mengakui bahwa tanpa
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sekolah Dasar (selanjutnya disingkat menjadi SD) merupakan pendidikan yang paling penting keberadaannya. Setiap orang mengakui bahwa tanpa menyelesaikan pendidikan
Lebih terperinciJURNAL TUGAS AKHIR SKRIPSI
JURNAL TUGAS AKHIR SKRIPSI EVALUASI PELAKSANAAN PRAKTIK INDUSTRI KELAS XI PROGRAM KEAHLIAN TEKNIK PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK SMK COKROAMINOTO PANDAK TAHUN AJARAN 2011/2012 Diajukan kepada Fakultas Teknik
Lebih terperinciHasil Ujian Nasional 2016
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Hasil Ujian Nasional 2016 Jenjang Pendidikan Menengah Pertama JAKARTA, 10 JUNI 2016 Peserta UN SMP / Sederajat Tahun 2016 UN Kertas dan Pensil UN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pemerintah untuk menjadikan Indonesia semakin maju. Maksud dari otonomi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi Daerah merupakan salah satu upaya renovasi yang dilaksanakan pemerintah untuk menjadikan Indonesia semakin maju. Maksud dari otonomi daerah adalah hak, wewenang
Lebih terperincialam proses pembelajaran, penilaian dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi
Kata Pengantar alam proses pembelajaran, penilaian dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai hasil belajar yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Oleh karena itu, guru wajib
Lebih terperinciOPERASIONALISASI KURIKULUM
OPERASIONALISASI KURIKULUM Dokumen tertulis Implementasi; pembelajaran Penilaian Hasil belajar Monitoring dan evaluasi keberhasilan kurikulum a. TUJUAN c. PENILAIAN (EVALUASI HASIL BELAJAR) b. PELAKSANAAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan yang terus berubah dan hampir semua orang melaksanakan pendidikan karena pendidikan itu tidak pernah terpisahkan dalam kehidupan manusia. Menurut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pendidikan diantaranya adalah persaingan antara siswa sebagai peserta didik yang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam masyarakat saat ini terjadi persaingan yang ketat dalam dunia pendidikan diantaranya adalah persaingan antara siswa sebagai peserta didik yang saling berlomba
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. satu sistem pendidikan nasional yang diatur dengan undang-undang, yaitu
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, serta agar pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan
Lebih terperinciSurat Kabar Harian KEDAULATAN RAKYAT, terbit di Yogyakarta, Edisi 19 Juni 1986
Surat Kabar Harian KEDAULATAN RAKYAT, terbit di Yogyakarta, Edisi 19 Juni 1986 Tanggapan Atas Tanggapan Sdr. Ahmad Abu Hamid: STTB : ANTARA TARGET DAN KUALITAS Oleh : Ki Supriyoko Artikel saya yang termuat
Lebih terperinciKata Pengantar. Jakarta, Desember 2011. Tim Penyusun
Kata Pengantar Dalam proses pembelajaran, penilaian dilakukan untuk mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai hasil belajar yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Oleh karena itu, guru wajib
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang berkualitas, sehingga dapat memfungsikan diri sesuai dengan kebutuhan
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan memiliki peran yang strategis dalam mewujudkan individu yang berkualitas, sehingga dapat memfungsikan diri sesuai dengan kebutuhan pribadi dan
Lebih terperinciSurat Kabar Harian KEDAULATAN RAKYAT, terbit di Yogyakarta, Edisi 6 Juni "MENDOBRAK" PINTU DUNIA INDUSTRI Oleh : Ki Supriyoko
Surat Kabar Harian KEDAULATAN RAKYAT, terbit di Yogyakarta, Edisi 6 Juni 1988 Tantangan Sekolah Kejuruan Kini: "MENDOBRAK" PINTU DUNIA INDUSTRI Oleh : Ki Supriyoko Ada suatu aktivitas akademik penelitian
Lebih terperinciSurat Kabar Harian SUARA KARYA, terbit di Jakarta, Edisi 5 Februari SMP "SEMI TERBUKA" SEBUAH ALTERNATIF Oleh : Ki Supriyoko
Surat Kabar Harian SUARA KARYA, terbit di Jakarta, Edisi 5 Februari 1988 SMP "SEMI TERBUKA" SEBUAH ALTERNATIF Oleh : Ki Supriyoko Ada dua macam pendekatan pendidikan yang tengah dilakukan oleh pemerintah
Lebih terperinciMajalah Bulanan Tamansiswa PUSARA, terbit di Yogyakarta, Edisi Oktober 1997
Majalah Bulanan Tamansiswa PUSARA, terbit di Yogyakarta, Edisi Oktober 1997 RESIPROKASI KEBIJAKAN NASIONAL PERBUKUAN DAN MINAT BACA MASYARAKAT Oleh : Ki Supriyoko Untuk kesekian kalinya para pimpinan sekolah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan kebutuhan primer dalam kehidupan manusia. Tanpa pendidikan dunia ini tidak ada apa-apanya, karena semua berasal dari pendidikan. Pendidikan
Lebih terperinciBAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN Dalam bab ini membahas hasil penelitian Peran dan Fungsi Komite Sekolah Dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pendidikan di Sekolah (Studi Kasus di SMK Negeri 1 Terbanggi Besar
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. adalah Mencerdaskan kehidupan bangsa. Strategi untuk mencerdaskan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tujuan pendidikan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 adalah Mencerdaskan kehidupan bangsa. Strategi untuk mencerdaskan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia
Lebih terperinciWALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG
WALIKOTA YOGYAKARTA PERATURAN WALIKOTA YOGYAKARTA NOMOR 30 TAHUN 2007 TENTANG PEDOMAN PENERIMAAN PESERTA DIDIK BARU PADA TAMAN KANAK-KANAK DAN SEKOLAH DI KOTA YOGYAKARTA WALIKOTA YOGYAKARTA Menimbang :
Lebih terperinciPERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 21 TAHUN 2009
PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG DUKUNGAN PEMERINTAH PROVINSI TERHADAP PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DASAR GRATIS DAN RINTISAN WAJIB BELAJAR 12 TAHUN KEPADA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DENGAN
Lebih terperinciPENYELENGGARAAN TK-SD SATU ATAP
PENYELENGGARAAN TK-SD SATU ATAP LATAR BELAKANG Taman Kanak-kanak (TK) merupakan bentuk pendidikan anak usia dini jalur formal yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak usia empat tahun sampai masuk pendidikan
Lebih terperinciStandar Mahasiswa & Pengelolaan Alumni STIKES HARAPAN IBU
Standar Mahasiswa & Pengelolaan Alumni STIKES HARAPAN IBU Halaman 2 dari 6 STANDAR KEMAHASISWAAN DAN PENGELOLAAN ALUMNI STIKES HARAPAN IBU KODE DOKUMEN : STD.MT.AK. 03/007/2017 REVISI : 0 TANGGAL : 7 Maret
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pengetahuan, dan fisik dalam kehidupan sosial; 3. Standar minimal pengetahuan dan keterampilan khusus dasar;
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan kejuruan adalah pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu (Wikipedia.com 23/05/2012). Pendidikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dasar sekaligus kekayaan suatu bangsa, sedangkan sumber-sumber modal dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan adalah faktor penting untuk mewujudkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Pendidikan juga merupakan sarana strategis guna peningkatan mutu sumber
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama pada era
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama pada era globalisasi dewasa ini menuntut adanya kualitas sumber daya manusia yang berkualitas baik. Perkembangan
Lebih terperinciantara ketiganya. Untuk memahami apa persamaan, perbedaan, ataupun hubungan akan memilih yang panjang. Kita tidak akan memilih yang pendek, kecuali
A. Arti Penilaian Istilah pengukuran, penilaian, dan evaluasi, seringkali digunakan dalam dunia pendidikan. Ketiga kata tersebut memiliki persamaan, perbedaan, ataupun hubungan antara ketiganya. Untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pelik, kompleks, dan multidimensi.permasalahan-permasalahan di bidang
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan sains dan teknologi yang begitu pesat tidak hanya membuahkan kemajuan, namun juga menimbulkan berbagai permasalahan yang pelik, kompleks, dan multidimensi.permasalahan-permasalahan
Lebih terperinciMajalah Bulanan Tamansiswa PUSARA, terbit di Yogyakarta, Edisi Januari PENDIDIKAN DI MILENIUM KE-3 Oleh : Ki Supriyoko
Majalah Bulanan Tamansiswa PUSARA, terbit di Yogyakarta, Edisi Januari 2000 PENDIDIKAN DI MILENIUM KE-3 Oleh : Ki Supriyoko Sekitar 300 pakar dan praktisi pendidikan yang berasal dari berbagai negara,
Lebih terperinciIndeks Integritas UN SMP/MTs Meningkat
Indeks Integritas UN SMP/MTs Meningkat Konferensi Pers Pemaparan Hasil Ujian Nasional SMP 2016 Jakarta, 10 Juni 2016 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 4,3 juta siswa di 60 ribu sekolah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebuah survei menunjukkan bahwa salah satu sumber kegelisahan terbesar para siswa di Sekolah Menengah adalah soal
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebuah survei menunjukkan bahwa salah satu sumber kegelisahan terbesar para siswa di Sekolah Menengah adalah soal pemilihan jurusan di Perguruan Tinggi. Mereka bingung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pembelajaran, sehingga sasaran untuk supervisi akademik adalah guru.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pada pasal 39 menyatakan pengawasan pada pendidikan formal dilakukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Berbicara tentang pendidikan tidak lepas dari berbicara tentang hasil
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara tentang pendidikan tidak lepas dari berbicara tentang hasil belajar di mana keberhasilan atau tingkat penguasaan mahasiswa yang dapat dilihat dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan bagi bangsa Indonesia merupakan aspek yang sangat penting,
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan bagi bangsa Indonesia merupakan aspek yang sangat penting, karena pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 dalam Sistem Pendidikan Nasional adalah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bangsa lain di dunia. Kualitas manusia Indonesia tersebut dihasilkan melalui
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kualitas manusia yang dibutuhkan oleh bangsa Indonesia pada masa yang akan datang adalah yang mampu menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan bangsa lain
Lebih terperinciHasil Ujian Nasional 2016 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA
Hasil Ujian Nasional 2016 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 01 Ujian Nasional tahun 2016 Mengukur capaian kompetensi siswa berdasar Standar Kompetensi Lulusan Peta capaian kompetensi
Lebih terperinciPENGARUH NILAI TES MASUK DAN DISIPLIN BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATA PELAJARAN AKUNTANSI PADA SISWA KELAS XI IPS MAN 2 BANJARNEGARA
PENGARUH NILAI TES MASUK DAN DISIPLIN BELAJAR TERHADAP PRESTASI BELAJAR MATA PELAJARAN AKUNTANSI PADA SISWA KELAS XI IPS MAN 2 BANJARNEGARA TAHUN AJARAN 2009 / 2010 SKRIPSI Disusun untuk memenuhi salah
Lebih terperinciSurat Kabar Harian KEDAULATAN RAKYAT, terbit di Yogyakarta, Edisi 18 Mei 1983
Surat Kabar Harian KEDAULATAN RAKYAT, terbit di Yogyakarta, Edisi 18 Mei 1983 MEMILIH PERGURUAN TINGGI SWASTA PERLU PERHATIKAN SARANA, SISTEM, STATUS Oleh : Ki Supriyoko Para calon mahasiswa hendaknya
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sekolah yang berada di daerah pinggiran kota Purworejo, tepatnya di sebelah
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sekolah Menengah Kejuruan ( SMK ) Negeri 4 Purworejo merupakan sekolah yang berada di daerah pinggiran kota Purworejo, tepatnya di sebelah selatan kota
Lebih terperinci1. BAB I PENDAHULUAN
1. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di tahun ajaran 2010-2011 SMKN 5 Bandung mempergunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dimana dalam kegiatan pembelajaran yang lebih terpusat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman dan semakin kompleksnya persoalan yang dihadapi oleh negara, telah terjadi pula perkembangan penyelenggaraan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. lain. Perubahan merupakan proses sosial dimana orang dihadapkan pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perubahan kehidupan manusia baik secara individu atau kelompok, merupakan fenomena sosial yang berkaitan dan saling mempengaruhi satu sama lain. Perubahan merupakan
Lebih terperincisuasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Peranan guru dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan guru dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah sangat strategis. Walaupun perkembangan teknologi cukup pesat, sampai saat ini peranan guru sebagai pendidik,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perkembangan jaman yang semakin modern terutama pada era globalisasi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan jaman yang semakin modern terutama pada era globalisasi seperti sekarang ini menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Peningkatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat (public service. Perbaikan atau reformasi di bidang kepegawaian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada dasarnya merupakan aparatur institusi atau abdi negara yang berfungsi untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat (public
Lebih terperinciKONSEP DASAR KURIKULUM 2004
1 KONSEP DASAR KURIKULUM 2004 Oleh: Bambang Subali UNY Makalah disampaikan pada Kegiatan Workshop Sosialisasi dan Implementasi Kurikulum 2004 di Madrasah Aliayah Bidang Ilmu Sosial dan Bahasa di PPPG Matematika
Lebih terperinciHal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur an surah Al-Mujadalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting di dalam menentukan perkembangan dan kemajuan suatu bangsa. Artinya kemajuan dan perkembangan suatu bangsa dapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan upaya pembinaan pada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui
Lebih terperinci-1- PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG WAJIB BELAJAR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
-1- PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG NOMOR 18 TAHUN 2014 TENTANG WAJIB BELAJAR 12 (DUA BELAS) TAHUN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR LAMPUNG, Menimbang : a. bahwa pelaksanaan pendidikan nasional
Lebih terperinciKEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA J A K A R T A
KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA J A K A R T A P E N G U M U M A N NOMOR : PENG- 001 /C.4/Cp.2/09/2009 T E N T A N G REKRUTMEN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN ANGGARAN 2009
Lebih terperinciA. PENGANTAR. MENGEMBANGKAN KOMPETENSI SOSIAL PADA GURU INDONESIA Oleh : Ki Supriyoko
MENGEMBANGKAN KOMPETENSI SOSIAL PADA GURU INDONESIA Oleh : Ki Supriyoko A. PENGANTAR Kalau dikumpulkan terdapat belasan bahkan puluhan pengertian atau pun definisi kompetensi. Kalau kita buka Oxford Advance
Lebih terperinciFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2012
ANALISIS BUTIR SOAL UJIAN SEMESTER MAHASISWA BIOLOGI MATA KULIAH BIDANG PENDIDIKANSEMESTER GASAL PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA TAHUN AJARAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Evaluasi adalah pengambilan keputusan berdasarkan hasil pengukuran dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Evaluasi adalah pengambilan keputusan berdasarkan hasil pengukuran dan standar kriteria. Pengukuran dan evaluasi merupakan dua kegiatan yang berkesinambungan. Evaluasi
Lebih terperinciLAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 72/Permentan/OT.140/10/2011 TANGGAL : 31 Oktober 2011
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 72/Permentan/OT.140/10/2011 TANGGAL : 31 Oktober 2011 PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan
Lebih terperinciDrs. BUNYAMIN, M.Pd. KEPALA DINAS PENDIDIKAN KOTA SEMARANG
LAYANAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA Drs. BUNYAMIN, M.Pd. KEPALA DINAS PENDIDIKAN KOTA SEMARANG STUDI KASUS PERMASALAHAN PESERTA DIDIK DI SMK NEGERI 7 SEMARANG Pemerintah mengusahakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 1, ayat (21).
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan UU Sisdiknas 2003, evaluasi pendidikan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada
Lebih terperinciBUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 728 TAHUN 2012 TENTANG PENDIRIAN DAN PERUBAHAN SATUAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 728 TAHUN 2012 TENTANG PENDIRIAN DAN PERUBAHAN SATUAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Menimbang Mengingat BUPATI GARUT, : a. bahwa untuk melaksanakan
Lebih terperinciPEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN BAB I PENDAHULUAN
LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERTANIAN NOMOR : 72/Permentan/OT.140/10/2011 TANGGAL : 31 Oktober 2011 PEDOMAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENYULUH PERTANIAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Pembangunan
Lebih terperinci