Oleh KLIWOW HIDAYAT FAMOLTAS FASCA SAR JAMA INSTITUT PERTANIAH BOGQR

Transkripsi

1 Oleh KLIWOW HIDAYAT FAMOLTAS FASCA SAR JAMA INSTITUT PERTANIAH BOGQR 1985

2 KLIWON HIDAYAT. Struktur Penguasaan Tanah dan Hubungan Ker ja Agraris di Desa Jatisari, Luma jang, Jawa Timur (di bawah bimbingan SAJOGYO sebagai Ketua, SEDIONO M.F. TJON- DRONEGORO dan RUDOLF S. SINAGA sebagai anggota). Tujuan penelitian ini adalah: (I) untuk mempelajari struktur penguasaan tanah sawah dan hubungannya dengan ke- kuatan tawar-menawar (bargaining power) masing-masing pi- hak yang terlibat dalam ia) transaksi penguasaan tanah sawah ( jual-beli, sewa-menyewa dan sakap-menyakap), pe- nentuan nilai tanah dan cara pembayarannya; (b) hubungan kerja agraris dalam ha1 hak dan kewajiban masing-masing pihak. (2) untuk mempelajari bentuk dan fungsi hubungan kerja dalam usahatani pada tanah sawah. Penelitian ini dilakukan di desa Jatisari, kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Penentuan desa ini dilakukan secara sengaja (purposive) atas pertimbangan merupakan tipe pedesaan persawahan dataran rendah dan desa itu sudah per- nah dikenal peneliti sebelumnya sehingga dapat lebih di- pahami permasalahannya. Sedangkan pengumpulan data dila- kukan dengan beberapa pendekatan yaitu pencacahan (sensus sebagian sebanyak 384 rumahtangga dan survai dengan sampel 100 responden), pengamatan berperanserta,-wawancara dengan informan kunci dan pengumpulan data sekunder.

3 Desa Jetisari dicirikan oleh tingkat kepadatan pen- duduk atas tanah pertanian yang tinggi : jiwa per 2 km. Junlah penduduk pada akhir tahun 1382 sebesar jiwa yang terdiri dari s.ki-laki dan perempuan yang tergebung dalam 711 keluarga. aete-rata jumlah anggo- ta rumahtangga 4,2 orang. Sebagian besar (76 persen) penduduk desa Jatisari ter- masuk usia kerja (10-64 tahun) denean tingkat pendidikan SD atau tidak berpendidikan. Dari jumlah penduduk usia kerja tersebut, yang ikut sebagai penczri nafkah sekitar 48 persen atau 1,6 orang per rumahtangga. Mereka umumnya melakukan beragam jenis pekerjaan denpan sebagian besar memasuki lapangan pekerjaan utama pertanian, lebih banyak sebagai burnhtani (48 persen), dari pada sebagai petani (30 persen). Distribusi luas pemilikan tanah sawah di desa Jatisari tahun 1982 termasuk dalam ketimpangan yang berat : angka gini 0,6EE. Ke~daan ini merupakan hasil proses perubahan pemilikan tamah rumahtangga yanp terjadi di waktu-waktu se- belumny? melalui sistem pewarisan dan transaksi jual-beli tanah. Sebenarnya sistem pewarisan tanah merupakan proses "pemecahan" tannh pewaris men jadi bagian-bagian yane lebih sempit, tetapi dapat pula menyebabkan ter jadinya "pengucculan" pecilikan tanah, bib tnnah yzng diviiiriskan terlalu sempit untuk dibagi-bagi di antar? ahli waris, sehingga akhirnya di Jual. Dzlam pads: itu transaksi jual-beli tanah

4 sawah di desa Jatisari banyak terjadi antara rumahtangga golongan pemilikan 0,001-0,499 hektar dengan rumahtangga golongan pemilikan 0,500-0,999 hektar dan golongan 1,00 hektar lebih. Dalam kondisi dlstribusi pemilikan tanah sawah yang timpang di etas, berkembang sistem persewaan tanah sawah. Dalam persewpan ini, jumlah rumahtangga yang menyewakan sewah dua setengah kali lebih besar dari jumlah rumahtangga penyewa. Dari jumlah rumahtangga yang menyewakan sawah tersebut, ada sebagian rumahtangga yang menyewakan tanah kepada orang luar desa. Sedang sewa-menyewa tanah sawph di desa Jatisari banyak terjadi antara golongan pemilikan tanah 0, hektar dengan rumahtangga golongan 0,500-0,999 hektar dan golongan 1,00 hektar lebih. Tampak pula bahwa pada rumahtangga golongan luas pemilikan kurang 0,500 hektar motif menyewakan sawah semata-mata untuk memenuhi kebutuhan konsumtif, sedangkan rumahtangga golongan luas pemilikan sawah 0,500 hektar lebih untuk tujuan investasi atau produktif. Di pihak lain sistem penyakapan yang mengandung aspek penyebaran/pemerataan tanah garapan sawah dari rumahtangga pemilik tanah luas/sedang ke rumahtangga pemilik tanah sempit atau tak bertanah jarang sekali di- Jurcpai. Kenyataan inilah yang menyebabkan distribusi luas penguasaan tanah sawah (angka gini 0,691) lebih timpang sedikit dibandingkan dengan distribusi luas pemilikan sawah. Dua bentuk hubungan kerja agraris yang digunakan petani di desa Jatisari : sistem ngedok dan sistem upah

5 harian. Eetani yang menggunaken sistem ngedok sebesar 35 persen dari jumlah petani yang ada. Jumlah peta.ni yang menggunakan buruh ngedok ini mempunyai hubungan positif dengan luas penguasaan sawahnya. Sebaliknya jurnleh rumahtangga yang berburuh ngedok mempunyai hubungan nepatif dengan lu- as penguasaen sawahnya. Pola hubungan kerja dalam sistem ngedok yang menonjol adzlah antara petani luas (1,O hektar lebih) sebagai majikan dengan petani sempit dan rumhtangga tak bertanah sebagai buruh ngedok. Petani yang menggunakan sistem upah harian sebesar 59 persen dari jumlah petani yzng ade, berarti lebih besar dari jumlah petani yang menggunakan sistem ngedok. Jumlah petani tersebut termasuk juga petani yang menggunakan sis- tem ngedok dan sistem upah harian. Jumlah petani yang menggunakan sistem upah harian juga mempunyai hubungan po- siti.f denpan luas penpuasaan sawahnya. Tetapi yang ber- beda dengan sistem ngedok zdalah luas penguasaan sawah tidak mempunyzi hubungan dengan jumlah rumahtangga yang berburuhtani upah herian. Hal ini disebabkan petani luas juga ikut berburuhtani upah harian peda masa di mana tidak ada kegiaten di tenah sewahnya untuk kegiktan pengolahan tanah sebzgai a.kibat pengaturan waktu tanam yang kurang serempek. Iimun pola hubungan kerja dalam sistem upah harian yanp menonjol jug? sma dengan sistem n~edok: antarz. peteni lues denpan petsni senpit den rumahtangga tzk ber- tanah.

6 Rumahtangga yang melepaskan hak atas tanah melalui transaksi jual-be,li dan sistem sewa mempunyai kekuatan ta- war-menawar lebih lemah dari pada rumahtangga yang menerima hak atas tanah sawah. Sedangkan rumahtangga,yang melepas- kan hek,~tz?s tanah melalui sistem penyakapan mempunyai ke- kuatan tawar-menawar yang lebih kuet dari pada rumahtangga penyakap. Luas pemilikan tanah sawah rumahtangga yang me- lepaskan hak atas taneh maupun rumahtangga yang menerima hak etas tanah melalui lembaga di atas tidak mempunyai hu- bungan dengan kekuetan tawar-menawar mereka. Fa ktor yang lebih menentukan zntara lain jumlah permintaen dan pena.war- an atas tanah sawah, tingkat kebutuhsn pemilik yang mele- paskan hak atas tanah akan uang, posisi rumahtangga yang melepaskan tanah terhadap penerima hak atas tanah,. ting- kat komersialisasi pemilik tanah dan hubungan kerabat. Dalam sistem ngedok dan sistem upah harian, petani unumnya mempunyai kekuatan tawar-menawar yang lebih kuat dari pada pengedokhuruhtani. Luas penguasaan sawah rumah- tangga yang menggunakan buruh ngedok, pengedok dan buruh tani upah harien tidak mempunyai hubungan dengan kekuat- an tawar-menawar mereka. Kekuatan tawar-menawar mereka lebih ditentukan oleh jumlah permintaan dan penawaran te- naga ker je, tingkat komersialiszsi dan ra sionalisasi pe- tani dan hubungan kerabat. Kekuatan tawer-menawer rumah- tangga yang menggunakan buruhtani upah harian dengan buruh uph harian selain ditentukan fakror-faktor tersebut di atas juga oleh luss penguasaan tanah sawahnya.

7

8

9

10