MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD"

Transkripsi

1 MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Modifikasi Fisik Pati Jagung untuk Perbaikan Kualitas Mi Jagung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Februari 2009 Lisna Ahmad F

3 ABSTRACT LISNA AHMAD. Physical Modification of Corn Starch and Its Application in Improving the Quality of Corn Noodle. Under direction of FERI KUSNANDAR, ENDANG PRANGDIMURTI, and SRI WIDOWATI. Corn flour is a potential raw material for the production of corn noodle. The previous researches indicated that corn noodle could be made from 100% corn flour, however the noodle was firmer, less elastic, more sticky and had higher cooking loss when cooked than that of wheat noodle. An Alternative to overcome these problems was by substituting partly the corn flour with physically modified corn starch. The objective of this research was to: (1) determine the best condition in Heat-Moisture Treatment (HMT) modification of corn starch process with appropriate characteristics to corn noodle; and (2) verify the consistency of HMT corn starch production in large scale and (3) improve quality of corn noodle with substituted HMT corn starch in formulation. The research was conducted in the following steps: (1) The effect of heating (100, 110, 120 o C) and time (12, 16, 20 hours), (2) verification of HMT modification at large scale and (3) application of HMT corn starch to substitute partly corn flour in corn noodle formulation and its effect on physical and sensory quality of corn noodle. HMT corn starch was analyzed in terms of gelatinization profile (RVA method), swelling volume and solubility, gel strength, freeze thaw stability, water retention capacity and granula size and shape. The corn noodle was analyzed in term of cooking loss, physical properties by texture profile analyzed and organoleptic. HMT corn starch could be processed at 110 o C for 16 hours under controlled 26% moisture content. The gelatinization profile of HMT corn starch showed lower peak viscosity, lower breakdown viscosity and lower setback viscosity than from native corn starch. The HMT corn starch had also lower swelling power and solublity and higher gel strength. These starch characteristics were similar to C-type profile which was usually applicable to noodle processing. There was no significant different in term of gelatinization profile between HMT corn starch processed at laboratory scale and a large scale (4kg), indicating the consistency of starch modification process. HMT corn starch was applicable to partially substitute corn flour. The substitution of corn flour of up to 15% HMT corn starch improved the characteristics of corn noodle in term of lower cooking loss, lower stickiness and higher elasticity by both objective and subjective measurement. Keywords : Heat moisture treatment, corn noodle, gelatinization profile, HMT scale up production

4 RINGKASAN LISNA AHMAD. Modifikasi Fisik Pati Jagung untuk Perbaikan Kualitas Mi Jagung. Dibimbing oleh FERI KUSNANDAR, ENDANG PRANGDIMURTI dan SRI WIDOWATI. Tepung jagung merupakan salah satu produk yang berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan baku mi jagung. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa mi jagung dapat diproduksi dari 100% tepung jagung, namun mi jagung kering yang dihasilkan masih memiliki karakter fisik yang keras, kurang elastis, lebih lengket dan memiliki prosentase kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) yang tinggi dibanding mi dari tepung gandum. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan mensubstitusi sebagian tepung jagung dengan pati jagung yang dimodifikasi secara fisik. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan kondisi terbaik dari perlakuan yang dicobakan pada proses modifikasi pati jagung secara fisik dengan teknologi Heat Moisture Treatment (HMT) dengan karakter yang diperlukan untuk mi jagung, membandingkan konsistensi karakter sifat pati hasil modifikasi yang diproduksi pada skala laboratorium dengan yang diproduksi pada skala yang diperbesar dan mengaplikasikan pati jagung HMT sebagai pensubstitusi tepung jagung dalam formulasi mi jagung dengan metode sheeting dan pengaruhnya terhadap kualitas fisik dan organoleptik mi jagung. Penelitian dilakukan dengan tahapan sebagai berikut : (1) menentukan kondisi terbaik proses modifikasi pati jagung dengan teknik HMT pada skala laboratorium; (2) ujicoba modifikasi pati jagung dengan teknik HMT pada skala yang diperbesar; (3) aplikasi pati jagung HMT ke dalam formulasi mi jagung. Tahap pemilihan kondisi proses terbaik dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu (100, 110, 120 o C) dan waktu pemanasan (12, 16, 20 jam) selama proses modifikasi HMT terhadap profil gelatinisasi pati jagung, swelling volume dan solubility. Modifikasi HMT perlakuan 110 o C selama 16 jam dengan kadar air terkontrol (26%) menunjukkan profil gelatinisasi yang dapat diformulasikan ke dalam produk mi jagung karena memiliki viskositas puncak yang rendah, viskositas breakdown menurun dan viskositas setback yang rendah dibanding pati jagung tanpa modifikasi. Pati jagung HMT juga memiliki kekuatan gel yang tinggi. Karakter profil ini sama dengan profil pati tipe C yang biasanya digunakan untuk produk mi. Pada tahap ujicoba modifikasi pati HMT skala diperbesar, hasil perlakuan terbaik dari tahap I dicobakan pada skala diperbesar ( 2kg dan 4kg) untuk dibandingkan konsistensi sifat fungsional pati hasil modifikasi skala laboratorium dan skala diperbesar. Hasil modifikasi pati jagung pada skala diperbesar khususnya skala 4kg menunjukkan konsistensi profil gelatinisasi pati, swelling volume dan kelarutan, kekuatan gel, freeze thaw stability dan water retention capacity seperti halnya pati modifikasi pada skala laboratorium. Pati jagung HMT yang diproses pada perlakuan suhu 110 o C selama 16 jam dapat mensubstitusi tepung jagung hingga 15% dari perlakuan formulasi 0%, 5%, 10%, 15% dan 20%. Mi jagung yang dihasilkan dari formulasi substitusi pati jagung HMT 15% memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan mi jagung subtitusi HMT 20% dan mi jagung tanpa penambahan pati jagung HMT yaitu

5 menurunkan prosentase kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP)/cooking loss dan mengurangi kelengketan dari hasil pengukuran texture profile analyisis (TPA) serta memperbaiki penerimaan konsumen terhadap kekenyalan, kekerasan dan kelengketan mi dan juga penerimaan secara keseluruhan. Kata kunci : Heat Moisture Treatment, mi jagung, profil gelatinisasi, pati HMT skala diperbesar

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtunkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc

9 Judul Tesis Nama NIM : Modifikasi Fisik Pati Jagung dan Aplikasinya untuk Perbaikan Kualitas Mi Jagung : Lisna Ahmad : F Disetujui Komisi Pembimbing Dr.Ir. Feri Kusnandar, MSc Ketua Dr.Ir. Endang Prangdimurti, MSi Anggota Dr.Ir. Sri Widowati, M.App.Sc Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr.Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, MSc M.S Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, Tanggal Ujian : 11 Februari 2009 Tanggal Lulus :

10 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala Nikmat dan karunia serta hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Modifikasi Fisik Pati Jagung untuk Perbaikan Kualitas Mi Jagung. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Dr.Ir. Feri Kusnandar, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing yang telah dengan sabar membimbing dan mengarahkan penulis untuk kesempurnaan karya ilmiah ini. 2. Dr. Ir. Endang Prangdimurti, M.Si selaku anggota pembimbing yang selalu bersedia meluangkan waktunya untuk mengoreksi dan memperbaiki karya ilmiah penulis. 3. Dr.Ir. Sri Widowati, M.App.Sc selaku anggota pembimbing yang telah bersedia membimbing dan memberikan masukan yang sangat bermanfaat untuk perbaikan karya ilmiah ini. 4. Dr.Ir. Sugiyono, M.App.Sc selaku penguji luar komisi yang telah bersedia memberikan masukan dan arahan untuk kesempurnaan karya ilmiah ini. 5. Dr.Ir. Ratih Dewanti Hariyadi, M.Sc, selaku ketua Program Studi Ilmu Pangan dan seluruh staf pengajar yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis selama menjalani tugas belajar di Ilmu Pangan. 6. Rektor Universitas Negeri Gorontalo, bapak Prof.Dr.Ir. Nelson Pomalingo, M.Pd yang telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk melanjutkan studi di Program Studi Ilmu Pangan Institut Pertanian Bogor. 7. Kepala LPPM IPB dan Kepala Badan Litbang Pertanian selaku penyandang dana untuk penelitian penulis dari proyek penelitian KKP3T. 8. Suami tercinta Andriest Kango, M.Ag atas cinta dan kasih sayang yang tulus serta dengan penuh kesabaran memberikan motivasi dan nasehat kepada penulis dan juga anakku tersayang Laysafakhsya Andriest Kango atas kemandirian dan pengertiannya selama ini. 9. Ibunda dan kakak-kakakku Yusna, Maspah, Mahyudin, Multi serta adikku Ervina yang selalu mendoakan kelancaran studi penulis dan selalu mendukung baik moril maupun material 10. Ibu dan bapak mertua, kakak-kakak iparku serta De Mahyuni yang selalu mendoakan kelancaran studi penulis dan memberikan dukungan baik moril maupun material 11. Sahabat-sahabatku Oke, Suryanti, Akhyar serta semua teman-teman IPN angkatan 2006 yang telah membantu kelancaran studi dan penelitian penulis. 12. Rekan-rekan mahasiswa anggota forum RMGB atas dukungan dan bantuannya. 13. Pak Junaedi, Pak Deni, Pak Taufik serta laboran Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan lainnya yang telah membantu selama peneltian penulis. 14. Semua pihak yang telah membantu Akhir kata, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk orang lain Bogor, Februari 2009 Lisna Ahmad

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Gorontalo pada tanggal 29 Desember 1977 dari Bapak Junus Ahmad (Alm) dan Ibu Salma Nusi. Penulis merupakan putri bungsu dari lima bersaudara. Tahun 1995 penulis menamatkan sekolah di SMA Negeri 3 Gorontalo dan pada tahun yang sama penulis masuk Universitas Hasanuddin melalui Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Penulis memilih Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian dan Kehutanan dan lulus pada tahun Penulis adalah staf pengajar di Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Ilmuilmu Pertanian Universitas Negeri Gorontalo sejak Tahun 2003 sampai sekarang. Penulis diterima di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor program studi Ilmu Pangan pada tahun 2006 dengan beasiswa pendidikan pascasarjana (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Selama studi S2 penulis aktif sebagai pengurus Forum Ririungan Mahasiswa Gorontalo-Bogor (RMGB) yaitu forum untuk mahasiswa Gorontalo yang studi di Bogor. Untuk penelitian tesis ini, penulis memperoleh bantuan dana dari proyek Kerja Sama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) Tahun 2008 yang merupakan proyek Kerjasama Departemen Pertanian khususnya Balai Besar Pascapanen Pertanian dengan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Institut Pertanian Bogor.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL xiv DAFTAR GAMBAR.... xv DAFTAR LAMPIRAN..... xvi PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian. 3 Hipotesis Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA... 5 Jagung Tepung Jagung Pati Jagung... 8 Karakter Pati Untuk Produk Mi Modifikasi Pati Metode HMT (Heat Moisture Treatment).. 13 Mi Jagung dan Teknologi Prosesnya Proses Penggandaan Skala METODE PENELITIAN Alat dan Bahan Waktu dan Tempat Penelitian.. 25 Metode Penelitian Tahap Proses Modifikasi Pati Jagung Metode HMT.. 27 Tahap Modifikasi Pati Metode HMT Skala Diperbesar. 28 Tahap Penentuan Tingkat Subtitusi Pati Jagung HMT Terbaik Dalam Proses Produksi Mi Jagung Metode Analisis Analisis Karakter Pati HMT.. 34 Analisis Profil Gelatinisasi dengan RVA.. 34 Swelling Volume dan Kelarutan Analisis Kekuatan Gel. 37 Analisis Freeze Thaw Stability. 37 Analisis Kapasitas Pengikatan Air (Water Retention Capacity) Ukuran dan Bentuk Granula Analisis Kualitas Mi Jagung.. 38 Analisis Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan 39

13 (KPAP)..... Waktu Optimum Pemasakan Tekxture Profile Analysis (TPA) Analisis Organoleptik Analisis Proksimat Analisis Kadar Air Metode Oven.. 41 Analisis Kadar Abu Metode Pengabuan Kering Analisis Kadar Lemak Metade Ekstraksi Soxhlet 42 Analisis Kadar Protein Metode Kjeldahl.. 42 Analisis Kadar Karbihidrat by difference Rancangan Percobaan dan Analisis Data 43 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Suhu dan Waktu Proses Modifikasi HMT Terhadap Karakteristik Pati Jagung Profil Gelatinisasi Pati Jagung HMT 46 Swelling power dan Kelarutan Penentuan Kondisi Optimum Pati Hasil Modifikasi HMT. 52 Pengaruh Proses Modifikasi HMT Terhadap Struktur Granula Pati Jagung Verifikasi Proses Modifikasi Pati HMT Pada Skala Diperbesar 53 Profil Gelatinisasi Pati Analisis Kekuatan Gel.. 58 Analisis Water Retention Capacity. 60 Analisis Freeze-Thaw Stability Aplikasi Pati HMT Pada Formulasi Mi Jagung Analisis Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan dan Waktu Optimum Pemasakan Karakteristik Tekstur Mi Jagung Mutu Organoleptik Mi Jagung Komposisi Kimia Mi Jagung Terpilih.. 68 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA

14 DAFTAR TABEL Halaman 1 Perbandingan Sifat Pati Jagung dan Tepung Jagung. 9 2 Karakteristik Granula Pati 10 3 Prosentase penggunaan tepung jagung HMT dalam formulasi mi jagung (sheeting) pada skala produksi 1 kg Data hasil analisis karakteristik gelatinisasi dan sifat fungsional pati jagung tanpa HMT dan pati jagung HMT pada beberapa perlakuan Data swelling power dan kelarutan pati jagung tanpa HMT dengan pati jagung HMT pada beberapa perlakuan Profil gelatinisasi dan sifat fungsional pati jagung tanpa HMT dibandingkan dengan pati jagung HMT (110 : 16) skala laboratorium dan skala diperbesar (2kg dan 4kg) Kekuatan gel pati jagung tanpa HMT dan pati jagung HMT 59 8 Kapasitas pengikatan air (Water Retention Capacity) pati jagung tanpa HMT pati jagung HMT skala laboratorium dan skala diperbesar KPAP dan waktu optimum pemasakan mi jagung Nilai kekerasan, elastisitas dan kelengketan mi jagung Kandungan proksimat mi jagung.. 68

15 PENDAHULUAN Latar Belakang Jagung merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat kedua setelah beras yang berpotensi untuk dijadikan sebagai sumber bahan pangan pokok. Potensi pengembangan produk-produk berbasis jagung semakin beragam, terbukti dengan semakin banyaknya produk-produk seperti biskuit, keripik, dan beberapa produk pangan lainnya berbahan dasar jagung. Namun, produk-produk pangan berbasis jagung ini masih merupakan produk kudapan ringan (snack), sehingga belum dapat dikategorikan sebagai produk pangan pokok. Salah satu produk olahan jagung yang berpotensi sebagai pangan pokok alternatif adalah mi jagung. Mi jagung adalah mi berbahan dasar tepung jagung yang dapat diproduksi dalam bentuk mi basah atau mi kering dengan menerapkan teknologi pembuatan mi seperti sheeting atau ekstruksi. Proses pembuatan mi jagung basah dan mi jagung kering prinsipnya sama, perbedaannya terletak pada akhir proses dimana mi jagung basah setelah dikukus tidak dikeringkan lagi tetapi langsung dikemas, sedangkan mi jagung kering perlu pengeringan. Kondisi kadar air yang tinggi pada mi jagung basah (52%) menyebabkan masa simpannya menjadi sangat singkat (40 jam) pada suhu o C, sedangkan kadar air mi kering sekitar 8-10% sehingga dapat disimpan lama (Suyanti, 2008). Mi jagung khususnya mi jagung kering yang diproses dengan teknologi sheeting dengan bahan baku 100% tepung jagung telah dilaporkan oleh beberapa peneliti (Juniawati 2003; Merdiyanti 2008; Putra 2008). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa mi jagung kering yang dihasilkan dapat membentuk untaian mi yang baik, namun pada saat direhidrasi (dimasak) masih menghasilkan cooking loss yang tinggi, untaian mi mudah patah dan lengket pada bagian permukaan. Oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan teknologi proses yang dapat memperbaiki kualitas mi jagung terutama dari segi karakter fisik mi sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu cara untuk mengatasi masalah tersebut di atas adalah dengan melakukan substitusi sebagian tepung jagung dengan pati jagung yang dimodifikasi dengan metode Heat-Moisture Treatment (HMT). Pati jagung dipilih

16 sebagai bahan pensubstitusi karena sebelumnya pati jagung dapat digunakan sebagai bahan pensubstitusi untuk formulasi mi jagung kering yang diproses dengan teknologi sheeting (Pratama 2008). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adonan yang dihasilkan membentuk lembaran yang relatif cepat, mi tersisir dengan baik, tidak patah-patah, warna mi kekuningan, namun ketika perebusan dilakukan selama 7 menit, mi masih kurang kenyal, agak keras, spot di tengahtengah mi berkurang, kurang elastis, patah-patah saat direbus dan air sisa rebusan keruh agak kekuningan. Modifikasi HMT adalah metode modifikasi secara fisik yang dilakukan dengan perlakuan panas dengan suhu diatas suhu gelatinisasi pada kadar air yang terbatas (<35%) (Collado et al 2001). Modifikasi HMT dapat merubah sifat fungsional pati antara lain meningkatkan suhu gelatinisasi, menurunkan viskositas, mengurangi viskositas breakdown dan meningkatkan kecenderungan retrogradasi pada ubi jalar (Collado et al 2001; Singh et al 2007), gandum dan kentang (Gunaratne dan Corke 2007). Selain itu modifikasi HMT juga mengurangi swelling volume dan persen solubility pati ubi jalar (Collado dan Corke 1999), pati ubi kayu (Hoover dan Gunaratne 2002). Mi dengan bahan dasar pati telah banyak dilaporkan antara lain pati kacang hijau, kacang buncis, kacang tanah (Sung and Stone 2004), ubi jalar (Collado et al 2001), kentang (Chen et al 2003), sagu (Purwani et al 2006). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pati yang menghasilkan kualitas mi yang baik adalah pati yang memiliki karakter viskositas yang rendah, stabil terhadap panas dan cenderung cepat mengalami retrogradasi serta memiliki swelling power dan solubility yang rendah. Karakter pati seperti ini dapat diperoleh dari pati yang dimodifikasi dengan HMT. Pati ubi jalar dan pati sagu hasil modifikasi HMT menghasilkan karakter mi ubi jalar dan mi sagu dengan cooking loss yang rendah setelah proses rehidrasi, tekstur yang lebih kompak dan elastis serta nilai kelengketan yang lebih rendah (Collado et al 2001: Purwani et al 2006). Oleh sebab itu metode modifikasi ini dipilih sebagai metode yang akan diaplikasikan pada pati jagung untuk mensubstitusi tepung jagung sebagai bahan baku produk mi jagung.

17 Proses modifikasi pati dengan metode HMT selama ini diproduksi masih dalam skala laboratorium sehingga perlu dilakukan uji coba proses modifikasi pada skala yang diperbesar (scale up). Penggandaan skala diperlukan untuk mengetahui tahap-tahap kritis selama proses modifikasi. Faktor-faktor yang membedakan antara skala laboratorium dengan skala yang diperbesar antara lain jumlah bahan baku, peralatan yang digunakan serta teknik operasional selama proses modifikasi. Perbedaan ini kemungkinan bisa menyebabkan perbedaan karakter sifat pati yang dihasilkan. Oleh sebab itu perlu dibandingkan konsistensi proses modifikasi pati pada skala laboratorium dengan skala yang diperbesar. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Memperoleh kondisi terbaik dari perlakuan yang dicobakan pada proses modifikasi pati jagung dengan teknologi HMT dengan karakter yang diperlukan untuk mi jagung. 2. Membandingkan konsistensi karakter sifat pati hasil modifikasi antara yang diproduksi pada skala laboratorium dan skala yang diperbesar. 3. Mengaplikasikan pati jagung HMT sebagai pensubstitusi tepung jagung dalam formulasi mi jagung dengan metode sheeting dan pengaruhnya terhadap kualitas fisik dan organoleptik mi jagung. Hipotesis Hipotesis awal untuk hasil penelitian ini antara lain : 1. Modifikasi pati dengan metode HMT dapat memperbaiki sifat fungsional pati jagung yang sesuai dengan karakter pati yang diinginkan untuk mi jagung. 2. Tidak ada perbedaan antara pati jagung yang dimodifikasi dengan metode HMT pada skala yang diperbesar dengan yang dihasilkan pada skala laboratorium.

18 3. Substitusi pati jagung HMT ke dalam produk mi jagung dapat memperbaiki kualitas mi jagung yang diproduksi dengan metode sheeting. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan produk mi jagung dengan teknologi sheeting yang memiliki kualitas yang dapat diterima oleh konsumen dan dapat diaplikasikan di industri mi.

19 TINJAUAN PUSTAKA Jagung Jagung (Zea mays) adalah tanaman serealia yang tergolong jenis tanaman semusim. Menurut Noble dan Andrizal (2003) terdapat dua golongan tanaman jagung yaitu jagung hibrida dan jagung komposit. Jagung hibrida adalah jagung yang memiliki potensi hasil lebih tinggi karena memiliki gen-gen dominan yang favourable (baik) untuk berproduksi tinggi. Jagung hibrida dikembangkan berdasarkan gejala hybrid vigor atau heterosis dengan menggunakan populasi generasi F1 sebagai tanaman produksi. Oleh karena itu, varietas hibrida selalu dibuat atau diperbaharui untuk mendapatkan generasi F1. Jagung komposit adalah jagung bersari bebas (Iriany dan Andi 2007). Jenis-jenis jagung dibagi berdasarkan bentuk biji serta kandungan endosperma. Jenis jagung menurut bijinya menurut Jugenheimer (1976) yang dikutip Fahmi (2007) terdiri dari jagung gigi kuda, jagung mutiara, jagung bertepung jagung berondong, jagung manis, jagung berlilin dan jagung polong. Sedangkan menurut Dickerson (2003) jenis jagung berdasarkan kandungan endospermanya terdiri atas pop, flint, dent, flour dan sweet dan jenis yang keenam adalah jenis pod corn (Gambar 1). Ket : = endosperma yang keras, = endosperma yang lunak, = Endosperma yang manis, = benih Gambar 1. Jenis-jenis jagung berdasarkan kandungan endosperma (Dickerson, 2003)

20 Menurut Suprapto dan Marzuki (2005) yang dikutip oleh Hatorangan (2007), jagung yang banyak ditanam di Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan setengah mutiara (semiflint), seperti Jagung Arjuna (mutiara), Jagung Harapan (setengah mutiara), Pioneer-2 (setengah mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara), dan lain-lain. Selain jagung tipe mutiara dan setengah mutiara, di Indonesia juga terdapat jagung tipe berondong (pop corn), jagung gigi kuda (dent corn), dan jagung manis (sweet corn). Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989) yang dikutip oleh Juniawati (2008) jenis jagung semiflint (semi mutiara) lebih mudah dibuat tepung dibandingkan jagung mutiara. Hal ini disebabkan jagung semi mutiara mengandung endosperma lunak yang lebih banyak dibandingkan dengan endosperma kerasnya. Endosperma keras terdiri dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat, sedangkan endosperma lunak susunan sel-selnya tidak serapat bagian keras. Anatomi jagung terdiri dari empat bagian pokok, yaitu kulit (perikarp), tipcap, germ dan endosperma (Gambar 2). Kulit adalah bagian yang berfungsi sebagai pelindung endosperma dan bakal benih dari kerusakan fisik serta serangan serangga, menahan air dan mengurangi proses penguapan air dari biji. Bagian tipcap adalah bagian tempat menempelnya biji pada tongkol jagung. Bagian ini merupakan jalur makanan dan air untuk biji. Bagian germ (bakal benih) adalah bagian dari biji yang akan tumbuh menjadi tanaman baru. Bagian ini mengandung vitamin dan mineral serta lemak yang dibutuhkan biji untuk tumbuh. Bagian endosperma merupakan bagian terbesar dari biji (lebih dari 80%) yang merupakan sumber pati dan protein yang dibutuhkan untuk mendukung germinasi (Anonim b 2008). Bagian endosperma adalah bagian yang mengandung pati, yang berfungsi sebagai cadangan energi. Sel endosperma memiliki lapisan aleuron yang merupakan pembatas antara endosperma dengan kulit. Lapisan aleuron merupakan lapisan yang menyelubungi endosperma dan lembaga. Dalam endosperma terdapat granula pati yang membentuk matriks dengan protein, yang sebagian besar adalah zein (Johnson 1991 yang dikutip oleh Fahmi 2007). Endosperma jagung terdiri dari dua bagian, yaitu endosperma keras (horny endosperm) dan

21 endosperma lunak (floury endosperm). Bagian keras tersusun dari sel-sel yang lebih kecil dan tersusun rapat. Bagian endosperma lunak mengandung pati yang lebih banyak dan susunan pati tersebut tidak serapat pada bagian keras (Watson 2003 yang dikutip oleh Merdiyanti 2008). Endosperrm Germ Gambar 2. Anatomi Biji Jagung (WSI 1997) Tepung Jagung Menurut SNI , tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung (zea mays LINN.) yang bersih dan baik. Penggilingan biji jagung ke dalam bentuk tepung merupakan suatu proses memisahkan kulit, endosperma, lembaga dan tip cap. Endosperma merupakan bagian biji jagung yang digiling menjadi tepung. Kulit memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga kulit harus dipisahkan dari endosperm karena dapat membuat tepung bertekstur kasar, sedangkan lembaga merupakan bagian biji jagung yang paling tinggi kandungan lemaknya sehingga harus dipisahkan karena

22 lemak yang terkandung di dalam lembaga dapat membuat tepung tengik. Tip cap juga merupakan bagian yang harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar. Apabila pemisahan tip cap tidak sempurna, maka akan terdapat butir-butir hitam pada tepung (Inglett 1970 yang dikutip oleh Juniawati 2003). Proses pembuatan tepung jagung dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan penggilingan kering (dry milling) dan penggilingan basah (wet milling). Penggilingan kering adalah penggilingan jagung pipil kering dengan dua kali penggilingan yaitu penggilingan kasar dan penggilingan halus. penggilingan dengan metode kering menggunakan alat hammermill untuk penggilingan kasar dan discmill untuk penggilingan halus (Pratama 2008). Cara penepungan jagung kedua adalah dengan penggilingan basah. Penggilingan basah adalah penggilingan jagung pipil dengan menggunakan penggiling batu yang biasa digunakan untuk menggiling kedelai pada pembuatan tahu. Keuntungan proses penggilingan basah adalah kemudahan untuk mencapai derajat kehalusan yang tinggi, mencegah kenaikan suhu bahan yang terlalu tinggi, dan memperkecil kerugian akibat oksidasi bahan olah. Penggilingan basah terutama digunakan untuk mendapatkan hasil giling yang halus. Penggilingan untuk mendapatkan hasil yang halus biasanya melibatkan kebutuhan air yang banyak (Pratama 2008). Penggilingan jagung kering menurut Nobel dan Andrizal (2003) menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibanding tepung dari hasil penggilingan basah, karena pada penggilingan basah banyak komponen jagung yang terbuang pada saat proses pembersihan dan pencucian. Selain itu tepung jagung dari penggilingan kering dapat menghasilkan tepung yang bisa disimpan dalam bentuk kering dengan kadar air 14% (kadar air yang aman dari kerusakan karena mikrobiologi). Pati Jagung Pati merupakan komponen terbesar pada biji jagung (54,1 71,7%) (Richana dan Suarni, 2007). Pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang kandungan bahan kimianya masih lengkap. Perbedaan yang signifikan terutama

23 pada kandungan protein, lemak, dan kadar abu (Tabel 1). Pada tepung jagung komposisinya masih lengkap sedangkan pada pati jagung sudah dipisahkan serta sebagian hilang pada proses pencucian. Tabel 1. Perbandingan Sifat Pati Jagung dan Tepung Jagung Parameter Satuan Pati jagung * Tepung jagung** Kadar air % Kadar protein (b/b) % Kadar abu % Kadar lemak (b/b) % Karbohidrat by difference % Kandungan pati % PH (5% suspensi) Residu SO 2 Ppm Lolos ayakan 100 mesh % Viskositas Cps Serat % Sumber: *) PT. Suba Indah Tbk (2004) **) Juniawati (2003) Granula pati dari golongan tanaman Graminae (beras, jagung, dan gandum) mempunyai hilum yang terletak ditengah, sedangkan pada granula pati kentang dan sagu mempunyai letak hilum di tepi. Bentuk butir pati secara fisik berupa semikristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf. Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim sedangkan amorf sifatnya labil terhadap asam kuat dan enzim. Bagian amorf dapat menyerap air dingin sampai 30% tanpa merusak struktur pati secara keseluruhan (Hodge dan Osman 1976). Sampai saat ini diduga bahwa amilopektin merupakan komponen yang bertanggung jawab terhadap sifat-sifat kristal dari granula pati. Granula pati jagung memiliki diameter berkisar antara μm, kentang μm, ubi jalar μm, tapioka 6 36 μm, gandum 3 38 μm, dan beras 3 9 μm (Fennema 1996). Granula pati yang lebih kecil akan memperlihatkan ketahanan yang lebih kecil terhadap perlakuan panas dan air dibanding granula yang besar ( Richana dan Suarni 2007).

24 Ukuran granula pati mempengaruhi sifat ketahanan panas dari pati yang akan berhubungan dengan suhu awal gelatinisasi. Granula pati dengan ukuran lebih besar lebih tahan terhadap panas dibandingkan granula pati berukuran kecil, sehingga menurut Wirakartakusumah (1981), pati dengan ukuran kecil memiliki suhu awal gelatinisasi yang lebih rendah. Ukuran granula pati jagung adalah 15 µm, sedangkan granula pati beras memiliki ukuran yang lebih kecil dari granula pati jagung (Tabel 2). Tabel 2. Karakteristik Granula Pati Jenis pati Ukuran granula (µm) Bentuk granula Padi 3-8 Poligonal Gandum Lentikular atau bulat Jagung 15 Polihedral atau bulat Sorgum 25 Bulat Rye 28 Lentikular atau bulat Barley Bulat atau elips Sumber: Hoseney (1998). Menurut Pomeranz (1973) yang dikutip oleh Muchtadi dan Sugiyono (1998), suhu gelatinisasi jagung sedikit lebih tinggi dibandingkan beras. Selain ukuran granula pati, keseragaman ukuran partikel pati atau tepung dapat mempengaruhi suhu gelatinisai. Hal tersebut dikarenakan ukuran partikel pati atau tepung yang lebih kecil akan menyerap air lebih cepat dibandingkan yang lebih besar. Apabila pati atau tepung diaplikasikan menjadi produk seperti pasta, maka keseragaman ukuran sangat dibutuhkan karena akan mempengaruhi karakteristik fisik dari produk tersebut. Perbedaan ukuran granula tersebut menurut Faridi dan Faubion (1995), dapat menyebabkan terbentuknya noda berwarna putih karena ukuran granula yang lebih besar membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menyerap air, dimana bagian granula yang tidak menyerap air akan membentuk noda berwarna putih. Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin, dan material antara seperti protein dan lemak. Pati jagung menurut Swinkles (1985) yang dikutip oleh Fahmi (2007) terdiri dari 28% amilosa dan 72% amilopektin. Steven dan Elton (1971) yang dikutip oleh Afdi (1989),

25 melaporkan bahwa kebutuhan panas pada proses gelatinisasi berbeda-beda tergantung pada perbandingan fraksi linier (amilosa) dan fraksi bercabang (amilopektin). Kebutuhan panas dari pati jagung dengan kandungan amilosa 25% (jagung normal) dan 100% amilopektin (waxy corn) dengan perbandingan air pati 1 : 2, masing-masing adalah 3,6 kal/g untuk pati jagung normal dan 4,9 kal/g untuk pati waxy corn. Dibanding sumber pati lain, jagung mempunyai beragam jenis pati, mulai dari amilopektin rendah sampai tinggi. Jagung dapat digolongkan menjadi empat jenis berdasarkan sifat patinya, yaitu jenis normal mengandung 74-76% amilopektin dan 24-26% amilosa, jenis waxy mengandung 99% amilopektin, jenis amilomaize mengandung 20% amilopektin atau 40-70% amilosa, dan jagung manis mengandung sejumlah sukrosa di samping pati (Afdi 1989). Pati yang memiliki kandungan amilosa yang tinggi sangat sukar menggelatinisasi karena molekul amilosa cenderung berada dalam posisi sejajar, sehingga gugus-gugus hidroksilnya dapat berikatan dengan bebas dan pati akan membentuk kristal agregat yang kuat (Anonim 1983 yang dikutip oleh Fardiaz dan Afdi 1989). Sebaliknya, pati yang memiliki komponen amilopektin tinggi sangat sukar untuk berikatan sesamanya karena rantainya bercabang, sehingga pati yang amilopektinnya tinggi sangat mudah mengalami gelatinisasi tetapi viskositasnya tidak stabil. Sifat pati jagung seperti halnya pati lainnya dimana dalam bentuk alaminya memiliki kestabilan tekstur yang baik dalam sistem pangan, tetapi memiliki ketahanan yang rendah terhadap proses pengadukan dan proses yang melibatkan panas serta memiliki keterbatasan untuk mengalami retrogrdasi (Singh et al 2007). Oleh sebab itu pati sangat sulit dijadikan massa adonan yang nantinya mengalami pencetakan. Sifat pati jagung lainnya adalah tidak dapat membentuk gel yang kaku kecuali pada kosentrasi yang tinggi (Belitz dan Grosch 1999), sehingga pati tidak bisa meghasilkan produk yang kuat dan kompak. Kualitas mi yang diperoleh dari pati jagung menurut Singh et al (2002) memiliki nilai kelengketan yang lebih tinggi dibanding pati kentang dari beberapa varietas. Oleh karena itu sifat dan karakteristik pati jagung dalam bentuk alaminya

26 sulit untuk digunakan dalam proses pembuatan mi baik sebagai bahan baku maupun sebagai bahan pensubstitusi. Karakter Pati untuk Produk Mi Sifat fungsional pati akan sangat menentukan kualitas mi yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena sifat fungsional ini berkaitan erat dengan pembentukan adonan (reologi) dan kualitas tekstur mi. Menurut Lii dan Chang (1981) yang dikutip oleh Collado et al (2001), pati yang ideal untuk mi adalah pati yang memiliki swelling power dan solubility yang terbatas dan memiliki kurva viskositas brabender tipe C. Menurut Schoch dan Maywald (1968) yang dikutip oleh Purwani dan Widianingrum (2006) penggolongan pasta pati dibagi menjadi 4 yaitu tipe A, tipe B, tipe C dan tipe D. Tipe A adalah tipe pasta yang mengalami pembengkakan yang tinggi dengan memperlihatkan viskositas puncak yang tinggi kemudian mengalami pengenceran dengan cepat selama pemanasan. Tipe B adalah pasta pati yang memiliki karakter pembengkakan yang sedang dengan memperlihatkan viskositas puncak yang lebih rendah dan lebih tidak encer. Tipe C adalah pasta yang memiliki sifat dengan pembengkakan terbatas, tidak memperlihatkan puncak pada viskositas maksimum namun viskositasnya yang cenderung tinggi tetap dipertahankan atau meningkat selama pemanasan. Tipe D adalah tipe pati yang pastanya sulit membengkak dan sulit mengental pada saat dengan konsentrasi yang normal. Selain itu karakter pati yang baik untuk mi adalah pati dengan viskositas yang rendah, stabil terhadap panas dan pengadukan bahkan cenderung mengalami peningkatan selama pemanasan serta persen sineresis yang rendah (Sung and Stone 2004; Chen et al 2003), memiliki viskositas yang tinggi pada suhu rendah dan cepat mengalami retrogradasi (Tam et al 2004). Mi yang dihasilkan dari pati dengan karakter seperti yang disebutkan diatas memiliki kualitas cooking loss yang rendah, untaian mi yang kuat dan kompak, elastis serta kelengketan yang rendah (Collado et al 2001; Singh et al 2002 ; Chen dan Voragen 2003; Sung and Stone 2004 ; Purwani et al 2006).

27 Untuk memperoleh karakter pati yang baik untuk diaplikasikan ke dalam produk mi dapat dilakukan dengan cara memodifikasi pati tersebut. Salah satu metode modifikasi yang dapat menghasilkan karakter pati yang sesuai untuk produk mi adalah metode modifikasi HMT (Collado et al 2001 ; Purwani et al 2006). Modifikasi Pati Metode HMT (Heat-Moisture Treatment) Modifikasi pati adalah proses yang dilakukan dengan tujuan untuk menghasilkan sifat yang lebih baik untuk memperbaiki sifat sebelumnya atau merubah beberapa sifat lainnya (Glicksman 1969 yang dikutip oleh Subekti 2008). Perlakuan ini dapat mencakup penggunaan panas, asam, alkali, zat pengoksidasi atau bahan kimia lainnya yang akan menghasilkan gugus kimia baru atau perubahan bentuk, ukuran serta struktur molekul. Terdapat beberapa teknik modifikasi pati yang dapat dikelompokkan ke dalam modifikasi secara fisik, kimia dan konversi. Modifikasi pati dengan Heat Moisture Treatment (HMT) dan pregelatinisasi termasuk teknik modifikasi secara fisik. Modifikasi secara kimia di antaranya adalah teknik eterifikasi, esterifikasi, ikatan silang (cross-linking), sedangkan modifikasi konversi di antaranya adalah hidrolisis dengan asam secara parsial, hidrolisis enzimatik secara parsial, alkalinasi, oksidasi dan dekstrinisasi. Metode modifikasi ini dapat dilakukan secara tunggal baik secara kimia maupun konversi dan juga kombinasi antara keduanya. Masing-masing metode modifikasi tersebut akan menghasilkan karakteristik pati termodifikasi yang berbeda-beda dan ditujukan untuk proses pengolahan tertentu sesuai dengan kebutuhan proses dan penyimpanan produk (Singh et al 2007). Metode modifikasi pati yang dipilih untuk dapat menghasilkan kriteria pati yang dapat diaplikasikan ke produk mi adalah metode HMT. Teknik modifikasi pati HMT dilakukan dengan cara perlakuan pemanasan pati pada suhu tinggi ( o C) dalam kondisi kadar yang yang dikontrol (35% atau lebih rendah) (Collado et al 2001). Modifikasi pati dengan HMT menyebabkan perubahan

28 struktur kristal pati, dimana kristal pati menjadi lebih resisten terhadap proses gelatinisasi (Stute 1992). Metode modifikasi HMT dapat menurunkan nilai viskositas maksimum, mengurangi viskositas breakdown dan memiliki viskositas akhir yang tinggi serta menghasilkan pati dengan nilai swelling power dan solubility yang terbatas. (Collado and Corke 1999; Collado et al 2001; Gunaratne and Corke 2007; Pukkahutta et al 2008). Penurunan viskositas maksimum pada pati HMT disebabkan karena modifikasi ini menyebabkan swelling power pati menjadi terbatas dan mengurangi leaching amilosa sehingga suhu gelatinisasi yang dibutuhkan lebih tinggi dan viskositas maksimum menjadi lebih rendah. Selain itu, pati hasil modifikasi HMT memiliki pasta yang lebih stabil dibanding pati alami. Kestabilan ini dapat ditunjukkan oleh viskositas breakdown pati HMT yang rendah dibanding pati alaminya. Semakin kecil nilai viskositas breakdown semakin stabil pati tersebut terhadap proses pemanasan dan pengadukan (Gunaratne and Corke 2007). Pada akhir proses gelatinisasi, pati akan mengalami pendinginan sehingga membentuk gel. Modifikasi HMT menyebabkan pati mengalami peningkatan nilai viskositas akhir dan viskositas setback kecuali pati jagung standar dan waxy maize (Gunaratne and Corke 2007; Pukahutta et al 2007). Hal ini disebabkan karena rantai linier amilosa yang berkumpul kembali dengan cepat melalui formasi pembentukan gel. Rasio puncak viskositas dengan viskositas akhir yang tinggi pada viskoamilograf menurut Collado et al (2001) sangat berpengaruh terhadap kekerasan mi. Selain itu juga pati yang cenderung cepat mengalami retrogradasi atau nilai viskositas akhir yang tinggi juga sangat baik untuk kualitas akhir produk mi. Hoover dan Vasanthan (1994) melaporkan bahwa modifikasi HMT dapat meningkatkan suhu gelatinisasi dan mengurangi proses leaching amilosa. Berkurangnya leaching amilosa ini akan mengurangi kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) pada produk mi. Selain itu metode HMT mempengaruhi penyusunan kembali molekul pati antara amilosa amilosa dan amilosa

29 amilopektin, dan memperkuat ikatan dalam pati (Franco et al 1995 yang dikutip oleh Hoover dan Gunaratne 2002; Shin et al 2004). Purwani et al (2006) melaporkan bahwa penggunaan pati sagu yang dimodifikasi dengan HMT dapat meningkatkan suhu gelatinisasi dan memodifikasi pola gelatinisasi pati sagu. Penggunaan sagu HMT dalam mi menghasilkan mi yang dapat diperbaiki sifat firmness dan elastisitasnya, serta mengurangi kelengketan mi dan (KPAP)/cooking loss. Perubahan sifat fisikokimia pati lainnya akibat modifikasi HMT menurut Collado et al (2001) adalah memiliki gel viskoelastik yang pendek dan kemampuan mengembang (swelling) yang terbatas dibandingkan pati tanpa modifikasi. Collado et al (2001) juga melaporkan bahwa pati HMT menghasilkan sifat fisik mi tidak lengket. Mi Jagung dan Teknologi Prosesnya Mi merupakan salah satu jenis produk pasta yang sudah dikenal oleh masyarakat dan dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Produk mi menurut Suyanti (2008) terdiri dari empat jenis yaitu mi segar, mi basah, mi kering, dan mi instan. Mi segar adalah mi dari proses pemotongan lembaran adonan dengan kadar air 35% dengan daya simpan jam dalam refrigator. Mi basah adalah mi yang mengalami proses perebusan setelah pemotongan. Kadar air mi ini mencapai 52 % sehingga masa simpannya sangat singkat (40 jam) pada suhu C. Mi kering adalah mi segar yang dikeringan dengan kadar air sekitar 8-10%) sedangkan mi instan (instan fried noodle) adalah mi matang yang dikeringkan dengan cara digoreng maupun dengan aliran udara panas. Proses produksi mi segar, mi basah, mi kering dan mi instan dapat dilihat pada Gambar 3. Proses produksi mi kering mencakup tahapan proses formulasi bahan (terigu dan bahan tambahan berupa air, garam, telur dan larutan alkali), pembentukan lembaran adonan (sheeting), pembentukan untaian mi, pengukusan, pemotongan, dan pengeringan. Untuk produksi mi instan, proses pengeringan diganti dengan proses penggorengan, sedangkan untuk mi segar tidak dilakukan proses pengeringan setelah pembentukan untaian mi, tetapi biasanya langsung

30 dikemas. Mi basah adalah mi mentah yang direbus dan dipupuri dengan minyak (Suyanti 2008). Terigu Pencampuran dan Pengistirahatan adonan Garam - Air Telur - Alkali Pembentukan lembaran (sheeting) Pemotongan (slitting) Perebusan Pengukusan Pendinginan Penggorengan Pengeringan Pemberian minyak Pendinginan Pendinginan Mi Segar Mi Basah Mi Instan Mi Kering Gambar 3. Teknologi Proses Produksi Mi (Suyanti 2008) Tepung jagung dapat digunakan sebagai bahan baku untuk menggantikan sebagian atau semua tepung terigu dalam produksi mi. Penggunaan tepung jagung dalam mi memiliki keunggulan, yaitu: (a) dapat mengurangi biaya bahan baku dan produksi; (b) mengurangi ketergantungan terhadap bahan baku terigu; (c) memberikan keunggulan terhadap mi, yaitu tanpa penggunaan pewarna sintetis dan adanya kandungan beta karoten. Mi jagung yang dihasilkan dari 100% tepung jagung berwarna lebih kuning dibandingkan mi terigu atau mi substitusi, karena kandungan beta karoten dalam mi jagung lebih banyak (Kusnandar et al 2008).

31 Penggunaan tepung jagung dalam mi akan dibatasi oleh karakteristik fungsional tepung jagung, terutama disebabkan oleh kandungan protein gluten yang rendah dan karakteristik protein tepung jagung tidak mengandung protein gliadin dan glutenin sebagaimana pada tepung gandum yang bertindak sebagai pengikat untuk membentuk tekstur adonan yang elastic-cohesive (Juniawati, 2003; Budiyah, 2005). Protein total endosperm dalam jagung sebagian besar terdiri atas zein yang untuk membentuk massa yang elastic-cohesive memerlukan proses pregelatinisasi sehingga terbentuk pati tergelatinisasi. Oleh karena itu pada penelitian sebelumnya pembuatan mi dari tepung jagung sering dilakukan dengan cara disubstitusi dengan tepung lain yang memiliki kandungan gluten (Budiyah 2005). Selain kandungan dan komposisi protein gluten yang kurang sesuai, komposisi polimer jagung mengandung sekitar 80% amilosa dan 20% amilopektin. Hal ini menyebabkan kualitas mi jagung memiliki adonan dengan sifat agak rapuh. Sebagai konsekuensinya, teknologi proses mi yang sudah ada di industri mi tidak bisa langsung diadopsi untuk memproduksi 100% mi jagung, karena harus menambah satu tahap proses pengukusan di antara tahap pencampuran bahan dan proses sheeting. Alternatif lain dari proses produksi mi jagung adalah dengan teknologi ekstrusi. Teknologi ekstrusi biasanya digunakan untuk memproduksi bihun atau soun (Kusnandar et al 2008). Dalam pembuatan mi jagung dengan bahan pati kasar, ukuran partikel pati kasar akan berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi. Penelitian yang dilakukan oleh Chen dan Voragen (2003) menjelaskan bahwa, ukuran granula pati juga mempengaruhi proses pengolahan produk mi. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pati ubi jalar yang ukuran granulanya kurang dari 20 µm (ukuran kecil) memberikan mutu mi yang lebih baik dibandingkan dari pati yang berukuran lebih besar dari 20 µm (ukuran besar). Selain itu juga ukuran granula pati yang kecil akan menghasilkan untaian mi yang lebih panjang. KPAP dan daya kembang mi dari pati yang berukuran kecil juga lebih baik dari yang berukuran besar dan lebih transparan. Hodge dan Osman (1976) yang dikutip oleh Juniawati (2003) melaporkan bahwa ukuran granula pati jagung adalah sekitar 15 µm.

32 Teknologi proses pembuatan mi jagung hampir sama dengan proses produksi mi secara umum, akan tetapi ada beberapa proses yang harus dilakukan dan tidak dilakukan pada mi terigu. Proses itu berupa pengukusan sebagian tepung jagung (70%) (Putra 2008). Prosentasi bagian tepung yag dikukus ini sebelumnya telah diujicoba dari % oleh Putra (2008) dan hasilnya bahwa 70% menghasilkan adonan yang tidak lengket pada roller mesin sheeting. Pengukusan (Gambar 4) sebagian tepung ini diperlukan untuk mengatasi kesulitan pembentukan lembaran adonan, yaitu dengan mengandalkan pati jagung tergelatinisasi sebagai perekat (binding agent) selama proses sheeting. Apabila tidak dilakukan pengukusan, maka adonan tidak dapat dibentuk dan dicetak menjadi mi. Hal ini disebabkan protein endosperma jagung banyak mengandung zein (60%) yang tidak dapat membentuk massa adonan yang elastic-cohesive bila hanya ditambahkan air dan diuleni, seperti halnya gliadin dan glutelin pada gandum (Soraya, 2006). Gambar 4. Proses pengukusan adonan menggunakan steam blancher Secara umum, proses produksi mi jagung dengan teknologi sheeting mencakup tahapan formulasi bahan, pengukusan untuk menggelatinisasi sebagian tepung jagung (70% dari total tepung), pencampuran antara formulasi bahan yang tidak digelatinisasi dengan tepung gelatinisasi (mixing), pembentukan lembaran adonan dan untaian mi (sheeting dan slitting), pengukusan, dan pengeringan (Putra 2008).

33 Tahap formulasi bahan adalah tahap penentuan komposisi bahan yang akan digunakan dalam proses pembuatan mi jagung yang terdiri dari tepung jagung, air, garam meja dan guar gum. Proses pencampuran semua bahan ini harus dilakukan secara merata agar proses hidrasi air dengan tepung berlangsung merata sehingga membentuk adonan yang cukup kadar air. Pencampuran yang kurang sempurna akan menghasilkan lembaran adonan yang kurang baik (Putra 2008). Untuk mendapatkan adonan yang baik, faktor lain yang juga ikut mempengaruhi adalah jumlah air yang ditambahkan. Garam diperlukan dalam jumlah sedikit, karena adonan setelah bercampur air garam akan memiliki sifat fungsional yang penting, yaitu sebagai penguat tekstur dan penguat flavor serta meningkatkan elstisitas dan fleksibilitas mi (Juniawati 2008). Selain itu menurut Astawan (1999) yang dikutip oleh Indriani (2005) garam dapur dapat menghambat aktivitas enzim amylase sehingga mi tidak lengket dan tidak mengembang secara berlebihan. Pengukusan adonan dilakukan pada suhu 90 o C selama 15 menit. Pengurangan waktu pengukusan menyebabkan lembaran yang dihasilkan rapuh dan mudah sobek. Proses pregelatinisasi yang tepat akan menghasilkan gelatinisasi yang cukup dengan pati tergelatinisasi menjadi zat pengikat antar granula pati di dalam adonan (Susilawati 2007 yang dikutip oleh Putra 2008). Pembentukan lembaran mendasari optimasi proses sesudah pengukusan. Optimasi proses dilakukan dengan menambahkan tahapan proses baru, yaitu penggilingan (grinding). Penggilingan dapat meningkatkan derajat gelatinisasi Hal ini menyebabkan lebih banyak amilosa yang keluar dari granula pati dan berfungsi sebagai pengikat komponen-komponen adonan. Selain itu, penggilingan juga menyebabkan kompresi terhadap adonan meningkat. Kompresi menyebabkan adonan lebih kompak dan mudah dibentuk menjadi lembaran (Putra 2008). Kompresi yang dihasilkan dari penggilingan menggunakan grinding mampu meningkatkan sifat cohesiveness adonan. Sifat ini memudahkan penanganan adonan saat sheeting. Besarnya kompresi yang diberikan saat penggilingan sebanding dengan peningkatan sifat cohesiveness (Putra 2008).

34 Dalam proses pembentukan lembaran, adonan dimasukkan ke dalam roll press sehingga membentuk lembaran. Saat proses pembentukan lembaran, lembaran adonan ditarik ke satu arah sehingga serat-seratnya sejajar. Menurut Astawan (2005), serat yang halus dan searah menghasilkan mi yang halus, kenyal, dan cukup elastis. Mikrostruktur adonan selama pengepresan menyebabkan partikel endosperma bercampur menyusun matriks dari protein sehingga menjadi lebih homogen (Kruger 1996 yang dikutip oleh Putra 2008)). Pada saat adonan mencapai roller terakhir, adonan yang pada awalnya memiliki ketebalan 0,30 cm dan roll pertama, direntangkan sampai mencapai lembaran adonan yang tipis yang siap untuk mengalami proses pengirisan memanjang (slitting), dengan ketebalan 0,12 cm (Putra 2008). Untaian mi yang telah terbentuk selanjunya dikukus lagi selama 20 menit pada suhu 95 o C (Putra 2008). Pengukusan untaian mi ini bertujuan untuk menyempurnakan gelatinisasi pati sehingga mi tidak hancur ketika dimasak. Menurut Astawan (2005), proses gelatinisasi ini dapat menyebabkan pati meleleh dan membentuk lapisan tipis (film) yang memberikan kelembutan pada mi, meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi mi, serta terjadi perubahan pati beta menjadi pati alfa yang lebih mudah dimasak sehingga struktur alfa ini harus dipertahankan dalam mi kering dengan cara dehidrasi (pengeringan) sampai kadar air sekitar 11-12%. Selain itu, proses ini menghasilkan mi yang kompak dengan tekstur yang lebih lembut, kenyal, basah, lunak, dan warnanya menjadi lebih kuning (Merdiyanti 2008). Parameter mutu mi dapat dilihat dari mutu fisik, kimia dan organoleptik. Mi kering yang bermutu baik (sebelum dimasak) memiliki tekstur yang kuat (tidak rapuh/mudah patah), permukaan yang halus dan warna kuning yang seragam. Apabila dimasak (direbus dalam air), mi cepat mengalami rehidrasi (untuk mi instan kurang dari 3 menit), tidak hancur/larut dalam air rebusan (cooking loss rendah, yaitu <2%), tidak lengket, cukup elastis, dan tidak terlalu mengembang (Putra 2008; Chen dan Voragen 2003). Produk mi yang berbahan dasar jagung merupakan produk yang memiliki peluang besar untuk diterima oleh kosumen karena menurut Juniawati (2003), dari

35 hasil preferensi konsumen, 84% panelis menyatakan bahwa produk mi jagung instan dapat menggantikan produk mi instan yang sudah ada di pasaran dan hanya 16% panelis yang menyatakan bahwa produk mi jagung instan tidak dapat menggantikan tetapi dapat memperkaya produk mi instan. Menurut Juniawati (2003), mi jagung mengandung nilai gizi yang baik, yaitu menyumbangkan sekitar 360 kalori/kemasan. Tingginya nilai energi yang terdapat pada mi jagung instan menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pangan alternatif pilihan pengganti nasi. Kandungan lemak mi jagung instan jauh lebih rendah dibandingkan dengan kandungan lemak pada mi terigu instan, disebabkan tidak adanya proses penggorengan. Mi jagung instan juga tidak menggunakan pewarna seperti halnya mi terigu instan. Pewarna kuning yang biasa digunakan dalam pengolahan mi terigu instan adalah tartrazine. Pada pembuatan mi jagung instan warna kuning yang dihasilkan merupakan warna alami yang disebabkan karena pigmen kuning pada jagung yaitu beta karoten, lutein, dan xanthin. Keunggulan-keunggulan tersebut dapat menjadi nilai jual dan promosi mi jagung. Pengembangan produk mi basah berbahan baku tepung jagung diharapkan dapat diterapkan di industri kecil di sentra-sentra produksi jagung. Juniawati (2003) membuat mi jagung instan dari bahan tepung jagung. Pada penelitian ini dilakukan penentuan formulasi yang akan dioptimasi. Tepung jagung, air, garam 1% adalah formulasi mi jagung instan yang akan dibuat. Perbandingan tepung jagung dengan air yang digunakan adalah 4 : 3 sampai dengan 1 : 1,25. Waktu pengukusan pertama dilakukan mulai dari 10 menit sampai dengan 50 menit. Dari kesemua proses dan formulasi yang dilakukan dihasilkan desain proses yang terbaik berupa perbandingan tepung jagung dan air sebesar 1:1, dengan penggunaan waktu pengukusan pertama selama 10 menit dan pengukusan kedua selama 30 menit. Pengukusan selama 10 menit ini didukung oleh penggunaan baking powder yang dapat mempersingkat waktu pengukusan pertama. Hal ini disebabkan dengan penambahan baking powder maka penetrasi panas yang diterima oleh bahan lebih cepat sehingga proses gelatinisasi pun dapat berlangsung lebih cepat.

36 Budiyah (2004) melakukan penelitian mi jagung instan dengan memodifikasi formulasi dari penelitian Juniawati (2003). Dalam penelitian ini tepung jagung digantikan dengan tepung maizena dan gluten meal. Beberapa parameter proses juga diubah untuk mendapatkan hasil yang optimal misalnya pada jumlah air yang ditambahkan, kendali waktu pengukusan, serta ditambahkannya bahan pengikat lain berupa CMC. Formulasi terbaik yang dihasilkan berupa perbandingan air dengan pati dan CGM (Corn Gluten Meal) 3 : 4 dan penambahan CMC sebesar 1%. Formulasi ini menghasilkan adonan yang mudah diuleni, hasil rehidrasi bagus, kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) sedikit, mi tidak terlalu kenyal. Proses pembuatannya dilakukan pencampuran pati yang tergelatinisasi dengan pati yang tidak tergelatinisasi. Fadlillah (2005) mencoba memodifikasi penelitian Budiyah (2004) berupa pengukusan seluruh bagian adonan dengan waktu pengukusan yang berbeda-beda. Selain itu dilakukan penambahan protein gluten terigu tetap dikombinasikan dengan penambahan CGM, dengan total penambahan 10% dari adonan serta penambahan guar gum dengan konsentrasi 1% memiliki pengaruh yang paling besar dalam mengurangi kelengketan dan KPAP. Rianto (2006) melakukan penelitian pembuatan mi basah jagung. Pada penelitian ini formula mi basah yang akan dioptimasi terdiri atas tepung jagung 100 gram, air 30 ml, garam 1% (1gram), dan baking powder 0,3% (0,3 gram). Adonan yang dihasilkan pada penambahan air 30 ml memiliki sifat mudah dibentuk menjadi lembaran mi, tidak lengket dan untaian mi yang dihasilkan seragam. Hasil pengukuran sifat fisik mi basah menunjukkan bahwa mi basah jagung dengan formula dan desain proses terbaik pada penelitian ini adalah mi basah dengan waktu pengukusan 7 menit. Hal ini didasarkan pada karakteristik mi basah matang yang tidak terlalu keras dan tidak terlalu lengket, memiliki nilai KPAP yang terkecil dan nilai elongasi yang cukup besar. Soraya (2006) melakukan penelitian pembuatan mi jagung basah yang memodifikasi proses dengan mencampurkan tepung terpregelatinisasi dengan tepung yang tidak terpregelatinisasi. Perbandingan yang optimum adalah 70:30. Pada level ini adonan tidak lengket di mesin mi dan mi yang dihasilkan tidak mudah patah. Selain itu waktu perebusan yang optimum adalah 1.5 menit dan

37 penambahan guar gum sebesar 1% memiliki pengaruh yang paling besar dalam mengurangi kelengketan dan cooking loss mi jagung. Kurniawati (2006) melakukan penelitian mi jagung basah yang menggunakan bahan dari pati jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). Pada penelitian ini dilakukan modifikasi proses seperti yang dilakukan oleh Budiyah (2004) dengan mencampurkan pati yang tergelatinisasi dan pati yang tidak tergelatinisasi. Penentuan desain proses meliputi penentuan jumlah air, waktu pengukusan, urutan pencampuran bahan dan waktu perebusan yang tepat. Jumlah air, waktu pengukusan dan waktu perebusan yang optimum pada penelitian ini berturut-turut adalah 30%, 3 menit dan 2.5 menit. Perbaikan desain proses untuk mengurangi KPAP dilakukan dengan menambahkan bahan tambahan (garam, baking powder) kedalam pati yang digelatinisasi. Upaya perbaikan karakteristik fisik (elongasi mi) dilakukan dengan substitusi sebagian adonan yang dikukus dengan pati kacang hijau. Hasil yang optimum ditunjukkan oleh substitusi maizena oleh pati kacang hijau 5%. Perbaikan KPAP mi formulasi terpilih dilakukan dengan penambahan guar gum 1%. Dari penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa mi jagung yang dihasilkan kualitasnya masih kurang baik diantaranya nilai kelengketan dan cooking loss/kpap ( + 8 9%) yang tinggi (Putra 2008) tekstur mi yang kurang kenyal (Budiyah 2004), untaian mi rapuh dan mudah patah (Merdiyanti 2008). Oleh sebab itu substitusi sebagian tepung jagung dengan pati jagung modifikasi HMT diharapkan dapat memperbaiki kualitas mi yang dihasilkan. Penggunaan pati HMT dalam produk mi dapat mengurangi KPAP, meningkatkan elastisitas, mengurangi kelengketan serta menghasilkan untaian mi yang kuat dan kompak (Collado et al 2001; Purwani et al 2006).

38 Proses Penggandaan Skala Peningkatan skala adalah suatu studi yang mengolah dan menggunakan data hasil percobaan laboratorium atau percobaan skala pilot plant untuk merancang proses alat/mesin yang akan digunakan dengan skala pabrik (Aiba 1973). Peningkatan skala dilalui dengan 3 tahap yaitu : (1) skala laboratorium, (2) skala pilot plant, (3) skala industri. Skala pilot plant merupakan skala untuk mendapatkan operasi optimal dan kontrol yang tepat sebelum menuju ke produksi secara komersial atau industrialisasi (Valentas et al 1991) Peningkatan skala (scale up) merupakan salah satu target penelitian yang mempunyai arah industri, selain itu juga merupakan kunci penghubung antar laboratorium dengan industri. Peningkatan skala pada proses modifikasi pati jagung dengan metode HMT adakah suatu tindakan untuk membuat hasil proses (pati) memiliki karakter yang identik dengan karakter pati pada skala laboratorium pada laju tingkat produksi yang lebih besar dari perencanaan yang sebelumnya telah teruji baik (skala laboratorium). Dalam hal ini tersirat peningkatan produksi akan dilakukan dengan peralatan yang secara fisik lebih besar dari pada yang digunakan sebelumnya (Valentas et al 1991). Kriteria peningkatan skala yang utama adalah parameter atau sekumpulan parameter proses yang bersifat bebas, tidak terpengaruh oleh ukuran (skala) proses, yang pada umumnya melibatkan lebih dari satu skala proses. Perubahan skala proses secara kuantitas dan mekanik seperti jumlah bahan baku dan alat yang digunakan akan berpengaruh terhadap transfer panas atau terhadap tenaga. Sistem secara fisik dan obyek material pada dasarnya dicirikan oleh 3 kualitas, yaitu ukuran, bentuk dan komposisi. Kemiripan yang penting dalam peningkatan skala proses dan peralatan pangan adalah : kemiripan geometri, mekanika, termal dan kimiawi (Valentas et al 1991).

39 METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah pati jagung komersil dengan merek Maizenaku yang diproduksi PT. Honig dan tepung jagung pipil varietas Pioneer-21 yang diperoleh dari Purwokerto, Jawa Tengah. Bahan-bahan yang digunakan untuk proses pembuatan mi adalah garam dan guar gum. Bahanbahan kimia yang diperlukan untuk analisis adalah aquades, HNO 3, dietil eter, K 2 SO 4, HgO, H 2 SO 4, HCl dan bahan-bahan analisis kimia lainnya. Peralatan utama yang digunakan untuk memproduksi tepung jagung adalah hammermill, disc mill, dan automatic siever, sedangkan untuk memproduksi mi jagung digunakan peralatan timbangan (top loading balance), varimixer, roll press dan slitter, steaming box, pengering (cabinet dryer), dan pensuplai uap (boiler). Beberapa peralatan utama yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Lampiran 1. Untuk memproduksi pati jagung HMT pada skala laboratorium digunakan peralatan oven pengering dan sprayer, sedangkan pada skala pilot plant digunakan alat molen dryer yang terdapat di laboratorium Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian.. Peralatan analisis yang digunakan di antaranya adalah Rapid Visco Analyzer (RVA) (Thermocline version 2.3) dan Texture Analyzer (TA-XT2), moisture content digital dan mikroskop polarimeter. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret sampai November tahun 2008 di Laboratorium lini proses mi skala Pilot plan SEAFAST Center IPB, Laboratorium uji fisik Departemen Kelautan Dan Perikanan dan Laboratorium Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian Bogor serta Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian dan Laboratorium Biokimia Hasil Pertanian Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

40 Metode Penelitian Penelitian secara garis besar dilakukan atas 3 tahapan yang terdiri dari (1) tahap pemilihan kondisi terbaik proses modifikasi pati jagung dengan teknik HMT pada skala laboratorium, (2) tahap modifikasi pati jagung dengan metode HMT pada skala diperbesar, (3) tahap pemilihan tingkat subtitusi pati jagung termodifikasi yang terbaik dalam proses produksi mi jagung; Jabaran kegiatan untuk masing-masing tahap adalah sebagai berikut (Gambar 5) : Pati jagung (Maizena) Pengaturan kadar air + 26% Modifikasi Metode HMT suhu (100, 110, C), waktu (12, 16, 20 jam) Pati HMT kondisi terpilih Modifikasi pati jagung HMT skala diperbesar (2 kg dan 4 kg) Formulasi Mi Jagung skala 1 kg Tepung Jagung Pioneer 21 Mi Jagung Kering Gambar 5. Diagram Alir Kegiatan Penelitian

41 Tahap Proses Modifikasi Pati Jagung Metode HMT Tahap penelitian ini bertujuan untuk menentukan kondisi terbaik proses modifikasi HMT yang dapat menghasilkan pati dengan karakteristik yang sesuai untuk aplikasi pembuatan mi. Metode modifikasi mengikuti prosedur Collado et al (1999) dan Purwani et al (2006). Prinsip modifikasi HMT ini adalah memberikan perlakuan panas secara kontinyu dalam selang waktu tertentu terhadap pati yang kandungan airnya dibatasi (+26%). Penetapan batasan kadar air 26% didasarkan pada hasil penelitian Lim et al (2001) bahwa pati dapat diatur kadar air antara 20%-30% dan untuk pati jagung kadar airnya dapat dibatasi pada 25% atau 30%. Tahapan proses modifikasi HMT dilakukan sebagai berikut (Gambar 6) Pati Jagung Diatur kadar air + 26% Equilibrium T= 4-5 o C,semalam Dipanaskan, T=100,110,120 o C, t= 12,16, 20 Di keringkan T=50 o C, t = 4 jam Pati termodifikasi HMT Gambar 6. Diagram Alir Proses Modifikasi Pati dengan Metode HMT Jumlah pati yang dimodifikasi adalah 200g (Lampiran 2c). Penentuan kadar air ini diawali dengan mengukur kadar air pati sebelum diberi perlakuan. Setelah kadar air awal pati diketahui, pati diberi air dengan cara disemprot sambil diaduk dengan menggunakan sendok sebagai pengaduk. Pemberian air dan pengadukan dilakukan sedikit demi sedikit,

42 karena pemberian air secara langsung dengan jumlah yang banyak akan menghasilkan gumpalan pati yang besar dan keras. Pengukuran kecukupan air ke dalam pati dilakukan dengan menggunakan Moisture Content Digital (Lampiran 3c). Pati dengan kondisi kadar air 26% selanjutnya ditempatkan dalam Loyang aluminium bertutup untuk selanjutnya disimpan pada suhu dingin (4-5 o C) selama semalam. Proses penyimpanan ini dilakukan agar kondisi air dalam pati menjadi equilibrium (seimbang). Selanjutnya pati dipanaskan pada perlakuan suhu 100, 110 dan 120 o C dalam oven selama 12, 16 dan 20 jam. Setiap 2 jam sekali pati diaduk agar panas yang diterima oleh pati lebih merata. Pengadukan juga dlakukan untuk mencegah pembentukan gumpalan pati yang besar. Setelah proses pemanasan selesai, selanjutnya pati ditempatkan kembali dalam loyang aluminium tanpa tutup untuk dikeringkan selama 4 jam. Proses pengeringan dilakukan pada suhu 50 o C. Pati jagung yang telah dimodifikasi dikemas dalam kemasan polyethylen setelah sebelumnya didinginkan terlebih dahulu. Setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 2 ulangan. Analisis karakter sifat fungsional pati hasil modifikasi HMT yang dilakukan terdiri dari profil gelatinisasi pati dengan menggunakan RVA, swelling volume, kelarutan, kekuatan gel, freeze thaw stability dan water retention capacity Penentuan kondisi optimum proses modifikasi pati didasarkan dari hasil analisis profil gelatinisasi pati, swelling volume dan kelarutan. Kondisi optimum yang diperoleh dari hasil analisis tahap pertama ini akan diaplikasikan ke tahap kedua (skala diperbesar). Tahap Modifikasi Pati Metode HMT Skala Diperbesar Seperti halnya metode modifikasi HMT pada skala laboratorium, prinsip kerja dari tahapan proses modifikasi pada skala yang diperbesar ini juga adalah pemberian panas pada suhu tertentu secara kontinyu dalam waktu yang ditetapkan.

43 Pada tahap modifikasi pati skala diperbesar ini jumlah pati yang dimodifikasi adalah 2kg dan 4kg. Jumlah ini berbeda dengan jumlah pati yang dimodifikasi pada skala laboratorium. Proses awal modifikasi dimulai dengan mengkondisikan kadar air pati menjadi 26% dengan cara mengukur kadar air awal pati. Pati jagung yang dimodifikasi pada skala diperbesar ini adalah pati yang sama dengan pati yang dimodifikasi pada skala laboratorium sehingga analisis kadar air awal pati sama dengan pati skala laboratorium yatu 14%. Selanjutnya ditambahkan air sebanyak 20-21% dengan cara disemprot sambil diaduk. Proses pengadukan menggunakan hand mixer dengan tangkai pengaduk spiral. Selanjutnya pati ditempatkan dalam wadah aluminium bertutup kemudian disimpan pada refrigerator suhu 4-5 o C selama semalam untuk proses equilibrium. Selanjutnya pati dipanaskan dalam mollen dryer (Lampiran 1g). Alat pemanas ini berbeda dengan alat yang digunakan dalam proses modifikasi pada skala laboratorium. Pada skala laboratorium alat yang digunakan adalah oven (Lampiran 1i). Suhu pemanasan yang digunakan diatur pada thermocontrol yang ada pada alat mollen dryer. Pengaturan suhu awal mollen dryer dilakukan dengan cara mengatur suhu thermocontrole pada skala 145 o C, setelah 20 menit (mencapai suhu thermostate 110 o C) suhu thermocontrole diturunkan pada skala 135 o C. Penurunan ini dilakukan karena jika suhu thermocontrole tetap pada skala 145 o C maka suhu dalam mollen dryer yang ditunjukkan oleh thermostat akan terus naik melebihi suhu yang diinginkan (110 o C). Setiap 10 menit blower dalam alat mollen dryer secara otomatis akan mati selama 2 menit setelah itu akan berputar lagi. Otomatisasi ini menyebabkan suhu pemanasan dalam mollen dryer dapat dipertahankan pada suhu 110 o C. Putaran mollen diatur pada 9 rpm (round per mnuite). Pengaturan putaran ini dtetapkan setelah sebelumnya dicoba pada putaran 3 6 rpm. Hasilnya pati tidak bercampur dengan baik karena putaran terlalu lambat dan tabung mollen semakin lama semakin turun sehingga pati akan tumpah. Percobaan juga dilakukan pada skala 12 rpm, akan tetapi pada skala ini

44 putaran mollen terlalu cepat sehingga pati banyak yang keluar dari celah penutup mollen. Setelah proses pemanasan selesai, suhu mollen diatur pada 50 o C dari thermocontrol untuk proses pengeringan. Tabung mollen yang masih panas, dikompres dengan serbet basah sampai suhu pati dalam tabung 50 o C (terukur pada termometer penutup mollen). Pati yang telah kering kemudian dipindahkan ke dalam loyang aluminium untuk didinginkan dan dikemas dalam plastik polyethylen kemudian disimpan dalam freezer sampai pati akan digunakan. Setiap skala perlakuan dilakukan dengan 2 kali ulangan. Proses analisis untuk pati hasil modifikasi skala diperbesar sama dengan proses analisis untuk pati hasil modifikasi skala laboratorium. Tahap Penentuan Tingkat Subtitusi Pati Jagung HMT Terbaik Dalam Proses Produksi Mi Jagung Tahap penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh penggunaan pati jagung termodifikasi HMT yang terpilih sebagai pensubstitusi tepung jagung terhadap kualitas mi jagung yang dihasilkan. Tahap optimasi ini terdiri dari tahap persiapan bahan baku, tahap formulasi proses produksi mi jagung. Penentuan kondisi terbaik dari formulasi mi jagung kering yang disubtitusi dengan pati HMT ditentukan berdasarkan beberapa parameter pengamatan antara lain parameter fisik yang terdiri dari kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP), waktu optimum pemasakan dan texture profile analysis (TPA) serta parameter organoleptik yang terdiri dari kekerasan, kekenyalan, kelengketan dan kesukaan secara keseluruhan (overall). Proses penyediaan bahan baku diawali dengan proses penepungan jagung pipil kering. Jagung pipil yang ditepungkan adalah jagung varietas Pioneer-21 (Lampiran 2a). Hasil penggilingan jagung pipil sebanyak 25 kg menghasilkan tepung jagung yang lolos ayakan ukuran 100 mesh sebanyak + 7 8kg. Jumlah ini menunjukkan bahwa proses penepungan jagung menghasilkan rendemen %.

45 Proses penepungan jagung pipil dilakukan dengan penggilingan kering (dry milling). Proses ini dimulai dari pemisahan bagian biji jagung yang terdiri dari grits, lembaga dan tip cap dari bagian jagung lainnya (Hoseney, 1998). Proses pemisahan ini dilakukan dengan cara menggiling biji jagung menggunakan hammer mill, selanjutnya dicuci berulang-ulang sampai bersih. Proses pencucian bertujuan untuk memisahkan grits dari kulit dan lembaga serta bagian biji jagung lainnya. Grits adalah bagian jagung yang terdapat dalam endosperma yang mengandung pati dan merupakan bagian yang akan ditepungkan. Bagian lain yang dihasilkan dari penggilingan kasar adalah kulit, tipcap dan lembaga. Bagian ini dibuang pada saat pencucian dan perendaman grits. Bagian kulit dan tipcap dibuang karena teksturnya lebih keras dan mengandung serat yang tinggi sehingga menyebabkan grits menjadi lebih sulit untuk ditepungkan. Begitu pula halnya dengan lembaga dimana bagian ini mengandung lemak yang tinggi sehingga menyebabkan tepung menjadi cepat tengik karena proses oksidasi. Grits yang diperoleh digiling kembali sehingga menghasilkan tepung. Untuk menghasilkan tepung jagung yang halus dan homogen dengan ukuran 100 mesh, maka dilakukan pengayakan menggunakan vibrating screen (Lampiran 1c). Tepung ukuran 100 mesh yang diperoleh kemudian dioven 60 o C selama 2 jam. Hal ini dimaksudkan untuk menghilangkan sebagian besar air pada tepung sehingga tepung jagung lebih tahan lama selama proses penyimpanan. Kadar air tepung jagung yang diharapkan adalah tidak lebih dari 10% (Anonim a 2008). Penggilingan basah tidak diplih karena menurut Nobel dan Andrizal (2003) biasanya menghasilkan rendemen yang lebih rendah dibanding penggilingan kering. Selain itu tepung hasil penggilingan basah memiliki masa simpan yang singkat karena kadar air yang tinggi sehingga tepung mudah sekali mengalami proses fermentasi. Tahap selanjutnya adalah proses formulasi mi jagung dengan mensubstitusi sebagian tepung jagung dengan pati jagung HMT hasil perlakuan terbaik (110 o C, 16 jam). Karena pati jagung HMT hanya

46 digunakan untuk memperbaiki karakteristik fisik mi jagung dan pertimbangan potensi kenaikan harga produksi, maka penggunaan pati HMT dibatasi. Rasio formulasi mi jagung kering dengan teknologi sheeting pada skala produksi 1 Kg/batch dapat dilihat pada Tabel 3, dan proses produksi mi jagung secara garis besar dapat dilihat pada Gambar 7. Tabel 3. Persentase penggunaan tepung dan pati jagung HMT dalam formulasi mi jagung (sheeting) pada skala produksi 1 Kg Bahan F1 F2 F3 F4 F5 Tepung Jagung 100% 95 % 90 % 85% 80 % Pati Jagung HMT 0% 5 % 10 % 15 % 20 % Tepung Jagung dan Pati HMT Garam 1%, Guar gum 1% Formulasi dan Pencampuran Air 70% adonan 30% adonan Pengukusan, T= 90 0 C ; t = 15 mnt Pencampuran adonan Penggilingan 2x Sheeting 8 x Pengukusan, T = 95 0 C ; t = 20 mnt Pengeringan, T = 80 0 C ; t = 70 mnt Mi Jagung Kering Gambar 7. Diagram Alir Proses Pembuatan Mi Jagung Kering

47 Proses pembuatan mi jagung berbeda dengan proses pembuatan mi kering lainnya dimana tepung yang akan dijadikan sebagai bahan baku adonan dibagi menjadi dua bagian, satu bagian dikukus dan satu bagian lainnya dibiarkan dalam bentuk kering. Hasil penelitian yang dilakukan Pratama (2008) dan Putra (2008) menetapkan bahwa bagian yang dikukus sebanyak 70% dari keseluruhan tepung dan 30 % yang dibiarkan kering. Pati HMT dan tepung jagung ditimbang sesuai dengan formulasi pada Tabel 3 dengan jumlah adonan 1 kg dicampur kemudian ditambahkan garam 1%, guargum 1% dan air 50% dari keseluruhan adonan sehingga membentuk adonan yang homogen. Proses pencampuran dilakukan dengan menggunakan dough mixer selama + 10 menit. Sebanyak 70% adonan dikukus dengan menggunakan steamer untuk perlakuan pregelatinisasi dengan suhu 90 0 C selama 15 menit. Adonan mi dalam kondisi panas selanjutnya dicampur dengan 30% adonan yang kering kemudian digiling sebanyak 2x dengan grinder agar adonan lebih kompak dan mudah dibentuk menjadi lembaran. Proses selanjutnya adalah pembentukan lembaran adonan dengan teknik sheeting. Proses sheeting dilakukan sebanyak 8x dimulai dari skala roller 1,8 (0,5 cm) sampai skala terakhir 0,2 pada roller (0,12 cm). Pada putaran ketiga lembaran adonan ditaburi tepung jagung sebanyak 6 g (0,6%). Lembaran adonan yang terbentuk selanjutnya dipotong (slitting) untuk menghasilkan untaian mi yang kemudian akan melewati proses pengukusan kedua untuk mematangkan mi pada suhu 95 0 C selama 20 menit. Untaian mi hasil pengukusan selanjutnya dikeringkan dalam oven. Penentuan kondisi formulasi mi jagung kering terbaik yang disubtitusi dengan pati HMT ditentukan berdasarkan beberapa analisis dan pengamatan yaitu analisis karakter fisik yang diukur dengan menggunakan instrumen TA-XT-2, sifat kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP), waktu optimum pemasakan serta analisis organoleptik.

48 Metode Analisis Analisis dilakukan untuk mengukur hasil proses secara kuantitatif berdasarkan parameter setiap tahapan. Tahapan yang akan dianalisis terdiri dari pemilihan kondisi perlakuan terbaik untuk karakter pati yang sesuai untuk mi jagung, analisis hasil modifikasi pati HMT pada skala diperbesar dan prosedur analisis untuk pemilihan kondisi formulasi mi jagung kering yang terbaik. Prosedur analisis untuk setiap tahapan adalah diatas adalah sebagai berikut: Analisis Karakteristik Pati Jagung Analisis profil gelatinisasi dengan RVA (Collado et al 2001) Profil gelatinisasi pati ditentukan dengan menggunakan RVA, (Lampiran 3a) dimana prinsip kerja dari instrumen ini adalah mengukur perubahan viskositas pati selama diberi perlakuan panas dan pengadukan dalam waktu tertentu. Data yang dapat diperoleh dari analisis ini adalah suhu gelatinisasi, peak viscosity (PV) atau viskositas maksimum, breakdown viscosity (BDV), setback viscosity (SV) dan Final viscosity (FV) atau viskositas akhir. Viskositas maksimum adalah viskositas yang bisa dicapai oleh pati jika dipanaskan. PV merupakan viskositas pada saat granula pati mengalami pembengkakan yang maksimal sehingga suspensi akan mengental.. Viskositas BDV adalah viskositas suspensi pati ketika suhu dipertahankan pada 95 o C. BDV menunjukkan kestabilan pasta pada suhu tinggi serta kestabilannya terhadap proses pengadukan. BDV terbentuk karena pati mengalami degradasi setelah proses gelatinisasi sehingga viskositas suspensi akan menurun Semakin kecil nilai BDV yang diperoleh menunjukkan semakin stabil suspensi pasta tersebut. Selain PV dan BDV, data penting lainnya yang dapat diperoleh dari hasil pengukuran dengan RVA ini adalah viskositas setback yaitu viskositas pati yang terukur dari viskositas akhir dikurangi viskositas ketika pati mulai didinginkan. Nilai SV

49 merupakan nilai viskositas yang kembali meningkat karena pembentukan gel pada suhu rendah. Prosedur analisis dimulai dengan menimbang sampel sebanyak 3g (kadar air 14%) kemudian dilarutkan dalam 25g akuades, selanjutnya dilakukan siklus pemanasan dan pendinginan dengan pengadukan konstan. Sampel dipanaskan hingga suhu 50 o C dan dipertahankan selama 1 menit. Sampel dipanaskan dari 50 o C hingga 95 o C dengan kecepatan 6 o C/menit, lalu suhu 95 o C dipertahankan selama 5 menit. Sampel didinginkan hingga suhu 50 o C dengan kecepatan 6 o C/menit, lalu suhu 50 o C dipertahankan selama 5 menit. Hasil pengukuran dengan alat ini diantaranya adalah suhu awal gelatinisasi (A), viskositas maksimum (PV) (B), viskositas pada suhu 95 o C (C), viskositas setelah holding 95 0 C (D), viskositas pada suhu 50 o C (E) dan viskositas setelah holding 50 0 C (F). BDV diperoleh dari B D, sedangkan SV diperoleh dari F B (Gambar 8) Viscosity cp Pemanasan Pendinginan Peak Peak Time = = 5.27 A B C D E Hold = native Final = F A A Gambar 8. Contoh grafik hasil analisis RVA. Newport Scientific Pty Ltd Time mins

50 Swelling volume dan Kelarutan Proses analisis swelling volume ini dilakukan berdasarkan penelitian Crosbie (1991) yang dikutip oleh Collado dan Corke (1999). Analisis ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan gel mengembang selama proses pemanasan. Kemampuan gel mengembang akan mempengaruhi nilai viskositas sehingga akan mempengaruhi kualitas produk mi. Untuk analisis kelarutan dianalisis berdasarkan penelitian Subramanian et al (1994) yang dikutip oleh Collado et al (2001). Analisis ini bertujuan untuk mengetahui jumlah amilosa yang leaching selama proses pemanasan. Pengukuran ini diawali dengan penimbangan pati jagung sebanyak 0,35g (W 1 ) ke dalam tabung sentrifugasi berskala yang kemudian ditambahkan air 10 ml. Nilai skala awal yang ditunjukkan oleh suspensi dalam tabung sentrifugasi dicatat untuk perhitungan nilai swelling volume Selanjutnya suspensi dipanaskan dalam water bath dengan suhu 85 o C selama 30 menit. Pembentukan gumpalan dicegah dengan cara mengaduk suspensi dengan vortex mixer selama 10 detik. Campuran disentrifuse pada kecepatan 3500 rpm selama 15 menit. Supernatan yang terbentuk dituang ke dalam wadah yang telah diketahui beratnya dan endapan pati yang mengembang diukur volumenya. Skala gel pati yang dihasilkan diukur dan selanjutnya dikonversi dalam bentuk volume gel per berat kering sampel awal (V end ). Analisis kelarutan sampel diukur dari prosentasi jumlah komponen yang keluar bersama supernatan pada saat penentuan swelling volume, Supernatan hasil sentrifugasi yang telah dituang sebelumnya ke dalam wadah aluminium yang telah diketahui beratnya dikeringkan pada suhu C selama satu malam. Sampel yang sudah kering ditimbang sampai beratnya konstan dan nilai yang dihasilkan adalah berat sampel akhir (W 2 ). ; Kelarutan

51 Analisis Kekuatan Gel (Gunaratne dan Corke, 2007) Untuk menguji kekuatan gel dibuat suspensi pati 10% yaitu 10g pati dalam 100ml air destilat, kemudian dipanaskan sampai tergelatinisasi (suspensi kelihatan bening). Setelah didinginkan selama satu jam dimasukkan ke dalam wadah plastik. Proses selanjutnya adalah gel didinginkan pada suhu 4 o C selama 7 jam. Selanjutnya gel diukur dengan menggunakan instrumen Texture Analyzer (TA-XT2) (Lampiran 3b) dengan kecepatan 0,5 mm/s untuk jarak 10 mm dengan probe silindris 6 mm. Kekuatan gel dapat dilihat dari peak tertinggi yang diperoleh dari hasil pengukuran (gf). Analisis Freeze-Thaw Stability (Gunaratne dan Corke, 2007). Preparasi sampel untuk analisis freeze thaw stability (FTS) dilakukan seperti halnya pada analisis kekuatan gel dimana suspensi pati 10% dipanaskan sampai tergelatinisasi. Pasta pati yang telah digelatinisasi dimasukkan ke dalam tabung berskala. Skala teratas yang berisi pasta dicatat untuk perhitungan data FTS. Analisis FTS dilakukan dengan 4 siklus dimana masing-masing siklus terdiri dari 24 jam disimpan pada suhu freezer (-4 0 C) dan 48 jam pada suhu freezer (-20 0 C). Air yang terbentuk pada permukaan gel dikeluarkan, gel yang terukur diamati dan dicatat. Selisih antara nilai skala awal (sebelum pendinginan) dan skala akhir (setelah pendinginan) adalah nilai FTS Analisis Kapasitas Pengikatan Air (Water Retention Capacity) Analisis Water Retention Capacity (WRC) diperlukan untuk mengetahui bagaimana adonan yang paling baik yang dapat diolah menjadi mi selama proses sheeting dan cutting (Oh et al 1985). Selain itu, analisis ini juga diperlukan untuk mengetahui kemampuan optimal pati atau tepung dalam menahan air. Semakin tinggi nilai WRC berarti pati tersebut mampu menahan air dengan baik.

52 Prosedur analisis ini dilakukan sesuai dengan metode Bryant and Hamaker (1997) dalam Perez et al (2001) yaitu pati ditimbang sebanyak 1g (basis basah) (P 1 ) kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse dan ditambahkan air destilasi sebanyak 5 ml. Larutan pati didispersi sepenuhnya selama 30 detik menggunakan vortex mixer. Selanjutnya suspensi pati dipanaskan pada suhu 85 o C selama 20 menit dan setiap 5 menit suspensi divortex agar distribusi air lebih merata. Larutan ini kemudian disentrifugasi selama 15 menit pada 3400 rpm. Tabung kemudian dimiringkan dengan posisi 45 o C selama 10 menit. Supernatan yang terbentuk dituang. Selanjutnya berat tabung ditimbang dan berat yang diperoleh digunakan sebagai nilai P 2 yang akan digunakan dalam perhitungan persen WRC. Ukuran dan Bentuk Granula Pengamatan ukuran dan bentuk granula bertujuan untuk mengetahui pengaruh proses modifikasi terhadap struktur granula pati. Pengamatan yang dilakukan mencakup ukuran, bentuk dan ada tidaknya sifat birefringence pati. Prosedur pengamatan dilakukan dengan cara membuat suspensi sampel 1% dalam tabung reaksi kemudian dipipet ke atas permukaan object glass sebanyak satu tetes, kemudian diletakkan di bawah lensa mikroskop polarisasi. Proses pengamatan dilakukan dengan perbesaran 20 x. Ukuran granula (µm) diperoleh dari rata-rata diameter tiga granula yang berukuran kecil, sedang dan besar. Analisis Kualitas Mi Jagung Untuk mengetahui kualitas mi yang dihaslkan dari pati jagung hasil modifikasi dapat ditentukan dengan mengukur kehilangan padatan (cooking loss) akibat pemasakan (KPAP) (Juniawati 2003), waktu optimum pemasakan (Collado

53 et al 2001), kekerasan tekstur mi, elatisitas, dan kelengketan serta uji organoleptik dan analisis komponen kimia untuk formula mi yang terpilih. Prosedur analisis mutu mi secara lengkap dijabarkan sebagai berikut: Waktu optimum pemasakan (Juniawati, 2003) Analisis waktu optimum pemasakan ini diawali dengan persiapan sampel yang akan dianalisis. Untaian mi kering dipotong dengan ukuran + 10cm, selanjutnya ditimbang sebanyak 5g. Mi kering yang telah direbus dalam 150ml air yang telah mendidih. Setiap 30 detik diambil 2-3 untai mi kemudian ditekan di antara dua punggung petridish. Pemasakan dihentikan jika sudah tidak terbentuk lagi garis putih di tengah untaian mi matang. Waktu yang dicapai ketika mi menunjukkan kematangan yang sempurna ditetapkan sebagai waktu optimum pemasakan. Analisis Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP/Cooking loss) Oh et al 1985 yang dikutip oleh Juniawati, 2003) Analisis KPAP diawali dengan preparasi sampel yaitu menimbang mi sebanyak 5g. Mi yang telah ditimbang diseduh dalam 150ml air yang telah mendidih sampai mencapai waktu optimum pemasakan, kemudian mi ditiriskan dan disiram dengan air dingin. Mi matang ditiriskan kembali selama 5 menit, lalu ditimbang dan dikeringkan pada suhu 105 o C sampai mencapai berat konstan. Persen KPAP dihitung dengan rumus sebagai berikut: berat sampel setelah dikeringkan KPAP = 1 100% berat awal (1 kadar air contoh) Texture profile analysis (TPA) dengan TAXT-2 (Juniawati 2003) Preparasi sampel untuk analisis TPA mi dilakukan seperti preparasi sampel pada analisis KPAP, namun untuk analisis ini dipilih mi yang ukurannya lebih panjang yaitu + 15cm. Setelah mi matang dan didinginkan mi siap untuk dianalisis.

54 Proses analisis TPA dilakukan dengan menggunakan probe jenis Volod-kevich Bite Jaws. TAXT-2 diprogram dengan test speed 0.3 mm/s, jarak 0.6 mm, kekuatan 10 g, waktu 5 detik. Sampel mi matang sebanyak 2-3 untai kemudian diletakkan diatas tempat sampel, kemudian alat dijalankan. Hasil yang diperoleh adalah kurva yang menunjukkan hubungan antara kekuatan (gf) dengan waktu (s). Data yang terukur dari instrumen ini terdiri dari kekerasan (hardness), elatisitas (elasticity), cohesiveness/kelengketan. Contoh grafik yang dihasilkan dari pengukuran instrumen ini dapat dilihat pada Gambar 9. L1 L2 Distance (mm) Gambar 9. Contoh grafik hasil pengukuran TPA dengan TA-XT-2 Nilai kekerasan (gf) ditunjukkan dari absolute (+) peak atau puncak maksimum yang dicapai pada penekanan pertama. Elastisitas menunjukkan seberapa besar produk dapat kembali ke kondisi semula setelah diberikan tekanan pertama. Nilai elastisitas diperoleh dari jarak yang ditempuh oleh produk pada tekanan kedua sehingga tercapai nilai gaya maksimumnya (L2) dibandingkan dengan jarak yang ditempuh oleh produk pada tekanan pertama sehingga tercapai nilai gaya maksimumnya (L1) atau L2/L1,

55 sedangkan nilai kelengketan (gf) dapat diperoleh dari absolute (-) peak atau puncak maksimum pada kurva negatif. Analisis Organoleptik Analisis organoleptik untuk mi mencakup kekerasan, kekenyalan dan kelengketan. Metode pengujian dilakukan dengan metode uji rating 5 skala untuk setiap atribut mutu yang diukur dan pengujian penerimaan konsumen terhadap mi jagung secara overall. Metode ini dipilih untuk mengetahui intesitas masing-masing parameter sesuai dengan penilaian panelis. Parameter yang dinilai adalah kekerasan, kekenyalan, kelengketan serta penilaian secara keseluruhan (overall). Skala yang disajikan untuk parameter kekerasan terdiri dari 1 = tidak keras, 2 = sedikit keras, 3 = keras moderat, 4 = sangat keras dan 5 = amat sangat keras (Lampiran 10). Skala penilaian untuk atribut kekenyalan dimulai dari 1 = tidak kenyal sampai 5 = amat sangat kenyal, begitu pula skala untuk atribut kelengketan dimulai dari 1 = tidak lengket sampai 5 = amat sangat lengket. Prosedur analisis diawali dengan menyiapkan mi yang akan dianalisis sebanyak 200g mi kering. Mi kering yang dianalisis adalah mi dengan formulasi tepung jagung 100% dan dua formulasi mi terbaik yang disubtitusi dengan pati HMT dari hasil analisis kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) dan analisis texture profile analysis (TPA). Mi yang telah ditimbang, direhidrasi dengan cara diseduh dengan air panas dengan waktu sesuai dengan waktu optimum pemasakan yang diperoleh pada analisis sebelumnya (Lampiran 9b). Setelah mi matang, mi ditiriskan dan disiram dengan air dingin untuk menghilangkan komponen yang terdapat pada bagian permukaan untaian mi. Analisis organoleptik ini dilakukan dengan cara menyajikan 5 10 untai mi matang ke dalam wadah saji kemudian diletakkan diatas meja penyajian pada setiap bilik (booth) pengujian. Setiap panelis diminta untuk menilai dengan cara memberi tanda check list ( ) setiap sampel berdasarkan

56 parameter yang dinilai sesuai instruksi pada lembar penilaian (kuisioner). Panelis yang memberikan penilaian adalah panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang. Data hasil penilaian diolah dengan menggunakan analysis of variance (ANOVA) dan hasil penilaian yang menunjukkan nilai P < 0,05 diuji lanjut dengan menggunakan uji LSD. Analisis Komponen Kimia Analisis komponen kimia digunakan untuk menganalisis komposisi kimia mi jagung tanpa subtitusi pati HMT dan mi jagung hasil formulasi terbaik yang diperoleh dari analisis kualitas mi jagung. Kadar Air metode oven (AOAC, 1995) Cawan kosong dimasukkan ke dalam oven selama 3 jam, kemudian dimasukkan ke dalam desikator 15 menit dan ditimbang (hal ini dilakukan berulang-ulang hingga berat cawan konstan dua angka di belakang koma). Sampel ditimbang sebanyak 5g dan dimasukkan kedalam cawan kering yang telah diketahui berat konstannya. Sampel dimasukkan kedalam oven pada suhu 105 o C selama 6 jam, kemudian dimasukkan kedalam desikator 15 menit dan ditimbang. Sampel dimasukkan kembali kedalam oven selama 1 jam, kemudian dimasukkan kedalam desikator 15 menit dan ditimbang (hal ini dilakukan berulang-ulang hingga berat sampel konstan dua angka dibelakang koma). Kadar air sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Kadar air (%) = berat sampel awal berat sampel awal berat akhir x100%

57 Kadar abu metode pengabuan kering (AOAC, 1995) Cawan pengabuan dimasukkan kedalam oven selama 3 jam, kemudian dimasukkan kedalam desikator 15 menit dan ditimbang (hal ini dilakukan berulang-ulang hingga berat cawan konstan dua angka di belakang koma). Sampel ditimbang sebanyak 5g dan dimasukkan kedalam cawan pengabuan yang telah diketahui berat konstannya. Sampel dimasukkan ke dalam tanur dengan suhu 300 o C selama 1 jam, kemudian suhu tanur dinaikkan hingga 450 o C selama 6 jam. Sampel didinginkan kedalam desikator selama 15 menit, lalu ditimbang (hal ini dilakukan hingga berat konstan, bila belum konstan masukkan kembali kedalam tanur). Bila sampel sulit memnjadi abu dapat ditambahkan 1-2 ml HNO 3 pekat kepada sampel yang telah dingin, kemudian sampel diuapkan hingga kering dan dimasukkan kembali kedalam tanur. Kadar abu sampel dengan metode kering dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: berat abu Kadar abu (%) = x100% berat sampel Kadar lemak metode ekstraksi soxhlet (AOAC 1995) Labu lemak dikeringkan dalam oven, kemudian dikeringkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel kering ditumbuk hingga menjadi tepung, kemudian dibungkus dengan menggunakan kertas saring bebas lemak sebanyak 5g. Sampel dalam kertas saring (timbel) diletakkan pada alat ekstraksi soxhlet, kemudian alat kondensor dipasang di atasnya dan labu lemak di bawahnya. Refluks dilakukan minimal 5 jam dengan pelarut dietil eter hingga pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi dan pelarutnya ditampung. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105 o C, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (hal ini dilakukan hingga berat konstan). Persentase kadar lemak dapat diketahui dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

58 berat lemak Kadar lemak(%) = x100% berat sampel Kadar protein metode mikro Kjeldhal (AOAC 1995) Sampel ditimbang sebanyak 5g dan dimasukkan kedalam labu Kjeldhal 30ml, kemudian sampel dalam labu ditambahkan 1,9 + 0,1g K 2 SO 4, mg HgO, 6,7 + 0,1ml H 2 SO 4 dan batu didih. Sampel dididihkan selama 1-1,5 jam sampai cairan menjadi jernih, kemudian didinginkan dan ditambahkan sejumlah kecil air perlahan-lahan dan didinginkan. Isi labu dipindahkan kedalam alat destilasi, kemudian labu dicuci dan dibilas 5-6 kali dengan 1-2ml air. Air cucian dipindahkan kedalam alat destilasi. Erlenmeyer 125ml yang berisi 5ml H 2 BO 3 dan 2-4 tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian metilen biru 0,2% dalam alkohol) diletakkan di bawah kondensor (ujung tabung harus terendam dalam larutan H 2 BO 3 ). Sampel ditambahkan 8-10ml NaOH-Na 2 S 2 O 3, kemudian dilakukan destilasi sampai tertampung kira-kira 15ml destilat dengan erlenmeyer. Tabung kondensor dibilas dengan air dan ditampung bilasannya dalam erlenmeyer yang sama. Isi erlenmeyer diencerkan sampai kira-kira 50ml kemudian dititrasi dengan HCL 0,02N sampai terjadi perubahan warna menjadi abu-abu. Persentase kadar nitrogen dalam sampel dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: (ml HCI - ml blanko) x N HCL x 14,007 N (%) = mgsampel x100% Dimana % protein = % N x faktor konversi (6,25 untuk jagung)

59 Kadar karbohidrat by difference (AOAC 1995) Kadar karbohidrat dihitung dengan menjumlahkan kadar air, abu, lemak dan protein, kemudian mengurangkan 100 dengan jumlah tersebut. % karbohidrat = 100 (% air + % abu + % lemak + % protein) Rancangan Percobaan dan Analisis Data Tahap percobaan modifikasi pati jagung, karakterisasi dan aplikasinya pada mi jagung akan dilakukan dengan pengulangan dua kali. Analisis data dilakukan dengan SAS 9.1 Nilai p<0.05 dianggap sebagai berbeda nyata secara statistik. Bila terdapat perbedaan yang nyata maka akan dilanjutkan dengan uji LSD (Less Significant Difference) Rancangan penelitian untuk menentukan kondisi proses modifikasi pati yang terbaik menggunakan rancangan acak lengkap dengan dua peubah. Formulasi rancangannya adalah sebagai berikut: Yij = μ + Ai + Bj + εijk dimana : μ = nilai tengah umum, εij = galat percobaan, Peubah A = Suhu Pengeringan (100, 110, 120 o C), dan Peubah B = Waktu Pengeringan (12, 16, 20 jam) Rancangan pada tahap aplikasi tepung dan pati HMT pada mi jagung menggunakan rancangan acak lengkap dengan satu faktor (variasi formulasi.) dengan parameter pengamatan yaitu sifat fisik hasil analisa TPA dan analisa KPAP. Formula statistik yang digunakan adalah sebagai berikut : Yij = µ + τi + εij dimana : µ = nilai tengah umum, τi = pengaruh variasi formulasi ke i dan εij = galat percobaan deengan i = indeks perlakuan variasi formulasi (tepung jagung 100 %, tepung jagung : pati jagung HMT (95% : 5%), (90% : 10%), (85% : 15%), (80% : 20%) dan j = indeks ulangan sebanyak dua kali ulangan.

60 Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan menggunakan one way ANOVA (Analysis of Variance) untuk melihat pengaruh formulasi. Jika terdapat perbedaan nyata, dilanjutkan dengan uji LSD untuk melihat perbedaan antar dua sampel tersebut.

61 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Suhu dan Waktu Proses Modifikasi HMT Terhadap Karakteristik Pati jagung Dalam proses modifikasi pati jagung HMT dilakukan pemilihan suhu dan waktu terbaik selama perlakuan pemanasan, yaitu pada selang suhu o C dan waktu jam. Hasil proses modifikasi HMT ini menghasilkan rendemen pati termodifikasi sebanyak 90%. Penentuan kondisi terbaik proses modifikasi didasarkan dari hasil analisis sifat pati jagung yaitu profil gelatinisasi, swelling volume dan kelarutan. Analisis tersebut memberikan hasil sebagai berikut : Profil Gelatinisasi Pati Jagung HMT Hasil analisis profil gelatinisasi pati jagung dengan menggunakan instrumen RVA memberikan data antara lain : suhu gelatinsasi, viskositas maksimum (Peak Viscosity=PV), viskositas breakdown (BDV), viskositas setback (SV) dan viskositas akhir (Final Viscocity=FV) sebelum dan setelah proses modifikasi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Data hasil analisis karakterisik gelatinisasi pati jagung tanpa HMT dan pati jagung HMT pada beberapa perlakuan Perlakuan Data Hasil RVA (cp) Suhu( 0 C) : Final Waktu (jam) (FV) (cp) Pati jagung tanpa HMT Suhu gelatinisasi ( o C) Peak (PV) (cp) Breakdown (BDV) (cp) Setback (SV) (cp) a ,6 b 385+7,07 c ,31 b c 100 : ab ,2 a ,09 b 183,5+55,86 a b 100 : b ,4 a 100+3,54 b ,85 a b 100 : b ,7 a 96+0,71 b ,0 a a 110 : bc ,7 a 81+32,53 a ,06 a b 110 : c ,6 a ,12 a ,78 a b 110 : c 994+1,4 a ,12 a ,75 a a 120 : bc a ,89 b 208+8,49 a a 120 : c ,3 a ,38 b ,09 a a 120 : bc ,7 a ,77 b ,46 a a Ket : Nilai yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji LSD (P>0.05). PV = peak viscosity (viskositas maksimum), BDV = breakdown (perubahan viskositas selama pemanasan), SB = Setback (perubahan viskositas selama pendinginan), FV = Final viscosity (viskositas akhir)

62 Suhu gelatinisasi yang dihasilkan dari pati jagung tanpa HMT berbeda nyata dengan pati jagung HMT kecuali pada perlakuan suhu 100 o C selama 12 jam. Data ini menunjukkan bahwa rata-rata terjadi peningkatan suhu gelatinisasi lebih dari 10% dari pati jagung tanpa HMT. Peningkatan suhu gelatinisasi ini disebabkan karena proses modifikasi HMT menyebabkan rekristalisasi komponen granula pati sehingga menyebabkan pati jagung yang dimodifikasi HMT menjadi lebih tahan terhadap panas sehingga membutuhkan suhu yang lebih tinggi untuk menggelatinisasi (Kulp and Lorenz 1981; Stute 1992; Miyoshi 2001; Gunaratne and Corke 2007). Waktu dan suhu pencapaian viskositas maksimum untuk setiap jenis pati jagung berbeda-beda. Berdasarkan data yang dihasilkan, terlihat bahwa terjadi perubahan PV pati jagung antara pati jagung tanpa HMT dan pati jagung HMT, dimana PV pati jagung dari keseluruhan perlakuan HMT mengalami penurunan dari pati jagung tanpa HMT, yaitu dari 1697 cp menjadi cp. Hasil uji LSD menunjukkan bahwa antara pati jagung tanpa HMT dan keseluruhan perlakuan pati jagung HMT berbeda nyata pada taraf α 0.05%, sedangkan antar pati jagung HMT tidak berbeda nyata. Penurunan viskositas maksimum menurut Hoover dan Gunaratne (2002) disebabkan karena interaksi rantai amilosa amilosa, dengan rantai amilosa amilopektin yang terjadi selama proses modifikasi, sehingga ikatan antar molekul menjadi lebih rapat dan lebih sulit untuk berpenetrasi ke dalam granula. Interaksi ini menyebabkan viskositas pati jagung yang dimodifikasi HMT menjadi lebih encer dibanding pati jagung tanpa HMT. Selain itu menurut Hoover et al (1993) yang dikutip oleh Pukkahuta et al (2008), penurunan PV ini juga disebabkan karena pembentukan kompleks amilosa lipid selama proses HMT dimana lipid menurut Wang et al (1998) merupakan komponen yang dapat mempengaruhi sifat fungsional dari pati jagung karena membatasi interaksi molekul pati jagung dengan molekul lain di luar granula. Setelah mengalami viskositas maksimum, granula pati jagung akan pecah karena pemanasan yang terus berlangsung dan juga karena pengadukan. Kestabilan suspensi pati jagung selama pemanasan dan

63 pengadukan ini dapat dilihat dari nilai BDV. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai BDV pati jagung tanpa HMT (385 cp) lebih besar dibanding nilai BDV pati jagung lainnya. Penurunan nilai BDV ini menunjukkan bahwa pati jagung HMT lebih stabil terhadap perlakuan panas dan pengadukan dibanding pati jagung tanpa HMT. Hasil uji LSD menunjukkan bahwa nilai BDV (Lampiran 4c) pati jagung tanpa HMT berbeda nyata dengan pati jagung HMT. Viskositas BDV pati jagung HMT terutama pada perlakuan suhu 110 o C pada semua variabel waktu berbeda nyata dengan pati jagung HMT suhu 100 o C dan 120 o C pada semua variabel waktu. Namun viskositas BDV untuk pati jagung HMT 100 o C tidak berbeda nyata dengan pati jagung HMT suhu 120 o C pada semua variabel waktu. Nilai FV pati jagung tanpa HMT dari hasil penelitian juga menunjukkan nilai yang berbeda nyata dengan pati jagung lainnya (pati jagung HMT), namun antar pati jagung HMT perlakuan suhu 100 o C dengan waktu 20 jam tidak berbeda nyata dengan perlakuan pati jagung HMT suhu 110 o C dengan waktu 12 jam. Nilai FV pati jagung HMT pada perlakuan 120 o C untuk semua waktu pemanasan berbeda nyata dengan pati jagung HMT lainnya. Nilai FV ini menunjukkan kemampuan pati jagung untuk cepat mengalami proses retrogradasi. Semakin meningkat FV, maka terdapat kecenderungan kemudahan pembentukan gel. Pati jagung hasil modifikasi HMT untuk semua perlakuan menunjukkan nilai FV yang lebih rendah dibanding pati jagung tanpa HMT, hal ini disebabkan karena pati jagung memiliki karakter yang berbeda dengan pati jagung dari sumber pati lainnya seperti pati kentang, ubi jalar dan gandum. Pati jagung HMT menurut Pukahutta et al (2008) dan Gunaratne and Corke (2007) memiliki nilai FV yang tidak lebih tinggi dari pati jagung tanpa HMT. Viskositas setback menunjukkan kestabilan pati jagung pada saat didinginkan. Hasil uji LSD (Lampiran 4d) menunjukkan bahwa viskositas setback pati jagung tanpa HMT berbeda nyata dengan pati jagung HMT, sedangkan viskositas setback antar pati jagung HMT pada semua perlakuan

64 menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Viskositas setback sangat dibutuhkan dalam produk mi karena viskositas ini akan mempengaruhi kekerasan mi. Oleh sebab itu viskositas setback pati untuk produk mi diharapkan tidak terlalu tinggi karena semakin tinggi viskositas setback yang dihasilkan maka tekstur mi akan semakin keras. Hasil analisis RVA pati jagung menunjukkan bahwa viskositas setback pati jagung hasil modifikasi HMT lebih rendah dari pati jagung tanpa modiikasi. Menurut Lii and Chang (1981), profil gelatinisasi pati jagung yang sesuai untuk produk mi (noodle) adalah profil tipe C (tidak memperlihatkan puncak viskositas tetapi viskositasnya cenderung dapat dipertahankan bahkan dapat meningkat jika dipertahankan pada suhu tinggi) serta memiliki swelling volume (volume pengembangan granula) dan kelarutan yang terbatas. Pati jagung dengan profil tipe C mempunyai kecenderungan mengalami retrogradasi yang tinggi. Kemampuan gelatinisasi untuk mengalami proses retrogradasi yang cepat sangat baik untuk pembentukan tekstur mi setelah didinginkan. Contoh profil gelatinisasi pati jagung dari pengukuran dengan RVA untuk pati jagung tanpa HMT dan pati jagung yang dimodifikasi HMT dapat dilihat pada Gambar 10. Grafik profil gelatinisasi pati jagung tanpa HMT menunjukkan profil tipe A dimana setelah mencapai viskositas maksimum dengan membentuk peak, viskositas langsung mengalami penurunan (+23%) selama pemanasan dipertahankan. Penurunan viskositas ini menunjukkan bahwa pati jagung tanpa HMT tidak stabil terhadap pemanasan dan pengadukan.

65 Viscosity cp Peak = Peak = Final = Native Temp 'C Final = Hold = :16 75 Hold = Time mins Gambar 10. Contoh grafik hasil analisis RVA profil gelatinisasi pati jagung tanpa HMT dan pati jagung HMT perlakuan suhu 110 o C, 16 jam Viskositas mulai meningkat lagi setelah proses pendinginan dimulai sampai proses analisis selesai. Profil ini berbeda dengan profil yang ditunjukkan oleh pati jagung HMT dengan perlakuan 110 o C:16 jam, dimana pada saat mencapai viskositas maksimum profil gelatinisasinya tidak memperlihatkan pembentukan peak akan tetapi grafiknya cenderung landai. Ketika suhu pemanasan dipertahankan, viskositas tidak mengalami penurunan yang drastis (+6,7%) seperti pada profil pati jagung tanpa HMT. Hal ini menunjukkan bahwa pati jagung HMT lebih stabil tehadap pemanasan dibanding pati jagung tanpa HMT. Peningkatan viskositas pada saat pendinginan juga dialami oleh pati jagung HMT, namun viskositasnya tidak lebih tinggi dari pati jagung tanpa HMT. Swelling volume dan Kelarutan Newport Scientific Pty Ltd Modifikasi HMT menyebabkan molekul granula pati tersusun menjadi lebih rapat sehingga kemampuan granula membengkak (swelling power) menjadi terbatas. Oleh sebab itu pati jagung HMT mengalami penurunan nilai swelling volume dibanding pati jagung tanpa HMT (Tabel 5).

66 Tabel 5. Data swelling volume dan kelarutan pati jagung tanpa HMT dengan pati jagung HMT pada beberapa perlakuan Perlakuan Suhu ( 0 C) : Waktu (jam) Swelling volume (ml/g) Kelarutan (%) Tanpa HMT b c 100 : a ab 100 : a ab 100 : a b 110 : a b 110 : a a 110 : a a 120 : a ab 120 : a 7, ab 120 : a 8, b Ket : Nilai yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji LSD (P > 0.05) Karakteristik pati jagung yang diinginkan dalam produksi mi adalah pati jagung dengan swelling volume dan kelarutan yang rendah. Pati dalam kondisi telah dimodifikasi dengan HMT akan mengalami penurunan nilai swelling volume (Kulp and Lorenz 1981; Collado and Corke 1999). Penurunan nilai swelling volume ini terkait erat dengan penurunan viskositas maksimum (PV) pada profil gelatinisasi pati jagung (Tabel 4). Perubahan susunan molekul pati jagung akibat proses modifikasi menyebabkan pembengkakan granula menjadi terbatas. Oleh sebab itu swelling volume granula pati jagung menjadi lebih rendah dan hal ini menyebabkan viskositas pati jagung HMT lebih rendah dibanding pati jagung tanpa HMT. Menurut Hoover dan Hadziyev (1981) dalam Ratnayake et al (2002) ketika sejumlah pati dipanaskan dalam jumlah air yang berlebih, struktur kristalinnya menjadi terganggu sehingga menyebabkan kerusakan pada ikatan hidrogen dan molekul hidrogen keluar dari grup hidroksil amilosa dan amilopektin. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan swelling dan kelarutan granula. Swelling volume dan kelarutan merupakan petunjuk besarnya interaksi antar rantai pati dalam bidang amorphous dan bidang kristalin. Besarnya interaksi ini dipengaruhi oleh rasio amilosa dan

67 amilopektin, karakteristik amilosa dan amilopektin berdasarkan distribusi berat molekul, derajat percabangan, panjangnya rantai cabang dan konformasi molekul. Dalam kondisi termodifikasi HMT, granula pati kemungkinan tidak mengalami proses interaksi seperti pada proses gelatinisasi pati tanpa modifikasi. Hal ini disebabkan karena menurut Miyoshi (2001) pati yang dimodifikasi HMT mengalami perubahan susunan struktur dan kristalissi. Perubahan ini kemungkinan menyebabkan pembentukan ikatan hidrogen antara air yang berada di luar granula dengan molekul pati baik amilosa maupun amilopektin menjadi lebih sulit, sehingga kemampuan granula untuk membengkak menjadi terbatas. Kelarutan menunjukkan karakteristik sifat kelarutan pati setelah dilakukan pemanasan. Pada proses gelatinisasi, air yang ada dalam suspensi pati akan masuk ke daerah amorphous yang terdiri dari molekul pati amilosa. Proses masuknya air dalam granula pati ini menyebabkan granula menjadi membengkak sehingga diameter granula pati bertambah besar. Pemanasan yang terus berlangsung akan menyebabkan granula pati pecah sehingga air yang terdapat dalam granula pati dan molekul pati yang larut air dengan mudah keluar dan masuk ke dalam sistem larutan. Molekul pati yang larut dalam air panas (amilosa) (Chen et al, 2003) akan ikut keluar bersama air tersebut sehingga terjadi leaching amilosa. Besarnya jumlah komponen amilosa yang keluar ini akan mempengaruhi viskositas pati. Semakin banyak komponen amilosa yang keluar, viskositas semakin menurun. Akan tetapi, metode modifikasi HMT menyebabkan berkurangnya leaching amilosa sehingga kelarutan pati jagung HMT menjadi lebih rendah dari kelarutan pati jagung tanpa HMT. Proses ini juga terkait erat dengan viskositas breakdown (BDV) (Tabel 4), dimana pati jagung HMT memiliki nilai BDV yang lebih rendah dari pati jagung tanpa HMT yang berarti viskositasnya dapat dipertahankan selama pemanasan (lebih stabil). Kestabilan viskositas pati jagung disebabkan karena kelarutan pati jagung HMT menurun.

68 Hasil uji LSD (Lampiran 5a) untuk nilai swelling volume menunjukkan nilai yang berbeda nyata antara pati jagung tanpa HMT dengan pati jagung HMT. Pati jagung HMT hasil perlakuan suhu 100 o C menghasilkan pengaruh yang sama dengan perlakuan HMT pada suhu 110 o C dan 120 o C pada semua variabel waktu pengujian kecuali pati jagung HMT suhu 110 o C dengan waktu pemanasan 12 jam dimana pati jagung pada perlakuan tersebut memiliki nilai swelling yang lebih tinggi namun tidak berbeda nyata dengan pati jagung HMT lain. Hasil uji LSD prosentase kelarutan menunjukkan bahwa pati jagung tanpa HMT berbeda nyata dengan pati HMT pada semua perlakuan. Pati HMT hasil perlakuan suhu 110 o C selama 16 dan 20 jam menunjukkan prosentase kelarutan yang lebih rendah dibanding perlakuan HMT lainnya. Hasil uji LSD menunjukkan bahwa pati HMT hasil perlakuan ini berbeda nyata dengan pati HMT hasil perlakuan suhu 100 o C selama 20 jam dan perlakuan suhu 120 o C selama 20 jam, namun tidak berbeda nyata dengan hasil perlakuan suhu 100 o C selama 12 jam dan 16 jam serta pati HMT hasil perlakuan suhu 120 o C selama 12 dan 16 jam. Penurunan nilai swelling volume pada suspensi pati ini sangat dibutuhkan pada produk mi, karena dengan nilai swelling yang terbatas akan menghasilkan mi yang tidak terlalu mengembang karena terlalu banyak menyerap air sehingga mudah hancur. Begitu pula halnya dengan nilai kelarutan, karena semakin kecil nilai kelarutan yang dihasilkan menunjukkan bahwa untaian mi lebih kompak dan tidak mudah larut karena pengaruh pemanasan. Penentuan Kondisi Terbaik Pati jagung Hasil Modifikasi HMT Kriteria penentuan kondisi terbaik pati jagung hasil modifikasi HMT yang akan diaplikasikan ke dalam produk mi adalah memiliki nilai viskositas maksimum (PV), dan viskositas breakdown (BDV) yang rendah, viskositas akhir (FV) dan setback (SV) yang tinggi dari pati tanpa HMT, serta swelling volume dan kelarutan yang terbatas (lebih rendah dari pati

69 tanpa HMT) (Gunaratne and Corke 2007; Pukahutta et al 2007; Collado et al 2001 ; Purwani et al 2006). Selain itu menurut Lii and Chang (1981) pati jagung yang sesuai untuk aplikasi ke produk mi adalah pati jagung yang memiliki profil gelatinisasi tipe C. Profil gelatinisasi pati jagung dari seluruh perlakuan HMT menunjukkan perubahan profil gelatinisasi dari tipe A menjadi tipe C yang sesuai untuk diaplikasikan ke dalam produk mi. Namun demikian dari keseluruhan perlakuan, perlu dipilih kondisi yang terbaik dalam menghasilkan profil yang sesuai untuk diaplikasikan ke dalam produk mi. Kondisi optimum yang dipilih dari hasil analisis profil gelatinisasi adalah pati jagung HMT dari perlakuan suhu 110 o C. Perlakuan ini dipilih karena dari hasil analisis profil gelatinisasi menunjukkan bahwa pati jagung HMT dengan kondisi perlakuan suhu 110 o C menghasilkan nilai BDV yang paling rendah dan berbeda nyata dibanding pati jagung HMT dari perlakuan suhu 100 o C dan 120 o C (Lampiran 4c), sedangkan nilai PV dan SV tidak berbeda nyata untuk semua perlakuan pati jagung HMT. Faktor penentu kondisi terbaik selanjutnya adalah nilai swelling volume dan kelarutan. Hasil analisis swelling volume pati jagung HMT dari perlakuan suhu 110 o C untuk tiga variabel waktu yang diuji yaitu 12, 16 dan 20 jam, menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda. Akan tetapi dari hasil analisis kelarutan pati jagung HMT pada perlakuan suhu 110 o C pada 16 jam dan 20 jam (6,56% dan 6,83%) berbeda dengan nilai kelarutan pati jagung HMT pada suhu yang sama dengan waktu pemanasan 12 jam (8,39%), sedangkan antara pati jagung HMT dari perlakuan suhu 110 o C pada 16 jam dan 20 jam tidak berbeda nyata. Nilai kelarutan pati jagung HMT dari perlakuan suhu 110 o C pada 12 jam masih lebih tinggi dibanding pati jagung HMT pada dua perlakuan waktu yang lain. Oleh sebab itu kondisi optimum yang dipilih berdasarkan parameter di atas adalah pati jagung HMT dari perlakuan suhu 110 o C pada 16 jam dan 20 jam. Akan tetapi untuk efektifitas dan efisiensi, maka dipilih kondisi proses modifikasi pati jagung HMT dari waktu pemanasan yang lebih pendek yaitu 16 jam.

70 Pengaruh Proses Modifikasi HMT Terhadap Struktur Granula Pati jagung Ukuran granula pati jagung tanpa HMT rata-rata 33.8 µm, sedangkan pati jagung yang telah dimodifikasi HMT, granula pati jagungnya lebih kecil dengan ukuran rata-rata 26.37µm. Menurut Hoseney (1998) yang dikutip oleh Hatorangan (2007) bahwa pati jagung memiliki ukuran 25µm dengan bentuk polyhedral atau bulat. Namun demikian, pati jagung HMT masih memantulkan cahaya terpolarisasi (memiliki sifat birefringence). Sifat birefringence berhubungan dengan titik gelatinisasi dimana menurut Fennema (1996) yang dikutip oleh Hatorangan (2007) bahwa suhu atau titik gelatinisasi adalah titik saat sifat birefringence pati jagung mulai menghilang. Adanya sifat birefrigence pada pati jagung HMT menunjukkan bahwa pati jagung ini belum mengalami proses gelatinisasi selama modifikasi dengan bentuk granula pati jagung masih seperti bentuk pati jagung tanpa HMT. Proses gelatinisasi selama proses modifikasi HMT tidak terjadi karena kadar air yang digunakan untuk proses modifikasi dibatasi (26%) sehingga tidak cukup untuk proses gelatinisasi karena menurut Hoover dan Hadziyev (1981) yang dikutip oleh Ratnayake et al (2002) bahwa proses gelatinisasi dapat terjadi jika sejumlah pati jagung dipanaskan dalam jumlah air yang berlebih sehingga granula pati jagung yang membengkak akan pecah. Pecahnya granula pati jagung diikuti dengan hilangnya sifat birefringence pati jagung. Berdasarkan pengamatan di bawah mikroskop polarisasi (Gambar 11), diperoleh bahwa bentuk granula pati jagung tanpa HMT jagung lebih banyak yang berbentuk bulat sedangkan bentuk granula pati jagung hasil HMT lebih banyak membentuk persegi (tidak bulat). Hasil ini memperkuat penelitian yang dilakukan oleh Miyoshi (2002) dimana hasil analisis SEM (Scanning Electron Microscopy) bahwa bentuk granula pati setelah HMT lebih banyak membentuk lekukan

71 (a) (b) ( a ) ( b ) (c) (d) Gambar 11. Bentuk granula dan sifat birefringence pati jagung perbesaran 20 x. (a) & (b) pati jagung tanpa HMT ; (c) dan (d) pati jagung HMT skala laboratorium. Verifikasi Proses Modifikasi Pati jagung HMT Pada Skala Diperbesar Pati jagung hasil modifikasi HMT pada skala laboratorium diverifikasi kembali pada skala diperbesar dengan jumlah pati jagung sebanyak 2kg dan 4kg. Perbesaran skala ini bertujuan untuk melihat konsistensi hasil proses modifikasi pati jagung metode HMT pada skala yang diperbesar. Profil Gelatinisasi Pati jagung Seperti halnya pati jagung hasil modifikasi HMT pada skala laboratorium, pati jagung hasil modisfikasi HMT pada skala diperbesar juga

72 dianalisis profil gelatinisasi yang dihasilkan. Data profil gelatinisai hasil rekapitulasi verifikasi proses modifikasi HMT ini disajikan pada Tabel 6 : Tabel 6. Profil gelatinisasi pati jagung tanpa HMT dibandingkan dengan pati jagung HMT (110 o C:16 jam) skala laboratorium dan skala diperbesar (2kg dan 4kg) Pati jagung Jagung Pati jagung Tanpa HMT HMT Skala laboratorium Suhu gelatinisasi ( o C) Peak Visc (PV) (cp) Breakdown (BDV) (cp) Setback (SV) (cp) Final Visc (FV)cP a b c 473,5 + 40,31 c b b ,6 a ,12 a ,78 ab a HMT skala 2kg a a b b a HMT skala 4kg ,1 b a a a a Ket : Nilai yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji LSD (P > 0.05) Hasil analisis profil gelatinisasi pati jagung tanpa HMT dan pati jagung HMT baik skala laboratorium maupun skala yang diperbesar pada tabel diatas menunjukkan bahwa suhu gelatinisasi pati jagung tanpa HMT tidak berbeda nyata dengan pati jagung skala 2kg, tetapi keduanya berbeda dengan pati jagung skala laboratorium dan skala 4kg. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kondisi pati jagung HMT yang diproduksi pada skala 2kg lebih kering (kadar air 2,8%) dibanding pati jagung HMT yang diproduksi pada skala laboratorium dan skala 4kg (8-9%) sehingga ketika berinteraksi dengan air pada proses gelatinisasi, granula pati jagung yang lebih kering lebih cepat menyerap air dan cepat mengalami pengembangan yang ditunjukkan dengan pencapaian suhu gelatinisasi yang lebih rendah. Viskositas maksimum (PV) pati jagung HMT baik skala laboratorium maupun skala yang diperbesar baik 2kg maupun 4kg cenderung mengalami penurunan dan berbeda nyata dengan pati jagung tanpa HMT. Viskositas breakdown (BDV) pati jagung tanpa HMT berbeda nyata dengan pati jagung HMT dimana pada pati jagung HMT viskositas BDV cenderung menurun. Pati jagung HMT skala laboratorium menunjukkan viskositas BDV yang lebih rendah tetapi tidak berbeda nyata dengan viskositas BDV dengan pati

73 jagung HMT skala 4kg namun berbeda dengan pati HMT skala 2kg. Hal yang sama juga terlihat pada viskositas setback, dimana viskositas pati jagung tanpa HMT berbeda nyata dengan pati jagung HMT baik skala laboratorium maupun skala diperbesar. Namun viskositas setback (SV) pati jagung HMT skala laboratorium dan pati jagung HMT skala 4kg berbeda nyata dengan pati HMT skala 2kg. Perbedaan viskositas BDV dan viskositas SV antara pati jagung HMT laboratorium dan skala 4kg dengan pati jagung HMT skala 2kg kemungkinan disebabkan oleh transfer panas yang diterima oleh pati jagung HMT skala 2kg dan 4kg tidak sama. Jumlah pati jagung yang dimodifikasi pada skala 2kg lebih sedikit dibanding pati jagung HMT skala 4kg, sedangkan suplai panas dan instrumen yang digunakan sama. Oleh sebab itu, pati jagung HMT skala 2kg lebih banyak menerima panas dibanding pati jagung HMT skala 4kg. Besarnya jumlah panas yang diterima oleh pati jagung HMT skala 2kg kemungkinan menyebabkan pati jagung menjadi kurang stabil pada saat pengadukan dibanding pati jagung HMT skala laboratorium dan skala 4kg. Viskositas akhir (FV) pati jagung tanpa HMT berbeda nyata dengan pati jagung HMT baik skala laboratorium maupun skala diperbesar. Pati jagung HMT untuk semua skala modifikasi menunjukkan viskositas akhir yang lebih rendah dibanding pati jagung tanpa HMT. Grafik RVA pati jagung HMT skala laboratorium dan skala diperbesar (4kg) memperlihatkan nilai-nilai yang hampir sama sehingga grafiknya tampak tidak jauh berbeda. Hal ini berarti perlakuan HMT pada skala laboratorium dan skala yang diperbesar (4kg) akan menghasilkan profil gelatinisasi yang sama. Contoh perbandingan kurva profil gelatinisasi (RVA) antara pati jagung tanpa HMT dengan pati jagung HMT skala laboratorium dan skala diperbesar dapat dilihat pada Gambar 12.

74 2000 Viscosity cp Peak = Peak = Peak = Final = native Skala laboratorium Final = Hold = Final = Skala diperbesar Hold = Hold = Newport Scientific Pty Ltd Time mins Gambar 12. Contoh Profil gelatinisasi pati jagung HMT (110 o C, 16 jam) pada skala proses produksi yang diperbesar menggunakan mollen dryer skala 4kg dibandingkan pati jagung HMT skala laboratorium dan pati jagung tanpa HMT Berdasarkan uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa proses scale-up modifikasi pati jagung metode HMT dengan molen dryer pada skala produksi 4kg dapat menghasilkan karakter pati jagung yang sama dengan karakter pati jagung HMT pada skala laboratorium, sedangkan karakter pati pada skala produksi 2kg berbeda. Analisis Kekuatan Gel Pati Jagung Analisis kekuatan gel pati jagung tanpa HMT dan pati jagung hasil modifikasi HMT pada kondisi terpilih (110 o C, 16 jam) pada skala produksi laboratorium dan skala diperbesar dapat dilihat pada Tabel 7. Kekuatan gel pati jagung setelah modifikasi HMT jauh lebih tinggi dibandingkan pati jagung tanpa HMT. Hasil uji LSD pati jagung tanpa HMT dengan pati jagung HMT berbeda nyata pada taraf α 0,05%. Kekuatan gel pati jagung HMT skala laboratorium meningkat hampir 4 kali lipat dari kekuatan gel pati jagung tanpa HMT, sedangkan kekuatan gel pati jagung HMT skala

75 diperbesar meningkat 2 3 kali lipat pati jagung tanpa HMT. Namun demikian hasil analisis LSD menunjukkan bahwa kekuatan gel antar pati jagung HMT baik skala laboratorium maupun skala diperbesar (2kg dan 4kg) tidak berbeda nyata. Tabel 7. Data hasil analisis kekuatan gel pati jagung tanpa modifikasi HMT, pati jagung HMT skala laboratorium dan pati HMT skala diperbesar Sampel Kekuatan gel (gf/mm) Pati tanpa HMT a Pati HMT skala laboratorium b Pati HMT skala 2kg b Pati HMT 4kg b Ket : Nilai yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji LSD (P >0.05) Peningkatan nilai kekuatan gel ini dikarenakan teraturnya kembali (rearrangement) molekul-molekul dalam granula pati jagung yang akan berikatan semakin kuat selama proses modifikasi. Secara teori menurut Hoover & Vasanthan 1994; Collado & Corke 1999) peningkatan leaching amilosa akan meningkatkan kekuatan gel. Menurut Miyoshi (2001), HMT dapat meningkatkan rekristalisasi komponen molekul amilosa yang mengalami leaching sehingga kekuatan gel akan meningkat. Begitu pula dengan kandungan amilosa dimana proses HMT akan meningkatkan kandungan amilosa dengan cara pembentukan rantai amilosa yang baru yang berasal dari degradasi rantai linier terluar dari rantai cabang amilopektin. Kekuatan gel menurut Lii et al (1996) dalam Elliasson (2004) berbanding terbalik dengan Swelling volume, semakin tinggi nilai swelling volume kekuatan gel semakin rendah. Selain itu menurut Bao dalam Elliasson (2004) swelling volume dan kelarutan juga dipengaruhi oleh struktur amilopektin. Data kekuatan gel ini memiliki keterkaitan dengan viskositas akhir (FV) pati jagung yang diperoleh dari hasil analisis profil gelatinisasi pati

76 jagung (Tabel 4), dimana FV merupakan viskositas akhir suspensi pati jagung yang telah tergelatinisasi setelah didinginkan. Pati jagung yang telah dingin akan membentuk gel yang kuat. Gel pati merupakan sistem padat cair yang memiliki jaringan yang saling berhubungan dimana fase cair terjebak di dalam fase padatan. Molekul amilosa bebas dapat membentuk ikatan hidrogen tidak hanya dengan molekul amilosa lainnya tetapi juga dengan rantai cabang amilopektin dari granula yang mengembang sehingga menjadi bagian jaringan padat yang saling berhubungan. Keberadaan amilosa dalam fase ini menyebabkan gel menjadi kuat (Collado and Corke 1999). Semakin tinggi nilai FV, semakin kuat gel yang dihasilkan. Kemampuan membentuk gel merupakan parameter pati jagung yang penting dalam proses produksi mi. Karakter yang diinginkan adalah pati dengan kemampuan membentuk gel yang tinggi. Mi jagung pada dasarnya adalah mi yang bahan dasarnya adalah tepung jagung dimana pati jagungnya telah mengalami proses gelatinasasi yang diperoleh dari hasil pengukusan. Kekuatan untaian mi akan sangat ditentukan oleh kemampuan pati untuk membentuk gel. Analisis Water Retention Capacity (WRC) Menurut Adebowale et al (2005) perlakuan modifikasi HMT dapat meningkatkan persen WRC (Tabel 8) karena pati mengalami kecenderungan peningkatan sifat hidrofilik. Peningkatan persen WRC ini disebabkan karena bagian amorphous mengalami sedikit pengembangan sehingga beberapa ikatan hidrogen antara bagian amorphous dan bagian kristalin akan putus untuk kemudian berikatan dengan hidrogen dari air.

77 Tabel 8. Hasil analisis Water Retention Capacity pati jagung tanpa HMT, pati jagung HMT skala laboratorium & pati jagung HMT skala diperbesar Sampel % WRC Pati tanpa HMT a Pati HMT skala laboratorium Pati HMT skala 2kg Pati HMT skala 4kg b ab ab Ket : Nilai yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji LSD (P > 0.05) Hasil analisis persen WRC digunakan untuk mengetahui kemampuan pati dalam mengikat air. Kemampuan gel dalam mengikat air dapat mempengaruhi kekuatan gel (Tabel 7). Semakin tinggi nilai kekuatan gel berarti semakin tinggi kemampuan gel tersebut dalam menahan/mengikat air. Data pada Tabel 7 menunjukkan bahwa pati jagung HMT skala laboratorium memiliki nilai kekuatan gel yang lebih tinggi dibanding pati jagung lainnya, sedangkan pada persen WRC pati jagung HMT skala laboratorium memiliki nilai yang lebih tinggi pula dibanding persen WRC pati jagung lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kekuatan gel berkorelasi positif dengan persen WRC. Analisis Freeze-Thaw Stability (FTS) Analisis FTS dihitung berdasarkan persen sineresis yang dihasilkan pati jagung selama penyimpanan. Proses analisis FTS untuk pati jagung biasanya dilakukan sebanyak 6 siklus atau lebih, akan tetapi dalam penelitian ini analisis FTS pati jagung hanya dilakukan sampai 4 siklus karena tidak terjadi perubahan (sineresis) setelah 3 siklus dan gel pati jagung telah mengering. Prosentase sineresis dapat dilihat pada Gambar 13.

78 Gambar 13. Prosentase sineresis gel pati jagung HMT skala laboratorium, skala diperbesar (2kg dan 4kg) dan pati jagung tanpa HMT pada 4 siklus pengamatan Persen sineresis pati jagung pada siklus I untuk semua perlakuan berada pada kisaran 0,2-1%. Persen sineresis pati jagung tanpa HMT menunjukkan peningkatan sampai 16 kali lipat dari persen sineresis siklus 1, sedangkan pati jagung HMT baik skala laboratorium maupun skala diperbesar mengalami peningkatan persen sineresis 2-4 kali lipat siklus 1. Prosentase sineresis pati jagung dari grafik diatas menunjukkan bahwa pati jagung tanpa HMT prosentase sineresisnya lebih tinggi dibanding pati jagung HMT baik skala laboratorium maupun skala diperbesar. Nilai ini bermakna bahwa pati jagung tanpa HMT memiliki kestabilan yang rendah jika dithawing (dilelehkan) setelah proses pembekuan. Pada saat pelelehan, sebagian komponen pati dalam hal ini amilosa akan mengalami leaching sehingga komponen amilosa akan keluar bersama air. Hal ini disebabkan karena pembentukan ikatan hidrogen dari molekul air dengan molekul pati berantai lurus (amilosa) atau disebut retrogradasi (Hoover & Ratnayake 2002). Nilai ini berbanding terbalik dengan prosentase WRC. Pati jagung tanpa HMT memiliki prosentase sineresis yang lebih tinggi dibanding pati jagung modifikasi HMT baik skala laboratorium maupun skala diperbesar,

79 sedangkan pada WRC pati jagung tanpa HMT memiliki prosentase yang lebih rendah. Aplikasi Pati jagung HMT Pada Formulasi Mi Jagung Analisis Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan (KPAP) dan Waktu Optimum Pemasakan Parameter KPAP merupakan parameter yang digunakan untuk mengukur ketahanan/kekompakan untaian mi selama pemasakan (penyeduhan). Nilai KPAP menunjukkan banyaknya jumlah padatan yang keluar dari untaian mi selama proses pemasakan. Semakin tinggi nilai KPAP menunjukkan kualitas mi lebih rendah. Menurut Kurniawati (2006) KPAP yang tinggi disebabkan karena kurang optimumnya matriks pati jagung tergelatinisasi dalam mengikat pati jagung yang tidak tergelatinisasi. Analisis KPAP antara mi jagung yang dibuat dari tepung jagung 100% dibandingkan dengan mi jagung yang disubstitusi dengan pati jagung jagung HMT hingga 20% dapat dilihat pada Tabel 9. Dari data tersebut terlihat bahwa substitusi pati jagung HMT dalam formulasi mi jagung mampu menurunkan nilai KPAP mi jagung. Semakin tinggi tingkat substitusi, maka nilai KPAP semakin rendah. Hasil penelitian kali ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya, dimana pati jagung HMT mampu menurunkan nilai KPAP dalam mi sagu (Purwani et al 2006; Collado et al 2001). Tabel 9. KPAP dan Waktu Optimum Pemasakan Mi Jagung Formulasi Mi Jagung KPAP (%) Waktu Optimum Pemasakan (menit) HMT 0% 8, c a HMT 5% 7, bc ab HMT 10% 6, b b HMT 15% 6, b c HMT 20% 5, a c Ket : Nilai yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji LSD (P > 0.05)

80 Subtitusi pati jagung HMT ke dalam tepung jagung untuk formulasi mi jagung menghasilkan untaian mi yang lebih kompak dan tidak mudah larut selama proses pemasakan. Berdasarkan data yang dihasilkan terlihat bahwa meskipun rata-rata waktu optimum pemasakan mi jagung yang disubtitusi dengan pati jagung HMT lebih lama dibanding mi jagung hasil formulasi HMT 0%, namun mi jagung hasil formulasi dengan pati jagung HMT tetap memiliki KPAP yang rendah. Hasil uji LSD menunjukkan bahwa nilai KPAP mi jagung hasil formulasi HMT 0% tidak berbeda nyata dengan mi jagung hasil formulasi pati jagung HMT 5%, akan tetapi berbeda nyata dengan mi jagung hasil formulasi pati jagung HMT 10%, 15% dan 20%. Untuk mi jagung hasil formulasi HMT 20% menunjukkan nilai KPAP yang paling rendah dan berbeda nyata dengan formulasi mi jagung lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa mi jagung dengan formulasi pati jagung HMT 20% adalah formulasi terbaik jika dilihat dari KPAP Selain itu, jika dilihat dari waktu optimum pemasakan, mi jagung hasil formulasi pati jagung jagung HMT 20% berbeda nyata dengan mi jagung hasil formulasi lainnya. Penurunan nilai KPAP mi jagung yang disubtitusi dengan pati jagung HMT ini berhubungan dengan karakteristik profil gelatinisasi pati jagung (Tabel 4) dan kelarutan (Tabel 5), dimana nilai BDV pati jagung HMT lebih rendah dibanding pati jagung tanpa HMT yang berarti pati jagung HMT viskositasnya dapat dipertahankan selama pemanasan. Oleh sebab itu subtitusi pati jagung HMT ke dalam tepung jagung untuk formulasi mi jagung menghasilkan mi yang lebih tahan terhadap proses pemanasan sehingga mengurangi prosentase KPAP. Karakteristik Tekstur Mi Jagung Karakter umum yang diinginkan dalam produk mi adalah mi yang bersifat elastis, tidak keras dan tidak lengket. Untuk mengetahui karakter mi tersebut dapat dilakukan dengan analisis texture profile analysis (TPA). Data hasil analisis TPA dari mi jagung dapat dilihat pada Tabel 10.

81 Tabel 10. Nilai Kekerasan, Elastisitas dan kelengketan Mi Jagung Formulasi Kekerasan (gf) Elastisitas (mm/mm) Adhesiveness (kelengketan) (gf) HMT 0% 2578, a 0, a b HMT 5% 1860, a 0, a c HMT 10% 1875, a 0, a b HMT 15% 2416, a 0, a a HMT 20% 1901, a 0, a b Ket : Nilai yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji LSD (P > 0.05) Hasil analisis kekerasan mi jagung hasil formulasi yang disubtitusi dengan pati jagung HMT menunjukkan nilai kekerasan yang lebih rendah dibanding pati jagung hasil formulasi pati jagung HMT 0%, namun dari hasil uji LSD, penurunan ini tidak berbeda nyata. Mi jagung hasil formulasi pati jagung jagung HMT juga tidak berbeda nyata baik dari 5% sampai 20%. Elatisitas mi jagung juga menunjukkan niali yang tidak berbeda nyata untuk semua formulasi mi jagung. Kekerasan berhubungan dengan kekenyalan mi setelah rehidrasi. Menurut D Egidio dan Nardi (1996); Indriani (2005) kekerasan (firmness) menunjukkan daya tahan mi terhadap gigitan pertama dan secara sensori didefinisikan sebagai tenaga yang dibutuhkan untuk menembus gelatinisasi dengan gigi. Elastisitas menggambarkan kapasitas mi untuk dapat kembali ke bentuk asalnya setelah kekuatan yang menyebabkan mi berubah bentuk dihilangkan. Menurut Kusnandar (1998) yang dikutip oleh Indriani (2005),bahwa peningkatan kandungan amilosa dapat meningkatkan kekerasan mi. Selain itu ada beberapa parameter lain yang mempengaruhi kekerasan mi seperti ketebalan mi, waktu rehidrasi dan kualitas air. Berbeda halnya dengan kelengketan, dimana mi jagung hasil formulasi pati jagung HMT 15% menunjukkan nilai kelengketan yang paling rendah dan dari hasil uji LSD, mi jagung dari hasil formulasi ini

82 berbeda nyata dengan mi jagung dari hasil formulasi lainnya. Untuk mi jagung tanpa HMT, kelengketannya tidak berbeda nyata dengan mi formulasi 10% dan 20%, sedangkan mi formulasi 5% memiliki nilai kelengketan yang tertinggi. Secara keseluruhan kondisi optimum formulasi mi jagung yang dipilih ada dua formulasi yaitu mi jagung hasil formulasi pati jagung jagung HMT 15% dan 20%. Pemilihan ini berdasarkan nlai KPAP yang terendah diperoleh dari mi jagung dengan formulasi pati jagung jagung HMT 15% dan 20% sedangkan berdasarkan nilai kelengketan, mi jagung hasil formulasi pati jagung jagung HMT 15% menunjukkan nilai yang paling rendah. Parameter lainnya seperti kekerasan dan elastisitas tidak menjadi dasar pengambilan keputusan kondisi formulasi mi jagung yang optimum karena secara dari hasil uji LSD kedua parameter ini tidak berbeda nyata untuk semua formulasi mi. Mutu Organoleptik Mi Jagung Hasil pengujian organoleptik merupakan merupakan salah satu faktor analisis dalam menentukan formulasi yang terbaik dari segi fisik dan selera konsumen. Pengujian ogranoleptik melibatkan manusia sebagai panelis yang akan menentukan kondisi formulasi terbaik berdasarkan parameter yang diamati. Rata-rata penilaian panelis terhadap kekerasan mi menunjukkan bahwa panelis menilai mi jagung formulasi HMT 15% sedikit keras dibanding dua formulasi mi jagung lainnya. Hasil uji LSD menunjukkan pula bahwa kekerasan mi jagung formulasi pati jagung HMT 15% berbeda nyata dengan mi jagung formulasi tanpa HMT dan HMT 20% begitu pula antara mi jagung tanpa HMT dengan mi jagung HMT 20%. Kekenyalan mi jagung hasil formulasi HMT 15% dinilai oleh 30 panelis dengan penilaian kenyal moderat. Hasil uji LSD menunjukkan bahwa mi jagung formulasi 15% berbeda nyata dengan mi jagung tanpa HMT tetapi tidak berbeda nyata dengan mi jagung formula tanpa HMT.

83 Penilaian panelis terhadap kelengketan mi jagung menunjukkan bahwa mi jagung hasil formulasi HMT 15% kelengketannya lebih rendah dibanding mi jagung dari dua formulasi lainnya. Hasil uji LSD menunjukkan bahwa nilai kelengketan mi jagung formulasi HMT 15% tidak berbeda nyata dengan mi jagung formulasi HMT 20% tetapi berbeda nyata dengan mi jagung formulasi tanpa HMT. Hasil analisis organoleptik dari 30 orang panelis disajikan dalam bentuk rata-rata penilaian panelis dapat dilihat pada gambar histogram (Gambar 15). Gambar 15. Rata-rata penilaian panelis terhadap mi jagung setelah direhidrasi formulasi tanpa HMT, formulasi HMT 15% dan formulasi pati jagung HMT 20% berdasarkan parameter yang diuji Secara visual, mi jagung formulasi tanpa HMT setelah direhidrasi teksturnya sangat lembek (lunak) dan bagian permukaan untaian mi sangat lengket. Begitu pula halnya dengan mi jagung formulasi HMT 20%, dimana pada bagian permukaan mi jagung formulasi 20% terlihat lebih lengket dibanding mi jagung formulasi HMT 15%. Hal ini kemungkinan disebabkan karena waktu optimum pemasakan mi jagung HMT 20% lebih lama dibanding mi jagung lainnya sehingga bagian permukaan mi menjadi sangat lembek sebelum mi jagung matang secara penuh. Contoh produk mi jagung

84 kering dan setelah direhidrasi dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 14 berikut :. (a) (b) Gambar 14. Mi jagung kering dan mi setelah rehidrasi. (a) mi formulasi tanpa pati jagung HMT (100% tepung jagung); (b) mi formulasi pati jagung HMT 15% Secara keseluruhan panelis memilih mi jagung formulasi HMT 15% adalah mi jagung terbaik dibanding dua formulasi mi jagung lainnya. Kekenyalan dan kelengketan mi jagung formulasi 15% menunjukkan nilai yang lebih baik dibanding mi jagung lainnya. Hasil penilaian kekerasan mi jagung formulasi 15% lebih tinggi dibanding mi jagung lainnya, namun panelis menyukai mi jagung dengan kekerasan tekstur seperti pada mi jagung formulasi 15%. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa mi jagung formula HMT 15% dapat diterima oleh panelis dengan karakteristik sedikit keras, sedikit kenyal dan kurang lengket dibanding mi jagung dari dua formulasi lainnya. Komposisi Kimia Mi Jagung Terpilih Analisis komponen kimia dilakukan pada mi jagung yang terpilih dari hasil pengujian kualitas mi secara fisik dan hasil penelitian organoleptik. Data hasil analisis komponen kimia dapat dilihat pada Tabel 12.

85 Tabel 12. Data hasil Analisis Komponen Kimia Mi Jagung Mi Jagung Komponen Kimia Tanpa HMT HMT 15% Air (%) a b Abu (%) 1.49 a 1.36 a Lemak (%) 0.22 a 0.16 a Protein (%) 7.10 b 5.68 a Karbohidrat (%) a b Ket : Nilai yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji LSD (P >0.05) Hasil analisis komponen kimia menunjukkan bahwa kadar abu dan kadar lemak menunjukkan nilai yang tidak berbeda nyata antara dua formulasi mi jagung yang diuji. Akan tetapi kadar protein, karbohidrat dan kadar air menunjukkan nilai yang berbeda nyata antara mi jagung HMT 0% dengan mi jagung hasil subtitusi HMT 15%. Perbedaan ini disebabkan oleh karena bahan baku mi jagung dengan formulasi pati jagung HMT 0% adalah tepung jagung 100% yang memilki komposisi kimia yang lebih banyak dan lebih lengkap dibanding mi jagung hasil formulasi pati jagung HMT 15%. Jumlah protein mi jagung hasil formulasi pati jagung HMT 15 % lebih rendah dari mi jagung dengan formulasi pati jagung HMT 0% karena bahan baku mi yaitu tepung jagung untuk mi jagung dengan formulasi pati jagung HMT 15% sebesar 85% sedangkan 15% lainnya digantikan oleh pati jagung HMT. Seperti diketahui, komposisi kimia pati jagung tidak sama dengan komposisi kimia tepung jagung terutama kandungan protein yang berkurang selama proses ekstraksi pati jagung. Oleh sebab itu kandungan protein mi jagung hasil formulasi pati jagung HMT 15% lebih rendah dibanding mi jagung hasil formulasi dengan pati jagung HMT 0%. Berbeda halnya dengan komposisi karbohidrat dimana mi jagung hasil formulasi pati jagung HMT 15% memiliki kandungan karbohidrat yang lebih tinggi dibanding mi jagung hasil formulasi pati jagung HMT 0%, karena sebanyak 15% bahan baku adonan adalah pati jagung HMT yang komponen terbesarnya adalah karbohidrat sedangkan mi jagung hasil

86 formulasi pati jagung HMT 0% bahan bakunya adalah 100% tepung yang komposisi kimianya selain mengandung karbohidrat juga mengandung komponen kimia lainnya yang jumlahnya lebih banyak dibanding pada pati jagung.

87 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Modifikasi secara fisik pati jagung dengan menggunakan metode heat moisture treatment (HMT) mampu mengubah sifat fisik dari pati jagung, yaitu menurunkan nilai viskositas maksimum, menurunkan breakdown viscosity dan mengurangi setback viscosity, menurunkan swelling volume dan kelarutan. Kondisi modifikasi pati jagung dengan HMT yang terbaik adalah pada pemanasan suhu 110 o C selama 16 jam dengan kadar air yang terkontrol pada 26%. Karakteristik ini mengikuti profil gelatinisasi tipe C dan sesuai untuk aplikasi ke produk mi. Perubahan karakter fisik lain dari pati hasil modifikasi HMT adalah meningkatkan nilai gel strength dan mengurangi prosentase sineresis yang diperoleh dari hasil pengukuran freeze thaw stability serta meningkatkan kapasitas pengikatan air (water retention capacity). Hasil yang sama juga diperlihatkan dari pati HMT pada skala yang diperbesar (4kg). Profil gelatinisasi pati yang diproses pada skala yang diperbesar tidak berbeda nyata dengan yang diproduksi pada skala laboratorium yang menunjukan konsistensi dari proses modifikasi, namun pada skala proses 2kg karakter pati HMT yang dihasilkan sedikit berbeda dengan skala laboratorium dan skala 4kg. Substitusi pati HMT ke dalam tepung jagung sebagai bahan baku adonan mi jagung dapat memperbaiki kualitas fisik mi jagung, seperti menurunkan KPAP dan memperbaiki penerimaan konsumen terhadap parameter kekerasan, elastisitas dan kelengketan mi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa substitusi tepung jagung dengan pati jagung HMT hingga 15% telah cukup memperbaiki karakteristik fisik dan organoleptik mi jagung.

88 Saran Beberapa hal yang dapat disarankan sebagai tindak lanjut dari hasil penelitian ini antara lain : 1. Penelitian ini belum dapat menjelaskan mekanisme perubahan karakteristik pati jagung oleh proses HMT. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis perubahan mikrostruktur pati hasil modifikasi HMT sehingga proses perubahan sifat fisikokimianya dapat diketahui dengan jelas. 2. Penelitian ini belum dapat menjelaskan berapa lama produk mi jagung dapat disimpan. Oleh karena itu perlu dilakukan analisis umur simpan mi kering jagung dengan model kemasan yang sesuai

89 DAFTAR PUSTAKA Adebowale, K.O, Bamidele, L.O-O, Olufunmi, O.O, Olayide S.L, Effect of heat moisture treatment and annealing on physicochemical properties of red sorghum starch African Journal of Biotechnology Vol. 4 (9), pp Afdi E Modifikasi Pati Jagung. Disertasi. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Aiba A Biochemical Engineering : Academic Press, Inc. NY [Anonim] a Teknologi Produksi Tepung Jagung. Pusat Data Depkominfo - Departemen Komunikasi Dan Informatika. admin@depkominfo.go.id (23 Desember 2008). [Anonim] b Fuhry, Starch Yer Thinkin About Corn Products. source: (23 Desember 2008). [AOAC] Methods of analysis. Assocition of Official Analytical Chemistry. Wasington D. C. Astawan M Membuat Mi dan Bihun. Penebar Swadaya, Jakarta Belitz, H.D dan W. Grosch, Food Chemistry. Verlag Springer, Berlin. Budiyah Pemanfaatan Pati dan Protein Jagung (Corn Gluten Meal) dalam Pembuatan Mi Jagung Instan. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Chen J-P. dan Y-N Hwang, Polyvinil Formal Resin Plates Impregnated with Lipase-entrapped Sol-gel Polymer for Flavour Ester Synthesis. Enzyme and Microbial Tech Chen Z, H.A Schols and A.G.J. Voragen, Starch Granule Size Strongly Determines Starch Noodle Processing and Noodle Quality. Journal of Food Science (68); Collado LS dan Corke H Heat Moisture Treatment Effects on Sweepotato Starches Differing in Amylose Content. Food Chem. 65: Collado LS, LB Mabesa, CG Oates and Corke H Bihon-types Noodles from Heat Moisture Treated Sweetpotato Starch. J Food Sci. 66(4): Corn Refiner Association, Corn Refining USA. Dickerson, G. W Specialty Corns. Guide H-232. Extension Horticulture Specialist. Cooperative Extension Service College of Agriculture and Home Economics Eerlingan RC, Jacobs H, Van Win H, Delcour JA., Effect of Hydrothermal Treatment on the Gelatinisation Properties of Potato Starch as measured by Differential Scanning Calorimetry. J Thermal Anal. 4 :

90 Eerlingen R, Formation, Structure and Properties of Enzyme Resisten Starch. Abstract. Laboratory of Food Chemistry. download (16 Desember 2008) Elliasson A.C., Starch in Food. Structure, Function and Application. Woodhead Publishing Limited. CRC Press, New York. Fadillah, H.N Verifikasi Fomulasi Mi Jagung Instan dalam Rangka Penggandaan Skala. Skripsi. Departemen Teknologi Pertanian dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Fahmi A., Optimasi Proses Produksi Mi Basah Berbasis Tepung Jagung Dengan Teknologi Ekstruksi. Skripsi. Skripsi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Fardiaz D. dan E. Afdi, Perbaikan Sifat Fungsional Pati Jagung denga Proses Modifikasi Struktur. Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan. PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Faridi, H dan J. M. Faubion Wheat end Uses Around the World. American Association of Cereal Chemists. Minnesota. Fennema, O.R Food Chemistry. Marcell Dekker Inc. Basel Gunaratne, A and H. Corke, Effect of Hydroxypropylation and Alkaline Treatments in Hydroxypropylation on some Structural and Physicochemical Properties of Heat-Moisture Treted Wheat, Potato and Waxy Maize Starch. J. Carbohydrate Polymers 68 : Hatorangan, E.F., Pengaruh Perlakuan Konsentrasi NaCl, Kadar air dan Passing Terhadap Mutu Fisik Mi Basah Jagung yang Diproduksi dngan Menggunakan Ekstruder Ulir Pemasak dan Pencetak. Skripsi. Departemen Teknologi Pertanian dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Hodge d, J.E and Osman, E.M, 1976.Carbohydrates di dalam T.R. Muchtadi, P. Hariyadi dan A.B. Azra, Teknologi Pemasakan Ekstruksi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor Hoover R, dan Vasanthan T., The Effect of Heat Moisture Treatment on The Structure and Physico-properties of Cereals, Tuber and Legum Starches. Carbohydrates. 252:33-53 Hoover. R dan W.S. Ratnayake, Starch Characteristics of Black Bean, Chick pea, Lentil, Navy bean and Pinto bean Cultivars Grown In Canada. Food Chemistry (78) Hoover, R dan A. Gunaratne, Effect of Heat-Moisture Treatment on The Structure and Phsiochemical Properties of Tuber and Roots Sarches. Carbihydrates Polymers

91 Indriani S Desain Proses Pembuatan dan Formulasi Mi Instan dari Campuran Tepung Sorghum (Sorghum bicolor L) pati Jagung dan Gluten Terigu. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Iriany R.N dan Andi T. M Jagung Hibrida Unggul Baru. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol.29 No.4,Maros, Sulsel. Jacobs, H & Delcour, J.A (1998). Hydrothermal Modification of granular Starch, with Retention f the Granular Structure : Revw. J Agr and Food Chem. 46: Juniawati, Optimasi Proses Pengolahan Mi Jagung Instan Berdasarkan Kajian Preferensi Konsumen. Skripsi. Departemen Teknologi Pertanian dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Kulp K.,and Lorenz K., Heat Moisture Treatment of Starches. I Physochemical properties. Cer Chem. 58:46-48 Kurniawati, R.D Penentuan Desain roses dan Formulasi Optimal Pembuatan Mi Jagung Basah Berbahan Dasar Pati Jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). Skripsi. Departemen Teknologi Pertanian dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Kusnandar,F., Dahrulsyah. Dan Subarna Pengembangan Showcase Mi Jagung Dalam Rangka Penggandaan Skala Proses Produksi Mi Jagung dan Percepatan Difusi Teknologi. Laporan Penelitian Rusnas Diversifikasi Pangan Pokok. Lii,.Y. dan Chang, M.S Charaterization of Red Bean (Phaseolus radiates var. aurea) Starch and its Noodle Quality. J. Food Science 46; Lim, S.T., E.-H. Chang dan H.-J. Chung Thermal Transition Characteristics of Heat-Moisture Treated Corn and Potato Starch. Carbohydrate Polymers. 46; Merdiyanti, A Paket Teknologi Pembuatan Mi Kering Dengan Memanfaatkan Bahan Baku Tepung Jagung. Skripsi. Departemen Teknologi Pertanian dan Gizi, Fakultas Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor. Miyoshi, E Effect of Heat-Moisture Treatment and Lipids on Gelatinization and etrogradation of Maize and Potato Starches. Cereal Chem, 79(1); Muchtadi, T. R dan Sugiyono Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Munarso, S.J., Modisfikasi Sifat Fungsional Tepung Beras dan Aplikasinya dalam Pembauatan Mi Beras Instan. Disertasi. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

92 Munarso Produksi Amilase dari Kapang A. awamori var kawaci Pada Substrat Dedak Untuk Pembuatan Tepung Beras Kaya Protein. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Nobel P dan Andrizal, Pedoman Penanganan Pasca Pasca Panen Jagung. Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Tanaman Pangan. Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta. Oh, N. H.,P.A. Seib dan D.S. Chung, Noodles III. Effect of Processing Variables on the Quality Characteristics of Dry Noodles. Cereal Chem, 62(6); Perez, Luis A.B, Karina M.L, Silvia C.R dan Octavio, P.L, Functional Properties of Corn, Banana and Potato Starch Blends. Food Technology. ActaCientifica Venezolana 52: (2001) Pratama, G.G Paket Teknologi Untuk Memproduksi Mi Jagung dengan Bahan Baku Tepung Jagung. Skripsi Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Pukkahuta, C., Bussawan S, Sujin S, Saiyavit. S., Comparative Study of Pasting and Thermal Transition Characteristics of Osmotic Pressure and Heat-Moisture Treated Corn Starch. Journal Carbohydrate Polymer, 72 (2008) Purwani E.Y., Widyaningrum, H. Setiyanto, E. Savitri, R. Tahir Teknologi Pengolahan Mi Sagu. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Purwani E.Y dan Widyaningrum Karakterisasi serta Studi Pengaruh Perlakuan Panas Annealing dan Heat Moisture Treatment (HMT) Terhadap Sifat Fisikokimia Pati Jagung. Jurnal Pascapanen 3(2) 2006; Putra, S.N Optimalisasi Formula dan Proses Pembuatan Mi Jagung dengan Metode Kalendering. Skripsi. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Ratnayake, W.S, R. Hoover dan Tom W., Pea Starch: Composistion, Structure and Properties Review. Starch/Starke 54; Rianto, B.F Desain Proses Pembuatan dan Formulasi Mi Basah Berbahan Baku Tepung Jagung. Skripsi. Departemen Teknologi Pertanian dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Richana N (1) dan Suarni (2), Teknologi Pengolahan Jagung. (1) Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen, Bogor. (2) Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros Shin S., J. Byun, Kwan H. Park, T.W. Moon, Effect of Partial Acid Hydrolysis and Heat_moisture Treatment on Formation of Resistant Tuber Starch. Cer Chem. 81, 2 : 194

93 Singh, J., L. Kaur an O.J. McCarthy, Factors Influencing the Physicochemical, Morphological, Thermal, and Rheological Properties of Some Chemically Modified Starches for Food Applications- A Rev. Food Hydrocolloids. 21: 1-22 Singh N, J. Singh, N.S. Sodhi, Morphological, Thermal, Rheological and Noodle-making Properties of Potato and Corn Starch. J. Sci. Food Agric 82; Soraya, A., Perancangan Proses dan Formulasi Mi Jagung Basah Berbahan Dasar High Quality Protein Maize varietas srikandi kuning kering Panen. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Stute, R Hydrothermal Modification of Staches. The Difference Between Annealing and Heat Mosture Treatment. Starch/Starke 6 : Subekti D, Maltodekstrin. abel/hidrolisis pati. download [Senin, Maret 24, 2008] Sung W-C and M. Stone, Characterization of Legume Starches and Their Noodle Quality. Journal of Marine Science and Technology. 12 (1) Suyanti,S Membuat Mi Sehat Bergizi dan Bebas Pengawet.Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta. Tam L.M, Wilson T.T, Jiansheng L, Lilia, S.C. Corke H Production of Byhon-type Noodles from Maize Starch Differing in Amylose Content. Cereal Chem. 81 (4): Valentas JK, L Levine, JP Clark Food Processing Operation and Scale up. New York: Marcel Dekker Inc, Madison Wang T.L, Tanya Y.B and Cliff L.H, Starch : as Simple as A, B, C? Review Article. Journal of Experimental Botany 49; No Wattanachant, S, Syarifah K S M, Dzulkifly M H dan Russly A R/.npl/;no;kj//.nbl, Characterisation of Hydroxypropylated crosslinked sago Starch as Compared to Commercial Modified Starches. J. Sci. Technologi 24(3): Watson and Ranstad, Corn: Chemistry and Technology. American Association of Cereal Chemists, Inc. St. Paul Minnesota. USA Winarno, F.G Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Wirakartakusumah, M.A.1981.Kinetics of Starch Gelatinization and Water Absorption in Rice. Phd Disertation, University of Wisconsin, Madison. [WSI], Westfalia Separator Industry. Starch from Corn Separation Technology for Cereals. (23 Desember 2008).

94 Lampiran 1. Peralatan proses untuk memproduksi mi kering substitusi/mi jagung a. Hammer Mill Fungsi: Untuk penggilingan kasar jagung pipil (menghasilkan grits jagung) Kapasitas: 25 kg jagung pipil/jam b. Disc Mill Fungsi: Untuk penggilingan halus grits jagung Kapasitas: 25 kg grits jagung/jam c. Ayakan Bertingkat (Vibrating Screen) Fungsi: Untuk menghasilkan tepung jagung dengan ukuran 100 mesh Kapasitas: 25 kg tepung jagung/jam d. Dough Mixer Fungsi: Untuk proses pencampuran formulasi bahan sebelum proses sheeting Kapasitas: 10 kg bahan adonan/jam

95 e. Mesin Sheeter (Roll Press) f. Steaming Box Fungsi: Untuk membentuk lembaran adonan dan pemotongan (sheeting dan slitting) Kapasitas: 10 kg bahan adonan/jam Fungsi: Untuk proses pengukusan untaian mi setelah proses sheeting dan gelatinisasi tepung jagung (pada produksi mi jagung teknologi sheeting) Kapasitas: 10 kg mi/jam g. Molen Dryer Fungsi: Untuk proses modifikasi pati jagung pada skala diperbesar (terletak di Balitbang Pasca Panen, Deptan) Kapasitas: 5 kg/batch h. Mesin Pengering (Dryer) i. Oven Fungsi: Untuk pengeringan grits jagung (sebelum penggilingan halus) dan mi setelah proses pengukusan Kapasitas: 25 kg mi/jam Fungsi : Untuk pemanasan dan pengeringan pati selama proses modifikasi Kapasitas : 10 kg bahan/jam

96 Lampiran 2. Gambar Bahan bahan utama yang digunakan dalam Penelitian (a) Jagung Pipil Varietas Pioneer-21 Sumber : Sentra Produksi Jagung Ponorogo, Jawa Tengah (b)tepung Jagung Hasil Penggiilingan Kering (c) Pati Jagung Komersil (Maizena)

97 Lampiran 3. Gambar Beberapa Instrumen Analisa (a) Alat Analisa RVA (Rapid Viscoanalyzer (b) Alat Analisa Tekstur Mi (TAXT-2) (c) Alat Analisa Moisture content (kadar Air) digital

MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD

MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD

MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD MODIFIKASI FISIK PATI JAGUNG DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG LISNA AHMAD SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Jagung

TINJAUAN PUSTAKA. Jagung TINJAUAN PUSTAKA Jagung Jagung (Zea mays) adalah tanaman serealia yang tergolong jenis tanaman semusim. Menurut Noble dan Andrizal (2003) terdapat dua golongan tanaman jagung yaitu jagung hibrida dan jagung

Lebih terperinci

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI 1 Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan suatu proses pembuatan mi jagung kering.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Suhu dan Waktu Proses Modifikasi HMT Terhadap Karakteristik Pati jagung Dalam proses modifikasi pati jagung HMT dilakukan pemilihan suhu dan waktu terbaik selama perlakuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tepung Jagung Menurut SNI 01-3727-1995, tepung jagung adalah tepung yang diperoleh dengan cara menggiling biji jagung (zea mays LINN.) yang bersih dan baik. Penggilingan biji jagung

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum

I PENDAHULUAN. diantaranya adalah umbi-umbian. Pemanfaatan umbi-umbian di Indonesia belum I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa Penelitian

Lebih terperinci

Pengembangan Formulasi Mi Jagung Berbahan Baku Tepung Jagung Modifikasi. Development of Formulation Noodles Made from Raw Corn Starch Modified Corn

Pengembangan Formulasi Mi Jagung Berbahan Baku Tepung Jagung Modifikasi. Development of Formulation Noodles Made from Raw Corn Starch Modified Corn Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian Politeknik Negeri Lampung 24 Mei 2014 ISBN 978-602-70530-0-7 halaman 524-530 Pengembangan Formulasi Mi Jagung Berbahan Baku Tepung Jagung Modifikasi

Lebih terperinci

denaturasi pada saat pemanasan dan mempertahankan bentuk pada produk akhir. Pati yang merupakan komponen utama dalam tepung (sekitar 67%) pada proses

denaturasi pada saat pemanasan dan mempertahankan bentuk pada produk akhir. Pati yang merupakan komponen utama dalam tepung (sekitar 67%) pada proses BAB III PEMBAHASAN Pembuatan mie kering umumnya hanya menggunakan bahan dasar tepung terigu namun saat ini mie kering dapat difortifikasi dengan tepung lain agar dapat menyeimbangkan kandung gizi yang

Lebih terperinci

KARAKTERISASI SIFAT FISIKO-KIMIA DAN EVALUASI NILAI GIZI BIOLOGIS MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI OKE ANANDIKA LESTARI

KARAKTERISASI SIFAT FISIKO-KIMIA DAN EVALUASI NILAI GIZI BIOLOGIS MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI OKE ANANDIKA LESTARI KARAKTERISASI SIFAT FISIKO-KIMIA DAN EVALUASI NILAI GIZI BIOLOGIS MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI OKE ANANDIKA LESTARI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun

Lebih terperinci

EVALUASI MUTU MI INSTAN YANG DIBUAT DARI PATI SAGU LOKAL RIAU. Evaluation on the Quality of Instant Noodles Made From Riau Sago Starch

EVALUASI MUTU MI INSTAN YANG DIBUAT DARI PATI SAGU LOKAL RIAU. Evaluation on the Quality of Instant Noodles Made From Riau Sago Starch EVALUASI MUTU MI INSTAN YANG DIBUAT DARI PATI SAGU LOKAL RIAU Evaluation on the Quality of Instant Noodles Made From Riau Sago Starch Arfendi (0706112356) Usman Pato and Evy Rossi Arfendi_thp07@yahoo.com

Lebih terperinci

PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL

PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL PENGARUH FOSFORILASI DAN PENAMBAHAN ASAM STEARAT TERHADAP KARAKTERISTIK FILM EDIBEL PATI SAGU CYNTHIA EMANUEL SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diversifikasi Pangan Pokok Selain Beras

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diversifikasi Pangan Pokok Selain Beras II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diversifikasi Pangan Pokok Selain Beras Penelitian mengenai bahan pangan pokok selain beras sudah banyak dilakukan oleh peneliti untuk mensukseskan program diversifikasi pangan

Lebih terperinci

PENGARUH HEAT MOISTURE TREATED (HMT) TERHADAP PROFIL GELATINISASI TEPUNG JAGUNG

PENGARUH HEAT MOISTURE TREATED (HMT) TERHADAP PROFIL GELATINISASI TEPUNG JAGUNG PENGARUH HEAT MOISTURE TREATED (HMT) TERHADAP PROFIL GELATINISASI TEPUNG JAGUNG HEAT MOISTURE TREATED (HMT) INFLUENCE ON CORN FLOUR GELATINIZATION PROFILES Oke Anandika Lestari 1), Feri Kusnandar 2) dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Jagung Swasembada jagung memerlukan teknologi pemanfaatan jagung sehingga dapat meningkatkan nilai tambahnya secara optimal. Salah satu cara meningkatkan nilai tambah

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time 4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu 4.1.1. Cooking Time Salah satu parameter terpenting dari mi adalah cooking time yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk rehidrasi atau proses

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merah (Oriza sativa) merupakan beras yang hanya dihilangkan kulit bagian luar atau sekamnya, sehingga masih mengandung kulit ari (aleuron) dan inti biji beras

Lebih terperinci

PENGARUH BERBAGAI FILLER (BAHAN PENGISI) TERHADAP KARAKTERISTIK DAN DAYA TERIMA CHICKEN NUGGET SKRIPSI. Oleh MARGI KUSUMANINGRUM

PENGARUH BERBAGAI FILLER (BAHAN PENGISI) TERHADAP KARAKTERISTIK DAN DAYA TERIMA CHICKEN NUGGET SKRIPSI. Oleh MARGI KUSUMANINGRUM PENGARUH BERBAGAI FILLER (BAHAN PENGISI) TERHADAP KARAKTERISTIK DAN DAYA TERIMA CHICKEN NUGGET SKRIPSI Oleh MARGI KUSUMANINGRUM FAKULTAS PETERNAKAN DAN PERTANIAN UNIVERSITAS DIPONEGORO S E M A R A N G

Lebih terperinci

Gambar 1 Biji jagung dan bagian-bagiannya (Subekti et al 2007).

Gambar 1 Biji jagung dan bagian-bagiannya (Subekti et al 2007). II. TINJAUAN PUSTAKA A Jagung Jagung (Zea mays L) adalah tanaman semusim dan termasuk jenis rerumputan/graminae. Terdapat tiga varietas jagung yang populer di Indonesia yaitu BISI, Pioneer, dan NK (Takdir

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Lampung merupakan daerah penghasil ubi kayu terbesar di Indonesia. Sekitar 30 % ubi kayu dihasilkan di Lampung. Produksi tanaman ubi kayu di Lampung terus meningkat

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu dan Tempat Penelitian. keperluan. Berdasarkan penggolongannya tepung dibagi menjadi dua, yaitu

I PENDAHULUAN. 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu dan Tempat Penelitian. keperluan. Berdasarkan penggolongannya tepung dibagi menjadi dua, yaitu I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : 1. Latar Belakang, 2. Identifikasi Masalah, 3. Maksud dan Tujuan Penelitian, 4. Manfaat Penelitian, 5. Kerangka Pemikiran, 6. Hipotesis Penelitian, dan 7. Waktu

Lebih terperinci

Pati ubi kayu (tapioka)

Pati ubi kayu (tapioka) Pengaruh Heat Moisture Treatment (HMT) Pada Karakteristik Fisikokimia Tapioka Lima Varietas Ubi Kayu Berasal dari Daerah Lampung Elvira Syamsir, Purwiyatno Hariyadi, Dedi Fardiaz, Nuri Andarwulan, Feri

Lebih terperinci

Heat Moisture Treated (HMT) Influence on Corn Flour Gelatinization Profiles

Heat Moisture Treated (HMT) Influence on Corn Flour Gelatinization Profiles PENGARUH HEAT MOISTURE TREATED (HMT) TERHADAP PROFIL GELATINISASI TEPUNG JAGUNG Heat Moisture Treated (HMT) Influence on Corn Flour Gelatinization Profiles Oke Anandika Lestari* 1, Feri Kusnandar 2, Nurheni

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada

PENDAHULUAN. penduduk sehingga terjadi masalah hal ketersediaan pangan. Ketergantungan pada PENDAHULUAN Latar Belakang Produksi pangan di negara-negara sedang berkembang terus meningkat. Namun demikian peningkatan ini tidak seimbang dengan pertambahan jumlah penduduk sehingga terjadi masalah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya

I PENDAHULUAN. Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya I PENDAHULUAN Penelitian merupakan sebuah proses dimana dalam pengerjaannya dibutuhkan penulisan laporan mengenai penelitian tersebut. Sebuah laporan tugas akhir biasanya berisi beberapa hal yang meliputi

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Cooking loss

PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung Cooking loss 4. PEMBAHASAN 4.1.Karakteristik Fisik Mi Jagung 4.1.1. Cooking loss Menurut Kruger et al. (1996), analisa cooking loss bertujuan untuk mengetahui banyaknya padatan dari mi yang terlarut dalam air selama

Lebih terperinci

OPTIMASI PROSES PENGERINGAN GRITS JAGUNG DAN SANTAN SEBAGAI BAHAN BAKU BASSANG INSTAN, MAKANAN TRADISIONAL MAKASSAR HERNAWATY HUSAIN

OPTIMASI PROSES PENGERINGAN GRITS JAGUNG DAN SANTAN SEBAGAI BAHAN BAKU BASSANG INSTAN, MAKANAN TRADISIONAL MAKASSAR HERNAWATY HUSAIN OPTIMASI PROSES PENGERINGAN GRITS JAGUNG DAN SANTAN SEBAGAI BAHAN BAKU BASSANG INSTAN, MAKANAN TRADISIONAL MAKASSAR HERNAWATY HUSAIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 i PERNYATAAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2)

I PENDAHULUAN. Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS ENDANG MINDARWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 6 Judul Tesis Nama NIM : Kajian

Lebih terperinci

PEMBUATAN SPONGE CAKE BEBAS GLUTEN DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS KETAN, UBI KAYU, PATI KENTANG, DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN HIDROKOLOID

PEMBUATAN SPONGE CAKE BEBAS GLUTEN DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS KETAN, UBI KAYU, PATI KENTANG, DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN HIDROKOLOID PEMBUATAN SPONGE CAKE BEBAS GLUTEN DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS KETAN, UBI KAYU, PATI KENTANG, DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN HIDROKOLOID SKRIPSI Oleh: RIRIS MARITO SIMATUPANG 100305017/ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL KEGIATAN

LAPORAN HASIL KEGIATAN LAPORAN HASIL KEGIATAN MODIFIKASI SIFAT FUNGSIONAL PATI JAGUNG (ZEA MAYS) DAN APLIKASINYA UNTUK PERBAIKAN KUALITAS MI JAGUNG SURAT PERINTAH KERJA PELAKSANAAN PENELITIAN NO. 735/LB.62011.1/3/2008 T ANGGAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mie adalah produk makanan yang pada umumnya dibuat dari tepung terigu

I. PENDAHULUAN. Mie adalah produk makanan yang pada umumnya dibuat dari tepung terigu I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mie adalah produk makanan yang pada umumnya dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan (food additives). Penggantian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dalam negeri. Berdasarkan data dari Wardhana (2013) dalam Majalah Tempo

BAB I PENDAHULUAN. dalam negeri. Berdasarkan data dari Wardhana (2013) dalam Majalah Tempo BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat konsumsi mi di Indonesia cukup tinggi. Kurniawati (2006) mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara ke dua terbesar di dunia dalam tingkat konsumsi mi gandum

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) I PENDAHULUAN Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

EVALUASI KARAKTERISTIK FISIK, KIMIA DAN SENSORI ROTI DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS, UBI KAYU, KENTANG DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN XANTHAN GUM

EVALUASI KARAKTERISTIK FISIK, KIMIA DAN SENSORI ROTI DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS, UBI KAYU, KENTANG DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN XANTHAN GUM EVALUASI KARAKTERISTIK FISIK, KIMIA DAN SENSORI ROTI DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS, UBI KAYU, KENTANG DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN XANTHAN GUM SKRIPSI Oleh: FORIANUS WARUWU 090305025/ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun Analisis

Lebih terperinci

KAJIAN MUTU MI INSTAN YANG TERBUAT DARI TEPUNG JAGUNG LOKAL RIAU DAN PATI SAGU. Riau. Riau

KAJIAN MUTU MI INSTAN YANG TERBUAT DARI TEPUNG JAGUNG LOKAL RIAU DAN PATI SAGU. Riau. Riau KAJIAN MUTU MI INSTAN YANG TERBUAT DARI TEPUNG JAGUNG LOKAL RIAU DAN PATI SAGU Akhyar Ali 1, Usman Pato 1, dan Dony Maylani 2 1 Staf Pengajar Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu

I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Deskripsi dan Kedudukan Taksonomi Kluwih (Artocarpus communis)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Deskripsi dan Kedudukan Taksonomi Kluwih (Artocarpus communis) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi dan Kedudukan Taksonomi Kluwih (Artocarpus communis) Kluwih merupakan kerabat dari sukun yang dikenal pula dengan nama timbul atau kulur. Kluwih dianggap sama dengan buah

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Optimasi Proses Dehidrasi Mi Jagung Instant Mi jagung yang telah mengalami proses pengukusan kedua selanjutnya pengalami proses dehidrasi untuk mengurangi kadar air mi. Proses

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, 1.6 Hipotesis Penelitian, dan 1.7 Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, 1.6 Hipotesis Penelitian, dan 1.7 Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai : 1.1 Latar Belakang, 1.2 Identifikasi Masalah, 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian, 1.4 Manfaat Penelitian, 1.5 Kerangka Pemikiran, 1.6 Hipotesis Penelitian, dan 1.7

Lebih terperinci

PEMBUATAN CAKE TANPA GLUTEN DAN TELUR DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS KETAN, UBI KAYU, PATI KENTANG, DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN HIDROKOLOID

PEMBUATAN CAKE TANPA GLUTEN DAN TELUR DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS KETAN, UBI KAYU, PATI KENTANG, DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN HIDROKOLOID PEMBUATAN CAKE TANPA GLUTEN DAN TELUR DARI TEPUNG KOMPOSIT BERAS KETAN, UBI KAYU, PATI KENTANG, DAN KEDELAI DENGAN PENAMBAHAN HIDROKOLOID SKRIPSI OLEH : BOSVIN ABDALLA TAMBUNAN 100305047 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

KARAKTERISASI TEPUNG KASAVA YANG DIMODIFIKASI DENGAN BAKTERI SELULOLITIK SEBAGAI BAHAN BAKU PRODUK MIE DAN BISKUIT

KARAKTERISASI TEPUNG KASAVA YANG DIMODIFIKASI DENGAN BAKTERI SELULOLITIK SEBAGAI BAHAN BAKU PRODUK MIE DAN BISKUIT KARAKTERISASI TEPUNG KASAVA YANG DIMODIFIKASI DENGAN BAKTERI SELULOLITIK SEBAGAI BAHAN BAKU PRODUK MIE DAN BISKUIT SKRIPSI Oleh : SIMON PETRUS SEMBIRING 060305004/TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN DEPARTEMEN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian sebelumnya telah dilakukan pembuatan mi jagung basah dan instan berskala laboratorium dengan berbagai formula dan bahan baku. Rianto (2006) telah berhasil melakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan

Lebih terperinci

TEHNIK PEMBUATAN MIE SEHAT. Dr. Sri Handayani

TEHNIK PEMBUATAN MIE SEHAT. Dr. Sri Handayani TEHNIK PEMBUATAN MIE SEHAT Dr. Sri Handayani Tim PPM Jurusan Pendidikan Kimia FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013 1 TEHNIK PEMBUATAN MIE SEHAT Dr. Sri Handayani

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diizinkan, berbentuk khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Berdasarkan survey oleh USDA dalam Anonim A (2015) mengenai

BAB I PENDAHULUAN. diizinkan, berbentuk khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Berdasarkan survey oleh USDA dalam Anonim A (2015) mengenai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mie merupakan salah satu masakan yang sangat populer di Asia, salah satunya di Indonesia. Mie adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. Komposisi utama pati adalah amilosa dan amilopektin yang mempunyai sifat alami berbeda-beda.

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Pemanfaatan tepung beras ketan hitam secara langsung pada flake dapat menimbulkan rasa berpati (starchy). Hal tersebut menyebabkan perlunya perlakuan pendahuluan, yaitu pregelatinisasi

Lebih terperinci

SKRIPSI PERANAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI TERHADAP MUTU DAN PENERIMAAN KONSUMEN MI JAGUNG. Oleh ISNAINI INDRAWURI F

SKRIPSI PERANAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI TERHADAP MUTU DAN PENERIMAAN KONSUMEN MI JAGUNG. Oleh ISNAINI INDRAWURI F SKRIPSI PERANAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI TERHADAP MUTU DAN PENERIMAAN KONSUMEN MI JAGUNG Oleh ISNAINI INDRAWURI F24052713 2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PERANAN TEPUNG

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Walur (Amorphophallus campanulatus var sylvestris) Walur (Amorphopallus campanulatus var sylvestris) merupakan tanaman dari famili Araceae. Tanaman walur mempunyai daun tunggal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2)

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang Penelitian, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Naan bread merupakan salah satu olahan roti tradisional dari daerah Timur Tengah yaitu India. Naan bread biasanya berbentuk bulat hingga agak lonjong, terbuat dengan

Lebih terperinci

SKRIPSI PAKET TEKNOLOGI PEMBUATAN MI KERING DENGAN MEMANFAATKAN BAHAN BAKU TEPUNG JAGUNG. Oleh : ANGELIA MERDIYANTI F

SKRIPSI PAKET TEKNOLOGI PEMBUATAN MI KERING DENGAN MEMANFAATKAN BAHAN BAKU TEPUNG JAGUNG. Oleh : ANGELIA MERDIYANTI F SKRIPSI PAKET TEKNOLOGI PEMBUATAN MI KERING DENGAN MEMANFAATKAN BAHAN BAKU TEPUNG JAGUNG Oleh : ANGELIA MERDIYANTI F24103133 2008 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG PREGELATINISASI BERAS MERAH DAN KETAN HITAM DENGAN VARIASI WAKTU PENGUKUSAN SKRIPSI

SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG PREGELATINISASI BERAS MERAH DAN KETAN HITAM DENGAN VARIASI WAKTU PENGUKUSAN SKRIPSI SIFAT FISIKOKIMIA TEPUNG PREGELATINISASI BERAS MERAH DAN KETAN HITAM DENGAN VARIASI WAKTU PENGUKUSAN SKRIPSI OLEH : YESSICA MULIA WIJAYA NRP 6103008122 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan

I. PENDAHULUAN. Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Pemanfaatan ubi jalar ungu sebagai alternatif makanan pokok memerlukan pengembangan produk olahan dengan penyajian yang cepat dan mudah diperoleh, salah

Lebih terperinci

KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN RETROGRADASI BIKA AMBON ANNI FARIDAH

KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN RETROGRADASI BIKA AMBON ANNI FARIDAH KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN RETROGRADASI BIKA AMBON ANNI FARIDAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2005 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

I. PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, I. PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai: (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

SKRIPSI FORMULASI DAN OPTIMASI WAKTU PENGGORENGAN MI JAGUNG INSTAN. Oleh : STEFANUS F

SKRIPSI FORMULASI DAN OPTIMASI WAKTU PENGGORENGAN MI JAGUNG INSTAN. Oleh : STEFANUS F SKRIPSI FORMULASI DAN OPTIMASI WAKTU PENGGORENGAN MI JAGUNG INSTAN Oleh : STEFANUS F24061524 2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR FORMULASI DAN OPTIMASI WAKTU PENGGORENGAN MI

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian. dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan bernilai gizi tinggi seperti kacang

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian. dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan bernilai gizi tinggi seperti kacang I PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : Latar Belakang, Identifikasi Masalah, Maksud dan Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Pemikiran, Hipotesis Penelitian, Tempat dan Waktu Penelitian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan terigu oleh masyarakat Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data dari APTINDO (2014) dilaporkan bahwa konsumsi tepung

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan terigu oleh masyarakat Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data dari APTINDO (2014) dilaporkan bahwa konsumsi tepung BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan terigu oleh masyarakat Indonesia terus meningkat. Berdasarkan data dari APTINDO (2014) dilaporkan bahwa konsumsi tepung terigu nasional pada tahun 2011, 2012,

Lebih terperinci

UJI KERJA REAKTOR ENZIMATIS DALAM PEMBUATAN DEKSTRIN PATI JAGUNG MENGGUNAKAN ENZIM α-amilase

UJI KERJA REAKTOR ENZIMATIS DALAM PEMBUATAN DEKSTRIN PATI JAGUNG MENGGUNAKAN ENZIM α-amilase TUGAS AKHIR UJI KERJA REAKTOR ENZIMATIS DALAM PEMBUATAN DEKSTRIN PATI JAGUNG MENGGUNAKAN ENZIM α-amilase (Enzymatic Reactor Performance Test in the Manufacture of Corn Starch Dextrin Using Enzyme α-amylase

Lebih terperinci

OPTIMASI PROSES DAN FORMULA PADA PENGOLAHAN MI SAGU KERING (Metroxylon sagu)

OPTIMASI PROSES DAN FORMULA PADA PENGOLAHAN MI SAGU KERING (Metroxylon sagu) OPTIMASI PROSES DAN FORMULA PADA PENGOLAHAN MI SAGU KERING (Metroxylon sagu) Process and Formula Optimizations on Dried Sago (Metroxylon sagu) Noodle Processing Adnan Engelen, Sugiyono, Slamet Budijanto

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties)

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PATI SAGU DAN AREN HMT 1. Kadar Air Salah satu parameter yang dijadikan standard syarat mutu dari suatu bahan atau produk pangan adalah kadar air. Kadar air merupakan

Lebih terperinci

Gambar 1. Struktur biji jagung (Shukla dan Cheryn 2001).

Gambar 1. Struktur biji jagung (Shukla dan Cheryn 2001). II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 JAGUNG Jagung (Zea mays L) adalah jenis rerumputan/graminae dan termasuk tanaman semusim. Biji jagung disebut kariopsis yaitu memiliki dinding ovari atau perikarp yang menyatu dengan

Lebih terperinci

FORMULASI MI KERING SAGU DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG KACANG HIJAU

FORMULASI MI KERING SAGU DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG KACANG HIJAU FORMULASI MI KERING SAGU DENGAN SUBSTITUSI TEPUNG KACANG HIJAU Formulation of Dry Sago Noodles with Mung Bean Flour Substitution Hilka Yuliani, Nancy Dewi Yuliana, Slamet Budijanto Departemen Ilmu dan

Lebih terperinci

KARAKTERISASI DAGING SINTETIS DARI PERLAKUAN KONSENTRAT KEDELAI, TEPUNG TERIGU DAN METODE PEMASAKAN

KARAKTERISASI DAGING SINTETIS DARI PERLAKUAN KONSENTRAT KEDELAI, TEPUNG TERIGU DAN METODE PEMASAKAN KARAKTERISASI DAGING SINTETIS DARI PERLAKUAN KONSENTRAT KEDELAI, TEPUNG TERIGU DAN METODE PEMASAKAN Mery Tambaria Damanik Ambarita 1 ', Nyoman Artha 2 ', Paula Andriani 31 ABSTRACT The aim of ratio of

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah pati jagung komersil dengan merek Maizenaku yang diproduksi PT. Honig dan tepung jagung pipil varietas Pioneer-21

Lebih terperinci

KARAKTERISASI SIFAT FISIKO-KIMIA DAN SENSORI COOKIES DARI TEPUNG KOMPOSIT (BERAS MERAH, KACANG MERAH DAN MOCAF)

KARAKTERISASI SIFAT FISIKO-KIMIA DAN SENSORI COOKIES DARI TEPUNG KOMPOSIT (BERAS MERAH, KACANG MERAH DAN MOCAF) i KARAKTERISASI SIFAT FISIKO-KIMIA DAN SENSORI COOKIES DARI TEPUNG KOMPOSIT (BERAS MERAH, KACANG MERAH DAN MOCAF) SKRIPSI Oleh: JULIARDO ESTEFAN PURBA 120305048/ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

PEMBUATAN MIE INSTAN DARI TEPUNG KOMPOSIT BIJI-BIJIAN

PEMBUATAN MIE INSTAN DARI TEPUNG KOMPOSIT BIJI-BIJIAN PEMBUATAN MIE INSTAN DARI TEPUNG KOMPOSIT BIJI-BIJIAN SKRIPSI Oleh : ISTIANDA SARI 060305017 DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2010 PEMBUATAN MIE INSTAN DARI

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Standar Nasional Indonesia mendefinisikan tepung terigu sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Standar Nasional Indonesia mendefinisikan tepung terigu sebagai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Terigu Standar Nasional Indonesia 01-3751-2006 mendefinisikan tepung terigu sebagai tepung yang berasal dari endosperma biji gandum Triticum aestivum L.(Club wheat) dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ubi jalar merupakan jenis umbi-umbian yang dapat digunakan sebagai pengganti makanan pokok karena mengandung karbohidrat sebesar 27,9 g yang dapat menghasilkan kalori sebesar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. terpenting, selain gandum dan padi. Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. terpenting, selain gandum dan padi. Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman TINJAUAN PUSTAKA Jagung Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting, selain gandum dan padi. Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman semusim yang mempunya batang berbentuk

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kajian Pembuatan Tepung Jagung Pembuatan tepung jagung dilakukan pada jagung pipil lima varietas jagung unggulan nasional, yaitu varietas jagung Srikandi Kuning, Bisma, Sukmaraga,

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR RISKA FITRIAWATI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS BAKRIE JAKARTA 2016

TUGAS AKHIR RISKA FITRIAWATI PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS BAKRIE JAKARTA 2016 PENGOLAHAN PATI RESISTAN TIPE III UMBI GARUT (MARANTHA ARUNDINACEAE L.) MELALUI KOMBINASI METODE MODIFIKASI (FISIK-ENZIMATIS) DAN KARAKTERISASI SIFAT FUNGSIONALNYA TUGAS AKHIR RISKA FITRIAWATI 1122006013

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENGERINGAN KENTANG DAN PERBANDINGAN TEPUNG TERIGU DAN TEPUNG KENTANG TERHADAP MUTU COOKIES KENTANG

PENGARUH LAMA PENGERINGAN KENTANG DAN PERBANDINGAN TEPUNG TERIGU DAN TEPUNG KENTANG TERHADAP MUTU COOKIES KENTANG PENGARUH LAMA PENGERINGAN KENTANG DAN PERBANDINGAN TEPUNG TERIGU DAN TEPUNG KENTANG TERHADAP MUTU COOKIES KENTANG APRILIA S.K.Y. SIMAMORA 080305018 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung pipil kering varietas pioner kuning (P-21). Jagung pipil ini diolah menjadi tepung pati jagung

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat

METODOLOGI PENELITIAN. Waktu dan Tempat 18 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Februari sampai Mei 2010 di Laboratorium Pilot Plant Seafast Center IPB, Laboratorium Kimia dan Laboratorium Rekayasa Proses

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik

I PENDAHULUAN. kandungan gizi yang cukup baik. Suryana (2004) melaporkan data statistik I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Maksud Penelitian, (5) Manfaat Penelitian, (6) Kerangka Pemikiran,

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C34103013 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie

I. PENDAHULUAN. Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie adalah produk pasta atau ekstruksi yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia (Teknologi Pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produk pangan fungsional (fungtional food) pada beberapa tahun ini telah

I. PENDAHULUAN. Produk pangan fungsional (fungtional food) pada beberapa tahun ini telah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Produk pangan fungsional (fungtional food) pada beberapa tahun ini telah berkembang dengan cepat. Pangan fungsional yang merupakan konvergensi antara industri, farmasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan tepung terigu di Indonesia saat ini terus meningkat. Asosiasi Produsen

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan tepung terigu di Indonesia saat ini terus meningkat. Asosiasi Produsen I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan tepung terigu di Indonesia saat ini terus meningkat. Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) melaporkan bahwa terjadi kenaikan konsumsi

Lebih terperinci

PENGARUH METODE PERLAKUAN AWAL (PRE-TREATMENT) DAN SUHU PENGERINGAN TERHADAP MUTU FISIK, KIMIA, DAN FUNGSIONAL TEPUNG UBI JALAR UNGU

PENGARUH METODE PERLAKUAN AWAL (PRE-TREATMENT) DAN SUHU PENGERINGAN TERHADAP MUTU FISIK, KIMIA, DAN FUNGSIONAL TEPUNG UBI JALAR UNGU PENGARUH METODE PERLAKUAN AWAL (PRE-TREATMENT) DAN SUHU PENGERINGAN TERHADAP MUTU FISIK, KIMIA, DAN FUNGSIONAL TEPUNG UBI JALAR UNGU SKRIPSI Oleh: SYAHDIAN LESTARI 110305018 / ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

Lebih terperinci

Abstrak. Kata kunci : Mi, Jagung, Mi Jagung, Tepung Jagung. PENDAHULUAN

Abstrak. Kata kunci : Mi, Jagung, Mi Jagung, Tepung Jagung. PENDAHULUAN Produksi Mi Berbahan Baku Tepung Jagung dengan Teknologi Sheeting oleh Wonojatun (F24060686), Abdi Tunggal C.S. (F24060460), Yogi Karsono (F24060109), Vendryana Ayu Larasati (F24070103) Departemen Ilmu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA PATI UMBI KELADI SEBARING

KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA PATI UMBI KELADI SEBARING KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA PATI UMBI KELADI SEBARING (Alocasia macrorhiza) YANG DIMODIFIKASI DENGAN METODE ASETILASI DAN APLIKASINYA PADA PRODUK MI KERING TESIS SISILIA FLORINA YANTI 127051004/IPN PROGRAM

Lebih terperinci