HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Pati Sagu Pati merupakan bahan cadangan karbohidrat alami yang diakumulasikan oleh tanaman berklorofil dalam bentuk granula. Pati disusun oleh molekul polisakarida linier (amilosa) dan molekul bercabang (amilopektin). Polimer alami yang bersifat dapat diperbaharui dan murah menyebabkan pati banyak ditambahkan ke dalam polimer sintetik untuk menjadikan polimer lebih mudah terdegradasi dan mengurangi biaya produksi pada produk akhir. Namun demikian, perbedaan sifat antara pati dan polimer sintetis membutuhkan adanya perlakuan khusus agar keduanya dapat bercampur dengan sempurna. Karakterisasi pati sagu dilakukan untuk mengetahui kondisi awal pati sagu sebelum dilakukan proses pencampuran dengan compatibilized Linier Low Density Polyethylene (compt.-lldpe). Karakterisasi pati sagu meliputi analisis mutu dan sifat fisiko kimia. Analisis mutu mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang standar mutu pati sagu. Hasil analisis karakteristik pati sagu tersaji pada Tabel 7. Tabel 7 Karakteristik pati sagu Standar mutu Persyaratan 1 Data 2 Pustaka 3 Pustaka 4 Kadar air (% bb) Maks ,47 14,08 Kadar abu (% bk) Maks. 0,5 0,08 0,20 Kadar serat kasar (% bk) Maks. 0,1 0,32 1,06 Total asam (ml NaOH Maks. 4 0,61 1,57 0,1 N/g bahan) Kehalusan / Lolos Min ,70 saringan 100 mesh (%) Sifat Fisiko-kimia Bentuk granula Ukuran granula pati (μm) Oval 9,4-91,5 Oval 41,7-75,2 Kadar pati (% bk) 88,80 96,12 82,35 Rasio amilosa (%) 30,95 26,19 29,52 Kadar lemak (% bk) 0,0088 0,51 0,07 Kadar protein (% bk) 0,31 1,82 0,12 1) SNI tentang standar mutu pati sagu 2) Data penelitian dari 3 kali ulangan 3) Yuliasih (2008) 4) Limbongan (2007) 33

2 Hasil analisis mutu pati sagu menunjukkan bahwa pati sagu yang digunakan dalam penelitian ini dalam kondisi yang memenuhi standar mutu yang ditetapkan, yakni kadar air, abu, total asam dan kehalusan. Mutu pati sagu sangat bergantung pada jenis sagu yang digunakan dan proses pengolahan. Selain itu, mutu pati sagu yang dipersyaratkan akan memiliki perbedaan khusus yang bergantung pada kebutuhan produk yang akan diaplikasikan, misalnya untuk produk pangan atau non pangan. Dalam penelitian ini, pati akan digunakan sebagai bahan campuran plastik. Pengendalian mutu bahan dilakukan melalui pengkondisian awal terhadap kadar air dan tingkat kehalusan, dimana kedua faktor ini akan berpengaruh signifikan terhadap sifat mekanik plastik yang dihasilkan. Kadar air yang ada pada sagu dalam penelitian ini yaitu 10,47% (bb). Kadar air merupakan jumlah kandungan air yang terdapat dalam bahan dan dinyatakan dalam persen dari berat bahan. Kadar air ditentukan pada tahapan proses pengeringan dan penyimpanan. Proses pengeringan sagu yang dilakukan pada pengrajin umumnya dilakukan di bawah sinar matahari. Dalam penelitian ini, pengeringan dilakukan di oven untuk lebih mengontrol kadar air yang ada dalam sagu. Secara umum kadar air yang tinggi akan memicu tumbuhnya jamur dan bau asam. Jika dikaitkan dengan pati yang akan ditambahkan pada polimer plastik, kadar air yang berlebihan akan menyebabkan pati teraglomerasi dan memberikan efek negatif terhadap interaksi interfasial antara pati dengan polimer. Demikian pula kadar air yang sangat rendah akan mengurangi aglomerasi granula pati selama proses pencampuran plastik yang dapat menurunkan sifat mekanik plastik yang dihasilkan. Selain itu, pada pembuatan pati termoplastis, air yang berlebih akan memunculkan gelembung dalam campuran polimer yang dihasilkan. Gelembung ini tidak hanya mempengaruhi estetika tapi juga mengurangi sifat mekanis (Favis 2005). Kandungan abu menunjukkan banyaknya mineral yang tersisa setelah bahan dipijarkan dan dinyatakan dalam persen berat bahan. Kadar abu dari sagu dalam penelitian ini cukup rendah yaitu 0,08% (bk). Abu merupakan bahan anorganik yang keberadaannya dipengaruhi oleh jenis sagu, tempat sagu tumbuh dan pengaruh lingkungan tanah dan air yang digunakan saat proses ekstraksi. 34

3 Kadar serat sagu dalam penelitian ini adalah 0,32% (bk) melebihi dari standar mutu yang mempersyaratkan serat maksimal sebanyak 0,1%. Tingginya serat dalam pati sagu dipengaruhi oleh proses ekstraksi pati yang kurang sempurna, khususnya pada saat pemarutan dan penyaringan ampas sagu. Serat kasar dalam pati sagu berasal dari komponen selulosa batang pohon sagu yang terikut pada saat proses pengolahan. Namun demikian, serat dalam pati yang akan dicampurkan pada pembuatan plastik tidak memberikan pengaruh negatif dan justru dapat meningkatkan sifat mekanik pada plastik campuran. Serat merupakan polimer linier dengan struktur yang teratur, panjang dan tidak bercabang sehingga memiliki gaya dispersi yang maksimum. Hal ini akan berpengaruh terhadap sifat mekaniknya. Bahkan, salah satu usaha yang dilakukan untuk mengatasi kelemahan pati termoplastis akan sifatnya yang rapuh adalah dengan cara menambahkan serat dan material organik lainnya (Corradini et al. 2007). Dengan demikian, nilai serat pati yang melebihi standar justru menjadi keuntungan dalam proses ini. Total asam pati sagu masih masuk dalam standar kurang dari 4 ml NaOH 0,1 N/g pati, yaitu 0,61 ml NaOH 0,1 N/g pati. Nilai total asam merupakan parameter yang dapat menunjukkan tingkat kerusakan. Penurunan kualitas dan terjadinya kerusakan dapat terjadi karena adanya air yang berlebihan terutama selama masa penyimpanan sehingga terbentuk bau dan memicu tumbuhnya mikroorganisme. Adanya air akan mengakibatkan terjadinya hidrolisis pati baik secara enzimatis maupun fisik menjadi molekul-molekul gula. Hidrolisis gula lebih lanjut akan menghasilkan senyawa asam. Pati sagu berbentuk bubuk dengan ukuran tertentu. Pada umumnya pati sagu yang diproses secara tradisional memiliki ukuran bubuk yang tidak seragam. Pati sagu di beberapa daerah di Indonesia menunjukkan jumlah yang lolos saringan 80 mesh relatif kecil yakni kurang dari 50% (Yuliasih 2008). Dalam penelitian ini, bubuk pati dilakukan pengecilan ukuran hingga 200 mesh agar pencampuran dengan polimer sintetis bisa lebih baik. Semakin kecil ukuran partikel akan mampu meningkatkan dispersitas dan homogenitas campuran. Pengecilan ukuran 200 mesh akan menghasilkan partikel berukuran 0,101 cm atau 1010µm. 35

4 Sifat fisiko kimia pati sagu dipengaruhi oleh varietas sagu dan tempat tumbuh karena terkait dengan komponen-komponen penyusunnya. Sifat fisik pati sagu dapat dijelaskan melalui bentuk dan ukuran granula pati. Bentuk granula pati sagu adalah oval dengan ukuran granula relatif besar yakni diameter berkisar antara 9,4-91,5 μm seperti digambarkan pada Lampiran 3. Ukuran granula yang besar akan mempengaruhi pengembangan granula pati. Hal ini dikarenakan granula pati yang besar menunjukkan ketahanan yang lebih baik terhadap perlakuan panas dan air dibandingkan granula yang lebih kecil. Namun demikian, ukuran granula pati yang besar akan berpengaruh negatif terhadap tingkat biodegradabilitas dan sifat mekanik pada plastik yang ditambahkan pati. Nikazar et al. (2005) menyatakan bahwa ukuran granula pati yang kecil akan meningkatkan kemampuan biodegradasi plastik campuran. Wang dan Liu (2002) melaporkan bahwa Sifat fisik film campuran pati-pe dengan menggunakan pati jagung berdiameter rata-rata 2μm, memiliki tingkat elongasi yang baik. Demikian pula dengan plastik yang dicampur dengan pati beras dengan diameter granula yang kecil menghasilkan plastik dengan sifat kuat tarik yang lebih baik dibandingkan dengan pati dengan diameter granula yang besar. Kadar pati sagu dalam penelitian ini adalah 88,80% (bk). Sifat kimia pati sagu menggambarkan komponen-komponen penyusun pati. Secara kimia, pati terdiri dari komponen mayor dan minor. Komponen mayor adalah amilosa dan amilopektin, sedangkan komponen minor seperti lemak, protein dan serat. Meskipun dalam jumlah kecil, komponen minor memberikan pengaruh penting terhadap sifat fungsional pati. Rasio amilosa sagu yang digunakan dalam penelitian ini cukup tinggi hingga mencapai 30,95%. Amilosa memiliki kecenderungan membentuk film yang kuat dibandingkan amilopektin (Thomas & Atwell 1999). Dalam pustaka lain dinyatakan aplikasi yang membutuhkan viskositas, stabilitas dan kekuatan mengental yang baik, digunakan pati dengan kandungan amilopektin tinggi, sedangkan untuk membentuk film dan gel yang kuat, digunakan pati dengan kandungan amilosa tinggi. Ciri film amilosa yaitu isotrop, tidak berbau, tidak berasa, tidak berwarna, tidak berbahaya, buram dan absorbabel. Film amilosa tahan terhadap beberapa pelarut, minyak pelumas dan sangat tidak tembus oksigen 36

5 (Wolf et al. 1951). Hal ini ditegaskan kembali oleh Nikazar et al. (2005) yang menyatakan bahwa rasio amilosa dan amilopektin pada pati akan berpengaruh pada sifat fisik campuran pati-pe. Kadar protein pati sagu dalam penelitian ini adalah 0,31% (bk). Protein dalam pati sagu juga berpengaruh terhadap pencampuran dengan polimer sintetis. Hasil penelitian Wang dan Liu (2002) menyatakan bahwa adanya penghilangan protein pada pati beras menyebabkan dispersi pati lebih meningkat. Adanya protein dalam pati beras meningkatkan interaksi antar granula pati, sehingga menghalangi penyebaran pati yang dicampurkan kedalam matrik LDPE. Kadar lemak sagu dalam penelitian ini sangat rendah yaitu 0,0088% (bk). Adanya lemak dalam pati akan menghambat granula pati untuk mengikat air. Lemak akan membentuk lapisan yang bersifat hidrofobik di sekeliling granula. Hasil karakterisasi pati sagu menunjukkan bahwa pati sagu dalam penelitian ini telah memenuhi standar mutu dan berdasarkan sifat fisiko kimia menunjukkan hasil yang baik sebagai bahan baku pembuatan pati sagu termoplastis untuk selanjutnya dicampurkan dengan polimer sintetis. Hal ini terutama dikaitkan dengan beberapa karakteristik pati yang berpengaruh signifikan dalam proses pencampuran dengan polimer sintetis, yaitu kadar air, amilosa, serat, bentuk dan ukuran granula pati, protein serta tingkat kehalusan. Pembuatan Pati Sagu Termoplastis Pati yang mengalami perlakuan panas disertai gesekan pada kisaran suhu o C dengan tambahan plasticizer seperti gliserol, akan bertransformasi membentuk molten plastic atau disebut thermoplastic starch (pati termoplastis) (Corradini et al. 2007). Selama proses termoplastisasi, air akan masuk dalam pati dan bahan pemlastis akan berperan sangat penting, yaitu membentuk ikatan hidrogen dengan pati, sehingga terjadi reaksi antara gugus hidroksil dan molekul pati yang membuat pati menjadi lebih plastis (Kalambur & Rizvi 2006). Pati termoplastis disebut juga sebagai plasticized starch, dimana pati diproses dengan kadar air rendah dan tingkat destrukturisasi yang tinggi, seperti diilustrasikan pada Gambar

6 Kadar air Roti dan makanan Pati mengembang Pati tergelatinisasi Reinforced plastic Pati terdestrukturisasi Pati termoplastis Tingkat destrukturisasi Gambar 15 Pengaruh kadar air dan tingkat destrukturisasi padaa pati sagu termoplastis ( Fenomena yang terjadi pada suhu dan gesekan yang tinggi dengan kadar air yang rendah, menyebabkan pati terdestrukturisasi, plastis, leleh dan juga mengalami depolimerisasi. Terganggunya granula pati menyebabkan transformasi granula yang bersifat semi kristalin menjadi amorf dengan rusaknya ikatan hidrogen antara makromolekul. Proses ini dapat berlangsung satu maupun dua tahap. Proses satu tahap dilakukan dalam ekstruder dua ulir, dimana pati diumpankann dan disepanjang barrel, air serta bahan pemlastis ditambahkan. Proses dua tahap, dilakukan dengan pencampuran fisik terlebih dahulu agar terjadi difusi bahan pemlastis ke dalam granula. Bahan pemlastis ini akan membuat granula pati mengembang. Berikutnya campuran akan diproses dalam mixer dengan suhuu dan kecepatan tinggi. Nilai yang dapat diamati selama proses pencampuran dalam rheomix adalah nilai torque yang dibutuhkan oleh ulir untuk mencampur seluruh bahan yang berada didalamnya. Nilai torque menunjukkan energi yang dibutuhkan untuk proses pencampuran pati, air dan gliserol sebagai fungsi waktu pencampuran. Kurva torque selama proses plastisasi memperlihatkan peningkatan maksimum pada tahap awal proses. Setelah kondisi pencampuran tercapai akan diperoleh nilai torque yang stabil. Gambar 16 merupakan torque pati sagu termoplastis pada konsentrasi gliserol yang berbeda, yakni 10, 20 dan 30%. Seperti tampak pada Gambar 16 waktu pencampuran selama 8 menit menunjukkan nilai torque yang cenderung stabil. Nilai torque yang flat setelah sebelumnya terjadi peningkatan mengindikasikan bahwaa proses plastisasi gliserol telah terjadi dan bahan telah 38

7 bercampur sempurna. Jika lama waktu pencampuran semakin ditingkatkan, torque dapat menurun yang mengindikasikan bahan mengalami degradasi dan dapat pula teradi peningkatan torque jika terjadi cross linking atau hilangnya bahan pemlastis (Corradini et al. 2007). Kurva torque dari hasil penelitian ini menunjukkan pula bahwa peningkatan gliserol menurunkan nilai torque seperti tampak pada Gambar 16. Hal ini dikarenakan adanya gliserol yang mempermudah proses pencampuran sehingga energi yang dibutuhkan ulir untuk menghomogenkan semua bahan menjadi menjadi lebih rendah. Viskositas campuran yang terdiri dari bahan pemlastis dengan berat molekul rendah, akan menurun seiring dengan peningkatan jumlah bahan pemlastis (Favis et al. 2005). Gambar 16. Pengaruh konsentrasi gliserol terhadap nilai torque pati sagu terrmoplastis. Struktur morfologi dengan uji mikroskopik pati sagu termoplastis ditunjukkan pada Gambar 17. Dari hasil pengujian tampak bahwa dengan penggunaan suhu 90 o C, kecepatan rotor 100 rpm dan lama pencampuran 8 menit memperlihatkan bahwa bentuk granula pati masih utuh dan memiliki sifat birefringent, namun terjadi pengembangan ukuran granula pati yang berbeda dengan ukuran granula pati awal dan tampak dari semakin pudarnya cahaya birefringent. Pengembangan pati terjadi dikarenakan adanya difusi bahan pemlastis ke dalam granula. Bahan pemlastis ini akan membuat granula pati 39

8 mengembang. Rendahnya kadar lemak dalam pati sagu ini memberikan efek yang positif karena tidak ada yang menghalagi absorbsi air dan gliserol oleh granula pati. Mikroskop cahaya Mikroskop cahaya terpolarisasi Pati alami sagu Gliserol 10% Pati sagu termoplastis Gliserol 20% Gliserol 30% Gambar 17 Pengaruh konsentrasi gliserol terhadap morfologi pati sagu termoplastis (Perbesaran 200x). Granula pati yang utuh, tidak pecah dan sifat birefringent yang masih terlihat menunjukkan bahwa pati masih memiliki sifat kristalin. Namun demikian, jika dibandingkan dengan pati alami, pati termoplastis mengalami penurunan sifat kristalin. Adanya bahan pemlastis menurunkan sifat kristalinitas dan kekakuan polimer pati. Hal ini sebagai akibat dari menurunnya ikatan hidrogen antara makromolekul dan meningkatnya volume bebas polimer sehingga terbentuk 40

9 ruangan yang lebih luas untuk meningkatkan gerak segmental yang panjang dari molekul-molekul polimer. Kristalinitas yang semakin rendah menyebabkan pati termoplastis lebih mudah untuk dicetak ataupun dibentuk. Dalam tahapan proses ini, struktur granula pati yang pecah tidak diharapkan. Pecahnya granula pati akan menyebabkan terjadinya rekristalisasi saat dilakukan pemanasan kedua, yakni pada waktu pencampuran dengan polimer sintetis. Rekristalisasi berulang akan menyebabkan plastik bersifat rapuh. Suhu pencampuran yang tidak terlalu tinggi juga dipersyaratkan untuk mencegah terjadinya kerusakan pati selama proses. Pati termoplastis ini nantinya akan dicampur dengan polimer sintetis yang artinya akan kembali mendapatkan perlakuan panas (pemanasan berulang). Dengan demikian kontak panas diawal perlu dijaga agar tidak merusak struktur pati. Suhu yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan hilangnya gliserol, karenanya suhu proses dijaga dibawah titik uap gliserol. Gliserol dibutuhkan sebagai bahan pemlastis dan lubrikan saat pencampuran dengan polimer sintetis (Corradini et al. 2007). Gambar 17 juga memperlihatkan bahwa gelatinisasi tidak terjadi dalam proses ini, meskipun suhu yang digunakan melebihi suhu gelatinisasi pati sagu. Proses gelatinisasi mempersyaratkan suhu tinggi dan jumlah air berlebih. Suhu gelatinisasi pati sagu terjadi pada kisaran 69,4-70,1 o C (Ahmad et al. 1999), namun kadar air dalam proses ini hanya 25% dan berfungsi sebagai bahan pemlastis serta lubrikan, bukan sebagai moisture content. Air merupakan plasticizer, namun bersifat volatil yang berkaitan dengan kesetimbangan, yaitu sorbsi dan desorbsi dengan lingkungan. Dengan demikian, fenomena yang terjadi dalam proses ini adalah terjadinya destrukturisai, plastisasi, pelelehan dan depolimerisasi. Gelatinisasi pati yang tidak terjadi pada suhu 90 o C dapat pula dikaitkan dengan ukuran granula pati sagu yang besar, yakni 9,4-91,5µm. Ukuran granula pati besar menyebabkan granula pati memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap perlakuan panas dibandingkan granula yang lebih kecil. Selain itu, tidak terjadinya gelatinisasi dalam proses ini juga dapat dikaitkan dengan sifat termal pati sagu termoplastis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penambahan 41

10 gliserol meningkatkan suhu transisi gelas dan titik leleh pati sagu termoplastis, seperti tampak pada Tabel 8 dan Gambar 18. Tabel 8 Pengaruh gliserol terhadap suhu transisi gelas, titik leleh dan jumlah kalor pati sagu termoplastis Konsentrasi gliserol dalam pati sagu termoplastis (%) Suhu transisi gelas ( o C) Kebutuhan kalor pada suhu transisi gelas (mj) Titik leleh ( o C) Kebutuhan kalor pada titik leleh (mj) Kalor jenis (mj/deg.mg) 10 36,6 5, ,3 8, , ,6 7, ,7 12, , ,9 3, ,7 8, , Kenaikan suhu transisi gelas dan titik leleh meningkat signifikan pada pati sagu termoplastis dengan konsentrasi gliserol 30%. Penurunan kristalinitas pada pati termoplastis bukan berarti menyebabkan hilangnya sifat kristalin pati. Oleh karena itu, sifat kristalin yang belum hilang dengan penambahan gliserol pada suhu 90 o C, menyebabkan suhu yang dibutuhkan menjadi lebih tinggi untuk bisa merubah sifat kristalin menjadi amorf maupun untuk merubah struktur pati dari padatan menjadi bisa meleleh. Hal ini dipertegas pula dengan uji mikroskopik pada Gambar 17, dimana pati sagu termoplastis dengan konsentrasi 30% memperlihatkan sifat birefringent yang lebih tegas dan jelas. Gambar 18 Termogram pati sagu termoplastis (PST). 42

11 Suhu transisi gelas merupakan suhu dimana terjadi perubahan sifat bahan yang semula padat seperti gelas, menjadi lunak seperti karet. Penentuan suhu transisi gelas ditentukan melalui interpolasi saat terjadi reaksi endotermis pertama kali dimana bahan mulai menyerap panas hingga terjadi pelepasan kalor ke lingkungan. Reaksi ini mengakibatkan terjadinya perubahan struktur bahan. Seiring dengan peningkatan suhu, bahan akan mengalami perubahan sifat hingga mampu meleleh atau berubah dari padat menjadi cair. Suhu dimana kondisi ini terjadi dinamakan titik leleh. Titik leleh ditandai dengan peristiwa eksotermis, yakni saat bahan tidak mampu lagi menyerap panas dan justru melepaskannya ke lingkungan. Dalam termogram Differential Scanning Calorimeter (DSC) (Gambar 18), nilai titik leleh ditentukan pada titik lembah yang paling curam. Luasan area dalam termogram DSC seperti ditunjukkan dalam Gambar 18, selain menginformasikan suhu transisi gelas dan titik leleh juga berkaitan langsung dengan perubahan entalpi, sehingga dapat dipakai untuk pengukuran kapasitas kalor, kalor jenis, entalpi reaksi dan sebagainya (Stevens 2007). Dalam tahapan penelitian ini, kalor jenis (c) dan jumlah kalor (Q) juga dilakukan pengukuran untuk mengetahui kebutuhan energi yang diperlukan. Kalor jenis didefinisikan sebagai jumlah panas yang diperlukan untuk menaikkan suhu 1 g zat sebesar 1 o C. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa peningkatan gliserol hingga 20% dalam pati sagu termoplastis menunjukkan terjadinya peningkatan kalor jenis, namun pada konsentrasi gliserol 30% kalor jenis mengalami penurunan (Tabel 8). Artinya, adanya gliserol dalam pati termoplastis dapat meningkatkan kalor jenis, namun peningkatan gliserol hingga batasan tertentu, dalam hal ini 30%, justru menurunkan kalor jenis bahan. Kebutuhan energi atau kalor (Q) yang diperlukan untuk mencapai suhu transisi gelas dan titik leleh dapat pula ditentukan berdasarkan nilai massa bahan (m), kalor jenis (c) dan perubahan suhu (ΔT). Dari hasil perhitungan diketahui bahwa kalor yang dibutuhkan untuk mencapai transisi gelas maupun titik leleh juga mengalami peningkatan hingga 20% dan kebutuhan kalor menurun pada pada pati sagu termoplastis dengan konsentrasi gliserol 30%. Nilai-nilai tersebut akan terkait dengan energi yang dibutuhkan dalam pemrosesan bahan untuk 43

12 mencapai suhu transisi gelas dan titik leleh. Semakin tinggi kalor jenis, maka kebutuhan energi yang diperlukan juga akan meningkat. Nilai kalor yang rendah akan lebih efisien dari segi energi dan biaya yang dibutuhkan. Pati sagu termoplastis yang dihasilkan dalam penelitian ini tersaji pada Gambar 19. Pati sagu termoplastis dengan konsentrasi gliserol 10% memiliki sifat yang keras, kaku dan rapuh, sedangkan pada konsentrasi gliserol 20%, pati sagu termoplastis cenderung lebih kuat dan hampir tidak ditemukan bagian yang robek sama sekali. Pada konsentrasi 30%, pati sagu termoplastis yang dihasilkan bersifat soft dan weak. Bahan pemlastis memegang peranan penting dalam pembuatan pati termoplastis. Bahan pemlastis dapat berpengaruh negatif terhadap sifat mekanis plastik, yakni jika berlebihan justru akan memberikan sifat soft dan weak, namun pati yang tidak ditambahkan bahan pemlastis akan bersifat rapuh dan getas (Kalambur & Rizvi 2006). Dengan demikian, pada kadar air pati sagu 25%, penambahan gliserol sebanyak 20% merupakan konsentrasi yang tepat dan mampu menghasilkan pati sagu termoplastis yang tidak rapuh serta tidak lemah. Tingginya kadar serat (0,32%) dan kadar amilosa (30,95%) pati sagu juga berkontribusi positif terhadap sifat fisik mekanik pati sagu termoplastis yang dihasilkan. Gliserol 10% Gliserol 20% Gliserol 30% Gambar 19 Pengaruh konsentrasi gliserol terhadap sifat fisik lembaran pati sagu termoplastis. Pemilihan pati sagu termoplastis terbaik yang akan digunakan dalam tahapan penelitian selanjutnya, selain didasarkan pada hasil pengamatan sifat fisik seperti tersaji pada Gambar 19, juga mengacu pada sifat mekanik, yakni kuat tarik dan elongasi. Untuk mendapatkan nilai kuat tarik dan elongasi, pati sagu termoplastis akan dicampur compt-lldpe dengan perbandingan 20:80. 44

13 Hasil analisis mekanik pati sagu termoplastis, yakni nilai kuat tarik dan elongasi plastik tersaji pada Gambar 20 dan Lampiran 4. Dari gambar tersebut diketahui bahwa kuat tarik tertinggi adalah plastik campuran dengan konsentrasi gliserol pati sagu termoplastis sebesar 20%, yang menunjukkan kuat tarik 101,5 kgf/cm 2, sedangkan pada konsentrasi gliserol 30% justru mengalami penurunan kuat tarik menjadi 100 kgf/cm 2. Bahan pemlastis ditambahkan untuk memperlemah kekakuan dari polimer, sekaligus meningkatkan fleksibilitas dan ekstensibilitas polimer (Julianti & Nurminah 2006). Penambahan gliserol yang berlebihan akan melemahkan plastik yang dihasilkan. (Kalambur & Rizvi 2006). Kuat Tarik (kgf/cm²) Konsentrasi Gliserol (%) Kuat tarik (kgf/cm²) Elongasi (%) Elongasi (%) Gambar 20 Pengaruh gliserol terhadap sifat mekanik pati sagu termoplastis. Lourdin et al. (1997) menyatakan bahwa konsentrasi bahan pemlastis dalam jumlah kecil menunjukkan efek antiplastisasi. Dengan adanya interaksi yang kuat antara bahan pemlastis dan pati, ikatan hidrogen muncul dan akan meningkatkan kekuatan bahan (material reinforcement). Pada konsentrasi bahan pemlastis yang lebih tinggi, interaksi antar bahan pemlastis terjadi, diikuti dengan pengembangan pati dan efek plastisasi. Sifat elongasi mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan konsentrasi gliserol. Elongasi pada pati sagu termoplastis dengan kandungan gliserol 30% tertinggi, namun nilainya tidak meningkat drastis jika dibandingkan dengan nilai elongasi pada konsentrasi gliserol 20%. Peningkatan elongasi terjadi dari 12,5% menjadi 15%. Hal ini berbeda dengan peningkatan elongasi pati termoplastis dengan konsentrasi gliserol 10% menjadi 20% yang cukup signifikan 45

14 yakni dari 3% menjadi 12,5%, seperti ditunjukkan pada Gambar 20. Bahan pemlastis, dalam hal ini gliserol mampu meningkatkan fleksibilitas bahan dikarenakan pemlastis yang memiliki bobot molekul rendah dapat menaikkan volume bebas polimer sehingga terbentuk ruangan yang lebih luas untuk meningkatkan gerak segmental yang panjang dari molekul-molekul polimer. Selain itu, titik didih gliserol yang tinggi, polar dan bersifat non volatil juga memberikan keuntungan dalam proses ini. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengujian yang telah dilakukan, baik sifat fisik, mekanik dan data pendukung dari nilai torque, uji mikroskopik dan sifat termal, maka pati sagu termoplastis yang akan digunakan dalam tahapan penelitian selanjutnya adalah pati sagu termoplastis dengan konsentrasi gliserol 20%. Pemilihan pati sagu termoplastis 20% juga memperhatikan efisiensi bahan baku, energi dan biaya produksi, hal ini dikarenakan konsentrasi gliserol juga akan berpengaruh terhadap lama pencampuran dalam rheomix. Semakin tinggi konsentrasi gliserol, waktu pencampuran semakin lama. Artinya kebutuhan energi dan biaya produksi juga akan meningkat. Pencampuran pati sagu termoplastis dan compt.-lldpe Kelemahan pati termoplastis yang utama adalah lemahnya sifat mekanik dan higroskopis. Salah satu upaya untuk mengatasi hal ini adalah melakukan pencampuran dengan polimer sintetis. Penambahan pati terhadap polimer sintetis juga akan memperbaiki kemampuan degradasi. Selain itu, pencampuran dua material ini juga dinilai sebagai jalan tengah untuk menghasilkan biodegradable plastic dengan biaya yang rendah. Dengan demikian faktor lingkungan dan ekonomi keduanya dapat tercapai. Plastik yang menggunakan biodegradable polymer sepenuhnya sebagai bahan baku menuntut biaya yang tinggi dalam pembuatannya, sehingga produk plastik jenis ini hanya diperuntukkan untuk kebutuhan yang lux, seperti dalam dunia kedokteran. Untuk kebutuhan sehari-hari dengan umur pakai yang singkat (sekali pakai atau dapat langsung dibuang) seperti kemasan, maka dibutuhkan plastik dengan biaya yang terjangkau, dengan tetap memperhatikan sifat mekanis dan kemampuan degradasinya. 46

15 Tahap ketiga dari penelitian ini adalah pencampuran pati sagu termoplastis dengan compt.-lldpe pada tiga komposisi, yaitu 20:80 ; 40:60 ; 60:40. Pati sagu termoplastis dan compt.-lldpe yang digunakan dalam tahapan penelitian ini tersaji pada Gambar 21. a b Gambar 21 (a) Pati sagu termoplastis dan b) compt.-lldpe. Kurva torque pencampuran pati sagu termoplastis dan compt.-lldpe disajikan pada Gambar 22 yang menunjukkan bahwa peningkatan komposisi pati sagu termoplastis akan menurunkan nilai torque namun dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk membuat semua bahan tercampur sempurna. Sebaliknya pada komposisi pati sagu termoplastis 20%, energi pencampuran yang dibutuhkan lebih tinggi, sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk proses pencampuran lebih singkat. Gambar 22 Pengaruh komposisi pati sagu termoplastis (PST) terhadap nilai torque plastik. 47

16 Peningkatan komposisi pati sagu termoplastis akan menurunkan nilai torque dikarenakann sifat pati sagu termoplastis yang memiliki nilai T m lebih rendah dibandingkan polimer sintetis, sehingga pati cenderung lebih cepat bersifat amorf dan leleh. Namun demikian, pati sagu termoplastis tidak memiliki kemampuan alir, sehingga membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bisa membentuk campuran yang homogen dengan compt.-lldpe. Damayanti (2003) menyatakan bahwa pati tidak memiliki sifat alir yang akan memudahkan untuk bercampur dengan molekul lain. Dengan demikian, semakin banyak jumlah pati dalam campuran, maka dibutuhkan waktu yang lebih lama, meskipun energi yang dibutuhkan lebih sedikit. Sriroth (1998) juga melaporkan bahwa pati termoplastis, dalam hal ini pati singkong termoplastis dapat dicetak pada suhu o C selama 1-3 menit untuk dapat dilakukan proses pencetakan. PST 20% PST 40% PST 60% (a) (b) Gambar 23 Pengaruh komposisi pati sagu termoplastis (PST) terhadap (a) bongkahan dan (b) lembaran plastik. Hasil plastik campuran berdasarkan komposisi pati sagu termoplastis yang ditambahkan tampak pada Gambar 23. Campuran pati sagu termoplastis dan compt.-lldpe awalnya berbentuk bongkahan yang selanjutnya dilakukan pengecilan ukuran agar dapat dibuat lembaran. Hasil pengamatan secaraa fisik, dari segi warna tidak ada perbedaan yang mencolok antara plastik campuran baik itu pada komposisi pati sagu termoplastis 20:80 ; 40:60 ; 60:40. Namun dari segi 48

17 tekstur, plastik campuran dengan penambahan pati 20% menunjukkan tampilan yang berbeda dibandingkan dua plastik campuran yang lain, sebagai akibat dominasi polimer sintetis yang memang tinggi dalam campuran tersebut yakni 80%. Karakterisasi Plastik A. Karakteristik Mekanik Salah satu karakteristik utama plastik dan memegang peranan penting adalah karakteristik mekanik. Karakteristik ini masih menjadi permasalahan utama pada plastik yang dicampur pati karena pada umumnya plastik akan mengalami penurunan sifat mekanik saat ditambahkan pati. Pada penelitian ini, karakteristik mekanik yang dianalisis meliputi kekuatan tarik dan elongasi. Kekuatan tarik adalah tegangan yang dibutuhkan untuk menahan tegangan yang diberikan. Elongasi didefinisikan sebagai salah satu jenis deformasi. Deformasi merupakan perubahan ukuran yang terjadi saat material di beri gaya. % Elongasi adalah panjang polimer setelah di beri gaya (L) dibagi dengan panjang sampel sebelum diberi gaya (Lo) kemudian dikalikan 100. Pengujian sifat mekanik dari hasil penelitian ini disajikan pada Lampiran 5 dan 6. Dari lampiran tersebut dapat diketahui bahwa kekuatan tarik tertinggi dimiliki oleh plastik campuran dengan komposisi pati 20% sebesar 120 kgf/cm 2. Pada peningkatan komposisi pati sagu termoplastis menjadi 40%, kuat tarik mengalami penurunan menjadi 110 kgf/cm 2. Komposisi pati 60% pada plastik campuran, menghasilkan plastik yang getas sehingga tidak dapat diuji nilai kuat tarik dan elongasinya. Perbedaan sifat yang sangat mendasar pada LLPDE adalah sifat hidrofobik dan polaritas rendah. Hal ini berkebalikan dengan pati sagu termoplastis yang bersifat hidrofilik dengan tingkat polaritas yang tinggi. Selain itu, LLDPE memiliki struktur kristalin dimana molekul-molekulnya tersusun rapat, teratur, dan saling berdekatan sehingga interaksi tarik menarik antar ikatan molekulnya menjadi kuat. Dengan demikian dibutuhkan gaya yang besar untuk memutuskan ikatan antar molekulnya. Masuknya molekul-molekul pati sagu termoplastis ke 49

18 dalam struktur LLDPE menghadirkan molekul amorf yang dapat menyebabkan susunan molekul LLDPE menjadi terganggu dan tidak teratur. Penurunan kuat tarik seiring dengan peningkatan komposisi pati sagu termoplastis terjadi dikarenakan penambahan pati dalam jumlah tinggi menyebabkan kesulitan dalam proses pembentukan plastik (Nikazar et al. 2005). Pati memiliki kemampuan alir yang sangat rendah, sehingga membutuhkan polimer sintetis yang memiliki kemampuan alir lebih tinggi untuk memperbaiki kemampuan alirnya. Komposisi pencampuran pati sagu termoplastis hingga 60% menunjukkan bahwa pati menjadi komponen mayor sedangkan polimer sintetis, dalam hal ini compt.-lldpe merupakan fase minor. Kondisi ini akan menyebabkan proses pembentukan atau pencetakan plastik menjadi sulit karena bahan menjadi susah mengalir sebagai akibat sedikitnya jumlah compt.-lldpe dalam campuran. Pada pemrosesan dengan menggunakan ekstruder, kondisi ini menyebabkan die tersumbat dan ulir sulit bergerak (Kalambur & Rizvi 2006). Sifat plastik yang getas pada komposisi pati sagu termoplastis 60%, juga dapat disebabkan kurangnya bahan pemlastis dalam campuran. Semakin tinggi jumlah pati sagu termoplastis yang ditambahkan dalam campuran dengan polimer sintetis dibutuhkan bahan pemlastis dan bahan aditif yang lebih tinggi pula dengan tujuan untuk memperbaiki sifat-sifat dan proses pencampuran. Pada saat akan dibentuk, campuran plastik dengan pati sagu termoplastis dalam komposisisi yang tinggi akan bersifat agak keras dan rapuh. Untuk membuat lentur dan lebih mudah dalam pemrosesan perlu ditambahkan bahan pemlastis dalam jumlah cukup yang berfungsi sebagai lubrikan. Skema kerja pemlastis untuk memberikan sifat lentur dan lembut dalam campuran polimer disajikan pada Gambar 24. Gambar 24 Skema kerja bahan pemlastis ( 50

19 Polimer yang tidak ditambahkan bahan pemlastis akan bersifat kaku, sedangkan dengan adanya bahan pemlastis, zat ini akan mengisi rongga diantara molekul-molekul besar, mengubah gaya antar molekul dan membuat plastik bersifat lebih lembut. Pemlastis dapat hilang melalui proses penguapan dan difusi. Hal ini dapat ditemukan pada produk plastik tua yang menjadi rapuh dan pecah. Contoh lain adalah pemlastis yang menguap pada jok mobil dapat melekat pada kaca jendela menyerupai kabut yang sulit dibersihkan. Nilai elongasi dapat dilihat pada Lampiran 6. Nilai elongasi dari hasil penelitian ini juga mengalami penurunan seiring dengan peningkatan jumlah pati sagu termoplastis yang ditambahkan. Elongasi pada plastik campuran dengan komposisi pati 20% memberikan hasil elongasi 47%, lebih tinggi dari elongasi pati termoplastis 40%. Pencampuran pati dalam polimer sintetis pada konsentrasi pati 20-30% akan meningkatkan kuat tarik, namun pada penambahan pati lebih lanjut hingga 40% akan menurunkan sifat mekanis cukup signifikan khususnya pada nilai elongasi (Nikazar et al. 2005). Theresia (2003) melaporkan bahwa penambahan konsentrasi tapioka diatas 30% pada pencampuran dengan LLDPE menyebabkan penurunan nilai kuat tarik elongasi yang cukup tajam. Nawang et al. (2001) dalam Nikazar et al. (2005) menunjukkan terjadinya penurunan elongasi dan peningkatan kekuatan tarik pada peningkatan jumlah pati dengan konsentrasi 5-25% dalam campuran LLDPE pati sagu. Chandra dan Rustgi (1997) dalam Nikazar et al. (2005) menyatakan bahwa peningkatan kuat tarik dan penurunan elongasi terjadi seiring dengan peningkatan pati pada konsentrasi 10-60% campuran maleated LLDPE dengan pati jagung. Dari hasil-hasil penelitian tersebut maka dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh antara jenis pati dan komposisi pati yang ditambahkan dalam plastik campuran yang akan berpengaruh pada sifat mekanis plastik. Jenis pati yang memiliki ukuran granula pati kecil dan ukuran partikel yang halus akan berpengaruh positif terhadap sifat mekanis. Penggunaan pati jagung yang memiliki diameter granula lebih kecil dibandingkan pati sagu, dapat ditambahkan dalam campuran plastik dengan konsentrasi pati yang lebih banyak (Nikazar et al. 2005). Hasil karakterisasi pati sagu yang digunakan dalam penelitian ini relatif 51

20 besar yakni berkisar 9,4-91,5 µm. Hal ini turut menyebabkan menurunnya sifat mekanis dari plastik campuran yang dihasilkan. Komposisi pati yang lebih tinggi menjadi titik kritis dalam pendispersian partikel pati dalam matrik LLDPE (Favis et al. 2005). Pada campuran polimer, dispersi antara minor dan matrik merupakan faktor kunci untuk menentukan sifat mekanis. Penggunaan ukuran partikel yang halus untuk fase terdispersi dan pendistribusian yang merata akan meningkatkan kemampuan material untuk mentoleransi beban yang diberikan. Artinya distribusi yang merata pati dalam matrik LLDPE akan menurunkan tingkat tegangan, sehingga material cenderung lebih kuat. Selain ukuran partikel, konsentrasi fase terdispersi dan tingkat dispersi, sifat mekanik plastik juga dikendalikan oleh sifat ikatan interfacial pati dalam matrik LLDPE. Dengan kata lain ikatan gugus hidroksil pada pati dan gugus anhidros pada LLDPE akan sangat berpengaruh (Wang & Liu 2002). Hal ini ditegaskan juga oleh Park et al. (2002) yang menyatakan bahwa sifat mekanik bergantung pada ikatan interfacial yang baik antara gugus hidroksil pada pati dan gugus karboksil pada LLDPE yang telah ditambahkan maleat anhidrida. Dengan kata lain daya rekat dan kemampuan pengikatan compt.-lldpe semakin menurun dengan peningkatan konsentrasi pati sagu termoplastis dalam campuran, sehingga luas permukaan yang terikat juga berkurang. Perbaikan pada ikatan interfacial berperan penting dalam mentransfer tegangan yang diterima material (Wang & Liu 2002). Gambar 25 menunjukkan grafik kuat tarik dan elongasi plastik campuran dengan komposisi pati sagu termoplastis 20 dan 40%. Dari grafik tersebut dapat diketahui bahwa kuat tarik plastik campuran mengalami penurunan yang yang tidak drastis, yakni hanya selisih 10 kgf/cm 2. Hal ini berbeda dengan sifat elongasi yang mengalami penurunan sangat tajam seiring dengan peningkatan jumlah pati yang ditambahkan dalam campuran. Penurunan nilai elongasi pada plastik campuran dari komposisi pati 20% ke 40% mencapai 42%. Berdasarkan nilai standar deviasi, diketahui bahwa penambahan pati sagu termoplastis pada komposisi 20 dan 40% tidak berbeda nyata terhadap nilai kuat tarik, namun terdapat beda nyata untuk nilai elongasi (Lampiran 5 & 6). Artinya, 52

21 jumlah pati sagu termoplastis dalam campuran plastik hingga 40% tidak mempengaruhi kuat tarik plastik yang dihasilkan. Konsentrasi bahan pemlastis 20% pada komposisi ini mampu menjaga fleksibilitas dan mengurangi kekakuan polimer. Selain itu, compatibilizer maleat anhidrida pada konsentrasi 1% mampu menjaga kompatibilitas campuran sehingga kuat tarik tidak mengalami penurunan hingga penambahan pati sagu termoplastis 40%. Namun demikian, kondisi ini memberikan respon yang berbeda untuk komposisi pati sagu termoplastis 60%, sehingga plastik yang dihasilkan pada komposisi ini bersifat sangat rapuh dan getas. Nilai standar deviasi memperlihatkan bahwa penambahan pati sagu termoplastis justru sangat mempengaruhi nilai elongasi yang ditunjukkan dengan adanya beda nyata pada komposisi pati sagu termoplastis 20 dan 40%. Pati sagu termoplastis unggul dalam sifat elastisitas sehingga cenderung menurunkan sifat elongasinya. Kuat Tarik (kgf/cm²) Komposisi Pati Sagu Termoplastis (%) Kuat tarik (kgf/cm²) Elongasi (%) Elongasi (%) Gambar 25 Pengaruh komposisi pati sagu termoplastis terhadap kuat tarik dan elongasi plastik. Dari Gambar 25 juga dapat dilihat bahwa plastik dengan komposisi pati sagu termoplastis 20% memiliki nilai kuat tarik dan elongasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan plastik dengan komposisi pati sagu termoplastis 40%, dimana memiliki nilai kuat tarik yang tinggi namun elongasi sangat rendah. Jenis plastik pertama dapat dikategorikan ke dalam plastik dengan sifat keras dan kuat. 53

22 jenis plastik ini lebih plastis jika ditarik dan tidak mudah patah. Jenis plastik kedua adalah keras dan getas. Profil ini akan menentukan dalam aplikasi produk, dimana plastik yang dihasilkan akan lebih sesuai sebagai bahan untuk kemasan, barang-barang yang kaku dan tidak membutuhkan sifat elongasi atau pemuluran bahan. Dua pengaruh negatif yang muncul saat menambahkan pati kedalam polimer plastik adalah penurunan nilai kuat tarik dan elongasi (Nikazar et al. 2005). Jika dibandingkan dengan kontrol LLDPE yang digunakan dalam penelitian ini, telah terjadi penurunan kuat tarik sebesar 40-45% (Tabel 9). LLDPE memiliki nilai kuat tarik 200 kgf/cm 2 (19,62 MPa), sedangkan kuat tarik plastik campuran dengan komposisi pati sagu termoplastis 20% sebesar 120 kgf/cm 2 (11,78 MPa) dan pada pencampuran pati sagu termoplastis 40%, kuat tariknya yaitu 110 kgf/cm 2 (10,79 MPa). Nilai elongasi LLDPE dinyatakan sebesar 500% ( Dengan demikian, telah terjadi penurunan elongasi yang sangat drastis dari plastik campuran yang dihasilkan dalam penelitian ini. Hal tersebut diduga belum maksimalnya ikatan interfacial antara LLDPE dan pati. Polimer sintetis dan pati berbeda dalam tingkat kepolaran dan hidrofilitas yang menyebabkan reaksi antara gugus hidroksil pati dan ikatan hidrogen atau kovalen polimer sintetis masih belum terbentuk sempurna (Ong & Charoenkongthum 2002). Dalam hal ini, peran bahan pemlastis dan compatibilizer yang ditambahkan masih belum optimal, khususnya pada penambahan pati sagu termoplastis 60%. Tabel 9 Penurunan sifat mekanik plastik Penurunan sifat mekanik plastik pada PST 20% thdp PST 40% Komposisi Kuat tarik Elongasi Kuat tarik Elongasi PST (kgf/cm 2 ) (%) (kgf/cm 2 ) (%) Penurunan sifat mekanik plastik thdp kontrol Kuat tarik (kgf/cm 2 ) Elongasi (%) 20% ,6 40% % 0 0 LLDPE

23 Peningkatan pati secara umum menyebabkan tahap ikatan yang cukup lemah dan penyebaran yang kurang merata (Park et al. 2002). Namun, penurunan kuat tarik yang hanya berbeda 10 kgf/cm 2 pada peningkatan pati dari 20% menjadi 40%, memberikan hasil yang dinilai cukup baik. Corneliussen (2002) menyatakan bahwa nilai kuat tarik LLDPE berada pada kisaran 9-19 MPa. Dengan demikian, plastik campuran yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki nilai kuat tarik yang masih masuk dalam kisaran kuat tarik LLDPE murni, yakni 11,78 MPa dan 10,79 MPa. Jika dibandingkan dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya, hasil penelitian ini juga menunjukkan peningkatan kuat tarik plastik campuran (Tabel 10). Tabel 10 Sifat Mekanik Plastik dari Penelitian-Penelitian Sebelumnya Referensi Kuat Tarik (MPa) Elongasi (%) Keterangan Perlakuan Damayanti 2003 Pati 25% = 10,64 Pati 30% = 8,48 Pati 25% = 426,55 Pati 30% = 302,20 LLDPE-tapioka Asam asetat, natrium bikarbonat,hyamin Shujun et al Pati 50% = 8,75 Pati 50% = 625% LLDPE-pati jagung 30% gliserol, 11% air PE+pati G+MA+DCP Huang et al Pati 50% = 6,7 LDPE-tapioka Argon plasma treatment MA+G C+pati+PE Nikazar et al Pati 40% = 9,059 Pati 40% = 18,915 LDPE-Pati Jagung 2% MA, 5% asam oleat, 0,1% BPO Garg et al Pati 15% = 4,21 Pati 15% = 79,72 LDPE-pati jagung Hasil Penelitian 2009 Pati 20% = 11,78 Pati 20% = 40 LLDPE - sagu Novon Mater BI (Pranamuda 2001) Pati 40% = 10,79 10,07 7,8 Pati 40% = Produk komersial Karakteristik bahan yang ditambahkan dalam suatu polimer campuran, dalam hal ini pati berpengaruh sangat penting pada sifat mekanis plastik campuran yang dihasilkan, khususnya terkait dengan volume, ukuran, bentuk partikel, pendispersian dan ikatan terhadap mariks polimer. Plastik campuran yang dihasilkan dalam penelitian ini telah mengalami peningkatan kuat tarik dibandingkan hasil penelitian sebelumnya walaupun masih belum maksimal. 55

24 Penggunaan maleat anhidrida sebagai compatibilizer mampu membuat campuran kompatibel dengan pendistribusian fase terdistribusi yang baik, meskipun belum membentuk ikatan interfacial yang kokoh antara LLDPE dan pati sagu termoplastis. B. Karakteristik Termal Pengukuran DSC (Differential Scanning Calorimeter) dilakukan untuk mengetahui suhu transisi gelas (glass temperature, T g ) dan titik leleh (melting point, T m ). Berbeda dengan logam, plastik umumnya tidak memiliki titik leleh yang spesifik. Plastik mengalami perubahan sifat atau perilaku mekanik yang jelas pada rentang suhu tertentu yang sangat sempit. Suhu dimana terjadi transisi tersebut dikenal sebagai suhu transisi gelas. Pada suhu tersebut, plastik berubah keadaaan dan perilakunya dari kaku, getas, padat seperti gelas, menjadi fleksibel, lunak dan elastis. Perubahan ini dikarenakan sifat-sifat kristalin pada polimer menjadi amorf. Tingginya suhu transisi gelas tergantung pada struktur rantai molekul polimer yang umumnya sekitar 1/3 hingga 2/3 dari titik leleh (Saptono 2008). Titik leleh mengindikasikan suhu dimana terjadi perubahan wujud padat menjadi cair. Titik leleh disebut juga transisi orde pertama, sedangkan suhu transisi gelas disebut transisi orde kedua (Geoffroy 2004). Perubahan sifat plastik karena pengaruh termal diilustrasikan pada Gambar 26. Gambar 26 Perubahan sifat plastik karena pengaruh termal (Surdia & Saito 1985) 56

25 Termograf DSC memperlihatkan nilai T g, T m dan jumlah kalor seperti ditunjukkan pada Gambar 27. Nilai T g dan T m plastik campuran pati sagu termoplastis dan compt.-lldpe ditunjukkan pada Lampiran 7 dan 8. Dari data tersebut diketahui bahwa untuk nilai T g adalah o C, sedangkan T m berada pada kisaran o C. Gambar 27 Termogram DSC LLDPE, plastik campuran dan pati sagu termoplastis. Nilai termal dalam penelitian ini dipertegas pada Gambar 28 yang memperlihatkan grafik T g dan T m plastik campuran. Dari grafik dapat dijelaskan bahwa nilai T g untuk plastik dengan komposisi pati sagu termoplastis 20%, yakni 38,4 o C. Pada komposisi pati 40 dan 60%, nilai T g keduanya 36 o C. Nilai T g bervariasi bergantung pada struktur molekul spesifik dari polimer dasarnya, berat molekul, distribusi berat molekul dari polimer tersebut, aditif yang ditambahkan ke dalam formula, serta beberapa faktor lain (Umam et al. 2007). Nilai T m pada konsentrasi pati 20 dan 40% cenderung sama, yakni 117 o C, namun mengalami penurunan T m pada konsentrasi pati sagu termoplastis 60%. Hal ini diduga karena pada komposisi pati 60%, material yang dominan adalah 57

26 pati dan bukan LLDPE, sebaliknya, pada plastik campuran dengan konsentrasi pati 20 dan 40%, material yang dominan adalah LLDPE. Suhu transisi gelas ( C) LLDPE PST Titik leleh ( C) Komposisi pati sagu termoplastis (%) suhu transisi gelas ( C) titik leleh ( C) Gambar 28 Pengaruh komposisi pati sagu termoplastis terhadap titik leleh dan suhu transisi gelas plastik. Nilai-nilai tersebut tidak menunjukkan beda nyata pada α=0,05 untuk semua komposisi pati sagu termoplastis dan compt.-lldpe (Lampiran 7 & 8). Nilai T g dan T m plastik campuran merupakan perpaduan dari nilai T g dan T m dari bahan penyusun, yaitu pati sagu termoplastis dan LLDPE, khususnya bahan yang dominan. Tabel 11 menunjukkan perbandingan nilai T g dam T m plastik campuran dan komponen penyusun yaitu pati sagu termoplastis dan LLDPE. Nilai T g dan T m plastik campuran pada berbagai komposisi pati sagu termoplastis cenderung sama dan tidak ada peningkatan yang drastis. Idemat (1998) menyatakan bahwa pati termoplastis memiliki nilai T g o C dan nilai T m o C. LLDPE memiliki nilai T m 120 hingga 160 C ( Nilai T g dan T m sangat diperlukan untuk menentukan kondisi proses dan aplikasi produk yang dihasilkan. Sebagai contoh, polimer dengan T m tinggi membutuhkan energi lebih besar untuk bisa mencairkan dan mencetak polimer. Plastik agar dapat berfungsi dengan baik dalam penentuan fungsional suatu produk plastik, maka suhu T g harus cukup lebih tinggi daripada suhu lingkungan kerja ketika dipakai (Stevens 2007). 58

27 Tabel 11 Perbandingan suhu transisi gelas (T g ), titik leleh (T m ), Kalor Jenis (c) dan Jumlah Kalor (Q) plastik campuran serta bahan penyusun Komposisi pati sagu termoplastis dalam plastik (%) T g ( o C) Kebutuhan energi pada suhu transisi gelas (mj) T m ( o C) Kebutuhan energi pada titik leleh (mj) Kalor jenis (mj/deg.mg) 20 38,4 9, ,70 20, , ,9 7, ,50 16, , ,8 3, ,25 6, , Kontrol Pati Sagu 37,7 7, ,40 11, , Termoplastis Kontrol LLDPE 37,9 1, ,50 3, , * Data rata-rata dari dua ulangan, tidak ada beda nyata pada α = 0,05 Pada umumnya polimer dengan T g dibawah suhu ruang menunjukkan sifat fleksibilitas dan ketahanan yang tinggi terhadap cracking, tetapi dengan adanya penurunan suhu, sifat tersebut dapat berubah drastis dan polimer menjadi getas hanya dengan beban yang rendah. Hal tersebut dikarenakan polimer memiliki rantai molekul yang panjang dan saling tumpang tindih. Jika polimer berada pada suhu ruang, gerakan antar rantai polimer dapat saling menyesuaikan dan meregang. Namun, jika polimer itu didinginkan, rantai tersebut akan menempel satu sama lain dan tidak dapat meregang lagi, sehingga polimer tersebut akan menjadi kaku. Titik leleh pada polimer ditentukan oleh tipe polimer yang digunakan. Pada polimer amorf, suhu yang penting adalah T g, sedangkan pada polimer kristalin dan semi-kristalin, suhu yang lebih utama adalah T m. Suhu transisi gelas umumnya tidak memiliki transisi yang jelas antara rubbery state dan glass regions dan umumnya berkisar antara o C. Jika polimer didinginkan di bawah T g, polimer menjadi stabil dan tidak terjadi transisi lagi. Polimer dengan T g di atas suhu ruang akan mengalami glassy state pada suhu ruang. Polimer dengan T g di bawah suhu ruang akan mengalami rubbery state pada suhu ruang sehingga akan cenderung fleksibel dan sulit dihancurkan pada suhu ruang (Umam et al. 2007). Jumlah kalor pada transisi gelas maupun titik leleh menunjukkan terjadinya penurunan seiring dengan meningkatnya komposisi pati sagu termoplastis dalam campuran plastik. Hal ini disajikan pada Tabel 11 dan Lampiran Dominasi komponen penyusun turut menentukan nilai kalor yang dibutuhkan pada suhu 59

28 transisi gelas, titik leleh, maupun kalor jenis. Jumlah kalor akan berkaitan dengan kebutuhan energi yang diperlukan untuk mencapai suhu transisi gelas maupun titik leleh. Namun demikian, sama halnya dengan suhu transisi gelas dan titik leleh, kebutuhan kalor tidak menunjukkan beda nyata pada α=0,05. Artinya, meskipun terjadi kecenderungan penurunan kebutuhan kalor dengan peningkatan komposisi pati sagu termoplastis dalam campuran, namun hal tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap energi yang dibutuhkan. C. Karakteristik Biodegradasi Pati termoplastis dapat diproduksi dari berbagai sumber tanaman seperti gandum, jagung, kentang, beras, tapioka dan sagu. Pati termoplastis dapat terdegradasi dengan adanya air, energi mekanis, peningkatan suhu dan enzim (Idemat 1998). Pati dalam pencampuran dengan polimer sintetis dapat meningkatkan kemampuan biodegradasi dikarenakan terjadi peningkatan luasan permukaan polimer sebagai akibat dari hidrolisis pati oleh mikroorganisme. Mikroorganisme yang mengkonsumsi pati akan membentuk pori-pori dalam matrik polimer dan memberikan gugus-gugus yang rentan untuk terdegradasi (Park et al. 2002). Dalam penelitian ini pengujian kemampuan biodegradasi plastik dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Pengujian Biodegradabilitas Plastik Campuran secara Kualitatif Pengujian kualitatif biodegradabilitas plastik dilakukan berdasarkan ASTM G Dalam metode ini, sampel plastik berbentuk lembaran tipis berukuran 3x3 cm 2 ditempatkan pada media PDA (Potato Dextrose Agar) dan diinokulasikan dengan kapang Penicillium sp. Sampel diinkubasi pada suhu 29±1 o C selama 1 minggu. Pada penelitian ini, digunakan dua jenis kapang, yakni Penicillium sp. dan Aspergillus niger Pertumbuhan koloni kapang diterjemahkan dalam bentuk ranking 0-4, dimana ranking 1 menunjukkan pertumbuhan koloni kapang terendah, artinya tingkat biodegradabilitas juga rendah, sedangkan ranking 4 menunjukkan pertumbuhan koloni kapang tertinggi, dengan kata lain tingkat biodegradabilitasnya juga tinggi. Pengujian biodegradabilitas secara kualitatif ditunjukkan pada Gambar 29. Pada plastik LLDPE yang digunakan sebagai kontrol sama sekali tidak ada 60

29 pertumbuhan kapang. Konsentrasi pati sagu termoplastis (PST) 20% menunjukkan pertumbuhan koloni yang sedikit, atau berada pada ranking ke-1, yakni hanya 10% koloni kapang yang tumbuh menutupi sampel plastik, sedangkan pada komposisi pati sagu termoplastis 40 dan 60%, pertumbuhan koloni kedua sampel sama, yaitu koloni yang tumbuh berada pada ranking ke-4 dengan pertumbuhan koloni mencapai %, baik pada sampel yang menggunakan kapang Penicillium sp. maupun Aspergillus niger. Kapang dapat tumbuh maksimal dalam campuran pati dan LLDPE hanya ketika konsentrasi pati diatas 30% dan memunculkan peningkatan pori-pori yang signifikan. Hal ini dikarenakan adanya penetrasi dan proses metabolisme kapang dalam pati (Nikazar et al. 2005). Mikroorganisme, dalam hal ini kapang akan memproduksi enzim yang mampu memecah pati dalam plastik menjadi segmen yang lebih kecil dengan berat molekul yang lebih rendah. Kondisi ini menyebabkan material polimer dapat terdegradasi dalam lingkungan (Nakamura et al. 2005). Glukosa yang dihasilkan dari hidrolisis pati oleh enzim akan digunakan kapang sebagai sumber karbon (Vinhas et al. 2007). Gambar 29 Pengujian biodegradabilitas plastik secara kualitatif menggunakan kapang Penicillium sp. (atas) dan Aspergillus niger (bawah). 61

30 Pengujian Biodegradabilitas Plastik Campuran secara Kuantitatif Pati terdiri dari amilosa dan amilopektin yang memiliki daerah kristalin dan amorph. Adanya enzim mampu memutus molekul-molekul penyusun pati menjadi unit-unit yang lebih sederhana yang terdiri dari unit-unit glukosa. Pengujian kuantitatif biodegradabilitas plastik campuran dilakukan dengan mereaksikan sampel plastik berbentuk lembaran tipis berbobot 10 mg dengan 1 ml enzim α- amilase (26.087,09 IU) dalam 9 ml larutan buffer phosphate ph 7 dan diinkubasi selama 17 jam pada suhu 37 o C. Dari reaksi ini akan diketahui berapa jumlah pati yang terhidrolisis yang ditunjukkan dengan banyaknya nilai gula reduksi yang dihasilkan. Nilai gula reduksi ini dapat diasumsikan sebagai bagian bobot yang hilang karena proses degradasi. Nilai-nilai tersebut dapat dikonversi kedalam nilai persentase bagian terdegradasi yang merepresentasikan tingkat degradasi dari plastik campuran. Biodegradabilitas plastik dari hasil penelitian ini dapat dilihat pada Gambar Biodegradabilitas (%) Komposisi pati sagu termoplastis (%) Gambar 30 Pengaruh komposisi pati sagu termoplastis terhadap biodegradabilitas plastik. Hasil pengujian kuantitatif biodegradabilitas dan analisis sidik ragam disajikan pada Lampiran 11 yang menunjukkan bahwa komposisi pati sagu termoplastis berbeda nyata terhadap nilai biodegradabilitas plastik campuran. Uji lanjut yang dilakukan memperlihatkan hasil bahwa beda nyata terjadi pada semua komposisi pati sagu termoplastis dan compt.-lldpe, baik itu pada komposisi 20:80, 40:60 dan 60:40. 62

31 Seperti tampak pada Gambar 30, biodegradabilitas plastik mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan konsentrasi pati yang ditambahkan, yakni 3,15; 24,7 dan 50,45% masing-masing pada komposisi pati sagu termoplastis 20, 40 dan 60% yang dicampurkan dengan compt-lldpe. Dari data-data diatas dapat dijelaskan bahwa semakin tinggi komposisi pati dalam campuran, maka bobot bahan yang hilang karena terdegradasi juga semakin besar. Keberadaan pati jelas akan meningkatkan nilai degradasinya karena semakin banyak bagian yang mampu dipecah oleh enzim. Hasil pengujian ini juga memperlihatkan bahwa pada plastik campuran dengan konsentrasi pati sagu termoplastis rendah, persentase bagian yang terdegradasi sangat kecil, yakni 3,15%. Nilai tersebut mempertegas hasil uji biodegradabilitas secara kualitatif, dimana pada komposisi ini pertumbuhan koloni kapang yang menutup sampel hanya 10%. LLDPE yang dominan dalam campuran, yakni mencapai 80% mempengaruhi rendahnya reaksi enzimatis yang terjadi. Pada komposisi campuran ini terjadi enkapsulasi pati dalam matrik LLDPE, sehingga enzim tidak mampu menghidrolisis pati. Ukuran granula pati juga berpengaruh terhadap tingkat kemudahan degradasi. Semakin kecil ukuran granula, maka proses degradasi akan lebih mudah. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa ukuran granula pati sagu dalam penelitian ini cukup besar yakni berkisar 9,4-91,5 µm. Hal ini menjadi dasar nilai degradasi plastik campuran yang belum maksimal. Pada plastik campuran dengan konsentrasi pati tinggi, presentase plastik yang dapat terdegradasi mencapai 50,45%. Dalam campuran ini, pati sagu termoplastis merupakan komponen yang mendominasi sebesar 60%, sedangkan LLDPE sebagai fase minor. Artinya, proses hidrolisis yang dilakukan oleh enzim hampir sempurna. Dengan demikian, tingkat biodegradabilitas plastik akan berkesesuaian dengan komposisi pati dalam campuran plastik. D. Karakteristik Morfologi Morfologi campuran polimer berpengaruh penting dalam menentukan sifat produk akhir, khususnya pada sifat mekanis. Pada umumnya, komponen mayor dalam campuran akan membentuk fase continuous, sedangkan komponen minor 63

32 sebagai fase terdispersi. Namun demikian, karena volume dari komponen minor meningkat hingga volume tertentu, hal ini akan merubah fase dari terdispersi menjadi fase continuous (Shujun et al. 2005). Morfologi pencampuran yang baik bergantung pada adanya pendistribusian dan ikatan interfacial antara fase terdispersi dan fase continuous. Ikatan interfacial terbentuk jika fase pemisahan antara bagian penyusun mayor dan minor tidak tampak secara jelas. Pada komposisi 20:80 dan 40:60 fase terdispersi adalah pati sagu termoplastis, sedangkan fase continuous adalah compt.-lldpe, sebaliknya pada komposisi 60:40, fase terdispersi adalah compt.-lldpe dan fase continuous adalah pati sagu termoplastis. Namun demikian, pada komposisi 40:60 dan 60:40, dengan jumlah pati sagu termoplastis dan LLDPE yang hampir seimbang, diharapkan fase terdispersi akan berubah menjadi fase continuous. Gambar 31 menunjukkan pengaruh komposisi campuran pati sagu termoplastis dan compt-lldpe terhadap sifat morfologi plastik dan homogenitasnya. Gambar yang ditunjukkan adalah struktur morfologi sebelum dan sesudah plastik campuran mengalami reaksi enzimatis dengan α-amilase sehingga sifat pencampuran dan homogenitas akan semakin jelas. Dengan adanya reaksi enzimatis, bagian yang mampu terhidrolisis oleh pati tidak akan tampak dan hanya akan menyisakan lubang-lubang yang bisa memperlihatkan tingkat dispersi pati dan sifat permukaan pencampuran. Seperti terlihat pada Gambar 31, plastik campuran sebelum mengalami perlakuan enzim, menunjukkan permukaan yang rata dan cenderung halus, baik pada pengamatan SEM dengan perbesaran 200x maupun 5000x. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa pati sagu termoplastis dan compt.-lldpe dapat bercampur dengan baik. Pengecilan ukuran pati sagu hingga 200 mesh pada saat persiapan bahan berpengaruh positif terhadap dispersi kedalam matrik polimer. Permukaan yang kasar mengartikan bahwa campuran masih belum kompatibel. Permukaan yang halus dikarenakan compatibilizer maleat anhidrida mampu meningkatkan kompatibilitas antara pati sagu termoplastis dan polimer sintetis serta menstabilkan morfologi dalam proses pencampuran (Nikazar et al. 2005). Namun demikian, seiring dengan peningkatan pati sagu termoplastis dalam campuran hingga 60% terlihat partikel-partikel yang tidak bercampur merata dan - 64

33 Morfologi plastik sebelum dan sesudah direaksikan dengan enzim α-amilase Perbesaran 2000 x Perbesaran 5000 x Sebelum reaksi Sesudah reaksi Sebelum reaksi Sesudah reaksi Komposisi Pati sagu termoplastis dan compt-lldpe 20:800 Komposisi Pati sagu termoplastis dan compt-lldpe 40:600 Komposisi Pati sagu termoplastis dan compt-lldpe 60:400 Gambar 31 Pengaruh komposisi pati sagu termoplastis terhadap morfologi dan homogenitas plastik dengan enzim α-amilase. sebelum dan sesudah direaksikan 65

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Penggunaan produk plastik berbahan baku polietilen telah memberikan banyak sekali keuntungan terhadap kehidupan manusia, akan tetapi penggunaan plastik juga telah mengancam kelestarian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Plastik merupakan polimer yang banyak diaplikasikan secara global oleh manusia karena berbagai keunggulannya. Namun permasalahan kemudian muncul ketika plastik telah dibuang ke

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : bahan baku pembuatan pati termoplastis yang terdiri dari tapioka dan onggok hasil produksi masyarakat

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN 1. Bahan Bahan baku pembuatan pati terdiri atas tapioka dan pati sagu yang diperoleh dari pengolahan masyarakat secara tradisional dari daerah Cimahpar (Kabupaten

Lebih terperinci

PRODUKSI BIODEGRADABLE PLASTIC MELALUI PENCAMPURAN PATI SAGU TERMOPLASTIS DAN COMPATIBILIZED LINEAR LOW DENSITY POLYETHYLENE MARIA ULFA CHRISTIANTY

PRODUKSI BIODEGRADABLE PLASTIC MELALUI PENCAMPURAN PATI SAGU TERMOPLASTIS DAN COMPATIBILIZED LINEAR LOW DENSITY POLYETHYLENE MARIA ULFA CHRISTIANTY PRODUKSI BIODEGRADABLE PLASTIC MELALUI PENCAMPURAN PATI SAGU TERMOPLASTIS DAN COMPATIBILIZED LINEAR LOW DENSITY POLYETHYLENE MARIA ULFA CHRISTIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat

2.6.4 Analisis Uji Morfologi Menggunakan SEM BAB III METODOLOGI PENELITIAN Alat dan Bahan Penelitian Alat DAFTAR ISI ABSTRAK... i ABSTRACK... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... ix DAFTAR ISTILAH... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang...

Lebih terperinci

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran

2 Tinjauan Pustaka. 2.1 Polimer. 2.2 Membran 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Polimer Polimer (poly = banyak, meros = bagian) merupakan molekul besar yang terbentuk dari susunan unit ulang kimia yang terikat melalui ikatan kovalen. Unit ulang pada polimer,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KOMPOSISI SAMPEL PENGUJIAN Pada penelitian ini, komposisi sampel pengujian dibagi dalam 5 grup. Pada Tabel 4.1 di bawah ini tertera kode sampel pengujian untuk tiap grup

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Penelitian, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

Lampiran 1. Alat-alat untuk karakteristik plastik komposit yang digunakan 1.1. Rheocord Mixer (Rheomix) 3000 HAAKE

Lampiran 1. Alat-alat untuk karakteristik plastik komposit yang digunakan 1.1. Rheocord Mixer (Rheomix) 3000 HAAKE 70 Lampiran 1. Alat-alat untuk karakteristik plastik komposit yang digunakan 1.1. Rheocord Mixer (Rheomix) 3000 HAAKE 1.2. Ekstruder Dua Ulir Simulator 1.3. Universal Testing Machine (UTM) 71 1.4. Scanning

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 SIFAT MEKANIK PLASTIK Sifat mekanik plastik yang diteliti terdiri dari kuat tarik dan elongasi. Sifat mekanik diperlukan dalam melindungi produk dari faktor-faktor mekanis,

Lebih terperinci

4 Hasil dan pembahasan

4 Hasil dan pembahasan 4 Hasil dan pembahasan 4.1 Sintesis dan Pemurnian Polistiren Pada percobaan ini, polistiren dihasilkan dari polimerisasi adisi melalui reaksi radikal dengan inisiator benzoil peroksida (BPO). Sintesis

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat ini pemanfaatan polimer telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Sebagai contoh yang sering kita jumpai sehari-hari adalah plastik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pada lima puluh tahun terakhir, produk-produk yang dibuat dari bahan plastik telah menjadi kebutuhan sehari-hari. Bahan plastik ini mempunyai keunggulan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dewasa ini penggunaan plastik di Indonesia sebagai bahan kemasan pangan untuk memenuhi kebutuhan sehari hari sangat besar (mencapai 1,9 juta ton di tahun 2013) (www.kemenperin.go.id),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. konsumsi masyarakat, khususnya untuk plastik kemasan. Berdasarkan data

I. PENDAHULUAN. konsumsi masyarakat, khususnya untuk plastik kemasan. Berdasarkan data 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Produksi plastik di Indonesia mengalami peningkatan seiring dengan kenaikan konsumsi masyarakat, khususnya untuk plastik kemasan. Berdasarkan data INAPLAS

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan)

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan) 4. PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan) Karakteristik mekanik yang dimaksud adalah kuat tarik dan pemanjangan

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Hasil Pemeriksaan Bahan Baku Ibuprofen BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Pemeriksaan bahan baku dilakukan untuk menjamin kualitas bahan yang digunakan dalam penelitian ini. Tabel 4.1 dan 4.2 menunjukkan hasil pemeriksaan bahan baku. Pemeriksaan

Lebih terperinci

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi

POLISAKARIDA. Shinta Rosalia Dewi POLISAKARIDA Shinta Rosalia Dewi Polisakarida : polimer hasil polimerisasi dari monosakarida yang berikatan glikosidik Ikatan glikosidik rantai lurus dan rantai bercabang Polisakarida terbagi 2 : Homopolisakarida

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Pengeringan yang dilakukan dua kali dalam penelitian ini bertujuan agar pengeringan pati berlangsung secara merata. Setelah dikeringkan dan dihaluskan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pada bab ini akan disajikan hasil karakterisasi yang sudah dilakukan.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pada bab ini akan disajikan hasil karakterisasi yang sudah dilakukan. 24 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan untuk mengukur nilai sifat mekanis hasil sintesis dan kualitas hasil sintesis pada bahan dasar kaca laminating dan tempered. Sifat mekanis yang diukur

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENELITIAN PENDAHULUAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mengetahui kadar proksimat dari umbi talas yang belum mengalami perlakuan. Pada penelitian ini talas yang digunakan

Lebih terperinci

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties)

2. Karakteristik Pasta Selama Pemanasan (Pasting Properties) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK PATI SAGU DAN AREN HMT 1. Kadar Air Salah satu parameter yang dijadikan standard syarat mutu dari suatu bahan atau produk pangan adalah kadar air. Kadar air merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengujian Agregat Penelitian ini menggunakan agregat kasar, agregat halus, dan filler dari Clereng, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Hasil pengujian agregat ditunjukkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah merupakan tempat sampah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah merupakan tempat sampah 5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tempat Pembuangan Akhir Sampah Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah merupakan tempat sampah mencapai tahap akhir dalam pengelolaannya. Menurut Sularmo, Buchari, Jaya, dan Tugiyono

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat.

BAB I PENDAHULUAN. Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pati merupakan polisakarida yang terdiri atas unit-unit glukosa anhidrat. Komposisi utama pati adalah amilosa dan amilopektin yang mempunyai sifat alami berbeda-beda.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Onggok Sebelum Pretreatment Onggok yang digunakan dalam penelitian ini, didapatkan langsung dari pabrik tepung tapioka di daerah Tanah Baru, kota Bogor. Onggok

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan baku pembuatan biodegradable foam terdiri atas tapioka komersial yang dapat diperoleh di pasar dan ampok jagung yang diperoleh dari sisa pengolahan

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI AWAL BAHAN Karakterisistik bahan baku daun gambir kering yang dilakukan meliputi pengujian terhadap proksimat bahan dan kadar katekin dalam daun gambir kering.

Lebih terperinci

SINTESA DAN UJI BIODEGRADASI POLIMER ALAMI

SINTESA DAN UJI BIODEGRADASI POLIMER ALAMI SINTESA DAN UJI BIODEGRADASI POLIMER ALAMI Suryani Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe Jl. Banda Aceh Medan Buketrata - Lhokseumawe Email : suryani_amroel@yahoo.com Abstrak Pati (khususnya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi

PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penilitian, dan

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Polistirena Polistirena disintesis melalui polimerisasi adisi radikal bebas dari monomer stirena dan benzoil peroksida (BP) sebagai inisiator. Polimerisasi dilakukan

Lebih terperinci

Laboratorium Teknologi Pengolahan Limbah Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh November

Laboratorium Teknologi Pengolahan Limbah Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Industri Institut Teknologi Sepuluh November PENGARUH PENAMBAHAN KHITOSAN DAN PLASTICIZER GLISEROL PADA KARAKTERISTIK PLASTIK BIODEGRADABLE DARI PATI LIMBAH KULIT SINGKONG Disusun oleh : 1. I Gede Sanjaya M.H. (2305100060) 2. Tyas Puspita (2305100088)

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Air air merupakan parameter yang penting pada produk ekstrusi. air secara tidak langsung akan ikut serta menentukan sifat fisik dari produk seperti kerenyahan produk dan hal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS B. TEPUNG BERAS KETAN II. TINJAUAN PUSTAKA A. TEPUNG BERAS Beras merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia sejak dahulu. Sebagian besar butir beras terdiri dari karbohidrat jenis pati. Pati beras terdiri dari dua fraksi

Lebih terperinci

Tabel 3. Hasil uji karakteristik SIR 20

Tabel 3. Hasil uji karakteristik SIR 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU 1. Karakteristik SIR 20 Karet spesifikasi teknis yang digunakan dalam penelitian ini adalah SIR 20 (Standard Indonesian Rubber 20). Penggunaan SIR 20

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bahan makanan pada umumnya sangat sensitif dan mudah mengalami penurunan kualitas karena faktor lingkungan, kimia, biokimia, dan mikrobiologi. Penurunan kualitas bahan

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Pengujian Agregat. Hasil pengujian agregat ditunjukkan dalam Tabel 5.1.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Hasil Pengujian Agregat. Hasil pengujian agregat ditunjukkan dalam Tabel 5.1. BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengujian Agregat Hasil pengujian agregat ditunjukkan dalam Tabel 5.1. Tabel 5.1 Hasil pengujian agregat kasar dan halus No Jenis Pengujian Satuan Hasil Spesifikasi

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Karakteristik menir segar Karakteristik. pengujian 10,57 0,62 0,60 8,11 80,20 0,50 11,42 18,68. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MENIR SEGAR Pengujian karakteristik dilakukan untuk mengetahui apakah bahan baku yang nantinya akan digunakan sebagai bahan pengolahan tepung menir pragelatinisasi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7)

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Polistiren adalah salah satu contoh polimer adisi yang disintesis dari monomer stiren. Pada suhu ruangan, polistirena biasanya bersifat termoplastik padat dan dapat

Lebih terperinci

Pati ubi kayu (tapioka)

Pati ubi kayu (tapioka) Pengaruh Heat Moisture Treatment (HMT) Pada Karakteristik Fisikokimia Tapioka Lima Varietas Ubi Kayu Berasal dari Daerah Lampung Elvira Syamsir, Purwiyatno Hariyadi, Dedi Fardiaz, Nuri Andarwulan, Feri

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang 15 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Polimer adalah makromolekul (molekul raksasa) yang tersusun dari satuan-satuan kimia sederhana yang disebut monomer, Misalnya etilena, propilena, isobutilena dan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Proses Pengkondisian Grits Jagung Proses pengkondisian grits jagung dilakukan dengan penambahan air dan dengan penambahan Ca(OH) 2. Jenis jagung yang digunakan sebagai bahan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bekatul Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang berasal dari berbagai varietas padi. Bekatul adalah bagian terluar dari bagian bulir, termasuk sebagian kecil endosperm

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Agregat dari AMP Sinar Karya Cahaya (Laboratorium Transportasi FT-UNG, 2013)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1. Hasil Pemeriksaan Agregat dari AMP Sinar Karya Cahaya (Laboratorium Transportasi FT-UNG, 2013) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Agregat Penelitian ini menggunakan agregat dari AMP Sinar Karya Cahaya yang berlokasi di Kecamatan Bongomeme. Agregat dari lokasi ini kemudian diuji di Laboratorium Transportasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan

Lebih terperinci

KIMIA. Sesi. Polimer A. PENGELOMPOKAN POLIMER. a. Berdasarkan Asalnya

KIMIA. Sesi. Polimer A. PENGELOMPOKAN POLIMER. a. Berdasarkan Asalnya KIMIA KELAS XII IPA - KURIKULUM GABUNGAN 19 Sesi NGAN Polimer Polimer adalah suatu senyawa raksasa yang tersusun dari molekul kecil yang dirangkai berulang yang disebut monomer. Polimer merupakan kelompok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plastik adalah bahan yang banyak sekali di gunakan dalam kehidupan manusia, plastik dapat di gunakan sebagai alat bantu yang relative kuat, ringan, dan mempunyai

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2)

PENDAHULUAN. Bab ini akan menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

PROSES PEMBUATAN BIOPLASTIK BERBASIS PATI SORGUM DENGAN PENGISI BATANG SINGKONG

PROSES PEMBUATAN BIOPLASTIK BERBASIS PATI SORGUM DENGAN PENGISI BATANG SINGKONG Deskripsi PROSES PEMBUATAN BIOPLASTIK BERBASIS PATI SORGUM DENGAN PENGISI BATANG SINGKONG Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan proses pembuatan bioplastik, lebih khusus lagi proses pembuatan

Lebih terperinci

SINTESA PLASTIK BIODEGRADABLE DARI PATI SAGU DENGAN GLISEROL DAN SORBITOL SEBAGAI PLASTICIZER

SINTESA PLASTIK BIODEGRADABLE DARI PATI SAGU DENGAN GLISEROL DAN SORBITOL SEBAGAI PLASTICIZER SEMINAR NASIONAL KIMIA DAN PENDIDIKAN KIMIA V Kontribusi Kimia dan Pendidikan Kimia dalam Pembangunan Bangsa yang Berkarakter Program Studi Pendidikan Kimia Jurusan PMIPA FKIP UNS Surakarta, 6 April 2013

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plastik merupakan suatu bahan yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Banyak peralatan atau produk yang digunakan terbuat dari plastik dan sering digunakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN I.1. LATAR BELAKANG Limbah plastik sintetik menjadi salah satu permasalahan yang paling memprihatinkan di Indonesia. Jenis plastik yang beredar di masyarakat merupakan plastik sintetik

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Plastik banyak digunakan untuk berbagai hal, di antaranya sebagai pembungkus makanan, alas makan dan minum, untuk keperluan sekolah, kantor, automotif dan berbagai

Lebih terperinci

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin

Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Larutan Perendam terhadap Rendemen Gelatin 4. PEMBAHASAN Dalam penelitian ini dilakukan proses ekstraksi gelatin dari bahan dasar berupa cakar ayam broiler. Kandungan protein dalam cakar ayam broiler dapat mencapai 22,98% (Purnomo, 1992 dalam Siregar

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 asil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Polistiren Sintesis polistiren dilakukan dalam reaktor polimerisasi dengan suasana vakum. al ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kontak dengan udara karena stiren

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Pasar untuk bahan-bahan yang berasas minyak tumbuhan sangat berkembang disebabkan oleh keuntungan-keuntungan dalam hal ekonomi, lingkungan dan ketersediaannya. Bahan-bahan

Lebih terperinci

EFEK KECEPATAN PENGADUKAN TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS PRODUK BIOPLASTIK SORGUM ABSTRAK

EFEK KECEPATAN PENGADUKAN TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS PRODUK BIOPLASTIK SORGUM ABSTRAK KELOMPOK A EFEK KECEPATAN PENGADUKAN TERHADAP PENINGKATAN KUALITAS PRODUK BIOPLASTIK SORGUM Yuli Darni, Garibaldi,, Lia Lismeri, Darmansyah Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Lampung Jl Prof.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Buah Kurma Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah kurma dalam bentuk yang telah dikeringkan dengan kadar air sebesar 9.52%. Buah kurma yang

Lebih terperinci

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan Pragel Pati Singkong Pragel pati singkong yang dibuat menghasilkan serbuk agak kasar berwarna putih. Rendemen pati yang dihasilkan adalah sebesar 90,0%.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pengemasan merupakan proses perlindungan suatu produk pangan yang bertujuan menjaga keawetan dan konsistensi mutu. Produk yang dikemas akan memiliki masa simpan relatif

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan

BAB III METODE PENELITIAN. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan 25 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan, dimulai dari bulan Januari 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Fisika Material jurusan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tahun. Menurut data FAO (2008), pada tahun konsumsi kentang. di Indonesia adalah 1,92 kg/kapita/tahun.

I. PENDAHULUAN. tahun. Menurut data FAO (2008), pada tahun konsumsi kentang. di Indonesia adalah 1,92 kg/kapita/tahun. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum) merupakan tanaman hortikultura yang mempunyai kandungan kalori dan mineral penting bagi kebutuhan manusia (Dirjen Gizi, 1979). Meskipun kentang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ampok Jagung (Corn Hominy) Jagung merupakan serealia nomor dua setelah padi di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (2010), produksi jagung nasional pada tahun 2009 mencapai

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam

Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi. atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam Untuk mengetahui pengaruh ph medium terhadap profil disolusi atenolol dari matriks KPI, uji disolusi juga dilakukan dalam medium asam klorida 0,1 N. Prosedur uji disolusi dalam asam dilakukan dengan cara

Lebih terperinci

4 Hasil dan Pembahasan

4 Hasil dan Pembahasan 4 Hasil dan Pembahasan 4.1 Sintesis Distanoksan Sintesis distanoksan dilakukan dengan mencampurkan dibutiltimah(ii)oksida dan dibutiltimah(ii)klorida (Gambar 3.2). Sebelum dilakukan rekristalisasi, persen

Lebih terperinci

PEMBUATAN KOMPOSIT DARI SERAT SABUT KELAPA DAN POLIPROPILENA. Adriana *) ABSTRAK

PEMBUATAN KOMPOSIT DARI SERAT SABUT KELAPA DAN POLIPROPILENA. Adriana *)   ABSTRAK PEMBUATAN KOMPOSIT DARI SERAT SABUT KELAPA DAN POLIPROPILENA Adriana *) email: si_adramzi@yahoo.co.id ABSTRAK Serat sabut kelapa merupakan limbah dari buah kelapa yang pemanfaatannya sangat terbatas. Polipropilena

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemasan memiliki fungsi utama untuk melindungi produk dari kerusakan

I. PENDAHULUAN. Kemasan memiliki fungsi utama untuk melindungi produk dari kerusakan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengemasan adalah salah satu hal yang sangat penting dalam industri pangan. Kemasan memiliki fungsi utama untuk melindungi produk dari kerusakan lingkungan, menjaga kualitas

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisikokimia Kadar Air

BAB V PEMBAHASAN 5.1. Sifat Fisikokimia Kadar Air BAB V PEMBAHASAN Cake beras mengandung lemak dalam jumlah yang cukup tinggi. Lemak yang digunakan dalam pembuatan cake beras adalah margarin. Kandungan lemak pada cake beras cukup tinggi, yaitu secara

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur

2 TINJAUAN PUSTAKA. Umbi Iles-iles. Umbi Walur 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Umbi Walur (Amorphophallus campanulatus var. sylvetris) Amorphopallus campanulatus merupakan tanaman yang berbatang semu, mempunyai satu daun tunggal yang terpecah-pecah dengan tangkai

Lebih terperinci

DAFTAR LAMPIRAN. No. Judul Halaman. 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan a. Ekstraksi pati ganyong... 66

DAFTAR LAMPIRAN. No. Judul Halaman. 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan a. Ekstraksi pati ganyong... 66 DAFTAR LAMPIRAN No. Judul Halaman 1. Pelaksanaan dan Hasil Percobaan Pendahuluan... 66 a. Ekstraksi pati ganyong... 66 b. Penentuan kisaran konsentrasi sorbitol untuk membuat edible film 68 c. Penentuan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. No Jenis Pengujian Alat Kondisi Pengujian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. No Jenis Pengujian Alat Kondisi Pengujian BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Hasil Pengujian Termal Pada pengujian termal menggunakan metode DSC, ABS Original + ABS Recycle mendapatkan hasil yang bervariasi pada nilai Tg dan nilai Tm. Didapatkannya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku 4.1.2 Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan problema sampai saat ini. Di musim kemarau hijauan makanan ternak

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. merupakan problema sampai saat ini. Di musim kemarau hijauan makanan ternak 8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Hijauan Pakan Dalam meningkatkan meningkatkan produksi ternak, ketersediaan hijauan makanan ternak merupakan bagian yang terpenting, karena lebih dari 70% ransum ternak terdiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sampah plastik merupakan suatu permasalahan yang tidak mudah untuk ditanggulangi. Data statistik persampahan domestik Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup 2008, menyebutkan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan sediaan losio minyak buah merah a. Perhitungan HLB butuh minyak buah merah HLB butuh minyak buah merah yang digunakan adalah 17,34. Cara perhitungan HLB

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar mata pencarian

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar mata pencarian 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan negara agraris yang sebagian besar mata pencarian penduduk adalah petani. Keberlangsungan pada sektor pertanian dipengaruhi oleh sektor-sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan plastik semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia, karena memiliki banyak kegunaan dan praktis. Plastik merupakan produk polimer sintetis yang terbuat

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN Analisa Sensori

4. PEMBAHASAN Analisa Sensori 4. PEMBAHASAN Sorbet merupakan frozen dessert yang tersusun atas sari buah segar, air,gula, bahan penstabil yang dapat ditambahkan pewarna dan asam (Marth & James, 2001). Pada umumnya, frozen dessert ini

Lebih terperinci

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies.

Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Force (Gf) V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.2 Tekstur Tekstur merupakan parameter yang sangat penting pada produk cookies. Tekstur biasanya digunakan untuk menilai kualitas baik tidaknya produk cookies. Tekstur

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN GLISEROL TERHADAP KUALITAS BIOPLASTIK DARI AIR CUCIAN BERAS

PENGARUH PENAMBAHAN GLISEROL TERHADAP KUALITAS BIOPLASTIK DARI AIR CUCIAN BERAS PENGARUH PENAMBAHAN GLISEROL TERHADAP KUALITAS BIOPLASTIK DARI AIR CUCIAN BERAS Siti Iqlima Layudha *, Ahadta Anandya Rahma, Achmat Riyanto, Rita Dwi Ratnani Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging

HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian Tahap Pertama. Tabel 6. Komposisi Kimia TDTLA Pedaging TDTLA Pedaging HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Tahap Pertama Penelitian tahap pertama adalah pembuatan tepung daging-tulang leher ayam yang dilakukan sebanyak satu kali proses pembuatan pada waktu yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama yaitu isolator. Struktur amorf pada gelas juga disebut dengan istilah keteraturan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama yaitu isolator. Struktur amorf pada gelas juga disebut dengan istilah keteraturan 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Material Amorf Salah satu jenis material ini adalah gelas atau kaca. Berbeda dengan jenis atau ragam material seperti keramik, yang juga dikelompokan dalam satu definisi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

KULIAH KE VIII EDIBLE FILM. mampu membuat kemasan edible yang dapat diaplikasikan pada bahan pangan.

KULIAH KE VIII EDIBLE FILM. mampu membuat kemasan edible yang dapat diaplikasikan pada bahan pangan. KULIAH KE VIII EDIBLE FILM mampu membuat kemasan edible yang dapat diaplikasikan pada bahan pangan. Kelemahan Kemasan Plastik : non biodegradable Menimbulkan pencemaran Dikembangkan kemasan dari bahan

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time 4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu 4.1.1. Cooking Time Salah satu parameter terpenting dari mi adalah cooking time yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk rehidrasi atau proses

Lebih terperinci

PENGARUH PENAMBAHAN SERBUK GELATIN TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN BIODEGRADABILITAS PLASTIK CAMPURAN POLIETILEN TEREFTALAT BEKAS DAN PATI SAGU

PENGARUH PENAMBAHAN SERBUK GELATIN TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN BIODEGRADABILITAS PLASTIK CAMPURAN POLIETILEN TEREFTALAT BEKAS DAN PATI SAGU PENGARUH PENAMBAHAN SERBUK GELATIN TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN BIODEGRADABILITAS PLASTIK CAMPURAN POLIETILEN TEREFTALAT BEKAS DAN PATI SAGU Resalina 1, Sri Mulyadi Dt. Basa 1, Yuli Yetri 2 1 Jurusan Fisika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Termoplastik Elastomer (TPE) adalah plastik yang dapat melunak apabila dipanaskan dan akan kembali kebentuk semula ketika dalam keadaan dingin juga dapat

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. I. Definisi

PEMBAHASAN. I. Definisi PEMBAHASAN I. Definisi Gel menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), merupakan sistem semi padat, terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan ini merupakan salah satu cara untuk mengetahui dapat atau tidaknya limbah blotong dibuat menjadi briket. Penelitian pendahuluan

Lebih terperinci