PUNGUTAN EKSPOR BIJI KAKAO SEBAGAI ISU KEBIJAKAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PUNGUTAN EKSPOR BIJI KAKAO SEBAGAI ISU KEBIJAKAN"

Transkripsi

1 PUNGUTAN EKSPOR BIJI KAKAO SEBAGAI ISU KEBIJAKAN 1. Pemerintah atas permintaan sebagian perusahaan pengolah kakao yang tergabung dalam Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) sedang mempertimbangkan untuk mengenakan pungutan ekspor (PE) atas biji kakao yang diekspor. 2. Dengan adanya PE, maka ekspor kakao dalam bentuk bahan mentah (biji) diharapkan dapat berkurang, sedangkan ekspor dalam bentuk olahan akan meningkat sehingga nilai tambah akan lebih banyak yang jatuh di dalam negeri. 3. Dasar hukum dari penerapan PE adalah PP No. 35 Tahun 2005 tentang PE. Dasar hukum PP ini adalah UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dalam UU tersebut Pasal 2 Ayat 2 disebutkan bahwa tujuan penerapan PE untuk barang ekspor tertentu adalah untuk : (a) menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri; (b) melindungi kelestarian sumber daya alam; (c) mengantisipasi pengaruh kenaikan harga yang cukup drastis dari barang ekspor tertentu; dan (iv) menjaga stabilitas harga barang tertentu di dalam negeri. 4. Namun Pemerintah tampaknya tidak segera mengabulkan permintaan mengenai penerapan PE tersebut karena ada pihak yang pro dan ada yang kontra PE, baik dari tataran teoritis maupun empiris. Beberapa argumen pro dan kontra PE adalah sebagai berikut: Argumen Teoritis 4.1. Kontra : penerapan PE terhadap biji kakao oleh Indonesia akan berdampak negatif terhadap produsen biji kakao di dalam negeri berupa penurunan harga dan produksi yang pada akhirnya menurunkan pendapatan dan kesejahteraan produsen. Ekonomi kakao secara keseluruhan mengalami penurunan kesejahteraan dengan munculnya deadweight social loss, yaitu surplus ekonomi yang hilang yang berarti efisiensi ekonomi menurun Pro : konsumen biji kakao akan diuntungkan dengan turunnya harga dan meningkatnya pasokan bahan baku karena menurunnya ekspor sehingga surplus ekonomi konsumen meningkat. Demikian pula, pemerintah akan memperoleh penerimaan dari penarikan PE. 20

2 Argumen Empiris Pembangunan Ekonomi 4.3. Dalam konteks pembangunan ekonomi, peranan PE pada biji kakao dapat dilihat dari berbagai aspek yaitu: Kontra: (1) Meredistribusi pendapatan dari produsen (petani) ke konsumen (industri pengolah) karena produsen domestik (petani) yang lemah tidak mampu menggeser beban tersebut ke konsumen. (2) Memberi proteksi sementara atau subsidi terhadap industri pengolahan kakao yang tidak efisien. Selanjutnya, industri yang tidak efisien akan selalu tergantung pada proteksi/subsidi pemerintah sehingga akan sulit berkembang. Pro : (1) Dapat digunakan untuk mengurangi ketidakstabilan harga komoditas melalui penerapan sistem tarif pajak berubah-ubah (progresif), yaitu tarif tinggi pada saat harga tinggi dan sebaliknya nol pada tingkat harga tertentu yang mencerminkan biaya produksi. Pada saat yang sama, petani terhindar dari instabilitas harga. Tiga alasan utama penerapan PE dengan tarif progresif adalah : (a) dapat mencegah efek berantai dari kenaikan harga komoditas di pasar internasional ke pasar domestik sehingga melindungi konsumen lokal, yaitu industri pengolahan kakao, (b) dapat meningkatkan penerimaan pemerintah sehingga mengurangi instabilitas fiskal; dan (c) dapat memajaki manfaat tak terduga yang dinikmati pengekspor sehingga menjawab masalah redistribusi pendapatan. (2) Merupakan sumber pendapatan pemerintah. Namun dalam kenyatannya, penerimaan pemerintah dari PE di negara-negara berkembang sangat rentan terhadap perubahan harga komoditas internasional, produksi dan nilai tukar yang fluktuatif. Argumen Praktis Pelaku Bisnis Kontra : (1) Perdagangan kakao dalam negeri yang rantai distribusinya panjang dan posisi petani yang lemah telah menciptakan kondisi yang 21

3 merugikan para petani produsen karena PE akhirnya akan dibebankan kepada mereka melalui penurunan harga kakao, sedangkan pelaku bisnis lainnya (pedagang dan pengolah) tidak dirugikan. Turunnya harga kakao akan merugikan petani yang dapat mendorong petani menggantikan kakao dengan komodiatas lainnya sehingga produksi kakao akan turun. (2) Produksi biji kakao Indonesia tahun 2006 diperkirakan mencapai sekitar 600 ribu ton, jauh di atas kebutuhan industri pengolahan biji kakao yang hanya 220 ribu ton per tahun. Ekspor biji kakao dalam periode tahun yang mencapai rata-rata 343 ribu ton dan meningkat dengan laju 5,5 persen per tahun, masih menyisakan sebagian produksi untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan biji kakao. (3) Pada saat ini di Indonesia terdapat 12 pabrik pengolahan biji kakao dengan total kapasitas penggilingan sebesar ton. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, jumlah pabrik pengolahan kakao hanya tinggal enam pabrik dengan kapasitas penggilingan sebesar ton. (4) Berbagai pungutan berupa PBB, PPh Pasal 22, PPN, retribusi dan iuran ekspor yang dipungut oleh Pemerintah Daerah sudah menjadi beban petani. (5) Indonesia termasuk produsen biji kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana, tetapi terjadi lonjakan impor pada tahun 2004 dibanding 2003 yaitu volume impor biji kakao melonjak dari ton menjadi ton. Hal ini mengindikasikan tidak ada masalah dalam pengadaan bahan baku industri pengolahan biji kakao. (6) PE akan meredistribusi pendapatan dari wilayah luar Jawa ke wilayah Jawa karena sebanyak 81 persen kapasitas pabrik berada di Jawa, sedangkan sebagian besar daerah produksi adalah luar Jawa, terutama Sulawesi Selatan. (7) PPN 10 persen untuk komoditas perkebunan sudah dihapus sehingga harga beli bahan baku yang dibayar oleh industri 22

4 pengolahan kakao menjadi lebih murah dan pasokan dalam negeri akan cukup. (8) Konsumsi coklat masyarakat Indonesia masih sangat rendah dan stabil sehingga penerapan PE tidak bermanfaat dalam rangka stabilisasi pasokan produk kakao konsumsi (final product). Pro : (1) Tanpa PE, sebagian besar biji kakao diekspor dalam bentuk mentah ke Malaysia, Amerika Serikat (AS) dan beberapa negara lain tanpa diolah terlebih dahulu menjadi produk yang bernilai tambah. Akibatnya, industri pengolahan kakao di luar negeri tumbuh cepat, sedangkan industri pengolahan kakao di dalam negeri sulit berkembang. (2) Dalam persentase yang memadai, hasil PE atas biji kakao yang diterima pemerintah dapat dimanfaatkan kembali untuk pengembangan on-farm dan off-farm dalam upaya menumbuhkembangkan sektor kakao di Indonesia, antara lain peningkatan produktivitas kakao petani melalui perbaikan bahan tanaman, pengadaan bibit unggul, pemberantasan hama, dan penanganan pascapanen. Dengan demikian, petani mendapatkan nilai tambah karena produktivitas, kualitas, dan pendapatan meningkat. (3) Penerapan PE biji kakao akan sangat efektif menjaga ketersediaan bahan baku industri pengolahan biji kakao sehingga nilai tambah di dalam negeri lebih besar. Dalam periode , ekspor biji kakao lebih dominan dibandingkan berbagai jenis kakao olahan dan meningkat dengan laju 7 persen per tahun. Dengan masih adanya idle capacity di industri pengolahan, penerapan PE akan menghambat laju ekspor biji kakao dan meningkatkan ketersediaan bahan baku industri pengolahan biji kakao. (4) Penerapan PE selanjutnya dapat meningkatkan kegiatan pengolahan sehingga dapat menyerap tenaga kerja lebih banyak lagi. 23

5 B. Pengalaman Empiris Penerapan PE 5. Kopra di Filipina : Penerapan PE di Filipina didasarkan pada argumen bahwa sebagai negara besar pengekspor kopra, negara ini diyakini mempunyai kekuatan monopoli dan industri minyak kelapa menghadapi permintaan ekspor yang elastis. Penerapan PE diharapkan dapat memperbaiki nilai tukar (term of trade), mengendalikan tekanan inflasi dari perubahan eksternal, dan menjawab masalah distribusi pendapatan. Namun penerapan PE di Filipina tidak memenuhi harapan karena beberapa alasan, yaitu: (a) PE tidak mengurangi fluktuasi harga domestik kopra di Filipina lebih rendah dibandingkan fluktuasi harga dunia, bahkan memperbesar transmisi fluktuasi harga dunia ke harga domestik, dan Filipina ternyata adalah negara pengekspor kecil dan porsi pengeluaran impor negara-negara pengimpor untuk minyak kelapa relatif kecil dan dapat disubstitusi oleh minyak sayur lainnya; dan (b) penerapan PE pada kopra menurunkan kesejahteraan industri minyak kelapa dan tenaga kerja tidak terampil di Filipina. Dampak negatif terhadap pendapatan kotor industri minyak mengalahkan dampak positif dari turunnya harga kopra. Selain itu, turunnya harga relatif produk kelapa menyebabkan turunnya upah bagi tenaga kerja tidak terampil. 6. CPO dan Produk Turunannya di Indonesia : Penerapan PE untuk CPO dan produk turunannya di Indonesia didasarkan pada meningkatnya harga minyak makan di Indonesia pada tahun Argumen yang digunakan dalam penerapan PE adalah untuk pengendalian inflasi, sedangkan untuk memperbaiki nilai tukar dan lainnya tidak jelas. Dampak PE atas CPO dan produk turunannya adalah sebagai berikut. Pertama, penurunan harga domestik menguntungkan konsumen. Namun dampak positif penurunan harga domestik terhadap inflasi dan kesejahteraan konsumen ternyata kecil. Hal ini terjadi karena harga minyak goreng hanya sekitar 4 persen dari pengeluaran 20 persen penduduk miskin di pedesaan dan 1,4 persen dari indeks harga konsumen di Indonesia. Selanjutnya, penurunan harga minyak goreng di tingkat pabrik tidak diikuti dengan penurunan harga di tingkat konsumen. Kedua, PE menurunkan pendapatan produsen CPO dan produk turunannya, tetapi meningkatkan pendapatan distributor. Produsen CPO di antarnya adalah petani perkebunan rakyat (PR) yang kontribusinya sekitar 22 persen, sedangkan perusahaan perkebunan negara (PN) dan swasta (PS) berperan masimgmasing sekitar 33 persen dan 43 persen. Pengalaman pada tahun

6 menunjukkan bahwa kerugian yang ditanggung PR diperkirakan hampir sekitar US$ 70 juta, dan lebih dari US$ 100 juta untuk PN dan PS. Sementara itu, distributor diperkirakan memperoleh keuntungan sekitar US$ 100 juta. Hal ini berarti penurunan harga CPO hanya sebagian kecil yang dirasakan oleh konsumen karena penurunan harga eceran lebih kecil daripada penurunan harga CPO. Ketiga, PE menurunkan total penerimaan pemerintah dari minyak sawit, yaitu keuntungan dari perusahaan pengolahan. Kenaikan penerimaan pemerintah dari PE tidak sebanding dengan kerugian yang dialami oleh PN. Keempat, penerapan PE untuk CPO dan produk turunannya juga berpengaruh terhadap pasar minyak kelapa. PE untuk CPO mengubah pasokan minyak sawit dari pasar ekspor ke pasar domestik sehingga menekan harga minyak kelapa. Dalam tekanan persaingan ini, banyak perusahaan/pabrik minyak kelapa bangkrut. Dapat disimpulkan bahwa penerapan PE pada CPO dan produk turunannya mencapai tujuan untuk pengendalian inflasi tetapi menimbulkan kerugian siginifikan pada sisi efisiensi ekonomi. Dampak dari penerapan PE tersebut juga menyebar ke pasar minyak kelapa. 7. Kapas dan Benang di Pakistan : Penerapan PE untuk kapas dan tekstil di Pakistan antara tahun 1988 dan 1995 bertujuan untuk memperkuat pengembangan industri benang, yaitu industri yang bernilai tambah lebih tinggi. PE untuk kapas adalah untuk menurunkan harga kapas sehingga produsen benang memperoleh keuntungan dari penurunan harga input. Setelah tahun 1988, ekspor kapas turun secara nyata dan produksi serta ekspor benang meningkat. Namun penurunan harga kapas tidak berpengaruh nyata terhadap produksi benang karena permintaan benang di Pakistan sangat tidak elastis. Oleh karena itu, kontribusi PE pada kapas untuk meningkatkan pertumbuhan industri benang bersifat marjinal. Industri benang Pakistan sudah tercatat lebih kompetitif dari industri pesaingnya di luar negeri. Peningkatan daya saing industri benang mungkin terbantu oleh subsidi tak langsung karena adanya penggunaan teknologi baru (cost saving technology) di luar negeri. Namun subsidi tak langsung tersebut menimbulkan disinsentif bagi industri benang untuk memperbaiki teknologi yang dimiliki. Penerapan PE mengakibatkan dampak yang merugikan pada industri kapas. Pertumbuhan industri bahan baku jauh lebih rendah dibandingkan pada situasi perdagangan bebas, dimana produsen bahan baku tergantung pada harga internasional. PE mengalihkan pendapatan produsen kapas ke produsen benang. Efektivitas dan efisiensi penerapan PE untuk mengembangkan industri benang sangat tergantung pada 25

7 hubungan permintaan antara bahan baku dan bahan olahannya. Hasil lainnya adalah bahwa penerapan PE secara sepintas berhasil, namun dapat mengakibatkan disinsentif bagi industri pengolahan untuk memperbaiki teknologi yang dimiliki dan pertumbuhan industri pengolahan yang bernilai tambah lebih tinggi. 8. Beras di Thailand : Thailand menerapkan PE hanya sampai dengan tahun 1986 karena : (a) adanya dampak negatif yang ditimbulkan bagi pendapatan penduduk yang hidup di pedesaan; dan (b) munculnya berbagai jenis pajak/pungutan dengan pengembangan administrasi yang lebih baik. Penerapan PE menimbulkan dua dampak yang berbeda antara penduduk pedesaan dan perkotaan. Penduduk pedesaan mengalami kerugian karena penurunan pendapatan dari tenaga kerja tidak terampil dan dari lahan. Padahal pendapatan penduduk pedesaan pada umumnya dari lahan. Keuntungan yang diperoleh dari peningkatan daya beli karena penurunan harga beras tidak dapat mengkompensasi kerugian pendapatan di atas. Pada sisi lain, penduduk perkotaan diuntungkan melalui peningkatan daya beli dan pendapatan yang diperoleh dari peningkatan upah untuk tenaga kerja terampil dan peningkatan pendapatan dari modal non-pertanian yang merupakan sumber utama pendapatan penduduk kaya di perkotaan. Kelompok penduduk kaya perkotaan menikmati keuntungan dari keterampilan/keahlian mereka yang lebih tinggi dibandingkan kelompok penduduk kaya pedesaan. 9. Produk Kehutanan di Indonesia : Penerapan PE didasarkan pada beberapa alasan, yaitu melindungi sumber daya alam, pengembangan industri pengolahan hasil hutan dan untuk meyakinkan adanya kecukupan pasokan produk kehutanan esensial. Penerapan PE pada kayu gergajian telah mempromosikan pengembangan indutri plywood dan mendorong ekspor plywood. Namun penerapan PE juga menimbulkan dampak negatif. Pertama, harga rendah log telah menimbulkan inefisiensi pada praktek logging dan industri pengolahan kayu. Kedua, kartel ekspor yang sangat kuat muncul di pasar kayu dan produk kayu untuk menangkap rente ekonomi dari pembatasan ekspor. Ketiga, harga log yang rendah melemahkan investasi yang mengarah pada perlindungan dan keberlanjutan pengembangan hutan. Bahkan, kebijakan perdagangan hasil hutan ini mempunyai kontribusi pada meningkatnya kebakaran hutan di Indonesia karena kebijakan tersebut tidak memberi insentif yang tepat untuk melindungi hutan sebagai salah satu sumber daya alam. 26

8 C. Nilai Proteksi Nominal dan Distribusi Kesejahteraan 10. Berkaitan dengan isu kebijakan di atas, secara umum dapat dinyatakan bahwa tingkat proteksi dan distribusi kesejahteraan dari penerapan PE biji kakao menjadi penting untuk diketahui. Tingkat proteksi dianalisis dengan menghitung tingkat proteksi nominal (Nominal Protection Rate/NPR), sedangkan tingkat distribusi kesejahteraan (welfare) dihitung dengan pendekatan Goal Programming. Pendekatan ini digunakan untuk mengakomodasikan adanya perbedaan kepentingan diantara pelaku bisnis pada perekonomian kakao nasional. 11. Pada tahun 2007 industri pengolahan kakao Indonesia masih mendapatkan proteksi dengan instrumen kebijakan penerapan tarif bea masuk (TBM) bagi input (bahan baku) berupa biji kakao dan output (hasil olahan) berupa cocoa butter, cocoa powder dan cocoa cake sebesar 5 persen. Pada Policy Brief ini analisis penerapan pajak ekspor (PE) untuk biji kakao dilakukan dengan menggunakan tiga skenario analisis yaitu: (a) TBM 5% tanpa PE; (b) TBM 5% + PE 10%; dan (c) TBM 5% + PE 3%. 12. Hasil analisis menunjukkan bahwa NPR untuk industri pengolahan kakao di Indonesia saat ini adalah 4,05 (Tabel 1). Nilai ini berarti setiap tambahan 1 unit output akan meningkatkan nilai tambah 4,05 persen. Dengan kata lain, saat ini industri pengolahan kakao di Indonesia sudah menikmati insentif kebijakan dari Pemerintah Indonesia melalui instrumen pajak impor input dan output. 13. Dengan adanya usulan penerapan PE oleh industri pengolahan biji kakao, berarti insentif yang ada saat ini mereka rasakan masih kurang. PE sebagai instrumen kebijakan proteksi terhadap industri tentunya dapat meningkatkan NPR. Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan PE 10 persen, nilai NPR meningkat dari 4,05 persen menjadi 10,15 persen (Tabel 2). Sedangkan dengan PE 3 persen, maka nilai NPR meningkat dari 4,05 persen menjadi 5,88 persen (Tabel 3). 14. Pengukuran NPR dengan penerapan PE di atas tidak dapat menjelaskan distribusi kesejahteraan (welfare) pada tingkat optimum (satisfying condition) dalam perekonomian sehingga distribusi gain dan loss dalam perekonomian tidak diketahui. Hasil analisis distribusi gain and loss pada tingkat non-satisfying condition menunjukkan bahwa loss yang dialami produsen dan yang hilang 27

9 dalam perekonomian tidak seimbang dengan gain dan revenue yang diperoleh pemerintah (Tabel 4). 15. Dengan menggunakan model Goal Programming, maka satisfying condition pada PE 10 persen dapat dicapai pada tingkat konsumsi biji kakao domestik sebesar ton dan produksi ton (Tabel 5). Nilai tersebut lebih rendah 83,20 persen dan 35,32 persen dibandingkan nilai pada tingkat nonsatisfying condition. Hal ini berarti konsumsi berada di bawah kapasitas produksi industri pengolahan biji kakao dan produksi biji kakao dari perkebunan kakao di Indonesia bisa menurun hingga 35,32 persen dengan adanya PE 10 persen. 16. Ekspor biji kakao, harga ekspor dan harga domestik tidak mengalami perubahan. Target Producer Loss sebagai prioritas untuk diminimumkan dapat berkurang 1,92 persen, tetapi target Deadweight Social Loss sebagai priporitas terendah meningkat 100 persen. Sementara itu, Consumer Gain dan Government Tax Revenue tetap (Tabel 6). Khusus tentang ekspor, hal ini berarti pengekspor tidak mengalami masalah pada situasi non maupun satisfying condition. 17. Hasil yang tidak terlalu berbeda terjadi jika penerapan PE biji kakao seebsar 3 persen (Tabel 7). Jika dibandingkan dengan PE 10 persen, maka semua nilai/ukuran parameter lebih kecil kecuali ekspor. Ekspor biji kakao pada PE 10 persen adalah sedangkan pada PE 3 persen adalah ton. D. KESIMPULAN DAN SARAN 18. Penerapan PE secara teoritis merugikan produsen, terutama petani, pengekspor relatif tidak dirugikan dan menguntungkan konsumen (industri pengolahan biji kakao) dan pemerintah. Namun perekonomian kakao secara keseluruhan menjadi kurang efisien. Hasil analisis empiris kajian ini juga mengkonfirmasi dampak tersebut. Pengalaman di berbagai negara juga membuktikan bahwa dampak penerapan PE terhadap komoditas primer pertanian gagal untuk mencapai tujuannya semula. 19. Sejauh ini pemerintah sudah memberikan proteksi terhadap industri pengolahan kakao di Indonesia dalam bentuk penerapan tarif bea masuk sebesar 5 persen dan penghapusan PPN sebesar 10 persen. Penerapan PE akan meningkatkan kerugian petani, apalagi jika PE mencapai 10 persen. 28

10 Dalam jangka panjang, penerapan PE dikhawatirkan akan menimbulkan disinsentif bagi produsen untuk berusaha sehingga peningkatan produksi dapat tertekan dan selanjutnya minat untuk menanam kakao melemah dan bahkan produsen mungkin menggantinya dengan tanaman lain. 20. Sebagian besar industri kakao saat ini bekerja pada kondisi normal dan bahkan banyak yang mencapai kapasitas penuh dan bahkan ada investasi baru yang akan masuk. Ini menunjukkan bahwa investasi di bidang pengolahan kakao masih atraktif. Namun memang masih ada sebagian industri pengolahan yang bekerja jauh di bawah kapasitas terpasangnya yang disebabkan oleh masalah inefisiensi. Di sisi lain, bisnis biji kakao memang masih menarik dan memberikan keuntungan, terutama bagi pengekspor biji kakao. Struktur ekspor kakao Indonesia menunjukkan bahwa ekspor biji kakao hingga saat ini masih tetap dominan dibandingkan ekspor produk olahan, seperti butter, powder, pasta, coklat batangan, dan produk akhir lainnya. 21. Berdasarkan kesimpulan tersebut, ada dua opsi kebijakan yang dapat ditempuh pemerintah berkaitan dengan pengembangan industri kakao nasional, yaitu: Opsi Pertama: mempertahankan status quo, yaitu bahwa pemberian proteksi berupa tarif impor 5 persen dan pembebasan PPN, dipandang sudah sesuai dengan kebutuhan sehingga tidak perlu ada pengenaan PE. Kebijakan ini terbukti telah dapat memberikan kesempatan kepada investor baru untuk masuk, baik PMDN, PMA maupun patungan (joint venture). Opsi Kedua: mengenakan PE pada tingkat moderat yaitu 3 persen dalam jangka pendek dengan tujuan untuk memberikan kesempatan kepada sejumlah industri pengolahan yang saat ini belum efisien untuk membenahi kinerja usahanya. Kebijakan ini bersifat temporer untuk memberikan kesempatan kepada beberapa industri pengolahan tersebut hingga mampu mendekati kapasitas terpasangnya. 22. Jika Opsi Kedua (penerapan PE 3 persen) yang dipilih, maka pemerintah perlu sungguh-sungguh memberikan perhatian pada pentingnya pemberian kompensasi bagi petani. Sumber kompensasi berasal dari dana PE tersebut yang mekanisme operasionalisasinya disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah juga perlu melakukan pengawasan operasionalisasi penerapan PE, terutama yang terkait dengan pembebanan PE ke petani melalui mekanisme penentuan harga. Beban PE 29

11 yang ditanggung petani, pedagang dan pengekspor biji kakao harus proporsional. Selain itu, selama masa penerapan PE, industri pengolahan yang tidak efisien (terlindungi) harus dapat menarik pelajaran dari industri pengolahan biji kakao lain yang telah berhasil berkembang. Tabel 1. Nominal Protection Rate Industri Pengolahan Biji kakao Indonesia Tanpa PE Uraian Input: Biji kakao Output Impor Lokal Butter Powder Cake Input atau Output (%) 20% 80% 35% 45% 20% Ekspor Output (%) 90% 90% 0% Konsumsi Domestik (%) 10% 10% 100% Pajak Impor (%) 5% 0 5% 5% 5% Pungutan Ekspor (%) 0% 0% 0% 0% 0% Harga Batas (US$/ton) 2, , , Harga Domestik (US$/ton) 2, , , Nilai Tanpa Pajak/Pungutan: - Nilai Biji kakao (US$/ton) 1, Nilai Output (US$/ton) 2, Nilai Tambah (US$/ton) Nilai Dengan Pajak/Pungutan: - Nilai Biji kakao (US$/ton) 1, Nilai Output (US$/ton) 2, Nilai Tambah (US$/ton) Nominal Protection Rate (US$/ton) Nominal Protection Rate (%) 4.05 Catatan: Harga "benchmark" biji kakao di New York: US$ 1,900/ton Harga impor biji kakao dari Gana mendapat premium harga: US$ 150/ton Harga biji kakao Indonesia terkena discount: US$ 130/ton Freight and insurance: US$130/ton Nilai Tukar: Rp 9,000/ton Asumsi harga cake: Rp 1,800/kg 30

12 Tabel 2. Nominal Protection Rate Industri Pengolahan Biji kakao Indonesia Dengan PE 10% Uraian Input: Biji kakao Output Impor Lokal Butter Powder Cake Input atau Output (%) 20% 80% 35% 45% 20% Ekspor Output (%) 90% 90% 0% Konsumsi Domestik (%) 10% 10% 100% Pajak Impor (%) 5% 0 5% 5% 5% Pungutan Ekspor (%) 0% 10% 0% 0% 0% Harga Batas (US$/ton) 2, , , Harga Domestik (US$/ton) 2, , , Nilai Tanpa Pajak/Pungutan: - Nilai Biji kakao (US$/ton) 1, Nilai Output (US$/ton) 2, Nilai Tambah (US$/ton) Nilai Dengan Pajak/Pungutan: - Nilai Biji kakao (US$/ton) 1, Nilai Output (US$/ton) 2, Nilai Tambah (US$/ton) Nominal Protection Rate (US$/ton) Nominal Protection Rate (%) Catatan: Lihat catatan pada Tabel 1. Tabel 3. Nominal Protection Rate Industri Pengolahan Biji kakao Indonesia Dengan PE 3% Uraian Input: Biji kakao Output Impor Lokal Butter Powder Cake Input atau Output (%) 20% 80% 35% 45% 20% Ekspor Output (%) 90% 90% 0% Konsumsi Domestik (%) 10% 10% 100% Pajak Impor (%) 5% 0 5% 5% 5% Pungutan Ekspor (%) 0% 3% 0% 0% 0% Harga Batas (US$/ton) 2, , , Harga Domestik (US$/ton) 2, , , Nilai Tanpa Pajak/Pungutan: - Nilai Biji kakao (US$/ton) 1, Nilai Output (US$/ton) 2, Nilai Tambah (US$/ton) Nilai Dengan Pajak/Pungutan: - Nilai Biji kakao (US$/ton) 1, Nilai Output (US$/ton) 2, Nilai Tambah (US$/ton) Nominal Protection Rate (US$/ton) Nominal Protection Rate (%) 5.88 Catatan: Lihat catatan pada Tabel 1. 31

13 Tabel 4. Distribusi Welfare Pada Tingkat Non-Satisfying Condition Dengan PE 10% Uraian Nilai Konsumsi dengan PE (ton) 284,480 Produksi dengan PE (ton) 670,114 Konsumsi, tanpa PE (ton) 280,000 Produksi tanpa PE (ton) 693,700 Selisih konsumsi (ton) 4, Selisih produksi (ton) 23, Ekspor tanpa PE (ton) 413,700 Ekspor dengan PE (ton) 385,634 Elastisitas permintaan *) 0.16 Elastisitas penawaran *) 0.34 Nilai tukar (Rp/$US) 9,000 Harga domestik (Rp/ton) 13,243,500 Harga domestik (US$/ton) 1, Harga ekspor ($US/ton) 1,635 Marjin pemasaran (US$/ton) 150 Harga tingkat petani - US$/ton 1,337 - Rp/kg 12,029 Welfare: 1. Producer Loss (US$) 11,149, Consumer Gain (US$) 4,614, Government Tax Revenue (US$) 6,305, Deadweight Social Loss (US$) 229, Jumlah ( ) (US$) 11,149,181 Catatan: *) Elastisitas permintaan dan penawaran diambil dari disertasi Dradjat (2003). 32

14 Tabel 5. Distribusi Welfare Pada Tingkat Satisfying Condition Dengan PE 10% Uraian Nilai Non-Satisfying Condition Satisfying Condition Deviasi (%) Konsumsi dengan PE (ton) 284,480 47,786 (83.20) Produksi dengan PE (ton) 670, ,420 (35.32) Konsumsi, tanpa PE (ton) 280,000 43,307 (84.53) Produksi tanpa PE (ton) 693, ,693 (65,88) Selisih konsumsi (ton) 4, ,479 (0.02) Selisih produksi (ton) 23, , Ekspor tanpa PE (ton) 413, ,700 - Ekspor dengan PE (ton) 385, ,634 - Harga domestik (US$/ton) 1, , Harga ekspor ($US/ton) 1,635 1,635 - Harga tingkat petani - US$/ton 1, Welfare: 1. Producer Loss (US$) 11,149,181 10,935,571 (1.92) 2. Consumer Gain (US$) 4,614,624 4,614, Government Tax Revenue (US$) 6,305,119 6,305, Deadweight Social Loss (US$) 229, , Jumlah ( ) (US$) 11,149,181 11,378, Tabel 6. Distribusi Welfare Pada Tingkat Satisfying Condition Dengan PE 3% Uraian Nilai Non-Satisfying Condition Satisfying Condition Deviasi (%) Konsumsi dengan PE (ton) 281,344 15,963 (94.33) Produksi dengan PE (ton) 686, ,243 (38.65) Konsumsi, tanpa PE (ton) 280,000 14,619 (38.26) Produksi tanpa PE (ton) 693, ,319 (94.78) Selisih konsumsi (ton) 1,344 1,344 - Selisih produksi (ton) 7,076 7,076 - Ekspor tanpa PE (ton) 413, ,700 - Ekspor dengan PE (ton) 405, ,280 - Harga domestik (US$/ton) 1,585 1,585 - Harga ekspor ($US/ton) 1,635 1,635 - Harga tingkat petani - US$/ton 1,440 1,440 - Welfare: 1. Producer Loss (US$) 1,015, ,392 ( ) 2. Consumer Gain (US$) 413, , Government Tax Revenue (US$) 596, , Deadweight Social Loss (US$) 6,195 12, Jumlah ( ) (US$) 1,015,574 1,021,

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang berperan positif dalam pengembangan sektor pertanian sehingga sektor pertanian memiliki fungsi strategis dalam penyediaan pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana

Lebih terperinci

Simulasi Pajak Ekspor Kelapa, Kakao, Jambu Mete dan Tarif Impor Terigu

Simulasi Pajak Ekspor Kelapa, Kakao, Jambu Mete dan Tarif Impor Terigu Simulasi Pajak Ekspor Kelapa, Kakao, Jambu Mete dan Tarif Impor Terigu 1. Kelapa Luas areal, produksi dan produktivitas kelapa Indonesia dalam dua tahun terakhir cenderung stabil. Jumlah kelapa yang terserap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis

BAB I PENDAHULUAN. pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Industri kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis sektor pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis seperti

Lebih terperinci

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG 67 VI. PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG Harga komoditas pertanian pada umumnya sangat mudah berubah karena perubahan penawaran dan permintaan dari waktu ke waktu. Demikian pula yang terjadi pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi susu sapi lokal dalam

Lebih terperinci

PENGARUH KEBIJAKAN PAJAK EKSPOR TERHADAP KETERSEDIAAN MINYAK SAWIT MENTAH (CPO) DI DALAM NEGERI : Pendekatan Produsen dan Konsumen Surplus

PENGARUH KEBIJAKAN PAJAK EKSPOR TERHADAP KETERSEDIAAN MINYAK SAWIT MENTAH (CPO) DI DALAM NEGERI : Pendekatan Produsen dan Konsumen Surplus J. Agrisains 6 (3) : 143-148, Desember 2005 ISSN : 1412-3657 PENGARUH KEBIJAKAN PAJAK EKSPOR TERHADAP KETERSEDIAAN MINYAK SAWIT MENTAH (CPO) DI DALAM NEGERI : Pendekatan Produsen dan Konsumen Surplus Oleh

Lebih terperinci

@ 2005 Rustam Abd. Rauf Makalah Falsafah Sains (PPs 702 Sekolah Pascasarjana / S3 Institut Pertanian Bogor Maret 2005

@ 2005 Rustam Abd. Rauf Makalah Falsafah Sains (PPs 702 Sekolah Pascasarjana / S3 Institut Pertanian Bogor Maret 2005 @ 2005 Rustam Abd. Rauf Makalah Falsafah Sains (PPs 702 Sekolah Pascasarjana / S3 Institut Pertanian Bogor Maret 2005 Dosen : 1. Prof. Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng (Penanggung Jawab) 2. Prof. Dr. Ir. Zahrial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang berlimpah, dimana banyak Negara yang melakukan perdagangan internasional, Sumberdaya yang melimpah tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010.

I. PENDAHULUAN. mencapai US$ per ton dan mendekati US$ per ton pada tahun 2010. 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebelum dan sesudah krisis ekonomi tahun 1998, harga minyak sawit (Crude Palm Oil=CPO) dunia rata-rata berkisar US$ 341 hingga US$ 358 per ton. Namun sejak tahun 2007

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM

VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM VII. DAMPAK KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN PERUBAHAN LINGKUNGAN EKONOMI TERHADAP DINAMIKA EKSPOR KARET ALAM 7.1. Dampak Kenaikan Pendapatan Dampak kenaikan pendapatan dapat dilihat dengan melakukan simulasi

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT

V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT V. GAMBARAN UMUM PRODUK KELAPA SAWIT DAN BAHAN BAKAR BIODIESEL DARI KELAPA SAWIT 5.1 Produk Kelapa Sawit 5.1.1 Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit sekarang ini sudah menjadi komoditas pertanian unggulan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi,

BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA. negara selain faktor-faktor lainnya seperti PDB per kapita, pertumbuhan ekonomi, BAB IV GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN INDONESIA 4.1 Perkembangan Laju Inflasi di Indonesia Tingkat inflasi merupakan salah satu indikator fundamental ekonomi suatu negara selain faktor-faktor lainnya seperti

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan potensial untuk dikembangkan menjadi andalan ekspor. Menurut ICCO (2012) pada tahun 2011, Indonesia merupakan produsen biji

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 DAMPAK KEBIJAKAN PAJAK PERTANIAN TERHADAP PRODUKSI, PERDAGANGAN, DAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 DAMPAK KEBIJAKAN PAJAK PERTANIAN TERHADAP PRODUKSI, PERDAGANGAN, DAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2012 DAMPAK KEBIJAKAN PAJAK PERTANIAN TERHADAP PRODUKSI, PERDAGANGAN, DAN KESEJAHTERAAN RUMAH TANGGA PETANI Oleh : Sri Nuryanti Delima H. Azahari Erna M. Lokollo Andi Faisal

Lebih terperinci

TERM OF REFERENCE (TOR) PENUNJUKAN LANGSUNG TENAGA PENDUKUNG PERENCANAAN PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL DI BIDANG AGRIBISNIS TAHUN ANGGARAN 2012

TERM OF REFERENCE (TOR) PENUNJUKAN LANGSUNG TENAGA PENDUKUNG PERENCANAAN PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL DI BIDANG AGRIBISNIS TAHUN ANGGARAN 2012 1 TERM OF REFERENCE (TOR) PENUNJUKAN LANGSUNG TENAGA PENDUKUNG PERENCANAAN PENGEMBANGAN PENANAMAN MODAL DI BIDANG AGRIBISNIS TAHUN ANGGARAN 2012 I. PENDAHULUAN Pengembangan sektor agribisnis sebagai salah

Lebih terperinci

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 104 BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Kehidupan modern tidak terlepas dari berbagai macam makanan olahan salah satunya adalah cokelat. Cokelat dihasilkan dari biji buah kakao yang telah mengalami

Lebih terperinci

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia

Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi. Perekonomian Indonesia Peranan Pertanian di Dalam Pembangunan Ekonomi Perekonomian Indonesia Peran Pertanian pada pembangunan: Kontribusi Sektor Pertanian: Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi Pemasok bahan pangan Fungsi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Industrialisasi komoditas komoditas pertanian terutama komoditas ekspor seperti hasil perkebunan sudah selayaknya dijadikan sebagai motor untuk meningkatkan daya saing

Lebih terperinci

PERAN SEKTOR INDUSTRI DALAM MENDUKUNG KEANEKARAGAMAN PANGAN

PERAN SEKTOR INDUSTRI DALAM MENDUKUNG KEANEKARAGAMAN PANGAN PERAN SEKTOR INDUSTRI DALAM MENDUKUNG KEANEKARAGAMAN PANGAN JAKARTA, 7 FEBRUARI 2012 OUTLINE I. Pendahuluan II. Peluang Pengembangan Industri Agro III. Hal-hal yang Perlu Dilakukan IV.Contoh Pengembangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia

I. PENDAHULUAN. Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perekonomian merupakan salah satu indikator kestabilan suatu negara. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, menganut sistem perekonomian terbuka, di mana lalu

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics

IV. GAMBARAN UMUM. Sumber : WTRG Economics IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Perkembangan Harga Minyak Bumi Minyak bumi merupakan salah satu sumber energi dunia. Oleh karenanya harga minyak bumi merupakan salah satu faktor penentu kinerja ekonomi global.

Lebih terperinci

pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, oleh sektor

pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu, oleh sektor 8 II. Tinjauan Pustaka 1.1. Kakao Dalam Usaha Pertanian Dalam percakapan sehari-hari yang dimaksud dengan pertanian adalah bercocok tanam, namun pengertian tersebut sangat sempit. Dalam ilmu pertanian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab

V. GAMBARAN UMUM. sebagai produsen utama dalam perkakaoan dunia. Hal ini bukan tanpa alasan, sebab V. GAMBARAN UMUM 5.1. Prospek Kakao Indonesia Indonesia telah mampu berkontribusi dan menempati posisi ketiga dalam perolehan devisa senilai 668 juta dolar AS dari ekspor kakao sebesar ± 480 272 ton pada

Lebih terperinci

\TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan dapat digunakan

\TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan dapat digunakan 18 \TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Minyak goreng adalah minyak nabati yang telah dimurnikan dan dapat digunakan sebagai bahan pangan. Penggunaan minyak goreng

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Penetapan Harga Pada dasarnya, ada 2 kekuatan besar yang berpengaruh pada pembentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan perekonomian suatu negara tentunya tidak terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan perekonomian suatu negara tentunya tidak terlepas dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan perekonomian suatu negara tentunya tidak terlepas dari aktivitas perdagangan international yaitu ekspor dan impor. Di Indonesia sendiri saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang didukung oleh sektor pertanian. Salah satu sektor pertanian tersebut adalah perkebunan. Perkebunan memiliki peranan yang besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik

I. PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis Indonesia baik dari dimensi ekonomi, sosial, maupun politik. Indonesia memiliki keunggulan komparatif sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gambar 1. Luasan lahan perkebunan kakao dan jumlah yang menghasilkan (TM) tahun 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha perkebunan merupakan usaha yang berperan penting bagi perekonomian nasional, antara lain sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi petani, sumber

Lebih terperinci

KAJIAN KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN BEA KELUAR KOMODITAS PERTANIAN

KAJIAN KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN BEA KELUAR KOMODITAS PERTANIAN KAJIAN KEBIJAKAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN BEA KELUAR KOMODITAS PERTANIAN I. PENDAHULUAN Pajak merupakan pungutan yang dipaksakan oleh pemerintah untuk tujuan-tujuan tertentu. Pengenaan pajak paling

Lebih terperinci

oleh nilai tukar rupiah terhadap US dollar dan besarnya inflansi.

oleh nilai tukar rupiah terhadap US dollar dan besarnya inflansi. HMGRIN Harga Margarin (rupiah/kg) 12393.5 13346.3 7.688 VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Dari hasil pendugaan model pengembangan biodiesel terhadap produk turunan kelapa sawit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam dunia modern sekarang suatu negara sulit untuk dapat memenuhi seluruh kebutuhannya sendiri tanpa kerjasama dengan negara lain. Dengan kemajuan teknologi yang sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflasi adalah fenomena yang selalu ada di setiap negara dan merupakan salah satu indikator penting dalam perekonomian suatu negara. Kestabilan inflasi merupakan prasyarat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu.

BAB I PENDAHULUAN. banyak kebutuhan lainnya yang menghabiskan biaya tidak sedikit. Guna. sendiri sesuai dengan keahlian masing-masing individu. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Pemenuhan kebutuhan pokok dalam hidup adalah salah satu alasan agar setiap individu maupun kelompok melakukan aktivitas bekerja dan mendapatkan hasil sebagai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Implementasi kebijakan..., Nursantiyah, FISIP UI, 2009

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia Implementasi kebijakan..., Nursantiyah, FISIP UI, 2009 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tepung terigu dari waktu ke waktu semakin menjadi komoditi pangan penting di Indonesia. Hal ini disebabkan karena tepung terigu semakin menguasai kebutuhan

Lebih terperinci

VIII. SIMPULAN DAN SARAN

VIII. SIMPULAN DAN SARAN VIII. SIMPULAN DAN SARAN 8.1. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa simpulan sebagai berikut : 1. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia

I. PENDAHULUAN. Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Komoditas kelapa sawit merupakan komoditas penting di Malaysia sehingga industri kelapa sawit diusahakan secara besar-besaran. Pesatnya perkembangan industri kelapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui, dalam kata lain cadangan migas Indonesia akan semakin menipis.

BAB I PENDAHULUAN. diperbaharui, dalam kata lain cadangan migas Indonesia akan semakin menipis. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian masih menjadi salah satu primadona Indonesia untuk jenis ekspor non-migas. Indonesia tidak bisa menggantungkan ekspornya kepada sektor migas saja sebab

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN 203 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Analisis terhadap faktor-faktor yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena memiliki kekayaan alam yang berlimpah, terutama di bidang sumber daya pertanian seperti lahan, varietas serta iklim yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pembangunan perekonomian nasional seperti dalam hal penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah

BAB I PENDAHULUAN. integral dan menyeluruh. Pendekatan dan kebijaksanaan sistem ini telah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi yang terjadi disuatu Negara yang diukur dari perbedaan PDB tahun

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN VI.1 Kesimpulan Sumber daya hutan menjadi pilihan Indonesia sebagai andalan sumber keuangan negara disamping minyak dan gas bumi. Hal ini didasari atas ketersediaan kayu hasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya serta

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya serta I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan nasional adalah pembangunan manusia seutuhnya serta pembangunan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Hakikat pembangunan ini mengandung makna bahwa pembangunan

Lebih terperinci

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu

VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL. Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu VI. DAMPAK KEBIJAKAN MAKROEKONOMI DAN FAKTOR EKSTERNAL 6.1. Dampak Kebijakan Makroekonomi Kebijakan makroekonomi yang dianalisis adalah kebijakan moneter, yaitu penawaran uang, dan kebijakan fiskal, yaitu

Lebih terperinci

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO

VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO VIII SKENARIO ALTERNATIF KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SISTEM AGROINDUSTRI KAKAO Pada bab sebelumnya, telah dilakukan analisis dampak kebijakan Gernas dan penerapan bea ekspor kakao terhadap kinerja industri

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN VI. SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan pembahasan sebelumnya maka dapat diambil beberapa kesimpulan antara lain: 1. Selama tahun 1999-2008, rata-rata tahunan harga minyak telah mengalami peningkatan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Teori Permintaan Permintaan adalah jumlah barang atau jasa yang rela dan mampu dibeli oleh konsumen selama periode tertentu (Pappas & Hirschey

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan

BAB I PENDAHULUAN. pertukaran barang dan jasa antara penduduk dari negara yang berbeda dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan pesat globalisasi dalam beberapa dasawarsa terakhir mendorong terjadinya perdagangan internasional yang semakin aktif dan kompetitif. Perdagangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok dari 98 persen penduduk Indonesia (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia beras mempunyai bobot yang paling

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah

I. PENDAHULUAN. ASEAN sebagai organisasi regional, kerjasama ekonomi dijadikan sebagai salah 17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ASEAN terbentuk pada tahun 1967 melalui Deklarasi ASEAN atau Deklarasi Bangkok tepatnya pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok oleh Wakil Perdana Menteri merangkap

Lebih terperinci

KEBIJAKAN HARGA. Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2. Julian Adam Ridjal, SP., MP.

KEBIJAKAN HARGA. Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2. Julian Adam Ridjal, SP., MP. KEBIJAKAN HARGA Kebijakan Yang Mempengaruhi Insentif Bagi Produsen : Kebijakan Harga_2 Julian Adam Ridjal, SP., MP. Disampaikan pada Kuliah Kebijakan dan Peraturan Bidang Pertanian EMPAT KOMPONEN KERANGKA

Lebih terperinci

OPERASIONALISASI KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH DAN HARGA ATAP BERAS

OPERASIONALISASI KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH DAN HARGA ATAP BERAS OPERASIONALISASI KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH DAN HARGA ATAP BERAS A. Landasan Konseptual 1. Struktur pasar gabah domestik jauh dari sempurna. Perpaduan antara produksi padi yang fluktuatif, dan penawaran

Lebih terperinci

6. HASIL DAN PEMBAHASAN

6. HASIL DAN PEMBAHASAN 6. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada bab ini akan dibahas tentang kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dan respon kebijakan untuk meminimisasi dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Mengingat sejak bulan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. teknologi telah meningkatkan permintaan energi. Pada mulanya. manusia memenuhi kebutuhan energi mereka dengan daya otot,

BAB 1 PENDAHULUAN. teknologi telah meningkatkan permintaan energi. Pada mulanya. manusia memenuhi kebutuhan energi mereka dengan daya otot, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sepanjang sejarah, pertumbuhan penduduk dan perkembangan teknologi telah meningkatkan permintaan energi. Pada mulanya manusia memenuhi kebutuhan energi mereka dengan

Lebih terperinci

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015 Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional Kementerian Perindustrian 2015 I. LATAR BELAKANG 2 INDUSTRI AGRO Industri Agro dikelompokkan dalam 4 kelompok, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk kemudian didatangkan ke negara tersebut dengan tujuan untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. untuk kemudian didatangkan ke negara tersebut dengan tujuan untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu kegiatan yang berperan penting dalam perekonomian suatu negara adalah kegiatan perdagangan internasional. Sehingga perdagangan internasional harus

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA

V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA V. GAMBARAN UMUM EKONOMI KELAPA SAWIT DAN KARET INDONESIA Pada bab V ini dikemukakan secara ringkas gambaran umum ekonomi kelapa sawit dan karet Indonesia meliputi beberapa variabel utama yaitu perkembangan

Lebih terperinci

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI Pendahuluan 1. Situasi perberasan yang terjadi akhir-akhir ini (mulai Maret 2008) dicirikan dengan

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI I. KINERJA AGRO TAHUN 2012 II. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN AGRO III. ISU-ISU STRATEGIS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap

I. PENDAHULUAN. penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian sampai saat ini masih mempunyai peranan yang cukup penting dalam perekonomian nasional. Ditinjau dari kontribusinya terhadap pendapatan nasional, sektor

Lebih terperinci

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 273 VII. SIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 7.1. Simpulan Berdasarkan hasil analisis deskripsi, estimasi, dan simulasi peramalan dampak kebijakan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian, kemiskinan,

Lebih terperinci

IV. KERANGKA PEMIKIRAN

IV. KERANGKA PEMIKIRAN 52 IV. KERANGKA PEMIKIRAN 4.1. Kerangka Pemikiran Teoritis Sesuai dengan tujuan penelitian, kerangka teori yang mendasari penelitian ini disajikan pada Gambar 10. P P w e P d Se t Se P Sd P NPM=D CP O

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PEMERINTAH dalam EKONOMI PERTANIAN

KEBIJAKAN PEMERINTAH dalam EKONOMI PERTANIAN KEBIJAKAN PEMERINTAH dalam EKONOMI PERTANIAN Jumlah Penduduk di Indonesia 3 Juta/Th PERTANIAN DI INDONESIA Penghasil biji-bijian nomor 6 di dunia Penghasil beras nomor 3 setelahchina dan India Penghasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian yang terjadi di Indonesia sekarang ini

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat perekonomian yang terjadi di Indonesia sekarang ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tingkat perekonomian yang terjadi di Indonesia sekarang ini perkembangannya sangat fluktuatif. Hal ini disebabkan oleh tingkat perekonomian yang terjadi tergantung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permintaan dan penawaran pada dasarnya merupakan penyebab terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. Permintaan dan penawaran pada dasarnya merupakan penyebab terjadinya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Permintaan dan penawaran pada dasarnya merupakan penyebab terjadinya perdagangan antar negara. Sobri (2001) menyatakan bahwa perdagangan internasional adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh.

I. PENDAHULUAN. diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien dan tangguh. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam GBHN 1993, disebutkan bahwa pembangunan pertanian yang mencakup tanaman pangan, tanaman perkebunan dan tanaman lainnya diarahkan pada berkembangnya pertanian yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian saat ini telah mengalami perubahan orientasi yaitu dari orientasi peningkatan produksi ke orientasi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan.

Lebih terperinci

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik

BAB V. Kesimpulan dan Saran. 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik BAB V Kesimpulan dan Saran 5. 1 Kesimpulan 1. Guncangan harga minyak berpengaruh positif terhadap produk domestik bruto. Indonesia merupakan negara pengekspor energi seperti batu bara dan gas alam. Seiring

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah seyogyanya bertumpuh pada sumberdaya lokal yang dimiliki dan aktivitas ekonomi yang mampu melibatkan dan menghidupi sebagian besar penduduk. Pemanfaatan

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 KAKAO Penyebaran Kakao Nasional Jawa, 104.241 ha Maluku, Papua, 118.449 ha Luas Areal (HA) NTT,NTB,Bali, 79.302 ha Kalimantan, 44.951 ha Maluku,

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK 6.1 Analisis Keuntungan Sistem Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok Analisis keunggulan komparatif

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR CPO TERHADAP KINERJA AGRIBISNIS KELAPA SAWIT DAN PENDAPATAN PETANI RINGKASAN EKSEKUTIF

ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR CPO TERHADAP KINERJA AGRIBISNIS KELAPA SAWIT DAN PENDAPATAN PETANI RINGKASAN EKSEKUTIF ANALISIS DAMPAK PENERAPAN PUNGUTAN EKSPOR CPO TERHADAP KINERJA AGRIBISNIS KELAPA SAWIT DAN PENDAPATAN PETANI RINGKASAN EKSEKUTIF I. JUSTIFIKASI DAN TUJUAN KAJIAN 1. Saat ini pemerintah mempunyai instrumen

Lebih terperinci

Adi Syahputra: Perpajakan, 2006 USU Repository 2006

Adi Syahputra: Perpajakan, 2006 USU Repository 2006 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR...................................................i DAFTAR ISI...............................................................ii 1. Pengertian Pajak.......................................................

Lebih terperinci

ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN

ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN ANALISIS KINERJA EKSPOR 5 KOMODITAS PERKEBUNAN UNGGULAN INDONESIA TAHUN 2012-2016 Murjoko Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret email: murjoko@outlook.com Abstrak Indonesia merupakan negara yang

Lebih terperinci

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Anton J. Supit Dewan Jagung Nasional Pendahuluan Kemajuan teknologi dalam budidaya jagung semakin

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi gula lokal yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya meningkat, sementara sektor lain mengalami pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya meningkat, sementara sektor lain mengalami pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian di Indonesia harus tetap menjadi prioritas utama dari keseluruhan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah. Hal ini mengingat bahwa sektor

Lebih terperinci

4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL

4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL 4. KEBIJAKAN KEDELAI NASIONAL 4.1. Konsep Kebijakan Kebijakan dapat diartikan sebagai peraturan yang telah dirumuskan dan disetujui untuk dilaksanakan guna mempengaruhi suatu keadaan, baik besaran maupun

Lebih terperinci

VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN

VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN VII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenaitentang dampak kebijakan tarif dan kuota impor terhadap kinerjainerja industri tepung terigu Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003)

I. PENDAHULUAN. secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003) I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara dapat diukur dan digambarkan secara umum oleh tingkat laju pertumbuhan ekonominya. Mankiw (2003) menyatakan bahwa pertumbuhan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 23 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Teori Dasar Perdagangan Internasional Teori perdagangan internasional adalah teori yang menganalisis dasardasar terjadinya perdagangan internasional

Lebih terperinci

nilai ekonomis cukup tinggi dalam dunia perdagangan (Ruaw, 2011). Kelapa merupakan komoditi strategis karena perannya yang besar sebagai sumber

nilai ekonomis cukup tinggi dalam dunia perdagangan (Ruaw, 2011). Kelapa merupakan komoditi strategis karena perannya yang besar sebagai sumber 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daya saing bisnis di pasar global tidak hanya ditentukan oleh kemampuan pelaku dalam memanajemeni usahanya tetapi juga oleh kinerja dari berbagai aktor yang terlibat

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pertumbuhan produksi pertanian tidak sebesar laju permintaan pangan. Tabel 1.1

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pertumbuhan produksi pertanian tidak sebesar laju permintaan pangan. Tabel 1.1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Permasalahan pangan di sisi penyediaan saat ini adalah permintaan pangan yang tinggi seiring dengan tingginya laju pertumbuhan penduduk, sementara pertumbuhan produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. komoditas utama penghasil serat alam untuk bahan baku industri Tekstil dan

I. PENDAHULUAN. komoditas utama penghasil serat alam untuk bahan baku industri Tekstil dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kapas merupakan salah satu bahan baku industri yang memegang peranan penting dalam perekonomian nasional karena kapas merupakan komoditas utama penghasil serat alam untuk

Lebih terperinci

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Simulasi Model Pertumbuhan kegiatan kepariwisataan di Indonesia yang dikaitkan dengan adanya liberalisasi perdagangan, dalam penelitian ini, dianalisis dengan menggunakan model

Lebih terperinci

III. KERANGKA TEORI. sisi produksi maupun pasar, disajikan pada Gambar 1. Dari sisi produksi,

III. KERANGKA TEORI. sisi produksi maupun pasar, disajikan pada Gambar 1. Dari sisi produksi, III. KERANGKA TEORI Pasar jagung, pakan dan daging ayam ras di Indonesia dapat dilihat dari sisi produksi maupun pasar, disajikan pada Gambar 1. Dari sisi produksi, keterkaitan ketiga pasar tersebut dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kakao Menurut Badan Perijinan dan Penanaman Modal Provinsi Kalimantan Barat (2009), tanaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia dan salah satu sumber pendapatan bagi para petani. Gula juga merupakan salah satu kebutuhan

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI Daya saing usahatani jambu biji diukur melalui analisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan menggunakan Policy

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 25 II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Area Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia secara berturut-turut pada tahun 1999, 2000, 2001 dan

Lebih terperinci

Bab II. Rumusan dan Advokasi Arah Kebijakan Pertanian

Bab II. Rumusan dan Advokasi Arah Kebijakan Pertanian 12 Rapat Dengan Wakil Presiden (Membahas Special Economic Zone) Dalam konteks ekonomi regional, pembangunan suatu kawasan dapat dipandang sebagai upaya memanfaatkan biaya komparatif yang rendah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3

IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 IV. GAMBARAN UMUM HARGA MINYAK DUNIA DAN KONDISI PEREKONOMIAN NEGARA-NEGARA ASEAN+3 4.1 Perkembangan Harga Minyak Dunia Pada awal tahun 1998 dan pertengahan tahun 1999 produksi OPEC turun sekitar tiga

Lebih terperinci