BAB 2 LANDASAN TEORI. Bab ini menguraikan definisi dari teori-teori yang dijadikan landasan berpikir
|
|
- Glenna Sutedja
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB 2 LANDASAN TEORI Bab ini menguraikan definisi dari teori-teori yang dijadikan landasan berpikir penulis dalam melakukan penelitian berkaitan dengan topik hubungan perilaku mencontek trehadap perilaku konformitas remaja pada siswa SMA di Pekanbaru. Penjelasan yang akan diutarakan sepanjang bab dua ini antara lain adalah definisi dari perilaku mencontek, perilaku konformitas, definisi remaja. 2.1 Perilaku Mencontek Lambert, Hogan dan Barton (2003) dalam penelitiannya menyebutkan kecurangan akademik (academic cheating) dengan istilah academic dishonesty atau dapat dikatakan dengan ketidak jujuran dalam akademik. Von Dran, Callahan, dan Taylor (dalam Lambert, Hogan dan Barton, 2003) menambahkan bahwa kecurangan akademik merupakan sebuah perilaku yang tidak beretika. Sedangkan menurut Deighton (dalam Irawati, 2008) mengatakan bahwa kecurangan akademik adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak jujur. Kecurangan akademik juga dapat diartikan sebagai perilaku yang dilakukan oleh pelajar secara sengaja, seperti pelanggaran terhadap aturan dalam mengerjakan tugas dan ujian, memberikan keuntungan kepada pelajar lain dalam mengerjakan tugas atau ujian dengan cara yang tidak jujur, dan pengurangan keakuratan yang diharapkan pada performansi pelajar (Cizek, 2006). Hendricks (dalam Riski, 2009) mendefinisikan kecurangan akademik sebagai sebuah perilaku yang mendatangkan 9
2 10 keuntungan bagi pelajar dengan cara tidak jujur seperti menyontek, plagiarisme, mencuri dan memalsukan sesuatu yang berhubungan dengan akademik. Perilaku mencontek termasuk kedalam salah satu jenis kecurangan akademik, seperti yang dikatakan oleh Marsden, Carroll, dan Neill (2005) bahwa kecurangan akademik dibedakan menjadi perilaku mencontek, plagiat (kegiatan mengutip tanpa menyebutkan sumber), dan falsification (pelaku kecurangan berusaha untuk menyakinkan pembacanya / pendengarnya bahwa apa yang ia kemukakan adalah hal yang telah terbukti kebenarannya). Namun, hanya perilaku menconteklah yang akan di ukur dalam penelitian ini karena hanya perilaku menconteklah yang sesuai dengan tujuan penelitian ini. Peneliti dapat menyimpulkan bahwa perilaku mencontek merupakan sebuah kecurangan yang dilakukan para siswa pada saat mengerjakan ujian seperti melihat jawaban siswa lain, membawa catatan kedalam kelas, dan meminta jawaban pada siswa lain pada saat ujia Klasifikasi Perilaku Mencontek Heterington dan Feldman (dalam Anderman dan Murdock, 2007) mengklasifikasikan perilaku mencontek menjadi 4, yaitu: Social Active Social active adalah mengambil atau meminta jawaban dari orang lain, dalam kondisi ini siswa tersebut mengandalkan siswa lain untuk mencontek. Contohnya pada saat ujian berlangsung, seorang siswa meminta jawaban kepada temannya yang lain. Social Passive Social passive adalah pada dasarnya siswa tersebut tidak ingin terlibat dalam aktifitas mencontek. Mencontek terjadi ketika peran seorang
3 11 siswa tersebut pasif dan di andalkan oleh siswa lain untuk mencontek. Seperti contohnya membiarkan orang lain mencontek, pada saat ujian berlangsung siswa membiarkan siswa lainnya mencontek atau bahkan memberikan contekan. Individualistic Oportunistic Individualistic opportunictic adalah kegiatan mencontek yang dilakukan oleh orang-orang yang impulsif atau melakukannya dengan tiba-tiba dan tidak merencanakannya, dan melakukannya sendirian. Contohnya, membuka buku saat ujian. Independent Planned Independent planned adalah siswa dengan sengaja merencanakan sendiri kegiatan mencontek yang akan dilakukannya pada saat ujian dan mengandalkan dirinya sendiri. Contohnya membawa materimateri atau catatan kedalam ruangan ujian dengan sengaja Faktor Penyebab Kecurangan Akademik Alhadza (2001) menjelaskan bahwa ada empat faktor yang menjadi penyebab kecurangan akademik. Belum ditemukan faktor penyebab perilaku mencontek, yang ditemukan adalah faktor penyebab kecurangan akademik. Maka dari itu yang digunakan adalah faktor penyebab kecurangan akademik dari Alhadza (2001) yaitu: (1) faktor individual atau pribadi, (2) faktor lingkungan atau pengaruh kelompok, (3) faktor sistem evaluasi dan (4) faktor guru, dosen, atau penilai.
4 12 Sedangkan Hendricks (dalam Riski, 2004) menambahkan beberapa faktor kecurangan akademik yang belum disebutkan oleh Alhadza (2001), antara lain: (1) Individual, terdapat berbagai faktor yang dapat mengidentifikasikan karakteristik individu untuk memprediksi perilaku curang, seperti: Usia. Pelajar yang lebih muda lebih banyak melakukan kecurangan daripada pelajar yang lebih tua. Jenis kelamin. Pelajar berjenis kelamin laki-laki lebih banyak melakukan kecurangan dari pada perempuan. Penjelasan utama dari pernyataan tersebut dapat dijelaskan oleh teori sosialisasi peran jenis gender yakni wanita dalam bersosialisasi lebih mematuhi aturan dari pada laki-laki. Prestasi akademik. Hubungan prestasi akademik dengan kecurangan akademik bersifat konsisten. Pelajar yang memiliki prestasi belajar rendah lebih banyak melakukan kecurangan akademik daripada pelajar yang memiliki prestasi belajar tinggi. Karena, biasanya pelajar yang memiliki prestasi belajar rendah berusaha mencapai prestasi akademik yang lebih tinggi dengan cara berperilaku curang. Pendidikan orang tua. Pelajar dengan latar belakang pendidikan orang tuanya yang tinggi akan lebih mempersiapkan diri dalam mengerjakan tugas dan ujian. Aktivitas ekstrakurikuler. Pelajar dengan ekstrakulikuler yang lebih banyak dilaporkan lebih banyak melakukan kecurangan akademik.
5 13 (2) Kepribadian Moralitas. Pelajar dengan level kejujuran yang rendah akan lebih sering melakukan perilaku curang, namun penelitian yang dilakukan Kohlberg menunjukkan hanya ada sedikit hubungan diantara perkembangan moral dengan menggunakan tahapan moral. Variabel yang berkaitan dengan pencapaian akademik. Variabel yang berkaitan dengan kecurangan akademik adalah motivasi, pola kepribadian dan pengharapan terhadap kesuksesan. Motivasi berprestasi memiliki hubungan yang positif dengan perilaku curang. Impulsifitas, afektivitas dan variabel kepribadian yang lain. Terdapat hubungan antara perilaku curang dengan impulsifitas dan kekuatan ego. Selain hal tersebut, pelajar yang memiliki level kecemasan yang tinggi lebih cenderung melakukan perilaku curang. (3) Faktor kontekstual Keanggotaan perkumpulan, pelajar yang tergabung dalam suatu perkumpulan pelajar akan lebih sering melakukan perilaku curang. Pada perkumpulan pelajar diajarkan norma, nilai dan kemampuan-kemampuan yang berhubungan dengan mudahnya perpindahan perilaku curang. Pada umumnya dalam suatu perkumpulan mereka dapat saling berbagi catatan ujian yang
6 14 lama, tugas-tugas, tugas laboratorium dan tugas akademik lain mudah untuk dicari dan didapatkan. Perilaku teman sebaya, perilaku teman sebaya memiliki pengaruh yang penting terhadap kecurangan akademik. Hubungan tersebut dijelaskan dengan menggunakan teori pembelajaran sosial dari Bandura dan teori hubungan perbedaan dari Edwin Sutherland. Teori-teori tersebut mengemukakan bahwa perilaku manusia dipelajari dengan mencontoh perilaku individu lain yang memiliki perilaku menyimpang akan berpengaruh terhadap peningkatan perilaku individu yang menirunya. Penolakan teman sebaya terhadap perlaku curang, penolakan teman sebaya terhadap perilaku curang merupakan salah satu faktor penentu yang penting dan dapat berpengaruh terhadap perubahan perilaku curang pada pelajar. (4) Faktor situasional Belajar terlalu banyak, kompetisi dan ukuran kelas, pelajar yang belajar terlalu banyak dan menganggap dirinya berkompetisi dengan pelajar lain lebih cenderung melakukan kecurangan dibandingkan pelajar yang tidak belajar terlalu banyak. Ukuran kelas juga menentukan kecenderungan perilaku curang pelajar dimana pelajar akan lebih berperilaku curang jika berada di dalam ruangan kelas yang besar.
7 15 Lingkungan ujian, pelajar lebih cenderung melakukan kecurangan pada saat ujian jika menurut mereka hanya ada sedikit resiko ketahuan ketika melakukan kecurangan Akibat Yang Ditimbulkan Dari Kecurangan Akademik Mulyawati, dkk. (2010) menyatakan bahwa tingkat produktifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah, proses belajar mengajar dalam lembaga pendidikan gagal untuk mendidik generasi muda yang diidamkan. Sistem pendidikan yang ada malah menghasilkan manusia yang tidak jujur (menyontek) yang kemudian akan menjadi menjadi seorang polisi, guru, dokter, jaksa, pengusaha, hakim, dan profesi lainnya yang bisa lebih melakukan tindak ketidak jujuran yang lebih canggih lagi. Mulyawati, dkk. (2010) menambahkan bahwa akibat dari kecurangan akademik akan memicu perilaku atau watak yang tidak percaya diri, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, tidak kreatif, tidak berprestasi, tidak mau membaca buku pelajaran tapi siswa menjadi lebih rajin membuat catatan-catatan kecil untuk bahan menyontek. Maraknya budaya menyontek merupakan indikasi bahwa sudah tergantikannya budaya disiplin dalam lembaga pendidikan yang dampaknya tidak hanya akan merusak integritas dari pendidikan itu sendiri, namun bisa menyebabkan perilaku yang lebih serius seperti tindakan kriminal (Mulyawati, dkk. 2010). Anitsal, Anitsal, dan Elmore (2009) mempertegas pernyataan Mulyawati bahwa memang ada korelasi positif antara kecurangan akademik dengan perilaku tidak etis.
8 Konformitas Teman Sebaya Konformitas secara umum adalah tekanan untuk berperilaku dalam aturan yang menunjukkan bagaimana kita harus atau seharusnya berperilaku (Baron, Brascombe, & Byane, 2008). Sedangkan konformitas teman sebaya adalah muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka (Santrock, 2003). Konformitas terhadap teman sebaya pada remaja dapat menjadi positif atau negatif (Camarena dalam Santrock, 2003). Soekanto (2009) mengatakan bahwa konformitas adalah proses penyesuaian diri dengan masyarakat dengan cara mengindahkan nilai-nilai masyarakat yang biasanya menghasilkan ketaatan atau kepatuhan. Grinman (2002) mengatakan hubungan dengan teman sebaya dapat diukur dengan melihat bagaimana perasaan seseorang bahwa ia cocok dengan kelompok tersebut (belonging), serta dalam hal seberapa banyak ia disenangi oleh anggota kelompoknya (acceptance). Belonging biasanya dianggap sebagai persepsi individu mengenai penerimaan mereka dalam sebuah kelompok sosial. Sedangkan acceptance lebih objektif, mencerminkan tingkat penerimaan bagaimana anggota kelompok terhadap anggota kelompok yang lainnya. Santor, Messervey, & Kusumakar (dalam Grinman, 2002) menambahkan bahwa konformitas teman sebaya didefinisikan sebagai disposisi perilaku yang berkaitan dengan keinginan individu untuk mengikuti rekan-rekan mereka. Sekali seseorang mengkategorikan dirinya sebagai anggota dari sebuah kelompok, mereka berpikir untuk mengikuti aturan kelompok, standar, dan keyakinan tentang perilaku dan sikap yang tepat. Dapat disimpulkan bahwa konformitas teman sebaya adalah bagaimana seseorang berprilaku agar diterima dalam sebuah kelompok pertemanan Jenis Konformitas Teman Sebaya
9 17 Berndt (dalam Santor, Messervey, & Kusumakar, 2000) membagi perilaku yang ditemukan dalam konformitas teman sebaya ke dalam tiga hal berikut, yaitu: 1. Anti-sosial: merupakan suatu perilaku yang dapat merugikan diri sendiri bahkan orang lain (Santor, Messervey, & Kusumakar dalam Grinman, 2002). Selain itu, Berger (2003) menyatakan bahwa sikap antisosial seringkali dipandang sebagai sikap dan perilaku yang tidak mempertimbankan penilaian dan keberadaan orang lain di sekitarnya. Contoh pertanyaan untuk mendeteksi perilaku antisosial pada konformitas teman sebaya adalah dengan menanyakan kepada remaja, apakah yang akan ia lakukan jika salah satu teman sebayanya menginginkan ia untuk mencuri permen. 2. Netral: melakukan segala sesuatu karena keinginan atau ajakan orang lain agar tidak disisihkan atau tidak menyinggung perasaan orang lain (Berndt, 1979 dalam Koban, 2000). Dalam hal ini dijelaskan bahwa remaja tidak selalu menuruti kehendak temantemannya, tetapi pada akhirnya remaja mengikuti teman-temannya karena berusaha menjaga perasaan mereka (Sumarlin, 2012). Contoh pertanyaan untuk mendeteksi perilaku netral pada konformitas teman sebaya adalah dengan menanyakan kepada remaja, apakah ia akan mengikuti saran teman sebayanya untuk mengikuti aktivitas yang ia tidak tertarik untuk ikuti (Santrock, 2006). 3. Pro-sosial : melakukan sesuatu sesuai dengan norma-norma sosial atau nilai-nilai yang berisi mengenai hal-hal positif (Berndt, 1979
10 18 dalam Koban, 2000). Dalam hal ini dijelaskan bahwa remaja tidak hanya prososial terhadap kelmpoknya, tetapi juga terhadap lingkungan tempat tinggalnya (Sumarlin, 2012). Contoh pertanyaan untuk mendeteksi perilaku prososial pada konformitas teman sebaya adalah dengan menanyakan kepada remaja, apakah ia mengandalkan saran orang tua dalam memutuskan sesuatu, misalnya magang di perpustakaan atau mengajari anak-anak berenang Faktor-Faktor yang Mendukung Konformitas Teman Sebaya Berndt (dalam Santor, Messervey, & Kusumakar, 2000) tidak menjelaskan faktor-faktor yang mendukung konformitas teman sebaya, oleh karena itu faktor pendukung konformitas teman sebaya dijelaskan oleh Baron, Branscombe, & Byrne (2008) yang mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mendukung terjadinya konformitas, antara lain: 1. Normative Social Influence (Keinginan untuk disukai). Salah satu cara yang paling berhasil agar disukai oleh orang lain adalah menjadi sama dengan orang tersebut. Salah satu alasan melakukan konformitas adalah belajar atau mencoba melakukannya sehingga bisa mendapatkan penerimaan dari orang lain. Aronson, Wilson dan Akert (2010) mengatakan ada beberapa sitasi yang menyebabkan individu melakukan konformitas, yaitu; Pertama, situasi yang ambigu. Ambigu saat individu tidak tahu bagaimana harus merespon dengan situasi yang dihadapinya, maka individu tersebut akan terbuka terhadap pengaruh dari individu lain. Semakin ambigu situasi yang dihadapi,
11 19 individu akan semakin bergantung pada orang lain. Kedua, situasi yang gawat. Situasi yang gawat akan membuat seseorang bertindak tidak rasional. Selain itu, orang kan lebih cepat merasakan panik, dan membutuhkan keputusan akan apa yang harus dilakukannya, dengan cepat. Untuk itu, biasanya dalam situasi yang krisis, orang akan melihat bagaimana kebanyakan orang berperilaku. Ketiga, ada individu yang lebih ahli. Bagaimanapun situasi yang dihadapi individu tersebut, apakah ambigu atau situasi yang gawat, individu akan lebih percaya pada individu lain yang lebih berpengalaman dalam situasi tersebut (Allison; Cialdini & Trost dalam Aronson, Wilson & Akert, 2010). 2. Informational Social Influences (Keinginan untuk menjadi benar). Ketergantungan pada orang lain atau sebaliknya sering menjadi sumber kuat untuk melakukan konformitas. Tingkah laku dan pendapat orang lain menjadi realiti sosial bagi seseorang, sehingga ia menggunakannya sebagai panduan bagi perilaku dan opininya. Fakta dari penelitian mengatakan bahwa motivasi yang kuat seseorang untuk benjadi benar merupakan sumber paling besar dari konformitas. Terkait dengan kondisi ini, ada 3 situasi yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan konformitas, yaitu; Pertama, strength. Kondisi ini menjelaskan bagaimana peran kelompok terhadap individu. Semakin penting kelompok tersebut, maka individu akan semakin konform pada kelompoknya. Kedua, immediacy. Kondisi ini terkait bagaimana hubungan individu dengan kelompoknya, dan bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi individu. Semakin
12 20 penting kehadiran individu, maka semakin individu akan konform pada tekanan kelompoknya. Ketiga, number. Hal ini terkait banyak sedikitnya anggota kelompok tersebut. Semakin banyak anggota kelompoknya, maka pengaruh setiap individu di dalamnya akan semakin besar. Hal tersebut menyebabkan individu merasakan adanya pengaruh kelompok untuk melakukan konform Hal-hal yang Mempengaruhi Konformitas Teman Sebaya Asch (dalam Baron, Brascombe, & Byane, 2008) dari penelitian yang dilakukannya menemukan beberapa faktor yang memengaruhi konformitas, antara lain: Cohesiveness (Kekompakan). Faktor paling kuat yang mempengaruhi kecenderungan seseorang melakukan konformitas adalah ketertarikan pada suatu kelompok dan keinginan untuk berada di kelompok tersebut. Semakin seseorang ingin berada dalam sebuah kelompok sosial dan semakin ingin merasa diterima di kelompok tersebut, maka mereka akan semakin menghindari melakukan hal-hal yang menyebabkan mereka terpisah dari kelompok tersebut. Group Size (Ukuran kelompok). Konformitas semakin meningkat saat jumlah anggota kelompok semakin banyak. Descriptive and Injuctive Social Norms. Maksud dari Descriptive and Injuctive Social Norms adalah bagaimana norma dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Descriptive norms adalah bagaimana kebanyakan orang berperilaku jika dihadapkan dalam sebuah situasi. Injuctive
13 21 norms adalah bagaimana seseorang seharusnya berperilaku agar perilaku tersebut diterima atau ditolak dalam sebuah situasi. 2.3 Remaja Perkembangan remaja menurut Erikson (dalam Santrock, 2007) berada pada tahapan ke 5, identitas versus difusi peran yaitu pada usia tahun. Menurutnya selama masa remaja individu mencari identitas dirinya untuk saat ini dan untuk masa yang mendatang agar dapat mengintegrasikan pengalaman hidup ke dalam kesan diri. Dalam tahap ini juga remaja bereksplorasi dan mencari identitas dirinya dengan berusaha menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat, serta bagaimana orang lain menerima dirinya. Erikson (dalam Sprinthall & Collins, 2002). Erikson sebelumnya pernah menjelaskan bahwa pembentukan identitas diri pada remaja pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku remaja. Hal ini di dukung oleh teori Hill (dalam Sprinthall & Collins, 2002) yang menyatakan bahwa pembentukan identitas diri merupakan perubahan sekunder yang terjadi pada remaja. Identitas yang terbentuk akan terlihat dengan perilaku yang mereka munculkan. Santrock (2007) juga mengelompokkan remaja menjadi dua kelompok, yaitu: o Remaja awal (Early adolescence) Ditujukan pada individu yang berusia 10 sampai 12 tahun. Pada umumnya sama dengan siswa yang duduk di sekolah menengah pertama dan individu ini tengah mengalami banyak perubahan dalam puberitas. Secara tradisional dianggap sebagai periode badai dan tekanan, dimana masa itu emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Pada masa remaja awal anak berusaha menyesuaikan diri terhadap pola
14 22 perilaku baru dan harapan sosial yang baru. Peran teman sebaya juga sangat berpengaruh dalam tahap ini. o Remaja akhir (late adolescence) Ditujukan pada individu yang berusia diatas 15 tahun dan masa ini berakhir pada usia 18 sampai 22 tahun. Umumnya sama dengan siswa yang duduk di sekolah menengah atas atau mahasiswa pada awal tahun perkuliahan. Ciri-ciri emosional akhir yaitu pemberontakan karena perubahan dari masa kanak-kanak awal menuju masa kanak-kanak akhir yang mengalami konfilk dengan orang tua mereka, sering kali melamun, dan memikirkan masa depan mereka ingin menjadi apa. 2.4 Kerangka berpikir Mencontek Heterington & Feldman (dalam Anderman & murdock, 2007) social active Konformitas Teman Sebaya Baron, Branscombe, & Byrne (2008) social passive individual opportunistic Independent planned Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
15 23 Kerangka berpikir ini menggambarkan bahwa konformitas teman sebaya akan dilihat hubungannya dengan masing-masing perilaku mencontek, yaitu social active, social passive, individualistic opportunistic, dan independent planned. Perilaku mencontek akan di ukur satu persatu berdasarkan dari masing-masing jenis perilaku menconteknya, karena keempat jenis perilaku mencontek tersebut merupakan jenisjenis yang berbeda sehingga harus di ukur satu persatu. Pertama, hubungan konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek social active. Mencontek social active merupakan perilaku mencontek saat dimana siswa tersebut mengandalkan siswa lain untuk mencontek, jika siswa tersebut memiliki konformitas teman sebaya yang tinggi maka ia akan semakin aktif meminta jawaban kepada teman yang lain saat ia melihat ada temannya yang lain mencontek juga. Kedua, hubungan konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek social passive. Mecontek social passive adalah saat siswa tersebut sebenarnya tidak ingin terlibat dalam aktifitas mencontek, dengan kata lain ia selalu dimintai jawaban oleh siswa lain. Peneliti berasumsi bahwa siswa siswa yang memiliki tipe mencontek social active akan memberikan jawaban agar ia dapat diterima dalam sebuah kelompok pertemanan. Ketiga, hubungan konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek individualistic opportunistic. Siswa dengan perilaku mencontek individualistic opportunistic akan mencontek secara tiba-tiba dan tanpa rencana. Peneliti berasumsi bahwa jika melihat teman-teman yang lain mencontek maka siswa tersebut akan segera mencontek juga dengan anggapan ingin di anggap sama dengan yang siswa yang lain (seperti kalau siswa lain bisa, kenapa saya tidak? ).
16 24 Keempat, hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek independent planned. Siswa dengan perilaku mencontek independent planned sudah merencanakan bahwa ia akan mencontek pada saat ujian. Kaitannya dengan konformitas teman sebaya adalah ia akan membuat contekan ketika temantemannya mengajak dan ia juga melihat teman-temannya yang lain membuat contekan. Maka dari itu peneliti ingin melihat bagaimana hubungan antara konformitas teman sebaya dengan masing-masing perilaku mencontek, perilaku mencontek yang manakah yang paling berhubungan dengan konformitas teman sebaya. Dengan asumsi bahwa semakin tinggi konformitas teman sebaya maka semakin tinggi pula perilaku mencontek siswa SMA di Pekanbaru. 2.5 Hipotesa H o1 : Tidak adanya hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek social active pada siswa SMA di Pekanbaru. H a1 : Adanya hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek social active pada siswa SMA di Pekanbaru. H o2 : Tidak adanya hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek social passive pada siswa SMA di Pekanbaru. H a2 : Adanya hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek social passive pada siswa SMA di Pekanbaru. H o3 : Tidak adanya hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek individualistic opportunistic pada siswa SMA di Pekanbaru.
17 25 H a3 : Adanya hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek individualistic opportunistic pada siswa SMA di Pekanbaru. H o4 : Tidak adanya hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek independent planned pada siswa SMA di Pekanbaru. H a4 : Adanya hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek independent planned pada siswa SMA di Pekanbaru.
BAB 1 PENDAHULUAN. bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya tersebut tidak bisa
BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah sumber daya manusia menjadi salah satu permasalahan paling penting bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya tersebut tidak bisa terlepas
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DENGAN PERILAKU MENCONTEK PADA SISWA SMA DI PEKANBARU
HUBUNGAN ANTARA KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DENGAN PERILAKU MENCONTEK PADA SISWA SMA DI PEKANBARU Mega Octarina Binus University Kampus Kijang, Jl. Kemanggisan Ilir III No. 45, Kemanggisan/Palmerah, Jakarta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan setiap individu, baik berupa pendidikan formal ataupun nonformal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa penelitian terdahulu yang menjadi acuan pada penelitian ini adalah:
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian terdahulu yang menjadi acuan pada penelitian ini adalah: 1. Endra Murti Sagoro (2013) Penelitian Endra Murti Sagoro menguji tentang
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 8 Tabel Subjek penelitian berdasarkan kelas
A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Subjek BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII di MTS Sullamul Hidayah Probolinggo. Jumlah dalam penelitian ini sebanyak
Lebih terperinciBAB 3 METODOLOGI PENELITIAN. Bab ini membahas karakteristik subjek, desain penelitian, variabel penelitian,
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN Bab ini membahas karakteristik subjek, desain penelitian, variabel penelitian, instrumen penelitian, serta teknik pengolahan data. 3.1 Karakteristik Subjek Populasi, Sampel,
Lebih terperinciJurnal Pendidikan Akuntansi Indonesia, Vol. XI, No.2, Tahun 2013 Endra Murti Sagoro 54-67
PENSINERGIAN MAHASISWA, DOSEN, DAN LEMBAGA DALAM PENCEGAHAN KECURANGAN AKADEMIK MAHASISWA AKUNTANSI Oleh : Staf Pengajar Jurusan P. Akuntansi Universitas Negeri Yogyakarta Abstrak Mahasiswa merupakan generasi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penilaian bahkan sampai pada penulisan tugas akhir. Cheating merupakan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecurangan (cheating) merupakan salah satu fenomena pendidikan yang sering muncul menyertai aktivitas proses pembelajaran dan dalam proses penilaian bahkan sampai
Lebih terperinciHubungan Kecenderungan Konformitas dengan Potensi Perilaku Bully. Perilaku bully adalah perilaku yang bertujuan untuk menyakiti seseorang dan kemudian
Hubungan Kecenderungan Konformitas dengan Potensi Perilaku Bully Perilaku bully adalah perilaku yang bertujuan untuk menyakiti seseorang dan kemudian tujuan tersebut dilaksanakan, adanya pihak yang tersakiti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN HUBUNGAN KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DENGAN KEMANDIRIAN PERILAKU PESERTA DIDIK KELAS VIII SMP NEGERI 1 BANDUNG
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya, manusia lahir dalam keadaan lemah tidak berdaya, mereka memiliki rasa ketergantungan pada orang lain terutama pada orang tua serta orangorang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecurangan akademik bukanlah masalah yang baru dalam pendidikan di Indonesia, sehingga fenomena kecurangan akademik dapat dikatakan telah menjadi kebiasaan di
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PERILAKU KECURANGAN AKADEMIK 1. Pengertian Perilaku Kecurangan Akademik Menurut Oxford Dictionaries (1992) kecurangan merupakan tindakan tidak jujur, tidak adil untuk mendapatkan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bahkan sampai jam enam sore jika ada kegiatan ekstrakulikuler di sekolah.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sekolah merupakan tempat dimana remaja menghabiskan sebagian waktunya. Remaja berada di sekolah dari pukul tujuh pagi sampai pukul tiga sore, bahkan sampai
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. pemalsuan data laboratorium dan tindak kecurangan. Menurut Mujahidah (2012 :4)
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Menyontek 1. Pengertian perilaku menyontek McCabe dan Trevino (dalam Carpenter, 2006:181) mendefinisikan perilaku menyontek sebagai tindakan termasuk menyalin pada
Lebih terperinciBAB III METODE PENELITIAN
BAB III METODE PENELITIAN 1.1 Variabel Penelitian dan Hipotesis 1.1.1 Variabel Penelitian dan Definisi operasional Konformitas adalah perilaku ikut-ikutan individu terhadap individu atau kelompok lain.
Lebih terperinciBAB 2 Tinjauan Pustaka
BAB 2 Tinjauan Pustaka Dalam bab ini, akan dibahas mengenai tinjauan pustaka yang digunakan peneliti terkait dengan penelitian yang dilakukan, dan dapat menjadi landasan teoritis untuk mendukung penelitian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seperti yang diketahui pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seperti yang diketahui pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap warga negara. Pendidikan sangat menentukan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lebih terperinciBAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. September Subjek dalam penelitian ini adalah mahasiswa Program
55 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Analisis Deskriptif Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FKIK UMY) pada
Lebih terperinciBAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil-hasil penelitian dan pembahasan mengenai hubungan konformitas teman sebaya dengan konsep diri terhadap kenakalan remaja di Jakarta Selatan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting untuk menghasilkan tenaga ahli yang tangguh dan kreatif dalam menghadapi tantangan pembangunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Seluruh siswa di Madrasah Aliyah (MA) Almaarif Singosari-Malang,
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Seluruh siswa di Madrasah Aliyah (MA) Almaarif Singosari-Malang, sebagaimana siswa Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA) pada umumnya, akan melalui proses
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001)
BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Merokok 2.1.1 Pengertian Perilaku Merokok Chaplin (2001) memberikan pengertian perilaku terbagi menjadi 2: pengertian dalam arti luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan untuk terbawa arus adalah remaja. Remaja memiliki karakteristik tersendiri yang unik, yaitu
Lebih terperinci2016 KECENDERUNGAN INTEGRITAS AKADEMIK SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Integritas akademik (academic integrity) saat ini merupakan isu pendidikan yang krusial dan menjadi perhatian utama dalam pengembangan pendidikan secara internasional.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai kehidupan manusia dalam beberapa
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Normative Social Influence 2.1.1 Definisi Normative Social Influence Pada awalnya, Solomon Asch (1952, dalam Hogg & Vaughan, 2005) meyakini bahwa konformitas merefleksikan sebuah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia terlahir dalam keadaan yang lemah, untuk memenuhi kebutuhannya tentu saja manusia membutuhkan orang lain untuk membantunya, artinya ia akan tergantung
Lebih terperinciBAB 4 ANALISIS DATA Hasil Penelitian Subjek Penelitian
1 BAB 4 ANALISIS DATA 4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini berjumlah 60 orang dengan kriteria laki-laki maupun perempuan usia 12-15 tahun dan menimba ilmu di kelas VII,
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia
1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa dimana individu mulai tertarik dengan masalah-masalah seksualitas. Pada awalnya, ketertarikan remaja terhadap seksualitas bersifat self-centered,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diharapkan muncul generasi-generasi yang berkualitas. Sebagaimana dituangkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan satu hal yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pembangunan. Pemerintah berusaha untuk mewujudkan pendidikan yang kedepan diharapkan muncul
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial yang memiliki kemampuan untuk menyesuaikan tingkah lakunya dengan situasi orang lain. Sebagai mahluk sosial, manusia membutuhkan pergaulan
Lebih terperinciPerkembangan Sepanjang Hayat
Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Dewasa Awal dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Masa Dewasa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. belajar, membahas soal bersama-sama, atau bahkan ada yang berbuat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Siswa menerima pendidikan di sekolah formal untuk mendapatkan bekal yang akan berguna dalam kehidupannya kelak. Sudah menjadi tugas siswa untuk belajar dan menimba
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA A.
15 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kecurangan Akademik (Academic Dishonesty) Lambert, Hogan, dan Barton dalam penelitian yang dilakukannya menyebutkan kecurangan akademik (academic cheating) dengan istilah ketidakjujuran
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. peralihan dari satu tahap anak-anak menuju ke tahap dewasa dan mengalami
BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu tahap anak-anak menuju ke tahap dewasa dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. adanya suatu periode khusus dan periode sulit, dimana pada tahun-tahun awal. masa dewasa banyak merasakan kesulitan sehingga mereka
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan salah satu elemen masyarakat yang sedang melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi. Menurut Hurlock, masa dewasa awal dimulai pada umur
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kedisiplinan Siswa 2.1.1. Pengertian Disiplin Disiplin merupakan kepatuhan untuk menghormati dan melaksanakan suatu sistem yang mengharuskan orang untuk tunduk kepada keputusan,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga pendidikan mempunyai peranan yang cukup penting dalam membentuk kepribadian, karakter, serta tingkah laku moral para peserta didik. Di bangku sekolah, para peserta
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. perbuatan curang dalam dunia pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu bentuk tindakan negatif yang dilakukan oleh pelajar dalam proses pembelajaran adalah menyontek. Menyontek merupakan salah satu perbuatan curang dalam dunia
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Perilaku menyontek atau cheating merupakan salah satu fenomena dalam
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perilaku menyontek atau cheating merupakan salah satu fenomena dalam dunia pendidikan yang sering dan bahkan selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar-mengajar
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan
BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Perilaku Mencontek Pada Siswa MTS/SMP. sebagainya sebagaimana aslinya, menjiplak.
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Mencontek Pada Siswa MTS/SMP 1. Perilaku Mencontek a. Pengertian mencontek Menurut kamus besar bahasa Indonesia (Tim pustaka phoenix, 2009) mencontek berasal dari kata
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan. harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Self-Esteem 2.1.1 Pengertian Self-Esteem Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu pengertian.
Lebih terperinciPENDAHULUAN. (academic dishonesty). McCabe (2009), menyebutkan bahwa ketidakjujuran
1 PENDAHULUAN Masa sekarang ini banyak dijumpai secara luas sebuah fenomena yang menyedihkan didunia pendidikan, yaitu perilaku ketidakjujuran akademik (academic dishonesty). McCabe (2009), menyebutkan
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Bab ini menguraikan definisi dan teori-teori yang dijadikan landasan berpikir
BAB II LANDASAN TEORI Bab ini menguraikan definisi dan teori-teori yang dijadikan landasan berpikir penulis dalam melakukan penelitian berkaitan dengan topik pengaruh pemberian goal setting terhadap tingkat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan lingkungannya, baik dari lingkungan keluarga, sekolah, dan pergaulan
digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belajar merupakan suatu proses yang kompleks yang terjadi pada diri manusia sepanjang hidup. Proses belajar terjadi karena adanya interaksi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Ujian Nasional merupakan gerbang dari sebuah keinginan besar bahwa
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujian Nasional merupakan gerbang dari sebuah keinginan besar bahwa pendidikan memilki hasil yang nyata dan itu tertuang lewat soal-soal dan jawaban yang tertera
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sangat cepat. Seiring dengan perkembangan zaman, siswa selaku peserta didik
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia pendidikan saat ini mengalami perkembangan dan perubahan yang sangat cepat. Seiring dengan perkembangan zaman, siswa selaku peserta didik dituntut untuk memiliki
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia
1. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Data tentang kecurangan akademik di Amerika menunjukkan bahwa satu dari tiga orang siswa dalam rentang usia 12-17 tahun mengaku pernah berbuat curang (Sussman, 2004).
Lebih terperinciPerkembangan Sepanjang Hayat
Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa
Lebih terperinciSKRIPSI. Diajukan kepada Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
PENGARUH EFIKASI DIRI DAN LINGKUNGAN SEKOLAH TERHADAP KECURANGAN AKADEMIK PADA TES TERTULIS AKUNTANSI SISWA KELAS XI KOMPETENSI KEAHLIAN AKUNTANSI SMK SE-KABUPATEN KULON PROGO TAHUN AJARAN 2013/2014 SKRIPSI
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa, dimana individu berjuang untuk tumbuh menjadi sesuatu,
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah 1. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan suatu masa, dimana individu berjuang untuk tumbuh menjadi sesuatu, menggali serta memahami arti dan makna dari
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. diandalkan. Remaja merupakan generasi penerus yang diharapkan dapat. memiliki kemandirian yang tinggi di dalam hidupnya.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemajuan suatu bangsa tidak hanya didukung oleh pemerintah yang baik dan adil, melainkan harus ditunjang pula oleh para generasi penerus yang dapat diandalkan.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. namun akan lebih nyata ketika individu memasuki usia remaja.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang permasalahan Setiap manusia tidak dapat hidup sendiri, manusia pasti membutuhkan orang lain disekitarnya mulai dari hal yang sederhana maupun untuk hal-hal besar didalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa remaja
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan salah satu masa dalam tahap perkembangan manusia yang merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. Masa remaja menurut Hurlock (1973)
Lebih terperinciPrilaku Jujur Dalam Kehidupan Sehari-Hari. Aat Agustini, MKM
ب س م االله الر ح م ن اار ح ي Prilaku Jujur Dalam Kehidupan Sehari-Hari Aat Agustini, MKM Jujur adalah suatu kebenaran yang sesuai antara perkataan dan kenyataan I tikad yang ada di dalam hati. Jujur termasuk
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA PIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS Ketidakjujuran Akademik (Academic Dishonesty)
8 BAB II LANDASAN TEORI, KERANGKA PIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS 2.1 Deskripsi Teori 2.1.1 Ketidakjujuran Akademik (Academic Dishonesty) Salah satu bentuk kecurangan yang terjadi dibidang pendidikan dinamakan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia menjadi tanggung jawab Kementrian Pendidikan dan Keebudayaan Republik
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia adalah seluruh pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia, baik itu secara terstruktur maupun tidak terstruktur. Secara terstruktur,
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Konseptual. 1. Perilaku Menyontek. Dalam institusi pendidikan atau sekolah terdapat perilaku yang dengan
BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Konseptual 1. Perilaku Menyontek Dalam institusi pendidikan atau sekolah terdapat perilaku yang dengan mudah ditemukan yaitu perilaku menyontek. Perilaku menyontek terjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tinggi. Selain itu, pada tanggal 4 Mei 2011 juga ada penanda-tanganan Deklarasi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di Indonesia, khususnya pada tingkat perguruan tinggi, perilaku menyontek mulai mendapat perhatian sejak dikeluarkannya Permendiknas Nomor 17 tahun 2010 tentang
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara
BAB II LANDASAN TEORI A. Harga Diri 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri baik secara positif atau negatif (Santrock, 1998). Hal senada diungkapkan oleh
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial
BAB II TINJAUAN TEORI A. Kenakalan Remaja 1. Pengertian Kenakalan Remaja Kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara
Lebih terperinciAgresivitas. Persahabatan. Kesepian. Penolakan
HUBUNGAN ANTARA KESEPIAN DENGAN AGRESIVITAS PADA REMAJA MADYA DI SMA X BOGOR LATAR BELAKANG MASALAH Agresivitas Persahabatan Kesepian Penolakan AGRESIVITAS Perilaku merugikan atau menimbulkan korban pihak
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah salah satu hal yang menjadi tonggak ukur kesuksesan
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu hal yang menjadi tonggak ukur kesuksesan seseorang. Bahkan pendidikan menawarkan sejuta harapan bagi yang menginginkan peningkatan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN Bagian pendahuluan merupakan pemaparan mengenai dasar dilakukannya penelitian, yaitu terdiri dari latar belakang penelitian, identifikasi dan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukkan pribadi manusia dan bertujuan untuk meningkatkan potensi sumber daya manusia. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (dalam Kompas, 2011) menyatakan bahwa didapatkan jumlah mahasiswa
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Setiap tahun jumlah mahasiswa di Indonesia cenderung meningkat. Latief (dalam Kompas, 2011) menyatakan bahwa didapatkan jumlah mahasiswa Indonesia pada tahun
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. Konsumtif adalah pemakaian atau pengonsumsian barang-barang yang
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Konsumtif 1. Pengertian Perilaku Konsumtif Konsumtif adalah pemakaian atau pengonsumsian barang-barang yang sifatnya karena tuntutan gengsi semata dan bukan menurut tuntutan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA Kemandirian dalam pengambilan keputusan Pengertian kemandirian dalam pengambilan keputusan
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kemandirian dalam pengambilan keputusan 2.1.1. Pengertian kemandirian dalam pengambilan keputusan Kemandirian menurut Elkind dan Weiner (Nuryoto, 1993) mencakup pengertian kebebasan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA. dimiliki oleh orang lain mengenai individu tersebut. Self Perception (persepsi diri
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Konsep Diri 2.1.1. Definisi Konsep Diri Konsep diri merupakan penjabaran mengenai diri secara keseluruhan sebagai suatu gambaran bagi orang lain untuk melihat adakah perbedaan
Lebih terperinciHUBUNGAN ANTARA PERCAYA DIRI DENGAN INTENSI MENYONTEK
HUBUNGAN ANTARA PERCAYA DIRI DENGAN INTENSI MENYONTEK Naskah Publikasi Disusun Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Psikologi Diajukan oleh: PANGESTU PINARINGAN PUTRI F100
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak remaja yang sudah duduk di bangku SMP dan SMA umumnya menghabiskan waktu sekitar 7 jam sehari di sekolahnya. Ini berarti bahwa hampir sepertiga dari waktunya
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Kata prokrastinasi berasal dari bahasa Latin procrastination dengan awalan
BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Prokrastinasi Akademik 2.1.1 Pengertian prokrastinasi Kata prokrastinasi berasal dari bahasa Latin procrastination dengan awalan pro yang berarti mendorong maju atau bergerak
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORITIS
BAB II LANDASAN TEORITIS A. KEMATANGAN KARIR 1. Pengertian Kematangan Karir Crites (dalam Salami, 2008) menyatakan bahwa kematangan karir sebagai sejauh mana individu dapat menguasai tugas-tugas perkembangan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. masa sekarang dan yang akan datang. Namun kenyataan yang ada, kehidupan remaja
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja adalah generasi masa depan, penerus generasi masa kini yang diharapkan mampu berprestasi, bisa dibanggakan dan dapat mengharumkan nama bangsa pada masa sekarang
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang Masalah
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa yang penuh konflik. Pada masa ini remaja tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun psikis, perubahan terhadap pola perilaku dan juga
Lebih terperinciATURAN, ETIKA AKADEMIK, TUGAS DAN KEWAJIBAN DOSEN PEMBIMBING, KETUA SIDANG DAN PENGUJI DALAM PENYELESAIAN SKRIPSI/TUGAS AKHIR
ATURAN, ETIKA AKADEMIK, TUGAS DAN KEWAJIBAN DOSEN PEMBIMBING, KETUA SIDANG DAN PENGUJI DALAM PENYELESAIAN SKRIPSI/TUGAS AKHIR Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan tinggi dan menghasilkan lulusan yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan. dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang diselenggarakan di dalamnya.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja merupakan salah satu masa dalam rentang perjalanan kehidupan dan menjadi bagian yang dilalui dalam siklus perkembangan manusia. Dewasa ini disebut
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial (homo sosius), yang dibekali
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah makhluk sosial (homo sosius), yang dibekali Tuhan dengan akal, dimana akal akan menjadikan manusia mengetahui segala sesuatu (Qadir, 2006). Manusia
Lebih terperinciKONFORMITAS. Konformitas dan Norma SoSial. Konformitas dan Penelitian Solomon Asch. Pengaruh Sosial dan Kontrol Pribadi (bag 1) Halaman 1
1 KONFORMITAS dan Norma SoSial adalah Suatu jenis pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada. dan Norma Sosial Tekanan untuk melakukan
Lebih terperinciBAB IV PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN
BAB IV PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini merupakan siswa kelas XI SMK Saraswati Salatiga yang populasinya berjumlah 478 siswa. Kelas XI SMK Saraswati
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Perusahaan dalam mempertanggung jawabkan aktivitas bisnisnya dan menilai
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perusahaan dalam mempertanggung jawabkan aktivitas bisnisnya dan menilai kinerja organisasi diharuskan untuk menyampaikan laporan keuangan yang disusun sesuai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kata menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kata menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan mahasiswa. Perilaku menyontek merupakan fenomena yang sudah lama ada dalam dunia pendidikan. Masalah menyontek
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengetahuan dimana kunci suksesnya terletak pada dunia pendidikan.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya manusia (SDM) merupakan satu modal penting dalam meningkatkan kualitas hidup manusia di segala bidang. Dimana pada era modern ini, banyak terjadi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia selain sebagai makhluk pribadi, juga merupakan makhluk sosial.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia selain sebagai makhluk pribadi, juga merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa kehadiran orang lain. Dalam
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi. Terjadi pada usia kurang lebih lima
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi. Terjadi pada usia kurang lebih lima belas tahun sampai dengan dua puluh dua tahun. Pada masa tersebut, remaja akan mengalami beberapa
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. biasa disebut academic dishonesty sudah tidak dapat terelakkan lagi di kalangan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perilaku terhadap pelanggaran, ketidakjujuran, dan penyimpangan akademik atau biasa disebut academic dishonesty sudah tidak dapat terelakkan lagi di kalangan
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Teori Komunikasi Keluarga Pengertian Komunikasi
7 TINJAUAN PUSTAKA Teori Komunikasi Keluarga Pengertian Komunikasi Komunikasi merupakan suatu cara untuk memengaruhi individu agar si pemberi pesan (sender) dan si penerima pesan (receiver) saling mengerti
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekolah, mengontrol diri dan bertanggungjawab serta berperilaku sesuai dengan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peraturan sekolah dibuat agar siswa dapat beradaptasi dengan lingkungan sekolah, mengontrol diri dan bertanggungjawab serta berperilaku sesuai dengan tuntutan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam pergaulan hidup bermasyarakat dan bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional diperlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul.
Lebih terperinci5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
54 5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan dan diskusi yang dapat diambil dari penelitian ini, serta saran-saran yang dapat diberikan berkenaan dengan penelitian
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat dilakukan dengan peningkatan mutu pendidikan. Keberhasilan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menghadapi era globalisasi sekarang ini, diperlukan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan ini terlebih dahulu dapat dilakukan dengan peningkatan
Lebih terperinciBAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
37 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Uji Asumsi Uji Asumsi dilakukan sebelum melakukan uji hipotesis, uji asumsi ini terdiri dari uji normalitas dan uji linieritas. Tujuan dari uji asumsi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Andriani, 2013
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan kemandirian merupakan masalah penting sepanjang rentang kehidupan manusia. Perkembangan kemandirian sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Keberhasilan pembangunan nasional suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan Sumberdaya Manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang
Lebih terperinci