PENDAHULUAN. (academic dishonesty). McCabe (2009), menyebutkan bahwa ketidakjujuran

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENDAHULUAN. (academic dishonesty). McCabe (2009), menyebutkan bahwa ketidakjujuran"

Transkripsi

1 1 PENDAHULUAN Masa sekarang ini banyak dijumpai secara luas sebuah fenomena yang menyedihkan didunia pendidikan, yaitu perilaku ketidakjujuran akademik (academic dishonesty). McCabe (2009), menyebutkan bahwa ketidakjujuran akademik baik dalam bentuk plagiat dan kecurangan pada tes telah mendapatkan perhatian lagi karena penggunaan internet yang banyak dan kemerosotan moral pada mahasiswa generasi saat ini yang menyebabkan banyak peneliti menyimpulkan bahwa ketidakjujuran akademik menjangkau proporsi yang epidemik (mewabah). Dalam penelitiannya tersebut juga memaparkan data empiris dan mendukung kesimpulan bahwa ketidakjujuran akademik adalah kasus yang penting yang mencuat dalam banyak jurusan kuliah. Selanjutnya, Lambert, Hogan, dan Barton (2003) mengungkapkan bahwa perilaku ketidakjujuran akademik merupakan ancaman serius bagi sebagian besar perguruan tinggi yang dapat menggagalkan tujuan pendidikan tinggi dan proses pencarian ilmu. Dalam dunia pendidikan tinggi, berbagai laporan secara konsisten mendukung temuan bahwa sejumlah besar mahasiswa terlibat perilaku curang dalam kegiatan akademik (Austin, Collins, Remillard, Kelcher dan Chuia, 2006). Perilaku ketidakjujuran akademik menunjukkan kecenderungan peningkatan secara tajam, yang tersebar luas diberbagai tempat, sebagaimana yang diungkapkan dalam berbagai penelitian yang dilakukan oleh McCabe (2000), Ercegovac dan Richardson (2004), Harding, Donald, Carpenter, Susan & 1

2 2 Nicholas, (2001), serta Rabi & Zgarrick (2006). Bahkan Lanier (2006) mengistilahkan ketidakjujuran akademik sebagai wabah kampus. Berbagai perilaku yang dikategorikan dalam perilaku ketidakjujuran akademik tersebut diantaranya menyontek (cheating), menjiplak (plagiarism), pemalsuan data (fabrication), dan sabotase tugas orang lain. Menyontek dijumpai ketika para mahasiswa mengerjakan ujian, menjiplak terlihat dalam pengerjaan tugas-tugas rumah, dan pemalsuan data dapat kita temui dalam kegiatan penelitian. Peningkatan sebaran perilaku ketidakjujuran akademik dapat dilihat dalam tabel 1. Tabel 1. Tren Peningkatan Perilaku Ketidakjujuran Akademik Berdasar Temuan Riset Peneliti Tahun Perilaku Ketidakjujuran Akademik (%) McCabe dan Trevino % Harding, dkk % Ercegovac dan Richardson % Lanier % Strom % McCabe, Feghali, dan Abdallah % McCabe % Tabel 1 tampak jelas bahwa perilaku ketidakjujuran akademik merupakan suatu epidemik, yang angkanya terus meningkat dari waktu kewaktu dan terus menyebar secara luas. Fenomena perilaku ketidakjujuran akademik ini juga telah banyak dijumpai di Indonesia, bahkan perilaku ketidakjujuran akademik tidak hanya terjadi di perguruan tinggi namun juga telah terjadi pada dunia pendidikan dasar dan menengah. Berita-berita tentang tertangkapnya perilaku ketidakjujuran akademik di sekolah dasar dan menengah biasanya marak menjelang akhir tahun pelajaran

3 3 atau ketika musim ujian tiba. Upaya-upaya kerjasama yang semestinya tidak terjadipun ikut menodai citra pendidikan. Kasus-kasus yang pernah diberitakan di koran antara lain, guru yang mencuri soal UN sebelum UN dilaksanakan, guru yang memberikan bocoran jawaban UN pada siswa, pembelian bocoran jawaban soal ujian oleh anak yang didukung orangtuanya, pemanfaat teknologi IT untuk menyontek, bahkan pula muncul kasus perjokian. Kasus-kasus tersebut memberikan gambaran bahwa orientasi terhadap skor hasil ujian menduduki tempat yang demikian penting bagi sebagian orang, bahkan nilai-nilai moral yang seharusnya ditegakkan dalam pelaksanaan ujian tidak diindahkan lagi. Maraknya kasus ketidakjujuran akademik ternyata juga sudah merambah dikabupaten Ngawi, Menurut DR selaku guru Bimbingan Konseling disalah satu MTsN dikabupaten Ngawi, terdapat peningkatan jumlah siswa yang melakukan ketidakjujuran akademik pada saat ujian ataupun tugas-tugas akademik. Selain itu peneliti juga telah melakukan survei pendahuluan pada bulan November 2014 dengan memberikan 80 kuesioner terbuka tentang perilaku ketidakjujuran akademik kepada siswa kelas 7,8,9 di salah satu MTsN tersebut. Tabel 2. Persentase bentuk-bentuk perilaku ketidakjujuran akademik pada siswa salah satu MTsN di Kabupaten Ngawi Bentuk Perilaku Ketidakjujuran Akademik Jumlah (%) Bertanya pada teman saat ujian Menyalin jawaban teman saat ujian Membuka buku secara sembunyi pada saat ujian Membuat catatan-catatan dikertas kecil sebelum ujian berlangsung untuk dibuka saat ujian Memberikan jawaban pada teman 6 8 Menggunakan kode/isyarat pada teman saat ujian 6 8 Menyalin PR teman 5 6

4 4 Memberitahukan soal ujian yang keluar pada kelas 5 6 lain yang belum ujian Menyajikan data palsu dalam pengumpulan tugas 3 4 Memalsukan daftar pustaka 2 2 Tabel 2 menunjukkan persentase hasil dari skala terbuka tentang bentukbentuk perilaku ketidakjujuran akademik terhadap 80 siswa pada salah satu MTsN di Kabupaten Ngawi. Bertanya jawaban pada teman saat ujian menduduki tempat yang paling tinggi dalam perilaku ketidakjujuran akademik pada siswa. Hal ini memberikan gambaran bahwa orientasi terhadap skor hasil ujian menduduki tempat yang demikian penting bagi sebagian siswa, bahkan nilai-nilai ajaran Agama Islam yang seharusnya ditegakkan dalam pelaksanaan ujian seperti kejujuran, bekerja keras dan bersikap terbuka dalam menerima hasil ujian tidak diindahkan oleh para siswa MTsN tersebut. Seperti diketahui bahwa Madrasah adalah sekolah yang berdasar ajaran Agama Islam, siswa Madrasah selalu dianggap memiliki nilai lebih dalam hal agama, tentu saja nilai keagamaan tersebut seharusnya tercermin dalam perilaku para siswa Madrasah, adanya perilaku ketidakjujuran akademik pada siswa madrasah ini membawa kontraversi tersendiri karena perilaku ketidakjujuran akademik jelas bertentangan dengan ajaran Agama Islam. Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menggunakan mahasiswa sebagai responden diantaranya; Penelitian oleh Iyer dan Eastman (2006), subjek penelitiannya adalah mahasiswa Valdostan State University, Valdosta, Georgia meneliti tentang bagaimana mahasiswa jurusan bisnis melakukan ketidakjujuran akademik dibandingkan dengan mahasiswa jurusan

5 5 lain. Selanjutnya McCabe, Feghali, dan Abdallah (2008) melakukan penelitian dengan menggunakan sebuah sampel dari 3 universitas swasta di Lebanon, dan membandingkan hasil-hasilnya dengan sebuah sampel dari 7 universitas besar di AS. Selanjutnya penelitian McCabe (2009) menyebutkan bahwa perilaku ketidakjujuran akademik juga terjadi pada mahasiswa keperawatan. Beberapa penelitian tersebut menggunakan subjek penelitian mahasiswa diberbagai jurusan dari universitas umum, sedangkan dalam penelitian ini peneliti mengangkat fenomena tentang perilaku ketidakjujuran akademik pada tingkat sekolah menengah pertama yang terjadi di salah satu Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) di kabupaten Ngawi. Adanya perilaku ketidakjujuran akademik pada Madrasah yang notabene berbasis ajaran Agama Islam ini membuat peneliti tertarik untuk mengungkapnya dengan pengujian secara empirik. Ketidakjujuran akademik merupakan masalah etika dan karakter moral (Bjorklund dan Wenestam, 2000). Lebih lanjut Alhadza (2005) mengungkapkan bahwa meskipun tidak separah yang dikhawatirkan sebagian orang, apabila dibiarkan akan merusak kepribadian seseorang dan mengaburkan nilai-nilai moral dalam masyarakat. Menurut Tibbetts (dalam Lambert, Hogan, dan Barton, 2003), academic dishonesty is the intension of person engagin in the dishonest behavior, yang maknanya adalah kesengajaan seseorang untuk terlibat dalam tindakan tidak jujur. McCabe, Feghali, dan Abdallah (2008) mengungkapkan bahwa ketidakjujuran akademik didefinisikan dalam dua kategori utama yakni: (1) Penipuan akademis, merupakan pembentukan gambaran palsu untuk memperoleh manfaat atau keuntungan yang tidak semestinya. (2) Menjiplak, merupakan

6 6 penyajian pemikiran atau hasil karya orang lain. Weaver, Davis, Look, Buzzanga, dan Neal (dalam Lambert, Hogan, dan Barton, 2003) mendefinisikan perilaku ini sebagai bentuk pelanggaran atas kebijakan institusi tentang masalah kejujuran. Lambert, Hogan, dan Barton (2003) menyimpulkan bahwa Academic dishonesty was broadly defined as any fraudulent actions or attempts by a student to use unauthorized or unacceptable means in any academic work. Bahwa ketidakjujuran akademik didefinisikan secara luas sebagai tindakantindakan curang atau usaha-usaha siswa untuk menggunakan cara, alat, sumbersumber yang tidak diperkenankan atau tidak dapat diterima pada pengerjaan tugas akademis. Bentuk-bentuk ketidakjujuran akademik digolongkan dalam beberapa kategori. Menurut McCabe (2009) ada empat kategori yang terkandung makna dalam ketidakjujuran akademik, yaitu: (1) Menyontek dengan mencontoh jawaban tes teman lain dikelas atau menggunakan barang-barang terlarang pada kegiatan akademis berbentuk apapun seperti penugasan, ujian, dsb. (2) Penjiplakan, mengutip bahan baik sebagian maupun keseluruhan tanpa mencantumkan sumber referensi tersebut. (3) Pemalsuan informasi, referensi, maupun hasil pekerjaan akademik. (4) Membantu siswa lain yang terlibat dalam perilaku ketidakjujuran akademik, seperti memfasilitasi siswa lain menyalin hasil pekerjaannya, mengambil soal ujian, mengingat-ingat dan memberitahukan soal yang keluar dalam ujian, dsb. Perkembangan teknologi, seperti keberadaan internet, juga menambah ragam ketidakjujuran akademik. Internet dapat digunakan oleh siswa untuk

7 7 mengunduh paper, esai, tulisan, yang merupakan karya orang lain, untuk digunakan dalam pengumpulan tugas atas nama mereka. Ragam berkembang akan tetapi memiliki subtansi yang sama yakni ketidakjujuran akademik yang luas ini barangkali belum dipahami oleh setiap siswa, sehingga dimungkinkan bahwa siswa melakukan salah satu tindakan ketidakjujuran akademik tanpa mereka sadari bahwa hal itu ternyata merupakan suatu perilaku yang tidak diijinkan. Dalam laporannya tahun 2001, McCabe dan Trevino (dalam Storm, 2007) melakukan penelitian terhadap 6000 responden mahasiswa di 31 universitas Amerika dan telah merangkum jenis-jenis ketidakjujuran akademik yang paling sering dilakukan diantara bentuk lainnya sebagaimana dapat dilihat di tabel 3. Tabel 3. Jenis Perilaku Ketidakjujuran Akademik Berdasar Riset McCabe dan Trevino Bentuk Jenis Ketidakjujuran Akademik Ujian / Tes Tugas Tertulis McCabe dan Trevino (dalam Storm, 2007) - Menyontek jawaban teman - Memberikan jawaban pada orang lain - Menggunakan catatan tersembunyi - Mengutip tanpa mencantumkan sumbernya - Menyadur karya orang lain - Memalsukan daftar pustaka - Menggunakan bantuan orang lain untuk tugas yang harus dikerjakan secara individual Motif yang mendorong siswa melakukan tindakan tidak jujur tidak diketahui secara pasti, dan diduga cukup kompleks. Penelitian yang dilakukan di Amerika Utara oleh Anderman, Baird, Davis, Hetherington dan Feldman dalam laporan Bjorklund dan Wenestam (2000) menyebutkan bahwa obsesi meraih nilai yang tinggi di sekolah mendorong munculnya tindakan tidak jujur, beban studi yang

8 8 berlebih juga ditemukan menjadi faktor pendorong ketidakjujuran akademik. Tingkat stres siswa, sikap dari pengajar, dan meningkatnya ketidakpatuhan terhadap aturan akademis merupakan faktor utama pendorong perilaku ketidakjujuran akademik. Secara umum, penjelasan mengenai penyebab perilaku ketidakjujuran akademik dapat diklasifikasikan ke dalam dua faktor, yaitu eksternal dan internal seperti terpapar dalam tabel 4. Tabel 4. Faktor Eksternal dan Internal yang mempengaruhi Perilaku Ketidakjujuran Akademik Peneliti Faktor Eksternal Faktor Internal Baird - Posisi tempat duduk - Arti penting tes yang diujikan - Tingkat kesulitan tes - Tes yang tidak fair - Penjadwalan - Pengawasan - Kemalasan - Kekhawatiran perolehan prestasi dibanding siswa lain - Nilai sebelumnya yang buruk - Kegagalan dimasa lalu - Harapan akan keberhasilan Davis Hetherington & Feldman - Kelas yang terlalu besar, terlalu ramai - Bentuk soal pilihan ganda - Pertimbangan ekonomis - Tingkat kesulitan soal - Lemahnya pengawasan - Pembelajaran yang tidak efektif - Berkeinginan membantu teman - Agar dapat diterima secara sosial (di ringkas dari berbagai laporan penelitian yang dikutip oleh Bjorklund & wenestam, 2000) Dalam tabel 4, peneliti memilah faktor pendorong perilaku ketidakjujuran akademik ke dalam dua kelompok, yakni faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal merupakan faktor- faktor luar individu berupa lingkungan, sistem, situasi dan kondisi. Faktor internal bersumber dari dalam individu dan bersifat psikis terkait dengan persepsi harapan, penerimaan sosial, dan sikap-sikap altruistic atau keinginan untuk membantu orang lain. Sementara penerimaan

9 9 sosial merupakan upaya individu untuk menyelaraskan diri dan dapat diterima dilingkungannya. Penelitian oleh Alapare dan Onakoya (2002), menyatakan bahwa seringkali para siswa mempelajari perilaku ketidakjujuran akademik dari teman mereka atau ikut-ikutan dan salah satu faktor kunci yang mempengaruhi dan mendorong perilaku ketidakjujuran akademik adalah adanya konformitas kelompok. Hal ini sejalan dengan pendapat Petress (2003) dan McCabe, Feghali, dan Abdallah (2008) yang menyebutkan bahwa konformitas kelompok sangat berpengaruh terhadap perilaku ketidakjujuran akademik, bahwa semakin tinggi konformitas kelompok semakin tinggi pula perilaku ketidakjujuran akademik yang dilakukan. Menurut Cialdini dan Goldstein (Taylor, Peplau, & Sears, 2009), konformitas kelompok merupakan perubahan perilaku sebagai akibat dari tekanan kelompok, terlihat dari kecenderungan remaja untuk selalu menyamakan perilakunya dengan kelompok sehingga dapat terhindar dari celaan maupun keterasingan. Strang (dalam Mighwar 2006), menyatakan bahwa konformitas kelompok merupakan kecenderungan bertingkah laku yang sesuai dengan norma kelompok, untuk menghindari hukuman, meskipun perilaku tersebut berbeda dengan keyakinannya sendiri. Hal ini senada dengan pendapat Santrock (2003) yang menyatakan bahwa Konformitas kelompok muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan. Konformitas kelompok memiliki aspek-aspek antara lain (1) Kekompakan, yaitu kekuatan yang dimiliki kelompok acuan, menyebabkan remaja tertarik dan

10 10 ingin tetap menjadi anggota kelompok. Eratnya hubungan remaja dengan kelompok acuan disebabkan oleh perasaan suka antara anggota kelompok serta harapan memperoleh manfaat dari anggotanya. Semakin besar rasa suka anggota yang satu terhadap anggota yang lain, dan semakin besar harapan untuk memperoleh manfaat dari keanggotaan kelompok serta semakin besar kesetiaan mereka, maka akan semakin kompak kelompok tersebut. Indikator dari kekompakan yaitu penyesuaian diri dan perhatian terhadap kelompok. (2) Kesepakatan, Pendapat kelompok acuan yang sudah dibuat memiliki tekanan kuat sehingga anggota kelompok harus loyal dan menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat kelompok. Indikator dari kesepakatan adalah kepercayaan, persamaan pendapat, dan penyimpangan terhadap pendapat kelompok. (3) ketaatan, tekanan akan tuntutan kelompok acuan pada remaja menyebabkan dirinya rela melakukan tindakan walaupun remaja tersebut tidak menginginkannya. Indikator ketaatan meliputi tekanan karena ganjaran, ancaman, hukuman dan harapan orang lain (Sears, 2004). Sears (2004) menyebutkan ada 4 faktor yang mempengaruhi konformitas kelompok, antara lain ; (a) Rasa takut terhadap celaan sosial, Alasan utama konformitas adalah demi memperoleh persetujuan, disukai atau menghindari celaan kelompok. (b) Rasa takut terhadap penyimpangan, Rasa takut dipandang sebagai individu yang menyimpang merupakan faktor dasar hampir dalam semua situasi sosial. (c) Kekompakan kelompok, Kekompakan yang tinggi menimbulkan konformitas yang semakin tinggi. Alasan utamanya adalah bahwa bila orang merasa dekat dengan anggota kelompok yang lain, akan semakin menyenangkan

11 11 bagi mereka untuk mengakui. (d) Keterikatan penilaian bebas, Keterikatan sebagai kekuatan total yang membuat seseorang mengalami kesulitan untuk melepaskan suatu pendapat. Orang yang secara terbuka dan bersungguh-sungguh terikat suatu penilaian bebas akan lebih enggan menyesuaikan diri terhadap penilaian kelompok yang berlawanan. Alapare dan Onakoya (2002) juga memaparkan bahwa tingkatan harga diri juga dapat berpotensi memunculkan perilaku ketidakjujuran akademik. Akan menjadi wajar bagi siswa yang memiliki harga diri rendah cenderung khawatir akan gagal. Jadi, daripada berusaha kemudian gagal, mereka merasionalisasi diri bahwa kegagalan disebabkan karena minimnya usaha mereka, sehingga mereka melakukan perilaku ketidakjujuran akademik. Sejalan dengan ini penelitian yang dilakukan oleh Iyer dan Eastman (2006) menyebutkan bahwa secara umum mahasiswa yang memiliki harga diri yang rendah biasanya melakukan ketidakjujuran yang lebih tinggi. Harga diri dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu pengertian. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya; Baron dan Byrne (dalam Hurlock, 2005) menyebut harga diri sebagai penilaian terhadap diri sendiri yang dibuat individu dan dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki orang lain dalam menjadi pembanding. Sedangkan Monks (2002) harga diri adalah penilaian diri yang dipengaruhi oleh sikap, interaksi, penghargaan dan penerimaan orang lain terhadap individu. Santrock (2003) mengungkapkan bahwa harga diri merupakan evaluasi positif dan dan negatif tentang diri sendiri. Gecas dan Rosenberg (dalam

12 12 Hurlock, 2005) mendefinisikan harga diri sebagai evaluasi positif yang menyeluruh tentang dirinya. Beberapa aspek harga diri menurut Coopersmith (dalam Ghufron & Risnawati, 2010) antara lain pertama yaitu, Proses belajar, proses belajar merupakan istilah yang digunakan oleh Coopersmith untuk menggambarkan bagaimana individu menilai keadaan dirinya berdasarkan nilai-nilai pribadi yang diamatinya. Kedua, Penghargaan, harga diri mempunyai hubungan dengan bagaimana corak dasar remaja dalam menghadapi lingkungan. Ketiga, Penerimaan, keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak. Penerimaan keluarga yang positif akan sangat berpengaruh pada perkembangan harga diri anak pada masa dewasa kelak dan cara orangtua memperlakukan anak sangat mempengaruhi pembentukan harga diri. Keempat, interaksi dengan lingkungan, remaja dengan harga diri yang tinggi memiliki sejumlah karakteristik kepribadian yang dapat mengarah pada kemandirian sosial dan kreativitas yang tinggi. Monks (2002) menyebutkan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi harga diri seseorang, yang pertama yaitu Lingkungan keluarga, lingkungan keluarga merupakan tempat sosialisasi pertama bagi anak, perlakuan adil, pemberian kesempatan untuk aktif dan pendidikan yang demokratis di dapat pada anak yang memiliki harga diri yang tinggi dan kedua, Lingkungan Sosial, lingkungan sosial tempat individu mempengaruhi pembentukan harga diri. Individu mulai menyadari bahwa dirinya berharga sebagai individu dengan lingkungannya. Kehilangan kasih sayang, penghinaan, dan dijauhi teman sebaya

13 13 akan menurunkan harga diri, sebaliknya pengalaman, keberhasilan, persahabatan akan meningkatkan harga diri. Selanjutnya, rendahnya kemampuan yang dimiliki individu (efikasi diri rendah) untuk melakukan suatu tugas juga dapat memunculkan perilaku mencari jalan pintas dan menerabas. Analisis yang dilakukan terhadap 128 penelitian yang berlangsung pada tahun 1990-an membawa pada temuan adanya hubungan antara efikasi diri, konsep diri, dan prestasi akademis. Pajares dan Schunk (2001) melakukan penelitian untuk menguji hubungan antara persepsi efikasi diri, proses belajar akademis dan prestasi akademis. Ditemukan bahwa efikasi diri berpengaruh terhadap self regulatory processes seperti penetapan tujuan, monitor, evaluasi diri, dan strategi yang dipergunakan dalam belajar. hal ini juga sejalan dengan Papalia, Olds, dan Feldman (2009) yang menyatakan bahwa siswa yang memiliki efikasi diri tinggi percaya bahwa mereka dapat menguasai tugas-tugas dan meregulasi cara belajar mereka sendiri, serta paling mungkin mencapai prestasi akademik yang baik disekolah. Chemers (dalam Elias, 2009) menyatakan bahwa tuntutan eksternal lingkungan dapat dilihat sebagai tantangan atau ancaman, individu dengan efikasi diri tinggi akan menganggab bahwa tugas-tugas tersebut sebagai tantangan daripada sebagai ancaman. Berpijak pada hal ini, peneliti menduga perilaku ketidakjujuran akademik akan rendah pada diri siswa yang memiliki efikasi diri tinggi. Efikasi diri adalah penilaian seseorang tentang kemampuannya sendiri untuk menjalankan perilaku tertentu atau mencapai tujuan tertentu (Ormrod, 2009). Baron dan Byrne (dalam Ghufron & Risnawati, 2010) menjelaskan bahwa efikasi

14 14 diri sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan dan mengatasi hambatan. Efikasi diri oleh Bandura (1994) adalah keyakinan seseorang akan kemampuan untuk mengorganisasikan dan melakukan sejumlah tindakan yang diperlukan untuk mencapai suatu tujuan yang ditetapkan. Menurut Myers (2007) efikasi diri berkaitan dengan bagaimana seseorang merasa mampu untuk melakukan suatu hal. Menurut Pajares dan Schunk (2001) efikasi diri merupakan keyakinan terhadap kemampuan diri. Amalia dan Basuki (2008) menyatakan bahwa siswa dengan kemampuan dan keyakinan diri yang lebih, mampu mengatasi kejenuhan dengan sekejab dan cara yang baik, sebaliknya siswa dengan kemampuan yang sedang dan memiliki keyakinan yang kurang, lebih cenderung santai dan membiarkan masalahnya. Efikasi diri memiliki aspek-aspek antara lain (1) Tingkatan (Magnitude/level), aspek ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika individu merasa mampu untuk melakukannya, individu akan melakukan tindakan yang dirasakan mampu untuk dilaksanakannya dan menghindari tugas-tugas yang berada dibawah kemampuan yang dimilikinya. (2) kekuatan (strenght), aspek ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan individu mengenai kemampuannya. Tingkat efikasi diri yang lebih rendah mudah digoyangkan oleh pengalaman-pengalaman yang memperlemahkannya, sedangkan seseorang yang memiliki efikasi diri yang kuat akan tekun dalam meningkatkan usahanya meskipun dijumpai pengalaman yang memperlemahkannya. (3) Keluasan (Generality), aspek ini berkaitan dengan luasnya bidang tingkah laku, dimana

15 15 individu merasa yakin akan kemampuannya. Individu merasa yakin terhadap kemampuan dirinya, apakah terbatas pada suatu aktifitas dan situasi tertentu ataukah pada serangkaian aktifitas dan situasi yang bervariasi. (Bandura, 1997). Menurut Bandura (1994), ada empat faktor yang mempengaruhi Efikasi diri, yang pertama adalah Pengalaman berhasil, Keberhasilan akan meningkatkan keyakinan akan kemampuan diri, sebaliknya kegagalan dapat menurunkan keyakinan akan kemampuan diri. Keberhasilan yang pernah dicapai dan prestasi yang pernah diraih dapat membuat seseorang merasa yakin bahwa dia akan mampu menyelesaikan tugas ataupun mengatasi hambatan yang muncul. Kedua, Pengalaman orang lain, orang-orang yang ada dilingkungan sosial dapat dijadikan model atau contoh yang dapat menguatkan efikasi diri dengan membandingkan usaha yang mampu dilakukan orang lain, prestasi yang mampu dicapai orang lain, akan memberikan keyakinan untuk berusaha mencapai suatu prestasi tertentu. Ketiga, Persuasi sosial, orang yang menerima persuasi verbal bahwa dia memiliki kemampuan melakukan dan mencapai sesuatu akan mendorong munculnya usaha yang lebih besar dari sebelumnya. Persuasi ini akan memompa usaha lebih keras dalam meraih suatu capaian tertentu. Keempat, Kondisi fisik dan emosi, orang yang merasa tertekan dan berada dalam keadaan stres akan berpikir memiliki kemampuan yang rendah, suasana hati juga turut berperan bagi derajat efikasi diri. Suasana hati yang sedang baik akan meningkatkan keyakinan atas kemampuan diri, sebaliknya suasana hati yang buruk akan menurunkan efikasi diri.

16 16 Konformitas Kelompok Harga Diri Perilaku Ketidakjujuran Akademik Efikasi Diri Gambar 1. Kerangka Penelitian Berdasarkan uraian diatas disebutkan bahwa perilaku ketidakjujuran akademik merupakan perilaku yang dipengaruhi oleh adanya konformitas kelompok, harga diri, serta efikasi diri pada siswa (lihat gambar 1). Siswa yang memiliki konformitas kelompok tinggi akan berperilaku sama dengan kelompoknya supaya diakui dan terlihat kompak, selain itu siswa tersebut akan segera menyesuaikan diri terhadap kebiasaan kelompoknya termasuk perilaku ketidakjujuran akademik yang dilakukan kelompoknya. Siswa yang mempunyai kepercayaan terhadap pendapat kelompok juga akan dapat meningkatkan ketergantungan individu terhadap kelompoknya. Siswa yang tidak sependapat dengan kebiasaan perilaku ketidakjujuran akademik otomatis akan dianggap menyimpang dari kelompoknya dan dia akan ditolak atau dikucilkan oleh kelompoknya oleh karena itu siswa akan berusaha berperilaku tidak menyimpang dari kesepakatan kelompoknya agar tetap diterima dalam kelompoknya. (Sears, 2004).

17 17 Kemudian, siswa yang memiliki harga diri yang rendah akan cenderung melakukan ketidakjujuran akademik. Menurut Brown (dalam Santrock, 2003) individu yang merasa tidak yakin atas apa yang dilakukannya akan merasa cemas terhadap apa yang akan terjadi pada dirinya, dalam konteks sekolah seorang siswa yang takut akan kegagalan maka dia akan cemas dengan hasil yang akan diperoleh maka siswa tersebut akan melakukan ketidakjujuran akademik demi keberhasilan mencapai nilai yang tinggi. Harga diri yang tinggi pada siswa dapat menurunkan tingkat perilaku ketidakjujuran akademik. Karakteristik individu yang memiliki harga diri tinggi diantaranya mereka memiliki rasa percaya diri, selalu merasa puas dan bangga dengan dirinya sendiri, dapat menerima kegagalan dan dapat bangkit kembali, optimis, bersikap positif pada orang lain, dan memiliki pendirian tetap, sehingga tidak mudah terpengaruh akan konformitas kelompoknya. Selanjutnya, dengan memiliki efikasi diri yang tinggi, perilaku ketidakjujuran akademik akan rendah pada siswa. Siswa dengan efikasi diri yang tinggi cenderung memilih untuk berupaya mengerjakan tugas yang sulit, gigih dalam berupaya, percaya diri, tenang dan tidak cemas ketika menghadapi tugas, dan mengelola pikiran dalam pola analisis, oleh karena itu pada saat ujian ataupun saat pengerjaan tugas akademik siswa yang memiliki efikasi diri tinggi ini akan mengandalkan kompetensinya dan tidak melakukan ketidakjujuran akademik. Sebaliknya, Siswa yang memiliki efikasi diri rendah akan cenderung melakukan perilaku ketidakjujuran akademik, karena mereka merasa tidak memiliki keyakinan bahwa mereka dapat menyelesaikan tugas, mudah menyerah ketika

18 18 menghadapi situasi sulit, cemas dalam pelaksanaan tugas, sering gagal dan tidak bisa berperilaku tenang dan analitis (Bandura 1997). Konformitas kelompok yang rendah, harga diri dan efikasi diri yang tinggi diharapkan akan dapat mengurangi perilaku ketidakjujuran akademik pada siswa MTsN. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan secara empiris apakah konformitas kelompok, harga diri, dan efikasi diri merupakan prediktor dari perilaku ketidakjujuran akademik pada siswa MTsN. Hipotesis penelitian ini yaitu konformitas kelompok, harga diri, dan efikasi diri merupakan prediktor dari perilaku ketidakjujuran akademik.

KONFORMITAS KELOMPOK, HARGA DIRI DAN EFIKASI DIRI SEBAGAI PREDIKTOR PERILAKU KETIDAKJUJURAN AKADEMIK PADA SISWA

KONFORMITAS KELOMPOK, HARGA DIRI DAN EFIKASI DIRI SEBAGAI PREDIKTOR PERILAKU KETIDAKJUJURAN AKADEMIK PADA SISWA KONFORMITAS KELOMPOK, HARGA DIRI DAN EFIKASI DIRI SEBAGAI PREDIKTOR PERILAKU KETIDAKJUJURAN AKADEMIK PADA SISWA Setya Putri Lestari & Sri Lestari Magister Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting untuk menghasilkan tenaga ahli yang tangguh dan kreatif dalam menghadapi tantangan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kata menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kata menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kata menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan mahasiswa. Perilaku menyontek merupakan fenomena yang sudah lama ada dalam dunia pendidikan. Masalah menyontek

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya tersebut tidak bisa

BAB 1 PENDAHULUAN. bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya tersebut tidak bisa BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah sumber daya manusia menjadi salah satu permasalahan paling penting bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masalah sumber daya tersebut tidak bisa terlepas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lembaga pendidikan mempunyai peranan yang cukup penting dalam membentuk kepribadian, karakter, serta tingkah laku moral para peserta didik. Di bangku sekolah, para peserta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecurangan akademik bukanlah masalah yang baru dalam pendidikan di Indonesia, sehingga fenomena kecurangan akademik dapat dikatakan telah menjadi kebiasaan di

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pemalsuan data laboratorium dan tindak kecurangan. Menurut Mujahidah (2012 :4)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pemalsuan data laboratorium dan tindak kecurangan. Menurut Mujahidah (2012 :4) 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Menyontek 1. Pengertian perilaku menyontek McCabe dan Trevino (dalam Carpenter, 2006:181) mendefinisikan perilaku menyontek sebagai tindakan termasuk menyalin pada

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI ACADEMIC DISHONESTY DAN SELF EFFICACY

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI ACADEMIC DISHONESTY DAN SELF EFFICACY 26 HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI ACADEMIC DISHONESTY DAN SELF EFFICACY DENGAN PERILAKU ACADEMIC DISHONESTY PADA MAHASISWA (Studi pada Mahasiswa Psikologi di Kotamadya Surakarta) Adnan Ashari, Tuti Hardjajani,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI DENGAN KECENDERUNGAN MENYONTEK PADA MAHASISWA. Skripsi

HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI DENGAN KECENDERUNGAN MENYONTEK PADA MAHASISWA. Skripsi HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI DENGAN KECENDERUNGAN MENYONTEK PADA MAHASISWA Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1 Oleh : Willis Jati Nirmala Putri F 100 030 114

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan setiap individu, baik berupa pendidikan formal ataupun nonformal. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan lingkungannya, baik dari lingkungan keluarga, sekolah, dan pergaulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan lingkungannya, baik dari lingkungan keluarga, sekolah, dan pergaulan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Belajar merupakan suatu proses yang kompleks yang terjadi pada diri manusia sepanjang hidup. Proses belajar terjadi karena adanya interaksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. belajar, membahas soal bersama-sama, atau bahkan ada yang berbuat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. belajar, membahas soal bersama-sama, atau bahkan ada yang berbuat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Siswa menerima pendidikan di sekolah formal untuk mendapatkan bekal yang akan berguna dalam kehidupannya kelak. Sudah menjadi tugas siswa untuk belajar dan menimba

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penilaian bahkan sampai pada penulisan tugas akhir. Cheating merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penilaian bahkan sampai pada penulisan tugas akhir. Cheating merupakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecurangan (cheating) merupakan salah satu fenomena pendidikan yang sering muncul menyertai aktivitas proses pembelajaran dan dalam proses penilaian bahkan sampai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukkan pribadi manusia dan bertujuan untuk meningkatkan potensi sumber daya manusia. Hal ini sejalan dengan pernyataan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 8 Tabel Subjek penelitian berdasarkan kelas

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 8 Tabel Subjek penelitian berdasarkan kelas A. Hasil Penelitian 1. Deskripsi Subjek BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Subjek penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII di MTS Sullamul Hidayah Probolinggo. Jumlah dalam penelitian ini sebanyak

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Bab ini menguraikan definisi dari teori-teori yang dijadikan landasan berpikir

BAB 2 LANDASAN TEORI. Bab ini menguraikan definisi dari teori-teori yang dijadikan landasan berpikir BAB 2 LANDASAN TEORI Bab ini menguraikan definisi dari teori-teori yang dijadikan landasan berpikir penulis dalam melakukan penelitian berkaitan dengan topik hubungan perilaku mencontek trehadap perilaku

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kecemasan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecemasan 1. Definisi Kecemasan Kecemasan atau anxietas adalah status perasaan tidak menyenangkan yang terdiri atas respon-respon patofisiologis terhadap antisipasi bahaya yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001)

BAB II LANDASAN TEORI. yang diamati secara umum atau objektif. Hal tersebut senada dengan pendapat Sarwono (2001) BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Merokok 2.1.1 Pengertian Perilaku Merokok Chaplin (2001) memberikan pengertian perilaku terbagi menjadi 2: pengertian dalam arti luas dan pengertian sempit. Dalam pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Prilaku menyontek atau cheating adalah salah satu fenomena pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Prilaku menyontek atau cheating adalah salah satu fenomena pendidikan 1 A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN Prilaku menyontek atau cheating adalah salah satu fenomena pendidikan yang sering dan bahkan selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar mengajar sehari-hari,

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Self Efficacy Konsep mengenai self efficacy ini pada dasarnya melibatkan banyak kemampuan yang terdiri dari aspek kegiatan sosial dan kemampuan untuk bertingkah laku.

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERSAINGAN MERAIH NILAI TINGGI DENGAN INTENSITAS PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA MENENGAH KEJURUAN SKRIPSI.

HUBUNGAN ANTARA PERSAINGAN MERAIH NILAI TINGGI DENGAN INTENSITAS PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA MENENGAH KEJURUAN SKRIPSI. HUBUNGAN ANTARA PERSAINGAN MERAIH NILAI TINGGI DENGAN INTENSITAS PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA MENENGAH KEJURUAN SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN KONFORMITAS DENGAN PERILAKU KONSUMTIF PADA REMAJA PUTRI DI SMAN 2 NGAWI BAB I PENDAHULUAN

HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN KONFORMITAS DENGAN PERILAKU KONSUMTIF PADA REMAJA PUTRI DI SMAN 2 NGAWI BAB I PENDAHULUAN HUBUNGAN ANTARA HARGA DIRI DAN KONFORMITAS DENGAN PERILAKU KONSUMTIF PADA REMAJA PUTRI DI SMAN 2 NGAWI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam era moderen seperti ini seseorang sangatlah mudah untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Efikasi Diri Akademik BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Efikasi Diri Akademik 1. Pengertian Efikasi Diri Akademik Bandura (1997) menjelaskan bahwa efikasi diri merupakan perkiraan seseorang tentang kemampuannya untuk mengatur dan

Lebih terperinci

2016 KECENDERUNGAN INTEGRITAS AKADEMIK SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS

2016 KECENDERUNGAN INTEGRITAS AKADEMIK SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Integritas akademik (academic integrity) saat ini merupakan isu pendidikan yang krusial dan menjadi perhatian utama dalam pengembangan pendidikan secara internasional.

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Kemandirian 2.1.1 Pengertian Kemandirian Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap individu yang diperoleh selama masa perkembangan. Kemandirian seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sangat cepat. Seiring dengan perkembangan zaman, siswa selaku peserta didik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sangat cepat. Seiring dengan perkembangan zaman, siswa selaku peserta didik BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dunia pendidikan saat ini mengalami perkembangan dan perubahan yang sangat cepat. Seiring dengan perkembangan zaman, siswa selaku peserta didik dituntut untuk memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu tugas perkembangan siswa yaitu mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita serta mencapai peran sosial

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas

BAB II KAJIAN TEORI. 2010:523) menyatakan bahwa self efficacy mempengaruhi pilihan aktivitas BAB II KAJIAN TEORI A. Self Efficacy 1. Pengertian Self Efficacy Sejarah self efficacy pertama kali diperkenalkan oleh Bandura dalam pembelajaran sosial, dimana self efficacy merupakan turunan dari teori

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. biasa disebut academic dishonesty sudah tidak dapat terelakkan lagi di kalangan

BAB I PENDAHULUAN. biasa disebut academic dishonesty sudah tidak dapat terelakkan lagi di kalangan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perilaku terhadap pelanggaran, ketidakjujuran, dan penyimpangan akademik atau biasa disebut academic dishonesty sudah tidak dapat terelakkan lagi di kalangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial setiap manusia mempunyai dorongan untuk berhubungan dengan orang lain, atau dengan kata lain manusia mempunyai dorongan untuk bersosialisasi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. perbuatan curang dalam dunia pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. perbuatan curang dalam dunia pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu bentuk tindakan negatif yang dilakukan oleh pelajar dalam proses pembelajaran adalah menyontek. Menyontek merupakan salah satu perbuatan curang dalam dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia. Individu pertama kali mendapatkan pendidikan berada dalam lingkungan keluarga. Dalam keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial. Dalam kehidupan, belum ada seorang manusia pun yang dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan kehadiran manusia lain (www.wikipedia.com).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekolah. Dikenal karena ada yang melakukan atau hanya sebatas mengetahui perilaku

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekolah. Dikenal karena ada yang melakukan atau hanya sebatas mengetahui perilaku BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menyontek merupakan kata yang telah dikenal oleh sebagian besar siswa di sekolah. Dikenal karena ada yang melakukan atau hanya sebatas mengetahui perilaku itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengetahuan dimana kunci suksesnya terletak pada dunia pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengetahuan dimana kunci suksesnya terletak pada dunia pendidikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumber daya manusia (SDM) merupakan satu modal penting dalam meningkatkan kualitas hidup manusia di segala bidang. Dimana pada era modern ini, banyak terjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kecurangan akademik merupakan fenomena umum di sekolah menengah dan perguruan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kecurangan akademik merupakan fenomena umum di sekolah menengah dan perguruan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kecurangan akademik merupakan fenomena umum di sekolah menengah dan perguruan tinggi (Cizek, 1999; Evans & Craig, 1990a, 1990b; Leveque & Walker, 1970; Schab,

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan BAB 2 LANDASAN TEORI Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan prestasi belajar. 2.1 Self-Efficacy 2.1.1 Definisi self-efficacy Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah salah satu hal yang menjadi tonggak ukur kesuksesan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah salah satu hal yang menjadi tonggak ukur kesuksesan BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah salah satu hal yang menjadi tonggak ukur kesuksesan seseorang. Bahkan pendidikan menawarkan sejuta harapan bagi yang menginginkan peningkatan

Lebih terperinci

Prilaku Jujur Dalam Kehidupan Sehari-Hari. Aat Agustini, MKM

Prilaku Jujur Dalam Kehidupan Sehari-Hari. Aat Agustini, MKM ب س م االله الر ح م ن اار ح ي Prilaku Jujur Dalam Kehidupan Sehari-Hari Aat Agustini, MKM Jujur adalah suatu kebenaran yang sesuai antara perkataan dan kenyataan I tikad yang ada di dalam hati. Jujur termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siti Syabibah Nurul Amalina, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siti Syabibah Nurul Amalina, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas sangat diperlukan dalam menghadapi era globalisasi, pembentukan manusia yang berkualitas ditentukan oleh kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap individu dalam setiap jenjang pendidikan yang dilalui.

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap individu dalam setiap jenjang pendidikan yang dilalui. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Fenomena yang terjadi di negara indonesia cenderung dituduhkan pada dunia pendidikan yang disorot sebagai sektor yang belum berhasil mengemban misi mencerdaskan kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (www.dbeusaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id..).

BAB I PENDAHULUAN. mensosialisasikannya sejak Juli 2005 (www.dbeusaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id..). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus bangsa diharapkan dapat meneruskan pembangunan di Indonesia. Upaya yang dilakukan pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak remaja yang sudah duduk di bangku SMP dan SMA umumnya menghabiskan waktu sekitar 7 jam sehari di sekolahnya. Ini berarti bahwa hampir sepertiga dari waktunya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Ujian Nasional merupakan gerbang dari sebuah keinginan besar bahwa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Ujian Nasional merupakan gerbang dari sebuah keinginan besar bahwa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ujian Nasional merupakan gerbang dari sebuah keinginan besar bahwa pendidikan memilki hasil yang nyata dan itu tertuang lewat soal-soal dan jawaban yang tertera

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Konformitas Negatif Pada Remaja 2.1.1 Pengertian Konformitas Negatif Pada Remaja Konformitas dapat timbul ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain. Apabila seseorang menampilkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prestasi belajar mahasiswa merupakan salah satu faktor penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prestasi belajar mahasiswa merupakan salah satu faktor penting dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Prestasi belajar mahasiswa merupakan salah satu faktor penting dalam kesuksesan mahasiswa di masa depannya. Prestasi belajar mahasiswa di perguruan tinggi umumnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Body Image 1. Pengertian Body image adalah sikap seseorang terhadap tubuhnya secara sadar dan tidak sadar. Sikap ini mencakup persepsi dan perasaan tentang ukuran, bentuk, fungsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan. harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan. harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Self-Esteem 2.1.1 Pengertian Self-Esteem Istilah self-esteem yang dalam bahasa Indonesia disebut dengan harga diri, coba dijabarkan oleh beberapa tokoh kedalam suatu pengertian.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan jujur. Namun hingga saat ini, masih ada masalah ketidakjujuran mahasiswa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan jujur. Namun hingga saat ini, masih ada masalah ketidakjujuran mahasiswa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah pengembangan potensi diri dalam hal intelektual, spiritual dan emosional. Pendidikan juga berperan membentuk mahasiswa yang berkarakter dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Menyontek. tidak sah dan mengaku jawaban itu dari diri sendiri, menggunakan catatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Perilaku Menyontek. tidak sah dan mengaku jawaban itu dari diri sendiri, menggunakan catatan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Perilaku Menyontek 1. Definisi Perilaku Menyontek McCabe dan Trevino (2001) mengatakan perilaku menyontek adalah ketika seseorang menyalin jawaban dari orang lain pada waktu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan dan menyenangkan. Pengalaman baru yang unik serta menarik banyak sekali dilalui pada masa ini.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan tinggi di Indonesia sangat banyak, sehingga terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan tinggi di Indonesia sangat banyak, sehingga terjadi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perguruan tinggi di Indonesia sangat banyak, sehingga terjadi persaingan dalam hal kualitas maupun kuantitas. Dari segi mahasiswapun terjadi persaingan baik antar maupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan mahasiswa. Masalah menyontek selalu terjadi dalam dunia pendidikan dan selalu terkait dengan tes

Lebih terperinci

Amanda Luthfi Arumsari Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang ABSTRAK

Amanda Luthfi Arumsari Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro Semarang ABSTRAK HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL ORANGTUA DAN EFIKASI DIRI AKADEMIK DENGAN KECEMASAN DALAM MENGHADAPI UJIAN NASIONAL PADA SISWA KELAS XII SMA N 3 MAGELANG Amanda Luthfi Arumsari 15010113120067 Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menyadari akan pentingnya menciptakan warga negara yang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menyadari akan pentingnya menciptakan warga negara yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam upaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional, pemerintah Indonesia menyadari akan pentingnya menciptakan warga negara yang berkualitas, agar sumberdaya manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seperti yang diketahui pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seperti yang diketahui pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seperti yang diketahui pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap warga negara. Pendidikan sangat menentukan kualitas kehidupan berbangsa dan bernegara.

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap

BAB II LANDASAN TEORI. rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan mereka terhadap BAB II LANDASAN TEORI II. A. Harga Diri II. A. 1. Definisi harga diri Harga diri merupakan evaluasi individu terhadap dirinya sendiri secara rendah atau tinggi. Penilaian tersebut terlihat dari penghargaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka memasuki era globalisasi, remaja sebagai generasi penerus bangsa diharapkan dapat meneruskan pembangunan di Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan

BAB I PENDAHULUAN. Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Ketika zaman berubah dengan cepat, salah satu kelompok yang rentan untuk terbawa arus adalah remaja. Remaja memiliki karakteristik tersendiri yang unik, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya selain sebagai makhluk individu, manusia juga merupakan makhluk sosial. Pada kehidupan sosial, individu tidak bisa lepas dari individu lainnya.

Lebih terperinci

SELF-REGULATED LEARNING SISWA YANG MENYONTEK (SURVEY PADA SISWA KELAS X DI SMA N 52 JAKARTA UTARA TAHUN AJARAN 2010/2011)

SELF-REGULATED LEARNING SISWA YANG MENYONTEK (SURVEY PADA SISWA KELAS X DI SMA N 52 JAKARTA UTARA TAHUN AJARAN 2010/2011) 100 Self-regulated Learning Siswa Yang Menyontek (Survey Pada Siswa Kelas X Di SMAN 52 Jakarta Utara...) SELF-REGULATED LEARNING SISWA YANG MENYONTEK (SURVEY PADA SISWA KELAS X DI SMA N 52 JAKARTA UTARA

Lebih terperinci

6. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

6. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 6. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab ini, peneliti membuat penyimpulan terhadap hasil penelitian, penjelasan mengenai hal-hal yang mungkin dapat berpengaruh terhadap hasil penelitian, keterbatasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku menyontek atau cheating merupakan salah satu fenomena dalam

BAB I PENDAHULUAN. Perilaku menyontek atau cheating merupakan salah satu fenomena dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perilaku menyontek atau cheating merupakan salah satu fenomena dalam dunia pendidikan yang sering dan bahkan selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar-mengajar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan yang bermutu adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Populasi / Sampel Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 15 Bandung yang berlokasi di Jalan. Dr. Setiabudi

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Azwar (1995) Psikologi memandang perilaku manusia (Human

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Menurut Azwar (1995) Psikologi memandang perilaku manusia (Human BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Perilaku 1. Pengertian Perilaku Salah satu ciri manusia adalah berperilaku atau bertingkah laku namun tidak mudah untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan perilaku. Menurut

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Konseptual. 1. Perilaku Menyontek. Dalam institusi pendidikan atau sekolah terdapat perilaku yang dengan

BAB II KAJIAN TEORI. A. Deskripsi Konseptual. 1. Perilaku Menyontek. Dalam institusi pendidikan atau sekolah terdapat perilaku yang dengan BAB II KAJIAN TEORI A. Deskripsi Konseptual 1. Perilaku Menyontek Dalam institusi pendidikan atau sekolah terdapat perilaku yang dengan mudah ditemukan yaitu perilaku menyontek. Perilaku menyontek terjadi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. No. 17 Turen, kecamatan Turen, kabupaten malang, provinsi Jawa timur.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. No. 17 Turen, kecamatan Turen, kabupaten malang, provinsi Jawa timur. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian Penelitian dilaksanakan di sekolah Menengah pertama (SMP) Ahmad Yani Turen Malang yang terletak di Jalan Jenderal Ahmad Yani No.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang benar, tetapi juga disertai dengan tanggung jawab atas apa yang dikerjakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang benar, tetapi juga disertai dengan tanggung jawab atas apa yang dikerjakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Makna kejujuran tidak hanya terbatas pada teorinya saja seperti mengatakan yang benar, tetapi juga disertai dengan tanggung jawab atas apa yang dikerjakan sesuai

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. aturan dan norma sosial yang berlaku dikalangan masyarakat.

BAB II LANDASAN TEORI. aturan dan norma sosial yang berlaku dikalangan masyarakat. BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Vandalisme 2.1.1 Pengertian Vandalisme. Menurut Sarwono (2006) masa remaja merupakan periode yang penuh gejolak emosi tekanan jiwa sehingga remaja mudah berperilaku menyimpang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hingga masa awal dewasa, dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual.

BAB I PENDAHULUAN. hingga masa awal dewasa, dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan suatu periode transisi dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa, dimulai pada saat terjadinya kematangan seksual. Remaja tidak mempunyai tempat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dalam psikologi sosial disebut konformitas (Sarwono, 2006).

BAB II LANDASAN TEORI. dalam psikologi sosial disebut konformitas (Sarwono, 2006). BAB II LANDASAN TEORI 1.1. Konformitas 2.1.1.Pengertian Konformitas Manusia mencoba menyesuaikan diri dengan lingkungannya agar dapat bertahan hidup. Cara yang termudah adalah melakukan tindakan sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan semakin lama semakin berkembang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan semakin lama semakin berkembang sesuai dengan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dunia pendidikan semakin lama semakin berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Pendidikan merupakan suatu usaha manusia untuk membina kepribadiannya agar

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tahun Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis kualitas emosi yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tahun Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis kualitas emosi yang BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kecerdasan Emosi 2.1.1 Pengertian Kecerdasan Emosi Istilah kecerdasan emosional diperkenalkan oleh Salovey dan Mayer pada tahun 1990. Dalam kaitannya ini menerangkan jenis-jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan sebutan untuk seseorang yang sedang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan sebutan untuk seseorang yang sedang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan sebutan untuk seseorang yang sedang menempuh pendidikan tinggi di sebuah perguruan tinggi. Dalam mahasiswa terdapat beberapa golongan remaja.

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA PERCAYA DIRI DENGAN INTENSI MENYONTEK

HUBUNGAN ANTARA PERCAYA DIRI DENGAN INTENSI MENYONTEK HUBUNGAN ANTARA PERCAYA DIRI DENGAN INTENSI MENYONTEK Naskah Publikasi Disusun Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Mencapai Derajat Sarjana S-1 Psikologi Diajukan oleh: PANGESTU PINARINGAN PUTRI F100

Lebih terperinci

BAB IV PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN BAB IV PELAKSANAAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini merupakan siswa kelas XI SMK Saraswati Salatiga yang populasinya berjumlah 478 siswa. Kelas XI SMK Saraswati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa mengalami masa peralihan dari remaja akhir ke masa dewasa awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih dituntut suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai BAB I PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masalah Dalam dua dasawarsa terakhir ini, perubahan yang terjadi dalam berbagai sektor kehidupan semakin pesat, sebagai dampak dari faktor kemajuan di bidang teknologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PERILAKU KECURANGAN AKADEMIK 1. Pengertian Perilaku Kecurangan Akademik Menurut Oxford Dictionaries (1992) kecurangan merupakan tindakan tidak jujur, tidak adil untuk mendapatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup tanpa keberadaan dan bantuan orang lain. Oleh karena itu, setiap manusia diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terus membangun dan meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terus membangun dan meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Era global saat ini kompetisi atau persaingan disegala bidang antara individu yang satu dengan individu lainnya sangat keras. Pemerintah Indonesia terus membangun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indri Murniawaty, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indri Murniawaty, 2013 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pendidikan merupakan segala usaha yang dilaksanakan dengan sadar dan bertujuan mengubah tingkah laku manusia ke arah yang lebih baik dan sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar mengajar sehari hari tetapi jarang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar mengajar sehari hari tetapi jarang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Menyontek adalah salah satu fenomena pendidikan yang sering dan bahkan selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar mengajar sehari hari tetapi jarang mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perceraian merupakan kata yang umum dan tidak asing lagi di telinga masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi trend, karena untuk menemukan informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kejahatan di bidang keuangan telah menjadi perhatian dunia dalam beberapa tahun terakhir. Setelah serangkaian kejahatan korporasi yang mulai muncul ke permukaan sejak

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Efikasi Diri (self-efficacy) Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran penting. Faktor person (kognitif) yang ditekankan Bandura (dalam Santrock,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. (Stanley Hall dalam Panuju, 2005). Stres yang dialami remaja berkaitan dengan proses perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah penilaian terhadap hasil usaha tersebut. ( Suryabrata, 2002 : 293 ).

BAB I PENDAHULUAN. masalah penilaian terhadap hasil usaha tersebut. ( Suryabrata, 2002 : 293 ). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah usaha manusia ( pendidik ) untuk bertanggung jawab membimbing anak didik menuju ke kedewasaan. Sebagai usaha yang mempunyai tujuan atau cita-cita

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Perilaku Konsumtif 1. Pengertian Perilaku Konsumtif Menurut Schiffman & Kanuk (2004), konsumen yang melakukan pembelian dipengaruhi motif emosional seperti hal-hal yang bersifat

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORITIS

BAB II LANDASAN TEORITIS BAB II LANDASAN TEORITIS 2.1. Perilaku Agresif 2.1.1. Pengertian Perilaku Agresif Perasaan kecewa, emosi, amarah dan sebagainya dapat memicu munculnya perilaku agresif pada individu. Pemicu yang umum dari

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Kata prokrastinasi berasal dari bahasa Latin procrastination dengan awalan

BAB II LANDASAN TEORI. Kata prokrastinasi berasal dari bahasa Latin procrastination dengan awalan BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Prokrastinasi Akademik 2.1.1 Pengertian prokrastinasi Kata prokrastinasi berasal dari bahasa Latin procrastination dengan awalan pro yang berarti mendorong maju atau bergerak

Lebih terperinci

Hubungan Konformitas dengan Motivasi Belajar Santri Puteri di Pondok Pesantren Nurul Islam Karang Cempaka Bluto Sumenep

Hubungan Konformitas dengan Motivasi Belajar Santri Puteri di Pondok Pesantren Nurul Islam Karang Cempaka Bluto Sumenep Hubungan Konformitas dengan Motivasi Belajar Santri Puteri di Pondok Pesantren Nurul Islam Karang Cempaka Bluto Sumenep Oleh : Roziana Amalia (10410057) Dosen Pembimbing : Drs. H. Yahya.,MA Santri yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada masa remaja, terjadi proses pencarian jati diri dimana remaja banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada masa remaja, terjadi proses pencarian jati diri dimana remaja banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masa remaja, terjadi proses pencarian jati diri dimana remaja banyak melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya dan sekolah merupakan salah satu tempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Layanan bimbingan pada dasarnya upaya peserta didik termasuk remaja untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi termasuk masalah penerimaan diri. Bimbingan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dicita-citakan bangsa ini berada di tangan mereka. Banyak orang menganggap bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dicita-citakan bangsa ini berada di tangan mereka. Banyak orang menganggap bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa adalah salah satu generasi harapan bangsa dimana masa depan yang dicita-citakan bangsa ini berada di tangan mereka. Banyak orang menganggap bahwa mahasiswa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menghadapi tantangan globalisasi, bangsa Indonesia membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas sumber

Lebih terperinci