KAJIAN ANDROGENIK EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG (Pimpinella alpina KDS) TERHADAP KINERJA REPRODUKSI TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) BETINA DARA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN ANDROGENIK EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG (Pimpinella alpina KDS) TERHADAP KINERJA REPRODUKSI TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) BETINA DARA"

Transkripsi

1 KAJIAN ANDROGENIK EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG (Pimpinella alpina KDS) TERHADAP KINERJA REPRODUKSI TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) BETINA DARA PUDJI ACHMADI B / IFO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Androgenik Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Terhadap Kinerja Reproduksi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Betina Dara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juni 2011 Pudji Achmadi B

3 ABSTRACT Study of Androgenic Effect of Ethanolic Extract of Root Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) on the Reproduction Performance of Adult Female Rats (Rattus norvegicus) Pudji Achmadi Aryani Sismin Satyaningtijas, Hera Maheshwari ABSTRACT Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) is one of medicinal herbals which had been used in male reproductive research because it has androgenic property. Studies of purwoceng on female reproductive performance is not clearly yet. This research was conducted to explore the effect of purwoceng on duration of each period and total time of estrus cycle. A total of 48 female rats strain of Sprague Dawley were divided into 4 groups based on their estrous period: proestrus, estrus, metestrus and diestrus. Each group consisted of 6 rats as a control and 6 rats as treated animals. Extract of purwoceng was given oraly every day for 10 days. After 10 days, half of them were sacrificed and the rest of group were continued for vaginal smears examination until day 15. The results showed that purwoceng given at various periods during 2 cycles of estrous extend the time period of proestrus and estrus, and significantly different in estrous period when given during the period of estrus (P<0.05) compare to other period. Time period of metestrus and diestrus were decreased except period of metestrus which increased during administration of purwoceng on metestrus. The weight of uterine and ovarian was higher on rats receiving purwoceng during estrus period than the control (P<0.05). The conclusion of this research was that the administration of purwoceng was more effective when it was given at times of estrus period. Keywords: purwoceng, estrous cycles, uterine and ovarian weights

4 RINGKASAN PUDJI ACHMADI. Kajian Androgenik Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Terhadap Kinerja Reproduksi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Betina Dara. Di bawah bimbingan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan HERA MAHESHWARI. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kajian androgenik ekstrak etanol akar purwoceng terhadap kinerja reproduksi tikus betina dara yang meliputi panjang siklus berahi, panjang masing-masing periode siklus berahi, bobot uterus dan bobot ovarium. Penelitian berlangsung mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 dengan menggunakan 48 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley betina dara, dewasa kelamin berumur ± 10 minggu. Tikus dibagi secara acak dalam 4 kelompok berdasarkan periode siklus reproduksinya yaitu kelompok periode proestrus, kelompok periode estrus, kelompok periode metestrus, dan kelompok periode diestrus, masing-masing perlakuan terdiri atas 12 ekor. Pengelompokkan periode berahi dilakukan dengan cara melakukan apusan ulas vagina dari 48 ekor tikus betina dara. Setiap kelompok periode dibagi lagi menjadi kelompok kontrol (tidak dicekok purwoceng) dan kelompok purwoceng (dicekok purwoceng), masing-masing sebanyak 6 ekor. Kemudian kelompok kontrol dan perlakuan dibagi lagi menjadi kelompok dikorbankan (dibedah) dan kelompok apusan ulas vagina sampai hari ke-15, masing-masing sebanyak 3 ekor sebagai faktor pengulangan. Pemberian ekstrak etanol purwoceng dilakukan dengan cara mencekok tikus dengan menggunakan sonde lambung pada pagi hari setelah apusan ulas vagina pagi hari dilakukan. Pencekokan purwocengdilakukan selama 10 hari dengan dosis sebesar 83,25 mg/kg BB, sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Taufiqqurrachman (1999) dengan dosis 25 mg/ml untuk bobot tikus 300 g. Pengamatan terhadap periode siklus berahi dilakukan dua kali setiap harinya yaitu pagi hari (pukul WIB) dan sore hari (pukul WIB) dengan melakukan apusan ulas vagina. Pengambilan apusan ulas vagina dilakukan dengan menggunakan cotton bud ukuran kecil yang sudah dibasahi dengan NaCl fisiologis 0,9%. Apusan ulas vagina dioleskan pada

5 kaca preparat (gelas objek) dengan merata kemudian di fiksasi dalam metanol selama 5 menit. Setelah itu diwarnai dengan pewarna Giemsa selama 30 menit, kelebihan giemsa dicuci dengan air kran mengalir. Setelah dikeringkan dengan tisue, preparat diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 40 kali. Hasil pembacaan kemudian dicatat setiap hari sesuai dengan kelompok pada periode siklus berahi berdasarkan gambaran sel epitelnya sehingga dapat diperoleh panjang siklusnya. Pengamatan preparat apusan ulas vagina dilakukan selama 10 hari (2 siklus) untuk kelompok dikorbankan dan juga pengamatan apusan ulas vagina selama 15 hari untuk masing-masing kelompok fase. Pengambilan sampel organ uterus dan ovarium dilakukan dengan cara mengorbankan tikus setelah dilakukan pembiusan terlebih dahulu menggunakan eter. Organ uterus dan ovarium (kiri dan kanan) diambil dengan cara pembedahan pada bagian perut kemudian ditimbang menggunakan timbangan analitis digital. Bobot organ uterus dan ovarium di catat untuk dianalisis perbedaannya. Secara umum pemberian ekstrak etanol akar purwoceng selama 2 siklus menyebabkan meningkatnya waktu periode proestrus dan estrus bila diberikan pada saat periode estrus (P<0,05). Pemberian purwoceng pada berbagai periode selama 2 siklus menurunkan waktu periode metestrus dan diestrus, kecuali periode metestrus pada tikus yang diberi purwoceng pada saat periode metestrus yang meningkat (P<0,05). Pencekokan purwoceng saat periode estrus akan menghasilkan bobot uterus dan ovarium yang lebih tinggi dan berbeda sangat signifikan dibandingkan kontrol (P<0,05).

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Penguripan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kriitik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 Judul Penelitian : Kajian Androgenik Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina KDS)Terhadap Kinerja Reproduksi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Betina Dara Nama : Pudji Achmadi NRP : B Program Studi : Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat Disetujui Dr.drh. Aryani S Satyaningtijas, M.Sc. Ketua Dr.drh. Hera Maheshwari, M.Sc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi IFO Dekan Sekolah Pasca Sarjana Dr. Nastiti Kusumorini Dr. Ir. Darul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal ujian: 7 Juni 2011 Tanggal ujian: 11 Agustus 2011

8 PRAKATA Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 20 Juni 2010 dan berakhir pada tanggal 20 Desember 2010 dengan judul Kajian Androgenik Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Terhadap Kinerja Reproduksi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Betina Dara. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc. dan Dr. drh. Hera Maheshwari M.Sc. yang dengan sabar telah memberikan semangat, bimbingan, saran, dan petunjuk yang tulus selama mengikuti kuliah, persiapan, perencanaan penelitian serta penyusunan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Bambang Kiranadi, M.Sc. sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan saran untuk perbaikan penulisan karya limiah ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Ketua Departemen dan Sekretaris Departemen, Kepala Bagian Fisiologi yang telah mendukung dengan sepenuhnya saat saya menyelesaikan tesis. Ucapan terima kasih saya berikan untuk Dr. drh. Min Rahminiwati, M.Sc. yang telah memberikan izin pemakaian alat Rotary Evaporator dan peminjaman alat-alat untuk pembuatan ekstrak purwoceng serta Prof. Dr. Agik Suprayogi yang memberikan masukannya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada temanteman satu angkatan Ibu Kasiyati, Pak Andri, pak Narno, Ibu Herna, dan Ibu Heni yang telah memberikan dukungan pada penulis, terutama untuk drh. Andriyanto Msi yang telah membantu dalam mengolah data penelitian dan kepada Ibu Ida, Ibu Sri, Pak Ludi, dan pak Edi yang telah membantu selama penelitian berlangsung. Ucapan terima kasih untuk ibunda tercinta, Ibu Soemartilah, istri tercinta Linda serta anakku tersayang Rizki, Anisa,dan Arya yang selalu menyertai setiap langkah penulis dalam doa. Penulis dengan segala kerendahan hati, mohon maaf atas segala kekurangan dalam tesis ini dan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin. Bogor, Juni 2011 Pudji Achmadi

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di kota Bogor, Jawa Barat pada tanggal 12 Juni 1962 dari ayah drh. Didi Soesetiadi (Alm.) dan ibu Soemartilah Soesetiadi. Penulis merupakan anak tunggal. Tahun 1981 penulis lulus dari SMA Negeri II Bogor dan melanjutkan pendidikan sarjana di jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran Bandung, lulus pada tahun Pada tahun 1992 penulis diangkat sebagai staf pengajar di bagian Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2007 penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Mayor Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat (IFO) atas biaya sendiri.

10 DAFTAR ISI Halaman PRAKATA... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR LAMPIRAN... viii xi xiii xiv PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Manfaat... 3 Hipotesa... 4 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Tanaman Purwoceng... 4 Klasifikasi dan Ciri Morfologis Purwoceng... 4 Kandungan Bahan Aktif dan Khasiat... 6 Afrodisiaka... 7 Biologi Umum Tikus... 8 Organ Reproduksi Tikus... 9 Uterus... 9 Ovarium Steroidogenesis Pada Jantan Pada Betina Siklus Reproduksi Tikus Proestrus Estrus Metestrus Diestrus Fitoestrogen BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan... 20

11 Pembuatan Larutan Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Persiapan Hewan Model Pengelompokkan Hewan Penentuan Dosis Ekstrak Etanol Akar Purwoceng Pengamatan dan Pengambilan Sampel Analisis Data Bagan Penelitian HASIL PENELITIAN Efektifitas Ekstrak Etanol Akar Purwoceng terhadap Periode Siklus Berahi Perubahan Panjang Siklus Berahi Setelah Pencekokkan Dihentikan Bobot Uterus dan Ovarium KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 37

12 DAFTAR TABEL Halaman 1. Nilai rataan panjang siklus berahi dan periodenya pada tikus yang dicekok purwoceng dan kontrol Nilai rataan panjang siklus berahi dan periodenya setelah pencekokan purwoceng dihentikan Nilai rataan bobot uterus dan ovarium pada berbagai pencekokan siklus berahi (proestrus, estrus, metestrus dan diestrus)... 29

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Tanaman Purwoceng Daun Purwoceng Akar Purwoceng Tikus Putih Uterus tipe Duplex Ovarium Steroidogenesis pada Hewan Jantan (Johnson & Everitt 1984) Steroidogenesis pada Hewan Betina (Johnson & Everitt 1984) Apusan Ulas Vagina masing-masing Fase Siklus Berahi Struktur kimia estrogen dan flavonoid Bagan Penelitian... 24

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Laporan hasil uji fitokimia akar purwoceng Analisis variansi pencekokan proestrus Analisis variansi pencekokan estrus Analisis variansi pencekokan metestrus Analisis variansi pencekokan diestrus Analisis variansi pencekokan dihentikan (proestrus) Analisis variansi pencekokan dihentikan (estrus) Analisis variansi pencekokan dihentikan (metestrus) Analisis variansi pencekokan dihentikan (diestrus) Analisis variansi ovarium Analisis variansi uterus... 59

15 PENDAHULUAN Latar Belakang Beberapa tahun terakhir sudah banyak yang mencari atau menggunakan terapi yang bukan berasal dari zat sintetik atau kimia untuk menghindari adanya residu atau bahan kesehatan lainnya. Dengan semakin tingginya tingkat kesadaran orang dalam menjaga kesehatan maka semakin banyak orang yang menggunakan bahan yang bersifat alami sehingga herbal banyak dipilih sebagai obat alternatif. Beberapa penelitian tentang penggunaan herbal terhadap kinerja reproduksi telah banyak dilakukan antara lain semanggi merah yang dipergunakan untuk meningkatkan kesuburan domba (Johnston 2003), kedelai dengan kandungan fitoestrogennya dapat meningkatkan aktivitas biologi terutama aktivitas reproduksi (Tsourounis 2004), efek pemberian Tripterdium wilfordii terhadap kadar hormon estrogen, progesteron, FSH, dan LH (Jing et al. 2011), efek ekstrak metanol daun Aspilia africana terhadap siklus estrus dan bobot uterus (Kayode et al. 2007), efek ekstrak etanol Trichosanthes cucumerina terhadap gonadotropin, kinetik folikular ovarium dan siklus estrus (Kage et al.2009) dan efek ekstrak metanol biji Abrus precatorius terhadap siklus estrus, ovulasi, dan bobot badan tikus putih betina dewasa galur Sprague Dawley (Okoko et al. 2008). Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan salah satu tanaman herbal yang dikenal mempunyai kandungan bahan yang bersifat afrodisiaka dan androgenik (Taufiqqurraachman 1999). Pada mulanya, tanaman purwoceng digunakan oleh penduduk di sekitar Pegunungan Dieng (daerah asalnya) hanya untuk pemeliharaan kesehatan atau peningkatan tingkat kesehatan seseorang. Namun sejalan dengan perkembangan penelitian dan isu yang dihembuskan, tanaman ini berkembang menjadi komoditas yang sangat laku jual sebagai bahan afrodisiaka, bahkan kini telah dipopulerkan oleh masyarakat dan Kelompok Tani setempat dengan sebutan Viagra Jawa. Seluruh bagian tanaman purwoceng dapat digunakan sebagai obat tradisional, terutama akar. Akarnya mempunyai sifat diuretika dan afrodisiaka yang merupakan bahan yang berkhasiat dapat meningkatkan atau menambah stamina (Heyne 1987). Ekstrak akar purwoceng digunakan sebagai diuretik, tonik dalam seduhan, terutama sebagai afrodisiaka (Heyne 1987). Pada umumnya tanaman herbal mengandung senyawa-senyawa turunan saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa-senyawa lain yang berkhasiat sebagai penguat tubuh serta memperlancar peredaran darah. Artha (2007) melaporkan dan membuktikan khasiat purwoceng sebagai obat penghilang rasa sakit, penurun demam, anti fungi, dan bakteri.

16 Secara empiris masyarakat umum lebih mengenal tanaman ini sebagai pemulih tenaga, penambah gairah, dan penambah jumlah hormon. Penduduk sekitar dataran tinggi Dieng telah mengenal purwoceng sebagai salah satu bagian dalam ramuan obat tradisonal. Penelitian terhadap aktivitas fisiologis dari ekstrak akar purwoceng menunjukkan akar purwoceng mempunyai daya kerja mempertinggi aktivitas motorik, mempertinggi tonus otototot lurik, menstimulasi susunan saraf pusat dengan titik tangkap kerja pada medula oblongata serta meningkatkan tingkah laku seksual tikus jantan (Caropeboka dan Lubis 1975). Tidak banyaknya penelitian yang menggunakan ekstrak akar purwoceng pada tikus betina menyebabkan penelitian Caropeboka dan Lubis (1975) masih dimasukkan sebagai referensi. Pemberian ekstrak purwoceng pada tikus putih jantan galur Sprague Dawley dapat meningkatkan kadar Luteinizing Hormone (LH) dan kadar hormon testosteron (Taufiqqurrachman 1999). Kajian dari penelitian terdahulu juga ada yang melaporkan bahwa purwoceng merupakan bahan androgenik sehingga efek pemberian ekstrak purwoceng dapat meningkatkan motilitas spermatozoa serta derajat spermatogenesis pada tikus Sprague Dawley (Juniarto 2004). Banyaknya penelitian yang menggali peran purwoceng pada kinerja reproduksi jantan, maka peran atau efek terhadap kinerja reproduksi betina juga perlu dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat efektivitas purwoceng yang diberikan pada tikus betina dara terhadap kinerja reproduksi yang meliputi panjang siklus berahi, periode siklus berahi, bobot uterus, dan ovariumnya. Tujuan Penelitian Mengetahui efektivitas ekstrak etanol akar purwoceng terhadap kinerja reproduksi tikus betina dara meliputi panjang siklus berahi, panjang masing-masing periode pada siklus berahi, bobot ovarium, dan bobot uterus. Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh ekstrak etanol akar purwoceng pada kinerja reproduksi tikus betina dara galur Sprague Dawley. Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah bahwa pemberian ekstrak etanol akar purwoceng dapat mempengaruhi panjang siklus berahi, panjang periode siklus berahi, bobot uterus, dan ovarium tikus betina dara galur Sprague Dawley.

17 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Tanaman purwoceng (Pimpinella alpina KDS) termasuk tanaman endemik Indonesia dan sudah lama dikenal sebagai obat herbal. Purwoceng merupakan terna tahunan, tinggi tanaman purwoceng berkisar antara cm, tumbuh di pegunungan dengan ketinggian m di atas permukaan laut. Pada awalnya purwoceng hanya terdapat di Gunung Pangrango, Papandayan, Tangkuban Perahu (Jawa Barat), Dataran Tinggi Dieng (Jawa Tengah), dan Gunung Bromo (Jawa Timur) (Heyne 1987). Sampai saat ini yang dikenal sebagai daerah pengembangannya hanya di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah dengan luar areal yang terbatas dan termasuk ke dalam 24 tanaman langka di Jawa (Pusat Konservasi Tumbuhan 2007). Gambaran tanaman purwoceng disajikan pada Gambar 1. Gambar 1 Tanaman Purwoceng (Rostiana et al. 2003) Klasifikasi dan Ciri Morfologis Purwoceng Klasifikasi tanaman Purwoceng menurut sistem Cronquist (Jones 1987) adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Sub divisi Kelas Famili Suku Genus Jenis : Angiospermae : Dicotyledoneae : Apiaceae / Umbelliflorae : Umbelliferae : Pimpinella : Pimpinella alpina KDS/Pimpinella pruatjan Molk.

18 Morfologis dari tanaman purwoceng adalah : Daun. Daunnya merupakan daun majemuk berpasangan berhadapan, berbentuk jantung, dengan panjang ± 3 cm dan lebar 2,5 cm, bentuk anak daun membulat dengan tepi bergerigi, ujung daun tumpul, pangkal daun bertoreh, tangkai daun dengan panjang ± 5 cm berwarna coklat kehijauan, warna permukaan atas daun hijau, dan permukaan bawah hijau keputihan. Gambaran bentuk daun disajikan Gambar 2. Gambar 2 Daun Purwoceng (Rostiana et al. 2003) Batang Batangnya merupakan batang semu, berbentuk bulat, lunak, dan warnanya hijau pucat. Bunga. Bunganya merupakan bunga majemuk berbentuk payung, tangkainya silindris, panjangnya ± 2 cm, kelopak bunga berbentuk tabung berwarna hijau. Mulai berbunga antara bulan ke-5 sampai bulan ke-6 dan dapat dipanen pada umur 7-8 bulan (Yuhono 2004). Biji Bijinya berbentuk lonjong kecil, berwarna coklat. Biji yang sudah masak berwarna hitam, berukuran sangat kecil sekitar 0,52 g per butir biji (Rahardjo et al. 2006). Akar / rimpang. Akarnya merupakan akar tunggang yang membesar membentuk struktur seperti umbi pada tanaman ginseng dengan ukuran yang lebih kecil, berwarna putih kecoklatan. Gambaran bentuk akar purwoceng yang sudah kering disajikan pada Gambar 3.

19 Gambar 3 Akar Purwoceng (Koleksi pribadi) Kandungan Bahan Aktif dan Khasiat Akar purwoceng mengandung turunan senyawa kumarin, sterol, alkaloid, dan saponin (Caropeboka dan Lubis 1975, Rostiana et al. 2003), flavonoid, glikosida, dan tanin (Rostiana et al. 2003), kelompok furanokumarin seperti bergapten, isobargapten, dan sphondin (Sidik et al. 1975), sitosterol dan vitamin E (Rahardjo et al. 2006), saponin, alkaloid, glikosida, kumarin, dan triterpenoid-steroid (Rostiana et al. 2003). Senyawa yang diketahui memberi efek afrodisiaka diantaranya adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa lain yang dapat melancarkan peredaran darah (Anwar 2001). Dalam penelitiannya (Rahardjo et al. 2005) menyatakan bahwa zat berkhasiat pada herbal purwoceng adalah senyawa sitosterol dan stigmasterol yang terdapat pada bagian akarnya. Caropeboka (1979) melakukan penelitian terhadap aktivitas reproduksi pada tikus yang diberi ekstrak akar purwoceng yang mempunyai aktivitas androgenik. Selanjutnya Caropeboka (1980) melakukan penelitian pada tikus jantan yang dikebiri dan tikus betina tanpa indung telur, hasilnya menunjukkan bahwa pemberian ekstrak ekstrak akar purwoceng memperlihatkan aktivitas androgenik dan kecenderungan aktivitas estrogenik. Kosin (1992) melakukan terhadap anak ayam jantan, hasilnya ekstrak purwoceng mempunyai efek androgenik terhadap peningkatan pertumbuhan ukuran jengger. Beberapa penelitian tentang pemberian purwoceng sudah dilakukan terhadap tikus putih. Hasil uji praklinis itu, menyatakan bahwa tikus yang diberi 50 mg purwoceng meningkat kadar testosteronnya mencapai 125%. Testosteron merupakan hormon steroid dan kelompok androgen yang menyebabkan kaum pria bersuara rendah, berotot gempal, dan tumbuh kumis. Testosteron fungsinya antara lain meningkatkan libido, energi, fungsi imun, dan perlindungan. Selain meningkatkan testosteron hingga 125%, dosis 50 mg purwoceng juga menaikkan hormon luteinizing hingga 29,2%. Luteinizing merupakan hormon yang diproduksi hipofisis anterior di otak. Perannya merangsang sel-sel dalam testis untuk memproduksi testosteron. Pemberian 25 mg purwoceng yang dikombinasikan dengan pasak bumi memberikan hasil

20 peningkatan kadar testosteron hingga 196,3% sedangkan kadar luteinizing hanya naik 2,5% (Trubus, Oktober 2008). Hal ini tiak lepas dari khasiat yang dimiliki oleh tanaman herbal purwoceng yang banyak mengandung alkaloid, tanin, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida. Flavonoid termasuk ke dalam golongan fitoestrogen yang kerjanya sangat mirip dengan estrogen. Afrodisiaka Ekstrak akar purwoceng dapat berfungsi sebagai bahan afrodisiaka yaitu meningkatkan potensi seksual sehingga tenaga dan kemampuan seksualnya lebih kuat. Potensi seksual ini sangat dipengaruhi oleh adanya hormon testosteron (Gauthaman et al. 2002). Hasil uji secara farmakologis pada tikus jantan Sprague Dawley menunjukkan pemberian ekstrak akar purwoceng dengan zat pelarut metanol 99% dapat meningkatkan motilitas spermatozoa (Juniarto 2004) dan meningkatkan kadar LH dan testosteron (Taufiqqurrachman dan Wibowo 2006). Peningkatan kadar testosteron ini disebabkan efek stimulasi ekstrak purwoceng terhadap LH dan konversi fitosterol yang ada pada ekstrak purwoceng menjadi testosteron pada jaringan hewan uji (Taufiqqurrachman dan Wibowo 2006). Testosteron merupakan hormon utama yang mempengaruhi perilaku seksual jantan. Pada ayam jantan yang diberi hormon androgenik dapat menimbulkan sifat kelamin sekunder (Harper et al 1979). Ini sesuai dengan hasil penelitian dari Kosin (1992) terhadap ayam jantan yang diberi ekstrak akar purwoceng, terjadi peningkatan ukuran jengger anak ayam jantan. Biologi Umum Tikus Gambar 4 Tikus putih (Rattus norvegicus) (Anonim 2007) Tikus putih (Rattus norvegicus) atau tikus albino (Gambar 4) merupakan jenis tikus yang paling banyak digunakan sebagai hewan model dalam penelitian, terutama untuk galur Sprague Dawley (SD) yang mempunyai ciri morfologis: bentuk kepala kecil dan ekor lebih

21 panjang dari badannya. Hewan ini memiliki keistimewaan yaitu umur relatif pendek, sifat produksi dan reproduksinya menyerupai mamalia besar, lama produksi ekonomis 2,5-3 tahun, lama kebuntingan berkisar antara hari, umur sapih 21 hari, umur pubertas hari, vagina mulai terbuka pada umur hari, dan testis turun atau keluar pada umur hari, angka kelahiran 6-12 ekor per kelahiran, memiliki siklus estrus yang pendek 4-5 hari dengan karakteristik setiap fase siklus yang jelas, lama estrus 9-12 jam, interval antar generasi relatif pendek, dan berukuran kecil sehingga memudahkan dalam pemeliharaan serta efisien dalam mengkonsumsi pakan (10 g/100 g BB/hari) (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Berat badan tikus betina dewasa sekitar 250 g g dan berat badan tikus jantan dewasa 450 g g, mulai dikawinkan umur hari untuk jantan dan betina. Tikus yang baru lahir memiliki berat lahir antara 5-6 g (Harkness 1989). Tikus laboratorium (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai penelitian (Malole dan Pramono 1989). Klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) menurut Myers dan Armitage (2004) adalah sebagai berikut : Kingdom Phylum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus Species Strain : Animalia : Chordata : Mammalia : Rodentia : Muridae : Murinae : Rattus : Rattus norvegicus : Rattus norvegicus galur Sprague Dawley Organ Reproduksi Betina Uterus Uterus merupakan organ yang terdiri dari korpus (badan), servik (leher), dan dua tanduk (kornua). Bagian-bagian uterus mempunyai bentuk dan susunan tanduk yang bervariasi tergantung speciesnya. Pada hewan rodensia (tikus, mencit, dan kelinci) uterusnya mempunyai internal dua servik, tanduk secara utuh terpisah (duplex uterus). Gambaran bentuk uterus tipe duplex disajikan pada Gambar 5.

22 Gambar 5 Uterus tipe duplex (Koleksi pribadi 2011) Seperti organ yang menyerupai tabung, dinding uterus terdiri atas lapisan membran mukosa, lapisan otot polos intermediat, dan lapisan serosa bagian luar (peritoneum). Servik (leher uterus) mengarah kaudal menuju ke vagina. Servik merupakan sfingter otot polos yang kuat dan tertutup rapat kecuali saat terjadi birahi atau saat kelahiran. Pada saat birahi servik agak relaks sehingga memungkinkan spermatozoa memasuki uterus (Frandson 1986). Uterus merupakan saluran muskuler yang diperlukan untuk penerimaan ovum yang telah dibuahi menjadi zigot dan embrio. Selanjutnya embrio akan berkembang pada endometrium dengan melalui suatu proses yang disebut dengan implantasi. Pada saat terjadi perkawinan, uterus akan berkontraksi untuk mempermudah pengangkutan sperma ke tuba Falopii. Sebelum implantasi cairan uterus merupakan medium yang bersifat suspensi bagi blastosit sedangkan sesudah implantasi uterus menjadi tempat pembentukan plasenta dan perkembangan fetus (Toelihere 1981). Perubahan-perubahan histologis dan morfologis uterus terjadi pada saat siklus estrus berjalan sehingga ukuran maupun histologi organ ini tidak pernah statis. Hormon yang berkaitan dengan perkembangan dan pertumbuhan uterus adalah estrogen yang merangsang pertumbuhan uterus (sintesa protein dan pembelahan sel). Ketika pada tingkat vagina terjadi fase proestrus dan estrus, pada ovarium terjadi fase folikuler dan pada uterus terjadi fase proliferasi. Selama fase folikuler ovarium, yang terjadi pada saat proestrus dan estrus pada vagina dari siklus estrus, kelenjar uterus sederhana dan lurus dengan sedikit cabang. Estrogen yang dihasilkan pada saat fase folikuler ini akan menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan uterus. Fase inilah yang disebut sebagai fase proliferasi uterus. Selama fase proliferasi uterus dipengaruhi oleh hormon estradiol sedangkan saat fase sekresi dipengaruhi oleh hormon progersteron. Selama fase luteal, yang terjadi saat fase metestrus dan diestrus pada vagina, progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum akan beraksi terhadap pertumbuhan dan perkembangan uterus, endometrium bertambah tebal secara nyata.

23 Diameter dan panjang kelenjar meningkat secara cepat menjadi bercabang-cabang dan berkelok-kelok (Nalbandov 1990). Ovarium Ovarium merupakan organ primer reproduksi betina. Ovarium dapat menghasilkan hormon yang akan diserap langsung ke dalam peredaran darah dan ovum yang dapat dilepaskan dari kelenjar. Ovarium merupakan sepasang kelenjar yang terdiri atas ovarium kanan yang letaknya di belakang ginjal kanan dan ovarium kiri yang letaknya di belakang ginjal kiri. Pada kebanyakan species hewan, ovariumnya mempunyai bentuk menyerupai biji almond. Ukuran normal ovarium sangat bervariasi antar species (Frandson 1986). Lokasi ovarium berada pada ujung kornua uterus. Gambaran ovarium tikus disajikan pada gambar 6. Gambar 6 Ovarium Tikus (Koleksi pribadi 2011) Fungsi ovarium sebagai organ eksokrin yang menghasilkan sel telur (ovum) dan organ endokrin yang mensekresikan hormon-hormon kelamin betina (estrogen dan progesteron). Hormon hormon yang berkaitan dengan perkembangan dan pertumbuhan ovarium adalah: 1. Estrogen berperan saat fase folikuler 2. Progesteron berperan saat fase luteal Steroidogenesis Steroidogenesis merupakan proses pembentukan hormon-hormon steroid antara lain progesteron, testosteron, dan estradiol yang memegang peranan penting dalam proses reproduksi pada hewan jantan dan betina. Terdapat perbedaan metabolisme pada jantan dan betina dari hormon-hormon yang dihasilkan pada steroidogenesis tersebut. Steroidogenesis pada jantan dan betina dijelaskan sebagai berikut:

24 Pada Jantan Pada hewan jantan, testosteron disekresikan oleh sel Leydig yang terletak diantara tubulus seminiferi testis akibat adanya perangsangan hormon Luteneizing hormone (LH) yang disekresikan oleh hipofise anterior. Testosteron disekresikan mulai dari proses perubahan asam asetat menjadi kolesterol kemudian berubah menjadi pregnenolon dan berubah lagi menjadi progesteron. Dari pregnenolon dan progesteron akhirnya melalui beberapa perubahan menjadi testosteron. Testosteron yang sudah disekresikan oleh sel Leydig akan menuju sel Sertoli melalui sirkulasi darah dan berperan dalam proses pematangan sperma. Di dalam sirkulasi darah testosteron ditransportasi oleh adanya steroid binding globulin (β globulin) yang disekresikan oleh sel Sertoli akibat adanya rangsangan dari FSH. Sekitar 98% dari testosteron yang bersirkulasi dalam darah berada dalam keadaan terikat sisanya merupakan testosteron yang bebas dapat masuk ke organ target. Proses tersebut terjadi bila terdapat enzim dalam sitoplasma yang akan merubah testosteron menjadi dehidrotestosteron sehingga dapat bereaksi dengan reseptor testosteron pada organ target (Hafez 2000). Steroidogenesis pada hewan jantan disajikan dalam Gambar 7. Gambar 7 Steroidogenesis pada hewan jantan (Johnson dan Everitt 2004) Pada Betina Estrogen merupakan hormon utama pada hewan betina, dalam proses pembentukannya melibatkan 2 sel yaitu sel teka dan sel granulosa. Sel teka akan berkembang di bawah pengaruh Luteinizing Hormone (LH) dan sel granulosa akan berkembang di bawah pengaruh Follicle Stimulating Hormone (FSH). Di dalam sel teka yang berkembang, estrogen

25 disekresikan mulai dari proses perubahan asam asetat menjadi kolesterol kemudian berubah menjadi pregnenolon dan berubah lagi menjadi progesteron. Dari progesteron berubah menjadi androstenedion dengan bantuan enzim 17α-hidroksi progesteron, kemudian berubah menjadi testosteron. Sel granulosa mendapat asupan testosteron dari sel teka dan akan berubah menjadi estrogen setelah diaromatisasi oleh enzim aromatase yang distimulasi FSH. Ada 3 bentuk estrogen di dalam plasma hewan betina yaitu 17β-estradiol, estron, dan estriol (Johnson dan Everitt 1984). Di dalam tubuh hewan betina, ketiga jenis estrogen tersebut disintesis dari testosteron endogen dengan bantuan enzim aromatase pada sel teka, kemudian proses konversi yang sama juga terjadi pada sel granulosa. Di bawah rangsangan FSH, konversi estron berasal dari androstenedion, bersifat lebih lemah daripada estradiol. Gambaran steroidogenesis pada hewan betina disajikan pada Gambar 8. Gambar 8 Steroidogenesis pada hewan betina (Johnson dan Everitt 1984) Estrogen merupakan hormon yang mengandung senyawa steroid, fungsinya sebagai hormon seks wanita. Hormon estrogen terdapat dalam tubuh pria maupun wanita dimana dalam tubuh wanita usia subur kandungannya lebih tinggi. Hormon ini mempertahankan tanda tanda kelamin sekunder wanita, menyebabkan penebalan endometrium dan pengaturan siklus haid. Fungsi estrogen berguna pada proses pembentukan jaringan tulang dengan cara mengatur kadar kalsium dalam darah. Estrogen (khususnya estradiol) bertanggung jawab untuk persiapan kelenjar ambing di dalam proses laktogenesis. Estrogen juga berfungsi di dalam sistem saraf pusat sehingga menimbulkan perilaku persiapan kawin (estrus) dengan cara memodulasi sekresi LH dan FSH melalui sistem hipotalamus-hipofisis hewan jantan dan betina (Johnson dan Everitt 1984). Menurut Guyton dan Hall (1997) fungsi estrogen

26 adalah: terhadap uterus, ovarium, tuba Falopii, dan vagina akan bertambah bobotnya karena pengaruh estrogen. Estrogen juga mengubah epitel vagina yang semula berbentuk epitel pipih selapis menjadi kuboid bertingkat. Estrogen menyebabkan perubahan nyata pada endometrium dan kelenjarnya yang mengakibatkan ukuran uterus bertambah dua sampai tiga kali lipat dibandingkan sebelum pubertas. Pada tuba Falopii keberadaan estrogen akan menyebabkan terjadinya proses proliferasi sel. Siklus Reproduksi Tikus Tikus merupakan hewan poliestrus yang dapat beberapa kali mengalami siklus estrus dan melahirkan anak dalam satu tahunnya. Panjang siklus estrus tikus rata-rata berkisar antara 4-5 hari yang terdiri atas fase proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Masingmasing fase tersebut menggambarkan proses fisiologis yang berbeda terkait dengan gambaran anatomi sel epitel dari dinding vaginanya. Perbedaan gambaran sel epitel dapat digunakan untuk menentukan masing-masing fase siklus reproduksinya (Gambar 9). A B D C Gambar 9 Apusan ulasvagina masing-masing fase siklus berahi Keterangan gambar: A (Proestrus), sel epitel berinti; B (Estrus), sel kornifikasi; C (Metestrus), sel lekosit; D (Diestrus), sel lekosit dan sel epitel berinti (Koleksi pribadi 2011) Proestrus Proestrus merupakan fase awal yang menandakan akan datangnya berahi. Fase ini ditandai oleh periode pertumbuhan folikel pada ovarium yang cepat karena pengaruh dari Folicle Stimulating Hormone (FSH) (Mc.Donald, 1989). Folikel yang berkembang ini mensekresikan hormon estrogen. Estrogen dapat menyebabkan terjadinya vaskularisasi dan penandukkan pada sel epitel vagina pada beberapa spesies. Pada pemeriksaan apusan ulas

27 vagina akan didominasi oleh sel-sel epitel berinti (Gambar 9A). Fase proestrus terjadi selama + 12 jam (Nalbandov 1990; Baker et al 1980). Ketika pada tingkat vagina terjadi fase proestrus, estrogen akan memulai merangsang pertumbuhan uterus (sintesa protein dan pembelahan sel). Estrus Fase estrus merupakan fase penerimaan seksual (berahi) hewan betina yang bersedia menerima pejantan untuk kawin. Stadium ini berlangsung kira-kira 12 jam dimulai pada malam hari (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Kondisi ini berakhir setelah 9-15 jam dengan ciri-ciri aktivitas hewan berlari-lari sangat tinggi di bawah pengaruh FSH. Pengaruh FSH menyebabkan sel-sel folikel ovari tumbuh dengan cepat sehingga sekresi estrogen meningkat. Pada pemeriksaan apusan ulas vagina terlihat banyaknya sel pavement /sel yang menumpuk dan sel kornifikasi /sel yang mengalami penandukan (Gambar 9B) (Nalbandov 1990; Baker et al. 1980). Pada fase estrus, vaskularisasi semakin meningkat estrus, pada ovarium terjadi fase folikuler dan pada uterus terjadi fase proliferasi. Metestrus Metestrus merupakan fase yang terjadi setelah estrus selesai berlangsung kira-kira 21 jam (Baker et al. 1980). Pada umumnya fase ini masih didapatkan gejala-gejala estrus, tetapi betina menolak untuk kopulasi. Pada fase ini folikel pecah sehingga kadar estrogen menurun, dan mengalami reorganisasi kemudian mulai terbentuk korpus luteum yang mensekresi progesteron dan berlanjut hingga fase diestrus. Ovarium mengandung korpus luteum dan folikel-folikel baru yang kecil, uterus mengalami vaskularisasi dan kontraksi berkurang (Turner dan Bagnara 1988). Menurut (Smith dan Mangkoewidjojo 1988) metestrus dapat dibedakan menjadi metestrus I dan metestrus II. Metestrus I berlangsung selama kira-kira 15 jam. Pada sediaan apusan ulas vagina terlihat sel-sel kornifikasi, biasanya ada sumbat air mani menggumpal dalam vagina bila hewan sudah kawin. Metestrus II berlangsung kirakira 6 jam. Pada pemeriksaan apusan ulas vagina tampak sel-sel kornifikasi dan mulai tampak lekosit (sel darah putih) (Gambar 9C). Progesteron yang dihasilkan pada fase metestrus pada tingkat vagina dan fase luteal pada ovarium ini akan menyebabkan fase sekresi pada uterus. Selama fase proliferasi uterus dipengaruhi oleh hormon estradiol sedangkan saat fase sekresi dipengaruhi oleh hormon progesteron. Selama fase luteal, yang terjadi saat fase metestrus dan diestrus pada vagina, progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum akan bereaksi terhadap pertumbuhan dan perkembangan uterus, endometrium bertambah tebal secara nyata.

28 Diameter dan panjang kelenjar meningkat secara cepat menjadi bercabang-cabang dan berkelok-kelok akibat adanya progesteron (Nalbandov 1990). Diestrus Fase diestrus merupakan periode terakhir dan terlama dari siklus birahi, fase ini berlangsung antara jam (Turner dan Bagnara 1976), sedangkan menurut (Smith dan Mangkoewidjojo 1988) fase ini berlangsung kira-kira jam. Pada fase ini terjadi pematangan korpus luteum, bila terjadi fertilisasi korpus luteum akan dipertahankan, tetapi jika tidak terjadi regresi dari korpus luteum akibat pengaruh PGF 2α (Hafez 1980). Pada pemeriksaan apusan ulas vagina (Gambar (D) terlihat sel-sel epitel berinti dan lekosit (sel darah putih) (Baker et al. 1980). Fitoestrogen Fitoestrogen merupakan sumber estrogen yang berasal dari tanaman yang merupakan senyawa non steroidal dan mempunyai aktivitas estrogenik atau dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen (Tsourounis 2004). Fitoestrogen merupakan substrat dari tanaman yang berkhasiat seperti estrogen dan mempunyai inti yang sama seperti estrogen walaupun rumus bangun kimianya berbeda dengan estrogen. Khasiat estrogenik terjadi karena fitoestrogen mempunyai 2 gugus -OH/hidroksil yang jaraknya sama ( ,5 Aº) pada intinya, begitu juga dengan inti estrogen sendiri. Para ilmuwan sepakat bahwa jarak 11 A 0 dan gugus -OH menjadi struktur pokok suatu substrat mempunyai efek estrogenik (memiliki afinitas tertentu untuk dapat menduduki reseptor estrogen (Achadiat 2007). Suatu substrat baru akan berefek estrogenik bila telah berikatan dengan reseptor estrogen. Tetapi afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogen (Tsourounis 2004). Menurut Tsourounis (2004) beberapa senyawa fitoestrogen yang terdapat dalam tanaman antara lain: Isoflavone pada buah-buahan, teh hijau, kacang kedelai, dan produk kedelai seperti tempe, tahu, dan tauco. Lignane pada biji gandum dan wijen. Coumestane pada kacang-kacangan dan biji bunga matahari. Glikoside Tripterpen pada tanaman Cimifuga racemosa (Black cohosh) yang tumbuh di hutan Amerika Selatan, saat ini telah diekstraksi dan dikemas menajdi produk obat menopause.

29 Senyawa-senyawa estrogenik lain yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti flavone, chalcone, diterpenoid, triterpenoid, coumarine, dan acyclic. Zat yang paling banyak dalam akar purwoceng adalah alkaloid dan flavonoid. Alkaloid dan flavonoid termasuk dalam golongan fitoestrogen. Berdasarkan struktur kimianya, seluruh senyawa golongan flavonoid pada tanaman merupakan induk flavon. Flavonoid merupakan senyawa larut air, etanol, metanol, dan mengandung sistem atomatik yang terkonyugasi. Secara umum flavonoid ditemukan pada tumbuhan sebagai campuran dan terikat pada gula seperti glikosida, aglikon atau dalam kombinasi beberapa bentuk aglikon. Senyawa flavonoid diklasifikasikan menjadi 10 golongan yang terkarakterisasi oleh warna pada teknik spektrofotometer dan pemisahan pada teknik kromatografi. Golongan tersebut adalah antosianin, proantosianin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, flavonon, dan isoflavon (Harborne 1987). Flavonoid mempunyai efek hormonal khususnya efek estrogenik karena mempunyai struktur fenolik yang mirip dengan hormon estrogen. Flavonoid pada ekstrak akar purwoceng merupakan senyawa fitoestrogen yang mempunyai kesamaan struktur kimia dengan estrogen mamalia. Berikut adalah kemiripan struktur kimia antara estrogen dan flavonoid (Gambar 10). Gambar 10 Struktur kimia estrogen dan flavonoid (Guyton 1997; Harborne 1987) Flavonoid mampu berikatan dengan reseptor estrogwn (RE), di dalam tubuh ada 2 reseptor estrogen yaitu reseptor estrogen alfa (Reα) dan reseptor estrogen beta (Reβ). Reseptor estrogen α terdapat pada organ uterus, testis, hipofisis, ginjal, epididimis, dan adrenal. Sedangkan reseptor estrogenβ terdapat di ovarium, prostat, paru-paru, kandung kemih, dan tulang (Barnes dan Kim 1998).

30 BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pengamatan dan pengukuran organ reproduksi betina dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan - IPB. Alat dan Bahan Hewan yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley yang terdiri atas tikus betina dara, dewasa kelamin berumur ± 10 minggu sebanyak 48 ekor dengan berat badan berkisar antara g. Beberapa tikus putih jantan dan betina dewasa kelamin sebagai indukan. Bahan lain yang diperlukan adalah larutan fisiologis NaCl 0,9%, cotton buds, metil alkohol, larutan giemsa, kertas saring Whatman no 42, etanol 70%, akuades, eter, akar purwoceng, ekstrak purwoceng. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat kandang tikus, kamera digital, alat bedah, erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, gelas objek, mikroskop binokuler, pompa vakum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, spuit 1 ml dan sonde lambung dari stainless steel, oven, wadah porselen, termometer, timbangan analitis, dan digital. Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng Purwoceng berasal dari daerah Pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Semua bagian tanaman purwoceng (akar, batang, dan daun) dapat dimanfaatkan sebagai bahan afrodisiak. Tetapi hanya bagian akar saja yang digunakan sebagai bahan ekstrak karena bagian tersebut mempunyai efek afrodisiaka yang lebih tinggi dibandingkan bagian lainnya. Bagian akar dikeringkan dengan penjemuran panas matahari (suhu tidak boleh melebihi 50ºC). Selanjutnya akar purwoceng yang telah kering dipotong tipis-tipis dan dihaluskan dengan menggunakan blender hingga didapatkan simplisia. Serbuk akar purwoceng diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi dingin sebanyak 700 g direndam dalam pelarut etanol 70% sebanyak 3,5 l selama 48 jam (setiap 2 jam sekali diaduk agar homogen). Kemudiaan disaring dengan menggunakan kertas saring Whatman no 42. Hasil ekstrak disimpan di dalam erlenmeyer sedangkan ampas direndam kembali dalam 3,5 liter etanol

31 70% selama 24 jam, setiap 2 jam diaduk. Setelah itu larutan disaring dan ekstraknya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama dalam erlen meyer ukuran 5 liter. Kemudian dilakukan proses evaporasi agar zat pelarut (etanol 70%) terpisah dengan menggunakan rotari evaporator (rotavapor) Buchi dengan suhu 48ºC dan kecepatan putaran per menit (rpm) sebesar 60 rpm. Selanjutnya bahan ekstrak dimasukkan ke dalam oven pengering dengan suhu ± 45 o C selama 48 jam sehingga kadar air yang masih ada dapat menguap semuanya. Akhirnya didapat ekstrak kental (pasta) yang disimpan di dalam wadah porselen tertutup rapat. Apabila jadwal pencekokan sudah dimulai maka dari ekstrak kental purwoceng akan dibuat larutan stock sebesar 5% dengan cara melarutkan 5 g ekstrak kental purwoceng ke dalam 100 ml akuades sehingga didapat ekstrak etanol purwoceng berupa cairan berwarna kecoklatan. Ekstrak purwoceng disimpan dalam lemari es apabila tidak digunakan. Berat ekstrak kental yang didapat dari 700 gram simplisia adalah sebanyak 190 g ekstrak kental. Persiapan Hewan Model Tikus betina dara berumur 10 minggu (dewasa kelamin) didapat dari perkawinan induk secara alamiah dengan mencampurkan jantan dan betina dalam satu kandang. Kebuntingan ditandai dengan adanya sperma dalam apusan ulas vagina. Kemudian tikus dibiarkan bunting dan melahirkan serta menyusui anaknya hingga lepas sapih. Anak tikus betina dipelihara sampai dengan umur 10 minggu (dewasa kelamin), kemudian dijadikan hewan model. Tikus tersebut dibiarkan selama 1 minggu dalam kandang kolektif agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pemeliharaan tikus (induk, bunting dan anakan) dilakukan di dalam kandang hewan individu yang terbuat dari plastik berukuran 30 cm x 20 cm x 12 cm (panjang x lebar x tinggi) dan dilengkapi dengan kawat kasa penutup pada bagian atasnya. Pakan dan air minum dilakukan ad libitum. Penggantian sekam dan pencucian kandang plastik dilakukan setiap 1 minggu sekali. Pengelompokkan Hewan Tikus di bagi dalam 4 kelompok berdasarkan periode berahi dari siklus reproduksinya (Gambar 10) yaitu kelompok periode proestrus (P) bila ditemukan lebih dari 75% sel epitel berinti, kelompok periode estrus (E) bila ditemukan lebih dari 75% sel kornifikasi, kelompok periode metestrus (M) bila ditemukan lebih dari 75% sel darah putih, dan kelompok periode diestrus (D) bila ditemukan sel darah putih dan sel epitel berinti sama banyaknya (Baker et al. 1980), masing-masing perlakuan terdiri atas 12 ekor. Pengelompokkan periode berahi

32 dilakukan dengan cara melakukan apusan ulas vagina dari 48 ekor tikus betina dara. Setiap kelompok periode dibagi lagi menjadi kelompok kontrol (tidak dicekok purwoceng) dan kelompok perlakuan (dicekok purwoceng), masing - masing sebanyak 6 ekor. Kemudian kelompok kontrol dan perlakuan dibagi lagi menjadi kelompok dikorbankan (dibedah) dan kelompok apusan ulas vagina sampai hari ke -15, masing - masing sebanyak 3 ekor sebagai faktor pengulangan (Gambar 10). Penentuan Dosis dan Pencekokan Ekstrak Etanol Purwocceng Pemberian ekstrak etanol purwoceng dilakukan dengan cara mencekok tikus dengan menggunakan sonde lambung pada pagi hari setelah apusan ulas vagina pagi hari dilakukan. Pencekokan purwoceng dilakukan selama 10 hari dengan dosis sebesar 83,25 mg/kg BB (Gambar 10), sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Taufiqqurrachman (1999) dengan dosis 25 mg/ml untuk berat tikus 300 g. Pengamatan dan Pengambilan Sampel Pengamatan terhadap periode siklus berahi dilakukan dua kali setiap harinya yaitu pagi hari (pukul WIB) dan sore hari (pukul WIB) dengan melakukan apusan ulas vagina. Pengambilan apusan ulas vagina dilakukan dengan menggunakan cotton bud ukuran kecil yang sudah dibasahi dengan NaCl fisiologis 0,9%. Apusan ulas vagina dioleskan pada kaca preparat (gelas objek) dengan merata kemudian di fiksasi dalam metanol selama 5 menit. Setelah itu diwarnai dengan pewarna Giemsa selama 30 menit, kelebihan Giemsa dicuci dengan air kran mengalir. Setelah dikeringkan dengan tisue, preparat diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 40 kali. Hasil pembacaan kemudian dicatat setiap hari sesuai dengan kelompok pada periode siklus berahi berdasarkan gambaran sel epitelnya sehingga dapat diperoleh panjang siklusnya. Pengamatan preparat apusan ulas vagina dilakukan selama 10 hari (2 siklus) untuk kelompok dikorbankan dan juga pengamatan apusan ulas vagina selama 15 hari untuk masing - masing kelompok fase. Pengambilan sampel organ uterus dan ovarium dilakukan dengan cara mengorbankan tikus setelah dilakukan pembiusan terlebih dahulu menggunakan eter. Organ uterus dan ovarium (kiri dan kanan) diambil dengan cara pembedahan pada bagian perut kemudian ditimbang menggunakan timbangan analitis digital. Bobot organ uterus dan ovarium di catat untuk di analisis perbedaannya.

33 Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis dan dibandingkan dengan menggunakan metode Analysis of Variance (ANOVA), dilanjutkan dengan uji t-student (Steel dan Torrie 1989).

34 Bagan Penelitian Tikus Betina Apusan Ulas Vagina Kelompok P (Proestrus) Kelompok E (Estrus) Kelompok M (Metestrus) Kelompok D (Diestrus) Kontrol/Dicekok 83,25 mg/kg BB Apusan Ulas Vagina pagi (pukul 06.00WIB) dan (pukul WIB) selama 10 hari Dikorbankan Pengamatan : 1. Bobot Uterus 2. Bobot Ovarium Apusan Ulas Vagina Sampai Hari Ke - 15 Pengamatan : Apusan Ulas Vagina Gambar 10 Bagan Penelitian

35 HASIL DAN PEMBAHASAN Efektivitas Ekstrak Etanol Akar Purwoceng terhadap Periode Siklus Berahi Beberapa penelitian terdahulu melaporkan bahwa panjang siklus berahi berkisar antara 4-5 hari, terdiri atas periode proestrus selama 12 jam, periode estrus selama 12 jam, periode metestrus selama 21 jam, dan periode diestrus selama 57 jam (Baker et al. 1980). Pada penelitian ini, rataan panjang periode siklus berahi tikus disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Nilai rataan panjang siklus berahi dan periodenya pada tikus yang dicekok purwoceng dan kontrol Periode Hasil Pengamatan (Jam) Perlakuan Panjang Proestrus Estrus Metestrus Diestrus Siklus Berahi Proestrus Dicekok 18 ± 4,52 20 ± 6,20 a 20 ± 3,10 64 ± 7, ± 5,29 Kontrol 14 ± 4,52 14 ± 2,45 24 ± b 0 70 ± 7, ± 3,58 Estrus Dicekok 16 ± 3,10 b 24 ± 3,79 20 ± 3,10 a 60 ± 4, ± 3,63 Kontrol 14 ± 3,10 a 14 ± 3,29 22 ± 4,90 b 70 ± 4, ± 3,95 Metestrus Dicekok 14 ± 3,10 16 ± 3,29 b 28 ± 3,10 64 ± 5, ± 3,63 Kontrol 12 ± 3,10 14 ± 3,29 a 24 ± 0 68 ± 3, ± 2,42 Diestrus Dicekok 12 ± 0 16 ± 3,10 26 ± 3,10 64 ± 5, ± 3,03 Kontrol 12 ± 0 14 ± 3,10 28 ± 3,29 68 ± 4, ± 2,73 Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P<0.05) Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa tikus yang dicekok purwoceng pada saat periode proestrus dan estrus cenderung mempunyai pola rataan waktu periode proestrus dan estrus lebih panjang bila dibandingkan kontrol. Periode estrus pada tikus yang dicekok saat estrus menunjukkan waktu yang lebih panjang secara nyata (P<0,05). Semakin panjang periode estrus dibandingkan dengan kontrol maka proses kawin antara jantan dan betina menjadi lebih lama. Dengan adanya kondisi tersebut, terjadinya proses fertilisasi menjadi lebih besar kemungkinannya. Secara umum pada tikus yang dicekok pada saat periode proestrus dan estrus justru terjadi pemendekan waktu periode metestrus dan diestrus bila dibandingkan dengan periode kontrolnya. Pola yang sama ditunjukkan oleh tikus yang dicekok pada periode metestrus dan diestrus yaitu terjadi kecenderungan pemanjangan waktu periode proestrus dan estrus kecuali pada tikus yang dicekok periode diestrus, mempunyai panjang periode proestrus yang sama dengan kelompok kontrol. Tikus yang dicekok purwoceng pada saat periode metestrus dan diestrus juga mempunyai nilai rataan periode lebih pendek pada periode metestrus dan diestrusnya bila dibandingkan dengan periode kontrolnya kecuali pada

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Rata- rata bobot ovarium dan uterus tikus putih

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Rata- rata bobot ovarium dan uterus tikus putih BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng terhadap tikus putih betina pada usia kebuntingan 1-13 hari terhadap rata-rata bobot ovarium dan bobot uterus tikus putih dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan untuk makanan maupun untuk pengobatan tradisional.

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Bobot Tubuh Ikan Lele Hasil penimbangan rata-rata bobot tubuh ikan lele yang diberi perlakuan ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina molk.) pada pakan sebanyak 0;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Estrogen adalah salah satu hormon yang berperan dalam reproduksi hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting adalah estradiol

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas Ekstrak Metanol Buah Adas terhadap Lama Siklus Siklus estrus terdiri dari proestrus (12 jam), estrus (12 jam), metestrus (12 jam), dan diestrus (57 jam), yang secara total

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 34 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan Desember 2007. Penelitian ini dilakukan pada beberapa tempat yaitu : pembuatan tepung kedelai dan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2008 sampai dengan Mei 2009. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemanfaatan obat tradisional di Indonesia saat ini sudah cukup luas. Pengobatan tradisional terus dikembangkan dan dipelihara sebagai warisan budaya bangsa yang

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berat badan dewasa : - jantan - betina g. Konsumsi air minum tikus dewasa

TINJAUAN PUSTAKA. Berat badan dewasa : - jantan - betina g. Konsumsi air minum tikus dewasa 19 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Umum Tikus Tikus digolongkan ke dalam kelas Mamalia, bangsa Rodentia, suku Muridae dan marga Rattus (Meehan 1984). Tikus merupakan hewan mamalia yang mempunyai peranan penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina.

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siklus reproduksi adalah perubahan siklus yang terjadi pada sistem reproduksi (ovarium, oviduk, uterus dan vagina) hewan betina dewasa yang tidak hamil, yang memperlihatkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Tanaman Purwoceng Purwoceng (Pimpinella alpina Kds) merupakan tanaman obat.seluruh bagian tanaman purwoceng dapat digunakan sebagai obat tradisional, terutama akar.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh ekstrak biji pepaya (Carica papaya, L.) terhadap ketebalan lapisan endometrium dan kadar hemoglobin tikus putih (Rattus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Seorang wanita disebut hamil jika sel telur berhasil dibuahi oleh sel sperma. Hasil pembuahan akan menghasilkan zigot, yang lalu berkembang (dengan cara pembelahan sel

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dan lekosit tikus putih (Rattus norvegicus) betina adalah sebagai berikut :

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dan lekosit tikus putih (Rattus norvegicus) betina adalah sebagai berikut : BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL Hasil penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak biji pepaya (Carica papaya, L.) terhadap jumlah kelenjar endometrium, jumlah eritrosit dan lekosit tikus putih (Rattus

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh pemberian ekstrak kacang kedelai hitam (Glycine soja) terhadap jumlah kelenjar dan ketebalan lapisan endometrium

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Organ Reproduksi Betina 2.1.1 Ovarium Organ reproduksi betina terdiri atas dua buah ovari, dua buah tuba falopii, uterus, serviks, vagina, dan vulva. Ovarium bertanggung jawab

Lebih terperinci

PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus norvegicus, L) dengan perbesaran 4x10 menggunakan teknik pewarnaan Hematoxilin-eosin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tradisional maupun pasar modern. Kacang kedelai hitam juga memiliki kandungan

BAB I PENDAHULUAN. tradisional maupun pasar modern. Kacang kedelai hitam juga memiliki kandungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan di era modern ini semakin beragam bahan yang digunakan, tidak terkecuali bahan yang digunakan adalah biji-bijian. Salah satu jenis biji yang sering digunakan

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN HEWAN II

LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN HEWAN II VAGINAL SMEAR Oleh : Nama : Nur Amalah NIM : B1J011135 Rombongan : IV Kelompok : 2 Asisten : Andri Prajaka Santo LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN HEWAN II KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Lebih terperinci

OPTIMALISASI KINERJA REPRODUKSI TIKUS BETINA SETELAH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE PADA USIA PRAPUBERTAS SUPRIHATIN

OPTIMALISASI KINERJA REPRODUKSI TIKUS BETINA SETELAH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE PADA USIA PRAPUBERTAS SUPRIHATIN OPTIMALISASI KINERJA REPRODUKSI TIKUS BETINA SETELAH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE PADA USIA PRAPUBERTAS SUPRIHATIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 1 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1 Data nilai fisiologis tikus putih (Rattus sp.)

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1 Data nilai fisiologis tikus putih (Rattus sp.) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Tikus Putih (Rattus sp.) Tikus putih atau rat (Rattus sp.) sering digunakan sebagai hewan percobaan atau hewan laboratorium karena telah diketahui sifat-sifatnya dan mudah dipelihara

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Infertilitas didefinisikan sebagai kegagalan terjadinya pembuahan selama 12 bulan hubungan seksual yang aktif (Nieschlag et al, 2010). Infertilitas ditemukan pada 15%

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG (Pimpinella alpina) SELAMA 1-13 HARI KEBUNTINGAN TERHADAP BOBOT OVARIUM DAN UTERUS TIKUS PUTIH (Rattus sp.) SANDRA HAPSARI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian yang berjudul Pengaruh Pemberian Ekstrak Daun Jati Belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.) Terhadap Berat Badan, Berat Testis, dan Jumlah Sperma Mencit

Lebih terperinci

LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan

LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan LAMPIRAN Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan Lampiran 2. Tumbuhan pepaya jantan a. Tumbuhan pepaya jantan b. Bunga pepaya jantan c. Simplisia bunga pepaya jantan Lampiran 3. Perhitungan hasil pemeriksaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Manusia mempunyai dua ovarium yang berfungsi memproduksi sel telur dan mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur (oogenesis). Pada

Lebih terperinci

Gambar 4. Grafik Pertambahan Bobot Badan Tikus

Gambar 4. Grafik Pertambahan Bobot Badan Tikus BAB IV HASIL PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap pertambahan bobot badan tikus betina bunting pada umur kebuntingan 0-13 hari dapat dilihat pada Tabel 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family

BAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family Menispermaceae yang mempunyai beberapa manfaat diantaranya dapat digunakan untuk mengobati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdapat sekitar tumbuhan, diduga sekitar spesies

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdapat sekitar tumbuhan, diduga sekitar spesies BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia dikenal sebagai megabiodiversity country, yaitu Negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang besar. Di hutan tropis Indonesia terdapat sekitar 30.000 tumbuhan,

Lebih terperinci

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang Anatomi sistem endokrin Kelenjar hipofisis Kelenjar tiroid dan paratiroid Kelenjar pankreas Testis dan ovum Kelenjar endokrin dan hormon yang berhubungan dengan sistem reproduksi wanita Kerja hipotalamus

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI PENEMUAN Hasil Pengamatan Makroskopis Daun Saga (Abrus precatorius L.)

BAB IV ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI PENEMUAN Hasil Pengamatan Makroskopis Daun Saga (Abrus precatorius L.) BAB IV ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI PENEMUAN 4.. Analisis Data 4... Hasil Pengamatan Makroskopis Daun Saga (Abrus precatorius L.) Gambar 4.. Makroskopis daun saga (Abrus precatorius L.) Tabel 4.. Hasil

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

Anatomi/organ reproduksi wanita

Anatomi/organ reproduksi wanita Anatomi/organ reproduksi wanita Genitalia luar Genitalia dalam Anatomi payudara Kelainan organ reproduksi wanita Fisiologi alat reproduksi wanita Hubungan ovarium dan gonadotropin hormon Sekresi hormon

Lebih terperinci

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi. Nama : Hernawati NIM : 09027 Saya mengkritisi makalah kelompok 9 No 5 tentang siklus menstruasi. Menurut saya makalah mereka sudah cukup baik dan ketikannya juga sudah cukup rapih. Saya di sini akan sedikit

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya 3.3. Alat dan Bahan

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya 3.3. Alat dan Bahan 19 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Juni 2010 di Kandang Unit Hewan Laboratorium, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut

Lebih terperinci

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Departemen Farmasi FMIPA UI dari Januari 2008 hingga Mei 2008.

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Departemen Farmasi FMIPA UI dari Januari 2008 hingga Mei 2008. BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Fitokimia dan Farmakologi Departemen Farmasi FMIPA UI dari Januari 2008 hingga Mei 2008. B. BAHAN DAN ALAT

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1 1. Perhatikan gambar berikut! Bagian yang disebut dengan oviduct ditunjukkan oleh huruf... A B C D Bagian yang ditunjukkan oleh gambar

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 40 HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Senyawa Isoflavon Tepung Kedelai dan Tepung Tempe Hasil analisis tepung kedelai dan tepung tempe menunjukkan 3 macam senyawa isoflavon utama seperti yang tertera pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda 3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus A. Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian mengenai pengruh pemberian ekstrak kacang merah (Phaseolus vulgaris, L.) terhadap perkembangan folikel ovarium tikus putih diambil

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok,

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok, BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan dan Desain Penelitian Penelitian yang dilaksanakan merupakan penelitian eksperimen, rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok,

Lebih terperinci

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ;

Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; Fisiologi Reproduksi & Hormonal Wanita Sistem hormon wanita, seperti pada pria, terdiri dari tiga hirarki hormon, sebagai berikut ; 1. Hormon yang dikeluarkan hipothalamus, Hormon pelepas- gonadotropin

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan

HASIL DAN PEMBAHASAN. pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina akan menolak dan 30 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kualitas Estrus 4.1.1 Tingkah Laku Estrus Ternak yang mengalami fase estrus akan menunjukkan perilaku menerima pejantan untuk dikawini. Diluar fase estrus, ternak betina

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun sekitar 1,49 persen. Pada periode

BAB I PENDAHULUAN. dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun sekitar 1,49 persen. Pada periode 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam periode 10 tahun terakhir jumlah penduduk Indonesia meningkat dengan laju pertumbuhan penduduk per tahun sekitar 1,49 persen. Pada periode 10 tahun sebelumnya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Wijen (Sesamum indicum L) 1. Sistematika Tanaman Tanaman wijen mempunyai klasifikasi tanaman sebagai berikut : Philum : Spermatophyta Divisi : Angiospermae Sub-divisi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak buah jambu biji (Psidium guajava)

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak buah jambu biji (Psidium guajava) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak buah jambu biji (Psidium guajava) terhadap kadar gula darah dan kadar transminase pada tikus (Rattus norvegicus)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan (rehabilitatif) serta peningkatan kesehatan (promotif). Berbagai cara

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan (rehabilitatif) serta peningkatan kesehatan (promotif). Berbagai cara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia. Dalam rangka memenuhi kebutuhan sehat tersebut, masyarakat berusaha melakukan upaya kesehatan yang meliputi pencegahan penyakit

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus communis (sukun) yang diperoleh dari Garut, Jawa Barat serta

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) bagi Provinsi Nusa Tenggara Barat, bahkan telah menjadi lambang bagi provinsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina KDS ) Heyne (1987) mendeskripsikan purwoceng sebagai tanaman terna dengan tinggi antara 15 cm sampai 50 cm yang tumbuh pada dataran tinggi sekitar

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan PENGANTAR Latar Belakang Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan ditingkatkan produktivitasnya untuk meningkatkan pendapatan peternak. Produktivitas itik lokal sangat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam kehidupan rumah tangga, hubungan seksual merupakan unsur penting yang dapat meningkatkan hubungan dan kualitas hidup. Pada laki-laki, fungsi seksual normal terdiri

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2015 di Laboratorium Zoologi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2015 di Laboratorium Zoologi 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2015 di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi dan pembuatan ekstrak rimpang rumput teki (Cyperus

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil determinasi tumbuhan dilampirkan pada Lampiran 1) yang diperoleh dari perkebunan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan desain posttest only control group design. perlakuan yang akan diberikan, yaitu 6 kelompok.

BAB III METODE PENELITIAN. dengan desain posttest only control group design. perlakuan yang akan diberikan, yaitu 6 kelompok. 17 BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental pada hewan uji dengan desain posttest only control group design. B. Subyek Penelitian Subyek penelitian

Lebih terperinci

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12 Nama : Kristina vearni oni samin Nim: 09031 Semester 1 Angkatan 12 Saya mengkritisi tugas biologi reproduksi kelompok 7 tentang siklus menstruasi yang dikerjakan oleh saudari Nela Soraja gusti. Tugas mereka

Lebih terperinci

ABSTRAK. Antonius Budi Santoso, Pembimbing I: Sylvia Soeng, dr. M.Kes. Pembimbing II: Sri Utami Sugeng, Dra., M.Kes.

ABSTRAK. Antonius Budi Santoso, Pembimbing I: Sylvia Soeng, dr. M.Kes. Pembimbing II: Sri Utami Sugeng, Dra., M.Kes. ABSTRAK PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG TEMPE KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) SELAMA MASA PREPUBERTALTERHADAP VIABILITAS SPERMATOZOA MENCIT JANTAN GALUR SWISS WEBSTER Antonius Budi Santoso, 2007. Pembimbing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh seluruh umat manusia, meliputi lahir, masa kanak-kanak, remaja, dewasa

BAB I PENDAHULUAN. oleh seluruh umat manusia, meliputi lahir, masa kanak-kanak, remaja, dewasa BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Manusia memiliki fase kehidupan sejak lahir di dunia yang akan dilalui oleh seluruh umat manusia, meliputi lahir, masa kanak-kanak, remaja, dewasa hingga sebelum kematiannya

Lebih terperinci

Siklus kelamin poliestrus (birahi) g jantan dan betina

Siklus kelamin poliestrus (birahi) g jantan dan betina Lama bunting Kawin sesudah beranak Umur sapih Umur dewasa kelamin Umur dikawinkan Siklus kelamin poliestrus (birahi) Lama estrus Saat perkawinan Berat lahir Berat dewasa Jumlah anak perkelahiran Kecepatan

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE TERHADAP KINERJA UTERUS TIKUS OVARIEKTOMI ADRIEN JEMS AKILES UNITLY

EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE TERHADAP KINERJA UTERUS TIKUS OVARIEKTOMI ADRIEN JEMS AKILES UNITLY EFEKTIVITAS PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE TERHADAP KINERJA UTERUS TIKUS OVARIEKTOMI ADRIEN JEMS AKILES UNITLY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 3 Garis besar jalannya penelitian

3 METODE PENELITIAN. Gambar 3 Garis besar jalannya penelitian 3 METODE PENELITIAN 3. 1 Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium Protozoologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat

Lebih terperinci

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. Mekanisme umpan balik pelepasan hormon reproduksi pada hewan betina Rangsangan luar Cahaya, stress,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar glukosa darah dan histologi pankreas tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG (Pimpinella alpina) SELAMA 13-21 HARI KEBUNTINGAN TERHADAP BOBOT ORGAN REPRODUKSI DAN ANAK TIKUS PUTIH (Rattus sp.) META LEVI KURNIA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica charantia L.) yang diperoleh dari Kampung Pamahan-Jati Asih, Bekasi. Dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan 21 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pembuatan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan. Pemeliharaan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit 40 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Oosit Pada Stadia Folikel Primer Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit pada stadia folikel primer dapat dilihat pada gambar 10.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 29 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen kuantitatif. Pada penelitian ini terdapat manipulasi terhadap objek

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bagi seorang wanita, menopause itu sendiri adalah datangnya masa tua.

BAB 1 PENDAHULUAN. Bagi seorang wanita, menopause itu sendiri adalah datangnya masa tua. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi seorang wanita, menopause itu sendiri adalah datangnya masa tua. Menopause yang dikenal sebagai masa berakhirnya menstruasi atau haid, sering menjadi ketakutan

Lebih terperinci

UJI EFEK ANTIFERTILITAS EKSTRAK DAUN SAGA (ABRUS PRECATORIUS L.) TERHADAP TIKUS PUTIH BETINA

UJI EFEK ANTIFERTILITAS EKSTRAK DAUN SAGA (ABRUS PRECATORIUS L.) TERHADAP TIKUS PUTIH BETINA UJI EFEK ANTIFERTILITAS EKSTRAK DAUN SAGA (ABRUS PRECATORIUS L.) TERHADAP TIKUS PUTIH BETINA OLEH: RICHE OMERIUM 2443002094 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA FEBRUARI 2008 UJI

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan lalu dibandingkan kerusakan

BAB III METODE PENELITIAN. dibagi menjadi kelompok kontrol dan perlakuan lalu dibandingkan kerusakan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental laboratorik. Penelitian dilakukan dengan memberikan perlakuan pada sampel yang telah dibagi menjadi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak biji jintan hitam (Nigella

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak biji jintan hitam (Nigella BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak biji jintan hitam (Nigella sativa Linn.) terhadap kadar transaminase hepar pada tikus (Rattus norvegicus)

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Desain ini melibatkan 5

METODOLOGI PENELITIAN. eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Desain ini melibatkan 5 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan Rancangan Acak Terkontrol. Desain ini melibatkan 5 (lima) kelompok

Lebih terperinci

kontrasepsi untuk kaum pria supaya kaum pria memiliki alternatif penggunaan alat kontrasepsi sesuai dengan pilihannya. Berdasarkan fakta di atas,

kontrasepsi untuk kaum pria supaya kaum pria memiliki alternatif penggunaan alat kontrasepsi sesuai dengan pilihannya. Berdasarkan fakta di atas, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Populasi penduduk semakin meningkat sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Badan Pusat Statistik, bahwa kenaikan jumlah penduduk Indonesia dari tahun 2000

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi Simmental dengan nama SIMPO. Sapi SIMPO merupakan hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Ekstraksi dan Penapisan Fitokimia Metode ekstraksi yang digunakan adalah maserasi dengan pelarut etil asetat. Etil asetat merupakan pelarut semi polar yang volatil (mudah

Lebih terperinci

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. Sasaran Pembelajaran Mahasiswa dapat menjelaskan sistem reproduksi dan laktasi Materi Kontrol gonad dan perkembangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah biji jintan hitam (Nigella sativa) yang berasal dari Yogyakarta, Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Instrumen Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan 21 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret sampai Juni 2012 di Laboratorium Riset Kimia dan Material Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel dari penelitian ini adalah daun murbei (Morus australis Poir) yang diperoleh dari perkebunan murbei di Kampung Cibeureum, Cisurupan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest.

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Mei 2008. Pembuatan biomineral dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, sedangkan pemeliharaan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia) BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah biji paria (Momordica charantia) yang diperoleh dari Kampung Pamahan, Jati Asih, Bekasi Determinasi

Lebih terperinci

HORMON REPRODUKSI JANTAN

HORMON REPRODUKSI JANTAN HORMON REPRODUKSI JANTAN TIU : 1 Memahami hormon reproduksi ternak jantan TIK : 1 Mengenal beberapa hormon yang terlibat langsung dalam proses reproduksi, mekanisme umpan baliknya dan efek kerjanya dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. pendidikan, perumahan, pelayanan kesehatan, sanitasi dan lingkungan (Shah et al.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. pendidikan, perumahan, pelayanan kesehatan, sanitasi dan lingkungan (Shah et al. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Jumlah penduduk merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh setiap negara, karena membawa konsekuensi di segala aspek antara lain pekerjaan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan di kelompokkan menjadi 4 kelompok dengan ulangan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli Oktober Pembuatan ekstrak

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli Oktober Pembuatan ekstrak 20 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli Oktober 2009. Pembuatan ekstrak rimpang rumput teki dilakukan di Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan menguji antioksidan dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale Rosc.)

BAB III METODE PENELITIAN. dengan menguji antioksidan dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale Rosc.) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menguji antioksidan dari rimpang jahe merah (Zingiber officinale Rosc.) terhadap

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI Jurnal Kedokteran Hewan Vol. 8 No. 1, Maret 2014 ISSN : 1978-225X PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK HIPOFISA SAPI TERHADAP PENINGKATAN PRODUKTIVITAS AYAM PETELUR PADA FASE AKHIR PRODUKSI The Effect of Pituitary

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Menstruasi Remaja Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang utuh dari hipotalamus-hipofise-ovarium. Struktur alat reproduksi, status nutrisi,

Lebih terperinci