EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG"

Transkripsi

1 EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG (Pimpinella alpina) SELAMA HARI KEBUNTINGAN TERHADAP BOBOT ORGAN REPRODUKSI DAN ANAK TIKUS PUTIH (Rattus sp.) META LEVI KURNIA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

2 ABSTRACT META LEVI KURNIA. Effectivity of Purwoceng (Pimpinella alpina) Ethanole Extract during Days of Pregnant Rat (Rattus sp.) on Reproductive Organs and Pups Weight. Under direction of ARYANI S. SATYANINGTIJAS and PUDJI ACHMADI. The study aims to observe the effect day of purwoceng (Pimpinella alpina) ethanole extract which given at days age of pregnancy on ovarium, uterus, placenta, and pups weight. The rats were divided in to two groups. One of groups was rats that treated by purwoceng 25 mg/300 g body weight and the other groups control (no treatment). Purwoceng ethanole extract was given on the 13 th until the 21 st day of pregnancy. The rats was dissected on day 21 to take an ovarium, uterus, placenta, and pups, and to observe their weight. The result indicated that purwoceng ethanole extract tended to increase weight of ovarium, uterus, and pups but had no effect towards placenta. Keywords: purwoceng, reproductive organ, pups

3 RINGKASAN META LEVI KURNIA. Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama Hari Kebuntingan terhadap Bobot Organ Reproduksi dan Anak Tikus Putih (Rattus sp.). Dibimbing oleh ARYANI S. SATYANINGTIJAS dan PUDJI ACHMADI. Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman herbal yang mengandung bahan bersifat estrogenik dan androgenik. Pada dasarnya tanaman yang mengandung senyawa-senyawa seperti estrogen atau androgen dipercaya dapat memperbaiki kinerja reproduksi. Bagian yang sering digunakan adalah akar karena bahan aktif purwoceng terbanyak terletak pada bagian akar. Penelitian ini juga memanfaatkan akar purwoceng sebagai tanaman yang diduga dapat memperbaiki kinerja reproduksi tikus betina bunting. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap organ reproduksi dan bobot anak tikus putih yang diberikan pada hari kebuntingan. Metode penelitian ini meliputi pembuatan larutan ekstrak akar purwoceng, penentuan dosis ekstrak purwoceng, persiapan hewan penelitian, perlakuan hewan, dan analisis data. Akar purwoceng diekstraksi dengan menggunakan metode maserasi. Jumlah ekstrak kering yang didapatkan dari 350 gram simplisia yaitu sejumlah 95 gram. Ekstrak ini kemudian dibuat dalam larutan stok sebesar 5% yaitu 5 gram dalam 100 ml akuades. Dosis ekstrak purwoceng pada tikus yang digunakan yaitu sebesar 25 mg/ml untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram atau mg/kg bobot badan. Pada penelitian ini larutan stok mengandung 50 mg/ml sehingga jumlah ekstrak purwoceng yang diberikan pada tikus yaitu 0.5 ml untuk bobot badan tikus sebesar 300 gram. Sepuluh ekor tikus betina bunting yang diperoleh dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu lima ekor tikus bunting yang tidak diberi perlakuan (kontrol) dan lima ekor tikus bunting yang diberi perlakuan, yaitu diberi ekstrak purwoceng selama 13 sampai 21 hari kebuntingan. Selanjutnya dari masing-masing kelompok tersebut dinekropsi pada hari ke-21 kebuntingan untuk diambil ovarium, uterus, anak, dan plasenta untuk kemudian ditimbang bobotnya. Data bobot ovarium, uterus, anak, dan plasenta yang diperoleh kemudian dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA) sehingga diperoleh rata-rata dan standar deviasi dari data-data tersebut. Pemberian ekstrak etanol purwoceng selama hari kebuntingan pada tikus putih menunjukkan bahwa bobot ovarium, uterus, dan anak cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Sedangkan pemberian ekstrak etanol purwoceng tidak memberikan pengaruh terhadap bobot plasenta. Peningkatan bobot ini diduga karena efek estrogenik dari purwoceng. Kata kunci: purwoceng, organ reproduksi, anak tikus

4 EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG (Pimpinella alpina) SELAMA HARI KEBUNTINGAN TERHADAP BOBOT ORGAN REPRODUKSI DAN ANAK TIKUS PUTIH (Rattus sp.) META LEVI KURNIA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

5 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama Hari Kebuntingan terhadap Bobot Organ Reproduksi dan Anak Tikus Putih (Rattus sp.) adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Agustus 2011 Meta Levi Kurnia NIM B

6 Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak mengurangi kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 Judul Skripsi : Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama Hari Kebuntingan terhadap Bobot Organ Reproduksi dan Anak Tikus Putih (Rattus sp.) Nama : Meta Levi Kurnia NIM : B Disetujui, Dr. drh. Aryani S. Satyaningtijas, MSc. Pembimbing I Drs. Pudji Achmadi, MS. Pembimbing II Diketahui, Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Tanggal Lulus:

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Efektivitas Pemberian Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina) Selama Hari Kebuntingan terhadap Bobot Organ Reproduksi dan Anak Tikus Putih (Rattus sp.). Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc dan Drs. Pudji Achmadi, MS selaku pembimbing skripsi yang begitu sabar memberikan pengarahan dan pengajaran bagi penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Drs. Pudji Achmadi, MS yang telah memberikan penulis kesempatan untuk bergabung dalam penelitian ini dan staf laboratorium fisiologi (Bapak Edi, Ibu Sri, Ibu Ida) yang telah membantu baik tenaga maupun waktu dalam penelitian ini. Penulis juga ingin menyampaikan terima kasih kepada Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, MSc selaku dosen pembimbing akademik yang selalu memberikan dorongan untuk menjadi manusia yang lebih baik dan bijaksana. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Maipal Sangguni (Ibunda), Taufik Maison (Ayahanda), Yahdi Al Ghurfah (Adik), Hayatul Sukma (Adik), Siti Maheram Alm(Nenek), Siti Nuraya (Nenek), Mak Odang, Mak Onga, Onga, Pa Onga, Etek, Maktuo, Uniama, dan Caca yang selalu memberikan doa, kasih sayang, serta dukungan yang tiada henti bagi penulis. Selain itu, penulis juga mendapatkan dukungan penuh dari rekan-rekan satu penelitian (Sandra, Wisnu, Junto, Divo, Copi), sahabat-sahabat terdekat (Sari, Fenny, Wulan, Deny, Putri, Ila, Iwan, Gita, dan Adit), rekan-rekan Gianuzzi FKH 44, dan Himpro SATLI. Semoga karya ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Agustus 2011 Meta Levi Kurnia

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang Sibusuk, Sumatera Barat pada tanggal 23 Oktober 1989 dari pasangan Taufik Maison dan Maipal Sangguni. Penulis merupakan anak pertama dari tiga orang bersaudara. Penulis memulai pendidikan formal pada tahun 1995 di SDN 09 Kupitan dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke MTsN Kupitan dan lulus pada tahun Penulis kemudian masuk ke SMAN 1 Sawahlunto dan lulus pada tahun Tahun 2007 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada jurusan kedokteran hewan di Fakultas Kedokteran Hewan. Selama menjalani pendidikannya penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) kabinet sinergis sebagai pengurus divisi PSDM ( ). Pada tahun penulis aktif di Himpunan Minat Profesi Satwa Liar (SATLI) sebagai kadiv Wild Aquatic.

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... x DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN xii xiii xiv PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan... 2 Hipotesa... 2 Manfaat... 2 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Tikus Putih (Rattus sp.)... 3 Organ Reproduksi Betina 5 Ovarium... 5 Uterus.. 6 Hormon Reproduksi Betina. 6 Estrogen... 7 Progesteron. 7 Siklus Reproduksi. 8 Proses Reproduksi Tikus.. 8 Perkawinan.. 9 Fertilisasi. 9 Implantasi 10 Plasentasi. 11 Kelahiran dan Laktasi. 11 Purwoceng (Pimpinella alpina) 11 METODOLOGI Waktu dan Tempat 14 Alat dan Bahan. 14 Metode Penelitian. 14 Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng. 14 Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng.. 15 Tahap Persiapan Hewan Model Perlakuan Hewan. Bagan Penelitian Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN. 18

11 xi SIMPULAN DAN SARAN.. DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN

12 xii DAFTAR TABEL Halaman 1 Data nilai fisiologis tikus putih (Rattus sp.) Hasil uji fitokimia dari akar purwoceng 13 3 Rata-rata bobot uterus, plasenta, dan ovarium Rata-rata bobot anak tikus. 22

13 xiii DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Perbedaan tikus jantan dan betina. 4 2 Purwoceng Uterus tikus pada kebuntingan 21 hari Plasenta tikus pada kebuntingan 21 hari Anak tikus kontrol dan perlakuan pada kebuntingan 21 hari.. 22

14 xiv DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Analisis bobot ovarium pada kebuntingan 21 hari 32 2 Analisis bobot uterus pada kebuntingan 21 hari Analisis bobot plasenta kebuntingan 21 hari Analisis bobot anak pada kebuntingan 21 hari... 33

15 PENDAHULUAN Latar Belakang Penggunaan tanaman herbal sebagai tanaman obat dalam bidang reproduksi sudah banyak diteliti dan diminati oleh masyarakat karena mengandung bahan alami. Tanaman herbal yang menjadi bahan metode penelitian reproduksi adalah tanaman yang mengandung bahan bersifat estrogenik atau androgenik. Pada dasarnya tanaman yang mengandung senyawa-senyawa seperti estrogen atau androgen dipercaya dapat memperbaiki kinerja reproduksi, seperti pasak bumi (Eurycoma longifolia Jack.). Pasak bumi merupakan tumbuhan asli Myanmar, Thailand, Indo Cina, dan Indonesia. Bagian yang digunakan dari tanaman ini adalah akar. Kandungan aktif yang terdapat dalam akar pasak bumi ini adalah β- Sitosterol. β-sitosterol berguna sebagai bahan baku pembuatan hormon steroid dan merangsang pengeluaran hormon estrogen (Gunawan 2002). Herbal lain yang juga mengandung bahan bersifat estrogenik atau androgenik adalah purwoceng. Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman menahun dengan tinggi antara cm. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah pegunungan, seperti daerah asalnya, yaitu pegunungan Alpen sehingga dikenal dengan nama Pimpinella alpina. Di Jawa, purwoceng ditemukan tumbuh liar di Pegunungan Dieng dan lereng Gunung Lawu, Jawa Tengah. Bagian tanaman yang digunakan adalah akar karena diketahui dapat menggugah hasrat seksual (Gunawan 2002). Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman yang digunakan sebagai obat herbal terutama sebagai viagra. Seluruh bagian dari purwoceng dapat digunakan sebagai obat terutama akarnya karena bahan aktif purwoceng terbanyak terletak pada bagian akar. Secara empiris masyarakat umum lebih mengenal akar purwoceng berkhasiat sebagai afrodisiak. Akar purwoceng mengandung turunan dari senyawa sterol, saponin, dan alkaloida. Selain itu, akar purwoceng juga mengandung turunan senyawa kumarin yang digunakan dalam industri obat modern, tetapi bukan untuk afrodisiak melainkan untuk anti bakteri, anti fungi dan anti kanker. Di Indonesia tumbuhan atau tanaman obat yang

16 2 digunakan sebagai afrosidiak lebih banyak hanya berdasarkan kepercayaan dan pengalaman (Hernani dan Yuliani 1991). Berdasarkan penelitian terdahulu, Taufiqqurrahman (1999) telah menggunakan purwoceng sebagai herbal alternatif untuk memperbaiki kinerja reproduksi. Penelitian tersebut memanfaatkan akar purwoceng untuk meningkatkan kadar Luteinizing Hormone (LH) dan testosteron. Penelitian ini juga memanfaatkan akar purwoceng sebagai tanaman yang diduga dapat memperbaiki kinerja reproduksi tikus betina bunting, yang akan dilihat pada parameter dari induk (bobot ovarium, bobot uterus, dan bobot plasenta) dan dari anak (bobot badan anak). Parameter ini diambil karena ovarium adalah sumber estrogen, sedangkan uterus, plasenta, dan anak adalah target organ dari estrogen. Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk menguji efek ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) yang diberikan pada hari kebuntingan terhadap bobot ovarium, bobot uterus, bobot plasenta, dan bobot anak tikus. Hipotesa Ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) yang diberikan secara peroral dapat mempengaruhi bobot ovarium, bobot uterus, bobot plasenta, dan bobot anak tikus yang diberikan pada hari kebuntingan Manfaat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap kinerja reproduksi tikus betina bunting sehingga dapat dipakai sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

17 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Tikus Putih (Rattus sp.) Tikus putih atau rat (Rattus sp.) sering digunakan sebagai hewan percobaan atau hewan laboratorium karena telah diketahui sifat-sifatnya dan mudah dipelihara (Malole dan Pramono 1989). Selain itu, penggunaan tikus sebagai hewan percobaan juga didasarkan atas pertimbangan ekonomis dan kemampuan hidup tikus hanya 2-3 tahun dengan lama produksi 1 tahun (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Penggunaan tikus dalam penelitian reproduksi karena panjang waktu siklus birahi yang pendek, yaitu 4-5 hari dan lama kebuntingannya hanya selama hari (Malole dan Pramono 1989). Terdapat tiga galur atau varietas tikus yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan yaitu galur Sprague-Dawley yang memiliki kepala kecil, berwarna albino putih dan ekornya lebih panjang dari badannya. Galur Wistar yang memiliki kepala besar dan ekor yang lebih pendek. Galur Long Evans yang lebih kecil dari tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala dan tubuh bagian depan (Malole dan Pramono 1989). Tabel 1 Data nilai fisiologis tikus putih (Rattus sp.) Kriteria Berat badan dewasa Berat lahir Lama siklus birahi Lama kebuntingan Oestrus postpartum Jumlah anak Umur sapih Waktu pemeliharaan komersial Komposisi air susu Sumber: Malole dan Pramono (1989) Nilai g jantan, g betina 5-6 g 4-5 hari hari Fertil 6-12 ekor 21 hari 7-10 litter/4-5/bulan 13% lemak, 9,7% protein, 3,2% laktosa Ada dua sifat yang membedakan tikus dengan hewan percobaan lain, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim pada tempat bermuara esofagus ke dalam lambung dan tidak mempunyai kandung empedu.

18 4 Tikus hanya mempunyai kelenjar keringat di telapak kaki, ekor tikus menjadi bagian badan yang paling penting untuk mengurangi panas tubuh. Mekanisme perlindungan lain adalah tikus akan mengeluarkan banyak ludah dan menutupi bulunya dengan ludah tersebut (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Tikus mencapai dewasa kelamin pada umur hari, vagina mulai terbuka pada umur hari dan testes turun pada umur hari. Anak-anak yang sehat dan kuat dihasilkan bila tikus baru dikawinkan pada umur hari yaitu pada saat betina mencapai 250 g berat badan dan jantan 300 g. Umur perkawinan pertama tersebut tergantung dari galur tikus dan tingkat pertumbuhannya. Siklus estrus berlangsung 4-5 hari selama 12 jam setiap siklus dan seperti halnya mencit, estrus dimulai pada malam hari. Estrus pada tikus betina tidak dipengaruhi oleh bau pejantan (Malole dan Pramono 1989). Siklus estrus tikus terbagi menjadi empat periode, yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Tikus merupakan hewan poliestrus, yaitu dapat mengalami estrus lebih dari sekali dalam setahun. Terdapat estrus postpartum dalam waktu 48 jam sesudah partus. Akan tetapi tikus tidak dikawinkan dalam masa estrus postpartum supaya anak-anak yang sedang disusui tidak terlantar. Oleh karena itu tikus betina yang baru bunting harus dipisah dari jantan sampai anaknya disapih (Malole dan Pramono, 1989). Tikus yang masih mudapun sudah dapat dibedakan antara tikus jantan dan betina. Tikus jantan memiliki papila genitalia dan jarak anogenital yang lebih besar dari betina yaitu 5 mm pada umur 7 hari, sedangkan betina hanya berjarak 2,5 mm. Puting susu pada betina sudah terlihat sejak umur 8-15 hari (Malole dan Pramono 1989). Jantan Betina Gambar 1 Perbedaan tikus jantan dan betina (Malole dan Pramono 1989).

19 5 Organ Reproduksi Betina Organ reproduksi betina terdiri dari organ reproduksi primer dan sekunder. Organ reproduksi primer yaitu ovarium yang menghasilkan sel telur dan hormonhormon kelamin betina. Organ reproduksi sekunder terdiri dari tuba fallopii, uterus, serviks, vagina, dan vulva. Fungsi organ reproduksi sekunder adalah menerima dan menyalurkan sel-sel kelamin jantan dan betina, memberi makan, dan melahirkan individu baru (Toelihere 1985). Ovarium Ovarium adalah organ primer reproduksi pada betina. Ovarium mempunyai dua fungsi, sebagai organ eksokrin yang menghasilkan sel telur atau ovum dan sebagai organ endokrin yang mensekresikan hormon-hormon kelamin betina, estrogen, dan progesteron (Toelihere 1985). Ovarium dapat dianggap bersifat endokrin atau sitogenik karena mampu menghasilkan hormon yang akan diserap langsung ke dalam peredaran darah dan juga ovum (Frandson 1992). Pada mamalia, ovarium terdiri dari dua buah. Pada waktu pertumbuhan embrional, ovarium akan mengalami sedikit penurunan (descensus ovarica) ke arah kaudal menjelang dilahirkan. Ovarium mempunyai permukaan yang licin sebelum terjadinya ovulasi secara teratur dan mempunyai warna abu-abu sampai merah muda. Setelah mencapai masa remaja, permukaan ovarium menjadi tidak rata karena terbentuk banyak folikel yang baru maupun folikel yang telah dewasa. Disamping itu juga terdapat korpus luteum dan korpus albikans (Hardjopranjoto 1995). Bentuk ovarium tersebut bervariasi tergantung kepada spesies hewan. Besar ovarium bertambah sesuai dengan bertambahnya umur maupun banyak anak yang dilahirkan. Pada golongan mamalia, ovarium terletak di dalam rongga pelvis sehingga organ ini sangat terlindungi dari kemungkinan kerusakan yang disebabkan oleh faktor luar. Ovarium ini bisa berubah-ubah letaknya karena ada kebuntingan, pertambahan umur, dan terdesak oleh organ tubuh disekitar. Ovarium terdiri dari bagian medulla (bagian dalam) yang mengandung banyak pembuluh darah, saraf, pembuluh limfe, dan tenunan pengikat fibroblast. Sedangkan bagian korteks (bagian pinggir) terdiri dari sel-sel germinal, sel telur

20 6 yang masih muda, folikel yang sedang tumbuh, folikel masak, folikel yang degenerasi dan pembuluh darah (Hardjopranjoto 1995). Uterus Bagian saluran alat kelamin yang berbentuk buluh dan berurat daging licin. Uterus berfungsi menerima sel telur yang telah dibuahi atau embrio dari tuba falopii, memberi makanan, dan perlindungan bagi fetus, serta mendorong fetus ke arah luar saat kelahiran. Bentuk uterus tikus adalah dupleks dimana korpus uteri tidak ada dan kedua kornuanya terpisah sama sekali (Hardjopranjoto 1995). Dinding uterus terbagi menjadi tiga lapis yaitu lapisan serosa (perimetrium) di sebelah luar, lapisan muskularis (miometrium) di sebelah tengah, dan lapisan mukosa (endometrium) di sebelah dalam (Hardjopranjoto 1995). Lapisan serosa (perimetrium) berhubungan dengan peritoneum yang dikenal dengan ligamen lebar dan mendukung genitalia internal. Ligamen ini terdiri dari mesovarium sebagai penggantung ovari, mesosalpink sebagai penggantung oviduk dan mesometrium sebagai penggantung uterus (Frandson 1992). Lapisan muskularis (miometrium) adalah suatu bagian muskular dari dinding uterus. Lapisan ini terdiri dari lapis melingkar bagian dalam yang tebal dari otot polos dan longitudinal yang lebih tipis di bagian luar. Keduanya dipisahkan oleh lapis vaskular (pembuluh darah di dalam jaringan pengikat). Selama kebuntingan, jumlah otot di dalam dinding uterus meningkat (Frandson 1992). Lapisan mukosa (endometrium) merupakan membran mukosa yang menyelimuti uterus dan memiliki struktur kelenjar (Frandson 1992). Endometrium terdiri dari epitel banyak lapis yang mengandung serabut-serabut getar. Sel di bawahnya (tunika propria) mengandung banyak kelenjar uterus dan pembuluh darah (Hardjopranjoto 1995). Hormon Reproduksi Betina Hormon yang dihasilkan ovari adalah estrogen dari folikel dan progesteron dari corpora lutea. Aktivitas sekretoris dari ovari berada di bawah kontrol hormon gonadotrofik dari adenohipofisis kelenjar pituitari (Frandson 1992). Estrogen terutama meningkatkan proliferasi dan pertumbuhan sel-sel khusus di dalam

21 7 tubuh, sedangkan progesteron berkaitan hampir seluruhnya dengan persiapan akhir dari uterus pada awal kebuntingan (Guyton dan Hall 1997). Estrogen Estrogen merupakan suatu kelompok senyawa yang berperan sebagai hormon kelamin betina dan merangsang kelenjar-kelenjar kelamin asesoris kelamin betina. Estron, estradiol, dan estriol adalah hormon-hormon alamiah yang diproduksi oleh ovari atau plasenta hewan mamalia (Frandson 1992). Estrogen utama yang disekresikan oleh ovarium adalah estradiol. Estron juga disekresikan tetapi dalam jumlah yang kecil. Estriol adalah estrogen yang lemah dan produk oksidasi dari estradiol maupun estron, perubahan ini terjadi di dalam hati (Guyton dan Hall 1997). Estrogen akan disekresikan 20 kali lipat atau lebih setelah pubertas di bawah pengaruh hormon-hormon gonadotropin hipofisis. Pada masa ini, organ-organ kelamin betina akan berkembang dari usia anak menjadi yang usia betina dewasa, ovarium, tuba fallopii, uterus, dan vagina akan bertambah besar. Setelah pubertas, ukuran uterus meningkat menjadi dua sampai tiga kali lipat. Perubahan yang paling penting terjadi pada endometrium, karena estrogen menyebabkan terjadinya proliferasi yang nyata pada stroma endometrium yang nantinya akan dimanfaatkan untuk membantu dalam memberi nutrisi pada ovum yang berimplantasi (Guyton dan Hall 1997). Progesteron Progesteron terutama dihasilkan oleh korpus luteum, tetapi juga terdapat pada kelenjar adrenal, korteks, plasenta, dan testes. Secara umum, progesteron bekerja pada jaringan yang telah dipersiapkan oleh estrogen, meskipun dapat juga dapat bekerja secara sinergistik. Progesteron dikenal sebagai hormon kebuntingan karena menyebabkan penebalan endometrium dan perkembangan kelenjar uterin mendahului terjadinya implantasi dari ovum yang dibuahi (Frandson 1992). Efek progesteron terhadap uterus adalah untuk meningkatkan perubahan sekretorik pada endometrium uterus dan mempersiapkan uterus untuk menerima ovum yang sudah dibuahi. Progesteron juga mengurangi frekuensi dan intensitas kontraksi

22 8 uterus, sehingga mencegah terlepasnya ovum yang sudah berimplantasi (Guyton dan Hall 1997). Siklus Reproduksi Reproduksi pada hewan betina merupakan suatu proses yang kompleks dan dapat terganggu pada berbagai stadium reproduksi. Organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan dapat terjadi perkembangbiakan adalah pada saat pubertas. Pada hewan jantan pubertas ditandai oleh kesanggupannya berkopulasi dan menghasilkan sperma disamping perubahan-perubahan kelamin sekunder lain. Pada hewan betina pubertas terjadi sebelum dewasa tubuh tercapai, sehingga tikus betina yang masih muda harus menyediakan makanan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya maupun untuk anaknya (Toelihere 1985). Ketika hewan betina mencapai usia pubertas akan terjadi perubahan anatomi dan fisiologi pada organ reproduksinya, seperti vagina, ovarium, maupun uterus. Perkembangan ovarium berkaitan dengan pematangan kelamin, mencakup oogenesis (perkembangan ovum dari sel-sel kelamin primer), ovulasi, pembentukan corpora lutea. Peristiwa-peristiwa ini kemudian mempengaruhi bagian-bagian lain dari sistem reproduksi secara siklik, yang menimbulkan siklus estrus atau birahi (Frandson 1992). Periode siklus birahi tikus terdiri proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Proestrus berlangsung selama 12 jam, secara mikroskopis terlihat sel epitel berinti dari ulasan vagina yang dilakukan (Nuryadi 2007). Estrus berlangsung selama 12 jam, secara mikroskopis terlihat sel yang mengalami kornifikasi (sel epitel mengalami penandukan dan seringkali intinya piknotik atau tanpa inti) dari ulas vagina (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Metestrus berlangsung selama 21 jam, secara mikroskopis terlihat banyak leukosit dan sedikit sel yang mengalami kornifikasi. Diestrus berlangsung selama 57 jam, secara mikroskopis ulasan vagina dipenuhi oleh leukosit (Nuryadi 2007). Proses Reproduksi Tikus Proses reproduksi meliputi periode pematangan, dewasa kelamin, perkawinan, kebuntingan, kelahiran, dan laktasi. Penelitian ini menggunakan

23 9 tikus bunting. Kebuntingan meliputi periode perkawinan, fertilisasi, implantasi, dan plasentasi. Perkawinan Sistem perkawinan atau pengembangbiakan yang dapat diterapkan pada tikus yaitu sistem monogami, poligami, dan sistem koloni. Pada sistem monogami, satu jantan dan satu betina dicampur secara permanen. Pada sistem poligami, satu jantan dicampur dengan dua sampai enam ekor betina. Pada sistem koloni, jantan dan betina dicampur seperti sistem poligami, namun jantan bisa lebih dari satu (Malole dan Pramono 1989). Penelitian ini menggunakan sistem poligami. Fertilisasi Fertilisasi merupakan penyatuan atau fusi dua sel antara gamet jantan dan betina untuk membentuk satu sel yang disebut zigot. Dalam aspek embriologik, fertilisasi meliputi pengaktifan ovum oleh spermatozoa. Dalam aspek genetik, fertilisasi meliputi pemasukan faktor-faktor herediter pejantan ke dalam ovum (Toelihere 1985). Spermatozoa harus menembus massa kumulus (bila masih ada), zona pellusida, dan membrana vitellinum untuk masuk ke dalam ovum. Proses-proses yang terjadi selama pembuahan pada tikus yaitu sperma akan berkontak dengan zona pellusida, badan kutub pertama menghilang, dan inti sel telur mengalami pembelahan meiosis yang kedua. Sperma yang telah menembus zona pellusida akan bertaut dengan membran vitelin. Hal ini merangsang reaksi zona yang ditandai oleh pembayangan disekeliling zona pellusida. Kepala sperma masuk ke dalam vitelin dan berada tepat dibawah permukaannya. Hampir seluruh bagian sperma berada didalam vitelin. Kepala sperma membesar, volume vitelin berkurang, dan badan kutub kedua juga menghilang. Pronukleus jantan dan betina mulai berkembang. Mitokondria berkumpul disekitar pronukleus, pronukleus tersebut berkembang sempurna dan mengandung banyak nukleoli. Pronukleus jantan lebih besar daripada betina. Jika fertilisasi telah sempurna, pronukleus

24 10 telah menghilang dan diganti oleh kelompok kromosom yang telah bersatu di dalam profase pada pembagian cleavage pertama (Toelihere 1985). Apabila sel telah membelah dan berjumlah 16 sampai 32 sel, maka sel-sel tersebut akan berkumpul menjadi satu kelompok di dalam zona pellusida. Embrio tersebut dikenal sebagai morula. Cairan mulai menumpuk di dalam ruang-ruang interseluler dan muncullah suatu rongga bagian dalam (blastocoele). Setelah blastocoele mulai meluas, embrio tersebut dikenal sebagai blastocyst. Sel-sel kecil yang membagi diri secara aktif berkumpul pada satu kutub dan sel-sel besar yang tidak begitu aktif membagi diri pada kutub lain sejak fase morula. Sel-sel kecil yang mungkin berasal dari belahan ventral ovum membentuk lapisan luar embrio yang kemudian membentuk trophoblast. Sel-sel besar dari belahan dorsal ovum yang terletak ditengah membentuk massa sel bagian dalam atau disebut juga inner cell mass (ICM). Fetus akan berkembang sesudah implantasi dari massa sel bagian dalam ini (Toelihere 1985). Pembentukan blastocyst diikuti oleh gastrulasi yang mendahului pembentukan organ tubuh. Gastrulasi terdiri dari gerakan-gerakan sel atau kelompok sel sedemikian rupa untuk merubah embrio dari struktur dua lapis menjadi tiga lapis dan membawa daerah-daerah bakal pembentuk organ ke posisi yang defenitif di dalam embrio. Kemudian akan terbentuk tiga macam jaringan, yaitu endoderm, mesoderm, dan ektoderm (Toelihere 1985). Implantasi Proses implantasi adalah proses yang berlangsung secara bertahap, yaitu tahap persentuhan embrio dengan endometrium, tahap pelepasan zona pellusida, pergeseran atau pembagian tempat, dan tahap pertautan antara trophoblast dengan epitel endometrium (Manan 2002). Masa implantasi pada tikus putih berlangsung pada hari keenam (Ribeiro et al. 1996). Implantasi pada tikus terjadi apabila estradiol dan progesteron telah tercukupi. Ketidakcukupan hormon ini dapat meningkatkan kontraksi uterus secara terus menerus sehingga terjadi kegagalan implantasi dan aborsi (Arkaraviehien dan Kendle 1990).

25 11 Plasentasi Penempelan erat atau fusi antara organ fetal dengan jaringan maternal untuk pertukaran secara fisiologis disebut juga dengan pembentukan plasenta (plasentasi). Plasenta dapat didefinisikan sebagai kesatuan struktur antara selaput ekstraembrionik dan endometrium induk untuk keperluan pertukaran timbal balik faali antara induk dan fetus. Pada tikus plasentasi dimulai pada usia kebuntingan 9-10 hari (Sukra et al. 1989). Tikus mempunyai jenis plasenta diskoidal (Nalbandov 1990). Tiga fungsi utama plasenta, yaitu sebagai pengangkutan, penyimpanan, dan biosintesa (Toelihere 1985). Kelahiran dan Laktasi Masa kebuntingan tikus berlangsung selama hari dan sejak 14 hari kebuntingan sudah terlihat adanya perubahan bentuk kelenjar ambing. Pada akhir kebuntingan, tikus tersebut melahirkan anak 6-12 per kelahiran (Malole dan Pramono 1989). Selama masa kebuntingan terjadi proliferasi saluran-saluran ambing dan alveoli dibawah pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari ovarium dan plasenta. Pertumbuhan kelenjar ambing dan laktasi terutama berada dibawah pengaruh hormon, saraf-saraf vasomotorik di dalam puting susu. Dengan jalan menstimulir kelenjar hipofise maka akan dilepaskan hormon prolaktin. Hormon prolaktin ini penting untuk memulai dan mempertahankan laktasi dan melepaskan oksitosin yang perlu untuk Let Down atau penurunan air susu. Saraf vasomotor berperan secara tidak langsung pada sekresi susu dengan mengatur suplai darah kelenjar ambing (Manan 2002). Purwoceng (Pimpinella alpina) Gambar 2 Purwoceng (Darwati dan Roostika 2006).

26 12 Purwoceng adalah tanaman obat komersial yang dapat digunakan sebagai afrodisiak, diuretik, dan tonik. Tanaman tersebut adalah tumbuhan asli Indonesia yang tumbuh secara endemik di dataran tinggi Dieng Jawa Tengah, Gunung Pangrango Jawa Barat, dan area pegunungan di Jawa Timur. Hingga saat ini tidak banyak laporan penelitian tentang purwoceng. Beberapa aspek yang sudah dilaporkan adalah aspek agronomi, kultur in vitro, fitokimia, dan farmakologi (Darwati dan Roostika 2006). Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan tanaman obat yang tumbuh pada ketinggian m dpl, berkhasiat sebagai afrodisiak karena mengandung stigmasterol. Saat ini purwoceng termasuk tanaman langka yang keberadaannya semakin susah didapatkan. Pada tahun , dalam upaya pembudidayaan, Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) telah berhasil mengembangkan dan menurunkan lingkungan tumbuh purwoceng menjadi sekitar m dpl. Penelitian lebih lanjut mengenai senyawa aktif yang terkandung di dalam purwoceng khususnya stigmasterol perlu dilakukan. Identifikasi awal dilakukan melalui skrining fitokimia. Stigmasterol diekstraksi dari purwoceng melalui metode sokhletasi menggunakan pelarut etanol. Metode sokhletasi yaitu suatu metode atau proses pemisahan suatu komponen yang terdapat dalam zat padat dengan cara penyaringan berulang-ulang dengan menggunakan pelarut tertentu, sehingga komponen yang diinginkan akan terisolasi. Kemudian dilakukan analisis stigmasterol. Analisis menunjukkan keberadaan stigmasterol pada kedua tanaman purwoceng tersebut, kadar stigmasterol dari daun purwoceng kering sebesar % untuk purwoceng yang tumbuh pada ketinggian 1900 m dpl dan % untuk purwoceng yang tumbuh pada ketinggian 1200 m dpl. Hasil uji fitokimia menunjukkan kedua tanaman purwoceng mengandung alkaloid, flavonoid, saponin, dan steroid (Ulya et al. 2008). Profil hormon estradiol-17β dari plasma tikus betina selama daur birahi, setelah diberi ekstrak akar purwoceng selama 15 hari memperlihatkan peningkatan kadar estradiol dibandingkan dengan normal (Caropeboka et al. 1983). Penggunaan akar purwoceng juga pernah dilakukan terhadap tikus jantan.

27 13 Hasilnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar Luteinizing Hormone (LH) dan testosteron tikus jantan (Taufiqqurrachman 1999). Hasil uji fitokimia akar purwoceng secara kualitatif yang dipakai pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil uji fitokimia dari akar purwoceng Jenis Contoh Uji Fitokimia Hasil Pengujian Akar purwoceng Alkaloid +++ Saponin - Tanin + Fenolik - Flavonoid +++ Triterfenoid + Steroid + Glikosida + Sumber: Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2011) Keterangan: - : Negatif + : Positif lemah ++ : Positif +++ : Positif kuat ++++ : Positif kuat sekali

28 METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan di kandang hewan coba dan Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB, mulai bulan September 2010 sampai Maret Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang tikus berupa kotak plastik, kawat kasa, jaring-jaring kawat sebagai penutup, botol minum tikus, tempat pakan tikus, spoit, scalpel, pinset, gunting, objek gelas, sonde lambung, mikroskop, timbangan analitik digital, pipet, cotton swab, tisu, kapas, kertas nama, Erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, pompa vakum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, oven, wadah porselen, termometer. Hewan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague-Dawley (SD) yang terdiri dari 10 ekor tikus betina bunting. Bahan-bahan yang digunakan adalah pakan tikus, sekam, ekstrak purwoceng, eter, NaCl fisiologis 0.9%, etanol 70%, akuades, dan kain saring. Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng Purwoceng dikeringkan dengan menjemur dibawah panas sinar matahari (suhu tidak boleh lebih dari 50 ºC). Selanjutnya akar purwoceng yang telah kering dipotong tipis-tipis dan dihaluskan dengan menggunakan blender sehingga dihasilkan serbuk (simplisia). Serbuk akar purwoceng diekstraksi dengan metode maserasi sebanyak 350 gram direndam dalam 3.5 liter etanol 70% sebagai zat pelarut selama 24 jam dan setiap dua jam sekali diaduk agar homogen. Kemudian disaring dengan menggunakan kain saring. Hasil ekstrak disimpan di dalam Erlenmeyer, sedangkan ampas direndam kembali dalam 3.5 liter etanol 70% selama 24 jam dan setiap dua jam diaduk agar homogen. Setelah itu, larutan disaring dan ekstraknya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama dalam Erlenmeyer ukuran 5 liter. Kemudian dilakukan

29 15 proses evaporasi agar zat pelarut terpisah dengan menggunakan rotari evaporator (rotavapor) Buchi dengan suhu 48 ºC dan kecepatan putaran per menit (rpm) sebesar 60 rpm. Selanjutnya ekstrak dimasukkan ke dalam oven pengering dengan suhu lebih kurang 45 C selama 48 jam sehingga kadar air yang masih ada dapat menguap semuanya. Ekstrak kering disimpan di dalam botol kaca steril dan dilarutkan kembali dengan akuades sesuai dosis saat perlakuan terhadap hewan coba. Jumlah ekstrak kering yang didapatkan dari 350 gram serbuk (simplisia) adalah sejumlah 95 gram. Ekstrak kering ini kemudian dibuat dalam larutan stok sebesar 5%, yaitu 5 gram dalam 100 cc akuades. Penentuan Dosis Ekstrak Purwoceng Penentuan dosis ekstrak etanol purwoceng pada tikus berdasarkan penelitian terdahulu (Taufiqurrachman 1999), yaitu sebesar 25 mg untuk berat badan tikus sebesar 300 gram atau mg/kg BB. Dalam penelitian ini larutan stok mengandung 50 mg/ml, sehingga jumlah yang dicekok adalah sebesar 0.5 ml untuk 300 gram berat badan. Tahap Persiapan Hewan Model Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih (Rattus sp.) bunting dari galur Sprague-Dawley. Tikus-tikus ini dipelihara dalam kandang yang berbentuk kotak dan terbuat dari plastik, berukuran 30 cm x 20 cm x 12 cm. Kandang dilengkapi dengan kawat kasa sebagai penutup bagian atas dan lantai diberi sekam sebagai alas, serta air minum ad libitum. Pakan yang diberikan berupa pelet dan air minum diberikan dengan memasukkan ke dalam botol-botol kecil dan dijepitkan pada jaring-jaring kawat. Botol-botol yang berisi air tersebut ditutup dan dibuat lubang pada tutupnya agar air tersebut bisa diminum tikus. Penggantian sekam dan pencucian kandang dilakukan setiap tiga hari. Tikus bunting diperoleh dari hasil perkawinan alamiah dengan mengawinkan dua tikus betina dan satu tikus jantan dalam satu kandang. Tikus betina tersebut diberi tanda dengan spidol pada bagian ekor agar tidak keliru, tanpa tanda untuk tikus A dan diberi tanda untuk tikus B. Uji kebuntingan

30 16 dilakukan pada pagi hari dengan cara ulas vagina tikus betina menggunakan cotton swab dan dioleskan pada gelas objek. Apabila ada spermatozoa pada ulas vagina setelah dilihat dibawah mikroskop maka dapat dipastikan terjadi perkawinan dan tercatat sebagai hari pertama kebuntingan. Tikus yang bunting harus dipisahkan dari jantan dan diletakkan pada satu kandang. Tikus yang tidak bunting dikembalikan ke kandang untuk dikawinkan kembali. Perlakuan Hewan Tikus-tikus tersebut dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 5 ekor tikus bunting untuk kontrol dan 5 ekor tikus bunting yang diberi perlakuan yaitu pemberian purwoceng melalui oral lebih kurang 0.5 ml/300 g pada umur kebuntingan hari. Dua kelompok tikus tersebut dinekropsi pada hari ke-21 untuk dilihat perubahan makro anatomi dari alat reproduksinya. Euthanasi tikus menggunakan eter. Parameter-parameter yang akan dilihat adalah bobot ovarium, bobot uterus, bobot plasenta, dan bobot anak. Bobot ovarium, bobot uterus, bobot plasenta, dan bobot anak didapat dengan menimbang utuh secara keseluruhan, kemudian dipisahkan untuk ditimbang masing-masing. Bagan Penelitian Tikus jantan dewasa kelamin Tikus betina bunting Tikus betina dewasa kelamin Kontrol (tidak diberi perlakuan) Nekropsi pada akhir kebuntingan 21 hari Cekok purwoceng pada kebuntingan hari Pengamatan: Bobot ovarium, bobot uterus, bobot plasenta, dan bobot anak

31 17 Analisis Statistik Hasil parameter yang diukur dinyatakan dengan rataan dan simpangan baku. Perbedaan antar kelompok perlakuan diuji secara statistika dengan analisa sidik ragam (ANOVA) dengan pola rancangan acak lengkap (Steel dan Torrie 1993).

32 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng terhadap tikus putih betina pada usia kebuntingan hari terhadap rata-rata bobot uterus, plasenta, dan ovarium tikus putih dapat dilihat pada Tabel 3. Pemberian purwoceng pada usia kebuntingan hari dimaksudkan untuk mengetahui efeknya terutama terhadap bobot uterus dan plasenta karena masa plasentasi pada tikus terjadi pada usia kebuntingan hari. Tabel 3 Rata-rata bobot uterus, plasenta, dan ovarium No Bobot ovarium (g) Bobot Uterus (g) Bobot Plasenta (g) K P K P K P Ratarata 0.058± ± ± ± ± ±1.606 Keterangan: K = Kontrol P = Perlakuan Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng terhadap Bobot Ovarium Data di atas menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol purwoceng menyebabkan bobot ovarium tikus putih cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol, meskipun dari uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0.05). Menurut penelitian Achmadi (2011) bahwa bobot ovarium tikus yang dicekok purwoceng pada periode estrus menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan kontrol. Bobot ovarium meningkat karena kadar estrogen juga meningkat. Pada penelitian ini peningkatan bobot ovarium diduga karena purwoceng mengandung bahan aktif yang bersifat estrogenik, sehingga dapat menyebabkan terjadinya rangsangan pertumbuhan dan perkembangan ovarium. Efek estrogenik dari purwoceng ini pada ovarium melibatkan kerja hormon estrogen pada reseptor estrogen β (Lund 2005). Hormon estrogen disintesis dalam ovarium terutama dari kolesterol yang berasal dari darah (Guyton 1994). Estrogen terutama dihasilkan oleh sel teka interna dari folikel dan sedikit oleh

33 19 korpus luteum. Zat yang sebetulnya dihasilkan oleh ovarium adalah estradiol (Gadjahnata 1989). Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng terhadap Bobot Uterus Gambar 3 Uterus tikus pada kebuntingan 21 hari. Gambar 3 adalah uterus tikus bunting hasil dari penelitian ini. Pemberian ekstrak etanol purwoceng juga cenderung meningkatkan bobot uterus tikus putih, meskipun dari uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0.05). Bobot uterus kelompok tikus yang diberi ekstrak etanol purwoceng secara umum menunjukkan hasil yang lebih besar dibandingkan kelompok tikus kontrol. Tikus yang diberi ekstrak etanol purwoceng diduga akan mengalami peningkatan kadar estrogen yang berdampak pada peningkatan bobot uterus. Berdasarkan dugaan yang sama yaitu, adanya sifat estrogenik dari akar purwoceng tersebut. Estrogen merupakan hormon yang dapat menyebabkan terjadinya akumulasi cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan dan aktivitas endometrium serta mempersiapkan kerja progesteron pada endometrium (Johnson dan Everitt 1984). Estrogen mempengaruhi pertumbuhan dan proliferasi duktus kelenjar mammae. Estrogen juga menyebabkan penebalan dinding endometrium dan lapisan epitel pipih berlapis vagina.

34 20 Estrogen mempunyai dua macam reseptor, yaitu reseptor REα dan REβ (Ibanez dan Baulieu 2005). REα dan REβ banyak terdapat di dalam jaringan reproduksi betina diantaranya pada ovarium, endometrium, dan kelenjar mammae. Selain pada organ tersebut, terdapat pula di kulit, pembuluh darah, tulang, dan otak (Ganong 2002). Uterus diketahui lebih banyak mengandung reseptor alfa (REα) daripada beta (REβ). Pemberian estrogen juga akan meningkatkan konsentrasi reseptor estrogen REα pada organ reproduksi (Kusmana et al 2007). Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng terhadap Bobot Plasenta Gambar 4 Plasenta tikus pada kebuntingan 21 hari. Keterangan: Tanda panah adalah plasenta Gambar 4 adalah plasenta tikus bunting hasil dari penelitian ini. Plasenta dari tikus yang diberi ekstrak etanol purwoceng ini diambil dan dipisahkan dari uterus, kemudian dilakukan penimbangan untuk mengetahui bobotnya. Ekstrak etanol purwoceng tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap peningkatan bobot plasenta. Hal ini menunjukkan bahwa efek estrogenik yang terkandung dalam akar purwoceng tidak memberikan pengaruh terhadap bobot plasenta. Selain itu, tidak terjadinya peningkatan bobot plasenta diduga karena reseptor estrogen plasenta lebih sedikit.

35 21 Sekresi estrogen oleh plasenta berbeda dari sekresi estrogen oleh ovarium. Sebagian besar estrogen yang diekskresikan adalah estriol, yang merupakan estrogen yang sangat lemah dan dibentuk hanya dalam jumlah kecil pada hewan yang tidak bunting. Karena kekuatan estrogenik dari estriol yang sangat kecil, estrogen lainlah yang berperan pada sebagian besar aktivitas total estrogen. Estrogen yang diekskresikan oleh plasenta tidak disintesis sendiri dari zat-zat dasar dalam plasenta. Sebaliknya, estrogen hampir seluruhnya dibentuk dari senyawa steroid androgen. Androgen yang lemah ini kemudian ditranspor oleh darah ke plasenta (Guyton dan Hall 1997). Biosintesis estrogen melibatkan hidroksilasi dari prekursor androgen yang dimediasi oleh kompleks enzim yang dikenal sebagai aromatase (Favaro dan Cagnon 2007). Menurut Nalbandov (1990), organ bertambah berat akibat meningkatnya vaskularisasi dan aktivitas mitosis yang lebih besar. Menurut Anwar (2005), produksi estrogen oleh plasenta juga bergantung pada prekursor-prekursor dalam sirkulasi, namun pada keadaan ini baik steroid fetus ataupun induk merupakan sumber-sumber yang penting untuk sintesis estrogen tersebut. Kebanyakan estrogen berasal dari androgen fetus, terutama dehidroepiandrosteron sulfat (DHEA sulfat). DHEA sulfat fetus terutama dihasilkan oleh adrenal fetus, kemudian diubah oleh sulfatase plasenta menjadi dehidroepiandrosteron bebas (DHEA bebas), dan selanjutnya melalui jalur-jalur enzimatik yang lazim untuk jaringan-jaringan penghasil steroid, menjadi androstenedion dan testosteron. Androgen-androgen ini akhirnya mengalami aromatisasi dalam plasenta menjadi berturut-turut estron dan estradiol. Setelah umur kebuntingan 12 hari yaitu pada periode plasentasi, konsentrasi estradiol melonjak secara drastis dan mencapai konsentrasi tertinggi pada umur kebuntingan 16 hari. Selanjutnya menurun pada kebuntingan 20 hari yaitu menjelang kelahiran. Peningkatan konsentrasi estradiol pada umur kebuntingan tersebut disebabkan sel-sel penghasil estradiol pada korpus luteum dan plasenta telah berfungsi secara maksimal (Adelien 1996). Pemberian purwoceng yang diharapkan dapat mendukung terjadinya peningkatan ini tidak terjadi. Hal ini mungkin disebabkan efek estrogenik purwoceng hanya cukup untuk meningkatkan bobot ovarium dan uterus saja, walaupun juga tidak signifikan.

36 22 Pengaruh Ekstrak Etanol Purwoceng terhadap Bobot Badan Anak Bobot anak yang dihasilkan dari uterus tikus yang mendapatkan ekstrak etanol purwoceng ditimbang setelah anak dikeluarkan dari uterus pada umur 21 hari kebuntingan atau saat melahirkan. Kontrol Perlakuan Gambar 5 Anak tikus kontrol dan perlakuan pada kebuntingan 21 hari. Gambar 5 adalah anak-anak tikus bunting hasil dari penelitian ini. Rata-rata bobot badan anak tikus putih yang diberi ekstrak etanol purwoceng pada usia kebuntingan hari dapat dilihat pada Tabel 4. Rata-rata jumlah anak tikus tiap induk berkisar 5-10 ekor. Tabel 4 Rata-rata bobot anak tikus Induk ke Jumlah anak Rata-rata bobot anak (g) K P K P ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± Rata-rata 8 ± ± ± ± Keterangan: K = Kontrol P = Perlakuan Bobot badan anak yang diberi ekstrak etanol purwoceng cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol, meskipun dari uji statistik tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0.05). Hal ini disebabkan karena lingkungan mikro

37 23 dan makro uterus juga lebih baik pada tikus yang diberi ekstrak etanol purwoceng. Penebalan endometrium dan vaskularisasi yang baik dari pembuluh darah menyebabkan lingkungan uterus menjadi lebih baik. Perbaikan lingkungan uterus sebagai wadah dari embrio atau fetus, diharapkan membuat pertumbuhan dan perkembangan fetus yang dikandung menjadi lebih baik. Garvita (2005) menyatakan bahwa pemberian bahan yang bersifat estrogenik pada induk tikus dapat meningkatkan bobot lahir anak. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Ruhlen (2007) bahwa pemberian bahan yang bersifat estrogenik akan meningkatkan bobot badan dan kadar estradiol serum mencit. Menurut Dziuk (1992) bobot lahir ditentukan oleh pertumbuhan prenatal yang merupakan akumulasi pertumbuhan sejak zigot berkembang menjadi embrio dan fetus sampai dilahirkan. Pertumbuhan prenatal ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan uterus dan plasenta selama embrio dan fetus dalam kandungan (McDonald 1980, Ashworth 1992). Gandolfi et al (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan pada fase embrio dipengaruhi oleh kesiapan endometrium uterus untuk menyediakan makanan dan senyawa kimia lain (faktor pertumbuhan dan hormon) untuk perkembangan embrio. Bobot lahir yang ditentukan oleh pertumbuhan dalam kandungan sangat menentukan bobot sapih. Selama dalam kandungan zat-zat makan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan anak diperoleh dari sekresi kelenjar uterus dan sirkulasi induk tersebut. Pertumbuhan merupakan suatu fenomena kompleks yang dipengaruhi oleh somatotropin, somatomedin, dan hormon-hormon lainnya seperti hormon tiroid, androgen, glukokortikoid, estrogen, dan insulin. Pertumbuhan secara normal disertai oleh rangkaian perubahan yang melibatkan peningkatan protein dan penambahan panjang serta ukuran, tidak sekedar peningkatan berat, yang dapat disebabkan oleh pembentukan atau retensi garam dan air (Ganong 2002). Purwoceng merupakan tanaman yang bersifat androgenik. Selain bersifat androgenik, purwoceng juga bisa menunjukkan aktivitas estrogenik. Sesuai dengan penelitian Caropeboka (1980) bahwa adanya aktivitas androgenik dan mempunyai kecenderungan aktivitas estrogenik pada tikus jantan yang dikebiri dan tikus betina tanpa indung telur setelah pemberian ekstrak akar purwoceng.

38 24 Aktivitas estrogenik disebabkan karena adanya kandungan isoflavon dalam akar purwoceng. Hasil uji fitokimia yang dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (2011), menunjukkan bahwa zat yang terkandung paling banyak di dalam akar purwoceng adalah flavonoid. Isoflavon termasuk dalam kelompok flavonoid (1,2-diarilpropan) dan merupakan kelompok yang terbesar dalam kelompok tersebut. Aktivitas estrogenik isoflavon terkait dengan struktur kimianya yang mirip dengan stilbestrol, yang biasa digunakan sebagai obat estrogenik. Bahkan, isoflavon mempunyai aktivitas yang lebih tinggi dari stilbestrol. Aktivitas estrogenik tersebut terkait dengan struktur isoflavon yang dapat ditransformasikan menjadi equol, dimana equol mempunyai struktur fenolik yang mirip dengan hormon estrogen (Pawiroharsono 2007). Isoflavon tersebut merupakan fitoestrogen. Menurut Tsourounis (2004), fitoestrogen merupakan sumber estrogen yang berasal dari tanaman yang merupakan senyawa non steroidal dan mempunyai aktivitas estrogenik atau dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen. Mekanisme kerja fitoestrogen dalam jaringan adalah dengan berikatan dengan reseptor estrogen. Suatu substrat baru berefek estrogenik bila telah berikatan dengan reseptor estrogen. Tetapi afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogen. Reseptor fitoestrogen sangat spesifik. Hormon diproduksi dalam berbagai macam kelenjar, jaringan dan organ, dan disekresikan ke dalam aliran darah dan akan melakukan perjalanan menuju jaringan target. Jaringan target mempunyai reseptor terhadap hormon spesifik. Pada saat hormon berikatan dengan reseptor, pada saat itu pulalah respon fisiologi dimulai (Women s Health Symmetry 2009). Fitoestrogen walaupun bukan hormon, karena strukturnya yang mirip dengan estradiol dapat menduduki reseptor estrogen dan mampu menimbulkan efek layaknya estrogen endogenous sendiri (Harrison et al. 1999). Organ yang dipengaruhi fitoestrogen antara lain ovarium, uterus, testis, prostat, dan beberapa organ lainnya (Tsourounis 2004). Walaupun afinitas terhadap reseptor estrogen tidak setinggi estradiol namun fitoestrogen mampu menimbulkan efek estrogenik (Sheehan 2005). Aktivitas dan implikasi klinis fitoestrogen sangat tergantung

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1 Data nilai fisiologis tikus putih (Rattus sp.)

TINJAUAN PUSTAKA. Tabel 1 Data nilai fisiologis tikus putih (Rattus sp.) TINJAUAN PUSTAKA Biologi Tikus Putih (Rattus sp.) Tikus putih atau rat (Rattus sp.) sering digunakan sebagai hewan percobaan atau hewan laboratorium karena telah diketahui sifat-sifatnya dan mudah dipelihara

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Rata- rata bobot ovarium dan uterus tikus putih

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 5 Rata- rata bobot ovarium dan uterus tikus putih BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng terhadap tikus putih betina pada usia kebuntingan 1-13 hari terhadap rata-rata bobot ovarium dan bobot uterus tikus putih dapat dilihat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Aktivitas Ekstrak Metanol Buah Adas terhadap Lama Siklus Siklus estrus terdiri dari proestrus (12 jam), estrus (12 jam), metestrus (12 jam), dan diestrus (57 jam), yang secara total

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia BAB I A. Latar Belakang PENDAHULUAN Pada zaman dahulu hingga sekarang banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan berbagai jenis tumbuhan sebagai bahan untuk makanan maupun untuk pengobatan tradisional.

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG

EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG EFEKTIVITAS PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL PURWOCENG (Pimpinella alpina) SELAMA 1-13 HARI KEBUNTINGAN TERHADAP BOBOT OVARIUM DAN UTERUS TIKUS PUTIH (Rattus sp.) SANDRA HAPSARI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Tanaman Purwoceng Purwoceng (Pimpinella alpina Kds) merupakan tanaman obat.seluruh bagian tanaman purwoceng dapat digunakan sebagai obat tradisional, terutama akar.

Lebih terperinci

Gambar 4. Grafik Pertambahan Bobot Badan Tikus

Gambar 4. Grafik Pertambahan Bobot Badan Tikus BAB IV HASIL PEMBAHASAN Pengaruh pemberian ekstrak etanol purwoceng (Pimpinella alpina) terhadap pertambahan bobot badan tikus betina bunting pada umur kebuntingan 0-13 hari dapat dilihat pada Tabel 2.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2008 sampai dengan Mei 2009. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan

BAB I PENDAHULUAN. penelitian, pengujian dan pengembangan serta penemuan obat-obatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pemanfaatan obat tradisional di Indonesia saat ini sudah cukup luas. Pengobatan tradisional terus dikembangkan dan dipelihara sebagai warisan budaya bangsa yang

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Organ Reproduksi Betina 2.1.1 Ovarium Organ reproduksi betina terdiri atas dua buah ovari, dua buah tuba falopii, uterus, serviks, vagina, dan vulva. Ovarium bertanggung jawab

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting

BAB I PENDAHULUAN. hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Estrogen adalah salah satu hormon yang berperan dalam reproduksi hewan betina. Menurut Shabib (1989: 51-53), bentuk aktif estrogen terpenting adalah estradiol

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh pemberian ekstrak kacang kedelai hitam (Glycine soja) terhadap jumlah kelenjar dan ketebalan lapisan endometrium

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Berat badan dewasa : - jantan - betina g. Konsumsi air minum tikus dewasa

TINJAUAN PUSTAKA. Berat badan dewasa : - jantan - betina g. Konsumsi air minum tikus dewasa 19 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Umum Tikus Tikus digolongkan ke dalam kelas Mamalia, bangsa Rodentia, suku Muridae dan marga Rattus (Meehan 1984). Tikus merupakan hewan mamalia yang mempunyai peranan penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio.

BAB I PENDAHULUAN. (dengan cara pembelahan sel secara besar-besaran) menjadi embrio. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Seorang wanita disebut hamil jika sel telur berhasil dibuahi oleh sel sperma. Hasil pembuahan akan menghasilkan zigot, yang lalu berkembang (dengan cara pembelahan sel

Lebih terperinci

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1 SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 2. Sistem Reproduksi ManusiaLatihan Soal 2.1 1. Perhatikan gambar berikut! Bagian yang disebut dengan oviduct ditunjukkan oleh huruf... A B C D Bagian yang ditunjukkan oleh gambar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tradisional maupun pasar modern. Kacang kedelai hitam juga memiliki kandungan

BAB I PENDAHULUAN. tradisional maupun pasar modern. Kacang kedelai hitam juga memiliki kandungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Makanan di era modern ini semakin beragam bahan yang digunakan, tidak terkecuali bahan yang digunakan adalah biji-bijian. Salah satu jenis biji yang sering digunakan

Lebih terperinci

Anatomi/organ reproduksi wanita

Anatomi/organ reproduksi wanita Anatomi/organ reproduksi wanita Genitalia luar Genitalia dalam Anatomi payudara Kelainan organ reproduksi wanita Fisiologi alat reproduksi wanita Hubungan ovarium dan gonadotropin hormon Sekresi hormon

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Departemen Farmasi FMIPA UI dari Januari 2008 hingga Mei 2008.

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Departemen Farmasi FMIPA UI dari Januari 2008 hingga Mei 2008. BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilakukan di Laboratorium Fitokimia dan Farmakologi Departemen Farmasi FMIPA UI dari Januari 2008 hingga Mei 2008. B. BAHAN DAN ALAT

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. tikus putih (Rattus norvegicus, L.) adalah sebagai berikut: BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Hasil penelitian mengenai pengaruh ekstrak biji pepaya (Carica papaya, L.) terhadap ketebalan lapisan endometrium dan kadar hemoglobin tikus putih (Rattus

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 34 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan Desember 2007. Penelitian ini dilakukan pada beberapa tempat yaitu : pembuatan tepung kedelai dan

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Bobot Tubuh Ikan Lele Hasil penimbangan rata-rata bobot tubuh ikan lele yang diberi perlakuan ekstrak purwoceng (Pimpinella alpina molk.) pada pakan sebanyak 0;

Lebih terperinci

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi

OLEH : HERNAWATI. Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi PENGARUH SUPEROVULASI PADA LAJU OVULASI, SEKRESI ESTRADIOL DAN PROGESTERON, SERTA PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN UTERUS DAN KELENJAR SUSU TIKUS PUTIH (Rattus Sp.) SELAMA SIKLUS ESTRUS TESIS OLEH : HERNAWATI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Manusia mempunyai dua ovarium yang berfungsi memproduksi sel telur dan mengeluarkan hormon. Di dalam setiap ovarium terjadi perkembangan sel telur (oogenesis). Pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian. Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Gambaran mikroskopik folikel ovarium tikus putih betina ((Rattus norvegicus, L) dengan perbesaran 4x10 menggunakan teknik pewarnaan Hematoxilin-eosin

Lebih terperinci

OPTIMALISASI KINERJA REPRODUKSI TIKUS BETINA SETELAH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE PADA USIA PRAPUBERTAS SUPRIHATIN

OPTIMALISASI KINERJA REPRODUKSI TIKUS BETINA SETELAH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE PADA USIA PRAPUBERTAS SUPRIHATIN OPTIMALISASI KINERJA REPRODUKSI TIKUS BETINA SETELAH PEMBERIAN TEPUNG KEDELAI DAN TEPUNG TEMPE PADA USIA PRAPUBERTAS SUPRIHATIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 1 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya 3.3. Alat dan Bahan

3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 3.2. Hewan Coba dan Pemeliharaannya 3.3. Alat dan Bahan 19 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan Juni 2010 di Kandang Unit Hewan Laboratorium, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN HEWAN II

LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN HEWAN II VAGINAL SMEAR Oleh : Nama : Nur Amalah NIM : B1J011135 Rombongan : IV Kelompok : 2 Asisten : Andri Prajaka Santo LAPORAN PRAKTIKUM STRUKTUR DAN PERKEMBANGAN HEWAN II KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina.

BAB I PENDAHULUAN Tujuan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui ciri-ciri tiap fase siklus estrus pada mencit betina. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Siklus reproduksi adalah perubahan siklus yang terjadi pada sistem reproduksi (ovarium, oviduk, uterus dan vagina) hewan betina dewasa yang tidak hamil, yang memperlihatkan

Lebih terperinci

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi.

1. Perbedaan siklus manusia dan primata dan hormon yang bekerja pada siklus menstruasi. Nama : Hernawati NIM : 09027 Saya mengkritisi makalah kelompok 9 No 5 tentang siklus menstruasi. Menurut saya makalah mereka sudah cukup baik dan ketikannya juga sudah cukup rapih. Saya di sini akan sedikit

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dan lekosit tikus putih (Rattus norvegicus) betina adalah sebagai berikut :

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dan lekosit tikus putih (Rattus norvegicus) betina adalah sebagai berikut : BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL Hasil penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak biji pepaya (Carica papaya, L.) terhadap jumlah kelenjar endometrium, jumlah eritrosit dan lekosit tikus putih (Rattus

Lebih terperinci

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang

Anatomi sistem endokrin. Kerja hipotalamus dan hubungannya dengan kelenjar hormon Mekanisme umpan balik hormon Hormon yang Anatomi sistem endokrin Kelenjar hipofisis Kelenjar tiroid dan paratiroid Kelenjar pankreas Testis dan ovum Kelenjar endokrin dan hormon yang berhubungan dengan sistem reproduksi wanita Kerja hipotalamus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdapat sekitar tumbuhan, diduga sekitar spesies

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terdapat sekitar tumbuhan, diduga sekitar spesies BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Indonesia dikenal sebagai megabiodiversity country, yaitu Negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang besar. Di hutan tropis Indonesia terdapat sekitar 30.000 tumbuhan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family

BAB I PENDAHULUAN. Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Brotowali (Tinospora crispa, L.) merupakan tumbuhan obat herbal dari family Menispermaceae yang mempunyai beberapa manfaat diantaranya dapat digunakan untuk mengobati

Lebih terperinci

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. Sasaran Pembelajaran Mahasiswa dapat menjelaskan sistem reproduksi dan laktasi Materi Kontrol gonad dan perkembangan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok,

BAB III METODE PENELITIAN. rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok, BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan dan Desain Penelitian Penelitian yang dilaksanakan merupakan penelitian eksperimen, rancangan penelitian yang digunakan adalah acak lengkap dengan lima kelompok,

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 11 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah anak, rataan bobot lahir, bobot sapih, total bobot lahir, dan jumlah anak sekelahiran pada kelompok domba kontrol dan superovulasi, baik yang tidak diberi dan diberi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak yang dapat menyediakan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia selain dari sapi, kerbau dan unggas. Oleh karena itu populasi dan kualitasnya

Lebih terperinci

HORMON REPRODUKSI JANTAN

HORMON REPRODUKSI JANTAN HORMON REPRODUKSI JANTAN TIU : 1 Memahami hormon reproduksi ternak jantan TIK : 1 Mengenal beberapa hormon yang terlibat langsung dalam proses reproduksi, mekanisme umpan baliknya dan efek kerjanya dalam

Lebih terperinci

bio.unsoed.ac.id II. TELAAH PUSTAKA

bio.unsoed.ac.id II. TELAAH PUSTAKA II. TELAAH PUSTAKA Kelenjar mammae merupakan kelenjar kulit khusus (derivat integumen) yang terletak di dalam jaringan bawah kulit (subkutan). Kelenjar mammae merupakan kelenjar eksokrin. Kelenjar eksokrin

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS (Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin)

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS (Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin) PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN AMBING TIKUS (Rattus norvegicus) PADA USIA KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin) MEETHA RAMADHANITA PARDEDE SKRIPSI DEPARTEMEN ANATOMI,

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI PENEMUAN Hasil Pengamatan Makroskopis Daun Saga (Abrus precatorius L.)

BAB IV ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI PENEMUAN Hasil Pengamatan Makroskopis Daun Saga (Abrus precatorius L.) BAB IV ANALISIS DATA DAN INTERPRETASI PENEMUAN 4.. Analisis Data 4... Hasil Pengamatan Makroskopis Daun Saga (Abrus precatorius L.) Gambar 4.. Makroskopis daun saga (Abrus precatorius L.) Tabel 4.. Hasil

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Infertilitas didefinisikan sebagai kegagalan terjadinya pembuahan selama 12 bulan hubungan seksual yang aktif (Nieschlag et al, 2010). Infertilitas ditemukan pada 15%

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Penulis

KATA PENGANTAR. Penulis ii iii iv KATA PENGANTAR Assalamu alaikum warahmatullohi wabarakatuh Alhamdulillahi robbil alamin, segala puji bagi Allah hanya karena rakhmat dan hidayah-nya penulisan buku dengan judul Efektivitas pemberian

Lebih terperinci

Siklus kelamin poliestrus (birahi) g jantan dan betina

Siklus kelamin poliestrus (birahi) g jantan dan betina Lama bunting Kawin sesudah beranak Umur sapih Umur dewasa kelamin Umur dikawinkan Siklus kelamin poliestrus (birahi) Lama estrus Saat perkawinan Berat lahir Berat dewasa Jumlah anak perkelahiran Kecepatan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 40 HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Senyawa Isoflavon Tepung Kedelai dan Tepung Tempe Hasil analisis tepung kedelai dan tepung tempe menunjukkan 3 macam senyawa isoflavon utama seperti yang tertera pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Bagi seorang wanita, menopause itu sendiri adalah datangnya masa tua.

BAB 1 PENDAHULUAN. Bagi seorang wanita, menopause itu sendiri adalah datangnya masa tua. BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi seorang wanita, menopause itu sendiri adalah datangnya masa tua. Menopause yang dikenal sebagai masa berakhirnya menstruasi atau haid, sering menjadi ketakutan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi Simmental dengan nama SIMPO. Sapi SIMPO merupakan hasil

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest.

MATERI DAN METODE. Bahan Bahan yang digunakan untuk produksi biomineral yaitu cairan rumen dari sapi potong, HCl 1M, dan aquadest. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Mei 2008. Pembuatan biomineral dilakukan di Laboratorium Biokimia, Fisiologi dan Mikrobiologi Nutrisi, sedangkan pemeliharaan

Lebih terperinci

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc.

F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi. 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. F I S I O L O G I Reproduksi dan Laktasi 10 & 17 Februari 2014 Drh. Fika Yuliza Purba, M.Sc. Kebuntingan dan Kelahiran Kebuntingan Fertilisasi: Proses bersatunya/fusi antara sel kelamin betina (oosit)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 14 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan melalui dua tahap selama bulan April-Oktober 2010. Tahap pertama adalah proses pencekokan serbuk buah kepel dan akuades dilakukan

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN PLASENTA TIKUS (Rattus norvegicus) PADA UMUR KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin)

PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN PLASENTA TIKUS (Rattus norvegicus) PADA UMUR KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin) PERKEMBANGAN DAN PERTUMBUHAN PLASENTA TIKUS (Rattus norvegicus) PADA UMUR KEBUNTINGAN 13, 17, DAN 21 HARI AKIBAT PENYUNTIKAN bst (bovine Somatotropin) INTAN TOLISTIAWATY DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI,

Lebih terperinci

KAJIAN ANDROGENIK EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG (Pimpinella alpina KDS) TERHADAP KINERJA REPRODUKSI TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) BETINA DARA

KAJIAN ANDROGENIK EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG (Pimpinella alpina KDS) TERHADAP KINERJA REPRODUKSI TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) BETINA DARA KAJIAN ANDROGENIK EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG (Pimpinella alpina KDS) TERHADAP KINERJA REPRODUKSI TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) BETINA DARA PUDJI ACHMADI B. 151070031 / IFO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat 8 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Maret 19 April 2016, bertempat di Balai Pembibitan dan Budidaya Ternak Non Ruminansia (BPBTNR) Provinsi Jawa Tengah di Kota Surakarta.

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. susu untuk peternak di Eropa bagian Tenggara dan Asia Barat (Ensminger, 2002). : Artiodactyla

KAJIAN KEPUSTAKAAN. susu untuk peternak di Eropa bagian Tenggara dan Asia Barat (Ensminger, 2002). : Artiodactyla 8 II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Domba Lokal Domba merupakan hewan ternak yang pertama kali di domestikasi. Bukti arkeologi menyatakan bahwa 7000 tahun sebelum masehi domestik domba dan kambing telah menjadi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan adalah penelitian eksperimental (experimental research) yaitu penelitian yang berusaha mencari pengaruh variabel tertentu terhadap

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar glukosa darah dan histologi pankreas tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit 40 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Oosit Pada Stadia Folikel Primer Pengaruh pencekokan ekstrak rimpang rumput teki terhadap diameter oosit pada stadia folikel primer dapat dilihat pada gambar 10.

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 29 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen kuantitatif. Pada penelitian ini terdapat manipulasi terhadap objek

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. eksperimental dengan menggunakan rancangan penelitian Post Test. Randomized Control Group Design.

BAB III METODE PENELITIAN. eksperimental dengan menggunakan rancangan penelitian Post Test. Randomized Control Group Design. BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan menggunakan rancangan penelitian Post Test Randomized Control

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Fekunditas Pemijahan HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Derajat Pemijahan Berdasarkan tingkat keberhasilan ikan lele Sangkuriang memijah, maka dalam penelitian ini dibagi dalam tiga kelompok yaitu kelompok perlakuan yang tidak menyebabkan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2015 di Laboratorium Zoologi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2015 di Laboratorium Zoologi 13 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2015 di Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi dan pembuatan ekstrak rimpang rumput teki (Cyperus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan (rehabilitatif) serta peningkatan kesehatan (promotif). Berbagai cara

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan (rehabilitatif) serta peningkatan kesehatan (promotif). Berbagai cara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan kebutuhan dasar manusia. Dalam rangka memenuhi kebutuhan sehat tersebut, masyarakat berusaha melakukan upaya kesehatan yang meliputi pencegahan penyakit

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 32 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah eksperimen. Penelitian eksperimen adalah penelitian yang dilakukan dengan mengadakan manipulasi terhadap objek penelitian serta

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Dalam penelitian eksperimen terdapat kontrol sebagai acuan antara keadaan

Lebih terperinci

Penyakit diabetes mellitus digolongkan menjadi dua yaitu diabetes tipe I dan diabetes tipe II, yang mana pada dasarnya diabetes tipe I disebabkan

Penyakit diabetes mellitus digolongkan menjadi dua yaitu diabetes tipe I dan diabetes tipe II, yang mana pada dasarnya diabetes tipe I disebabkan BAB 1 PENDAHULUAN Diabetes mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang ditandai dengan kondisi hiperglikemia (Sukandar et al., 2009). Diabetes menurut WHO (1999) adalah

Lebih terperinci

SISTEM REPRODUKSI TERNAK BETINA Oleh Setyo Utomo (Kuliah ke 7)

SISTEM REPRODUKSI TERNAK BETINA Oleh Setyo Utomo (Kuliah ke 7) SISTEM REPRODUKSI TERNAK BETINA Oleh Setyo Utomo (Kuliah ke 7) TIU : 1 Memahami bentuk anatomis dan histologis alat reproduksi betina. TIK : 1 Memahami secara anatomis dan histologis ovarium sebagai kelkenjar

Lebih terperinci

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D.

HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD. Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. HUBUNGAN HIPOTALAMUS-HIPOFISE- GONAD Oleh: Ir. Diah Tri Widayati, MP, Ph.D Ir. Kustono, M.Sc., Ph.D. Mekanisme umpan balik pelepasan hormon reproduksi pada hewan betina Rangsangan luar Cahaya, stress,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN DAFTARISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN HALAMAN PERSEMBAHAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMP

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4. 1. Sel Darah Merah Pemeriksaan darah dilakukan selama tiga puluh hari dari awal kebuntingan, yaitu hari ke-1, 3, 6, 9, 12, 15, dan 30. Pemilihan waktu pemeriksaan dilakukan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus communis (sukun) yang diperoleh dari Garut, Jawa Barat serta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Sel Darah Merah Jumlah sel darah merah yang didapatkan dalam penelitian ini sangat beragam antarkelompok perlakuan meskipun tidak berbeda nyata secara statistik. Pola kenaikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rusa Timor (Rusa timorensis) Rusa Timor (Rusa timorensis) merupakan spesies bendera (flag species) bagi Provinsi Nusa Tenggara Barat, bahkan telah menjadi lambang bagi provinsi

Lebih terperinci

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan

PENGANTAR. Latar Belakang. Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan PENGANTAR Latar Belakang Itik lokal di Indonesia merupakan plasma nutfah yang perlu dilestarikan dan ditingkatkan produktivitasnya untuk meningkatkan pendapatan peternak. Produktivitas itik lokal sangat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda 3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan di kelompokkan menjadi 4 kelompok dengan ulangan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan 21 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan dan Laboratorium Zoologi Jurusan Biologi FMIPA Universitas Lampung untuk pembuatan

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Siklus Menstruasi Remaja Perkembangan fase prapubertas menjadi pubertas membutuhkan jalur yang utuh dari hipotalamus-hipofise-ovarium. Struktur alat reproduksi, status nutrisi,

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Prosedur

MATERI DAN METODE. Prosedur MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan Agustus 2009 di Laboratorium Pemulian Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, sedangkan analisis

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Objek dan Lokasi Penelitian Objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun Artocarpus communis (sukun) yang diperoleh dari Jawa Barat. Identifikasi dari sampel

Lebih terperinci

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12

Siklus menstruasi. Nama : Kristina vearni oni samin. Nim: Semester 1 Angkatan 12 Nama : Kristina vearni oni samin Nim: 09031 Semester 1 Angkatan 12 Saya mengkritisi tugas biologi reproduksi kelompok 7 tentang siklus menstruasi yang dikerjakan oleh saudari Nela Soraja gusti. Tugas mereka

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. dengan rancangan eksperimental dengan randomized pre post test control

BAB III METODE PENELITIAN. dengan rancangan eksperimental dengan randomized pre post test control 37 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian dengan rancangan eksperimental dengan randomized pre post test control group

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. diambil berdasarkan gambar histologik folikel ovarium tikus putih (Rattus A. Hasil Penelitian BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian mengenai pengruh pemberian ekstrak kacang merah (Phaseolus vulgaris, L.) terhadap perkembangan folikel ovarium tikus putih diambil

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri atas dua faktor. Kedua faktor yang digunakan dalam

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sirsak (Annona

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sirsak (Annona BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak etanol daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar Superoksida Dismutase (SOD) dan Malondialdehide (MDA)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 26 BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode eksperimental karena adanya manipulasi terhadap objek penelitian dan adanya kontrol

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Objek dan Lokasi Penelitian Objek atau bahan penelitian ini adalah daging buah paria (Momordica charantia L.) yang diperoleh dari Kampung Pamahan-Jati Asih, Bekasi. Dan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. test design. Pretest adalah pengukuran kadar kolesterol total darah

METODE PENELITIAN. test design. Pretest adalah pengukuran kadar kolesterol total darah 19 III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian adalah penelitian eksperimental, dengan menggunakan prepost test design. Pretest adalah pengukuran kadar kolesterol total darah hewan coba

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang kaya akan sumber bahan obat dari alam yang secara turun temurun telah digunakan sebagai ramuan obat tradisional. Pengobatan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Sampel dan Lokasi Penelitian Sampel atau bahan penelitian ini adalah daun M. australis (hasil determinasi tumbuhan dilampirkan pada Lampiran 1) yang diperoleh dari perkebunan

Lebih terperinci